Upload
ninditha-retno-pradani
View
761
Download
52
Embed Size (px)
Citation preview
PENDAHULUAN
Kejang demam merupakan kejang yang paling sering dijumpai di bidang neurologi
khususnya anak. Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua,
sehingga sebagai seorang dokter kita wajib mengatasi kejang demam dengan tepat dan cepat.
Kejang demam pada umumnya dianggap tidak berbahaya dan sering tidak menimbulkan
gejala sisa, akan tetapi bila kejang berlangsung lama dapat menimbulkan hipoksia pada
jaringan Susunan Saraf Pusat (SSP) sehingga dapat menyebabkan adanya gejala sisa di
kemudian hari (Haslam, 2000).
Frekuensi dan lamanya kejang sangat penting untuk diagnosis serta tatalaksana kejang,
ditanyakan kapan kejang terjadi, apakah kejang itu baru pertama kali terjadi atau sudah
pernah sebelumnya, bila sudah pernah berapa kali dan waktu anak berumur berapa.
Sifat kejang perlu ditanyakan, apakah kejang bersifat klonik, tonik, umum atau fokal.
Ditanya pula lama serangan, kesadaran pada waktu kejang dan pasca kejang. Gejala lain
yang menyertai diteliti, termasuk demam, muntah, lumpuh, penurunan kesadaran atau
kemunduran kepandaian. Pada neonatus perlu diteliti riwayat kehamilan ibu serta kelahiran
bayi (Haslam, 2000).
Kejang demam jarang terjadi pada epilepsi, dan kejang demam ini secara spontan
sembuh tanpa terapi tertentu. Kejang demam ini merupakan gangguan kejang yang paling
lazim pada masa anak, dengan prognosis baik secara seragam (Hendarto, 2002).
Kejang demam terjadi pada 2-4% anak di Amerika Serikat, Amerika Selatan, Amerika
Selatan, dan Eropa Barat, sedangkan kejadian di Asia dilaporkan lebih tinggi, yakni sekitar
80%. Hampir 90% dari seluruh kejang demam adalah kejang demam sederhana. Beberapa
studi prospektif menunjukkan bahwa kira-kira 20% kasus merupakan kejang demam
kompleks. Pendapat para ahli tentang usia penderita saat terjadi bangkitan kejang demam
tidak sama. Pendapat para ahli terbanyak, kejang demam terjadi pada waktu anak berusia
antara 3 bulan sampai dengan 5 tahun dengan insidensi tertinggi pada usia 18 bulan. Sekitar
6-15% terjadi pada usia >4 tahun. Kejang demam sedikit lebih sering pada anak laki-laki.
(Waruiru & Appleton, 2008).
Kejang demam adalah bangkitan kejang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal
lebih dari 38o C) disebut kejang demam tonik-klonik, sangat sering dijumpai pada anak-anak
1
usia di bawah 5 tahun. Kejang ini disebabkan oleh adanya suatu awitan hipertermia yang
timbul mendadak pada infeksi bakteri atau virus (Soetomenggolo, 2004).
Dari penelitian yang telah dilakukan Prof.Dr.dr.S.M.Lumbantobing pada 297
penderita kejang demam, 66 (±22,2%) penderita tidak diketahui penyebabnya (Robert,
2007). Penyebab utama didasarkan atas bagian tubuh yang terlibat peradangan. Ada
penderita yang mengalami kelainan pada lebih dari satu bagian tubuhnya, misalnya tonsilo-
faringitis dan otitis media akut (Aminulah, 2002).
Secara klinis umumnya tidak sulit untuk menegakkan diagnosis kejang demam, dengan
adanya gejala kejang pada suhu badan yang tinggi serta tidak didapatkan gejala neurologis
lain dan anak segera sadar setelah kejang berlalu. Perlu diadakan pemeriksaan laboratorium
segera, berupa pemeriksaan gula dan pungsi lumbal. Hal ini berguna untuk menentukan
sikap terhadap pengobatan hipoglikemia dan meningitis bakterial (American Academy of
Pediatrics, 1999).
Penanggulangan yang tepat dan cepat harus segera dilakukan sehingga prognosis
kejang demam baik dan tidak menyebabkan kematian. Dari penelitian yang ada, frekuensi
terulangnya kejang berkisar antara 25% - 50%, yang umumnya terjadi pada 6 bulan pertama
(Tumbelaka, et al., 2005). Prognosis kejang demam baik, kejang demam bersifat benigna.
Angka kematian hanya 0,64%-0,75%. Sebagian besar penderita kejang demam sembuh
sempurna, sebagian kecil berkembang menjadi epilepsi yaitu sebanyak 2-7%. 4% penderita
kejang demam secara bermakna mengalami gangguan tingkah laku dan penurunan tingkat
intelegensi (Behrman, 2007).
2
A. Definisi
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi karena kenaikan suhu tubuh
(suhu rektal di atas 38°C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium, terjadi pada
anak berusia lebih dari 3 bulan dan tidak ada riwayat kejang tanpa demam sebelumnya.
Kejang demam merupakan kelainan neurologis yang paling sering dijumpai pada anak
berusia sekitar 3 bulan sampai 5 tahun tanpa disertai infeksi intrakranial, gangguan elektrolit,
dan gangguan metabolik lainnya (Waruiru & Appleton, 2008). Dari beberapa penelitian
dijumpai 2-5% anak di bawah usia 5 tahun mengalami kejang, baik kejang pertama maupun
ulangan yang didahului kenaikan suhu tubuh.
Menurut ILAE, International League Against Epilepsy, anak yang pernah mengalami
kejang tanpa demam, kemudian mengalami kejang demam tidak termasuk dalam kejang
demam (Hardiono, et al., 2006). Kejang disertai demam yang terjadi pada bayi berumur
kurang dari 1 bulan juga tidak termasuk dalam kejang demam. Para ahli sepakat bahwa bila
anak yang berumur kurang dari 3 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang yang
didahului demam, harus dipikirkan kemungkinan lain misalnya infeksi SSP atau epilepsi
yang kebetulan terjadi bersama demam (Sunarka, 2009). Kejang demam harus dibedakan
dengan epilepsi, yaitu yang ditandai dengan kejang berulang tanpa demam (Mansjoer, et al.,
2000).
Definisi ini menyingkirkan kejang yang disebabkan penyakit saraf seperti meningitis,
ensefalitis atau ensefalopati. Kejang pada keadaan ini mempunyai prognosis berbeda dengan
kejang demam karena keadaan yang mendasarinya mengenai sistem susunan saraf pusat
(Mansjoer, et al., 2000).
B. Klasifikasi
Umumnya kejang demam ini dibagi menjadi dua golongan. Kriteria untuk
penggolongan tersebut dikemukakan oleh berbagai pakar. Dalam hal ini terdapat beberapa
perbedaan kecil dalam penggolongan tersebut, menyangkut jenis kejang, tingginya demam,
usia penderita, lamanya kejang berlangsung, gambaran rekaman otak, dan lainnya
(Lumbantobing, 2002).
