Recov Chap II Dasar Teori Geometrik

Embed Size (px)

Citation preview

  • 7/23/2019 Recov Chap II Dasar Teori Geometrik

    1/66

    BAB II

    DASAR TEORI

    2.1 Pengertian Jalan, Klasifikasi Jalan Raya dan Kecelakaan Lalu Lintas di Jalan Raya

    2.1.1 Pengertian Jalan

    Jalan adalah. prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bang

    pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan ta

    di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, ke

    jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel (Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006).

    Jalan raya adalah jalur - jalur tanah di atas permukaan bumi yang dibuat oleh manusia de

    bentuk, ukuran - ukuran dan jenis konstruksinya sehingga dapat digunakan untuk menyalurkan lalu

    orang, hewan dan kendaraan yang mengangkut barang dari suatu tempat ke tempat lainnya de

    mudah dan cepat (Clarkson H.Oglesby,1999).

    Untuk perencanaan jalan raya yang baik, bentuk geometriknya harus diteta

    sedemikian rupa sehingga jalan yang bersangkutan dapat memberikan pelayanan yang op

    kepada lalu lintas sesuai dengan fungsinya, sebab tujuan akhir dari perencanaan geometrik ini a

    menghasilkan infrastruktur yang aman, efisiensi pelayanan arus lalu lintas dan memaksimalkan

    tingkat penggunaan biaya juga memberikan rasa aman dan nyaman kepada pengguna jalan.

    2.1.2 Klasifikasi Jalan

    Jalan raya pada umumnya dapat digolongkan dalam 4 klasifikasi yaitu: klasifikasi menurut fu

    jalan, klasifkasi menurut kelas jalan, klasifikasi menurut medan jalan dan klasifikasi menurut wewe

    pembinaan jalan (Bina Marga 1997).

    2.1.2.1 Klasifikasi menurut fungsi jalan

    Klasifikasi menurut fungsi jalan terdiri atas 3 golongan yaitu:

    1) Jalan arteri yaitu jalan yang melayani angkutan utama dengan ciri-ciri perjalanan jarak

    kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk dibatasi secara efisien.

    2) Jalan kolektor yaitu jalan yang melayani angkutan pengumpul/pembagi dengan cir

    perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang dan jumlah jalan masuk dibatasi.

    3) Jalan lokal yaitu Jalan yang melayani angkutan setempat dengan ciri-ciri perjalanan j

    dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi.

  • 7/23/2019 Recov Chap II Dasar Teori Geometrik

    2/66

    2.1.2.2Klasifikasi menurut kelas jalan

    Klasifikasi menurut kelas jalan berkaitan dengan kemampuan jalan untuk menerima beba

    lalu lintas, dinyatakan dalam muatan sumbu terberat (MST) dalam satuan ton.

    Tabel 2.1. Klasifikasi jalan raya menurut kelas jalan

    Fungsi Kelas Muatan Sumbu Terberat/MST (ton)

    Arteri I

    II

    IIIA

    >10

    10

    8

    Kolektor III A

    III B

    8

    5

    Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina

    Marga, 1997.

    2.1.2.3 Klasifikasi menurut medan jalan

    Medan jalan diklasifikasikan berdasarkan kondisi sebagian besar kemiringan medan yang diukur

    lurus garis kontur. Keseragaman kondisi medan yang diproyeksikan harus mempertimbangkan keserag

    kondisi medan menurut rencana trase jalan dengan mengabaikan perubahan-perubahan pada bagian kecisegmenrencana jalan tersebut.

    Tabel 2..2. KlasifikasiMenurutMedan Jalan:

    No Jenis Medan Notasi Kemiringan Medan(%)

    1 Datar D < 3

    2 Berbukit B 3-25

    3 Pegunungan G >25

    Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina

    Marga 1997.

    2.1.2.4Klasifikasi Menurut Wewenang Pembinaan Jalan

    Klasifikasi menurut wewenang pembinaannya terdiri dari Jalan

    Nasional, Jalan Provinsi, Jalan Kabupaten/Kotamadya dan Jalan Desa.

  • 7/23/2019 Recov Chap II Dasar Teori Geometrik

    3/66

    2.1.3 Kecelakaan Lalu Lintas di Jalan Raya

    Kecelakaan lalu lintas adalah suatu peristiwa di jalan yang tidak di sangka sa

    dan tidak disengaja melibatkan kendaraan yang sedang bergerak dengan atau tanpa pem

    jalan lainnya, mengakibatkan korban manusia atau kerugian harta benda ( Perat

    Pemerintah No 43 Tahun

    1993).

    Faktor - faktor penyebab kecelakaan terdiri dari : faktor manusia, faktor kendaraan, faktor j

    faktor lingkungan (Elly T.P 2006).

    1. Faktor manusia (Pengemudi dan Pejalan kaki)

    a) Pengemudi

    Beberapa kriteria pengemudi sebagai penyebab kecelakaan antara lain:

    Pengemudi mabuk (Drunk Driver)

    Pengemudi ngantuk atau lelah (Fatigu or Overly Tired Driver)

    Pengemudi lengah (Emotional or Distracted driver)

    Pengemudi kurang antisipasi atau kurang terampil (Unskilled Driver)

    b) Pejalan Kaki

    Penyebab kecelakaan dapat ditimpakan pada pejalan kaki pada berbagai kemungkinan antara

    seperti menyeberang jalan pada tempat dan waktu yang tidak tepat (aman), berjalan te

    ketengah dan tidak berhatihati.2. Faktor kendaraan: Kendaraan dapat menjadi faktor penyebab kecelakaan apabila

    dapat dikendalikan sebagaimana mestinya yaitu sebagai akibat kondisi teknis yang tidak l

    jalan ataupun penggunaannya tidak sesuai ketentuan antara lain:

    Rem blong, kerusakan mesin, ban pecah adalah merupakan kondisi kendaraan

    tidak layak jalan. Kemudi tidak baik, as atau kopel lepas, lampu mati khususnya

    malam hari, slip dan sebagainya.

    Over load atau kelebihan muatan adalah merupakan penggunaan kendaraan

    tidak sesuai ketentuan tertib muatan.

    Design kendaraan dapat merupakan faktor penyebab beratnya ringa

    kecelakaan, tomboltombol di dashboard kendaraan dapat mencederai orang terdo

    kedepan akibat benturan, kolom kemudi dapat menembus dada pengemudi pada

    tabrakan. Demikian design bagian depan kendaraan dapat mencederai pejalan kaki

    terbentur oleh kendaraan. Perbaikan design kendaraan terutama tergantung pem

    kendaraan namun peraturan atau rekomendasi pemerintah dapat memberikan peng

    kepada perancang.

  • 7/23/2019 Recov Chap II Dasar Teori Geometrik

    4/66

    Sistem lampu kendaraan yang mempunyai dua tujuan yaitu agar pengemudi

    melihat kondisi jalan didepannya konsisten dengan kecepatannya dan dapat membed

    / menunjukkkan kendaraan kepada pengamat dari segala penjuru tanpa menyilaukan.

    3. Faktor jalan

    Jalan dapat menjadi penyebab kecelakaan antar lain untuk hal hal sebagai berikut:

    Kontruksi pada permukaan jalan (misalnya terdapat lubang yang sulit dikenal

    pengemudi)

    Kontruksi jalan yang rusak atau tidak sempurna (misalnya bila posisi permukaan

    jalan terlalu randah terhadap permukaan jalan)

    Geomrtik jalan yang kurang sempurna misalnya derajat kemiringan (superele

    yang terlalu kecil atau terlalu besar pada tikungan, terlalu sempitnya pandangan b

    pengemudi dan kurangnya perlengkapan jalan.

    4. Lingkungan

    Lingkungan juga dapat menjadi faktor penyebab kecelakaan misalnya pada saat ad

    kabut, asap tebal, penyeberang, hewan, genangan air, material di jalan atau hujan

    menyebabkan daya pandang pengemudi sangat berkurang untuk dapat mengemud

    kendaraannya secara aman.

    PT Jasa Marga mengelompokkan jenis tabrakan yang melatarbelakangi terjadinya kecelakaan lalu

    lintas menjadi :

    1. Tabrakan depandepan

    Adalah jenis tabrakan antara dua kendaraan yang tengah melaju dimana keduanya saling be

    muka dari arah yang berlawanan, yaitu bagian depan kendaraan yang satu dengan bagian d

    kendaraan lainnya.

    2. Tabrakan depansamping

    Adalah jenis tabrakan antara dua kendaraan yang tengah melaju dimana bagian depan kendaran yang

    satu menabrak bagian samping kendaraan lainnya.

    3. Tabrakan sampingsamping

    Adalah jenis tabrakan antara dua kendaraan yang tengah melaju dimana bagian samping

    kendaraan yang satu menabrak bagian yang lain.

    4. Tabrakan depanbelakang

    Adalah jenis tabrakan antara dua kendaraan yang tengah melaju dimana bagian depan kendaraan ya

    satu menabrak bagian belakang kendaraan di depannya dan

    kendaraan tersebut berada pada arah yang sama.

  • 7/23/2019 Recov Chap II Dasar Teori Geometrik

    5/66

    5. Menabrak penyeberang jalan

    Adalah jenis tabrakan antara kendaraan yang tengah melaju dan pejalan kaki yang sedang

    menyeberang jalan.

    6. Tabrakan sendiri

    Adalah jenis tabrakan dimana kendaraan yang tengah melaju mengalami kecelakaan sendiri atau

    tunggal.

    7. Tabrakan beruntun

    Adalah jenis tabrakan dimana kendaraan yang tengah melaju menabrak mengakibatkan terjad

    kecelakaan yang melibatkan lebih dari dua kendaraan secara beruntun.

    8. Menabrak obyek tetap

    Adalah jenis tabrakan dimana kendaraan yang tengah melaju menabrak obyek tetap dijalan.

    2.2 Perencanaan Geometrik Jalan Raya

    2.2.1 Standar Perencanaan

    Standar perencanaan adalah ketentuan yang memberikan batasan-batasan dan m

    perhitungan agar dihasilkan produk yang memenuhi persyaratan. Standar perencanaan geom

    untuk ruas jalan di Indonesia biasanya menggunakan

    peraturan resmi yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Bina Marga tentang perencanaan geom

    jalan raya. Peraturan yang dipakai dalam studi ini adalahTata Cara Perencanaan Geometrik Antar Kota yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Bina Marga dengan terbitan resmi No.

    T/BM/1997 dan American Association of State Highway and Transportation Officials.

    (AASHTO 2001).

    2.2.2 Kendaraan Rencana

    Kendaraan Rencana adalah kendaraan yang dimensi dan radius putarnya dipakai sebagai a

    dalam perencanaan geometrik. Dilihat dari bentuk, ukuran dan daya dari kendaraan kendaraan

    menggunakan jalan, kendaraan - kendaraan tersebut dapat dikelompokkan (Bina Marga, 1997).

