30
BAB I PENDAHULUAN Kelainan mata yang menyertai hipertiroidisme mempunyai arti penting, karena sebagian besar penderita kelainan mata akibat tiroid adalah penderita penyakit Graves yang bersifat autoimun. 1 pada tahun 1835 Grave mengutarakan suatu penyakit akibat naiknya metabolisme tubuh disertai dengan perubahan mata yang yang dinamakan Penyakit Grave atau exofthalmus goiter. Meningkatnya metabolisme menimbulkan perubahan, ini dinamakan tirotoksikosis, perubahan di mata dinamakan oftalmopati. Gejala tersebut disebabkan oleh karena pembentukan tiroksin yang berlebihan. 2 Pada penyakit Graves dapat ditemukan kelainan mata berupa edema pretibial, kemosis, proptosis, diplopia, dan penurunan visus. 3 Penderita dengan penyakit Grave klasik menunjukkan gejala pembesaran tiroid, tirotoksikosis, kelainan pada kelopak mata, dan eksoftalmus yang dapat unilateral atau bilateral. 2 Angka kejadian hipertiroidisme Graves di Amerika Serikat adalah sekitar seperempat dari 1% populasi penduduknya, dimana sekitar 80% pasien hipertiroidisme Graves mengalami kelainan mata. 4 Di Amerika Serikat, angka kejadian per tahun untuk oftalmopati Graves diperkirakan sekitar 16 per 100.000 penduduk untuk perempuan dan 2.9 per 100.000 penduduk untuk laki-laki. Prevalensi oftalmopati Graves lebih sering pada perempuan (2.5-6 kali lebih sering dibanding laki-laki) dengan kisaran umur 30-50 tahun. 5 1

Ref Oftalmopati Tiroid Finish

Embed Size (px)

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

Kelainan mata yang menyertai hipertiroidisme mempunyai arti penting, karena

sebagian besar penderita kelainan mata akibat tiroid adalah penderita penyakit Graves yang

bersifat autoimun.1 pada tahun 1835 Grave mengutarakan suatu penyakit akibat naiknya

metabolisme tubuh disertai dengan perubahan mata yang yang dinamakan Penyakit Grave

atau exofthalmus goiter. Meningkatnya metabolisme menimbulkan perubahan, ini dinamakan

tirotoksikosis, perubahan di mata dinamakan oftalmopati. Gejala tersebut disebabkan oleh

karena pembentukan tiroksin yang berlebihan.2 Pada penyakit Graves dapat ditemukan

kelainan mata berupa edema pretibial, kemosis, proptosis, diplopia, dan penurunan visus.3

Penderita dengan penyakit Grave klasik menunjukkan gejala pembesaran tiroid,

tirotoksikosis, kelainan pada kelopak mata, dan eksoftalmus yang dapat unilateral atau

bilateral.2

Angka kejadian hipertiroidisme Graves di Amerika Serikat adalah sekitar seperempat

dari 1% populasi penduduknya, dimana sekitar 80% pasien hipertiroidisme Graves

mengalami kelainan mata.4 Di Amerika Serikat, angka kejadian per tahun untuk oftalmopati

Graves diperkirakan sekitar 16 per 100.000 penduduk untuk perempuan dan 2.9 per 100.000

penduduk untuk laki-laki. Prevalensi oftalmopati Graves lebih sering pada perempuan (2.5-6

kali lebih sering dibanding laki-laki) dengan kisaran umur 30-50 tahun.5

Tanda dan gejala yang ditemukan pada pasien oftalmopati Graves dapat bervariasi,

tergantung kepada stadiumnya. Awalnya pada stadium akut atau subakut akan ditemukan

tanda-tanda inflamasi, barulah setelah itu timbul tanda dan gejala lain yang menyertai sesuai

dengan stadium yang mengenai pasien, umumnya akan ditemukan fibrosis.5

Sebagian besar penderita Graves akan mengunjungi ahli penyakit dalam karena

keluhan kardiovaskuler, sebagian lain ke ahli bedah atau ahli THT karena keluhan benjolan

di leher yang jelas, dan sebagian lagi akan mengunjungi ahli mata akibat kelainan mata

khususnya eksoftalmus. Mengingat hal itu, maka sudah selayaknya apabila oftalmopati