3
Unit Kerja Koordinasi Neurologi IDAI 2006 membuat klasifikasi kejang demam pada
anak menjadi 2 yaitu: kejang demam sederhana (simple febrile seizure) dan kejang demam
kompleks (complex febrile seizure).
a. Kejang Demam Sederhana (Simple Febrile Seizure) merupakan 80% di antara
seluruh kejang demam.
Kejang demam berlangsung singkat
Durasi kurang dari 15 menit
Kejang dapat umum, tonik, dan atau klonik
Umumnya akan berhenti sendiri
Tanpa gerakan fokal
Tidak berulang dalam 24 jam
Pada kejang demam sederhana, kejang biasanya timbul ketika suhu
meningkat dengan mendadak, sehingga seringkali orang tua tidak mengetahui
sebelumnya bahwa anak menderita demam. Kenaikan suhu yang tiba-tiba merupakan
faktor yang penting untuk menimbulkan kejang (Hendarto, 2002).
Kejang pada kejang demam sederhana selalu berbentuk umum, biasanya bersifat
tonik – klonik seperti kejang grand mal, kadang – kadang hanya kaku umum atau
mata mendelik seketika. Kejang dapat juga berulang, tapi sebentar saja, dan masih
dalam waktu 16 jam meningkatnya suhu, umumnya pada kenaikan suhu yang
mendadak (Hendarto, 2002).
b. Kejang Demam Kompleks (Complex Febrile Seizure), 20% di antara seluruh
kejang demam.
Kejang lama dengan durasi lebih dari 15 menit.
Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang
parsial.
Berulang lebih dari 1 kali dalam 24 jam.
Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang
berulang lebih dari 2 kali dan di antara bangkitan anak tidak sadar. Kejang lama terjadi pada
8% kejang demam (Pusponegoro, Widodo, Ismail, 2006). Kejang fokal adalah kejang parsial
satu sisi, atau kejang umum yang didahului kejang parsial. Kejang berulang adalah kejang 2
kali atau lebih dalam 1 hari, di antara 2 bangkitan kejang anak sadar. Kejang berulang terjadi
4
pada 16 % di antara anak yang mengalami kejang demam (Pusponegoro, Widodo, Ismail,
2006).
C. Faktor Risiko
Faktor risiko kejang demam pertama adalah demam. Selain itu terdapat faktor
riwayat kejang demam pada orangtua atau saudara kandung, faktor prenatal (usia ibu saat
hamil, riwayat pre-eklampsi pada ibu, hamil primi/multipara, pemakaian bahan toksik),
faktor perinatal (asfiksia, bayi berat lahir rendah, usia kehamilan, partus lama, cara lahir),
faktor pasca natal (trauma kepala), jenis kelamin, dan kadar natrium rendah (Staff Pengajar
IKA FKUI, 2005). Setelah kejang demam pertama kira-kira 33% anak akan mengalami satu
kali rekurensi (kekambuhan), dan kira kira 9 % anak mengalami rekurensi 3 kali atau lebih,
resiko rekurensi meningkat dengan usia dini, cepatnya anak mendapat kejang setelah demam
timbul, temperatur yang rendah saat kejang, riwayat keluarga kejang demam, dan riwayat
keluarga epilepsi (Behrman, et al., 2000).
Kejang demam sangat tergantung pada umur, 85% kejang pertama sebelum berumur
4 tahun, terbanyak di antara 17-23 bulan. Hanya sedikit yang mengalami kejang demam
pertama sebelum berumur 5-6 bulan atau setelah berumur 5-8 tahun. Biasanya setelah
berumur 6 tahun pasien tidak kejang demam lagi, walaupun pada beberapa pasien masih
dapat mengalami sampai umur lebih dari 5-6 tahun. Kejang demam diturunkan secara
autosomal dominan sederhana (Behrman, et al., 2000).
Faktor risiko berulangnya kejang demam:
Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor risiko berulangnya
kejang demam adalah:
- Riwayat kejang demam dalam keluarga
- Usia kurang dari 12 bulan
- Temperatur yang rendah saat kejang
- Cepatnya kejang setelah demam
- Terdapat kelainan neurologis (meskipun minimal)
- Kejang awal yang unilateral
- Kejang berhenti lebih dari 30 menit
- Kejang berulang karena penyakit yang sama.
5
Bila seluruh faktor di atas ada, kemungkinan berulangnya kejang demam adalah 80
%, sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan berulangnya kejang demam
hanya 10 % - 15 %. Kemungkinan berulangnya kejang demam paling besar adalah pada
tahun pertama (Lumbantobing, 2007).
D. Etiologi
Etiologi kejang demam hingga kini belum diketahui. Demamnya sering disebabkan
infeksi saluran pernapasan atas, otitis media, gastroenteritis, pneumonia, bronkopneumonia,
bronkhitis, tonsilitis, dan infeksi saluran kemih (Staff Pengajar IKA FKUI, 2005).
Konvulsi jauh lebih sering terjadi dalam 2 tahun pertama dibanding masa kehidupan
lainnya. Cedera intrakranial saat lahir termasuk pengaruh anoksia dan perdarahan serta cacat
kongenital pada otak, merupakan penyebab tersering pada bayi kecil. Pada masa bayi lanjut
dan awal masa kanak-kanak, penyebab tersering adalah infeksi akut. Penyebab yang lebih
jarang pada bayi adalah tetani, epilepsi idiopatik, hipoglikemia, tumor otak, asfiksia,
perdarahan intrakranial spontan serta trauma postnatal (Soetomenggolo, 2004).
Mendekati pertengahan masa kanak-kanak, infeksi ekstrakranial akut semakin jarang
menyebabkan konvulsi, tapi epilepsi idiopatik yang pertama kali muncul sebagai penyebab
penting pada tahun ketiga kehidupan, menjadi faktor paling umum. Penyebab lain setelah
masa bayi adalah kelainan kongenital otak, sisa kerusakan otak akibat trauma, infeksi, dan
tumor otak.
Demam yang disebabkan oleh imunisasi juga dapat memprovokasi kejang demam.
Anak yang mengalami kejang setelah imunisasi selalu terjadi waktu anak sedang demam.
Kejang setelah imunisasi terutama didapatkan setelah imunisasi DTP (pertusis) dan morbili
(campak) (Soetomenggolo, 2004).
Dari penelitian yang telah dilakukan Prof.Dr.dr.S.M.Lumbantobing pada 297
penderita kejang demam, 66(±22,2%) penderita tidak diketahui penyebabnya (Baumann,
2002). Penyebab utama didasarkan atas bagian tubuh yang terlibat peradangan. Ada penderita
yang mengalami kelainan pada lebih dari satu bagian tubuhnya, misalnya tonsilo-faringitis
dan otitis media akut (lihat tabel).