    Kendaraan yang akan digunakan sebagai dasar perencanaan geometrik disesuaikan de

    fungsi jalan dan jenis kendaraan yang dominan menggunakan jalan tersebut. Pertimbangan biaya

    tentu ikut menentukan kendaraan yang dipilih sebagai perencanaan.

    Kendaraan Rencana dikelompokkan ke dalam 3 kategori antara lain:

    1) Kendaraan Kecil, diwakili oleh mobil penumpang.

    2) Kendaraan Sedang, diwakili oleh truk 3 as tandem atau oleh bus besar 2 as.

    3) Kendaraan Besar, diwakili oleh truk semi-trailer.

  • 7/23/2019 Recov Chap II Dasar Teori Geometrik

    6/66

    Tabel 2.3 Dimensi Kendaraan Rencana

    KATEGORI KENDARAAN

    RENCANA

    DIMENSI KENDARAAN

    (cm)

    TONJOLAN

    (cm)

    RADIUS PUTAR

    (cm)RADIUS

    TONJOLANTinggi Lebar Panjang Depan Belakang Minimum Maksimum

    Kendaraan Kecil 130 210 580 90 150 420 730 780

    Kendaraan Sedang 410 260 1210 210 240 740 1280 1410

    Kendaraan Besar 410 260 2100 1200 900 2900 137014000

    Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina

    Marga 1997.

    2.2.3 Volume LaluLintas Rencana

    Volume lalu lintas menunjukkan jumlah kendaraan yang melintasi satu titikpengamatan dalam satu satuan waktu (hari, jam, menit). Volume lalu lintas yang tinggi

    membutuhkan lebar perkerasan jalan lebih besar sehingga tercipta kenyamanan dan

    keamanan dalam berlalu lintas. Sebaliknya jalan yang terlalu lebar untuk volume lalu

    lintas rendah cenderung membahayakan karena pengemudi cenderung mengemudikan

    kendaraannya pada kecepatan yang lebih tinggi sedangkan kondisi jalan belum tentu

    memungkinkan. Disamping itu juga mengakibatkan peningkatan biaya pembangunan jalan

    yang tidak pada tempatnya/ tidak ekonomis (Sukirman, 1994).

    Satuan volume lalu lintas yang umum dipergunakan sehubungan dengan penentuan jum

    dan lebar jalur adalah:

    1. Lalu lintas harian rata-rata

    2. Volume jam perencanaan

    2.2.3.1 Lalu Lintas Harian Rata-Rata

    Lalu lintas harian rata-rata adalah volume lalu lintas rata-rata dalam satu

    (Sukirman,1994). Cara memperoleh data tersebut dikenal dua jenis lalu lintas harian rata-rata,

    lalu lintas harian rata-rata tahunan (LHRT) dan lalu lintas harian rata-rata.

    LHRT adalah jumlah lalu lintas kendaraan rata-rata yang melewati satu

    jalur jalan selama 24 jam dan diperoleh dari data selama satu tahunan penuh.

    =

    365

  • 7/23/2019 Recov Chap II Dasar Teori Geometrik

    7/66

    Sedangkan LHR adalah hasil bagi jumlah kendaraan yang diperoleh selama pengamatan

    dengan lamanya pengamatan,

    =

    Data LHR ini cukup teliti jika :

    1. Pengamatan dilakukan pada interval-interval waktu yang cukup menggambar

    fluktuasi arus lalu lintas selama satu tahun.

    2. Hasil LHR yang dipergunakan adalah harga rata-rata dari perhitungan LHR

    beberapa kali

    2.2.3.2 Volume Jam Perencanaan (VJR)

    Volume jam perencanaan (VJR) adalah volume lalu lintas per jam yang dipergun

    sebagai dasar perencanaan (Sony Sulaksono, 2001). Volume ini harus mencerminkan kea

    lalu lintas sebenarnya tetapi biasanya tidak sama dengan volume terbesar atau arus tersibuk

    akan melewatinya, perencanaan berdasarkan volume terbesar ini akan mengahasilkan konstr

    yang boros yang hanya akan berguna pada arus maksimum dan ini terjadi dalam kurun w

    singkat dalam sehari.

    Volume lalu lintas untuk perencanaan geometrik umumnya ditetapkan dalam Sa

    Mobil Penumpang (SMP) sehingga masing masing jenis kendaraan yang diperkir

    yang akan melewati jalan rencana harus dikonversikan kedalam satuan tersebut de

    dikalikan nilai ekivalensi mobil penumpang (emp). Besarnya faktor ekivalensi tersebut, d

    perencanaan geometrik jalan antar kota ditentukan pada tabel di bawah ini:

    Tabel 2.4 Ekivalen Mobil Penumpang (EMP)

    NO JENIS KENDARAAN DATAR/PERBUKITAN

    PEGUNUNGAN

    1 Sedan, Jeep, Station Wagon 1,0 1,0

    2 Pick-Up, Bus Kecil, Truck Kecil 1,2-2,4 1,9-3,5

    3 Bus dan Truck Besar 1,2-5,0 2,2-6,0

    Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina

    Marga 1997.

    Besarnya volume jam perencanaan ditentukan dengan persamaan:

    =

  • 7/23/2019 Recov Chap II Dasar Teori Geometrik

    8/66

    Dimana : VJR = Volume Jam Perencanaan (smp/jam)

    VLRH = Volume Lintas Harian Ratarata Tahunan (smp/jam)

    K = Faktor K, faktor volume lalu lintas jam tersibuk dalam setahun

    F = Faktor variasi volume lalu lintas dalam satu jam tersibuk

    (Peak Hour Faktor / PHF)

    Faktor K dan F untuk jalan perkotaan biasanya mengambil nilai 0,1 dan 0,9

    sedangkan untuk jalan antar kota disesuaikan dengan besarnya VLHR seperti pada tabel di bawah

    ini:

    Tabel 2.5 Penentuan faktor-K dan faktor-F berdasarkan Volume Lalu Lintas

    Harian Rata-rata

    VLHR FAKTOR K

    (%)

    FAKTOR F

    (%)

    > 50.000 4 - 6 0,9 - 1

    30.00050.000 6 - 8 0,8 - 110.00030.000 6 - 8 0,8- 1

    5.00010.000 8 - 10 0,60,8

    1.0005.000 10 - 12 0,60,8< 1.000 12 - 16 < 0,6

    Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina

    Marga 1997

    2.2.4 Kecepatan Rencana

    Kecepatan adalah besaran yang menunjukkan jarak yang ditempuh kendaraan dibagi waktu

    tempuh, biasanya dinyatakan dalam km/jam.

    Kecepatan Rencana adalah kecepatan yang dipilih untuk keperluan perencanaan

    setiap bagian jalan raya seperti tikungan, kemiringan jalan, jarak pandang dan lain- lain

    (Sukirman, 1994).

    Faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya kecepatan rencana adalah keadaan te

    apakah datar, berbukit atau gunung. Untuk menghemat biaya tentu saja perencanaan jalan sepanta

    disesuaikan dengan keadaan medan. Suatu jalan yang ada di daerah datar tentu saja memiliki de

    speed yang lebih tinggi dibandingkan pada daerah pegunungan atau daerah perbukitan.

  • 7/23/2019 Recov Chap II Dasar Teori Geometrik

    9/66

    Adapun faktor - faktor yang mempengaruhi kecepatan rencana antara lain:

    a) Topografi ( Medan )

    Untuk perencanaan geometrik jalan raya, keadaan medan memberikan batasan kecep

    terhadap kecepatan rencana sesuai dengan medan perencanaan

    ( datar, berbukit, dan gunung ).

    b) Sifat dan tingkat penggunaan daerah

    Kecepatan rencana untuk jalan - jalan arteri lebih tinggi dibandingkan jalan

    kolektor.Untuk kondisi medan yang sulit, kecepatan rencana suatu segmen jalan dapat diturunk

    dengan syarat bahwa penurunan tersebut tidak lebih dari 20 km/jam (Bina marga 1997)

    Tabel 2.6 Kecepatan Rencana, VR, Sesuai Klasifikasi Fungsi dan Kiasifikasi

    Medan Jalan

    Fungsi Kecepatan Rencana, VR (Km/Jam)

    Datar Bukit Pegunungan

    Arteri 70 - 120 60 - 80 40 - 70

    Kolektor 60 - 90 50 - 60 30 - 50

    Lokal 40 - 70 30 - 50 20 - 30

    Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina

    Marga 1997.

    2.3 Elemen Perencanaan Geometrik Jalan

    2.3.1 Penampang Melintang Jalan

    Penampang melintang jalan adalah potongan suatu jalan secara melintang tegak lu

    sumbu jalan (Sukirman, 1994). Bagian-bagian penampang melintang jalan yang terpenting da

    dibagi menjadi :

    1. Jalur lalu lintas

    2. Lajur

    3. Bahu jalan4. Selokan

    5. Median

    6. Fasilitas pejalan kaki

    7. Lereng

  • 7/23/2019 Recov Chap II Dasar Teori Geometrik

    10/66

    Bagian-bagian penampang melintang jalan ini dan kedudukannya pada penampang

    melintang terlihat seperti pada gambar 2.1

    Gambar 2.1 Penampang Melintang Jalan

    Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina

    Marga 1997.

    a) DAMAJA (Daerah Manfaat Jalan)

    DAMAJA (Daerah Manfaat Jalan) adalah daerah yang dibatasi oleh batas ambang

    pengaman konstruksi jalan di kedua sisi jalan, tinggi 5 meter di atas

    permukaan perkerasan pada sumbu jalan, dan kedalaman ruang bebas 1,5 meter di bawah muka j

    b) DAMIJA (Daerah Milik Jalan)

    DAMIJA (Daerah Milik Jalan) adalah daerah yang dibatasi oleh lebar yang sama dengan Da

    ditambah ambang pengaman konstruksi jalan dengan tinggi 5 meter dan kedalaman 1.5 meter.

    c) DAWASJA (Ruang Daerah Pengawasan Jalan)

    DAWASJA (Ruang Daerah Pengawasan Jalan) adalah ruang sepanjang jalan di luar DAM

    yang dibatasi oleh tinggi dan lebar tertentu, diukur dari sumbu jalan

    sebagai berikut:

    a) jalan Arteri minimum 20 meter

    b) jalan Kolektor minimum 15 meter

    c) jalan Lokal minimum 10 meter

  • 7/23/2019 Recov Chap II Dasar Teori Geometrik

    11/66

    Untuk keselamatan pemakai jalan, DAWASJA di daerah tikungan ditentukan oleh j

    pandang bebas.

    Gambar 2.2 Penampang Melintang Jalan Dengan Median

    Sumber : Dasar-Dasar Perencanaan Geometrik Jalan,Silvia Sukirman

    Gambar 2.3. Penampang Melintang Jalan Tanpa Median

    Sumber : Dasar-Dasar Perencanaan Geometrik Jalan,Silvia Sukirman

    2.3.1.1 Jalur Lalu Lintas

    Jalur lalu lintas adalah keseluruhan bagian perkerasan jalan yang diperuntukan untuk lalu l

    kendaraan (Sukirman ,1994).

