Upload
fatin-nuha-astini
View
83
Download
8
Embed Size (px)
DESCRIPTION
PRIVATISASI BUMN (EPP KEL 5)...
Citation preview
TUGAS EKONOMI POLITIK PEMBANGUNAN
(PRIVATISASI BADAN USAHA MILIK NEGARA DI INDONESIA)
Di susun oleh:
Kelompok 5
Berselia Alvian N.H ( 105030107111060)
Immas Sahaya P (105030101111080)
Ari Kartika Sari H.P (105030100111068)
Fitriana Rahmawati (115030100111065)
Anggun Retnosari (11503010111050)
Rachmania Noermalasari (11503010111092)
JURUSAN ILMU ADMINISTRASI PUBLIK
FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemerintah Indonesia mendirikan BUMN dengan dua tujuan utama, yaitu tujuan yang
bersifat ekonomi dan tujuan yang bersifat sosial. Dalam tujuan yang bersifat ekonomi, BUMN
dimaksudkan untuk mengelola sektor-sektor bisnis strategis agar tidak dikuasai pihak-pihak
tertentu. Bidang-bidang usaha yang menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti perusahaan
listrik, minyak dan gas bumi, sebagaimana diamanatkan dalam pasal 33 UUD 1945, seharusnya
dikuasai oleh BUMN. Dengan adanya BUMN diharapkan dapat terjadi peningkatan
kesejahteraan masyarakat, terutama masyarakat yang berada di sekitar lokasi BUMN. Tujuan
BUMN yang bersifat sosial antara lain dapat dicapai melalui penciptaan lapangan kerja serta
upaya untuk membangkitkan perekonomian lokal. Penciptaan lapangan kerja dicapai melalui
perekrutan tenaga kerja oleh BUMN. Upaya untuk membangkitkan perekonomian lokal dapat
dicapai dengan jalan mengikut-sertakan masyarakat sebagai mitra kerja dalam mendukung
kelancaran proses kegiatan usaha. Hal ini sejalan dengan kebijakan pemerintah untuk
memberdayakan usaha kecil, menengah dan koperasi yang berada di sekitar lokasi BUMN.
Namun dalam kurun waktu 50 tahun semenjak BUMN dibentuk, BUMN secara umum belum
menunjukkan kinerja yang menggembirakan. Perolehan laba yang dihasilkan masih sangat
rendah. Sementara itu, saat ini Pemerintah Indonesia masih harus berjuang untuk melunasi
pinjaman luar negeri yang disebabkan oleh krisis ekonomi tahun 1997 lalu. Dan salah satu upaya
yang ditempuh pemerintah untuk dapat meningkatkan pendapatannya adalah dengan melakukan
privatisasi BUMN.
Maka dari itu privatisasi BUMN telah mengundang pro dan kontra di kalangan
masyarakat. Sebagian masyarakat berpendapat bahwa BUMN adalah aset negara yang harus
tetap dipertahankan kepemilikannya oleh pemerintah, walaupun tidak mendatangkan manfaat
karena terus merugi. Namun ada pula kalangan masyarakat yang berpendapat bahwa pemerintah
tidak perlu sepenuhnya memiliki BUMN, yang penting BUMN tersebut dapat mendatangkan
manfaat yang lebih baik bagi negara dan masyarakat Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka masalah yang akan dibahas di
dalam makalah ini adalah :
1. Bagaimanakah gambaran konsep privatisasi BUMN di Indonesia ?
2. Bagaimanakah perkembangan Privatisasi BUMN di Indonesia?
3. Bagaimana dampak privatisasi BUMN terhadap perekonomian di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
A. KONSEP PRIVATISASI BUMN DI INDONESIA
1. Pengertian Privatisasi
Terdapat banyak definisi yang diberikan oleh para pakar berkenaan dengan istilah privatisasi.
Beberapa pakar bahkan mendefinisi privatisasi dalam arti luas, seperti J.A. Kay dan D.J.
Thomson sebagai “…means of changing relationship between the government and private
sector”. Mereka mendefinisikan privatisasi sebagai cara untuk mengubah hubungan antara
pemerintah dan sektor swasta.[1]
Sedangkan pengertian privatisasi dalam arti yang lebih sempit
dikemukakan oleh C. Pas, B. Lowes, dan L. Davies yang mengertikan privatisasi sebagai
denasionalisasi suatu industri, mengubahnya dari kepemilikan pemerintah menjadi kepemilikan
swasta.[2]
Istilah privatisasi sering diartikan sebagai pemindahan kepemilikan industri dari pemerintah ke
sektor swasta yang berimplikasi kepada dominasi kepemilikan saham akan berpindah ke
pemegang saham swasta. Privatisasi adalah suatu terminologi yang mencakup perubahan
hubungan antara pemerintah dengan sektor swasta, dimana perubahan yang paling signifikan
adalah adanya disnasionalisasi penjualan kepemilikan publik.
