Upload
others
View
4
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
RANCANGAN
PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
TENTANG PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE MEASURES TO PREVENT, DETER,
AND ELIMINATE ILLEGAL, UNREPORTED, AND UNREGULATED FISHING (PERSETUJUAN TENTANG KETENTUAN NEGARA PELABUHAN UNTUK
MENCEGAH, MENGHALANGI, DAN MEMBERANTAS PENANGKAPAN IKAN YANG
ILEGAL, TIDAK DILAPORKAN, DAN TIDAK DIATUR)
1
RANCANGAN
PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR TAHUN
TENTANG
PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE MEASURES TO PREVENT, DETER, AND ELIMINATE ILLEGAL, UNREPORTED, AND UNREGULATED FISHING (PERSETUJUAN TENTANG KETENTUAN NEGARA PELABUHAN UNTUK
MENCEGAH, MENGHALANGI, DAN MEMBERANTAS PENANGKAPAN IKAN YANG ILEGAL, TIDAK DILAPORKAN, DAN TIDAK DIATUR)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam Konferensi Food and Agriculture Organization sesi ke-36 di Roma pada tanggal 18 - 23 November 2009
telah diadopsi Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter, and Eliminate Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing (Persetujuan tentang Ketentuan Negara Pelabuhan untuk Mencegah, Menghalangi, dan Memberantas
Penangkapan Ikan yang Ilegal, Tidak Dilaporkan, dan Tidak Diatur);
b. bahwa Indonesia telah menandatangani Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter, and Eliminate Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing (Persetujuan tentang
Ketentuan Negara Pelabuhan untuk Mencegah, Menghalangi, dan Memberantas Penangkapan Ikan yang Ilegal, Tidak Dilaporkan, dan Tidak Diatur) di Roma pada tanggal 22
November 2009;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
pada huruf a dan huruf b di atas, perlu mengesahkan Persetujuan tersebut dengan Peraturan Presiden;
Mengingat : 1. Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 11 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut) (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 76 Tahun
1985, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3319);
2
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 185, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4012);
4. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4433) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5073);
5. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2009 tentang Pengesahan Agreement for the Implementation of the Provisions of the United Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982 relating to the Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks (Persetujuan Pelaksanaan Ketentuan-Ketentuan Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut tanggal 10 Desember 1982 yang Berkaitan dengan Konservasi dan
Pengelolaan Sediaan Ikan yang Beruaya Terbatas dan Sediaan Ikan yang Beruaya Jauh) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 95, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5024);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN PRESIDEN TENTANG PENGESAHAN
AGREEMENT ON PORT STATE MEASURES TO PREVENT, DETER, AND ELIMINATE ILLEGAL, UNREPORTED, AND UNREGULATED FISHING (PERSETUJUAN TENTANG
KETENTUAN NEGARA PELABUHAN UNTUK MENCEGAH, MENGHALANGI, DAN MEMBERANTAS PENANGKAPAN IKAN
YANG ILEGAL, TIDAK DILAPORKAN, DAN TIDAK DIATUR).
Pasal 1
Mengesahkan Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter, and Eliminate Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing (Persetujuan tentang Ketentuan Negara Pelabuhan Untuk Mencegah, Menghalangi, dan Memberantas
Penangkapan Ikan yang Ilegal, Tidak Dilaporkan, dan Tidak Diatur) yang naskah aslinya dalam Bahasa Inggris dan terjemahannya dalam Bahasa Indonesia sebagaimana
terlampir dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Presiden ini.
3
Pasal 2
Apabila terjadi perbedaan penafsiran antara naskah terjemahan Persetujuan dalam Bahasa Indonesia dengan naskah aslinya dalam Bahasa Inggris sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1, yang berlaku adalah naskah aslinya dalam Bahasa Inggris.
Pasal 3
Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Presiden ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
JOKO WIDODO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
Yosanna H. Laoly
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN NOMOR
Naskah Penjelasan Pengesahan Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter, and
Eliminate Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing | 0
NASKAH PENJELASAN
PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE MEASURES TO PREVENT, DETER, AND ELIMINATE ILLEGAL, UNREPORTED, AND UNREGULATED
FISHING
(PERSETUJUAN TENTANG KETENTUAN NEGARA PELABUHAN UNTUK MENCEGAH, MENGHALANGI, DAN MEMBERANTAS PENANGKAPAN IKAN
YANG ILEGAL, TIDAK DILAPORKAN, DAN TIDAK DIATUR)
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sejak tahun 1990an, isu IUU Fishing telah disuarakan
masyarakat internasional pada berbagai fora. Semakin meningkatnya teknologi dan kapasitas penangkapan ikan telah menyebabkan
penurunan tajam sediaan sumber daya ikan di hampir seluruh belahan dunia, khususnya jenis-jenis ikan yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Hal itulah yang kemudian melatarbelakangi FAO Committee on Fisheries (COFI) mengadopsi International Plan of Action to Prevent, Deter, and Eliminate IUU Fishing (IPOA-IUU) pada tahun
2001, sebagai sebuah instrumen hukum international yang diharapkan menjadi acuan bagi negara-negara dalam menangani IUU Fishing.
Di samping IPOA-IUU, selanjutnya FAO juga telah mengadopsi
FAO Model Scheme on Port State Measures to Combat IUU Fishing (FAO Model Scheme) pada 26th Session of FAO Committee on Fisheries (COFI) Tahun 2005. FAO Model Scheme merupakan voluntary instrument yang yang memuat standar minimum untuk sejumlah aktivitas dan persyaratan. Dalam perkembangannya, keberadaan IPOA-IUU Fishing
maupun Model Scheme on Port State Measures to Combat IUU Fishing sebagai sebuah instrumen hukum untuk penanganan IUU Fishing
dirasakan belum cukup. Penanganan terhadap IUU Fishing masih belum bisa dilaksanakan secara optimal, bahkan ancaman terhadap
keberlangsungan sumberdaya ikan semakin hari semakin memprihatinkan. Kondisi demikaian antara lain disebabkan oleh
IPOA-IUU Fishing yang bersifat non-legally binding, belum adanya keseragaman standar dan sistem hukum, serta kurangnya partisipasi aktif dari negara-negara pelabuhan dalam penanganan IUU Fishing.
Mengacu pada kondisi demikian, perhatian masyarakat internasional selanjutnya lebih difokuskan pada bagaimana
menciptakan suatu instrumen yang lebih memiliki kekuatan mengikat
Naskah Penjelasan Pengesahan Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter, and
Eliminate Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing | 1
serta mengedepankan peran negara-negara pelabuhan dalam mencegah, menghalangi, dan membernatas IUU Fishing. Dalam hal ini
pelabuhan dianggap sebagai tempat paling strategis dimana pelaku IUU Fishing mendaratkan ikan, sehingga kontrol terhadap kegiatan
IUU Fishing oleh negara pelabuhan merupakan salah satu cara yang efektif untuk menangani IUU Fishing.
Sebagai kelanjutan dari upaya mencegah, menangkal, dan memberantas IUU Fishing, pada 27th Session of COFI Tahun 2007,
telah berhasil dirumuskan Draft Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter and Eliminate IUU Fishing sebagai suatu instrumen
hukum yang mengikat (legally binding instrument) yang substansinya mengacu pada IPOA-IUU Fishing dan FAO Model Scheme.
Setelah melalui serangkaian perundingan, pada FAO Conference 36th Session, yang berlangsung di Roma-Italia, tanggal 18–23 November 2009 berhasil dilaksanakan sesi penerimaan (adoption) dan
penandatanganan naskah Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, unreported, and Unregulated Fishing (selanjutnya disebut PSM Agreement). PSM Agreement ditandatangani oleh 10 negara pada tanggal 22 November 2009, yaitu Angola, Brazil, Chile, Uni Eropa, Islandia, Norwegia, Samoa, Amerika
Serikat, dan Indonesia. Negara penanda tangan selanjutnya adalah Selandia Baru (15 Desember 2009), Peru (3 Maret 2010), Gabon (26 April 2010), Australia (27 April 2010), Rusia (29 April 2010), Benin (28
September 2010), Ghana (28 Oktober 2010), Mozambique (4 November 2010), Turki (9 November), Kanada (19 November 2010),
Prancis (19 November 2010), Kenya (19 November 2010), dan Sierra Leone (23 November 2011).
Hingga saat ini PSM Agreement telah diratifikasi, diterima,
disetujui, atau diaksesi oleh 10 negara yaitu Chile (28 Agustus 2012),
Norwegia (20 Juli 2011), Uruguay (28 Februari 2013), Oman (1 Agutus 2013), Uni Eropa (7 Juli 2011), Myanmar (22 November 2010), Srilangka (20 Januari 2011), Seychelles (19 Juni 2013), Selandia Baru
(21 Februari 2014), dan Mozambik (19 Agustus 2014).
Indonesia sangat berkepentingan untuk menjadi pihak pada PSM Agreement mengingat Indonesia saat ini termasuk negara yang mengalami kerugian besar akibat aktifitas IUU Fihing baik yang
dilakukan di wilayah jurisdiksi Indonesia maupun di laut lepas. Berdasarkan data FAO, kerugian Indonesia akibat IUU fishing
diperkiraan mencapai Rp. 30 triliun per tahun. Nilai tersebut belum mencakup kerugian di luar nilai potensi yang hilang, seperti
menurunnya Industri perikanan, pengangguran, dan dampak sosial lainnya yang dialami masyarakat nelayan. Di samping itu, penandatanganan Agreement tersebut sangat penting dalam rangka
penguatan rezim hukum nasional, khususnya hukum laut dan perikanan, serta wujud kepedulian Indonesia atas upaya-upaya global
dalam memberantas IUU Fishing melalui penguatan kerjasama antar negara pelabuhan. Keikutsertaan pada Persetujuan ini sekaligus
Naskah Penjelasan Pengesahan Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter, and
Eliminate Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing | 2
melengkapi keanggotaan Indonesia sebagai pihak dalam UNCLOS 1982 dan United Nation Fish Stock Agreement 1995.
B. TUJUAN
Adapun tujuan pengesahan PSM Agreement bagi Indonesia
adalah:
1. untuk lebih mengefektifkan upaya dan kerjasama pencegahan, penghalangan, dan pembernatasan IUU Fishing melalui
penerapan ketentuan negara Pelabuhan secara efektif;
2. memperkuat mekanisme pengawasan perikanan nasional dalam
rangka mendukung kegiatan penangkapan ikan yang bertanggung jawab di laut lepas;
3. menunjukan komitmen Indonesia sebagai negara yang
bertanggung jawab dalam mewujudkan perikanan internasional yang berkelanjutan.
C. SUBSTANSI POKOK PSM AGREEMENT
PSM Agreement terdiri atas 8 (delapan) Bagian dan 37 Pasal.
Adapun beberapa substansi pokok PSM Agreement, adalah:
1. Penerapan Persetujuan
a. Persetujuan ini wajib diterapkan oleh setiap Pihak, dalam
kapasitasnya sebagai Negara Pelabuhan, terhadap kapal-kapal yang tidak berhak mengibarkan benderanya yang akan
masuk ke pelabuhan-pelabuhannya atau berada dalam salah satu pelabuhannya, serta untuk setiap kegiatan IUU Fishing, termasuk kegiatan-kegiatan terkait yang mendukungnya.
Kewajiban untuk menerapkan Persetujuan ini dikecualikan bagi:
1) kapal-kapal yang disewa oleh warga negaranya secara khusus untuk menangkap ikan di wilayah kedaulatan negaranya dan beroperasi di bawah kekuasaan wilayah
tersebut.
2) kapal-kapal dari negara sekitar yang melakukan
penangkapan ikan untuk mencari nafkah, apabila Negara Pelabuhan dan Negara Bendera bekerja sama untuk memastikan bahwa kapal-kapal tersebut tidak terlibat
dalam IUU Fishing atau kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan penangkapan ikan yang mendukung penangkapan
ikan dimaksud; dan
3) kapal-kapal kontainer yang tidak sedang mengangkut ikan atau, jika mengangkut ikan, hanya ikan yang
sebelumnya telah didaratkan, dalam hal ini tidak terdapat dasar yang jelas untuk mencurigai bahwa kapal tersebut
Naskah Penjelasan Pengesahan Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter, and
Eliminate Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing | 3
terlibat dalam kegiatan penangkapan ikan yang berhubungan dengan IUU Fishing.
b. Persetujuan ini harus diterapkan secara adil, transparan, dan nondiskriminatif, sesuai dengan hukum internasional.
c. Pada prinsipnya Persetujuan ini berlaku untuk semua pelabuhan. Namun demikian, Negara Pelabuhan diberikan kewenangan untuk menetapkan secara bertahap pelabuhan-
pelabuhan mana yang akan ditunjuk untuk pelaksanaan Persetujuan ini.
d. Di samping mengikat bagi para Pihak, Persetujuan ini juga mendorong mereka yang tidak menjadi Pihak dalam
Persetujuan agar menunjukkan komitmen mereka untuk secara konsisten bertindak sesuai dengan Persetujuan.
2. Hubungan dengan instrumen hukum internasional lainnya
Persetujuan ini tidak boleh bertentangan dengan hak, yuridiksi dan kewajiban–kewajiban para pihak dalam hukum internasional,
khususnya terkait dengan kedaulatan dan hak-hak berdaulat di laut, termasuk pelaksanaan kedaulatan atas pelabuhan-pelabuhan dalam teritorinya sesuai dengan hukum internasional,
termasuk hak untuk menolak masuk kepelabuhan, serta penetapan ketentuan nasional yang lebih ketat dibandingkan
dengan yang ditetapkan dalam Persetujuan ini. Para Pihak dalam Persetujuan ini tidak terikat oleh keputusan organisasi pengelolaan perikanan regional mana pun dimana negara pihak
tersebut tidak menjadi anggota atau apabila ketentuan/keputusan organisasi pengelolaan perikanan regional tersebut tidak sesuai dengan hukum internasional.
3. Integrasi dan Koordinasi Pada Tingkat Nasional
Setiap Pihak harus, sebisa mungkin, mengintegrasikan atau
mengkoordinasikan ketentuan-ketentuan nasional mereka di bidang perikanan dengam dengan sistem kontrol Negara Pelabuhan yang lebih luas, termasuk ketentuan lain untuk
mencegah, menghalangi, dan memberantas IUU Fishing, dengan mempertimbangkan secara tepat IPOA-IUU Fishing. Para pihak
juga harus mengadakan tukar informasi di antara instansi/lembaga nasional yang terkait dan mengkoordinasikan kegiatan instansi/lembaga tersebut dalam pelaksanaan
Persetujuan ini.
4. Kerja Sama dan Pertukaran Informasi
Persetujuan ini mewajibkan para pihak untuk bekerja sama dan bertukar informasi dengan Negara terkait, FAO, organisasi internasional lainnya, dan organisasi – organisasi pengelolaan
perikanan regional. Para pihak juga harus mengambil langkah-langkah dalam mendukung tindakan pengelolaan dan konservasi
Naskah Penjelasan Pengesahan Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter, and
Eliminate Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing | 4
yang digunakan oleh negara lain dan organisasi internasional yang terkait pada tingkat subregional, regional, dan global.
5. Penunjukan Pelabuhan
Para pihak wajib menunjuk dan mempublikasikan pelabuhan-
pelabuhan dimana kapal perikanan mungkin meminta izin untuk masuk dan menyerahkan daftar pelabuhan yang ditunjuk kepada FAO untuk diublikasikan. Setiap Pihak harus, sebisa
mungkin, memastikan bahwa setiap pelabuhan yang ditunjuk dan dipublikasikan tersebut memiliki kapasitas yang cukup
untuk melaksanakan pemeriksaan.
6. Masuk ke Pelabuhan
Ketentuan mengenai masuk pelabuhan mencakup permohonan
awal untuk masuk ke pelabuhan, prosedur memasuki pelabuhan, otorisasi atau penolakan, termasuk ketentuan mengenai force majeure atau keadaan sulit yang mengharuskan negara pelabuhan memberi izin masuk ke pelabuhan kepada kapal secara khusus untuk memberikan bantuan kepada perorangan,
kapal atau pesawat udara dalam bahaya atau kesulitan.
7. Penggunaan Pelabuhan
Ketentuan mengenai penggunaan pelabuhan mencakup pengaturan mengenai penolakan oleh pihak terhadap kapal telah masuk ke pelabuhan, untuk menggunakan pelabuhan untuk
mendaratkan, mengalihmuatkan, mengemas, dan mengolah ikan yang sebelumnya belum didaratkan dan untuk menggunakan layanan pelabuhan lainnya, termasuk diantaranya, mengisi
bahan bakar, dan mengisi perbekalan, melakukan perawatan dan menggunakan kapal.
Penolakan demikian dapat dilakukan dengan syarat Pihak mengetahui bahwa kapal tersebut tidak memiliki izin yang resmi dan berlaku untuk menangkap ikan atau kegiatan terkait (baik
yang disyaratkan oleh negara pantai ataupun negara bendera), Pihak menerima bukti yang jelas bahwa ikan yang diangkut
melanggar hukum yang berlaku di Negara pantai, negara bendera tidak memberikan konfirmasi dalam jangka waktu yang wajar sesuai dengan permintaan Negara Pelabuhan, atau Pihak
memiliki alasan yang masuk akal untuk meyakini bahwa kapal tersebut terlibat dalam IUU Fishing atau kegiatan terkait dengan
itu.
Sebagai pengecualian, pihak tidak boleh menolak kapal tersebut untuk memperoleh layanan pelabuhan yang penting bagi
keamanan atau kesehatan Anak Buah Kapal (ABK) atau keamanan kapal, jika kebutuhan ini terbukti dibutuhkan, atau bila diperlukan, untuk perbaikan kapal tersebut.
8. Pelaksanaan Pemeriksaan
Naskah Penjelasan Pengesahan Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter, and
Eliminate Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing | 5
Ketentuan mengenai pelaksanaan pemeriksaan mencakup kewajiban bagi setiap Pihak untuk memeriksa jumlah kapal di
pelabuhannya, menyetujui tingkat minimum pemeriksaan, dan menentukan prioritas pemeriksanaan, pelaksanaan fungsi
pemeriksanaan sesuai dengan Annex B, serta penyampaian hasil pemeriksanaan kepada pihak lain, organiasi pengelolaan perikanan regional, dan FAO.
Prioritas pemeriksaan diterapkan pada kapal-kapal yang telah ditolak masuk atau menggunakan pelabuhan, pemeriksaan
dasar permohonan-permohonan dari Pihak yang terkait, serta kapal yang diduga kuat terlibat IUU Fishing atau kegiatan terkait.
9. Pertukaran Informasi Elektronik
Berdasarkan Persetujuan ini, setiap Pihak harus, jika memungkinkan, membangun mekanisme komunikasi yang
memungkinkan pertukaran informasi elektronik secara langsung, dengan mempertimbangkan persyaratan kerahasiaan yang relevan.
10. Tindakan Negara Pelabuhan Setelah Pemeriksaan
Apabila, setelah pemeriksaan, terdapat dasar yang jelas untuk
meyakini bahwa sebuah kapal telah terlibat IUU Fishing atau kegiatan yag berkaitan dengan penangkapan ikan yang mendukung penangkapan ikan yang demikian, Pihak yang
memeriksa harus segera memberitahu negara bendera (apabila perlu negara pantai, RFMO, dan organisasi lainnya). Negara
tersebut juga harus menolak kapal tersebut untuk menggunakan pelabuhannya untuk mendaratkan, mengalihangkutkan, mengemas, dan mengolah ikan yang belum didaratkan
sebelumnya dan layanan pelabuhan lainnya, termasuk antara lain, pengisian bahan bakar dan pengisian perbekalan, melakukan pemeliharaan dan menggunakan galangan kapal.
