Upload
eva-nur-fadila
View
67
Download
4
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Presus Ujian Anestesi Eva
Citation preview
PRESENTASI KASUS
PENGELOLAAN ANESTESI UMUM TIVA PADA PASIEN DENGAN MASTOPATI SINISTRA OPERASI LUMPEKTOMI
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian
Ilmu Anastesiologi dan Terapi Intensif
RSUD Panembahan Senopati Bantul
Diajukan Kepada :
dr. Kurnianto Trubus, M.Kes, Sp.An
Disusun Oleh :
Eva Nur Fadila
20090310167
BAGIAN ILMU ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF
RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2014
HALAMAN PENGESAHAN
PENGELOLAAN ANESTESI UMUM TIVA PADA PASIEN DENGAN MASTOPATI SINISTRA OPERASI LUMPEKTOMI
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian
Ilmu Anastesiologi dan Terapi Intensif
RSUD Panembahan Senopati Bantul
Disusun Oleh:
Eva Nur Fadila
20090310167
Telah disetujui dan dipresentasikan pada tanggal
27 Desember 2014
Oleh :
Dokter Penguji
dr. Kurnianto Trubus Pranowo Sp. An., M.Kes
BAB I
STATUS PASIEN
A. IDENTITAS PASIEN
Nama
Umur
Jenis kelamin
Alamat
Pekerjaan
Pendidikan
Tanggal masuk
Nomor RM
: Ny. TN
: 26 tahun
: Perempuan
: Jambon Argosari Sedayu Bantul
: Karyawan Swasta
: SMA
: 17 Desember 2014
: 5443**
B. ANAMNESIS
Dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 17 Desember 2014 di
bangsal Nusa Indah.
1. Keluhan Utama : benjolan di payudara kiri
2. Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang dengan keluhan benjolan
pada payudara kiri sejak 3 bulan sebelum masuk rumah sakit. Benjolan
pada payudara kiri atas sebesar kelereng dengan ukuran ± 3 cm dengan
konsistensi kenyal, membulat, tepi licin, tidak nyeri, mobile, tidak
membesar. Tidak ditemukan adanya kulit kemerahan di payudara,
tidak ada retraksi puting susu, tidak ada luka, tidak ada kulit yang
terlihat seperti kulit jeruk. Riwayat keluar cairan dan darah dari puting
susu (-). Tidak ditemukan benjolan ditempat lain. Keluhan lain (-).
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Asma : disangkal
Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat Diabetes Melitus : disangkal
Riwayat Alergi : disangkal
Riwayat Penyakit Jantung : disangkal
Riwayat Penyakit Paru : disangkal
Riwayat Operasi : disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit serupa pada ibu kandung (+)
C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
BB : 49 kg
TB : 162 cm
Vital Sign
A : Clear, TMD > 6.5 cm , M II
B : Spontan, RR : 18x/menit, vesikuler (+/+), wheezing (-/-), Ronkhi (-/-)
C : TD = 110/70 mmHg, N = 82x/menit, S1-S2 reguler
D : Afebris, oedem (-), GCS 15
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Thorak Foto : Cor dan Pulmo dalam batas normal
2. EKG : normal sinus rythm
3. Laboratorium
Hemoglobin (Hb) : 13,6 g/dl Normal : 12-16 g/dl
Leukosit : 8470 /ul Normal : 4000-11000/ul
Hematokrit (Ht) : 41,8 % Normal : P 40-48; W 37-43 %
Eritrosit : 4,63 jt/ul Normal : P 4,5-5,5; W 4-5 jt/ul
Trombosit : 234.000/uI Normal : 150000-450.000/ul
Hitung Jenis
Eosinofil : 2 % Normal : 1-4%
Basofil : 0 % Normal : 0-1%
Batang : 2 % Normal : 2-5 %
Segmen : 58 % Normal : 51-67 %
Limfosit : 34 % Normal : 20-35 %
Monosit : 4 % Normal : 4-8 %
PT : 12,7 detik Normal : 12-16
APTT : 30,6 detik Normal : 28-38
Pemeriksaan Elektrolit
Natrium : 137.5 Normal : 137.0-145.0 mmol/l
Kalium : 4.53 Normal : 3.50 – 5.10 mmol/l
Clorida 104.0 Normal : 98.0 – 107.0 mmol/l
Pemeriksaan Kimia Klinik
Ureum : 21,0 mg/dl Normal : 17-43 mg/dl
Kreatinin : 0,73 mg/dl Normal : 0,6-1,1 mg/dl
GDS : 80 mg/dl Normal : ≤ 200
E. DIAGNOSIS KERJA
Pre Op. lumpektomi pada pasien mastopati mammae sinistra dengan
status fisik ASA I
Rencana General Anestesi dengan TIVA
F. PENATALAKSANAAN
1. Persiapan Operasi
- Lengkapi Informed Consent Anestesi
- Puasa 8 jam sebelum operasi
- Tidak menggunakan gigi palsu
- Memakai baju khusus kamar bedah
2. Premedikasi : Midazolam 2,5 mg; Fentanyl 50 µg
3. Diagnosis Pra Bedah : Mastopati sinistra
4. Diagnosis pasca Bedah : Post lumpektomi a/i mastopati sinistra
5. Jenis Anestesi : General Anestesi dengan TIVA
6. Teknik : Nafas spontan, nasal canul dewasa
7. Induksi : Ketamin 50 mg
8. Pemeliharaan : O2
9. Obat-obat : Ondansentron 4 mg, Ketorolac 30 mg
10. Jenis Cairan : Ringer Laktat
11. Kebutuhan cairan selama Operasi
BB : 50 kg
Puasa selama 8 jam
Lama operasi : 15 menit
Maintenance (MO) : Cairan maintenance
: 2 cc/kgBB
: 100 cc
Pengganti Puasa (PP) : 8 jam x maintenance
: 8 jam x 100 cc/jam
: 800 cc
Stress operasi (SO) : Operasi sedang
: 6 cc/kg BB/jam
: 6 cc x 50/jam
: 300 cc/jam
Pemberian cairan
Jam I : ½ PP + MO + SO
: (½.800) + 100 cc/jam + 300 cc/jam
: 800 cc
Perdarahan : ± 100 cc
Urin output : 0
Jadi total kebutuhan cairan : Jam I + perdarahan + urin output
: 800 cc + 100 cc + 0 cc
: 900 cc
Jumlah pemberian cairan : RL II = 800 cc
Jadi sisa kebutuhan : 800-900
: -100 cc
EBV : 65 ml/kgBB x 50 kg
: 3250 cc
ABL : 20% x EBV
: 325 cc
12. Instruksi Pasca Bedah
Posisi : Supine
Infus : Ringer laktat 20 tpm
Antibiotik : Sesuai dr. Operator
Analgetik : Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam/IV mulai jam 18.00
Anti muntah : Inj. Ondansentron 4 mg/8 jam/IV K/P mulai jam 18.00
Lain-lain : - Awasi Vital sign dan KU
- Jika sadar penuh, Peristaltik (+) coba minum makan
perlahan.
