Upload
arifatul-unsiyanah
View
65
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
PRESENTASI KASUS
EVALUASI PASIEN IKTERUS
Disusun Untuk Memenuhi
Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Di RSUD Saras Husada Purworejo
Pembimbing:
dr. Danang, Sp.PD
Disusun Oleh:
Arifatul Unsiyanah
NIM: 20070310025
SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD SARAS HUSADA PURWOREJO
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2012
1
LEMBAR PENGESAHAN
PRESENTASI KASUS
EVALUASI PASIEN IKTERUS
Telah disetujui pada
16 April 2012
Oleh:
Pembimbing Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Saras Husada Purworejo
dr. Danang, Sp.PD
2
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Definisi ikterus
Ikterus adalah perubahan warna kulit, sclera mata atau jaringan lainnya (membrane
mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang meningkat
konsentrasinya dalam sirkulasi darah. Jaringan permukaan yang kaya elastin, seperti sclera
dan permukaan bawah lidah, biasanya menjadi kuning pertama kali. Ikterus yang ringan dapat
dilihat paling awal pada sclera mata, dan kalau ini terjadi konsentrasi bilirubin sudah berkisar
antara 2-2,5 mg/dl (34-43 umol/L). Jika ikterus sudah jelas, dapat dilihat dengan nyata maka
bilirubin mungkin sebenarnya sudah mencapai angka 7 mg%.
1.2 Metabolisme bilirubin
Tahapan metabolisme bilirubin berlangsung dalam 3 fase: prehepatik, intra hepatic dan
pasca hepatic. Penjelasan yang lebih detail menambahkan 2 fase lagi sehingga tahapan
metabolism bilirubin menjadi 5 fase, yaitu fase 1). Pembentukan bilirubin, 2) transport
plasma, 3). Liver uptake, 4). Konjugasi, dan 5). Ekskresi bilier.
Fase prehepatik
1) Pembentukan bilirubin.
Sekitar 250-350 mg bilirubin atau sekitar 4 mg per kg berat badan terbentuk
setiap harinya. 70-80% berasal dari pemecahan sel darah merah yang matang. Sedangkan
sisanya 20-30% (early labeled bilirubin) dating dari protein hem lainnya yang berada
terutama di dalam sumsum tulang dan hati. Sebagian dari protein hem dioecah menjadi
besi dan produk antara biliverdin dengan perantaraan enzim hemeoksidase. Enzim lain,
biliverdin reduktase, mengubah biliverdin menjadi bilirubin. Tahapan ini terjadi terutama
dalam sel system retikuloendotelial (mononuklir fagositosis). Peningkatan hemolisis sel
darah merah merupakan penyebab utama peningkatan pembentukan bilirubin.
Pembentukan early labeled bilirubin meningkat pada beberapa kelainan dengan
eritropoiesis yang tidak efektif namun secara klinis kurang penting.
2) Transport plasma.
Bilirubin tidak larut dalam air, karenanya bilirubin tak terkonjugasi ini
transportnya dalam plasma terikat dengan albumin dan tidak dapat melalui membrane
glomerulus, karenanya tidak muncul dalam air seni. Ikatan melemah dalam beberapa
keadaan seperti asidosis, dan beberapa bahan seperti antibiotika tertentu, salisilat
berlomba pada tepat ikatan albumin.
3
Fase intrahepatik.
3) Liver uptake.
Proses pengambilan bilirubin tak terkonjugasi oleh hati secara rinci dan
pentingnya protein pengikat seperti ligandin atau protein Y, belum jelas. Engambilan
bilirubin melalui transport yang aktif dan berjalan cepat, namun tidk termasuk
pengambilan albumin.
4) Konjugasi.
Bilirubin bebas yang terkonsentrasi di dalam sel hati mengalami konjugasi
dengan asam glukoronik membentuk bilirubin diglukoronida atau bilirubin konjugasi atau
bilirubin direk. Reaksi ini yang dikatalisasi oleh enzim mikrosomal glukoronil transferase
menghasilkan bilirubin yang larut air. Dalam beberapa keadaan, reaksi ini hanya
menghasilkan bilirubin monoglukoronida, dengan bagian asam glukoronik kedua
ditambahkan dalam saluran empedu melali system enzim yang berbeda, namun reaksi ini
tidak dianggap fisiologik. Bilirubin konjugasi lainnya selain diglukoronid juga terbentuk
namun kegunaannya tidak jelas.
Fase pasca hepatic.
5) Ekskresi bilirubin.
Bilirubin konjugasi dikeluarkan ke dalam kanalikulus bersama bahan lainnya.