11. Peran Negara Bendera
Atas permintaan negara pelabuhan melakukan pemeriksaan
secara menyeluruh terhadap kapal yang berhak mengibarkan benderanya yang diduga kuat melakukan IUU Fishing atau
kegiatan terkait, dan dan bila bukti cukup, mengambil tindakan penegakan tanpa menunda-nunda sesuai dengan hukum dan peraturan. Setiap Pihak, dalam kapasitasnya sebagai Negara
Bendera, harus melapor kepada Pihak lain, Negara Pelabuhan yang terkait dan, bila perlu, Negara lain yang relevan, organisasi pengelolaan perikanan regional dan FAO atas tindakan yang telah
dilakukan terhadap kapal yang berhak mengibarkan benderanya yang, telah dinyatakan terlibat dalam IUU Fishing atau kegiatan
terkait.
12. Persyaratan Bagi Negara Berkembang
Naskah Penjelasan Pengesahan Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter, and
Eliminate Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing | 6
Persetujuan ini memuat pengaturan yag mewajibkan semua pihak memberikan pengakuan penuh terhadap persyaratan
khusus bagi Pihak negara yang sedang berkembang dalam hubungannya dengan penerapan ketentuan Negara Pelabuhan.
Negara–negara pihak harus, baik secara langsung atau melalui FAO, badan khusus lain dari PBB atau organisasi internasional yang relevan dan lembaga, termasuk organisasi pengelolaan
perikanan regional lain, memberikan bantuan kepada pengembangan Negara Pihak untuk, diantaranya:
(a) meningkatkan kemampuan mereka, khususnya negara miskin dan negara yang sedang berkembang dalam bentuk pulau kecil, untuk membangun basis hukum dan kapasitas demi
penerapan ketentuan Negara Pelabuhan yang efektif;
(b) memfasilitasi partisipasi mereka dalam organisasi internasional manapun yang mendorong pengembangan dan
penerapan ketentuan Negara Pelabuhan yang efektif; dan
(c) memfasilitasi bantuan teknis untuk memperkuat
pengembangan dan penerapan ketentuan negara Pelabuhan oleh mereka, melalui koordinasi dengan mekanisme internasional yang relevan.
Pihak-pihak harus memberikan pertimbangan terhadap persyaratan khusus bagi Pihak Negara Pelabuhan yang
berklasifikasi sebagai negara yang sedang berkembang khususnya negara miskin dan Negara yang sedang berkembang dalam bentuk pulau kecil, untuk memastikan bahwa beban yang
tidak sebanding yang muncul dari pelaksanaan Persetujuan ini tidak dilimpahkan secara langsung atau tidak langsung kepada mereka. Para Pihak juga harus bekerja sama untuk membentuk
mekanisme pendanaan yang memadai untuk membantu Negara yang sedang berkembang dalam penerapan Perjajian ini.
13. Penyelesaian Perselisihan secara Damai
Penyelesaian perselisihan dilakukan melalui konsultasi dengan pihak lain atau Pihak-pihak lain mengenai interpretasi atau
aplikasi ketentuan–ketentuan Persetujuan ini. Dalam hal perselisihan tersebut tidak dapat diselesaikan melalui konsultasi ini dalam rentang waktu yang memadai, negosiasi, penyelidikan,
mediasi, konsiliasi, arbitrasi, penyelesaian hukum atau sarana damai lain sesuai pilihan mereka. Perselisihan yang tidak
terselesaikan harus, atas persetujuan seluruh pihak yang bersengketa, diajukan ke Mahkamah Internasional untuk diselesaikan, ke Pengadilan Internasional untuk hukum laut atau
arbitrasi. Apabila tidak dapat diselesaikan di Mahkamah Internasional, Pengadilan Internasional untuk hukum laut atau
arbitrasi, pihak-pihak tersebut harus terus berkonsultasi dan bekerjasama dengan maksud untuk menyelesaikan
Naskah Penjelasan Pengesahan Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter, and
Eliminate Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing | 7
persengketaan merujuk kepada aturan Hukum Internasional yang berkenaan dengan konvensi sumber daya kelautan hayati.
14. Non-pihak Dalam Persetujuan Ini
Terkait dengan Non-Pihak dari persetujuan ini, Para pihak harus
mendorong Non-Pihak dalam Persetujuan ini untuk menjadi Pihak dalam Persetujuan ini dan/atau untuk mengadopsi hukum dan peraturan serta menerapkan langkah–langkah yang
konsisten dengan ketetapannya. Para pihak harus mengambil langkah-langkah yang adil, nondiskriminatif, dan transparan yang konsisten dengan Persetujuan ini dan hukum internasional
lain yang berlaku untuk menghalangi kegiatan Non-Pihak yang mengurangi keefektifan penerapan Persetujuan ini.
Naskah Penjelasan Pengesahan Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter, and
Eliminate Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing | 8
BAB II
KEUNTUNGAN, KONSEKUENSI, DAN URGENSI PENGESAHAN
A. KEUNTUNGAN PENGESAHAN
Pengesahan PSM Agreement akan memberikan keuntungan bagi Indonesia, khususnya dalam:
1. mendorong konservasi dan pengelolaan perikanan yang
bertanggung jawab di laut lepas;
2. ikut serta dan lebih mengefektifkan upaya dan kerjasama
pencegahan, penghalangan, dan pembernatasan IUU Fishing di laut lepas melalui penerapan ketentuan negara Pelabuhan secara efektif;
3. memperkuat mekanisme pengawasan perikanan nasional dalam rangka mendukung kegiatan penangkapan ikan yang
bertanggung jawab;
4. penguatan kerangka hukum nasional dalam pencegahan, penghalangan, dan pembernatasan IUU Fishing;
5. mendorong tertib pelaporan data terkait dengan IUU Fishing;
6. mengefektifkan penanganan terhadap masalah transhipment hasil
tangkapan IUU Fishing di laut lepas;
7. dimungkiknan untuk mendapat bantuan teknis, pelatihan dan
kerja sama ilmiah, transfer teknologi dalam rangka penerapan Persetujuan ini;
8. menunjukan komitmen Indonesia sebagai negara yang
bertanggung jawab dalam mewujudkan perikanan internasional yang berkelanjutan.
B. KONSEKUENSI PENGESAHAN
Pengesahan PSM Agreement akan menimbulkan konsekwensi
sebagai berikut:
1. menyiapkan perangkat hukum, sarana dan prasarana dan
sumberdaya manusia untuk mendukung pelaksanaan Persetujuan ini;
2. menunjuk dan mempublikasikan pelabuhan-pelabuhan yang
ditujukan untuk pelaksanaan Persetujuan ini;
3. menerapkan Persetujuan ini sesuai dengan prinsip adil, transparan, non-diskriminatif, dan menjaga kerahasiaan
informasi yang diberikan kapal-kapal asing;
4. mengidentifikasi kapal perikanan Indonesia yang masuk ke
negara lain;
Naskah Penjelasan Pengesahan Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter, and
Eliminate Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing | 9
5. menyampaikan informasi terkait dengan kegiatan sebagaimana dimaksud Persetujuan ini kepada FAO;
6. berpartisipasi aktif dalam kerja sama dalam penegakan hukum baik regional maupun internasional dalam rangka pelaksanaan
Persetujuan ini.
C. URGENSI PENGESAHAN
1. Landasan filosofis
Sumber daya ikan merupakan berkah dari Tuhan Yang Maha Esa
yang dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan dan kemakmuran umat manusia. Karena itu, upaya konservasi dan pengelolaan sumber daya perikanan, baik pada sekala global maupun regional
perlu didorong dan didukung pelaksanaannya. Bagi bangsa Indonesia sediri, potensi sumber daya perikanan mempunyai peranan yang penting dan strategis dalam pembangunan
perekonomian nasional, terutama dalam meningkatkan perluasan kesempatan kerja, pemerataan pendapatan, dan peningkatan
taraf hidup bangsa pada umumnya, nelayan kecil, pembudi daya-ikan kecil, dan pihak-pihak pelaku usaha di bidang perikanan.
Bagi bangsa Indonesia, langkah untuk mengesahkan PSM Agreement sejalan dengan amanat UUD 1945, khususnya dalam upaya turut serta melaksanakan ketertiban dunia serta
memajukan kesejahteraan umum.
2. Landasan sosiologis
Sebagaimana disebutkan dalam konsideran PSM Agreement, lahirnya Persetujuan tersebut didorong oleh kesadaran masyarakat internasional akan ancaman praktek IUU Fishing
yang memiliki dampak yang sangat luas, tidak saja menyebabkan degradasi sumber daya ikan dan lingkungannya, tapi juga
mengancam ketersediaan pangan dunia, kerugian devisa negara (khusunya bagi negara berkembang yang secara ekonomi sangat bergantung pada sumber daya ikan), kelangsungan hidup
nelayan, serta kelangsungan industri perikanan dan industri terkait lainnya.
Sebagai negara yang memiliki kekayaan sumber daya ikan, Indonesia masih dihadapkan pada keterbatasan kemampuan untuk menangani IUU Fishing, baik yang dilakukan di wilayah
jurisdiksi Indonesia maupun di laut lepas. Karena itu, adanya instrumen hukum ini diharapkan dapat membantu
mengoptimalkan pemberantasan kegiatan IUU Fishing.
Selain menempatkan Indonesia sebagai Negara pelabuhan yang berkewajiban melaksanakan prosedur penegakan hukum terkait
dengan IUU Fishing, Persetujuan ini juga menempatkan nelayan-nelayan Indonesia sebagai sasaran penegakan hukum apabila
Naskah Penjelasan Pengesahan Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter, and
Eliminate Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing | 10
nelayan-nelayan tersebut melakukan aktifitas IUU Fishing. Karena itu, sebagai Negara bendera Indonesia berkewajiban untuk
mengontrol dan bertanggung jawab atas segala aktifitas nelayan Indonesia, khususnya yang melakukan penangkapan ikan di laut
lepas.
Potensi sumber daya ikan dunia saat ini mengalami degradasi yang sangat signifikan akibat praktek IUU Fishing. IUU Fishing
saat ini merupakan permasalahan global yang mengancam pencapaian perikanan berkelanjutan. Kerugian global akibat IUU Fishing diperkirakan mencapai US$ 10-23.5 milyar dolar pertahun dan merugikan negara-negara di dunia, terutama
negara berkembang yang secara ekonomi sangat bergantung pada sumber daya perikanan.
Bagi Indonesia, praktek IUU Fishing tidak hanya menimbulkan
kerugian bagi negara, tetapi juga mengancam kepentingan masyarakat nelayan, industri perikanan, dan usaha perikanan
nasional. Berdasarkan data FAO, kerugian Indonesia akibat IUU fishing diperkiraan mencapai Rp. 30 triliun per tahun. Nilai tersebut belum mencakup kerugian di luar nilai potensi yang
hilang, seperti menurunnya Industri perikanan, pengangguran, dan dampak sosial lainnya yang dialami masyarakat nelayan.
3. Landasan yuridis
Indonesia telah meratifikasi UNCLOS 1982 dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985, karena itu Indonesia mempunyai
kewajiban untuk mengimplementasikan prinsip-prinsip dan ketentuan UNCLOS 1982, termasuk di dalamnya terkait dengan
kerja sama internasional dalam pengelolaan dan konservasi sumber daya perikanan, serta penegakan hukum oleh negara
pelabuhan terhadap segala aktifitas yang mengancam tujuan pengelolaan dan konservasi sumber daya perikanan secara berkelanjutan. Di samping itu, Indonesia juga telah meratifikasi
UNFSA 1995 dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2009. Persetujuan tersebut didalamnya mengelaborasi peran dari hak dan juga kewajiban negara pelabuhan untuk melakukan
tindakan, sesuai dengan hukum internasional, untuk memajukan efektifitas konservasi dan pengelolaan yang disepakati secara
internasional.
Pada tataran hukum nasional, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 secara tegas menyatakan pentingnya Indonesia untuk bekerja sama dengan negara tetangga atau dengan negara lain dalam rangka konservasi dan
pengelolaan sumber daya ikan di laut lepas, antara lain dengan memberitahukan serta menyampaikan bukti-bukti terkait kepada
negara bendera asal kapal yang dicurigai melakukan kegiatan yang dapat menimbulkan hambatan dalam konservasi dan
Naskah Penjelasan Pengesahan Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter, and
Eliminate Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing | 11
pengelolaan sumber daya ikan, serta secara aktif dalam keanggotaan badan/lembaga/organisasi regional dan
internasional dalam rangka kerja sama pengelolaan perikanan regional dan internasional.
Kehendak politik bangsa Indonesia di atas sejalan dengan tujuan PSM Agreement, yaitu untuk mencegah, menghalangi, dan memberantas IUU Fishing melalui penerapan ketentuan Negara
Pelabuhan yang efektif, dan dengan demikian untuk memastikan konservasi jangka panjang dan pemanfaatan sumber daya
kelautan hayati serta ekosistem kelautan yang berkelanjutan.
Bagi Indonesia, pengesahan PSM Agreement merupakan bagian
dari pelaksanaan amanat Konstitusi untuk melindungi sumberdaya alam Indonesia, utamanya kekayaan sumber daya perikanan, serta melengkapi penguatan rezim hukum nasional,
khususnya hukum laut dan perikanan. Selain itu, hal ini merupakan wujud kepedulian Indonesia atas upaya-upaya global dalam memberantas IUU Fishing melalui penguatan kerjasama
antar negara pelabuhan. Keikutsertaan pada Persetujuan ini sekaligus melengkapi keanggotaan Indonesia sebagai pihak dalam
UNCLOS 1982 dan UN Fish Stock Agreement 1995.
Naskah Penjelasan Pengesahan Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter, and
Eliminate Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing | 12
BAB III
KETERKAITAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
A. KETERKAITAN PSM AGREEMENT DENGAN INSTRUMEN HUKUM
INTERNASIONAL LAINNYA
1. United Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982 (telah diratifikasi dengan Undang-Undang No. 17 Tahun 1985)
UNCLOS 1982 tidak secara khusus memuat pengaturan tentang port state measures dalam konservasi dan pengelolaan perikanan.
UNCLOS 1982 hanya memberikan kewenangan kepada negara-negara terkait dengan pelabuhan mereka. Negara memiliki kewenangan penuh atas pelabuhan yang ada di wilayah teritorial
mereka dan berhak untuk mengatur syarat-syarat bagi kapal untuk masuk ke pelabuhan dan perairan pedalaman mereka.
Mereka dapat menuntut kepatuhan atas peraturan perundang-undangan nasional atau Persetujuan internasional. Peraturan ini bisa, misalnya, mengatur inspeksi dan pelarangan pemindahan
atau pendaratan ikan yang ditangkap secara bertentangan dengan tindakan konservasi yang disepakati secara internasional. Negara-negara juga memiliki hak untuk menolak akses kapal ke
pelabuhan mereka.
2. FAO Agreement to Promote Compliance with International Conservation and Management Measures by Fishing Vessels on the High Seas 1993 (belum diratifikasi)
Persetujuan ini berlaku untuk semua kapal perikanan dengan
maksud untuk meningkatkan pentaatan kapal-kapal perikanan terhadap ketentuan-ketentuan konservasi sumber daya ikan di
Laut Lepas. Complaince Agreement 1993 merupakan Persetujuan internasional pertama yang khusus mengatur pengawasan negara pelabuhan. Menurut Persetujuan tersebut, apabila suatu kapal
yang diduga melakukan penangkapan ikan di wilayah konservasi masuk ke dalam pelabuhan suatu negara (pihak), maka negara
tersebut harus menginformasikan hal tersebut kepada negara bendera.
Berdasarkan Persetujuan ini, negara Pihak memiliki hak dan
kewenangan untuk menerbitkan izin kapal perikanan yang beroperasi di Laut Lepas. Negara pihak berwenang untuk
mengecualikan kapal-kapal perikanan yang panjangnya kurang dari 24 meter dari ketentuan-ketentuan Persetujuan, dengan catatan bahwa pengecualian tersebut tidak bertentangan dengan
tujuan yang hendak dicapai oleh Persetujuan. Walaupun demikian, pengecualian tidak diperkenankan terhadap kapal-
Naskah Penjelasan Pengesahan Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter, and
Eliminate Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing | 13
kapal yang khusus beroperasi di suatu bagian Laut Lepas dimana negara pantainya belum mendeklarasikan ZEE atau zona
perikanan di bawah yurisdiksi nasionalnya. Dalam hal ini negara-negara pantai di region yang bersangkutan harus bersepakat
untuk menetapkan panjang kapal perikanan yang tidak diwajibkan untuk mentaati ketentuan di dalam Persetujuan.
3. Agreement for the Implementation of the Provisions of the United Nations Convention on the Law of the Sea on 10 December 1982 relating to the Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks 1995 (telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2009)
UNFSA 1995 mengelaborasi peran dari Negara pelabuhan dalam
konteks penangkapan ikan. Pasal 23 UNFSA 1995 menyatakan bahwa negara pelabuhan memiliki hak (dan juga kewajiban) untuk
melakukan tindakan, sesuai dengan hukum internasional, untuk memajukan efektifitas konservasi dan tindakan pengelolaan yang
disepakati secara internasional.
Persetujuan tersebut menetapkan bahwa negara Pelabuhan dapat, antara lain, memeriksa dokumen-dokumen, alat tangkap dan
tangkapan diatas kapal ikan, apabila kapal-kapal tersebut secara sukarela berada di pelabuhannya atau pada terminal-terminal lepas pantainya.
Di samping itu, Persetujuan ini mengatur bahwa negara-negara dapat membuat peraturan-peraturan yang memberikan
kewenangan kepada otoritas nasional yang terkait untuk melarang pendaratan dan transhipment apabila telah ditentukan bahwa tangkapan telah diambil dengan cara yang mengurangi
efektivitas tindakan-tindakan konservasi dan pengelolaan sub regional, regional atau global di laut lepas.
4. Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF)
CCRF merupakan penjabaran secara terperinci untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang termuat di dalam
UNFSA 1995. Walaupun demikian, substansi pengaturannya hanya sebagian kecil saja yang berkaitan dengan permasalahan
perikanan di Laut Lepas, karena sebagian besar pengaturannya berkaitan dengan masalah pengelolaan sumber-sumber perikanan di perairan nasional dan ZEE, baik budi daya maupun perikanan
tangkap, yang harus dilakukan secara bertanggung jawab.
CCRF memuat prinsip-prinsip dan standar perilaku internasional
dengan tujuan untuk menjamin agar upaya-upaya konservasi dan pengelolaan sumber-sumber perikanan dapat berhasil secara efektif, termasuk perlindungan habitat dan ekosistem serta
keragaman jenis dan populasinya. Oleh karena itu, setiap negara, organisasi internasional, dan individu dihimbau untuk secara
Naskah Penjelasan Pengesahan Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter, and
Eliminate Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing | 14
sukarela melaksanakan ketentuan-ketentuan yang dirancang untuk memiliki kekuatan berlaku secara universal.
Terkait dengan port state measures, dalam CCRF diatur setiap negara harus menerapkan upaya-upaya jangka panjang dalam
konservasi dan pengelolaan sumber-sumber perikanannya. Negara-negara diwajibkan untuk mengembangkan mekanisme Monitoring, Controling and Survaillance (MCS) dan penegakan
hukum di dalam wilayah yurisdiksinya untuk menjamin pentaatan atas ketentuan konservasi, baik yang ditetapkan sendiri maupun
yang ditetapkan oleh organisasi perikanan regional;
5. International Plan of Action to Prevent, Deter, and Eliminate Illegal,
Unreported, and Unregulated Fishing (IPOA-IUU Fishing)
Ruang lingkup dari substansi IPOA–IUU Fishing mencakup segala hal yang terkait dengan IUU Fishing. Tujuan dari disusunnya
IPOA-IUU Fishing adalah untuk pencegahan, penangkalan, dan penghapusan IUU Fishing dengan menyediakan bagi semua negara
suatu alat (”toolbox”) yang komprehensif , transfaran, dan efektif. IPOA - IUU Fishing mengatur secara rincci tanggung jawab serta
tindakan yang harus dia,bil oleh negara bendera, negara pantai, dan negara pelabuhan terkait dengan IUU Fishing.
