Upload
baskorosanjaya
View
153
Download
17
Embed Size (px)
Citation preview
PRESENTASI KASUS
Anestesi Umum menggunakan LMA Untuk Tindakan Appendiktomi Pada
Pasien Appendisitis Dengan Status ASA II
Diajukan Kepada :
dr. Kurnianto Trubus, M.kes, Sp.An
Disusun Oleh :
Aditya Andika Muchtar
2007.031.0004
BAGIAN ILMU ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF
RSD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL
PROGRAM PENDDIDIKAN PROFESI KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2012
1
HALAMAN PENGESAHAN
Telah dipresentasikan Presentasi Kasus dengan judul
Anestesi Umum menggunakan LMA Untuk Tindakan Appendiktomi Pada
Pasien Appendisitis Dengan Status ASA II
Tanggal : Oktober 2012
Oleh :
Aditya Andika Muchtar
Mengetahui,
Dokter pembimbing,
dr. Kurnianto Trubus, M.kes, Sp.An
2
BAB I
STATUS UJIAN
A. IDENTITAS PASIEN
Nama
Umur
Jenis kelamin
Alamat
Pekerjaan
Tanggal periksa
Diagnosis
: Ny. RP
: 32 tahun
: Perempuan
: Kersen RT 05 Bantul
: Ibu Rumah Tanggal
: 9 Oktober 2012
: Apendisitis
B. ANAMNESIS
(Dilakukan secara autoanamnesis, pada tanggal 9 Oktober 2012 di bangsal
Bedah dengan melihat rekam medis pasien atas izin dokter yang merawat)
1. Keluhan utama
Nyeri perut sebelah kanan bawah.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan utama nyeri pada perut kanan bawah,
keluhan dirasakan sejak ±2 minggu lalu, awalnya nyer dirasakan + 1 bulan
lalu didaerah perut atas lalu berpindah ke kanan bawah, mual (-), muntah
(-), demam (-), BAB dan BAK lancar seperti biasa. Riwayat merokok (-).
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Asma : disangkal
Riwayat Hipertensi : disangkal
Riyawat Penyakit Jantung : disangkal
Riwayat Diabetes Melitus : disangkal
Riwayat alergi : (+) bila memakan udang
Riwayat Gastristis : disangkal
4. Riwayat Keluarga
Riwayat penyakit serupa pada keluarga disangkal
3
C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Vital Sign
A : Clear, TMD > 6.5 cm , M I
B : Spontan, RR : 16x/menit, vesikuler (+/+), wheezing (-/-), Ronkhi (-/-)
C : TD = 110/70 mmHg, N = 76x/menit, S1-S2 reguler
D : compos mentis, E4V5M6
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Thorak Foto : Cor dan Pulmo dalam batas normal
2. EKG : normal sinus rithym
3. EEG : Tidak dilakukan
4. Laboratorium
Hb : 10,6 Al : 5,1
AE : 5,69 AT : 299
HMT : 32.1 E/B/B/S/L/M : 10/0/3/48/35/4
PPT : 13,4 detik APTT : 29,6 detik
C. PTT : 13,6 detik C. APTT : 32,0 detik
HbSAg : negatif
E. DIAGNOSIS KERJA
Pre Op. apendiktomi apendisitis dengan status fisik ASA II
Rencana General Anestesi
F. PENATALAKSANAAN
1. Persiapan Operasi
- Lengkapi Informed Consent Anestesi
- Puasa 8 jam sebelum operasi
- Injeksi Dexametason 2 x 10 mg (pukul 22.00 & 06.00)
- Tidak menggunakan perhiasan/kosmetik
- Tidak menggunakan gigi palsu
4
- Memakai baju khusus kamar bedah
2. Premedikasi : Midazolam 2,5 mg; Fentanyl 50 µg
3. Diagnosis Pra Bedah : Apendisitis Kronis
4. Diagnosis pasca Bedah : Post Apendiktomi a/i Apendisitis
5. Jenis Anestesi : General Anestesi
6. Teknik : Semi Closed, napas spontan assist, LMA
no.3
7. Induksi : Propofol 100 mg
8. Pemeliharaan : 02, N2O, Sevoflurane
9. Obat-obat : Ondansentron 4 mg, Ketorolac 30 mg
10. Jenis Cairan : Ringer laktat
11. Kebutuhan cairan selama Operasi
MO : 90 cc
PP : 720 cc
SO : 270 cc
Keb. Cairan jam I : 540 cc
Keb. Cairan jam II/III : 270 cc
EBV : 2925 cc
12. Instruksi Pasca Bedah
Posisi : Supine
Infus : Ringer laktat 20 tpm
Antibiotik : Sesuai dr. Operator
Analgetik : Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam/IV mulai jam 17.35
Anti muntah : Inj. Ondansentron 4 mg/8 jam/IV K/P mulai jam 17.35
Lain-lain : - Awasi Vital sign dan KU
- Jika sadar penuh, Peristaltik (+) , mual (-), muntah (-),
coba minum makan perlahan.