Anion organic lainnya atau obat dapat mempengaruhi proses yang kompleks ini. Di
dalam usus flora bakteri men-dekonjugasi dan mereduksi bilirubin menjadi
4
sterkobilinogen. Dan mengeluarkannya sebagian besar ke dalam tinja yang memberi
warna coklat. Sebagian diserap dan dikeluarkan kembali ke dalam empedu, dan dalam
jumlah kecil mencapai air seni sebagai urobilinogen. Ginjal dapat mengeluarkan
diglukoronida tapi tidak bilirubin unkonjugasi. Hal ini menerangkan bahwa air seni yang
gelap yang khas pada gangguan hepatoselular atau kolestasis intrahepatik. Bilirubin tak
terkonjugasi bersifat tidak larut dalam air namun larut dalam lemak. Karenanya bilirubin
tak terkonjugasi dapat melewati barier darah otak atau masuk ke dalam plasenta. Dalam
sel hati, bilirubin tak terkonjugasi mengalami proses konjugasi engan gula melalui enzim
glukoroniltransferase dan larut dalam empedu cair.
1.3 Penyakit gangguan metabolism bilirubin
1) Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi
i. Peningkatan produksi bilirubin
Hemolisis
Peningkatan jumlah hemoglobin yang dilepas dari sel darah merah yang sudah
tua atau yang mengalami hemolisis akan meningkatkan produksi bilirubin.
Penghancuran eritrosit yang menimbulkan hiperbilirubinemia paling sering akibat
hemolisis intravaskular (kelainan autoimun, mikroangiopati atau
hemoglobinopati) atau akibat resorbsi hematom yang besar. Ikterus yang timbul
sering disebut ikterus hemolitik.
Konjugasi dan transfer bilirubin berlangsung normal, tetapi suplai bilirubin tak
terkonjugasi/indirek melampaui kemampuan sel hati. Akibatnya bilirubin indirek
meningkat dalam darah. Karena bilirubin indirek tidak larut dalam air maka tidak
dapat diekskresikan ke dalam urine dan tidak terjadi bilirubinuria. Tetapi
pembentukkan urobilinogen meningkat yang mengakibatkan peningkatan ekskresi
dalam urine (warna gelap). Beberapa penyebab ikterus hemolitik : hemoglobin
abnormal (anemia sel sickle), kelainan eritrosit (sferositosis heriditer), antibodi
serum (Rhesus Inkompatibilitas transfusi) dan malaria tropika berat.
Ineffective erithropoiesis
Selama pematangan eritroid, hemoglobin dalam jumlah yang kecil mungkin
hilang ketika nuclear extraction, dan beberapa fraksi sel eritroid dihancurkan
dalam sumsum tulang. Proses tersebut normalnya dalam jumlah yang kecil dari
bilirubin yang dihasilkan. Pada beberapa gangguan, termasuk thalasemia mayor,
5
anemia megaloblastik karena defisiensi asam folat atau vitamin B12, porofiria
congenital eritropoiesis, keracunan, dan beberapa diseritropoietik anemia dapatan
dan bawaan, produksi total fraksi bilirubin yang dihasilkan dari ineffective
erithropoiesis meningkat, mencapai 70% dari total. Hal ini memungkinkan
hiperbilirubinemia tak terkonjugasi dalam jumlah sedang.
Lain-lain
Degradasi hemoglobin dari penimbunan eritrosit ekstravaskular, seperti infark
jaringan yang massif atau hematoma yang luas mungkin menyebabkan hiperbilirubinemia
tak terkonjugasi.
ii. Penurunan clearance bilirubin hepatic
Penurunan uptake hepatal
Penurunan uptake bilirubin dipercaya menyebabkan hiperbilirubinemia pada
gilbert’s syndrome (GS), meskipun dasar molekularnya belum jelas. Beberapa
obat, termasuk asam flavaspidic, novobiosin, dan beberapa agen kontras
cholecystografi dilaporkan menghambat uptake bilirubin.
iii. Kegagalan konjugasi
Physiologic neonatal jaundice
Bilirubin yang diproduksi fetus dibersihkan melalui plasenta dan dikeluarkan
melalui maternal liver. Segera setelah lahir, neonatal liver bertanggung jawab
dalam bilirubin clearance dan ekskresinya. Akan tetapi, beberapa proses fisiologi
hepar belum sepenuhnya berkembang ketika lahir. Level glucoronosil transferase
rendah, intestinal flara juga belum berkembang sehingga seringkali neonates
mengalami mild unconjugated hyperbilirubinemia antara hari ke 2 dan 5 setelah
lahir.
Defek konjugasi dapatan
Penurunan kapasitas konjugasi bulirubin dapat diamati pada hepatitis atau
sirosis. Beberapa obat, termasuk pregnanediol, novobiocin, kloramfenikol dan
gentamisin dapat menyebabkan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi dengan
menghambat aktivitas glukoronosil transferase.