13. Lama Operasi : 15 menit
14. Maintanence anastesi
B1 (Breathing) : Suara nafas vesikuler, nafas terkontrol,
B2 (Bleeding) : Perdarahan ± 50 cc
B3 (Brain) : Pupil Isokor
B4 (Bladder) : Tidak terpasang kateter
B5 (Bowel) : BU (-)
B6 (Bone) : Intak
15. Monitoring pasca Operasi
Skor Lockharte/Aldrete Pasien
Jam I (per 15’) Jam II Jam III Jam IV
Aktivitas 2
Respirasi 2
Sirkulasi 2
Kesadaran 1
Warna Kulit 2
Skor total 9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Payudara
Payudara merupakan modifikasi kelenjar keringat yang berkembang menjadi
susunan yang komplek pada wanita, tetapi rudimenter pada pria. Berasal dari
penebalan epidermis pada permukaan ventral tubuh pada mudigah berumur 6
minggu. Penebalan bilateral timbul antara kuncup-kuncup ekstremitas atas dan
bawah. Penebalan ini menjadi atrofik, kecuali bagian yang kelak menjadi puting
susu. Pada trimester kedua kehidupan janin gencel-gencel sel dari stratum basalis
epidermis tumbuh ke bawah dan menjadi duktus utama. Mula-mula padat, lalu
berlumen sehingga terbentuk duktus-duktus yang rudimenter yang akan meluas
pada daerah puting dan areola. Pada wanita pertumbuhan payudara waktu lahir
belum selesai, dan pertumbuhan berjalan terus hingga masa pubertas. Pada pria
pertumbuhan berhenti pada waktu lahir.
Pada wanita menjelang menarche pertumbuhan bertambah dengan timbulnya
percabangan duktus dan proliferasi stroma di antara duktus. Pada pubertas stroma
bertambah dan duktus terminal yang kecil tumbuh menjadi penonjolan keluar
kecil-kecil, berbentuk kantung yang buntu, yaitu kuncup-kuncup kelenjar
rudimenter.
Pendarahan payudara terutama berasal dari cabang a.perforantes anterior dari
a.mammaria interna, a.torakalis yang bercabang dari a.aksilaris, dan beberapa
a.interkostalis. Persarafan kulit payudara diurus oleh cabang pleksus servikalis
dan n.interkostalis. Jaringan kelenjar payudara sendiri diurus oleh saraf
simpatik. Penyaluran limfe dari payudara kurang lebih 75% ke aksila, sebagian
lagi ke kelenjar parasternal, terutama dari bagian yang sentral dan medial dan ada
pula penyaluran yang ke kelenjar interpektoralis. Di aksila terdapat rata-rata 50
(berkisar dari 10 sampai 90) buah kelenjar getah bening yang berada di sepanjang
arteri dan vena brakialis. Saluran limfe dari seluruh payudara mengalir ke
kelompok anterior aksila, kelompok sentral aksila, kelenjar aksila bagian dalam,
yang lewat sepanjang v.aksilaris dan yang berlanjut langsung ke kelenjar servikal
bagian kaudal dalam di supraklavikuler. Jalur limfe lainnya berasal dari daerah
sentral dan medial yang selain menuju ke kelenjar sepanjang pembuluh mammaria
interna, juga menuju ke aksila kontralateral, ke m.rectus abdominis lewat
ligamentum falsifarum hepatis ke hati, ke pleura, dan ke payudara kontralateral.
Payudara mengalami tiga macam perubahan yang dipengaruhi hormon. Perubahan
pertama ialah mulai dari masa hidup anak melalui masa pubertas, masa fertilitas,
sampai ke klimakterium dan menopause. Sejak pubertas pengaruh estrogen dan
progesteron yang diproduksi ovarium dan juga hormon hipofise, telah
menyebabkan duktus berkembang dan timbulnya asinus. Perubahan kedua adalah
perubahan sesuai dengan daur menstruasi. Sekitar hari kedelapan menstruasi,
payudara jadi lebih besar dan pada beberapa hari sebelum menstruasi berikutnya
terjadi pembesaran maksimal. Kadang-kadang timmbul benjolan yang tidak nyeri
dan tidak rata. Selama beberapa hari menjelang menstruasi, payudara menjadi
tegang dan nyeri sehingga pemeriksaan fisik, terutama palpasi, tidak mungkin
dilakukan. Pada waktu itu pemeriksaan foto mammogram tidak berguna karena
kontras kelenjar terlalu besar. Begitu menstruasi mulai, semuanya
berkurang. Perubahan ketiga terjadi waktu hamil dan menyusui. Pada kehamilan,
payudara menjadi besar karena epitel duktus lobularis dan duktus alveolus
berproliferasi, dan tumbuh duktus baru. Sekresi hormon prolaktin dari hipofisis
anterior memicu (trigger) laktasi. Air susu diproduksi oleh sel-sel alveolus,
mengisi asinus, kemudian dikeluarkan melalui duktus ke puting susu.
B. Histologi dan Fisiologi Payudara
Payudara merupakan kelenjar tubuloalveoler yang bercabang-cabang, terdiri
atas 15-20 lobus yang dikelilingi oleh jaringan ikat dan lemak. Tiap lobus mem-
punyai duktus ekskretorius masing-masing yang akan bermuara pada puting susu,
disebut duktus laktiferus, yang dilapisi epitel gepeng berlapis. Sekresi dilakukan
oleh kelenjar yang dilapisi oleh membrana basalis, mioepitel dan epitel kuboid
selapis/epitel torak selapis yang rendah, lalu ke duktus alveolaris yang dilapisi
epitel kuboid berlapis, kemudian bermuara ke duktus laktiferus yang berakhir
pada puting susu. Ada 3 hal flsiologik yang mempengaruhi payudara yaitu:
1. Pertumbuhan dan involusi
Kelenjar payudara berasal dari penebalan epidermis. Menjelang menarche,
maka pertumbuhan bertambah dengan dibentuknya percabangan duktus dan
proliferasi stroma di antara duktus dan pada pubertas terjadi pertambahan
stroma dan duktus terminal yang kecil tumbuh menjadi alveolus-alveolus.
Pada saat menopause, payudara mengecil dan kurang padat. Pada usia ini
tampak pengurangan jumlah dan besarnya lobulus serta tampak pertambahan
jaringan elastik.
2. Perubahan karena siklus haid
Sama dengan endometrium maka payudara juga dipengaruhi siklus haid. Pada
masa proliferasi, setelah haid, pengaruh estrogen yang meningkat
mengakibatkan proliferasi duktus dan epitel alveolus, duktus melebar dan
hipertrofik. Setelah ovulasi, akibat pengaruh progesteron, stroma menjadi
sembab dan bertambah selnya. Pada masa haid, akibat kadar estrogen dan
progesteron yang menurun, terjadi kerusakan sel. epitel, atrofi jaringan ikat,
edema jaringan interstisium menghilang, pengecilan duktus dan kelenjar.