Khusus mengenai port state measures, IPOA-IUU Fishing memberikan memuat pengaturan mengenai mekanisme pemberitahuan terlebih dahulu sebelum memasuki pelabuhan,
penolakan untuk memasuki pelabuhan, mempublikasikan pelabuhan yang boleh dimasuki, pengumpulan data dan
informasi, penyampaian pemberitahuan kepada negara bendera, negara pantai, dan RFMO tentang kegiatan IUU Fishing, prosedur
dan strategi Port State Control, integrasi pengaturan mengenai port state control, tindakan terhadap kegiatan IUU Fishing oleh negara bukan anggota RFMO, serta kerjasama antar negara dan antar
RFMO.
6. FAO Port State Model Scheme 2005
FAO Model Scheme memuat pengaturan secara rinci mengenai komitmen dan kewajiban Negara Pelabuhan terkait dengan
penggunaan pelabuhan oleh kapal-kapal perikanan. Pemberlakuan FAO Model Scheme mencakup semua pelabuhan,
termasuk terminal lepas pantai dan instalasi lain yang digunakan untuk pendaratan, transshipment, pengisian bahan bakar, dan pengisian perbekalan. FAO Model Scheme diterapkan pada kapal
perikanan, termasuk setiap kapal yang digunakan atau dimaksudkan untuk tujuan penangkapan ikan, termasuk kapal
pendukung, kapal pengangkut, dan kapal lain yang secara langsung terlibat dalam kegiatan penangkapan ikan.
Naskah Penjelasan Pengesahan Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter, and
Eliminate Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing | 15
Substansi FAO Model Scheme ini mencakup tindakan apa yang harus diambil oleh negara pelabuhan, bagaimana negara
pelabuhan melakukan pemeriksanaan, bukti dari kegiaran IUU Fishing atau kegiatan yang mendukung IUU Fishing, tindakan
yang dapat dilakukan setelah pemeriksaan, informasi yang harus disampaikan kepada pihak terkait, serta ketentuan pengecualian
berkenaan dengan alasan force majeure atau bahaya atau kebutuhan untuk membantu orang, kapal, atau pesawat udara dari bahaya atau kecelakaan.
B. KETERKAITAN PSM AGREEMENT DENGAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL
1. UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 45 Tahun 2009.
Dalam Pasal 10 UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 45 Tahun 2009 ditegaskan bahwa untuk kepentingan kerja sama internasional,
Pemerintah bekerja sama dengan negara tetangga atau dengan negara lain dalam rangka konservasi dan pengelolaan sumber
daya ikan di laut lepas, laut lepas yang bersifat tertutup, atau semi tertutup dan wilayah kantong. Sementara itu, dalam Pasal 36 diatur bahwa Kapal perikanan milik orang Indonesia yang
dioperasikan di WPPNRI dan laut lepas wajib didaftarkan terlebih dahulu sebagai kapal perikanan Indonesia. Kapal perikanan yang telah terdaftar diberikan surat tanda kebangsaan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam Pasal 42 ditegaskan bahwa Syahbandar di pelabuhan
perikanan mempunyai tugas dan wewenang, al.: mengatur kedatangan dan keberangkatan kapal perikanan, memeriksa ulang kelengkapan dokumen kapal perikanan, memeriksa teknis dan
nautis kapal perikanan dan memeriksa alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan ikan, memeriksa log book
penangkapan dan pengangkutan ikan, mengatur olah gerak dan lalulintas kapal perikanan di pelabuhan perikanan, dan mengawasi pemanduan.
2. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: PER.30/MEN/2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di WPPNRI sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan Nomor: 57/PERMEN-KP/2014
Dalam Peraturan Menteri ini diatur antara lain tentang jenis-jensis
usaha perikanan tangkap, jenis perizinan dan pembagian kewenangan penerbitannya, pengadaan kapal pengangkut ikan, pemeriksaan fisik kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut
ikan, daerah penangkapan. Dalam Peraturan Menteri ini juga diatur kewajiban untuk mendaratkan ikan hasil tangkapan di
Naskah Penjelasan Pengesahan Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter, and
Eliminate Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing | 16
pelabuhan perikanan untuk pendaratan kapal perikanan yang telah ditetapkan serta sanksi berupa pencabutan SIPI/SIKPI bagi
kapal yang melanggar.
3. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: 23/PERMEN-
KP/2013 tentang Pendaftaran dan Penandaan Kapal Perikanan
Peraturan Menteri ini terkait dengan pendaftaran dan penandaan kapal kapal perikanan berbendera Indonesia yang dioperasikan di
WPP-NRI atau laut lepas yang berukuran diatas 30 (tiga puluh) gross tonnage (GT).
Kewenangan tersebut berada pada Menteri Kelautan dan
Perikanan cq. Direktur Jenderal Perikanan Tangkap.
Berdasarkan Peraturan Menteri tersebut, setiap orang yang
mengoperasikan kapal perikanan berbendera Indonesia di WPP-NRI atau laut lepas yang telah memiliki SIPI/SIKPI harus mengajukan permohonan pendaftaran kapal perikanan kepada
Direktur Jenderal.
4. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: 10/PERMEN-
KP/2013 tentang Sistem Pemantauan Kapal Perikanan
Peraturan Menteri ini mengatur mengenai system pemantauan kapal perikanan dimana setiap kapal perikanan dengan ukuran >
30 GT yang beroperasi di WPP-NRI atau di laut lepas yang akan mengajukan permohonan SIPI atau SIKPI wajib memasang dan mengaktifkan transmiter SPKP online.
5. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: 3/PERMEN-KP/2013 tentang Kesyahbandaran di Pelabuhan Perikanan
Dalam Peraturan Menteri tersebut juga diatur tugas dan wewenang Syahbandar di Pelabuhan Perikanan, antara lain mengatur kedatangan dan keberangkatan kapal perikanan,
memeriksa ulang kelengkapan dokumen kapal perikanan, dan memeriksa log book penangkapan dan pengangkutan ikan.
Syahbandar Di Pelabuhan Perikanan diangkat oleh Menteri yang membidangi urusan Pelayaran atas usulan Menteri Kelautan dan Perikanan setelah memiliki surat keterangan tanda lulus
pendidikan dan pelatihan kesyahbandaran
Syahbandar Di Pelabuhan Perikanan mengatur kedatangan kapal perikanan berdasarkan pemberitahuan rencana kedatangan dari
nakhoda atau pemilik kapal/penanggung jawab perusahaan. Pemberitahuan disampaikan paling lama 48 (empat puluh
delapan) jam bagi kapal perikanan berbendera asing atau 2 (dua) jam bagi kapal perikanan berbendera Indonesia sebelum kapal perikanan memasuki pelabuhan perikanan Pemberitahuan
rencana kedatangan, dapat dilakukan secara langsung kepada Syahbandar Di Pelabuhan Perikanan atau melalui radio
komunikasi. Berdasarkan pemberitahuan rencana kedatangan,
Naskah Penjelasan Pengesahan Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter, and
Eliminate Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing | 17
Syahbandar Di Pelabuhan Perikanan menyiapkan tempat tambat labuh.
6. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor PER.08/MEN/2012 Tentang Kepelabuhanan Perikanan
Dalam Peraturan Menteri ini diatur tentang jenis pelabuhan perikanan yang diklasifikasikan dalam 4 kelas, yaitu Pelabuhan Perikanan kelas A (Pelabuhan Perikanan Samudera), Pelabuhan
Perikanan kelas B (Pelabuhan Perikanan Nusantara), Pelabuhan Perikanan kelas C (Pelabuhan Perikanan Pantai), dan Pelabuhan Perikanan kelas D (Pangkalan Pendaratan Ikan). Dari keempat
jenis pelabuhan tersebut, hanya pelabuhan perikanan kelas A yang melayani kapal perikanan yang melakukan kegiatan
perikanan di laut lepas.
7. Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor PER.12/MEN/2012 Tentang Usaha Perikanan Tangkap Di
Laut Lepas
Peraturan Menteri tersebut mengatur bahwa setiap orang yang
melakukan usaha perikanan tangkap di laut lepas, wajib memiliki izin usaha perikanan tangkap yang meliputi izin usaha perikanan (SIUP), izin penangkapan ikan (SIPI), dan izin kapal pengangkut
ikan (SIKPI). Setiap kapal penangkap ikan atau kapal pengangkut ikan yang beroperasi di laut lepas dapat mendaratkan ikan hasil tangkapannya di Indonesia atau di negara lain yang menjadi
anggota RFMO pada wilayah RFMO yang sama. Kapal penangkap ikan atau kapal pengangkut ikan yang mendaratkan ikan hasil
tangkapannya di Indonesia diberikan 1 (satu) pelabuhan pangkalan.
Sedangkan untuk kapal penangkap ikan atau kapal pengangkut
ikan yang mendaratkan ikan hasil tangkapannya di negara lain yang menjadi anggota RFMO pada wilayah RFMO yang sama harus memberitahukan kepada kepala pelabuhan pangkalan di
Indonesia sebagaimana tercantum dalam SIPI atau SIKPI melalui media elektronik tentang identitas kapal, jumlah tangkapan,
daerah penangkapan, dan negara tujuan, bukti pendaratan ikan, dan bukti pendaratan ikan yang asli paling lambat 48 jam setelah ikan didaratkan.
Dalam Peraturan Menteri tersebut juga diatur mengenai dimungkinkannya transhipment di laut lepas maupun di
pelabuhan di negara lain yang menjadi anggota RFMO pada wilayah RFMO yang sama dengan persyaratan tertentu.
Naskah Penjelasan Pengesahan Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter, and
Eliminate Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing | 18
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. PSM Agreement disusun untuk membuat suatu kerangka hukum
untuk mencegah, menghalangi, dan memberantas IUU Fishing melalui penerapan ketentuan Negara Pelabuhan yang efektif, serta untuk memastikan konservasi jangka panjang dan
pemanfaatan sumber daya hayati laut serta ekosistemnya secara berkelanjutan
2. Penandatanganan dan pengesahan PSM Agreement akan membuktikan dukungan dan keikutsertaan Indonesia dalam
upaya global memerangi IUU Fishing melalui penguatan kerja sama antarnegara.
3. Sebagai negara yang mengalami dampak yang merugikan akibat
praktik IUU Fishing, Indonesia sangat berkepentingan untuk mengadopsi dan melaksanakan pengaturan port state measures
untuk mengefektifkan penanganan IUU Fishing oleh nelayan asing.
4. Pengesahkan terhadap PSM Agreement mengandung konsekuensi yang harus dihadapai Indonesia. Di satu sisi Indonesia akan memperoleh hak-hak, termasuk diantaranya berupa bantuan
baik finansial maupun teknis. Di sisi lain Indonesia juga terikat untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban terkait dengan
pelaksanaan PSM Agreement, antara lain berupa pemenuhan standar sarana dan prasarana untuk mendukung pelaksanaan port state measures.
5. Indonesia telah terlibat aktif dalam penyusunan dan pembahasn PSM Agreement, hingga menjadi penandatangan persetujuan
tersebut. Sejalan dengan itu, Indonesia juga telah melakukan langkah-langkah persiapan implementasi port state measures
antara lain berupa penetapan lima pelabuhan perikanan sebagai pelaksana port state measures oleh Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, pelatihan bagi sejumlah kepala pelabuhan, serta
pengadopsian prinsip-prinsip port sate measures dalam peraturan perundang-undangan nasional terkait.
B. REKOMENDASI
Secara keseluruhan pengesahan PSM Agreement banyak
memberikan manfaat bagi bangsa dan Negara Indonesia, maka dipandang perlu untuk mengesahkan Persetujuan ini. Pengesahan
Persetujuan ini dilakukan dengan Peraturan Presiden, karena materinya sesuai dengan Pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 tentang Persetujuan Internasional.
0
NASKAH TERJEMAHAN
AGREEMENT ON PORT STATE MEASURES TO PREVENT, DETER, AND ELIMINATE ILLEGAL, UNREPORTED, AND UNREGULATED FISHING
(PERSETUJUAN TENTANG KETENTUAN NEGARA PELABUHAN UNTUK
MENCEGAH, MENGHALANGI, DAN MEMBERANTAS PENANGKAPAN IKAN YANG ILEGAL, TIDAK DILAPORKAN, DAN TIDAK DIATUR)
1
PERSETUJUAN TENTANG KETENTUAN NEGARA PELABUHAN UNTUK MENCEGAH,
MENGHALANGI, DAN MEMBERANTAS PENANGKAPAN IKAN YANG ILEGAL,
TIDAK DILAPORKAN, DAN TIDAK DIATUR
PEMBUKAAN
Pihak-pihak dalam Persetujuan ini,
Menaruh perhatian yang mendalam terhadap berlanjutnya penangkapan ikan yang ilegal, tidak
dilaporkan, dan tidak diatur (IUU Fishing) serta dampaknya yang merugikan terhadap persediaan
ikan, ekosistem kelautan dan mata pencaharian para nelayan yang sah, dan meningkatnya
kebutuhan terhadap keamanan pangan di seluruh dunia,
Menyadari peran Negara Pelabuhan dalam penerapan langkah yang efektif untuk memajukan
pemanfaatan yang berkelanjutan dan konservasi jangka panjang terhadap sumber daya kelautan
hayati,
Memahami bahwa langkah-langkah untuk memberantas IUU Fishing sepatutnya berdasar pada
tanggung jawab utama dari Negara Bendera dan sepatutnya menggunakan kewenangan yang ada
merujuk kepada hukum internasional, termasuk ketentuan Negara Pelabuhan, ketentuan Negara
Pantai, ketentuan yang berkaitan dengan pasar dan ketentuan untuk memastikan bahwa warga
negara tidak mendukung atau terlibat dalam IUU Fishing,
Memahami bahwa ketentuan Negara Pelabuhan memberikan sarana yang memiliki kekwenangan
besar dan berbiaya efektif untuk mencegah, menghalangi, dan memberantas IUU Fishing,
Menyadari perlunya peningkatan koordinasi di tingkat regional dan antarregional untuk melawan
IUU Fishing melalui ketentuan Negara Pelabuhan,
Mengakui bahwa cepatnya teknologi komunikasi yang sedang berkembang, basis data, jaringan
kerja, dan catatan-catatan global yang mendukung ketentuan Negara Pelabuhan,
Mengenali kebutuhan akan bantuan bagi Negara-negara yang sedang berkembang untuk
mengadopsi dan menerapkan ketentuan Negara Pelabuhan,
Memperhatikan seruan komunitas internasional melalui PBB, termasuk Sidang Umum PBB dan
Komite Perikanan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB, yang selanjutnya disebut “FAO”,
sebagai dokumen internasional yang mengikat mengenai standar minimum ketentuan Negara
Pelabuhan, berdasarkan pada Rencana Aksi Internasional FAO tahun 2001 untuk Mencegah,
Menghalangi, dan Memberantas IUU Fishing dan FAO Model Scheme tentang Ketentuan
Negara Pelabuhan untuk melawan IUU Fishing,
Mengingat bahwa, dalam praktik kedaulatan mereka terhadap pelabuhan–pelabuhan yang berada
di wilayahnya, Negara dapat menggunakan ketentuan yang lebih ketat, sesuai dengan hukum
internasional.
Mengingat ketetapan yang relevan dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut tanggal 10
Desember 1982, yang selanjutnya disebut sebagai “Konvensi”,
2
Mengingat Persetujuan untuk Pelaksanaan Ketetapan Konvensi PBB mengenai Hukum Laut
tanggal 10 Desember 1982 tentang Konservasi dan Pengelolaan Persediaan Ikan yang Beruaya
Terbatas dan Persediaan Ikan yang Beruaya Jauh pada tanggal 4 Desember 1995, Persetujuan
untuk Meningkatkan Kepatuhan terhadap Ketentuan Pengelolaan dan Konservasi Internasional
oleh Kapal Perikanan di Laut Lepas tanggal 4 November 1993 dan Kode Etik FAO tahun 1995
tentang Perikanan yang Bertanggung Jawab,
Memahami pentingnya memberikan consent terhadap Persetujuan internasional dalam kerangka
kerja FAO, di bawah Pasal XIV Konstitusi FAO.
Telah menyetujui hal-hal sebagai berikut:
BAGIAN 1
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Penggunaan Terminologi
Demi tujuan Persetujuan ini:
(a) “ketentuan konsevasi dan pengelolaan” yaitu langkah-langkah untuk melestarikan dan
mengelola sumber daya kelautan hayati yang diambil dan diterapkan secara konsisten dengan
peraturan dalam hukum internasional yang relevan termasuk yang tercermin dalam Konvensi;
(b) “ikan” yaitu seluruh spesies sumber daya kelautan hayati, baik diproses maupun tidak;
(c) “penangkapan ikan” yaitu mencari, menarik, menempatkan, menangkap, mengambil, atau
memanen ikan atau suatu aktivitas yang secara logika bertujuan untuk menarik,
menempatkan, menangkap, mengambil, atau memanen ikan;
(d) “kegiatan yang berkenaan dengan penangkapan ikan” yaitu suatu kegiatan yang mendukung
atau dalam persiapan untuk, menangkap ikan, termasuk pendaratan, pengepakan, pengolahan,
pengalihangkutan atau pengangkutan ikan yang belum didaratkan di suatu pelabuhan, juga
penyerahan ABK, bahan bakar, alat tangkap, dan kebutuhan lain di laut;
(e) “IUU Fishing” mengacu kepada kegiatan-kegiatan yang tertera di paragraph 3 Rencana Aksi
Internasional FAO tahun 2001 untuk Mencegah, Menghalangi, dan Memberantas
Penangkapan Ikan yang Ilegal, Tidak Dilaporkan, dan Tidak Diatur yang selanjutnya disebut
sebagai “IUU Fishing”;
(f) “Pihak” yaitu Negara atau organisasi integrasi ekonomi regional yang telah setuju untuk
tunduk di bawah Persetujuan ini dan dimana Persetujuan ini diberlakukan;
(g) “pelabuhan” meliputi terminal-terminal lepas pantai dan instalasi lain untuk pendaratan,
pengalihangkutan, pengepakan, pengolahan, pengisian bahan bakar atau pengisian
perbekalan;
(h) “organisasi integrasi ekonomi regional” yaitu organisasi integrasi ekonomi regional yang
3
Negara anggotanya menyerahterimakan kompetensi terhadap hal-hal yang tersebut dalam
Persetujuan ini, termasuk kekuasaan untuk mengambil keputusan yang mengikat Negara
anggotanya mengenai hal-hal tersebut;
(i) “organisasi pengelola perikanan regional” yaitu organisasi atau lembaga perikanan
antarnegara atau yang disamakan, yang memiliki kompetensi untuk menerapkan ketentuan
konservasi dan pengelolaan; dan
(j) “kapal” yaitu kapal apapun, jenis kapal lain atau perahu yang digunakan untuk, yang
dilengkapi untuk, atau dimaksudkan untuk, menangkap ikan atau kegiatan-kegiatan lain yang
berkaitan dengan penangkapan ikan.
Pasal 2
Tujuan
Tujuan Persetujuan ini adalah untuk mencegah, menghalangi, dan memberantas IUU Fishing
melalui penerapan ketentuan Negara Pelabuhan yang efektif, dan dengan demikian untuk
memastikan konservasi jangka panjang dan pemanfaatan sumber daya kelautan hayati serta
ekosistem kelautan yang berkelanjutan.
Pasal 3
Penerapan
1. Setiap Pihak wajib, dalam kapasitasnya sebagai Negara Pelabuhan, menerapkan Persetujuan
ini bila ada kapal-kapal yang tidak berhak mengibarkan benderanya yang akan masuk ke
pelabuhan-pelabuhannya atau berada dalam salah satu pelabuhannya, kecuali untuk:
(a) kapal-kapal dari negara sekitar yang melakukan penangkapan ikan untuk mencari nafkah,
apabila Negara Pelabuhan dan Negara Bendera bekerja sama untuk memastikan bahwa
kapal-kapal tersebut tidak terlibat dalam IUU Fishing atau kegiatan-kegiatan yang
berkaitan dengan penangkapan ikan yang mendukung penangkapan ikan dimaksud; dan
(b) kapal-kapal kontainer yang tidak sedang mengangkut ikan atau, jika mengangkut ikan,
hanya ikan yang sebelumnya telah didaratkan, dalam hal ini tidak terdapat dasar yang jelas
untuk mencurigai bahwa kapal tersebut terlibat dalam kegiatan penangkapan ikan yang
berhubungan dengan IUU Fishing.
