Upload
lamtruc
View
226
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Laporan Observasi & Desain Pembelajaran PMRI di MIN 2 Palembang | Shahibul Ahyan | 1
PROFIL MIN 2 PALEMBANG
MIN (Madrasah Ibtidaiyah Negeri) 2 Palembang merupakan salah satu madrasah
ibtidaiyah yang berstatus negeri di kota Palembang dengan SK No. 52 Tahun 1968.
Sekolah ini terletak di Jln. Inspektur Marzuki km 4,5 Komplek MAN 3 Sring Agung
Pakjo Palembang dengan luas area sekitar 3.038 m2 dan sekitar 738 m2 terdiri dari
bangunan atau gedung sekolah yang terdiri dari empat bangunan permanen dan satu
bangunan semi-permanen, dan sisanya sekitar 2.255 m2 merupakan lahan terbuka. MIN
2 Palembang memiliki delapan ruang kelas, satu ruang kepala sekolah, satu ruang kelas,
satu ruang perpustakaan, satu ruang laboratorium, satu ruang Usaha Kesehatan Sekolah
(UKS), lima kamar kecil (toilet), dan dua kamar mandi.
MIN 2 Palembang di pimpin oleh seorang kepala sekolah yaitu Budiman, S. Pd.,
MM.Pd. dan memiliki 48 orang guru dan staf (termasuk yang non-PNS). Dari ke-48
orang guru dan staf tersebut, ada 13 orang guru mengajarkan matematika. Dari ke-13
guru matematika tersebut, selama observasi hanya dua orang guru yang bersedia
menggunakan pembelajaran Pendidikan Matematika Realistik (PMRI) sebagai
pendekatan pembelajaran selama proses pembelajaran, yaitu: RA. Mustika Hariyanti, S.
Pd. (kelas II), dan Risnaini, S. PdI. (kelas V). Namun, ada juga beberapa guru yang
bercerita bahwa dia juga menggunakan pendekatan PMRI selama proses pembelajaran.
Adapun banyaknya siswa di MIN 2 Palembang data tanggal 31 Juli 2011 adalah
sebanyak 660 siswa (laki-laki = 340 siswa, dan perempuan = 320 siswa) yang tersebar
ke dalam 23 rombongan belajar. Lima rombongan belajar kelas I, empat rombongan
belajar kelas II, empat rombongan belajar kelas III, empat rombongan belajar kelas IV,
tiga rombongan belajar kelas V, dan tiga rombongan belajar kelas VI.
Pada tahun ajaran 2011/2012, MIN2 Palembang menggunakan dua kurikulum yaitu
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP). Selanjutnya, proses pembelajaran berlangsung dari pukul 07.30 WIB s/d 17.00
Laporan Observasi & Desain Pembelajaran PMRI di MIN 2 Palembang | Shahibul Ahyan | 2
WIB yang dibagi menjadi dua sesi, yaitu sesi pertama mulai dari pukul 07.30 WIB s/d
12.20 WIB, dan sesi kedua dimulai pada pukul 12.40 WIB s/d 17.00 WIB.
Guru di MIN 2 Palembang mengenal PMRI sejak dua tahun yang lalu, yaitu ketika
rombongan mahasiswa International Master Program on Mathematics Education
(IMPoME) 2009 melakukan observasi terhadap proses pembelajaran matematika di
sekolah ini. Mahasiswa IMPoME 2009 dan para guru aktif melakukan diskusi tentang
PMRI. Disamping itu, beberapa guru juga sudah mengikuti workshop terkait dengan
PMRI yang diselenggarakan oleh Tim PMRI Palemban.
Hasil Diskusi Bersama Kepala Sekolah dan Guru Matematika
Pada tanggal 18 Agustus 2011, saya
berkesempatan mengunjungi MIN 2
Palembang untuk melakukan observasi dan
berdiskusi dengan pihak yang terkait, mulai
dari kepala sekolah, dan guru matematika di
sekolah tersebut. Saya disambut baik oleh
pihak sekolah terutama kepala sekolah Pak
Budiman, S. Pd., MM. Pd., diskusi kami
lakukan di ruang kepala sekolah. Suasanan diskusi sangat hangat, dimana kepala
sekolah sangat terbuka dan memberikan kesempatan kepada saya untuk melakukan
observasi dan diskusi dengan para guru selama melakukan observasi di sekolah
tersebut. Diantara kesimpulan hasil diskusi bersama kepala sekolah dan guru
matematika (RA. Mustika Hariyanti, S. Pd. dan Risnaini, S. PdI) adalah:
1. Kepala sekolah sangat bersyukur ada pihak dari luar sekolah yang ingin
melakukakan suatu kegiatan di sekolahnya dan beliau sangat mengapresiasi cara
yang saya lakukan sebelum memulai observasi yaitu dengan memberikan
pemberitahuan secara formal langsung kepada beliau. Hal ini beliau ungkapkan
karena pada tahun sebelumnya, ada mahasiswa yang melakukan kegiatan tanpa
minta izin kepada kepala sekolah terlebih dahulu.
Laporan Observasi & Desain Pembelajaran PMRI di MIN 2 Palembang | Shahibul Ahyan | 3
2. Kepala sekolah meminta selama kunjungan saya ke MIN 2 Palembang harus bersifat
mutualisme antara saya dan sekolah, jangan sampai ada yang dirugikan.
3. Kepala sekolah berharap agar semua yang saya laporkan dari hasil observasi harus
sesuai dengan fakta di sekolahnya, agar beliau bisa belajar untuk meningkatkan
mutu sekolah tersebut.
4. Kepala sekolah memberikan saya kesempatan untuk melakukan observasi selama
proses pembelajaran di kelas II dan kelas V.
5. Beberapa guru sudah menggunakan pembelajaran dengan pendekatan PMRI, namun
mereka belum menguasai optimal tentang PMRI tersebut sehingga diharapkan setiap
bertemu diadakan diskusi tentang pembelajaran PMRI tersebut.
6. Jumlah siswa di setiap ruang kelas cukup banyak, sehingga mengakibatkan guru
kurang optimal dalam membimbing siswa di dalam kelas selama proses
pembelajaran.
7. Guru yang menerapkan pembelajaran PMRI mendapatkan ujian dari guru lain yang
tidak menggunakan PMRI, guru PMRI dianggap lebih banyak mengajarkan anak
bermain.
Laporan Observasi & Desain Pembelajaran PMRI di MIN 2 Palembang | Shahibul Ahyan | 4
BERBELANJA DI SUPERMARKET
Oleh Shahibul Ahyan
A. PENDAHULUAN
Belajar matematika bagi sebagian besar siswa telah menjadi momok yang sangat
menakutkan, bahkan phobia matematika telah mendarah daging pada diri sebagian
besar siswa di Indonesia. Pembelajaran matematika di sekolah selama ini masih
menerapkan metode klasik yaitu ceramah, dimana sebagian besar soal-soal yang
diberikan kepada siswa adalah soal yang diekspresikan dalam bahasa dan simbol
matematika yang diatur dalam konteks yang jauh dari realitas kehidupan sehari-hari,
akibatnya siswa sering kali merasa bosan dan menganggap matematika sebagai
pelajaran yang tidak menyenangkan dan tidak berguna dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk menjadikan pembelajaran matematika lebih bermakna bagi siswa, maka
siswa harus diberi kesempatan untuk menemukan kembali matematika di bawah
bimbingan orang dewasa (Gravemeijer; 1994). Hal ini didukung pula oleh pendapat
de Lange (1995) bahwa, proses penemuan kembali harus dikembangkan melalui
penjelajahan berbagai persoalan dunia nyata. Oleh karena itu, dalam pembelajaran
guru seharusnya tidak menjadi pusat pembelajaran melainkan siswalah yang
menjadi pusat pembelajaran, sehingga siswa tidak dapat dipandang sebagai
penerima pasif matematika yang sudah jadi (passive receiver of ready-made
mathematics).
Sutarto Hadi (2005) mengatakan bahwa paradigma baru pendidikan menyarankan
pembelajaran aktif (active learning). Pembelajaran aktif bisa dilaksanakan oleh guru
jika pembelajaran yang dilaksanakan menarik dan tidak membosankan. Hal itu
tidaklah mudah bagi guru untuk membuat suasana pembelajaran yang aktif, guru
dituntut untuk merancang dan melaksanakan pembelajaran yang asyik sehingga
siswa tidak cepat bosan dalam proses pembelajaran.
Laporan Observasi & Desain Pembelajaran PMRI di MIN 2 Palembang | Shahibul Ahyan | 5
Dalam kesempatan ini, penulis dan guru matematika matematika berdiskusi untuk
membuat desain pembelajaran pada materi mengurutkan bilangan sampai 500 di
kelas II Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) 2 Palembang. Desain pembelajaran ini
menggunakan pendekatan pembelajaran Realistic Mathematics Education (RME).
Di Indonesia, pendekatan pembelajaran ini dikenal dengan istilah PMRI
(Pendidikan Matematika Realistik Indonesia). Adapun desain penelitian yang
menggunakan pendekatan PMRI harus mencakup kelima karakteristik PMRI.
Kelima karakteristik PMRI tersebut yaitu using of context, using of models, using of
student’s contribution, interactivity, dan intertwining (Gravemeijer, 1994).
