Upload
fitrianugrah
View
58
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
REFERAT
PENGELOLAAN DIABETES MELITUS TIPE 2
Pembimbing:
Dr.Arif Gunawan, Sp.PD, MARS
Di susun oleh:
030.08.073 Dedeh Asliah030.08.168 Musthafa Afif Wardhana
KEPANITERAAN KLINIK
ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD KARAWANG
PERIODE 03 SEPT 2012 – 09 NOV 2012
1
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan
hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan tugas referat dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu
Penyakit Dalam di RSUD Karawang, mengenai “Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2”
Dalam Penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang dihadapi.
Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat
bantuan, dorongan, bimbingan semua pihak, sehingga kendala-kendala yang penulis hadapi
dapat teratasi. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih
sebesar-besarnya kepada dr.Arif Gunawan, Sp. PD, MARS sebagai dokter pembimbing
dalam kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Dalam ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis secara khusus dan para pembaca
pada umumnya. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena
itu kritik danb saran diharapkan dari para pembaca.
Karawang, Oktober 2012
Penulis
2
DAFTAR ISI
Kata Pengantar .....................................................................................................................2
Daftar Isi ................................................................................................................................ 3
BAB I Pendahuluan ................................................................................................................4
BAB II Diabetes Melitus………………………........................................................................5
1. Definisi……..…..……………………………………………………………….....5
2. Klasifikasi……….…………………………………………………………………5
3. Etiologi dan Patofisiologi………………………………………………………….6
4. Faktor Resiko…………………………………………………………………...…9
5. Manifestasi Klinis………………............................................................................9
6. Pemeriksaan ……………......................................................................................10
7. Diagnosis …......…………………..……………………………………………...11
8. Penatalaksanaan...………………………………………………………………...13
9. Penyulit……………………….………………………………………………......31
10. Pencegahan……………………………………………………………………….33
BAB III Kesimpulan………………...…………………………………………………...…..35
Daftar Pustaka ........................................................................................................................36
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut American Diabetes Association (ADA) 2010, diabetes melitus merupakan
suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi
karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik
pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan
beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah.
Pada tahun 2003, World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa 194 juta
jiwa atau 5.1% dari 3.8 miliar penduduk dunia yang berusia 20-79 tahun menderita
diabetes mellitus dan pada tahun 2025 akan meningkat menjadi 333 juta jiwa. WHO
memprediksi bahwa di Indonesia akan terjadi peningkatan dari 8.4 juta diabetisi pada
tahun 2000 menjadi 21.3 juta diabetisi pada tahun 2030. Hal ini akan menjadikan
Indonesia menduduki peringkat ke-4 dunia setelah Amerika Serikat, Cina, dan India
dalam prevalensi diabetes mellitus (Diabetes Care, 2004).
Hasil riset kesehatan dasar (RISKESDAS) pada tahun 2007, menunjukkan bahwa
prevalensi DM secara nasional berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan dan gejala adalah
1.1%, sedangkan prevalensi DM berdasarkan pemeriksaan kadar gula darah pada
penduduk berumur >15 tahun yang bertempat tinggal di perkotaan adalah 5.7%. Riset ini
juga menghasilkan angka Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) secara nasional
berdasarkan pemeriksaan kadar gula darah pada penduduk berumur >15 tahun yang
bertempat tinggal di perkotaan adalah 10.2% 9 (Depkes, 2008).
Diabetes mellitus merupakan penyakit kronik yang tidak menyebabkan kematian
secara langsung, tetapi dapat berakibat fatal bila pengelolaannya tidak tepat. Pengelolaan
DM memerlukan penanganan secara multidisiplin yang mencakup terapi non-obat dan
terapi obat.
4
BAB II
DIABETES MELITUS
1. Definisi
Menurut American Diabetes Association (ADA) 2010, diabetes melitus
merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia
yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Sedang
menurut WHO 1980 dikatakan bahwa diabetes melitus merupakan suatu yang tidak
dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat tetapi secara umum dapat
dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi yang merupakan
akibat dari sejumlah faktor di mana didapat defisiensi insulin absolut ataupun relatif
dan gangguan fungsi insulin. WHO telah mengidentifikasi 3 macam diabetes, yaitu
diabetes melitus tipe 1 atau insuline dependent diabetes mellitus (IDDM), tipe 2 atau
non-insuline dependent diabetes mellitus (NIDDM), dan diabetes mellitus gestasional.
2. Klasifikasi
Klasifikasi etiologis diabetes melitus menurut PERKENI (ADA,2010):
a. Diabetes melitus tipe I
Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut baik
melalui proses imunologik maupun idiopatik.
b. Diabetes melitus tipe II
Bervariasi, mulai yang predominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin
relatif sampai yang dominan defek sekresi insulin bersama resistensi insulin.
c. Diabetes melitus tipe lain
1. Defek genetik fungsi sel beta
2. Defek genetik kerja insulin
3. Penyakit eksokrin pankreas
4. Endokrinopati
5. Obat atau zat kimia: vacor, pentamidin, asam nikotinat, lukokortikoid,
hormon tiroid, tiazid, dilantin, interferon-alfa, dll
6. Infeksi
7. Sebab imunologi yang jarang
8. Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM
d. Diabetes melitus gestasional (DMG)
5
3. Etiologi Dan Patofisiologi
Diabetes Mellitus Tipe 1
Diabetes tipe ini merupakan diabetes yang jarang atau sedikit populasinya,
diperkirakan kurang dari 5-10% dari keseluruhan populasi penderita diabetes.
Gangguan produksi insulin pada DM Tipe 1 umumnya terjadi karena kerusakan
sel-sel β pulau Langerhans yang disebabkan oleh reaksi otoimun. Namun ada pula
yang disebabkan oleh bermacam-macam virus, diantaranya virus Cocksakie,
Rubella, CMVirus, Herpes, dan lain sebagainya. Ada beberapa tipe otoantibodi
yang dihubungkan dengan DM Tipe 1, antara lain ICCA (Islet Cell Cytoplasmic
Antibodies), ICSA (Islet cell surface antibodies), dan antibodi terhadap GAD
(glutamic acid decarboxylase).
ICCA merupakan autoantibodi utama yang ditemukan pada penderita DM
Tipe 1. Hampir 90% penderita DM Tipe 1 memiliki ICCA di dalam darahnya.
Didalam tubuh non-diabetik, frekuensi ICCA hanya 0,5-4%. Oleh sebab itu,
keberadaan ICCA merupakan prediktor yang cukup akurat untuk DM Tipe 1.
ICCA tidak spesifik untuk sel-sel β pulau Langerhans saja, tetapi juga dapat
dikenali oleh sel-sel lain yang terdapat di pulau Langerhans. Sebagaimana
diketahui, pada pulau Langerhans kelenjar pankreas terdapat beberapa tipe sel,
yaitu sel β, sel α dan sel δ. Sel-sel β memproduksi insulin, sel-sel α memproduksi
glukagon, sedangkan sel-sel δ memproduksi hormon somatostatin. Namun
demikian, nampaknya serangan otoimun secara selektif menghancurkan sel-sel β.