3. Perubahan karena kehamilan dan laktasi
Beberapa saat setelah konsepsi, akibat kehamilan akan tampak pada payudara.
Payudara akan menjadi penuh dan padat. Kelenjar payudara membesar oleh
karena lobulus ukuran dan jumlahnya bertambah. Jaringan payudara
seluruhnya terdiri atas unsur kelenjar, sehingga menyerupai pankreas,
sedangkan stroma hanya sedikit. Kelenjar dilapisi oleh epitel kuboid selapis
dan pada trimester ketiga tampak adanya sekret. Vakuol lemak tampak dalam
sel, dan segera setelah partus sekresi susu terjadi.
C. Definisi Tumor Payudara
Tumor payudara adalah benjolan tidak normal akibat pertumbuhan sel
yang terjadi secara terus menerus. Dalam klinik, istilah tumor sering
digunakan untuk semua tonjolan dan diartikan sebagai pembengkakan, yang
dapat disebabkan baik oleh neoplasma maupun oleh radang, atau perdarahan.
Neoplasma membentuk tonjolan, tetapi tidak semua tonjolan disebabkan oleh
neoplasma.
Tumor jinak mamma ialah lesi jinak yang berasal dari parenkim,
stroma, areola dan papilla mamma. Termasuk tumor jinak jaringan lunak
mamma, lipoma, hemangioma mamma dan displasia mamma. Kebanyakan
benjolan jinak pada payudara berasal dari perubahan normal pada
perkembangan payudara, siklus hormonal, dan perubahan reproduksi.
Terdapat 3 siklus kehidupan yang dapat menggambarkan perbedaan fase
reproduksi pada kehidupan wanita yang berkaitan dengan perubahan
payudara, yaitu :
Pada fase reproduksi awal (15-25 tahun) terdapat pembentukan
duktus dan stroma payudara. Pada periode ini umumnya dapat
terjadi benjolan FAM dan juvenil hipertrofi (perkembangan
payudara berlebihan).
Periode reproduksi matang (25-40 tahun). Perubahan siklus
hormonal mempengaruhi kelenjar dan stroma payudara.
Fase ketiga adalah involusi dari lobulus dan duktus yang terjadi
sejak usia 35-55 tahun
D. Etiologi
Faktor genetik
Mutasi gen BRCA1 pada kromosom 17 dan BRCA2 pada
kromosom 13 dapat meningkatkan resiko tumor payudara sampai
85%. Selain itu, gen p53, BARD1, BRCA3 diduga meningkatkan
resiko terjadinya kanker payudara.
Faktor hormonal
Kadar hormon yang tinggi selama masa reproduktif, terutama jika
tidak diselingi oleh perubahan hormon akibat kehamilan, dapat
meningkatkan resiko terjadinya tumor payudara.
Pemakaian kontrasepsi oral
Pemakaian kontrasepsi oral dapat meningkatkan resiko tumor
payudara. Penggunaan pada usia kurang dari 20 tahun beresiko
lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan pada usia lebih tua.
Riwayat keluarga menderita tumor payudara
Tumor dan kanker payudara beresiko lebih tinggi pada wanita yang
mempunyai hubungan darah dengan seseorang yang mengidap
penyakit ini juga. Memiliki hubungan sedarah langsung dengan
orang yang menderita tumor ataupun kanker payudara (misalnya
ibu, adik, kakak atau anak perempuan) meningkatkan resiko hingga
2 kali lipat. Wanita dengan ayah ataupun adik lakilaki yang
memiliki riwayat tumor payudara juga mengalami peningkatan
resiko meskipun resiko pastinya masih belum diketahui
E. Diagnosis
Diagnosis tumor payudara dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis yang baik,
pemeriksaan fisik dasar dan pemeriksaan penunjang. Sedangkan diagnosis
pasti adalah pemeriksaan histopatologi anatomi.
Anamnesa
Meliputi riwayat timbulnya tumor, adanya faktor resiko untuk
terjadinya tumor payudara dan adanya tanda-tanda penyebaran
tumor.
Pemeriksaan fisik
Pakaian pasien di buka mulai dari pinggang ke atas, kemudian di
inspeksi apakah terdapat abnormalitas bentuk maupun ukuran atau
peruahan kulit payudara maupun puting. Dengan menggunakan
rabaan jari, pemeriksa akan mempalpasi payudara. Akan di berikan
perhatian khusus pada bentuk dan texture dari payudara, lokasi dari
massa, dan menilai apakah massa terfixir pada kulit atau terfixir
pada jaringan yang dalam. Area dibawah kedua lengan juga perlu
di periksa.
Jika ditemukan benjolan atau massa maka deskripsikan lokasi dan
massa tersebut. Klinis jinak memberikan gambaran :
a. Bentuk bulat, teratur atau lonjong.
b. Permukaan rata
c. Konsistensi kenyal, lunak
d. Mudah digerakkan terhadap sekitar
e. Tidak nyeri tekan.
Klinis ganas memberikan gambaran
a. Permukaan tidak rata dan berbenjol-benjol
b. Tepi tidak rata
c. Bentuk tidak teratur
d. Konsistensi keras, padat
e. Batas tidak tegas
f. Sulit digerakkan terhadap jaringan sekitar
g. Kadang nyerti tekan
Pemeriksaan penunjang
a. Mammography
Mammografi adalah pemberian sinar-x dalam dosis yang ringan
pada jaringan payudara. Penggunaan mammografi sebagai salah
satu cara skrining meningkatkan penemuan kejadian tumor
payudara sebelum terlihat gejala klinis pada pasien. Namun ada
kalanya beberapa dari kejadian tumor payudara tidak ditemukan
dengan mammogrfi, bukan karena tesnya tidak selesai dilakukan,
bahkan dalam beberapa kondisi yang normal, mammografi tidak
berhasil menemukan seluruh kejadian tumor payudara.
b. Ultrasound (USG)
c. Biopsi
Terbuka : dilakukan dengan operasi seperti biasa dapat berupa
pengangkatan seluruh benjolannya (eksisi) atau sebagian saja
(insisi).
Tertutup : biopsi aspirasi jarum halus.
F. Diagnosis Banding
1. Fibroadenoma
Fibroadenoma yang bersimpai sejauh ini merupakan tumor jinak
payudara wanita yang paling lazim dijumpai. Peningkatan aktifitas
estrogen secara absolut atau relatif diperkirakan memainkan peranan
dalam pertumbuhan fibroadenoma ini, dan juga kelainan yang mirip,
yang mungkin tidak bersimpai jelas. Fibroadenoma berbatas jelas,
bersimpai, biasanya soliter, berbentuk benjolan yang dapat digerakkan.
Jarang dijumpai tumor ganda. Diferensiasi klinik dari kista soliter
merupakan yang paling sukar, tetapi dapat diatasi dengan sonografi.
