Click here to load reader
Upload
willyandre-alex-nps
View
14
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB 1
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Sakit merupakan suatu kondisi yang tidak dapat dipisahkan dari peristiwa
kehidupan seseorang, sakit dapat menyebabkan perubahan fisik, mental, dan
sosial (Perry & Potter, 2005). kondisi ini tidak hanya berpengaruh pada individu
yang mengalami sakit namun juga berpengaruh terhadap keluarga, dan sebaliknya
keluarga juga mempunyai pengaruh dengan kondisi tersebut.
Menurut Doherty & champbell (1998) dalam Newton (2006) bahwa
keluarga mempunyai pengaruh utama dalam kesehatan fisik dan mental setiap
anggota keluarganya. Jadi peran keluarga adalah tinkah laku yang spesifik yang
diharapkan oleh seseorang dalam konteks keluarga yang menggambarkan
seperangkat perilaku interpersonal, sifat, kegiatan yang berhubungan individu
dalam posisi dan situasi tertentu menurut Setiadi (2008) dalam penelitian Rizqika
(2009).
Setiap keluarga menginginkan semua anggota keluarganya dapat tumbuh
dan berkembang secara normal terutama anak. Namun hal ini kadang kala tidak
bisa didapat oleh keluarga terutama orangtua yang anaknya lahir dengan beberapa
kelainan, salah satunya adalah retardasi mental. Menurut AAMD (The American
Association For Mental Deficiency) retardasi mental adalah keadaan dimana
intelengensi umum berfungsi di bawah rata – rata, yang bermula sewaktu masa
perkembangan dan disertai gangguan pada tingkah laku penyesuaian.
1
Universitas Sumatera Utara
Retardasi mental bukan suatu penyakit walaupun retardasi mental
merupakan hasil dari proses patologik di dalam otak yang memberikan gambaran
keterbatasan terhadap intelektual dan fungsi adaptif. Retardasi mental dapat
terjadi dengan atau tanpa gangguan jiwa atau gangguan fisik lainnya (Judarwonto,
2009). Retardasi mental merupakan ciri yang berkaitan dengan sindrom down, dan
keadaan ini memang agak kurang menyenangkan karena retardasi mental yang
sedemikian ini merupakan kelompok retardasi mental dari yang berat sampai pada
yang sedang. Jarang mereka dengan keadaan demikian dapat mencapai IQ sampai
dengan 50. Diagnosa tersebut lebih mudah dibuat pada anak –anak yang lebih
besar, namun lebih sukar pada bayi – bayi yang masih kecil.
Berdasarkan data dari Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kesejahteraan
Sosial Departemen Sosial RI Tahun 2006 jumlah penyandang cacat adalah
2.364.000 jiwa termasuk penyandang cacat mental, sedangkan random survey
Departemen Sosial tahun 1978 adalah 3,11 % dari jumlah penduduk Indonesia
yang diperkirakan pada tahun 2002 sebesar 212.020.759 maka jumla penyandang
cacat 6.593.846 orang, termasuk penyandang cacat mental sebesar 848.083
orang. Menurut Susenas tahun 2003 jumlah penyandang cacat retardasi mental
adalah 237.590 jiwa, dan mental eks psikotik 150.519 orang. jumlah penyandang
cacat tuna grahita adalah 3 % dari jumlah penduduk Indonesia atau sebesar 6 juta
jiwa (Awan, 2008).
Universitas Sumatera Utara
Perkiraan di Indonesia berkisar 1-3 persen penduduknya menderita
kelainan ini. Empat insidennya sulit diketahui karena retardasi metal kadang-
kadang tidak dikenali sampai anak-anak usia pertengahan dimana retardasinya
masih dalam taraf ringan. Insiden tertinggi pada masa anak sekolah dengan
puncak umur 10 sampai 14 tahun. Retardasi mental mengenai 1,5 kali lebih
banyak pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan (Judarwonto, 2009).
Kecacatan yang paling banyak dialami adalah salah satunya mental
retardasi (15,41%) . Sejak tahun 2008 anak cacat, penyandang cacat eks penyakit
kronis digabungkan nomenklaturnya menjadi penyandang cacat sebagai upaya
untuk menghindari double counting (Indarwati, 2009).
