Upload
elin-taopan
View
219
Download
4
Embed Size (px)
DESCRIPTION
referat karsinoma nasofaring
Citation preview
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa yang telah menolong dan memberkati kami menyelesaikan refarat ini.
Referat ini disusun untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik di RSUD Prof. DR. W. Z. Yohannes Kupang yang bertujuan agar penyusun lebih memahami mengenai Karsinoma Nasofaring.
Dalam penyusunan referat ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada dr. M. A. Sri Wahyuningsih, Sp.THT-KL selaku pembimbing, atas arahan dan bimbingan dalam penyusunan referat ini.
Akhir kata, penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna, baik dari pemikran, pengetahuan, penyusunan bahasa, maupun sistematika. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak yang membaca referat ini sangat diharapkan guna menjadi pelajaran bagi penulis dalam menyusun referat di waktu yang akan datang dan semoga referat ini dapat bermanfaat bagi semua yang membacanya.
Penulis
HALAMAN PENGESAHAN
Referat ini diajukan oleh:
Nama : Lewis Richart Adson Nggeolima
Fakultas : Kedokteran Universitas Nusa Cendana Kupang
Bagian : Telinga Hidung dan Tenggorokan
Referat ini telah disusun dan dilaporkan dalam rangka memenuhi salah satu syarat Kepaniteraan
Klinik di Bagian Ilmu Telinga Hidung dan Tenggorokan RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes
Kupang.
PEMBIMBING KLINIK
1. dr. Ni Wayan Rini, Sp. THT-KL (……………………………………)
Ditetapkan di : Kupang
Tanggal : 2016
BAB I
PENDAHULUAN
Karsinoma nasofaring adalah pertumbuhan sel yang ganas dan tidak terkendali
terdiri dari sel-sel epithelial yang cenderung menginfiltrasi jaringan sekitarnya sebagai
proses metastasis. Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan keganasan di daerah kepala
dan leher yang merupakan tumor lima besar diantara keganasan bagian tubuh lain
bersama dengan kanker serviks, kanker payudara, tumor ganas getah bening dan kanker
kulit sedangkan di daerah kepala dan leher menduduki tempat pertama (KNF mendapat
persentase hampir 60% dari tumor di daerah kepala dan leher, diikuti tumor ganas hidung
dan sinus paranasal 18%, laring 16%, dan tumor ganas rongga mulut, tonsil dan faring).
Angka kejadian karsinoma nasofaring paling tinggi ditemukan di Asia dan jarang
ditemukan di Amerika dan Eropa1. Angka kejadian karsinoma nasofaring di Indonesia
adalah cukup tinggi yaitu 4,7: 100.000 kasus pertahun.1,2
Gejala awal yang sering ditemukan ialah hidung buntu, perdarahan dari hidung,
pendengaran menurun, tinitus dan sakit kepala. Ada juga pasien datang dengan keluhan
benjolan atau massa pada leher, ini terjadi apabila terjadi metastase sel-sel ganas ke
kelenjar getah bening regional sehingga kebanyakan penderita datang sudah pada stadium
lanjut dan ini menyebabkan kematian tinggi selama satu tahun setelah terapi radiasi.
Sampai saat ini terapi yang memuaskan belum ditemukan. Keberhasilan terapi sangat
ditentukan oleh stadium penderita.1,2
Dengan mengetahui hal-hal tersebut, sangat diperlukan pengetahuan mengenai
kanker nasofaring sehingga diharapkan dokter umum dapat berperan dalam pencegahan,
deteksi dini, terapi maupun rehabilitasi dari karsinoma nasofaring ini.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Karsinoma adalah pertumbuhan sel yang ganas dan tidak terkendali terdiri dari
sel-sel epithelial yang cenderung menginfiltrasi jaringan sekitarnya sebagai proses
metastasis.
Nasofaring merupakan suatu rongga dengan dinding kaku yang merupakan bagian
dari faring dan terletak dibelakang hidung.