    Lebar jalur lalu lintas (travelled way = carriage way) adalah saluran perkerasan

    yang digunakan untuk lalu lintas kendaraan yang terdiri dari beberapa jalur yaitu jalur lalu

    yang khusus diperuntukkan untuk di lewati oleh kendaraan dalam satu arah. Pada jalur lalu lintas di j

    lurus dibuat miring, hal ini diperuntukkan terutama untuk kebutuhan drainase jalan dimana air

    jatuh di atas permukaan jalan akan cepat mengalir ke saluran-saluran pembuangan. Selain itu, kegu

    kemiringan melintang jalur lalu lintas adalah untuk kebutuhan keseimbangan gaya sentri

    yang bekerja terutama pada tikungan.

  • 7/23/2019 Recov Chap II Dasar Teori Geometrik

    12/66

    Batas jalur lalu lintas dapat berupa median, bahu, trotoar, pulau jalan, dan

    Separator.

    Jalur lalu lintas dapat terdiri atas beberapa lajur dengan type anatara lain:

    a) 1 jalur-2 lajur-2 arah (2/2 TB) b) 1 jalur-2 lajur-

    l arah (2/1 TB) c) 2 jalur-4 1ajur-2 arah (4/2 B) d)

    2 jalur-n lajur-2 arah (n/2 B)

    Keterangan: TB = tidak terbagi.

    B = terbagi

    Gambar 2.4 Jalan 1 Jalur-2 Lajur-2 Arah (2/2 TB)

    Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen BinaMarga 1997.

    Gambar 2.5 Jalan 1 Jalur-2 Lajur-l Arah (2/1 TB)

    Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina

    Marga 1997.

  • 7/23/2019 Recov Chap II Dasar Teori Geometrik

    13/66

    Gambar 2.6 Jalan 2 Jalur-4 Lajur-2 Arah (4/2 B)

    Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina

    Marga 1997

    Tabel 2.7 Penentuan Lebar Jalur dan Bahu jalan

    VLHR

    (smp/jam)

    ARTERI KOLEKTOR LOKAL

    Ideal Minimum Ideal Minimum Ideal Minimu

    Lebar

    Jalur

    (m)

    Lebar

    Bahu

    (m)

    Lebar

    Jalur

    (m)

    Lebar

    Bahu

    (m)

    Lebar

    Jalur

    (m)

    Lebar

    Bahu

    (m)

    Lebar

    Jalur

    (m)

    Lebar

    Bahu

    (m)

    Lebar

    Jalur

    (m)

    Lebar

    Bahu

    (m)

    Lebar

    Jalur

    (m)

    Le

    Ba

    (m

    < 3000 6,0 1,5 4,5 1,0 6,0 1,5 4,5 1,0 6,0 1,0 4,5

    300010.000

    7,0 2,0 6,0 1,5 7,0 1,5 6,0 1,5 7,0 1,5 6,0

    10.001

    25.0007,0 2,0 7,0 2,0 7,0 2,0 **) **) - - -

    >25.0002n x

    3,5*)2,5

    2 x

    7,0*)2,0

    2n x

    3,5*)2,0 **) **) - - -

    Keterangan: **) = Mengacu pada persyaratan

    *) = 2 jalur terbagi, masingmasing n 3, 5m, dimana n

    jumlah lajur per jalur

    - = Tidak ditentukan

    Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina

    Marga 1997.

  • 7/23/2019 Recov Chap II Dasar Teori Geometrik

    14/66

    2.3.1.2 Lajur

    Lajur adalah bagian jalur lalu lintas yang memanjang, dibatasi oleh marka

    lajur jalan, memiliki lebar yang cukup untuk dilewati suatu kendaraan bermotor

    sesuai kendaraan rencana. Lebar lajur tergantung pada kecepatan dan kendaraan

    rencana (Jotin Khisty, 2003).

    2.3.1.2.1 Lebar Lajur Lalu Lintas

    Lebar lajur lalu lintas merupakan bagian yang paling menentukan lebar

    melintang jalan secara keseluruhan (Sukirman, 1994). Besarnya lebar lajur lalu lintas

    hanya dapat ditentukan dengan pengamatan langsung dilapangan karena :

    a. Lintasan kendaraan yang satu tidak mungkin akan dapat diikuti oleh lintasan

    kendaraan lain dengan tepat.

    b. Lajur lalu lintas mungkin tepat sama degan lebar kendaraan maksimum.

    Untuk keamanan dan kenyamanan setiap pengemudi membutuhkan ruang

    gerak antara kendaraan.

    c. Lintasan kendaraan tidak mengkin dibuat tetap sejajar sumbu lajur lalu lintas,

    karena selama bergerak akan mengalami gaya gaya samping seperti tidak

    ratanya permukaan, gaya sentritugal ditikungan, dan gaya angin akibat

    kendaraan lain yang menyiap.Lebar lajur lalu lintas merupakan lebar kendaraan ditambah dengan ruang

    bebas antara kendaraan yang besarnya sangat ditentukan oleh keamanan dan

    kenyamanan yang diharapkan. Pada jalan lokal (kecepatan rendah) lebar

    jalan minimum 5,50 m (2 x 2,75) cukup memadai untuk jalan 2 jalur dengan 2 arah.

    Dengan pertimbangan biaya yang tersedia, lebar 5 m pun masih

    diperkenankan.Jalan arteri yang direncanakan untuk kecepatan tinggi, mempunyai

    lebar lajur lalu lintas lebih besar dari 3,25 m sebaiknya 3,50 m.

    Tabel 2.8 Lebar Lajur Jalan Ideal

    FUNGSI KELAS LEBAR LAJUR

    IDEAL (m)

    Arteri I 3,75

    Kolektor III A, III B 3,00

    Lokal III C 3,00

    Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina

    Marga 1997.

  • 7/23/2019 Recov Chap II Dasar Teori Geometrik

    15/66

    2.3.1.2.2 Jumlah Lajur Lalu Lintas

    Banyak lajur yang dibutuhkan sangat tergantung dari volume lalu lintas yang

    akan memakai jalan tersebut dan tingkat pelayanan jalan yang diharapkan.Empat

    lajur untuk satu arah untuk pada jalan tunggal adalah patokan maksimum yang

    diterima secara umum.Tetapi AASHTO 2001 memberikan sebuah kemungkinan

    terdapatnya 16 lajur pada jalan 2 arah terpisah.Kemiringan melintang jalur lalu lintas

    jalan lurus diperuntukkan untuk kebutuhan drainase jalan (Jotin Khisty, 2003). Air

    yang jatuh di atas permukaan jalan supaya cepat dialirkan ke saluran saluran

    pembuangan. Kemiringan melintang jalan normal dapat dilihat pada gambar di

    bawah ini:

    Gambar 2.7 Kemiringan melintang jalan normal

    Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina

    Marga 1997.

    2.3.1.3 Bahu Jalan

    Bahu jalan atau tepian jalan adalah bagian jalan yang terletak di antara tepi

    jalan lalu lintas dengan tepi saluran, parit, kreb atau lereng tepi (Clarkson

    H.Oglesby,1999). AASHTO menetapkan agar bahu jalan yang dapat digunakan harus

    dilapisi perkerasan atau permukaan lainyang cukup kuat untuk dilalui kendaraan dan

    menyarankan bahwa apabila jalur jalan dan bahu jalan dilapisi dengan bahan aspal,

    warna dan teksturnya harus dibedakan.

  • 7/23/2019 Recov Chap II Dasar Teori Geometrik

    16/66

    Bahu jalan berfungsi sebagai :

    1. Tempat berhenti sementara kendaraan

    2. Menghindarkan diri dari saat-saat darurat sehingga dapat mencegah terjadinya

    kecelakaan

    3. Memberikan sokongan pada konstruksi perkerasan jalan dari arah samping

    agar tidak mudah terkikis

    4. Ruang pembantu pada waktu mengadakan pekerjaan parbaikan atau

    pemeliharaan jalan (Bina Marga, 1997).

    2.3.1.3.1 Jenis Bahu Jalan

    Berdasarkan tipe perkerasannya, bahu jalan dapat dibedakan atas :

    a) Bahu yang tidak diperkeras, yaitu bahu yang hanya dibuat dari material

    perkerasan jalan tanpa bahan pengikat, bahu ini dipergunakan untuk daerah

    daerah yang tidak begitu penting, dimana kendaraan yang berhenti dan

    mempergunakan bahu tidak begitu banyak jumlahnya.

    b) Bahu yang diperkeras, yaitu bahu yang dibuat dengan mempergunakan bahan

    pengikat sehingga lapisan tersebut lebih kedap air dari pada bahu yang tidak

    diperkeras. Bahu dipergunakan untuk jalan jalan dimana kendaraan yang

    akan berhenti dan memakai bagian tersebut besar jumlahnya

    2.3.1.3.2 Lebar Bahu Jalan

    Besarnya lebar bahu jalan dipengaruhi oleh :

    a) Fungsi jalan; jalan arteri direncanakan untuk kecepatan yang lebih tinggi

    dibandingkan dengan jalan lokal. Dengan demikian jalan arteri membutuhkan

    kebebasan samping, keamanan, dan kenyamanan yang lebih besar, atau

    menuntut lebar bahu yang lebih besar dari jalan lokal.

    b) Volume lalu lintas; volume lalu lintas yang tinggi membutuhkan lebar bahu

    yang lebih besar dibandingkan dengan volume lalu lintas yang lebih rendah.c) Kegiatan disekitar jalan.; Jalan yang melintasi daerah perkotaan, pasar,

    sekolah, membutuhkan lebat bahu jalan yang lebih besar dari pada jalan yang

    melintasi daerah rural.

    d) Ada atau tidaknya trotoar

    e) Biaya yang tersedia; sehubungan dengan biaya pembebasan tanah, dan biaya

    untuk konstruksi (Jotin Kisty, 2003).

  • 7/23/2019 Recov Chap II Dasar Teori Geometrik

    17/66

    2.3.1.3.3 Lereng Melintang Bahu Jalan

    Fungsi lereng melintang perkerasan jalan untuk mengalirkan air hujan

    sangat ditentukan oleh kemiringan melintang bagian samping jalur perkerasan itu

    sediri, yaitu kemiringan melintang bahu jalan (Sukirman, 1994). Kemiringan

    melintang bahu yang tidak baik ditambah pula dengan bahu dari jenis tidak

    diperkeras akan menyebabkan turunnya daya dukung lapisan perkerasan, lepasnya

    ikatan antara agregat dan aspal yang akhirnya dapat memperpendek umur pelayanan

    jalan. Untuk itu, haruslah dibuat kemiringan bahu jalan yang sebesar besarnya

    tetapi aman dan nyaman bagi pengemudi kendaraan. Kemiringan melintang jalur

    perkerasan jalan, yang dapat bervariasi sampai 6 % tergantung dari jenis permukaan

    bahu, intensitas hujan, dan kemungkinan penggunaan bahu jalan. Kemiringan bahu

    jalan normal antara 3 - 5%. dengan ketentuan seperti gambar di bawah ini.

