Upload
ratusucia
View
84
Download
10
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Referat Guillain-barre Syndrome
Citation preview
REFERAT
PATOFISIOLOGI DAN PENGELOLAAN
SINDROM GUILLAIN BARRE
PENYUSUN :
Muhammad Fachri Ridha Herlan
030.10.190
PEMBIMBING :
dr. Dyah Nuraini Widhiana, Sp. S
KEPANITERAAN KLINIK ILMU SARAF
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA SEMARANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
BAB I
PENDAHULUAN
Sindrom Guillain-Barre (SGB) sering disebut acute inflamating demyelinating
polyneuropathy atau acute ascending paralysis merupakan kelainan pada saraf yang bersifat
auoimun. Pada Sindrom ini sering dijumpai adanya kelemahan yang cepat atau bisa terjadi
paralysis dari tungkai atas, tungkai bawah, otot-otot pernafasan dan wajah. Sindrom ini
dapat terjadi pada segala umur dan tidak bersifat herediter dan dikenal sebagai Landry’s
Paralisis ascending. Pertama dideskripsikan oleh Landry, 1859 menyebutnya sebagai suatu
penyakit akut, ascending dan paralysis motorik dengan gagal napas.1,2
Penyakit ini terdapat di seluruh dunia pada setiap musim, menyerang semua umur.
Insidensi SGB bervariasi antara 0,6 sampai 1,9 kasus per 100.000 orang pertahun. SGB sering
sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus SGB yang berkaitan
dengan infeksi ini sekitar antara 56 % - 80 %, yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum gejala
neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas infeksi gastrointestinal. Kelainan ini
juga dapat menyebabkan kematian pada 3 % pasien, yang disebabkan oleh gagal napas dan
aritmia. Gejala yang terjadinya biasanya hilang 3 minggu setelah gejala pertama kali timbul.
Sekitar 30 % penderita memiliki gejala sisa kelemahan setelah 3 tahun. Tiga persen pasien
dengan SGB dapat mengalami relaps yang lebih ringan beberapa tahun setelah onset
pertama. Bila terjadi kekambuhan atau tidak ada perbaikan pada akhir minggu keempat
maka termasuk Chronic Inflammantory Demyelinating Polyradiculoneuropathy (CIDP).
Sampai saat ini belum ada terapi spesifik untuk SGB. Pengobatan secara simtomatis dan
perawatan yang baik dapat memperbaiki prognosisnya.1,3,4
Belum diketahui angka kejadian penyakit ini di Indonesia. Insidens Sindrom ini
termasuk jarang kira-kira 1 orang dalam 100.000. SGB jarang terjadi pada anak-anak,
khususnya selama 2 tahun pertama kehidupan dan setelah umur tersebut frekuensinya
cenderung meningkat. Frekuensi puncak pada usia dewasa muda.3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.DEFINISI
Sindrom Guillain Barre (SGB) adalah suatu kelainan sistem kekebalan tubuh
manusia yang menyerang bagian dari susunan saraf tepi dengan manifestasi klinis
berupa kelemahan saraf motorik yang sifatnya akut, progresif disertai arefleksia.
Kelainan ini terkadang juga menyerang saraf sensoris, otonom, nervi cranialis
maupun susunan saraf pusat.1,2,3,5,7,8
2.2.EPIDEMIOLOGI
SGB merupakan penyebab paralisa akut yang tersering di negara barat.4
Insiden SGB yang dilaporkan di negara-negara Barat berkisar 0,89 -1,89 kasus per
100.000 orang pertahun, meskipun peningkatan 20 % terlihat dengan setiap
kenaikan usia 10 tahun setelah dekade pertama.9,10 Rasio pria terhadap wanita
dengan sindrom ini adalah 1,78 (interval kepercayaan 95 %, 1,36 - 2,33). Dua pertiga
dari kasus didahului oleh gejala infeksi saluran pernapasan atas diare akut.11 Dalam
meta-analisis, agen infeksi yang paling sering diidentifikasi adalah Campylobacter
jejuni sekitar 30 %, sedangkan cytomegalovirus telah diidentifikasi dalam hingga 10
%. Insiden SGB diperkirakan 0,25 - 0,65 per 1.000 kasus infeksi Campylobacter jejuni,
dan 0,6 - 2,2 per 1000 kasus sitomegalovirus primer infection.12 Agen lain yang
dihubungan dengan SGB adalah Epstein-Barr, virus Varicella-Zoster, dan
Mycoplasma pneumoniae.9
SGB bukan merupakan penyakit musiman dimana resiko terjadinya adalah
sama di seluruh dunia dengan semua iklim, kecuali di Cina, dimana predileksi SGB
berhubungan dengan Campylobacter jejuni, cenderung terjadi pada musim panas.