Yang khas, diameternya sekitar 3 cm, tetapi dapat juga lebih besar.
Sesuai dengan namanya, tumor ini terdiri jaringan ikat dan jaringan
kelenjar. Secara makroskopis, tumor ini padat dengan warna putih
kelabu yang seragam pada potongan melintang dengan tanda – tanda
bercak lunak berwarna kuning kemerahan sebagai daerah kelenjar.
2. Papiloma dan Karsinoma Papiler
Neoplasma ini biasanya merupakan kelainan kecil, dengan diameter
kurang dari 1 cm, tumbuh dekat putting susu. Dapat berupa benjolan
atau bertangkai. Pada pemeriksaan mikroskopik, tampak memiliki
jaringan ikat longgar yang halus di bagian tengah sebagai kerangka,
dilapisi oleh sel epitel kuboid teratur selapis atau dua lapis. Metaplasi
apokrin dan focus hialinisasi sering dijumpai. Walaupun sebagian
besar kelainan papiler soliter ini bersifat jinak, beberapa tampak ganas
atau berada pada bentuk perbatasan (karsinoma papiler) yang ditandai
oleh epitel atipik yang progresif, anaplasi, dan invasi stroma
bertangkai atau bahkan jaringan periduktus. Diferensiasi histologik
dari papiloma jinak, perbatasan, dan ganas mungkin sukar, kecuali
dilakukan pemeriksaan dari beberapa potongan jaringan untuk
mengetahui beratnya proses atipik, jumlah mitosis dan infiltrasi stroma
3. Karsinoma Payudara
Karsinoma payudara ditempatkan sebgai penyebab utama kematian
akibat kanker pada wanita di Amerika Serikat, hal ini sangat mungkin
juga terjadi di negara barat lainnya. Turunnya dominasi ini malah
diikuti oleh tanda – tanda peningkatan frekuensi kanker paru pada
wanita, dan bukan menurunkan angka kematian karsinoma payudara,
karena angka ini bertahan secara tetap selama beberapa tahun. Apapun
variabelnya karsinoma payudara masih terus merupakan hampir 20 %
dari penyebab kematian akibat kanker pada wanita di Amerika Serikat.
G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan secara pembedahan diindikasikan bila:
- Pengobatan medis tidak memberikan perbaikan.
- Ditemukan pada usia pertengahan sampai tua.
- Nyeri hebat dan berulang.
- Perasaan kecemasan yang berlebihan dari pasien.
H. Komplikasi
1. Keganasan (Cystosarcoma Phylloides)
2. Mengganggu aktivitas apabila nyeri
I. Tata Laksana Anestesi dan Terapi Intensif pada Tindakan Ekstirpasi
1. Batasan
Tindakan anestesi yang dilakukan pada operasi ekstirpasi
2. Masalah anestesi dan terapi intensif
Perdarahan luka operasi
3. Penatalaksanaan Anestesi dan terapi intensif
Penilaian status pasien
Evaluasi status generalis dengan pemeriksaan fisik dan
penunjang yang lain sesuai dengan indikasi
4. Persiapan Pra Operatif
Persiapan rutin
Persiapan donor
5. Premedikasi
Diberikan secara intravena 1-2 menit pra induksi dengan obat-obat
sebagai berikut:
Midazolam : 0,05 – 0,10 mg/kgBB
Fentanyl : 1-2 µg/kgBB
6. Pilihan Anestesi
Anestesi umum dengan TIVA.
7. Terapi Cairan dan Tranfusi
Diberikan cairan pengganti perdarahan apabila perdarahan yang
terjadi < 20 % dari perkiraan volume darah dan apabila > 20%, berikan
tranfusi darah.
8. Pemulihan Anestesi
Pemberian obat anestesi dihentikan, pemberian O2 dipertahankan.
9. Pasca bedah/anestesi
Dirawat diruang pulih, sesuai dengan tata laksana pasca anestesi
Perhatian khusus pada periode ini adalah ancaman depresi nafas
akibat nyeri dan kompresi luka operasi
Pasien dikirim kembali ke ruangan setelah memenuhi kriteria
pengeluaran
J. General Anestesi dengan Total Intravena Anestesi
Tindakan anastesi umum adalah tindakan pembiusan dimana pasien menjadi
tidak sadar dan tidak merasakan sakit. Obat anastesi yang disuntikkan atau yang
dihirup lamanya kerja disesuaikan dengan lama operasi. Teknik Intra Venous
Anastesi (TIVA) adalah teknik anestesi umum dengan menggunakan obat-obat
anestesi yang dimasukkan lewat jalur intravena tanpa penggunaan anestesi
inhalasi termasuk N2O. TIVA digunakan untuk mencapai 4 komponen penting
dalam anestesi yang menurut Woodbridge (1957) yaitu blok mental, refleks,
sensoris dan motorik. Atau trias A (3 A) dalam anestesi yaitu
1. Amnesia/hipnosis
2. Arefleksia otonomik
3. Analgesik
4. + Stabilisasi otonom
Jika keempat komponen tadi perlu dipenuhi, maka dibutuhkan kombinasi dari
obat-obatan intravena yang dapat melengkapi keempat komponen tersebut.
Kebanyakan obat anestesi intravena hanya memenuhi 1 atau 2 komponen di atas
kecuali Ketamin yang mempunyai efek 3 A menjadikan Ketamin sebagai agen
anestesi intravena yang paling lengkap.
Kelebihan anastesi umum diantaranya adalah sejak awal operasi pasien sudah
tidak sadar dan tidak merasakan sakit, lama pembiusan disesuaikan dengan lama
operasi, dan kedalaman pembiusan dapat diatur sesuai kebutuhan. Sedangkan
kekurangannya adalah obat bius yang diberikan akan berefek ke seluruh tubuh
pasien termasuk ke aliran darah janin dalam kandungan, pasca bedah pasien harus
sadar penuh dan peristaltik baik sebelum diberikan minum, serta waktu pemulihan
yang lebih lama.
Kelebihan TIVA:
Kombinasi obat-obat intravena secara terpisah dapat di titrasi dalam dosis yang lebih akurat sesuai yang dibutuhkan.
Tidak menganggu jalan nafas dan pernafasan pasien terutama pada operasi sekitar jalan nafas atau paru-paru.
Anestesi yang mudah dan tidak memerlukan alat-alat atau mesin yang khusus.