6
Tabel 1. Penyebab demam pada 297 anak penderita kejang demam
Penyebab demam Jumlah penderita
Tonsilitis dan/atau faringitis
Otitis media akut (radang liang telinga tengah)
Enteritis/gastroenteritis (radang saluran cerna)
Enteritis/gastroenteritis disertai dehidrasi
Bronkitis (radang saiuran nafas)
Bronkopeneumonia (radang paru dan saluran nafas)
Morbili (campak)
Varisela (cacar air)
Dengue (demam berdarah)
Tidak diketahui
100
91
22
44
17
38
12
1
1
66
Pernah dilaporkan bahwa infeksi tertentu lebih sering disertai kejang demam
daripada infeksi lainnya. Sekitar 4,8%-45% penderita gastroenteritis oleh kuman Shigella
mempunyai risiko mengalami kejang demam yang lebih tinggi dibanding penderita
gastroenteritis oleh kuman penyebab lainnya (Waruiru & Appleton, 2008).
Lahat dkk, 1984 mengemukakan bahwa tingginya angka kejadian kejang demam
pada Shigellosis dan Salmonellosis mungkin berkaitan dengan efek toksik akibat racun yang
dihasilkan kuman bersangkutan (Soetomenggolo, 2004).
E. Patofisiologi dan Patogenesis
Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion
kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium (Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali
ion klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi K+ di dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+
rendah, sedangkan di luar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis
dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel maka terdapat perbedaan potensial yang disebut
potensial membran dari sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini
diperlukan energi dan bantuan enzim Na – K – ATPase yang terdapat pada permukaan sel
(Mardjono, 2006).
Pada keadaan demam, kenaikan suhu 1oC akan mengakibatkan kenaikan metabolisme
basal 10% - 15% dan kebutuhan oksigen 20%. Pada seorang anak berumur 3 tahun, sirkulasi 7
otak mencapai 65 % dari seluruh tubuh, dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15
%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari
membran sel neuron dan dalam waktu singkat terjadi difusi dari ion K+ maupun ion Na+
melalui membran tadi, sehingga mengakibatkannya lepas muatan listrik (Price, Sylvia,
Anderson, 2006).
Lepasnya muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel
maupun membran sel tetangganya dengan bantuan neurotransmiter dan terjadilah kejang.
Kejang tersebut kebanyakan terjadi bersamaan dengan kenaikan suhu badan yang tinggi dan
cepat, yang disebabkan oleh infeksi di luar SSP, misalnya infeksi pada telinga, dan infeksi
saluran pernafasan lainnya (Price, Sylvia, Anderson, 2006).
Kejang umumnya berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti, anak tidak memberi reaksi
apapun untuk sejenak, tetapi beberapa detik/menit kemudian anak akan terbangun dan sadar
kembali tanpa kelainan saraf. Kejang demam yang berlangsung singkat umumnya tidak
berbahaya dan tidak menimbulkan gejala sisa. Tetapi kejang yang berlangsung lama (> 15
menit) sangat berbahaya dan dapat menimbulkan kerusakan permanen otak (Muid, 2005).
Kejang yang berlangsung lama biasanya disertai terjadinya apnea, meningkatnya
kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang akibatnya terjadi hipoksemia,
hiperkapnea, asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme anaerobik, dan suhu tubuh yang
makin meningkat disebabkan karena meningkatnya aktifitas otot dan selanjutnya
menyebabkan metabolisme otak meningkat. Rangkaian kejadian di atas adalah faktor
penyebab hingga terjadinya kerusakan neuron otak selama berlangsungnya kejang lama.
Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga
meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang mengakibatkan kerusakan
sel neuron otak. Kejang demam yang berlangsung lama juga dapat menyebabkan kelainan
anatomis di otak sehingga terjadi epilepsi (Price, Sylvia, Anderson, 2006).
8
F. Manifestasi Klinis
Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan
kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat yang disebabkan oleh infeksi di luar susunan
saraf pusat, misalnya tonsilitis, otitis media akut, bronkitis, furunkulosis, dan lain-lain.
Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung
singkat dengan sifat bangkitan kejang dapat berbentuk tonik-klonik bilateral, tonik, klonik,
fokal atau akinetik. Bentuk kejang yang lain dapat juga terjadi seperti mata terbalik ke atas
dengan disertai kekakuan atau kelemahan, gerakan semakin berulang tanpa didahului
kekakuan atau hanya sentakan atau kekakuan fokal (Sastroasmoro, 2007).
Sebagian kejang berlangsung kurang dari 6 menit dan kurang dari 8% berlangsung
lebih dari 15 menit. Seringkali kejang berhenti sendiri. Setelah kejang berhenti anak tidak
memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit, anak kembali
terbangun dan sadar kembali tanpa defisit neurologis. Kejang dapat diikuti hemiparesis
sementara (hemiparesis Todd) yang berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari. Kejang
unilateral yang lama dapat diikuti oleh hemiparesis yang menetap. Bangkitan kejang yang
lama lebih sering terjadi pada kejang demam yang pertama. Jika kejang tunggal berlangsung
kurang dari 5 menit, maka kemungkinan cedera otak atau kejang menahun adalah kecil
(Saharso, 2006).
9
Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada penderita yang
sebelumnya normal. Kelainan neurologis terjadi pada sebagian kecil penderita, ini biasanya
terjadi pada penderita dengan kejang lama atau berulang baik umum atau fokal. Gangguan
intelek dan gangguan belajar jarang terjadi pada kejang demam sederhana. IQ lebih rendah
ditemukan pada penderita kejang demam yang berlangsung lama dan mengalami komplikasi.
Risiko retardasi mental menjadi 5 kali lebih besar apabila kejang demam diikuti terulangnya
kejang tanpa demam (Saharso, 2006).
Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan
kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat yang disebabkan oleh infeksi di luar susunan
saraf pusat, misalnya tonsilitis, otitis media akut, bronkitis, furunkulosis dan lain-lain
(Rudolph, 2002).
Secara umum, gejala klinis kejang demam adalah sebagai berikut (Mary & Malcolm, 2006):
Demam (terutama demam tinggi atau kenaikan suhu tubuh yang terjadi secara tiba-tiba)
Kejang tonik-klonik atau grand mal
Penurunan kesadaran yang berlangsung selama 30 detik-5 menit (hampir selalu terjadi
pada anak-anak yang mengalami kejang demam)
Postur tonik
Gerakan klonik
Lidah atau pipi tergigit
Gigi atau rahang terkatup rapat
Inkontinensia
Gangguan pernafasan
Apneu
Cyanosis.
Setelah mengalami kejang biasanya (Mary & Malcolm, 2006) :
Akan kembali sadar dalam waktu beberapa menit atau tertidur selama 1 jam atau lebih.