SGB dapat terjadi pada semua orang tanpa membedakan usia maupun ras. Insiden
kejadian di seluruh dunia berkisar antara 0,6 - 1,9 per 100.000 penduduk. Insiden ini
meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Angka kematian berkisar antara 5 -
10 %. Penyebab kematian tersering adalah gagal jantung dan gagal napas.
Kesembuhan total terjadi pada 5% penderita SGB. Antara 5 - 10 % sembuh dengan
cacat yang permanen.7
Data di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi belum banyak.
Penelitian Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah
dekade I, II, III (dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita
hampir sama. Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa perbandingan
laki-laki dan wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun. Insiden tertinggi pada
bulan April s/d Mei dimana terjadi pergantian musim hujan dan kemarau.9
2.3.KLASIFIKASI
Berikut terdapat beberapa klasifikasi dari SGB, yaitu: 2,4
a. Acute Motor-Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN)
Sering muncul cepat dan mengalami paralisis yang berat dengan perbaikan
yang lambat dan buruk. Seperti tipe AMAN yang berhubungan dengan infeksi
saluran cerna C. jejuni. Patologi yang ditemukan adalah degenerasi akson dari
serabut saraf sensorik dan motorik yang berat dengan sedikit demyelinisasi.
b. Acute Motor-Axonal Neuropathy (AMAN)
Berhubungan dengan infeksi saluran cerna C. jejuni dan titer antibodi
gangliosid meningkat (seperti, GM1, GD1a, GD1b). Penderita tipe ini memiliki
gejala klinis motorik dan secara klinis khas untuk tipe demyelinisasi dengan
asending dan paralysis simetris. AMAN dibedakan dengan hasil studi
elektrodiagnostik dimana didapatkan adanya aksonopati motorik. Pada biopsi
menunjukkan degenerasi ‘wallerian like’ tanpa inflamasi limfositik. Perbaikannya
cepat, disabilitas yang dialami penderita selama lebih kurang 1 tahun.
c. Miller Fisher Syndrome
Variasi dari SGB yang umum dan merupakan 5 % dari semua kasus SGB.
Sindroma ini terdiri dari ataksia, optalmoplegia dan arefleksia. Ataksia terlihat
pada gaya jalan dan pada batang tubuh dan jarang yang meliputi ekstremitas.
Motorik biasanya tidak terkena. Perbaikan sempurna terjadi dalam hitungan
minggu atau bulan.
d. Chronic Inflammatory Demyelinative Polyneuropathy (CIDP)
CIDP memiliki gambaran klinik seperti AIDP, tetapi perkembangan gejala
neurologinya bersifat kronik. Pada sebagian anak, kelainan motorik lebih
dominan dan kelemahan otot lebih berat pada bagian distal.
e. Acute pandysautonomia
Tanpa sensorik dan motorik merupakan tipe SGB yang jarang terjadi.
Disfungsi dari sistem simpatis dan parasimpatis yang berat mengakibatkan
terjadinya hipotensi postural, retensi saluran kemih dan saluran cerna,
anhidrosis, penurunan salivasi dan lakrimasi, dan abnormalitas dari pupil.
2.4.ETIOLOGI
Kelemahan dan paralisis yang terjadi pada SGB disebabkan karena rusaknya
myelin, yang membungkus saraf, disebut demyelinisasi. Demyelinisasi menyebabkan
penghantaran impuls oleh saraf tersebut menjadi lambat atau berhenti sama sekali.
SGB menyebabkan inflamasi dan destruksi dari myelin dan menyerang beberapa
saraf. Oleh karena itu SGB disebut juga Acute Inflammatory Demyelinating
Polyradiculoneuropathy (AIDP).1
Penyebab terjadinya inflamasi pada SGB sampai saat ini belum diketahui.
Ada yang menyebutkan kerusakan tersebut disebabkan oleh penyakit autoimun.2,3
Pada sebagian besar kasus, SGB didahului oleh infeksi yang disebabkan oleh virus,
yaitu Epstein-Barr virus, coxsackievirus, influenzavirus, echovirus, cytomegalovirus,
hepatitisvirus, dan HIV.1,5 Selain virus, penyakit ini juga didahului oleh infeksi bakteri
seperti Campylobacter jejuni pada enteritis, Mycoplasma pneumoniae, Spirochaeta,
Salmonella, Legionella, dan Mycobacterium tuberculosa.1,5 Vaksinasi seperti BCG,
tetanus, varicella, dan hepatitis B; penyakit sistemik seperti kanker, lymphoma,
penyakit kolagen dan sarcoidosis; kehamilan terutama pada trimester ketiga;
pembedahan dan anestesi epidural.8,12 Infeksi virus ini biasanya terjadi 2 - 4 minggu
sebelum timbul SGB.10
2.5.PATOGENESIS
Antigen baik yang berasal dari bakteri maupun virus, memasuki sel Schwann
dari saraf kemudian mereplikasi diri.5 Antigen tersebut mengaktivasi sel limfosit T.