Indikasi anestesi intravena
Obat induksi anesthesia umum
Obat tunggal untuk anestesi pembedahan singkat
Tambahan untuk obat inhalasi yang kurang kuat
Obat tambahan anestesi regional
Menghilangkan keadaan patologis akibat rangsangan SSP (SSP
sedasi)
Sebelum pasien diberi obat anestesi, langkah selanjutnya adalah dilakukan
premedikasi yaitu pemberian obat atau bantuan psikologis sebelum induksi
anestesi diberi dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun
dari anestesi diantaranya :
Meredakan kecemasan dan ketakutan
Mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas
Mencegah mual dan muntah
Memberikan analgetik
Membuat amnesia
Memperlancar induksi anestesi
Meminimalkan jumlah obat anestesi yang diberikan
Mengurangi reflek yang tidak diinginkan
1. Obat Premedikasi
Tujuan premedikasi bukan hanya untuk mempermudah induksi dan
mengurangi jumlah obat – obatan yang digunakan, tetapi terutama untuk
menenangkan pasien sebagai persiapan anestesi. Premedikasi anestesi adalah
pemberian obat sebelum anestesi dilakukan. Tindakan ini biasanya dilakukan
sebelum pasien dibawa ke ruang operasi. 4
Premedikasi diberikan berdasar atas keadaan psikis dan fisiologis pasien
yang ditetapkan setelah dilakukan kunjungan prabedah. Dengan demikian maka
pemilihan obat premedikasi yang akan digunakan harus selalu dengan
mempertimbangkan umur pasien, berat badan, status fisik, derajat kecemasan,
riwayat pemakaian obat anestesi sebelumnya, riwayat hospitalisasi sebelumnya,
riwayat penggunaan obat tertentu yang berpengaruh terhadap jalannya anestesi,
perkiraan lamanya operasi, macam operasi, dan rencana anestesi yang akan
digunakan6
Tindakan premedikasi ini mempunyai tujuan antara lain untuk
memberikan rasa nyaman bagi pasien, membuat amnesia, memberikan analgesia,
mencegah muntah, memperlancar induksi, mengurangi jumlah obat – obat
anestesi, menekan reflek – reflek yang tidak diinginkan, mengurangi sekresi
kelenjar saluran nafas.6
Obat –obat yang sering digunakan sebagai premedikasi adalah :
Golongan hipnotik sedatif : Barbiturat, Benzodiazepin, Transquilizer.
Analgetik narkotik : Morfin, Petidin, Fentanil.
Neuroleptik : Droperidol, Dehidrobenzoperidol.
Anti kolinergik : Atropin, Skopolamin.
Sulfas Atropin
Sulfas atropin termasuk golongan anti kolinergik. Berguna mengurangi
sekresi lendir dan mengurangi efek bronkhial dan kardial yang berasal dari
perangsangan parasimpatis akibat obat anestesi atau tindakan operasi. Pada dosis
klinik (0,4–0,6 mg ) akan menimbulkan bradikardi yang disebabkan
perangsangan nervus Vagus. Pada dosis yang lebih besar (> 2 mg) akan
menghambat nervus Vagus sehingga terjadi takikardi. Efek lainnya yaitu
melemaskan nervus otot polos, mendepresi vagal reflek, menurunkan spasme
gastrointestinal dan mengurangi rasa mual serta muntah. 6
Obat ini juga dapat menimbulkan rasa kering di mulut serta penglihatan
kabur, maka lebih baik tidak diberikan pra anestesi lokal atau regional. Dalam
dosis toksik dapat menyebabkan gelisah, delirium, halusinasi, dan kebingungan
pada pasien. Tetapi hal ini dapat diatasi dengan pemberian Prostigmin 1 – 2 mg
intra vena. 6
Sedian : dalam bentuk Sulfat Atropin dalam ampul 0,25 mg dan 0,50 mg.
Dosis : 0,01 mg/kgBB dan 0,1 – 0,4 mg untuk anak – anak.
Pemberian : SC, IM, IV. 4
Pethidin
Merupakan derivat fenil piperidin yang efek utamanya depresi nafas dan
efek sentral lain. Efek analgetik timbul lebih cepat setelah pemberian sub cutan
atau intra muskular, tapi masa kerja lebih pendek. Dosis toksik menimbulkan
perangsangan SSP misal tremor, kedutan otot dan konvulsi. Pada saluran nafas,
akan menurunkan tidal volume sedang frekuensi nafas kurang dipengaruhi
sehingga efek depresi nafas tidak disadari. Secara sistemik menimbulkan anestesi
kornea dengan akibat hilangnya refleks kornea. Obat ini juga meningkatkan
kepekaan alat keseimbangan sehingga menimbulkan mual, muntah dan pusing
pada penderita yang berobat jalan. Pada penderita rawat baring, obat ini tidak
mempengaruhi sistem kardiovaskuler, tapi penderita berobat jalan dapat timbul
sinkop orthostotik karena hipotensi akibat vasodilatasi perifer karena pelepasan
histamin. 4
Absorbsi petidin berlangsung baik pada semua cara pemberian. Pada
pemberian IV kadarnya dalam darah akan turun cepat 1-2 jam pertama. Petidin
dimetabolisme di hati dan dikeluarkan lewat ginjal sekitar 1/3 dosis yang
diberikan. Preparat oral dalam tablet 50 mg, parenteral dalam bentuk ampul 50 mg
per cc. Dosis dewasa 50-100 mg disuntikkan SK atau IM. Jika secara IV efek
analgesiknya tercapai dalam waktu 15 menit. 4
Midazolam
Midazolam merupakan suatu golongan imidazo-benzodiazepin dengan
sifat yang sangat mirip dengan golongan benzodiazepine. Midazolam bersifat
larut dalam air serta merupakan benzodiazepin pilihan untuk pemberian
parenteral. Penting untuk diketahui bahwa obat ini dapat bersifat menjadi larut
lemak pada pH fisiologuis sehingga dapat dengan cepat menembus sawar darah
otak dan menimbulkan efek sentral. Merupakan benzodiapin kerja cepat yang
bekerja menekan SSP. Midazolam berikatan dengan reseptor benzodiazepin yang
terdapat di berbagai area di otak seperti di medulla spinalis, batang otak,
serebelum system limbic serta korteks serebri. Midazolam memiliki onset yang
lebih cepat , eliminasi waktu paruh yang lebih pendek (2-4 jam), serta kurva dosis
responsif yang lebih curam daripada benzodiazepin lain yang tersedia. Oleh
karena itu, midazolam seringnya diberikan secara intravena sebelum pasien masuk
ke dalam kamar operasi. Efek induksi terjadi sekitar 1,5 menit setelah pemberian
intra vena bila sebelumnya diberikan premedikasi obat narkotika dan 2-2,5 menit
tanpa premedikasi narkotika sebelumnya. 5
Midazolam diindikasikan pada premedikasi sebelum induksi anestesi,