- Bed rest 24 jam post op.
13. Lama Operasi : 45 menit
14. Maintanence anastesi
B1 (Breathing) : Suara nafas vesikuler, nafas terkontrol,
5
B2 (Bleeding) :Perdarahan ± 80 cc
B3 (Brain) : Pupil Isokor
B4 (Bladder) :tidak terpasang kateter
B5 (Bowel) : BU (-)
B6 (Bone) : Intak
15. Monitoring pasca Operasi
Skor Lockharte/Aldrete Pasien
Jam I (per 15’) Jam II Jam III Jam IV
Aktivitas 2
Respirasi 2
Sirkulasi 2
Kesadaran 1
Warna kulit 2
Skor total 10
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Apendisitis
1. Definisi
Appendicitis adalah peradangan yang terjadi pada Appendix
vermicularis, dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering
pada anak-anak maupun dewasa. Appendicitis akut merupakan kasus
bedah emergensi yang paling sering ditemukan pada anak-anak dan
remaja. Terdapat sekitar 250.000 kasus appendicitis yang terjadi di
Amerika Serikat setiap tahunnya dan terutama terjadi pada anak usia 6-10
tahun.
2. Insidensi
Terdapat sekitar 250.000 kasus appendicitis yang terjadi di
Amerika Serikat setiap tahunnya dan terutama terjadi pada anak usia 6-10
tahun. Appendicitis lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan
perempuan dengan perbandingan 3:2. Bangsa Caucasia lebih sering
terkena dibandingkan dengan kelompok ras lainnya.
Insidensi Appendicitis acuta di negara maju lebih tinggi daripada
di negara berkembang, tetapi beberapa tahun terakhir angka kejadiannya
menurun secara bermakna. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya
penggunaan makanan berserat dalam menu sehari-hari. Appendicitis
dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari satu
tahun jarang dilaporkan. Insidensi tertinggi pada kelompok umur 20-30
tahun, setelah itu menurun. Insidensi pada laki-laki dan perempuan
umumnya sebanding, kecuali pada umur 20-30 tahun, insidensi lelaki
lebih tinggi.
3. Anatomi
Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-
kira 10cm (kisaran 3-15cm), dan berpangkal di caecum. Lumennya sempit
7
di bagian proksimal dan melebar di bagian distal. Namun demikian, pada
bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit
ke arah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insiden
appendicitis pada usia itu. Pada 65% kasus, apendiks terletak
intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan apendiks bergerak dan
ruang geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks penggantungnya4.
Pada kasus selebihnya, apendiks terletak retroperitoneal, yaitu di
belakang caecum, di belakang colon ascendens, atau di tepi lateral colon
ascendens. Gejala klinis appendicitis ditentukan oleh letak apendiks.
Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang
mengikuti a.mesenterica superior dan a.apendikularis, sedangkan
persarafan simpatis berasal dari n.torakalis X. Oleh karena itu, nyeri
visceral pada appendicitis bermula di sekitar umbilicus.
Pendarahan apendiks berasal dari a.apendikularis yang merupakan
arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena thrombosis
pada infeksi apendiks akan mengalami gangren.
4. Fisiologi
Apendiks menghasilkan lender 1-2ml per hari. Lendir itu
normalnya dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke
caecum. Hambatan aliran lender di muara apendiks tampaknya berperan
pada pathogenesis appendicitis.
Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut
associated lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna
termasuk apendiks, ialah IgA. Immunoglobulin itu sangat efektif sebagai
pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks
tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfa
disini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna
dan di seluruh tubuh.
8
5. Etiologi
Appendicitis disebabkan karena adanya obstruksi pada lumen
appendix sehingga terjadi kongseti vaskuler, iskemik nekrosis dan
akibatnya terjadi infeksi. Appendicitis umumnya terjadi karena infeksi
bakteri. Penyebab obstruksi yang paling sering adalah fecolith. Fecolith
ditemukan pada sekitar 20% anak dengan appendicitis. Penyebab lain dari
obstruksi appendiks meliputi:
1. Hiperplasia folikel lymphoid2. Carcinoid atau tumor lainnya3. Benda asing (pin, biji-bijian)4. Kadang parasit.
Penyebab lain yang diduga menimbulkan Appendicitis adalah
ulserasi mukosa appendix oleh parasit E. histolytica. Berbagai spesies
bakteri yang dapat diisolasi pada pasien appendicitis yaitu:
Bakteri aerob fakultatif Bakteri anaerob Escherichia coli Viridans streptococci Pseudomonas aeruginosa Enterococcus
Bacteroides fragilis Peptostreptococcus micros Bilophila species Lactobacillus species
6. Patofisiologis
Appendicitis terjadi dari proses inflamasi ringan hingga perforasi,
khas dalam 24-36 jam setelah munculnya gejala, kemudian diikuti dengan
pembentukkan abscess setelah 2-3 hari.