Dari berbagai definisi di atas, dapat diperoleh pengertian bahwa privatisasi adalah pengalihan
aset yang sebelumnya dikuasai oleh negara menjadi milik swasta. Pengertian ini sesuai dengan
yang termaktub dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN, yaitu penjualan
saham persero, baik sebagian maupun seluruhnya, kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan
kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta
memperluas pemilikan saham oleh masyarakat.
2. Tujuan Privatisasi
Pada dasarnya kebijakan privatisasi ditujukan untuk berbagai aspek harapan, dilihat dari aspek
keuangan, pembenahan internal manajemen (jasa dan organisasi), ekonomi dan politik.[5]
Dari
segi keuangan, privatisasi ditujukan untuk meningkatkan penghasilan pemerintah terutama
berkaitan dengan tingkat perpajakan dan pengeluaran publik; mendorong keuangan swasta untuk
ditempatkan dalam investasi publik dalam skema infrastruktur utama; menghapus jasa-jasa dari
kontrol keuangan sektor publik. Tujuan privatisasi dari sisi pembenahan internal manajemen
(jasa dan organisasi) yaitu[6]
:
1. Meningkatkan efisiensi dan produktivitas;
2. Mengurangi peran negara dalam pembuatan keputusan;
3. Mendorong penetapan harga komersial, organisasi yang berorientasi pada keuntungan dan
perilaku bisnis yang menguntungkan;
4. Meningkatkan pilihan bagi konsumen.
Dari sisi ekonomi, tujuan privatisasi yaitu :
1. Memperluas kekuatan pasar dan meningkatkan persaingan;
2. Mengurangi ukuran sektor publik dan membuka pasar baru untuk modal swasta.
Tujuan dari segi politik yaitu :
1. Mengendalikan kekuatan asosiasi/perkumpulan bidang usaha bisnis tertentu dan
memperbaiki pasar tenaga kerja agar lebih fleksibel;
2. Mendorong kepemilikan saham untuk individu dan karyawan serta memperluas kepemilikan
kekayaan;
3. Memperoleh dukungan politik dengan memenuhi permintaan industri dan menciptakan
kesempatan lebih banyak akumulasi modal spekulasi;
4. Meningkatkan kemandirian dan individualisme.
Adapun tujuan pelaksanaan privatisasi sebagaimana tercantum dalam Pasal 74 Undang-undang
Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN adalah meningkatkan kinerja dan nilai tambah
perusahaan serta meningkatkan peran serta masyarakat dalam pemilikan saham Persero.
Penerbitan peraturan perundangan tentang BUMN dimaksudkan untuk memperjelas landasan
hukum dan menjadi pedoman bagi berbagai pemangku kepentingan yang terkait serta sekaligus
merupakan upaya untuk meningkatkan kinerja dan produktivitas BUMN. Privatisasi bukan
semata-mata kebijakan final, namun merupakan suatu metode regulasi untuk mengatur aktivitas
ekonomi sesuai mekanisme pasar. Kebijakan privatisasi dianggap dapat membantu pemerintah
dalam menopang penerimaan negara dan menutupi defisit APBN sekaligus menjadikan BUMN
lebih efisien dan profitable dengan melibatkan pihak swasta di dalam pengelolaannya sehingga
membuka pintu bagi persaingan yang sehat dalam perekonomian.
3. Metode Privatisasi
Ada beberapa metode yang digunakan oleh suatu negara untuk memprivatisasi BUMN,
diantaranya adalah[9]
:
1. Penawaran saham BUMN kepada umum (public offering of shares). Penawaran ini dapat
dilakukan secara parsial maupun secara penuh. Di dalam transaksi ini, pemerintah menjual
sebagian atau seluruh saham kepemilikannya atas BUMN yang diasumsikan akan tetap
beroperasi dan menjadi perusahaan publik. Seandainya pemerintah hanya menjual sebagian
sahamnya, maka status BUMN itu berubah menjadi perusahaan patungan pemerintah dan
swasta. Pendekatan semacam ini dilakukan oleh pemerintah agar mereka masih dapat
mengawasi keadaan manajemen BUMN patungan tersebut sebelum kelak diserahkan
sepenuhnya kepada swasta.
