Upload
gunung-mahameru
View
194
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
REFERAT Mieloproliferative Disease
Citation preview
REFERAT
PENYAKIT MIELOPROLIFERATIF
Oleh:
Viola Belivia (G99141074)
Nabila (G99141075)
Steffi Meidiana (G99141076)
Gunung Mahameru (G99141077)
Pembimbing:
dr. Sri Marwanta., Sp.PD
KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2015
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit mieloproliferative/mieloproliferative disorder/MPD merupakan
sekelompok penyakit yang ditandai dengan proliferasi seluler dari satu atau lebih
galur sel hematologic (yang berbeda dengan leukemia akut). Ada beberapa
pendapat tentang penyakit-penyakit yang termasuk kelompok ini. Casciato (2004)
menyatakan bahwa MPD mencakup penyakit polisitemia vera (PV),
trombositemia esensial (TE), mielofibrosis idiopatik kronik dengan metaplasia
mieloid / MMM, sindroma hipereosinofilik / SHE, dan penyakit mieloproliferatif
yang tidak dapat diklasifikasikan / U-MPD. Rassol dalam Casciato (2004) hanya
memasukkan PV, TE, MMM dan LMK dalam kelompok penyakit ini.
Patogenesis penyakit ini masih belum jelas sampai saat ini. Sementara
data yang ada menunjukkan bahwa penyakit ini terutama terjadi pada kelompok
umur 40-60 tahun dan lebih banyak mengenai wanita (1,4 kali lipat daripada pria).
Di Amerika Serikat ditemukan ±4.300 kasus baru LMK (>50% kasus MPD
/tahun) dan 5-17 kasus PV per 1 juta penduduk setiap tahunnya sementara
insidensi penyakit TE dan MF tidak diketahui dengan pasti. LMK dapa terjadi
pada semua ras dengan frekuensi yang hamper sama, sementara frekuensi PV di
Jepang sangat rendah yaitu berkisar antara 2 kasus per 1 juta penduduk per tahun.
Di Amerika Serikat ditemukan fakta bahwa terdapat 2400 penderita LMK yang
meninggal setiap tahun.
Pada kelompok penyakit ini terdapat kesamaan dalam hal manifestasi
patologik dan klinis penyakit di mana kelompok penyakit ini biasanya bersifat
kronis yang sewaktu-waktu dapat berubah ke fase agresif menjadi leukemia akut.
Pada beberapa pasien dapat ditemukan keadaan yang tumpang tindih dimana hal
ini dapat menyulitkan penegakan diagnosis.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Penyakit mieloproliferatif / mieloproliferative disorder / MPD
merupakan sekelompok penyakit yang ditandai dengan proliferasi seluler dari
satu atau lebih galur sel hematologik (yang berbeda dengan leukemia akut).
Ada beberapa pendapat tentang penyakit-penyakit yang termasuk kelompok
ini. Casciato (2004) menyatakan bahwa MPD mencakup penyakit polisitemia
vera (PV), trombositemia esensial (TE), mielofibrosis idiopatik kronik dengan
metaplasia mieloid / MMM, sindroma hipereosinofilik / SHE, dan penyakit
mieloproliferatif yang tidak dapat diklasifikasikan / U-MPD. Rassol dalam
Casciato (2004) hanya memasukkan PV, TE, MMM dan LMK dalam
kelompok penyakit ini.
Sementara Tefferi et al. dalam WHO (2009) mengklasifikasikan
Neoplasma Myeloid sebagai berikut:
3
B. Epidemiologi
Insidensi dari kelompok penyakit ini meningkat seiring dengan usia
tua. Di Amerika Serikat ditemukan + 4.300 kasus baru LMK (> 50% kasus
MPD/tahun) dan 5-17 kasus PV/1juta penduduk setiap tahunnya sementara
insidensi penyakit TE dan MF tidak diketahui dengan pasti. LMK dapat terjadi
pada semua ras dengan frekuensi yang hampir sama sementara insidensi PV di
Jepang sangat rendah, yaitu berkisar antara 2 kasus/1 juta penduduk/tahun. Di
Amerika Serikat ditemukan fakta bahwa terdapat 2400 penderita LMK yang
meninggal setiap tahun 1
C. Etiologi
1. Faktor-faktor etiologi yang diperkirakan bertanggung jawab ialah:
a. Environtmental agent yang merusak DNA antara lain :
i. Ionizing radiation
ii. Bahan kimia : benzan, dan lain-lain
iii. Obat-obat : alkylating agent, dll
b. Virus, misalnya :
i. HTLV 1-untuk T cell leukimia
ii. Epstein Barr virus- untuk limfoma burkitt
2. Faktor predisposisi yang memudahkan timbulnya proses keganasan :
a. Kelainan kromosom :
i. Anemia fanconi, sindroma down, kromosom Philadelphia
b. Defek imunologik :
i. Bawaan : Chediac Higashi, Wiskott Aldrich
ii. Didapat : infeksi HIV/ penyakit AIDS, pemakaian imunosupresif
c. Defek hematologik :
i. Riwayat penyakit keganasan pada organ tubuh
D. Patogenesis
4
Patogenesis penyakit ini masih belum jelas. Penelitian yang yang
dilakukan dengan menggunakan metode pemeriksaan enzim G-6PD (glucose-
6-phosphate dehydrogenase), analisa sitogenetik dan metode molekuler
membuktikan bahwa kelompok penyakit ini muncul dari satu stem sel
hematopoitik pluripotensial tunggal, bersifat klonal dan neoplastik. Klonalitas
dapat terjadi pada tingkat sel stem yang berbeda.
Melalui pemeriksaan analisa kromosom dapat diketahui bahwa
abnormalitas sitogenetik klonal dapat dijumpai pada sel-sel eritroblast,
netrofil, basofil, makrofag, megakaryosit dan turunan dari limfosit B, tetapi
tidak dijumpai pada fibroblast. Abnormalitas kromosom ini dijumpai pada +
20% penderita PV (delesi 20q atau 13q atau trisomi 8 atau 9) dan + 35 %
penderita MMM (delesi 20q atau 13q dan partial trisomy 1q) pada saat
terdiagnosis. Frekuensi abnormalitas kromosom ini semakin meningkat,
khususnya pada penderita-penderita yang mendapatkan kemoterapi. Khusus
untuk SHE, bila pada pemeriksaan analisa kromosom ditemukan abnormalitas
maka diagnosis berubah menjadi leukemia eosinofilik kronis.2
Hematopoisis pada MPD umumnya ditandai dengan pertumbuhan
otonom dan hipersensitivitas selsel progenitor terhadap growth factors. Seperti
telah disinggung sebelumnya, MPD ditandai dengan proliferasi seluler dari
satu atau lebih galur sel hematologik. Dalam hal eritropoisis, secara in vitro
diketahui bahwa darah atau sumsum tulang penderita PV mampu membentuk
erythropoietin colony-forming unit / erythropoietin CFU tanpa bantuan
exogenous erythropoietin / EPO. Data yang ada mengatakan bahwa kadar
EPO pada penderita PV (biasanya) rendah. Para ahli menduga bahwa
peningkatan proses eritropoisis pada PV kemungkinan terjadi secara otonom
atau terjadioleh karena adanya peningkatan sensitivitas terhadapkadar EPO
yang rendah. Adanya ekspresi berlebihan / overexpression dari Bcl-xl (suatu
inhibitor apoptosis) pada penderita PV juga dianggap sebagai penyebab
terjadinya survival sel-sel galur eritroid yang tidak bergantung terhadap EPO.