Appendicitis dapat terjadi karena berbagai macam penyebab,
antara lain obstruksi oleh fecalith, gallstone, tumor, atau bahkan oleh
cacing (Oxyurus vermicularis), akan tetapi paling sering disebabkan
obstruksi oleh fecalith dan kemudian diikuti oleh proses peradangan. Hasil
observasi epidemiologi juga menyebutkan bahwa obstruksi fecalith adalah
penyebab terbesar, yaitu sekitar 20% pada ank dengan appendicitis akut
dan 30-40% pada anak dengan perforasi appendiks. Hiperplasia folikel
limfoid appendiks juga dapat menyababkan obstruksi lumen. Insidensi
9
terjadinya appendicitis berhubungan dengan jumlah jaringan limfoid yang
hyperplasia. Penyebab dari reaksi jaringan limfatik baik lokal atau general
misalnya akibat infeksi Yersinia, Salmonella, dan Shigella; atau akibat
invasi parasit seperti Entamoeba, Strongyloides, Enterobius vermicularis,
Schistosoma, atau Ascaris. Appendicitis juga dapat diakibatkan oleh
infeksi virus enteric atau sistemik, seperti measles, chicken pox, dan
cytomegalovirus. Pasien dengan cyctic fibrosis memiliki peningkatan
insidensi appendicitis akibat perubahan pada kelenjar yang mensekresi
mucus. Carcinoid tumor juga dapat mengakibatkan obstruksi appendiks,
khususnya jika tumor berlokasi di 1/3 proksimal. Selama lebih dari 200
tahun, benda asaning seperti pin, biji sayuran, dan batu cherry dilibatkan
dalam terjadinya appendicitis. Trauma, stress psikologis, dan herediter
juga mempengaruhi terjadinya appendicitis.
Awalnya, pasien akan merasa gejala gastrointestinal ringan seperti
berkurangnya nafsu makan, perubahan kebiasaan BAB yang minimal, dan
kesalahan pencernaan. Anoreksia berperan penting pada diagnosis
appendicitis, khususnya pada anak-anak.
Distensi appendiks menyebabkan perangsangan serabut saraf
visceral dan dipersepsikan sebagai nyeri di daerah periumbilical. Nyeri
awal ini bersifat nyeri dalam, tumpul, berlokasi di dermatom Th 10.
Adanya distensi yang semakin bertambah menyebabkan mual dan muntah,
dalam beberapa jam setelah nyeri. Jika mual muntah timbul lebih dulu
sebelum nyeri, dapat dipikirkan diagnosis lain.
Appendiks yang obstruksi merupakan tempat yang baik bagi
bakteri untuk berkembang biak. Seiring dengan peningkatan tekanan
intraluminal, terjadi gangguan aliran limf, terjadi oedem yang lebih hebat.
Akhirnya peningkatan tekanan menyebabkan obstruksi vena, yang
mengarah pada iskemik jaringan, infark, dan gangrene. Setelah itu, terjadi
invasi bakteri ke dinding appendiks; diikuti demam, takikardi, dan
leukositosis akibat kensekuensi pelepasan mediator inflamasi dari jaringan
yang iskemik. Saat eksudat inflamasi dari dinding appendiks berhubungan
dengan peritoneum parietale, serabut saraf somatic akan teraktivasi dan
10
nyeri akan dirasakan lokal pada lokasi appendiks, khususnya di titik Mc
Burney’s. Nyeri jarang timbul hanya pada kuadran kanan bawah tanpa
didahului nyeri visceral sebelumnya. Pada appendiks retrocaecal atau
pelvic, nyeri somatic biasanya tertunda karena eksudat inflamasi tidak
mengenai peritoneum parietale sampai saat terjadinya rupture dan
penyebaran infeksi. Nyeri pada appendiks retrocaecal dapat muncul di
punggung atau pinggang. Appendiks pelvic yang terletak dekat ureter atau
pembuluh darah testis dapat menyebabkan peningkatan frekuensi BAK,
nyeri pada testis, atau keduanya. Inflamasi ureter atau vesica urinaria pada
appendicitis dapat menyebabkan nyeri saat berkemih, atau nyeri seperti
terjadi retensi urine.
