62
Referat Ilmu Penyakit Dalam DIABETES MELITUS DAN KOMPLIKASI Oleh : Paramitha Kusuma 1102008188 Pembimbing : dr. Jusi Susilawati, Sp.PD 1

Referat DM Stase Interna Paramitha

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Referat DM Stase Interna Paramitha

Referat Ilmu Penyakit Dalam

DIABETES MELITUS DAN KOMPLIKASI

Oleh :

Paramitha Kusuma

1102008188

Pembimbing :

dr. Jusi Susilawati, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PASAR REBO

PERIODE 17 SEPTEMBER – 24 NOVEMBER 2012

1

Page 2: Referat DM Stase Interna Paramitha

KATA PENGANTAR

Puji, dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT karena rahmat dan karunia-Nya

yang diberikan, sehingga saya dapat menyelesaikan penulisan referat ini dalam memenuhi

kewajiban tugas pada Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam di RSUD Pasar Rebo,

Jakarta Pusat.

Saya mengucapkan terima kasih kepada dr. Jusi Susilawati, Sp.PD yang telah

memberikan kesempatan kepada saya untuk belajar lebih banyak tentang Diabetes Melitus

dan komplikasi sehingga saya dapat menyelesaikan tugas ini.

Saya menyadari dalam penyusunan presentasi kasus ini banyak terdapat kekurangan,

maka saya dengan lapang dada menerima koreksi, kritikan dan saran yang membangun demi

terciptanya hasil yang lebih baik. Saya berharap presentasi kasus ini dapat memberikan

sumbangan pikiran dan pengetahuan bagi penulis khususnya, dan pembaca pada umumnya.

Jakarta, September 2012

Penulis

2

Page 3: Referat DM Stase Interna Paramitha

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Penyakit Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit tidak menular yang mengalami

peningkatan terus menerus dari tahun ke tahun. WHO memprediksi kenaikan jumlah

penderita Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) dari 8,4 juta pada tahun

2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Berdasarkan Data Badan Pusat Statistik,

diperkirakan jumlah penduduk Indonesia yang berusia di atas 20 tahun adalah sebesar 133

juta jiwa, dengan prevalensi DM pada daerah urban sebesar 14,7% dan daerah rural

sebesar 7,2 %. Pada tahun 2030 diperkirakan ada 12 juta penyandang diabetes di daerah

urban dan 8,1 juta di daerah rural (Soegondo et. al, 2006).

Efek kronik dari penyakit DM juga menjadi perhatian yang serius selain dari segi

epidemologi. Penyakit Diabetes Mellitus merupakan the great imitator. Hal ini

disebabkan penyakit DM mampu menyebabkan kerusakan organ secara menyeluruh

secara anatomis maupun fungsional (Lawrence, 2005). Komplikasi kronik dari penyakit

DM menyebabkan kelainan pada makrovaskular, mikrovaskular, gastrointestinal, genito

urinari, dermatologi, infeksi, katarak, glaukoma dan sistem muskulo skeletal (Harrison

2007, h. 2161; Smith L 2002, h. 30).

Diabetes adalah salah satu penyakit yang paling sering diderita dan penyakit kronik

yang serius di Indonesia saat ini. Setengah dari jumlah kasus Diabetes Mellitus (DM)

tidak terdiagnosa karena pada umumnya diabetes tidak disertai gejala sampai terjadinya

komplikasi. Prevalensi penyakit diabetes meningkat karena terjadi perubahan gaya hidup,

kenaikan jumlah kalori yang dimakan, kurangnya aktifitas fisik dan meningkatnya jumlah

populasi manusia usia lanjut (Hiswani,2009).

Dengan makin majunya keadaan sosio ekonomi masyarakat Indonesia serta pelayanan

kesehatan yang makin baik dan merata, diperkirakan tingkat kejadian penyakit diabetes

mellitus (DM) akan makin meningkat. Penyakit ini dapat menyerang segala lapisan umur

dan sosio ekonomi. Dari berbagai penelitian epidemiologis di Indonesia di dapatkan

prevalensi sebesar 1,5-2,3 % pada penduduk usia lebih besar dari 15 tahun. Pada suatu

penelitian di Manado didapatkan prevalensi 6,1 %. Penelitian di Jakarta pada tahun 1993

menunjukkan prevalensi 5,7% (Hiswani,2009).

Melihat tendensi kenaikan kekerapan diabetes secara global yang tadi dibicarakan

terutama disebabkan oleh karena peningkatan kemakmuran suatu populasi, maka dengan

3

Page 4: Referat DM Stase Interna Paramitha

demikian dapat dimengerti bila suatu saat atau lebih tepat lagi dalam kurun waktu 1 atau

2 dekade yang akan datang kekerapan DM di Indonesia akan meningkat drastis. Ini sesuai

dengan perkiraan yang dikemukakan oleh WHO seperti tampak pada tabel 1, Indonesia

akan menempati peringkat nomor 5 sedunia dengan jumlah pengidap diabetes sebanyak

12.4 juta orang pada tahun 2025, naik 2 tingkat dibanding tahun 1995.

Dari angka – angka diatas dapat diambil kesimpulan bahwa dalam jangka waktu 30

tahun penduduk Indonesia akan naik sebesar 40% dengan peningkatan jumlah pasien

diabetes yang jauh lebih besar yaitu 86 – 138% yang disebabkan oleh karena:

· Faktor demografi

· Gaya hidup ke barat - baratan

· Berkurangnya penyakit infeksi dan kurang gizi

· Meningkatnya pelayanan kesehatan hingga umur pasien diabetes menjadi lebih

panjang. (Sudoyo,et.al 2006)

4

Page 5: Referat DM Stase Interna Paramitha

1.2 Tujuan

a. Tujuan Umum

Tujuan umum digunakan untuk membahas tentang penyakit diabetes mellitus secara

menyeluruh.

b. Tujuan Khusus

1. Mengetahui tentang penyakit diabetes mellitus.

2. Mengetahui komplikasi yang dapat terjadi akibat penyakit diabetes mellitus.

3. Mengetahui penanganan dan pencegahan yang tepat dari penyakit diabetes

mellitus.

1.3 Metode

Pembahasan diambil dari berbagai tinjauan pustaka baik dari buku teks atau jurnal.

5

Page 6: Referat DM Stase Interna Paramitha

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, Diabetes melitus

merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang

terjadi karena kelainan sekresiinsulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik

pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan

beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah. World

Health Organization (WHO) sebelumnya telah merumuskan bahwa DM merupakan sesuatu

yang tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat tetapi secara umum

dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi akibat dari

sejumlah faktor di mana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi

insulin. (Sudoyo et.al 2006)

2.2 Klasifikasi

Klasifikasi DM dapat dilihat pada tabel 2.

6

Page 7: Referat DM Stase Interna Paramitha

American Diabetes Association (ADA) dalam Standards of Medical Care in Diabetes

(2009) memberikan klasifikasi diabetes melitus menjadi 4 tipe yang disajikan dalam :

1. Diabetes melitus tipe 1, yaitu diabetes melitus yang dikarenakan oleh adanya destruksi

sel β pankreas yang secara absolut menyebabkan defisiensi insulin.

2. Diabetes melitus tipe 2, yaitu diabetes yang dikarenakan oleh adanya kelainan sekresi

insulin yang progresif dan adanya resistensi insulin.

3. Diabetes melitus tipe lain, yaitu diabetes yang disebabkan oleh beberapa faktor lain

seperti kelainan genetik pada fungsi sel β pankreas, kelainan genetik pada aktivitas

insulin, penyakit eksokrin pankreas (cystic fibrosis), dan akibat penggunaan obat atau

bahan kimia lainnya (terapi pada penderita AIDS dan terapi setelah transplantasi organ).

4. Diabetes melitus gestasional, yaitu tipe diabetes yang terdiagnosa atau dialami selama

masa kehamilan.