basal sedasion sebelum tindakan diagnostik atau pembedahan yang dilakukan di
bawah anestesi lokal serta induksi dan pemeliharaan selama anestesi. Obat ini
dikontraindikasikan pada keadaan sensitif terhadap golongan benzodiazepine,
pasien dengan insufisiensi pernafasan, dan acute narrow-angle glaucoma. 3
Pemberian intramuskular pada penderita yang mengalami nyeri sebelum
tindakan bedah, pemberian tunggal atau kombinasi dengan antikolinergik atau
analgesik. Dewasa : 0,07- 0,1 mg/kg BB secara IM sesuai dengan keadaan umum
pasien, lazimnya diberikan 5 mg. Dosis usia lanjut dan pasien lemah 0,025 – 0,05
mg/kg BB (IM). Untuk basal sedation pada dewasa tidak melebihi 2,5 mg IV 5-
10 menit sebelum permulaan operasi, pada orang tua dosis harus diturunkan 1- 1,5
mg dengan total dosis tidak melebihi 3,5 mg IV. 4
Fentanil
Fentanil merupakan salah satu preparat golongan analgesik opioid dan
termasuk dalam opioid potensi tinggi dengan dosis 100-150 mcg/kgBB, termasuk
sufentanil (0,25-0,5 mcg/kgBB). Bahkan sekarang ini telah ditemukan
remifentanil, suatu opioid yang poten dan sangat cepat onsetnya, telah digunakan
untuk meminimalkan depresi pernapasan residual. Opioid dosis tinggi yang
deberikan selama operasi dapat menyebabkan kekakuan dinding dada dan larynx,
dengan demikian dapat mengganggu ventilasi secara akut, sebagaimana
meningkatnya kebutuhan opioid potoperasi berhubungan dengan perkembangan
toleransi akut. Maka dari itu, dosis fentanyl dan sufentanil yang lebih rendah telah
digunakan sebagai premedikasi dan sebagai suatu tambahan baik dalam anestesi
inhalasi maupun intravena untuk memberikan efek analgesi perioperatif.3
Sebagai analgesik, potensinya diperkirakan 80 kali morfin. Lamanya efek
depresi nafas fentanil lebih pendek dibanding meperidin. Efek euphoria dan
analgetik fentanil diantagonis oleh antagonis opioid, tetapi secara tidak bermakna
diperpanjang masanya atau diperkuat oleh droperidol, yaitu suatu neuroleptik
yang biasanya digunakan bersama sebagai anestesi IV. Dosis tinggi fentanil
menimbulkan kekakuan yang jelas pada otot lurik, yang mungkin disebabkan oleh
efek opioid pada tranmisi dopaminergik di striatum. Efek ini di antagonis oleh
nalokson. Fentanyl biasanya digunakan hanya untuk anestesi, meski juga dapat
digunakan sebagai anelgesi pasca operasi. Obat ini tersedia dalam bentuk larutan
untuk suntik dan tersedia pula dalam bentuk kombinasi tetap dengan droperidol.5
Fentanyl dan droperidol (suatu butypherone yang berkaitan dengan haloperidol)
diberikan bersama-sama untuk menimbulkan analgesia dan amnesia dan
dikombinasikan dengan nitrogen oksida memberikan suatu efek yang disedut
sebagai neurolepanestesia.4
Ondansetron
Merupakan suatu antagonis 5-HT3 yang sangat efektif yang dapat
menekan mual dan muntah karena sitostatika misalnya cisplatin dan radiasi.
Ondansetron mempercepat pengosongan lambung, bila kecepatan pengosongan
basal rendah. Tetapi waktu transit saluran cerna memanjang sehingga dapat terjadi
konstipasi. Ondansetron dieliminasi dengan cepat dari tubuh. Metabolisme obat
ini terutama secara hidroksilasi dan konjugasi dengan glukonida atau sulfat dalam
hati.5 Dosis ondansentron yang biasanya diberikan untuk premedikasi antara 4-8
mg/kgBB. Dalam suatu penelitian kombinasi antara Granisetron dosis kecil yang
diberikan sesaat sebelum ekstubasi trakhea ditambah Dexamethasone yang
diberikan saat induksi anestesi merupakan suatu alternatif dalam mencegah
muntah selama 0-2 jam setelah ekstubasi trakhea daripada ondansetron dan
dexamethasone.6
2. Obat Induksi
Induksi merupakan saat dimasukkannya zat anestesi sampai tercapainya stadium
pembedahan (III) yang selanjutnya diteruskan dengan tahap pemeliharaan anestesi
untuk mempertahankan atau memperdalam stadium anestesi setelah induksi. 4
Macam-macam stadium anestesi 3:
Stadium I (analgesia)
mulai pemberian zat anestesi sampai dengan hilangnya kesadaran
mengikuti perintah, rasa sakit hilang.
Stadium II ( Delirium )
mulai hilangnya kesadaran sampai dengan permulaan stadium bedah.
gerakan tidak menurut kehendak, nafas tidak teratur, midriasis, takikardi.
Stadium III (Pembedahan) :
Tingkat 1: nafas teratur spontan, miosis, bola mata tidak menurut kehendak,
nafas dada dan perut seimbang.
Tingkat 2: nafas teratur spontan kurang dalam, bola mata tidak bergerak, pupil
mulai melebar, mulai relaksasi otot.
Tingkat 3: nafas perut lebih dari nafas dada, relaksasi otot sempurna.
Tingkat 4:nafas perut sempurna, tekanan darah menurun, midriasis maksimal,
reflek cahaya ( - )
Stadium IV. (Paralisis) :
nafas perut melemah, tekanan darah tidak terukur, denyut nadi berhenti dan
meninggal.
Pada kasus ini digunakan Ketamin.
Propofol
Propofol merupakan derivat isoprofilfenol yang digunakan untuk induksi
dan pemeliharaan anestesi umum. Propofol secara kimia tidak ada hubungannya
dengan anestesi IV lain. Pemberian IV ( 2 mg/kg BB ) menginduksi anestesi
secara cepat seperti Tiopental. Anestesi dapat dipertahankan dengan infus
Propofol yang berkesinambungan dengan Opiat, N2 dan atau anestesi inhalasi
lain.4
Keuntungan Propofol, bekerja lebih cepat dari Tiopental, mempunyai
induksi yang cepat, masa pulih sadar yang cepat, sehingga berguna pada pasien
rawat jalan yang memerlukan prosedur cepat dan singkat. 3
Propofol dapat menyebabkan turunnya tekanan darah yang cukup berarti
selama induksi anestesi karena menurunnya resitensi arteri perifer dan
venodilatasi.10 Propofol menurunkan tekanan arteri sistemik kira-kira 80% tetapi
efek ini disebabkan karena vasodilatasi perifer daripada penurunan curah jantung.
Tekanan sistemik kembali normal dengan intubasi trakea. Propofol tidak
menimbulkan aritmia, atau iskemik otot jantung, tidak merusak fungsi hati dan
ginjal. 4
Sediaan :ampul atau vial 20 ml ( 200 mg ) 10 mg/ml Propofol.