Perforasi appendiks akan menyebabkan terjadinya abscess lokal
atau peritonitis umum. Proses ini tergantung pada kecepatan progresivitas
ke arah perforasi dan kemampuan pasien berespon terhadap adanya
perforasi. Tanda perforasi appendiks mencakup peningkatan suhu melebihi
38.6oC, leukositosis > 14.000, dan gejala peritonitis pada pemeriksaan
fisik. Pasien dapat tidak bergejala sebelum terjadi perforasi, dan gejala
dapat menetap hingga > 48 jam tanpa perforasi. Secara umum, semakin
lama gejala berhubungan dengan peningkatan risiko perforasi. Peritonitis
difus lebih sering dijumpai pada bayi karena tidak adanya jaringan lemak
omentum. Anak yang lebih tua atau remaja lebih memungkinkan untuk
terjadinya abscess yang dapat diketahui dari adanya massa pada
pemeriksaan fisik.
Konstipasi jarang dijumpai tetapi tenesmus sering dijumpai. Diare
sering didapatkan pada anak-anak, dalam jangka waktu sebentar, akibat
iritasi ileum terminal atau caecum. Adanya diare dapat mengindikasikan
adanya abscess pelvis.
7. Diagnosis
1. Gejala klasik yaitu nyeri sebagai gejala utama
11
a. Nyeri dimulai dari epigastrium, secara bertahap berpindah ke
region umbilical, dan akhirnya setelah 1-12 jam nyeri terlokalisir
di region kuadrant kanan bawah.
b. Urutan nyeri bisa saja berbeda dari deskripsi diatas, terutama pada
anak muda atau pada seseorang yang memiliki lokasi anatomi
apendiks yang berbeda.
2. Anoreksia adalah gejala kedua yang menonjol dan biasanya selalu ada
untuk beberapa derajat kasus. Muntah terjadi kira-kira pada tiga
perempat pasien.
3. Urutan gejala sangat penting untuk menegakkan diagnose. Anoreksia
diikuti oleh nyeri kemudian muntah (jika terjadi) adalah gejala klasik.
Muntah sebelum nyeri harus ditanyakan untuk kepentingan diagnosis5.
Gambaran klinis apendisitis akut
Tanda awal nyeri mulai di epigastrium atau region umbilikalis
disertai mual dan anoreksia
Nyeri pindah ke kanan bawah menunjukkan tanda rangsangan
peritoneum local dititik McBurney
Nyeri tekan
Nyeri lepas
Defans muskuler
Nyeri rangsangan peritoneum tidak langsung
Nyeri kanan bawah pada tekanan kiri (rovsing sign)
Nyeri kanan bawah bila tekanan di sebelah kiri dilepaskan
(Blumberg sign)
Nyeri kanan bawah bila peritoneum bergerak, seperti
bernafas dalam, berjalan, batuk, mengedan
Pemeriksaan fisik :
Pemeriksaan fisik yang ditemukan tergantung dari tahapan penyakit dan
lokasi dari apendiks.
12
1. Suhu dan nadi sedikit lebih tinggi pada awal penyakit. Suhu yang
lebih tinggi mengindikasikan adanya komplikasi seperti perforasi
maupun abses.
2. Nyeri pada palpasi titik McBurney ( dua pertiga jarak dari umbilicus
ke spina iliaca anterior) ditemukan bila lokasi apendiks terletak di
anterior. Jika lokasi apendiks pada pelvis, pemeriksaan fisik abdomen
sedikit ditemukan kelainan, dan hanya pemeriksaan rectal toucher
ditemukan gejala significant.
3. Tahanan otot dinding perut dan rebound tenderness mencerminkan
tahap perkembangan penyakit karena berhubungan dengan iritasi
peritoneum.
4. Beberapa tanda, jika ada dapat membantu dalam menegakkan
diagnosis
a. Rovsing’s sign yaitu nyeri pada kuadran kanan bawah pada
palpasi kuadran kiri bawah.
b. Psoas sign yaitu nyeri rangsangan otot psoas lewat hiperekstensi
sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila
apendiks yang meradang menempel di m.psoas mayor, tindakan
tersebut akan menyebabkan nyeri.
c. Obturator sign adalah nyeri pada gerakan endotorsi dan fleksi
sendi panggul kanan, pasien dalam posisi terlentang.
Pemeriksaan Laboratorium :
1. Leukositosis moderat/ sedang (10.000-16.000 sel darah putih)
dengan predominan neutrofil. Jumlah normal sel darah putih tidak
dapat menyingkirkan adanya apendisitis5.
2. Urinalisis kadang menunjukkan adanya sel darah merah.
Pemeriksaan X-Ray :
1. Foto polos abdomen menunjukkan lokalileuskuadrankanan
bawahataufecalithradiopak.
2. USG abdomen
3. Barium enema mungkin dapat membantu pada kasus sulit ketika
akurasi diagnosis tetap sukar untuk ditegakkan. Barium enema
13
akan mengisi defek pada sekum, hal ini adalah indicator yang
sangat bisa dipercaya pada banyak penelitian apendisitis.
Alvarado Skor
Semua penderita dengan suspek Appendicitis acuta dibuat skor
Alvarado dan diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu: skor < 6 & > 6.