6
iv. Defek herediter pada konjugasi bilirubin
Sindrom crigler najjar
Penyakit yang diturunkan dan jarang ini disebabkan oleh karena adanya
keadaan kekurangan glukoroniltransferase, dan terdapat dalam 2 bentuk. Pasien
dengan penyakit autosom resesif tipe 1 (lengkap=komplit) mempunyai
hiperbilirubinemia yang berat dan biasanya meninggal pada umur 1 tahun. Pasien
dengan penyakit autosom resesif tipe 2 (sebagian=parsial) mempunyai
hiperbilirubinemia yang kurang berat (<20 mg/dl,< 342 umol/L) dan biasanya
sampai dewasa tanpa kerusakan neurologic.
Sindrom gilbert.
Gangguan yang bermakna adalah hiperbilirubinemia indirek (tak
terkonjugasi), yang menjadi penting secara klinis, karena keadaan ini sering
disalah artikan sebagai penyakit hepatitis kronis. Penyakit ini menetap, sepanjang
hidup dan mengenai sejumlah 3-5% penduduk dan ditemukan pada kelompok
umur dewasa muda dengan keluhan tidak spesifik secara tidak sengaja. Beberapa
anggota keluarga sering terkena, tetapi bentuk genetika yang pasti belum dapat
dipastikan. Patogenesisnya belum dapat dipastikan.adanya gangguan/defek yang
kompleks dalam proses pengambilan bilirubin dari plasma yang berfluktuasi
antara 2-5 mg/dl (34-86 umol/L) yang cenderung naik dengan berpuasa dan
7
keadaan stress lainnya. Keaktifan enzim glukoronil trasferase rendah, karenanya,
mungkin ada hubungan dengan sindrom crigler najjar tipe 2. Banyak pasien juga
memiliki masa hidup sel darah merah yang berkurang, namun demikian tidak
cukup untuk menjelaskan keadaan hiperbilirubinemia.
Sindron gilbert dapat dengan mudah dibedakan dengan hepatitis dengan tes
faal hati yang normal, tidak terdapatnya empedu dalam urin, dan fraksi bilirubin
indirek yang dominan. Hemolisis dibedakan dengan hepatitis dengan tidak
terdapatnya anemia atau retikulositosis. Histology hati normal, namun biopsy hati
tidak diperlukan untuk diagnosis. Pasien harus diyakinkan bahwa tidak ada
penyakit hati.
2) Hiperbilirubinemia konjugasi
i. Hiperbilirubinemia konjugasi non kolestasis
Sindrom dubin-johnson
Penyakit autosomal resesif ini ditandai dengan ikterus yang ringan dan tanpa
keluhan. Kerusakan dasar terjadinya gangguan ekskresi berbagai anion organic
seperti juga bilirubin, namun ekskresi garam empedu tidak terganggu. Berbeda
dengan sindrom gilbert hiperbilirubinemi yang terjadi adalah bilirubin konjugasi
dan empedu terdapat dalam urin.
Hati mengandung pigmen sebagai akibat bahan seperti melanin, namun
gambaran histology normal. Penyebab desposisi pigmen belum diketahui. Nilai
aminotransferase dan fosfatase alkali normal. Oleh karena sebab yang belum
diketahui gangguan yang khas ekskresi korpoporifirin urin dengan rasio reversal
isomer I; III menyertai keadaan ini.
Sindrom rotor
Penyakit yang jarang ini menyerupai sindrom dubin Johnson, tetapi hati tidak
mengalami pigentasi dan perbedaan metabolic lain yang nyata ditemukan.
ii. Hiperbilirubinemia konjugasi kolestasis
Kolestasis intrahepatik
Istilah kolestasis lebih disukai untuk pengertian ikterus obstruktif sebab
obstruksi yang bersifat mekanis tidak perlu selalu ada.aliran empedu dapat
terganggu pada tingkat mana saja dari mulai sel hati (kanalikulus), sampai ampula
vater. Untuk kepentingan klinis, membedakan penyebab sumbatan intrahepatik
atau ekstrahepatik sangat penting. Penyebeb paling sering kolestatik intrahepatik
8
adalah hepatitis, keracunan obat, penyakit hati karena alcohol, dan penyakit
hepatitis autoimmune. Penyebab yang kurang sering adalah sirosis hati bilier
primer, kolestasis pada kehamilan, karsinoma metastatic, dan penyakit-penyakit
lain yang jarang.