Secara in vitro juga didapatkan peningkatan erythroid burst-forming units /
5
BFU-Es atau endogenous erythroid colonies / EEC pada PV, TE dan MMM
dimana BFU-Es ini bersifat lebih sensitif terhadap growth factors.1
Peningkatan granulositopoisis pada semua penyakit yang tergolong
MPD menimbulkan netrofilia dan hiperplasia mieloid dalam sumsum tulang.
Khusus pada penderita PV dan TE, dapat ditemukan ekspresi berlebihan dari
polycythemia rubra vera gene-1 / PRV-1 (yang merupakan anggota dari
superfamily uPAR). PRV-1 juga diekspresikan dengan tinggi pada granulosit
granulosit yang dirangsang oleh granulocyte colony stimulating factor (G-
CSF). Pemeriksaan kuantifikasi PRV-1 mRNA dapat dipakai untuk
membedakan PV dan TE dari penyakit-penyakit sekunder yang menyebabkan
eritrositosis atau trombositosis.2
Pada proses megakaryositopoisis, CFU megakariosit penderita TE
menunjukkan peningkatan jumlah dan kemampuan bertumbuh secara
otonom /tanpa bantuan growth factor yang menyebabkan peningkatan kadar
trombopoitin dan penurunan ekspresi reseptor trombopoitin (Mpl). Penurunan
ekspresi Mpl ini merupakan ciri khas penyakit PV, MMM dan TE.
Hematopoisis ekstrameduler selalu terjadi pada hati dan limpa
penderita MMM dan menyebabkan terjadinya hepatosplenomegali. Akan
tetapi, berbeda dengan MMM, hematopoisis ekstrameduler bukanlah
merupakan ciri dari TE dan splenomegali yang sering terjadi pada penderita
PV tidak selalu mencerminkan adanya hematopoisis ekstrameduler (kecuali
bila terjadi pada stadium lanjut).3
Hasil pemeriksaan sumsum tulang semua penderita MPD
menunjukkan adanya hiperselularitas yang seringkali bersifat `trilineage`.
Peningkatan jumlah dan ukuran megakaryosit yang sangat besar terlihat pada
semua tahapan penyakit TE dan MMM serta pada PV. Peningkatan retikulin
terlihat pada semua jenis penyakit MPD sementara fibrosis kolagen hanya
terjadi pada MMM, sebagian penderita PV dan sebagian kecil penderita TE.
Fibrosis kolagen yang terjadi bukan merupakan bagian intrinsik dari ekspansi
klonal akan tetapi hal ini berkaitan erat dengan peningkatan jumlah
megakaryosit displastik dan dihasilkan dari pelepasan growth factor yang
6
tidak sesuai dari klonal megakaryosit dan trombosit dimana pelepasan growth
factor ini menyebabkan peningkatan deposisi bermacam-macam glikoprotein
interstisial dan membrane basalis, termasuk kolagen tipe I, III, IV dan V.2
Hasil pemeriksaan sumsum tulang MMM terutama menunjukkan
gambaran fibrosis kolagen dengan jumlah megakaryosit yang meningkat
dimana megakaryosit bersifat atipikal, imatur dan lebih besar dari normal.
Selain itu juga terjadi hyperplasia granulopoisis netrofilik dan sering dijumpai
neovaskularisasi yang bermakna, bahkan pada keadaan awal sekalipun.2
Ciri khas dari PV adalah hiperplasia sumsum tulang yang bersifat
trilineage dimama galur eritroid merupakan galur yang paling menonjol,
megakariosit terlihat membesar, berkelompok, matur dan pleiomorfik dengan
nukleus multilobuler dan adanya BFU-Es atau EEC (dapat ditemukan pada
hampir 100% penderita). Sementara itu, TE memiliki karakteristik berupa
adanya peningkatan jumlah dan ukuran megakaryosit dimana sitoplasma
terlihat matur dengan inti multilobuler. Megakaryosit cenderung berkelompok
dalam sumsum tulang sementara selularitas sumsum tulang terlihat normal
atau sedikit meningkat.3
MPD dapat menimbulkan komplikasi berupa fenomena trombotik,
trombosis arteri mikrovaskuler, fenomena perdarahan, hiperkatabolisme
(ditandai dengan hiperurisemia dan hiperurikosuria), transformasi menjadi
leukemia mielogenous akut / LMA. Keadaan semu berupa pseudokoagulopati,
pseudohiperkalemia, pseudohiperasidfosfatemia, pseudohipoglikemia dan
pseudohipoksemia dapat dijumpai pada penyakit ini.3
E. Klasifikasi
1. Myeloproliferatif Neoplasma
a. Chronic Myeloid Leukimia (CML)
Definisi
Chronic Myeloid Leukemia adalah salah satu bentuk dari
leukemia yang ditandai dengan meningkatnya dan
pertumbuhan yang tidak teratur dari sel myeloid di dalam sum-
sum tulang dan terakumulasi juga di dalam darah. Chronic
7
myeloid Leukemia adalah gangguan pda sum-sum tulang
dimana terjadi proliferasi dari granulosit yang matur (neutrofil,
eosinofil, dan basofil). Chronic myeloid leukemia (CML)
adalah merupakan keganasan klona dari sel induk (stem cell)
sistem hematopoetik yang ditandai oleh translokasi spesifik,
t(9;22) (q34 ;q1) yang dikenal sebagai kromosom philadelphia.
Translokasi ini mendekatkan gen bcr pada kromosom 22
dengan gen abl pada kromosom 9, sehingga menghasilkan gen
gabungan yang menyandi protein gabungan bcr-abl.
Chronic myeloid leukemia (CML) disebut juga sebagai
chronic granulocytic leukemia (CGL), adalah gangguan
myeloproliferasi yang ditandai oleh peningkatan proliferasi dari
granulosit tanpa menghilangnya kemampuan granulosit untuk
berdiferensiasi. Pada pemeriksaan darah tepi dijumpai
peningkatan jumlah granulosit dan adanya sel-sel imatur
termasuk sel blast.1
Etiologi
CML lebih sering terjadi pada orang dewasa dan bertanggung
jawab hanya untuk 3% dari kasus leukemia pada masa kanak-
kanak.1 Penyebab dari CML pada anak-anak belum diketahui.