Data penduduk tahun 2002–2003 hasil Sensus Demografi dan Kesehatan
Indonesia (SDKI) yang dilakukan antara Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan
Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Depkes RI diketahui jumlah
penyandang cacat mental (retardasi mental) dan cacat otak di Indonesia sebanyak
1.324.410 jiwa, dengan jumlah penyandang retardasi mental dan cacat otak di
Provinsi Sumatera Utara sebanyak 74.880 jiwa (KAPCI, 2005). Belum dapat
diketahui, berapa data akurat jumlah penyandang cacat di Indonesia. Data tersebut
masih terus memerlukan sistem pendataan yang cermat. Hal tersebut terhambat
karena faktor ketidaktahuan keluarga dan masyarakat terhadap masalah kecacatan,
budaya, stigma masyarakat, kutukan, isolasi, diskriminasi, prioritas rendah,
terhadap penyandang cacat perempuan maupun laki-laki. Penyandang cacat
merupakan salah satu masalah kesejahteraan sosial di Indonesia yang wajib
mendapat perhatian (Indarwati, 2009).
Universitas Sumatera Utara
Sebagaimana penelitian Muhammmad (2009) tentang peran keluarga
terhadap proses penyembuhan pasien ganggguan jiwa (Studi Kasus di Yayasan
Dian Atma Jaya Lawang Kabupaten Malang) menjelaskan bahwa peran keluarga
terhadap proses penyembuhan pasien gangguan jiwa diantaranya: memberikan
bantuan utama terhadap penderita gangguan jiwa, pengertian dan pemahaman
tentang berbagai manifiestasi gejela-gejala sakit jiwa yang terjadi pada penderita,
membantu dalam aspek administratrif dan finansial yang harus dikeluarkan dalam
selama proses pengobatan penderita. Hal terpenting yang harus dilakukan adalah
nilai dukungan dan kesedian menerima apa yang sedang dialami oleh penderita.
Orang yang paling banyak menanggung akibat dari keterbelakangan
mental ini adalah orang tua dan keluarga anak tersebut. Saat yang krisis adalah
ketika keluarga itu pertama kali menyadari bahwa anak mereka tidak normal
seperti anak yang lainnya. Reaksi orang tua berbeda–beda tergantung pada
berbagai faktor, misalnya apakah kecacatan tersebut dapat segera diketahuinya
atau terlambat diketahuinya. Faktor lain yang sangat penting ialah derajat
keterbelakangannya dan jelas tidaknya kecacatan tersebut terlihat orang lain
(Somantri, 2006).
Surve awal yang peneliti lakukan di Sekolah Luar Biasa (SLB)
Padangsidimpuan, ditemukan sebanyak 49 orang anak dengan berbagai usia.
Berdasarkan data Evaluasi SLB Padangsidimpun, jumlah murid yang memiliki
keterbelakangan mental sedang berjumlah 11 orang dan ringan sebanyak 38
orang.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan uraian di atas bahwa kelurga ikut memegang peranan penting
dalam merawat anggota keluarga yang sakit dalam hal ini reterdasi mental dan
dalam perkembangan yang bisa dicapai seorang anak. Oleh karena itu, peneliti
tertarik melakukan penelitian tentang dukungan keluarga dalam merawat anak
retardasi mental di SLB Padangsidimpuan.
2. Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan dalam penelitian adalah :
2.1 Bagaimana gambaran dukungan keluarga dalam merawat anak
keterbelakangan mental di SLB Padangsidimpuan.
3. Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah :
3.1 Mengidentifikasi dukungan keluarga dalam merawat anak retardasi mental
di SLB Padangsidimpuan.
3.2 Mengidentifikasi dukungan infomasional dalam merawat anak retardasi
mental di SLB Padangsidimpuan.
3.3 Mengidentifikasi dukungan penilaian dalam merawat anak retardasi
mental di SLB Padangsidimpuan
3.4 Mengidentifikasi dukungan instrumental dalam merawat anak retardasi
mental di SLB Padangsidimpuan
3.5 Mengidentifikasi dukungan emosional dalam merawat anak retardasi
mental di SLB Padangsidimpuan.
Universitas Sumatera Utara
4. Manfaat Penelitian
4.1 Pelayanan Keperawatan
Penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan informasi kepada
perawat komunitas maupun perawat keluarga tentang ganbaran dukungan
keluarga dalam merawat anak keterbelakangan mental sehingga dapat menambah
pengetahuan bagi perawat dalam memberikan pendidikan kesehatan dan
konseling pada keluarga khususnya orangtua dalam upaya peningkatan perilaku
adaptif dan dalam merawat anak keterbelakangan mental.
4.2 Penelitian Keperawatan
Penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan informasi untuk
penelitian yang akan datang dalam ruang lingkup yang sama.
4.3 Pendidikan Keperawatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi tambahan kepada
pendidikan keperawatan khususnya keperawatan keluarga.
Universitas Sumatera Utara