Selanjutnya dilakukan Appendectomy, setelah operasi dilakukan
pemeriksaan PA terhadap jaringan Appendix dan hasilnya diklasifikasikan
menjadi 2 kelompok yaitu: radang akut dan bukan radang akut11.
Tabel Alvarado scale untuk membantu menegakkan diagnosis
Manifestasi SkorGejala Adanya migrasi nyeri 1
Anoreksia 1Mual/muntah 1
Tanda Nyeri RLQ 2Nyeri lepas 1Febris 1
Laboratorium
Leukositosis 2
Shift to the left 1Total poin 10
Keterangan:
0-4 : kemungkinan Appendicitis kecil
5-6 : bukan diagnosis Appendicitis
7-8 : kemungkinan besar Appendicitis
9-10 : hampir pasti menderita Appendicitis
Bila skor 5-6 dianjurkan untuk diobservasi di rumah sakit, bila skor
>6 maka tindakan bedah sebaiknya dilakukan.
8. Penatalaksanaan
1. Apendiktomi adalah terapi utama
2. Antibiotic pada apendisitis digunakan sebagai:
a. Preoperative, antibiotik broad spectrum intravena diindikasikan
untuk mengurangi kejadian infeksi pasca pembedahan.
b. Post operatif, antibiotic diteruskan selama 24 jam pada pasien
tanpa komplikasi apendisitis
14
c. Antibiotic diteruskan sampai 5-7 hari post operatif untuk kasus
apendisitis ruptur atau dengan abses.
d. Antibiotic diteruskan sampai hari 7-10 hari pada kasus
apendisitis rupture dengan peritonitis diffuse.
B. Tata Laksana Anestesi dan Terapi Intensif pada Tindakan Apendiktomi
1. Batasan
Tindakan anestesi yang dilakukan pada operasi pengangkatan
appendix.
2. Masalah anestesi dan terapi intensif
Ancaman depresi nafas akibat manipulasi abdomen
Perdarahan luka operasi
3. Penatalaksanaan Anestesi dan terapi intensif
Penilaian status pasien
Evaluasi status generalis dengan pemeriksaan fisik dan
penunjang yang lain sesuai dengan indikasi
4. Persiapan Pra Operatif
Persiapan rutin
Persiapan donor
5. Premedikasi
Diberikan secara intravena 30 – 45 menit pra induksi dengan obat-
obat sebagai berikut:
Midazolam : 0,05 – 0,10 mg/kgBB
Fentanyl : 1-2 µg/kgBB
6. Pilihan Anestesi
Anestesi umum inhalasi (imbang) dengan pemasangan LMA atau
pipa endotrakea.
7. Terapi Cairan dan Tranfusi
Diberikan cairan pengganti perdarahan apabila perdarahan yang
terjadi < 20 % dari perkiraan volume darah dan apabila > 20%, berikan
tranfusi darah.
15
8. Pemulihan Anestesi
Segera setelah operasi, hentikan aliran obat anesthesia, berikan
oksigen 100%
Berikan obat penawar pelumpuh otot
Bersihkan jalan nafas
Ekstubasi dilakukan setelah pasien nafas spontan dan adekuat serta
jalan nafas sudah bersih
9. Pasca bedah/anestesi
Dirawat diruang pulih, sesuai dengan tata laksana pasca anestesi
Perhatian khusus pada periode ini adalah ancaman depresi nafas
akibat nyeri dan kompresi luka operasi
Pasien dikirim kembali keruangan setelah memenuhi kriteria
penegeluaran
C. General Anestesi
Tindakananestesi dilakukan dengan menghilangkan nyeri secara sentral
disertai hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali atau reversible.
Persiapan prabedah yang kurang memadai merupakan faktor terjadinya
kecelakaan dalam anestesia. Sebelum pasien dibedah sebaiknya dilakukan
kunjungan pasien terlebih dahulu sehingga pada waktu pasien dibedah pasien
dalam keadaan bugar. Tujuan kunjungan praanestesi adalah untuk
mengurangi angka kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi dan
meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.
Sebelum pasien diberi obat anestesi, langkah selanjutnya adalah
dilakukan premedikasi yaitu pemberian obat sebelum induksianestesi diberi
dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun darianestesi
diantaranya :
Meredakan kecemasan dan ketakutan
Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
Mengurang mual dan muntah pasca bedah
Mengurangi isi cairan lambung
Membuat amnesia
16
Memperlancar induksi anestesi
Meminimalkan junmlah obat anestesi
Mengurangi reflek yang membahayakan.
