49
BAB I PENDAHULUAN Akalasia esofagus adalah gangguan motilitas esofagus yang ditandai dengan tidak adanya peristaltik esofagus dan gangguan relaksasi sfingter esofagus bagian bawah. Penyebab pasti penyakit ini belum diketahui. Secara histopatologik kelainan ini ditandai dengan adanya degenerasi ganglia pleksus mienterikus. Akibat keadaan ini akan terjadi stasis makanan dan selanjutnya akan timbul pelebaran esofagus. Keadaan ini akan menimbulkan gejala dan komplikasi tergantung dari berat dan lamanya kelainan yang terjadi. 1,2 Akalasia mulai dikenal oleh Thomas Willis pada tahun 1674. Pada awalnya keadaan ini diduga sebagai sumbatan di esofagus distal, sehingga dia melakukan dilatasi dengan tulang ikan paus dan mendorong makanan masuk ke dalam lambung. Pada tahun 1908, Henry Plummer melakukan dilatasi dengan kateter balon. Pada tahun 1913, Heller melakukan pembedahan myotomi yang terus dianut sampai sekarang. Namun, Penyebab dari akalasia ini masih belum diketahui dengan pasti. Teori-teori atas penyebab akalasia pun mulai bermunculan seperti suatu proses yang melibatkan infeksi, kelainan atau yang diwariskan atau genetik, sistim imun yang menyebabkan tubuh sendiri untuk merusak esophagus, dan proses penuaan atau proses degeneratif. 2,3 1

REFERAT AKALASIA 1

Embed Size (px)

DESCRIPTION

oke

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

Akalasia esofagus adalah gangguan motilitas esofagus yang ditandai

dengan tidak adanya peristaltik esofagus dan gangguan relaksasi sfingter esofagus

bagian bawah. Penyebab pasti penyakit ini belum diketahui. Secara histopatologik

kelainan ini ditandai dengan adanya degenerasi ganglia pleksus mienterikus.

Akibat keadaan ini akan terjadi stasis makanan dan selanjutnya akan timbul

pelebaran esofagus. Keadaan ini akan menimbulkan gejala dan komplikasi

tergantung dari berat dan lamanya kelainan yang terjadi.1,2

Akalasia mulai dikenal oleh Thomas Willis pada tahun 1674. Pada

awalnya keadaan ini diduga sebagai sumbatan di esofagus distal, sehingga dia

melakukan dilatasi dengan tulang ikan paus dan mendorong makanan masuk ke

dalam lambung. Pada tahun 1908, Henry Plummer melakukan dilatasi dengan

kateter balon. Pada tahun 1913, Heller melakukan pembedahan myotomi yang

terus dianut sampai sekarang. Namun, Penyebab dari akalasia ini masih belum

diketahui dengan pasti. Teori-teori atas penyebab akalasia pun mulai bermunculan

seperti suatu proses yang melibatkan infeksi, kelainan atau yang diwariskan atau

genetik, sistim imun yang menyebabkan tubuh sendiri untuk merusak esophagus,

dan proses penuaan atau proses degeneratif.2,3

Akalasia merupakan kasus yang jarang. Insidensi penyakit akalasia adalah

sekitar 1:100.000 penduduk dan prevalensinya sekitar 10:100.000 penduduk

dengan distribusi laki-laki perempuan sama. Tidak ada predileksi berdasarkan ras.

Akalasia terjadi pada semua umur dengan kejadian dari lahir sampai dekade 7-8

dan puncak kejadian pada umur 30-60 tahun. Data Divisi Gastroenterologi,

Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI didapatkan 48 kasus dalam kurun waktu

5 tahun (1984-1988). Sebagian besar kasus terjadi pada umur pertengahan dengan

perbandingan jenis kelamin yang hampir sama. Di Amerika Serikat ditemukan

sekitar 2000 kasus akalasia setiap tahun dan sebagian besarnya pada usia 25-60

tahun dan hanya sedikit pada anak-anak. Kelainan ini tidak diturunkan dan

biasanya membutuhkan waktu bertahun-tahun hingga menimbulkan gejala.4,5

Akalasia esofagus merupakan penyakit yang progresif dengan gejala

disfagia baik untuk makanan cair maupun padat, regurgitasi dan disertai dengan 1

nyeri dada. Regurgitasi makanan yang tidak tercerna sering bisa disalahartikan

sebagai penyakit gastroesophageal reflux sehingga dapat menunda penegakkan

diagnosis akalasia esofagus. Regurgitasi bisa terjadi saat makan, tak lama setelah

makan, atau ketika perubahan posisi pasien seperti pada posisi telentang.

Regurgitasi makanan yang tidak tercerna dilaporkan sekitar 60% pasien dan 40%

mengalami nyeri dada. Sekitar 40% dari pasien juga mengalami heartburn, karena

stasis dan fermentasi makanan di esofagus.3,5

Diagnosis akalasia esofagus ditegakkan berdasarkan anamnesis,

pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang akalasia

esofagus terus berkembang. Baru-baru ini, High-Resolution Manometry (HRM)

telah menggantikan manometri konvensional sebagai gold standar yang telah

digunakan selama bertahun-tahun. Berdasarkan Chicago Klasifikasi pada pasien

dengan gangguan motilitas esofagus, ada tiga tipe akalasia esofagus yaitu tipe I

dengan ciri adanya gangguan relaksasi dan pelebaran esofagus dengan minimal

tekanan esofagus, tipe II dengan ciri terdapatnya tekanan di seluruh esofagus dan

tipe III dengan ciri adanya kontraksi spastik di segmen esofagus distal. Pasien

dengan tipe II akalasia memiliki prognosis yang terbaik, karena mereka lebih

mungkin untuk diterapi dengan Pneumatic Dilatation (PD) atau Laparoscopi

Heller Myotomy (LHM) dibandingkan pasien dengan akalasia tipe I atau akalasia

tipe III.6,7,8

Terapi akalasia esofagus pun terus berkembang. Terapi dapat berupa

farnakoterapi maupun non-farmakoterapi. Per-oral endoscopic myotomy (POEM)

merupakan myotomi dengan pendekatan endoskopi yang pertama kali

diperkenalkan pada manusia pada tahun 2010. Pendekatan terapi baru ini semakin

banyak digunakan di seluruh dunia. Studi-studi tentang terapi POEM ini pun

sudah banyak dilakukan. Barbirie et al (2015) melekukan studi meta analisi

tentang efikasi dan keamananan POEM untuk terapi akalasia esofagus. Studi ini

menyimpulkan bahwa POEM merupakan modalitas terapi endoskopik yang

sangat layak dan efektif untuk akalasia esofagus, tapi POEM seharusnya

dilakukan di pusat-pusat yang mampu mengobati komplikasi POEM, seperti

pneumothorax atau pneumoperitoneum. 9,10

2

Walaupun penyakit ini jarang terjadi tapi kita harus bisa mengenali dan

mengatasi penyakit ini karena komplikasi yang ditimbulkan dari penyakit ini

sangat mengancam nyawa seperti obstruksi saluran pernapasan sampai sudden

death. Ilmu pengetahuan dan teknologi tentang akalasia esofagus ini pun juga

berkembang dengan baik. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk

mengetahui penegakan diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat dari akalasia

esofagus, sehingga dapat menatalaksana pasien dengan baik.7

3

BAB 2

AKALASIA ESOFAGUS

2.1. Definisi

Akalasia esofagus adalah gangguan motilitas esofagus yang penyebabnya

tidak diketahui yang ditandai dengan aperistaltik esofagus dan gangguan relaksasi

sfingter esofagus bagian bawah. Secara histopatologik kelainan ini ditandai oleh

degenerasi ganglia pleksus mienterikus. Berdasarkan Chicago klasifikasi pada

pasien dengan gangguan motilitas esofagus dengan pemeriksaan high-resolution

manometry (HRM) yaitu akalasia tipe I, II dan tipe III.1,8

Akalasia esofagus tipe I dengan ciri adanya gangguan relaksasi dan

pelebaran esofagus dengan minimal tekanan esofagus, tipe II dengan ciri

terdapatnya tekanan di seluruh esofagus dan tipe III dengan ciri adanya kontraksi

spastik di segmen esofagus distal. Pasien dengan tipe II akalasia memiliki

prognosis yang terbaik, karena mereka lebih mungkin untuk diterapi dengan

Pneumatic Dilatation (PD) atau Laparoskopi Heller Myotomy (LHM)