Tidak ada bukti klinis yang jelas tentang faktor predisposisi
keturunan. Juga tidak dijumpai peningkatan resiko terhadap
CML pada gangguan kromosom preleukemik seperti pada
anemia Fanconi dan Down syndrome. Pada kebanyakan kasus,
tidak terdapat faktor predisposisi. Pada kasus tertentu,
hubungan CML dengan paparan radiasi telah dijelaskan,
terutama pada anak umur 5 tahun, seperti yang telah dilaporkan
di Jepang pada saat adanya ledakan hebat pada tahun 1940. 2
Patogenesis
8
Chronic myeloid leukemia adalah malignansi pertama yang
dihubungkan dengan gen yang abnormal, translokasi
kromosom tersebut diketahui sebagai Philadelphia kromosom
yang merupakan translokasi kromosom 9 dan 22. Pada CML
juga ditandai oleh hiperplasia mieloid dengan kenaikan jumlah
sel mieloid yang berdiferensiasi dalam darah dan sum-sum
tulang. Pada translokasi ini, bagian dari dua kromosom yaitu
kromosom 9 dan 22 berubah tempat. Hasilnya, bagian dari gen
BCR (breakpoint cluster region) dari kromosom 22 bergabung
dengan gen ABL pada kromosom. Penyatuan abnormal ini
menyebabkan penyatuan protein tyrosine kinase yang
meregulasi proliferasi sel, penurunan sel adherens dan
apoptosis. Hal ini karena pada bcr-abl produk penyatuan gen
adalah juga tyrosine kinase. Penyatuan protein bcr-abl
berinteraksi dengan 3beta (c) subunit reseptor. Transkrip bcr-
abl aktif secara terus-menerus dan tidak membutuhkan aktivasi
oleh protein sel yang lainnya. Bcr-abl mengaktivasi kaskade
dari protein yang mengontrol siklus sel, mempercepat
pembelahan sel. Kemudian, protein bcr-abl menghambat
perbaikan DNA, menyebabkan instabilitas gen dan
menyebabkan sel dapat berkembang lebih jauh menjadi gen
yang abnormal. Tindakan dari protein bcr-abl adalah penyebab
patofisiologi dari chronic myeloid leukemia. Dengan
pemahaman tentang protein bcr-abl dan tindakannya sebagai
tyrosine kinase, targeted therapy dikembangkan yang secara
spesifik menghambat aktifitas dari protein bcr-abl. Inhibitor
dari tyrosine kinase dapat menyembuhkan CML, karena bcr-abl
tersebut adalah penyebab dari CML.1
Klasifikasi
9
CML sering dibagi menjadi tiga fase berdasarkan karakteristik
klinis dan hasil laboratorium. CML dimulai dengan fase kronik,
dan stelah beberapa tahun berkembang menjadi fase akselerasi
dan kemudian menjadi fase krisis blast. Krisis blast adalah
tingkatan akhir dari CML, dan mirip seperti leukemia akut.
Perkembangan dari fase kronik melalui akselerasi dan krisis
blast diperoleh kromosom abnormal yang baru yaitu kromosom
philadelphia. Beberapa pasien datang pada tahap akselerasi
ataupun pada tahapan krisis blast pada saat mereka didiagnosa.3
o Fase Kronis
85% pasien dengan CML berada pada tahapan fase
kronik pada saat mereka didiagnosa dengan CML.
Selama fase ini, pasien selalu tidak mengeluhkan gejala
atau hanya ada gejala ringan seperti cepat lelah dan
perut terasa penuh. Lamanya fase kronik bervariasi dan
tergantung sebearapa dini penyakit tersebut telah
didiagnosa dan terapi yang digunakan pada saat itu
juga. Tanpa adanya pengobatan yang adekuat, penyakit
dapat berkembang menuju ke fase akselerasi.
o Fase Akselerasi
Pada fase akselerasi hitung leukosit menjadi sulit
dikendalikan dan abnormalitas sitogenik tambahan
mungkin timbul. Kriteria diagnosa dimana fase kronik
berubah menjadi tahapan fase akselerasi bervariasi.
Kriteria yang banyak digunakan adalah kriteria yang
digunakan di MD Anderson Cancer Center dan kriteria
dari WHO. Kriteria WHO untuk mendiagnosa CML,
yaitu :
10-19% myeloblasts di dalam darah atau pada
sum-sum tulang.
10
>20% basofil di dalam darah atau sum-sum
tulang.
Trombosit 100.000, tidak respon terhadap terapi.
Evolusi sitogenik dengan adanya abnormal gen
yaitu kromosom philadelphia.
Splenomegali atau jumlah leukosit yang
meningkat.
Pasien diduga berada pada fase akselerasi berdasarkan
adanya tanda-tanda yang telah disebutkan di atas. Fase
akselerasi sangat signifikan karena perubahan dan
perubahan menjadi krisis blast berjarak berdekatan.
o Krisis Blast
Krisis blast adalah fase akhir dari CML, dan gejalanya
mirip seperti leukemia akut, dengan progresifitas yang
cepat dan dalam jangka waktu yang pendek. Krisis blast
didiagnosa apabila ada tanda-tanda sebagai berikut pada
pasien CML :
>20% myeloblasts atau lymphoblasts di dalam
darah atau sum-sum tulang.
Sekelompok besar dari sel blast pada biopsi
sum-sum tulang.
Perkembangan dari chloroma. 3
Gejala dan Tanda
Umumnya gejala CML, biasanya tidak spesifik, seperti fatigue,
malaise dan penurunan berat badan. Abdominal discomfort,
yang disebabkan oleh splenomegali, biasanya juga dijumpai.
Gejala biasanya tidak nyata, dan diagnosis sering ditegakkan
bila pemeriksaan darah dilakukan atas alasan lain. Penderita
mungkin datang dengan splenomegali (yang dapat masif) atau
dengan gejala hipermetabolisme, termasuk kehilangan berat
11
badan, anoreksia, dan keringat malam. Gejala leukostasis
seperti gangguan pengelihatan atau priapismus, jarang terjadi. 4
Pasien sering asimptomatik pada saat pemeriksaan, hanya
ditemukan peningkatan leukosit pada pemerikasaan jumlah
leukosit dalam pemeriksaan darah. Pada keadaan ini CML
harus dibedakan dari reaksi leukemoid, yang mana pada
pemeriksaan darah tepi memiliki gambaran yang serupa. Gejala
dari CML adalah malaise, demam, gout atau nyeri sendi,
meningkatnya kemungkinan infeksi, anemia, trombositopenia,
mudah lebam, dan didapatnya splenomegali pada pemerikasaan
fisik. 4
Diagnosis
Kelainan laboratorium biasanya mula-mula terbatas pada
kenaikan hitung leukosit, yang dapat melebihi 100.000/mm3,
dengan semua bentuk sel myeloid tampak di apus darah. CML
sering didapat diagnosanya berdasarkan pemeriksaan darah,
yang mana menunjukkan peningkatan granulosit dari berbagai
jenis, termasuk sel myeloid yang matur. Basofil dan eosinofil
biasanya meningkat. Peningkatan ini dapat menjadi indikasi
untuk membedakan CML dari reaksi leukemoid. Biopsi sum-
sum tulang sering dilakukan sebagai evaluasi dari CML.5 Pada
pemeriksaan sum-sum tulang CML ditandai dengan
hipercellular di dalam semua fase. Pada fase kronis terjadi
peningkatan terutama hiperplasia dari sel granulocytic.6
Diagnosa utama dari CML diperoleh dari ditemukannya
kromosom philadelphia. Kromosom abnormal yang khas ini
dapat didetekesi dari pemerikasaan sitogenetik rutin, dengan
hibridisasi fluoresen in situ atau dengan PCR untuk gen bcr-abl
yang menyatu. Terdapat kontroversi terhadap Ph-negatif CML,
atau kasus terhadap kecurigaan CML dimana kromosom
philadelphia tidak dapat dideteksi. Banyak pasien yang
12
faktanya memiliki kromosom abnormal yang kompleks yang
menutupi translokasi kromosom 9 dan kromosom 22, atau
mempunyai bukti dari translokasi oleh FISH atau oleh RT-PCR
sehubungan dengan karyotyping rutin yang normal. 7
Terapi
Pada fase kronis CML diterapi dengan inhibitor tyrosine
kinase, yang pertama adalah imatinib mesylate (Gleevec,
Glivec). Sebelumnya digunakan antimetabolit (cytarabine,
hydroxyurea), alkalysis agent, interferon alfa 2b, dan steroid,
tetapi obat-obat ini sekarang telah digantikan oleh imatinib.
