Upload
luckhereafter
View
924
Download
6
Embed Size (px)
DESCRIPTION
dat
Citation preview
IRWNS 2013
i
Diterbitkan oleh :
Politeknik Negeri Bandung
Penulis dalam proceeding ini telah menandatangani pernyataan orisinilitas karya tulis. Penerbit dan
Panitia Industrial Research Workshop and National Seminar (IRWNS) 2013, tidak bertanggungjawab
atas kebenaran materi dan akibat yang ditimbulkan dari penggunaan materi dalam proceeding ini.
Kutipan, penggunaan, dan penerbitan sebagian maupun keseluruhan dari paper dalam proceeding ini
harus seijin penulis.
Hak Cipta © Politeknik Negeri Bandung
2013
IRWNS 2013
ii
KATA PENGANTAR
Perkembangan sosial, ekonomi, dan teknologi pada tataran lokal, nasional, dan global menuntut
semua pihak baik kalangan bisnis/industri, pemerintah, dunia pendidikan, maupun masyarakat
pada umumnya untuk mampu melakukan pembangunan disegala aspek kehidupan secara
berkelanjutan. Untuk mendukung keberhasilan pembangunan yang berkelanjutan tersebut, riset
terapan disegala bidang keilmuan memegang peranan penting sebagai faktor pendorong
keberhasilan pembangunan. Dengan latar belakang tersebut, kegiatan tahunan Industrial
Research Workshop and National Seminar (IRWNS) yang saat ini dilakukan mengambil tema
“Riset terapan untuk pembangunan berkelanjutan: Kemajuan, peluang, dan tantangan”.
Kegiatan IRWNS yang diselenggarakan oleh Politeknik Negeri Bandung ini meru pakan forum
yang dirancang untuk mendiseminasikan hasil-hasil riset terapan serta hasil-hasil pemikiran
dibidang rekayasa maupun non rekayasa yang dilakukan oleh para peneliti di lingkungan
perguruan tinggi, instansi penelitian, maupun kalangan bisnis dan industri. Melalui kegiatan
seminar ini diharapkan terjadi saling bertukar informasi, pengetahuan, dan pengalaman antara
para peneliti yang pada akhirya diharapkan akan mampu mendorong perkembangan
pengetahuan, teknologi, dan invoasi disegala bidang yang sangat dibutuhkan bagi
pembangunan yang berkelanjutan. Dalam kegiatan IRWNS 2013 kali ini, dipresentasikan 49
makalah dari berbagai cabang keilmuan.
Dengan terselengarakanya kegiatan IRWNS 2013 ini penyelenggara menyampaikan terima
kasih kepada para pembicara utama yang telah bersedia meluangkan waktu dalam
mempresentasikan makalah, berbagi dan bertukar pikiran serta memberikan inspirasi dan arah
riset terapan di masa mendatang. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan juga kepada
seluruh peserta yang berperan aktif dalam diskusi dan interaksi selama seminar. Terima kasih
dan rasa bangga kami ucapkan juga bagi para pengarah, penelaah makalah dari beberapa
perguruan tinggi, serta panitia yang telah memberikan waktu dan tenaganya demi keberhasilan
kegiatan seminar ini.
Bandung, 15 November 2013
Ketua IRWNS 2013,
Dwi Suhartanto, PhD.
IRWNS 2013
iii
Tim Penelaah :
1 A. Gima Sugiama, Dr. Politeknik Negeri Bandung
2 Ananda Sabil Husein, PhD. Universitas Brawijaya
3 Carolus Bintoro, Dr. Politeknik Negeri Bandung
4 Ciptadi, Prof. Dr. Universitas Palangkaraya
5 Conny K. Wachjoe, PhD. Politeknik Negeri Bandung
6 Dwi Suhartanto, PhD. Politeknik Negeri Bandung
7 Ediana Sutjiredjeki, Dr. Politeknik Negeri Bandung
8 Herawati Budiastuti, PhD. Politeknik Negeri Bandung
9 I Putu Astawa, Dr. Politeknik Negeri Bali
10 Ismet P. Ilyas, Dr. Politeknik Manufaktur Bandung
11 Kastam Astami, Dr. Institut Teknologi Bandung
12 Marimin, Prof. Dr. Institut Pertanian Bogor
13 Mei Sutrisno, PhD. Politeknik Negeri Bandung
14 Muhammad Muflih, Dr. Politeknik Negeri Bandung
15 Transmissia Semiawan, PhD. Politeknik Negeri Bandung
16 Vanessa Gaffar, Dr. Universitas Pendidikan Indonesia
17 Yuliadi Erdani, Dr. Ing. Politeknik Manufaktur Bandung
IRWNS 2013
iv
Susunan Panitia
Pengarah : Mei Sutrisno, PhD. (Direktur Politeknik Negeri Bandung)
Haryadi, PhD. (Pembantu Direktur I)
Rachmad Imbang Tritjahjono, Dr. (Pembantu Direktur IV)
Ediana Sutjiredjeki, Dr. (Kepala UPPM)
Penanggungjawab : Maria Fransisca Soetanto, Dr., Dipl. Ing.
Nani Yuningsih, S.Si., M.Si
Ketua Pelaksana : Dwi Suhartanto, PhD.
Wakil Ketua : Eko Andrijanto, LRSC.
Sekretaris : Ervin Masita Dewi , ST., MT
Anggota : Katharina Priyatiningsih, Dra., M.Si.
Tina Mulya Gantina, Dra., MT.
Kun Lestiowati Hadiningrum, Dra., M.Si.
Ira Novianty, SE., M.Si., Ak.
Adila Sosianika, SE., MAIMM.
Ase Sulaeman
Rr. Sri Susilo Windarti, S.Pd
Tusijati
Yuniarti Surtiasih, A.Md
Dewi Indah Senja Sari, A.Md.
Megi Donni Daradjat, ST.
Andria Septianis AE, A.Md
Sri Mulyani
IRWNS 2013
v
Jadwal Seminar IRWNS
20 November 2013
Conference Room Gedung P2T Lt.3, Politeknik Negeri Bandung
07.30-08.00 Registrasi
08.00-08.20 MC
08.20-08.35 Laporan Panitia Penyelenggara
08.35-08.50 Pembukaan Direktur
08.50-09.00 Do'a
09.00-09.30 Coffee break
09.30-10.15 Dr. Ir. Dida Heryadi Salya, M.A. (Bappenas)
10.15-11.00 A. Pandu Djajanto (Kementerian BUMN)
11.00-11.45 Dr. Arief Sugianto (PT.GMFC)
11.45-13.00 Isoma
Sesi Paralel
Dr. Muhammad
Muflih, MA
Dr. Carolus Bintoro.
Dipl.,Ing, MT
Ir. Herawati B ,
M.Eng.Sc., Ph.D
Adila Sosianika, SE.,MA
Ervin Masita, ST.,MT
Dra. Kun Lestiowati, M.Si
Conference UPT BHS JPAC-301
13.00-13.12 NE-1 E-1 E-16
13.12-13.24 NE-2 E-2 E-17
13.24-13.36 NE-3 E-3 E-18
13.36-13.48 NE-4 E-4 E-19
13.48-14.00 NE-5 E-5 E-20
14.00-14.12 NE-6 E-6 E-21
14.12-14.24 NE-7 E-7 E-22
14.24-14.36 NE-8 E-8 E-23
14.36-14.48 NE-9 E-9 E-24
14.48-15.00 NE-10 E-10 E-25
15.00-15.12 NE-11 E-11 E-26
15.12-15.24 NE-12 E-12 E-27
15.24-15.36 NE-13 E-13 E-28
15.36-15.48 NE-14 E-14 E-29
15.48-16.00 NE-15 E-15 E-30
16.00-16.12 NE-16 E-31 -
16.12-16.24 NE-17
Bergabung ke conference room 16.24-16.36 NE-18
16.36-16.48 NE-19
16.48-17.00 Penutupan
IRWNS 2013
vi
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN ISBN i
KATA PENGANTAR ii
TIM PENELAAH iii
SUSUNAN PANITIA iv
JADWAL v
DAFTAR ISI vi
Kode Judul Makalah
NE-1 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Permintaan dan Penawaran Barang
dan Jasa Kawasan Perbatasan Pula Sebatik Indonesia - Tawau, Malaysia
1-8
NE-2 Pengaruh Kualitas Sistem Informasi, Kualitas Informasi, Dan Kualitas
Pelayanan Terhadap Kepuasan Pengguna Sistem Informasi pada Bank
Umum di Bandung
9-15
NE-3 Model Perjanjian Kerja Yang Memberikan Perlindungan Hukum Bagi
Pekerja Kontrak Di Perguruan Tinggi Negeri Badan Layanan Umum
16-21
NE-4 Analisis Kebangkrutan Menggunakan Model Altman Z-Score pada
Industri Rokok yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia
21-30
NE-5 Analisis pada Layanan Learning Mangement System (Studi Kasus :
Virtual Learning Politeknik Pos Indonesia)
31-36
NE-6 AnalisisPengaruh Kredit Perbankan dan Kontribuso Sektoral Terhadap
Penciptaam Lapangan Kerja (Analisis Sektoral Proses Pembangunan
Indonesia)
37-43
NE-7 Analisis Pengaruh Neraca Pembayaran Terhadap Nilai Tukar Rupiah 44-51
NE-8 Akuntansi Forensik Dalam Proses Kepailitan Di Pengadilan Niaga Dan
Potensi Fraud Pada Perusahaan Pailit
52-58
NE-9 Analisis Industri Unggulan Kota Bandung 59-64
NE-10 Evaluasi Kinerja Stasiun Kereta Api Berdasarkan Standar Pelayanan
Minimum
65-70
NE-11 Analisis Marketing Culture Sebagai Dasar Pengembangan Kemampuan
"Bisnis" Institusi
71-77
NE-12 Makanan dan Hiburan Daerah Sebagai Atraksi Wisata Menjadi Prospek
Bisnis Untuk Meningkatkan PAD (Suatu Survey Pada Wisatawan Di
Bandung Raya)
78-82
NE-13 Analisis Sikap Mahasiswa dalam Memutuskan Memilih PTS UNIKOM
Bandung (Studi Mahasiswa UNIKOM Angkatan 2007/2008)
83-89
NE-14 Model Kompetensi Layanan Manajer Hotel Non Bintang 90-95
NE-15 Pengaruh Destination Branding Terhadap Tourist retention Pada
Wisatawan Indonesia Yang Berkunjung Ke Thailand
96-102
NE-16 Pengaruh Kualitas Pelayanan Terhadap Kepuasan Pelanggan di Bandara
Husein Sastranegara Bandung
103-109
NE-17 Penerapan Model Loyalitas Pelanggan Sebagai Strategi untuk
Membangun Daya Saing Jasa Angkutan Kota Di Jawa Barat
110-115
NE-18 Pengaruh Struktur Kepemilikan Dan Keputusan Keuangan Terhadap
Nilai Perusahaan
116-122
IRWNS 2013
vii
NE-19 Analisis Pengaruh Penerapan Self Asessment System dan Reformasi
Administrasi Perpajakan Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Badan Di Era
Pembangunan Berkelanjutan (Studi Empiris di KPP Pratama Se-Bandung
Raya)
123-128
E-1 Development of Wireless Magnetic Field Sensor Node Based on
Programmable System on Chip Microcontroller
129-135
E-2 Intelligent Driver Information Sistem Berbasis GPS 136-140
E-3 Penentuan Faktor Kalibrasi Fotodioda SP45ML Terhadap Standar CIE-
1978
141-144
E-4 Adaptive Retuning PID to Overcome Effect of Delay Change in
Networked Control Systems
145-150
E-5 Perancangan dan Implementasi Model Infrastruktur Telekomunikasi
Berbasis Teknologi Plesiochromous Digital Hirerarchy (PDH) Standar
ITU G.703
151-157
E-6 Penerapan Algorithma Row Index Data Access Matrix Pada Sistem
Perangkat Lunak Antarmuka Data Digital Perintah/Status Yang
Homogen
158-161
E-7 Jaringan Sistem Inovasi Nasional (Jasirnas) 162-165
E-8 Prototype Aplikasi Pengukuran Kinerja Unit Pengelola Politeknik 166-173
E-9 Pemrosesan Parelel Pada Model Kompulasi Dokumen Ilmiah Elektronik 174-179
E-10 Analisis Performansi Marmoset untuk Penelitian Pemograman 180-184
E-11 Pemodelan Impact Test dengan Metoda Charpy 185-188
E-12 Experimental investigation of air-water horizontal annular flow using
constant-electric current method (CECM)
189-195
E-13 Perancangan Alat Uji Impact Metode Charpy 196-199
E-14 Pengaruh Diameter Lubang Generator Vortex pada Lubang Vortex
terhadap Temperatur Udara yang Dihasilkan
200-203
E-15 Pengaruh Struktur Geologi Gunung Slamet Muda dan Tua terhadap Pola
Sebaran Panas Bumi
204-207
E-16 Evaluasi Kapasitas Sungai Citarum Hulu dengan Mengunakan Hec Ras
4.0
208-214
E-17 Penggunaan dan Percobaan Prototipe Mesin Stirling Tipe Gamma 215-219
E-18 Rancang Bangun Alat Pirolisis Sederhana dengan Redestilator untuk
Pembuatan Asap Cair dari Tempurung Kelapa
220-225
E-19 Analisa Deformasi Material 100MnCrW4 (Amutit S) pasa Dimensi dan
Media Quenching yang Berbeda
226-233
E-20 Konsep dan Preliminary Desain Turbin Aksial Temperature Rendah
untuk Siklus Rankine yang Berbeda
234-239
E-21 Suatu Konsep Biaya Pokok Penyediaan Tenaga Listrik Berdasarkan
Lokasi
240-245
E-22 Pengaruh Substitusi Biaya Lantanum (La) pada Berbagai Variasi
terhadap Material Ba1-xLaxO.6Fe2O3 dengan Proses Mixing
246-249
E-23 Pengaruh Konsentrasi Aktivator Terhadap Kadar Kalium Katalis Basa
Heterogen Tandan Kosong Kelapa Sawit dan Batang Pisang pada
Pembuatan Biodiesel Berbantukan Ultrasonik
250-255
E-24 Biomentanasi Eceng Gondok dengan Pengendalian Temperatur
Fermentasi
256-260
E-25 Kajian Proses Asetogenesis Biodigester Dua Tahap
261-267
IRWNS 2013
viii
E-26 Ekstraksi Zat Warna dari Kulit Manggis dan Pemanfaatannya untuk
Pewarna Logam Alumunium Hasil Anosidasi
268-272
E-27 Optimasi Komposisi Campuran Asam HNO3 dan H2SO4 dan Nilai R
Pada Sintesis α-Nitronaftalen
273-277
E-28 Perancangan Mesin Pengelola Air Bersih Bergerak dengan
Menggunakan Sistem Modular (Mobile) untuk Penanggulangan Keadaan
Darurat Air
278-285
E-29 Pembuatan Membran Kitosan Sulfonat untuk Aplikasi Direct Ethanol
Fuel Cell
286-289
E-30 Peningkatan Pembelajaran Statistika Bidang Tata Niaga Berbatuan
Kalkulator dan Peringkat Lunak untuk Politeknik
290-296
E-31 Analisis Kinematika Gerak Pusat Massa Tubuh Manusia Saat Berjalan 297-301
IRWNS 2013
1
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Permintaan dan Penawaran Barang
dan Jasa Kawasan Perbatasan Pulau Sebatik Indonesia - Tawau, Malaysia
Besse Asniwaty a
Muh.Nawawi b
Sumintoc Armini Ningsih
d
aJurusan Administrasi Bisnis, Politeknik Negeri Samarinda, Samarinda
E-mail : [email protected] bJurusan Administrasi Bisnis, Politeknik Negeri Samarinda, Samarinda
cJurusan Administrasi Bisnis, Politeknik Negeri Samarinda, Samarinda
dJurusan Administrasi Bisnis, Politeknik Negeri Samarinda, Samarinda
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji faktor–faktor pendorong permintaan dan penawaran barang/jasa dikawasan perbatasan
Pulau Sebatik, Indonesia ‐ Tawau, Malaysia. Adapun sasaran penelitian ini mencakup: analisis interaksi perdagangan barang
dan jasa yang berlangsung di kawasan perbatasan tersebut, identifikasi jenis permintaan dan penawaran barang/jasa, analisis
faktor–faktor pendorong permintaan dan penawaran barang/jasa khususnya di Pulau Sebatik dan implikasi yang timbul.
Selanjutnya di analisis melalui pendekatan deskriptif eksplanatif, dibantu kajian teori untuk pemaknaan data/informasi. Hasil
analisis yang menunjukkan bahwa interaksi perdagangan terjadi karena adaya kebutuhan yang menciptakan penawaran dan
pemintaan barang/jasa baik secara legal maupun illegal hal ini didorong oleh potensi pasar dan konsumen, potensi perdagangan
yang besar, serta prospek yang menjanjikan. Identifikasi penawaran barang dan jasa dari Pulau Sebatik berupa barang yaitu
hasil agro industri (hasil pertanian, perkebunan dan kehutanan) dan perikanan, sedangkan berupa jasa meliputi tenaga kerja
bangunan, pekerja perkebunan, pembantu rumah tangga dan penjaga toko, permintaan barang dan jasa dari Tawau Ke Sebatik
meliputi seluruh barang jadi dan setengah jadi serta pelayanan kesehatan yang menjadi kebutuhan hidup masyarakat Pulau
Sebatik. Adapun faktor pendorong permintaan dan penawaran kedua wilayah perbatasan meliputi lokasi, sarana dan persarana
dasar, pelayanaan, penilaian pelaku ekonomi, stabilitas.
Kata Kunci
Permintaan dan Penawaran, Barang dan Jasa, Aksesibilitas Kawasan Perbatasan, Pulau Sebatik Indonesia dan Tawau
Malaysia.
1. PENDAHULUAN
Pulau sebatik merupakan salah satu wilayah yang
berbatasan langsung dengan Tawau-Malaysia dan
memiliki jumlah penduduk sebanyak lebih dari 38.339
jiwa (Profil Pulau Sebatik 2012). Secara ekonomis pulau-
sebatik mempunyai potensi yang sangat kaya akan lahan
yang cukup luas, sumber daya laut, dan parawisata, jika
berhasil dikembangkan secara optimal dan berkelanjutan,
Pulau-Sebatik bukan saja akan menjadi sumber
pertumbuhan baru, melainkan sekaligus akan mengurangi
kesenjangan pembangunan ekonomi antar wilayah dan
kelompok social diwilayah perbatasan.
Kesenjangan infrastruktur dan kurangnya penerangan dan
ketersediaan air bersih yang dirasakan oleh masyarakat
pulau sebatik berbanding terbalik dengan yang terjadi
diwilayah Tawau Malaysia yang terang benderang serta
memiliki sarana dan prasarana dasar serta infrastruktur
yang sangat baik. Kenyataan ini tentunya memberikan
dampak yang kurang menguntungkan atau menggangu
pergerakan pertumbuhan ekonomi di berbagai skala usaha
yang sangat bergantung sarana dan prasana serta fasilitas
yang disediakan oleh pemerintah setempat.
Kedekatan wilayah menyebabkan aktifitas lintas batas
kedua Negara tersebut terus meningkat kususnya dibidang
perdagangan. Pada umumnya kebutuhan warga pulau
sebatik dipenuhi dari Tawau Malaysia. aliran barang, jasa
dan manusia antara kedua wilayah tersebut berkembang
tidak seimbang. Kualitas barang yang bagus serta harga
yang murah di Tawau Malaysia menjadi daya tarik warga
Pulau Sebatik. Selanjutnya juga ditunjang lalu lintas air
yang hanya ditempuh dalam hitungan menit sehingga
memperlancar aksesibilitas antara Pulau Sebatik, – Tawau.
Komoditas yang diperdagangkan antara lain sandang,
makanan, hasil pertanian, dan lain-lain, baik secara legal
maupun secara illegal.
Berdasarkan fenomena tersebut diatas, maka penulis
tertarik untuk melakukan kajian tentang faktor‐faktor
pendorong permintaan dan penawaran barang dan jasa di
kawasan perbatasan tersebut. Pengenalan faktor‐faktor
pendorong permintaan dan penawaran barang dan jasa
dimaksudkan untuk memahami mekanisme pasar yang
terjadi bagaimana dan apa saja yang berkembang sebagai
hasil interaksi aktivitas masyarakat. Research question dari
penelitian ini adalah faktor‐faktor apakah yang mendorong
IRWNS 2013
2
permintaan dan penawaran barang dan jasa kawasan
perbatasan Pulau Sebatik Indonesia, – Tawau, Malaysia.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji faktor–faktor yang
mendorong permintaan dan penawaran barang dan jasa di
kawasan perbatasan Pulau Sebatik Indonesia, – Tawau,
Malaysia. Urgensi dari penelitian ini yaitu memberikan
informasi yang akurat kepada pemerintah daerah dan
pemerintah pusat tentang berbagai jenis informasi yang
berkaitan dengan supply dan demand baik legal maupun
illegal dan identifikasi faktor-faktor yang mendorong
aktifitas tersebut dikawasan perbatasan, dan sejauh mana
mekanisme supplay dan demand, yang saling
menguntungkan yang terjadi antara kedua Negara. dan
analisis kinerja aksesibiltas mobilitas dan implikasi yang
timbul khususnya dikawasan Pulau Sebatik Indinesia.
Selanjutnya temuan yang ditargetkan dalam penelitian ini
adalah hasil proses analisis akan dirumuskan dalam bentuk
rekomendasi.
2. TUJUAN DAN SASARAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji faktor–faktor
Pendorong Permintaan dan Penawaran barang/jasa
dikawasan perbatasan pada Pulau Sebatik. Adapun sasaran
penelitian ini mencakup:
1. Analisis interaksi perdagangan barang dan jasa yang
berlangsung di kawasan perbatasan Pulau Sebatik –
Tawau,Malaysia,
2. Identifikasi jenis permintaan dan penawaran barang/jasa
dikawasan perbatasan,
3. Analisis faktor–faktor pendorong permintaan dan
penawaran barang kawasan perbatasan khususnya pada
sisi Pulau Sebatik dan implikasi yang timbul.
4. Hasil proses analisis akan dirumuskan dalam bentuk
rekomendasi.
3. METODOLOGI PENELITIAN
Pendekatan yang digunakan adalah analisis faktor untuk
merumuskan faktor–faktor yang mendorong permintaan
dan penawaran barang kawasan perbatasan Pulau Sebatik‐ Tawau, Malaysia pada sisi Pulau Sebatik, dan pendekatan
deskriptif eksplanatif, dibantu kajian teori untuk
pemaknaan data/informasi yang diperoleh terhadap
pengembangan kawasan perbatasan Pulau Sebatik‐ Deskripsi (pemaknaan) dilakukan untuk memahami
kondisi yang ada, guna menjawab beberapa pertanyaan
mendasar seperti siapa yang terlibat, bagaimana kegiatan
perdagangan dan jasa di kawasan perbatasan ini
berlangsung, skala kegiatan ekonomi, jenis komoditas,
besaran, kendala‐kendala dan implikasi apa yang akan
timbul dari fenomena yang berlangsung. Populasi
penelitian ini adalah para pelaku ekonomi di kawasan
perbatasanPulau Sebatik.
Pendekatan deskriptif eksplanatif dalam penelitian ini
adalah proses pemaknaan atas kondisi yang terdapat dan
berkembang di lapangan dengan mengacu pada data yang
dikumpulkan. Proses ini bukan menguji hasil metode
kuantitatif namun digunakan untuk melengkapi guna
proses mempertajam analisis studi. Persoalannya adalah
bagaimana cara terbaik untuk ”memaknai” data dengan
cara‐cara yang akan mempermudah pengungkapan
hasil‐hasil penelitian, dan kedua mengantarkan pada
pemahaman akan fenomena yang sedang diteliti (Moleong,
2005 : 38,115).
4. LANDASAN TEORI
Perbatasan negara merupakan wilayah hukum Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang berbatasan dengan
negara lain, dan batas‐batas wilayahnya ditentukan
berdasarkan peraturan perundang‐ undangan yang berlaku
(www. bappenas.go.id, 2007). Secara tipologi, kawasan
perbatasan dibedakan menjadi tipologi kawasan perbatasan
yang secara fisik diklasifikasikan menjadi perbatasan alam
dan perbatasan buatan (Guo, 2004: 11‐16) dan secara
ekonomi, dapat dibedakan menjadi kawasan perbatasan
yang relatif maju, sudah berkembang namun belum maju,
dan kawasan yang relatif masih terisolir. Menurut Wu
(dalam Husnadi, 2003: 44‐55), terdapat tiga bentuk
pendekatan, pertama dengan mendahulukan pembangunan
infrastruktur, kedua dengan mendahulukan investasi sektor
swasta, dan ketiga mendahulukan program‐program dan
kebijakan.
Perkembangan lingkungan global saat ini telah membawa
perubahan paradigma pembangunan dimana kawasan
perbatasan dipandang sebagai salah satu simpul ekonomi,
karena merupakan lokasi lintas batas perdagangan barang
dan jasa antar negara. Secara geografis sistem ekonomi
berkaitan dengan organisasi keruangan dari sistem
ekonomi: yaitu dimana elemen tertentu dari sistem tersebut
akan berlokasi, bagaimana elemen tersebut saling
terhubung dalam sebuah ruang dan pengaruh secara
keruangan dari proses ekonomi (Dicken dan Lloyd, 1990:
7).
Untuk dapat tumbuh dan berkembang kegiatan ekonomi
harus mampu survive, dengan memperhatikan aspek
jangkauan dan ambang batas (Tarigan, 2005:
85‐87).Konsep range (jangkauan pelayanan) terkait
dengan luas wilayah pengaruh sebuah pusat pelayanan
secara geografis, sedang konsep threshold (ambang batas)
lebih terkait dengan tingkatan minimal jumlah penduduk
yang agar sebuah produk atau pusat pelayanan mampu
survive karena adanya konsumen yang dilayani. Adanya
kebutuhan barang dan jasa melahirkan interaksi antar
ruang yang berbeda, dalam bentuk pergerakan
(perpindahan, pertukaran) barang dan jasa.
Edward Ullman (Dicken dan Lloyd, 1990: 71‐74)
menjelaskan terdapat tiga bentuk interaksi keruangan,
yaitu interaksi keruangan yang saling melengkapi,
interaksi keruangan yang bersifat intervensi, dan tidak ada
bentuk interaksi sama sekali. Tingkat intensitas (jumlah,
volume, banyaknya) pergerakan barang dan jasa antar
IRWNS 2013
3
berbagai ruang sangat dipengaruhi oleh tingkat kebutuhan
(konsumsi) penduduk (demand) maupun kegiatan produksi
perkotaan lainnya. Secara umum terdapat tiga aspek
(Dicken dan Lloyd, 1990: 181) yang menentukan tingkat
kebutuhan terhadap barang dan jasa, yaitu: tingkat harga
yang berlaku, harga relatif dari seluruh barang dan jasa,
dan bobot yang diberikan konsumen yang diukur dari cita
rasa (taste) dan keinginan atau pilihan (preference).
Menurut Alfred Webber, ini akan membentuk aglomerasi
ekonomi (economics agglomeration) (Dicken dan Lloyd,
1990: 208).
Aglomerasi ekonomi merupakan bentuk penghematan
yang timbul karena kegiatan ekonomi berada dalam satu
lokasi, dan memberikan kontribusi yang cukup besar
terhadap perkembangan sebuah kota atau wilayah (Blair
1995: 95). Walter Issard menyatakan bahwa terdapat tiga
jenis agglomeration economies atau penghematan
ekonomi (Djojodipuro, 1992: 85). Ketiga konsep ini
dipergunakan untuk mengembangkan analisisnya ke arah
analisis spatial dengan menguraikan adanya pengaruh
berbagai economies terhadap lokasi industri atau aktifitas
ekonomi (Djojodipuro, 1992: 174‐175), yaitu: scale
economies, location economies dan urbanization
economies. Hal mendasar dari aglomerasi ekonomi adalah
hubungan atau keterkaitan antara aktifitas ekonomi dalam
area geografis yang secara relatif terbatas, bentuk
keterkaitan meliputi: keterkaitan produksi, pelayanan dan
pasar (Dicken dan Lloyd, 1990 : 211). Aktifitas ekonomi
yang memusat pada area tertentu mempunyai hubungan
yang erat terhadap wilayah pasar dari produk yang
disediakan, dimana pasar berperan sebagai sisi demand.
Menurut Nugroho dan Dahuri (2004: 29) terdapat empat
hal yang mempengaruhi terbentuknya wilayah pasar, yaitu:
skala ekonomi, permintaan total spasial, biaya transportasi,
dan faktor yang terkait penduduk. Penghematan
aglomerasi memberikan pengaruh terhadap perkembangan
dan pertumbuhan kota (Adisasmita, 2005: 49). Sebuah
kota dapat eksis dan berkembang karena adanya efisiensi
dalam menghasilkan beberapa jasa pada skala yang besar
(O‟Sullivan, 2003: 19). Dalam menjelaskan fenomena
aglomerasi, banyak ahli ekonomi mendefinisikan bahwa
kota sebagai hasil dari proses produksi aglomerasi secara
spasial. Kendati demikian tidak setiap aglomerasi selalu
memunculkan suatu kota. Perbedaan antara aglomerasi dan
kota terletak terutama pada perbedaan antara kesederhaan
dan kompleksitas (Kuncoro, 2002: 26). Hal ini karena
pertumbuhan kota‐kota ternyata dipengaruhi oleh berbagai
faktor yang lebih kompleks daripada sekedar penghematan
aglomerasi (Kuncoro, 2002: 32). Menurut Charles Colby
(Yunus, 1999: 177–178), kekuatan‐kekuatan ini terdiri atas
kekuatan sentrifugal dan sentripetal.
Dwi Y. Sulistyowati dalam penelitiannya
mengidentifikasi bahwa persaingan antara pasar tradisional
dan pasar swalayan sangat ketat adalah dalam hal segmen
pasar, komoditas, dan pangsa pasar. Selain itu, faktor lain
yang menarik minat pengunjung adalah keamanan dan
kenyamanan (Sulistyowati, 1999). Sussy R. Agustini
dalam penelitiannya menemukan bahwa faktor‐faktor yang
mempengaruhi penyediaan fasilitas kota meliputi: jenis
fasilitas, kualitas pelayanan, aksesibilitas, lokasi
pengembangan, dan pengelolaan (Agustini, 2003). Untuk
mengembangkan kawasan perbatasan sebagai sebuah
simpul ekonomi, perlu belajar dari perkembangan pusat–
pusat perbelanjaan yang selama ini telah dibangun. Suwito
Santoso, menyebutkan kunci keberhasilan pusat
perbelanjaan adalah keberhasilan menarik pengunjung
untuk itu harus memperhatikan faktor eksternal dan
internal. Faktor eksternal meliputi: lokasi, kemudahan
pencapaian, dan visibility (jarak penglihatan), sedangkan
faktor internal meliputi: tenant mix, profil demografi,
desain bangunan, masalah parkir, harga sewa, dan timing
(Kompas, 2002).
Pusat perbelanjaan yang ada di perbatasan Pulau
Sebatik‐Tawau adalah pasar perbatasan. Abi Syahmora
(Syahmora, 2003) menurut penelitiannya, faktor–faktor
yang menjadi penentu lokasi optimal pembangunan sebuah
pasar, yaitu: kedekatan terhadap kawasan permukiman;
ketersediaan lahan dan luasan lokasi yang memadai;
ketersediaan jaringan jalan ke lokasi pasar; kesesuaian
lokasi terhadap rencana tata ruang kota (konsistensi antara
perencanaan dan implementasi); daerah bebas banjir/
genangan; kepadatan penduduk yang menunjang;
ketersediaan jaringan transportasi; topografi yang datar;
dan ketersediaan sarana pembuangan limbah (saluran
drainase, fasilitas sampah). Salah satu instrumen yang
memacu perkembangan kawasan perbatasan adalah
pengembangan permukiman. Dalam penelitiannya di
Tawau, Malla Paruntung (2003) menyebutkan faktor yang
mempengaruhi preferensi memilih lokasi permukiman
yaitu: aksesibilitas, harga rumah, kepastian hukum tanah,
sarana prasarana, kenyamanan bertempat tinggal, dan
kebijakan pemerintah. Pada umumnya kawasan perbatasan
merupakan wilayah pinggiran kawasan perkotaan.
Dalam penelitian Ahmadi (2005), faktor‐faktor yang
mempengaruhi perkembangan fisik pinggiran kota
meliputi: ketersediaan penduduk (pertambahan, kepadatan
dan migrasi); adanya kebijakan pengembangan area
pinggiran kota; ketersediaan fasilitas penunjang
perumahan yang mencakup ketersediaan fasilitas
pendidikan, kesehatan, dan perdagangan jasa pada area
pinggiran kota; arahan alokasi perumahan dalam hal ini
terkait dengan pembangunan perumahan baru oleh
pemerintah, pengembang, maupun oleh masyarakat
sendiri di area pinggiran; aksesibilitas atau keterjangkauan
terkait dengan kondisi sarana dan prasarana pergerakan
dari area pinggiran ke pusat kota dan sebaliknya; dan
relokasi sektor atau zona kota dan pembangunan/
pengembangan fungsi baru di pinggiran kota. Sistem
transportasi berperan terhadap tumbuh kembangnya kota
dan pertumbuhan ekonomi melalui tingkat aksesibilitas
dan mobilitas. Aksesibilitas adalah mudahnya suatu lokasi
dihubungkan dengan lokasi lainnya melalui sistem
transportasi.
IRWNS 2013
4
Aksesibilitas merupakan ukuran kemudahan dan
kenyamanan mengenai cara lokasi tata guna lahan yang
saling berpencar dapat saling berinteraksi (Miro, 2002:
18), yang dinyatakan dalam ukuran: jarak, waktu, dan
biaya perjalanan (Tamin, 1997: 52). Mobilitas diartikan
sebagai tingkat kelancaran perjalanan, dan diukur melalui
banyaknya perjalanan (pergerakan) dari suatu lokasi ke
lokasi lain sebagai akibat tingginya akses antara
lokasi‐lokasi tersebut (Miro, 2002: 22).
Permintaan diartikan sebagai keinginan konsumen untuk
membeli suatu barang dan jasa pada tingkat harga tertentu
dan priode waktu tertentu. Adapun faktor-faktor yang
mempengaruhi permintaan suatu barang adalah adalah
harga barang itu sendiri, harga barang lain yang terkait,
tingkat pendapatan perkapita, selera konsumen, jumlah
penduduk, perkiraan harga mendatang, distribusi
pendapatan dan usaha produsen meningkatkan pendapatan.
Penawaran didifenisikan sebagai jumlah barang yang
ditawarkan pada berbagai tingkat harga selama priode
tertentu, faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran
adalah harga serta faktor lain yang dapat disederhanakan
faktor non harga meliputi harga barng lain yang terkait,
harga faktor produksi, biaya produksi, teknologi, jumlah
pedagang tujuan perusahaan serta kebijakan pemerintah.
(Raharja, 2002:18)
5. HASIL PENELITIAN
5.1 Interaksi Perdagangan
Di perbatasan Pulau Sebatik‐Tawau terdapat 4 pasar
tradisional yang berlokasi di Tawau yaitu pasar Sari
Tanjung, Pasar Baru, Pasar Tani dan Pasar Gantung. Dari
ke-empat pasar tersebut pasar sari tanjung merupakan
pasar terbesar yang ditempati sekitar 2000 penjual, mereka
menjual hampir seluruh jenis kebutuhan hidup, begitu juga
dengan Pasar Baru namun kapasitasnya lebih kecil dan
hanya di tempati oleh kurang lebih 500 penjual, Kedua
pasar ini menjual berbagai jenis barang seperti pakaian,
celana, elektronik, bahan bangunan, peralatan pertanian
dan perikanan, makanan, dan lainnya. Jenis barang yang
banyak dibeli oleh warga Pulau Sebatik adalah makanan
(sembako), lauk pauk, gas, bahan bagunan, bumbu dapur,
buah-buahan, makanan olahan, obat-obatan, pecah belah,
perabot rumah tangga, makanan ringan/semilan, poduk
elektronik. dan lainya. Berbeda dengan pasar tani yang
khusus menjual hasil-hasil pertanian saja, semetara pasar
gantung khusus menjual pakaian jadi, kebanyakan
pakaian yang dipasarkan berasal dari Indonesia, pasar
tradisional tersebut berlokasi di Tawau, Malaysia.
Keempat pasar tersebut jaraknya berdekatan dan
disekitarnya terdapat 3 pasar modern masing-masing
Pakwell, Survey Jaya dan Sabindo Plasa.
Daya tarik kota Tawau yang merupakan kota terbesar
ketiga di Negara bagian Sabah Malaysia. Sebagai pusat
aktititas bisnis, sangat berpengaruh terhadap interaksi
perdagangan diwilayah perbatasan Pulau Sebatik
Indonsesia-Tawau Malaysia. Tiga pasar modern dan empat
pasar tradisional yang berdekatan menawarkan pilihan-
pilihan tempat belanja yang dapat memberikan kepuasan
kepada para pengunjung, menjadi daya tarik bagi warga
Pulau Sebatik dan Nunukan khususnya dan warga
Kalimantan Timur pada umumnya. Setiap hari secara legal
lebih dari 100 warga Negara Indonesia menyeberang ke
Tawau melalui ke Imigrasian Nunukan dangan berbagai
tujuan seperti sekedar jalan-jalan mencari hiburan,
berbelanja untuk memenuhi kebutuhan, mengunjungi
keluarga dan untuk tujuan bisnis. Kebijakan pemerintah
daerah Nunukan mengijinkan Warga Negara Indonesia
yang berkunjung ke Tawau untuk berbelanja tidak lebih
dari 600 ringgit Malaysia.
Kebijakan ini tidak berlaku bagi WNI yang menyeberang
secara illegal dari Pulau Sebatik yang diperkirankan
jumlahnya antara 1 – 2 % dari 38339 jumlah penduduk
perhari, melalui tujuh pelabuhan-pelabuhan kecil yang
tersebar di pesisir Pulau Sebatik yang hanya bisa memuat
perahu-perahu kecil. Perahu-perahu kecil inilah yang
menjadi alat teransportasi bagi barang-barang illegal
berupa hasil pertanian dari Pulau Sebatik Indonesia
menuju ke Tawau Malaysia, sebaliknya setelah kembali
perahu tersebut membawa berbagai jenis barang-barang
dari Tawau juga secara illegal. Pada umumnya di
pelabuhan-pelabuhan kecil inilah terjadi aktivitas bisnis
illegal terjadi baik dari sisi pemintaan maupun penawaran.
Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa interaksi
perdagangan terjadi karena terbentuk permintaan dan
penawaran, ada pasar dan ada konsumen, potensi
perdagangan besar dan memiliki prospek yang
menjanjikan..
5.2. Identifikasi jenis permintaan dan penawaran
barang/jasa dikawasan perbatasan,
5.2.1. Penawaran Barang/Jasa Pulau Sebatik versus
Permintaan Barang/Jasa Tawau
Penawaran didifenisikan sebagai jumlah barang yang
ditawarkan pada berbagai tingkat harga selama priode
tertentu, faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran
adalah harga serta faktor lain yang dapat disederhanakan
faktor non harga meliputi harga barng lain yang terkait,
harga faktor produksi, biaya produksi, teknologi, jumlah
pedagang tujuan perusahaan serta kebijakan pemerintah.
Hasil penelitian menunjukan bahwa potensi sumber daya
alam yang dimiliki Pulau Sebatik adalah: Agro Industri
(pertanian, perkebunan dan kehutanan), kelautan,
perdagangan internasional dan Parawisata. Potensi ini
perlu dijaga, dilindungi dan dikelola dengan baik agar
tidak habis dan akhirnya mengurangi pendapatan
masyarakat..
Prasarana dasar Pulau Sebatik, belum terpenuhi dengan
baik seperti, ketersediaan air bersih ketersediaan angkutan
umum, dan ketersediaan jalan yang sudah diaspal jauh
IRWNS 2013
5
lebih sedikit dari jalan yang belum diaspal. Jalan
merupakan urat nadi perekonomian sebagai penghubung
antara satu daerah dengan daerah lainnya. Jika jalan yang
ada, tidak diperhatikan masalah pembangunan dan
pemenuhan kebutuhan masyarakat akan mengalami
hambatan terutama untuk membawa hasil kebun dan
pertanian mereka untuk dijual kepasar, hal ini terjadi di
Pulau Sebatik, dimana masyarakat menjual hasil kebun
dan tangkapan ikan ke Tawau, karena lebih dekat dan
transportasi laut sangat mudah dan murah, bila warga
Pulau Sebatik ingin menjual hasil kebun dan ikan ke Pulau
Nunukan memakan waktu yang cukup lama kurang lebih 3
jam baik menggunakan transportasi darat (kendaraan
umum) dan perahu tempel.
Kondisi ini mempersulit arus barang dari Pulau Sebatik ke
Nunukan, dan begitu juga sebaliknya. Sehingga satu-
satunya pasar yang efektif untuk men-supply seluruh hasil
pertanian, perkebunan, kehutanan dan kelautan adalah
Tawau,. sehingga bisa dikatakan bahwa selain yang
dikonsumsi masyarkat Sebatik lebih suka menjual hasil
panen mereka ke Tawau. Kebijakan Pemerintah Malaysia
tidak melarang supply barang-barang tersebut karena
memberikan keuntungan bagi negaranya, kecuali rokok
dan sarung batik dilarang untuk melindungi produk yang
sama dalam negeri mereka.
Seperti halnya penawaran barang tidak jauh berbeda
dengan penawaran jasa, penawaran jasa terjadi secara legal
maupun illegal saat ada permintaan tenaga kerja dari
Tawau-Malaysia secara formal atau tidak formal seperti
tenaga kerja bangunan, pekerja kebun Sawit, penjaga toko,
pembantu rumah tangga dan lainnya, tenaga kerja inipun
kebanyakan di supply secara illegal oleh pihak-pihak
tertentu, mereka didatangkan dari Pulau Jawa, Nusa
Tenggara Barat dan Sulawesi Selatan dan wilayah
Indonesia lainnya diselundupkan melalui Pulau Nunukan
dan Pulau Sebatik, tingginya standar gaji tenaga kerja
kasar di Tawau Malaysia, dan kurangnya lapangan kerja di
Indonesia sebagai jalan pintas bagi pencari kerja warga
Indonesia untuk bekerja di Tawau Malaysia, walaupun
harus di selundupkan, praktek-praktek seperti ini sering
terjadi baik melalui nunukan maupun Pulau Sebatik,
sehingga resiko-resiko yang terkena deportasi tidak jarang
terjadi.
5.2.2.Permintaan Barang/Jasa Pulau Sebatik versus
Penawaran Barang/Jasa Tawau
Pendapatan masyarakat Pulau Sebatik bersumber dari
berkebun, bertani, nelayan, wiraswasta, pegawai negeri
dan swasta. Letak Pulau Sebatik yang secara geografis
terpisah oleh laut menyebabkan interaksi masyarakat
Pulau Sebatik terbatas, dimana masyarakat Pulau Sebatik
bila membeli kebutuhan sehari-hari selalu menyeberang ke
Tawau, kedekatan secara geografis dan sarana transportasi
laut selalu tersedia setiap saat menjadikan aksesibilitas
mudah dan murah, kualitas barang bagus, harga-harga
barang relative murah sebagai factor pemicu pertumbuhan
permintaan barang dan jasa dari tahun ketahun bahkan
masyarakat Pulau Sebatik mengatakan bahwa 80%
kebutuhan keluarga mereka diperoleh dari Tawau
Malaysia (hasil survey). Perkembangan permintaan barang
dan jasa dari sekedar memenuhi kebutuhan sehari-hari
hingga menjadi lahan bisnis yang menjanjikan, semakin
marak terjadi, sehingga penyelundupan barang-barang dari
Tawau, tidak dapat dicegah bahkan terjadi setiap hari.
Permintaan diartikan sebagai keinginan konsumen untuk
membeli suatu barang dan jasa pada tingkat harga tertentu
dan priode waktu tertentu. Adapun faktor-faktor yang
mendorong permintaan suatu barang adalah harga barang
itu sendiri, harga barang lain yang terkait, tingkat
pendapatan perkapita, selera konsumen, jumlah penduduk,
perkiraan harga mendatang, distribusi pendapatan dan
usaha produsen meningkatkan pendapatan. Pulau Sebatik
sebagai salah satu pasar potensi bagi hasil produksi Tawau
Dari hasil analisa faktor ditemukan dua kelompok barang
konsumsi yaitu kelompok konsumsi permintaan dari
Tawau sebanyak tujuh jenis dan kelompok konsumsi
permintaan barang dalam negeri,sebanyak 5 jenis dari 12
jenis kelompok barang yang dianalisa yang diduga
menjadi permintaan pasar dan toko-toko atau yang paling
disukai masyarakat Sebatik. Dari 12 jenis kelompok
barang tujuh kelompok dominan dari Tawau yaitu: 1). Sembako, Gula Pasir, minyak goreng, tepung terigu, dan
lainnya, 2) Sayur mayor, 3) Bumbu-bumbu Dapur, 4) Buah-buahan, 5) Minuman, Susu, Coklat(milo), teh, kopi
dan minuman lainnya, 6) Makanan olahan, sosis, bakso,
dan sejenisnya, 7) Perabot rumah tangga, panci, wajan
dan lainnya.
Sedangkan lima lainnya yaitu: 1) Cemilan, Makanan jadi,
Snack, Permen, Coklat Dan Sejenisnya, 2) Obat-obatan,
obat gosok, obat sakit kepala dan lain-lain. 3) Pakaian, T-
shirt, Kemeja,dan sejenisnya, 4) Bahan Bangunan, semen,
besi, kunci, cat, seng dan sejenisnya, 5) Hiburan.
Sayur mayur adalah salah satu diantranya dari Pulau
Sebalik yang dijual di Tawau, dibeli kembali oleh warga
Sebatik yang belanja dipasar Tawau Malaysia. Dapat
dihitung berapa besar keuntungan didapat Tawau dari
masyarakat masyarakat Sebatik setiap harinya. Hal ini
disebabkan karena transportasi antar pulau Kalimantan
Timur masih terbatas, investor yang mau investasi juga
masih belum banyak yang tertarik Karena prasarana dasar
saja belum mampu dipenuhi oleh pemerintah setempat.
5.3. Faktor–faktor Pendorong permintaan dan
penawaran barang kawasan perbatasan khususnya
pada sisi Pulau Sebatik dan implikasi yang timbul.
5.3.1 Aksesibiltas dan Mobiltas
Kemudahan akses dari Pulau Sebatik ke Tawau melalui
teranspotasi laut yang hanya ditempu dalam hitungan
IRWNS 2013
6
menit dengan biaya yang murah merupakan faktor pemicu
pertumbuhaan permintaan dan penawaran barang dan jasa
dikawasan tersebut, disadari bahwa ketidakseimbangan
terjadi dan cendrung lebih menguntungkan Tawau, sebab
semua barang yang ditawarkan adalah barang jadi.
sementara yang disupply oleh masyarakat Sebatik adalah
barang dasar sehingga nilainya lebih kecil. Namun
menurut masyarakat Sebatik harga beli yang ditawarkan
oleh Tawau lebih tinggi dibanding penawaran dalam
negeri.
Kebutuhan prasarana dasar, sarana, untuk aksesi bilitas
diciptakan sendiri oleh masyarakat seperti pelabuhan
walaupun hanya alakadarnya yang penting bagi mereka
adalah aktifitas bisnisnya tetap berjalan, mereka tidak
peduli bahaya mengacam jiwanya. Begitupula masalah
pengelolaan pelabuhan dan stabilitas keamanan, kuatnya
hubungan kekerabatan yang terjalin antara masyarakat
kedua Negara mampu menciptakan harmonisasi aktifitas
bisnis yang saling menguntungkan.
5.3.2.Lokasi
Letaknya yang strategis juga merupakan faktor yang
mempengaruhi volume permintaan dan penawaran barang
dan jasa dari Tawau Malaysia – ke Pulau Sebatik
Indonesia semakin meningkat baik dari segi jumlah
maupun dari segi variasinya. Bebagai jenis variasi barang
mulai dari kebutuhan yang paling mendasar seperti
gas,sembako, bumbu dapur, daging ayam dan daging sapi,
buah-buahan, alat-alat rumah tangga, bahan bangunan
seperti semen, besi, dan lain-lain. Kemampuan supply dari
Tawau Malaysia ke Pulau Sebatik, menjadikan Pulau
Sebatik sebagai wilayah persinggahan barang –barang
yang masuk secara illegal kemudian disalurkan ke
berbagai Wilayah di Indonesia seperti ke Tarakan, Berau,
Bulungan, Balikpapan, Samarinda bahkan sampai ke
Sulawesi Selatan melalui pelabuhan Pare-pare,. Terbentuk
interaksi Aliran supply barang dan jasa ke perbatasan
merupakan dampak dari meluasnya pasar-pasar produk
Malaysia dan jangkauan transportasi laut yang semakin
mudah dan terjangkau melalui kapal PELNI yang setiap
minggu berlabu di Pelabuhan Nunukan.
5.3.3 Perdagangan barang dan jasa
Perdagangan cenderung meningkat, disebabkan oleh:
prospek yang menarik, jaminan keamanan, tingkat
penjualan yang menguntungkan serta terdapat pangsa
pasar. Pasar lebih bersifat memenuhi kebutuhan warga dan
merambat ke kebutuhan bisnis sebagai sumber pendapatan.
Proses interaksi terbentuk karena adanya demand yang
tinggi dari Pulau Sebatik, untuk barang-barang produk
Malaysia, dan sebaliknya besarnya demand warga Tawau
terhadap hasil pertanian dan perkebunan serta hasil laut
Pulau Sebatik. Warga Pulau Sebatik berbelanja karena
barang dan jasa yang tersedia di Tawau Malaysia lebih
banyak dan bervariasi pilihannya, dan harganya lebih
murah. Interaksi yang berlangsung Lebih menguntungkan
bagi Tawau Malaysia dibanding terhadap Pelau Sebatik
(masuknya devisa).
5.3.4 Implikasi bagi kawasan perbatasan Pulau
Sebatik Indonesia –Tawau Malaysia
Implikasi yang timbul bagi kawasan perbatasan Pulau
Sebatik Indonesia –Tawau Malaysia meliputi: Secara
Ekonomi, masyarakat memperoleh pendapatan, membuka
lapangan kerja, terjadi peluang usaha, memotivasi petani
dan nelayan karena ada pangsa pasar. Secara Fisik
Keruangan, terjadi pembangunan, terbentuk akses
transportasi, terjadi mobilisasi dan mencegah imigrasi.
Secara Sosial Budaya, masyarakat sadar akan penting
pendidikan, keterampilan, memahami masalah kesehatan
dan implikasi‐implikasi lainnya.
6. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
1.1 Kesimpulan
a. Sumber pendapatan masyarakat Pulau Sebatik adalah:
Agro Industri (perkebunan dan Kehutanan), Kelautan,
Perdagangan Internasional dan Parawisata Semua
potensi daerah merupakan sumber pendapatan bagi
warga pulau Sebatik, yang umumnya berprofesi
sebagai nelayan, petani, pekebun, pedagang, pegawai
negeri dan pegawai swasta. Satu-satunya pasar bagi
hasil pertanian dan perkebunan serta kelautan mereka
di supply ke Tawau Malaysia, aksesibilitas dan
mobilitas yang murah dan murah dan cepat adalah
dipasarkan Tawau Malaysia, mengingat hasil pertanian,
perkebunan dan kelautan sifatnya tidak bisa bertahan
lama. Demand terhadap barang-barang hasil pertanian,
perkebunan dan kelautan dari Pulau Sebatik memiliki
pangsa pasar yang sangat baik di Tawau Malaysia,
namun pendapatan masyarakat tidak maksimal karena
masih dikelola secara tradisional.
b. Tawau Malaysia memiliki 4 pasar tradisional dan 3
pasar modern menjadi daya tarik bagi warga Pulau
Sebatik untuk berbelanja dan memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari, hal ini ditunjang oleh transportasi
laut mudah, murah dan cepat. Kurang lebih 80%
kebutuhan hidup masyarakat Pulau Sebatik di supply
dari Tawau Malaysia, Kemampuan Tawau Malaysia
untuk men-supply berbagai jenis barang dalam jumlah
yang besar ke wilayah perbatasan direspon oleh
pangsa pasar karena kualitasnya bagus, harganya
murah dan mendapatkannya mudah, sehingga demand
terhadap berbagai jenis barang dari Tawau Malaysia
secara terus-menerus mengalami peningkatan, bahkan
sudah berkembang menjadi komoditi bisnis, sehingga
dapat menambah pendapatan bagi warga sebatik
c. Faktor–faktor yang mempengaruhi permintaan dan
penawaran barang kawasan perbatasan khususnya pada
sisi Pulau Sebatik yaitu Aksesibiltas dan Mobiltas
Kemudahan akses dari Pulau Sebatik ke Tawau melalui
teranspotasi laut yang hanya ditempu dalam hitungan
menit dengan biaya yang murah merupakan faktor
IRWNS 2013
7
pemicu pertumbuhaan permintaan dan penawaran
barang dan jasa dikawasan tersebut. Letaknya yang
strategis juga merupakan faktor yang mempengaruhi
volume permintaan dan penawaran barang dan jasa dari
Tawau Malaysia – ke Pulau Sebatik Indonesia semakin
meningkat baik dari segi jumlah maupun dari segi
variasinya. Perdagangan cenderung meningkat,
disebabkan oleh: prospek yang menarik, jaminan
keamanan, tingkat penjualan yang menguntungkan serta
terdapat pangsa pasar. Pasar lebih bersifat memenuhi
kebutuhan warga dan merambat ke kebutuhan bisnis
sebagai sumber pendapatan; Implikasi bagi kawasan
perbatasan Pulau Sebatik Indonesia –Tawau Malaysia
Implikasi yang timbul bagi kawasan perbatasan Pulau
Sebatik Indonesia –Tawau Malaysia khususnya di Pulau
Sebatik meliputi: Secara ekonomi, masyarakat
memperoleh pendapatan, membuka lapangan kerja,
terjadi peluang usaha, memotivasi petani dan nelayan
karena ada pangsa pasar. Secara Fisik Keruangan, terjadi
pembangunan, terbentuk akses transportasi, terjadi
mobilisasi dan mencegah imigrasi. Secara Sosial
Budaya, masyarakat sadar akan penting pendidikan,
keterampilan, memahami masalah kesehatan dan
implikasi‐implikasi lainnya
6.2 Rekomendasi
1. Pulau Sebatik memerlukan sebuah pendekatan
pembangunan wilayah yang tepat, salah satu
diantaranya adalah dengan menjadikan Pulau Sebatik
sebagai sebuah Kawasan Pengembangan Ekonomi
Terpadu (KAPET) hal ini memungkinkan karena
terletak diwilayah perbatasan dengan Malaysia.
2. Perlu adanya payung hukum bagi pengelolaan kelautan
yang komprehensif. melalui Dinas Perikanan dan
kelautan dan propinsi Kalimantan Timur. Bagaimana
pengelolaan laut secara oftimal dan signifikan untuk
meningkatkan pendapatan masyarkat karena ada
pangsa pasar potensial diTawau Malaysia, masyarakat
perlu diberikan pelatihan cara mencari atau menangkap
ikan dengan menggunakan metode modern.
3. Perlu adanya pengembangan ekonomi lokal yang
menekankan pada pemberdayaan potensi lokal, baik itu
sumber daya alam, sumber daya manusia, kelembagaan
melalui upaya masyarakat lokal utnuk meningkatkan
kesejahteraan. mengembangkan sentra-sentra produksi
(perikanan, pertanian, perkebunan, perdagangan dan
jasa).
4. Menfasilitasi pengembangan forum-forum kemitraan
dengan melibatkan semua stadeholder untuk berdialog
memikirkan mengenai pembangunan ekknom, forum
ini berfungsi sebagai wahana partisipasi dalam tatanan
perencanaan, perumusan kebijakan, pelaksanaan
layanan
DAFTAR PUSTAKA
[1] Adisasmita, Rahardjo. 2005. Dasar–Dasar
Ekonomi Wilayah. Yogyakarta: Penerbit Graha
Ilmu.
[2] Agustini, S.R. 2003. Penyediaan Fasilitas Kota Di
Kota Cibinong: Faktor‐Faktor Yang Berpengaruh.
Tidak Diterbitkan, MPWK ITB, Bandung,
Indonesia.
[3] Ahmadi. 2005. Faktor‐Faktor Yang Mempengaruhi
Perkembangan Fisik Area Pinggiran Kota
Berdasarkan Aspek Persepsi Bermukim pada Kota
Sengkang Provinsi Sulawesi Selatan.
[4] Tesis, Tidak Diterbitkan, MPPWK Universitas
Diponegoro, Semarang, Indonesia. Blair, J.P. 1995.
Local Economic Development‐Analysis and
Practice. Canada: Sage Publication.
[5] Dicken, Peter and Lloyd, P.E. 1990. Location In
Space: Theoritical Perspectives In Economic
Geography. New York, USA: Harper Collins
Publisher Inc.
[6] Djojodipuro, Marsudi. 1992. Teori Lokasi. Jakarta:
Lembaga Penerbit Universitas Indonesia (UI). Guo,
R, 2004. Cross Border Resource Management,
Regional Science Association of China at Peking
University, Beijing, China.
[7] Hair, J.F, et all. 1998. Multivariate Data Analysis.
Fifth Edition. New Jersey, USA: Prentice‐Hall
International, Inc.
[8] Husnadi. 2003. Menuju Model Pengembangan
Kawasan Perbatasan Darat Antar Negara (Studi
Kasus: Kecamatan Paloh Dan Sajingan Besar
Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat). Tesis,
Tidak Diterbitkan, MTPPWK Universitas
Diponegoro, Semarang, Indonesia. 114
[9] Kuncoro, M. 2002. Analisis Spasial dan Regional:
Studi Aglomerasi & Kluster Industri Indonesia.
Yogyakarta: AMP YKPN.
[10] Moleong, L.J. 2005. Metodologi Penelitian
Kualitatif. Bandung: Penerbit PT. Remaja
Rosdakarya.
[11] Miro, F. 2002. Perencanaan Transportasi, untuk
Mahasiswa, Perencana dan Praktisi. Jakarta:
Erlangga.
[12] Nugroho, Iwan dan Dahuri, Rochmin. 2004.
Pembangunan Wilayah Perspektif Ekonomi, Sosial
dan Lingkungan. Jakarta: Penerbit Pustaka LP3ES.
[13] O‟Sullivan, A. 2003. Urban Economics. Fifth
Edition. New York: Mc Graw ‐ Hill Companies.
[14] Paruntung, Malla. Faktor – Faktor yang
Mempengaruhi Pemilihan Lokasi Perumahan
Perumnas IV Padang Bulan – Abepura, Kota
Jayapura. Tesis. Tidak Diterbitkan, MPPWK
Universitas Diponegoro, Semarang, Indonesia.
[15] Santoso, Singgih, dan Tjiptono, Fandy. 2001. Riset
Pemasaran Konsep dan Aplikasi Dengan SPSS.
Jakarta: PT. Elex Media Komputindo Gramedia.
IRWNS 2013
8
[16] Santoso, Singgih. 2006. Mengunakan SPSS untuk
Statistik Multivariat. Jakarta: PT. Elex Media
Komputindo, Gramedia.
[17] Sulistyowati, D.Y. 1999. Kajian Persaingan Pasar
Tradisional Dan Pasar Swalayan Berdasarkan
Pengamatan Perilaku Berbelanja Di Kotamadya
Bandung. Departemen Teknik Planologi, Institut
Teknologi Bandung, Bandung, Indonesia.
[18] Syahmora, Abi. 2005. Lokasi Optimal
Pembangunan Pasar di Kota Lahat Berdasarkan
Kajian Faktor – Faktor Lokasi Penentu Pasar.
Tesis. Tidak Diterbitkan, MPPWK Universitas
Diponegoro, Semarang, Indonesia.
[19] Tamin, O.Z. 1997. Perencanaan dan Permodelan
Transportasi. Bandung: Institut Teknologi
Bandung.
[20] Tarigan, Robinson. 2005. Perencanaan
Pembangunan Wilayah. Edisi Revisi 2005. Jakarta:
PT. Bumi Aksara. www.bappenas.go.id. 2007.
Rencana Induk Pengelolaan Kawasan Perbatasan
Antar Negara‐Buku Utama, Prinsip Dasar, Arah
Kebijakan, Strategi dan Program Pembangunan,
Jakarta, Indonesia.
[21] Yunus, H.S. 1999. Struktur Tata Ruang Kota.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
IRWNS 2013
9
Pengaruh Kualitas Sistem Informasi, Kualitas Informasi, Dan Kualitas
Pelayanan Terhadap Kepuasan Pengguna Sistem Informasi pada Bank
Umum di Bandung
Ferdiansyah Ritonga
a, Fery Fitri Yanto
b
aSekolah Tinggi Ilmu Ekonomi STAN-Indonesia Mandiri, Mahasiswa Program Doktor Akuntansi, FEB Universitas Padjadjaran Bandung
E-mail : [email protected]
bSekolah Tinggi Ilmu Ekonomi STAN-Indonesia Mandiri
E-mail : [email protected]
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah menganalisis mengenai pengaruh kualitas sistem informasi, kualitas informasi, dan kualitas
pelayanan terhadap kepuasan pemgguna sistem informasi.
Sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah sebanyak 50 karyawan pengguna sistem informasi pada Bank Umum di
Bandung. Dengan menggunakan analisis regresi berganda, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kualitas sistem informasi
memiliki pengaruh positif tidak signifikan terhadap kepuasan pengguna sistem informasi, sedangkan kualitas informasi dan
kualitas pelayanan memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan pengguna sistem informasi.
Besarnya nilai koefisien determinasi untuk variabel kualitas sistem informasi, kualitas informasi dan kualitas pelayanan adalah
39,7%, sisanya 60,3% dijelaskan oleh variabel-variabel lain yang mungkin mempengaruhi kualitas sistem informasi, kualitas
informasi, dan kualitas pelayanan.
Temuan dalam penelitian ini menjelaskan bahwa jika bank umum di Bandung ingin meningkatan kepuasan pengguna sistem
informasinya maka sebaiknya para penyedia program memberikan sistem informasi yang mudah digunakan, sesuai dengan
kebutuhan serta pelayanan yang baik dari penyedia sistem informasi tersebut.
Kata Kunci
Kualitas sistem informasi, kualitas informasi, kualitas pelayanan, dan kepuasan pengguna sistem informasi
1. PENDAHULUAN
Pada era globalisasi ini, banyak perusahaan yang
menggunakan fasilitas-fasilitas atau alat bantu untuk
memperlancar kegiatan usahanya. Salah satunya dengan
cara menerapkan sistem untuk mempermudah pekerjaan
para pegawainya. Maka dari itu topik mengenai kepuasan
pengguna sistem informasi menjadi menarik untuk diteliti,
karena topik ini akan menjadi tolak ukur dari setiap sistem
yang digunakan oleh perusahaan saat ini.
Seddon (1997) dalam Iranto (2012) menyatakan bahwa
penggunaan sistem informasi merupakan perilaku yang
muncul akibat adanya keuntungan atas pemakaian sistem
informasi tersebut. Perilaku yang ditimbulkan dari
pemakaian sistem informasi ini dalam proses selanjutnya
diharapkan akan memberikan dampak terhadap kinerja
individu. Keberhasilan sistem informasi suatu perusahaan
tergantung bagaimana sistem itu dijalankan, kemudahan
sistem itu bagi para pemakainya, dan pemanfaatan
teknologi yang digunakan (Goodhue, 1995). Kepuasaan
pengguna akhir sistem informasi dapat dijadikan sebagai
salah satu ukuran keberhasilan suatu sistem informasi (Doll
dan Torkzadeh, 1988).
Kepuasan pemakai terhadap suatu sistem informasi adalah
bagaimana cara pemakai memandang sistem informasi
secara nyata, tapi tidak pada kualitas sistem secara teknik
(Guimaraes, Staples, dan McKeen, 2003). Dalam literatur
penelitian, user satisfaction seringkali digunakan sebagai
ukuran pengganti dari efektivitas sistem informasi (Melone,
1990).
Penelitian di Indonesia atas instrumen kepuasan pengguna
sistem informasi telah dilakukan oleh Purwaningsih (2010)
dimana penelitian tersebut dilakukan pada sistem informasi
pelayanan terpadu (SIPT) online di PT Jamsostek dengan
menggunakan variabel kualitas sistem, kualitas informasi,
dan kualitas pelayanan sebagai variabel yang
mempengaruhinya. Hasil penelitian tersebut menunjukkan
bahwa kualitas sistem informasi, kualitas informasi, dan
kualitas pelayanan berpengaruh positif dan signifikan
terhadap kepuasan pengguna sistem informasi. Hasil
penelitian ini juga mendukung hasil penelitian yang
dilakukan oleh Istianingsih (2007), Istianingsih dan Wijanto
(2008), serta Istianingsih dan Utami (2009).
Penelitian mengenai kualitas sistem informasi terhadap
kepuasan pengguna sistem informasi telah banyak
dilakukan. Beberapa diantaranya penelitian yang dilakukan
oleh Kim et. al (2002) dan, Chiu et. al (2007) yang
IRWNS 2013
10
menyatakan bahwa kualitas sistem berpengaruh positif
signifikan terhadap kepuasan pengguna. Temuan tersebut
berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Premkumar
et. al (1994) yang menyatakan bahwa kualitas sistem tidak
berpengaruh terhadap kepuasan pengguna sistem informasi.
Selanjutnya, mengenai hubungan kualitas informasi
terhadap kepuasan pengguna sistem informasi juga telah
banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti terdahulu. Beberapa
diantaranya, penelitian yang dilakukan oleh Kim et. al
(2002) dan, Chiu et. al (2007) yang menyatakan bahwa
kualitas informasi berpengaruh positif signifikan terhadap
kepuasan pengguna sistem informasi. Hal tersebut berbeda
dengan temuan atas penelitian yang dilakukan oleh Marble
(2003) yang menyatakan bahwa kualitas informasi tidak
berpengaruh terhadap kepuasan pengguna sistem informasi.
Selain itu penelitian mengenai kualitas pelayanan terhadap
kepuasan pengguna telah banyak juga dilakukan. Beberapa
diantaranya, penelitan yang dilakukan oleh Kettinger & Lee
(1994), dan Yoon et. al (1995) yang menyatakan bahwa
kualitas pelayanan berpengaruh positif terhadap kepuasan
pengguna. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh
Choe (1996) dan Chiu et. al (2007) yang menyatakan
bahwa kualitas pelayanan tidak berpengaruh terhadap
kepuasan pengguna.
Penelitian ini berusaha mengkaji kembali pengaruh kualitas
sistem informasi, kualitas informasi, dan kualitas pelayanan
terhadap kepuasan pengguna pada pengguna sistem
informasi yang bekerja di bank umum yang ada di
Bandung.
2. REVIEW LITERATUR DAN PENGEMBANGAN
HIPOTESIS
a. Kualitas Sistem Informasi
Menurut Delone dan Mclean (1992) dalam Livari (2005)
mengasumsikan bahwa kualitas sistem dan kualitas
informasi, secara individual dan bersama-sama
mempengaruhi kepuasan pengguna dan penggunaannya.
Penggunaan dan kepuasan pengguna menjadi timbal balik
saling terkait, dan dianggap langsung memiliki dampak
individu, yang kemudian dampak individu ini
mempengaruhi organisasi. Ukuran kepuasan pemakai
sistem komputer dicerminkan oleh kualitas sistem yang
dimiliki (Guimaraes, Igbaria, dan Lu 1992; Yoon,
Guimaraes, dan O‟Neal, 1995). Apabila kualitas sistem
informasi baik menurut persepsi penggunanya, maka
mereka akan cenderung merasa puas dalam menggunakan
sistem tersebut.
Kualitas sistem informasi menurut Davis et.al (1989) dan,
Chin dan Todd (1995) sebagai perceived ease of use yang
merupakan tingkat seberapa besar teknologi komputer
dirasakan relatif mudah untuk dipahami dan digunakan.
Kualitas sistem informasi memerlukan indikator untuk
mengukur seberapa besar kualitas dari sistem informasi.
Kualitas sistem informasi dapat diukur melalui beberapa
indikator yaitu ease of use, response time, reliability,
flexibility, dan security.
b. Kualitas Informasi
Kualitas informasi merupakan kualitas keluaran (output)
yang berupa informasi yang dihasilkan oleh sistem
informasi yang digunakan (DeLone dan McLean, 1992
dalam Iranto, 2011). semakin tinggi kualitas informasi yang
dihasilkan suatu sistem informasi, akan semakin
meningkatkan kepuasan pemakai. Agar informasi akuntansi
yang disajikan dalam bentuk laporan dapat digunakan
sebagai dasar pembuatan keputusan, maka bagian akuntansi
dituntut untuk dapat menyajikan informasi akuntansi yang
relevan, akurat, dan tepat waktu.
Menurut Schaup et. al (2009) dalam Sumiyono dan Pribadi
(2010) berpendapat bahwa kualitas sistem dan kualitas
informasi merupakan elemen-elemen untuk memprediksi
kepuasan pengguna sistem informasi. Kualitas informasi
didefinisikan sebagai derajat hasil informasi dari sistem
informasi yang akurat, relevan, lengkap, dan dalam format
yang diperlukan oleh pengguna sistem informasi.
Sedangkan menurut Theo et. al (2008) dalam Sumiyono
dan Pribadi (2010) berpendapat bahwa kualitas informasi
adalah penilaian orang-orang kepada informasi atas website
yang akurat, valid, dan tepat waktu.
Menurut Rai et. al (2002), kualitas informasi merupakan
output yang berupa informasi yang dihasilkan oleh sistem
informasi yang digunakan. Beberapa dimensi untuk menilai
mengenai kualitas informasi ini adalah authenticity,
accuracy, completeness, uniqueness (nonredudancy),
timeliness, relevance, comprehensibility, precision,
conciceness, dan informativeness (Weber, 1999).
Selanjutnya menurut Hilton et. al (2000:551) dalam Solikin
dan Kustiawan ( 2009) menjelaskan bahwa informasi
akuntansi yang berkualitas harus memenuhi tiga
karakteristik yaitu relevence, accuracy, dan timeliness.
c. Kualitas Pelayanan
Kualitas layanan merupakan persepsi pengguna atas jasa
yang diberikan oleh penyedia paket program aplikasi
akuntansi. Pada awalnya ukuran kualitas layanan ini di
desain untuk mengukur kepuasan pelanggan oleh
Parasuraman, Zeithaml, dan Berry (1985). Mereka
mendefinisikan kualitas pelayanan sebagai perbandingan
antara harapan pelanggan dan persepsi mereka tentang
kualitas layanan pelanggan yang diberikan. Dimensi-
dimensi dari kualitas pelayanan yaitu terdiri dari tangibles,
reliability, responsiveness, assurance , dan emphaty.
Myers et. al (1997), menyatakan bahwa kualitas layanan
seperti halnya dengan kualitas sistem dan kualitas informasi
memiliki pengaruh terhadap kepuasan pengguna. Apabila
pengguna sistem informasi merasakan bahwa kualitas
layanan yang diberikan oleh penyedia paket program
aplikasi akuntansi baik, maka ia akan cenderung untuk
IRWNS 2013
11
merasa puas menggunakan sistem tersebut. Selanjutnya
menurut Kotler (1997), kualitas layanan adalah suatu daya
tanggap dan realitas dari jasa yang diberikan perusahaan.
Kualitas pelayanan harus dimulai dari kebutuhan pelanggan
dan berakhir pada persepsi pelanggan.
d. Kepuasan Pengguna
Menurut Seddon dan Kiew (1994) dalam Wirahutama
(2011), kepuasan pengguna adalah keseluruhan evaluasi
dari pengalaman pengguna dalam menggunakan sistem
informasi dan dampak potensial dari sistem informasi. User
satisfaction dapat dihubungkan dengan persepsi manfaat (
usefulness) dan sikap pengguna terhadap sistem informasi
yang dipengaruhi oleh karakteristik personal. Kepuasan
pengguna akan mempengaruhi niat untuk menggunakan
sistem informasi dan penggunaan actual.
Menurut Seddon dan Kiew (1994) dalam Wirahutama
(2011), kepuasan pengguna merupakan perasaan bersih dari
senang atau tidak senang dalam menerima sistem informasi
dari keseluruhan manfaat yang diharapkan seseorang
dimana perasaan tersebut dihasilkan dari interaksi dengan
sistem informasi. Selanjutnya menurut Livari (2005) dalam
Purwaningsih (2010), sebuah sistem informasi yang dapat
memenuhi kebutuhan pengguna akan meningkatkan
kepuasan pengguna. Hal ini diwujudkan dengan
kecenderungan peningkatan penggunaan sistem informasi
tersebut. Sebaliknya, jika sistem informasi tidak dapat
memenuhi kebutuhan pengguna maka kepuasaan pengguna
tidak akan meningkat dan penggunaan lebih lanjut akan
dihindari.
e. Hubungan antara Kualitas Sistem Informasi,
Kualitas Informasi, Kualitas Pelayanan dengan
Kepuasan Pengguna Sistem Informasi
Penelitian-penelitian mengenai kualitas sistem informasi,
kualitas informasi, dan kualitas pelayanan terhadap
kepuasan pengguna sudah banyak dilakukan. Dan hasil
penelitian tersebut menunjukkan hasil positif signifikan,
baik duji secara simultan maupun secara parsial. Penelitian
yang dilakukan oleh Istianingsih pada tahun 2009, dimana
penelitian ini dilakukan di Indonesia terhadap para
pengguna aplikasi sistem informasi akuntansi. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa kualitas sistem
informasi dan kualitas informasi berpengaruh positif
terhadap kepuasan pengguna sistem informasi. Hasil
penelitian ini mendukung hasil penelitian sebelumnya yang
dilakukan oleh DeLone dan McLean (1992) dan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Seddon (1997).
Penelitian yang dilakukan oleh Purwaningsih pada tahun
2010, di PT Jamsostek (PERSERO). Dimana hasil
penelitian ini menemukan bahwa kualitas informasi
berpengaruh positif signifikan terhadap kepuasan
pengguna. Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian
sebelumnya oleh Roldan dan Leal (2003) serta hasil
penelitian Livari (2005). Selain itu, penelitian ini
menunjukkan bahwa kualitas pelayanan sistem informasi
berpengaruh positif signifikan terhadap kepuasan
pengguna. Hasil ini pun mendukung hasil penelitian
sebelumnya yang dilakukan oleh Pit et.al (1995), hasil
penelitian Myers et.al (1997) yang menunjukkan hasil yang
sama, dan hasil penelitian Lin (2007).
Selanjutnya penelitian lain yang dilakukan oleh Iranto pada
tahun 2012, yang dilakukan di PT.PLN (PERSERO) daerah
Jawa tengah dan DIY. Dimana hasil penelitian ini
menghasilkan bahwa kualitas sistem berpengaruh positif
terhadap kepuasan pengguna sistem informasi. Selain itu
penelitiannya menunjukkan bahwa kualitas informasi
berpengaruh positif signifikan terhadap kepuasan pengguna
sistem informasi. Hasil penelitian ini mendukung hasil
penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Seddon dan
Kiew (1996) dan hasil penelitian McGill et.al (1998).
Berdasarkan logika dari hasil penelitian diatas serta
simpulan dari landasan teori yang ada, maka dapat
digambarkan model penelitian sebagai berikut :
Gambar 1: Model Penelitian
Dari gambar diatas maka dapat dirumuskan hipotesis bahwa
kualitas sistem informasi, kualitas informasi, dan kualitas
pelayanan berpengaruh positif dan signifikan terhadap
kepuasan pengguna baik secara simultan maupun secara
parsial.
2. METODE DAN PROSEDUR PENELITIAN
Populasi target dalam penelitian ini adalah seluruh staf
yang bekerja pada bank umum yang ada di Bandung yang
secara aktif merupakan pengguna sistem informasi
akuntansi dalam melaksanakan pekerjaannya. Teknik
penarikan sampel (sampling) yang digunakan dalam
penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik acak
sederhana (simple random sampling). Sampel yang
diperoleh dalam penelitian ini adalah sebanyak 50 orang
staf yang bekerja di bank umum di wilayah Kota Bandung.
Instrumen pengukuran adalah alat bantu yang digunakan
oleh peneliti untuk mengumpulkan data. Adapun instrumen
yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner.
Untuk instrumen pengukuran dari variabel kualitas sistem
informasi, kualitas informasi, dan kepuasan pengguna
Kualitas Sistem
Informasi
Kualitas
Informasi
Kualitas
Pelayanan
Kepuasan
Pengguna
IRWNS 2013
12
diadopsi dari Sedera dan Gable (2004). Untuk variabel
kualitas sistem informasi terdiri dari 9 (sembilan)
pernyataan, kualitas informasi terdiri dari 6 (enam)
pernyataan, dan kepuasan pengguna sistem informasi terdiri
dari 7 (tujuh) pernyataan. Sedangkan untuk instrumen
pengukuran variabel kualitas pelayanan peneliti
mengadopsi dari instrumen Parasuraman dan Berry (1988),
yang menggunakan 7 (tujuh) likert yang terdiri dari 5
pernyataan. Dimana point 1 (satu) menyatakan sangat tidak
setuju, sedangkan point 7 (tujuh) menyatakan sangat setuju.
Model pemecahan masalah yang digunakan dalam
penelitian ini adalah analisis regresi berganda. Analisis
regresi merupakan salah satu analisis yang menjelaskan
tentang akibat-akibat dan besarnya akibat yang ditimbulkan
oleh satu atau lebih variabel bebas terhadap satu variabel
terikat (Sudarmanto, 2005:1).
3. TEMUAN-TEMUAN
a. Pengujian Kualitas Instrumen
Berikut ini tersaji resume dari hasil pengujian validitas dan
reliabilitas instrumen pengukuran yang digunakan dalam
penelitian ini untuk masing-masing variabelnya:
Tabel 1: Uji Validitas dan Reliabilitas
Variabel Koefisien
Pearson
Koefisien
Cronbach-Alpha
Kualitas Sistem Informasi 0,519-0,817 0,891
Kualitas Informasi 0,636-0,820 0,849
Kualitas Pelayanan 0,424-0,690 0,637
Kepuasan Pengguna 0,559-0,792 0,760
Berdasarkan tabel 1 diatas maka dapat disimpulkan bahwa
semua item dari instrumen pernyataan mengenai variabel
yang menjadi kepentingan dinyatakan valid. Dikarenakan
semua hasil korelasi tiap item dengan total item melampaui
kriteria yang ditetapkan yaitu 0.30. Selanjutnya untuk
masing-masing instrumen pengukuran adalah reliabel
karena koefisien Cronbach Alpha dari masing-masing
variabel adalah lebih besar dari 0.60.
b. Analisis Korelasi
Analisis korelasi ini bertujuan untuk mengetahui seberapa
besar nilai koefisien korelasi antara variabel independen
dengan variabel dependen. Hasil yang lebih rincinya
dijelaskan pada tabel di bawah ini :
Tabel 2: Analisis Korelasi
KSI KI KP KPSI
KSI
Pearson Correlation 1 ,551** ,206 ,427**
Sig. (2-tailed) ,000 ,151 ,002
N 50 50 50 50
KI
Pearson Correlation ,551** 1 ,382** ,538**
Sig. (2-tailed) ,000 ,006 ,000
N 50 50 50 50
KP
Pearson Correlation ,206 ,382** 1 ,470**
Sig. (2-tailed) ,151 ,006 ,001
N 50 50 50 50
KPSI
Pearson Correlation ,427** ,538** ,470** 1
Sig. (2-tailed) ,002 ,000 ,001
N 50 50 50 50
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Berdasarkan hasil pengolahan data tersebut, ditemukan
bahwa seluruh variabel independen, yaitu kualitas sistem
informasi, kualitas informasi dan kualitas pelayanan
memiliki korelasi positif dan signifikan dengan variabel
kepuasan pengguna.
Kualitas sistem informasi berkorelasi positif signifikan
dengan kepuasan pengguna , dengan koefisien korelasi
0,427 pada tingkat signifikansi 0,01. Untuk korelasi antara
kualitas informasi dengan kepuasan pengguna, koefisien
korelasi adalah sebesar 0,538 pada tingkat signifikansi 0,01.
Selanjutnya variabel kualitas pelayanan memiliki korelasi
positif signifikan dengan kepuasan pengguna, dengan
koefisien korelasi 0,470 pada tingkat signifikansi 0,01.
c. Pengujian Hipotesis
Pengujian hipotesis dilakukan untuk menguji ada tidaknya
hubungan antara variabel independen terhadap variabel
dependen. Adapun pengujian hipotesis statistiknya
dilakukan dengan dua pengujian, yaitu uji F (uji Simultan)
dan uji t (uji individual). Hasil pengujian hipotesis dapat
dilihat pada tabel berikut ini :
Berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh nilai signifikansi
sebesar (0,000) dan signifikan pada (0,05). Hal ini berarti
kualitas sistem informasi, kualitas informasi, dan kualitas
pelayanan secara bersama-sama (simultan) berpengaruh
terhadap variabel kepuasan pengguna sistem informasi pada
bank umum di Bandung.
Tabel 3: ANOVAa
Model Sum of
Squares
Df Mean
Square
F Sig.
1
Regression 3,661 3 1,220 10,088 ,000b
Residual 5,564 46 ,121
Total 9,224 49
a. Dependent Variable: KPSI
b. Predictors: (Constant), KP, KSI, KI
IRWNS 2013
13
Tabel 4: Coefficients a
Model Unstandardized Coefficients
Standardized Coefficients
t Sig.
B Std. Error Beta
1
(Constant) 1,847 ,707 2,613 ,012
KSI ,143 ,103 ,190 1,382 ,174
KI ,257 ,119 ,315 2,168 ,035
KP 1,203 ,480 ,311 2,508 ,016
a. Dependent variable : KPSI
Dari tabel uji t diatas beberapa hal dapat dikemukakan
sebagai berikut :
Variabel Kualitas Sistem Informasi memiliki nilai
signifikansi sebesar (0,174) pada tingkat signifikansi
(0,05). Ketentuan pengambilan keputusan hipotesis
diterima atau ditolak didasarkan pada besarnya nilai
signifikansi. Jika signifikansi lebih kecil atau sama
dengan 0,05 (≤ 0,05) maka hipotesis kerja diterima dan
sebaliknya. Karena 0,174 > 0,05 maka hipotesis bahwa
“kualitas sistem informasi berpengaruh positif
signifikan terhadap kepuasan pengguna”, tidak dapat
dikonfirmasikan oleh data.
Variabel Kualitas Informasi memiliki nilai signifikansi
sebesar (0,035). Hasil penelitian diperoleh nilai
signifikansi sebesar 0,035 < 0,05; maka disimpulkan
bahwa hipotesis “kualitas informasi berpengaruh positif
signifikan terhadap kepuasan pengguna, dapat
dikonfirmasikan oleh data.
Variabel Kualitas Pelayanan memiliki nilai signifikansi
sebesar (0,016) pada tingkat signifikansi (0,05). Karena
0,016 < 0,05 maka hipotesis yang berbunyi “kualitas
pelayanan berpengaruh positif terhadap kepuasan
pengguna‖, dapat dikonfirmasikan oleh data.
Tabel 5: Model Summary
Model R R Square Adjusted R Square
Std. Error of the Estimate
1 ,630a ,397 ,357 ,34779
a. Predictor : (Constant), KSI, KI, KPSI
Pada tabel 5 menunjukkan bahwa koefisien determinasi
yang ditunjukkan dari nilai R2 sebesar 0,397 atau 39,7%.
Hal ini berarti bahwa 39,7% variabel dependen yaitu
kepuasan pengguna dapat dijelaskan oleh tiga variabel
independen yaitu kualitas sistem informasi, kualitas
informasi, dan kualitas pelayanan sedangkan sisanya
sebesar 60,3% kepuasan pengguna dijelaskan oleh variabel
atau sebab-sebab lannya diluar model.
4. DISKUSI, IMPLIKASI, DAN KETERBATASAN
Setelah melalui beberapa pengujian, hipotesis-hipotesis
yang diajukan dalam penelitian ini diajukan 3 (tiga)
hipotesis, sedangkan hanya 2 (dua) hipotesis dapat
dikonfirmasikan dan 1 (satu ) hipotesis lain tidak dapat
dikonfirmasikan.
Hasil dari pengujian hipotesis yang pertama menunjukkan
bahwa variabel kualitas sistem informasi memiliki
pengaruh positif yang tidak signifikan terhadap kepuasan
pengguna sistem informasi. karena itu, hipotesis pertama
tidak dapat dikonfirmasikan. Sama halnya dengan
penelitian yang dilakukan oleh Premkumar et al (1994)
yang menunjukkan adanya pengaruh positif yang tidak
signifikan dari kualitas sistem informasi terhadap kepuasan
pengguna sistem informasi. berbeda dengan hasil penelitian
yang dilakukan oleh Kim et al (2002) dan hasil penelitian
Chiu et al (2007) yang menyatakan bahwa kualitas sistem
informasi berpengaruh positif signifikan terhadap kepuasan
pengguna sistem informasi.
Hasil pengujian hipotesis yang kedua menunjukkan bahwa
variabel kualitas informasi memiliki pengaruh positif yang
signifikan terhadap variabel kepuasan pengguna sistem
informasi. karena itu, hipotesis kedua dapat
dikonfirmasikan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh para ahli, seperti Kim et al (2002) dan Chiu
et al (2007). Dan hasil penelitian ini berbeda dengan hasil
penelitian yang dilakukan dengan oleh Marble (2003) yang
menyatakan bahwa kualitas informasi tidak berpengaruh
terhadap kepuasan pengguna sistem informasi.
Hasil pengujian hipotesis yang ketiga menunjukkan bahwa
variabel kepuasan pelayanan memiliki pengaruh positif
yang signifikan terhadap kepuasan pengguna sistem
informasi. karena itu, hipotesis ketiga dapat
dikonfirmasikan. Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh para ahli sebelumnya seperti
Kettinger & Lee (1994) dan Yoon et al (1995). Sedangkan
hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian
yang dilakukan oleh Choe (1996) dan Chiu et al (2007)
yang menyatakan bahwa variabel kualitas pelayanan tidak
berpengaruh terhadap kepuasan pengguna sistem informasi.
Hasil dari penelitian ini memiliki implikasi teoritis dan
praktis yang dapat memberikan gambaran mengenai
rujukan-rujukan yang dipergunakan dalam penelitian ini.
Implikasi teoritis dikembangkan untuk memperkuat
dukungan atas beberapa peneliti terdahulu yang menjadi
rujukan pada penelitian ini. Konsep-konsep tentang teoritis
dan dukungan empiris mengenai hubungan kualitas antar
variabel-variabel yang mempengaruhi kepuasan pengguna
sistem informasi pada hal berikut ini :
1. Hasil penelitian yang diperoleh pada penelitian ini
menyatakan bahwa variabel kualitas sistem informasi
tidak berpengaruh terhadap kepuasan pengguna sistem
informasi. hal ini mungkin dapat terjadi dikarenakan
user merangkap sebagai develepor system. Hasil
penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh McGill et al (1998) bahwa ternyata tidak
terdapat hubungan yang signifikan antara system quality
dengan user satisfaction apabila user merangkap
sebagai developer system. Secara praktis jika ingin
meningkatkan kepuasan pengguna sistem informasi,
maka sebaiknya para penyedia program memberikan
kualitas sistem informasi yang mudah digunakan, sesuai
dengan pernyataan yang diberikan pada kuesioner KSI1.
Karena hal itu menjadi acuan bagi para pengguna sistem
IRWNS 2013
14
informasi, apabila mudah digunakan akan semakin
meningkatnya kepuasan pengguna sistem informasi.
2. Hasil penelitian yang diperoleh dalam penelitian ini
menyatakan bahwa variabel kualitas informasi
berpengaruh positif signifikan terhadap kepuasan
pengguna sistem informasi. hal ini ditunjukkan dengan
dimensi kualitas informasi sebagai pendukung betapa
pentingnya kualitas informasi terhadap kepuasan
pengguna sistem informasi. Menurut Webber (1999),
beberapa dimensi mengenai kualitas informasi adalah
authenticity, accuracy, completeness, uniqueness,
timeliness, relevance, comprehensibility, precision,
conciceness, dan informativeness. Hasil penelitian ini
sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Seddon
dan Kiew (1996) bahwa kualitas informasi berpengaruh
positif signifikan terhadap kepuasan pengguna sistem
informasi. semakin baik kualitas informasi akan
semakin meningkatkan kepuasan pengguna sistem
informasi. Dengan demikian secara praktis jika ingin
meningkatkan kepuasan pengguna sistem informasi,
maka sebaiknya kualitas informasi yang dihasilkan
sesuai dengan kebutuhan para pengguna sistem
informasi. hal ini sesuai dengan hasil kuesioner KI4.
Apabila kualitas informasi sesuai dengan kebutuhan,
para pengguna sistem informasi akan merasakan
kepuasan.
3. Hasil penelitian yang diperoleh dalam penelitian ini
adalah kualitas pelayanan berpengaruh positif terhadap
kepuasan pengguna sistem informasi. Menurut Myers et
al (1997) menyatakan bahwa kualitas pelayanan sama
hal nya dengan kualitas sistem informasi dan kualitas
informasi memiliki pengaruh terhadap kepuasan
pengguna sistem informasi. apabila pengguna sistem
informasi merasakan bahwa kualitas pelayanan yang
diberikan oleh penyedia program aplikasi akuntansi
baik, maka ia cenderung akan merasa puas
menggunakan sistem tersebut. Dengan demikian apabila
penyedia sistem informasi menyediakan kebutuhan
pengguna informasi, para pengguna sistem informasi
akan merasa puas.
Setelah melakukan analisis data dan pengujian-pengujian
serta interpretasi dari hasil penelitian, terdapat beberapa hal
yang menjadi keterbatasan dalam penelitian ini, yaitu :
1. Perbedaan kondisi lingkungan dimana penelitian
dilakukan. Perbedaan kondisi lingkungan dapat
memberikan pemahaman yang berbeda.
2. Terdapat kemungkinan bias dari sifat kuesioner.
Meskipun kuesioner telah divalidasi, pengisian
kuesioner dari responden belum tentu mencerminkan
pandangan responden yang sesungguhnya.
3. Sampel yang diambil hanya sebanyak 50 responden,
jumlah sampel ini terbatas. Karena banyaknya turn over
para pengguna sistem informasi yang menyebabkan
jumlah populasi tidak dapat diketahui secara pasti.
4. Untuk variabel kualitas pelayanan menunjukkan hasil
yang tidak reliabel, hal ini menjadi keterbatasan peneliti
dikarenakan responden yang mengisi kuesioner belum
tentu mencerminkan yang sebenarnya.
DAFTAR PUSTAKA [1] Bodnar, George, H. & Hoopwood, William, S.,
2001. Accounting Information System. Eight
Edition. New jersey : Prentice Hall Inc. [2] Chin, Wynne. W., and Todd, Peter, A. 1995. On The
Use, Usefullness, and Ease of Use A Structural
Equation Modeling in MIS Research : A Note of
Caution. MIS Quarterly, 19: 237-346. [3] Choe, J.M. 1996. The Relationships Among
Performance of Accounting Information System,
Influence Factors, And Evolution Level of
Information System. Journal of Management
Information System, Vol.12 No.4, pp.215-239. [4] DeLone, W.J., and McLean, E.R. 1992. The DeLone
McLean of Information System Success: A ten-Year
Update. Journal of Management Information,
Vol.19, No.4.pp. 9-30. [5] Doll, W.J., Xia, W., and Torkzadeh, G. 1994. A
Conformatory Factor Analysis of the end-user
Computing Satisfaction Instrument. MIS Quarterly,
12(2): 159-174. [6] Ghozali, Imam 2001, Aplikasi Analisis Multivariat
dengan Program SPSS, Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, Semarang. [7] Guimaraes, T., D.S.Staples, and J.D.McKeen. 2007.
Assessing the Impact From Information System
Quality. Quality Management Journal, 14(1): 30-
44. [8] Istianingsih, dan Wijanto. 2008. Pengaruh Kualitas
Sistem Informasi, Kualitas Informasi, dan Perceived
Usefullness terhadap Kepuasan Pengguna Software
Akuntansi. Simposium Nasional Akuntansi IX,
Pontianak. [9] Kettinger, W.J., and Lee, C.C. 1994. Perceived
Service Quality and User Satisfaction with the
Information Service function. Decision Science, 25
(5,6): 737-776. [10] Livari, Juhani. 2005. An Empirical Test of the
Delone and McLean Model of Information System
Success. Database for Advances in information
Systems. Spring, 36(2): 8-27. [11] McGill, Tanya, Hobbs, Valerie, & Klobas, Jane.
2003. User-Developed Applications and Information
Systems Success: a Test of DeLone and McLean‟s
Model. Information resource Management
Journal, 16(1): 24-45. [12] Rai, A., Lang, S.S., and Welker, R.B. 2002.
Assessing the Validity of IS Success Models: An
Empirical Test and Theoretical Analysis.
Information System Research, vol.13 pp. 29-34. [13] Sugiyono. 2009. Statistika Untuk Penelitian.
Bandung: Alfa Beta, Anggota IKAPI. [14] Watson, R.T., Pitt, L.F., & Kavan, C.B. 1998.
Measuring Information System Service Quality:
Lessons from Two Longitudinal Case Studies. MIS
Quarterly, 22(1): 61-79.
IRWNS 2013
15
[15] Webber, Ron. 1999. Information System Control
and Audit. First Edition. New Jersey: Prentice Hall
International Inc.
[16] Yoon, Y., T. Guimaraes, and Q. O‟Neal. 1995.
Exploring the factors associated with expertsystems
success. MIS Quarterly, 19(1): 83-106.
IRWNS 2013
16
Model Perjanjian Kerja Yang Memberikan Perlindungan Hukum
Bagi Pekerja Kontrak Di Perguruan Tinggi Negeri Badan
Layanan Umum
Sumiyati, Susanti Ita, Purwaningsih, S.S. E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Perguruan Tinggi Negeri (PTN) Badan Layanan Umum (BLU) sebagai institusi pemerintah di bidang pendidikan yang
seharusnya membantu masyarakat untuk lebih memahami ketentuan atau peraturan perundang-undangan yang dapat
memberikan perlindungan kepada masyarakat, merupakan institusi yang mempekerjakan pekerja kontrak. Hal ini dilakukan
mengingat semakin terbatasnya kesempatan untuk mengangkat Pegawai Negeri Sipil (PNS) dikarenakan terbatasnya anggaran
belanja pegawai negara, serta berlakunya kebijakan moratorium PNS. Keleluasaan yang diberikan oleh Peraturan Pemerintah
tentang BLU dalam mengelola institusinya termasuk sumber daya manusianya, memberikan kesempatan yang luas kepada
institusi BLU termasuk PTN BLU untuk memanfaatkan pekerja kontrak.
Perjanjian kerja tidak selalu dapat memberikan perlindungan hukum kepada pekerja yang disebabkan oleh faktor tidak
dipahaminya makna perjanjian kerja tersebut, sehingga kerap kali dijadikan alat oleh pemberi kerja (majikan) untuk
membuatnya dalam suatu format baku yang berisi ketentuan-ketentuan yang lebih menguntungkan pihaknya. Oleh karena itu,
diperlukan pemodelan dari perjanjian kerja bagi pekerja kontrak yang seharusnya berisi hak-hak pekerja, sebagai bentuk
perlindungan hukum yang efektif.
Dalam kajian ini, melalui metode pendekatan yuridis empiris dan teknik pengumpulan data berupa studi dokumen serta studi
lapangan, yang dilakukan terhadap data sekunder, dilakukan pengujian terhadap model perjanjian kerja bagi pekerja kontrak di
PTN BLU, dan diperoleh hasil bahwa model perjanjian kerja yang baru bagi pekerja kontrak di PTN BLU lebih memberikan
perlindungan hukum bagi pekerja kontrak tersebut.
Kata Kunci
Perjanjian Kerja, Perlindungan Hukum, PTN BLU.
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hubungan kerja kerap kali dipergunakan oleh majikan
sebagai upaya lain untuk menyiasati hukum, baik itu
sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
maupun sesudahnya. Meskipun undang-undang yang baru
secara implisit tidak membenarkan hubungan kerja
semacam itu, namun untuk pekerjaan tertentu serta
berjangka waktu, masih sering ditemukan.
Menurut Gunarto (2000:2), para pekerja/karyawan ini
memang tidak banyak punya pilihan lain, karena
pengangguran terbuka secara nasional melebihi 11,6 juta
orang, pengangguran tertutup 30 juta orang dari penawaran
tenaga kerja lebih dari 106,9 juta orang. Sementara itu
banyak pula perusahaan yang kalah bersaing dengan produk
import, sedangkan produk ekspor juga menurun karena
biaya produksi yang tinggi di dalam negeri.
Di sisi lain, para pekerja kontrak ini perlu diberikan
perlindungan hukum karena alasan menyelamatkan
angkatan kerja yang sangat potensial. Selain itu untuk
melakukan gerak kemajuan ekonomi negara secara umum.
Kebanyakan tenaga kontrak ini adalah tenaga kerja yang
profesional di bidangnya, muda dalam usia dan
mempunyai semangat kerja yang baik. Kekurangan mereka
kebanyakan adalah tidak dimilikinya kesempatan dan tidak
mempunyai hubungan khusus dengan para penentu
kebijaksanaan perusahaan.
Perguruan Tinggi Negeri (PTN) Badan Layanan Umum
(BLU) sebagai institusi pemerintah, merupakan institusi
yang mempekerjakan pekerja kontrak. Hal ini dilakukan
mengingat semakin terbatasnya kesempatan untuk
mengangkat Pegawai Negeri Sipil (PNS), karena anggaran
belanja pegawai negara yang kecil, serta dengan
dikeluarkan kebijakan berupa moratorium PNS sebagai
salah satu bentuk pembenahan disegala lini pemerintahan
guna mendukung terwujudnya program reformasi birokrasi
yang dicanangkan pemerintah sejak lima tahun yang lalu.
Selain itu, adanya kebijakan yang mengharuskan setiap
perguruan tinggi menjadi sebuah Badan Hukum Pendidikan
(BHP) sesuai Undang-Undang No. 9 Tahun 2009,
menyebabkan setiap perguruan tinggi harus siap mandiri
dalam segala hal, termasuk dalam pengembangan sumber
daya manusia. Walaupun kemudian undang-undang
tersebut dicabut, namun adanya peraturan lain yaitu
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang
Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum
menyebabkan PTN harus tetap siap untuk menjadi mandiri,
terutama dalam hal pengelolaan keuangannya dan hal ini
harus selalu didukung oleh pengelolaan sumber daya
manusia yang baik.
IRWNS 2013
17
Salah satu upaya pengembangan sumber daya manusia
adalah mengangkat pekerja kontrak sesuai ketentuan
perundangan di bidang ketenagakerjaan. PTN BLU sebagai
sebuah institusi tentu melakukan pengangkatan pekerja
kontrak, terutama untuk tenaga kerja baru sebelum
dilakukan penerimaan PNS atau untuk tenaga kerja yang
melaksanakan pekerjaan dalam bentuk kontrak paruh waktu
atau kontrak waktu kerja tertentu. Kebutuhan akan pekerja
kontrak di bidang-bidang tertentu tersebut mengharuskan
PTN BLU berpikir seperti seorang pengusaha, karena
seperti dikatakan oleh Robert Cooter (1998:12), sudah
menjadi sifat pengusaha untuk terus melakukan efisiensi
dan maksimalisasi hasil usaha, termasuk dalam hal
mengangkat pekerja kontrak. Walaupun menurut Gunarto
(2000:25) efisiensi oleh pengusaha dengan efisiensi dan
maksimalisasi melalui pengangkatan pekerja kontrak akan
membawa akibat yang kurang baik pada para pekerja
kontrak tersebut, mengingat tidak adanya jaminan dalam
pekerjaan dan penghasilan untuk menjaga kelangsungan
hidup, melalui sistem kontrak.
Perjanjian Kerja sebagai bentuk perlindungan hukum bagi
pekerja kontrak sangat menarik untuk diteliti, karena
merupakan sarana untuk menyeimbangkan hak dan
kewajiban dari kedua belah pihak yaitu pekerja dan
pemberi kerja/majikan. Hal ini sesuai dengan amanat dalam
UUD 1945 dan UU Ketenagakerjaan, yang memerintahkan
untuk memberikan perlindungan hukum yang adil dan
seimbang bagi setiap warga negara dalam rangka
memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak.
Melalui penelitian ini diharapkan ke depan para pekerja
kontrak tetap dapat merasakan perlakuan yang adil untuk
hak-hak normatifnya, ditengah-tengah perubahan
ketenagakerjaan menuju era pasar bebas/globalisasi, serta
memberikan kesempatan kepada negara untuk mewujudkan
amanah UUD 1945 yaitu membawa kesejahteraan kepada
seluruh bangsa Indonesia.
1.2 Pengertian Perjanjian/Kontrak
Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(selanjutnya disebut dengan KUHPerdata) memberikan
definisi perjanjian sebagai suatu perbuatan dengan mana 1
(satu) orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap 1
(satu) orang lain atau lebih.
Kartini Mulyadi (2003:7) memberikan definisi tentang
perjanjian yaitu:
1) Suatu perbuatan;
2) Antara sekurangnya dua orang;
3) Perbuatan tersebut melahirkan perikatan diantara pihak-
pihak yang berjanji tersebut.
Para sarjana Hukum Perdata (dalam Mariam Darus
Badrulzaman, 2001:65) pada umumnya berpendapat bahwa
definisi yang terdapat di dalam ketentuan di atas adalah
tidak lengkap, dan terlalu luas. Tidak lengkap karena yang
dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja.
Definisi itu juga dikatakan terlalu luas karena dapat
mencakup perbuatan di dalam lapangan hukum keluarga,
seperti janji kawin, yang merupakan perjanjian juga, tetapi
sifatnya berbeda dengan perjanjian yang diatur dalam
KUHPerdata Buku III. Perjanjian yang diatur dalam
KUHPerdata Buku III kriterianya dapat dinilai secara
materiil, dengan kata lain dapat dinilai dengan uang.
Definisi perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata juga
hanya menyebutkan “perbuatan” saja, sehingga yang bukan
perbuatan hukum pun disebut dengan perjanjian.
Menurut Salim H.S. (2003:17) kontrak atau perjanjian
merupakan hubungan hukum antara subyek hukum yang
satu dengan subyek hukum yang lain dalam bidang harta
kekayaan. Perlu diketahui bahwa subyek hukum yang satu
berhak atas prestasi dan begitu pula subyek hukum yang
lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai
dengan yang telah disepakatinya.
Unsur-unsur yang tercantum dalam definisi tersebut adalah:
1) Adanya hubungan hukum;
2) Adanya subyek hukum;
3) Adanya prestasi;
4) Dibidang harta kekayaan.
Asas kebebasan berkontrak memberikan kebebasan kepada
para pihak dalam membentuk suatu perjanjian, akan tetapi
kebebasan tersebut dibatasi oleh ketentuan mengenai syarat
sah suatu perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320
KUHPerdata, yang berbunyi bahwa untuk sahnya perjanjian
diperlukan diperlukan 4 (empat) syarat:
1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
2) Cakap untuk membuat suatu perikatan.
3) Suatu hal tertentu.
4) Suatu sebab yang halal.
Keempat unsur tersebut (dalam Pasal 1320 KUHPerdata),
dalam doktrin ilmu hukum yang berkembang, digolongkan
ke dalam:
1) Dua unsur pokok yang menyangkut subyek (pihak)
yang mengadakan perjanjian (unsur subyektif);
2) Dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung
dengan obyek perjanjian (unsur obyektif).
Unsur subyektif mencakup adanya unsur kesepakatan
secara bebas dari para pihak yang berjanji, dan mencakup
dari pihak-pihak yang melaksanakan perjanjian. Sedangkan
unsur obyektif meliputi keberadaan dari pokok persoalan
yang merupakan obyek yang diperjanjikan, dan causa dari
obyek yang berupa prestasi yang disepakati untuk
dilaksanakan tersebut harus sesuatu yang tidak dilarang
atau diperkenankan menurut hukum.
Dalam syarat obyektif, kalau syarat tersebut tidak
terpenuhi, perjanjian itu batal demi hukum, artinya dari
semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak
pernah ada suatu perikatan. Dalam syarat subyektif jika
syarat tersebut tidak dipenuhi, perjanjiannya bukan batal
IRWNS 2013
18
demi hukum, tetapi salah satu pihak mempunyai hak untuk
meminta supaya perjanjian tersebut dibatalkan.
1.3 Perjanjian Kerja
Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjan kerja
antara pekerja dan pengusaha. Hubungan kerja menurut
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 menyatakan
bahwa:
“Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dan
pekerja berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai
unsur pekerjaan, upah, dan perintah.”
Perjanjian kerja mengatur mengenai hak dan kewajiban
pihak pekerja dan pihak pengusaha, saling seimbang antara
satu dengan yang lainnya. Para pihak bebas menentukan isi
dan bentuk dari perjanjian kerja tersebut, pihak pekerja
maupun pengusaha diberi kebebasan untuk menentukan isi
dan bentuk dari perjanjian kerja maka klausula-klausula
perjanjiannya tidak boleh bertentangan dengan Undang-
undang yang mengatur mengenai perjanjian kerja. Isi dari
perjanjian kerja itu antara lain mengenai kapan pekerja
mulai melaksanakan pekerjaan dan apa yang akan
dikerjakan, besarnya upah yang akan diterima serta syarat-
syarat kerja lainnya yang disepakati bersama, perjanjian
kerja dilakukan oleh seorang calon pekerja dengan
pengusaha (dalam Soedarjadi, 2008:59).
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dalam Pasal 1601(a)
menyebutkan bahwa persetujuan perburuhan adalah
persetujuan dengan mana pihak pekerja/buruh mengikatkan
diri untuk di bawah perintah pihak yang lain, si majikan
untuk suatu waktu tertentu melakukan pekerjaan dengan
menerima upah, yang sekarang diatur dalam Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
dan di dalam pelaksanaanya diatur dalam Nomor
Kep100/MEN/VI/2004 Tentang Ketentuan Pelaksanaan
Kerja Waktu Tertentu.
Syarat sahnya suatu perjanjian kerja ditentukan dalam
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, dimana dikatakan
bahwa perjanjian kerja dibuat atas dasar:
1) Kesepakatan kedua belah pihak;
2) Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan
hukum;
3) Adanya pekerjaan yang diperjanjikan;
4) Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan
ketertiban, kesusilaann, dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
M. G. Rood (1989:1) menyatakan bahwa suatu perjanjian
kerja baru ada, manakala dalam perjanjian kerja tersebut
memenuhi empat syarat, yaitu:
1) Adanya unsur work atau pekerjaan;
2) Adanya unsur service atau pelayanan;
3) Adanya unsur time atau waktu;
4) Adanya unsur pay atau upah.
Menurut Imam Soepomo (dalam Djumadi, 2004:42)
dikaitkan dengan ketentuan yang ada dalam KUHPerdata,
dapat diambil kesimpulan bahwa definisi perjanjian kerja
mempunyai empat unsur essensialia, yaitu:
a) Melakukan pekerjaan tertentu;
b) Di bawah perintah;
c) Dengan upah
d) Dalam waktu tertentu.
Perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk
pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau
kegiatan pekerjaanya akan selesai dalam waktu tertentu,
yaitu:
1) Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara
sifatnnya;
2) Pekerjaan yang dperkirakan penyelesainya dalam waktu
yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
3) Pekerjaan yang bersifat musiman;
4) Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru,
kegitan baru, atau produk tambahan yang masih dalam
percobaan atau penjajakan.
1.4 Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) adalah perjanjian
kerja yang jangka berlakunya telah ditentukan. Dalam
bahasa sehari-hari sering disebut sebagai ”karyawan
kontrak”.
PKWT harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a) PKWT harus dibuat tertulis dan harus menggunakan
bahasa Indonesia.
b) PKWT yang tidak dibuat tertulis dianggap sebagai
PKWTT dengan demikian pekerja menjadi pekerja tetap
di perusahaan tersebut.
c) PKWT tidak mempersyaratkan adanya masa percobaan.
(Hal ini berbeda dengan PKWTT yang mengenal masa
percobaan selama tiga bulan)
d) Apabila dalam PKWT ditetapkan masa percobaan maka
akan batal demi hukum.
e) PKWT tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang
bersifat terus-menerus atau tidak terputus-putus (Pasal
56 s.d. 58 UUKK).
Sementara itu, ciri-ciri dari pekerjaan yang dapat dibuatkan
PKWT adalah:
a) Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara
sifatnya.
b) Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam
waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama tiga
tahun (maksimal 2 tahun dan hanya dapat diperpanjang
satu kali saja selama satu tahun).
c) Pekerjaan yang bersifat musiman.
d) Pekerjaan yang berkaitan dengan produk baru, kegiatan
baru atau produk tambahan yang masih dalam
percobaan atau penjajakan (Pasal 59 UUKK)
IRWNS 2013
19
Karena ciri-ciri pekerjaan untuk PKWT adalah yang sekali
selesai dan predictable, maka PKWT diadakan untuk paling
lama dua tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali
untuk jangka waktu paling lama satu tahun. Pembaharuan
PKWT hanya dapat dilakukan satu kali dan untuk jangka
waktu paling lama dua tahun. Apabila PKWT tersebut
dibuat tidak sesuai dengan syarat-syarat di atas, maka
PKWT tersebut secara otomatis berubah menjadi PKWTT.
Dengan demikian para pekerjanya bukan lagi menjadi
karyawan kontrak, tetapi menjadi karyawan tetap sejak
perjanjian kerja tersebut dibuat.
2. METODOLOGI
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif
(Soerjono Soekanto, 1986:53). Melalui pendekatan yuridis
normatif akan ditelaah arti dan maksud berbagai kaidah dan
peraturan hukum yang berkaitan dengan perlindungan
hukum bagi pekerja kontrak, terutama yang terdapat di
perguruan tinggi negeri (PTN) Badan Layanan Umum
(BLU), yang berasal dari peraturan perundang-undangan
yang ada.
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis (Ronny Hanitijo,
1990:97), yaitu menggambarkan permasalahan tentang
perlunya perlindungan hukum bagi pekerja kontrak dengan
terlebih dahulu menganalisis secara yuridis isi dari
perjanjian kerjanya, dengan berpedoman pada peraturan
perundangan yang berlaku seperti Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUHPerdata) dan Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUKK).
Untuk memperoleh hasil penelitian yang baik, disebarkan
pula kuisoner bagi para pekerja kontrak di 2 (dua) buah
PTN yaitu di Universitas Padjadjaran (UNPAD), dan
Institut Teknologi Bandung (ITB). Hal ini dimaksudkan
agar dapat diketahui sejauh mana pemahaman baik dari
pekerja kontrak maupun manajemen PTN BLU dalam
memahami perlindungan hukum bagi pekerja kontrak, yang
dituangkan di dalam perjanjian kerjanya dibandingkan
dengan perjanjian kerja yang telah diubah oleh peneliti
sesuai kaidah hukum yang berlaku dan dijadikan model
perjanjian kerja yang baru di PTN BLU.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari hasil telaahan yuridis contoh-contoh perjanjian kerja
para pekerja kontrak di 2 (dua) PTN, yaitu UNPAD dan
ITB, diketahui hal-hal sebagai berikut:
NO
MINIMAL YANG
HARUS ADA DI
DALAM
PERJANJIAN
KERJA
UNPAD ITB
1. Nama dan alamat
pengguna
ADA ADA
2. nama dan alamat TKI ADA ADA
3. jabatan dan jenis pekerjaan TKI
ADA ADA
4. hak dan kewajiban
para pihak
ADA SEPIHAK ADA SEPIHAK
5. kondisi dan syarat kerja yang meliputi
jam kerja, upah, dan
tata cara pembayaran, baikcuti dan waktu
istirahat, fasilitas dan
jaminan sosial; dan
ADA TIDAK LENGKAP
ADA TIDAK LENGKAP
6. jangka waktu perpanjangan kerja.
ADA TIDAK ADA
Secara yuridis, seharusnya sebuah perjanjian kerja bagi
pekerja kontrak memenuhi kaidah-kaidah yang ada di
dalam suatu perjanjian yang sah sebagaimana diatur di
dalam Pasal 1320 KUHPerdata dan ketentuan Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
(UUKK), yang walaupun tidak menentukan apakah suatu
perjanjian kerja harus dibuat secara lisan atau
tulisan/tertulis, akan tetapi UUKK mengatakan bahwa
perjanjian kerja boleh dibuat secara lisan, tetapi dengan
syarat pengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi
pekerja bersangkutan yang berisi antara lain:
a) Nama dan alamat pekerja;
b) Tanggal mulai bekerja;
c) Jenis pekerjaan;
d) Besarnya upah (Pasal 63 UUKK)
Untuk perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis dibuat
sekurang-kurangnya 2 rangkap dimana pekerja serta
perusahaan masing-masing mendapat satu buah salinan
yang berkekuatan hukum yang sama, dengan minimal
memuat:
1) Nama dan alamat perusahaan, serta jenis usahanya;
2) Nama, alamat, umur, jenis kelamin dan alamat pekerja;
3) Jabatan atau jenis pekerjaan yang akan dilakukan oleh
pekerja;
4) Tempat pekerjaan;
5) Besarnya upah dan cara pembayarannya;
6) Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban
pengusaha dan pekerja;
7) Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
8) Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan
9) tandatangan para pihak dalam perjanjian kerja.
10) Ketentuan yang ada di UUKK tersebut berlaku pula untuk
PKWT atau perjanjian kerja yang diperuntukan bagi
pekerja kontrak.
Bahkan untuk PKWT diatur bahwa PKWT harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
IRWNS 2013
20
a. PKWT harus dibuat tertulis dan harus menggunakan
bahasa Indonesia.
b. PKWT yang tidak dibuat tertulis dianggap sebagai
PKWTT dengan demikian pekerja menjadi pekerja tetap
di perusahaan tersebut.
c. PKWT tidak mempersyaratkan adanya masa percoban.
(Hal ini berbeda dengan PKWTT yang mengenal masa
percobaan selama tiga bulan)
d. Apabila dalam PKWT ditetapkan masa percobaan maka
akan batal demi hukum.
e. PKWT tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang
bersifat terus-menerus atau tidak terputus-putus (Pasal
56 s.d. 58 UUKK).
Sementara itu, ciri-ciri dari pekerjaan yang dapat dibuatkan
PKWT adalah:
a. Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara
sifatnya.
b. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam
waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama tiga
tahun (maksimal 2 tahun dan hanya dapat diperpanjang
satu kali saja selama satu tahun).
c. Pekerjaan yang bersifat musiman.
d. Pekerjaan yang berkaitan dengan produk baru, kegiatan
baru atau produk tambahan yang masih dalam
percobaan atau penjajakan (Pasal 59 UUKK)
Karena ciri-ciri pekerjaan untuk PKWT adalah yang sekali
selesai dan predictable, maka PKWT diadakan untuk paling
lama dua tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali
untuk jangka waktu paling lama satu tahun. Pembaharuan
PKWT hanya dapat dilakukan satu kali dan untuk jangka
waktu paling lama dua tahun. Apabila PKWT tersebut
dibuat tidak sesuai dengan syarat-syarat di atas, maka
PKWT tersebut secara otomatis berubah menjadi PKWTT.
Dengan demikian para pekerjanya bukan lagi menjadi
karyawan kontrak, tetapi menjadi karyawan tetap sejak
perjanjian kerja tersebut dibuat.
Contoh-contoh perjanjian kerja bagi pekerja kontrak yang
terdapat di PTN BLU UNPAD dan ITB sebagaimana
diketahui dari tabel di atas, secara nyata jelas kurang
memenuhi kaidah-kaidah yang terdapat di dalam baik Pasal
1320 KUHPerdata tentang syarat sahnya perjanjian secara
umum, maupun syarat-syarat yang ditentukan di dalam
UUKK. Dengan demikian untuk perjanjian-perjanjian kerja
bagi pekerja kontrak di PTN BLU yaitu UNPAD dan ITB
kurang memberikan perlindungan hukum kepada para
pekerja kontrak.
Oleh karena itu dari penelitian ini dirancang sebuah model
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang sesuai
ketentuan atau kaidah perlindungan hukum bagi pekerja
kontrak sebagaimana diatur di dalam undang-undang.
Dari hasil penyebaran kuesioner kepada pihak PTN BLU
UNPAD dan ITB untuk mendapatkan masukan mengenai
model PKWT tersebut diperoleh hasil secara umum bahwa
para pekerja kontrak merasa lebih memperoleh
perlindungan hukum dengan adanya model perjanjian kerja
(PKWT) yang disebarkan. Hal itu diketahui dari
pemahaman mereka mengenai diaturnya hak dan kewajiban
dari masing-masing pihak secara jelas di dalam perjanjian
kerja tersebut.
4. SIMPULAN DAN SARAN
Perjanjian kerja bagi pekerja kontrak seharusnya memenuhi
kaidah-kaidah perlindungan hukum dengan menjaga
keseimbangan antara hak dan kewajiban diantara para pihak
yang membuat perjanjian, yaitu pihak pekerja kontrak dan
pihak PTN BLU, sebagaimana diatur di dalam UUKK
maupun ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata tentang syarat
perjanjian yang sah.
Dari penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa
PTN BLU yang merupakan obyek penelitian belum
menerapkan kaidah-kaidah hukum yang memberikan
perlindungan hukum kepada para pekerja kontrak, sebab isi
perjanjian kerja yang merupakan bentuk perlindungan
hukum para pekerja kontrak di PTN BLU UNPAD dan
ITB, tidak memenuhi atau kurang memenuhi kaidah-kaidah
hukum perjanjian yang ada di dalam UUKK dan
KUHPerdata.
Model perjanjian kerja bagi pekerja kontrak yang berupa
PKWT dianggap dapat memberikan perlindungan hukum
kepada para pihak dalam perjanjian, karena didalammya
diatur secara jelas apa yang menjadi hak dan kewajiban
para pihak. Hal ini sejalan dengan apa yang diamanatkan
oleh undang-undang, dimana perlindungan hukum yang
baik akan terjadi dalam sebuah perjanjian manakala kalusul
hak dan kewajiban dari para pihak diatur sedemikian rupa,
sehingga para pihak mengetahui dan memahaminya.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Black, Henry Campbell, Black’s Law Dictionary,
West Publishing & Co, Minnesota, 1991.
[2] Cooter, Robert, Law and Economic, scot Foresman
& Co, Illinois 1998.
[3] Djulmialdji, F.X., Perjanjian Kerja, Edisi Revisi,
Sinar Grafika, Jakarta, 2005.
[4] Gunarto Suhardi, Perlindungan Hukum Bagi Para
Pekerja Kontrak Outsourcing, Universitas Atma
jaya Yogyakarta, 2006.
[5] Iman Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan,
Penerbit Djambatan, Jakarta, Edisi Revisi, 2003.
[6] I Wayan Nedeng, Lokakarya; Outsourcing dan
PKWT, PT. Lembangtek, Jakarta, 2003
[7] Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan
Yang Lahir Dari Perjanjian, PT. Rajagrafindo
Persada, Jakarta, 2003.
[8] Ronny Hanitijo, Metodologi Penelitian Hukum dan
Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994.
[9] M. G. Rood, Hukum perburuhan, Fakultas Hukum,
Bandung, Universitas Padjadjaran, 1989.
IRWNS 2013
21
[10] Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian
Hukum Normatif, Jakarta, PT. Raja Grafindo
Persada, 2001.
[11] Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum, Jakarta,
Universitas Indonesia, 1986.
[12] Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, Cetakan Kesembilan, Pradnya
Paramita, Jakarta 1978.
IRWNS 2013
22
Analisis Risiko Kebangkrutan
Menggunakan Model Altman Z-Score Pada Industri Rokok
Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia
Rita Martini a, Novan Bacdri
b
aJurusan Akuntansi, Politeknik Negeri Sriwijaya, Palembang 30139
E-mail: [email protected]
bJurusan Akuntansi, Politeknik Negeri Sriwijaya, Palembang 30139
E-mail: Novan [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui risiko kebangkrutan kelangsungan usaha Industri Rokok yang Terdaftar di Bursa Efek
Indonesia sehingga manajer dapat mengambil langkah yang cepat dan tepat dalam memperbaiki kinerja dan nilai perusahaan .
Penelitian ini menunjukkan bahwa Industri Rokok memiliki pengaruh besar terhadap pendapatan negara dari sektor pajak apabila
Industri ini mengalami kebangkrutan maka akan berdampak negatif sangat besar terhadap perekonomian Indonesia. Alasan
penggunaan metode Altman Z-Score agar dapat mengetahui seberapa besar risiko kebangkrutan. Peneliti mendapatkan data dari
situs: http://www.idx.co.id dan situs internet lainnya, disamping itu peneliti mendapat informasi dari studi pustaka.
Berdasarkan laporan keuangan yang disajikan untuk tahun 2008, 2009, 2010, 2011 dan 2012 terdapat 1 industri rokok yang
diprediksi mengalami risiko rawan bangkrut secara rata-rata. Pada tahun 2012, terdapat 1 industri rokok diprediksi mengalami
risiko bangkrut. Pengelolaan aset secara produktif dan diimbangi dengan efisiensi biaya dan meminimalisasi tingkat utang dapat
menghidarkan perusahaan dari risiko kebangkrutan.
Kata Kunci Kebangkrutan, Altman Z-Score, Industri Rokok
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Akibat krisis moneter tahun 1998 yang melanda Indonesia
banyak perusahaan dalam negeri yang ditutup karena tidak
mampu mempertahankan kelangsungan hidupnya.
Ketidakmampuan atau kegagalan perusahaan tersebut
dapat disebabkan oleh dua hal, pertama yaitu kegagalan
ekonomi, dan yang kedua yaitu kegagalan keuangan.
Kegagalan ekonomi berkaitan dengan ketidakseimbangan
antara pendapatan dan pengeluaran. Selain itu, kegagalan
ekonomi juga bisa disebabkan oleh biaya modal
perusahaan yang lebih besar dari tingkat laba atas biaya
historis investasi. Tetapi beberapa industri dapat terus
bertahan dan bahkan mengalami peningkatan satu
diantaranya adalah industri rokok, selama beberapa tahun
terakhir produksi rokok terus mengalami kenaikan bila
dibandingkan dengan industri lainnya. Bahkan konsumsi
rokok tahun 2011 di Indonesia mencapai 270 miliar
batang, pertumbuhan penjualan rokok ini dipengaruhi oleh
daya beli masyarakat yang berkorelasi positif dengan
konsumsi rokok. Melihat besarnya tingkat konsumsi
rokok, pemerintah Indonesia menaikkan tarif cukai rokok
pada tahun 2013 sebesar 5%-7% dengan alasan untuk
mengurangi tingkat konsumsi rokok di Indonesia. Hal ini
malah meningkatkan penerimaan kas negara karena
walapun pemerintah menaikkan tarif cukai rokok,
masyarakat masih banyak mengkonsumsi rokok walapun
dari segi kesehatan peningkatan konsumsi rokok
mengalami lonjakan yang berarti negatif, hal ini malah
melihatkan korelasi positif terhadap penerimaan negara.
Pemerintah mencatat adanya setoran penerimaan sebesar
Rp 65 triliun dari cukai rokok sejak Januari hingga 15
November 2011. Jumlah tersebut merupakan 95 persen
dari penerimaan cukai yang sudah terkumpul Rp 68,075
triliun. Sisanya Rp 3,075 triliun dari cukai minuman
beralkohol.
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan
akan merevisi penerimaan cukai dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2013. Dalam
APBN 2013, penerimaan cukai ditarget Rp 92 triliun,
maka dalam APBN-P 2013, penerimaan cukai diharapkan
akan melebihi target tersebut. Pemerintah akan
mengupayakan untuk tahun ini mencapai Rp 100 triliun
(www.Republika.co.id, 27 Feburari 2013). Hal ini
menunjukkan bahwa penerimaan pajak dari cukai rokok
lebih tinggi dari cukai untuk alkohol.
Naiknya tarif cukai rokok, menyebabkan sejumlah industri
rokok mengalami kebangkrutan di beberapa daerah yang
IRWNS 2013
23
dimuat dimedia masa. Seperti yang dikatakan Kepala
Disperindag Pamekasan, Bambang Edy dalam situs
www.skalanews.com (11 Juli 2012) akibat kenaikan tarif
cukai, sebulan ada saja laporan home industri rokok yang
gulung tikar. Hingga akhir Juni lalu tercatat 205 pabrik
rokok yang bangkrut dan menutup produksinya Kenaikan
tarif cukai rokok, akhirnya menggulung 205 pabrik rokok
sekelas home industri di Kabupaten Pamekasan, Madura.
Kini, hanya tersisa 45 home industri rokok yang masih
berproduksi. Kenaikan cukai berdasarkan peraturan
Mentkeu yang ditandatangani oleh Agus Martowardjojo 9
November 2011 dan mulai berlaku efektif Januari 2012
lalu. Kenaikan cukai itu sendiri berkisar 8,3-11,1 persen
atau rata-rata 16%. Akibat kenaikan tarif cukai, sebulan
ada saja laporan home industri rokok yang gulung tikar.
Dampak yang ditimbulkan dari kebijakan yang dilakukan
pemerintah mengenai cukai dan pembelian pita rokok
sangat berpengaruh terhadap industri rokok. Seperti PT
British American Tobacco yang harus melakukan akuisisi
dengan PT Bentoel Internasional Investama karena
mengalami penurunan baik dalam penjualan maupun laba.
Tidak saja PT British American Tobacco yang mengalami
penurunan, namun PT Gudang Garam juga mengalami
penurunan laba bersih sebesar 46,69 % pada tahun 2006.
Sehubungan hal di atas, peningkatan tarif cukai rokok
yang diberlakukan oleh pemerintah tentu akan
berpengaruh terhadap laba yang akan diperoleh oleh
industri rokok. Saat ini perusahan yang telah go public dan
terdaftar di Bursa Efek Indonesia yaitu PT Gudang Garam
Tbk, Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk dan Bentoel
International Investama Tbk merupakan perusahaan rokok
terkenal dan terbesar di Indonesia dengan pangsa pasar
yang luas dan memiliki karyawan yang banyak serta
berkontribusi besar dalam penerimaan kas. Artinya dengan
peningkatan tarif cukai ini pasti akan memiliki risiko
finansial yang akan mempengaruhi kelangsungan hidup
perusahaan tersebut.
Meningkatnya beban pajak yang ditanggung oleh
perusahan diatas, hal ini akan menyebabkan peluang risiko
kebangkrutan akan bertambah. Risiko kebangkrutan atau
tidak dapat mempertahankan kelangsungan hidup
perusahaan, sebenarnya dapat dilihat dan diukur melalui
laporan keuangan, dengan cara melakukan analisis
terhadap laporan keuangan yang dikeluarkan oleh
perusahaan yang bersangkutan. Laba pada umumnya
dipakai sebagai ukuran dari prestasi yang dicapai dalam
suatu perusahaan sebagai dasar untuk pengambilan
keputusan investasi, dan prediksi untuk meramalkan
perubahan laba yang akan datang yang akan berpengaruh
terhadap keputusan investasi para investor dan calon
investor yang akan menanamkan modalnya. Laba bisa
menjelaskan kinerja perusahaan selama satu periode di
masa lalu. Informasi ini tidak saja ingin diketahui oleh
manajer tetapi juga investor dan pihak-pihak lain yang
berkepentingan seperti pemerintah dan kreditur.
Indikator lain jika dalam hubungannya dengan laba atau
profit adalah salah satunya bentuk rasio probitabilitas di
dalam hal ini adalah Net Profit Margin Ratio (rasio
margin laba bersih) dapat mencerminkan keadaaan laba
bersih perusahaan tergantung kepada pendapatan dari sales
(penjualan) dan pada besarnya biaya usaha (operating
expenses) dalam tingkat tertentu. Dengan jumlah operating
expenses tertentu.
Tabel 1.1: Laba Bersih Industri Rokok Di BEI Periode
2008-2012 (Dalam Jutaan Rupiah)
Sumber : www.idx.co.id, 2013
Tabel di atas memperlihatkan bahwa laba bersih untuk PT
Gudang Garam Tbk mengalami penurunan sejak tahun
2010 yang merupakan laba bersih tertinggi dalam 5 tahun
terakhir. Untuk PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk, Dari
tahun 2009 ke tahun 2010 mengalami penurunan laba
bersih akan tetapi berangsur naik untuk 2 tahun. Tahun
2012 merupakan laba bersih terbesar dalam 5 tahun terakhir
ini. Dapat disimpulkan bahwa laba bersih PT Hanjaya
Mandala Sampoerna Tbk relatif mengalami kenaikan. Pada
PT Bentoel Internasional Investama Tbk mengalami
penurunan di tahun 2009 dan mengalami kenaikan di tahun
2010 dan 2012 akan tetapi dalam tahun terakhir atau tahun
2012, PT Bentoel Internasional Investama Tbk mengalami
kerugian atau loss. Kesimpulan dari tabel diatas adalah
bahwa hampir semua industri rokok yang terdaftar di Bursa
Efek Indonesia mengalami fluktuatif laba besih sehingga
keamanan atas terhindarnya dari risiko kebangkrutan atau
tidak dapat mempertahankan kelangsungan hidup usaha
akan tidak pasti.
Net Profit Margin Ratio (rasio margin laba bersih) pada
industri rokok yang terdapat di Bursa Efek Indonesia
tergambar dalam tabel berikut :
Tabel 1.2: Rasio Margin Laba Besih Industri Rokok Di
Bursa Efek Indonesia Periode 2008-2012
Sumber : Data Diolah
Tabel di atas memperlihatkan bahwa rasio laba bersih untuk
PT Gudang Garam Tbk mengalami fluktuatif sejak tahun
Nama
Perusahaan 2008 2009 2010 2011 2012
PT Gudang
Garam Tbk 6,3% 10,5% 10,9% 12,5% 8,5%
PT Hanjaya
Mandala
Sampoerna Tbk
11,% 13,2% 14,1% 15,4% 15,4%
PT Bentoel
Internasional
Investama Tbk
4,0% 0,4% 1,8% 4,4% -0,2%
Nama
Perusahaan 2008 2009 2010 2011 2012
PT Gudang
Garam Tbk 6,3% 10,5% 10,9% 12,5% 8,5%
PT Hanjaya
Mandala
Sampoerna Tbk
11,% 13,2% 14,1% 15,4% 15,4%
PT Bentoel
Internasional
Investama Tbk
4,0% 0,4% 1,8% 4,4% -0,2%
IRWNS 2013
24
2008-2012 penurunan yang cukup signifikan terjadi pada
pada periode 2011-2012 yaitu dari 12,5 % bergerak turun
ke arah 8,5%. Untuk PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk,
rasio laba bersih perusahan mengalami relatif mengalami
kenaikan akan tetapi di tahun 2012 rasio laba bersih tetap
tidak berubah dari sebelumnya yaitu 15,4%. Pada PT
Bentoel Internasional Investama Tbk mengalami penurunan
yang signifikan di tahun 2009 menjadi 0,4% dibandingkan
dengan tahun sebelumnya tahun 2008 sebanyak 4% dan
mengalami kenaikan di tahun 2010 sebesar 1,4% akan 2012
akan tetapi dalam tahun terakhir atau tahun 2012 PT
Bentoel Internasional Investama Tbk mengalami kerugian
atau loss sehingga jika dihitung dengan rasio margin laba
bersih menunjukkan angka -0,2%. Kesimpulan dari tabel
diatas adalah bahwa semua industri rokok yang terdaftar di
BEI mengalami penurunan rasio margin laba besih untuk
tahun 2012. Sehingga jaminan atas terhindarnya dari risiko
kebangkrutan atau tidak dapat mempertahankan
kelangsungan hidup usaha tidak pasti atau belum
sepenuhnya terjamin.
Sehubungan hal di atas, maka perlunya suatu analisis
laporan keuangan yang berfungsi sebagai alat yang sangat
penting untuk mengetahui posisi keuangan perusahaan serta
hasil-hasil yang telah dicapai sehubungan dengan pemilihan
strategi perusahaan yang telah dilaksanakan. Secara empiris
prediksi kebangkrutan atau likuidasi ini dapat dibuktikan,
sebagaimana yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti
dengan menggunakan rasio-rasio keuangan. Rasio-rasio
keuangan akan menunjukkan bagaimana kinerja suatu
perusahaan beroperasi baik didalam segi perputaran aset
maupun laba.
Apabila perusahaan dalam keadaan yang memperhatinkan
maka perlu petimbangan manajer untuk mengambil
keputusan dengan cepat untuk menghindari kebangkrutan.
Dengan menggunakan Analisis diskriminan yang
merupakan merupakan teknik menganalisis data, dimana
variabel dependen merupakan data kategorik (nominal dan
ordinal) sedangkan variabel independen berupa data
interval atau rasio, dapat membantu melihat keadaan
perusahaan yang sedang memperhatikan atau melihat
tingkat risiko kebangkrutan.
Oleh karena pentingnya suatu analisis laporan keuangan ini,
perlu kajian tentang analisis kinerja keuangan dengan
menggunakan metode Model Altman Z-Score untuk
mengukur tingkat kebangkrutan pada perusahaan. Poetri
Mustika Warga (2006) dalam junralnya untuk menganalisis
risiko kebangkrutan PT Mayora Indah Tbk. Salah satu
hasilnya menunjukkan bahwa pada tahun 2001 PT Mayora
Indah Tbk mengalami risiko kebangkrutan pada range
rawan bangkrut. Penelitian ini diharapkan dapat
memberikan bahan masukan dan pertimbangan bagi
manajemen perusahaan mengenai kemungkinan terjadinya
kebangkrutan agar dapat mengambil langkah pengambilan
keputusan guna melakukan persiapan dan perbaikan kinerja
melalui strategi yang cepat dan tepat demi peningkatan nilai
perusahaan dimasa depan. Penelitian ini juga dapat menjadi
masukan bagi investor dalam mengambil keputusan
investasi. Para investor dapat mempertimbangkan kembali
untuk berinvestasi dalam industri rokok tersebut.
1.2 Rumusan Masalah Penelitian
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan
sebelumnya, maka peneliti merumuskan permasalahan,
yaitu Bagaimana Risiko Kelangsungan Hidup Usaha
Industri Rokok di BEI Periode 2008-2012 berdasarkan
Analisis Kebangkrutan Model Altman Z-Score.
2. METODOLOGI PENELITIAN
2.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian positivis dengan
analisis statistik deskriptif melalui model Altman Z-Score
untuk menjelaskan risiko kebangkrutan perusahaan.
2.2 Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah industri rokok yang
terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2008-2012.
Menurut Sugiyono (2012:122):
Sampling jenuh adalah tehnik penentuan sampel bila
semua anggota populasi digunakan sebagai sampel.
Hal ini sering dilakukan bila jumlah populasi relatif
kecil, kurang dari 30 orang, atau penelitian yang ingin
membuat generalisasi dengan kesalahan yang sangat
kecil. Istilah lain sampel jenuh adalah sensus, dimana
semua anggota populasi dijadikan sampel.
Sehubungan hal di atas sampel dalam penelitian ini adalah
PT Gudang Garam Tbk, PT Hanjaya Mandala Sampoerna
Tbk dan PT Bentoel Investama Tbk karena Industri rokok
yang listing di Bursa Efek hanya 3 perusahaan itu saja
maka dari itu peneliti menggunakan tehnik sampling jenuh
karena jumlah populasi kurang dari 30.
2.3 Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data
sekunder yang di ambil dari laporan keuangan tahunann
perusahaan Industri Rokok dari tahun 2008-2012. Data ini
diperoleh dari Bursa Efek Indonesia, web sitenya
www.idx.co.id.
2.4 Tehnik Analisis Data
Metode analisis data digunakan untuk menganalisis data
hasil penelitian ini agar dapat diinterpretasikan sehingga
penelitian ini mudah dipahami, dengan fungsi menurut S.
Munawir (2010) persamaan sebagai berikut untuk masing-
masing industri rokok yang terdaftar di Bursa Efek
Indonesia.
IRWNS 2013
25
𝐶𝑢𝑟𝑟𝑒𝑛𝑡 𝐴𝑠𝑠𝑒𝑡𝑠 − 𝐶𝑢𝑟𝑟𝑒𝑛𝑡 𝐿𝑖𝑎𝑏𝑖𝑙𝑖𝑡𝑖𝑒𝑠
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑠𝑠𝑒𝑡𝑠
𝑅𝑒𝑡𝑎𝑖𝑛𝑒𝑑 𝐸𝑎𝑟𝑛𝑖𝑛𝑔𝑠
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑠𝑠𝑒𝑡𝑠
Z-Score = 1,2 𝑋1 + 1,4 𝑋2 + 3,3 𝑋3 + 0,6 𝑋4 + 1,0 𝑋5
Keterangan :
𝑋1 = Modal kerja terhadap total harta (working capital to
total assets)
=
𝑋2 = Laba yang ditahan terhadap total harta (retained
earnings to total Assets)
=
𝑋3 = Pendapatan sebelum pajak dan bunga terhadap total
harta (earnings before interest and taxes to total
assets)
=
𝑋4 = Nilai pasar ekuitas terhadap nilai buku dari liabilitas
(market value equity to book value of total debt)
=
𝑋5 = Penjualan terhadap total harta (sales to total assets)
=
2.5 Identifikasi Variabel dan Operasional Variabel
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini meliputi :
a. (X1) Working Capital to Total Assets
b. (X2) Retained Earning to Total Assets
c. (X3) Earning Before Interest and Taxes (EBIT)
to Total Assets
d. (X4) Market Value of Equity to Book Value of
Total Liabilities
e. (X5) Sales to Total Assets
(Sofyan Syafri Harahap,2009: 353)
(Z) Z-Score = 1,2 X1 + 1,4 X2 + 3,3 X3 + 0,6 X4 + 1,0 X5
(S.Munawir, 2010:309)
Agar penelitian ini dapat dilaksanakan sesuai dengan yang
diharapkan, maka perlu dipahami berbagai unsur-unsur
yang menjadi dasar dari suatu penelitian ilmiah yang
termuat dalam operasionalisasi variabel penelitian. Secara
lebih rinci, operasionalisasi variabel penelitian adalah
sebagai berikut:
Tabel 2.1: Operasionalisasi Variabel Penelitian
Variabel Konsep Indikator Skala
X1 Rasio ini menunjukkan
kemampuan
perusahaan untuk
menghasilkan
modal kerja bersih dari
keseluruhan
total aktiva yang
dimilikinya
Net Working
Capital to
Total Assets
(Sofyan
Syafri harahap,
2009: 353)
Rasio
X2 Rasio ini menunjukkan
kemampuan
perusahaan untuk
menghasilkan
laba ditahan dari total aktiva
perusahaan. Laba ditahan
terjadi karena
pemegang saham biasa
mengizinkan
perusahaan untuk
menginvestasik
an kembali laba yang tidak
didistribusikan
sebagai dividen
Retained Earnings to
Total
Assets (Sofyan
Syafri
harahap, 2009: 353)
Rasio
X3 Rasio ini
menunjukkan
kemampuan perusahaan
untuk
menghasilkan laba dari aktiva
perusahaan,
sebelum pembayaran
bunga dan pajak
Earning
Before
Interest and Tax to
Total
Assets (Weston &
Copeland,
2004:255) dalam
Diana Atim
Iflaha (2008)
Rasio
X4 Rasio ini
menunjukkan
kemampua
n perusahaan
untuk
memenuhi kewajiban-
kewajiban
dari nilai pasar
modal
sendiri (saham
biasa).
Nilai pasar ekuitas
sendiri
diperoleh
dengan
mengalikan
jumlah lembar
saham
Market
Value of Equity to
Book Value
of Debt (Sofyan
Syafri
harahap, 2009: 353)
Rasio
𝐸𝐵𝐼𝑇
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑠𝑠𝑒𝑡𝑠
𝑀𝑎𝑟𝑘𝑒𝑡𝑉𝑎𝑙𝑢𝑒 𝐸𝑞𝑢𝑖𝑡𝑦
𝐵𝑜𝑜𝑘 𝑉𝑎𝑙𝑢𝑒 𝑜𝑓 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐷𝑒𝑏𝑡
𝑆𝑎𝑙𝑒𝑠
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑠𝑠𝑒𝑡𝑠
IRWNS 2013
26
biasa yang
beredar dengan
harga pasar
per lembar saham
biasa. Nilai
buku hutang
diperoleh
dengan menjumlah
kan
kewajiban lancar
dengan
kewajiban
jangka
panjang
X5 Rasio ini
menunjukkan
apakah perusahaan
menghasilkan
volume bisnis yang cukup
dibandingkan
investasi dalam total aktivanya.
Rasio ini
mencerminkan efisiensi
manajemen
dalam menggunakan
keseluruhan
aktiva perusahaan
untuk
menghasilkan penjualan dan
mendapatkan
laba
Sales to
Total
Assets (S.Munawir
, 2002:309)
Rasio
Z- Score
(Z)
Dari data
laporan keuangan
perusahaan
akan dianalisis dengan
menggunakan
beberapa rasio keuangan yang
dianggap dapat
memprediksi kebangkrutan
sebuah
perusahaan. Beberapa rasio
keuangan yang
mendeteksi likuiditas,
profitabilitas,
dan aktivitas perusahaan
yang akan
menghasilkan rasio-rasio atau
angka-angka
yang akan diproses lebih
lanjut dengan formula
Z = 1,2X1
+ 1,4X2 + 3,3X3 +
0,6X4 +
1,0X5 (S.Munawir
, 2002:309)
1. Z-Score
lebih kecil atau sama
dengan 1,81
berarti perusahaan
mengalami
kesulitan keuangan
dan risiko
tinggi. 2. Z-Score
antara 1,81 -
2,99 perusahaan
dianggap
berada pada daerah abu-
abu (grey
area). 3. Z-Score
>2,99
memberikan penilaian
bahwa
perusahaan berada
dalam keadaan
Altman.
yang sangat
sehat sehingga
kemungkina
n kebangkruta
n sangat
kecil terjadi.
Sumber : Diolah dari berbagi referensi
3. Hasil dan Pembahasan
3.1 Hasil
3.1.1 Working Capital to Total Assets (𝐗𝟏)
Rasio ini menunjukkan kemampuan perusahaan untuk
menghasilkan modal kerja bersih dari keseluruhan total aset
yang dimilikinya. Rasio ini dihitung dengan membagi
modal kerja bersih dengan total aset. Modal kerja bersih
diperoleh dengan cara aset lancar dikurangi dengan
liabilitas lancar.
Tabel 3.1.1: Rata-rata Rasio Modal Kerja Terhadap Total
Aset Industri Rokok Period 2008 2009
Sumber : Data Diolah
Hasil perhitungan tabel 3.1.1, menunjukkan rata-rata rasio
modal kerja terhadap total aset dalam 5 tahun terakhir pada
industri rokok yang sekarang terdaftar di Bursa Efek
Indonesia adalah 31%. Tahun 2009 adalah tahun terbesar
rata-rata rasio modal kerja terhadap total aset industri rokok
yaitu 39% akan tetapi pada tahun 2010 dan 2011
mengalami penurunan menjadi 38%. Pada tahun 2012
menjadi 31%. hal ini menurun ketimbang rata-rata rasio
yang dihasilkan tahun sebelumnya yaitu 38%.
3.1.2 Retained Earning To Total Assets (𝐗𝟐)
Rasio ini mengambarkan kemampuan perusahaan untuk
menghasilkan laba ditahan dari total aset perusahaan.
Dengan kata lain, laba ditahan menunjukkan berapa banyak
pendapatan perusahaan yang tidak dibayarkan dalam
bentuk dividen kepada para pemegang saham. Rasio ini
merupakan indikator profitabilitas kumulatif yang relatif
terhadap panjangnya waktu. Hal ini mengisyaratkan bahwa
semakin muda suatu perusahaan semakin sedikit waktu
yang dimilikinya untuk membangun laba kumulatif
Tahun
PT Gudang
Garam
Tbk
PT Hanjaya Mandala
Sampoerna
Tbk
PT Bentoel Internasional
Investama
Tbk
Rata-rata
2008 36% 21% 41% 33%
2009 44% 34% 40% 39%
2010 47% 29% 37% 38%
2011 43% 40% 31% 38%
2012 40% 30% 24% 31%
Rata-
rata 42% 31% 35% 36%
IRWNS 2013
27
sehingga semakin besar kemungkinannya untuk mengalami
kegagalan usaha atau kebangkrutan.
Tabel 3.1.2: Rata-rata rasio Laba Ditahan Terhadap Total
Aset Industri Rokok Periode 2008-2012
Sumber : Data Diolah
Tabel 3.1.2 mencerminkan bahwa rasio laba ditahan
terhadap total aset rata-rata industri rokok terbesar terjadi
pada tahun 2009 yaitu sebesar 55%, akan tetapi mengalami
penurunan pada tahun 2010 dan tahun 2011 masing-masing
sebesar 28% dan 46%. Pada tahun 2012 mengalami
kenaikan 1% dari sebelumnya 46% sehingga menjadi 47%
sehinga rata-rata rasio laba ditahan industri rokok dalam 5
tahun terakhir yaitu 46%.
3.1.3 Earning Before Interest and Taxes (EBIT) to Total
Assets (𝑿𝟑)
Rasio ini mengambarkan perusahaan menghasilkan laba
bersih sebelum bunga dan pajak terhadap total aset. Rasio
ini merupakan indikator produktivitas aset perusahaan
dalam menghasilkan laba sebelum pajak. Semakin kecil
tingkat profitabilitas berarti semakin tidak efisien dan tidak
efektif perusahaan menggunakan keseluruhan aset di dalam
menghasilkan laba usaha begitu juga sebaliknya.
Tabel 3.1.3: Rata-rata rasio EBIT Terhadap Total Aset
Industri Rokok Periode 2008-2012
Sumber : Data Diolah
Tabel 3.1.3 mencerminkan bahwa rasio EBIT terhadap total
aset rata-rata industri rokok terbesar terjadi pada tahun
2009 sebesar 18,7%. Pada tahun 2009 mengalami kenaikan
sehingga menjadi 18,7% akan tetapi mengalami penurunan
pada tahun 2010 menjadi 13,6%. Pada tahun 2011
mengalami kenaikan menjadi 17% dan pada tahun 2012
menjadi 17,3% dan rata-rata rasio EBIT terhadap total aset
menjadi 16,7%.
3.1.4 Market Value of Equity to Book Value of Total
Liabilities(𝑿𝟒
Rasio ini menunjukkan kemampuan perusahaan untuk
memenuhi liabilitas dari nilai pasar modal sendiri atau
ekuitas. Rasio ini juga merupakan ukuran dalam
menunjukan seberapa banyak aset perusahaan dapat
menurun nilainya (diukur dari nilai pasar modal ditambah
utang) sebelum liabilitas (utang) melebihi aset dan
perusahaan menjadi bangkrut.
Tabel 3.1.4: Rata-rata rasio Market Value of Equity to
Book Value of Total Liabilities Industri
Rokok Periode 2008-2012
Sumber: Data Diolah
Dari tabel 3.1.4 bahwa rata-rata rasio market value of equity
to book value of total liabilities pada tahun 2008 sebesar
103,8%. Pada tahun 2009 dan 2010 mengalami kenaikan,
tahun 2010 merupakan rasio market value of equity to book
value of total liabilities terbesar selama 5 tahun terakhir
akan tetapi pada tahun 2011 mengalami penurunan
sehingga menjadi 100,0% dan pada tahun 2012 mengalami
kenaikan tetapi tidak cukup signifikan yaitu hanya naik
sebesar 0,5% sehingga menjadi 100,5%.
3.1.5 Sales To Total Assets (𝑿𝟓)
Rasio sales to total assets digunakan untuk mengukur
kemampuan perusahaan dalam meningkatkan usaha, yaitu
sejauh mana efektivitas perusahaan menggunakan total aset
yaitu sebagai sumber daya untuk meningkatkan penjualan
dengan berbagai macam kondisi persaingan. Rasio juga ini
mencerminkan efisiensi manajemen dalam menggunakan
keseluruhan aktiva perusahaan untuk menghasilkan
penjualan dan mendapatkan laba.
Tahun
PT
Gudang
Garam
Tbk
PT Hanjaya
Mandala
Sampoerna
PT Bentoel
Internasional
Investama
Tbk
Rata-
rata
2008 20,30% 49,90% 38,80% 36%
2009 63,60% 59,10% 40,80% 55%
2010 69,00% 32,50% 43,40% 48%
2011 59,90% 43,30% 35,70% 46%
2012 62,80% 47,40% 29,70% 47%
Rata-
rata 55% 46% 38% 46%
Tahun PT Gudang Garam Tbk
PT Hanjaya
Mandala
Sampoerna Tbk
PT Bentoel
Internasional
Investama Tbk Rata-rata
2008 9,0% 36,0% 5,5% 16,8%
2009 13,0% 41,0% 2,1% 18,7%
2010 18,0% 19,0% 3,7% 13,6%
2011 13,0% 33,0% 5,0% 17,0%
2012 10,0% 44,0% -2,2% 17,3%
Rata-
rata 12,6% 34,6% 2,8% 16,7%
Tahun
PT
Gudang Garam
Tbk
PT Hanjaya
Mandala Sampoerna
Tbk
PT Bentoel
Internasional Investama
Tbk Rata-rata
2008 148,5% 99,5% 63,5% 103,8%
2009 191,6% 144,2% 69,9% 135,2%
2010 225,0% 108,4% 176,8% 170,1%
2011 168,9% 76,2% 55,0% 100,0%
2012 168,9% 90,2% 42,3% 100,5%
Rata-
rata 180,6% 103,7% 81,5% 121,9%
IRWNS 2013
28
Tabel 3.1.5: Rasio Sales to Total Assets Industri Rokok
Periode 2008-2012
Sumber : Data Diolah
Dari tabel 3.1.5 rata-rata rasio sales to total assets pada
tahun 2008 sebesar 147,1%. Pada tahun 2009 mengalami
kenaikan sebesar 2,1% sehingga menjadi 149,2 % akan
tetapi mengalami penurunan pada tahun 2010 menjadi
104,1% dan pada tahun 2011 dan 2012 mengalami
penurunan masing-masing menjadi 119% dan 130,5%.
3.1.6 Nilai Z-Score Tahun 2008-2012
Masing-masing industri rokok menggunakan formula yang
sama dalam mengetahui nilai Z-Score adalahZ-Score =
1,2X1 + 1,4X2 + 3,3X3 + 0,6X4 + 1,0X5 berikut ini adalah
perhitungan Z-Score untuk industri rokok yang terdaftar di
Bursa Efek Indonesia sekarang untuk tahun 2008, 2009,
2010, 2011 dan 2012 sebagai berikut :
Tabel 3.1.6: Rata-rata Nilai Z-Score untuk Industri Rokok
Periode 2008-2012
Sumber : Data Diolah
Pada tabel 3.1.6 rata-rata nilai Z-Score PT Gudang Garam
Tbk untuk 5 tahun terakhir menunjukkan angka 4,212 yaitu
masih diatas >2,99 dan masih dikatergorikan sehat, PT
Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk untuk 5 tahun terakhir
dikategorikan sehat dengan angka rata-rata nilai Z-Score
4,496 juga masih dikategorikan sehat sedangkan untuk PT
Bentoel Internasional Investama Tbk nilai Z-Score rata-rata
menunjukkan angka 2,502 yang berarti dikategorikan rawan
bangkrut karena berada pada range 1,81-2,99. Apabila
melihat rata-rata nilai Z-Score industri rokok 5 tahun
terakhir maka angka Z-Score menunjukkan 3,73 yang
berada dilevel sehat.
3.2 Pembahasan
3.2.1 Pembahasan Nilai 𝐗𝟏, 𝐗𝟐, 𝐗𝟑, 𝐗𝟒, dan 𝐗𝟓 Dari hasil perhitungan rata-rata modal kerja terhadap total
aset yang dimiliki masing-masing perusahaan pada tabel
3.1.1 menunjukkan angka 36% hal ini berarti sebanyak
Rp1000 aset tetap yang dimiliki perusahaan hanya
menghasilkan modal kerja Rp360. Jika melihat 5 tahun
terakhir, maka dapat dikatakan bahwa modal kerja
perusahaan-perusahaan rokok relatif menurun terhadap total
kapitalisasinya Ini dapat dilihat bahwa 2 perusahaan rokok
lainnya mengalami tingkat likuiditas yang menurun dan
untuk PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk mengalami
relatif fluktuatif.
Dari tabel 3.1.2 bahwa rasio laba ditahan terhadap total
aset rata-rata industri rokok selama 5 tahun terakhir
menunjukkan 46% artinya bahwa Rp1000 total aset hanya
menghasilkan Rp460 laba ditahan. Hal ini merupakan
cerminan rasio profitabilitas industri tersebut tidak stabil
dan masih kecil ketimbang tahun 2009 dalam menghasilkan
laba ditahan dalam jumlah aset tertentu. Dapat dikatakan
bahwa rasio laba ditahan terhadap total aset pada industri
rokok mengalami fluktuatif.
Pada tahun 2012 menunjukkan rata-rata rasio EBIT
terhadap total aset pada industri rokok menunjukkan 16,7%
artinya bahwa Rp1000 total aset hanya menghasilkan
Rp167 EBIT. Hal ini merupakan cerminan rasio
profitabilitas industri tersebut tidak stabil dan masih kecil
ketimbang tahun 2009 dalam menghasilkan EBIT dalam
jumlah aset tertentu sebagai mana ditunjukkan pada tabel
3.1.3. Dapat dikatkan bahwa rasio EBIT terhadap total aset
pada industri rokok mengalami fluktuatif.
Rata-rata rasio market value of equity to book value of total
liabilities pada tahun 2010 merupakan terbesar selama 5
tahun terakhir akan tetapi pada tahun terakhir yaitu tahun
2012 hanya sebesar 100,5% hal ini bahwa Rp1000 utang
dapat dijamin oleh Rp1005 total ekuitas. Hal ini sangat
kecil ketimbang pada tahun 2010 Rp1000 utang dapat
dijamin oleh Rp1705 seperti yang tergambar dalam tabel
3.1.4 Dapat disimpulkan bahwa rasio market value of equity
to book value of total liabilities industri rokok mengalami
fluktuatif.
Dari uraian 3.1.5 bahwa rata-rata rasio sales to total assets
terbesar yaitu pada tahun 2009 sebesar 149,2% akan tetapi
mengalami penurunan dan kenaikan di tahun-tahun
selanjutnya. Pada tahun 2012 rata-rata rasio sales to total
assets adalah 130,8 % hal ini berarti Rp1000 total aset yang
digunakan perusahan dapat menghasilkan Rp1308
Tahun
PT Gudang
Garam Tbk
PT Hanjaya
Mandala Sampoerna
Tbk
PT Bentoel
Internasional Investama
Tbk
Rata-
rata
2008 93,0% 215,0% 133,3% 147,1%
2009 86,4% 220,0% 141,3% 149,2%
2010 122,6% 100,5% 89,2% 104,1%
2011 78,2% 156,3% 122,6% 119,0%
2012 75,1% 211,2% 105,3% 130,5%
Rata-rata 91,1% 180,6% 118,3% 130,0%
Tahun
PT
Gudang Garam
Tbk
PT Hanjaya
Mandala Sampoerna
Tbk
PT Bentoel
Internasional Investama
Tbk Rata-rata
2008 5,5 4,8 2,93 4,41
2009 3,86 5,6 2,94 4,13
2010 4,7 3,08 3,1 3,63
2011 3,5 3,9 2,49 3,30
2012 3,5 5,1 1,05 3,22
Rata-
rata 4,212 4,496 2,502 3,74
Kategori Sehat Sehat Rawan
Bangkrut Sehat
IRWNS 2013
29
penjualan atau sales walaupun pada tahun sejak tahun
2010-2012 mengalami kenaikan akan tetapi hal ini masih
terlalu kecil sebesar 18,7% ketimbang tahun 2009. Dapat
disimpulkan bahwa rata-rata rasio sales to total assets
relatif mengalami kenaikan.
3.2.2 Pembahasan Nilai Z-Score
Pada tabel 4.26 di atas terlihat bahwa dalam 5 tahun
terakhir yaitu dari tahun 2008 sampai 2012 setiap rata-rata
industri rokok memiliki kondisi keuangan yang berbeda-
beda untuk setiap tahunnya. Hanya PT Bentoel
Internasional Investama Tbk yang rata-rata 5 tahun terakhir
dapat dikategorikan rawan bangkrut karena nilai rata-rata
menunjukan 2,502 yang berada pada range 1,81-2,99.
Meskipun begitu pada tahun 2010 dikategorikan sehat
dengan nilai Z-Score sebesar 3,1 akan tetapi pada tahun
2012 nilai Z-Score menunjukkan angka 1,05 yaitu berada di
range <1,81 yaitu range untuk kategori bangkrut. Untuk
nilai Z-Score untuk 5 tahun terakhir pada PT Gudang
Garam Tbk dan PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk
berada dalam kategori sehat walapun nilai Z-Score relatif
mengalami fluktuatif.
4. Kesimpulan dan Saran
4.1 Kesimpulan
Dari hasil analisis data dan pembahasan maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut :
1. Nilai modal kerja terhadap total aset industri rokok
relatif menurun hal ini dapat dilihat periode tahun 2009-
2012 yang berarti bahwa tingkat likuiditas kurang baik.
Retained Earning To Total Assets juga relatif
mengalami fluktuatif hal ini juga terjadi pada Earning
Before Interest and Taxes (EBIT) to Total Assets relatif
fluktuatif ini mencermikan profitabilitas industri rokok
kurang stabil. Market Value of Equity to Book Value of
Total Liabilities juga mengalami fluktuatif yang berarti
menunjukan ketidakstabilan tingkat utang karena
apabila utang yang telalu besar yang melebihi ekuitas
dapat menyebabkan perusahaan mengalami masalah
kesulitan keuangan yang serius sedangkan Sales To
Total Assets rata-rata relatif mengalami kenaikan hal ini
dapat disimpulkan bahwa kemampuan peningkatan
penjualan dari aset industri rokok mengalami kenaikan
sehingga perusahaan dapat berkompetisi pada kondisi
yang kompetitif.
2. Nilai Z-Score pada industri rokok tahun 2012 prediksi
kebangkrutan memiliki 2 Industri rokok dikategorikan
sehat dan 1 industri rokok diprediksi bangkrut. Jika
melihat 5 tahun terakhir rata-rata industri rokok
dikategorikan sehat walapun hanya 1 industri rokok
yang dikategorikan rawan bangkrut. Peluang
kebangkrutan ini tentunya akan semakin besar jika
pihak manajemen perusahaan tidak segera melakukan
tindakan evaluasi terhadap kondisi keuangan
perusahaan. Selain itu, perbaikan kinerja diperlukan
setiap industri rokok agar semakin kecil kemungkinan
mengalami kebangkrutan.
4.2 Saran
1. Seharusnya tingkat arus modal kerja dikelola dengan
baik sehingga modal kerja tidak kecil menurun. Aset
digunakan secara produktif dan efisien sehingga dapat
menghasilkan laba ditahan atau saldo laba. Dalam
peminjaman utang seharusnya diusahakan agar tidak
terlalu besar terhadap ekuitas perusahaan dan total aset.
Apabila hal ini tetap dipertahankan maka perusahaan
akan tetap berada pada kondisi yang sehat. Untuk sales
to total assets tetap dipertahankan atau ditingkatkan
dengan tingkat penjualan yang besar dan diimbangi
dengan pengefisiensian biaya operasional maka akan
menjamin perusahaan dalam keadaan yang tidak merugi
atau menurunkan tingkat kesulitan keuangan semakin
kompetitif perusahan dalam persaingan.
2. Untuk nilai Z-Score pada industri rokok sudah cukup
bagus dengan kategori keadaan sehat, hal ini terus
dijaga. Untuk nilai Z-Score pada PT Bentoel
Internasional Investama Tbk yang ditunjukkan hasil
analisis dan pembahasan perlu diperhatikan karena rata-
rata 5 tahun terkahir dikategorikan rawan bangkrut. Hal
ini dapat diatasi dengan memperbaiki modal kerja,
efisiensi biaya, produktif dalam penggunaan aset
sehingga dapat menghasilakan penjualan yang besar
dan diimbangi dengan tingkat utang yang rendah agar
tidak kembali dalam masalah kesulitan keuangan.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Poetri Mustika Warga. 2006. Analisa Laporan
Keuangan dan Indikator Kebangkrutan untuk
Menilai Kinerja Keuangan serta Kelangsungan
Pada PT Mayora Indah Tbk Beserta Anak
Perusahaan (periode 2001-2005. Universitas Bina
Nusantara
[2] Munawir, S. 2010. Analisa Laporan Keuangan.
Yogyakarta: Liberty
HAK CIPTA
Semua makalah yang diajukan haruslah asli, karya yang
dipublikasikan tidak dalam pertimbangan untuk
dipublikasikan. Penulis bertangung jawab untuk
mendapatkan semua izin yang diperlukan untuk
menampilkan kembali tabel, gambar dan citra. Makalah
tidak berisi fitnahan, dan tidak melanggar hak-hak lainnya
dari pihak ketiga.
Para penulis setuju bahwa keputusan dewan redaksi terkait
kesempatan pemaparan makalah adalah final. Para penulis
dilarang melakukan bujukan pada tim teknis dalam usaha
untuk menerbitkan makalahnya.
Sebelum penerimaan akhir makalah, penulis diminta untuk
mengkonfirmasi secara tertulis bahwa penulis adalah
IRWNS 2013
30
pemegang semua hak cipta makalahnya dan menyerahkan
hak cipta tersebut pada organizer pelaksana seminar.
IRWNS 2013
31
Analisis pada Layanan Learning Management System
(Studi Kasus: Virtual Learning Politeknik Pos Indonesia)
Maniah
Jurusan Manajemen Informatika, Politeknik Pos Indonesia, Bandung 40151
E-mail : [email protected]
ABSTRAK
Website Virtual Learning Poltekpos Indonesia ini dikembangkan sebagai sarana penunjang belajar mahasiswa. Mata kuliah pada
sistem ini dikategorikan berdasarkan Program Studi. Implementasi virtual learning di Politeknik Pos Indonesia berbasiskan
software opensource Moodle bertujuan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran di institusi tersebut. Dokumen cara penggunaan
virtual learning Poltekpos Indonesia dibuat untuk menunjang operasional sistem ini. Untuk meningkatkan kualitas konten
dokumen serta sistem secara keseluruhan, telah dilakukan analisis terhadap layanan penyelenggaraan virtual learning Poltekpos
Indonesia. Maksud analisis ini adalah memberikan rekomendasi perbaikan terhadap layanan Penyelenggaraan virtual learning
Poltekpos Indonesia bila hasil analisis terdapat perbaikan-perbaikan. Berikut adalah hasil analisis meliputi panduan penggunaan
Learning Management System (LMS) dan tugas pokok pengelola Virtual Learning Poltekpos Indonesia.
Kata Kunci
Moodle, software opensource, virtual learning, learning management system
1. PENDAHULUAN
Politeknik Pos Indonesia merupakan perguruan tinggi yang
memiliki komitmen untuk meningkatkan kualitas pendidikan
ke taraf internasional. Dengan komitmennya tersebut,
virtual learning dijadikan sebagai salah satu bentuk strategi
untuk mencapai kualitas tersebut.
Wujud nyata dari komitmen ini adalah dengan
mempersiapkan sumber daya manusia yang didedikasikan
untuk pengelolaan virtual learning sehingga implementasi
dari virtual learning selaras dan sangat mendukung proses
yang berjalan di institusi.
Komponen utama Virtual learning dan Knowledge
Management (KM) adalah :
1. konten,
2. perancangan pembelajaran/pedagogi, dan
3. teknologi.
Penerapannya di institusi umumnya berwujud aplikasi
learning management system (LMS). Untuk penerapan
tersebut perlu di buat arahan-arahan dalam bentuk rencana
strategis yang berisi :
1. Analisa kebutuhan implementasi virtual learning,
2. Visi dan misi institusi terkait dengan virtual
learning di institus tersebut,
3. Kondisi eksisting, dan analisis dampak penerapan
4. Strategi dan program yang dilakukan serta
5. Roadmap dan tahapan-tahapnya
Rencana strategis tersebut kemudian disosialisasikan kepada
segenap stakeholder institusi sehingga segenap stakeholder
terkait melihat virtual learning ini dari jendela yang sama
serta memiliki pemahaman yang sama. Rencana Strategis
tersebut kemudian menjadi panduan bersama dalam
penyelenggaraan dan pengelolaan Virtual learning
Suatu sistem virtual learning yang sukses
diimplementasikan di suatu institusi umumnya dapat
ditentukan dari
1. Ketersediaan konten yang bermanfaat,
2. Perancangan pembelajaran yang efektif, didukung
dengan
3. Teknologi/infrastruktur yang tangguh dan tepat
guna
Faktor utama yang mendukung kesuksesan tersebut di atas
sangat ditentukan oleh
1. Ketersediaan sumber daya dan organisasi yang
dididedikasikan virtual learning
2. Ketersediaan standar proses/sistem operasional
3. Ketersediaan teknologi yang memungkinkan sistem
dapat berjalan.
2. ANALISIS TERHADAP PENGGUNAAN
LEARNING MANAGEMENT SYSTEM (LMS)
Panduan aplikasi learning management system (LMS) yang
digunakan untuk sistem virtual learning, secara detil sudah
dituliskan dalam dokumen Panduan Penggunaan LMS yang
sudah disiapkan oleh tim layanan Virtual learning. Namun
IRWNS 2013
32
bagaimana panduan aplikasi virtual learning ini dapat lebih
optimal digunakan oleh para pengguna layanan virtual
learning maka dipandang perlu untuk meninjau lebih lanjut
terhadap penggunaan dari layanan virtual learning tersebut.
2.1 Standar Layanan virtual learning
Beberapa poin yang perlu untuk disampaikan terkait dengan
analisis sistem ini antara lain adalah standar layanan
aplikasi:
1. Availability
2. Accessability
3. Reliability
4. Usability
5. Portability
Nilai manfaat dari sistem atau aplikasi yang
diimplementasikan akan sangat bergantung pada lima
komponen di atas. Poin-poin tersebut juga akan berdampak
pada semakin tingginya tingkat penggunaan atau sebaliknya.
Secara ringkas sebagai bahan improvement terhadap operasi
sistem virtual learning, berikut disampaikan mengenai poin-
poin standar layanan tersebut di atas.