2. Pihak dapat, dalam kapasitasnya sebagai Negara Pelabuhan, memutuskan untuk tidak
menerapkan Persetujuan ini kepada kapal-kapal yang disewa oleh warga negaranya secara
khusus untuk menangkap ikan di wilayah kedaulatan negaranya dan beroperasi di bawah
kekuasaan wilayah tersebut. Kapal yang demikian wajib mempertimbangkan ketentuan dari
Pihak sebagaimana halnya ketentuan tersebut diterapkan dalam kaitannya dengan kapal-kapal
yang berhak untuk mengibarkan benderanya.
3. Persetujuan ini wajib diterapkan untuk penangkapan ikan yang dilakukan di wilayah laut
secara ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 (e)
Persetujuan ini, dan berlaku untuk kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan penangkapan ikan
yang mendukung cara penangkapan ikan tersebut.
4
4. Persetujuan ini wajib diterapkan secara adil, transparan, dan nondiskriminatif, sesuai dengan
hukum internasional.
5. Karena Persetujuan ini mencakup secara global dan berlaku untuk semua pelabuhan, Pihak-
Pihak wajib mendorong semua entitas yang lain untuk mengambil langkah-langkah yang
konsisten dengan ketetapannya. Bagi yang tidak menjadi Pihak dalam Persetujuan ini dapat
menunjukkan komitmen mereka untuk secara konsisten bertindak sesuai dengan ketetapan ini.
Pasal 4
Hubungan dengan Hukum Internasional dan Instrumen Internasional Lainnya
1. Tidak satu pun dalam Persetujuan ini yang bertentangan dengan hak, yuridiksi dan kewajiban–
kewajiban Pihak-Pihak dalam hukum internasional. Khususnya, tidak satu pun dalam
Persetujuan ini diartikan untuk mempengaruhi:
(a) kedaulatan Pihak-Pihak atas perairan dalam, kepulauan, dan perairan territorialnya atau
hak-hak yang berdaulat atas landas kontinen dan zona ekonomi eksklusifnya;
(b) pelaksanaan oleh Pihak-Pihak terhadap kedaulatannya atas pelabuhan-pelabuhan dalam
teritorinya sesuai dengan hukum internasional, termasuk hak untuk menolak masuk kesana
sebagaimana juga menerima ketentuan negara pelabuhan yang lebih ketat dibandingkan
dengan yang ditetapkan dalam Persetujuan ini, termasuk diterimanya beberapa ketentuan
yang mengikuti keputusan dari organisasi pengelolaan perikanan regional.
2. Dalam penerapan Persetujuan ini, Pihak tidak kemudian menjadi terikat oleh ketentuan –
ketentuan atau keputusan – keputusan, atau mengakui organisasi pengelolaan perikanan
regional mana pun yang tidak menjadi anggota di dalamnya.
3. Pihak dalam Persetujuan ini sama sekali tidak boleh memberikan consent terhadap ketentuan
atau keputusan suatu organisasi pengelolaan perikanan regional apabila ketentuan atau
keputusan tersebut tidak sesuai dengan hukum internasional.
4. Persetujuan ini wajib diartikan dan diterapkan sesuai dengan hukum internasional dengan
memperhatikan peraturan dan standar internasional yang berlaku, termasuk yang ditetapkan
oleh Organisasi Maritim Internasional, dan instrumen internasional lainnya.
5. Pihak-Pihak wajib mematuhi kewajiban yang dipikul sesuai dengan Persetujuan ini dengan
itikad baik dan wajib menggunakan hak – hak yang ada dalam Persetujuan ini dengan cara
yang tidak akan menimbulkan penyalahgunaan hak.
Pasal 5
Integrasi dan Koordinasi Pada Tingkat Nasional
Setiap Pihak wajib, dengan sebisa mungkin:
(a) mengintegrasikan atau mengkoordinasikan ketentuan-ketentuan Negara Pelabuhan yang
berkaitan dengan perikanan dengan sistem kontrol Negara Pelabuhan yang lebih luas;
(b) mengintegrasikan ketentuan-ketentuan Negara Pelabuhan dengan ketentuan lain untuk
mencegah, menghalangi, dan memberantas IUU Fishing dan kegiatan yang berkaitan dengan
5
penangkapan ikan yang mendukung penangkapan ikan yang demikian, dengan
mempertimbangkan secara tepat Rencana Aksi Internasional FAO tahun 2001 untuk
Mencegah, Menghalangi, dan Memberantas Penangkapan Ikan yang Ilegal, Tidak
Dilaporkan, dan Tidak Diatur; dan
(c) Mengadakan tukar informasi di antara badan nasional yang terkait dan mengkoordinasikan
kegiatan badan tersebut dalam pelaksanaan Persetujuan ini.
Pasal 6
Kerja Sama dan Pertukaran Informasi
1. Untuk melaksanakan penerapan Persetujuan ini dengan efektif dan atas pertimbangan
persyaratan kerahasiaan, Pihak-Pihak wajib bekerja sama dan bertukar informasi dengan
Negara terkait, FAO, organisasi internasional lainnya, dan organisasi – organisasi
pengelolaan perikanan regional, termasuk dalam ketentuan yang digunakan oleh organisasi
pengelolaan perikanan regional lain sehubungan dengan tujuan Persetujuan ini.
2. Setiap Pihak wajib, sebisa mungkin, mengambil langkah-langkah dalam mendukung tindakan
pengelolaan dan konservasi yang digunakan oleh negara lain dan organisasi internasional
yang terkait.
3. Pihak-pihak wajib bekerja sama, pada tingkat subregional, regional, dan global, dalam
penerapan Persetujuan ini secara efektif termasuk, bila perlu, melalui FAO atau organisasi
dan lembaga pengelolaan perikanan regional.
BAGIAN 2
MASUK KE PELABUHAN
Pasal 7
Penunjukkan Pelabuhan
1. Setiap Pihak wajib menunjuk dan mempublikasikan pelabuhan-pelabuhan dimana kapal
perikanan mungkin meminta izin untuk masuk sesuai dengan Persetujuan ini. Setiap Pihak
wajib menyerahkan daftar pelabuhan yang ditunjuk kepada FAO, yang akan
mempublikasikannya.
2. Setiap Pihak wajib, sebisa mungkin, memastikan bahwa setiap pelabuhan yang ditunjuk dan
dipublikasikan sehubungan dengan Paragraf 1 dalam Pasal ini memiliki kapasitas yang cukup
untuk melaksanakan pemeriksaan sesuai dengan Persetujuan ini.
Pasal 8
Permohonan Awal Untuk Masuk ke Pelabuhan
1. Setiap Pihak wajib meminta, sebagai standar minimum, informasi yang diminta dalam Annex
A untuk diberikan sebelum memberi izin masuk kepada kapal ke Pelabuhan.
6
2. Setiap Pihak wajib meminta informasi yang tercantum dalam Paragraf 1 dalam Pasal ini untuk
diberikan seawal mungkin untuk memberi waktu yang cukup bagi Negara Pelabuhan untuk
mempelajari informasi tersebut.
Pasal 9
Masuk Pelabuhan, Otorisasi, atau Penolakan
1. Setelah menerima informasi terkait yang diperlukan sesuai dengan Pasal 8, juga informasi lain
yang mungkin diperlukan untuk menentukan apakah kapal yang akan masuk ke pelabuhan
terlibat dalam IUU Fishing atau kegiatan yang terkait penangkapan ikan yang mendukung
penangkapan ikan yang demikian, setiap Pihak wajib memutuskan apakah mengizinkan atau
menolak kapal tersebut untuk masuk ke pelabuhan dan wajib mengkomunikasikan keputusan
ini ke kapal tersebut atau yang mewakilinya.
2. Dalam hal izin masuk, nakhoda kapal atau yang mewakilinya wajib menyerahkan izin masuk
kepada pihak yang berwenang dari Pihak ketika tiba di Pelabuhan.
3. Dalam hal penolakan masuk, setiap Pihak wajib mengkomunikasikan keputusan yang diambil
sesuai dengan Paragraf 1 Pasal ini kepada Negara Bendera kapal tersebut dan, bila perlu dan
sebisa mungkin, Negara Pantai, organisasi pengelolaan perikanan regional, dan organisasi
internasional lainnya.
4. Tanpa mengurangi arti Paragraf 1 Pasal ini, ketika Pihak memiliki bukti yang cukup bahwa
suatu kapal yang akan masuk ke Pelabuhan terlibat dalam IUU Fishing atau kegiatan yang
berkaitan dengan penangkapan ikan yang mendukung penangkapan ikan dimaksud, khususnya
kapal yang ada dalam daftar kapal yang pernah terlibat dalam penangkapan ikan yang
demikian, atau kegiatan yang berkaitan dengan penangkapan ikan yang digunakan oleh
organisasi pengelolaan perikanan regional yang terkait sesuai dengan peraturan dan prosedur
organisasi tersebut dan sesuai dengan hukum internasional, Pihak tersebut wajib menolak
kapal tersebut untuk memasuki pelabuhan, dengan mempertimbangkan Paragraf 2 dan 3
dalam Pasal 4.
5. Meskipun Paragraf 3 dan 4 dalam Pasal ini berbunyi demikian, Pihak dapat memberikan izin
masuk kepada kapal yang dimaksud dalam Paragraf tersebut ke Pelabuhan khusus untuk
tujuan memeriksa kapal tersebut dan mengambil tindakan yang perlu sesuai dengan hukum
internasional yang setidaknya berupa penolakan masuk ke Pelabuhan dalam usaha mencegah,
menghalangi, dan memberantas IUU Fishing dan kegiatan yang terkait penangkapan ikan
yang mendukung penangkapan ikan yang demikian.
6. Bila sebuah kapal yang dimaksud Paragraf 4 atau 5 dalam Pasal ini berada dalam pelabuhan
untuk alasan tertentu, Pihak wajib menolak kapal tersebut untuk menggunakan pelabuhan
tersebut untuk mendaratkan, mengalih-angkutkan, mengemas, dan mengolah ikan dan untuk
layanan pelabuhan lainnya termasuk, mengisi bahan bakar dan mengisi perbekalan,
melakukan perawatan dan menggunakan galangan kapal. Paragraf 2 dan 3 Pasal 11
menerapkan mutatis mutandis (mengubah hal yang perlu diubah atau perubahan perlu yang
telah dibuat) dalam hal tersebut. Penolakan penggunaan pelabuhan harus sesuai dengan
hukum internasional.
7
Pasal 10
Force majeure atau Keadaan Sulit
Tidak ada dalam Persetujuan ini yang mempengaruhi masuknya kapal ke pelabuhan yang sesuai
dengan hukum internasional atas alasan Force majeure atau keadaan sulit, atau mencegah
Negara Pelabuhan memberi izin masuk ke pelabuhan kepada kapal secara khusus untuk
memberikan bantuan kepada perorangan, kapal atau pesawat udara dalam bahaya atau kesulitan.
BAGIAN 3
GUNA PELABUHAN
Pasal 11
Guna Pelabuhan
1. Ketika sebuah kapal telah masuk ke pelabuhan, Pihak wajib menolak, sesuai dengan hukum
dan peraturan dan sesuai dengan hukum internasional, termasuk Persetujuan ini, kapal tersebut
untuk menggunakan pelabuhan untuk mendaratkan, mengalihmuatkan, mengemas, dan
mengolah ikan yang sebelumnya belum didaratkan dan untuk menggunakan layanan
pelabuhan lainnya, termasuk diantaranya, mengisi bahan bakar, dan mengisi perbekalan,
melakukan perawatan dan menggunakan kapal, apabila:
(a) Pihak mengetahui bahwa kapal tersebut tidak memiliki izin yang resmi dan berlaku untuk
menangkap ikan atau kegiatan yang berkaitan dengan penangkapan ikan sebagaimana
diminta oleh Negara Bendera;
(b) Pihak mengetahui bahwa kapal tersebut tidak memiliki izin yang resmi dan berlaku untuk
menangkap ikan atau kegiatan yang berkaitan dengan penangkapan ikan sebagaimana
diminta oleh Negara Pantai sesuai dengan wilayah di bawah kedaulatan nasional Negara
tersebut;
(c) Pihak menerima bukti yang jelas bahwa ikan yang diangkut melanggar hukum yang
berlaku di Negara Pantai sesuai dengan wilayah kedaulatan nasional Negara tersebut;
(d) Negara Bendera tidak memberikan konfirmasi dalam jangka waktu yang wajar, atas
permintaan Negara Pelabuhan, bahwa ikan yang diangkut sesuai dengan peraturan yang
berlaku, organisasi pengelolaan perikanan regional terkait dengan mempertimbangkan
Paragraf 2 dan 3 Pasal 4; atau
(e) Pihak memiliki alasan yang masuk akal untuk meyakini bahwa kapal tersebut juga terlibat
dalam IUU Fishing atau kegiatan yang berkaitan dengan penangkapan ikan yang
mendukung penangkapan ikan yang demikian, termasuk mendukung kapal sebagaimana
dimaksud Paragraf 4 Pasal 9, kecuali jika kapal tersebut dapat menunjukkan:
(i) bahwa kapal tersebut bertindak sesuai dengan ketentuan pengelolaan dan konservasi
yang terkait; atau
8
(ii) dalam hal penyediaan perlengkapan ABK, bahan bakar, alat tangkap, dan persediaan
lain di laut, bahwa kapal yang dibekali tersebut, pada saat melakukan kegiatan
dimaksud, bukan kapal yang dimaksud Paragraf 4 Pasal 9.
2. Meskipun Paragraf 1 Pasal ini berbunyi demikian, Pihak tidak boleh menolak kapal
sebagaimana dimaksud dalam Paragraf tersebut untuk memperoleh layanan pelabuhan:
(a) yang penting bagi keamanan atau kesehatan ABK atau keamanan kapal, jika kebutuhan ini
terbukti dibutuhkan, atau
(b) bila diperlukan, untuk perbaikan kapal tersebut.
3. Apabila Pihak telah menolak penggunaan pelabuhannya sesuai dengan Pasal ini, Pihak wajib
segera memberi tahu Negara Bendera dan, bila perlu, Negara Pantai terkait, organisasi
pengelolaan perikanan regional dan organisasi internasional terkait atas keputusan itu.
4. Pihak wajib mencabut penolakannya atas penggunaan pelabuhan sesuai dengan Paragraf 1
Pasal ini terhadap suatu kapal hanya jika terdapat bukti bahwa dasar yang digunakan untuk
menolak tidak cukup atau keliru atau sudah tidak berlaku.
5. Jika Pihak telah mencabut penolakannya sesuai dengan Paragraf 4 Pasal ini, Pihak wajib
segera memberi tahu secepatnya kepada Pihak-Pihak dimana pemberitahuan tersebut
diberikan sesuai dengan Paragraf 3 Pasal ini.
BAGIAN 4
PEMERIKSAAN DAN PENINDAKLANJUTAN
Pasal 12
Tingkat dan Prioritas Pemeriksaan
1. Setiap Pihak wajib memeriksa jumlah kapal di pelabuhannya yang diperlukan untuk
memperoleh tingkat pemeriksaan tahunan yang cukup untuk mencapai tujuan Persetujuan ini.
2. Pihak-pihak wajib berupaya untuk menyetujui pada tingkat minimum pemeriksaan kapal
melalui, bila perlu, organisasi pengelolaan perikanan regional, FAO atau yang lainnya.
3. Dalam menentukan kapal mana yang akan diperiksa, Pihak wajib memberikan prioritas
kepada:
(a) kapal-kapal yang telah ditolak masuk atau menggunakan pelabuhan sesuai dengan
Persetujuan ini;
(b) permohonan-permohonan dari Pihak yang terkait, Negara atau organisasi pengelolaan
perikanan regional untuk memeriksa kapal tertentu, khususnya jika permohonan tersebut
didukung oleh bukti IUU Fishing atau kegiatan yang berkaitan dengan penangkapan ikan
yang mendukung penangkapan ikan yang demikian oleh kapal yang sedang
9
dipermasalahkan;
(c) kapal lain yang dengan dasar jelas dicurigai terlibat IUU Fishing atau kegiatan yang
berkaitan dengan penangkapan ikan yang mendukung penangkapan ikan yang demikian.
Pasal 13
Pelaksanaan Pemeriksaan
1. Setiap pihak wajib memastikan bahwa pemeriksa melaksanakan fungsi yang tertera dalam
Annex B sebagai standar minimum.
2. Setiap Pihak wajib, dalam melaksanakan pemeriksaan di pelabuhan:
(i) memastikan pemeriksaan dilaksanakan oleh pemeriksa yang berkualitas yang diberi
wewenang untuk tugas tersebut, dengan memperhatikan secara khusus Pasal 17;
(ii) memastikan bahwa, sebelum memeriksa, pemeriksa menyerahkan dokumen yang
menerangkan identitas pemeriksa kepada nakhoda kapal;
(iii) memastikan bahwa Pemeriksa memeriksa seluruh bagian kapal, ikan yang diangkut,
jaring dan alat tangkap lain, perlengkapan, dan dokumen atau catatan lain di kapal yang
relevan untuk menguji kepatuhan terhadap ketentuan pengelolaan dan konservasi yang
terkait;
(iv) mewajibkan nakhoda kapal memberikan semua bantuan dan informasi yang diperlukan
kepada Pemeriksa, dan apabila diperlukan menyerahkan bahan dan dokumen yang terkait
atau semua salinan dokumen yang sah dimaksud;
(v) dalam hal pengaturan tertentu dengan Negara Bendera kapal tersebut, mengundang
Negara itu untuk ikut serta dalam pemeriksaan;
(vi) mengusahakan semua kemungkinan untuk menghindari penundaan yang berlebihan kapal
tersebut untuk meminimalkan campur tangan dan ketidaknyamanan, termasuk kehadiran
pemeriksa di atas kapal yang tidak perlu, dan untuk menghindari tindakan yang secara
kontradiktif akan mempengaruhi kualitas ikan di kapal;
(vii) mengusahakan segala kemungkinan untuk memfasilitasi komunikasi dengan nakhoda
atau ABK senior kapal tersebut, termasuk bila pemeriksa dikawal seorang penterjemah
jika mungkin dan jika diperlukan;
(viii) memastikan bahwa pemeriksaan dilaksanakan dengan cara yang adil, transparan, dan
nondiskriminatif dan tidak akan menimbulkan gangguan terhadap kapal mana pun; dan
(ix) tidak mencampuri kemampuan nakhoda kapal, sesuai dengan hukum internasional, untuk
berkomunikasi dengan pihak berwenang Negara Bendera.
10
Pasal 14
Hasil Pemeriksaan
Setiap Pihak wajib, sebagai standar minimum, memasukkan informasi yang tertera di Annex C
dalam laporan tertulis hasil pemeriksaan.
Pasal 15
Penyampaian Hasil Pemeriksaan
Setiap Pihak wajib menyampaikan hasil tiap pemeriksaan kepada Negara Bendera kapal yang
diperiksa, dan bila perlu, kepada:
(a) Pihak dan Negara terkait, termasuk:
(i) negara-negara dimana melalui pemeriksaan terdapat bukti bahwa kapal tersebut terlibat
IUU Fishing atau kegiatan yang berkaitan dengan dengan penangkapan ikan yang
mendukung penangkapan ikan yang demikian dalam perairan di bawah kewenangan
nasional mereka, dan
(ii) negara dimana nakhoda kapal menjadi warganegara.
(b) organisasi pengelolaan perikanan regional yang terkait, dan
(c) FAO dan organisasi internasional yang terkait.