Graves harus dikenal, dari bentuk yang paling ringan sampai yang terberat.1

1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Oftalmopati tiroid merupakan suatu kelainan inflamasi autoimun yang

menyerang jaringan orbital dan periorbital mata, yang juga berkaitan dengan keadaan

disfungsi tiroid. Definisi lain dari oftalmopati tiroid adalah suatu penyakit dengan

peningkatan metabolisme tubuh dan perubahan pada mata. Pada berbagai

kepustakaan,”tiroid oftalmopati” juga kerap dikenal dengan istilah lain serperti

oftalmopati Graves, penyakit mata tiroid, oftalmopati terkait tiroid (thyroid-associated

ophthalmopathy) dan dysthyroid orbitopathy. 1

Karakterikstik gangguan mata yang sering ditemukan mencakup retraksi

kelopak mata atas, edema, eritem, konjungtivitis, penonjolan mata (proptosis), diplopia

serta penurunan visus. 1,3

2.2. Epidemiologi dan Faktor Risiko

Di Amerika Serikat, dari seluruh pasien dengan hipertiroidisme Graves, 80%

ditemukan mengalami kelainan mata.3 Angka kejadian oftalmopati Graves per tahun

mencapai 16 per 100.000 penduduk untuk perempuan dan 2.9 per 100.000 penduduk

untuk laki-laki.

Oftalmopati Graves cenderung lebih sering terjadi pada wanita (2.5-6 kali

lebih sering dibanding pria), akan tetapi kasus berat lebih sering ditemukan pada pria.

Penderita usia 30-50 tahun juga terbukti paling sering terkena penyakit ini, dengan kasus

berat yang sering dijumpai pada pasien di atas usia 50 tahun.5

2.3. Etiologi

Proses inflamasi pada oftalmopati tiroid umumnya berhubungan dengan

berbagai kelainan tiroid berikut ini:6

- Hipertiroidisme Graves : 80%

- Tiroiditis Hashimoto : 10-15%

2

- Abnormalitas imun kelenjar tiroid : 5%

Beberapa keadaan yang dapat mempengaruhi perjalanan penyakit oftalmopati

tiroid antara lain :1

- Keadaan hipertiroidisme yang berat dan lama.

- Pengobatan dengan I131.

- Merokok.

- Pengobatan kelainan mata yang terlambat atau tidak tepat.

- Polimorfisme genetik.

- Anatomi orbita yang sempit.

2.4. Klasifikasi

Klasifikasi kelainan mata tiroid menurut Werner (1977):1

0. Tidak ada gejala maupun tanda

1. Hanya gejala

2. Keterlibatan jaringan lunak, disertai dengan adanya gejala dan tanda

0. Absent

a. Minimal

b. Moderate

c. Marked

3. Proptosis ≥ 3 mm, dengan atau tanpa gejala

0. Absent

a. Proptosis 3-4 mm

b. Proptosis 5-7 mm

3

c. Proptosis > 8 mm

4. Keterlibatan otot ekstraokuler, biasanya disertai dengan diplopia, serta

gejala dan tanda lainnya

0. Absent

a. Keterbatasan gerak (limitation of motion)

b. Restriksi gerak yang nyata (evident restriction of motion)

c. Fiksasi ke rongga bola mata

5. Keterlibatan kornea (lagoftalmus)

0. Absent

a. Stippling of cornea

b. Ulserasi

c. Perforasi, nekrosis

6. Kehilangan penglihatan akibat keterlibatan nervus optikus

0. Absent

a. Disc pallor, tajam penglihatan 20/20 sampai 20/60

b. Disc pallor, tajam penglihatan 20/70 sampai 20/200

c. Kebutaan, tajam penglihatan < 20/200

2.5. Patogenesis

Patogenesis penyakit Graves masih belum diketahui secara pasti. Meski

demikian, patogenesis diperkirakan berkaitan dengan gangguan imunologik, baik

humoral maupun seluler. Autoantibodi tiroid terhadap tiroglobulin dan fraksi mikrosom

sel tiroid sering dijumpai pada penyakit Hashimoto dan lebih jarang pada penyakit

Graves. Sekarang diperkirakan terdapat dua komponen patogenik pada penyakit Graves.

Pertama, kompleks imun tiroglobulin-anti tiroglobulin berikatan dengan otot-otot ekstra

4

okuler, sehingga menimbulkan miositis. Kedua, zat-zat penyebab eksoftalmos bekerja

dengan imunoglobulin oftalmik untuk menyingkirkan thyroid stimulating hormone dari

membran retro orbita, yang menyebabkan peningkatan lemak retro orbita.7

Pada penyakit mata tiroid, dapat terjadi perubahan-perubahan sebagai berikut:

1. Hipertropi otot ekstraokuler

Hipertropi otot ekstraokuler umumnya disebabkan oleh peningkatan

glikosaminoglikans (GACs) pada jaringan orbita. Pada beberapa kasus, otot

ekstraokuler dapat membesar delapan kali lipat dari ukuran normalnya.8,9

2. Infiltrasi seluler

Pada stadium kongesti, terdapat infiltrasi jaringan oleh sel limfosit, sel plasma,

makrofag dan sel mast. Sel-sel tersebut akan mengenali antigen yang

dikeluarkan oleh tiroid dan orbita, lalu melakukan infiltrasi pada jaringan

orbita dan otot-otot ekstraokuler. Setelah infiltrasi sel-sel limfosit T, maka

reseptor limfosit T pada CD4+ akan mengenali antigen dan mensekresi

cytokines, yang akan mengaktifkan limfosit T CD4+ dan autoantibody-

producing B cells. Selain itu, cytokines akan merangsang terbentuknya

molekul-molekul major histocompatibility complex class II heat dan shock

protein 72 (HSP 72) yang berperan pada pengenalan antigen. Terakhir,

cytokines juga merangsang fibroblas untuk membentuk dan mensekresi GACs

yang akan menarik cairan menuju ke ruang retro orbita, sehingga terjadi

pembengkakan periorbita, proptosis, dan pembengkakan otot-otot

ekstraokuler.8,9

3. Proliferasi lemak orbita

Pada penderita penyakit mata tiroid juga terjadi proliferasi lemak orbita,

jaringan ikat, dan kelenjar lakrimal dengan retensi cairan dan akumulasi

glikosaminoglikan.7 Sel-sel preadiposit, yang merupakan bagian dari fibroblas

orbita, akan mengalami diferensiasi menjadi sel-sel adiposit, sehingga

menyebabkan peningkatan volume jaringan lemak retroorbita. 8,9

5

2.6. Manifestasi Klinis

Oftalmopati tiroid biasanya self-limited dalam waktu satu tahun atau lebih,

kemudian menjadi stabil. Oftalmopati yang stabil dapat tereaktivasi, namun hal ini

jarang terjadi.10 Penderita berada dalam rentang usia dekade ke-3 hingga ke-4, dan

perempuan lebih banyak daripada laki-laki.11 Manifestasi Klinis yang ditemukan pada

oftalmopati Graves bervariasi bergantung pada stadium yang diderita.10 Namun,

ketidaknyamanan (discomfort) pada permukaan mata merupakan gejala yang paling

sering dikeluhkan penderita pada semua stadium oftalmopati tiroid. Keluhan ini biasanya

disebabkan oleh keratokonjungtivitis pada daerah limbus superior.12

Gejala lain yang mungkin dikeluhkan pasien antara lain mata kering (dry eyes),

bengkak pada kelopak mata, proptosis, diplopia, penurunan tajam penglihatan,

penurunan lapangan pandang, kelainan pada penglihatan warna (diskromatopsia),

fotopsia, dan nyeri atau tekanan pada mata.10,12 Proptosis sering terjadi bersamaan

dengan retraksi palpebra, hal inilah yang membedakan oftalmopati tiroid dari penyebab

proptosis yang lain. Proptosis yang disertai dengan retraksi palpebra menyebabkan

lagoftalmos, yaitu penderita tidak dapat menutup mata secara maksimal, sehingga

terjadilah paparan kornea terhadap lingkungan luar. Hal ini berisiko timbulnya kelainan

yang lain pada kornea. Diplopia disebabkan oleh infiltrasi limfosit dan edema pada otot-

otot rectus sehingga terjadi inflamasi. Seiring waktu, otot yang inflamasi dapat

mengalami fibrosis sehingga pergerakannya menjadi terbatas secara permanen. Diplopia

pertama kali muncul pada daerah atas dari lapangan pandang, namun seiring

perkembangannya dapat terjadi dimana saja dan bahkan di seluruh daerah lapangan

pandang. Apabila otot-otot ekstraokular membesar secara masif, maka dapat terjadi

penekanan nervus optik, yang menyebabkan penurunan visus dan lapangan pandang,

kelainan penglihatan warna hingga kebutaan.12 Penekanan nervus optik ini tidak selalu

disertai dengan gejala proptosis. Selain gejala-gejala yang telah dijelaskan, dapat juga

terjadi pembesaran pada kelenjar lakrimal.10

Selain gejala oftalmopati, pasien juga mengeluhkan gejala sistemik yang

merupakan manifestasi dari tirotoksikosis, antara lain takikardia atau yang dirasakan

pasien sebagai palpitasi, gugup dan irritable, diaphoresis dan tidak tahan panas,

penurunan berat badan dengan nafsu makan yang baik, kelemahan dan lelah (fatigue).13

6

2.7. Diagnosis

Diagnosis ditentukan berdasarkan manifestasi klinis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang. Diagnosis Oftalmopati pada Hipertiroid (Graves disease)

mudah dilakukan apabila ditemukan bersamaan dengan gejala hipertiroidisme. Apabila

ditemukan kelainan mata tanpa disertai gejala klinis hipertiroidisme, maka akan menjadi

lebih sulit menentukan diagnosis, terutama bila hasil pemeriksaan laboratorium juga