Ada beberapa anggapan yang menyatakan bahwa tingginya titer ICCA di dalam
tubuh penderita DM Tipe 1 justru
merupakan respons terhadap kerusakan sel-sel β yang terjadi, jadi lebih merupakan
akibat, bukan penyebab terjadinya kerusakan sel-sel β pulau
Langerhans. Apakah merupakan penyebab atau akibat, namun titer ICCA makin
lama makin menurun sejalan dengan perjalanan penyakit.
Autoantibodi terhadap antigen permukaan sel atau Islet Cell Surface
Antibodies (ICSA) ditemukan pada sekitar 80% penderita DM Tipe 1. Sama
seperti ICCA, titer ICSA juga makin menurun sejalan dengan lamanya waktu
Beberapa penderita DM Tipe 2 ditemukan positif ICSA.
6
Autoantibodi terhadap enzim glutamat dekarboksilase (GAD) ditemukan pada
hampir 80% pasien yang baru didiagnosis sebagai positif menderita DM Tipe 1.
Sebagaimana halnya ICCA dan ICSA, titer antibodi anti-GAD juga makin lama
makin menurun sejalan dengan perjalanan penyakit. Keberadaan antibodi anti-
GAD merupakan prediktor kuat untuk DM Tipe 1, terutama pada populasi risiko
tinggi.
Disamping ketiga otoantibodi yang sudah dijelaskan di atas, ada beberapa
otoantibodi lain yang sudah diidentifikasikan, antara lain IAA (Anti-Insulin
Antibody). IAA ditemukan pada sekitar 40% anak-anak yang menderita DM Tipe
1. IAA bahkan sudah dapat dideteksi dalam darah pasien sebelum onset terapi
insulin.
Destruksi otoimun dari sel-sel β pulau Langerhans kelenjar pankreas langsung
mengakibatkan defisiensi sekresi insulin. Defisiensi insulin inilah yang
menyebabkan gangguan metabolisme yang menyertai DM Tipe 1. Selain defisiensi
insulin, fungsi sel-sel α kelenjar pankreas pada penderita DM Tipe 1 juga menjadi
tidak normal. Pada penderita DM Tipe 1 ditemukan sekresi glukagon yang
berlebihan oleh sel-sel α pulau Langerhans. Secara normal, hiperglikemia akan
menurunkan sekresi glukagon, namun pada penderita DM Tipe 1 hal ini tidak
terjadi, sekresi glukagon tetap tinggi walaupun dalam keadaan hiperglikemia. Hal
ini memperparah kondisi hiperglikemia. Salah satu manifestasi dari keadaan ini
adalah cepatnya penderita DM Tipe 1 mengalami ketoasidosis diabetik apabila tidak
mendapat terapi insulin. Apabila diberikan terapi somatostatin untuk menekan
sekresi glukagon, maka akan terjadi penekanan terhadap kenaikan kadar gula dan
badan keton. Salah satu masalah jangka panjang pada penderita DM Tipe 1 adalah
rusaknya kemampuan tubuh untuk mensekresi glukagon sebagai respon terhadap
hipoglikemia. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya hipoglikemia yang dapat
berakibat fatal pada penderita DM Tipe 1 yang sedang mendapat terapi insulin.
Walaupun defisiensi sekresi insulin merupakan masalah utama pada DM Tipe 1,
namun pada penderita yang tidak dikontrol dengan baik, dapat terjadi penurunan
kemampuan sel-sel sasaran untuk merespons terapi insulin yang diberikan. Ada
beberapa mekanisme biokimia yang dapat menjelaskan hal ini, salah satu
diantaranya adalah, defisiensi insulin menyebabkan meningkatnya asam lemak
bebas di dalam darah sebagai akibat dari lipolisis yang tak terkendali di jaringan
adiposa. Asam lemak bebas di dalam darah akan menekan metabolisme glukosa di
7
jaringan-jaringan perifer seperti misalnya di jaringan otot rangka, dengan perkataan
lain akan menurunkan penggunaan glukosa oleh tubuh. Defisiensi insulin juga akan
menurunkan ekskresi dari beberapa gen yang diperlukan sel-sel sasaran untuk
merespons insulin secara normal, misalnya gen glukokinase di hati dan gen GLUT4
(protein transporter yang membantu transpor glukosa di sebagian besar jaringan
tubuh) di jaringan adiposa.
Diabetes Mellitus Tipe 2
Diabetes Tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih banyak
penderitanya dibandingkan dengan DM Tipe 1. Penderita DM Tipe 2 mencapai 90-
95% dari keseluruhan populasi penderita diabetes, umumnya berusia di atas 45 tahun,
tetapi akhir-akhir ini penderita DM Tipe 2 di kalangan remaja dan anak-anak
populasinya meningkat.
Etiologi DM Tipe 2 merupakan multifaktor yang belum sepenuhnya terungkap
dengan jelas. Faktor genetik dan pengaruh lingkungan cukup besar dalam
menyebabkan terjadinya DM tipe 2, antara lain obesitas, diet tinggi lemak dan rendah
serat, serta kurang gerak badan. Obesitas atau kegemukan merupakan salah satu faktor
pradisposisi utama. Penelitian terhadap mencit dan tikus menunjukkan bahwa ada
hubungan antara gen-gen yang bertanggung jawab terhadap obesitas dengan gen-gen
yang merupakan faktor pradisposisi untuk DM Tipe 2.
Berbeda dengan DM Tipe 1, pada penderita DM Tipe 2, terutama yang berada
pada tahap awal, umumnya dapat dideteksi jumlah insulin yang cukup di dalam
darahnya, disamping kadar glukosa yang juga tinggi. Jadi, awal patofisiologis DM
Tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, tetapi karena sel-sel sasaran
insulin gagal atau tak mampu merespon insulin secara normal. Keadaan ini lazim
disebut sebagai “Resistensi Insulin”.
Resistensi insulin banyak terjadi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat,
antara lain sebagai akibat dari obesitas, gaya hidup kurang gerak (sedentary), dan
penuaan.
Disamping resistensi insulin, pada penderita DM Tipe 2 dapat juga timbul
gangguan sekresi insulin dan produksi glukosa hepatik yang berlebihan. Namun
demikian, tidak terjadi pengrusakan sel-sel β Langerhans secara otoimun sebagaimana
yang terjadi pada DM Tipe 1. Dengan demikian defisiensi fungsi insulin pada
penderita DM Tipe 2 hanya bersifat relatif, tidak absolut. Oleh sebab itu dalam
penanganannya umumnya tidak memerlukan terapi pemberian insulin. Sel-sel β
8
kelenjar pankreas mensekresi insulin dalam dua fase. Fase pertama sekresi insulin
terjadi segera setelah stimulus atau rangsangan glukosa yang ditandai dengan
meningkatnya kadar glukosa darah, sedangkan sekresi fase kedua terjadi sekitar 20
menit sesudahnya. Pada awal perkembangan DM Tipe 2, sel-sel β menunjukkan
gangguan pada sekresi insulin fase pertama, artinya sekresi insulin gagal
mengkompensasi resistensi insulin Apabila tidak ditangani dengan baik, pada
perkembangan penyakit selanjutnya penderita DM Tipe 2 akan mengalami kerusakan
sel-sel β pankreas yang terjadi secara progresif, yang seringkali akan mengakibatkan
defisiensi insulin, sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin eksogen.