Terjadi amnesia dan sakit kepala.
Mengantuk
Linglung
Jika kejang tunggal berlangsung kurang dari 5 menit, maka kemungkinan terjadinya
cedera otak atau kejang menahun adalah kecil.
G. Diagnosis
10
Langkah diagnostik untuk kejang demam adalah (Pusponegoro, Widodo, Ismael, 2006):
Anamnesis
a. Adanya kejang, sifat kejang, bentuk kejang, kesadaran selama dan setelah kejang,
durasi kejang, suhu sebelum/saat kejang, frekuensi, interval antara 2 serangan
kejang, penyebab demam di luar susunan saraf pusat.
b. Riwayat demam sebelumnya (sejak kapan, timbul mendadak atau perlahan,
menetap atau naik turun).
c. Riwayat kejang sebelumnya (kejang disertai demam maupun tidak disertai demam
atau epilepsi).
d. Riwayat gangguan neurologis (menyingkirkan diagnosis epilepsi).
e. Riwayat trauma kepala.
f. Riwayat kejang demam atau epilepsi dalam keluarga.
g. Menentukan penyakit yang mendasari terjadinya demam (ISPA, OMA, dan lain-
lain).
h. Singkirkan penyebab kejang lainnya.
Pemeriksaan Fisik dan Neurologis
Pemeriksaan fisik yang harus dilakukan adalah:
a. Tanda vital terutama suhu tubuh
b. Manifestasi kejang yang terjadi
c. Pada kepala apakah terdapat fraktur, depresi atau molase kepala berlebihan
d. Pemeriksaan untuk menentukan penyakit yang mendasari terjadinya demam
e. Tanda peningkatan tekanan intrakranial
f. Tanda infeksi di luar SSP.
Pemeriksaan neurologis antara lain:
a. Tingkat kesadaran
b. Tanda rangsang meningeal
c. Tanda refleks patologis
Umumnya pada kejang demam tidak dijumpai adanya kelainan neurologis, termasuk
tidak ada kelumpuhan nervi kranialis.
Pemeriksaan Penunjang
11
Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai indikasi untuk mencari penyebab kejang
demam, di antaranya (Taslim, 2004):
a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan darah tepi lengkap, gula darah, elektrolit, kalsium serum,
urinalisis, biakan darah, urin atau feses.
b. Pungsi lumbal
Pungsi lumbal adalah pemeriksaan cairan serebrospinal yang dilakukan
untuk menyingkirkan meningitis, terutama pada pasien kejang demam pertama.
Pada bayi-bayi kecil seringkali gejala meningitis tidak jelas, sehingga pungsi
lumbal harus dilakukan pada bayi berumur kurang dari 6 bulan dan dianjurkan
untuk yang berumur kurang dari 18 bulan. Berdasarkan penelitian, cairan
serebrospinal yang abnormal umumnya diperoleh pada anak dengan kejang
demam yang:
- Memiliki tanda peradangan selaput otak (contoh: kaku kuduk)
- Mengalami komplex partial seizure
- Kunjungan ke dokter dalam 48 jam sebelumnya (sudah sakit dalam 48 jam
sebelumnya)
- Kejang saat tiba di IGD
- Keadaan post ictal (pasca kejang) yang berkelanjutan. Mengantuk hingga sekitar
1 jam setelah kejang demam adalah normal.
- Kejang pertama setelah usia 3 tahun.
Pada anak dengan usia lebih dari 18 bulan, pungsi lumbal dilakukan jika
tampak tanda peradangan selaput otak, atau ada riwayat yang menimbulkan
kecurigaan infeksi sistem saraf pusat. Pada anak dengan kejang demam yang telah
menerima terapi antibiotik sebelumnya, gejala meningitis dapat tertutupi, karena
itu pada kasus seperti itu lumbal pungsi sangat dianjurkan untuk dilakukan
(American Academy of Pediatrics, 1999).
Pada bayi kecil, klinis meningitis tidak jelas, maka tindakan pungsi lumbal
dikerjakan dengan ketentuan sebagai berikut :
1. Bayi < 12 bulan : diharuskan.
2. Bayi antara 12 – 18 bulan : dianjurkan.
12
3. Bayi > 18 bulan : tidak rutin, kecuali
bila ada tanda-tanda meningitis.
Bila secara klinis yakin bukan meningitis, maka tidak perlu dilakukan pungsi
lumbal.
Indikasi Pungsi Lumbal:
Jika ada kecurigaan klinis meningitis
Kejang demam pertama
Pasien telah mendapat antibiotik
Adanya paresis atau paralisis
c. EEG dipertimbangkan pada kejang demam yang tidak khas. Misalnya kejang demam
kompleks pada anak usia lebih dari 6 tahun, atau kejang demam fokal.
EEG adalah pemeriksaan gelombang otak untuk meneliti ketidaknormalan
otak. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan untuk dilakukan pada kejang demam yang baru
terjadi sekali tanpa adanya defisit neurologis (American Academy of Pediatrics,
1999). Tidak ada penelitian yang menunjukkan bahwa EEG yang dilakukan saat
kejang demam atau segera setelahnya atau sebulan setelahnya dapat memprediksi
akan timbulnya kejang tanpa demam di masa yang akan datang. Walaupun dapat
diperoleh gambaran gelombang yang abnormal setalah kejang demam, gambaran
tersebut tidak bersifat prediktif terhadap risiko berulangnya kejang demam atau risiko
epilepsi (Hendarto, 2002).
EEG dapat memperlihatkan gelombang lambat di daerah belakang
yang yang bilateral, sering asimetris, kadang-kadang unilateral. Perlambatan
ditemukan pada 88% pasien bila EEG dikerjakan pada hari kejang dan
ditemukan pada 33% pasien bila EEG dilakukan tiga sampai tujuh hari setelah
serangan kejang. Saat ini pemeriksaan EEG tidak dianjurkan untuk pasien kejang
demam sederhana (Hendarto, 2002).
Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi
berulangnya kejang, atau memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi pada pasien
kejang demam. Oleh karenanya, tidak direkomendasikan. Pemeriksaan EEG masih
dapat dilakukan pada keadaan kejang demam yang tidak khas. Misalnya kejang
demam kompleks pada anak usia lebih dari 6 tahun atau kejang demam fokal
(Hendarto, 2002).