Tujuan dari pembelajaran ini adalah untuk mengetahui pemahaman dan
pengetahuan siswa dalam mengurutkan bilangan sampai 500.
B. DESIGN RESEARCH
1. Preliminary Design
Sebelum melakukan desain pembelajaran, saya bersama guru matematika kelas
II yaitu RA Mustika Hariyanti, S. Pd. melakukan diskusi untuk menentukan dan
membuat sebuah desain pembelajaran pada materi ‘mengurutkan bilangan
sampai 500’ untuk kelas II MIN 2 Palembang. Dari diskusi tersebut kami
sepakat bahwa dalam desain pembalajaran ini, konteks yang digunakan adalah
berbelanja di supermarket. Konteks ini digunakan dalam desain pembelajaran
mengurutkan bilangan sampai 500 karena konteks ini sangat dekat dengan
kehidupan siswa, dan sudah dialami dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Dengan menggunakan konteks ini, siswa diharapkan bisa mengeluarkan idenya
masing-masing tentang berbelanja di Supermarket tanpa dikasi tahu oleh
gurunya. Guru hanya membimbing mereka dalam menemukan dan
mengingatkan beberapa hal yang terkait dengan berbelanja di Supermarket.
Sedangkan, tahap selanjutnya adalah menggunakan tabel bilangan terurut yang
dibuat oleh guru.
Laporan Observasi & Desain Pembelajaran PMRI di MIN 2 Palembang | Shahibul Ahyan | 6
Desain pembelajaran ini sudah diujicobakan di kelas II MIN 2 Palembang pada
tanggal 13 September 2011 pukul 09.50 WIB – 10.40 WIB yang diajarkan oleh
RA Mustika Hariyanti, S. Pd. dan diikuti oleh 31 siswa.
Adapun Hypotetical Learning Trajectory (HLT) dari desain pembelajaran ini
adalah:
Gambar 1. HLT pembelajaran mengurutkan bilangan sampai 500
2. Teaching Experiment
Pembelajaran ini dimulai dengan memberikan siswa permasalahan tentang
berbelanja di Supermarket. Permasalahan ini dikemas dalam bentuk cerita yang
dibacakan oleh guru, namun isi dan permasalahannya juga diberikan kepada
siswa dalam bentuk kertas, sehingga mereka bisa bekerja dan menemukan
permasalahan tersebut di dalam kertas yang diberikan. Permasalahan yang
diberikan adalah:
Rifki dan Ibu hari ini pergi ke supermarket.
Di supermarket ramai sekali.
Ibu meminta Rifki mengambilkan sabun mandi di rak sebelah barat.
Wah .......... tapi dimana ya tempatnya
Rifki pun bertanya kepada pelayan supermarket.
Laporan Observasi & Desain Pembelajaran PMRI di MIN 2 Palembang | Shahibul Ahyan | 7
Pelayan supermarket memberi tahu bahwa sabun ada di rak
nomor 227.
Bisakah kalian membantu Fikri menemukan rak sabun?
Gambar 2. Urutan barang-barang di rak di Supermarket
Pada tahap ini, kebanyakan siswa mengetahui tentang cerita dan permasalahan
yang diberikan oleh guru. Karena gambar-gambar tersebut memiliki nomor
berurutan, maka guru membimbing siswa untuk mengisi kotak yang kosong agar
mendapatkan bilangan yang terurut sehingga Rifki bisa menemukan di rak mana
tempat sabun itu berada.
Siswa tampak sibuk untuk menuliskan bilangan setelah 224. Kebanyakan dari
mereka antusias untuk menyebutkan bilangan yang sudah diketahui, kemudian
mereka mencoba menemukan bilangan apa yang harus diisi pada kotak kosong
tersebut. Dari hasil pengamatan, ada beberapa siswa yang tidak bisa
menyebutkan bilangan yang sudah diketahui, namun dengan bimbingan guru,
akhirnya mereka dapat menyebutkan bilangan-bilangan yang diketahui pada
kotak tersebut.
Beberapa dari siswa bisa mengisi kotak yang kosong dengan urutan bilangan
yang benar, dan ada juga dengan urutan yang salah. Sehingga guru mengarahkan
untuk didiskusikan bersama-sama. Dalam diskusi tersebut, siswa ditanya mulai
dari menyebutkan bilangan yang pertama sampai menyebutkan bilangan yang
menjadi jawaban mereka. Mereka menyebutkan bilangan tersebut bersama-
sama, mulai dari 222, 223, 224. Setelah 224, ada beberapa siswa yang
menyebutkan bilangan yang benar dan ada juga yang menyebutkan bilangan
yang salah. Sehingga, dengan bimbingan guru didapatkan bilangan-bilangan
yang mereka temukan setelah 224 adalah 225, 226, 227.
Laporan Observasi & Desain Pembelajaran PMRI di MIN 2 Palembang | Shahibul Ahyan | 8
Gambar 3. Siswa antusias menyebutkan bilangan
Setelah menemukan bilangan-bilangan tersebut, guru memberikan pertanyaan
sesuai dengan cerita yang diceritakan yaitu, dimanakah letak sabun itu? Siswa
menjawab, pada gambar yang paling kanan, katanya bersama-sama meskipun
ada beberapa siswa yang tidak ikut menyebutkan hal tersebut karena masih
sibuk dengan aktivitasnya sendiri.
Setelah menemukan permasalahan tersebut, guru menyiapkan tabel kosong yang
terbuat dari kertas karton berwarna biru. Pada kertas tersebut telah dibuat tabel
bilangan yang terurut dari 100 - 153, ada yang terisi dan ada juga yang tidak
terisi. Tabel yang tidak terisi diharapkan kepada siswa untuk mengisinya sesuai
dengan urutan bilangan tersebut dari kiri ke kanan. Di bawah ini bentuk gambar
tabel bilangan yang disiapkan oleh guru:
Gambar 4. Tabel bilangan teurut yang beberapa bagiannya kosong
Laporan Observasi & Desain Pembelajaran PMRI di MIN 2 Palembang | Shahibul Ahyan | 9
Pada tahap ini, guru meminta siswa untuk mengisi tabel-tabel yang kosong
tersebut secara bergantian satu persatu. Beberapa siswa langsung mengangkat
tangan untuk mengisi tabel kosong tersebut, namun guru memberikan
kesempatan yang pertama kepada Dicky untuk mengisi tabel tersebut. Namun,
Dicky disuruh untuk menyebutkan bilangan pertama pada tabel tersebut dan
menulisnya kembali di papan tulis. Ternyata Dicky mampu menyebutkan dan
menulis bilangan pertama pada tabel tersebut.
Untuk mengisi tabel kosong yang pertama, diberikan kesempatan kepada Icha
untuk menuliskan bilangan pada kolom pertama yang kosong. Icha mampu
menemukan bilangan tersebut. Guru mengarahkan siswa untuk maju ke depan
satu persatu sampai kolom yang terakhir. Siswa antusias untuk mendapatkan
kesempatan untuk maju ke depan.
Gambar 5. Beberapa siswa sedang mengisi kolom yang kosong
Setelah beberapa kolom yang kosong terisi, ternyata terdapat bilangan yang
sama. Beberapa siswa menunjukkan bilangan yang sama tersebut, yaitu 122,
sehingga siswa disuruh untuk membenarkan bilangan yang sama tersebut
menjadi bilangan yang terurut. Ternyata, tabel yang dibuat oleh guru ada yang
sama setelah diisi kolom yang kosong oleh siswa sehingga hal tersebut
menyulitkan siswa untuk melanjutkannya kembali. Guru menghentikan
pengisian kolom-kolom tersebut dan tahap selanjutnya yaitu guru memberikan
siswa Lembar Aktivitas Siswa (LAS).
Laporan Observasi & Desain Pembelajaran PMRI di MIN 2 Palembang | Shahibul Ahyan | 10
Gambar 6. Siswa menunjuk bilangan yang sama
LAS yang diberikan kepada siswa sama dengan yang telah dikerjakan
sebelumnya yaitu mengisi kolom-kolom yang kosong sesuai dengan urutan
bilangan yang dikerjakan secara individu. Namun, walaupun diberikan secara
individu, kebanyakan dari mereka mengerjakannya secara berkelompok.
Beberapa dari mereka tampak antusias dalam menyelesaikan LAS yang telah
diberikan, meskipun ada beberapa siswa yang sibuk berbicara dengan teman di
dekatnya dan ada juga yang mengganggu temannya. Hal yang sangat lumrah
bagi anak-anak, namun guru memberikan bimbingan dan nasihat agar tidak
melakukan hal tersebut.
Tidak lama kemudian, ternyata ada beberapa siswa yang mampu menyelesaikan
permasalahan yang diberikan. Secara spontan tanpa bimbingan dan arahan dari
guru, siswa yang sudah selesai tersebut membimbing teman di dekatnya yang
belum menyelesaikan LAS tersebut. Hal tersebut mendapat perhatian dari guru
dan meminta siswa tersebut melanjutkan untuk membimbing temannya tersebut.
Tidak terasa bel berbunyi bertanda waktu sudah habis, sehingga guru
menghimbau kepada siswa untuk mengumpulkan jawaban mereka meskipun ada
beberapa orang yang belum selesai.