penggunaan Imatinib telah disetujui oleh FDA Amerika Serikat
dan dikhususkan untuk bcr-abl, yang mengaktifkan penyatuan
protein tyrosine kinase yang disebabkan oleh translokasi
kromosom philadelphia. Imatinib ini dapat ditolerir lebih baik
dan lebih efektif dibandingkan terapi sebelumnya.
Transplantasi sum-sum tulang juga digunakan sebagai terapi
pilihan untuk CML. 5
Pada sindrom tumor lysis diberikan hidrasi, alkalinisasi, dan
allopurinol. Pada hiperleukositosis pada CML yang ditandai
dengan jumlah leukosit >200.000/mm3 mulai diberikan
hydroxyurea 50-75 mg/kgBB/hari. Imatinib mulai diberikan
setelah diagnosis dari Ph-positif CML telah ditegakkan. Bila
terdapat respon yang kurang memuaskan terhadap Imatinib
maka digunakan IFN-α atau IFN-α dan Ara-C 5×106 unit/m2
per hari secara subcutan atau intramuskular. Hydroxyurea
digunakan untuk menurunkan jumlah leukosit menjadi 10.000-
20.000 /mm3 dan dapat diturunkan dosisnya secara bertahap
dan tidak dilanjutkan kembali.5
Respon terhadap pengobatan dapat diketahui berdasarkan
beberapa kriteria, diantaranya kriteria secara hematologi.
Apabila leukosit kurang dari 9000/mm3, tidak dijumpai
13
splenomegali dan morfologi normal maka hal ini menunjukkan
adanya respon pengobatan secara keseluruhan (complete
response). Bila leukosit kurang dari 20.000/mm3, dijumpai
splenomegali maka terdapat respon pengobatan parsial (partial
respon). Dikatakan pengobatan gagal apabila leukosit lebih dari
20.000/mm3 dan dijumpai splenomegali. 5
Pengaturan pada CML fase akselerasi tergantung dari
pengobatan sebelumnya dan masalah spesifik yang dirasakan
pasien. Pada pasien yang penyakitnya berkembang menjadi
fase akselerasi pada saat menunggu untuk transplantasi sum-
sum tulang harus dilakukan tranplantasi secepatnya. Imatinib
adalah obat yang paling berguna untuk mengontrol penyakit ini
sampai transplantasi tulang dilakukan, untuk anak-anak yang
telah relaps terhadap Imatinib dapat menggunakan
hydroxycarbamide. Manifestasi yang paling umum dari fase
akselerasi adalah splenomegali dan trombositosis. Splenectomy
dapat dilakukan untuk splenomegali yang masif. Trombositosis
mungkin sulit untuk dikendalikan karena trombositosis kadang-
kadang resisten terhadap imatinib dan sering resisten terhadap
hydroxycarbamide. Untungnya, walaupun jumlah platelet
meningkat biasanya ditolerir dengan baik dengan trombosis
dan pendarahan pada anak-anak.
Prognosa pada krisis blast jelek, walaupun dengan regimen
kemoterapi baru-baru ini dan berlawanan denan krisis blast
pada limfoid, vincristine dan steroid mempunyai sedikit
keuntungan. Beberapa penelitian sekarang menunjukkan 50%
dari pasien respon terhadap Imatinib tetapi kurang dari 20%
mempunya respon hematologi yang komplit dan respon
sitogenik yang sempurna. Pada anak-anak pada CML tahap
krisis blast terapi pilihan adalah Imatinib dan kemoterapi tipe
14
AML (Acute myeloid leukemia) seperti daunorubicin,
cytarabine atau thioguanine. Tetapi pengobatan ini tidak
bersifat menyembuhkan penyakit.8 Pada stadium ini
pengobatan yang paling efektif adalah transplantasi sum-sum
tulang stelah kemoterapi dosis tinggi. 7
b. Polisitemia Vera
Definisi
Polisitemia Vera adalah suatu keganasan derajat rendah sel-sel
induk hematopoitik dengan karakteristik peningkatan jumlah
eritrosit absolut dan volume darah total, biasanya disertai
lekositosis, trombositosis dan splenomegali. 9 Polisitemia Vera
dapat mengenai semua umur, sering pada pasien berumur 40-
60 tahun, dengan perbandingan antara pria dan wanita 2:1, di
Amerika Serikat angka kejadiannya ialah 2,3 per 100.000
penduduk dalam setahun, sedangkan di Indonesia belum ada
laporan tentang angka kejadiannya. Penyakit ini dapat terjadi
pada semua ras / bangsa, walaupun didapatkan angka kejadian
yang lebih tinggi pada orang Yahudi. 10
Etiologi
Etiopatogenesis Polisitemia Vera belum sepenuhnya
dimengerti, suatu penelitian sitogenetik menemukan adanya
kelainan molekular yaitu adanya kariotip abnormal di sel induk
hematopoisis. yaitu kariotip 20q, 13q, 11q, 7q, 6q, 5q, trisomi
8, trisomi 9. Dan tahun 2005 ditemukan mutasi JAK2V617F,
yang merupakan hal penting pada etiopatogenesis Polisitemia
Vera. 11
Patogenesis
Polisitemia Vera merupakan penyakit kronik progresif dan
belum diketahui penyebabnya, suatu penelitian sitogenetik
menemukan adanya kelainan molekular yaitu adanya kariotip
15
abnormal di sel induk hemopoisis yaitu kariotip 20q, 13q, 11q,
7q, 6q, 5q, trisomi 8, dan trisomi 9. 9,10
Penemuan mutasi JAK2V617F tahun 2005 merupakan hal yang
penting pada etiopatogenesis Polisitemia vera, dan membuat
diagnosis Polisitemia Vera lebih mudah. JAK2 merupakan
golongan tirosin kinase yang berfungsi sebagai perantara
reseptor membran dengan molekul signal intraselulur. Dalam
keadaan normal proses eritropoisis dimulai dengan ikatan
eritropoitin (EPO) dengan reseptornya (EPO-R), kemudian
terjadi fosforilasi pada protein JAK, yang selanjutnya
mengaktivasi molekul STAT ( Signal Tranducers and Activator
of Transcription), molekul STAT masuk kedalam inti sel dan
terjadi proses transkripsi. Pada Polisitemia vera terjadi mutasi
yang terletak pada posisi 617 (V617F) sehingga menyebabkan
kesalahan pengkodean quanin-timin menjadi valin-fenilalanin
sehingga proses eritropoisis tidak memerlukan eritropoitin.