Availability adalah ketersediaan sistem pada saat setelah
diimplementasikan. Sistem virtual learning dan sistem digital
library harus memenuhi standar availability 24/7. Untuk itu,
maka diperlukan proses pengaturan dan pengelolaan segenap
infrastruktur meliputi server dan koneksi jaringan yang
memungkinkan sistem bisa selalu berjalan serta pada saat
sistem gagal/failed, maka sistem dapat beroperasi
kembali/recover dengan cepat.
Accessibility adalah kemudahan akses. Berbeda dengan poin
availability yang titik tekannya adalah pada ketersediaan
sistem dan infrastruktur, aksesibilitas lebih cenderung pada
akses ke sistem aplikasi virtual learning serta digital library
itu sendiri. Ketika sistem sudah diimplementasikan, maka
sistem harus dapat diakses dengan baik mulai dari tampilan
awal, kemudian login, akses ke layanan atau konten, sampai
user bisa logout. Tentu saja navigasi menjadi komponen
penting dalam aksesibilitas ini.
Reliability adalah ketangguhan sistem dalam memenuhi
request, query dan transaction. Yaitu sistem perlu dirancang
untuk memenuhi standar ketangguhan serta memiliki
kemampuan untuk recover dengan cepat pada saat terjadi
kegagalan. Ketangguhan sistem dalam hal ini ditentukan dari
konfigurasi lingkungan software seperti webserver, database,
serta spesifikasi hardware.
Usability adalah sistem harus mudah untuk digunakan.
Tingkatan kemampugunaan (usability) ini sangat tergantung
dari kebutuhan user. LMS Moodle yang digunakan sebagai
aplikasi Learning Management System (LMS) di Politeknik
Pos Indonesia dalam hal ini sangat kaya dengan fitur. Tetapi
tidak semua fitur perlu untuk diaktifkan. Namun
penyederhanaan fitur ini tetap perlu mempertimbangkan
fleksibilitas pengguna dalam memanfaatkan sistem.
Sehingga hal pertama yang perlu dilakukan pada saat
implementasi adalah mendefinisikan kebutuhan pengguna.
Kemudian menetapkan fitur-fitur yang perlu ada, serta
mengkategorisasi mulai dari fitur primer/prioritas, sekunder,
dan tertier. Sehingga dapat dipilah fitur apa saja dalam
virtual learning yang harus diimplementasikan.
Portability adalah sistem harus standar. Yaitu memenuhi
kaidah sehingga sistem dapat berjalan dari segenap
perangkat yang mungkin dipakai oleh pengguna dalam
memanfaatkan sistem tersebut. Dalam hal ini lingkungan
perangkat utama untuk aplikasi berbasis web adalah
browser. Otomatis sistem yang dikembangkan harus dapat
berjalan dalam lingkungan browser apapun terutama browser
mayor seperti internet eksplorer, mozilla firefox, apple
safari, google chrome, opera dan lainnnya. Untuk itu perlu
untuk dilakukan pengujian oleh tim developer berkaitan
dengan portability layanan virtual learning ini.
Berikut dilakukan beberapa komponen pengujian yang
dilakukan untuk melihat fitur-fitur tersedia dari sistem
virtual learning yang digunakan di Politeknik Pos Indonesia.
Untuk menjalankan virtual learning, kita melakukan akses ke
sistem virtual learning sesuai dengan panduan yang
disediakan. Untuk menguji aksesibilitas, digunakan cara
sederhana yaitu:
1. Perintah tracert dari command prompt
2. Akses browser ke sistem
3. Akses ke fitur registrasi yang ada di sistem
4. Menggunakan utiliti ip2location
Sistem Virtual learning Politeknik Pos Indonesia dapat
diakses melalui url : http://vl.poltekpos.ac.id/, CMS/LMS
yang digunakan Moodle 2.1.
2.2 Karakteristik Pengguna Sistem Virtual Learning
Secara umum panduan penggunaan Virtual Learning
Politeknik Pos Indonesia yang dikembangkan oleh tim
pengelola Virtual Learning Politeknik Pos Indonesia sudah
cukup lengkap. Beberapa poin analisis terkait dengan
dokumen tersebut antara lain:
1. Pengelompokan dokumen penggunaan berdasarkan
karakteristik pengguna.
2. Pengelompokan dokumen penggunaan berdasarkan
fitur sistem.
3. Pengelompokan dokumen penggunana berdasarkan
alur waktu.
Pengelompokan tersebut sangat penting pada saat sistem
akan digunakan dan pengguna dapat memilih dokumen
IRWNS 2013
33
penggunaannya berdasarkan preferensinya. Sebagai contoh
dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:
Tabel 1: Pengelompokan dokumen penggunaan berdasarkan karakteristik pengguna sistem
Jenis Dokumen Deskripsi Konten/Isi Keterangan
Dokumen Penggunaan untuk
Administrator Sistem Setup dan Instalasi Sistem
Setting lingkungan pendukung
sistem
Mengoperasikan Sistem
Mengatur setting umum sistem
Mengatur User dan Privilege
User
Mengatur perkuliahan online
Mengatur repositori/storage
online
Mengatur modul sistem
Backup dan Restore
Pengamanan Sistem
Administrator sistem adalah orang yang terdiri
dari pengelola harian dan dosen yang ditunjuk
untuk membantu mengoperasikan sistem supaya
sistem dapat menjalankan fungsinya secara
optimal
Dokumen Penggunaan untuk
Dosen/Asisten Membuat kelas/perkuliahan
online
Mengatur user dan grup
Menambahkan bahan
ajar/resource
Membuat dan mengatur
aktivitas online
Mengatur assessment online
Mengatur diskusi/interaksi
online
Backup, Reset, dan Restore
Dosen adalah orang yang ditugaskan dengan SK
tertulis untuk mengampu perkuliahan yang
diselenggarakan secara online atau pun blended
learning
Dokumen Penggunaan untuk Peserta
atau Mahasiswa Tatacara registrasi
Tatacara login
Aturan dan tatacara mengikuti
kelas online
Tatacara akses bahan ajar
Tatacara mengikuti forum
diskusi
Tatacara ujian/assessment
Mengatur profil pribadi
Tatacara logout
Peserta atau mahasiswa adalah orang yang
diperbolehkan untuk akses ke dalam sistem dan
mengikuti pembelajaran di sana.
3. ANALISIS TUGAS POKOK PENGELOLA
VIRTUAL LEARNING
Proses Tata Kelola Virtual Learning secara riil dinyatakan
dengan kebijakan dan standar-standar dan prosedur yang
berlaku dan ditatapkan berdasarkan pada kebijakan. Struktur
kebijakan dan standar prosedur akan sangat tergantung
dengan kerangka proses yang dipilih.
Walaupun demikian, pengelolaan Virtual Learning (e-
learning) di suatu institusi ini tetap perlu mengedepankan
pada kebutuhan institusinya dan tidak dapat berdiri sendiri.
Beberapa hal yang menjadi pertimbangan antara lain :
1. Pemahaman organisasi E-learning
2. Penyelarasan (alignment) atau operational
excellence
3. perspektif benefit yang ingin dibuat.
Tujuan Tata Kelola Virtual Learning atau E-learning
1. Mendefinisikan tujuan dan kriteria indikator kinerja
e-learning selaras dengan visi dan misi organisasi
2. Merencanakan dan mendefinisikan kebutuhan-
kebutuhan untuk penerapan e-learning
IRWNS 2013
34
3. Merancang, mengembangkan, dan
mengimplementasikan e-learning
4. Mengoperasikan, menyelaraskan, serta memelihara
sistem e-learning meliputi infrastruktur, aplikasi,
fasilitas, dan sarana
5. Memenuhi dan menerapkan standar-standar e-
learning
6. Bersama-sama membuat pengaturan pelaksanaan e-
learning di organisasi.
3.1 Proses dan Prosedur Operasional e-Learning
Sistem terdiri dari komponen orang, proses, dan alat. Ketiga
komponen utama tersebut digunakan untuk menjalankan
sistem supaya dapat mencapai tujuan yang ditetapkannya.
Sistem e-learning dalam hal ini adalah orang, proses, dan
alat/teknologi yang disiapkan untuk menyediakan layanan e-
learning di institusi sehingga mendukung proses bisnis
institusi agar dapat menjalankan visi dan misinya dalam
rangka mencapai target dan sasarannya.
Sistem e-learning beroperasi untuk memberikan layanan
kepada segenap user, yaitu pengguna e-learning, dalam
menyediakan konten e-learning meliputi modul e-learning
(self-learning), materi blended learning, serta arsip-arsip
materi pembelajaran yang sudah dilaksanakan untuk dapat
diakses kembali oleh peserta pembelajaran (on demand) atau
peserta non pembelajaran.
Kapabilitas sistem e-learning memungkinkan sistem untuk
diakses 24/7 atau 24 jam setiap hari, 7 hari setiap minggu.
Dengan konten lengkap yang disediakan pada sistem e-
learning membuat segenap user e-learning selalu bisa
mengikuti pembelajaran atau hanya mengakses konten
bahan-bahan ajar tersebut untuk dapat meningkatkan
pengetahuan.
Sistem e-learning ini terdiri dari aplikasi learning
management system (LMS) yang dijalankan pada server dan
diakses dari semua lokasi atau lokasi-lokasi yang ditentukan
melalui ketersediaan jaringan. Ketersediaan sistem
(availability), kemudahan diakses (accessability),
ketangguhan (reliability), kemudahan digunakan (usability)
adalah faktor-faktor penting yang perlu diperhatikan dalam
penyediaan layanan e-learning.
Untuk dapat menyelenggarakan e-learning dengan
memperhatikan faktor-faktor penting di atas, setelah
infrastruktur dapat disediakan maka perlu dibangun
organisasi sumber daya manusia yang mampu untuk
menjalankan sistem e-learning sehingga bisa menjalankan
fungsinya dengan baik.
Organisasi e-learning memberikan layanan kepada
stakeholder e-learning dengan menjamin bahwa layanan
yang disediakan dapat digunakan, serta membantu
stakeholder tersebut dalam penggunaan dan pemanfaatan e-
learning sehingga e-learning bisa mencapai sasarannya.
Gambar 1: Proses dan fungsi
3.2 Struktur Organisasi
Organisasi penyedia layanan E-learning perlu untuk
dibangun dan ditetapkan sehingga layanan E-learning yang
tersedia dapat terjamin pengelolaannya. Organisasi tersebut
distrukturisasi dengan komponen-komponen sebagai berikut,
1. Koordinator E-learning
2. Tim/Divisi-divisi
a. e-learning analyst
b. system support dan helpdesk
c. konten, fasilitas, dan studio e-learning.
IRWNS 2013
35
Gambar 2: Struktur organisasi internal tim e-learning
Tabel 1: Pengelompokan dokumen penggunaan berdasarkan karakteristik pengguna sistem
Nama Struktur Peran dan Tanggung Jawab
Koordinator Tim E-learning Tanggung Jawab
Menyelaraskan (aligning) program e-learning dengan kebutuhan/strategi transformasi korporat
Mengelola operasional tim e-learning di institusi
Merencanakan agenda dan kegiatan pengembangan e-learning
Mengevaluasi dan membuat laporan kegiatan e-learning
Koordinator System & Helpdesk Tanggung Jawab
Berkoordinasi mengenai pengembangan dan pemeliharan Infrastruktur e-learning
Menstabilkan/mengokohkan dukungan IT untuk E-learning
Mengelola dan mengembangkan Aplikasi Learning Management System (LMS)
Mengelola Course homepage
Helpdesk/contact person e-learning
Mengedukasi dan mensosialisasikan e-learning kepada user
Koordinator Konten & Studio Tanggung Jawab
Mengelola konten E-learning di Institusi
Mengelola fasilitas dan perangkat pengembangan konten di institusi
Merencanakan, melakukan, pengembangan konten E-learning
Melakukan pengembangan-pengembangan tool dan media E-learning
Memberikan usulan dan masukan terkait pengembangan E-learning
e-Learning Analyst Tanggung Jawab
Merencanakan pengembangan E-learning dari segala aspek
Menganalisa perkembangan model, teknologi, perangkat e-learning,
Menuliskan dan mempublikasikan review hasil analisa secara berkala
Berkoordinasi untuk membuat rencana implementasi teknologi dan konten E-learning
Staf System Support dan Administrator Tanggung Jawab
Mengoperasikan infrastruktur e-learning
Memelihara Infrastruktur e-learning
Melakukan pengembangan aplikasi Learning Management System (LMS)
Mengelola Course homepage
Helpdesk/contact person e-learning
Mengedukasi dan mensosialisasikan e-learning kepada user
Staf Facility Support & Helpdesk Pengguna Tanggung Jawab
Mengoperasikan Fasilitas Pendukung E-learning
Memelihara Fasilitas Pendukung E-learning
Menyiapkan sarana dan kelas komputer untuk pembelajaran
Mengedukasi pengguna
Helpdesk/contact person e-learning
IRWNS 2013
36
Menyelesaikan persoalan yang dihadapi pengguna terkait sarana dan akses ke sistem e-learning
Multimedia Designer/Animator Tanggung Jawab
Digitalisasi Konten
Mengelola konten e-learning
Membuat dan mengembangkan konten (simulasi, animasi, kuis) sesuai kebutuhan
Menguploadkan konten materi e-learning
Mengedukasi dan mensosialisasikan e-learning kepada user
Videomaker/Publisher Tanggung Jawab
Digitalisasi Konten
Arsip Video Kegiatan Pembelajaran
Arsip Foto Digital
Rekaman (audio/video) Narasi
Integrasi konten dalam bentuk format standar
Mengedukasi, mensosialisasikan, dan memberikan bimbingan e-learning kepada user
4. KESIMPULAN
Secara umum sistem Virtual Learning yang
diimplementasikan di Politeknik Pos Indonesia berbasiskan
software opensource Moodle dapat meningkatkan kualitas
pembelajaran yang dijalankan di institusi tersebut. Dokumen-
dokumen yang dibuat untuk menunjang operasional sistem
tersebut sudah tersedia. Untuk mengakomodir pengembangan
dokumen tersebut perlu untuk dikembangkan dengan
menyediakan template atau utility yang dapat digunakan oleh
tim pengelola dalam mengoperasikan sistem tersebut. Tentu
saja sistem ini perlu didukung dengan sosialisasi yang intensif
kepada segenap stakeholder serta komitmen institusi untuk
terus mengembangkan sistem ini dengan mendedikasikan
sumber daya dan infrastruktur sesuai dengan kebutuhan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada Keluarga Besar
Politeknik Pos Indonesia, terutama kepada Yth. Bapak Prof.
Dr. H. Sutarman, Ir., M.Sc. selaku Direktur Polteknik Pos
Indonesia, bapak Saepudin Nirwan, S.Kom., M.Kom selaku
PUDIR I, bapak Mubasiran, S.Si., M.T. selaku KAJUR
Manajemen Informatika dan segenap jajaran manajemen,
rekan-rekan dosen dan staff di Politeknik Pos Indonesia yang
sudah banyak memberikan support baik moril ataupun
material kepada saya dalam rangka menyelesaikan tugas-
tugas penelitian saya.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Bahtiar Arief, “Review Penggunaan e-learning dan D-
Space” ComLabs ITB, 2011.
[2] BPMA UI, , “Pedoman Penjaminan Mutu
Penyelenggaraan e-Learning”, Universitas Indonesia,
2007.
[3] Hartoyo, A. (2008). Rancang Bangun Aplikasi
Learning Content Management System Yang
Mendukung Peningkatan Efektifitas Proses Belajar
Jarak Jauh Design And Implementation Of Learning
Content Management System Application To Increase
The Effectivity Of Long Distance Learning. Surabaya:
STIKOM.
[4] Hasbullah, Maman Somantri, “Pengembangan-model-
pembelajaran--e-learning-untuk-meningkatkan-
kualitas-proses-dan-hasil-belajar-mahasiswa-pada-
mata-kuliah-energi-dan-konversi.html”,
http://jurnal.upi.edu/penelitian-pendidikan/view/556/,
[diakses tanggal 9 September 2013]
[5] SIM Politeknik Pos Indonesia, “Panduan
Menggunakan Virtual Learning Politeknik Pos
Indonesia Bagi Dosen.pdf”, http://vl.poltekpos.ac.id/,
e-learning Poltekpos Indonesia,
IRWNS 2013
37
Analisis Pengaruh Kredit Perbankan dan Kontribusi Sektoral
Terhadap Penciptaan Lapangan Kerja
(Analisis Sektoral Proses Pembangunan di Indonesia)
Iwan Setiawan
Jurusan Akuntansi, Politeknik Negeri Bandung, Bandung 40012
E-mail : [email protected]
ABSTRAK
Makalah ini membahas tentang analisis pengaruh kredit perbankan dan kontribusi sektoral terhadap penciptaan lapangan kerja
sektoral di Indonesia dengan menggunakan metode data panel tahun 2004–2009. Tujuan dari tulisan makalah ini untuk
mengetahui pengaruh pertumbuhan kredit dan pertumbuhan kontribusi sektoral terhadap penciptaan tenaga kerja sektoral di
Indonesia, dengan metode analisis regresi data panel. Kesimpulan dari penelitian ini adalah pertumbuhan kredit dan
pertumbuhan kontribusi sektoral mempengaruhi pertumbuhan lapangan kerja sektoral. Pertumbuhan kredit memberikan
pengaruh positif terhadap pertumbuhan lapangan kerja, sedangkan pertumbuhan kontribusi sektoral memberikan pengaruh
negatif terhadap penciptaan lapangan kerja. Berdasarkan model fixed effect cross section specific coefficients, semua variabel
kredit di tiap sektor, kecuali sektor pertambangan & penggalian (sektor 2) memberikan pengaruh positif terhadap penciptaan
lapangan kerja. Pertumbuhan ekonomi pada semua sektor ekonomi memberikan pengaruh negatif terhadap pertumbuhan
lapangan kerja. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi pada semua sektor ekonomi justru akan mengurangi penciptaan lapangan
kerja.
Kata Kunci
Panel data, fixed effect, kredit, lapangan kerja, kontribusi sektoral
1. Pendahuluan
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pasca krisis ekonomi
tahun 2000-2008 berkisar antara 4%-6% per tahun.
Kondisi ini cukup baik jika dibandingkan dengan
pertumbuhan ekonomi pada tahun 1998 yang mencapai
minus 12%. Namun apakah pertumbuhan ekonomi yang
sudah dicapai telah menunjukan terjadinya pembangunan
ekonomi di Indonesia ? Menurut Sukirno (2007) arti
pembangunan ekonomi adalah kondisi dimana terjadi
peningkatan pendapatan per kapita masyarakat dan
perkembangan GDP diiringi oleh perombakan dan
modernisasi dalam struktur ekonominya, yang pada
umumnya bercorak tradisional, sedangkan Todaro (2000)
mengungkapkan bahwa arti pembangunan ekonomi adalah
suatu proses multi dimensional yang mencakup perubahan
struktur, sikap hidup dan kelembagaan, selain mencakup
peningkatan pertumbuhan ekonomi, pengurangan
ketidakmerataaan distribusi pendapatan dan pemberantasan
kemiskinan”.
Mengacu kepada arti pembangunan di atas, maka untuk
dapat menentukan apakah sudah terjadi proses
pembangunan di Indonesia, perlu ditinjau indikator lain
yang menentukan pembangunan ekonomi di Indonesia.
Pembangunan ekonomi dianggap berhasil bila pola
distribusi pendapatan semakin merata, kemakmuran
semakin meningkat, angka kemiskinan semakin turun dan
meningkatnya kontribusi sektor ekonomi industri baik
terhadap pembentukan GDP maupun terhadap penyerapan
lapangan kerja (Dumairy, 1997).
Pertanyaan yang muncul berkaitan kondisi perekonomian
Indonesia adalah apakah terdapat hubungan antara
pertumbuhan ekonomi, perubahan stuktur ekonomi dan
peningkatan lapangan kerja ? Tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui bagaimana pola perkembangan
pertumbuhan ekonomi, kontribusi sektor ekonomi dan
perkembangan kredit perbankan terhadap penciptaan
lapangan kerja. Apakah pertumbuhan ekonomi menunjukan
terjadinya proses pembangunan di Indonesia.
Melalui penelitian ini diharapkan dapat diperoleh beberapa
manfaat, pertama, bagi pengambil kebijakan, dengan
mengetahui pengaruh perubahan struktur ekonomi
Indonesia dan perkembangan kredit perbankan terhadap
kondisi lapangan kerja akan dapat dijadikan landasan dalam
perumusan kebijakan, terkait dengan langkah-langkah yang
diperlukan untuk mengurangi pengangguran dan
meminimisasi dampak buruk dari perubahan struktur
perekonomian melalui kebijakan pembangunan.
2. Tinjaun Pustaka
2.1 Distribusi Pendapatan
Proses pembangunan ekonomi dilakukan oleh semua
negara di dunia, baik negara yang sudah maju yang masuk
katagori negara Industri (Developed Country) maupun oleh
negara yang sedang berkembang (Low Developing
Country). Arti pembangunan ekonomi bagi negara maju
indentik dengan terjadinya pertumbuhan ekonomi dan
pertumbuhan pendapatan per kapita (PpK). Tapi arti
pembangunan ekonomi bagi negara berkembang adalah
lebih luas dengan Indikator yang lebih beragam. Menurut
Sukirno (2007) data pendapatan perkapita (PPK) dan
perubahannya di berbagai negara sangat berguna dalam
analisa pembangunan, memberikan gambaran mengenai 1)
IRWNS 2013
38
kecepatan perkembangan tingkat kesejahteraan menyarakat
di berbagai Negara 2) perubahan dalam pola perbedaan
tingkat kesejahteraan masyarakat yang telah berlaku di
antara berbagai negara dan 3) data pendapatan per kapita
dapat pula digunakan untuk merumuskan syarat-syarat yang
harus dipenuhi oleh negara-negara berkembang (LDC)
supaya dapat menutup/mengurangi perbedaan tingkat
kesejahteraan antara LDC dengan negara-negara maju (DC)
di masa yang akan datang. Pendapatan per Kapita sebagai
indikator pembangunan ekonomi memiliki beberapa
kelemahan, yaitu 1) Tingkat kesejahteraan masyarakat
bukan saja ditentukan oleh tingkat pendapatan mereka,
tetapi juga tergantung pada faktor Non Ekonomi seperti
Pengaruh adat istiadat, Keadaan iklim dan alam sekitar dan
kebebasan bertindak dan mengeluarkan pendapat.
2)Ketidaksempurnaan dalam menghitung pendapatan
nasional dan pendapatan perkapita.
Kelemahan Pendapatan per Kapita sebagai indikator
pembangunan ekonomi di atasi dengan menggunakan
indikator lain sebagai pelengkap, yaitu indikator distribusi
pendapatan dan perubahan struktur ekonomi. Distribusi
pendapatan menggambarkan pola pembagian pendapatan
bagi masyarakat di suatu negara. Terdapat dua konsep
distribusi pendapatan, yaitu (Kamaluddin, 1998): 1)
Distribusi Pendapatan Relatif, yang menggambarkan
perbandingan jumlah pendapatan yang diterima oleh
berbagai golongan penerima pendapatan dan
penggolongan ini didasarkan kepada besarnya pendapatan
yang mereka terima. 2) Distribusi pendapatan mutlak :
yang menggambarkan persentase jumlah penduduk yang
pendapatannya mencapai suatu tingkat pendapatan tertentu
atau kurang dari padanya. Kondisi ditribusi pendapat
ditinjau dengan melihat jumlah penduduk yang menerima
pendapatan di bawah garis kemiskinan (poverty line). Di
Indonesia garis kemiskinan tahun 2005 sebesar Rp
129,108, tahun 2006 sebesar Rp 151,997 dan tahun 2007
sebesar Rp 166,697. Pada tahun 2007 jumlah penduduk
miskin sebanyak 37,2 juta jiwa atau 16,58% dari seluruh
penduduk Indonesia.
2.2 Perubahan Struktur Ekonomi
Pembangunan ekonomi Indonesia juga ditinjau dari proses
perubahan struktur ekonomi. Perubahan Struktural
mengandung arti terjadinya peralihan dari masyarakat
pertanian tradisional menjadi masyarakat industri modern,
yang mencakup peralihan lembaga, sikap sosial dan
motivasi
secara radikal. Struktur ekonomi sebuah negara dapat
dilihat dari berbagai sudut tinjauan.
Terdapat empat macam sudut tinjauan yang dapat
digunakan untuk melihat struktur ekonomi suatu Negara
yaitu : 1)Tinjauan Makro Sektoral 2)Tinjauan Keruangan
(Spasial) 3) Tinjaun penyelenggaraan kenegaraan 4)
Tinjaun birokrasi pengambilan keputusan. Berdasarkan
tinjauan Makro Sektoral, perekonomian dapat berstruktur
agraris, industrial atau niaga tergantung pada sektor
apa/mana yang menjadi tukang punggung perekonomian
yang bersangkutan. Perubahan struktural tercermin dalam
peranan sector industri yang semakin meningkat baik dalam
pembentukan GNP maupun jumlah tenaga kerja yang
terserap dalam sektor in. (Dumairy, 1997).
Terdapat beberapa model penelitian yang dapat dijadikan
rujukan untuk mengevaluasi proses perubahan struktur
ekonomi suatu negara. Deininger dan Squire (1998),
dengan menggunaan hipotesis dari Simon Kuznet yang
melakukan penelitian untuk kasus di 13 negara maju dan
hasilnya dikemukakan bahwa 1) Sumbangan sektor
pertanian menurun 2) Peranan sektor industri dalam
pembentukan GNP meningkat dari 20-30 % menjadi 40-50
% dan 3) sumbangan sektor jasa-jasa dalam pembentukan
GNP tidak berubah. Sebab-sebab terjadinya perubahan
struktur ekonomi di suatu negara adalah kerena sifat
konsumsi dan elestisitas permintaan (hk. Engel) serta
perubahan teknologi.
Chenery melakukan „Analisa Perubahan struktur Industri‟
dengan model Analisa kuatitatif antara PPK dengan %
sumbangan sektor industri dan sub sektor industri pada
GDP. (Kamaluddin, 1998). Hipotesanya adalah bahwa
tingkat pertumbuhan ekonomi dan peranan sektor industri
dalam menciptakan Produksi Nasional tergantung pada
pendapatan/produksi nasional (Y) dan jumlah penduduk
(N). Kesimpulan dari hasil penelitian Chenery adalah : 1)
Peranan sektor industri dalam menciptakan Produksi
Nasional meningkat 17% dari Produksi Nasional pada tk
PPK US$ 100, menjadi 38% pada tingkat PPK US$1000.
2) Peranan sektor perhubungan & angkutan naik 2X lipat.
3) Peranan sektor jasa tidak berubah.
Arthur Lewis melalui Model Pendekatan Struktur Ekonomi
Dua Sektor, membagi sektor ekonomi kedalam 2 kelompok,
yaitu Sektor Tradisional dan Sektor modern (Todaro,
2000). Sektor Tradisional terdiri dari sektor pertanian dan
kegiatan informal kawasan perkotaan. Kegiatan sektor
usaha bersifat memelihara dan mempertahankan tingkat
konsumsi yang diperlukan atau kebutuhan pokok.
Produktivitas tenaga kerja sektor tradisional rata-rata
rendah, produktivitas marginal sektor ini rata-rata di bawah
tingkat produksi rata-rata bahkan cenderung mendekati nol
(MP= 0). Dalam sektor ini muncul fenomena pengangguran
terselubung, supply tenaga kerja tidak terbatas dan upah
tidak berubah. Sektor Modern mencakup industri
manufaktur, perdagangan dan jasa. Kegiatan produksi
sektor modern ini menggunakan alat modal dan tenaga
kerja bayaran, dikelola oleh eunteurpreuneur, hasil produksi
dijual (bersifat komersial) dan kegiatan usaha
diselenggarakan berdasarkan pertimbangan untuk
mendapatkan laba. Pada sektor ini tenaga kerja dibayar
sesuai dengan produktivitas marginalnya (MP = w). Dalam
kerangka pemikiran Arthur Lewis, proses pembangunan
berarti suatu ekspansi dari sektor modern perkotaan secara
relatif terhadap sektor tradisional pedesaan, sampai pada
suatu tahap tidak tersedia lagi „kelebihan‟ tenaga kerja di
sektor tradisional. Pada tahap ini akan mulai berlangsung
proses keseimbangan bagi tingkat upah riil yang ditentukan
oleh kekuatan permintaan dan penawaran, dimana
kekuatannya bisa berlaku tanpa rintangan yang bersifat
IRWNS 2013
39
struktural. Proses pemanfaatan „kelebihan‟ tenaga kerja dari
sektor tradisional ke sektor modern berlanjut terus karena
keuntungan dari proses tersebut akan di investasikan
kembali ke sektor modern. Dengan demikian peningkatan
GNP akan berlanjut terus secara berkesinambungan hingga
tercapai keseimbangan baru. Ini berarti akan terjadi
peningkatan GNP bersumber pada sektor modern yang
peranannya semakin besar, sedangkan peranan sektor
tradisional semakin menurun.
2.3 Dualisme Ekonomi dan Pengangguran
Ada dikotomi antara perekonomian tradisional (pedesaan),
yang dicirikan dengan masyarakat agraris dengan
perekonomian perkotaaan (urban), dengan berbagai
industrinya. Dikotomi ini menjadi penyebab
ketidakmerataan distribusi pendapatan dan kemiskinan di
berbagai negara berkembang. Bourguignon dan Morrison
(1998) menngungkapkan bahwa dualisme ekonomi
merupakan penyebab utama adanya perbedaan distribusi
pendapatan. Peningkatan pertumbuhan sektor pertanian
diyakini merupakan cara yang paling efisien dalam
mengurangi ketidakmerataan pendapatan dan kemiskinan.
Ravallion dan Datt (1996) menyebutkan bahwa
pertumbuhan sektor manufaktur penting bagi pertumbuhan
secara keseluruhan bagi suatu negara, namun pertumbuhan
sektor pertanian sangat penting bagi pertumbuhan
employment dan pengurangan kemiskinan.
Ravallion dan Chen (1997) menyebutkan perlunya
memperhatikan dinamika di antara penduduk miskin,
dengan melihat penduduk miskin bukan sebagai grup yang
homogen, mengingat respon kemiskinan terhadap
perubahan pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan
tentunya berbeda antara daerah rural dan urban. Hal ini juga
disampaikan oleh Ali dan Thorbecke (1998), yang
membuktikan bahwa “rural poverty‖ lebih responsif
terhadap pertumbuhan ekonomi daripada urban poverty,
namun di sisi lain urban poverty lebih responsive terhadap
distribusi pendapatan.
Hoeven (2004) melihat adanya keterkaitan antara
perubahan struktur ekonomi di suatu negara dan
ketidakmerataan pendapatan dan kemiskinan yang
diakibatkannya. Sementara itu Huppi dan Ravallion (1990),
yang meneliti tentang struktur kemiskinan sektoral pada
periode adjustment di Indonesia pada pertengahan tahun
1980-an, menyatakan bahwa meskipun secara keseluruhan
tingkat kemiskinan mengalami penurunan, namun
pengaruhnya tidak merata pada lintas regional dan sektoral,
di mana pengurangan kemiskinan yang signifikan terutama
terjadi pada sektor “rural farming”.
3. Model Penelitian
Model yang digunakan untuk menguji hubungan antara
kredit, kontibusi sektoral dengan penciptaan lapangan kerja
mengadaptasi dari fungsi produksi Cobb-Douglas (Cobb-
Douglas Production Function) yaitu :
Y = AKβ1
L β2
Dimana :
Y = Gross Domestic Product (GDP),
K = stok modal,
L = tenaga kerja, dan A adalah parameter efisiensi.
Dengan mempertimbangkan ketersediaan data, maka
variabel-variabel yang akan digunakan disesuaikan dengan
ketersediaan data. Variabel kapital didekati dengan nilai
kredit dalam bentuk rupiah dan valas yang diberikan oleh
bank umum. Variabel tenaga kerja didekati dengan jumlah
tenaga kerja yang berumur 15 tahun ke atas dan bekerja
seminggu yang lalu pada lapangan kerja utama1 dan
minimal berpendidikan SMTA/sederajat. Variabel kapital
sebenarnya lebih tepat didekati dengan nilai investasi
(Pembentukan Modal Tetap Bruto/PMTB) yang
dipengaruhi oleh suku bunga. Namun karena tidak ada data
PMTB dan suku bunga tiap sektor yang dipublikasikan,
sehingga variabel investasi dan suku bunga tidak
digunakan.
Ndebbio (2004) mengungkap bahwa kedalaman sistem
dalam sektor keuangan (financial deepening) memegang
peranan yang sangat signifikan dalam memicu
pertumbuhan ekonomi suatu negara. Sektor keuangan
menjadi lokomotif pertumbuhan sektor riil melalui
akumulasi kapital dan inovasi teknologi. Lebih tepatnya,
sektor keuangan mampu memobilisasi tabungan. Mereka
menyediakan para peminjam berbagai instrumen keuangan
dengan kapasitas tinggi dan risiko rendah. Hal ini akan
menambah investasi dan akhirnya mempercepat
pertumbuhan ekonomi. Di lain pihak, terjadinya
asymmetric information, yang dimanifetasikan dalam
bentuk tingginya biaya-biaya transaksi dan biaya-biaya
informasi dalam pasar keuangan dapat diminimalisasi, jika
sektor keuangan berfungsi secara efisien.
Mengadopsi model diatas, dalam penelitian ini terdapat dua
variabel penjelas (variabel bebas) yaitu nilai kredit bank
umum pada sektor ekonomi dan kontribusi sektor ekonomi
dalam membentuk GDP. Dua variabel ini sebagai
komponen pembentuk penciptaan lapangan kerja.. Analisis
pengaruh kredit perbankan dan kontribusi sektoral terhadap
penciptaan lapangan kerja di Indonesia menggunakan data-
data selama 6 (enam) tahun mulai tahun 2004-2009 dengan
9 (sembilan) sektor.
Bentuk persamaan regresinya mengadopsi persamaan
sebelumnya sebagai berikut:
Nit = β0 + β1 Yit + β2 Crit
Dimana :
Nit = tenaga kerja/sektor ekonomi (Log N)
Yit = GDP/sektor ekonomi ((log Y)
Crit =kredit/sektor ekonomi (log Cr)
Hipotesis tanda dari masing-masing koefisien regresi di atas
adalah : β1 >0 dan β2 > 0 dengan penjelasan sebagai
berikut :
IRWNS 2013
40
Ketika kontribusi sektor-sektor ekonomi terhadap
pembentukan GDP meningkat, maka kapasitas dan
kemampuan dari masing-masing sektor dalam
meningkatkan lapangan kerja semakin meningkat.
Ketika kredit yang diberikan oleh bank umum pada
sektor-sektor ekonomi meningkat, maka terjadi
peningkatan kapasitas dana yang dapat digunakan oleh
perusahaan untuk menggunakan lebih banyak sumber
daya termasuk peningkatan penggunaan tenaga kerja.
4. Data dan Metode Analisis
Data yang digunakan dalam penelitan ini meliputi data
periode 2004 sampai 2009. Data yang digunakan meliputi
data Gross Domestic Product (GDP) per sektor ekonomi,
Kredit Bank Umum pada masing-masing sektor ekonomi
dan tenaga kerja menurut sector ekonomi sebagai indikator
perubahan struktur ekonomi. Data-data yang digunakan
berupa data panel (gabungan cross section dan time series)
untuk periode tahun 2004 sampai tahun 2009 untuk 9
sektor ekonomi, yang berasal dari berbagai publikasi Badan
Pusat Statistik (BPS), Depnaker dan Bank Indonesia.
Metode yang digunakan untuk estimasi persamaan adalah
Analisa Data Panel dengan metode Fixed Effect dan
Random Effect. Beberapa keuntungan dari penggunaan data
panel yaitu, pertama, memungkinkan jumlah data
meningkat, kedua, memasukkan informasi yang berkaitan
dengan baik cross section maupun time series yang dapat
mengurangi masalah yang muncul apabila ada variabel
yang dihilangkan. Menurut Baltagi (2001), beberapa
keuntungan menggunakan data panel adalah: (i) dapat
mengontrol heterogenitas setiap individu; (ii) data panel
memberikan informasi yang lebih baik daripada data time
series dan cross section, memberikan lebih bervariasi,
mengurangi kolinieritas antar variabel, memberikan derajat
kebebasan yang lebih tinggi, dan lebih efisien; (iii) data
panel dapat lebih baik dalam mempelajari perubahan
dinamis setiap variabel; (iv) data panel dapat dengan baik
untuk mengidentifikasi dan mengukur dampak yang tidak
terdeteksi dalam data cross section atau time series; (v) data
panel memungkinkan untuk membangun dan menguji
behavioural model yang lebih kompleks; dan (vi) data
panel biasanya dapat menangkap unit-unit yang mikro.
5. Hasil Penelitan
5.1 Kontribusi Struktur Ekonomi Indonesia
Indikator ketiga dari proses pembangunan ekonomi di
negara berkembang termasuk Indonesia adalah terjadinya
“perubahan struktur ekonomi” dari struktur pertanian
(tradisional) ke struktur industri (modern). Perubahan
struktur ekonomi dilihat dari perubahan kontribusi sektor
ekonomi terhadap pembentukan GDP dan kontribusi sektor
ekonomi terhadap penyerapan lapangan kerja.
Pembangunan ekonomi terjadi jika terhadap pembentukan
GDP kontribusi sektor pertanian semakin menurun dan
kontribusi sektor industri semakin meningkat serta
lapangan kerja pada sektor pertanian semakin menurun dan
lapangan kerja pada sektor Industri semakin meningkat.
Penelitian-penelitan sebelumnya mengungkapkan bahwa
“perubahan struktur ekonomi” yang menunjukan telah
terjadinya pembangunan ekonomi di suatu negara ditandai
dengan semakin meningkatnya kontribusi sektor industri,
menurunnya kontribusi sektor pertanian dan tetapnya
kontribusi sektor jasa terhadap pembentukan GDP.
Pertumbuhan ekonomi memberikan kontribusi yang besar
terhadap sektor industri dengan nilai koefisien 2,27
(elastis). Pada saat aktivitas ekonomi meningkat, aktivitas
industri mengalami peningkatan dengan tingkat
perkembangan yang lebih tinggi pesat dari perkembangan
ekonomi. Kontribusi sektor industri semakin meningkat
seiring dengan perkembangan ekonomi di Indonesia.
Berdasarkan kondisi ini dapat diungkapkan bahwa di
Indonesia telah terjadi perubahan struktur yang mengarah
ke industrialisasi sebagai salah satu indikator
pembangunan. Kontribusi sektor industri terus mengalami
peningkatan seiring meningkatnya aktivitas ekonomi di
Indonesia. Hal ini menunjukan peranan sektor industri bisa
diandalkan untuk menunjang aktivitas ekonomi secara
keseluruhan.
Perkembangan penduduk tidak searah dengan
perkembangan sektor industri. Secara signifikan terbukti
bahwa perkembangan penduduk mengurangi
perkembangan aktivitas sektor industri. Bertambahnya
jumlah penduduk justru akan menghambat aktivitas
kegiatan industri. Kondisi ini sesuai dengan keadaan sektor
industri yang cenderung bersifat padat kapital, dimana
setiap penambahan penduduk akan mempersulit pilihan dan
akan menghambat produktivitas karena adanya tanggung
jawab dan keharusan memanfaatan SDM yang tersedia.
Upaya pemanfaatan pertambahan penduduk dalam aktivitas
produksi justru akan menurunkan produktivitas sektor
industri. Sektor Industri tidak bisa diharapkan memberikan
kontribusi dalam proses penciptaan lapangan kerja karena
resikonya adalah menurunnya kontribusi sektor ini terhadap
proses pembangunan. Perkembangan sektor industri akan
diikuti oleh semakin meningkatnya angka pengangguran
dan bertambahnya angka kemiskinan di Indonesia. Kondisi
ini terjadi karena tingginya tingkat substitusi penggunaan
sumber daya sehingga untuk mencapai kondisi optimal
dalam pemanfaatan sumber daya maka penggunaan
teknologi padat modal merupakan pilihan utama.
Pada tahun 1980 kontribusi sektor industri terhadap
pembentukan nilai GDP sebesar 13,88% dan pada tahun
2008 kontribusi sektor ini terhadap pembentukan GDP
menjadi menjadi sebesar 27,19%. Kontribusi sektor industri
setiap tahunnya cenderung mengalami peningkatan kecuali
ada tahun 1999 pada saat krisis ekonomi terjadi di
Indonesia dan beberapa negara di dunia. Peningkatan
kontribusi sektor industri terhadap pembentukan GDP tidak
sejalan dengan kemampuan sektor ini dalam menciptakan
lapangan kerja. Pada tahun 2008 Jumlah tenaga kerja yang
terlibat pada sektor industri sebanyak 12% dan kondisi ini
tidak jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.
IRWNS 2013
41
Pertumbuhan ekonomi memberikan kontribusi terhadap
sektor pertanian dengan nilai koefisien 0,788 (in elastis).
Pada saat kegiatan ekonomi meningkat aktivitas pertanian
mengalami penigkatan walaupun dengan tingkat
perkembangan yang lebih rendah dari perkembangan
ekonomi. Kondisi ini menunjukan bahwa sektor pertanian
memiliki tingkat produktivitas yang rendah dan pola
konsumsi yang cenderung tidak banyak mengalami
perubahan seiring dengan meningkatnya aktivitas ekonomi
dan pendapatan masyarakat. Sektor pertanian belum bisa
diandalkan untuk mendorogg aktivitas produksi dan
pembangunan ekonomi secara luas.
Perkembangan penduduk tidak searah dengan
perkembangan sektor pertanian. Dengan tingkat
kepercayaan 85% secara signifikan terbukti bahwa
perkembangan penduduk mengurangi perkembangan nilai
produksi sektor pertanian. Bertambahnya jumlah penduduk
akan mengurangi tingkat produktivitas pertanian.
Bertambahnya jumlah penduduk identik dengan
bertambahnya tenaga kerja, sedangkan kapasitas
perekonomian menampung tambahan tenaga kerja baru
sangat terbatas. Kelebihan tenaga kerja sebagian ditampung
di sektor pertanian. Terlalu banyaknya tenaga kerja yang
terlibat dalam kegiatan produksi pada sektor pertanian
mengakibatkan berlaku hukum “diminishing marginal
productivity‖, tingkat produktivitas sektor pertanian
semakin menurun dengan semakin banyak sumber daya
manusia digunakan pada sektor ini.
Pada tahun 2008, sektor pertanian mampu menyerap 40,3%
dari seluruh tenaga kerja yang tersedia namun
kontribusinya terhadap pembentukan GDP hanya 13,65%.
Sektor pertanian mampu menampung kelebihan tenaga
kerja yang tidak dapat diserap oleh sektor-sektor ekonomi
lain. Kondisi ini sesuai dengan keadaan sektor industri yang
cenderung bersifat padat karya. Namun kontribusi sektor
pertanian dalam penciptaan lapangan kerja tidak sejalan
dengan kemampuannya memberikan kontribusi terhadap
GDP.
Pertumbuhan ekonomi tidak signifikan memberikan
kontribusi terhadap kegiatan sektor jasa. Aktivitas dan
kontribusi sektor jasa tidak terpengaruh oleh kondisi
perekonomian pada umumnya. pada saat kegiatan ekonomi
meningkat aktivitas sektor jasa tidak akan terpengaruh.
Pola aktivitasnya cenderung stabil dengan tingkat
pertumbuhan yang rendah. Hal ini menunjukan bahwa
peranan sektor jasa tidak bisa terlalu diharapkan sebagai
pendorong aktivitas ekonomi secara keseluruhan. Pada
tahun 1980 kontribusi sektor jasa terhadap pembentukan
GDP sebesar 3,69% dan pada tahun 2008 kontribusi sektor
ini meningkat menjadi sebesar 9,27% atau dalam kurun
waktu 28 tahun, kenaikan kontribusi sektor ini pertahunnya
hanya 0,2 %.
Walaupun pola hubungan antara pertumbuhan ekonomi
dengan kegiatan sektor jasa tidak dapat ditentukan, tapi
peranan perkembangan jumlah penduduk terhadap aktivitas
sektor jasa dapat ditentukan polanya. Pertambahan
Penduduk secara signifikan terbukti mempegaruhi
peningkatan aktivitas dan pertumbuhan sektor jasa. Pada
saat jumlah penduduk meningkat, kegiatan sektor jasa
mengalami peningkatan. Bertambahnya jumlah penduduk
justru akan meningkatkan aktivitas sektor ini. Kondisi ini
sesuai dengan keadaan sektor jasa yang cenderung bersifat
padat karya, tidak terlalu terpaku dengan penggunaan
barang padat kapital. Upaya pemanfaatan pertambahan
penduduk dalam aktivitas produksi akan meningkatkan
produktivitas sektor jasa. Sektor jasa bisa diharapkan
memberikan kontribusi dalam proses penciptaan lapangan
kerja. Pada tahun 2008 jumlah tenaga kerja yang terlibat
dalam kegiatan sektor jasa sebesar 12,77%.
Sesuai dengan periode waktu pengamatan, kontribusi sektor
industri terhadap pembentukan GDP cenderung meningkat,
kontribusi sektor pertanian cenderung turun dan kontribusi
sektor jasa terhadap pembentukan GDP cenderung stabil.
Kondisi sesuai dengan penelitian-penelitian sebelumnya
yang mengkaji pola perubahan struktural dalam proses
pembangunan ekonomi suatu negara. Jadi berdasarkan data
kontribusi sektor ekonomi terhadap proses pembentukan
GDP, dapat dinyatakan bawah di Indonesia telah terjadi
perubahan struktur dan terjadi pembangunan ekonomi.
Namun berdasarkan tingkat kemampuan yang sangat
terbatas dari sektor industri dalam menyerap tenaga kerja,
maka dapat dinyatakan bahwa di Indonesia masih terdapat
“dualisme ekonomi”. Perpaduan peranan sektor modern
dengan tingkat produktivitas yang tinggi dan sektor
tradisional dengan tingkat produktivitas yang rendah tapi
mampu menyerap tenaga kerja dengan porsi yang lebih
besar. Dualisme dalam perekomian Indonesia merupakan
faktor utama yang menyebabkan lambatnya tingkat
pertumbuhan ekonomi , tidak meratanya distribusi
pendapatan dan tingginya angka kemiskinan.
Upaya yang perlu dilakukan sehubungan dengan kondisi
struktur dan dualisme perekonomian adalah dengan
meningkatkan kualitas SDM pelaku sektor pertanian,
perbaikan sarana dan prasarana serta iklim usaha yang
mendorong minat pelaku usaha meningkatkan usaha dan
produktivitasnya. Sektor industri didorong untuk
menentukan kombinasi penggunaan sumber daya manusia
dan teknologi yang ideal, sehingga pada saat yang
bersamaan mampu memberikan kontribusi terhadap
pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan lapangan kerja,
sehingga masalah pengangguran dan kemiskinan dapat
diatasi secara simultan.
5.2 Pengaruh Pertumbuhan Kontribusi Sektoral dan
Kredit Perbankan terhadap Penciptaan lapangan
kerja.
Mengacu pada hasil pengolahan data dan analisis data penel
dengan menggunakan model efek tetap, dapat diperoleh
gambaran sebagai berikut ;
Terdapat hubungan negatif antara pertumbuhan sektoral
dengan pertumbuhan lapangan kerja dan terdapat hubungan
positif antara pertumbuhan kredit dengan lapangan kerja !
IRWNS 2013
42
Sektor yang memiliki rata-rata pertumbuhan lapangan kerja
tertinggi adalah sektor pertanian (sektor 1) sedangkan
sektor yang memiliki rata-rata pertumbuhan lapangan kerja
terendah adalah sektor Listrik, Gas dan Air Bersih (sektor
4) !
Setelah melakukan uji heteroskedastisitas, diperoleh hasil
dimana tidak terdapat perubahan nilai koefisien, kedua
variabel bebas, gY dan gCr tetap signifikan mempengaruhi
pertumbuhan tenaga kerja. Kondisi ini terjadi akibat varian
error konsisten yang menunjukan bahwa pada model tidak
terdapat heteroskadastisitas.
Setiap pertumbuhan 1% sektor ekonomi akan menimbulkan
menurunnya lapangan kerja sebesar 0,99%. Pertumbuhan
sektor-sektor ekonomi di Indonesia menimbulkan masalah
dalam proses penyerapan tenaga kerja yang bisa berdampak
(berpotensi) terhadap meningkatnya jumlah pengangguran.
Pertumbuhan kredit sektor perbankan mengakibatkan
meningkatnya lapangan kerja pada masing-masing sektor.
Setiap kenaikan kredit perbankan mengakibatkan
meningkatnya langan kerja sebesar 0,13% !
6. Kesimpulan
Proses pembangunan ekonomi di Indonesia dapat ditandai
dengan ;
Tingkat pertumbuhan ekonomi antara 4% - 8% untuk
periode 1980-2008 kecuali pada saat periode krisis
ekonomi tahun 1998 sebesar minus 12% dan tahun
1999 sebesar 1% .
Telah terjadi perubahan struktur ekonomi dari
“pertanian” ke “industri” yang ditandai oleh semakin
meningkatnya kontribusi sektor industri dan semakin
menurunnya kontribusi sektor pertanian terhadap
pembentukan nilai GDP.
Pertumbuhan sektor-sektor ekonomi memberikan
kontribusi negatif terhadap pertumbuhan lapangan kerja.
Setiap 1% pertumbuhan kontribusi sektor ekonomi
mengakibatkan pertumbuhan lapangan kerja menurun
sebesar 0,99%. Sektor yang memberikan kontribusi
tertinggi dalam proses penciptaan lapangan kerja
adalah sektor pertanian, sedangkan sektor yag
kontribusinya paling rendah dalam penciptaan lapangan
kerja adalah sektor Listrik, Gas dan Air Bersih.
Kredit perbankan memberikan kontribusi positif
terhadap pertumbuhan lapangan kerja walaupun dengan
tingkat elastitistas yang rendah. Setiap pertumbuhan 1%
kredit bank umum yang dialokasikan pada masing-
masing sektor ekonomi, lapangan kerja tumbuh sebesar
0,34%.
Rendahnya kemampuan sektor ekonomi dalam
menciptakan lapangan kerja, berdampak pada semakin
tingginya angka kemiskinan di Indonesia. Alasannya :
Kelebihan tenaga kerja akibat dari tingginya tingkat
pertambahan penduduk ditampung oleh sektor
informal. Sektor ini memiliki tingkat produktivitas
yang rendah, sehingga dengan bertambahnya tenaga
kerja yang terlibat maka tingkat produktivitas sektor
ini semakin menurun. Kondisi ini semakin
memperparah kondisi kemiskinan di Indonesia.
Pemanfaatan sumber daya yang tidak berimbang.
Pemilik barang modal (capital) mendapat nilai
tambah yang tinggi karena jumlahnya yang relatif
masih terbatas sedangkan tenaga kerja mendapat
upah yang rendah karena tidak seimbangnya kondisi
penawaran dan permintaaan di pasar tenaga kerja.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Bigsten, Arne dan Levin, Jorgen (2000), “Growth,
Income Distribution, and Poverty: A Review.”
Goteborg University Working Paper in Economics,
No. 32, November.
[2] Bourguignon, Francois. (2002.) “The Growth
Elasticity of Poverty Reduction: Explaining
Heterogeneity across Countries and Time Periods.”
DELTA Working Paper, No. 2002-03.
[3] De Janvry, Alain dan Sadoulet, Elisabeth (1999),
Growth, Poverty, and Inequality in Latin America: A
Causal Analysis, 1970-94, IADB, Februari.
[4] Deininger, Klaus dan Squire, Lyn (1998), New
Ways of Looking at Old Issues: Inequality and
Growth. Journal of Development Economics,
[5] Dumairy, 1997, Perekonomian Indonesia, Jakarta :
Penertbit Erlangga
[6] Hoeven, Rolph van der. (2004), “Poverty and
Structural Adjustment: Some Remarks on Tradeoffs
between Equity and Growth.‖ ILO Employment
Paper, No. 2004/4,
[7] Huppi, Monika dan Ravallion, Martin (1990.). “The
Sectoral Structure of Poverty during an Adjustment
Period: Evidence for Indonesia in the Mid-1980s.”
World Bank Working Papers, No. WPS 529,
Oktober
[8] Kamaluddin, Rustian (1998), Pengantar Ekonomi
Pembangunan ; dilengkapi dengan Analisis
Beberapa Aspek Pembangunan Ekonomi Nasional,
Jakarta : LPFE UI
[9] Knowles, Stephen (2001), . “Inequality and
Economic Growth: The Empirical Relationship
Reconsidered in the Light of Comparable Data.”
WIDER Discusstion Paper, No. 2001/128,
November.
[10] Kuztnets, Simon, 1973, Economic Modern Growth:
finding and Reflection, American Review.
[11] Lewis, Arthur W ,1968, The Priciples of Economic
Planning and development, London:Allen Urwin.
[12] Ndebbio, John E. Udo (2004), Financial deepening,
economic growth and development ; Evidence from
selected sub-Saharan African countries, AERC
Research Paper 142, African Economic Research
Consortium, Nairobi, August 2004.
[13] Ravallion, Martin dan Chen, Shaohua (2003).
“Measuring Pro-Poor Growth‖ Economics Letters,
2003, 78(2003), 93-99.
IRWNS 2013
43
[14] Ravallion, Martin dan Datt, Gaurav (1999). “When
is Growth Pro-Poor? Evidence from the Diverse
Experiences of India’s States‖ World Bank .
[15] Ray, Debraj. Development Economics (1998), New
Jersey: Princeton University Press.
[16] Salvatore, Dominic (1977), Development Economic,
London: Mc Graw Hill Inc.
[17] Sukirno, Sadono (2007), Ekonomi Pembangunan,
Proses, Masalah dan Dasar Kebijakan, Jakarta FE-
IU.
[18] Suselo, Sri Liani, Tarsidin (2008), Kemiskinan di
Indonesia : Pengaruh Pertumbuhan dan Perubahan
Struktur Ekonomi, Buletin Ekonomi, Moneter dan
Perbankan, Bank Indonesia, Volume 11, Nomor 2
Oktober 2008.
[19] Todaro, Michael P, (2000), Pembangunan Ekonomi
di Dunia Ketiga, alih bahasa ; Haris Munandar,
Jakarta ; Penerbit Erlangga.
IRWNS 2013
44
ANALISIS PENGARUH NERACA PEMBAYARAN TERHADAP
NILAI TUKAR RUPIAH
Asep Machpudin
aJurusan Manajemen Keuangan Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran, Bandung 40012
E-mail : [email protected]
ABSTRAK
The purpose of this study is to determine how much influence the balance of short-term and long-term payment of the rupiah ,
analyzing how shocks affect the current account and capital account of the exchange rate and to determine whether the
components of the balance of payments which exerts a greater influence on the exchange rate . And to determine the
contribution of several variables in the model that may affect the movement of the exchange rate . The method of analysis used
in this study is the method of analysis Vector Error correction model ( VECM )
Results of this study will be useful for the information of the investors in forecasting the exchange rate of dollars in investment
decisions by looking at the usefulness of the financial information by looking at the efficiency of the foreign exchange market .
Results indicate the proposed research hypotheses still have limitations in the field of research so that less can provide a more
comprehensive picture of the effect of the balance of payments on the exchange rate
Keywords
The balance of payment , the exchange rate , the macroeconomic stability
1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Kondisi perekonomian suatu negara dapat dilihat dari
kondisi Internal seperti sektor riil seperti produksi, konsumsi,
dan investasi dan sektor moneter seperti inflasi, jumlah uang
beredar dan keseimbangan nilai tukar.
Kemudian dapat dilihat pula pada kondisi eksternal seperti
tercermin pada perkembangan neraca pembayaran yang
memiliki informasi mengenai keadaan perekonomian suatu
negara, seperti yang terlihat dari perkembangan sektor riil
dan moneter.
Informasi dari neraca pembayaran dapat memberikan
gambaran berapa besar aliran sumber dana antara suatu
negara dengan negara lain sehingga terlihat apakah negara
tersebut merupakan pengekspor barang dan modal, atau
sebaliknya sebagai pengimpor barang dan modal.
Neraca pembayaran juga memiliki informasi mengenai
permasalahan hutang luar negeri suatu negara.
Neraca pembayaran yang merupakan penjumlahan dari
neraca berjalan (current account) dan neraca modal (capital
account) terus mengalami perubahan pada masa sebelum dan
setelah krisis ekonomi. Perubahan tersebut terlihat dari nilai
dan arah kecenderungan komposisi neraca pembayaran yang
menunjukkan fenomena yang berbeda. Hadi (2003)
menguraikan bahwa selama paruh pertama dasawarsa
1990an, terjadi peningkatan luar biasa dalam arus modal
yang masuk, terutama modal swasta. Pada akhir dasawarsa
1990an, arus modal swasta bersih baru berkisar US$ 400 juta
per tahun. Akan tetapi, arus masuk modal swasta melonjak
hingga melampaui US$ 5 miliar pada tahun 1993 dan
melebihi US$ 10 miliar pada tahun 1995-1996. Sementara
itu, arus masuk modal pemerintah bersih mengalami
penurunan.
Namun, sejak itu mengalami penurunan hingga US$ 6 miliar
pada tahun 1996. Selanjutnya, sejak 1997 neraca barang
terus meningkat hingga mencapai US$ 2 miliar pada tahun
2000. Neraca jasa-jasa terus mengalami peningkatan defisit,
pada tahun 1990 peningkatan defisit sebesar US$ 8,2 miliar
dan meningkat lagi menjadi US$ 15 miliar pada tahun 1997.
Memasuki tahun 2000, defisit neraca jasa-jasa mencapai
US$ 17 miliar, dan selama dua tahun berikutnya berada di
bawah US$ 16 miliar. Bank Indonesia (2005) memandang
bahwa perkembangan neraca pembayaran Indonesia pada
paruh pertama tahun 2005 mengalami tekanan yang berat
dan dibutuhkan pembenahan yang bersifat struktural untuk
meningkatkan ekspor dan investasi modal asing.
Menurunnya surplus neraca berjalan dan menurunnya
cadangan devisa dalam jumlah yang besar berarti
menurunnya penawaran terhadap mata uang asing di pasar
uang, hal tersebut dapat mengakibatkan melemahnya nilai
tukar Rupiah terhadap mata uang asing.
Memasuki triwulan ketiga tahun 2005 kondisi neraca
pembayaran Indonesia masih mengalami tekanan, seiring
dengan meningkatnya kegiatan ekonomi. Masih tingginya
permintaan domestik telah mendorong peningkatan impor,
khususnya impor bahan baku dan barang modal. Sementara
itu, ekspor masih tumbuh terbatas karena rendahnya daya
saing ditengah pertumbuhan ekonomi global yang melambat.
Perkembangan ini menyebabkan kinerja neraca berjalan
terus mengalami defisit. Pada saat yang sama, kinerja neraca
modal juga belum menunjukkan perbaikan terkait masih
terbatasnya realisasi aliran modal masuk akibat belum
kondusifnya perbaikan iklim investasi.
IRWNS 2013
45
Dengan perkembangan tersebut, secara keseluruhan neraca
pembayaran mengalami peningkatan defisit menjadi sebesar
US$ 2,3 miliar atau lebih besar dibandingkan perkiraan
sebelumnya sebesar US$ 1,1 miliar. Perkembangan tersebut
berimplikasi pada tekanan fundamental pelemahan nilai
tukar Rupiah yang terus berlanjut (Bank Indonesia, 2005).
1.2. Perumusan Masalah
Neraca pembayaran yang merupakan penjumlahan dari
transaksi berjalan (current account) dan neraca modal
(capital and financial) dapat mencirikan aliran dana dari dan
ke luar negeri. Adanya aliran dana tersebut menyebabkan
permintaan dan penawaran terhadap mata uang asing dan
domestik turut mengalami perubahan.
Perubahan permintaan dan penawaran terhadap mata uang
asing dan domestik tersebut berpengaruh terhadap nilai tukar
mata uang yang diperdagangkan. Jika permintaan terhadap
mata uang asing mengalami peningkatan karena adanya
keperluan transaksi yang harus menggunakan mata uang
asing, maka hal tersebut dapat menyebabkan nilai tukar mata
uang domestic terhadap mata uang asing mengalami
depresiasi, demikian pula sebaliknya.
Neraca modal yang diindikasikan sebagai salah satu faktor
yang dapat mempengaruhi pergerakan nilai tukar Rupiah,
mengalami banyak perubahan nilai dan arahnya selama masa
sebelum dan setelah krisis ekonomi terjadi. Data nilai tukar
Rupiah berfluktuasi pada kisaran 8.000 sampai dengan
10.000 untuk setiap Dollar Amerika Serikat. dapat dilihat
dalam Gambar 1.1 di bawah ini.
Sebelum krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada
pertengahan tahun 2007, perkembangan perkembangan
neraca modal selalu berada dalam keadaan surplus dan
cenderung bergerak dalam keadaan yang cukup stabil.
Surplus tertinggi pada neraca modal terjadi pada triwulan
keempat tahun 2005, pada waktu itu nilai surplus mencapai
US$ 4075 juta.
Tingginya surplus ketika itu disinyalir karena tingginya arus
modal masuk baik berupa investasi jangka pendek maupun
investai yang berupa penanaman modal asing secara
langsung. Tingginya arus modal masuk terkait dengan
prospek perekonomian Indonesia yang menuju arah
perkembangan yang semakin baik. Setelah mencapai tingkat
surplus tertinggi, nilai surplus pada neraca modal mengalami
penurunan yang cukup tajam yaitu mencapai US$ 2003 juta
pada triwulan kedua tahun 1996. Krisis ekonomi yang mulai
dirasakan pada pertengahan tahun 2007, mengakibatkan
penurunan yang semakin tajam pada neraca modal.
Tingginya arus modal ke luar dari Indonesia mengakibatkan
neraca modal mengalami koreksi yang cukup tinggi. Neraca
modal mengalami defisit terbesar pada triwulan pertama
tahun 1998 dengan tingkat defisit sebesar US$ 6203 juta.
Setelah krisis ekonomi, pergerakan neraca modal cenderung
berada pada tingkat yang deficit dengan pergerakan dari
waktu ke waktu menunjukkan pola yang tidak stabil. Hal
tersebut dikarenakan menurunnya minat investor untuk
menanamkan modalnya di Indonesia karena terkait resiko
yang tinggi untuk berinvestasi. Aliran dana masuk dan
keluar yang tercatat pada neraca modal turut mempunyai
andil dalam mempengaruhi pergerakan Rupiah.
Nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika pada masa
sebelum krisis menunjukkan pola pergerakan yang stabil
walaupun menunjukkan tren yang terdepresiasi. Pola
pergerakan nilai tukar yang cukup stabil tersebut
dikarenakan pada masa sebelum krisis ekonomi terjadi,
Indonesia belum menerapkan system nilai tukar
mengambang bebas, dimana jika pemerintah menerapkan
sistem nilai tukar mengambang bebas maka nilai tukar mata
uang akan sangat ditentukan oleh permintaan dan penawaran
yang terjadi di pasar valas.
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia dan mulai
diberlakukannya system nilai tukar mengambang bebas pada
14 juli 2007 (Suseno, 2004) menyebabkan nilai tukar Rupiah
terhadap Dollar Amerika cenderung berada dalam tingkat
yang terdepresiasi dan menunjukkan pola pergerakan yang
kurang stabil. Terdepresiasinya Rupiah banyak disebabkan
oleh neraca modal yang terus mengalami defisit yang
mencirikan adanya arus keluar modal asing, dimana
terjadinya arus modal keluar itu menyebabkan permintaan
terhadap valas semakin tinggi sehingga menyebabkan
Rupiah mengalami depresiasi.
Pada awal terjadinya krisis ekonomi, neraca modal dan
keuangan mengalami tingkat defisit yang cukup tajam dan
hal tersebut memberi andil besar dalam pergerakan Rupiah,
dimana Rupiah pada waktu itu mencapai tingkat depresiasi
yang terlemah yaitu sekitar Rp 14900/US$. Nilai tukar yang
tidak stabil dan cenderung berada dalam tingkat yang
terdepresiasi akan membawa dampak negatif dalam suatu
perekonomian. Tidak stabilnya nilai tukar akan dapat
mendorong terciptanya ketidakstabilan harga, khususnya
ketidakstabilan harga barang-barang yang berasal dari impor.
Depresiasi nilai tukar yang terlalu besar akan mengakibatkan
harga barang impor menjadi lebih mahal dan secara
keseluruhan dapat meningkatkan laju inflasi. Selanjutnya,
inflasi yang terlalu tinggi dapat menurunkan daya beli
masyarakat dan menurunkan kegiatan ekonomi. Selain itu,
depresiasi nilai tukar dapat memberatkan neraca perusahaan
yang sumber pembiayaannya berasal dari hutang luar negeri.
IRWNS 2013
46
Depresiasi akan mengakibatkan beban bunga dan pokok
hutang luar negeri dalam mata uang domestik menjadi
semakin besar. Nilai tukar merupakan variabel penting dari
kondisi perekonomian suatu negara, sehingga memerlukan
perhatian agar variabel ini bergerak dalam keadaan stabil
agar dapat menunjang kegiatan perekonomian lainnya. Salah
satu hal yang dapat mempengaruhi pergerakan nilai tukar
adalah adanya aliran dana dari neraca pembayaran.
Adanya aliran dana dari neraca pembayaran menyebabkan
nilai tukar rentan terhadap perubahan tersebut. Berdasarkan
uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai
berikut:
1. Berapa besarkah pengaruh jangka pendek dan jangka
panjang variable transaksi berjalan (current account)
dan neraca modal (capital and financial) terhadap
Rupiah?
2. Bagaimanakah pengaruh guncangan variabel transaksi
berjalan (current account) dan neraca modal (capital
and financial) terhadap Rupiah dan komponen apakah
dari neraca pembayaran yang paling berpengaruh
terhadap Rupiah?
3. Berapa besarkah kontribusi variabel dalam model yang
dapat mempengaruhi pergerakan Rupiah?
1.3 Tujuan Penelitian
Berkaitan dengan permasalahan yang telah dirumuskan,
maka tujuan penelitian ini antara lain:
1. Mengetahui berapa besar pengaruh jangka pendek dan
jangka panjang variabel current account dan capital
account terhadap nilai tukar Rupiah.
2. Menganalisis pengaruh guncangan variabel current
account dan capital account terhadap nilai tukar
Rupiah dan komponen apakah dari neraca pembayaran
yang paling berpengaruh terhadap perubahan nilai tukar
Rupiah.
3. Mengetahui kontribusi variabel dalam model yang
dapat mempengaruhi pergerakan Rupiah.
2. Tinjauan Pustaka
2.1 Pengertian Neraca Pembayaran
Menurut IMF dalam Hadi (2002) neraca pembayaran adalah
suatu catatan yang disusun secara sistematis tentang seluruh
transaksi ekonomi yang meliputi perdagangan barang atau
jasa, transfer keuangan dan moneter antara penduduk
(resident) suatu negara dan penduduk luar negeri (rest of the
world) untuk suatu periode waktu tertentu.
Batiz dan Batiz (1994) menyatakan neraca pembayaran
merupakan suatu catatan atas semua transaksi antara
penduduk domestik dan warga negara asing untuk periode
tertentu, biasanya satu tahun. Pencatatan dilakukan dengan
system double entry book keeping yaitu dengan
menggunakan debit dan kredit.
Dengan total debit dan kredit yang telah diestimasi oleh
suatu negara maka akan dapat diketahui apakah sebuah
negara berada dalam posisi surplus ataupun defisit. Neraca
pembayaran dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Neraca berjalan, merupakan taksiran internasional
terhadap pertukaran barang dan jasa sebuah negara.
Saldo pertukaran tersebut (balance of trade) merupakan
perbedaaan antara jumlah ekspor dan jumlah impor
barang dan jasa. Saldo barang dan jasa juga termasuk
jumlah bersih dari pembayaran bunga dan deviden yang
dibayarkan oleh investor asing dari investasi asing,
demikian juga dengan transaksi yang dilakukan oleh
turis asing dan transaksitransaksi lainnya. Unsur dari
current account juga termasuk unilateral transfer yang
ada kaitannya dengan hadiah dari pemerintah (private
gift) dan donasi (grant).
2. Neraca Modal, mencatat semua transaksi international
yang melibatkan berbagai macam instrumen keuangan.
Transaksi tersebut dapat terdiri dari investasi
international, baik untuk jangka pendek dan jangka
panjang seperti Foreign Direct Investment dan
pembelian surat berharga, saham yang dibeli oleh
investor asing (financial account), aset keuangan dan
liabilitas.
2.1 Definisi Nilai Tukar
Krugman dan Obstfeld (1999) mendefinisikan nilai tukar
sebagai harga suatu mata uang terhadap mata uang lainnya.
Nilai tukar memainkan peranan penting dalam perdagangan
internasional, karena nilai tukar memungkinkan kita untuk
membandingkan harga segenap barang dan jasa yang
dihasilkan oleh berbagai negara.
Perubahan nilai tukar disebut sebagai depresiasi dan
apresiasi. Depresiasi menunjukan melemahnya harga mata
uang domestik terhadap mata uang asing sedangkan apresiasi
adalah sebaliknya. Sementara itu, Mankiw (2000)
membedakan antara dua nilai tukar yaitu nilai tukar nominal
dan nilai tukar riil. Nilai tukar nominal (nominal exchange
rate) adalah harga relatif dari mata uang dua negara.
Sedangkan nilai tukar riil adalah harga relatif dari barang-
barang. kedua negara. Nilai tukar riil menyatakan tingkat
dimana kita bisa memperdagangkan barang dari satu negara
untuk barang dari negara lain.
2.1.1 Neraca Modal dan Keseimbangan Neraca
Pembayaran
Aliran kapital internasional dihasilkan dari pembelian dan
penjualan asset internasional. Seseorang akan memutuskan
memegang asetnya dalam bentuk asset domestik atau aset
asing tergantung pada tingkat suku bunga domestik dan
asing. Maka dalam hal ini perubahan pada tingkat suku
bunga akan menghasilkan aliran kapital (Branson dan
Litvack, 1981). Net capital outflow (F) merupakan
pembelian aset asing bersih oleh pihak domestik lebih kecil
dari pembelian pihak asing terhadap aset domestic
IRWNS 2013
47
Berdasarkan pernyataan tersebut dapat ditentukan
fungsi penurunan tingkat suku bunga domestik yaitu sebagai
berikut:
Persamaan 2.3 menunjukkan bahwa kenaikan tingkat suku
bunga domestic akan mengakibatkan penurunan net capital
outflow. Balance of Payment merupakan penjumlahan dari
current account dan capital account, oleh karena itu dalam
suatu persamaan, Balance of Payment dapat dirumuskan
sebagai berikut:
Persamaan 2.4 diasumsikan BoP dalam keadan seimbang.
Apabila terjadi surplus dalam current account maka harus
diimbangi dengan defisit pada capital account atau
diimbangi dengan peningkatan pada net capital outflow.
2.3 Tinjauan Penelitian Terdahulu
Analisis serta kajian mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi nilai tukar telah banyak dilakukan. Berikut
ini akan dipaparkan beberapa penelitian terdahulu mengenai
faktor apa saja yang mempengaruhi nilai tukar, khususnya
apabila dilihat dari adanya aliran keuangan yang masuk dan
ke luar dari suatu negara dengan memperhitungkan posisi
dari neraca pembayaran.
1. Wibowo dan Amir (2005) melakukan penelitian terhadap
factor-faktor yang mempengaruhi nilai tukar dengan
salah satu model penelitiannya dengan memasukkan
variabel neraca perdagangan sebagai variabel eksogen
dalam mempengaruhi nilai tukar. Model yang
dikembangkan oleh Wibowo dan Amir (2005)
merupakan model yang didasarkan dari model penelitian
yang dilakukan oleh Meese dan Rogoff (1983) yang telah
membangun suatu uji langsung yang sulit dalam tiga
tahap. Pertama, mereka merumuskan suatu model yang
menampung sebagian besar hal-hal yang dipercayai oleh
pakar ekonomi sebagai sesuatu.
Berdasarkan hasil yang diteliti ternyata hanya varibel TB
yang tidak mempengaruhi secara signifikan sedangkan
variable lainnya sukup signifikan dalam mempengaruhi
nilai tukar.
2. Atmadja (2002) melakukan penelitian dengan judul
analisa pergerakan nilai tukar Rupiah terhadap Dollar
Amerika setelah diterapkannya kebijakan sistim nilai
tukar mengambang bebas di Indonesia. Dalam
penelitiannya, Atmadja memasukkan variabel besarnya
surplus atau defisit neraca pembayaran sebagai salah satu
variabel eksogen dalam melakukan penelitian.
Berdasarkan hasil penelitiannya dengan menggunakan
metode OLS ternyata variabel surplus dan defisitnya
neraca pembayaran tidak signifikan mempengaruhi nilai
tukar.
3. Metoda Penelitian
3.1 Metode Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
sekunder yang merupakan data kuartalan periode 1990:1
sampai dengan 2005:4. Data penelitian diambil dari Bank
Indonesia (BI) dan instansi terkait lainnya. Untuk mencari
studi pustaka maka peneliti melakukan pengumpulan
literatur berupa kumpulan materi kuliah, jurnal, artikel dan
bukubuku yang relevan untuk dijadikan sebagai sumber
penelitian.
3.2 Metode Analisis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode Vektor Error Correction
Model (VECM). Metode ini mempunyai kelebihan jika
dibandingkan dengan metode lain yang konvensional,
seperti Ordinary Least Square (OLS) karena dalam metode
ini didahului oleh proses pengujian akar unit dan kointegrasi
untuk meneliti apakah variabel yang digunakan dalam sistem
persamaan bersifat stasioner atau tidak. Menurut Sims dalam
Thomas (1997), variabel yang digunakan dalam model
VECM dipilih sesuai dengan model ekonomi yang relevan
dan hubungan antara variabel tidak diperlukan secara apriori.
Dengan kata lain semua variable dalam sistem diperlakukan
sebagai variabel endogen. VECM digunakan untuk
mendapatkan hubungan antara variable-variabel dalam
bentuk regresi kointegrasi.
3.2.1 Pengujian Akar Unit
Pengujian ini bertujuan untuk menganalisis apakah
suatu variabel stasioner atau tidak. Jika stasioner maka
tidak ada akarakar unit, sebaliknya jika tidak stasioner maka
terdapat akar-akar unit. Salah satu cara untuk menguji
stasioneritas data adalah dengan menggunakan Augmented
Dickey Fuller (ADF) test. Jika nilai ADF statistiknya lebih
kecil dari Mc Kinnon Critical Value maka dapat disimpulkan
bahwa data tersebut stasioner. Solusi yang dapat dilakukan
apabila berdasarkan uji ADF diketahui suatu data time series
nonstasioner adalah dengan melakukan penarikan
differensial sampai data menjadi stasioner.
3.2.2 Penetapan Lag Optimal
Penentuan lag optimal VAR di sini adalah dengan
menggunakan uji Likelihood Ratio. Setelah didapatkan lag
yang optimal maka dalam pendekatan VECM ordo lag
tersebut akan dikurangi satu menjadi (k1) sebagai tahapan
untuk memperoleh rank kointegrasi berdasarkan pengujian
Johansen yang akan diset sebagai persamaan kointegrasi
jangka panjang.
3.2.3. Pengujian Rank Kointegrasi
Analisis rank kointegrasi dilakukan untuk mengetahui
berapa system persamaan yang dapat menerangkan dari
keseluruhan sistem yang ada. Rank kointegrasi dilakukan
IRWNS 2013
48
melalui uji Johansen Maximum Likelihood test yaitu dengan
terlebih dahulu mengurangi ordo VAR k menjadi (k1), maka
diperoleh VECM (k1). Untuk menentukan berapa banyak
rank yang terkointegrasi dalam jangka panjang maka dalam
uji Johansen Maximum Likelihood test terutama dengan
berdasarkan maximal eigenvalue dan trace of stochastic
matrix. Apabila berdasarkan nilai ini menghasilkan rank
kointegrasi yang berbeda maka digunakan asumsi tambahan
yaitu berdasarkan selection criteria SBC dan HQC
yang menunjukkan angka yang terbesar.
3.2.4. Impulse Response Function (IRF)
Analisis IRF digunakan untuk melihat respon variabel
tertentu terhadap guncangan variabel tertentu. Pengaruh
guncangan dapat dilihat mulai dari awal guncangan terjadi
sampai pengaruh guncangan itu relatif stabil di masa
mendatang atau sampai mencapai keseimbangan jangka
panjangnya.
3.2.5. Forecast Error Variance Decomposition (FEVD)
Analisis FEVD untuk melihat berapa besar kontribusi
guncangan suatu variabel yang ditunjukkan oleh perubahan
variance error terhadap perubahan variabel tertentu. Dengan
metode ini dapat dilihat kekuatan dan kelemahan dari
masingmasing variabel dalam mempengaruhi variabel
lainnya baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
4. Pemecahan Masalah
4.1 Hasil Estimasi untuk Persamaan Jangka Pendek
dan Jangka Panjang
Permasalahan pertama dalam penelitian ini akan dijawab
melalui hasil estimasi VECM yang dilakukan melalui uji LR
yang dapat menunjukkan persamaan jangka pendek dan
jangka panjang.
4.1.1 Hasil Estimasi VECM Jangka Pendek untuk Nilai
Tukar Rupiah
Hasil estimasi VECM, suatu variabel akan diinterpretasikan
jika nilai probabilitas yang ada di dalam kurung lebih kecil
dari α=0,05. Berdasarkan hal tersebut maka variabel yang
mempengaruhi pergerakan nilai tukar Rupiah dalam jangka
pendek adalah variabel dLKA1, dCA1, dD1, dR2, dLKA2 dan
dD2. Pertumbuhan capital account pada satu triwulan yang
lalu (dLKA1) menyebabkan nilai tukar Rupiah terapresiasi
sebesar 0,0655 persen. Hal ini dapat terjadi karena adanya
peningkatan dalam neraca modal dan keuangan (capital
account) pada satu triwulan sebelumnya berarti mencirikan
adanya peningkatan penawaran terhadap valuta asing.
Naiknya penawaran terhadap valuta asing menyebabkan
nilai tukar Rupiah mengalami apresiasi.
Pertumbuhan current account satu triwulan yang lalu
(dLCA1) menyebabkan nilai tukar Rupiah terapresiasi
sebesar 0.005 persen. Terapresiasinya nilai tukar Rupiah
karena adanya kenaikan jumlah penawaran valuta asing di
pasar valuta asing. Dummy krisis satu triwulan yang lalu
menyebabkan nilai tukar Rupiah terdepresiasi sebesar
0,22156 persen. Dummy krisis yang juga merupakan suatu
pertimbangan bagi investor asing dan juga investor domestik
untuk menanamkan modalnya di dalam negeri menyebabkan
tingkat penanaman modal di Indonesia mengalami
penurunan sehingga hal tersebut menyebabkan penurunan
dalam penawaran valuta asing. Turunnya penawaran
terhadap valuta asing tersebut menyebabkan nilai tukar
Rupiah mengalami depresiasi terhadap mata uang asing.
Kenaikan tingkat suku bunga dua triwulan yang lalu (dR2)
menyebabkan nilai tukar Rupiah mengalami depresiasi
sebesar 0,0051persen. Adanya kenaikan tingkat suku bunga
selain dapat meningkatkan return investasi portofolio, hal
tersebut juga dapat menurunkan investasi pasa sektor riil.
Investasi di sektor riil yang menurun dapat menyebabkan
tingkat produksi untuk menghasilkan barang yang dapat
diekspor menurun, sehingga hal tersebut dapat mengurangi
penawaran valuta asing di pasar uang dan dapat
menyebabkan Rupiah mengalami depresiasi. Pertumbuhan
capital account dua triwulan yang lalu (dLKA2)
menyebabkan nilai tukar Rupiah terapresiasi sebesar 0,0502
persen.
Hal ini membuktikan bahwa adanya peningkatan capital
account yang berarti terjadinya peningkatan penawaran
terhadap valuta asing dua triwulan yang lalu masih
memberikan pengaruh terhadap terapresiasinya nilai tukar
Rupiah.
Dummy krisis dua triwulan yang lalu masih berpengaruh
terhadap terdepresiasinya nilai tukar Rupiah sebesar
0,27212. Dummy krisis memberikan pengaruh yang negatif
terhadap ketertarikan investor asing untuk menanamkan
modalnya di Indonesia sehingga terjadi penurunan terhadap
capital inflow dan
menyebabkan nilai tukar terdepresiasi .
4.1.2 Hasil Estimasi VECM Jangka Panjang untuk
Nilai Tukar Rupiah
Berdasarkan hasil analisis VECM juga diketahui bentuk
restriksi tiga persamaan jangka panjang, namun yang
menjadi bahasan dalam penelitian ini adalah berapa besar
nilai tukar Rupiah dapat dipengaruhi oleh current account
dan capital account.
Dalam persamaan jangka panjang untuk nilai tukar Rupiah,
variable capital account berpengaruh secara negatif terhadap
nilai tukar Rupiah. Kenaikan capital account sebesar satu
persen menyebabkan nilai tukar Rupiah mengalami apresiasi
sebesar 0,13594 persen. Kenaikan dalam capital account
akan menyebabkan penawaran mata uang asing di pasar
valuta asing mengalami peningkatan. Peningkatan
penawaran mata uang asing tersebut akan menyebabkan nilai
tukar Rupiah mengalami apresiasi.
IRWNS 2013
49
Variabel produk domestik bruto berpengaruh secara negatif
terhadap nilai tukar Rupiah. Kenaikan produk domestik
bruto sebesar satu persen akan menyebabkan nilai tukar
Rupiah mengalami apresiasi sebesar 1,2451 persen.
Kenaikan produk domestik bruto menyebabkan nilai tukar
Rupiah terapresiasi dapat terjadi karena kenaikan tersebut
dapat mencirikan keadaan ekonomi Indonesia semakin baik
dan menurunnya tingkat resiko terhadap kegagalan investasi.
Membaiknya perekonomian dan menurunnya resiko
terhadap kegagalan investasi menyebabkan adanya respon
positif dari investor asing untuk menanamkan modalnya
secara langsung di Indonesia. Adanya aliran modal yang
masuk tersebut dapat menyebabkan nilai tukar Rupiah
mengalami apresiasi terhadap mata uang asing.
Kenaikan current account sebesar satu persen menyebabkan
nilai tukar Rupiah mengalami depresiasi sebesar 0,20789
persen. Hal ini membuktikan bahwa walaupun terjadi
peningkatan current account belum tentu diikuti oleh
peningkatan valas yang masuk ke dalam negeri dan
kemungkinan besar valas tersebut banyak tersimpan di
bankbank asing sehingga tidak mampu menambah jumlah
penawaran dalam valas. Variabel dummy krisis berpengaruh
positif terhadap nilai tukar Rupiah.
Adanya dummy krisis menyebabkan nilai tukar Rupiah
mengalami depresiasi sebesar 0,85453 persen. Hal ini terjadi
karena dummy krisis menyebabkan resiko kegagalan
investasi menjadi meningkat, sehingga menyebabkan tingkat
kepercayaan investor untuk menanamkan modalnya di
Indonesia menjadi menurun. Menurunnya modal yang
masuk ke Indonesia menyebabkan permintaan terhadap mata
uang domestik menjadi menurun dan dapat berakibat pada
nilai tukar Rupiah yang terdepresiasi.
4.1.3 Respon Nilai Tukar Rupiah Akibat Guncangan
Variabel Capital Account dan Current Account
Impulse Response adalah respon sebuah variabel dependen
jika mendapatkan guncangan atau inovasi variabel
independen sebesar satu standar deviasi. Dalam penelitian
ini akan dianalisis bagaimana respon nilai tukar Rupiah
terhadap guncangan capital account dan current account
4.1.4 Respon Nilai Tukar Rupiah Akibat Guncangan
Variabel Capital Account
Respon nilai tukar Rupiah akibat guncangan
variabel capital account dapat dilihat pada Gambar
berikut
Respon Nilai Tukar Rupiah (x100%) Triwulan menyebabkan
harga barang luar negeri secara relatif menjadi lebih mahal
dan hal tersebut dapat mendorong terjadinya penurunan
impor dan meningkatnya ekspor. Peningkatan ekspor dan
penurunan impor selanjutnya menyebabkan penawaran
terhadap valuta asing mengalami peningkatan dan hal
tersebut menyebabkan nilai tukar Rupiah terapresiasi sebesar
3,2 persen pada triwulan kedelapan. Guncangan capital
account mulai mengecil dan menghilang ketika memasuki
triwulan ke25.
4.1.5 Respon Nilai Tukar Rupiah Akibat Guncangan
Variabel Current Account
Respon nilai tukar Rupiah akibat guncangan variabel current
account dapat dilihat pada (Gambar 5.2. dan Lampiran 9).
Gambar 5.2. Respon Nilai Tukar Akibat Guncangan Current
Account Respon nilai tukar Rupiah akibat guncangan current
account menyebabkan pergerakan nilai tukar Rupiah pada
triwulan pertama mengalami apresiasi sebesar 2,17 persen.
Hal tersebut terjadi karena peningkatan pada current account
menyebabkan penawaran terhadap valuta asing di pasar
valas meningkat sehingga Rupiah mengalami apresiasi. Pada
triwulan kedua guncangan current account menyebabkan
Rupiah mengalami depresiasi sebesar 1,26 persen.
Terdepresiasinya Rupiah pada triwulan ini merupakan akibat
dari terapresiasinya rupiah periode lalu, dimana
terapresiasinya Rupiah menyebabkan ekspor menurun
Respon Nilai Tukar Rupiah (x100%) Triwulan dan impor
meningkat. Pergerakan Rupiah akibat guncangan
currentaccount mulai mengecil dan menghilang ketika
memasuki triwulan ke30.
4.2 Kontribusi Guncangan Beberapa Variabel dalam
Model terhadap Perubahan Nilai Tukar Rupiah
Analisis ini digunakan untuk melihat seberapa esar
kontribusi guncangan beberapa variabel dalam model
terhadap nilai tukar Rupiah. Hasil analisis ini tersaji dalam
Tabel berikut :
IRWNS 2013
50
Berdasarkan analisis FEVD, variabel nilai tukar Rupiah
memberikan kontribusi guncangan terbesar bagi dirinya
sendiri pada triwulan pertamaampai dengan jangka panjang.
Kontribusi nilai tukar Rupiah yang besar terhadap dirinya
sendiri dapat diartikan bahwa terdapat ekspetasi yang besar
terhadap pergerakan nilai tukar Rupiah yang memunculkan
aksi spekulasi dari pelaku pasar uang terhadap terdepresiasi
dan terapresiasinya nilai tukar Rupiah dan adanya unsure
intervensi yang besar dari Bank Indonesia untuk mengurangi
volatilitas pergerakan nilai tukar Rupiah. Pada triwulan
pertama variabel nilai tukar Rupiah mempengaruhi dirinya
sendiri sebesar 82,73 persen. Variabel kedua dan ketiga yang
paling besar mempengaruhi nilai tukar Rupiah yaitu dummy
krisis dan tingkat suku bunga dengan masingmasing
memberikan pengaruh sebesar 9,22 persen dan 3,74 persen.
Sementara itu, untuk current account dan capital account
pada triwulan pertama masingmasing hanya mempengaruhi
sebesar 2,54 persen dan 0,11 persen.
Rendahnya kontribusi guncangan current account dan
capital account terhadap nilai tukar Rupiah terjadi karena
kedua komponen tersebut hanya menyumbangkan sebagian
kecil bagi tersedianya valas dan hal ini terjadi pada waktu
tertentu saja. Sementara itu, untuk kegiatan intervensi,
ekspetasi, dan unsure spekulasi dapat terjadi setiap saat dan
dalam jumlah besar. Kegiatan ekspetasi yang berlanjut pada
aksi spekulasi ini banyak dilakukan oleh kalangan perbankan
yang berusaha mengambil keuntungan dari pergerakan nilai
tukar Rupiah. Kontribusi guncangan capital account
terhadap nilai tukar Rupiah semakin besar pada angka
panjang, sementara current account pengaruhnya semakin
kecil untuk beberapa periode triwulan ke depan. Memasuki
triwulan ketiga sampai dengan jangka panjang, kontribusi
guncangan capital account lebih besar jika dibandingkan
dengan kontribusi guncangan current account dengan
perubahan masingmasing sebesar 1,21 persen dan 0,56
persen pada triwulan ketiga.
Analisis FEVD menunjukkan bahwa kontribusi guncangan
tingkat suku bunga terhadap nilai tukar Rupiah memberikan
pengaruh yang semakin besar dari triwulan pertama sampai
dengan triwulan ketiga, dimana pada triwulan ketiga tingkat
suku bunga memberikan kontribusi guncangan sebesar 11,43
persen. Pada triwulan berikutnya kontribusi guncangan
tingkat suku bunga semakin menurun hingga sampai
triwulan ke50 pengaruh tersebut hanya sebesar 7,39 persen.
Sementara itu, guncangan jumlah uang beredar hanya
memberikan kontribusi yang kecil sejak triwulan pertama
sampai dengan jangka panjang.
Pada triwulan ke50 variabel nilai tukar masih dominan
mempengaruhi dirinya sendiri dengan kontribusi guncangan
sebesar 71,34 persen. Sementara itu, untuk capital account
dan current account masingmasing mempengaruhi nilai
tukar rupiah sebesar 3,46 persen dan 0,40 persen. Hasil yang
kurang signifikannya neraca pembayaran baik itu current
account maupun capital account dalam mempengaruhi
pergerakan nilai tukar sejalan dengan temuan yang dilakukan
oleh Atmadja (2002), yang menemukan bahwa sebenarnya
surplus dan defisitnya neraca pembayaran kurang signifikan
mempengaruhi nilai tukar. Wibowo dan Amir (2005) juga
menemukan bahwa neraca berjalan kurang signifikan dalam
mempengaruhi nilai tukar. Kecilnya pengaruh neraca
pembayaran ini membuktikan bahwa walaupun terjadi
peningkatan maupun penurunan pada neraca pembayaran
sebenarnya kurang mencirikan adanya peningkatan atau
penurunan pada penawaran valas.
5. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian mengenai analisis pengaruh
neraca pembayaran (current account dan capital account)
terhadap nilai tukar Rupiah
maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Hasil estimasi persamaan jangka pendek menunjukkan
bahwa ternyata variabel yang signifikan mempengaruhi
nilai tukar Rupiah hanya capital account satu triwulan
yang lalu, current account satu triwulan yang lalu,
tingkat suku bunga dua triwulan yang lalu, dummy
krisis pada satu dan dua triwulan yang lalu.
Pertumbuhan current account satu triwulan, capital
account satu dan dua triwulan yang lalu menyebabkan
nilai tukar Rupiah mengalami apresiasi. Sementara itu,
pertumbuhan tingkat suku bunga dua triwulan yang lalu
dan adanya dummy krisis satu dan dua triwulan yang
lalu menyebabkan nilai tukar Rupiah mengalami
depresiasi.
Hasil estimasi persamaan jangka panjang untuk nilai tukar
Rupiah menunjukkan bahwa ternyata variabel yang dapat
empengaruhi nilai tukar Rupiah adalah capital account,
produk domestik bruto, current account dan dummy krisis.
Kenaikan capital account dan produk domestic bruto
menyebabkan nilai tukar Rupiah mengalami apresiasi.
Sementara itu, kenaikan variabel
2. current account dan adanya dummy krisis menyebabkan
nilai tukar Rupiah mengalami depresiasi.
3. Hasil analisis struktur dinamis dengan menggunakan
Forecast Error Variance Decomposition (FEVD)
menunjukkan bahwa ternyata variable yang memberikan
kontribusi besar terhadap nilai tukar Rupiah adalah
variabel nilai tukar Rupiah itu sendiri, dummy krisis dan
tingkat suku bunga. Sedangkan untuk variabel current
account dan capital account hanya memberikan
kontribusi yang kecil dalam mempengaruhi nilai tukar
4. Rupiah. Sementara itu, dengan berdasarkan hasil dari
FEVD ternyata variabel capital account mempunyai
kontribusi yang lebih besar dalam mempengaruhi nilai
tukar Rupiah jika dibandingkan dengan variable current
account mulai dari triwulan ketiga sampai dengan
periode ke depan. Hal ini dapat disimpulkan bahwa jika
pemerintah melakukan kebijakan dengan upaya
meningkatkan capital account dan current account
untuk mempengaruhi pergerakan nilai tukar maka hal
tersebut tidak efektif karena hanya memberikan
kontribusi yang kecil dalam mempengaruhi pergerakan
nilai tukar Rupiah.
5. Respon nilai tukar Rupiah akibat guncangan variabel
capital account menyebabkan nilai tukar Rupiah
IRWNS 2013
51
mengalami depresiasi sebesar 5,08 persen pada triwulan
kelima dan guncangan mulai menghilang ketika
memasuki triwulan ke25. Sementara itu, guncangan
current account menyebabkan nilai tukar Rupiah
mengalami apresiasi sebesar 2,17 persen pada triwulan
pertama dan pengaruh guncangan mulai menghilang
ketika memasuki triwulan ke30
DAFTAR PUSTAKA
[1] Amir, H dan T. Wibowo. 2006. “Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Nilai Tukar
Rupiah”. Kajian Ekonomi dan Keuangan. 9: 1741
[2] Atmadja, A. S. 2002. “Analisa Pergerakan Nilai
Tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika Setelah
Diterapkannya Kebijakan Sistem Nilai Tukar
Mengambang Bebas di Indonesia”.
Jurnal Akuntansi dan keuangan. 4: 49 78
[3] Bank Indonesia. Statistik Ekonomi dan Keuangan
Indonesia (SEKI). Berbagai Edisi. Jakarta.. 2005.
[4] Laporan Kebijakan Moneter Triwulan III 2005. Bank
Indonesia, Jakarta.
[5] Batiz, F. L. R dan L. A. R. Batiz. 1994.
International Finance and Open
Economy, Macroeconomics. Mcmillan Publishing
co. New York.
[6] Dewi, A. K. 2005. Pengaruh Tekanan Neraca
Pembayaran dan Nilai Tukar terhadap Perekonomian
Indonesia [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan
Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
[7] Enders, W. 2000. Applied
Economic Time Series. Second Edition. John Wiley
& Sons, New York.
[8] Hadi, H. 2001. Ekonomi Internasional: Teori dan
Kebijakan Keuangan
Internasional. Ghalia Indonesia. Jakarta.
[9] Johansen, S. 1995. LikelihoodBased Inference in
Cointegrated Vector
Autoregressive Models. Oxford University.
[10] Litvack, J. M. dan W. H. Branson. 1981.
Macroeconomics. Princeton University.
[11] Mankiw, N. G.
2000. Teori Makro Ekonomi. Edisi Keempat. Erlangg
a, Jakarta.
[12] Mishkin, F. S. 2001. The Economics of Money,
Banking and Financial Market.
Sixth Edition. Columbia University, Columbia.
[13] Pesaran, M. H. dan B. Pesaran. 1997. Working
with Microfit 4.0: Interactive
[14] Sugiyono, F. X. 2002. Neraca Pembayaran:
Konsep, Metodologi dan Penerapan. Pusat
Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK). Bank
Indonesia. Jakarta.
[15] Suseno, I. 2004. Sistem dan Kebijakan Nilai
Tukar. Pusat Pendidikan dan Studi
Kebanksentralan (PPSK). Bank Indonesia. Jakarta.
[16] Thomas, R. L. 1997. Modern Econometrics An
Introduction. AddisonWesley, England
IRWNS 2013
52
AKUNTANSI FORENSIK DALAM PROSES KEPAILITAN DI
PENGADILAN NIAGA
DAN POTENSI FRAUD PADA PERUSAHAAN PAILIT
(Studi Kualitatif)
R.Nelly Nur Apandia, Rozmita Dewi YR
b, Yudha Pradista
c
aProgram Studi Akuntansi, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung 40154
Email: [email protected]
bProgram Studi Akuntansi, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung 40154
Email: [email protected]
cProgram Studi Akuntansi, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung 40154
Email: [email protected]
ABSTRACT
This research aims to know the use of forensic accounting in bankruptcy proceedings in court and to know the commercial
potential of fraud that occurred at the company's bankruptcy. This study uses qualitative methods. Informant this research
consists of curators, forensic accountants and Auditors. Results of the study showed 1) Filing bankruptcy actions performed on
the Commerce Court involving justice supervisor and curator. In determining the validity of debts receivable by a supervisory
judge used the science of forensic accounting. 2) Filing bankruptcy is going to potentially widespread crimes of fraud in it, the
category of acts fraud in bankruptcy is divided into three, The first thing that is fraud that led to the bankrupt; in this condition
the action fraud conducted in an enterprise will lose the trust of the public so in the end the company going into bankruptcy.
The two bankrupt for fraud; This can be done by the creditor or the debtor. In general the debtor's fraud action is to hide assets
and sales while the Act of fraud committed with the motive is to obtain the treasures in bankruptcy. the third bankrupt and used
to hide the fraud; This condition is generally done of debtors by way of removing documents and company records to action
fraud carried out covered with the mempailitkan company.
Kata Kunci
Forensic accounting,fraud dan bankruptcy
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perusahaan dalam mengembangkan usahanya
membutuhkan tambahan dana yang dapat diperoleh dari 2
(dua) sumber yaitu equitydan atau liability. Perusahaan
yang memperoleh sumber dana dari equity yaitu dengan
cara melakukan penerbitan saham. Sedangkan perusahaan
yang memperoleh sumber dana dari liability yaitu dengan
cara melakukan hutang kepada Bank dan atau lembaga
keuangan lainnya atau penerbitan obligasi. Setelah
perusahaan memperoleh tambahan dana tersebut
diharapkan perkembangan bisnis perusahaan dapat semakin
meningkat, akan tetapi dalam prakteknya tidak sedikit
perusahaan yang justru mengalami kegagalan usaha.
Persaingan usaha yang semakin kompetitif mengakibatkan
banyaknya perusahaan yang tidak mampu bersaing dalam
industri, hal tersebut dapat menyebabkan perusahaan tidak
mampu menghasilkan laba dan pada akhirnya perusahaan
tidak mampu membayar utang baik yang bersifat
jangkapendek maupun bersifat jangka panjang.Perusahaan
yang berada pada kondisi tersebut dikatakan sebagai
perusahaan yang mengalami kebangkrutan atau kepailitan
(bankruptcy), ketika perusahaan tidak mampu membayar
kewajiban kepada kreditor maka pada umumnya kreditor
akan berusaha memperoleh kembali jaminan atas utang
yang telah disepakati.
Pengambilalihan jaminan oleh lebih dari satu kreditor dari
debitur pada perusahaan yang mengalami kepailitan dapat
menimbulkan berbagai perselisihan. Oleh sebab itu maka
Pemerintah membentuk Pengadilan Niaga yang digunakan
sebagai sarana dalam penyelesaian perselisihan tersebut.
Berdasarkan sumber dari Pengadilan Niaga Jakarta Pusat,
jumlah pengajuan kepailitan di Pengadilan Niaga dari tahun
2012 sebanyak 9 perkara yang berasal dari perkara tahun
sebelumnya dan 76 perkara yang masuk tahun 2012,
dimana 64 perkara telah diputuskan status kepailitan dan
gagal pailit, 10 perkara dicabut selama tahun berjalan dan
sebanyak 11 perkara belum diselenggarakannya
persidangan. Sejumlah perkara yang telah diputuskan pada
tahun 2012 ternyata belum memberikan kepuasan bagi
termohon sehingga terdapat 47 perkara yang melakukan
kasasi dan 19 perkara dilakukan peninjauan kembali.
IRWNS 2013
53
Dalam pengajuan kepailitan di Pengadilan Niaga, tidak
semua termohon mendapatkan keputusan pailit, namun ada
juga yang mendapat putusan gagal pailit. Contoh kasus
perusahaan yang gagal pailit adalah PT Dirgantara
Indonesia yang dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga
Jakarta Pusat pada 4 September 2007, kemudian keputusan
pailit tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung pada 24
Oktober 2007. Kasus lainnya adalahMahkamah Agung
mengabulkan kasasi PT Telekomunikasi Seluler atas
putusan pailit Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dari gugatan
PT Prima Jaya Informatika. Perkara dengan nomor 704
K/Pdt.Sus/2012 ini diputuskan pada Rabu, 21 November
2012, oleh Majelis Hakim Kasasi .
Pengaturan dalam pengajuan kepailitan dan penundaan
kewajiban pembayaran utang menurut [1] diperlukan
karena pertama, untuk menghindari perebutan harta debitur
apabila dalam waktu yang sama ada beberapa kreditor yang
menagih piutangnya. Kedua, untuk menghindari adanya
kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut
haknya dengan cara menjual barang milik debitur tanpa
memerhatikan kepentingan debitur atau para kreditor
lainnya. Ketiga, untuk menghindari adanya kecurangan-
kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang kreditor atau
debitur sendiri. Misalnya, debitur berusaha untuk memberi
keuntungan kepada seorang atau beberapa orang kreditor
tertentu sehingga kreditor lainnya dirugikan, atau adanya
perbuatan curang dari debitur untuk melarikan semua harta
kekayaannya dengan maksud untuk melepaskan tanggung
jawabnya terhadap para kreditor.
Keterkaitan antara tindakan kecurangan dalam kepailitan
(fraud inBankrupcy and Divorce) menurut [2] dibagi
menjadi 3 (tiga) pertama yaitu fraud yang menyebabkan
terjadinya bankrupt, kedua bankrupt digunakan untuk
melakukan fraud, dan ketiga bankrupt digunakan untuk
menyembunyikan fraud. Berdasarkan hal tersebut, potensi
terjadinya fraud dapat terjadi dalam proses kepailitan,
seperti yang diungkapkan [4]bahwa perusahaan yang
bankrupt cenderung untuk melakukan manipulasi laporan
keuangan. Penelitian tersebut mencoba untuk menguatkan
artikel yang dikeluarkan oleh Delloite yang menyatakan
bahwa perusahaan yang berpotensi mengalami bankrupt
tiga kali lebih mungkin melakukan fraud dibandingkan
perusahaan yang tidak mengalami bankrupt.
Dalam mengungkap fakta tindakan fraud dalamkepailitan,
maka digunakan ilmu akuntansi forensik yang memadukan
ilmu hukum, akuntansi dan audit. Referensi [5] menyatakan
bahwa akuntansi forensik dapat membantu menyelesaikan
kasus-kasus hukum dengan cara membantu para penegak
hukum untuk melakukan perhitungan dan pengungkap kos
kecurangan, mendeteksi penyebab terjadinya kecurangan,
menemukan petunjuk awal (indicia of fraud) terjadinya
kecurangan, dan mendeteksi kira-kira waktu kecurangan
dapat terungkap dan membedakan kecurangan yang
terungkap melalui tip atau secara kebetulan.
Penelitian mengenai penggunaan akuntansi forensik dalam
mengungkapfraud pada proses kepailitan belum banyak
dilakukan di Indonesia, penelitian-penelitian sebelumnya
lebih banyak memfokuskan pada tindakanfraud saja yang
tidak dikaitkan dengan proses kepailitan yang diajukan
diPengadilan Niaga. Berdasarkan hal tersebut maka
dilakukan penelitian untuk: 1) mengetahuipenggunaan
akuntansi forensik dalam mengungkap fraud pada proses
kepailitan dan 2) mengetahui potensi tindakan fraud pada
perusahaan yang mengalami kepailitan.
2. KERANGKA TEORITIS
2.1 Bankruptcy (Kepailitan)
Dalam menjalankan usahanya, suatu perusahaan tidak
selalu mengalami kesuksesan. Terkadang suatu perusahaan
berada pada keadaan dimana mempunyai banyak utang dan
tidak dapat melanjutkan usahanya atau biasa disebut dengan
bankrupt atau pailit. Referensi [8] mendefinisikan
kepailitan sebagai ketidakmampuan pihak pengutang
(debitur) untuk memenuhi kewajibannya kepada pihak
pemberi utang (kreditor) tepat pada waktu yang sudah
ditentukan.
Syarat-syarat suatu perusahaan dapat dipailitkan adalah: 1)
adanya utang, 2) minimal satu utang sudah jatuh tempo dan
dapat ditagih, 3) adanya debitur, 4) minimal ada dua
kreditor, 5) permohonan pernyataan pailit, 6) pernyataan
pailit oleh Pengadilan Niaga. Apabila perusahaan telah
dinyatakan pailit, maka kegiatan perusahaan tersebut
diambil alih oleh kurator untuk mengurus dan
membereskan harta pailit.
2.2 Akuntansi Forensik
Pada mulanya, di Amerika Serikat, akuntansi forensik
digunakan untuk menentukan pembagian warisan atau
mengungkapkan motif pembunuhan. Kemudian dengan
adanya undang-undang Sarbanes-Oxley Act tahun 2002 di
Amerika Serikat disebut sebagai salah satu faktor terpenting
dalam perkembangan akuntansi forensik. Referensi [9]
menyebutkan bahwa ―forensic accounting is a general term
used to describe any financial investigation that can result
in a legal consequence‖. Suatu ilmu akuntansi dapat
mengakibatkan adanya konsekuensi hukum, dimana
terdapat persinggungan antara ilmu akuntansi dan ilmu
hukum.
Referensi [10] menjelaskan bahwa “akuntansi forensik dan
audit investigatif adalah suatu bidang baru yang
menggabungkan teori (termasuk filsafat) dan praktik dari
berbagai disiplin ilmu, yakni akuntansi/ auditing dan
hukum yang saling bersinggungan”. Misalnya dalam
akuntansi forensik dalam praktik kepailitan di mana dua
disiplin mengemuka, dan saling isi mengisi. Pakar-pakar
dari kedua bidang ini bekerja sama, baik secara formal
maupun informal.
IRWNS 2013
54
2.3 Fraud
Referensi[4] menjelaskan bahwa ―fraud is a generic term,
and embraces all the multifarious means that human
ingenuity can devise, which are resorted to by one
individual, to get an advantage by false means or
representations.‖ Kalau diterjemahkan secara bebas,
kecurangan adalah istilah umum, yang mencakup berbagai
macam kelihaian manusia, dimana satu individu
memberikan gambaran yang salah untuk mendapatkan
keuntungan dari orang lain.
Referensi [7] menyebutkan bahwa meskipun
penyembunyian aset menjadi mayoritas fraud yang terjadi
pada bankruptcy, ada sejumlah skema fraud umum lainnya.
Diantaranya adalah: 1) bustouts, 2) bleedouts, 3) rent/equity
skimming. Bustout seperti yang didefinisikan oleh United
States Trustee Manual, terjadi ketika perusahaan
memperoleh barang dari kreditor dan menjual barang-
barang tersebut menjadi kas. Mirip dengan bustouts, sebuah
bleedout (United States Trustee Manual) terjadi ketika
sebuah perusahaan menghilangkan atau menyembunyikan
aset selama periode waktu yang lama. Rent or
EquitySkimming adalah proses di mana debitur memperoleh
hak atas beberapa properti tanpa niat membayar hipotek.
Debitur terus mengumpulkan hasil sewa dan kemudian
menyembunyikan file kebangkrutan dalam rangka untuk
menunda penyitaan.
3. METODE PENELITIAN
Pada penelitian ini yang menjadi obyek penelitian adalah
penerapan akuntansi forensik pada kepailitan dan potensi
fraud pada kepailitan. Pendekatan penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif
kualitatif. Format deskriptif kualitatif studi kasus tidak
memiliki ciri seperti air (menyebar di permukaan), tetapi
memusatkan diri pada suatu unit tertentu dari berbagai
fenomena. Dari ciri yang demikian memungkinkan studi ini
dapat amat mendalam dan demikian bahwa kedalaman data
yang menjadi pertimbangan dalam penelitian model ini [3].
Penelitian ini merupakan penelitian eksplorasi, di mana
penelitian ini belum dilakukan dan obyek penelitian pun
masih baru untuk diteliti. Peneliti masih awam dan hanya
mengetahui sedikit tentang permasalahan yang terjadi,
namun berusaha untuk menemukan jawaban dari
permasalahan yang sedang diteliti.
Menurut [6] sumber data utama dalam penelitian kualitatif
ialah kata-kata, dan tindakan, selebihnya adalah data
tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Sumber data
merupakan bagian yang sangat penting dalam suatu
penelitian, karena sumber data berpengaruh langsung
terhadap kualitas penelitian. Sumber data yang digunakan
adalah sumber data primer.Adapun teknik pengumpulan
data pada penelitian ini dilakukan dengan wawancara
mendalam (in-depth interview), yaitu proses memperoleh
keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab
sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan
atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa
menggunakan pedoman (guide) wawancara, dimana
pewawancara dengan informan terlibat dalam kehidupan
sosial yang relatif lama. Dengan demikian, kekhasan
wawancara mendalam adalah keterlibatannya dalam
kehidupan informan [3]. Selain dengan wawancara, data
yang diperoleh melalui observasi yaitu dengn melakukan
observasi persidangan kepailitan di Pengadilan Niaga
Jakarta Pusat dan dokumentasi.
Penentuan informan penelitian dengan menggunakan cara
key person. Memperoleh informan penelitian melelui key
person karena telah memahami informasi awal tentang
objek penelitian maupun informan penelitian. Key person
ini adalah tokoh formal atau tokoh informal [3]. Individu-
individu yang akan akan menjadi informan pada penelitian
ini adalah kurator yang terjun langsung dalam
menyelesaikan masalah kepailitan dan akuntan publik
selaku partner kurator dalam menghitung harta debitur.
Tabel 1: Responden Penelitian No Nara
Sumber/Informan
Jenis
Kelamin
Jabatan/Keahlian Lama
Bekerja
1 Nara Sumber 1 Laki-Laki Kurator dan
Pengacara
3 Tahun
2 Nara Sumber 2 Perempuan Technical
Advisor in
Accounting
Forensic
30
Tahun
3 Nara Sumber 3 Laki-Laki Auditor Seniordi Kantor Akuntan
public
6 Tahun
Dalam penelitian ini peneliti menganalisis data
menggunakan model Miles and Huberman. Aktivitas dalam
analisis data dibagi menjadi tiga bagian, pertama data
reduction (reduksi data), kedua data display (penyajian
data), dan ketiga conclucion drawing/verification
(penarikan kesimpulan/ verifikasi).Dalam pengujian
kredibilitas data pada penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan triangulasi dengan teknik. Triangulasi
dengan teknik ini dilakukan untuk menguji kredibilitas data
dengan cara mengecek data kepada sumber yang sama
dengan teknik yang berbeda, dalam penelitian ini peneliti
akan mengecek data yang diperoleh dari hasil wawancara
dengan observasi dan dokumen.
4. HASIL PENELITIAN
a. Penggunaaan Akuntansi Forensik dalam Praktek
Kepailitan
Pengajuan tindakan kepailitan dapat dilakukan dengan
syarat apabila terdapat utang kepada dua atau lebih kreditor
yang telah jatuh tempo akan tetapi tidak dapat dilunasi oleh
debitur, dimana debitur harus dalam keadaan insolvent,
yaitu tidak membayar lebih dari 50% utang-utangnya.
Pengajuan proses kepailitan dapat diajukan oleh 3 (tiga)
pihak yaitu kepailitan yang diajukan oleh debitur, kepailitan
yang diajukan oleh kreditor dan kepailitan yang diajukan
oleh lain-lain.
IRWNS 2013
55
Pelaksanaan proses kepailitan dilakukan di Pengadilan
Niaga, dimana hakim pengadilan akan menunjuk hakim
pengawas dan kurator. Hakim pengawas akan memutuskan
suatu debitur dinyatakan pailit atau gagal pailit tidak lebih
dari 60 hari setelah pengajuan kepailitan. Pada saat
dipersidangan maka hakim pengawas memerlukan bukti
dari para kreditur dan debitur atas utang piutang yang ada.
Berdasarkan hasil observasi di persidangan niaga seorang
hakim pengawas melakukan pencocokan dengan bukti
berupa perjanjian utang piutang dan memperoleh
keterangan baik dari pemohon dan termohon atau kreditor
dan debitur. Ilmu akuntansi forensik berperan dalam proses
tersebut untuk menentukan keabsahan dari bukti berupa
dokumen utang piutang dan bukti lainnya yang memperkuat
putusan oleh seorang hakim pengawas. Setelah suatu
perusahaan dinyatakan pailit maka akan ada kurator yang
akan melakukan pemberesan. Maksudnya pemberesan di
sini adalah suatu keadaan dimana kurator melakukan
pembayaran kepada para kreditor dari hasil penjualan harta
pailit. Seperti yang diungkapkan oleh informan 1 yang
berprofesi sebagai kurator :
“Jadi syarat utama pailit itu adalah adanya dua
kreditor utang yang tidak bisa dibayar.,kalau terdapat
2 kreditor yang utangnya sudah jatuh tempo akan
tetapitidak bisa dibayar itu bisa dijatuhi
pailit.Pengajuan kepailitian bisa oleh debitur atau
kreditur, tapi kebanyakan oleh kreditur. Debitur itu
biasanya kalo dia udah merasa tidak sanggup
membayar utangnya dia, takutnya dia ada apa-apa
suatu saat kedepannya, dia bisa mengajukan pailit.
Pekerjaan kurator itu cuma satu, yaitu kalau ada yang
pailit baik perusahaan maupun perorangan dalam
hukum maka itu tugas kurator yang mengurus segala
harta kekayaannya, maksudnya disini,kalau misal
perusahaan atau orang bankrupt dimana utang banyak,
takutnya tidak ada keseimbangan jadi misalnya begini
seseorang punya utang kepada A,B dan C, ketika dia
tidak bisa membayar kepada ketiganya dan dinyatakan
pailit, kemudian hanya si A dan B kebagian atas harta
pailit sedangkan C tidak kebagian berarti tidak ada
keseimbangan,maka tugas kurator yang mengurus
semuanya”
Seorang kurator juga dapat memiliki wewenang untuk
menjalankan usaha suatu perusahaan yang dinyatakan
pailit. Seperti yang diungkapkan informan 1 :
“Jadi setelah adanya keputusan pailit, maka pada jam
00.00 semuanya dikuasai oleh kurator, baik asetnya,
perusahaannya. Tanpa izin kurator tidak bisa, hakim
pengawas juga tidak boleh. Jika perusahaan A
dinyatakan pailit kemudian jam 00.00 maka kurator
akan bergerak, biasa kurator minta cash flow
perusahaan gimana, merugi atau untung. Jadi kalau
masih untung kurator punya hak untuk menjalankan
perusahaannya. Yang penting ada keuntungan untuk
budel pailit. Kita kan ngejarnya budel pailit. Selama
masih ada budel pailit semua bisa dikerjakan. .
Misalnya toko buah, buah kan cepat busuk, daripada
kita tahan mending kita jual saja. Daripada busuk kita
rugi, mending kita jual Rp 200 misalnya. Dimana
budel pailit bisa besar.Jika perusahaan memiliki sewa
kontrak, apabila kontrak ini kita teruskan kita merugi
maka kurator akan hentikan”.
Dalam proses pembagian budel (harta) pailit maka seorang
kurator harus melakukan investigatif untuk mengetahui
status kreditor apakah kreditor tersebut merupakan
separatis, preferen dan atau kongruen. Seperti yang
diungkapkan informan 1 :
“Jika perusahaan dinyatakan pailit maka kurator
melalui aturan dan perundang-undangan akan
memastikan bahwa kreditur tertentu masuk sebagai
separatis, preferen atau kongruen. Kalau separatis dia
punya hak untuk menjual. Misalnya perusahaan
(debitur) menjaminkan rumahnya ke Bank, selama
proses pailit bank diberi waktu selama 90/ 60 hari
untuk menjual sendiri untuk melunasi utang, apabila
dia tidak bisa menjual kembalikan ke pailit, kurator
yang menjual. Kreditur preferen itu adalah yang
haknya didahulukan seperti hutang pajak kepada
Negara dan kreditur kongruen adalah kreditur yang
tidak memiliki jaminan. Tidak sembarang orang boleh
menagih kepada perusahaan yang dinyatakan pailit,
semua itu harus memalui kurator”.
.
Hal ini sesuai dengan pernyataan [1] bahwa tugas kurator
dalam administratif yaitu melakukan pengumuman (pasal
15 ayat (4)) , mengundang rapat kreditor, menangani harta
kekayaan debitur pailit, melakukan pencatatan atau
inventarisasi harta pailit (Pasal 100 sampai dengan Pasal
103 Undang-Undang Kepailitan) serta membuat laporan
rutin kepada hakim pengawas selama 3 (tiga) bulan sekali.
(Pasal 74 Undang-Undang Kepailitan).Tugas kurator dalam
mengurus atau mengelola harta pailit, selama proses
kepailitan belum sampai pada keadaan insolvensi (pailit),
maka kuartor dapat melanjutkan pengelolaan usaha-usaha
debitur pailit sebagaimana layaknya organ perseroan
(direksi) atas izin rapat kreditor. (Pasal 104 ayat (1)
Undang-Undang Kepailitan). Pengelolaan hanya dapat
dilakukan apabila debitur pailit masih memiliki suatu usaha
yang masih berjalan.
Syarat seseorang dapat menjadi kurator adalah diharuskan
untuk mengikuti pendidikan profesi, kurator merupakan
sarjana hukum atau sarjana eknomi jurusan atau program
studi akuntansi. Akan tetapi di Indonesia kebanyakan
kurator berlatarbelakang pendidikan hukum dan hanya
sedikit yang berlatarbelakang pendidikan akuntansi.
Sehingga dalam proses kepailitan ini, maka seorang kurator
yang berlatarbelakang pendidikan hukum akan meminta
jasa akuntansi forensik atau audit investigatif kepada kantor
akuntan publik agar dapat menghitung budel (harta) pailit.
Seperti yang diungkapkan informan 1 :
IRWNS 2013
56
“Untuk masalah akuntansi, kurator yang
berlatarbelakang pendidikan hukum tentuknya akan
sulit memahami masalah penghitungan laporan
keuangan perusahaan, sehingga kebanyakan kurator
tersebut termasuk saya menyewa jasa akuntan
public.Kalau akuntan kan minimal dia tau cash flow
perusahaan, cuma mungkin kalau dia ada masalah
hukum baru dia sewa lawyer. Mayoritas kurator
lulusan hukum”.
Informan 3 yang merupakan auditor senior mengungkapkan
bahwa kadangkala kurator tidak memiliki pemahaman yang
cukup dalam akuntansi dan audit investigatif sehingga
membutuhkan jasa kantor akuntan publik, seperti yang
dikutip dari pernyataan informan 3 :
“Kurator kadangkala tidak memhami secara
keseluruhan tentang laporan keuangan dan audit
investigatifsehingga membutuhkan jasa akuntan
public untuk penelusuran eksistensi atas asset dan
kewajiban yang tercantum dalam laporan keuangan
perusahaan”
Proses kepailitan menggabungkan 3 (tiga) fokus keilmuan
didalamnya yaitu akuntansi, audit dan hukum. Sehingga
dalam praktek kepailitinan ini seorang hakim pengawas dan
kurator menggunakan ilmu akuntansi forensik dalam
menyatakan pailit dan membagikan budel (harta) pailit
kepada para debitur.
4.2 Potensi Fraud Dalam Bankruptcy
4.2.1 Fraud yang Menyebabkan Terjadinya
Bankruptcy
Dalam proses kepailitan dapat diajukan oleh 3 (tiga) pihak
yaitu debitur, kreditor dan kejaksaan dll. Pengajuan
kepailitan memiliki potensi terjadinya tidakan fraud
didalamnya. Sebagai contoh yaitu pengajuan pailit yang
dilakukan oleh kejaksaan dapat disebabkan karena tindakan
fraud yang dilakukan pemilik perusahaan. Informan 2
mengungkapkan mengenai tindakan fraudyang dilakukan
debitur pada umumnya dengan membawa lari uang hasil
pinjaman, berikut ini adalah kutipan hasil wawancaranya :
“Fraudyang dilakukan oleh debitur adalah dengan
membawa lari uang para kreditur,dimana debitur
meminjam uang kepada banyak kreditur kemudian dia
melarikan diri dengan membawa seluruh uang kreditur
sehingga pada akhirnya perusahaan tidak dapat
beroperasi dan bankruptcy karena ditinggalkan oleh
pemiliknya”.
Kondisi diatas mencerminkan bahwa tindakan fraudyang
dilakukan pada akhirnya menyebabkan kebangkrutan
perusahaan. Dalam kondisi tersebut maka dapat diajukan
proses kepailitan oleh Kejaksaaan. Pasal 2 ayat (2) Undang-
Undang No. 37 Tahun 2004 menentukan bahwa
permohonan pernyataan pailit dapat diajukan oleh
kejaksaan untuk kepentingan umum. Maksud dari
kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara
dan/ atau kepentingan masyarakat luas, misalnyadebitur
melarikan diri, debitur menggelapkan bagian dari harta
kekayaan, debitur mempunyai utang kepada Badan Usaha
Milik Negara atau badan usaha lain yang menghimpun dana
dari masyarakat, debitur mempunyai utang yang berasal
dari penghimpunan dana dari masyarakat luas, debitur tidak
beritikad baik atau tidak koperatif dalam menyelesaikan
masalah utang-piutang yang telah jatuh waktuataudalam hal
lainnya menurut kejaksaan merupakan kepentingan umum.
Hal tersebut senada dengan yang diungkapkan informan 3
bahwa tindakan fraud dapat menyebabkan kebangkrutan
suatu perusahaan :
“Banyak kasus kecurangan yang dilakukan perusahaan
yang akhirnya menyebabkan perusahaan bangkrut,
seperti yang terjadi pada kasus satyam pada tahun
2009an di India, pimpinan perusahaan tersebut
mengakui tindakan kecurangan dengan melakukan
pemalsuan atas saldo kas, sehingga perusahaan
tersebut menjadi bankrupt padahal tahun 2010
perusahaan tersebut sudah mendapatkan kontrak
menjadi IT system untuk piala dunia”
Kecurangan yang dilakukan perusahaan pada akhirnya
dapat menyebabkan kerugian bagi perusahaan yaitu berada
dalam kondisi bangkrut, dikarenakan reputasi perusahaan
yang menurun akibat tindakan tersebut. Berdasarkan
pernyataan [2] perusahaan yang melakukan tindakan fraud
dapat menurunkan kepercayaan publik atau citra
perusahaan sehingga pada akhirnya perusahaan tersebut
akan bankrupt.
4.2.2 BankruptcyDigunakan untuk Melakukan Fraud
Pengajuan kepailitian yang dilakukan oleh debitur,
didalamnya berpotensi terjadinya tindakan fraud yaitu
dengan cara mengecilkan jumlah asset yang dimiliki dalam
laporan keuangan ketika kurator masuk keperusahaan untuk
mengurus budel (asset) pailit. Seperti yang diungkapkan
informan 3 :
“Ketika kurator masuk,sangat memungkinkan debitur
menyembunyikan sejumlah kas atau deposito yang
dimiliki perusahaan yang segera dialihkan oleh
direktur perusahaan ke rekening orang terdekat atau
keluarga jauh. Seperti yang pernah terjadi, bahwa
seorang klien dalam penugasan audit
investigatifbankruptcy menyembunyikan sejumlah
dana yang cukup besar dalam deposito”
Hal senada diungkapkan informan 1 mengenai
kemungkinan tindakan fraud oleh debitur serta hambatan
dalam melakukan pengurusan budel (harta) pailit, karena
potensi fraud terjadi didalamnya. Seperti pernyataan yang
dikutip dari informan 1 :
IRWNS 2013
57
“Kemungkinanfrauditu selalu ada. Itu biasanya
debitur yang nakal.dia berusaha untuk mengamankan
hartanya. Sebelum kurator bergerak, mungkin dia
membayar utang ke orang yang belum jatuh tempo
atau dia alihkan ke luar negeri. Itu kan dia mencoba
untuk mengamankan aset dia. Hambatannya namanya
orang kaya karyawan lah. Kita dikerjai oleh karyawan.
Kalau kuratorkan yang penting gimana budel pailit ini
jadi besar dan aman. Sedangkan mereka mau hak,
“hak saya mana” gitu. Kita mau menjalankan mesin
atau mengambil mesin, mereka pasti menghalangi.
Banyak lah temen-temen yang dikurung, dikejar
anjing, saya masuk ruangan anjing dilepas. Wah itu
banyak, ada yang kapok, karena kan yang namanya
orang kalau masalah uang harus dia dapet, sedangkan
kedudukan kreditor kan kalau yang preferen aman
tapi kalo kongruen kan paling terakhir diberikan sisa
budel pailit setelah kreditur preferen. Kurator harus
tau asset perusahaan ada dimana, karena kalau tidak
tau bisa bisa jebol budel pailitnya”
Hal senada diungkapkan informan 2 yang berprofesi
sebagai akuntan forensik, bahwa tindakan fraud dilakukan
oleh debitur setelah dinyatakan pailit diantaranya adalah :
“Setelah suatu perusahaan dinyatakan pailit sangat
mungkin terjadinya transfer dana kepada pemegang
saham tertentu yang merupakan tindakan fraudyang
dilakukan pimpinan tertinggi perusahaan guna
mengalihkan dana agar tidak ikut serta dalam harta
pailit atau dengan cara menjual inventory perusahaan
dan hasil penjualannya masuk ke rekening pribadi
pemilik, pembayaran dengan jumlah yang besar
kepada vendor yang tidakbiasa”
Fraudulent concealment atas asset dan pendapatan
merupakan hal yang sering dilakukan, seperti yang
diungkapkan [2]Fraudulent concealment of assets or
income is a common fraud in both bankruptcy and divorce.
Hal ini memunjukan bahwa terjadi fraud pada kondisi
bankrupt pada umumnya adalah dengan merahasiakan asset
ataupun pendapatan yang diperoleh perusahaan.
Selain proses pengajuan kepailitan yang dilakukan oleh
debitur, maka proses pengajuan kepailitan ke Pengadilan
Niaga dapat diajukan oleh kreditor. Potensi tindakan fraud
dapat terjadi dalam pengajuan tersebut, seperti yang
diungkapkan oleh informan 1 :
“Pengajuan pailit yang dilakukan krediturpun dapat
berpotensi munculnya tindakan fraud dengan motif
untuk menguntungkan kreditur. Jika ada 2 kreditor
maka dapat diajukan pailit ke Pengadilan Niaga dan
harus dibuktikan apakah dia benar pailit atau tidak.
Persidangan harus membuktikan bahwa debitur benar-
benar insolved atau tidak. Nah jika belum benar benar
bangkrut dan selama debitur masih bisa membayar
utang, hanya terhambat pembayaran saja kan tidak
bisa diputuskan pailit. Dalam kondisi pailit diajukan
kreditur, maka debitur harus pintar membuktikan
bahwa dia tidak dalam keadaan bangkrut,debitur harus
sadar bahwa asset yang dimiliki banyak dan piutang
diluar banyak, hanya tidak mampu membayar hutang
jatuh tempo pada minimal 2 kreditur saja,sehingga
kondisi tersebut dapat dimanfaatkan pula oleh kreditur
nakal”
4.2.3 Bankruptcy Digunakan untuk
Menyembunyikan Fraud.
Kondisi lainnya yang terjadi adalah bahwa terjadinya fraud
disembunyikan melalui upaya proses pengajuan kepailitan.
Seperti yang diungkapkan oleh informan 3 berikut ini :
“Tindakan fraud yang dilakukan oleh orang
dilingkungan organisasi dengan pihak lainnya diluar
organisasi dapat disembunyikan melalui proses
kepailitan. Sebagai contoh pemberian kredit tidak
sesuai prosedur atau fiktif dapat menyebabkan
pembiayaan bermasalah. Untuk menyembunyikan
tindakan fraud atau pemberian kredit tersebut maka
perusahaan penerima pinjaman dana dapat
menyatakan dirinya pailit. Sehingga dalam hal ini
kedua pihak yang melakukan frauddapat
menyembunyikan fraud‖
Upaya penyembunyian fraud dengan skema kebangkrutan
ini pada umumnya juga dilakukan oleh debitur dengan cara
merusak buku dan catatan keuangannya atau mencatat
transaksi keuangan dengan tidak tepat. Hal tersebut sangat
mungkin terjadi apabila aparat penegakan hukum di
Pengadilan Niaga tidak berjalan dengan efektif yang pada
akhirnya dapat menyatakan pailit suatu kasus dalam kondisi
terdapat banyak fraud di dalamnya.
Ketiga kategori mengenai fraud yang terjadi dalam kondisi
bangkrut , seperti yang dijelaskan pada paragraph
sebelumnya sesuai dengan pernyataan[2] yang
mengkategorikan tindakan fraud in bankruptcy and divorce
menjadi 3 hal yaitu : 1) fraud causes the bankruptcy or
divorce 2) the bankruptcy or divorce is used to perpetrate
the fraud 3)the bankruptcy or divorce is used to conceal the
fraud.
5. KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN
KETERBATASAN PENELITIAN
5.1 Kesimpulan
1. Pengajuan tindakan kepailitan dapat dilakukan dengan
syarat apabila terdapat utang kepada dua atau lebih
kreditor yang telah jatuh tempo akan tetapi tidak dapat
dilunasi oleh debitur, dimana debitur harus dalam
keadaan insolvent, yaitu tidak membayar lebih dari 50%
utang-utangnya.Pengajuan kepailitan dilakukan pada
Pengadilan Niaga yang melibatkan hakim pengawas dan
kurator. Dalam menentukan keabsahan utang piutang
oleh seorang hakim pengawas digunakan ilmu akuntansi
forensik, begitupula dengan kurator yang bertugas untuk
IRWNS 2013
58
membagikan budel (harta) pailit kepada para kreditur
dengan urutan pembagian harta bagi kreditor separatis
(kreditor yang memiliki jaminan), kreditor preferen
(kreditur yang memiliki hak untuk didahulukan) dan
kreditor kongruen (kreditur yang tidak memiliki
jaminan).
2. Pengajuan kepailitan dapat dilakukan oleh 3 (tiga) pihak
yaitu debitur, kreditor dan lain-lain. Pengajuan
kepailitan berpotensi terdapat tidakan fraud didalamnya,
kategori tindakan fraud dalam kepailitan dibagi menjadi
3 (tiga) hal Pertama yaitu fraud yang menyebabkan
terjadinya bankrupt; dalam kondisi ini tindakan fraud
yang dilakukan dalam suatu perusahaan akan
menurunkan kepercayaan publik sehingga pada
akhirnya perusahaan akan mengalami kebangkrutan.
Keduabankrupt digunakan untuk melakukan fraud; hal
ini bisa dilakukan oleh kreditor maupun debitur. Pada
umunya tindakan fraud yang dilakukan debitur adalah
dengan menyembunyikan aset dan penjualan sedangkan
tindakan fraud yang dilakukan adalah dengan motif
untuk memperoleh budel(harta) pailit. dan
Ketigabankrupt digunakan untuk menyembunyikan
fraud; kondisi ini pada umumnya dilakukan debitur
dengan cara menghilangkan dokumen dan catatan
perusahaan agar tindakan fraud yang dilakukan dapat
tertutupi dengan mempailitkan perusahaan.
5.2 Implikasi Penelitian
Implikasi penelitian ini diharapkan dapat memberikan
pemahaman mengenai penggunaan akuntansi forensik yang
ternyata dapat digunakan tidak hanya pada proses
pengadilan tindak pidana korupsi, akan tetapi akuntansi
forensik juga digunakan dalam proses kepailitan suatu
perusahaan di Pengadilan Niaga. Kurator yang merupakan
elemen dalam Pengadilan Niaga diwajibkan
berlatarbelakang hukum atau ekonomi akuntansi. Hal ini
dapat menjadi profesi baru bagi para akuntan yang
berkeinginan menjadi kurator, dimana kondisi saat ini
jumlah kurator yang berlatarbelakang pendidikan akuntansi
masih relatif jarang, padahal dalam menjalankan
tugasnyakurator membutuhkan keahlian dalam akuntansi
dan audit investigatif akibat dari maraknya tindakan fraud
yang dapat terjadi pada kondisi perusahaan mengalami
kepailitan.
5.3 Keterbatasan Penelitian
Periode pengamatan pada penelitian ini relatif pendek,
sehingga tidak dapat melihat proses kepailitan secara
komprehensif, disarankan untuk peneliti selanjutnya
memperpanjang periode pengamatan sehingga dapat
diperoleh lebih mendalam penggunaan akuntansi forensik
mulai dari proses pengajuan kepailitan, proses
persidangan,keputusan pailit, pembagian budel (harta)
pailit. Peneliti kesulitan memperoleh informan yang
merupakan kurator yang memiiki latarbelakang akuntansi,
sehingga peneliti selanjutnya dapat menambah informan
yang merupakan kurator yang memiliki latar belakang
pendidikan akuntansi. Bagi peneliti selanjutnya yang
tertarik dengn kajian fraud pada kasus kepailitan dapat
memfokuskan pada pengidentifikasian symtomp dan redflag
pada proses kepailitan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji dan syukur kami panjatkan ke khadirat Allah SWT atas
rahmat-Nya sehingga penelitian ini dapat terselesaikan.
Selain itu rasa terima kasih kami ucapkan juga kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Sunaryo Kartadinata, M.Pd, selaku
Rektor Universitas Pendidikan Indonesia.
2. Bapak Dr. H. Edi Suryadi, M.Si, selaku Dekan Fakultas
Pendidikan Ekonomi Dan Bisnis Universitas Pendidikan
Indonesia.
3. Bapak Prof. Sumarto selaku Ketua LPPM atas dana
yang diberikan sehingga peneliti dapat melakukan
penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Adrian Sutedi. 2009. Hukum Kepailitan. Bogor:
Ghalia Indonesia.
[2] Albrecht, W. Steve dan Chad O. Albrecht. 2003.
Fraud Examination. Ohio: South-Western.
[3] Bungin, Burhan. 2010. Penelitian Kualitatif:
Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu
Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana.
[4] Franceschetti, Bruno Maria and Claudia Koschtial.
2013. Do Bankrupt Companies Manipulate Earning
More Than The Non-Bankrupt Ones?.Journal of
Finance and Accountancy.
[5] Jumansyah, dkk. 2011. Akuntansi Forensik dan
Prospeknya Terhadap Penyelesaian Masalah-
Masalah Hukum di Indonesia. Prosiding Seminar
Nasional “Problematika Hukum dalam Implementasi
Bisnis dan Investasi (Perspektif Multidisipliner)”.
[6] Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian
Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
[7] Sawhney, Sareena M. 2010. Forensic Accountants:
An Essential Part of The Bankruptcy Team.
[Online]. Tersedia:
http://www.markspaneth.com/publications/forensic-
accountants-an-essential-part-of-the-bankruptcy-
team. Hotml [29 Mei 2013]
[8] Sembiring, Sentosa. 2006. Hukum Kepailitan Dan
Peraturan Perundang-Undangan yang Terkait
Dengan Kepailitan. Bandung: Nuansa Aulia.
[9] Singleton, Tommie W. dan Aaron J. Singleton.
2010. Fraud Auditing and Forensic Accounting
Fourth Edition. New Jersey: Wiley Corporate.
[10] Tuanakotta, Theodorus M. 2007. Akuntansi Forensik
dan Audit Investigatif. Jakarta: Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
[11] Undang-Undang No 37 Tahun 2004 Tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang.
IRWNS 2013
59
Analisis Industri Unggulan Kota Bandung
Teti Sofia Yanti, Onoy Rohaeni, Fuji Astuti
Program Studi Statistika Unisba
Email: [email protected]
ABSTRAK
Pelaksanaan otonomi daerah, merupakan momentum bagi dimulainya proses implementasi kebijakan pengembangan ekonomi
lokal. Berlakunya otonomi daerah menimbulkan implikasi bagi daerah (kabupaten/kota) mengembangkan kemampuannya
sumberdaya yang dimilikinya sehingga menjadi produk unggulan yang memiliki keunggulan daya saing komparatif maupun
kompetitif. Penentuan sektor unggulan di suatu daerah sangat diperlukan, karena berguna untuk menentukan kebijakan
prioritas sektor yang dipilih, sehingga investasi yang dilakukan terhadap sektor tersebut memberikan multipler effect yang
besar terhadap daerah tersebut. Sebanyak 30 sektor dari 54 sektor ekonomi merupakan sektor unggulan kota Bandung, karena
mempunyai nilai indeks komposit di atas rata-rata. Sektor yang paling diunggulkan adalah sektor “Perdagangan Komoditi
Lainnya”. Sementara itu terdapat enam sektor, selain menjadi sektor-unggulan juga sektor-sektor yang paling responsif ketika
terjadi peningkatan permintaan akhir dalam perekonomian.
Kata kunci
Daya penyebaran, derajat kepekaan, bandung, input output, industri unggulan
1. PENDAHULUAN
Pelaksanaan otonomi daerah, merupakan momentum bagi
dimulainya proses implementasi kebijakan pengembangan
ekonomi lokal. Berlakunya otonomi daerah menimbulkan
implikasi bagi daerah (kabupaten/kota) mengembangkan
kemampuannya sumberdaya yang dimilikinya sehingga
menjadi produk unggulan yang memiliki keunggulan daya
saing komparatif maupun kompetitif. Untuk itu pemerintah
daerah harus membuat perencanaan yang baik, evaluasi
yang benar, dan penerapan kebijakan yang tepat, agar
pertumbuhan ekonomi di daerahnya bisa meningkat,
sehingga pembangunan bisa terwujud.
Perroux mengemukakan (dalam Arsyad 1999:148), dalam
proses pembangunan akan timbul industri unggulan (L’
industrie matrice) yang merupakan industri penggerak
utama dalam pembangunan suatu daerah. Karena
keterkaitan antar industri sangat erat, maka perkembangan
industri unggulan akan mempengaruhi perkembangan
industri lain yang berhubungan erat dengan industri
unggulan tersebut. Sektor yang dijadikan unggulan adalah
sektor yang apabila dikembangkan dapat memberikan
multiplier effect yang besar terhadap sektor-sektor lainnya,
baik sektor-sektor yang ada di hulu (backward effect)
maupun yang ada di hilir (foreward effect). Penentuan
sektor unggulan di suatu daerah sangat diperlukan, karena
berguna untuk menentukan kebijakan prioritas sektor yang
dipilih, sehingga investasi yang dilakukan terhadap sektor
tersebut memberikan multipler effect yang besar terhadap
daerah tersebut. Untuk menentukan sektor unggulan, perlu
diukur skor tingkat keunggulan setiap sektor ekonomi
memggunakan analisis Indeks Komposit. Variabel-variabel
yang akan dianalisis melalui Indeks Komposit diperoleh
melalui analisis input output. Melalui makalah ini akan
dilakukan analisis sektor ekonomi unggulan Kota
Bandung.
2. ANALISIS SEKTOR UNGGULAN
Analisis sektor unggulan dilakukan setelah diperoleh
analisis keterkaitan antar sektor dalam analisis input output.
Untuk menentukan sektor unggulan perlu diukur skor
tingkat keunggulan setiap sektor ekonomi memggunakan
analisis Indeks Komposit. Sebelum membahas kebih lanjut
tentang analisis sektor unggulan terlebih dahulu dijelaskan
analisis keterkaitan antar sektor, hal tersebut dilakukan
untuk memperoleh variabel-variabel yang dihitung dalam
indeks komposit. Banyak penelitian yang membahas
tentang industri unggulan, penelitian yang dilakukan oleh
Fachrurazy (2009), bertujuan untuk menentukan sektor
unggulan perekonomian wilayah kabupaten Aceh Utara
sebagai bahan informasi dan pertimbangan dalam
perencanaan pembangunan ekonomi. Penelitian ini
menggunakan data sekunder berupa runtun waktu (time
series) dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
Kabupaten Aceh Utara dan Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam tahun 1993-2007. Alat analisis yang digunakan
dalam penelitian ini, yaitu analisis Klassen tipology,
analisis Location Quotient (LQ) dan analisis shift share.
Hasil penelitian Dikdik Kusdiana dan Candra Wulan (2007)
adalah: dengan menggunakan Analisis Input Output dan
Revealed comparative advantage pada tabel input output
Jawa Barat 2003 dan data ekspor Jawa Barat diperoleh hasil
bahwa komoditas jawa barat yang mempunyai daya saing
ekspor adalah industri barang jadi dari logam, industri
kimia, barang-barang dari bahan kimia, karet dan plastik.
IRWNS 2013
60
Anton Hendranata(2002) menggunakan model input output
dalam penelitian desertasinya, salah satu kesimpulannya
adalah peranan sektor industri manufaktur masih sangat
dominan dalam perekonomian indonesia dalam
menghasilkan output dan pendapatan. Sedangkan sektor
pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan merupakan
sektor yang menyerap tenaga kerja paling banyak.
Jiemin Guo dan Mark A. (2000), mengukur perubahan
struktur perekonomian Amerika Serikat selama periode
1972-1996 menggunakan Analisis Input Output, hasilnya
adalah bahwa dampak relatif dari industri manufaktur
mengalami penurunan terhadap perekonomian Amerika
Serikat, penurunan tersebut dampak dari penetrasi impor.
Hasil penelitian Hidayat Amir dan Singgih Rifhat (2005)
menunjukkan, berdasarkan analisis sektor unggulan
menggunakan angka pengganda (output, pendapatan dan
lapangan kerja) dan keterkaitan sektoral (pure total linkage)
direkomendasikan untuk menjadikan Jawa Timur sebagai
pusat industri (industri lainnya dan indutri makanan,
minuman dan tembakau), pusat perdagangan, dan pusat
pertanian.
Hasil kajian ekonomi regional Nusa Tenggara Timur pada
triwulan I tahun 2008 menggunakan analisis input output
adalah: sektor pertanian sebagian sektor primer adalah
sektor yang melakukan penyerapan tenaga kerja paling
dominan. Namun, tingkat keterkaitan antar sektor lebih
didominasi oleh sektor industri dan jasa.
Selain hasil penelitian orang lain, penulis sudah melakukan
penelitian mengenai penentuan sektor unggulan di beberapa
kabupaten/kota yang ada di provinsi Jawa Barat, yakni Kota
Cimahi, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Garut dan
Kabupaten Banjar. Industri unggulan di lima
kabupaten/kota tersebut berbeda-beda. Penelitian dilakukan
tahun 2008 untuk Kota Cimahi, hasilnya sektor unggulan di
Kota Cimahi adalah sektor industri. Sektor perdagangan
dan sektor lainnya perlu mendapat dukungan dan perhatian
yang lebih dari pemerintah karena kedua sektor tersebut
adalah sektor yang paling lemah. (Teti Sofia Yanti, 2010 ).
Selain sektor tanaman bahan makanan terdapat tiga sektor
yang dapat diunggulkan di Kabupaten Garut , yaitu:
perdagangan besar dan eceran; industri makanan dan
minuman; dan industri non migas lainnya.( Teti Sofia
Yanti, 2009). Sektor industri pengolahan merupakan sektor
unggulan di Kabupaten Sumedang, selain itu sektor tersebut
menjadi leader bagi sektor lain dalam pertumbuhan
ekonomi (Teti Sofia Yanti, 2010 ).
Sektor industri pengolahan, listrik, bangunan, air bersih,
hotel dan restoran, jasa lainnya, komunikasi, angkutan,
bangunan, perikanan, sewa bangunan & jasa perusahaan
merupakan sektor unggulan di Kabupaten Banjar, selain itu
industri pengolahan, listrik, angkutan, bangunan, sewa
bangunan & jasa perusahaan menjadi leader bagi sektor lain
dalam pertumbuhan ekonomi.( Teti Sofia Yanti, 2011).
a. Analisis Keterkaitan Antar Sektor (Linkages)
dalam Analisis Input Output
Pada tabel input output hubungan antara output dan
permintaan akhir dijabarkan sebagai :
X=(I-A)-1
Y ...(1)
dengan:
X = output
(I-A)-1
= matriks pengganda, dengan A adalah matriks
teknologi
Y = Permintaan akhir
Jika diuraikan dalam bentuk matriks hubungan tersebut
adalah:
n
i
nnnn
n
n
n Y
Y
Y
aaa
aaa
aaa
X
X
X
11
21
22221
11211
2
1
100
011
001
n
i
nnnjn
iniji
nj
n Y
Y
Y
bbb
bbb
bbb
X
X
X
1
1
1
1111
2
1
Jumlah dampak akibat perubahan permintaan akhir suatu
sektor terhadap output seluruh sektor ekonomi secara lebih
jauh digunakan untuk mengetahui seberapa jauh tingkat
keterkaitan antar sektor produksi, dapat dilihat dari dua sisi,
yaitu keterkaitan kebelakang (Backward Linkage) dan
keterkaitan kedepan (Forward Linkage). Keterkaitan ke
depan dan ke belakang dalam hubungannya untuk setiap
sektor ekonomi dapat dijelaskan melalui indeks daya
penyebaran () dan indeks derajat kepekaan ()
dirumuskan sebagai berikut :
...(2) )/1(1
,)/1(1
i jibn
n
jijb
ii j
ibn
n
iijb
j
dengan :
n
1i jib = jumlah daya penyebaran sektor j
IRWNS 2013
61
n
j jib1
= jumlah derajat kepekaan sektor i
i j ji
b)n/1( = rata-rata daya penyebaran persektor
b. Rasio Input Antara (RIA)
Dalam memenuhi kebutuhan bahan baku penolong bagi
proses produksi, ada dua kemungkinan (i) memanfaatkan
sumber-sumber domestik yang ada, sejauh sumber-sumber
tersebut ada di daerah dan mampu dimanfaatkan, (ii)
mengimmpor bahan baku yang diperlukan. Impor bahan
baku akan mengurangi sumber-sumber pembiayaan
penbangunan daerah.
Untuk mengukur penggunaan input domestik digunakan
Rasio Input Antara (RIA), yaitu perbandingan antara
seluruh input bahan baku yang digunakan dengan jumlah
output masing-masing industri.
...(3) OutputJumlah
AntaraInput RIA
Semakin besar nilai RIA, makin besar input domestik di
dalam proses suatu industri.
c. Koefisien Spesialisasi Ekspor
Dalam perdagangan internasional KSE lazim digunakan
sebagai ukuran tingkat surplus atau defisit dalam neraca
perdagangan luar negeri. KSE dinyatakan sebagai berikut:
...(4) ii
iii
ME
MEKSE
Dimana:
Ei= besarnya nilai ekspor sektor ekonomi i
Mi = besarnya nilai impor sektor ekonomi i
Nilai KSE berkisar antara -1 sampai +1. Apabila nilai KSE
hampir mendekati -1, maka neraca perdagangan daam
keadaan defisit dengan ekspor yang jauh lebih kecil
dibandingkan ekspor. Sebaliknya, apabila KSE mendekati
+1, maka neraca perdagangan dalam keadaan surplus
dimana ekspor yang jauh lebih besar dibandingkan impor.
2.4 Indeks Komposit
Untuk menentukan sektor ekonomi mana yang potensial
atau unggulan diukur melaluiindeks komposit. Indeks
Adapun model indeks komposit dibangun dari :
...(5) 5
55
2
22
1
11
s
XXc
s
XXc
s
XXcI
dimana, nilai c1, c2, c3, c4 sampai dengan c5 diperoleh dari
persamaan berikut:
55454353252151
45444343242141
35354343232131
25254243232121
15154143132121
cccrcrcrcr
ccrccrcrcr
ccrcrccrcr
ccrcrcrccr
ccrcrcrcrc
Untuk masalah pembangunan model indeks komposit
diinginkan jjI cRcs'2 maksimum dengan kendala
1'
jj cc
55535251
35333231
25232221
15131211
rrrr
rrrr
rrrr
rrrr
R
dengan proses iterasi diperoleh nilai c1, c2, c3 , ..., c5.
Karena tujuan membangun model indeks komposit adalah
untuk mengukur sejauh mana penyimpangan terhadap nilai
rata-rata, maka persamaan (11) dapat ditulis:
...(5) 5
55
2
22
1
11
s
Xc
s
Xc
s
XcI
Indek
komposit harus memenuhi dua kriteria yaitu:
1) Jika nilai semua variabel dalam indeks komposit
nol, maka nilai (skor) dari indeks komposit juga
nol.
2) Jika nilai dari masing-masing variabel dalam
indeks komposit merupakan nilai rata-rata dari
variabel tersebut, maka nilai indeks komposit sama
dengan 100
Sehingga untuk memenuhi dua kriteria tersebut, diperlukan
suatu konstanta k. konstanta k dapat ditentukan melalui:
...(6) 1005
55
2
22
1
11
s
Xc
s
Xc
s
Xck
pada
akhirnya diperoleh model indeks komposit sebagai berikut:
...(7) 5
5
52
2
21
1
1 Xs
kcX
s
kcX
s
kcI
apabila
suatu sektor memiliki nilai indeks komposit di atas nilai
IRWNS 2013
62
rata-ratanya (100), maka dikatakan sektor tersebut menjadi
sektor unggulan.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Tahun 2010 Kota Bandung mengeluarkan Tabel Input
Output hasil survey tahun 2008, yang memuat 54 sektor
ekonomi. Berdasarkan matriks pengganda diperoleh nilai
backward linkage dan foward lingkage. Selanjutnya
variabel-variabel yang diperoleh dari yang digunakan untuk
membentuk indeks komposit adalah sebagai berikut:
1) Indeks daya penyebaran (X1)
2) Indeks derajat kepekaan (X2)
3) Share PDRB (Pendapatan Domestik Regional
Bruto) setiap sektor (X3)
4) Rasio input antara (RIA) (X4)
5) Koefisien spesialisasi ekspor (X5)
Dengan menggunakan Program Mathlab diperoleh nilai ci
sampai iterasi ke-34, yaitu : c1=1,000000; c2=0.918713;
c3=0.956483; c4=0.990474; c5=0.308549. Kemudian
ditentukan nilai indeks kompositnya yang disajikan dalam
Tabel 1.
Tabel 1: Indeks Komposit 54 Sektor Ekonomi Kota Bandung NO
(1)
SEKTOR
(2)
X1
(3)
X2
(4)
X3
(5)
X4
(6)
X5
(7)
I
(8)
33 Perdagangan Komoditi Lainnya 1,21 17,67 0,355 0,65 0,00 294,3
38 Jasa Angkutan Jalan 1,26 1,92 0,047 0,68 -0,53 135,4
30 Perdagangan Hasil Pertanian 1,16 2,92 0,051 0,61 0,00 134,9
28 Konstruksi 1,20 0,99 0,054 0,67 0,00 132,1
32 Perdagangan Bahan Konstruksi 1,33 0,56 0,003 0,77 0,00 131,0
53 Jasa Perorangan Dan Rumah Tangga 1,25 1,32 0,021 0,68 0,00 129,4
11 Industri Kulit, Barang-Barang Dari Kulit, Dan Alas Kaki 1,16 0,55 0,047 0,61 0,97 129,0
31 Perdagangan Tekstil, Pakaian Jadi, Dan Alas Kaki 1,30 0,53 0,002 0,76 0,00 128,0
39 Jasa Angkutan Udara 1,19 1,29 0,024 0,65 0,53 127,8
10 Industri Pakaian Jadi Kecuali Untuk Alas Kaki 1,18 0,45 0,043 0,62 0,36 124,8
25 Industri Pengolahan Lainnya 1,19 0,44 0,004 0,67 0,10 116,4
34 Hotel Bintang 1,15 0,45 0,004 0,62 0,81 116,2
9 Industri Perajutan 1,09 0,45 0,030 0,55 0,63 113,2
26 Listrik 1,02 1,25 0,018 0,53 1,00 111,4
12
Kayu Dan Barang Lainnya Terbuat Dari Kayu, Gabus, Bambu,
Dan Rotan 1,14 0,47 0,003 0,62 0,14 110,7
36 Restoran 1,11 0,71 0,030 0,58 -0,69 108,5
44 Jasa Perusahaan 1,06 0,67 0,007 0,59 0,42 108,2
7
Industri Makanan Selain Tahu Tempe, Minuman Dari
Tembakau 1,16 0,48 0,017 0,61 -0,80 107,9
51 Jasa Sosial Kemasyarakatan Swasta Lainnya 1,11 0,51 0,000 0,62 0,00 107,1
45 Real Estate Dan Usaha 0,98 1,26 0,014 0,51 1,00 107,0
15 Industri Percetakan Dan penerbitan 1,11 0,50 0,004 0,59 0,04 106,5
22 Industri Mesin & Peralatannnya Termasuk Perlengkapannya 1,05 0,46 0,037 0,51 0,09 106,2
18 Indusrti Karet Dan Barang-Barang Dari Karet 1,09 0,61 0,005 0,58 0,13 106,0
6 Industri Tahu Tempe 1,12 0,47 0,002 0,59 0,00 105,8
23 Industri Alat Angkutan 1,11 0,46 0,009 0,58 -0,21 105,1
14 Industri Kertas, Barang Dari Kertas Dan Sejenisnya 1,13 0,51 0,000 0,59 -0,44 103,6
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
1 Tanaman Bahan Makanan 1,17 0,45 0,001 0,62 -1,00 103,3
IRWNS 2013
63
8 Industri Tekstil Kecuali Untuk Pakaian Jadi 1,00 0,45 0,032 0,50 0,23 102,7
17 Industri Kimia Dan Barang-Barang Dari Kimia 1,07 0,46 0,004 0,56 -0,05 101,4
37 Jasa Angkutan Kereta Api 1,05 0,71 0,004 0,57 -0,23 100,7
35 Hotel Non Bintang Dan Akomodasi Lainnya 0,98 0,46 0,005 0,49 0,91 99,0
24
Peralatan Profesional, Ilmu Pengetahuan, Alat Ukur Dan
Pengatur 1,08 0,45 0,003 0,56 -0,50 98,7
29 Perdagangan Kendaraan Bermotor Dan Suku Cadangnya 1,01 0,91 0,010 0,50 0,00 98,2
50 Jasa Kesehatan Swasta 1,03 0,51 0,001 0,55 0,00 98,0
2 Ternak, Unggas Dan Hasil-Hasilnya 1,11 0,46 0,001 0,56 -1,00 96,6
52 Jasa Rekreasi, Kebudayaan, Dan Olahraga 0,99 0,54 0,001 0,55 0,00 96,6
40 Jasa Penunjang Angkutan 1,00 0,57 0,004 0,51 0,21 96,3
48 Jasa Kesehatan Pemerintahan 0,98 0,55 0,003 0,52 0,00 94,0
13 Industri Furniture Semua Bahan 1,05 0,48 0,001 0,53 -0,62 94,0
49 Jasa Pendidikan Swasta 0,95 0,54 0,005 0,52 0,00 93,3
21 Industri Logam Dasar Dan Barang Dari Logam 1,05 0,44 0,000 0,55 -0,99 92,3
19 Industri Barang-Barang Dari Plastik Kecuali Furniture 0,94 0,81 0,008 0,44 0,02 89,6
27 Air Bersih 0,98 0,90 0,002 0,48 -0,98 86,0
43 Jasa Lembaga Keuangan Bukan Bank 0,83 0,61 0,006 0,45 0,44 85,1
3 Perikanan Dan Hasil Perikanan Lainnya 0,98 0,50 0,000 0,47 -1,00 82,5
20 Industri Barang Galian Bukan Logam 0,88 0,52 0,000 0,45 -0,58 79,0
42 Jasa Bank 0,61 0,75 0,018 0,24 0,62 63,4
41 Jasa Komunikasi 0,59 1,04 0,027 0,19 0,64 63,2
46 Jasa Pemerintahan Umum 0,51 0,57 0,022 0,14 1,00 54,0
47 Jasa Pendidikan Pemerintahan 0,52 0,49 0,009 0,09 0,00 40,2
4 Hasil Pertanian Lainnya 0,44 0,51 0,000 0,00 -0,47 24,2
16 Industri Pengilangan Minyak 0,44 0,49 0,000 0,00 -0,98 20,6
5 Barang Tambang Dan Hasil Galian Lainnya 0,44 0,52 0,000 0,00 -1,00 20,5
54 Lainnya 0,44 0,45 0,000 0,00 -1,00 20,2
Rata-rata 56,45 5,15 4,76 33,99 -0,36 100
Terdapat 6 sektor yang responsif ( nilai foward linkages
dan backward linkages di atas 1), yaitu “Perdagangan
Komoditi Lainnya”, “Perdagangan Hasil Pertanian”, “Jasa
Angkutan Jalan”, “Jasa Perorangan dan Rumah Tangga”,
“Jasa Angkutan Udara”, dan “Listrik”. Jika sektor-sektor
tersebut meningkat outputnya karena peningkatan
permintaan akhir, maka akan mengajak sektor lain untuk
meningkatkan outputnya. Disamping itu, jika terjadi
peningkatan permintaan akhir di seluruh sektor maka
sektor-sektor tersebut akan meningkat pula outputntya.
Artinya daya dorong dan daya tarik ke enam sektor
tersebut kuat terhadap sektor-sektor yang lain.
Sebanyak 30 sektor merupakan sektor unggulan kota
Bandung,karena mempunyai nilai indeks
komposit di atas rata-rata. Sementara itu sektor yang
paling diunggulkan adalah sektor “Perdagangan Komoditi
Lainnya”, sektor tersebut mempunyai foward linkages dan
share PDRB paling tinggi dibanding sektor lainnya
sebesar 17,67 dan 35%.
4. KESIMPULAN
Sebanyak 30 sektor merupakan sektor unggulan kota
Bandung, karena mempunyai nilai indeks komposit di atas
rata-rata dan sektor yang paling diunggulkan adalah sektor
“Perdagangan Komoditi Lainnya”. Sektor tersebut
mempunyai foward linkages dan share PDRB paling
tinggi dibanding sektor lainnya sebesar 17,67 dan 35%,
akan tetapi sektor tersebut perlu didorong agar dapat
mengekspor komoditinya lebih besar lagi agar neraca
perdagangan sektor tersebut positif. Sementara itu terdapat
enam sektor, selain menjadi
sektor-unggulan juga sektor-sektor yang paling responsif
ketika terjadi peningkatan permintaan
akhir dalam perekonomian. Sektor-sektor tersebut adalah
“Perdagangan Komoditi Lainnya”, “Perdagangan Hasil
Pertanian”, “Jasa Angkutan Jalan”, “Jasa Perorangan dan
IRWNS 2013
64
Rumah Tangga”, “Jasa Angkutan Udara”, dan “Listrik”.
Sehingga ketika output pada sektor-sektor tersebut
meningkat akan menjadi multiplier efek bagi sektor-sektor
yang lain, sehingga pertumbuhan perekonomian di kota
Bandung akan semakin meningkat.
ACKNOWLEDGEMENT
Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian hibah
bersaing yang didanai oleh Dikti tahun anggaran 2013,
dengan judul penelitian “Distribusi Penyerapan Tenaga
Kerja dan Analisis Sektor Ekonomi Unggulan Kota
Bandung Sebagai Acuan Pengembangan Potensi Daerah”
dengan nomor kontrak Nomor:135/LPPM-SP3/V/2013
tentang Surat Perjanjian Pelaksanaan Penelitian(SP3)
Hibah Bersaing.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Arsyad, Lincolin, 1999. Pengantar Perencanaan
Dan Pembangunan Ekonomi Daerah. BPFE,
Yogyakarta.
[2] Amir, Hidayat dan Singgih Rifhat, 2005. Jurnal
Keuangan Dan Moneter. Analisis Sektor Unggulan
Untuk Evaluasi Kebijakan Pembangunan Jawa
Timur Menggunakan Tabel Input-Output 1994 Dan
2000. Departemen Keuangan RI . Edisi Desember
2005.
[3] BPS Kota Bandung, 2010, Tabel Input Output Kota
Tahun Bandung 2008
[4] BPS 1999, Kerangka Teori dan Analisis Tabel
Input output
[5] Bank Indonesia. Kinerja Ekonomi Regional
Provinsi NTT Triwulan II-2008 - Bank Indonesia.
Diunduh dari www.bi.go.id/...
/KajianEkonomiRegionalProvinsiNusaTenggaraTi
mu..
[6] Daryanto, Arief dan Yudhi Hafizrianda. 2010.
Analisis Input output & social Accounting Matrix.
IPB Press. Bogor
[7] Fachrurrazy. 2009. Analisis Penentuan Sektor
Unggulan Perekonomianwilayah Kabupaten Aceh
Utara Dengan Pendekatan Sektor Pembentuk
PDRB. Tesis. Sekolah Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara
[8] Guo, Jiemin dan Mark A. 2000 . Using Input-
Output Analysis To Measure U.S. Economic
Structural Change Over A 24 Year Period.. U.S.
Bureau Of Economic Analysis
[9] Hendranata, Anton , 2002. Model Input Output
Ekonometrika Indonesia Dan Aplikasinya Untuk
Analisis Dampak Ekonomi. Desertasi. Program
Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. 2002.
[10] Kusdiana, Dikdik , 2007. Jurnal Trikonomika
Fakultas Ekonomi Unpas. Analisis Daya Saing
Ekspor Sektor Unggulan Di Jawa Barat. Volume 6.
No. 1. Juni 2007.
[11] Miller, R.E. P.D. Blair. 1985. Input-Output
Analysis Foundation and Extensions. Prentice Hall
Inc New Jersey.
[12] Suahasil Nazara. 2010. Analisis Input Output.
LPFEUI. Jakarta.
[13] Sofia Yanti, Teti , 2010. Portofolio Jurnal
Ekonomi& Akuntansi. Analisis Sektor Unggulan
Untuk Evaluasi Kebijakan Pembangunan Kota
Cimahi Dengan Menaksir Matriks Teknologi Kota
Cimahi Menggunakan Metode Location Quontient
Berdasarkan Tabel Input Output Provinsi Jawa
Barat. Vol. 7. No. 1 Mei 2010. ISSN: 1829-7188.
Ekonomi-Unjani.
[14] Sofia Yanti, Teti, 2009 . Mimbar Jurnal Sosial Dan
Pembangunan. Menentukan Sektor Unggulan
Kabupaten Garut Berdasarkan Analisis Input
Output. Volume XXXV, No. 2 (Juli-Desember
2009). LPPM UNISBA. ISSN 0215-8175
[15] Sofia Yanti, Teti, 2010. Sektor Unggulan Di
Kabupaten Sumedang Melalui Analisis Input
Output (Hasil Penaksiran Dari Tabel Input Output
Jawa Barat). Proceeding Seminar Hasil Penelitian
dan PKM 2010 Edisi Sosial. P2U LPPM Unisba.
ISBN: 978-979-8634-37-6.
[16] Sofia Yanti, Teti, 2011. Sektor Unggulan Di
Kabupaten Banjar Melalui Analisis Input Output
(Hasil Penaksiran Dari Tabel Input Output Jawa
Barat). Prosiding KNSA 2011. Unisba
IRWNS 2013
65
Evaluasi Kinerja Stasiun Kereta Api
Berdasarkan Standar Pelayanan Minimum
Risna Rismiana Sari
Jurusan Teknik Sipil, Politeknik Negeri Bandung, Bandung 40012
E-mail : [email protected]
ABSTRAK
Stasiun merupakan salah satu prasarana dalam menunjang perjalanan kereta api yang didalamnya terdapat interaksi antara
penyedia jasa dan pengguna. Dalam pengoperasiannya, penyedia jasa harus dapat memberikan pelayanan yang baik dengan
mempertimbangkan pemenuhan kebutuhan bagi pengguna. Evaluasi ini khusus menganalisis kebutuhan fasilitas di stasiun
berdasarkan tingkat kepuasan pengguna sekaligus memberikan rekomendasi dalam bidang transportasi khususnya untuk
penyempurnaan standar pelayanan minimum yang tercakup dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor: PM 9 Tahun 2011,
mengenai pelayanan di stasiun. Lokasi studi adalah Stasiun Besar Yogyakarta dan Stasiun Besar Lempuyangan, Yogyakarta.
Metoda yang digunakan adalah analisis di lapangan serta survei kuisioner mengenai permintaan pengguna terhadap fasilitas
yang menyangkut kelancaran, kenyamanan, keamanan dan keselamatan. Hasil evaluasi didapatkan bahwa pelayanan pada
Stasiun Besar Yogyakarta dan Stasiun Lempuyangan dapat dinilai cukup baik. Adapun pelayanan yang perlu ditingkatkan
untuk memberikan nilai kepuasan yang lebih baik bagi pengguna adalah terkait dengan peningkatan kenyamanan.
Kata Kunci
Stasiun, standar pelayanan minimum, pola pergerakan
1. PENDAHULUAN
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor: PM 9 Tahun 2011
tentang Standar Pelayanan Minimum untuk Angkutan
Orang dengan Kereta Api dipublikasikan pada pertengahan
tahun 2011. Peraturan Menteri ini diharapkan mampu
menjadi acuan dalam penyediaan fasilitas pelayanan
angkutan kereta api. Analisis mengenai berbagai macam
fasilitas berdasarkan permintaan dan kepuasan dari
pengguna stasiun perlu dilakukan sebagai bahan evaluasi
sejauh mana pelayanan yang terdapat saat ini dapat
mengakomodasi kebutuhan pengguna di stasiun, sekaligus
memberikan rekomendasi atas standar pelayanan untuk
kinerja stasiun yang lebih baik.
Lokasi penelitian adalah Stasiun Besar Yogyakarta yang
melayani perjalanan kereta api bisnis serta eksekutif dengan
sekitar 4000 penumpang/hari dan Stasiun Besar
Lempuyangan yang melayani perjalanan kereta api
ekonomi dengan sekitar 3000 penumpang/hari. Kedua
stasiun ini berada pada naungan PT. Kereta Api (Persero)
Daerah Operasi VI.
2. TINJAUAN PUSTAKA
3.3 Stasiun
Sesuai dengan UU No. 23 Tahun 2007 tentang
perkeretaapian, stasiun kereta api berfungsi sebagai tempat
kereta api berangkat atau berhenti untuk melayani :
a. naik turun penumpang,
b. bongkar muat barang, dan/atau
c. keperluan operasi kereta api
Di stasiun kereta api juga dapat dilakukan kegiatan usaha
penunjang angkutan kereta api dan penyediaan jasa layanan
khusus dengan syarat tidak mengganggu fungsi stasiun.
Jasa pelayanan khusus, sebagaimana dimaksud terdiri dari :
a. ruang tunggu penumpang
b. bongkar muat barang
c. pergudangan
d. parkir kendaraan
e. penitipan barang
3.4 Kinerja Stasiun
Kinerja stasiun adalah ukuran menyeluruh dari karakteristik
operasi layanan yang mempengaruhi penumpang. Kualitas
dari kinerja dapat memberikan indikator baik buruknya
nilai pelayanan dari fasilitas yang tersedia. Kinerja stasiun
yang diatur dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor:
PM 9 Tahun 2011 meliputi kinerja dari informasi, loket,
ruang tunggu, tempat ibadah, toilet, tempat parkir, fasilitas
kemudahan naik/turun penumpang, fasilitas penyandang
cacat, fasilitas kesehatan, fasilitas keselamatan dan
keamanan.