Penelitian mutakhir menunjukkan bahwa pada penderita DM Tipe 2 umumnya
ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi insulin.
4. Faktor Resiko
Adapun faktor resiko untuk diabetes tipe 2 yaitu:
Riwayat: Diabetes dalam keluarga, Diabetes Gestasional, Melahirkan bayi
dengan berat badan >4 kg, Kista ovarium (Polycystic ovary syndrome), IFG
(Impaired fasting Glucose) atau IGT (Impaired
glucose tolerance), Obesitas >120% berat badan ideal
Umur 20-59 tahun : 8,7%, > 65 tahun : 18%
Etnik/Ras
Hipertensi >140/90mmHg
Hiperlipidemia Kadar HDL rendah <35mg/dl
Kadar lipid darah tinggi >250mg/dl
Faktor-faktor Lain : Kurang olah raga, Pola makan rendah serat
5. Manifestasi Klinik
Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan apabila ada keluhan khas DM berupa
poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan
penyebabnya. Keluhan lain yang mungkin disampaikan penderita antara lain badan
terasa lemah, sering kesemutan, gatal-gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria,
dan pruritus vulvae pada wanita.
Kriteria diagnostik diabetes melitus dan gangguan toleransi glukosa (PERKENI
2011):
9
a. Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) ≥200mg/ dl, atau
b. Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) ≥126 mg/dl, atau
c. Kadar glukosa plasma ≥200 mg/dl pada 2 jam sesudah beban glukosa 75 gram
pada TTGO
Menurut Kane et.al (1989), diagnosis pasti DM pada lanjut usia ditegakkan kalau
didapatkan kadar glukosa darah puasa lebih dari 140 mg/dl. Apabila kadar glukosa
puasa kurang dari 140 mg/dl dan terdapat gejala atau keluhan diabetes seperti di atas
perlu dilanjutkan dengan pemeriksaan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO). Apabila
TTGO abnormal pada dua kali pemeriksaan dalam waktu berbeda diagnosis DM
dapat ditegakkan.
Pada lanjut usia sangat dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan glukosa darah
puasa secara rutin sekali setahun, karena pemeriksaan glukosuria tidak dapat
dipercaya karena nilai ambang ginjal meninggi terhadap glukosa. Peningkatan TTGO
pada lanjut usia ini disebabkan oleh karena turunnya sensitivitas jaringan perifer
terhadap insulin, baik pada tingkat reseptor (kualitas maupun kuantitas) maupun pasca
reseptornya. Ini berarti bahwa sel-sel lemak dan otot pada pasien lanjut usia menurun
kepekaannya terhadap insulin.
6. Pemeriksaan
Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring. Uji
diagnostik DM dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala dan tanda DM,
sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang
tidak bergejala yang mempunyai risiko DM. Serangkaian uji diagnostik akan
dilakukan pada mereka yang hasil pemeriksaan penyaringnya positif.
Pemeriksaan penyaring dikerjakan pada kelompok dengan salah satu risiko DM
sebagai berikut:
a. Usia >45 tahun
b. Berat badan lebih >110% BB ideal atau IMT >23 kg/m2
c. Hipertensi (>140/90 mmHg)
d. Riwayat DM dalam garis keturunan
e. Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat atau BB lahir bayi >4000
gram
10
f. Kolesterol HDL 35 mg/dl dan atau trigliserida ≥150 mg/dl
Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah
sewaktu, kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes tolerasi
glukosa oral (TTGO) standar.
Untuk kelompok risiko tinggi yang hasil pemeriksaan penyaringnya negatif,
pemeriksaan penyaring ulangan dilakukan tiap tahun; sedangkan bagi mereka yang
berusia >45 tahun tanpa faktor risiko, pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3
tahun.
7. Diagnosis
Diagnosis DM dapat ditegakan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Diagnosis tidak dapat ditegakan atas dasar adanya glukosuria. Untuk penentuan
diagnosis DM, pemeriksaan glukos darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan
glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan darah
utuh (whole blood), vena ataupun kapiler dapat tetap dipergunakan dengan
memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai dengan
pembakuan WHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat
dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler.
Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa Sebagai Patokan Penyaring dan Diagnosis
DM
Kadar glukosa (mg/dl ) Bukan DM Belum pasti
DM
DM
Sewaktu Plasma Vena < 110 110 – 199 ≥ 200
Darah Kapiler < 90 90 – 199 ≥ 200
Puasa Plasma Vena < 110 110 – 125 ≥126
Darah Kapiler < 90 90 – 109 ≥110
Sumber: PERKENI, Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2, 2011
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan
adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik seperti tersebut dibawah
ini:
11
a. Keluhan khas DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
b. Keluhan tidak khas DM: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan
disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.
Diagnosis DM dapat ditegakan dengan 3 cara:
1. Gejala klasik DM + GDS ≥200mg/dl
Glukosa sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa
memperhatikan waktu makan terakhir
2. Gejala klasik DM + GDP ≥ 126mg/Dl
Puasa diartikan pasien tidak mendapatkan kalori tambahan sedikitnya 8jam
3. Kadar glukosa darah 2 jam pada TTGO≥200mg/dl
TTGO dilakukan dengan standar WHO menggunakan beban glukosa yang
setara dengan 75g glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air
12
Keluhan klinik diabetes
Keluhan klasik DM (+) Keluhan klasik DM (-)
GDP ≥126 ≥126GPS ≥200 ≤200
GDP ≥126 100-125 <100GDS ≥200 140-199 <140
Ulangi GDS atau GDP
GDP >126 <126GDS ≥200 <200 TTGO
GD 2 JAM
≥200 140-199 <140
NORMAL
TGT GDPT
DM
Cara pelaksanaan TTGO (WHO,1994):
a. Tiga (3) hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari
(dengan karbohirat yang cukup) dan kegiatan jasmani seperti biasa.
b. Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan,
minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan.
c. Diperiksa kadar glukosa darah puasa.
d. Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa) atau 1,75 g/kgbb (anak-anak),
dilarutkan dalam 250 ml air dan diminum dalam waktu 5 menit.
e. Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam
setelah minum larutan glukosa selesai
f. Diperiksaa kadar glukosa darah 2 jam sesudah beban glukosa
g. Selama proses pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak
merokok.
Pasien dengan Toleransi Glukosa terganggu dan Glukosa Darah Puasa Terganggu
merupakan tahapan sementara menuju DM. Setelah 5-10 tahun kemudian 1/3 kelompok
TGT akan berkembang menjadi DM, 1/3 tetap TGT dan 1/3 lainnya kembali normal.
8. Penatalaksanaan
a. Tujuan
i. Jangka pendek
Menghilangkan keluhan/gejala DM dan mempertahankan rasa nyaman
dan sehat.
ii. Jangka panjang
Mencegah penyulit, baik makroangiopati, mikroangiopati maupun
neuropati, dengan tujuan akhir menurunkan morbiditas mortilitas DM.
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian kadar
glukosa darah, tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, insulin melalui
pengelolaan pasien secara holistic dengan mengajarkan perawatan mandiri dan
perubahan perilaku.