    Gambar 2.8 Bahu Jalan

    Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina

    Marga 1997.

    Gambar 2.9 Kombinasi Bahu Dengan TrotoarSumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina

    Marga 1997.

    2.3.1.4 Median

    Median adalah bagian bangunan jalan yang secara fisik memisahkan dua jalur lalu

    lintas yang berlawanan arah (Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah, 2004).

  • 7/23/2019 Recov Chap II Dasar Teori Geometrik

    18/66

    Fungsi median adalah untuk:

    a) Memisahkan dua aliran lalu lintas yang berlawanan arah

    b) Ruang lapak tunggu penyeberang jalan

    c) Penempatan fasilitas jalan

    d) Tempat prasarana kerja sementara

    e) Penghijauan

    f) Tempat berhenti darurat (jika cukup luas)

    g) Cadangan lajur (jika cukup luas)

    h) Mengurangi silau dari sinar lampu kendaraan dari arah yang berlawanan

    Median dapat dibedakan atas :

    a) Median direndahkan, terdiri atas jalur tepian dan bangunan pemisah jalur

    yang direndahkan.

    b) Median ditinggikan, terdiri atas jalur tepian dan bangunan pemisah jalur

    yang ditinggikan.

    Lebar minimum median terdiri atas jalur tepian selebar 0,25-0,50 meter dan bangunan

    pemisah jalur, ditetapkan dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.

    Tabel 2.9 Lebar Minimum Median

    Bentuk Median Lebar MinimumMedian Ditinggikan 2,0

    Median Direndahkan 7,0

    Sumber : Pedoman Konstruksi Bangunan, Departemen Pemukiman dan Prasarana

    Wilayah.2004

    Gambar 2.10 Median Direndahkan

    Sumber : Pedoman Konstruksi Bangunan, Departemen Pemukiman dan Prasarana

    Wilayah.2004

  • 7/23/2019 Recov Chap II Dasar Teori Geometrik

    19/66

    Gambar 2.11 Median Ditinggikan

    Sumber : Pedoman Konstruksi Bangunan, Departemen Pemukiman dan PrasaranaWilayah.2004

    2.3.1.5 Fasilitas Pejalan Kaki

    Pejalan kaki adalah istilah dalam transportasi yang digunakan untuk

    menjelaskan orang yang berjalan di lintasan pejalan kaki baik dipinggir jalan, trotoar,

    lintasan khusus bagi pejalan kaki ataupun menyeberang jalan. Untuk melindungi

    pejalan kaki dalam berlalu lintas, pejalan kaki wajib berjalan pada bagian jalan dan

    menyeberang pada tempat penyeberangan yang telah disediakan bagi pejalan kaki.

    Fasilitas pejalan kaki berfungsi memisahkan pejalan kaki dari jalur lalu lintas

    kendaraan guna menjamin keselamatan pejalan kaki dan kelancaran lalu

    lintas.Perlengkapan bagi para pejalan kaki sebagaimana pada kendaraan bermotor

    sangat penting terutama di daerah perkotaan dan untuk jalan masuk ke atau keluar

    dari tempat tinggal (Clarkson H.Oglesby,1999).

    2.3.2 Segmen/ Ruas Jalan

    2.3.2.1 Panjang Bagian Lurus

    Dengan mempertimbangkan faktor keselamatan pemakai jalan, ditinjau dari

    segi kelelahan pengemudi, maka panjang maksimum bagian jalan yang lurus harus

    ditempuh dalam waktu tidak lebih dari 2,5 menit sesuai dengan tabel di bawah ini:

  • 7/23/2019 Recov Chap II Dasar Teori Geometrik

    20/66

    Tabel 2.10 Panjang Bagian Lurus Maksimum

    Fungsi Panjang Bagian Lurus Maximum

    Datar Perbukitan Pegunungan

    Arteri 3.000 2.500 2.000

    Kolektor 2.000 1.750 1.500

    Sumber :Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina

    Marga 1997

    2.3.2.2 Jarak Pandang

    Jarak pandang adalah jarak dimana pengemudi dapat melihat benda

    yang menghalanginya, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak dalam batas

    mana pengemudi dapat melihat dan menguasai kendaraan pada satu jalur lalu lintas.

    Jarak pandang bebas ini dibedakan menjadi dua bagian, yaitu : jarak pandang henti

    dan jarak pandang mendahului (Sony Sulaksono, 2001).

    2.3.2.2.1 Jarak Pandang Henti ( JPH )

    Jarak pandang henti (JPH) adalah jarak yang diperlukan untuk menghentikan

    kendaraan bila ada suatu halangan di tengah jalan (Sony Sulaksono, 2001).

    Tabel 2.11 Persyaratan Jarak Pandangan Henti

    VR (Km/Jam) 120 100 80 60 50 40 30 20

    Jh minimum (m) 250 175 120 75 55 40 27 16

    Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina

    Marga 1997.

    2.3.2.2.2 Jarak Pandang Mendahului (JPM)

    Jarak pandang mendahului (JPM) adalah jarak yang memungkinkan suatu

    kendaraan mendahului kendaraan lain di depannya dengan aman sampai kendaraan

    tersebut kembali ke lajur semula (Bina Marga,1997).

    Tabel 2.12 Persyaratan Jarak Pandangan Mendahului

    VR (Km/Jam) 120 100 80 60 50 40 30 20

    Jd (m) 800 670 550 350 250 200 150 100

    Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina

    Marga 1997.

  • 7/23/2019 Recov Chap II Dasar Teori Geometrik

    21/66

    2.3.2.2.3 Daerah Bebas Samping di Tikungan

    Pada saat mengemudikan kendaraan pada kecepatan tertentu, ketersediaan

    jarak pandang yang baik sangat dibutuhkan apalagi sewaktu kendaraan menikung

    atau berbelok. Keadaan ini seringkali terganggu oleh gedung-gedung (perumahan

    penduduk), pepohonan, hutan-hutan kayu maupun perkebunan, tebing galian dan lain

    sebagainya.Oleh karena itu perlu adanya daerah bebas samping di tikungan untuk

    menjaga keamanan pemakai jalan (Jotin Khisty,2003).

    Daerah bebas samping di tikungan adalah ruang untuk menjamin kebebasan

    pandang di tikungan sehingga jarak pandangan henti (Jh) dipenuhi. Daerah bebas

    samping dimaksudkan untuk memberikan kemudahan pandangan di tikungan dengan

    membebaskan objek-objek penghalang sejauh E (m) diukur dari garis tengah lajurdalam sampai objek penghalang pandangan sehingga persyaratan Jh dipenuhi ( Bina

    Marga 1997).

    Jarak ini diperlukan untuk memenuhi syarat jarak pandang yang besarnya

    tergantung jari-jari (R), kecepatam rencana (V) dan keadaan lapangan. Terdapat dua

    kemungkinan keadaan, yaitu :

    a) Jarak Pandang < Panjang Tikungan (Jh < Lt)

    = (1 cos(

    ))........................................................ 2.4

    Dimana : R = Jarijari tikungan (m)

    Jh = Jarak pandang henti (m)

    Lt = Panjang tikungan (m)

  • 7/23/2019 Recov Chap II Dasar Teori Geometrik

    22/66

    Gambar 2.12. Jarak Pandang < Panjang Tikungan (Jh < Lt)

    Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina

    Marga 1997

    Grafik 2.1 Jarak Penghalang (E), Dari Sumbu Lajur Sebelah Dalam

    Sumber : Rekayasa jalan,Ir.Sony Sulaksono,M.Sc

  • 7/23/2019 Recov Chap II Dasar Teori Geometrik

    23/66

    Tabel 2.13 berisi nilai E (m) untuk Jh Panjang Tikungan (Jh > Lt)

    Dimana : R = Jarijari tikungan (m)

    Jh = Jarak pandang henti (m)

    Lt = Panjang tikungan (m)

  • 7/23/2019 Recov Chap II Dasar Teori Geometrik

    24/66

    Gambar 2.13. Jarak Pandang > Panjang Tikungan (Jh > Lt)

    Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina

    Marga 1997.

  • 7/23/2019 Recov Chap II Dasar Teori Geometrik

    25/66

    Tabel 2.14 Berisi Nilai E (m) Untuk Jh>Lt, VR (km/jam) dan Jh (m)

    Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina

    Marga 1997

    Tabel 2.15 Berisi nilai E (m) Untuk Jh>L, VR (km/jam) dan Jh (m), Dimana

    Jh - Lt = 50 m.

  • 7/23/2019 Recov Chap II Dasar Teori Geometrik

    26/66

    Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina

    Marga 1997

    2.4 Persyaratan Alinemen

    2.4.1 Alinemen Vertikal

    2.4.1.1 Pengertian

    Alinemen vertikal adalah proyeksi dari sumbu jalan pada suatu bidang

    vertikal yang melalui sumbu jalan tersebut.Alinemen vertikal terdiri atas bagian

    landai vertikal dan bagian lengkung vertikal (Sukirman, 1994). Ditinjau dari titik

    awal perencanaan, bagian landai vertikal dapat berupa landai positif (tanjakan), atau

    landai negatif (turunan), atau landai nol (datar).

  • 7/23/2019 Recov Chap II Dasar Teori Geometrik

    27/66

    2.4.1.2 Landai Maksimum

    Landai Maksimum adalah landai vertikal maksimum dimana truk dengan

    muatan penuh masih mampu bergerak dengan penurunan kecepatan tidak lebih dari

    setengah kecepatan awal tanpa penurunan gigi rendah ( Sony Sulaksono, 2001)

    seperti pada tabel di bawah ini:

    Tabel 2.16 Kelandaian maksimum yang diizinkan

    VR (km/jam) 120 100 80 60 50 40 30 20

    Kelandaian Maksimum (%) 3 3 4 5 8 9 10 10

    Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina

    Marga 1997

    2.4.1.3 Panjang Kritis

    Panjang kritis adalah panjang landai maksimum yang harus disediakan agar

    kendaraan dapat mempertahankan kecepatannya sedemikian rupa sehingga

    penurunan kecepatan tidak lebih dari kecepatan rencana (Sony Sulaksono,

    2001).Lama perjalanan tersebut tidak boleh lebih dari satu menit.

    Tabel 2.17 Panjang Kritis

    Kecepatan pada awaltanjakan (km/jam)

    Kelandaian4 5 6 7 8 9 10

    80 630 460 360 270 230 230 200

    60 320 210 160 120 110 90 80

    Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina

    Marga 1997

    2.4.1.4 Lengkung Vertikal

    Lengkung vertikal harus disediakan pada setiap lokasi yang mengalami

    perubahan kelandaian dengan tujuan mengurangi goncangan akibat perubahan

    kelandaian dan menyediakan jarak pandang henti. Lengkung vertikal terdiri atas

    lengkung vertikal cembung dan lengkung vertikal cekung (Sony Sulaksono, 2001).

    Panjang lengkung vertikal (LV) ditentukan dengan rumus sebagai berikut:

    a. Jika jarak pandang henti lebih kecil dari panjang lengkung vertikal cembung.