sehingga pada pasien Polisitemia Vera serum eritropoetinnya
rendah yaitu < 4 mU/mL, serum eritropoitin normal adalah 4-
26 mU/mL. 12,13
Hal ini jelas membedakan dari Polisitemia sekunder dimana
eritropoetin meningkat secara fisiologis (sebagai kompensasi
atas kebutuhan oksigen yang meningkat), atau eritopoetin
meningkat secara non fisiologis pada sindrom paraneoplastik
yang mensekresi eritropoetin. 9,10,14
Peningkatan hemoglobin dan hematokrit dapat disebabkan
karena penurunan volume plasma tanpa peningkatan sel darah
merah disebut polisitemia relatif, misalnya pada dehidrasi
berat, luka bakar dan reaksi alergi. 14
Klasifikasi
16
Klasifikasi Polisitemia Vera tergantung volume sel darah
merah yaitu Polisitemia Relatif dan Polisitemia Aktual atau
Polisitemia Vera, dimana pada Polisitemia Relatif terjadi
penurunan volume plasma tanpa peningkatan yang sebenarnya
dari volume sel darah merah, seperti pada pada keadaan
dehidrasi berat, luka bakar, reaksi alergi.14
Sedangkan secara garis besar Polisitemia dibedakan atas
Polisitemia Primer dan Polisitemia sekunder. Pada Polisitemia
Primer terjadi peningkatan volume sel darah merah tanpa
diketahui penyebabnya, sedangkan Polisitemia sekunder,
terjadinya peningkatan volume sel darah merah secara
fisiologis karena kompensasi atas kebutuhan oksigen yang
meningkat seperti pada penyakit paru kronis, penyakit jantung
kongenital atau tinggal didaerah ketinggian dll, disamping itu
peningkatan sel darah merah juga dapat terjadi secara non
fisiologis pada tumor yang menghasilkan eritropoitin seperti
tumor ginjal, hepatoma, tumor ovarium dll.15
Tanda dan gejala
Manifestasi klinis Polisitemia Vera terjadi karena peningkatan
jumlah total eritrosit akan meningkatkan viskositas darah yang
kemudian akan menyebabkan penurunan kecepatan aliran
darah sehingga dapat menyebabkan trombosis dan penurunan
laju transport oksigen. Kedua hal tersebut akan mengakibatkan
terganggunya oksigenasi jaringan. Berbagai gejala dapat timbul
karena terganggunya oksigenasi organ yaitu berupa: 9,10
1. Hiperviskositas
Peningkatan jumlah total eritrosit akan meningkatkan
viskositas darah yang kemudian akan menyebabkan :
17
Penurunan kecepatan aliran darah (shear rate), lebih
jauh lagi akan menimbulkan eritrostasis sebagai
akibat penggumpalan eritrosit.
Penurunan laju transport oksigen
Kedua hal tersebut akan mengakibatkan terganggunya
oksigenasi jaringan. Berbagai gejala dapat timbul karena
terganggunya oksigenasi organ sasaran (iskemia/infark)
seperti di otak, mata, telinga, jantung, paru, dan ekstremitas.
2. Penurunan shear rate.
Penurunan shear rate akan menimbulkan gangguan fungsi
hemostasis primer yaitu agregasi trombosit pada endotel.
Hal tersebut akan mengakibatkan timbulnya perdarahan
walaupun jumlah trombosit > 450.000/mm3. Perdarahan
terjadi pada 10 - 30 % kasus Polisitemia Vera,
manifestasinya dapat berupa epistaksis, ekimosis dan
perdarahan gastrointestinal.
3. Trombositosis (hitung trombosit > 400.000/mm3).
Trombositosis dapat menimbulkan trombosis. Pada
Polisitemia Vera tidak ada korelasi trombositosis dengan
trombosis.
4. Basofilia
Lima puluh persen kasus Polisitemia Vera datang dengan
gatal (pruritus) di seluruh tubuh terutama setelah mandi air
panas, dan 10% kasus polisitemia vera datang dengan
urtikaria suatu keadaan yang disebabkan oleh meningkatnya
kadar histamin dalam darah sebagai akibat meningkatnya
basofilia. Terjadinya gastritis dan perdarahan lambung
terjadi karena peningkatan kadar histamin.
18
5. Splenomegali
Splenomegali tercatat pada sekitar 75% pasien Polisitemia
vera. Splenomegali ini terjadi sebagai akibat sekunder
hiperaktivitas hemopoesis ekstramedular
6. Hepatomegali
Hepatomegali dijumpai pada kira-kira 40% Polisitemia
Vera. Sebagaimana halnya splenomegali, hepatomegali juga
merupakan akibat sekunder hiperaktivitas hemopoesis
ekstramedular.
7. Gout.
Sebagai konsekuensi logis hiperaktivitas hemopoesis dan
splenomegali adalah sekuentrasi sel darah makin cepat dan
banyak dengan demikian produksi asam urat darah akan
meningkat. Di sisi lain laju fitrasi gromerular menurun
karena penurunan shear rate. Artritis Gout dijumpai pada 5-
10% kasus polisitemia .
8. Defisiensi vitamin B12 dan asam folat.
Laju siklus sel darah yang tinggi dapat mengakibatkan
defisiensi asam folat dan vitamin B12. Hal ini dijumpai pada
± 30% kasus Polisitemis Vera karena penggunaan untuk
pembuatan sel darah, sedangkan kapasitas protein tidak
tersaturasi pengikat vitamin B12 (Unsaturated B12 Binding
Capacity) dijumpai meningkat > 75% kasus.
9. Muka kemerah-merahan (Plethora )
Gambaran pembuluh darah dikulit atau diselaput lendir,
konjungtiva hiperemis sebagai akibat peningkatan massa
eritrosit.
10. Keluhan lain yang tidak khas seperti : cepat lelah, sakit
kepala, cepat lupa, vertigo, tinitus, perasaan panas.
11. Manifestasi perdarahan (10-20 %), dapat berupa epistaksis,
ekimosis, perdarahan gastrointestinal menyerupai ulkus
19
peptikum. Perdarahan terjadi karena peningkatan viskositas
darah akan menyebabkan ruptur spontan pembuluh darah
arteri. Pasien Polisitemia Vera yang tidak diterapi beresiko
terjadinya perdarahan waktu operasi atau trauma. 14
Tanda dan gejala yang predominan terbagi dalam 3 fase 9,10
1. Gejala awal (early symptoms )
Gejala awal dari Polisitemia Vera sangat minimal dan tidak selalu
ada kelainan walaupun telah diketahui melalui tes laboratorium.