Sel limfosit T ini mengaktivasi proses pematangan limfosit B dan memproduksi
autoantibodi spesifik.4 Ada beberapa teori mengenai pembentukan autoantibodi,
yang pertama adalah virus dan bakteri mengubah susunan sel - sel saraf sehingga
Damaged (demyelinated) nerve
Nerve
Damage to
myelin
Myelin sheath
Myelinated nerve
sistem imun tubuh mengenalinya sebagai benda asing. Teori yang kedua
mengatakan bahwa infeksi tersebut menyebabkan kemampuan sistem imun untuk
mengenali dirinya sendiri berkurang. Autoantibodi ini yang kemudian menyebabkan
destruksi myelin bahkan terkadang juga dapat terjadi destruksi pada axon.6 Teori lain
mengatakan bahwa respon imun yang menyerang myelin disebabkan oleh karena
antigen yang ada memiliki sifat yang sama dengan myelin. Hal ini menyebabkan
terjadinya respon imun terhadap myelin yang di invasi oleh antigen tersebut. 5
Destruksi pada myelin tersebut menyebabkan sel - sel saraf tidak dapat
mengirimkan signal secara efisien, sehingga otot kehilangan kemampuannya untuk
merespon perintah dari otak dan otak menerima lebih sedikit impuls sensoris dari
seluruh bagian tubuh. Temuan patologis klasik dalam polineuropati inflamasi
demyelinisasi akut adalah infiltrasi sel - sel inflamasi (terutama sel - sel T dan
makrofag) dan daerah demyelinisasi segmental, yang sering dikaitkan dengan tanda-
tanda degenerasi aksonal sekunder, yang dapat dideteksi pada radiks tulang
belakang, serta saraf motorik dan sensorik. Ada bukti aktivasi komplemen awal, yang
didasarkan pada ikatan antibodi pada permukaan luar sel Schwann dan deposisi
komponen teraktivasi; aktivasi komplemen tersebut tampaknya memulai vesikulasi
myelin. Invasi makrofag terjadi dalam waktu 1 minggu setelah melengkapi kerusakan
myelin terjadi. Pada neuropati motorik akson akut, IgG diaktifkan melengkapi
mengikat ke axolemma nodus ranvier neuron motorik, diikuti dengan pembentukan
kompleks membran-attack.10,11
Gambar Patogenesis dan fase klinikal dari GBS
2.6.PATOLOGI
Pada pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas gambaran pembengkakan
saraf tepi. Dengan mikroskop sinar tampak perubahan pada saraf tepi. Perubahan
pertama berupa edema yang terjadi pada hari ketiga atau keempat, kemudian
timbul pembengkakan dan iregularitas selubung myelin pada hari kelima, terlihat
beberapa limfosit pada hari kesembilan dan makrofag pada hari kesebelas, poliferasi
sel schwan pada hari ketigabelas. Perubahan pada myelin, akson, dan selubung
schwan berjalan secara progresif, sehingga pada hari ke-enam puluh enam, sebagian
radiks dan saraf tepi telah hancur. Kerusakan myelin disebabkan makrofag yang
menembus membran basalis dan melepaskan selubung myelin dari sel schwan dan
akson.2, 6
2.7.MANIFESTASI KLINIS
SGB umumnya dimulai dengan rasa baal, parestesia pada bagian distal dan
diikuti secara cepat oleh paralisa keempat ekstremitas yang bersifat
ascendens.1,3,11 Parestesia ini biasanya bersifat bilateral.1,2 Refleks fisiologis
akan menurun dan kemudian menghilang sama sekali.2,10 Secara klinis SGB
biasanya digambarkan dalam 3 fase, yaitu fase progresif, fase plateau dan fase
pemulihan. Pada fase progresif kerusakan saraf motorik biasanya dimulai dari
ekstremitas bawah dan menyebar secara progresif, dalam hitungan jam, hari
maupun minggu, ke ekstremitas atas, tubuh dan saraf pusat.7,8 Kerusakan saraf
motoris ini bervariasi mulai dari kelemahan sampai pada yang menimbulkan
quadriplegia flacid. Keterlibatan saraf kranial, muncul pada 50% kasus,
biasanya berupa facial diplegia.8 Kelemahan otot pernapasan dapat timbul
secara signifikan dan bahkan 20% pasien memerlukan bantuan ventilator
dalam bernafas.2,8 Kerusakan saraf sensoris yang terjadi kurang signifikan
dibandingkan dengan kelemahan pada otot. Saraf yang diserang biasanya