    = ................................................................ ................................... 2.6

  • 7/23/2019 Recov Chap II Dasar Teori Geometrik

    28/66

    b. Jika jarak pandang henti lebih bear dari panjang lengkung vertikal cekung.

    = 2 405

    Panjang minimum lengkung vertikal dapat ditentukan dengan rumus:

    LV =A Y....2.8

    = ................................................................ ............................ 2.9

    Dimana:

    LV = Panjang lengkung vertikal (m)

    A = Perbedaan grade (m)

    S = Jarak pandang henti (m)

    Y = Faktor penampilan kenyamanan, didasarkan pada tinggi obyek 10 cm

    dan tinggi mata 120 cm.Nilai Y ini dapat diperoleh sesuai tabel berikut,

    Tabel 2.18 Penentuan Faktor Penampilan Kenyamanan, Y

    Kecepatan Rencana ( km/jam) Faktor Penampilan Kenyamanan, Y

    < 40 1,540 - 60 3

    >60 8

    Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina

    Marga 1997

    Panjang lengkung vertikal bisa ditentukan langsung sesuai tabel berikut

    didasarkan pada penampilan,kenyamanan dan jarak pandang.

    Tabel 2.19 Panjang Minimum Lengkung Vertikal

    Kecepatan Rencana

    (km/jam)

    Perbedaan Kelandaian

    Memanjang (%)

    Panjang Lengkung (m)

    < 40 1 20 - 30

    40 - 60 0,6 40 - 80

    > 60 0,4 80 - 150

    Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina

    Marga 1997

  • 7/23/2019 Recov Chap II Dasar Teori Geometrik

    29/66

    2.4.2 Alinemen Horizontal

    2.4.2.1 Pengertian

    Alinemen horizontal adalah proyeksi sumbu jalan pada bidang horizontal.

    Alinemen horizontal dikenal juga dengan namasituasi jalanatautrase jalan, yang

    terdiri dari garis-garis lurus yang dihubungkan dengan garis-garis lengkung. Garis

    lengkung tersebut dapat terdiri dari busur lingkaran ditambah busur peralihan, busur

    peralihan saja atau busur lingkaran saja (Sukirman, 1994). Alinemen horizontal

    terdiri atas bagian lurus dan bagian lengkung (disebut juga tikungan). Perencanaan

    geometrik pada bagian lengkung dimaksudkan untuk mengimbangi gaya sentrifugal

    yang diterima oleh kendaraan yang berjalan pada kecepatan VR.

    2.4.2.2 Jari - Jari Tikungan

    Jari - jari tikungan adalah nilai yang membatasi besar kelengkungan untuk

    kecepatan rencana tertentu dan ditentukan dari besar superelevasi maksimum dan

    faktor gesekan samping maksimum yanag dipilih untuk desain ( AASHTO 2001).

    Bagian yang sangat kritis pada alinemen horizontal adalah bagian tikungan

    karena terdapat gaya yang akan melemparkan kendaraan keluar dari tikungan (gaya

    sentrifugal), hal tersebut harus diimbangi oleh komponen berat kendaraan yang

    diakibatkan oleh superelevasi dari jalan dan oleh gesekan samping (side friction)

    antara ban dan permukaan jalan. Hubungan antara kecepatan (V), jari-jari tikungan

    (R), kemiringan melintang/ superelevasi (e) dan gaya gesek samping antara ban dan

    permukaan jalan (f) didapat dari hukum mekanika F = m.a (Hukum Newton II). Gaya

    sentrifugal saat kendaraan bergerak di tikungan dengan persamaan , dimana

    G= berat kendaraan dan g = percepatan gravitasi. Dalam hal ini terdapat tiga

    keadaan keseimbangan, yaitu:

  • 7/23/2019 Recov Chap II Dasar Teori Geometrik

    30/66

    1. Stadium I : Gaya sentrifugal diimbangi gesekan ban Vs perkerasan.

    K

    F max

    G

    FL FR

    NL NL

    Gambar 2.14 Gaya Sentrifugal Diimbangi Gesekan Ban Vs Perkerasan

    Penurunan Rumus:

    K = F max

    FL + FR = K

    ( NR + NL ) f = m . a

    . =

    =.

    , = 9,8

    =

    981000

    13600

    = 127000

    =127000.

    , ;

    =127000

    1

    1000

    =127.

    Sumber : Rekayasa jalan,Ir.Sony Sulaksono,M.Sc.

  • 7/23/2019 Recov Chap II Dasar Teori Geometrik

    31/66

    2. Stadium II : Gaya sentrifugal diimbangi hanya dengan kemiringan

    melintang jalan

    K cos

    K

    Gambar 2.15 Gaya Sentrifugal Diimbangi Hanya Dengan Kemiringan

    Melintang Jalan

    Penurunan Rumus:

    F max = K

    G sin = K cos

    G sin = m. a cos

    sin = . cos

    = , = 9,8 2

    =

    981000

    13600

    =127.

    Sumber : Rekayasa jalan,Ir.Sony Sulaksono,M.Sc.

  • 7/23/2019 Recov Chap II Dasar Teori Geometrik

    32/66

    Gambar 2.16 Gaya Sentrifugal Diimbangi Dengan Gaya Gesek Dan Kemiringan

    3. Stadium III : Gaya sentrifugal diimbangi dengan gaya gesek dan

    kemiringan melintang jalan

    Penurunan Rumus:F max = K

    ( FL + FR ) + G sin = K cos

    ( NL + NR ) f + G sin = K cos

    G cos . f + G sin = m . g cos

    . + = . cos cos

    +

    =

    2

    , = 9,8

    =

    981000

    13600

    = 127000

    + =127000.

    1

    1000

    + =127.

    Sumber : Rekayasa jalan,Ir.Sony Sulaksono,M.Sc.

  • 7/23/2019 Recov Chap II Dasar Teori Geometrik

    33/66

    Dari ketiga keseimbangan di atas diperoleh kesimpulan yaitu:

    Pada Stadium I Rmin = .................................................................2.10

    Pada Stadium II Rmin = ................................................................2.11

    Pada Stadium III Rmin =( )

    ....................................... 2.12

    Rumus dasar dari kendaraan yang melintasai tikungan menurut bina marga

    adalah sbb :

    + =.

    ................................................................................................2.13

    Dengan :

    e = Superelevasi

    f = Faktor gesekan samping

    V = Kecepatan rencana (km/jam)

    R = Jari-jari tikungan (m )

    Grafik 2.2 Koefisien Gesekan Melintang Maksimum Untuk Desain

    Sumber : Buku Teknik Sipil, Ir. Sunggono KH.

  • 7/23/2019 Recov Chap II Dasar Teori Geometrik

    34/66

    Tabel 2.20 Rekomendasi AASHTO Untuk Koefisien Gesekan Samping

    Kecepatan Rencana

    (mph) 20 30 40 50 60 70 80

    Kecepatan Rencana

    (km/jam) 32 48 64 80 97 113 129

    Koefisien 0,17 0,16 0,15 0,14 0,12 0,10 0,08

    Sumber: Teknik Jalan Raya, Clarkson H.Oglesby

    AASHTO 2001 memberikan rumusan untuk batasan basar jari jari

    minimum tersebut yaitu:

    =( , )

    ......................................... 2.14

    Dengan :

    e = superelevasi

    f = faktor gesekan samping

    V = kecepatan rencana

    (km/jam)

    R = jari-jari tikungan (m)

    Tabel 2.21 Panjang Jari-jari Minimum

    VR (km/jam) 120 100 80 60 50 40 30 20

    Jari-jari Minimum Rmin (m) 600 370 210 110 80 50 30 15

    Jari-jari Minimum Tanpa

    Lengkung Peralihan (m)2500 1500 900 500 350 250 130 60

    Jari-jari Minimum Tanpa

    Superelevasi (m)5000 2000 1250 700 - - - -

    Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina

    Marga 1997.

  • 7/23/2019 Recov Chap II Dasar Teori Geometrik

    35/66

    Tabel 2.22 Jari-Jari Minimum Untuk Jalan Luar Kota, Jalan Tol, Jalan

    Perkotaan Berdasarkan Nilai e dan f

    Kecepatan

    Rencana

    (Km/Jam)

    Superelevasi

    maximum (%)

    Koefisien Gesek

    (f )

    Total

    (e/100+f)

    Radius

    (m)

    Radius

    (Pembulatan)

    (m)

    20 4,0 0,18 0,22 14,5 15

    30 4,0 0,17 0,21 33,7 35

    40 4,0 0,17 0,21 60,0 60

    50 4,0 0,15 0,20 98,4 100

    60 4,0 0,15 0,19 149,1 150

    70 4,0 0,14 0,18 214,2 215

    80 4,0 0,14 0,18 279,8 280

    90 4,0 0,13 0,17 375,0 375

    100 4,0 0,12 0,16 491,9 490

    20 6,0 0,18 0,24 13,1 1530 6,0 0,17 0,23 30,8 30

    40 6,0 0,17 0,23 54,7 55

    50 6,0 0,16 0,22 89,4 90

    60 6,0 0,15 0,21 134,9 135

    70 6,0 0,14 0,20 192,8 195

    80 6,0 0,14 0,20 251,8 250

    90 6,0 0,13 0,19 335,5 335

    100 6,0 0,12 0,18 437,2 435

    110 6,0 0,11 0,17 560,2 560

    120 6,0 0,09 0,15 755,5 755

    130 6,0 0,08 0,14 950,0 950

    20 8,0 0,18 0,28 12,1 10

    30 8,0 0,17 0,25 28,3 30

    40 8,0 0,17 0,25 50,4 50

    50 8,0 0,16 0,24 82,0 80

    60 8,0 0,15 0,23 123,2 125

    70 8,0 0,14 0,22 175,3 175

    80 8,0 0,14 0,22 228,9 230

    90 8,0 0,13 0,21 303,6 305

    100 8,0 0,12 0,20 393,5 395

    110 8,0 0,11 0,19 501,2 500

    120 8,0 0,09 0,17 666,6 665

    130 8,0 0,08 0,18 831,3 830

    20 10,0 0,18 0,28 11,2 10

    30 10,0 0,17 0,27 26,2 25

    40 10,0 0,17 0,27 46,6 45

    50 10,0 0,16 0,26 75,7 75

    60 10,0 0,15 0,25 113,3 115

    70 10,0 0,14 0,24 160,7 160

    80 10,0 0,14 0,24 209,9 210

    90 10,0 0,13 0,23 277,2 275

    100 10,0 0,12 0,22 357,7 360

  • 7/23/2019 Recov Chap II Dasar Teori Geometrik

    36/66

    110 10,0 0,11 0,21 453,5 455

    120 10,0 0,09 0,19 596,5 595

    130 10,0 0,08 0,18 738,9 740

    20 12,0 0,18 0,30 19,5 10

    30 12,0 0,17 0,29 24,4 25

    40 12,0 0,17 0,29 43,4 45

    50 12,0 0,16 0,28 70,3 70

    60 12,0 0,15 0,27 104,9 105

    70 12,0 0,14 0,26 148,3 150

    80 12,0 0,14 0,26 193,7 195

    90 12,0 0,13 0,25 255,0 255

    100 12,0 0,12 0,24 327,9 330

    110 12,0 0,11 0,23 414,0 415

    120 12,0 0,09 0,21 539,7 540

    130 12,0 0,08 0,20 665,0 665

    Sumber : A policy on Geometric Design of Highways And Streets, (AASHTO , 2001)

    2.4.2.3 Menentukan Bentuk Tikungan

    Berdasarkan jari-jari tikungan, maka tikungan atau disebut juga

    lengkung horizontal dapat dibagi dalam 3 (tiga) bentuk yaitu:

    1. Bentuk Tikungan Full Circle (FC)

    2. Bentuk Tikungan Spiral-Circle-Spiral (S-C-S)

    3. Bentuk Tikungan Spiral-Spiral (S-S)

    2.4.2.3.1 Bentuk Tikungan Full Circle (FC)

    Bentuk tikungan full circle disebut juga bentuk busur lingkaran

    sederhana. Bentuk ini dipergunakan hanya pada lengkung yang mempunyai radius

    besar dan besar sudut tangent yang kecil. Adapun lengkung tikungan full circle

    seperti gambar 2.17 dibawah ini. Di Indonesia penggunaan bentuk full circle

    mempunyai batasan-batasan tertentu seperti pada tabel 2.23 di bawah ini.