13
Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan
jasmani selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah
belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan pemberian
obat hipoglikemik oral (OHO) atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu
OHO dapat segera diberikan sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi
metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stress berat, berat badan yang
menurun cepat, insulin dapat segera diberikan. Pada kedua keadaan tersebut
perlu diwaspadai kemungkinan terjadinya hipoglikemia. Pemantauan kadar
glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan
khusus.
b. Pilar Pengelolaan DM
i. Edukasi
Diabetes tipe II umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan
perilaku telah terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang
diabetes memmerlukan partisipasi aktif pasien, keluarga, dan
masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju
perubahan perilaku. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku,
dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan
motivasi.
Edukasi tersebut meliputi pemahaman tentang:
a) Penyakit DM
b) Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM
c) Penyulit DM
d) Intervensi farmakologis dan non farmakologis
e) Hipoglikemia
f) Masalah khusus yang dihadapi
g) Perawatan kaki pada diabetes
h) Cara pengembangan sistem pendukung dan pengajaran
keterampilan
i) Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan
14
Edukasi secara individual atau pendekatan berdasarkan
penyelesaian masalah merupakan inti perubahan perilaku yang
berhasil. Perubahan perilaku hampir sama dengan proses edukasi yang
memerlukan penilaian, perencanaan, implementasi, dokumentasi, dan
evaluasi. Masalah kaki yaitu borok di kaki dengan atau tanpa infeksi
terlokalisasi atau menyerang seluruh kaki adalah dan kematian
berbagai jaringan tubuh karena hilangnya suplai darah, infeksi bakteri,
dan kerusakan jaringan sekitarnya merupakan masalah utama pada
penderita diabetes.
ii. Terapi Gizi Medis
Terapi Gizi Medis (TGM) merupakan bagian dari penatalaksanaan
diabetes secara total. Kunci keberhasilan TGM adalah keterlibatan
secara menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas
kesehatan yang lain dan pasien itu sendiri). Setiap penyandang diabetes
sebaiknya mendapat TGM sesuai dengan kebutuhannya guna mencapai
sasaran terapi. Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes
hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu
makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat
gizi masing-masing individu. Pada penyandang diabetes perlu
ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan,
jenis dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan
obat penurun glukosa darah atau insulin.
Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi:
a) Karbohidrat 60-70 %
b) Protein10-15 %
c) Lemak 20-25 %
Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain:
a) Jenis Kelamin
Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil daripada pria.
Kebutuhan kalori wanita sebesar 25 kal/kg BB dan untuk pria
sebesar 30 kal/ kg BB.
15
b) Umur
Untuk pasien usia di atas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi
5% untuk dekade antara 40 dan 59 tahun, dikurangi 10% untuk
usia 60 s/d 69 tahun dan dikurangi 20%, di atas 70 tahun.
c) Aktivitas Fisik atau Pekerjaan
Kebutuhan kalori dapat ditambah sesuai dengan intensitas
aktivitas fisik. Penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal
diberikan pada kedaaan istirahat, 20% pada pasien dengan
aktivitas ringan, 30% dengan aktivitas sedang, dan 50% dengan
aktivitas sangat berat.
d) Berat Badan
Bila kegemukan dikurangi sekitar 20-30% ber-gantung kepada
tingkat kegemukan. Bila kurus ditambah sekitar 20-30% sesuai
dengan kebutuhan untuk meningkatkan BB. Untuk tujuan
penurunan berat badan jumlah kalori yang diberikan paling
sedikit 1000 - 1200 kkal perhari untuk wanita dan 1200 - 1600
kkal perhari untuk pria.
Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut di atas
dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), siang (30%) dan
sore (25%) serta 2-3 porsi makanan ringan (10-15%) di antaranya.
Untuk meningkatkan kepatuhan pasien, sejauh mungkin perubahan
dilakukan sesuai dengan kebiasaan. Untuk penyandang diabetes yang
mengidap penyakit lain, pola pengaturan makan disesuaikan dengan
penyakit penyertanya.
Indeks massa tubuh (IMT) dapat dihitung dengan rumus:
IMT = BB (kg) / TB (m2)
IMT Normal Wanita : 18.5 – 23.5
IMT Normal Pria : 22.5 – 25
BB kurang : < 18.5
BB lebih
16
Dengan risiko : 23.0-24.9
Obes I : 2.5.0-29.9
Obes II : ≥30.0
PENENTUAN KEBUTUHAN KALORI
Kalori Basal:
Laki-Laki : BB ideal (kg) X 30 kalori/kg = … Kalori
Wanita : BB ideal (kg) X 25 kalori/kg = … Kalori
Koreksi/Penyesuaian:
Umur >40 tahun : -5% X Kalori basal = ... Kalori
Aktivitas Ringan : +10% X Kalori basal = … Kalori
Sedang : +20 %
Berat : +30 %
BB Gemuk : - 20 % X Kalori basal = - / + … Kalori
Lebih : - 10 %
Kurang : +20 %
Stress metabolik: 10-30 % X Kalori basal = + ... Kalori
Hamil trimester I& II = + 300 Kalori
Hamiltrimester III / laktasi = + 500 Kalori
Total Kebutuhan = ... Kalori
Petunjuk Umum untuk Asupan Diet bagi Diabetes:
a) Hindari biskuit, cake, produk lain sebagai cemilan pada waktu
makan
b) Minum air dalam jumlah banyak, susu skim dan minuman
berkalori rendah lainnya pada waktu makan
c) Makanlah dengan waktu yang teratur
d) Hindari makan makanan manis dan gorengan
e) Tingkatkan asupan sayuran dua kali tiap makan
f) Jadikan nasi, roti, kentang, atau sereal sebagai menu utama
setiap makan
17
g) Minum air atau minuman bebas gula setiap anda haus
h) Makanlah daging atau telor dengan porsi lebih kecil
i) Makan kacang-kacangan dengan porsi lebih kecil
iii. Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani teratur (3-4 kali
seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar
dalam pengelolaan diabetes tipe II. Kegiatan sehari-hari seperti
berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga, berkebun harus tetap
dilakukan. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat
menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin,
sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani
yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti:
jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani
sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani.
Untuk mereka yang relatif sehat, intensitas latihan jasmani bisa
ditingkatkan, sementara yang sudah mendapat komplikasi DM dapat
dikurangi. Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau
bermalas-malasan.
Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status
kesegaran jasmani. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar,
menggunakan tangga, berkebun tetap dilakukan tetap dilakukan. Batasi
atau jangan terlalu lama melakukan kegiatan yang kurang gerak
seperti menonton televisi.
Prinsip latihan jasmani yang dilakukan:
a) Continous
Latihan jasmani harus berkesinambungan dan dilakukan terus
menerus tanpa berhenti. Contoh: Jogging 30 menit, maka
pasien harus melakukannya selama 30 menit tanpa henti.
b) Rhytmical
Latihan olah raga dipilih yang berirama yaitu otot-otot
berkontraksi dan relaksasi secara teratur, contoh berlari,
berenang, jalan kaki.
18
c) Interval
Latihan dilakukan selang-seling antar gerak cepat dan lambat.