Gejala awal biasanya sakit kepala (48 %), telinga berdenging (43
%), mudah lelah (47 %), gangguan daya ingat, susah bernafas (26
%), hipertensi (72 %), gangguan penglihatan (31 %), rasa panas
pada tangan / kaki (29 %), pruritus (43 %), perdarahan hidung,
lambung (24 %), sakit tulang (26 %).
2. Gejala akhir (later symptom) dan komplikasi
Sebagai penyakit progresif, pasien Polisitemia Vera mengalami
perdarahan / trombosis, peningkatan asam urat (10 %) berkembang
menjadi gout dan peningkatan resiko ulkus peptikum.
3. Fase splenomegali (splent phase)
Sekitar 30 % gejala akhir berkembang menjadi fase splenomegali.
Pada fase ini terjadi kegagalan Sum-sum tulang dan pasien menjadi
anemia berat, kebutuhan tranfusi meningkat, hati dan limpa
membesar.
Diagnosis Polisitemia Vera merupakan Penyakit Mieloproliferatif,
sehingga dapat menyulitkan dalam menegakkan diagnosis
karena gambaran klinis yang hampir sama, sehingga tahun
1970 Polycythenia Vera Study Group menetapkan kriteria
diagnosis berdasarkan Kriteria mayor dan Kriteria minor.9,10
KRITERIA MAYOR KRITERIA MINOR
20
1. Massa eritrosit : laki-laki >36 1. Trombositosis > 400.000 / mm3
ml / kg, perempuan > 32 ml / kg 2. Lekositosis > 12.000 / mm3
2. Saturasi Oksigen > 92 % 3. Aktivasi Alkali fosfatase lekosit
3. Splenomegali >100 ( tanpa ada demam / infeksi )
4. B 12 serum > 900 pg / ml atau
UBBC (Unsaturated B12 Binding
Capasity ) > 2200 pg / ml
DIAGNOSIS POLISITEMIA VERA :
1. 3 kriteria mayor, atau
2. 2 kriteria mayor pertama + 2 kriteria minor
Beberapa kriteria ( alkali fosfatase lekosit, B12 serum,UBBC)
dianggap kurang sensitif, sehingga dilakukan revisi kriteria diagnostik
Polisitemia Vera sebagai berikut 9,10:
Kriteria kategori A :
A1. Peningkatan massa eritrosit lebih dari 25 % diatas rata-rata angka
normal.
A2. Tidak ada penyebab polisitemia sekunder.
A3. Splenomegali
A4. Petanda klon abnormal (Kariotipe abnormal ).
Kriteria kategori B :
B1. Trombositosis : 400.000/mm3
B2. Leukositosis : 12.000/mm3 (tidak ada infeksi).
B3. Splenomegali pada pemeriksaan radio isotop atau ultrasonografi
B4. Penurunan serum eritropoitin.
Diagnosis Polisitemia Vera : Kategori A1 +A2 dan A3 atau A4 atau
Kategori A1 + A2 dan 2 kriteria kategori B.
21
Sejak ditemukan mutasi JAK2V617F tahun 2005, maka diusulkan
pemeriksaan JAK2 sebagai kriteria diagnosis Polisitemia Vera.16
Terapi
Penatalaksanan Polisitemia Vera yang optimal masih
kontroversial, tidak ada terapi tunggal untuk Polisitemia Vera.
Tujuan utama terapi adalah mencegah terjadinya trombosis.
PVSG merekomendasikan plebotomoi pada semua pasien yang
baru didiagnosis untuk mempertahankan hematokrit <45%
untuk mengontrol gejala. Untuk terapi jangka panjang
ditentukan berdasarkan status klinis pasien. 17
Setelah penemuan mutasi JAK2V617F mulailah berkembang
terapi anti JAK2V617F seperti yang dilaporkan tahun 2007
pada pertemuan American Society of Hematology. Obat ini
dapat menghambat mutasi JAK2V617F. Suatu alternatif anti
JAK2 yang digunakan sekarang adalah Tirosin Kinase Inhibitor
seperti Imatinib dan Erlotinib. 11
Prinsip pengobatan : 9
1.Menurunkan viskositas darah sampai ketingkat normal dan
mengendalikan eritropoisis dengan plebotomi.
2.Menghindari pembedahan elektif pada fase eritrositik /
polisitemia yang belum terkendali.
3.Menghindari obat yang mutagenik, teratogenik dan berefek
sterilisasi pada pasien usia muda.
4.Mengontrol panmielosis dengan fosfor radioaktif dosis
tertentu atau kemoterapi pada pasien di atas 40 tahun bila
didapatkan :
Trombositosis persisten di atas 800.000/mL, terutama
jika disertai gejala trombosis.
Leukositosis progresif.
22
Splenomegali yang simtomatik atau menimbulkan
sitopenia.
Gejala sistemis yang tidak terkendali seperti prunitus,
penurunan berat badan atau hiperurikosuria yang sulit
diatasi
c. Trombositosis Esensial
Definisi
Trombositemi/trombositosis adalah peningkatan jumlah
trombosit di atas 350000/mm3 atau 400000/mm3.
Trombositemi esensial adalah kelainan klonal sel induk
hematopoietik multipotensial, termasuk kelainan
mieloproliferatif dengan ekspresi fenotipe predominan pada
jalur megakariosit dan trombosit.18
Patogenesis
Trombopoietin, suatu ligan reseptor faktor pertumbuhan
megakariosit (c-mpl / murine myeloproliferative leukemia
virus), saat ini dikenal sebagai regulator humoral utama
produksi megakariosit dan trombosit. Trombopoietin
mempengaruhi pertumbuhan megakariosit mulai dari sel induk
sampai produksi trombosit. Sitokin-sitokin lain (interlekin 1,
interlekin 6, interlekin 11) juga mempengaruhi produksi
trombosit pada berbagai tingkat, kemungkinan berkerja sinergi
dengan trombopoietin. Trombosit matur berperan penting
dalam regulasi kadar trombopoietin plasma. Trombosit
mempunyai reseptor terhadap trombopoietin (c-mpl) dan
memobilisasi trombopoietin dari plasma. Pada keadaan
trombositopeni, terjadi peningkatan kadar trombopoietin
plasma karena berkurangnya pengikatan trombopoietin oleh
trombosit. Peningkatan kadar trombopoietin plasma ini akan
merangsang megakariopoiesis. Sebaliknya pada keadaan
tombositosis, deplesi plasma trombopoietin akan menurunkan
23
megakariopoiesis. Mekanisme regulasi ini mengatur produksi
trombosit. 18
Pada Trombositemi esensial, kadar trombopoietin normal atau
bahkan meningkat meskipun terjadi peningkatan massa
trombosit dan megakariosit.19,20 Terjadinya disregulasi kadar
trombopoietin plasma pada trombositemi esensial diduga
disebabkan karena :
Produksi trombopoieitin yang berlebihan, dan/atau
Abnormalitas pengikatan dan pemakainan
trombopoietin oleh trombosit dan megakariosit. Hal ini
dibuktikan dengan menurunnya ekspresi c-mpl pada
trombosit penderita trombositemi esensial.18,21
Pada Trombositemi esensial, mekanisme mengapa terjadinya
ekspresi fenotipe dominan pada jalur megakariosit dan
trombosit sebagai akibat kelainan sel induk hematopoietik
multipotensial tidak diketahui dengan pasti. Hal tersebut
diduga disebabkan karena :18
Perbedaan respon klon hematopoietik abnormal
terhadap faktor-faktor regulator yang cenderung
berdiferensiasi menjadi jalur megakariosit-trombosit
Terjadinya mutasi pada sel multipotensial tertentu yang
hanya dapat berdiferensiasi terbatas terutama menjadi
trombosit
Pada trombositosis esensial sering terjadi trombosis
terutama di arteri dan perdarahan. Mekanisme terjadinya
trombosis dan perdarahan masih belum jelas.22 Trombosis
diduga disebabkan karena :
Peningkatan massa trombosit disertai hiperagregabilitas
trombosit.