dibandingkan pasien dengan akalasia tipe I atau tipe III.7,8

2.2. Epidemiologi

Akalasia merupakan kasus yang jarang. Insidensi dari penyakit akalasia ini

adalah sekitar 1:100.000 penduduk dan dengan prevalensi sekitar 10:100.000

penduduk dengan distribusi laki-laki perempuan sama. Tidak ada predileksi

berdasarkan ras. Akalasia terjadi pada semua umur dengan kejadian dari lahir

sampai dekade 7-8 dan puncak kejadian pada umur 30-60 tahun.5

Data Divisi Gastroenterologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI

didapatkan 48 kasus dalam kurun waktu 5 tahun (1984-1988). Sebagian besar

kasus terjadi pada umur pertengahan dengan perbandingan jenis kelamin yang

hampir sama. Di Amerika Serikat ditemukan sekitar 2000 kasus akalasia setiap

tahun dan sebagian besarnya pada usia 25-60 tahun dan hanya sedikit pada anak-

anak. Kelainan ini tidak diturunkan dan biasanya membutuhkan waktu bertahun-

tahun hingga menimbulkan gejala.4,5

4

2.3. Anatomi dan Fisiologi Esofagus

Esofagus adalah suatu saluran otot vertikal yang menghubungkan

hipofaring dengan lambung. Ukuran panjangnya 23-25 cm dan lebarnya sekitar 2

cm (pada keadaan yang paling lebar) pada orang dewasa. Esofagus dimulai dari

batas bawah kartilago krikoidea kira-kira setinggi vertebra servikal VI. Dari batas

tadi, esofagus terbagi menjadi tiga bagian yaitu, pars cervical, pars thoracal dan

pars abdominal. Esofagus kemudian akan berakhir di orifisium kardia gaster

setinggi vertebra thoracal XI. Terdapat empat penyempitan fisiologis pada

esofagus yaitu, penyempitan sfingter krikofaringeal, penyempitan pada

persilangan aorta (arkus aorta), penyempitan pada persilangan bronkus kiri dan

penyempitan diafragma (hiatus esofagus). 11

Gambar 2.1. Anatomi Esofagus 11

Dinding esofagus terdiri dari 3 lapisan yaitu mukosa yang merupakan

epitel skuamosa, submukosa yang terbuat dari jaringan fibrosa elastis dan

merupakan lapisan yang terkuat dari dinding esofagus, otot-otot esofagus yang

terdiri dari otot sirkuler bagian dalam dan longitudinal bagian luar dimana 2/3

bagian atas dari esofagus merupakan otot skelet dan 1/3 bagian bawahnya

merupakan otot polos.11,12

Pada bagian leher, esofagus menerima darah dari a. karotis interna dan

trunkus tyroservikal. Pada bagian mediastinum, esofagus disuplai oleh a. esofagus

dan cabang dari a. bronkial. Setelah masuk ke dalam hiatus esofagus, esofagus

5

menerima darah dari a. phrenicus inferior dan bagian yang berdekatan dengan

gaster di suplai oleh a. gastrica sinistra. Darah dari kapiler-kapiler esofagus akan

berkumpul pada v. esofagus, v. thyroid inferior, v. azygos, dan v. gastrica.

Esofagus diinervasi oleh persarafan simpatis dan parasimpatis (nervus vagus) dari

pleksus esofagus atau yang biasa disebut pleksus mienterik Auerbach yang

terletak di antara otot longitudinal dan otot sirkular sepanjang esofagus.11

Esofagus mempunyai 3 bagian fungsional. Bagian paling atas adalah upper

esophageal sphincter (sfingter esofagus atas), suatu cincin otot yang membentuk

bagian atas esofagus dan memisahkan esofagus dengan tenggorokan. Sfingter ini

selalu menutup untuk mencegah makanan dari bagian utama esofagus masuk ke

dalam tenggorokan. Bagian utama dari esofagus disebut sebagai badan dari

esofagus, suatu saluran otot yang panjangnya kira-kira 20 cm.11,12

Bagian fungsional yang ketiga dari esofagus yaitu lower esophageal

sphincter (sfingter esophagus bawah), suatu cincin otot yang terletak di pertemuan

antara esofagus dan lambung. Seperti halnya sfingter atas, sfingter bawah selalu

menutup untuk mencegah makanan dan asam lambung untuk kembali

naik/regurgitasi ke dalam badan esofagus. Sfingter bagian atas akan berelaksasi

pada proses menelan agar makanan dan saliva dapat masuk ke dalam bagian atas

dari badan esofagus. Kemudian, otot dari esofagus bagian atas yang terletak di

bawah sfingter berkontraksi, menekan makanan dan saliva lebih jauh ke dalam

esofagus. Kontraksi yang disebut gerakan peristaltik ini akan membawa makanan

dan saliva untuk turun ke dalam lambung. Pada saat gelombang peristaltik ini

sampai pada sfingter bawah, maka akan membuka dan makanan masuk ke dalam

lambung.11,12

Esofagus berfungsi membawa makanan, cairan, sekret dari faring ke gaster

melalui suatu proses menelan, dimana akan terjadi pembentukan bolus makanan

dengan ukuran dan konsistensi yang lunak, proses menelan terdiri dari tiga fase

yaitu, fase oral, fase pharingeal, dan fase esofageal. Fase oral yaitu makanan

dalam bentuk bolus akibat proses mekanik bergerak pada dorsum lidah menuju

orofaring, palatum mole dan bagian atas dinding posterior faring terangkat. Fase

pharyngeal yaitu terjadi refleks menelan (involuntary), faring dan laring bergerak

ke atas oleh karena kontraksi m. Stilofaringeus, m. Salfingofaring, m. Thyroid dan

6

m. Palatofaring, aditus laring tertutup oleh epiglotis dan sfingter laring. Fase

oesophageal yaitu fase menelan (involuntary) perpindahan bolus makanan ke

distal oleh karena relaksasi m. Krikofaring, di akhir fase sfingter esofagus bawah

terbuka dan tertutup kembali saat makanan sudah lewat.11,12

2.4. Etiopatogenesis

Penyebab pasti daari penyakit akalasia esofagus ini sampai sekarang

belum diketahui. Secara histologik, ditemukan kelainan berupa degenerasi sel

ganglion plexus Auerbach sepanjang esofagus pars torakal. Berdasarkan etiologi,

akalasia esofagus ini dapat dibagi menjadi 2 bagian yaitu akalasia primer dan

akalasia sekunder.1,2

Akalasia primer yaitu akalasia esofagus dimana penyebab yang jelas

kelainan ini tidak diketahui dan diduga disebabkan oleh virus neurotropik yang

berakibat lesi pada nukleus dorsalis vagus pada batang otak dan ganglia

mienterikus pada esofagus. Akalasia sekunder yaitu akalasia esofagus dimana

kelainan ini dapat disebabkan oleh infeksi seperti penyakit chagas, tumor

intraluminer seperti tumor kardia atau pendorongan ekstraluminer seperti

pseudokista pankreas. Kemungkinan lain dapat disebabkan oleh obat

antikolinergik atau paska vagotomi.2

Etiologi akalasia primer masih belum diketahui, namun beberapa hipotesis

menyatakan akalasia disebabkan karena genetika, infeksi virus, autoimun, dan

neurodegenerasi. Setiap hipotesis berusaha menghubungkan dengan tidak adanya

ganglia pleksus myentericus di esophagus, meskipun terdapat kemungkinan

bahwa teori– teori tersebut terjadi bersamaan.1,2

Teori pertama adalah teori genetika. Kasus akalasia pada anak dan karena

keturunan sangat jarang. Sehingga teori genetika tidak mendukung sebagai

penyebab akalasia primer. Beberapa kasus akalasia lahir dari orang tua atau

kerabat dengan akalasia telah dilaporkan. Hanya ada satu laporan kasus kembar

monozigot dengan akalasia yaitu Sindrom Allgrove. merupakan penyakit resesif

autosomal pada anak-anak dengan gejala alacrima, insufisiensi adrenal,

keterbelakangan mental, dan neuropati otonom dan perifer.1,2

Teori hipotesis infeksi viral juga berkembang sebagai salah satu etiologi

akalasia esofagus. Sejumlah penelitian mengaitkan agen virus dalam patogenesis 7

akalasia. Etiologi ini tampaknya masuk akal mengingat distribusi usia pasien

akalasia seragam. Selain itu, penyakit Chagas merupakan contoh patogen menular

yang dapat menyebabkan akalasia. Sebuah laporan awal mencatat peningkatan

signifikan secara statistik pada titer antibodi terhadap virus campak pada pasien

dengan akalasia dibandingkan dengan kontrol, namun penelitian ini belum

dibuktikan. 1,2

Virus lain yang di duga bearkaitan dengan akalasia adalah virus varicella –

zoster. Penelitian terbaru lain menggunakan teknik polymerase chain reaction

tidak mendeteksi adanya campak, herpes atau virus papiloma pada spesimen

myotomy pasien akalasia. Penelian dengan hasil yang negatif tidak

mengesampingkan adanya specimen virus yang lain sebagai etiologi dari akalasia.