13
d. Pencitraan
Foto X-Ray kepala dan pencitraan seperti Computed Tomography Scan (CT-
scan) atau Magnetic Resonance Imaging (MRI) jarang sekali dikerjakan, tidak rutin
dan hanya atas indikasi seperti :
Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis)
Kemungkinan lesi struktural otak (mikrocephal, spastik)
Paresis nervus VI
Papil edema
Riwayat atau tanda klinis trauma
Diagnosis kejang demam ditegakkan berdasarkan kriteria Livingston yang
telah dimodifikasi, yang merupakan pedoman yang dipakai oleh Sub Bagian Saraf
Anak IKA FKUI-RSCM Jakarta, yaitu:
1. Umur anak ketika kejang antara 6 bulan – 6 tahun
2. Kejang berlangsung hanya sebentar saja, tidak lebih dari 15 menit
3. Kejang bersifat umum
4. Kejang timbul 16 jam pertama setelah timbulnya demam
5. Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal
6. Pemeriksaan EEG yang dibuat setidaknya 1 minggu setelah suhu normal tidak
menunjukkan kelainan.
7. Frekuensi bangkitan kejang dalam satu tahun tidak melebihi 4 kali
Secara klinis umumnya tidak sulit untuk menegakkan diagnosis kejang
demam, dengan adanya gejala kejang pada suhu badan yang tinggi serta tidak
didapatkan gejala neurologis lain dan anak segera sadar setelah kejang berlalu. Tetapi
perlu diingat bahwa kejang dengan suhu badan yang tinggi dapat pula tejadi pada
kelainan lain, misalnya pada radang selaput otak (meningitis) atau radang otak
(ensefalitis) (Duffer & Baumann, 1999).
Pemeriksaan cairan serebrospinal dapat dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama dan
dengan usia kurang dari 1 tahun. Elektroensefalografi (EEG) ternyata kurang
mempunyai nilai diagnostik, EEG tidak dapat digunakan untuk memperkirakan
kemungkinan terjadinya epilepsi atau kejang demam berulang di kemudian hari. Saat
ini pemeriksaaan EEG tidak dianjurkan untuk pasien kejang demam sederhana.
14
Pemeriksaan laboratorium tidak dianjurkan dan dikerjakan untuk mengevaluasi
sumber infeksi. Pasien dengan keadaan diare, muntah dan gangguan keseimbangan
cairan dapat diduga terdapat gangguan metabolisme akut, sehingga pemeriksaan
elektrolit diperlukan. Pemeriksaan labratorium lain perlu dilakukan untuk mencari
penyebab timbulnya demam (Hendarto, 2002).
H. Diagnosis Banding
Menghadapi seorang anak yang menderita kejang dengan demam, harus dipikirkan
apakah penyebab dari kejang itu di dalam atau di luar susunan saraf pusat (otak). Kelainan
di dalam otak biasanya karena infeksi, misalnya meningitis, ensefalitis, dan abses otak.
Oleh karena itu perlu waspada untuk menyingkirkan apakah ada kelainan organis di otak.
Baru sesudah itu dipikirkan apakah kejang demam ini tergolong dalam kejang demam
sederhana atau kejang demam kompleks. Infeksi susunan saraf pusat dapat disingkirkan
dengan pemeriksaan klinis dan cairan serebrospinal (Ikatan Dokter Anak Indonesia,
2004).
Kejang demam yang berlangsung lama kadang-kadang diikuti hemiparesis
sehingga sukar dibedakan dengan kejang karena proses intrakranial. Sinkop juga dapat
diprovokasi oleh demam dan sukar dibedakan dengan kejang demam. Anak dengan
demam tinggi dapat mengalami delirium, menggigil, pucat, dan sianosis, sehingga
menyerupai kejang demam (Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2004).
Diagnosis Banding Kejang Demam:
1. Kelainan Intrakranium
o Meningitis
o Encephalitis
o Abses otak
2. Gangguan metabolik
o Hipoglikemi
o Gangguan elektrolit
o Sinkop
3. Epilepsi Epilepsi Triggered by Fever (ETOF)
15
Oleh karena cukup banyaknya diagnosis banding, sangat sulit bagi kita untuk menentukan
penyakit atau kelainan yang menyebabkan terjadinya bangkitan kejang tersebut.
Tabel 2. Diagnosis banding infeksi susunan saraf pusat.
Klinis/Lab Ensefalitis
Herpes
Simpleks
Meningitis
Bacterial/
Purulenta
Meningitis
Tuberkulosa
Meningitis
Virus
Kejang Demam
Awitan
Demam
Tipe kejang
Singkat/lama
Kesadaran
Pemulihan
kesadaran
Tanda
rangsang
meningeal
Tekanan
intrakranial
Paresis
Pungsi
lumbal
Etiologi
Terapi
Akut
< 7 hari
Fokal/umum
Singkat
Sopor-koma
Lama
-
Sangat
meningkat
+++/-
Jernih
Normal/limfo
Virus HS
Antivirus
Akut
< 7 hari
Umum
Singkat
Apatis-somnolen
Cepat
++/-
Meningkat
+/-
Keruh/opalesen
Segmenter/limf
Bakteri
Antibiotik
Kronik
>7 hari
Umum
Singkat
Somnolen-sopor
Lama
++/-
Sangat
meningkat
+++
Jernih/xanto
Limfo/segmen
M.Tuberculosis
Anti TBC
Akut
< 7 hari
Umum
Lama>15
menit
Sadar-apatis
Cepat
+/-
Normal
-
Jernih
Normal
Virus
Simtomatik
Akut
< 7 hari
Umum/fokal
Somnolen
Cepat
-
Normal
-
Jernih
Normal
Di luar SSP
Penyakit dasar
I. Penatalaksanaan
Dalam penanggulangan kejang demam ada 3 faktor yang perlu dikerjakan, yaitu:
pengobatan fase akut, mencari dan mengobati penyebab dan pengobatan profilaksis
terhadap berulangnya kejang demam (Tumbelaka, 2005).
16
1.Pengobatan Fase Akut
Seringkali kejang berhenti sendiri. Pada waktu kejang pasien dimiringkan untuk
mencegah aspirasi ludah atau muntahan. Jalan nafas harus bebas agar oksigenasi terjamin.
Perhatikan keadaan vital seperti kesadaran, tekanan darah, suhu, pernafasan, dan fungsi
jantung. Suhu tubuh yang tinggi diturunkan dengan kompres air hangat dan pemberian
antipiretik (Waruiru & Appleton, 2008).
Kejang demam terjadi akibat adanya demam, maka tujuan utama pengobatan
adalah mencegah terjadinya peningkatan demam oleh karena itu pemberian obat – obatan
antipiretik sangat diperlukan. Obat – obatan yang dapat digunakan sebagai antipiretik
adalah asetaminofen 10 - 15 mg/kgBB/hari setiap 4 – 6 jam atau ibuprofen 5 – 10
mg/kgBB/hari setiap 4 – 6 jam (American Academy of Pediatrics, 1999).