ditemukan dalam batas normal.1

2.7.1. Pemeriksaan Fisik

2.7.1.1. Pemeriksaan Oftalmologi

Retraksi palpebra

Retraksi palpebra merupakan tanda yang khas ditemukan pada

oftalmopati tiroid. Retraksi ini dapat melibatkan palpebra superior

maupun inferior.12 Namun, yang paling sering dijumpai adalah retraksi

palpebra superior – disebut dengan dalrymple sign, seringkali disertai

dengan terpaparnya sclera pada bagian temporal mata (temporal flare).10

Retraksi palpebra dapat terjadi secara unilateral maupun bilateral.12

Eksoftalmos

Eksoftalmos (proptosis) yang disertai dengan retraksi palpebra

merupakan tanda khas yang membedakan oftalmopati tiroid dengan

penyakit yang lain. Eksoftalmos dapat diperiksa dengan palpasi

retropulsi, yaitu dengan melakukan palpasi digital bola mata di atas

kelopak mata penderita yang tertutup. Pada penderita dengan eksoftalmos

berat dapat dirasakan berkurangnya dorongan ke belakang orbita

(retropulsi) pada palpasi.10 Untuk hasil yang lebih objektif, eksoftalmos

dapat diukur dengan menggunakan Eksoftalmometer Hertel atau Krahn.

Hasil pengukuran dapat menunjukkan derajat eksoftalmos mulai dari

ringan, yaitu kurang dari 24 mm, hingga berat yaitu 28 mm atau lebih.12

7

Gambar 2.1. Oftalmopati Tiroid Berat: proptosis, retraksi palpebra, eritema konjungtiva dan edema periorbita.

(Diambil dari: Geneva Foundation of Medical Education and Research. “Graves Ophthalmopathy”. http://www.gfmer.ch/genetic_diseases_v2/gendis_detail_list.php?offset=15&cat3=1342)

Miopati Restrikrif

Retraksi palpebra pada oftalmopati tiroid sering pula disertai

dengan miopati restriktif, yang menyebabkan gangguan atau adanya

hambatan pada pergerakan bola mata. Miopati pada mulanya melibatkan

musculus rectus inferior, kemudian melibatkan otot-otot rectus yang

lain.12 Otot-otot yang paling sering terlibat adalah musculus rectus

inferior dan musculus rectus medialis. Pada keadaan yang lebih berat, hal

ini dapat pula menyebabkan strabismus dengan deviasi ke bawah

(hipotropia) atau deviasi ke nasal (esotropia).10

8

Gambar 2.2. Hipotropia Kiri dengan Retraksi Palpebra Superior.A. Hipotropia dalam posisi tetap. B. Mata kiri lebih turun saat pergerakan ke

bawah. C. Pergerakan ke atas mata kiri terbatas.(Diambil dari: http://telemedicine.orbis.org/bins/content_page.asp?cid=1-2161-2380-2509-2543)

Miopati restriktif dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan forced

ductions.10 Pemeriksaan ini berguna untuk membedakan penyebab

gangguan pergerakan bola mata karena gangguan neurologis atau restriksi

mekanik. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara mendorong konjungtiva

yang sudah dianestesi secara pasif dengan forsep. Jika penyebabnya

adalah restriksi mekanik, maka pendorongan secara pasif tidak dapat

dilakukan.14

Selain forced ductions, dapat pula dilakukan pemeriksaan tekanan

intraokular, yaitu terjadinya peningkatan tekanan dengan pergerakan bola

mata. Misalnya, pada pasien hipotropik, terjadi peningkatan tekanan

intraokular pada saat menggerakkan bola mata ke atas.10

Kelainan pada Kornea

Pada kornea dapat terjadi keratokonjungtivitis pada daerah limbus

superior, yang disebabkan oleh iritasi berulang kronis oleh trauma

mekanis dari palpebra superior. Keratokonjungtivitis limbus superior ini

dapat dijadikan tanda prognosis (prognostic marker), bahwa

kemungkinan besar penderita sudah mengalami oftalmopati yang berat.

Pada eksoftalmos berat, terjadi paparan kornea yang dapat

menyebabkan ulkus kornea.10,12

Kelainan pada Retina dan Nervus Optik

Pada oftalmopati tiroid dapat terjadi peningkatan tekanan intra

okular yang disebabkan berkurangnya aliran vena episklera.10,12

Peningkatan tekanan intra okular ini dapat menyebabkan perubahan-

perubahan pada retina, salah satunya terbentuk striae.12

Neuropati optik terjadi akibat kompresi oleh otot-otot ekstraorbital

yang mengalami pembesaran, atau dapat pula terjadi karena iskemia

nervus optik.12 Gejala yang dialami berupa pandangan kabur, kehilangan

penglihatan, diskromatopsia, atau penurunan lapangan pandang.

Neuropati kompresi tidak selalu disertai dengan eksoftalmos, namun pada

9

pemeriksaan retropulsi didapatkan penurunan yang bermakna. Dapat pula

dilakukan pemeriksaan funduskopi untuk melihat adanya edema papil.