Kemungkinan yang mendukung etiologi ini adalah penelitian terbaru yang

menunjukkan immunoreaktif sel-sel inflamasi pasien akalasia sebagai respon

terhadap antigen virus meskipun peneliti tidak dapat mendeteksi virus dalam

sampel.1,2

Teori hipotesis autoimun dibangun atas adanya ditemukan infiltrasi

inflamasi di esofagus yang terkena akalasia. Infiltrasi inflamasi pada pleksus

myentericus terdapat pada 100% specimen. Adanya infiltrasi sel pada

imunohistokimiawi ditandai dengan adanya sel T positif CD3 dan CD8. Infiltrasi

eosinofilik yang signifikan juga dibuktikan pada beberapa pasien dengan

akalasia.2

Teori hipotesis neurodegenerasi merupakan hipotesis ketiga yang

diusulkan sebagai etiologi akalasia primer. Pada akalasia disebutkan terjadi

hilangnya neuron dalam inti motorik vagal dan terjadi perubahan degeneratif dari

serabut saraf vagal. Lesi yang dibuat secara eksperimental di batang otak dan

saraf vagus pada hewan menghasilkan kelainan motilitas esofagus yang

menyerupai akalasia. Sehingga peneliti berspekulasi tempat yang berkaitan

dengan akalasia primer adalah di inti motorik dorsal dan saraf vagus yang

menyebabkan kelainan myentericus sekunder. 1,2

Mayoritas penelitian patologis menemukan kelainan dominan akalasia di

dalam pleksus myentericus dengan ditandai adanya berkurangnya atau tidak

adanya sel ganglion serta adanya infiltrasi inflamasi plexus myenterikus. Defek di

8

persarafan vagal diperkirakan menyebabkan kelainan klinis di luar esofagus

termasuk gangguan pengosongan lambung, yang jarang terlihat pada pasien

akalasia. Sangat mungkin adanya perubahan neurodegeneratif di akalasia

merupakan sekunder dari adnaya virus atau kerusakan karena autoimun diganglia

enteric.1,2

2.5. Gejala klinis

Gejala klini yang sering ditemukan pada penderita akalasia esofagus

adalah adalah disfagia, regurgitasi, rasa terbakar dan nyeri substernal, serta

penurunan berat badan. Disfagia merupakan keluhan utama dari penderita

Akalasia. Disfagia dapat terjadi secara tiba-tiba setelah menelan atau bila ada

gangguan emosi. Disfagia yang terjadi secara progresif dari makanan padat diikuti

oleh makan cair sering menjadi keluhan pertama pada penderita akalasia esofagus

dan terjadi pada 82% sampai100% pasien dengan akalasia esofagus.5,6

Regurgitasi dapat timbul setelah makan atau pada saat berbaring. Sering

regurgitasi terjadi pada malam hari pada saat penderita tidur, sehingga dapat

menimbulkan pneumonia aspirasi dan abses paru. Regurgitasi makanan yang tidak

tercerna dilaporkan sekitar 60% pasien.5,6

Rasa terbakar dan nyeri substernal dapat dirasakan pada stadium

permulaan. Heartbun pada akalasia esofagus terjadi pada 27 % sampai 42% pasien

Pada stadium lanjut akan timbul rasa nyeri hebat di daerah epigastrium dan rasa

nyeri ini dapat menyerupai serangan angina pektoris. Chest pain pada akalasia

esofagus terjadi pada 17 % sampai 95% pasien. Penurunan berat badan terjadi

karena penderita berusaha mengurangi makannya unruk mencegah terjadinya

regurgitasi dan perasaan nyeri di daerah substernal. Gejala lain yang biasa

dirasakan penderita adalah rasa penuh pada substernal dan akibat komplikasi dari

retensi makanan.5,6

2.6. Diagnosis

Diagnosis akalasia esofagus dibangun dari anamnesis, pemeriksaan fisik,

dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis akalasia esofagus sering dibingungkan

dengan entitas yang lebih umum seperti gastroesophageal reflux disease (GERD).

Diagnosis biasanya terlambat 2-3 tahun dari gejala awal. Pemeriksaan akalasia

9

antara lain endoskopi gastrointestinal bagian atas, pemeriksaan radiologi

esofagogram, dan manometri esofagus. Gold standar penegakan diagnosis

akalasia esofagus adalah manometri esofagus.5,6

Pemeriksaan endoskopi gastrointestinal bagian atas dilakukan dengan

ketentuan untuk menyingkirkan adanya keganasan. Pada akalasia, pemeriksaan

endoskopi menunjukkan adanya dilatasi esofagus dengan mukosa yang normal.

Terdapat adanya cairan atau makanan yang tersisa. Selain itu pada akalasia dapat

menunjukkan adanya infeksi kandida yang merupakan infeksi sekunder karena

esofagus statis. Saat endoskop masuk melewati LES tekanan yang di berikan

mudah dan lancar, tidak ada striktur yang disebabkan karena neoplasia atau

fibrosis.5,7,13

Kesan adanya peristaltik esofagus dan LES pada pemeriksaan endoskopi

tidak akurat. Kesan berkurangnya peristalsis dan LES tidak sensitif maupun

spesifik. Retensi makanan di esofagus dapat dianggap sebagai parameter yang

lebih spesifik dalam mendiagnosis akalasia, tetapi hanya terjadi pada pasien

dengan penyakit lanjut dan gangguan transit yang berat. Candida esofagitis pada

pasien kekebalan yang kompeten harus meningkatkan kecurigaan retensi

esophagus.13

Pemeriksaan barium esofagogram pada pasien curiga akalasia merupakan

tes diagnostik awal. Akurasi esofagogram untuk diagnosis akalasia adalah 95%.

Pada stadium awal tak tampak adanya gelombang peristaltik primer, penyempian

gastroesofageal junction hanya minimal dan kadang-kadang terlihat gelombang

peristaltik nonpropusif di badan esofagus (‘vigorous achalasia’) dengan

ditemukan gelombang sekunder sampai tersier. Pada akalasia progresif tampak

gambaran bird’s beak di gastroesofageal junction dengan di bagian distalnya

membentuk sudut sebelum masuk ke lambung.7,8

Fenomena hurst merupakan fenomena ketika pasien akalasia dilakukan

pemeriksaan esofagram diposisikan berdiri, barium terletak di titik dimana

tekanan hidrostatik barium diatas tekanan LES. Kadang-kadang karena dorongan

barium, gastroesofageal junction terbuka. Esofagus yang mengalami dilatasi dan

berliku-liku serta badan esofagus yang aperistaltik diasumsikan sebagai bentuk

sigmoid.8

10

Gambar 2.2. Barium esofagogram pada akalasia7

Pada akalasia berat esofagus biasanya tampak melebar secara signifikan

dan kadang-kadang berliku-liku, tidak kosong, dan terdapat makanan dan air liur

yang tertahan menyebabkan gambaran air fluid level di bagian atas barium

(gambar 8c). Esofagus distal ditandai adanya LES yang tertutup secara bertahap

bentuk lonjong halus menyerupai paruh burung (bird’s beak), dan kadang-kadang

terdapat divertikulum epifrenicus. Pada stadium lanjut seluruh esofagus

mengalami atonik.7

Barium Esophagogram mempunyai kemampuan mengetahui gangguan

fungsional akalasia, yaitu gangguan pengosongan esofagus. Pemeriksaan ini

sangat sederhana dan dilakukan secara luas untuk pemeriksaan pre dan post terapi

akalasia sejak tahun 1960. Namun beberapa peneliti berpendapat pemeriksaan ini

hanya untuk mengevaluasi pasien post terapi dengan dilatasi. Peneliti lain

menunjukkan adanya hubungan yang kurang baik antara perbaikan gejala dan

temuan radiografi.6,7

Manometri esofagus merupakan gold standard dalam penegakan diagnosis

akalasia dan harus dilakukan pada setiap pasien yang akan dilakukan perawatan

invasif seperti pelebaran pneumatik atau myotomy bedah. Karena akalasia hanya

melibatkan otot polos esofagus, kelainan manometri terbatas pada 2/3 esofagus

bagian distal3. Diagnosis akalasia diperlukan jika ditemukan tekanan LES yang

meningkat pada fase istirahat, relaksasi LES inkomplet dan tidak adanya

peristaltik6. Menurut Ritcher et al, sekurangnya ditemukan 2 abnormalitas 11

patognomonik pada pasien akalasia, yaitu: aperistalsis dan relaksasi LES

abnormal.8,14

Relaksasi abnormal LES terlihat di semua pasien akalasia. Relaksasi

abnormal dapat berupa tidak adanya relaksasi LES atau relaksasi inkomplet saat

menelan (70%-80%) dan relaksasi komplet namun lebih pendek (< 6 detik).