Karsinoma Nasofaring merupakan tumor ganas yang timbul pada epithelial
pelapis ruangan dibelakang hidung (nasofaring).1
2.2. EPIDEMIOLOGI
Insiden karsinoma nasofaring relatif tinggi di seluruh dunia, di Selatan Negara
China, insidennya mencapai 10-15:100 000 pada laki-laki dan 5-10:100 000 pada
perempuan. Di daerah Guandong dan Guangxi insiden KNF mencapai 50:100 000
orang.2,3
Di Indonesia insiden KNF sebanyak 4,7:100 000 orang pertahun dimana
parbandingan laki-laki dengan perempuan berkisar 2-3:1 orang menurut survey tahun
2005.1
2.3. ANATOMI NASOFARING
Nasofaring merupakan rongga dibelakang hidung dengan dinding kaku di bagian
atas, belakang dan lateral yang merupakan bagian dari faring.
Batas nasofaring:
Superior : basis kranii, diliputi oleh mukosa dan fascia
Inferior : bidang horizontal yang ditarik dari palatum durum ke posterior, bersifat
subjektif karena tergantung dari palatum durum.
Anterior : choane, oleh os vomer dibagi atas choane kanan dan kiri.
Posterior :
- vertebra cervicalis I dan II
- Fascia space = rongga yang berisi jaringan longgar
- Mukosa lanjutan dari mukosa atas
Lateral :
- mukosa lanjutan dari mukosa atas dan belakang
- Muara tuba eustachii
- Fossa rosenmulleri
Pada dinding lateral nasofaring lebih kurang 1,5 inci dari bagian belakang konka
nasal inferior terdapat muara tuba eustachius. Pada bagian belakang atas muara tuba
eustachius terdapat penonjolan tulang yang disebut torus tubarius dan dibelakangnya
terdapat suatu lekukan dari fossa Rosenmuller dan tepat diujung atas posteriornya terletak
foramen laserum. Pada daerah fossa ini sering terjadi pertumbuhan jaringan limfe yang
menyempitkan muara tuba eustachius sehingga mengganggu ventilasi udara telinga
tengah.1
Dinding lateral nasofaring merupakan bagian terpenting, dibentuk oleh lamina
faringobasilaris dari fasia faringeal dan otot konstriktor faring superior. Fasia ini
mengandung jaringan fibrokartilago yang menutupi foramen ovale, foramen jugularis,
kanalis karotis dan kanalis hipoglossus. Struktur ini penting diketahui karena merupakan
tempat penyebaran tumor ke intrakranial.
Gambar 1 Anatomi nasofaring
Gambar 2 Fossa of Rosenmuller
Nasofaring berbentuk kerucut dan selalu terbuka pada waktu respirasi karena
dindingnya dari tulang, kecuali dasarnya yang dibentuk oleh palatum molle.
Nasofaring akan tertutup bila paltum molle melekat ke dinding posterior pada waktu
menelan, muntah, mengucapkan kata-kata tertentu.
Struktur penting yang ada di Nasopharing
1. Ostium Faringeum tuba auditiva muara dari tuba auditiva
2. Torus tubarius, penonjolan di atas ostium faringeum tuba auditiva yang disebabkan
karena cartilago tuba auditiva
3. Torus levatorius, penonjolan di bawah ostium faringeum tuba auditiva yang
disebabkan karena musculus levator veli palatini.
4. Plica salpingopalatina, lipatan di depan torus tubarius
5. Plica salpingopharingea, lipatan di belakang torus tubarius, merupakan penonjolan dari
musculus salphingopharingeus yang berfungsi untuk membuka ostium faringeum tuba
auditiva terutama ketika menguap atau menelan.
6. Recessus Pharingeus disebut juga fossa rossenmuller. Merupakan tempat predileksi
Karsinoma Nasofaring.
7. Tonsila pharingea, terletak di bagian superior nasopharynx. Disebut adenoid jika ada
pembesaran. Sedangkan jika ada inflammasi disebut adenoiditis.
8. Tonsila tuba, terdapat pada recessus pharingeus.
9. Isthmus pharingeus merupakan suatu penyempitan di antara nasopharing dan
oropharing karena musculus sphincterpalatopharing
10. Musculus constrictor pharingeus dengan origo yang bernama raffae pharingei
2.4. ETIOLOGI
Penyebab karsinoma nasoaring (KNF) secara umum dibagi menjadi tiga, yaitu
genetik, lingkungan dan virus Ebstein Barr.4
2.4.1. Genetik
Perubahan genetik mengakibatkan proliferasi sel-sel kanker secara tidak terkontrol.