2. Penjualan saham BUMN kepada pihak swasta tertentu (private sale of share). Di dalam
transaksi ini, pemerintah menjual seluruh ataupun sebagian saham kepemilikannya di
BUMN kepada pembeli tunggal yang telah diidentifikasikan atau kepada pembeli dalam
bentuk kelompok tertentu. Privatisasi dapat dilakukan penuh atau secara sebagian dengan
kepemilikan campuran. Transaksinya dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, seperti
akuisisi langsung oleh perusahaan lain atau ditawarkan kepada kelompok tertentu. Cara ini
juga sering disebut sebagai penjualan strategis (strategic sale) dan pembelinya disebut
invenstor strategis.
3. Penjualan BUMN kepada swasta (sale of government organization state-owned
enterprise assets). Pada metode ini, pada dasarnya transaksi adalah penjualan aktiva, bukan
penjualan perusahaan dalam keadaan tetap beroperasi. Biasanya jika tujuannya adalah untuk
memisahkan aktiva untuk kegiatan tertentu, penjualan aktiva secara terpisah hanya alat
untuk penjualan perusahaan secara keseluruhan.
4. Penambahan investasi baru dari sektor swasta ke dalam BUMN (new private
investment in an state-owned enterprise assets). Pada metode ini, pemerintah dapat
menambah modal pada BUMN untuk keperluan rehabilitasi atau ekspansi dengan
memberikan kesempatan kepada sektor swasta untuk menambah modal. Dalam metode ini,
pemerintah sama sekali tidak melepas kepemilikannya, tetapi dengan tambahan modal
swasta, maka kepemilikan pemerintah mengalami dilusi (pengikisan). Dengan demikian,
BUMN itu berubah menjadi perusahaan patungan swasta dengan pemerintah. Apabila
pemilik saham mayoritasnya adalah swasta, maka BUMN itu telah berubah statusnya
menjadi milik swasta.
5. Pembelian BUMN oleh manajemen atau karyawan (management/employee buy
out). Metode ini dilakukan dengan memberikan hak kepada manajemen atau karyawan
perusahaan untuk mengambil alih kekuasaan atau pengendalian perusahaan. Keadaan ini
biasanya terkait dengan perusahaan yang semestinya dapat efektif dikelola oleh sebuah
manjemen, namun karena campur tangan pemerintah membuat kinerja tidak optimal.
Dari beberapa cara tersebut, UU Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN di dalam pasal 78 hanya
membolehkan tiga cara dalam privatisasi yakni :
1. Penjualan saham berdasarkan ketentuan pasar modal.
2. Penjualan saham langsung kepada investor.
3. Penjualan saham kepada manajemen dan/atau karyawan yang bersangkutan.
Alasan-Alasan Yang Mendukung Privatisasi
a. Peningkatan efisiensi, kinerja dan produktivitas perusahaan yang diprivatisasi
BUMN sering dilihat sebagai sosok unit pekerja yang tidak efisien, boros, tidak professional
dengan kinerja yang tidak optimal, dan penilaian-penilaian negatif lainnya. Beberapa faktor yang
sering dianggap sebagai penyebabnya adalah kurangnya atau bahkan tidak adanya persaingan di
pasar produk sebagai akibat proteksi pemerintah atau hak monopoli yang dimiliki oleh BUMN.
tidak adanya persaingan ini mengakibatkan rendahnya efisiensi BUMN.
Hal ini akan berbeda jika perusahaan itu diprivatisasi dan pada saat yang bersamaan didukung
dengan peningkatan persaingan efektif di sektor yang bersangkutan, semisal meniadakan
proteksi perusahaan yang diprivatisasi. Dengan adanya disiplin persaingan pasar akan memaksa
perusahaan untuk lebih efisien. Pembebasan kendali dari pemerintah juga memungkinkan
perusahaan tersebut lebih kompetitif untuk menghasilkan produk dan jasa bahkan dengan
kualitas yang lebih baik dan sesuai dengan konsumen. Selanjutnya akan membuat penggunaan
sumber daya lebih efisien dan meningkatkan output ekonomi secara keseluruhan.