Virus hepatitis, alcohol, keracunan obat (drug induced hepatitis) dan kelainan
autoimmune merupakan penyebab yang paling sering. Peradangan intrahepatik
mengganggu transport bilirubin konjugasi dan menyebabkan ikterus. Hepatitis A
merupakan penyakit self limited dan dimanifestasikan dengan adanya ikterus yang
timbul secara akut. Hepatitis B dan C akut sering tidak menimbulkan ikterus pada
tahap awal (akut), tetapi bias berjalan kronik dan menahun dan mengakibatkan
gejala hepatitis menahun atau bahkan sudah menjadi sirosis hati. Tidak jarang
penyakit hati menahun juga disertai gejala kuning, sehingga kadang-kadang
didiagnosis salah sebagai penyakit hepatitis akut.
Alcohol bias mempengaruhi gangguan pengambilan empedu dan sekresinya,
dan mengakibatkan kolestasis. Pemakaian alcohol secara terus menerus bias
menimbulkan perlemakan (steatosis), hepatitis dan sirosis dengan berbagai tingkat
ikterus. Perlemakan hati merupakan penemuan yang sering, biasanya dengan
manifestasi yang ringan tanpa ikterus, tetapi kadang-kadang bias menjurus ke
sirosis. Hepatitis karena alcohol biasaya member gejala ikterus, sering timbul akut
dan dengan keluhan dan gejala yang lebih berat. Jika ada nekrosis sel hati ditandai
dengan peningkatan transaminase yang tinggi.
Penyebab yang lebih jarang adalah hepatitis autoimun yang biasanya sering
mengenai kelompok muda terutama perempuan. Data terakhir menyebutkan juga
kelompok yang lebih tua bias dikenai. Dua penyakit autoimun yang berpengaruh
terhadap system bilier tanpa terlalu banyak menyebabkan reaksi hepatitis adalah
sirosi bilier primer dan kolangitis sklerosing. Sirosis bilier primer merupakan
penyakit hati bersifat progresif dan terutama mengenai perempuan paruh baya.
Gejala yang mencolok adalah rasa lelah dan gatal yang merupakan penemuan
awal, sedangkan kuning merupakan gejala yang timbul kemudian.
Kolangitis sklerosing primer (primary sclerosing sholangitis/PSG) merupakan
penyakit kolestatik lain, lebih sering dijumpai pada laki-laki, dan sekitar 70%
menderita panyakit peradangan usus. PSG bias menjurus ke kolangio-karsinoma
banyak obat mempunyai efek dalam kejadian ikterus kolestatik, seperti
9
asetaminofen, penisilin, obat kontrasepsi oral, klorpromazin (torazin) dan steroid
estrogenic atau anabolic.
Kolestatik ekstrahepatik
Penyebab paling sering pada kolestasis ekstrahepatik adalah batu duktus
koledokus dan kanker pancreas. Penyebab lainnya yang relative lebih jarang
adalah striktur jinak (operasi terdahulu) pada duktus koledokus, pancreatitis atau
pseudocys pancreas, karsioma duktus koledokus dan kolangitis sklerosing.
Kolestasis mencerminkan kegagalan sekresi empedu. Mekanismenya sangat
kompleks, bahkan juga pada obstruksi mekanis empedu.
Efek patofisiologi mencerminkan efek backup konstituen empedu (yang
terpenting bilirubin, garam empedu, dan lipid) ke dalam sirkulasi sistemik dan
kegagalannya untuk masuk usus halus untuk ekskresi. Retensi bilirubin
menghasilkan camputan hiperbilirubinemia dengan kelebihan bilirubin konjugasi
masuk ke dalam urin. Tinja sering berwarna pucat karena lebih sedikit yang bias
mencapai saluran cerna usus halus. Peningkatan garam empedu dalam sirkulasi
selalu diperkirakan sebagai penyebab keluhan gatal (pruritus), walaupun
sebenarnya hubungannya belum jelas sehingga patogenesisnya gatal masih belum
bias diketahui dengan pasti.
Garam empedu dibutuhkan untuk penyerapan lemak, dan vitamin k, gangguan
ekskresi garam empedu dapat berakibat steatorrhea dan hipoprotrombinemia. Pada
keadaan kolestasis yang berlangsung lama (primary billiary cirrhosis), gangguan
penyerapan Ca dan vitamin D dan vitamin lain yang larut lemak dapat terjadi dan
dapat menyebabkan osteoporosis atau osteomalasia. Retensi kolesterol dan
fosfolipid mengakibatkan hiperlipidemia, walaupun sintesis kolesterol di hati dan
esterifikasi yang berkurang dalam darah turut berperan; konsentrasi trigliserida
tidak terpengaruh. Lemak beredar dalam darah sebagai lipoprotein densitas rendah
yang unik dan abnormal yang disebut sebagai lipoprotein X.