Tekanan LES istirahat meningkat pada sekitar 50 % pasien dengan akalasia.5,15

LES yang tidak mengalami relaksasi biasanya mempunyai tekanan LES > 8

mmH). Rata-rata tekanan puncak esofagus selama menelan digunakan

membedakan akalasia klasik dan akalasia kuat (vigorous achalasia). Vigorous

achalasia didefinisikan sebagai rata-rata kontraksi amplitudo di atas 37

mmHg.6,7,14

Pemeriksaan tekanan LES dengan manometri memiliki negatif palsu 48%.

Adanya manometri resolusi tinggi membantu membuat diagnosis akalasia secara

teliti dengan mengevaluasi LES dan relaksasi esofagogastric junction

menggunakan tekanan relaksasi terintegrasi. Terdapat 3 pola akalasia berdasar

pemeriksaan manometri resolusi tinggi, yaitu : Tipe I – Gangguan relaksasi

dengan pelebaran esofagus namun tekanan esofagus diabaikan. Tipe II – Terdapat

tekanan di seluruh esofagus dan Type III – Adanya kontraksi spastik di segmen

esofagus distal.6,7,14

Gambar 2.3. Tiga subtipe akalasia berdasarkan pemeriksaan manometri14

Pandolfino et al (2013) dalam studinya tentang menajemen akalasia esofagus,

membuat sebuah algoritma diagnosis akalasia esofagus pada pasien dengan keluhan

12

disfagia, nyeri dada, dan adanya regurgitasi.Algoritma tersebut dapat dilihat pada

gamabar dibawah ini.6

Gambar. 2.4. Algoritma diagnosis akalasia esofagus 6

BAB 3

TATALAKSANA AKALASIA ESOFAGUS

13

Akalasia esofagus merupakan gangguan motilitas esofagus yang ditandai

dengan tidak adanya peristaltik esofagus dan gangguan relaksasi sfingter esofagus

bagian bawah dan secara histopatologik kelainan ini ditandai dengan adanya

degenerasi ganglia pleksus mienterikus. Terapi yang mampu mengembalikan

aktivitas peristaltik esofagus dan memperbaiki gangguan relaksasi spingter

esofagus bagian bawah belum ada. Walaupun demikian terapi yang selama ini

diberikan adalah untuk mengurangi tekanan spingter esofagus bawah dengan tiga

tujuan utama yaitu menghilangkan gejala akalasia esofagus terutama disfagia dan

regurgitasi, memperbaiki pengosongan esofagus, dan mencegah terjadinya

megaesofagus.1,5

Modalitas terapi yang akalasia esofagus terus berkembang. Modalitas

terapi tersebut memiliki efikasi dan keamanan yang berbeda-beda. Terapi tersebut

seperti farmakoterapi oral, farmakologi via endoskopi atau injeksi

BotulinumTtoksin (Botox), Pneumatic Dilatation (PD), terapi bedah myotomi

seperti Laparascopic Heller Myotomy (LHM), dan yang terbaru adalah Peroral

Endoscopic Myotomi (POEM). Pilihan modalitas terapi juga tergantung pada

kondisi pasien yang memiliki resiko terhadap tindakan operasi. Pasien dengan

tinggi resiko operasi dapat diterapi dengan farmakoterapi baik oral maupun via

endoskopi.7,8

Keberhasilan terapi akalasia esofagus dapat dilihat dari hilang atau

berkurangnya gejala klinis yang dialami pasien baik jangka pendek maupun

jangka lama. Perbaikan klinis akalasia esofagus pasca terapi dapat dinilai dengan

penurunan nilai Eckardts score. Komponen penilaiannya adalah perbaikan gejala

dispagia, regurgitasi, chest pain dan berat badan. Skor kecil sama tiga menunjukan

keberhasilan terapi akalasia esofagus.7

Tabel. 3.1. Eckardts score7

3.1. Farmakoterapi oral

14

Terapi farmakologis oral pada penatalaksanaan akalasia merupakan pilihan

pengobatan yang tidak begitu banyak memberikan perbaikan dan hanya bersifat

sementara. Obat-obatan golongan calcium channel blocker (CCB) dan nitrat long

acting adalah dua obat yang paling umum digunakan untuk mengobati akalasia

esofagus. Obat ini hanya bersifat sementara mengurangi tekanan LES dengan

merelaksasi otot polos spingter bawah esofagus dan memfasilitasi pengosongan

esofagus.5,15

Calcium channel blocker menurunkan tekanan spingter bawah esofagus

sekitar 13-49% dan memperbaiki gejala pasien sekitar 0-75%. Calcium channel

blocker yang paling umum digunakan adalah nifedipin dengan efek maksimum

tercapai setelah konsumsi 20-45 menit dan durasi kerja mulai dari 30 sampai 120

menit. Oleh karena itu, nifedipin sublingual dapat dikonsumsi 30-45 menit

sebelum makan dengan dosis 10-30 mg untuk respon terbaik.5,15

Sublingual isosorbid dinitrat juga efektif dalam menurunkan tekanan

spingter bawah esofagus sekitar 30-65% dan memperbaikan gejala sekitar 53-

87%. Sublingual isosorbide dinitrate memiliki waktu yang lebih singkat untuk

mengurangi tekanan spingter bawah esofagus sekitar 3-27 menit dari nifedipin

sublingual tetapi juga memiliki durasi kerja yang lebih pendek. Oleh karena itu,

sublingual isosorbid dinitrat dengan dosis 5 mg biasanya diberikan sekitar 10-15

menit sebelum makan.5

Studi banding dari efek nifedipin sublingual dengan isosorbid dinitrat

sublingual mendapatkan hasil tidak memiliki perbedaan yang signifikan dalam

penurunan tekanan spingter bawah esofagus. Respon klinis dari obat-obatan ini

bekerja singkat dengan efek samping seperti sakit kepala, hipotensi, dan pedal

edema. Selain itu, obat ini tidak memberikan bantuan lengkap gejala. Obat-obatan

ini umumnya digunakan untuk pasien dengan akalasia yang tidak bisa atau

menolak untuk menjalani terapi yang mempunyai efikasi yang baik seperti PD

dan myotomi dan mereka yang telah gagal dengan terapi suntikan toksin

botulinum.5

Obat lain yang juga digunakan untuk akalasia esofagus adalah

Phosphodiesterase-5 inhibitor seperti sildenafil. Obat ini juga mampu menurunkan

tekanan spingter bawah esofagus pada pasien dengan akalasia. Obat-obat lain

15

yang juga digunakan dan termasuk antikolinergik adalah seperti dicyclomine dan

cimetropium bromide, β-adrenergik agonis (terbutalin), dan teofilin. Society of

American Gastrointestinal and Endoscopic Surgeons (SAGES) tahun 2014

menyatakan, karena keterbatasan efikasi dari farmako terapi oral, terapi ini hanya

direkomendasikan pada fase-fase awal akalasia esofagus, terapi sementara ketika

menunggu terapi definitif, atau pada pasien yang tidak bisa menjalani terapi

akalasia esofagus yang lainnya.15,16

3.2. Farmakoterapi via Endoskopi

Botulinum toksin (Botox) sebagai inhibitor presinaptik ampuh pelepasan

asetilkolin dari ujung saraf pada plexus mienterikus pertama kali diperkenalkan

pada tahun 1980. Keberhasilan terapi injeksi botox pada akalasia esofagus

pertama kali dilaporkan oleh parischa et al pada tahun 1994. Studi ini melibatkan

20 orang pasien dengan akalasia esofagus. Studi ini mendapatkan hasil efikasi

yang baik pada 90% pada 1 bulan pasca terapi dan 67% pada 6 bulan pasca terapi.