Aktivasi hemostasis oleh lekosit polimorfonuklear.
24
Hal ini dibuktikan dengan adanya peningkatan elastase,
mieloperoksidase , ekspresi CD11b dan LAP (leucocyte
alkaline phosphatase) antigen pada permukaan lekosit yang
menyebabkan kerusakan endotel (peningkatan trombomodulin
dan faktor von Willebrand antigen) dan hiperkoagulasi
(peningkatan kompleks trombin-antitrombin, fragmen
protrombin 1+2, D-dimer) pada penderita Trombositemi
esensial .23
Perdarahan diduga disebabkan karena abnormalitas fungsi
trombosit (defek kualitatif ) atau inhibisi koagulasi karena
trombositosis.22
Gejala klinis
Penderita Trombositemi esensial biasanya berusia 50-70 tahun,
insidensi tidak berbeda antara laki-laki dan perempuan.1 Pada
beberapa literatur , Trombositemi esensial dilaporkan
ditemukan pada usia muda dan anak-anak.22 Berbeda dengan
kelainan mieloproliferatif yang lain, pada trombositemi
esensial jarang ditemukan gejala konstitusional atau metabolik
seperti demam, berkeringat dan penurunan berat badan.18
Kelainan fisik yang dapat ditemukan : 18,22
Manifestasi perdarahan ( 13-37 % penderita) :
epistaksis, easy bruising, petekie, perdarahan traktus
gastrointestinal berulang
Manifestasi trombosis (18-84 % penderita) banyak
ditemukan pada orang tua
- trombosis vena : vena hepatica (sindroma Budd-
Chiari), mesenterika, lienalis, priapism (trombosis
vena penis), emboli paru
- trombosis arteri : transient cerebral ischemia,
eritromelalgia (obstruksi mikrosirkulasi jari-jari
kaki/tangan), dapat berlanjut menjadi akrosianois
25
Spenonegali ringan dapat ditemukan pada 40 %
penderita, splenonegali moderate ditemukan pada 20-50
% penderita
Hepatomegali
Limfadenopati (jarang)
Ulkus peptikum, varises gaster dan esofagus Gout
Abortus berulang dan gangguan pertumbuhan fetus ,
karena adanya infark multipel di plasenta yang
disebabkan thrombus trombosit yang mengakibatkan
insufisiensi plasenta
Diagnosis
Pada tahun 1986, Murphy et al dari Polycthemia Vera Study
Group membuat kriteria diagnosis Trombositemi esensial.
Barbui pada tahun 2002 membuat modifikasi kriteria diagnosis
tersebut menjadi. 24
Kriteria diagnostik Trombositemi Essensial.
I Jumlah trombosit > 600.000/mm3
II Hematokrit < 0,46 atau massa eritrosit normal ( laki-laki <
36 ml/kg, wanita < 32 ml/kg)
III Cadangan Fe sumsum tulang normal (dengan pewarnaan)
atau serum Feritin normal atau MCV (mean corpuscular
volume) normal
IV Tidak didapatkan kromosom Philadelphia atau mutasi
bcr/abl
V Fibrosis kolagen pada sumsum tulang :
- tidak ada atau
- kurang < 1/3 area biopsi, tanpa disertai splenomegali
yang menonjol dan reaksi lekoeritroblastik
VI Tidak didapatkan kelainan morfologi atau sitogenetik
sindroma mielodisplasi
VII Tidak didapatkan penyebab reaktif trombositosis
26
Terapi
Pengelolaan Trombositemi esensial harus didasarkan
pertimbangan besarnya risiko terjadinya komplikasi trombosis.
Faktor-faktor risiko yang menjadi pertimbangan adalah : 24
Stratifikasi risiko trombohemoragik pada Trombositemi
esensial
Risiko rendah : Umur < 60 tahun , dan
Tidak ada riwayat trombosis, dan
Jumlah trombosit < 1.500.000 /mm3
Risiko tinggi : Usia > 60 tahun, atau
Riwayat trombosis , atau
Jumlah trombosit > 1.500.000/mm3
Pada tahun 2002, Gale merekomendasikan pengelolaan
Trombositemi esensial sebagai berikut : 25
Risiko rendah :
Hindari obat-obatan sitoreduktif (dapat dipertimbangkan bila
ada komplikasi) aspirin dosis rendah (100-300 mg/hari) untuk
gejala-gejala mikrovaskuler (misalnya eritromelalgia)
Risiko tinggi :
Sitoreduksi
Hidroksiurea sebagai pilihan pertama
Pertimbangkan interferon atau Anagrelide pada penderita
berusia muda ( < 40 tahun)
Pertimbangkan Busulfan pada penderita usia tua ( > 70 tahun)
Aspirin dosis rendah bila ada riwayat trombosis
d. Mielofibrosis
Definisi
Mielofibrosis adalah penyakit di sumsum tulang di mana
kolagen membentuk jaringan fibrosis pada cavum sumsum. Hal
ini terjadi karena pertumbuhan tidak terkendali dari sel
prekursor darah, yang akhirnya mengarah pada akumulasi
27
jaringan ikat di sumsum tulang. Jaringan ikat yang membentuk
sel darah yang akhirnya menyebabkan bentuk disfungsional.
Tubuh kita menyadari hal ini, dan mencoba untuk
mengkompensasi dengan mengirimkan sinyal ke organ
extramedulare hematopoietik, yaitu hati dan limpa untuk
menghasilkan sel darah baru. Tetapi sel darah yang akhirnya
dihasilkan oleh organ-organ ini masih belum berfungsi dengan
baik dan tubuh akhirnya mengalami anemia.
Etiologi
Mielofibrosis mielofibrosis idiopathic atau primer biasanya
berhubungan dengan faktor genetik. Penyebabnya adalah
idiopatik. Tidak ada faktor pemicu, ahli epidemiologi yang
diharapkan memiliki beberapa substansi sebagai penyebab,
seperti: Toluena, benzena, radiasi pengion. Insiden tertinggi
pada pasien karena bahan kontras radiografi administrasi
dengan bahan dasar thorium, yang Torotras.
Patogenesis
Tanda-tanda mielofibrosis adalah peningkatan pewarnaan
retikulin. Fibrosis jaringan ditemukan pada jaringan yang
mengandung kolagen mielofibrosis dan fibronektin, dimana
retikulin pewarnaan (perak atau Gomori) bereaksi dengan
protein yang terdapat dalam kolagen tipe III dan biasanya
diperkirakan sebagai bentuk procollagen.