Laporan Observasi & Desain Pembelajaran PMRI di MIN 2 Palembang | Shahibul Ahyan | 11
Gambar 7. Siswa memberikan bimbingan kepada temannya dan berdiskusi
3. Retrospective Analysis
Secara umum, pelaksanaan pembelajaran ini berjalan dengan optimal. Hal ini
dapat dilihat dengan adanya aktivitas yang terjadi selama proses pembelajaran,
dan siswapun beraktivitas dengan semangat, siswa lebih aktif dan antusias
selama pembelajaran berlangsung, terjadinya diskusi antar individu siswa dan
antara siswa dengan guru selama mengerjakan LAS.
Walaupun demikian, ada beberapa siswa juga sibuk dengan dirinya sendiri, ada
yang sibuk menggambar, ada yang sibuk berbicara dengan temannya. Namun,
guru tidak patah semangat untuk terus menasihati dan memberikan mereka
bimbingan untuk tetap fokus selama proses pembelajaran. Adapun Iceberg
proses pembelajaran ini adalah:
Gambar 8. Iceberg pembelajaran mengurutkan bilangan sampai 500
Laporan Observasi & Desain Pembelajaran PMRI di MIN 2 Palembang | Shahibul Ahyan | 12
C. PENUTUP
1. Kesimpulan
Pembelajaran matematika pada materi mengurutkan bilangan sampai 500
membutuhkan keterampilan dan keahlian guru dalam membelajarkan materi
tersebut. Guru dituntut untuk lebih aktif dan kreatif dalam melaksanakan
pembelajaran, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai pada tahap evaluasi.
Kretivitas guru dapat dilihat dengan cara bagaimana guru melaksanakan
pembelajaran di dalam kelas.
Dalam kesempatan ini, guru matematika MIN 2 Palembang yaitu RA Mustika
Hariyanti, S. Pd. telah melakukan suatu terobosan dalam pembelajaran. Guru
bersama penulis melakukan diskusi agar pembelajaran sesuai dengan harapan
dan tujuan pembelajaran.
Dalam desain pembelajaran ini, digunakan pendekatan PMRI, yaitu terdapatnya
kriteria PMRI dalam desain pembelajaran dan tahapan-tahapan yang sudah
berlangsung, yaitu:
a. Using of context
Konteks yang digunakan dalam pembelajaran ini adalah berbelanja di
Supermarket.
b. Using of Models
Model yang digunakan adalah rak barang di suatu Supermarkar dan tabel
bilangan yang terbuat dari kertas karton.
c. Using of students’ contribution
Dalam desain pembelajaran ini, kontribusi siswa sangat diperhatikan yaitu
berupa Lembar Aktivitas Siswa (LAS).
d. Interactivity
Selama proses pembelajaran berlangsung, terlihat jelas interaktivitas antara
siswa dengan siswa dan antara siswa dengan guru.
Laporan Observasi & Desain Pembelajaran PMRI di MIN 2 Palembang | Shahibul Ahyan | 13
e. Intertwining
Pada desain pembelajaran ini, terjadi adanya hubungan antara materi
mengurutkan bilangan sampai 500 dengan materi mengenal dan
membandingkan bilangan.
2. Saran-saran
Selama proses pembelajaran ini, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
sebagai bahan pertimbangan untuk melaksanakan pembelajaran materi
mengurutkan bilangan sampai 500 di lain pertemuan, yaitu:
a. Diharapkan kepada guru untuk memberikan tugas dalam bentuk kerja
kelompok sehingga siswa bisa berinteraksi dan berdiskusi dengan optimal.
b. Guru harus memberikan perhatian kepada semua siswa, terutama siswa yang
butuh perhatian lebih agar mereka bisa lebih aktif dan bersemangat dalam
pembelajaran.
Referensi:
Gravemeijer, K.P.E. 1994. “Developing Realistic Mathematics Education”. Disertasi Doktor, Freudenthal Institute.
Hadi, S. 2005. Pendidikan Matematika Realistik dan Implementasinya. Banjarmasin: Tulip.
Lange Jzn, J. de. 1987. Mathematics, Insight, and Meaning; Teaching, Learning and Testing of Mathematics for the Life and Social Science. Utrecht: Vakgroep Onderzoek Wiskundeonderwijs en Onderwijscomputercentrum.
Purnomosidi, dkk. 2007. Matematika Untuk SD/MI Kelas 2. Jakarta: Depdiknas.
Laporan Observasi & Desain Pembelajaran PMRI di MIN 2 Palembang | Shahibul Ahyan | 14
VACATION BY A TRAIN
By Shahibul Ahyan
A. INTRODUCTION
For most students, learning mathematics had become a scourge that is very
frightening, even math phobia ingrained in their self. Learning mathematics had
been using clasical method in schools; talkative method. Most of the questions were
given to students is a matter which is expressed in the mathematical language and
symbols that is far from the students’ experiences and their lives. Consequently,
students were often feel bored and they assum that mathematics is boring and not
useful for their lives.
To make learning mathematics is more meaningful to students, then students must
be given the opportunity to reinvent mathematics under adult guidance
(Gravemeijer, 1994). This statement was supported also by de Lange’s opinion
(1995) that, in the reinvention process should be developed through exploration of a
variety of real world problems. Therefore, in learning, teachers should not be a
center of learning, but the students should become centre of learning, so that
students can not be viewed as a passive receiver of ready-made mathematics.
Sutarto Hadi (2005) said that the new paradigm of education must be active learnig.
Active learning can be implemented by teachers if learning was implemented
interesting and not boring. It was not easy for teachers to create an active learning
atmosphere, the teachers were required to design and implement learning fun so that
students do not get bored in the learning process.
On 27th September 2011, 09.50 – 10.40 AM, I had the opportunity to design
learning on the integers addition and subtraction to 500 in 5th grade in Madrasah
Ibtidaiyah Negeri (MIN) 2 Palembang using Realistic Mathematics Education
(RME) approach. In Indonesia, this approach was known as the PMRI (Pendidikan
Laporan Observasi & Desain Pembelajaran PMRI di MIN 2 Palembang | Shahibul Ahyan | 15
Matematika Realistik Indonesia). The character of this design must be following
five characteristics of PMRI; using of contexts, using of models, using of students’
contribution, interactivity, and intertwining (Gravemeijer, 1994).
The context was used on this learning design was vacation by a train. This learning
design was focused on how to make students understanding the concept of addition,
substraction, and both of addition and substraction. Therefore, the goals of this
design learning are:
1. To know whether studentswere capable of performing the operation of addition
and subtraction.
2. To know whether students were able to solve their daily activities are related to
the concept of addition and subtraction.
B. DESIGN RESEARCH
Barab and Squire (in van den Akker, 2006) defined educational design research is a
series of approaches, with the intent of producing new theories, artifacts,and
practices that account for and potentially impact learning and teaching in naturalistic
settings.
Acccording to van den Akker (2006), design research may be characterized as:
1. Interventionist: the research aims at designing an intervention in the real world;
2. Iterative: the research incorporates a cyclic approach of design, evaluation, and
revision;
3. Process oriented: a black box model of input–output measurement is avoided,
the focus is on understanding and improving interventions;
4. Utility oriented: the merit of a design is measured, in part, by its practicality for
users in real contexts; and
5. Theory oriented: the design is (at least partly) based upon theoretical
propositions, and field testing of the design contributes to theory building.
Further clarification of the nature of design research may be helped by a
specification of what it is not. The most noteworthy aspect is probably that design
Laporan Observasi & Desain Pembelajaran PMRI di MIN 2 Palembang | Shahibul Ahyan | 16
researchers do not emphasize isolated variables. While design researchers do focus
on specific objects and processes in specific contexts, they try to study those as
integral and meaningful phenomena.
The material that designed in this learning are addition and substruction. Gelman
and Gallistell (in Cockburn, 2005) describe two further principles which are an
implisit part of our counting skills:
1) The order irrelevance principle; you can count objects is irrelevant, it makes no
difference whatever to the total number of items to be counted.
2) The abstruction principle; this is extremely useful as it allows you to count
objects see at the time of counting.
1. Preliminary Design
In this design, I used the context of the journey group of students who go on
holiday by a train. Train is one of ground transportation that is familiar to
students, so that students can imagine how the shape of a train easily, where it is
stop, and anyone who can take it. The context was used because the vacation by
a train could be linked with learning addition and subtraction. Trains have a
special place to stop, it called station. The station serves as a place to raise and
drop the passengers. In the activity of rises and drop in passengers was a process
of increasing and decreasing the passenger. If passengers ride to the train, there
was a process adding that the number of passengers on the train became more
many or increased. The rising process as an addition operations (+). Whereas, if
passengers drop the train, there was a process substracting that the number of
passengers on the train became decreased. The droping process as an
substraction operations (-). If there was a passenger in a station that rises and
falls, then there was the addition and subtraction of passengers in the trains,
which means that the operations of addition (+) and subtraction (-) used to
calculate how many passengers on that train.
Because of this design for 2nd grade in Elementary School, then the context was
packaged to be a story to make it more attractive to students. The story told by a
Laporan Observasi & Desain Pembelajaran PMRI di MIN 2 Palembang | Shahibul Ahyan | 17
teacher, RA. Mustika Hariyanti, S. Pd. The actors of this story were all of
students in MIN 2 Palembang.