  • 7/23/2019 Recov Chap II Dasar Teori Geometrik

    37/66

    Gambar 2.17 Lengkung Busur Lingkaran Sederhana (Full Circle)

    Sumber : Buku Teknik Sipil, Ir. Sunggono KH.

    Tabel 2.23 Batasan-Batasan Dalam Bentuk Full Circle

    Kecepatan Rencana (km/jam) JariJari Lengkung Minimum (m)

    120 2500

    100 1500

    80 90060 500

    50 350

    40 25030 130

    20 60Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina

    Marga 1997

    Untuk tikungan yang jari-jarinya lebih kecil daripada harga-harga di atas

    bentuk tikungan harus dipakai spiral - circlespiral atau spiralspiral.

    Rumus-rumus untuk full circle menentukan T,L dan E adalah sebagai berikut:

    = ..................................................................................................2.15

    Sehingga diperoleh:

    T = Rtg12

    ..2.16

    E = T tg14

    ............................................................................................2.17

  • 7/23/2019 Recov Chap II Dasar Teori Geometrik

    38/66

    =

    ...................................................................................... 2.18

    =

    . 2 . ..................................................................................... 2.19

    L = 0,01745. .R........... 2.20

    Dengan:

    P.I =Point of intersection

    V = Kecepatan rencana (km/jam)

    R = Jari-jari (m)

    = Sudut tangent (derajat)

    TC =Tangent circle

    CT =Circle tangent

    T = Jarak antara TC dan PI (m)

    L = Panjang bagian tikungan (m)

    E = Jarak PI ke bentuk lengkung (m)

    2.4.2.3.2 Bentuk Tikungan Spiral - Circle - Spiral (S-C-S)

    Ketika kendraan memasuki atau meninggalkan lengkungan horizontal

    melingkar, maka penambahan atau pengurangan gaya sentrifugal tidak dapat

    tercapai langsung karena faktor keselamatan dan kenyamanan.Dalam hal ini

    menyisipkan lengkungan transisi antara tangen dan lengkungan melingkar

    memerlukan pertimbangan (Jotin Khisty,2003).Lengkungan transisi yang dirancang

    dengan baik mempunyai keuntungan antara lain:

    1. Sebuah rute alamiah dan mudah diikuti oleh pengemudi sehingga gaya

    sentrifugal meningkat atau berkurang secara bertahap seiiring kendaraan

    memasuki dan meninggalkan lengkungan melingkar.

    2. Superelevasi dapat diatur sesuai keinginan dan lebih mudah.

    3. Fleksibilitas dalam pelebaran lengkungan tajam.

    4. Tampilan jalan raya yang lebih baik.

  • 7/23/2019 Recov Chap II Dasar Teori Geometrik

    39/66

    Lengkungan spiral merupakan peralihan dari bagian lurus ke bagian circle.

    Panjang lengkung peralihan (spiral) diperhitungkan dengan mempertimbangkan

    bahwa perubahan gaya sentripugal dari nol (pada bagian lurus) sampai sebesar :

    = .

    . .............................................................................................................2.21

    Menurut Bina Marga 1997 lengkungan spiral dapat ditentukan dengan 3 rumus:

    1. Berdasarkan antisipasi gaya sentrifugal,

    min = 0,022 2,727. .

    ...............................................................2.22

    Dimana:

    Ls =Panjang spiral (m)

    V = Kecepatan rencana (km/jam)

    R = Jari-jari (m)

    C = Perubahan kecepatan

    K = Superelevasi

    2. Berdasarkan waktu tempuh maksimum di lengkung peralihan

    =,

    . ......................................................................................................2.23

    Dimana: T = waktu tempuh pada lengkung peralihan, ditetapkan 3

    detik.

    V = kecepatan rencana (km/jam).

    3. Berdasarkan tingkat pencapaian perubahan kelandaian

    = ( )

    ,

    ............................................................................................ 2.24

    Dimana : V = kecepatan rencana (km/jam)

    em = superelevasi maximum

    en = superelevasi normal

    re = tingkat pencapaian perubahan kemiringan melintang

    jalan (%/detik)

    Untuk VR 70km/jam, re-max = 0.035 %/detik

    Untuk VR 80km/jam, re-max = 0.025 %/detik

  • 7/23/2019 Recov Chap II Dasar Teori Geometrik

    40/66

    Selain ketiga rumus diatas, untuk tujuan praktis Ls dapat ditetapkan

    dengan menggunakan tabel 2.24

    Tabel 2.24 Panjang Lengkung Peralihan (Ls) dan Panjang Pencapaian

    Superelevasi (Le) Untuk Jalan l Jalur-2 Lajur-2 Arah.

    VR (km/jam) Superelevasi (%)

    2 4 6 8 10

    Ls Le Ls Le Ls Le Ls Le Ls Le

    20

    3040 10 20 15 25 15 25 25 30 35 40

    50 15 25 20 30 20 30 30 40 40 50

    60 15 30 20 35 25 40 35 50 50 6070 20 35 25 40 30 45 40 55 60 70

    80 30 55 40 60 45 70 65 90 90 120

    90 30 60 40 70 50 80 70 100 100 130

    100 35 65 45 80 55 90 80 110 110 145

    110 40 75 50 85 60 100 90 120 - -

    120 40 80 55 90 70 110 95 135 - -

    Sumber : : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina

    Marga 1997.

    Menurut AASHTO 2001 lengkung spiral dapat ditentukan dengan rumus :

    = , .

    ........................................................................................................2.25

    Dimana: Ls = Panjang minimum lengkung spiral

    (m) R = Jarijari tikungan (m)

    V = Kecepatan Rencana (km/jam)

    C = Perubahan Percepatan (1,2 m/s2)

  • 7/23/2019 Recov Chap II Dasar Teori Geometrik

    41/66

    Bentuk tikungan Spiral - Circle - Spiral (S-C-S) dapat dilihat pada

    gambar di bawah ini:

    Gambar 2.18. Bentuk Tikungan Spiral - CircleSpiral ( SCS )

    Sumber : Buku Teknik Sipil, Ir. Sunggono KHJari-jari circle yang diambil harus sesuai

    dengan kecepatan rencana yang ditentukan serta tidak mengakibatkan adanyakemiringan tikungan yang melebihi harga maksimum. Kemiringan tikungan

    maksimum menurut bina marga dibedakan menjadi 2 (dua) bagian yaitu:

    1. Untuk jalan antar kota, kemiringan tikungan maksimumnya 10 %

    2. Untuk jalan kota, kemiringan tikungan maksimumnya 8 %

    Rumusan-rumusan untuk Spiral - CircleSpiral (lihat gambar 2.18)

    Ts = (R+P) tg12+ K.....2.26

  • 7/23/2019 Recov Chap II Dasar Teori Geometrik

    42/66

    =/ .

    ....................................................................................2.27

    = 2s.............2.28

    =

    ..................................................................................................2.29

    = ..........................................................................................................2.30

    =. .

    .......................................................................................................2.31

    = .

    .........................................................................................2.32

    = .

    .......................................................................................2.33

    P = YcRc ( 1cosS).2.34

    K = XcRc sin....2.35

    L =Lc + 2.Ls...............................................................................................2.36

    Dimana:

    P.I = Point of intersection

    d = Jarak PI ke PI yang lain (m) V

    = Kecepatan rencana (km/jam)

    = Sudut tangent (derajat) R

    = Jari-jari (m)

    = Sudut lengkung spiral (derajat) Ls

    = Panjang lengkung spiral (m)

    e = Kemiringan melintang (%) Dari

    R hitung :

    = ,

    2.37

  • 7/23/2019 Recov Chap II Dasar Teori Geometrik

    43/66

    R atau D yang telah ditetapkan, lihat tabel emax

    R atau V didapat : e =(%)

    Ls =(m)

    Selanjutnya lihat tabel untuk lengkung spiral :

    Ls =(m) : didapat harga : =........(derajat)

    R=(m) P =......(m)

    K =(m)

    Apabila Lc < 20 m, maka bentuk tikungannya adalah spiral-spiral (S-S).