Namun, karena juga tidak selalu terlihat edema nervus optik, maka

penting untuk dilakukan pemeriksaan yang lain, seperti visus, penglihatan

warna dan adanya defek pupil aferen untuk mendeteksi adanya neuropati

optik.10

Selain tanda-tanda yang telah dijelaskan dapat pula terlihat tanda-

tanda inflamasi di sekitar mata, seperti pembengkakan kelenjar lakrimal

dan edema palpebra.10

Dapat pula ditemukan kerutan pada glabella (glabellar furrows).

Tanda-tanda eponim lain yang terkait oftalmopati tiroid antara lain:10

- Von Graefe sign: keterlambatan palpebra pada saat menggerakkan

bola mata ke bawah.

- Vigouroux sign: edema palpebra

- Stellwag sign: penutupan mata tidak sempurna dan jarang

mengedipkan mata

- Grove sign: adanya tahanan ketika menurunkan palpebra superior

yang mengalami retraksi

- Joffroy sign: tidak ada lipatan dahi pada pergerakan bola mata ke atas

- Möbius sign: konvergensi pupil lemah

- Ballet sign: adanya restriksi pada satu atau lebih otot ekstraokular.

10

Gambar 2.3. Inflamasi Aktif pada Oftalmopati GravesDiambil dari: http://www.mayoclinic.org/medicalprofs/enlargeimage5721.html

2.7.1.2. Pemeriksaan Fisik Umum

Pada pemeriksaan fisik umum ditemukan manifestasi

hipertiroidisme, berupa pembesaran difus kelenjar tiroid, teraba hangat

pada palpasi, dan dapat terdengar bruit pada auskultasi. Hal ini

disebabkan oleh hiperaktivitas kelenjar tiroid. Ditemukan juga penurunan

berat badan, kulit berkeringat banyak dan hangat pada palpasi, kelemahan

otot, takikardia pada saat istirahat, dispnea, gelisah, tremor, dan tanda-

tanda lainnya yang menunjukkan adanya peningkatan laju metabolism.13

Pretibial myxedema, clubbing finger (thyroid acropachy) dan

onikolisis merupakan tanda-tanda yang dapat ditemukan pada kulit,

namun jarang terjadi.10,11

2.7.2. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk memastikan adanya

hipertiroidisme adalah pengukuran kadar TSH dan kadar hormon tiroid, yaitu FT3

dan FT4. Biasanya hanya dilakukan pemeriksaan kadar TSH saja untuk

menghemat biaya.10

Apabila manifestasi klinis tidak cukup untuk menegakkan diagnosis

oftalmopati tiroid, atau apabila perlu membedakan dengan penyebab yang lain,

maka dapat dilakukan pencitraan dengan USG (Ultrasonography) orbita, CT

(computed-tomography) scan dan MRI (Magnetic Resonance Imaging). USG

dapat melihat adanya penebalan otot atau pembesaran vena oftalmika superior. CT

scan dan MRI diambil dari potongan aksial dan koronal. MRI lebih sensitif untuk

melihat adanya kompresi nervus optik, sedangkan CT scan lebih baik untuk

melihat adanya dekompresi pada struktur tulang.10

Pada pencitraan tiroid oftalmopati terlihat penebalan otot tanpa melibatkan

tendon. Musculus rectus superior dan musculus rectus medialis adalah otot yang

paling sering terlibat. Biasanya penebalan otot terjadi secara bilateral. Pada kasus

unilateral ditemukan keadaan yang asimetris, namun tetap melibatkan kedua

mata.10

11

Keterlibatan pada hanya musculus rectus lateral saja, adalah suatu hal yang

tidak biasa pada oftalmopati tiroid, sehingga harus dicurigai ke arah yang lain,

misalnya miositis orbita. Pada miositis orbita juga ditemukan keterlibatan tendon.

Pada selulitis orbita biasanya didapatkan gambaran opak pada sinus-sinus

paranasal.10

2.7.3. Diagnosis Banding

Diagnosis banding meliputi selulitis orbita, miositis orbita hingga tumor

atau keganasan. Pada selulitis orbita onset terjadinya proptosis lebih cepat, terlihat

tanda-tanda infeksi, seperti demam dan leukositosis, dan pada pencitraan

ditemukan opak pada sinus-sinus paranasal. Pada miositis orbita nyeri dirasakan

lebih berat, perkembangan penyakit lebih cepat, dan melibatkan pula tendon.

Gejala yang nampak lebih sering adalah proptosis, daripada retraksi palpebra.

Pada pencitraan sering ditemukan keterlibatan satu otot saja pada musculus rectus

lateral.10

2.8. Tatalaksana

2.8.1. Umum

Secara umum, pasien perlu diinformasikan mengenai perjalan penyakit ini

yang lama dan tidak terdapat cara penyembuhan secara cepat. Pasien juga perlu

diedukasi untuk berhenti merokok untuk menurunkan resiko orbitopati kongestif.