The Hypothetical Learning Trajectory (HLT) of this learning design are:
Figure 1. HLT of addition and substruction integers up to 500
2. Teaching Experiment
Learning process was started by telling the students about a group of students
who went on holiday to somewhere by a train. The teacher said that the actors
of this story are the 2nd grade in MIN 2 Palembang. Students seemed
enthusiastic to hear that. Before the teacher continued the story, she asked the
students to draw a train picture on the white board. There were three students
drawing the train, they had different form of train, but they knew that, all of the
pictures were train. The teacher asked the students, if the passengers go up,
what will happen? The students answered, the passengers will be increase. It
means that the operation that using in this case was addition (+). If the
passengers go down, what will happen? The students answered, the passengers
will be decrease. It means that the operation that using in this case was
substruction (-).
Laporan Observasi & Desain Pembelajaran PMRI di MIN 2 Palembang | Shahibul Ahyan | 18
The next step, the teacher provides the opportunity for a student to come
forward to help teachers calculate the number of passengers on the train with
pipette that had been prepared. The pipette were consists of three types of color;
yellow, green, and pink. Yellow represents to units, green represent to dozens,
and pink represents to hundreds. The student who went to front of class was
Dicky.
The content of the story that telled by teacher is:
At the holiday of Idul Fitri in 1432 H, a group of students went on an
excursion to Pantai Hiburan Duta Wisata in Lampung by a train.
Apparently the group is Dicky and his friends from MIN 2 Palembang.
The number of that students are 145 people. They went to the train
Kertapati station by the bus. Arriving at the station, the train will soon
depart, so they went up to the train. Diky hearing notice from the officer
station information that insode the train there were 244 other passengers.
Dicky was curious to calculate how many passengers in the train now.
Approximately how much? (The story stops).
Figure 2. Dicky counted the number of passangers inside the train with pipette
Dicky was directed to calculate the number of passengers inside the train with
pipette. Then, he was helped by the teacher to count the number of students and
passengers inside the train, there were 145 people of students and 244
passengers.
Laporan Observasi & Desain Pembelajaran PMRI di MIN 2 Palembang | Shahibul Ahyan | 19
To show the number of 145 students by pipette, Dicky took five yellow pipettes,
four green pipettes, and one pink pipette. Then, to find the number 244, Dicky
took two pink pipettes, four green pipettes, and four yellow pipettes. The process
of taking this pipettes were guided by the teacher, Dicky had not been able to
find his own concept of unit, tens and hundreds of that pipette.
Looking the Dicky’s error, the teacher reiterated the value of the unit, tens, and
hundreds of colored the pipettes. Based on early stories before the teacher began
by explaining the growing number of passengers increased after Dicky and his
friends went up. According to agreement, if the passenger went up then summed
up and if the passenger went down then reduced, so that the pipettes were
summed up in accordance with its color, a pink plus two pink, students answered
easely "equal to three pipettes pink" teacher stresses that means the same with
three hundred because of the color pink symbolizes the place of hundreds. The
teacher held up four green plus four green pipettes, students answered "equal to
eight green pipettes " this was done while counting pipette one by one, teachers
emphasize the same as eighty because of the green symbolizes the tens place.
Then for confirms the value of the unit, the teacher takes five yellow plus four
yellow, students answered "equal to nine yellow pipettes," calculations done
while counting pipette one by one. Then, the teacher directing students to
calculate how many pink, green, and yellow pipettes. In the spirit, the other
students said "three pink pipettes, eight green pipettes, and nine yellow pipettes".
Students were asked to write down the numbers in the board, one of them wrote
3 8 9 on the board, so that teacher suggested writing to be connected to 389.
Students talked together to say that the number is "three hundred and eighty
nine". (Story continued again by the teacher).
Not long after, the train arrived at the Prabumulih station. According to
information officer at the station, Dicky heard only 234 passengers who
fell and 184 passengers went up in there. Dicky want to count the
number of passengers on the train now, how much? (story stops).
Laporan Observasi & Desain Pembelajaran PMRI di MIN 2 Palembang | Shahibul Ahyan | 20
Because the passengers felled were 234 people, so the number of passengers
were substructed by 234 (the way of the calculations this case is same with
above, using pipette). So it was goten a pink pipette, five green pipettes, five
yellow pipettes which means that the number of passengers were 155 people,
then the passengers who ride were 184 which means 155 plus 184. At the time,
Dicky had difficulty to count because he got two yellow pipettes, thirteen green
pipettes, and nine yellow pipettes. He wrote 2 13 9 because he presumed to write
all of them. In such conditions, the teacher gives an explanation if more than ten
it can be exchanged with the pipette showing pink hundreds, so that student was
guided to redeem ten green pipettes with a pink pipette, then the number of pink
pipette now were three pink pipettes and the number of green pipettes were three
also. From this case, students were more easily determine the number of
passengers now, they mentioned 339 that it 3 pink pipettes, three green pipettes,
and nine yellow pipettes. (story resumed).
A few hours later, the train arrived at Tanjung Karang station in
Lampung. Apparently all of the students (145 people) went down at this
station. Unfortunately, there were no one passengers who went up to
train. Dicky want to count how many people are still in the train, how
much?
Solving this problem was the same with the problems before, so that the students
answered 194 people easily. Because the story was finished, Dicky was asked to
sit down by the teacher, then the teacher guide students to make the group. She
will be given group tasks related to addition and subtraction, their tasks must be
resolved in group.
The teacher gave two problems related to the game of marbles. The content of
that problem are:
At the time out, Ari and Rifki playing marbles in the schoolyard. Ari has
376 marbles and Rifki has 248 marbles. In the first game, Ari lost 147
marbles, whereas in the second game, Ari won 213 marbles, calculate:
Laporan Observasi & Desain Pembelajaran PMRI di MIN 2 Palembang | Shahibul Ahyan | 21
1. How many marbles Ari now?
2. How many marbles Rifki now?
In this step, the teachers went around to give guidance to each group.
Occasionally, the students called the teacher while the teacher guided the
another group. The atmosphere of group work seemed more active, although
there were some students who were preoccupied joking and talking with his
friends, but the teahcer went to that students and she gave advice. That
interesting case is, without a guided by the teacher, there were students who
count using her fingers and toes to solve the problems.
Figure 3. The students solved their problems in a group, there were students counted using their fingers
Iceberg
Figure 4. Iceberg of addition and substruction integers up to 500
Laporan Observasi & Desain Pembelajaran PMRI di MIN 2 Palembang | Shahibul Ahyan | 22
3. Retrospective Analysis
During the learning progresses, most students seemed enthusiastic. Students
were not ashamed to ask their teachers when they found problems in learning
process. One of students was Rifki said: "Mother, six minus seven, how many?"
(when he calculated the number of marbles of Ari was 376 minus 147). The
teachers provide direct guidance by using a finger, she said: "if we can not
subtract, we lend adjacent to left as many as one ". While guided by the teacher,
and Rifki’s group could solve their problems.
At the time, the students were encouraged to discuss with their friends in a
group, but sometimes there were some students who work alone and some
students also work with a friend in another group. This condition was very
common when delivering Student Activity Sheet (Lembar Aktivitas Siswa)
which working in groups. However, the teacher ordered students to return to
their respective groups with no words hard and rough.
Generally, learning addition and subtraction process used of instructional design
was very attractive to the students because they can move and interact with other
students. Students also seemed enthusiastic. Although there were some students
who played alone, but after the teacher advised them, then the students who had
returned the focus to a discussion with his friends. Most of the students could to
know the concepts of addition and subtraction. So the teacher said that this
learning design was very helpful to this instructional process.
C. CONCLUSION
Learning mathematics in elementary school is not easy to teach, the teacher must
have ability to make learning a fun atmosphere, not boring and make the students as
a center of learning, so that students become more active. To make it, teachers need
to associate material to be taught with the contextual problems in the environment
students or contextual problems that close to students.
Laporan Observasi & Desain Pembelajaran PMRI di MIN 2 Palembang | Shahibul Ahyan | 23
Design of learning mathematics in the material addition and subtraction integers up
to 500 is a learning design using Pendidikan Matematika Realistik Indinesia
(PMRI). The charateristics of PMRI are:
1. Using of context
The context used in this design was contextual problem experienced by students
in their daily lives, that is vacation by a train. This context was packaged in a
story.
2. Using of models
The model used in this design was a model of pipette, where from this model
students could interact with other friends and encouraged to be more active
during the learning process. This model bridging ability of students in learning
addition and subtraction.
3. Using of students’ contribution
In this design, the students’ contribution used as a part of the learning process,
that is Lembar Aktivitas Siswa (LAS) about addition and subtraction.
4. Interactivity
During the learning process, the students seemed interact each others. It could be
seen when students solved the task was given by the teacher, students seemed
engrossed a discussion.
5. Intertwining
In this design, the material that learned was related with other material, such as
science, and Bahasa.
Indeed, all products were made by human beings are not perfect. Similarly, the
instructional design was made in this instructional, there must be flaws and weaknesses.
Therefore, there were several things that must be considered associated with the design,
are:
1. Teachers should use the time optimally and stay abreast of the implementation of
lesson plan that have been made.
2. Teachers must be patient in dealing with students, let them be active for ask, do not
dismiss students to speak as they want to ask something was related with their
experiences.