Beberapa perubahan genetik ini sebagian besar akibat mutasi, putusnya kromosom, dan
kehilangan sel-sel somatik.5 Sejumlah laporan menyebutkan bahwa HLA (Human Leucocyte
antigen) berperan penting dalam kejadian KNF. Teori tersebut didukung dengan adanya studi
epidemiologik mengenai angka kejadian dari kanker nasofaring. Kanker nasofaring banyak
ditemukan pada masyarakat keturunan Tionghoa.5
2.4.2. Virus Ebstein Barr
Pada hampir semua kasus kanker nasofaring telah mengaitkan terjadinya kanker
nasofaring dengan keberadaan virus Ebstein Barr.5 Virus ini merupakan virus DNA yang
diklasifikasi sebagai anggota famili virus Herpes yang saat ini telah diyakini sebagai agen
penyebab beberapa penyakit yaitu, mononucleosis infeksiosa, penyakit Hodgkin,
limfoma-Burkitt dan kanker nasofaring. Virus ini seringkali dijumpai pada beberapa
penyakit keganasan lainnya tetapi juga dapat dijumpai menginfeksi orang normal tanpa
menimbulkan manifestasi penyakit.5 Virus tersebut masuk ke dalam tubuh dan tetap
tinggal di sana tanpa menyebabkan suatu kelainan dalam jangka waktu yang lama. Untuk
mengaktifkan virus ini dibutuhkan suatu mediator. Jadi, adanya virus ini tanpa faktor
pemicu lain tidak cukup untuk menimbulkan proses keganasan.5
2.4.3. Lingkungan
Ikan yang diasinkan kemungkinan sebagai salah satu faktor etiologi terjadinya
kanker nasofaring. Teori ini didasarkan atas insiden kanker nasofaring yang tinggi pada
nelayan tradisionil di Hongkong yang mengkonsumsi ikan kanton yang diasinkan dalam
jumlah yang besar dan kurang mengkonsumsi vitamin, sayur, dan buah segar. Faktor lain
yang diduga berperan dalam terjadinya kanker nasofaring adalah debu, asap rokok, uap
zat kimia, asap kayu bakar, asap dupa, serbuk kayu industri, dan obat-obatan tradisional,
tetapi hubungan yang jelas antara zat-zat tersebut dengan kanker nasofaring belum dapat
dijelaskan.5
Belakangan ini penelitian dilakukan terhadap pengobatan alami (chinese herbal
medicine atau CHB) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara terjadinya
kanker nasofaring, infeksi Virus Epstein Barr (EBV), dan penggunaan CHB. Kebiasaan
merokok dalam jangka waktu yang lama juga mempunyai resiko yang tinggi menderita
kanker nasofaring.5
2.5. PATHOGENESIS
Gambar 3. Skema pathogenesis KNF
Hubungan antara virus Epstein-Barr (EBV) dan konsumsi nitrosamine diketahui
sebagai penyebab utama terjadinya karsinoma nasofaring. EBV adalah suatu virus dari
keluarga herpes (yang termasuk Virus herpes simpleks dan Cytomegalovirus), yang
merupakan salah satu virus-virus paling umum di dalam manusia. Banyak orang yang terkena
infeksi EBV, yang sering asimptomatis tetapi biasanya penyakit akibat radang yang cepat
menyebar. Virus tersebut dapat masuk ke dalam tubuh dan tetap tinggal disana tanpa
menyebabkan suatu kelainan dalam jangka waktu yang lama.2
Untuk mengaktifkan virus ini dibutuhkan suatu mediator. Kebiasaan untuk
mengkonsumsi ikan asin atau makanan dengan kandungan garam tinggi secara terus
menerus mulai dari masa anak-anak, merupakan mediator utama yang dapat
mengaktifkan virus ini sehingga menimbulkan karsinoma nasofaring.
2.6. Diagnosis
Diagnosis KNF dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan juga pemeriksaan
penunjang.
Adapun kriteria Digby, dimana menggunakan skoring untuk setiap gejala mempunyai nilai
diagnostik dan berdasarkan jumlah nilai dapat menentukan KNF.5
Tabel 1. Digby skoring
Jika jumlah nilai mencapai 50, diagnosa klinik karsinoma nasofaring dapat
dipertangungjawabkan. Sekalipun secara klinik jelas karsinoma nasofaring, namun biopsi
tumor primer mutlak dilakukan, selain untuk konfirmasi diagnosis histopatologi, juga
menentukan subtipe histopatologi yang erat kaitannya dengan pengobatan dan prognosis.