Tidur dengan kepala sedikit terangkat dapat menurukan edema palpebra pada pagi

hari.10

European Group on Graves Orbitopathy (EUGOGO) merekomendasikan

terapi sebagai berikut15:

- Secara umum untuk meringankan gejala:

Mencapai eutiroid

Berhenti merokok

Penggunaan tetes mata dan salep mata pada malam hari untuk gejala

akibat pajanan kornea

Penggunaan kacamata untuk diplopia simtomatik

12

Untuk mengurangi retraksi palpebra, dapat diberikan injeksi botulinum

toxin tipe A oleh dokter yang berpengalaman.

- Terapi untuk exopthalmus ringan

Terapi secara umum dan kontrol adanya perubahan gejala

- Terapi untuk exopthalmus sedang – berat

Steroid IV secara Pulse Therapy dimana total dosis metilprednisolone

tidak melebihi 8 g

Pemeriksaan adanya disfungsi hepar, hipertensi, ulkus peptik, diabetes,

infeksi saluran kemih, dan glaukoma sebelum memulai terapi steroid dosis

tinggi.

Apabila terapi steroid > 3 bulan, maka pertimbangkan pemberian

biphosphonate.

Radiasi orbita dapat dipertimbangkan pada pasien dengan diplopia atau

adanya restriksi pergerakan bola mata dengan dosis kumulatif 10 Gy

namun metode ini dihindari pada pasien dengan retinopati diabetik dan

hipertensi berat dan hati- hati pada pasien < 35 tahun. Radiasi orbita dapat

diberikan bersamaan dengan terapi steroid

Analog somatostatin, azathioprine dan IVIG tidak disarankan

Pemberian siklosporin akan menurunkan kebutuhan akan steroid

- Terapi untuk exopthalmus berat

Steroid IV dosis tinggi adalah terapi utama untuk neuropati optik distiroid

Pertimbangkan dekompresi orbita pada pasien dengan neuropati optik

distiroid yang tidak respon dengan terapi steroid dosis tinggi 1-2 minggu,

dengan kerusakan kornea, ataupun pada pasien yang tidak mampu

mentoleransi steroid.

Terapi rehabilitatif dilakukan pada pasien dengan penyakit inaktif > 6

bulan dengan urutan

a. Dekompresi orbita

b. Pembedahan strabismus

c. Pemanjangan palpebra

d. Blepharoplasty

13

American Thyroid Association / American Association of Clinical

Endocrinologists (ATA/AACE) memberikan beberapa rekomendasi tentang

oftalmopati grave:

- Pada pasien hipertiroid dengan oftalmopati Grave ataupun terdapat faktor

resiko terjadinya oftalmopati, maka harus dilakukan tindakan untuk mencapai

keadaan eutiroid secepatnya

- Pada pasien non-perokok tanpa gejala klinis oftalmopati, dapat dipikirkan

terapi radioiodine tanpa steroid, methimazole ataupun tiroidektomi.

- Anjurkan pasien untuk berhenti merokok

- Terapi methimazole, radioiodine, dan tiroidektomi merupakan terapi yang

bermanfaat pada pasien dengan hipertiroid grave dengan oftalmopati aktif

yang ringan tanpa resiko perburukan penyakit mata ataupun pasien dengan

oftalmopati yang inaktif.

- Apabila pasien Grave dengan oftalmopati aktif ringan memilih untuk terapi

radioiodine maka diberikan terapi steroid secara bersamaan

- Pasien dengan Grave dan oftalmopati sedang hingga berat ataupun oftalmopati

yang mengancam jiwa, maka diberikan terapi dengan methimazole ataupun

pembedahan.

2.8.2. Steroid

Terapi dengan steroid digunakan pada pasien dengan inflamasi berat

ataupun adanya neuropati optik akibat kompresi. Steroid dapat menurukan

produksi mukopolisakarida oleh fibroblas. Steroid diberikan melalui intravena

secara pulse therapy (mis. Metilprednisolone 1 g 2 hari sekali selama 3-6 kali

pemberian). Dosis untuk neuropati optik dapat lebih besar. Apabila setelah 48 jam

tidak terdapat perbaikan, maka perlu dilakukan dekompresi dan pemberian steroid

tetap dilanjutkan. Apabila perlu dapat diberikan penambahan siklosporin,

ocreotide dan IVIG untuk kompresi optik. Apabila respon terhadap steroid baik,

maka dapat dipertimbangkan radiasi orbita. Pada kasus yang berat, terapi

kombinasi steroid, radiasi dan pembedahan dapat dilakukan.