Laporan Observasi & Desain Pembelajaran PMRI di MIN 2 Palembang | Shahibul Ahyan | 24
3. To create a design research, Researchers should focus on students’ experiences and
abilities or using contextual problems, so that the students had no difficulties in
starting the learning process.
References:
Cockburn, Anne D.. 2005. Teaching Mathematics With Insight; The identification, diagnosis, and remediation of young children’s mathematical errors. London: RoutledgeFalmer.
Gravemeijer, K.P.E. 1994. “Developing Realistic Mathematics Education”. Disertation of Doktoral, Freudenthal Institute.
Hadi, S. 2005. Pendidikan Matematika Realistik dan Implementasinya. Banjarmasin: Tulip.
Lange Jzn, J. de. 1987. Mathematics, Insight, and Meaning; Teaching, Learning and Testing of Mathematics for the Life and Social Science. Utrecht: Vakgroep Onderzoek Wiskundeonderwijs en Onderwijscomputercentrum.
Musthofa, Amin, dkk.. 2008. Senang Matematika Untuk SD/MI Kelas 2. Jakarta: Depdiknas.
van den Akker, J., Gravemeijer, McKenney and Nieven. 2006. Educational Design Research. London: Routledge.
Laporan Observasi & Desain Pembelajaran PMRI di MIN 2 Palembang | Shahibul Ahyan | 25
SARINGAN ERATOSTHENES SEBAGAI STARTING POINT DALAM
PEMBELAJARAN FAKTOR PRIMA DI SEKOLAH DASAR
Oleh Shahibul Ahyan
A. PENDAHULUAN
Bilangan prima merupakan salah satu bilangan yang dipelajari dalam matematika.
Bagi sebagian besar siswa terutama siswa Sekolah Dasar (SD) masih awam dan
sedikit mengenal apa itu bilangan prima dan bilangan-bilangan apa yang termasuk
bilangan prima. Dalam pembelajaran matematika di SD, bilangan prima sudah
mulai diperkenalkan di kelas V (lima). Akan tetapi, walaupun sudah mulai diajarkan
di kelas 5, masih banyak siswa yang kesulitan untuk memahami konsep bilangan
prima itu sendiri, apalagi untuk memahami materi satu langkah lebih maju lagi yaitu
tentang faktor prima. Hal ini terjadi karena pembelajaran yang dilakukan oleh guru
tidak dimulai dan tidak berdasarkan dengan konteks yang dekat dengan siswa, guru
langsung mengarahkan dan menggiring siswa untuk belajar langsung ke hal yang
abstrak yang bersifat matematika formal.
Pembelajaran matematika yang dilaksanakan sebaiknya harus bisa membangkitkan
motivasi siswa, siswa harus dibimbing dan diarahkan untuk memahami konsep
dasar dari materi yang diajarkan dengan memulai pembelajaran dengan contextual
problem dan menarik bagi siswa sehingga siswa bisa menemukan sendiri
(reinvention) konsep dari permasalahan yang dipelajari, siswa tidak cepat merasa
bosan dalam belajar dan siswa akan menjadi lebih aktif selama proses pembelajaran.
Untuk mewujudkan hal tersebut, seorang guru diharapkan mampu untuk lebih
kreatif dan inovatif dalam merancang, mendesain, dan melaksanakan pembelajaran
yang menarik bagi siswa. Salah satu solusinya adalah pembelajaran yang dirancang
dan didesain menggunakan pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia
(PMRI). Kenapa ini menjadi salah satu solusi dalam pelaksanaan pembelajaran?
Pembelajaran dengan menggunakan pendekatan PMRI tidak langsung mengarahkan
siswa ke hal yang bersifat formal mathematics atau bersifat abstrak, akan tetapi
Laporan Observasi & Desain Pembelajaran PMRI di MIN 2 Palembang | Shahibul Ahyan | 26
diawali dengan masalah konteks (contextual problems) yang pernah dialami dan
dirasakan oleh siswa. Hal ini sesuai dengan karakteristik PMRI yaitu, using of
context, using of models, using of student’s contribution, interactivity, dan
intertwining (Gravemeijer, 1994).
Dalam pembelajaran faktor prima ini, penulis berkesempatan mendesain sebuah
pembelajaran yang menggunakan pendekatan PMRI yang diujicobakan di kelas V
Madarsah Ibtidaiyah Negeri (MIN) 2 Palembang yang diajarkan oleh Risnaini, S.
PdI. pada tanggal 4 Oktober 2011 dari jam 08.25 - 09.35 WIB. Adapun tujuan dari
pembelajaran ini adalah :
1. Untuk mengetahui kemampuan siswa tentang bilangan prima
2. Untuk mengetahui kemampuan siswa dalam meyelesaikan masalah yang
berkaitan dengan faktor prima.
B. DESIGN RESEARCH
1. Preliminary Design
Bilangan prima merupakan bilangan yang memiliki dua faktor, yaitu satu dan
bilangan itu sendiri. Bilangan prima pertama kali diperkenalkan di tingkat
sekolah dasar yaitu di kelas lima. Oleh karena itu, kebanyakan siswa belum
memiliki kemampuan dan pengalaman untuk mengenal dan menentukan
bilangan-bilangan yang termasuk bilangan prima. Sehingga dalam kesempatan
ini, siswa diajak untuk mengenal dan menentukan bilangan prima dengan mudah
dan asyik, yaitu dengan menggunakan metode ‘saringan eratosthenes ’. Saringan
eratosthenes merupakan salah satu konteks yang tepat untuk memulai
pembelajaran pada bilangan prima karena dengan metode ini siswa akan merasa
tertantang untuk menemukan bilangan prima karena siswa melakukan sendiri
aktivitas pembelajarannya.
2. Teaching Experiment
Berikut adalah tahapan-tahapan proses pembelajaran yang dilaksanakan adalah
sebagai berikut:
Laporan Observasi & Desain Pembelajaran PMRI di MIN 2 Palembang | Shahibul Ahyan | 27
1). Kegiatan Awal
Pada tahapan ini, pembelajaran di kelas V A MIN 2 Palembang dimulai dari
08.25 – 09.35 WIB yang diikuti oleh 40 siswa dan materi yang diajarkan adalah
faktorisasi prima. Sebelum pembelajaran dimulai, siswa dibagi menjadi 10
kelompok yang terdiri dari empat siswa tiap kelompoknya. Sebelum
pembelajaran dimulai, guru melakukan apersepsi diantaranya menanyakan
bilangan-bilangan seperti bilangan asli, bilangan cacah, bilangan bulat positif
dan negatif, bilangan ganjil, dan bilangan genap. Pada tahap ini, siswa tampak
antusias untuk menjawab pertanyaan yang diajukan oleh ibu gurunya mengenai
bilangan yang disebutkan tadi.
2). Kegiatan inti
Pada tahap ini, pembelajaran dimulai dengan mengajak siswa untuk menemukan
bilangan-bilangan prima terlebih dahulu dengan memberikan selembar kertas
yang berisi tabel kosong yang jumlahnya 100 tabel, selembar kertas petunjuk
kerja, diberikan juga beberapa potongan kata-kata yang merupakan perintah dari
bagaimana cara menemukan bilangan prima. Potongan kata-kata tersebut
disusun membentuk sebuah kalimat yang memiliki warna yang sama pada tiap
kalimat yang terbentuk. Dalam tiap warna, ada satu kata yang tidak digunakan
untuk membuat kalimat, kata tersebut digunakan untuk membentuk sebuah
nama ilmuan.
Dalam aktivitas ini, siswa juga nampak kesulitan untuk membentuk kalimat
walaupun dalam petunjuk kerja sudah dijelaskan kalimat yang akan terbentuk
adalah cara-cara untuk menemukan bilangan prima dan huruf awal tiap kalimat
tersebut menggunakan huruf besar dan warna tiap kata yang berdekatan
memiliki warna yang sama pada huruf-hurufnya yang berdekatan. Dalam
kesempatan itu, ibu guru memberikan arahan kepada siswa untuk menyusun
kalimat akan tetapi kebanyakan siswa masih bingung untuk membuat kalimat
dari tiap-tiap warna tersebut, sehingga waktu banyak digunakan pada aktivitas
tersebut.
Laporan Observasi & Desain Pembelajaran PMRI di MIN 2 Palembang | Shahibul Ahyan | 28
Ibu guru memberikan arahan pada tiap-tiap kelompok sampai mereka mampu
membentuk semua kalimat. Setelah yang mampu membentuk kalimat lebih awal
diajak untuk melaksanakan perintah dari kalimat yang dibentuk tertsebut untuk
menemukan bilangan prima pada tabel bilangan dari 1 – 100. Ada lima kalimat
yang mereka dapat temukan, yaitu :
a. Silanglah angka satu
b. Silanglah semua angka kelipatan dua selain dua
c. Silanglah semua angka kelipatan tiga selain tiga
d. Silanglah semua angka kelipatan lima tetapi bukan lima
e. Silanglah semua angka kelipatan tujuh tetapi bukan tujuh
Pada tahapan ini, disamping siswa diajak untuk menemukan bilangan prima,
secara tidak langsung siswa juga diarahkan untuk lebih memahami kelipatan
bilangan karena kalimat yang dibentuk erat kaitannya dengan kelipatan bilangan.