proprioseptif dan sensasi getar.8 Gejala yang dirasakan penderita biasanya
berupa parestesia dan disestesia pada extremitas distal.11 Rasa sakit dan kram
juga dapat menyertai kelemahan otot yang terjadi, terutama pada anak anak.5
Rasa sakit ini biasanya merupakan manifestasi awal pada lebih dari 50% anak
dan dapat menyebabkan kesalahan dalam mendiagnosis.7,8,9,10
Kelainan saraf otonom sering dijumpai dan dapat berakibat fatal. Kelainan
ini dapat menimbulkan takikardi, hipotensi atau hipertensi, aritmia bahkan
cardiac arrest, facial flushing, sfingter yang tidak terkontrol, dan kelainan
dalam berkeringat.11 Hipertensi terjadi pada 10 - 30 % pasien sedangkan
aritmia terjadi pada 30 % dari pasien.10 Kerusakan pada susunan saraf pusat
dapat menimbulkan gejala berupa disfagia, kesulitan dalam berbicara, dan
yang paling sering (50%) adalah bilateral facial palsy.4 Gejala-gejala
tambahan adalah kesulitan untuk mulai buang air kecil, inkontinensia urin dan
alvi, konstipasi, kesulitan menelan dan bernapas, perasaan tidak dapat menarik
napas dalam, dan penglihatan kabur.3
2.8.PEMERIKSAAN FISIK
Pada pemeriksaan neurologis ditemukan adanya kelemahan otot yang bersifat
difus dan paralisis.3 Refleks tendon akan menurun atau bahkan menghilang. Rasa
tebal pada tangan dan kaki menyerupai pola sarung tangan dan kaus kaki juga
dijumpai pada awal penyakit. Refleks batuk yang lemah dan risiko aspirasi
mengindikasikan adanya kelemahan pada otot-otot intercostal. Tanda rangsang
meningeal seperti perasat kernig dan kaku kuduk mungkin ditemukan. Refleks
patologis seperti refleks Babinsky tidak ditemukan.9,10,12
2.9.PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan LCS
Pada pemeriksaan cairan cerebrospinal didapatkan adanya kenaikan kadar
protein (1- 1,5 g/dl) tanpa diikuti kenaikan jumlah sel. Keadaan ini oleh Guillain,
1961, disebut sebagai disosiasi sitoalbumin.1,3,5,6.8 Pemeriksaan LCS pada 48 jam
pertama penyakit tidak memberikan hasil apapun juga. Kenaikan kadar protein
biasanya terjadi pada minggu pertama atau kedua. Kebanyakan pemeriksaan
LCS pada pasien akan menunjukkan jumlah sel yang kurang dari 10/mm.3,4,7,9
Pada kultur LCS tidak ditemukan adanya virus ataupun bakteri.1,3 Peningkatan
jumlah protein dalam cairan serebrospinal bisa melebihi 45 mg/dl (normal < 40
mg/dl) yang puncaknya terjadi pada 4 sampai 5 minggu dan setelah itu
berangsur-angsur kembali normal.13,14
b. Pemeriksaan EMG
Gambaran elektromiografi pada awal penyakit masih dalam batas normal,
kelumpuhan terjadi pada minggu pertama dan puncaknya pada akhir minggu
kedua dan pada akhir minggu ketiga mulai menunjukkan adanya perbaikan.10
Pada pemeriksaan EMG minggu pertama dapat dilihat adanya keterlambatan
atau bahkan blok dalam penghantaran impuls, gelombang F yang memanjang
dan latensi distal yang memanjang.4,7,9,10 Bila pemeriksaan dilakukan pada
minggu ke 2, akan terlihat adanya penurunan potensial aksi (CMAP) dari
beberapa otot, dan menurunnya kecepatan konduksi saraf motorik.7
Pemeriksaan MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika dilakukan kira-kira
pada hari ke 13 setelah timbulnya gejala. MRI akan memperlihatkan gambaran
cauda equina yang bertambah besar. Hal ini dapat terlihat pada 95% kasus
SGB.7 Pemeriksaan serum CK biasanya normal atau meningkat sedikit. Biopsi
otot tidak diperlukan dan biasanya normal pada stadium awal. Pada stadium
lanjut terlihat adanya denervation atrophy.10,15,16,17
2.10. KRITERIA DIAGNOSIS
Diagnosa SGB terutama ditegakkan secara klinis. SBG ditandai dengan timbulnya
suatu kelumpuhan akut yang disertai hilangnya refleks-refleks tendon dan didahului
parestesi dua atau tiga minggu setelah mengalami demam disertai disosiasi
sitoalbumin pada likuor dan gangguan sensorik dan motorik perifer.