Contoh: jalan cepat diselingi jalan lambat
d) Progresive
Latihan dilakukan secara bertahap sesuai kemampuan, dari
intensitas ringan sampai sedang selama mencapai 30-60 menit
Sasaran HR = 75-85% dari maksimal HR
Maksimal HR = 220 – (umur)
e) Endurance
Latihan daya tahan untuk meningkatkan kemampuan
kardiorespirasi. Contoh: jalan jogging dan sebagainya.
iv. Intervensi Farmakologis
Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum
tercapai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani.
Indikasi pemakaian obat hiperglikemik oral:
Diabetes setelah umur 40 tahun
Diabetes kurang dari 5 tahun
Memerlukan insulin dengan dosis <40 unit sehari
DM tipe II, berat normal atau lebih
Cara Pemberian OHO, terdiri dari:
a) OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara
bertahap sesuai respons kadar glukosa darah, dapat diberikan
sampai dosis hampir maksimal
b) Sulfonilurea generasi I & II : 15 –30 menit sebelum makan
c) Glimepirid : sebelum/sesaat sebelum makan
d) Repaglinid, Nateglinid : sesaat/sebelum makan
e) Metformin : sebelum/pada saat/ esudah makan
f) Penghambat glukosidase α (Acarbose) : bersama makan suapan
pertama
g) Tiazolidindion : tidak bergantung pada jadwal makan.17
19
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4 golongan:
a) Pemicu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue)
Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama
meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas,
dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat
badan normal dan kurang, namun masih boleh diberikan
kepada pasien dengan berat badan lebih. Untuk
menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada
berbagai keadaaan seperti orang tua, gangguan faal
ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit
kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan
sulfonilurea kerja panjang.
Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan
sulfonilurea, dengan penekanan pada meningkatkan
sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2
macam obat yaitu: Repaglinid (derivat asam benzoat)
dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi
dengan cepat setelah pemberian secara oral dan
diekskresi secara cepat melalui hati.
b) Penambah Sensitivitas terhadap Insulin
Tiazolidindion
Tiazolidindion (rosiglitazon dan pioglitazon) berikatan
pada Peroxisome Proliferator Activated Receptor
Gamma (PPAR-γ), suatu reseptor inti di sel otot dan sel
lemak. Golongan ini mempunyai efek menurunkan
resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein
pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan
glukosa di perifer. Tiazolidindion dikontraindikasikan
pada pasien dengan gagal jantung klas I-IV karena
dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga pada
gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan
20
tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal hati
secara berkala.
c) Penghambat Glukoneogenesis
Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi
glukosa hati (glukoneogenesis), di samping juga
memperbaiki ambilan glukosa perifer. Terutama dipakai
pada penyandang diabetes gemuk. Metformin
dikontraindikasikan pada pasiendengan gangguan
fungsi ginjal (serum kreatinin > 1,5 mg/dL)dan hati,
serta pasien-pasien dengan kecenderunganhipoksemia
(misalnya penyakit serebro- vaskular, sepsis,renjatan,
gagal jantung). Metformin dapat memberikan
efeksamping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut
dapatdiberikan pada saat atau sesudah makan.
d) Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose)
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di
usus halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar
glukosa darah sesudah makan. Acarbose tidak menimbulkan
efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering
ditemukan ialah kembung dan flatulens.
e) Terapi Kombinasi Sulfonilurea dan Biguanid
Pada saat-saat tertentu diperlukan terapi kombinasi/
pemakaian bersama antara obat-obat golongan sulfonilurea dan
biguanid. Sulfonilurea akan mengawali dengan merangsang
sekresi pankreas yang memberikan kesempatan untuk biguanid
untuk bekerja efektif. Kedua-duanya rupanya mempunyai efek
terhadap sensitivitas reseptor; jadi pemakaian kedua obat
tersebut saling menunjang. Kombinasi kedua obat efektif pada
banyak penyandang DM yag sebelumnya tidak bermanfaat bila
dipakai sendiri-sendiri.
21
f) Insulin
Insulin adalah suatu hormon yang diproduksi oleh sel
beta pulau Langerhans kelenjar pankreas. Insulin menstimulasi
pemasukan asam amino kedalam sel dan kemudian
meningkatkan sintesa protein. Insulin meningkatkan
penyimpanan lemak dan mencegah penggunaan lemak sebagai
bahan energi. Insulin menstimulasi pemasukan glukosa ke
dalam sel untuk digunakan sebagai sumber energi dan
membantu penyimpanan glikogen didalam sel otot dan hati.
Insulin endogen adalah insulin yang dihasilkan oleh pankreas,
sedang insulin eksogen adalah insulin yang disuntikan dan
merupakan suatu produk farmasi.
Indikasi terapi dengan insulin:
Semua penyandang DM tipe I memerlukan insulin
eksogen karena produksi insulin oleh sel beta tidak ada
atau hampir tidak ada
Penyandang DM tipe II tertentu mungkin membutuhkan
insulin bila terapi jenis lain tidak dapat mengendalikan
kadar glukosa darah
Keadaan stress berat, seperti pada infeksi berat,
tindakan pembedahan, infark miokard akut atau stroke
DM gestasional dan penyandang DM yang hamil
membutuhkan insulin bila diet saja tidak dapat
mengendalikan kadar glukosa darah
Ketoasidosis diabetik
Hiperglikemik hiperosmolar nonketotik
Penyandang DM yang mendapat nutrisi parenteral atau
yang memerlukan suplemen tinggi kalori, untuk
memenuhi kebutuhan energi yang meningkat, secara
bertahap akan memerlukan insulin eksogen untuk
mempertahankan kadar glukosa darah mendekati
normal selama periode resistensi insulin atau ketika
terjadi peningkatan kebutuhan insulin
22
Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
Kontra indikasi atau alergi terhadap obat hiperglikemi
oral
Dasar pemikiran terapi insulin:
Sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi basal dan
sekresi prandial. Terapi insulin diupayakan mampu
meniru pola sekresi insulin yang fisiologis.
Defisiensi insulin mungkin berupa defisiensi insulin
basal, insulin prandial atau keduanya. Defisiensi insulin
basal menyebabkan timbulnya hiperglikemia pada
keadaan puasa, sedangkan defisiensi insulin prandial
akan menimbulkan hiperglikemia setelah makan.
Terapi insulin untuk substitusi ditujukan untuk
melakukan koreksi terhadap defisiensi yang terjadi.
Terapi insulin dapat diberikan secara tunggal (satu
macam) berupa: insulin kerja cepat (rapid insulin), kerja
pendek (short acting), kerja menengah (intermediate
acting), kerja panjang (long acting) atau insulin
campuran tetap (premixed insulin).
Pemberian dapat pula secara kombinasi antara jenis
insulin kerja cepat atau insulin kerja pendek untuk
koreksi defisiensi insulin prandial, dengan kerja
menengah atau kerja panjang untuk koreksi defisiensi
insulin basal. Juga dapat dilakukan kombinasi dengan
OHO.
Terapi insulin tunggal atau kombinasi disesuaikan
dengan kebutuhan pasien dan respons individu terhadap
insulin, yang dinilai dari hasil pemeriksaan kadar
glukosa darah harian.