10
BAB II. LAPORAN KASUS
2.1 Identitas pasien
Nama pasien : Ny. J
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 68 tahun
Alamat : Dlisen Wetan RT/RW. 01/01 Pituruh Purworejo
Pekerjaan : -
Agama : Islam
Tanggal masuk RS : 21-02-2012
Tanggal keluar RS : 24-02-2012
2.2 Anamnesis
Keluhan Utama : kuning pada kulit dan mata.
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dengan keluhan kuning pada mata dan kulit. Keluhan ini dirasakan sejak
sebulan yang lalu. Pasien juga mengeluh perut terasa sebah, nafsu makan menurun, berat
badan menurun sebulan terakhir. Pasien mengatakan BAK seperti teh pekat dengan volume
dan frekuensi yang normal, sedangkan BAB normal. Adanya demam dan nyeri perut
disangkal oleh pasien.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengatakan telah menjalani pengobatan hepatitis di puskesmas sebulan yang lalu.
Riwayat hipertensi dan diabetes melitus disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat keluarga yang menderita sakit serupa disangkal.
2.3 Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : tampak lemah
Kesadaran : Compos Mentis
Vital Sign
Tekanan darah : 120/70 mmHg
Nadi : 80 x/menit, isi dan tegangan cukup, teratur
Respiratory rate : 20 x/menit, reguler
11
Suhu : 36,6 °C
Status Generalisata
Pemeriksaan Kepala
Kepala : Bentuk mesochepal, tidak ada deformitas
Wajah : Simetris, pigmentasi (-), tanda-tanda radang (-)
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (+/+), hiperemis (-/-), pupil
isokor
Hidung : Deformitas (-), sekret (-), nafas cuping hidung (-)
Mulut : Bibir kering (-), lidah kotor (-)
Telinga : Discharge (-), nyeri tekan tragus (-), pendengaran normal
Pemeriksaan Leher
Kelenjar parotis tidak membesar, limfonodi cervikalis kanan dan kiri tidak membesar,
tidak ada peningkatan JVP.
Pemeriksaan Thoraks
Cor Inspeksi : ictus kordis tak terlihat
Palpasi : ictus kordis teraba
Perkusi : redup pada batas-batas jantung
Auskultasi : bunyi jantung S1 S2 reguler, bising jantung (-)
Pulmo Inspeksi : simetris, deformitas (-), sikatrik (-), spider nevi (-)
ketinggalan gerak (-), retraksi (-)
Palpasi : ketinggalan gerak (-), vokal fremitus kanan = kiri
Perkusi : sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan (-/-)
Pemeriksaan Abdomen :
Inspeksi : tidak ada sikatrik, datar
Auskultasi : peristaltik (+)
Perkusi : redup di abdomen kanan atas, tympani (+), tidak ditemukan asites
Palpasi : supel, nyeri tekan (+) kanan atas, hepar teraba 4 jari di bawah arcus
costa, tepi licin, lien tidak teraba
Pemeriksaan Ekstremitas
Akral hangat, CRT <2 detik, deformitas ( - ), edema (-)
2.4 Pemeriksaan Penunjang Darah Rutin
12
AL: 11,53
HB: 11,2
AT: 485
Kimia Darah
Glukosa Darah Sewaktu : 121 (70-140 mg/dl)
Urea : 18 (10-50 mg/dl)
Creatinin : 0,64 (0,5-1,2 mg/dl)
Bilirubin total : 22,20 (0,1-1,1 mg/dl)
Bilirubin direk : 12,27 (0-0,25 mg/dl)
Bilirubin indirek : 9,93 (0,1-0,7 mg/dl)
Total protein : 5,7 (6,6-8,7 gr/dl)
Albumin : 3,6 (3,8-5,1 gr/dl)
Globulin : 2,1 (1,5-3 mg/dl)
GOT : 99 (0-31 U/L)
GPT : 42 (0-32 U/L)
HBsAg : negative
USG UPPER ABDOMEN:
Hepar : tampak pelebaran systema bilier intra hepatal
Tak tampak lesi hyperechoic
Sudut tumpul, tepi licin
VF : tak tervisualisasi
Pancreas : normoechoic, ukuran normal
Ren dextra et sinistra : normoechoic, SPC tidak melebar
Lien : normoechoic, ukuran normal
Kesan :Hepatomegali dengan pelebara systema bilier intra hepatal
Pancreas, lien, dan kedua ren normal
VF tak tervisualisasikan
2.5 Follow up 22 Februari 2012
S : badan kuning, perut terasa sebah, nafsu makan menurun, BAK coklat seperti teh, BAB normal.