1. Obat Premedikasi
a. Midazolam
Midazolam adalah obat induksi tidur jangka pendek untuk premedikasi,
induksi dan pemeliharaan anestesi. Midazolam merupakan suatu golongan
imidazo-benzodiazepin dengan sifat yang sangat mirip dengan golongan
benzodiazepine. Dibandingkan dengan diazepam, midazolam bekerja cepat
karena transformasi metabolitnya cepat dan lama kerjanya singkat. Pada pasien
orang tua dengan perubahan organik otak atau gangguan fungsi jantung dan
pernafasan, dosis harus ditentukan secara hati-hati. Efek obat timbul dalam 2
menit setelah penyuntikan.
Dosis premedikasi dewasa 0,07-0,10 mg/kgBB, disesuaikan dengan
umur dan keadaan pasien. Dosis lazim adalah 5 mg. Pada orang tua dan pasien
lemah dosisnya 0,025-0,05 mg/kgBB.
Efek sampingnya terjadi perubahan tekanan darah arteri, denyut nadi
dan pernafasan, umumnya hanya sedikit.
b. Fentanil
Fentanil merupakan salah satu preparat golongan analgesik opioid dan
termasuk dalam opioid potensi tinggi dengan dosis 100-150 mcg/kgBB,
termasuk sufentanil (0,25-0,5 mcg/kgBB). Bahkan sekarang ini telah
ditemukan remifentanil, suatu opioid yang poten dan sangat cepat onsetnya,
telah digunakan untuk meminimalkan depresi pernapasan residual. Opioid
dosis tinggi yang deberikan selama operasi dapat menyebabkan kekakuan
dinding dada dan larynx, dengan demikian dapat mengganggu ventilasi secara
akut, sebagaimana meningkatnya kebutuhan opioid potoperasi berhubungan
dengan perkembangan toleransi akut. Maka dari itu, dosis fentanyl dan
sufentanil yang lebih rendah telah digunakan sebagai premedikasi dan sebagai
suatu tambahan baik dalam anestesi inhalasi maupun intravena untuk
memberikan efek analgesi perioperatif.
17
Sebagai analgesik, potensinya diperkirakan 80 kali morfin. Lamanya
efek depresi nafas fentanil lebih pendek dibanding meperidin. Efek euphoria
dan analgetik fentanil diantagonis oleh antagonis opioid, tetapi secara tidak
bermakna diperpanjang masanya atau diperkuat oleh droperidol, yaitu suatu
neuroleptik yang biasanya digunakan bersama sebagai anestesi IV. Dosis tinggi
fentanil menimbulkan kekakuan yang jelas pada otot lurik, yang mungkin
disebabkan oleh efek opioid pada tranmisi dopaminergik di striatum. Efek ini
di antagonis oleh nalokson. Fentanyl biasanya digunakan hanya untuk anestesi,
meski juga dapat digunakan sebagai anelgesi pasca operasi. Dosis fentanil
untuk premedikasi yaitu 50 mcg – 100 mcg. Obat ini tersedia dalam bentuk
larutan untuk suntik dan tersedia pula dalam bentuk kombinasi tetap dengan
droperidol. Fentanyl dan droperidol (suatu butypherone yang berkaitan dengan
haloperidol) diberikan bersama-sama untuk menimbulkan analgesia dan
amnesia dan dikombinasikan dengan nitrogen oksida memberikan suatu efek
yang disebut sebagai neurolepanestesia.
c. Ketorolac
Ketorolac dapat diberikan secara oral, intramuscular atau intravena.
Tidak dianjurkan untuk intratekal atau epidural. Setelah suntikan intramuscular
atau intravena efek analgesinya dicapai dalam 30 menit, maksimal setelah 1-2
jam dengan lama kerja sekitar 4-6 jam dan penggunannya dibatasi untuk 5 hari.
Dosis awal 10-30 mg dan dapat diulang setiap 4-6 jam dan
penggunannya sesuai kebutuhan. Untuk pasien normal dosis sehari dibatasi
maksimal 90 mg dan untuk berat < 50kg, manula atau gangguan faal ginjal
dibatasi maksimal 60 mg. sifat analgetik ketorolac setara dengan opioid, yaitu
30 mg ketorolac = 12 mg morfin = 100 mg petidin, sedangkan sifat antipiretik
dan antiinflamasinya rendah. Ketorolac dapat digunakan secara bersamaan
dengan opioid.Cara kerja ketorolac adalah menghambat sintesis prostaglandin
di perifir tanpa menggangu reseptor opioid di sistema saraf pusat. Tidak
dianjurkan digunakan untuk wanita hamil, menghilangkan nyeri
persalinan,wanita sedang menyusui, usia lanjut, anal usia < 4 tahun, gangguan
perdarahan.
d. Ondansetron
18
Merupakan suatu antagonis 5-HT3 yang sangat efektif yang dapat
menekan mual dan muntah karena sitostatika misalnya cisplatin dan radiasi.
Ondansetron mempercepat pengosongan lambung, bila kecepatan pengosongan
basal rendah. Tetapi waktu transit saluran cerna memanjang sehingga dapat
terjadi konstipasi. Ondansetron dieliminasi dengan cepat dari tubuh.