b. Mendorong perkembangan pasar modal
Privatisasi yang berarti menjual perusahaan negara kepada swasta dapat membantu terciptanya
perluasan kepemilikan saham, sehingga diharapkan akan berimplikasi pada perbaikan distribusi
pendapatan dan kesejahteraan masyarakat.[12]
Privatisasi juga dapat mendorong perusahaan baru
yang masuk ke pasar modal dan reksadana. Selain itu, privatisasi BUMN dan infrastruktur
ekonomi dapat mengurangi defisit dan tekanan inflasi yang selanjutnya mendukung
perkembangan pasar modal.
c. Meningkatkan pendapatan baru bagi pemerintah
Secara umum, privatisasi dapat mendatangkan pemasukan bagi pemerintah yang berasal dari
penjualan saham BUMN. Selain itu, privatisasi dapat mengurangi subsidi pemerintah yang
ditujukan kepada BUMN yang bersangkutan. Juga dapat meningkatkan penerimaan pajak dari
perusahaan yang beroperasi lebih produktif dengan laba yang lebih tinggi. Dengan demikian,
privatisasi dapat menolong untuk menjaga keseimbangan anggaran pemerintah sekaligus
mengatasi tekanan inflasi.
B. Perkembangan Privatisasi BUMN di Indonesia
Konsekuensi terburuk dari adanya privatisasi adalah pergeseran monopoli milik
negara yang tidak responsif dengan monopoli swasta yang lebih responsif terhadap lingkungan.
Sejak tahun 1988, pemerintah mulai memberlakukan privatisasi secara bertahap yakni dengan
dikeluarkannya Inpres No. 5 (Oktober 1988), tiga keputusan menteri keuangan (740 / KMK.00 /
1989; 741 / KMK.99 / 1989; 1232 / KMK.013 / 1989), dan Surat Edaran S-648 / MK013 / 1990.
Dimulai dengan menetapkan standar kesehatan BUMN yang mencangkup profitabilitas,
likuiditas, dan solvabitilas untuk merangking 212 BUMN saat itu dengan kategori: sangat sehat,
sehat, kurang sehat, dan tidak sehat. Kriteria tersebut juga dijadikan sebagai kriteria untuk
menentukan pilihan restrukturisasi BUMN, yaitu: mengubah status hukum, menjual saham di
bursa saham, penggantian saham secara langsung, konsolidasi dan merger, menjual perusahaan
kepada pihak ketiga, melakukan patungan, atau likuidasi.
Di era Soeharto, terdapat kecenderungan antara direksi dan karyawan BUMN yang
cenderung berlomba mengubah status perusahaannya menjadi persero. Sejak tahun 1998,
privatisasi merupakan bagian integral dari Letter of Intent (Lol) dan paket stuctural adjustment
program yang merupakan kesepakatan pemerintah dan IMF. Dalam prakteknya, dapat
digolongkan dalam dua gelombang privatisasi (Abeng, 2001).
Gelombang pertama privatisasi berjalan lambat, yakni tidak mudahnya menjual BUMN.
Hal ini dikarenakan empat alasan: pertama, karena investor asing dan investor dalam negeri
menarik investasi mereka dari Indonesia dan memindahkannya ke luar negeri. Kedua,
kurangnya kesempatan untuk mempromosikan program privatisasi ke luar negeri akibat beban
kerja yang harus ditanggung meneg BUMN beserta deputinya dalam menyusun kementrian baru
dan melaksanakan program reformasi. Ketiga, adanya resistensi terhadap privatisasi dari para
manajer dan kelompok – kelompok kepentingan yang ingin terus menginginkan kontrol negara
atas BUMN yang hendak diprivatisasi. Keempat, para lawan politik Presiden Habibie
memanfaatkan isu privatisasi sebagai alat politik untuk menjatuhkan legitimasi terhadap
pemerintahannya serta memperkuat posisi politik mereka untuk kepentingan pemilu.Pada
akhirnya program privatisasi dilakukan melalui penjualan lewat mitra stratejik (strategic partner)
dibanding lewat penawaran publik melalui bursa saham. Ini bisa dimengerti karena: pertama,
pasar modal baru mengalami depresi akibat krisis moneter. Kedua, penjualan lewat mitra
stratejik dianggap lebih bagus daripada penawaran publik terutama dalam memperbaiki
manajemen BUMN ataupun peningkatan akses mereka terhadap pasar dan teknologi.
Selama tahun 1989-1993 ternyata baru tujuh BUMN yang telah diprivatisasi. Jumlah ini lima
buah lebih sedikit dari pada BUMN baru yang didirikan dalam periode yang sama, dan 45 lebih
dari pada yang pernah dinyatakan oleh menteri keuangan akan di privatisasi setelah 1989.