Studi ini menyimpulkan bahwa injeksi botox pada spingter esofagus bawah efektif

dan aman untuk terapi akalasia esofagus dan hasil ini bertahan sampai beberapa

bulan.17,18

Yamaguchi et al (2015) melakukan studi efikasi dan keamanan

penggunaan injeksi botox pada akalasia esofagus di Jepang. Studi ini melibatkan

10 orang pasien dengan akalasia esofagus dan injeksi 100 unit toksin pada

spingter esofagus bawah. Studi ini menilai perbaikan tekanan spingter esofagus

bawah sebelum dan satu minggu pasca tindakan dan mendapatkan hasil

penurunan tekanan spingter esofaagus bawah dan penurunan eckardst score secara

siknifikan pasca terapi dengan tanpa komplikasi. Studi ini menyimpulkan bahwa

injeksi botox pada spingter esofagus bawah efektif dan aman untuk terapi akalasia

esofagus.19

Botulinum toksin (Botox) adalah inhibitor presinaptik ampuh pelepasan

asetilkolin dari ujung saraf yang telah terbukti menjadi pengobatan berguna dalam

akalasia. Toksin membelah protein (SNAP-25) yang terlibat dalam sekering

vesikel presinaptik yang mengandung acetylcholine yang menghubungkan

membran plasma neuron dengan otot sasaran. Hal ini berefek pada terhambatnya

eksositosis asetilkolin ke daerah sinaptik dan menyebabkan kelumpuhan jangka

16

pendek otot dengan menghalangi stimulasi kolinergik dari spingter bawah

esofagus. Efek ini akan mengganggu komponen neurogenik dari sfingter dengan

tetap mempertahankan tekanan basal spingter bawah esofagus. Efek obat ini

mampu menurunkan 50% tekanan spingter bawah esofagus. Penurunan ini sudah

cukup untuk mengurangi gejala akalasia esofagus.15,17

Gambar 3.1. Mekanisme kerja botulinum toxin15

Injeksi botulinum toxin menggunakan endoskopi, toksin diinjeksi dengan

memakai jarum skleroterapi yang dimasukkan ke dalam dinding esophagus

dengan sudut kemiringan 45°, dimana jarum dimasukkan sampai mukosa kira-kira

1-2 cm di atas squamocolumnar junction. Lokasi penyuntikan jarum ini terletak

tepat di atas batas proksimal dari spingter bawah esofagus dan toksin tersebut

diinjeksi secara caudal ke dalam sfingter. Dosis efektif yang digunakan yaitu 80-

100 unit/mL yang dibagi dalam 20-25 unit/mL untuk diinjeksikan pada setiap

kuadran dari LES.17

17

Gambar 3.2. Metade injeksi Botulinum Toxin (Botox)17

Injeksi diulang dengan dosis yang sama 1 bulan kemudian untuk

mendapatkan hasil yang maksimal. Namun demikian, terapi ini mempunyai

efikasi yang terbatas, sekitar 40% pasien mengalami relap dalam 6 bulan setelah

terapi, persentasi ini selanjutnya naik menjadi 70%, walaupun setelah beberapa

kali penyuntikan dua setengah tahun kemudian. Sebagai tambahan, terapi ini

sering menyebabkan reaksi inflamasi pada bagian gastroesophageal junction,

yang selanjutnya dapat menjadikan tindakan myotomi menjadi lebih sulit.5,17

Pemanfaatan injeksi toksin botulinum dibatasi untuk keadaan tertentu,

seperti pada keadaan PD atau myotomi dianggap tidak tepat karena beresiko.

Toksin botulinum dapat dipakai sebagai pengobatan tambahan pada pasien dengan

kontraksi spastik residual atas tindakan myotomi. Terapi ini sebaiknya digunakan

pada pasien lansia yang kurang bisa menjalani dilatasi atau pembedahan. Society

of American Gastrointestinal and Endoscopic Surgeons (SAGES) tahun 2014

menyatakan injeksi botulinum toksin merupakan terapi yang aman, akan tetapi

memiliki keterbatasan efikasi jangka panjang.5,16

3.3. Pneumatic dilatation (PD)

Dilatasi sebagai terapi pada akalasia pertama kali diperkenalan oleh oleh

Thomas Willis pada tahun 1674. Thomas Willis menggunakan tulang ikan paus

sebagai dilator dan mendorong makanan masuk ke dalam lambung yang

mengalami hambatan di esofagus. Saat sekarang, dilator yang banyak dipakai

adalah polietilen mikrovasif dilator rigiflex. Pneumatic dilatation (PD)

merupakan pilihan terapi nonsurgical paling efektif untuk pasien dengan akalasia.

18

Pasien yang dipertimbangkan untuk PD juga harus siap untuk intervensi bedah

jika teradi perforasi esofagus.5,18

Pneumatic dilatation (PD) menggunakan tekanan udara untuk mendilatasi

lumen esofagus dan mengganggu serat otot sirkuler dari spingter bawah esofagus.

Prosedur ini dilakukan dengan sedasi dan panduan fluoroscopy. Dilator

dimasukan dalam tiga diameter balon yang berbeda yaitu 3.0, 3.5, dan 4.0 cm.

Aspek yang paling penting dari PD adalah keahlian dari operator dan kesiapan

untuk intervensi bedah dalam kasus perforasi. Posisi dilator yang akurat penting

untuk efektivitas terapi. Pneumatic dilatation (PD) dilakukan sebagai prosedur

rawat jalan dan pasien dapat dipulangkan setelah dilatasi.5,18

Gambar 3.3. Pneumatic dilatation dengan balon rigiflex18

Pneumatic dilatation (PD) telah menjadi bentuk terapi utama selama

bertahun-tahun. Persentase keberhasilan jangka pendek adalah antara sekitar 70%

- 80%, amun akan turun menjadi 50% dalam 10 tahun kemudian, walaupun

setelah beberapa kali dilatasi. Komplikasi yang paling serius yang berhubungan

dengan PD adalah perforasi esofagus dengan insiden sekitar 1,9%. Pasien yang

menjalani PD harus menyadari risiko dan memahami bahwa intervensi bedah

mungkin akan dilakukan sebagai akibat perforasi. Tidak ada prediktor predileksi

perforasi.5,18

Terapi konservatif dengan antibiotik, nutrisi parenteral, dan stent mungkin

efektif pada perforasi kecil, tapi tindakan bedah melalui torakotomi adalah yang

terbaik pada perforasi besar dan luas. GERD dapat terjadi setelah PD sekitar 15-

35% pasien. PPI diindikasikan pada pasien dengan GERD setelah PD. PD juga

19

dapat digunakan pada pasien yang gagal myotomi. Katzka et al (2011) melakukan

studi tentang efikasi, kejadian perforasi, dan metode PD untuk terapi akalasia

esofagus. Studi ini menyimpulkan bahwa PD merupakan metode terapi aman dan

baik untuk penatalaksanaan akalasia esofagus, walaupun dibutuhkan multipel

dilatasi untuk mendapatkan hasil yang baik untuk jangka lama.19

Sinagara et al (2015) melakukan studi tentang efikasi PD pada pasien

dengan akalasia esofagus di Italia. Studi ini melibatkan 20 orang pasien yang

menderita akalasia esofagus. Studi ini dibagi 2 grup berdasarkan umur di bawah

50 tahun dan di atas 50 tahun. Hasil studi ini seluruh pasien mengalami remisi

komplit dan tidak ada teradi komplikasi. Beberapa pasien mengalami rekurensi.

Studi menyimpulkan bahwa PD merupakan terapi yang memiliki efikasi yang

baik dan aman, walaupun teradi rekurensi, tetapi terapi redilatasi berhasil

dilakukan.20

Cheng et al (2015) melakukan studi tentang efek klinis terapi PD pada

pasien dengan akalasia esofagus di China. Studi ini melibatkan 35 orang pasien

yang menderita akalasia esofagus. Pasien diikuti selama 10 tahun untuk melihat

efek terapi jangka panjang PD pada pasien akalasia esofagus. Hasil studi ini

97,2% pasien mengalami remisi komplit pada 6 bulan pertama, dan hanya 40 %

yang tidak mengalami rekurensi pada lebih dari 60 bulan. Studi menyimpulkan

bahwa PD pada terapi akalasia esofagus memiliki respon yang bagus.