2.3 Patofisiologi

2.3.1 Diabetes melitus tipe 1

Pada DM tipe I ( DM tergantung insulin (IDDM), sebelumnya disebut diabetes

juvenilis), terdapat kekurangan insulin absolut sehingga pasien membutuhkan suplai

insulin dari luar. Keadaan ini disebabkan oleh lesi pada sel beta pankreas karena

mekanisme autoimun, yang pada keadaan tertentu dipicu oleh infeksi virus. DM tipe I

terjadi lebih sering pada pembawa antigen HLA tertentu (HLA-DR3 dan HLA-DR4), hal

ini terdapat disposisi genetik. Diabetes mellitus tipe 1, diabetes anak-anak (bahasa

Inggris: childhood-onset diabetes, juvenile diabetes, insulin-dependent diabetes mellitus,

IDDM) adalah diabetes yang terjadi karena berkurangnya rasio insulin dalam sirkulasi

darah akibat defek sel beta penghasil insulin pada pulau-pulau Langerhans pankreas.

IDDM dapat diderita oleh anak-anak maupun orang dewasa, namun lebih sering didapat

pada anak – anak.

2.3.2 Diabetes Melitus tipe 2

Pada DM tipe II (DM yang tidak tergantung insulin (NIDDM), sebelumnya disebut

dengan DM tipe dewasa) hingga saat ini merupakan diabetes yang paling sering terjadi. Pada

tipe ini, disposisi genetik juga berperan penting. Namun terdapat defisiensi insulin relatif;

7

Page 8: Referat DM Stase Interna Paramitha

pasien tidak mutlak bergantung pada suplai insulin dari luar. Pelepasan insulin dapat normal

atau bahkan meningkat, tetapi organ target memiliki sensitifitas yang berkurang terhadap

insulin. Sebagian besar pasien DM tipe II memiliki berat badan berlebih. Obesitas terjadi

karena disposisi genetik, asupan makanan yang terlalu banyak, dan aktifitas fisik yang terlalu

sedikit. Ketidakseimbangan antara suplai dan pengeluaran energi meningkatkan konsentrasi

asam lemak di dalam darah. Hal ini selanjutnya akan menurunkan penggunaan glukosa di

otot dan jaringan lemak. Akibatnya, terjadi resistensi insulin yang memaksa untuk

meningkatan pelepasan insulin. Akibat regulasi menurun pada reseptor, resistensi insulin

semakin meningkat. Obesitas merupakan pemicu yang penting, namun bukan merupakan

penyebab tunggal diabetes tipe II. Penyebab yang lebih penting adalah adanya disposisi

genetic yang menurunkan sensitifitas insulin. Sering kali, pelepasan insulin selalu tidak

pernah normal. Beberapa gen telah di identifikasi sebagai gen yang menigkatkan terjadinya

obesitas dan DM tipe II. Diantara beberapa factor, kelaian genetic pada protein yang

memisahkan rangkaian di mitokondria membatasi penggunaan substrat. Jika terdapat

disposisi genetik yang kuat, diabetes tipe II dapat terjadi pada usia muda. Penurunan

sensitifitas insulin terutama mempengaruhi efek insulin pada metabolisme glukosa,

sedangkan pengaruhnya pada metabolisme lemak dan protein dapat dipertahankan dengan

baik. Jadi, diabetes tipe II cenderung menyebabkan hiperglikemia berat tanpa disertai

gangguan metabolisme lemak.

2.3.3 Diabetes tipe lain

Defisiensi insulin relative juga dapat disebabkan oleh kelainan yang sangat jarang pada

biosintesis insulin, reseptor insulin atau transmisi intrasel. Bahkan tanpa ada disposisi

genetic, diabetes dapat terjadi pada perjalanan penyakit lain, seperti pancreatitis dengan

kerusakan sel beta atau karena kerusakan toksik di sel beta. Diabetes mellitus ditingkatkan

oleh peningkatan pelepasan hormone antagonis, diantaranya, somatotropin (pada

akromegali), glukokortikoid (pada penyakit Cushing atau stress), epinefrin (pada stress),

progestogen dan kariomamotropin (pada kehamilan), ACTH, hormone tiroid dan glucagon.

Infeksi yang berat meningkatkan pelepasan beberapa hormone yang telah disebutkan di atas

sehingga meningkatkan pelepasan beberapa hormone yang telah disebutkan diatas sehingga

meningkatkan manifestasi diabetes mellitus. Somatostatinoma dapat menyebabkan diabetes

karena somatostatin yang diekskresikan akan menghambat pelepasan insulin.

(Silabernagi,2002)

8

Page 9: Referat DM Stase Interna Paramitha

2.4. Diagnosis

Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Diagnosis

tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna penentuan diagnosis DM,

pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik

dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh (whole blood), vena,

ataupun kapiler tetap dapat dipergunakan dengan memperhatikan angka-angka kriteria

diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan

hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler

dengan glukometer.

2.4.1. Diagnosis diabetes melitus

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan adanya

DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti di bawah ini:

Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan

yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.

Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal,mata kabur, dan disfungsi

ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.

Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara:

1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200 mg/dL

sudah cukup untuk menegakkandiagnosis DM

2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL dengan adanya keluhan klasik.

3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75 g glukosa lebih

sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun

pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulang-

ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus.

Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, bergantung pada hasil

yang diperoleh, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok toleransi glukosa terganggu

(TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT).

9

Page 10: Referat DM Stase Interna Paramitha

Keterangan:

1. TGT: Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan glukosa

plasma 2 jam setelah beban antara 140 –199 mg/dL (7,8-11,0 mmol/L).

2. GDPT: Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa

didapatkan antara 100 – 125 mg/dL (5,6– 6,9 mmol/L) dan pemeriksaan TTGO gula darah 2

jam < 140 mg/dL.

Tabel 3. Kriteria diagnosis DM

Ada perbedaan antara uji diagnostik diabetes melitus dengan pemeriksaan penyaring. Uji

diagnostik diabetes melitus dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala atau tanda

diabetes melitus, sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasikan

mereka yang tidak bergejala, yang mempunyai resiko diabetes melitus. Serangkaian uji

diagnostik akan dilakukan kemudian pada mereka yang hasil pemeriksaan penyaringnya

positif, untuk memastikan diagnosis definitif (Sudoyo et.al 2006).

Pemeriksaan penyaring bertujuan untuk menemukan pasien dengan Dibetes melitus,

toleransi glukosa terganggu (TGT) maupun glukosa darah puasa terganggu (GDPT), sehingga

dapat ditangani lebih dini secara tepat. Pasien dengan TGT dan GDPT juga disebut sebagai

intoleransi glukosa, merupakan tahapan sementara menuju diabetes melitus. Kedua keadaan

tersebut merupakan faktor risiko untuk terjadinya diabetes melitus dan penyakit

kardiovaskular di kemudian hari (PERKENI,2006).

10

Page 11: Referat DM Stase Interna Paramitha

Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah

sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi glukosa

oral (TTGO) standar (Sudoyo,Ari W, 2006).

Tabel 4. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai standar penyaring dan

diagnosis diabetes melitus. Sumber : PERKENI, 2006.

Diperlukan anamnesis yang cermat serta pemeriksaan yang baik untuk menentukan

diagnosis diabetes melitus, toleransi glukosa terganggu dan glukosa darah puasa tergagnggu.

Berikut adalah langkah-langkah penegakkan diagnosis diabetes melitus, TGT, dan GDPT.

2.5 Penatalaksanaan

2.5.1. Tujuan penatalaksanaan

Jangka pendek: menghilangkan keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa

nyaman, dan mencapai target pengendalian glukosa darah.

11

Page 12: Referat DM Stase Interna Paramitha

Jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit mikroangiopati,

makroangiopati, dan neuropati.

Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah, tekanan

darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara holistik dengan

mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan perilaku. (PERKENI,2011)

2.5.2.`Evaluasi medis yang lengkap pada pertemuan pertama:

Evaluasi medis meliputi:

Riwayat Penyakit

Gejala yang timbul,

Hasil pemeriksaan laboratorium terdahulu meliputi: glukosa darah, A1C, dan hasil

pemeriksaan khusus yang terkait DM

Pola makan, status nutrisi, dan riwayat perubahan berat badan

Riwayat tumbuh kembang pada pasien anak/dewasa muda

Pengobatan yang pernah diperoleh sebelumnya secara lengkap, termasuk terapi gizi

medis dan penyuluhan yang telah diperoleh tentang perawatan DM secara mandiri,

serta kepercayaan yang diikuti dalam bidang terapi kesehatan

Pengobatan yang sedang dijalani, termasuk obat yang digunakan, perencanaan makan

dan program latihan jasmani

Riwayat komplikasi akut (ketoasidosis diabetik, hiperosmolar hiperglikemia, dan

hipoglikemia)

Riwayat infeksi sebelumnya, terutama infeksi kulit, gigi, dan traktus urogenitalis serta

kaki

Gejala dan riwayat pengobatan komplikasi kronik (komplikasi pada ginjal, mata,

saluran pencernaan, dll.)

Pengobatan lain yang mungkin berpengaruh terhadap glukosa darah

Faktor risiko: merokok, hipertensi, riwayat penyakit jantung koroner, obesitas, dan

riwayat penyakit keluarga (termasuk penyakit DM dan endokrin lain)

Riwayat penyakit dan pengobatan di luar DM

Pola hidup, budaya, psikososial, pendidikan, dan status ekonomi

Kehidupan seksual, penggunaan kontrasepsi, dan kehamilan.

Pemeriksaan Fisik

12

Page 13: Referat DM Stase Interna Paramitha

Pengukuran tinggi badan, berat badan, dan lingkar pinggang

Pengukuran tekanan darah, termasuk pengukuran tekanan darah dalam posisi berdiri

untuk mencari kemungkinan adanya hipotensi ortostatik, serta ankle brachial index

(ABI), untuk mencari kemungkinan penyakit pembuluh darah arteri tepi

Pemeriksaan funduskopi

Pemeriksaan rongga mulut dan kelenjar tiroid

Pemeriksaan jantung

Evaluasi nadi, baik secara palpasi maupun dengan stetoskop

Pemeriksaan ekstremitas atas dan bawah, termasuk jari

Pemeriksaan kulit (acantosis nigrican dan bekas tempat penyuntikan insulin) dan

pemeriksaan neurologis

Tanda-tanda penyakit lain yang dapat menimbulkan DM tipe-lain

Evaluasi Laboratoris / penunjang lain

Glukosa darah puasa dan 2 jam post prandial

A1C

Profil lipid pada keadaan puasa (kolesterol total, HDL, LDL, dan trigliserida)

Kreatinin serum

Albuminuria

Keton, sedimen, dan protein dalam urin

Elektrokardiogram

Foto sinar-x dada

2.5.3. Evaluasi medis secara berkala

• Dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah puasa dan 2 jam sesudah makan, atau pada

waktu-waktu tertentu lainnya sesuai dengan kebutuhan

• Pemeriksaan A1C dilakukan setiap (3-6) bulan

• Secara berkala dilakukan pemeriksaan:

o Jasmani lengkap

o Mikroalbuminuria

o Kreatinin

o Albumin / globulin dan ALT

13

Page 14: Referat DM Stase Interna Paramitha

o Kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL, dan trigliserida

o EKG

o Foto sinar-X dada

o Funduskopi

2.5.4. Pilar penatalaksanaan DM

1. Edukasi

2. Terapi gizi medis

3. Latihan jasmani

4. Intervensi farmakologis

Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan danlatihan jasmani selama beberapa

waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran, dilakukan

intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan insulin.

Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi,

sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres

berat, berat badan yang menurun dengan cepat, dan adanya ketonuria, insulin dapat segera

diberikan. (PERKENI,2011)

Edukasi

Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah terbentuk

dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi aktif pasien,

keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju perubahan

perilaku sehat. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang

komprehensif dan upaya peningkatan motivasi. Pengetahuan tentang pemantauan glukosa

darah mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia serta cara mengatasinya harus diberikan kepada

pasien. Pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat

pelatihan khusus.

Terapi Nutrisi Medis

14

Page 15: Referat DM Stase Interna Paramitha

Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes secara

total. Kunci keberhasilan TNM adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim

(dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain serta pasien dan keluarganya). Setiap

penyandang diabetes sebaiknya mendapat TNM sesuai dengan kebutuhannya guna mencapai

sasaran terapi. Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan

anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan

kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada penyandang diabetes perlu

ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis, dan jumlah

makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin.

A. Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari:

Karbohidrat

Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi.

Pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan

Makanan harus mengandung karbohidrat terutama yang berserat tinggi.

Gula dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang diabetes dapat makan sama

dengan makanan keluarga yang lain

Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.

Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti gula, asal tidak melebihi batas

aman konsumsi harian (Accepted Daily Intake)

Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan karbohidrat dalam sehari.

Kalau diperlukan dapat diberikan makanan selingan buah atau makanan lain sebagai

bagian dari kebutuhan kalori sehari.

Lemak

Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori. Tidak diperkenankan

melebihi 30% total asupan energi.

Lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori

Lemak tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal.

Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak jenuh

dan lemak trans antara lain: daging berlemak dan susu penuh (whole milk).

Anjuran konsumsi kolesterol < 200 mg/hari.

Protein

15

Page 16: Referat DM Stase Interna Paramitha

Dibutuhkan sebesar 10 – 20% total asupan energi.

Sumber protein yang baik adalah seafood (ikan, udang, cumi, dll), daging tanpa

lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu, dan

tempe.

Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan protein menjadi 0,8 g/Kg BB

perhari atau 10% dari kebutuhan energi dan 65% hendaknya bernilai biologik tinggi.

Natrium

Anjuran asupan natrium untuk penyandang diabetes sama dengan anjuran untuk

masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau sama dengan 6-7 gram (1

sendok teh) garam dapur.

Mereka yang hipertensi, pembatasan natrium sampai 2400 mg garam dapur.

Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan bahan pengawet

seperti natrium benzoat dan natrium nitrit.

Serat

Seperti halnya masyarakat umum penyandang diabetes dianjurkan mengonsumsi

cukup serat dari kacang-kacangan, buah, dan sayuran serta sumber karbohidrat yang

tinggi serat, karena mengandung vitamin, mineral, serat, dan bahan lain yang baik

untuk kesehatan.

Anjuran konsumsi serat adalah ± 25 g/hari.

Pemanis alternatif

Pemanis dikelompokkan menjadi pemanis berkalori dan pemanis tak berkalori.

Termasuk pemanis berkalori adalah gula alkohol dan fruktosa.

Gula alkohol antara lain isomalt, lactitol, maltitol, mannitol, sorbitol dan xylitol.

Dalam penggunaannya, pemanis berkalori perlu diperhitungkan kandungan kalorinya

sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.

Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada penyandang diabetes karena efek samping

pada lemak darah.

Pemanis tak berkalori yang masih dapat digunakan antara lain aspartam, sakarin,

acesulfame potassium, sukralose, dan neotame.

Pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman (Accepted Daily

Intake / ADI)

16

Page 17: Referat DM Stase Interna Paramitha

B. Kebutuhan kalori

Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan penyandang

diabetes. Di antaranya adalah dengan memperhitungkan kebutuhan kalori basal yang

besarnya 25-30 kalori/kgBB ideal, ditambah atau dikurangi bergantung pada beberapa faktor

seperti: jenis kelamin, umur, aktivitas, berat badan, dll.

Perhitungan berat badan Ideal (BBI) dengan rumus Brocca yang dimodifikasi adalah sbb:

Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg.

Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150 cm, rumus

dimodifikasi menjadi :

Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm - 100) x 1 kg.

BB Normal : BB ideal ± 10 %

Kurus : < BBI - 10 %

Gemuk : > BBI + 10 %

Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh (IMT).

Indeks massa tubuh dapat dihitung dengan rumus:

Klasifikasi IMT*

BB Kurang < 18,5

BB Normal 18,5-22,9

BB Lebih ≥ 23,0

Keterangan:

o Dengan risiko 23,0-24,9

o Obes I 25,0-29,9

17

IMT = BB(kg)/ TB(m2)

Page 18: Referat DM Stase Interna Paramitha

o Obes II > 30

*WHO WPR/IASO/IOTF dalam The Asia-Pacific Perspective: Redefining Obesity and its

Treatment.

Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain :

1. Jenis Kelamin

Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil daripada pria. Kebutuhan kalori wanita

sebesar 25 kal/kg BB dan untuk pria sebesar 30 kal/ kg BB.

2. Umur

Untuk pasien usia di atas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5% untuk dekade

antara 40 dan 59 tahun, dikurangi 10% untuk dekade antara 60 dan 69 tahun dan

dikurangi 20%, di atas usia 70 tahun.

3. Aktivitas Fisik atau Pekerjaan

Kebutuhan kalori dapat ditambah sesuai dengan intensitas aktivitas fisik.

Penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal diberikan pada kedaaan istirahat,

20% pada pasien dengan aktivitas ringan, 30% dengan aktivitas sedang, dan 50%

dengan aktivitas sangat berat.

4. Berat Badan

Bila kegemukan dikurangi sekitar 20-30% tergantung kepada tingkat kegemukan.Bila

kurus ditambah sekitar 20-30% sesuai dengan kebutuhan untuk meningkatkan BB.

Untuk tujuan penurunan berat badan jumlah kalori yang diberikan paling sedikit

1000-1200 kkal perhari untuk wanita dan 1200-1600 kkal perhari untuk pria.

Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut di atas dibagi dalam 3 porsi

besar untuk makan pagi (20%), siang (30%), dan sore (25%), serta 2-3 porsi makanan ringan

(10-15%) di antaranya. Untuk meningkatkan kepatuhan pasien, sejauh mungkin perubahan

dilakukan sesuai dengan kebiasaan. Untuk penyandang diabetes yang mengidap penyakit

lain, pola pengaturan makan disesuaikan dengan penyakit penyertanya. (PERKENI,2011)

Latihan jasmani

Dianjurkan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu) selama kurang lebih 30

menit,sifatnya sesuai CRIPE (Continuous, Rhithmical, Interval, Progressive training).

18

Page 19: Referat DM Stase Interna Paramitha

Sedapatmungkin mencapai zona sasaran 75-85 % denyut nadi maksimal (220/umur),

disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi penyakit penyerta. Sebagai contoh olahraga

ringan adalah berjalan kaki biasa selama 30 menit, olahraga sedang adalah berjalan selama 20

menit dan olahraga berat misalnya joging. (Sudaryono et.al 2006)

Terapi farmakologis

Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan jasmani (gaya

hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan.

1. Obat hipoglikemik oral

Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan:

A. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinid

B. Peningkat sensitivitas terhadap insulin: metformin dan tiazolidindion

C. Penghambat glukoneogenesis (metformin)

D. Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa.

E. DPP-IV inhibitor

A. Pemicu Sekresi Insulin

1. Sulfonilurea

Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta

pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal dan kurang.

Namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih. Untuk menghindari

hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaaan seperti orang tua, gangguan

faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan

penggunaan sulfonilurea kerja panjang.

2. Glinid

Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan penekanan pada

peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu

19

Page 20: Referat DM Stase Interna Paramitha

Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi

dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini

dapat mengatasi hiperglikemia post prandial.

B. Peningkat sensitivitas terhadap insulin

Tiazolidindion

Tiazolidindion (pioglitazon) berikatan pada Peroxisome Proliferator Activated Receptor

Gamma (PPAR-g), suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak. Golongan ini mempunyai

efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa,

sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion dikontraindikasikan

pada pasien dengan gagal jantung kelas I-IV karena dapat memperberat edema/retensi

cairan dan juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion

perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala.

C. Penghambat glukoneogenesis

Metformin

Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis), di

samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer. Terutama dipakai pada penyandang

diabetes gemuk. Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi

ginjal (serum kreatinin >1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien pasien dengan

kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebro-vaskular, sepsis, renjatan, gagal

jantung). Metformin dapat memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan

tersebut dapat diberikan pada saat atau sesudah makan. Selain itu harus diperhatikan bahwa

pemberian metformin secara titrasi pada awal penggunaan akan memudahkan dokter untuk

memantau efek samping obat tersebut.

D. Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose)

Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga mempunyai

efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbose tidak menimbulkan efek

samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering ditemukan ialah kembung dan

flatulens.

E. DPP-IV inhibitor

20

Page 21: Referat DM Stase Interna Paramitha

Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormon peptida yang dihasilkan oleh

sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi oleh sel mukosa usus bila ada makanan yang

masuk ke dalam saluran pencernaan. GLP-1 merupakan perangsang kuat penglepasan insulin

dan sekaligus sebagai penghambat sekresi glukagon. Namun demikian, secara cepat GLP-1

diubah oleh enzim dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4), menjadi metabolit GLP-1-(9,36)-amide

yang tidak aktif.Sekresi GLP-1 menurun pada DM tipe 2, sehingga upaya yang ditujukan

untuk meningkatkan GLP-1 bentuk aktif merupakan hal rasional dalam pengobatan DM tipe

2. Peningkatan konsentrasi GLP-1 dapat dicapai dengan pemberian obat yang menghambat

kinerja enzim DPP-4 (penghambat DPP-4), atau memberikan hormon asli atau analognya

(analog incretin=GLP-1 agonis). Berbagai obat yang masuk golongan DPP-4 inhibitor,

mampu menghambat kerja DPP-4 sehingga GLP-1 tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam

bentuk aktif dan mampu merangsang penglepasan insulin serta menghambat penglepasan

glukagon.

21

Page 22: Referat DM Stase Interna Paramitha

Tabel 5. Perbandingan Golongan OHO

22

Page 23: Referat DM Stase Interna Paramitha

2. Suntikan

1. Insulin

2. Agonis GLP-1/incretin mimetic

1. Insulin

Insulin diperlukan pada keadaan:

• Penurunan berat badan yang cepat

• Hiperglikemia berat yang disertai ketosis

• Ketoasidosis diabetik

• Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik

• Hiperglikemia dengan asidosis laktat

• Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal

• Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)

• Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali dengan

perencanaan makan

• Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat

• Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO

Jenis dan lama kerja insulin

Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yakni:

• Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)

• Insulin kerja pendek (short acting insulin)

• Insulin kerja menengah (intermediate acting insulin)

• Insulin kerja panjang (long acting insulin)

23

Page 24: Referat DM Stase Interna Paramitha

Efek samping terapi insulin

• Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia.

• Efek samping yang lain berupa reaksi imunologi terhadap insulin yang dapat

menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin.

2. Agonis GLP-1

Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan baru untuk

pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja sebagai perangsang penglepasan insulin yang

tidak menimbulkan hipoglikemia ataupun peningkatan berat badan yang biasanya terjadi pada

pengobatan dengan insulin ataupun sulfonilurea. Agonis GLP-1 bahkan mungkin

menurunkan berat badan. Efek agonis GLP-1 yang lain adalah menghambat penglepasan

glukagon yang diketahui berperan pada proses glukoneogenesis. Pada percobaan binatang,

obat ini terbukti memperbaiki cadangan sel beta pankreas. Efek samping yang timbul pada

pemberian obat ini antara lain rasa sebah dan muntah. (PERKENI,2011)

3. Terapi Kombinasi

Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk kemudian

dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah. Bersamaan dengan

pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan dapat dilakukan pemberian OHO

tunggal atau kombinasi OHO sejak dini. Terapi dengan OHO kombinasi (secara terpisah

ataupun fixed-combination dalam bentuk tablet tunggal), harus dipilih dua macam obat dari

kelompok yang mempunyai mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah

24

Page 25: Referat DM Stase Interna Paramitha

belum tercapai, dapat pula diberikan kombinasi tiga OHO dari kelompok yang berbeda atau

kombinasi OHO dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan klinis di mana

insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi dengan kombinasi tiga OHO dapat menjadi

pilihan. Untuk kombinasi OHO dan insulin, yang banyak dipergunakan adalah kombinasi

OHO dan insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang) yang diberikan

pada malam hari menjelang tidur. Dengan pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat

diperoleh kendali glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal

insulin kerja menengah adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian

dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar glukosa darah puasa keesokan

harinya. Bila dengan cara seperti di atas kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak

terkendali, maka OHO dihentikan dan diberikan terapi kombinasi insulin. (PERKENI,2011)

2.6. Komplikasi

2.6.1. Komplikasi Metabolik Akut

Komplikasi metabolik diabetes disebabkan oleh perubahan yang relatif akut dari konsentrasi

glukosa plasma. Komplikasi metabolik yang paling serius pada diabetes adalah:

A. Ketoasidosis Diabetik (DKA).

Merupakan komplikasi metabolik yang paling serius pada DM . Hal ini terjadi karena

kadar insulin sangat menurun, dan pasien akan mengalami hal berikut: (Boon et.al 2006)

· Hiperglikemia

· Hiperketonemia

· Asidosis metabolik

Hiperglikemia dan glukosuria berat, penurunan lipogenesis ,peningkatan lipolisis dan

peningkatan oksidasi asam lemak bebas disertai pembentukan benda keton (asetoasetat,

hidroksibutirat, dan aseton). Peningkatan keton dalam plasma mengakibatkan ketosis.