Pasal 16
Pertukaran Informasi Elektronik
1. Untuk memfasilitasi penerapan Persetujuan ini, setiap Pihak wajib, jika memungkinkan,
membangun mekanisme komunikasi yang memungkinkan pertukaran informasi elektronik
secara langsung, dengan mempertimbangkan persyaratan kerahasiaan yang relevan.
2. Sebisa mungkin dan dengan mempertimbangkan persyaratan kerahasiaan yang relevan, Pihak-
pihak wajib bekerja sama untuk membangun mekanisme berbagi informasi, lebih diutamakan
dibawah koordinasi FAO, sehubungan dengan inisiatif multilateral dan antar-Negara yang
terkait, dan untuk memfasilitasi pertukaran informasi dengan basis data yang ada yang relevan
dengan Persetujuan ini.
3. Setiap Pihak wajib menunjuk suatu otoritas yang akan bertindak sebagai pusat kontak untuk
pertukaran informasi di bawah Persetujuan ini. Setiap Pihak wajib memberi tahu penunjukkan
tersebut kepada FAO.
4. Setiap Pihak wajib menangani informasi yang akan disampaikan melalui mekanisme tertentu
yang dibuat di bawah paragraf 1 Pasal ini yang sesuai dengan Annex D.
5. FAO wajib meminta organisasi pengelolaan perikanan regional terkait untuk memberikan
informasi tentang langkah atau keputusan yang telah mereka gunakan dan terapkan yang
berhubungan dengan Persetujuan ini demi integrasi mereka, sebisa mungkin dan
11
mempertimbangkan persyaratan kerahasiaan yang relevan, ke dalam mekanisme berbagi
informasi sebagaimana tertuang dalam paragraf 2 Pasal ini.
Pasal 17
Pelatihan Pemeriksa
Setiap Pihak wajib memastikan bahwa pemeriksanya dilatih sebagaimana mestinya dengan
mempertimbangkan pedoman pelatihan pemeriksa dalam Annex E. Pihak-Pihak wajib berusaha
untuk bekerja sama dalam hal ini.
Pasal 18
Tindakan Negara Pelabuhan Setelah Pemeriksaan
1. Apabila, setelah pemeriksaan, terdapat dasar yang jelas untuk meyakini bahwa sebuah kapal
telah terlibat IUU Fishing atau kegiatan yag berkaitan dengan penangkapan ikan yang
mendukung penangkapan ikan yang demikian, Pihak yang memeriksa wajib:
(a) segera memberitahu Negara Bendera dan, bila perlu, Negara Pantai terkait, organisasi
pengelolaan perikanan regional dan organisasi internasional lainnya, dan Negara dimana
nakhoda kapal tersebut menjadi warga Negara atas temuan tersebut; dan
(b) menolak kapal tersebut untuk menggunakan pelabuhannya untuk mendaratkan,
mengalihangkutkan, mengemas, dan mengolah ikan yang belum didaratkan sebelumnya
dan layanan pelabuhan lainnya, termasuk antara lain, pengisian bahan bakar dan pengisian
perbekalan, melakukan pemeliharaan dan menggunakan galangan kapal, jika tindakan ini
belum dilakukan terhadap suatu kapal, dengan cara yang sesuai dengan Persetujuan ini,
termasuk Pasal 4.
2. Meskipun paragraph 1 Pasal ini berbunyi demikian, Pihak tidak boleh menolak kapal
sebagaimana yang dimaksud dalam paragraf tersebut untuk menggunakan layanan pelabuhan
yang sangat penting bagi keselamatan atau kesehatan ABK atau keselamatan kapal.
3. Persetujuan ini tidak mencegah Pihak untuk mengambil langkah yang sesuai dengan hukum
internasional disamping seperti yang dituangkan dalam paragraf 1 dan 2 dalam Pasal ini
termasuk ketentuan – ketentuan sebagaimana Negara bendera kapal tersebut telah meminta
atau yang telah menyetujui.
Pasal 19
Informasi Permintaan Bantuan di Negara Pelabuhan
1. Pihak wajib menjaga agar informasi yang relevan tersedia bagi masyarakat dan memberikan
informasi tersebut, atas permintaan tertulis, kepada pemilik kapal, operator, nakhoda atau
perwakilan dari kapal dengan mempertimbangkan permintaan bantuan yang dibuat sesuai
dengan hukum dan peraturan nasional tentang ketentuan Negara Pelabuhan dari Pihak tersebut
sesuai dengan Pasal 9, 11, 13 atau 18, termasuk informasi yang berkenaan dengan pelayanan
12
umum atau lembaga hukum yang ada untuk tujuan ini, juga informasi mengenai ada tidaknya
hak untuk mendapatkan kompensasi sehubungan dengan hukum dan peraturan nasional ketika
terjadi kehilangan atau kerusakan yang timbul sebagai akibat dari tindakan ilegal yang
dituduhkan oleh pihak tersebut.
2. Pihak tersebut wajib memberi tahu Negara Bendera, pemilik, operator, nakhoda, atau
perwakilan, bila perlu, mengenai hasil permintaan bantuan. Ketika pihak, Negara atau
organisasi interansional lain telah diberi tahu tentang keputusan awal sesuai dengan Pasal 9,
11, 13, atau 18, Pihak tersebut wajib menginformasikan perubahan apapun dalam keputusan
itu kepada mereka.
BAGIAN 5
PERAN NEGARA BENDERA
Pasal 20
Peran Negara Bendera
1. Setiap pihak wajib meminta kapal yang berhak mengibarkan benderanya untuk bekerja sama
dengan Negara Pelabuhan dalam pemeriksaan yang dilaksanakan sesuai dengan Persetujuan
ini.
2. Jika Pihak memiliki dasar yang jelas untuk meyakini bahwa suatu kapal yang berhak
mengibarkan benderanya terlibat dalam IUU Fishing atau kegiatan yang berkaitan dengan
penangkapan ikan yang mendukung penangkapan ikan yang demikian dan hendak masuk ke
atau berada di pelabuhan Negara lain, Pihak tersebut wajib, bila perlu, meminta Negara
tersebut untuk memeriksa kapal itu atau mengambil langkah-langkah lain yang sesuai dengan
Persetujuan ini.
3. Setiap Pihak wajib mendorong kapal yang berhak mengibarkan benderanya untuk
mendaratkan, mengalihangkutkan, mengemas, dan mengolah ikan, dan menggunakan layanan
pelabuhan lainnnya di pelabuhan Negara yang bertindak sesuai dengan, atau dengan cara yang
konsisten dengan Perjajian ini. Pihak-Pihak didorong untuk mengembangkan, termasuk
melalui organisasi pengolahan perikanan regional, dan FAO, prosedur yang adil, transparan,
dan nondiskriminatif, untuk mengidentifikasi Negara manapun yang tidak bertindak sesuai
dengan, atau cara yang konsisten dengan Persetujuan ini.
4. Apabila setelah pemeriksaan Negara Pelabuhan, Pihak Negara Bendera menerima laporan
pemeriksaan yang menunjukkan adanya dasar yang jelas untuk meyakini bahwa sebuah kapal
yang berhak mengibarkan benderanya terlibat dalam IUU Fishing atau kegiatan yang
berkaitan dengan penangkapan ikan yang mendukung penangkapan ikan yang demikian,
Pihak Negara Bendera wajib segera melakukan investigasi secara menyeluruh masalah
tersebut dan wajib, dan bila bukti cukup, mengambil tindakan penegakan tanpa menunda-
nunda sesuai dengan hukum dan peraturan.
5. Setiap Pihak wajib dalam kapasitasnya sebagai Negara Bendera, melapor kepada Pihak lain,
Negara Pelabuhan yang terkait dan, bila perlu, Negara lain yang relevan, organisasi
pengelolaan perikanan regional dan FAO atas tindakan yang telah dilakukan terhadap kapal
yang berhak mengibarkan benderanya yang, sebagai hasil penerapan ketentuan Negara
13
pelabuhan sesuai dengan Persetujuan ini, telah dinyatakan terlibat dalam IUU Fishing atau
kegiatan yang berkaitan dengan penangkapan ikan yang mendukung penangkapan ikan yang
demikian.
6. Setiap Pihak wajib memastikan bahwa ketentuan yang diterapkan kepada kapal yang berhak
mengibarkan benderanya setidaknya sama efektifnya, dalam mencegah, menghalangi, dan
memberantas IUU Fishing atau kegiatan yang berkaitan dengan penangkapan ikan yang
mendukung penangkapan ikan yang demikian, sebagaimana ketentuan yang diterapkan pada
kapal yang tercantum pada paragraf 1 Pasal 3.
BAGIAN 6
PERSYARATAN BAGI NEGARA YANG SEDANG BERKEMBANG
Pasal 21
Persyaratan bagi Negara yang Sedang Berkembang
1. Pihak-pihak wajib memberikan pengakuan penuh terhadap persyaratan khusus bagi Pihak
negara yang sedang berkembang dalam hubungannya dengan penerapan ketentuan Negara
Pelabuhan yang konsisten dengan Persetujuan ini. Dalam pada itu, negara – negara pihak
wajib, baik secara langsung atau melalui FAO, badan khusus lain dari PBB atau organisasi
internasional yang relevan dan lembaga, termasuk organisasi pengelolaan perikanan regional
lain, memberikan bantuan kepada pengembangan Negara Pihak untuk, diantaranya:
(a) meningkatkan kemampuan mereka, khususnya negara miskin dan negara yang sedang
berkembang dalam bentuk pulau kecil, untuk membangun basis hukum dan kapasitas demi
penerapan ketentuan Negara Pelabuhan yang efektif;
(b) memfasilitasi partisipasi mereka dalam organisasi internasional manapun yang mendorong
pengembangan dan penerapan ketentuan Negara Pelabuhan yang efektif; dan
(c) memfasilitasi bantuan teknis untuk memperkuat pengembangan dan penerapan ketentuan
negara Pelabuhan oleh mereka, melalui koordinasi dengan mekanisme internasional yang
relevan.
2. Pihak-Pihak wajib memberikan pertimbangan terhadap persyaratan khusus bagi Pihak Negara
Pelabuhan yang berklasifikasi sebagai negara yang sedang berkembang khususnya negara
miskin dan Negara yang sedang berkembang dalam bentuk pulau kecil, untuk memastikan
bahwa beban yang tidak sebanding yang muncul dari pelaksanaan Persetujuan ini tidak
dilimpahkan secara langsung atau tidak langsung kepada mereka. Dalam hal telah terjadi
pelimpahan atas beban yang tidak sebanding, Pihak-Pihak wajib bekerja sama untuk
memfasilitasi pelaksanaan dari Pihak Negara yang sedang berkembang terhadap kewajiban –
kewajiban khusus di bawah Persetujuan ini.
3. Pihak-Pihak wajib, secara langsung atau melalui FAO, menilai persyaratan khusus bagi Pihak
Negara yang sedang berkembang sehubungan dengan pelaksanaan Persetujuan ini.
14
4. Pihak-Pihak wajib bekerja sama untuk membentuk mekanisme pendanaan yang memadai
untuk membantu Negara yang sedang berkembang dalam penerapan Perjajian ini. Mekanisme
ini wajib, diantaranya ditujukan secara khusus untuk:
(a) Mengembangkan ketentuan Negara Pelabuhan Nasional dan Internasional;
(b) Mengembangkan dan meningkatkan kapasitas, termasuk untuk memantau, mengendalikan
dan mengawasi serta untuk pelatihan bagi manajer pelabuhan, pemeriksa, serta aparat
penegakan dan pegawai hukum di level nasional dan regional;
(c) Memantau, mengendalikan, kegiatan – kegiatan kepatuah dan pengawasan yang relevan
dengan ketentuan Negara Pelabuhan, termasuk akses untuk teknologi dan perlengkapan;
dan
(d) Membantu Pihak Negara yang sedang berkembang dalam hal biaya yang berasal dari
sidang – sidang penyelesaian sengketa sebagai akibat dari tindakan – tindakan yang telah
mereka lakukan sebagaimana tertuang dalam Persetujuan ini.
5. Kerja sama dengan dan di antara Pihak Negara yang sedang berkembang untuk tujuan yang
tertera dalam Pasal ini dapat berupa ketentuan tentang bantuan teknis dan keuangan melalui
jalur bilateral, multilateral, dan regional, termasuk kerja sama selatan-selatan.
6. Pihak-pihak wajib membentuk kelompok kerja ad hoc untuk melaporkan secara berkala dan
membuat rekomendasi kepada Pihak-Pihak dalam pembentukan mekanisme pendanaan
termasuk sebuah skema untuk kontribusi, identifikasi, dan mobilisasi dana, pengembangan
kriteria dan prosedur untuk memandu pelaksanaan dan perkembangan penerapan mekanisme
pendanaan. Di samping pertimbangan-pertimbangan yang tertera dalam pasal ini, kelompok
kerja ad hoc wajib mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
(a) penilaian akan kebutuhan pengembangan Pihak Negara yang sedang berkembang,
khususnya negara miskin di antara mereka dan Negara yang sedang berkembang dalam
bentuk pulau kecil;
(b) ketersediaan dari pencairan dana yang tepat waktu;
(c) ketransparanan dalam pengambilan keputusan dan proses pengelolaan pengumpulan dan
alokasi dana; dan
(d) akuntabilitas Pihak Negara yang sedang berkembang sebagai penerima dalam penggunaan
dana yang disetujui. Pihak wajib mempertimbangkan laporan dan rekomendasi dari
kelompok kerja ad hoc dan mengambil langkah – langkah yang diperlukan.
15
BAGIAN 7
PENYELESAIAN SENGKETA
Pasal 22
Penyelesaian Perselisihan secara Damai
1. Pihak-pihak boleh melakukan konsultasi dengan pihak lain atau Pihak-pihak lain mengenai
interpretasi atau aplikasi ketentuan – ketentuan Persetujuan ini dengan maksud untuk
mencapai sebuah penyelesaian yang memuaskan kedua belah pihak sesegera mungkin.
2. Dalam hal perselisihan tersebut tidak dapat diselesaikan melalui konsultasi ini dalam rentang
waktu yang memadai, Pihak-pihak yang sedang bermasalah wajib berkonsultasi di antara
mereka sendiri sesegera mungkin dengan maksud untuk menyelesaikan perselisihan dengan
negosiasi, penyelidikan, mediasi, konsiliasi, arbitrasi, penyelesaian hukum atau sarana damai
lain sesuai pilihan mereka.
3. Perselisihan yang tidak terselesaikan wajib, atas persetujuan seluruh pihak yang bersengketa,
diajukan ke Mahkamah Internasional untuk diselesaikan, ke Pengadilan Internasional untuk
Hukum Laut atau Arbitrasi. Apabila tidak dapat diselesaikan di Mahkamah Internasional,
Pengadilan Internasional untuk Hukum Laut atau Arbitrasi, Pihak-pihak tersebut wajib terus
berkonsultasi dan bekerjasama dengan maksud untuk menyelesaikan persengketaan merujuk
kepada aturan Hukum Internasional yang berkenaan dengan konvensi sumber daya kelautan
hayati.
BAGIAN 8
NON-PIHAK
Pasal 23
Non-pihak Dalam Persetujuan Ini
1. Pihak-pihak wajib mendorong Non-Pihak dalam Persetujuan ini untuk menjadi Pihak dalam
Persetujuan ini dan/atau untuk mengadopsi hukum dan peraturan serta menerapkan langkah –
langkah yang konsisten dengan ketetapannya.
2. Pihak-pihak wajib mengambil langkah-langkah yang adil, nondiskriminatif, dan transparan
yang konsisten dengan Persetujuan ini dan hukum internasional lain yang berlaku untuk
menghalangi kegiatan Non-Pihak yang mengurangi keefektifan penerapan Persetujuan ini.
16
BAGIAN 9
PEMANTAUAN, PENINJAUAN ULANG, DAN PENILAIAN
Pasal 24
Pemantauan, Peninjauan Ulang, dan Penilaian
1. Pihak-Pihak wajib, dalam kerangka kerja FAO dan badan terkaitnya, memastikan pemantauan
teratur dan sistematis dan peninjauan ulang terhadap penerapan Persetujuan ini serta penilaian
perkembangan yang diperoleh dalam mencapai tujuan.
2. Empat tahun setelah pemberlakuan Persetujuan ini, FAO wajib mengadakan persidangan dari
para Pihak untuk meninjau ulang dan menilai keefektifan Persetujuan ini dalam mencapai
tujuan. Pihak-pihak wajib menentukan sidang selanjutnya apabila diperlukan.
BAGIAN 10
KETENTUAN AKHIR
Pasal 25
Penandatanganan
Persetujuan ini terbuka untuk ditandatangani pada ** dari ** sampai ** oleh seluruh Pihak
dan organisasi integrasi ekonomi regional.
Pasal 26
Ratifikasi, Penerimaan, atau Persetujuan
1. Persetujuan ini wajib diratifikasi, diterima atau disetujui oleh yang menandatangani
Persetujuan ini.
2. Instrumen Ratifikasi, Penerimaan, atau Persetujuan wajib disimpan di Depositari.
Pasal 27
Aksesi
1. Setelah periode di mana Persetujuan terbuka untuk ditandatangani, Persetujuan ini terbuka
untuk aksesi oleh Negara atau organisasi integrasi ekonomi regional manapun.
2. Instrumen aksesi wajib disimpan di Depositari.
17
Pasal 28
Keikutsertaan Organisasi Integrasi Ekonomi Regional
1. Dalam hal dimana organisasi integrasi ekonomi regional yang merupakan organisasi
internasional sebagaimana dimaksud dalam Lampiran IX, Pasal 1 Konvensi ini tidak memiliki
kompetensi atas seluruh hal yang diatur dalam Persetujuan ini, Lampiran IX Konvensi ini
berlaku mutatis mutandis terhadap keikutsertaan organisasi integrasi ekonomi regional
tersebut dalam Persetujuan ini, kecuali ketetapan-ketetapan Lampiran berikut ini:
(a) Pasal 2, kalimat pertama; dan
(b) Pasal 3, paragraph 1.
2. Dalam hal dimana organisasi kepaduan ekonomi regional yang merupakan organisasi
internasional sebagaimana dimaksud dalam Lampiran IX, Pasal 1 Konvensi ini memiliki
kompetensi akan seluruh hal yang diatur dalam Persetujuan ini, ketetapan berikut berlaku
terhadap keikutsertaan organisasi integrasi ekonomi regional dalam Persetujuan ini:
(a) pada saat penandatanganan atau aksesi, organisasi tersebut wajib membuat pernyataan
yang menyatakan:
(i) bahwa organisasi tersebut memliki kompetensi terhadap hal-hal yang diatur dalam
Persetujuan ini;
(ii) bahwa, untuk alasan ini, Negara anggotanya tidak wajib menjadi Negara Pihak, kecuali
atas wilayah mereka dimana organisasi tidak memiliki tanggung jawab; dan
(iii)bahwa organisasi menerima hak dan kewajiban Negara di bawah Persetujuan ini;
(b) keikutsertaan organisasi tersebut sama sekali tidak boleh memberikan hak apapun di
bawah Persetujuan ini pada Negara anggota organisasi.
(c) apabila terjadi pertentangan antara kewajiban organisasi di bawah Persetujuan ini dan
kewajiban di bawah Persetujuan yang membentuk organisasi tersebut atau undang –
undang apa pun yang berkenaan dengan itu, kewajiban organisasi di bawah Persetujuan ini
berlaku.
Pasal 29
Pemberlakuan Persetujuan
1. Persetujuan ini mulai berlaku 30 hari setelah tanggal penyimpanan di Depositari atas
instrumen ratifikasi, penerimaan, persetujuan atau aksesi ke dua puluh lima sesuai dengan
Pasal 26 atau 27.
2. Bagi setiap penandatangan yang meratifikasi, menerima, atau menyetujui Persetujuan ini
setelah Persetujuan ini berlaku, Persetujuan ini akan berlaku 30 hari setelah tanggal
penyimpanan instrumen ratifikasi, penerimaan, atau persetujuan.