2.6.1. Manisfestasi klinis
Simtomatologi ditentukan oleh hubungan anatomi nasofaring terhadap hidung, tuba
Eustachii dan dasar tengkorak1,4,5
a. Gejala Hidung :
- Epistaksis: rapuhnya mukosa hidung sehingga mudah terjadi perdarahan.
- Sumbatan hidung. Sumbatan menetap karena pertumbuhan tumor kedalam
rongga nasofaring dan menutupi koana, gejalanya : pilek kronis, ingus
kental, gangguan penciuman.
b. Gejala telinga
- Kataralis/ oklusi tuba Eustachii : tumor mula-mula di fosa Rosen Muler,
pertumbuhan tumor dapat menyebabkan penyumbatan muara tuba
(berdengung, rasa penuh, kadang gangguan pendengaran)
- Otitis Media Serosa sampai perforasi dan gangguan pendengaran
c. Gejala lanjut
- Limfadenopati servikal : melalui pembuluh limfe, sel-sel kanker dapat
mencapai kelenjar limfe dan bertahan disana. Dalam kelenjar ini sel tumbuh
dan berkembang biak hingga kelenjar membesar dan tampak benjolan di
leher bagian samping, lama kelamaan karena tidak dirasakan kelenjar akan
berkembang dan melekat pada otot sehingga sulit digerakkan.
d. Gejala mata dan saraf
- Gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut karsinoma
ini dikarenakan posisi anatomi nasofaring yang berhubungan dekat dengan
rongga tengkorak melalui beberapa lubang/foramen. Penjalaran melalui
foramen laserum akan mengenai saraf otak ke II, IV, VI dan dapat pula ke
V, sehingga tidak jarang gejala diplopia lah yang membawa pasien lebih
dahulu ke dokter mata. Neuralgia trigeminal merupakan gejala yang sering
ditemukan oleh ahli saraf jika belum terdapat keluhan lain yang berarti.
- Sebelum terjadi kelumpuhan saraf kranial, didahului oleh gejala subyektif
dari penderita seperti : kepala sakit atau pusing, hipestesia daerah pipi dan
hidung, kadang sulit menelan atau disfagia. Perluasan kanker primer ke
dalam kavum kranii akan menyebabkan kelumpuhan N. II, III, IV, V dan VI
akibat kompresi maupun infiltrasi atau perluasan tumor menembus jaringan
sekitar atau juga secara hematogen dengan manifestasinya adalah diplopia.
Gejala saraf kranialis meliputi :
- Kerusakan N.I bisa terjadi karena karsinoma nasofaring sudah mendesak N.I
melalui foramen olfaktorius pada lamina kribrosa. Penderita akan mengeluh
anosmia,
- Sindroma Petrosfenoidal. Pada sindroma ini nervi kranialis yang terlibat
secara berturut-turut adalah N.IV, III, VI dan yang paling akhir mengenai
N.II. Paresis N.II, apabila perluasan kanker mengenai kiasma optikum maka
N.optikus akan lesi sehingga penderita memberikan keluhan penurunan
tajam penglihatan. Paresis N.III menimbulkan kelumpuhan mata m.levator
palpebra dan m.tarsalis superior sehingga menyebabkan oftalmoplegia serta
ptosis bulbi (kelopak mata atas menurun), fissura palpebra menyempit dan
kesulitan membuka mata. Paresis N.III, IV dan VI akan menimbulkan
keluhan diplopia
- Parese N.V yang merupakan saraf motorik dan sensorik, akan menimbulkan
keluhan parestesi sampai hipestesi pada separuh wajah atau timbul neuralgia
pada separuh wajah
- Sindroma parafaring. Proses pertumbuhan dan perluasan lanjut karsinoma,
akan mengenai saraf otak N.kranialis IX, X, XI, dan XII jika penjalaran
melalui foramen jugulare, yaitu suatu tempat yang relatif jauh dari
nasofaring. Gangguan ini sering disebut dengan sindrom Jackson. Bila
sudah mengenai seluruh saraf otak disebut sindrom unilateral. Dapat pula
disertai dengan destruksi tulang tengkorak dengan prognosis buruk. Parese
N.IX menimbulkan gejala klinis : hilangnya refleks muntah, disfagia ringan,
deviasi uvula ke sisi sehat, hilangnya sensasi pada laring, tonsil, bagian atas
tenggorok dan belakang lidah, salivasi meningkat akibat terkenanya pleksus
timpani pada lesi telinga tengah, takikardi pada sebagian lesi N.IX mungkin
akibat gangguan refleks karotikus. Paresis N.X akan memberikan gejala :
gejala motorik (afoni, disfoni, perubahan posisi pita suara, disfagia, spasme
otot esofagus), gejala sensorik (nyeri daerah faring dan laring, dispnea,
hipersalivasi). Parese N.XI akan menimbulkan kesukaran mengangkat dan
memutar kepala dan dagu. Parese N.XII akibat infiltrasi tumor melalui
kanalis n.hipoglossus atau dapat pula karena parese otot-otot yang
dipersarafi yaitu m.stiloglossus, m.longitudinalis superior dan inferior,
m.genioglossus (otot-otot lidah). Gejala yang timbul berupa lidah yang
deviasi ke sisi yang lumpuh saat dijulurkan, suara pelo dan disfagia.