Dosis : 1,5 – 2 mg/kgBB iv (anak)
2 – 2,5 mg/kgBB iv (dewasa)
Propofol merupakan obat induksi anestesi cepat. Obat ini didistribusikan cepat
dan dieliminasi secara cepat. Hipotensi terjadi sebagai akibat depresi langsung
pada otot jantung dan menurunnya tahanan vaskuler sistemik. Propofol tidak
mempunyai efek analgesik. Dibandingkan dengan tiopental waktu pulih sadar
lebih cepat dan jarang terdapat mual dan muntah. Pada dosis yang rendah
propofol memiliki efek antiemetik. 3
Efek samping propofol pada sistem pernafasan adanya depresi pernafasan,
apnea, bronkospasme, dan laringospasme. Pada sistem kardiovaskuler berupa
hipotensi, aritmia, takikardi, bradikardi, hipertensi. Pada susunan syaraf pusat
adanya sakit kepala, pusing, euforia, kebingungan, dll. Pada daerah penyuntikan
dapat terjadi nyeri sehingga saat pemberian dapat dicampurkan lidokain (20-50
mg).3
Ketamine
Merupakan larutan yang tidak berwarna, stabil pada suhu kamar dan relatif
aman. Ketamin mempunyai sifat analgesik, anestetik dan kataleptik dengan kerja
singkat. Sifat analgesiknya sangat kuat untuk sistem somatik tetapi lemah untuk
sistem viseral. Ketamin dapat meningkatkan tekanan darah, frekuensi nadi dan
curah jantung sampai 20%. 6
Mekanisme aksi ketamine adalah memblokade membran terhadap efek
eksitasi neurotranmiter asam glutamat pada reseptor subtipe NMDA. Ketamine
merupakan obat yang sangat lipofilik dan dengan cepat didistribusikan ke dalam
organ yang perfusinya baik seperti otak, hati dan ginjal. Kemudian, ketamine
diredistribusi ke dalam jaringan-jaringan yang berperfusi kurang baik bersamaan
dengan metabolisme hepatik dan diikuti dengan ekskresi urin dan bilier. Ketamine
merupakan satu-satunya anestesi intravena yang memiliki efek analgesik dan
mampu menghasilkan stimulasi cardiovaskular yang berkaitan dengan dosis.
Nadi, tekanan darah arteri dan cardiac output dapat meningkat secara signifikan di
atas nilai normal. Variabel-variabel ini mencapai puncaknya 2-4 menit setelah
injeksi bolus intravena, kemudian menurun ke nilai normal selama 10-20 menit
kemudian. Ketamine menghasilkan efek terhadap kardiovaskuler ini dengan
menstimulasi sistem saraf simpatis pusat, kurang lebih, dengan menghambat
reuptake norepinefrin pada terminal saraf simpatis. Peningkatan kadar epinefrin
dan noerpinefrin plasma terjadi selama 2 menit setelah bolus ketamine intravena
dan kembali ke kadar normal dalam kurang dari 15 menit. Ketamine secara nyata
meningkatkan aliran darah otak, konsumsi oksigen dan tekanan intrakranial.
Sebagaimana anestesi yang menguap, ketamine merupakan sebuah obat yang
secara potensial berbahaya ketika tekanan intrakranial meningkat. Meskipun
ketamine menurunkan laju pernapasan, tonus otot pernapasan bagian atas tetap
dipertahankan dengan baik dan refleks-refleks jalan napas biasanya tetap
dipelihara.3, 4,5
Penggunaan ketamine telah dihubungkan dengan disorientasi, ilusi sensori
dan persepsi serta mimpi yang nyata postoperasi (sehinggan disebut dengan
fenomena emergence). Diazepam (0,2-0,3 mg/kgBB) atau midazolam (0,025-0,05
mg) secara intravena, yang diberikan sebelum pemberian ketamine dapat
mengurangi insidensi efek-efek negatif ini. Meskipun demikian, penggunaan
ketamin dosis rendah dalam kombinasi dengan anestesi inhalasi dan intravena
yang lainnya telah menjadi alternatif pilihan daripada analgesik opioid dalam
meminimalkan depresi pernapasan. Selain itu, ketamine sangat bermanfaat bagi
pasien geriatri dan pasien dengan resiko tinggi terjadi syok kardiogenik atau syok
sepsis dikarenakan efek kardiostimulasinya. Ketamin dosis rendah juga digunakan
bagi pasien-pasien rawat jalan yang dikombinasikan dengan propofol serta bagi
anak-anak yang menjalani prosedur yang menyakitkan (seperti penggatian
dressing pada luka bakar).3
Untuk induksi ketamin diberikan secara IV dengan dosis 2 mg/kgBB (1-
4,5 mg/kgBB) dalam waktu 60 detik; stadium operasi dicapai dalam 5-10 menit.
Untuk mempertahankan anestesi dapat diberikan dosis ulangan setengah dari
semula. Ketamin IM untuk induksi diberikan 10 mg/kgBB (6,5-13 mg/kgBB),
stadium operasi terjadi dalam 12-25 menit.4
3. Analgetik
Ketorolac
Ketorolac dapat diberikan secara oral, intramuskuler, atau intravena.
Setelah suntikan intramuscular atau intravena efek analgesinya dicapai dalam 30
menit, maksimal setelah 1-2 jam dengan lama kerja sekitar 4-6 jam dan
penggunaannya dibatasi untuk 5 hari. 5
Cara kerja ketorolac ialah menghambat sintesis prostaglandin di perifer
tanpa mengganggu reseptor opioid di system saraf pusar. Seperti NSAID lain
tidak dianjurkan digunakan untuk wanita hamil, menghilangkan nyeri persalinan,
wanita sedang menyusui, usia lanjut, anak usia < 4 tahun, gangguan perdarahan
dan bedah tonsilektomi. 6 Sifat analgetik ketorolac setara dengan opioid, yaitu 30
mg ketorolac = 12 mg morfin = 100 mg pethidin, sedangkan sifat antipiretik dan
antiinflamasinya rendah. Ketorolac dapat digunakan secara bersamaan dengan
opioid. 4
Dosis awal 10-30 mg dan dapat diulang setiap 4-6 jam sesuai kebutuhan.
Untuk pasien normal dosis sehari dibatasi maksimal 90 mg dan untuk berat < 50
kg, manula atau gangguan faal ginjal dibatasi maksimal 60 mg.
Sediaan : dalam ampul 5mg / 5ml
Pemberian : IM atau IV
4. Terapi Cairan
Dalam suatu tindakan operasi terapi cairan harus diperhatikan dengan serius,
terapi cairan perioperatif bertujuan untuk :
Mencukupi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama
operasi.
Replacement dan dapat untuk tindakan emergency pemberian obat. 6
Pemberian cairan operasi dibagi : 5
o Pra operasi
Pada pasien pra operasi dapat terjadi defisit cairan yang
diakibatkan karena kurang makan, puasa, muntah, penghisapan isi
lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga seperti pada ileus
obstruktif, perdarahan, luka bakar dan lain – lain. Kebutuhan cairan
untuk dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml / kgBB / jam. Bila terjadi
dehidrasi ringan maka diperlukan cairan sebanyak 2% BB, dehidrasi
sedang perlu cairan sebanyak 5% BB, dan dehidrasi berat sebesar 7%
BB. Setiap kenaikan suhu 10 Celcius kebutuhan cairan bertambah 10 –
15 %.
o Durante operasi
Selama tindakan operasi ini dapat terjadi kehilangan cairan karena
proses operasi. Kebutuhan cairan pada dewasa untuk operasi ringan
4ml/kgBB/jam, sedang 6ml/kgBB/ jam, berat 8 ml/kgBB/jam. Bila
terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan kurang dari
10% EBV maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid sebanyak 3
kali volume darah yang hilang. Apabila perdarahan lebih dari 10 %
maka dapat dipertimbangkan pemberian plasma / koloid / dekstran
dengan dosis 1 – 2 kali darah yang hilang. Sedangkan apabila terjadi
perdarahan lebih dari 20% akan dipertimbangkan untuk dilakukannya
transfusi.
o Post operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit
cairan selama operasi ditambah kebutuhan sehari – hari pasien.