O : KU: tampak lemas, Compos Mentis Vital sign:HR: 80 x/mRR: 20 x/mTD: 120/70 mmHgT: 36,5oC
13
Darah Rutin
AL: 11,53
HB: 11,2
AT: 485
Kimia Darah
Glukosa Darah Sewaktu : 121 (70-140 mg/dl)
Urea : 18 (10-50 mg/dl)
Creatinin : 0,64 (0,5-1,2 mg/dl)
Bilirubin total : 22,20 (0,1-1,1 mg/dl)
Bilirubin direk : 12,27 (0-0,25 mg/dl)
Bilirubin indirek : 9,93 (0,1-0,7 mg/dl)
Total protein : 5,7 (6,6-8,7 gr/dl)
Albumin : 3,6 (3,8-5,1 gr/dl)
Globulin : 2,1 (1,5-3 mg/dl)
GOT : 99 (0-31 U/L)
GPT : 42 (0-32 U/L)
HBsAg : negative
A :IKTERUS, DD hepatitis, kolestasis
P :inj. Cefotaxim 3x1
Methioson 3 x 1
USG Abdomen
23 Februari 2012S : badan kuning, perut terasa sebah, nafsu makan mulai membaik, BAK
kuning, BAB normal.
O : KU: sedang, Compos Mentis
Vital sign:
HR: 78 x/m
RR: 20 x/m
TD: 120/80 mmHg
T: 36,7oC
USG UPPER ABDOMEN:
Hepar : tampak pelebaran systema bilier intra hepatal
Tak tampak lesi hyperechoic
Sudut tumpul, tepi licin
14
VF : tak tervisualisasi
Pancreas : normoechoic, ukuran normal
Ren dextra et sinistra : normoechoic, SPC tidak melebar
Lien : normoechoic, ukuran normal
Kesan :Hepatomegali dengan pelebara systema bilier intra
hepatal
Pancreas, lien, dan kedua ren normal
VF tak tervisualisasikan
A : ikterus obstruktif
P : inj. Cefotaxim 3 x 1
Methioson 3 x 1
Saran rujuk
24 Februari 2012S : badan kuning, perut terasa membaik, nafsu makan mulai membaik, BAK
kuning jernih, BAB normal.
O : KU: sedang, Compos Mentis
Vital sign:
HR: 78 x/m
RR: 20 x/m
TD: 120/80 mmHg
T: 36,6oC
A : ikterus obstruktif
P : inj.cefotaxim 3 x 1
Methioson 3 x 1
15
BAB III. PEMBAHASAN
3.1 Pembahasan
Ny. J, 68 tahun datang dengan keluhan kuning pada kulit dan mata. Keluhan ini
dirasakan sejak sebulan yang lalu. Pasien juga mengeluh perut terasa sebah, nafsu makan
menurun, berat badan menurun sebulan terakhir. Pasien mengatakan BAK seperti teh pekat
dengan volume dan frekuensi yang normal, sedangkan BAB normal. Adanya demam dan
nyeri perut disangkal oleh pasien. Pasien mengatakan telah menjalani pengobatan hepatitis di
puskesmas sebulan yang lalu. Riwayat hipertensi dan diabetes melitus disangkal.
Dilakukan pemeriksaan fisik:
Keadaan Umum : tampak lemah
Kesadaran : Compos Mentis
Vital Sign
Tekanan darah : 120/70 mmHg
Nadi : 80 x/menit, isi dan tegangan cukup, teratur
Respiratory rate : 20 x/menit, reguler
Suhu : 36,6 °C
Status Generalisata
Pemeriksaan Kepala
Kepala : Bentuk mesochepal, tidak ada deformitas
Wajah : Simetris, pigmentasi (-), tanda-tanda radang (-)
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (+/+), hiperemis (-/-), pupil
isokor
Hidung : Deformitas (-), sekret (-), nafas cuping hidung (-)
Mulut : Bibir kering (-), lidah kotor (-)
Telinga : Discharge (-), nyeri tekan tragus (-), pendengaran normal
Pemeriksaan Leher: Kelenjar parotis tidak membesar, limfonodi cervikalis kanan dan
kiri tidak membesar, tidak ada peningkatan JVP.