Jumlah saham yang di jual ke investor swasta juga masih relative kecil Dari enam BUMN yang
diprivatisasi melalui pasar modal antara tahun 1991 sampai 1997, sebagaian besar kepemilikan
saham BUMN masih dikuasai oleh pemerintah (lihat table 16.1). Pemerintah hanya menjual
sahamnya yang berkisar antara 25% sampai 35%. Namun, berbeda dengan era Soeharto,
pelaksanaan privatisasi sejak krismon 1998 amat berbeda tujuannya. Di era Soeharto, kendati
pelaksanaanya jauh dari kontrovesi. Bahkan ada kecenderungan direksi dan karyawan BUMN
cenderung berlomba mengubah status perusahaannya menjadi persero. Sejak 1998, privatisasi
merupakan bagian integral dari Letter of Intent(Lol). Berikut salah satu contoh gambaran tentang
perkembangan privatisasi BUMN di era pak soeharto:
TATTTR Privartisasi BUMN, 1991-97
Perusahaan
Tanggal Listing
Presentase
Saham yang
dimilki public
(akhir 1997)
Total Hasil
penjualan
(US$ juta)
Hasil yang
diterima oleh
pemerintah
(US$ juta)
PT Semen Gresik Juli 1991 35 200 55
PT Indosat Oktober 1994 35 1.162 830
PT Tambang
Timah
Oktober 1995 35 224 160
PT Telkom November 1995 35 2.200 1.360
PT Bank Negara
Indonesia
November 1996 25 386 0
PT Aneka
Tambang
November 1997 35 169 0
C. Dampak Privatisasi BUMN di Indonesia
Dampak kebijakan privatisasi BUMN jelas terlihat pada perubahan kebijakan pemerintah dan
kontrol regulasi. Dimana dapat dikatakan sebagai sarana transisi menuju pasar bebas, aktivitas
ekonomi akan lebih terbuka menuju kekuatan pasar yang lebih kompetitif, dengan adanya
jaminan tidak ada hambatan dalam kompetisi, baik berupa aturan, regulasi maupun subsidi.
Kebijakan privatisasi dikaitkan dengan kebijakan eksternal yang penting seperti tarif, tingkat
nilai tukar, dan regulasi bagi investor asing. Juga menyangkut kebijakan domestik, antara lain
keadaan pasar keuangan, termasuk akses modal, penerapan pajak dan regulasi yang adil, dan
kepastian hukum serta arbitrase untuk mengantisipasi kemungkinan munculnya kasus
perselisihan bisnis.
Dampak lain yang sering dirasakan dari kebijakan privatisasi yaitu menyebarnya kepemilikan
pemerintah kepada swasta, mengurangi sentralisasi kepemilikan pada suatu kelompok atau
konglomerat tertentu. Sebagai sarana transisi menuju pasar bebas, aktivitas ekonomi akan lebih
TABEL 16.1
terbuka menuju kekuatan pasar yang lebih kompetitif, dengan jaminan tidak ada hambatan dalam
kompetisi, baik berupa aturan, regulasi maupun subsidi. Untuk itu diperlukan perombakan
hambatan masuk pasar dan adopsi sebuah kebijakan yang dapat membantu perkembangan dan
menarik investasi swasta dengan memindahkan efek keruwetan dari kepemilikan pemerintah.
Seharusnya program privatisasi ditekankan pada manfaat transformasi suatu monopoli publik
menjadi milik swasta. Hal ini terbatas pada keuntungan ekonomi dan politik. Dengan pengalihan
kepemilikan, salah satu alternatif yaitu dengan pelepasan saham kepada rakyat dan karyawan
BUMN yang bersangkutan dapat ikut melakukan kontrol dan lebih memotivasi kerja para
karyawan karena merasa ikut memilki dan lebih semangat untuk berpartisipasi dalam rangka
meningkatkan kinerja BUMN yang sehat. Hal ini dapat berdampak pada peningkatan
produktivitas karyawan yang berujung pada kenaikan keuntungan.