Konsep pengukuran kepuasan menurut Rangkuti (2002)
dapat dinyatakan dengan kuisioner yang didasarkan pada
dimensi mutu pelayanan yang sifatnya umum, butir-butir
tersebut mencerminkan setiap dimensi mutu sebagai
berikut.
1. Keberadaan pelayanan (availibility of service)
2. Ketanggapan pelayanan (responsiveness of service)
3. Ketepatan pelayanan (timeliness of service)
IRWNS 2013
66
4. Profesionalisme pelayanan (profesionalism of service)
5. Kepuasan keseluruhan dengan jasa (overall satisfaction
with service)
6. Kepuasan keseluruhan dengan barang (overall
satisfaction with product)
Kinerja stasiun yang diatur dalam Keputusan Menteri
Perhubungan Nomor: PM 9 Tahun 2011 meliputi kinerja
dari:
1. Informasi, mencakup visual dan audio. Indikator:
a. Diletakkan di tempat yang strategis
b. Diletakkan di tempat yang mudah dilihat oleh
jangkauan penglihatan pengguna jasa.
c. Diletakkan ditempat-tempat sesuai maksud dan
tujuannya.
d. Berdasarkan jumlah pintu masuk stasiun dan areal
loket penjualan tiket.
e. Jumlah pengeras suara berdasarkan luas atau
jumlah ruang tunggu.
2. Loket
Indikator: waktu pelayanan, max. 30 detik per
penumpang dan informasi ketersediaan tempat duduk
untuk kelas bisnis dan eksekutif.
3. Ruang tunggu
Indikator: luasan, yaitu minimum 0.6 m2 untuk 1 (satu)
orang penumpang
4. Tempat ibadah
Indikator: luas ruangan, minimum untuk 4 (empat)
orang perempuan dan 4 orang laki-laki.
5. Toilet
Indikator: jumlah, untuk pria disediakan 6 toilet
ditambah 2 toilet khusus untuk penyandang cacat,
begitu pula untuk wanita.
6. Tempat parkir
Indikator: luas, disesuaikan dengan lahan yang tersedia
dan sirkulasi parkir yang lancar.
7. Fasilitas kemudahan naik/turun penumpang
Indikator: aksesibilitas, yaitu dengan penyesuaian
tinggi peron dengan tinggi lantai kereta
8. Fasilitas penyandang cacat
Indikator: aksesibilitas, yaitu dengan membuat ramp
dengan kemiringan maksimum 20%.
9. Fasilitas kesehatan
Indikator: kelengkapan alat P3K
10. Fasilitas keselamatan dan keamanan
Indikator: kelengkapan peralatan
3.5 Standar Pelayanan Minimum Stasiun
Kebutuhan akan fasilitas dan pelayanan di stasiun untuk
pengguna dalam Guide to Station Planning and Design
(2011) mencakup tiga zona, yaitu zona akses (access zone),
zona fasilitas (facilities zone) dan zona peron (platform
zone).
1. Zona akses
Zona ini merupakan pintu masuk stasiun dari berbagai
kawasan disekitarnya. Zona ini harus mudah diakses
dan tersedia berbagai fasilitas yang berhubungan dengan
perpindahan moda. Zona ini adalah zona yang menjadi
batas untuk masuk ke area stasiun.
2. Zona fasilitas
Zona ini merupakan zona dimana pengguna stasiun bisa
menggunakan fasilitas dan pelayanan. Pada zona ini
terdapat informasi mengenai perjalanan dan fasilitas
umum yang meliputi ruang tunggu, tempat duduk, toilet,
restoran, pedagang, ATM, telepon umum dan fasilitas
umum lainnya. Zona ini harus mudah menuju pada
peron sehingga hanya dikhususkan untuk calon
penumpang dan untuk memasukinya harus diatur
dengan tiket.
3. Zona Peron
Zona ini adalah zona untuk melakukan akses langsung
terhadap kereta, sehingga harus didisain secara aman
dan terjaga.
3. METODE PENELITIAN
Secara keseluruhan, tahapan penelitian yang dilaksanakan
dapat dilihat pada bagan alir pada Gambar 1.
Gambar 1: Bagan alir penelitian
Survei pendahuluan dilakukan dengan teknik kuisioner
yang berisikan pertanyaan-pertanyaan mengenai fasilitas
yang dibutuhkan pengguna serta peninjauan langsung di
stasiun untuk mengetahui sejauh mana kelengkapan
fasilitas yang telah ada. Dari survei diketahui bahwa
sebagian pengguna berpendapat kelengkapan maupun
fungsi dari fasilitas yang ada di stasiun masih kurang
memuaskan.
Stasiun yang diteliti adalah Stasiun Besar Yogyakarta yang
melayani perjalanan kereta api bisnis dan eksekutif serta
Stasiun Lempuyangan yang melayani perjalanan kereta api
ekonomi.
Data yang dibutuhkan adalah:
1. Data kelengkapan fasilitas, diperoleh dari peninjauan
langsung di stasiun.
IRWNS 2013
67
2. Data fungsi/kegunaan fasilitas, diperoleh dari
wawancara dan kuisioner kepada pengguna sebanyak
400 responden untuk masing-masing stasiun.
Alat penelitian yang digunakan adalah formulir survey,
kuisioner dan kamera.
Setelah didapatkan data, kemudian dilakukan hal-hal
sebagai berikut:
a. Membuat rekapitulasi dari hasil survei kelengkapan dan
kegunaan fasilitas.
b. Melakukan analisis mengenai berbagai kebutuhan
terhadap fasilitas di stasiun berdasarkan konsep
pergerakan dan permintaan pengguna.
c. Melakukan analisis mengenai sejauh mana Standar
Pelayanan Minimum yang ditetapkan dalam Peraturan
Menteri Perhubungan Nomor: PM 9 Tahun 2011 dapat
diaplikasikan di stasiun yang ada.
d. Merancang standar pelayanan yang dapat lebih
diaplikasikan di lapangan dengan lebih baik guna
memenuhi kebutuhan dan kepuasan pengguna.
4. ANALISA DAN PEMBAHASAN
4.1 Media Informasi
Kondisi media informasi pada Stasiun Besar Yogyakarta
dan Stasiun Lempuyangan adalah sebagai berikut:
1) Pada Stasiun Besar Yogyakarta, informasi visual
diletakkan pada area loket dengan ketinggian 1 meter
dengan tulisan kecil. Pada Stasiun Lempuyangan,
informasi visual diletakkan pada area loket dan ruang
tunggu dengan ketinggian 1.5 meter dengan tulisan
cukup besar dan informatif.
2) Informasi audio cukup baik pada ruang tunggu
penumpang, dan terdengar jelas pada area stasiun.
Dari hasil kuisioner berdasarkan kondisi yang ada, lebih
dari 75% responden pada masing-masing stasiun
menyatakan telah puas dengan informasi mengenai jadwal
dan tarif KA yang tersedia dan juga informasi audio yang
diberikan, namun terdapat masukan mengenai ketinggian
dan besarnya tulisan pada papan informasi pada Stasiun
Besar Yogyakarta yang dinilai sedikit menyulitkan untuk
dilihat dalam kondisi ramai.
Berdasarkan hasil analisis, maka perlu letak dari
pemasangan papan informasi pada Stasiun Besar
Yogyakarta harus ditinggikan dan tulisan diperbesar agar
pengguna jasa lebih mudah melihat dan memahami isi dari
informasi.
4.2 Loket
Pelayanan loket pada Stasiun Besar Yogyakarta dan Stasiun
Lempuyangan adalah sebagai berikut:
1) pemesanan tiket tidak dibatasi.
2) waktu pelayanan di loket rata-rata 2-2.4 menit per
pemesan.
Waktu pelayanan dihitung dari 30 sampel pemesan tiket
yang diambil secara random. Dari kondisi saat ini, 73% dari
responden Stasiun Besar Yogyakarta dan 67% dari
responden Stasiun Lempuyangan merasa cukup puas
dengan pelayanan tiket, namun mengeluhkan terjadinya
antrian yang cukup panjang pada saat pemesan tiket cukup
banyak.
Berdasarkan PM 9 Tahun 2011, lama pelayanan di loket
masih jauh dari kinerja disyaratkan, sehingga efisiensi
pelayanan harus ditingkatkan. Hal ini sesuai dengan
permintaan pengguna yang menginginkan waktu yang lebih
efisien saat memesan tiket.
4.3 Ruang Tunggu
Fasilitas ruang tunggu yang tersedia adalah sebagai berikut:
1) pada Stasiun Besar Yogyakarta, luas keseluruhan =
634,35 m2 (dapat menampung sekitar 1057 calon
penumpang), sedangkan pada Stasiun Lempuyangan,
luas keseluruhan = 316 m2 (dapat menampung sekitar
527 calon penumpang).
2) tersedia tempat duduk sebanyak 168 buah (pada Stasiun
Besar Yogyakarta) dan 176 buah (pada Stasiun
Lempuyangan) dengan ukuran 50 cm x 50 cm, dengan
jarak bebas antar kursi ke depan sekitar 0.6-1 meter.
Dari kondisi fasilitas ruang tunggu yang tersedia saat ini,
lebih dari 70% responden pada masing-masing stasiun
menyatakan puas dengan jumlah yang tersedia. Mengenai
kebebasan ruang gerak, 80.5% responden pada Stasiun
Besar Yogyakarta dan 73% pada Stasiun Lempuyangan
menyatakan puas dan masih sangat nyaman. Namun 40%
responden pada Stasiun Lempuyangan mengeluhkan
mengenai kebersihan yang kurang terpelihara pada area
ruang tunggu.
Berdasarkan PM 9 Tahun 2011 dan pertimbangan kepuasan
pengguna, ruang tunggu pada Stasiun Besar Yogyakarta
maupun Stasiun Lempuyangan memiliki ruang pergerakan
dan luas masih memenuhi standar untuk menampung calon
penumpang yang akan melakukan perjalanan.
4.4 Tempat Ibadah
Luas tempat ibadah pada Stasiun Besar Yogyakarta dapat
menampung 60 pria dan 11 wanita dan pada Stasiun
Lempuyangan dapat menampung 40 pria dan 12 wanita.
Luas ini sudah melampaui ketentuan dalam PM 9 Tahun
2011. Tempat ibadah dinilai cukup nyaman dengan
dilengkapi fasilitas tambahan berupa tempat wudhu dan
juga perlengkapan berupa sajadah, alat ibadah wanita dan
Al-Qur‟an. Hal ini senada dengan hasil kuisioner yang
menyatakan bahwa lebih dari 75% responden pada masing-
masing stasiun merasa puas dengan fasilitas tempat ibadah
yang tersedia saat ini.
IRWNS 2013
68
4.5 Toilet
Jumlah toilet pada Stasiun Besar Yogyakarta tersedia
masing-masing 8 toilet untuk pria dan wanita dan pada
Stasiun Lempuyangan tersedia masing-masing 3 toilet
dengan kebersihan cukup terjaga dengan adanya petugas
kebersihan dalam 3 shif.
Jumlah toilet pada Stasiun Lempuyangan belum memenuhi
jumlah minimum seperti yang disyaratkan dalam PM 9
Tahun 2011 sehingga perlu ditambah. Hal ini senada
dengan hasil kuisioner yaitu 50% responden menyatakan
jumlah toilet perlu ditambah karena saat ini sering terjadi
antrian pengguna. Selain jumlah, kebersihan dan sirkulasi
udara pada toilet mempengaruhi kenyamanan pengguna.
Sebesar 46.5% pengguna Stasiun Besar Yogyakarta dan
38% pengguna Stasiun Lempuyangan menyatakan bahwa
toilet kurang nyaman digunakan.
4.6 Tempat Parkir
Daya tampung parkir pada Stasiun Besar Yogyakarta saat
ini masih mencukupi permintaan parkir. Parkir timur dapat
menampung 22 mobil penumpang dan 250 sepeda motor,
sedangkan parkir selatan dapat menampung 30 mobil
penumpang dan 250 sepeda motor. Sama hal dengan
Stasiun Lempuyangan yang dapat menampung 27 mobil
penumpang dan 400 sepeda motor. Hal ini sesuai dengan
hasil kuisioner yang dari masing-masing stasiun, lebih dari
80% menyatakan luas lahan parkir mencukupi untuk
menampung kendaraan.
Sirkulasi kendaraan cukup lancar dengan pemisahan pintu
masuk dan keluar serta pemisahan parkir mobil, motor dan
kendaraan umum, senada dengan 79.5% responden Stasiun
Besar Yogyakarta dan 68% responden pada Stasiun
Lempuyangan menyatakan sirkulasi cukup mudah dan
lancar.
4.7 Fasilitas kemudahan naik turun penumpang
Fasilitas kemudahan naik turun penumpang pada Stasiun
Besar Yogyakarta maupun Stasiun Lempuyangan sudah
cukup memadai dengan peron yang ditinggikan 1 meter,
disesuaikan dengan tinggi lantai kereta. Panjang peron
disesuaikan dengan panjang gerbong kereta yang beroperasi
dan lebar disesuaikan dengan perkiraan calon penumpang
pada saat jam sibuk. Selain untuk kemudahan, peron ini
didesain untuk keamanan dan keselamatan calon
penumpang. Dengan kondisi ini, 79.5% responden pada
Stasiun Besar Yogyakarta dan 84.5% responden pada
Stasiun Lempuyangan menyatakan cukup mudah dan
nyaman untuk naik dan turun kereta.
4.8 Fasilitas penyandang cacat
Fasilitas penyandang cacat yang berupa ramp pada Stasiun
Besar Yogyakarta maupun Stasiun Lempuyangan saat ini
sudah sesuai dengan yang disyaratkan yaitu dengan
kemiringan 20%. Namun yang perlu ditambahkan adalah
belum terdapatnya fasilitas informasi untuk penyandang
cacat seperti lantai beralur atau informasi dengan huruf
braile yang dinilai cukup penting untuk disediakan.
4.9 Fasilitas Kesehatan
Kondisi fasilitas kesehatan pada Stasiun Besar Yogyakarta
dan Stasiun Lempuyangan sudah cukup memadai dengan
tersedianya ruang khusus, obat-obatan untuk penyakit
umum dan jantung, oksigen, alat tensi, kursi roda, tempat
tidur pasien dan petugas dengan total 3-4 orang yang dibagi
menjadi 2-3 shif.
Dengan kondisi fasilitas kesehatan saat ini, 70% responden
pada Stasiun Besar Yogyakarta dan 62.5% responden pada
Stasiun Lempuyangan menyatakan cukup puas dan terbantu
dengan adanya fasilitas kesehatan yang tersedia. Namun
30-37% pengguna menyatakan bahwa tidak mengetahui
terdapat fasilitas kesehatan yang dapat dimanfaatkan bagi
pengguna.
4.10 Fasilitas keamanan dan keselamatan
Fasilitas keamanan dan keselamatan pada Stasiun Besar
Yogyakarta dan Stasiun Lempuyangan saat cukup baik
dengan berbagai kelengkapan berikut.
1) CCTV dipasang pada titik-titik strategis.
2) Garis batas berdiri 40-50 cm dari tepi peron.
3) Petugas keamanan yang terdiri dari satpam dan Polsus.
4) Pemberitahuan secara audio dan penjagaan pada jalur
lintas kereta saat kereta memasuki lintasan.
5) Tersedia genset pada ruang kendali dan alat pemadam
kebakaran berupa tabung gas portable yang ditempatkan
pada beberapa titik strategis.
Fasilitas keamanan dan keselamatan yang ada pada saat ini
dinilai cukup memberikan pelayanan yang baik terhadap
penguna stasiun, sesuai dengan hasil kuisioner kepuasan,
lebih dari 80% responden pada masing-masing stasiun
menyatakan bahwa keselamatan penumpang di area stasiun
cukup terjaga dan kondisi fasilitas penunjang cukup
memadai, dan lebih dari 68% responden menyatakan
keamanan di saat ini cukup baik.
4.11 Fasilitas penunjang
Beberapa fasilitas penunjang dinilai perlu sesuai hasil
kuisioner pada stasiun adalah sebagai berikut.
1) Tempat penitipan barang/loker
Pada Stasiun Besar Yogyakarta saat ini terdapat tempat
penitipan barang yang terdiri dari 30 almari.
Berdasarkan kuisioner, sebesar 69% responden
menyatakan fasilitas ini dibutuhkan.
2) Rumah makan / restoran dan toko
IRWNS 2013
69
Pada Stasiun Besar Yogyakarta maupun pada Stasiun
Lempuyangan terdapat kantin dan restoran serta toko
yang dapat mempermudah penumpang jika sewaktu-
waktu dibutuhkan. Berdasarkan kuisioner, lebih dari
75% responden pada masing-masing stasiun
menyatakan fasilitas ini dibutuhkan.
3) Mesin ATM
Pada Stasiun Besar Yogyakarta telah terdapat 4 buah
mesin ATM dan 2 mesin ATM pada Stasiun
Lempuyangan. Fasilitas ini cukup dibutuhkan
pengguna, sesuai hasil kuisioner yaitu 89% responden
Stasiun Yogyakarta dan 71% responden Stasiun
Lempuyangan menyatakan fasilitas ini sangat
diperlukan.
4) Telepon umum
Pada Stasiun Besar Yogyakarta maupun Stasiun
Lempuyangan terdapat sebuah telepon umum yang
dapat digunakan oleh pengguna stasiun yang terletak
pada ruang tunggu. Fasilitas ini dinilai cukup diperlukan
berdasarkan hasil kuisioner dengan rata-rata 71%
responden pada masing-masing stasiun menyatakan
fasilitas ini cukup diperlukan.
5) Counter taxi
Pada Stasiun Besar Yogyakarta permintaan akan
disediakannya counter taxi cukup besar, yaitu sebesar
66%.
5. KESIMPULAN
Dari hasil analisis dan evaluasi dalam penelitian ini dapat
ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut.
1. Fasilitas di Stasiun Besar Yogyakarta saat ini rata-rata
telah memenuhi Standar Pelayanan Minimum
berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor:
PM 9 Tahun 2011 serta kepuasan dari pengguna stasiun.
Beberapa fasilitas yang perlu diperbaiki dan
ditingkatkan adalah media informasi perjalanan kereta
api yang lebih jelas dan informatif, waktu pelayanan
pada loket, kebersihan toilet dan fasilitas untuk
penyandang cacat berupa lantai beralur.
2. Fasilitas di Stasiun Lempuyangan saat ini rata-rata telah
memenuhi Standar Pelayanan Minimum berdasarkan
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor: PM 9 Tahun
2011 serta kepuasan dari pengguna stasiun. Beberapa
fasilitas yang perlu diperbaiki dan ditingkatkan adalah
waktu pelayanan pada loket, jumlah petugas kesehatan,
jumlah toilet, penyediaan fasilitas penyandang cacat dan
lansia, pengaturan dan perapian pertokoan serta
restoran.
3. Terdapat perbedaan permintaan pengguna terhadap
beberapa fasilitas untuk Stasiun Besar Yogyakarta dan
Stasiun Lempuyangan berupa loker dan counter taxi
untuk kemudahan dalam perpindahan moda. Hal ini
diperkirakan karena perbedaan dari karakteristik
pengguna stasiun.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Andriyanto, D., 2003. Pengembangan Organisasi
Angkutan Umum (Studi Kasus Bus Perkotaan di
Yogyakarta). Tesis, Program Pascasarjana, UGM,
Yogyakarta.
[2] Armistead, C. G., & Clark, G., 1999. Customer
Service and Support – Layanan dan Dukungan
Kepada Pelanggan (Terjemahan). PT. Elex Media
Komputindo, Jakarta.
[3] Department for Transport Scotland., 2011. Accessible
Train Station Design for Disabled People : A Code of
Practice.
[4] Departemen Perhubungan., 1992. Undang-Undang
No. 13 Tahun 1992, Tentang Perkeretaapian, Jakarta.
[5] Departemen Perhubungan., 2007. Undang-Undang
No. 23 Tahun 2007, Tentang Perkeretaapian, Jakarta.
[6] Hernawan., 2012. Difable Perseption for
Accessibility and Information of Public Transport in
Jakarta. Tesis, Program Pascasarjana, UGM,
Yogyakarta.
[7] Kementrian Perhubungan., 2011. Peraturan Menteri
Perhubungan Nomor: PM 9 Tahun 2011 Tentang
Standar Pelayanan Minimum untuk Orang dengan
Kereta, Jakarta.
[8] Kementrian Perhubungan., 2011. Peraturan Menteri
Perhubungan Nomor: PM 29 Tahun 2011 Tentang
Persyaratan Teknis Bangunan Stasiun Kereta Api,
Jakarta.
[9] Morlok, EK., 1998. Pengantar Teknik dan
Perencanaan Transportasi. Erlangga, Jakarta.
[10] Neufert and Ernst., 2002. Architects’ Data, Third
Edition.
[11] Network Rail., 2011. Guide to Station Planning and
Design, London.
[12] Putro, HBS., 2009. Kajian Persepsi dan Harapan
Pengguna Jasa terhadap Pelayanan Stasiun Kereta
Api Tanjung Priok (dengan Metode Stated
Preference). Tesis, Program Pascasarjana, UGM,
Yogyakarta.
[13] Republik Indonesia., 1998. Peraturan Pemerintah
No. 69 Tahun 1998 Tentang Sarana dan Prasarana
Kereta Api.
[14] Sasmita, P. Y., 2007. Evaluasi Terhadap Fasilitas
Aksesibilitas Bagi Pengguna Kursi Roda di Stasiun
Tugu Yogyakarta. Tesis, Program Pascasarjana,
UGM, Yogyakarta.
[15] Sugiono., 2009. Metode Penelitian Kuantitatif dan
R&D. Alfabets, Bandung.
[16] Susilo, LWB., 2005. Penyususnan Standar
Pelayanan Angkutan Kereta Api Perkotaan di
Indonesia Perspektif Kepuasan Konsumen (Studi
kasus: Kereta Api Perkotaan Wilayah Jabotabek).
Tesis, Program Pascasarjana, UGM, Yogyakarta.
[17] Tamin, O. Z., 1997. Perencanaan dan Permodelan
Transportasi. Penerbit ITB, Bandung
[18] Tamin, O. Z., 2000. Perencanaan dan Permodelan
Edisi Kedua. Penerbit ITB, Bandung.
IRWNS 2013
70
[19] Zeithmal, V., Parasuraman, A., and Berry, B., 1990.
Delivering Quality Service – Balancing Customer
Perception and Expectations, The Free Press, New
York.
IRWNS 2013
71
ANALISIS MARKETING CULTURE SEBAGAI DASAR
PENGEMBANGAN KEMAMPUAN ”BISNIS” INSTITUSI
Adila Sosianika
Jurusan Administrasi Niaga, Politeknik Negeri Bandung
ABSTRAK
Orientasi pendidikan tinggi telah berubah dari menciptakan lulusan yang berkualitas saja menjadi memuaskan konsumennya
dalam arti luas, yaitu mahasiswa, industri, dan masyarakat umum. Dengan diterapkannya pendekatan pada orientasi pasar
tersebut, maka perguruan tinggi pada dasarnya harus menerapkan nilai-nilai budaya pemasaran (marketing culture) dalam
aktivitasnya. Penerapan budaya pemasaran di dunia pendidikan tinggi di Indonesia masih banyak kurang dipahami dan
diterapkan secara efektif. Enam dimensi budaya pemasaran yang dibangun oleh Webster digunakan dalam penelitian ini untuk
mengukur kinerja pelaksanaan budaya pemasaran pada sebuah institusi pendidikan tinggi di Bandung. Hasil analisa deskriptif
menunjukkan bahwa secara umum kinerja budaya pemasaran yang menjadi objek penelitian ini dipersepsikan sudah cukup
baik terutama dalam dimensi kualitas pelayanan, tugas penjualan dan organisasi. Sedangkan untuk dimensi hubungan pribadi,
komunikasi internal dan tingkat inovasi terdapat budaya pemasaran masih perlu ditingkatkan. Hal ini mengindikasikan bahwa
secara umum karyawan bekerja dan bertindak sesuai visi dan tujuan organisasi, akan tetapi kurangnya peran pimpinan
organisasi dalam memfasilitasi sistim komunikasi formal maupun informal yang terbuka antar staf diduga berdampak pada
kurangnya kinerja hubungan pribadi, komunikasi internal dan tingkat inovasi.
Kata Kunci
Marketing culture, budaya pemasaran,organisasi, pendidikan tinggi
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang masalah
Globalisasi dan perdagangan bebas telah membawa akibat
pada tidak hanya semakin banyaknya barang dan tenaga
kerja profesional dari luar negeri yang memasuki pasar
domestik tetapi juga lembaga-lembaga pendidikan luar
negeri. Masuknya lembaga pendidikan dari luar negeri yang
dipandang mempunyai kualitas yang lebih baik tentu
menjadi tantangan bagi lembaga pendidikan kita untuk
meningkatkan kualitas sehingga mampu bersaing untuk
menyiapkan lulusan yang profesional sehingga bisa
kompetitif dalam memperebutkan lapangan kerja
(Buchbinder, 1993; Dikti, 2003).
Dalam situasi seperti ini, lembaga-lembaga pendidikan di
Indonesia dituntut untuk mencari strategi yang tepat agar
mampu tetap hidup (survive) dan berkembang. Salah satu
strategi yang dilakukan oleh lembaga pendidikan tinggi
baik negeri maupun swasta adalah dengan menggunakan
pendekatan bisnis, khususnya pemasaran yaitu dengan
menerapkan strategi orientasi pasar atau market orientation,
dalam mengelola aktivitasnya (Suyanto, 2004). Usaha
untuk melaksanakan orientasi pasar telah dilakukan,
meskipun tidak secara eksplisit dinyatakan, dengan
diterapkannya visi pendidikan tinggi 2003-2010 (Dikti,
2003) yaitu: Quality (kualitas), Access and Equity (akses
dan ekuity), serta Authonomy (otonomi). Indikasi lain
adalah SK Mendiknas No. 232/U/2000 tentang kurikulum
dan No.184/U/2001 tentang pengawasan dan pembinaan
perguruan tinggi yang mendorong perguruan tinggi untuk
berorientasi pada pasar. Dengan diadopsinya pola
pengembangan yang diarahkan untuk lebih memuaskan
konsumen tersebut maka terjadi pergeseran orientasi
pengelolaan dunia pendidikan. Pendidikan yang semula
berorientasi pada produk, yaitu berusaha menciptakan
lulusan yang berkualitas saja, telah berubah menjadi
berupaya memuaskan konsumennya dalam arti luas, yaitu
mahasiswa, industri, dan masyarakat umum. Dengan
diterapkannya pendekatan pada orientasi pasar tersebut
maka perguruan tinggi pada dasarnya menerapkan nilai-
nilai budaya pemasaran (marketing culture) dalam
aktivitasnya.
Meskipun secara umum telah disadari bahwa penerapan
budaya pemasaran (marketing culture) merupakan hal yang
sangat penting bagi keberhasilan organisasi yang bergerak
dibidang jasa (Mc Neil, 2001) seperti lembaga pendidikan
tinggi, namun demikian studi empirik untuk menelaah hal
tersebut khususnya di Indonesia masih sangat terbatas.
Sehingga masih belum banyak dipahami bagaimana
penerapan budaya pemasaran di dunia pendidikan tinggi di
Indonesia.
1.2 Perumusan Masalah dan Tujuan
1.2.1 Rumusan Masalah
Pentingnya memiliki kemampuan ber“bisnis” pada institusi
pendidikan tinggi negeri (mendapatkan nilai tambah
melalui aktivitas kegiatan penelitian dan pengabdian pada
masyarakat) telah dipahami secara luas oleh hampir semua
pegawai di semua jenjang. Pada umumnya mereka sepakat
bahwa dengan sumberdaya dan kompetensi yang dimiliki,
institusi ini sangat potensial untuk mendapatkan
IRWNS 2013
72
penerimaan jika mampu mengelola dan memasarkan
“bisnis”nya dengan baik. Peningkatan pendapatan dari
“bisnis” tersebut pada akhirnya akan semakin
meningkatkan kapasitas dan kapabilitas institusi dan secara
bersamaan mampu meningkatkan kesejahteraan warganya.
Meskipun upaya untuk memanfaatkan kapasitas dan
kapabilitas institusi secara terus-menerus telah diupayakan
oleh manajemen, kegiatan “bisnis” relatif belum
berkembang sebagaimana diharapkan. Rendahnya kinerja
tersebut mengindikasikan bahwa budaya pemasaran selama
ini masih belum diterapkan dengan efektif. Untuk
mengetahui seberapa jauh budaya pemasaran tersebut telah
diterapkan, pertanyaan penelitian yang dibangun pada
penelitian ini adalah ”Bagaimana pelaksanaan budaya
pemasaran di sebuah institusi pendidikan tinggi negeri di
Bandung?” Jawaban dari pertanyaan tersebut akan
memberikan masukan yang penting dalam menyusun
strategi pengembangan kemampuan ”bisnis” institusi.
1.2.2 Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini ditujukan untuk memahami
bagaimana nilai-nilai budaya pemasaran yang diterapkan
oleh sebuah institusi pendidikan tinggi negeri di Bandung.
Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk mengukur
kinerja dimensi budaya pemasaran di sebuah institusi
pendidikan tinggi negeri di Bandung.
1.3 Kegunaan Penelitian
Penelitian ini mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan
dari pelaksanaan budaya pemasaran yang diterapkan.
Berdasar atas temuan tersebut dapat disusun program
pengembangan bisnis yang dilakukan. Karena program-
program tersebut dibangun dari pemetaan terhadap
pelaksaan budaya pemasaran dari para pelaku (dosen),
diharapkan program tersebut akan mampu memberi arah
pelaksanaan “bisnis” secara efektif, produktif, dan
berkelanjutan. Selain itu, penelitian ini diharapkan akan
memberikan kontribusi secara keilmuan dengan menambah
khasanah pemahaman akan budaya pemasaran di perguruan
tinggi. Kontribusi ini penting karena karakter dunia bisnis
dengan dunia pendidikan berbeda signifikan.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Budaya Pemasaran
Budaya merupakan suatu konsep yang banyak menjadi
perhatian dalam studi-studi ilmu sosial sehingga banyak
definisi diberikan pada definisi budaya. Salah satu definisi
budaya yang banyak dikutip diberikan oleh Hofstede,
seorang ahli budaya Belanda, sebagai “the collective
programming of the mind that distinguishes the members
of one group or category of people from others” (Kueh and
Voon (2007). Sedangkan pemasaran merupakan kegiatan
untuk mencapai keuntungan melalui pemuasan kebutuhan
konsumen (Kotler dan Armstrong, 2007). Berdasar atas
kedua definisi tersebut maka budaya pemasaran dapat
diartikan sebagai segala sesuatu yang dimiliki, dipikirkan,
serta dilaksanakan oleh anggota suatu organisasi dalam
mencapai keuntungan (atau tujuan organisasi) melalui
pemuasan kebutuhan konsumennya. Definisi tersebut
senada dengan definisi yang diberikan oleh Webster (dalam
Boarden dan Netemeyer, 1999) yang mendefinisikan
budaya pemasaran sebagai ”the way marketing things are
done in the firm”.
Budaya mempengaruhi kepercayaan, persepsi, dan akhirnya
mempengaruhi terhadap perilaku karyawan dalam melayani
konsumennya (Kueh and Voon (2007). Suatu organisasi
dimana karyawannya mempunyai nilai-nilai budaya untuk
memuaskan konsumennya merupakan faktor yang sangat
penting bagi pencapaian tujuan organisasi tersebut.
Penelitian Slater dan Narver (1994) menunjukan bahwa
terdapat hubungan antara budaya pemasaran dengan
keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan. Hasil
penelitiaan ini lebih mempertegas lagi pentingnya budaya
pemasaran sebagai kunci sukses dalam suatu organisasi,
khususnya di bidang jasa.
2.2 Dimensi Budaya Pemasaran
Pengertian budaya menunjukan bahwa budaya merupakan
suatu konsep yang luas sehingga budaya mempunyai
berbagai dimensi yang tergantung pada kontek
organisasi/masyarakat dimana budaya tersebut tumbuh. Di
bidang pemasaran, beberapa studi yang dilakukan
mengindikasikan enam dimensi dari budaya pemasaran,
yaitu: kualitas layanan (service quality), hubungan antar
pribadi (interpersonal relationships), tugas penjualan
(selling task), organisasi (organization), komunikasi
internal ( internal communications), dan tingkat inovasi
(innovativeness).
Dimensi Kualitas Layanan (Service Quality). Setiap
organisasi yang menerapkan konsep budaya pemasaran
harus mampu memahami serta menerapkan konsep kulitas
layanan untuk menarik dan mempertahankan pelanggannya.
Kualitas layanan merupakan perbandingan antara harapan
pelanggan terhadap pelayanan yang diberikan dengan
persepsi pelanggan akan kinerja layanan yang sebenarnya
(Parasuraman et al. 2005; Zeithaml and Bitner, 2003).
Definisi ini menunjukkan bahwa kualitas layanan
merupakan kemampuan suatu organisasi untuk memenuhi
harapan pelanggan atau bahkan memberikan pelayanan
yang melebihi apa yang diharapkan oleh pelanggan
(Gilmore, 2003). Artinya, suatu organisasi dapat
memberikan kualitas layanan yang baik dengan mengetahui
harapan pelanggan dan kemudian bertindak untuk
memenuhi atau bahkan melebihi harapan pelanggan
(Gilmore, 2003). Artinya baik pimpinan maupun karyawan
dalam organisasi harus peduli akan kebutuhan pelanggan
serta bersedia memberikan pelayanan prima kepada
pelanggan.
IRWNS 2013
73
Dimensi Hubungan Pribadi (Interpersonal Relationship).
Menurut Goldman (2008) hubungan interpersonal yang
baik terjadi apabila dua individu dapat saling mengisi
kebutuhan masing-masing (mutual filling of needs) melalui
sikap, kebiasaan maupun perilaku. Sehingga dapat
disimpulkan interpersonal relationship adalah kemampuan
mengembangkan sikap, minat dan perasaan dalam
berinteraksi dengan pihak lain. Pentingnya faktor tersebut
dalam pencapaian tujuan pemasaran suatu organisasi jasa
adalah karena sifat jasa: intangibility, inseparability, dan
heteroginity. Ketiga karakteristik tersebut memungkinkan
interaksi antara karyawan dengan konsumen, sehingga
terjadi komunikasi yang bersifat langsung diantara mereka.
Komunikasi tersebut akan memungkinkan konsumen
mengkomunikasikan harapan dan kebutuhannya kepada
karyawan. Sebaliknya, melalui interaksi ini karyawan dapat
leluasa meminta pendapat konsumen akan pelayanan yang
diberikannya.
Dimensi Tugas Penjualan (Selling Task). Salah satu
fungsi pokok dalam pemasaran adalah penjualan. Konsep
penjualan saat ini telah bergeser dari pendekatan model
transaksi ke pendekatan relationship-orientied. Sehingga
manajemen penjualan lebih dititik beratkan pada strategi
menjaga hubungan jangka panjang (long term relationship
strategy) dengan pelanggan (Ingram et al., 2004).
Dimensi Organisasi (Organization). Organisation adalah a
group or people intentionally organized to accomplish set
of goals (McNamara, 2006). Artinya, organsasi adalah
kumpulan dua orang atau lebih yang mengikat diri untuk
mencapai tujuan bersama. Organisasi yang kegiatannya
terkoordinasi dan terintegrasi biasanya akan dapat
melaksanakan pemasaran secara efektif (Kotler dan
Armstrong, 2007). Dengan demikian, segenap bagian atau
pihak dalam organisasi beserta penggunaan sumberdaya
yang dimiliki harus diarahkan pada usaha untuk
memuaskan konsumen.
Hal yang tidak kalah pentingnya adalah peran pimpinan
organisasi untuk memfasilitasi suatu sistim komunikasi
baik formal maupun informal yang terbuka antar staf
sebagai bagian dari usaha untuk memudahkan bagi
organisasi untuk merespon sinyal-sinyal pasar secara
efektif. Dibidang non tehnis, manajemen puncak perlu
bertindak sebagai agen perubahan “change agent” dan
sebagai pembangun budaya pemasaran di seluruh
organisasi.
Dimensi Komunikasi Internal (Internal Communication) Komunikasi dalam suatu organisasi pada dasarnya
merupakan proses untuk menyampaikan ide, opini,
informasi, instruksi yang benar baik secara lisan maupun
tulisan secara efektif untuk mencapai tujuan organisasi
(Kotler dan Armstrong, 2007). Berdasar atas konsep
tersebut maka komunikasi internal (internal
communication) adalah penyampaian informasi internal
organisasi (visi, misi, tujuan, prosedur kerja, dan lain-lain)
sehingga dapat sampai secara efektif kepada seluruh
anggota organisasi baik level atasan maupun bawahan.
Melalui komunikasi yang efektif karyawan akan dapat
meningkatkan koordinasinya dengan baik dalam
menghasilkan produk dan melayani konsumen. Studi yang
dilakukan oleh Webster (1993) mengidentifikasi bahwa
dimensi komunikasi internal merupakan dimensi yang valid
sebagai salah satu pengukur variabel budaya pemasaran.
Dimensi Tingkat Inovasi (Innovativeness) Innovativeness
merupakan suatu sifat kepribadian individu dalam
mengadopsi suatu inovasi (Leavitt dan Walton dalam
Boarden dan Netemeyer, 1999). Seorang innovator
digambarkan sebagai individu yang terbuka terhadap
pengalaman maupun stimuli-stimuli baru, sehingga mampu
mengolah informasi dan beradaptasi pada konsep, ide,
produk, maupun service yang baru (Sheth dan Mittal, 2004;
Boarden dan Netemeyer, 1999). Hal ini berarti suatu
organisasi harus inovatif dalam memperbaiki proses bisnis
untuk dapat menghasilkan kinerja yang lebih baik. Dengan
inovasi yang mampu menghasilkan produk, jasa, atau
proses yang lebih baik maka suatu organisasi akan mampu
membangun keunggulan bersaingnya.
2.2. Strategi Untuk Meningkatkan Budaya
Pemasaran
Kinerja budaya pemasaran dalam suatu organisasi telah
diyakini dapat berdampak signifikan terhadap pencapaian
tujuan organisasi. Walaupun penerapan budaya yang
berorientasi kepada pelanggan ini tidak mudah untuk
diimplementasikan akan tetapi juga bukan suatu hal yang
mustahil untuk direalisasikan. Klabunde (2009)
memaparkan langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan kinerja budaya pemasaran dalam suatu
organisasi sebagai berikut:
1. Educate and encourage. Budaya yang berorientasi pada
pelanggan mungkin dirasakan sebagai suatu hal baru
bagi karyawan, sehingga disini pentingnya pemberian
pengetahuan kepada karyawan tentang pentingnya
pelayanan prima serta pentingnya peran mereka dalam
keseluruhan rencana pemasaran organisasi.
2. Define expectations. Setiap karyawan harus mengetahui
dan memahami tugas dan tanggung jawabnya masing-
masing. Artinya masing-masing karyawan harus
mempunyai uraian dan spesifikasi jabatan (job
description/job spesification) yang jelas, sehingga
mereka dapat mengetahui harapan - harapan organisasi
terhadap kinerjanya.
3. Acknowledge and celebrate success. Tahap ini adalah
tahapan yang paling penting dalam mengubah budaya
pemasaran. Adanya pengakuan dan penghargaan dari
organisasi khususnya pimpinan puncak terhadap
karyawan sangat mempengaruhi perubahan budaya
pemasaran.
4. Reward success. Tahap terakhir dari proses mengubah
budaya pemasaran adalah dengan memberikan
penghargaan. Namun penghargaan yang umumnya
bersifat tangible seperti bonus, kenaikan gaji, kenaikan
IRWNS 2013
74
pangkat sebaiknya diberikan setelah ketiga langkah
sebelumnya terlaksana.
3. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Kerangka Pemikiran
Secara umum, kerangka pemikiran yang digunakan
penelitian ini adalah sebagai berikut:
Gambar 1: Kerangka Pemikiran Penelitian
Penelitian ini dimulai dengan mengidentifikasi dimensi-
dimensi budaya pemasaran, yaitu kualitas layanan (service
quality), hubungan pribadi (interpersonal relationship),
tugas penjualan (selling task), organisasi (organisation),
komunikasi internal (internal communication), dan tingkat
inovasi (innovativeness). Dimensi-dimensi yang
teridentifikasi kemudian diukur bagaimana dimensi tersebut
dilaksanakan. Dari pengukuran yang dilakukan kemudian
akan teridentifikasi dimensi yang telah dilaksanakan
dengan baik dan yang kurang baik. Berdasar atas temuan
tersebut dapat digunakan sebagai dasar penyusunan strategi
untuk menerapkan nilai budaya pemasaran dengan lebih
baik, khususnya memperbaiki dimensi yang berkinerja
kurang baik. Dengan pelaksanaan strategi tersebut
diharapkan kemampuan institusi dalam ber”bisnis” akan
semakin efektif, produktif, dan berkelanjutan.
3.2. Operasionalisasi Variabel
Untuk mencapai tujuan penelitian, diperlukan
operasionalisasi variabel. Merujuk pada landasan teori yang
telah dibahas pada bagian studi pustaka, maka
operasionalisasi variabel yang akan digunakan dalam
penelitian ini adalah menggunakan dimensi budaya
pemasaran yang dibangun oleh Webster (Mc Neil, 2001).
Penggunaan dimensi tersebut dengan pertimbangan bahwa
pengujian dimensi tersebut di berbagai research setting
menunjukkan bahwa dimensi tersebut reliabel (Mc Neil,
2001, Boarden dan Netemeyer, 1999).
3.3 Sampel
Webster (dalam Boarden dan Netemeyer, 1999)
mendefinisikan budaya pemasaran sebagai ”the way
marketing things are done in the firm”. Definisi tersebut
menunjukan bahwa budaya pemasaran merupakan segala
tindakan yang berkaitan dengan pemasaran yang dilakukan
oleh anggota suatu organisasi. Merujuk pada pengertian
tersebut maka dosen merupakan pihak yang secara
langsung menjalankan budaya pemasaran di institusi
pendidikan tinggi negeri di Bandung. Sehingga populasi
dalam penelitian ini adalah semua dosen yang
melaksanakan tugas pendidikan dan pengajaran. Adapun
jumlah responden penelitian ini adalah 60 dosen yang
dipilih secara acak.
3.5 Analisa Data
Prosedur yang akan dilakukan dalam menganalisis data
adalah dengan persiapan, tabulasi, dan pengolahan.
Persiapan adalah mengumpulkan dan memeriksa kebenaran
cara pengisian. Kemudian dilakukan tabulasi hasil
kuesioner sesuai dengan penilaian yang telah ditetapkan
dengan menggunakan hasil angka yang didapat. Dimensi
budaya pemasaran yang dibangun oleh Webster (Boarden
dan Netemeyer, 1999) akan dihitung rata-rata kinerjanya
untuk menjawab tujuan penelitian, yaitu mengukur kinerja
pelaksanaan budaya pemasaran.
4. PEMBAHASAN
4.1. Profil Responden
Adapun profil responden dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
Tabel.4.1: Profil Responden
4.2. Hasil Uji Reliabilitas
Dari 60 kuesioner yang kembali dan mendapatkan respon
dengan hasil uji reliabiliti sebagai berikut:
Tabel 4.2: Uji Reliabilitas
Dengan mengacu pada Bryman (2001) bahwa suatu alat
ukur dapat dikatakan reliabel jika koefisien alpha lebih
Gender
35 58.3 58.3 58.3
25 41.7 41.7 100.0
60 100.0 100.0
pria
wanita
Total
Valid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulat iv e
Percent
Reliability Statistics
.833 34
Cronbach's
Alpha N of Items
Masukan
Pengem-bangan
Strategi
Budaya Pemasa-
ran Yang
Efektif
Pengukuran
Kinerja Dimensi
Budaya
Pemasaran
Yang
Teridentifi-
kasi
Identifikasi
Dimensi
Budaya
Kerja
Dimensi
Budaya
Yang Berkinerja
Kurang
Teridentifi-
kasi
1. Kualitas
Layanan 2. Hubungan
Pribadi
3. Tugas Penjualan
4. Organisasi
5. Komunikasi
Internal
6. Tingkat Inovasi
Pelaksa-
naan Strategi
Budaya
Pemasa-ran Yang
Efektif
”Bisnis”
Berhasil
IRWNS 2013
75
besar dari 0.6, maka dari hasil uji reliabiliti diatas tampak
bahwa alat ukur dalam penelitian ini sudah reliabel.
4.3. Hasil Analisa Deskriptif
Analisa deskriptif dilakukan untuk mengidentifikasi dan
mengetahui dimensi marketing culture yang telah
dilaksanakan di instusi dengan baik dan yang kurang baik.
Adapun hasil analisanya sebagai berikut:
Tabel 4.3.1: Descriptive Statistics Terhadap Dimensi
Kualitas Pelayanan
Service Quality N Min Max Mean Std. Dev
Peduli 60 1 5 4.30 0.93
Kesadaran 60 3 5 4.22 0.69
Citra 60 1 5 3.98 1.02
Memenuhi harapan 60 1 5 3.72 0.88
Pengukuran kinerja 60 1 5 3.43 1.11
harapan Kualitas 60 1 5 2.83 1.09
Layanan prima 60 1 5 2.55 0.91
Komitmen 60 1 5 2.47 1.02
Valid N (listwise) 60
Hasil analisa deskriptif diatas menunjukkan untuk dimensi
kualitas pelayanan yang dilakukan sudah baik dalam hal
peduli terhadap kebutuhan pelanggan dan memiliki
kesadaran terhadap pekerjaan secara menyeluruh, artinya
institusi ini sudah memiliki budaya yang positif akan
kualitas layanannya. Akan tetapi dari hasil diatas juga
terlihat bahwa masih rendahnya komitmen dan pernyataan
harapan pimpinan akan kualitas pelayanan, sehingga diduga
dapat menyebabkan pelayanan prima terhadap pelanggan
menjadi tidak optimal. Rendahnya komitmen serta
pernyataan harapan - harapan institusi terhadap kinerja staf,
diduga muncul sebagai dampak dari uraian dan spesifikasi
jabatan (job description/job spesification) yang tidak jelas.
Selain itu juga dalam kenyataannya struktur organisasi yang
seringkali berubah diduga memberikan kontribusi terhadap
rendahnya komitmen pimpinan puncak terhadap kualitas
pelayanan. Perubahan lingkungan yang cepat diduga tidak
dapat diantisipasi dengan mempercepat proses perubahan
organisasi yang secara resmi.
Tabel 4.3.2: Descriptive Statistics Terhadap Dimensi
Hubungan Pribadi
Interpersonal
Relationship N Min Max Mean
Std.
Dev
Nyaman berpendapat 60 1 5 3.22 1.15
Kebijakan terbuka 60 1 5 3.03 1.06
Interaksi 60 1 5 2.83 1.11
Staf penting 60 1 5 2.55 1.05
Peduli staf 60 1 5 2.40 1.08
Valid N (listwise) 60
Hasil analisa deskriptif terhadap hubungan pribadi
menunjukkan bahwa hubungan serta interaksi antara atasan
dan staf di sudah cukup baik dalam hal kenyamanan
berpendapat dan kebijakan yang terbuka. Namun rendahnya
kepedulian pihak manajemen terhadap staf pengajar diduga
mengakibatkan staf merasa tidak dilibatkan dalam
pengambilan keputusan dan bukan bagian penting dari
institusi.
Tabel 4.3.3: Descriptive Statistics Dimensi Tugas
Penjualan
Selling Task N Min Max Mean Std. Dev
Hubungan 60 1 5 4.13 0.87
Keahlian 60 1 5 3.97 0.80
Latih 60 1 5 2.92 0.96
Rekrut tepat 60 1 4 2.88 0.80
Kreatif 60 1 5 2.87 1.05
Insentif 60 1 5 2.85 1.16
Penghargaan 60 1 5 2.78 1.06
Valid N (listwise) 60
Hasil analisa deskriptif terhadap dimensi tugas penjualan
menunjukkan bahwa staf pengajar sudah mempunyai
semangat dalam membina dan menciptakan hubungan baik
dengan pelanggannya baik dengan mahasiswa, industri
maupun masyarakat. Selain itu mereka juga selalu berusaha
mengembangkan kemampuan diri melalui pengajaran,
penelitian maupun pengabdian kepada masyarakat. Namun
perlu ditingkatkan lagi dengan program-program pelatihan,
penghargaan dan insentif yang akan lebih memotivasi
mereka.
Tabel 4.3.4: Descriptive Statistics Dimensi Organisasi
Organization N Min Max Mean
Std.
Dev
Skala prioritas 60 1 5 3.55 1.21
Pengaturan waktu 60 1 5 3.45 1.19
Bekerja teratur 60 1 5 3.13 1.17
Pengaturan staff 60 1 5 2.68 1.00
Perencanaan aktifitas 60 1 5 2.67 0.91
Valid N (listwise) 60
Sistem kerja dan pengaturan staf walaupun dari hasil
analisa deskriptif terlihat sudah cukup baik, namun masih
perlu ditingkatkan lagi terutama dalam hal mengatur
perencanaan aktivitas harian staf.
IRWNS 2013
76
Tabel 4.3.5: Descriptive Statistics Terhadap Dimensi
Komunikasi Internal
Internal
Communications N Min Max Mean
Std.
Dev
Penyampaian harapan 60 1 5 3.05 1.00
Misi & tujuan 60 1 5 2.95 1.03
Standar pelayanan 60 1 5 2.72 1.24
Kebijakan 60 1 5 2.63 0.96
Informasi keuangan 60 1 5 2.58 1.28
Motivasi pelatihan 60 1 5 2.57 1.17
Valid N (listwise) 60
Hasil analisa deskriptif terhadap dimensi komunikasi
internal menunjukkan bahwa hubungan komunikasi internal
staf masih kurang baik, hal ini tampak pada hasil rata-rata
dimensi komunikasi internal yang masih dibawah 3.
Tabel 4.3.6: Descriptive Statistics Terhadap Dimensi
Tingkat Inovasi
Tingkat Inovasi N Min Max Mean
Std.
Dev
Kemajuan teknologi 60 1 5 2.98 1.05
ide 60 1 5 2.97 1.09
Perubahan 60 1 5 2.83 0.94
Valid N (listwise) 60
Dimensi tingkat inovasi berdasarkan hasil analisa deskriptif
menunjukkan bahwa tingkat inovasi dosen masih kurang
baik, hal ini tampak pada hasil rata-rata dimensi
komunikasi internal yang masih dibawah 3. Hasil ini
mengindikasikan bahwa rata-rata dosen masih belum
terbuka terhadap pengalaman maupun stimuli-stimuli baru,
sehingga sulit beradaptasi pada konsep, ide, produk,
maupun service yang baru.
Tabel 4.3.7: Descriptive Statistics Terhadap Setiap Dimensi
Marketing Culture MARKETING CULTURE
N Min Max Mean
Std.
Dev
SERVICE QUALITY 60 1.50 4.50 3.44 0.57
INTERPERSONAL
RELATIONSHIPS 60 1.00 4.80 2.81 0.76
SELLING TASK 60 2.14 4.71 3.20 0.59
ORGANIZATION 60 1.60 4.40 3.10 0.57
INTERNAL
COMMUNICATION 60 1.00 4.17 2.75 0.70
INNOVATIVENESS 60 1.00 4.00 2.93 0.68
Valid N (listwise) 60
Tabel 4.3.8: Descriptive Statistics Terhadap Keseluruhan
Dimensi Marketing Culture
N Min Max Mean
Std.
Dev
MARKETING CULTURE 60 1.86 3.99 3.06 0.43
Valid N (listwise) 60
Apabila dihitung rata-rata untuk setiap dimensi budaya
pemasaran, maka seperti tampak pada tabel diatas dimensi
kualitas pelayanan mempunyai nilai rerata tertinggi dan
dimensi komunikasi internal dengan nilai rerata terendah.
Hasil ini mengindikasikan bahwa budaya pemasaran di
institusi ini sudah cukup baik terutama dalam dimensi
kualitas pelayanan, tugas penjualan dan organisasi.
5. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan ini memberikan gambaran umum dan singkat
mengenai hasil dan pembahasan penelitian:
5.1. Kesimpulan
Kinerja dimensi budaya pemasaran di institusi yang
menjadi objek penelitian ini dipersepsikan sudah cukup
baik terutama dalam dimensi kualitas pelayanan, tugas
penjualan dan organisasi. Akan tetapi masih harus
ditingkatkan bahkan mungkin diubah untuk dimensi
hubungan pribadi, komunikasi internal dan tingkat inovasi.
Peningkatan kinerja dimensi budaya pemasaran diharapkan
akan meningkatkan kinerja penelitian dan pengabdian
kepada masyarakat pada institusi.
5.2. Implikasi / Saran
Walaupun hasil penelitian ini terdapat keterbatasan-
keterbatasan, namun dapat digunakan sebagai dasar
masukan bagi institusi dalam meningkatkan kinerja budaya
pemasarannya. Berikut saran langkah-langkah yang dapat
dilakukan untuk meningkatkan kinerja budaya pemasaran
di institusi:
Memberikan pengetahuan kepada seluruh staf tentang
pentingnya pelayanan prima serta pentingnya peran
mereka dalam keseluruhan rencana pemasaran institusi.
Setiap staf sebaiknya mempunyai uraian dan spesifikasi
jabatan (job description/job spesification) yang jelas
yang mencerminkan harapan - harapan institusi
terhadap kinerjanya.
Memberikan pengakuan dan penghargaan khususnya
pimpinan puncak terhadap staf baik dalam bentuk
ucapan, hadiah, atau jika perlu adakan perayaan disaat
karyawan meraih prestasi guna memotivasi staf lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Aaker, Kumar, dan Day (1998) Marketing
Research. Prenticehall.
[2] Anderson, Elizabeth. 1995. High tech vs High
Touch: a case study of TQM Implementation in
Higher Education. Managing Service Quality. Vol
5.2.Andersen, Tore Wallin. 1994. Satisfaction,
Loyalty, and Reputation as Indicators of Customer
Orientation in the Public Sector. International
Journal of Public Sector Management. MCB
University Press.
IRWNS 2013
77
[3] Bell, DR dan Shieff, DSE. 1994. Managing Service
Quality for Improved Competitive Performance.
New Zealand Journal of Business.
[4] Boarden,William O. Dan Netemeyer Richard C..
1999. Handbook of Marketing multivariate
measures for marketing and consumer behavior
research. 2nd ed. California:SAGE Publications
Inch.
[5] Buchbinder, Howard. 1993. The Market Oriented
University and the changing role of knowledge.
Higher education. Vol. 26.
[6] Bryman, A., 2001. Social research methods. New
York, Oxford University Press Inc.
[7] Caruana, Albert; Ramashesan, Ewing Michael. 1997.
Market orientation and Performance: A study of
Australian Universities, Otago University, New
Zealand.
[8] Conway, Tony, Mackay, Stephen, dan Yorke, David.
1994. Strategic Planning in Higher Education: Who
are the customer?”. International Journal of
Educational Management. Vol. 8. no. 6.
[9] Dikti. 2003. Rencana Strategis 2003-2010.
[10] Esslemont, Don dan Lewis, Tony. 1993. Some
Empirical Teats of the Marketing Concept.
Marketing Bulettin, vol.2.
[11] Fitzsimmons, J., A., And Fitzsimmons, M., J., 1994,
Service Management for Competitive Advantage,
International Edition, Singapore: McGraw-Hill.
[12] Gilmore, A., 2003. Services, Marketing and
management. London: SAGE Publications.
[13] Goldman, Burt. 2008. The power of selfmind
control. Available at
http://www.selfmindcontrol.com/
[14] Gronroos, C., 2001. Service management and
marketing: A customer relationship management
approach. 2nd
ed. Chichester: Wiley.
[15] Ingram, Thomas N.,Raymond W.Laforge, Ramond
decision making. Ohio: Thomson.
[16] Keegan, Warren. 1999. Global Marketing
Management. 6th
Edition. Prentice Hall.
[17] Kandampully, J., 2002. Service Management: The
new paradigm in hospitality. Elsternwick:
Hospitality Press. [18] Kandampully, Jay dan Suhartanto, Dwi. 2003.
Customer Loyalty in the Hotel Industry: the Role of
Customer Satisfaction and Image, International
Journal of Contemporary Hospitality
Management, vol. 12, 6.
[19] Klabunde (2009) Marketing Culture. Journal of the
Society for Marketing Professional Services.
9(10), 6-7.
[20] Kohli, Ajay dan Jaworski, Bernard. 1990. April.
Market orientation: The Construct, Research,
Propositions, and managerial Implication. Journal
of Marketing. Vol 54.
[21] Kotler, Philip dan Armstrong, Gary. 1999.
Principles of Marketing. 8th
Edition. Prentice Hall.
[22] Kotler, Philips dan Armstrong, Gary.2007.
Principles of Marketing, 11th Edition. Pearson
Education International.
[23] [24] Kotler, Philip. 2000. Marketing Management.
Millenium Edition, Prentice Hall.
[24] [25] Kueh, Karen and Voon, Boo Ho .2007. Culture
and service quality expectations:Evidence from
Generation Y consumers in Malaysia. Managing
Service Quality. Vol. 17 No. 6, pp. 656-680
[25] [26] Lewis, Ralp dan Smith, Douglas. 1997. Why
Quality Improvement in Higher Education.
International Journal of Continoues Improvement
Monitor. Vol.1. 2.
[26] [27] Long, M. And Mcmellon, C. 2004. Exploring the
determinants of retail service quality on the Internet.
Journal of Services Marketing, 18(1),78-90.
[27] [28] McNamara, Neil. 2006. Field guied to consulting
and organizational management. Authenticity
Consulting, LLC.
[28] [29] McNeil, Margaret. 2001. The reliability of
Webster‟s marketing culture instrument:some western
Australian findings.Asian Pasific Journal of Marketing
and Logistics, 13 (4),66-78
[29] [30] Parasuraman, A. (1987) Customer-oriented
corporate cultures are crucial to services marketing
success. Journal of Marketing. 1(1)
[30] [31] Porter, Michael. 1990. Competitive Advantage.
Free Press.
[31] [32] Purwihartuti, Koernia; Karnawati, Hennidah
(2003) Pengaruh budaya organisasi terhadap kepuasan
kerja studi kasus di bidang Tata niaga Politeknik
Negeri Bandung. Jurnal Ekonomi dan Bisnis. Vol.
III.1.April.
[32] [33] Saunders, M., Lewis, P., dan Thornhill A., 2003.
Research methods for business. 3rd
ed . Harlow :
Financial Times Prentice Hall
[33] [34] Sheth, Thomas N. dan Mittal, Banwari.
Customer Behavior: a managerial perspective. 2nd
ed.Ohio: Thomson
[34] [35] Siu, Noel dan Wilson, Richard. 1998. Modeling
Market orientation: An application In the Education
Sector. Journal of Marketing Management. 14,
293-323.
[35] [36]Suhendro, Bambang. 1996. Kerangka
Pengembangan Pendidikan Tinggi Jangka
Panjang. 1996-2005. DIKTI.
[36] [37] Suyanto. 2003, Sabtu, 10/10. Semua Jenjang
Pendidikan harus Diakreditasi. Kompas.
[37] [38]Slater, Stanley dan Narver, John (1994) Does
Competitive Environment Moderate the Market
orientation-Performance Relationship?. Journal of
Marketing. Vol 58.
[38] [39]Zeithaml, V.A And Bitner, M.J., 2003. Service
marketing: Integrating customer focus across the
firm. 3rd
International ed. London: McGraw-Hill.
IRWNS 2013
78
MAKANAN DAN HIBURAN DAERAH SEBAGAI ATRAKSI WISATA
MENJADI PROSPEK BISNIS UNTUK MENINGKATKAN PAD
(Suatu Survey Pada Wisatawan Di Bandung Raya)
Rahma Wahdiniwaty
Program Studi Magister Manajemen,Universitas Komputer Indonesia, Bandung
E-mail : [email protected]
ABSTRAK
Pariwisata adalah salah satu sektor industri yang dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pada umumnya
Wisatawan datang selain berwisata dan berbelanja tidak pernah lupa melakukan wisata kuliner untuk mencoba makanan khas
daerah destinasi ataupun melihat hiburan lokal budaya daerah. Bandung Raya potensial dijadikan daerah tujuan
wisata.Tujuan penelitian ini untuk mengetahui tanggapan wisatawan tentang makanan dan hiburan daerah, prospek dalam
meningkatlan PAD dan implementasi manajerial dalam membangun wisata kulinerdan hiburan daerah sebagi atraksi
wisata.Metode penelitian yang digunakan adalah metode survey, dengan menggunakan analisis deskriptif. Sampel diambil
dengan tehnik pengambilan sampel menggunakan Stratified Random Sampling sebanyak 506 wisatawan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa tanggapan wisatawan tentang makanan dan hiburan daerah sebagai atraksi wisata di wilayah Bandung
Raya memiliki daya tarik bagi wisatawan, memiliki prospek bisnis untuk meningkatkan PAD meskipun tingkat pertumbuhan
dari tahun ke tahun mengalami naik turun, perlu membangun combination of marketing strategies ―product-market‖
Kata Kunci Makanan/minuman daerah (kuliner), hiburan daerah
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Pariwisata adalah salah satu sektor industri yang dapat
meningkatkan PAD. Menurut Edi Siswadi, (2010:10)
Kawasan Perkotaan Bandung Raya adalah kawasan
metropolitan yang berada di Provinsi Jawa Barat
merupakan salah satu Pusat Kegiatan Nasional (PKN) yang
berfungsi sebagaipusat kegiatan nasional dan pintu gerbang
menuju kawasan internasional .
Berdasarkan data BPS Indonesia, Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB) industri pariwisata (mencakup jasa
hotel, restoran, hiburan dan rekreasi) wilayah Bandung
Raya atas dasar harga konstan 2000 dari tahun 2003-2009
menunjukkan kecenderungan terus mengalami peningkatan
dari tahun ke tahun, dan tingkat pertumbuhaan dari tahun
ke tahun juga terus meningkat. Namun hal tersebut hanya
didasarkan pada PDRB di kota Bandung yang tingkat
pertumbuhannya dari tahun ke tahun terus
meningkat.Sedangkan, kota/kabupaten lain di wilayah
Bandung Raya tingkat pertumbuhannya justru cenderung
menurun.
Wilayah Bandung Raya sebagai salah satu kawasan yang
memiliki potensi destinasi wisata berbagai bentuk atraksi
yang memiliki daya tarik wisatawan untuk dikunjungi.
Pada umumnya wisatawan saat datang ke destinasi wisata
selain berwisata dan berbelanja mereka tidak pernah lupa
melakukan wisata kuliner untuk mencoba makanan khas
daerah destinasi ataupun melihat hiburan lokal budaya
daerah destinasi tersebut. Menurut Karim (2006: 17, 30)
secara umum, tampaknya makanan memberikan pengaruh
yang signifikan secara keseluruhan kesan wisatawan
dengan kepuasan ke tempat tujuan (destinasi).Dengan
demikian, makan selama liburan menjadi faktor penting
bagi wisatawan. Sebagai contoh, ini akan menjadi waktu
terbaik bagi mereka untuk bersosialisasi dengan anggota
keluarga lainnya jika mereka di liburan keluarga.
1.2 Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui tanggapan wisatawan tentang
makanan dan hiburan daerah sebagai atraksi wisata di
wilayah Bandung Raya.
2. Untuk mengetahui prospek bisnis makanan dan hiburan
daerah di wilayah Bandung Raya sehingga mampu
meningkatkan PAD.
3. Implementasi manajerial dalam membangun makanan
dan hiburan daerah sebagai atraksi wisata di wilayah
Bandung Raya.
2. KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN
DAN HIPOTESIS
2.1 Kajian Pustaka
Menurut Hall dan Mitchell (2006:137-138) kebutuhan akan
makanan menjadi faktor utama dalam mempengaruhi
perilaku perjalanan dan pengambilan keputusan, sebagai
bentuk perjalanan wisata minat khusus termasuk makanan
yang menggambarkan sebagaiculiner, gastronomi,
gourment, atau cuisine, sehingga mencerminkan minat
konsumen dalam makanan dan minum sebagai perjalanany
IRWNS 2013
79
ang serius (Hall dan Mitchell, 2001). Makanan dan
minuman daerah wisata menjadi area pertumbuhan yang
cepat dalam pariwisata dan pengembangan produk wisata.
Dalam prespektif konsumen, makanan adalah sebuah
intergal dalam kehidupan sehari-hari dan pengalaman
perjalanan (Hall dan Mitchell, 2003).
Esu (2009 :116) dalam penelitiannya diungkapkan wisata
budaya dan warisan dapat digunakan sebagai alat untuk
meningkatkan perekonomian lokal dan memiliki potensi
untuk membantu dalam penyebaran musiman dan geografis
wisata (seperti Long dan Perdue, 1990).
2.1 Kerangka Pemikiran
Bandung Raya sebagai wilayah metropolitan berada di
tengah-tengah posisi provinsi Jawa Barat dan dekat dengan
ibukota negara Republik Indonesia,ibukota Jakarta.
Bandung menjadi potensi destinasi bagi wisatawan.
Persepsi wisatawan tentang destinasi wisata menjadi salah
satu tolak ukur bagi pemerintah daerah dalam upaya
merancang strategi pemasaran destinasi yang mampu
berdaya saing untuk menarik wisatawan datang dan
menginap sehingga dapat meningkatkan PAD.
Salah satu hal yang tidak pernah dilupakan bagi wisatawan
selain berwisata juga ingin menikmati makanan/minuman
khas daerah atau biasa disebut dengan kuliner. Selain itu
juga hiburan daerah sebagai ciri khas yang ingin diketahui
eh wisatawan.
Menurut Cakici dan Harman (2007:138) makanan dan
hiburan lokal mencakup keberadaan otlet makanan dan
minuman lokal, keberadaan hiburan lokal.
3. METODE PENELITIAN
Sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, maka digunakan
jenis atau tipe penelitian, yaitu : penelitian deskripif.
Penelitian deskriptif pada dasarnya untuk memperoleh
deskripsi tentang ciri-ciri objek yang diteliti .Hal ini
didasarkan pada teknik total skor dalam persentase (%)
.
Tabel 1: Kriteria Skor Total
Ukuran sampel sebanyak 506 wisatawan. Tehnik
pengambilan sampel dengan Stratified Random Sampling
didasarkan pada Hotel Bintang Lima, Empat, Tiga, Dua,
Satu, Hotel Melati 1,2,3 dan Non Melati.
Data yang diperlukan adalah data primer dan
sekunder.Teknik pengumpulan data: data sekunder,
wawancara, observasi dan kuesioner.
4. PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
4.1 Tanggapan Wisatawan Tentang Makanan dan
Hiburan Daerah Sebagai Atraksi Wisata Di
Wilayah Bandung Raya
Tabel 3: Makanan dan Hiburan Daerah di Bandung Raya
menurut Wisatawan
Keterangan Skor Total
Kriteria Total %
Keragaman pilihan tempat
makan/minum khas daerah 1861 73.6 Beragam
Keragaman makanan khas daerah 1812 71.6 Beragam
Keragaman hiburan lokal budaya
daerah 1665 65.8
Cukup
Beragam
Kemenarikan hiburan lokal budaya
daerah 1727 68.3 Menarik
Makanan dan Hiburan Daerah 7065 69.8
Memiliki
daya tarik
Sumber : Hasil Penelitian Tahun 2011
Berdasarkan tabeldi atas menunjukkan bahwa keberadaan
makanan dan hiburan daerah di wilayah Bandung Raya ini
memiliki daya tarik bagi wisatawan. Menurut wisatawan
bahwa di wilayah Bandung Raya terdapat beragam pilihan
tempat dan jenis makanan/minuman khas daerah.
Pengunjung yang datang tidak hanya masyarakat kota
Bandung tetapi banyak juga wisatawan yang datang. Ada
juga wisatawan mancanegara. Pada umumnya wisatawan
selain berwisata, berbelanja juga ingin melakukan kuliner
dan merasakan makanan khas Sunda.
Selain itu, menurut wisatawan bahwa hiburan lokal budaya
daerah di wilayah Bandung Raya cukup beragam dan
menarik. Wisatawan mengatakan cukup beragam karena
mereka jarang melihat hiburan lokal budaya daerah secara
langsung tetapi melalui sebuah media elektronik misalnya
televisi. Kondisi ini perlu menjadi perhatian pihak
pemerintah untuk mengembangkan hiburan lokal budaya
daerah.
Wilayah Bandung Raya ini memiliki potensi pariwisata
yang bagus. Salah satu keunikan yang harus ditonjolkan
adalah hiburan lokal budaya daerah. Berdasarkan data dari
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan provinsi Jawa Barat
tahun 2009 di wilayah Bandung Raya memiliki potensi
kesenian yang beragam, seperti yang terlihat pada tabel di
bawah ini.
No. Interval Skor
Total (%)
Kategori
1 20 - 35 Sangat tidak memiliki daya tarik
2 36 - 51 Tidak memiliki daya tarik
3 52 - 67 Cukup memiliki daya tarik
4 68 - 83 Memiliki daya tarik
5 84 - 100 Sangat memeiliki daya tarik
IRWNS 2013
80
Tabel 4: Data Potensi Kesenian Di Bandung Raya Tahun
2009
Sumber: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jabar
(2009)
Dengan demikian potensi kesenian daerah atau hiburan
lokal budaya daerah di wilayah Bandung Raya perlu lebih
dikembangkan.
Dalam upaya meningkatkan atraksi hiburan lokal budaya
daerah, perlu lebih mengintensiteskan kegiatan atau even
hiburan lokal budaya daerah wilayah Bandung Raya. Selain
itu, penyediaan tempat-tempat pagelaran serta mengajak
pengelola rumah makan khas daerah, hotel-hotel untuk
menyelenggarakan kegiatan hiburan budaya daerah yang
dapat bekerja sama.
4.2 Prospek Bisnis Makanan dan Hiburan Daerah di
Wilayah Bandung Raya dalam Meningkatkan
PAD
Tabel 5: PDRB Sektro Pariwisata (Restoran, Hiburan &
Rekreasi) Di Wilayah Bandung Raya Atas Dasar Harga
Berlaku Tahun 2003-2009 (Juta Rupiah)
BANDUNG RAYA
Tahun Jumlah (Rp)
Pertumbuhan
(%)
2003 2,030,192.29 -
2004 2,333,537.05 14.94
2005 2,796,726.18 19.85
2006 3,230,481.14 15.51
2007 3,657,214.50 13.21
2008 4,309,948.66 17.85
2009 4,987,772.45 15.73
Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat (Hasil Olah)
Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa PDRB
sektor pariwisata yang mencakup makanan/minuman
(restoran) dan hiburan di wilayah Bandung Raya dari tahun
2003-2009 terus meningkat. Kondisi ini menunjukkan
bahwa makanan/minuman dan hiburan daerah memiliki
prospek bisnis untuk meningkatkan PAD, .meskipun jika
dilihat tingkat pertumbuhan dari tahun ke tahun mengalami
naik turun. Untuk itu pemerintah daerah kota/kabupaten di
wikayah Bandung Raya perlu memikirkan strategi
pemasaran destinasi mengenai potensi kuliner dan hiburan
daerah.
4.3 Implementasi manajerial dalam membangun
makanan dan hiburan daerah sebagai atraksi
wisata di wilayah Bandung Raya.
Produk destinasi wisata yang ditawarkan harus memberikan
manfaat perubahan dengan perubahan kebutuhan dan
permintaan pelanggan. Menurut Stankovi ,Petrovic
(2007:15) pelaksanaan strategi pemasaran dari manajemen
destinasi perlu keterlibatanl engkap dengan membawa
rencana optimasi mengenai penggunaan sumber daya
destinsi wisata yang baik serta mengembangkan taktik
untuk realisasi tujuan destinasi wisata pembangunan yang
berkelanjutan. Hubungan produk-pasar pada destinasi
wisata kota dapat menggunakan salah satu dari empat
strategi berikut
Gambar 1: A combination of marketing strategies ―product-
market‖
Sumber: Stankovi ,Petrovic (2007:15)
Menurut peneliti empat strategi tersebut dapat dilakukan
dengan sebagai berikut:
1. Market penetration
Melakukan koordinasi yang dilakukan secara continue
pada para pemangku kepentingayang berperan dalam
pelaksanaan pembangunan yang biasa disebut 5P yaitu
1) public sector atau pemerintah; 2) private sector atau
pengusaha; 3) professional atau pakar, 4) people atau
rakyat, dan 5) press atau media (Dyayadi .2008:127).
2. Product development
Pembinaan industri kreatif.“Kota Bandung dikenal
dengan generasi mudanya yang kreatif dan berani
berekperimen dengan gagasan-gagasan inovatif”
(Simatupang, 2007:15). Untuk itu perlu dikembangkan
Kota/
Kabupaten
Potensi Kesenian
Kota Bandung
Benjang, Angklung, Jaipongan,
Prakpilingkung, Marakdungga, Tembang
Sunda, Upacara Adat, Reak, Pantun Buhun, Tembang, Kecapi Suling, Celempung, Degung,
Debus, Gondang, Kliningan, Jenaka Sunda, Pencak Silat, Tayub, Wayang Golek, Reog,
Arumba, Cianjuran, Calung, Kuda Lumping,
Sendratari, Lonser
Kabupaten Bandung
Badud, Ujungan, Longser, Beluk, Wayang Golek, Debus, Badawang, Gamelang Renteng,
Terbang, Bangkong Reang, Bangkong Ciseke,
Wawacan, Calung, Benjang, Jenaka Sunda, Rudat, Celempungan, Reog, Dog Dog Lojor,
Gondang, Gambang, Jaipongan, Pantun,
Kiliningan, Degung, Kuda Lumping, Kecapi Suling, Pencak Silat, Sandiwara, Seni Rupa,
Lukisan Khs Jelekong, Angklung Buncis,
Cianjuran.
Kota Cimahi Wayang Ibuk, Wayang Cepak, Benjang,
Jaipongan, Kecapi Suling, Calung, Degung
Kabupaten Sumedang
Genjring, Buncis/Reak, Kuda Renggong,
Bangreng, Tari Umbul, Lais, Celempungan, Pantun Beton, Genggong, Tari Topeng
Kasumedangan, Kacapi, Tempang/Cianjuran,
Mapag Panganten, Terebang, Tarawangsa, Tayub
IRWNS 2013
81
kreativitas masyarakat wilayah Bandung Raya untuk
membangun keunikan sebagai daya tarik wisatawan
menghabiskan dananya untuk wisata kuliner di wilayah
Bandung Raya
3. Market development
Pengembangan wisata di pesisir kota Bandung di
Kabupaten Bandung yang memiliki banyak tempat
wisata, memiliki areal perkebunan dan agrobisnis pada
kawasan bagian Selatan seperti Pengalengan dan
Ciwidey serta memiliki wisata alam di antaranya Kawah
Putih di Ciwidey, Situ Patenggang di Pengalengan.
Selain itu, pada tahun 2009 dari data Dinas Pariwisata
dan Kebudayaan provinsi Jawa Barat, Kabupaten
Bandung tercatat memiliki wisata alam terbanyak di
wilayah Bandung Raya yaitu sebanyak 32 tempat
wisata alam. Potensi lain yang dapat dikembangkan
adalah kampung adat kesenian budaya daerah. Hal ini
dapat dikembangkan dengan bekerja sama masyarakat
setempat dan organisasi kesenian daerah kabupaten
Bandung. Organisasi kesenian di Kabupaten Bandung
tercatat tahun 2009 sebanyak 199 organisasi kesenian.
Pengembangan kota Cimahi memiliki berapa potensi
wisata yang dapat dikembangan dengan menarik
investor diantaranya makam Wirasuta, makam Rd.
Nurkarim, Situs Cibaligo, makan Ageung Leuwi Gajah,
makam Cibodas, Kampung Adat. Selain itu, industri
makanan olahan merupakan produk unggulan Kota
Cimahi, diantaranya bandrek Cihanjuang yang
pemasarannya sudah lintas negara. Kesenian daerah dari
kota Cimahi juga dapat dikembangan dengan
bekerjasama dengan organisasi kesenian, yang tercatat
tahun 2009 dari data Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
provinsi Jawa Barat sebanyak 69 organisasi kesenian.
4. Diversification
Pengembangan wisata pendidikan di wilayah Kabupaten
Sumedangseperti di daerah Jatinangor ada beberapa
perguruan tinggi, Rancaekek dan Cicalengka banyak
industri besar yang dapat digunakan sebagai wista
pendidikan.
Kabupaten Sumedang memiliki potensi wisata cagar
budaya dan museum terbanyak di kota/kabupaten
wilayah Bandung Raya, tercatat tahun 2009 data Dinas
Pariwisata dan Kebudayaan provinsi Jawa Barat
sebanyak 102 cagar budaya dan 26 museum serta
makanan khas daerah sebagai oleh-oleh. Kabupaten
Sumedang mempunyai ciri khas sebagai kota kuno khas
di pulau Jawa yaitu alun-alun sebagai pusat kota yang
dikelilingi Masjid Agung, rumah penjara dan kantor
pemerintahan. Potensi produk unggulan seperti umbi
Cilembu,peuyeum, tahu Sumedang, senapan angin serta
ukiran dari bambo dan kayu dikembangkan dengan
membangun simpul-simpul ekonomi untuk produk khas
tersebut. Potensi wisata yang menjadi andalan adalah
wisata sejarah, seperti museum Geusan Ulun, situ
gunung Tampomas, situ gunung Lingga, serta makam
pahlawan nasional Tjoet Nyak Dhien. Saat ini sedang
dikembangkan perkampungan tradisi Kampung
Kasumedangan yang menonjolkan perkampungan khas
Sunda. Perencanaan pemerintah daerah kabupaten
Sumedang tersebut sangat baik.
5. SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
1. Tanggapan wisatawan tentang makanan dan hiburan
daerah sebagai atraksi wisata di wilayah Bandung
Rayamemiliki daya tarik bagi wisatawan. Beragam
pilihan tempat dan jenis makanan/minuman khas
daerah.Hiburan lokal budaya daerah di wilayah
Bandung Raya cukup beragam dan menarik.
2. Makanan/minuman dan hiburan daerah di wilayah
Bandung Raya memiliki prospek bisnis untuk
meningkatkan PAD yang didasarkan pada PDRB sektor
pariwisata yang mencakup makanan/minuman
(restoran), hiburan dan rekreasi di wilayah Bandung
Raya terus meningkat, meskipun tingkat pertumbuhan
dari tahun ke tahun mengalami naik turun.
3. Implementasi manajerial dalam membangun makanan
dan hiburan daerah sebagai atraksi wisata di wilayah
Bandung Rayadengan menggunakan combination of
marketing strategies ―product-market‖
5.2 Saran
1. Pengembangan tempat-tempat wisata yang belum
banyak dikunjungi wistawan dan diselenggarakannya
even-even makanan (kuliner) dan hiburan lokal atau
kesenian daerah.
2. Seluruhpemangku kepentingandiperlukan proaktifdan
kerjasamamelalui komunikasi multilateral secara
terbuka dengan para pelaku dalam destinasi wisata
mendekati merekaberbagai kelompok stakeholder, baik
internal maupun eksternal, dan melibatkan mereka
dalamproses pengambilan keputusan sehingga mampu
mengembangkan deferensiasi produk destinasi wisata
yang unik dan unggul dalam daya saing yang sesuai
dengan tuntutan wisatawan.
3. Merancang bisnis plan dalam pelaksanaancombination
of marketing strategies ―product-market‖
UCAPAN TERIMA KASIH
1. Rektor UNIKOM, Dr. Ir. Eddy Soeryanto Soegoto
2. Dekan Pascasarjana UNIKOM, Dr. Ir. Herman Soegoto,
MBA
3. Ketua Program Studi Magister Manajemen, Dr.
Ir.Deden A. Wahab, M.Si.
4. Prof. Dr. H. Yuyus Suryana, SE.,MS.
5. Prof. Dr. H. Suryana Sumantri, S.PSI.,MT
6. Prof. Dr. Hj. Dwi Kartini, SE.,M.Si.,Spec.Lic.
7. Prof. Dr. H. Sucherly, SE.,MS.
IRWNS 2013
82
DAFTAR PUSTAKA
[1] Çakici, A Celil., Harman, Serhat., 2007, Importance
Of Destination Attributes Affecting Destination
Choice Of Turkish Birdwatchers,Journal of
Commerce & Tourism Education Faculty, Year: 2007
No: 1, Ticaret ve Turizm Egitim Fakültesi Dergisi Yıl:
2007 Sayı: 1, page 131-145. Melalui
<http://www.ttefdergi.gazi.edu.tr/makaleler/2007/Sa
yi1/131-145.pdf>[04/17/10].
[2] Dyayadi, 2008, Tata Kota Menurut Islam, Konsep
Pembangunan Kota Yang Ramah Lingkungan,
Estetik dan Berbasis Sosial, Jakarta : Khalifa
(Pustaka Al-Kautsar Group), ISBN : 978-979-1164-
08-5.
[3] Edi Siswandi, 2010, Pengembangan Regional
Kawasan Bandung, Cekungan Studi Kasus
Program Bandung Ecotown, Disajikan pada
kegiatan “Japan-Indonesia Local Administration
Seminar” Institut Pemerintahan Dalam Negeri,
Jatinangor, hal. 1-17,
<http://www.ipdn.ac.id/seminar_internasional/edi_sis
wadi.pdf>, [10/01/11].
[4] Esu, Bassey Benjamin., 2009, Tourists’ Satisfaction
with Cultural Tourism Festival: a Case Study of
Calabar Carnival Festival, Nigeria. International
Journal of Business and Management, Vol. 4,No.3,
March, page 116-125. Melalui
<http://www.ccsenet.org/journal/index.php/ijbm/articl
e/view/274/21> [05/13/10].
[5] Hall, C Michael., Mitchell, Richard., 2006,
Gastronomy, food, and wine tourism, Tourism
Business Frortiers, consumer product dang industry,
Elsevier, Edited by Dimitrios Buchales and Carlos
Costa, page 137-147.
[6] Karim, Shahrim AB., 2006,Culinary Tourism As A
destination Attraction : An Empirical Examination
Of The Destination’s Food Image And
InformationSources, Submitted to the Faculty of the,
Graduate College of the Oklahoma State University in
partial fulfillment of the requirements for the Degree
ofDoctor Of Philosophy , page 1-177, Juli. Melalui
<http://digital.library.okstate.edu/etd/umi-okstate-
1962.pdf>[04/23/10].
[7] Kotler, Phillip., Keller, 2012, Marketing
Management, 14e Global Edition,Pearson
International Edition, USA : Pearson Prentice Hall,
ISBN-13: 978-0-273-75336-0 ISBN-10:0-273-75336-
3.
[8] Kotler,Philip.,Bowen,John T.,Makens,James C., 2010,
Marketing for Hospitality and Tourism, Fourth
Edition, New Jersey : Pearson Education.Inc.
[9] Murphy, Peter., Pritchard, Mark P., Smith, Brock.,
2000, The destination product and its impact on
traveller perceptions, Tourism Management 21
(2000), page 43-52, Melalui
<http://113.212.161.150/elibrary/Library/Tourism_M
anagement/Murphy_The-destination.pdf>[10/24/10].
[10] Olivia Josefien Lalamentik, 2009, Dampak Pola
Pengembangan Keterpaduan Komponen Produk
Wisata Terhadap Peningkatan Pendatan
Pemerintah dan Masyarakat Di Provinsi Sulaewsi
Utara, Jurnal Analisis, Maret, Vol. 6 No. 1, hal.47-54,
ISSN 0852-8144,
http://pasca.unhas.ac.id/jurnal_pdf/an_6_1/6.1.05_Oli
via_JLKomponen%20Produk%20Wisata.pdf[02/24/1
2].
[11] Sekaran Uma.,Bougie, Roger., 2010, Research
Method For Business, A Skill Building Approach,
5th Edition, John Willey & Sons. Inc. , ISBN 978-0-
470-74479-6 (pbk.).
[12] Schiffman,Leon G., Kanuk,Leslie Lazar.,
Wisenblit,Joseph., 2010,Consumer Behavior, Tenth
Edition, USA: Pearson Prentice Hall.
[13] Stanković, Ljiljana., Petrović, Jelena., 2007,
Marketing Of Tourism Destination Of Nis,Series:
Economics and Organization Vol. 4, No 1, pp. 9 – 20,
http://facta.junis.ni.ac.rs/eao/eao200701/eao200701-
02.pdf. [23/10/10]
<http://facta.junis.ni.ac.rs/eao/eao200901/eao200901-
03.pdf>[05/18/10 ].
[14] _______,2003-2009, PDRB Kabupaten/Kota Di Jawa
Barat Menurut Lapangan Usaha 2003-2009, BPS
Provinsi Jawa Barat kerjasama dengan Badan
Perencanaan Daerah Provinsi Jawa Barat.
[15] _______,2003, Buku Pariwisata dan Kebudayaan
Jawa Barat Dalam Angka Tahun 2003.
[16] _______, 2004-2007, Buku Pariwisata dan
Kebudayaan Jawa Barat Dalam Angka Tahun 2004-
2007.
[17] _______, 2008 dan 2009, Buku Pariwisata dan
Kebudayaan Jawa Barat Dalam Angka Tahun 2008
dan 2009.
[18] _______, 2005, Instruksi Presiden (Inpres) RI No. 16
tahun 2005 Tentang Kebijakan Pembangunan
Kebudayaan Dan Pariwista, Presiden RI, Melalui
<http://www.budpar.go.id/filedata/1138_1266INPRE
S1605.pdf>[02/17/11].
[19] _______, 2009, UU RI No. 10 Tahun 2009 tentang
Kepariwisataan, Melalui
<http://www.budpar.go.id/filedata/4636_1364UUTent
angKepariwisataannet1.pdf>[02/17/11].
[20] _______, 2010, Peraturan Daerah Nomor 22 Tahun
2010 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Tahun
2009-2029,
Melalui<http://www.pikiranrakyat.com/ffarm/www/fi
ledownload/2010/12/Perda%20no%2022%202010%2
0ttg%20RTRWP%20jabar%202009-
2029.pdf>[02/27/11].
[21] _______, 2010, Peraturan Daerah Nomor 22 Tahun
2010 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi
Jawa Barat Tahun 2009-2029, Lampiran III, Melalui
<http://www.pikiranrakyat.com/ffarm/www/filedownl
oad/2010/12/Lampiran%20III-VII-VI-
VIII.pdf.>[02/27/11].
IRWNS 2013
83
Analisis Sikap Mahasiswa Dalam Memutuskan Memilih Pts SEBAGAI
DAMPAK DARI SUMBER KOMUNIKASI
(Studi Pada Mahasiswa Unikom Angkatan 2007/2008)
Trustorini Handayani
Prodi Manajemen, Universitas Komputer Indonesia, Bandung
E-mail : [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis Sikap mahasiswa dalam memutuskan memilih PTS UNIKOM Bandung, suatu
studi kasus pada mahasiswa UNIKOM Angkatan 2007/2008, sebagai dampak dari Sumber komunikasi dalam hal ini adalah
Unikom. mengingat pada perkembangannya sejak berdiri pada tahun 2000, Unikom selalu diminati calon mahasiswa.
Penelitian ini bersifat verifikatif maka metode penelitian yang digunakan adalah metode explanatory survey.Analisis dalam
penelitian ini menggunakan Structural Equation Modeling (SEM).
Populasi dalam penelitian adalah mahasiswa UNIKOM Bandung angkatan 2007/2008. Teknik Sampling yang digunakan yaitu
Cluster Samplingdengan pengambilan sampel gugus bertahap, sebagai gugus pertama adalah fakultas-fakultas yang terdiri dari
6 Fakultas, dan 23 Program Studi /jurusan sebagai gugus kedua, kemudian dihitung sampel dari masing-masing prodi/jurusan.
Pengumpulan data dilakukan dengan teknik observasi, wawancara dan kuesioner . Kuesioner disebarkan kepada 100 responden
yang tersebar di tiap fakultas dan jurusan/prodi. Hasil penelitian menunjukkan bahwaSumber komunikasi memiliki kontribusi
yang sangat besar terhadap sikap mahasiswa angkatan 2007/2008 dalam memutuskan mengikuti pendidikan di PTS Unikom
Bandung. Sumber/komunikator sendiri dijelaskan oleh indikator kredibilitas, daya tarik dan kekuatan. Dari ketiga indikator
yang menjelaskan sumber/komunikator, hasil penelitian menunjukkan bahwa indikator kredibilitas yang paling dominan
khususnya pada atribut status lembaga terakreditasi.Untuk sikap yang dijelaskan oleh kognisi, afeksi dan konasi, hasil
penelitian menunjukkan yang paling dominan adalah afeksi.dan yang paling rendah yang menjelaskan sikap adalah kognisi
sedangkan untuk konasi lebih tinggi nilainya dibandingkan kognisi dalam menjelaskan sikap mahasiswa Angkatan
2007/2008 dalam memutuskan memilih PTS UNIKOM Bandung .
Kata Kunci
Sikap, afeksi, konasi, kognisi, sumberkomunikasi
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dewasa ini kebutuhan akan pendidikan pada masyarakat
kita semakin tumbuh dan berkembang dengan baik. Hal ini
menjadikan para entrepreneur di bidang pendidikan mulai
menangkap peluang untuk membuat suatu Lembaga
Pendidikan yang nantinya akan dapat menampung
masyarakat yang membutuhkan..Dengan kondisi tersebut
mengakibatkan adanya persaingan di dunia pendidikan
antara Perguruan Tinggi Swasta (PTS) dengan Perguruan
Tinggi Swasta (PTS) maupun Perguruan Tinggi Swasta
(PTS) dengan Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Berdasarkan
data dari Departemen Pendidikan nasional Direktorat
Jenderal Perguruan Tinggi, 2007 menunjukkan bahwa
perkembangan PTS di Indonesia sangatlah tinggi terutama
untuk Kopwil IV. Tetapi pada akhir-akhir ini banyak PTS
yang mengalami kemunduran dalam menjaring mahasiswa
untuk menjadi bagian dari PTS tersebut. Lebih lanjut
Koordinator KOPERTIS Wilayah IV Jawa Barat & Banten
mengemukakan :
”Terdapat Lima Perguruan tinggi Swasta (PTS) di Jawa
Barat dan Banten mengajukan penutupan Program Studi
(Prodi)dan 17 PTS sudah tidak sanggup lagi melanjutkan
prodi yang dimilikinya. Usulan penutupan, karena
Perguruan Tinggi bersangkutan minim peminat,kalaupun
ada, jumlahnya di bawah angka 50 orang per prodi. Tahun
2007 ini dari 470 PTS yang terdapat di Jawa Barat dan
Banten, hampir 34% lebih dinyatakan kolaps.(Sumber
:Rochim Surachman.Kamis 24 Mei 2007.Pikiran
Rakyat.”Banyak PTS di Ujung Tanduk‖).
Unikom adalah salah satu PTS di Bandung yang ikut serta
dalam persaingan di dunia Pendidikan Tinggi khususnya
PTS. Dilihat dari tahun berdirinya , Unikom termasuk
dalam kategori PTS baru. Pada perkembangannya sejak
berdiri pada tahun 2000, UNIKOM selalu dibanjiri
peminat.(Sumber : Biro Administrasi Umum UNIKOM Bandung,
2007).
Dari kondisi tersebut di atas perlu dianalisis mengenai
Sikap Mahasiswa Unikom Angkatan 2007/2008 ketika
mereka memutuskan untuk memilih UNIKOM sebagai
IRWNS 2013
84
tempat mengenyam pendidikan dilihat dari dampak
UNIKOM sebagai Sumber komunikasi/komunikator.
2. KAJIAN PUSTAKA , KERANGKA PEMIKIRAN
DAN HIPOTESIS
2.1 KAJIAN PUSTAKA
Penelitian ini memfokuskan pada bidang Komunikasi
Bisnis yaitu komunikasi pemasaran khususnya dalam
mempersuasi konsumen.Lebih lanjut Azwar (1997;61)
mengatakan bahwa persuasi merupakan usaha pengubahan
sikap individu dengan memasukkan ide, fikiran, pendapat
dan bahkan fakta baru lewat pesan-pesan komunikatif.
Pendekatan tradisional dalam persuasi pada umumnya
meliputi unsur, yaitu sumber (source) sebagai komunikator
yang membawa pesan (message-communication) kepada
mereka yang sikapnya hendak diubah (audience), Komunikasi didefinisikan sebagai ”suatu proses dimana
suatu gagasan dialihkan dari sumber atau komunikator ke
penerima atau komunikan dengan tujuan untuk mengubah
perilaku komunikan. Perilaku itu bisa berupa perubahan
dalam pengetahuan kognisi, sikap afeksi atau perilaku yang
nyata.” (Rogers 1976:13)
2.2 KERANGKA PEMIKIRAN
Memahami proses komunikasi berarti pemahaman atas
elemen-elemen komunikasi yaitu : komunikator (source),
efek (effect) dan respon (feedback). Rogers (1976):11-13.
Source adalah komunikator (Originator/yang mengawali)
pesan, bisa berupa individu, beberapa individu yang
bekerjasama, institusi atau organisasi, dalam penelitian ini
Source/komunikator adalah UnikomSedangkanReceiver,
komunikan merupakan elemen yang sangat penting dalam
proses komunikasi yaitu masyarakat atau calon mahasiswa.
Effect, efek komunikasi adalah perubahan-perubahan pada
perilaku komunikan yang muncul sebagai akibat dari
penyampaian pesan.. Ada 3 jenis efek komunikan :
a. Perubahan-perubahan pada pengetahuan komunikan
b. Perubahan-perubahan pada sikap komunikan
c. Perubahan-perubahan pada perilaku nyata komunikan,
seperti voting atau pembelian produk.
Ketiga efek ini biasanya muncul berurutan yaitu perubahan
pengetahuan mengawali perubahan sikap dan perubahan
sikap mendahului perubahan perilaku nyata. Rakhmat
(1986:263), menyatakan bahwa ”faktor-faktor yang
mempengaruhi efektivitas komunikator terdiri dari
kredibilitas, daya tarik dan kekuasaan. Kredibilitas adalah
kemampuan dari sesuatu atau seseorang untuk dipercaya
oleh orang lain”. Menurut Tan (1981:104) ,”kredibilitas
sumber terdiri dari dua komponen yaitu keahlian (expertise)
dan kemampuan untuk dapat atau layak dipercaya
(trustworthiness),sementara daya tarik didefinisikan sebagai
daya tarik fisik atau karisma.” Kekuasaan oleh Rakhmat
(1986:274) didefinisikan sebagai ”kemampuan
menimbulkan ketundukan. Kekuasaan menyebabkan
seorang komunikator dapat „memaksakan‟ kehendaknya
karena memiliki sumber daya yang sangat penting.”
Menurut Hovland (dalam Krech,1962:231), mengatakan
bahwa ”komunikasi yang dilakukan oleh komunikator yang
memiliki daya tarik yang baik di mata komunikan akan
lebih efektif daripada apabila disampaikan oleh
komunikator yang tidak menarik.” Dari pendapat yang
dikatakan oleh para ahli di atas bila dihubungkan dengan
komunikasi yang dilakukan oleh PTS sebagai komunikator
atau sumber dari suatu proses komunikasi, maka yang
dimaksud kredibilitas adalah bagaimana kredibilitas PTS
UNIKOM tersebut di mata masyarakat. Kepercayaan
masyarakat dapat terbentuk salah satunya dari kemampuan
suatu PTS dalam menghasilkan suatu lulusannya yang
dapat diserap oleh masyarakat pengguna. Daya Tarik Fisik
UNIKOM berupa sarana seperti bangunan maupun
lingkungan kampus, fasilitas dan aktivitas yang dilakukan
oleh kampus tersebut sehingga akan menimbulkan minat
calon mahasiswa untuk menjadi bagian dari kampus
tersebut dalam menambah ilmu pengetahuannya atau
menimba ilmu. Kekuatan PTS dapat diasumsikan bahwa
suatu PTS memiliki kekuatan atau keunggulan yang dapat
menyebabkan calon mahasiswa benar-benar memilih
UNIKOM tersebut.
2.2.1 Komunikator sebagai Sumber Komunikasi
Efektivitas komunikator dalam menyampaikan pesannya
yaitu pesan yang bertujuan untuk pengubahan sikap akan
tergantung pada beberapa hal, antara lain adalah kredibilitas
(Credibility), daya tarik (Attractiveness), dan kekuatan
(power) dari komunikator itu sendiri. Kredibilitas
komunikator dilandasi oleh dua karakter penting yaitu
keahlian (kompetensi) dan keterpercayaan
(trustworthiness). (Azwar,1997:72).
Apabila seseorang dimotivasi oleh keinginan mencari
kebenaran atau pengetahuan, maka ia akan lebih mudah
dibujuk bila komunikatornya adalah seseorang atau sebuah
lembaga yang dianggap kompeten mengenai hal yang ingin
ia ketahui atau bila komunikatornya adalah orang/lembaga
yang dipercayainya (trusworthy). Pada sisi lain, sikap dapat
diubah oleh komunikator yang walaupun bukan seorang
ahli dalam bidang yang bersangkutan sebagai objek sikap
akan tetapi merupakan figur yang dipercayai oleh individu.
Proses psikologi lain akan terjadi dalam perubahan sikap
apabila motif seseorang adalah ingin mempertahankan
hubungan pribadi dengan komunikator, dalam hal ini
karakteristik yang paling berpengaruh pada diri
komunikator adalah daya tarik (attractiveness) yang
biasanya dibentuk dari sejauh mana komunikator itu
disukai. Proses psikologi yang ketiga adalah apabila motif
yang mendasari perubahan sikap berupa dorongan subjek
untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkannya jika ia
tidak mengikuti sikap komunikator, hal ini terjadi jika
IRWNS 2013
85
komunikator mempunyai kekuatan dalam arti kekuasaan.
Proses yang didasari oleh motif ini pada umumnya
perubahan sikap hanya tampak dalam bentuk perilaku,
dapat dikatakan bahwa komponen kognitif dan afektif sikap
sukar untuk diubah hanya oleh kekuatan komunikator saja.
Theory of Reasoned Action
Dalam penelitian ini mengenai Sikap Teori yang dijadikan
acuan adalah Theory of Reason Action(TORA).Theory of
Reasoned Action (Fishben & Ajzen, 1980 dalam
Baldwin,Perry, Moffitt,2004:144):”Theory of Reasoned
Action was designed to predict behavioral intentions
toward specific objects or situations‖. Diterjemahkan
olehpeneliti bahwa teori tersebut dirancang untuk
memprediksi bahwa kecenderungan berperilaku seseorang
berdasarkan objek dan situasi tertentu.
Dijelaskan dalam teori ini bahwa semua bentuk perilaku
yang timbul adalah direncanakan dan memiliki alasan
tertentu (jadi bukan merupakan perilaku yang tidak
terencana, spontan maupun impulsif), serta memiliki dua
determinan utama : sikap serta pengaruh normatif, (Shimp,
2000:241).
Fishbeein & Ajzen, 1980 dalam Baldwin, Perry, Moffitt,
2004:145) mengemukaka bahwa ”ada dua komponen dalam
memprediksi kecenderungan perilaku”
Pembentukan sikap menurut Theory of Reasoned Action
(TORA) digambarkan dalam bentuk persamaan sebagai
berikut :
AB = bn
i
1
i .ei
Keterangan :
AB = sikap (attitude) terhadap merek tertentu
Bi = kepercayaan (belief) atau ekpektasi bahwa memiliki
merek tersebut akan menghasilkan i
ei = evaluasi positif atau negatif terhadap outcome ke-i
.(Shimp, 2003:242)
Lebih lanjut Shimp menjelaskan bahwa sikap terhadap
suatu merek (tindakan memiliki dan mengkonsumsi merek
tersebut) ditentukan oleh kepercayaan akan hasil/keluaran
memiliki merek tersebut, yang diukur berdasarkan evaluasi
atas konsekuensi. Hasil (outcome) dalam persamaan di atas
disimbolkan sebagai i = 1 hingga n, di mana n umumnya
lebih kecil dari 7 melibatkan aspek-aspek yang ingin
konsumen peroleh dari produk yang ditawarkan, dalam
penelitian ini adalah misalnya fasilitas dan pelayanan yang
baik dalam pemberian jasa pendidikan, atau hal-hal yang
ingin dihindari oleh konsumen misalnya pelayanan dan
fasilitas yang tidak memuaskan bagi mahasiswa.
Kepercayaan (simbol bi dalam persamaan diatas)
merupakan pengujian kemungkinan atau ekpektasi yaitu
kecenderungan mahasiswa untuk memilih UNIKOM yang
akan memberikan hasil tertentu, misalnya mereka akan
mudah mendapatkan pekerjaan setelah lulus dari UNIKOM
dan sebagainya mengingat UNIKOM bebasis Komputer.
Secara teoritis, konsumen atau masyarakat yang ada dalam
pasar pendidikan yang memilih UNIKOM memiliki
kepercayaan berbeda yang diasosiasikan dengan setiap
potensi hasil dari PTS UNIKOM yang dipilihnya.
Karena semua hasil tidak sama penting, dan tidak semua
menjadi determinan dalam pilihan konsumen, kita perlu
memperkenalkan suatu istilah untuk mempresentasikan
influence differential ini. Istilah tersebut adalah komponen
evaluasi (ei dalam persamaan). Evaluasi mempresentasikan
nilai subjektif atau tingkat kepentingan, di mana
masyarakat pendidikan terikat pada hasil konsumsinya.
Misalnya mahasiswa yang memilih UNIKOM menganggap
bahwa ketika mereka telah menjadi bagian dari UNIKOM,
maka mereka akan banyak memperoleh banyak ilmu yang
bermanfaat bagi dirinya, baik selama mereka menempuh
pendidikan maupun ketika mereka telah lulus diharapkan
mereka akan dapat dengan segera memperoleh pekerjaan
yang layak. Karenanya persamaan sikap di atas dan
pembahasannya merupakan gambaran proses pembentukan
sikap yang dihasilkan dari paduan kepercayaan mengenai
hasil individu atas pilihannya (PTS UNIKOM) yang diukur
dengan evaluasi yang konsumen/mahasiswa lakukan. Sikap
terhadap PTS UNIKOM yang dipilih akan lebih positif
ketika UNIKOM dipandang favorable berdasarkan nilai
hasilnya, serta lebih negatif ketika dipandang unfavorable.
2.2.2. Sikap
Sikap tidak dapat dilihat, disentuh, didengar ataupun dibaui.
Istilah sikap dalam hal ini adalah untuk mengartikan sebuah
perasaan umum, baik negatif maupun positif, yang
berkelanjutan terhadap atau penilaian
Ada 3 ciri penting lainnya dari sikap yaitu :
1. dipelajari
2. relatif bertahan lama
3. mengubah perilaku
Hal tersebut di atas dikemukakan oleh Shimp (2003:225),
lebih lanjut Shimp mengatakan bahwa fokus perhatian dari
ke tiga ciri di atas adalah kepada perasaan dan evaluasi atau
apa yang disebut sebagai komponen afektif. Para ahli teori
sikap mengenal dua komponen lain dari sikap yaitu kognitif
dan konatif.
Komponen kognitif mengacu pada kepercayaan yang
dimiliki seseorang yaitu berupa pengetahuan dan
pemikirannya mengenai sebuah objek. Komponen konatif
mempresentasikan tendensi perilaku seseorang atau
kecenderungan untuk melakukan tindakan atas sebuah
objek.
Shimp (2003:226) mengatakan bahwa ”Terlihat adanya
kemajuan yang jelas bermula dari kognisi, afeksi kemudian
konasi. Seorang individu menjadi sadar akan sebuag objek
misalnya produk baru, kemudian memperoleh informasi
dan membentuk kepercayaan mengenai kemampuan produk
IRWNS 2013
86
tersebut dalam memuaskan kebutuhan konsumsi
(komponen kognitif). Setelah kepercayaan terbentuk,
perasaan, dan evaluasi atas produk kemudian
dikembangkan (komponen afektif), timbul suatu niat untuk
membeli atau tidak membeli produk tersebut (komponen
konatif). Sebuah sikap kemudian terbentuk dari alur
berpikir (kognitif), merasa (afektif) dan berperilaku
(konatif).”
Inferensi atau penyimpulan mengenai sikap harus
didasarkan pada suatu fenomena yang diamati dan dapat
diukur. Fenomena ini berupa respons terhadap objek sikap
dalam berbagai bentuk (Azwar,1997:19). Di bawah ini akan
disajikan sebuah analisis terhadap berbagai respons yang
dijadikan dasar penyimpulan sikap dari perilaku dari
Rosenberg dan Hovland.
Respon kognitif verbal merupakan pernyataan mengenai
apa yang dipercayai atau diyakini mengenai objek sikap.
Kita mengetahui apakah seseorang memiliki sikap positif
terhadap sebuah objek. Respon kognitif yang non verbal
lebih sulit untuk diungkap disamping informasi tentang
sikap yang diberikannya pun lebih bersifat tidak langsung.
Respon afektif verbal dapat dilihat pada pernyataan verbal
perasaan seseorang mengenai suatu objek, respon afektif
non verbal berupa reaksi fisik seperti ekspresi muka yang
mencibir, tersenyum, gerakan tangan dsbnya. Yang menjadi
indikasi perasaan seseorang apabila dihadapkan pada objek
sikap. Respon konatif pada dasarnya merupakan
kecenderungan untuk berbuat. Dalam bentuk verbal, intensi
ini terungkap lewat pernyataan keinginan melakukan atau
kecenderungan untuk melakukan. Sedangkan respon
konatif nonverbal dapat berupa ajakan pada orang lain
untuk melakukan tindakan yang dilakukan.
Hipotesis dalam penelitian ini ”sikap mahasiswa dalam
memutuskan memilih PTS Unikom dampak dari sumber
komunikasi”
3. Metode Penelitian
Penelitian ini bersifat verifikatif, yaitu dilakukan untuk
mengetahui hubungan antarvariabel melalui suatu
pengujian hipotesis dengan metode penelitian yang telah
dirumuskan melalui perhitungan-perhitungan
statistik.Karena penelitian ini bersifat verifikatif, maka
metode penelitian yang digunakan adalah metode
explonatory survey .Analisis dalam penelitian ini
menggunakan Structural Equation Modeling (SEM).
Dalam penelitian ini metode penarikan sampel
menggunakan cluster sampling karena populasi adalah
berupa mahasiswa Unikom dimana kerangka sampling
belum tersedia atau tidak lengkap, untuk mengatasi hal
tersebut, unit-unit analisis dalam populasi dikelompokkan
kedalam gugus-gugus yang disebut cluster dan ini
merupakan satuan-satuan dari mana sampel akan diambil.
Pengambilan gugus-gugus yang ada dalam populasi
mempunyai ciri yang homogen. Populasi dalam penelitian
ini adalah mahasiswa Unikom Bandung angkatan
2007/2008 berjumlah 3337 mahasiswa dengan pengambilan
sampel gugus bertahap, sebagai gugus pertama adalah
fakultas-fakultas yang terdiri dari 6 Fakultas, dan 23
Program Studi /jurusan sebagai gugus kedua, didapat
sampel sebanyak 100 mahasiswa.Teknik pengumpulan data
dengan wawancara, observasi dan kuesioner.
4. Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan model pengukuran yang dan perhitungan
validitas dan untuk indikator
Sumber/komunikator.Indikator kredibilitas memiliki
koefisien (Loading factor) 0,6609 dengan nilai t hitung
6,7026, dimana nilai t tabel adalah 1,658 yang diperoleh
dari tingkat signifikansi 10%. Nilai t hitung yang lebih
besar dari nilai t tabel, menunjukkan bahwa indikator
kredibilitas secara signifikan dapat mengukur atau
menjelaskan variabel sumber/komunikator dengan
persentase variansi (R2) dari sumber/komunikator sebesar
43,68%. Angka tersebut mengartikan bahwa hasil penilaian
responden terhadap sumber/komunikator, dapat
dicerminkan dari penilaian kredibilitas sebesar 43,68%.
Untuk indikator daya tarik memiliki koefisien (loading
factor) 0,6543, dengan nilai t hitung 6,6229, dimana nilai t
tabel adalah 1,658 yang diperoleh dari tingkat signifikansi
10%. Sama halnya dengan indikator kredibilitas, nilai t
hitung untuk daya tarik lebih besar dari nilai t tabel, yang
menunjukkan bahwa indikator daya tarik secara signifikan
dapat mengukur atau menjelaskan variabel
sumber/komunikator dengan persentase variansi (R2) dari
sumber/komunikator sebesar 42,82%. Angka tersebut
mengartikan bahwa hasil penilaian responden terhadap
sumber/komunikator, dapat dicerminkan dari penilaian
daya tarik sebesar 42,82%.
Untuk indikator kekuatan yang memiliki koefisien
(Loading factor) 0,6534 dengan nilai t hitung 6,6116,
dimana t tabel adalah 1,658 yang diperoleh dari tingkat
signifikansi 10%. Nilai t hitung dari kekuatan lebih besar
dari nilai t tabel, menunjukkan bahwa indikator kekuatan
secara signifikan dapat mengukur atau menjelaskan
variabel sumber/komunikator dengan persentase variansi
(R2) dari sumber sebesar 42,69%. Angka tersebut
mengartikan bahwa hasil penilaian responden terhadap
sumber/komunikator yaitu lembaga Unikom dapat
dicerminkan dari penilaian responden terhadap kekuatan
sebesar 42,69%.
Reliabilitas
Hasil pengujian reliability construct adalah 0,69408. Nilai
ini lebih besar dari 0,5 yang menunjukkan bahwa
indikator-indikator dari sumber/komunikator memiliki
tingkat kehandalan yang tinggi dalam mengukur sumber.
Selain itu dengan menghitung variance extract dapat
dijelaskan secara menyeluruh indikator-indikator
IRWNS 2013
87
sumber/komunikator yang mampu menjelaskan variansi
sumber (kredibiltas, daya tarik dan kekuatan) sampai
sebesar 43,06%, sedangkan sisanya sebesar56,95%
dijelaskan oleh indikator lain yang tidak dimasukkan dalam
penelitian ini. Dengan besaran ini dapat disimpulkan
indikator-indikator ini secara menyeluruh sudah cukup baik
dalam mengukur sumber/komunikator dalam hal ini
lembaga unikom dilihat dari sudut pandang responden.
Analisis Sikap Mahasiswa Berdasarkan model pengukuran
yang tersaji pada gambar 4.41 dan perhitungan validitas
dan reliabilitas pada tabel 4.45, berikut ini diuraikan lebih
lanjut tentang validitas dan reliabilitas untuk indikator
sikap.
Validitas
Indikator kognisi memiliki koefisien (Loading factor)
0,5806 dengan nilai t hitung 5,7405 dimana nilai t tabel
adalah 1,658 yang diperoleh dari tingkat signifikansi 10%.
Nilai t hitung yang lebih besar dari nilai t tabel,
menunjukkan bahwa indikator kognisi secara signifikan
dapat mengukur atau menjelaskan variabel sikap dengan
persentase variansi (R2) dari sikap sebesar 33,72%. Angka
tersebut mengartikan bahwa hasil penilaian responden
terhadap sikap dapat dicerminkan dari penilaian kognisi
sebesar 33,72%.
Untuk indikator afeksi memiliki koefisien (loading factor)
0,6646 dengan nilai t hitung 6,5582 dimana nilai t tabel
adalah 1,658 yang diperoleh dari tingkat signifikansi 10%.
Sama halnya dengan indikator kognisi, nilai t hitung untuk
afeksi lebih besar dari nilai t tabel, yang menunjukkan
bahwa indikator afeksi secara signifikan dapat mengukur
atau menjelaskan variabel sikap dengan persentase variansi
(R2) dari sikap sebesar 44,18%. Angka tersebut
mengartikan bahwa hasil penilaian responden terhadap
sikap, dapat dicerminkan dari penilaian afeksi sebesar
44,18%.
Untuk indikator konasi memiliki koefisien (loading factor)
0,6041 dengan nilai t hitung 6,4246 dimana nilai t tabel
adalah 1,658 yang diperoleh dari tingkat signifikansi 10%.
Sama halnya dengan indikator kognisi dan afeksi nilai t
hitung untuk konasi lebih besar dari nilai t tabel, yang
menunjukkan bahwa indikator konasi secara signifikan
dapat mengukur atau menjelaskan variabel sikap dengan
persentase variansi (R2) dari sikap sebesar 36,50%. Angka
tersebut mengartikan bahwa hasil penilaian responden
terhadap sikap, dapat dicerminkan dari penilaian konasi
sebesar 36,50%.
Reliabilitas
Hasil pengujian reliability construct adalah 0,648198. Nilai
ini lebih besar dari 0,5 yang menunjukkan bahwa
indikator-indikator dari sikap memiliki tingkat kehandalan
yang tinggi dalam mengukur sikap. Selain itu dengan
menghitung variance extract dapat dijelaskan secara
menyeluruh indikator-indikator sikap yang mampu
menjelaskan variansi sikap (kognisi, afeksi dan konasi)
sampai sebesar 38,13%, sedangkan sisanya sebesar61,87%
dijelaskan oleh indikator lain yang tidak dimasukkan dalam
penelitian ini. Dengan besaran ini dapat disimpulkan
indikator-indikator ini secara menyeluruh cukup dalam
mengukur sikap dalam hal ini sikap mahasiswa unikom
angkatan 2007/2008.
Analisis SEM pada penelitian ini bertujuan bukan hanya
untuk membangun model pengukuran saja, namun juga
digunakan untukmengetahui sejauhmana pengaruh dari
variabel eksogen terhadap variabel endogen. Dalam
penelitian ini model structural yang dibangun ini akan
memberikan jawaban atas hipotesis penulis
Hasilnya bahwa sumber/komunikator memiliki koefisien
jalur sebesar 0,986206 dengan koefisien determinasi (R2)
sebesar 97,26%. Hal inimenunjukkan bahwa sebesar
97,26% variansi dari sikap mahasiswa dalam memutuskan
mengikuti pendidikan di Unikom dapat dijelaskan oleh
sumber/komunikator.Sumber/komunikator sendiri
dijelaskan oleh kredibilitas sebesar 43,68%, daya tarik
sebesar 42,81%, kekuatan sebesar 42,69%. Dari nilai-nilai
tersebut di atas tampaknya kredibilitas merupakan indikator
yang paling dominan dalam menjelaskan
sumber/komunikator, sedangkan indikator yang
memberikan penjelasan paling rendah adalah indikator
kekuatan, tetpai perbedaan besarannya bila dibandingkan
dengan indikator daya tarik relatif kecil hanya sebesar 0,12.
Secara umum dapat dikatakan bahwa perbedaan besaran ke
tiga indikator yaitu kredibilitas, daya tarik dan kekuatan
tidak terlalu besar.
Untuk variabel sikap mahasiswa dijelaskan oleh indikator
kognisi sebesar 33,71%, indikator afeksi sebesar 44,71%
dan konasi sebesar 36,49%.
Dimensi dari Sikap Mahasiswa yaitu : kognisi, afeksi dan
konasi. Indikator dari kognisi terdiri dari kepercayaan.
Terlihat bahwa penilaian responden mengenai indikator
kepercayaan menunjukkan kearah favorable(baik).yang
menyangkut pemahaman atribut status lembaga
terakreditasi dinilai paling tinggi bila dibandingkan dengan
atribut prestasi yang dicapai unikom, keahlian pengelola
lembaga dan citra unikom. Secara umum pemahaman
responden sebelum masuk ke unikom tentang atribut-atribut
tersebut cukup baik, hal tersebut dibuktikan dengan nilai
rata-rata berada di atas nilai tengah.
Penilaian responden mengenai afeksi dengan indikator
perasaan menunjukkan kearah favorable (menarik) yaitu
perasaan ketertarikan terhadap unikom setelah mengetahui
keunggulan-keunggulan yang diinformasikan..sedangkan
penilaian responden mengenai indikator evaluasi
menunjukkan kearah favorable (bermanfaat).berupa
IRWNS 2013
88
tingkat manfaat yang di dapat responden jika kuliah di
unikom.
Penilaian responden mengenai Konasi dengan indikator
kecenderungan berperilaku menunjukkan kearah favorable
(berminat). Hasilnya adalah responden umumnya berminat
masuk ke unikom setelah mendapat informasi tentang
unikom, dan mengatakan setuju bahwa mereka
menyebarkan informasi tentang unikom kepada
teman/saudara serta mendaftar pada gelombang I .
Hasil penelitian menunjukkan bahwa indikator afeksi yang
paling dominan menjelaskan sikap mahasiswa dalam
memutuskan mengikuti pendidikan di PTS Unikom
Bandung, dan yang paling rendah menjelaskan sikap
mahasiswa adalah indikator kognisi. Teori untuk
mendukung hasil penelitian, dimana indikator afeksi
merupakan indikator yang dominan Shimp (2003:225)
mengemukakan bahwa :”fokus perhatian dari ciri sikap
(dipelajari, relatif tahan lama dan mengubah perilaku)
adalah kepada perasaan dan evaluasi atau apa yang disebut
sebagai komponen afektif.
Lebih lanjut Azwar (1997:26) menjelaskan bahwa
”komponen afeksi yaitu reaksi emosional pada umumnya
dipengaruhi oleh kepercayaan atau apa yang kita percayai
sebagai benar dan berlaku bagi objek”. Begitupula halnya
afeksi dari penilaian responden mengenai lembaga unikom,
mereka sudah mempercayai bahwa kuliah di Unikom akan
memberikan manfaat bagi mereka. Azwar (1997:30)
mengatakan :”dalam proporsinya, suatu sikap yang
didominasi oleh komponen afeksi yang kuat dan kompleks
akan lebih sukar untuk berubah walaupun dimasukkan
informasi baru yang berlawanan dengan objek sikapnya”. Hasil pengujian hipotesa untuk sumber/komunikator,
menunjukkan hasil yang signifikan. Untuk
sumber/komunikator memiliki nilai t hitung sebesar 9,293.
Nilai tersebut lebih besar dari nilai t tabel yaitu 1,658. Hal
tersebut menunjukkan bahwa ada dampak yang signifikan
antara variabel sumber/komunikator terhadap sikap
mahasiswa.
Hasil Penelitian yang menunjukkan bahwa Sumber
memiliki hubungan yang sangat besar dengan pengaruh
yang besar terhadap sikap mahasiswa dalam memutuskan
mengikuti pendidikan di Unikom Bandung dimana
kredibilitas merupakan indikator yang paling dominan
dalam menjelaskan sumber dibandingkan dengan daya tarik
dan kekuatan, hal ini sesuai dengan konsep yang
dikemukakan oleh Sutisna (2002:271) :”keberhasilan
komunikasi pemasaran dipengaruhi oleh banyak variabel,
seperti kemampuan ”sumber pesan” dalam melakukan
penyandian tujuan komunikasi menjadi pesan yang menarik
dan efektif bagi komunikan, ketepatan memilih ”jenis
promosi”, ketepatan penggunaan media penyampai pesan,
daya tarik pesan dan kredibilitas penyampai pesan”.
Konsep lain yang mendukung hasil penelitian mengenai
sumber adalah yang dikemukakan oleh Azwar (1997:72)
”Apabila seseorang dimotivasi oleh keinginan mencari
kebenaran atau pengetahuan, maka ia akan lebih mudah
dibujuk bila komunikatornya adalah seseorang atau sebuah
lembaga yang dianggap kompeten mengenai hal yang ingin
ia ketahui atau bila komunikatornya adalah orang/lembaga
yang dipercayainya (trusworthy). Pada sisi lain, sikap dapat
diubah oleh komunikator yang walaupun bukan seorang
ahli dalam bidang yang bersangkutan sebagai objek sikap
akan tetapi merupakan figur yang dipercayai oleh
individu.sedangkan indikator yang memberikan penjelasan
paling rendah adalah indikator kekuatan, tetapi perbedaan
besarannya bila dibandingkan dengan indikator daya tarik
relatif kecil hanya sebesar 0,12. Hal ini patut di akui karena
umumnya masyarakat dalam menilai sebuah Perguruan
tinggi dilihat dari krdibilitasnya yang biasanya menyangkut
status akreditasi dari lembaga tersebut, hal lain adalah
karena PTS Unikom seringkali memenangkan kejuaraan-
kejuaraan dalam bidang akademik baik dalam tingkat
daerah maupun nasional. Untuk itu sebaiknya PTS Unikom
mempertahankan prestasi yang telah dicapai, untuk
indikator daya tarik dan kekuatan yang memiliki kontribusi
rendah,
5. Kesimpulan
Sumber/komunikator memiliki kontribusi yang sangat besar
terhadap sikap mahasiswa angkatan 2007/2008 dalam
memutuskan mengikuti pendidikan di PTS Unikom
Bandung. Sumber/komunikator sendiri dijelaskan oleh
indikator kredibilitas, daya tarik dan kekuatan. Dari ketiga
indikator yang menjelaskan sumber/komunikator, hasil
penelitian menunjukkan bahwa indikator kredibilitas yang
paling dominan khususnya pada atribut status lembaga
terakreditasi. Hal tersebut disebabkan umumnya
masyarakat menilai suatu PTS dilihat terutama dari status
akreditasi lembaga, begitu pula penilaian dari responden
terhadap PTS Unikom yang dipilihnya.
Sikap yang dijelaskan oleh kognisi, afeksi dan konasi, hasil
penelitian menunjukkan indikator yang paling dominan
adalah afeksi. Seperti yang dijelaskan oleh Azwar
(1997:26),”komponen afeksi yaitu reaksi emosional pada
umumnya dipengaruhi oleh kepercayaan atau apa yang kita
percayai sebagai benar dan berlaku bagi objek”. Begitupula
halnya afeksi dari penilaian responden mengenai lembaga
unikom, mereka sudah mempercayai bahwa kuliah di
Unikom akan memberikan manfaat bagi mereka. Lebih
lanjut Azwar (1997:30) mengatakan :”dalam proporsinya,
suatu sikap yang didominasi oleh komponen afeksi yang
kuat dan kompleks akan lebih sukar untuk berubah
waluapun dimasukkan informasi baru yang berlawanan
dengan objek sikapnya”. Indikator yang paling rendah yang
menjelaskan sikap adalah kognisi, hal ini menyangkut
atribut tentang pemahaman responden tentang Unikom
sebelum masuk menjadi mahasiswa Unikom.untuk
indikator konasi lebih tinggi nilainya dibandingkan kognisi
dalam menjelaskan sikap, hasil survey terutama
menyangkut atribut mendaftar pada gelombang I, umumnya
responden tidak mendaftar di gelombang I.
IRWNS 2013
89
UCAPAN TERIMAKASIH
Yth :
1.Rektor UNIKOM, DR.Ir Eddy Soeryanto Soegoto
2.Kaprodi Manajemen UNIKOM, DR. Raeny Dwisanty,
SE.,M.Si
DAFTAR PUSTAKA
[1] A.shimp, terence. 2000. Periklanan, Promosi. Aspek
tambahan Komunikasi Pemasaran terpadu. Jilid I.
Terjemahan Revyani Sjahrial, Dyah Anikasari.
Jakarta : Penerbit Erlangga. [2] Azwar, Saifuddin. 1977. Sikap Manusia, teori dan
Pengukurannya. Edisi ke 2. Yogyakarta : Pustaka
pelajar [3] David, krech, Richard S. Crutcfield and Egertoon L.
Ballachey.1962. Individual In Society, a Textbook of
Social Psychology. Tokyo : Mc. Graw – Hill.
Kogassusha ltd. [4] R. Baldwin, Jhon & D Perry Stephen & Moffit Mary
Anne. 2004. Communication Theories for Everyday
Life : Pearson Education, Inc. USA [5] Rochim Surachman (red).2007.Banyak PTS di
Ujung Tanduk.Bandung : Pikiran Rakyat. [6] Tan, Alexis S. 1981. Mass Communication Theories
and Research.Columbus, Ohio : Grid Publishing, Inc
IRWNS 2013
90
Model Kompetensi Layanan Manajer Hotel Non Bintang
Dwi Suhartantoa, Any Noor
b, Vanessa Gaffar
c, Junaidi Sagir
d
aJurusan Administrasi Niaga, Politeknik Negeri Bandung
Email: [email protected]
bJurusan Administrasi Niaga, Politeknik Negeri Bandung Email: [email protected]
cFakultas Ekonomi, Universitas Pendidikan Indonesia
Email: [email protected]
dFakultas Ekonomi, Universitas Mataram
Email: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini didesain untuk memformulasikan strategi penguatan kinerja hotel non-bintang melalui identifikasi model kualitas
layanan manajer hotel non bintang dalam membangun kualitas layanan untuk menciptakan loyalitas wisatawan. Model
kompetensi yang digunakan merujuk pada tiga komponen utama, yaitu pengetahuan layanan, kemampuan teknis dan
kemampuan manajemen diri. Teknik sampling yang digunakan adalah convenience sampling pada manajer hotel non bintang
melalui self-administered questionnaire. Untuk menguji model, digunakan metode variance based SEM. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa faktor pembentuk kompetensi manajer hotel non bintang terdiri dari pengetahuan layanan, kemampuan
teknis, dan kemampuan manajemen diri. Faktor penting pada variable kemampuan teknis adalah kemampuan dan kemauan
manajer untuk mempertanggungjawabkan pekerjaan. Sementara unsur keseimbangan antara kepentingan pribadi dan pekerjaan
serta rencana pengembangan karir merupakan faktor yang sama pentingnya pada variable manajemen diri. Temuan lain
menunjukkan bahwa dukungan kerja dari atasan serta perlakuan adil merupakan faktor yang penting dalam mempengaruhi
kompetensi manajer melakukan tugasnya. Dengan demikian, untuk membangun kinerja layanan yang baik, diperlukan
kompetensi kerja yang baik dan dukungan atasan maupun organisasi yang memadai untuk menciptakan rasa puas karyawan
serta niat untuk memberikan layanan yang baik.
Kata Kunci
Kompetensi, manajer, kinerja layanan, hotel non bintang
1. PENDAHULUAN
Industri perhotelan sebagai penyedia akomodasi bagi
wisatawan merupakan salah satu pilar strategis untuk
membangun industri pariwisata. Ketersediaan jasa
akomodasi yang sesuai dengan kebutuhan wisatawan akan
mempengaruhi secara positif keinginan wisatawan untuk
mengunjungi suatu tujuan wisata. Dengan demikian, agar
mampu meningkatkan jumlah kunjungan di suatu tujuan
wisata, industri perhotelan harus mempunyai staf yang
mampu memberikan layanan yang memuaskan wisatawan.
Hotel non bintang di Indonesia, dilihat dari sisi jumlah
tenaga kerja, modal, maupun omset penjualannya, termasuk
dalam kategori usaha kecil dan menengah (UKM).
Sebagaimana umumnya UKM lainnya, hotel non bintang
menghadapi permasalahan kemampuan pengelolaan
layanan maupun pemasarannya [1]. Bagi hotel berbintang,
permasalahan tersebut relatif kurang menjadi isu penting
karena mereka mempunyai sumberdaya manusia maupun
keuangan yang jauh lebih baik dibandingkan dengan hotel
non bintang. Disisi lain, data statistik menunjukan bahwa
sekitar 25% wisatawan asing yang datang ke Indonesia
tinggal di hotel non bintang [2]. Mengingat besarnya
potensi pariwisata Indonesia, penguatan industri hotel non
bintang sebagai penyedia jasa akomodasi bagi wisatawan
asing maupun domestik merupakan isu yang sangat penting
bagi pembangunan kepariwisataan nasional.
Salah satu faktor yang paling menentukan dalam
mempengaruhi kemampuan layanan di industri jasa
sebagaimana di industri perhotelan adalah kemampuan
sumberdaya manusia, khususnya kemampuan manajer
untuk mengelola layanan. Karena pentingnya kemampuan
pengelolaan layanan manajer tersebut, banyak studi telah
dilakukan di industri jasa umumnya maupun di industri
perhotelan khususnya [3, 4]. Namun demikian, studi yang
difokuskan untuk menelaah kemampuan layanan manajer di
hotel non bintang belum mendapatkan perhatian. Penelitian
ini didesain untuk memformulasikan strategi penguatan
kinerja hotel non bintang dengan fokus pada
pengidentifikasian model pengelolaan kualitas layanan
manajer hotel non bintang. Pemahaman akan hal tersebut
akan dapat membantu perumusan strategi membangun
kualitas layanan yang komprehensif sehingga mampu
menciptakan loyalitas wisatawan asing maupun domestik
terhadap hotel non bintang.
IRWNS 2013
91
2. KOMPETENSI LAYANAN DI INDUSTRI
PERHOTELAN
Untuk dapat memberikan kinerja terbaik, staf hotel
memerlukan kompetensi yang tepat. Li dan Wang [5]
mendiskripsikan kompetensi sebagai kemampuan kinerja
seseorang dalam menjalankan tugasnya. Inti dari
kompetensi merupakan pengetahuan sebagai dampak dari
proses pembelajaran yang diakumulasikan. Dengan kata
lain, kompetensi adalah pengetahuan yang senantiasa harus
diperbaiki dan ditingkatkan setiap saat, yang antara lain
dapat dilakukan melalui bertukar pikiran maupun praktik
langsung.
Model kompetensi adalah suatu deksripsi dari pengetahuan,
ketrampilan/kemampuan, dan perilaku yang dibutuhkan
untuk dapat berkinerja secara baik dalam suatu organisasi.
Untuk membantu organisasi dalam mencapai tujuannya
melalui pengembangan kemampuan dan kompetensi
sumber daya manusia, seringkali kompetensi lebih
ditekankan pada aspek perilaku daripada kepribadian. Chan
dan Coleman [4] menyatakan bahwa kompetensi terdiri dari
atribut yang dimiliki oleh tiap-tiap individu termasuk
didalamnya pengetahuan, keterampilan serta sikap, yang
kesemuanya dapat diukur. Mereka mendefinisikan
kompetensi sebagai kemampuan untuk berkinerja secara
efektif dalam konteks tertentu, kapasitas untuk mentransfer
pengetahuan dan ketrampilan terhadap tugas dan situasi
baru, serta motivasi untuk menghidupkan kemampuan dan
kapabilitas tersebut. Siu dalam Chan dan Coleman [4]
melakukan penelitian terhadap kompetensi manajer hotel
level menengah dan menyimpulkan bahwa kompeten
berarti memiliki kemampuan, kapabel, memiliki
ketrampilan dan pengetahuan khusus untuk melakukan apa
yang harus dilakukan. Dapat disimpulkan bahwa
kompetensi harus mengkombinasikan antara ketrampilan
yang telah dipelajari (apakah di institusi pendidikan atau di
tempat kerja) dengan karakteristik personal. Sehingga,
dalam mengukur keterampilan dan kompetensi seseorang,
konsentrasi bukan hanya terpusat kepada ketrampilan saja
tetapi juga terhadap kepribadian tiap individu dan
sejauhmana hal tersebut sesuai dengan dunia kerja.
Pada dasarnya, kompetensi apa yang dibutuhkan sangat
tergantung kepada posisi seseorang dalam pekerjaannya.
Sebagai contoh, staf hotel pada level menengah lebih
ditekankan untuk memiliki kompetensi dalam teori dasar,
dan hal ini berbeda dengan staf hotel pada level supervisor
dimana kompetensi praktis ketrampilan operasi lebih
diperlukan. Selain itu, karena staf hotel sering berinteraksi
dengan wisatawan asing, maka kemampuan berbahasa
asing, dalam hal ini bahasa Inggris, menjadi salah satu
syarat wajib [5, 6]. Karena level supervisor memiliki peran
penting antara manajemen level atas dengan bawahannya,
maka kemampuan mereka untuk beradaptasi, yang dalam
hal ini kemampuan berkomunikasi dan berkoordiansi juga
dirasakan penting. Hal ini berkaitan dengan perannya dalam
menjalankan perintah atasan sekaligus mensupervisi
bawahannya. Selanjutnya, kompetensi yang diperlukan oleh
level supervisor hotel adalah kemampuan untuk taat kepada
kebijakan perusahaan dan bekerja sesuai dengan standar
prosedur serta memahami kebutuhan atasan, bawahan, dan
juga pelanggan. Kemampuan pengelolaan serta
perencanaan terhadap karir pribadi di masa depan juga
merupakan bagian dari kompetensi yang juga dibutuhkan
oleh level supervisor hotel.
Kompetensi sedikit banyaknya didapat dari latar belakang
pendidikan staf hotel tersebut. Nolan, Conway et al. [7]
menyatakan bahwa program pendidikan yang didapat staf
hotel secara umum selama mengenyam pendidikan
sebaiknya bukan hanya menekankan pada keteramplian
manajerial saja tetapi juga keterampilan soft skills seperti
kemampuan dalam mengambil keputusan dan memecahkan
masalah, bekerja dalam tim, inisiatif serta ketrampilan
interpersonal. Selain itu, inovasi, kreatifitas, dan
kemampuan menghibur juga dianggap sebagai nilai tambah.
Malone dalam Nolan, Conway et al. [7]. berpendapat
bahwa bekerja dalam tim, pengetahuan teknologi informasi
dasar, komunikasi, kemampuan presentasi serta mengelola
waktu merupakan keterampilan yang dapat ditransfer
melalui program akademik. Tingkat kepentingan terhadap
“soft” atau “human-relations‖ skills saat ini dirasakan lebih
tinggi daripada keterampilan operasional dan teknis. Begitu
pula halnya dengan penekanan terhadap pengelolaan
sumberdaya manusia, ketrampilan interpersonal,
kepemimpinan, keterampilan korporasi dan stratejik. Selain
faktor-faktor tersebut, kompetensi dalam area manajemen
keuangan juga ternyata dianggap merupakan kompetensi
yang penting untuk manajer dalam bidang hospitaliti dan
pariwisata ini mengalahkan kompetensi dalam bidang
sumber daya manusia, pemasaran, dan teknologi informasi.
Secara spesifik, Nolan, Conway et al. [7] membagi area
kompetensi staf hotel secara umum terdiri atas:
customer/guest relations, professionalism, employee
relations, leadership, self-management, legal aspects,
technical and operational knowledge, financial/revenue
management.
Hasil pengujian secara mendalam yang dilakukan oleh Li
dan Wang [5] di industri perhotelan di Taiwan menunjukan
bahwa elemen-elemen kompetensi bagi manajer hotel
terakumulasi kedalam tiga komponen utama, yaitu: aspek
pengetahuan (basic theoretical knowledge), kemampuan
teknis (hand-on operating skill), serta kemampuan
manajemen diri (self-adjustment abilities). Selain ketiga
faktor tersebut unsur kemampuan berbahasa khususnya
bahasa asing menjadi faktor yang sangat penting yang
menentukan seberapa baik kompetensi layanan dari
manajer hotel. Ketrampilan yang dimiliki oleh sumberdaya
manusia di industri perhotelan (baik staf maupun manajer)
akan menentukan niat untuk melayani maupun kinerja
layanan. Semakin baik kompetensi yang dimiliki oleh staf
semakin besar kemungkinan staf tersebut akan mempunyai
niat untuk melakukan pekerjaannnya dengan lebih baik
IRWNS 2013
92
pula. Selain mempengaruhi niat dan kinerja, kompetensi
yang dimiliki staf juga cenderung akan menentukan tingkat
kepuasan kerja karyawan [6] yang secara langsung maupun
tidak langsung akan mempengaruhi niat maupun kinerja
layanan [8]. Selain itu faktor dukungan organisasi yang
dimanifestasikan dalam bentuk dukungan atasan maupun
besarnya penghargaan yang diberikan oleh hotel akan
menentukan kompetensi layanan staf.
Berdasar atas diskusi tentang konsep layanan manajer,
dapat disimpulkan bahwa kompetensi layanan manajer akan
sangat dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu kemampuan
teknis, pengetahuan layanan, serta manajemen diri. Selain
ketiga faktor tersebut, faktor dukungan baik dari atasan
maupun dari kolega juga diduga sebagai faktor pembentuk
kompentensi. Kompetensi yang dimiliki oleh seorang
manajer hotel non bintang akan menentukan kinerja
layanan mereka melalui terbentuknya kepuasan kerja dan
niat untuk meberikan layanan. Terakhir, diduga bahwa
dukungan kinerja selain akan mempengaruhi kompetensi
layanan juga akan mempengaruhi kepuasan kerja, niat
layanan, maupun kinerja layanan.
3. METODE PENELITIAN
Konseptualisasi item untuk mengukur konstruk dalam studi
ini dikembangkan berdasarkan literatur yang sudah ada.
Konstruk dukungan kerja dan kompetensi layanan yang
dikembangkan menggunakan skala multi-item yang
diadaptasi dari studi sebelumnya terutama dari studi-studi
di dunia perhotelan [4-7, 9] . Sedangkan variabel kepuasan
kerja, niat layanan, dan kinerja diperlakukan sebagai
variabel dengan indikator tunggal.
Populasi sampel dalam penelitian ini terdiri individu yang
tinggal di hotel non bintang (hotel non bintang, melati,
wisma, penginapan, dan hostel). Kesulitan dalam
mengidentifikasi populasi total karyawan hotel serta tidak
memungkinnya mereka dipilih secara acak, maka hampir
mustahil studi ini dilakukan dengan menerapkan random
sampling. Oleh karenanya, penulis memutuskan untuk
menggunakan convenience sampling, dalam hal ini manajer
hotel non bintang yang bersedia berpartisipasi untuk
merespon kuesioner disela-sela waktu senggang mereka
ketika bekerja. Dari keseluruhan manajer hotel non bintang
yang dihubungi, 85 orang memberikan respon dan data
respon yang bisa diolah sebanyak 64 orang.
4. MODEL KINERJA LAYANAN
Secara keseluruhan penelitian ini didominasi oleh
responden pria sebanyak 66%. Hal ini menunjukan bahwa
manajer yang bekerja diperhotelan didominasi oleh pria, ini
bisa saja dikarenakan jenis pekerjaan dihotel yang terhitung
berat dan cenderung berubah-ubah. Beratnya beban kerja
dan sistem kerja yang cenderung berubah-ubah ini
dipandang tidak cocok dengan wanita.
Uji pemodelan bagaimana hubungan antara faktor-faktor
pembentuk dan yang mempengaruhi kinerja layanan
manajer di hotel non bintang dilakukan dengan
menggunakan metode SEM variance based. Penggunaan
SEM jenis ini dilakukan karena uji normalitas data
menunjukan bahwa data yang dianalisis tidak terdistribusi
secara normal. Sehingga teknik yang paling sesuai untuk
pengujian modelnya adalah dengan menggunakan SEM
variance based [10]. Dari delapan variabel yang diujikan
pada model ini, terdapat satu variabel endogen (Kinerja
Layanan) sedangkan lainnya adalah variabel eksogen.
Diantara variabel eksogen, variabel kompetensi merupakan
variabel second order hierarchy yang terdiri atas variabel
pengetahuan layanan, manajemen diri, dan variabel
kemampuan teknis.
Hasil uji psikometrik variabel yang digunakan menunjukan
bahwa nilai average variance extracted (AVE) semua
variable (kecuali variabel kompetensi) diatas 0.5
mengindikasikan bahwa variable yang diujikan merupakan
konstruk yang dilakukan karena uji normalitas data
menunjukan bahwa data yang dianalisis tidak terdistribusi
secara normal. Sehingga teknik yang paling sesuai untuk
pengujian modelnya adalah dengan menggunakan SEM
variance based [10]. Dari delapan variabel yang diujikan
pada model ini, terdapat satu variabel endogen (Kinerja
Layanan) sedangkan lainnya adalah variabel eksogen.
Diantara variabel eksogen, variabel kompetensi merupakan
variabel second order hierarchy yang terdiri atas variabel
pengetahuan layanan, manajemen diri, dan variabel
kemampuan teknis.
Hasil uji psikometrik variabel yang digunakan menunjukan
bahwa nilai average variance extracted (AVE) semua
variable (kecuali variabel kompetensi) diatas 0.5
mengindikasikan bahwa variable yang diujikan merupakan
konstruk yang mempunyai validitas yang baik [11].
Variabel kompetensi yang mempunyai nilai sedikit dibawah
0.5 dipandang sebagai tidak mengganggu pemodelan
karena variabel ini merupakan variabel yang second order
dimana variabel-variabel pembentuknya (kemampuan
teknis, manajemen diri, serta pengetahuan layanan)
merupakan variabel yang mempunyai nilai AVE diatas 0.5.
Selanjutnya, nilai AVE dua variable dibandingkan dengan
nilai r2 dari variable yang digunakan juga menunjukan
bahwa nilai AVE masih lebih besar dari r2,
mengindikasikan bahwa validitas diskriminan antar variable
yang diujikan memuaskan [12]. Akhirnya, composite
reliability dan nilai Cronbah‟ alpha menunjukan bahwa
variable yang diujikan reliable, karena nilai reliabilitasnya
jauh diatas yang disarankan oleh para ahli [10], yaitu >0.6.
Hasil uji tersebut menunjukan bahwa dari sisi reliabilitas
dan validitas konstruk yang diujikan memuaskan.
Tabel 1 menunjukan bahwa hasil uji t-test signifikan pada
tingkat p < 1%, mengilustrasikan semua indikator yang
digunakan merupakan elemen nyata pengukur konstruk
IRWNS 2013
93
yang diukur karena mempunyai faktor loading lebih dari
0.50.
Gambar 1 memperlihatkan hasil uji struktural model yang
menunjukan koefisien jalur antara variabel yang diujikan.
Hubungan antara ketiga pembentuk kompetensi manajer
hotel non bintang (pengetahuan layanan, kemampuan
teknis, dan manajemen diri) dengan kompetensi yang
signifikan merupakan indikasi bahwa ketiga variabel
tersebut valid sebagai pembentuk kinerja manajer. Hasil
lain juga menunjukan pentingnya hubungan-hubungan yang
telah diduga sebelumnya, yaitu antara kompetensi dengan
niat layanan dan kepuasan kerja, dukungan kerja dengan
kompetensi dan kepuasan kerja, serta antara niat layanan
dengan kinerja layanan dan antara kepuasan kerja dengan
niat layanan. Sedangkan koefisien jalur antara faktor
dukungan kerja dengan kompetensi dan niat, antara
kompetensi dengan kinerja, dan antara kepuasan kerja
dengan niat bekerja tidak signifikan. Temuan ini
menunjukan bahwa kompetensi merupakan faktor penting
yang mempengaruhi baik kepuasan maupun niat melayani
pelanggan dengan baik. Sedangkan pentingnya kompetensi
dalam mempengaruhi kinerja lebih sebagai hubungan tidak
langsung, yaitu melalui niat melayani terlebih dahulu.
Gambar 1 juga menunjukan besarnya R2 untuk masing-
masing variabel endogen kompetensi, yaitu 94%
(kemampuan teknis), 70% (manajemen diri), 47%
(pengetahuan layanan), dan 49% (kompetensi). Variabel-
variabel dari efek kompetensi layanan dan dukungan
layanan mempunyai nilai R2 sebesar 45% (kepuasan kerja),
49% (niat melayani), dan 52% (kinerja layanan).
Menggunakan patokan yang disarankan oleh para ahli [10,
11] bahwa model dikatakan sebagai baik jika mempunyai
nilai R2 = 67%, moderat R2 = 33%, dan lemah R2 = 19%,
maka dapat dikatakan bahwa model loyalitas yang
dibangun adalah relatif bagus (diantara moderat dan baik).
5. PEMBAHASAN
Hasil uji model hubungan antara kompetensi dan kinerja
layanan manajer hotel non bintang
Tabel 1: Faktor Loading Item
Variabel Rata-rata Loading T Stat**
Kompetensi
- Penyelesaian pekerjaan 4.38 0.712 9.116
- Pemahaman kebutuhan staf 2.11 0.560 5.338
- Keseimbangan pribadi & pekerjaan 3.89 0.586 7.054
- Inovatif dalam bekerja 3.89 0.704 9.196
- Pemahaman kebutuhan pelanggan 4.37 0.838 25.447
- Rencana karir 4.20 0.712 9.116
Pengetahuan Layanan
- Pemahaman pekerjaan di hotel 4.13 0.586 5.053
- Layanan tamu asing & domestic 4.66 0.82 10.645
- Adopsi sistim kerja yang lebih baik 4.52 0.761 7.886
Kemampuan Teknis
- Penyelesaian pekerjaan 4.38 0.728 9.690
- Pertanggungjawaban 4.26 0.825 24.140
- Pemahaman kebutuhan pelanggan 4.37 0.642 6.676
- Pemahaman kebutuhan staf 2.11 0.733 10.622
Manajemen diri
- Keseimbangan pribadi & pekerjaan 3.89 0.711 8.193
- Rencana karir 4.20 0.777 7.156
Dukungan Kerja
- Dukungan Atasan 4.51 0.853 16.380
- Perlakuan secara adil 4.31 0.845 32.208
- Penghargaan yang layak 4.09 0.627 5.915
Kepuasan kerja 4.17
Niat melayani 4.72
Kinerja layanan 4.25
* Item tunggal, **Signifikan pada p < 1%, ts: tidak signifikan
IRWNS 2013
94
0.97
0.37
0.46
0.69
0.70
0.89
0.28
0.45
0.70 0.49
Kompetensi
0.47
Pengetahuan Layanan
0.94
Kemampuan
Teknis
0.70
Manajemen
Diri
0.52
Niat
Layanan
0.45
Kinerja
0.49
Kepuasan
Kerja Dukungan
Kerja
Gambar 1: Kinerja Manajer
mengungkap beberapa hal penting baik secara teori maupun
secara manajerial. Pertama, hasil studi ini menggaris
bawahi tiga komponen penting elemen pembentuk
kompetensi layanan manajer non bintang, yaitu:
kemampuan teknis, pengetahuan tentang layanan, dan
kemampuan manajemen diri. Temuan studi ini
mengkonfirmasi hasil studi terdahulu yang dilakukan oleh
para ahli di industri hotel lainnya [5, 9]. Lebih jauh, temuan
studi ini menunjukan bahwa kemampuan teknis merupakan
unsur paling dominan sebagai determinan kompetensi
layanan diikuti dengan faktor kemampuan manajemen diri
serta pengetahuan terkait dengan layanan.
Kedua, dari faktor loading indikator terhadap variabel
komponen kompetensi menunjukan bahwa tidak semua
indikator mempunyai loading yang mencukupi terhadap
variabel. Dari proses pengeluaran indikator yang
mempunyai loading yang rendah terindikasi bahwa adalah
hal kemampuan manajemen diri, unsur keseimbangan
antara kepentingan pribadi dan pekerjaan serta rencana
pengembangan karir kedepan merupakan faktor yang sama-
sama penting dalam menetukan variabel manajemen diri
manajer [5]. Diantara indikator kemampuan teknis, hasil
studi ini menggarisbawahi arti penting kemampuan dan
kemauan manajer untuk mempertanggungjawabkan
pekerjaan sebagai faktor penting dalam variabel
kemampuan teknis. Pada aspek pengetahuan layanan, hasil
studi ini menunjukan bahwa penting bagi manajer untuk
memahami bagaimana melayani baik tamu asing maupun
domestik serta kepemilikan pengetahuan untuk mencari dan
mengadopsi metode yang lebih baik untuk melayani
pelanggan.
Ketiga, hasil uji pemodelan menunjukan bahwa dukungan
kerja (khususnya dukungan kerja dari atasan serta
perlakuan secara adil) merupakan faktor yang sangat
penting dalam menentukan tingkat kompetensi manajer
dalam melakukan tugasnya. Temuan ini memberikan
implikasi bahwa pengembangan kompetensi tidak sekedar
dengan memberikan pengetahuan dan keahlian teknis tetapi
perlu dengan pemberian motivasi dari atasan [3].
Selanjutnya hasil pemodelan terkait hubungan antara
kompetensi manajer dengan tiga unsur perilaku manajer
dalam hal kepuasan, niat untuk melayani dengan lebih baik,
serta kinerja layanan yang diberikan oleh manajer
mendukung hasil-hasil terdahulu [8, 9]. Implikasi dari hal
ini adalah untuk membangun kinerja layanan yang baik
maka diperlukan kompetensi kerja yang baik serta
dukungan atasan maupun organisasi yang memadai
sehingga bisa menimbulkan rasa puas karyawan serta niat
untuk memberikan layanan yang baik.
6. KESIMPULAN DAN SARAN
Pemodelan terhadap hubungan antara kompetensi layanan
dengan kinerja layanan pada model manajer menggaris
bawahi arti penting kepemilikan kompetensi yang baik agar
hotel non bintang dapat membangun kinerja karyawannya,
khususnya dalam upaya untuk menarik dan membangun
loyalitas wisatawan asing. Pada model tersebut faktor
kemampuan teknis khususnya pemahaman serta kepedulian
akan kebutuhan pelanggan serta terbangunnnya suasana
kerja yang baik merupakan faktor dominan yang akan
menentukan tingkat kompetensi baik manajer maupun staf.
Pentingnya kemampuan teknis dalam hal kepedualian untuk
memenuhi dan memuaskan kebutuhan pelanggan
berimplikasi pada pentingnya manajemen hotel untuk
membangun tingkat kepedulian karyawannya. Dua hal yang
bisa direkomendasikan dalam hal ini adalah (1) melalui
pelatihan-pelatihan yang diprogram untuk mengasah
kepedulian karyawan dan (2) melalui program seleksi yang
lebih difokuskan untuk dapat mengidentifikasi dan memilih
calon karyawan yang mempunyai karakter peduli terhadap
orang lain.
IRWNS 2013
95
DAFTAR PUSTAKA
[1] Marijo, H., Pengaruh orientasi pasar dan strategi
generik terhadap kinerja perusahaan perhotelan
dalam lingkungan usaha yang berubah: Studi empirik
hotel non bintang di Jogjakarta. Jurnal Eksekutif,
2006. 3(3): p. 244-254.
[2] BPS, Jumlah Tamu Asing pada Hotel Non Bintang
Menurut Provinsi Tahun 2003-2010. 2012: Jakarta.
[3] Li, P.-Y.P. and F.-J. Wang, An Analysis Of Essential
Competencies Of Hotel First Level Supervisors. The
International Journal Of Organizational Innovation,
2009: p. 140-162.
[4] Chan, B. and M. Coleman, Skills and competencies
needed for the Hong Kong industry: The perspective
of the hotel human resources manajer. Journal Of
Human Resources In Hospitality & Tourism, 2004.
3(1).
[5] Agut, S. and R. Grau, Managerial Competency Needs
And Training Request: The Case of The Spanish
Tourist Industry. Human Resource Development
Quarterly, 2002. Vol. 13, No. 1, Spring 2002: p. 31-
51.
[6] Nolan, C., E. Conway, and E. Al., Competency Needs
In Irish Hotels: Employer And Graduate Perspectives.
Journal Of European Industrial Training, 2010. Vol.
34, No. 5, 2010: p. 432-454.
[7] Ispas, A., The Perceived Leadership Style And
Employee Performance In Hotel Industry - A Dual
Approach. Review Of International Comparative
Management, 2012. Volume 13, Issue 2, May 2012: p.
294-305.
[8] Ricci, P., Do Lodging Managers Expect More From
Hospitality Graduates? A Comparison Of Job
Competency Expectations. Journal Of Human
Resources In Hospitality & Tourism, 2010. Vol. Ix: p.
218-232.
[9] Hair, J.F., et al., An assessment of the use of partial
least squares structural equation modeling in
marketing research. Journal of the Academy
Marketing Science, 2012. 40: p. 414-433.
[10] Ghozali, I., Structural Equation Modeling Metode
Alternatif dengan PLS. 2 ed. 2008, Semarang: BP
undip.
[11] Chin, W., R. Peterson, and S. Brown, Structural
equation modeling in marketing: Some practical
reminders. Journal of Marketing Theory and Practice,
2008. 16(4): p. 287.
[12] Agut, S., R. Grau, and E. al, Individual and
Contextual Influences on Managerial Competency
Needs. The Journal of Management Development,
2003. Vol. 22, No. 10, 2003: p. 906-918.
IRWNS 2013
96
PENGARUH DESTINATION BRANDING TERHADAP TOURIST
RETENTION PADA WISATAWAN INDONESIA YANG
BERKUNJUNG KE THAILAND
(Survei pada wisatawan Indonesia yang berkunjung ulang ke Thailand
Melalui Tour and Travel di Bandung)
Marceilla Hidayat, BA (Hons), MM. Par
Is Prayini S.Par
Program Studi Usaha Perjalanan Wisata, Jurusan Administrasi Niaga, Politeknik Negeri Bandung, Bandung 40012
E-mail : [email protected]
ABSTRACT
Thailand is one of the tourist destinations in Southest Asia that is growing continuously. The number of tourist arrivals
continues to increase in every year. The Tourism Authority of Thailand (TAT) is a major force that was formed specifically by
the Royal Thai government in promoting the tourism of Thailand throughout to the world. Indonesia is one of the countries that
contribute to the tourists coming to Thailand, the number of Indonesian tourists visiting Thailand has increased each year, with
an increasing number of Indonesians indicating they would like to return. Destination branding program is a part of the
marketing strategy of a country that can be used to maintain and increase tourist retention to visit either an area or country. The
destination branding program consists of seven elements that are image, recognition, differentiation, brand messages,
consistency, emotional response and creating expectation whereas tourist retention consists of financial bonds, social bonds
and customize bonds. The research method used is a descriptive survey and explanatory survey with a sample size of 100
respondents through the tour and travel in Bandung with data collection techniques including interviews, observation and
questionnaires. The analysis technique used is a path analysis 20.0 for windows program. The results showed that the variable
of destination branding has significant impact in maintaining tourist retention to come and to keep coming to Thailand.
Keyword
Destination branding and tourist retention
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Selama enam dekade terakhir, pariwisata dikategorikan ke
dalam kelompok industri dengan pertumbuhan tercepat
dan terbesar dunia (the world’s largest industry) hal ini
diungkapkan oleh United Nations World Tourism
Organization (UN-WTO) bahwa sekitar 8% dari ekspor
barang dan jasa pada umumnya sektor pariwisata adalah
penyumbang terbesar dalam perdagangan internasional
yaitu kurang lebih 37%, pariwisata juga termasuk kedalam
5 top exports categories di 83 negara World Trade
organization (WTO) maka dari itu pariwisata menjadi
pendorong utama dalam perkembangan sosial ekonomi
dunia.
UN-WTO menegaskan bahwa Asia sebagai wilayah yang
paling berkembang di dunia, hal tersebut di dorong oleh
pertumbuhan ekonomi yang baik sehingga diperkirakan
pada tahun 2020 Asia dan pasifik akan tumbuh lebih dari
5% per tahun, dibandingkan dengan rata–rata dunia
sebesar 4,1% lebih, dan daerah Eropa diprediksikan akan
menurun dari 60% pada tahun 1995 ke 46% pada tahun
2020, pada tahun 2033 Asia diprediksikan akan
memperebutkan posisi nomor satu dari Eropa yaitu
1289,85 juta wisatawan Internasional akan berkunjung ke
Asia, hal ini diasumsikan terjadi peningkatan signifikan
untuk Asia 7,2% tiap tahunnya dan 3,85% untuk Eropa,
kenaikan signifikan 4,47% untuk skala dunia.
UN-WTO menyatakan Asia Tenggara merupakan
penyumbang terbesar dalam kenaikan kunjungan
wisatawan Internasional yang didominasi oleh Malaysia,
Thailand, Singapura, Indonesia dan Philipina. Berikut
tabel data mengenai kunjungan wisatawan Internasional di
Asia Tenggara.
Thailand merupakan salah satu destinasi pariwisata di Asia
Tenggara yang terus berkembang hal ini terbukti dengan
IRWNS 2013
97
meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan setiap
tahunnya. Gubernur Tourism Authority of Thailand (TAT)
Mr Suraphon Svatasreni mengatakan,” Pariwisata kini
diakui sebagai industri jasa yang paling penting di
Thailand dan berkontribusi terhadap penciptaan lapangan
kerja dan pendapatan devisa negara, pendapatan terbesar
pariwisata Thailand didominasi oleh wisatawan ASEAN.
Berikut tabel data mengenai jumlah kunjungan wisatawan
ASEAN di Thailand.
ulang ke Thailand. Berikut tabel wisatawan Indonesia yang
melakukan kunjungan ulang.
Berdasarkan Tabel 1.3 jumlah wisatawan Indonesia yang
berkunjung ulang ke Thailand pada tahun 2011 meningkat
sebesar 19.47 persen. Pengeluaran wisatawan Indonesia ke
Thailand pada tahun 2012 per orang per hari sebesar
4,731.24 bath dengan rata-rata lama tinggal enam hari.
Berikut Tabel pendapatan dari wisatawan Indonesia di
Thailand.
Pengeluaran terbesar adalah Shopping, Accomodation,
F&B Entertainment. Berikut Tabel pengeluaran
wisatawan Indonesia di Thailand.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun masalah yang akan dibahas dalam penelitian
ini ialah:
1. Bagaimana gambaran Destination Branding Thailand
―Amazing Thailand – Always Amazes You‖.
2. Bagaimana Tourist Retention wisatawan Indonesia
yang berkunjung ke Thailand.
Bagaimana pengaruh Destination Branding Thailand
―Amazing Thailand – Always Amazes You,” terhadap
Tourist Retention pada wisatawan Indonesia yang
berkunjung ke Thailand
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Destination Branding
Konsep Destination Branding bagian dari 3i Marketing
Triangle
Pemasaran merupakan salah satu bagian dari industri
pariwisata. Industri pariwisata memerlukan program
pemasaran untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan
pelanggan secara memuaskan.
Kotler dan Keller (2011:27) mengungkapkan bahwa
“Marketing is about identifying and meeting human and
social needs‖. (Pemasaran adalah tentang mengidentifikasi
dan memenuhi kebutuhan manusia dan sosial).”
Menurut The American Marketing Association (AMA)
dalam Kotler dan Keller (2011: 27) ―Marketing is the
activity set of institutions and processes for creating,
communicating, delivering and exchanging offering that
have value for customers, clients, patners and society at
large‖. (seperangkat aktivitas suatu institusi dan proses
untuk menciptakan, mengkomunikasikan, menyampaikan,
bertukar penawaran yang memiliki nilai bagi pelanggan,
klien, patner dan masyarakat umumnya).”
Hermawan Kartajaya dan Kotler (2009:82) mengistilahkan
dasar-dasar marketing sebagai 3i Marketing Triangle
yaitu:
1. Positioning didefinisikan sebagai cara dalam
mengarahkan pelanggan secara kredibel dan untuk
menempatkan keberadaanya dibenak konsumen.
2. Differentiation adalah taktik utama untuk
mendiferensiasikan content, context, dan
infrastruktur dari penawaran perusahaan kepada
target market nya.
3. Brand merupakan identitas atau simbol, logo yang
membedakan dirinya dengan pesaing.
Destination branding merupakan bagian dari merek yang
digunakan untuk memasarkan potensi suatu daerah yang
ditampilkan dalam simbol, logo, kata-kata, nama, tanda
atau penjelasan lain dari sebuah pengalamaan perjalanan
yang saling berhubungan dengan berbagai hal yang akan
memudahkan orang memiliki asosiasi dengan tempat
tersebut.
Elemen Destination Branding
IRWNS 2013
98
Menurut Blain, Levy, dan Ritchie 2005(dalam Ike Janita
Dewi, 2011:39) Definisi tentang destination branding,
yang juga berarti garis besar dalam mengembangkan
strategi sekaligus kerangka evaluasi untuk menilai
efektivitas branding suatu destinasi wisata. Elemen elemen
ini adalah:
1. Citra (Image)
2. Mengenalkan (Recognition)
3. Membedakan ( Differentiation)
4. Menyampaikan Pesan (Brand Messages)
5. Konsisten ( Consistency)
6. Membangkitkan respon emosional (Emotional
Response)
7. Membangkitkan harapan (creating expectation)
Konsep Destinasi Pariwisata
Pariwisata dalam UU Pariwisata No.10 tahun 2009 pasal 1
ayat 3 mendefinisikan bahwa, Pariwisata adalah berbagai
macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas
serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha,
Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
Dalam menggerakkan pariwisata diperlukan industri
pariwisata, UU Pariwisata No.10 tahun 2009 pasal 1 ayat 9
meyatakan bahwa Industri Pariwisata adalah kumpulan
usaha pariwisata yang saling terkait dalam rangka
menghasilkan barang dan jasa bagi pemenuhan kebutuhan
wisatawan dalam penyelenggaraan pariwisata. Suatu
daerah tujuan wisata disebut Destinasi Pariwisata,
Destinasi Pariwisata dalam UU Pariwisata No.10 tahun
2009 pasal 1 ayat 6 mendefinisikan bahwa,
Daerah tujuan pariwisata yang selanjutnya disebut
Destinasi Pariwisata adalah kawasan geografis yang
berada dalam satu atau lebih wilayah administratif fasilitas
umum, fasilitas pariwisata, aksesibilitas, serta masyarakat
yang saling terkait dan melengkapi terwujudnya
kepariwisataan.
Konsep Customer Retention
Perusahaan melakukan berbagai strategi dalam
mempertahankan pelanggannya agar tidak berpindah ke
kompetitor. Lazimnya disebut customer retention di dunia
pemasaran (Bayu E. Winarko, dalam republika.co.id,
2003).
Customer Retention dalam Buttle (2009:257)
mendefinisikan bahwa,
customer lifecycle dibangun oleh tiga proses
manajemen customer atau pelanggan, antara lain yaitu
customer acquisition, customer retention dan customer
development. Customer retention atau retensi
pelanggan bertujuan untuk menjaga proporsi yang
tinggi dari nilai pelanggan dengan mengurangi churn
(pembelotan) pelanggan terhadap perusahaan pesaing.
Pengertian Customer Retention
Buttle (2009:298) mendefinisikan bahwa, Customer
retention merupakan tujuan strategis untuk mengupayakan
pemeliharaan hubungan jangka panjang dengan pelanggan.
retensi pelanggan menjadi cerminan penyebrangan
pelanggan. Tingkat retensi yang tinggi sama dengan
tingkat penyebrangan yang rendah. Sedangkan Customer
Retention dalam Suzanne Taylor (2010:27)
mengungkapkan retensi pelanggan merupakan komponen
kunci dalam mempertahankan bisnis yang
menguntungkan. Tujuan dari retensi pelanggan adalah
mengkonversi waktu pertama atau pembeli awal menjadi
pelanggan yang loyal dalam jangka panjang.
Ramakrishnan (dalam Lombard, 2009:73) retensi
pelanggan dapat digambarkan sebagai tujuan pemasaran
mempertahankan pelanggan agar tidak pindah ke pesaing
serta mempertahankan pelanggan aktif dengan perusahaan
dan melibatkan alokasi optimal dari sumber data.
Manfaat Retensi Pelanggan
Menurut Buttle (2009:263), retensi pelanggan memberikan
dampak positif diantaranya customer delight, adding
customer perceived value, creating social and structural
bonds, dan building customer engagement.
1. Customer Delight
2. Customer perceived value
3. Bonding
4. Build customer engagement
Menurut Zeithaml, et.al (2009:193) membangun retensi
pelanggan dapat diidentifikasikan dengan empat
pendekatan, antara lain:
1. Menambah manfaat keuangan (Adding Financial
Benefit atau Financial Bonds)
Memberikan manfaat keuntungan terhadap keuangan
perusahaan, hal tersebut terjadi dikarenakan adanya
peningkatan pembelian dari adanya repeat customer
secara berulang-ulang, tanpa mengeluarkan biaya
promosi yang sangat besar. Financial bonds ini terdiri
dari: Program club marketing, Volume and frekuensi
rewards, Stable pricing, Bunding dan cross selling.
2. Menambah Manfaat Sosial (Adding Social Benefit atau
Social Bonds)
Membentuk suatu hubungan secara pribadi antara
perusahaan, khususnya karyawan dengan pelanggan.
Dalam hal ini, karyawan berusaha meningkatkan ikatan
sosial mereka dengan pelanggan dengan cara
membangun relasi pada masing-masing pelanggan
secara pribadi. Social bond terdiri dari: Continous
Relationship, Personal Relationship, Creat Positive
social bonds between the customer and service
provider employees (social bond among customers).
IRWNS 2013
99
3. Menambah manfaat kustomisasi (Adding customization
benefit atau customization bonds).
Menawarkan suatu program yang sesuai dengan
keinginan pelanggan, biasanya tidak untuk semua
pelanggan, hanya pelanggan pada segmen tertentu saja
yang menginginkan pelayanan yang berbeda dari
biasanya.
4. Menambah ikatan struktural (adding structural ties
atau structural bonds). Structural bonds terdiri dari:
Creat long term contact, Charge a lower price to
customer who buy larger suppliers,Turn the product
into a long term service
3. OBJEK DAN METEDOLOGI PENELITIAN
3.1 Objek Penelitian
Penelitian ini menganalisa destination branding dan
customer retention, yang menjadi variabel eksogen
atau variabel bebas yaitu destination branding
dengan indikator Image, Recognition, Differentiation,
Brand messages, Consistency, Emotional Response,
dan Creating Expectation. Selanjutnya yang menjadi
variabel endogen atau variabel terikat yaitu customer
retention yang mencakup Financial bonds, Social
bonds, Customize bonds. Unit analisis dari penelitian
ini adalah wisatawan Indonesia yang telah
berkunjung ulang ke Thailand. Penelitian ini
menggunakan metode pengembangan cross sectional
karena penelitian dilakukan dalam kurun waktu
kurang dari satu tahun serta informasi dari sebagian
populasi dikumpulkan langsung ditempat kejadian
secara empirik dengan tujuan untuk mengetahui
pendapat dari sebagian populasi terhadap objek yang
sedang diteliti. Menurut Husein Umar (2008:45)
Pendekatan cross sectional yaitu “Metode penelitian
dengan cara mempelajari objek dalam kurun waktu
tertentu/tidak berkesinambungan dalam jangka waktu
panjang”.
3.2 Metode Penelitian
3.2.1 Jenis dan Metode yang Digunakan
Berdasarkan variabel-variabel yang diteliti maka jenis
penelitian ini adalah penelitian deskriptif dan verifikatif.
Metode yang digunakan dalam penelitian adalah
explanatory survey. Penelitian survei adalah penelitian
yang dilakukan pada populasi besar maupun kecil, tetapi
data yang dipelajari adalah data-data dari sampel yang
diambil dari populasi tersebut, sehingga ditemukan
kejadian-kejadian relatif, distribusi dan hubungan-
hubungan antar variabel sosiologis maupun psikologis
(Linger dalam Sugiyono (2008:7).