Algoritma Penanganan Kejang Demam Akut dan Status Konvulsif
17
Pre-hospital Diazepam 5-10 mg/rektal
0-10 menit
Hospital AirwayBreathing
Circulation
Diazepam 0,25-0,5 mg/kg/iv
20-30 menitFenitoin 20 mg/kg/iv
Tanda vitalEKG
Elektrolit serum(Na, K, Ca, Mg, Cl)Analisis gas darah
Monitor10-20 menit
30-60 menit
Phenobarbital 20 mg/kg/iv
Kejang (-)5-7 mg/kg
Kejang (-)4-5 mg/kg
Midazolam 0,2 mg/kg/iv bolus
Refrakter
Tatalaksana penghentian kejang akut dapat dilaksanakan sebagai berikut
(Pedoman Pelayanan Medis, IDAI, 2010):
1. Di Rumah (pre hospital):
Penanganan kejang di rumah dapat dilakukan oleh orangtua dengan pemberian
diazepam per rektal dengan dosis 0,3-0,5 mg/kg atau secara sederhana bila
berat badan kurang dari 10 kg diberikan 5 mg, sedangkan jika berat badan
lebih dari 10 kg diberikan 10 mg. Pemberian di rumah diberikan maksimum 2
kali dengan interval 5 menit. Bila kejang masih berlangsung, bawa pasien ke
klinik atau rumah sakit terdekat.
2. Di Rumah Sakit
Saat tiba di klinik atau rumah sakit, bila belum terpasang cairan intravena,
dapat diberikan diazepam per rektal ulangan 1 kali, sambil mencari akses vena.
Sebelum dipasang cairan intravena, sebaiknya dilakukan pengambilan darah
untuk pemeriksaan darah tepi, elektrolit, dan gula darah sesuai indikasi.
Bila terpasang cairan intravena, berikan fenitoin i.v dengan dosis 20 mg/kg
dilarutkan dalam NaCl 0,9%, diberikan perlahan-lahan dengan kecepatan
pemberian 50 mg/menit. Bila kejang belum teratasi, dapat diberikan tambahan
fenitoin i.v 10 mg/kg. Bila kejang teratasi, lanjutkan pemberian fenitoin
setelah 12 jam, kemudian dengan rumatan 5-7 mg/kg.
Bila kejang belum teratasi, berikan fenobarbital i.v dengan dosis maksimum
15-20 mg/kg dengan kecepatan pemberian 100 mg/menit. Awasi dan atasi
kelainan metabolik yang ada. Bila kejang berhenti, lanjutkan dengan
pemberian fenobarbital i.v rumatan 4-5 mg/kg setelah 12 jam kemudian.
3. Perawatan Intensif di Rumah Sakit
Bila kejang belum berhenti, dilakukan intubasi dan perawatan di ruang
intensif. Dapat diberikan salah satu dari obat berikut:
Midazolam 0,2 mg/kg diberikan bolus perlahan-lahan, diikuti infus
midazolam 0,01-0,02 mg/kg/menit selama 12-24 jam.
Propofol 1 mg/kg selama 5 menit, dilanjutkan dengan 1-5 mg/kg/jam
dan diturunkan setelah 12-24 jam.
Pentobarbital 5-15 mg/kg dalam 1 jam, dilanjutkan dengan 0,5-5
mg/kg/jam.
18
2. Mencari dan Mengobati Penyebab
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan
meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama. Walaupun demikian
kebanyakan dokter melakukan lumbal pungsi hanya pada kasus yang dicurigai mengalami
meningitis, atau bila kejang demam berlangsung lama. Pada bayi kecil manifestasi klinis
meningitis sering tidak jelas, sehingga pungsi lumbal harus dilakukan pada bayi berumur
kurang dari 6 bulan dan dianjurkan pada pasien berumur kurang dari 18 bulan.
Pemeriksaan laboratorium lain perlu dilakukan (Tumbelaka, 2005).
3. Pengobatan Profilaksis
Pencegahan berulangnya kejang demam perlu dilakukan karena menakutkan dan
bila sering berulang menyebabkan kerusakan otak menetap. Ada 2 cara profilaksis, yaitu:
a. Profilaksis intermiten pada waktu demam untuk kejang demam sederhana
Antikonvulsan hanya diberikan pada waktu pasien demam dengan ketentuan
orangtua pasien atau pengasuh mengetahui dengan cepat adanya demam pada
pasien. Obat yang diberikan harus cepat diabsorpsi dan cepat masuk ke otak. Hal
yang demikian sebenarnya sukar dipenuhi. Peneliti-peneliti sekarang tidak
mendapat hasil dengan fenobarbital intermiten. Diazepam intermiten memberikan
hasil lebih baik karena penyerapannya cepat. Dapat digunakan diazepam
intrarektal tiap 8 jam sebanyak 5 mg untuk pasien dengan berat badan kurang dari
10 kg dan 10 mg untuk pasien dengan berat badan lebih dari 10 kg, setiap pasien
menunjukkan suhu 38,5o C atau lebih. Diazepam dapat pula diberikan oral dengan
dosis 0,3 mg/kg BB/hari setiap 8 jam pada waktu pasien demam. Efek samping
diazepam adalah ataksia, mengantuk dan hipotonia.
Kepustakaan lain menyebutkan bahwa pemberian diazepam tidak selalu efektif
karena kejang dapat terjadi pada onset demam sebelum diazepam sempat
diberikan. Efek sedasi diazepam juga dikhawatirkan dapat menutupi gejala yang
lebih berbahaya, seperti infeksi sistem saraf pusat (Tumbelaka, 2005).
b. Profilaksis terus menerus dengan antikonvulsan tiap hari (rumatan) untuk kejang
demam kompleks.
Profilaksis terus menerus berguna untuk mencegah berulangnya kejang demam
berat yang dapat menyebabkan kerusakan otak, tapi tidak dapat mencegah
19
terjadinya epilepsi di kemudian hari. Profilaksis setiap hari terus menerus hanya
diberikan jika kejang demam mempunyai ciri sebagai berikut (salah satu / lebih)
(Pedoman Pelayanan Medis, IDAI, 2010):
1. Kejang lama lebih dari 15 menit
2. Kelainan neurologi yang nyata sebelum/sesudah kejang, seperti hemiparesis,
paresis Todd, serebal palsi, retardasi mental, hidrosefalus.
3. Kejang fokal.
Antikonvulsan yang dapat diberikan antara lain fenobarbital 3-4
mg/kgBB/hari dibagi dalam 1-2 dosis. Obat lain yang digunakan adalah asam
valproat dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari dibagi 2-3 dosis (Pedoman Pelayanan
Medis, IDAI, 2010).
Profilaksis terus menerus dapat dipertimbangkan jika
(Pedoman Pelayanan Medis, IDAI, 2010):
1. Kejang berulang 2 kali atau lebih dalam 24 jam
2. Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan
3. Kejang demam lebih dari 4 kali dalam 1 tahun.
Antikonvulsan terus menerus diberikan selama 1-2 tahun setalah kejang
terakhir dan dihentikan bertahap selama 1-2 bulan. Pemberian obat ini efektif
dalam menurunkan risiko berulangnya kejang (Pedoman Pelayanan Medis, IDAI,
2010).