Privatisasi BUMN di Indonesia mulai dicanangkan pemerintah sejak tahun 1980-an. BUMN-
BUMN yang telah diprivatisasi seperti PT. Telkom (Persero) Tbk., PT. Perusahaan Gas Negara
(Persero) Tbk., PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk., PT. Bank BNI 46 (Persero) Tbk., PT. Indosat
(Persero) Tbk., PT. Aneka Tambang (Persero) Tbk., dan PT. Semen Gresik (Persero) Tbk.,
ternyata mampu membrikan kontribusi yang signifikan terhadap likuiditas dan pergerakan pasar
modal.[16]
Kondisi ini membuat semakin kuatnya dorongan untuk melakukan privatisasi secara
lebih luas kepada BUMN-BUMN lainnya. Namun demikian, diketahui pula bahwa terdapat
beberapa BUMN yang tidak menunjukkan perbaikan kinerja terutama 2-3 tahun pertama setelah
diprivatisasi, misalkan pada PT. Indofarma (Persero) Tbk. dan PT. Kimia Farma (Persero) Tbk.
Dimana target privatisasi BUMN masih belum tercapai sepenuhnya[17]
.
Selain itu, metode privatisasi yang dilakukan pemerintah pun kebanyakan masih berbentuk
penjualan saham kepada pihak swasta. Hal ini menyebabkan uang yang diperoleh dari hasil
penjualan saham-saham BUMN tersebut masuk ke tangan pemerintah, bukannya masuk ke
dalam BUMN untuk digunakan sebagai tambahan pendanaan dalam rangka mengembangkan
usahanya.
Bagi pemerintah hal ini berdampak cukup menguntungkan, karena pemerintah memperoleh
pendapatan penjualan sahamnya, namun sebenarnya bagi BUMN hal ini agak kurang
menguntungkan, karena dengan kepemilikan baru, tentunya mereka dituntut untuk melakukan
berbagai perubahan. Namun, perubahan tersebut kurang diimbangi tambahan dana segar yang
cukup, sebagian besar hanya berasal dari kegiatan-kegiatan operasionalnya terdahulu yang
sebenarnya didapatnya dengan kurang efisien.
Dari segi politis, masih banyak pihak yang kontra terhadap kebijakan privatisasi saham kepada
pihak asing ini. Pasalnya, kebijakan ini dinilai tidak sesuai dengan prinsip-prinsip nasionalisme.
Privatisasi kepada pihak asing dinilai akan menyebabkan terbangnya keuntungan BUMN kepada
pihak asing, bukannya kembali kepada rakyat Indonesia.
2. Kondisi Ideal Untuk Melakukan Privatisasi di Indonesia
Berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 ayat (1), maka sistem ekonomi yang dianut Indonesia adalah
sistem ekonomi yang berdasar atas asas kekeluargaan. Konsep sistem ekonomi yang demikian di
Indonesia disebut sebagai konsep Demokrasi Ekonomi. Mubyarto menyebutkan bahwa dalam
konsep demokrasi ekonomi, sistem ekonomi tidak diatur oleh negara melalui perencanaan sentral
(sosialisme), akan tetapi dilaksanakan oleh, dari, dan untuk rakyat.Demokrasi ekonomi
mengutamakan terwujudnya kemakmuran masyarakat (bersama) bukan kemakmuran individu-
individu. Demokrasi ekonomi mengartikan masyarakat harus ikut dalam seluruh proses produksi
dan turut menikmati hasil-hasil produksi yang dijalankan di Indonesia.
Mengacu pada Pasal 33 UUD 1945, tersirat bahwa poin utama dari perekonomian Indonesia
adalah kesejahteraan rakyat. Di sinilah peran demokrasi ekonomi, yaitu sebagai pemandu
pengelolaan BUMN agar dapat memaksimalkan kesejahteraan rakyat. BUMN harus dapat
beroperasi dengan efektif dan efisien, sehingga dapat menyediakan produk-produk vital yang
berkualitas dengan harga yang terjangkau bagi rakyat. Selain itu, BUMN juga harus berupaya
memperbaiki profitabilitasnya, sehingga dapat diandalkan sebagai sumber pendanaan utama bagi
pemerintah, terutama untuk mendanai defisit anggarannya. Hal ini akan sangat berpengaruh pada
kesejahteraan rakyat, karena BUMN tidak lain adalah pengelola sumber daya yang vital bagi
hajat hidup rakyat banyak, sehingga tentu akan sangat merugikan rakyat jika BUMN jatuh
bangrut atau pailit.
Praktik privatisasi BUMN yang belakangan marak dilakukan oleh pemerintah Indonesia
dianggap sebagai jalan keluar yang paling baik untuk melaksanakan amanat demokrasi ekonomi
untuk menyehatkan BUMN-BUMN di Indonesia dalam rangka peningkatan dan pemerataan
kesejahteraan rakyat. Pada beberapa BUMN, ada yang diprivatisasi oleh pihak asing, bahkan
dalam jumlah kepemilikan saham yang cukup signfikan.[19]
Privatisasi BUMN kepada pihak
asing ini dinilai “menggadaikan” nasionalisme Indonesia. Selain itu, BUMN tidak lain adalah
pihak yang diberikan wewenang khusus untuk mengelola sumber daya vital yang meemgang
hajat hidup orang banyak. Menurut Pasal 33 UUD 1945, sumber daya yang seperti demikian itu
harus dikelola oleh negara.