3.2.2 Metode Penarikan Sampel
Dalam penentuan ukuran sampel (n) dan populasi (N) yang
telah ditetapkan maka dalam penelitian ini menggunakan
rumus sampel Slovin (Husein Umar, 2003:141) yaitu
sebagai berikut:
Keterangan:
n = sampel
N = Populasi
e = 10% = 0,1
Berdasarkan teknik tersebut maka jumlah sampel yang
diambil dalam penelitian ini adalah sebanyak 100
wisatawan.
3.2.3 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh
penulis adalah sebagai
berikut:
1.Wawancara,
2. Kuesioner,
3. Observasi,
4. Studi kepustakaan
4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Pelaksanaan Program Destination Branding
Hasil rekapitulasi seluruh tanggapan wisatawan
yang disajikan pada Tabel 4.1
Berdasarkan pada Tabel 4.1 dapat dilihat bahwa sub
variabel dari pelaksanaan destination branding yang
mendapatkan penilaian paling tinggi adalah emotional
response dengan skor rata-rata sebesar 410,33 dengan
presentase15%. Hal tersebut karena pemerintah Thailand
sudah mampu menerapkan dan membangkitkan emosional
wisatawan dalam daya tarik wisata Thailand yang
ditawarkannya sehingga menciptakan kesan positif
dibenak wisatawan dengan daya tarik wisata negara lain.
Sedangkan sub variabel yang mendapat penilaian terendah
adalah differentiation dengan persentase sebesar 14%
dengan skor rata-rata 376,25. Hal tersebut disebabkan oleh
pemerintah Thailand belum mampu dalam menciptakan
IRWNS 2013
100
daya tarik wisata yang memiliki nilai beda dengan tujuan
wisata negara lainnya dalam kawasan Asia Tenggara.
4.2 Tanggapan WisatawanTerhadap Tourist
Retention untuk Berkunjung keThailand
Hasil rekapitulasi seluruh tanggapan wisatawan yang
disajikan pada Tabel 4.2
Berdasarkan pada Tabel 4.2 dapat dilihat bahwa sub
variabel tourist retention mendapatkan penilaian paling
tinggi adalah customize bonds dengan persentase sebesar
35% dengan skor rata-rata 389. Hal tersebut karena ikatan
penyesuaian antara daya tarik wisata Thailand, informasi
yang diberikan, keragaman dan kevariasian paket wisata
yang ditawarkan sudah mampu menyesuaikan dengan
permintaan dan keinginan wisatawan Indonesia yang
berkunjung ke Thailand sehingga kebutuhan wisatawan
Indonesia selama berkunjung ke Thailand dapat terpenuhi
dengan baik.
Sedangkan sub variabel yang mendapat penilaian terendah
adalah social bonds dengan persentase sebesar 31%
dengan skor rata-rata 349,66. Hal tersebut disebabkan oleh
kurangnya kemampuan masyarakat Thailand yang bisa
berbahasa inggris sehingga menjadi suatu kendala untuk
dapat berkomunikasi dan berinterkasi dan membangun
hubungan sosial dengan wisatawan Indonesia yang
berkunjung ke Thailand.
4.3 Pengaruh Destination Branding Terhadap Touris
Retention Pada Wisatawan Indonesia yang
Berkunjung ke Thailand
Gambar 4.1 merupakan diagram jalur pengujian hipotesis
destination branding terhadap tourist retention yang
memiliki tiga sub variabel yang signifikan atau lebih kecil
jika dibandingkan 0,05 yaitu image, recognition dan
emotional response. Maka dilakukan pengujian koefisien
jalur pada setiap sub variabel destination branding
kontribusi secara langsung maupun tidak langsung
terhadap tourist retention. Berikut Tabel hasil pengujian
koefisien jalur, pengaruh langsung dan tidak langsung
destination branding terhadap tourist retention pada
wisatawan indonesia yang berkunjung ke thailand.
Berdasarkan hasil perhitungan pada Tabel 4.3 maka sub
variabel image (X1.1) memiliki pengaruh langsung
terhadap tourist retention sebesar 0,064017 atau 6,40 %.
Sedangkan pengaruh secara tidak langsung melalui
recognition sebesar 0,040456 atau 4,04% dan
melalui emotional response (X1.6) sebesar 0,054496 atau
5,44%. Sehingga diperoleh pengaruh keseluruhan image
adalah sebesar 0,158969 atau 15,89%.
Berdasarkan hasil perhitungan diatas maka dapat diketahui
bahwa pengaruh destination branding terhadap tourist
retention pada wisatawan Indonesia yang berkunjung ke
Thailand adalah sebesar 0,570288 atau 5,70%.
Sedangkan koefisien jalur variabel lain diluar
variabel destination branding ditentukan melalui :
=
=
= 0,655
Hal tersebut berarti bahwa (X1.1), (X1.2), dan (X1.6)
bersama-sama mempengaruhi tourist retention sebesar
32,3% dan sisanya (0,655)2
= 0,429 x 100% = 4,29%
dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak termasuk ke dalam
penelitian ini.
5. KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dengan
menggunakan analisa deskriptif dan verifikatif antara
program destination branding dalam mempertahankan
tourist retention pada wisatawan Indonesia yang
berkunjung ke Thailand dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut.
1. Secara umum wisatawan Indonesia memiliki penilaian
yang tinggi terhadap program destination branding.
elemen dari program destination branding yang
paling tinggi pengaruhnya terhadap tourist retention
pada wisatawan Indonesia yang berkunjung ke
Thailand adalah melalui emotional response.
IRWNS 2013
101
2. Gambaran wisatawan Indonesia mengenai tourist
retention untuk berkunjung ke Thailand secara umum
cukup tinggi. Aspek yang memiliki nilai tertinggi
adalah melalui customize bonds yang mendorong
wisatawan melakukan kunjungan ulang.
3. Program destination branding mempunyai pengaruh
yang tinggi terhadap tourist retention. Hal tersebut
menunjukkan bahwa pelaksanaan program destination
branding yang dilakukan Thailand melalui Image,
Recognition, Emotional Response mampu
mempengaruhi tourist retention wisatawan Indonesia
untuk berkunjung ke Thailand.
5. 2 Rekomendasi
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka penulis
merekomedasikan hal-hal berikut:
1. Program destination branding, secara umum
wisatawan Indonesia memiliki penilaian yang tinggi
terhadap program ini. Image Thailand secara
keseluruhan sudah baik menurut wisatawan Indonesia,
namun pihak Tourism Authority of Thailand harus
meningkatkan citra Thailand melalui kebaikan
reputasi destinasi Thailand melalui Brand Amazing
Thailand Always Amazes You dibenak wisatawan
Indonesia. Recognition Thailand secara keseluruhan
sudah dikenal melalui Brand Amazing Thailand
Always Amazes You tetapi pihak Thailand harus masih
meningkatkan keefektifan dari brand tersebut agar
lebih efektif sehingga wisatawan Indonesia lebih
mengenal daya tarik wisata Thailand. Differentiation
Thailand secara keseluruhan sudah unik dan berbeda
dengan daya tarik wisata negara lainnya, namun pihak
Tourism Authority of Thailand harus lebih
meningkatkan kekhasan dari Brand Amazing Thailand
agar lebih menarik, unik, dan spesial bagi para
wisatawan Indonesia. Brand message secara
keseluruhan sudah menarik, namun wisatawan
Indonesia menilai Thailand sebagai destinasi masih
kurang jelas memberikan informasi produk yang
dimiliki. Oleh karena itu, Thailand haruslah
meningkatkan dan menambah media informasi kepada
wisatawan dengan harapan brand message yang
disampaikan secara jelas dapat diterima dan
dimengerti oleh wisatawan Indonesia. Consistency
secara keseluruhan sudah baik membangun daya tarik
wisata dengan melalui Brand Amazing Thailand,
namun pada pertanyaan Konsistensi dalam
penggunaan Merek Thailand Melalui Amazing
Thailand masih perlu ditingkatkan, oleh karena itu
pihak Tourism Authority of Thailand harus
meningkatkan konsistensi dalam penggunaan merek
Thailand. Emotional response secara keseluruhan
sudah baik dimana daya tarik wisata Thailand sudah
mampu menciptakan kenangan yang baik dibenak
wisatawan Indonesia, namun kenyaman layanan
destinasi yang diberikan masih kurang nyaman
dirasakan oleh wisatawan Indonesia. Oleh karena itu
pihak Tourism Authority of Thailand harus lebih
meningkatkan kenyamanan layanan. Salah satu cara
yang baik ialah memberikan sambutan dan senyuman
hangat kepada wisatawan Indonesia yang berkunjung
ke Thailand. Creating Expectation secara keseluruhan
sudah baik, pihak Tourism Authority of Thailand
sudah mampu menyesuaikan harapan dengan
kenyataan yang diterima oleh wisatawan Indonesia,
namun harapan kualitas layanan dengan kenyataan
yang didapat kurang sesuai. Oleh karena itu pihak
Tourism Authority of Thailand haruslah meningkatkan
kualitas layanan salah satunya dengan cara bersikap
ramah, menjaga suasana tetap tenang, dan yang paling
penting adalah bertutur sapa dengan wisatawan ketika
melayani.” Pesannya singkat, jelas dan padat.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Amelia, Emi. (2011). Pengaruh Program Customer
retention Terhadap Kepuasan Nasabah Serta
Implikasinya Pada Loyalitas Nasabah Bank Rakyat
Indonesia. Skripsi Sarjana Pada Universitas
Pendidikan Indonesia Bandung: 2011/06/23.
[2] Arikunto.(2006). Prosedur Penelitian Suatu
Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
[3] Buttle, Francis. (2009). Customer Relationship
Management 2nd
Edition. Elsevier :Oxford.
[4] Cleverdon. R, Fabricius. M. (2006). Destination
Positioning, Branding and Image Management.
Manila: WTO.
[5] Dewi, Janita Ike (2011), pemasaran pariwisata
yang bertanggungjawab, Yogyakarta: pinus book
publisher.
[6] Graham, Hankinson (2004). Relational Network
Brands: Towards a Conceptual Model of Place
Brands. ABI; Inform Global.
[7] Kapplandinou, Kiki, (2003) Destination Branding:
Concept dan Measurement retrivied August, 2003
from http://www.michigan.org/indx.lasso? -
article=108.
[8] Kertajaya, H. (2010). Konsep Pemasaran. Jakarta:
Erlangga.
[9] Kotler, Philip and Kevin Lane Keller. 2009.
Marketing Management 13th
Edition.Pearson
Prentice hall: New Jersey.
[10] Amstrong, Gary.(2008). Prinsip-Prinsip
Pemasaran Edisi 12 Jilid 1 dan 2. Jakarta:
Erlangga.
[11] Kevin Lane Keller, (2008), Manajemen
Pemasaran: Edisi Keduabelas, Jakarta:Indeks
Kelompok Gramedia.
[12] Lin Sheng-wei dan Li Chun-ju (2005), the
Relationships Among Brand Image, Service
Quality, Perceived Quality, Customer Satisfaction
and Customer Loyalty an Empirical Study of Travel
Industry: Retrived from The 2nd
Tourism Outlook
IRWNS 2013
102
Conference: Tourism Edge and Beyond, Malaysia:
Universiti Technologi Mara.
[13] Morgan, Nigel & Annette Pritchard, (2005),
Destination Branding. Cardiff: Elsevier.
[14] Pattan, Mario.(2009). Program Destination
Branding Dalam Mempertahankan Loyaltas
Wisatawan Indonesia Untuk Berkunjung Ke
Singapura. Skripsi Sarjana Pada Universitas
Pendidikan Indonesia Bandung: 2011/05/30
[15] Pike, S., (2008). Destination Marketing, An
Integrated Marketing Communication Approach.
USA: Elsevier Inc.
[16] Republik Indonesia.(2010).Undang-Undang No 10
Tahun 2009 tentang Kepariwisataan .Sekretariat
Kabinet RI.Jakarta
[17] Riduwan.(2010). Metode dan Teknik Menyusun
Tesis. Bandung: Alfabeta
[18] Shaw, C. (2010). How to Improve Customer
Retention by Building Customer Experiences.
Parature , 9-10.
[19] Situmorang, S. H. (2008). Destination Branding :
Membangun Kenggulan Bersaing Daerah.
Perencanaan dan pengembangan Wilayah, Vol.4,
No.2, 83.
[20] Sugiyono, (2008), Metode Penelitian Bisnis,
Bandung: Alfabeta. (2011). Statistika Untuk
Penelitian.Bandung: Alfabeta.
[21] Suharsimi Arikunto, (2006), Prosedur Penelitian:
Suatu Pendekatan Praktek: Jakarta: Rineka Cipta.
[22] Sulastri, Cici. (2010). Pengaruh Kinerja Paket
Wisata Umrah dan Haji Khusus Terhadap Retensi
Pelanggan PT. Amanah Mulia Wisata (AMWA
Tours) Sebagai Travel Penyelenggara umrah dan
Haji Khusus di Kota Bandung. Skripsi Sarjana pada
Universitas Pendidikan Indonesia: 2011/06/22.
[23] Tjiptono, Fandy. (2007). Pemasan Jasa. Penerbit
Andi : Yogyakarta.
[24] Undang undang No. 10 Tahun 2009 tentang
kepariwisataan Pasal 1 ayat 3 dan 6, pasal 1 ayat
9, Pasal 6.
[25] Zein, Riski Annisa. (2011). Pengaruh Kompetensi
dan Independensi terhadap Kualitas Audit. Skripsi
Sarjana Universitas Pendidikan
Indonesia:2012/01/03.
Website
[1] (http://www.tatnews.org/tat_corporate/3488.asp/20
.28.)
[2] (http://www.tatnews.org/latest_update/index.asp?p
=4.)
[3] (http://www.tatnews.org/tat_release/detail.asp?id=
774/18.02Thailand-business-news.com:
22.38)(mkt.unwto.org/en/content/tourismhightlights
, 2011/10/25/22.14).
[4] (http://www.tatnews.org/media-releases-
2012/item/515-tat-launches-thainess-concept-in-
indonesia-projects-major-growth-in-arrivals/12pm-
14/2/2013).
[5] http://www.tatnews.org/tat_corporate/3488.asp/20.
28).
[6] http://www.tourism.go.th/2010/th/statistic/tourism.p
hp?cid=32
Tourism.go.th/2010/th/home/index.php/2011/10/24/
22.37
[7] http://mkt.unwto.org/sites/all/files/docpdf/unwtohig
hlights 11enlr.pdf.
[8] http://travel.okezone.com/read/2011/11/29/409/535
588.
[9] http://www.tatnews.org/tat_release/detail.asp?id=7
74/18.02Thailand-business-news.com: 22.38.
[10] http://www.amazon.com/Marketing-Charles-W-
Lamb/dp/111182164X
StrategyThailand/5261.asp.htm /2011/10/25/22.32.
[11] www.eturbonews.com/23972/ -thailand-looks -
flirting-20-million-travellers-mark
2012/2011/10/25/23.17).
[12] www.amazon.com/Suzanne-E.-
Taylor/e/B001K89890.
[13] http://61.19.236.137/tourism/th/home/tourism.php
[14] http://www.travel-impact-
newswire.com/2012/07/full-details-thailands-
tourism- marketing-action-plan-
2013/#axzz2KEMRiaFR
[15] http://spektakula.blogspot.com/2011/08/travel-and-
tours-amazing-thailand.html
[16] (http://www.tatnews.org/media-releases-
2012/item/515-tat-launches-thainess- concept-in-
indonesia-projects-major-growth-in-
arrivals/12.09pm/14/2/2013)
[17] http://www.tatnews.org/about-tat/10-about-tat/16-
mission/11:41/27/04/2013)
[18] http://asianhistory.about.com/od/thailand/p/Thailan
dProfile.htm
[19] http://www.tatnews.org/about-tat/10-about-tat/57-
history/11:54/27/04/2013
[20] http://www.tourism.go.th/tourism/en/home/aboutus
-03.p
IRWNS 2013
103
Pengaruh kualitas pelayanan terhadap kepuasan pelanggan
di Bandara Husein Sastranegara Bandung
Tomy Andrianto, SST., MM.Par, JurusanAdministrasi Niaga,Politeknik Negeri Bandung,Bandung 40012
E-mail : [email protected]
Any Ariani Noor, M.Sc Jurusan Administrasi Niaga, Politeknik Negeri Bandung,Bandung 40012
E-mail : [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengukur persepsi konsumen atas kualitas pelayanan bandara, melihat
bagaimana pengaruh kualitas pelayanan terhadap kepuasan pelanggan di Bandara Husein Sastranegara
Bandung dan mengungkap faktor yang menjadi pertimbangan konsumen menentukan kepuasannya
terhadap kualitas pelayanan di bandara. Model penelitian yang dikembangkan adalah dengan menentukan
delapan dimensi kualitas pelayanan bandara yang terdiri dari tangible, reliability, responsiveness,
empathy, assurance, Information visibility, Convenience dan security. Metode penelitian yang digunakan
adalah kuantitatif. Unit analisis yang digunakan adalah konsumen yang pernah mendapatkan pelayanan di
bandara Husein Sastranegara, Bandung. Jumlah responden sebanyak 152 orang dikumpulkan
menggunakan teknik non probability sampling. Data dikumpulkan menggunakan self administered
questionnaire. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas pelayanan bandara Husein Sastranegara
dipersepsikan masih belum dapat memberikan kepuasan kepada konsumen. Namun demikian, model
yang dibangun dapat menjelaskan bahwa terdapat pengaruh antara kualitas pelayanan bandara terhadap
kepuasan pelanggan dengan nilai yang rendah. Model juga dapat digunakan untuk memprediksi kepuasan
pelanggan atas kualitas pelayanan bandara. Hasil lain juga mengungkap rendahnya delapan dimensi
kualitas pelayanan bandara mempengaruhi tingkat kepuasan pelanggan menunjukkan bahwa masih
terdapat faktor lain yang perlu diuangkap dalam penelitian lanjutan.
Kata Kunci Kualitas pelayanan, kepuasan pelanggan bandara
1. PENDAHULUAN
Bandara (bandara) dipersepsikan sebagai pintu gerbang
masuk ke suatu daerah, wilayah atau negara dan telah
menjadi salah satu sarana pokok sektor transportasi
udara.Untuk dapat melaksanakan fungsinya, bandara harus
ditata secara terpadu sehingga pelayanan dapat diterima
dengan baik oleh konsumen. Tata penyelenggaraan
bandara harus sesuai dengan Keputusan Menteri
Perhubungan No. 48 tahun 2002 agar terwujud
penyelenggaraan operasi penerbangan yang handal dan
berkemampuan tinggi serta memenuhi standar
internasional perencanaan bandara, sesuai dengan standar
yang diberlakukan oleh Badan Standarisasi Indonesia
(SNI) dan International Civil Aviation Organization
(ICAO).
1.1 Latar Belakang masalah
Bandara Husein Sastranegara merupakan bandara
potensial dengan pertumbuhan penumpang rata-rata
mencapai 25% pertahun sampai tahun 2011 dengan angka
960.000 orang. Pada tahun 2012 pertumbuhan penumpang
di Bandara Husein Sastranegara mencapai 97,5% atau 1,8
juta penumpang setahun, terdiri dari 1,2 juta penumpang
domestik, dan 600.000 penumpang internasional
(dephub.go.id, 2013). Kenaikan ini terjadi karena
pembukaan rute baru dari dan menuju Bandung (Sunoko
dalam Nugroho, 2012), seperti peningkatan penerbangan
dari Airlines yang sudah beroperasi atau masuknya
Airlines baru baik domestik atau Internasional di Bandara
Husein. Pada tahun 2012 penerbangan tumbuh 70,1%
menjadi 17.529 setahun, yaitu domestik sebanyak 12.494
dan internasional 5.035 penerbangan. Peningkatan jumlah
penumpang dan penerbangan ini tentu saja harus
diantisipasi dengan peningkatan pelayanan di bandara.
IRWNS 2013
104
Masih kurang baiknya pelayanan bandara Husein
Sastranegara dikeluhkan banyak kalangan sejak lama.
Kurangnya pelayanan di bandara Husein Sastranegara
memberikan citra buruk pada industri pariwisata kota
Bandung. Dalam hal pelayanan, penumpang menilai
kondisi bandara Husein Sastraegara Bandung sangat tidak
layak, terutama jarak antara kedatangan penumpang
dengan barang sangat dekat, sehingga sering terjadi antrian
yang panjang hingga ke luar bandara (Saleh dalam
Tommy, 2010). Pelayanan lain di bandara Husein
Sastranegara juga menjadi hal utama buruknya pelayanan,
seperti pada proses imigrasi penumpang yang turun harus
menunggu lama, termasuk petugas imigrasi yang kurang
ramah, dan ruang tunggu yang tidak representatif
(Herdivan, 2011).
1.2 Perumusan masalah
Berdasarkan latar belakang, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah:
1. Bagaimana persepsi konsumen terhadap kualitas
pelayanan bandara Husein Sastranegara Bandung?
2. Seberapa besar pengaruh kualitas pelayanan terhadap
kepuasan konsumen bandara Husein Sastranegara
Bandung?
3. Faktor-faktor apa saja yang menjadi pertimbangan
konsumen dalam menentukan kualitas pelayanan
bandara Husein Sastranegara Bandung.
2. TINJAUAN PUSTAKA
Aktivitas bandara dilakukan dalam tiga area yang berbeda
(ACCC, 2004), yaitu (1) airside area terdiri dari fasilitas
yang berhubugan dengan runway, taxiway dan apron
system (2) terminal, yaitu pelayanan atas fasilitas yang
berada dalam gedung terminal dan berhubungan dengan
perpindahan penumpang, barang termasuk standar
kenyamanan penumpang (3) ground access terdiri dari
pelayanan fasilitas yang berhubungan dengan akses,
termasuk area parkir, dan jalan masuk menuju bandara.
Sementara Yusuf (2011) membagi bandara menjadi dua
bagian, yaitu (1) landside area yang terdiri dari terminal
dan area parkir (2) airside area, yaitu runaway dan apron
(area khusus untuk persiapan penerbangan dan termasuk
dalam restricted area. Pada studi ini, area yang menjadi
objek penelitian adalah landside area, atau area terminal,
karena studi dilakukan untuk mendapatkan jawaban atas
persepsi konsumen terhadap fasilitas publik yang dapat
digunakan oleh mereka.
2.1 Kualitas Pelayanan Bandara
Peningkatan kualitas pelayanan bandara banyak dilakukan
oleh bandara di seluruh dunia untuk memberikan
pengalaman pelayanan bandara yang baik kepada
penumpang. Peningkatan kualitas pelayanan menjadi
sangat penting dalam bisnis bandara, karena sebagai
pemberi jasa harus secara komprehensif memberikan
seluruh pelayanan yang diperlukan penumpang. Beragam
pelayanan terus mengalami inovasi dan pembaharuan
sejalan dengan kemajuan dan penggunaan teknologi (ASQ
Survey, 2011). Kualitas pelayanan bandara perlu dikelola
secara profesional dengan memprioritaskan pelayanan
kepada pelanggan secara berkelanjutan dan terukur agar
dapat mengetahui kinerja jasa bandara. Parasuraman dkk
dalam Fodness dan Murray (2007) mendefiniskan kualitas
pelayanan sebagai seberapa jauh perbedaan antara
kenyataan dan harapan pelanggan atas layanan yang
konsumen terima. Dengan kata lain, terdapat dua faktor
utama yang mempengaruhi kualitas pelayanan, yaitu
harapan konsumen (expectation) dan kinerja yang
dirasakan konsumen (performance). Kualitas pelayanan
bandara sangat dibutuhkan untuk mencapai kepuasan
konsumen. Fodness dan Murray (2007) melakukan
pengukuran kualitas pelayanan bandara untuk tujuan: (1)
Menilai persepsi harapan konsumen mengenai kualitas pelayanan, (2) Mengidentifikasi dan melakukan prioritas
pelayanan untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan
kepuasan konsumen di bandara dan (3) Menciptakan
indikator untuk memberikan pelayanan yang
berkesinambungan pada kualitas pelayanan di bandara.
2.2 Model Kualitas Pelayanan Bandara
Teori kualitas pelayanan bandara secara umum merujuk
pada kualitas pelayanan dengan menggunakan model teori
kesenjangan (gap). Dimensi kualitas pelayanan yang
banyak digunakan adalah dimensi yang pertama kali
dikembangkan oleh Parasuraman dkk pada tahun 1988,
dikenal dengan istilah SERVQUAL yang terdiri dari lima
dimensi kepuasan konsumen, yaitu: (1) tangible; (2)
realibility; (3) responsiveness; (4) assurance; dan (5)
empathy (dalam Lee dan Lin, 2005). Kelima dimensi
tersebut merupakan dimensi yang banyak digunakan untuk
mengukur kualitas pelayanan pada industri jasa dan dapat
digunakan untuk mengukur kualitas pelayanan pada
bandara. Khireldin dkk (2011) mengembangkan dimensi
yang digunakan untuk menganalisa kualitas pelayanan
bandara yang terdiri dari (1) comfort,(2) processing time,
(3) convenience, (4) courtesy of staff, (5) information
visibility dan (6) security.
Pada studi yang dilakukan Fodness dan Murray (2007) di
bandara Amerika, banyak peneliti mengukur kualitas
pelayanan bandara dengan melakukan diskusi dan
wawancara terhadap pihak-pihak yang berkepentingan
(stakeholders)di bandara daripada melakukan survey
terhadap penumpang.Studi yang sama juga dilakukan oleh
Rhoades dkk dalam Fodness dan Murray (2007) yang
mengembangkan daftar kunci faktor pembentuk kualitas
bandara dari persektif beragam stakeholders, yang terdiri
dari (1) passenger service issues, (2) airport access, (3)
airlines airport interface) dan (4) inter-terminal
transport.Studi lain yang dilakukan Yeh dan Kuo (2002)
mengemukakan bahwa pendekatan terhadap kualitas
pelayanan bandara dapat diidentifikasi dengan enam
IRWNS 2013
105
kategori pelayanan (1) comfort, (2) processing time, (3)
convenience, (4) courtesy of staff, (5) information visibility
dan (6) security.
Berdasarkan studi yang dilakukan para ahli mengenai
kualitas pelayanan diatas, maka pada studi ini, dimensi
kualitas pelayanan yang digunakan merupakan bagian dari
pengembangannya. Pada keseluruhannya terdapat
beberapa persamaan dimensi. Berdasarkan dimensi dari
peneliti terdahulu, tidak seluruh dimensi tepat digunakan
untuk studi yang dilakukan di bandara Husein
Sastranegara. Beberapa dimensi dapat digabungkan
dengan dimensi lainnya karena memiliki arti yang
mirip.Sehingga dalam studi ini dibangun dimensi yang
dapat mewakili tingkat kualitas pelayanan sesuai dengan
kondisi yang ada di bandara Husein Sastranegara.
2.3 Kepuasan Konsumen Bandara
Telah menjadi suatu kepercayaan umum, khususnya
didunia bisnis, bahwa kepuasan pelanggan merupakan
salah satu kunci keberhasilan suatu usaha. Hal ini
dikarenakan dengan memuaskan konsumen, organisasi
dapat meningkatkan keuntungannya dan mendapatkan
pangsa pasar yang lebih luas (Barsky, 1992). Karena
kepercayaan tersebut, banyak studi dilakukan untuk
mengukur kepuasan konsumen. Sehingga banyak definisi
diberikan kepada istilah ―customer satisfaction‖ atau
kepuasan pelanggan.Kotler dan Armstrong
(2004)mendefinisiskan kepuasan pelanggan sebagai “the
extend to which product’ perceived performance matches
a buyer’s expectation‖ (h.17). Zeithaml dan Bitner (2000)
mendefinisikan kepuasan sebagai ―Satisfaction is the
customer’s fullfillment response. It is a jugdement that a
product or service feature, or the product of service it self,
provides a pleasureable level of consumption-related
fullfillment‖ (h.75).
Dari definisi tersebut terdapat suatu kesamaan makna
bahwa kepuasan pelanggan merupakan suatu perasaan atau
penilaian emosional dari pelanggan atas penggunaan suatu
produk atau jasa dimana harapan dan kebutuhan mereka
terpenuhi. Jika konsumen merasa apa yang ia peroleh lebih
rendah dari yang diharapkannya (negatif diskonfirmasi)
maka konsumen tersebut tidak akan puas. Sebaliknya, jika
yang diperoleh konsumen melebihi apa yang ia harapkan
(positif diskonfirmasi) maka konsumen akan puas.
Sedangkan pada keadaan dimana apa yang diterima sama
dengan apa yang diharapkan maka konsumen tersebut
akan merasakan tidak puas dan cukup puas (netral).
Apabila pelanggan merasa puas, maka efek yang timbul
adalah keinginan pelanggan mengulang pelayanan yang
pernah diterimanya. Hal tersebut sejalan dengan studi yang
dilakukan Fodness dan Murray (2007), yang menyatakan
bahwa kemampuan bandara memberikan kepuasan kepada
konsumen akan menjadi pertimbangan bagi konsumen
untuk menggunakan bandara tersebut sebagai tempat
memulai perjalanannya atau persinggahan dalam jadwal
penerbangannya
2.4 Faktor Pembentuk Kepuasan Pelanggan di
Bandara
Pengalaman penumpang di bandara sangat penting untuk
mengukur tingkat kepuasan atas kualitas pelayanan
bandara. Faktor yang akan membentuk kepuasan
pelanggan berbeda antara bandara satu dan lainnya, hal
tersebut berkaitan dengan kondisi bandara yang berbeda.
Untuk mengetahui faktor pembentuk kepuasan pelanggan
di bandara, perlu dilakukan studi terhadap faktor-faktor
penting yang mempengaruhi kepuasan pelanggan di
bandara.Husein Sastranegara merupakan salah satu
bandara internasional di Indonesia yang melayani
penerbangan domestik dan internasional.Meskipun
dikategorikan sebagai bandara internasional, bandara
Husein Sastranegara masih banyak mendapat keluhan dari
penumpang, baik penumpang domestik, maupun
penumpang mancanegara (Saleh dalam Tommy, 2010;
Herdivan, 2011).
Untuk meningkatkan kepuasan konsumen di bandara
Husein Sastranegara, maka perlu ditentukan faktor-faktor
yang membentuk kepuasan pelanggan di bandara.
Berdasarkan diskusi diatas, maka faktor pembentuk
kepuasan konsumen yang digunakan adalah: (1) tangible
(2) reliability (3) responsiveness (4) empathy (5)
assurance (6) Information visibility (7) Convenience dan
(8) security.
Tangible (bukti fisik) diartikan sebagai kemampuan
perusahaan dalam menunjukkan eksistensi dirinya, seperti
kondisi gedung terminal bandara, fasilitas teknologi yang
tersedia, penampilan karyawan. Secara keseluruhan hal
tersebut berhubungan dengan bukti fisik yang dapat dilihat
keberadaannya. Reliability (keandalan) menjelaskan
kemampuan perusahaan dalam memberikan pelayanan
sesuai dengan janji yang diberikan pada
pelanggan.Responsiveness (daya tanggap) berarti
kemampuan perusahaan dalam menunjukkan kemampuan
dalam memberikan pelayanan yang cepat dan tepat kepada
pelanggan. Assurance (jaminan dan kepastian) berkaitan
dengan kemampuan karyawan dalam menumbuhkan rasa
kepercayaan dari pelanggannya pada perusahaan,
didalamnya terdapat unsur etika karyawan, kredibilitas,
rasa aman pelanggan. Empathy (perhatian) berisi perhatian
yang bersifat individu kepada pelanggan dari perusahaan
dengan maksud perusahaan memahami labih jauh
keiinginan dan kebutuhan pelanggannya (Yulianto,
2009).Information visibility memberikan pengertian
mengenai kemampuan perusahaan memberikan informasi
jadwal penerbangan yang akurat dan tanda lain yang
berhubungan dengan informasi. Convenience adalah
kemampuan bandara memberikan fasilitas layanan yang
diperlukan konsumen, seperti restoran, toko ATM dan
lainnya.Sementara security adalah kemampuan perusahaan
IRWNS 2013
106
memberikan rasa aman atas keberadaan konsumen di
bandara dan keamanan atas seluruh fasilitas di bandara
(Khireldin dkk, 2011).
2.5 Hipotesis
Berdasarkan teori yang dikembangkan, model penelitian
menunjukkan bahwa kualitas pelayanan merupakan faktor
yang akan membentuk kepuasan konsumen (gambar 1).
Semakin tinggi kualitas layanan yang dirasakan oleh
konsumen, semakin tinggi kepuasan yang akan dirasakan
oleh konsumen ini digambarkan sebagai berikut
Dengan demikian hipotesis yang diuji dalam penelitian ini
adalah: Kualitas pelayanan berpengaruh terhadap
kepuasan pelanggan di bandara Husein Sastranegara
Bandung.
3. METODE PENELITIAN
Tujuan dari studi ini adalah untuk memahami hubungan
antara kualitas pelayanan dan kepuasan konsumen.Dengan
demikian unit analisis yang digunakan pada penelitian ini
adalah pada tingkat individu, yaitu orang yang telah
mendapatkan pelayanan di bandara Husein Sastranegara
melaluicross sectional datayang dikumpulkan dari
konsumen di bandara Husein Sastranegara, Bandung.
Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah non
probability sampling, yaitu pengambilan sampel yang
tidak memberikan peluang sama bagi setiap anggota
populasi untuk dipilih menjadi sampel (Sumarni dan
Wahyuni, 2006). Total responden dalam penelitian ini
adalah 152 orang responden. Pilot test dilakukan untuk
menjaga tingkat validitas dan reliabilitas atas pertanyaan-
pertanyaan dalam kuesioner dan untuk menguji apakah
pertanyaan dalam kuesioner bisa dimengerti oleh
responden. Data dikumpulkan dengan menggunakan
kuesioner yang diisi sendiri oleh responden (self
administered).
4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Profil responden
Total jumlah responden sebenarnya 152 orang, terdapat
beberapa responden yang tidak mengisi semua pertanyaan
mengenai profil mereka sendiri, sehingga beberapa
pertanyaan mengenai profil ini tidak dijawab dengan
lengkap. Selanjutnya dirangkum lebih detail pada tabel 1
dibawah ini,
Tabel : Profil Responden
Jenis Kelamin Pria
Wanita
72 orang
79 orang
Usia < 25 tahun
25 – 35 tahun
36 – 45tahun
>45 tahun
68 orang
24 orang
32 orang
24 orang
Pekerjaan Pelajar/ mahasiswa
Pegawai swasta
Wiraswasta
PNS
Lainnya
54 orang
36 orang
20 orang
20 orang
17 orang
Penghasilan < 2juta
2 – 4 juta
4 – 6 juta
> 6 juta
60 orang
37 orang
24 orang
6 orang
Terakhir kali
terbang
< 1 bulan
1 – 3 bulan
> 3 bulan
39 orang
42 orang
69 orang
Jumlah
terbang
< 5 kali
6 – 10 kali
> 10 kali
101orang
36 orang
14 orang
Profil responden menunjukkan tidak ada perbedaan gender
yang besar dalam penelitian ini, bahwa laki-laki dan
perempuan memiliki kecenderungan jumlah yang sama
dalam perjalanannya menggunakan pesawat. Usia
responden juga mengindikasikan bahwa responden pada
usia produktif banyak melakukan perjalanan menggunakan
alat trasportasi udara. Perjalanan menggunakan pesawat
saat ini tidak didominasi oleh pegawai saja, tetapi juga
oleh pelajar dan mahasiswa. Sementara, kapan terakhir
pelanggan terbang melalui bandara Husein Sastranegara
penting dalam penelitian ini untuk mengetahui bagaimana
persepsi responden untuk mengingat dengan mudah
pelayanan yang pernah diterima di Bandara Husein
Sastranegara. Semakin konsumen dekat dengan waktu
terakhir kali menggunakan pelayanan di Bandara Husein
dipersepsikan semakin konsumen dapat menjawab dengan
baik pelayanan yang diterima. Dengan jumlah terbang
pelanggan dari bandara Husein Sastranegara, dapat
dijelaskan meskipun mayoritas responden terbang kurang
dari 5 kali melalui bandara Husein, tetapi responden telah
mendapatkan pelayanan dan merasakan pelayanan yang
diterima dari Bandara Husein.
1. Tangible 2. Reliability 3. Responsiveness 4. Empathy 5. Assurance 6. Information Visibility 7. Convenience 8. Security
Kepuasan Pelanggan
SERVICE QUALITY
BANDARA:
Gambar 1: Model Penelitian
IRWNS 2013
107
4.3 Persepsi konsumen terhadap kualitas pelayanan
bandara
Persepsi konsumen terhadap kualitas pelayanan Bandara
Husein sastranegara rata-rata sebesar 3.3653 yang berarti
kualitas pelayanan bandara Husein Sastranegara dianggap
biasa saja atau belum baik, seperti disampaikan pada tabel
2.
Tabel 2: Persepsi konsumen terhadap kualitas pelayanan
Delapan dimensi yang digunakan untuk mengukur
persepsi konsumen terhadap bandara Husein Sastranegara
ditampilkan pada tabel 3.
Tabel 3: Persepsi konsumen terhadap dimensi Kualitas
Pelayanan Bandara
Dimensi Mean Std. Dev
Information 3.56 .64
Assurance 3.46 .69
Security 3.39 .81
Convenience 3.35 .59
Responsiveness 3.33 .79
Reliability 3.30 .79
Tangible 3.27 .62
Empathy 3.00 .80
Berdasarkan tabel 3 dapat dijelakan bahwa kejelasan
informasi penerbangan, informasi frekuensi ketersediaan
ruang tunggu dan kejelasan informasi bisa dikatakan
cukup baik. Begitu juga dengan assurance bahwa
kemampuan karyawan dalam menjawab pertanyaan, etika
dan pelayanan informasi yang simpatik, cukup baik,
dengan nilai yang lebih kecil dari dimensi Informasi.
Dimensi security yang didalamnya menunjukan indikasi
bahwa tingkat keamanan bandara, Kualitas fasilitas
keamanan (X-ray, security gate) juga masih dianggap
cukup baik. Dimensi convenience mengindikasikan
kenyamanan ruang tunggu, toilet, toko, restoran, tempat
penukaran uang, mesin ATM dan trolley bagasi bisa
dikatakan cukup baik. Begitu juga dimensi
Responsiveness, menunjukkan kemampuan membantu
konsumen, keinginan memecahkan masalah konsumen
dinilai masih cukup, dan reliability (kehandalan) yang
ditunjukkan dengan ketepatan dan kecepatan waktu
memberikan pelayanan juga cukup, dan cenderung belum
baik. Sementara Tangible, merupakan dimensi yang
menilai penampilan gedung terminal, fasilitas teknologi,
penampilan karyawan dan fasilitas ruang tunggu masih
belum baik. Serta, emphaty
merupakan dimensi dengan nilai terkecil yang diukur dan
dinilai paling rendah, terdiri dari kemampuan karyawan
memberikan perhatian secara individu dan mengetahui
kebutuhan konsumen juga dinilai masih belum baik,
bahkan paling kecil diantara kualitas pelayanan lainnya.
Secara keseluruhan, delapan dimensi kualitas pelayanan
yang digunakan dalam penelitian ini menunjukkan
persepsi responden terhadap kualitas pelayanan bandara
Husein sastranegara yang biasa saja atau cukup. Meskipun
dimensi Informasi dan Assurance merupakan dua dimensi
dengan nilai tertinggi namun kedua dimensi tersebut juga
belum memperlihatkan persepsi yang ideal atau baik bagi
pelayanan di bandara Husein Sastranegara. Nilai standar
deviasi yang cukup tinggi juga memperlihatkan
keberagaman jawaban yang diberikan responden. Standar
deviasi untuk dimensi Responsiveness, Reliability,
Empathy dan Security dinilai tinggi berarti keragaman
jawaban dari responden untuk empat dimensi tersebut
sangat beragam.
4.3 Pengaruh kualitas pelayanan terhadap
kepuasan konsumen
Berdasarkan analisa korelasi tingkat keeratan hubungan
kualitas pelayanan dengan kepuasan pelanggan yaitu 0,620
memperlihatkan hubungan yang signifikan, positif dan
cukup kuat karena nilai signifikansi kurang dari 0,05.
Dengan kata lain, peningkatan pada faktor kualitas
pelayanan akan meningkatkan pula kepuasan pelanggan.
Begitu juga dengan hasil analisa regresi yang dilakukan
untuk melihat seberapa kuat pengaruh kualitas pelayanan
terhadap kepuasan pelanggan di Bandara Husein
sastranegara, menunjukkan bahwa R square sebesar 0,384,
berarti bahwa hanya 38,4% kepuasan pelanggan di
bandara Husein Sastranegara dapat dijelaskan oleh
variabel kepuasan konsumen yang terdiri dari 8 dimensi
diatas. Sementara 61,6% kualitas pelayanan konsumen di
Bandara Husein disebabkan oleh faktor lain diluar kualitas
pelayanan yang tidak diteliti dalam studi ini.
Tabel 4: Model Summary
Model R R Square Adjusted R
Square Std error of the setimate
1 .6203 .384 .380 .54032
Berdasarkan tabel Anova, menunjukkan tingkat
signifikansi ANOVA atau Analysis of Variance yang juga
disebut dengan T test memiliki nilai 93.621 degan tingkat
signifikansi 0,000. Maka model regresi dapat digunakan
untuk memprediksi kepuasan pelanggan. Koefisien regresi
bernilai positif mencerminkan semakin baik kualitas
pelayanan, maka kepuasan pelanggan akan meningkat dan
terlihat signifikan. Hal ini dianggap menjadi penting dan
diperlukan untuk meningkatkan kepuasan pelanggan. Atas
dasar ini dapat dinyatakan bahwa Hipotes penelitian
Descriptive Statistics
152 1.52 4.44 3.3653 .51159
152
SERVQUAL
Valid N (listwise)
N Minimum Maximum Mean Std. Dev iation
IRWNS 2013
108
terbukti, yaitu kualitas pelayanan berpengaruh terhadap
kepuasan pelanggan di Bandara Husein Sastranegara.
4.4 Faktor-faktor pertimbangan konsumen
Penilaian konsumen terhadap kualitas pelayanan bandara
Husein Sastranegara yang ditunjukkan dengan nilai analisa
rata-rata 3,3 atau tingkat pelayanan yang bisa disebut biasa
saja atau cukup baik, menunjukkan bahwa konsumen
sebenarnya menginginkan kualitas pelayanan mencapai
tingkat kepuasan yang ideal, yaitu berada pada rentang 4,5
sampai 5. Tentunya penilaian konsumen masih jauh dari
penilaian ideal yang seharusnya diterima konsumen.
Kedelapan dimensi yang digunakan untuk menilai kualitas
pelayanan bandara Husein Sastranegara, secara ideal
belum menunjukkan tingkat kepuasan konsumen. Angka
sebesar 38,4% yang ditunjukkan pada R Square pada tabel
4 menunjukkan bahwa kedelapan dimensi belum
sepenuhnya mewakili faktor penentu kepuasan konsumen.
Maksudnya disamping kedelapan hal tersebut masih ada
faktor lain yang dapat meningkatkan kepuasan konsumen
terhadap pelayanan yang diberikan bandara Husein
Sastranegara agar mencapai hasil yang ideal. Delapan
dimensi yang digunakan dalam penelitia ini terdiri dari
Information, Assurance, Security, Convenience,
Responsiveness, Reliability, Tangible dan Empathy. Diluar
itu masih terdapat faktor lain yang perlu dipertimbangkan
untuk mengukur tingkat kepuasan konsumen di bandara.
4.5 Keterbatasan Penelitian
Kegiatan penelitian ini ditujukan terhadap konsumen yang
pernah mendapatkan pelayanan di Bandara Husein
Sastranegara. Hal ini tidaklah mudah karena beberapa
keterbatasan untuk mendapatkan responden yang tepat dan
direncanakan sebelumnya. Kriteria responden yang
diharapkan dalam penelitian ini adalah konsumen yang
menggunakan seluruh pelayanan di Bandara Husein
sastranegara, namun masih banyak dari konsumen hanya menggunakan sebagian besar fasilitas bandara saja.
Dengan demikian, penilaian konsumen pengguna bandara
belum seluruhnya dapat mencerminkan persepsi konsumen
terhadap penilaian bandara tersebut.
Keterbatasan lainnya dalam penelitian ini, yaitu mayoritas
responden dalam penelitian ini merupakan kelompok usia
kurang dari 25 tahun. Hal ini tentunya memberikan
persepsi yang berbeda dengan golongan responden pada
rentang usia lainnya. Keterbatasan ragam usia responden
juga terungkap dari pengalaman terakhir yang mereka
dapatkan di Bandara. Meskipun tempat pelaksanaan
pengumpulan data direncanakan lebih banyak
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Persepsi konsumen terhadap kualitas pelayanan bandara
udara Husein Sastranegara Bandung masih belum baik
atau dengan kata lain, bandara Husein Sastranegara masih
belum dapat memberikan kepuasan ideal kepada
konsumen dari sisi information, tangible, assurance,
security, convenience, responsiveness, reliability, emphaty.
Terdapat pengaruh kualitas pelayanan terhadap kepuasan
konsumen, dengan hasil yang positif dan signifikan. Hal
ini berarti meskipun delapan dimensi kualitas pelayanan
bandara yang digunakan dalam penelitian ini memiliki
pengaruh yang rendah terhadap kepuasan pelanggan,
namun model tersebut dapat digunakan untuk
memprediksi kepuasan pelanggan.
Delapan dimensi kualitas pelayanan bandara yang
digunakan dalam penelitian ini hanya memberikan
sebagian kecil saja pertimbangan konsumen dalam
menentukan kualitas pelayanan di bandara. Tentunya
masih ada faktor lain yang belum digunakan dan diungkap
diluar ke-delapan dimensi yang berpengaruh serta dapat
meningkatkan kepuasan konsumen terhadap pelayanan
yang diberikan.
5.2 SARAN
Terdapat beberapa saran yang diusulkan peneliti untuk
meningkatkan kualitas pelayanan dan kepuasan pelanggan
bandara Husein Sastranegara Bandun, yaitu:
1. Dilakukan penelitian lanjutan untuk mengungkap
faktor lain yang mempengaruhi kepuasan konsumen di
bandara, seperti penilaian konsumen terhadap area luar
bandara (tempat parkir, fasilitas umum lain) yang
mampu memberikan persepsi terhadap keseluruhan
kualitas pelayanan bandara.
2. Memberikan pelatihan pelayanan prima untuk pegawai
di bandara, mengingat rendahnya nilai empathy dan
responsiveness pegawai. Tentunya hal tersebut akan
meningkatkan kemampuan staf dalam memberikan
pelayanan yang lebih baik.
3. Kebersihan fasilitas bandara yang dikeluhkan
konsumen dapat ditingkatkan dengan melakukan
penjadwalan kebersihan, seperti toilet dan fasilitas
umum lainnya.
4. Pemberian Informasi yang tepat dan cepat menjadi
peran penting di Bandara karena konsumen pasti
membutuhkan hal ini. Bandara Husein Sastranegara
perlu memperbaharui dan memperbaiki serta
menambah tanda-tanda informasi yang tersedia di area
bandara, misalnya tanda arah pembayaran airport tax,
arah tanda pengambilan bagasi, tanda alur akses keluar
dan masuk bandara. Hal ini bisa dilakukan dengan
memanfaatkan teknologi sistem informasi yang
terintegrasi bahkan interaktif disetiap area yang
digunakan konsumen.
IRWNS 2013
109
DAFTAR PUSTAKA
[1] ACCC, 2004, guidelines for quality of service
monitoring at airports, Australian Competition &
Consumer Commission, online edition
[2] ASQ Survey, 2011, Airport Service Quality,
Benchmarking the global airport indutry, Best
practice report, Airport Council International,
online edition, Geneva, Switzerland
[3] Barsky, Jonathan (1992). Customer Satisfaction in
the Hotel Industry: Measurement dan Meaning.
Cornell H. R. A. Quarterly, 7. (20-41).
[4] Fodness, D dan Murray, B (2007), Passengers‟
expectations of airport service quality, Journal of
Service Marketing, 21/7, pp. 492-506. Diakses
pada: www.emeraldinsight.com/0887-6045.htm
[5] Fornell, Claes; Johnson, Michael D.; Danerson,
Eugene W.; Cha, Jaesung; Bryant, Barbara Everitt
(1996). The American Customer Satisfaction Index:
Nature, Purpose, dan Findings. Journal of
Marketing, 60(10). (7-18).
[6] Gremler, Dwayne D. dan Brown, Stephen W.
(1997).Service Loyalty: It‟s Nature, Importance,
dan Implications. Advancing Service Quality: A
Global
[7] Perspective, Edvardsson dkk., (eds) Quiz 5,
Conference Processing, University of Karlstad,
Sweden, (171-181).
[8] Hair, Anderson, Tatham, Black.(1998).
Multivariate Data Analysis.Fifth Edition. New
Jersey: Prentice Hall. USA
[9] Herdivan (2011), Kualitas sebagian bandara di
Indonesia mengecewakan, diakses
pada:http://bisnis-
jabar.com/index.php/berita/pelayanan-bandara-
harus ditingkatkan
[10] Kandampully dan Dwi Suhartanto (2003) The Role
of Customer Satisfaction dan Image in Gaining
Customer Loyalty. Journal of Hospitality dan
Leisure Marketing.Vol. 10. No ½. 2003.
[11] Khireldin, A., Zaher, HM, dan Elmoneim, AM,
(2011), A fuzzy approach for evaluating the
performance and service quality of airport,
Egyptian Aviation Academy, Cairo University,
Egypt
[12] Kotler, Philip dan Armstrong (2004).Principles of
Marketing.Prentice Hall.
[13] Lee, G.G. dan Lin, H.F (2005), Customer
perceptions of e-service quality in online shopping,
International Journal of retail and distribution
management, Vol 33, No. 2, pp.161-176. Diakses
pada:www.emeraldinsight.com/0959-0552.htm
[14] Nugroho R (2012), Angkasa Pura II benahi
bandara, diakses pada:
http://industri.kontan.co.id/news/angkasa-pura-ii-
benahi-bandara
[15] Noor, A. (2005), To what extend do the service
quality and price influence customer decision
making in choosing to fly with Airline low costs?,
Bournemouth University, UK. Dissertation
[16] Sekaran, Uma (1992) Business Research
Methods.McGraw-Hill.
[17] Sugiama, A. Gima (2008), Metode Riset Bisnis dan
Manajemen, Bandung, Guardaya Intimarta
[18] Tommy (2010), Pelayanan bandara Husein
Sastranegara sangat buruk, DemokratNews, diaksek
pada: http://demokratnews.com/pelayanan-bandara-
husein-sastranegara-sangat-buruk
[19] Yamin, S dan Kurniawan, H (2009), SPSS
complete, Teknik Analisis Statistik terlengkap
dengan software SPSS, Jakarta, Salemba Infotek.
[20] Yeh CH dan Kuo, YL (2002), Evaluating passenger
serveices of Asia-Pacific international airports,
Transportation Research Part E, pp.39-48
[21] Yulianto, A (2009), Kajian kualitas pelayanan:
Industri jasa penerbangan pasca kecelakaan
pesawat
IRWNS 2013
110
PENERAPAN MODEL LOYALITAS PELANGGAN SEBAGAI
STRATEGI UNTUK MEMBANGUN DAYA SAING JASA ANGKUTAN
KOTA
DI JAWA BARAT
Tjetjep Djatnikaa, Dwi Suhartanto
b, Gundur Leo
c
aJurusan Administrasi Niaga, Politeknik Negeri Bandung
E-Mail: [email protected]
bJurusan Administrasi Niaga, Politeknik Negeri Bandung
E-Mail: [email protected]
cJurusan Administrasi Niaga, Politeknik Negeri Bandung
E-Mail: [email protected]
ABSTRAK
Maksud dari penelitian ini adalah untuk menyelidiki faktor-faktor penentu loyalitas pelanggan angkot. Sebanyak 258 formulir
kuesioner siap olah terkumpul dari responden pelajar dan mahasiswa yang tersebar di 10 kota/kabupaten di Jawa Barat.
Data diolah dengan menggunakan Partial Least Square - Path Modeling. Penelitian ini menemukan bahwa dari tiga variabel
penentu yang diusulkan hanya kepuasan pelanggan yang memiliki pengaruh positif terhadap loyalitas pelanggan. Dampak
tidak langsung kualitas layanan terhadap loyalitas pelanggan juga hanya terjadi melalui kepuasan pelanggan. Diantara sesama
variabel penentu, nilai layanan sama-sekali tidak berpengaruh baik terhadap kepercayaan pelanggan maupun kepuasan
pelanggan. Sedangkan kepercayaan pelanggan berpengaruh positif terhadap kepuasan pelanggan. Ancaman persaingan
penggunaan angkot sebagai kebutuhan mobilitas warga adalah penggunaan kendaraan pribadi (jasa substitusi). Dalam rangka
membangun preferensi/ patronasi pelanggan terhadap penggunaan angkot secara berkelanjutan maka penyedia jasa angkot
perlu membangun program loyalitas pelanggan melalui penyediaan mutu layanan yang bagus, penguatan kepercayaan
pelanggan, dan penjaminan kepuasan pelanggan.
Kata Kunci
Loyalitas, kepuasan, kepercayaan, nilai, kualitas layanan 1. PENDAHULUAN
Angkot adalah kendaraan umum kapasitas 12-16
penumpang, penyedia jasa angkutan darat penumpang
orang untuk jarak pendek yang beroperasi di dalam
kota/kabupaten untuk suatu trayek/ rute tertentu. Layanan
angkot merupakan kebutuhan pokok warga urban (mobility
needs) yang bersifat rutin penting dan mendesak. Provinsi
Jawa Barat memiliki 19 kabupaten dan 7 kota dengan
penduduk 40 juta jiwa, merupakan provinsi penyumbang
PDB terbesar dan berperan sebagai provinsi penyangga ibu
kota Republik Indonesia. Selain itu, Jawa Barat merupakan
bagian dari korider ekonomi Jawa, berdasarkan MP3EI,
diposisikan sebagai “pendorong industri dan jasa nasional”.
Sektor jasa transportasi merupakan sektor penyumbang
terbesar terhadap pertumbuhan ekonomi dan kesempatan
kerja lokal/regional di Jawa Barat. Salah-satunya adalah
usaha jasa angkot. Angkot disediakan oleh fihak swasta,
beroperasi dalam struktur pasar yang pengguna-nya banyak
sekali dan penyedia-nya cukup banyak, dengan layanan
yang kurang lebih serupa serta harga jual (tarif) yang
ditetapkan oleh otoritas daerah. Inisiatif Ridwan Kamil,
wali kota ibu kota provinsi Jawa Barat yang
mengkampanyekan “angkot day” diharapkan dicontoh oleh
dan meng-inspirasi kabupaten/kota lain di Jawa Barat.
Bandung sebagai kota wisata, kota kreatif, kota budaya,
kota sejarah dan kota pendidikan, untuk merealisir visi,
misi, dan tujuan-tujuannya memerlukan keberadaan angkot
yang efisien dan melayani. Artikel ini akan diawali dengan
pendahuluan sebagai pengantar akan pentingnya program
loyalitas pelanggan, dilanjutkan dengan kerangka teoritis-
konseptual dan pemaparan studi empiris yang mengarahkan
penelitian ini. Berikutnya, penjelasan sekilas tentang
metodologi penelitian, perumusan model kinerja loyalitas
pelanggan, analisa dan pembahasan, dan ditutup dengan
kesimpulan dan saran.
2. KONSEP LOYALITAS PELANGGAN
Berhubung betapa pentingnya setiap bisnis memiliki
pelanggan yang loyal maka loyalitas pelanggan telah
menjadi salah satu area penelitian yang penting dalam
IRWNS 2013
111
beberapa tahun terakhir belakangan ini. Konseptualisasi
loyalitas pelanggan [13] berarti bahwa loyalitas merupakan
suatu hal yang kompleks, yang terdiri atas dua aspek, yaitu
loyalitas sikap dan loyalitas perilaku. Karena sikap
merupakan suatu konsep yang abstrak yang terdiri atas
elemen kognitif, afektif, dan konatif sehingga loyalitas
sikap terdiri atas loyalitas kognitif, afektif, dan konatif.
Loyalitas kognitif merupakan loyalitas yang didasarkan atas
kepercayaan dan pengetahuan bahwa suatu barang atau jasa
lebih disukai daripada produk atau jasa pesaingnya [15].
Pada tingkat loyalitas ini, suatu merk akan timbul dibenak
konsumen pertama kali ketika konsumen tersebut
merasakan suatu kebutuhan untuk membeli. [9]
mendefinisikan loyalitas afektif sebagai “a favourable
attitude or liking based on satisfied usage‖. Loyalitas ini
dibangun berdasar atas konsep afeksi, yaitu keseluruhan
evaluasi konsumen akan suatu merek dan terdiri atas
keterlibatan/involvement, kesukaan/liking, dan
perhatian/caring Keterlibatan, kesukaan, dan perhatian ini
terjadi sebagai akibat dari kepuasan konsumen dalam
mengkonsumsi produk atau jasa. Loyalitas konatif, disebut
juga sebagai niat berperilaku (behavioural intention) adalah
“a loyalty state that contains what, at first, appears to be
the deeply held commitment to buy” [15]. Komitmen untuk
membeli suatu produk dipengaruhi oleh perasaan suka
(afektif) secara berulang terhadap produk tersebut. Sebagai
akibatnya, mempunyai konsumen yang berkomitmen
merupakan suatu hal yang sangat penting bagi setiap bisnis
karena mereka akan relatif tahan terhadap godaan
pemasaran dari para pesaing. Terakhir, loyalitas perilaku
merupakan perubahan niat menjadi tindakan, yang disertai
dengan keinginan untuk mengatasi rintangan yang timbul
dalam proses[2]. Loyalitas ini akan bertahan lama jika
diikuti oleh komitmen sebagai akibat dari rasa puas
terhadap produk.
Berikut ini adalah ringkasan studi empiris loyalitas
pelanggan jasa transportasi darat angkutan dalam kota
dalam kurun waktu 7 tahun belakangan ini yang akan
menjadi rujukan teori dari penelitian ini. [12] meneliti
pengaruh kualitas layanan terhadap loyalitas afektif
pelanggan dengan menggunakan pendekatan Service
Quality Index menemukan bahwa penyedia jasa angkutan
kota efektip dalam menciptakan preferensi pelanggan
melalui realibilitas layanan dan ketersediaan tempat duduk
dalam bus. [6] melakukan riset tentang dampak kualitas
layanan terhadap kepuasan pelanggan dengan
menggunakan SEM. Melalui EFA empat variabel eksogen
teridentifikasi yaitu: reliabilitas dan perencanaan layanan,
kenyamanan, keselamatan dan kebersihan, dan rancangan
jejaring. Sedangkan variabel kepuasan diukur dengan
indikator persepsi dan ekspektasi pelanggan. Temuannya
bahwa keempat variabel independen tersebut berpengaruh
terhadap kepuasan. [13] menemukan dalam penelitiannya
bahwa waktu tunggu, keadaan dalam kendaraan, frekuensi
dan ketepatan waktu, kebijakan pentarifan, berpengaruh
terhadap kepuasan pelanggan. [10] meneliti efek dari
kualitas layanan dan seringnya pelanggan angkot
mendapatkan pengalaman layanan yang buruk terhadap
kepuasan dan loyalitas pelanggan angkot di kota Bandung.
Melalui analisa jalur ditemukan bahwa seluruh variabel
determinan berpengaruh terhadap kepuasan pelanggan.
Kedepan, pelanggan angkot akan masih setia sekalipun
tidak ada perbaikan yang berarti. Melalui analisa regresi
binomial, dengan menyelidiki secara mendalam terhadap
karakteristik-karakteristik kelompok pengguna yang setia
dapat disimpulkan bahwa keberadaan angkot di masa depan
masih akan diterima di negara berkembang seperti
Indonesia. [19] meneliti pengaruh kualitas layanan terhadap
ekspektasi/preferensi pelanggan (loyalitas afektif). Dengan
metode PCA, dari 18 karakteristik kualitas layanan
ditemukan bahwa fasilitas dan kenyamanan kendaraan dan
tanggungjawab perusahaan merupakan preferensi
pelanggan. [17] meriset tentang dampak kualitas layanan,
nilai layanan, dan kepuasan pelanggan terhadap retensi
pelanggan. Dengan menggunakan SEM ditemukan bahwa
nilai layanan berpengaruh terhadap kepuasan pelanggan,
kualitas layanan, dan loyalitas pelanggan. Selanjutnya,
kepuasan pelanggan berpengaruh terhadap loyalitas
pelanggan. Bertolak belakang dengan temuan-temuan
peneliti sebelumnya adalah bahwa kualitas layanan tidak
berdampak apapun baik terhadap kepuasan pelanggan
maupun loyalitas pelanggan. [11] meneliti pengaruh
kualitas layanan, nilai layanan, kepuasan pelanggan, dan
keterlibatan pelanggan terhadap konatif (intention). Melalui
SEM, seluruh varibel independen secara statistik
berpengaruh terhadap perilaku niat menggunakan kembali
di masa depan. [22] meneliti pengaruh kualitas layanan
terhadap kepuasan pelanggan, menemukan bahwa 67.7%
dari para penumpang angkot kecewa karena ketidak-tepatan
waktu. [18] meneliti dampak dari kualitas layanan terhadap
persepsi kognitif pelanggan. Melalui SERVQUAL
ditemukan bahwa kualitas layanan yang pelanggan rasakan
berpengaruh terhadap persepsi kognitif pelanggan. [20]
menyelidiki tentang pengaruh kualitas layanan,
pengorbanan pelanggan, nilai layanan, dan kepuasan
pelanggan terhadap niat untuk mengkonsumsi kembali.
Melalui SEM ditemukan bahwa nilai layanan dan kualitas
layanan berpengaruh terhadap niat untuk menggunakan
kembali. Disamping itu, nilai layanan dipengaruhi oleh
kualitas layanan dan pengorbanan pelanggan (kasus
angkutan kota di Jakarta). [1] meneliti hubungan kualitas
layanan dengan kepuasan pelanggan. Melalui regresi
logistic binary ditemukan bahwa penilaian responden
terhadap layanan angkutan kota di Ghana: istimewa (15%),
baik (63%), cukup (20.8%), dan jelek (1%). Melalui
estimasi binary logit ditemukan bahwa penilaian pelanggan
cenderung tinggi terhadap kualitas layanan ketika mereka
puas dengan komponen ongkos, tingkat kejahatan dalam
kendaraan, dan catatan keselamatan dalam kendaraan. [21]
meneliti pengaruh kualitas layanan terhadap kepuasan
konsumen. Melalui metode the satisfaction priority
quadmap ditemukan bahwa pelanggan „kurang puas‟
dengan aspek informasi dan ketersediaan angkot; „puas‟
dengan aspek lingkungan, customer care, dan aksesibilitas;
„sangat puas‟ dengan aspek keamanan dan ketepatan
IRWNS 2013
112
jadwal. Melalui metode customer satisfaction performance
dashboard diketahui bahwa yang paling dianggap
memuaskan adalah suhu dan ventilasi dalam bus.
Sedangkan yang paling dianggap mengecewakan mereka
adalah cara supir mengemudikan bus-nya.
Penelitian mereka memberi arah yang berarti dalam
pelaksanaan penelitian ini. Pertama, meskipun keduabelas
peneliti tersebut masih menggunakan pengukuran loyalitas
tunggal (loyalitas konatif/niat), namun pada umumnya
studi-studi empiris-nya menunjukan bahwa loyalitas
pelanggan merupakan suatu hal yang komplek yang terdiri
atas elemen kognitif, afektif, konatif, dan perilaku. Kedua,
dilihat dari sisi determinan atau faktor pembentuknya,
studi-studi yang telah dilakukan menunjukan bahwa
loyalitas pelanggan dipengaruhi oleh banyak faktor. Studi-
studi empiris tersebut manggarisbawahi bahwa kualitas
layanan, nilai layanan, dan kepuasan pelanggan merupakan
faktor dominan sebagai pembentuk (building block)
loyalitas pelanggan. Ketiga, studi tentang loyalitas
pelanggan pada umumnya menggunakan pendekatan cross-
sectional, dimana data dikumpulkan hanya pada suatu
waktu tertentu saja. Berhubung perilaku pelanggan
(termasuk dalam hal ini loyalitas) adalah dinamis sejalan
dengan perubahan waktu dan lingkungan, sehingga
pendekatan cross-sectional tersebut tidak mampu memberi
penjelasan bagaimana loyalitas pelanggan berubah sesuai
dengan perubahan waktu dan lingkungan yang dihadapi
oleh pelanggan.
Diskusi tentang studi-studi empiris yang telah dilakukan
selama 7 tahun terakhir ini menunjukan adanya research
gap yang menjadi dasar usulan rencana penelitian ini.
Sehingga, studi tentang bagaimana pelanggan membangun
loyalitasnya yang kompleks (kognitif, afektif, konatif, dan
perilaku) dalam jangka panjang di sektor industri jasa
transportasi penting untuk dilakukan. Selanjutnya,
meskipun banyak determinan loyalitas pelanggan
teridentifikasi, pada umumnya studi-studi terdahulu
mengarisbawahi adanya empat determinan penting bagi
loyaltitas pelanggan. Pertama, kualitas layanan, yaitu
pendapat konsumen tentang superioritas jasa secara
keseluruhan [8], merupakan strategi yang sangat penting
untuk keberhasilan dan kelangsungan hidup bagi setiap
perusahaan karena efek positifnya terhadap loyalitas
pelanggan. Kedua, nilai layanan merupakan evaluasi
konsumen terhadap apa yang ia terima dengan apa yang
telah dia diberikan [5]. Konsumen yang mempersepsikan
nilai layanan yang tinggi akan cenderung mengulang
pembeliannya. Ketiga, kepuasan pelanggan yaitu respon
pelanggan atas layanan yang dirasakan melebihi apa yang
diharapkannya [14]. Terakhir, kepercayaan (trust) yaitu
“when one party has confidence in an exchange partner’s
reliability and integrity‖ [15] mempengaruhi perilaku loyal
pelanggan karena efeknya pada komitmen pelanggan.
Dengan pertimbangan konseptualisasi loyalitas pelanggan
serta studi empiris tentang loyalitas pelanggan, model
loyalitas pelanggan di industri jasa angkot yang akan diuji
dalam penelitian ini nampak seperti pada Gambar 1.
Berdasar atas model penelitian, dua hipotesis- diajukan
untuk diuji pada tahun I ini. Hipotesis pertama adalah
„Nilai layanan, kepercayaan pelanggan dan kepuasan
pelanggan memiliki pengaruh positif terhadap loyalitas
pelanggan‟. Hipotesis kedua adalah „Kualitas layanan,
secara tidak langsung, melalui nilai layanan‟, kepercayaan
pelanggan dan kepuasan pelanggan, berpengaruh positif
terhadap loyalitas pelanggan.
Gambar 1: Model Loyalitas Pelanggan (Usulan)
3. METODE PENELITIAN
Karena studi ini bersifat longitudinal (evolusi), untuk
memahami proses evolusi tersebut maka syaratnya adalah
bahwa para penggunanya mengkonsumsi secara terus-
menerus (continuous) dalam 3 tahun kedepan. Untuk tujuan
tersebut, maka usaha jasa yang dipilih adalah jasa angkot.
Konsumen angkot di Provinsi Jawa Barat menyebar
dihampir seluruh wilayah provinsi. Sehingga, metode
sampling yang sesuai untuk studi ini adalah cluster
sampling, dan jugdment sampling. Survey ini menggunakan
suatu kuesioner yang terstruktur agar bisa mengumpulkan
data primer dari para siswa dan mahasiswa yang masih
duduk pada tahun I yang sedang berada dilingkungan
sekolah/kampus. Survey ini dilaksanakan antara tanggal 24
September - 1 Oktober 2013 dengan menyebarkan tenaga
lapangan beberapa mahasiswa dan alumni program studi
Manajemen Pemasaran Polban ke 10 kota/kabupaten di
Jawa Barat. Targetnya 272 kuesioner terkumpul, sedangkan
realisasinya hanya 258 buah (95%). Dari 258 orang yang
mengisi kuesioner 29.5% pria dan 70% wanita; siswa
76.7% dan mahasiswa 23.3% ; yang uang saku hariannya
Rp. 20.000 kebawah sekitar 84,3% dan yang diatas Rp.
20.000 sebanyak 15,9%. Yang menggunakan angkot dalam
seminggu ≤ 2 kali (18.6%), 3-5 kali (20.9%), 5-8 kali
(31.8%), dan yang diatas 10 kali (28.7%).
Kuesioner dalam penelitian ini akan dibagi menjadi tiga
bagian. Bagian pertama berisi pertanyaan-pertanyaan
dengan item jamak untuk mengukur konstruk yang akan
diuji. Semua pertanyaan dalam bagian ini akan dibuat
dengan kalimat positif sebagaimana disarankan oleh [16].
Agar konsisten dengan penelitian-penelitian terdahulu,
IRWNS 2013
113
semua konstruk akan diukur dengan 5 point Likert scale:
sangat tidak setuju (1) sampai sangat setuju (5). Sedangkan
bagian ketiga akan digunakan untuk mengumpulkan
informasi demografi responden, seperti: umur, jender,
pendapatan, pendidikan responden, dan perilaku responden
dalam hal penggunaan angkot. Kuesioner akan didesain
sebagai self-administered questionnaire.
4. DISKUSI DAN PEMBAHASAN
Pemodelan loyalitas pelanggan dengan keempat faktor
pembentuknya (kualitas layanan, nilai layanan, kepuasan
pelanggan, dan kepercayaan pelanggan) dilakukan dengan
menggunakan metode SEM variance based (Partial Least
Square). Penggunaan SEM ini dilakukan karena uji
normalitas data menunjukan bahwa data yang dianalisis
tidak terdistribusi secara normal sehingga yang paling
sesuai untuk pengujian modelnya adalah dengan
menggunakan SEM variance based [7];[8]. Dari lima
variabel yang diujikan pada model loyalitas yang diusulkan,
terdapat satu variabel eksogen (kualitas layanan) selebihnya
adalah variabel endogen. Dalam proses pengujian model
loyalitas pelanggan, prosedur yang disarankan oleh para
ahli bidang pemodelan [7] dilakukan, dimana pada tahap
awal adalah pengujian model dasar untuk mengetahui
kelayakan modelnya melalui uji psikometrik variabel.
Tabel 1 menunjukan bahwa nilai average variance
extracted (AVE) semua variabel diatas 0.5 mengindikasikan
bahwa variabel yang diujikan merupakan konstruk yang
mempunyai validitas yang baik [3]. Selanjutnya, nilai AVE
dari variabel dibandingkan dengan nilai R2 dari variabel
yang digunakan juga menunjukan bahwa nilai AVE masih
lebih besar dari R2, mengindikasikan bahwa validitas
diskriminan antar variabel yang diujikan memuaskan.
Akhirnya, composite reliability dan nilai Cronbach’s Alpha
(kecuali loyalitas pelanggan) menunjukan bahwa variabel
yang diujikan reliabel, karena nilai reliabilitasnya diatas
yang disarankan oleh para ahli [3], yaitu >0.6. Hasil uji
tersebut menunjukan bahwa dari sisi reliabilitas dan
validitas konstruk yang diujikan relatif masih memuaskan.
Tabel 1: Uji Psikometrik Variabel
AVE Composite
Reliability R2
Cronbach
Alpha
Kualitas
Layanan 0.591 0.878 0 0.826
Loyaltas
Pelanggan 0.684 0.812 0.284 0.547
Nilai
Layanan 0.756 0.861 0.128 0.682
Kepuasan
Pelanggan 0.747 0.855 0.345 0.663
Customer
Trust 0.559 0.785 0.294 0.611
Tahap selanjutnya adalah mengeluarkan item yang
mempunyai loading dibawah 0.5 serta penghapusan jalur
yang tidak signifikan. Hasil uji model loyalitas pelanggan
angkot dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 juga menunjukan
bahwa hasil uji t-test signifikan pada tingkat p < 1%,
mengilustrasikan bahwa semua indikator yang digunakan
merupakan elemen nyata pengukur konstruk yang diukur
karena mempunyai faktor loading lebih dari 0.50. Item
loyalitas pelanggan nomer 1 “Angkot adalah pilihan utama”
dikeluarkan dari model karena mempunyai nilai loading
dibawah 0.5 (0.183).
Tabel 2: Nilai Faktor Loading Item dan
t Statistik
Variabel Loading T Stat*
Nilai Layanan
- Tarif sesuai aturan 0.833 11.665*
- Tarif sesuai layanan 0.904 25.393*
Kepuasan Pelanggan
- Layanan melebihi harapan 0.845 18.871*
- Puas secara keseluruhan 0.883 23.642*
Kepercayaan Pelanggan
- Staf tidak mengejar
setoran 0.523 3.452*
- Staf berkomitmen 0.869 27.041*
- Staf informatif 0.805 11.676*
Loyalitas Pelanggan
- Suka terhadap layanan 0.880 8.796*
- Niat menggunakan lagi 0.770 8.458*
Kualitas Layanan
- Keramahan Staf 0.766 13.944*
- Kondisi kendaraan 0.801 18.916*
- Staf bisa dipercaya 0.766 16.655*
- Layanan yang sesuai
kebutuhan 0.744 13.229*
- Layanan yang bisa
diandalkan 0.764 15.433*
*Signifikan pada p < 1% dengan nilai t stat >2
Salah satu hal yang penting dalam pengujian pemodelan
adalah untuk mengetahui bagimana variabel-variabel yang
diujikan saling berhubungan satu dengan lainnya. Tabel 3
memperlihatkan koefisien jalur dari pemodelan yang
dilakukan. Tabel 3 (dan Gambar 2) menggambarkan hasil
uji struktural model hubungan antar variabel yang diujikan
yang dipertunjukkan dengan koefisien jalur. Hubungan
yang signifikan antara kualitas layanan dengan nilai
layanan, kepuasan dan kepercayaan, menunjukkan arti
penting akan kualitas layanan dalam bisnis penyedia jasa
transportasi perkotaan, angkot. Selanjutnya, hubungan
antara kualitas layanan dengan loyalitas pelanggan yang
tidak signifikan tidak berarti bahwa kualitas layanan tidak
penting sebagai faktor determinan dari loyalitas, karena
hasil uji korelasi antara kedua variabel tersebut adalah
signifikan.
Tidak signifikannya hubungan antara kualitas layanan
dengan loyalitas pelanggan mengindikasikan bahwa efek
dari kualitas terhadap loyalitas adalah tidak langsung yaitu
melalui kepuasan pelanggan, dan kepercayaan pelanggan.
IRWNS 2013
114
Indikasi tersebut ditunjukan dengan adanya hubungan yang
signifikan antara kualitas layanan dengan ketiga faktor
tersebut serta hubungan yang signifikan antara kepercayaan
pelanggan dengan kepuasan pelanggan. Di lain fihak, tidak
terdapat hubungan yang signifikan antara nilai layanan-
baik dengan kepercayaan pelanggan maupun kepuasan
pelanggaan. Hal ini mungkin saja terjadi karena angkot
adalah operator berbiaya rendah dan bertarif murah.
Selanjutnya, kepuasan pelanggan berhubungan secara
signifikan terhadap loyalitas pelanggan.
Tabel 3: Koefisien Jalur
Jalur Koefisien t Stat *
Kualitas Layanan →
Loyalitas Pelanggan 0.282 ns
Kualitas Layanan →
Nilai Layanan 0.358 3.244*
Kualitas Layanan →
Kepuasan Pelanggan 0.410 4.322*
Kualitas Layanan →
Kepercayaan Pelanggan 0.447 3.896*
Nilai Layanan → Loyalitas
Pelanggan -0.034 ns
Nilai Layanan →
Kepercayaan Pelanggan 0.186 ns
Kepuasan Pelanggan →
Loyaltas Pelanggan 0.235 2.166*
Kepercayaan Pelanggan →
Loyaltas Pelanggan 0.140 ns
Kepercayaan Pelanggan
→ Kepuasan Pelanggan 0.26 2.624*
*Signifikan pada p < 1%; ns = not significant
Gambar 2 menunjukan besarnya R2 untuk masing-masing
variabel endogen, yaitu 13% (nilai layanan), 29%
(kepercayaan pelanggan), 35% (kepuasan pelanggan), dan
28%% (loyalitas pelanggan). Menggunakan patokan yang
disarankan oleh para ahli [20][21] bahwa model dikatakan
sebagai baik jika mempunyai nilai R2 = 67%, moderat R
2 =
33%, dan lemah R2 = 19%, maka dapat dikatakan bahwa
model loyalitas yang dibangun adalah cenderung moderat.
0.29Kepercayaan
Pelanggan
0.28 Loyalitas
Pelanggan
0.35Kepuasan
Pelanggaan
0.13 Nilai
Layanan
KualitasLayanan
0.36
0.45
0.41
0.26 0.24
Gambar 2: Model Loyalitas Pelanggan (hasil)
Implikasi dari temuan analisis pemodelan ini bahwa untuk
membangun loyalitas pelanggan maka penyedia jasa angkot
harus mampu memberikan layanan yang mempunyai nilai
yang tinggi, menimbulkan rasa percaya pelanggan, dan
akhirnya memberikan rasa kepuasan pelanggan. Dalam uji
model yang dilakukan menunjukan bahwa loyalitas
pelanggan terhadap layanan jasa transportasi angkot
mempunyai 2 indikator, yaitu kesukaan terhadap jasa
transportasi angkot serta niat pelanggan untuk
menggunakan lagi jasa angkot dimasa yang akan datang.
Dengan demikian, untuk mendapatkan perilaku loyal
tersebut, penyedia jasa harus mampu menciptakan jasa
angkutan yang berkualitas dengan menyediakan lima aspek,
yaitu (1) sopir dan kenek yang ramah, (2) kondisi
kendaraan yang baik dan nyaman, (3) sopir dan kenek yang
bisa dipercaya, (4) tersedianya trayek yang sesuai dengan
kebutuhan, serta (5) layanan transportasi yang bisa
diandalkan. Diantara kelima hal tersebut, hasil analisis
faktor loading menunjukan bahwa kondisi kendaraan yang
baik dan nyaman mempunyai nilai loading yang lebih
tinggi dibandingkan faktor lainnya. Temuan ini
berimplikasi penting bagi penyedia jasa angkot untuk
menyediakan kendaraan yang mempunyai kondisi yang
baik sehinga pelanggan akan merasa nyaman. Selain faktor
tersebut, konsisten dengan hasil-hasil studi di industri
lainnya, hasil studi ini menggaris-bawahi arti penting
bahwa faktor sumberdaya manusia yang ramah dan bisa
dipercaya merupakan hal yang tidak terhindarkan harus
disediakan.
5. KESIMPULAN DAN SARAN
Pelaku usaha angkot sebagai operator biaya rendah, demi
kelangsungan usahanya, sebaiknya tidak hanya mengejar
efisiensi tetapi juga menjamin pelayanan yang baik kepada
konsumen. Rendahnya kualitas layanan berdampak pada
kekecewaan pelanggan dan ketidak-percayaan pelanggan
sehingga berakibat buruk pada hilangnya kesetiaan
pelanggan yang ditandai dengan semakin tergodanya
pelanggan untuk beralih ke penggunaan kendaraan pribadi
selamanya dan seterusnya. Program perbaikan kualitas
layanan meliputi aspek tehnis-fungsional kendaraan, empati
dan ke-cepat-tanggap-an supir kepada para pelanggannya,
kehandalan jadwal-nya, kompetensi-nya dalam berlalu-
lintas dan berinteraksi dengan penumpang.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Aidoo, E., N., Agyemang, W., Monkah, J., E.,
Afukaar,F.,K.,Passenger’s Satisfaction With
Public Bus Transport Services in Ghana: A
Case Study of Kumasi- Accra
Route,Theoretical and Empirical Researches in
Urban Management. Volume 8 Issue 2/May 2013.
[2] Chin, W., R. Peterson, et al. (2008). "Structural
equation modeling in marketing: Some
reminders." Journal of Marketing Theory and
Practice 16(4): 287.
[3] Chitty, B., Ward, S., & Chua, C. (2007). An
application of the ECSI model as a predictor of
satisfaction and loyalty for backpacker hostels.
Marketing Intelligence & Planning, 25, 563.
IRWNS 2013
115
[4] Clemes, M. D., Gan, C., & Ren, M. (2010),
Synthesizing the effects of service quality, value,
and customer satisfaction on behavioral
intentions in the motel industry: An empirical
analysis. Journal of Hospitality & Tourism
Research In Press.
[5] Cronin, J. J., Brady, M. K., & Hult, T. M. (2000).
Assessing the effects of quality, value, and customer
satisfaction on consumer behavioral intentions in
service environments. Journal of Retailing, 76(2), 193.
[6] Eboli, L., Mazzulla, G., ( 2007), Service Quality
Attributes Affecting Customer Satisfaction for Bus
Transit, Journal of Public Transportation, Vol. 10,
No. 3,
[7] Ghozali, I., & Fuad. (2005). Structural equation
modelling: Teori, konsep, dan aplikasi.
Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
[8] Hair, J. F., M. Sarstedt, et al. (2012). "An assessment
of the use of partial least squares structural
equation modeling in marketing research."
Journal of the Academy Marketing Science 40:
414- 433.
[9] Harris, L. C., & Goode, M. M. (2004). The four
levels of loyalty and the pivotal role of trust: A
study of online service dynamics. Journal of
Retailing, 80(2), 139.
[10] Joewono, T., B., Hisashi , K., (2007), User
Perceptions of Private Paratransit Operation in
Indonesia, Journal of Public Transportation, Vol. 10,
No. 4.
[11] Lai, W., T., Chen, C., F., (2010), Behavioral
Intentions of Public Transport Passengers—
The Roles of Service Quality, Perceived Value,
Satisfaction and Involvement, Transport Policy .
[12] Mazzulla, G., Eboli, L., (2006), A Service Quality
experimental measure for public transport,
European Transport, no.34(2006): 42-53.
[13] Morfoulaki, M., Tyronopoulos, Y., Aifadopoulou,
G., (2007), Estimation of Satisfied Customers
in Public Transport Systems: A New
Methodological Approach, Journal of the
Transportation Research Forum, Vol. 46, No. 1.
[14] Morgan, R. M., & Hunt, S. D. (1994). The
commitment-trust theory of relationship marketing.
Journal of Marketing, 58(3), 20.
[15] Oliver, R. L. (1999). Whence consumer loyalty?
Journal of Marketing, 63, 33.
[16] Parasuraman, Berry, L., L. , & Zeithaml, V., A. .
(1991). Perceived Service Quality as a Customer-
Based Performance Measure: An Empirical
Examination of Organizational Barriers Using an
Extended Service Quality Model. HRM, Volume 30,
Issue 3, Autumn (Fall).
[17] Pei, C., B., A., C., (2011), Determinants of Service
Quality and Perceived Value and Its Impact on
Customer Satisfaction and Customer Loyalty: An
Empirical Perspective on Public Transportation
Sector, Universiti Teknologi Mara, December
2011.
[18] Randheer, K.,AL-Motawa,A., A., Vijay, J., P.,
Measuring Commuters’ Perception on Service
Quality Using SERVQUAL in Public
Transportation, International Journal of
Marketing Studies, Vol. 3, No. 1; February
2011.
[19] Sezhian, M., V., Muralidharab, C., Nambirajan,
T., Deshmukh, S., G., (2011), Ranking of A
Public Sector Passenger Bus Transport
Company Using Principal Component Analysis: A
Case Study, Management Research and Practice
Volume 3, Issue 1/ March 2011.
[20] Sumaedi, s., Bakti, I., G., M., Y., Yarmen, M.,
The Empirical Study of Public Transport
Passengers’ Behavioral Intentions: The Role of
Service Quality, Perceived Sacrifice, Perceived
Value, and Satisfaction (Case Study: Para-
transit Passengers in Jakarta, Indonesia),
International Journal for Traffic and Transport
Engineering, 2012, 2(1): 83-97.
[21] Trompet, M., Parasram, R., J., Anderson, (2013),
Benchmarking Disaggregate Customer Satisfaction
Scores Between Bus Operators in Different Cities
and Countries, Transportation Research Board
92nd
Annual Meeting and Publication in the
Transportation Research Record.
[22] Yaakub, N., Napiah, M., (2011), Quality of Service
and Passenger’s Perception – A Review on Bus
Service in Kota Bharu, International Journal of
Civil & Environmental Engineering IJCEE-IJENS
Vol: 11 No: 05.
IRWNS 2013
116
PENGARUH STRUKTUR
KEPEMILIKAN
DAN KEPUTUSAN KEUANGAN
TERHADAP NILAI PERUSAHAAN
Windi Novianti, Iman Romansyah
Program Studi Manajemen, Universitas Komputer Indonesia, Bandung 40132
E-mail : [email protected]
ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh dari Struktur Kepemilikan dan Keputusan Keuangan terhadap
Nilai Perusahaan. Dimana Manajemen suatu perusahaan memiliki tugas untuk membuat suatu keputusan untuk pencapaian
tujuan dari perusahaan, adapun tujuan perusahaan dalam jangka panjang adalah meningkatkan nilai perusahaan nilai
perusahaan dapat dicapai dengan keputusan keuangan salah satunya adalah dengan keputusan pendanaan (DER). Adapun
fenomena yang berkembang pada saat ini menggambarkan bahwa sebenarnya sektor property dan real estate merupakan sektor
bisnis yang cukup berkembang. Teapi dengan adanya krisis yang terjadi di belahan benua Eropa dan Amerika yang berimbas
pada perkembangan bisnis properti di Indonesia meskipun secara tidak langsung. Krisis Eropa dan Amerika memang berimbas
pada pasar global secara umum. krisis ekonomi Amerika akan terus berlanjut hingga akhir Desember 2008. Metode penelitian
ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan verifikatif, Unit analisis dalam penelitian ini adalah perusahaan
property dan real estate yang terdaftar di BEI periode 2088-2012. Secara parsial struktur kepemilikan tidak berpengaruh
terhadap nilai perusahaanProperty dan Real Estate yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Secara pengaruh daristruktur
kepemilikan dan keputusan keuangan secara bersama-sama terhadap nilai perusahaanpada perusahaan Property dan Real Estate
yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia sebesar 0,7%, sedangkan sisanya sebesar 99,3% merupakan pengaruh faktor lain diluar
kedua variabel tersebut.
Kata Kunci Struktur Kepemilikan, Keputusan Keuangan dan Nilai Perusahaan
1. PENDAHULUAN
Manajemen suatu perusahaan pasti mempunyai tujuan
untuk meningkatkan nilai perusahaan melalui
implementasi keputusan keuangan yang terdiri dari
keputusan investasi, keuangan dan kebijakan deviden.
Ketiga keputusan keuangan tersebut akan menentukan
bagaimana kinerja perusahaan tersebut dalam
memaksimalkan kesejahteraan para pemegang saham.
Selain dari keputusan keuangan, struktur kepemilikan dari
suatu perusahaan dapat berpengaruh terhadap nilai suatu
perusahaan. Nilai perusahaan pada dasarnya dapat diukur
melalui beberapa aspek, salah satunya adalah harga pasar
saham perusahaan karena harga pasar saham perusahaan
mencerminkan penilaian investor keseluruhan atas setiap
ekuitas yang dimiliki.
Struktur kepemilikan perusahaan juga dipengaruhi faktor
yang lain yang harus diperhatikan karena faktor-faktor
tersebut sangat berpengaruh pada keputusan keuangan dan
pada akhirnya akan berpengaruh juga pada nilai
perusahaan. Untuk meningkatkan nilai perusahaan yang
baik maka diperlukan manajemen yang baik juga dalam
mengambil keputusan.
Fenomena yang berkembang pada saat ini menggambarkan
bahwa sebenarnya sektor property dan real estate
merupakan sektor bisnis yang cukup berkembang. Tetapi
dengan adanya krisis yang terjadi di belahan benua Eropa
dan Amerika yang berimbas pada perkembangan bisnis
properti di Indonesia meskipun secara tidak langsung.
Krisis Eropa dan Amerika memang berimbas pada pasar
global secara umum. krisis ekonomi Amerika akan terus
berlanjut hingga akhir Desember 2008 sekalipun disuntik
dana sebesar 700 miliar dollar kepada bank – bank dan
lembaga keuangan lainnya yang telah bangkrut, bisa jadi
krisis moneter kedua akan terjadi di Indonesia.
Dari tabel 1.1 dibawah maka dapat dilihat pada tahun 2008
dimana terjadi penurunanan pada saham isntitusional publik
yaitu 40,55, keputusan keuangan (DER) yaitu 0,78 dan nilai
perusahaan (PBV) yaitu 1,40.
Fenomena lain yang ada yaitu meningkatnya kredit
kepemilika rumah (KPR) yang terjadi sekarang merupakan
dampak kerisis keuangan global. Tapi keadaan ini hanya
sebentar dikarenakan agar sistem perbankan di Indonesia
tetap kuat, kendati berdampak pada proyek property
komersial menjadi terganggu, namun untuk proyek
perumahan tidk terlalu berpengaruh dikarenakan suku
IRWNS 2013
117
bunga KPR mencapai 17% hingga 18% dan bunga tersebut
akan segera turun bersama dengan langkah Bank Indonesia
menurunkan BI Rate.
Selain itu perusahaan akan sulit menerapkan kebijakan
deviden karena memang laba tidak tidak diperoleh atau
kecil. Kondisi ini tentu tidak akan memuaskan stakeholders
khususnya para pemegang saham (shareholders) sebagai
pemilik perusahaan (owners).
Tabel. 1.1: Rata-Rata KepemilikanSaham Institusional
(Publik), KeputusanKeuangn (DER), Nilai Perusahaan
(PBV)
TAHUN
SAHAM
INSTITUSIONAL
PUBLIK
DER PBV
2008 40,55 0,78 0,41
2009 45,94 0,88 1,40
2010 53,51 0,91 1,85
2011 52,64 0,98 458,45
2012 52,64 1,13 329,00
Tujuan dari penelitian ini yaitu:
1. Untuk mengetahui perkembangan dari Struktur
Kepemilikan, Keputusan Keuangan dan Nilai
Perusahaan.
2. Untuk mengetahui perkembangan struktur
kepemilikan terhadap keputusan keuangan pada
perusahaan property dan real estate.
3. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh struktur
kepemilikan dan keputusan keuangan terhadap nilai
perusahaan.
2. KAJIAN PUSTAKA
Saham merupakan bukti kepemilikan atas suatu perusahaan
yang berbentuk perseroen terbatas (PT). Pemilik saham
perusahaan disebut juga sebagai pemegang saham
merupakan pemilik perusahaan.
Definisi dari Struktur Kepemilikan adalah kekuasaan yang
didukung secara sosial untuk memegang kontrol terhadap
sesuatu yang dimiliki secara eksklusif dan
menggunakannya untuk tujuan pribadi
(Ericklatumetn’blog). Definisi tersebut mirip dengan
definisi kekayaan, baik pribadi atau public. Struktur
kepemilikan merupakan jenis institusi atau perusahaan yang
memegang saham terbesar dalam suatu perusahaan.
Struktur kepemilikan dapat dibedakan menurut dua sudut
pandang yang berbeda (Ituriaga dan Zans, 1998 dalam
Faizal, 2004)yaitu:
a. Pendekatan keagenan: struktur kepemilikan merupakan
suatu mekanisme untuk mengurangi konflik
kepentingan antara manajer dengan pemegang saham.
b. Pendekatan informasi asimetri: struktur kepemilikan
sebagai salah satu cara untuk mengurangi ketidak
seimbangan informasi antara insider dan outsider
melalui pengungkapan informasi.
Istilah struktur kepemilikan juga dipakai untuk
menunjukkan bahwa variabel-variabel yang penting dalam
struktur modal tidak hanya ditentukan oleh jumlah utang
dan ekuitas, tetapi persentase kepemilikan antara manajer
dan institusional.
Berdasarkan proporsi saham yang dimiliki, struktur
kepemilikan dikelompokkan menjadi dua yaitu:
1. Kepemilikan manajerial (Managerial Ownership)
2. Kepemilikan institusional (Institutional Ownership)
Struktur Kepemilikan Manajerial
Kepemilikan Manajerial (managerial ownership) adalah:
tingkat kepemilikan saham dimana pihak manajemen yang
secara aktif ikut dalam pengambilan keputusan, misalnya
direktur dan komisaris (Wahidahwati, 2002 dalam Diyah
Pujiati 2009).
Struktur Kepemilikan Institusional
Dalam penelitian yang membahas mengenai komposisi
pemegang saham dikatakan bahwa besarnya reaksi harga
saham terhadap pengumuman earnings tidak hanya
berhubungan terhadap tingkat kepemilikan oleh institusi,
tetapi juga berhubungan dengan karakteristik dari
pemegang saham institusi tersebut (Hochiss dan Stricland,
2003). Dalam penelitian tersebut perusahaan
diklasifikasikan berdasarkan kepemilikan saham oleh lima
institusi terbesar, kepemilikan oleh sepuluh institusi
terbesar, dan kepemilikan oleh dua pluh institusi terbesar.
Ang, Cole, dan Lin mengklasifikasikan bahwa
kepemilikan saham dalam penelitian tersebut berdasarkan
pemilik utama yang memiliki 100% saham perusahaan,
pemilik utama memiliki >50% saham perusahaan, sebuah
keluarga memiliki >50% saham perusahaan, dan tidak ada
pemilik atau keluarga yang memiliki saham >50% saham
perusahaan. Serta dalam penelitiaannya mereka
menggunakan empat variabel untuk mengidentifikasi
berbagai macam struktur kepemilikan saham.
Keberadaan investor institusional akan dapat menunjukkan
mekanisme corporate governance yang kuat yang dapat
digunakan untuk memonitor manajemen perusahaan.
Pengaruh investor institusional terhadap manajemen
perusahaan dapat menjadi sangat penting serta dapat
digunakan untuk menyelaraskan kepentingan manajemen
dengan para pemegang saham (Solomon dan Solomon,
2004 dalam Sutojo, 2005). Hal tersebut disebabkan jika
tingkat kepemilikan manajerial tinggi, dapat berdampak
buruk terhadap perusahaan karena dapat menimbulkan
masalah pertahanan, yang berarti jikakepemilikan
manajerial tinggi, mereka memiliki posisi yang kuat untuk
melakukan kontrol terhadap perusahaan dan pihak
pemegang saham eksternalakan mengalami kesulitan untuk
IRWNS 2013
118
mengendalikan tindakan manajer. Hal ini disebabkan
tingginya hak voting yang dimiliki manajer (Gunarsih,
2004).Oleh karena itu perlu pengawasan yang optimal
terhadap kinerja manajer maka manajer akan lebih berhati-
hati dalam mengambil keputusan.
Dalam penelitian ini struktur kepemilikan yang akan diteliti
adalah struktur kepemilikan institusional.
Keputusan Keuangan
Menurut James C. Van Horne dalam Kasmir 2010:5,
mendefinisikan bahwa manejemen keuangan adalah segala
aktivitas yang berhubungan dengan perolehan, pendanaan,
dan pengelolaan dengan beberapa tujuan yang menyeluruh.
Dari defenisi tersebut terdapat beberapa fungsi dari
pembuatan keputusan manjemen kuangan yaitu:
1. Keputusan sehubungan dengan investasi
2. Pendanaan
3. Manajemen aktiva
Keputusan sehubungan dengan investasi, berkaitan dengan
jumlah aktiva yang dimiliki, kemudian penempatan
komposisi masing-masing aktiva. Keputusan manajemen
aktiva, hal ini berkaitan dengan pengelolaan aktiva secara
efisiensi, terutama dalam hal aktiva lancar dan aktiva tetap.
Pengelolaan aktiva lancar berkaitan erat dengam manejem
modal kerja dan yang berkaitan dengan aktiva tetap adalah
yang berkaitan dengan manajemen investasi. Sedangkan
keputusan pendanaan, merupakan keputusan yang berkaitan
erat dengan jumlah dana yang disediakan perusahaan, baik
bersifat utang atau modal sendiri dan biasanya berhubungan
dengan sebelah laporan keuangan neraca. Dalam hal ini
manajer keuangan harus memikirkan penggabugan dana
yang dibutuhukan, termasuk pemilihan jenis dana yang
dibutuhkan, apakah jangka pendek atau jangka panjang atau
modal sendiri, serta kebijakan deviden.
Tujuan dari perusahaan untuk memaksimalkan kekayaan
pemegang saham dapat tercapai apabila berbagai keputusan
keuangan (financial decision) yang relevan mempunyai
pengaruh bagi peningkatan nilai perusahaan (Mulyadi,
2006:13). Keputusan keuangan tersebut antara lain:
a. Keputusan investasi ( investment decision)
b. Keputusan pendanaan (financing decision)
c. Kebijakan dividen (dividend decision)
Keputusan Pendanaan
Menurut Mulyadi 2006:236 dalam Diyah Puji 2009,
yangberpendapat bahwa keputusan pendanaan akan
menyangkut penentuan kombinasi berbagai sumber dana
yang pada dasarnya akan dibagi menjadi dua:
1. Pendanaan ekstern Pendanaan intern yang diaplikasikan
menurut penentuan kebijakan deviden yang
digambarkan melalui dividend payout ratio.
2. Pengukuran variabel Keputusan pendanaan dapat
dikonfirmasikan menggunakan rumus Debt Equity Ratio
(DER).
Nilai Perusahaan Nilai perusahaan merupakan persepsi investor terhadap
perusahaan, yang sering dikaitkan dengan harga saham.
Harga saham yang tinggi membuat nilai perusahaan juga
tinggi. Nilai perusahaan lazim diindikasikan dengan price
to book value. Price to book value yang tinggi akan
membuat pasar percaya atas prospek perusahaan kedepan.
Hal itu juga yang menjadi keinginan para pemilik
perusahaan, sebab nilai perusahaan yang tinggi
mengindikasikan kemakmuran pemegang saham juga
tinggi. Nilai perusahaan dalam beberapa literatur dan
disebut dengan beberapa istilah, yaitu price to book value
yaitu perbandingan antara harga saham dengan nilai buku
saham, dan Market Book Ratio yaitu rasio saat ini harga
saham dengan nilai buku per saham.
Menurut J. Keown, Scott, dan Martin (2004: 849),
terdapatbeberapa variabel-variabel kuantitatif yang dapat
digunakan untuk memperkirakan dari nilai suatu
perusahaan, antara lain:
a. Nilai buku
b. Nilai pasar perusahaan
c. Nilai apprasial
d. Nilai arus kas yang diharapkan
Untuk mencari Nilai perusahaan pada penelitian ini yaitu
dengan mencari Price Book Value (PBV) dengan rumusan,
Irham Fahmi, 2011 :138-139
Hipotesis
Adapun hipotesis yang dapat ditarik dari kajian pustaka dan
kerangka pemikiran adalah sebagai berikut:
1. Struktur Kepemilikan dan Keputusan Keuangan
berpengaruh positif terhadap Nilai Perusahaan.
2. Struktur Kepemilikan berpengaruh positif terhadap
Keputusan Keuangan.
3. Secara bersama-sama Struktur Kepemilikan dan
Keputusan Keuangan berpengaruh positif terhadap
Nilai Perusahaan
IRWNS 2013
119
3. OBJEK DAN METODE PENELITIAN
Tabel 1.2: Objek dan Metode Penelitian
Objek
Penelitian
Struktur Kepemilikan (INST),
Keputusan Keuangan (DER), dan Nilai
Perusahaan (PBV)
Metode &
Desain
Penelitian
Deskriptif dan Verifikatif
Data Pooled Data (gabungan data Time Series
dan Cross Section)
Metode
Pengump
ulan Data
Studi Kepustakaan dan Studi Literatur
Sampel &
Populasi
Populasi adalah perusahaan property
Populasi adalah perusahaan property
dan real estate yang terdaftar di BEI
periode 2008-2012 pengambilan sampel
dilakukan secara purposive sampling
yaitu 6 perusahaan property dan real
estate (data cross section) dan 5 periode
laporan keuangan (data Time Series).
Total keseluruhan sampel data sebanyak
30 buah.
Unit
Penelitian
Perusahaan Property dan Real Estate
yang terdaftar di BEI periode 2008-2012
Metode
Analisis Analisis Jalur (Path Analisis)
Hipotesis
1. Struktur kepemilikan (INST)
dan Keputusan Keuangan
(DER) berpengaruh positif
terhadap Nilai Perusahaan
(PBV) baik secara parsial
maupun simultan
2. Struktur kepemilikan (INST)
dan Keputusan Keuangan
(DER) tidak berpengaruh
positif terhadap Nilai
Perusahaan (PBV) baik secara
parsial maupun simultan
Pengajuan
Hipotesis
Uji Parsial (T-test) dan Uji Simultan (F-
test)
4. HASIL PENELITIAN
Pesatnya bisnis properti ini didorong oleh kebutuhan pokok
manusia akan papan, disamping pangan dan sandang. Dan
kebutuhan ini termasuk kebutuhan utama yang secara naluri
harus terpenuhi. Maka, tidaklah wajar bagi seseorang untuk
tidak mengidam-idamkan memuliki rumah hunian sendiri.
Disamping itu dalam rangka keperluan usaha, seseorang
atau badan usaha memerlukan tempat yang dapat digunakan
untuk keperluan usahanya, misalnya kantor, ruko ataupun
gudang. Disamping itu, properti juga menjadi alternatif
utama untuk berinvestasi. Disamping harga yang relatif
selalu naik dimasa yang akan datang, juga dapat dijadikan
bisnis sewa yang mendatangkan keuntungan pasif.
Industri Property dan Real Estate merupakan salah satu
sektor industri yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia
(BEI). Lingkungan pasar yang sangat kompetitif, dengan
lebih dari 10 perusahaan Property dan Real Estate yang
terdaftar di Bursa Efek Indonesia namun dalam penelitian
ini hnya 6 perusahaan yang akan dibahas yaitu PT Alam
Sutera Realty Tbk, PT Bakrieland Development Tbk, PT
Bumi Serpong Damai Tbk, PT Ciputra Development Tbk,
PT Ciputra Surya Tbk, PT Summarecon Agung Tbk
membuat setiap perusahaan dituntut untuk semakin inovatif
dalam penyajian produk-produk property untuk
memberikan kontribusi bagi peningkatan pendapatan
perusahaan.
Perkembangan Analisis Deskriptif
Analisis Deskriptif Struktur Kepemilikan
Gambar 1.1: Grafik Perkembangan Struktur Kepemilikan
Pada grafik diatas dapat dilihat struktur kepemilikan pada
perusahaan Property dan Real Estate yang terdaftar di
Bursa Efek Indonesia selama periode tahun 2008 hingga
tahun 2010 meningkat setiap tahunnya. Namun struktur
kepemilikan pada tahun 2011 dan 2012 cenderung stagnant.
0,00
10,00
20,00
30,00
40,00
50,00
60,00
2008 2009 2010 2011 2012
IRWNS 2013
120
Analisis Deskriptif Keputusan Keuangan
Gambar 1.2: Grafik Perkembangan debt to equity ratio
Pada grafik diatas dapat dilihat debt to equity ratio pada
perusahaan Property dan Real Estate yang terdaftar di
Bursa Efek Indonesia selama periode tahun 2008 hingga
tahun 2012 terus mengalami kenaikan. Artinya selama
periode tahun 2008-2012perusahaan Property dan Real
Estate yang terdaftar di Bursa Efek Indonesiaterus
menaikkan kebijakan hutangnya
Analisis Deskriptif Nilai Perusahaan
Grafik 1.3: Price Book Value Perusahaan Property dan
Real Estate
Pada grafik diatas dapat dilihat price book valu epada
perusahaan Property dan Real Estate yang terdaftar di
Bursa Efek Indonesia selama periode tahun 2008 hingga
tahun 2010 relatif stabil. Namun pada periode tahun 2011-
2012 price book value perusahaan Property dan Real Estate
yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia meningkat tajam.
Analisis Verifikatif
Semakin besar struktur kepemilikan diharapkan
meningkatkan keputusan keuangan sehinggavnilai
perusahaanjuga diharapkan akan semakin meningkat.
Berdasarkan data yang terkumpul, pada penelitian ini akan
diuji pengaruh struktur kepemilikan terhadap keputusan
keuangan dan implikasinya terhadap nilai perusahaan.
Nilai koefisien korelasi diatas dapat dilihat bahwa
hubungan antara struktur kepemilikan (X1) dangan
keputusan keuangan (X2) sebesar 0,093 dan masuk dalam
kategori sangat lemah atau sangat rendah. Arah hubungan
positif antara struktur kepemilikandengan keputusan
keuangan menujukkan bahwa semakin besar struktur
kepemilikan cenderung akan diikuti dengan peningkatan
keputusan keuangan (debt equity ratio meningkat).
Kemudian hubungan antara struktur kepemilikan (X1)
dengan nilai perusahaan (Y) sebesar -0,063juga termasuk
dalam kategori sangat lemah, sedangkan hubungan antara
keputusan keuangan (X2) dengan nilai perusahaan (Y)
sebesar 0,045 termasuk dalam kategori sangat rendah
dengan arah positif.
Pengujian Jalur Pada Sub Struktur Pertama
1. Menghitung Koefisien Jalur
Nilai standardized coefficients sebesar 0,093 adalah nilai
koefisien jalurstruktur kepemilikan terhadap keputusan
keuangan. Koefisien jalur merupakan bobot pengaruh
langsung variabel struktur kepemilikan terhadap keputusan
keuangan.
2. Menghitung Koefisien Determinasi
Setelah koefisien jalur diperoleh selanjutnya dapat dihitung
koefisien determinasi dengan mengkuadratkan nilai
koefisien jalur, jadi koefisien determinasi struktur
kepemilikan terhadap keputusan keuangan dihitung
menggunakan rumus sebagai berikut.
Nilai koefisien determinasi diinterpretasikan sebagai besar
pengaruh variable independen terhadap variabel dependen.
Jadi dari hasil penelitian ini diketahui bahwa struktur
kepemilikanhanya memberikan pengaruh sebesar 0,9%
terhadap keputusan keuanganpada perusahaan Property dan
Real Estate yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia,
sedangkan sebesar 99,1% sisanya merupakan pengaruh
faktor-faktor lain diluar struktur kepemilikan, seperti
struktur modal, kebijakan deviden dan lain-lain.
3. Pengujian Hipotesis
Selanjutnya untuk membuktikan apakah struktur
kepemilikanberpengaruh terhadap keputusan keuanganpada
perusahaan Property dan Real Estate yang terdaftar di
Bursa Efek Indonesia, maka dilakukan pengujian dengan
hipotesis statistik
Dapat disimpulkan bahwa struktur kepemilikan tidak
berpengaruh signifikan terhadap keputusan keuanganpada
perusahaan Property dan Real Estate yang terdaftar di
Bursa Efek Indonesia.
Pengujian Jalur Pada Sub Struktur Kedua
Pada sub struktur yang kedua variabel struktur
kepemilikandan keputusan keuanganberperan sebagai
0,00
0,50
1,00
1,50
2008 2009 2010 2011 2012
0
100
200
300
400
500
600
2008 2009 2010 2011 2012
IRWNS 2013
121
variabel independen (eksogenus variabel) dan nilai
perusahaan sebagai variabel dependen (endogenus
variabel).
Nilai standardized coefficients sebesar -0,068 dan 0,051
pada tabel 1.6 merupakan nilai koefisien jalurstruktur
kepemilikan dan keputusan keuangan terhadap nilai
perusahaan.
Menghitung Koefisien Determinasi
Melalui koefisien jalur yang telah diperoleh, selanjutnya
dihitung koefisien determinasi, yaitu besar
kontribusi/pengaruhstruktur kepemilikan dan keputusan
keuangan terhadap nilai perusahaan secara bersama-
sama.Koefisien determinasi didapat dari hasil perkalian
koefisien jalur terhadap matriks korelasi antara variabel
independen dengan nilai perusahaan.
Melalui nilai koefisien determinasi (R Square) dapat
diketahui bahwa secara bersama-sama struktur kepemilikan
dan keputusan keuanganhanya memberikan kontribusi
(pengaruh) sebesar 0,7% terhadapnilai perusahaan Property
dan Real Estate yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
Sisanya sebesar 99,3% merupakan pengaruh faktor lain
diluar kedua variabel yang sedang diteliti, seperti struktur
modal, kebijakan deviden dan lin-lain.
4. KESIMPULAN
Dari hasil penelitian dan pembahasan data yang ada pada
bab sebelumya, yaitu mengenai pengaruh struktur
kepemilikan dan keuputusan keuangan terhadap nilai
perusahaan pada perusahaan property dan real estate yang
terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2008-2012, maka
penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Perkembangan struktur kepemilikan pada perusahaan
property dan real estate yang terdaftar di bursa efek
Indonesia periode 2008 sampai 2012 mengalami
fuluktuasi. dimana struktur kepemilikan tertinggi ada
pada PT Bakrieland Development Tbk dan struktur
kepemilikan terendah ada pada PT Bumi Serpong
Damai. Tbk. Namun bila dilihat dari perubahannya,
pertumbuhan struktur kepemilikan pada PT Bakrieland
Development. Tbk dan PT Alam Sutra Realty. Tbk
merupakan yang tertinggi. Sebaliknya pertumbuhan
struktur kepemilikan PT Ciputra Surya. Tbk dan PT
Summarecon Agung. Tbk merupakan yang paling
lambat.
2. Perkembangan keputusan keuangan (DER) pada
perusahaan property dan real estate yang terdaftar di
bursa efek Indonesia periode 2008 sampai 2012
mengalami fuluktuasi. Dimana terjadi peneurunan pada
tahun 2008 dapat dilihat debt to equity ratio pada
perusahaan Property dan Real Estate yang terdaftar di
Bursa Efek Indonesia selama periode tahun 2008 hingga
tahun 2012 terus mengalami kenaikan. Artinya selama
periode tahun 2008-2012 perusahaan Property dan Real
Estate yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia terus
menaikkan kebijakan hutangnya
3. Perkembangan nilai perusahaan (PBV) pada perusahaan
property dan real estate yang terdaftar di bursa efek
Indonesia periode 2008 sampai 2012 mengalami
fuluktuasi. Namun adapun fluktuasi nilai perusahaan
yang dilihat price book valuepada perusahaan Property
dan Real Estate yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia
selama periode tahun 2008 hingga tahun 2012 relatif
stabil. Namun pada periode tahun 2011-2012 price book
valueperusahaan Property dan Real Estate yang terdaftar
di Bursa Efek Indonesia meningkat tajam.
4. Secara parsial struktur kepemilikan dan keputusan
keuangan tidak berpengaruh positif yang tidak
signifikan terhadap nilai perusahaan. Adapun secara
simultan sehingga dapat disimpulkan bahwa struktur
kepemilikan dan keputusan keuangan secara bersama-
sama tidak memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap nilai perusahaan Property dan Real Estate yang
terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Struktur Kepemilikan
(X1) dan keputusan keuangan (X2) tidak mempengaruhi
nilai perusahaan (Y) selama tahun 2008 sampai dengan
2012 adalah sebesar 0,7%, sedangkan sisanya sebesar
99,3% di pengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti
profitabilitas,ukuran perusahaan dan kebijakan deviden.
5. SARAN
Berdasarkan penelitian dan kesimpulan di atas, maka
penulis mencoba memberikan saran pada perusahaan
property dan real estate yang terdaftar di bursa efek
Indonesia periode 2008 sampai 2012, yaitu sebagai berikut:
1. Sebaiknya struktur kepemilikan pada perusahaan pada
perusahaan property dan real estate yang terdaftar di
bursa efek Indonesia periode 2008 sampai 2012,
dipegang oleh dewan komisaris dan direksi agar dapat
meningkatkan kepemilikan sahamnya,
menyeimbangkan pengendalian dalam perusahaan
dalam menentukan kebijakan di perusahaan tersebut.
2. Sebaiknya perusahaan harus memperhatikan keputusan
keuangan dalam hal ini DER, dimana bila total hutang
lebih besar dari pada modal sendiri akan beresiko bagi
perusahaan, untuk itu kedepannya perusahaan perlu
untuk mengambil kebijakan dalam pembelanjaannya
dengan mengutamakan sumber-sumber dari dalam
perusahaan dan mengurangi modal dari pihak eksternal.
3. Sebaiknya peusahaan harus memperbaiki kinerja
perusahaan,meningkatkan kualitas sehingga kedepannya
perusahaan lebih baik dan siap bersaing dengan
perusahaan-perusahaan yang lain karena persangain
usaha dalam sektor property dan real estate di Indonesia
sedang mengalami kenaikan dibandingkan dengan
negara-negra lain.
4. Dalam penelitian ini Struktur kepemilikan hanya
memberikan pengaruh sebesar 0,9%, alasannya dikarenakan
terdapat variabel-variabel lain yang tidak diteliti dalam
penelitian ini yang pengaruhnya lebih besar yaitu sebesar
IRWNS 2013
122
99,1% variabel-variabel tersebut antara lain yaitu
profitabilitas, ukuran perusahaan, dan kebijakan deviden.
Sehingga bagi manajemen perusahaan, variabel-variabel
dalam penelitian ini dapat tadak dijadikan pertimbangan
dalam menentukan nilai perusahaan agar kedepannya
perusahaan dapat menghasilkan kebijakan-kebijakan yang
optimal bagi perusahaan itu sendiri. Jika melhat dari hasil
tersebeut maka diharapkan kepada peneliti lain untuk
meneliti variabel-variabel yang pengaruhnya lebih besar
diluar variabel yang diteliti dalam penelitian ini.
UCAPAN TERIMA KASIH
1. Rektor UNIKOM, Dr. Ir. Eddy Soeryanto Soegoto
2. Ketua Program Studi Manajemen, Dr. Raeni Dwi Santy,
SE.,M.Si.
3. Rekan-Rekan di Program Studi Manajemen UNIKOM
DAFTAR PUSTAKA
[1] Ang, James S.,and Cole, Rebela A., & James Wuh
Lin. (2000). Agency Cost and Ownership Structure.
The Journal of Finace, 4(1),81-106
[2] Andi Nirwana Nur. 2010. “Pengaruh Struktur
Kepemilikan dan Keputusan keuangan terhadap Nilai
Perusahaan”. Vol. No 1.
[3] Arie Afzal dan Abdul Rohman. 2012, Pengaruh
Keputusan Investasi, Keputusan Pendanaan, Dan
Kebijakan Deviden Terhadap Nilai Perusahaan. Vol.
1. No. 2. ISSN. 2337-3806. Hal. 1-9 .
[4] Bambang Riyanto. 2008. Dasar-dasar Pembelanjaan
Perusahaan. Edisi 4.BPFE: Yogyakarta.
[5] Bayu Pratama Erdiansyah. 2010. Implementasi
corporate governance, struktur kepemilikan, dan nilai
perusahaan (studi empiris pada bursa efek indonesia
sektor industri perbankan).
[6] Brigham dan Houston. (2001). Fundamentals Of
Financial Management (Dasar-dasar manajemen
keuangan) (10thed). Jakarta: Salemba Empat.
[7] Bursa Efek Indonesia. (2012). Indonesian Capital
Market Directory 2008-2011.Bandung.
[8] Diyah Pujiati. 2009. “Pengaruh Struktur Kepemilikan
Terhadap Nilai Pearusahaan: Keputusa Keuangan
Sebagai Variabel Intervening‖. Vol.No.12,1 April
2009, hal 71-86.
[9] Hotckiss, S Edith & Deon Stickland. (2003). Does
Shareholder Compotition Matter? Evidence From the
Market Reaction to Corporate arnings Announcement.
The Journal of Finance, 58(4), 1469-1497.
[10] Husein Umar. (2011). Metode Penelitian untuk Skripsi
dan Tesis Bisnis. Jakarta:Raja Grafindo Persada.
[11] Irham Fahmi. 2011. Analisis Laporan Keuangan.
Catatan kesatu. Bandung Alfabeta, cv.
[12] Kasmir. 2010. Pengantar Manajemen Keuangan.
Edisi pertama, catatan ke-1.Kencana Prenada Media
Group. Jakarta.
[13] Lihong Wang and Nancy Huyghebaert. 2008.
Institutions, Ownership Structure and Financing
Decisions: Evidence from Chinese Listed Firms.
[14] Maria Terezinha F. de Lima. 2012. Pengaruh
kepemilikan manajerial dan keputusan keuangan
terhadap nilai perusahaan pada subsektor
perkebunan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia
periode 2001-2010.
[15] Mokhmat Ansori dan Denica H.N. 2010. Pengaruh
Keputusan Investasi, Pendanaan, Dan Jebijakan
Deviden Terhadap Nilai Perusahaan Pada
Perusahaan Yang Tergabung Dalam Jakarta Islamic
Index Studi Pada Bursa Efek Indonesia (BEI).
Analisis Manajemen. Vol. 4. No. 2. ISSN: 1411-1799.
Hal. 135-175.
[16] Nendy Pramita Shinta dan Nurmala Ahmar. 2011.
Eksplorasi Struktur Kepemilikan Saham Publik Di
Indonesia Tahun 2004-2008. The Indonesian
Accounting Review.Volume 1, No. 2, July 2011,
pages 145 – 154. ISSN 2086-3802.
[17] Nurfauziah, D. Agus Harjito, dan Atik Ringayati.
2007. “Analisis HubunganSimultan Antara
Kepemilikan Manajerial, Risiko, Kebijakan Hutang
danKebijakan Dividen Dalam Masalah Agensi”,
Jurnal Kajian Bisnis dan Manajemen, vol. 9 No. 2,
Juni 2007 Hal. 157-166.
[18] Sugiyono. 2006. Metode Penelitian Bisnis. Bandung:
Alfabeta.
[19] ------------. 2010. Statistika untuk Penelitian. Bandung
: Alfabeta.
[20] ------------. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif,
Kualitatif dan R&D. Bandung Alfabeta.
[21] Sarah Nia Batsyeba. 2009. Pengaruh Struktur
Kepemilikan Terhadap Agency Cost (Survei Pada
Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar Di Bursa
Efek Indonesia Pada Tahun 2007).
[22] Semuel Edwin Allein Mandagi, 2012, Pengaruh
Keputusan Keuangan Terhadap Nilai Perusahaan
Manufaktur Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia
Periode 2008-2009. Hal. 28-32.
[23] Sugiarto. 2009. Struktur Modal, Struktur Kepemilikan
Perusahaan,Permasalahan Keagenaan & Informasi
Asimetris ―. Edisi Pertama.GRAHA ILMU:
Yogyakarta.
[24] Suad Husnan. 2005. Dasar-Dasar Teori Portofolio
Dan Analisis Sekuritas. Edisi Keempat. UPP AMP
YKPN. Yogyakarta.
[25] Tendi Haruman, 2008, Struktur Kepemilikan,
Keputusan Keuangan Dan Nilai Perusahaan, Finance
And Banking Journal, Vol. 10, No. 2, ISSN 1410-
8623, Hal. 150-166.
[26] Umi Narimawati. 2008. Riset Manajemen Sumber
Daya Manusia. Agung Media, Jakarta.
[27] Umi Narimawati., Sri Dewi Anggadini., & Linna
Ismawati. (2010). Penulisan Karya Ilmiah-Panduan
Awal Menyusun Skripsi dan Tugas Akhir Aplikasi
Pada Fakultas Ekonomi Unikom. Bekasi: Genesis.
IRWNS 2013
123
ANALISIS PENGARUH PENERAPAN SELF ASSESSMENT SYSTEM
DAN REFORMASI ADMINISTRASI PERPAJAKAN TERHADAP
KEPATUHAN WAJIB PAJAK BADAN
Yanti Rufaedah, SE.MSi.,Ak
Fatmi Hadiani, SE.ME Jurusan Akuntansi, Politeknik Negeri Bandung 40012
E-mail : [email protected]
ABSTRAK
Penelitian yang bertujuan untuk melihat sejauhmana Self Assessment System telah diterapkan oleh Wajib Pajak Badan serta
Reformasi Administrasi Perpajakan yang telah digulirkan oleh Fiskus di KPP Pratama Se-Bandung Raya memberi kontribusi
terhadap peningkatan kepatuhan wajib pajak badan. Hal ini penting mengingat penerimaan negara maupun daerah terbesar masih
bersumber dari pajak, terutama dari Wajib Pajak Badan.
KPP Pratama Se-Bandung Raya dipilih menjadi obyek penelitian, karena umumnya WP Badan belum memiliki bagian khusus
yang mengurus masalah pajak perusahaan, sehingga penelitian ini difokuskan pada upaya-upaya untuk menumbuhkan kesadaran
sukarela (voluntary compliance) Wajib Pajak Badan yang merupakan kunci suksesnya penerapan Self Assessment System serta
pelaksanaan Reformasi Administrasi Perpajakan yang dapat mengakomodir meningkatnya kepatuhan sukarela Wajib Pajak Badan.
Untuk memenuhi hal tersebut, maka diperlukan data primer yang diperoleh dari penyebaran kuesioner di empat KPP Pratama –
karena satu KPP tidak memberikan izin penelitian. Guna memperoleh hasil yang obyektif, maka sebelum data diolah, terlebih
dahulu dilakukan counter check jawaban dari Wajib Pajak Badan dengan Fiskus dan selanjutnya diolah dengan menggunakan
metode Multiple Linier Regression dengan alat bantu software SPSS 20.0.
Luaran penelitian berupa panduan teknis penerapan Self Assessment System dengan berbagai contoh aplikatif cara pengisian SPT
untuk berbagai jenis wajib pajak badan yang ada di wilayah Kanwil DJP Jawa Barat I- diharapkan dapat membantu mewujudkan
kemandirian wajib pajak badan dalam mengisi SPT serta memenuhi kewajiban perpajakannya, sehingga rasio kepatuhan pun
meningkat yang pada akhirnya penerimaan pajak pun meningkat pula sehingga pembangunan berkelanjutan dapat berjalan dengan
baik.
Kata kunci Self Assessment System, Reformasi Administrasi Perpajakan, Kepatuhan Pajak.
1. PENDAHULUAN
Masalah kepatuhan wajib pajak, terutama wajib pajak badan
di era pembangunan berkelanjutan (sustainable development)
sekarang ini yang berprinsip " to meet the needs of the present
without compromising the ability of future generations to meet
their own needs " (Brundtland Report PBB, 1987)[1] menjadi
sangat penting, karena peningkatan kualitas sosial, ekonomi,
dan lingkungan yang merupakan tiga pilar dari pembangunan
berkelanjutan, hanya dapat terwujud bila didukung oleh
adanya dana yang memadai untuk membiayainya. Oleh
karena itu pajak memiliki peran strategis dalam
merealisasikan hal ini, karena sekitar 70%
penerimaan dalam negeri yang berasal dari pajak, digunakan
untuk memenuhi kebutuhan nasional, baik berupa barang atau
pun jasa.[4]. Mengingat sumber dana terbesar untuk
membiayai pembangun berkelanjutan dalam APBN ini
bersumber dari pajak, maka upaya-upaya agar penerimaan
pajak ini terus meningkat, harus terus dilakukan agar
kelangsungan pemerintahan dapat berjalan sesuai harapan.
Dalam mewujudkan peran strategisnya, perlu adanya sinergi
antar berbagai pihak; selain dengan para wajib pajak sebagai
sumber penerimaan, juga dibangun sinergi dengan pihak
pengguna dana pajak, baik lembaga-lembaga pemerintah,
badan usaha milik negara atau daerah, juga masyarakat, guna
meyakinkan bahwa penggunaan dana pajak sudah tepat yaitu
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena
itu
penerapan Self Assessment System menggantikan Official
Assessment System, sangatlah tepat, karena sistem ini
menempatkan wajib pajak sebagai subyek yang diberi
kepercayaan penuh untuk mengurus sendiri kewajiban
perpajakannya, mulai dari mendaftarkan diri, menghitung,
IRWNS 2013
124
membayar, dan melapor sendiri seluruh kewajiban pajaknya.
Dengan demikian eksistensi wajib pajak sangat dihargai.
Selain itu reformasi administrasi pun digulirkan untuk
mengakomodir upaya-upaya peningkatan kepatuhan wajib
pajak. Akan tetapi kenaikan penerimaan yang spektakuler ini
belum sebanding dengan potensi penerimaan yang ada
karena tingkat tax ratio Indonesia sebesar 13% tahun 2010
adalah terendah di antara negara-negara ASEAN lainnya yang
rata-rata mencapai 20%[2].
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perbaikan sistem
administrasi perpajakan dapat meningkatkan penerimaan
pajak yang berarti kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi
kewajiban perpajakannya juga meningkat,(Brondolo, et al.,
2000)[2] seperti penerimaan pajak di Philipina (1994),
meningkat 30% tanpa meningkatkan tarif pajak.setelah
mengubah sistem administrasi perpajakan dari manual ke
computer, di Bolivia penerimaan pajak meningkat secara
drastis dari sekitar 1% dari PDB di tahun 1985 menjadi 7,4%
di tahun 1990 setelah mereformasi struktur perpajakannya
yang meliputi penerapan pajak terhadap penghasilan, harta,
dan transaksi barang/jasa, sedangkan reformasi di bidang
administrasi perpajakan meliputi penerapan identitas tunggal
Wajib Pajak, pembayaran pajak melalui bank, pemeriksaan
terhadap Wajib Pajak, dan lain-lain.Penerimaan pajak di
Uruguay meningkat tidak drastis, yaitu sekitar 11% dari PDB
di tahun 1985 menjadi 13,5% di tahun 1990. Dengan
demikian upaya untuk mengurangi kesenjangan kepatuhan
dapat dilakukan melalui penyempurnaan sistem administrasi
perpajakan.
Meskipun kemudahan-kemudahan agar wajib pajak badan
patuh telah disediakan (adanya petunjuk teknis saat akan
mengisi SPT) dan petugas Account Representative (AR) yang
siap memberikan konsultasi bila wajib pajak mengalami
kesulitan), namun upaya-upaya ini belum membuahkan hasil
yang sesuai harapan, karena terbukti sampai saat ini target
penerimaan yang telah ditetapkan Dirjen Pajak masih belum
tercapai (pencapaian target rata-rata 90%, Kanwil DJP Jabar
1). Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat kepatuhan wajib
pajak, khususnya wajib pajak badan, masih memprihatinkan,
padahal selama ini kontribusi penerimaan terbesar dari
wajib pajak badan (Tempointerwaktif, 2012).Di Kanwil DJP
Jabar I saja pada tahun 2011 tercatat bahwa dari 91.762 WP
Badan terdaftar, hanya 25.458 yang melapor sehingga rasio
kepatuhannya hanya sebesar 27,74%, dan tahun 2012
meningkat menjadi 30% (DJP 2013, Tribun, 2012), sehingga
masih besar potensi penerimaan pajak yang masih belum
tergali. Mengapa tingkat kepatuhan begitu rendah, padahal
dengan Self Assessment System wajib pajak badan sudah
sangat dimudahkan untuk memenuhi kewajibannya, apalagi
ditunjang dengan adanya reformasi administrasi perpajakan?
Fenomena-fenomena inilah yang menuntut perlunya
dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai sejauhmana atau
sebesarapa besar penerapan Self Assessment System memberi
pengaruh terhadap meningkatnya kepatuhan wajib pajak
badan di KPP Pratama se-Bandung Raya.
Berdasarkan uraian di atas, maka beberapa pokok
permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah:
Seberapa besar pengaruh Penerapan Self Assessment System
dan Reformasi Administrasi Perpajakan secara simultan
maupun parsial berpengaruh terhadap Kepatuhan wajib Pajak
badan.
Penelitian ini dimaksudkan untuk mencari bukti empiris
mengenai indikator-indikator dari variabel Self Assessment
System dan Reformasi Administrasi Perpajakan terhadap
tingkat Kepatuhan Pajak Wajib Pajak Badan, sedangkan
tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa
besar variabel Penerapan Self Assessment System dan
Reformasi Administrasi Perpajakan secara simultan dan
parsial memberi pengaruh terhadap Kepatuhan wajib Pajak
badan di 4 KPP Pratama se-Bandung Raya, sedangkan
hasilnya diharapkan dapat menjadi acuan dalam melengkapi
dan mendukung teori yang ada, yang didasarkan pada hasil
pengujian empiris yang dilakukan serta acuan bagi peneliti
selanjutnya, sedangkan bagi KPP hasil penelitian ini
diharapkan dapat menjadi masukan yang membantu wajib
pajak badan melancarkan perhitungan pajak terhutangnya
serta tambahan petunjuk teknis yang memudahkan wajib
pajak badan dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Bagi
peneliti, proses Penelitian ini memberikan pengalaman
berharga serta menambah wawasan bagi peneliti, khususnya
di bidang ilmu perpajakan, spesifik pada topik-topik yang
berkaitan dengan judul penelitian.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsepsi Perpajakan
Pajak adalah “a contribution from citizen to support of the
state” Smith (1898), sedangkan Sommerfield (1983) juga
dalam Zain (2003) mendefinisikan pajak sebagai “any non
penal yet compulsory transfer of resources from the private to
public sector, leviedon the basis of predetermined criteria
and without receipt of specific benefit of equal value, in order
to accomplish some of a nation’s economic dan social
objectives. Dengan demikian, pajak memiliki beberapa ciri
sebagai berikut: a).Suatu pungutan yang dapat dipaksakan
karena wewenang yang dimiliki pemerintah, b). Dipungut
berdasarkan ketentuan undang-undang dan peraturan
pelaksanaannya, c). Dalam pembayaran tidak dapat
ditunjukkan kontra-prestasi individual oleh pemerintah, dan
d). Dipungut oleh pemerintah pusat ataupun pemerintah
daerah (Yulianto, 2010). Adapun sistem pemungutan pajak
(Waluyo, 2009), yaitu: Official Assessment System, Self
Assessment System, dan Withholding System, yaitu suatu
sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada
pihak ketiga untuk memotong memungut besarnya pajak
IRWNS 2013
125
yang terutang oleh wajib pajak, contohnya pajak penjualan
(PPn).
2.2 Self Assessment System
Undang-Undang No. 36 tahun 2008 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan menj laskan bahwa Sistem Self
Assessment merupakan suatu sistem perpajakan yang
memberikan kepercayaan dan tanggung jawab kepada Wajib
Pajak untuk: a).berinisiatif mendaftarkan dirinya untuk
mendapatkan NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak); b).
menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan
sendiri pajak terutang (dalam Surat Pemberitahuan
Pajak/SPT) secara benar, lengkap, dan tepat waktu
(Mardiasmo, 2002 ; Shoup, 1970 dalam Zain, 2003),
sedangkan fungsi pemerintah (DJP) adalah memfasilitasi
agar sistem ini dapat berjalan dengan baik, diantaranya
dengan memberikan: 1) penyuluhan pajak (tax
dissessmination), 2) pelayanan pajak (tax services), dan 3)
pengawasan pajak (tax enforcement). Keberhasilan sistem
ini, yaitu terwujudnya kepatuhan sukarela (voluntary
compliance) akan meningkat (John Hutagaol, 2005).
sangat dipengaruhi oleh empat faktor berikut ini: 1) Tax
Conciousness: kesadaran Wajib Pajak atas kewajiban
perpajakannya, 2) Tax Mindness: hasrat untuk membayar
pajak terutang 3) Tax Honesty: kejujuran Wajib Pajak untuk
mengungkapkan keadaan sebenarnya, 4) Tax Diciplin:
kerelaan Wajib Pajak untuk menjalankan peraturan
perpajakan yang berlaku (Rachmat Soemitro, 1992).
2.3 Reformasi Administrasi Perpajakan
Menurut Ensiklopedia Perpajakan yang ditulis oleh Sophar
Lumbantoruan: “Administrasi Perpajakan ialah cara-cara atau
prosedur pengenaan dan pemungutan pajak” berdasarkan
Pasal 23A UUD 1945. Reformasi perpajakan, adalah
perubahan mendasar di segala aspek perpajakan, yang pada
dasarnya meliputi dua area: 1) tax policy reform yaitu
reformasi regulasi atau peraturan perpajakan berupa
perubahan undang-undang perpajakan; dan 2) tax
administration reform yaitu reformasi di bidang administrasi
perpajakan (Gunadi, 2004; DJP, 2010). Reformasi
administrasi perpajakan adalah penyempurnaan atau
perbaikan kinerja administrasi, baik secara individu,
kelompok, maupun kelembagaan, agar lebih efisien, yang
mengubah pola pikir dan perilaku aparat serta tata nilai
organisasi, sehingga Direktorat Jenderal Pajak (DJP)
diharapkan menjadi institusi yang profesional dengan citra
yang baik di masyarakat. Untuk mencapainya diperlukan: 1)
struktur pajak yang disederhanakan untuk kemudahan,
kepatuhan, dan administrasi, 2) strategi reformasi yang cocok
harus dikembangkan, dan 3) komitmen politik yang kuat
terhadap peningkatan administrasi perpajakan, (Bird dan
Jantscher, 1992 dalam Nasucha, 2004).
Tujuan utama tax administration reform adalah untuk
mencapai efektivitas yang tinggi (kemampuan untuk
mencapai tingkat kepatuhan yang tinggi); dan efisien, yaitu
kemampuan untuk membuat biaya administrasi per unit
penerimaan pajak sekecil-kecilnya (Ott ,2001 dalam Nasucha,
2004), sehingga reformasi harus: a). Memberikan pelayanan
kepada masyarakat dalam memenuhi kewajiban
perpajakannya, b). Mengadministrasi kan penerimaan pajak
sehingga transparansi dan akuntabilitas penerimaan sekaligus
pengeluaran dana dari pajak setiap saat bisa diketahui, c)
Memberikan pengawasan terhadap pelaksanaan pemungutan
pajak, terutama kepada aparat pengumpul pajak, wajib pajak,
atau masyarakat pembayar pajak, d) memperbaiki efektivitas
dan efisiensi administrasi perpajakan (Gunadi, 2004).
Selain itu penyempurnaan sistem administrasi perpajakan
juga merupakan salah satu upaya dalam mengurangi
kesenjangan kepatuhan pajak. Rendahnya tax ratio
menunjukkan terdapatnya kesenjangan yang tajam dari
tingkat kepatuhan yang diharapkan, yang terkait erat dengan
administrasi pajak.
Administrasi perpajakan harus bersifat dinamik agar dapat
meningkatkan penerapan kebijakan perpajakan yang efektif,
yaitu yang mampu mengatasi masalah-masalah (Carlos A.
Silvani, 1992 dalam Gunadi, 2004): 1) unregistered
taxpayers, 2) Wajib Pajak yang tidaberk menyampaikan SPT
(stop filing taxpayers), dilakukan pemeriksaan pajak untuk
mengetahui sebab-sebab tidak disampaikannya SPT, 3).
Penyelundup pajak (tax evaders) yaitu Wajib Pajak yang
melaporkan pajak lebih kecil dari yang seharusnya menurut
ketentuan perundang-undangan. Perlu adanya bank data
tentang Wajib Pajak dan seluruh aktivitas usahanya, 4).
Penunggak pajak (delinquent tax payers). Upaya pencairan
tunggakan pajak dilakukan melalui pelaksanaan tindakan
penagihan secara intensif. (Media Indonesia,2007)
Adapun konsep umum reformasi administrasi perpajakan: 1)
Restrukturisasi Organisasi, 2) Penyempurnaan proses bisnis
melalui pemanfaatan teknologi komunikasi dan informasi, 3)
penyempurnaan manajemen sumber daya manusia, dan 4)
Penerapan kode etik pegawai. (Pandiangan, 2007, DJP
(2010).
2.4 Konsepsi Kepatuhan Pajak
Kepatuhan wajib pajak merupakan gambaran realisasi
kehendak wajib pajak dalam memenuhi kewajibannya, baik
secara sukarela (voluntary compliance) maupun terpaksa,
(Zain, 1991) Kepatuhan menurut Internal Revenue Service
(IRS) ada tiga variabel, yaitu: 1) filing compliance
(Kepatuhan penyerahan SPT ), 2) payment compliance, dan 3)
IRWNS 2013
126
reporting compliance yang dapat diciptakan melalui paksaan
dan konsensus yang sifatnya legal dari otoritas pajak
Wajib pajak patuh bukan berarti wajib pajak yang membayar
dalam nominal besar , melainkan wajib pajak yang mengerti
dan mematuhi hak dan kewajibannya dalam bidang
perpajakan berdasarkan undang-undang perpajakan
(Abimanyu, 2004 dalam Supriyati et. al.,2008, Safri
Nurmantu dalam Rahayu, 2010), yang menurut Peraturan
Menteri Keuangan RI No.192/PMK.03/2007 Pasal1 adalah
sebagai berikut:
1. Tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan
(SPT), 2) Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua
jenis pajak, kecual telah memperoleh izin mengangsur atau
menunda pembayaran pajak, 3) Laporan keuangan diaudit
oleh Akuntan Publik atau lembaga pengawasan keuangan
pemerintah dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian
(WTP) selama 3 (tiga) tahun berturut-turut, dan 4) Tidak
pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang
perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5
(lima) tahun terakhir.
2.5 Penelitian Sebelumnya
Berkenaan dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis,
terdapat beberapa penelitian sejenis yang berkaitan erat,
antara lain :
1. Angga Widya Pratama (2010): Pengaruh Tingkat
Pemahaman Self Assessment System Terhadap
Kecenderungan Penghindaran Pajak Penghasilan
Perorangan, dengan hasil: a) Kesadaran wajib pajak
berpengaruh negatif terhadap kecenderungan
penghindaran pajak, tidak teruji kebenarannya b)
Kejujuran wajib pajak berpengaruh negatif terhadap
kecenderungan penghindaran pajak, teruji kebenarannya,
c) Hasrat untuk membayar pajak berpengaruh negatif
terhadap kecenderungan penghindaran pajak, tidak teruji
kebenarannya, d) Kedisiplinan wajib pajak berpengaruh
negatif terhadap kecenderungan penghindaran pajak, teruji
kebenarannya
2.Chaizi Nasucha (2004): Pengaruh Reformasi Administrasi
Perpajakan Terhadap Kepatuhan Pajak, hasil nya:
Reformasi administrasi perpajakan berpengaruh signfikan
terhadap akuntabilitas organisasi serta berpengaruh sangat
signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak. Akuntabilitas
organisasi berpengaruh relative signifikan terhadap
kepatuhan wajib pajak, dan secara simultan reformasi
administrasi perpajakan bersama akuntabilitas organisasi
berpengaruh sangat signifikan terhadap kepatuhan wajib
pajak. Perlu ada perubahan paradigma di kalangan pejabat
pajak untuk menjadikan kepatuhan wp sebagai ukuran
kinerja organisasi DJP di samping pencapaian penerimaan
3.Ming Ling Lai & Kwai-Fatt Choong, (2009): Self
assessment Tax System and Compliance Complexities: Tax
Practitioners’ Perspectives, hasil: Self- Assessment System
memberikan manfaat lebih kepada otoritas pajak daripada
wajib pajak dan telah berhasil meningkatkan biaya
kepatuhan pembayar pajak, namun belum dilaksanakan
secara efektif di Malaysia dan hubungan antar otoritas pajak
dan praktisi pajak pun belum baik. Kondisi ini diperparah
lagi dengan adanya staf pajak yang tidak memiliki
pengetahuan teknis mengenai masalah-masalah bisnis yang
kompleks, advis pajak yang tidak mudah diakses, serta
otoritas pajak
4.Yulianto (2010): Pengaruh Implementasi Kebijakan Self
Assessment System terhadap Kepatuhan Pajak, dengan hasil:
peningkatan efektivitas implementasi kebijakan self
assessment akan mempengaruhi peningkatan yaitu:
organisasi, penafsiran, dan aplikasi, dimensi penafsiran
berpengaruh paling besar terhadap kepatuhan wp orang
pribadi, sedangkan dimensi organisasi berpengaruh paling
kecil terhadap kepatuhan wajib pajak orang pribadi di
Propinsi Lampung
III. METODE PENELITIAN
Penelitian ini termasuk jenis penelitian deskriptif analitis
yang menggunakan metode explanatory survey yaitu
penelitian dengan menggunakan populasi untuk menjelaskan
hubungan antar variabel pada populasi tersebut dengan
menggunakan kuesioner sebagai instrumen pengumpulan
data.. Adapun yang menjadi subyek dalam penelitian ini
adalah Kepatuhan Wajib Pajak Badan di empat Kantor
Pelayanan Pajak (KPP) Pratama se-Bandung Raya. Penelitian
ini terdiri atas dua variabel bebas yaitu Penerapan Self
Assessent System (X1) yang menggunakan UU No.28 Tahun
2007 ,M Zain, 2008) sebagai acuan dalam mengukur
indikator-indikator pene
litian sebagai penjabaran dari empat dimensi yang akan
diukur, yaitu: mendaftarkan diri, menghitung dan
mempehitungkan, membayar dan melapor, sedangkan
variabel bebas Reformasi Administrasi Perpajakan (X2)
mengacu pada Liberty Pandiangan (2009) dan DJP (2010)
yang terdiri atas empat dimensi yaitu: reformasi struktur
organisasi, reformasi proses bisnis, pengembangan sumber
daya manusia, serta penerapan kode etik pegawai yang terdiri
atas 20 indikator yang akan diukur. Variabel terikat
Kepatuhan Wajib Pajak Badan mengacu pada KepMenKeu
RI No.192/PMK.03/2007 Pasal 1 yang terdiri atas empat
dimensi dengan 13 indikator yang akan diukur untuk unit
analisis Wajib Pajak Badan pada KPP Pratama se-Bandung
Raya, serta yang berwenang melakukan
pengarahan,pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan atas
kepatuhan Wajib Pajak Badan, yaitu petugas pajak (Fiskus)
nya yang terdiri atas Account Representative (AR) dan
Auditor Pajak, sekaligus merupakan populasi dari penelitian
IRWNS 2013
127
ini, dimana WP Badan jumlah keseluruhannya sekitar 43.000
sedangkan jumlah AR dan Auditor keseluruhan sekitar 140
orang. Pengambilan sampel mengacu pada Krejcie dan
Morgan (1970) dalam Sekaran (2010) sehingga diperoleh
jumlah sampel WP Badan sebanyak 381 orang dan Fiskus
sebanyak 103 orang. yang diambil dengan metode purposive
random sampling.
Pengujian data meliputi uji validitas dengan menggunakan
Pearson Product Moment, sedangkan uji reliabilitas
menggunakan Guttman Split Half Method.
Untuk mengukur pengaruh dua variabel bebas yang berdiri
sendiri (X2 & X2) terhadap variabel terikat (Y), digunakan
Multiple Linier RegressionMethod dengan alat bantu SPSS
20,0 dengan kriteria penafsiran kondisi variabel penelitian
yang ditetapkan berdasarkan pilihan dalam kuesioner dengan
menggunakan Skala Likert, 5 sangat baik dan 1 sangat tidak
baikmdengan terlebih dahulu mengkonversi data ordinal dari
kuesione menjadi skala interval dengan menggunakan MSI
(Method of Successive Interval) serta melakukan uji Asumsi
Klasik atau agar terpenuhi syarat BLUE (Best Linier
Unbiased Estimator).
IV. PEMBAHASAN
Pembahasan difokuskan pada permasalahan yang telah
diidentifikasi pada bab 1 melalui uji hipotesis, setelah
terlebih dahulu dilakukan beberapa jenis pengujian.
Instrumen penelitian telah valid dan reliabel karena hasil uji
dengan menggunakan Pearson Product Moment diperoleh
nilai koefisien validitas > 0,30 dan dengan menggunakan
Guttman Split Half Method dari Spearman-Brown, diperoleh
nilai koefisien Cronbach's Alpha > 0,60. Dengan demikian
seluruh item pernyataan dalam kuesioner yang akan
digunakan dalam penelitian ini, baik untuk Fiskus maupun
wajib pajak badan telah valid dan andal.
4.1 Uji Regresi
Sebelum diuji sebesar apa pengaruh variabel bebas terhadap
variabel terikat, terlebih dahulu dilakukan uji Asumsi Klasik,
karena syarat regresi data harus memiliki karakteristik BLUE
(Best Linear Unbiased Estimator). Sebelum Uji Asumsi
Klasik dilakukan, terlebih dahulu data dikonversi dari data
ordinal menjadi data interval dengan menggunakan MSI
(Method of Successive Interval). Hasil Uji Normalitas
menunjukkan bahwa data telah berdistribusi normal karena
dari gambar "Normal P-P Plot of Regression Standardized
Residual"terlihat data menyebar di sekitar garis diagonal dan
mengikuti arah grafik histogramnya, atau dari Kolmogorov-
Smirnov Test terlihat nilai tiap variabel dari "Asymp. Sig. (2-
tailed)" lebih besar dari 0,05, Uji Multikolinearitas sudah
terpenuhi karena nilai Value Inflation Factor (VIF) dari tabel
"Coefficients" menunjukkan nilai VIF < 10, sehingga tidak
terjadi gejala multikolinieritas, dan uji Heteroskedastisitas
terpenuhi karena dalam Scatter Plot Diagram tidak ada pola
yang jelas serta titik-titik menyebar di atas dan di bawah
angka 0 pada sumbu Y. Berdasarkan ketiga uji di atas, maka
dapat disimpulkan bahwa uji Asumsi Klasik sudah terpenuhi
sehingga data telah memenuhi syarat BLUE.
Hasil uji korelasi menunjukkan nilai X1= 0,454**dan X2=
0,482**, sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat
hubungan yang kuat antara Penerapan Self Assessment System
dan Reformasi Administrasi Perpajakan dengan Kepatuhan
Pajak, demikian pula kontribusi kedua variabel tersebut
terhadap Kepatuhan Pajak, koefisien determinasi sebesar
0,458 artinya variabel Penerapan Self Assessment System dan
Reformasi Administrasi Perpajakan mempengaruhi tingkat
kepatuhan wajib pajak badan di KPP Pratama se-Bandung
Raya sebesar 45,80%, sehingga 54,20% kepatuhan wajib
pajak badan dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diteliti
disini.
Uji regresi berganda menghasilkan persamaan: Y= 14,817 +
0,243X1 + 0,429X 2 + ε,
yang berarti rata-rata indeks kepatuhan wajib pajak badan di 4
KPP Pratama se-Bandung Raya adalah 14,817, sebelum
diterapkannya Self Assessment System dan Reformasi
Administrasi Perpajakan. Nilai koefisien regresi X1 dan X2
positif menunjukkan adanya hubungan searah antara
Penerapan Self Assessment System dan Reformasi
Administrasi Perpajakan dengan Kepatuhan Wajib Pajak
Badan, yang berarti bahwa setiap kenaikan satu satuan
Penerapan Self Assessment System berpengaruh terhadap
peningkatan kepatuhan Wajib Pajak Badan di 4 KPP Pratama
se-Bandung Raya sebesar 0,243 atau 24,30%, sedangkan
setiap kenaikan satu satuan Reformasi Administrasi
Perpajakan dapat mempengaruhi peningkatan Kepatuhan
Wajib Pajak Badan 0,429 atau 42,90%.
4.2 Uji Hipotesis
Hipotesis yang akan diuji terdiri atas : H1: Penerapan Self
Assessment System dan Reformasi Administrasi Perpajakan
secara simultan berpengaruh positif signifikan terhadap
kepatuhan wajib pajak badan. pembuktiannya dengan uji F
terbukti bahwa kedua variabel tersebut berpengaruh positif
signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak badan karena nilai
F hitung 77,283 > F tabel 3,000 (untuk db=n-k-1 = 700-2-1
=697) dan Nilai Sig.0,000 < 0,05, yang berarti hipotesis
diterima (Ho ditolak).
Uji parsial dilakukan dengan uji t, H2: Penerapan Self
Assessment System berpengaruh positif signifikan terhadap
kepatuhan pajak. Hipotesis ini diterima karena hasil uji t
menunjukkan nilai t hitung 3,982 > t tabel 1,967 (db=700-2-
1), dan nilai sig 0,00 < 0,05.
IRWNS 2013
128
H3: Reformasi Administrasi Perpajakaan berpengaruh positif
signifikan terhadap kepatuhan pajak. Hipotesis ini diterimaa
karena t hitung 8,517 > t tabel 1,967 dengan nilai sig 0,00 <
0,05.
Tabel 1: Hasil Uji Parsial
V KESIMPULAN
Berdasarkana hasil pembahasan pada bab sebelumnya, maka
dapat disimpulkan bahwa Penerapan Self Assessment System
dan Reformasi Administrasi Perpajakan baik secara simultan
maupun parsial berpengaruh positif signifikan terhadap
kepatuhan wajib pajak badan di 4 KPP Pratama se-Bandung
Raya.
Guna menghasilkan luaran yang bermanfaat, khususnya bagi
wajib badan dalam menumbuh kembangkan kesadaran
dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, maka diperlukan
kajian lebih mendalam lanjutan dari penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
[1] http://id-evelopment.blogspot.com/2012/05/lingkup-
dan-definisi-pembangunan.html
[2] Brondolo, Jhon, Carlos Silvani, Eric Le Borgne, and
Frank Bosch. (2008). “Tax Administration Reform and
Fiscal Adjustment: The Case of Indonesia (2001-07).
Journal of Economics.
[3] Brooks, Neil. 2001. “Key Issues in Income Tax
Administration and Compliance‖, ADB Tax
Conference.
[4] http://hasim319.wordpress.com/2010/05/18/pajak-urat-
nadi-kehidupan-bangsa/
[5] Gunadi, Prof. Dr. MSc , 2004. Reformasi Administrasi
Perpajakan Dalam Rangka Kontribusi Menuju GCG.
[6] Indriantoro, Nur dan Bambang Supomo. 2002.
Metodologi Penelitian Bisnis untuk Akuntansi dan
Manajemen. BPFE.Yogyakarta.
[7] International Bureau Fiscal Documentation, 1992.
International Tax Glossary, Second Completely
Revised, Amsterdam, Netherland : IBFD Publication
[8] Kanwil DJP Jabar I, 2013. Kuliah Umum Perpajakan
Polban, Bandung
[9] Lai, Ming Ling & Kwai-Fatt Choong, (2009): Self
assessment Tax System and Compliance Complexities:
Tax Practitioners’ Perspectives, Oxford Business &
Economics Conference Program, St. Hugh‟s College,
Oxford University, Oxford, UK. (Accounting Research
Institute & Faculty of Accountancy Universiti Teknologi
MARA, Malaysia)
[10] ]Nasucha, Chaizi. 2004. Reformasi Administrasi Publik:
Teori dan Praktik. PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
Jakarta
[11] Pandiangan, Liberty, 2007. Modernisasi dan Reformasi
Pelayanan Perpajakan: Berdasarkan Undang-Undang
Terbaru, PT. Elex Media Computindo (Kelompok
Gramedia), Jakarta
[12] Peraturan Menteri Keuangan RI No.192/PMK.03/2007
Pasal1
[13] Pratama, Angga Widya, 2010. Tingkat Pemahaman Self
Assessment System terhadap Kecenderungan
Penghindaran Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang
Pribadi, Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi -
Universitas Padjadjaran, Bandung
[14] Tanzi, Vito and Anthony Pellechio. (1995). “The Reform
of Tax Administration,” Journal of Economics.
[15] Undang-Undang No. 36 tahun 2008 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan
[16] Yulianto, 2009. Pengaruh Impleumentasi Self
Assessment System Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak
Orang Pribadi di Propinsi Lampung. Jurnal Ilmu
Administrasi Negara, Volume 9 Nomor 1, Bandung
[17] Zain Mohammad, 2008, Manajemen Perpajakan,
Salemba Empat , Jakarta
[18] http://www.ortax.org/ortax/?mod=berita&page=show&i
d=11643&q=&hlm=9Tingkat Kepatuhan Pajak Institusi
Pemerintah Rendah Harian Seputar Indonesia, 23
Nopember 2011
[19] Yuniasih, 2010. Pengaruh Penerapan Sistem Self
Assessment Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Badan
Pada KPP Pratama Jakarta Cilandak, Jakarta.
IRWNS 2013
129
Development of Wireless Magnetic Field Sensor Node Based on
Programmable System on Chip Microcontroller
C. Bambang Dwi Kuncoro
Electrical & Instrumentation Laboratory, Bandung State Polytechnic, Bandung 40012
E-mail : [email protected]
ABSTRACT
Wireless magnetic field sensor node is a magnetic field sensor that is integrated with microprocessor, wireless communication
system, and a small voltage source. That architecture makes it has improvement capability and functionality in order making
sensing process. Magnetic field sensor plays a very important part in many application and embedded system. In a wide range
of embedded and wireless sensor application, combining a magnetic filed sensor with programmable system on chip
microcontroller and wireless system will build a wireless sensor node. Thus that configuration technology inside offer an
attractive and low-cost alternative for many intelligent system applications. This paper presents development of wireless
magnetic field sensor node prototype. The node prototype built with the low power and a low noise magnetic field sensor
based on the Anisotropic MagnetoResistive (AMR) effect, the Programmable Single on Chip (PSoC), a 2,4 GHz radio
frequency as wireless communication, and 2 AAA batteries as 3.3 V DC voltage source. Comparing with a conventional
implementation, it is smaller and has lower power and costs. Integration of PSoC microcontroller technology in this design
allows the developer to rapidly create solutions for any wireless applications, and has unique capabilities that are not present
when designing with other microcontrollers. The simple experiment result show that designed wireless magnetic filed sensor
node can acquire experiment data (magnetic fileds), and send data processing to the computer monitor over radio frequency
communication. Another important aspect is related to the decrease in energy consumption due to the use of fewer and low-
power consumption components. Keywords
Interface, magnetic sensor, sensor node, wireless sensor node, PSoC
1. INTRODUCTION
Magnetic sensors differ from most other detectors because
they do not directly measure the physical property of
interest. Magnetic sensors, on the other hand, detect
changes, or disturbances, in magnetic fields that have been
created or modified, and from them derive information on
properties such as direction, presence, rotation, angle, or
electrical currents. Although magnetic detectors are
somewhat more difficult to use, they do provide accurate
and reliable data-without physical contact. Devices that
monitor properties such as temperature, pressure, strain, or
flow provide an output that directly reports the desired
parameter. They have been in use more over 2,000 years.
Early applications were for direction finding, or navigation.
Today, magnetic sensors are still a primary means of
navigation but many more uses have evolved. The
technology for sensing magnetic fields has also evolved
driven by the need for improved sensitivity, smaller size,
and compatibility with electronic systems. The newest
types of silicon based magnetic sensors will be emphasized-
anisotropic magnetoresistive (AMR) and giant
magnetoresistive (GMR) sensors.
At the same time, wireless sensor network (WSN) as a
promising has prompted the appearance for the
development of new magnetic field sensor applications, and
research work. With the increasing growth of magnetic
field detection has vastly expanded as industry has utilized
a variety of magnetic sensors to detect the presence,
strength, or direction of magnetic fields. Wireless magnetic
sensor networks offer an attractive, low-cost alternative for
traffic surveillance on freeways, at intersections and in
parking lots. Magnetometers are also used in a traffic
surveillance system to detect the presence and estimate the
speed of vehicles near street intersections and parking lots
[3]. Using magnetic signatures the system could also
classify and re-identify vehicles. Responsive Roadways [6],
[9], and MIT Intelligent Transportation System [7] are other
examples of transportation applications using wireless
magnetic sensors.
Figure 1: Automatic Car Illustration
This paper proposes development of a wireless magnetic
field sensor node prototype. The prototype developed based
on Programmable Single on Chip (PSoC), and built using
Commercial off-the-Shelf (COTS) components. We also
demonstrate promising results through real world
experiments performed at laboratory exercises.
IRWNS 2013
130
The rest of the paper is organized as follows. In Section 2,
development the wireless magnetic field sensor node will
be discussed, the devices that are used in our
implementation described, and then the development
program for magnetic field sensors detection is presented.
The presented of detailed experimental results is in Section
3, and finally the conclusion is in Section 4.
2. THE DEVELOPMENT OF WIRELESS
MAGNETIC FIELD SENSOR NODE
2.1 Architecture
A sensor node is composed of four major blocks: power
supply, communication, processing unit, and sensors. The
power supply block has the purpose to power the node and
usually consists of a battery and a dc-dc converter. The
communication block consists of a bidirectional wireless
communication channel. Most platforms use a short-range
radio. The architecture of wireless magnetic field sensor
node proposed is shown in Fig. 2.
Magnetic Field
Sensor(X_Axis)
Instrumentation
Amplifier
Magnetic Field
Sensor(Y_Axis)
Magnetic Field
Sensor(Z_Axis)
Instrumentation
Amplifier
Instrumentation
AmplifierFlip
Current
Vout(X_Axis)
Vout(Y_Axis)
Vout(Z_Axis)
PGAPSoC
SPIRadio
Report
Rate
Timer
3:1
MUX Gain=114 Bit
ADC
PSoC DeviceMagnetic Field Sensor Module
2XAAA
Battery
DC-to-DC
Converter
1.8 Volt DC - 3.6 Volt DC
3.3 Volt DC
Power Supply
Power Switch
Power (On)
Reset (Off)
Figure 2: The architecture of wireless magnetic field sensor
node
The proposed of wireless magnetic field sensor node is
composed of magnetic field sensor module, a processor and
radio communication based on the PSoC families, and a
power supply module.
2.2 Hardware Description and Development
In the development of wireless magnetic field sensor node,
the CY3271 Kit (PSoC FirstTouch Starter Kit with CyFi
Low-Power RF) produced and developed by Cypress
Semiconductor Corp is used. It allows the developer to
rapidly create solutions for any applications. It has unique
capabilities that are not present when designing with other
microcontrollers. The CY3271 kit also includes a CyFi RF
expansion card (FTRF). It contains a PSoC device and a
CyFi transceiver (with Radio Frequency (RF) output power
up to +20 dBm), a male interface header and a female
expansion header.
Figure 3: The main hardware of PSoC FirstTouch Starter
Kit: (a) Battery module. (b) PC bridge (c) RF expansion
module.
Table 1: The PSoC FirstTouch Starter Kit with CyFi Low
Power RF has specification.
2.2.1 The PsoC FirstTouch Starter Kit with CyFi Low-
Power RF
The programmable system on chip microcontroller replaces
many micro controller unit (MCU) based system
components with a single chip, programmable device. A
single PSoC microcontroller offers a fast core, flash
program memory, and SRAM data memory with
configurable analog and digital peripheral blocks in a range
of convenience pin-outs and memory sizes. The driving
force behind this innovative programmable system on a
chip comes from user configurability of analog and digital
arrays, the PSoC blocks.
The CY3271 Kit (PSoC FirstTouch Starter Kit with CyFi
Low-Power RF) allows the developer to rapidly create
solutions. The CY3271 kit hardware contains a PC Bridge
(FTPC) and this acts as a bridge between all boards in the
CY3271 system and the PC using a USB-to-I2C interface. It
contains a CyFi low-power RF transceiver (with RF output
power up to +20 dBm). CyFi is an ultra-reliable 2.4-GHz
RF solution optimized for embedded control and uses an
Operating Voltage 2.4 to 3.6V
Operating temperature 0 to 50oC
Expansion connector can
supply
up to 100mA at 3.3VDC
Support for I2C and up to 5 General purpose IOs
Frequency 2.400 - 2.483 GHz, up to
0 dBm and 2.412 - 2.460 GHz at +20 dBm (PA
enabled)
Operating current Less than 240 mA (Transmit at 20 dBm)
Operating range up to 1 km or more
Modulation DSSS, GFSK
Data rates DSSS data up to 250
kbps, GFSK data rate of 1 Mbps
ADC Resolution 6 to 14 Bit
ADC DataClock 125 kHz to 8 MHz
ADC SampleRate 1.9 sps to 15.6 ksps
(a) (b)
(c)
IRWNS 2013
131
easy to use star network protocol with active power
management. It employs Direct Sequence Spread Spectrum
(DSSS) and is a PSoC-based solution. CyFi can be used in
a wide range of embedded and wireless solutions. When
this is combined with an onboard PSoC, it acts as the Hub
in CyFi wireless networks.
2.2.2. CyFi RF Expansion Card
Sensor nodes must communicate among themselves and
also to a base station using a wireless communication
channel. We explore optical and radio frequency (RF)
channels. The sensor node communication channel needs to
be bidirectional to support different operating modes, to be
energy-efficient, allows setting the output power, and have
relatively slow date rate. The range can vary from tens to
about a hundred meters magnitude.
The CY3271 kit also includes a CyFi RF expansion card
(FTRF) and it is shown in Fig 3. It contains a PSoC device
and a CyFi transceiver (with RF output power up to +20
dBm), a male interface header and a female expansion
header.
Figure 4: CyFi RF Expansion Card: (a) Diagram block. (b)
Board.
The expansion card serves the following functions:
Combined with one of the power packs made available
with the CY3271 CyFi development kit, it can act as a
standalone CyFi wireless node with an on board
thermistor that can be used for temperature
measurements.
The male interface header features an Inter-Integrated
Circuit (I2C) interface and unused General Purpose
Input/Output (GPIO). This enables you to use it as a
CyFi low-power RF module for prototyping in your
own system.
With its female expansion header, it can be used as a
CyFi low-power module to add wireless connectivity to
multifunction expansion boards that are connected to it.
The pin out of the female expansion header is shown in
Figure 5.
Figure 5: Pin configuration of female expansion header
2.2.3 Magnetic Field Sensor Module
The sensing unit is composed of a group of sensors, which
are devices that produce electrical signals to a change in a
physical condition. In this project discusses and uses the
Anisotropic Magnetoresistive (AMR) as magnetic sensor.
William Thompson, later Lord Kelvin, first observed the
magnetoresistive effect in ferromagnetic metals in 1856.
His discovery had to wait more than 100 years before thin
film technology could make it into a practical sensor.
Figure 6: Anisotropic Magnetoresistive Sensor
AMR sensors are well suited to measuring both linear and
angular position and displacement in the Earth's magnetic
field. In a typical configuration, four of these resistors are
connected in a Wheatstone bridge to permit measurement
of both field magnitude and direction along a single axis.
The bandwidth is usually in the 1-5 MHz range. The
reaction of the magnetoresistive effect is very fast and not
limited by coils or oscillating frequencies.
Figure 7: Output of Anisotropic Magnetoresistive Sensors.
AMR sensors offer high sensitivity, small size, and noise
immunity. AMR sensors available today do an excellent job
of sensing magnetic fields within the Earth‟s field below 1
gauss. These sensors are used in applications for detecting
P0.
2
P0.3 P0.4
P0.
5
P0.6 GN
D
3.3V
PSoC
SPIRadio
Report Rate
Timer
PSoC Device
PSoC
I2C HW
PSoC
GPIO
H
E
A
D
E
R
Data Ready
Chip Select
SCL
SDA
RF Expansion board
(a) (b)
16 14 12 10 8 6 4 2
15 13 11 9 7 5 3 1
IRWNS 2013
132
Magnetic Field
Sensor(X_Axis)
Instrumentation
Amplifier
Magnetic Field
Sensor(Y_Axis)
Magnetic Field
Sensor(Z_Axis)
Instrumentation
Amplifier
Instrumentation
Amplifier
C
O
N
N
E
C
T
O
R
Flip
Current
Vout(X_Axis)
Vout(Y_Axis)
Vout(Z_Axis)
Magnetic Field Sensor Board
power data
(a) (b)
Magnetic Field Sensor
Output (X__Axis)
Magnetic Field Sensor
Output (Z__Axis)
Magnetic Field Sensor
Output
(Y__Axis)
Supply to Magnetic
Field Sensor
Supply to Magnetic
Field Sensor
Wireless Expansion Card Female Header
ferrous objects such as planes, train, and automobiles that
disturb the Earth‟s field. Magnetic sensors can be classified
according to low-, medium-, and high-field sensing range.
Devices that detect magnetic fields <1 µG (microgauss) are
considered low-field sensors; those with a range of 1 µG to
10 G are Earth's field sensors; and detectors that sense
fields >10 G are referred to as bias magnet field sensors.
This application uses the AFF755B is a low noise magnetic
field sensor based on the Anisotropic MagnetoResistive
(AMR) effect, and it is shown in Fig 8. The magnetic field
sensor module is consists of the serial connection of 3
sensors for a 3-axis measurement with typical supply
voltages available in battery powered devices. The sensor
contains a Wheatstone bridge including a flip coil for offset
correction. This measurement principle also reduces the
temperature coefficient of the offset by a factor of 100. This
sensor is ideally suited for the detection of weak magnetic
fields (< 20 μG resp. < 2 nT) including the earth magnetic
field. The voltage necessary for driving the required flip-
current of 150 mA is smaller than 0.5 V.
Figure 8: Magnetic Field Sensor Module: (a) Block
diagram. (b) Sensor board.
Table 2: Specification of magnetic field sensor module.
Operating Voltage 3VDC
Resolution 2nT
Output Voltage 11.5 mV/V/mT
Flipping current 150mA
Gain 100
Sensitivity 11.5mV/V/mT
For the circuit above, the following equation holds as
below:
Vout=1/2Vdd + Gain x SensorSensitifity x Vdd x B (1)
where:
Vout: output voltage of magnetic field sensor module (Vx_Axis, Vy_Axis, Vz_Axis) (Volt)
Vdd: supply voltage of magnetic field sensor module (Volt)
Gain: Gain of Instrument Amplifier of magnetic field sensor module
SensorSensitifity: sensitivity of magnetic field sensor(mV/V/mT)
B: Magnetic Field (nTesla)
Solving for B results in: B= (Vout-(1/2Vdd))/(Gain x SensorSensitivity x Vdd) (2)
2.2.4 Interfacing with CyFi RF Expansion Card
The connection of magnetic field sensor module to the CyFi
RF expansion card is shown in Fig 9, and described as
follow. The X-Axis output of magnetic field sensor module
connect to the port P0.2, the Y-Axis output of magnetic
field sensor module connect to the port P0.4, and then the
Z-Axis output of magnetic field sensor module connect to
the port P0.6 on the female expansion header. The negative
(–) supply of magnetic field sensor connect to GND, and
the positive (+) supply of magnetic field sensor connect to
3.3 V.
Figure 9: Connection Scheme between Magnetic Field
Sensor module and Wireless Expansion Card Female
header.
2.2.5 Power supply module
The power supply block has the purpose to supply the
energy to the node, and usually consists of a battery, but
sometimes a DC-DC converter is used to boost the battery
voltage. A voltage regulator can be added, whose purpose is
to maintain the output voltage at a fixed value. The power
supply module that use in this project is shown in Fig 10. It
supplies 3.3 V DC to other modules in wireless magnetic
field sensor node. The energy source of this module is 2
AAA batteries.
P0.2 P0.3 P0.4
P0.5 P0.6 GND 3.3 V
(a)
2XAAA
Battery
DC-to-DC
Converter
C
O
N
N
E
C
T
O
R
3.3 Volt DC
3.3 Volt DC
1.8 Volt DC - 3.6 Volt DC Power Switch
Power (On)
Reset (Off)
Power Supply Board
(b)
IRWNS 2013
133
PSoC Microcontroller
MU
X
14-bit
ADC
Magnetic Field
Sensor PGA
VX_Axis
VY_Axis
VZ_Axis
Figure 10: Power supply module: (a) Block diagram. (b)
Power supply board.