Indikasi Rawat Inap:
Pasien kejang demam dirawat di rumah sakit pada keadaan berikut (Pedoman
Pelayanan Medis, IDAI, 2010):
a. Kejang demam kompleks
b. Hiperpireksia
c. Usia di bawah 6 bulan
d. Kejang demam pertama
e. Dijumpai kelainan neurologis
20
J. Edukasi Pada Orang Tua
Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua. Pada saat
kejang, sebagian besar orang tua beranggapan bahwa anaknya bisa meninggal.
Kecemasan ini harus dikurangi dengan cara (Lumbantobing, 2007):
1. Meyakinkan bahwa kejang demam umumnya benigna
2. Memberikan cara penanganan kejang
3. Memberikan informasi kemungkinan kejang kembali
4. Terapi memang efektif mencegah rekurensi tetapi mempunyai efek samping.
5. Tidak ada bukti bahwa terapi akan mengurangi angka kejadian epilepsi.
Beberapa Hal yang Harus Dikerjakan Bila Kembali Kejang
1. Tetap tenang dan tidak panik
2. Kendorkan pakaian yang ketat, terutama di sekitar leher
3. Bila tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan kepala miring. Bersihkan muntahan
atau lendir di mulut atau hidung. Walaupun kemungkinan lidah tergigit, jangan
memasukan sesuatu ke dalam mulut.
4. Ukur suhu, observasi, dan catat lama dan bentuk kejang
5. Tetap bersama pasien selama kejang
6. Berikan diazepam rectal, dan jangan diberikan bila kejang telah berhenti.
7. Bawa ke dokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau lebih.
(Lumbantobing, 2007)
K. Prognosis
Dengan penanggulangan yang tepat dan cepat, prognosis kejang demam baik dan
tidak menyebabkan kematian. Dari penelitian yang ada, frekuensi terulangnya kejang
berkisar antara 25%-50%, yang umumnya terjadi pada 6 bulan pertama. Apabila melihat
dari usia, jenis kelamin, dan riwayat keluarga, Lennox-Buchtal (1973) mendapatkan:
Pada anak yang berusia kurang dari 13 tahun, terulangnya kejang pada anak
perempuan sebesar 50% dan anak laki-laki sebesar 33%.
Pada anak yang berusia 14 bulan dan 3 tahun dengan riwayat keluarga adanya
kejang, terulangnya kejang adalah 50%, sedangkan pada anak tanpa riwayat
kejang sebesar 25% (Tumbelaka, 2005).
21
Angka kejadian epilepsi berbeda-beda, tergantung dari cara penelitian, misalnya
Lumbantobing (1975) pada penelitiannya mendapatkan 6%, sedangkan Livingston (1954)
mendapatkan dari golongan kejang demam sederhana hanya 2,9% yang menjadi epilepsi
dan dari golongan epilepsi yang diprovokasi oleh demam ternyata 97% menjadi epilepsi
(Baumann, 2003).
Risiko yang akan dihadapi oleh seorang anak sesudah menderita kejang demam
tergantung dari faktor:
1. Riwayat penyakit kejang tanpa demam dalam keluarga.
2. Kelainan dalam perkembangan, atau kelainan saraf sebelum anak menderita kejang
demam.
3. Kejang yang berlangsung lama, atau kejang fokal (Baumann, 2003).
Bila terdapat paling sedikit 2 dari ketiga faktor di atas, maka dikemudian hari akan
mengalami serangan kejang tanpa demam sekitar 13%, dibandingkan jika hanya terdapat
1 atau tidak sama sekali dari faktor tersebut di atas, serangan kejang tanpa demam hanya
2%-3% saja. Pada penelitian yang dilakukan oleh The National Collaborative Perinatal
Project di Amerika Serikat, dari 1706 anak pasca kejang demam diikuti
perkembangannya sampai usia 7 tahun, tidak didapatkan kematian sebagai akibat kejang
demam. Kemudian anak dengan kejang demam ini dibandingkan dengan saudara
kandungnya yang normal dengan tes IQ. Angka rata-rata pada anak yang pernah
mengalami kejang demam adalah 93%. Skor ini tidak berbeda bermakna dari saudara
kandungnya. Sedangkan pada anak yang sebelum mengalami kejang demam sudah
abnormal, atau dicurigai menunjukkan gejala yang abnormal, mempunyai total IQ yang
lebih rendah daripada saudara kandungnya. Hasil yang diperoleh The National
Collaborative Perinatal Project ini hampir serupa dengan yang didapatkan di Inggris
oleh The National Child Development Study, yaitu didapatkan bahwa anak yang pernah
mengalami kejang demam kinerjanya tidak berbeda dengan populasi umum saat
dilakukan tes pada usia 7 dan 11 tahun (American Academy of Pediatrics, 1999).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Ellenberg dan Nelson, tidak didapatkan
adanya perbedaan IQ saat diperiksa pada usia 7 tahun antara anak dengan kejang demam
dan kembarannya yang tidak mengalami kejang demam. Dengan penanggulangan yang
tepat dan cepat, prognosisnya baik dan tidak menyebabkan kematian. Hasil dari 2
penelitian, didapatkan angka kematian akibat kejang demam ini sebesar 0,46% dan
22
0,74%. Dari penelitian yang ada, frekuensi terulangnya kejang berkisar antara 25%-50%
yang umumnya terjadi pada 6 bulan pertama (American Academy of Pediatrics, 1999).
Faktor resiko terjadinya epilepsi (Pusponegoro, 2006)
Faktor resiko menjadi epilepsi di kemudian hari:
a. Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang demam
pertama.
b. Kejang demam kompleks
c. Riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung
Masing – masing faktor resiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi sampai 4 %
- 6 %, kombinasi dari faktor resiko tersebut meningkatkan kemungkinan epilepsi menjadi
10 % - 49 %. Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat dicegah dengan pemberian obat
rumat pada kejang demam.
L. Komplikasi
Walaupun kejang demam dapat menyebabkan kekhawatiran dan mengambil
perhatian yang besar dari orang tua, sebagian besar kejang demam tidak menimbulkan
efek yang menetap. Kejang demam jika diterapi dengan tepat, tidak menyebabkan
kerusakan otak, retardasi mental, gangguan belajar, atau epilepsi dikemudian hari
(Rusepno & Husein, 1997).
Apabila tidak diterapi dengan baik, kejang demam dapat berkembang menjadi:
1. Kejang demam berulang dengan frekuensi berkisar antara 25 % - 50 %.
Umumnya terjadi pada 6 bulan pertama.
2. Epilepsi
Resiko terjadinya epilepsi rendah.