Peningkatan produksi keton meningkatkan beban ion hidrogen dan asidosis metabolik.

Glukosuria dan ketonuria yang jelas juga dapat mengakibatkan diuresis osmotik dengan hasil

akhir dehidrasi dan kehilangan elektrolit. Pasien dapat menjadi hipotensi dan mengalami

syok. (Price et.al 2005)

25

Page 26: Referat DM Stase Interna Paramitha

Akhirnya, akibat penurunan penggunaan oksigen otak, pasien akan mengalami koma dan

meninggal. Koma dan kematian akibat DKA saat ini jarang terjadi, karena pasien maupun

tenaga kesehatan telah menyadari potensi bahaya komplikasi ini dan pengobatan DKA dapat

dilakukan sedini mungkin.

Tabel : Penatalaksanaan Ketoasidosis Metabolik

26

Page 27: Referat DM Stase Interna Paramitha

Tanda dan Gejala Klinis dari Ketoasidosis Diabetik

27

Page 28: Referat DM Stase Interna Paramitha

1. Dehidrasi 8. Poliuria

2. Hipotensi (postural atau supine) 9. Bingung

3. Ekstremitas Dingin/sianosis perifer 10. Kelelahan

4. Takikardi 11. Mual-muntah

5. Kusmaul breathing 12. Kaki kram

6. Nafas bau aseton 13. Pandangan kabur

7. Hipotermia 14. Koma (10%)

B. Hiperglikemia, Hiperosmolar, Koma Nonketotik (HHNK)

Komplikasi metabolik akut lain dari diabetes yang sering terjadi pada penderita diabetes

tipe 2 yang lebih tua. Bukan karena defisiensi insulin absolut, namun relatif, hiperglikemia

muncul tanpa ketosis. Ciri-ciri HHNK adalah sebagai berikut: (Price et.al 2005)

· Hiperglikemia berat dengan kadar glukosa serum > 600 mg/dl.

· Dehidrasi berat

· Uremia

Pasien dapat menjadi tidak sadar dan meninggal bila keadaan ini tidak segera ditangani.

Angka mortalitas dapat tinggi hingga 50%. Perbedaan utama antara HHNK dan DKA adalah

pada HHNK tidak terdapat ketosis.

Penatalaksanaan HHNK

Penatalaksanaan berbeda dari ketoasidosis hanya dua tindakan yang terpenting adalah:

Pasien biasanya relatif sensitif insulin dan kira-kira diberikan dosis setengah dari dosis

insulin yang diberikan untuk terapi ketoasidosis, biasanya 3 unit/jam. (Boon et.al 2006)

C. Hipoglikemia (reaksi insulin, syok insulin)

Hipoglikemia adalah keadaan klinik gangguan saraf yang disebabkan penurunan glukosa

darah. Gejala ini dapat ringan berupa gelisah sampai berat berupa koma dengan kejang.

Penyebab tersering hipoglikemia adalah obat-obatan hipoglikemik oral golongan

sulfonilurea, khususnya glibenklamid. Hasil penelitian di RSCM 1990-1991 yang dilakukan

28

Page 29: Referat DM Stase Interna Paramitha

Karsono dkk, memperllihatkan kekerapan episode hipoglikemia sebanyak 15,5 kasus

pertahun, dengan wanita lebih besar daripada pria, dan sebesar 65% berlatar belakang DM.

meskipun hipoglikemia sering pula terjadi pada pengobatan dengan insulin, tetapi biasanya

ringan. Kejadian ini sering timbul karena pasien tidak memperlihatkan atau belum

mengetahui pengaruh beberapa perubahan pada tubuhnya. (Soegondo,2005)

Penyebab Hipoglikemia

1. Makan kurang dari aturan yang ditentukan

2. Berat badan turun

3. Sesudah olah raga

4. Sesudah melahirkan

5. Sembuh dari sakit

6. Makan obat yang mempunyai sifat serupa

Tanda hipoglikemia mulai timbul bila glukosa darah < 50 mg/dl, meskipun reaksi

hipoglikemia bisa didapatkan pada kadar glukosa darah yang lebih tinggi. Tanda klinis dari

hipoglikemia sangat bervariasi dan berbeda pada setiap orang. (Soegondo, 2005)

Tanda-tanda Hipoglikemia

1) Stadium parasimpatik: lapar, mual, tekanan darah turun.

2) Stadium gangguan otak ringan: lemah, lesu, sulit bicara, kesulitan menghitung sederhana.

3) Stadium simpatik: keringat dingin pada muka terutama di hidung, bibir atau tangan,

berdebar-debar.

4) Stadium gangguan otak berat: koma dengan atau tanpa kejang. Keempat stadium

hipoglikemia ini dapat ditemukan pada pemakaian obat oral ataupun suntikan. Ada beberapa

catatan perbedaan antara keduanya:

1) Obat oral memberikan tanda hipoglikemia lebih berat.

29

Page 30: Referat DM Stase Interna Paramitha

2) Obat oral tidak dapat dipastikan waktu serangannya, sedangkan insulin bisa diperkirakan

pada puncak kerjanya, misalnya:

· Insulin reguler : 2-4 jam setelah suntikan

· Insulin NPH : 8-10 jam setelah suntikan

· P.Z.I : 18 jam setelah suntikan

30

Page 31: Referat DM Stase Interna Paramitha

Penatalaksanaan Hipoglikemia

II.7.2. Komplikasi Kronik Jangka Panjang

A. Mikrovaskular / Neuropati7

– Retinopati, katarak : penurunan penglihatan

– Nefropati :gagal ginjal

31

Page 32: Referat DM Stase Interna Paramitha

– Neuropati perifer : hilang rasa, malas bergerak

– Neuropati autonomik : hipertensi, gastroparesis

– Kelainan pada kaki : ulserasi, atropati

B. Makrovaskular

– Sirkulasi koroner : iskemi miokardial/infark miokard

– Sirkulasi serebral : transient ischaemic attack, strok

– Sirkulasi : claudication, iskemik

2.7. Masalah-Masalah Khusus Pada Diabetes

2.7.1. Diabetes dengan Infeksi

Adanya infeksi pada pasien sangat berpengaruh terhadap pengendalian glukosa darah. Infeksi

dapat memperburuk kendali glukosa darah, dan kadar glukosa darah yang tinggi

meningkatkan kemudahan atau memperburuk infeksi. Infeksi yang banyak terjadi antara lain:

Infeksi saluran kemih (ISK)

Infeksi saluran nafas: pneumonia, TB Paru

Infeksi kulit: furunkel, abses

Infeksi rongga mulut: infeksi gigi dan gusi

Infeksi telinga: otitis eksterna maligna

ISK merupakan infeksi yang sering terjadi dan lebih sulit dikendalikan. Dapat

mengakibatkan terjadinya pielonefritis dan septikemia. Kuman penyebab yang sering

menimbulkan infeksi adalah: Escherichia coli dan Klebsiella. Infeksi jamur spesies

kandida dapat menyebabkan sistitis dan abses renal. Pruritus vagina adalah

manifestasi yang sering terjadi akibat infeksi jamur vagina.

Pneumonia pada diabetes biasanya disebabkan oleh: streptokokus, stafilokokus, dan

bakteri batang gram negatif. Infeksi jamur pada pernapasan oleh aspergillosis, dan

mucormycosis juga sering terjadi.