2.3 Software Development
All tasks in the wireless magnetic field sensor node will be
translated using PSoC Designer 5.0 in chip level design
mode. PSoC Designer is the integrated development
environment (IDE) where all PSoC projects are created,
edited, built, and debugged.
In generally, the main task is described as follow. The
voltages on the X, Y, and Z axes of the Magnetic Field
sensor module are measured directly with a single 14-bit
Analogue Digital Converter (ADC) by multiplexing the
input ports. The magnetic field sensor module has an
internal gain and thus Programmable Gain Amplifier (PGA)
set by 1. The block diagram of the system is shown in Fig
11.
Figure 11: System Block Diagram
The output of the ADC block can be processed using digital
blocks, and transmitted using the SPI digital
communication modules available in this chip. The voltages
on each axis after converting to digital data are stored in the
I2C RAM buffer. These values are transferred over the I
2C
Bridge and displayed using the Sense and Control
Dashboard (SCD) in the host Personal Computer (PC).
2.3.1 User Modules and Routing
The User Modules required in this design to read magnetic
field are as follows:
(a) (b)
(c) (d)
Figure 12: (a) Buffer User Module, (b) PGA User Module,
(c) ADC User Module,
(d) AMUX User Module.
The routing in PSoC Designer shows the user modules are
place in the analog blocks is shown in Fig 13. The
multiplexed input is fed through a PGA User Module. This
voltage is then buffered and passed onto the ADC user
module. A 14-bit digital representation is then used to
represent the voltages on X-Axis, Y-Axis, and Z-Axis of
magnetic field sensor module. The user module Analogue
Multiplexer (AMUX) selects which voltage is been
converted. For each axis connection (X-Axis, Y-Axis, and
Z-Axis of magnetic field sensor circuit), the ADC input is
sampled and the ADC counts are converted to the voltage
equivalent value, and uses this data to calculate the actual
magnetic field.
Figure 13: Analog Blocks used in Design.
2.3.2 Device Template
In order for the information received by the Hub to be
displayed using the Sense and Control Dashboard (SCD), it
is necessary to create a device template for the application.
The device template informs the SCD of how many bytes
are expected, what type of variables are used, text on the x
and y axis etc. The device template describes the size of
magnetic field value variables (iBx, iBy, iBz) are 4 bytes
(Float32). The starting bit of iBx is bit 0 and nTelsa is the
label on the y axis as unit of magnetic field on X-Axis. It
indicates that no scaling factor is used. There is also an iBy
variable. The starting bit is bit 32, and iBy is the label on
the y axis as unit of magnetic field on Y-Axis. It also
indicates that no scaling factor is used. The next variable is
iBz variable. The starting bit is bit 32, and iBz is the label
on the y axis as unit of magnetic field on Z-Axis. It also
indicates that no scaling factor is used.
The wireless magnetic field sensor node prototype
implemented, as show in Fig 14.
IRWNS 2013
134
Figure 14: Wireless magnetic field sensor node.
3. EXPERIMENTAL
3.1 Experiment setup
General steps to be followed while using the wireless
magnetic field measurement system expansion board are as
follows:
1. Connect the RF Expansion Board to the PC Bridge.
2. Insert the PC Bridge into any free USB port of the
PC/laptop.
3. Open PSoC Programmer, and load the appropriate .hex
file from the Hex Files folder located on the computer.
4. Set Device Family to 27x43, Device to CY8C27443
and click Program.
5. Disconnect the RF Expansion Board from the PC
Bridge, leaving the Bridge connected to the computer.
6. Attach the magnetic field sensor and the RF Expansion
board to the battery pack as shown in Fig. 14.
7. Switch on power to the RF Expansion Board by sliding
the ON/OFF switch on the battery pack towards the RF
Expansion Board.
8. Open the SCD software.
9. Place the PC Bridge in Bind mode using the SCD
software.
Click Manage to set up the sensor network.
In the Manage Network screen, click Add to add a
new node.
Figure 15: Configuration experiment setup
On the Node Binding screen, click Begin Binding.
After activating this function, you have
approximately 20 seconds to press the bind button
on the RF Expansion Board.
Verify the success of the bind.
10. Click Next to go to the Node Binding (2 of 2) window.
In this window, assign a name to the newly bound node.
On the Node Configuration pane, click Load Node
configuration from a file and load the appropriate
device template file from the Configuration Files folder
located on the computer.
11. Select graphical or textual mode of data display. The
data is displayed in graphical or text format on the SCD
screen.
12. Click Apply on all successive dialog boxes until the
main SCD window reappears
3.2 Experiment Environment
A weak magnetic fields magnet (app: 1.4 – 1.6 nT) is
placed close to the magnetic field sensor module (app: 1.5 –
2 cm). The configuration is as shown in Fig.15. The
wireless magnetic field system using the PSoC FirstTouch
starter kit was programmed to acquire data from the
magnetic field sensor every second and to send the data to a
PC bridge. The PC Bridge was also attached to a Laptop
running SCD. At the time measurement, a weak magnetic
fields magnet was moved in the directions: X-axis, Y-axis,
and Z-axis respectively.
3.3. Result
The received data appear on 3 windows on the SCD. The
first window is the magnetic field on X-axis, second
window is the magnetic field on Y-axis, and the next is the
magnetic field on Z-axis. The graphs of measurement
result are show in Fig. 16 as an example.
(a) (b)
(c)
Figure 16: (a) X-Axis Sensor and Control Dashboard
Windows. (b) Y-Axis Sensor and Control Dashboard
Windows. (c) Z-Axis Sensor and Control Dashboard
Windows.
4. CONCLUSIONS
Wireless magnetic field sensor node presents fascinating
challenges for the application of distributed system. It also
provides accurate and reliable data-without physical
contact. In this work, a wireless magnetic field sensor node
prototype has been developed and deployed.
The result of simple experiment show magnetic fields from
a small magnetic field source can be read well by AMR
sensor and transmitting the collecting data to the
monitoring computer by wireless. The monitoring computer
display the history and trends magnetic field data on the
Programmer PSoC
Applation
PSoC
CyFi Transceiver
USB
I2C
SPI
PC Dongle
CyFi Transceiver
PSoC
SPI
GPIO
Con
nector Magnetic Sensor
RF Expansion Board
CyFi wireless link
GPIO
IRWNS 2013
135
interactive Graphical User Interface (GUI) but the
resolution and data rate should be improvement to find
smoother graphic.
This work can inspire the user create another sensor board
by self, and then connects it to the PSoC module (RF
Expansion Card), which both supplies the board with
power, and enables starting logging and transmitting sensor
data (from the specific sensor) to a PC/laptop using CyFi
Low-Power RF. Furthermore, RF Expansion Card can be
re-used as a wireless module for development a prototyping
purpose, making simple wireless monitoring and data
acquisition for various appropriate applications.
ACKNOWLEDGEMENTS
We would like to acknowledge our reviewer who helped us
to improve this manuscript.
REFERENCES
[1] Benson, J.P., T. O‟Donovan, P. O‟Sullivan, U. Roedig,
C. Sreenan, J. Barton, A. Murphy, and B. O‟Flynn,
“Car-Park Management using Wireless Sensor
Networks,” Proceedings of the 31st IEEE Conference
on Local Computer Networks, Tampa, FL, pp. 588–595,
Nov 2006.
[2] Boda, V.K., A. Nasipuri, and I. Howitt, “Design
Considerations for a Wireless Sensor Network for
Locating Parking Spaces,” Proceedings of IEEE
SoutheastCon, Richmond, VA, pp. 698–703, Mar 2007.
[3] Cheung, S.Y., S.C. Ergen, and P. Varaiya, “Traffic
Surveillance with Wireless Magnetic Sensors,”
Proceedings of the 12th World Congress on Intelligent
Transport Systems, Nov 2005, San Francisco, CA.
[4] CY3271-EXP1 PSoC® Environmental Sensing Kit,
Cypress Semiconductor 198 Champion Court San Jose,
CA 95134-1709, 2006.
[5] IDE User Guide, Cypress Semiconductor 198
Champion Court San Jose, CA 95134-1709, 2006.
[6] Knaian, A.N., “A Wireless Sensor Network for Smart
Roadbeds and Intelligent Transportation Systems,”
Master‟s Thesis, MIT, Jun 2000.
[7] MIT Intelligent Transportation Systems,
http://mit.edu/its
[8] O‟Flynn, B., S. Bellis, K. Mahmood, M. Morris, G.
Duffy, K. Delaney, and C. O‟Mathuna, “A 3-D
Miniaturised Programmable Transceiver,”
Microelectronics International, Emerald Group, Vol. 22,
No. 2, pp. 8–12, 2005.
[9] Responsive Roadways,
http://www.media.mit.edu/resenv/vehicles.html
[10] Robert Ashby, Designer‟s Guide to the Cypress
PSoC, Elsevier Inc, 2005.
IRWNS 2013
136
INTELLIGENT DRIVER INFORMATION SYSTEM
BERBASIS GPS
Edi Rakhmana, Didin Saefudin
a, Noor Cholis Basjaruddin
a
aJurusan Teknik Elektro, Politeknik Negeri Bandung, Bandung
E-mail : [email protected], [email protected], [email protected]
ABSTRAK
Intelligent driver information system ( IDIS) adalah alat bantu bagi pengemudi untuk memudahkan dalam mengarahkan
kendaraan ke suatu tujuan. Sistem ini merupakan sistem elektronika yang dipasang pada mobil dengan menggunakan sensor
GPS dan mempunyai keluaran berupa alarm dan tampilan LCD. Fungsi utama sistem ini adalah memberikan pilihan tujuan
terdekat serta secara terus menerus memberikan informasi jarak kendaraan dan tujuan. Dua informasi tersebut sangat
membantu pengemudi untuk mengarahkan mobil ke tujuan yaitu berupa tempat umum seperti SPBU, ATM, dan rumah sakit.
Pemilihan tujuan terdekat dilakukan oleh sistem dengan memanfaatkan basis data posisi berbagai tempat umum serta informasi
jalan yang diperoleh dari GPS dan basis data jalan. Hasil simulasi fuzzy logic menunjukkan bahwa frekuensi alarm bisa
berubah dengan baik sesuai jarak dan kecepatan kendaraan. Sedangkan hasil uji coba lapangan tanpa fuzzy logic menunjukkan
bahwa alarm mulai berbunyi ketika jarak kendaraan dan tujuan 518 meter dan berbunyi dengan frekuensi tertinggi pada jarak
29 meter.
Kata Kunci
Intelligent driver information system, GPS, fuzzy logic
1. PENDAHULUAN
Jumlah kendaraan di Indonesia terus meningkat tidak
sebanding dengan laju pembangunan jalan. Pada tahun
2011 menurut Badan Pusat Statistik jumlah mobil
penumpang adalah 9.548.866, bus 2.254.406, dan truk
4.958.738. Jumlah kendaraan tersebut naik sekitar 9%
setiap tahunnya. Kenaikan jumlah kendaraan ini tidak
sebanding dengan penambahan panjang jalan, yaitu 0.01%
per tahun [1]. Selain itu jumlah luas jalan dibanding luas
wilayah di kota besar seperti Jakarta juga belum memadai
yaitu hanya sekitar 6%. Sebagai perbandingan di Tokyo dan
Singapura jumlah luas jalan lebih dari 15% luas wilayah.
Ketidakseimbangan jumlah kendaraan dan ketersediaan
jalan mengakibatkan padatnya lalu lintas di jalan raya yang
pada akhirnya mengakibatkan kemacetan. Selain
merugikan dari sisi ekonomi, kemacetan juga mengganggu
kenyamanan dalam berkendara.
Peningkatan jumlah pengguna jalan raya yang tidak
diimbangi dengan sarana jalan dan kedisiplinan pengemudi
yang memadai mengakibatkan peningkatan jumlah
kecelakaan. Pada tahun 2010 kematian akibat kecelakaan
mencapai 31.234 jiwa atau dalam setiap 1 jam terdapat 3-4
orang meninggal akibat kecelakaan lalu lintas [2]. Selain
kerugian jiwa, kecelakaan lalu lintas juga menyebabkan
loss productivity, yaitu sekitar 2,9 – 3,1 % dari total PDB
Indonesia atau setara Rp205-220 trilyun pada tahun 2010
dengan total PDB mencapai Rp7.000 trilyun.
Dua tugas penting bagi pengemudi dalam berkendara
adalah mengarahkan kendaraan ke tujuan seefiesin
mungkin dan bermanuver untuk menghindari kecelakaan
pada kondisi tertentu. Dua tugas berkendara tersebut harus
memenuhi aspek keselamatan dan kenyamanan baik bagi
pengemudi maupun penumpang. Tugas berkendara tersebut
menjadi lebih sulit dilaksanakan ketika kepadatan lalu lintas
meningkat.
Persoalan kemacetan di jalan raya dapat dikurangi jika para
pengemudi dapat mengemudikan kendaraannya seefisien
mungkin pada saat menuju tujuan. Oleh karena itu
dibutuhkan alat yang dapat membantu pengemudi pada saat
mengarahkan kendaraannya menuju tujuan. Alat tersebut
dikenal sebagai sistem informasi pengemudi (driver
information system, DIS). DIS yang dirancang dan
diimplementasikan dengan menggunakan sistem cerdas
dikenal sebagai Intelligent Driver Information System
(IDIS). Selain dapat membantu mengurangi kemacetan,
sistem informasi pengemudi juga dapat mengurangi
pemakaian bahan bakar, meningkatkan keselamatan dalam
berkendara, serta menambah kenyamanan pengemudi dan
penumpang.
IRWNS 2013
137
2. METODA PENELITIAN
Ilustrasi cara kerja IDIS dapat dilihat pada Gambar 1.
Mobil dengan GPS
SPBU
Jl. Soekarno Hatta
Gambar 1: Ilustrasi cara kerja IDIS
Mobil yang dilengkapi dengan IDIS dapat menentukan
posisinya melalui GPS. Informasi posisi mobil dan basis
data jalan akan menentukan informasi nama jalan yang
sedang dilewati oleh mobil, misal Jl. Soekarno Hatta.
Ketika pengemudi ingin mencari SPBU di jalan Soekarno
Hatta, maka pengemudi akan memilih pilihan SPBU pada
perangkat IDIS. Secara otomatis, IDIS akan memilihkan
SPBU terdekat di Jalan Soekarno Hatta. Selanjutnya, IDIS
secara terus menerus akan memberi informasi jarak SPBU
dengan mobil kepada pengemudi melalui alarm dan
tampilan LCD. Frekuensi alarm akan naik jika jarak
semakin dekat.
3.6 Pemilihan Tujuan
Gambar 2 menunjukkan proses penentuan tujuan oleh
pengemudi. Pilihan jenis tujuan diberikan oleh pengemudi
melalui keypad. Pilihan tersebut antara lain SPBU, ATM,
dan Rumah Sakit. Misalkan pengemudi memilih SPBU.
Data tersebut selanjutnya diolah bersama-sama informasi
jalan yang dihasilkan dari basis data jalan dan data GPS
(misal Jalan Soekarno Hatta). Dua data yaitu jenis tujuan
(misal SPBU) dan nama jalan (misal Soekarno Hatta)
selanjutnya digunakan untuk menentukan koordinat tujuan.
Sub rutin pengolah posisi dan basis
data posisi tujuan
Pilihan jenis tujuan via keypad
Informasi jalan dari GPS kendaraan
Koordinat tujuan
Gambar 2: Proses penentuan tujuan oleh pengemudi
3.7 Perancangan Fuzzy Logic
Metoda fuzzy logic digunakan untuk mengolah data jarak
dan kecepatan sehingga diperoleh frekuensi alarm yang
tepat. Gambar 3 menunjukkan blok diagram pengolahan
data jarak dan kecepatan menggunakan fuzzy logic.
Fuzzy Logic
Jarak mobil dan tujuan
Kecepatan mobil
Frekuensi Alarm
Gambar 3: Bagian fuzzy logic
Secara garis besar fuzzy logic akan menentukan frekuensi
alarm sesuai dengan data jarak dan kecepatan mobil. Jika
jarak mobil dan tujuan masih jauh dan kecepatan mobil
rendah maka alarm akan berbunyi dengan frekeunsi rendah.
Frekuensi alarm akan naik jika jarak semakin dekat dan
atau kecepatan mobil naik.
Gambar 4-6 menunjukkan fungi keanggotaan jarak mobil
terhadap tujuan, kecepatan mobil, dan frekuensi alarm.
Gambar 4: Fungsi keanggotaan jarak mobil
terhadap tujuan
Gambar 5: Fungsi keanggotaan kecepatan mobil
IRWNS 2013
138
Gambar 6: Fungsi keanggotaan frekuensi alarm
Grafik fuzzy logic dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7: Grafik fuzzy logic
Pada Gambar 7 dapat dilihat bahwa frekuensi alarm akan
sangat rendah jika jarak mobil terhadap tujuan masih jauh
dan kecepatan rendah. Jika kecepatan mobil bertambah,
frekuensi alarm akan naik. Hal yang sama terjadi jika jarak
semakin dekat.
3.8 Perhitungan jarak
Jarak mobil dan tujuan ditentukan berdasarkan koordinat
mobil yang diterima dari GPS dan koordinat tujuan dari
basis data. Persamaan 1 digunakan untuk menghitung jarak.
(1)
dengan
d jarak dua titik
r radius bumi (6.371 untuk satuan kilometer)
1, 1 : latitude titik 1 dan 2
1, 2 : longitude titik 1 dan 2
Tabel 1: Contoh perhitungan jarak
Posisi mobil Jarak
Long Lat Peta Perhitungan
6°56'17.02" 107°39'38.1" 1000 969,03
6°56'18.28" 107°40'27.20" 500 542,47
6°56'18.43" 107°40'24.62" 450 463,15
6°56'18.61" 107°40'21.98" 400 381,92
Pada Tabel 1 terlihat bahwa terdapat perbedaan antara jarak
pada peta dan jarak hasil perhitungan. Perbedaan ini bisa
disebabkan karena ketidaktelitian dalam pengambalian
koordinat dari peta. Tabel 1 dibuat untuk membuktikan
bahwa Persamaan 1 dapat digunakan untuk perhitungan
jarak dalam IDIS.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian telah menghasilkan dua hal penting untuk
realisasi IDIS yaitu uji coba sistem secara menyeluruh di
lapangan dan simulasi bagian fuzzy logic.
3.1 Uji coba sistem
Sebelum diuji di jalan raya, sistem diuji coba di lingkungan
kampus untuk melihat pengaruh waktu pencuplikan data
pada frekuensi alarm yang dibangkitkan. Gambar 8
menunjukkan grafik jarak dan grafik frekuensi alarm.
Gambar 8: Grafik Jarak dan frekuensi alarm
Dapat dilihat bahwa ketika jarak mendekati nol maka
frekuensi alarm maksimum. Waktu pencuplikan data posisi
berpengaruh pada kelinieran perubahan frekuensi alarm
terhadap waktu. Ketidakliniearan perubahan frekuensi
alarm terhadap waktu secara umum tidak berpengaruh bagi
pengemudi, namun secara ergonomis akan mengurangi
kenyamanan bagi pengemudi dan memungkinkan kesalahan
persepsi.
Gambar 9 menunjukkan lokasi uji coba di jalan raya yaitu
di Jalan Dr. Djunjunan Bandung dengan tujuan Rumah
Sakit Ibu dan Anak Hermina.
Gambar 9: Lokasi uji coba di jalan raya
Koordinat posisi RSIA Hermina Jalan Dr. Djunjunan
adalah 6o53,734 S 107
o35,340 E.
Gambar 10 menunjukkan grafik jarak dan alarm yang
merupakan hasil uji coba di jalan raya. Pada grafik tersebut
dapat dilihat bahwa frekuensi alarm tertinggi terjadi ketika
jarak kendaraan dan tujuan mendekati nol. Kenaikkan
frekuensi alarm yang berbanding terbalik dengan jarak akan
IRWNS 2013
139
memberi panduan kepada pengemudi agar mengatur
kecepatan kendaraan dengan tepat.
Gambar 10: Grafik jarak dan frekuensi alarm terhadap
waktu serta frekuensi alarm terhadap jarak.
4. DISKUSI
Penelitian ini masih dalam proses pelaksanaan. Tahap
selanjutnya dari penelitian ini adalah merealisasikan IDIS
menjadi sebuah purwarupa (prototype). Berbagai hal yang
akan muncul dalam proses realisasi dapat menjadi bahan
diskusi.
4.1 Delay Pembacaan Posisi Oleh GPS
Posisi mobil akan dilaporkan ke pengemudi beberapa saat
setelah proses pembacaan oleh GPS. Hal ini akan
mengakibatkan perbedaan antara posisi yang ditunjukkan
oleh IDIS dan posisi sebenarnya. Agar perbedaan tersebut
tidak terlalu besar maka diperlukan faktor koreksi untuk
memprediksi posisi mobil saat informasi diberikan kepada
pengemudi.
Posisi mobil akan ditentukan dengan menggunakan
Persamaan 2.[3]
tvy
tvxtPos
.
.)( (2)
x dan y adalah koordinat yang diberikan oleh GPS
sedangkan v adalah kecepatan mobil yang juga diberikan
oleh GPS. Waktu t adalah waktu tunda akibat
keterlambatan pembacaan dan pelaporan oleh GPS.
4.2 Penentuan Jarak pada Jalan Tidak Lurus
Persamaan 1 digunakan untuk menghitung jarak pada
lintasan lurus. Perhitungan jarak pada lintasan yang tidak
lurus memerlukan metoda lain. Salah satu metoda yang
digunakan adalah metoda segmentasi yaitu membagi jalan
menjadi beberapa ruas seperti ditunjukkan pada Gambar 9.
Pada Gambar 11 terlihat bahwa SA adalah jarak mobil dan
SPBU jika ditarik garis lurus. Jarak ini tentunya tidak
mencerminkan jarak lintasan mobil yang sebenarnya.
Perhitungan jarak yang sesuai lintasan dilakukan dengan
membagi jalan menjadi beberapa ruas, misal SB1-SB5. Jarak
lintasan dapat dihitung dengan menjumlah panjang seluruh
ruas dan panjang tiap ruas dapat dihitung dengan
Persamaan 1.
Mobil
SPBU
SA
SB1
SB2 SB3
SB4
SB5
Gambar 11: Perhitungan jarak pada jalan tidak
lurus
4.3 Penentuan Frekuensi Alarm
Frekuensi alarm akan berubah sesuai jarak, hal ini akan
menjadi masalah ketika kecepatan kendaraan berbeda-beda.
Frekuensi alarm tertinggi untuk kecepatan kendaraan
rendah dapat diset pada jarak yang dekat. Sedangkan, pada
kecepatan kendaraan yang tinggi, frekuensi alarm tertinggi
sebaiknya diset pada jarak yang jauh. Untuk
memperhitungkan pengaruh kecepatan kendaraan terhadap
frekuensi alarm maka digunakan fuzzy logic. Metoda fuzzy
logic yang telah disimulasikan diharapkan akan
memperbaiki unjuk kerja sistem terutama untuk
menentukan pada jarak berapa alarm mempunyai frekuensi
tertinggi dengan kecepatan kendaraan yang berbeda-beda.
5. KESIMPULAN
Hasil perancangan dan simulasi selanjutnya akan
direalisasikan menjadi purwarupa. Persoalan keterlambatan
pengukuran posisi oleh GPS dapat diselesaikan dengan
teknik prediksi sederhana yaitu dengan memperhatikan
jarak tempuh mobil selama proses pengukuran. Pada jalan
yang tidak lurus, perhitungan jarak mobil dan tempat tujuan
dapat dilakukan dengan menggabungkan rumus jarak dua
titik dan metoda segmentasi. Hasil simulasi bagian fuzzy
logic menunjukkan bahwa IDIS dapat memanfaatkan
metoda fuzzy logic sebagai pengolah data untuk
menghasilkan frekuensi alarm yang tepat.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Unit Penelitian
dan Pengabdian kepada Masyarakat (UPPM) Politeknik
Negeri Bandung dan Direktorat Penelitian dan Pengabdian
kepada Masyarakat Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang membiayai
penelitian ini dalam skema Penelitian Hibah Bersaing
(PHB) Tahun 2013.
DAFTAR PUSTAKA
[1] http://www.pu.go.id/main/view_pdf/8003.
IRWNS 2013
140
[2] _____, Rencana Umum Nasional Keselamatan
(RUNK) Jalan 2011-2035.
[3] J. H¨arri, “Modeling and predicting mobility in
wireless ad hoc networks,” Ph.D. dissertation, l ´
Ecole Polytechnique F´ed´erale de Lausanne (EPFL)
[4] J. Piao, M. McDonald, and N. Hounsell,
“Cooperative Vehicle-Infrastructure Systems for
Improving Driver Information Services: An Analysis
of COOPERS Test Results”, IET Intell. Transp.
Syst., 2012, Vol. 6, Iss. 1, pp. 9–17.
[5] Sameer Darekar, Atul Chikane, Rutujit Diwate,
Amol Deshmukh, and Prof. Archana Shinde,
“Tracking System using GPS and GSM: Practical
Approach”, International Journal of Scientific &
Engineering Research, Volume 3, Issue 5, May-
2012.
[6] Abid khan and Ravi Mishra, “GPS – GSM Based
Tracking System”, International Journal of
Engineering Trends and Technology, Volume 3
Issue 2, 2012.
[7] _____, “2010 Road Traffic Crashes in the ACT”,
2011.
[8] Michael G. Lenné, Christina M. Rudin-Brown,
Jordan Navarro, Jessica Edquist, Margaret Trotter,
Nebojsa Tomasevic, “Driver behaviour at rail level
crossings: Responses to flashing lights, traffic
signals and stop signs in simulated rural driving”,
Applied Ergonomics 42, pp.548-554, 2011.
[9] Bih-Yuan Ku, “Grade-Crossing Safety”, Vehicular
Technology Magazine, IEEE, 2010.
[10] Heru Sutomo, dkk, “1-2-3 Langkah Volume 2:
Menempatkan kembali keselamatan menuju
trasportasi yang bermartabat”, Masyarakat
Transportasi Indonesia, Jakarta.
[11] Ismail, M. A., & Abdelmageed, S. M, “Cost of Road
Traffic Accidents in Egypt”, World Academy of
Science, Engineering and Technology, pp.1322-
1328, 2010.
[12] O.J. Gietelink, J. Ploeg, B. De Schutter, M.
Verhaegen, “Development of a driver information
and warning system with vehicle hardware-in-the-
loop simulations”, Mechatronics 19, pp. 1091–1104,
2009.
[13] Anurag D, Srideep Ghosh, and Somprakash
Bandyopadhyay, “GPS based Vehicular Collision
Warning System using IEEE 802.15.4 MAC/PHY
Standard”, 8th International Conference on ITS
Telecommunications, Phuket, 2008.
[14] Dileepa Jayakody, Mananu Gunawardana, and
Nipuna Wicrama, “GPS/GSM based train tracking
system – utilizing mobile networks to support public
transportation”.
IRWNS 2013
141
Penentuan Faktor Kalibrasi Fotodioda SP45ML Terhadap Standar
CIE-1978
Trisno Yuwono Putro, Suheri Bakar, Paula Santi Rudati
Jurusan Teknik Elektro, Politeknik Negeri Bandung, Bandung 40012
E-mail :[email protected]
ABSTRAK
Meningkatnya kebutuhan akan komponen elektronika baik dari segi kualitas maupun jenisnya, mendorong timbulnya berbagai
penelitian di bidang tersebut. Penelitian yang saat ini aktif dikembangkan antara lain adalah penelitian di bidang komponen
elektronika organik seperti misalnya Organic Light Emitting Diode (OLED), Organic Photovoltaic (OPV), dan Organic
Sensors (OS). Salah satu kebutuhan utama dalam pengembangan penelitian tersebut adalah tersedianya sistem pengukuran.
Tulisan ini melaporkan hasil penelitian yang terkait dengan penyediaan kebutuhan sistem pengukuran terkomputerisasi untuk
komponen elektronika organik, dalam hal ini OLED. Penelitian yang telah dilakukan betujuan menentukan faktor kalibrasi dari
sensor cahaya fotodioda SP45ML terhadap standar CIE-1978 berkaitan dengan photopic vision. Kalibrasi dilakukan melalui
pengukuran intensitas cahaya dari tiga jenis Light Emitting Diode (LED) yang masing-masing mengemisikan panjang
gelombang (λ) 645 nm, 550 nm, dan 460 nm dengan menggunakan luxmeter. Hasil pengukuran luxmeter dikalibrasikan ke
tegangan keluaran sensor fotodioda SP45ML dengan menggunakan standar CIE-1978. Hasil pengukuran memberikan faktor
kalibrasi senilai 2,78 lux/volt yang selanjutnya dapat digunakan dalam pengembangan perangkat lunak sistem pengukuran
terkomputerisasi.
Kata Kunci
LED, CIE, fotodioda, SP45ML, kalibrasi
1. PENDAHULUAN
Teknologi komponen elektronika mengalami
perkembangan yang pesat sejak ditemukannya komponen
elektronika berbasis material semikonduktor.
Perkembangan ini diikuti dengan berkembangnya teknologi
komponen elektronika berbasis material semikonduktor
organik. Teknologi ini memberikan peluang untuk
melakukan rekayasa material dan pengembangan teknologi
pemrosesan sebagai upaya untuk memperoleh komponen
dengan unjuk kerja yang lebih baik. Salah satu usaha untuk
mendukung pengembangan ini adalah menyediakan
fasilitas penelitian.
Kebutuhan tersebut di atas mendorong berkembangnya
teknologi komponen elektronika berbasis material
semikonduktor organik. Sejak ditemukannya komponen
organic light emitting diodes (OLEDs) dengan efisiensi
yang menjanjikan pada tahun 1990 oleh kelompok
Cambridge University [1], penelitian di bidang ini
mengalami perkembangan yang pesat. Berbagai hasil
penelitian dan produk komponen elektronika dipublikasikan
hingga saat ini antara lain adalah Multi-Colour Organic
Light–Emitting Displays by Solution Processing [2], televisi
fleksibel dari Sony pada CES 2009, dan OLEDs fleksibel
dari General Electric-2008.
Teknologi komponen elektronika organik ini membuka
peluang yang besar di bidang rekayasa material organik,
dan teknologi proses. Dibidang rekayasa material, terbuka
peluang yang besar untuk menemukan material-material
baru yang memberikan karakteristik yang berbeda. Adanya
perubahan gugus kimia pada suatu molekul dapat
memberikan sifat-sifat fisika yang berbeda misalnya
bandgap yang berbeda. Usaha-usaha untuk mendapatkan
proses produksi yang efisien, dan ramah lingkungan terus
dilakukan antara lain melalui pengembangan metoda
solution process yang meliputi proses pembuatan dengan
metoda spincoating, inkjet printing, screen printing, dan
roll-to-roll printing.
Upaya pengembangan ersebut di atas diiringi dengan
timbulnya kebutuhan fsilitas penelitian antara lain fasilitas
karakterisasi dalam bentuk sistem pengukuran
terkomputerisasi yang memungkinkan pengukuran secara
cepat, akurat, dan terekam. Keperluan sistem pengukuran
ini antara lain untuk menentukan karakateristik arus
terhadap tegangan, karakteristik intensitas cahaya terhadap
tegangan, dan karakteristik efisiensi terhadap tegangan
yang menyatakan unjuk kerja OLEDs [2,3,4]. Selain itu,
pengukuran karakteristik arus –tegangan juga diperlukan
pada komponen elektronika organik yang lain seperti
misalnya fotovoltaik organik [5], dan transistor organik .
IRWNS 2013
142
Dalam tulisan ini disampaikan penentuan faktor kalibrasi
yang akan digunakan dalam pengembangan perangkat
lunak suatu sistem pengukuran terkomputerisasi untuk
karakterisasi komponen elektronika organik pengemisi
cahaya (OLED). Melalui proses kalibrasi ini diperoleh
faktor kalibrasi yang merupakan sensitvitas dari sensor
cahaya yang digunakan. Faktor kalibrasi yang diperoleh
selanjutnya digunakan sebagai suatu konstanta
pemrograman dalam pengukuran terkomputerisasi untuk
menentukan intensitas cahaya yang diterima sensor, dimana
informasi intensitas cahaya diterima oleh komputer dalam
bentuk tegangan dengan satuan Volt.
2. EKSPERIMEN
Eksperimen dilakukan dengan menggunakan komponen
fotodioda SP45ML sebagai sensor cahaya. Komponen ini
dipilih karena memiliki karakteristik respon panjang
gelombang elektromagnetik antara 450 nm hingga 1050 nm
[6], sehingga mampu memberikan respon tehardap
spektrum cahaya tampak mata.
Sumber cahaya yang akan direspon diemisikan oleh
komponen Light Emitting Diode (LED). Dalam tulisan ini
disampaikan hasil pengukuran dari tiga jenis LED yang
masing masing mengemisikan spektrum cahaya tampak
mata berwarna merah, hijau, dan biru yang dinyatakan
berturut-turut dalam panjang gelombang elektromagnetik
(λ) 645nm, 550nm, dan 460nm [7].
Secara garis besar skema pengukuran diberikan pada
Gambar 1.
Intensitas cahaya dari LED diukur dengan menggunakan
Luxmeter Voltcraft VC-4 in 1. Intensitas cahaya ini
diberikan dalam satuan lux dimana 1 lux setara dengan 1
lumen/m2 dan 1cd setara dengan 4πlumen (12,7 lm) [8].
Sebagai catu daya digunakan GWInstek GPS 30300.
Gambar 2: Skema pengukuran
Tegangan keluaran dari fotodioda diukur dengan
menggunakan multimeter digital Sanwa CD800a.
Sementara sebagai catu daya digunakan catu daya Feedback
TK280.
Selanjutnya kalibrasi dilakukan dengan menggunakan
standar atau acuan tabel dan grafik hubungan sensitivitas
mata terhadap panjang gelombang elektromagnetik cahaya
teremisi dari Comission Internationale De’Leclairage (CIE-
International Comission in Illumination) tahun 1978
mengenai photopic vision.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Data yang diperoleh dari hasil pengukuran LED adalah
tegangan input yang diberikan pada LED, arus listrik yang
melewati rangkaian LED, dan intensitas cahaya dari LED
yang diukur oleh fluxmeter. Sementara data yang diperoleh
dari fotodioda adalah tegangan keluaran fotodioda sebagai
konversi energi dari cahaya yang diterima ke tegangan.
Hasil pengukuran untuk ketiga jenis LED adalah tegangan
LED (VLED), Arus LED (ILED), dan intensitas LED (IL).
Data-data tersebut diolah dengan bantuan perangkat lunak
Microcal Origin sehingga diperoleh hasil pengukuran yang
ditampilkan dalam bentuk grafik seperti pada Gambar 2 dan
Gambar 3 berupa karakteristik arus dan intensitas cahaya
LED terhadap tegangan masukan LED.
Karakteristik tegangan-arus pada Gambar 2 menunjukkan
bahwa LED yang mengemisikan cahaya warna biru
(λ=460nm) membutuhkan tegangan threshold yang lebih
tinggi dibandingkan dengan LED yang mengemisikan
cahaya berwarna merah (λ=645 nm), dan hijau (λ=550 nm).
Gambar 3: Karakteristik arus dan tegangan LED
Gambar 4: Karakteristik iluminasi dan tegangan LED
1,50 1,75 2,00 2,25 2,50 2,75 3,00
0
2
4
6
8
10
12
14
Aru
s L
ED
(m
A)
Tegangan LED (V)
LED Merah
LED Hijau
LED Biru
1,50 1,75 2,00 2,25 2,50 2,75 3,00
0,0
2,5
5,0
7,5
10,0
12,5
15,0
Inte
nsitas (
Lux)
Tegangan LED (V)
LED Merah
LED Hijau
LED Biru
Photodioda Rangk
Penguat
Catu daya
GW Instek
Catu Daya Feed back
+ 15V, - 15V dan
3,5 V dc
LED
Lux meter
Voltcraft
VC-4 in 1
3 cm
IRWNS 2013
143
Hal ini berkaitan dengan sifat material dari komponen
tersebut yang dinyatakan dengan energi bandgap (ev) [7].
Energi bandgap merupakan energi minimal yang harus
diberikan untuk memungkinkan terjadinya rekombinasi
elektron-hole yang menimbulkan emisi cahaya. Sesuai
dengan postulat kuantum Planck, terdapat hubungan antara
energi dan panjang gelombang yaitu E(ev)=h.λ/c dengan E
adalah energi cahaya, h adalahvkonstanta Planck, c adalah
kecepatan cahaya (3.108m/s), dan λ adalah panjang
gelombang elektromagnetik.
Karakteristik intensitas cahaya terhadap tegangan pada
Gambar 3 menunjukkan bahwa hasil pengukuran intensitas
cahaya warna merah sangat rendah dibanding dengan
cahaya warna hijau dan biru. Selain itu intensitas cahaya
warna biru lebih tinggi dibandingkan dengan intensitas
cahaya warna hijau. Tingkat intensitas cahaya ini
menyatakan jumlah paket cahaya (foton) yang
ditransmisikan [7] dan ditangkap oleh sensor luxmeter.
Hubungan intensitas cahaya terhadap tegangan keluaran
rangkaian sensor dikalibrasi menggunakan standar CIE-
1978 sesuai dengan kalibrasi respon fluxmeter. Standar
CIE-1978 merepresentasikan karakteristik respon mata
manusia pada daerah penglihatan photopic (photopic
vision), daerah penglihatan pada tingkat cahaya ambient[8].
Daerah penglihatan ini dipilih karena komponen
elektronika (LED/OLED) yang akan diukur
karakteristiknya adalah komponen pengemisi cahaya
tampak yang akan digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Hal ini sesuai dengan prinsip-prinsip kalibrasi dimana
kalibrasi merupakan proses membandingkan terhadap
standar [9].
Dengan memperhatikan karakteristik respon fotodioda
SP45ML dan karakteristik respon mata yang ditetapkan
dalam CIE-1978 sebagai karakteristik ideal seperti yang
diberikan pada
Gambar 5, ditentukan faktor koreksi seperti yang
ditunjukkan pada Tabel 1.
(a) (b)
Gambar 5: Sensitivitas terhadap panjang gelombang (a)
fotodioda SP45ML[6], (b) CIE-1978[8]
Tabel 1: Faktor koreksi sensitivitas Cahaya λ
(nm) Sensitivitas SP45ML[6]
Sensitivitas CIE-1978[8]
Faktor Koreksi
(%) (%)
Merah 645 70 13,812 5,072
Hijau 550 50 99,495 0,503
Biru 460 13 6,000 2,167
Faktor koreksi yang diperoleh digunakan untuk
mengkoreksi intensitas cahaya yang diukur oleh fluxmeter.
Koreksi dilakukan dengan mengalikan nilai intensitas
cahaya terukur dengan faktor koreksi seperti diberikan pada
Persamaan (1) dengan IFD adalah intensitas fotodioda (lux),
IFM adalah intensitas fluksmeter (lux), dan Fk adalah faktor
koreksi.
IFD=IFM.Fk (1)
Hasil koreksi tersebut memberikan karakteristik hubungan
intensitas LED dan tegangan keluaran fotodioda seperti
yang ditunjukkan pada Gambar 5.
Gambar 6: Karakteristik intensitas terhadap tegangan
keluaran fotodioda SP45ML
Karakteristik pada Gambar 5 menunjukkan bahwa
hubungan intensitas cahaya yang terukur {I(lux)} terhadap
tegangan keluaran photodioda {Vout(Volt)} merupakan
persamaan linear IL=2,78.Vout+ 0,037. Dengan
mengabaikan faktor koreksi senilai 0,037, diperoleh
kemiringan garis yang merupakan faktor kalibrasi senilai
IL/Vout = 2,78 lux/volt. Faktor kalibrasi ini hanya berlaku
untuk sensor cahaya dengan karakteristik respon spektral
seperti pada
Gambar 5a. Namun metoda kalibrasi yang sama secara
umum dapat diterapkan pada sensor cahaya yang lain untuk
menentukan intensitas cahaya dari komponen yang diukur
berdasarkan tegangan keluaran dari sensor.
Penentuan faktor kalibrasi ini sangat membantu dalam
mengembangkan perangkat lunak suatu sistem pengukuran
apabila tidak terdapat karakteristik intensitas cahaya
terhadap tegangan keluaran pada daasheet komponen
sensor. Apabila datasheet sensor sudah dilengkapi dengan
karakteristik intensitas cahaya terhadap tegangan keluaran
400 450 500 550 600 650 700
0
20
40
60
80
100
Sensitiv
itas m
ata
(%
)
Panjang Gelombang (nm)
CIE1978 (%)
Photopic Vision
-1 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
0
5
10
15
20
25
30I L
(Lux)
Vout
(Volt)
IL Merah
IL Hijau
IL Biru
IL=2,78 V
out+0,037
IRWNS 2013
144
sensor, penentuan faktor kalibrasi ini juga membantu untuk
verifikasi.
4. KESIMPULAN
Dari keseluruhan hasil percobaan disimpulkan bahwa faktor
kalibrasi terhadap standar CIE-1978 senilai 2,78 lux/volt
telah diperoleh untuk penggunaan sensor cahaya fotodioda
SP45ML dengan menggunakan alat ukur luxmeter Voltcraft
VC-4in1.
UCAPAN TERIMAKASIH
Terima kasih kepada Direktorat Kelembagaan Dikti dan
UPPM Polban karena penelitian ini merupakan bagian dari
Penelitian Hibah Bersaing dengan judul “Pengembangan
Sistem Pengukuran Terkomputerisasi Untuk Karakterisasi
Komponen Elektronika Organik” dengan dana
desentralisasi.
DAFTAR PUSTAKA
[1] J.H. Burroughes, D.D.C. Bradley, A.R. Brown, R.N.
Marks, K. Mackay, R.H. Friend, P.L. Burns, and A.
B. Holmes, 1990, Light-emitting diodes based on
conjugated polymers Nature, 347, 539.
[2] David Müller, Aurélie Falcou, Nina Reckefuss,
Markus Rohjan, Valèrie Wiederhirn, Paula Rudati,
Holger Frohne, Oskar Nuyken, Heinrich Becker, &
Klaus Meerholz,2003, Multi-Colour Organic Light–
Emitting Displays by Solution Processing, Nature, 42,
829-833.
[3] Erwin Bacher, Michael Bayerl, Paula Rudati, Nina
Reckefuss, David Müller, Klaus Meerholz, & Oskar
Nuyken, 2005, Synthesis and Characterization of
Photocrosslinkable Hole-Conducting Polymer,
American Chemical Society : Macromolecules, 38,
1640-1647.
[4] P. S. Rudati, D. C. Mueller, K. Meerholz, Preparation
of Hole-Injection Layers by Cationic Induced Ring-
Opening Polymerisation of Oxetane Derivatized
TriPhenylamineDimer for Organic Electronics
Devices, Procedia Chemistry, Elsevier-Science Direct,
Vol.04. (2012) 216-223.
[5] C. Brabec, V. Dyakonov, U. Scherf, 2010, Organic
Photovoltaics, Wiley VCH, Weinheim, ISBN 978-3-
527-31675-5.
[6] Kondeshi Corp,. SP45ML Photodiodes, Datasheet.
[7] Gilbert Held, Introduction to Light Emitting Diode
Technology and Application, Taylor and Francis
Group, USA, 2009.
[8] E. Fred. Schubert, Light Emitting Diodes, Cambridge
University Press, 2. Edition, 2006, ch.16, pp 275-291.
[9] Alan S. Morris, Measurement and Instrumentation
Principles, Butterworth Heinemann, Oxford, 1.ed,
2001 chp.4: Calibration of Measuring Sensor and
Instruments.
IRWNS 2013
145
Adaptive Retuning PID to Overcome Effect of Delay Change in
Networked Control Systems
Rida Hudaya, Feriyonika, Cucun Wida Nurhaeti
Electronics Engineering, Bandung State Polytechnic, Bandung, Indonesia
E-mail : [email protected], [email protected],[email protected]
ABSTRACT
Several issues in Networked Control Systems (NCSs) such as networked delay, sampling, transmitting methods and data
dropout make the system response goes unstable. This paper deals with networked delay problem and proposes Adaptive
Retuning PID Controller to overcome effect of time delay change by adaptively changing its two parameters, Ti and Td . The
results show that, with delay 0.03 - 0.07 second, where these are bigger than nominal delay of networked system (<1ms), the
proposed controller can enhance the system response as close as its original designed controller.
Keywords
Networked Control Systems, NCSs, networked induced delays, Adaptive PID
1. INTRODUCTION
Tele-operated robot, satellite, and large scale industrial
systems such power generation plants and petrochemical
processing facilities, are examples of NCSs‟ application.
For more than last two decade, digital data communication
has been a main issue in computer based control system. In
another side, for one last decade, communication medium
has also changed from RS-232 and RS-485 to Ethernet or
RJ-45. These conditions have consequently caused
communication topology and protocol become more
complex [1-4]. In control system point of view, kind of
network topologies and communication protocols fall to
new problems in synchronization, sampling time, transient
response performance, and stability [5-11]. These problems
give all control engineers a challenge to find appropriate
method and good control strategies.
Fig.1 and 2 describe the general structure of NCSs [11,12].
Kind of topology and communication protocol are decided
by users themselves. Choosing of communication protocol
is generally difficult due to sensor specification, actuator,
and used computer system. Controller is lied in central
processing unit in central controller. Sensor sends the data
for controlling, logging, or monitoring purposes. Actuator
will execute commands sent from controller to manipulate
plant so that the set point can be reached. Fortunately,
vendors of sensor and actuator have designed their products
in order to support with generally used protocols, such as
Modbus TCP, Ethernet/IP-Profinet in Programmable Logic
Control, and Fieldbus Foundation - Profibus in Distributed
Control Systems. Those protocols are open but unable to be
directly used. There are two approaches to overcome these
problems: by using software and hardware [13]. First
method is by using OPC software and another by buying
communication module needed the protocol to
communicate.
Figure 1: Structure of NCSs with time varying
delay
Figure 2: Example of multi-hop control
network This paper is preliminary report of our research in NCSs. In
this paper, several control strategies are overviewed to get
appropriate control scheme for our NCSs plant. From two
main problems of NCSs (delay time and packet drop),
control strategies for overcoming random delays are
discussed. To enhance system response due to change of
delay, Adaptive Retuning PID controller is applied. The
simulation results are presented to see that this method is
able to overcome the effect of time delay change.
IRWNS 2013
146
Experiment being conducted is also explained to get
feedback or new idea from other researchers.
2. EXPERIMENT SETUP
Fig. 3 and 4 are the experiment setup of our research. Main
controller is in computer, where input output module (RTU)
is TCP/IP version of Advantech Technology (6017 series).
The set point is level of tank with differential sensor as
feedback to controller. Communication between I/O
module and computer is bridged by Ethernet switch.
Preliminary experiment has been conducted by author‟s
former student [14].
Figure 3: Experiment design
Figure 4: Realization of experiment design
3. CONTROL SYSTEM OVERVIEW
With modern communication technology (e.g., Ethernet), it
becomes convenience to control large distributed systems
on wide area. An array of distributed sensors, actuators, and
controllers can be interconnected through common network
medium. This condition brings advantage in low
installation cost, ease of maintenance & installation, and
flexible & fast to reconfigure [15]. Although there are
advantages, there also several issues in control system such
as networked delay, sampling, transmitting methods and
data dropout [16]. In this paper, discussing is bounded for
control strategies applied to enhance system response due
to change of time delays. Several control strategies will be
discussed in following subsections.
3.1 Robust Control
Robustness in control scheme is considered due to
difficulties to get ideal mathematical model of the
controlled system. To deal with robust system, bode plot of
the system must be well known since it provides
information about phase and frequency response. The
advantages of control design based on bode plot are that it
provides exact results for time delay systems and finds
relative stability [13].
Simple definition of stability system based on bode plot is
stated as follow:
―A negative feedback closed loop system is unstable if the
frequency response of the open loop has an amplitude ratio
greater than 1 at the crossover frequency‖.
First step is solving for frequency crossover in the open
loop transfer function at the phase -1800 , Eq. (1), so that
arg GopenLoop jω = −180 (1)
Where G is denoted as transfer function of the system
(multiplication of controller and plant transfer function).
Amplitude Ratio (AR) is then calculated by Eq. (2).
AR = GopenLoop jω (2)
If AR >1, the closed loop system is unstable.
Bode plot analysis, by find phase & gain margin, is then
used to assess the stability of a feedback systems. As gain
margin (GM) is defined as change in open loop gain
required to make the system unstable so find greater gain
margin, Eq. (3), can withstand greater changes in system
parameters before becoming unstable in closed-loop
[13,17].
GM > 1 (3)
Where GM =1
AR co , ARco is amplitude of open loop
transfer function of the system at crossover frequency
(𝜔𝑐𝑜 where ∅ = −1800). Based on bode stability criterion,
stability can be reached when ∅ = −1800, AR=1.
Another part of bode plot analysis is phase margin (PM)
which is defined as the amount of phase angle that can be
decreased before the system become unstable. The stability
can be derived based on Eq. (4) and (5).
PM > 0 (4)
Where PM = ∅𝑝𝑚 + 1800 (5)
∅𝑝𝑚 is phase angle when amplitude of G(s) = 1 which
occurs at a frequency 𝜔𝑝𝑚 .
IRWNS 2013
147
By using this method, robust control system can be
designed to overcome time delay problem.
3.2 Smith Predictor
This method, proposed in the 1950‟s and usually used in
factory processes, is used to control systems that experience
large but fixed delays in signal propagation [1]. This
method is effective for system that experience large but
fixed delays. Poor disturbance rejection is considered as the
weakness of the method.
3.3 Middleware (Gain Scheduling)
This method was proposed by [18] and modeled the delays
as shifted exponential probability densities. The mean delay
time is calculated from experimental results and then used
as nominal value to design their gain scheduling
middleware approach. This method has been applied to
enable a PI-Controller, Eq. (6), in DC motor in networked
condition.
Gc 𝑠 =Kp s+
K iK p
s=
Kp s+Zc
s (6)
Where Zc is constant. The middleware measures the delay
in the system and uses that information to adjust an
additional outer loop gain parameter β. When time delay is
small, the loop gain is increased. If delay times increase, the
gain is lowered to maintain system stability and
performance. The value of β for given time delay is known
a priori. A lookup table is generated offline using an
optimal design based on cost functions. Structure of control
strategy is depicted in Fig. 5.
Figure 5: Gain scheduler Middleware Design[18].
3.4 Adaptive Retuning PID
This method was proposed by [1] as extended work of [18].
PID controller was used due to inherently more robust
against time delay and distinct advantage over PI controller
in the sense that phase lead (phase advance) is possible. The
algorithm consist of three main steps: (1). Measuring
present time delay of system; (2). Calculating
corresponding phase margin lost due to the delay; (3).
Updating PID parameters to recover lost phase margin and
return the closed-loop system nominal conditions. Detail of
the algorithm will be discussed in next section.
4. PROPOSED CONTROL ALGORITHM
4.1 Review of PID controller
Eq. (7) is form of PID controller where zero locations are
dependent on two parameters, Ti and Td .
Gc s = Kp (1 +1
Ti s+ Td s) (7)
Based on Eq. (8) and (9), the relationship among Ti , Td ,
magnitude and phase can be described in Fig. 6 and 7. In
Fig. 6, it can be clearly seen that by modifying Ti and Td ,
controller phase can be modified. In same time,
modification of Ti and Td does not vary controller gain, see
Fig 7.
Gc(Ti , Td ) = 1 + 1−ω2Ti Td
ωTi
2
(8)
∠∅𝑐 Ti , Td = arctan 1−ω2Ti Td
ωTi (9)
Figure 6: Phase change due to Ti Td variation
Figure 7: Gain change due to Ti Td variation
4.2 Control algorithm
IRWNS 2013
148
Response system w ith original PID design
Time (seconds)
Am
plit
ude
0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3 0.35 0.4 0.450
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
System: Tc
Peak amplitude: 1.04
Overshoot (%): 4.31
At time (seconds): 0.233
System: Tc
Rise Time (seconds): 0.114
The control algorithm is aimed to recover phase margin that
was lost from the changing delay (problem always appears
in NCSs). The recovering strategy is by adjusting
parameters Ti and Td so that the new controller phase
compensates for the change in phase delay. Detail of
algorithm is described as follows:
a. Find delay change in network system, 𝛿𝑡. In network
technology, it can be found by typing „ping‟ command.
b. Calculate phase delay change as stated in Eq. (10)
𝛿∅𝑚 = 𝜔 𝑥 𝛿𝑡 𝑥1800
𝜋 (10)
c. Based on Taylor series expansion, Eq. (9) can be set as
Eq. (11)
∅𝑐 Ti , Td = ∅𝑐 Ti0 , Td0 + ∇∅𝑐 𝛿𝑇𝑖𝛿𝑇𝑑
(11)
Where ∇∅𝑐 is the gradient of the compensator phase with
respect to compensator parameters. Substracting the
nominal phase ∅𝑐 Ti0, Td0 from both sides yields the
change in controller phase due to adjusting controller
gains so that the equation become Eq. (12).
𝛿∅𝑚 = ∇∅𝑐 𝛿𝑇𝑖𝛿𝑇𝑑
(12)
By finding 𝛿∅𝑚 and ∇∅𝑐 , incremental change in
controller parameters (𝛿𝑇𝑖 , 𝛿𝑇𝑑 ) can be derived.
d. Based on value of 𝛿𝑇𝑖 and 𝛿𝑇𝑑 , PID controller
parameters are finally updated.
4.3 Result and Discussion
MATLAB 2011 was used to simulate model plant in [18],
Eq. (13), and to examine control algorithm effectiveness.
Gp (s) =2029.826
s+26.29 s+2.296 (13)
The original PID design is with parameter 𝐾𝑝 =0.1724766, 𝐾𝑖 = 0.38332136,
𝐾𝑑 = −0.0001247099450. Fig. 8 show the response of
original controller design against input step. The response
has overshoot 4.31 %, peak amplitude 1.04, and rise time at
0.114 second.
Figure 8: Response with original PID design
As NCSs has problem due to change of time delays, the
presence of them is depicted in Fig. 9. It can be clearly seen
that the variation of delay change influence the stability of
system responses. Detail of the effects are also described in
Table 1.
Figure 9: The effect of time delay changes
Table 1: Time delay changes vs response system
Overshoot
(%) Peak response
Original PID 4.31 1.04
Delay 0.03s 25.4 1.25
Delay 0.04s 36 1.36
Delay 0.05s 47.6 1.48
Delay 0.06s 59.8 1.6
The proposed control is now applied to enhance lack of
system responses due to variation of delays. Fig. 10 and 11
show the response of systems controlled by the proposed
algorithm. With the algorithm, response of system that goes
to unstable can be returned back to original control design.
Table 2 depicts comparison of proposed control, original
PID, and delay changes.
Figure 10: Response system with time delay 0.03 second
0 0.5 1 1.50
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
Change of Response system due to variation of delay
Time (seconds)
Am
plitu
de
Original PID
Delay 0.03s
Delay 0.04s
Delay 0.05s
Delay 0.06s
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 10
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
Response system with time delay 0.03 second
Time (seconds)
Am
plitu
de
Original system
With delay
Adaptive retuning PID
IRWNS 2013
149
Figure 11: Response system with time delay 0.07 second
Table 2: Response system with and without proposed
control
Overshoot
(%) Peak response
without with without with
Delay 0.03s 25.4 4.88 1.25 1.05
Delay 0.04s 36 6.8 1.36 1.07
Delay 0.05s 47.6 9.65 1.48 1.1
Delay 0.06s 59.8 13.5 1.6 1.14
5. CONCLUSION
In this paper, Networked Control Systems (NCSs) was
reviewed to show trend in modern control method in
relationship with modern communication technology
widely used. Although NCSs brings advantage in low
installation cost, ease of maintenance & installation, and
flexible & fast to reconfigure, there also several issues in
control system such as networked delay, sampling,
transmitting methods and data dropout. In this paper, the
effect of variations in delay changes provided to show that
this problem can change stability of the system response.
The Adaptive Retuning PID method was thus applied to
overcome the problem. the presence of several delays was
also presented to show the effectiveness of the proposed
control. The results show that the method is able to enhance
the system response as close as original controller.
6. ACKNOWLEDGMENT
The authors would like to thank to Ministry of Higher
Education of Indonesia for the grant “Penelitian Hibah
Bersaing 2013”.
REFERENCES
[1] Nathan B. Loden, J.Y. Hung, “An Adaptive PID
Controller for Network Based Control Systems,”
Industrial Electronics Society, 31st Annual
Conference of IEEE, 2005.
[2] H. Hoang, M. Jonsson, U. Harstrom, and A.
Kallerdahl, 2002, “Switched real-time Ethernet and
earliest deadline first scheduling-protocols and
traffic handling,” 10th
International workshop on
parllel and distributed real-time system, Ford
Lauderdale, Florida, USA, April 2002.
[3] H. Haertig and J. Loeser, “Using switched Ethernet
for hard realtime comunication,” International
conference on parallel comoputing in electrical
engineering (PARELEC), Dresden, Germany, pp.
349-353, September 2004.
[4] M. Tabbara, D. Nesic, and A. Teel, “input-output
stability of wireless networked control systems,” in
proc. 44th
IEEE Conf. On Dec. And Control, 2005.
[5] H. YE, G. Walsh, and L. Bushnell,“Real-time
mixed-traffic wireless networkes,” IEEE Trans. Ind.
Electron, Vol. 48, no.5, pp.883-890, 2001.
[6] M. Tabbara, D. Nesic, and A.R. Teel, “Stability of
wireless and wireline networked control systems,”
IEEE Transaction on Automatic Control, Vol. 52,
pp. 1615-1630, 2007.
[7] M. Przedwojski, K. Galkowsk, P.H. Bauer, and E.
Rogers, 2009, ―Stability and robustness of systems
with synchronization errors,‖ American Control
Conference, pp. 3262-3267.
[8] L.Samaranayake, M. Leksell, and S.
Alahakoon,“Relating samplingperiod and control
delay in distributed control systems,” The
International Conference on Computer as a tool
(EUROCON 2005), pp. 274-277, 2005.
[9] G. Szederkenyi, Z. Szabo, J. Bokor, and K.M.
Hangos, “Analysis of the networked implementation
of the primary circuit pressurize controller at a
nuclear power plant,” 16th
Mediterranean
Conference on Control and Automation, pp. 1604-
1609, 2008.
[10] G.Y. Walsh, H. Ye, and L.G. Bushnell, “Stability
analysis of networked control systems,” IEEE
Transaction on control system technology, Vol. 10,
No.3, pp. 438-446, 2002.
[11] A. Rajeev, D. Alessandro, K.H. Johansson, G.J.
Pappas, G. Weiss, “Compositional Modelling and
Analysis of Multi-hop Control Networks,” IEEE
Transactions on Automatic Control, 56:2345-2357,
2011.
[12] A. Liu, L. Yu, W.A. Zhang,“H-infinity contol for
network-based systems with time-varying delay and
packet disordering,” Journal of the Franklin
Institute, 248:917-932, 2011.
[13] Endra Joelianto,“Networked Control Systems: Time
Delays and Robust Control Design Issues,” 2nd
International Conference on Instrumentation,
Control and Automation, Bandung, Indonesia, 2011.
[14] Mirza N.H, “Design and Implementation of HMI-
SCADA applied for water level control”,
undergraduate thesis, Bandung State Polytechnic,
2013.
[15] PL. Tang, CW. deSilva, “Compensation for
transmission Delay in an Ethernet-Based Control
Network Using Variable-Horizon Predictive
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 1.8 20
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
1.8
Response system with time delay 0.07 second
Time (seconds)
Am
plitu
de
Original system
With delay
Adaptive retuning PID
IRWNS 2013
150
Control,” IEEE Transcation on Control Systems
Technology, Vol.14, No.4, 2006.
[16] S.H. Yang, X. Chen, D.W. Edwards, and J.L. Alty,
“Design issues and implementation of internet based
process control,” Control Engineering Practice, Vol.
11, No. 6, pp. 709-720, 2003.
[17] “Introduction: Frequency Domain Methods for
Controller Design,”
source:http://ctms.engin.umich.edu/CTMS/
index.php?example=Introduction§ion=ControlF
requency. Available: October, 30th
, 2013.
[18] Y. Tipswan and M.Y Chow, “Gain scheduler
middleware: A methodology to enable existing
controllers for networked control and teleoperation -
Part 1: Networked Control,” IEEE Transcations on
Industrial Electronics, vol. 51, no. 6, pp. 1218-1227,
2004.
IRWNS 2013
151
Perancangan dan Implementasi Model Infrastruktur Telekomunikasi
Berbasis Teknologi Plesiochronous Digital Hierarchy (PDH)
Standar ITU G.703
Sutrisno
a, Enceng Sulaeman
b
aJurusan Teknik Elektro, Politeknik Negeri Bandung, Bandung 40012
E-mail :[email protected] bJurusan Elektro, Politeknik Negeri Bandung, Bandung 40012
E-mail : [email protected]
ABSTRAK
Infrastruktur telekomunikasi berbasis Pleisiochronouss Digital Hierarchy (PDH) adalah jaringan digital menggunakan
teknologi Time Division Multiplexing-Pulse Code Modulation (TDM-PCM) yang biasanya terinterkoneksi di atas media fisik
dapat berupa kabel tembaga serat optik atau gelombang mikro. Makalah ini membahas mengenai hasil penelitian tentang
perancangan Model Infrastruktur Telekomunikasi berbasis Teknologi PDH Standar ITU G.703 untuk aplikasi jaringan
komunikasi analog (telepon) dengan menggunakan dua unit Hybrid Private Branching Exchange (Hybrid PBX) yang
keduanya terintegrasi dengan jaringan digital dan secara geografis berada di dua tempat (site) yang berbeda. Sedangkan media
yang digunakan untuk menghubungkan (link) kedua jaringan tersebut yaitu gelombang mikro yang bekerja pada pita frekuensi
13 Ghz. Interkoneksi dari kedua PBX tertsebut (PBX trunking) dilakukan via interfis 4 Wire E&M yang disediakan pada
perangkat multiplexer PDH dan PBXnya sehingga pesawat telepon (extension) dari satu PBX dapat memanggil pesawat
telepon pada PBX yang lain. Metode penelitian didasarkan pada beberapa tahapan sebagai berikut; tahap persiapan,
perancangan, implementasi dan pengujian dan evaluasi. Hasil penelitian, model infrastrutur telekomunikasi berskala
laboratorium telah berhasil dibangun dan diuji berdasarkan standar performance objective Rec.ITU G.821 dan G.826 dengan
hasil yang baik. Selanjutnya infrastruktur telekomunikasi tersebut dapat digunakan sebagai indoor testbed berskala kecil (small
scale indoor testbed) untuk pengujian dan evaluasi berbagai perangkat dan aplikasi layanan telekomunikasi. Untuk waktu
kedepan model infrastruktur ini dapat dikembangkan untuk berbagai aplikasi layanan telekomunikasi seperti Ethernet over
PDH, VoIP dan lain-lain.
Kata Kunci
Testbed, PDH, multiplexing, E&M Signalling
1. PENDAHULUAN
Sektor telekomunikasi terbukti telah menyumbang
keberhasilan ekonomi suatu bangsa [1]. Keberhasilan
sistem telekomunikasi ditentukan beberapa faktor
diantaranya aspek infrastruktur, layanan, dan kemudahan
pemasangan dan perawatan. Akar masalahnya ialah bahwa
infrastruktur telekomunikasi harus handal, dan layanan
harus dapat mendukung kebutuhan sipengguna itu sendiri.
Infrastruktur telekomunikasi mutlak diperlukan bagi
terselenggaranya layanan telekomunikasi yang baik seperti
layanan telekomunikasi yang diselenggarakan oleh para
operator telekomunikasi seperti PT.Telkom, Telkomsel dan
sebagainya. Tetapi infrastruktur telekomunikasi juga
diperlukan pada bidang-bidang lainnya misalkan, pada
bidang ketenaga listrikan untuk sistem SCADA, bidang
transportasi Kereta Api (KA) untuk sistem persinyalaan dan
pengaturan perjalanan KA yang memerlukan tingkat
keselamatan yang sangat tinggi. Disamping itu pula
infrastruktur harus mudah dioperasikan dan
ditroubleshooting bila terjadi gangguan atau kerusakan.
Masalahnya dalam membangun sebuah infrastruktur
telekomunikasi yang dapat memberikan layanan-layanan
seperti diuraikan diatas, infrastruktur harus memiliki
interfis-interfis yang mendukung berbagai aplikasi sesuai
dengan kebutuhannya, misalkan untuk keperluan
komunikasi suara (telepon) diperlukan interfis VF analog 4
Wire E&M sedangkan untuk komunikasi data diperlukan
interfis data dengan standar tertentu, misalkan, V.11, V.24,
V.28, atau G703. seperti yang diperlihatkan pada Gambar
1 dibawah.
Gambar 1: Macam interfis untuk akses jaringan
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Testbed
IRWNS 2013
152
[Catlett] dalam artikelnya yang berjudul Testbeds: Bridges
from Research to Infrastructure menjelaskan bahwa
pengembangan, pengujian, dan pengayaan sebuah
teknologi adalah merupakan fungsi dari sebuah testbed.
Menurut kamus Webster testbeds diartikan sebagai sebuah
kendaraan yang digunakan untuk pengujian perangkat atau
peralatan baru seperti mesin atau sistem persenjataan atau
secara umum adalah setiap perangkat (device), fasilitas,
atau suatu alat untuk pengujian sesuatu yang masih dalam
pengembangan.
Peran, aplikasi, dan pengembangan dari sebuah testbed
adalah dengan melihat sistem yang lampau maupun yang
sekarang yang pada dasarnya adalah belajar bagaimana
sebuah testbed dapat menyediakan pengetahuan dan
kemampuan. Beberapa testbed yang ditinjau telah
mengarah kepada suatu bentuk sebuah infrastruktur seperti
yang gambarkan oleh beberapa testbed yang pernah
dibangun sebagai berikut; Pada tahun 1984, kongres
Amerika serikat menyetujui pendanaan untuk apa yang
disebut sebagai “Decibit testbed‖ untuk menyelidiki sebuah
teknologi baru: Telegraf [2].
Pada tahun 1972, Washington DC dijadikan tempat petama
kali ARPANET didemonstrasikan. Jaringan tersebut
dikembangkan lebih luas hingga ke Konferensi
Internasional Komunikasi dan Komputer (International
Conference on Computers and Communication, ICCC)
untuk menunjukan bagaimana ARPANET dapat
mendukung akses computer secara jarak jauh. Pada kedua
contoh testbed tersebut, teknologi yang sedang diamati
dalam beberapa hal tidak sesuai dengan praktisnya saat itu
atau tidak sesuai dengan state of the art teknologi.
Kedua “testbed” ini, percobaan telegraf yang pertama dan
berikutnya ARPANET, telah memberikan beberapa
pelajaran yang terkait dengan transisi penelitian kedalam
sebuah infrastruktur. Keduanya menawarkan model yang
tidak perlu harus konsisten dengan prakteknya saat itu dan
umumnya bahkan dianggap tidak praktis atau ketinggalan.
Keduanya bersatu dalam sebuah infrastruktur yang
melibatkan eksperimen dan algoritma. Dalam hal telegrafi,
perangkatnya lebih bersifat ekperimental: sistem
pengkodean telegrafi (Morse code) esensinya ialah sebuah
protokol baru. Dalam hal ARPANET, sirkuit telepon sewa
(leased telephone circuit) dan jaringan komputer global
(global internet) merupakan infrastruktur telekomunikasi
saat ini, sementara perangkat lunak, perangkat interfis,
aplikasi, dan protokol terbilang baru dan masih terus dalam
pengembangan dan pengujian
Jadi berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa
testbed dapat diartikan sebagai suatu proyek infrastruktur
untuk melaksanakan berbagai eksperimen dengan
kemampuan baru. Tetapi secara umum testbed juga dapat
diartikan sebagai sekumpulan pengguna yang mencoba
program aplikasi perangkat lunak atau perangkat keras baru
yang ditujukan untuk mengetahui sejauh mana utilitas dari
perangkat-perangkat tersebut. Testbed dapat berupa
kombinasi yang kompleks antara teknologi dan manusia
oleh karena itu penting mempertimbangkan kontribusi
organisasi atau lembaga untuk pengembangan sebuah
testbed.
2.2 Plesiochronous Digital Hierarchy (PDH)
Standar G.703
Plesiochronous digital hierarchy (PDH) merupakan
teknologi yang digunakan pada jaringan telekomunikasi
untuk membawa kuantitas data yang besar melalui
perangkat transportasi baseband sinyal digital seperti serat
optic dan sistem radio microwave Istilah plesiochronous
berasal dari bahasa yunani yaitu plesios yang artinya dekat,
dan chronos berarti waktu, dan melihat kenyataannya
bahwa jaringan PDH jalan dimana sebagian jaringan dalam
keadaan tidak betul-betul sinkron dalam pewaktu (clock)
[3].
Teknologi PDH ini didasarkan kepada E1 dan T1 interfis
yaitu standar teknologi digital TDM (Time Division
Multiplexing) ITU G703. Teknologi ini memungkinkan
pentransmisian secara bersama-sama beberapa kanal suara
dan data pada media transmisi yang sama. Standar E1
kebanyakan digunakan di Eropa dan beberapa negara Asia
sedangkan T1 dipakai di Amerika dan juga Asia. E1/T1
biasanya menghubungkan antar PABX‟s dan CO‟s.
Bandwidth yang tersedia di bagi-bagi dengan basis time-
slot. TDM menjadi suatu metoda multiplexing yang sangat
murah yang dapat digunakan sebagai interkoneksi
(trunking) antar sentral switching digital. Sistem TDM yang
disebutkan diatas adalah sistem multiplexing dengan time
slot yang tetap (fixed time slot division multiplexing)
dimana masing-masing kanal telah di tentukan
kedudukannya pada time slot-time slot dengan cara
dipindai secara berulang-ulang [4] [5].
2.2.1 Perangkat Branching 2Mbit/s
Salah satu perangkat PDH yang digunakan pada
perancangan model infrastruktur telekomunikasi ini adalah
perangkat Branching (pencabangan) 2 Mbit/s, seperti yang
diperlihatkan pada Gambar 2 dibawah.
Gambar 2: Blok diagram jaringan pencabangan
Sumber: Nokia Dynanet
IRWNS 2013
153
Dengan menggunakan sistem pencabangan ini, biaya
transmisi dan perangkat multiplexer dengan konfigurasi
rantai (chain) atau pohon (tree) dapat ditekan. Dengan
perangkat pencabangan ini, kanal-kanal suara (voice
channels) dari tributary 2Mbit/s dapat didistribusikan
sepanjang rantai, yaitu 30 kanal dari struktur frame 2 Mbit/s
yang dapat dicabangkan.
Kanal-kanal terhubung lurus pada setiap titik percabangan
dalam format digital tanpa melepas struktur framenya. Hal
ini memungkinkan konstruksi jaringan rantai digital dimana
konversi A/D tidak diperlukan lagi karena sinyal sudah
sepenuhnya dalam format digital. Dengan cara ini, unjuk
kerja kanal pada sistem PCM standar 2 Mbit/s tetap terjaga
dengan baik.
2.2.1.1 Branching 2 Mbit/s DB 2B NOKIA
DB 2B Nokia, adalah salah satu perangkat pencabangan
yang tersedia di pasaran yang digunakan untuk
pembangunan model infrastruktur telekomunikasi ini,
digunakan dimana sinyal 2 Mbit/s (ITU G. 703/704)
terhubung ke perangkat tersebut dari dua arah (cabang
utama, interfis 2 Mbit/s 1 dan 2) seperti diperlihatkan pada
Gambar 3 dibawah. Kanal 64 kbit/s dipisahkan dari sinyal
2 Mbit/s, dan frame 2 Mbit/s baru dibangkitkan untuk
pencabangan dibawahnya. Kanal yang terkoneksi dengan
pensinyalan (signaling) yang dibawa pada time slot TS 16
biasanya dicabangkan dengan cara yang sama. Demikian
pula halnya dengan time slot 64 kbit/s, nx8 kbit/s, nx32
kbit/s dan nx64 kbit/s dapat ditentukan untuk pencabangan.
Gambar 3: Diagram DB 2B dengan interfis kanal VF
Sumber: Nokia Dynanet
Kanal-kanal dapat dicabang dari kedua arah cabang utama
tanpa pembatasan. Jenis pencabangan adalah sebagai
berikut:
Koneksi langsung antara interfis 1 dan 2
Pengaturan kanal antara interfis 1 dan 2
Pencabangan pada arah 1 – 3
Pencabangan pada arah 2 – 3
Contoh, pencabangan 1 – 3 didefinisikan sebagai berikut:
Tabel 1: Penentuan time slot dan arah
Time slot Arah 1 Arah 2
B1 11 - 18 1 - 8
Jadi dapat dilihat dari contoh diatas bahwa sangat
memungkinkan untuk mengubah lokasi kanal (time slot)
dalam struktur frame kaitannya dengan pencabangan. Kanal
yang diturunkan (drop) dari arah1 dengan cepat dapat
diambil alih untuk digunakan pada arah transmisi yang
berikutnya (arah2). Kanal-kanal dapat dicabangkana ke dua
arah (drop/insert), lihat Gambar 4 dibawah, Jika
diinginkan, time slot dapat diubah ketika mentranfer dari
satu interfis ke interfis yang lainnya.
Gambar 4: Drop dan insert kanal
Sumber: Nokia Dynanet
2.3 Pensinyalan E&M
Sistem pensinyalan yang dapat digunakan untuk jarak jauh
(long distance) dan umumnya digunakan untuk
mengtrunking sentral penyambungan (PBX). Sistem ini
bekerja melalui dua kaki pensinyalan yang terpisah dimana
secara elektrik kaki pensinyalan ini betul-betul terpisah
dengan sirkuit percakapannya. Dua kaki pensinyalan ini
dikenal sebagai E&M dimana E adalah “Earth” dan M
adalah “magneto” tetapi lebih populer disebutkan E adalah
“Ear” dan M adalah “Mouth”. Sinyal DC dikirim pada kaki
M dan diterima pada kaki E. Walaupun sistem pensinyalan
ini sering disebut sebagai pensinyalan E&M perlu dicatat
bahwa sistem ini bisa jadi tidak selalu kompatibel dengan
tipe lain dari sistem E&M yang ada [6].
Secara umum sistem pensinyalan E&M ini termasuk
standar internasional dan memiliki 4 varian sebagai berikut:
2.3.1 Pensinyalan E&M Tipe I Orisinal
Sirkit E&M yang asli (original) diperlihatkan seperti
Gambar 5 dibawah.
Gambar 5: Skematik pensinyalan E&M asli
Sumber: Loop Telecom
Tegangan sumber -48 V untuk kedua kaki E dan kaki M
berada pada sisi sentral. Pada sisi carrier, pendeteksi arus
pada kaki M, yang dikontrol oleh saklar pada sisi sentral,
menghasilkan sinyal tone 2600 Hz yang dikirim untuk
analog carrier atau menset bit A pada digital carier. Pada
sisi sentral, pendeteksi arus pada kaki E, menghasilkan
sinyal tone 2600 Hz yang diterima, atau A bit yang
IRWNS 2013
154
memperjelas bahwa sentral penyambungan disisi jauh telah
mengirim arus pada kaki M.
Pada sirkuit ujung ke ujung (end-to-end circuit), mengirim
arus pada kaki M pada ujung dekatnya (near end)
menghasilkan deteksi arus pada kaki E di ujung jauhnya
(far end). Dengan cara ini, dua buah sentral penyambungan
(PBX) masing-masing dapat saling men ”sinyal”, seperti
yang diperlihatkan pada Gambar 6 dibawah.
Gambar 6: Sirkuit pensinyalan E&M untuk mentrunking
dua buah sentral penyambungan
Sumber: Loop Telecom
Sirkuit E&M digunakan juga pada hubungan tandem dari
dua carrier, untuk menghindari kebingungan dalam
membedakannya, sisi sentral dan sisi carrier disebut sisi A
dan sisi B. Untuk sistem carrier, sisi B adalah sisi normal,
sementara sisi A digunakan dalam hubungan tandem. Pada
sirkuit 4 kawat (4 wire), kawat T dan R (Tip and Ring)
ditujukan sebagai pasangan kawat untuk mentransmisikan
sinyal suara (voice) dari PBX (exchange) ke carrier. Kawat
T1 dan R1 ditunjukan sebagai sepasang kawat untuk
penerima seperti diilustrasikan pada Gambar 7. dibawah.
Exchange (PBX) Carrier
Gambar 7: Sirkuit 4 Wire E&M
Sumber: Panasonic PBX manual
2.3.2 Pensinyalan E&M Tipe II
Sebagai pengembangan dari sirkuit E&M tipe I orisinal,
dirancang pensinyalan E&M Tipe II yang dimaksudkan
untuk mengurangi ground noise, seperti ditunjukan pada
Gambar 8 dibawah. Rancangan ini mempersyaratkan sisi
B, sisi carrier, untuk mensuplai batere. Kaki yang ditandai
dengan SB artinya “signal to battery”, sementara SG adalah
“signal ro ground”.
Gambar 8: Sirkuit pensinyalan E&M tipe II
Sumber: Loop Telecom
2.3.3 Pensinyalan E&M Tipe III
Pada varian E&M Tipe III seperti diperlihatkan pada
Gambar 9 dibawah.
Gambar 9: Sirkuit pensinyalan E&M Tipe III
Sumber: Loop Telecom
Kaki SG yang digunakan dipindahkan untuk melayani
pelepasan muatan untuk kaki M. Hal ini dimaksudkan
untuk mengurangi waktu tunda yang disebabkan oleh
gabungan dari (a) detektor arus kecil elektronik, dan (b)
kaki E&M yang panjang. Karena arus ground pada E
kembali akan menyebabkan noise. Oleh sebab itu, sirkuit
pensinyalan E&M Tipe III ini jarang digunakan.
2.3.4 Pensinyalan E&M Tipe IV
Sirkuit E&M tipe IV seperti Gambar 10 ini menyediakan
kesimetrian. Mulai dari sirkuit tipe II, pada sisi B, batere
dan ground saling bertukar sehingga sirkuit M sekarang
menjadi bayang cerminan sirkuit E, menghasilkan
pesinyalan tipe IV. Dengan cara ini, hubungan tandem
carrier dapat menggunakan sirkuit E&M yang sama.
Hubungan seperti itu sering terjadi pada trunk yang terdiri
dari sebuah saluran kaki carrier dalam tandem dengan
sebuah wireless carrier. Kabel cross over
menginterkoneksi dua carrier. Walaupun masih berlabel
SB, kaki ini sekarang terthubung ke ground (ground),
seperti kaki SG.
IRWNS 2013
155
Gambar 10: Sirkuit pensinyalan E&M Tipe IV
Sumber: Loop Telecom
2.3.5 Pensinyalan E&M Tipe V
Akhirnya untuk sirkuit dimana ground noise bukan lagi
menjadi isu, tetapi kesimetrian tetap diinginkan, kaki SB
dan SG dapat dieliminasi dan menghasil pesinyalan E&M
tipe V seperti yang diperlihatkan pada Gambar 11. Pada
sirkuit ini, seperti pada tipe IV, sisi A dan B adalah simetri,
memungkinkan untuk operasi tandem. Pada tempat dimana
carrier bertemu, jumlah hubungan biasanya cukup kecil dan
tidak menghasilkan ground noise.
Gambar 11: Sirkuit pensoinyalan E&M Tipe V
Sumber: Loop Telecom
3. TUJUAN DAN MANFAAT
Penelitian ini menghasilkan luaran yaitu:
Sebuah model infrastruktur jaringan PDH standar ITU
G.703 skala laboratorium yang dapat digunakan
sebagai indoor testbed skala kecil untuk tujuan
pengujian perangkat hasil rancang bangun atau untuk
penelitian lanjut.
Buku petunjuk pengoperasian dan perawatan sistem
infrastruktur jaringan PDH yang dapat digunakan juga
sebagai bahan ajar praktikum.
4. METODE PENELITIAN
Metode perancangan dan implentasi infrastruktur
telekomunikasi ini didasarkan pada 4 tahapan pekerjaan
sebagai berikut:
Tahap 1: Persiapan
Pada tahap persiapan ini terdiri dari kegiatan-kegiatan
sebagai berikut:
Inisiasi
Melibatkan kegiatan-kegiatan kajian teknologi, studi
literature, mencari informasi tambahan melalui
browsing internet disamping textbook yang tersedia.
Pendefinisian dan identifikasi masalah
Melibatkan kegiatan-kegiatan diskusi antar tim,
pembuatan komitmen sekaligus pembagian tugas antara
ketua dan anggota peneliti serta tenaga pembantu
lainnya, mengumpulkan informasi dan data-data teknis
yang dibutuhkan, kajian buku petunjuk, teknologi yang
akan digunakan, dan lain-lain.
Penentuan spesifikasi
Menentukan spesifikasi perangkat hardware dan
software yang akan digunakan untuk membangun
infrastruktur jaringan telekomunikasi ini.
Tahap 2: Perancangan
Pada tahap ini adalah tahap yang paling penting dalam
membuat detil perancangan atau Detail Engineering Design
(DED) dimana konsep perancangan, spesifikasi dan
persyaratan sistem (system requirement) harus sudah dapat
didefinisikan. Keluaran pada tahap ini ialah gambar detail
desain atau Detail Design Drawing (DDD) yang sudah
disetujui bersama oleh tim peneliti.
Tahap 3: Implementasi
Pada tahap ini berdasarkan hasil detil perancangan (Detail
Engineering Design) yaitu kemudian diimplementasikan
kedalam bentuk infrastruktur jaringan dimana semua
perangkat hardware dan software diintegrasikan secara
keseluruhan menjadi sebuah model infrastruktur jaringan
telekomunikasi yang sesungguhnya.
Tahap 4: Pengujian dan Evaluasi
Pada tahap ini, infrastruktur yang sudah dibangun akan
diuji dan dievaluasi. Pengujian melibatkan uji fungsional
dan uji unjuk kerja infrastruktur jaringan tersebut.
5. PERANCANGAN
Konsep perancangan infrastruktur telekomunikasi berbasis
teknologi PDH ini didasarkan pada kebutuhan layanan
yang harus disediakan sebagaimana telah diungkapkan pada
pendahuluan diatas. Kebutuhan layanan yang disediakan
dalam rancangan infrastruktur ini adalah untuk layanan
komunikasi suara (telepon) dan komunikasi data.
Infrastruktur PDH berbasis teknologi TDM PCM dimana
kapasitas transmisi untuk linfrastruktur telekomunikasi
yang dirancang ini adalah 2 Mbit/s yang setara dengan 30
kanal suara (30 voice channels) atau 30 time slot yang
tersedia untuk kebutuhan layanan komunikasi suara atau
komunikasi data. Dari 30 kanal tersebut direncanakan untuk
berbagai layanan sebagai berikut:
10 kanal untuk layanan komunikasi data menggunakan
interfis G.703 64 kbit/s codir.
4 kanal untuk layanan komunikasi via interfis v.24, v.28
19,6 kbit/s sync dan async.
8 kanal untuk trunking PBX menggunakan interfis VF
4Wire E&M 8 ch.
IRWNS 2013
156
4 kanal untuk Plain Old Telephone System (POTS) via
interfis VF sub exchange & subend.
Jadi total 28 kanal atau 28 time slot sudah dapat digunakan
untuk masing-masing kebutuhan layanan, berarti masih ada
tersisa 2 time slot dari 30 time slot. Penetapan jumlah
kanal/layanan didasarkan kepada ketersediaan interfis di
pasar.
Rancangan Detil Teknis (Detail Engineering Design)
seperti ysng diperlihatkan pada Gambar12 dan 13.
H
G
F
E
D
C
B
A
8 7 6 5 4 3 2 1
H
G
F
E
D
C
B
A
8 7 6 5 4 3 2 1
To 48 VDC
Rectifier
SDH PANEL
Terminal LSA
16XE1 Tributary Cable
PDH MULTIPLEXER
1X E
1 (2
Mbp
s) C
able
NOKIA PDH MULTIPLEXER48 VDC Rectifier
Battery Charger
48 VDC/100 AH
Battery Bank
Grounding
To 220 VAC/16A
Main AC Power/PLN
INTERFACE
FOR VARIOUS APPLICATION :
PABX TRUNK
ANALOG COMMUNICATION
DATA COMUNICATION
ATM
ETHERNET OVER PDH
48 VDC
48 VDC
IDU
PDH Base band unit
ODU
RF SECTION
ALCATEL DIGITAL RADIO LINK MICROWAVE
POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
SINGLE LINE DIAGRAM
LAY OUT MODEL INFRASTRUKTUR TELEKOMUNIKASI
Digambar oleh: Sutrisno
Disetujui oleh:
Ukuran: Tanggal: Gambar No: Rev:
A4 18 jUNI 2013 191057-003 01
Skala: Lembar: 1
Lampiran 1
Gambar 12: blok diagram rancangan infrastrukur
telekomunikasi.
PDP
DDF
MDF
TO 48 VDC RECTIFIER
16 X 2 co
res/2Mb
ps (16 E
1) TO
IDU
POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
DIAGRAM PERKAWATAN INSTALASI
INFRASTRUKTUR TELEKOMUNIKASI BERBASIS PDH
STANDAR ITU G.703
Digambar oleh: Sutrisno
Disetujui oleh:
Ukuran: Tanggal: Gambar No: Rev:
A4 JULY 30, 2013 191057-001 01
Skala: Lembar: 1
H
G
F
E
D
C
B
A
8 7 6 5 4 3 2 1
H
G
F
E
D
C
B
A
8 7 6 5 4 3 2 1
IDF
NA
NA
NA
NA
NA
NA
NA
NA
48 V
DC
PO
WE
R S
UP
PL
Y
DB
2
X2
V24 19,2 kb
ps,A
sync
G.703 64 kb
ps co
dir
VF
4 W E
&M
8 ch
VF
Su
b exch
6ch
PANASONIC HYBRID PBX
13 GHz ALCATEL
DIGITAL MICROWAVE RADIO LINK
(ODU)
PDH BASEBAND
MUX-DEMUX
16 X 2Mbps
(IDU)
8 x 2 cores C
O L
ines
4 x 6 cores 4W
E&
M8 x 4 co
res HL
C
RG 213 Coaxial Cable
PDH STANDAR G.703 MULTIPLEXER PANEL
16 pairs X 2 cores/2Mbps (16 E1)
4 X
6 c
ore
s 4W
E&
M, 8
ch
10 X
2 c
ore
s G
.703
Co
dir
, 10
ch
4 x
6 co
res
V.2
4 as
ync,
4 c
h
6 x
2 V
F S
ub
Exc
h/S
ub
En
d, 6
ch
TO 48 VDC RECTIFIER
- 8 CO Lines
- 8 Ext analog/digital
Extendable upto 96 lines
Including (Ext & CO Lines
NECTAS TERMINAL
RS
232
Sistem Pentanahan
(Grounding system)
Lampiran 2
Gambar 13: Single line diagram rancangan infrastruktur
telekomunikasi
6. PEKERJAAN UNTUK WAKTU KE
DEPAN (FUTURE WORK)
Perlu dipertimbangkan untuk mengembangkan model
infrastruktur ini menjadi infrastrukur dengan skala yang
lebih besar, luas sehingga menjadi sebuah testbed yang
realistis dengan kondisi kerja/praktis dilapangan.
7. HASIL PENGUJIAN
Pengujian dan evaluasi merupakan tahap terakhir dalam
penelitian ini dimana model infrastruktur telekomunikasi
PDH yang telah dibangun akan diuji dan dievaluasi utilitas
dan unjuk kerjanya mengacu kepada error performance
objectives standar G.821, G.826. Rekomendasi penting
error performance objectives berdasarkan Appplication
note: ITU error performance recommendation adalah
sebagai berikut [8]:
a) Recommendation G.821: Error performance of an
international connection operating at bit rate below the
primary rate and forming part of an integrated service
digital network (ISDN).
b) Recommendation G.826: error performance and
objectives for international, contant bit rate digital paths
and connection
Hasil pengukuran error performance objectives G.821,
G.826 ditunjukan pada Tabel 2 dan 3 . Pengukuran
menggunakan ACTERNA DATA TESTER EDT-135
Tabel 2: Hasil pengukuran error performance objectives
G.821 untuk basic rate 64 kbit/s. Parameter Unit Hasil
Bit Error Rate,BER <10-9
Error free second, EFS Sec/% 60/100 (pass)
Error seconds, ES Sec/% 0/0 (pass)
Severe error second,
SES
Sec/% 60/100 (pass)
Available time, AT Sec/% 60/100 (pass)
Unavailable time, UT Sec/% 0/0 (pass)
Tabel 3: Hasil pengukuran error performance objectives
G.821 untuk primary rate 2 Mbit/s. Parameter Unit Hasil
Bit Error Rate, BER <10-9
Error free second, EFS Sec/% 60/100 (pass)
Error seconds, ES Sec/% 0/0 (pass)
Severe error second, SES Sec/% 60/100 (pass)
Available time, AT Sec/% 60/100 (pass)
Unavailable time, UT Sec/% 0/0 (pass)
8. KESIMPULAN
Model infrastruktur telekomunikasi berbasis teknologi PDH
standar ITU G.703 telah berhasil dirancang,
diimplementasikan dan diuji dengan hasil yang baik.
Sebagai aplikasi layanan yang dibangun adalah komunikasi
suara (telepon) dimana dua unit PBX diinterkoneksikan
(trunking) via interfis 4W E&Myang secara geografis
berada pada tempat yang terpisah telah berhasil juga
diterapkan dengan baik.
9. DAFTAR PUSTAKA
[1] Esmailzadeh Riaz, Broadband Wireless
[2] Communication Bussiness, John Willey & Son , 2008
[3] Ian Foster and Carl Kesselman, The Grid 2,
[4] Blueprint for a new computing infrastructure, Morgan
Kaufman, 2004
[5] Andy Valdar, Understanding
[6] Telecommunications Networks, John Willey &
Son,2006,
[7] Forouzan Behrouz.F, Data Communication
[8] and Network, Third edition, McGrawHill,2003
[9] Halsal Fred, Multi media Communication:
[10] Application, Protocols, and Standard, Addision-
Wesley, 2001
[11] Richard J Manterfield, Common Channel
IRWNS 2013
157
[12] Signalling, Peter Peregrinus Ltd, London, United
Kingdom,1991
[13] [Reinaldo Perez,Wireless Communication
[14] Design handbook, Academic Press, 1998
[15] ITU-T Publications,2010
[16] Application note ITU-T Error Performance
[17] Recommendation in Digital Transmission System
IRWNS 2013
158
Penerapan Algorithma Row Index Data Access Matrix Pada Sistem
Perangkat Lunak Antarmuka Data Digital Perintah/Status Yang
Homogen
Rida Hudaya
Jurusan Teknik Elektro, Politeknik Negeri Bandung, Bandung 40012
E-mail : [email protected]
ABSTRAK
Penelitian bidang Networked Control Systems (NCSs) sedang dikembangkan di Laboratorium Sistem Kendali Jurusan Teknik
Elektro Politeknik Negeri Bandung. NCSs yang dikembangkan melibatkan antarmuka sinyal perintah/status dengan jumlah
sinyal sangat banyak. Penerapan algoritma Row Index Data Access Matrix (rida-M) merupakan salah satu teknik pemecahan
yang paling sederhana untuk mengelola aliran sinyal yang sangat banyak. Algorithmarida-M telah dikembangkan dan telah
diuji penerapannya baik untuk sistem perangkat keras maupun perangkat lunak.Tulisan ini akan membahas cara kerja
algorithma rida-M pada sistem pengaturan sinyal digital yang homogen di tingkat perangkat lunak pada sistem HMI/Scada.
Kesimpulan yang diperoleh dengan penerapan algorithma ini adalah waktu perancangan, penerapan, perawatan dan perbaikan
sangat cepat dan pelaksanaannya sangat sederhana dibandingkan menggunakan metode pemrograman formal biasa.
Kata Kunci
Networked control Systems, NCSs, Matrix, Port, Memor
1. PENDAHULUAN
Salah satu bidang penelitian yang sedang dikembangkan di
Laboratoriun Sistem Kendali dan Instrumentasi Jurusan
Teknik Elektro Politeknik Negeri Bandung adalah
Networked Control Systems (NCSs) [1][13][14]. Ilustrasi
penerapan teknologi ini seperti diperlihatkan pada Gambar
1 [19][20]. Gambar tersebut memperlihatkan posisi sensor
yang tersebar secara luas dengan jumlah yang sangat besar
dan terletak jauh dari Central Control Room (CCR). Sinyal
dengan jumlah yang sangat besar dari lapangan akan masuk
keCCR dan keluar dari CCR [11].
Acuan pengembangan teknologi penelitian ini mengikuti
perkembangan yang terdapat di industry perangkat kendali
dan instrumentasi Advantech Technology. Sehingga
beberapa ilustrasi dan penggunaan teknologi perangkat
kerasnya menggunakan sistem yang terdapat di Advantech
Technology [19][20].
Gambar 7: Environmental Monitoring Systems
(Advantech Technology).
2. SISTEM PERANGKAT LUNAK ANTARMUKA
DATA PERINTAH/STATUS
Sinyal yang masuk ke CCR biasanya adalah sinyal status
dan sinyal yang keluar dari CCR biasanya adalah sinyal
perintah.Sinyal tersebut dapat berbentuk sinyal analog
maupun sinyal digital [4][16]. Apabila dikelompokan maka
jenis kelompok sinyal dapat terdiri dari:
Kelompok-1, kelompok sinyal digital saja,
Kelompok-2, kelompoksinyal analog saja,
Kelompok-3, kelompok sinyal perintah saja,
Kelompok-4, kelompok sinyal status saja, atau
Kelompok-5, kelompok sinyal yang terdiri dari sinyal
digital, sinyal analog, sinyal perintah dan sinyal status
yang tersusun secara acak.
Makalah ini akan menjelaskan penerapan algoritma Row
Index Data Access Matrix (rida-M) untukj enis sinyaldigital
yang tersusun secara homogeny yaitu sinyal pada
Kelompok-1, Kelompok-3 dan Kelompok-4.
Sinyal yang masuk ke CCR dan yang keluar dari CCR
diterjemahkan oleh system perangkat keras antarmuka
menjadi data yang dapat diolah oleh kontroler. Oleh karena
sinyal yang diolah akan bersifat homogen, maka data yang
akandiolah juga akan bersifat homogen. Data tersebut pada
konrolerakan diolah oleh Sistem Perangkat Lunak
Antarmuka Data Digtal Perintah/Status.
IRWNS 2013
159
Data Perintah/Status akan dicatat pada suatu memori dan
port pada alamat tertentu. Pencatatan pada memori
dimaksudkan agar kondisi data terakhir dapat tercatat untuk
mencegah kehilangan informasi kondisi akhir suatu
Perintah/Status. Pencatatan data Perintahpada port
berfungsi untuk menggerakan sinyal perintah. Sedangkan
pencatatan data Status pada port berfungsi untuk merekam
kondisi sinyal Status. Diagram penempatansinyal dan data
diperlihatkan pada Gambar 2.
3. SISTEM PENGALAMATAN DATA
Data pertamas inyal yang bernilai PORT1 disimpan di port
pada alamat @port1. Untuk data ke-n yang bernilai PORT n
disimpan di port alamat @portn.
Gambar 8: Diagram penempatan sinyaldan data.
Lokasi memori untuk menyimpan data PORT 1 adalah
@mport1dan lokasi memori untuk menyimpan data PORT
n adalah @mportn. Alamat memori @mport 1dapat
diwakili oleh variabel mport1 dan alamat memori
@mportn dapat diwakili oleh variabel mport1. Sehingga
persamaan matriksnya dapat dinyatakan sebagaiberikut:
𝑚𝑝𝑜𝑟𝑡1𝑚𝑝𝑜𝑟𝑡2𝑚𝑝𝑜𝑟𝑡3
:::
𝑚𝑝𝑜𝑟𝑡𝑛
=
@𝑝𝑜𝑟𝑡1@𝑝𝑜𝑟𝑡2@𝑝𝑜𝑟𝑡3
:::
@𝑝𝑜𝑟𝑡𝑛
(1)
Operasi pemindahan data dari port pada alamat @portn ke
memori pada lokasi @mportn dinyatakan dengan
(@mportn) ← inport(@portn) (2)
Sedangkan operasi pemindahan data dari memori pada
lokasi @mportn ke port pad aalamat @portn dinyatakan
dengan
(@mportn) → outport(@portn) (3)
Apabila data untuk sinyal status disimpan pada alamat
@port1 sampai dengan alamat @portm dan data untuk
sinyal perintah akan disimpan pada alamat @portm+1
sampai dengan alamat @portn, maka Persamaan 1 menjadi:
𝑚𝑝𝑜𝑟𝑡1:
𝑚𝑝𝑜𝑟𝑡𝑚𝑚𝑝𝑜𝑟𝑡𝑚 + 1
:𝑚𝑝𝑜𝑟𝑡𝑛
=
@𝑝𝑜𝑟𝑡1:
@𝑝𝑜𝑟𝑡𝑚@𝑝𝑜𝑟𝑡𝑚 + 1
:@𝑝𝑜𝑟𝑡𝑛
(4)
Persamaan 4 memberikan gambaran kemudahan
pengelolaan alamat port apabila jumlah port yang akan
diolah sangat banyak. Penambahan port dapat dilakukan
dengan cara menyisipkan baris dan pengurangan port
dilakukan dengan menghapus baris. Posisi baris
menunjukkan nomor indeks dari baris tersebut. Indeks dari
mport1 adalah 1 dan indeks dari mportn adalah n. Apabila
terjadi penambahan sebuah port ditengah matriks artinya
terjadi penyisipan sebuah baris ditengah matriks. Hal ini
menyatakan bahwa secara otomatis indeks dari mportn
semula n menjadi n+1. Hal ini dilakukan secara otomatis
oleh kontroler karena @mportn secara otomatis berubah
sesuai dengan jumlah variabel yang dimasukan pada
memori suatu kontroler.
Persamaan 4 dapat dinyatakan dengan cara lain agar lebih
mendekati bahasa pemrograman. Untuk proses
memindahan data dari port ke memori dinyatakan seperti
persamaan berikut:
(@𝑚𝑝𝑜𝑟𝑡1):
(@𝑚𝑝𝑜𝑟𝑡𝑚)(@𝑚𝑝𝑜𝑟𝑡𝑚 + 1)
:(@𝑚𝑝𝑜𝑟𝑡𝑛)
=
𝑖𝑛𝑝𝑜𝑟𝑡(𝑚𝑝𝑜𝑟𝑡1):
𝑖𝑛𝑝𝑜𝑟𝑡(𝑚𝑝𝑜𝑟𝑡𝑚)
𝑖𝑛𝑝𝑜𝑟𝑡(𝑚𝑝𝑜𝑟𝑡𝑚 + 1):
𝑖𝑛𝑝𝑜𝑟𝑡(𝑚𝑝𝑜𝑟𝑡𝑛)
(5) Sedangkan untuk proses pemindahan data dari memori ke
port dinyatakan seperti persamaan berikut:
𝑜𝑢𝑡𝑝𝑜𝑟𝑡(𝑚𝑝𝑜𝑟𝑡1):
𝑜𝑢𝑡𝑝𝑜𝑟𝑡(𝑚𝑝𝑜𝑟𝑡𝑚)𝑜𝑢𝑡𝑝𝑜𝑟𝑡(𝑚𝑝𝑜𝑟𝑡𝑚 + 1)
:𝑜𝑢𝑡𝑝𝑜𝑟𝑡(𝑚𝑝𝑜𝑟𝑡𝑛)
=
(@𝑚𝑝𝑜𝑟𝑡1):
(@𝑚𝑝𝑜𝑟𝑡𝑚)
(@𝑚𝑝𝑜𝑟𝑡𝑚 + 1):
(@𝑚𝑝𝑜𝑟𝑡𝑛)
(6)
Persamaan 5 dan Persamaan 6 memberikan petunjuk bahwa
pengelolaan alamat port dan memori menjadi sangat
sederhana. Hal ini disebabkan alamat port telah diganti
dengan nama variabel yang lebih informatif.
4. ALGORITHMA rida-M
Penerapan algorithma rida-M dapat diaplikasikan dengan
menggunakan Persamaan 5 dan Persamaan 6. Persamaan 5
untuk algorithma proses pemindahan data dari port ke
memori dan Persamaan 6 untuk algorithma proses
pemindahan data dari memori ke port.
Posisi baris pada matriks dari Persamaan 1 merupakan
indeks yang berurutan dari atas ke bawah. Indeks tersebut
digunakan untuk menunjuk alamat port. Hal ini disebabkan
baris alamat port memiliki indeks yang sama dengan nama
IRWNS 2013
160
varibel suatu port. Sub-bagian berikut ini akan menjelaskan
lebih teknis dari penggunaan indeks baris tersebut.
4.1 Proses Pemidahan Data dari Port ke Memori
Proses pemindahan data dari port ke memori dapat
dilakukan dengan langkah-langkah seperti yang
ditunjukkan pada algorithma berikut:
1. Deklarasikan konstanta mport1 dengan nilai @port1
sampai dengan konstanta mportn dengan nilai @portn.
2. Lakukan pemindahan data dari port alamat @port1 ke
memori alamat @mport1.
3. Ulangi pemindahan data sampai dengan port alamat
@portn ke memori alamat @mportn
4.2 Proses Pemidahan Data dari Memori ke Port
Proses pemindahan data dari memori ke port dapat
dilakukan dengan langkah-langkah seperti yang
ditunjukkan pada algorithma berikut:
1. Deklarasikan konstanta mport1 dengan nilai @port1
sampai dengan konstanta mportn dengan nilai @portn.
2. Lakukan pemindahan data dari memori alamat
@mport1 ke port alamat @port1.
3. Ulangi pemindahan data sampai dengan memori alamat
@mportn ke port alamat @portn.
4.3 Hasil Uji Eksperimen
Hasil uji eksperimen nyata dijelaskan pada Gambar 3.
Penerapan pengujian terhadap algorithma ini dilakukan
dengan kondisi sebagai berikut:
Kabel komunikasi yang digunakan adalah twist-pair
telephone cable dengan panjang 300 m.
Jarak antara CCR dengan remote computer adalah 300
m.
Prosesor yang digunakan adalah penthium dengan
sistim operasi DOS.
Bahasa pemrograman yang digunakan adalah C.
Jumlah sinyal perintah/status dalam pengujian ini
adalah 1600 sinyal.
Protokol komunikasi yang digunakan adalah RS 232.
Waktu tempuh sinyal yang diukur dimulai sejak sinyal
diaktifkan sampai dengan terjadi perubahan status yang
diakibatkan oleh sinyal peritah tersebut.
Plant uji yang digunakan adalah Earth Station Jatiluhur
utnuk pengendalian HPA Satelit.
Gambar 9: Diagram waktu respon sinyal terhadap jumlah
sinyal.
5. KESIMPULAN
Pada makalah ini telah ditunjukan bahwa penerapan
algorithma rida-M akan mempersingkat waktu
perancangan, penerapan, perawatan dan perbaikan.
Implementasi pada sistem teknologi antarmuka perangkat
lunak sangat sederhana dan cepat.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terimakasih disampaikan kepada PT Indosat yang
telah memberikan kepercayaan penerapan algorithma rida-
M pertama kali pada sistem pengendalian HPA Satelit di
station bumi Jatiluruh. Penerapan pertama kali yang sukses
memberikan dukungan moril untuk kegiatan penelitian
lebih lanjut.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Tim Peneliti
NCSs dan mahasiswa Jurusan Teknik Elektro yang telah
membantu merealisasikan algorithma ini di PT Indosat.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Nathan B. Loden, J.Y. Hung, “An Adaptive PID
Controller for Network Based Control Systems,”
Industrial Electronics Society, 31st Annual Conference
of IEEE, 2005.
[2] H. Hoang, M. Jonsson, U. Harstrom, and A.
Kallerdahl, 2002, “Switched real-time Ethernet and
earliest deadline first scheduling-protocols and traffic
handling,” 10th
International workshop on parllel and
distributed real-time system, Ford Lauderdale, Florida,
USA, April 2002.
[3] H. Haertig and J. Loeser, “Using switched Ethernet
for hard realtime comunication,” International
conference on parallel comoputing in electrical
engineering (PARELEC), Dresden, Germany, pp. 349-
353, September 2004.
[4] M. Tabbara, D. Nesic, and A. Teel, “input-output
stability of wireless networked control systems,” in
proc. 44th
IEEE Conf. On Dec. And Control, 2005.
IRWNS 2013
161
[5] H. YE, G. Walsh, and L. Bushnell,“Real-time mixed-
traffic wireless networkes,” IEEE Trans. Ind.
Electron, Vol. 48, no.5, pp.883-890, 2001
[6] M. Tabbara, D. Nesic, and A.R. Teel, “Stability of
wireless and wireline networked control systems,”
IEEE Transaction on Automatic Control, Vol. 52, pp.
1615-1630, 2007.
[7] M. Przedwojski, K. Galkowsk, P.H. Bauer, and E.
Rogers, 2009, ―Stability and robustness of systems
with synchronization errors,‖ American Control
Conference, pp. 3262-3267.
[8] L.Samaranayake, M. Leksell, and S.
Alahakoon,“Relating samplingperiod and control
delay in distributed control systems,” The
International Conference on Computer as a tool
(EUROCON 2005), pp. 274-277, 2005.
[9] G. Szederkenyi, Z. Szabo, J. Bokor, and K.M. Hangos,
“Analysis of the networked implementation of the
primary circuit pressurize controller at a nuclear
power plant,” 16th
Mediterranean Conference on
Control and Automation, pp. 1604-1609, 2008.
[10] G.Y. Walsh, H. Ye, and L.G. Bushnell, “Stability
analysis of networked control systems,” IEEE
Transaction on control system technology, Vol. 10,
No.3, pp. 438-446, 2002.
[11] A. Rajeev, D. Alessandro, K.H. Johansson, G.J.
Pappas, G. Weiss, “Compositional Modelling and
Analysis of Multi-hop Control Networks,” IEEE
Transactions on Automatic Control, 56:2345-2357,
2011.
[12] A. Liu, L. Yu, W.A. Zhang,“H-infinity contol for
network-based systems with time-varying delay and
packet disordering,” Journal of the Franklin Institute,
248:917-932, 2011.
[13] Endra Joelianto,“Networked Control Systems: Time
Delays and Robust Control Design Issues,” 2nd
International Conference on Instrumentation, Control
and Automation, Bandung, Indonesia, 2011.
[14] Mirza N.H, “Design and Implementation of HMI-
SCADA applied for water level control”,
undergraduate thesis, Bandung State Polytechnic,
2013.
[15] PL. Tang, CW. deSilva, “Compensation for
transmission Delay in an Ethernet-Based Control
Network Using Variable-Horizon Predictive Control,”
IEEE Transcation on Control Systems Technology,
Vol.14, No.4, 2006.
[16] S.H. Yang, X. Chen, D.W. Edwards, and J.L. Alty,
“Design issues and implementation of internet based
process control,” Control Engineering Practice, Vol.
11, No. 6, pp. 709-720, 2003.
[17] “Introduction: Frequency Domain Methods for
Controller Design,” source:
http://ctms.engin.umich.edu/CTMS/index.php?exampl
e=Introduction§ion=ControlFrequency.
Available: October, 30th
, 2013.
[18] Y. Tipswan and M.Y Chow, “Gain scheduler
middleware: A methodology to enable existing
controllers for networked control and teleoperation -
Part 1: Networked Control,” IEEE Transcations on
Industrial Electronics, vol. 51, no. 6, pp. 1218-1227,
2004.
[19] Advantech, ADAM 4000 Series Data Acquisition
Modules User‟s Manual, Avril 1994.
[20] Advantech, ADAM 4000 Series Data Acquisition
Modules User‟s Manual Edition 10.5,August 2007.
IRWNS 2013
162
Jaringan Sistem Inovasi Nasional (Jarsinas)
Slamet Aji Pamungkas
Balai IPTEKnet, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Jakarta
E-mail : [email protected], [email protected]
ABSTRAK
Jaringan Sistem Inovasi Nasional (JARSINAS) dibangun untuk menjadi integrator informasi antar komponen sistem inovasi
nasional dan mengembangkan barometer capaian inovasi nasional dalam rangka membangun kemandirian bangsa Indonesia
yang berbasis inovasi teknologi. Inovasi teknologi yang dikembangkan di JARSINAS ini menggunakan hasil pengembangan
teknologi terkini diantaranya Information Retrival, Search Engine, Intelegent Information Extractor, Digital Dashboard,
Cloud Computing dan Information Security Defense System, sehingga dihasilkan Portal Telusur Inovasi (POTENSI).
Potensi dibangun dengan tujuan untuk menyediakan sarana intermediasi antar inovator nasional, sehingga terjadi interaksi
positif yang mampu mendukung berkembangnya Sistem Inovasi Nasional (SIN), dalam rangka mendukung suksesnya
pembangunan nasional.
Pemerintah perlu mendorong pengembangan teknologi dan inovasi produk, pemerintah memiliki peranan penting untuk
memfasilitasi interaksi dan keterkaitan antara unsur-unsur dari sistem, dan pemerintah harus memainkan perannya untuk
melindungi pengetahuan nasional dan memanfaatkan hasil penelitian dan teknologi dalam pembangunan negara
Pelaksanaan program JARSINAS, dilakukan dengan menggabungkan kegiatan teknis maupun non teknis. Kegiatan teknis yang
dilakukan antara lain dengan menyempurnakan POTENSI yang telah diluncurkan pada tahun 2011. Sedangkan kegiatan non
teknis ialah dengan melakukan forum grup diskusi, workshop, seminar dan sosialisasi kepada kalangan inovator nasional.
Hasil dari program JARSINAS ialah terbangunya POTENSI yang menyediakan berbagai fitur dan sarana bagi inovator
nasional untuk saling berinteraksi dan berdiskusi dalam rangka meningkatkan inovasi nasional untuk mendukung mendukung
suksesnya pembangunan nasional.
Kata Kunci
Sistem Inovasi Nasional, Cloud Computing, Digital Dashboard
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indeks daya saing Indonesia menurut global competiveness
index (GCI) yang dimuat dalam The Global Competiveness
Report 2008--2009 yang diterbitkan oleh World Economic
Forum pada tahun 2008, menunjukkan bahwa Indonesia
menempati peringkat 55 dari 134 negara. Salah satu dari 12
pilar daya saing yang diukur oleh badan ini adalah daya
inovasi suatu bangsa, yang menempatkan Indonesia pada
urutan ke 47.
Menurut laporan itu, daya inovasi Indonesia terkendala
oleh: kapasitas inovasi nasional yang masih rendah
(menempati peringkat ke 53); kolaborasi antara universitas,
litbang, dan industri yang masih perlu dibangun (peringkat
ke 54); dan penggunaan paten sebagai alat perlindungan
hak cipta penemu dan sekaligus alat untuk diseminasi
teknologi yang perlu dibangun lebih baik (peringkat ke 84).
Beberapa program telah diluncurkan dalam upaya
meningkatkan penguatan Sistem Inovasi Nasional (SIN) di
Indonesia, terutama untuk meningkatkan arus informasi,
interaksi antara unsur-unsur system terkait, alih teknologi
untuk sektor swasta, naun dalam Seminar Nasional Sistem
Inovasi Nasional (Juli 2006) mengungkapkan bahwa
interaksi antara unsur SIN belum terjalin dengan baik.
Interaksi dan interkoneksi antara unsur-unsur sangat
dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah. Pemerintah perlu
untuk merekonstruksi organisasi pemerintahan yang
inovatif untuk menciptakan birokrasi yang efektif, dan
menerapkan peraturan yang dapat mendorong
pengembangan teknologi dan inovasi produk.
1.2 Tujuan
Tujuan dari kegiatan Jaringan Sistem Inovasi Nasional
(JARSINAS) adalah untuk membangun suatu sistem portal
informasi nasional berbasis infrastruktur teknologi
informasi dan komunikasi (TIK) yang berfungsi untuk
menjadi sentra informasi yang menghubungkan komponen
komponen penunjang SIN sebagaimana kerangka SIN,
sehingga dapat meningkatkan alur siklus sistem inovasi
nasional bangsa untuk memenuhi permintaan inovasi
nasional sehingga pada akhirnya meningkatkan daya saing
IRWNS 2013
163
bangsa. Sistem ini selanjutnya dinamakan JARSINAS
(Jaringan Sistem Inovasi Nasional).
2. PEMBAHASAN
2.1 Portal Telusur Inovasi (POTENSI)
Portal Telusur Inovasi (POTENSI) dengan alamat
http://inovasi.iptek.net.id, dibangun berdasar kebutuhan
terhadap tersedianya sarana mediasi bagi inovator nasional
dalam komunikasi, kolaborasi dan diskusi untuk
pengembangan Sistem Inovasi Nasional (SIN). POTENSI
bertugas menyediakan data inovasi, sarana diskusi antar
inovator dan statistik kebijakan inovasi nasional.
Gambar 1: Pemrosesan data inovasi
Gambar 1 di atas memperlihatkan bagaimana POTENSI
mendapatkan data dan dukungan dari berbagai pihak yang
berhubungan dengan inovasi nasional, penyimpanan dan
pengolahan data, proses pembersihan dan kategorisasi data,
dan analisai maupun pelaporan data inovasi nasional.
Gambar 2: Portal Telusur Inovasi (POTENSI)
2.2 Arsitektur Hardware
Gambar 3: Arsitektur Portal Telusur Inovasi
POTENSI dibangun berbasis web sehingga bisa diakses
dari manapun selama tersedia jaringan internet dan
browser. Untuk mendukung layanan dan fasilitas dalam
POTENSI tersebut, maka dibangun arsitektur hardware
seperti pada gambar 1 di atas. Terlihat pada gambar 3
tersebut bahwa POTENSI terdiri atas 2 server crawling, 1
load balancer, 3 server aplikasi, 2 server database dan 1
server indexing.
Server crawling berfungsi untuk melakukan pencarian data-
data inovasi dari berbagai server lain yang menyediakan
data inovasi secara online dan realtime. Hasil crawling
disimpan ke dalam tabel penyimpanan sementara yang
terdapat pada server database, untuk selanjutnya dilakukan
pembersihan data. Untuk membantu performance server
database, maka disediakan server indexing yang
menggunakan software sphinx. Komunikasi antara client
dengan POTENSI dilakukan dengan perantara load
balancer yang bertugas menyeimbangkan akses terhadap 3
server aplikasi.
2.3 Komponen Perangkat Lunak
Crawling
Teknologi crawling digunakan dalam POTENSI untuk
mengumpulkan data dari berbagai sumber dalam rangka
memperkaya konten, khususnya yang berhubungan dengan
inovasi nasional. Crawling atau web crawler adalah suatu
program atau script otomatis yang relatif sederhana, dengan
metode tertentu melakukan scan atau crawl ke semua
halaman-halamani untuk membuat index dari data yang
dicarinya.
Web crawl dapat digunakan untuk beragam tujuan.
Penggunaan yang paling umum adalah yang terkait dengan
search engine. Search engine menggunakan web crawl
untuk mengumpulkan informasi mengenai apa yang ada di
halaman-halaman web publik. Tujuan utamanya adalah
mengumpukan data sehingga ketika pengguna internet
mengetikkan kata pencarian di komputernya, search engine
dapat dengan segera menampilkan web site yang relevan.
Dalam melakukan crawler, POTENSI tidak membatasi
jenis dan struktur data, sehingga ada kemungkinan akan
diperoleh data kotor dan tidak terstruktur. Untuk mengatasi
permasalahan tersebut, maka tahap berikutnya dilakukan
pembersihan data atau data cleansing.
IRWNS 2013
164
Pembersihan Data
Pembersihan data atau data cleansing adalah tindakan
mendeteksi dan memperbaiki (atau menghapus) record
korup atau tidak akurat dari mengatur catatan, tabel, atau
database. Yang digunakan terutama di database, istilah ini
mengacu pada identifikasi tidak lengkap, tidak benar, tidak
tepat, tidak relevan dll bagian data dan kemudian
mengganti, memodifikasi atau menghapus data ini kotor.
Algoritma Kemiripan
Sebagai penampung data-data inovasi nasional, maka dalam
POTENSI terdapat berbagai macam dokumen yang masih
belum terkelompokan berdasar topik, judul maupun bidang
fokusnya. Untuk melakukan pengelompokan dokumen-
dokumen tersebut salah satu caranya ialah dengan
memanfaatkan algoritma kemiripan dokumen.
Pendeteksian kemiripan dokumen merupakan pendeteksian
kesamaan beberapa dokumen dengan membandingkan isi
dokumen sehingga menghasilkan bobot atau nilai
kemiripan dari dokumen yang dibandingkan. Salah satu
kegunaan perbandingan isi dokumen adalah untuk
membantu pengguna dalam pengelompokan dokumen dan
juga memungkinkan pengguna mengetahui apakah isi
dokumen yang satu merupakan dokumen yang pada
dasarnya sama dengan dokumen yang lain. Pendeteksian
kemiripan dokumen ini dapat dilakukan dengan beberapa
teknik, misalnya teknik pencarian informasi, teknik
penghitungan statistik, atau dengan menggunakan informasi
sintaktik dari kalimat per kalimatnya
Mesin Pencari (Search Engine)
Sebagai portal yang menyediakan data dan informasi
tentang inovasi nasional, maka POTENSI menyediakan
fasilitas pencarian terhadap data dan informasi yang
berhubungan dengan inovasi nasional dengan menyediakan
mesin pencari (search engine).
Search engine merupakan perangkat pencari informasi dari
dokumen-dokumen yang tersedia. Hasil pencarian
umumnya ditampilkan dalam bentuk daftar yang seringkali
diurutkan menurut tingkat akurasi ataupun rasio
pengunjung atas suatu berkas yang disebut sebagai hits.
Informasi yang menjadi target pencarian bisa terdapat
dalam berbagai macam jenis berkas seperti halaman situs
web, gambar, ataupun jenis-jenis berkas lainnya.
Peta Inovasi
Selain tampilan dalam bentuk tabel atau dokumen hasil
pencarian, POTENSI juga menyediakan fasilitas penyajian
data dalam bentuk peta online. Berbagai informasi tentang
inovasi nasional ditampilkan berdasar lokasi penelitian
terhadap inovasi tersebut dengan berdasar peta online.
Tren Teknologi
Dalam rangka mendukung pemanfaatan perkembangan
berbagai bidang teknologi yang sangat pesat, maka dalam
POTENSI disediakan suatu fasilitas untuk mengetahui
prediksi tentang trend teknologi yang sedang dan akan
terjadi pada periode-periode tertentu. POTENSI membagi
kategori teknologi berdasar 8 (delapan) bidang fokus yang
ditetapkan Pemerintah, di mana untuk setiap bidang fokus
dapat dikelompokan menjadi sub bidang fokus, berdasar
pada kebutuhan detail terhadap suatu bidang fokus.
Gambar 4: Trend teknologi
Statitistik
POTENSI menampilkan berbagai statistik sehubungan
dengan perkembangan inovasi di Indonesia. Contoh
tampilan statistik yang terdapat dalam POTENSI ialah
seperti di bawah ini:
Gambar 5: Statistik HaKi
3. PENUTUP
Segala puji dipanjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan
karunianya sehingga program JARSINAS yang dimulai
sejak tahun 2011 sampai saat ini berjalan dengan baik,
semoga pada periode-periode ke depan semakin
berkembang dan bermanfaat.
3.1 Kesimpulan
Dari hasil kegiatan JARSINAS yang telah dilaksanakan
selama ini, bisa ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. POTENSI telah berhasil dibangun dan dikembangkan
dengan baik dan telah dimanfaatkan oleh kalangan
inovator nasional dalam rangka pengembangan Sistem
Inovasi Nasional (SIN).
IRWNS 2013
165
2. Pemanfaatan perkembangan teknologi informasi yang
sangat pesat mampu mendukung dan meningkatkan
performance POTENSI sebagai sarana mediasi antar
inovator nasional.
3.2 Saran-saran
Untuk pengembangan lebih lanjut POTENSI, baik sisi
teknis maupun non teknis, maka bisa dikemukakan saran-
saran sebagai berikut:
1. Perlu sosialisasi lebih lanjut kepada inovator daerah dan
kalangan perguruan tinggi agar bersedia memanfaatkan
POTENSI sebagai sarana mediasi antar inovator
nasional.
2. POTENSI agar dikembangkan menjadi portal
komunitas, di mana penambahan data dan informasi
dalam POTENSI menjadi tanggung jawab bersama
komunitas inovator nasional.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Don Meyer, Casey Canon, “Building a Better Data
Warehouse”, DM&A Inc, Oct. 2002.
[2] [Kusrini, Emha Taufik, “Algoritma Data Mining”, Andi
Publihser, 2009
[3] Suarga, “Algoritma dan Pemrograman”, Andi Publisher,
2012.
[4] Chandra Koparapu, “Load Balancing, Servers, Firewalls
and Caches”, Wiley 2010.
IRWNS 2013
166
Prototype Aplikasi Pengukuran Kinerja
Unit Pengelola Politeknik
Ade Chandra Nugraha1, Santi Sundari
2
1KBK Sistem Informasi dan Database - Jurusan Teknik Komputer dan Informatika
Politeknik Negeri Bandung, Bandung 40012
Email : [email protected]
2KBK Rekayasa Perangkat Lunak - Jurusan Teknik Komputer dan Informatika
Politeknik Negeri Bandung, Bandung 40012
Email : [email protected]
ABSTRAK
Kinerja organisasi merupakan parameter organisasi yang dapat dievaluasi untuk meningkatkan pelayanan maupun proses
bisnis organisasi. Pengukuran kinerja dapat dijadikan acuan perbaikan dan peningkatan proses organisasi, disamping juga
sebagai alat pengendalian organisasi. Memperhatikan fungsi dan peranan pengukuran kinerja organisasi yang sangat signifikan
bagi perkembangan organisasi, maka proses evaluasi kinerja organisasi menjadi satu hal yang menuntut untuk dilakukan. Agar
Evaluasi kinerja organisasi dapat dilakukan lebih terukur maka proses tersebut memerlukan metode/pendekatan pengukuran
kinerja organisasi yang paling optimal dan sesuai dengan karakteristik organisasi. Di sisi lain, karakteristik dan pengukuran
kinerja pengelolaan Perguruan Tinggi sangat menarik untuk dieksplorasi dan diteliti. Untuk itu direalisasikan penelitian ini
agar hasil pengukuran dan evaluasi kinerja organisasi pengelola di lingkungan Pendidikan Tinggi (PT), khususnya Politeknik,
dapat dielaborasi dengan variasi pendekatan pengukuran kinerja organisasi yang dikembangkan dalam kajian sistem informasi.
Melalui metode penelitian kuantitatif dengan model Penelitian dan pengembangan (research and development/ R&D)
diharapkan mampu menghasilkan prototype aplikasi pengukuran kinerja organisasi yang optimal sesuai dengan karakteristik
organisasi pengelola pendidikan Tinggi di Politeknik. Prototype aplikasi harus mampu mengolah data target kinerja organisasi
pengelola pendidikan Politeknik yang dinamis, serta realisasi kinerja yang dispesifikasikan dalam kumpulan indicator kinerja.
Prototype aplikasi juga mengacu pendekatan evaluasi kinerja tertentu. Melalui evaluasi ketercapaian target kinerja yang
terukur, pengelola pendidikan Politeknik diharapkan dapat memperbaiki kinerja di masa mendatang.
Kata Kunci
Kinerja Organisasi, Prototype Aplikasi Pengukuran Kinerja
1. PENDAHULUAN Kinerja ataupun performance dari organisasi adalah
gambaran mengenai tingkat pencapaian sasaran ataupun
tujuan organisasi sebagai penjabaran dari visi, misi, yang
mengindikasikan tingkat keberhasilan dan kegagalan
pelaksanaan kegiatan sesuai dengan program dan kebijakan
yang ditetapkan. Kinerja organisasi adalah sejumlah
keluaran (output) berupa barang atau jasa yang dihasilkan
dari kegiatan dan pelaksanaan tugas pokok serta fungsi
organisasi.
Proses evaluasi terhadap kinerja organisasi penting
dilakukan, karena tanpa evaluasi tidak akan diketahui
sampai sejauhmana organisasi telah efektif melakukan
perubahan menuju organisasi berkinerja tinggi. Bisa
dikatakan bahwa evaluasi terhadap kinerja organisasi pada
hakekatnya adalah sebuah usaha untuk mengetahui “di
mana kita nyatanya berada” dan “di mana kita seharusnya
berada”. Dari hasil evaluasi diketahui apa kekurangan
organisasi dalam mewujudkan tujuan organisasi, untuk
kemudian mengidentifikasi langkah intervensi dalam
memperbaiki kondisi tersebut. Pada umumnya konsep
evaluasi sebagai proses terdiri atas : (1) pengumpulan
informasi, (2) penggunaan standar atau kriteria dalam
evaluasi serta (3) penarikan kesimpulan dan penetapan
keputusan yang berguna untuk diaplikasikan pada semua
situasi yang dihadapi oleh pimpinan organisasi.
2. PENDEKATAN EVALUASI KINERJA
Untuk mengevaluasi kinerja sebuah organisasi dapat
digunakan beberapa pendekatan [1]. Pendekatan tersebut
antara lain:
Pendekatan Pencapaian Tujuan
Pendekatan Sistem/Proses Internal
Pendekatan Kepuasan Konstituen Strategis
Pendekatan Faktor Bersaing
Dari kombinasi yang ada didapat tiga kumpulan dasar nilai
bersaing sebagai berikut :
Fleksibilitas versus kontrol. Dalam tiap organisasi
dibutuhkan adanya fleksibilitas dan sekaligus kontrol
yang merupakan dimensi yang saling berlawanan.
IRWNS 2013
167
Fleksibilitas menghargai inovasi, penyesuaian dan
perubahan mengikuti perubahan dalam lingkungan,
sedangkan kontrol lebih menyukai stabilitas,
ketentraman dan kemungkinan prediksi.
Kepentingan manusia versus kepentingan organisasi.
Dalam tiap organisasi dimana didalamnya terdiri dari
manusia, akan selalu ada persaingan dimana manusia
(sebagai individu/kelompok kecil individu) mempunyai
kepentingan yang terkadang berbenturan dengan
kepentingan organisasi.
Cara/proses versus tujuan/hasil. Kondisi ideal dari tiap
organisasi adalah cara/proses berjalan dengan baik
dalam arti sinergi dari tiap orang/unit berjalan baik
sehingga tujuan organisasi tercapai dengan baik.
3. METODE PENGUKURAN KINERJA
ORGANISASI
Untuk melakukan evaluasi terhadap kinerja organisasi perlu
ditentukan indikator yang akan diukur. Indikator ini bisa di
break-down dari kombinasi pendekatan yang telah
dikemukakan sebelumnya. Indikator yang digunakan dalam
pengukuran kinerja organisasi dapat pula diperoleh dari
standar pengukuran tertentu seperti Common Assessment
Framework/CAF (yang diterbitkan oleh Directors-General
of Public Administration Uni Eropa) dan Baldrige National
Quality Program/BNQP (yang diterbitkan oleh National
Institute of Standards and Technology (NIST) USA) [2].
Salah satu metode pengukuran kinerja organisasi yang
banyak dipergunakan adalah Balanced Scorecard (BSC).
Paper [6] dan [7] mengeksplisitkan keutamaan BSC dalam
mengukur kinerja organisasi. Balanced dalam BSC
menunjukkan keseimbangan antara strategi dan kinerja dari
berbagai perspektif; dan scorecard menggambarkan
kebutuhan pengukuran yang sederhana baik dari strategi
maupun pengambilan keputusan. Scorecard mengukur
kinerja perusahaan pada empat perspektif yang seimbang
(balanced) yaitu finansial, pelanggan, proses bisnis internal
dan proses pembelajaran serta pertumbuhan.
4. PENGUKURAN KINERJA PERGURUAN TINGGI
Dengan memperhatikan pendekatan faktor bersaing yang
cukup ideal (menurut penulis) dan penggunaan BSC untuk
mengukur kinerja organisasi, maka untuk melakukan
pengukuran kinerja Perguruan Tinggi (PT) dapat dilakukan
pendekatan pemodelan organisasi sebagai kumpulan
elemen dari sistem yang saling berkait. Dalam kajian sistem
informasi, sebuah sistem harus memperhatikan keberadaan
sebuah organisasi yang tidak lepas dari pengaruh faktor
internal dan eksternal. Hal ini dipertegas [3] dan diuraikan
pada gambar 1.
Dari gambar 1 diperoleh 5 elemen internal system yang
terdiri atas:
Gambar 1: Organisasi sebagai suatu system [3]
1. Sistem kepemimpinan, yaitu sistem dalam PT yang
bertanggung jawab untuk memberikan arahan, dan
dukungan dengan cara:
a. Membangun dan memelihara hubungan positif
dengan masyarakat dan lingkungan eksternal PT,
b. Memperjelas dan membangun konsensus dalam
merealisasikan misi PT, visi, prinsip, tujuan
strategis, serta struktur organisasi ,
c. Memperoleh dan mengalokasikan sumber daya yang
diperlukan.
2. PT membutuhkan berbagai sumber daya yang disebut
"input", untuk melakukan proses bisnis sehingga PT
dapat menciptakan produk, jasa, dan informasi untuk
pihak yang mereka layani. Ada enam jenis input yang
diperlukan: sumber daya manusia, sumber daya
keuangan, peralatan dan perlengkapan, ruang fisik,
energi, dan informasi.
3. Proses/fungsi utama (Key Work Processes),
menggambarkan seberapa capaian kinerja dapat
diberikan oleh sebuah PT. Aktivitas yang membentuk
Key Work Processes akan mengubah input menjadi
output sehingga PT dapat mencapai tujuan yang sudah
didefinisikan dari visi dan misi organisasinya.
4. Output / Keluaran, dalam bentuk produk, jasa, dan
informasi. Output dihasilkan dari kegiatan yang
didefinisikan dalam Key Work Processes, dan diterima
atau dialami oleh pelanggan. Output dirancang khusus
untuk mencapai tujuan PT dalam memenuhi atau
melampaui kebutuhan dan persyaratan dari pelanggan,
stakeholder, jurusan, dan staf.
5. Outcomes merupakan hasil PT yang direncanakan dan
dihasilkan dalam rangka memenuhi kebutuhan
pelanggan. Outcomes harus didasari misi yang spesifik,
dan biasanya kritis bagi kelangsungan hidup PT.
Contoh key work processes dalam lingkungan akademik
dapat diuraikan dalam tabel 1 berikut:
IRWNS 2013
168
Tabel 1: Empat proses utama di Perguruan Tinggi
Key work
Processes
Output Outcomes Customers Stake
holders
Pengajaran Kurikulum,
Peluang Kerja
Student
Learning, Kompetensi
Lulusan,
Job Placement
Mahasiswa
Aktif,
Alumni
Internal:
Jurusan
External: Industri
Penelitian Karya
Peneli-tian, Intellectual
Property
Revenue,
Jobs, Reputasi
dan
Penambaha
n
pemahaman
Sponsor
penelitian
Kolega,
Univ lain, Masyarakat
dan
Komunitas
PkM Layanan kerjasama
Pengembangan
Komunitas,
penambahan revenue
& jobs
Pengguna Layanan
dan
masyarakat
Profesional bisnis dan
Industri
serta kolega
Perbaikan
manajerial
Rencana
keuangan dan jadwal
kegiatan
Sistem
dengan perencanaa
n dan
sumber daya yang
optimal
Jurusan dan
unit di PT, serta staf
dosen dan
Tendik
Komunitas
di PT
Tiga Elemen eksternal Perguruan Tinggi [3] adalah:
1. Pelanggan, merupakan alasan mengapa sebuah PT ada.
Dalam proses penilaian, pelanggan didefinisikan
sebagai pihak yang langsung menerima atau
mengalami output dari PT. Beberapa preferensi
pelanggan dalam proses akademik adalah para
pemangku kepentingan dan para pemimpin di jurusan,
dan staf, yang menentukan apa dan bagaimana organi-
sasi menciptakan dan memberikan produk dan layanan.
2. Stakeholder secara luas didefinisikan sebagai individu
dan kelompok yang memiliki kepentingan dan manfaat
dari efektivitas PT – dalam pencapaian hasil yang
diharapkan. Pada tingkat kelembagaan, stakeholder
mengacu pada masyarakat umum, dan negara, nasional
maupun internal pemerintah daerah, organisasi, dan
bisnis yang menguntungkan dari masyarakat yang
berpendidikan, tenaga kerja terampil, dan penciptaan
serta transfer pengetahuan baru.
3. Sistem Hulu adalah organisasi atau sistem di luar PT
yang tepat, yang mempengaruhi kemampuan PT untuk
melakukan dan mencapai tujuan organisasi PT. Sistem
hulu menyediakan organisasi dengan sumber daya
yang diperlukan.
Memperhatikan organisasi pengelola Perguruan Tinggi
sebagai sebuah kumpulan elemen system, maka penilaian
kinerja dapat diukur terhadap tujuh bidang kinerja
organisasi [3], yang masing-masing terkait dengan elemen
spesifik sistem seperti pada gambar 2.
Gambar 2: Area pengukuran kinerja organisasi [3]
4.1 Kinerja Perguruan Tinggi
Dengan memperhatikan model konseptual proses bisnis
yang ada di perguruan tinggi dan model pengukuran BSC,
sesuai uraian di atas, maka peneliti mengidentifikasi
indicator pengukuran dari tujuh bidang kinerja PT dengan
studi kasus di Politeknik Negeri Bandung (POLBAN),
untuk kemudian diadopsi dalam pengembangan prototype
aplikasi pengukuran kinerja organisasi. Langkah proses
yang dilakukan dalam penelitian adalah:
1. Melakukan pengumpulan data berikut:
a. Elemen internal dan eksternal system pengelola PT
di POLBAN;
b. Rencana Strategis beserta indicator kinerja
POLBAN;
c. Realisasi capaian indicator kinerja dalam 1 tahun
terakhir;
2. Mengidentifikasi dan memilih pendekatan evaluasi
kinerja organisasi yang sesuai dengan hasil
pengumpulan data;
3. Menggunakan BSC dalam pengukuran kinerja PT
melalui pemetaan perspektif pengukuran terhadap
indicator terkait;
4. Mengembangkan prototype aplikasi yang sesuai
dengan kebutuhan pendekatan evaluasi kinerja
organisasi dan pengukuran kinerja yang ditetapkan;
Dari hasil pengumpulan data tuntutan stakeholder
(khususnya upstream system) DIRJEN DIKTI telah
mengarahkan bidang prestasi kunci yang dapat digunakan
untuk mengukur kinerja organisasi Perguruan Tinggi di
Indonesia. Bidang prestasi kunci tersebut ada lima dan
disingkat dengan sebutan RAISE+ [5] :
Relevansi menggambarkan kemampuan organisasi
untuk menyesuaikan layanan yang diberikan dengan
kebutuhan pengguna;
Suasana akademik dapat diukur dari aktivitas-aktivitas
yang melibatkan dosen mahasiswa dalam berbagai
model pembelajaran, adanya perencanaan pembelajaran
berbasis outcome, sistem asessment yang berorientasi
pada higher level of thinking. Suasana akademik yang
sehat akan menjamin terjadinya kepuasan dan memacu
IRWNS 2013
169
motivasi dan kreativitas di kalangan sivitas akademika
dalam menjalankan kegiatan akademik yang pada
gilirannya akan menghasilkan produk akademik yang
berkualitas;
Manajemen Internal & Organisasi merupakan
gambaran komitmen untuk meningkatkan sistem
manajemen dan organisasi yang mengarah pada suatu
penyelenggaraan program pendidikan yang efektif dan
efisien;
Keberlanjutan merupakan bidang prestasi kunci yang
sangat penting dalam pengelolaan organisasi.
Keberlanjutan organisasi sangat tergantung pada
keberadaan sumber daya. Sumber daya dapat mencakup
sumber daya yang tangible seperti finansial,
infrastruktur, staf, maupun sumber daya yang intangible
seperti pengetahuan, sistem manajemen, branding dan
image, serta jaringan kerja;
Efisiensi dapat didefinisikan sebagai tingkat
penghematan pemanfaatan sumber daya. Efisiensi
dalam perguruan tinggi dapat dilihat pada perbaikan-
perbaikan yang dilakukan pada proses bisnis yang ada.
Sesuai dengan perspektif pengukuran kinerja yang
ditetapkan dalam BSC, maka ke lima prestasi kunci di atas
dapat dipetakan seperti dalam tabel 2 berikut:
Tabel 2 : Pemetaan Perspektif BSC dan Prestasi Kunci PT Prestasi Kunci
PT
Perspektif
dalam BSC
Ukuran Generik
Keberlanjutan, Efisiensi
Keuangan Tingkat pengembalian modal dan nilai tambah ekonomis, tingkat
efisiensi usaha
Relevansi, Suasana
Akademik
Pelanggan Kepuasan pelanggan, retensi (kemampuan mempertahan-kan
pelanggan lama), pangsa pasar,
dan kemampuan menarik pelanggan baru
Manajemen
Internal dan
Organisasi, Efisiensi
Proses Bisnis
Internal
Inovasi, mutu, pelayanan purna
jual, efisiensi biaya produksi dan
pengenalan produk baru
Keberlanjutan,
Manajemen Internal dan
Organisasi
Inovasi dan
Pembelajaran
Kemampuan pekerja, kepuasan
pekerja, dan ketersediaan sistem informasi serta kinerja kelompok
(team performance)
4.2 Indikator Kinerja Perguruan Tinggi
Untuk mengukur ketercapaian bidang prestasi kunci yang
telah ditentukan oleh DIKTI, maka penyusun melakukan
pemetaan antara bidang prestasi kunci ini dengan butir
akreditasi institusi (AIPT) yang diterapkan dalam Borang
Badan Akreditasi Nasional PT (BAN-PT) tahun 2011.
Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa sampai saat
ini proses assessment kinerja pengelola Pendidikan Tinggi
secara nasional baru dilakukan via borang akreditasi ini.
Dengan demikian pengukuran kinerja diharapkan dapat
lebih terukur dan mengacu pada standar yang diakui secara
nasional. Hasil pemetaan indikator kinerja untuk tiap
bidang prestasi kunci dapat diuraikan seperti dalam tabel 3.
5. PROTOTYPE APLIKASI
Hasil dari analisa dan alternative solusi dalam proses
penilaian kinerja organisasi pengelola Politeknik di bab
sebelumnya dapat dimodelkan dalam sebuah prototype
aplikasi. Prototype aplikasi ini diharapkan dapat membantu
pengambil keputusan dalam menilai dan memantau kinerja
pengelola Politeknik. Proses penilaian kinerja Pengelola
Politeknik, dimodelkan dalam prototype aplikasi dengan
memperhatikan beberapa hal berikut:
Perspektif penilaian kinerja disesuaikan dengan
perspektif dalam metode BSC. Yaitu terdiri dari
perspektif Keuangan, Pelanggan, Proses Bisnis Internal
serta inovasi dan pembelajaran;
Objective, menyatakan sasaran peningkatan kinerja
yang didasari oleh pencapaian 5 prestasi kunci yang
ditetapkan DIKTI (RAISE+);
Key Performance Indikator, menyatakan Indikator
Kunci dalam Pengukuran Kinerja PT dengan mengacu
butir Borang AIPT dari BAN-PT;
Dengan mengacu pada 3 hal di atas, maka prototype
aplikasi memiliki requirement untuk melakukan
pengolahan data rencana / target KPI dan realisasi KPI
berbasiskan waktu dengan menerapkan pendekatan factor
bersaing. Aplikasi akan mengolah kinerja PT melalui
pengukuran hasil pemetaan indicator kinerja pada tabel 3.
Fungsi utama dari Prototype aplikasi adalah:
1. Mampu mengolah data strategi objektif, KPI, dan target
kinerja berbasiskan Perspektif yang ditentukan. Fitur ini
didetilkan sebagai berikut:
a. Aktivasi strategi objektif, dan KPI,
b. Penambahan data strategi objektif, KPI, dan target
kinerja,
c. Pengubahan data strategi objektif, KPI, dan target
kinerja,
d. Hapus data strategi objektif, KPI, dan target kinerja.
e. Pemberian bobot KPI,
2. Mengukur kinerja organisasi. Pada fitur ini, terdapat
beberapa fungsi diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Impor data realisasi pencapaian target kinerja,
b. Menghitung perbandingan data realisasi dan target
kinerja,
c. Menentukan nilai kinerja tiap KPI
Use case diagram dari prototype aplikasi pengukuran
kinerja organisasi diuraikan dalam gambar 3 berikut:
Gambar 3: Usecase Diagram Aplikasi Pengukuran Kinerja
IRWNS 2013
170
Tabel 3: Indikator Kinerja Pengelola Perguruan Tinggi
Objective No Key Performance
Indikator (KPI)
Butir Borang
AIPT BAN-PT
Satuan untuk Pengukuran KPI
(Mekanisme penilaian dapat mengacu panduan penilaian AIPT BAN PT)
Relevance 1 Mutu Lulusan 3.2.2.1
3.2.2.2
3.1.11
3.1.12
Rata-rata masa studi lulusan. Rata-rata IPK lulusan.
Pencapaian prestasi mahasiswa di tingkat propinsi/ wilayah, nasional, dan internasional.
Upaya institusi untuk meningkatkan prestasi mahasiswa dalam bidang akademik dan
non-akademik.
2 Partisipasi lulusan di dunia kerja
3.2.3
Sistem evaluasi lulusan yang efektif, mencakup kebijakan dan strategi, keberadaan instrumen, monitoring dan evaluasi, serta tindak lanjutnya.
Rasio keberhasilan lulusan sesuai dengan permintaan stakeholder.
Academic Atmosphere
3 Interaksi dosen dan mahasiswa dalam
pembelajaran
3.1.5.1
3.1.6
5.2.2
5.3.2
Rasio jumlah mahasiswa yang diterima terhadap jumlah mahasiswa yang ikut seleksi. Instrumen dan tata cara pengukuran kepuasan mahasiswa terhadap layanan
kemahasiswaan
Sistem pengendalian mutu pembelajaran diterapkan institusi termasuk proses monitoring, evaluasi, dan pemanfaatannya.
Sistem pengembangan suasana akademik yang kondusif bagi pebelajar untuk meraih
prestasi akademik yang maksimal.
4 Keterlibatan mahasiswa dalam
penelitian maupun
publikasi dosen
7.1.2
7.1.5
7.1.6
Jumlah penelitian dosen tetap selama tiga tahun terakhir. Karya dosen dan atau mahasiswa yang berupa paten/hak atas kekayaan intelektual
(HaKI)/karya yang mendapatkan penghargaan tingkat nasional/internasional.
Kebijakan dan upaya perguruan tinggi dalam menjamin keberlanjutan penelitian.
5 Sinergi civitas
akademika dalam
meningkatkan kepakaran
7.2.2
7.2.3
5.2.3
Jumlah kegiatan PkM dosen tetap selama tiga tahun terakhir.
Kebijakan dan upaya perguruan tinggi dalam menjamin keberlanjutan kegiatan PkM.
Pedoman pelaksanaan tridarma perguruan tinggi yang digunakan sebagai acuan bagi perencanaan dan pelaksanaan program tridarma unit dibawahnya, menjamin
terintegrasinya kegiatan penelitian dan PkM ke dalam proses pembelajaran.
6 Prestasi civitas
akademika 7.1.3
7.3.1
7.3.2
7.3.3
Jumlah artikel ilmiah yang dihasilkan oleh dosen tetap dalam tiga tahun terakhir.
Kebijakan, pengelolaan, dan monev oleh perguruan tinggi dalam kegiatan kerjasama untuk menjamin empat aspek berikut:
a. mutu kegiatan kerjasama, b. relevansi kegiatan kerjasama,
c. produktivitas kegiatan kerjasama,
d. keberlanjutan kegiatan kerjasama. Kegiatan kerjasama dengan instansi di dalam negeri dalam tiga tahun terakhir.
Kegiatan kerjasama dengan instansi di luar negeri dalam tiga tahun terakhir.
Internal
Management
7 Efektivitas tata
kelola 1.1
1.2
2.2
Kejelasan, kerealistikan, dan keterkaitan antar visi, misi, tujuan, dan sasaran Pengelola
Politeknik Strategi pencapaian sasaran dengan rentang waktu yang jelas dan didukung oleh
dokumen.
Karakteristik kepemimpinan yang efektif dalam kepemimpinan operasional, kepemimpinan organisasi, dan kepemimpinan publik.
8 Adanya system
pengendalian
internal dalam peng-
gunaan sumber daya
2.1 Perguruan tinggi memiliki tata pamong yang memungkinkan terlaksananya secara
konsisten prinsip-prinsip tata pamong, terutama yang terkait dengan pelaku tata
pamong (aktor) dan sistem ketatapamongan yang baik (kelembagaan, instrumen,
perangkat pendukung, kebijakan dan peraturan, serta kode etik).
9 Adanya mekanisme
dan perencanaan sumber daya yang
transparan
2.3.1
2.3.2
Sistem pengelolaan fungsional dan operasional perguruan tinggi mencakup fungsi
pengelolaan (planning, organizing, staffing, leading, dan controlling), yang dilaksanakan secara efektif untuk mewujudkan visi dan melaksanakan misi PT.
Perguruan tinggi memiliki analisis jabatan, deskripsi tugas, program peningkatan
kompetensi manajerial yang menjamin terjadinya proses pengelolaan yang efektif dan efisien di setiap unit kerja.
10 Tersedianya system
dan prosedur mutu bagi pelaksanaan
proses bisnis
organisasi yang transparan dan
akuntabel
2.4
2.3.4
2.3.5
Sistem penjaminan mutu perguruan tinggi yang mencakup kebijakan dan perangkat,
implementasi, monitoring dan evaluasi, serta tindak lanjutnya. Keberadaan dan keefektifan sistem audit internal, dilengkapi dengan kriteria dan
instrumen penilaian serta menggunakannya untuk mengukur kinerja setiap unit kerja,
serta diseminasi hasilnya. Keberadaan dan keefektifan sistem audit eksternal, dilengkapi dengan kriteria dan
instrumen penilaian serta menggunakannya untuk mengukur kinerja perguruan tinggi.
Sustainability 11 Sosialisasi dan pemahaman Visi
dan Misi Institusi
1.3 Sosialisasi visi, misi, tujuan, sasaran dan strategi pencapaian dan penggunaannya sebagai acuan dalam penyusunan rencana kerja institusi PT.
12 Efektivitas
penggunaan sumber daya keuangan
6.1.1
6.1.2
6.1.4
Dokumen pengelolaan dana yang mencakup perencanaan penerimaan, pengalokasian,
pelaporan, audit, monitoring dan evaluasi, serta pertanggungjawaban kepada pemangku kepentingan.
Mekanisme penetapan biaya pendidikan mahasiswa dengan mengikutsertakan semua
pemangku kepentingan internal. Persentase dana perguruan tinggi yang berasal dari mahasiswa (SPP dan dana lainnya)
IRWNS 2013
171
Objective No Key Performance
Indikator (KPI)
Butir Borang
AIPT BAN-PT
Satuan untuk Pengukuran KPI
(Mekanisme penilaian dapat mengacu panduan penilaian AIPT BAN PT)
6.1.6
6.1.7
6.1.8
Dana penelitian dalam tiga tahun terakhir.
Dana yang diperoleh dalam rangka pelayanan/pengabdian kepada masyarakat dalam tiga tahun terakhir.
Sistem monitoring dan evaluasi pendanaan internal untuk pemanfaatan dana yang lebih
efektif. transparan dan memenuhi aturan keuangan yang berlaku.
13 Efektivitas penggunaan sarana
dan prasarana pembelajaran
6.2.1
6.2.3
Sistem pengelolaan prasarana dan sarana berupa kebijakan, peraturan, dan pedoman/panduan untuk aspek:
(1) Pengembangan dan pencatatan, (2) Penetapan penggunaan, (3) Keamanan dan keselamatan penggunaan,
(4) Pemeliharaan/ perbaikan/kebersihan.
Kecukupan dan mutu prasarana yang dikelola perguruan tinggi.
14 Efektivitas
pengalokasian dan
pelibatan staf dalam
program Politeknik
4.1
Perguruan tinggi memiliki sistem pengelolaan sumber daya manusia yang mencakup
sub-sub sistem perencanaan, rekrutmen dan seleksi, orientasi dan penempatan
pegawai, pengembangan karir, penghargaan dan sanksi, remunerasi, pemberhentian
pegawai, yang transparan dan akuntabel berbasis pada meritokrasi, keadilan, dan kesejahteraan.
Efficiency 15 Penghematan
pemanfaatan sumber daya
2.1.2
6.2.7
6.3.1
6.3.2
6.3.3
6.3.4
Kelengkapan dan keefektifan struktur organisasi yang disesuaikan dengan kebutuhan
penyelenggaraan dan pengembangan perguruan tinggi yang bermutu. Penyediaan prasarana dan sarana pembelajaran terpusat untuk mendukung interaksi
akademik antara mahasiswa, dosen, pakar, dan nara sumber lainnya dalam kegiatan-
kegiatan pembelajaran dan aksesibilitasnya. Sistem informasi dan fasilitas yang digunakan perguruan tinggi dalam proses
pembelajaran.
Sistem informasi dan fasilitas yang digunakan perguruan tinggi dalam administrasi (akademik dan umum).
Sistem informasi untuk pengelolaan prasarana dan sarana yang transparan, akurat dan
cepat. Sistem pendukung pengambilan keputusan (decision support system) yang lengkap,
efektif, dan obyektif.
16 Produktivitas
Politeknik 5.3.2
4.2
4.6.2
7.3.4
7.3.5
Sistem pengembangan suasana akademik yang kondusif bagi pembelajar untuk meraih
prestasi akademik yang maksimal. Sistem monitoring dan evaluasi, serta rekam jejak kinerja dosen dan tenaga
kependidikan Pelaksanaan survei kepuasan dosen, pustakawan, laboran, teknisi, tenaga administrasi,
dan tenaga pendukung terhadap sistem pengelolaan sumber daya manusia.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan dan hasil kerja sama secara berkala. Manfaat dan kepuasan mitra kerja sama.
IRWNS 2013
172
Dengan memperhatikan dinamika data strategi objective,
KPI, target maupun realisasi kinerja dalam pengelolaan
Politeknik, maka pemodelan basis data hendaknya dapat
merepresentasikan kebutuhan proses yang diuraikan dalam
fungsi utama prototype aplikasi. Pemodelan data
konseptual diawali dengan melakukan identifikasi beberapa
entitas/object data yang akan dijadikan tempat
penyimpanan data. Entity-set tersebut dimodelkan
menggunakan 3 kelompok entity set berikut:
Referensi (penamaan diawali huruf R_) untuk
menunjukan Entity data acuan;
Master (penamaan diawali huruf M_) untuk
menunjukan data induk; dan
Transaction (penamaan diawali huruf T_) untuk
menyimpan data transaksi dengan periode modifikasi
data lebih sering dilakukan ;
Kelompok data yang akan diolah terdiri atas object data
berikut :
1. Perspektif pengukuran kinerja;
2. Strategi Objective ;
3. Key Performance Indikator (KPI) beserta;
4. Realisasi pencapaian KPI;
Setelah diperoleh object data di atas, maka dilakukan
pemodelan relationship (keterhubungan) antar object data
yang ada. Dalam memaknai keterhubungan ini diperlukan
adanya minimal dan maksimal keterhubungan anggota
himpunan dari object data untuk menentukan atribut kunci
dari setiap skema relasi pada model data fisik yang
diimplementasikan.
Dalam pemodelan prototype aplikasi pengukuran kinerja
ini, model dinamis yang cukup dominan harus dimodelkan
adalah keberadaan dimensi waktu, berubahnya bobot KPI,
berubahnya perhitungan/formulasi per indicator serta
berubahnya nilai target serta realisasi per indicator.
Kesemua hal tsb membawa dampak yang harus menjadi
pertimbangan pemodelan data yang dilakukan. Penyusun
mengusulkan adanya skema relasi Referensi dan Master
yang menjadi data Induk dari 4 kelompok object di atas,
kemudian aktivasi deskripsi data, serta nilai transaksi
berdasarkan satuan waktu tertentu disimpankan dalam
skema relasi transaksi yang relevan.
Dalam prototype aplikasi juga dimodelkan bahwa entry
data realisasi pengukuran indicator kinerja dientrykan
melalui proses import data sehingga meminimalkan tingkat
kesalahan entry data dan tidak membutuhkan waktu proses
yang lama. Import data dilakukan melalui file bertype CSV
dengan format dan susunan atribut yang dibakukan. Data
hasil proses import akan ditampung dalam skema relasi
bernama T_elementer yang kemudian akan memicu proses
perhitungan per indicator kinerja dengan melibatkan
operasi binary operand sesuai dengan id_kpi dari skema
relasi M_KPI. Hasil dari perhitungan per indicator kinerja
ini akan disimpankan dalam skema relasi T_Realisasi.
Proses evaluasi kinerja organisasi dilakukan dengan
membandingkan target dengan realisasi dari setiap id_KPI
yang telah didefinisikan. Agar hasil evaluasi kinerja
organisasi dapat lebih mudah dipahami, maka prototype
aplikasi akan menampilkan hasil evaluasi dengan
menggunakan unsur pewarnaan yang memaknai tingkat
ketercapaian per indicator yang dimiliki. Dengan demikian
jika ada indicator kinerja yang berada di bawah target maka
akan ditampilkan dalam warna yang mencolok, sehingga
pengambil keputusan diharapkan dapat memonitornya
dengan lebih focus dan seksama. Model data konseptual
dari prototype aplikasi pengukuran kinerja ini digambarkan
dalam gambar 4 di halaman berikut.
Gambar 4: Entity Relationship Diagram Aplikasi Pengukuran Kinerja
IRWNS 2013
173
6. KESIMPULAN
Pemanfaatan teknologi informasi dalam membantu kinerja
organisasi, sudah merupakan kebutuhan yang mendesak
terutama untuk melihat peluang dan informasi dari berbagai
sumber data untuk pengambilan keputusan oleh pihak
manajemen. Evaluasi dalam konteks manajemen terutama
digunakan untuk membantu memilih dan merancang
kegiatan yang akan datang. Evaluasi diperlukan untuk
melihat kesenjangan antara “harapan dan kenyataan”.
Hal yang sangat dipentingkan dalam semua kegiatan
evaluasi adalah kesempurnaan dan keakuratan data.
Evaluasi pada dasarnya merupakan kajian yang merupakan
kegiatan mencari faktor-faktor penyebab timbulnya
permasalahan, bukan hanya sekedar gejala yang tampak di
permukaan. Karena itu evaluasi merupakan kegiatan
diagnostik, menjelaskan interpretasi hasil analisis data dan
kesimpulan.
Dalam pelaksanaan Evaluasi Kinerja Organisasi dapat
dipilih pendekatan dan metode pengukuran yang sesuai
dengan karakteristik dari organisasi yang akan dievaluasi.
Evaluasi kinerja Pengelola Politeknik diawali dengan
memodelkan organisasi sebagai kumpulan elemen yang
saling berinteraksi dalam sebuah system pendidikan tinggi.
Keberadaan elemen internal dan eksternal dalam
pengelolaan Politeknik ditinjau berdasarkan key work
process yang didefinisikan dan mengacu pula model
konseptual model bisnis di lingkungan Perguruan Tinggi.
Strategi DIKTI dalam pengembangan Perguruan Tinggi
melalui RAISE+ masih relevan untuk digunakan sebagai
acuan evaluasi Pengelola Politeknik, dan untuk menentukan
indicator kinerja yang lebih terukur dapat digunakan
mekanisme penilaian untuk akreditasi institusi (AIPT) yang
dikeluarkan oleh Badan Akreditasi Nasional PT (BAN-PT).
Prototype aplikasi pengukuran kinerja organisasi pengelola
Politeknik dikembangkan dengan pendekatan pemrograman
berorientasi object dan pemodelan data relasional yang
mengacu pada requirement aplikasi hasil pemetaan 5
bidang kunci prestasi PT dengan borang AIPT BAN – PT.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Arie Halachmi, Geert Bouckaert, “Organizational
Performance and Measurement in the Public
Sector:Toward Service, Effort, and Accomplishment
Reporting”, Greenwood Publishing Group, 1996.
[2] Chakravarthy, B. S., "Measuring strategic
performance.", Strategic Management Journal 7: 437-
458, 1986.
[3] Dr. Miller's, “Assessing Organizational Performance
in Higher Education”, San Francisco, Jossey-Bass,
2007.
[4] http://alisadikinwear.wordpress.com/2012/05/
13/evaluasi-kinerja-organisasi/ , diakses pada tgl 7
Maret 2013;
[5] DIKTI (Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi,
Departemen Pendidikan Nasional), “Panduan
Penyusunan Proposal Program Hibah Kompetisi”,
April 2005, hal 3-4.
[6] AKRAM, AN, “Pre-post performance assessment of
privatization process in Pakistan”, International
Review of Business, vol. 5, pp. 70-86., 2009.
[7] Atkinson, A. A., J. H. Waterhouse and R. B. Wells, "A
stakeholder approach to strategic performance
measurement." , Sloan Management Review Spring:
25-37,1997.
IRWNS 2013
174
Pemrosesan Paralel Pada Model Komputasi Dokumen Ilmiah Elektronik
Setiadi Rachmat, Urip T. Setijohatmo
Jurusan Teknik Komputer dan Informatika, Politeknik Negeri Bandung, Bandung 40012
E-mail : {setiadi,urip}@jtk.polban.ac.id
ABSTRAK
Telah bermunculan search engine baru atau optimasinya untuk mengantisipasi pertumbuhan jumlah dokumen pada Web
memungkinkan setiap orang untuk memperoleh informasi dalam bentuk dokumen elektronik lebih banyak. Untuk suatu koleksi
hasil pengumpulan dokumen berupa perpustakaan artikel ilmiah elektronik yang terdistribusi dibutuhkan search engine di
lingkungan intranet. Namun masih minimnya search engine di lingkungan intranet menjadi kendala dimana arsitekturnya dan
kebutuhannya berbeda dengan Web, sehingga memanfaatkan search engine untuk Web tidak efektif bila diimplementasikan di
lingkungan intranet. Pada perkembangan lainnya, teknologi perangkat keras sudah mencapai kemampuan sebuah desktop
dengan multicore. Dengan computing power yang semakin besar maka kebutuhan komputasi yang besar dapat dilakukan
secara paralel memanfaatkan multicore tersebut. Penelitian ini merupakan pengembangan search engine di lingkungan
intranet, khususnya meningkatkan kinerja dari perangkat lunak menjadi Sistem Layanan Dokumen yang berkemampuan
pemrosesan secara paralel menggunakan server multicore rakitan. Walaupun pada penelitian ini belum secara penuh
mendukung pemrosesan paralel namun merupakan langkah awal dimana pemrosesan paralel dilakukan terhadap model
pemrosesan yang mewakili prinsip komputasi sub proses yang berpotensi bottleneck yang memperlambat kinerja proses.
Penelitian ini telah menghasilkan suatu arsitektur perangkat keras server rakitan yang berkemampuan pemrosesan paralel
menggunakan middleware MPI (Message Passing Interface) dengan model komputasi paralel SPMD (Single Program
Multiple Data). Telah pula teridentifikasi bottleneck dan potensi pengembangan secara paralel dan diputuskan pemodelan
berupa perhitungan perkalian matrix. Percobaan telah dilakukan pada server hasil rakitan untuk menguji apakah hasil
pembangunan benar dengan kasus menghitung Phi. Adapun algoritma perkalian matrix paralel yang digunakan adalah shift-
and-compute dengan asumsi n berukuran perfect square.
Kata Kunci
Pemrosesan paralel, SPMD, message passing, MPI, multicore
1. PENDAHULUAN
Keberadaan World Wide Web merepresentasikan era
informasi. Menurut [2] lautan informasi ini mengandung
2.3 milyar dokumen digital dan para analis memprediksi
jumlah dokumen pada Web akan berkembang delapan kali
pada tahun 2000 - dan 100 kali pada dekade berikutnya. Hal
tersebut mendapat tanggapan dari peneliti Teknologi
Informasi (IT) dengan melakukan banyak penelitian yang
bertujuan untuk mengoptimalisasi search engine agar dapat
memperoleh suatu informasi yang tepat dan sesuai dengan
kebutuhan seseorang dari jumlah dokumen yang banyak.
Telah bermunculan search engine baru atau optimasinya
untuk mengantisipasi pertumbuhan jumlah dokumen pada
Web [3]. Kombinasi dari dua hal tersebut memungkinkan
setiap orang untuk memperoleh informasi dalam bentuk
dokumen elektronik sebanyak-banyaknya. Masalahnya
adalah semakin banyaknya dokumen yang terkumpul
(disimpan pada offline/standalone komputer atau intranet)
bukan berarti semakin mudah orang tersebut me-
retrieve/mendapatkan kembali dokumen yang dibutuhkan,
tetapi justru akan berdampak pada sulitnya pencarian
informasi yang spesifik pada suatu dokumen. Hal ini
disebabkan oleh masih minimnya search engine di
lingkungan offline/standalone dan intranet, dimana
arsitekturnya dan kebutuhannya berbeda dengan Web [4].
Sehingga memanfaatkan search engine untuk Web tidak
efektif bila diimplementasikan untuk lingkungan
offline/standalone dan intranet.
Pada perkembangan lainnya, teknologi perangkat keras
sudah mencapai kemampuan sebuah desktop dengan
multicore. Dengan kemampuan komputasi yang semakin
besar maka kebutuhan komputasi yang besar dapat
dilakukan secara paralel memanfaatkan multicore tersebut.
Kendala yang muncul adalah masih mahalnya harga
komputer dengan spesifikasi ini. Kendala ini dapat
ditangani dengan merakit sendiri komputer server ber-
arsitektur beberapa prosesor serial tunggal berkemampuan
pemrosesan paralel.
Atas dasar hal-hal tersebut, dapat dikembangkan suatu
mekanisme layanan dokumen dalam lingkungan intranet
yang berkemampuan pemrosesan paralel terdistribusi
menggunakan perangkat keras server komputasi rakitan.
IRWNS 2013
175
2. TINJAUAN PUSTAKA
Pada bagian ini akan dijabarkan pustaka-pustaka yang
relevan dengan penyelesaian masalah penelitian yang
dikelompokkan sebagai berikut:
Kebutuhan Search Engine
Seperti yang dijelaskan pada [2], dunia mengalami
pertumbuhan eksponensial informasi digital.
Pertumbuhan informasi ini didorong oleh percepatan
adopsi teknologi digital. Tumpukan statistik dari
berbagai sumber berbagi tema umum yaitu tingkat
pertumbuhan untuk informasi digital tak terbantahkan
dan sangat tinggi. Pada tahun 1995, lebih dari 90% dari
dokumen itu dalam bentuk kertas. Selama beberapa
tahun terakhir, bagaimanapun, telah terjadi penurunan
signifikan dalam jumlah dokumen kertas saja. Pada
tahun 2005, para analis memprediksi bahwa hanya 30%
dari dokumen akan tetap di atas kertas. Tren yang jelas
adalah bahwa hampir semua informasi dalam dunia
bisnis saat ini dimanipulasi, dimodifikasi, diproduksi
dan pindah dalam bentuk digital.
Sementara itu suatu statistik lain yang dipaparkan pada
[8] menyatakan bahwa sebuah studi yang dirilis baru-
baru ini mengkuantifikasi seberapa cepat alam semesta
digital berkembang.
Informasi dunia dua kali lipat setiap dua tahun, dengan
menakjubkan 1,8 zettabytes diciptakan dan direplikasi
pada tahun 2011, menurut IDC. Jumlah tersebut adalah
menyatakan informasi yang besar - sama dengan 1,8
triliun gigabyte tersimpan dalam 500 file kuadriliun.
Lautan informasi seperti itu membutuhkan dukungan
search engine. Seperti yang dijelaskan pada [3]
bermunculan search engine baru atau optimasinya untuk
mengantisipasi pertumbuhan jumlah dokumen pada
Web. Bahkan bermunculan organisasi yang membantu
pertumbuhan pemasaran mesin pencari.
Pengembangan Search Engine yang ada di
lingkungan Intranet [4]
Dengan fasilitas internet, setiap orang biasanya
mendapatkan dokumen yang dicarinya dengan cara
googling dan mengunduh yang kemudian dokumen
sebagai hasilnya disimpan masing-masing.
Masalahnya adalah semakin banyaknya dokumen
yang terkumpul (disimpan pada offline/standalone
komputer atau intranet) bukan berarti semakin
mudah orang tersebut me-retrieve/mendapatkan
kembali dokumen yang dibutuhkan, tetapi justru
akan berdampak pada sulitnya pencarian informasi
yang spesifik pada suatu dokumen. Hal ini
disebabkan oleh masih minimnya search engine di
lingkungan offline/standalone dan intranet, dimana
arsitekturnya dan kebutuhannya berbeda dengan
Web [9]. Sehingga memanfaatkan search engine
untuk Web tidak efektif bila diimplementasikan
untuk lingkungan offline/standalone dan intranet.
Sedangkan pada [4] membandingkan kinerja Google
dengan layanan basis data perpustakaan.
Perangkat Lunak Sistem Manajemen Dokumen yang
ada
Perangkat lunak System Manajemen Dokumen yang
ada [1] telah mencakup semua proses mulai dari
Akuisisi, Ekstraksi, Penyimpanan dan Retrieval,
namun dirasakan kinerjanya masih terbatas sehingga
perlu dikembangkan suatu system yang mampu
memaksimalkan resources yang dipunyai, multi
pemroses dan terdistribusi. Untuk kebutuhan
penelitian yang sedang dilakukan, perlu dianalisis
lebih detil perilaku semua sub proses sehingga selain
akan ditemukan hal-hal yang memperlambat kinerja,
juga pemilihan model proses paralel dalam
memanfaatkan semua resources
Tools Message Passing Interface MPI.
Semua program MPI harus mengikuti struktur
umum seperti berikut:
- Include MPI header file
- Deklarasi variabel
- Inisialisasi lingkungan MPI
- Melakukan komputasi dan pemanggilan komunikasi
MPI
- Menutup komunikasi MPI
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Analisis Kebutuhan Secara Umum
Dokumen yang menjadi perhatian merupakan dokumen
penelitian berformat pdf. Dengan fasilitas internet, dosen
setiap jurusan mendapatkan dokumen yang dicarinya
dengan cara googling dan mengunduh yang kemudian
dokumen sebagai hasilnya disimpan masing-masing.
Pembaca dokumen biasanya mengamati abstrak untuk
memastikan isinya sesuai atau tidak dengan yang dicarinya.