3. Kelainan motorik
4. Gangguan mental dan belajar
5. Kemungkinan mengalami kematian sebesar 0,46% dan 0,74%.
Komplikasi paling sering dari kejang demam adalah kemungkinan terjadinya
kejang demam lagi. Kira-kira sepertiga anak yang pernah kejang demam akan mengalami
kejang lagi pada demam berikutnya. Risiko kambuh lebih tinggi jika anak mengalami
demam yang tidak terlalu tinggi pada saat pertama kali mengalami kejang demam. Jika
23
waktu antara permulaan demam dan kejang pendek, atau jika ada anggota keluarga yang
memiliki riwayat kejang demam. Tetapi factor yang paling berpengaruh adalah usia.
Anak yang lebih muda saat kejang demam pertama kali, kemungkinan besar akan
mengalami kejang demam lagi (Rusepno & Husein, 1997).
M. Pencegahan
Kejang bisa terjadi jika suhu tubuh naik atau turun dengan cepat. Pada sebagian
besar kasus, kejang terjadi tanpa terduga atau tidak dapat dicegah. Dahulu digunakan obat
anti kejang sebagai tindakan pencegahan pada anak-anak yang sering mengalami kejang
demam. Sekarang hal tersebut sudah jarang dilakukan. Kepada anak-anak yang cenderung
mengalami kejang demam pada saat menderita demam dapat diberikan diazepam (baik
secara oral atau melalui rektal).
24
DAFTAR PUSTAKA
American Academy of Pediatrics. Practice Parameter: Long-term Treatment of the Child with Simple Febrile Seizure. 1999; 6: 1307-1309. Sumber Tulisan: http://aappolicy.aappublications.org/cgi/content/full/pediatrics
Asril Aminulah, Prof Bambang Madiyono. Hot Topik In Pediatric II : Kejang Pada Anak. Cetakan ke-2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2002.
Baumann Robert, MD. Febrile Seizures. 2002. Sumber Tulisan: http://www. Emedicine.com/neuro/topic134.htm
Baumann RJ. Febrile Seizures. E Med J, March 12 2002, vol.2, No. 3 : 1 – 10.
Baumann RJ. Technical Report: Treatment of The Child with Simple Febrile Seizures. 2004. http://www.pediatric.org/egi/content/full/103/e86 .
Behrman dkk, (e.d Bahasa Indonesia), Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 15, EGC, 2000. Hal 2059-2067.
Behrman, Richard E., Robert M. Kliegman., Hal B. Jenson. Nelson Ilmu Kesehatan Anak : Kejang Demam. 18 edition. Jakarta : EGC. 2007.
Berg AT, Shinnar S, Levy SR, Testa FM. Childhood-Onset Epilepsy With and Without Preceeding Febrile Seizures. Neurology, vol. 53, no. 8, 1999 : 23-34.
Campfield P, Camfield C. Advance in Diagnosis and Management of Pediatrics Seizures Disorders in Twentieth Century. J Pediatrics 2000, 136 : 847 – 9.
Duffer PK, Baumann RJ. A Synopsis of the American Academy of Pediatrics Practice Parameter on The Evaluation and Treatment of Children with Febrile Seizures. Pediatrics in Review, vol. 20, No. 8, 1999: 285 – 7.
Gordon KE, Dooley JM, Camfield PR, Campfield CS, MacSween J. Treatment of Febrile Seizures: Influence of The Treatment Efficacy and Side-effect Profile on Value to Parents. Pediatrics 2001; 108 : 65-9.
Haslam Robert H. A. Sistem Saraf, dalam Ilmu Kesehatan Anak Nelson, Vol. 3, Edisi 15. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 2000; XXVII : 2059 – 2060.
Hendarto S. K. Kejang Demam. Subbagian Saraf Anak, Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM, Jakarta. Cermin Dunia Kedokteran No. 27. 2002 : 6 – 8.
25
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2004. Kejang Demam. Dalam : Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Jakarta : Badan Penerbit IDAI : 209.
Jones & Jacobsen. 2007. Childhood Febrile Seizure: Overview and Implications. International Journal Medical Science, 4 (2) : 110-12. Diakses 19 November 2009. Available from : URL :http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1852399/pdf/ijmsv04p0110.pdf/?tool=pmcentrez
Lumbantobing, S.M. Kejang Demam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2007.
Mansjoer Arif, Suprohaita, Wardhani Wahyu Ika, et al. Neurologi Anak, dalam Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga Jilid Kedua. Media Aesculapius FK Universitas Indonesia, Jakarta. 2000 : 48, 434 – 437.
Mardjono Mahar, dkk. Neurologi Klinis Dasar, PT. Dian Rakyat. Jakrta, 2006.Mary Rudolf, Malcolm Levene. Pediatric and Child Health. Edisi ke-2. Blackwell pulblishing,
2006. Hal 72-90.Muid M ; Simposium Infeksi Pediatri Tropik dan Gawat Darurat Anak, Tata Laksana Terkini
Penyakit Tropis dan Gawat Darurat Pada Anak ; Kejang Demam ; IDAI Cabang Jawa Timur : 2005, hal. 98-110.
Pusponegoro Hardiono D, Widodo Dwi Putro, Ismael Sofyan. Konsensus Penatalaksanaan Kejang Demam. Unit Kerja Koordinasi Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta. 2006 : 1 – 14.
Pusponegoro, Hardiono D. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. 2004.
Pusponegoro H.D dkk ; Standart Pelayanan Medis Kesehatan Anak, Kejang Demam ; Penerbit : IDAI ; 2005, hal. 209-211.
Price, Sylvia, Anderson. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. EGC, Jakarta 2006.
Rudolph AM. Febrile Seizures. Rudoplh Pediatrics. Edisi ke-20. Appleton dan Lange, 2002.Saharso Darto. Kejang Demam, dalam Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag./SMF Ilmu Kesehatan
Anak RSU dr. Soetomo, Surabaya. 2006 : 271 – 273.
Sastroasmoro, S, dkk. Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Penyakit Anak. Cetakan Pertama. RSUP Nasional Dr.Ciptomangunkusumo. Jakarta: 2007; Hal 252.
Soetomenggolo, S. Kejang Demam. Dalam Buku Neurologi UI. Jakarta: Penerbit FKUI. 2004. H 244-251.
Staf Pengajar IKA FKUI. 2005. Kejang Demam. Dalam : Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : Bagian IKA FKUI : 847-8.
26
Tumbelaka, Alan R, Trihono, Partini P, Kurniati, Nia, Putro Widodo, Dwi. Penanganan Demam Pada Anak Secara Profesional: Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XLVII. Cetakan pertama. FKUI-RSCM. Jakarta. 2005.
Waruiru & Appleton. Febrile Seizure: An Update. Arch Dis. 2008. Diakses 3 Agustus 2011. Available from URL: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1720014/pdf/v089p00751.pdf/?tool=pmcentrez.
.
27