Pemeriksaan Thoraks
Cor : ictus kordis tak terlihat, ictus kordis teraba, redup pada batas-batas jantung,
bunyi jantung S1 S2 reguler, bising jantung (-)
Pulmo: simetris, deformitas (-), sikatrik (-), spider nevi (-), ketinggalan gerak (-),
retraksi (-), vokal fremitus kanan = kiri, sonor pada kedua lapang paru, suara
dasar vesikuler (+/+), suara tambahan (-/-)
16
Pemeriksaan Abdomen : tidak ada sikatrik, datar, peristaltik (+), redup di abdomen
kanan atas, tympani (+), tidak ditemukan asites, supel, nyeri tekan (+) kanan atas,
hepar teraba 4 jari di bawah arcus costa, tepi licin, lien tidak teraba
Pemeriksaan Ekstremitas: Akral hangat, CRT <2 detik, deformitas ( - ), edema (-)
Pemeriksaan Penunjang
Darah Rutin
AL: 11,53
HB: 11,2
AT: 485
Kimia Darah
Glukosa Darah Sewaktu : 121 (70-140 mg/dl)
Urea : 18 (10-50 mg/dl)
Creatinin : 0,64 (0,5-1,2 mg/dl)
Bilirubin total : 22,20 (0,1-1,1 mg/dl)
Bilirubin direk : 12,27 (0-0,25 mg/dl)
Bilirubin indirek : 9,93 (0,1-0,7 mg/dl)
Total protein : 5,7 (6,6-8,7 gr/dl)
Albumin : 3,6 (3,8-5,1 gr/dl)
Globulin : 2,1 (1,5-3 mg/dl)
GOT : 99 (0-31 U/L)
GPT : 42 (0-32 U/L)
HBsAg : negative
USG UPPER ABDOMEN:
Hepar : tampak pelebaran systema bilier intra hepatal
Tak tampak lesi hyperechoic
Sudut tumpul, tepi licin
VF : tak tervisualisasi
Pancreas : normoechoic, ukuran normal
Ren dextra et sinistra : normoechoic, SPC tidak melebar
Lien : normoechoic, ukuran normal
Kesan :Hepatomegali dengan pelebara systema bilier intra hepatal
Pancreas, lien, dan kedua ren normal
VF tak tervisualisasikan
17
Ikterus merupakan perubahan warna kulit, sclera mata atau jaringan lainnya
(membrane mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang meningkat
konsentrasinya dalam sirkulasi darah. Bilirubin dalam serum melambangkan keseimbangan
input dari produksi bilirubin dan hepatic/biliary removal dari pigmen tsb.
Skema di atas merupakan skema evaluasi pasien dengan gejala ikterik. Tahap awal
untuk mengevaluasi pasien dengan ikterus adalah menentukan:
1. Apakah hiperbilirubinemia predominan bilirubin konjugasi atau tak terkonjugasi?
2. Apakah tes biokimia hati abnormal?
Jika hanya bilirubin direk atau bilirubin indirek yang meningkat, maka differential
diagnosisnya:
18
Jika terjadi kenaikan bilirubin serum dengan abnormalitas tes fungsi hati, maka dapat
dikategorikan lagi ke dalam dua kelompok, yaitu: proses hepatoselular primer dan intra atau
ekstra hepatic kolestasis.
Pemeriksaan penunjang lain yang diperlukan adalah
bilirubin direk dan bilirubin total
alanin aminotransferase (ALT/ SGPT). Enzim ini berada di dalam sel hati.
Aspartate aminotrasferase (AST/SGOT). Selain di hati, enzim ini ditemukan
di beberapa tempat lain di tubuh seperti jaringan dan otot.
Alkalin phosphatase (ALP), enzim tsb terkait dengan saluran empedu.
Albumin
Protrombin time test.
Enzim test (ALT, AST dan ALP) sangat membantu untuk membedakan proses
hepatoselular dan proses kolestasis. Pada hepatocellular prosess, terjadi umumnya terjadi
kenaikan aminotransferase dibandingkan dengan alkalin phosphatase. Sedangkan pada
kolestasis proses, terjadi kenaikan alkalin phosphatase dibandingkan dengan
aminotransferase.
Sebagai tambahan, semua pasien dengan ikterik harus melakukan pemeriksaan darah
tambahan, khususnya albumin level dan protrombin time untuk menilai fungsi hati. Nilai
albumin yang rendah menunjukkan sebuah proses kronik seperti sirosis atau kanker. Nilai
albumin yang normal menunjukkan proses akut seperti hepatitis virus akut atau
19
choledocholelithiasis. Kenaikan protrombin time mengindikasikan defisiensi vitamin k
karena prolonged ikterik dan malabsorbsi vitamin k atau disfungsi hepatoselular.kegagalan
koreksi protrombin time dengan pemberian vitamin k secara parenteral menunjukkan adanya
severe hepatoselular injury.
Nilai bilirubin, enzim, albumin dan protrombin time mengindikasikan apakah pasien
memiliki gangguan hepatoselular atau kolestasis.
Hepatocelular condition
Penyakit hepatoselular yang dapat menyebabkan ikterik diantaranya:
Wilson’s disease ditemukan pada dewasa muda. Autoimmune hepatitis biasanya
ditemuka pada wanita muda hingga setenga baya tetapi dapat terjadi pula pada laki-
laki dan wanita pada usia berapapun. Hepatitis alcoholic dapat dibedakan dengan viral
dan hepatitis terkait toxin dengan pola daro aminotransferase. Pasien dengan
alcoholichepatitis memiliki AST:ALT kurang lebih 2:1, dengan AST jarang mencapai
300 U/L. pasien dengan hepatitis virus akut dan toxin related injury memiliki
aminotransferase lebih dari 500 U/L dengan ALT lebih dari atau sama dengan AST.