Metabolisme obat ini terutama secara hidroksilasi dan konjugasi dengan
glukonida atau sulfat dalam hati. Dosis ondansentron yang biasanya diberikan
untuk premedikasi antara 4-8 mg. Dalam suatu penelitian kombinasi antara
Granisetron dosis kecil yang diberikan sesaat sebelum ekstubasi trakhea
ditambah Dexamethasone yang diberikan saat induksi anestesi merupakan
suatu alternatif dalam mencegah muntah selama 0-2 jam setelah ekstubasi
trakhea daripada ondansetron dan dexamethasone.
e. Dexamethasone
Deksametason adalah glukokortikoid sintetik dengan aktivitas
imunosupresan dan anti-inflamasi. Sebagai imunosupresan Deksametason
bekerja dengan menurunkan respons imun tubuh terhadap stimulasi rangsang.
Aktivitas anti-inflamasi Deksametason dengan jalan menekan atau mencegah
respon jaringan terhadap proses inflamasi dan menghambat akumulasi sel yang
mengalami inflamasi, termasuk makrofag dan leukosit pada tempat inflamasi.
Dosis dexamethason injeksi antara 0.5 – 0.9 mg/kgBB.
2. Obat Induksi
Profofol
Propofol adalah obatanestesi intravena yang bekerja cepat dengan
karakter recoveryanestesi yang cepat tanpa rasa pusing dan mual-mual.
Profofol merupakan cairan emulsi minyak-air yang berwarna putih yang
bersifat isotonik dengan kepekatan 1% (1ml=10 mg) dan mudah larut dalam
lemak. Profopol menghambat transmisi neuron yang dihantarkan oleh
GABA. Propofol adalah obatanestesi umum yang bekerja cepat yang efek
kerjanya dicapai dalam waktu 30 detik.
Dosis induksi 1-2 mg/kgBB. Dosis rumatan 500ug/kgBB/menit
infuse. Dosis sedasi 25-100ug/kgBB/menit infuse. Pada pasien yang
19
berumur diatas 55 tahun dosis untuk induksi maupun maintanance anestesi
itu lebih kecil dari dosis yang diberikan untuk pasien dewasa menyebabkan
depolarisasi, hanya menghalangi asetilkolin menempatinya, sehingga
asetilkolin tidak dapat bekerja.
Dosis awal 0,5-0,6 mg/kgBB, dosis rumatan 0,1 mg/kgBB, durasinya
selama 20-45 menit dan dapat meningkat menjadi 2 kali lipat pada suhu 250
C, kecepatan efek kerjanya 1-2 menit.
Penawar pelumpuh otot atau antikolinesterase bekerja pada
sambungan saraf-otot mencegah asetilkolin-esterase bekerja, sehingga
asetilkolin dapat bekerja. Antikolinesterase yang paling sring digunakan
ialah neostigmin dengan dosis (0,04-0,08 mg/kgBB) atau obat
antikolinergik lainnya. Penawar pelumpuh otot bersifat muskarinik
menyebabkan hipersalivasi, keringatan, bradikardia, kejang bronkus,
hipermotilitas usus dan pandangan kabur, sehingga pemberiannya harus
disertai obat vagolitik seperti atropin dosis 0,01-0,02 mg/kgBB atau
glikopirolat 0,005-0,01 mg/kgBB sampai 0,2-0,3 mg/kgBB pada dewasa.
3. Maintanance
a.N2O
N2O (gas gelak, laughling gas, nitrous oxide, dinitrogen monoksida)
diperoleh dengan memanaskan ammonium nitrat sampai 240°C (NH4 NO3
2H2O + N2O) N2O dalam ruangan berbentuk gas tak berwarna, bau manis,
tak iritasi, tak terbakar, dan beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian anestesi
dengan N2O harus disertai O2 minimal 25%. Gas ini bersifat anestesik lemah,
tetapi analgesinya kuat, sehingga sering digunakan untuk mengurangi nyeri
menjelang persalinan. Padaanestesi inhalasi jarang digunakan sendirian, tetapi
dikombinasi dengan salah satu anestesi lain seperti halotan dan sebaagainya.