Penyandang diabetes lebih rentan terjangkit TBC paru. Pemeriksaan rontgen dada,

memperlihatkan pada 70% penyandang diabetes terdapat lesi paru-paru bawah dan

kavitasi. Pada penyandang diabetes juga sering disertai dengan adanya resistensi

obat-obat Tuberkulosis.

32

Page 33: Referat DM Stase Interna Paramitha

Kulit pada daerah ekstremitas bawah merupakan tempat yang sering mengalami

infeksi. Kuman stafilokokus merupakan kuman penyebab utama. Ulkus kaki

terinfeksi biasanya melibatkan banyak mikro organisme, yang sering terlibat adalah

stafilokokus, streptokokus, batang gram negatif dan kuman anaerob.

Angka kejadian periodontitis meningkat pada penyandang diabetes dan sering

mengakibatkan tanggalnya gigi. Menjaga kebersihan rongga mulut dengan baik

merupakan hal yang penting untuk mencegah komplikasi rongga mulut.

pada penyandang diabetes, otitis eksterna maligna sering kali tidak terdeteksi sebagai

penyebab infeksi.

2.7.2. Diabetes dengan Nefropati Diabetik

Sekitar 20-40% penyandang diabetes akan mengalami nefropati diabetik

Didapatkannya albuminuria persisten pada kisaran 30-299 mg/24 jam (albuminuria

mikro) merupakan tanda dini nefropati diabetik

Pasien yang disertai dengan albuminuria mikro dan berubah menjadi albuminuria

makro ( >300 mg/24 jam), pada akhirnya sering berlanjut menjadi gagal ginjal kronik

stadium akhir.

Diagnosis

Diagnosis nefropati diabetik ditegakkan jika didapatkan kadar albumin > 30

mg dalam urin 24 jam pada 2 dari 3 kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3- 6

bulan, tanpa penyebab albuminuria lainnya.

Penatalaksanaan

Kendalikan glukosa darah

Kendalikan tekanan darah

Diet protein 0,8 gram/kgBB per hari. Jika terjadi penurunan fungsi ginjal

yang bertambah berat, diet protein diberikan 0,6 – 0,8 gram/kg BB per hari.

Terapi dengan obat penyekat reseptor angiotensin II, penghambat ACE, atau

kombinasi keduanya. Jika terdapat kontraindikasi terhadap penyekat ACE

atau reseptor angiotensin, dapat diberikan antagonis kalsium non

dihidropiridin.

Apabila serum kreatinin >2,0 mg/dL sebaiknya ahli nefrologi ikut dilibatkan

Idealnya bila klirens kreatinin <15 mL/menit sudah merupakan indikasi terapi

pengganti (dialisis, transplantasi).

33

Page 34: Referat DM Stase Interna Paramitha

2.7.3. Diabetes dengan Disfungsi Ereksi (DE)

Prevalensi DE pada penyandang diabetes tipe 2 lebih dari 10 tahun cukup tinggi dan

merupakan akibat adanya neuropati autonom, angiopati dan problem psikis.

DE sering menjadi sumber kecemasan penyandang diabetes, tetapi jarang

disampaikan kepada dokter oleh karena itu perlu ditanyakan pada saat konsultasi.

Pengelolaan DE pada diabetes dapat mengacu pada Penatalaksanaan Disfungsi Ereksi

(Materi Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan, IDI, 1999). DE dapat didiagnosis

dengan menggunakan instrumen sederhana yaitu kuesioner IIEF5 (International Index

of Erectile Function 5).

Upaya pengobatan utama adalah memperbaiki kontrol glukosa darah senormal

mungkin dan memperbaiki faktor risiko DE lain seperti dislipidemia, merokok,

obesitas dan hipertensi.

Perlu diidentifikasi berbagai obat yang dikonsumsi pasien yang berpengaruh

mterhadap timbulnya atau memberatnya DE.

Pengobatan lini pertama ialah terapi psikoseksual dan obat oral antara lain sildenafil

dan vardenafil.

2.7.4. Diabetes dengan Kehamilan/Diabetes Melitus Gestasional

Diabetes melitus gestasional (DMG) adalah suatu gangguan toleransi karbohidrat

(TGT, GDPT, DM) yang terjadi atau diketahui pertama kali pada saat kehamilan

sedang berlangsung.

Penilaian adanya risiko DMG perlu dilakukan sejak kunjungan pertama untuk

pemeriksaan kehamilannya

Faktor risiko DMG antara lain: obesitas, adanya riwayat pernah mengalami DMG,

glukosuria, adanya riwayat keluarga dengan diabetes, abortus berulang, adanya

riwayat melahirkan bayi dengan cacat bawaan atau melahirkan bayi dengan berat >

4000 gram, dan adanya riwayat preeklamsia. Pada pasien dengan risiko DMG yang

jelas perlu segera dilakukan pemeriksaan glukosa darah. Bila didapat hasil glukosa

darah sewaktu ≤ 200 mg/dL atau glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dL yang sesuai

dengan batas diagnosis untuk diabetes, maka perlu dilakukan pemeriksaan pada waktu

yang lain untuk konfirmasi. Pasien hamil dengan TGT dan GDPT dikelola sebagai

DMG.

34

Page 35: Referat DM Stase Interna Paramitha

Diagnosis berdasarkan hasil pemeriksaan TTGO dilakukan dengan memberikan

beban 75 gram glukosa setelah berpuasa 8–14 jam. Kemudian dilakukan pemeriksaan

glukosa darah puasa, 1 jam dan 2 jam setelah beban.

DMG ditegakkan apabila ditemukan hasil pemeriksaan glukosa darah puasa ≤ 95

mg/dL, 1 jam setelah beban < 180 mg/dL dan 2 jam setelah beban ≤ 155 mg/dL.

Apabila hanya dapat dilakukan 1 kali pemeriksaan glukosa darah maka lakukan

pemeriksaan glukosa darah 2 jam setelah pembebanan, bila didapatkan hasil glukosa

darah ≥ 155 mg/dL, sudah dapat didiagnosis sebagai DMG.

Hasil pemeriksaan TTGO ini dapat digunakan untuk memprediksi terjadinya DM

pada ibu nantinya

Penatalaksanaan DMG sebaiknya dilaksanakan secara terpadu oleh spesialis penyakit

dalam, spesialis obstetri ginekologi, ahli diet dan spesialis anak.

Tujuan penatalaksanaan adalah menurunkan angka kesakitan dan kematian ibu,

kesakitan dan kematian perinatal. Ini hanya dapat dicapai apabila keadaan

normoglikemia dapat dipertahankan selama kehamilan sampai persalinan.

Sasaran normoglikemia DMG adalah kadar glukosa darah puasa ≤ 95 mg/dL dan 2

jam sesudah makan ≤ 120 mg/dL. Apabila sasaran kadar glukosa darah tidak tercapai

dengan pengaturan makan dan latihan jasmani, langsung diberikan insulin.

2.7.5. Diabetes dengan Ibadah Puasa

Penyandang diabetes yang terkendali dengan pengaturan makan saja tidak akan

mengalami kesulitan untuk berpuasa. Selama berpuasa Ramadhan, perlu dicermati

adanya perubahan jadwal, jumlah dan komposisi asupan makanan.

Penyandang diabetes usia lanjut mempunyai kecenderungan dehidrasi bila berpuasa,

oleh karena itu dianjurkan minum yang cukup. Perlu peningkatan kewaspadaan pasien

terhadap gejala-gejala hipoglikemia. Untuk menghindarkan terjadinya hipoglikemia

pada siang hari, dianjurkan jadwal makan sahur mendekati waktu imsak/subuh,

kurangi aktivitas fisik pada siang hari dan bila beraktivitas fisik dianjurkan pada sore

hari.

Penyandang diabetes yang cukup terkendali dengan OHO dosis tunggal, juga tidak

mengalami kesulitan untuk berpuasa. OHO diberikan saat berbuka puasa. Hati-hati

terhadap terjadinya hipoglikemia pada pasien yang mendapat OHO dengan dosis

maksimal.