Penyesuaian dosis insulin dapat dilakukan dengan
menambah 2-4 unit setiap 3-4 hari bila sasaran terapi
belum tercapai.
Berdasarkan lama kerjanya, insulin dibagi menjadi 4 macam,
yaitu:
23
Insulin kerja singkat
Yang termasuk di sini adalah insulin regular Crystal
Zinc Insulin (CZI). Saat ini dikenal 2 macam insulin
CZI, yaitu dalam bentuk asam dan netral. Preparat yang
ada antara lain: Actrapid, Velosulin , Semilente.
Insulin jenis ini diberi 30 menit sebelum makan,
mencapai puncak setelah 1-3 macam dan efeknya dapat
bertahan sampai 8 jam.
Insulin kerja menengah
Yang dipakai saat ini adalah Netral Protamine
Hegedorn (NPH), Monotard, Insulatard. Jenis ini
awal kerjanya adalah 1.5-2.5 jam. Puncaknya tercapai
dalam 4-15 jam dan efeknya dapat bertahan sampai
dengan 24 jam.
Insulin kerja panjang
Merupakan campuran dari insulin dan protamine,
diabsorsi dengan lambat dari tempat penyuntikan
sehingga efek yang dirasakan cukup lama, yaitu sekitar
24 – 36 jam. Preparat: Protamine Zinc Insulin (PZI),
Ultratard
Insulin infasik (campuran)
Merupakan kombinasi insulin jenis singkat dan
menengah. Preparatnya: Mixtard 30/40. Pemberian
insulin secara sliding scale dimaksudkan agar
pemberiannya lebih efisien dan tepat karena
didasarkan pada kadar gula darah pasien pada waktu itu.
Gula darah diperiksa setiap 6 jam sekali. Adapun cara
dan dosis pemberiaannya sebagai berikut:
- Gula darah <60 mg % → 0 IU
- <200 mg % → 5 – 8 IU
- 200-250 mg% → 10 – 12 IU
- 250-300 mg% → 15 – 16 IU
- 300-350 mg% → 20 IU
- >350 mg% → 20 – 24 IU
24
Cara penyuntikan insulin:
Insulin umumnya diberikan dengan suntikan di bawah
kulit (subkutan), dengan arah alat suntik tegak lurus
terhadap cubitan permukaan kulit.
Pada keadaan khusus diberikan intramuskular atau
intravena secara bolus atau drip.
Terdapat sediaan insulin campuran (mixed insulin)
antara insulin kerja pendek dan kerja menengah, dengan
perbandingan dosis yang tertentu. Apabila tidak
terdapat sediaan insulin campuran tersebut atau
diperlukan perbandingan dosis yang lain, dapat
dilakukan pencampuran sendiri antara kedua jenis
insulin tersebut. Teknik pencampuran dapat dilihat
dalam buku panduan tentang insulin.
Lokasi penyuntikan, cara penyuntikan maupun cara
penyimpanan insulin harus dilakukan dengan benar,
demikian pula mengenai rotasi tempat suntik.
Apabila diperlukan, sejauh sterilitas penyimpanan
terjamin, semprit insulin dan jarumnya dapat dipakai
lebih dari satu kali oleh penyandang diabetes yang
sama.
25
Harus diperhatikan kesesuaian konsentrasi insulin
(jumlah unit/mL) dengan semprit yang dipakai (jumlah
unit/mL dari semprit). Dianjurkan dipakai konsentrasi
yang tetap. Saat ini yang tersedia hanya U100
Penyerapan paling cepat terjadi di daerah abdomen
yang kemudian diikuti oleh daerah lengan, paha bagian
atas bokong. Bila disuntikan secara intramuskular
dalam maka penyerapan akan terjadi lebih cepat dan
masa kerja akan lebih singkat. Kegiatan jasmaniyang
dilakukan segera setelah penyuntikan akan
mempercepat onset kerja dan juga mempersingkat masa
kerja
Indikasi pemberiaan insulin pada pasien DM lanjut usia
seperti pada non lanjut usia, uyaitu adanya kegagalan terapi
ADO, ketoasidosis, koma hiperosmolar, adanya infeksi (stress),
dll. Dianjurkan memakai insulin kerja menengah yang
dicampur dengan kerja insulin kerja cepat, dapat diberikan satu
atau dua kali sehari.
Kesulitan pemberiaan insulin pada pasien lanjut usia
ialah karena pasien tidak mau menyuntik sendiri karena
persoalnnya pada matanya, tremor, atau keadaan fisik yang
terganggu serta adanya demensia. Dalam keadaan seperti ini
tentulah sangat diperlukan bantuan dari keluarganya
Efek samping penggunaan insulin:
Hipoglikemia
26
Hipoglikemia merupakan komplikasi yang paling
berbahaya dan dapat terjadi bila terdapat
ketidaksesuaian antara diet, kegiatan jasmani dan
jumlah insulin. Pada 25-75% pasien yang diberikan
insulin konvensional dapat terjadi lipoatrofi yaitu terjadi
lekukan di bawah kulit tempat suntikan akibat atrofi
jaringan lemak. Hal ini diduga disebabkan oleh reaksi
imun dan lebih sering terjadi pada wanita muda
terutama terjadi di negara yang memakai insulin tidak
begitu murni. Lipohipertrofi yaitu pengumpulan
jaringan lemak subkutan di tempat suntikan akibat
lipogenik insulin. Lebih banyak ditemukan di negara
yang memakai insulin murni. Regresi terjadi bila insulin
tidak lagi disuntikkan di tempat tersebut.
Alergi sistemik atau lokal
Reaksi alergi lokal terjadi 10 kali lebih sering daripada
reaksi sistemik terutama pada penggunaan sediaan
yang kurang murni. Reaksi lokal berupa eritema dan
indurasi di tempat suntikan yang terjadi dalam beberpa
menit atau jam dan berlagsung selama beberapa hari.
Reaksi ini biasanya terjadi beberapa minggu sesudah
pengobatan insulin dimulai. Inflamasi lokal atau infeksi
mudah terjadi bila pembersihan kulit kurang baik,
penggunaan antiseptik yang menimbulkan sensitisasi
atau terjadinya suntikan intrakutan, reaksi ini akan
hilang secara spontan. Reaksi umum dapat berupa
urtikaria, erupsi kulit, angioedema, gangguan
gastrointestinal, gangguan pernapasan dan yang sangat
jarang ialah hipotensi dan syok yang di akhiri kematian.
Peningkatan berat badan
Edema insulin
g) Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan
dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai
27
dengan respons kadar glukosa darah. Bersamaan dengan
pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan dapat
dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi OHO sejak
dini. Terapi dengan OHO kombinasi, harus dipilih dua macam
obat dari kelompok yang mempunyai mekanisme kerja
berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai,
dapat pula diberikan kombinasi tiga OHOdari kelompok yang
berbeda atau kombinasi OHO dengan insulin. Pada pasien yang
disertai dengan alasan klinik di mana insulin tidak
memungkinkan untuk dipakai dipilih terapi dengan kombinasi
tiga OHO.