14

2.8.3. Terapi potensial lainnya

Imunoterapi pada oftalmopati grave masih merupakan suatu kesulitan

dikarenakan mediator imun yang berperan dalam penyakit ini juga berperan dalam

sistem imun adaptif sehingga tidak dapat diprediksikan apakah suatu agen

biologik yang efektif dalam penyakit imun lain dapat berguna jugapada

oftalmopati grave. Agen biologik yang dapat diberikan pada oftalmopati grave

dapat dilihat dalam tabel dibawah.16

Antioksidan seperti selenium 200 mcg perhari dapat bermanfaat pada

oftalmopati grave.

15

16

Tabel 2.1. Terapi Potensial pada Oftalmopati Grave (Diambil dari Bahn RS. Grave’s Opthalmopathy. 2010. N Engl J Med 2010;362:726-38)

2.8.4. Radiasi Orbita

Radiasi orbita dilakukan pada pasien dengan gejala sedang hingga berat,

adanya diplopia, dan kehilangan penglihatan. Radiasi 1500-2000 cGy dalam 10

fraksinasi diberikan dari lateral dengan angulasi posterior. Radiasi akan meruksa

fibroblas orbita dan mungkin juga limfosit. Radiasi membutuhkan beberapa

minggu untuk menimbulkan efek dan dapat menyebabkan inflamasi sementara

sehingga pasien perlu tetap diberikan steroid. Terapi radiasi yang dikombinasi

dengan steroid memberikan hasil yang lebih baik. Terapi paling baik diberikan

pada pasien dengan inflamasi aktif dalam 7 bulan sejak onset oftalmopati.

Radiasi dapat menyebabkan katarak, retinopati radiasi, dan neuropati optik apabila

terapi radiasi tidak diberikan secara benar. Diabetes mellitus merupakan

kontraindikasi relatif pada karena dapat terjadi perburukan retinopati. Untuk

mencegah progresi orbitopati akibat iodin radioaktif maka dapat diberikan steroid

dosis rendah (0.5-2 mg/kg/hari) sebelum dan hingga 2 bulan setelah terapi radiasi.

2.8.5. Pembedahan

Pembedahan dilakukan selama masa penyakit tenang, kecuali bila terdapat

nuropati optik kompresi ataupun adanya pajanan kornea yang berat. Dilakukan

pengambilan gambar dan perimetri sebelum pembedahan. Urutan pembedahan

juga penting, apabila terdapat proptosis, strabismus dan kelainan palpebra, maka

pembedahan dilakukan dengan urutan seperti telah dijelaskan sebelumnya.

a. Dekompresi Orbita

Teknik ini dilakukan sebagai terapi awal neuropati optik kompresi atau

apabila terapi medis gagal. Biasanya dekompresi dilakukan pada dinding

medial dan lateral. Dekompresi dasar orbita harus dihindari karena secara

teoritis dapat mengurangi resiko diplopia post-op. Apabila pembesaran

dominan terjadi pada jaringan lemak, maka dilakukan dekompresi jaringan

lemak orbita.

b. Pembedahan Strabismus

Tujuan pembedahan ini adalah untuk meminimalisir diplopia dan

posisi membaca. Harus dijelaskan kepada pasien bahwa kadang memerlukan

beberapa kali pembedahan untuk mencapai hasil yang diinginkan. Untuk

17

mencegah sindrom iskemik okular, maka tindakan pembedahan lebih dari 2

otot per mata dihindari.

c. Pembedahan Pemanjangan palpebra (Lid-Lengthening Surgery)

Tindakan ini dilakukan apabila retraksi tidak membaik setelah keadaan

eutiroid. Tindakan ini bertujuan untuk mengurangi pajanan kornea dan untuk

menyamarkan proptosis. Apabila pasien menolak teknik ini, maka dapat

diberikan injeksi toxin botulinum pada palpebra superior dan triamsinolon

subkonjungtiva.

d. Blepharoplasty

Teknik ini adalah fase terakhir dalam pembedahan oftalmopati tiroid.

Dapat dilakukan dacryopexy apabila terjadi prolaps kelenjar lakrimal.

2.9. Prognosis

Apabila tercapai keadaan eutiroid, terjadi perbaikan retraksi palpebra hingga

90% dan 30 % miopati restriktif membaik namun proptosis jarang menunjukkan adanya

perbaikan. Pasien dengan klinis yang signifikan (NOSPECS kelas 3 ataupun diatasnya)

menunjukkan perjalanan klinis selama 12 hingga 24 bulan sampai menjadi tenang.17

Penelitian lain menunjukkan bahwa laki-laki, hipertiroid yang tidak terkontrol

dan adanya riwayat penggunaan steroid berhubungan dengan meningkatnya kebutuhan

akan pembedahan strabismus dan atau dekompresi. Adanya diplopia simtomatik dimana

terdapat gangguan gerak vertikal dengan atau tanpa komponen horizontal, adanya

neuropati optik, dan tekanan intraokular lebih dari 21 mmHg juga merupakan penanda

penyakit yang lebih berat.18

18

BAB III

KESIMPULAN

Kelainan mata tiroid dapat menyertai hipertiroidisme. Banyak istilah yang digunakan

untuk menyatakan keadaan ini, namun istilah oftalmopati Graves lebih sering dipakai.