5. Pemulihan
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan
anestesi yang biasanya dilakukan diruang pulih sadar atau recovery room yaitu
ruangan untuk observasi pasien pasa operasi atau anestesi.Ruang pulih sadar
adalah batu loncatan sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih
memerlukan perawatan intensif di ICU. Dengan demikian pasien pasca operasi
atau anestesi dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan karena operasi atau
pengaruh anestesinya.3
Di ruang pulih sadar dimonitor jalan nafasnya apakah bebas atau tidak,
ventilasinya cukup atau tidak, dan sirkulasinya sudah baik ataukah tidak. Selain
obstruksi jalan nafas karena lidah yang jatuh ke belakang atau karena spasme
laring, pasca bedah dini juga dapat terjadi muntah yang dapat menyebabkan
aspirasi.3 Monitor kesadaran merupakan hal yang penting karena selama pasien
belum sadar dapat terjadi gangguan jalan nafas. Tidak sadar yang berkepanjangan
adalah akibat dari pengaruh sisa obat anestesi, hipotermi, atau hipoksia, dan
hiperkarbi.Hipoksia dan hiperkarbi terjadi pada pasien dengan gangguan jalan
nafas dan ventilasi. Menggigil yang terjadi pasca bedah adalah akibat efek
vasodilatasi obat anestesi. Menggigil akan menambah beban jantung dan sangat
berbahaya pada pasien dangan penyakit jantung. Dengan demikian pasien pasca
operasi atau anestesi dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan karena
operasi atau pengaruh anestesinya.
Tabel 1. Aldrette Scoring System
Kriteria Recovery score
in 15 30 45 60 out
Aktivitas Dapat bergerak volunter atau atas perintah
4 anggota gerak
2 2 2 2 2 2
2 anggota gerak
1 1 1 1 1 1
0 anggota gerak
0 0 0 0 0 0
Respirasi
Sirkulasi
Mampu benafas dan batuk secara bebas
2 2 2 2 2 2
Dyspnea, nafas dangkal atau terbatas
1 1 1 1 1 1
Apnea 0 0 0 0 0 0
Tensi Pre op…mmHg
Tensi ± 20 mmHg preop
2 2 2 2 2 2
Tensi ± 20-50 mmHg preop
1 1 1 1 1 1
Tensi ± 50 mmHg preop
0 0 0 0 0 0
Kesadaran Sadar Penuh 2 2 2 2 2 2
Bangun waktu dipanggil 1 1 1 1 1 1
Tidak ada respon 0 0 0 0 0 0
Warna kulit
Normal 2 2 2 2 2 2
Pucat kelabu 1 1 1 1 1 1
Sianotik 0 0 0 0 0 0
BAB III
PEMBAHASAN
Diagnosis mastopati sinistra pada pasien ini ditegakkan berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan fisik. Melalui anamnesa didapatkan data bahwa
pasien merasakan adanya benjolan pada payudara kanan dan dirasakan nyeri. Dari
diagnosis mastopati sinistra maka kelanjutan dari penatalaksaannya adalah
dilakukan eksterpasi.
Status fisik pada pasien ini dimasukkan ke dalam ASA I (pasien keadaan
sehat normal). Teknik general anestesi dengan TIVA pada pasien ini dilakukan
atas pertimbangan lama waktu operasi yang relatif singkat, yaitu sekitar 15 menit.
Untuk mengurangi mual muntah pasca bedah sering ditambahkan
premedikasi suntikan intravena untuk dewasa dengan ondansetron 4 mg, Pada
pasien ini diberikan premedikasi berupa midazolam 3 mg (0,05-0,1 mg/kgBB)
intravena. Selanjutnya diberikan fentanyl 50 meq. Induksi anestesia dilakukan
dengan pemberian ketamin 50 mg (intravena). Pada pasien ini diberikan
maintenance oksigen 3L/m. Oksigen diberikan untuk mencukupi oksigenasi
jaringan. Selama operasi berlangsung, dilakukan monitoring perioperasi untuk
membantu ahli anestesi mendapatkan informasi fungsi organ vital selama
perioperasi, supaya dapat bekerja dengan aman. Monitoring secara elektronik
membantu ahli anestesi mengadakan observasi pasien lebih efisien secara terus
menerus. Selama operasi berlangsung juga tetap diberikan cairan intravena RL.
Pasien dipindah ke ruang pemulihan dan dilakukan observasi sesuai skor
Aldrete. Bila pasien tenang dan Aldrete Score ≥ 8 dan tanpa nilai 0, pasien dapat
dipindahkan ke bangsal. Pada kasus ini Aldrete Score-nya yaitu kesadaran 1
(merespon bila nama dipanggil), aktivitas motorik 2 (dua ekstremitas dapat
digerakkan), pernapasan 2 (bernapas tanpa hambatan), sirkulasi 2 (tekanan darah
dalam kisaran <20% sebelum operasi), dan warna kulit 2 (merah muda). Jadi
Aldrete Score pada pasien ini adalah 9 sehingga layak untuk pindah ke bangsal.
Daftar Pustaka
1. Sjamsuhidayat, Wim De Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC, 2004.
2. Djamaloedin. "Kelainan Pada Mammae." In Ilmu Kandungan Edisi 2, by Hanifah Winkjosastro, 472-477. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2008.
3. Latief, S.A., Suryadi, K.A., Dachlan, R. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi Kedua. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif. Jakarta: FK UI
4. Pramono, A., 2008. Study Guide Anestesiologi dan Reanimasi. Yogyakarta : FK UMY.
5. Wirdjoatmodjo, K., 2000. Anestesiologi dan Reanimasi Modul Dasar untuk Pendidikan S1 Kedokteran. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional
6. Pratiwi, A. 2010. Pengelolaan Anestesi Umum pada Kistektomi. Bagian SMF ilmu Anestesi. FK UNS
7. Dachlan, R., Suryadi, KA., Latief Said. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Jakarta:Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif, FK UI.
8. Muhiman, M., Thaib, R., Sunatrio, Dachlan, R. Anestesiologi. Jakarta:Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif, FK UI.
9. Morgan GE, Mikhail MS, J.Murray M., Clinical Anesthesiology 4 th
edition. McGraw Hill. New York. 2006.
33