Untuk kombinasi OHO dan insulin, yang banyak
dipergunakan adalah kombinasi OHO dan insulin basal (insulin
kerja menengah atau insulin kerja panjang) yang diberikan pada
malam hari menjelang tidur. Dengan pendekatan terapi tersebut
pada umumnya dapat diperoleh kendali glukosa darah yang
baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin
kerja menengah adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar jam
22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan
menilai kadar glukosa darah puasa keesokan harinya.
Bila dengan cara seperti di atas kadar glukosa darah
sepanjang hari masih tidak terkendali, maka obat hipoglikemik
oral dihentikan dan diberikan insulin saja.
Penilaian Hasil Terapi
Dalam praktek sehari-hari, hasil pengobatan DM tipe 2 harus dipantau
secara terencana dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan jasmani
dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan yang dapat dilakukan
adalah:
a) Pemeriksaan Kadar Glukosa Darah
Tujuan pemeriksaan glukosa darah:
Untuk mengetahui apakah sasaran terapi telah tercapai
Untuk melakukan penyesuaian dosis obat, bila belum tercapai
sasaran terapi
28
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pemeriksaan kadar
glukosa darah puasa dan glukosa 2 jam posprandial secara berkala
sesuai dengan kebutuhan. Kalau karena salah satu hal terpaksa
hanya dapat diperiksa 1 kali dianjurkan pemeriksaan 2 jam
posprandial.
b) Pemeriksaan A1C
Tes hemoglobin terglikosilasi, yang disebut juga sebagai
glikohemoglobin, atau hemoglobin glikosilasi disingkat sebagai
A1C, merupakan cara yang digunakan untuk menilai efek
perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya. Tes ini tidak dapat
digunakan untuk menilai hasil pengobatan jangka pendek.
Pemeriksaan A1C dianjurkan dilakukan minimal 2 kali dalam
setahun.
c) Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM)
Untuk memantau kadar glukosa darah dapat dipakai darah
kapiler.Saat ini banyak dipasarkan alat pengukur kadar glukosa
darah cara reagen kering yang umumnya sederhana dan mudah
dipakai. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah memakai alat-alat
tersebut dapat dipercaya sejauh kalibrasi dilakukan dengan baik
dan cara pemeriksaan dilakukan sesuai dengan cara standar yang
dianjurkan. Secara berkala, hasil pemantauan dengan cara reagen
kering perlu dibandingkan dengan cara konvensional.
PGDM dianjurkan bagi pasien dengan pengobatan insulin atau
pemicu sekresi insulin. Waktu pemeriksaan PGDM bervariasi,
tergantung pada terapi. Waktu yang dianjurkan adalah, pada saat
sebelum makan, 2 jam setelah makan (menilai ekskursi maksimal
glukosa), menjelang waktu tidur (untuk menilai risiko
hipoglikemia), dan di antara siklus tidur (untuk menilai adanya
hipoglikemia nokturnal yang kadang tanpa gejala), atau ketika
mengalami gejala seperti hypoglycemic spells.
d) Pemeriksaan Glukosa Urin
Pengukuran glukosa urin memberikan penilaian yang tidak
langsung. Hanya digunakan pada pasien yang tidak dapat atau tidak
mau memeriksa kadar glukosa darah. Batas ekskresi glukosa renal
29
rata-rata sekitar 180 mg/dL, dapat bervariasi pada beberapa pasien,
bahkan pada pasien yang sama dalam jangka waktu lama. Hasil
pemeriksaan sangat tergantung pada fungsi ginjal dan tidak dapat
dipergunakan untuk menilai keberhasilan terapi.
e) Penentuan Benda Keton
Pemantauan benda keton dalam darah maupun dalam urin cukup
penting terutama pada penyandang DM tipe-2 yang terkendali
buruk (kadar glukosa darah > 300 mg/dL). Pemeriksaan benda
keton juga diperlukan pada penyandang diabetes yang sedang
hamil. Tes benda keton urin mengukur kadar asetoasetat, sementara
benda keton yang penting adalah asam beta hidroksibutirat. Saat ini
telah dapatdilakukan pemeriksaan kadar asam beta hidroksibutirat
dalam darah secara langsung dengan menggunakan strip khusus.
Kadar asam beta hidroksibutirat darah < 0,6 mmol/L dianggap
normal, di atas 1,0 mmol/L disebut ketosis dan melebihi 3,0
mmol/L indikasi adanya KAD.
Pengukuran kadar glukosa darah dan benda keton secara mandiri,
dapat mencegah terjadinya penyulit akut diabetes, khususnya
KAD.
c. Kriteria Pengendalian
Untuk dapat mencegah terjadinya komplikasi kronik, diperlukan
pengendalian DM yang baik. Diabetes mellitus terkendali baik tidak berarti
hanya kadar glukosa darahnya saja yang baik, tetapi harus secara menyeluruh
kadar glukosa darah, status gizi, tekanan darah, kadar lipid, dan HbA1c seperti
tercantum pada Tabel 2.
Tabel 2. Kriteria pengendalian DM
Baik Sedang Buruk
Glukosa darah puasa (mg/dl) 80-109 110-139 >140
Glukosa darah 2 jam (mg/dl) 110-159 160-199 >200
30
HbA1c (%) 4-5,9 6-8 >8
Kolesterol total (mg/dl)
LDL (mg/dl) tanpa PJK
LDL (mg/dl) dengan PJK
HDL (mg/dl)
Trigeliserida (mg/dl) tanpa PJK
Trigliserida (mg/dl) dengan PJK
<200
<130
<100
>45
<200
<150
200-239
130-159
100-129
35-45
200-249
150-199
>240
>160
>130
<35
>250
>200
BMI (IMT) wanita (kg/m2)
BMI (IMT) pria (kg/m2)
18,5-22,9
20,0-24,9
23-25
25-27
>25 atau <18,5
>27 atau <20,0
Tekanan darah (mmHg) <140/90 140-160/90-95 >160/95
9. Penyulit
Dalam perjalanan penyakit DM, dapat terjadi penyulit akut dan menahun
a. Penyulit akut
i. Ketoasidosis diabetik
ii. Hiperosmolar non ketotik
iii. Hipoglikemia
Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa
darah <60 mg/dL. Bila terdapat penurunan kesadaran pada penyandang
diabetes harus selalu n dipikirkakemungkinan terjadinya hipoglikemia.
Hipoglikemia paling sering disebabkan oleh penggunaan sulfonilurea
dan insulin. Hipoglikemia akibat sulfonilurea dapat berlangsung lama,
sehingga harus diawasi sampai seluruh obat diekskresi dan waktu kerja
obat telah habis. Terkadang diperlukan waktu yang cukup lama untuk
pengawasannya (24-72 jam atau lebih, terutama pada pasien dengan
gagal ginjal kronik). Hipoglikemia pada usia lanjut merupakan suatu
hal yang harus dihindari, mengingat dampaknya yang fatal atau
terjadinya kemunduran mental bermakna pada pasien. Perbaikan
kesadaran pada DM usia lanjut sering lebih lamban dan memerlukan
pengawasan yang lebih lama.
31
Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrenergik (berdebar,
banyak keringat, gemetar, rasa lapar) dan gejala neuro-glikopenik
(pusing, gelisah, kesadaran menurun sampai koma).