Tindakannya simpel dan aman serta efektif.21

Elliott et al (2013) melakukan studi retrospektif tentang hasil terapi jangka

lama terapi PD pada pasien dengan akalasia esofagus di Australia. Studi ini

melibatkan 301 orang pasien yang menderita akalasia esofagus dan diterapi

dengan PD. Hasil studi ini 82% pasien mengalami remisi selama 12 bulan

pertama, 18% mengalami relap pada 2 tahun pertama, 41% pada pada 5 tahun

pertama, 60% pada 10 tahun, dan insiden perforasi terjadi sebanyak 2 %. Studi

menyimpulkan bahwa PD pada terapi akalasia esofagus, kejadian relap

merupakan kejadian yang umum terjadi pada terapi dengan PD, dan dibutuhkan

redilatasi untuk mendapatkan hasil yang baik.22

Society of American Gastrointestinal and Endoscopic Surgeons (SAGES)

tahun 2014 menyatakan bahwa diantara terapi non operatif akalasia esofagus, PD

20

merupakan modalitas terapi yang paling efektif, tetapi rawan terjadi komplikasi

perforasi. Tindakan ini direkomendasikan pada keadaan pasien dengan resiko

tinggi operasi. Jika dibandingkan dengan injeksi botulinum toxin, PD memiliki

efikasi yang lebih baik. Hal ini didukung oleh studi Leyden et al (2014) yang

melakukan studi perbandingan efikasi terapi injeksi botox dengan PD. Studi ini

menyimpulkan bahwa PD lebih efektif pada terapi akalasia esofagus dibandingkan

dengan injeksi botulinum toxin.16,23

3.4. Terapi Bedah Myotomi

Myotomi sebagai terapi bedah akhalasia esofagus pertama kali

diperkenalkan oleh Heller pada tahun 1914. Myotomi dilakukan dalam 2 tahapan

prosedur simultan melalui trans abdominal dan myotomi ektra mukosa pada

dinding anterior dan posterior esofagus. Zaaijer pada tahun 1923, kemudian

memodifikasi tindakan ini dengan hanya melakukan myotomi pada dinding

anterior esofagus dan berhasil diterapkan dengan hasil yang pada 8 pasien yang

menderita akalasia esofagus.6,7,24

Myotomi dilakukan secara operasi terbuka melalui trans torakal dan trans

abdominal. Masalah utama yang dihadapi pada waktu itu adalah tindakan ini telah

sukses mengurangi gejala disfagia, akan tetapi terjadi peningkatan insiden

Gastroesofageal Reflux Disease (GERD) pasca operasi. Pada tahun 1962, Dor

melakukan tindakan anterior fundoplikasi pada trans abdominal myotomi untuk

meminimalkan kejadian GERD pasca tindakan myotomi. Semenjak tindakan ini

diperkenalkan, presedur ini terus dilakukan dan dilaporkan berhasil mengurangi

kejadian GERD pasca tindakan Myotomi.6,7,24

Pada tahun 1991, minimal invasif myotomi dengan tharakoskopi mulai

diperkenalkan di Amerika Serikat. Pelegrini et al (1992), pertama kali melaporkan

minimal invasif myotomi pada 17 pasien yang diterapi dengan 15 orang dengan

thorakoskopi myotomi dan 2 orang dengan laparoskopik myotomi. Tindakan ini

berhasil mengurangi gejala disfagia pada 82% pasien. Tindakan ini selanjutnya

lebih dikenal dengan nama Laparacopic Heller Myotomi (LHM).24

Society of American Gastrointestinal and Endoscopic Surgeons (SAGES)

tahun 2014, merekomendasikan laparaskopi myotomi sebagai terapi pasien

dengan akalasia esofagus dengan tanpa kontraindikasi opearasi. Laporaskopi 21

myotomi mempunyai efikasi yang baik dalam mengurangi gejala disfagia pada

penderita akhalasia esofagus dalam jangka waktu yang lama. Tindakan ini dapat

dibarengi dengan tindakan fundoplikasi untuk mengurangi kejadian GERD pasca

tindakan.16

Kiudelis et al (2011) melakukan studi perbandingan terapi Laparascopi

Heller Myotomi (LHM) dengan dilatasi pneumatik pada pasien akalasia esofagus.

Studi ini melibatkan 46 pasien, 23 orang diterapi dengan endoskopi dilatasi

pneumatik dan 23 orang lagi dengan laparaskopi myotomi dengan parsial

fundoplikasi. Studi ini menilai perbaikan gejala disfagia jangka lama dan kejadian

heartbun pasca tindakan. Hasil studi ini menunjukan laparaskopi myotomi efektif

pada 82,6% pasien dan dilatasi efektif pada 52,2% pasien, dengan kejadian

heartbun pasca tindakan 39 % pasien pada laparaskopi myotomi dan 43% pasien

pada dilatasi pneumatik. Studi menyimpulkan bahwa laparaskopik myotomi lebih

efektif dibandingkan dengan dilatasi pneumatik.25

Boeckxstaens et al (2011) melakukan studi perbandingan terapi

laparaskopi myotomi dengan dilatasi pneumatik pada pasien akalasia esofagus.

Studi ini melibatkan 201 pasien, 95 orang diterapi dengan endoskopi dilatasi

pneumatik dan 106 orang lagi dengan LHM dengan Dor fundoplikasi. Studi ini

menggunakan nilai Eckcardt score kecil sama 3sebagai keberhasilan terapi yang

di nilai setelah 1 dan 2 tahun terapi. Studi ini mendapatkan hasil LHM efektif

pada 93% pada tahun pertama dan 90% pada tahun kedua. Pada pneumatik

dilatasi didapatkan efektif pada 90% pada tahun pertama, dan 86% pada tahun

kedua. Studi menyimpulkan bahwa LHM dibandingkan dilatasi pneumatik tidak

superior pada 2 tahun follow-up terapi pasien akalasia esofagus.26

Abdi et al (2016) melakukan studi efikasi awal dari terapi Heller myotomi

pada pasien akalasia esofagus di Iran. Studi ini melibatkan 20 orang pasien yang

diterapi dengan LHM dan dilakukan esofageal manometri pada sebelum dan 2

bulan pasca tindakan. Studi ini mendapatkan hasil penurunan yang siknifikan dari

tekanan spingter esofagus bawah setelah 2 bulan tindakan. Studi ini

menyimpulkan bahwa LHM sangat efektif mengurangi disfagia pada pasien

dengan akalasia esofagus.27

22

Schoenberg et al (2013) melakukan studi meta analisis tentang

perbandingan efikasi tindakan LHM dengan endoskopi dilatasi pneumatik sebagai

modalitas terapi pada akalasia esofagus. Laporan ini menganalisis 16 studi yang

mencakup 590 tindakan LHM dan endoskopi dilatasi pneumatik. Studi ini

menyimpulkan bahwa LHM lebih superior dalam efikasi terapi akhalasia esofagus

baik dalam jangka pendek maupun jangka lama. LHM dapat dijadikan pilihan

terapi pertama pada terapi akalasia esofagus.28

American College of Gastroenterology (ACG) tahun 2013 mengeluarkan

guedlines menajemen pasien dengan akhalasia esofagus. Pada guedlines tersebut

Myotomi merupakan pilihan terapi pada pasien dengan rendah resiko operasi. Jika

terapi myotomi gagal, dapat dilakukana pengulangan myotomi atau dilakukan

tindakan esofagektomi.5

Gambar 3.4. Alur terapi pasien dengan akalasia5

3.5. Peroral Endoscopic Myotomi (POEM)

Peroral Endoscopic Myotomi (POEM) merupakan modalitas terapi baru

pada penatalaksanaan akalasia esofagus. POEM yang dilkukan pada mausian

pertama kali diperkenalkan oleh Inoue et al pada tahun 2010 yang melakukan

tindakan POEM pada 17 pasien yang menderita akalasia esofagus di Jepang

dengan hasil terapi yang sangat baik. Semenjak itu, tindakan ini sudah dilakukan

pada ribuan pasien di dunia sudah sukses dilkukan, walaupun ada komplikasi-

komplikasi tindakan yang harus di perhatikan.9

23

Pasien yang telah didiagnosis dengan akhalasia merupakan indikasi untuk

dilakukan tindakan POEM. Peroral Endoscopic Myotomi (POEM) tidak memiliki

kontraindikasi mutlak. Peroral Endoscopic Myotomi (POEM) bisa dilakukan pada

ketiga tipe akhalasia esofagus. Prinsip penatalaksaan dengan Peroral Endoscopic

Myotomi (POEM) adalah memotong otot sirkuler spingter esofagus bawah.