Bila sesuai dokumen dibaca, dan bila belum puas pembaca
ini akan mencari dokumen yang mirip. Intensitas yang
tinggi mengakibatkan penumpukan dokumen yang tidak
efisien, pengaksesan kembali yang sulit, dan sharing yang
belum dimungkinkan. Dari uraian di atas beberapa hal
requirement adalah sebagai berikut:
Ekstraksi dokumen penelitian. Ekstraksi adalah
mendapatkan kata/term yang terkandung dalam
dokumen. Selain memperhatikan aturan pembentukan
kata, juga section sebagai pemisah isi sebagai aturan
format penelitian.
Penyediaan mekanisme penyimpanan data yang
menghindari duplikasi, kemudahan akses dan
IRWNS 2013
176
memungkinkan sharing tanpa harus mengetahui posisi
fisik dokumen.
Penyediaan kemampuan (fitur) menentukan relevansi
terms pada dokumen dokumen.
Penyediaan kemampuan menentukan kemiripan
dokumen.
Penyediaan kemampuan query mendapatkan dokumen
sesuai istilah (terms) yang diinginkan.
Penyediaan kemampuan query mendapatkan dokumen
yang mirip dengan dokumen tertentu.
Gambar 1: Kebutuhan Sistem Pemrosesan Dokumen
3.2 Identifikasi Bottleneck dan Potensi Pemrosesan
Paralel
Proses yang terlibat adalah ekstraksi dari dokumen pdf
menjadi term-term, lalu proses membentuk inverted index,
dilanjutkan dengan proses menghitung bobot term dan
similaritas dokumen dan akhirnya adalah pemrosesan query
relevan dengan term query dan query dokumen yang mirip.
Gambar 2: Subsistem Ekstraksi Dokumen
Proses Ekstraksi Dokumen
Masalah ekstraksi terdiri dari beberapa subproses, yaitu:
tokenizing, verifikasi stopword dan stemming. Tujuan
dilakukannya parsing atau tepatnya tokenizing ini adalah
untuk mendapatkan term-term yang nantinya akan diindeks.
Sub proses Membaca Abstrak memproses sekitar 100
dokumen untuk masing-masing unit. Seperti diketahui
dalam mekanisme layanan dokumen setiap unit dipasang
satu server, sehingga setiap hari masing-masing unit
memproses hanya sekitar 100 yang diproses secara
bersamaan. Untuk cek double masing-masing dari 100
dokumen tersebut akan dicari padanannya pada basis data
berukuran ratusan ribu dokumen dimana bila ditemukan
berarti terdeteksi duplikasi (dokumen sudah ada). Proses ini
bila hanya menggunakan cek double membandingkan
abstrak saja hanya dapat dijalankan secara sequential satu
persatu setiap dokmen yang di-load dan dibandingkan
dengan ratusan ribu dokumen pada basis data. Maka sub
proses ini teridentifikasi merupakan bottleneck. Walaupun
untuk pengembangan yang sebenarnya subproses ini
berpotensi diperlakukan secara paralel dengan prinsip
SPMD (single program multiple data) dimana data dibagi
menjadi beberapa kumpulan yang setiap kumpulan diassign
subproses ini pada core tertentu menggunakan multiproses),
Dengan penambahan mekanisme cek double yang
dikembangkan sedemikian rupa (misal dari file size dan
penggunaan multithread pada multicore) secara signifikan
akan menaikkan kinerja system layanan dokumen.
Pada setiap server sub proses tokenizing, stemming, dan
filtering masing-masing memproses sekitar 100 dokumen
yang masing-masing mengandung rata-rata 7000-an term
sehari. Subproses tokenizing, stemming, dan filtering dapat
diperlakukan menggunakan multithread sehingga bukan
merupakan bottleneck (walaupun bisa dikembangkan
dengan memperlakukan sub proses ini secara paralel)
sehingga bukan termasuk kajian penelitian ini.
Sedangkan pada proses pembentukan Inverted Index,
ketika suatu term hasil tokenizing ingin didaftarkan pada
inverted index akan dicek terlebih dahulu sudah adakah di
daftar termnya. Kalau belum, daftarkan dan menetapkan
jumlah=1, bila sudah, jumlah term pada dokumen yang
dimaksud bertambah satu. Seperti diketahui, jumlah term
dalam suatu dokumen adalah banyak, dengan jumlah
dokumen yang bertambah maka jumlah term menjadi
semakin banyak pula. Untuk mempercepat proses tersebut
di atas dibutuhkan penstrukturan inverted index
menggunakan mekanisme pengindeksan. Dan untuk
keperluan ini digunakan binary search tree (BST).
Subproses ini dilakukan di server komputasi dan
merupakan langkah persiapan untuk menghitung bobot
dengan metode TF/IDF(term frequency–inverse document
frequency) dan similaritas dokumen dengan metode
LSA(Latent Semantic Analysis). Server komputasi
menerima kiriman dari setiap server lain dan
mengakumulasinya pada matrik term-dokumen yang
berstruktur inverted index. Subproses ini setiap
mengakumulasi worstcase adalah mendaftarkan (10) x(100
x 7000) term kedalam inverted index, dan ukuran tersebut
cukup besar sehingga berpotensi menjadi bottleneck. Oleh
karena itu sub proses ini diperlakukan sebagai pemrosesan
paralel dan termasuk kajian penelitian.
Proses Pembobotan Term dibutuhkan dalam menentukan
peringkat dokumen (document ranking) – pada operasi
pembobotan dokumen, dimana hal itu dilakukan untuk
mencari besarnya relevansi antara dokumen dengan query.
IRWNS 2013
177
Metode pembobotan term yang digunakan pada[4] adalah
TF-IDF. Bobot TF–IDF adalah suatu bobot yang sering
digunakan dalam information retrieval dan text mining.
Adapun rumus umum dari TF-IDF adalah sebagai berikut :
Wij = tfij × logN
n + 1 (1)
dimana
𝑊𝑖𝑗 = bobot kata term 𝑡𝑗 terhadap dokumen 𝑑𝑖
𝑡𝑓𝑖𝑗 = jumlah kemunculan kata / term 𝑡𝑗 dalam 𝑑𝑖
N = jumlah semua dokumen yang ada
n = jumlah dokumen yang mengandung kata / term 𝑡𝑗
Dari ilustrasi diperoleh kesimpulan bahwa sub proses ini
memerlukan dukungan mekanisme pemrosan paralel karena
akan memproses sel sejumlah sangat besar sel bobot. Oleh
karena itu sub proses hitung bobot dengan metode TF/IDF
berpotensi bottleneck dan memerlukan dukungan
mekanisme pemrosesan paralel. Lebih jauh menurut [8],
terdapat beberapa metode perhitungan similaritas semantik
dokumen. Salah satu dari metode yang ditinjau adalah LSA.
LSA melakukan singular value decomposition (SVD)
terhadap matrik yang sudah dibentuk. Matrik yang
direpresentasikan menggunakan SVD akan diuraikan
menjadi 3 (tiga) komponen matrik, yaitu matrik vektor
singular kiri, martik nilai singular, dan matrik vektor
singular kanan atau dapat dirumuskan sebagai berikut:
𝐴𝑚𝑛 = 𝑈𝑚𝑚 ∙ 𝑆𝑚𝑛 ∙ 𝑉𝑛𝑛𝑇 (2)
Salah satu keperluan penggunaan SVD yaitu dibutuhkan
pada pencarian nilai similarity untuk term dan dokumen
yang dilakukan melalui perkalian matrik U, S dan VT hasil
reduksi. Vektor baris digunakan untuk mencari nilai
similarity term dan vektor kolom untuk similarity dokumen.
Untuk pencarian dokumen similarity mengalikan matrik V
dengan S (V∙S) dan perhitungan vektor barisnya sebagai
nilai similaritynya. Sama seperti yang diilustrasikan pada
subproses pembobotan dengan TF/IDF, sub proses
menghitung similaritas dokumen ini berpotensi bottleneck
dan memerlukan dukungan mekanisme pemrosesan paralel.
Pada pemrosesan query, dua subproses yaitu pemrosesan
query relevansi dokumen mendapatkan dokumen yang
relevan dan query similaritas dokumen telah dijalankan
secara terdistribusi dan walaupun dapat dikembangkan
dengan dukungan mekanisme pemrosesan query, namun
bukan termasuk kajian penelitian ini karena bukan
merupakan bottleneck dimana mekanisme akses sudah
memanfaatkan dukungan indexing pada basis data dan
pemrosesan terdistribusi.
3.3 Pemodelan dan Spesifikasi Perilaku Komputasi
Paralel
Seperti yang telah dideskripsikan pada bagian sebelumnya
potensi dukungan mekanisme komputasi paralel diputuskan
dilakukan pada subproses pembentukan inverted index,
subproses menghitung bobot dengan metode TF/IDF dan
menghitung similaritas dokumen. Pemodelan yang
diputuskan adalah paralelisasi perkalian matrik dalam
rangka perhitungan SVD. Adapun arsitektur umum desain
sistem akan terdiri dari beberapa server yang masing-
masing mempunyai beberapa tugas berbeda (distributed
specific jobs) dengan komunikasi antar proses
menggunakan middleware ICE dan MPI.
Gambar 3: Arsitektur Umum
Arsitektur khusus yang menjadi kajian penelitian ini tidak
termasuk ICE di dalamnya. Secara pemrosesan non paralel,
ICE sudah digunakan jadi tidak akan dibahas lebih lanjut.
Dengan perkataan lain fokus penelitian ada pada Server
komputasi dimana kajian arsitektur perangkat lunak hanya
memperhatikan middleware MPI saja. Perangkat keras
dikomposisi dari 16 Core yang terhubung dengan bus.
Masing-masing CPU mempunyai memori lokal.
Server Komputasi
Gambar 4: Arsitektur Kajian
Gambar 5: Server Rakitan
Algoritma Paralel Perkalian Matrik
nloop=sqrt(n)
//Initial alignments
Baris ke i s/d n digeser kekiri sebanyak baris ke
Kolom ke i s/d n digeser keatas sebanyak kolom ke
IRWNS 2013
178
//Lakukan perkalian matrix
for(int i=0; i<nloop; i++) do begin
for(int j=0; j<nloop; j++) do begin
C2[i][j]=new Matrx(nloop);
C2[i][j].isi=PerkalianMatrix(A[i][j].isi,B[i][j].isi,nloop);
C[i][j].isi=PertambahanMatrix(C[i][j].isi,C2[i][j].isi, nloop);
endfor
endfor
// Alignment penggeseran selanjutnya dan perkalian matrik dilakukan
sebanyak sqrt(n)-1
for(int lup=1; lup<nloop; lup++) do begin
Setiap Baris Matrix A semua kolom digeser kekiri
Setiap Kolom Matrix B semua baris digeser keatas
// Lakukan perkalian matrix
for(int i=0; i<nloop; i++) do begin
for(int j=0; j<nloop; j++) do begin
C2[i][j]=new Matrx(nloop);
C2[i][j].isi=PerkalianMatrix(A[i][j].isi,B[i][j].isi,nloop);
C[i][j].isi=PertambahanMatrix(C[i][j].isi,C2[i][j].isi,
nloop);
endfor
endfor
endfor
3.4 Percobaan
Seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya,
model komputasi yang mewakili Sistem Layanan Dokumen
adalah pemrosesan matrik. Di sisi lain arsitektur komputer
rakitan paralel memiliki secara instrinsik kemampuan
bermodel SPMD. Oleh karena itu rancangan pengujian
yang akan dicobakan adalah berkenaan dengan operasi pada
matrik secara SPMD.
Rancangan Percobaan dan Hasil Percobaan
Pada perhitungan SVD terdapat perkalian suatu matrik 𝐴
dengan transposenya AT dan antara suatu matrik 𝐴 dengan
suatu matrik lain B. Sesuai dengan perkiraan jumlah rata-
rata pertambahan dokumen unik per unit setiap hari 10,
jumlah unit=5, dengan jumlah term unik masing-masing
dokumen=500, maka total pertambahan dokumen 50 dan
jumlah pertambahan term 25.000. Dari sisi perangkat keras
perlu diketahui sampai seberapa signifikan pertambahan
jumlah CPU mempengaruhi kinerja komputasi.
Untuk pengujian mesin server rakitan apakah dapat berjalan
normal, dilakukan dengan menggunakan perhitungan phi
pada 16 processor element (PE).
Gambar 6: Hasil Percobaan perhitungan phi dengan 16 PE
Dari hasil percobaan diketahui bahwa mesin server rakitan
berjalan sebagaimana yang direncanakan.
4. KESIMPULAN
Penelitian ini merupakan perbaikan kinerja waktu
pemrosesan dokumen dari penelitian sebelumnya [1] pada
server komputasi dari server tunggal menjadi multicore
berkemampuan pemrosesan paralel. Telah diimplementasi
perhitungan phi secara paralel dan perkalian matrix
berdimensi perfect square sebagai percobaan.
Permasalahan menghitung phi secara paralel adalah standar
yang biasa dilakukan sedangkan permasalahan perkalian
matrik dipilih untuk mewakili model komputasi dari
perhitungan pada server komputasi[1]. Pencapaian
penelitian saat ini adalah telah dilakukannya penyusunan
algoritma komputasi paralel, berhasil merakit dan
memverifikasi mesin paralel yang akan digunakan sebagai
server komputasi. Target selanjutnya adalah implementasi
algoritma komputasi paralel pada server komputasi.
UCAPAN TERIMA KASIH
Sebagai ucapan terima kasih kami tujukan kepada pihak
UPPM yang telah menjembatani terlaksananya penelitian
ini, juga rekan dosen atas atmosfir penelitian yang
menginspirasi.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Urip T Setijohatmo, Setiadi Rachmat, Irwan Setiawan ,
Sistem Manajemen Dokumen: Pengorganisasian dan
Temu Kembali Dokumen Artikel Ilmiah Elektronik,
Proceeding Industrial Research Workshop dan Seminar
Nasional Sains Terapan (IRWNS) 2010, Politeknik
Negeri Bandung, Nopember 2010.
[2] [http://www.tdan.com/ view-articles/4917, 23 Maret
2013.
[3] http://www.articlesbase.com/business- articles/ sempo-
search-engine-marketing-301029.html, 23 Maret 2013.
[4] Jan Brophy, David Bawden, (2005) "Is Google enough?
Comparison of an internet search engine with academic
IRWNS 2013
179
library resources", Aslib Proceedings, Vol. 57 Iss: 6,
pp.498 - 512
[5] Brandon Pincombe, Comparison of human and latent
semantic analysis (LSA) judgments of pairwise
document similarities for a news corpus, Defence
Science and Technology Organisation Research Report
DSTO–RR–0278, 2004.
[6] Lee M. D., Pincombe B., & Welsh M., An empirical
evaluation of models of text document similarity, 27th
Annual Meeting of the Cognitive Science Society, 2005
[7] Thomas Hofmann, Information Retrieval- Retrieval
Models, Lecture 5 – October 24th, 2007.
[8] http://www.infodocket.com/2011/06/28/statistics-daily-
deluge-of-digital-data-expected-to-get-even-worse/, 2
September 2013.
[9] http://www.nngroup.com/articles/the-difference-
between-intranet-and-internet-design/, 23 Maret 2013.
IRWNS 2013
180
Analisis Performansi Marmoset Untuk Penilaian Pemrograman
Joe Lian Min, Ani Rahmani, dan Bambang Wisnuadhi
Jurusan Teknik Komputer dan Informatika, Politeknik Negeri Bandung,Bandung 40012
E-mail : [email protected], [email protected], [email protected]
ABSTRAK
Teknologi autograding saat ini telah berkembang, khususnya digunakan dalam kompetisi pemrograman. Marmoset
merupakan sistem autograding open source, yang telah digunakan di Maryland University untuk mendukung pengajaran
pemrograman. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui performansi konfigurasi server, jika Marmoset digunakan untuk
menilai sejumlah program dari sejumlah user secara otomatis, untuk jenis soal yang didefinisikan. Telaah performansi suatu
konfigurasi server perlu dilakukan agar implementasi sistem autograding dapat stabil untuk mengeksekusi sejumlah program.
Diharapkan, dengan mengetahui performansi sebuah konfigurasi, dapat dimanfaatkan untuk menyiapkan instrumen
pembelajaran pemrograman secara formal, maupun latihan untuk persiapan kompetisi. Soal untuk uji coba digunakan 3
program, yang tipikal digunakan dalam pengajaran pemrograman dasar. Uji coba dilakukan dengan melibatkan 50-500 user.
Analisis performansi difokuskan untuk melihat respon time pada setiap konfigurasi. Hardware untuk uji coba digunakan 1
komputer sebagai submit server (untuk menerima) dan 3 komputer build server (untuk mengeksekusi). Komputer yang
difungsikan sebagai build server, dapat menjalankan 2 proses build server. Kesimpulan dari penelitian ini adalah terjadi
penurunan respon time yang besar ketika jumlah user bertambah disebabkan oleh overhead yang diakibatkan oleh submit
server dan/atau build server. Penurunan performansi terjadi lebih besar pada konfigurasi 6 build server dibanding dengan 2
build server. Hal ini disebabkan karena request job dari build server meningkat, sehingga respon time dari submit server
menurun secara signifikan.
Kata Kunci
Teknologi autograding, submit server, build server, pemrograman, analisis performansi, respon time
1. PENDAHULUAN
Aktivitas pemrograman, di samping merupakan aktivitas
wajib bagi pelajar / mahasiswa bidang Teknologi Informasi
(TI), kini telah memiliki makna “entertain” tersendiri, yang
mampu menyedot perhatian masyarakat. Berbagai event
diselenggarakan dalam rangka menumbuhkan minat
masyarakat dalam dunia pemrograman.
Pemrograman merupakan aktifitas intelektual yang
kompleks dan merupakan keterampilan utama bagi
mahasiswa tahun pertama bidang TI [1]. Memiliki skill
motorik dan praktis pemrograman sama pentingnya dengan
pemaham-an terhadap konsep, karena pemrograman
merupakan keterampilan intelektual yang menun-tut
keseimbangan teori dan praktis. Pengajaran pemrograman
akan sangat abstrak dan sulit ditangkap jika siswa hanya
dihadapkan pada konsep-konsep tanpa pernah bermain
dengan komputer dan pemroses bahasanya [2].
Untuk menunjang kegiatan pembelajaran dan latihan
pemrograman, diperlukan suatu instrumen yang
mendukung, misalnya dengan adanya sejumlah soal latihan
yang dapat men-drill siswa untuk secara terus menerus dan
mandiri berlatih memrogram. Masalahnya adalah latihan
dan pekerjaan siswa perlu dievaluasi, karena salah satu
aspek pengajaran adalah evaluasi dan penilaian. Suatu
proses penilaian yang baik dan juga cepat perlu dilakukan
untuk merespon pekerjan siswa, sehingga siswa dapat
segera mengetahui kualitas dari program yang telah
dibuatnya. Semakin cepat siswa mengetahui „kesalahan‟
atau „kekurangan‟ dari program yang dibuatnya, semakin
cepat pula siswa dapat memperbaikinya, sehingga solusi
yang diberikan dapat lebih cepat pula disempurnakan.
Namun terdapat masalah dalam penilaian tugas
pemrograman yaitu bahwa proses penilaian bukanlah hal
yang mudah dan sederhana, memerlukan waktu yang tidak
sebentar, serta menuntut dilakukannya tahapan yang
mungkin dapat membosankan yaitu pada saat
mengompilasi dan menguji kebenaran dari program
tersebut [3], serta memberi umpan balik secepat mungkin
terhadap hasil kerja siswa [4].
Sejauh ini, software yang dapat digunakan untuk proses
evaluasi secara otomatis telah banyak beredar dan telah siap
digunakan. Satu permasalahan penting yang diteliti pada
penelitian ini adalah sejauh mana performansi sistem
autograding.
Penelitian ini dilakukan untuk menelaah penerapan tools
autograding Marmoset dalam mengevaluasi sejumlah
program, dengan berbagai sistem konfigurasi hardware.
Untuk uji coba digunakan soal yang tipikal digunakan
dalam pengajaran pemrograman dasar, dan bahasa
pemrograman yang digunakan untuk uji coba adalah bahasa
Java.
IRWNS 2013
181
2. SISTEM MARMOSET
Marmoset adalah framework yang dapat diguna-kan untuk
melakukan penilaian otomatis terhadap program.
Framework ini juga dapat menyimpan tugas yang telah
dikerjakan dan pengajar dapat melihat peningkatan
kemampuan siswa.
Marmoset telah digunakan untuk menguji tugas
pemrograman siswa dan me-reviu source codedi University
of Maryland. Marmoset dapat digunakan untuk beberapa
bahasa pemrograman, dan dirancang untuk bekerja dengan
baik dengan skala proyek kecil maupun besar, hingga
puluhan ribu baris kode.
Alur kerja Marmoset dapat dilihat pada gambar 1 dan
arsitektur Marmoset pada gambar 2. Tujuan dari proyek
Marmoset ada dua yaitu untuk meningkatkan pengalaman
belajar program untuk siswa dan untuk mempelajari
bagaimana siswa belajar program. Dalam memenuhi tujuan
tersebut, Marmoset dapat memberikan keuntung-an yakni
untuk memotivasi siswa serta untuk tujuan pedagogik bagi
pengajar. Secara khusus, Marmoset dapat memberikan
siswa dan pengajar umpan balik awal dalam proses belajar,
sehingga dapat mendorong siswa untuk menggunakan
pengujian untuk menemukan bug dalam program mereka.
Sistem Marmoset juga dapat menangkap snapshot dari
pekerjaan siswa setiap kali mereka menyimpan programnya
[5].
Gambar 1: Mekanisme Marmoset [5]
Kemampuan Marmoset dalam menilai, didasar-kan pada
source code yang di-submit oleh siswa, untuk selanjutnya
diuji berdasarkan input-output menggunakan program
testcase yang telah disiapkan
Marmoset dijalankan di dalam sebuah webserver dan
servlet container yang bernama Apache Tomcat. Untuk
mengakses sistem Marmoset terbagi menjadi 3 user, yaitu
admin, instructor, dan student.
Marmoset memiliki 2 jenis server, yaitu Submit Server dan
Build server. Submit Server berfungsi untuk menerima dan
menyimpan Project atau source code yang di-submit oleh
student, sedangkan Build Server berfungsi untuk build
Project dan test cases dari Project yang akan diujiserta
eksekusi test case(untuk selanjutnya akan disebut job).
Build Server akan secara aktif me-request kepada submit
server sebuah job, kemudian mengeksekusi job itu serta
melaporkan hasil eksekusi job ke submit server.
Gambar 2: Arsitektur Marmoset [5]
3. METODE
Terdapat 6 kegiatan yang dilaksanakan pada penelitian ini,
yaitu penentuan soal untuk studi kasus, eksplorasi
teknologi, pendefinisian jumlah user, pelaksanaan uji coba,
evaluasi terhadap hasil uji coba, dan penarikan kesimpulan.
3.1 Penentuan Program untuk Studi Kasus
Program untuk studi kasus disiapkan 3 buah soal, yang
dipilih atas pertimbangan bahwa soal tersebut sering
dijadikan bahan latihan dalam pengajaran pemrograman
dasar (Tabel 2).
Tabel 2: Karakteristik Program untuk Uji Coba No
Program
Jumlah
modul
Jumlah
pencabangan
Jenis
perulangan
Jumlah
baris
1 1 Tidak bersarang 2
tidak bersarang,
2 blok
33
2 1 Bersarang 1 blok
Bersarang,
1 blok
31
3 3 Tidak
bersarang 2
blok
Bersarang
3 blok
43
Soal untuk uji coba yang digunakan adalah mencari faktor
dari sebuah bilangan (Program-1), membuat deret fibonaci
(Program-2), dan studi kasus sorting dengan bubble,
selection, dan insertion sort (Program-3).
3.2 Eksplorasi Teknologi Marmoset
Teknologi autograding yang digunakan adalah Marmoset.
Kegiatan eksplorasi dilakukan untuk mengenali
kemampuan Marmoset, khususnya dalam melakukan
penilaian terhadap program. Kegiatan eksplorasi, dimulai
dari download software Marmoset, instalasi software pada
serverdan memahami interaksi antara submit server dan
build server.
Karena penelitian difokuskan untuk melihat respon time
Marmoset sebagai server dalam mengeksekusi sejumlah
IRWNS 2013
182
program, maka dilakukan juga eksplorasi untuk mencoba
menggabungkan lebih dari 1 komputer sebagai server.
3.3 Pendefinisian Jumlah User untuk Eksperimen
Jumlah user yang dicobakan dalam eksperimen ini adalah
50, 100, 250, 350, dan 500 user. Pada penelitian ini, user
yang dilibatkan bukan user sesungguhnya melainkan
sebuah program yang mengemulasikan pengguna
sesungguhnya. Penggunaan program emulasi ini untuk
mengefisienkan uji coba dan dipandang tidak akan
memengaruhi kualitas percobaan yang dilakukan.
3.4 Perancangan Konfirgurasi Server
Hardware untuk server digunakan hardware yang tersedia
di Jurusan Teknik Komputer dan Informatika Polban (tidak
digunakan di lab). Beberapa komputer dicoba untuk
digabungkan sehingga menjadi satu set server yang dapat
mengeksekusi sejumlah program. Pengamatan dilakukan
untuk mengetahui waktu eksekusi (respon time) terhadap
sejumlah program, pada setiap program.
Konfigurasi server disesuaikan dengan ketersediaan
hardware yang dapat digunakan. Dalam hal ini ada 4
komputer yang dijadikan server, yakni 1 untuk submit
server, dan 3 untuk
build server. Setiap komputer yang berperan sebagai build
server, difungsikan sebagai 2 build server (sistem
Marmoset memungkinkan lebih dari 1 build server dapat
difungsikan dalam 1 komputer)
Dalam pelaksanaan uji coba, server yang digunakan
memiliki konfigurasi seperti terlihat pada Tabel3. Domain
ss.jtk.polban.ac.id adalah submit server, dan tiga server
lainnya sebagai build server yakni bs1.jtk.polban.ac.id,
bs2.jtk.polban.ac.id, dan bs3.jtk.polban.ac.id.
3. 5 Analisis terhadap Hasil Uji Coba
Pengamatan dilakukan terhadap hasil uji coba. Objek yang
diamati adalah waktu yang diperlukan (respon time) untuk
mengeksekusi seluruh program konfigurasi server yang
digunakan, untuk setiap kategori soal pada setiap kelompok
user.
Tabel 3: Daftar Spesifikasi Server yang Digunakan
No Initial Processor RAM OS Fungsi
1 SS –
(submit server)
Intel Pentium
Dual CPU 1.60GHz
992.9
MiB
ubuntu 11.04
desktop i386
submit
server
2 BS1 (build
server1)
Intel Pentium
Dual CPU
1.60GHz
992.9
MiB
ubuntu 11.04
desktop i386
build
server
3 BS2
(build
server2)
Intel Pentium
Dual CPU
2.80GHz
1.7Gi
B
ubuntu 11.04
desktop i386
build
server
4 BS3
(build server3)
Intel Pentium
Dual CPU 2.80GHz
748M
B
ubuntu 11.04
desktop i386
build
server
4. HASIL DAN DISKUSI
4.1 Hasil Uji Coba
Setiap kali user melakukan submit tugas, Marmoset akan
mencatatkan waktu submit (ts). Pencatatan waktu akan
dilakukan lagi ketika build server menyerahkan hasil
eksekusi(th) kepada submit server. Pada penelitian ini,
respon time diukur dari selisih dua waktu di atas(th-ts).
Perhitungan waktu rata-rata eksesuksi n user dihitung
dengan merata-ratakan respon time dari n user. Hasil
perhitungan waktu rata-rata eksekusi 50-350 user untuk
program-1, program-2, dan program-3, diperlihatkan pada
Tabel 4.
Kolom jumlah user menunjukkan jumlah user yang berhasil
diujicobakan, yaitu dari 50 sampai 350 user.
Pada kolom berikutnya, adalah waktu rata-rata eksekusi
sebuah job Program-1 ketika menggunakan 2 buah BS.
Ketika pengguna berjumlah 50, rata-rata eksekusi Program-
1 pada 2 buah BS adalah 102 detik, sedangkan ketika
menggunakan 6 buah BS, rata-rata waktu eksekusinya
adalah 12 detik. Demikian seterus-nya untuk Program-1,
Program-2 dan Program-3. Adapun kolom Rata-rata adalah
perhitungan rata-rata eksekusi program-1, program-2 dan
program-3 pada 2 BS dan 6 BS.
Pada eksperimen dilakukan juga dengan jumlah user
sebesar 500. Namun sampai 3 jam, proses tidak selesai
(server tidak mampu mengeksekusi hingga waktu 3 jam)
4.2 Analisis
Analisis dibagi menjadi 2 bagian, pertama adalah analisis
performansi pada saat penambahan user dan yang kedua
adalah analisis pembandingan performansi antara 2 dan 4
build server.
Tabel 4: Waktu Eksekusi Autograding 3 Program pada 2
BS dan 6 BS (detik) Jumlah
user Program1 Program2 Program3 Rata-rata
2
BS
6
BS
2
BS
6
BS
2
BS
6
BS 2 BS 6 BS
50 102 12 103 10 82 10 95.67 10.67
100 150 19 175 20 165 19 163.33 19.33
200 289 41 286 43 209 44 261.33 42.67
350 504 109 504 118 273 72 427.00 99.67
4.2.1 Performansi/Stabilitas ketika Penam-bahan User
Analisis ini diawali dengan grafik seperti pada gambar 3
dan 4 yang merupakan representasi tabel 4 dalam bentuk
grafik. Waktu eksekusi program ketika dijalankan secara
stand-alone adalah sekitar 1.5 detik untuk masing-masing
IRWNS 2013
183
program. Analisis waktu eksekusi 50 buah program-1
dengan 6 BS adalah : setiap BS akan mengerjakan 8-9 jobs.
Dari tabel 4 dapat dilihat waktu rata-rata eksekusinya
adalah 12 detik, sehingga waktu total tiap BS bekerja
adalah 8 job * 12 detik/job = 96 detik. Waktu proses
eksekusi antrian dengan n job dan tiap job-nya memerlukan
waktu t merupakan perhitungan jumlah suku ke-n dari deret
aritmatika dengan nilai awal t dan beda t juga. Rumus dari
jumlah suku ke-n deret aritmatika adalah 1/2n(2a+(n-1)b);
n:jumlah suku, a: nilai awal dan b: beda. Dengan
mengaplikasikan rumus ini, didapat nilai waktu proses tiap
job sebesar 2.64 detik. Terlihat ada waktu overhead sebesar
1.14 detik. Dengan cara perhitungan yang sama, ketika 350
job diselesaikan dengan 6 BS, diperoleh waktu overhead
sebesar 2.1 detik. Jika dibandingkan antara 50 job dan 350
job, ada kenaikan waktu overhead sebesar 90%. Jika sistem
stabil, waktu overhead tidak akan berubah banyak. Waktu
overhead ini adalah kontribusi dari submit server dan/atau
build server.
Ketidakstabilan muncul ketika jumlah user 500, ini ditandai
dengan tidak dapat diselesaikannya pengolahan hingga
waktu telah lebih dari 3 jam.
4.2.2 Perbandingan Performansi 2 dan 6 Build Server
Pada gambar 5 ditunjukkan perbandingan rata-rata respon
time 3 program antara 2 build server dan 6 build server.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, tiap komputer build
server menjalankan 2 buah proses build server. Pertama
akan dibahas perbandingan potensi power yang dimiliki
oleh masing-masing konfigurasi. Komputer-komputer yang
digunakan pada eksperimen ini adalah Intel Pentium Dual
Core dengan 2 jenis clock, yaitu 1.6GHz dan 2.8GHz dan
besaran RAM yang berbeda-beda namun semuanya lebih
besar dari 512MByte. Mengingat 2 buah build server
memakan sekitar 100Mbyte, perbedaan besaran RAM
diabaikan. Pada konfigurasi 2 build server, komputer yang
digunakan adalah 1 komputer yang 1.6 GHz, sedangkan
pada konfigurasi 6 build server adalah 1 komputer yang 1.6
GHz dan 2 komputer yang 2.8 GHz. Pembandingan potensi
power masing-masing core yg 2.8GHz dan 1.6GHz adalah
1.75. Dengan pendekatan bahwa 1.6GHz jadi satuan,
perbandingan potensi power 6 BS dan 2 BS adalah 1.75 * 2
core/computer *2komputer + 1*2 core = 9. Pada gambar 5
dapat dilihat ketika jumlah user 50, perbandingan antara 6
BS dan 2 BS adalah 8.9 (mendekati hitungan ideal). Namun
seiring dengan meningkatnya jumlah user, terjadi
penurunan yang cukup tajam. Ini sejalan dengan analisis
sebelumnya, yaitu pada 6 BS antara jumlah pengguna 50
dan 350 terjadi peningkatan overhead sebesar 90%.
Penyebab dari penurunan ini adalah di sisi submit server.
Ketika request job dari build server meningkat, terjadi
penurunan respon time yang signifikan dari submit server.
Gambar 3: Waktu Eksekusi Soal1-Soal3 pada 2 BS dan 6 BS
Gambar 4: Rata-rata Waktu Eksekusi 3 Soal pada 2 BS dan 6 BS
Gambar 5: Perbandingan Performansi antara 2 BS dan 6 BS
5. KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan beberapa hal
berikut:
1. Penurunan respon time yang besar ketika jumlah
pengguna bertambah disebabkan oleh overhead yang
diakibatkan oleh submit server dan/atau build server.
2. Terjadi penurunan performansi yang lebih besar pada
konfigurasi 6 build server dibandingkan dengan 2 build
server. Penyebab dari penurunan ini adalah request job
dari build server meningkat, sehingga respon time dari
submit server menurun secara signifikan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih, kami sampaikan kepada mahasiswa
Jurusan Teknik Komputer dan Informatika - Polban, yang
telah bersama-sama mengeksplorasi Marmoset, sehingga
penelitian dapat berjalan dengan baik.
0
200
400
600
0 200 400
Total Waktu (Detik)
Jumlah User (Orang)
Soal 1, 2 BS
Soal 2 2 BS
Soal 3 2 BS
Soal 1, 6 BS
Soal 2 6 BS
Soal 3 6 BS
0,00
100,00
200,00
300,00
400,00
500,00
0 100 200 300 400
Total Waktu(Detik)
Jumlah User (Orang)
2 BS
6 BS
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
50 100 200 350
Perbandingan
Performance
Jumlah User (Orang)
IRWNS 2013
184
DAFTAR PUSTAKA
[1] Troug,N., Roe,P., dan Peter Bancroft,P, “Static
Analysis of Students Java Program”, Proceeding. The
Sixth Australian Computing Education Conference
(ACE2004)
[2] Liem, I, “Aspek Pedagogi Pengajaran Pemrograman”,
Depdiknas RI, 2004.
[3] Patil, A, “Automatic Grading of Programming
Assignments.” Master‟s Projects. Paper 51. San Jose
State University, 2010.
[4] Harris, JA., Elizabeth S.Adams,. dan Harris, NA,”
Making Program Grading Easier (but not Totally
Automatic)”. A paper at James Madison University,
2003.
[5] Spaco, J, N. Padua-Perez, F. Emad, J.k.
Hollingsworth, W. Pug, dan D. Hovemever,
“Experiences with Marmoset”, University of
Maryland, 2005.
IRWNS 2013
185
Pemodelan Impak Test dengan Metode Charpy
Agus Sifa(1
, Tito Endarmawan(2
Jurusan Teknik Mesin Politeknik Indramayu
Jl Lohbener Lama No.08 Lohbener-Indramayu 1Email: [email protected]
2Email:[email protected]
ABSTRAK
Dengan mengetahui tingkat ketangguhan material, maka tentunya dapat memperkirakan kemampuannya dalam menerima
energi tumbukan yang diberikan secara tiba-tiba sehingga dapat mematahkan suatu material, pemodelan material pengujian
dengan metode charpy untuk mengetahui energi tumbukan yang diterima Alumunium paduan 2024 dengan perhitungan secara
finite element. Hasil simulasi dapat diketahui perubahan nilai impak (K) pada countour element,dimana pada Node 9 dan 12
merupakan lokasi kritis terjadi crack akibat impak, dan terjadi pergeseran pada elemen sehingga material ini dapat dikatakan
ductile dan hasil dari pemodelan sesuai dengan hasil uji material Alumunium 2024.
Kata Kunci
Impact test, Charpy, Aluminum 2024
1. PENDAHULUAN
Gejala yang sering menjadi perhitungan untuk membangun
suatu konstruksi adalah kegetasan suatu material dan
ketangguhan material dalam menerima beban dinamis.
Ketangguhan (impak) merupakan ketahanan bahan terhadap
beban kejut. Inilah yang membedakan pengujian impak
dengan pengujian tarik dan kekerasan dimana pembebanan
dilakukan secara perlahan-lahan. Dengan mengetahui
tingkat ketangguhan material, maka tentunya kita dapat
memperkirakan kemampuannya dalam menerima energi
tumbukan yang diberikan secara tiba-tiba sehingga dapat
mematahkan suatu material.
Untuk mengurangi dan menghindari kemungkinan-
kemungkinan terburuk pada suatu konstruksi maka sebelum
menentukan material yang akan digunakan perlu diadakan
suatu pengujian awal untuk mengetahui ketangguhan
material yang akan digunakan dalam menahan beban kejut
sehingga diadakan pengujian impak. Untuk mengetahui
karakteristik material maka di lakukan analisis mengenai
fenomena pada dilakukan uji impak, uji impact dilakukan
dengan membuat suatu pemodelan secara finite element,
melalui pemodelan dengan menggunakan softwere
ABAQUS sehingga bisa mengetahui karakter material.
2. GAMBARAN UMUM
2.1 Impak Charpy
Metode impak charpy ini sampai sekarang banyak
digunakan di dunia industri untuk menguji material yang
digunakan untuk pembangunan kapal, jembatan dan
berbagai konstruksi lainnya[1].
Pada pengujian impak metode Charpy, pendulum diarahkan
pada bagian belakang takikan benda uji (spesimen). Benda
uji diletakkan horizontal pada penahan spesimen (anvil) dan
diberi pembebanan secara tiba-tiba dibelakang sisi takik
oleh pendulum.
Gambar 1: Pembebanan pada uji impak Charpy[3]
Dari persamaan rumus energi impak didapatkan besarnya
harga impak. Harga impak adalah energi yang diserap
spesimen persatuan luas. Luas yang dimaksud adalah luas
penampang spesimen dibawah takikan. Untuk menghitung
besarnya harga impak adalah sebagai berikut:
K = W/A Keterangan :
W = Energi yang diserap oleh specimen (Joule)
W1 = m.g.h
K = Harga impak (Joule/mm²)
A = Luas penampang spesimen dibawah
takikan (mm²)
2.2 Spesimen
Spesimen atau benda uji untuk pengujian impak metode
Charpy mempunyai dimensi 10 mm x 10 mm x 55 mm
diberi takikan (notch) tepat pada tengah spesimen.
Terdapat 3 macam bentuk takikan umtuk pengujian impak
metode Charpy, yaitu tipe V-notch, tipe U-notch dan tipe O-
IRWNS 2013
186
notch/keyhole. Untuk tipe V-notch, takikan V mempunyai
kedalaman 2 mm dengan sudut 45° dan jari-jari dasar 0,25
mm. [1]
Gambar 2: Tipe-tipe spesimen: type A (V-notch), type B
(Keyhole), type C (U-notch)[3]
Pada pengujian impak tipe Charpy, tipe patahan pada
spesimen saat dilakukan pengujian digolongkan menjadi 3,
yaitu:
1. Patahan getas (granular), patahan yang terjadi datar
tidak membentuk bidang pergeseran pada spesimen.
2. Patahan ulet (ductile), patahan yang terjadi membentuk
bidang pergeseran ditandai dengan permukaan patahan
yang berserat.
3. Patahan Campuran, merupakan kombinasi dua jenis
perpatahan diatas. [1]
2.3 Material
a. Komposisi
Tabel 1: Komposisi Alumunium 2024 Composition, %, Balance Aluminum
Typ
e
Si Cu Mn Mg Cr Z
n
N
i
Ti Othe
r
2024 - 4.4 0.6 1.5 - - - - -
b. Properties
Tabel 2: Properti Alumunium 2024
3. TUJUAN
Pemodelan dilakukan untuk validasi rancang bangun mesin
uji impak dengan menguji sampel material Alumunium
2024 dan untuk mengetahui karakterisitik dari material.
4. METODOLOGI
a. Uji Spesimen
Menguji specimen Alumunium 2024 dengan alat uji hasil
rancang bangun uji impak.
b. Pembuatan Model
Pembuatan model yang dilakukan dengan membuat part,
input properties, assigment area crack, meshing, run, output
berupa nilai K (J/s) dan deplacement.
Parameter dan hasil pengujian dikonfigurasikan dengan
pemodelan.
5. HASIL DAN PEMBAHASAN
Dengan beban pendulum sebesar 16 Kg, jarak titik ayun
dengan titik pemukulan adalah 0,8m dengan sudut awal
pemukulan 120°. Besarnya kapasitas energi impak adalah
sebagai berikut:
W1 = m.g.h
= 16Kg . 9,81m/s² . l (1- Cos α)
= 156,96 N . 0,8m (1- Cos 120°)
= 188,356 N.m
W1 = 188,356 J
a. Part
Gambar 3: Part Specimen
Desain part yang dibuat memiliki dimensi 50 mm x 10mm
x10mm, dengan type specimen V notch.
b. Kondisi Initial
Gambar 4 : Mesh
Sebelum dilakukan simulasi finite element dengan software
ABAQUS, maka perlu dilakukan pembuatan mesh pada
part specimen, Tipe element yang digunakan C3D8R,
tampak pada Gambar 4.2 mesh yang telah dibuat pada part
dan area terjadinya crack.
Property Value Units
Elastic Modulus 7.3e+10 N/m2
Poissons Ratio 0.33 N/A
Shear Modulus 2.8e+10 N/m2
Density 2800 Kg/m3
Tensile Strength 186126000 N/m2
Yield Strength 75829100 N/m2
Thermal Expansive
Coefficient
2.3e-005 /K
Thermal Conductivity
140 W/(m.k)
F
IRWNS 2013
187
c. Result
Stress
Gambar 5:
Lokasi Stess VM
Tegangan VM yang terjadi pada saat pembebanan dengan
nilai kritis 32,09 MPa.
Gambar 6: Lokasi Stress 13
Tegangan pada orientasi 13 yang terjadi pada saat
pembebanan terjadi pada zona yang terjadi crack dengan
nilai kritis 2,692 MPa.
Gambar 7: Lokasi Stress 11
Tegangan pada orientasi 11yang terjadi pada lokasi crack
pembebanan dengan nilai antara -2,257 MPa sampai 3,76
MPa.
Diplacement
Gambar 8: Lokasi Diplacement
Tampak pada gambar diatas lokasi yang menunjukkan
terjadinya crack pada node 9 dan 12, dimana perubahan
diplacement 2,227e-08.
Gambar 9: Lokasi Diplacement
Tampak pada gambar diatas lokasi yang menunjukkan
terjadinya crack pada node 9 dan 12, dimana perubahan
diplacement pada orientasi 1 sebesar 3,314e-09.
Nilai Impak
Gambar 10: Hasil Uji Impak
Hasil pengujian impak material tampak pada gambar
menyatakan hasil tersebut ulet, dari hasil tersebut dijadikan
referensi untuk pemodelan specimen impak.
Nilai impak yang diketahui setelah dilakukan simulasi
dapat dilihat pada tabel berikut ;
Tabel 3: Perubahan Nilai Impak pada Node 9
Node 9 Node 9 Node 9
contour 1 Countour 2 Countour 3
K1 6,6950 K1 13,84 K1 17,71
K2 0,9952 K2 0,262 K2 -0,9804
K3 0,3924 K3 3,55E-01 K3 -1,044
Tabel 4: Perubahan Nilai Impak pada Node 12
Perubahan nilai impak pada setiap countour pada node 9
dan 12 mengalami penurunan nilai pada setiap perubahan
yang terjadi, dan dapat kita lihat pada gambar berikut;
Gambar 11: Lokasi patahan
patahan yang terjadi membentuk bidang pergeseran
ditandai dengan permukaan patahan yang berserat sehingga
material ini mengalami patahan ulet.
Node 12 Node 12 Node 12
Countour 1 Countour 2 Countour 3
K1 6,7100 K1 13,53 K1 17,67
K2 0,8621 K2 -0,2346 K2 -1,415
K3 -0,0189 K3
4,11E-
03 K3 2,03E-02
IRWNS 2013
188
6. KESIMPULAN
Tegangan dan regangan ada zona yang mengalami
perubahan crack awal atau kritis terdapat pada sisi
specimen paling luar terdapat pada Node 9 dan 12 , dimana
mengalami perubahan nilai impak pada setiap perubahan
countour, K maksimum sebesar 17,71 dan K minimum -
1,415 dan patahan yang terjadi pada material yang
digunakan ulet dan hasil tersebut sesuai dengan hasil uji
impak material.
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terima kasih kepada kepala Lab.Perancangan dan
Ketua Jurusan Teknik Mesin.
DAFTAR PUSTAKA
[1] W.Both, G.L.J.Van Vliet. 1984. Teknologi untuk
bangunan mesin bahan-bahan 1. Jakarta: Penerbit
Erlangga.
[2] Budiyanto. 2013. Pengertian energi kinetik. Situs:
http://budisma.web.id.
[3] ASTM E23. 1982. Standard Test Methods for Notched
Bar Impact Testing of Methallic Materials.
[4] Mitchell,Brian S. 2004,An introduction to Materials
Engineering and Science for Chemical and Materials
Engineers, Department of Chemical Engineering,
Tulane University,A John Wiley & Sons, Inc.,
Publication.
[5] Anand Verma and Konchady Gopinath, 2011, Impact
Strength Comparison with Carburization Case Depth
Variation for Gear Steel by Instrumented Charpy, Izod
and Brugger Tests, Chaoyang University of
Technology, ISSN 1727-2394.
[6] Dana K. Morton Robert K. Blandford andSpencr D.
Snow. 2008, Impact Testing of Stainless Steel
Material at Cold Temperatures, ASME Pressure
Vessels and Piping Division Conference, Chicago,
PVP2008-61215.
[7] Library ABAQUS V.6.10.1 2011.
IRWNS 2013
189
Liquid holdup distribution and disturbance wave parameters in air-water
horizontal annular flow
Andriyanto Setyawan
1, Anam Bahrul
2, Indarto
2, Deendarlianto
2, Apip Badarudin
1, AP Edi
Sukamto1
1Department of Refrigeration and Air Conditioning Engineering, Bandung State Polytechnic, Bandung 40012
2Department of Mechanical and Industrial Engineering, Gadjah Mada University, Yogyakarta 55281
E-mail: [email protected] (corresponding author)
ABSTRACT
Annular flow is one of the important flow regimes commonly found in process, power plant, geothermal, nuclear, air
conditioning, and other industries employing two-phase flow. It is characterized by liquid film flowing on the wall and a gas
core containing liquid droplets. Liquid holdup and disturbance wave are key parameters in such flow. Therefore, it is useful to
observe its behavior for analyzing other parameters in horizontal annular flow.
The liquid holdup and wave parameters of horizontal air-water annular flow in 26 and 16-mm-diameter pipe were determined
using two flush-mounted CECM sensors, spaced 215 mm apart. The air and water superficial velocities were varied from 12 to
40 m/s and 0.05 to 0.2 m/s, respectively, and its effects were observed. The common phenomena of annular flow such as the
disturbance wave, ripple wave, wave velocity, wave number, wave coalescence, and wave deformation could be observed. The
mean liquid holdup was in the range of 0.04 to 0.15, indicating the gas dominant flow. It is also found that wave velocity
increase as the air and water superficial velocity increase. Similar to those of wave velocity, the wave number also increases
when the air and water superficial velocity increase.
Keywords Annular flow, liquid holdup, wave velocity, wave number, CECM
1. INTRODUCTION
Annular two-phase flow is easily found in many industrial
applications involving phase-change. This flow regime is
quite complex, for both vertical and horizontal orientation,
and it is characterized by liquid film on the wall and a gas
core containing liquid droplets. For horizontal orientation,
annular flow is characterized by the asymmetric distribution
of liquid film with thicker liquid flows along the bottom of
a tube than on the top, although the degree of asymmetry is
dependent on the mass flow rates of liquid and vapor [1].
The effect of gravity-induced drainage increases the
thickness of the liquid film on the bottom surface while
reducing it on the top surface. Similarly, the drops
concentration will be higher in the bottom part than in the
top of the pipe.
Considerable researches have been carried out over decades
on horizontal annular flow. However, theoretical modeling
of horizontal annular flow is generally less successful than
in those of vertical flow [2]. Few investigations have been
done on the flow mechanism of the annular flow in
pipelines and even the fundamental data is still lacking. As
a result, many important questions remain unanswered.
Perhaps the most significant issue associated with
horizontal annular flow is the mechanism by which the
liquid film forms on the walls of the conduit, especially on
the upper surface of pipe [3]. The main goal of this paper is,
therefore, to contribute the fundamental data concerning to
the liquid holdup and wave parameters in air-water
horizontal annular flow as important variables for
determining annular flow mechanism.
1.1 Models for Annular Flow
Several models have been proposed, and the most credible
and important among these are secondary flow, entrainment
and redeposition of droplets, wave spreading, and pumping
action due to disturbance wave.
The secondary flow mechanism [4] assumes that the
circumferential variation of the film thickness and
disturbance waves produces gas-liquid interfacial roughness
gradient around the circumference of the tube. As a result, a
two-vortex secondary flow in the gas phase normal to the
tube axis is created, which drives the liquid up along the
wall. Other experiments have also shown the existence of
such flows, [5,6,7]. However, the role of these flows in
liquid film circumferential distribution is still debated.
Entrainment and redeposition mechanism [8], suggests
that the drained liquid film on the upper wall is
continuously replenished by impacting liquid droplets from
the vapor core. The entrainment of droplets from the
bottom to the top of the tube is created by the variation in
the film thickness. Wave spreading mechanism [9],
suggests that when a disturbance wave travels through the
tube, it brings the liquid film in front of the wave up the
IRWNS 2013
190
tube walls, thus maintaining the film on the top of the tube.
The idea is that the disturbance waves travel faster along
the bottom of the tube than along the top. This will create a
plowing effect that drives liquid film upward immediately
in front of the wave. Pumping action due to a disturbance
wave [10], states that the gas flow over a disturbance wave
will produce a circumferential pressure gradient caused by
the variation of the wave height.
1.2 Liquid Holdup
Liquid holdup is defined as the fraction of an element of
pipe which is occupied by liquid
𝜂 =𝐴𝐿𝐴
(1)
In two-phase flow, it is necessary to be able to determine
liquid holdup to calculate such things as mixture density,
actual gas and liquid viscosities, effective viscosity and heat
transfer. The value of liquid holdup varies from zero for
single-phase gas flow to one for single phase liquid flow.
Liquid holdup may be measured experimentally by several
methods, such as resistivity or capacitance.
The relative volume of liquid and gas is sometimes
expressed in terms of the volume fraction occupied by gas,
called gas holdup or void fraction. It is expressed as:
𝛼 =𝐴𝐺𝐴
=𝐴 − 𝐴𝐿𝐴
= 1 − 𝜂 (2)
The value for liquid holdup is difficult to be calculated
analytically. It must be determined from empirical
correlations and is a function of variables such as gas and
liquid properties, flow pattern, pipe diameter, and
inclination. Liquid holdup equations are functions of
dimensionless liquid and gas velocity numbers in addition
to liquid viscosity number and angle of inclination.
2. CECM FOR HOLDUP MEASUREMENT
For measuring the liquid holdup, Fukano has developed a
constant electric current method (CECM) [11], in which the
constant electric current is applied from a pair of electrodes,
which will be referred to as the power electrodes, as shown
in Figure 1.
Figure 1: Basic idea of CECM.
The method was developed based on the conductance
method. It has been used for measuring liquid holdup and
film thickness in air-water annular flow in near horizontal
pipe [12].
The output of the conventional conductance method is
asymptotically increases with the increase in the film
thickness up to a certain value which is considerably small
compared with the distance between the sensor electrodes.
On the other hand, in the constant electric current method,
the output is fundamentally improved, and the distribution
of the electric current is uniform independent of the film
thickness and a quite good linearity of the output with the
film thickness is obtained.
The voltage drop at the sensor electrodes is fed to a high-
input amplifier, so that the constant current is not affected
by the presence of the sensor electrodes. The increase in
voltage drop with the increase in electrical resistance due to
the existence of gas phase is independent of the location of
gas in the pipe cross section. If the film thickness is very
thin, the electric resistance will be high with the current
source is kept at a constant value. It results in large voltage
drop. Therefore, the thinner the film, the larger the voltage
drop, the higher the sensor sensitivity, and the more
accurate the holdup measurement.
The interaction among sensor electrodes could be neglected
as the outputs are fed to high impedance amplifier. It means
that multiple sensors could be installed in a short distance
for simultaneous measurement of liquid holdup at any
different axially locations. In this case, only single power
source is needed. The other advantage of CECM is that the
sensors could be flush-mounted in duct or pipe. Therefore,
the two-phase flow is not disturbed by the existence of the
sensor electrodes.
3. WORKING PRINCIPLE
Due to the difference in conductivity of each component in
two-phase flow, the sensor will give combined conductance
of liquid and gas flowing in the pipe which can be
converted into liquid volume fraction in electric voltage.
The basic idea in designing the sensor is as follows: The
electric resistance of two-phase flow, RTP, in a unit length
of the channel is expressed as, 1
𝑅𝑇𝑃=
1−𝜂
𝑅𝐺+
1
𝑅𝐿 (3)
where RG and RL are the electric resistance of gas phase and
liquid phase alone occupies the whole cross-section of the
tube. The two-phase voltage drop is expressed in the unit
length (VTP) when a constant current I0 is supplied. As
RG>> RL, the holdup could be expressed as
𝜂 =𝑅𝐿
𝑅𝑇𝑃=
𝐼0𝑅𝐿
𝐼0𝑅𝑇𝑃=
𝑉𝐿
𝑉𝑇𝑃
(4)
where VL is the voltage drop when the liquid alone flows
with occupying the whole cross-section of the tube. If the
Amplifier
Constant current source
Nonconductive duct
IRWNS 2013
191
electrical resistance and voltage drop are expressed as RTP0
and VTP0 when the liquid holdup has the value of η0 and the
electric current has the same value as in (4), then the
following equation could be obtained:
𝜂0 =𝐼0𝑅𝐿
𝐼0𝑅𝑇𝑃 0=
𝑉𝐿
𝑉𝑇𝑃 0 (5)
Eliminating VL in equations (4) and (5) results in
𝜂𝑇𝑃 =𝐼0𝑅𝑇𝑃 0
𝐼0𝑅𝑇𝑃𝜂0 =
𝑉𝑇𝑃 0
𝑉𝑇𝑃𝜂0 (6)
If VTP is measured under the condition of known values of
η0,VL and VTP0, then the liquid holdup, η, could be
calculated with equation (6).
4. LIQUID HOLDUP AND WAVE INVESTIGATIONS
The measurements of liquid holdup were carried out in the
air-water horizontal flow rig shown schematically in Figure
2.
Figure 2: Experimental rig.
The test section is a 10 m long acrylic resin tube of 26 mm
ID. Air enters the test section at one end from a compressed
air supply. Water is injected through a porous tube wall
section. The liquid holdup was measured at a distance of
5.5 m from the porous mixer, thus giving a developing
length of 200 tube diameters. In view of the fact that water
entered through a porous wall section, it was felt that this
length was sufficient for the flow to be fully developed [5].
The range of liquid and gas superficial velocities are 0.05 to
0.2 m/s and 12 to 40 m/s, respectively. Under the
combinations of gas and liquid superficial velocities, the
flow regimes observed in this research are annular and
transition from wavy to annular if plotted in Mandhane map
(Figure 3).
Figure 3: Experimental matrix plotted in Mandhane map.
4. RESULTS AND DISCUSSION
The measurement of liquid holdup using CECM could be
used for analyzing some behaviors of annular flow. The
observed disturbance wave, ripple wave, wave
development, entrainment, wave breakup, and coalescence
are indications that the annular flow has been established
successfully.
4.1. Disturbance Wave and Ripple Wave
One of them is the existence of disturbance wave and ripple
wave in annular flow. Figure 4 shows such phenomena
compared to the visual observation using video camera.
Figure 4: Disturbance and ripple waves.
The ripple wave shown in Figure 4 could be captured by
CECM sensor as well as large disturbance wave. The wave
is identified when a liquid wave with high amplitude flows
through the sensor.
4.2 Wave Development and Entrainment
Other phenomenon observed in this experiment is wave
development and entrainment, as shown in Figure 5. The
transport of liquid film in the pipe wall could be traced
from the holdup signal. Figure 5 shows the change of wave
height measured by sensor 1 and 2. The peak of the wave
when sensed by sensor 2 is higher than those of sensor 1. It
Pompa
Flow Meter
Katup
Tangki Air
Katup
By-Pass
Mixer
Flow Meter
Katup
Regulator
Udara
Separator
Udara
air
ADC
Amplifier
Impedansi
Tinggi
+ -
Power Suplai
Arus Konstan
Kompressor
10000
xLampu
Layar
High Speed
Camera
Camera
Processor
PC
Ground
215 215 215 215 215215
Pompa Sirkulasi
0
0.05
0.1
0.15
0.2
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5
ƞ(-
)
time (s)
ripple
disturbance wave
IRWNS 2013
192
means that the wave “grows” and the phenomenon is called
“wave development”. The reduction of wave height when it
is sensed by sensor 2 and then sensor 2 is a phenomenon
called “entrainment”, in which a portion of liquid in the
wave crest is entrained when high velocity of gas flows and
shear the gas-liquid interface at wave crest.
Figure 5: Wave development and entrainment.
4.3 Wave Coalescence and Breakup
It has been observed that disturbance waves tend to move
with constant velocity and that if faster wave overtakes a
slower wave, then the two waves coalesce and usually
continue with the speed of the faster wave. This
phenomenon is called wave coalescence. In the other hand,
the break of a large wave into smaller waves is also
observed in this experiment. This phenomenon is called
wave breakup. The coalescence and breakup of wave is
illustrated in Figure 6.
Figure 6: Wave coalescence and break up.
4.4. Wave Velocity
The signal sensed by the downstream sensor (sensor 2) is
delayed by several milliseconds compared to those of
sensor 1, depends on the velocity of the wave. If the time
delay and the distance between the sensors are known, then
the wave velocity could be calculated. To determine the
time delay, a cross correlation function is used. Figure 7
shows the result of cross-correlation function of holdup
signal sensed by sensor 1 and 2 for gas superficial velocity,
JG, of 12 m/s and liquid superficial velocity, JL, of 0.05 m/s.
From Figure 7, the cross correlation shows that time lag for
the holdup signal sensed by sensor 1 and 2 is 0.14 s. With
the sensors spaced 21.5 mm apart, then the wave velocity is
1.5 m/s. The wave velocity increases with the increasing of
gas superficial velocity. It could be described as follows: at
the higher the air velocity, the force that shear the gas-
liquid interface is also higher, resulting in higher liquid film
flowing in the pipe.
Figure 7: Cross-correlation function of holdup signal JG =
12 m/s and JL = 0.05 m/s.
The experiment of Jayanti et al. [5] with 32 mm ID pipe
showed that the wave velocity ranged from 1.9 to 4.5 m/s
for liquid superficial velocity of 0.08 – 0.145 m/s and gas
superficial velocity of 14 – 26 m/s. Using 50.8 mm ID pipe,
Paras and Karabelas [6] showed that the wave velocity was
in the range of 1.6 to 3.6 m/s for liquid superficial velocity
of 0.02 – 0.06 m/s and gas superficial velocity of 31 – 66
m/s. Figure 8 shows the comparison of wave velocity
obtained from this work and those obtained by [5] and [6].
Figure 8: Comparison of wave velocity obtained from this
work and those obtained by Fukano et al. (1983) and Paras
and Karabelas (1991).
Scubring and Shedd [13] have reported that the wave
velocity for horizontal annular flow is 2.4 to 6 m/s for their
experiment with 26.3 mm ID pipe using liquid superficial
velocity of 0.04 to 0.39 m/s and 32 to 91 m/s. For the
smaller pipe (8.8 and 15.1 mm), the wave velocities will be
higher.
4.5 Wave Frequency/Wave Number
The wave frequency or wave number could be determined
from the frequency corresponding to the largest peak of
0
1
2
3
4
5
6
0 10 20 30 40 50 60 70
Wav
eV
eloci
ty[m
/s]
JG [m/s]
0.05
0.1
0.2
This work:
JL [m/s]
Fukano et al. (1983), D=26mm, JL=0.2m/sJL=0.1m/sJL=0.06m/s
IRWNS 2013
193
power spectral density function. From Figure 9, it is shown
that wave frequency increases with increasing of gas
superficial velocity.
Paras and Karabelas [6] also stated that the higher gas
superficial velocity, the higher the wave number. However,
they showed that the wave number decreases with the
increasing of liquid superficial velocity. This is different
from the results of this work, in which the wave number
increases with the increase of liquid superficial velocity.
The effect of diameter on the wave frequency has also been
observed in this experiment. The pipe diameter has a
significant effect on the wave number, as could be seen in
Figure 10. It is shown that the smaller pipe gives the larger
wave number.
Figure 9: Wave frequency vs gas superficial velocity.
Figure 10: Effects of diameter and JG on the wave number.
Schubring and Shedd [14] reported that for pipe diameter
26.3 mm, the wave frequency ranges from 10 to 15 for the
same range of gas superficial velocity. However, when the
gas velocity is increased to 70 m/s, the wave number could
reach 40. For pipe diameter of 15.1 mm and the same range
of gas superficial velocity, the wave number ranges from
15-30, similar to those obtained from this work.
4.6 Liquid Holdup
The effect of diameter and gas superficial velocity on the
liquid holdup of horizontal annular flow is presented in
Figure 11. For liquid superficial velocity of 0.05 m/s and
pipe diameter of 16 mm, the liquid holdup ranges from
0.038 to 0.079. For 26 mm pipe, the liquid holdup ranges
from 0.011 to 0.041. Therefore, for the larger the diameter,
the liquid holdup will be smaller. If the liquid superficial
velocity is increased to 0.01 m/s, the maximum liquid
holdup for 16 mm and 26 mm pipes are 0.11 and 0.06,
respectively. If the liquid superficial velocity is further
increased to 0.2 m/s, the maximum liquid holdup are 0.15
and 0.09 for pipe diameter of 16 and 26 mm, respectively.
From the detail observation of Figure 11 it is shown that the
liquid superficial velocity affects the liquid holdup
significantly. For both diameters observed, the effect of
liquid superficial velocity is very clear at low gas
superficial velocity for 16 mm pipe. However, for 26 mm
pipe the strong correlation of liquid holdup and liquid
superficial velocity could be found in all range of gas
superficial velocity.
Figure 11: The effect of diameter and JG on the liquid
holdup.
0
5
10
15
20
25
0 10 20 30 40 50 60 70
Wav
e f
req
ue
ncy
JG [m/s]
JL=0.05 m/s
JL=1.0 m/s
JL=0.2 m/s
Paras, JL=0.06 m/s
Paras JL=0.09 m/s
Paras JL=0.2 m/s
0
0.02
0.04
0.06
0.08
0.1
0 10 20 30 40 50
ƞ [-]
JG [m/s]
16 mm
26 mm
JL = 0.05 m/s
0
0.02
0.04
0.06
0.08
0.1
0.12
0 10 20 30 40 50
ƞ [-]
JG [m/s]
16 mm
26 mm
JL = 0.1 m/s
0
0.02
0.04
0.06
0.08
0.1
0.12
0.14
0.16
0 10 20 30 40 50
ƞ [-]
JG [m/s]
16 mm
26 mm
JL = 0.2 m/s
IRWNS 2013
194
4.7 Visual Observations
The visual observations for this experiment were conducted
using Canon PowerShot 100 with recording speed of 250
frames per second and a resolution of 640 x 480 pixels. The
results of the visual observation are presented in figure 12
and 13.
Figure 12: Visual observation annular flow.
To observe the detailed behavior of annular flow through
visual observation, comparisons to other flow conditions
are needed. From Figure 12, the annular flow could be
observed through the existence of asymmetric liquid film
due to gravity effect flowing in the pipe wall, disturbance
wave, ripple wave, top layer of liquid film, and gas core
flowing in the center of pipe.
At low gas and liquid superficial velocity (JG = 12 m/s and
JL = 0.05 m/s), the liquid film flows in a relative low
velocity (Figure 13, top) and the interface of gas and liquid
is rough. If the gas superficial velocity is increased to 25
m/s, the interface will be smoother (middle). Further
increase of gas superficial velocity to 40 m/s will give the
much smoother interface (bottom).
Figure 13: Flow at JL = 0.05 and JG = 12 (top), JG = 25 m/s
(middle), JG = 40 (bottom)
It indicates that the thickness of liquid film will be thinner
for the higher gas superficial velocity. The same
phenomenon is also observed for the disturbance wave, in
which the amplitude decreases with the increasing of gas
superficial velocity.
5. CONCLUSIONS
From the conducted experiment, it could be concluded that:
The annular regime has been established successfully.
The common phenomena of annular flow such as ripple
waves, disturbance waves, gas core, gas-liquid interface,
and asymmetric liquid film due to gravity effect could
be observed both visually and using liquid holdup
signal.
The wave velocity and wave number increase with the
increasing of gas superficial velocity.
Liquid holdup increases with the increasing of liquid
superficial velocity and decreasing of gas superficial
velocity.
Acknowledgement - This work was financially
supported by the Directorate General of Higher
Education, the Ministry of Education and Culture of
Indonesia through the Fundamental Research Scheme.
REFERENCES
[1] Shedd, T.A., 2001 Characteristics of the liquid film in
horizontal two-phase flow, Thesis for Doctor of Phil.
in Mech. Eng. the University of Illinois at Urbana-
Champaign.
[2] Weidong, Fangde, Rongxian, Lixing, “Experimental
study on the characteristics of liquid layer and
disturbance waves in horizontal annular flow”, Journal
of Thermal Science, Vol. 8, No. 4, 1999, pp. 235-241.
[3] Rodriguez, J.M., “Numerical simulation of two-phase
annular flow”, Thesis for Doctor of Philosophy,
Faculty of Rensselaer Polytechnic Institute, 2009.
[4] Pletcher, R. H. & McManus, H. N. “The fluid
dynamics of three-dimensional liquid films with free
surface shear: a finite difference approach”. In Proc.
9th Mid-Western Mechanics Conf., Wisc, 1965.
IRWNS 2013
195
[5] Jayanti, Hewitt, White, “Time-dependent behavior of
the liquid film in horizontal annular flow”, Int. J.
Multiphase Flow Vol. 16, No. 6, pp. 1097-1116, 1990.
[6] Paras and Karabelas, "Properties of the liquid layer in
horizontal annular flow," Int. J. Multiphase Flow, 17,
No.4, pp.439-454, 1991.
[7] Flores, A.G., K.E. Crowe, and P. Griffith, “Gas-phase
secondary flow in horizontal, stratified and annular
two-phase flow”, Int. J. Multiphase Flow Vol. 21. No.
2, 1995.
[8] Russell and D.E. Lamb, "Flow mechanism of two-
phase annular flow," Can. J. Chem. Eng., 17, No.43,
pp.237-245, 1965.
[9] Butterworth, “An analysis of film flow and its
application to condensation in a horizontal tube”. Int.
J. Multiphase Flow, Vol. 1, pp. 671-682, 1974.
[10] Fukano and A. Ousaka, "Distribution of film thickness
in horizontal and near-horizontal gas-liquid annular
flows," Int. J. Multiphase Flow, 15, No.3, pp.403-419,
(1989).
[11] Fukano, T., “Measurement of time varying thickness
of liquid film flowing with high speed gas flow by
CECM”, Nuc. Eng. & Design 184, 63–377, 1998.
[12] Fukano, T. and Ousaka, A., “Air-water two-phase
annular flow in near-horizontal tubes”, JSME
International Journal, Series II, Vol. 31, No. 3, 1988.
[13] Schubring, T.A. Shedd, “Wave behavior in horizontal
annular air–water flow”, International Journal of
Multiphase Flow 34 (2008) 636–646.
[14] Schubring, T.A. Shedd, “A model for pressure loss,
film thickness, and entrained fraction for gas–liquid
annular flow”, International Journal of Heat and Fluid
Flow 32 (2011) 730–739.
IRWNS 2013
196
Perancangan Alat Uji Impak Metode Charpy
Tito Endramawan
1, Agus Sifa
2
Jurusan Teknik Mesin, Politeknik Indramayu
Jl. Lohbener Lama No. 08 Lohbener – Indramayu 45252 1E-mail : [email protected]
2Email: [email protected]
ABSTRAK
Perancangan ini bertujuan untuk pembuatan alat praktikum sebagai alat uji material untuk pengujian impak menggunakan
metode charpy. Pada perancangan alat uji impak metode charpy ini menggunakan massa pendulum 16 kg dan panjang lengan
ayun 0,8m. Pengujian kapasitas alat dilakukan dengan cara pengujian blangko untuk mengetahui lossesnya, kapasitas energi
impak dan pengujian menggunakan material baja serta alumunium untuk membandingkan perbedaan energi impak yang
dimiliki keduanya. Dari hasil perhitungan didapat kapasitas energi impak 188 Joule, untuk bahan uji baja. Dengan
menggunakan pengujian kosong (blangko) didapat persentase loses pada alat ini yaitu sebesar 3,85%. Pada pengujian impak
menggunakan spesimen, didapat energi impak rata-rata yang dimiliki baja yaitu sebesar 155,352 Joule, sedangkan energi
impak rata-rata yang dimiliki alumunium yaitu 62,783 Joule.
Kata Kunci
Perancangan alat, uji impak, metode charpy.
1. PENDAHULUAN
Seiring dengan perkembangan dunia industri, kebutuhan
bahan untuk membangun konstruksi semakin meningkat.
Bahan yang digunakan untuk membangun suatu konstruksi
harus memenuhi kriteria agar konstruksi aman untuk
operasional manusia. Untuk membangun suatu konstruksi,
sifat-sifat khas dari material harus diketahui sebab material
tersebut akan digunakan untuk berbagai macam keperluan
dan keadaan. Sifat yang dimiliki material yaitu meliputi
sifat mekanik, sifat thermal, sifat kimia, mampu keras dan
lain sebagainya.
Gejala yang sering menjadi perhitungan untuk membangun
suatu konstruksi adalah kegetasan suatu material dan
ketangguhan material dalam menerima beban dinamis.
Ketangguhan merupakan kemampuan suatu material untuk
menyerap energy sebelum patah. Inilah yang membedakan
pengujian impak dengan pengujian tarik dan kekerasan
dimana pembebanan dilakukan secara perlahan-lahan.
Dengan mengetahui tingkat ketangguhan material, maka
dapat diperkirakan kemampuannya dalam menerima energi
tumbukan yang diberikan secara tiba-tiba sehingga dapat
mematahkan suatu material.
Untuk mengurangi dan menghindari kemungkinan-
kemungkinan terburuk pada suatu konstruksi maka sebelum
menentukan material yang akan digunakan perlu diadakan
suatu pengujian awal untuk mengetahui ketangguhan
material yang akan digunakan dalam menahan beban kejut
sehingga diadakan pengujian impak.
Perancangan ini bertujuan untuk mengetahui kapasitas
energi impak dari alat yang telah dibuat dan mengetahui
persentase loses dari alat yang telah dibuat serta
mengetahui nilai impak material baja dan aluminium 2024.
2. TINJAUAN PUSTAKA
Berdasarkan uji komposisi Aluminium 2024 didapat
komposisi sebagai berikut:
Tabel 1: Komposisi Alumunium 2024
Composition, %, Balance Aluminum
Type Si Cu Mn Mg Cr Zn Ni Ti Oth
er
2024 - 4.4 0.6 1.5 - - - - -
Metode impak charpy banyak digunakan di dunia industri
untuk menguji material yang digunakan untuk
pembangunan kapal, jembatan dan berbagai konstruksi
lainnya.(SG.L.J.Van Vliet W.Both, 1984). Pada pengujian
impak metode Charpy, pendulum diarahkan pada bagian
belakang takikan benda uji (spesimen). Benda uji
diletakkan horizontal pada penahan spesimen (anvil) dan
diberi pembebanan secara tiba-tiba dibelakang sisi takik
oleh pendulum.
IRWNS 2013
197
Gambar 1: Pembebanan pada uji impak Charpy[3]
Prinsip pengujian impak adalah untuk menghitung energi
yang diberikan beban dan menghitung energi yang diserap
oleh spesimen. Pengujian impak dilakukan dengan cara
pembebanan secara tiba-tiba terhadap spesimen yang akan
diuji, dimana spesimen dibuat berdasarkan standar ASTM
E 23.
Pendulum dengan massa tertentu diangkat dengan
ketinggian h1 kemudian dilepaskan maka pendulum akan
mengayun sampai kedudukan h2 yang mana ketinggian h2
hampir sama dengan ketinggian h1 jika pendulum
mengayun bebas tanpa spesimen (benda uji).
Gambar 2: Prinsip kerja uji impak
Usaha yang dilakukan pendulum untuk memukul benda uji
atau energi yang diserap spesimen sampai patah didapat
rumus yaitu:
W = m.g.h
= m.g ( l (1-Cos α)
Dimana:
m = Massa pendulum/godam (Kg)
g = Percepatan gravitasi (9,81 m/s²)
l = Jarak titik ayun dengan titik
pemukulan (m)
α = Sudut awal pemukulan (°)
besarnya energi impak yang sebenarnya dengan
menghitung loses adalah:
W‟ = m.g. l (Cos ß – Cos α)
Dimana:
ß = Sudut akhir pemukulan (°)
Persentase loses dapat diketahui dengan persamaan sebagai
berikut:
%loses = 100%. (W`-W)/W
Harga impak adalah energi yang diserap spesimen
persatuan luas. Luas yang dimaksud adalah luas penampang
spesimen dibawah takikan. Untuk menghitung besarnya
harga impak adalah sebagai berikut:
K = W/A
Spesimen atau benda uji untuk pengujian impak metode
Charpy mempunyai dimensi 10 mm x 10 mm x 55 mm
diberi takikan (notch) tepat pada tengah spesimen.
Terdapat 3 macam bentuk takikan umtuk pengujian impak
metode Charpy, yaitu tipe V-notch, tipe U-notch dan tipe O-
notch/keyhole. Untuk tipe V-notch, takikan V mempunyai
kedalaman 2 mm dengan sudut 45° dan jari-jari dasar 0,25
mm. (G.L.J.Van Vliet W.Both, 1984)
Gambar 3: Tipe-tipe specimen [3]
3. METODOLOGI
Perancangan alat uji impak metode charpy ini
menggunakan pendulum 16 kg dengan panjang lengan 0,8
m. Pengujian kapasitas alat menggunakan dengan cara
melakukan pengujian blangko untuk mengetahui losesnya,
kapasitas energy impak dan pengujian menggunakan
material baja serta alumunium dengan ukuran 55 mm x 10
mm x 10 mm. Perancangan ini menggunakan parameter
tetap berupa beban sebesar 16 Kg dan panjang ayun 0,8 m.
IRWNS 2013
198
4. PEMBAHASAN
Perancangan alat uji impak dengan beban pendulum sebesar
16 Kg, jarak titik ayun dengan titik pemukulan adalah 0,8
m dengan sudut awal pemukulan 120°. Besarnya kapasitas
energi impak adalah sebagai berikut:
W = m.g.h
= 16Kg . 9,81m/s² . l (1- Cos α)
= 156,96 N . 0,8m(1- Cos 120°)
= 156,96 N . 0,8m (1- (-0,5))
= 156,96 N . 1,2m
= 188,356 N.m
= 188,356 J
Pengujian blanko dilakukan tanpa benda uji (spesimen),
bertujuan untuk mengetahui seberapa besar kerugian energi
akibat gaya gesek. Adapun langkah-langkah pengujiannya
sebagai berikut:
Angkat pendulum pada posisi 120°.
Lepaskan pendulum.
Lihat nilai derajat yang ditunjukkan jarum.
Dari pengujian blangko sudut ß atau sudut bandul setelah
pemukulan berada pada posisi 116°, jadi tingkat loses pada
alat ini sebesar 4°.
Hasil Pengujian menggunakan specimen
Tabel 2: Hasil Pengujian specimen
Bahan α (°) ß (°)
Baja 1 120 40
Baja 2 120 36
Baja 3 120 38
Baja 4 120 35
Baja 5 120 43
Al 1 120 90
Al 2 120 87
Al 3 120 84
Al 4 120 86
Al 5 120 83
Berdasarkan data pengujian yang diambil pada sampel baja
1 adalah:
Massa pendulum = 16 Kg
Panjang lengan ayun = 0,8 m
Ketinggian awal pemukulan = 120°
Ketinggian setelah pemukulan = 40°
Besarnya energi impak adalah:
W = m.g. l (Cos ß – Cos α)
= 16Kg. 9,81m/s². 0,8m (Cos40°- Cos120°)
= 16Kg. 9,81m/s². 0,8m (0,766–(-0,5))
=158,969 Joule
Dimana sudut ß (sudut setelah pemukulan) adalah sudut
yang dicapai tanpa memperhitungkan kerugian energi
akibat gesekan udara dan bearing. Dari data yang diperoleh
kerugian energi tersebut dinyatakan dengan loses, sehingga
sudut ß yang sebenarnya adalah:
ß = ß + loses = 40° + 4° = 44°
Jadi besarnya energi impak yang sebenarnya dengan
menghitung loses adalah sebagai berikut:
W = m.g. l (Cos ß – Cos α)
= 16Kg. 9,81m/s². 0,8m (Cos44° - Cos120°)
= 16Kg. 9,81m/s². 0,8m ( 0,719 – (- 0,5))
=153,067 Joule
Persentase loses dapat diketahui dengan persamaan sebagai
berikut:
%loses = 100%. (W`-W)/W
= 100%. (158,969J –
153,067J)/153,067J
= 3,85 %
Setelah besarnya energi impak yang diserap diketahui,
maka harga impaknya dapat dicari dengan persamaan
berikut:
K = W/A
= 153,067J / 80mm²
= 1,963 J/mm²
Hasil perhitungan untuk data spesimen lainnya dapat dilihat
pada Tabel 3 berikut.
Tabel 3: Tabel energi impak dan harga impak pada bahan
baja St60
Bahan W (Joule) K ( J/mm²)
Baja 1 153,067 1,963
Baja 2 158,969 1,987
Baja 3 156,081 1,951
Baja 4 160,350 2,004
Baja 5 148,295 1,853
Rata-rata 155,352 1,951
Tabel 4: Tabel energi impak dan harga impak pada bahan
alumunium alloy
Bahan W (Joule) K ( J/mm²)
Al 1 54,119 0,676
Al 2 60,649 0,758
Al 3 67,053 0,838
Al 4 62,784 0,784
Al 5 69,313 0,866
Rata-rata 62,783 0,784
5. KESIMPULAN
Kapasitas energi impak dari alat ini adalah sebesar 188 J,
dapat digunakan untuk menguji material yang memiliki
energi impak dibawah 188 J. Tingkat loses nya adalah
sebesar 4°, dengan persentase losesnya adalah sebesar
3,85%
IRWNS 2013
199
DAFTAR PUSTAKA
[1] W.Both, G.L.J.Van Vliet. 1984. Teknologi untuk
bangunan mesin bahan-bahan 1. Jakarta: Penerbit
Erlangga.
[2] Budiyanto. 2013. Pengertian energi kinetik. Situs:
http://budisma.web.id.
[3] ASTM E23. 1982. Standard Test Methods for Notched
Bar Impact Testing of Methallic Materials.
IRWNS 2013
200
Pengaruh Diameter Lubang Generator Vortex pada Tabung Vortex
Terhadap temperature Udara yang Dihasilkan
Novi Saksono BMa, Herman B Harja
b,
Jurusan Teknik Manufaktur Politeknik Manufaktur Negeri Bandung, Bandung 40135
aEmail : novi @polman-bandung.ac.id bEmail : herman @polman-bandung.ac.id
ABSTRAK
Pada proses manufaktur diperlukan proses pendinginan diantaranya adalah pendinginan kotak panel listrik, pendinginan proses
pemesinan. Pendinginan yang dimaksud adalah pendinginan dengan menggunakan udara. Udara yang digunakan untuk
pendinginan diinginkan memiliki temperatur lebih rendah dari temperatur lingkungan. Udara dingin tersebut bersumber dari
udara bertekanan yang dihasilkan oleh kompressor. Tabung vortex atau dikenal juga dengan istilah Ranque-Hilsch vortex tube
adalah sebuah alat mekanikal yang digunakan untuk memisahkan aliran udara bertekanan menjadi udara panas dan udara
dingin. Pada penelitian ini dirancang tabung vortex dengan desain diameter saluran keluar yang berbeda-beda. Parameter
yang diamati adalah temperatur udara panas serta udara dingin yang dihasilkan dan kaitannya dengan diameter saluran keluar
sisi dingin yang berbeda-beda. Temperatur yang dihasilkan dipengaruhi oleh besarnya diameter lubang keluaran dan tekanan
udara yang dimasukkan pada tabung vortex. Generator vortex adalah bagian pada tabung vortex yang memiliki lubang dan
terpasang pada sisi keluaran dingin. Generator vortex yang digunakan pada penelitian ini adalah Ø 4 mm, Ø 6 mm, Ø 8 mm,
dan Ø 12 mm. Semakin besar diameter generator vortex untuk tekanan udara yang sama maka temperatur yang dihasilkan pada
sisi panas dan dingin akan semakin tinggi. Temperatur tertinggi pada sisi panas adalah 70OC sedangkan temperatur terendah
pada sisi dingin adalah -19OC.
Kata Kunci
Tabung vortex, Generator vortex, udara dingin, udara panas.
1. PENDAHULUAN
Tabung vortex adalah suatu alat yang menghasilkan udara
dingin dan udara panas dari sebuah aliran udara bertekanan.
Tabung vortex dikenal juga dengan nama Ranque- Hilsh
tube, ditemukan pertama kali oleh George J Ranque pada
tahun 1933 dan diperbaiki oleh Rudolf Hilsch pada tahun
1947[1].
Mekanisme kerja dari tabung vortex adalah udara
bertekanan dilewatkan melalui lubang masuk secara
tangensial, sehingga udara berekspansi pada kecepatan
tinggi. Aliran udara berputar kemudian dihasilkan di
chamber dan udara bergerak secara spiral sepanjang sisi
tabung, dan pada ujungnya terdapat katup. Pada saat
katup ditutup sebagian, maka suatu laju aliran udara
balik akan mengalir pada bagian sumbu tabung mulai
dari sisi tekanan tinggi ke sisi tekanan rendah. Selama
proses ini, perpindahan energi berlangsung antara udara
balik dan udara maju, sehingga aliran udara balik yang
terdapat pada sumbu tabung mempunyai temperatur jauh
lebih rendah dari temperatur udara masuk, sedangkan
aliran udara maju akan memanas dan bertemperatur
jauh lebih tinggi dari temperatur udara masuk. Aliran
udara masuk akan keluar melalui lubang ke sisi udara
dingin, sedangkan aliran udara panas akan keluar
melalui bukaan katup. Dengan mengatur bukaan katup,
besar lubang keluaran dan tekanan udara masuk temperatur
udara dingin dapat di ubah-ubah.
Tabung vortex dapat menghasilkan udara panas dan dingin
dalam waktu yang bersamaan. Tabung vortex ini terdiri dari
sebuah tabung panjang yang memiliki lubang masuk
tangensial di dekat salah satu ujung dan katup kerucut pada
ujung lainnya, seperti ditunjukkan gambar 1 berikut ini.
Gambar 1: Konstruksi Tabung Vortex
Beberapa percobaan tabung vortex telah dilakukan oleh
para peneliti, data yang diambil untuk dibandingkan
diantaranya adalah, diameter tabung, besarnya tekanan
udara yang masuk di saluran inlet dan selisih temperatur
yang terjadi. Maziar dan Yunpeng[2] melakukan
percobaan dengan mengubah-ubah rasio antara diameter
penutup sisi panas dan diameter tabung hal yang sama
dilakukan juga oleh Singh, Tathgir dan Grewal [3]. Selain
Udara bertekanan
Udara panas
Udara dingin
Generator vortex
IRWNS 2013
201
itu Maziar dan Yunpeng [4] juga melakukan penelitian
temperatur keluaran dengan mengubah-ubah sudut vortex.
Parameter yang diamati pada penelitian ini adalah pengaruh
besar diameter keluaran sisi dingin terhadap temperatur
dingin yang dihasilkan.
2. METODOLOGI
Pada penelitian ini yang dilakukan adalah membuat tabung
vortex yang memiliki konstruksi generator vortex yang
dapat diganti-ganti. Untuk setiap generator vortex yang
terpasang pada tabung vortex diukur temperatur sisi dingin
dan sisi panas. Pengukuran temperatur juga dilakukan
untuk tekanan udara masuk yang berbeda-beda.
Konstruksi dengan generator vortex yang menghasilkan
temperatur terendah yang selanjutnya akan digunakan
untuk proses pendinginan.
Konstruksi tabung vortex terdiri dari;
1. Kepala tabung
2. Flange
3. Pipa
4. Generator vortex
5. Bush ulir
6. Dudukan katup
7. Katup
8. Saluran udara masuk
Gambar konstruksi tabung vortex dapat dilihat pada gambar
berikut
76
1
2
4
3
5
8
Gambar 2: Konstruksi tabung vortex
Gambar 3: Tabung vortex
3. PENGUJIAN
Pengujian tabung vortex yang dilakukan adalah dengan
mengukur temperatur pada sisi keluaran udara dingin dan
udara panas. Pengujian dilakukan untuk 4 kondisi
konstruksi yang berbeda, perbedaan tersebut pada diameter
generator vortex a seperti terlihat pada gambar 2 dibawah
ini.
Gambar 4: Generator Vortex
Ukuran diameter lubang generator vortex a adalah 4 mm,
6 mm, 8 mm, dan 12 mm.
Gambar 5: Generator vortex
Untuk masing-masing generator vortex diuji pada tekanan
udara masuk yang berbeda-beda yaitu pada tekanan 2 bar, 4
bar dan 6 bar.
Skema pengujian dapat dilihat pada gambar 3 berikut ini
Gambar 6: Skema Pengujian Tabung Vortex
Udara bertekanan yang berasal dari kompressor mengalir
melalui filter yang kemudian mengalir ke pengatur tekanan
(pressure regulator). Udara yang keluar dari pengatur
Pengatur
tekanan
udara
Udara
masuk Sisi udara
panas
Sisi udara
dingin Tabung
vortex
Thermometer
IRWNS 2013
202
tekanan selanjutnya mengalir masuk kedalam tabung
vortex.
Untuk masing-masing diameter generator vortex diuji pada
tiga tekanan udara yang berbeda yaitu tekanan 2 bar, 4 bar
dan 6 bar. Dari masing-masing pengujian dilakukan
pengukuran temperatur pada kedua sisi keluaran udara
dingin dan panas dengan menggunakan termometer digital.
4. HASIL PENGUJIAN
Pada pengujian yang dilakukan, udara bertekanan diatur
tekanannya dengan menggunakan pressure regulator,
sebelum masuk ke pressure regulator udara dari kompressor
udara melalui water seperator yang berfungsi untuk
memisahkan uap air yang terdapat pada udara. Udara yang
telah diatur besar tekanannya selanjutnya masuk ketabung
vortex.
Hasil pengukuran temperatur pada kedua sisi keluaran
tabung vortex untuk diameter generator vortex yang
berlainan dapat dilihat pada tabel 1 dan tabel 2 berikut.
Tabel 1: Temperatur Sisi Dingin
Dari tabel 1 dapat dilihat bahwa temperatur terendah yang
dicapai adalah -19OC, yaitu pada tekanan udara 6 bar untuk
diameter generator vortex 6 mm.
Tabel 2: Temperatur Sisi Panas
Sedangkan dari tabel 2 diatas dapat dilihat bahwa
temperatur tertinggi yang dihasilkan adalah 70OC, yaitu
pada tekanan udara 6 bar untuk diameter generator vortex
12 mm.
Perbedaan temperatur antara sisi dingin dengan sisi panas
terbesar adalah 80OC pada tekanan 6 bar dan diameter
generator vortek 6 mm.
Sedangkan perbedaan terkecil adalah 29OC pada tekanan 2
bar untuk diameter generator vortex 4 mm dan 12 mm.
Data hasil penngukuran sisi udara dingin dapat dilihat pada
grafik 1 berikut ini.
Grafik 1 Temperatur sisi dingin
Dari grafik diatas dapat dilihat bahwa semangkin tinggi
tekanan udara masuk maka temperatur udara dingin akan
semakin rendah. Untuk setiap kondisi tekanan udara masuk,
generator vortex berdiameter 6 mm memiliki temperatur
lebih rendah dibandingkan dengan diameter yang lainnya.
Data hasil penngukuran sisi udara panas dapat dilihat pada
grafik 2 dibawah ini.
Grafik 2 Temperatur sisi panas
Dari grafik diatas dapat dilihat bahwa semangkin naik
tekanan udara masuk maka temperatur udara panas akan
semakin tinggi.
Sedangkan temperatur tertinggi yang dapat dicapai adalah
70oC, yaitu untuk diameter generator vortex 12 mm pada
tekanan udara masuk 6 bar. Untuk kondisi tekanan udara
-21
-18
-15
-12
-9
-6
-3
0
3
6
9
12
15
18
2 4 6
Tem
per
atur
(⁰C
)
Tekanan (bar)
Hubungan Tekanan vs
PerbedaanTemperatur (Dingin)
diamater
4 mm
diamater
6 mm
Diamater
8 mm
diamater
12 mm
Tekanan
(bar)
Temperatur (OC)
Ø 4 Ø 6 Ø 8 Ø 12
2 4 2 7 16
4 -9 -13 -7 10
6 -12 -19 -15 4
Tekanan
(bar)
Temperatur (OC)
Ø 4 Ø 6 Ø 8 Ø 12
2 33 40 37 45
4 37 53 51 60
6 40 61 59 70 20
30
40
50
60
70
80
2 4 6
Tem
per
atur
(⁰C
)
Tekanan (bar)
Hubungan Tekanan vs Perbedaan
Temperatur (Panas)
diamater
4 mm
diamater
6 mm
diameter
8 mm
diameter
12 mm
IRWNS 2013
203
yang sama dengan bertambah besarnya lubang generator
vortex maka temperatur pada sisi panas dan dingin akan
bertambah tinggi.
Udara bertekanan yang dimasukan kedalam tabung vortex
menghasilkan dua temperatur yang berbeda. Sisi dingin
menghasilkan temperatur udara yang lebih rendah dari
temperatur lingkungan. Sisi panas menghasilkan
temperatur udara yang lebih tinggi dari temperatur
lingkungan.
5. KESIMPULAN
Kesimpulan yang diperoleh dari hasil pengujian pada
penelitian ini adalah:
Konstruksi tabung vortex dengan lubang generator
vortex berbeda telah dihasilkan.
Temperatur keluaran yang dihasilkan dipengaruhi oleh
diameter generator vortex, semakin besar diameter
generator vortex maka temperatur sisi panas dan dingin
akan semakin tinggi.
Temperatur dingin terendah dihasilkan oleh generator
vortex dengan diameter lubang 6 mm pada tekanan yang
sama yaitu -19OC.
UCAPAN TERIMA KASIH
Kami ucapkan terima kasih kepada:
DIKTI yang telah membiayai penelitian ini dengan
program Hibah Bersaing.
Jurusan Teknik Manufaktur Polman Bandung,
Laboratorium Teknik Pemeliharaan Mesin Polman
Bandung.
UP3M Polman Bandung.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Giorgio De Vera. The Ranque-Hilsch Vortex Tube.
May 10, 2010
[2] Maziar Arjomandi, Yunpeng Xue, An Investigation Of
The Effect Of The Hot End Plugs On The Efficiency Of
The Ranque-Hilsch Vortex Tube, Journal of
Engineering Science and Technology Vol. 2, No. 3
(2007) 211 – 217 © School of Engineering, Taylor‟s
University College.
[3] P K Singh, An Experimental Performance Evaluation
of Vortex Tube, IE (I) Journal.MC Vol 84, January
2004.
[4] Maziar Arjomandi, Yunpeng Xue, Influence Of The
Vortex Angle On The Efficiency Of The Ranque-
Hilsch Vortex, School of Mechanical Engineering,
The University of Adelaide, Adelaide, Australia.
IRWNS 2013
204
Pengaruh Struktur Geologi Gunung Slamet Muda dan Tua
Terhadap Pola Sebaran Panas Bumi
Asmoro Widagdoa, Adi Candra
a, Sachrul Iswahyudi
a, Chalid Idham Abdullah
b
aTeknik Geologi, Fakultas Sains dan Teknik, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto
E-mail: asmoro_widagdo@yahoo. com; [email protected]; [email protected]
bTeknik Geologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung, Bandung
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Indonesia merupakan negara yang memiliki gunung api terbanyak di dunia, namun pemanfaatannya masih sedikit. Gunung
Slamet di Jawa Tengah merupakan daerah dijumpai manifestasi panasbumi. Geologi Gunung Slamet perlu diketahui guna
pemanfaatan potensi panasbumi. Gunung Slamet tersusun atas batuan dasar, batuan gunung api tua maupun batuan gunung api
muda. Gunung Slamet terpotong oleh kelurusan patahan tertentu. Manifestasi panas bumi di lereng Gunung Slamet muncul
karena kondisi geologi yang tertentu yang perlu untuk dikaji. Identifikasi geologi Gunung Slamet dilakukan melalui
pengamatan lapangan terhadap kondisi bentang alam, batuan dan kelurusan geologi. Interpretasi patahan dilakukan dari
pengamatan citra dan data sekunder lainnya. Lokasi panas bumi ditentukan koordinatnya, kemudian diplotkan dalam peta.
Gunungapi Slamet Muda terdiri atas morfologi puncak, lereng atas, lereng bawah dan kaki gunungapi. Gunungapi Slamet Tua
membentuk morfologi lereng dan kaki gunungapi. Batuan/litologi yang terdapat di lereng Gunung Slamet Tua diantaranya
adalah abu volkanik, breksi laharik dan lava. Gunung Api Slamet Muda tersusun atas breksi piroklastik hasil letusan dan lava.
Panas bumi muncul pada lereng bawah dan kaki Gunungapi Slamet Tua. Manifestasi panas bumi muncul pada batuan Gunung
Api Slamet Tua dan batuan dasar berupa batupasir-batulempung. Manifestasi permukaan panas bumi menikuti pola patahan
tertentu yang berarah baratlaut-tenggara yang memotong tubuh Gunung Slamet Tua.
Kata Kunci Panasbumi, batuan, morfologi, gunung api
1. PENDAHULUAN
Gunung Slamet meliputi kabupaten Banyumas, Brebes,
Pekalongan dan Tegal Propinsi Jawa Tengah. Gunung
Slamet merupakan salah satu gunung berapi yang
memungkinkan sebagai sumber panas bumi yang potensial.
Kini energi panas bumi merupakan salah satu sumber
energi yang diupayakan menggeser dominasi peran
pemakaian energi hidrokarbon yang tak terbarukan dan juga
berdampak buruk bagi lingkungan.
Panas bumi berhubungan dengan aktivitas volkanisme,
dihapkan akan menjadi energi alternatif yang berperan
signifikan dalam memenuhi kebutuhan energi nasional
yang terus meningkat. Potensi panas bumi yang cukup
besar di Gunung Slamet belum banyak terungkap secara
detail. Penelitian ini mengulas kondisi geologi umum
Gunung Slamet dalam mendukung upaya eksplorasi dan
pemanfaatan energi panas bumi.
Pekerjaan lapangan yang telah dilakukan diantaranya
adalah penentuan lokasi-lokasi manifestasi permukaan
panas bumi di sekitar Gunung Slamet. Studi geomorfologi
Gunung Slamet, sebaran batuan di lereng Gunung Slamet
dan delineasi struktur geologi di lereng Gunung Slamet
telah dilakukan dalam penelitian ini. Penelitian ini
merupakan tahap awal bagi kegiatan studi yang lebih
mendalam mengenai potensi panas bumi Gunung Slamet
selanjutnya.
2. METODOLOGI
Metode Penelitian dilakukan melalui sumber-sumber data
primer maupun sekunder. Data primer merupakan data
yang diperoleh langsung dari lapangan. Penelitian
lapangan dilakukan melalui deskripsi dan determinasi
terhadap kondisi bentang alam (morfologi), batuan
(litologi) dan kelurusan struktur patahan geologi.
Interpretasi sebaran batuan dilakukan mengikuti sumber
data sekunder yakni dari peta geologi regional.
Interpretasi patahan geologi dilakukan dari pengamatan
citra penginderaan jauh dan data sekunder dari peta geologi
regional. Pengukuran data patahan juga dilakukan pada
lokasi-lokasi dijumpainya manifestasi panas bumi.
Terhadap lokasi-lokasi panas bumi ditentukan koordinat
dan kemudian diplotkan dalam peta.
3. KONDISI GEOLOGI
3.1 Bentang Alam (Morfologi)
Morfologi atau roman muka bumi Gunung Api Slamet
dapat dibagi dalam dua kelompok morfologi utama. Kedua
morfologi utama ini adalah:
IRWNS 2013
205
1. Morfologi Gunung Slamet Tua; menyusun bagian barat
Gunung Slamet.
2. Morfologi Gunung Slamet Muda; menempati bagian
timur Gunung Slamet.
Satuan geomorfologi Gunung Slamet muda ini dapat dibagi
lagi dalam:
1. Morfologi Kerucut, merupakan puncak gunung api
muda.
2. Morfologi Tubuh gunung, menempati sisi selatan-timur
dan utara, di bagian bawah bagiaan kerucut.
3. Morfologi Kaki gunung, melampar di sisi selatan-timur
dan utara.
4. Morfologi Kerucut Cinder, terutama berkembang di
timur Gunung Slamet.
Kenampakan Gunung Slamet Tua dibagian barat
memperlihatkan bentuk morfologi yang tidak beraturan
dengan relief kasar (Gambar 2). Pola pengaliran yang
berkembang di tubuh Gunung Slamet Purba ini adalah
dendritic dengan stadia sungai pada stadia muda, lembah
sungai berbentuk huruf “V” yang dengan lereng yang
curam.
Gambar 1: Topografi Gunung Slamet dan lokasi panas
bumi.
Gunung Slamet Muda di bagian timur merupakan
morfologi kerucut vulkanik dengan bentuk lereng yang
teratur dengan relief yang halus (Gambar 3.). Puncak
kerucut volkanik yang merupakan titik tertinggi di Gunung
Slamet pada ketinggian 3.432 mdpl berada pada bagian sisi
timur puncak Gunung Slamet Muda. Pola pengaliran pada
tubuh Gunung Api Slamet Muda ini adalah radial yang
memusat pada puncak Gunung Slamet.
Gambar 2: Penampang Utara-Selatan Gunung Slamet Tua.
Gambar 3: Penampang Utara-Selatan Gunung Slamet Muda
Gambar 4: Penampang Barat-Timur Gunung Slamet tua-
muda
3.2 Urutan Batuan/Stratigrafi
Secara stratigrafi, menurut Djuri, M. dkk., 1996,
batuan/litologi yang terdapat di lereng Gunung Slamet
diantaranya tersusun oleh kelompok batuan-batuan:
1. Breksi, lava, tuf (Qvs) Gunungapi Slamet Tua,
2. Breksi, lava (Qvls) Gunungapi Slamet Muda.
3. Breksi laharik (Qls) Gunungapi Slamet Tua dan Muda.
Gambar 5: Sebaran batuan Gunung Api Slamet Tua (Qvs,
di sebelah barat) dan Muda (Qvls, di Timur) serta sebaran
materian rombakan keduanya (Qls).
Secara setempat dalam dimensi kecil, sempit dan kurang
terpetakan dijumpai batuan-batuan tua yang menjadi dasar
tubuh Gunung Slamet (Candra, A. dan Widagdo, A., 2011)
diantaranya berupa:
1. Batupasir dan konglomerat tufaan Formasi Halang yang
berumur Miosen Tengah-Akhir,
2. Breksi Formasi Kumbang yang berumur Miosen
Tengah-Akhir,
3. Batuan intrusi diorit Tersier yang berumur Miosen
Akhir,
IRWNS 2013
206
4. Batulempung-batupasir Formasi Tapak yang berumur
Pliosen.
3.3 Struktur Patahan
Struktur patahan geologi Gunung Slamet dapat
diidentifikasi melalui bentuk kelurusan dan pola aliran
sungai serta indikasi lainnya. Struktur patahan utama yang
terbentuk di sebelah timur laut Gunung Slamet, menurut
Peta Geologi Lembar Purwokerto-Tegal (Djuri, M. dkk.,
1996) merupakan sesar-sesar mendatar mengiri dan
menganan yang berarah baratdaya-timurlaut. Di sebelah
timur berkembang struktur patahan mendatar mengiri dan
menganan berarah baratlaut-tenggara serta lipatan berarah
barat-timur.
Gambar 6: Kelurusan struktur patahan geologi di Gunung
Slamet dan sekitarnya.
Di tengah tubuh Gunung Slamet Tua terpotong oleh
kelurusan berarah baratlaut-tenggara, yang diinterpretasikan
sebagai sesar mendatar menganan. Kekar-kekar tensi dan
sesar-sesar normal minor berarah baratdaya-timurlaut hadir
dilapangan diinterpretasikan sebagai struktur penyerta dari
struktur sesar mendatar menganan berarah baratlaut-
tenggara ini.
4. MANIFESTASI PANAS BUMI
Sejumlah delapan titik manifestasi panas bumi ada di lereng
Gunung Slamet. Empat titik manifestasi panasbumi
dijumpai di lereng utara Gunung Slamet yaitu Cahaya,
Pancuran 13, Saketi dan Sigedong. Dua mata air panas
dijumpai di bagian selatan lereng Gunung Slamet yakni
Pancuran 7 dan Pancuran 3 di area obyek wisaya
Baturaden. Dua manifestasi mata air panas lainnya
dijumpai di barat Gunung Slamet Tua yakni di Buaran dan
Pakujati.
Panas bumi di tubuh Gunung Slamet mengikuti pola
kelurusan patahan berarah baratlaut-tenggara. Manifestasi
panasbumi di utara Gunung Slamet menunjukkan arah ini.
Manifestasi panasbumi di bagian selatan Gunung Slamet
juga masih satu kelurusan dengan manifestasi panas bumi
di bagian utara Gunung Slamet.
Gambar 7. Lokasi manifestasi panas bumi
Gambar 7: Lokasi manifestasi panas bumi
Tabel 1: Lokasi Titik Manifestasi Panas Bumi
No Nama Lokasi
1 Cahaya Guci, Kec Bumijawa, Tegal
2 Pancuran 13 Guci, Kec Bumijawa, Tegal
3 Saketi Dukuh Benda, Bumijawa, Tegal
4 Sigedong Batusari, Kec Sirampok, Brebes
5 Buaran Banjarsari, Bantarkawung, Brebes
6 Pakujati Paguyangan, Paguyangan, Brebes
7 Pancuran 7 Ketenger, Baturaden, Banyumas
8 Pancuran 3 Karangmangu, Baturaden, Banyumas
Di sebelah baratlaut Gunung Slamet muncul dua
manifestasi panas bumi di daerah Saketi dan Sigedong
(Tabel 1 dan Gambar 7). Titik Saketi berada di daerah
Dukuh Benda, Kecamatan Bumi Jawa, Kabupaten Tegal.
Di sebelah tenggara titik Saketi pada jarak 2.180 meter
muncul titik manifestasi Sigedong yang masuk Desa
Batusari, Kecamatan Sirampok, Kabupaten Brebes.
Di sebelah selatan Gunung Slamet muncul 2 (dua)
manifestasi panas bumi yakni mata air panas Pancuran 7
dan Pancuran 3. Mata air panas di sebelah barat Gunung
Slamet yakni Buaran dan Pakujati.
Umumnya titik-titik manifestasi panas bumi di daerah
Gunung Slamet muncul pada satuan batuan breksi-lava-tuf
(Qvs) yang merupakan batuan produk gunung api Slamet
Tua (Gambar 2, 3,4 dan 5). Keenam titik manifestasi ini
muncul di lereng sebelah selatan, utara dan barat laut
Gunung Slamet Purba. Di barat Gunung Slamet, pada
batuan Tersier (batuan dasar) muncul dua manifestasi. Pada
tubuh Gunung Slamet modern tidak memperlihatkan
manifestasi panas bumi.
Lokasi manifestasi panas bumi di lereng selatan dan utara
Gunung Slamet memiliki jarak terdekat 7 km dari pusat
IRWNS 2013
207
erupsi. Hal ini perlu dipertimbangkan dalam upaya
eksplorasi dan eksploitasinya untuk menghindari ancaman
aktivitas volkanis.
5. KESIMPULAN
1. Morfologi Gunung Api Slamet terbagi dalam morfologi
gunung api tua dan morfologi gunung api muda.
2. Panas bumi di lereng Gunung Slamet umumnya
menempati batuan Gunung Slamet Tua.
3. Manifestasi panasbumi tersebar luas pada tubuh Gunung
Slamet Tua yang kemunculannya mengikuti kelurusan
patahan berarah baratlaut-tenggara.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Candra, A., & Widagdo, A., 2011, Tinjauan Kondisi
Geologi Gunung Slamet Dalam Mendukung
Pemanfaatan Potensi Panas Bumi Bagi
Kesejahteraan Masyarakat.
[2] Djuri M., Samodra H., Amin T.C., Gafoer S., 1996,
Peta Geologi Lembar Purwokerto dan Tegal, Jawa,
Skala 1 : 100.000, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi
[3] Hutamadi, R., dan Mulyana, 2006, evaluasi sumber
daya dan cadangan bahan galian untuk
pertambangan sekala kecil, daerah kabupaten
banyumas provinsi jawa tengah, proceeding
pemaparan hasil-hasil kegiatan lapangan dan non
lapangan tahun 2006, pusat sumber daya geologi,
Bandung.
[4] Iswahyudi, S., Widagdo, A. dan Subana, 2010,
Aplikasi Geokimia Mata Air Panas Untuk Kajian
Pendahuluan SIstem Panas Bumi Daerah
Paguyangan dan Sekitarnya.
[5] Lobeck, A.K., 1939, Geomorphology, An
Introduction to the Study of Landscapes, McGraw
Hill Book Company.Inc. New York.
[6] McClay, K.R., 1987, The Mapping of Geological
Structures, 1st edition, John Wiley and Sons, New
York, 163 h.
[7] Thornbury, W.D., 1969, Principle of
Geomoorphology, 2nd
Edition, John Wiley &Sons
New York.
[8] van Bemelen, R.W., 1970, The Geology of
Indonesia, Vol. 1. A, General Geology of Indonesia
and Adjacent Archipelagoes, Martinus Nijhoff, The
Hague, 732 h.
IRWNS 2013
208
Evaluasi Kapasitas Sungai Citarum Hulu (Sapan-Nanjung)
Dengan Menggunakan Hec Ras 4.0
Enunga
aJurusan Teknik Sipil, Politeknik Negeri Bandung, Bandung 40012
E-mail : [email protected]
ABSTRAK
Setiap musim hujan banjir selalu terjadi di sepanjang sungai Citarum, terutama di Sub DAS Citarum Hulu. Banjir di wilayah
ini terutama disebabkan oleh perubahan tataguna lahan yang terjadi di daerah hulu, dan menyebabkan sedimentasi di sepanjang
aliran sungai Citarum di daerah hilir. Berdasarkan permasalahan tersebut, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mengenai
kinerja kapasitas sungai Citarum dalam kondisi eksisting dan perencanaan pengendalian banjir. Pada penelitian ini, simulasi
banjir dilakukan dengan menggunakan bantuan model matematika HEC-RAS 4.0. Hidrograf aliran menggunakan metode
Nakayasu untuk kala ulang 2 tahun, 5 tahun, 10 tahun, 20 tahun, 50 tahun, dan 100 tahun. Hasil dari simulasi ini menunjukkan
kapasitas penampang sungai yang ditinjau tidak dapat menampung debit puncak dan terjadi limpasan aliran di sepanjang
sungai. Penanganan dengan cara normalisasi dapat mengurangi elevasi muka air maksimum, tetapi hanya 21.62% river station
(RS) yang mampu menampung debit dengan kala ulang 50 tahun dan 100 tahun. Pengendalian banjir berikutnya dilakukan
dengan tanggul banjir di RS yang masih terjadi limpasan.
Kata Kunci
Banjir, Sungai Citarum, Hec Ras 4.0
1. PENDAHULUAN
Sungai Citarum merupakan sungai terpanjang dan terbesar
di Jawa Barat dengan panjang sungai sekitar 269 kilometer.
Sungai Citarum mengalir dari hulu di daerah Gunung
Wayang disebelah selatan kota Bandung melalui cekungan
kota Bandung menuju ke arah utara dan bermuara di Laut
Jawa. Dari tahun ke tahun DAS Citarum mengalami
penurunan kondisi lingkungan dan kualitas air disepanjang
sungai Citarum. Hal ini disebabkan oleh semakin
meningkatnya jumlah penduduk dan aktivitas yang
dilakukan di sepanjang sungai Citarum. Lahan terbuka
hijau yang berubah fungsi menjadi pemukiman dan
kawasan industri menyebabkan semakin berkurangnya
daerah resapan di DAS Citarum,
Banjir merupakan salah satu permasalahan yang ada di
DAS Citarum Hulu. Hampir setiap tahun daerah yang ada
di wilayah DAS Citarum Hulu mengalami banjir. Salah
satunya adalah “banjir Cileuncang” yang setiap tahun
dialami oleh warga di daerah Baleendah Bandung. Bencana
banjir selain menimbulkan kerugian secara materi dengan
banyaknya rumah warga dan fasilitas umum yang terendam
banjir, juga menimbulkan dampak lain seperti timbulnya
berbagai penyakit, terhambatnya aktivitas warga, dan
dampak sosial lainnya. Berbagai penelitian, kajian, maupun
berbagai pilihan penanganan banjir di wilayah sungai
Citarum sudah dilakukan untuk mengatasi permasalahan
yang ada di DAS Citarum ini. Kebijakan pengelolaan air
secara terpadu merupakan salah satu kebijakan untuk
menangani permasalahan yang ada. Pemerintah melalui
Balai Besar Wilayah Sungai Citarum telah membuat
roadmap untuk pengelolaan air secara terpadu wilayah
sungai Citarum. Roadmap ini diharapkan bisa menjadi
acuan dalam pengelolaan wilayah sungai Citarum secara
keseluruhan. Salah satu poin penting dalam roadmap
tersebut adalah penangangan masalah banjir. Berbagai
kajian telah dan akan dilakukan untuk penanganan masalah
banjir tersebut, misalnya yang sudah dilakukan oleh
pemerintah dengan melakukan pengerukan untuk
mengurangi sedimentasi, normalisasi sungai, maupun
dengan reboisasi di kawasan hulu sungai Citarum yang
merupakan sumber pembawa sedimen sungai Citarum.
Berdasarkan permasalahan tersebut dan dari berbagai kajian
yang sudah dilakukan, maka perlu dilakukan penelitian
lebih lanjut mengenai kondisi karakteristik aliran sungai
Citarum untuk mengetahui kapasitas tampang sungai
dengan cara melakukan simulasi aliran sungai untuk
berbagai debit rancangan dan mencari solusi pengendalian
banjir yang tepat untuk menangani permasalahan banjir
khususnya yang terjadi di wilayah Bandung.
Tujuan dari penelitian ini yaitu menganalisa kapasitas
penampang sungai Citarum pada kondisi eksisting dan
setelah dilakukan pengerukan.
2. TINJAUAN PUSTAKA
DAS merupakan hamparan wilayah yang dibatasi oleh
pembatas topografi (punggung bukit) yang menerima
pengumpulan air hujan, sedimen dan unsur hara serta
mengalirkannya melalui sungai yang dimaksud dan keluar
IRWNS 2013
209
pada satu titik[1]. Adapun menurut Chow (1988) DAS
merupakan salah satu bentuk dari sistem hidrologi.
Disebutkan bahwa suatu sistem DAS sebagai struktur
volume di alam terbuka yang memiliki batas, kemudian
menerima air dan input lain, mengoperasikan input di
dalamnya dan mengeluarkan sebagai output. Jadi dalam
suatu sistem DAS terdapat tiga komponen pokok yaitu
masukan, operator atau sistem dan keluaran[2].
Dalam istilah teknis banjir adalah volume air yang mengalir
pada alur singai persatuan waktu, melebihi kapasitas
pengaliran alur sungainya, sehingga terjadilah luapan atau
limpasan. [3]. Perubahan iklim global yang mengakibatkan
perubahan tinggi curah hujan pada suatu Daerah Aliran
Sungai (DAS), kondisi topografi dengan elevasi wilayah
lebih rendah dari pada elevasi muka air sungai, perubahan
tata guna lahan yang mengakibatkan berubahnya koefisien
aliran permukaan menjadi lebih besar, sehingga aliran
permukaan (surface runoff) menjadi lebih besar dari
sebelumnya, penurunan elevasi tanah (land subsidence)
akibat dari pengambilan air tanah atau faktor dari
karakteristik geologi pembentuknya dan perilaku manusia
dalam memperlakukan sungai dan sarana drainase lainnya
merupakan faktor-faktor eksternal yang dapat
mengakibatkan banjir. Sedangkan faktor internal dapat
dilihat dari fisik sungainya yaitu akibat dari kapasitas
penampang sungai yang tidak bisa menampung beban debit
yang mengalir di atasnya[4].
Banjir rancangan adalah besarnya debit banjir kala ulang
tertentu yang ditetapkan sebagai dasar penentuan kapasitas
dan dimensi bangunan-bangunan hidraulik, sedemikian
hingga kerusakan yang dapat ditimbulkannya baik langsung
maupun tidak langsung oleh banjir tidak boleh terjadi
selama besaran banjir tidak terlampaui [1].
Simulasi aliran di saluran terbuka (open channel)
merupakan salah satu cara untuk mempelajari pola aliran di
sepanjang saluran tersebut. Simulasi dilakukan secara nyata
dengan mengalirkan air ke saluran yang umumnya dibuat
dalam skala laboratorium (model fisik) atau dengan model
matematik yang dilakukan melalui serangkaian hitungan
hidraulik yang umumnya diwadahi dalam suatu perangkat
program aplikasi komputer. Tahapan dalam melakukan
simulasi aliran dengan menggunanakan model matematik
maupun model fisik seperti pada Gambar 1. [5]. Salah
satu model matematik dalam bidang hidrolika dalam bentuk
paket program adalah HEC-RAS. HEC RAS merupakan
sebuah paket program analisis hidraulika yang terintegrasi,
dimana pengguna atau user dimudahkan dengan sistem
Graphical User Interface (GUI).
Gambar 1: Tahapan simulasi aliran dengan menggunakan
model fisik maupun model matematik
3. METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini dibagi menjadi beberapa tahapan
seperti pada Gambar 2.
Mulai
Studi Literatur
Pengumpulan
Data
Analisa Hidrolika Penampang
Sungai Dengan Bantuan
Software Hec Ras 4.0
Analisa Hidrograf
Banjir
Simulasi aliran untuk berbagai
skenario pengendalian banjir
Analisa dan
Pembahasan
Kesimpulan
Selesai
Data
Hidrologi
Peta DAS Citarum
Peta Rupa Bumi
Peta Jaringan Sungai
Citarum
Peta Topografi
Potongan Melintang
dan Memanjang
Sungai Citarum
Gambar 2: Tahapan Penelitian
Tahapan pelaksanaan penelitian yaitu sebagai berikut:
1. Studi literatur, yaitu dengan mengumpulkan informasi
hasil kajian sebelumnya dan teori yang akan digunakan
dalam penelitian.
IRWNS 2013
210
2. Pengumpulan data, data yang digunakan merupakan
data sekunder terdiri dari:
a. Data hidrologi, yaitu data hujan harian maksimum
dari stasiun hujan yang ada di wilayah DAS Citarum
yang mempengaruhi aliran sungai yang ditinjau.
Data hidrologi diperoleh dari Dinas Pengelolaan
Sumber Daya Air (PSDA) Propinsi Jawa Barat dan
dari Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Citarum.
b. Peta DAS Citarum, dan peta jaringan sungai
Citarum.
c. Potongan memanjang dan melintang sungai
3. Analisis hidrograf banjir dengan menggunakan metode
Nakayasu
4. Analisis hidrolika kapasitas penampang sungai dengan
menggunakan software Hec Ras 4.0. Software Hec.Ras
4.0 digunakan untuk mengetahui profil muka air di
sepanjang aliran sungai yang ditinjau pada kondisi
eksisting.
5. Simulasi aliran untuk berbagai skenario pengendalian
banjir. Berdasarkan hasil analisis kapasitas penampang
sungai pada kondisi eksisting, kemudian dilanjutkan
dengan simulasi aliran untuk berbagai skenario
pengendalian banjir. Simulasi dilakukan dengan
menggunakan bantuan software Hec Ras 4.0.
6. Analisis dan pembahasan
7. Kesimpulan
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian adalah DAS Citarum Hulu mulai dari
hulu berakhir di pos duga air di Nanjung, berada pada
koordinat 107015‟36‟‟ BT - 107
057‟00‟‟BT, 06
0‟43‟48” LS
- 070‟15‟00” LS. Peta DAS Citarum Hulu seperti pada
Gambar 3.
Gambar 3: Lokasi Penelitian
Sumber: Dinas PSDA Provinsi Jawa Barat
DAS Citarum Hulu yang menjadi tinjauan penelitian terdiri
dari lima Sub Das yaitu Sub DAS Citarum Hulu, Sub DAS
Citarik, Sub DAS Cisangkuy, Sub Das Cikapundung, dan
Sub Das Ciwidey. Luas DAS Citarum Hulu yaitu 1824,84
Km2, dengan luas masing-masing Sub DAS seperti pada
Tabel 4.1.
Tabel 1: Data Luas Sub DAS Yang Ditinjau di DAS
Citarum Hulu No Nama Sub DAS Luas (Km2)
1 Citarum Hulu 378.7
2 Ciwidey 271.8
3 Citarik 464.5
4 Cikapundung 402
5 Cisangkuy 307.8
4.1 Analisa Hidrologi
Analisa hidrologi dilakukan berdasarkan data curah hujan
harian di beberapa pos stasiun hujan yang terdapat di Das
Citarum Hulu. Wilayah DAS Citarum Hulu memiliki
delapan belas pos curah hujan dan delapan belas pos duga
air yang tersebar di lima Sub DAS . Berdasarkan analisis
ketersediaan data hujan, ditentukan tiga belas pos curah
hujan yang digunakan untuk menganalisis hujan harian
maksimum dan kala ulang hujan rencana. Peta pos curah
hujan dan pos duga air dapat dilihat pada Gambar 4.
Berdasarkan hasil analisis hidrologi diperoleh hasil debit
banjir rancangan dengan menggunakan metode Hidrograf
Satuan Sintetik (HSS) Nakayasu untuk berbagai kala ulang
debit banjir sepert disajikan pada Tabel 2, dan Gambar 5.
Gambar 4: Peta Pos Curah Hujan dan Pos Duga Air DAS
Citarum Hulu
Sumber: Dinas PSDA Propinsi Jawa Barat
Tabel 2: Debit puncak untuk berbagai kala ulang
IRWNS 2013
211
Gambar 5: Grafik Hidrograf Banjir Rancangan DAS
Citarum Hulu Metode Nakayasu Untuk Berbagai
kala Ulang
4.2 Analisis Hidraulika Dengan Menggunakan Hec
Ras 4.0
Penampang sungai yang menjadi tinjauan dalam penelitian
ini adalah titik kontrol di Pos duga air Dayeuh kolot yaitu
sepanjang 1817.15 m, Pemilihan titik kontrol tersebut
berdasarkan ketersediaan data dan kondisi yang ada
dilapangan, yaitu dimana banjir sering terjadi di daerah
Dayeuh Kolot khususnya di daerah Cieunteng.
4.2.1 Analisis Kondisi Eksisting Penampang Sungai
(Sungai Citarum-Pos Duga Air Dayeuh Kolot)
Untuk menganalisis kapasitas penampang sungai pada
kondisi eksisting diperlukan data berupa data penampang
melintang sungai dan memanjang sungai. Data tersebut
diperoleh dari Balai Besar wilayah Sungai Citarum. Peta
situasi wilayah yang ditinjau seperti pada Gambar 6.
Gambar 6 :
Potongan Memanjang Dan Situasi Sungai Yang Ditinjau
(River Station (RS) .01-P.24)
Penampang melintang sungai dibagi menjadi 36 cross
section (RS.01-P.24) dengan jarak antar cross section
bervariasi. Kondisi eksisting penampang hasil pengukuran
Citarum seperti pada Gambar 7.
Gambar 7: Penampang Memanjang Sungai RS.01-P.24
Sumber: BBWS
Pada Gambar 7 penampang memanjang diatas dapat
dilihat kondisi elevasi dasar sungai yang bervariasi, ini
menunjukkan bahwa pada dasar sungai telah terjadi
agradasi dan degradasi dasar sungai akibat proses
sedimentasi dan erosi. Sedimentasi terbesar terjadi pada
RS.637.37. Sedangkan kondisi dasar sungai yang
mengalami degradasi yaitu pada RS.1011. Selain elevasi
dasar sungai, pada gambar tersebut juga ditampilkan elevasi
bantaran kiri (LOB) dan bantaran kanan (ROB). Juga
diperlukan data koefisien kekasaran saluran (koefisien
manning). Nilai koefisien Manning yang digunakan
berdasarkan kondisi dilapangan. Untuk main channel dan
dataran banjir digunakan koefisien manning sebesar 0.03.
Hasil simulasi aliran dengan berbagai variasi kala ulang
debit diperoleh kondisi muka air maksimum seperti pada
Gambar 8. Sampai Gambar 11.
Kala Ulang Debit puncak
(m3/detik)
2 tahun 108.689
5 tahun 176.657
10 tahun 242.221
20 tahun 325.826
50 tahun 463.635
100 tahun 600.600
IRWNS 2013
212
Gambar 8: Profil Muka Air Untuk Debit Kala Ulang
10 Tahun
Gambar 9: Profil Muka Air Untuk Debit Kala Ulang
20 Tahun
Gambar 10: Profil Muka Air Untuk Debit Kala Ulang 50
Tahun
Gambar 11: Profil Muka Air Untuk Debit Kala Ulang 100
Tahun
Berdasarkan profil muka air maksimum untuk berbagai kala
ulang debit banjir dengan koefisien manning 0.03, hampir
di semua river station terjadi limpasan. Kondisi eksisting
menunjukan ketidak konsistenan profil muka air. Hal ini
disebabkan oleh penampang saluran yang tidak beraturan
dan kontur yang bervariasi.
4.2.2 Normalisasi sungai dengan pengerukan
Normalisasi adalah salah satu upaya pengendalian banjir
secara struktural. Besarnya sedimentasi yang terjadi
menyebabkan pendangkalan sungai dan berkurangnya
kapasitas penampang sungai. Simulasi pada skenario ini
dilakukan dengan mengembalikan elevasi dasar sungai
kepada kondisi awal sebelum terjadi sedimentasi. Profil
memanjang sungai setelah dilakukan simulasi geometri
sungai seperti pada Gambar 12.
Gambar 12: Profil Memanjang Penampang Sungai Setelah
di Normalisasi
Perubahan yang dilakukan yaitu dengan mengembalikan
elevasi dasar sungai kepada kondisi awal sebelum terjadi
sedimentasi. Permukaan dasar sungai hampir sama dengan
kemiringan 0.00035. Simulasi aliran dilakukan dengan
kondisi yang sama dengan kondisi eksisting. Hasil simulasi
aliran disajikan dalam bentuk Grafik dan Tabel. Profil
muka air maksimum untuk berbagai kala ulang debit banjir
seperti pada Gambar 13 sampai dengan Gambar 16.
Gambar 13: Profil Muka Air Untuk Debit Kala Ulang 10
Tahun
IRWNS 2013
213
Gambar 14: Profil Muka Air Untuk Debit Kala Ulang 20
Tahun
Gambar 15: Profil Muka Air Untuk Debit Kala Ulang 50
Tahun
Gambar 16: Profil Muka Air Untuk Debit Kala Ulang 100
Tahun
Profil muka air maksimum linear dari hulu ke hilir dan
konsisten. Data elevasi muka air maksimum untuk setiap
perubahan kala ulang banjir seperti pada Tabel 3.
Tabel 3: Elevasi Muka Air Maksimum Untuk Berbagai
Kala Ulang Kala
Ulang
River
Station Elevasi Muka Air (m)
10 1817.15 656.42
20 1817.15 657.13
50 1817.15 658.18
100 1817.15 659.17
Selain berdasarkan profil muka air maksimum, analisis juga
dilakukan berdasarkan kapasitas tampungan maksimum
penampang. Perbandingan antara kapasitas penampang
dengan debit banjir untuk berbagai kala ulang seperti pada
Gambar 17 sampai dengan Gambar 4.18.
Gambar 17: Perbandingan Kapasitas Penampang Dengan
Debit Banjir Rancangan Kala Ulang 10
Gambar 18:Perbandingan Kapasitas Penampang Dengan
Debit Banjir Rancangan Kala Ulang 20
Gambar 19: Perbandingan Kapasitas Penampang Dengan
Debit Banjir Rancangan Kala Ulang 50
0
1000
2000
18
17
,15
16
60
,43
14
99
,27
13
93
,67
12
37
,43
10
62
,84
93
4,6
1
79
0,5
3
63
7,3
7
47
4,5
5
29
5,8
3
14
1,7
6 0
De
bit
(m
3 /s)
Kap
asit
as
(m3 /
s)
River Station
Perbandingan Kapasitas Penampang Dengan Debit Banjir
RancanganKapasitas …Debit banjir …
0
1000
2000
18
17
,15
16
60
,43
14
99
,27
13
93
,67
12
37
,43
10
62
,84
93
4,6
1
79
0,5
3
63
7,3
7
47
4,5
5
29
5,8
3
14
1,7
6 0
De
bit
(m
3 /s)
Kap
asit
as
(m3 /
s)
River Station
Perbandingan Kapasitas Penampang Dengan Debit Banjir
Rancangan Kapasitas Penampang
0
1000
2000
18
17
,15
16
60
,43
14
99
,27
13
93
,67
12
37
,43
10
62
,84
93
4,6
1
79
0,5
3
63
7,3
7
47
4,5
5
29
5,8
3
14
1,7
6 0
De
bit
(m
3 /s)
Kap
asit
as
(m3 /
s)
River Station
Perbandingan Kapasitas Penampang Dengan Debit Banjir
RancanganKapasitas Penampang
IRWNS 2013
214
Gambar 20: Perbandingan Kapasitas Penampang Dengan
Debit Banjir Rancangan Kala Ulang 100 Tahun
Berdasarkan Gambar 17 sampai dengan Gambar 20 dapat
disimpulkan bahwa 67.57% RS yang ditinjau mampu
menampung debit dengan kala ulang 1 tahun dan 2 tahun
(75.879 m3/s dan 108.689 m
3/s) , 56,76% RS mampu
menampung debit dengan kala ulang 5 tahun (176.657
m3/s), 51.35% RS mampu menampung debit dengan kala
ulang 10 tahun dan 20 tahun (242.221 m3/s dan 325.826
m3/s), 21.62% RS mampu menampung debit dengan kala
ulang 50 tahun (463.635 m3/s), dan hanya 21.62% RS
mampu menampung debit dengan kala ulang 100 tahun
(600.600 m3/s). Dengan demikian, penanganan dengan
melakukan normalisasi dengan cara pengerukan masih
belum optimal, karena masih terdapat titik RS yang
mengalami limpasan. Sehingga diperlukan solusi
pengendalian banjir lainnya, misalnya dengan pembuatan
tanggul atau memperbesar kapasitas penampang sungai.
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis yang sudah dilakukan pada
penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Kondisi penampang sungai Citarum khususnya di titik
yang ditinjau pada kondisi eksisting tidak mampu
menampung debit untuk kala ulang banjir 2 tahun
(108.89 m3/s), kala ulang banjir 5 tahun (176.657 m
3/s),
kala ulang banjir 10 tahun (242.221 m3/s), kala ulang
banjir 20 tahun (325.826 m3/s), kala ulang banjir 50
tahun (463.635 m3/s), dan kala ulang banjir 100 tahun
(600.600 m3/s) . Hal ini disebabkan oleh besarnya
sedimentasi yang terjadi,sehingga terjadi pendangkalan
dasar sungai dan berkurangnya kapasitas tampungan
sungai.
2. Solusi pengendalian banjir akibat limpasan yang terjadi
di sejumlah titik antara lain dengan normalisasi
(pengerukan), dan pembuatan tanggul banjir. Elevasi
tanggul banjir ditentukan berdasarkan elevasi muka air
maksimum yang terjadi.
5.2 Saran
Untuk mencapai hasil yang lebih baik dalam menganalisis
kondisi aliran sungai Citarum peneliti menyampaikan saran
sebagai berikut:
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai
perilaku aliran yang terjadi di sungai Citarum dengan
mempertimbangkan aliran dari anak-anak sungai,
perilaku aliran di sekitar jembatan, dan perilaku aliran
disekitar bangunan-bangunan melintang sungai. Untuk
mengetahui pengaruhnya terhadap kapasitas penampang
sungai.
2. Perlu dilakukan penelitian mengenai penentuan metode
analisis debit banjir rancangan yang paling sesuai
dengan kondisi DAS Citarum Hulu.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada UPPM
Politeknik Negeri Bandung yang telah mendanai penelitian
ini melalui skema penelitian Pemula, dan seluruh pihak
yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Harto, S. Br, Hidrologi, PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta. 2000��.
[2] Chow, V.T., Hidrologi Saluran Terbuka Alih Bahasa,
Saryatman dkk, Erlanga, Jkt. 1992.
[3] Dirjen Pengairan DPU, Penanganan Masalah Sungai.
[4] Suryadi Y, Metoda Penentuan Indeks Banjir
Berdasarkan Fungsi Debit Puncak Hidrograf Inflow,
Luas Genangan, Kedalaman Genangan Dan Waktu
Genangan (Studi Kasus Pada Das Citarum
Hulu),Disertasi, ITB, Bandung, 2007.
[5] Istiarto, Modul Pelatihan Simulasi Aliran 1 Dimensi
Dengan Bantuan Paket Program Hidrodinamika
HEC-RAS, http://istiarto.staff.ugm.ac.id, 2011.
0,000
1000,000
2000,0001
81
7,1
5
16
60
,43
14
99
,27
13
93
,67
12
37
,43
10
62
,84
93
4,6
1
79
0,5
3
63
7,3
7
47
4,5
5
29
5,8
3
14
1,7
6 0
De
bit
(m
3/s
) K
apas
itas
(m
3 /s)
River Station
Perbandingan Kapasitas Penampang Dengan Debit Banjir
Rancangan Debit …
IRWNS 2013
215
Pembuatan dan Pengujian Prototipe Mesin Stirling Tipe
Gamma
Ika Yuliyani, Mochamad Irwan
Jurusan Teknik Konversi Energi, Politeknik Negeri Bandung,Bandung 40012
E-mail: [email protected]; [email protected]
ABSTRAK
Krisis energi yang berkelanjutan mendorong manusia mencari teknologi yang dapat menjadi alternatif dalam energi
terbarukan. Berbagai teknologi alternatif menjadi pilihan untuk menggantikan energi yang semakin lama akan semakin habis.
Salah satunya adalah teknologi mesin striling. Teknologi ini merupakan teknologi yang sudah lama namun pengembangannya
kalah dengan mesin pembakaran dalam. Seiring dengan krisis energi yang terjadi mesin stirling ini kembali menjadi pilihan
dikarenakan mesin stirling ini mempunyai fleksibilitas dalam hal bahan bakarnya. Mesin stirling dapat memanfaatkan panas
dari berbagai bahan bakar seperti biomassa, biogas dan energi matahari. Pada pembuatan prototype mesin stirling, langkah
pertama melakukan perhitungan terlebih dahulu berdasarkan teori Schmidt. Dari hasil perhitungan didapat parameter volume
silinder panas sebesar 113,04 cm3, volume sisa 14,13 cm
3, dan diameter silinder panas 6 cm. Volume silinder dingin 78,5 cm
3,
volume sisa 1,963 cm3, diameter silinder dingin 5,4 cm. Dari hasil pembuatan prototipe mesin stirling dilakukan pengujian
dengan hasil, mesin stirling mampu berputar dengan kecepatan maksimum 910 rpm tanpa beban dan 349,3 rpm dengan beban
serta torsi yang dihasilkan 0,038 Nm. Mesin stirliing berputar setelah silinder di sisi panas dipanaskan pada temperatur 300oC
dengan menggunakan sumber panas spirtus. Mesin stirling dapat berputar sampai panas dari spirtus padam atau selama 10
menit.
Kata Kunci
Energi alternatif, teori Schmidt, mesin stirling.
1. PENDAHULUAN
Pada saat ini perkembangan motor bakar menuju ke arah
motor bakar yang ramah lingkungan dan menekankan pada
pemakaian biaya yang lebih rendah. Hal ini dimungkinkan
karena adanya kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM),
kelangkaan sumber energi, sampai kepedulian tentang
masalah lingkungan seperti pemanasan global.
Mesin stirling adalah mesin pembakaran eksternal dan yang
menggunakan udara atau gas (helium, hydrogen, nitrogen,
methanol dan sebagainya) sebagai fluida kerjanya dengan
prinsip regeneratif siklus tertutup (closed-cycle
regenerative). Selain itu mesin stirling merupakan mesin
yang ramah lingkungan yang mempunyai kelebihan dalam
hal variasi sumber energi sebagai penggeraknya karena
seperti yang telah disebutkan di atas bahwa mesin stirling
tergolong mesin pembakaran luar (Eksternal Combustion
Engine).
Mesin stirling dapat digunakan untuk berbagai aplikasi,
diantaranya aplikasi multi bahan bakar, operasi yang tidak
menginginkan kebisingan karena mesin stirling tidak
mengeluarkan suara yang begitu bising dibandingkan
dengan mesin pembakaran dalam, operasi putaran rendah,
operasi yang membutuhkan daya keluaran yang konstan
dan operasi yang perioda warm-up-nya lama.
Mesin stirling ini menurut konfigurasinya terbagi menjadi
tiga jenis yaitu tipe alpha, beta dan gamma. Dari ketiga
jenis mesin stirling tersebut, yang memiliki kehandalan
paling baik adalah mesin stirling tipe gamma.
2. DASAR TEORI
Teori Schmidt
Performansi dari mesin dapat dikalkulasi dari diagram P-V.
Volume dari mesin juga dapat dengan mudah dihitung dari
geometri internalnya. Jika volume, massa dari fluida kerja
sudah dapat ditentukan, maka tekanan dapat dihitung
menggunakan metode gas ideal seperti pada persamaan di
bawah ini.
𝑃𝑉 = 𝑚𝑅𝑇 (1) Dimana:
P = Tekanan (Pa)
V = Volume (m3)
m = massa gas (kg)
R = konstanta gas (J/kgK)
T = Temperatur (K)
Parameter-parameter motor stirling dapat dihitung dengan
menggunakan asumsi-asumsi sebagai berikut :
a. Tidak ada pressure loss dan tidak ada perbedaan
internal pressure.
IRWNS 2013
216
b. Proses ekspansi dan proses kompresi berlangsung secara
isothermal.
c. Kondisi fluida kerja adalah udara sebagai gas ideal.
d. Terjadi regenerasi sempurna.
e. Volume sisa pada silinder panas menjaga temperatur
gas pada silinder panas - TE, volume sisa pada silinder
dingin menjaga temperatur gas pada silinder dingin - TC
selama siklus.
f. Temperatur pada regenerator adalah rata-rata temperatur
ekspansi – TE dan temperatur kompresi - TC.
g. Volume ekspansi (VE) dan volume kompresi (VC)
berubah berdasarkan fungsi sinusioda.
Gambar 1: Skema mesin stirling tipe gamma
Tabel berikut ini menunjukkan simbol-simbol yang
digunakan pada proses perancangan motor stirling.
Tabel 2: Parameter-parameter mesin stirling Nama Simbol Unit
Tekanan Mesin P Pa
Volume pada posisi piston ekspansi
atau displacerpiston VE m3
Volume pada posisi piston kompresi atau powerpiston
Vc m3
Volume sisa pada sisi ekspansi VDE m3
Volume sisa pada sisi kompresi VDC m3
Volume ekspansi VE m3
Volume kompresi Vc m3
Volume total V m3
Massa total gas kerja m Kg
Konstanta gas R J/kgK
Temperatur gas sisi ekspansi TE K
Temperatur gas sisi kompresi Tc K
Phasa Angle dx Derajat(o)
Rasio temperature t
Rasio volume V
Rasio volume mati X
Kecepatan mesin n Rps
Energi indikator kompresi WE J
Energi indikator ekspansi Wc J
Energi indicator Wi J
Daya indikator ekspansi LE W
Daya indikator kompresi Lc W
Daya indicator Li W
Efisiensi e %
Volume dari silinder ekspansi dan silinder kompresi pada
sudut engkol tertentu dihitung pertama.Volume sesaat
dideskripsikan dengan sudut engkol-x. Sudut engkol
didefinisikan sebagai x=0 ketika piston ekspansi (piston
pada silinder panas) ada pada posisi TMA. Volume
ekspansi sesaat - VE dinyatakan pada persamaan (2)
dengan asumsi (g).
𝑉𝐸 = 𝑉𝑆𝐸2 1 − cos 𝑥 + 𝑉𝐷𝐸
(2)
Volume kompresi sesaat -VC dapat dihitung dengan
persamaan (1) dan sudut fase - dx.
𝑉𝐶 = 𝑉𝑆𝐶2
{1 − cos(𝑥 − 𝑑𝑥)} + 𝑉𝐷𝐶 (3)
Volume total sesaat dihitung dengan menggunakan
persamaan (4).
𝑉 = 𝑉𝐸 + 𝑉𝐶 + 𝑉𝑅 (4) Tekanan mesin - P didasarkan dari tekanan rata-rata -
Pmean, tekanan minimum - Pmin dan tekanan maksimum -
Pmax dicari dengan persamaan.
𝑃 = 𝑃𝑚𝑒𝑎𝑛 1 − 𝑐2
1 − 𝑐. cos 𝑥 − 𝑎
= 𝑃𝑚𝑖𝑛 1 + 𝑐
1 − 𝑐. cos 𝑥 − 𝑎
= 𝑃𝑚𝑎𝑥 (1 − 𝑐)
1 − 𝑐. cos(𝑥 − 𝑎)
(5)
Dimana:
𝑎 = 𝑡𝑎𝑛−1𝑣 sin 𝑑𝑥
𝑡 + cos𝑑𝑥 + 1
𝑆 = 𝑡 + 2𝑡𝑋𝐷𝐸 + 4𝑡𝑉𝑅1 + 𝑡
+ 𝑣 + 2𝑋𝐷𝐶 + 1
𝐵 = 𝑡2 + 2 𝑡 − 1 𝑣 𝑐𝑜𝑠𝑑𝑥 + 𝑣2 − 2𝑡 + 1
𝑐 =𝐵
𝑆
Rasio temperatur - t, rasio volume langkah - v dan rasio
volume sisa dapat dihitung dengan persamaan di bawah ini.
𝑡 =𝑇𝐶𝑇𝐸
(6)
𝑣 =𝑉𝑆𝐶𝑉𝑆𝐸
(7)
𝑋𝐷𝐸 =𝑉𝐷𝐸𝑉𝑆𝐸
(8)
𝑋𝐷𝐶 =𝑉𝐷𝐶𝑉𝑆𝐸
(9)
𝑋𝑅 =𝑉𝑅𝑉𝑆𝐸
(10)
Energi Indikator, Daya dan Efisiensi
Energi indikator (luas area dari diagram P-V) dapat
dihitung sebagai solusi analitik dengan menggunakan
koefisien-koefisien di atas. Energi indikator pada daerah
ekspansi (indicated expansion energy) - WE(J),
berdasarkan pada tekanan rata-rata - Pmean, tekanan
IRWNS 2013
217
minimum- Pmin dan tekanan maksimum- Pmax diberikan
pada persamaan di bawah ini.
𝑊𝐸 = 𝑃𝑑𝑉𝐸 = 𝑃𝑚𝑒𝑎𝑛 𝑉𝑆𝐸 𝜋𝑐 sin 𝑎
1 + 1 − 𝑐2
= 𝑃𝑚𝑖𝑛 𝑉𝑆𝐸 𝜋𝑐 sin 𝑎
1 + 1 − 𝑐2. 1 + 𝑐
1 − 𝑐
= 𝑃𝑚𝑖𝑛 𝑉𝑆𝐸 𝜋𝑐 sin 𝑎
1 + 1 − 𝑐2. 1 − 𝑐
1 + 𝑐
(11)
Energi indikator pada daerah kompresi (indicated
compression energy) - WC(J) diberikan pada persamaan di
bawah ini.
𝑊𝐶 = 𝑃𝑑𝑉𝐶 = −𝑃𝑚𝑒𝑎𝑛 𝑉𝑆𝐸 𝜋𝑐𝑡 sin 𝑎
1 + 1 − 𝑐2
= − 𝑃𝑚𝑖𝑛 𝑉𝑆𝐸 𝜋𝑐𝑡 sin 𝑎
1 + 1 − 𝑐2. 1 + 𝑐
1 − 𝑐
= −𝑃𝑚𝑖𝑛 𝑉𝑆𝐸 𝜋𝑐 t sin 𝑎
1 + 1 − 𝑐2. 1 − 𝑐
1 + 𝑐
(12)
Energi indikator per siklus pada mesin ini - Wi(J)
dinyatakan pada persamaan di bawah ini.
𝑊𝑖 = 𝑊𝐸 + 𝑊𝐶
(13)
= 𝑃𝑚𝑒𝑎𝑛 𝑉𝑆𝐸 𝜋𝑐 (1−𝑡) sin 𝑎
1 + 1 − 𝑐2
= 𝑃min 𝑉𝑆𝐸 𝜋𝑐 1−𝑡 sin 𝑎
1 + 1 − 𝑐2. 1 + 𝑐
1 − 𝑐
= 𝑃𝑚𝑖𝑛 𝑉𝑆𝐸 𝜋𝑐 (1−t) sin 𝑎
1+ 1−𝑐2. 1−𝑐
1+𝑐
Hubungan antara Pmean, Pmin and Pmax diberikan pada
persamaan di bawah ini.
𝑃𝑚𝑖𝑛𝑃𝑚𝑒𝑎𝑛
= 1 − 𝑐
1 + 𝑐
(14)
𝑃𝑚𝑎𝑥𝑃𝑚𝑒𝑎𝑛
= 1 + 𝑐
1 − 𝑐
(15)
Daya indikator ekspansi - LE(W), daya indikator kompresi
- LC(W) dan daya indikator mesin ini -Li(W) diberikan
melalui persamaan di bawah ini, menggunakan kecepatan
putar mesin per detik, n(rps).
𝐿𝐸 = 𝑊𝐸 𝑛 (16) 𝐿𝐶 = 𝑊𝐶 𝑛 (17) 𝐿𝑖 = 𝑊𝑖 𝑛 (18) Kemudian, efisiensi thermal dari mesin - e dapat dihitung
menggunakan persamaan di bawah ini.
𝑒 = 𝑊𝑖
𝑊𝐸
(19)
3. DESAIN DAN PEMBUATAN ALAT
Dalam pembuatan prototipe mesin striling terdapat
beberapa tahap yang dilakukan yaitu perhitungan awal
untuk menentukan dimensi mesin dengan menggunakan
persamaan-persamaan teori Schmidt, pembuatan gambar
kerja menggunakan software CAD, pemilihan bahan,
permesinan, perakitan dan pengujian.
Perhitungan dilakukan secara teoritis berdasarkan
persamaan 1-19. Mesin Stirling didesain berdasarkan
perhitungan dengan parameter temperatur, volume dan
kecepatan mesin. Parameter temperatur dan kecepatan
mesin didapat berdasarkan refferensi.3
Temperatur silinder
panas mesin stirling 300oC dan temperatur silinder dingin
30oC.
Penentuan Diameter Silinder Panas dan Displacer
Penentuan Diameter Silinder Dingin dan Power Piston
Penentuan Panjang Silinder Panas dan Displacer
Penentuan Panjang Silinder Dingin dan PowerPiston
Penentuan Dimensi Crankshaft
Penentuan Dimensi Flywheel 1
Perhitungan Rasio Temperatur, Rasio Volume dan
Rasio Volume Sisa
Perhitungan Kinerja Motor Stirling Desain
Tahap pembuatan gambar kerja dengan menggunakan
software CAD (CATIA V5R19) dilakukan untuk
memudahkan pada tahap pembuatan komponen dan
perakitan mesin stirling.
Gambar 2: Desain awal mesin stirling tipe gamma
Tabel 2: Komponen dan bahan yang digunakan pada mesin
stirling Nama Komponen Bahan
Silinder Panas Stainless steel
Displacer Alumunium
Flywheel 1 Stainless steel
Flywheel 2 Besi
IRWNS 2013
218
Heatsink Alumunium
Silinder dingin Stainless steel
Blok 1 Dural
Batang Penggerak Dural
Conrod Besi
Crankshaft Besi
Poros Displacer Stainless steel
Blok 2 Besi
Gambar 3. Hasil perakitan dan perbaikan mesin stirling
tipe gamma
4. PENGUJIAN ALAT
Pengujian alat dilakukan menggunakan sumber panas dari
pemanas untuk pengelasan asetilin. Peralatan ukur yang
diperlukan pada pengujian ini sebagai berikut:
1. Termometer infrared untuk mengukur temperatur
silinder panas dan dingin
2. Tachometer stroboskop digunakan untuk mengukur
putaran mesin
3. Timbangan, tali dan beban untuk mengukur torsi mesin
dengan metode rem tali
4. Burner dan tabung gas butane serta spirtus untuk
memanaskan mesin stirling
Tabel 2: Data pengujian alat setelah perbaikan
Waktu
Temperatur
Putaran
Mesin Silinder
Panas (Th)
Silinder
Dingin
(Tc)
Heatsink
Menit
ke- oC oC oC rpm
2 300,9 30,0 34,6 385,0
4 310,8 31,0 36,8 900,0
313,9 31,1 37,9 910,9
6 317,9 33,1 41,0 872,9
317,9 33,1 40,0 810,6
8 319,7 34,0 40,0 762,1
320,0 34,0 41,0 650,0
10 311,7 34,6 41,0 409,9
5. PEMBAHASAN
Pada pengujian awal mesin stirling ini tidak dapat bekerja
ataupun tidak mencapai parameter kinerja sesuai rancangan.
Maka dilakukan perbaikan dan penambahan komponen,
dikarenakan desain awal yang dibuat mesin tidak dapat
bekerja pada saat dilakukan pengujian.
Perbaikan komponen pada mesin stirling dilakukan
diantaranya pada:
1. Conrod dan Piston.
Pada komponen conrod, dilakukan perubahan dengan
panjang dan tebal yang lebih kecil, yaitu panjang dari
conrod dirubah menjadi 90 mm dan tebal 4 mm. Pada
komponen conrod juga, dilakukan perubahan bahan
menjadi besi. Pada permukaan piston dibuat menjorok
kedalam 1 mm agar menjadi tempat pelumas.
2. Displacer
Pada komponen displacer dilakukan perubahan pada
bahannya yaitu dari bahan stainless steel menjadi bahan
alumunium. Sifat alumunium yang secara cepat
menyerap panas dapat membantu proses pendinginan
udara panas sebelum masuk kedalam silinder dingin.
3. Crankshaft
Komponen crankshaft dilakukan perubahan ukuran,
bahan maupun bentuk. Dari hasil pengujian-pengujian
sebelumnya didapat bahwa mesin tidak mempunyai
tolakan untuk membantu mesin berputar secara terus
menerus dan hal ini dapat dilakukan dengan mengubah
komponen crankshaft. Komponen inilah yang mampu
membantu mesin berputar secara terus menerus selain
flywheel.
4. Flywheel
Flywheel dilakukan penggantian dengan yang
mempunyai massa lebih berat agar membantu tolakan
mesin sehingga mesin dapat berputar secara terus
menerus.
Dari perbaikan dan penyempurnaan yang telah dilakukan,
maka mesin stirling menjadi sedikit berbeda dengan
awalnya.
Analisis Hasil Pengujian Alat.
Hasil pengujian setelah dilakukan perbaikan diketahui
bahwa mesin stirling dengan menggunakan sumber panas
dari spirtus mampu memanaskan silinder panas sampai
temperature 320 °C. Sumber panas inilah yang digunakan
untuk menggerakkan piston dari silinder panas ke silinder
dingin. Pengujian berlangsung selama spirtus sebagai
sumber panas menyala yaitu sekitar 10 menit.
Selama pengujian mesin stirling mampu menghasilkan
putaran sampai 910,9 rpm. Putaran 900 rpm dicapai setelah
IRWNS 2013
219
pengujian mencapai waktu 4 menit dan temperature silinder
panas mencapai 310,8°C.
Selama pengujian yang berlangsung selama kurang lebih 10
menit mesin stirling mengalami penurunan kecepatan
putaran setelah melewati waktu pengujian 5 menit. Hal ini
disebabkan karena terjadi kebocoran pada bagian silinder
dingin dan powerpiston. Kebocoran tersebut menyebabkan
tekanan didalam silinder menjadi berkurang. Hal ini yang
menyebabkan kecepatan mesin semakin lama semakin
berkurang.
Agar pembuatan mesin stirling menjadi lebih baik, maka
dalam pembuatannya harus lebih memperhatikan hal-hal
berikut:
a. Gesekan antara power piston dan dinding silinder panas
diharapkan sekecil mungkin bahkan tidak terjadi.
b. Gesekan power piston dan dinding silinder dingin harus
sekecil mungkin dan harus menghasilkan kompresi yang
baik.
c. Pemilihan bahan yang harus sesuai dengan karakteristik
tiap komponen.
d. Harus adanya regenerator/heat sink/pendinginan yang
baik antara sisi dingin dan sisi panas untuk menciptakan
perbedaan temperatur yang baik.
e. Hindari kebocoran pada mesin dibagian manapun agar
udara benar-benar vakum dan menghasilkan kinerja
yang baik.
6. KESIMPULAN
Dari hasil perhitungan, pembuatan dan serangkaian
pengujian alat dapat disimpulkan bahwa:
a. Ukuran mesin stirling keseluruhan yaitu 400,71mm x
120mm x 200mm.
b. Mesin stirling yang telah dibuat dapat berputar dengan
menghasilkan putaran maksimum 910,9, rpm tanpa
dibebani.
c. Mesin dapat berputar dengan pemanasan pada silinder
panas dengan temperatur 300,9oC dan temperatur
silinder dingin 30oC.
d. Mesin mampu berputar selama sumber panas yang
diberikan pada silinder sisi panas masih menyala. Hasil
pengujian, mesin dapat berputar selama 10 menit hingga
sumber panas dari spirtus padam.
e. Masih terjadi sedikit kebocoran pada silinder dingin dan
piston yang menyebabkan putaran mesin semakin lama
semakin menurun.
ACKNOWLEDGEMENT
Penelitian ini didukung oleh JurusanTeknikKonversi
Politeknik Negeri Bandung
DAFTAR PUSTAKA
[1] Christop, Maier, et.al.. 2007. Stirling Engine.
University og Gàvle
[2] Chen, when-lih, King-Leung Wong, Li Wen Po. A
numerical analysis on the performance of a
pressurized twin power piston gamma-type Stirling
engine. Taiwan: Clean Energy Center.
[3] Khirata, Koichi . Bekkoame Home Page, Schmidt
theory for Stirling engines . Stirling engine home page
[online]. diakses tanggal 3 Januari 2013. dari :
http://www.bekkoame.ne.jp/_khirata
[4] Lloyd, Caleb C.. 2009. A Low Temperatur
Differential Stirling Engine ForPower Generation.
University of Catenbury.
[5] Maleev, V.L.. 1945. Internal Combustion Engines–
Theory and Design 2nd edition.
[6] London: McGraww-Hill Book Company,Inc.
[7] Martini, William M..1978. Stirling Engine Design
Manual 2nd Edition . Washington D.C: University of
Washington, Prepared for NASA.
[8] Miller, Fletcher J. 2009. Stirling Solar Engine Design
Report . San Diego State University.
[9] Power from the Sun. (2008). Power Cycles for
Electricity Generation. Diakses 15 Oktober 2012 dari
http://www.powerfromthesun.net/Book/chapter12/cha
pter12.html#12.3 Stirling Cycle Engines
[10] Yuliarto M, Anggit. 2010. Perencanaan
Termodinamika dan Pengujian Prototipe Motor
Stirling Tipe Alpha Dengan Konvigurasi V-90.
Bandung: ITENAS.
IRWNS 2013
220
Rancang Bangun Alat Pirolisis Sederhana dengan Redestilator untuk
Pembuatan Asap Cair dari Tempurung Kelapa
Ika Yuliyani, Sapto Prayogo
Jurusan Teknik Konversi Energi, Politeknik Negeri Bandung,Bandung 40012
ABSTRAK
Asap cair atau smoke liquid merupakan suatu hasil destilasi atau pengembunan uap hasil pembakaran tidak sempurna dari
bahan bahan yang banyak mengandung karbon serta senyawa-senyawa lain. Asap cair dapat memiliki fungsi penghambat
perkembangan bakteri dan aman sebagai pengawet alami, hal ini karena di dalam distilat asap terkandung senyawa: phenolat,
karbonil, dan asam. Sifat antioksidan dan antimikroba terutama diperoleh dari senyawa-senyawa phenol yang merupakan salah
satu komponen aktif dalam asap cair. Asap cair dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan diantaranya sebagai bahan
pengawet makanan. Penelitian ini bertujuan untuk Mendesain, membuat dan menguji alat penghasil asap cair yaitu reaktor
pirolisis dengan redestilator sederhana dan mampu memghasilkan asap cair yang berkualitas yang aman untuk pengawet
makanan dengan kandungan phenol dan asam yang tinggi. Dari penelitian dihasilkan alat pirolisis sederhana dengan
redestilator mempunyai kapasitas 6 kg dan mampu menghasilkan asap cair berkualitas dengan mutu grade 2 yang aman untuk
makanan. Pada pengujian dengan bahan 3 kg mampu memproduksi asap sebanyak 1375 mL selama 3-4 jam. Kandungan
phenol dan asam dalam asap cair diketahui sebanyak 4,24 % dan 13,1 %. Temperatur reaktor 400-450 ˚C adalah temperatur
yang baik untuk memproduksi asap cair dengan kandungan phenol dan asam yang baik
.
Kata Kunci Asap cair, Pirolisis, Redestilator, Phenol
1. PENDAHULUAN
Asap cair atau smoke liquid merupakan suatu hasil destilasi
atau pengembunan uap hasil pembakaran tidak sempurna
dari bahan bahan yang banyak mengandung karbon serta
senyawa-senyawa lain. Bahan baku yang digunakan
biasanya adalah tempurung kelapa, bonggol jagung, kayu,
bongkol kelapa sawit, ampas hasil penggergajian kayu dan
lain sebagainya.
Pada proses produksi kandungan senyawa-senyawa dalam
asap cair, dipengaruhi oleh kondisi pembakaran seperti
tekanan, suhu pembakaran dan lamanya waktu pembakaran.
Asap cair mengandung kelompok senyawa asam dan
turunannya, seperti alkohol, aldehid, hidrokarbon, keton,
fenol, dan piridin. Senyawa-senyawa ini tidak sepenuhnya
sesuai dengan penggunaan asap cair sebagai antimikroba,
antioksidan, bioinsektisida dan penggunaan lainnya
Kualitas asap cair ditentukan oleh kemurnian senyawa-
senyawa yang terkandung di dalamnya, khususnya phenol
dan asam organik. Oleh karena itu untuk menghasilkan asap
cair berkualitas tinggi dan aman untuk digunakan pada
makanan diperlukan proses pemurnian. Proses pemurnian
untuk memisahkan senyawa-senyawa tersebut sehingga
didapatkan komponen asap cair yang diinginkan.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Asap Cair
Asap cair merupakan suatu campuran larutan dan disperse
koloid dari uap asap kayu dalam air yang diperoleh dari
hasil pirolisa kayu (Putnam 1999). Asap diproduksi dengan
cara pembakaran yang tidak sempurna yang melibatkan
reaksi dekomposisi konstituen polimer menjadi senyawa
organic dengan berat molekul rendah karena pengaruh
panas yang meliputi reaksi oksidasi, polimerasi, dan
kondensasi (Girrard 1992).
Menurut Tranggono et al. (1996) asap cair tempurung
kelapa memiliki 7 macam komponen dominan, yaitu
phenol, 3-metil-1,2-siklopentadion, 2-mektosiphenol, 2-
mektosi-4-metilphenol, 4-etil-2-metoksiphenol, 2,6-
dimektosiphenol, dan 2,5-dimektosi benzil alkohol yang
semuanya larut dalam eter.
Phenol merupakan zat aktif yang dapat memberikan efek
antibakteri dan antimikroba pada asap cair. Selain itu,
phenol juga dapat memberikan efek antioksidan kepada
bahan makanan yang akan diawetkan
IRWNS 2013
221
2.2 Kualitas Asap Cair
Kualitas dari asap Cair dibedakan atas penggunaannya. Ada
3 jenis kualitas asap cair yang dinamakan grade asap cair,
yaitu sebagai berikut :
Asap cair grade 3 yaitu warna coklat gelap, rasa asam
kuat, aroma asap kuat, digunakan untuk penggumpal
karet pengganti asam semut, penyamakan kulit,
pengganti antiseptik untuk kain, menghilangkan jamur
dan mengurangi bakteri pathogen. Tidak dapat
digunakan untuk pengawet makanan, karena masih
banyak mengandung tar yang karsinogenik.
Asap cair grade 2 yaitu warna kecoklatan transparan,
rasa asam sedang, aroma asap lemah, digunakan untuk
makanan dengan taste asap (daging asap, bakso, mie,
tahu, ikan kering, telur asap, bumbu-bumbu barbaque,
ikan asap/bandeng asap). Asap cair digunakan untuk
pengawet makanan sebagai pengganti formalin, rasa
asam sedang, aroma asap lemah.
Asap cair grade 1 digunakan sebagai pengawet makanan
seperti bakso, mie, tahu, bumbu-bumbu barbaque,
berwarna bening, rasa sedikit asam, aroma netral,
merupakan asap cair yang paling bagus kualitasnya dan
tidak mengandung senyawa yang berbahaya lagi untuk
diaplikasikan untuk produk makanan.
2.3 Pemurnian asap cair dengan Redestilasi
Proses destilasi merupakan metode yang digunakan untuk
memisahkan komponen-komponen yang ada di dalam suatu
larutan atau cairan, yang tergantung pada distribusi
komponen-komponen tersebut antara fase uap dan fase cair.
Semua komponen-komponen ini terdapat dalam kedua fase
tersebut. Fase uap terbentuk dari fase cair melalui
penguapan pada titik didihnya (Geankoplis, 1983). Distilasi
asap cair dilakukan untuk menghilangkan senyawa-
senyawa yang tidak diinginkan dan berbahaya, seperti
poliaromatik hidrokarbon (PAH) dan tar, dengan cara
pengaturan suhu didih sehingga diharapkan didapat asap
cair yang jernih, bebas ter dan benzopiren (Darmaji, 2002).
Senyawa utama yang terkandung di dalam tar yang
merupakan hasil dari suatu proses distilasi adalah senyawa
phenol yang terdapat dalam jumlah yang sedikit terutama
terdiri dari senyawa piridin dan quinolin (Holleman, 1903).
2.4 Pirolisis
Pirolisis adalah proses pemanasan suatu zat tanpa adanya
oksigen sehingga terjadi penguraian komponen-komponen
penyusun kayu keras. Istilah lain dari pirolisis adalah
penguraian yang tidak teratur dari bahan-bahan organik
yang disebabkan oleh adanya pemanasan tanpa
berhubungan dengan udara luar.
Menurut Kamaruddin et al.(1999) dalam pirolisis terdapat
dua tingkatan proses, yaitu pirolisis primer dan pirolisis
sekunder. Pirolisis primer adalah pirolisis yang terjadi pada
bahan baku dan berlangsung pada suhu kurang dari 600 oC,
hasil penguraian yang utama adalah karbon (arang).
Pirolisis sekunder yaitu pirolisis yang terjadi atas partikel
dan gas/uap hasil pirolisis primer dan berlangsung diatas
suhu 600 oC.hasil pirolisis pada suhu ini adalah
karbonmonoksida (CO), hydrogen (H2), dan hidrokarbon.
Reaktor Pirolisis adalah alat pengurai senyawa-senyawa
organik yang dilakukan dengan proses pemanasan tanpa
berhubungan langsung dengan udara luar dengan suhu 300-
600 °C. Reaktor pirolisis dilapisi oleh isolator seperti bata
dan tanah untuk menghindari panas keluar berlebihan, serta
memakai bahan bakar minyak atau gas sumber panasnya.
Proses pirolisis menghasilkan zat dalam tiga bentuk yaitu
padat, gas dan cairan (Buckingham, 2010).
3. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan diLab. Pembangkit Tenaga
Termal Jurusan Teknik Konversi Energi Politeknik Negeri
Bandung. Waktu kegiatan penelitian ini dilaksanakan mulai
bulan Juni 2012- Januari 2013.
Metode penelitian yang digunakan merupakan metode
rekayasa, dengan langkah pertama studi literature,
dilanjutkan dengan perancangan bentuk, pembuatan, dan
pengujian alat dengan pengamatan parameter ukur serta
pengujian kualitas uapnya.
3.1 Rancangan dan Pembuatan Alat
Rancangan alat penghasil asap cair ditentukan dari
kapasitas reaktor pirolisis yang diinginkan, yaitu
mempunyai kapasitas 6 kg dengan tipe pirolisis primer
lambat (200-400 °C). Rancangan atau desain alat dilakukan
menggunakan metode perhitungan kapasitas reaktor
pirolisis. Desain dari alat penghasil asap cair dapat dilihat
pada gambar berikut.
Gambar 1: Rancangan sistem penghasil asap cair
Keterangan gambar :
IRWNS 2013
222
1. Reaktor pirolisis,
2. Pipa penghubung antara tungku pirolisator dan
kondensor,
3. Tabung kondensor,
4. Burner,
5. Pompa air,
6. Pipa sirkulasi air masuk kondensor,
7. Pipa sirkulasi air keluaran kondensor,
8. Bejana penampungan air untuk pendingin kondensor,
9. Katup pengeluaran asap cair.
Pembuatan alat dilaksanakan sesuai dengan hasil
perancangan dan dilaksanakan di Lab. Teknik Konversi
Energi Polban. Hasil pembuatan alat dapat dilihat pada
Gambar 2.
Gambar 2: Sistem Pirolisis sederhana dengan redestilator.
4. PENGUJIAN ALAT
Pengujian alat dilakukan dengan menggunakan 2 metode
pengujian, yaitu:
1. Pengujian tanpa menggunakan proses redestilasi
2. Pengujian dengan menggunakan proses redestilasi.
Pengujian dilaksanakan sesuai dengan prosedur pengujian.
Adapun parameter yang diamati dari pengujian adalah
Kapasitas efektif alat dilakukan dengan menghitung
banyaknya asap cair yang dihasilkan (liter) tiap satuan
waktu yang dibutuhkan selama proses pembakaran (jam).
Temperatur pembakaran dan pengambilan sample untuk
analisis kimia untuk mengetahui kandungan phenol dan
kadar asam dari asap cair.
Hasil pengujian alat diperoleh data sebagai berikut:
a. Pengujian produksi asap cair dari alat pirolisis tanpa
redestilasi. Pengujian dilakukan dengan pengaturan
temperatur pada reaktor pirolisis, yaitu pada temperatur
200-500˚C. Pengujian menggunakan bahan tempurung
kelapa yang sudah dikeringkan, masing-masing setiap
pengujian sebanyak 3 kg dan waktu pembakaran
berlangsung sekitar 3-4 jam. Dari hasil pengujian alat
diperoleh asap cair dengan warna coklat gelap.
Tabel 1: Produksi asap cair alat pirolisis tanpa redestilasi
Suhu
Pirolisis
(˚C)
Total
Fenol
(%)
200-250 0.92
250-300 2.56
300-400 3.24 450-500 4.82
b. Pengujian produksi asap cair dengan redestilasi. Dalam
pembuatan asap cair, distilasi bertujuan untuk
memisahkan tar yang bersifat karsinogenik. Suhu yang
dibutuhkan pada destilasi tidak setinggi pada pirolisis.
Suhu sekitar 120˚C–200˚C. Destilasi sederhana
dilakukan secara bertahap, sejumlah campuran
dimasukkan ke dalam sebuah reaktor destilasi,
dipanaskan bertahap dan dipertahankan selalu berada
dalam tahap pendidihan kemudian uap yang terbentuk
dikondensasikan dan ditampung dalam wadah. Hasil
pengujian alat dengan redestilasi diperoleh asap cair
dengan warna coklat transfaran.
Gambar 3: Asap cair hasil pengujian
Tabel 2: Produksi asap cair pirolisis dengan
redestilasi
Volume Asap Cair (ml) Pada Temperatur
Pirolisis
200-
250(˚C)
250-
300(˚C)
300-
400(˚C)
450-
500(˚C)
1200 1330 1370 1375
IRWNS 2013
223
c. Hasil pengujian dari laboratorium Teknik kimia untuk
mengetahui kandungan phenol dan asam pada asap cair
yang dihasilkan dari pengujian alat adalah sebagai
berikut.
Tabel 3: Total fenol pada pengujian alat pirolisis
tanpa redestilasi
Tabel 4: Total Asam pada pengujian alat pirolisis
tanpa redestilasi
Suhu Pirolisis (˚C) Total Asam (%)
200-250 13.12
250-300 13.30
300-400 13.34
450-500 13.33
Tabel 5: Total fenol dan total Asam pada pengujian
dengan redestilasi
Suhu
Pirolisis
(˚C)
Total Fenol (%) Total Asam (%)
Awal Redestilasi Awal Redestilasi
250-300 2.76 0.9 11.66 8.06
300-400 4.24 2 13.1 8.81
5. ANALISIS DATA
5.1 Kualitas Asap Cair
Hasil pengujian dari alat pirolisis sederhana yang sudah
dibuat mampu memproduksi asap cair sebanyak 1200-1375
mL dari bahan baku tempurung kelapa sebanyak 3 kg. Dari
data pengujian, diketahui bahwa produksi asap cair
dipengaruhi oleh temperatur reaktor pirolisis. Untuk
mendapatkan produksi asap cair yang baik maka sebaiknya
dilakukan pada temperatur reaktor antara 400-450˚C,
karena pada temperatur tersebut diperoleh jumlah asap cair
yang lebih banyak dibandingkan dengan pengaturan
temperatur dibawah 400˚C dan temperatur diatas 450˚C.