2.6.2. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Nasofaring
Pemeriksaan tumor primer di nasofaring dapat dilakukan dengan cara rinoskopi
posterior (tidak langsung) dan nasofaringoskop (langsung).1,4,5
b. Pemeriksaan Radiologi
Digunakan untuk melihat massa tumor nasofaring dan melihat massa tumor yang
menginvasi pada jaringan sekitarnya dengan menggunakan :
- Computed Tomografi (CT), dapat memperlihatkan penyebaran ke jaringan
ikat lunak pada nasofaring dan penyebaran ke ruang paranasofaring. Sensitif
mendeteksi erosi tulang, terutama pada dasar tengkorak.
- Magnetic Resonance Imaging (MRI), menunjukkan kemampuan imaging
yang multiplanar dan lebih baik dibandingkan CT dalam membedakan
tumor dari peradangan. MRI juga lebih sensitif dalam mengevaluasi
metastase pada retrofaringeal dan kelenjar limfe yang dalam. MRI dapat
mendeteksi infiltrasi tumor ke sumsum tulang, dimana CT tidak dapat
mendeteksinya.3,4,5
c. Pemeriksaan Serologi
Pemeriksaan serologi dilakukan untuk mendeteksi infeksi EBV dimana dilakukan
biopsi jarum halus pada sel tumor. Melalui pemeriksaan imunohistokimia dapat
mendeteksi mRNA EBV pada jaringan tumor. EBV dapat dijumpai pada
undifferentiated carcinoma dan non keratinizing squamous cell carcinoma.1,2,5
d. Pemeriksaan Pathologi
Pemeriksaan pathologi dapat dilakukan dengan biopsi aspirasi jarum halus dan
biopsi jaringan.
- Biopsi aspirasi jarum halus pada kelenjar getah bening servikalis.
Sejumlah kasus karsinoma nasofaring diketahui berdasarkan pemeriksaan sitologi
biopsi aspirasi kelenjar getah bening servikal.5
- Biopsi Jaringan
Biopsi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dari hidung dan dari mulut. Biopsi
melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy). Cunam
biopsi dimasukkan melalui rongga hidung menyusuri konka media ke nasofaring
kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsi. Biopsi melalui mulut
dengan memakai bantuan kateter nelaton yang dimasukkan melalui hidung dan
ujung kateter yang berada di dalam mulut ditarik keluar dan diklem bersama-sama
dengan ujung kateter yang dihidung. Demikian juga dengan kateter disebelahnya
sehingga palatum mole tertarik ke atas. Kemudian dengan kaca laring dilihat
daerah nasofaring. Biopsi dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca tersebut
atau memakai nasofaringoskop yang dimasukkan melalui mulut, massa tumor
akan terlihat lebih jelas.5
2.7. KLASIFIKASI
Klasifikasi WHO tahun 2005 membagi karsinoma nasofaring menjadi
i. Tipe WHO 1
- Karsinoma sel skuamosa (KSS)
- Deferensiasi baik sampai sedang.
- Sering eksofilik (tumbuh dipermukaan).
ii. Tipe WHO 2
- Karsinoma non keratinisasi (KNK).
- Paling banyak variasinya.
- Menyerupai karsinoma transisional
iii. Tipe WHO 3
- Karsinoma tanpa diferensiasi (KTD).
-Seperti antara lain limfoepitelioma, Karsinoma anaplastik, “Clear Cell
Carsinoma”, varian sel spindel.