    Tabel 2.25 Perhitungan e, b dan Ls mnimum

    R

    dalam

    meter

    Vr = 20 km/jam Vr = 30km/jam Vr = 40km/jam

    e ( %) b(m) Ls

    min

    e ( %) b(m) Ls

    min

    e ( %) b(m) Ls

    min400 2.0 0.50 25360 2.7 0.50 25

    320 2.5 0.50 25

    300 2.7 0.50 25280 2.9 0.50 25

    240 3.4 0.50 25

    200 2.2 0.50 20 4.0 0.75 25

    180 2.5 0.50 20 4.4 0.75 30

    160 2.8 0.75 20 4.9 0.75 30

    140 3.2 0.75 20 5.5 0.75 30130 3.4 0.75 20 5.8 0.87 30

    120 3.7 0.75 20 6.2 1.00 40

    100 4.5 1.00 25 7.2 1.00 4090 5.0 1.00 25 7.6 1.00 4085 2.0

    80 2.1 5.6 1.00 25 8.8 1.25 40

    75 2.270 2.4 6.3 1.25 30 9.4 1.25 50

    65 2.5

    60 2.6 1.000 15 7.1 1.25 30 9.9 1.50 50

    55 2.8 1.000 15

    50 2.9 1.000 15 8.0 1.50 40 1.50 50

    45 3.0 1.000 15 8.4 1.50 4040 3.1 1.500 15 8.9 1.75 40

    35 3.2 1.500 20 9.4 2.00 40

    30 3.4 1.500 20 9.8 2.25

    25 3.5 1.500 20

    20 3.6 1.500 20

    15 4.0 3.700 20

    5 4.0 3.700 20

    Sumber : Buku Teknik Sipil, Ir. Sunggono K

  • 7/23/2019 Recov Chap II Dasar Teori Geometrik

    44/66

    Tabel 2.26 Perhitungan e dan Ls minimum (Untuk Rural Highway,2 jalur, emax =10%)

    R (m) V = 60 Km/Jam V = 80 Km/Jam

    V = 100

    Km/Jam

    V = 120

    Km/Jam

    e Ls e Ls e Ls e Ls5730 LN 0 LN 0 LP 60 LN 0

    2864 LN 0 LP 50 LP 60 0,022 80

    1910 LP 40 LP 50 0,023 60 0,033 80

    1432 LP 40 0,022 50 0,030 60 0,044 80

    1150 LP 40 0,028 50 0,038 60 0,055 80

    956 0,021 40 0,034 50 0,045 60 0,065 80

    840 0,025 40 0,039 50 0,050 60 0,074 90

    717 0,028 40 0,045 50 0,060 70 0,082 100

    560 0,035 40 0,057 50 0,075 80 0,100 110

    478 0,040 40 0,064 60 0,087 90

    410 0,047 40 0,074 60 0.096 100

    350 0,053 40 0,081 70 0,100 100

    319 0,057 50 0,087 70

    287 0,062 50 0,091 70

    239 0,071 50 0,098 80

    210 0,079 60 0,100 80

    180 0,086 60

    160 0,091 60

    143 0,096 70

    130 0,097 70

    120 0,099 70

    115 0,100 70

    Keterangan : Ln = Lereng normal

    Lp = Lereng luar diputar sehingga perkerasan mendapat kemiringan melintang

    sebesar lereng normal

    Sumber : Buku Teknik Sipil, Ir. Sunggono K

  • 7/23/2019 Recov Chap II Dasar Teori Geometrik

    45/66

    2.4.2.3.3 Bentuk Tikungan SpiralSpiral ( S-S)

    Bentuk tikungan spiral-spiral disebut juga lengkung horizontal berbentuk spiral ada

    lengkung busur lingkaran (circle) sehingga titik SC berimpit dengan. titik CS. panjang besar ling

    Lc = 0, dan=

    CS. panjang besar lingaran Lc = 0, dan =1

    2

    yang dipilih harus sesuai sehingga Ls yang dibutuhkan lebih besar dari Ls yang dihasilk

    landai relatif minimum yang diisyaratkan.

    Gambar 2.19 Lengkung SpiralSpiral ( S-S)

    Sumber : Buku Teknik Sipil, Ir. Sunggono KH

    Rumus-rumus yang digunakan pada tikungan spiral-spiral sama dengan rumus-ru

    untuk tikungan spiral - circlespiral hanya perlu diingat bahwa:

    C=0 = 2s

    Lc = 0

    Lc = 0 L = 2 Ls

    =

    =

    .

    ,....................................................................................2.38

    Dengan mengambil harga P* dan K* dari tabel J.Barnett untuk Ls = 1 diperoleh harga :

    P = P* . Ls....2.39

    K= K* . Ls.......2.40

    Selanjutnya :

    =(

    + )

    + .......................................................................................2.41

  • 7/23/2019 Recov Chap II Dasar Teori Geometrik

    46/66

    =.

    ...................................................................................................2.42

    2.4.2.4 Superelevasi

    Superelevasi adalah suatu kemiringan melintang di tikungan yang berfungsi

    mengimbangi gaya sentrifugal yang diterima kendaraan pada saat berjalan melalui tikunga

    kecepatan rencana (Clarkson H.Oglesby,1999).

    Diagram superelevasi adalah suatu diagram yang dimaksudkan sebagai cara

    menggambarkan pencapaian kemiringan melintang penuh (superelevasi). Superelevasi mak

    yanag digunakan pada jalan raya dipengaruhi oleh empat faktor antara lain :kondisi iklim

    frekuensi dan jumlah salju dan es), kondisi medan (misalnya: datar, bukit, atau pegunungan

    wilayah (yaitu:pedesaan atau perkotaan), dan frekuensi kendaraan yang bergerak sangat l

    (AASHTO 2001). Pada diagram superelevasi dapat kita bedakan antara diagram kemi

    melintang untuk jalan raya tanpa median dan jalan raya yang median.

    Pada jalan raya tanpa median, perubahan profil melintang (superelevasi) dapat dila

    dengan tiga cara yaitu :

    1. Mengambil sumbu jalan sebagai sumbu putar.

    2. Mengambil tepi perkerasan sebelah dalam sebagai sumbu putar.

    3. Mengambil tepi perkerasan sebelah luar sebagai sumbu putar.

    Dari ketiga cara tersebut, yang sering dipakai di Indonesia adalah cara pertama.

    Gambar 2.20 As atau Sumbu Jalan Sebagai Sumbu Putar

    Sumber : : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina

    Marga 1997.

  • 7/23/2019 Recov Chap II Dasar Teori Geometrik

    47/66

    Gambar 2.21 Tepi Perkerasan Sebelah Dalam Sebagai Sumbu Putar

    Sumber : : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina

    Marga 1997.

    Gambar 2.22 Tepi Perkerasan Sebelah Luar Sebagai Sumbu Putar

    Sumber : : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina

    Marga 1997.

    Untuk jalan raya dengan median (jalan raya terpisah) dalam mencapai kemiringan terga

    dari lebar dan bentuk penampang melintang median serta dapat dilakukan dengan 3 cara yai

    1. Dengan mengambil sisi sisi sebelah dalam perkerasan sebagai sebagai sumbu putar ( m

    tetap dibuat datar )

    2. Dengan mengambil sisisisi sebelah luar dari jalur jalan sebagai sumbu putar

    ( median ikut berputar)

    3. Dengan mengambil sumbu putar masingmasing jalur sendirisendiri ( sumbu putar ters

    bisa as atau tepi perkerasan tanpa memperhatikan median)

  • 7/23/2019 Recov Chap II Dasar Teori Geometrik

    48/66

    Dari ketiga cara tersebut yang sering digunakan adalah cara ketiga.

    Gambar 2.23 Mengambil Sisi Sisi Sebelah Dalam Perkerasan Sebagai

    Sumbu Putar

    Sumber : : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina

    Marga 1997.

    Gambar 2.24 Mengambil Sisi Sisi Sebelah Luar dari Jalur Jalan Sebagai

    Sumbu Putar

    Sumber : : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen BinaMarga 1997.

  • 7/23/2019 Recov Chap II Dasar Teori Geometrik

    49/66

    Gambar 2.25 Mengambil Sumbu Putar MasingMasing Jalur SendiriSendiri

    Sumber : : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina

    Marga 1997.

    AASHTO 2001 memberikan batasan superelevasi maksimum pada jalan luar kota 0,10.Bila kemungkinan terjadi hujan es dan salju, harga maksimum ini berkurang menjadi 0,08

    daerah perkotaan harga maksimumnya hanya 0,06 atau bahkan 0,04 sedangkan bina

    memberikan batasan superelevasi maksimum untuk jalan luar kota sebesar 10 % dan jala

    sebesar 8%.

  • 7/23/2019 Recov Chap II Dasar Teori Geometrik

    50/66

    Tabel 2.27 Kemiringan Melintang Maksimum (e max) 4 %

    Sumber : A policy on Geometric Design of Highways And Streets, (AASHTO , 2001)

  • 7/23/2019 Recov Chap II Dasar Teori Geometrik

    51/66

    Tabel 2.28 Kemiringan Melintang Maksimum (e max) 6 %

    Sumber : A policy on Geometric Design of Highways And Streets, (AASHTO , 2001)

  • 7/23/2019 Recov Chap II Dasar Teori Geometrik

    52/66

    Tabel 2.29 Kemiringan Melintang Maksimum (e max) 8 %

    Sumber : A policy on Geometric Design of Highways And Streets, (AASHTO , 2001)

  • 7/23/2019 Recov Chap II Dasar Teori Geometrik

    53/66

    Tabel 2.30 Kemiringan Melintang Maksimum (e max) 10 %

    Sumber : A policy on Geometric Design of Highways And Streets, (AASHTO , 2001)

  • 7/23/2019 Recov Chap II Dasar Teori Geometrik

    54/66

    Tabel 2.31 Kemiringan Melintang Maksimum (e max) 12 %

    Sumber : A policy on Geometric Design of Highways And Streets, (AASHTO , 2001)

  • 7/23/2019 Recov Chap II Dasar Teori Geometrik

    55/66

    Grafik 2.3 Superelevasi Rencana Untuk Superelevasi Maksimum 4 %

    Sumber : A policy on Geometric Design of Highways And Streets, (AASHTO , 2001)

    Grafik 2.4 Superelevasi Rencana Untuk Superelevasi Maksimum 6 %

    Sumber : A policy on Geometric Design of Highways And Streets, (AASHTO , 2001)

  • 7/23/2019 Recov Chap II Dasar Teori Geometrik

    56/66

    Grafik 2.5 Superelevasi Rencana Untuk Superelevasi Maksimum 8 %

    Sumber : A policy on Geometric Design of Highways And Streets, (AASHTO , 2001).

    Grafik 2.6 Superelevasi Rencana Untuk Superelevasi Maksimum 10 %

    Sumber : A policy on Geometric Design of Highways And Streets, (AASHTO ,

  • 7/23/2019 Recov Chap II Dasar Teori Geometrik

    57/66

    Grafik 2.7 Superelevasi Rencana Untuk Superelevasi maksimum 12 %

    Sumber : A policy on Geometric Design of Highways And Streets, (AASHTO , 2001)

    Pada tikungan dengan bentuk circle (full circle) perubahan

    kemiringan melintang dilakukan diluar lengkung lingkaran. Di tikungan ini kita

    kenal lengkungperalihan fiktif (Ls) dimana perubahankemiringan dilakukan sejauh

    2/3 Ls' dari titik awal TC pada garis (jalan) lurus dan kemiringan melintang

    maksimum dimulai sejauh 1/3 Lsdari titik awal CT ke dalam lingkaran.

    Lengkung peralihan dapat dihitung besarnya dengan rumus sebagai berikut:

    < ....................................................................................................2.43

    Dengan :

    b = b (en + e max relatif )

    1/m = landai ralatif antara tep

    perkerasan Ls = panjang lengkung peralihan

    relatif b = lebar jalur 1 arah (m)

  • 7/23/2019 Recov Chap II Dasar Teori Geometrik

    58/66

  • 7/23/2019 Recov Chap II Dasar Teori Geometrik

    59/66

    Gambar 2.27 Diagram Superelevasi Untuk Spiral CircleSpiral

    Sumber : Rekayasa jalan,Ir.Sony Sulaksono,M.Sc

  • 7/23/2019 Recov Chap II Dasar Teori Geometrik

    60/66

    Gambar 2.28 Diagram Superelevasi Untuk SpiralSpiral

    Sumber : Rekayasa jalan,Ir.Sony Sulaksono,M.Sc

    2.4.2.5 Pelebaran Perkerasan Pada Tikungan

    Pelebaran perkerasan pada tikungan direncanakan untuk menghindari kendaraan yang berger

    dari jalan lurus menuju ke tikungan tidak mengalami off tracking (keluar jalur) tepatnya lintasan ro

    belakang pada saat membelok (Clarkson H.Oglesby,1999).