18
3. Bagi tiap Negara atau organisasi integrasi ekonomi regional yang melakukan aksesi
Persetujuan ini setelah Persetujuan ini berlaku, Persetujuan ini akan berlaku 30 hari setelah
tanggal penyimpanan instrumen aksesi.
4. Demi tujuan Pasal ini, instrumen apa pun yang disimpan oleh organisasi integrasi ekonomi
regional tidak dianggap sebagai tambahan kepada yang telah disimpan oleh Negara anggota.
Pasal 30
Pensyaratan dan Pengecualian
Pensyaratan dan pengecualian tidak diboleh dilakukan terhadap Persetujuan ini.
Pasal 31
Deklarasi dan Pernyataan
Pasal 30 tidak menghalangi suatu negara atau organisasi integrasi ekonomi regional, ketika
menandatangani, meratifikasi, menerima, menyetujui, atau mengaksesi Persetujuan ini, dengan
melakukan deklarasi atau pernyataan, atau apapun namanya, dengan maksud untuk antara lain
harmonisasi hukum dan peraturan dengan ketetapan-ketetapan dalam Persetujuan ini, apabila
deklarasi atau pernyataan tersebut tidak bermaksud mengenyampingkan atau untuk mengubah
pengaruh hukum ketetapan-ketetapan dalam Persetujuan ini dalam penerapannya kepada Negara
atau organisasi integrasi ekonomi regional.
Pasal 32
Pemberlakuan Sementara
1. Persetujuan ini berlaku untuk sementara waktu oleh Negara-negara atau organisasi-organisasi
integrasi ekonomi regional yang setuju terhadap pemberlakuan sementara dengan
memberitahu Depositari secara tertulis. Pemberlakuan sementara tersebut menjadi efektif dari
tanggal penerimaan pemberitahuan tersebut.
2. Pemberlakuan sementara oleh Negara-negara atau organisasi-organisasi integrasi ekonomi
regional harus berakhir dengan berlakunya Persetujuan ini bagi Negara-negara atau
organisasi-organisasi integrasi ekonomi regional atau atas pemberitahuan oleh Negara-negara
tersebut atau organisasi-organisasi integrasi ekonomi regional kepada Depositari secara
tertulis dengan maksud mengakhiri pemberlakuan sementara.
Pasal 33
Amandemen
1. Pihak manapun dapat mengajukan amandemen terhadap Persetujuan ini dua tahun setelah
berlakunya Persetujuan ini.
2. Amandemen yang diajukan terhadap Persetujuan ini wajib disampaikan secara tertulis kepada
Depositari bersama dengan permohonan untuk menyelenggarakan pertemuan para Pihak
untuk mempertimbangkan amandemen dimaksud. Depositori wajib mengkomunikasikan hal
tersebut kepada seluruh Pihak dan menjawab permohonan yang disampaikan oleh Pihak-
19
pihak. Kecuali kalau dalam waktu enam bulan sejak tanggal pengkomunikasian tersebut, 1 ½
dari Pihak berkeberatan akan permohonan itu, Depositori wajib mengadakan pertemuan para
Pihak untuk mempertimbangkan amandemen yang diajukan.
3. Mengingat Pasal 34, amandemen terhadap Persetujuan ini hanya akan diadopsi melalui
kesepakatan Pihak-pihak yang hadir dalam sidang dimana amandemen tersebut diajukan untuk
diadopsi.
4. Mengingat Pasal 34, amandemen yang diadopsi dalam pertemuan para Pihak akan berlaku
setelah Pihak-pihak meratifikasi, menerima, atau menyetujuinya 90 hari setelah penyimpanan
instrumen ratifikasi, penerimaan atau persetujuan oleh 2/3 Pihak dihitung dari jumlah Pihak
pada tanggal adopsi amandemnen tersebut. Kemudian, amandemen akan berlaku bagi Pihak
yang lain 90 hari setelah Pihak tersebut menyimpan instrumen ratifikasi, penerimaan, atau
persetujuan terhadap amandemen tersebut.
5. Demi tujuan Pasal ini, instrumen yang disimpan oleh organisasi integrasi ekonomi regional
tidak dihitung sebagai tambahan dari yang telah disimpan Negara anggota.
Pasal 34
Lampiran - lampiran
1. Lampiran - lampiran tersebut membentuk bagian yang tidak dapat dipisahkan dari Persetujuan
ini dan pengacuan kepada Persetujuan ini merupakan pengacuan kepada lampiran – lampiran.
2. Sebuah amandemen terhadap lampiran perjanian ini dapat dilaksanakan oleh 2/3 Pihak dalam
Persetujuan ini yang hadir dalam pertemuan dimana amandemen yang diajukan terhadap
lampiran dipertimbangkan. Setiap usaha wajib dimaksudkan untuk mencapai kesepakatan
terhadap amandemen kepada lampiran melalui cara mufakat. Amandemen terhadap sebuah
lampiran wajib dibentuk dalam Persetujuan ini dan berlaku bagi Pihak-pihak yang telah
meyatakan penerimaan mereka pada tanggal Depositori menerima pemberitahuan penerimaan
dari 1/3 Pihak dalam Persetujuan ini berdasarkan jumlah Pihak pada tangal pelaksanan
amandemen. Amandemen akan berlaku bagi setiap pihak lainnya setelah Depositori menerima
pernyataan penerimaan.
Pasal 35
Penarikan Diri
Pihak mana pun dapat menarik diri dari Persetujuan ini sewaktu-waktu satu tahun setelah tanggal
berlakunya Persetujuan ini bagi Pihak-Pihak tersebut, dengan memberikan pemberitahuan
penarikan diri secara tertulis kepada Depositori. Penarikan diri berlaku satu tahun setelah
Depositori menerima pernyataan penarikan diri.
20
Pasal 36
Depositori
Direktur Jenderal FAO akan menjadi Depositori dari Persetujuan ini. Depositori wajib:
a. memberikan salinan resmi Persetujuan ini kepada setiap penanda tangan dan Pihak:
b. mendaftarkan Persetujuan ini, setelah Persetujuan ini berlaku, kepada Sekretariat PBB sesuai
dengan Pasal 102 Piagam PBB;
c. segera memberitahu setiap penanda tangan dan Pihak dalam Persetujuan ini mengenai:
(i) tanda tangan dan instrumen ratifikasi, penerimaan, persetujuan, dan aksesi di bawah Pasal
25, 26, dan 27;
(ii) tanggal mulai berlakunya Persetujuan ini sesuai dengan Pasal 29;
(iii) pengajuan amandemen terhadap Persetujuan ini dan pelaksanaanya serta mulai berlakunya
sesuai dengan Pasal 33
(iv) pengajuan amandemen terhadap lampiran – lampiran dan pelaksanaannya serta mulai
berlakunya sesuai dengan Pasal 34;
(v) Penarikan diri dari Persetujuan ini sesuai dengan Pasal 35.
Pasal 37
Teks-Teks Otentik
Teks berbahasa Arab, Cina, Inggris, Perancis, Rusia, dan Spanyol dari Persetujuan ini memiliki
keotentikan yang sama.
Saksi Persetujuan, duta yang berkuasa penuh yang bertanda tangan di bawah ini, yang
berwenang dengan semestinya telah menandatangani Persetujuan ini.
Ditandatangani pada hari ini, tahun 2009.
21
ANNEX A Informasi yang harus disediakan oleh kapal yang meminta izin memasuki
pelabuhan
1. Pelabuhan tujuan
2. Negara Pelabuhan
3. Perkiraan tanggal dan waktu kedatangan
4. Maksud kedatangan
5. Pelabuhan dan tanggal permintaan izin masuk pelabuhan terakhir
6. Nama kapal
7. Negara bendera
8. Tipe kapal
9. Kode panggil radio internasional
10. Informasi kontak kapal
11. Pemilik kapal
12. Identitas sertifikat pendaftaran
13. Identitas kapal dari IMO, jika tersedia
14. Identitas External, jika tersedia
15. Identitas RFMO, jika tersedia
16. VMS Tidak Ya: Nasional Ya: RFMO(s) Tipe
17. Dimensi kapal Panjang Lebar Kedalaman
18. Nama dan kebangsaan Nakhoda kapal
19. Perizinan penangkapan ikan yang relevan
Pemeriksa Dikeluarkan oleh Validitas Area Penangkapan Spesies Alat penangkapan
20. Perizinan transshipment yang relevan
Pemeriksa Dikeluarkan oleh Validitas
Pemeriksa Dikeluarkan oleh Validitas
21. Informasi transshipment mengenai kapal donor
Tanggal Lokasi Nama Negara bendera
Nomor ID Spesies
Bentuk Produk
Area penangkapan Jumlah
22. Total tangkapan di kapal 23. Tangkapan yang akan diturunkan
Spesies Formulir Produk Area penangkapan Kuantitas Kuantitas
22
ANNEX B
Prosedur inspeksi Negara pelabuhan
Pemeriksa wajib: a) Memverifikasi, sejauh mungkin, bahwa dokumen identifikasi kapal dan
informasi mengenai pemilik kapal adalah benar, lengkap, dan tepat,
termasuk melalui kontak dengan Negara bendera atau catatan kapal internasional jika diperlukan;
b) Memverifikasi bahwa bendera dan tanda kapal (seperti nama, nomor
registrasi eksternal, nomor identifikasi kapal dari IMO, kode panggil radio internasional dan tanda lainnya, dan juga dimensi utama dari
kapal) konsisten dengan informasi yang tercantum dalam dokumentasi; c) Memverifikasi, sejauh mungkin, bahwa perizinan untuk penangkapan
ikan dan aktivitas penangkapan ikan dan aktivitas terkait penangkapan
ikan adalah benar, lengkap, dan tepat, dan konsisten dengan informasi yang disediakan sesuai Lampiran A;
d) Meninjau semua dokumentasi lain yang terkait dan catatan yang ada di kapal, termasuk, sejauh mungkin, yang berbentuk format elektornik dan data system pemantauan kapal (vessel monitoring system/VMS) dari
Negara bendera atau RFMO yang terkait. Dokumentasi terkait tersebut dapat meliputi logbook, tangkapan, transshipment, dan dokumen perdagangan, daftar anak buah kapal, rencana pemadatan muatan
beserta bagan, deskripsi ikan yang dimuat, dan dokumen yang diperlukan terkait dengan Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora;
e) Memeriksa, sejauh mungkin, semua alat penangkapan ikan terkait yang
ada di kapal, termasuk alat penangkapan ikan dan alat terkait yang disimpan, dan sejauh mungkin, memverifikasi bahwa alat tersebut sesuai dengan kondisi perizinan. Alat penangkapan ikan tersebut wajib,
sejauh mungkin, dicek untuk memastikan bahwa fitur seperti mesh and twine size, devices and attachments, dimensions and configuration of nets, pots, dredges, hook sizes and numbers adalah sesuai dengan
peraturan yang berlaku dan bahwa tanda-tanda kapal sesuai dengan yang ditetapkan bagi kapal tersebut;
f) Menentukan, sejauh mungkin, apakah ikan di atas kapal ditangkap sesuai dengan perizinan yang berlaku;
g) Memeriksa ikan, termasuk dengan mengambil sampel, untuk
menentukan kuantitas dan komposisinya. Dalam melakukan hal tersebut, pemeriksa dapat membuka tempat penyimpanan dimana ikan
telah dikemas dan memindahkan tangkapan atau tempat penyimpanan untuk memastikan integritas ikan tersebut. Pemeriksaan tersebut dapat meliputi inspeksi atas tipe produk dan penentuan berat nominal;
h) Mengevaluasi apakah terdapat bukti yang nyata untuk menduga bahwa sebuah kapal telah terlinat dalam IUU Fishing atau aktivitas terkait
penangkapan ikan yang mendukung kegiatan IUU Fishing tersebut;
23
i) Menyediakan Nakhoda kapal dengan laporan berisi hasil pemeriksaan, termasuk upaya-upaya yang mungkin akan diambil, untuk
ditandatangani oleh pemeriksa dan Nakhoda. Tanda tangan Nakhoda pada laporan tersebut hanya berfungsi sebagai tanda terima atas salinan
laporan tersebut. Nakhoda kapal akan diberikan kesempatan untuk menambahkan komentar atau keberatan atas laporan tersebut, dan, sebagaimana patut, menghubungi otoritas terkait dari Negara bendera,
khususnya dimana Nakhoda menghadapi kesulitan serius dalam memahami isi laporan tersebut. Salinan dari laporan tersebut wajib disediakan untuk sang Nakhoda;
j) Mengatur, jika dibutuhkan dan memungkinkan, untuk terjemahan atas dokumentasi terkait.
24
ANNEX C
Laporan Hasil Pemeriksaan
1. No Hasil Pemeriksaan 2. Negara Pelabuhan
3. Otoritas yang memeriksa
4. Nama pemeriksa utama ID
5. Pelabuhan tempat diperiksa
6. Saat berlangsungnya pemeriksaan YYYY MM DD HH
7. Saat selesainya pemeriksaan YYYY MM DD HH
8. Pemberitahuan awal diterima Yes No
9. Maksud LAN TRX PRO OTH (specify)
10. Pelabuhan dan Negara dan tanggal permintaan izin masuk pelabuhan terakhir YY MM DD
11. Nama Kapal
12. Negara bendera
13. Tipe kapal
14. Kode panggil radio internasional
15. ID sertifikat pendaftaran
16. ID kapal IMO, jika tersedia
17. ID eksternal, jika tersedia
18. Pelabuhan tempat pendaftaran
19. Pemilik kapal
20. Penerima manfaat atas kapal, jika diketahui dan berbeda dari pemilik kapal
21. Operator kapal, jika berbeda dari pemilik kapal
22. Nama Nakhoda kapal dan kebangsaan
23. nama dan kebangsaan nahkoda
24. Agen kapal
25. VMS Tidak Ya: National Ya: RFMOs Tipe:
26. Status di wilayah RFMO dimana penangkapan ikan atau aktifitas terkait penangkapan ikan telah dilakukan, dan apakah termasuk daftar kapal IUU Fishing
Pemeriksa kapal RFMO Status Negara
bendera
Kapal dalam daftar kapal
yang diizinkan
Kapal dalam daftar IUU Fishing
27. Perizinan penangkapan ikan yang terkait
Pemeriksa Diterbitkan oleh Validitas
Daerah penangkapan Spesies Alat tangkap
28. Perizinan transshipment yang terkait
Pemeriksa Diterbitkan oleh Validitas
Pemeriksa Diterbitkan oleh Validitas
25
29. Informasi transshipment mengenai kapal donor
Nama Negara bendera No ID Spesies
Formulir Produk
Daerah tangkapan Kuantitas
30. Evaluasi atas tangkapan yang diturunkan dari kapal (kuantitas)
Spesies Bentuk produk
Daerah tangkapan
Kuantitas yang dideklarasikan
Kuantitas yang diturunkan dari kapal
Perbedaan antara kuantitas yang dideklarasikan dan
kuantitas hasil pemeriksaan, jika ada
31. tangkapan yang dipertahankan di kapal (kuantitas)
Spesies Bentuk produk
Daerah tangkapan
Kuantitas yang dideklarasikan
Kuantitas yang dipertahankan
Perbedaan antara kuantitas yang dideklarasikan dan
kuantitas hasil pemeriksaan, jika ada
32. Pemeriksaan logbook dan dokumentasi lainnya Ya Tidak Komentar
33. Kepatuhan dengan skema dokumentasi tangkapan yang berlaku Ya Tidak
Komentar
34. Kepatuhan dengan skeman informasi perdagangan yang berlaku
Komentar
Tidak Komentar
35. Tipe alat tangkap yang digunakan
36. Alat tangkap diperiksa sesuai dengan huruf e Lampiran B Ya Tidak Komentar
37. Temuan oleh pemeriksa
38. Pelanggaran nyata dicatat termasuk rujukan kepada instrument hukum yang terkait
39. Komentar oleh Nakhoda
40. Tindakan yang diambil
41. Tanda tangan Nahkoda
42. Tanda tangan Pemeriksa
26
ANNEX D
Sistem informasi mengenai tindakan Negara pelabuhan
Dalam mengimplementasikan persetujuan ini, setiap pihak wajib: a) mencoba membentuk komunikasi terkomputerisasi sesuai dengan Pasal
16; b) membentuk, sejauh mungkin, website untuk mempublikasikan daftar
pelabuhan yang ditunjuk sesuai dengan Pasal 7 dan tindakan-tindakan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang terkait dari Persetujuan ini;
c) mengidentifikasi, sejauh mungkin, setiap laporan pemeriksaan dengan nomor referensi unik berawalan 3-kode alfa dari Negara pelabuhan dan identifikasi dari lembaga yang menerbitkan;
d) memanfaatkan, sejauh mungkin, sistem kode internasional dibawah ini dalam Lampiran A dan C dan menerjemahkan sistem kode lainnya ke
dalam sistem internasional tersebut. Negara/Wilayah: 3-kode alfa Negara ISO-3166
Spesies: 3-kode alfa ASFIS (juga dikenal FAO 3-kode alfa) Tipe Kapal: kode ISSCFV (juga dikenal sebagai kode alfa FAO)
Tipe Alat Tangkap: kode ISSCFG (juga dikenal sebagai kode alfa FAO)
27
ANNEX E
Panduan bagi pelatihan pemeriksa
Elemen dari suatu program pelatihan bagi pemeriksa Negara pelabuhan setidaknya harus meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Etika; 2. Isu kesehatan, keselamatan dan keamanan; 3. Hukum dan peraturan nasional yang terkait, area kompetensi dan
upaya konservasi dan pengelolaan dari RFMO yang terkait, dan hukum internasional yang terkait;
4. Pengumpulan, evaluasi, dan pemeliharaan barang bukti; 5. Prosedur umum pemeriksaan seperti penulisan laporan laporan, dan
teknik wawancara;
6. Analisis informasi, seperti logbook, dokumentasi elektronik, dan sejarah kapal (nama, kepemilikan, dan Negara bendera), yang diperlukan bagi
validasi informasi yang diberikan oleh Nakhoda kapal; 7. Inspeksi dan menaiki kapal, termasuk mengadakan pemeriksaan
ruangan muatan dan perhitungan atas volume ruangan muatan kapal;
8. Verifikasi dan validasi informasi terkait pendaratan, transshipments, pengolahan, dan ikan yang masih berada di kapal, termasuk memanfaatkan factor konversi bagi berbagai produk dan spesies;
9. Identifikasi spesies ikan, dan pengukuran panjang ikan dan parameter biologis lainnya;
10. Identifikasi kapal dan alat tangkap, dan teknik inspeksi dan pengukuran alat tangkap;
11. Peralatan dan pengoperasian VMS dan sistem pelacak elektronik
lainnya; dan 12. Tindakan-tindakan yang akan diambil menindaklanjuti pemeriksaan.
Salinan asli yang disahkan dari versi bahasa Inggris Persetujuan tentang Ketentuan Negara Pelabuhan untuk Mencegah, Menghalangi, dan
Memberantas Penangkapan Ikan yang Ilegal, Tidak Dilaporkan, dan Tidak Diatur yang disetujui pada 22 November 2009 dalam Sesi Ke-36 Konferensi FAO. Sesuai dengan ketentuan Pasal 7 Bab 14 dari Konstitusi FAO, salinan
ini telah disahkan oleh Direktur Jenderal Organisasi dan Pimpinan Sidang Konferensi.