- Lebih radiosensitif, prognosis lebih baik.
2.8. STAGGING STADIUM KARSINOMA NASOFARING
Penentuan stadium dilakukan berdasarkan atas kesepakatan antara UICC (Union
Internationale Centre Cancer ) dan AJCC (Americant Joint Committe on Cancer). Untuk
karsinoma nasofaring pembagian TNM adalah sebagai berikut :
- T menggambarkan keadaan tumor primer, besar dan perluasannya
T1 :Tumor terbatas pada nasofaring
T2 :Tumor meluas ke orofaring dan atau fossa nasal
T2a :Tanpa perluasan ke parafaring
T2b :Dengan perluasan ke parafaring
T3 :Invasi ke struktur tulang dan atau sinus paranasal
T4 :Tumor meluas ke intrakranial dan atau mengenai syaraf otak, fossa
infratemporal,
hipofaring atau orbita
- N menggambarkan keadaaan kelenjar limfe regional
N0 : Tidak ada pembesaran kelenjar
N1 : Terdapat pembesaran kelenjar ipsilateral < 6 cm
N2 : Terdapat pembesaran kelenjar bilateral < 6 cm
N3 : Terdapat pembesaran kelenjar > 6 cm atau ekstensi ke supraklavikula
- M menggambarkan metastase jauh
M0 : Tidak ada metastase jauh
M1 : Terdapat metastase jauh
- Stadium 0 : Tis dengan N0 dan M0
- Stadium I : T1 dan N0 dan M0
- Stadium IIA : T2 dan N0 dan M0
- Stadium IIB : T1 atau T2 dan N1 dan M0
- Stadium III : T1/T2 dan N1/N2 dan M0 atau T3 dan N0/N1/N2 dan M0
- Stadium IVA : T4 dan N0/N1 dan M0 atau T dan N2 dan M0
- Stadium IVB : T1/T2/T3/T4 dan N3A/N3B dan M0
- Stadium IVC : T1/T2/T3/T4 dan N0/N1/N2/N3 dan M1.
2.9. Diagnosis Banding
Adapun diagnosa banding dari karsinoma nasofaring ini adalah : 1
1. TBC nasofaring
Dapat dibedakan dengan pemeriksaan histopatologi ( PA ).
2. Angiofibroma nasofaring
Insidennya pada laki-laki dewasa muda, tanpa gejala metastase karena merupakan
tumor jinak
2.10 Penatalaksanaan
Modalitas penatalaksaan dapat dilakukan
a. Radioterapi
Radioterapi merupakan terapi pilihan utama karena karsinoma
nasofaring adalah tumor yang radiosensitif, biaya relatif murah, dan cukup
efektif terutama terhadap tumor yang belum mengadakan invasi ke
intrakranial. Tetapi jika sudah metastase jauh maka radiasi merupakan
pengobatan yang bersifat paliatif. Dosis untuk radioterapi radikal adalah 6000-
7000 rad dengan aplikasi radium dalam 7 hari atau 5000-6000 rad dengan sinar
X dalam waktu 5-6 minggu. Untuk terapi paliatif diberikan pada nasofaring
dan kelenjar limfe servikal kanan dan kiri. Dosisnya adalah dua pertiga dari
dosis radikal. Evaluasi pasca radiasi diadakan setiap bulan pada tahun pertama,
kemudian setiap 3 bulan pada tahun kedua, dan setiap 6 bulan selama 5
tahun.3,4
b. Khemoterapi
Kemoterapi merupakan terapi adjuvan yang hingga saat ini masih tetap
digunakan. Berbagai macam kombinasi dikembangkan, yang terbaik sampai saat
ini adalah kombinasi dengan Cis-platinum sebagai inti. Pemberian adjuvan
kemoterapi Cis-platinum, bloemycin, dan 5-fluorouracil sedang dikembangkan di
Departemen THT FKUI dengan hasil sementara yang cukup memuaskan.