Kualitas Asap cair yang dihasilkan pada pengujian alat
tanpa redestilator diketahui memiliki mutu grade 3, karena
dari hasil pengujian menghasilkan warna asap dengan
warna coklat gelap dan memiliki rasa asam dan aroma asap
yang kuat. Dari teori asap cair jenis ini tidak dapat
digunakan untuk pengawet makanan, karena masih banyak
mengandung tar yang karsinogenik. Sehingga tidak aman
diaplikasikan untuk pengasapan dan pengawet makanan,
karenanya diperlukan proses lebih lanjut untuk
meningkatkan mutu asap cair dari grade 3 menjadi grade 2
dan 1 yang aman diaplikasikan untuk makanan dengan
tahap pengujian redestilasi.
Destilasi adalah suatu proses pemisahan suatu komponen
dari suatu campuran dengan menggunakan dasar bahwa
beberapa komponen dapat menguap lebih cepat daripada
komponen yang lainnya. Ketika uap diproduksi dari
campuran, uap tersebut lebih banyak berisi komponen-
komponen yang bersifat lebih volatil, sehingga proses
pemisahan komponen-komponen dari campuran dapat
terjadi
Hasil pengujian alat dengan redestilasi diketahui kualitas
asap cair yang dihasilkan memiliki mutu grade 2, karena
dari hasil pengujian menghasilkan warna asap cair coklat
transparan, dan volume asap cair berkurang sekitar 50 %
dari kondisi awal. Hal ini disebabkan karena adanya
rendeman. Adanya alat redestilasi pada alat pirolisis ini
bertujuan untuk menaikkan kualitas asap cair sehingga
dapat digunakan langsung untuk pengawet makanan.
Kandungan Fenol dan Asam
Kandungan total fenol dan total asam pada asap cair yang
dihasilkan dari alat pirolisis diketahui bahwa asap cair
tersebut memenuhi standar mutu dari asap cair. Karena nilai
total fenol dan total asam berada pada range nilai yang
diijinkan. Dari refferensi standar mutu komposisi kimia
asap cair tempurung kelapa adalah karbonil 13,28%, asam
11,39%, fenol 2,10-5,13%.
Senyawa fenol pada asap cair memiliki peranan dalam rasa
dan aroma asap, selain itu senyawa fenol menunjukkan
aktivitas antioksi dan memberikan sifat antioksidan
terhadap fraksi minyak dalam produk asapan. Sedangkan
kandungan asam pada asap cair juga sangat efektif dalam
mematikan dan menghambat pertumbuhan mikroba pada
produk makanan yaitu dengan cara senyawa asam ini
menembus dinding sel mikroorganisme yang menyebabkan
sel mikroorganisme menjadi lisis kemudian mati, dengan
menurunnya jumlah bakteri dalam produk makanan maka
kerusakan pangan oleh mikroorganisme dapat dihambat
sehingga meningkatkan umur simpan produk pangan.
Keuntungan dan Kelemahan Asap Cair
Penggunaan asap cair pada makanan memberikan
keuntungan dalam pemberian citarasa, kontrol hilangnya
citarasa lebih mudah, dan dapat diaplikasikan pada
berbagai jenis bahan pangan. Selain itu pemakaian produk
asap cair dapat digunakan sebagai penghemat dalam
pemakaian kayu bakar serta dapat mengurangi polusi
lingkungan.
Selain itu keuntungan lain yang diperoleh dari asap cair,
adalah sebagai berikut :
Suhu Pirolisa
(˚C) Volume
awal asap
cair (ml)
Volume
destilat
(ml)
Rendemen
(%)
250-300 1360 710 50,71
300-400 1470 780 53,79
IRWNS 2013
224
• Keamanan Produk Asapan.
Penggunaan asap cair yang diproses dengan baik dapat
mengeliminasi komponen asap berbahaya yang berupa
hidrokarbon polisiklis aromatis. Komponen ini tidak
diharapkan karena beberapa di antaranya terbukti
bersifat karsinogen pada dosis tinggi. Melalui
pembakaran terkontrol, aging, dan teknik pengolahan
yang semakin baik, tar dan fraksi minyak berat dapat
dipisahkan sehingga produk asapan yang dihasilkan
mendekati bebas PAH. Aktivitas Antioksi dan adanya
senyawa fenol dalam asap cair memberikan sifat
antioksidan terhadap fraksi minyak dalam produk
asapan. Dimana senyawa fenolat ini dapat berperan
sebagai donor hidrogen dan efektif dalam jumlah sangat
kecil untuk menghambat autooksidasi lemak.
• Aktivitas Antibakterial
Peran bakteriostatik dari asap cair semula hanya
disebabkan karena adanya formaldehid saja tetapi
aktivitas dari senyawa ini saja tidak cukup sebagai
penyebab semua efek yang diamati. 30 kombinasi antara
komponen fungsional fenol dan kandungan
asamorganik yang cukup tinggi bekerja secara sinergis
mencegah dan mengontrol pertumbuhan mikrobia.
Kandungan kadar asam yang tinggi dapat menghambat
pertumbuhan mikrobia karena mikrobia hanya bisa
tumbuh pada kadar asam yang rendah (Pszczola,
1995). Adanya fenol dengan titik didih tinggi dalam
asap juga merupakan zat antibakteri yang tinggi.
• Potensi pembentukan warna coklat
Karbonil mempunyai efek terbesar pada terjadinya
pembentukan warna coklat pada produk asapan. Jenis
komponen karbonil yang paling berperan adalah aldehid
glioksal dan metal glioksal sedangkan formaldehid dan
hidroksiasetol memberikan peranan yang rendah. Fenol
juga memberikan kontribusi pada pembentukan warna
coklat pada produk yang diasap meskipun intensitasnya
tidak sebesar karbonil.
• Kemudahan dan variasi penggunaan
Asap cair bisa digunakan dalam bentuk cairan, dalam
fasa pelarut minyak dan bentuk serbuk sehingga
memungkinkan penggunaan asap cair yang lebih luas
dan mudah untuk berbagai produk.
Asap cair juga mengandung senyawa yang merugikan yaitu
tar dan senyawa benzopiren yang bersifat toksik dan
karsinogenik serta menyebabkan kerusakan asam amino
esensial dari protein dan vitamin. Pengaruh ini disebabkan
adanya sejumlah senyawa kimia di dalam asap cair yang
dapat bereaksi dengan komponen bahan makanan. Upaya
untuk memisahkan komponen berbahaya di dalam asap cair
dapat dilakukan dengan cara redistilasi, yaitu proses
pemisahan kembali suatu larutan berdasarkan titik didihnya.
Redistilasi dilakukan untuk menghilangkan senyawa-
senyawa yang tidak diinginkan dan berbahaya sehingga
diperoleh asap cair yang jernih, bebas tar, poliaromatik
hidrokarbon (PAH) dan benzopiren pendispers.
6. KESIMPULAN
Dari rancang bangun alat pirolisis sederhana dengan
redestilator menggunakan bahan tempurung kelapa, maka
didapat kesimpulan:
a. Telah dihasilkan alat pirolisis sederhana dengan
redestilator yang berfungsi menghasilkan asap cair,
dengan kapasitas bahan tempurung kelapa 6 kg mampu
menghasilkan asap cair dengan kualitas mutu grade 2.
b. Pada pengujian alat pirolisis tanpa redestilator mampu
menghasilkan asap cair dengan kualitas mutu grade 3.
c. Temperatur reaktor 400-450 ˚C adalah temperatur yang
baik untuk memproduksi asap cair dengan kandungan
fenol dan asam yang baik.
d. Kandungan fenol asap cair yang dihasilkan yaitu antara
0,92-4,82 %, sedangkan total asam 11,66-13,43 %.
ACKNOWLEDGEMENT
Penelitian ini didukung oleh Jurusan Teknik Konversi
Politeknik Negeri Bandung.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Danarto, Y.C., 2008, Pirolisis Sekam Padi dengan
Katalisator Zeolit, Prosiding Seminar Nasional
Kimia dan Pendidikan Kimia, FMIPA-UNS Anonim.
1982. Kelapa sebagai Bahan Baku Industri. Badan
Penelitian dan Pengembangan Industri: Jakarta.
[2] Darmadji, P. 2002. Optimasi Pemurnian Asap Cair
dengan Metoda Redistilasi. Jurnal Teknologi dan
Industri Pangan 13(3), 267-271.
[3] Solichin, M. 2007. Penggunaan Asap Cair Deorub
dalam Pengolahan RSS. Jurnal Penelitian Karet,
Vol.25(1) : 1-12.
[4] Tsai, W.T., Lee, M.K., and Chang, Y.M., 2007, Fast
Pyrolysis of Rice Husk : Product Yields and
Compositions, Bioresource Technology, 98, 22-28.
[5] Gumanti, F. M. 2006. Kajian Sistem Produksi Distilat
Asap Tempurung Kelapa dan Pemanfaatannya
sebagai Alternatif Bahan Pengawet Mie Basah.
Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
[6] Bridgewater, A.V., 2005, Biomass Fast
Pyrolysis,Thermal Science, 8(2), 21-49.
[7] Pszczola, D. E. 1995. Tour Higlights Production and
Uses of Smoke Base Flavors. Food Tech. (49): 70-74.
[8] Hanendyo, C. 2005. Kinerja Alat Ekstrasi Asap Cair
dengan Sistem Kondensasi. Skripsi. Fakultas
Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
[9] Gusmailina, G. Pari dan S. Komarayati. 2000.
Pengolahan Limbah Melalui Teknik Pemanfaatan
Arang Untuk Membangun Kesuburan Lahan.
Prosiding Lokakarya Penelitian Hasil Hutan. PPHH
IRWNS 2013
225
Badan Penelitian dan Pengembangan Hutan
Departemen Kehutanan. Bogor. Hal.: 249-258.
[10] Anonim. 1993. Konperensi Nasional Kelapa III. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri:
Yogyakarta.
[11] Asnawi, S. Dan S. N. Darwis. 1985. Prospek Ekonomi
Tanaman Kelapa dan Masalahnya di Indonesia.
Departemen Pertanian, Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Balai Penelitian Kelapa
Manado, Manado.
[12] Child, R. 1974. Coconuts. Longman Group. Second
Edition. London.
[13] Figueiredo, J. L. & Molujin, J. A. 1986. Carbon and
Coal Gasification. Martinus Nijhoff Publishing.
Lancaster.
[14] Foale, M. 2003. The Coconut Odyssey : The Bouteous
Possibilities of The Tree of Life.Canberra: Australian
Centre for International Agriculture Research.
[15] Hassler, W. 1974. Activated Carbon : Industrial,
Commercial and Environmental. Chemical Publishing
Co., Inc. New York.
[16] Tranggono, dkk. 1996. Identifikasi Asap cair dari
berbagai jenis kayu dan tempurung kelapa. J. ilmu
dan Tek. Pangan. Vol. 1(2) : 15-24.
IRWNS 2013
226
Analisa Deformasi Material 100MnCrW4 (Amutit S) Pada Dimensi Dan
Media Quenching Yang Berbeda
Muhammad Subhan
Jurusan Teknik Mesin, Politeknik Manufaktur Negeri Bangka Belitung, Sungailiat, 33211
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Dari analisa awal, terjadinya gejala deformasi material 100MnCrW4 (Amutit S) akibat perlakuan panas dapat disebabkan
beberapa faktor antara lain ; pengaruh temperatur pemanasan, posisi penempatan material dalam kotak pengepakan (packaging
box), posisi pencelupan benda kerja ke dalam media quenching dan jenis media quenching. Pada pengujian ini pengamatan
difokuskan pada jenis media quenching yang digunakan dengan menganggap faktor-faktor lainnya sebagai penyebab
deformasi diminimalkan sedemikian rupa dengan cara melaksanakan pengujian sesuai dengan prosedurnya.
Menurut data spesifikasi bahan, material ini diquenching dalam media oli dan air garam (2000-250
0C untuk < 20mm). Pada
percobaan ini akan dilakukan pengujian terhadap bahan uji yang memiliki dimensi yang berbeda-beda ( 12, 17, 22,
27, 32dengan panjang masing-masing 250 mm) dengan media quenching udara dan oli. Dari kedua jenis media quenching
ini akan terlihat berapa besar tingkat deformasi yang terjadi pada setiap bahan uji dengan melakukan pengujian kelurusan.
Hasil dari penelitian ini didapatkan untuk meminimalisir tingkat deformasi dan mendapatkan harga kekerasan di atas 60 HRC
maka bahan uji dengan dimensi 12 x 250 dan 17 x 250 sebaiknya diquenching dengan media udara sembur sementara
bahan uji dengan dimensi 22 x 250,27 x 250 dan 32 x 250 diquenching dengan media oli.
Kata Kunci
Deformasi, perlakuan panas, media quenching
1. PENDAHULUAN
Material dengan nomor standar DIN 1.2510 100MnCrW4
adalah jenis baja paduan rendah yang dalam pemakaiannya
antara lain digunakan untuk cutting tools, trimming dies,
forming dies, punching tools, yang dipergunakan dalam
temperatur rendah (temperatur ruang). Pada saat dilakukan
perlakuan panas, material ini sering mengalami problem
deformasi (bending) setelah diquenching yang akan
mempengaruhi kelurusan dari material tersebut. Penelitian
ini akan melihat berapa besar perbedaan tingkat kekerasan
dan penyimpangan kelurusan yang terjadi pada setiap benda
uji menggunakan 2 media quenching yang berbeda yaitu oli
dan udara. Pengujian bahan uji yang dilakukan adalah
pengujian kelurusan, pengujian kekerasan dan pengujian
mikro struktur.
Penelitian ini bertujuan mengetahui tingkat penyimpangan
yang terjadi dan harga kekerasan pada masing-masing
bahan uji dengan perbedaan dimensi dan media quenching.
Dari data-data tingkat penyimpangan dan harga kekerasan
tersebut dapat ditentukan perlakuan yang cocok (jenis
media quenchingnya) sesuai dengan dimensi bahan uji yang
bertujuan meminimalisir tingkat deformasi yang terjadi
dengan kekerasan minimal 60 HRC.
2. BAHAN DAN METODE
2.1 Bahan
Material yang diuji dalam penelitian ini adalah jenis
100MnCrW4, produk dari Bohler dengan nama dagang
K460 (Amutit S), dengan dimensi awal benda uji :
1. 16,5 x 300 (2pcs)
2. 20,5 x 300 (2pcs)
3. 25,5 x 300 (2pcs)
4. 33,5 x 300 (2pcs)
5. 35,5 x 300 (2pcs)
Kekerasan awal material ini adalah 185 HB. Adapun
komposisi dari material ini dapat dilihat pada tabel 3.1.
Tabel 1: Komposisi unsur yang terkandung
dalam bahan uji
UNSUR KOMPOSISI (%)
Fe 96
C 0,95
Si 0,25
Mn 1,10
Cr 0,55
V 0,10
W 0,55
Ni 0,20
Mo 0,06
IRWNS 2013
227
2.2 Proses Machining dan Pengukuran Dimensi
Bahan Uji
Proses machining yang dilakukan terhadap bahan uji
dilakukan untuk mendapatkan dimensi bahan uji yang
diinginkan pada proses pengujian. Proses machining ini
dilakukan dimensi bubut dengan pencekaman between
center untuk mendapatkan penyimpangan kelurusan awal
yang sekecil mungkin. Dari proses machining ini
diinginkan dimensi bahan uji sebagai berikut :
12 ±0,1 x 250 (2pcs)
17 ±0,1 x 250 (2pcs)
22 ±0,1 x 250 (2pcs)
27 ±0,1 x 250 (2pcs)
32 ±0,1 x 250 (2pcs)
2.3 Pengujian Kelurusan
Pengujian kelurusan dilakukan untuk mengetahui berapa
besar tingkat deformasi dari bahan uji. Pengamatan
dilakukan dengan membandingkan tingkat deformasi dari 2
pcs bahan uji yang memiliki dimensi yang sama yang
kemudian diqenching dengan media quenching yang
berbeda yaitu oli dan udara.
Pengujian kelurusan ini dilakukan pada saat sebelum dan
sesudah proses perlakuan panas. Pengujian sebelum
perlakuan panas penting dilakukan untuk mengetahui
tingkat penyimpangan awal dari bahan uji yang
dilaksanakan setelah proses machining.
Proses pengujian kelurusan ini menggunakan dial indikator
dengan tingkat kecermatan 0,01 mm. Langkah-langkah
proses pengujian kelurusan ini adalah sebagai berikut :
1. Bahan uji dicekam di mesin bubut menggunakan
pencekaman between center.
2. Tempatkan posisi jarum dial indikator pada pertengahan
posisi horizontal dan vertikal pada bahan uji.
Gambar 1: Posisi jarum dial indikator pada pertengahan
arah horisontal dan vertikal bahan uji
3. Putar bahan uji hingga jarum dial indikator
menunjukkan posisi yang paling besar
penyimpangannya
4. Gerakkan dial indikator sepanjang bahan uji
menggunakan carriage mesin.
Gambar 2: Pengukuran kelurusan bahan uji
5. Lakukan pengukuran penyimpangan kelurusan bahan
uji pada 9 posisi yaitu dimulai dari jarak 5 mm dari
ujung kemudian dilanjutkan pada jarak 30 mm
berikutnya.
2.4 Proses Hardening
Referensi [1] menyatakan pengerasan baja (hardening)
berarti baja pada temperatur austenisasi didinginkan
secara mendadak (diquenching) dengan kecepatan
pendinginan di atas kecepatan pendinginan kritis agar
diperoleh kekerasan yang tinggi melalui pembentukan
martensit.
Sebelum melakukan proses hardening, harus ditentukan
dulu parameter-parameter yang harus digunakan dalam
pengujian [2]. Dalam pengujian ini menggunakan material
100MnCrW4, jenis material baja paduan rendah dengan
komposisi paduan seperti pada tabel 1. Dari data
komposisi unsur paduan yang ada pada tabel 1 bila
dimasukkan dalam grafik pengaruh unsur paduan terhadap
pergeseran titik transformasi bawah (gambar 3), diperoleh
data seperti pada tabel 2.
Tabel 2: Pengaruh unsur paduan terhadap perubahan
temperatur transformasi γ-α pada material 100MnCrW4
UNSUR KOMPOSIS
I (%)
TEMPERATUR
UBAH γ-α
(0F)
PERUBAHAN
TEMPERATUR
(0F)
1340 0
Si 0,25 1355 15
Mn 1,10 1335 -5
Cr 0,55 1365 25
W 0,55 1395 55
Ni 0,20 1338 -2
Mo 0,06 1365 25
JUMLAH 113
IRWNS 2013
228
Holding
time
Suhu (0C)
Pendinginan
cepat
Waktu
(jam)
Ac3
Preheating
Holding
time Final heating
Gambar 3: Diagram pengaruh unsur paduan
terhadap titik transformasi eutektoid [4]
Dari data di atas, temperatur titik ubah γ-α bergeser ke atas
sebesar 113 0F atau 45
0 C. Sehingga temperatur titik ubah
bawah yang diambil sebesar 450
C di atas titik ubah baja
tanpa paduan. Temperatur pengerasan terletak 300
C sampai
500
C di atas titk kritis bawah. Jadi temperatur pengerasan
yang diambil antara (727 + 45 + 30)0
C sampai (727 + 45 +
50)0
C atau 8020
C sampai 8220
C. Temperatur preheating-
nya diambil 6250 C.
Proses perlakuan panas menggunakan tungku tahanan
listrik. Langkah-langkah yang dilakukan dalam proses
hardening ini adalah sebagai berikut:
1. Persiapkan dapur pemanas dan bahan uji.
Bahan uji disiapkan dengan mengikatnya terlebih
dahulu dengan kawat baja. Tujuan pengikatan adalah
memudahkan proses penanganan bahan uji sesaat akan
diquenching.
2. Masukkan bahan uji ke dalam kotak yang diredam
dengan arang kayu.
Posisi penempatan bahan uji ke dalam kotak ini agak
dimiringkan dengan tujuan mengurangi deformasi yang
lebih besar pada bahan uji.
Gambar 4: Posisi penempatan
bahan uji di dalam kotak
3. Hidupkan dan setting dapur pemanas. Adapun
parameter setting dapur pemanas yang dimasukkan
adalah:
a. Temperatur awal diambil dari temperatutur kamar
yang ditunjukkan dalam layar monitor.
b. Temperatur preheating disetting pada posisi 6250
C.
c. Waktu yang dibutuhkan dari temperatur awal ke
temperatur preheating sekitar 1,5 jam sesuai
dengan kemampuan dan kapasitas oven.
d. Waktu penahanan preheating 1 jam.
e. Temperatur akhir (hardening) diambil 8200 C.
f. Waktu yang dibutuhkan dari temperatur preheating
ke temperatur akhir diambil 1 jam.
g. Waktu penahanan pemanasan 2 jam.
Gambar 5: Diagram proses pengerasan
4. Persiapkan media pendingin.
5. Setelah waktu penahanan pemanasan berjalan 2 jam,
bahan uji dimasukkan ke dalam media quenching oli
dengan cepat. Untuk bahan uji dengan media
quenching udara menggunakan udara sembur.
6. Ambil bahan uji kemudian dan persiapkan untuk
pengujian kelurusan, kekerasan dan mikro struktur.
2.5 Pengujian Kekerasan
Pengujian kekerasan yang dilakukan dalam penelitian ini
ada dua metode pengujian kekerasan yang dilakukan yaitu
metode uji kekerasan menurut Brinell dan metode uji
kekerasan menurut Rockwell-C.
Gambar 6: Universal hardness tester
IRWNS 2013
229
250
mm
D
5 95 65 185 155 125 215 245 35 250
2.6 Pengujian Mikro Struktur
Pengujian mikro struktur atau metallographi dilakukan
untuk melihat struktur mikro dan distribusi fasa-fasa dalam
baja. Pengujian mikro ini dilakukan dengan alat
metallurgical microscope up right.
Gambar 7: Metallurgical microscope up right
Pengambilan gambar struktur mikro harus dipilih sehingga
mewakili bagian-bagian yang perlu untuk diteliti, sehingga
mendapatkan informasi yang diperlukan untuk penyelidikan
yang diperlukan. Langkah-langkah yang dilakukan sebelum
pengujian adalah sebagai berikut:
1. Mempersiapkan spesimen yang akan diuji.
2. Spesimen-spesimen tadi digerinda kemudian diampelas
dengan urutan nomor ampelas dari yang paling kasar,
yaitu no. 180, 240, 600, 800, 1000. Proses
pengamplasan dilakukan di mesin amplas rotary.
3. Memoles spesimen hingga mengkilap, halus dan rata.
4. Mengetsa spesimen dengan cairan HNO3 3% selama ±
3-5 detik, lalu mencuci dengan air mengalir dan alkohol
kemudian dikeringkan.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Data Awal Sebelum Pengujian
Data awal ini yaitu pengujian kelurusan bahan uji sebelum
dilakukan proses hardening. Dari 10 pcs bahan uji terlebih
dahulu dipisahkan dan ditandai bahan yang akan diuji
dengan media quenching udara dan oli.
Dimensi bahan uji pada masing-masing media quenching
udara dan oli tersebut adalah :
12 x 250 (1pcs)
17 x 250 (1pcs)
22 x 250 (1pcs)
27 x 250 (1pcs)
32 x 250 (1pcs)
Dimensi bahan uji ini diharapkan dapat mewaliki variasi
ukuran yang sangat beragam sesuai dengan keperluan dan
penggunaan material tersebut.
Pengujian kelurusan ini dilihat dari 9 posisi pengukuran
yaitu dimulai dari jarak 5 mm dari ujung bahan uji
kemudian dilanjutkan pada jarak 30 mm berikutnya.
Sehingga posisi pengukuran yaitu pada jarak 5 mm, 35
mm, 65 mm, 95 mm, 125 mm,155 mm, 185 mm, 215 mm
dan 245 mm.
Gambar 8: Posisi pengukuran kelurusan bahan uji
Hasil pengukuran kelurusan awal ini dapat dilihat pada
tabel berikut ini :
Tabel 3: Penyimpangan kelurusan awal
untuk media quenching udara
Dimensi Jarak Pengukuran dari Ujung Bahan Uji (mm)
5 35 65 95 125 155 185 215 245
12 0 0,04 0,08 0,11 0,14 0,16 0,13 0,10 0,07
17 0 0,04 0,08 0,12 0,15 0,13 0,11 0,09 0,06
22 0 0,04 0,08 0,12 0,15 0,14 0,12 0,10 0,08
27 0 0,04 0,08 0,11 0,14 0,13 0,11 0,09 0,07
32 0 0,03 0,06 0,09 0,12 0,10 0,08 0,06 0,04
Tabel 4: Penyimpangan kelurusan awal
untuk media quenching oli
Dimensi Jarak Pengukuran dari Ujung Bahan Uji (mm)
5 35 65 95 125 155 185 215 245
12 0 0,06 0,11 0,16 0,20 0,17 0,14 0,10 0,05
17 0 0,05 0,10 0,14 0,18 0,16 0,14 0,10 0,06
22 0 0,05 0,09 0,13 0,17 0,15 0,13 0,10 0,06
27 0 0,04 0,08 0,12 0,15 0,14 0,12 0,09 0,05
32 0 0,04 0,08 0,12 0,15 0,13 0,10 0,07 0,04
3.2 Data Kelurusan Setelah Proses Hardening
Setelah dilakukan proses hardening kemudian dilanjutkan
dengan proses quenching dengan media quenching udara
sembur dan oli. Dari pengukuran uji kelurusan setelah
proses hardening didapat data-data penyimpangan
kelurusan sebagai berikut :
Tabel 5: Penyimpangan kelurusan setelah proses
hardening dengan media quenching udara
Dimensi Jarak Pengukuran dari Ujung Bahan Uji (mm)
5 35 65 95 125 155 185 215 245
12 0 0,14 0,28 0,41 0,53 0,64 0,46 0,27 0,08
17 0 0,14 0,26 0,36 0,46 0,53 0,41 0,27 0,08
22 0 0,12 0,24 0,34 0,42 0,46 0,35 0,22 0,07
27 0 0,11 0,21 0,30 0,39 0,31 0,23 0,15 0,07
IRWNS 2013
230
Penyimpangan Kelurusan 12 dengan Quenching Udara
00,04
0,080,11
0,14 0,160,13
0,10,07
0
0,14
0,28
0,41
0,53
0,64
0,46
0,27
0,08
0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0,7
0 35 70 105 140 175 210 245
Jarak Pengukuran (mm)
Besar
Pen
yim
pan
gan
(m
m)
Penyimpangan Kelurusan Aw al
Penyimpangan Kelurusan Setelah Hardening
Penyimpangan Kelurusan 12 dengan Quenching Oli
0 0,06 0,11 0,16 0,2 0,17 0,14 0,1 0,050
0,56
1,08
1,56
1,861,98
1,44
0,8
0,080
0,5
1
1,5
2
2,5
0 35 70 105 140 175 210 245
Jarak Pengukuran (mm)
Besar
Pen
yim
pan
gan
(m
m)
Penyimpangan Kelurusan Aw al
Penyimpangan Kelurusan Setelah Hardening
Penyimpangan Kelurusan 17 dengan Quenching Udara
00,04
0,080,12
0,150,13
0,110,09
0,06
0
0,14
0,26
0,36
0,46
0,53
0,41
0,27
0,08
0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0 35 70 105 140 175 210 245
Jarak Pengukuran (mm)
Besar
Pen
yim
pan
gan
(m
m)
Penyimpangan Kelurusan Aw al
Penyimpangan Kelurusan Setelah Hardening
Penyimpangan Kelurusan 17 dengan Quenching Oli
0 0,050,1 0,14 0,18 0,16 0,14 0,1 0,06
0
0,44
0,86
1,16
1,421,52
1,14
0,64
0,080
0,2
0,4
0,6
0,8
1
1,2
1,4
1,6
0 35 70 105 140 175 210 245
Jarak Pengukuran (mm)
Besar
Pen
yim
pan
gan
(m
m)
Penyimpangan Kelurusan Aw al
Penyimpangan Kelurusan Setelah Hardening
Penyimpangan Kelurusan 22 dengan Quenching Udara
00,04
0,080,12
0,15 0,140,12
0,10,08
0
0,12
0,24
0,34
0,420,46
0,35
0,22
0,07
0
0,05
0,1
0,15
0,2
0,25
0,3
0,35
0,4
0,45
0,5
0 35 70 105 140 175 210 245
Jarak Pengukuran (mm)
Besar
Pen
yim
pan
gan
(m
m)
Penyimpangan Kelurusan Aw al
Penyimpangan Kelurusan Setelah Hardening
Penyimpangan Kelurusan 22 dengan Quenching Oli
00,05
0,090,13
0,17 0,15 0,13 0,10,06
0
0,38
0,65
0,85
1,031,11
0,86
0,54
0,1
0
0,2
0,4
0,6
0,8
1
1,2
0 35 70 105 140 175 210 245
Jarak Pengukuran (mm)
Besar
Pen
yim
pan
gan
(m
m)
Penyimpangan Kelurusan Aw al
Penyimpangan Kelurusan Setelah Hardening
Penyimpangan Kelurusan 27 dengan Quenching Udara
0
0,04
0,080,11
0,14 0,130,11
0,090,07
0
0,11
0,21
0,3
0,39
0,31
0,23
0,15
0,07
0
0,05
0,1
0,15
0,2
0,25
0,3
0,35
0,4
0,45
0 35 70 105 140 175 210 245
Jarak Pengukuran (mm)
Besar
Pen
yim
pan
gan
(m
m)
Penyimpangan Kelurusan Aw al
Penyimpangan Kelurusan Setelah Hardening
32 0 0,09 0,18 0,25 0,31 0,25 0,19 0,12 0,04
Tabel 6: Penyimpangan kelurusan setelah proses
hardening dengan media quenching oli
Dimensi Jarak Pengukuran dari Ujung Bahan Uji (mm)
5 35 65 95 125 155 185 215 245
12 0 0,56 1,08 1,56 1,86 1,98 1,44 0,80 0,08
17 0 0,44 0,86 1,16 1,42 1,52 1,14 0,64 0,08
22 0 0,38 0,65 0,85 1,03 1,11 0,86 0,54 0,10
27 0 0,23 0,44 0,63 0,77 0,82 0,62 0,35 0,05
32 0 0,20 0,39 0,55 0,69 0,58 0,43 0,25 0,03
Untuk mempermudah menganalisa data-data penyimpangan
kelurusan tersebut, berikut ini akan ditampilkan dalam
bentuk grafik. Pada grafik ini akan ditampilkan
penyimpangan kelurusan awal dan penyimpangan
kelurusan setelah proses hardening untuk masing-masing
bahan uji.
Gambar 9: Grafik penyimpangan kelurusan
12 x 250 dengan quenching udara
Dari grafik terlihat bahwa untuk bahan uji 12 x 250
dengan quenching udara penyimpangan kelurusan
terbesarnya adalah 0,64 – 0,16 = 0,48 mm.
Gambar 10: Grafik penyimpangan kelurusan
12 x 250 dengan quenching oli
Dari grafik terlihat bahwa untuk bahan uji 12 x 250
dengan quenching oli penyimpangan kelurusan terbesarnya
adalah 1,98 – 0,17 = 1,81 mm.
Gambar 11: Grafik penyimpangan kelurusan
17 x 250 dengan quenching udara
Dari grafik terlihat bahwa untuk bahan uji 17 x 250
dengan quenching udara penyimpangan kelurusan
terbesarnya adalah 0,53 – 0,13 = 0,4 mm.
Gambar 12: Grafik penyimpangan kelurusan
17 x 250 dengan quenching oli
Dari grafik terlihat bahwa untuk bahan uji 17 x 250
dengan quenching oli penyimpangan kelurusan
terbesarnya adalah 1,52 – 0,10 = 1,42 mm.
Gambar 13: Grafik penyimpangan kelurusan
22 x 250 dengan quenching udara
Dari grafik terlihat bahwa untuk bahan uji 22 x 250
dengan quenching udara penyimpangan kelurusan
terbesarnya adalah 0,46 – 0,14 = 0,32 mm.
Gambar 14: Grafik penyimpangan kelurusan
22 x 250 dengan quenching oli
Dari grafik terlihat bahwa untuk bahan uji 22 x 250
dengan quenching oli penyimpangan kelurusan
terbesarnya adalah 1,11 – 0,15 = 0,96 mm.
IRWNS 2013
231
Penyimpangan Kelurusan 27 dengan Quenching Oli
00,04
0,080,12
0,15 0,14 0,120,09
0,050
0,23
0,44
0,63
0,770,82
0,62
0,35
0,050
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0,7
0,8
0,9
0 35 70 105 140 175 210 245
Jarak Pengukuran (mm)
Besar
Pen
yim
pan
gan
(m
m)
Penyimpangan Kelurusan Aw al
Penyimpangan Kelurusan Setelah Hardening
Penyimpangan Kelurusan 32 dengan Quenching Udara
0
0,03
0,06
0,09
0,120,1
0,080,06
0,04
0
0,09
0,18
0,25
0,31
0,25
0,19
0,12
0,06
0
0,05
0,1
0,15
0,2
0,25
0,3
0,35
0 35 70 105 140 175 210 245
Jarak Pengukuran (mm)
Besar
Pen
yim
pan
gan
(m
m)
Penyimpangan Kelurusan Aw al
Penyimpangan Kelurusan Setelah Hardening
Penyimpangan Kelurusan 32 dengan Quenching Oli
00,04
0,080,12
0,15 0,130,1
0,070,04
0
0,2
0,39
0,55
0,69
0,58
0,43
0,25
0,060
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0,7
0,8
0 35 70 105 140 175 210 245
Jarak Pengukuran (mm)
Besar
Pen
yim
pan
gan
(m
m)
Penyimpangan Kelurusan Aw al
Penyimpangan Kelurusan Setelah Hardening
Gambar 15: Grafik penyimpangan kelurusan
27 x 250 dengan quenching udara
Dari grafik terlihat bahwa untuk bahan uji 27 x 250
dengan quenching udara penyimpangan kelurusan
terbesarnya adalah 0,39 – 0,14 = 0,25 mm.
Gambar 16: Grafik penyimpangan kelurusan
27 x 250 dengan quenching oli
Dari grafik terlihat bahwa untuk bahan uji 27 x 250
dengan quenching oli penyimpangan kelurusan terbesarnya
adalah 0,82 – 0,14 = 0,68 mm.
Gambar 17: Grafik penyimpangan kelurusan
32 x 250 dengan quenching udara
Dari grafik terlihat bahwa untuk bahan uji 32 x 250
dengan quenching udara penyimpangan kelurusan
terbesarnya adalah 0,31 – 0,12 = 0,19 mm.
Gambar 18: Grafik penyimpangan kelurusan
32 x 250 dengan quenching oli
Dari grafik terlihat bahwa untuk bahan uji 32 x 250
dengan quenching oli penyimpangan kelurusan terbesarnya
adalah 0,69 – 0,15 = 0,54 mm.
3.3. Data Harga Kekerasan Setelah Proses Hardening
Pengujian kekerasan ini diambil dari 3 posisi pengukuran
yaitu 25 mm dari masing-masing ujung dan ditengah-
tengah bahan uji.
Gambar 19: Posisi pengukuran kekerasan bahan uji
Data hasil pengujian kekerasan setelah proses hardening
ini dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 7: Harga kekerasan (HRC) proses
hardening dengan quenching udara
No Diameter
Bahan Uji (D)
Posisi Pengukuran
Posisi 1 Posisi 2 Posisi 3
1 12 62 62 61
2 60,5 61 60
3 52 52 50
4 49 49 47
5 47 47 46,5
Tabel 8: Harga kekerasan (HRC) proses
hardening dengan quenching oli
No Diameter
Bahan Uji (D)
Posisi Pengukuran
Posisi 1 Posisi 2 Posisi 3
1 12 67 67,5 66
2 66 66 65
3 66 65 64
4 69 69 68
5 66 66 64
3.4. Data Harga Kekerasan Setelah Tempering
Tempering dilakukan untuk menghindari tegangan dalam
akibat pemanasan yang akan mengakibatkan specimen
terdeformasi lebih lanjut atau menjadi retak. Oleh karena
itu sesaat setelah proses hardening maka dilanjutkan
dengan proses tempering.
Proses tempering pada bahan uji ini dilakukan pada
temperatur 1500C dengan penahanan 1 jam. Harga
kekerasan setelah proses tempering ini dapat dilihat pada
tabel berikut:
Tabel 9: Harga kekerasan (HRC) proses
Posisi 1 Posisi 2 Posisi 3
250 mm
D
IRWNS 2013
232
Grafik Perbandingan Kekerasan Benda Uji 12 mm
66 6665
60,561,5
60
56
58
6062
64
66
68
20 125 250Jarak Pengukuran (mm)
Ke
ke
ras
an
(H
RC
)
Kekerasan Quenching OliKekerasan Quenching Udara
'
Grafik Perbandingan Kekerasan Benda Uji 17 mm
65 6564
5960
59
56
58
60
62
64
66
20 125 250Jarak Pengukuran (mm)
Ke
ke
ras
an
(H
RC
)
Kekerasan Quenching OliKekerasan Quenching Udara
Grafik Perbandingan Kekerasan Benda Uji 22 mm
64,5 64,5 63
50 50 4945
50
55
60
65
70
20 125 250Jarak Pengukuran (mm)
Kekera
san
(H
RC
)
Kekerasan Quenching OliKekerasan Quenching Udara
Grafik Perbandingan Kekerasan Benda Uji 27 mm
68 68 67
48 48 4642
48
54
60
66
72
20 125 250Jarak Pengukuran (mm)
Kekera
san
(H
RC
)
Kekerasan Quenching OliKekerasan Quenching Udara
Grafik Perbandingan Kekerasan Benda Uji 32 mm
64 6563
46 46 4542
48
54
60
66
20 125 250Jarak Pengukuran (mm)
Kekera
san
(H
RC
)
Kekerasan Quenching OliKekerasan Quenching Udara
tempering 1500C dengan quenching udara
No Diameter
Bahan Uji (D)
Posisi Pengukuran
Posisi 1 Posisi 2 Posisi 3
1 12 60,5 61,5 60
2 59 60 59
3 50 50 49
4 48 48 46
5 46 46 45
Tabel 10: Harga kekerasan (HRC) proses
tempering 1500C dengan quenching oli
No Diameter
Bahan Uji (D)
Posisi Pengukuran
Posisi 1 Posisi 2 Posisi 3
1 12 66 66 65
2 65 65 64
3 64,5 64,5 63
4 68 68 67
5 64 65 63
Untuk mempermudah menganalisa data-data perbandingan
kekerasan bahan uji dengan media quenching udara dan oli,
berikut ini akan ditampilkan dalam bentuk grafik. Pada
grafik ini akan ditampilkan perbandingan kekerasan
masing-masing bahan uji dengan media quenching udara
dan oli setelah proses tempering.
Gambar 20: Grafik perbandingan kekerasan bahan
uji 12 x 250 dengan quenching udara dan oli
Dari grafik terlihat untuk bahan uji 12 x 250 harga
kekerasannya relatif tinggi yaitu di atas 60 HRC baik untuk
bahan uji yang diquenching dengan media oli ataupun
udara.
Gambar 21: Grafik perbandingan kekerasan bahan
uji 17 x 250 dengan quenching udara dan oli
Dari grafik terlihat untuk bahan uji 17 x 250 harga
kekerasannya masih relatif tinggi yaitu berkisar di atas 60
HRC. Pada media quenching udara harga kekerasannya
masih cukup tinggi yaitu 60 HRC sementara untuk media
quenching oli harga kekerasannya masih stabil yaitu di
atas 64 HRC.
Gambar 22: Grafik perbandingan kekerasan bahan
uji 22 x 250 dengan quenching udara dan oli
Dari grafik terlihat untuk bahan uji 22 x 250 harga
kekerasan untuk media quenching oli relatif masih tinggi
yaitu 64 HRC. Sementara pada media quenching udara
harga kekerasannya turun cukup drastis yaitu sekitar 50
HRC.
Gambar 23: Grafik perbandingan kekerasan bahan
uji 27 x 250 dengan quenching udara dan oli
Dari grafik terlihat untuk bahan uji 27 x 250 harga
kekerasan untuk media quenching oli relatif masih tinggi.
Sementara pada media quenching udara harga
kekerasannya makin turun yaitu sekitar 48 HRC.
Gambar 24: Grafik perbandingan kekerasan bahan
uji 2 x 250 dengan quenching udara dan oli
Dari grafik terlihat untuk bahan uji 32 x 250 harga
kekerasan untuk media quenching oli relatif masih tinggi
dan stabil. Sementara pada media quenching udara harga
kekerasannya semakin turun yaitu sekitar 46 HRC.
3.6 Analisa Penyelesaian Masalah
IRWNS 2013
233
Dari grafik penyimpangan kelurusan dan grafik
perbandingan harga kekerasan di atas maka dapat diambil
analisa akhir tentang karakteristik material menurut dimensi
dan media quenching (perlakuan panasnya).
Bila ditinjau dari penyimpangan kelurusan bahan uji
x 250 dan 17 x 250 yang diquenching dengan
media oli mempunyai penyimpangan kelurusan yang cukup
besar yaitu di atas 1 mm. Sementara bila diquenching
dengan media udara penyimpangan kelurusannya kurang
dari 0,5 mm.
Harga kekerasan untuk bahan uji 12 x 250 dan 17 x
250 relatif tinggi yaitu di atas 60 HRC baik untuk bahan uji
yang diquenching dengan media oli ataupun udara.
Untuk bahan uji 22 x 25027 x 250 dan32 x 250
penyimpangan kelurusannya tidak terlalu signifikan baik
yang diquenching dengan media udara maupun oli yaitu
kurang dari 1 mm. Sementara harga kekerasannya
mengalami penurunan secara drastis mulai dari 22 x 250
bila diquenching dengan media udara yaitu kurang dari 50
HRC.
Dari analisa di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk
meminimalisir tingkat deformasi dan mendapatkan harga
kekerasan di atas 60 HRC maka bahan uji dengan dimensi
12 x 250 dan 17 x 250 sebaiknya diquenching dengan
media udara sembur sementara bahan uji dengan dimensi
22 x 250,27 x 250 dan 32 x 250 diquenching
dengan media oli.
4. KESIMPULAN
1. Media quenching udara dapat meminimalisir tingkat
deformasi material uji (100MnCrW4) tetapi harga
kekerasan yang dicapai semakin turun dengan
bertambahnya besarnya dimensi bahan uji.
2. Media quenching oli dapat menghasilkan harga
kekerasan yang relatif stabil (di atas 60 HRC) pada
material uji (100MnCrW4) tetapi tingkat deformasinya
semakin besar jika dimensi bahan uji semakin kecil.
3. Hardenability material 100MnCrW4 cukup baik, hal ini
terlihat pada media quenching udara dapat
menghasilkan kekerasan di atas 60 HRC ( pada bahan
uji 12 x 250 mm dan 17 x 250 mm ).
DAFTAR PUSTAKA
[1] Brooks, C.R, “Principle of the Heat Treatment of
Plain Carbon and Low Alloy Steels,” ASM
International, 1996
[2] Vlack, L.H.V, “Elements of Materials Science and
Engineering,” Addison-Wesley Publishing Company,
1980.
[3] Neely, J, “Practical Metalllurgy and Materials of
Industry,” Machine Technology Lane Community
College, John Willey and Son.
[4] ASM HandBook Vol 4, “Heat Treating,” ASM
International, 1991.
[5] Krämer, H and Scharnagl, J, “Pengetahuan Bahan
untuk Industri,” Katalis, 1994.
[6] Surdia T, Saito S, Pengetahuan Bahan Teknik, PT
Pradnya Paramita, Jakarta, 1992.
IRWNS 2013
234
Konsep dan Preliminary Desain Turbin Axial Temperature Rendah untuk
Siklus Rankine Organik
Ignatius Riyadi Mardiyanto, Teguh Sasono
Jurusan Teknik Konversi Energi, Politeknik Negeri Bandung 40012
E-mail: [email protected]
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Turbin axial sebagai elemen pengkonversi energi, banyak digunakan untuk mengkonversi energi dari uap atau gas pada
temperatur dan tekanan yang tinggi untuk menjadi gerak putar. Pada makalah ini disajikan konsep desain siklus Rankine
organik (ORC) sebagai siklus dengan sumber panas masukan bersuhu rendah dan preliminary desain untuk turbin axial yang
akan digunakan pada siklus tersebut. Sumber bersuhu renadah tersebut diambilkan dari studi literatur pada kasus temperatur
sekitar 1500C yang berasal dari air brine hasil separator uap pada Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP). Dengan
berdasarkan pada bahasan konsep desain akan didapatkan jenis fluida kerja dari ORC, dan juga besarnya flow dari fluida pada
siklus serta komponen-komponen pendukung siklus. Selanjutnya pada bahasan preliminary desain diuraikan tentang diameter
hub dan tinggi blade maupun jumlah blade pada rotor serta stator untuk turbin sebagai mesin konversi energi.
Kata Kunci Air panas brine, fluida kerja ORC, blade turbin
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Siklus Rankine Organik (Organic Rankine Cycle - ORC)
digunakan sebagai salah satu pilihan untuk mengkonversi
energi dari sumber panas pada temperatur relatif rendah.
Salah satu sumber energi pada temperatur rendah dapat
dihasilkan dari air panas buang (brine) separator uap pada
PLTP[1]
.
Sumber panas bumi banyak terdapat di Indonesia, yakni
Indonesia sebagai wilayah sabuk gunung api mempunyai
potensi panas bumi sangat besar. Jawa Barat pada tahun
2006 telah teridentifikasi mempunyai potensi 40 titik
lokasi, sedangkan total titik lokasi di Indonesia berdasarkan
data geologi tahun 2006 tersebut diketahui sebanyak 256
titik[4]
. Karena bentuk fluida pembawa panas dari dalam
perut bumi tersebut adalah berupa uap dan air, maka untuk
membangkitkan listrik pada PLTP, perlu dipisahkan uap
sebagai sumber energi pembangkit PLTP, dengan air brine
yang disuntikkan kembali ke dalam bumi. Sumber air panas
brine dari panas bumi tersebut pada umumnya untuk PLTP
di Indonesia masih mempunyai temperatur di sekitar 1500C
dan tekanan sekitar 10 bar[1]
. Dengan masih cukup
tingginya potensi panas tersebut dengan flow yang juga
cukup besar, maka potensi ini kiranya masih layak untuk
dikaji lebih lanjut untuk dimanfaatkan sebagai sumber
energi alternatif.
1.2 Tujuan
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengkaji
lebih lanjut tentang pemanfaatan energi dari panas
bertemperatur rendah, seperti air brine PLTP dengan
menggunakan ORC. Adapun tujuan khususnya adalah
untuk mendapatkan preliminary desain dari turbin Rankine
organik sehingga berdasarkan studi ini nantinya akan dapat
diharapkan untuk dibuat detail desain dari turbin ORC pada
skala demo untuk keperluan laboratorium. Yakni dengan
skala ukuran sekitar 1- 5 kW daya mekanik turbin.
2. TINJAUAN PUSTAKA
Separasi uap dengan air pada separator PLTP menghasilkan
sisa berupa air panas brine dengan temperatur lebih dari
1500C yang disuntikkan kembali ke dalam bumi, lihat
pustaka [1] dan [2]. Untuk menanfaatkan air brine tersebut
dapat dilakukan dengan ORC. Yakni siklus Rankine dengan
menggunakan fluida kerja dari bahan refrigerant organik.
Sehingga pembangkit dengan ORC dapat bekerja
menghasilkan energi mekanik dari sumber panas dengan
suhu rendah[6]
.
Untuk merealisasikan konsep tentang pembangkit dengan
ORC tersebut di atas, kiranya perlu dibuat komponen
pendukung siklus. Salah satu komponen utama pendukung
siklus adalah turbin. Kajian tentang turbine Rankine
organik ini yang telah dipublikasikan diantaranya adalah
menggunakan model turbin screw[5]
. Kajian tentang turbin
Rankine organik ini dalam bentuk publikasi masih belum
banyak pilihan. Penulis berinisiatif untuk melakukan kajian
desain menggunakan media software simulasi yang telah
beredar di pasaran untuk mengkaji turbin axial untuk ORC.
IRWNS 2013
235
Adapun jenis turbin yang penulis kaji adalah jenis turbin
gas dengan asumsi bahwa turbin ini cocok dengan fluida
kerja kering. Kajian tentang turbin gas jenis axial sendiri
masih terus dilakukan oleh para peneliti[3]
. Pana tulisan ini
penulis bermaksud untuk menjelaskan tentang turbin gas
axial jika digunakan sebagai turbin ORC.
Adapun metodologi yang digunakan adalah dengan
melakukan simulasi dari ORC sebagai sebuah konsep
desain pembangkit. Kemudian dilanjutkan dengan simulasi
untuk mendapatkan parameter penting dari blade turbin
sebagai sebuah preliminary desain dari turbin Rankine
organik. Dengan adanya parameter penting penyusun turbin
tersebut, akan dapat diharapkan untuk mempermudah
dalam pembuatan detail desain dari turbin axial untuk ORC
nantinya.
3. KONSEP DESAIN
3.1 Parameter Masukan
Sumber panas dari brine pada PLTP adalah potensi energi
yang layak digali lebih lanjut. Pada umumnya di wilayah
Indonesia laju alir dari brine ini cukup besar, sebagai
contoh pada PLTP Wayang Windu mempunyai kandungan
air brine senilai 50 kg/s dengan entalphy sekitar 700 kJ/kg
sehingga cukup besar untuk diambil energinya[2]
. Salah satu
alternatif untuk pengambilan energi panas sisa dari brine ini
adalah menjadikan panas menjadi listrik, dengan memakai
pembangkit ORC[6]
.
Siklus Rankine selain mengambil energi dari sumber uap
untuk dikonversi menjadi gerak dengan menggunakan
turbin, juga akan membutuhkan komponen pengambil
energi sisa panas ke gerak tersebut yang masih berupa
fluida uap atau gas sehingga menjadi sepenuhnya cair
kembali. Teknik untuk mengambil energi sisa dari kerja
turbin, salah satunya adalah dengan memakai kondenser.
Kondenser ini memerlukan media pendingin sebagai media
transfer panas untuk dipindahkan kembali panas sisa
tersebut ke lingkungan. Dengan demikian kondisi ambien
menjadi penting untuk diperhatikan yakni agar kerja
kondenser dapat diketahui dengan baik. Dengan temperatur
lingkungan yang semakin dingin, dapat diharapkan tekanan
dan temperature outlet dari turbine menjadi semakin
rendah. Dengan semakin rendahnya outlet tekanan dan
temperatur turbine, akan dapat diharapkan kenerja turbin
meningkat pula.
Pada studi kasus brine Wayang Windu sebagai objek
perancangan, diketahui bahwa temperatur lingkungan
terpanas adalah sekitar 18 0C. PLTP Wayang Windu ini
bertempat di ketinggian lebih dari 1000 mdpl terletak pada
garis lintang 7°12′26.79″S, dan garis bujur 107°37′44.12″E,
di Kecamatan Pengalengan, Kabupaten Bandung, Provinsi
Jawa Barat[1]
. Temperatur ambien ini merupakan potensi
pembuangan yang dapat diharapkan untuk meningkatkan
kinerja dari turbin.
3.2 Pilihan Fluida Kerja
Untuk memanfaatkan energi sisa yang berasal dari brine,
dapat dilakukan dengan pembangkit ORC yakni
pembangkit memakai siklus Rankine dengan fluida kerja
dari bahan refrigerant organik[6]
. Pemilihan bahan
refrigerant ini dapat dilakukan dengan melakukan kajian
pada diagram T-s dan atau diagram p-h dengan
memperhatikan kondisi temperatur sumber dan temperatur
lingkungan.
Hasil kajian konsep desain untuk ORC dengan
memperhatikan efisiensi siklus pada studi kasus brine
Wayang Windu, salah satu fluida kerja pilihan adalah n-
pentane. Gambaran siklus Rankine organik pada diagram
T-s untuk fluida kerja n-pentane diperlihatkan pada Gambar
1 di bawah ini.
Gambar 1: Diagram T-s fluida kerja n-pentane untuk siklus
Rankine organik
Pada Gambar 1 terlihat bahwa fluida kerja pada tekanan 5
bar mempunyai temperatur saturasi sekitar 900C dan pada
tekanan 1.3 bar temperatur saturasinya adalah sekitar 430C.
Jika fluida kerja dirancang untuk kondisi penguapan pada
temperatur 1000C maka tekanan yang dibutuhkan adalah
sekitar 6 bar. Jika temperatur dari sumber panas adalah
1500C
maka dapat dikatakan bahwa fluida kerja n-pentane
tersebut pada tekanan 6 bar akan mengalami penguapan
sampai kondisi superheat karena temperatur dari sumber
panas akan memaksa gas n-pentane pada kondisi dua fasa
menjadi fasa gas sepenuhnya. Gas n-pentane tersebut
selanjutnya akan dapat digunakan untuk memutar turbin
ORC.
Fluida n-pentane merupakan jenis fluida kering, sehingga
ketika dipakai untuk kerja pada turbin, maka fluida
tersebut akan tetap pada kondisi superheat. Hal ini
diperlihatkan pada Gambar di atas. Untuk itu perlu
dipikirkan bahwa setelah outlet turbine dapat dipasang
penukar kalor-recuperator untuk mengambil sensibel heat
sehingga fluida pada fasa gas tersebut menjadi lebih
mendekati nilai laten heat-nya. Kondenser sebagai
pengambil kalor laten dapat dipasang setelah recuperator
ini sehingga kerjanya relatif ringan.
IRWNS 2013
236
P = -0.64 kW
P = -0.17 kW
P = -0.11 kW
m,el = 53.9 %
Tlow = 23.21 K
Thigh = 16.22 K
Pm = 2.35 kW
Pel = 2.00 kW
35.00 150.46
636.01 0.098
1111 775
55
2.000 25.00
104.95 0.71366
2.000 18.01
75.72 0.713
33
1.200 41.22
-334.26 0.00(X)1212
6.000 87.42
-215.34 0.057
1010
6.000 41.49
-333.26 0.057
99
28.46(E) 94.00
396.39 0.098
88
1.200 46.49
32.65 0.057
44
1.200 107.77
150.57 0.05722
5.990 135.45
196.62 0.057
32.32(E) 0.3689(s)
0.0039638(v) 100.00(X)
11
10
H
9
8
76
4
3
2
1
H
Generator Listrik
Cold consumer
Sumur
Pendingin
Brine
Penukar Kalor
SIMULASI PEMBANGKIT LISTRIK DENGAN MEMANFAATKAN
SUMBER AIR PANAS
RCO dengan n-pentana
sumber air panas (studi kasus air panas brine PP Wayang Windu)
Condenser
Pompa
Turbin ORC
p T
h m
m = Mass f low [kg/s]
v = Volume flow [m3/s]
p = Pressure [bar]
T = Temperature [°C]
h = Enthalpy [kJ/kg]
s = Entropy [kJ/kg.K]
E = Energy f low [kW]
X = Vapour quality [%]
P = Pow er [kW]
Tlow = Low end temp. diff . [K]
Thigh = High end temp. diff . [K]
m,e = Mechanical*Electrical eff. [%]
Pm = Mechanical Pow er [kW]
Pel = Electrical Pow er [kW]
Fluida kerja n-pentane jika digunakan untuk ORC akan
mempunyai keuntungan yakni karena kerja turbine akan
selalu pada kondisi superheat. Namun kerugiannya adalah
pada komponen kondenser, yakni jika tanpa recuperator
sebagai pengambil kalor, maka kondenser bekerja pada
kondisi superheat dengan jangkauan yang lebar untuk
mengambil sensibel heat-nya, yakni sebelum proses
pencairan dengan mengambil laten heat-nya dapat
dilakukan. Jika hal tersebut ditempuh maka desain khusus
untuk kondenser perlu dipikirkan lebih lanjut.
Karena sifatnya yang dry fluid tersebut maka n-pentane
dapat dikatakan cocok untuk digunakan pada turbine gas
untuk ORC. Turbine gas ini dirancang untuk temperatur
kerja disekitar 1000C disesuikan dengan temperatur sumber
panas. Turbine gas jenis axial dapat dirancang untuk
kecepatan putar sangat tinggi yakni sampai supersonic.
Dengan kecepatan supersonic diharapkan efisiensi turbin
menjadi tinggi.
Dari diagram T-s pada Gambar diperlihatkan bahwa n-
pentane pada tekanan 6 bar dengan temperatur 1000C jika
entropy dinaikkan dengan menyuntikkan panas dari sumber
senilai sekitar 1500C maka fluida akan menguap sampai
kondisi superheat. Dan fluida tersebut dapat mencair
kembali pada temperatur 430C dengan tekanan sekitar 1.3
bar yakni dengan cara mengambil panas-nya memakai
teknik recuperasi dan dilanjutkan dengan teknik kondensasi
memakai fluida pendingin suhu ambien. Dengan demikian,
n-pentane dapat merupakan pilihan fluida kerja ORC untuk
kasus tersebut.
3.3 Laju Aliran Massa Fluida Kerja
Selain temperatur dan tekanan fluida kerja, untuk
melakukan desain awal perlu diperhatikan adalah laju aliran
massa fluida kerja. Laju aliran massa fluida kerja ini dapat
ditentukan dari laju aliran massa fluida sumber energi. Laju
aliran fluida kerja ini akan menentukan besarnya energi
yang dapat dikonversi menjadi energi gerak pada turbin.
Penentuan laju alir fluida kerja dapat dilakukan dengan
iterasi perhitungan dengan batas nilai flow fluida kerja
adalah tidak melebihi energi yang dapat ditransfer dari
sumber panas menggunakan media transfer panas, kegiatan
ini dapat dipermudah dengan menggunakan simulasi
perangkat lunak untuk siklus Rankine yang sudah cukup
banyak tersedia.
Gambar 1. Simulasi Pembangkit Listrik ORC dengan fluida
kerja n-pentane
Pada penelitian ini karena turbin ORC baru akan digunakan
sebagai keperluan demo di Laboratorium, maka dilakukan
teknik terbalik yakni dengan cara menentukan daya output
pembangkit yang diinginkan dengan ketentuan tidak
melebihi batas energi yang dapat ditransfer oleh sumber
panas objek studi, sehingga ORC dapat menenuhi satu
siklus dengan baik. Pada perancangan ini ditetapkan bahwa
n-pentane sebagai fluida kerja untuk menghasilkan daya
turbin sekitar 2,35 kW. Hasil simulasi laju aliran massa
fluida kerja pada siklus ini adalah 0.057 kg/s, dengan laju
aliran massa fluida sumber panas adalah 0.098 kg/s
sehingga masih bernilai jauh dibawah laju aliran brine di
PLTP Wayang Windu sebagai objek studi. Simulasi
dilakukan dengan menggunakan asumsi awal bahwa
efisiensi total turbin bernilai sekitar 0.5 yakni karena
tekanan kerja rendah. Gambaran selengkapnya dari
simulasi ORC tersebut diperlihatkan pada
Gambar 1 berikut.
4. PRELIMINARY DESAIN TURBIN
Pembuatan preliminary desain turbin gas dapat dilakukan
setelah mendapatkan gambaran siklus yang akan dilayani
oleh turbin. Berikut adalah tahapan preliminary desain
tersebut.
4.1 Data Awal Premilinary Desain Turbin
Untuk dapat melakukan rancangan turbin, pertama perlu
diputuskan mengenai jenis turbin. Jenis turbin untuk siklus
uap dapat ditinjau menjadi dua yakni turbin axial atau
turbin radial. Dari kedua turbin ini akan dapat
IRWNS 2013
237
dikombinasikan menjadi jenis ketiga yakni turbin
campuran. Untuk keperluan pembangkit memakai ORC,
dengan temperatur fluida sumber sebesar 1500C maka
temperatur kerja turbin dapat dimasukkan nilainya sekitar
110 sapai 1350C. Karena tekanan fluida kerja rendah yakni
dengan inlet 6 bar dan outlet 1.3 bar, pilihan jatuh pada
turbine axial dengan putaran 20000 rpm. Putaran tinggi
tersebut dimaksudkan untuk mengimbangi ringannya fluida
kerja dan rendahnya tekanan fluida sehingga efisiensi turbin
tetap relatif besar.
Setelah jenis turbine dengan rencana putaran poros
ditentukan, agar simulasi dapat dilakukan maka pada
parameter perancangan dilanjutkan dengan menambahkan
data tekanan, temperatur masukan kerja turbin, tekanan
kerja outlet turbin, kemudian juga perlu diperkirakan awal
tentang diameter turbine dan tinggi blade [3]
. Dari konsep
desain tentang ORC dengan fluida kerja n-pentane, untuk
menghasilkan daya keluaran sekitar 3 kW, ternyata laju
fluida kerja yang cocok adalah sekitar 0.09 kg/s. Diameter
hub penyangga blade turbin ditentukan pada sekitar 50 mm,
dan panjang blade antara 5 s-d 10 mm dengan jumlah stage
satu. Menggunakan bantuan software simulasi perancangan
turbin gas, selanjutnya data-data tersebut dapat diolah untuk
mendapatkan hasil preliminary desain.
4.2 Simulasi Desain
Simulasi preliminary desain dilakukan dengan
menggunakan perangkat lunak. Masukan software dan hasil
simulasi untuk efisiensi turbin dan daya turbin adalah
seperti di bawah. Diperlihatkan bahwa daya keluaran turbin
adalah 3,4 kW dan efisiensi 0.58 dengan daya keluaran
agak sedikit berbeda dari nilai simulasi ORC sebelumnya.
Hal tersebut disebabkan pada simulasi preliminary desain
dengan nilai masukan laju fluida kerja dibawah 0,09 kg/s
hasilnya kurang memuaskan. Data masukan simulasi
selengkapnya berada pada sebelah kiri. Diperlihatkan
diameter hub yang cocok setelah disimulasi adalah 49 mm,
tinggi blade adalah 5.1 mm. Dari hasil simulasi Gambar 3
sebelah kanan, terlihat bahwa tebal dari inlet ke outlet
untuk blade stator sekitar 1 mm dan tebal blade rotor
adalah sekitar 3,5 mm.
Kemudian dari hasil simulasi software yang sama juga
didapatkan data untuk perancangan rotor dan stator turbin
adalah seperti Tabel 1 di bawah. Menggunakan tabel
tersebut, diketahui bahwa diameter stator terbesar adalah
senilai 59 mm dengan diameter rotor terbesar adalah 64
mm. Geometrik dari blade stator dan rotor masing-masing
terdiri dari 3 section. Yakni pada bagian inlet blade, yakni
jari-jarinya section pertama adalah 24,52 mm, bagian
tengah 25,89 mm dan bagian atas 27,26 mm dari pusat
poros. Untuk bagian outlet dari blade stator section pertama
adalah 24,52 mm, tengah 26,99 mm, dan atas adalah 29,46
mm dari pusat poros.
Adapun bagian blade rotor pada bagian yang berhadapan
dengan outlet dari blade stator mempunyai jari-jari pada
section pertama adalah sepanjang 24,37 mm, tengah adalah
26,99 mm, dan bagian atasnya adalah 29,61 mm. Untuk
bagian ujung luar masing-masing section-nya adalah 24,52
mm, 28,26 mm, dan section teratas adalah 32 mm.
Kemudian dari tabel yang sama diketahui bahwa jumlah
blade stator dan rotor pada tahapan preliminary ini adalah
40 buah, dan jumlah blade rotor sebanyak 92 buah.
Sebagai catatan bahwa jumlah blade akan perlu
disesuaikan lagi pada tahap detail desain nanti-nya, yakni
karena pada tahap prelimanry tersebut belum melibatkan
dimensi dan bentuk blade secara detail.
Pada Gambar 4 dari hasil optimasi simulasi, untuk
gambaran segitiga kecepatan, diketahui bahwa bentuk dasar
dari permukaan blade stator dan blade rotor adalah
melengkung. Bentuk blade stator tersebut adalah bentuk
permukaan yang dipapar langsung terhadap aliran fluida
kerja. Flow absolut sebelum masuk blade stator adalah 33
m/s. Dengan bentuk blade stator seperti tergambar, dapat
dibayangkan seperti corong venturi yang berbelok, akan
mendapatkan flow mutlak outlet keluar dari stator menjadi
374 m/s. Pada inlet rotor akan didapatkan flow mutlak
sekitar 371 m/s turun sedikit dari outlet stator, kecepatan
sudut tangensial rotor adalah sekitar 62 m/s dan dengan
kecepatan relatifnya adalah 310 m/s. Pada Gambar 4
tersebut juga diperlihatkan entalphy static dari inlet rotor
turbin sekitar 330 kJ/kg dan enthalpy setelah meninggalkan
rotor adalah sekitar 290 kJ/kg.
IRWNS 2013
238
Compound_N FComp_D1t FComp_D1m FComp_D1h FComp_lc2 FComp_D2t Blade_z Blade_D_l SectA_ri1 SectA_ri2 SectA_ax1 SectA_ax2
kW mm mm mm mm mm - - mm mm mm mm
Stage_1 3,4
Stator axial_1-1 54,52 51,78 49,04 4,94 58,92
Blade Stator axial_1-1 40 10,93
Geom section_1 blade Stator_1-1 24,52 24,52 0,00 1,00
Geom section_2 blade Stator_1-1 25,89 26,99 0,00 1,00
Geom section_3 blade Stator_1-1 27,26 29,46 0,00 1,00
Rotor axial_2-1 59,22 53,98 48,74 7,48 64,01
Blade Rotor axial_2-1 92 7,55
Geom section_1 blade Rotor_2-1 24,37 24,52 0,00 2,73
Geom section_2 blade Rotor_2-1 26,99 28,26 0,10 2,82
Geom section_3 blade Rotor_2-1 29,61 32,00 0,21 2,92
Gambar 3: Masukan data dan hasil pengolahan data simulator untuk turbin ORC stage-1 supersonic
Tabel 1: Hasil simulasi software untuk preliminary desain dari turbin axial 1 stage daya mekanik 3,4 kW
Gambar 4: Masukan data dan hasil pengolahan data simulator untuk turbin ORC stage-1
Dengan didapatkannya hasil kajian prelimary tersebut,
maka dapat diharapkan gambaran detail dari bentuk rotor
dan stator penyusun turbin menjadi semakin jelas. Bentuk-
bentuk blade tersebut jika didetailkan sebaiknya tetap
mengikuti bentuk permukaan pada tahap preliminary
desain. Misal untuk meminimalkan ruang antar blade dapat
dibuat bentuknya menyerupai bentuk perahu kano yang
dibengkokkan sesuai dengan permukaan yang telah
didapatkan pada tahapan ini. Penurunan sedikit dari
efisiensi akibat pendemensian blade kemungkinan akan
ditemukan pada tahap detail desain.
Terlihat dari hasil simulasi optimasi bahwa untuk
mendapatkan daya sekitar 3,5 kW kebutuhan laju fluida
kerja adalah sekitar 0,085 kg/s. Gambaran desain
preliminary tersebut memperlihatkan bahwa turbin gas
axial skala kecil untuk kebutuhan demontrasi siklus
Rankine organik ternyata memungkinkan untuk dibuat
detail desainnya.
5. KESIMPULAN
Dalam mendapatkan gambaran mula-mula dari desain
turbin ORC, dapat dilakukan dengan melalui dua tahapan
penting yakni pertama adalah melakukan tahapan konsep
desain dari ORC. Pada tahapan konsep desain ini akan
didapat parameter penting seperti flow inlet, tekanan inlet-
outlet, dan temperatur inlet dari turbin.
Selanjutnya dari konsep desain akan dapat diteruskan
menjadi preliminary desain untuk turbin sehingga
didapatkan data perkiraan untuk diameter hub dan juga
panjang dan lebar blade maupun nosel dan juga akan
IRWNS 2013
239
didapatkan gambaran bentuk permukaan blade stator
maupun blade rotor.
Dari konsep desain dan hasil simulasi preliminary desain
dapat diperlihatkan bahwa turbin dengan ukuran relatif
kecil yakni sekitar 3.5 kW akan dapat didetailkan. Dapat
diketahui bahwa kebutuhan laju fluida kerja dengan tekanan
dan temperatur masukan sekitar 6 bar, 110 0C adalah
sebesar 0,085 kg/s dengan fluida kerja gas n-pentane.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Naoko Yamaguchi „Design of Wayang Windu Unit 2
Geothermal Power Station” Proceedings World
Geothermal Congress 2010, Bali, Indonesia, 25-29
April 2010.
[2] Mulyadi & Ali Saat, Reservoir Modeling of The
Northern Vapor Dominated Two-phase Zone of The
Wayang Windu Geothermal Field, Java, Indonesia,
Proceedings, Thirty-Sixth Workshop on Geothermal
Reservoir Engineering Stanford University, Stanford,
California, January 31 - February 2, 2011
[3] Leonid Moroz, dkk, A Univorm Approach to
Conceptual Design of Axial Turbin/Compressor Flow
Path, The Future of Gas Turbine Technology, 3rd
International Conference, Brussels, 11-12 October
2006
[4] Head of Geological Agency, Indonesian Geothermal
Resource, 2009
[5] Angad Singh Panesar, A study of organic Rankine
cycle systems with the expansion process performed
by twin screw machines, City University London
School of Engineering and Mathematical Sciences,
2012.
[6] Ignatius Riyadi Mardiyanto, dkk, 2012, “Konsep
Desain Pembangkit Listrik Tenaga Uap
Memanfaatkan Sumber Panas Bertemperatur Rendah
dengan Memakai Siklus Rankine Organik, Jurnal
Teknik Energi Vol 2 No 1.
IRWNS 2013
240
Suatu Konsep Biaya Pokok Penyediaan Tenaga Listrik
Berdasarkan Lokasi
Hermagasantos Zein
Jurusan Teknik Konversi Energi, Politeknik Negeri Bandung, Bandung 40012
E-mail : [email protected]
ABSTRAK
Tarif dalam tenaga listrik merupakan persoalan yang harus ditentukan karena berfungsi sebagai pendapatan yang berguna
untuk menutupi pengeluaran-pengeluaran dalam pengelolaan ketenagalistrikan agar tidak mengalami kebangkrutan. Namun
dalam penentuan tarif tidak hanya dipengaruhi oleh aspek teknis tetapi juga dipengaruhi oleh kemampuan komsumen.
Komponen utama tarif listrik adalah biaya pokok penyediaan (BPP) tenaga listrik. Yang mana biaya ini harus ada yang
menanggungnya supaya industri tenaga listrik tidak bangkrut. BPP yang dihitung disini mulai dari sisi pembangkitan sampai
dengan sisi pelanggan. Disini terjadi persoalan berapa biaya yang ditanggung oleh masing-masing pelanggan baik dalam suatu
lokasi maupun berbeda lokasi. Perbedaan biaya yang diterapkan pada pelanggan disebabkan oleh lokasi pembangkit, investasi
lokasi dan rugi-rugi daya tiap lokasi yang bebeda. Tulisan ini mengajukan suatu konsep BPP tenaga listrik yang berdasarkan
lokasional. Melalui konsep ini akan didapat BPP tenaga listrik tiap lokasi dari suatu sistem ketenagalistrikan. Kemudian
dilakukan uji coba terhadap konsep yang dibuat melalui suatu contoh perhitungan guna melihat keberhasilan dari konsep yang
dikembangkan. Hasil perhitungan menunjukan bahan bakar mempengaruhi BPP lebih dari 80%; oleh karena itu penggunaan
optimasi bahan bakar dalam makalah ini adalah sangat tepat.
Kata Kunci
Ketenagalistrikan, Biaya pokok, Optimasi Bahan Bakar, Lokasional
1. PENDAHULUAN
1.1 Pengertian BPP
Ada dua terminologi yang perlu diperhatikan disini, tarif
(price) dan biaya (cost). Dua hal ini adalah sesuatu yang
berbeda satu sama lainnya. Tarif merupakan referentasi dari
haga riil yang dibebankan kepada konsumen. Biasanya
harga ini dipengaruhi oleh kemampuan (ekonomi dan
sosial) konsumen, keuntungan perusahan dan kemampuan
pemerintah memsubsidi, serta serat juga dengan muatan
politik yang mempengaruhi pengambilan keputusan. Dalam
penentuannya umumnya ditentukan berdasarkan kompromi
(reconciliation) diantara pihak-pihak terkait. Dengan
demikan, tarif tidak saja dipengaruhi oleh teknikal murni
tetapi juga dipengaruhi oleh politik, ekonomi dan sosial.
Sedangkan biaya adalah yang hanya bersifat teknis saja,
yaitu merupakan semua biaya yang mendukung produksi
energi listrik mulai dari pembangkitan sampai pada lokasi
beban. Disini tidak terasuk biaya yang bukan medukung
prduksi (non allowable cost) seperti susut energi non-
teknis. Selanjutnya semua biaya yang mendukung produksi
itu didefinisikan sebagai biaya pokok penyediaan (BPP)
tenaga listrik dalam tulisan ini.
1.2 Konsep BPP
Ada pun biaya-biaya yang akan ditentukan dalam suatu
sistem tenaga listrik, yaitu pada lokasi pembangkit,
transmisi, distribusi tegangan menengah dan distribusi
tegangan rendah seperti gambar-1. Gambar ini menunjukan
model sistem tenaga listrik yang mempunyai dua type
pembangkit, yaitu pembangkit IPP (independen power
production) dengan harga pokok pembelian (HPP) telah
ditentukan terlebih dahulu (yang dalam hal ini dinyatakan
bahwa biaya produksi tetap) dan pembangkit dengan biaya
produksi berubah. Pembangkit-pembangkit tersebut dapat
tersambung pada sistem tegangan extra/tinggi atau
tegangan distribusi baik tegangan primer maupun sekunder.
Selanjutnya BPP terdapat pada masing-masing konsumen,
baik konsumen tegangan extra tinggi, tegangan tinggi,
tegngan primer maupun tegangan sekunder. Disamping itu,
pada suatu sistem tenaga listrik dapat juga dibedakan
menjadi beberapa lokasi (wilayah). Selanjunya, BPP akan
ditentukan pada masing-masing lokasi ini. Misalnya sistem
Jawa Madura dan Bali (JAMALI) dapat dibagi menjadi 4
wlokasi, Jakarta-Tanggerang, Jawa Barat, Jawa Tengah dan
Jawa Timur.
IRWNS 2013
241
Gambar 1: Model lengkap sistem teaga listrik
2. KOMPONEN BPP
Mengacu pada gambar-1 di atas, sistem tenaga listrik
berdasarkan fungsinya dapat dibedakan menjadi tiga
bagian, yaitu:
Pembangkitan
Transmisi
Distribusi
2.1 Pembangkitan
Pembangkitan dibedakan lagi menjadi dua kelompok, listrik
swasta (IPP) dan milik negara (non IPP seperti PT.PLN).
Khusus untuk IPP biaya produksi energi listrik dinyatakan
dalam harga pokok pembelian (HPP). IPP ini dapat
tersambung ke berbagai tempat dalam sistem tenaga listrik,
baik ke kejaringan tegangan tinggi maupun ke jaringan
distribusi. BPP diterminal pembangkit adalah biaya
produksi tenaga listrik yang disalukan ke jaringan (grid).
Pada pembangkit non IPP, dalam suatu sistem tenaga listrik
terdapat beberapa pembangkit yang tersambung ke grid
diberbagai lokasi. Untuk menentukan besar daya yang
dibangkitkan oleh suatu pembangkit pada suatu beban
tertentu (pada jam tertentu) ditentukan berdasarkan
optimasi aliran daya supaya biaya produksi pembangkit
menjadi murah (optimal). Penentuan BPP berdasarkan pada
optimasi aliran daya tersebut akan menggunkan persamaan
berikut.
2)( iiiiii aPPbcPB (1)
Dimana: Bi(Pi) adalah biaya pokok pembangkit perjam
pembangkit ke-i
ci, bi dan ai adalah konstansta pembangkit ke-i
Pi adalah daya yang diproduksi oleh pembangkit
ke-i
Misalkan terdapat N pembangkit, pada total beban sistem
adalah Psia dan total daya dari IPP adalah PIPP maka
fomulasi optimasi adalah
mak
ii
mak
ijij
IPPsisrugi
N
i
mak
iii
N
i
iiiii
VV
SS
PPP
PPP
PcPbc B
min
i
1
i
min
1
2
VTegngan 4.
0Saluran 3.
PBeban 2.
it 1.Pembangk :Kendala
min :Tujuan
(2)
Perlu diingat bahwa beban akan bervariasi tiap saat,
sehingga kurva durasi beban harian (daily load duration
curve) akan berbeda tiap harinya. Pengalaman menunjukan
bahwa untuk hari-hari kerja kurva tersebut hampir mirip,
sedangkan tanggal merah dan hari libur juga agak mirip.
Dalam perhitungan BPP ini digunakan kurva durasi beban
tahunan dalam satu tahun ke depat, karena BPP akan
berlaku untuk satu tahun kedepan juga. Kurva durasi beban
tahunan ini adalah rata-rata dari kurva duratin harian dalam
tahun yang bersangkutan. Tentunya kurva ini diperkirakan
dari hasil ramalan beban satu tahun ke depan.
Kemudian bila ditentukan bahwa setiap jam adalah beban
tidak berubah, maka terdapat 24 variasi beban dalam satu
hari. Selanjutnya dapat dihitung BPP masing-masing
pembangkit PT. PLN berdasarkan perkiraan kurva durasi
beban tahunan tersebut, yaitu:
24
1
)(24
1
j
i
j
ii PBBPP (3) 3)
24
1
)(24
1
j
i
j
ii PBBPP 3)
2.2 Transmisi
Transmisi dapat terdiri dari tegangan tinggi dan tegangan
extra tinggi. Pada transmisi ini akan menimbulkan biaya
karena investasi yang telah ditanamkan. Dalam
kenyataannya, komponen-komponen transmisi dibangun
dalam waktu yang tidak sama, ada komponen yang telah
G
BIAYA TRANSMISI
EKTRA TINGGI
HPP-ET
BIAYA DISTRIBUSI
TM
BIAYA TRANSMISI
TEG. TINGGI
KONSUMEN
ET
KONSUMEN
TR
KONSUMEN
TM
KONSUMEN
TT
BIAYA DISTRIBUSI
TR
G
G
BP
PB
PP
BP
PB
PP
HPP-TM
HPP-TT
G
G
G
BG(P)=c+bP+ap2
BG(P)=c+bP+ap2
BG(P)=c+bP+ap2
IRWNS 2013
242
lama dibangun dan pula yang baru dibangun, dan ada pula
komponen transmisi yang ditrofit. Ini semua harus dihitung
biaya investasi tahunan berdasarkan kaidah-kaidah
ekonomi. Perlu dicatat bahwa komponen transmisi yang
telah habis umur ekonominya akan bernilai nol dalam
penentuan biaya transmisi. Hasil perhitungan ekonomi
tersebut harus dapat menentukan biaya tahunan dari setiap
komponen yang terlibat dalam sistem tenaga listrik yang
dimasud. Hal ini penting karena dalam perhitungan BPP di
suatu lokasi akan ditentukan oleh komponen-komponen
transmisi yang terdapat pada lokasi itu. Terapi bila ada
komponen-komponen transmisi yang berada di dua lokasi
maka dapat ditentukan bahwa masing-masing lokasi akan
menanggung biaya separohnya.
2.3 Distribusi
Sedangan distribusi dibedakan lagi menadi dua kelompok,
yaitu distribusi tegangan menengah dan distribusi tegangan
rendah. Perhitungan biaya tahunan dari distribusi ini akan
identik dengan perhitungan biaya tahunan transmisi yang
telah dijelaskan di atas.
3. KOMPONEN BPP
Sebagai konsekuensi dari fungsi pembangkit, transmisi dan
distribusi dalam suatu sistem tenaga listrik tersebut, biaya
akan muncul pada masing-masing fungsi tersebut. Pada
pembangkitan akan muncul biaya bahan bakar, aset dan
O&M (operation and maitanance), transmisi dan distribusi
akan muncul biaya aset, O&M dan susut energi. Dengan
demikian, secara garis besar BPP terdiri dari empat
komponen biaya, yaitu:
Bahan Bakar
Aset
Operation & Maintenace (O&M)
Susut Energi
3.1 Bahan Bakar
Bahan bakar hanya terdapat pada sisi pembangkit saja.
Komponen ini adalah campuran dari berbagai jenis bahan
bakar (fuel mix) karena pembangkit-pembangkit yang
terlibat dalam sistem tenaga listrik menggunakan bahan
bakar yang bergam (air, batu bara, minyak dan gas alam).
Karena harga tiap jenis bahan bakar tidak sama maka perlu
dioptimalkan. Dengan demikian metoda optimasi sangat
dibutukan disini guna menentukan fuel mix yang optimal
dalam melayani beban sistem dari seluruh pembangkit yang
tersambung kepada sistem tenaga listrik tersebut.
Metoda optimasi yang paling baik adalah metoda optimasi
aliran daya (optimal power flow). Secara konsep metoda ini
sangat unggul karena semua kendala sudah diakomodasi di
dalamnya. Tapi kurang kokoh dalam operasinya,
kekokohan tergantung kepada variasi metoda yang
digunakan, misalnya: metoda simplek, Metoda linier,
metoda kuadratik, dan metoda interior point. Dalam praktek
metoda interior point lebih unggul karena lebih cepat dan
lebih kokoh.
Metoda optimasi yang sangat kokoh adalah metoda
optimasi dispatch. Namun metoda ini tidak melibatkan
kendala saluran sehingga persoalan rugi-rugi tidak dapat
diakomodasi. Disamping itu berkemunkinan tidak
operasional karena penerapan hasilnya memungkinkan
adanya kendala yang terlanggar, seperti saluran berbeban
lebih. Oleh karena metoda ini sangat kokoh, dalam praktek
rugi-rugi dapat diprediksi (misalnya 2,5%) dan
kemungkinan beban lebih tidak terlalu besar, maka sangat
disarankan menggunakan metoda ini dalam menyusun BPP
untuk setiap komponen dari grid berkapasitas sangat besar.
3.2 Aset
Aset adalah seluruh investasi yang mulai dari pembangkitan
sampai pada distribusi. Penyedian aset tergantung pula pada
tingkat keandalan yang dinginkan. Semakin banyak aset
yang dimiliki akan semakin andal tetapi akan semakin
tinggi biaya yang harus dikeluarkan. Misalnya satu unit
pembangkit berkerja pada suatu sistem akan lebih andal
bila menggunakan dua unit pembangkit yang berkerja bila
dibandingakan hanya satu unit saja. Hubungan Penyediaan
biaya aset dengan keandalan ditunjukan oleh gambar-2.
Pada gambar ini terlihat untuk keandalan yang mendekati
satu membutuhkan penambahan biaya aset yang besar
sekali demi meningkatkan penambahan keandalan yang
sangat kecil.
Biaya aset
Keandalan
Kurva keandalan
Kurva biaya aset
Gambar 2: keandalan vs biaya aset
Umumnya pengadaan aset didasarkan pada tingkat
keandalan tertentu yang diinginkan untuk menanggulangi
komponenen yang gagal, misalnya n-1, ini berarti walaupun
terjadi satu komponen yang gagal dari sejumlah n
komponen maka sistem tidak akan terganggu.
IRWNS 2013
243
Dalam kaidah-kaidah ekonomi biaya aset umumnya
ditentukan oleh berapa besar depresinya tiap tahun. Depresi
ini tergantung pada investasi, suku bunga, waktu dibangun
dan umur ekonomi aset.
Persolan aset ini meruapakan rancangan sistem tenaga
listrik yang diinginkan berdasarkan kulitas pelayanan listrik
yang dikehendaki. Hal ini tergangtung pada kemampuan
finasial perusahan (pemeritah) yang menjadi tanggung
jawab dalam penyediaan listrik yang terjangkau oleh
masyarakat, misalnya sistem ketenagaan listrik kita
dikelola oleh PT. PLN yang dimiliki pemerintah. Tentunya
sistem ini merupakan sistem monopoli oleh pemerintah.
3.3 Biaya O&M
Dalam pengelolaan tenaga listrik harus menyediakan biaya
operasi dan perawatan (O&M). Biaya ini bertujuan untuk
melancarkan operasi sehingga tidak terjadi hambatan-
hambatan nantinya. Secara umum, biaya O&M ini terdiri
dari biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap yang
berkaitan dengan pegawai, pemeliharaan dan ansuransi,
sedangkan biaya variabelnya terdiri dari start up/start
down, oli, bahan bakar tambahan dan bahan kimia.
Penentuan biaya O&M ini dipengaruhi oleh kondisi riil
lapangan yang berupa data histori. Namum dalam
kenyataannya sulit ditemui data tersebut sehingga harus
dilakukan pendekatan dalam menentukannya. Dismping itu
juga dipengaruhi pula oleh rencana operasi tenaga listrik
secara keseluruhan. Pengaruh biaya ini terhadap sistem
tenaga listrik keseluruhan adalah kecil sekali yaitu
bervariasi antara 2-5%. Dalam praktek sering diambil
anggka 4%.
3.4 Susut Energi
Susut energi hanya terdapat pada jaringan saja baik pada
jaringan transmisi maupun jaringan distribusi. Sedangkan
pada pembangkit dianggap suplai kepada jaringan sudah
merupakan daya bersih. Perhitungan biaya susut energi
dapat diturukan dari gambar-3 yang merupakan saluran
yang dilewati oleh arus konsmen dan arus ke jaringan lain.
Konsumen
Jaringan
PG P
Dk
PRρG
ρ Dj
Gambar
3: Model penentuan biaya susut energi
Dari gambar-3 dapat ditunjukan bahwa produksi energi
(dalam satu jam) sama dengan biaya yang diterima pada
bus konsumen dalam slang waktu yang sama. Bila harga
energi adalah sama disemua lokasi, yaitu ρe= ρG, maka
biaya susut energi adalah
)P(PρPρ ReGe (4)
Dimana: e adalah harga pokok energy
PG adalah daya yang masuk saluran
PR adalah rugi-rugi daya dalam saluran
P adalah daya yang sampai pada bus penerimaan
Jadi biaya susut energi dalam satu jam itu adalah
RePρenergi/jamsusut Biaya (5)
Kemudian dari bus itu daya dialirkan ke dua arah, ke
konsumen (Dk) dan ke jaringan berikutnya (Dj), yang
memenuhi hokum keseimbangan daya, yaitu P=Dk+Dj.
Selanjutnya biaya susut yang dipikul oleh komsumen itu
ditentukan berdasarkan pendekatan berikut.
e
r
kDk
RP
DB (5)
4. SIMULASI
Berikut dilakukan simulasi perhitungan BPP yang telah
dijelaskan di atas dengan menggunakan sistem sederhana
pada gambar 4. Pada sistem terdapat dua lokasi, LK-1 dan
LK-2.
1
3
2
4
G1 G2 G3
IPPG4
LK
-1L
K-2
Gambar 4: Sistem 4 bus
4.1 Data
IRWNS 2013
244
Data-data dari sistem pada gambar 4 di atas dimuat dalam
tabel-tabel berikut ini.
Tabel 1: Data pembangkit
Pembangkit c b a Pmin
(pu)
Pmak
(pu)
G1 0 1774,125 0,171 0,3 1,0
G2 0 15 0,0015 0,05 0,25
G3 0 850 0.03 0,02 0,1
G4 0 382,788 0,3808 0,05 0,5
IPP 0 1850 0 0,05 0,2
Tabel 2: Data saluran
Bus-i Bus-j R (pu) X (pu) Y (pu) Smak (pu)
1 2 0,15 0,26 0,030 0,75
1 3 0,17 0,30 0,035 0,75
1 4 0,17 0,30 0,035 0,75
2 3 0,14 0,15 0,020 0,75
2 4 0,15 0,18 0,020 0,55
3 4 0,13 0,12 0.015 0,60
Tabel 3: Data tegangan bus
No. bus Lokasi Vmin (pu) Vmak(pu)
1 LK-1 0,9 1,05
2 LK-1 0,9 1,05
3 LK-2 0,9 1,05
4 LK-2 0,9 1,05
Tabel 4: Data perkiraan durasi beban
jam beban Jam beban Jam beban
1 90 9 110 17 160
2 80 10 115 18 145
3 90 11 130 19 143
4 110 12 120 20 145
5 115 13 100 21 145
6 120 14 110 22 130
7 110 15 120 23 100
8 90 16 130 24 90
Ratio hari libur terhadap hari biasa = 0,8
Ratio hari sabtu terhadapa hari biasa = 0,85
Satu tahun =365 hari
4.2 Hasil perhitungan
Tabel-tabel berikut ini memuat hasil-hasil perhitung dari
konsep perhitungan BPP yang telah dijelaskan di atas.
Tabel 5: Hasil optimasi bahan bakar (fuel mix) dan susut
energi ============================================
Nama BPP-bb BPP-se S. TRANS P-SENDIRI
Lokasi [RP/kWH] [RP/KWH] [%] [%] ============================================
LK-1 834.90 22.76 .523 1.276
Lk-2 863.40 17.81 .503 1.297 --------------------------------------------------------------------------
SISTEM == 848.96 20.37 1.026 2.573
-------------------------------------------------------------------------- Tabel 6: Hasil perhitungan susut energi distribusi ====================================
NAMA BPP-susut-TM BPP-susut-TR
LOKASI [RP/KWH] [RP/KWH] ====================================
LK-1 35.30 21.51 LK-2 24.36 13.66
-------------------------------------------------------------
Tabel 7: Hasil perhitungan biaya investasi dan O&M
Nama
Jenis LK-1
[RP/KWh]
LK-2
[RP/KWh]
Biaya
[Juta-
RP/Hari]
Pembangkit Investasi 30,87 38,21 144,5
O&M 4,14 5,32 20,1
Transmisi Investasi 10,92 14,37 54,4
O&M 2,09 4,04 15,3
Distribusi TM Investasi 18,14 22,07 57,8
O&M 2,62 4,19 15,3
Distribusi TR Investasi 22,07 4,19 64,5
O&M 37,93 8,98 15,3
Tabel 8: BPP di masing-masing lokasi ============================================ Nama Pembangkit Transmisi Dist-TM Dist-TR
Lokasi [RP/KWH] [RP/KWH] [RP/KWH] [RP/KWH]
============================================ LK-1 869.91 905.69 961.75 1009.52
LK-2 906.93 943.16 990.24 1050.81
--------------------------------------------------------------------------
Tabel 9: Komposisi Kosumsi Energi Masing-masing
Lokasi ============================================
NAMA TRANS DIST-TM DIST-TR SUTOTAL LOKASI [GWH]/[%] [GWH]/[%] [GWH]/[%] [GWH]/[%]
============================================
LK-1 97.36/20.0 146.05/30.0 243.41/50.0 486.82/100 LK-2 71.10/15.0 189.60/40.0 213.30/45.0 474.01/100
--------------------------------------------------------------------------
TOT 168.47/17.5 335.65/34.9 456.72/47.5 960.83/100 --------------------------------------------------------------------------
Tabel 10: Rekapitulasi Tahunan: Biaya dan Pendapatan ============================================ ++++++COST++++++ vs +++++REVENUE++++++
--------------------------------------------------------------------------
ITEM : [JUTA-RP] ITEM :[JUTA-RP] --------------------------------------------------------------------------
FUEL : 813254.1 CONSUMEN TT : 155241.9
INVESTASI: 115987.7 CONSUMEN TM : 328214.0
O&M : 24086.0 CONSUMEN TR : 469871.9
-------------------------------------------------------------------------- TOTAL : 953327.8 TOTAL : 953327.8
--------------------------------------------------------------------------
5. DISKUSI
Biaya pokok listrik terdiri dari komponen energi yang
beruapa bahan bakar campuran, investasi, dan biaya operasi
dan perawatan. Komponen biaya bahan bakar disamping
tergantung pada komposisi bahan bakar (batubara, gas, air,
minyak, dan lainnya) juga ditentukan oleh kharakteristik
kurva beban seperti yang ditunjukan oleh tabal 4.
Sedangkan tabel 8 menunjukan bahwa biaya pokok listrik
di sisi pembangkit lebih murah karena tidak menanggung
biaya jaringan dan susut energi. BPP akan termahal pada
sisi konsumen tegangan rendah. Hal ini disebabkan oleh
IRWNS 2013
245
kontribusi susut energi di transmisi dan distribusi TM yang
harus ditanggung. Disamping itu juga biaya investyasi dan
O&M di sisi hulu yang juga harus ditanggung. Ini
disebabkan oleh arusnya melewati jaringan transmisi dan
distribusi.
Hasil simulasi menunjukan bahwa konsep perhitungan BPP
listrik yang diajukan sudah dapat dilakukan dengan hasil
yang memuaskan untuk diterapkan dalam menghitung BPP
listrik di berbagai lokasi dari sistem tenaga listrik. Hal ini
ditunjukan oleh tabel 10 yang menyatakan keseimbangan
pendapatan dengan biaya, sebesar 953327.8 juta-RP/tahun.
6. KESIMPULAN
Konsep perhitungan BPP yang diajukan sudah mencakup
seluruh komponen biaya yang yang allowable saja mulai
dari pembangkit sampai pada konsumen, yaitu meliputi
biaya bahan bakar, biaya asset, biaya O&M dan biaya rugi-
rugi energi pada saluran.
Hasil perhitungan pada contoh menyatakan bahwa biaya
bahan baker dalam penyediaan tenaga listrik adalah
mendapat porsi yang besar yaitu lebih dari 80 %. Oleh
karena itu perhitungan optimasi untuk mendapatkan biaya
termurah (least cost) adalah sangat tepat.
Biaya pokok penyediaan tenaga listrik sebaiknya dihitung
untuk setiap satu tahun ke depan saja. Hal ini mengingat
perubahan-perubahan untuk tahun yang jauh ke depan
sangat tidak dapat dipastikan, terutama tentang harga bahan
bakar.
DAFTAR PUSTAKA
[1] AA. El-Keib and X. Ma (1997), Calculating Short-
Run Marginal Costs of Active and Reaktive Power
Production, IEEE Transaction on Power System, Vol.
12, No. 2.
[2] AF. Vojdani, dkk.(1996), Transmission Access Isues,
IEEE Transaction on Power System, Vol. 11, No. 1.
[3] AJ. Wood and BF. Wollenberg (1996), Power
Generation Operation and Control, John Weley &
Sons, New York, Scond Edition.
[4] FC. Schweppe, dkk.(1988), Spot Pricing of
Electricity, Kluwer, USA.
[5] Hermagasantos Zein (2000), Studi Biaya Pelayanan
Jaringan Transmisi: Dalam Kontek kompetitif,
Procceding SSTE-1.
[6] Hermagasantos Zein (2000), Distribusi Daya
Wheeling Melalui Metoda Fast Decoupled dan
Superposisi pada Jaringan Transmisi, Procceding
SSTE-1.
[7] RA. Wakefield, dkk.(1997), A Transmission Services
Costing Framework, IEEE Transaction on Power
System, Vol. 12, No. 4.
[8] Richard F. Hirsh (2001), Power Loss: the origins of
deregulation and restructuring in the America electric
utility sistem, the MIT Press Cambridge,
Massachusetts, London, England.
[9] Ross, dkk (1980), Dynamic Economic Dispatch of
Generation, IEEE Transaction on Power System, Vol.
99, No. 6.
[10] Roy Bilington and RN. Alllan (1998), Reliabilty
Evaluation of Power System, Pitman Publishing
Limited, Toronto.
[11] TJ. Hammons, dkk. (1997), European Policy on
Electricity Infrastructure, Interconnections, and
Electricity Exchanges, IEEE Transaction on Power
System, PES Summer Meeting.
[12] Turan Gonen (1986), Electrical Power Distribution
System Engineering, McGrow-Hill,Inc., Copyright.
[14] TW. Gedra (1999), On Transmission Congestion and
Pricing, IEEE Transaction on Power System, Vol. 14,
No. 1.
IRWNS 2013
246
Pengaruh Substitusi Lantanum (La) Pada Berbagai Variasi Terhadap
Material Ba 1-xLaxO.6Fe2O3 Dengan Proses Mixing
Sri Wuryantia, Azwar Manaf
b
aJurusan Teknik Konversi Energi, Politeknik Negeri Bandung, Bandung 40012
E-mail : [email protected]
b Jurusan Fisika, Fakultas Matematika Ilmu Pengetahuan Alam, UI
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Barium heksaferit (BaO.6Fe2O3) adalah salah satu magnet keramik yang banyak digunakan dalam berbagai aplikasi, seperti
pembuatan film tipis ataupun berbagai perangkat listrik yang berbasis teknologi nano. Dalam penelitian ini akan dibuat barium
heksaferit dengan substitusi lanthanum pada berbagai variasi x = 0,25; 0,5; dan 0,75. Sebagai bahan baku pemaduan mekanik
digunakan campuran BaCO3, La2O3, dan Fe2O3. Serbuk yang dihasilkan ditambah alkohol kemudian diaduk agar diperoleh
serbuk yang homogen. Hasil pencampuran dipress dan disinter pada temperatur 1100oC untuk mendapatkan karakteristik
dari Ba 1-xLaxO.6Fe2O3. Karakterisasi dilakukan dengan perangkat XRD dan Permagrap. Hasil pengujian dengan XRD
diperoleh puncak tertinggi pada sudut 32.3o untuk
subtitusi lanthanum x = 0,25, kerapatan massa sebesar 7.5693 g/cm
3 pada
subtitusi lantanum x = 0,75 dan keberhasilan substitusi La tertinggi dengan x = 0.50. Sedangkan pada pengujian permagrap
dihasilkan sifat induksi remanen, hasil energi maximum dan sifat koersivitas tertinggi untuk substitusi lanthanum dengan x =
0,25.
Kata Kunci Barium hexaferit, BaCO3, La2O3, ,Fe2O3, BaFe12O19, lanthanum
1. PENDAHULUAN
Magnet permanen ferit dapat dibedakan menjadi dua
kelompok utama, yaitu magnet keramik-selfbonded dan
magnet dengan agen (pengikat). Salah satu jenis ferit yang
laku secara komersial adalah Barium hexaferit (BaO.6Fe2O3)
dan Stronsium hexaferit (SrO.6Fe2O3). Serbuk ferit jenis ini
dapat disintesis dengan cara mencampurkan Fe2O3 dengan
BaCO3 atau SrCO3, selanjutnya dipanaskan pada temperatur
sekitar 1100o C. Proses pemanasan tersebut
lazim dinamakan proses kalsinasi [1].
Karakterisasi bahan hasil subtitusi yang akan dilakukan
meliputi:
a. Karakterisasi dengan pengukuran kurva histerisis
magnetik untuk menentukan besaran remanensi (Br),
koersivitas (Hc), energi hasil maksimum (BH)maks, yang
berguna untuk menentukan golongan bahan magnetik
apakah termasuk soft magnetic atau hardmagnetic [2].
Besarnya sifat magnet suatu bahan dapat diketahui
melalui kurva histerisis seperti pada Gambar 1. Proses
kontinu akan mencapai titik saturasi (Ms). Pada saat H
berharga 0 maka induksi magnet M akan mempunyai
harga MR (induksi magnet remanen). Untuk
mengembalikan M menjadi 0 diperlukan medan negatif
–Hc (gaya koersivitas) di titik C. Jika medan magnet
diturunkan terus maka akan dicapai titik induksi
magnet jenuh negatif (-Ms) pada titik D. Jika medan
negatif H dibalik, maka kurva akan mengikuti
garis CDFA, sampai mencapai harga Ms lagi, sehingga
diperoleh kurva histerisis.
Gambar 1: Kurva histerisis
Metode XRD, untuk mengetahui struktur kristal hasil
substitusi [3]. Pola hamburan (difraksi) sinar-X merupakan
karakteristik masing-masing senyawa yang tidak tergantung
satu sama lain. Panjang gelombang sinar-X yang
digunakan untuk X-ray Difraction (XRD) berkisar antara
0,5 – 2,5Å. Ketika radiasi sinar-X ditembakkan pada suatu
material akan terjadi interaksi antara radiasi dengan
elektron di dalam atom. Jika atom tersusun teratur dan
jarak antara atom mempunyai magnitude panjang
gelombang sinar-X yang sama, maka akan terjadi
interferensi yang saling memperkuat atau memperlemah.
Difraktometer sinar-X terdiri dari sumber sinar-X,
IRWNS 2013
247
pemegang sampel, goniometer, dan detektor. Goniometer
adalah alat yang bisa memutar posisi detektor mengelilingi
sampel, detektor bergerak pada sudut 10 – 40o (atau sudut
220 – 80o) dan mengukur intensitas sinar-X yang
didifraksikan pada sudut tersebut.
Hasil pengukuran adalah pola difraksi intensitas terhadap
sudut 2. Puncak-puncak yang terdeteksi mengandung
informasi mengenai unsur, phasa, dan komposisi yang
sangat bermanfaat bagi indentifikasi struktur kristal (lihat
Tabel 1).
2. METODE PENELITIAN
Tahap-tahap metode penelitian adalah sebagai berikut:
a. Prosedur yang dilakukan dalam pembuatan Ba1-
xLaxO.6Fe2O3 dengan substitusi lanthanum [4] dimulai
dengan pencampuran bahan baku BaCO3 ditambah
dengan La2O3, dan Fe2O3 , proses pengadukan di dalam
ultrasonic dengan perbandingan massa 5 gr dan alkohol
70% sebanyak 200 ml selama 10 menit, proses
pengeringan di dalam oven pada suhu 70oC, pembuatan
sampel uji dengan meletakkan sampel pada pipa PVC ½
in kemudian dipress pada tekanan 400 kg/cm2, proses
sintering pada suhu 1200o C, dan dilakukan pengujian.
b. Pengujian Ba1-xLaxO.6Fe2O3 dilakukan dengan variable
x = 0.25; 0.5 dan 0.75 menggunakan perangkat XRD
dan Permagrap.
c. Hasil dari pengujian untuk XRD dianalisa dengan
GSAS [5], sedangkan hasil pengujian permagrap dibuat
grafik menggunakan excel [6].
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari pengujian dengan XRD diperoleh data dengan pola
difraksi seperti yang terlihat pada Gambar 2. Dari pola
difraksi di atas dianalisa dengan GSAS dan diperoleh
puncak-puncak difraksi seperti yang terlihat pada Gambar
3. Dari analisa GSAS menunjukkan keberhasilan yang
ditunjukkan dengan reduced chi dalam rentang 1≤chi^2≤1,3
dan wRp < 15% [7], seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1.
Untuk x = 0,25 diperoleh fasa 1 adalah
Ba0.512Fe12O19La0.488, fasa 2 adalah Fe2O3, disini
menunjukkan terjadi substitusi La sebesar 0,138 (55,2 %).
Untuk x = 0,5 diperoleh fasa 1 adalah
Ba0.2017Fe12O19La0.7983, fasa 2 adalah Fe2O3 disini
menunjukkan terjadi substitusi La [8] sebesar 0,2983
(59,66%). Untuk x = 0,75 diperoleh fasa 1
Ba0.1Fe12O19La0.9, fasa 2 Fe6O18La3, dan fasa 3 adalah La2O3
disini menunjukkan terjadi substitusi
La sebesar 0,15 (20%) pada fasa 1 dan 0,5 pada fasa 2.
Sedangkan dari Gambar 3 untuk Ba0.75La0.25O.6Fe2O3
puncak tertinggi diperoleh pada sudut-sudut 32,3o; 56,64
o
dan 63,35o dan kerapatan massa 5,2849 g/cm
3.
Untuk Ba0.5La0.5O.6Fe2O3 puncak tertinggi diperoleh pada
sudut-sudut 32,12o; 34,08
o dan 54,10
o dan kerapatan massa
5,2910 g/cm3. Untuk Ba0.25La0.75O. 6Fe2O3 puncak
tertinggi diperoleh pada sudut-sudut 32,21o; 33,23
o dan
35,69o dan kerapatan massa 7,708 g/cm
3. Jadi kerapatan
untuk material yang paling baik adalah dengan nilai ρ
tertinggi adalah substitusi lantanum x = 0,75 dan
keberhasilan substitusi tertinggi pada x = 0,5. Namun
substitusi ini tidak seperti yang diharapkan (< 60%).
Substitusi tersebut tidak terpenuhi disebabkan oleh tidak
tercapainya campuran yang homogen. Hal ini terlihat dari
hasil GSAS masih adanya komposisi senyawa lain yakni
pada x = 0,25 terdapat fasa Fe2O3 sebesar 27,788%, pada x
= 0,5 terdapat fasa Fe2O3 32,365% dan pada x = 0,75
terdapat 2 fasa lain yakni Fe6O18La3, sebesar 52,396% dan
fasa La2O3 sebesar 17,363%. Penyebab ketidak-
homogennya adalah waktu pencampuran hanya dilakukan
satu waktu yakni hanya 10 menit dan temperatur 1100oC.
Seharusnya dilakukan variasi waktu pencampuran dan
proses pemanasan sehingga didapatkan pencampuran yang
optimum [9].
Gambar 2: Pola difraksi
Gambar 3: Puncak-puncak Difraksi
IRWNS 2013
248
Gambar 4: Kurva Histerisis Ba0.75La0.25 O.6Fe2O3 -
Ba0.5La0.5O.6Fe2O3 - Ba0.25 La0.75O.6Fe2O3
dan BaFe12O19
Tabel 1: Hasil GSAS
NoParameter Ba0.75La0.25 O.6Fe2O3 Ba0.5La0.5 O.6Fe2O3 Ba0.25La0.75 O.6Fe2O3
1 Space Group
Phasa 1
Phasa 2 Phasa 3
2 Parameter kisi
Phasa 1
Phasa 2
Phasa 3
3 Reduced chi 4 wRp
5 Komposisi
Phasa 1 Phasa 2
Phasa 3
6 Densitas Phasa 1
Phasa 2
Phasa 3
Total
7 Puncak difraksi pada sudut
P 63/m m c
R -3 c H -
a=5,893363 b=5,893363 c= 23,213787
a=5,037525 b=5,037525
c=13,732824 -
1,287 4,24 %
72,212 % 27,788%
-
5,290 g/cm3
5,272 g/cm3
-
5,2849 g/cm3
32,3o;56,64o;63,35o
P 63/m m c
R -3 c H -
a=5,892 b=5,892 c=23,183001
a=5,0355 b=5,0355 c=13,7471
- 1,033
4,36 %
64,638%
35,362% -
5,302 g/cm3
5,271 g/cm3
-
5,2910 g/cm3
32,12o; 34,08o;54,10o
P 63/m m c
R -3 c H P 3 2 1
a=5,885836 b=5,885836 c=23,196793 a=5,036232
b=5,036232 c=13,742011
a=3,93 b=3,93 c=6,12 1,3
4,48%
30,241%
52,396% 17,363%
5,311 g/cm3 5,720 g/cm3
17,880 g/cm3
7,708 g/cm3
32,21o;33,23o; 35,69o
Dari pengujian dengan permagrap diperoleh kurva histerisis
dengan menggunakan excel seperti terlihat pada Gambar 4.
Dari gambar tersebut terlihat bahwa untuk
Ba0.75La0.25O.6Fe2O3 diperoleh induksi remanen (Br)
sebesar 0,074 T, koersivitas 283,7 kA/m dan energi hasil
maximum (BH)max 1kJ/m3.Untuk Ba0.5La0.5 O.6Fe2O3
diperoleh induksi remanen (Br) sebesar 0,063T, koersivitas
271,4 kA/m dan energi hasil maximum (BH)max 0,7kJ/m3.
Untuk Ba0.25La0.75 O.6Fe2O3 diperoleh induksi remanen
(Br) sebesar 0,038T, koersivitas 236,6 kA/m dan energi
hasil maximum (BH)max 0,3 kJ/m3. Dibandingkan dengan
BaFe12O19 dengan induksi 0.154 T, koersivitas 317,1 kA/m
dan Energi hasil maximum 4,2 kJ/m3, hal ini menunjukkan
bahwa setelah terjadi substitusi lanthanum sifat
magnetisnya berubah menjadi lebih softmagnetic [10], jadi
substitusi ini sangat penting untuk kebutuhan material yang
lebih lunak. Dan substitusi lanthanum pada x = 0,75 paling
lunak.
Jadi dengan variasi substitusi lanthanum, diperoleh
substitusi La dengan sifat magnet yang paling keras pada x
= 0,25; paling besar keberhasilan substitusi La pada x = 0,5;
dan paling tinggi kerapatan massa dan paling keras
substitusi La pada x = 0,75.
4. KESIMPULAN
Dari pengujian XRD dan Permagraph dari
Ba1-xLaxO.6Fe2O3 dengan substitusi La bisa disimpulkan
sebagai berikut:
a. Ba0.75La0.25O.6Fe2O3 : sifat induksi remanen, energi
hasil maximum dan koersivitasnya tertinggi, sedangkan
IRWNS 2013
249
puncak tertinggi diperoleh pada sudut-sudut 32.3o,
56.64o , 63.35
o, kerapatan massa terendah dan
keberhasilan substitusi lantanum sebesar 55,2%.
b. Ba0.5La0.5O.6Fe2O3 : sifat induksi remanen, energi hasil
maximum dan koersivitasnya sedang sedangkan puncak
tertinggi diperoleh pada sudut-sudut 32.12o, 34.08
o,
54.10o, kerapatan massa sedang dan keberhasilan
substitusi lantanum sebesar 59,66%.
c. Ba0.25La0.75O.6Fe2O3 : sifat induksi remanen, energi
hasil maximum, dan koersivitas terendah, sedangkan
puncak tertinggi diperoleh pada sudut-sudut 32,21o,
33,23o dan 35,69
o, kerapatan massa tertinggi dan
keberhasilan substitusi lantanum sebesar 20%.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Capraro.S., Berre,M.L.,Chatelon, J.P., Bayard,.B.
Joisten,H., Canut,C.,Barbier, D., and Rousseau, J.J.
2004. Crystallograpic Properties of Magnetron
Sputtered Barrium Ferrite Films, Materials Science
and Engineering B.112(1),19-24.
[2] Cullity,B.D. and GRAHAM, C.D. 2009.
Introduction to Magnetic Materials Second
Edition, IEEE Press,John Wiley & Sons, Inc.
[3] Cullity, B. D. 1998 . Element of X -ray
Difraction, Prentice - Hall.
[4] Pooja Chauhan . 2010 . Preparation and
Characterization of Barium Hexaferrite by Barium
Monoferrite, Thapar University, Patiala, India.
[5] S. Enzo, G. Fagherazzi , A. Benedetti , S.
Polizzi. 1988 . A Profile – Fitting Procedure for
Analysis of Broadened X- ray Diffraction, J.
Appl. Cryst. 21,536-542.
[6] Stadelmaier, H . H. 2000. Magnetic Properties
Materials , Materials Science and Engineering A,
vol 287, p.138-145
[7] Nowosielski, R., Babilas,R., and J.Wrona. 2007.
Achievement in Materials and Manufaturing
Engineering, p.207- 210.
[8] Tran Thi Viet Nga, Nguyen Phuc Duong, And
Than Duc Hien. 2010. Enhancement of Magnetic
Properties of La-Substituted Strontium Hexaferrite
Particles Prepared by Sol-Gel Route. Hanoi
University of Technology -Vietnam: ITIMS.
[9] Nowosielski, R., Babilas,R., and J.Wrona.
2007.Achievement in Materials and Manufaturing
Engineering, p.207-210.
[10] Stadelmaier, H.H. 2000. Magnetic Properties
Materials, Materials Science and Engineering A,
vol 287, p.138-145.
IRWNS 2013
250
Pengaruh Konsentrasi Aktivator Terhadap Kadar kalium Katalis Basa
Heterogen Tandan Kosong Kelapa Sawit dan Batang Pisang pada
Pembuatan Biodiesel Berbantukan Ultrasonik
Marlindaa, Ramli
b, Abdul Halim
c
a,b Staf Pengajar Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Samarinda a Email : [email protected]
b Email : [email protected]
c Staf Pengajar Jurusan Teknik Mesin Politeknik Negeri Samarinda a Email : [email protected]
ABSTRAK
Penggunaan katalis heterogen pada pembuatan biodiesel memberikan banyak keuntungan dikarenakan katalis heterogen dapat
dengan mudah dipisahkan dari produknya sehingga dapat digunakan kembali, mudah diregenerasi dan tidak menghasilkan
produk samping berupa sabun. Penelitian ini menggunakan katalis heterogen yang berasal dari bahan alam yaitu tandan kosong
kelapa sawit dan batang pisang yang mengandung unsur kalium. Tujuan penelitian ini adalah meningkatkan kualitas katalis
basa berdasarkan kadar kalium serta efektivitas katalis basa pada proses pembuatan biodiesel. Untuk memperbaiki
karakteristik katalis basa heterogen dengan peningkatan kadar kalium maka dilakukan aktivasi kimia menggunakan larutan
KOH dengan variasi konsentrasi larutan aktivator 0,1N – 2,2 N dan aktivasi fisika dengan kalsinasi . Penggunanaan katalis
basa heterogen dapat mengurangi dampak reaksi penyabunan dengan melakukan variasi jumlah katalis basa dengan massa
katalis divariasikan 5g, 10g, 15g, 20g dan 25g . Proses transesterifikasi menggunakan reaktor ultrasonik dengan frekuensi 42
KHZ dengan waktu reaksi 30 menit pada suhu lingkungan sekitar 300C. Hasil Penelitian diperoleh bahwa dengan melakukan
aktivasi kimia dan aktivasi fisika karakteristik katalis semakin baik terlihat dengan peningkatan kadar kalium sekitar 13% -
84% yang paling baik pada konsentrasi activator 1,9 N. Kadar kalium dianalisa menggunakan AAS dan FTIR, kalium pada
katalis basa terikat dalam bentuk senyawa K-O dan K-C. Sedangkan pada proses transesterifikasi menghasilkan rendemen
biodiesel yang optimum pada massa 20g sebesar 93,17% dengan kadar metil ester 96,76% dengan menggunakan analisa
GC/GC MS. Karakterisasi biodiesel yang dihasilkan telah memenuhi standar SNI (2006), dengan memiliki densitas 878,5
kg/m3, viscositas 5,13 mm
2/s, titik kabut 12°C, titik nyala 129,4°F, angka setana 52, kadar air 0,0293, kadar metil ester 96,76%
dan angka asam 0,4837.
Kata Kunci
Biodiesel, katalis basa heterogen, larutan aktivator, reaktor ultrasonik
1. PENDAHULUAN
Propinsi Kalimantan Timur merupakan salah satu daerah
penghasil kelapa sawit yang sangat potensial. Kalimantan
Timur memproduksi kelapa sawit 2,3 juta ton pada tahun
2009, Sedangkan di Samarinda produksi kelapa sawit
mencapai 1250 ton pada tahun 2009 dan 826 ton sampai
pada pertengahan 2010 [2]. Sehubungan dengan potensi
penghasil kelapa sawit terbesar di Indonesia, pemerintah
telah menetapkan kaltim sebagai kluster industri berbasis
kondensat dan oleokimia. Sedangkan batang pisang untuk
wilayah Kaltim menurut data BPS 2010 sebanyak 112,98
ton/tahun, sehingga akan terjadi peningkatan jumlah limbah
dari kedua bahan tersebut pun semakin meningkat. Potensi
limbah tandan kosong kelapa sawit dan batang pisang dapat
diolah kembali karena mengandung mineral alam seperti
kalium, calsium, magnesium dan lain-lain. Dalam abu
tandan kosong kelapa sawit (TKKS), logam kalium
merupakan logam terbesar yang terdapat dalam abu TKKS
yaitu sebesar 27,5% [4] sedangkan batang pisang memiliki
kandungan kalium berbasis abu sebesar 33,4% [9].
Umumnya pembuatan biodiesel menggunakan katalis
homogen seperti NaOH, KOH, H2SO4 atau HCl. Namun
katalis ini sulit dipisahkan setelah reaksi, dapat merusak
lingkungan, bersifat korosif dan menghasilkan limbah
racun [3] Selain itu, katalis homogen tersebut dalam
kemampuan katalitiknya hanya dapat dipakai satu kali [4].
Penggunaan katalis heterogen pada pembuatan biodiesel
memberikan banyak keuntungan dikarenakan katalis ini
dapat dengan mudah dipisahkan dari produknya dengan
filtrasi karena fasanya berbeda dengan produknya, mudah
diregenerasi, dapat digunakan kembali, tidak menghasilkan
produk samping berupa sabun jika bereaksi dengan asam
lemak bebas (FFA), lebih ramah lingkungan, lebih murah
dan tidak bersifat korosif [4]. maka pada penelitian ini
akan dilakukan preparasi katalis dengan penggunaan
aktivator sehingga katalis heterogen akan lebih
meningkatkan karakteristik katalis sehingga konversi
IRWNS 2013
251
biodiesel pun semakin meningkat. Selain itu, pemanfaatan
limbah pertanian berupa tandan kosong kelapa sawit
(TKKS) dan batang pisang sebagai katalis basa heterogen
(TKSNBP) akan meningkatkan nilai ekonomis limbah
pertanian tesebut.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Biodiesel
Dalam pembuatan biodiesel, reaksi dapat terjadi dengan
bantuan katalis (katalitik) atau tanpa bantuan katalis (non-
katalitik). Pembuatan biodiesel tanpa katalis membutuhkan
temperatur dan tekanan tinggi, sehingga membutuhkan
perlakuan yang lebih dan reaktor yang berbahan khusus.
Agar diperoleh yield yang maksimum, reaksi berjalan pada
reaksi yang melebihi suhu metanol supercritical yaitu pada
suhu 240°C [7]. Minyak nabati dan biodiesel tergolong ke
dalam kelas besar senyawa-senyawa organik yang sama,
yaitu kelas ester asam-asam lemak. Akan tetapi, minyak
nabati adalah triester asam-asam lemak dengan gliserol,
atau trigliserida, sedangkan biodiesel adalah monoester
asam-asam lemak dengan metanol [11]. Semua minyak
nabati dapat digunakan sebagai pengganti bahan bakar
namun dengan proses-proses pengolahan tertentu [5].
Berbeda dengan penggunaan minyak tanaman murni,
penggunaan ester dari minyak tanaman tidak memerlukan
modifikasi konstruksi motor dan memiliki beberapa
keunggulan, yaitu [12]:
1. Biodiesel diproduksi dari bahan pertanian, sehingga
dapat diperbaharui.
2. Biodiesel memiliki nilai setana yang tinggi, volatile
matter yang rendah dan bebas sulfur.
3. Ramah lingkungan karena tidak ada emisi SOx.
4. Meningkatkan nilai produk pertanian Indonesia.
5. Memungkinkan diproduksi dalam skala kecil
menengah sehingga bisa diproduksi di pedesaan.
6. Menurunkan ketergantungan suplai minyak dari negara
asing dan fluktuasi harga.
7. Jauh lebih mudah terurai oleh mikroorganisme
dibandingkan minyak mineral.
Salah satu persyaratan minyak nabati dapat dipakai sebagai
bahan bakar mesin diesel adalah viskositasnya harus
rendah. Ada beberapa metode untuk menurunkan viskositas
minyak nabati seperti mencampurkan minyak nabati
dengan petrodiesel, pirolisis,mikroemulsi, dan
transesterifikasi. Transesterifikasi merupakan metode yang
paling umum digunakan pada pembuatan bahan bakar
biodiesel dari minyak nabati dengan reaksi kimia [9].
2.2 Reaksi Transesterifikasi
Transesterifikasi (biasa disebut dengan alkoholisis)
adalah tahap konversi trigliserida (minyak nabati)
menjadi alkil ester, melalui reaksi dengan alkohol dan
menghasilkan produk samping yaitu gliserol. Di antara
alkohol-alkohol monohidrik yang menjadi kandidat sumber
atau pemasok gugus alkil, adalah metanol yang paling
umum digunakan, karena harganya murah dan
reaktifitasnya paling tinggi (sehingga reaksi disebut
metanolisis). Jadi, di sebagian besar dunia ini, biodiesel
praktis identik dengan ester metil asam-asam lemak (Fatty
Acids Metil Ester, FAME). Reaksi transesterifikasi
trigeliserida menjadi metil ester dapat dilihat pada gambar
1 berikut:
Gambar 1: Reaksi Pembentukan Metil Ester (Biodiesel)
Transesterifikasi juga menggunakan katalis dalam
reaksinya. Tanpa adanya katalis, konversi yang
dihasilkan maksimum namun reaksi berjalan dengan
lambat [6]. Katalis yang biasa digunakan pada reaksi
transesterifikasi adalah katalis basa, karena katalis ini
dapat mempercepat reaksi.
2.3 Katalis Basa Heterogen
Katalis oksida logam bivalen memiliki karakter kovalen
yang dapat memfasilitasi reaksi transesterifikasi, beberapa
katalis basa heterogen yang umum digunakan adalah: K/-
Al2O3 , oksida campuran Ca dan Zn, Al2O3 yang didukung
CaO dan MgO, Oksida Logam alkali tanah, KF/Ca-Al dan
logam alkali yang dimuat alumina [13]. Mekanisme reaksi
transesterifikasi dengan katalis basa ada 4 tahap yaitu:
(1) Terjadi abstraksi proton dari metanol dengan situs basa
membentuk anion metoksida.
(2) Anion metoksida menyerang karbon karbonil pada
molekul trigeliserida membentuk intermediate
alkoksikarbonil.
(3) Intermediate alkoksikarbonil lebih lanjut berubah
bentuk yang lebih stabil berupa Fatty Acid Metyl Ester
(FAME) dan Anion digliserida.
(4) Kation metoksida menyerang anion digliserida
membentuk digliserida dan proses seterusnya terjadi
pada gugus R2 dan R3 [13].
Proses transesterifikasi dipengaruhi oleh beberapa faktor
yang tergantung pada kondisi reaksi yang digunakan, yaitu:
1. Pengaruh Asam Lemak Bebas dan Zat Menguap
Kandungan asam lemak bebas dan zat menguap
merupakan parameter kunci untuk menentukan
kelangsungan proses transesterifikasi minyak/lemak
tersebut. Proses transesterifikasi dengan menggunakan
katalis basa, bilangan asam harus lebih kecil dari 2%
[7].
2. Katalis
Katalis yang digunakan bisa homogen atau heterogen,
baik yang bersifat asam atau basa. Perlu diperhatikan
IRWNS 2013
252
1
4
3 2
Ultras
oniic
1
2
6 5
4
3
kadar asam lemak bebas (ALB) dan kelembapan
(moisture) [9], Katalis heterogen biasanya bergantung
sekurang-kurangnya pada satu reaktan yang teradsorpsi
dan dimodifikasi menjadi bentuk yang dapat langsung
bereaksi [1].
3. Perbandingan Mol Alkohol dan Mol Trigliserida
Salah satu faktor paling penting yang mempengaruhi
besarnya komponen rendemen ester adalah
perbandingan mol antara alkohol dengan trigliserida.
Perbandingan mol yang dibutuhkan untuk mencapai
stoikiometri adalah 3 mol alkohol dan l mol
trigliserida, yang akan menghasilkan 3 mol ester asam
lemak dan satu mol gliserol [12].
4. Kecepatan pengadukan
kecepatan reaksi pengadukan semakin besar, sehingga
kecepatan reaksi akan semakin besar [7].
5. Pengaruh Waktu Reaksi dan Temperatur
Laju rendemen trigliserida akan bertambah dengan
bertambahnya waktu reaksi. Transesterifikasi dapat
berjalan dengan temperatur berbeda, tergantung pada
minyak yang digunakan. [7].
3. METODOLOGI PENELITIAN
Dalam penelitian ini ada beberapa tahapan yang dilakukan
yaitu:
1. Tahap penyiapan bahan baku (preparasi)
Pada tahap ini dilakukan pengecilan ukuran pada bahan
baku berupa tandan kosong sawit dan batang pisang
2. Tahap aktivasi tandan kosong kelapa sawit dan batang
pisang dengan menggunakan larutan KOH dengan
konsentrasi 0.1N : 0.4N : 0.7N : 1.0N : 1.3N : 1.6N :
1.9N : 2.2N
3. Tahap gasifikasi ( pembuatan abu )
Pada tahap ini tandan kosong dan batang pisang yang
telah diaktivasi kemudian diabukan dengan alat
gasifikasi
4. Tahap reaksi transesterifikasi
Tahap ini dilakukan dengan menggunakan reaktor
ultrasonik dengan frekuensi 42 KHZ dengan variasi
katalis 5g : 10g : 15g : 20g : 25g dengan variasi reaktan
1:6 dan suhu reaksi 300C.
5. Tahap pemisahan, pencucian dan pemurnian biodiesel
Pada tahap ini biodiesel yang telah dipisahkan dari
gliserol kemudian dicuci dengan air panas untuk
menghilangkan sisa kotoran dan methanol.
6. Tahap analisa biodiesel
Analisa biodiesel meliputi kadar metil ester dengan GC
MS dan rendemen biodiesel, density, viscositas, titik
nyala, titik kabut dan angka setana
Peralatan yang digunakan dalam penelitian dapat dilihat
pada gambar 2 dan gambar 3:
Keterangan:
1. Tempat bahan baku
2. Kondensor
3. Sirkulasi Udara
4. Pemanas / Kompor
Gambar 2: Peralatan Gasifikasi (pengabuan)
Keterangan :
1. Ultrasonic cleaner
2. Mixer
3. Aluminium foil
4. Gelas Kimia
5. Statif
6. Klem
Gambar 3: Peralatan Proses Pembuatan Biodiesel
4. PEMBAHASAN
4.1 Pengaruh aktivasi terhadap karakteristik katalis
Aktivasi dilakukan dengan menggunakan larutan KOH
dengan berbagai konsentrasi dan suhu lingkungan serta
waktu perendaman selama 1 jam, data hasil dapat dilihat
pada tabel 1 berikut:
Tabel 1: Pengaruh Konsentrasi Larutan Aktivator (KOH)
Terhadap Kadar Kalium Katalis
No.
Konsentrasi Larutan
KOH
(N)
Konsentrasi Kalium
(% b/b)
1 0 5.73
2 0,1 13.64
IRWNS 2013
253
3 0,4 15.13
4 0,7 18.77
5 1,0 23.38
6 1,3 24.72
7 1,6 31.59
8 1,9 36.5i2
9 2,2 29.64
Tandan kosong kelapa sawit (TKKS) dan batang pisang
digunakan sebagai katalis heterogen karena mengandung
unsur kalium. Kadar kalium pada abu tandan kosong
kelapa sawit sebesar 196,63 g/kg berat abu [14] sedangkan
kadar kalium batang pisang sebesar 16,53-23,06 g/kg berat
batang pisang dan mengalami kenaikan kadar kalium
setelah pembakaran sebsar 36-46% [8]. Dari uraian
tersebut dapat disimpulkan bahwa abu tandan kosong
kelapa sawit memiliki kadar kalium yang lebih rendah
dibandingkan abu batang pisang sehingga pada penelitian
ini tandan kosong kelapa sawit dicampur denganbatang
pisang (50%:50% berat).
Dalam karakteristik katalis, dilakukan proses aktivasi
untuk meningkatkan kadar kalium. Berdasarkan hasil
analisis AAS diperoleh bahwa kadar kalium pada abu
TKKS dan batang pisang tanpa aktivasi yang digunakan
dalam penelitian ini adalah 5,73% seperti yang
ditunjukkan pada Tabel 1, selain itu juga terlihat kadar
kalium pada katalis yang teraktivasi dengan berbagai
konsentrasi larutan aktivator. Sehingga konsentrasi larutan
aktivator memberikan pengaruh terhadap kadar kalium
yang dihasilkan pada abu TKKS dan batang pisang
(TKKSNBP), hal tersebut dapat ditunjukkan pada Gambar
4
Gambar 4: Grafik Konsentrasi Kalium dan Konsentrasi
Larutan KOH
Pada gambar 4 menunjukkan kadar kalium pada abu
TKKS dan batang pisang yang dihasilkan meningkat
dengan bertambahnya konsentrasi larutan aktivator.
Konsentrasi larutan KOH 1,9 N merupakan konsentrasi
maksimum yang menghasilkan kadar kalium sebesar
36,52%.
Meningkatnya komposisi (kalium) suatu katalis akibat dari
proses aktivasi karena zat pengotor yang ada pada abu
akan hilang biasanya zat pengotor ini menutupi pori-pori
permukaan abu. Hilangnya zat pengotor tersebut dari
permukaan abu akan menyebabkan semakin besar pori dari
abu tersebut. Besarnya pori abu TKKSNBP yang akan
berfungsi sebagai katalis berakibat meningkatnya luas
permukaan sehingga akan meningkatkan kemampuan
adsorpsi dan dapat meningkatkan kadar gugus aktif pada
abu tersebut. Luas permukaan dipengaruhi oleh besar atau
kecilnya pori pada permukaan katalis. Semakin kecil pori,
luas permukaan akan semakin besar sehingga kinerja abu
sebagai katalis heterogen dapat meningkat. Dalam reaksi
katalitik, luas permukaan sangat .mempengaruhi laju
reaksi, karena semakin luas permukaan katalis akan
menyebabkan semakin banyak reaktan yang teradsorpsi
pada sisi aktif katalis.
4.2 Pengaruh Massa Katalis Basa Heterogen Pada
Pembuatan Biodiesel
Pembuatan biodiesel dilakukan dengan menggunakan
katalis basa heterogen TKKSNBP pada suhu 300C waktu
reaksi 30 menit dengan perbandingan reaktan 1:6 dengan
data pada Tabel 2 sebagai berikut:
Tabel 2: Pengaruh Massa Katalis Terhadap
Rendemen Biodiesel (Waktu Reaksi = 30 menit,
Ukuran Partikel Katalis = 100 mesh)
Dari Tabel 2 terlihat pada massa katalis yang banyak akan
menghasilkan rendemen dan kadar metil ester yang tinggi
pula pada ukuran partikel yang sama 100 mesh, waktu
reaksi 30 menit dan suhu reaksi 300C dengan menggunakan
reaktor ultrasonik batch. Pengaruh massa katalis terlihat
pada gambar 5 dan gambar 6 pada rendemen dan kadar
metil ester biodiesel sebagai berikut:
0
10
20
30
40
0 1 2 3
Ka
da
r K
ali
um
(% b
/b)
Konsentrasi Larutan KOH …
No.
Massa
Katalis
(gram)
Rendemen Biodiesel
(%)
Kadar Metil Ester
(%)
1 10 83,35 93,97
2 15 87,17 94,28
3 20 93,17 96,76
4 25 75,49 96,85
5 30 66,77 96,90
IRWNS 2013
254
Gambar 5: Pengaruh Massa Katalis pada Rendemen
Biodiesel
Gambar 6: Pengaruh Massa Katalis pada Kadar Metil Ester
Gambar 5 dan Gambar 6, menunjukkan bahwa rendemen
biodiesel dan kadar metil ester yang dihasilkan meningkat
terhadap bertambah.nya massa katalis. Dengan semakin
besar massa katalis maka semakin besar pula konsentrasi
katalis yang akan meningkatkan laju reaksi
transesterifikasi pembentukan metil ester. Pada massa
katalis sebesar 20 g menunjukkan rendemen biodiesel
maksimum yaitu 93,17%, begitu pula terjadi peningkatan
kadar metil ester sebesar 96.76% .
Kenaikan konsentrasi katalis tidak menyebabkan
pergeseran kesetimbangan ke arah pembentukan metil
ester, tetapi menyebabkan turunnya energi aktivasi.
Dengan demikian, hal tersebut akan meningkatkan kualitas
tumbukan antar molekul reaktan yang mengakibatkan
kecepatan reaksi transesterifikasi menjadi naik sehingga
rendemen biodiesel juga semakin tinggi dan kadar metil
ester pun meningkat.
Peningkatan konsentrasi katalis tidak selalu meningkatkan
nilai rendemen produk tetapi sebaliknya akan menambah
biaya dan waktu karena perlunya pemisahan katalis dari
produk serta penambahan massa katalis menyebabkan
warna biodiesel menjadi lebih pekat. Pada penggunaan
massa katalis >20 gram, mengakibatkan rendemen
biodiesel semakin menurun. Hal ini disebabkan terjadinya
reaksi balik ke arah pembentukan reaktan. Selain itu,
karena kecepatan pengadukan yang digunakan tidak
optimal terhadap massa katalis >20 gram yang
mengakibatkan proses desorpsi (pelepasan produk dari
permukaan katalis) lebih kuat dari adsorpsi reaktan
sehingga menghasilkan rendemen biodiesel yang lebih
sedikit.
Kecepatan pengadukan dalam reaksi pembentukan
biodiesel memberikan pengaruh yang besar. Hal ini
diperkirakan karena pengaruh mekanisme katalis
heterogen (adsorpsi dan desorpsi). Kesetimbangan antara
adsorpsi dan desorpsi akan sangat menentukan aktivitas
katalis heterogen. Oleh karena itu, kecepatan pengadukan
optimal terhadap massa katalis akan memberikan
kecepatan adsorpsi reaktan sebanding dengan kecepatan
desorpsi produk, dimana reaktan teradsorpsi sampai reaksi
sempurna sehingga produk yang dihasilkan akan lebih
banyak
Setelah dilakukan proses transesterifikasi dari variabel
massa katalis, produk yang diperoleh (rendemen biodiesel
optimal) dilakukan uji karakteristik. Hasil analisa
karakteristik biodiesel dapat dilihat pada Tabel 3, dengan
massa jenis 878,5 kg/m3, viskositas 5,13 mm
2/s, angka
setana 52, titik nyala 129,4°C, titik kabut 12°C, kadar air
0,0293%, kadar metil ester 99,76% dan angka asam
0,4837 mg KOH/g. Karakteristik biodiesel tersebut telah
memenuhi standar SNI (2006). Karakteristik diperlukan
untuk mengetahui kelayakan biodiesel dalam aplikasinya
terhadap mesin diesel. Karakteristik biodiesel dapat dilihat
pada Tabel 3.
Tabel 3: Karakteristik Biodiesel dari % Rendemen
Maksimum
5. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka
dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Pengaruh aktivator kimia berupa larutan KOH pada
katalis basa dan aktivasi fisika dapat meningkatkan
kadar kalium pada katalis limbah tandan kosong sawit
dan batang pisang, kalium terikat dalam gugus K2O.
2. Penggunaan katalis basa limbah tandan kosong sawit
dan batang pisang dapat digunakan sebagai katalis
pada transesterifikasi minyak goreng bekas menjadi
biodiesel dengan rendemen biodiesel 93,17% dengan
massa katalis 20g dan kadar metal ester 96,76% serta
dapat mengurangi efek reaksi penyabunan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih kepada Unit Penelitian dan Pengabdian
Kepada Masyarakat (UP2M) Politeknik Negeri Samarinda
No. Parameter Nilai
(Standar SNI)
Nilai Biodiesel
(Ultrasonik)
1 Massa jenis pada
15℃ (kg/m3) 850 – 890 878,5
2
Viskositas
kinematik pada
40℃ (mm2/s)
2,3 – 6,0 5,13
3 Angka Setana Min.51 52
4 Titik nyala (℃) Min. 100 129,4
5 Titik kabut (℃) Maks. 18 12
6 Kadar Air (%-v) Maks. 0,05 0,0293
7 Kadar ester alkil (%-
m) Min. 96,5 96,76
8 Angka asam (mg
KOH/g) Maks. 0,8 0,4837
IRWNS 2013
255
atas perannya dalam pelaksanaan penelitian Hibah
Bersaing Terapan di lingkungan Politeknik Negeri
Samarinda sehingga penelitian ini dapat dilaksanakan atas
biaya BOPTN Politeknik Negeri Samarinda Tahun 2013.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Atkins P.W. 1990. Kimia Fisika. University Lecturer
and Fellow Of Lincoln College, Oxford. Jakarta:
Penerbit Erlangga.
[2] Badan Pusat Statistik, 2010, Jakarta.
[3] Ediati., R., D. Prasetyoko dan Samik. 2012. Pengaruh
Kebasaan dan Luas Permukaan Katalis Terhadap
Aktivitas Katalis Basa Heterogen untuk Produksi
Biodiesel. Surabaya: Jurusan Kimia Fakultas MIPA
Institut Teknologi Sepuluh November. Hal 1-6.
[4] Eka, G.P., Syukri dan Zulhajri. 2012. Sintesis Dan
Karakterisasi Katalis Kobalt Dan Tembaga Yang Di
Amobilisasi Pada Silika Mesopori Dan Uji Aktivitas
Katalis Dalam Reaksi Transesterifikasi Minyak Sawit.
Padang: Jurusan Kimia FMIPA Universitas Andalas.
[5] Imaduddin, M., I. Tahir, K. Wijaya dan Yoeswono.
2008. Ekstraksi Kalium dari Abu Tandan Kosong
Sawit Sebagai Katalis Pada Reaksi Reaksi
Transesterifikasi Minyak Sawit. Yogyakarta: Jurusan
Kimia Fakultas MIPA Universitas Gadjah Mada.
Buletin of Chemical Reaction Engineering &
Catalysis.
[6] Herman, S dan I. Zahrina. 2006 Kinetika Reaksi
Metanolisis Minyak Sawit Menggunakan Katalis
Heterogen. Fakultas Teknik Universitas Riau
Pekanbaru Jurnal Sains dan Teknologi. 5(2): 1412-
6257.
[7] Mahfud, P. Pantjawarni, G.A. Wibawa dan R. Putra.
2012. Pembuatan Biodiesel Secara Batch dengan
Memanfaatkan Gelombang Mikro. Surabaya: Jurusan
Teknik Kimia Fakultas Teknologi Industri Institut
Teknologi Sepuluh November. Vol. 1 No. 1, Hal 34.
[8] Muchtar, R. 2012. Pemanfaatan Teknologi
Gelombang Ultrasonik Dalam Proses Pembuatan
Biodiesel Dari Minyak Jelantah. Samarinda: Jurusan
Teknik Kimia. Politeknik Negeri Samarinda.
[9] Mohapatra D, Misha S dan Sutar N. 2010. Banana
and its by produc utilization an overview. Journal of
Scientific And Industrial Research, vol 69 hal 323-
329.
[10] Ridlo, R. 2010. Optimasi Proses Produksi Biodiesel
Dari Minyak Kelapa Sawit dan Jarak Pagar dengan
Menggunakan Katalis Heterogen Kalium Oksida.
Jakarta: Pusat Teknologi Pengembangan Sumber
Daya Energi dan Material Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi .
[11] SNI. 2006. Standar Nasional Indonesia Biodiesel.
Jakarta: Badan Standarisasi Nasional.
[12] Soerawidjaja, TH. 2006. Fondasi-fondasi Ilmiah dan
Keteknikan dari Teknologi Pembuatan Biodiesel.
Handout Seminar Nasional “Biodiesel Sebagai Energi
Alternatif Masa Depan”UGM Yogyakarta.
[13] Susilo, B., 2006, Biodiesel sumber Energi Alternatif
Pengganti Solar yang terbuat dari Ekstraksi Minyak
jarak Pagar, Trubus Agrisarana, Surabaya.
[14] Widayat dan Agam, DKW. 2013. Teknologi Proses
Produksi Biodiesel. EF Press Digimedia. Semarang
[15] Yoeswono, J. Sibarani dan S. Khairi. 2008.
Pemanfaatan Abu Tandan Kosong Kelapa Sawit
Sebagai Katalis Basa Pada Reaksi Transesterifikasi
Dalam Pembuatan Biodiesel. Yogyakarta: Jurusan
Teknik Kimia Fakultas MIPA Universitas Gajah
Mada. Hal 1-10.
IRWNS 2013
256
Pengaruh Pengendalian Temperatur Fermentasi Pada Biometanasi Eceng
Gondok
Purwinda Iriania, Eza Anansa Storia
b`
aJurusan Teknik Konversi Energi, Politeknik Negeri Bandung, Bandung 40012
E-mail : [email protected] bJurusan Teknik Konversi Energi, Politeknik Negeri Bandung, Bandung 40012
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Pengembangan teknik pembuatan biogas dengan kombinasi bahan baku biomassa dan kotoran sapi masih terus dilakukan.
Eceng gondok sebagai salah satu biomassa yang tumbuh secara liar di perairan terbuka, mulai dimanfaatkan sebagai bahan
baku pembuatan biogas. Pada penelitian ini digunakan pra-perlakuan (pre-treatment) secara kimiawi pada bahan baku eceng
gondok yang selanjutnya dilakukan tahap biometanasi dengan menambahkan kotoran sapi dengan perbandingan 3:1. Pengujian
proses biometanasi dikendalikan di temperatur 30oC dan 35
0C. Sebagai pembanding, digunakan kontrol yaitu biometanasi
eceng gondok yang temperaturnya menggunakan temperatur lingkungan sekitar (tidak dikendalikan). Kondisi pH awal bahan
biometanasi adalah 7 dan difermentasi selama 27 hari. Hasil yang diperolah dari pengamatan pada variabel temperatur adalah
total volume biogas tertinggi ada pada temperatur 35 oC sebanyak 41.370 mL, sedangkan pada temperatur 30
oC sebanyak
20.740 mL dan temperatur lingkungan (kontrol) ebanyak 35.680 mL. Kandungan gas metan terbesar pada temperatur 35oC
sebesar 78,82%, sedangkan pada temperatur 30 oC dan kontrol berturut-turut adalah 71,85% dan 41,37%. Potensi energi yang
didapat pada digester kontrol, 30 oC dan 35
oC berturut-turut adalah 114,60 kJ, 149,46 kJ dan 229,54 kJ, dengan pembentukan
gas metan di setiap perlakuan terjadi setelah hari ke-18 fermentasi.
Kata Kunci Biometanasi,,eceng gondok,temperatur fermentasi,metan
1. PENDAHULUAN
Penggunaan sumber-sumber energi alternatif seperti air,
matahari, angin dan biomassa sudah mulai diperhatikan.
Pemanfaatan biomassa dari limbah organik dapat melalui
proses biometanasi yang menghasilkan produk berupa
biogas. Biometanasi merupakan proses pengubahan bahan
organik dalam limbah menjadi biometana atau gas metan.
Teknologi biometanasi sangat berguna bagi masyarakat
karena teknologi ini relatif mudah diaplikasikan, murah dan
ramah lingkungan. Dengan latar belakang negara Indonesia
yang agraris dan sebagian besar masyarakat Indonesia
merupakan peternak maka teknologi ini dapat dengan
mudah diterapkan sehingga dapat menekan kebutuhan akan
bahan bakar fosil. Selain itu, teknologi biogas memberikan
peluang bagi masyarakat pedesaan yang memiliki usaha
peternakan baik itu perseorangan maupun kelompok, untuk
memenuhi kebutuhan energi sehari-hari secara mandiri.
Pada saat ini, biometanasi mulai dikembangkan dengan
tidak hanya menggunakan kotoran hewan ruminansia,
namun juga dengan campuran penggunaan biomassa
sebagai bahan baku. Biomassa yang umum digunakan
adalah limbah hasil perkebunan atau pertanian yang
umumnya berupa hasil sisa produksi, seperti limbah kelapa
sawit, tongkol jagung, ampas tebu, dan lain-lain[5]. Selain
itu, biomassa dari tanaman yang tumbuh dalam populasi
tinggi dan hidup sebagai gulma juga dapat dimanfaatkan
sebagai bahan baku pembuatan biogas. Salah satu biomassa
yang mudah didapat dan memiliki kelimpahan cukup tinggi
adalah eceng gondok. Eceng gondok (Eichhornia crassipes)
adalah salah satu jenis tumbuhan air mengapung yang
hidup di perairan air tawar terbuka dan memiliki potensi
sebagai bahan baku pembuatan biogas [6].
Pada sebelumnya, dilakukan optimasi mengenai pra-
perlakuan bahan baku berupa eceng gondok yang
menghasilkan bentuk pra-perlakuan secara kimiawi dan
menghasilkan produksi biogas tertinggi [4]. Terkait hasil
penelitian tersebut, maka dilakukan penelitian lanjutan yang
berhubungan dengan peningkatan produksi biogas dengan
variasi parameter (kondisi fisik lingkungan) yang berbeda.
Hasil dari biometanasi eceng gondok yang dilakukan
menggunakan sistem plugflow dengan digester 30 L di suhu
ruang menunjukkan bahwa gas metan terbentuk setelah 20
hari fermentasi dengan total biogas yang dihasilkan 74,3 L
[10]. Pada penelitian biometanasi dengan menggunaan
eceng gondok di skala laboratorium (250 mL) yang
menghasilkan komposisi metan hingga 69% [7]. Pada
penelitian ini dilakukan biometanasi eceng gondok
menggunakan pra-perlakuan kimiawi di rentang proses
biometanasi yaitu 300C - 35
0C [8], untuk mengetahui waktu
pembentukan biogas, profil volume dan komposisi biogas.
IRWNS 2013
257
Penelitian biometanasi eceng gondok dengan pengendalian
temperatur dilakukan pada skala pilot (digester 19 L).
2. METODOLOGI PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini melalui
beberapa tahapan.
2.1 Preparasi Alat dan Bahan
Pada tahap ini dilakukan preparasi alat dan bahan, meliputi
desain dan pembuatan digester plastik volume 19 L (galon
air mineral) dengan tipe batch feeding (pemasukan bahan
hanya satu kali). Digester dihubungkan melalui pipa PVC
½” yang kemudian disambungkan lagi dengan ball valve ½
dan sambungan pipa kembali. Pipa PVC kemudian
disambungkan ke kuningan ½”x ¼ melalui soket drat
dalam. Pemasangan selang rajut 5/16” ke dalam napple
kuningan ¼” dilanjutkan dengan pengencangannya
menggunakan klem. Pada selang rajut tersebut dipasangkan
stop kran ¼ dan kembali disambung dengan selang rajut.
Penampungan biogas menggunakan plastik HDPE yang
dihubungkan ke dalam selang rajut sambungan dari stop
kran yang sebelumnya dikencangkan dengan klem dan
selotip (Gambar 1). Pengujian kebocoran dilakukan dengan
menggunakan perendaman ke dalam air.
Gambar 1: Desain Digester Biogas
Pengaturan temperatur fermentasi dikondisikan pada 300C
dan 350C dengan menggunakan inkubator digester.
Inkubator dibuat dari bahan kayu triplek berukuran 60 cm x
100 cm x 60 cm (panjang, lebar, dan tinggi). Sumber panas
pada inkubator diperoleh dari dua lampu pijar 60 Watt
yang dipasangkan di dalam inkubator. Termocouple
dimasukkan ke dalam digester dan tersambung pada sistem
penyalaan lampu dikendalikan oleh mikrokontroler
ATmega8 yang akan memerintahkan relay untuk
menghidupkan atau mematikan lampu. Sensor yang
digunkanan yaitu sensor IC LM35 yang tegangan outputnya
sebanding linier dengan input temperatur yang diterimanya
dan memiliki linieritas + 10 mV/oC.. Lapisan inkubator
bagian dalam diberi lapisan alumunium foil dan glasswool
untuk mempertahankan panas.
Eceng gondok diberi pra-perlakuan kimiawi dengan
perendaman larutan NaOH 3% selama 48 jam di suhu 500C.
Bahan baku eceng gondok terlebih dahulu dihancurkan
dengan menggunakan air dengan perbandingan eceng
gondok dan air sebesar 1:3. Kemudian campuran eceng
gondok dan air (EA) ditambahkan kotoran sapi (KS)
dengan perbandingan EA dan KS sebesar 3 : 1. Campuran
dimasukkan ke dalam digester dengan menyisakan 20%
ruang kosong pada digester. Biometanasi dengan
pengaturan temperatur akan dimasukkkan ke dalam
inkubator berlampu, sedangkan sebagai kontrol digunakan
digester yang berada pada inkubator tanpa lampu pijar.
Proses biometanasi dilakukan selama 27 hari.
2.2 Analisis Komposisi Kimia Bahan Baku
Komposisi kimia senyawa organik pada bahan baku akan
mempengaruhi proses fermentasi yang berlangsung.
Berdasarkan hal tersebut, dilakukan tahap analisis
komposisi kimia terhadap eceng gondok dan kotoran sapi.
Analisis kimia tersebut meliputi kadar air, kadar abu, C-
organik (karbon) dan Nitrogen. Pengujian kadar Nitrogen
dilakukan dengan metode Khjedhal.
2.3 Pengambilan dan Analisis Data
Data hasil fermentasi diambil di periode 3-7 hari sekali
pada setiap digester. Parameter yang diukur meliputi
temperatur biometanasi, volume, dan komposisi biogas.
Pada analisis komposisi gas, sampel akan dibawa dan
diukur menggunakan gas chromatography (GC). Gas yang
akan dideteksi oleh alat tersebut adalah CH4, CO2, H2, dan
N2. Potensi energi diperoleh dari hasil perhitungan sebagai
berikut :
Energi biogas = volume gas x nilai kalor CH4 (1)
Nilai kalor CH4 = LHV CH4 x ρ CH4 (2)
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Karakteristik Kimiawi Bahan Baku Pembuatan
Biogas
Bahan baku yang dipakai untuk pembuatan biogas ini
adalah eceng gondok dan sludge kotoran sapi. Komposisi
campuran bahan diperoleh dari karakteristik komposisi
kimiawi kedua bahan diperlihatkan pada Tabel.1.
Tabel: Karakteristik Eceng Gondok Parameter Satuan Hasil Analisa
C-Organik %BK 50.88
NTK %BK 0.78
4
Penampung Biogas
Digester
IRWNS 2013
258
Kadar Air %BB 90.37
Berat Jenis gr/cm3 0.47
Kadar Abu %BK 8.03
Catatan : BK = Berat Kering BB = Berat Basah
Kadar air yang dimiliki eceng gondok sangat besar yakni
hingga 90,377%, dengan kadar C-Organik 50,88 %, dan
kandungan Nitrogen 0,78%. Berat jenis eceng gondok
adalah 0,47 gr/cm3 dengan kadar abu 8,03%.
Karakteristik kimia dari sludge kotoran sapi ditampilkan
pada Tabel 2.
Tabel 2: Karakteristik Sludge Kotoran Sapi
Parameter Satuan Hasil Analisa
C-Organik %BK 59.34
NTK %BK 1.28
Kadar Air %BB 83.79
Berat Jenis gr/cm3 1.03
Kadar Abu %BK 12.84
Catatan : BK = Berat Kering BB = Berat Basah
Pada Tabel 2 dapat dilihat karakteristik dari sludge kotoran
sapi yang akan digunakan sebagai bahan baku dalam
pembuatan biogas. Terlihat bahwa sludge kotoran sapi
memiliki kadar air sebesar 83.79%, C-Organik 59.34%,
NTK 1,28%.
Nilai rasio C/N dari campuran bahan adalah 58,55. Nilai
rasio tersebut lebih besar dari nilai rasio C/N yang optimum
untuk proses fermentasi anaerobik,yaitu 25-30. Kadar air
yang terkandung pada eceng gondok dan kotoran sapi
cukup tinggi, berada di kisaran 90%, dimana nilai tersebut
baik untuk pembuatan biogas. Kandungan air yang terlalu
sedikit dapat menyebabkan akumulasi asam asetat yang
kemudian menghambat proses fermentasi dan produksi
biogas, sedangkan kandungan air yang terlalu tinggi dapat
menyebabkan penurunan produksi biogas per unit volume
[1].
Pemberian pra-perlakuan terhadap eceng gondok bertujuan
untuk mempermudah proses hidrolisis secara enzimatik
oleh bakteri penghasil biogas [2]. Secara fisik, perubahan
dapat dilihat dari adanya perubahan warna eceng gondok
dari warna hijau segar menjadi cokelat gelap. Tekstur eceng
gondok melunak setelah perendaman menggunakan NaOH
3%. Penggunaan basa kuat pada proses hidrolisis eceng
gondok mampu memecah struktur selulosa dan lignin yang
berada di dalamnya. Selulosa sebagai polimer glukosa,
terhidrolisis menjadi dimer dan monomer gulasederhana,
sedangkan ikatan antar pembentuk lignin juga terpisah dan
menghasilkan warna gelap pada eceng gondok. Proses
pemberian pra-perlakuan dapat mempermudah proses
penggunaan gula-gula sederhana oleh mikroorgasnime
penghasil biogas, maupun mempercepat proses hidrolisis
secara enzimatik oleh mikroorganisme tersebut.
3.2 Komposisi Biogas pada Kontrol dan Perlakuan
Hasil proses biometanasi pada eceng gondok selama 27 hari
dapat dilihat melalui komposisi dari jenis dan kandungan
gas-gas yang dihasilkan. Pada Gambar 2 dapat dilihat hasil
biometanasi pada digester yang menggunakan temperatur
lingkungan sebagai temperatur fermentasi (kontrol).
Gambar 2: Komposisi Gas pada Hasil Biometanasi di
Digester Kontrol
Dari grafik Gambar 2 dapat diketahui bahwa produksi gas
metan (CH4) mulai dihasilkan setelah hari ke-3 dan terus
mengalami kenaikan hingga mencapai 41.37% di hari ke-
18. Profil produksi metan mengalami sedikit penurunan
setelah hari ke-18, dimana pada hari ke-25 dan ke-27
masing-masing menghasilkan 39% dan 38,42% metan.
Kenaikan.gas metan berbanding terbalik dengan konsentrasi
CO2 selama biomethanasi. Pada hari ke-3 hingga ke-11,
CO2 yang dihasilkan terus mengalami kenaikkan hingga
49,74% yang kemudian diikuti penurunan yang cukup
signifikan hingga 7,64% di hari ke-27. Gas N2 yang
terkandung pada biogas mengalami fluktuatif prosentase
dan gas H2 hanya dihasilkan pada hari ke-27 yakni 0,17%.
Gambar 3: Komposisi Gas pada Hasil Biometanasi di
Temperatur 30 oC
Pada hasil biometanasi pada temperatur 30 o
C , diperoleh
komposisi CH4 yang meningkat hingga hari ke-18 (71,85%)
dan cenderung stabil di hari ke 25 dan 27 dengan nilai
0
20
40
60
80
100
3 6 9 11 13 18 25 27
Kan
du
nga
n (%
)
Waktu (hari)
CH4
CO2
N2
H2
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
3 6 9 11 13 18 25 27
Kan
du
nga
n (%
)
Waktu (hari)
CH4
CO2
N2
H2
IRWNS 2013
259
masing-masing persen metan 69,27% dan 68,61% (Gambar
3). Kandungan CO2 berada pada kisaran 8,7% hingga
17,11% selama fermentasi, sedangkan gas Nitrogen
mengalami penurunan yang cukup signifikan, yaitu dari
82,36% di hari ke-3 menjadi 12,73% di hari ke-18. Gas
Hidrogen merupakan gas yang kandungannya sangat kecil,
yaitu 4,42% di hari ke-11 dan 3% di hari ke-18.
Gambar 4: Komposisi Gas pada Hasil Biometanasi di
Temperatur 35 oC
Profil komposisi gas yang serupa diperoleh juga oleh
biometanasi pada temperatur 35 o
C (Gambar 4), dimana
komposisi CH4 meningkat cukup signifikan hingga hari ke-
18 (77,90%) dan hari ke-25 (78,82%) yang kemudian
mengalami sedikit penurunan menjadi 74,92% di hari ke
27. Kandungan CO2 menunjukkan nilai yang fluktuatif,
dimana paling tinggi dihaslkan pada hari ke-9 (39,84%) dan
cenderung mengalami penurunan hingga 3,32% di hari ke-
27. Kandungan gas Nitrogen mengalami penurunan yang
cukup signifikan, yaitu dari 75,99% di hari ke-3 menjadi
14,31% di hari ke-25. Kandungan gas Hidrogen tidak
ditemukan kecuali pada hari ke 25 yaitu 0,16%.
Gambar 5: Produksi Biogas pada Biometanasi Digester
Kontrol, 30 oC dan 35
oC
Volume biogas yang dihasilkan selama proses biometanasi
menunjukkan profil yang berbeda-beda pada setiap
perlakuan (Gambar 5) namun pada kandungan gas metan
antar perlakuan menunjukkan profil yang serupa (Gambar
6).
Gambar 6: Kandungan Gas Metan Hasil Biometanasi
Kontrol, 30 oC dan 35
oC
Total volume biogas tertinggi diperoleh pada temperatur 35 oC , yaitu sebanyak 41.370 mL, sedangkan pada temperatur
30 oC sebanyak 20.740 mL dan temperatur kontrol
sebanyak 35.680 mL Kedua data tersebut (volume biogas
dan kandungan metan) merupakan parameter yang dapat
menunjukkan potensi energi yang dihasilkan dari proses
biometanasi pada perlakuan di temperatur ruang (kontrol),
30 oC dan 35
oC .
Pada Tabel 3 diperlihatkan bahwa pengendalian temperatur
biometanasi eceng gondok di temperatur 350C selama 27
hari menghasilkan total potensi enegi dua kali lipat
dibandingkan pada biometanasi menggunakan temperatur
ruang dan pada 30oC. Potensi energi paling tinggi diperoleh
pada temperatur 350C di hari ke-25 dengan nilai 229,54 kJ,
sedangkan pada digester kontrol adalah 109,67 kJ pada hari
yang sama. Pada temperatur 30oC, potensi energi paling
tinggi adalah 149,46 kJ di hari ke-18.
Tabel 3: Potensi Energi Biogas
Hari
Ke-
Potensi Energi (kJ)
Kontrol 30 oC 35
oC
0 0 0 0
3 1.28 0.01 2.63
6 28.43 10.95 9.04
9 74.44 1.30 7.73
11 10.63 23.04 20.08
13 22.83 66.51 99.49
18 48.96 149.46 189.98
25 109.67 49.69 229.54
27 16.53 9.84 76.31
Total 312.78 310.80 634.80
0
20
40
60
80
100
3 6 9 11 13 18 25 27
Kan
du
nga
n (%
)
Waktu (hari)
CH4
CO2
N2
H2
0
2000
4000
6000
8000
10000
12000
0 3 6 9 11 13 18 25 27
Vo
lum
e (m
L)
Waktu (hari-ke)
Kontrol
30 oC
35 oC
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
0 3 6 9 11 13 18 25 27
Ko
nse
ntr
asi (
%)
Waktu (hari ke-)
Kontrol
30 oC
35 oC
IRWNS 2013
260
Proses biometanasi pada temperatur ruang (kontrol), 30 o
C
dan 35 oC, menujukkan profil volume dan komposisi biogas
yang berbeda-beda. Volume biogas yang dihasilkan pada
ketiga digester selama fermentasi menunjukkan hasil yang
berfluktuatif di setiap periode pencuplikan. Pada akumulatif
volume biogas, biometanasi di temperatur 35oC
menunjukkan nilai volume biogas paling tinggi
dibandingkan kontrol dan 30oC. Komposisi metan tertinggi
turut diperoleh pada temperatur 35oC. Volume biogas dan
komposisi metan sangat dipengaruhi oleh temperatur
biometanasi. Ketiga digester menunjukkan trend kenaikan
gas metan yang dikuti oleh penurunan gas karbondioksida.
Produksi gas yang optimal berada pada daerah mesofilik
(20oC-40
oC). Biogas yang dihasilkan pada kondisi diluar
temperatur tersebut mempunyai kandungan karbondioksida
yang lebih tinggi [3]. Kenaikan yang steady pada produksi
biogas berada pada temperatur 35 oC dan 40
oC dimana
maksimum kumulatif gas terjadi pada temperatur 40 oC [9]
.Kenaikan aktivitas mikroorganisme mesofilik pada fase
metanogenesis diikuti dengan kenaikkan temperatur
lingkungannya, sehingga proses pembentukan gas metan
semakin meningkat. Hasil dari proses metanogenesis adalah
gas metan dan karbondioksida. Pada penelitian diperoleh
bahwa konsentrasi gas metan pada perlakuan di temperatur
30oC dan 35
oC relatif lebih tinggi dibandingkan digester
tanpa perlakuan. Hal tersebut menunjukkan bahwa aktivitas
mikroorganisme pembentuk metan lebih tinggi
dibandingkan pada digester kontrol.
4. KESIMPULAN
1. Total volume biogas tertinggi diperoleh pada temperatur
35 oC yaitu sebanyak 41.370 mL, sedangkan pada
temperatur 30 oC sebanyak 20.740 mL dan temperatur
kontrol sebanyak 35.680 mL
2. Proses biometanasi eceng gondok pada suhu 350C
menghasilkan volume biogas dan kandungan metan
lebih tinggi dibandingkan suhu 300C dan suhu ruang
(kontrol), dimana potensi energi tertinggi diperoleh
pada 350C sebesar 634,8 kJ/L, sedangkan suhu 30
0C dan
kontrol berturut 310.80 kJ/L dan 312.78 kJ/L
3. Pembentukan biogas di setiap perlakuan relatif terjadi di
waktu yang sama yaitu setelah hari ke-3 fermentasi
dengan nilai tertinggi gas metan pada hari ke-18
fermentasi.
UCAPAN TERIMA KASIH
UPPM Politknik Negeri Bandung, atas kesempatan
pendanaan penelitian skim PEMULA dengan no :
805.10/PL1.R5/PL/2013.
Laboratoium B3 Jurusan Teknik Lingkungan dan
Laboratorium Teknik Kimia ITB.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Doerr, Beth dan Nate Lehmkuhl, Methane Digesters.
Florida: Echo , 2008.
[2] Hanjie, Zhang, Sludge Treatment To Increase Biogas
Production.Trita-LWR Degree Project 10-20.
Sweden, 2010.
[3] Haryati, Tuti, Biogas: Limbah Peternakan Menjadi
Sumber Energi Alternatif. Wartazoa. 16: 160-169,
2006.
[4] Iriani, Purwinda, Pemberian Pra-Perlakuan (Pre-
Treatment) Pada Eceng Gondok Sebagai Bahan Baku
Dalam Pembuatan Biogas. UPPM Poban. Bandung.
(unpublished). 2012.
[5] Mahajoeno, Edwi, Pengembangan Energi Terbarukan
Dari Limbah Cair Pabrik Minyak Kelapa Sawit,
Institut Pertanian Bogor, 2010.
[6] Ofoefule1 A. U , E. O. Uzodinma1 And O. D.,
Comparative Study Of The Effect Of Different
Pretreatment Methods On Biogas Yield From Water
Hyacinth (Eichhornia Crassipes), International
Journal Of Physical Sciences Vol. 4 (8), Pp. 535-539,
September, 2009.
[7] Patil J.H., Molayan Lourdu, Antony Raj, Shetty
Vinaykumar, Hosur Manjunath And Adiga Srinidhi,
Biomethanation Of Water Hyacinth, Poultry Litter,
Cow Manure And Primary Sludge: A Comparative ,
Analysis, Research Journal Of Chemical Sciences
Vol. 1(7), 22-26, 2011.
[8] Schnürer, Anna and Åsa Jarvis,.Microbiological
Handbook for Biogas Plants. Swedish Waste
Management U2009:03. Avfal Swerige. Sweden,
2010.
[9] Uzodinma, E.O.U., dkk.. Optimum Mesophilic
Temperature of Biogas Production from Blends of
Agro-Based Wastes. Academic Journals. 1: 39-44,
2007.
[10] Winarni, Panggih .Yulinah Trihadiningrum,
Soeprijanto, Produksi Biogas Dari Eceng
Gondok.Teknik Lingkungan Institut Teknologi
Sepuluh November, Surabaya, 2011.
IRWNS 2013
261
Kajian Proses Asetogenesis Biodigester Anaerobik Dua Tahap
Tina Mulya Gantina, Purwinda Iriani dan Conny K. Wachjoe
Jurusan Teknik Konversi Energi, Politeknik Negeri Bandung, Bandung 40012
E-mail : [email protected]; [email protected]; [email protected]
ABSTRAK
Pada penelitian ini dilakukan kajian proses asetogenesis pada biodigester anaerobik dua tahap, dengan dua variasi bahan baku,
yaitu kotoran sapi murni dan campuran kotoran sapi dengan leachate. Penambahan leachate dimaksudkan agar bahan baku
menjadi lebih asam yaitu sekitar pH 5,5, sehingga proses asetogenesis menjadi lebih optimal. Bila proses asetogenesis sudah
cukup optimal yang ditandai dengan pembentukan asam asetat dan gas CO2, maka selanjutnya bahan dipindahkan ke
biodigeter metanogenesis untuk pembentukan gas metan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan menggunakan bahan
baku kotoran sapi yang dicampur leachate diperoleh hasil yang lebih baik dibandingkan dengan bahan baku kotoran sapi tanpa
leachate. Asam asetat yang dihasilkan pada proses asetogenesis dengan bahan baku kotoran sapi yang dicampur leachate lebih
tinggi (0,36%) dibandingkan pada bahan baku kotoran sapi murni (0,15%). Demikian pula kandungan CO2 yang dihasilkan
pada bahan baku kotoran sapi yang dicampur leachate lebih tinggi dan cenderung stabil dengan kadar CO2 berkisar 50-60 %
dibandingkan pada bahan baku kotoran sapi murni yang hanya menghasilkan kandungan CO2 sekitar 10%. Peningkatan
keasaman disebabkan oleh bakteri di dalam biodigester asetogenesis dapat berkembangbiak secara optimal yang diakibatkan
oleh penambahan leachate dengan pH sekitar 5,5.
Kata Kunci Biodigester dua tahap, proses asetogenesis, asam asetat, gas CO2.
1. PENDAHULUAN
Biogas merupakan bahan bakar alternatif dengan komponen
utama gas metana (CH4) yang bersifat ramah lingkungan
dan mudah dikembangkan. Biogas diperoleh dengan cara
fermentasi anaerobik dari limbah-limbah organik seperti
limbah sayuran, kotoran ternak (ayam, sapi, babi, kerbau),
limbah makanan dan sebagainya.
Selama proses fermentasi anaerob senyawa-senyawa
organik diurai menjadi gas metan dan karbondioksida.
Proses ini melewati beberapa tahap yang melibatkan
beberapa jenis mikroba yang saling berinteraksi dan bekerja
sama pada proses tersebut. Pada umumnya mikroba yang
satu akan tergantung dengan mikroba yang lain. Beberapa
mikroba terkait adalah mikroba yang tumbuh sangat lambat
sehingga sensitif terhadap perubahan-perubahan pada
kondisi operasional. Perubahan-perubahan inilah yang bisa
menyebabkan ketidakstabilan dan bahkan menyebabkan
kegagalan proses selama waktu yang cukup lama.