Jacques Diouf Kathleen Merrigan
Direktur Jenderal Pimpinan Sidang Konferensi Food and Agriculture Organization
Perserikatan Bangsa-Bangsa
AGREEMENT ON PORT STATE MEASURES TO PREVENT, DETER AND
ELIMINATE ILLEGAL, UNREPORTED AND UNREGULATED FISHING
PREAMBLE
The Parties to this Agreement,
Deeply concerned about the continuation of illegal, unreported and unregulated fishing
and its detrimental effect upon fish stocks, marine ecosystems and the livelihoods of
legitimate fishers, and the increasing need for food security on a global basis,
Conscious of the role of the port State in the adoption of effective measures to promote
the sustainable use and the long-term conservation of living marine resources,
Recognizing that measures to combat illegal, unreported and unregulated fishing should
build on the primary responsibility of flag States and use all available jurisdiction in
accordance with international law, including port State measures, coastal State measures,
market related measures and measures to ensure that nationals do not support or engage in
illegal, unreported and unregulated fishing,
Recognizing that port State measures provide a powerful and cost-effective means of
preventing, deterring and eliminating illegal, unreported and unregulated fishing,
Aware of the need for increasing coordination at the regional and interregional levels to
combat illegal, unreported and unregulated fishing through port State measures,
Acknowledging the rapidly developing communications technology, databases, networks
and global records that support port State measures,
Recognizing the need for assistance to developing countries to adopt and implement port
State measures,
Taking note of the calls by the international community through the United Nations
System, including the United Nations General Assembly and the Committee on Fisheries
of the Food and Agriculture Organization of the United Nations, hereinafter referred to as
‘FAO’, for a binding international instrument on minimum standards for port State
measures, based on the 2001 FAO International Plan of Action to Prevent, Deter and
Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated Fishing and the 2005 FAO Model Scheme
on Port State Measures to Combat Illegal, Unreported and Unregulated Fishing,
2
Bearing in mind that, in the exercise of their sovereignty over ports located in their
territory, States may adopt more stringent measures, in accordance with international law,
Recalling the relevant provisions of the United Nations Convention on the Law of the Sea
of 10 December 1982, hereinafter referred to as the ‘Convention’,
Recalling the Agreement for the Implementation of the Provisions of the United Nations
Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982 relating to the Conservation and
Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks of 4 December
1995, the Agreement to Promote Compliance with International Conservation and
Management Measures by Fishing Vessels on the High Seas of 24 November 1993 and
the 1995 FAO Code of Conduct for Responsible Fisheries,
Recognizing the need to conclude an international agreement within the framework of
FAO, under Article XIV of the FAO Constitution,
Have agreed as follows:
PART 1
GENERAL PROVISIONS
Article 1
Use of terms
For the purposes of this Agreement:
(a) “conservation and management measures” means measures to conserve and
manage living marine resources that are adopted and applied consistently with
the relevant rules of international law including those reflected in the
Convention;
(b) “fish” means all species of living marine resources, whether processed or not;
(c) “fishing” means searching for, attracting, locating, catching, taking or
harvesting fish or any activity which can reasonably be expected to result in
the attracting, locating, catching, taking or harvesting of fish;
3
(d) “fishing related activities” means any operation in support of, or in
preparation for, fishing, including the landing, packaging, processing,
transshipping or transporting of fish that have not been previously landed at a
port, as well as the provisioning of personnel, fuel, gear and other supplies at
sea;
(e) “illegal, unreported and unregulated fishing” refers to the activities set out in
paragraph 3 of the 2001 FAO International Plan of Action to Prevent, Deter
and Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated Fishing, hereinafter
referred to as ‘IUU fishing’;
(f) “Party” means a State or regional economic integration organization that has
consented to be bound by this Agreement and for which this Agreement is in
force;
(g) “port” includes offshore terminals and other installations for landing,
transshipping, packaging, processing, refuelling or resupplying;
(h) “regional economic integration organization” means a regional economic
integration organization to which its member States have transferred
competence over matters covered by this Agreement, including the authority
to make decisions binding on its member States in respect of those matters;
(i) “regional fisheries management organization” means an intergovernmental
fisheries organization or arrangement, as appropriate, that has the competence
to establish conservation and management measures; and
(j) “vessel” means any vessel, ship of another type or boat used for, equipped to
be used for, or intended to be used for, fishing or fishing related activities.
Article 2
Objective
The objective of this Agreement is to prevent, deter and eliminate IUU fishing
through the implementation of effective port State measures, and thereby to ensure the
long-term conservation and sustainable use of living marine resources and marine
ecosystems.
4
Article 3
Application
1. Each Party shall, in its capacity as a port State, apply this Agreement in respect of
vessels not entitled to fly its flag that are seeking entry to its ports or are in one of its
ports, except for:
(a) vessels of a neighbouring State that are engaged in artisanal fishing for
subsistence, provided that the port State and the flag State cooperate to ensure
that such vessels do not engage in IUU fishing or fishing related activities in
support of such fishing ; and
(b) container vessels that are not carrying fish or, if carrying fish, only fish that
have been previously landed, provided that there are no clear grounds for
suspecting that such vessels have engaged in fishing related activities in
support of IUU fishing.
2. A Party may, in its capacity as a port State, decide not to apply this Agreement to
vessels chartered by its nationals exclusively for fishing in areas under its national
jurisdiction and operating under its authority therein. Such vessels shall be subject to
measures by the Party which are as effective as measures applied in relation to vessels
entitled to fly its flag.
3. This Agreement shall apply to fishing conducted in marine areas that is illegal,
unreported or unregulated, as defined in Article 1(e) of this Agreement, and to fishing
related activities in support of such fishing.
4. This Agreement shall be applied in a fair, transparent and non-discriminatory
manner, consistent with international law.
5. As this Agreement is global in scope and applies to all ports, the Parties shall
encourage all other entities to apply measures consistent with its provisions. Those that
may not otherwise become Parties to this Agreement may express their commitment to
act consistently with its provisions.
Article 4
Relationship with international law and other international instruments
1. Nothing in this Agreement shall prejudice the rights, jurisdiction and duties of
Parties under international law. In particular, nothing in this Agreement shall be construed
to affect:
5
(a) the sovereignty of Parties over their internal, archipelagic and territorial
waters or their sovereign rights over their continental shelf and in their
exclusive economic zones;
(b) the exercise by Parties of their sovereignty over ports in their territory in
accordance with international law, including their right to deny entry thereto
as well as to adopt more stringent port State measures than those provided for
in this Agreement, including such measures adopted pursuant to a decision of
a regional fisheries management organization.
2. In applying this Agreement, a Party does not thereby become bound by measures or
decisions of, or recognize, any regional fisheries management organization of which it is
not a member.
3. In no case is a Party obliged under this Agreement to give effect to measures or
decisions of a regional fisheries management organization if those measures or decisions
have not been adopted in conformity with international law.
4. This Agreement shall be interpreted and applied in conformity with international
law taking into account applicable international rules and standards, including those
established through the International Maritime Organization, as well as other international
instruments.
5. Parties shall fulfil in good faith the obligations assumed pursuant to this Agreement
and shall exercise the rights recognized herein in a manner that would not constitute an
abuse of right.
Article 5
Integration and coordination at the national level
Each Party shall, to the greatest extent possible:
(a) integrate or coordinate fisheries related port State measures with the broader
system of port State controls;
(b) integrate port State measures with other measures to prevent, deter and
eliminate IUU fishing and fishing related activities in support of such fishing,
taking into account as appropriate the 2001 FAO International Plan of Action
to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated Fishing;
and
6
(c) take measures to exchange information among relevant national agencies and
to coordinate the activities of such agencies in the implementation of this
Agreement.
Article 6
Cooperation and exchange of information
1. In order to promote the effective implementation of this Agreement and with due
regard to appropriate confidentiality requirements, Parties shall cooperate and exchange
information with relevant States, FAO, other international organizations and regional
fisheries management organizations, including on the measures adopted by such regional
fisheries management organizations in relation to the objective of this Agreement.
2. Each Party shall, to the greatest extent possible, take measures in support of
conservation and management measures adopted by other States and other relevant
international organizations.
3. Parties shall cooperate, at the subregional, regional and global levels, in the
effective implementation of this Agreement including, where appropriate, through FAO
or regional fisheries management organizations and arrangements.
PART 2
ENTRY INTO PORT
Article 7
Designation of ports
1. Each Party shall designate and publicize the ports to which vessels may request
entry pursuant to this Agreement. Each Party shall provide a list of its designated ports to
FAO, which shall give it due publicity.
2. Each Party shall, to the greatest extent possible, ensure that every port designated
and publicized in accordance with paragraph 1 of this Article has sufficient capacity to
conduct inspections pursuant to this Agreement.
7
Article 8
Advance request for port entry
1. Each Party shall require, as a minimum standard, the information requested in
Annex A to be provided before granting entry to a vessel to its port.
2. Each Party shall require the information referred to in paragraph 1 of this Article to
be provided sufficiently in advance to allow adequate time for the port State to examine
such information.
Article 9
Port entry, authorization or denial
1. After receiving the relevant information required pursuant to Article 8, as well as
such other information as it may require to determine whether the vessel requesting entry
into its port has engaged in IUU fishing or fishing related activities in support of such
fishing, each Party shall decide whether to authorize or deny the entry of the vessel into
its port and shall communicate this decision to the vessel or to its representative.
2. In the case of authorization of entry, the master of the vessel or the vessel’s
representative shall be required to present the authorization for entry to the competent
authorities of the Party upon the vessel’s arrival at port.
3. In the case of denial of entry, each Party shall communicate its decision taken
pursuant to paragraph 1 of this Article to the flag State of the vessel and, as appropriate
and to the extent possible, relevant coastal States, regional fisheries management
organizations and other international organizations.
4. Without prejudice to paragraph 1 of this Article, when a Party has sufficient proof
that a vessel seeking entry into its port has engaged in IUU fishing or fishing related
activities in support of such fishing, in particular the inclusion of a vessel on a list of
vessels having engaged in such fishing or fishing related activities adopted by a relevant
regional fisheries management organization in accordance with the rules and procedures
of such organization and in conformity with international law, the Party shall deny that
vessel entry into its ports, taking into due account paragraphs 2 and 3 of Article 4.
5. Notwithstanding paragraphs 3 and 4 of this Article, a Party may allow entry into its
ports of a vessel referred to in those paragraphs exclusively for the purpose of inspecting
it and taking other appropriate actions in conformity with international law which are at
least as effective as denial of port entry in preventing, deterring and eliminating IUU
fishing and fishing related activities in support of such fishing.
8
6. Where a vessel referred to in paragraph 4 or 5 of this Article is in port for any
reason, a Party shall deny such vessel the use of its ports for landing, transshipping,
packaging, and processing of fish and for other port services including, inter alia,
refuelling and resupplying, maintenance and drydocking. Paragraphs 2 and 3 of Article
11 apply mutatis mutandis in such cases. Denial of such use of ports shall be in
conformity with international law.
Article 10
Force majeure or distress
Nothing in this Agreement affects the entry of vessels to port in accordance with
international law for reasons of force majeure or distress, or prevents a port State from
permitting entry into port to a vessel exclusively for the purpose of rendering assistance to
persons, ships or aircraft in danger or distress.
PART 3
USE OF PORTS
Article 11
Use of ports
1. Where a vessel has entered one of its ports, a Party shall deny, pursuant to its laws
and regulations and consistent with international law, including this Agreement, that
vessel the use of the port for landing, transshipping, packaging and processing of fish that
have not been previously landed and for other port services, including, inter alia,
refuelling and resupplying, maintenance and drydocking, if:
(a) the Party finds that the vessel does not have a valid and applicable
authorization to engage in fishing or fishing related activities required by its
flag State;
(b) the Party finds that the vessel does not have a valid and applicable
authorization to engage in fishing or fishing related activities required by a
coastal State in respect of areas under the national jurisdiction of that State;
(c) the Party receives clear evidence that the fish on board was taken in
contravention of applicable requirements of a coastal State in respect of areas
under the national jurisdiction of that State;
9
(d) the flag State does not confirm within a reasonable period of time, on the
request of the port State, that the fish on board was taken in accordance with
applicable requirements of a relevant regional fisheries management
organization taking into due account paragraphs 2 and 3 of Article 4; or
(e) the Party has reasonable grounds to believe that the vessel was otherwise
engaged in IUU fishing or fishing related activities in support of such fishing,
including in support of a vessel referred to in paragraph 4 of Article 9, unless
the vessel can establish:
(i) that it was acting in a manner consistent with relevant conservation and
management measures; or
(ii) in the case of provision of personnel, fuel, gear and other supplies at sea,
that the vessel that was provisioned was not, at the time of provisioning,
a vessel referred to in paragraph 4 of Article 9.
2. Notwithstanding paragraph 1 of this Article, a Party shall not deny a vessel referred
to in that paragraph the use of port services:
(a) essential to the safety or health of the crew or the safety of the vessel,
provided these needs are duly proven, or
(b) where appropriate, for the scrapping of the vessel.
3. Where a Party has denied the use of its port in accordance with this Article, it shall
promptly notify the flag State and, as appropriate, relevant coastal States, regional
fisheries management organizations and other relevant international organizations of its
decision.
4. A Party shall withdraw its denial of the use of its port pursuant to paragraph 1 of
this Article in respect of a vessel only if there is sufficient proof that the grounds on
which use was denied were inadequate or erroneous or that such grounds no longer apply.
5. Where a Party has withdrawn its denial pursuant to paragraph 4 of this Article, it
shall promptly notify those to whom a notification was issued pursuant to paragraph 3 of
this Article.
10
PART 4
INSPECTIONS AND FOLLOW-UP ACTIONS
Article 12
Levels and priorities for inspection
1. Each Party shall inspect the number of vessels in its ports required to reach an
annual level of inspections sufficient to achieve the objective of this Agreement.
2. Parties shall seek to agree on the minimum levels for inspection of vessels through,
as appropriate, regional fisheries management organizations, FAO or otherwise.
3. In determining which vessels to inspect, a Party shall give priority to:
(a) vessels that have been denied entry or use of a port in accordance with this
Agreement;
(b) requests from other relevant Parties, States or regional fisheries management
organizations that particular vessels be inspected, particularly where such
requests are supported by evidence of IUU fishing or fishing related activities
in support of such fishing by the vessel in question; and
(c) other vessels for which there are clear grounds for suspecting that they have
engaged in IUU fishing or fishing related activities in support of such fishing.
Article 13
Conduct of inspections
1. Each Party shall ensure that its inspectors carry out the functions set forth in Annex
B as a minimum standard.
2. Each Party shall, in carrying out inspections in its ports:
(a) ensure that inspections are carried out by properly qualified inspectors
authorized for that purpose, having regard in particular to Article 17;
11
(b) ensure that, prior to an inspection, inspectors are required to present to the
master of the vessel an appropriate document identifying the inspectors as
such;
(c) ensure that inspectors examine all relevant areas of the vessel, the fish on
board, the nets and any other gear, equipment, and any document or record on
board that is relevant to verifying compliance with relevant conservation and
management measures;
(d) require the master of the vessel to give inspectors all necessary assistance and
information, and to present relevant material and documents as may be
required, or certified copies thereof;
(e) in case of appropriate arrangements with the flag State of the vessel, invite
that State to participate in the inspection;
(f) make all possible efforts to avoid unduly delaying the vessel to minimize
interference and inconvenience, including any unnecessary presence of
inspectors on board, and to avoid action that would adversely affect the
quality of the fish on board;
(g) make all possible efforts to facilitate communication with the master or senior
crew members of the vessel, including where possible and where needed that
the inspector is accompanied by an interpreter;
(h) ensure that inspections are conducted in a fair, transparent and non-
discriminatory manner and would not constitute harassment of any vessel; and
(i) not interfere with the master’s ability, in conformity with international law, to
communicate with the authorities of the flag State.
Article 14
Results of inspections
Each Party shall, as a minimum standard, include the information set out in Annex
C in the written report of the results of each inspection.
12
Article 15
Transmittal of inspection results
Each Party shall transmit the results of each inspection to the flag State of the
inspected vessel and, as appropriate, to:
(a) relevant Parties and States, including:
(i) those States for which there is evidence through inspection that the
vessel has engaged in IUU fishing or fishing related activities in support
of such fishing within waters under their national jurisdiction; and
(ii) the State of which the vessel’s master is a national;
(b) relevant regional fisheries management organizations; and
(c) FAO and other relevant international organizations.
Article 16
Electronic exchange of information
1. To facilitate implementation of this Agreement, each Party shall, where possible,
establish a communication mechanism that allows for direct electronic exchange of
information, with due regard to appropriate confidentiality requirements.
2. To the extent possible and with due regard to appropriate confidentiality
requirements, Parties should cooperate to establish an information-sharing mechanism,
preferably coordinated by FAO, in conjunction with other relevant multilateral and
intergovernmental initiatives, and to facilitate the exchange of information with existing
databases relevant to this Agreement.
3. Each Party shall designate an authority that shall act as a contact point for the
exchange of information under this Agreement. Each Party shall notify the pertinent
designation to FAO.
4. Each Party shall handle information to be transmitted through any mechanism
established under paragraph 1 of this Article consistent with Annex D.
13
5. FAO shall request relevant regional fisheries management organizations to provide
information concerning the measures or decisions they have adopted and implemented
which relate to this Agreement for their integration, to the extent possible and taking due
account of the appropriate confidentiality requirements, into the information-sharing
mechanism referred to in paragraph 2 of this Article.
Article 17
Training of inspectors
Each Party shall ensure that its inspectors are properly trained taking into account
the guidelines for the training of inspectors in Annex E. Parties shall seek to cooperate in
this regard.
Article 18
Port State actions following inspection
1. Where, following an inspection, there are clear grounds for believing that a vessel
has engaged in IUU fishing or fishing related activities in support of such fishing, the
inspecting Party shall:
(a) promptly notify the flag State and, as appropriate, relevant coastal States,
regional fisheries management organizations and other international
organizations, and the State of which the vessel’s master is a national of its
findings; and
(b) deny the vessel the use of its port for landing, transshipping, packaging and
processing of fish that have not been previously landed and for other port
services, including, inter alia, refuelling and resupplying, maintenance and
drydocking, if these actions have not already been taken in respect of the
vessel, in a manner consistent with this Agreement, including Article 4.
2. Notwithstanding paragraph 1 of this Article, a Party shall not deny a vessel referred
to in that paragraph the use of port services essential for the safety or health of the crew or
the safety of the vessel.
3. Nothing in this Agreement prevents a Party from taking measures that are in
conformity with international law in addition to those specified in paragraphs 1 and 2 of
this Article, including such measures as the flag State of the vessel has expressly
requested or to which it has consented.
14
Article 19
Information on recourse in the port State
1. A Party shall maintain the relevant information available to the public and provide
such information, upon written request, to the owner, operator, master or representative of
a vessel with regard to any recourse established in accordance with its national laws and
regulations concerning port State measures taken by that Party pursuant to Articles 9, 11,
13 or 18, including information pertaining to the public services or judicial institutions
available for this purpose, as well as information on whether there is any right to seek
compensation in accordance with its national laws and regulations in the event of any loss
or damage suffered as a consequence of any alleged unlawful action by the Party.
2. The Party shall inform the flag State, the owner, operator, master or representative,
as appropriate, of the outcome of any such recourse. Where other Parties, States or
international organizations have been informed of the prior decision pursuant to Articles
9, 11, 13 or 18, the Party shall inform them of any change in its decision.
PART 5
ROLE OF FLAG STATES
Article 20
Role of flag States
1. Each Party shall require the vessels entitled to fly its flag to cooperate with the port
State in inspections carried out pursuant to this Agreement.
2. When a Party has clear grounds to believe that a vessel entitled to fly its flag has
engaged in IUU fishing or fishing related activities in support of such fishing and is
seeking entry to or is in the port of another State, it shall, as appropriate, request that State
to inspect the vessel or to take other measures consistent with this Agreement.
3. Each Party shall encourage vessels entitled to fly its flag to land, transship, package
and process fish, and use other port services, in ports of States that are acting in
accordance with, or in a manner consistent with this Agreement. Parties are encouraged to
develop, including through regional fisheries management organizations and FAO, fair,
transparent and non-discriminatory procedures for identifying any State that may not be
acting in accordance with, or in a manner consistent with, this Agreement.
4. Where, following port State inspection, a flag State Party receives an inspection
report indicating that there are clear grounds to believe that a vessel entitled to fly its flag
15
has engaged in IUU fishing or fishing related activities in support of such fishing, it shall
immediately and fully investigate the matter and shall, upon sufficient evidence, take
enforcement action without delay in accordance with its laws and regulations.