Obat-obatan sitostatika yang direkomendasikan adalah : 1,2
Obat tunggal :
- Methotrexate, dosis 25 mg / minggu per oral
- Cyclophosphamide, dosis 1 gram / minggu intravena
- Bleomycin, dosis 10 mg / m2 luas permukaan tubuh / minggu im
- 5 Fluorouracil atau 5FU dan Cisplatin
Cisplatin menghambat sintesis DNA dan proliferasi sel dengan jalan membuat
rantai silang pada DNA dan menyebabkan denaturasi helik ganda. 5FU akan
menghambat sintesis timidilat dan juga mempengaruhi fungsi dan sintesi RNA,
berpengaruh terhadap DNA, dan berguna pada pengobatan paliatif pada pasien
dengan penyakit yang progresif.5
Obat-obatan ganda :
COMP :
Hari I : Cyclophosphamide 500 mg intravena
Vincristine 1 mg intravena
5 FU 750 mg intravena
Hari VIII : Cyclophosphamide 500 mg intravena
Vincristine 1 mg intravena
Methotrexate 50 mg intravena
Diulang setiap 4 minggu
Methotrexate-Bleomycin-Cisplatin :
Hari I : Bleomycin 10 mg / m2 intravena
Methotrexate 20 mg / m2 intravena
Diulang setiap 2 minggu sampai 4 kali
Hari II: CispIatin 80 mg / m2 intravena
Diulang setelah 10 minggu
Harus diperhatikan efek samping dengan cara melakukan kontrol yang baik
terhadap fungsi hemopoitik, fungsi ginjal dan sebagainya.
Karena tingginya insiden kerusakan jaringan regional akibat radioterapi dan juga
karena tingginya metastase jauh dari kanker nasofaring, maka kombinasi
modalitas therapy radiasi dan kemotherapi adalah konsep yang cukup atraktif.
Kombinasi ini dapat saling melengkapi atau bahkan sinergis. Ada beberapa cara
untuk kombinasi ini, dimana dapat diberikan secara neoadjuvan (kemoterapi yang
diikuti dengan radiotherapi) atau sebagai adjuvant therapi (radiotherapi yang
diikuti dengan kemoterapi). Kombinasi kemo-radioterapi dengan mitomycin C
dan 5-fluorouracil oral setiap hari sebelum diberikan radiasi yang bersifat
“radiosensitizer” memperlihatkan hasil yang memberi harapan akan kesembuhan
total pasien karsinoma nasofaring.5
c. Pembedahan
Tindakan operasi berupa diseksi leher radikal, dilakukan jika masih ada
sisa kelenjar/tidak menghilang pasca radiasi (residu) atau adanya kekambuhan
kelenjar/timbul kembali setelah penyinaran, tetapi dengan syarat bahwa tumor
primer sudah dinyatakan bersih, atau sudah hilang yang dibuktikan dengan
pemeriksaan radiologi dan serologi. Operasi tumor induk sisa atau kambuh
diindikasikan, tetapi sering timbul komplikasi yang berat akibat operasi.
2.11 Prognosis
Angka ketahanan hidup dipengaruhi oleh usia dimana usia muda mempunyai
prognosis yang lebih baik bebanding usia lanjut, staging klinik dan lokasi dari metatase
regional juga berperan. Studi terakhir dengan menggunakan TNM Staging System
menunjukkan 5 years survival rate untuk stage I 98%, stage II A-B 95%, stage III 86%,
dan stage IV A-B 73%.6 Secara mikroskopis, prognosis lebih buruk pada keratinizing
squamous cell carcinoma dibandingkan dengan yang lainnya. Untuk non keratinizing
squamous cell carcinoma, prognosis buruk bila dijumpai :
1. Anaplasia dan atau plemorfism.
2. Proliferasi sel yang tinggi (dihitung dari mitotik atau dengan proliferasi yang
dihubungkan dengan marker imunohistokimia).
3. Sedikitnya jumlah sel radang limfosit.
4. Tingginya densitas dari S-100 protein yang positif untuk sel-sel dendritik.
5. Dijumpai banyak pembuluh darah kecil.
6. Dijumpai ekspresi c-erb B-2.
BAB III
KESIMPULAN
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas nomor satu yang mematikan dan
menempati urutan ke 10 dari seluruh tumor ganas di tubuh.
a. Banyak faktor yang diduga berhubungan dengan KNF, yaitu
a. Adanya infeksi EBV,
b. Faktor lingkungan
c. Genetik
b. Karsinoma nasofaring banyak ditemukan pada ras mongoloid, termasuk di Indonesia
c. Deteksi dini terhadap karsinoma nasofaring harus dilaksanakan karena penemuan
penyakit ini pada stadium yang lebih dini berdampak pada prognosis penyakit yang lebih
baik.