Kriteria diagnostik SGB menurut National Institute of Neurological and
Communicative Disorders and Stroke (NINCDS)5
Gejala utama
1. Kelemahan progresif pada satu atau lebih ekstremitas dengan atau tanpa
disertai ataxia
2. Arefleksia atau hiporefleksia yang bersifat general
Gejala tambahan
1. Progresivitas dalam waktu sekitar 4 minggu
2. Biasanya simetris
3. Adanya gejala sensoris yang ringan
4. Terkenanya SSP, biasanya berupa kelemahan saraf facialis bilateral
5. Disfungsi saraf otonom
6. Tidak disertai demam
7. Penyembuhan dimulai antara minggu ke 2 sampai ke 4
Pemeriksaan LCS
1. Peningkatan protein
2. Sel MN < 10 /ul
Pemeriksaan elektrodiagnostik
1. Terlihat adanya perlambatan atau blok pada konduksi impuls saraf
Gejala yang menyingkirkan diagnosis
1. Kelemahan yang sifatnya asimetri
2. Disfungsi vesica urinaria yang sifatnya persisten
3. Sel PMN atau MN di dalam LCS > 50/ul
4. Gejala sensoris yang nyata
2.11. DIAGNOSIS BANDING
a. Poliomyelitis
Pada poliomyelitis ditemukan kelumpuhan disertai demam, tidak ditemukan
gangguan sensorik, kelumpuhan yang tidak simetris, dan cairan cerebrospinal
pada fase awal tidak normal dan didapatkan peningkatan jumlah sel.4,8,11,12
b. Myositis Akut
Pada myositis akut ditemukan kelumpuhan akut biasanya paroksimal,
didapatkan kenaikan kadar creatine kinase, dan pada cairan serebrospinal
normal. 4,11
c. Myastenia gravis
Didapatkan infiltrat pada motor end plate, kelumpuhan tidak bersifat
ascending, ophtalmoplegia. 4,8,12
d. CIPD (Chronic Inflammatory Demyelinating Polyradical Neuropathy)
Didapatkan progresifitas penyakit lebih lama dan lambat. Juga ditemukan
adanya kekambuhan kelumpuhan atau pada akhir minggu keempat tidak ada
perbaikan.
2.12. PENGELOLAAN
Sampai saat ini belum ada pengobatan spesifik untuk SGB, pengobatan terutama
secara simptomatis. Tujuan utama penatalaksanaan adalah mengurangi gejala,
mengobati komplikasi, mempercepat penyembuhan dan memperbaiki prognosisnya.
Penderita pada stadium awal perlu dirawat di rumah sakit untuk terus dilakukan
observasi tanda-tanda vital. Penderita dengan gejala berat harus segera di rawat di
rumah sakit untuk memdapatkan bantuan pernafasan, pengobatan dan fisioterapi.
Adapun penatalaksanaan yang dapat dilakukan adalah :
a. Sistem Otonom
Pasien pada stadium awal perlu dirawat di rumah sakit untuk terus
dilakukan observasi tanda tanda vital.1 Ventilator harus disiapkan
disamping pasien sebab paralisa yang terjadi dapat mengenai otot-otot
pernapasan dalam waktu 24 jam. Ketidakstabilan tekanan darah juga
mungkin terjadi. Obat obat anti hipertensi dan vasoaktif juga harus
disiapkan.1,4 Pasien dengan progresivitas yang lambat dapat hanya
diobservasi tanpa diberikan medikamentosa. Pasien dengan progresivitas
cepat dapat diberikan obat-obatan berupa steroid.1 Namun ada pihak yang
mengatakan bahwa pemberian steroid ini tidak memberikan hasil apapun
juga. Steroid tidak dapat memperpendek lamanya penyakit, mengurangi
paralisa yang terjadi maupun mempercepat penyembuhan.4,12
Idealnya, semua pasien harus harus dirawat di unit perawatan kritis, di
mana sumber daya yang memadai tersedia untuk memungkinkan
pemantauan jantung dan pernapasan terus menerus. Bahkan tanpa adanya
klinis distress pernapasan, ventilasi mekanis mungkin diperlukan pada
pasien dengan setidaknya satu kriteria utama atau dua kriteria minor.