35

Page 36: Referat DM Stase Interna Paramitha

Bagi yang terkendali dengan OHO dosis terbagi, pengaturan dosis obat diberikan

sedemikian rupa sehingga dosis sebelum berbuka lebih besar dari pada dosis sahur.

Untuk penyandang diabetes DM tipe 2 yang menggunakan insulin, dipakai insulin

kerja menengah yang diberikan saat berbuka saja.

Diperlukan kewaspadaan yang lebih tinggi terhadap terjadinya hipoglikemia pada

penyandang diabetes pengguna insulin. Perlu pemantauan yang lebih ketat disertai

penyesuaian dosis dan jadwal suntikan insulin. Bila terjadi gejala hipoglikemia, puasa

dihentikan.

Untuk pasien yang harus menggunakan insulin dosis multipel dianjurkan untuk tidak

berpuasa dalam bulan Ramadhan.

Sebaiknya momentum puasa Ramadhan ini digunakan untuk lebih meningkatkan

pengetahuan dan ketaatan berobat para penyandang diabetes. Dengan berpuasa

Ramadhan diharapkan adanya perubahan psikologis yang menciptakan rasa lebih

sehat bagi penyandang diabetes.

2.7.6. Diabetes pada Pengelolaan Perioperatif

Tindakan operasi, khususnya dengan anestesi umum merupakan faktor stres pemicu

terjadinya penyulit akut diabetes, oleh karena itu setiap operasi elektif pada

penyandang diabetes harus dipersiapkan seoptimal mungkin sasaran kadar glukosa

darah puasa <150 mg/dL, PERKENI 2002)

2.7.7. Dislipidemia pada Diabetes

Dislipidemia pada penyandang diabetes lebih meningkatkan risiko timbulnya penyakit

kardiovaskular.

Perlu pemeriksaan profil lipid pada saat diagnosis diabetes ditegakkan. Pada pasien

dewasa pemeriksaan profil lipid sedikitnya dilakukan setahun sekali dan bila dianggap

perlu dapat dilakukan lebih sering. Sedangkan pada pasien yang pemeriksaan profil

lipid menunjukkan hasil yang baik (LDL<100mg/dL; HDL>50 mg/dL (laki-laki >40

mg/dL, wanita >50 mg/dL); trigliserid <150 mg/dL), pemeriksaan profil lipid dapat

dilakukan 2 tahun sekali.

Gambaran dislipidemia yang sering didapatkan pada penyandang diabetes adalah

peningkatan kadar trigliserida, dan penurunan kadar kolesterol HDL, sedangkan kadar

kolesterol LDL normal atau sedikit meningkat.

36

Page 37: Referat DM Stase Interna Paramitha

Perubahan perilaku yang tertuju pada pengurangan asupan kolesterol dan penggunaan

lemak jenuh serta peningkatan aktivitas fisik terbukti dapat memperbaiki profil lemak

dalam darah.

Dipertimbangkan untuk memberikan terapi farmakologis sedini mungkin bagi

penyandang diabetes yang disertai dislipidemia

Target terapi:

• Pada penyandang DM, target utamanya adalah penurunan LDL

• Pada penyandang diabetes tanpa disertai penyakit kardiovaskular: LDL <100 mg/dL (2,6

mmol/L)

• Pasien dengan usia >40 tahun, dianjurkan diberi terapi statin untuk menurunkan LDL

sebesar 30- 40% dari kadar awal

• Pasien dengan usia <40 tahun dengan risiko penyakit kardiovaskular yang gagal dengan

perubahan gaya hidup, dapat diberikan terapi farmakologis

Pada penyandang DM dengan penyakit AcuteCCoronary Syndrome (ACS) atau telah

diketahui penyakit pembuluh darah lainnya atau mempunyai banyak faktor risiko maka :

o LDL <70 mg/dL (1,8 mmol/L)

o Semua pasien diberikan terapi statin untuk menurunkan LDL sebesar 30-40%.

• Trigliserida < 150 mg/dL (1,7 mmol/L)

• HDL > 40 mg/dL (1,15 mmol/L) untuk pria dan >50 mg/dL untuk wanita

Setelah target LDL terpenuhi, jika trigliserida ≥ 150 mg/dL (1,7 mmol/L) atau HDL ≤

40 mg/dL (1,15 mmol/L) dapat diberikan niasin atau fibrat

Apabila trigliserida ≥ 400 mg/dL (4,51 mmol/L) perlu segera diturunkan dengan

terapi farmakologis untuk mencegah timbulnya pankreatitis.

Terapi kombinasi statin dengan obat pengendali lemak yang lain mungkin diperlukan

untuk mencapai target terapi, dengan memperhatikan peningkatan risiko timbulnya

efek samping.

37

Page 38: Referat DM Stase Interna Paramitha

Niasin merupakan salah satu obat alternatif yang dapat digunakan untuk

meningkatkan HDL, namun pada dosis besar dapat meningkatkan kadar glukosa

darah

Pada wanita hamil penggunaan statin merupakan kontra indikasi

2.7.8. Hipertensi pada Diabetes

Indikasi pengobatan : Bila TD sistolik >130 mmHg dan / atau TD diastolik >80

mmHg.

Sasaran (target penurunan) tekanan darah: Tekanan darah <130/80 mmHg Bila

disertai proteinuria ≥ 1gram / 24 jam : < 125/75 mmHg

Pengelolaan:

Non-farmakologis: Modifikasi gaya hidup antara lain: menurunkan berat badan,

meningkatkan aktivitas fisik, menghentikan merokok dan alkohol, serta mengurangi

konsumsi garam

Farmakologis: Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memilih obat anti-hipertensi

(OAH):

Pengaruh OAH terhadap profil lipid

Pengaruh OAH terhadap metabolisme glukosa

Pengaruh OAH terhadap resistensi insulin

Pengaruh OAH terhadap hipoglikemia terselubung

Obat anti hipertensi yang dapat dipergunakan:

Penghambat ACE

Penyekat reseptor angiotensin II

Penyekat reseptor beta selektif, dosis rendah

Diuretik dosis rendah

Penghambat reseptor alfa

Antagonis kalsium

38

Page 39: Referat DM Stase Interna Paramitha

Pada pasien dengan tekanan darah sistolik antara 130-139 mmHg atau tekanan

diastolik antara 80-89 mmHg diharuskan melakukan perubahan gaya hidup sampai

3 bulan. Bila gagal mencapai target dapat ditambahkan terapi farmakologis

Pasien dengan tekanan darah sistolik >140 mmHg atau tekanan diastolik >90

mmHg, dapat diberikan terapi farmakologis secara langsung

Diberikan terapi kombinasi apabila target terapi tidak dapat dicapai dengan

monoterapi.

Catatan

- Penghambat ACE, penyekat reseptor angiotensin II (ARB = angiotensin II receptor

blocker) dan antagonis kalsium golongan non-dihidropiridin dapat memperbaiki

mikroalbuminuria.

- Penghambat ACE dapat memperbaiki kinerja kardiovaskular.

- Diuretik (HCT) dosis rendah jangka panjang, tidak terbukti memperburuk toleransi glukosa.

- Pengobatan hipertensi harus diteruskan walaupun sasaran sudah tercapai.

- Bila tekanan darah terkendali, setelah satu tahun dapat dicoba menurunkan dosis secara

bertahap.

- Pada orang tua, tekanan darah diturunkan secara bertahap.

2.7.9. Obesitas pada Diabetes

Prevalensi obesitas pada DM cukup tinggi, demikian pula kejadian DM dan gangguan

toleransi glukosa pada obesitas cukup sering dijumpai

Obesitas, terutama obesitas sentral secara bermakna berhubungan dengan sindrom

dismetabolik (dislipidemia, hiperglikemia, hipertensi), yang didasari oleh resistensi

insulin

Resistensi insulin pada diabetes dengan obesitas membutuhkan pendekatan khusus

2.7.10. Gangguan koagulasi pada Diabetes

39

Page 40: Referat DM Stase Interna Paramitha

Terapi aspirin 75-160 mg/hari diberikan sebagai strategi pencegahan sekunder bagi

penyandang diabetes dengan riwayat pernah mengalami penyakit kardiovaskular dan

yang mempunyai risiko kardiovaskular lain.