Dilihat dari sudut pandang Pasal 33 UUD 1945, tampak bahwa sebenarnya privatisasi BUMN
kepada pihak asing agak kontradiktif dengan jiwa pasal ini. Pihak asing yang bersangkutan jelas
bertindak atas nama swasta yang tentu saja bertindak dengan didorong oleh maksud dan motif
hanya untuk mencari keuntungan yang maksimal. Jika demikian yang terjadi, BUMN yang
diprivatisasi kepada pihak asing hanya akan menjadi keuntungan bagi pihak asing, sehingga
dapat dikatakan manfaatnya akan berpindah kepada pihak asing, bukannya ke rakyat Indonesia.
Diantara sekian banyak alternatif metode privatisasi, yang paling sering digunakan antara lain
adalah penawaran saham BUMN kepada umum (public offering of shares) yaitu privatisasi
dengan melakukan penjualan saham kepada pihak swasta melalui pasar modal, penjualan saham
BUMN kepada pihak swasta tertentu (private sale of share) yaitu penjualan saham BUMN
kepada satu atau sekelompok investor swasta, dan melalui pembelian BUMN oleh manajemen
atau karyawan (management/employee buy out) yaitu penjualan saham BUMN kepada pihak
karyawan atau manajemen BUMN.
Pilihan model privatisasi mana yang sesuai dengan iklim perekonomian, politik dan sosial
budaya Indonesia haruslah mempertimbangkan faktor-faktor seperti:
1. Ukuran nilai privatisasi ;
2. Kondisi kesehatan keuangan tiga tahun terakhir ;
3. Waktu yang tersedia bagi BUMN untuk melakukan privatisasi ;
4. Kondisi pasar ;
5. Status perusahaan, apakah telah go public atau belum ; dan
6. Rencana jangka panjang masing-masing BUMN.
Diantara tiga metode privatisasi BUMN yang sering digunakan seperti yang telah dikemukakan
di atas, yang dianggap relatif sesuai dengan kondisi BUMN dewasa ini adalah penawaran saham
BUMN kepada umum dan pembelian BUMN oleh manajemen atau karyawan. Pasalnya, dengan
metode penjualan saham BUMN kepada pihak swasta tertentu berarti akan ada pemusatan
kepemilikan pada satu atau sekelompok pihak swasta saja. Hal ini kurang sesuai dengan jiwa
demokrasi ekonomi yang menghendaki pemerataan kesejahteraaan. Selain itu, pemusatan
kepemilikan pada satu atau sekelompok pihak atas BUMN akan sangat berbahaya jika pihak
yang bersangkutan mengeksploitisir BUMN untuk kepentingan keuntungan semata.
Dengan penawaran saham BUMN kepada umum, maka kepemilikan BUMN akan jatuh ke
tangan rakyat. Hal ini sesuai dengan jiwa demokrasi ekonomi. Karena dengan demikian, maka
akan dapat dicapai pemerataan kesejahteraan kepada rakyat Indonesia melalui pemerataan saham
pada publik. Sedangkan dengan pembelian BUMN oleh manajemen atau karyawan, pemerataan
pun dapat dicapai. Akan tetapi, pemerataan kepemilikan hanya akan terjadi pada karyawan dan
manajemen BUMN. Namun cara ini masih dianggap lebih baik daripada kepemilikan BUMN
jatuh ke tangan pihak asing.
Selama ini, praktik privatisasi yang dilakukan di Indonesia masih dianggap kurang optimal.
Idealnya, sebelum diprivatisasi, BUMN yang kurang sehat sebaiknya direstrukturisasi terlebih
dahulu, sehinga pasca privatisasi nanti, kinerja BUMN yang bersangkutan dapat mengalami
peningkatan.
Landasan hukum privatisasi juga hrus kuat, sehingga saat sebuah BUMN diprivatisasi, tidak ada
lagi kontroversi yang sifatnya merugikan. Sedangkan dari segi politis, harus ada kesepahaman
antara segenap rakyat, pemerintah dan para pengambil kebijakan publik, sehingga semuanya
sepakat bahwa privatisasi akan membawa dampak positif bagi kesejahteraan rakyat, sehingga
kebijakan privatisasi pun didukung oleh semua pihak.