Peroral Endoscopic Myotomi (POEM) merupakan tindakan berbasis endoskopi

yang bersifat minimal invasif.29

Persiapan tindakan Peroral Endoscopic Myotomi (POEM) harus dilakukan

secara baik. Persiapan pasien yang akan dilakukan tindakan dan alat-alat yang

akan digunakan. Pasien harus dipuasakan satu hari sebelum tindakan, dan

dipastikan tidak ada residu makanan dan cairan pada daerah yang akan dilakukan

tindakan. Pasien dapat diberikan antibiotik profilak dengan cefalosporin generasi

ketiga intravena. Tindakan ini dilakukan dalam keadaan anestesi umum.29,30

Teknik tindakan Peroral Endoscopic Myotomi (POEM) dapat dilukukan

melalui beberapa langkah. Langkah-langkah tersebut dapat dilihat pada gambar

berikut.

Gambar. 3.5. Skema tindakan Peroral Endoscopic Myotomi30

Tindakan Peroral Endoscopic Myotomi (POEM) dapat terjadi beberapa

komplikasi yang mungkin terjadi. Komplikasi tersebut dapat berupa

pneumoperitonium, injuri mukosa, perdarahan, dan terjadinya Gastroesophageal

reflux (GER). Pneumoperitonium dapat terjadi pada saat prosedur tindakan

dilakukan dan ini diterapi dengan parasintesis abdomen untuk mengurangi

tekanan akibat udara yang terperangkap di daerah peritonium.31,32

24

Gastroesophageal reflux (GER) merupakan komplikasi terbanyak yang

terjadi pasca tindakan Peroral Endoscopic Myotomi (POEM). Kejadian GER

pasca tindakan Peroral Endoscopic Myotomi (POEM) sekitar 46% dan lebih besar

jika dibandingkan dengan kejadian GER pasca tindakan Laparascopic Heller

Myotomy (LHM) dengan fundoplikasi sekitar 25-40%. Untuk mengurangi

kejadian GER pasca Peroral Endoscopic Myotomi (POEM), teknik yang

dilakukan adalah dengan menyisakan sepanjang 2 cm otot ke arah esophago-

gastro junction (EGJ). Gejala GER yang ditimbulkan dapat juga diterapi dengan

pemberian pump proton inhibitor (PPI).33

Gambar. 3.6. Gambaran endoskpi tindakan Peroral Endoscopic Myotomi30

Youn et al (2016) membandingkan karakteristik modalitas terapi akalasia

antara Peroral Endoscopic Myotomi (POEM), Laparascopic Heller Myotomy

(LHM), dan Pneumatic Dilatasion (PD). Studi ini menyatakan bahwa ada

beberapa keunggulan Peroral Endoscopic Myotomi (POEM) dibandingkan

dengan yang lainnya, seperti respon klinis yang baik dan pemotongan otot sirkuler

yang selektif. Adapun kekurangan Peroral Endoscopic Myotomi (POEM) seperti

insiden kejadian GERD pasca tindakan yang cukup tinggi.34

Tabel 3.2. Perbandingan karakteristik POEM dengan LHM dan PD 34

25

Laporan dari semua studi tentang efikasi dari Peroral Endoscopic

Myotomi (POEM) menyatakan bahwa teknik Peroral Endoscopic Myotomi

(POEM) ini memiliki efikasi yang tinggi untuk mengobati akalasia esofagus. Hal

ini terlihat pada penurunan yang signifikan dari Eckardt score setelah tindakan

Peroral Endoscopic Myotomi (POEM) ini dibandingkan dengan sebelum

tindakan. Walaupun demikian, berapa komplikasi seperti pneumoperitonium,

perdarahan, dan kejadian GERD pasca tindakan tetap dilaporkan.33

Inoue et al (2010) melaporkan pertama kali tindakan POEM pada 17

pasien yang menderita akalasia esofagus di Jepang. Laporan ini menyatakan

teknik ini sukses melakukan tindakan pada semua pasien dengan hasil yang baik.

Hasil folow-up setelah 5 bulan tindakan menunjukan rata-rata penurunan yang

siknifikan skor gejala dispagia. Efek samping yang dilaporkan terjadi 1 orang

yang mengalami pneumoperitonium, dan satu dengan esofagitis refluk grade B

yang respon dengan pemberian PPI.9

Renteln et al (2012) mempublikasikan hasil tindakan Peroral Endoscopic

Myotomi (POEM) pada 16 pasien yang menderita akalasia esofagus. Laporan ini

menyatakan 94% pasien diterapi dengan sukses dan ini terbukti dengan penurunan

Eckardt score kecil dari 3 dalam 3 bulan follow-up. Gejala GERD tidak

dilaporkan, tetapi didapatkan satu esofagitis grade A 3 bulan pasca tindakan

Peroral Endoscopic Myotomi (POEM).35

Minami et al (2013) melaporkan hasil tindakan Peroral Endoscopic

Myotomi (POEM) pada 28 pasien yang menderita akalasia esofagus. Studi

menyatakan 100% sukses menurunkan Eckardt score kecil dari 3 dalam 6 bulan

follow-up. Studi ini juga melaporkan menurunkan rata-rata tekanan spingter 26

bawah esofagus dari 71,2 mmHg menjadi 21,0 mmHg. Studi ini juga melaporkan

2 kejadian perdarahan pasca tindakan, satu perforasi di daerah GEJ yang dierapi

dengan klip endoskopi.36

Aslan et al (2015) mempublikasikan hasil tindakan Peroral Endoscopic

Myotomi (POEM) pada 8 pasien yang menderita akalasia esofagus di Turki.

Laporan ini menyatakan 100% pasien diterapi dengan sukses dan ini terbukti

dengan penurunan Eckardt score kecil dari 3. Efek samping yang dilaporkan

terjadi 2 orang yang mengalami pneumoperitonium yang diterapi dengan jarum

Verres.37

Barbieri et al ( 2015) melakukan studi meta analisis tentang efikasi dan

keamanan tindakan Peroral Endoscopic Myotomi (POEM) sebagai modalitas

terapi pada akalasia esofagus. Laporan ini menemukan 16 studi yang mencakup

551 pasien yang telah mendapatkan tindakan Peroral Endoscopic Myotomi

(POEM). Studi ini melaporkan Peroral Endoscopic Myotomi (POEM) sebanyak

97% sukses memperbaiki klinis akalasia esofagus dan kejadian efek samping

mayor pada 14% kasus. Studi menyimpulkan bahwa Peroral Endoscopic Myotomi

(POEM) merupakan modalitas terapi berbasis endoskopi yang mempunyai efikasi

yang baik, walaupun masih dikaitkan dengan beberapa kejadian efek samping

yang serius. Peroral Endoscopic Myotomi (POEM) ini sebaiknya hanya dilakukan

pada rumah sakit yang mampu mentatalaksana komplikasi Peroral Endoscopic

Myotomi (POEM) seperti pneumothorak dan pneumo peritonium.10

BAB 4

PENUTUP

4.1. Kesimpulan

27

1. Akalasia esofagus adalah gangguan motilitas esofagus yang penyebabnya

tidak diketahui yang ditandai dengan aperistalsis esofagus dan gangguan

relaksasi sfingter esofagus bagian bawah.

2. Diagnosis akalasia esofagus ditegakkan berdasarkan anamnesis,

pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Gejala klinis yang sering

ditemukan pada akalasia esofagus adalah disfagia, regurgitasi, heartbun,

dan nyeri dada. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah barium

esofagogram, endoskopi, dan manometri sebagai gold standar untuk

diagnosis akalasia esofagus.

3. Farmakoterapi yang dapat diberikan adalah farmakoterapi oral berupa

nitrat dan calcium chanel bloker dan farmakoterapi via endoskopi berupa

injeksi botulinum toxin yang diberikan pada pasien dengan resiko tinggi

tindakan bedah.

4. Pneumatic dilation (PD) dan tindakan bedah Laparascopic Heller

Myotomi LHM) merupakan modalitas terapi yang mempunyai efikasi yang

baik pada talaksanaa pasien dengan akalasia esofagus.

5. Peroral Endoscopic Myotomi (POEM) merupakan modalitas terapi baru

yang bersifat minimal invasif berbasis endoskopi mempunyai efikasi yang

baik dalam tatalaksana akalasia esofagus.

4.2. Saran

1. Perlunya pemahaman yang lebih lanjut tentang talaksanaan akalasia

esofagus.