Kriteria utama adalah hiperkarbia (tekanan parsial karbon dioksida arteri,
> 6,4 kPa [48 mm Hg]), hipoksemia (tekanan parsial oksigen arteri
sementara pasien menghirup udara ambien, <7,5 kPa [56 mm Hg]), dan
kapasitas vital kurang dari 15 ml per kilogram berat badan, dan kriteria
minor batuk tidak efisien, gangguan menelan, dan atelektasis. Penilaian
awal kemampuan menelan pasien pada risiko aspirasi, mengharuskan
pemasangan nasogastric tube. Disfungsi otonom serius dan berpotensi
fatal, seperti aritmia dan hipertensi ekstrim atau hipotensi, terjadi pada
20% pasien SGB, bradikardia berat mungkin didahului oleh beda tekanan
nadi yang lebar (melebihi 85 mm Hg).
b. Fisioterapi
Fisioterapi dada secara teratur untuk mencegah retensi sputum dan kolaps
paru. Gerakan pasif pada kaki yang lumpuh mencegah kekakuan sendi. Segera
setelah penyembuhan mulai, maka fisioterapi aktif dimulai untuk melatih dan
meningkatkan kekuatan otot.14
c. Plasma exchange therapy (PE)
Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor
autoantibodi yang beredar. Pemakaian plasmaparesis pada SGB memperlihatkan
hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu
nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Waktu yang
paling efektif untuk melakukan PE adalah dalam 2 minggu setelah munculnya
gejala. Jumlah plasma yang dikeluarkan per exchange adalah 40 - 50 ml/kg
dalam waktu 7 - 10 hari dilakukan empat sampai lima kali exchange.13
d. Imunoglobulin IV
Intravenous inffusion of human Immunoglobulin (IVIg) dapat menetralisasi
autoantibodi patologis yang ada atau menekan produksi auto antibodi tersebut.
IVIg juga dapat mempercepat katabolisme IgG, yang kemudian menetralisir
antigen dari virus atau bakteri sehingga T cells patologis tidak terbentuk.
Pemberian IVIg ini dilakukan dalam 2 minggu setelah gejala muncul dengan
dosis 0,4g/kgBB/hari selama 5 hari. Pemberian PE dikombinasikan dengan IVIg
tidak memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan hanya
memberikan PE atau IVIg.1,3, 4,7,12
e. Pengelolaan Tambahan : Gejala Nyeri pada fase akut dan kronis
Nyeri adalah gejala yang umum dan parah pada pasien dengan SGB. Adanya
nyeri penting, terutama pada pasien yang tidak mampu berkomunikasi karena
intubasi. Nyeri biasa gejala yang muncul sebelum onset kelemahan mungkin
membingungkan dan menunda dalam mendiagnosis SGB. Nyeri dijumpai hingga
89 % dari pasien dengan SGB. Perbedaan gejala rasa sakit yang terkait dengan
SGB dapat dibedakan selama fase penyakit: parestesia atau dysaesthesia, nyeri
punggung atau radikular, meningisme, nyeri otot, nyeri sendi, dan pain visceral.
Nyeri pada SGB bisa sangat parah, dan pengobatan sering tidak berhasil.
Kortikosteroid, opioid, gabapentin, dan carbamazepine disarankan untuk
menjadi efektif, meskipun laporannya terbatas. Kemungkinan asal nyeri adalah
multifaktorial. Nyeri pada fase akut SGB mungkin dari nosiseptif karena
inflamasi. Saraf berdiameter kecil di kulit, bertanggung jawab atas nosisepsi,
yang terkena dampak pada SGB. Pengurangan jumlah saraf intraepidermal
ditemukan pada biopsi kulit dari pasien dengan SGB. Kemudian pada perjalanan
penyakit, nyeri neuropatik non-nosiseptif mungkin timbul dari degenerasi dan
bahkan mungkin regenerasi saraf sensorik. Biopsi kulit mungkin bisa membantu
menjelaskan mekanisme timbulnya nyeri pada neuropati di SGB.15,16,17
2.13. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi adalah gagal napas, aspirasi makanan atau
cairan ke dalam paru, pneumonia, meningkatkan resiko terjadinya infeksi, trombosis
vena dalam, paralisa permanen pada bagian tubuh tertentu, dan kontraktur pada
sendi.3 Pada negara-negara maju, 5 % dari pasien dengan sindrom Guillain-Barre
meninggal akibat komplikasi medis seperti sepsis, emboli paru, atau henti jantung
yang tidak dapat dijelaskan, mungkin terkait dengan dysautonomia / disfungsi
otonom. Disfungsi otonom adalah komplikasi umum pada dua pertiga pasien SGB.