Pelaksanaan privatisasi yang belum optimal ini harus segera ditindak lanjuti. Karena sebenarnya,
kebijakan ini sangat terkait dengan kebijakan publik pemerintah yang notabene akan menentukan
nasib rakyat Indonesia. Padahal, jika program ini dilaksanakan dengan baik, maka akan mampu
membawa dampak positif bagi semua pihak. Bagi BUMN itu sendiri, akan tercapai efisiensi dan
perbaikan kinerja manejemen. Bagi pemerintah, privatisasi BUMN yang optimal akan sangat
membantu dalam mendanai defisit anggaran negara, sehingga pemerintah dapat meminimalkan
pinjaman luar negeri. Akhirnya bagi rakyat Indonesia, keberhasilan privatisasi BUMN akan
memperbaiki dan meningkatkan kesejahteraan rakyat karena BUMN sebagai pengelola bidang-
bidang usaha vital dapat lebih memanfaatkan sumber daya vital tersebut untuk sebaik-baik
kemakmuran rakyat seperti yang tercantum dalam Pasal 33 UUD 1945.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Privatisasi itu adalah suatu terminologi yang mencakup perubahan hubungan antara
pemerintah dengan sektor swasta, dimana perubahan yang paling signifikan adalah
adanya disnasionalisasi penjualan kepemilikan publik. Di dalam BUMN sendiri sering
dilihat sebagai sosok unit pekerja yang tidak efisien, boros, tidak professional dengan
kinerja yang tidak optimal, dan penilaian-penilaian negatif lainnya. Beberapa faktor yang
sering dianggap sebagai penyebabnya adalah kurangnya atau bahkan tidak adanya
persaingan di pasar produk sebagai akibat proteksi pemerintah atau hak monopoli yang
dimiliki oleh BUMN. Dari berbagai definisi di atas, dapat diperoleh pengertian bahwa
privatisasi adalah pengalihan aset yang sebelumnya dikuasai oleh negara menjadi milik
swasta, padahal hal tersebut bisa di atasi dengan melihat kondisi yang ideal di Indonesia
untuk melakukan privatisasi tanpa merugikan Negara tersebut.
B. Saran
Saran yang dapat penulis berikan ialah Pemerintah dalam hal ini Menteri Negara BUMN,
seyogyanya mempersiapkan diri dalam rangka pergeseran peran dari penentu kebijakan dan
pelaksana kegiatan di BUMN menjadi fasilitator dan regulator kegiatan BUMN. Dengan
adanya privatisasi diharapkan BUMN akan mampu beroperasi secara lebih profesional
lagi. Logikanya, dengan privatisasi di atas 50%, maka kendali dan pelaksanaan kebijakan
BUMN akan bergeser dari pemerintah ke investor baru.Sebagai pemegang saham terbesar,
investor baru tentu akan berupaya untuk bekerja secara efisien, sehingga mampu
menciptakan laba yang optimal, mampu menyerap tenaga kerja yang lebih banyak, serta
mampu memberikan kontribusi yang lebih baik kepada pemerintah melalui pembayaran
pajak dan pembagian dividen. Satu hal yang tidak kalah pentingnya, privatisasi BUMN
diharapkan dapat menutup defisit APBN. Hal ini berarti bahwa harga saham dan waktu
merupakan dua variabel yang perlu mendapatkan perhatian besar dalam proses privatisasi
BUMN. Harga saham harus diperhatikan dalam kaitannya untuk mengejar target perolehan dana
dalam rangka menutup defisit APBN, namun di sisi lain terdapat kendala waktu, di mana
privatisasi harus segera dilaksanakan.
DAFTAR KUTIPAN
1. Rahmat S.Labib, Privatisasi Dalam Pandangan Islam, hal.21, dikutip dari M.Roy Sembel,
Strategi Privatisasi di Indonesia, hal.50
2. Indra Bastian, Privatisasi di Indonesia : Teori dan Implemantasi, hal.20
3. Dewi Hanggraeni, Apakah Privatisasi BUMN Solusi yang Tepat Dalam Meningkatkan
Kinerja ?, Artikel dalam Manajemen Usahawan Indonesia No.6 Tahun 2009, hal.27
4. UU 19 Tahun 2003 Tentang BUMN, Pasal 1 ayat (2)
5. Dewi Hanggraeni, op.ci