Peningkatan aminotransferasakadang-kadang dapat membantu dalam membedakan
hepatoselular atau kolestasis proses. Ketika ALT dan AST kurang dari 8 x normal
dapat ditemukan pada hepatoselular dan kolestasis disease, tetapi jika nilainya 25x
normal atau lebih tinggi, umumnya didapatkan pada hepatoselular akut. Pasien ikterik
karena sirosis memiliki nilai aminotransferase normal atau sedikit naik.
Cholestatis condition
Ketika pola dari liver test menunjukkan cholestasis disorder, langkah
selanjutnya yaitu membedakan intra atau extra hepatal kolestasis. Untuk
20
membedakannya agak sulit. Anamnesis, pemeriksaan fisik dan laborat kurang
membantu. Pemeriksaan lanjutan yang diperlukan yaitu USG. Tidak adanya diatasi
bilier menunjukkan intra hepatal kolestasis. Sedangkan adanya dilatasi bilier
menunjukkan ekstrahepatal kolestasis. Hasil negative palsu didapatkan pada sumbatan
parsial yang serig ditemukan pada pasien sclerosing cholangitis primer (PSC).
Meskipun USG dapat mengindikasikan adanya kolestasis ekstrahepatal, tetapi
jarang sekali dapat menunjukkan letak obstruksinya. Duktus biliaris komunis dstal
sulit sekali untuk dilihat karena tertutup bowel gas. Pemeriksaan lanjutan yang tepat
adalah computed tomography (CT) dan endoscopy retrograde
sholangiopancreatography (ERPC). CT SCAN lebih baik daripada USG untuk
mengidentifikasi caput pancreas dan untuk mengisentifikasi choledocholelithiasis
pada duktus biliaris komunis distal, ketika duktusnya tidak berdilatasi. ERPC
merupakan gold standart untuk mengidentifikasi choledocholilithiasis.
Pada pasien dengan intrahepatal cholestasis, diagnosis sering ditegakkan
dengan tes serologis dikombinasi dengan biopsy hepar perkutaneus. Penyebab
kolestasis intrahepatal:
21
Pada pasien ini, dari anamnesis pasie mengeluhkan kulit dan mata yang
kuning sejak sebulan yang lalu, perut terasa sebah. Dari hasil pemeriksaan fisik
ditemukan ikterik pada seluruh badan, hepatomegali, dan tidak ditemukan asites. Dari
hasil pemeriksaan penunjang, ditemukan:
Bilirubin total : 22,20 (0,1-1,1 mg/dl)
Bilirubin direk : 12,27 (0-0,25 mg/dl)
Bilirubin indirek : 9,93 (0,1-0,7 mg/dl)
Total protein : 5,7 (6,6-8,7 gr/dl)
Albumin : 3,6 (3,8-5,1 gr/dl)
Globulin : 2,1 (1,5-3 mg/dl)
GOT : 99 (0-31 U/L)
GPT : 42 (0-32 U/L)
HBsAg : negative
Pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan alkaline phosphatase, sehingga
tidak bias dihitung perbandingan ALP dan aminotransferase. Hasil usg pasien ini
menunjukkan adanya hepatomegali dengan pelebaran systema bilier intra hepatal. Hal ini
menunjukkan bahwa penyebab ikterus pada pasien ini adalah kolestasis ekstrahepatal.
Untuk pemeriksaan lebih lanjut, diperlukan CT SCAN/ ERCP.
22
3.2 Kesimpulan
Telah dilaporkan kasus kolestasis ekstrahepatal dengan penyebab yang belum diketahui.
Diperlukan pemeriksaan penunjang berupa SC SCAN atan ERCP untuk mengetahui lokasi
obstruksi.
23
DAFTAR PUSTAKA
Lindseth, Glenda N. (2003). Gangguan Hati, Kandung Empedu, dan Pankreas. In Price, S., Wilson, L. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Jakarta: EGC
Pratt, D. S., Kaplan, M. M. (2005). Jaundice. In Kasper, D. L et al (eds). Harrison’s Principles of Internal Medicine: 16th edition. Mc Graw Hill: Medical Publishing division
Pratt, D. S., Kaplan, M. M. (2005). Evaluation of Liver Function. In Kasper, D. L et al (eds). Harrison’s Principles of Internal Medicine: 16th edition. Mc Graw Hill: Medical Publishing division
Wolkoff, Allan W. (2005). The Hyperbilirubinemias. In Kasper, D. L et al (eds). Harrison’s Principles of Internal Medicine: 16th edition. Mc Graw Hill: Medical Publishing division
24