Distribusi saraf otonom yang luas mungkin menyebabkan berbagai tanda dan gejala
akibat kegagalan atau overaktivitas simpatis dan parasimpatis. Gejalanya termasuk
aritmia jantung, fluktuasi tekanan darah, respon tidak normal hemodinamik
terhadap obat, kelainan keringat, kelainan pupil, dan disfungsi kandung kemih dan
defekasi. Meskipun disfungsi otonom biasanya tidak membahayakan, namun,
komplikasi kardiovaskuler dapat terjadi mengancam jiwa. 3-10 % dari pasien SGB
dapat meninggal, dan beberapa pasien ini penyebabnya kemungkinan mati
mendadak. Oleh karena itu, pengenalan disfungsi otonom penting untuk
memprediksi pasien akan mengalami gagal otonom yang serius, oleh karena itu
perlu pemantauan terus menerus. Bradiaritmia berpotensi serius, mulai dari
bradikardia menyebabkan kecacatan. Seringnya disfungsi otonom terjadi dengan
SGB. Pada beberapa kasus, penerapan alat pacu jantung transkutan atau atropin
harus diberikan. Secara umum, terapi vasoaktif dan morfin sebaiknya digunakan
dengan hati-hati. Saraf otonom dapat dipelajari dari biopsi kulit, dan kurang
berkorelasi pada saraf intraepidermal dengan menilai densitas saraf pada biopsi kulit
pasien dengan SGB.15,18
Kelelahan setelah SGB merupakan problem penting yang dilaporkan pada 60
% dan 80 % pasien. Dalam sebuah studi pasien dengan polineuropati, termasuk SGB,
80 % dari pasien mengeluh kelelahan. Gejala kelelahan ini independen dari
keparahan kelemahan selama fase awal SGB dan mungkin menetap bertahun-tahun.
Amantadine tidak efektif untuk menghilangkan kepenatan setelah SGB. Program
pelatihan intensif, tiga kali seminggu dilaporkan dapat ditoleransi dengan baik, dan
menurunkan skor kelelahan secara signifikan. Program fisioterapi juga dinilai baik
dalam meningkatkan keluaran fungsional, dan kualitas hidup. Dari sudut pandang
yang lebih holistik, perubahan kelelahan, mobilitas dan fungsi dirasakan tampaknya
tidak dipengaruhi oleh perubahan fisik. Kombinasi faktor fisik dan psikologis
tampaknya untuk menentukan terjadinya kelelahan setelah SGB.14,18
2.14. PROGNOSIS
Prognosis SGB sulit untuk diprediksi pada pasien karena bervariasi. Usia
lanjut umumnya menunjukkan prognosis yang lebih buruk. Tingkat keparahan SGB
tampaknya ditentukan pada tahap awal penyakit. Suatu RCT yang telah menyelidiki
efek IVIg atau PE pada pasien yang tidak dapat berjalan dan menyimpulkan bahwa
sekitar 20% pasien tetap dapat berjalan tanpa bantuan setelah 6 bulan. Penilaian
neurofisiologis juga diperlukan untuk membantu untuk menilai risiko kegagalan
pernapasan, yang tertinggi pada pasien dengan penurunan kapasitas vital lebih dari
20 %. Studi blok konduksi saraf Peroneal pada usia di atas 40 tahun adalah prediktor
independen kecacatan pada 6 bulan. Sekitar 95 % pasien SGB dapat bertahan hidup
dengan 75 % diantaranya sembuh total. Kelemahan ringan atau gejala sisa seperti
dropfoot dan postural tremor masih mungkin terjadi pada sebagian pasien.3,10
Kelainan ini juga dapat menyebabkan kematian pada 5 % pasien, yang disebabkan
oleh gagal napas dan aritmia.2,3 Gejala yang terjadinya biasanya hilang 3 minggu
setelah gejala pertama kali timbul.3 3 % pasien dengan SGB dapat mengalami relaps
yang lebih ringan beberapa tahun setelah onset pertama. PE dapat mengurangi
kemungkinan terjadinya relapsing inflammatory polyneuropathy.12 75 % pasien
terjadi penyembuhan tanpa gejala sisa dalam waktu 3 bulan bila dengan keadaan
antara lain:
a. pada pemeriksaan NCV-EMG relatif normal
b. mendapat terapi plasmaparesis dalam 4 minggu mulai saat onset
c. progresifitas penyakit lambat dan pendek
d. pada penderita berusia 30-60 tahun
BAB III
KESIMPULAN
a. SGB merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis flasid simetris
yang bersifat ascenden yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses
autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, saraf otonom, hingga nervus
kranialis.