Gambar 1. Siswa mampu membuat kalimat perintah untuk menemukan bilangan prima
Setelah semua kalimat dapat ditemukan, siswa mencoba untuk menemukan
bilangan prima yang ada didalam tabel dengan cara melaksanakan perintah dari
kalimat yang telah ditemukan tersebut. Setelah semua kalimat dilaksanakan,
maka mereka menemukan beberapa bilangan yang tidak disilang yang kemudian
bilangan yang tidak disilang itu mampu mereka jelaskan bahwa bilangan-
bilangan tersebut adalah bilangan prima.
Laporan Observasi & Desain Pembelajaran PMRI di MIN 2 Palembang | Shahibul Ahyan | 29
Gambar 2. Siswa mampu menemukan bilangan prima dengan metode Saringan Eratosthenes
Setelah siswa mampu menemukan bilangan-bilangan prima antara 1 – 100,
siswa diberikan Lembar Aktivitas Siswa (LAS), dimana LAS tersebut berisikan
beberapa masalah diantaranya adalah menuliskan kembali bilangan prima
tersebut di LAS, menemukan apa itu bilangan prima, menentukan faktor
bilangan dan menentukan faktor prima dari bilangan tersebut serta menemukan
nama ilmuan dari kata-kata yang tidak digunakan untuk membuat kalimat
tersebut. ...........................................
Gambar 3. Salah satu LAS yang sudah selesai dikerjakan
Pada tahap ini, siswa berdiskusi dengan teman kelompoknya untuk menemukan
penyelesaian dari masalah-masalah tersebut. Siswa kelihatannya tidak kesulitan
dalam meyelesaikan permasalahan tersebut, yang agak lama mereka selesaikan
adalah menemukan nama ilmuan tersebut. Setelah siswa menyelesaikan LAS,
siswa diajak untuk mempresentasikan hasil mereka di depan kelas tulis yang
Laporan Observasi & Desain Pembelajaran PMRI di MIN 2 Palembang | Shahibul Ahyan | 30
diwakili oleh masing-masing siswa pada tiap kelompoknya. Setelah itu, siswa
diajak untuk mendiskusikan hasil temannya yang telah dipresentasikan di depan
kelas secara bersama.
Gambar 4. Salah satu siswa mempresentasikan hasil kerja kelompoknya
3). Kegiatan Penutup
Pada tahap ini, guru bersama siswa menyimpulkan pembelajaran yang sudah
dilaksanakan pada saat itu. Tidak lupa guru memberikan tugas mandiri yang
dikerjakan oleh siswa di rumah.
Iceberg
Gambar 5. Iceberg pembelajaran faktor prima
Laporan Observasi & Desain Pembelajaran PMRI di MIN 2 Palembang | Shahibul Ahyan | 31
3. Retrospective Analysis
Secara umum, pembelajaran faktor prima dengan menggunakan konteks saringan
eratosthenes ini berjalan dengan lancar, sebagian besar siswa merasa senang dalam
belajar sehingga suasana kelas tampak aktif. Hal ini dibuktikan karena dari awal
pembelajaran sampai pembelajaran berakhir, siswa tampak antusias mengikuti
semua proses pembelajaran, walaupun ada beberapa siswa yang kurang aktif karena
mereka masih malu-malu dan bahkan ada siswa yang memiliki kelainan secara
emosional, namun hal itu tidak merubah semangat dan keaktifan siswa yang lainnya
dalam berdiskusi dan berinteraksi dalam menyelesaikan permasalahan selama
pembelajaran tersebut berlangsung.
C. PENUTUP
1. Kesimpulan
Pembelajaran faktor prima dengan menggunakan ‘Saringan Eratosthenes ’
menjadikan siswa lebih aktif. Mereka dapat berkomunikasi dan berkolaborasi
untuk memecahkan masalah yang dihadapainya. Berdasarkan penelitian yang
telah dilakukan, mereka merasa bersemangat untuk bisa menemukan bilangan
prima tersebut sampai menemukan faktor prima. Desain pembelajaran ini
memenuhi menggunakan pendekatan pembelajaran PMRI yang memiliki
karakteristik berupa:
a. Using of context
Konteks yang digunakan pada desain ini adalah menggunakan saringan
eratosthenes.
b. Using of models
Model yang digunakan dalam desain pembelajaran ini adalah model saringan
eratosthenes berupa tabel bilangan prima yang ditemukan dengan cara
melaksanakan beberapa perintah yang disusun dalam beberapa kalimat dari
beberapa potongan kata-kata.
c. Using of contribution’s students
Dalam desain pembelajaran ini, kontribusi siswa digunakan sebagai proses
salah satu bagian dari proses pembelajaran, yaitu dengan memberikan
Lembar Aktivitas Siswa (LAS) tentang faktor prima.
Laporan Observasi & Desain Pembelajaran PMRI di MIN 2 Palembang | Shahibul Ahyan | 32
d. Interactivity
Selama proses pembelajaran, interaktivitas siswa baik itu interaktivitas
dengan sesama teman maupun dengan gurunya terjadi. Hal ini dapat dilihat
ketika siswa menyelesaikan LAS yang diberikan, siswa tampak asyik
berdiskusi.
e. Intertwining
Dalam desain pembelajaran ini, materi yang diajarkan terkait atau
berhubungan dengan konsep kelipatan. Disamping itu berhubungan juga
dengan pelajaran Bahasa Indonesia yaitu belajar membuat kalimat, membaca
dan melaksanakan kalimat tersebut.
2. Saran-Saran
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran faktor prima,
diantaranya adalah:
a. Guru hendaknya menggunakan waktu seoptimal mungkin dalam
pelaksanaan pembelajaran atau sesuai dengan Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP) yang sudah dibentuk sehingga pelaksanaan
pembelajaran sesuai dengan waktu yang sudah direncanakan.
b. Guru hendaknya memberikan motivasi lebih khususnya kepada siswa yang
kurang aktif agar mereka bisa lebih aktif selama proses pembelajaran.
Referensi :
Gravemeijer, K.P.E. 1994. “Developing Realistic Mathematics Education”. Disertasi Doktor, Freudenthal Institute.
Hadi, S. 2005. Pendidikan Matematika Realistik dan Implementasinya. Banjarmasin: Tulip.
Soenarjo, RJ.. 2007. Matematika Untuk SD/MI Kelas 5. Jakarta: Depdiknas.
van den Akker, J., Gravemeijer, McKenney and Nieven. 2006. Educational Design Research. London: Routledge.
Wikipedia. 2011. Saringan Eratosthenes, diakses tanggal 29 September 2011 pada http://id.wikipedia.org/wiki/Saringan_Eratosthenes.
Laporan Observasi & Desain Pembelajaran PMRI di MIN 2 Palembang | Shahibul Ahyan | 33
JAM SEBAGAI STARTING POINT DALAM PEMBELAJARAN SUDUT
DI SEKOLAH DASAR
Oleh Shahibul Ahyan
A. PENDAHULUAN
Matematika merupakan salah satu ilmu yang bisa diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari. Matematika tidak bisa dilepaskan dalam setiap aktivitas manusia,
misalnya saja; seorang siswa yang ingin pergi ke sekolah, pasti memiliki rencana
jam berapa dia mau berangkat ke sekolah agar tidak terlambat, berapa uang yang
harus dibawa untuk beli jajan dan uang yang harus ditabung, berapa buku yang
harus dibawa, dan lain-lain. Masalah tersebut merupakan masalah yang sangat lazim
di kalangan para siswa yang sangat berkaitan dengan konsep matematika. Oleh
karena itu, keberadaan matematika dari dulu sampai sekarang dan bahkan sampai di
masa mendatang akan sangat bermanfaat untuk insan yang memiliki akal. Hal
tersebut senada dengan ungkapan Hans Freudenthal (2002) yang mengatakan bahwa
matematika merupakan aktivitas manusia.
Salah satu materi matematika yang tidak terlepas dalam kehidupan sehari-hari
adalah sudut. Keberadaan sudut di dalam kehidupan sehari-hari bisa ditemukan
dimana-mana, mulai dari di dalam rumah hingga di luar rumah. Misalnya saja di
dalam rumah, sudut banyak kita temukan diantaranya pada atap rumah, meja, kursi,
hiasan dinding, jam, dan lain-lain. Oleh karena itu, pengetahuan tentang sudut
sebenarnya sudah ada sejak seseorang mengenal benda.
Dalam dunia pendidikan khususnya pendidikan formal, materi tentang sudut sudah
mulai diperkenalkan dan diajarkan sejak siswa duduk di bangku Sekolah Dasar (SD)
yaitu dari kelas empat. Pembelajaran sudut di sekolah sering diajarkan dengan
kemasan, metode, dan teknik mengajar yang tidak menarik, tidak mengasyikkan,
dan tidak membuat siswa untuk lebih aktif. Pembelajaran sudut juga sering sekali
Laporan Observasi & Desain Pembelajaran PMRI di MIN 2 Palembang | Shahibul Ahyan | 34
diawali dengan sesuatu yang abstrak, tidak diawali dengan pengalaman dan situasi
yang kontekstual yang pernah dialami dan dirasakan oleh siswa.