Klasifikasi untuk kelainan mata tiroid yang sering digunakan adalah klasifikasi menurut

Werner, dimana kelainan mata tiroid dibagi menjadi 6 kelas berdasarkan manifestasi

klinisnya. Proses inflamasi pada kelainan mata tiroid berhubungan dengan hipertiroidisme

Graves dan abnormalitas imun kelenjar tiroid. Patogenesis penyakit Graves sampai saat ini

masih belum diketahui. Penatalaksanaan oftalmopati tiroid terdiri atas pengobatan medis,

pembedahan, dan radiasi. Prognosis oftalmopati tiroid ditentukan oleh beberapa faktor seperti

jenis kelamin, hipertiroid tidak terkontrol, riwayat penggunaan steroid, dan adanya diplopia,

neuropati optik, dan tekanan intraokular.

19

DAFTAR PUSTAKA

1. Adam JMF, Adam-Sampelan MJ. Oftalmopati Graves, Epidemiologi, Klasifikasi, dan

Penatalaksanaan. http://med.unhas.ac.id/index2.php?

option=com_content&do_pdf=1&id=173. 2005. [diakses 29 Maret 2012]

2. Ilyas, Sidarta et al. Ilmu Penyakit Mata untuk Dokter Umum dan Mahasiswa Kedokteran.

2010. Jakarta: CV Sagung Seto

3. Moeljanto RD. Kelenjar Tiroid, Hipotiroidisme, dan Hipertiroidisme. Dalam: Sudoyo

AW dkk, Editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta: Pusat

Penerbitan IPD FKUI, 2007.1933-43

4. Swierzeski SJ. Graves’ Ophthalmopathy (GO).

http://www.visionchannel.net/graves/index.shtml. 2 Januari 2002 [diakses 29 Maret 2012]

5. Ing E. Thyroid Ophthalmopathy. http://www.emedicine.com/NEURO/topic476.htm. 6

Juli 2005 [diakses 29 Maret 2012]

6. de Jong AL. Graves’ Ophthalmopathy. http://www.bcm.edu/oto/51393.htm. 2006

[diakses 29 Maret 2012]

7. Sanders, Graham ME. Gangguan Mata yang Menyertai Penyakit Sistemik.

Dalam:Vaughan DG, Asbury T, Riordan-Eva P, Suyono J, Editor. Oftalmologi Umum

Edisi 14. Jakarta: EGC, 2000.330-2

8. Kanski JJ. Dysthyroid Ophthalmopathy. Dalam: Clinical Ophthalmology, Third Edition.

London: Butterworth-Heinemann, 1994.32-7

9. Ophthalmologic Aspects of Thyroid Eye Disease dalam Endokrin-Metabolik Kapita

Selekta Tiroidologi –Cet. 1-. Surabaya: Airlangga University Press, 2006. 38-37-46

10. Ing E, Roy. H. Thyroid-Associated Orbitopathy.

http://emedicine.medscape.com/article/1218444-overview#aw2aab6b5. Updated: January

17, 2012. [diakses: 25 Maret 2012]

11. Kanski JJ, Jayant M. Clinical Ophthalmology. 5th ed. London: Butterworth Heinemann.

2006.

20

12. Riordan-Eva P, Whitcher JP. Vaughan & Asbury’s General Ophthalmology, Seventeenth

Edition. USA: McGraw-Hill Companies. 2008.

13. McCance KL, Huether SE, Brashers VL, Editor, Rote NS, Editor. Pathophysiology: The

Biologic Basis for Disease in Adults and Children. 5th edition. Missouri: Mosby Elsevier.

2010.

14. Kunimoto D, Kanitkar K & Makar M. The Wills Eye Manual. Office and Emergency

Room Diagnosis and Treatment of Eye Disease. Fourth Edition. Lippincott Williams &

Wilkins. 2004.

15. http://web.ebscohost.com/dynamed/detail?vid=3&hid=119&sid=a80807a5-ad4b-48a6-

8415-a777e218a93a

%40sessionmgr10&bdata=JnNpdGU9ZHluYW1lZC1saXZlJnNjb3BlPXNpdGU

%3d#db=dme&AN=115280

16. Bahn RS. Grave’s Opthalmopathy. 2010. N Engl J Med 2010;362:726-38

17. Chong KL. Thyroid Eye Disease : A Comprehensive Review. 2010. HongKong Medical

Diary 2010;15(10):4-8

18. Looi ALG et al. Factors Associated with Decompression and Strabismus Surgery in

Thyroid Eye Disease. Ann Acad Med Singapore 2005;34:154-7

21