Pada akhir anestesi setelah N2O dihentikan, maka N2O akan cepat keluar
mengisi alveoli, sehingga terjadi pengenceran O2 dan terjadilah hipoksia
difusi. Untuk menghindari terjadinya hipoksia difusi, berikan O2 100%
selama 5-10 menit.Penggunaan dalam anestesi umumnya dipakai dalam
kombinasi N2O : O2 yaitu 60% : 40%, 70% : 30%. Dosis untuk mendapatkan
20
efek analgesik digunakan dengan perbandingan 20% : 80%, untuk induksi
80% : 20%, dan pemeliharaan 70% : 30%. N2O sangat berbahaya bila
digunakan pada pasien pneumothorak, pneumomediastinum, obstruksi,
emboli udara dan timpanoplasti.
b. Sevoflurane
Sevofluran (ultane) merupakan halogenasi eter. Induksi dan pulih dari
anestesilebih cepat dibandingkan dengan isofluran. Baunya tidak menyengat
dan tidak merangsang jalan napas, sehingga digemari untuk induksi anestesi
inhalasi disampinghalotan.Efek terhadap kardiovaskuler cukup stabil, jarang
menyebabkan aritmia. Efek terhadap sistem saraf pusat seperti isofluran dan
belum ada laporan toksik terhadaphepar. Setelah pemberian dihentikan
sevofluran cepat dikeluarkan oleh badan.Walaupun dirusak oleh kapur soda
(soda lime, baralime), tetapi belum ada laporanmembahayakan terhadap
tubuh manusia.
21
BAB III
PEMBAHASAN
Diagnosis apendisitis pada pasien ini ditegakkan berdasarkan pemeriksaan
fisik melalui palpasi ditemukan adanya nyeri pada perut bagian kanan bawah,
nyeri semakin hebat jika pasien beraktivitas serta di tunjang oleh pemeriksaan
apendikogram.
Status fisik pada pasien ini dimasukkan ke dalam ASA II (pasien dengan
kelainan sistemik ringan, tidak terdapat keterbatasan fungsional dan aktivitas
sehari-hari) dalam hal ini pasien memiliki riwayat alergi. Teknik general anestesi
inhalasi pada pasien ini dilakukan atas pertimbangan lama waktu operasi yang
relatif lama, yaitu sekitar 1 jam.
Persiapan sebelum operasi ditambahkan pemberian injeksi
dexamethaasone intravena 2x10 mg untuk mencegah/mengurangi kejadian
timbulnya reaksi alergi selama dilakukan anestesi dan pembedahan karena pasien
memiliki riwayat alergi.
Pada pasien ini diberikan premedikasi berupa midazolam 2,5 mg (0,05-0,1
mg/kgBB) intravena dan fentanil 50 mcg. Induksi anestesia dilakukan dengan
pemberian propofol 100 mg (2 – 2,5 mg/kgBB) (intravena), setelah refleks bulu
mata menghilang segera dilakukan pemasangan LMA no.3. Untuk maintenance
selama operasi berlangsung diberikan N2O 50%, O2 50%, dan Sevoflurane 2 vol %
dengan cara inhalasi dengan mesin anestesia. Selama operasi berlangsung,
dilakukan monitoring perioperasi untuk membantu ahli anestesi mendapatkan
informasi fungsi organ vital selama perioperasi, supaya dapat bekerja dengan
aman. Monitoring secara elektronik membantu ahli anestesi mengadakan
observasi pasien lebih efisien secara terus menerus. Selama operasi berlangsung
juga tetap diberikan cairan intravena RL. Pada saat dilakukannya operasi diberika
injeksi ketorolac 30mg intravena sebagai analgesik untuk mengurangi nyeri
setelah operasi dan anestesi selesai, serta diberikan injeksi ondansetron 4 mg
sebagai pencegahan terjadinya PONV. Setelah operasi selesai, dilakukan tindakan
suction dan reoksigenasi menggunakan face mask dengan Oksigen 2-3 liter/menit.
22
Pasien dipindah ke ruang pemulihan dan dilakukan observasi sesuai skor
Aldrete. Bila pasien tenang dan Aldrete Score ≥ 8 dan tanpa nilai 0, pasien dapat
dipindahkan ke bangsal. Pada kasus ini Aldrete Score-nya sebesar 10 dengan
rincian yaitu aktivitas 2 ( dapat menggerakan 4 extrimitas setelah diperintah),
respirasi 2 (dapat bernafas dalam dan batuk), sirkulasi 2 (perubahan tekanan darah
< 20 mmHg dari tekanan darah preoperasi), kesadaran 1 (dapat dibangunkan dan
membuka mata ketika diperintah), saturasi oksigen 2 (saturasi oksigen 99-100%
diudara kamar). Setelah dinilai Aldrete skornya dan nilainya > 8, pasien
dipindahkan ke bangsal.
23
BAB IV
KESIMPULAN
Seorang wanita, 34 tahun dengan apendisitis direncanakan dilakukan
apendiktomi dengan general anestesi inhalasi menggunakan teknik nafas spontan
assist menggunakan LMA no 3, dan pemeriksaan status preoperatif pasien ASA II
(karena memiliki riwayat alergi). Pencegahan/pengurangan terjadinya reaksi
alergi dilakukan pemberian injeksi dexamethasone 2x10 mg pada saat persiapan
sebelum tindakan anestesi dan operasi dilakukan.
24