Berkaitan dengan itu, untuk meningkatkan semangat, keaktifan, dan kebermaknaan
siswa dalam belajar, maka dibutuhkan suatu kemampuan dan keinginan guru untuk
mendesain pembelajaran dengan asyik dan tidak membosankan. Oleh karena itu,
dalam kesempatan ini saya berkesempatan mendesain sebuah desain penelitian pada
materi sudut di kelas 5 (lima) Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) 2 Palembang
dengan menggunakan pendekatan pembelajaran Pendidikan Matematika Realistik
Indonesia (PMRI), sehingga desain penelitian ini mengacu kepada lima karakteristik
PMRI yaitu using of context, using of models, using of student’s contribution,
interactivity, dan intertwining (Gravemeijer, 1994).
Desain pembelajaran menggunakan salah satu alat yang sering dijumpai dan dilihat
oleh siswa yaitu jam. Jam hanya digunakan sebagai jembatan atau bridge untuk
membuat siswa bisa lebih tertarik dalam pembelajaran sudut. Tujuan dari desain
pembelajaran ini yaitu:
1. Untuk mengetahui kemampuan siswa dalam menentukan besarnya sudut suatu
bidang atau benda.
2. Untuk mengetahui kemampuan siswa dalam membuat bidang atau benda
tertentu yang sudah diketahui besar sudutnya.
B. DESIGN RESEARCH
1. Preliminary Researh
Desain pembelajaran ini dimulai dengan menentukan konteks yang tepat dalam
pembelajaran sudut sehingga siswa merasa senang dan aktif dalam belajar.
Konteks yang digunakan merupakan konteks nyata (real context) yang dialami
dan tidak asing bagi siswa. Dalam desain pembelajaran ini, konteks yang
digunakan adalah aktivitas sehari-hari seorang siswa. Aktivitas seorang siswa
tersebut dikemas dalam sebuah cerita sehingga perhatian siswa bisa lebih fokus
karena siswa senang mendengar cerita. Sedangkan model yang digunakan dalam
desain pembelajaran ini adalah jam. Jam merupakan salah satu alat elektronik
yang sangat dekat dengan siswa dan kebanyakan siswa tahu akan benda tersebut.
Laporan Observasi & Desain Pembelajaran PMRI di MIN 2 Palembang | Shahibul Ahyan | 35
Experience-based activities
Bridge activities
Formal counting activities
Akan tetapi, tidak banyak siswa yang tahu bahwa jam merupakan salah satu
benda yang menggunakan konsep sudut. Oleh karena itu, desain pembelajaran
ini mengemas hal tersebut dengan baik agar siswa bisa memahami bahwa jam
tidak hanya digunakan untuk mengetahui tentang waktu semata, namun jam juga
bisa digunakan dalam pembelajaran tentang sudut. Dalam desain pembelajaran
ini, model jam yang digunakan adalah gambar jam.
Desain pembelajaran ini dilaksanakan dan diajarkan oleh guru matematika kelas
5 MIN 2 Palembang yaitu Ibu Risnaini, S. PdI. dengan siswa berjumlah 40
orang. Desain pembelajaran ini diajarkan pada tanggal 8 November 2011 mulai
dari jam 07.25 – 08.35 WIB.
Adapun Hypothetical Learning Trajectory (HLT) dari desain pembelajaran ini
adalah:
Gambar 1. Lintasan belajar pengukuran sudut
Mengukur besar sudut pada jam dengan menggunakan
kertas satuan
Bercerita tentang aktivitas siswa setiap hari
Mengukur besar sudut dengan busur derajat
Jam
Menentukan Besar sudut
Membuat sudut jika ukurannya
diketahui
Aktivitas pembelajaranMengetahui konsep pengukuran sudut
Laporan Observasi & Desain Pembelajaran PMRI di MIN 2 Palembang | Shahibul Ahyan | 36
2. Teaching Experiment
Pembelajaran ini dimulai dengan menceritakan aktivitas salah seorang siswa di
dalam kelas tersebut yaitu Rafli. Siswa diharapkan mendengar cerita dari ibu
guru karena setelah bercerita, siswa disuruh untuk melaksanakan aktivitas. Isi
cerita tersebut yaitu:
Rafli adalah salah satu siswa kelas 5 di MIN 2 Palembang dan dia
dikenal sebagai siswa yang pintar, rajin dan disiplin waktu. Setiap hari
dia bangun tidur pada pukul 05.00 pagi. Setelah bangun dari tidur dia
langsung ke kamar mandi untuk berwudu’ dan kemudian shalat.
Sebelum Rafli mandi, biasanya dia membersihkan tempat tidur dan
kamarnya sendiri terlebih dahulu. Karena jarak dari rumahnya dan
sekolah agak jauh, maka Rafli ke sekolah pada pukul 06.15 pagi. Rafli
pulang sekolah pada pukul 01.00 siang. Setelah sampai rumah, Rafli
shalat zuhur dan belajar sebentar dan kemudian istirahat siang.
Karena Rafli mau bermain bola dengan teman-temannya pada pukul
04.00, maka Rafli bangun tidur pada pukul 03.00 sore karena Rafli
harus shalat asyar dan mandi terlebih dahulu. Rafli selesai bermain bola
pada pukul 05.30 sore. Tidak lupa Rafli mandi dan shalat magrib setelah
sampai rumah, dan tidak lupa Rafli membaca Al-Quran sampai waktu
shalat isya tiba agar dia bisa langsung shalat isya. Pada pukul 07.45
malam, Rafli dan semua keluarganya berkumpul untuk makan malam
bersama. Setelah makan biasanya Rafli disuruh orangruanya untuk
selajar sampai pukul 09.50 malam dan langsung istirahat.
Setelah cerita berakhir, para siswa berteriak “hebat sekali si Rafli”. Siswa
diberikan lembaran kertas yang berisi gambar jam, gambar jam tersebut harus
diisi oleh siswa sesuai dengan perintahnya. Jam itu diisi berdasarkan ceerita
yang telah diceritakan oleh ibu guru tadi, bentuknya yaitu : Dengan
menggunakan penggaris, tentukan :
Laporan Observasi & Desain Pembelajaran PMRI di MIN 2 Palembang | Shahibul Ahyan | 37
Gambar 1. Gambar jam yang harus diisi oleh siswa sesuai aktivitas yang ditunjukkan
Sebagian besar siswa bisa menyelesaikan masalah tersebut, walaupun ada
beberapa siswa yang salah menempatkan jarum panjang dan jarum pendek pada
gambar jam tersebut yang mengakibatkan kesalahan dalam penyebutan jam
berapa yang ditunjukkan oleh jam yang dibuat tersebut.
Setelah siswa menyelesaikan permasalahan tersebut, siswa diberikan selembar
kertas pada masing-masing kelompok yang digunakan sebagai kertas satuan
dalam mengukur besar sudut yang terbentuk dari jam yang telah dibuat tersebut.
Besar satu kertas tersebut mewakili besarnya sudut lima menit pada jam. Pada
aktivitas ini, ada beberapa siswa yang kebingungan bagaimana cara
menggunakannya, dengan bimbingan ibu guru mereka berlahan-lahan bisa
menggunakan kertas tersebut untuk menentukan berapa satuan kertas tersebut
besar sudut yang terdapat pada jam yang telah mereka buat tadi.
Gambar 2. Siswa mengukur besar sudut jam yang telah dibuat menggunakan kertas satuan
Rafli bangun tidur Rafli bangun tidur siang
Rafli pulang sekolah
Laporan Observasi & Desain Pembelajaran PMRI di MIN 2 Palembang | Shahibul Ahyan | 38
Setelah permasalahan tersebut bisa diselesaikan, ibu guru kembali memberikan
permasalahan, yaitu menentukan besar sudut jam yang mereka bentuk dengan
menggunakan busur derajat. Pada tahap ini, siswa diberikan bimbingan terlebih
dahulu tentang bagaimana cara menggunakan busur derajat untuk menentukan
besarnya sudut pada jam tersebut. Dengan bekerjasama dengan teman
sekelompok mereka, siswa berlahan-lahan mencoba untuk mengukur berapa
besar sudut yang terbentuk dari setiap jam yang telah mereka buat. Pada proses
ini, banyak siswa yang masih bingung dalam menentukan dari mana menghitung
besar sudut dan bagaimana cara menaruh busur derajat dengan benar. Dengan
bimbingan ibu guru dan temannya yang sudah bisa, akhirnya sebagian besar
siswa mampu menggunakan busur derajat untuk menghitung besar sudut yang
terbentuk dari jam itu. Siswa nampak sibuk mengukur dan mengisi lembar
aktivitas yang telah diberikan. Diskusipun berjalan dengan optimal, walaupun
ada beberapa siswa yang sibuk berbincang-bincang dan bermain dengan
temannya, akan tetapi mereka langsung ditegur oleh ibu guru untuk ikut
bekerjasama dalam menentukan besar sudut menggunakan busur derajat.