Terapi aspirin 75-160 mg/hari digunakan sebagai strategi pencegahan primer pada

penyandang diabetes tipe 2 yang merupakan faktor risiko kardiovaskular, termasuk

pasien dengan usia > 40 tahun yang memiliki riwayat keluarga penyakit

kardiovaskular dan kebiasaan merokok, menderita hipertensi, dislipidemia, atau

albuminuria

Aspirin dianjurkan tidak diberikan pada pasien dengan usia di bawah 21 tahun, seiring

dengan peningkatan kejadian sindrom Reye

Terapi kombinasi aspirin dengan antiplatelet lain dapat dipertimbangkan

pemberiannya pada pasien yang memiliki risiko yang sangat tinggi.

Penggunaan obat antiplatelet selain aspirin dapat dipertimbangkan sebagai pengganti

aspirin pada pasien yang mempunyai kontra indikasi dan atau tidak tahan terhadap

penggunaan aspirin. (PERKENI, 2011)

2.7. Prognosis

Prognosis pada penderita diabetes tipe 2 bervariasi. Namun pada pasien diatas

prognosisnya dapat baik apabila pasien bisa memodifikasi (meminimalkan) risiko timbulnya

komplikasi dengan baik. Serangan jantung , stroke, dan kerusakan saraf dapat terjadi.

Beberapa orang dengan diabetes mellitus tipe 2 menjadi tergantung pada hemodialisa akibat

kompilkasi gagal ginjal. Ada banyak hal yang dapat dilakukan untuk meminimalkan risiko

komplikasi :

· Makan makanan yang sehat / gizi seimbang (rendah lemak, rendah gula), perbanyak

konsumsi serat (buncis 150gr/hari, pepaya, kedondong, salak, tomat, semangka, dainjurkan

pisang ambon namun dalam jumlah terbatas)

· Gunakan minyak tak jenuh / PUFA (minyak jagung)

· Hindari konsumsi alcohol dan olahraga yang berlebihan

· Pertahankan berat badan ideal

· Kontrol ketat kadar gula darah, HbA1c, tekanan darah, profil lipid

· Konsumsi aspirin untuk cegah ateroskelrosis (pada orang dalam kategori prediabetes)

40

Page 41: Referat DM Stase Interna Paramitha

2.8.Pencegahan

Menurut WHO tahun 1994, upaya pencegahan pada diabetes ada 3 tahap yaitu (Suyono,

2006) :

Pencegahan primer: Semua aktifitas ditujukan untuk mencegah timbulnya hiperglikemia

pada individu yang berisiko untuk jadi diabetes atau pada populasi umum. (cegah agar tidak

sampai menjadi DM)

Pencegahan sekunder: Menemukan pengidap DM sedini mungkin, misalnya dengan tes

penyaringan terutama pada populasi resiko tinggi. Dengan demikian pasien diabetes yang

sebelumnya tidak terdiagnosis dapat terjaring, hingga dengan demikian dapat dilakukan

upaya untuk mencegah komplikasi atau kalaupun sudah ada komplikasi masih reversible.

(cegah kompilkasi)

Pencegahan tersier: Semua upaya untuk mencegah kecacatan akibat komplikasi yang sudah

ada. Usaha ini meliputi:

- Mencegah progresi dari pada komplikasi itu supaya tidak menjadi kegagalan organ (jangan

sampai timbul chronic kidney disease)

- Mencegah kecacatan tubuh

Strategi pencegahan

Dalam menyelenggarakan upaya pencegahan ini diperlukan suatu strategi yang efisien dan

efektif untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Seperti juga pada pencegahan penyakit

menular, ada 2 macam strategi untuk dijalankan, antara lain (Suyono, 2006) :

1. Pendekatan populasi/masyarakat

Semua upaya yang bertujuan untuk mengubah perilaku masyarakat umum. Yang dimaksud

adalah mendidik masyarakat agar menjalankan cara hidup berisiko. Upaya ini ditujukan tidak

hanya untuk mencegah diabetes tetapi juga untuk mencegah penyakit lain sekaligus. Upaya

ini sangat berat karena target populasinya sangat luas, oleh karena itu harus dilakukan tidak

saja oleh profesi tetapi harus oleh segala lapisan masyarakat termasuk pemerintah dan swasta

(LSM, pemuka masyarakat dan agama).

2. Pendekatan individu berisiko tinggi

41

Page 42: Referat DM Stase Interna Paramitha

Semua upaya pencegahan yang dilakukan pada individu-individu yang berisiko untuk

menderita penyakit diabetes pada suatu saat kelak. Pada golongan ini termasuk individu

yang: berumur >40th, gemuk, hipertensi, riwayat keluarga DM, riwayat melahirkan >4kg,

riwayat DM pada saat kehamilan, dislipidemia.

42

Page 43: Referat DM Stase Interna Paramitha

BAB III

KESIMPULAN

Penyakit Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit tidak menular yang mengalami

peningkatan terus menerus dari tahun ke tahun. Efek kronik dari penyakit DM juga menjadi

perhatian yang serius selain dari segi epidemologi. Penyakit Diabetes Mellitus merupakan the

great imitator. Hal ini disebabkan penyakit DM mampu menyebabkan kerusakan organ

secara menyeluruh secara anatomis maupun fungsional . Diabetes Mellitus adalah

sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau

hiperglikemia . Patogenesis diabetes mellitus memlibatkan faktor –faktor genetik,

biomolekuler, imunologi, dan lingkungan. Penyakit diabetes mellitus memerlukan

penatalaksanaan medis dan keperawatan untuk mencegah komplikasi akut seperti

ketoasidosis dan sindrom koma hiperglikemik hiperosmolar non ketotik yang dapat

menyebabkan kematian dan juga dapat menimbulkan komplikasi jangka panjang, seperti

penyakit makrovaskuler, penyakit mikrovaskuler dan penyakit oftamologi lainnya. Penyakit

diabetes mellitus perlu mendapat perhatian dan penanganan yang baik oleh dokter serta

petugas medis lainnya. Secara kuratif dan rehabilitatif seperti pengontrolan kadar gula darah,

melakukan perawatan luka dan mengatur diet makanan yang harus dimakan sehingga tidak

terjadi peningkatan kadar gula darah. Selain itu dokter juga berperan secara preventif yaitu

dengan cara memberikan pendidikan kesehatan tentang penyakit diabetes melitus untuk

meningkatkan pemahaman pasien dan mencegah terjadinya komplikasi. Komplikasi DM akut

dan kronik frekuensinya masih sangat tinggi di Indonesia, karena kesadaran/ kepatuhan

penderita masih rendah, tenaga medis yang belum memadai dalam pencegahan primer,

sekunder, dan tersier, dan fasilitas RS belum memadai dan merata.

43

Page 44: Referat DM Stase Interna Paramitha

DAFTAR PUSTAKA

1. Soegondo, Sidartawan. Soewondo, Pradana. Subekti, Imam. 1995. Penatalaksanaan

Diabetes Melitus Terpadu. Cetakan kelima, 2005. Jakarta:Balai Penerbit FKUI.

2. Suyono, Slamet. Diabetes Melitus di Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.

Jilid III, Ed.IV. 2006. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

3. Fauci, Anthony S. Braunwald, Eugene. Kasper, Dennis L. Hauser, Stephen L.

Harrison’s Principle of Internal Medicine. 17th Edition. The McGraw-Hill

Companies. 2008.

4. Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam. Jilid III. Edisi IV. Jakrta: IPD FKUI. 2006.

5. Silabernagi, Stefan. Florian Lang. Penyebab Diabetes Melitus. Teks & Atlas

Berwarna Patofisiologi. 2002. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC.

6. Hiswani. Peranan Gizi Dalam Diabetes Mellitus.2009

7. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 : PERKENI 2011

8. Boon, Nicholas A. Walker, Brian. Davidson’s Principles and Practice of

Medicine. 20th Edition. Elsevier. 2006.

9. Price, Sylvia Anderson. Wilson, Lorraine McCarty. Patofisologi Konsep Klinis

Proses-proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC. 2005

44