Hipoglikemia harus segera mendapatkan pengelolaan yang
memadai. Diberikan makanan yang mengandung karbohidrat atau
minuman yang mengandung gula berkalori atau glukosa 15-20 g
melalui intra vena. Perlu dilakukan pemeriksaan ulang glukosa darah
15 menit setelah pemberian glukosa. Glukagon diberikan pada pasien
dengan hipoglikemia berat.
Untuk penyandang diabetes yang tidak sadar, sementara dapat
diberikan glukosa 40% intravena terlebih dahulu sebagai tindakan
darurat, sebelum dapat dipastikan penyebab menurunnya kesadaran.
b. Penyulit menahun:
i. Makroangiopati :
a) Pembuluh darah jantung
b) Pembuluh darah tepi
Penyakit arteri perifer sering terjadi pada penyandang diabetes.
Biasanya terjadi dengan gejala tipikal intermittent claudicatio,
meskipun sering tanpa gejala. Terkadang ulkus iskemik kaki
merupakan kelainan yang pertama muncul.
c) Pembuluh darah otak
ii. Mikroangiopati:
A. Retinopati diabetik
Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi
risiko dan memberatnya retinopati. Terapi aspirin tidak
mencegah timbulnya retinopati.
B. Nefropati diabetik
Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi
risiko nefropati. Pembatasan asupan protein dalam diet (0,8
g/kg BB) juga akan mengurangi risiko terjadinya nefropati
C. Neuropati
Yang tersering dan paling penting adalah neuropati perifer,
berupa hilangnya sensasi distal. Berisiko tinggi untuk
terjadinya ulkus kaki dan amputasi. Gejala yang sering
32
dirasakan kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri, dan lebih
terasa sakit di malam hari. Setelah diagnosis DM ditegakkan,
pada setiap pasien perlu dilakukan skrining untuk mendeteksi
adanya polineuropati distal dengan pemeriksaan neurologi
sederhana, dengan monofilamen 10 gram, dilakukan sedikitnya
setiap tahun. Apabila diketemukan adanya polineuropati distal,
perawatan kaki yang memadai akan menurunkan risiko
amputasi.
10. Pencegahan
a. Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada orang-orang
yang termasuk kelompok risiko tinggi, yakni mereka yang belum menderita,
tetapi berpotensi untuk menderita DM. Tentu saja untuk pencegahan primer
ini harus dikenal faktor-faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya DM dan
upaya yang perlu dilakukan untuk menghilangkan faktor-faktor tersebut.
Penyuluhan sangat penting perannya dalam upaya pencegahan primer.
Masyarakat luas melalui lembaga swadaya masyarakat dan lembaga sosial
lainnya harus diikutsertakan. Demikian pula pemerintah melalui semua jajaran
terkait seperti Departemen Kesehatan dan Departemen Pendidikan perlu
memasukkan upaya pencegahan primer DM dalam program penyuluhan dan
pendidikan kesehatan. Sejak masa prasekolah hendaknya telah ditnamkan
pengertian mengenai pentingnya kegiatan jasmani teratur, pola dan jenis
makanan yang sehat, menjaga badan agar tidak terlalu gemuk, dan risiko
merokok bagi kesehatan.
b. Pencegahan Sekunder
Maksud pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau
menghambat timbulnya penyulit dengan tindakan deteksi dini dan
memberikan pengobatan sejak awal penyakit. Deteksi dini dilakukan dengan
pemeriksaan penyaring, namun kegiatan tersebut memerlukan biaya besar.
Memberikan pengobatan penyakit sejak awal sudah harus diwaspadai dan
sedapat mungkin dicegah kemungkinan terjadinya penyulit menahun.
33
Penyuluhan mengenai DM dan pengelolaannya memegang peranan penting
untuk meningkatkan kepatuhan pasien untuk berobat.
Sistem rujukan yang baik akan sangat mendukung pelayanan kesehatan
primer yang merupakan ujung tombak pengelolaan DM. Melalui langkah-
langkah yang disebutkan di atas diharapkan dapat diperoleh hasil yang
optimal, apalagi bila ditunjang pula dengan adanya tata cara pengaobatan baku
yang akan menjadi pegangan bagi para pengelola.
c. Pencegahan Tersier
Kalau kemudian penyulit menahun DM ternyata terjadi juga, maka
pengelola harus berusaha mencegah terjadinya kecacatan lebih lanjut dan
merehabilitasi pasien sedini mungkin, sebelum kecacatan tersebut menetap.
Sebagai contoh aspirin dosis rendah (80-325 mg) dapat dianjurkan untuk
diberikan secara rutin bagi pasien DM yang sudah mempunyai penyulit
makroangiopati.
Pelayanan kesehatan yang holistik dan terintegrasi antar disiplin terkait
sangat diperlukan, terutama di rumah sakit rujukan, baik dengan para ahli
sesama disiplin ilmu seperti ahli penyakit jantung dan ginjal, maupun para ahli
dari disiplin lain seperti dari bagian mata, bedah ortopedi, bedah vaskular,
radiologi, rehabilitasi medis, gizi, podiatri, dan lain sebagainya.
BAB III
KESIMPULAN
Diabetes mellitus merupakan penyakit metabolik yang dapat menimbulkan berbagai
macam komplikasi yang sangat mempengaruhi kualitas hidup penyandangnya sehingga perlu
mendapatkan perhatian serius dari semua pihak. Diabetes mellitus dapat dikendalikan dengan
diet, olahraga, dan menggunakan obat-obatan antidiabteik. Pada setiap penanganan
34
penyandang diabetes mellitus, harus selalu di tentukan target yang akan dicapai sebelum
memulai pengobatan.
DAFTAR PUSTAKA
1. American Association of Clinical Endocrinologist (AACE) Diabetes Melitus Clinical
Practice Guidelines Task Force. AACE Medical Guidelines for clinical practice for
the management of diabetes mellitus. Endo Pract. 2007;13 (Supl 1)
2. America Diabetes Association. Position statement; Standards of Medical Care in
Diabetes 2010. Diab Care.2012;33(Suppl.1)
35
3. American Diabetes Association. Medical Management of Type 2 Diabetes. ADA
Clinical Sereies. American Diabetes Association.1998.
4. Asdie AH. Patogenesis dan Terapi Diabetes Melitus Tipe 2. Medika FK UGM,
Yogyakarta.2000
5. Asia-Pasific Type 2 Diabetes Policy Group Type 2 Diabetes Practical Target
Treatments. Health Communication Australia.2002.
6. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus di
Indonesia, PB. PERKENI. Jakarta 1998.
7. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus di
Indonesia, PB. PERKENI. Jakarta 2002
8. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus di
Indonesia, PB. PERKENI. Jakarta 2008.
9. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Petunjuk Praktis Pengelolaan Diabetes Melitus
Tipe 2. PB PERKENI Jakarta. Editor: S. Soegondo, P.Soewondo, I.Subekti dkk. PB
PERKENI. Jakarta 2002.
10. Pramono LA, Setiati S, Soewondo P, Subketi I, Adisasmita A, Kodim N, Sutrisna B.
Prevalence and predictors of undiagnosed diabetes mellitus in Indonesia. Acta Med
Indones. 2010 Oct;42(4):216-23.
36