5. Each Party shall, in its capacity as a flag State, report to other Parties, relevant port
States and, as appropriate, other relevant States, regional fisheries management
organizations and FAO on actions it has taken in respect of vessels entitled to fly its flag
that, as a result of port State measures taken pursuant to this Agreement, have been
determined to have engaged in IUU fishing or fishing related activities in support of such
fishing.
6. Each Party shall ensure that measures applied to vessels entitled to fly its flag are at
least as effective in preventing, deterring, and eliminating IUU fishing and fishing related
activities in support of such fishing as measures applied to vessels referred to in
paragraph 1 of Article 3.
PART 6
REQUIREMENTS OF DEVELOPING STATES
Article 21
Requirements of developing States
1. Parties shall give full recognition to the special requirements of developing States
Parties in relation to the implementation of port State measures consistent with this
Agreement. To this end, Parties shall, either directly or through FAO, other specialized
agencies of the United Nations or other appropriate international organizations and
bodies, including regional fisheries management organizations, provide assistance to
developing States Parties in order to, inter alia:
(a) enhance their ability, in particular the least-developed among them and small
island developing States, to develop a legal basis and capacity for the
implementation of effective port State measures;
(b) facilitate their participation in any international organizations that promote the
effective development and implementation of port State measures; and
(c) facilitate technical assistance to strengthen the development and
implementation of port State measures by them, in coordination with relevant
international mechanisms.
16
2. Parties shall give due regard to the special requirements of developing port States
Parties, in particular the least-developed among them and small island developing States,
to ensure that a disproportionate burden resulting from the implementation of this
Agreement is not transferred directly or indirectly to them. In cases where the transfer of
a disproportionate burden has been demonstrated, Parties shall cooperate to facilitate the
implementation by the relevant developing States Parties of specific obligations under
this Agreement.
3. Parties shall, either directly or through FAO, assess the special requirements of
developing States Parties concerning the implementation of this Agreement.
4. Parties shall cooperate to establish appropriate funding mechanisms to assist
developing States in the implementation of this Agreement. These mechanisms shall,
inter alia, be directed specifically towards:
(a) developing national and international port State measures;
(b) developing and enhancing capacity, including for monitoring, control and
surveillance and for training at the national and regional levels of port
managers, inspectors, and enforcement and legal personnel;
(c) monitoring, control, surveillance and compliance activities relevant to port
State measures, including access to technology and equipment; and
(d) assisting developing States Parties with the costs involved in any proceedings
for the settlement of disputes that result from actions they have taken
pursuant to this Agreement.
5. Cooperation with and among developing States Parties for the purposes set out in
this Article may include the provision of technical and financial assistance through
bilateral, multilateral and regional channels, including South-South cooperation.
6. Parties shall establish an ad hoc working group to periodically report and make
recommendations to the Parties on the establishment of funding mechanisms including a
scheme for contributions, identification and mobilization of funds, the development of
criteria and procedures to guide implementation, and progress in the implementation of
the funding mechanisms. In addition to the considerations provided in this Article, the ad
hoc working group shall take into account, inter alia:
(a) the assessment of the needs of developing States Parties, in particular the
least-developed among them and small island developing States;
17
(b) the availability and timely disbursement of funds;
(c) transparency of decision-making and management processes concerning
fundraising and allocations; and
(d) accountability of the recipient developing States Parties in the agreed use of
funds.
Parties shall take into account the reports and any recommendations of the ad hoc
working group and take appropriate action.
PART 7
DISPUTE SETTLEMENT
Article 22
Peaceful settlement of disputes
1. Any Party may seek consultations with any other Party or Parties on any dispute
with regard to the interpretation or application of the provisions of this Agreement with a
view to reaching a mutually satisfactory solution as soon as possible.
2. In the event that the dispute is not resolved through these consultations within a
reasonable period of time, the Parties in question shall consult among themselves as soon
as possible with a view to having the dispute settled by negotiation, inquiry, mediation,
conciliation, arbitration, judicial settlement or other peaceful means of their own choice.
3. Any dispute of this character not so resolved shall, with the consent of all Parties
to the dispute, be referred for settlement to the International Court of Justice, to the
International Tribunal for the Law of the Sea or to arbitration. In the case of failure to
reach agreement on referral to the International Court of Justice, to the International
Tribunal for the Law of the Sea or to arbitration, the Parties shall continue to consult and
cooperate with a view to reaching settlement of the dispute in accordance with the rules
of international law relating to the conservation of living marine resources.
18
PART 8
NON-PARTIES
Article 23
Non-Parties to this Agreement
1. Parties shall encourage non-Parties to this Agreement to become Parties thereto
and/or to adopt laws and regulations and implement measures consistent with its
provisions.
2. Parties shall take fair, non-discriminatory and transparent measures consistent
with this Agreement and other applicable international law to deter the activities of non-
Parties which undermine the effective implementation of this Agreement.
PART 9
MONITORING, REVIEW AND ASSESSMENT
Article 24
Monitoring, review and assessment
1. Parties shall, within the framework of FAO and its relevant bodies, ensure the
regular and systematic monitoring and review of the implementation of this Agreement as
well as the assessment of progress made towards achieving its objective.
2. Four years after the entry into force of this Agreement, FAO shall convene a
meeting of the Parties to review and assess the effectiveness of this Agreement in
achieving its objective. The Parties shall decide on further such meetings as necessary.
PART 10
FINAL PROVISIONS
Article 25
Signature
This Agreement shall be open for signature at FAO from the Twenty-second day of
November 2009 until the Twenty-first day of November 2010 by all States and regional
economic integration organizations.
19
Article 26
Ratification, acceptance or approval
1. This Agreement shall be subject to ratification, acceptance or approval by the
signatories.
2. Instruments of ratification, acceptance or approval shall be deposited with the
Depositary.
Article 27
Accession
1. After the period in which this Agreement is open for signature, it shall be open for
accession by any State or regional economic integration organization.
2. Instruments of accession shall be deposited with the Depositary.
Article 28
Participation by Regional Economic Integration Organizations
1. In cases where a regional economic integration organization that is an international
organization referred to in Annex IX, Article 1, of the Convention does not have
competence over all the matters governed by this Agreement, Annex IX to the
Convention shall apply mutatis mutandis to participation by such regional economic
integration organization in this Agreement, except that the following provisions of that
Annex shall not apply:
(a) Article 2, first sentence; and
(b) Article 3, paragraph 1.
2. In cases where a regional economic integration organization that is an international
organization referred to in Annex IX, Article 1, of the Convention has competence over
all the matters governed by this Agreement, the following provisions shall apply to
participation by the regional economic integration organization in this Agreement:
(a) at the time of signature or accession, such organization shall make a
declaration stating:
(i) that it has competence over all the matters governed by this Agreement;
20
(ii) that, for this reason, its member States shall not become States Parties,
except in respect of their territories for which the organization has no
responsibility; and
(iii) that it accepts the rights and obligations of States under this Agreement;
(b) participation of such an organization shall in no case confer any rights under
this Agreement on member States of the organization;
(c) in the event of a conflict between the obligations of such organization under
this Agreement and its obligations under the Agreement establishing the
organization or any acts relating to it, the obligations under this Agreement
shall prevail.
Article 29
Entry into force
1. This Agreement shall enter into force thirty days after the date of deposit with the
Depositary of the twenty-fifth instrument of ratification, acceptance, approval or
accession in accordance with Article 26 or 27.
2. For each signatory which ratifies, accepts or approves this Agreement after its entry
into force, this Agreement shall enter into force thirty days after the date of the deposit of
its instrument of ratification, acceptance or approval.
3. For each State or regional economic integration organization which accedes to this
Agreement after its entry into force, this Agreement shall enter into force thirty days after
the date of the deposit of its instrument of accession.
4. For the purposes of this Article, any instrument deposited by a regional economic
integration organization shall not be counted as additional to those deposited by its
Member States.
Article 30
Reservations and exceptions
No reservations or exceptions may be made to this Agreement.
21
Article 31
Declarations and statements
Article 30 does not preclude a State or regional economic integration organization,
when signing, ratifying, accepting, approving or acceding to this Agreement, from
making a declaration or statement, however phrased or named, with a view to, inter alia,
the harmonization of its laws and regulations with the provisions of this Agreement,
provided that such declaration or statement does not purport to exclude or to modify the
legal effect of the provisions of this Agreement in their application to that State or
regional economic integration organization.
Article 32
Provisional application
1. This Agreement shall be applied provisionally by States or regional economic
integration organizations which consent to its provisional application by so notifying the
Depositary in writing. Such provisional application shall become effective from the date
of receipt of the notification.
2. Provisional application by a State or regional economic integration organization
shall terminate upon the entry into force of this Agreement for that State or regional
economic integration organization or upon notification by that State or regional economic
integration organization to the Depositary in writing of its intention to terminate
provisional application.
Article 33
Amendments
1. Any Party may propose amendments to this Agreement after the expiry of a period
of two years from the date of entry into force of this Agreement.
2. Any proposed amendment to this Agreement shall be transmitted by written
communication to the Depositary along with a request for the convening of a meeting of
the Parties to consider it. The Depositary shall circulate to all Parties such communication
as well as all replies to the request received from Parties. Unless within six months from
the date of circulation of the communication one half of the Parties object to the request,
the Depositary shall convene a meeting of the Parties to consider the proposed
amendment.
3. Subject to Article 34, any amendment to this Agreement shall only be adopted by
consensus of the Parties present at the meeting at which it is proposed for adoption.
22
4. Subject to Article 34, any amendment adopted by the meeting of the Parties shall
come into force among the Parties having ratified, accepted or approved it on the
ninetieth day after the deposit of instruments of ratification, acceptance or approval by
two-thirds of the Parties to this Agreement based on the number of Parties on the date of
adoption of the amendment. Thereafter the amendment shall enter into force for any other
Party on the ninetieth day after that Party deposits its instrument of ratification,
acceptance or approval of the amendment.
5. For the purposes of this Article, an instrument deposited by a regional economic
integration organization shall not be counted as additional to those deposited by its
Member States.
Article 34
Annexes
1. The Annexes form an integral part of this Agreement and a reference to this
Agreement shall constitute a reference to the Annexes.
2. An amendment to an Annex to this Agreement may be adopted by two-thirds of the
Parties to this Agreement present at a meeting where the proposed amendment to the
Annex is considered. Every effort shall however be made to reach agreement on any
amendment to an Annex by way of consensus. An amendment to an Annex shall be
incorporated in this Agreement and enter into force for those Parties that have expressed
their acceptance from the date on which the Depositary receives notification of
acceptance from one-third of the Parties to this Agreement, based on the number of
Parties on the date of adoption of the amendment. The amendment shall thereafter enter
into force for each remaining Party upon receipt by the Depositary of its acceptance.
Article 35
Withdrawal
Any Party may withdraw from this Agreement at any time after the expiry of one
year from the date upon which the Agreement entered into force with respect to that
Party, by giving written notice of such withdrawal to the Depositary. Withdrawal shall
become effective one year after receipt of the notice of withdrawal by the Depositary.
23
Article 36
The Depositary
The Director-General of FAO shall be the Depositary of this Agreement. The
Depositary shall:
(a) transmit certified copies of this Agreement to each signatory and Party;
(b) register this Agreement, upon its entry into force, with the Secretariat of the
United Nations in accordance with Article 102 of the Charter of the United
Nations;
(c) promptly inform each signatory and Party to this Agreement of all:
(i) signatures and instruments of ratification, acceptance, approval and
accession deposited under Articles 25, 26 and 27;
(ii) the date of entry into force of this Agreement in accordance with
Article 29;
(iii) proposals for amendment to this Agreement and their adoption and entry
into force in accordance with Article 33;
(iv) proposals for amendment to the Annexes and their adoption and entry
into force in accordance with Article 34; and
(v) withdrawals from this Agreement in accordance with Article 35.
Article 37
Authentic texts
The Arabic, Chinese, English, French, Russian and Spanish texts of this Agreement are
equally authentic.
IN WITNESS WHEREOF, the undersigned Plenipotentiaries, being duly authorized,
have signed this Agreement.
DONE in Rome on this Twenty-second day of November, 2009.
24
ANNEX A
Information to be provided in advance by vessels requesting port entry
1. Intended port of call
2. Port State
3. Estimated date and time of arrival
4. Purpose(s)
5. Port and date of last port call
6. Name of the vessel
7. Flag State
8. Type of vessel
9. International Radio Call Sign
10. Vessel contact information
11. Vessel owner(s)
12. Certificate of registry ID
13. IMO ship ID, if available
14. External ID, if available
15. RFMO ID, if applicable
16. VMS No Yes: National Yes: RFMO(s) Type:
17. Vessel dimensions Length Beam Draft
18. Vessel master name and nationality
19. Relevant fishing authorization(s)
Identifier Issued by Validity Fishing
area(s)
Species Gear
20. Relevant transshipment authorization(s)
Identifier Issued by Validity
Identifier Issued by Validity
21. Transshipment information concerning donor vessels
Date Location Name Flag State ID
number
Species Product
form
Catch
area
Quantity
25
22. Total catch onboard 23. Catch to be offloaded
Species Product form Catch area Quantity Quantity
26
ANNEX B
Port State inspection procedures
Inspectors shall:
a) verify, to the extent possible, that the vessel identification documentation onboard
and information relating to the owner of the vessel is true, complete and correct,
including through appropriate contacts with the flag State or international records of
vessels if necessary;
b) verify that the vessel’s flag and markings (e.g. name, external registration number,
International Maritime Organization (IMO) ship identification number, international
radio call sign and other markings, main dimensions) are consistent with information
contained in the documentation;
c) verify, to the extent possible, that the authorizations for fishing and fishing related
activities are true, complete, correct and consistent with the information provided in
accordance with Annex A;
d) review all other relevant documentation and records held onboard, including, to the
extent possible, those in electronic format and vessel monitoring system (VMS) data
from the flag State or relevant regional fisheries management organizations
(RFMOs). Relevant documentation may include logbooks, catch, transshipment and
trade documents, crew lists, stowage plans and drawings, descriptions of fish holds,
and documents required pursuant to the Convention on International Trade in
Endangered Species of Wild Fauna and Flora;
e) examine, to the extent possible, all relevant fishing gear onboard, including any gear
stowed out of sight as well as related devices, and to the extent possible, verify that
they are in conformity with the conditions of the authorizations. The fishing gear
shall, to the extent possible, also be checked to ensure that features such as the mesh
and twine size, devices and attachments, dimensions and configuration of nets, pots,
dredges, hook sizes and numbers are in conformity with applicable regulations and
that the markings correspond to those authorized for the vessel;
f) determine, to the extent possible, whether the fish on board was harvested in
accordance with the applicable authorizations;
g) examine the fish, including by sampling, to determine its quantity and composition.
In doing so, inspectors may open containers where the fish has been pre-packed and
move the catch or containers to ascertain the integrity of fish holds. Such
examination may include inspections of product type and determination of nominal
weight;
27
h) evaluate whether there is clear evidence for believing that a vessel has engaged in
IUU fishing or fishing related activities in support of such fishing;
i) provide the master of the vessel with the report containing the result of the
inspection, including possible measures that could be taken, to be signed by the
inspector and the master. The master’s signature on the report shall serve only as
acknowledgment of the receipt of a copy of the report. The master shall be given the
opportunity to add any comments or objection to the report, and, as appropriate, to
contact the relevant authorities of the flag State in particular where the master has
serious difficulties in understanding the content of the report. A copy of the report
shall be provided to the master; and
j) arrange, where necessary and possible, for translation of relevant documentation.
28
ANNEX C
Report of the results of the inspection
1. Inspection report no 2. Port State
3. Inspecting authority
4. Name of principal inspector ID
5. Port of inspection
6. Commencement of inspection YYYY MM DD HH
7. Completion of inspection YYYY MM DD HH
8. Advanced notification received Yes No
9. Purpose(s) LAN TRX PRO OTH (specify)
10. Port and State and date
of last port call
YYYY MM DD
11. Vessel name
12. Flag State
13. Type of vessel
14. International Radio Call Sign
15. Certificate of registry ID
16. IMO ship ID, if available
17. External ID , if available
18. Port of registry
19. Vessel owner(s)
20. Vessel beneficial owner(s), if
known and different from vessel
owner
21. Vessel operator(s), if different
from vessel owner
22. Vessel master name and nationality
23. Fishing master name and nationality
24. Vessel agent
25. VMS No Yes: National Yes: RFMOs Type:
26. Status in RFMO areas where fishing or fishing related activities have been
undertaken, including any IUU vessel listing
Vessel identifier RFMO Flag State
status
Vessel on authorized
vessel list
Vessel on IUU
vessel list
29
27. Relevant fishing authorization(s)
Identifier Issued by Validity Fishing area(s) Species Gear
28. Relevant transshipment authorization(s)
Identifier Issued by Validity
Identifier Issued by Validity
29. Transshipment information concerning donor vessels
Name Flag State ID no. Species Product
form
Catch
area(s)
Quantity
30. Evaluation of offloaded catch (quantity)
Species Product
form
Catch
area(s)
Quantity
declared
Quantity
offloaded
Difference between quantity
declared and quantity
determined, if any
31. Catch retained onboard (quantity)
Species Product
form
Catch
area(s)
Quantity
declared
Quantity
retained
Difference between quantity
declared and quantity
determined, if any
32. Examination of logbook(s) and other
documentation
Yes No Comments
33. Compliance with applicable catch
documentation scheme(s)
Yes No Comments
34. Compliance with applicable trade
information scheme(s)
Yes No Comments
35. Type of gear used
36. Gear examined in
accordance with paragraph e)
of Annex B
Yes No Comments
37. Findings by inspector(s)
38. Apparent infringement(s) noted including reference to relevant legal
instrument(s)
30
39. Comments by the master
40. Action taken
41. Master’s signature
42. Inspector’s signature
31
ANNEX D
Information systems on port State measures
In implementing this Agreement, each Party shall:
a) seek to establish computerized communication in accordance with Article 16;
b) establish, to the extent possible, websites to publicize the list of ports designated in
accordance with Article 7 and the actions taken in accordance with the relevant provisions
of this Agreement;
c) identify, to the greatest extent possible, each inspection report by a unique reference
number starting with 3-alpha code of the port State and identification of the issuing
agency;
d) utilize, to the extent possible, the international coding system below in Annexes A and C
and translate any other coding system into the international system.
countries/territories: ISO-3166 3-alpha Country Code
species: ASFIS 3-alpha code (known as FAO 3-alpha code)
vessel types: ISSCFV code (known as FAO alpha code)
gear types: ISSCFG code (known as FAO alpha code)
32
ANNEX E
Guidelines for the training of inspectors
Elements of a training programme for port State inspectors should include at least the following
areas:
1. Ethics;
2. Health, safety and security issues;
3. Applicable national laws and regulations, areas of competence and conservation and
management measures of relevant RFMOs, and applicable international law;
4. Collection, evaluation and preservation of evidence;
5. General inspection procedures such as report writing and interview techniques;
6. Analysis of information, such as logbooks, electronic documentation and vessel history
(name, ownership and flag State), required for the validation of information given by the
master of the vessel;
7. Vessel boarding and inspection, including hold inspections and calculation of vessel hold
volumes;
8. Verification and validation of information related to landings, transshipments, processing
and fish remaining onboard, including utilizing conversion factors for the various species
and products;
9. Identification of fish species, and the measurement of length and other biological
parameters;
10. Identification of vessels and gear, and techniques for the inspection and measurement of
gear;
11. Equipment and operation of VMS and other electronic tracking systems; and
12. Actions to be taken following an inspection.
CERTIFIED TRUE COPY of the English version of the Agreement on Port State Measures to
Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated Fishing which was approved on
22 November 2009 at the Thirty-sixth Session of the FAO Conference. In accordance with the
provisions of paragraph 7 of Article XIV of the FAO Constitution, this has been certified by the
Director-General of the Organization and the Chairperson of the Conference.
Jacques Diouf Kathleen Merrigan
Director-General Chairperson of the Conference
Food and Agriculture Organization of
the United Nations