2. Perlunya penambahan sarana dan prasarana yang mendukung untuk dapat

mentalaksana pasien dengan akalasia esofgus dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

1. Patel DA, Kim HP, Zifodya JS, Vaezi MF. Idiopathic (primary) achalasia: a

review. Orphanet Journal of Rare Diseases. 2015. Vol.10: p89-110

28

2. Richter JE. Achalasia - An Update. Journal of Neurogastroenterology Motil.

2010. Vol. 16 p.102-122

3. Pohl D, Tutuian R. Achalasia: an Overview of Diagnosis and Treatment.

Journal of Gastrointestinal Liver Disease. 2007. Vol.16. No 3, 297-303

4. Bakri F. Akalasia. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi keenam.

Editor Sudoyo AW, Setiohadi, Alwi I, Simadibrata, Setiati S. Penerbit Interna

Publising. 2014: 1743-1748

5. Vaezi M, Pandolfino J, Vela M. ACG Clinical Guideline: Diagnosis and

Management of Achalasia. The American Journal of Gastroenterology. 2013.

p.1-12

6. Pandolfino JE, Kahrilaz PJ. Presentation, Diagnosis, and Management of

Achalasia. Journal of Gastroenterology and Hepatology. 2013. Vol.11. p887-

897

7. Ramirez M, Patti MG. Changes in the Diagnosis and Treatment of Achalasia. J

Clinical and Translational Gastroenterology. 2015. Vol.6. e87

8. Fox M, Kahrilaz PJ, Pandolfina JE, Werner, Smouth AJ, Schwiezer D, et al.

Chicago Classification Criteria of Esophageal Motility Disorders Defined in

High Resolution Esophageal Pressure Topography (EPT). J Neurogastroenterol

Motil. 2012. Vol. 24 : p57–65

9. Inoue H, Minami H, Kobayashi Y, Sato Y, Kaga M, Suzuki M, et al. Peroral

endoscopic myotomy (POEM) for esophageal achalasia. Journal of Endoscopy.

2010. Vol. 42. p265–271

10. Barbieri LA, Hassan C, Rosati R, Romario UF, Correale L, Repici A.

Systematic review and meta-analysis: Efficacy and safety of POEM for

achalasia. United European Gastroenterology Journal. 2015. Vol. 3(4). p325–

334

11. Matsuo K, Palmer JB. Anatomy and Physiology of Feeding and Swallowing :

Normal and Abnormal. Physiology Medicine Rehabilitation Clinical. 2008.

Vol.19(4): p691–707

12. Goyal RK, Chaudhuri A. Physiology of Normal Esophageal Motility. Journal

Clinical Gastroenterology. 2008. Vol.42(5): p610–619

29

13. Sanchis ML, Callol PS, Gallego AM, Perez IB, Campos LP, Barcelo LF, et

al. Management of primary achalasia: The role of endoscopy . World Journal

of Gastrointest Endosc. 2015. Vol.7(6): p593-605

14. Muller M. Impact of high-resolution manometry on achalasia diagnosis and

treatment. Annals of Gastroenterology. 2015. Vol.28, p3-9

15. Nassri A, Ramzan Z. Pharmacotherapy for the management of achalasia:

Current status, challenges and future directions. World J Gastrointest

Pharmacol Ther. 2015. Vol. 4. p145-155

16. Stefanidis D, Richarson W, Farrell TM, Kohn GP, Augenstin V, Fanelli RD,

et al. Guidelines for the Surgical Treatment of Esophageal Achalasia. Society

of American Gastrointestinal and Endoscopic Surgeons.2014

17. Shim CS. Endoscopic botulinum toxin injection: Benefit and limitation.

Journal of Gastrointestinal Intervention. 2014. Vol.3(1), p19–23

18. Kumar AR, Sussman FH, Katz PO. Botulinum toxin and pneumatic dilation

in the treatment of achalasia. Journal of Techniques in Gastrointestinal

Endoscopy. 2014. Vol.16. p10–19

19. Yamaguci D, Tsuruoka N, Sakata Y, Shimoda R, Fujimoto K, Iwakiri R.

Safety and efficacy of botulinum toxin injection therapy for esophageal

achalasia in Japan. Journal of Clinical Biochemical Nutrition. 2015. Vol.57.

No.3

20. Sinagra E, Raimondo D, Montalbano LM, Linea C, Giunta M, Amvrosiadis,

et al. Efficacy of pneumatic dilatation for the treatment of idiopatic achalasia:

a single-center experience. Journal of Abdomen. 2015. Vol.2: e512

21. Cheng P, Shi H, Zhang Y, Zhou H, Dong J, Cai Y. Clinical Effect of

Endoscopic Pneumatic Dilation for Achalasia. Medicine Journal. 2015. Vol.94.

No.28

22. Elliott TR, Wu PI, Fuentealba S, Szczesniak M, Carle DJ, Cook IJ. Long-

term outcome following pneumatic dilatation as initialtherapy for idiopathic

achalasia: an 18-year single-centre experience. Aliment Pharmacology

Therapy. 2013. Vol. 37. p1210–1219

30

23. Leyden JE, Moss AC, Mathuna P. Endoscopic pneumatic dilation versus

botulinum toxin injection in the management of primary achalasia.Cochrane

Library. 2014, Issue 12

24. Allaix ME, Patti MG. Heller Myotomy for Achalasia. From the Opento the

Laparoscopic Approach. World Journal of Surgery. 2014. Vol.14

25. Kiudelis M. Mickevicius A, Maleckas A, Endzimas Z, Kiudelis G, Jonaitis L,

et al. Laparoscopic myotomy or pneumatic dilatation for achalasia treatment.

Central European Journal of Medicine. 2011. Vol.6. p640-644

26. Boeckxstaens GE, Annese V, Varannes SB, Chaussade S, Costantini M,

Cuttitta A, et al. Pneumatic Dilation versus Laparoscopic Heller’s Myotomy

for Idiopathic Achalasia. N Engl J Med. 2011. Vol.364.p1807-1816

27. Abdi S, Mojgan, Forotan, Nikzamir A, Zomorody S, Sherefat SJ. The early

efficacy of Heller myotomy in the treatment of Iranian. Gastroenterol Hepatol

Bed Bench. 2016. Vol.9(1). p30-35

28. Schoenberg MB, Marx S, Kersten JF, Rosch T, Belle S, Kahler G, et al.

Laparoscopic Heller Myotomy Versus Endoscopic Balloon Dilatation for the

Treatment of Achalasia :A Network Meta-Analysis. Annals of Surgery. 2013.

Vol. 258. p943–952

29. Kumta NA, Mehta S, Kedia P, Weaver K, Sharaiha RZ, Fukami N, et al.

Peroral Endoscopic Myotomy: Establishing a New Program. Clinical

Endoscopy Journal. 2014. Vol.47. p389-397

30. Fridel D, Modayil R, Iqbal S, Grendell JH, Stavropoulos SN. Per-oral

endoscopic myotomy for achalasia: An American perspective. World Journal

Gastrointestinal Endoscopy. 2013. Vol.5(9). p420-427

31. Bredenoord AJ, Osch TR, Fockens P. Peroral endoscopic myotomy for

achalasia. Neurogastroenterology Motil Journal. 2014. Vol.26. p3–12

32. Phalanusitthepha C, Inoue H, Ikeda H, Sato H, Sato C, Hokierti C. Peroral

endoscopic myotomy for esophageal achalasia. Annals of Translational

Medicine. 2014. Vol.2(3):p31

33. Yang D, Wagh MS. Peroral Endoscopic Myotomy for the Treatment of

Achalasia: An Analysis. Hindawi Publishing Corporation. Diagnostic

andTherapeutic Endoscopy. 2013, Article ID 389596, 8 pages

31

34. Youn YH, Minami H, Chiu PW, Park H. Peroral Endoscopic Myotomy for

Treating Achalasia and Esophageal Motility Disorders. Journal of

Neurogastroenterology Motil. 2016. Vol. 22 No.1

35. Renteln D, Inoue H, Minami H, Isomoto H, Yamaguchi N, Miuma S, et al.

Peroral endoscopic myotomy for the treatment of achalasia: A prospective

single center study. Journal of Gastroenterology. 2012. Vol.107: p411–417

36. Minami H, Isomoto H, Yamaguchi N, Miuma S, Kobayashi Y, Yamaguchi T

et al. Peroral endoscopic myotomy for esophageal achalasia: Clinical impact of

28 cases. Journal of Endoscopy. 2014. Vol. 26: p43–51

37. Aslan F, Akpınar Z, Alper E, Atay A, Yurtlu AA, Çekiç C, et al. The last

innovation in achalasia treatment; per-oral endoscopic myotomy. Turkey

Journal Gastroenterology. 2015. Vol.26: p218-223

32