    Pelebaran pada tikungan dimaksudkan untuk mempertahankan konsistensi geometrik jalan ag

    kondisi operasional lalu lintas di tikungan sama dengan dibagian lurus. Pada jalan dua lajur sebaikn

    terdapat pelebaran jalan,terutama pada tikungan tajam karena hal-hal sebaga berikut:

    1. Kecenderungan pengemudi terlempar keluar dari tepi perkerasan.

    2. Meningkatnya lebar efektif kendaraan karena ban depan dan belakang tidak melintasi satu gari

    3. Pertambahan lebar karena posisi kendaraan yang miring terhadap as jalan

    ( Mannering, 1990).

  • 7/23/2019 Recov Chap II Dasar Teori Geometrik

    61/66

    Pelebaran jalan di tikungan menurut bina marga mempertimbangkan:

    1. Kesulitan pengemudi untuk menempatkan kendaraan tetap pada lajurnya.

    2. Penambahan lebar (ruang) lajur yang dipakai saat kendaraan melakukan gerakan melingk

    Dalam segala hal pelebaran di tikungan harus memenuhi gerak perputaran kendaraan renca

    sedemikian sehingga proyeksi kendaraan tetap pada lajurnya.

    3. Pelebaran di tikungan ditentukan oleh radius belok kendaraan rencana dan besarnya

    ditetapkan sesuai Tabel 2.33

    4. Pelebaran yang lebih kecil dari 0.6 meter dapat diabaikan.

    5. Untuk jalan 1 jalur 3 lajur, nilai-nilai dalam Tabel 2.33 harus dikalikan 1,5.

    6. Untuk jalan 1 jalur 4 lajur, nilai-nilai dalam Tabel 2.33 harus dikalikan 2.

    2.33 Lebar Jalur 2 x 3.50m, 2 Arah Atau 1 Arah.

    R(m) Kecepatan Rencana, VR (Km/Jam)

    50 60 70 80 90 100 110 120

    1500 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,1

    1000 0,0 0,0 0,1 0,1 0,1 0,1 0,2 0,2

    750 0,0 0,0 0,1 0,1 0,1 0,2 0,3 0,3

    500 0,2 0,3 0,3 0,4 0,4 0,5 0,5

    400 0,3 0,3 0,4 0,4 0,5 0,5

    300 0,3 0,4 0,4 0,5 0,5

    250 0,4 0,5 0,5 0,6

    200 0,6 0,7 0,8150 0,7 0,8140 0,7 0,8

    130 0,7 0,8120 0,7 0,8

    110 0,7

    100 0,890 0,8

    80 1,0

    70 1,0

    Sumber : : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina

    Marga 1997.

    (Lanjutan) Pelebaran di tikungan per Lajur (m)

  • 7/23/2019 Recov Chap II Dasar Teori Geometrik

    62/66

    Tabel 2.33 Lebar Jalur 2 x 3.00m, 2 Arah Atau 1 Arah

    R(m) Kecepatan Rencana, VR (Km/Jam)

    50 60 70 80 90 100 110

    1500 0,3 0,4 0,4 0,4 0,4 0,5 0,61000 0,4 0,4 0,4 0,5 0,5 0,5 0,6750 0,6 0,6 0,7 0,7 0,7 0,8 0,8

    500 0,8 0,9 0,9 1,0 1,0 1,1 1,1

    400 0,9 1,0 1,0 1,0 1,1 1,1300 0,9 1,1 1,0 1,1

    250 1,0 1,3 1,1 1,2

    200 1,2 1,4 1,3 1,3

    150 1,3 1,4140 1,3 1,4

    130 1,3 1,4

    120 1,3 1,4

    110 1,3100 1,4

    90 1,4

    80 1,670 1,7

    Sumber : : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina

    Marga 1997.

  • 7/23/2019 Recov Chap II Dasar Teori Geometrik

    63/66

    Tabel 2.34 Pelebaran Perkerasan Menurut AASHTO 2001 (2 Jalur 1 Arah

    Atau 2 Arah)

    R

    (m)

    Lebar Jalan = 7,2 m Lebar Jalan = 6,6 m Lebar Jalan = 6,0 m

    Kecepatan Rencana Kecepatan Rencana Kecepatan Rencana

    50 60 70 80 90 100 50 60 70 80 90 100 50 60 70 80 90 100

    3000 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,2 0,2 0,3 0,3 0,3 0,3 0,5 0,5 0,5 0,6 0,6 0,6

    2500 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,2 0,3 0,3 0,3 0,3 0,3 0,5 0,5 0,6 0,6 0,6 0,6

    2000 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,1 0,3 0,3 0,3 0,3 0,3 0,4 0,6 0,6 0,6 0,6 0,6 0,7

    1500 0,0 0,0 0,1 0,1 0,1 0,1 0,3 0,3 0,4 0,4 0,4 0,4 0,6 0,6 0,7 0,7 0,7 0,7

    1000 0,1 0,1 0,1 0,2 0,2 0,2 0,4 0,4 0,4 0,5 0,5 0,5 0,7 0,7 0,7 0,8 0,8 0,8

    900 0,1 0,1 0,2 0,2 0,2 0,3 0,4 0,4 0,5 0,5 0,5 0,6 0,7 0,7 0,8 0,8 0,8 0,8800 0,1 0,1 0,2 0,2 0,2 0,3 0,4 0,4 0,5 0,5 0,6 0,6 0,7 0,8 0,8 0,8 0,9 0,9

    700 0,2 0,2 0,2 0,3 0,3 0,3 0,5 0,5 0,5 0,6 0,6 0,7 0,8 0,8 0,8 0,9 0,9 1,0600 0,2 0,3 0,3 0,3 0,4 0,4 0,5 0,6 0,6 0,6 0,7 0,7 0,8 0,9 0,9 0,9 1,0 1,0

    500 0,3 0,3 0,4 0,4 0,5 0,5 0,6 0,6 0,7 0,7 0,8 0,8 0,9 0,9 1,0 1,0 1,1 1,1400 0,4 0,4 0,5 0,5 0,6 0,6 0,7 0,7 0,8 0,8 0,9 0,9 1,0 1,0 1,1 1,1 1,2 1,2

    300 0,5 0,6 0,6 0,7 0,8 0,8 0,8 0,9 0,9 1,0 1,1 1,1 1,1 1,2 1,2 1,3 1,4 1,4250 0,6 0,7 0,8 0,8 0,9 0,9 1,0 1,1 1,1 1,2 1,2 1,3 1,4 1,4 1,5

    200 0,8 0,9 1,0 1,0 1,1 1,2 1,3 1,3 1,4 1,5 1,6 1,6

    150 1,1 1,2 1,3 1,3 1,4 1,5 1,6 1,6 1,7 1,8 1,9 1,9

    140 1,2 1,3 1,5 1,6 1,8 1,9

    130 1,3 1,4 1,6 1,7 1,9 2,0

    120 1,4 1,5 1,7 1,8 2,0 2,1110 1,5 1,6 1,8 1,9 2,1 2,2

    100 1,6 1,7 1,9 2,0 2,2 2,3

    90 1,8 2,1 2,4

    80 2,0 2,2 2,6

    70 2,3 2,6 2,9

    Catatan : Jalan 3 lajur nilai diatas dikalikan 1,5

    Jalan 4 lajur nilai diatas dikalikan 2

    Sumber : A policy on Geometric Design of Highways And Streets, (AASHTO , 2001)

  • 7/23/2019 Recov Chap II Dasar Teori Geometrik

    64/66

    2.4.2.6 Tikungan Gabungan

    Tikungan Gabungan adalah dua atau lebih tikungan yang bersebelahan yang

    dapat dibedakan atas dua macam tikungan sebagai berikut:

    a) tikungan gabungan searah, yaitu gabungan dua atau lebih tikungan dengan

    arah putaran yang sama tetapi dengan jari jari yang berbeda.

    b) tikungan gabungan balik arah, yaitu gabungan dua tikungan dengan arah

    putaran yang berbeda (Bina Marga,1997).

    Penggunaan tikungan gabungan tergantung perbandingan R1 dan R2 :

    > Tikungan gabungan searah harus dihindarkan

    2Tikungan gabungan harus dilengkapi bagian lurus atau Clothoide

    sepanjang paling tidak 20 m

    Menurut Bina Marga, setiap tikungan gabungan balik arah harus dilengkapi

    dengan bagian lurus di antara kedua tikungan tersebut sepanjang paling tidak 30 m.

    Menurut AASHTO 2001 pada tikungan gabungan untuk jalan luar kota jari jari

    kelengkungan sebuah tikungan maksimal 50 % lebih besar dari tikungan berikutnya

    yang lebih tajam.Tetapi lengkung gabungan dapat digunakan apabila dilengkapi

    dengan lengkung spiral sehingga memungkinkan perubahan jari-jari tikungan secara

    berangsur-angsur. Gambar dari tikungan gabungan tersebut dapat dilihat pada gambar

    di bawah ini:

    Gambar 2.29 Tikungan Gabungan Searah

    Sumber : : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina

    Marga 1997

  • 7/23/2019 Recov Chap II Dasar Teori Geometrik

    65/66

    Gambar 2.30 Tikungan Gabungan Searah Dengan Sisipan Bagian Lurus 20 m

    Sumber : : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina

    Marga 1997.

    Gambar 2.31 Tikungan Balik Arah

    Sumber : : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina

    Marga 1997.

  • 7/23/2019 Recov Chap II Dasar Teori Geometrik

    66/66

    Gambar 2.31 Tikungan Balik Arah Dengan Sisipan Bagian Lurus 20 m

    Sumber : : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina

    Marga 1997

    2.4.3 Koordinasi Alinemen

    Alinemen vertikal, alinemen horizontal, dan potongan melintang jalan adalah

    elemen elemen jalan sebagai keluaran perencanaan harus dikoordinasikan sedemikian

    rupa sehingga menghasilkan suatu bentuk jalan yang baik dalam arti memudahkan

    pengemudi mengemudikan kendaraannya dengan aman dan nyaman. Bentuk kesatuanketiga elemen jalan tersebut diharapkan dapat memberikan kesan atau petunjuk

    kepada pengemudi akan bentuk jalan yang akan dilalui di depannya sehingga

    pengemudi dapat melakukan antisipasi lebih awal.

    Koordinasi alinemen vertikal dan alinemen horizontal harus memenuhi

    ketentuan sebagai berikut:

    1. Alinemen horizontal sebaiknya berimpit dengan alinemen vertikal dan secara

    ideal alinemen horizontal lebih panjang sedikit melingkupi alinemen vertikal.

    2. Tikungan yang tajam pada bagian bawah lengkung vertikal cekung atau pada