b. Hingga saat ini penyebab SGB masih belum diketahui secara pasti, namun sebagian
besar berkaitan dengan adanya proses infeksi yang terjadi sebelum gejala SGB
muncul.
c. Manifestasinya dapat berupa nyeri, kelemahan motorik, kelemahan sensorik hingga
gangguan otonom hingga dapat menyebabkan gagal nafas.
d. Pemeriksaan penunjang untuk Sindroma Guillain-Barre adalah pemeriksaan LCS,
EMG dan MRI.
e. Walaupun tersedia adanya ICU, ventilator, dan terapi imunomodulator spesifik,
sekitar 5 % dari pasien GBS dapat mengalami kematian dan 12 % tidak dapat
berjalan tanpa bantuan selama 48 minggu setelah gejala pertama muncul. 20 %
pasien akan tetap hidup dengan memiliki gejala sisa.
f. Tujuan utama penatalaksanaan adalah mengurangi gejala, mengobati komplikasi,
mempercepat penyembuhan dan memperbaiki prognosisnya. Hingga saat ini para
peneliti masih mencari alternatif terapi yang paling tepat dan pilihan terapi yang
paling efektif saat ini adalah dari Plasma Exchange (PE) dan Intravenous inffusion of
human Immunoglobulin (IVIg).
DAFTAR PUSTAKA
1. Zhong M, Cai F. Current perspectives on Guillain-Barré syndrome. World J
Pediatr 2007;3(3):187-194
2. Hughes CA. Pathogenesis and treatment of inflammatory demyelinating
polyradiculoneuropathy. Acta neurol. belg., 2000, 100, 167-170
3. Walling A, Dickson G. Guillain-Barré Syndrome. AAFP.2013.(87).3: 166-97
4. McClellan, K., Armeau, E., Parish, T. Recognizing Guillain-Barré Syndrome in
the Primary Care Setting. The Internet Journal ofAllied Health Sciences and
Practice. Jan 2007,(5):1
5. Phitadia A, Kakadia N. Guillain-Barré syndrome (SGB). Pharmacological report.
2010. 220-232
6. Yuki N, Hartung HP. Guillain–Barré Syndrome. N Engl J Med 2012;366:2294-
304.
7. Malgorzata QW, Georgios M,Sijan Wang, James S. Malter, Andrew J. Waclawik.
Plasma Exchange After Initial Intravenous Immunoglobulin Treatment in
Guillain-Barre´ Syndrome: Critical Reassessment of Effectiveness and Cost-
Efficiency. J Clin Neuromusc Dis 2010;12:55–61
8. Pieter A, Liselotte R, Bart C J. Clinical features, pathogenesis, and treatment of
Guillain-Barré syndrome. Lancet Neurol 2008; 7: 939–50. Available from URL:
www.thelancet.com/neurology Vol 7 October 2008 [ cited on June 15th 2015]
9. Japardi I. Sindroma Guillan-Barre. FK USU Bagian Bedah. Available from :
URL: http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar%20japardi46.pdf.
[diakses tanggal 15 Juni 2015].
10. Meena A. K., Khadilkar S. V. Murthy J. M. K.Treatment guidelines for
Guillain–Barré Syndrome. Ann Indian Acad Neurol. 2011; 14. S73–S81.
11. Walling A D. Adjunctive steroid therapy for guillain-barré syndrome. Am fam
physician. 2004 ;70(6):1157-1161.
12. Winer JB. Treatment of Guillain-Barre´ syndrome. Q J Med 2002; 95:717–721
13. Cortese I, Chaundry V, So YT, Cantor F, Comblath DR. Evidence-based guideline
update: Plasmapheresis in neurologic disorder. Neurology. 2011. 294-302
14. Khan F, Amatya B, Brand C, Turner-Stokes L. Multidisciplinary care for
Guillain-Barré syndrome (Review). Cochrane Library 2010
15. Richard A,Hughes C,Anthony V. Swan,Jean-Claude R,Djillali A, Rinske
Konings. Immunotherapy for Guillain-Barre syndrome:a systematic review. Brain
(2007), 130, 2245-2257
16. Berncl C, Hans-Peter H. Guillain Barré syndrome and chronic inflammatory
demyetinating polyradicutoneuropathy. Neuroimmunology. 2003
17. Nachamkin I, Mishu I, Ho T. Campylobacter species and guillain-barre´
syndrome. Clinical microbiology reviews, 1998, 555–567
18. Fokke C, Berg, Drenthen J, Walgaard C, Doorn P. Diagnosis of Guillain-Barre´
syndrome and validation of Brighton criteria. Brain 2014: 137; 33–43