Kegagalan atau ketidakseimbangan proses anaerobik bisa
disebabkan oleh overload hidraulis (waktu tinggal terlalu
pendek), overload organis (laju beban organik terlalu
tinggi) yang menyebabkan souring pada keseluruhan
proses, dan oleh akumulasi dari senyawa-senyawa yang
bersifat toksis atau inhibitor. Selain itu, perubahan
temperatur secara tiba-tiba akan membawa akibat negatif
pada bakteri metanogen.
Untuk mengurangi peluang kegagalan dan
ketidakseimbangan proses anaerob khususnya terkait
dengan souring, maka dapat diterapkan proses anaerobik
dua tahap yang terdiri dari reaktor asetogenesis dan reaktor
metanogen. Dengan proses anaerob dua fase ini diharapkan
performansi proses dapat berjalan dengan lebih baik dan
proses lebih stabil. Proses anaerob dua tahap ini diharapkan
bisa dioperasikan pada laju beban organik (atau loading)
yang lebih tinggi dan waktu tinggal hidraulis yang lebih
pendek.
2. METODE PENELITIAN
Proses asetogenesis pada pembuatan biogas dua tahap dari
kotoran sapi pada penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan biodigester anaerobik tipe kontinyu dengan
kapasitas total volume biodigester sebesar 50 liter,
sedangkan yang diisi bahan baku sebesar 80% nya yaitu 40
liter. Kondisi operasi dilakukan pada suhu dan tekanan
alami (suhu sekitar 25-30oC, dan tekanan 1 atm) dengan
waktu penelitian selama 1 bulan (30 hari). Alat biodigester
dua tahap yang digunakan ditunjukkan pada Gambar1.
Adapun tahap-tahap penelitian yang dilakukan adalah
sebagai berikut:
Persiapan dan pengujian bahan baku awal (kotoran sapi
dan leachate), meliputi uji C- organik, Nitrogen, kadar
air, pH, dan mineral-mineral dalam leachate,Pengujian
bahan baku dilakukan di Laboratorium Limbah Padat
Departemen Teknik Lingkungan ITB.
IRWNS 2013
262
Pencampuran bahan masukan: dilakukan dengan dua
variasi bahan yaitu kotoran sapi murni yang ditambah
air 1:1 (20 liter kotoran sapi atau 20, 6 kg dicampur
dengan 40 liter air), dan bahan campuran kotoran sapi
yang ditambah leachate 1:1 (20 liter kotoran sapi
dicampur dengan 20 liter leachate);
Pemasukan bahan ke dalam biodigester asetogenesis;
Penyimpanan biodigester, dilakukan pada kondisi alami
selama sekitar 1 bulan.
Setelah periode tertentu dilakukan pengujian yang
meliputi: kandungan asam asetat, volume biogas,
komposisi biogas;
Melakukan perhitungan dan analisa.
Gambar 1: Alat biodigester dua tahap
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Karakteristik Bahan
Pada pembuatan biogas dua tahap atau multi Stage (multi
Tahap), proses fermentasi dilakukan di dalam dua
biodigester yang bekerja secara seri. Biodigester pertama
berlangsung reaksi hydrolysis, acidogenesis dan
acetogenesis, sedangkan biodigester kedua untuk reaksi
metanogenesis. [1],[10] Setelah itu bahan baku dialirkan
menuju biodigester kedua sebagai umpan utuk reaksi
metanogenesis.
Pada tahap hidrolisis, bahan-bahan organik yang
mengandung selulosa, hemiselulosa, dan bahan ekstraktif
seperti protein, karbohidrat, dan lipid akan diurai menjadi
senyawa dengan rantai yang lebih pendek. Sebagai contoh
polisakarida terurai menjadi monosakarida, sedangkan
protein terurai menjadi peptide dan asam amino. Pada tahap
hidrolisis, mikroorgaisme yang berperan adalah enzim
ekstra selular seperti selulose, amilase, protease, dan lipase
[5].
Pada penelitian ini, pada biodigester pertama (sebagai
tempat berlangsungnya reaksi hidrolisis, asidogenesis dan
asetogenesis), bahan baku yang digunakan adalah kotoran
sapi yang dicampur leachate. Fungsi leachate adalah untuk
membuat kondisi pH bahan baku menjadi lebih asam yaitu
sekitar pH 5,5, sehingga proses asetogenesis menjadi lebih
optimal. Selain itu, juga diperlukan untuk mencegah
matinya bakteri pada proses asetogenesis.
Pada tahap asidogenesis dan asetogenesis, bakteri
(Acetobacter aceti) menghasilkan asam yang akan
berfungsi untuk mengubah senyawa pendek hasil hidrolisis
menjadi asam asetat (CH3COOH), H2, dan CO2. Bakteri ini
merupakan bakteri anaerob yang dapat tumbuh dalam
keadaan asam, yaitu dengan pH 5,5 – 6,5. Bakteri ini
bekerja secara optimum pada temperatur sekitar 30oC[5] .
Tabel 3: Karakteristik kotoran sapi, leachate dan
campuran
Parame-
ter Satuan
Kandungan
Kot.
sapi
leachate Campuran
C-
Organik % BK 58,98 17 37,99*
NTK % BK 1,7 1 1,35*
Rasio
C/N % BK 34,69 17 28,14*
pH - 6,78 5,67 5,64
Kadar
air %BB 83,29 98,0
91,0*
Berat
Jenis gr/cm3 0,22 n.a
n.a
Arsen mg/l n.a 0,005 n.a
Merkuri mg/l n.a 0,003 n.a
Timbal mg/l n.a 0,00005 n.a Ctt: * = hasil perhitungan
BK : Bahan Kering BB : Bahan Basah
Sebelum bahan baku tersebut digunakan, terlebih dahulu
dilakukan pengujian karakteristik fisik-kimia bahan baku
yang dilakukan di Laboratorium Buangan Padat dan B3,
Departemen Teknik Lingkungan, Institut Teknologi
Bandung. Hasil pengujian karakteristik bahan baku, baik
kotoran sapi, leachate, dan campurannya ditunjukkan pada
Tabel 1. Sedangkan karakteristik fisik-kimia campuran
bahan baku (kandungan C, N dan rasio C/N) diperoleh
dengan cara perhitungan.
Berdasarkan literatur, rasio C/N yang diperlukan bakteri
dalam mendekomposisi senyawa organik untuk
menghasilkan biogas yang optimal berkisar antara 20-30.
Rasio C/N menyatakan jumlah karbon dan nitrogen yang
terdapat pada bahan organik. Apabila rasio C/N sangat
tinggi, nitrogen akan dikonsumsi sangat cepat oleh bakteri
metan sehingga produksi metan semakin rendah.
Sebaliknya, apabila rasio C/N sangat rendah maka nitrogen
akan bebas dan berakumulasi dalam bentuk amoniak (NH4)
yang akan meningkatkan pH. Jika pH lebih tinggi dari 8,5
IRWNS 2013
263
akan berakibat racun pada populasi bakteri metan[4].
Dengan demikian nilai rasio C/N 28,14 untuk campuran
kotoran sapi dan leachate (Tabel 1) sudah cukup baik untuk
pembentukan biogas.
Kadar air kotoran sapi awal adalah 83,29 % sehingga
setelah dicampur air atau leachate dengan komposisi 1:1
menjadi sekitar 91,0%, kadar air ini sudah cukup baik dan
sesuai dengan kadar air bahan baku biogas optimal yaitu mengandung 5-10% bahan kering atau dengan kadar air
sebesar 80-90%.[7],[8]
Selain itu, bakteri acetobakter aceti, pada tahap
asidogenesis dan asetogenesis, untuk menghasilkan asam
asetat, memerlukan oksigen dan karbon yang diperoleh dari
oksigen yang terlarut dalam larutan. Untuk terjadinya
metabolisme yang merata diperlukan pencampran yang
baik dengan konsentrasi air > 60% [5].
3.2 Kandungan Asam Asetat
Pengujian asam asetat pada biodigester asetogenesis
dilakukan di Laboratorium Fakultas Farmasi Institut
Teknologi Bandung. Sampel diuji secara duplo yaitu asam
asetat pada proses awal dan asam asetat pada proses akhir
sebelum dimasukkan ke dalam biodigester metanogenesis.
Pada Gambar 2a dan 2b ditunjukkan hasil pengujian asam
asetat.
(a)
(b)
Gambar 2: (a) Kandungan asam asetat pada bahan baku
kotoran sapi tanpa leachate; (b) kandungan asam asetat
pada bahan baku kotoran sapi dengan leachate.
Pada Gambar 2(a) terlihat bahwa kandungan asam asetat
mengalami penurunan dari 0,27 % pada saat awal, menjadi
0,15 % pada saat proses asetogenesis. Dengan demikian
penurunan asam asetat adalah sebesar 0,12 % selama 11
hari.
Pada tahap asidogenesis dan asetogenesis, bakteri
(Acetobacter aceti) menghasilkan asam yang akan
berfungsi untuk mengubah senyawa pendek hasil hidrolisis
menjadi asam asetat (CH3COOH), H2, dan CO2. Bakteri ini
merupakan bakteri anaerob yang dapat tumbuh dalam
keadaan asam, yaitu dengan pH 5,5 – 6,5. Bakteri ini
bekerja secara optimum pada temperatur sekitar 30oC [5] .
Pembentukan asam pada kondisi anaerobik tersebut penting
untuk pembentuk gas metana oleh mikroorganisme pada
proses selanjutnya. Selain itu, bakteri tersebut juga
mengubah senyawa bermolekul rendah menjadi alkohol,
asam organik, asam amino, karbon dioksida, H2S dan
sedikit gas metan (CH4) [3].
Oleh karena itu, pada proses asetogenesis dengan bahan
baku kotoran sapi tanpa leachate (Gambar 2a) dengan pH
6,78 (Tabel 1), terjadi penurunan asam asetat disebabkan
oleh kondisi pH bahan baku yang kurang optimal.
Sedangkan pada biodigester asetogenesis menggunakan
kotoran sapi dengan campuran leachate yang bersifat asam
(pH 5,64), jumlah asam asetat mengalami peningkatan 0.9
% dari saat awal sebesar 0,27 % menjadi 0.36 %. setelah
proses asetogenesis (Gambar 2b). Dengan demikian kondisi
proses tersebut lebih optimal.
3.3 Kandungan Gas Metana (CH4) dan Gas
Karbondioksida (CO2)
Gambar 3: Komposisi gas metan (CH4) dan gas
karbondioksida (CO2) biogas pada proses asetogenesis
bahan baku kotoran sapi tanpa leachate
Pada Gambar 3 terlihat bahwa pada tahap asetogenesis
dengan bahan baku kotoran sapi tanpa penambahan
leachate, diperoleh kandungan gas metan cenderung
meningkat setiap harinya. Kandungan gas metan pada hari
ke-3, 5, 7, 9 dan 11 berturut-turut adalah sebesar 0,61 %;
1,00 %; 1,51 %; 3,43 % dan 4,64 %. Sedangkan kandungan
gas CO2 setelah hari ke 5 cukup stabil yaitu sekitar 10%.
0102030405060708090
100
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Kan
du
nga
n g
as (
%)
Waktu (hari ke-)CH4 CO2
IRWNS 2013
264
Pada proses asetogenesis, walaupun gas metan sudah mulai
terbentuk, namun persentasenya masih sangat kecil, hal
tersebut disebabkan oleh kondisi pH yang asam, sehingga
mengakibatkan bakteri penghasil gas metan tidak bekerja
secara optimal.
Pada proses asetogenesis dengan bahan baku kotoran sapi
yang dicampur leachate, pada tahap awal (Gambar 4a)
terlihat bahwa kandungan CH4 cenderung meningkat cukup
besar. Peningkatan kandungan CH4 terjadi pada hari ke-1
sampai ke-3 yaitu dari 8,31 % menjadi 34,24 %, Pada hari
ke-4 sampai ke-10 kandungan gas metan cenderung stabil
yaitu sekitar 30 %. Pada hari ke-11 dilakukan pemindahan
bahan baku dari digester asetogenesis ke digester
metanogenesis sebanyak 80%, kemudian ke dalam digester
asetogenesis dimasukkan kembali bahan baku yang baru.
Oleh karena itu, pada biodigester asetogenesis baru
menghasilkan CH4 kembali pada hari ke-12 (Gambar 4b)
sebesar 2,32 % yang terus meningkat hingga hari ke-18
menjadi 36,07 % dan pada hari ke-19 sebesar 33,78 %.
(a) awal
(b) pengisian ulang (80%)
(c) lap1
(d) lap 2
Gambar 4: Komposisi CH4 dan CO2 pada proses
asetogenesis bahan baku kotoran sapi dengan leachate, (a)
kondisi awal; (b) pengisian ulang (80%); (c) lap 1; (d) lap 2
Selanjutnya, pada pengisian ulang bahan baku (lap-1,
Gambar 4c), kandungan CH4 menurun lagi menjadi 14,23
% pada hari ke-23 kemudian meningkat lagi menjadi 30,11
% pada hari ke-25. Hal serupa juga terjadi pada pengisian
ulang berikutnya (lap-2) (Gambar 4d). Pada hari ke-28
kandungan CH4 sebesar 30,21 % yang meningkat menjadi
33,06 % pada hari ke-29.
Sedangkan kandungan CO2 yang didapatkan pada hari ke-1
sampai hari ke-10 terus mengalami peningkatan.
Kandungan tertinggi CO2 yang dihasilkan adalah 60,54 %
pada hari ke-10. Karena kotoran sapi dan leachate
dimasukkan ulang pada hari ke-11, maka kandungan CO2
yang didapat pada hari ke-12 sebesar 18,21 %. Terjadi
penurunan kadar CO2 pada hari ke-15 menjadi 16,44 % dan
meningkat kembali sampai hari ke-21 menjadi 56,35 %.
Selanjutnya setelah dilakukan pemindahan bahan baku ke
biodigester metanogenesis (lap-1) kandungan CO2 terjadi
penurunan pada hari ke-23 menjadi 34,70 % dan perlahan
meningkat kembali menjadi 50,85 % pada hari ke-25. Pada
hari ke-28 setelah dilakukan Lap 2 kandungannya menjadi
44,97 % dan meningkat menjadi 46,79 % pada hari ke-29.
Pada digester asetogenesis ini jumlah kandungan CO2 jauh
lebih tinggi daripada kandungan CH4 dikarenakan asam
organik rantai pendek yang dihasilkan dari tahap fermentasi
dan asam lemak yang berasal dari hidrolisis lemak akan
difermentasi menjadi asam asetat, H2 dan CO2 oleh bakteri
asetogenik[3]. Sehingga kandungan pada proses ini lebih
-10
10
30
50
70
90
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11Kan
du
nga
n g
as (
%)
Waktu (hari ke-)
CH4 CO2
-10
40
90
11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22Kan
du
nga
n g
as
(%)
Waktu (hari ke-)
CH4 CO2
-10
40
90
22 23 24 25 26
Kan
du
nga
n g
as
(%)
Waktu (hari ke-)
CH4 CO2
-10
40
90
27 28 29 30 31K
and
un
gan
gas
(%
)Waktu (hari ke-)
CH4 CO2
IRWNS 2013
265
dominan CO2 dibandingkan CH4. Pada proses ini, CO2
berperan penting untuk menghasilkan asam asetat karena
mikroorganisme homoasetogenik akan mengubah CO2 dan
H2 menjadi asam asetat [2].
Peningkatan gas CO2 berbanding lurus dengan CH4, yang
berarti kedua gas yang dihasilkan tersebut tidak saling
bergantungan seperti pada biogas satu tahap, dimana kadar
CO2 berbanding terbalik dengan kadar CH4. Pada tahap ini
kadar CH4 tidak begitu tinggi dikarenakan suasana asam di
dalam digester asetogenesis menekan perkembangbiakan
bakteri metanogen sehingga bakteri tersebut menjadi tidak
produktif dan menghasilkan gas metan yang lebih sedikit
kadarnya dibandingkan CO2.
3.4 Volume Biogas
Pada proses fermentasi dengan bahan baku kotoran sapi
tanpa leachate (Gambar 6a), pengukuran volume biogas
dilakukan selama dua atau tiga hari sekali dan pada hari ke-
3 telah didapatkan volume sebesar 2550 mL. Lalu pada hari
ke-5 didapatkan volume sebesar 2870 mL. Volume gas
semakin meningkat pada pengecekan hari ke-7 dan ke-9
dengan volume yang dihasilkan sebesar 3100 mL dan 4720
mL. Volume terbanyak dihasillkan digester pada hari ke-11
dimana jumlah volume yang dihasilkan adalah sebesar 4800
mL. Jumlah total volume biogas sebesar 18040 mL. Jika
volume gas dirata-ratakan maka jumlah volume yang
dihasilkan adalah 1640 ml pet hari per 20 liter bahan baku
kotoran sapi (20,6kg kotoran sapi).
(a) tanpa leachate
(b) dengan leachate (awal)
(c ) dengan leachate (pengisian 80%)
(d ) dengan leachate (lap 1)
(e) dengan leachate (lap 2)
Gambar 6: Volume biogas yang dihasilkan pada proses
asetogenesis dengan bahan baku kotoran sapi (a) tanpa
leachate, (b) dengan leachate kondisi awal (c) pengisian
ulang (80%); (d) lap 1; (e) lap 2
Pada biodigester dengan menggunakan campuran kotoran
sapi dan leachate menghasilkan jumlah volume yang jauh
lebih banyak dibandingkan dengan saat biodigester
menggunakan bahan baku kotoran sapi saja. Pada Gambar
6b terlihat bahwa volume biogas pada hari ke-1 sebesar
8100 ml, kemudian pada hari ke-2 menjadi 8600 mL dan
terus meningkat sampai hari ke-4 menjadi 12000 mL.
Volume terbanyak didapat pada hari ke-9 yaitu sebesar
12200 mL.Tetapi pada hari ke 10 terjadi sedikit penurunan
volume biogas menjadi 10.000 ml (10 liter), dengan total
volume gas selama 10 hari adalah 73200 mL, sehingga rata-
rata volume gas yang dihasilkan oleh digester asetogenesis
adalah sekitar 7320 mL per hari.
01000200030004000500060007000800090001000011000120001300014000
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Vo
lum
e g
as (
mL)
Waktu (hari ke-)
010002000300040005000600070008000900010000110001200013000
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Vo
lum
e (
mL)
Waktu (hari ke-)
01000200030004000500060007000800090001000011000120001300014000
11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22Vo
lum
e (
mL)
Waktu (hari ke-)
01000200030004000500060007000800090001000011000120001300014000
22 23 24 25 26V
olu
me
(m
L)
Waktu (hari ke-)
01000200030004000500060007000800090001000011000120001300014000
27 28 29 30 31
Vo
lum
e (
mL)
Waktu (hari ke-)
IRWNS 2013
266
Proses yang dilakukan pada digester asetogenesis
menggunakan proses kontinyu dimana kotoran sapi dan
leachate dimasukkan kembali ke dalam digester
asetogenesis pada hari ke-11 (Gambar 6c).Dengan
demikian gas baru dihasilkan kembali pada hari ke-12
dengan volume sebesar 2800 mL. Selanjutnya mengalami
peningkatan menjadi 4140 mL pada hari ke-15. Pada hari
ke-16 terjadi penurunan kembali menjadi 2100 mL dan
pada hari ke-17 dan ke-18 jumlah volume yang dihasilkan
hanya berkisar antara 2700 mL - 2800 mL.
Pada hari ke-22 dilakukan Lap 1 (Gambar 6d) yaitu mengisi
ulang bahan baku sebanyak 4 liter. Pengukuran volume gas
dilakukan pada hari berikutnya (hari ke-23) diperoleh
sebanyak 2670 mL. selanjutnya volume gas meningkat
menjadi 2810 mL pada hari ke-25. Lalu pada hari yang
sama, digester diisi ulang kembali dengan bahan baku
sebanyak 4 liter (Lap 2). Volume gas yang didapat setelah
dilakukannya Lap 2 (Gambar 6e) adalah berkisar 2700 mL
per hari per 4 liter bahan baku setelah dicampur leachate 1:
1 (sama dengan 2 liter bahan baku kotoran sapi).
Peningkatan volume gas yang dihasilkan dipengaruhi oleh
banyak faktor seperti pH dan rasio C/N. Semakin lama pH
biodigester semakin asam sehingga mempengaruhi
produksi gas yang dihasilkan menjadi lebih banyak.
3.5 Pengukuran pH
(a) tanpa leachate
(b) dengan leachate
Gambar 7: Pengukuran pH pada proses asetogenesis
dengan bahan baku kotoran sapi, (a) tanpa leachate; (b)
dengan leachate
Pengukuran pH dilakukan pada saat dilakukan pengukuran
volume gas dengan menggunakan pH indikator. Pada
Gambar 7a terlihat bahwa pH di dalam biodigester sampai
dengan hari ke-7 cukup stabil yaitu sekitar pH 6, kemudian
setelah hari ke-7 pH di dalam digester menurun hingga
mencapai pH 5. Sedangkan pada Gambar 7b terlihat bahwa
pH bahan baku campuran kotoran sapi dan leachate lebih
stabil dengan nilai pH yang lebih kecil yaitu rata-rata
sekitar pH 5,4.
Menurut [5], pada tahap asidogenesis dan asetogenesis,
bakteri (Acetobacter aceti) menghasilkan asam yang akan
berfungsi untuk mengubah senyawa pendek hasil hidrolisis
menjadi asam asetat (CH3COOH), H2, dan CO2. Bakteri ini
merupakan bakteri anaerob yang dapat tumbuh dalam
keadaan asam, yaitu dengan pH 5,5 – 6,5. Bakteri ini
bekerja secara optimum pada temperatur sekitar 30oC.
Dengan demikian pH pada biodigester kotoran sapi dengan
leachate lebih mendukung untuk terbentuknya proses
asidogenesis dan asetogenesis.
4. KESIMPULAN
Proses asetogenesis secara kontinyu menggunakan bahan
baku kotoran sapi yang dicampur leachate lebih baik
dibandingkan dengan bahan baku kotoran sapi tanpa
leachate. Asam asetat yang dihasilkan pada proses
asetogenesis dengan bahan baku kotoran sapi yang
dicampur leachate lebih tinggi yaitu 0,36% dibandingkan
pada bahan baku kotoran sapi tanpa leachate yaitu 0,15%.
Demikian pula kandungan CO2 yang dihasilkan pada bahan
baku kotoran sapi yang dicampur leachate lebih tinggi dan
cenderung stabil dengan kadar CO2 berkisar 50-60 %
dibandingkan pada bahan baku hanya kotoran sapi tanpa
leachate yang hanya menghasilkan kandungan CO2 sekitar
10%.
Pada digester asetogenesis penelitian ini juga dihasilkan
kandungan CO2 jauh lebih tinggi daripada kandungan CH4
dikarenakan asam organik rantai pendek yang dihasilkan
dari tahap fermentasi dan asam lemak yang berasal dari
hidrolisis lemak akan difermentasi menjadi asam asetat, H2
dan CO2 oleh bakteri asetogenik [3].
Dengan demikian bahan baku kotoran sapi dengan
campuran leachate lebih baik untuk digunakan dalam
pembuatan biogas. Peningkatan keasaman disebabkan oleh
bakteri di dalam biodigester asetogenesis dapat
berkembangbiak secara optimal yang diakibatkan oleh
penambahan leachate dengan pH sekitar 5,5.
UCAPAN TERIMAKASIH
UPPM Politeknik Negeri Bandung dan LITABMAS
DIKTI yang telah memberikan kesempatan pendanaan
44,5
55,5
66,5
7
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
pH
Waktu (hari ke-)
4
4,5
5
5,5
6
6,5
7
0 1 2 3 4 5 6 7 8 910111213141516171819202122232425262728293031
pH
Waktu (hari ke-)
IRWNS 2013
267
penelitian Program Hibah Bersaing tahun 2013 dengan
No Kontrak No: 333.12/PL1.R5/PL/2013.
Ni Putu Swastini Astuti dan Bilal Gizaldi (mahasiswa
tugas akhir Jurusan Teknik Konversi Energi POLBAN)
yang telah membantu dalam penyelesaian penelitian ini.
Laboratorium limbah padat & B3 Departemen Teknik
Lingkungan ITB, Laboratorium Instrumen Departemen
Teknik Kimia ITB, dan Laboratorium Farmasi ITB,
yang telah membantu dalam pengujian bahan baku,
produksi asam asetat dan produksi gas.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Agustina, Fransiska (2011). Evaluasi Parameter
Produksi Biogas Dari Limbah Cair Industri Tapioka
Dalam Bioreaktor Anaerobik Dua Tahap, Universitas
Dipenogoro, Semarang.
[2] Dieter Deublein, Angelika Steinhauser Wiley, 2008,
Popularising Technology in the Countryside ... –
VCH.
[3] Drapcho, C., J. Nghiem, and T. Walker, 2008,
Biofuels Engineering Process.
[4] Fry, L.J. (1974). Practical Building of Methane Power
Plant For Rural Energy Independence 2nd edition.
Chapel River Press, Hampshire-Great Britain.
[5] Gerardi Michael H. (2003). The Microbiology of
Anaerobic Digesters (Paperback). John Wiley & Sons
Inc, United Kingdom.
[6] Gunnerson, C.G. and Stuckey, D.C. 1986. Anaerobic
Digestion: Principles and Practices for Biogas System.
The World bank Washington, D.C., USA.
[7] Harahap, D. Filino; Apandi; Ginting. 1978. Teknologi
Gas Bio. Surya International. Pusat Teknologi
Pembangunan ITB. Bandung.
[8] Juangga, 2007, Proses Anaerobic Digestion, USU
Press, Medan.
[9] Muhamad abdul Kholiq, Perbandingan sistem
digester anaerob termofilik satu fase dan dua fase,
Jurnal Teknik Lingkungan, Vol 8 No 1, ISSN 1441-
318, Jakarta, 2007.
[10] Purnama, C (2009). Penelitian Pembuatan Prototipe
Pengolahan Limbah Menjadi Biogas.
(http://www.sttal.ac.id/index.php/lppm/64-biogas,
diakses tanggal 25 Februari 2013.)
[11] Tina Mulya Gantina, Pengaruh Kadar Air Sampah
Terhadap Potensi Produksi CH4 pada Degradasi
Sampah Kota Secara Anaerobik, Prosiding Seminar
Nasional dan Forum Ilmiah Politeknik Se-Indonesia,
Kampus Politeknik Negeri Malang 12 Maret 2007,
ISBN: 978-979-98910-1-3.
IRWNS 2013
268
Ekstraksi Zat Warna dari Kulit Manggis dan Pemanfaatannya
untuk Pewarna Logam Aluminium Hasil Anosidasi
Agustinus Ngatin dan Edy Wahyu Sri Mulyono
Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Bandung
Jl.Gegerkalong Hilir, Ds Ciwaruga, Bandung
Email: [email protected]
ABSTRAK
Pewarnaan pada logam aluminium hasil anodisasi memberikan efek dekoratif dan menjadikan logam tersebut lebih menarik
secara visual. Pengambilan zat warna dari kulit manggis dilakukan melalui proses ekstraksi dengan perebusan dalam suatu
tangki berpengaduk yang dilengkapi pendingin menggunakan pelarut etanol 96% dengan variasi umpan (kulit manggis) dan
pelarut dengan perbandingan (1: 5, 1;10, 1:15, 1:20, 1: 30, dan 1;50) pada suhu 600C. Dari hasil kondisi optima dan
perbandingan umpan dan pelarut dilakukan variasi waktu ekstraksi (30,45,60, 90, dan 120) menit. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa ekstrak maksimum diperoleh pada perbandingan umpan dengan pelarut 1:10 pada suhu 600C dan waktu
proses 60 menit yang menghasilkan 2,82 g ekstrak dengan rendemen 14,5%. Ekstrak kulit manggis dimanfaatkan untuk
pewarnaan logam alumunium hasil anodisasi memberikan warna kuning sampai cokat yang tahan terhadap panas sampai
1000C selama 30 menit, tetapi tidak tahan terhadap pelarut organik. Berdasarkan foto mikro oksida hasil anodisasi di
permukaan logam aluminium merupakan lapisan yang sangat tipis dengan tebal mencapai 12µm.
Kata Kunci Ekstraksi, kulit manggis,manfaat, pewarna, aluminium hasil anodisasi
1. PENDAHULUAN
Kulit buah manggis mengandung zat warna dan dapat
diproduksi menjadi bahan baku pembuatan zat warna alami
[1]. Zat warna dari kulit buah manggis merupakan zat
warna ungu yang dapat digunakan untuk pewarnaan tekstil.
Bahan pewarna alami ini meliputi pigmen yang terbentuk
pada proses pemanasan, penyimpanan atau pemrosesan.
Beberapa pigmen alami yang banyak terdapat antara lain
adalah klorofil, karotenoid, tanin, dan antosianin, yang
umumnya tidak cukup stabil terhadap panas, cahaya, dan
pH basa. Pewarna alami ini umumnya aman dan tidak
menimbulkan efek samping bagi tubuh [2]
Anodisasi merupakan suatu proses pembentukan lapisan
oksida di permukaan logam aluminium melalui proses
elektrolisis dengan menempatkannya sebagai anoda. Untuk
meningkatkan daya tarik dan memberi nilai tambah, logam
aluminium hasil anodisasi dapat diberi warna dan tidak
semua pewarna sintesis melekat pada permukaan logam
tersebut. Oleh karena itu, melalui pemanfaatan zat warna
dari kulit buah manggis diharapkan dapat diperoleh lapisan
berwarna yang menarik di permukaan logam. Jika hal ini
dapat dilakukan, maka akan memberikan nilai tambah pada
logam aluminium hasil anodisasi baik secara ekonomis
maupun dekoratif.
Ekstraksi zat warna antosianin dari kulit manggis yang
dilakukan dengan pelarut air dan asam sitrat 5%
menghasilkan rendemen 13,995 % yang diaplikasikan
untuk pewarna minuman ringan (soft drink) yang bersifat
asam [3], menggunakan pelarut etanol 96%, mendapatkan
rendemen 24% dan pelarut aseton menghasilkan 13% [4]
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka penelitian ini
bertujuan untuk menentukan kondisi optimum
perbandingan berat kulit manggis dengan pelarut dan
berdasarkan hasil pada kondisi ini ditentukan peangaruh
waktu proses ekstraksi. Hasil ekstrak dimanfaatkan untuk
indikator asam-basa dan pewarna pada logam aluminium
hasil anodisasi.
2. METODOLOGI PENELITIAN
Proses ekstraksi zat warna dari kulit manggis dilakukan
dalam tangki pada suhu 600C. Proses anodisasi dilakukan
pada rapat arus 1,0 A/dm2
dengan waktu proses 30 menit
dan pewarnaan dilakukan selama 15 menit dengan
konsentrasi zat warna 5%. . secara keseluruhan kegiatan
penelitian mengikuti diagram alir seperti Gambar 1.
IRWNS 2013
269
Gambar 1: Diagram alir kegiatan penelitian
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Persiapan penelitian ini adalah mempersiapkan alat dan
bahan yang digunakan yaitu kulit manggis dikeringkan,
dihancurkan menjadi serbuk dengan ukuran lebih kecil
dari 0,20 µm. Serbuk ini mempunyai kadar air 15,3%.
Ekstraksi dilakukan dengan metode perebusan pada suhu
600C menggunakan pelarut etanol 96% [6].
3.1 Pengaruh Volume Pelarut
Hasil ekstrak dari variasi volume pelarut ditunjukkan pada
Gambar 2.
Gambar 2: Pengaruh volume etanol terhadap berat ekstrak
Berdasarkan Gambar 2 ditunjukkan bahwa peningkatan
pelarut tidak menghasilkan ekstrak semakin banyak, tetapi
pada volume 200 mL etanol 96% atau perbandingan berat
per volume 1:10 menghasilkan ekstrak terbanyak yaitu
2,82 gram dan pada penambahan volume pelarut mulai 1:20
sampai dengan sampai 1: 50 menunjukkan hasil ekstrak
yang mengalami sedikit penurunan. Hal ini disebabkan
dengan penambahan pelarut ada sebagian ekstrak zat warna
yang melarut dalam pelarut sehingga produk menunjukkan
penurunan. Kondisi volume pelarut 200 mL ditambahkan
ke dalam 20 gram serbuk kulit buah manggis atau
perbandingan serbuk kulit manggis dengan volume pelarut
1:10 merupakan kondisi optimum dengan efisiensi proses
14,5 %.
3.2 Pengaruh Waktu Proses Ekstraksi
Pengaruh waktu proses terhadap hasil ekstrak ditunjukkan
pada Gambar 3.
Gambar 3: Pengaruh waktu proses terhadap ekstrak
Berdasarkan Gambar 3, hasil ekstrak meningkat mulai
waktu proses 30 menit sampai dengan 60 menit (1 jam).
Hal ini dapat dijelaskan bahwa semakin meningkat waktu
proses berarti semakin lama terjadi kontak antara pelarut
dengan zat warna sehingga menghasilkan jumlah ekstrak
semakin meningkat. Untuk proses selama 60 menit sampai
dengan 105 menit ekstrak zat warna yang dihasilkan
berfluktuasi.
3.3 Zat Warna Hasil Ekstraksi
Hasil ekstraksi kulit manggis dengan metode perebusan
adalah ekstrak zat warna yang merupakan zat yang larut
dalam pelarut yang dipisahkan melalui metode penguapan
menggunakan rotavapor. Dengan penguapan ini, ekstrak zat
warna dihasilkan dalam bentuk pasta yang masih
mengandung pelarut. Ekstrak kulit manggis yang masih
berbentuk pasta ini dan serbuk ekstrak zat warna yang
telah kering memberikan warna merah coklat.
0
0,5
1
1,5
2
2,5
3
3,5
0 200 400 600
Be
rat
eks
trak
(g)
Volume Pelarut (mL)
0
0,5
1
1,5
2
2,5
3
0 50 100 150
Bera
t eek
stra
k (
g)
Waktu Proses (mnt)
2,82 g 2,79 g
2,77 g
2,82 g
1,69 g
2,77 g
Perencanaan
Persiapan
Anodisasi
(i=1,1A/dm2,t=30
mnt,H2SO4 16,5%)
Ekstraksi
Pemisahan
Zat warna
Logam Al
anodisasi
Analisis
Data
Pengujian
Produk
Pemanfaatan zat warna
Pewarnaan (C; 0,5,;2,5;5,7,5%,
t:15 mnt)
Bahan baku ; 20 g
Pelarut: 100,200, 300, 400, 500mL
Suhu : 600C
Waktu : 30,
5,60,75, 90,105
mnt
Indikator asam-basa
IRWNS 2013
270
3.4 Pemanfaatan dan Pengujian Zat Warna Ekstrak
3.4.1 Indikator Asam-Basa
Warna ekstrak kulit manggis dipengaruhi oleh pH larutan,
artinya dalam larutan asam ekstrak kulit buah manggis
berwarna kuning dan dalam larutan basa berwarna coklat
seperti ditunjukkan pada Gambar 4. Warna ekstrak kulit
buah manggis cenderung berbeda-beda dengan variasi pH
larutan memberikan warna dari kuning sampai coklat [7]
Gambar 4: Warna ekstrak pada pH 1 -14
Berdasarkan Gambar 4, semakin tinggi pH larutan atau
semakin basa larutan, warna larutan ekstrak kulit manggis
semakin berwarna coklat. Warna ekstrak kulit manggis
dalam larutan basa (pH 13) berwarna coklat [4]. Hal ini
disebabkan, karena kestabilan warna antosianin atau zat
warna pada kulit manggis dipengaruhi oleh pH larutan.
Perubahan warna terjadi akibat struktur zat warna pada
ekstrak kulit manggis dalam larutan asam dipengaruhi oleh
ion H+. Ion H
+ ini akan tertarik pada atom Oksigen (O) dan
menghasilkan ion flavilium [8] pada kerangka struktur
senyawa golongan antosianin (Gambar 5). Dengan adanya
perubahan warna pada interval pH tersebut, maka ekstrak
kulit manggis dapat digunakan sebagai indikator asam-basa
[9] dan perbedaan warnanya ditunjukkan Gambar 4..
Gambar 5: Perubahan struktur rangka senyawa antosianin
akibat adanya perubahan pH [8]
3.4.2 Pewarnaan Logam Aluminium Hasil Anodisasi
Berdasarkan konsentrasi zar warna yang digunakan untuk
pewarna logam aluminium hasil anodisasi ditunjukkan
bahwa pada konsentrasi zat warna 5% menunjukkan
pewarnaan yang baik artinya jelas, merata, dan tebal.
Warna yang ditunjukkan adalah warna kuning kecoklatan
(kuning keemasan) pada Tabel 1.
Tabel 1: Hasil pewarnaan logam Al hasil anodisasi
Konsentra
si
Tanpa
warna 0,5% 2,5% 5% 7,5%
Hasil
Warna Kuning muda
Kuning Kuning -
emas Kuning-
emas
Kuning-
coklat
Konsentrasi pewarna semakin tinggi menghasilkan warna
pada permukaan logam Al semakin berwarna coklat. Hal ini
disebabkan kandungan ekstrak yang teradsorpsi pada pori –
pori permukaan logam yang terbentuk akibat proses
anodisasi semakin banyak atau konsentrasi zat warnanya
tinggi, sehingga menghasilkan warna yang lebih coklat atau
lebih pekat. Oleh karena itu, dengan meningkatnya
konsentrasi ekstrak tersebut akan membuat larutan pewarna
semakin berwarna coklat.
Kulit buah manggis banyak mengandung pektin, tanin
katekin,rosin dam mengostin. Tanin yang terdapat pada
kulit buah manggis adalah tanin katekin (flavan-3,4-diol)
yang tergolong proantosianidin yang dapat bereaksi dengan
ion logam menimbulkan warna. Logam dengan senyawa
organik (tanin) dapat bereaksi membentuk senyawa
komplek yang melekat di permukaan dengan warna khusus
yang indah [7]. Menurut hasil Tabel 1 ditunjukkan bahwa
warna yang terbaik berada pada konsentrasi 5% yaitu
berwarna kuning keemasan. Jika dibandingkan dengan
konsentrasi 2,5% atau 7,5%, pada konsentrasi 5%
diperoleh warna yang lebih menarik. Warna yang menarik
artinya adalah warna yang merata, tebal dan terang. Warna
pada konsentrasi 5% dan 2,5% sama yaitu kuning
keemasan, tetapi pada konsentrasi 2,5% mempunyai warna
yang kurang merata dan pada konsentrasi 7,5%,
mempunyai warna permukaan logam alumunium berwarna
coklat tua.
3.5 PENGUJIAN HASIL PEWARNAAN
Pengujian produk pewarnaan pada logam aluminium hasil
anodisasi dilakukan dengan pengujian panas, kelarutan
dalam pelarut organik, dan foto mikro ketebalan oksida
ynag terbentuk.
3.5.1 Pengaruh suhu pemanasan
IRWNS 2013
271
Pengujian panas dilakukan pada produk pewarnaan untuk
konsentrasi pewarna 5% dimasukkan ke dalam oven.
Hasilnya adalah warna permukaan logam tidak berubah
pada kondisi suhu kamar dan pada suhu sampai 100 oC
menjadi lebih coklat. Hal ini disebabkan pada pengujian
panas dengan suhu yang semakin tinggi mengakibatkan
warna menjadi semakin teradsorpsi pada pori-pori di
permukaan logam dan suhu semakin tinggi menyebabkan
pori-pori semakin merapat (kecil), sehingga warna
permukaan logam tampak menjadi lebih coklat. Warna
yang diaplikasikan pada lapisan hasil anodisasi tahan
terhadap sinar ultraviolet sehingga tidak mudah pudar [10].
Pewarnaan pada logam aluminium hasil anodisasi
mempunyai keunggulan yaitu stabil terhadap perubahan
warna, usia pakai lebih lama, mudah perawatan, serta dari
sudut estetika lebih cerah dan menarik [11]
3.5.2 Pengaruh waktu Pemanasan
100oC. Hasil pengujian panas pada suhu 100
0C dengan
variasi waktu pemanasan ditunjukkan pada Tabel 2.
Tabel 2: Hasil pengujian waktu pemanasan
Waktu
pemanasan
(menit)
0 15 30
Hasil
Warna
Kuning Coklat-
emas
Coklat-
pekat
Berdasarkan Tabel 2 warna pada logam aluminium hasil
anodisasi berubah setelah dilakukan pemanasan dengan
waktu 15 dan 30 menit yaitu warna kuning di permukaan
logam semakin coklat. Hal ini terjadi karena logam
dipanaskan pada suhu 100oC, sehingga zat warna menjadi
semakin teradsorpsi dan pori-pori permukaan semakin
merapat (kecil) dan warna menjadi lebih coklat. Pada
proses pemanasan dengan waktu 15 dan 30 menit
perubahan warna permukaan logam tidak terjadi, sehingga
warna permukaan logam tetap berwarna coklat. Hal
tersebut menunjukkan bahwa pewarnaan logam aluminium
proses anodisasi mempunyai umur warna lebih lama, tahan
terhadap panas,dan lebih menarik [11]
3.5.3 Pengaruh pelarut organik
Uji ketahanan zat warna yang teradsorpsi ke dalam lapisan
oksida di permukaan logam aluminium proses anodisasi
dilakukan dalam larutan aseton selama 24 jam setelah
logam dipanaskan dalam oven selama 1 jam. Hasil
pengujian pelarutan ditunjukkan bahwa pewarna dari
ekstrak kulit manggis untuk pewarna logam aluminium
hasil anodisasi sedikit larut dalam pelarut organik (aseton).
Hal ini diakibatkan ekstrak kulit manggis menggandung
senyawa organik yang mempunyai rumus struktur
ditunjukkan pada Gambar 5, yang bersifat sedikit polar dan
aseton juga bersifat sedikit polar, sehingga pewarna ekstrak
dapat larut dalam pelarut aseton dan menyebabkan warna
menjadi menjadi agak kuning. Pelarut organik dapat
melarutkan senyawa organik akaibat mempunyai struktur
yang sama dan berikatan kovalen [9]. Dengan demikian,
ekstrak kulit manggis dapat digunakan sebagai pewarna
logam aluminium hasil anodisasi tetapi tidak tahan (sedikit
larut) dalam pelarut organik.
3.5.4 Pengukuran ketebalan lapisan oksida
Ketebalan lapisan okisda di permukaan logam aluminium
proses anodisasi diukur berdasarkan foto mikro penampang
melintang dengan perbesaran 20x. Hasil foto mikro
ditunjukkan pada Gambar 6.
Gambar 6: Foto Mikro lapisan oksida hasil anodisasi
Pada Gambar 6 ditunjukkan bahwa ketebalan lapisan oksida
berdasarkan foto mikro penampang melintang logam
aluminium hasil anodisasi rata – rata adalah 11 µm. Lapisan
oksida di pernukaan logam dapat mencapai 15-20 µm [12].
Hal ini menunjukkan bahwa proses pembentukan lapisan
oksida dipengaruhi oleh kondisi proses yaitu waktu proses,
konsentrasi larutan asam sulfat, penambahan oksigen dari
luar, arus yang mengalir, dan luas penampang [12]
Ketebalan lapisan di sisi lebih tebal daripada di bagian
dalam. Hal ini menunjukkan bahwa mekanisme
pembentukan oksida dimulai dari sisi tepi logam. Hal ini
disebabkan di bagian sisi mempunyai struktur yang lebih
mudah dioksidasi untuk membentuk oksida. Lapisan oksida
ini menyatu dengan logam dasar aluminium, sehingga
mempunyai ikatan yang kuat dibandingkan proses coating
yang lain dan tidak dapat terkelupas [10] dan komposisi
lapisan di permukaan logam adalah Al, Al2O3 yang
berfungsi melindung logam terhadap korosi, dan Al2O3
xH2O yang berpori [12]. Lapisan oksida hidrat yang berpori
ini memberikan reaksi sekunder seperti pewarnaan [10]
Plastik
(Mounting)
Lapisan Oksida
Logam
Aluminium
IRWNS 2013
272
atau memudahkan zat warna organik maupun anorganik
dapat dengan mudah teradsorpsi di permukaan logam
aluminium hasil anodisasi. Dengan lapisan oksida yang
menyatu dengan logam dasar di permukaan logam
aluminium, maka proses anodisasi dan pewarnaan dapat
mengubah permukaan logam menjadi lebih andal tahan
terhadap korosi dan lebih menarik /dekoratif [11].
4. KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan data dan pembahasan hasil penelitian, maka
dapat dibuat kesimpulan bahwa kondisi optimum proses
ekstraksi pengambilan ekstrak dari kulit manggis dicapai
pada perbandingan serbuk kulit manggis terhadap etanol
adalah 1: 10 dalam berat per volume, dengan waktu proses
60 menit dan suhu 600C menghasilkan ekstrak sekitar 2,82
gram dengan rendemen 14,5%. Ekstrak kulit manggis dapat
digunakan sebagai indikator asam-basa yaitu dalam larutan
asam berwarna kuning dan dalam larutan basa berwarna
coklat. Ekstrak kulit manggis dapat digunakan untuk
pewarna logam aluminium hasil anodisasi menghasilkan
warna kuning keemasan sampai coklat dan tahan terhadap
panas pada suhu 1000C selama 30 menit, seduikit larut
dalam pelarut organik, dan tebal lapisan oksida yang
mengabsorpsi zat warna sekitar 11 µm.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan dapat dilakukan
beberapa saran yaitu proses ekstraksi kulit manggis dengan
metode perebusan menggunakan pelarut etanol 96%
menghasilkan rendemen 14,5%, maka untuk menaikan
rendemen perlukan ditambahkan asam untuk menaikkan
tingkat kepolaran air. Ekstrak kulit manggis digunakan
sebagai pewarna sebaiknya memakai pelarut organik dan
pada pH asam.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penelitian ini dibiayai dari dana Program Penelitian Hibah
Bersaing dengan No. Kontrak: 333.13/PL1.R5/PL/2013.
Tim penelitian ini mengucapkan terima kasih kepada
M.Aliyudin, Rio d, dan Fajar yang telah membantu dalam
pengambilan data untuk penelitian ini, antara lain
Dit.Litabmas Direktorat Jendral Pendidikan
DAFTAR PUSTAKA
[1] Macklin, Boy (2008). Pemanfaatan kulit Buah
manggis untuk dijadikan Bahan Pewarna Alami.
Ekologi Industri, Teknologi Pengrlolaan Limbah.
[2] Endang K,dkk, (2009), Zat Pewarna Alami Tekstil
dari kulit Buah Manggis, Equilibrium, Vol 8, No.1.
[3] Masparay, (2010). Kulit Buah Manggis sebagai Bahan
Pewarna Alami, Http://www.gerbang pertanian.com.
[4] Ulfah, Fadlilah (2007), Ekstraksi dan Karakteristik
Zat Warna dari Kulit Buah Manggis (Garcinia
MangostonaL) serta Uji Potensinya sebagai Pewarna
Tekstil.
[5] Guenter, E, (1987), Minyak Atsiri, Jilid,1, UI Press,
Jakarta.
[6] Krisanda, Anggi, (2010), Isolasi zat warna kulit buah
menggunakan pelarut etanol (Tugas Akhir), Jurusan
Teknik Kimia, Polban.
[7] Mudjijono, (2010), Pewarna Logam, Kimia Terapan
bagi masyarakat, diakses tanggal 10 Oktober 2013.
[8] Castañeda-Ovando dkk. (2009), Chemical studies of
anthocyanins: A review, Food Chemistry No 113, hlm.
859–871.
[9] Fessenden, (1982), Kimia Organik , Jilid 2, Erlangga,
Jakarta.
[10] Widodo Agus, (2012), Anodizing Pewarnaan
Aluminium.
[11] Amir , (2012), Anodizing-Aluminium-Pewarnaan-
aluminium, Mahmud Kimia, http://mahmudkimia.
blogspot.com diakses tanggal 5 Oktober 2013.
[12] Canning, (!982), Canning The Hanbook
Electroplating, London.
IRWNS 2013
273
Optimasi Komposisi Campuran Asam HNO3 dan H2SO4 dan Nilai R pada
Sintesis α-Nitronaftalen
Rintis Manfaati
Jurusan Teknik Kimia, Politeknik Negeri Bandung, Bandung 40012
E-mail : [email protected]
ABSTRAK
Nitrasi adalah proses memasukkan satu atau lebih gugus nitro/nitril ion (NO2
+) dengan mensubsitusi atom hidrogen atau
atom/gugus lainnya pada bahan baku senyawa organik. Nitrasi merupakan salah satu proses yang penting di industri sintesis
senyawa organik. Produk nitrasi dipakai secara luas sebagai solvent (nitroparafin), pewarna tekstil (α-nitronaftalen), farmasi,
bahan vernis/coating (nitro sellulosa), bahan peledak (trinitrotoluen/TNT), dan untuk meningkatkan bilangan cetane pada
bahan bakar diesel (tetranitromethane). Nitrasi naftalen merupakan salah satu penerapan proses nitrasi yang aman dan dapat
diaplikasikan pada skala laboratorium. Tujuan dari penelitian ini untuk menentukan komposisi campuran asam HNO3 dan
H2SO4 yang digunakan sebagai nitrating agent dan nilai R (perbandingan massa HNO3 terhadap massa naftalen) optimum.
Nitrasi naftalen dilakukan pada reaktor labu leher empat dengan penangas es. Kondisi operasi reaksi nitrasi adalah temperatur
reaksi 60-65°C, waktu reaksi 1 jam, dan kecepatan pengadukan 125-150 rpm. Analisis yang dilakukan terhadap hasil
penelitian adalah titik leleh dan yield. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komposisi campuran asam optimum (% massa)
15,85% HNO3, 50% H2SO4, 34,15% H2O menghasilkan produk kristal α-nitronaftalen dengan titik leleh 60,30C dan yield
53,4%. Nilai R optimum diperoleh pada R=1 menghasilkan produk kristal α-nitronaftalen dengan titik leleh 59,80C dan yield
77,2 %.
Kata Kunci
Nitrasi, α-nitronaftalen, komposisi campuran asam, nilai R
1. PENDAHULUAN
Pemilihan Modul Praktikum Satuan Proses harus
disesuaikan dengan kapasitas laboratorium seperti peralatan
proses yang mampu menyediakan kondisi operasi proses,
kesehatan dan keselamatan kerja, ketersediaan bahan
baku/agent dan waktu praktikum. Sintesis senyawa organik
umumnya berlangsung pada kondisi operasi (suhu dan
tekanan) yang cukup tinggi, melibatkan bahan baku
berbasiskan petroleum yang bersifat racun /karsinogenik,
waktu reaksi dan purifikasi yang lama. Penelitian yang
seksama dibutuhkan agar suatu modul praktikum layak dan
aman dikerjakan oleh mahasiswa.
Nitrasi merupakan salah satu proses yang penting di
industri sintesis senyawa organik. Produk nitrasi dipakai
secara luas sebagai solvent (nitroparafin), pewarna tekstil
(α-nitronaftalen), farmasi, bahan vernis/coating (nitro
sellulosa), bahan peledak (trinitrotoluen/TNT) dan untuk
meningkatkan bilangan cetane pada bahan bakar diesel
(tetranitromethane). Selain itu produk nitrasi digunakan
pula sebagai senyawa intermediat untuk pembentukan
produk lain. Aplikasi proses nitrasi yang cukup luas di
industri mengharuskan mahasiswa Teknik Kimia
memahami karakteristik dan penanganan yang tepat dari
proses nitrasi tersebut.
Pada penelitian ini, proses nitrasi naftalen dipilih karena
naftalen tergolong senyawa organik yang relatif aman.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa naftalen dan produk
-nitronaftalen tidak bersifat karsinogenik pada hewan
percobaan [1,2]. Kondisi operasi nitrasi naftalen cukup
aman untuk diaplikasikan pada skala laboratorium dan
peralatan proses yang akan digunakan tersedia di
Laboratorium Satuan Proses Teknik Kimia Politeknik
Negeri Bandung.
Kecepatan proses nitrasi dipengaruhi oleh jenis bahan baku,
HNO3 Ratio (R) dan komposisi campuran asam (mixed
acid) HNO3 dan H2SO4 yang digunakan. Nilai R adalah
perbandingan massa HNO3 terhadap massa bahan baku
nitrasi. Nilai ini menentukan jumlah nitril ion (NO2+) yang
harus tersedia agar semua bahan baku dapat terkonversi
secara optimal.
Kecepatan proses nitrasi tergantung pada ketersediaan nitril
ion yang terbentuk pada proses ionisasi HNO3 dalam
campuran asam HNO3 dan H2SO4 . Semakin tinggi
konsentrasi H2SO4 yang digunakan maka persentase proses
ionisasi HNO3 atau pembentukan nitril ion (NO2+) akan
semakin besar pula. Selain itu, reaksi nitrasi juga
dipengaruhi oleh air yang dihasilkan selama proses. Air
yang terbentuk akan mengencerkan campuran asam dan
mempengaruhi proses ionisasi. Nilai R dan komposisi
campuran asam HNO3 dan H2SO4 harus diperhitungkan
IRWNS 2013
274
NO2
secara tepat di awal proses nitrasi untuk menghasilkan yield
maksimum.
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui karakteristik reaksi
nitrasi naftalen, kondisi operasi proses, penanganannya
yang tepat, menentukan komposisi campuran asam HNO3
dan H2SO4 dan nilai R (perbandingan massa HNO3
terhadap massa naftalen) optimum untuk sintesis senyawa
-nitronaftalen yang menghasilkan yield maksimum.
Manfaat penelitian ini adalah menghasilkan modul
praktikum Satuan Proses yang mampu menjelaskan proses
nitrasi dan aman dilakukan di Laboratorium Satuan Proses
Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Bandung.
2. TINJAUAN PUSTAKA
-Nitronaftalen merupakan produk dari nitrasi senyawa
naftalen. -Nitronaftalen merupakan kristal berwarna
kuning jernih dengan titik leleh 59–60oC, titik didih 304
oC,
tidak larut dalam air, larut dalam etanol, dietileter,
kloroform, dan karbon disulfida. Senyawa ini dapat
dimurnikan hingga 99%. Sifat fisika dan kimia senyawa
disajikan pada Tabel 1.
Nitrasi adalah proses memasukkan satu atau lebih gugus
nitro/nitril ion (NO2+) dengan mensubsitusi atom hidrogen
atau atom/gugus lainnya, misalnya halida, sulfonat, dan
asetil ke dalam suatu senyawa organik. Pada proses nitrasi
gugus nitro (NO2+) dapat terikat pada atom C sehingga
membentuk senyawa nitroaromatik atau nitroparafinik.
Gugus nitro yang terikat pada atom O membentuk senyawa
nitrat ester sedangkan gugus nitro yang terikat pada atom N
membentuk senyawa nitroamina atau nitroamida.
Senyawa organik yang dapat digunakan sebagai bahan baku
adalah senyawa aromatik dan turunannya, hidrokarbon
parafinik, dan ester. Bahan pereaksi (nitrating agents) yang
digunakan dalam reaksi nitrasi adalah asam nitrat dalam
bentuk fuming, concentrated atau larutan encer; campuran
asam (mixed acid) asam nitrat dan asam sulfat, asam nitrat
dan asam fosfat, asam nitrat dan asam asetat anhidrid, asam
nitrat dan chloroform; nitrogen pentaoksida (N2O5) dan
nitrogen tetraoksida (N2O4) digunakan untuk nitrasi pada
fasa gas [3].
Tabel 1: Sifat fisika dan kimia -nitronaftalen [2]
Sifat Fisika dan Kimia Senyawa -nitronaftalen
Rumus Empiris C10H7NO2
Berat Molekul 173,17
Warna Kuning kecoklatan
Titik Leleh 59 – 60oC
Titil Didih 304oC @760 mmHg
(579,20oF)
Specific gravity/Densitas
1,2230 g/cm3
Struktur Molekul
Nitrasi naftalen menjadi senyawa α-nitronaftalen dengan
menggunakan nitrating agent campuran asam HNO3 dan
H2SO4 merupakan reaksi substitusi elektrofilik. Reaksi
berlangsung dalam fasa cair pada suhu 65–70oC.
Mekanisme reaksi ditunjukkan oleh Gambar 1.
Mekanisme reaksi nitrasi diawali dengan pembentukan
elektrofilik (nitril ion, NO2+). Pada tahap ini terjadi
perpindahan proton (muatan positif) dari satu molekul asam
nitrat ke molekul lainnya. Pada tahap kedua, nitril ion yang
terbentuk akan beradisi pada cincin naftalen, membentuk
ion benzenonium. Pada tahap ketiga proton (H+) akan lepas
dari ion benzenonium dan bergabung dengan HSO4-
membentuk H2SO4.
Reaksi nitrasi adalah reaksi yang sangat eksoterm sehingga
pengendalian suhu (pendinginan) dan pengadukan mutlak
diperlukan. Panas yang dihasilkan dari proses nitrasi selain
berasal dari reaksi nitrasi juga berasal dari proses
pencampuran asam. Jumlah panas yang terlibat pada proses
nitrasi akan menentukan design sistem pendinginan yang
dibutuhkan. Bahan konstruksi reaktor nitrasi adalah Mild
Carbon Steel yang dilengkapi dengan cooling surface,
pengaduk, feed inlet dan product outlet lines, serta dumping
line berdiameter besar sebagai pengaman jika reaksi tak
terkendali atau suhu meningkat tajam akibat kegagalan
pengadukan dan pendinginan [3].
1. Pembentukan nitril ion
2. Ion nitronium menyerang gugus H senyawa organik
3. Re-aromatisasi
Reaksi secara keseluruhan :
IRWNS 2013
275
C10H8 + HNO3 C10H7NO2 + H2O
Gambar 1: Mekanisme reaksi nitrasi [4]
Kecepatan proses nitrasi dipengaruhi oleh jenis bahan baku,
nilai HNO3 Ratio (R) dan komposisi campuran asam HNO3
dan H2SO4 yang digunakan.
1. Jenis bahan baku
Setiap bahan baku aromatik dan turunannnya yang
digunakan dalam proses nitrasi memiliki kereaktifan yang
berbeda. Toluen (benzene dengan substituen CH3) lebih
reaktif dibandingkan benzene sendiri. Klorobenzene dan
Nitrobenzene kurang reaktif dibandingkan benzene sendiri.
Senyawa polisiklis aromatis bahkan lebih reaktif terhadap
serangan elektrofilik dari pada benzena. Nitrasi benzene
dan turunannya dilakukan pada fasa cair dengan suhu <
1000C, tekanan 1 atm, sedangkan nitrasi parafinik harus
dilakukan pada fasa gas, suhu 4100C tekanan 10 atm [5,6].
2. HNO3 Ratio (R)
Nilai R adalah perbandingan massa HNO3 terhadap massa
bahan baku nitrasi. Nilai ini menentukan jumlah nitril ion
(NO2+) yang harus tersedia agar semua bahan baku dapat
terkonversi secara optimal. Nilai R berbeda untuk setiap
bahan baku yang digunakan pada proses nitrasi, semakin
tinggi nilai R maka bahan baku tersebut semakin sulit untuk
dinitrasi. Nilai R untuk pembuatan mononitro benzene
adalah 1,04, dinitro benzene 1,1 dan mononitrotoluen
0,997. Nilai R untuk nitrasi naftalen yang disarankan adalah
1,01[3].
3. Komposisi campuran asam
Kecepatan proses nitrasi tergantung pada ketersediaan nitril
ion yang terbentuk pada proses ionisasi HNO3 dalam
campuran asam HNO3 dan H2SO4. Semakin tinggi
konsentrasi H2SO4 yang digunakan maka persentase
ionisasi HNO3 atau pembentukan nitril ion (NO2+) akan
semakin besar pula. Dari Gambar 2 dapat dilihat bahwa
konsentrasi H2SO4 di bawah 87% menunjukkan persentase
ionisasi asam nitrat yang sangat kecil, yaitu kurang dari
20%. Pada konsentrasi H2SO4 87-92%, persentase ionisasi
HNO3 naik cukup pesat berada pada rentang 20-90%. Pada
konsentrasi H2SO4 lebih besar dari 92%, kenaikan
persentase ionisasi HNO3 tidak menunjukkan perbedaan
yang berarti.
Gambar 2: Hubungan konsentrasi H2SO4 (%) terhadap persentase
ionisasi HNO3 [3]
Pada konsentrasi H2SO4 lebih dari 90%, kecepatan reaksi
nitrasi akan menurun seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 3. Semakin tinggi konsentrasi H2SO4 semakin kuat
ikatan hidrogen dalam senyawa tersebut. Ikatan hidrogen
yang kuat akan menarik elektron-elektron yang berada
dalam cincin benzen. Densitas elektron dalam cincin
benzen yang berkurang akan menurunkan kereaktifan
senyawa benzen tersebut. Komposisi campuran asam
tergantung pada jenis bahan baku yang digunakan.
Komposisi campuran asam HNO3 dan H2SO4 dalam persen
massa yang disarankan untuk nitrasi naftalen adalah
59,55% H2SO4; 15,85% HNO3;24,60% H2O [3]. Reaksi
nitrasi juga dipengaruhi oleh air yang dihasilkan selama
proses. Air yang terbentuk akan mengencerkan campuran
asam dan mempengaruhi proses ionisasi.
Gambar 3: Hubungan konsentrasi H2SO4 (%) terhadap
Kecepatan reaksi nitrasi [3]
3. METODE
Metode penelitian yang digunakan pada sintensis senyawa
-nitronaftalen merupakan metode eksperimental yang
terdiri dari beberapa tahap berkesinambungan agat tujuan
penelitian dapat tercapai. Tahap I adalah proses nitrasi
naftalen menjadi senyawa -nitronaftalen menggunakan
nilai R 1,0. Variabel yang divariasikan adalah komposisi
campuran asam HNO3 dan H2SO4. Persen massa HNO3
15,85%, persen massa H2SO4 dengan rentang 45-70% dan
sisanya adalah H2O. Setelah itu dilakukkan proses
IRWNS 2013
276
pemurnian produk kristal -nitronaftalen dari sisa asam dan
bahan baku naftalen yang tidak bereaksi. Data-data yang
diambil selama proses nitrasi adalah massa kristal -
nitronaftalen, titik leleh -nitronaftalen dan komposisi
campuran asam HNO3 dan H2SO4 optimum.
Tahap II adalah proses nitrasi naftalen menjadi senyawa -
nitronaftalen menggunakan komposisi campuran asam
HNO3 dan H2SO4 optimum pada tahapan sebelumnya.
Variabel yang divariasikan adalah nilai R pada rentang 0,8–
1,6. Setelah itu dilakukkan proses pemurnian produk kristal
-nitronaftalen. Data-data yang diambil selama proses
nitrasi adalah massa kristal -nitronaftalen,titik leleh -
nitronaftalen dan nilai R optimum.
Reaksi nitrasi dilakukan dalam reaktor labu leher empat
dengan penangas es. Kondisi operasi yang dipertahankan
tetap adalah massa naftalen 5 gram, konsentrasi H2SO4 98
%, konsentrasi HNO3 65% waktu reaksi 1 jam, temperatur
saat campuran asam dimasukkan 35-50 °C, temperatur
reaksi 60-65°C, kecepatan pengadukan 125-150 rpm, dan
suhu kristalisasi 25°C. Pelarut yang digunakan untuk
memurnikan kristal -nitronaftalen adalah etanol 96%.
Analisis yang dilakukan terhadap kristal -nitronaftalen
yang terbentuk adalah massa α-nitronaftalen dengan
menggunakan metode gravimetri, dan analisis titik leleh
menggunakan alat melting point.
4. DISKUSI
4.1 Nitrasi Naftalen pada Berbagai Komposisi
Campuran Asam HNO3 dan H2SO4
Hasil penelitian untuk nitrasi naftalen pada variasi
komposisi campuran asam disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2: Titik leleh dan yield -nitronaftalen
pada berbagai komposisi campuran asam
Dari Tabel 2 terlihat bahwa titik leleh produk -
nitronaftalen yang paling mendekati titik leleh -
nitronaftalen literatur (59 - 60
oC) diperoleh pada run ke-2,
3, dan 4, masing-masing adalah 60,3oC, 59,4
oC, dan 58,8
oC.
Produk kristal -nitronaftalen yang dihasilkan pada run 2,
3, dan 4 tersebut memiliki warna kuning bening. Hal
tersebut menunjukkan bahwa kristal -nitronaftalen yang
dihasilkan memiliki kemurnian yang cukup tinggi. Titik
leleh produk -nitronaftalen yang diperoleh pada run 1, 5,
dan 6 menyimpang jauh dari titik leleh -nitronaftalen
literatur dan memiliki warna kuning jingga kusam. Titik
leleh produk -nitronaftalen yang menyimpang ini karena
-nitronaftalen yang dihasilkan banyak mengandung
naftalen sisa yang tidak bereaksi. Semakin banyak naftalen
yang tidak bereaksi semakin sulit pula proses
pemurniannya. Pengotor yang tersisa pada produk akan
mengganggu proses kristalisasi sehingga waktu yang
diperlukan untuk menghasilkan kristal -nitronaftalen
menjadi lebih lama.
Tabel 2 menunjukkan bahwa komposisi mixed acid pada
run 2, yaitu 15,85% HNO3;50% H2SO4; dan 34,15% H2O,
menghasilkan yield maksimum sebesar 53,4%. Sedangkan
nilai yield terendah terjadi pada run 5 yaitu 32,8 %, dengan
komposisi 15,85% HNO3;70% H2SO4; dan 14,15% H2O.
Kenaikan persen massa H2SO4 dalam komposisi campuran
asam dari 45% ke 50% menaikkan yield dari 51% ke 53,4%
dan menghasilkan produk dengan kemurnian yang
meningkat. Hal tersebut sesuai dengan teori yang
menunjukkan bahwa kenaikan konsentrasi H2SO4(%) dari
30 ke 34% akan meningkatkan persentase ionisasi
HNO3[3]. Ketersediaan nitril ion yang meningkat akan
meningkatkan pula pembentukan -nitronaftalen.
Kenaikan persen massa H2SO4 dalam komposisi campuran
asam dari 50% ke 55% sampai 70% atau pada konsentrasi
H2SO4(%) 38% sampai 54% saja akan menurunkan yield
dan kemurnian produk -nitronaftalen. Hal ini terjadi
karena pada konsentrasi H2SO4(%) yang tinggi, kekuatan
ikatan hidrogen dalam H2SO4 akan semakin kuat sehingga
akan menarik keluar elektron-elektron yang berada dalam
cincin naftalen. Berkurang densitas elektron dalan cincin
benzene akan mengurangi kereaktifan naftalen [3]. Dapat
dipahami bawa penambahan air (H2O) pada campuran asam
berfungsi untuk mengatur konsentrasi H2SO4(%).
4.2 Nitrasi Naftalen pada Berbagai Nilai R
Pada variasi nilai R digunakan komposisi campuran asam
optimum yang diperoleh dari tahap sebelumnya, yaitu
15,85% HNO3;50% H2SO4; dan 34,15% H2O. Data yang
diperoleh disajikan pada Tabel 3.
Nilai R adalah perbadingan massa HNO3 terhadap massa
bahan baku. Kebutuhan massa asam nitrat setiap proses
nitrasi berbeda tergantung pada jenis bahan baku yang
digunakan. Dari Tabel 3 terlihat bahwa titik leleh produk
-nitronaftalen yang paling mendekati titik leleh -
nitronaftalen literatur (59
- 60oC) diperoleh pada nilai
Run
Variabel Respon
Komposisi campuran asam (% massa)
Titik leleh
(°C)
Yield
(%) HNO3 H2SO4 H2O
1 15,85 45 39,15 56,3 51
2 15,85 50 34,15 60,3 53,4
3 15,85 55 29,15 59,4 35,2
4 15,85 60 24,60 58,8 34,2
5 15,85 65 19,15 54,5 32,8
6 15,85 70 14,15 51,2 33
IRWNS 2013
277
R=1,0 yaitu 59,8oC. Produk kristal -nitronaftalen yang
dihasilkan pada R=1,0 tersebut memiliki warna kuning
bening. Hal tersebut menunjukkan bahwa kristal -
nitronaftalen yang dihasilkan memiliki kemurnian yang
cukup tinggi. Sedangkan titik leleh produk -nitronaftalen
yang diperoleh pada R = 0,8; 1,2; 1,4;1,6 berada pada
rentang 57,3–58,3 °C, tidak terlalu jauh dari titik leleh
kristal α-nitronaftalen berdasarkan literatur. Titik leleh
produk -nitronaftalen yang menyimpang ini karena -
nitronaftalen yang dihasilkan masih mengandung naftalen
sisa yang tidak bereaksi. Pengotor yang tersisa pada produk
akan mengganggu proses kristalisasi sehingga waktu yang
diperlukan untuk menghasilkan kristal -nitronaftalen
menjadi lebih lama. Dari hasil penelitian ini dapat dilihat
bahwa pengaruh nilai R terhadap kemurnian produk -
nitronaftalen lebih kecil dibandingkan dengan komposisi
campuran asam.
Tabel 3: Titik leleh dan yield -nitronaftalen
pada berbagai nilai R
Run
Variabel Respon
R
Titik
Leleh (°C)
Yield
(%)
7 0,8 58,3 70,4
8 1 59,8 77,2
9 1,2 57,7 44,8
10 1,4 57,3 51,6
11 1,6 57,9 33,8
Pada Tabel 3 terlihat bahwa yield -nitronaftalen mencapai
titik maksimum sebesar 77,2% pada nilai R=1,0, kemudian
mengalami penurunan cukup berarti menjadi 44,8% pada
nilai R=1,2. Yield -nitronaftalen naik kembali menjadi
51,6 % pada nilai R=1,4 dan akhirnya turun mencapai titik
terendahnya di 33,8% pada nilai R=1,6. Hal ini
menunjukkan excess asam nitrat yang diberikan lebih dari
R=1,0 akan menurunkan yield -nitronaftalen. Nitrasi
naftalen dengan nitrating agent campuran asam HNO3 dan
H2SO4 menggunakan pelarut inert dichloromethane
menghasilkan kristal -nitronaftalen dengan kemurnian
99,2% dan yield 80% [7].
Reaksi pembentukan nitril ion merupakan reaksi
kesetimbangan.
HNO3 + 2H2SO4 NO2+ + H3O
+ +2HSO4- [4]
Kecepatan penumpukan nitril ion yang berlebih dan tidak
diimbangi dengan reaksi adisi nitril ion ke dalan senyawa
naftalen, akan menyebabkan nitril ion akan kembali
membentuk HNO3. Konsentrasi nitril ion yang melebihi
kebutuhan bahan baku juga akan mengakibatkan sebagian
nitril ion akan terkonversi kembali menjadi HNO3.
5. KESIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa nitrasi naftalen
merupakan proses nitrasi yang berlangsung pada kondisi
operasi yang ringan sehingga dapat diaplikasikan di
Laboratorium Satuan Proses Politeknik Negeri Bandung.
Nitrasi naftalen dilakukan pada reaktor labu leher empat
dengan penangas es. Kondisi operasi reaksi nitrasi adalah
temperatur reaksi 60-65oC, waktu reaksi 1 jam, dan
kecepatan pengadukan 125–150 rpm. Komposisi campuran
asam optimum dalam persen massa adalah 15,85%
HNO3;50% H2SO4; dan 34,15% H2O akan menghasilkan
produk kristal -nitronaftalen dengan titik leleh 60,30C dan
yield 53,4%. Nilai R optimum diperoleh pada R=1 akan
menghasilkan produk kristal α-nitronaftalen dengan titik
leleh 59,80C dan yield 77,2 %.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Latif Fauzi dan
Teguh Imanullah yang telah membantu dalam pelaksanaan
penelitian ini. Penelitian ini merupakan Penelitian
Unggulan Peningkatan Kapasitas Laboratorium/Program
Studi dengan sumber dana DIPA 2013 Politeknik Negeri
Bandung.
DAFTAR PUSTAKA
[1] National Toxicology Program, ―Bioassay of 1-
Nitronaphtalene for Possible Carcigonecity (CAS
No.86-57-7)‖, USA, September 2012.
[2] IARC Monographs, Summary and Evaluations 1-
Nitronaphtalene, Vol.46,1989 CAS No. 86-57-7, pp
291-308.
[3] Groggins, P. H., ―Unit Processes in Organic
Syntesis‖, fifth Edition, International Student Edition,
Mc. Graw-Hill Kogakusha, Ltd, 1958.
[4] Sethi, A, ―Systematic Laboratory Experimentss in
Organic Chemistry‖, New Age Inetnational, New
Delhi, 2006.
[5] Hart Harold, Terj. Achmadi Suminar, ―Kimia
Organik, Suatu Kuliah Singkat‖, Penerbit Erlangga,
Jakarta, 1987.
[6] Fessenden, R. and Fessenden, J., ―Organic
Chemistry‖, 2nd
Edition, Willard Grant Press
Publisher, Massachusetts, USA, 1982.
[7] Kameo, T &Hirashima T, Mononitration of
Naphtalene with Nitric Acid in Inert Solvent, Jepang,
1986, Chem.Express,1,pp 371-374.
IRWNS 2013
278
Perancangan Mesin Pengolah Air Bersih Bergerak Dengan Menggunakan
Sistem Modular Untuk Penaggulangan Keadaan Darurat Air
Yuliar Yasin Erlanggaa, Heri Setiawanb
a
Jurusan Teknik Perancangan Manufaktur, Politeknik Manufaktur Negeri Bandung, Bandung 40135
E-mail : [email protected] b
Jurusan Teknik Manufaktur, Politeknik Manufaktur Negeri Bandung, Bandung 40135
E-mail : [email protected]
ABSTRAK
Pengolahan air bersih (Water Treatment) dengan sistem pembuatan perangkat pengolahan air secara modular/mobile (compact
mobile) merupakan pengembangan dari sistem penyaringan air dengan sistem “up flow” yang sudah dikembangkan oleh BPPT
dengan penambahan dan perbaikan fungsi proses dalam upaya mengoptimalkan proses pengolahan air baku menjadi air bersih
dan juga merupakan pengembangan baru dari perangkat pengolahan air sistim modular yang sudah dibuat sebelumnya.
Pengembangan yang dilakukan pada penelitian ini yaitu dengan mengubah dari instalasi pengolahan yang tetap yang biasanya
berbentuk civil work ke dalam sub fungsi-fungsi pengolah yang bersifat modular/mobile (compact mobile) dengan ukuran /
dimensi yang tidak terlalu besar (compact design). Beberapa teknik dan parameter yang diterapkan di pengolahan sebelumnya
dan secara fungsi sudah teruji masih tetap digunakan pada sistim ini, dengan artian desain yang direncanakan sebagian akan
mengacu pada teknik pengolahan tersebut.
Keuntungan yang bisa didapatkan dari sistem tersebut terutama dalam segi penanganan selama proses pengolahan dan dalam
hal penyediaan suku cadang. Waktu perbaikan preventif maupun kuratif saat penggantian sub fungsi bagian jauh akan lebih
cepat sehingga diharapkan waktu perbaikan disaat terjadi kerusakan pada mesin pengolahan air bersih ini menjadi sangat
singkat dan juga ukuran / dimensi dari perangkat ini yang cukup kecil (compact) sehingga mudah dalam pemindahan antar
lokasi untuk keadaan darurat air.
Sub fungsi bagian yang diperlukan untuk melengkapi teknologi pengolahan air bersih yang sifatnya menunjang ditambahkan
sebagai pelengkap dan bersifat compact juga. Pada akhir penelitian ini setelah melalui proses perancangan menurut VDI 2222
dan sudah dilakukan penilaian berdasarkan beberapa aspek maka terbangun sebuah prototipe modular mobile water treatment
berkapasitas pengolahan 1 M² per jam yaitu rancangan nomer 2 dengan nilai 92%. Aspek terbarukan yang dipelajari adalah
desain modular mobile water treatment itu sendiri, penentuan dan pemilihan solusi dari sub fungsi bagian serta bagaimana sub-
sub fungsi bagian tersebut diikatkan pada rangka sehingga instalasi tersebut menjadi kompak untuk dijadikan sebagai mobile
water treatment.
Kata Kunci Compact mobile water treatment, up-flow filtering process
1. PENDAHULUAN
Sebagian besar kondisi masyarakat Indonesia masih
bermasalah dengan air bersih. Masyarakat pada umumnya
memanfaatkan air sumur untuk kebutuhan makan minum
dan kegiatan MCK. Namun kualitas inputan sumber air dari
sumur belum sesuai dengan standar yang ada. Hal ini akan
sangat mengganggu kepada kesehatan masyarakat kalau
dikonsumsi secara jangka panjang dan akan mengakibatkan
dampak yang buruk terhadap aspek kehidupan yang lain
(ekonomi, sosial dan juga budaya) (Effendi Hefni,
2003:11).
Dalam rangka meningkatkan kebutuhan dasar masyarakat
mengenai kebutuhan akan air bersih, maka perlu
diusahakan proses pengolahan dan pengelolaan air yang
sesuai dengan karaktristik keadaan sekitar. Karakteristik
utama yang perlu diperhatikan adalah sumber air baku yang
tersedia serta pemilihan teknologi yang sesuai. Begitu
banyak teknologi pengolah air minum (water treatment)
yang telah dilakukan, namun masih ditemukan bermacam
kendala yang berakibat pada tuntutan perbaikan, seperti :
biaya yang relatif mahal, mekanisme yang statis (diam di
tempat), energi pengolahan yang besar dan lain-lain
(Herlambang, 2010). Beberapa tipe pengolahan air bersih
yang teknologinya menyesuaikan dengan inputan air baku
yang akan diolah seperti air laut, payau, danau, sungai dan
sumur, dengan hasil keluaran yang diinginkan air bersih
dan atau bahkan air minum (Said, dkk, 2005).
Salah satu teknologi pengolahan air bersih di pedesaan
yang banyak diterapkan di Indonesia adalah teknologi
saringan pasir lambat (sarpalam) konvensional (aliran dari
atas ke bawah, down flow). Teknologi sarpalam yang lebih
baik adalah sarpalam up flow (Herlambang & Said, 2005).
IRWNS 2013
279
Teknologi sarpalam up flow telah diterapkan oleh
Herlambang dan Said (2005) dengan menggunakan
konstruksi sipil dengan kapasitas pengolahan 100 m3/hari.
Sedangkan teknologi sarpalam yang pernah diterapkan
dengan konstruksi mekanik adalah teknologi sarpalam
down flow untuk sistim penjernih air sampai dengan siap
minum yang mobil telah diaplikasikan oleh Indriatmoko &
Widayat (2007). Teknologi ini menggunakan teknologi
aerasi, koagulasi dan filtrasi.
Kualitas air ditentukan oleh banyak faktor, yaitu zat yang
terlarut, zat yang tersuspensi, dan makhluk hidup,
khususnya jasad renik, didalam air. Air murni, yang tidak
mengandung zat yang terlarut, tidak baik bagi kehidupan.
Sebaliknya zat yang terlarut ada yang bersifat racun.
Apabila zat yang terlarut, zat yang tersuspensi dan makhluk
hidup dalam air melebihi ketentuan yang berlaku, maka air
tersebut disebut tercemar (Effendi Hefni,2003).
Saat ini telah dibuat standar untuk menentukan kualitas air
baik itu secara fisik, kimiawi dan biologi yang diterapkan
oleh Kementrian Kesehatan R.I. dan badan kesehatan dunia
(WHO). Berdasarkan standar tersebut, air yang layak untuk
digunakan haruslah bebas dari kuman penyakit, bakteri-
bakteri patogen, jernih, tidak berasa, berbau dan tidak
korosif serta juga tidak meninggalkan endapan pada
jaringan distribusi yang dilaluinya.
Dalam usaha mendapatkan kuantitas dan kualitas air bersih
yang memenuhi standar diperlukan mesin pengolah, baik
itu berupa proses kimia atau dengan metoda penyaringan
dengan media pasir silika, pasir ziolit atau karbon aktif.
Melihat pada beragamnya kondisi dan kapasitas air baku
yang tersedia, serta beragam topografi dan kemudahan
akses, maka diperlukan untuk mengembangkan mesin yang
sudah ada menjadi sebuah mesin pengolah air yang dapat
menghasilkan air bersih dengan desain yang compact
mobile, mudah pengoprasiannya dan relatif murah, serta
fleksibel dalam artian mudah dipindahkan, mudah
dipasang, mudah ditingkatkan kapasitasnya dan mudah
dalam pemeliharaannya.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Metode Perancangan
Proses pemecahan masalah yang optimal memerlukan
tahapan kerja yang sistematik. Pekerjaan yang ada dapat
dirumuskan dengan benar dan keterkaitan fungsi produk
teknik yang dirancang dapat dimengerti dengan mudah.
Metoda perancangan yang digunakan adalah Verein
Deutsche Ingenieuer (VDI 2222) seperti diperlihatkan pada
gambar 1.
2.1.1 Perencanaan
Tahap perencanaan dilakukan sebagai awal dalam
menentukan langkah kerja yang harus dilakukan dengan
baik dan sistematik. Beberapa faktor yang berpengaruh
dalam melakukan analisa berupa pemilihan pekerjaan
diantaranya studi kelayakan, analisis pasar, konsultasi
pemesan, hak paten, kelayakan lingkungan, dan dilanjutkan
dengan penentuan pekerjaan.
Gambar 1: Metode Perancangan VDI 2222
2.1.2 Pembuatan konsep
Dalam tahap pembuatan konsep, beberapa aktivitas yang
berhubungan dengan perancangan tool dilakukan
berdasarkan spesifikasi produk yang telah ditetapkan.
Beberapa tindakan yang dilakukan dalam pembuatan
konsep:
a. Penjelasan pekerjaan
Merupakan rumusan masalah atau tugas. Memperjelas
masalah atau tugas yang akan diproses secara logis.
b. Pembuatan daftar persyaratan
Daftar persyaratan dibuat untuk memudahkan dalam proses
perancangan, sehingga konstruksi yang dirancang tercapai
IRWNS 2013
280
secara maksimal. Dalam daftar persyaratan terdapat
batasan-batasan yang harus diperhatikan dan dipenuhi.
Perancang menguraikan data-data teknis rancangan seperti
data fungsi, dimensi dan operasional berdasarkan
permintaan pemesan.
a. Pembagian fungsi
Rancangan dikelompokkan berdasarkan fungsi, dimensi
atau bentuk sesuai daftar tuntutan .
b. Pembuatan alternatif fungsi bagian
Alternatif fungsi bagian dibuat sebagai bentuk lain dari
fungsi yang telah ada yang bertujuan menghasilkan
beberapa alternatif dari fungsi bagian disertai kelebihan-
kelebihan maupun kekurangan-kekurangan dari setiap
alternative tersebut.
c. Pembuatan variasi konsep
Variasi konsep merupakan penggabungan beberapa
alternatif yang dibuat sehingga membentuk suatu fungsi
bagian.
d. Penilaian variasi konsep konstruksi
Variasi konsep yang ada dinilai berdasarkan aspek-
aspek pada fungsi, kemudahan pembuatan, kemudahan
penanganan, kemudahan perakitan, kemudahan
perawatan dan biaya yang murah.
e. Pembuatan konsep pemecahan
Hasil dari penilaian yang terbaik dijadikan sebagai
konsep pemecahan.
2.1.3 Perancangan
Berdasarkan konsep pemecahan, dilakukan perancangan
konstruksi dengan memperhatikan beberapa faktor, yaitu :
Fungsi (function)
Pembuatan (manufacture)
Penanganan (handling)
Perakitan (assembling)
Perawatan (maintenance)
Biaya (cost)
Hasil rancangan ditampilkan berupa gambar draft,
perhitungan konstruksi dilakukan berdasarkan gambar draft
untuk mencapai hasil rancangan yang diinginkan.
2.1.4 Penyelesaian
Setelah rancangan selesai, maka tahap penyelesaian akhir
yang harus dilakukan adalah sebagai berikut :
Pembuatan gambar susunan
Pembuatan gambar bagian
Pembuatan daftar bagian
2.2 Umum
Air bersih yang biasa digunakan sehari-hari biasanya
berasal dari sumber-sumber air bersih yang ada di alam
kemudian diolah untuk mencapai standar kualitas tertentu.
Sumber-sumber air bersih yang biasa digunakan adalah air
laut, air hujan, air permukaan (air sungai, air rawa/danau),
air tanah (air tanah dangkal, air tanah dalam dan mata air)
(Sutrisno, 2006).
Mengacu pada Peraturan Mentri Keehatan No. 416 Tahun
1990, tentang syarat-syarat Dan Pengawasan Kualitas Air
yang dimaksud dengan air bersih adalah air yang
digunakan untuk keperluan sehari-hari yang kualitasnya
memenuhi syarat kesehatan dan dapat diminum apabila
telah dimasak. Kualitas air harus memenuhi syarat
kesehatan yang meliputi persyaratan mikrobiologi, fisika,
kimia dan radioaktif.
2.3 Koloid
2.3.1 Karakteristik Koloid
Ciri Penting dari suatu koloid padat yang terdispensi
(tersebar) dalam air yaitu partikel-partikel padat yang tidak
akan mengendap karena gaya gravitasi. Ukuran partikelnya
berkisar 0,1 milimikron (0,1x10-4) sampai 100 mikron
(0,1x10-6). Karena koloida-koloida ukuran partikelnya
berkisar satu milimikron sampai satu mikron, maka
pecahan dari zat padat yang tidak biasa mengendap ini
merupakan partikel koloid (Reynold 1982).
2.3.2 Mekanisme Destabilisasi Koloid
Kestabilan koloid tergantung pada resultan gaya tarik
menarik dan gaya tolak menolak yang bekerja pada partikel
–partikel koloid. Kation tertarik oleh anion partikel koloid
tersebut, sedangkan anion yang lain akan tertolak setelah
maksimum adsorbs tercapai. Keseimbangan tercapai
apabila sejumlah kation mendekati permukaan koloid yang
bermuatan negatif (anion), sedangkan ion lainnya
terdistribusi pada lapisan selanjutnya. Pada jarak tertentu
dari permukaan koloid akan terdapat konsentrasi anion dan
kation yang sama besar sehingga suasana netral.
2.3.3 Koagulasi dan Flokulasi
Agar terjadi tumbukan antar partikel koloid, maka daya
tolak menolak diantara partikel-partikel yang bermuatan
negatif harus dinetralkan dengan menambahkan koagulan
yang bermuatan positif (Linvil, 1965). Proses penambahan
koagulan tersebut dinamakan koagulasi. Menurut
Eichekenfelder 1985, koagulasi adalah proses kimia yang
digunakan untuk menghilangkan bahan cemaran yang
tersuspensi atau dalam bentuk koloid.
Bila koagulan dibubuhkan dalam larutan, ion lawan akan
tertarik ke permukaan partikel dan masuk kedalam lapisan
listrik sehingga konsentrasi dalam lapisan listrik naik dan
lapisan terdifusi akan menjadi padat. Hal itu menyebabkan
gaya tarik akan dominan. Jika pemampatan yang terjadi
IRWNS 2013
281
sudah mencukupi maka gaya tarik Van Der Walls dapat
meningkat, jika terjadi kontak antar partikel.
Kontak antar partikel dapat terjadi karena adanya proses
flokulasi. Flokulasi menurut IUPAC adalah proses kontak
dan adhesi antara partikel sehingga membentuk partikel
dengan ukuran yang lebih besar. Partikel yang berada
dalam keadaan tidak stabil akan cepat tergumpal. Akan
tetapi apabila semua partikel dalam keadaan tidak stabil,
maka proses flokulasi akan berjalan lambat. Untuk
memungkinkan terjadinya penetralan partikel bermuatan
oleh logam Trivalen yang bermuatan positif, maka
konsentrasi muatan harus cukup agar gaya tarik menarik
antar muatan yang berlawanan akan meningkat. Cara
memperkecil jarak antar partikel atau menambah frekuensi
tumbukan antar partikel adalah dengan pemberian gaya atau
poer input sehingga air tersebut mengalami turbulensi.
2.3.4 Sedimentasi
Sedimentasi adalah pemisahan padatan dan cairan dengan
menggunakan pengendapan secara gravitasi untuk
memisahkan partikel tersuspensi yang terdapat dalam
cairan tersebut (Reynols, 1982). Proses ini sangat umum
digunakan pada instalasi pengolahan air minum. Aplikasi
utama dari sedimentasi pada instalasi pengolahan air
minum adalah:
1. Pengendapan awal dari air permukaan sebelum
pengolahan oleh unit saringan pasir cepat.
2. Pengendapan air yang telah melalui proses koagulasi
dan flokulasi pada instalasi yang menggunakan sistim
pelunakan air oleh kapur-soda.
2.3.5 Filtrasi
Filtrasi adalah proses pengolahan yang dipakai untuk
memisahkan materi-materi padatan (kotoran) berupa
suspended solid (zat padat tersuspensi) dengan melewatkan
air melalui suatu media. Melalui filter ini kualitas air dapat
mencapai turbiditas kurang dari 0.1 NTU. Walaupun
kurang dari 90% kekeruhan dan warna dipisahan dalam
koagulasi dan sedimentasi, namun sejumlah flok masih
terbawa keluar dan ini memerlukan pemisahan lebih lanjut
(Linvil, 1963).
2.3.6 Desinfeksi
Desinfektan didefinisikan sebagai bahan kimia atau
pengaruh fisika yang digunakan untuk mencegah terjadinya
infeksi atau pencemaran jasad renik seperti bakteri anti
virus, juga untuk membunuh atau menurunkan jumlah
mikroorganisme atau kuman penyakit lainnya (Skima,
2008). Umumnya pada instalasi klor akan diperoleh dalam
bentuk padatan dengan rumus kimia (Ca(OCl)2. Sebelum
dibubuhkan ke dalam air baku klor ini akan dilarutkan
terlebih dahulu dalam air. Penggunaan klor secara luas
untuk desinfeksi air karena (Linvil, 1963) mudah diperoleh
baik dalam bentuk padat, cair maupun gas, selain itu
hargannya yang relative murah juga mudah diterapkan
karena kelarutannya relatif tinggi (7000mg/l), dapat
memberikan sisa klor dalam batas (0,2 s.d. 0,5 mg/l) yang
tidak membahayakan manusia.
2.3.7 Parameter Kualitas Air
Pemeriksaan kualitas air dilakukan terhadap parameter-
parameter penting yang dapat menggambarkan karakteristik
dari air tersebut sesuai dengan tujuan pemeriksaan.
Parameter-parameter yang diukur adalah: kekeruhan,
warna, pH, Besi, Detergen dan Zat Organik.
3. METODOLOGI
Penelitian ini melakukan perancangan dan pembuatan
prototipe mesin pengolah air bersih sistem mampu pindah
(mobile) untuk kepentingan saat bencana (darurat air).
Penelitian difokuskan pada penyempurnaan dari hasil
penelitian sebelumnya, yaitu pada konsep rancangan dan
jenis teknologi yang digunakan. Penyempurnaan rancangan
dilakukan terutama pada hal mengatasi masalah-masalah :
kualitas air yang sangat berhubungan dengan teknologi
proses, laju aliran air yang menentukan kapasitas produksi
pengolahan air berupa debit dan juga dari segi rancang
bangun untuk mencapai tujuan yang diinginkan yaitu
berbentuk modular. Modularitas yang dimaksud tidak
hanya pada unit keseluruhannya, tetapi juga pada setiap
fungsi bagiannya agar mudah untuk dilepas pasang dari
instalasi keseluruhan.
Untuk mengurangi aktifitas manufaktur dan meminimalkan
biaya yang digunakan, diharapkan banyak menggunakan
part standar termasuk didalamnya adalah tangki untuk
penyadap air, ventury, konstruksi pengatur dosis, static
mixer, filter dan juga penampung air olahan yang berupa air
bersih.
Mesin instalasi pengolah air ini terbagi menjadi beberapa
sub fungsi bagian, dimana masing-masing sub fungsi
bagian ini mempunyai kekhususan fungsi dan harus
merupakan kesatuan tersendiri yang mampu dibongkar
pasang dengan tidak menggangu fungsi bagian lain.
Hubungan satu dengan yang lainnya didefinisikan dengan
sistem masukan dan luaran setelah melalui proses
pengolahan per fungsi bagian tersebut. Fungsi bagian
tersebut terdiri dari:
Gambar 2: Fungsi Bagian
Perancangan sistem diteliti mengacu kepada konsep-konsep
yang sudah ada dan dimodifikasi dengan kriteria dan
IRWNS 2013
282
prasyarat yang sudah ditentukan seperti luaran air yang baik
, kapasitas air, indikator-indikator hasil olahan air yang
harus mengacu pada standar baku mutu air.
Perancangan manufaktur didesain sedemikian rupa
sehingga mencapai tujuan yang yang diinginkan yaitu
mudah untuk dipindakan (portable) dengan kapasitas air
yang cukup signifikan untuk kebutuhan hidup per hari.
Kemudian seluruh parameter rancangan akan diterapkan
pada pembuatan prototipe dan hasilnya di analisis.
Berikut ini adalah diagram alir langkah-langkah
pelaksanaan penelitian.
Gambar 3: Diagram alir
4. PROSES PERANCANGAN
4.1 Fungsi Bagian Rangka
Rangka yang dibuat dipilih berdasarkan beberapa alternatif
seperti tabel 1 berikut:
Tabel 1: Alternatif fungsi bagian rangka
4.1
4.2
4.3
4.4
4.5
4.2 Fungsi Bagian Pre-filter
Proses pre-filter dipilih berdasarkan beberapa alternatif
seperti tabel berikut:
Tabel 2: Fungsi bagian pre-filter
4.3 Fungsi Bagian Koagulasi
Proses koagulasi dipilih berdasarkan beberapa alternatif
seperti tabel berikut:
Tabel 3: Alternatif fungsi bagian koagulasi
4.4 Fungsi Bagian Flokulasi
Proses Flokulasi dipilih berdasarkan beberapa alternatif
seperti tabel berikut:
Tabel 4: Alternatif fungsi bagian flokulasi
4.5 Fungsi Bagian Sedimentasi
Proses Sedimentasi dipilih berdasarkan beberapa alternatif
seperti tabel berikut:
Tabel 5: Alternatif fungsi bagian sedimentasi
4.6 Fungsi Bagian Filtrasi
Proses koagulasi dipilih berdasarkan beberapa alternatif
seperti tabel berikut:
Tabel 6: Alternatif fungsi bagian filtrasi
4.7 Fungsi Bagian Desinfeksi
Proses koagulasi dipilih berdasarkan beberapa alternatif
seperti tabel berikut:
Tabel 7: Alternatif fungsi bagian desinfeksi
IRWNS 2013
283
AFK 3
4.8 Pembuatan Variasi Konsep
Setelah pembagian fungsi dibuatkan variasi-variasi yang
merupakan gabungan dari fungsi-fungsi bagian tersebut.
Tabel 8: Kotak morfologi
4.9 Alternatif Fungsi Keseluruhan
Adapun variasi-variasi konsep yang ada diterjemahkan
kembali seperti terlihat pada gambar 4 dibawah:
Gambar 4: Alternatif fungsi keseluruhan
4.10 Penilaian Alternatif Fungsi Keseluruhan
Ketiga alternatif tersebut dinilai untuk memperoleh
alternatif fungsi keseluruhan terbaik.
AFK 1 AFK 2
IRWNS 2013
284
Tabel 9: Kriteria penilaian variasi prinsip
Tabel 10: Penilaian variasi prinsip
4.11 Konsep Pemecahan
Berdasarkan aspek-aspek penilaian fungsi sebelumnya,
maka fungsi kombinasi dari variasi konsep yang paling
ideal dari ketiga alternatif fungsi keseluruhan adalah
alternatif 3, dengan prosentase 92 %, sehingga berdasarkan
hasil tersebut dipilih rancangan-rancangan berdasarkan
fungsi-fungsi dari alternatif 2.
Gambar 5: Rancangan terpilih
4.12 Pembuatan Draft Rancangan, Gambar Susunan
dan Gambar Bagian
Tahapan penyelesaian akhir yang harus dilakukan adalah
melakukan penggambaran gambar kerja detail dan gambar
kerja susunan, yang nantinya akan digunakan sebagai
informasi pada proses manufaktur. Selain itu gambar kerja
detail dan gambar kerja susunan dapat juga dijadikan
sebagai dokumen teknik.
Gambar 6: Contoh dokumen teknik
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Proses perancangan dan pembuatan compact mobile water
treatment ini dapat terlaksana dan dapat diwujudkan
menjadi sebuah produk yang diharapkan memiliki nilai
guna bagi masyarakat khususnya yang mengalami keadaan
darurat air
5.2 Saran
Dilakukan penelitian untuk penentuan waktu yang tepat
untuk melakukan backwash, dilihat dari nilai kekeruhan
air olahan. Sehingga dapat ditentukan setelah
pemakaian berapa kali backwash harus dilakukan.
Pada penelitian selanjutnya perlu dikembangkan
pengkajian menggunakan kontrol otomatis pada Mesin
Pengolah Air Bersih Sistem mampu pindah ini.
Perlu dikembangkan pengkajian terhadap waktu proses,
sehingga dapat mempercepat proses pengolahan air
besih. Mesin Pengolah Air Bersih Sistem Modular
menghasilkan output 1M3/jam.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Anonim. Water Chemistry & Treatment.
http://www.water-chemistry.in . (19 Juli 2011).
[2] Departemen Kesehatan RI. Keputusan Menteri
Kesehatan RI Nomor 907/MENKES/ SK/VII/2002
tentang syarat-syarat dan pengawasan kualitas air
minum. Jakarta: Departemen Kesehatan RI, 2002.
IRWNS 2013
285
[3] H. Effendi. Telaah kualitas Air bagi Pengelolaan
Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Yogyakarta:
Kanisius, 2003
[4] A. Herlambang. “Teknologi Penyediaan Air Minum
Untuk Keadaan Tanggap Darurat”. Jurnal Air
Indonesia, Vol.6, No.1, 2010.
[5] R.H. Indriatmoko dan W. Widayat. “Penyediaan Air
Minum Pada Situasi Tanggap Darurat Bencana
Alam”.Jurnal Air Indonesia, Vol.3,No.1, 2007.
[6] Ministry of environment and forests.Status Of Water
Treatment Plans In India. http://www.cpcb.nic.in. (3
Agustus 2011).
[7] P. N. Raharjo. “Aplikasi Teknologi Pengadaan Air
Bersih di Empat Desa Tertinggal di Bengkulu
Selatan”. Jurnal Air Indonesia, Vol.3, No.1, 2007.
[8] Said, Nusa Idaman, Indriatmoko, Robertus Haryoto,
Raharjo, P. Nugro, dan Herlambang, Arie. “Aplikasi
teknologi pengolahan air sederhana untuk masyarakat
pedesaan”. Jurnal Air Indonesia, Vol.1, No.2, 2005.
IRWNS 2013
286
Pembuatan Membran Kitosan Sulfonat
Untuk Aplikasi Direct Ethanol Fuel Cell
Riniati, Harita N Chamidy
Jurusan Teknik Kimia, Politeknik Negeri Bandung, Bandung 40012
E-mail : [email protected]
ABSTRAK
Direct Ethanol Fuel Cell (DEFC) merupakan salah satu jenis fuel cell menggunakan etanol sebagai bahan bakar. Salah satu
komponen utama pada DEFC sebagai perangkat elektrokimia penghasil listrik yaitu Membrane Electrode Assembly (MEA).
MEA terdiri dari membran yang diapit oleh elektroda. Jenis membran yang umum digunakan secara komersial pada
pembuatan MEA yaitu Nafion®. Akan tetapi, tingginya biaya produksi dan crossover alkohol yang cukup tinggi menjadi
kendala penggunaan Nafion®
. Saat ini banyak dikembangkan material baru yang diharapkan dapat menggantikan fungsi
Nafion® diantaranya kitosan, suatu polimer alam yang murah dan aman bagi lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk
membuat membran kitosan sulfonat dari kitosan dengan cara sulfonasi menggunakan pereaksi asam sulfosalisilat pada variasi
konsentrasi 5, 10, 15 dan 20%. Hasil karakterisasi menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi asam sulfosalisilat
menghasilkan membran dengan spesifikasi derajat pengembangan (Ds), ion exchange capacity (IEC) dan konduktivitas proton
lebih baik dibandingkan Nafion® tetapi warna membran semakin kusam. Membran yang menunjukkan spesifikasi terbaik
untuk karakterisasi warna, kerapuhan, Ds, dan IEC yaitu membran kitosan sulfonat yang disulfonasi oleh asam sulfosalisilat
15%. Dari hasil analisa didapatkan nilai Ds dalam air dan etanol 3% masing-masing 4,17 dan 6,36 %, nilai IEC sebesar 2,76
mek/g dan konduktivitas proton sebesar 1,61 x 10-4 S/cm.
Kata Kunci :
Membran, Kitosan sulfonat, Fuel Cell, Etanol
1. PENDAHULUAN
Fuel Cell muncul sebagai salah satu teknologi dalam
penggunaan sumber energi alternatif mengingat sumber
energi yang sudah ada persediaannya semakin menipis,
sedangkan volume pemakaian semakin lama semakin
meningkat. Sumber energi yang dibutuhkan saat ini adalah
sumber energi dengan biaya murah, efisien dan ramah
lingkungan [2,11].
Fuel cell adalah perangkat seperti baterai yang dapat
mengubah bahan bakar menjadi energi listrik secara
langsung melalui reaksi elektrokimia. Salah satu jenis sel
bahan bakar yang dikenal saat ini yaitu sel bahan bakar
dengan pertukaran proton atau Proton Exchange Membrane
Fuel Cell (PEMFC) [2,11]. Bahan bakar yang digunakan
pada PEMFC yaitu gas hidrogen (untuk listrik berdaya
tinggi) atau alkohol seperti metanol atau etanol (untuk
listrik berdaya rendah). Dibandingkan dengan metanol,
etanol mempunyai keunggulan yaitu tidak bersifat toxid
seperti halnya metanol dan dapat diproduksi secara ramah
lingkungan [5].
PEMFC dengan bahan bakar etanol dikenal sebagai Direct
Ethanol Fuel Cell (DEFC). Secara umum jenis ini
digunakan untuk menghasilkan mikro watt sampai 10 watt
untuk keperluan energi alat-alat kecil seperti laptop,
calculator dan handpone yang banyak dikembangkan di
Cina, Taiwan dan Korea. Sampai saat ini DEFC masih
dalam pengembangan ke arah komersial. Salah satu
hambatan komersialisasi sel ini dikarenakan membran
elektrolit menggunakan Nafion bersifat permeabel terhadap
metanol maupun etanol.
Skema yang terjadi pada DEFC dapat dilihat pada Gambar
1, dengan persamaan reaksi :
Anoda : C2H5OH + 3H2O → 2CO2 + 12H+ + 12 e
-
Katoda: 12 H+ + 3O2 + 12 e → 6H2O
Reaksi sel :
C2H5OH + 3H2O + 3O2 → 2CO2 + 6H2O
Komponen paling utama penyusun fuel cell yaitu
Membrane Electrode Assembly (MEA). MEA terdiri dari
membran sebagai penghantar proton yang diapit oleh dua
elektroda[2].
IRWNS 2013
287
Gambar 1: Skema Direct Ethanol Fuel Cell (DEFC) [1]
Membran penghantar proton merupakan lembaran polimer
tipis yang dapat melewatkan proton (H+). Dalam membran
terjadi penghantaran proton dari anoda ke katoda sehingga
memungkinkan terjadinya reaksi redoks yang terus menerus
untuk menghasilkan energi listrik. Membran fuel cell harus
memiliki konduktivitas proton yang tinggi, memiliki
dinding yang cukup kuat untuk menghalangi laju alir
reaktan dan stabil secara kimia maupun mekanik pada
lingkungan sekitar fuel cell [4].
Saat ini material membran yang digunakan secara komersil
adalah Nafion® yang dikembangkan oleh DuPont [4].
Nafion® merupakan suatu polimer organik berfasa padat
berupa poly-perfluorosulfonic-acid (Gambar 2). Nafion®
mempunyai daya hantar proton atau konduktivitas proton
yang tinggi, sifat mekanik, kestabilan kimia dan termal
yang baik sebagai syarat membran fuel cell. Namun selain
biaya produksi nafion sangat tinggi, nafion juga memiliki
kelemahan yaitu memiliki sifat permeabel yang cukup
tinggi terhadap alkohol serta konduktivitas nafion menurun
diatas suhu 90oC [9,10].
Gambar 2: Struktur Kimia Nafion (asam
poliperflorosulfonat ionomer [8]
Saat ini banyak dikembangkan material baru yang
diharapkan dapat menggantikan fungsi Nafion® dalam sel
bahan bakar. Salah satu material yang banyak diteliti yaitu
kitosan. Kitosan merupakan bahan kimia multiguna
berbentuk serat dan merupakan kopolimer berbentuk
lembaran tipis, berwarna putih atau kuning serta tidak
berbau. Kitin yang telah terdeasetilasi sebanyak 65-95 %
disebut kitosan (Gambar 3). Kitin dapat terdeasetilasi dalam
larutan basa kuat NaOH atau KOH dengan bantuan
pemanasan dan membentuk gugus amino bebas.
Gambar 3: Struktur kimia kitin dan kitosan [3]
Kereaktifan kitosan disebabkan oleh adanya gugus amino
bebas yang bersifat sebagai nukleofilik kuat dan sekaligus
kitosan bersifat polielektrolit, maka kitosan digolongkan
sebagai Highly functional biopolymer [7]. Elektrolit
berbasis polimer merupakan komponen penting di banyak
perangkat elektrokimia. Elektrolit polimer berbiaya murah
dan ramah lingkungan dari sumber terbarukan dapat
menjadi pengganti yang menjanjikan sebagai polimer
sintetis untuk digunakan dalam perangkat elektrokimia
yang melibatkan pembangkit energi dan penyimpanan.
Kitosan bersumber dari polisakarida, telah banyak diteliti
sebagai membran berbasis elektrolit polimer padat untuk
fuel cell jenis PEMFC [4].
Gugus fungsional -OH dan -NH2 pada kitosan
memungkinkan dilakukan berbagai modifikasi kimia untuk
aplikasi tertentu. Penekanannya pada reaksi crosslinking
kimia untuk meningkatkan stabilitas mekanik dan kimia,
dan modifikasi kimia untuk kemungkinan menghasilkan
pertukaran ion dan meningkatkan konduktivitas ionik yang
merupakan persyaratan bagi membran fuel cell [3,4].
Tujuan dari penelitian ini adalah membuat membran
kitosan sulfonat dari kitosan dengan cara metode sulfonasi
menggunakan pereaksi asam sulfosalisilat. Membran yang
dibuat dikarakterisasi sesuai spesifikasi yang memenuhi
standar untuk fuel cell khususnya DEFC.
2. BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Pada penelitian ini digunakan kitosan dari kulit rajungan
dengan spesifikasi grade industri yang sudah memenuhi
syarat untuk digunakan sebagai bahan baku pembuatan
membran. Bahan utama lain yang digunakan yaitu asam
sulfosalisilat p.a. sebagai pereaksi crosslinking pada proses
sulfonasi kitosan menjadi kitosan sulfonat.
Secara umum pembuatan membran kitosan sulfonat pada
penelitian ini terdiri dari empat tahap, yaitu :
1) Pembuatan larutan kitosan 2%
Larutan kitosan dibuat dengan cara melarutkan kitosan
ke dalam larutan asam asetat 2% dengan pengadukan
pada suhu ruang selama 24 jam hingga didapat larutan
kitosan yang homogen.
IRWNS 2013
288
2) Proses sulfonasi
Sulfonasi merupakan proses penempelan gugus
sulfonat (HSO3-) terhadap kitosan. Metode sulfonasi
terhadap larutan kitosan dilakukan dengan
menggunakan pereaksi asam sulfosalisilat dengan
variasi konsentrasi 5, 10, 15, dan 20%. Reaksi
sulfonasi dilakukan dengan pengadukan pada suhu
ruang selama 24 jam.
3) Pencetakan membran (casting)
Pencetakan membran kitosan sulfonat dilakukan
dengan cara menuangkan campuran hasil reaksi di atas
plat berupa melamin dengan luas permukaan 110 cm2.
Untuk mendapatkan ketebalan membran yang
diinginkan, volume larutan divariasikan. Ketebalan
membran diukur menggunakan micrometer.
4) Tahap karakterisasi membran
Tahap karakterisasi ini meliputi pengamatan bentuk
fisik seperti warna, ketebalan, kerapuhan serta
penentuan derajat pengembangan (Ds), Ion Exchange
Capacity (IEC), dan Proton Conduktivity
(konduktivitas proton).
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada penelitian ini telah dibuat beberapa membran dengan
variasi konsentrasi asam sulfosalisilat 5, 10, 15 dan 20%.
Pemilihan asam sulfosalisilat didasarkan pada struktur asam
tersebut dimana ada satu gugus sulfonat dan karboksilat
sebagaimana terlihat pada Gambar 4. Diharapkan terjadi
reaksi ikatan silang antara gugus sulfonat dengan gugus
hidroksi dan amina bebas pada kitosan.
Gambar 4. Reaksi sulfonasi Kitosan dengan Asam
sulfosalisilat
Hasil pengamatan sifat fisik membran yang telah dibuat
ditunjukkan pada Tabel 1. Tampak bahwa semakin tinggi
konsentrasi asam sulfosalisilat memberikan pengaruh
terhadap warna membran semakin putih-kusam, sementara
itu jika dibandingkan dengan warna membran nafion
warnanya bening trasparan. Ketebalan membran yang
dibuat rata-rata 0,10-0,15 mm mendekati ketebalan
membran nafion.
Tabel 1: Spesifikasi membran
Kode
Membran
Spesifikasi
Membran
Sifat Fisik
Warna (S/cm)
Kerapuhan
M-1 Kitosan Bening
kekuningan Tidak rapuh
M-2 Kitosan + ASS 5%
Bening jingga
Rapuh
M-3 Kitosan + ASS 10%
Bening kemerahan
Sedikit rapuh
M-4 Kitosan +
ASS 15%
Putih
jingga Tidak rapuh
M-5 Kitosan +
ASS 20%
Buram -Putih
jingga
Tidak rapuh
Nafion 117
- Bening kekuningan
Tidak rapuh
*ASS = Asam sulfosalisilat
Salah satu faktor penting agar membran dapat diaplikasikan
dalam PEMFC adalah nilai kapasitas penukar
protonnya[10]. Nilai IEC menunjukkan jumlah proton yang
dapat ditransportasikan dari anoda ke katoda. Nilai IEC dari
membran kitosan yang dibuat meningkat dengan
penambahan asam sulfosalisilat seperti terlihat pada Tabel
2, hal ini menunjukkan bahwa ada ikatan gugus sulfonat
terhadap gugus hidroksi atau gugus amina pada kitosan,
sebab gugus hidroksi yang lebih sukar melepas proton
digantikan dengan gugus sulfonat yang dapat dengan
mudah melepas protonnya. Reaksi ikatan silang dapat
terjadi pada gugus hidroksi bebas tetapi tidak menutup
kemungkinan reaksi sulfonasi juga terjadi pada gugus
amina bebas. Untuk mengetahui struktur kitosan sulfonat
dengan tepat, diperlukan uji NMR (Nuclear Magnetic
Resonance).
Tabel 2: Data karakteristik membran
Kode
membran
Ds
dalam
Air (%)
Ds
dalam Etanol
3%
(%)
IEC
(mek/g)
Konduktivitas Proton
(S/cm)
Kitosan Larut Larut Larut 3,80 x 10-7
M-1 85,71 33,33 1,75 -
M-2 30,43 28,57 2,43 5,93 x 10-8
M-3 4,17 6,36 2,76 1,61 x 10-4
M-4 0 0 3,05 1,00 x 10-2
Nafion-117
8,62 8,17 0,96 5,9 x 10-3
Satu kelemahan nafion® untuk fuel cell yaitu memiliki
derajat pengembangan cukup besar terhadap bahan bakar
cair seperti etanol. Hal ini dapat mengakibatkan cross over
etanol sehingga dapat mengurangi kinerja fuel cell [4].
Penelitian pengembangan material baru pengganti nafion®
bertujuan menurunkan nilai derajat pengembangan
membran namun tetap memiliki konduktivitas proton yang
cukup tinggi seperti halnya nafion®. Pada Tabel 2, tampak
bahwa spesifikasi derajat pengembangan membran kitosan
sulfonat dalam air maupun etanol 3% lebih kecil
dibandingkan nafion®. Membran yang memenuhi
spesifikasi ini dihasilkan dari sulfonasi pada konsentrasi
asam sulfosalisilat 15-20%. Hal ini menunjukkan bahwa
membran kitosan sulfonat sangat potensial untuk dijadikan
membran DEFC. Namun disisi lain membran kitosan
IRWNS 2013
289
sulfonat yang dihasilkan pada konsentrasi asam
sulfosalisilat 20% memiliki warna yang kusam sementara
warna nafion berwarna bening trasparan. Hal ini menjadi
tantangan penelitian selanjutnya untuk memperbaiki
kondisi proses dan modifikasi reaksi sehingga didapatkan
membran dengan bentuk fisik dan spesifikasi yang
diinginkan sesuai spesifikasi membran untuk fuel cell.
4. KESIMPULAN
Proses sulfonasi yang telah dilakukan terhadap kitosan
dengan pereaksi asam sulfosalisilat dapat menurunkan
derajat pengembangan membran (Ds) dalam air maupun
etanol dan meningkatkan ion exchange capacity (IEC)
hingga mendekati spesifikasi membran nafion®. Membran
yang menunjukkan spesifikasi terbaik untuk karakterisasi
warna, kerapuhan, derajat pengembangan, IEC dan
konduktivitas proton yaitu membran kitosan sulfonat hasil
sulfonasi kitosan oleh asam salisilat dengan konsentrasi
15%. Dari hasil analisa didapatkan nilai Ds dalam air dan
etanol 3% masing-masing 4,17 dan 6,36 %, nilai IEC
sebesar 2,76 mek/g dan konduktivitas proton sebesar 1,61 x
10-4 S/cm.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terimakasih disampaikan kepada Direktorat
Jenderal pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan
Nasional dan Kebudayaan yang telah mendanai penelitian
ini melalui DIPA POLBAN, sesuai dengan Surat Perjanjian
Pelaksanaan Program Penelitian Hibah Bersaing No.
681.5/PL1.R5/PL/2013.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Baranova. E, “Nanoparticles application to Direct
Ethanol Fuel Cells and Direct Formic Acid Fuel
Cells”, Annual Meeting of ISE, Sept. 26th – Oct. 1st ,
Nice, France. 2010 .
[2] Bradley. E. E, “Chemical Modification of Fuel Cell
Catalyst and Electrchemistry of Proton Exchange
Membrane Fuel Cell electrodes”, St. John‟s
Newfoundland Canada. University of Newfoundland,
2003.
[3] Ma Jia, Yogeshwar Sahai, “Review: Chitosan
biopolymer for fuel cell applications”, Journal of
Carbohydrate Polymers, 92, 2013, 955-975.
[4] Mukoma, P., B.R. Jooste, H.C.M. Vosloo., “Synthesis
and characterization of cross-linked chitosan
membranes for application as alternative proton
exchange membrane materials in fuel cells”, Journal
of Power Sources 136, 2004,16-23
[5] Modestov, A.D., Tarasevich, A., “MEA for alkaline
direct ethanol fuel cell with alkali doped PBI
membrane and non-platinum electrodes”, Journal of
Power Sources, 188, 2009, 502-506.
[6] Riniati , “Pemanfaatan Kitin dari Cangkang Rajungan
Sebagai Bahan Pembuatan Kitosan Sulfonat Untuk
Membran”. Jurnal Penelitian & Gagasan Sains dan
Matematika Terapan, SIGMA-MU. POLBAN, 2010.
[7] Soonpatra,K., U. Intra, “Chitosan-Based Fuel Cell
Membranes”, J.Chem,Eng.Comm,193, 2006, p.855-
868
[8] Tamjid Chowdhury and James F. Rohan,” Carbon
Nanotube Composites for Electronic Interconnect
Applications” Tyndall National Institute, University
College Cork, Lee Maltings, Cork, Ireland, 2013.
[9] Thomas, Sharon dan Marcia Zalbowitz. “Fuel Cells –
Green Power”, US Department of Energy : Energy
Efficiency & renewable energy : Los Alamos, New
Mexico, 2002.
[10] Wan Ying, Katherine A.M. Creber., Brant Peppley, V.
Tam Bui, “Chitosan-based electrolyte composite
membranes II. Mechanical properties and ionic
conductivity”, Journal of Membrane Sciences, 284,
2006, 331-338.
IRWNS 2013
290
Peningkatan Pembelajaran Statistika Bidang Tata Niaga Berbantuan
Kalkulator dan Perangkat Lunak Untuk Politeknik
Euis Sartika, Agus Binarto, Anie Lusiani
UP MKU, Politeknik Negeri Bandung, Bandung 40012
E-mail : [email protected]; [email protected]; [email protected]
ABSTRAK
Pendidikan vokasi mengharuskan mahasiswa memiliki kemampuan praktis yang dapat mendukung dunia kerjanya nanti.
Sejalan dengan kurikulum KKNI, pembelajaran Statistika di Politeknik akan lebih optimal jika didukung oleh praktikum
Statistika. Selain memberi pemahaman yang lebih optimal, juga melatih mahasiswa untuk lebih mandiri. Penelitian ini
mengupayakan terbentuknya modul praktikum yang disesuaikan dengan kurikulum KKNI dan kompetensi standar Statistika.
Penelitian ini dilakukan dalam kurun waktu dua tahun berturut-turut. Tahun pertama bertujuan mengupayakan keberadaan
modul praktikum bidang Tata Niaga. Tahun kedua dilakukan uji coba pada beberapa Politeknik Negeri. Analisis Statistik yang
digunakan adalah uji komparatif yakni, membandingkan evaluasi pembelajaran Statistika yang menggunakan modul
praktikum Statistika dan tanpa modul praktikum Statistika.
Kata Kunci
Kurikulum, kompetensi Statistika,uji komparatif
1. PENDAHULUAN
Politeknik merupakan pendidikan vokasi yang diarahkan
pada kesiapan penerapan keahlian tertentu. Sedangkan
pendidikan vokasi adalah pendidikan tinggi yang
mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan
dengan keahlian terapan tertentu maksimal setara dengan
program sarjana. Guna mencapai maksud itu, politeknik
memberikan pengalaman belajar dan latihan yang memadai
untuk membentuk kemampuan profesional di bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi. Mengamati kondisi pendidikan
tinggi saat ini, terdapat beberapa hal yang perlu
diperhatikan antara lain :
Terdapat ketidakjelasan jenis dan mutu Pendidikan
Tinggi di Indonesia diskriminasi antar jenis pendidikan
akademik-vokasi-profesi
Terjadi disparitas mutu lulusan untuk jenjang
pendidikan yang sama
Ketidaksetraan capaian pembelajaran (Learning
Outcomes) untuk program studi sejenis.
Sedangkan sasaran ke depan, pendidikan tinggi Indonesia
adalah :
Penataan mutu pendidikan tinggi berdasarkan
penjenjangan kualifikasi lulusan.
Penyesuaian capaian pembelajaran untuk prodi sejenis
Penyetaraan capaian pembelajaran dengan penjenjangan
kualifikasi dunia kerja yang sama.
Sejalan dengan itu, peningkatan pembelajaran materi
perkuliahan harus didukung oleh ketrampilan yang dapat
membentuk kemampuan profesional. Statistika sebagai
salah
satu mata kuliah pendukung pada bidang Tata Niaga,
proses pembelajarannya masih bersifat teori. Kondisi yang
ada di Politeknik saat ini, jumlah jam dan beban SKS
masing-masing program studi Tata Niaga masih belum
seragam.
Begitu pula dengan jumlah jam dan beban SKS
program D III dan D IV masih sama. Sedangkan
kompetensi lulusan D IV berbeda dengan kompetensi
lylusan D III seperti digariskan dalam kurikulum
KKNI. Saat ini, penggunaan statistika sebagai alat bantu
analisis data berkembang sangat pesat. Di sisi lain,
kemajuan teknologi komputer dalam berbagai aktifitas
sehari-hari sangat membantu, diantaranya untuk analisis
data.
Secara umum, mata kuliah Statistika di Politeknik
mempunyai empat (4) aspek sasaran, pertama adalah
membekali mahasiswa dengan pengetahuan teoritis, kedua
adalah bekal ketrampilan praktis yakni kemampuan
berhitung, ketiga memberi gambaran dan pengalaman
bagaimana memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-
hari berkaitan dengan masalah yang dihadapi, dan keempat
adalah memberi bekal para mahasiswa agar dapat
mengkomunikasikan hasil kajiannya dalam laporan baik
bentuk tulisan maupun dalam bentuk lisan. Hasil kajian
analisis tersebut harus dapat ditampilkan dalam bentuk
tabel maupun grafik dan harus diinterpretasikan.
Menginterpretasikan suatu output hasil analisis tidaklah
IRWNS 2013
291
mudah, sangat diperlukan pemahaman mengenai masalah
yang dianalisis, data atau variabel yang digunakan, metode
yang dipakai hingga pemahaman mengenai software itu
sendiri. Permasalahan lain yang diperoleh melalui temuan
dari pola jawaban mahasiwa Politeknik pada saat UTS dan
UAS mata kuliah Statistika adalah sebagai berikut :
Kesulitan dalam membuat model matematika dari
permasalahan yang ada.
Kesulitan dalam memilih strategi atau rumus untuk
pemecahan masalah.
Kesulitan dalam menginterpretasikan hasil perhitungan.
Kesulitan menjelaskan secara lisan hasil dari tabel atau
grafik.
Kesulitan dalam membaca pemahaman dari representasi
yang diberikan.
Oleh karena itu dirasa perlu adanya ketersediaan informasi
mengenai pemahaman software tersebut yang dikemas
dalam suatu modul yang menunjang penggunaan software
pengolah data demi tercapainya sasaran pembelajaran
Statistika yang efektif dan efisien. Berdasarkan latar
belakang di atas, penelitian ini dilakukan. Sehingga
diharapkan dapat dihasilkan luaran pada tahun pertama
adalah modul praktikum Statistika yang dapat mendukung
proses pembelajaran Statistika agar lebih optimal.
Penyusunan modul praktikum ini didasarkan pada
kurikulum KKNI dan disesuaikan dengan kompetensi
Statistika.
Tujuan Penelitian
Tahun Pertama:
Mengidentifikasi kebutuhan materi praktikum Statistika
Politeknik Negeri bidang Tata Niaga ;
Mengupayakan keberadaan modul praktikum Statistika
bidang Tata Niaga.
Permasalahan dalam penelitian dapat dirumuskan sebagai
berikut:
Bagaimana peran penggunaan modul praktikum
statistika dalam mendukung pencapaian sasaran mata
kuliah statistika yang sesuai dengan kompetensi KKNI?
Bagaimana perbedaan keberhasilan pembelajaran mata
kuliah statistika setelah dilengkapi dengan modul
praktikum statistika?
Bagaimana peningkatan pembelajaran mata kuliah
Statistika setelah diterapkan pembelajaran dengan
bantuan kalkulator dan perangkat lunak seperti program
Excell dan software SPSS pada mahasiswa Tata Niaga?
2. TINJAUAN TEORI
Beberapa penelitian pendahuluan yang relevan antara lain
ditunjukkan dalam Tabel 1:
Tabel 1: Penelitian-penelitian yang Relevan No Peneliti, Tahun, Sumber Hasil Penelitian
1. Kholidin, S.Pd ,
2011,skripsi UNS solo
Pembelajaran berbantuan
komputer sangat fleksibel
dalam mengajar dan dapat
diatur menurut keinginan
perancang pengajaran atau penyusun kurikulum serta
dapat saling melengkapi.
2. Siti Sundari Miswadi, Sigit Priatmoko, Al Inayah,
2007,Jurusan Kimia UNS
Seamarang.
Terdapat peningkatan hasil belajar kimia berbantuan
komputer (CAL) yang diberi
pendekatan CET lebih baik daripada yang tidak diberi
pendekatan CET untuk
materi pokok laju reaksi .
3 Sri Wahyuni ; Junaidi,2008, Jurnal
Pendidikan Matematika
dan Sain, UNS Surabaya
Modul Pembelajaran Statistika Bidang Bahasa
Berbantuan Komputer
(computer Assisted) dapat meningkatkan kemandirian
dan performen mahasiswa
Mengadopsi Byte (1995), Maier dkk, Sunaryo, S dalam
tulisannya "Pengajaran Berbasis Komputer".
mendeskripsikan pembandingan model Pembelajaran
Berbantuan Komputer (PBK) dengan model konvensional.
Tabel 2: Model pembelajaran Konvensional dan PBK
Model Non PBK (Konvensional) Model dengan PBK Materi disajikan dengan presentasi
di ruang kuliah
Secara individu mahasiswa
mengeksplorasi bahan ajar
Mengabsorpsi materi ajar secara
pasif dan/atau pasif
Belajar materi ajar dengan
pengalaman
Kerja Individu Belajar Berkelompok
Dosen sebagai penyampai
informasi
Dosen sebagai pembimbing
Materi ajar relatif stabil Materi ajar berubah secara cepat
Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia, yang selanjutnya
disingkat KKNI, adalah kerangka penjenjangan kualifikasi
kompetensi yang dapat menyandingkan, menyetarakan,
dan mengintegrasikan antara bidang pendidikan dan bidang
pelatihan kerja serta pengalaman kerja dalam rangka
pemberian pengakuan kompetensi kerja sesuai dengan
struktur pekerjaan di berbagai sektor. Sesuai Peraturan
Presiden no 8 tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi
Nasional Indonesia, KKNI merupakan perwujudan mutu
dan jati diri Bangsa Indonesia terkait dengan sistem
pendidikan dan pelatihan nasional yang dimiliki Indonesia.
KKNI terdiri dari 9 (sembilan) jenjang kualifikasi, dimulai
dari Kualifikasi 1 sebagai kualifikasi terendah dan
Kualifikasi 9 sebagai kualifikasi tertinggi. Jenjang
kualifikasi adalah tingkat capaian pembelajaran yang
disepakati secara nasional, disusun berdasarkan ukuran
hasil pendidikan dan/atau pelatihan yang diperoleh melalui
pendidikan formal, nonformal, informal, atau pengalaman
kerja. Selain itu, pemerintah juga menyiapkan Kerangka
Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) yang menyiapkan
dua jalur keahlian yakni jalur pendidikan dan jalur non-
pendidikan.“Untuk keahlian di jalur pendidikan itu meliputi
sembilan jenjang yakni SD, SMA, D1, D2, D3, D4/S1, S2,
dan S3, sedangkan keahlian non-pendidikan itu meliputi
jenjang operator (kompetensi 1,2,3), teknisi (kompetensi
4,5,6), dan ahli (kompetensi 7,8,9),” katanya. Keberadaaan
Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) dalam
IRWNS 2013
292
Rancangan Undang-Undang Perguruan pengembangan
pendidikan Tinggi (RUU PT) kian memberikan angin
segar bagi pengembangan pendidikan vokasi di Indonesia.
Hadirnya KKNI dan RU PT, membuat
pendidikan vokasi semakin diakui dan sejajar
dengan pendidikan akademik serta profesi. Berkaitan dengan undang-undang Republik Indonesia no.13
tahun 2003 tentang ketenagakerjaan disebutkan bahwa
Kompetensi kerja adalah kemampuan kerja setiap individu
yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan dan sikap
kerja yang sesuai dengan standar yang berkaitan
ditetapkan. Sedangkan peran Kemendikbud dalam
Peningkatan Mutu SDM Nasional Berbasis KKNI adalah:
Akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan melalui
Penyetaraan Jenis dan Strata Pendidikan Nasional
dengan KKNI
Rekognisi Pembelajaran Lampau (RPL)
Perpindahan antara jenis dan strata pendidikan tinggi
Sistem Penjaminan Mutu berbasis KKNI
Kerangka dasar kurikulum pendidikan Politeknik harus
dibangun oleh:
2.1 Hasil Pembelajaran (Learning and Outcomes)
Enam Elemen Dasar Outcomes Berdasarkan KKNI
Gambar 2: Elemen Dasar Capaian Belajar Menurut KKNI
2.2 Karakteristik Program
Tiga karakteristik program pendidikan di Politeknik.
Pendidikan Politeknik (Vokasi):
1. a Diploma satu
b. Diploma dua
c. Diploma tiga
d. Diploma empat / Sarjana Terapan
2. Magister Terapan
3. Doktor Terapan
2.3 Materi Pokok Pembelajaran
Matematika dan sain dasar, sain,Teknologi (sain Terapan)
dan Humaniora.
Sesuai dengan ideologi Negara dan budaya Bangsa
Indonesia, maka implementasi sistem pendidikan nasional
dan sistem pelatihan kerja yang dilakukan di Indonesia
pada setiap level kualifikasi mencakup proses yang
menumbuhkembangkan afeksi sebagai berikut:
Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Memiliki moral, etika dan kepribadian yang baik di
dalam menyelesaikan tugasnya.
Berperan sebagai warga negara yang bangga dan cinta
tanah air.
serta mendukung perdamaian dunia.
Mampu bekerja sama dan memiliki kepekaan sosial dan
kepedulian yang tinggi terhadap masyarakat dan
lingkungannya
Menghargai keanekaragaman budaya, pandangan,
kepercayaan, dan agama serta pendapat/temuan orisinal
orang lain.
Menjunjung tinggi penegakan hukum serta memiliki
semangat untuk telah ditetapkan, serta di bawah
bimbingan, pengawasan dan tanggung jawab atasannya.
Statistika merupakan ilmu yang mempelajari proses
pengumpulan data (sampling), pengolahan data, penyajian
data, analisis data, dan pengambilan keputusan berdasarkan
data. Kompetensi yang diajarkan dalam mencapai kelima
tujuan tersebut meliputi Strong Basic Statistics (yakni
kompetensi untuk data collecting, eksplorasi data, metode
analisis data, teoritis, dan aplikasi teori serta metode yang
dipelajari dalam kasus riil secara mandiri), Excellent Soft
Skill (yakni kompetensi untuk komunikasi, adaptasi (team
work, under pressure, inisiatif), entrepreneurship,
integritas/kejujuran, dan manajerial), serta Computation
Skill (yakni kompetensi data processing menggunakan
software statistic, programming, dan simulasi).
Standar lulusan sarjana Statistika harus mempunyai
kompetensi sebagai berikut :
1. Knowledge dan Understanding Skill
Mempunyai landasan Statistik yang kuat
Literate dalam teknologi informasi.
Mempunyai pengetahuan tentang perkembangan
Statistika.
2. Intellektual Skill
Cakap dalam berbagai teknik Statistika.
Pakar dalam beberapa bidang terapan Statistika.
Mampu melanjutkan studi S2 dan S3 pada bidang
terkait.
3. Manajerial Skill
Mampu berkomunikasi ilmiah.
Mempunyai nilai dan moral yang tinggi.
Mempunyai emosional yang matang.
Mampu bekerja sama dalam tim dengan pakar
bidang lain.
IRWNS 2013
293
Beberapa literatur luar menyebutkan tentang kompetensi
Statistik:
1. Statistik modern membutuhkan profil baru, pengetahuan
tentang statistik (konsep dan metode) harus disertai
dengan fleksibilitas, penemuan, kemampuan
komunikatif dan bahasa, kapasitas dalam tim kerjasama,
keterampilan manajerial, memahami pekerjaan sendiri
dalam kaitannya dengan kegiatan lembaga lain (Fischer
Jan, 2008)
2. Tingkat kompetensi menggunakan model dan
representasi dalam konteks statistik :
Tingkat I :Satu-langkah penggunaan representasi
atau bekerja dalam suatu model tertentu (misalnya
membaca nilai yang diberikan dari diagram,
menyelesaikan diagram untuk data ).
Tingkat II :Dua atau penggunaan multi-langkah
representasi atau mengubah antara dua model
(misalnya membandingkan data termasuk langkah
transformasi atau mengacu pada konsep
matematika).
Tingkat III :Penggunaan multi-langkah representasi
termasuk penggunaan model (misalnya untuk
kegiatan modeling sendiri mendukung interpretasi
kumulatif data yang diberikan dalam diagram)
Tingkat IV: Penggunaan multi-langkah representasi
dan / atau penggunaan model memerlukan variasi
statistik, (misalnya untuk kegiatan modeling sendiri
berdasarkan diagram yang memerlukan variasi
statistik) (KUNTZE, Sebastian, LINDMEIER,
Anke, and REISS, Kristina , 2009).
3. METODE PENELITIAN
Langkah-langkah penelitian di tahun pertama adalah:
Identifikasi kurikulum Statistika Tata Niaga dari
seluruh Politeknik Negeri di Indonesia.
Penentuan karakteritik kompetensi Statistika
disesuaikan dengan kurikulum KKNI
Sosialisasi materi Statistika di kalangan para pembuat
modul untuk program studi yang berbeda.
Sosialisasi penggunaan kalkulator, MS Excell, dan
SPSS di kalangan para penyusun modul.
Melakukan review modul praktikum Statistika baik dari
sisi bahasa maupun konten.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Identifikasi Kebutuhan Statstika di berbagai Program Studi
bidang tata niaga ditunjukkan dalam tabel 3.
Tabel 3. Identifikasi Kebutuhan Statistika di Berbagai
Program Studi
PS Kompetensi yg
diharapkan
Kompetensi
Statistika yg
dibutuhkan
AK
D3
)Menyiapkan laporan perpajakan.
)Mengelola anggaran dan peramalan.
)Menyiapkan laporan
keuangan (financial reports)
untuk sebuah entitas
pelaporan.
)Menerapkan dan memelihara prosedur internal
control.
)Menyediakan informasi akuntansi manajemen.
)Menyediakan informasi
keuangan dan kinerja bisnis. )Menentukan dan
memelihara sistem informasi
akuntansi. )Membantu melaksanakan
fungsi internal dan eksternal
audit.
-Tabel dan grafik -Statistika Deskriptif
-Angka Indeks -Analisis Data Deret
Waktu
-Probabilitas dan
Distribusi Probabilitas
-Sampling &Distribusi
sampling -Estimasi
-Hipotesis
-Analisis Korelasi -Analaisis Regresi
Linear Sederhana
-Analisis Regresi Linear Berganda
AK
D4
)Mengelola anggaran.
)Menyajikan informasi
keuangan sebagai bahan
pengambil keputusan. )Menyajikan laporan
keuangan unit organisasi dan entitas.
)Menginterpretasikan hasil
analisis keuangan. )Menyajikan laporan kinerja
unit organisasi dan entitas.
)Melakukan analisis dan interpretasi kinerja.
)Memproses akuntansi
pertanggung jawaban (responsibility accounting).
)Melaksankan pengendalian
internal. )Melakukan audit
operasional.
)Memproses dan mengelola pajak.
)Melakukan fungsi-fungsi
manajerial berdasarkan nilai-nilai dan etika yang berlaku
-Tabel dan grafik
-Statistika Deskriptif
-Angka Indeks
- Analisis Data Deret Waktu
-Sampling &Distribusi sampling
-Estimasi
-Hipotesis -Analisis Korelasi
-Analaisis Regresi
Linear Sederhana -Analisis Regresi Linear
Berganda
-Uji Beda -Uji Chi Kuadrat
-ANOVA
-Statistika Nonparametrik
-Validitas dan
Reliabilitas
KP
D3
) melaksanakan administrasi
kredit.
)Melakukan analisis kredit. )Mengelola dan bank.
)Memahami dan menggunakan teknologi
perbankan.
)Menyusun dan menganalisis laporan keuangan bank/non
bank.
)Memahami hukum
perbankan dan pasar modal.
-Tabel dan grafik
-Statistika Deskriptif
-Angka Indeks -Analisis Data Deret
Waktu -Probabilitas dan
Distribusi Probabilitas
-Sampling &Distribusi sampling
-Estimasi
-Hipotesis
-Analisis Korelasi
-Analaisis Regresi
Linear Sederhana -Analisis Regresi Linear
Berganda
IRWNS 2013
294
AB
D3
)Memiliki kemampuan
mengelola kegiatan
kesekretariatan dan administrasi kantor.
)Memiliki kemampuan
berkomunikasi baik lisan maupun tulisan dengan
menggunakan bahasa
Indonesia maupun bahasa Inggris.
)Memiliki kemampuan
menggunakan komputer dan
teknologi yang lain untuk
menunjang pekerjaanya.
)Memiliki kemampuan dalam bidang membina
customer relation.
)Memiliki kepribadian yang tangguh, sikap mental yang
positif, jujur, bertanggung
jawab dan disiplin. )Memiliki kemampuan untuk
berwirausaha.
-Tabel dan grafik
-Statistika Deskriptif
-Angka Indeks -Sampling &Distribusi
sampling
-Probabilitas dan distribusi Probabilitas
-Estimasi
-Hipotesis -Analisis Korelasi
-Analisis Regresi Linear
Sederhana
-Analisis Regresi Linear
Berganda
MP
D3
)Menangani pekerjaan manajerial dan praktikal di
bidang pemasaran, )dapat
mengelola kegiatan pejualan baik penjualan ke konsumen
langsung (Business-to-
Customer) maupun konsumen bisnis/industry (business-to-
Business), )dapat membantu
mengelola manajerial ritel, )mengerjakan pekerjaan
praktikal di bidang logistic,
pergudangan dan ekspor-impor,
)memproses data secara
akurat,berkomunikasi secara efektif lisan dan tulisan dalam
Bahasa Indonesia dan inggris,
)mengelola informasi dan komunikasi untuk menunjang
kegiatan pemasaran, serta
memiliki spirit kewirausahaan.
Tabel dan grafik -Statistika Deskriptif
-Angka Indeks
-Analisis Data Deret Waktu
-Probabilitas dan
Distribusi Probabilitas -Sampling &Distribusi
sampling
-Estimasi -Hipotesis
-Analisis Korelasi
-Analaisis Regresi Linear Sederhana
-Analisis Regresi Linear
Berganda
Berdasarkan Tabel 3, dapat diperlihatkan bahwa kebutuhan
Statistika di beberapa program studi Tata Niaga hampir
sama. Namun pada program D IV, kompetensi lebih
diarahkan pada analisis data untuk pengambilan keputusan.
Sehingga materi Statistika yang relevan adalah statistika
inferensial, analisis multivarate dengan melibatkan
variabel-variabel lebih banyak.
Berdasarkan kurikulum Polban, beban SKS mata kuliah
Statistika untuk tiap progam studi tidak sama begitu pula
jumlah jam. Sementara materi yang harus disampaikan
cukup padat. Kondisi ini menjadi satu kendala dalam proses
pembelajaran. Penyampaian teori yang cukup padat ini jika
tanpa didukung oleh media atau alat bantu, akan memakan
waktu yang lama. Untuk itu, diupayakan suatu alat bantu
dalam hal ini keberadaan software komputer. Penyampaian
materi dengan software komputer ini tidak perlu dilakukan
bersamaan dengan teori tetapi dilakukan terpisah dan
terjadwal di laboratorium komputer dalam bentuk kegiatan
praktikum statistika.
Praktikum ini ditujukan untuk melengkapi dan mendukung
pembelajaran secara teori. Untuk itu, diperlukan suatu
panduan dalam hal ini adalah modul praktikum. Di
dalamnya berisi panduan penggunaan kalkulator, MS
Excell, dan SPSS berikut contoh soal dan latihan soal
disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing program
studi. Selain itu dilengkapi juga dengan petunjuk
penggunaan modul, tujuan praktikum, dan kompetensi
statistika yang dibutuhkan.
Dengan modul Statistika ini, mahasiswa dapat menggali
sendiri materi menggunakan panduan pengerjaannya.
Mahasiswa dapat mempraktekkan langsung penyelesaian
contoh masalah nyata dengan menggunakan ketiga alat
bantu yaitu : kalkulator, MS Excell, dan SPSS sekaligus.
Kondisi ini secara tidak langsung dapat meningkatkan
pemahaman teori dan melatih mahasiswa menjadi mandiri.
Modul praktikum Statistika Politeknik agak berbeda
dengan modul praktikum Statistika pendidikan akademik,
modul praktikum Statistika Politeknik lebih
menitikberatkan penggunaan praktis dari Statistika. Sebagai
pendukung, kalkulator, software MS Excell dan SPSS
diberikan secara bersamaan. Dengan demikian mahasiswa
akan memperoleh ketrampilan praktis dan dapat
membedakan penggunaan ketiga media tersebut. Secara
tidak langsung ketrampilan ini dapat menambah
kemampuan profesional lulusan Politeknik sebagai
pendidikan vokasi yang lebih menitikberatkan ketrampilan
praktis dan dapat mendukung di dunia kerja nanti.
Beberapa kendala yang diperkirakan muncul dari
penggunaan software Statistik ini antara lain keterbatasan
waktu, keterbatasan jadual penggunaan laboratorium,
fasilitas software yang ada di laboratorium, dll. Sosialisasi
penggunaan kalkulator, MS Excell, dan SPSS dilakukan
terhadap para pengajar Statistika dan sekaligus penyusun
modul praktikum Statistika untuk program studi Akuntansi,
Keuangan Perbankan, Administrasi Bisnis, dan Manajemen
Pemasaran. Materi modul praktikum Statistika hampir sama
namun berbeda pada contoh-contoh penerapan soal,
disesuaikan dengan program studi yang terkait.
Berdasarkan kurikulum KKNI, lulusan D III berada pada
posisi level lima dan lulusan D IV berada pada posisi level
enam dari sembilan level jenjang kualifikasi yang
disarankan dalam KKNI. Berdasarkan tabel 2, perbedaan
yang sangat mencolok dari kompetensi D III dan D IV
adalah terletak pada tugas “pengambilan keputusan yang
tepat berdasarkan analisis informasi dan data, serta mampu
memberikan petunjuk dalam memilih berbagai alternatif
solusi secara mandiri dan kelompok”. Kondisi ini memberi
indikasi pada kompetensi Statistika yang harus dimiliki.
Hal inilah yang menjadi pembeda modul praktikum
Statistika untuk program D III dan program D IV. Pada
program D IV, materi Statistika secara teori lebih
IRWNS 2013
295
difokuskan pada analisis masalah sampai pada pengambilan
keputusan. Begitu pula pada materi modul praktikum, pada
program D IV dibahas latihan soal lebih bervariasi dengan
tingkat analisis yang lebih dalam dibandingkan program D
III.
Namun kendalanya adalah jumlah jam dan beban SKS
untuk D IV sama dengan D III sehingga dengan adanya
modul praktikum Statistika ini diharapkan menjadi salah
satu alternatif solusi, dimana mahasiswa D IV dapat
mengerjakan latihan soal secara mandiri dengan
menggunakan Kalkulator, MS Excell, dan SPSS.
Mahasiswa dapat menanyakan hal-hal yang tidak difahami
kepada dosen, jadi dalam hal ini dosen bertindak sebagai
fasilitator. Diharapkan dengan adanya modul praktikum
Statistika, dapat meningkatkan pemahaman mahasiswa
tentang teori Statistika dan dapat melatih kemandirian
mahasiswa. Dari segi waktu, penyampain materi dari
dosen lebih efektif dan efisien dan secara tidak langsung
keberadaan modul praktikum ini dapat meningkatkan
kemampuan profesional lulusan
Politeknik khususnya untuk olah data sehingga dapat
mendukung dalam dunia kerja nanti.
5. KESIMPULAN
1. Kebutuhan Statistika untuk tiap program studi di
Politeknik pada dasarnya hampir sama (tabel 1).
Namun untuk program D III dan D IV terdapat
perbedaan, bertitik tolak dari kerangka kompetensi
yang diacu yaitu KKNI. Pada program D IV,
materi dipertajam pada analisis penyelesaian
masalah sampai pengambilan keputusan.
2. Modul praktikum Statistika bidang Tata Niaga
untuk program studi Akuntansi, keuangan dan
Perbankan, Administrasi Bisnis, dan Manajemen
Pemasaran berisikan: petunjuk penggunaan, tujuan
praktikum, kompetensi yang diharapkan sesuai
dengan kebutuhan masing-masing program studi.
6. SARAN
1. Perlu ditinjau kembali mengenai jumlah jam dan
beban SKS program D III dan D IV bidang Tata
Niaga untuk mata kuliah Statistika Bisnis terkait
kompetensi yang diharapkan dari KKNI.
2. Keberadaan modul praktikum Statistika
diupayakan juga untuk mata kuliah Statistika
program studi Rekayasa.
Tabel 4. Matriks Kompetensi Statistika yang Disesuaikan Kompetensi Kurikulum KKNI untuk Tiap Jenjang Pendidikan.
J L Deskripsi Identifikasi
Kompetensi Kurikulum
Identifikasi Kompetensi Statistika
D-III 5 )Mampu menyelesaikan pekerjaan berlingkup luas,
memilih metode yang sesuai
dari beragam pilihan yang sudah maupun belum baku
dengan menganalisis data, serta
mampu menunjukkan kinerja dengan mutu dan kuantitas
yang terukur
Menguasai konsep teoritis bidang pengetahuan tertentu
secara umum, serta mampu
memformulasikan penyelesaian masalah prosedural.
)Mampu mengelola kelompok
kerja dan menyusun laporan tertulis secara komprehensif;
Bertanggung jawab pada
pekerjaan sendiri dan dapat diberi tanggung jawab atas
pencapaian hasil kerja
kelompok
Menguasai dasar-dasar ilmiah disiplin ilmu dalam bidang keahlian
tertentu;
a)mampu melaksanakan pekerjaan serta memformulasikan penyelesaian
masalah prosedural dengan
keterampilan yang sesuai dengan bidang keahliannya; serta mampu
mengelola kelompok kerja;
b)mampu memilih metode yang baku maupun belum baku dalam
cakupan bidang keahlianya;
a)mampu berkomunikasi dan menyusun laporan tertulis dalam
lingkup kerjanya;
b)mampu bersikap dan berperilaku dalam masyarakat dan dalam
karirnya sesuai dengan norma yang
berlaku; c)mampu mengikuti secara umum
perkembangan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan/atau seni.
)mampu menganalisis data secara deskriptif , tabel dan grafik serta dapat
menginterpretasikannya.
)memahami konsep angka indeks )memahami konsep sampling dan
distribusinya
)mampu melakukan estimasi parameter dan pengujiannya )menganalisis data dengan
analisis korelasi dan regresi linear
sederhana dan melakukan peramalan )mampu melakukan uji perbedaan
)mampu melakukan uji Chi Kuadrat
D IV 6 )Mampu mengaplikasikan
bidang keahliannya dan
memanfaatkan IPTEKS pada
bidangnya dalam penyelesaian
masalah serta mampu beradaptasi terhadap situasi
yang dihadapi.
)menguasai dasar-dasar ilmiah
disiplin ilmu dalam bidang keahlian
tertentu dan dasar-dasar ilmiah
khusus dalam bidang keahlian
tersebut; )mampu memecahkan masalah
dengan keterampilan yang sesuai
)mampu menganalisis data secara deskriptif
dan dapat menginterpretasikannya.
) memahami konsep angka indeks
)memahami konsep sampling dan
distribusinya )mampu melakukan estimasi parameter dan
pengujiannya
IRWNS 2013
296
)Menguasai konsep teoritis
bidang pengetahuan tertentu secara umum dan konsep
teoritis bagian khusus dalam
bidang pengetahuan tersebut secara mendalam, serta mampu
memformulasikan penyelesaian
masalah prosedural. )Mampu mengambil keputusan
yang tepat berdasarkan analisis
informasi dan data, dan mampu memberikan petunjuk dalam
memilih berbagai alternatif
solusi secara mandiri dan
kelompok; Bertanggung jawab
pada pekerjaan sendiri dan
dapat diberi tanggung jawab atas pencapaian hasil kerja
organisasi.
dengan bidang keahliannya; melalui
merencanakan dan/atau merancang, melaksanakan, serta
mempertahankan argumentasi; serta
mampu mengelola organisasi; )mampu merencanakan,
melaksanakan, mengevaluasi dan
melaporkan pekerjaannya, serta memilih solusi secara mandiri
maupun berkelompok dalam
cakupan bidang keahlianya; )mampu berkomunikasi dan
mengambil keputusan serta memberi
petunjuk;
a)bersikap dan berperilaku dalam
masyarakat dan dalam karirnya
sesuai dengan norma yang berlaku; b)mampu mengikuti perkembangan
ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni.
)mampu menganalisis data dengan analisis
korelasi dan regresi linear sederhana dan regresi linear berganda selanjutnya
melakukan peramalan
)mampu melakukan uji perbedaan dari beberapa data sebagai dasar pengambilan
keputusan
)melakukan uji Chi Kuadrat )Menguji kesamaan rata-rata data lebih dari
dua sampel dengan ANOVA
) membuktikan kebenaran suatu elemen pernyataan yang dikatakan valid atau tidak
dan konsistensi atau keteraturan hasil
pengukuran suatu instrumen dengan
Reliabilitas dan Validitas (desain kuesioner
untuk perencanaan survey)
)Menguji data dengan skala ordinal dan nominal dengan Uji Non Parametrik
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:
UPPM Polban yang telah memberi kesempatan kepada
penulis untuk melakukan penelitian ini.
Reviewer yang telah banyak memberi masukan yang
sangat berarti demi terlaksananya penelitian ini
DIKTI sebagai pihak pemberi dana
Politeknik Negeri Bandung sebagai instansi terkait
DAFTAR PUSTAKA
[1] Dina Mustafa. 2004. Strategi Praktis Evaluasi
Program Pembelajaran Online.
[2] (Makalah). Jakarta: PAU UT.
[3] Fischer, Jan. 2008 . The UNSC High level forum.
Norway.
[4] Government Statistical Service, 2012. New
Statistician Competence Framework.
[5] Hidayati Kana dkk, 2007 .Peningkatan Kualitas
Pembelajaran Komputasi Statistik Melalui
Perkuliahan Online Pada Program Studi
Matematika FMIPA UNY.
[6] Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY
[7] KUNTZE, Sebastian, LINDMEIER, Anke, and
REISS, Kristina. 2009. ―using models and
representations in statistical contexts‖ as a sub-
competency of statistical literacy – results from
three empirical studies”.University of Munich
(LMU) Germany.
[8] Moore S David, 2009, Statistical literacyAnd
Statistical Competence.
[9] in the New Century.Purdue University, USA.
[10] Mursid.(2007). Pengembangan Kurikulum
Politeknik, (Makalah SUSPIM: disarikan dari draf
Pedoman Pengembangan Kurikulum Pendidikan
Diploma, DIKTI), Bandung :Politeknik Negeri
Bandung.
[11] Panduan Pelaksanaan Penelitian di Perguruan
Tinggi, Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada
Masyarakat Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2012.
[12] Partha,2012. Pemanfaatan MS Excell sebagai Media
Pembelajaran Matematika (Statistika Dasar),
http://partha31.wordpress.com/2012/02/04/.
[13] Singgih Santoso. 2006. Menguasai Statistika di Era
Informasi dengan SPSS 14. Gramedia Jakarta
[14] Sunaryo Sunarto, .2004. Pembelajaran Berbantuan
Komputer (Makalah).
[15] Santoso Megawati. 2012. Tim KKNI Ditjen Dikti,
Kemendikbud.
[16] Wahyono. Teguh, 2009, 25 Model Analisis Statistik
dengan SPSS 17, Elex Media Komputindo.
IRWNS 2013
297
Analisis Kinematika Gerak Pusat Massa Tubuh Manusia
Saat Berjalan
Sardjitoa, Nani Yuningsih
a, Kunlestiowati Hadiningrum
a
aUP MKU, Politeknik Negeri Bandung, Bandung 40012
E-mail:[email protected]
ABSTRAK
Untuk mendeskripsikan fenomena fisis yang terjadi pada suatu sistem, perlu dibuat model penyederhanaan dari sistem tersebut,
baik secara visual maupun matematis. Dengan demikian analisis terhadap sistem lebih mudah dilakukan. Model fenomena
fisika terhadap gejala-gejala biologi, dapat dirumuskan melalui konsep-konsep yang berlaku secara umum dalam ilmu
fisika.Model kinematika bagi gerak manusia yang berjalan melangkah secara teoritis dapat diturunkan dari persamaan
Lagrangian yang melibatkan energi kinetik dan energi potensialnya. Analisis teoritik didasarkan pada analogi gerak tubuh
dengan model osilasi, yang daripadanya dapat dibuat persamaan gerak, kemudian ditentukan solusinya baik secara analitik
maupun numerik. Analisis eksperimental dilakukan dengan mengamati rekaman video, serta pengukuran terhadap posisi titik
pusat massa tubuh.
Model geraknya menunjukkan adanya osilasi pusat massa tubuh baik pada arah mendatar maupun pada arah vertikal. Hasil
pengujian teoritis dicocokkan dengan data eksperimen untuk memperoleh model biomekanika yang tepat bagi kondisi gerak
tubuh manusia. Model teoritis ini sesuai dengan hasil pengukuran yang dilakukan menggunakan analisis video terhadap gerak
langkah yang sesungguhnya.
Kata Kunci
Gerak melangkah, osilasi, pusat massa tubuh
To describe physical phenomena that occur in a system,it is necessary to simplify models of the system, both visually and
mathematically. Thus analysis of the system much more easy. Models of physical phenomena applied to biological phenomena,
can be formulated through the concepts are generally applicable in the physical sciences. Kinematic modeling for human
walking motion during gait has been developed theoretically from Lagrange Equation including its kinetic and potential
energy. Theoretical analysis based on an analogy with the model oscillating motion of the body, which may be made of
equations of motion, resulting solution which is determined both analytically and numerically. Experimental analysis is done
by observing video footage, as well as the measurement of the position of the center of mass of the body.
This model shows that the centre of mass of human during gait oscillates in vertical direction as well as in horizontal
direction. Theoretical results is matched to experimental data in order to obtain the proper biomechanical models for the state
of motion of the human body.This model is in confirmation with empirical data resulting from measurement using gait video
analysis.
Keywords
Gait motion, oscillation, human centre of mass
1. PENDAHULUAN
Gejala alam pada umumnya tidak cukup dijelaskan secara
deskriptif., tetapi justru banyak gejala alam yang lebih
mudah dipahami melalui pemodelan, baik model visual
maupun matematis. Melalui model tersebut, dapat
dilakukan pengembangan lebih lanjut. Hampir semua
bidang ilmu, baik ilmu dasar maupun ilmu terapan,
termasuk fisika, dapat dijelaskan dan dikembangkan
melalui pemodelan visual dan matematis. Untuk
mendeskripsikan fenomena fisis yang terjadi pada suatu
sistem, dapat dijelaskan melalui suatu model
penyederhanaan dari sistem tersebut.
Model fisika dari gerakan yang terjadi pada tubuh manusia
telah diteliti oleh Borg F.G[1]
yang kemudian dikembangkan
lebih jauh oleh Sardjito & Yuningsih[2]
. Pada saat berdiri,
tubuh manusia dapat dimodelkan sebagai bandul fisis yang
berayun ke arah depan-belakang, maupun pada arah
samping kiri-kanan, dengan poros ayunannya terletak pada
sendi ankle. Model osilasi bebas dari titik berat tubuh
ternyata harus dikoreksi dengan adanya beberapa gaya
pengontrol (yang dilakukan oleh tendon Achilles) menjadi
osilasi paksa.
Perbandingan antara amplitudo gerak arah vertikal dengan
amplitudo gerak arah mendatar akan menentukan keadaan
batas antara kondisi berjalan dan berlari.
IRWNS 2013
298
Model fisis yang diusulkan oleh Sardjito & Yuningsih ini
ternyata sesuai dengan data empirik yang diteliti di bidang
medis dan paramedis dalam kaitannya dengan terapi medis
bagi para penyandang kelainan tubuh(2,3,4)
. Dengan
demikian, diharapkan model yang telah dan akan
dikembangkan akan saling mendukung dengan kegiatan
yang dilakukan para ahli terapi medis terhadap para
pasiennya.
Berdasarkan uraian di atas, perlu dilakukan pendekatan
kuantitatif untuk menjelaskan berbagai gejala biomekanika
yang terjadi, dengan metoda analitik yang banyak
dilakukan dalam fenomenologi sains & teknik. Model yang
pernah diteliti belum sepenuhnya sesuai dengan kondisi
sesungguhnya yang terjadi, karena pendekatannya masih
memerlukan beberapa koreksi (dengan memasukkan
komponen gaya paksa dari luar dan dengan menerapkan
teori gangguan). Pengukuran yang lebih teliti akan
dilakukan dengan mengacu pada metoda yang pernah
dilakukan oleh Verkerke(5)
untuk menentukan titik pusat
tekanan tubuh pada saat bergerak di atas treadmill, serta
analisis video berdasarkan konten.
Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan model gerak
manusia saat berjalan. Untuk meninjau gerak pusat massa
tubuh manusia saat berjalan atau melangkah melalui
analisis kinematika yang menghasilkan model yang paling
sesuai dengan kondisi geraknya adalah model gerak selaras
atau gerak harmonik. Gard dalam Gatev et al.[3]
memperlihatkan bahwa gerak pusat massa tubuh manusia
saat melangkah mendekati kondisi osilasi harmonik baik
pada arah mendatar maupun arah vertikal. Amplitudo gerak
vertikal titik pusat massa akan bertambah besar seiring
dengan bertambahnya laju gerak horizontal. Bila laju
horizontal makin diperbesar, suatu saat akan terjadi
perubahan status gerak dari berjalan menjadi berlari.
Kondisi ini berkaitan erat dengan perbandingan antara
amplitudo vertikal dengan amplitudo horizontal.
2. ANALISIS TEORITIS GERAK MELANGKAH
PADA SAAT MANUSIA BERJALAN
Jika tubuh manusia berjalan dengan laju tunak (steady
state) v maka persamaan gerak:
Ke arah horisontal dapat ditulis sebagai
vttx (1)..................................................................(1)
Ke arah vertikal
hty , .....................................................................(2)
Dengan h adalah tinggi pusat massa dihitung dari acuan.
Dari kedua persamaan diatas diperoleh persamaan resultan
tR . Besar perpindahannya dapat ditulis sebagai:
trtRtr ....................................................(3)
Jika ada gaya penggerak tubuh sebagai gaya luar sebesar
tF , maka gaya reaksi oleh tanah adalah
mgtFtF ...................................................(4)
Gaya penggerak tubuh ini dilakukan oleh sistem internal
tubuh dari kontraksi otot tendon dan karena setiap langkah
merupakan siklus, maka perata-rataannya adalah nol agar
kondisi tunak (steady state) tetap terpenuhi. Dalam bentuk
matematika dapat ditulis sebagai berikut :
01
0
dttFT
tFsiklusT
siklussiklus
,........................(5)
Dengan : siklusT perioda siklus yakni waktu tempuh satu
langkah penuh dan akan merupakan fungsi dari laju, maka
dapat ditulis sebagai vTsiklus .
Jika gerak pusat massa dianggap harmonik, energi potensial
elastiknya akan memiliki bentuk:
22
2
1yxkU , ............................................(6)
dengan k adalah koefisien kekakuan yang merupakan
fungsi dari v .
Sedangkan energi kinetiknya akan memiliki bentuk
persamaan:
22
2
1yxmK ,............................................(7)
Dengan:
t
xx
t
yy
Berdasarkan kaidah Lagrangian, UKL , konstan,
dengan 0
t
L,
diperoleh ,0 rkrm .......................................(8)
Dengan :
2
2
t
rr
dan yxr
Persamaan (8) merupakan persamaan gerak getaran
harmonik yang solusi geraknya:
2cos
tAtx o
A = amplitudo arah mandatar
dan
IRWNS 2013
299
,2
sin
tBty o
B = amplitudo arah vertikal
Dengan mk
siklus
oT
2
atau 2
mk , dan
m = massa tubuh.
Untuk gerak harmonik, gaya penggeraknya memiliki
bentuk
rktF . ..........................................................(9)
Pada arah horisontal, komponennya
txmtF ox 2
,
dan pada arah vertikal, komponennya
tymtF oy 2
.
Bentuk lintasan titik pusat massa tubuh, secara implisit
mempunyai persamaan :
Arah horisontal
2cos
tAvttx o
....................(10.a)
Arah vertikal
2sin
tBhty o
....................(10.b)
3. ANALISIS KINEMATIKA HASIL PENGUKURAN
SIMPANGAN PUSAT MASSA TUBUH SAAT
MELANGKAH
Untuk memeriksa keberlakuan model teoritis yang
diperoleh pada persamaan 10.a dan 10.b di atas, dilakukan
pengukuran simpangan gerak pusat massa tubuh manusia
saat bergerak melangkah. Pengukuran dilakukan
menggunakan analisis video menggunakan piranti SIMI 7,0
terhadap beberapa sampel yang bergerak melangkah selama
beberapa perioda gerak, dengan kelajuan yang diusahakan
konstan, dan konsekuensi frekuensi sudut.ωo pun konstan.
ωo = 2π/T , adalah frekuensi sudut osilasi yang
bersangkutan, dengan T menyatakan perioda. Untuk gerak
satu langkah, T adalah tengat waktu tiap langkah, sejak
kaki terlepas kontak dari tanah hingga kembali menyentuh
tanah secara berturutan. Oleh karena itu perioda T untuk
osilasi mendatar sama besarnya dengan perioda T untuk
osilasi vertikal.
Dari hasil pengukuran menggunakan analisis video
terhadap gerak pusat massa tubuh, bentuk lintasan gerak
pusat massa secara mendatar dapat dilihat pada gambar 1
berikut ini. Absis menyatakan waktu atau fase gerak, dalam
% langkah, sedang ordinat menyatakan simpangan pusat
massa arah mendatar dengan mengeliminasi kelajuan
mendatar seluruh tubuh (v).
Gambar 1:Simpangan pusat massa tubuh arah mendatar
Terlihat bahwa osilasi pusat massa tubuh arah mendatar
menunjukkan simpangan minimum pada pertengahan
langkah, sedang pada tahap awal dan akhir langkah,
simpangannya berada pada keadaan maksimum.
Gambar 2.a dan 2.b berikut ini menunjukkan hasil
pengukuran simpangan vertikal pusat massa terhadap fase
langkah.
Gambar 2.a: Simpangan vertikal gerak pusat massa tubuh
terhadap fase langkah
Gambar 2.b: Simpangan vertikal gerak pusat massa tubuh
terhadap fase langkah
Berbeda dengan gerak osilasi arah mendatar yang
simpangannya mencapai minimum di tengah-tengah fase
-6
-4
-2
0
2
4
6
0 0,5 1 1,5
0
20
40
60
80
0 0,5 1 1,5
0
50
100
150
0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 1
IRWNS 2013
300
langkah, pada osilasi arah vertikal pusat massa tubuh
manusia mencapai simpangan terbesar pada pertengahan
fase langkah.
Gambar 3 ( kutipan dari hasil penelitian Gard et al, dalam
Gatev[3]
) memperlihatkan bahwa amplitudo gerak vertikal
titik pusat massa akan bertambah besar seiring
bertambahnya laju gerak horizontal. Bila laju horizontal
makin diperbesar, suatu saat akan terjadi perubahan status
gerak dari berjalan menjadi berlari. Hal ini terkait erat
dengan perbandingan antara amplitudo vertikal dengan
amplitudo horizontal. Hasil yang diperoleh dari penelitian
ini sesuai dengan apa hasil penelitian Gard di atas.
Gambar 3: Simpangan vertikal pusat massa tubuh saat
berjalan terhadap waktu untuk berbagai laju gerak
horisontal
Jika tinjauan dibatasi pada osilasi titik pusat massa saja,
dengan mengeliminasi parameter t, maka akan didapat
persamaan lintasan antara simpangan mendatar (x) terhadap
simpangan vertikal (y), sebagai :
𝑥2
𝐴2 + 𝑦2
𝐵2 = 1..................................................................(11)
Persamaan 11 di atas jika digambarkan akan berbentuk
ellips dengan perbandingan antara panjang sumbu datar dan
sumbu tegak yang bervariasi, bergantung pada nilai A dan
B. Hasil empirik dari analisis video terhadap gerak pusat
massa yang menyatakan hubungan antara simpangan datar
(x) dengan simpangan tegak (y) diperlihatkan pada gambar
4 berikut :
Gambar 4: Posisi pusat massa tubuh ditinjau dari
simpangan mendatar(x-absis)
dan simpangan vertikal (y – ordinat )
Tinjauan terhadap osilasi titik pusat massa tubuh pada arah
vertikal dan arah horizontal dapat mengarah pada kondisi
batas antara model berjalan dan berlari. Tubuh dikatakan
berjalan bila amplitudo gerak osilasi titik pusat massa arah
vertikal masih lebih kecil dari pada amplitudo gerak osilasi
titik pusat massa arah horizontal (x dan y membentuk ellips
yang cenderung datar). Bila bentuk ellips makin meruncing
0
10
20
30
40
50
-4 -2 0 2 4 6
0
10
20
30
40
50
60
70
0 2 4 6
0
20
40
60
80
-4 -2 0 2 4 6
0
10
20
30
40
50
0 1 2 3 4 5
IRWNS 2013
301
kearah tegak, suatu saat ellips akan berubah menjadi
lingkaran, dan ini terjadi pada saat amplitudo vertikal sama
dengan amplitudo horizontal. Pada keadaan ini, terjadi
perubahan status gerak, dari berjalan menjadi berlari,
karena pada saat itu mulai terjadi gerak melayang, yakni
ada fase saat tubuh tidak bersentuhan dengan lantai.
4. KESIMPULAN
Pada saat gerak melangkah atau berjalan, pusat massa tubuh
manusia mengalami osilasi baik pada arah mendatar
maupun pada arah vertikal. Pada pertengahan fase langkah,
simpangan arah mendatar berada pada kondisi minimum,
sedang simpangan arah vertikal berada pada kondisi
maksimum.
UCAPAN TERIMA KASIH
Makalah ini merupakan bagian dari Kegiatan Penelitian
Fundamental berjudul “Model Biomekanika dari Dinamika
Titik Berat dan Titik Pusat Tekanan Tubuh Manusia Saat
Berdiri, Berjalan, dan Berlari”. Penulis mengucapkan
terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Direktur
Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia yang telah memberikan
kepercayaan melalui Hibah Penelitian Fundamental Tahun
Anggaran 2013 kepada tim penulis. Tidak lupa juga penulis
mengucapkan terimakasih kepada Politeknik Negeri
Bandung melalui UPPM yang telah memfasilitasi penelitian
ini.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Borg F.G., ( 2005 ), An Inverted Pendulum With A
Springly Control Model, arXiv:physics/0512122v1, 14
Dec 2005.
[2] Sardjito, Yuningsih N., ( 2007 ), Model Bandul
Terbalik Bagi Keadaan Manusia Berdiri, Sigma Mu,
1(2),2007, pp 35-41.
[3] Gatev P. et.al., ( 2001 ), Journal of Physiology 532-
2001, pp.879-891.
[4] Kotaro S, Neptune R.R., ( 2006 ), Differences in
muscle function during walking and running at the
same speed, Journal of Biomechanics 39(11), p 2005-
2013.