Gambar 3. Siswa mengukur besar sudut pada jam dengan menggunakan busur derajat
Pada tahap selanjutnya, siswa diperintahkan untuk menentukan besar sudut
bidang lain yang ada di Lembar Aktivitas Siswa (LAS). Bidang-bidang tersebut
berupa persegi panjang, segitiga sama sisi dan segitiga sama kaki. Dengan
menggunakan langkah yang sama pada pengukuran sudut pada jam tadi,
sebagian besar siswa mampu menghitung besar sudut pada masing-masing
bidang tersebut. Siswa yang belum mampu menemukan besar sudut bidang
tersebut nampaknya belum faham tentang penempatan busur derajat dan dari
mana memulai untuk menghitung ukurannya. Namun, ibu guru menyarankan
Laporan Observasi & Desain Pembelajaran PMRI di MIN 2 Palembang | Shahibul Ahyan | 39
untuk berdiskusi, siswa yang sudah bisa mengajarkan kepada siswa yang belum
bisa. Dengan aktivitas tersebut, akhirnya beberapa kelompok yang selesai
terlebih dahulu dan mereka bilang, “kok besar sudut pada segitiga sama sisi
memiliki sudut yang sama, sedangkan besar sudut segitiga sama kaki hanya
memiliki dua sudut yang memiliki besar yang sama”. Namun, ibu guru tidak
begitu merespon karena ibu guru menganggap tujuan pembelajaran cukup
tercapai, ibu guru hanya mengatakan bahwa “coba kalian jumlahkan besar sudut
pada masing-masing sudut di segitiga tersebut, pasti jumlahnya 180o”, siswa
tersebut mengatakan “ya bu”.
Gambar 4. Siswa mengukur besar sudut pada persegi panjang, segitiga sama sisi, dan segitiga sama kaki
Permasalahan selanjutnya siswa disuruh membuat sebuah garis yang
menunjukkan besar sudut yang telah ditentukan dengan cara diberikan bantuan
satu buah garis. Besar sudut yang telah ditentukan tersebut adalah 60o, 90o, 105o,
dan 175o dengan bantuan sebuah titik yang posisinya berbeda-beda, ada yang
datar dan ada yang miring. Pada tahap ini sebagian besar kebingungan sehingga
mereka menanyakan hal tersebut kepada ibu guru. Setelah diberikan bimbingan
oleh ibu guru, ada siswa beberapa kelompok yang bisa menemukan garis yang
terbentuk..
Gambar 5. Siswa membuat garis yang membentuk besar sudut yang sudah ditentukan
Laporan Observasi & Desain Pembelajaran PMRI di MIN 2 Palembang | Shahibul Ahyan | 40
3. Retrospective Analysis
Pembelajaran matematika pada materi sudut di kelas 5 MIN 2 Palembang
dengan menggunakan desain pembelajaran berdasarkan pendekatan PMRI
berjalan dengan baik. Selama proses pembelajaran siswa kelihatan aktif, baik
keaktifan berdiskusi di dalam kelompok maupun keaktifan bertanya kepada ibu
guru. Ibu Risnaini mengatakan bahwa dengan menggunakan desain
pembelajaran ini terdapat peningkatan keaktifan dan interaksi pada diri siswa
dan materi yang diajarkan bukan hanya pemahaman tentang sudut semata akan
tetapi siswa juga diberikan konsep tentang waktu dalam satu waktu sehingga
waktu yang digunakan bisa lebih singkat jika menggunakan desain ini
dibandingkan dengan menggunakan pembelajaran yang biasa.
Hasil pengamatan yang diperoleh, sebagian besar siswa tidak mengalami
kendala dalam belajar sudut dengan menggunakan model jam, hanya saja ada
beberapa siswa yang belum terlalu memahami penggunaan busur derajat untuk
mengukur besar sudut, mereka sering keliru dalam penempatan titik awal dalam
pengukuran sudut sehingga besar sudut kadang lebih kecil atau lebih besar dari
besar sudut bidang yang asli. Oleh karena itu, menjadi seorang guru hendaknya
terus mendampingi dan membina siswa agar siswa yang kesulitan dalam
pembelajaran bisa diberikan bimbingan dengan optimal.
Iceberg
Gambar 6. Iceberg menentukan besar sudut
Laporan Observasi & Desain Pembelajaran PMRI di MIN 2 Palembang | Shahibul Ahyan | 41
C. PENUTUP
1. Kesimpulan
Desain pembelajaran matematika pada materi sudut di kelas 5 (lima) SD ini
merupakan desain pembelajaran yang menggunakan pendekatan Pendidikan
Matematika Realistik Indonesia (PMRI), dimana pada desain pembelajaran ini
mencakup kelima karakteristik PMRI, yaitu :
a. Using of context
Konteks yang digunakan pada desain ini adalah contextual problem yang
dialami siswa dalam kehidupan mereka sehari-hari yaitu aktivitas yang
dilakukan oleh siswa mulai bangun tidur sampai tidur kembali. Konteks ini
dikemas dalam sebuah cerita.
b. Using of models
Model yang digunakan dalam desain pembelajaran ini adalah model jam,
dimana dengan model jam ini siswa bisa berinteraksi dengan temannya dan
diajak untuk lebih aktif selama proses pembelajaran. Model jam
menjembatani kemampuan siswa dalam mempelajari sudut.
c. Using of contribution’s students
Dalam desain pembelajaran ini, kontribusi siswa digunakan sebagai proses
salah satu bagian dari proses pembelajaran, yaitu dengan memberikan
Lembar Aktivitas Siswa (LAS) tentang sudut.
d. Interactivity
Selama proses pembelajaran, interaktivitas siswa baik itu interaktivitas
dengan sesama teman maupun dengan gurunya terjadi. Hal ini dapat dilihat
ketika siswa menyelesaikan LAS yang diberikan, siswa tampak asyik
berdiskusi.
e. Intertwining
Dalam desain pembelajaran ini, materi yang diajarkan terkait atau
berhubungan dengan materi yang lainnya yaitu tentang waktu. Disamping
itu, keterkaitan juga terjadi dengan pelajaran Bahasa Indonesia yaitu pada
proses bercerita tentang aktivitas siswa tersebut.
Laporan Observasi & Desain Pembelajaran PMRI di MIN 2 Palembang | Shahibul Ahyan | 42
Pelaksanaan pembelajaran menggunakan desain pembelajaran ini siswa
kelihatan sangat aktif, ini dibuktikan dengan keaktifan siswa dalam berdiskusi
menjawab permasalahan berupa LAS yang diberikan oleh ibu guru. Dengan
menggunakan desain pembelajaran ini, sebagian besar siswa mampu memahami
konsep sudut dan menggunakannya dalam pemecahan masalah yang diberikan.
2. Saran-Saran
Dalam desain pembelajaran dan pelaksanaan pembelajaran ini, ada beberapa hal
yang menjadi kekurangan dan kelemahan dalam pelaksanaannya, dintaranya
yaitu :
a. Karena jumlah siswa yang agak banyak yaitu 40 siswa, guru kurang
memiliki kesempatan dalam membimbing siswa satu-persatu sehingga ada
beberapa siswa yang tidak pernah diberikan bimbingan selama proses belajar
berlangsung. Oleh karena itu, sebaiknya jumlah siswa di setiap kelas jangan
terlalu banyak yaitu diusahakan maksimal 30 siswa perkelas dan guru
hendaknya memberikan arahan kepada siswa agar ‘group discussion’ lebih
dioptimalkan dengan menggunakan teman kelompok yang sudah bisa untuk
membimbing siswa yang belum dan kurang faham.
b. Guru hendaknya berfungsi sebagai fasilitator dan mediator pada saat
pembelajaran, biarkan siswa menemukan sendiri konsep dari materi yang
diajarkan.
Referensi :
Freudenthal, H. 2002. Revisiting Mathematics Education. China Lectures. Dordrecht: Kluwer.
Gravemeijer, K.P.E. 1994. “Developing Realistic Mathematics Education”. Disertasi doktor, Freudenthal Institute.
Hadi, S. 2005. Pendidikan Matematika Realistik dan Implementasinya. Banjarmasin: Tulip.
Soenarjo, RJ.. 2007. Matematika Untuk SD/MI Kelas 5. Jakarta: Depdiknas.
van den Akker, J., Gravemeijer, McKenney and Nieven. 2006. Educational Design Research. London: Routledge.
Laporan Observasi & Desain Pembelajaran PMRI di MIN 2 Palembang | Shahibul Ahyan | 43
DAFTAR PUSTAKA
Budiman. 2011. Laporan Bulanan MIN 2 Palembang, tanggal 31 Juli 2011.
Cockburn, Anne D.. 2005. Teaching Mathematics With Insight; The identification, diagnosis, and remediation of young children’s mathematical errors. London: RoutledgeFalmer.
Gravemeijer, K.P.E. 1994. “Developing Realistic Mathematics Education”. Disertasi Doktor, Freudenthal Institute.
Hadi, S. 2005. Pendidikan Matematika Realistik dan Implementasinya. Banjarmasin: Tulip.
Lange Jzn, J. de. 1987. Mathematics, Insight, and Meaning; Teaching, Learning and Testing of Mathematics for the Life and Social Science. Utrecht: Vakgroep Onderzoek Wiskundeonderwijs en Onderwijscomputercentrum.
Musthofa, Amin, dkk.. 2008. Senang Matematika Untuk SD/MI Kelas 2. Jakarta: Depdiknas.
Purnomosidi, dkk. 2007. Matematika Untuk SD/MI Kelas 2. Jakarta: Depdiknas.
Soenarjo, RJ.. 2007. Matematika Untuk SD/MI Kelas 5. Jakarta: Depdiknas.
van den Akker, J., Gravemeijer, McKenney and Nieven. 2006. Educational Design Research. London: Routledge.
Wikipedia. 2011. Saringan Eratosthenes, diakses tanggal 29 September 2011 pada http://id.wikipedia.org/wiki/Saringan_Eratosthenes.