Idiopatik Mielofibrosis mempengaruhi produksi sel darah,
eritrosit sangat sedikit yang diproduksi, terlalu banyak leukosit
dan trombosit yang dihasilkan.
Fibrosis dalam sumsum tulang mungkin dapat menggambarkan
kelebihan produksi matriks. Seperti telah disebutkan, hal ini
dapat dikaitkan dengan banyak penyakit. Matrix homeostasis
akibat keseimbangan pembentukan dan pengeluaran. Formasi
dipengaruhi oleh faktor-faktor pertumbuhan, yang paling
28
berpengaruh adalah faktor pertumbuhan platelet diturunkan
(platelet-faktor pertumbuhan yang berasal / PDGF), dan
pengeluaran menggambarkan aktivitas kolagenase terhadap
monosit, makrofag dan granulosit. Oleh karena itu, penyakit
yang berhubungan dengan mielofibrosis dapat digolongkan
baik menurut produksi cacat dasar matriks, penurunan terserap
atau keduanya. Jika termasuk dalam kategori kedua, dapat
dicirikan oleh kekurangan vitamin D karena 1,25 (OH) 2D3
yang merupakan bentuk aktif vitamin D3 menghambat
megakarioycte dan memicu proliferasi diferensiasi monosit /
makrofag.
Beberapa peneliti percaya bahwa stroma abnormal dari
sumsum tulang secara langsung memicu sirkulasi sistemik dan
penyebarluasan prekursor hematopoietik oleh mekanisme yang
belum diketahui. Hal ini menyebabkan ekstramedulare
hematopoietik dalam, limpa limphonody hati, atau (biasanya)
ginjal, yang menyebabkan mieloid metaplasie di organ-organ
ini, yang akhirnya membesar. Biasanya, hipersplenisme dapat
juga berkontribusi terhadap terjadinya sitopenia.
Di antara orang dewasa yang mielofibrosis idiophatik,
Sitogenetik analisis sumsum tulang menunjukkan klon yang
abnormal pada sekitar sepertiga dari pasien. Dengan
menggunakan teknik hibridisasi perbandingan genomik, Al-
Assar et al sumsum tulang belajar mielofibrosis idiophatic dan
menemukan ketidakseimbangan kromosom pada 21 dari 25
kasus. Mutasi, 9p gen 13q, 2q, 3p dan kelainan kromosom 12q
yang umum ditemukan. asal hematopoietik proliferasi sel lebih
merata dengan limpa dilakukan dan hati. Ada sekunder dalam
fibrosis sumsum tulang. Agaknya prekursor megakariocyt rilis
abnormal faktor pertumbuhan yang merangsang fibroblas.
29
Keberadaan mutagen diperkirakan sebagai faktor yang memicu
menghasilkan hemopatia klon mielofibrosis. kelainan
Sitogenetik tidak konsisten karena perubahan gen bcr / ABL di
CML, yang disajikan sebagai gen kandidat penting dalam
patogenesis. Perubahan pada tingkat molekul mielofibrosis
tetap tidak jelas, sampai saat ini masih dalam penelitian.
Panel perbedaan ekspresi kandidat gen yang diamati antara sel-
sel progenitor sitokin-independen dari mielofibrosis pasien
dengan nenek moyang-nenek moyang sitokin (diprediksi
normal). Immunophilin FKBP51 ekspresi berlebihan pada
semua pasien dipelajari dan fungsi ini terutama di sitokin-
kemerdekaan. Gata-1 faktor transkripsi aktif pada diferensiasi
megakariocyte normal. Dalam studi tikus ada kegagalan Gata-1
ekspresi menghasilkan sindrom menyerupai mielofibrosis. Jadi
perubahan langsung di-Gata 1 adalah penting bagi terjadinya
mielofibrosis. Beberapa gen yang terkait dengan pertumbuhan
lainnya telah diteliti, misalnya: retino-blastoma gen yang
mungkin penghapusan atau perubahan dalam ekspresi gen
kalsitonin dan metilasi alami. Mielofibrosis pembangunan
dapat berkaitan dengan kelainan pada gen p53 atau gen ras.
Mielofibrosis dalam MMM merupakan reaksi sekunder
terhadap hemopathy klonal. sel fibroblast mensekresi kolagen
yang akan terakumulasi, sel-sel ini normal dan poliklonal.
Mereka dirangsang oleh sitokin dilepaskan dari megakariocyte
dan sel neoplastik klonal dikembangkan hematopoitic lainnya.
Penghancuran dan sintesis kolagen terjadi sehingga procollagen
konsentrasi (hasil larutan kolagen) adalah penanda sintesis
kolagen baru yang terkait dengan aktivitas penyakit. Kolagen
disimpan dalam ruang ekstraseluler dan unsur pembuluh darah
di sumsum tulang. Empat dari lima jenis kolagen ditemukan di
sini. Kolagen tipe 1 dan 3 merupakan komponen utama fibrosis
30
pada MMM, dan peningkatan deposito kolagen setara dengan
durasi penyakit.
Pada tahap awal MMM adalah persentase tertinggi kolagen tipe
3, sedangkan pada tahap terakhir dari jenis 1 kolagen (kolagen
polimetrik) tertinggi. Dalam MMM ada sebagian kecil dari
molekul matriks yang mengandung heksosamin lebih dari
biasanya. Vaskularisasi juga meningkat, tingkat
neovaskularisasi dikaitkan dengan luasnya penyakit dan
mungkin ini sangat penting untuk terjadinya fibrosis.
Transformasi faktor pertumbuhan (TGF) – β sebagai mediator
utama akumulasi kolagen dalam MMM tersebut. Sitokin
disintesis oleh sel endotel seperti megakariocyte dan kasusnya
dalam sistem monosit – makrofag. TGF – β lebih potensial
dalam mensekresi kolagen dari faktor pertumbuhan platelet
turunan atau faktor pertumbuhan epidermal dan dapat mengatur
kedua sitokin. TGF – β juga merupakan stimulus ampuh untuk
angiogenesis.
Peningkatan TGF – β dapat dideteksi dengan meningkatkan
sirkulasi trombosit dan yang merupakan MMM megakariocyte
fragmen. Beberapa faktor pertumbuhan lainnya juga
diharapkan untuk merangsang fibroblas di MMM, antara lain:
trombosit faktor pertumbuhan yang berasal terkandung dalam
MMM megakariocyte, faktor pertumbuhan epidermal, faktor
pertumbuhan sel endotel, interleukin -1, faktor pertumbuhan
fibroblas dasar, dan kalmoudulin. Beberapa mekanisme
independen untuk meningkatkan tingkat sitokin dalam
lingkungan sumsum tulang, antara lain: a sekresi sederhana
granul – megakariocyte α, megakariocyte kerusakan tulang
sumsum displastik dan kehancuran di dalam sitoplasma
megakariocyte oleh leukosit PMN.
31
Distribusi ekstramedulare hematopoietik pada janin MMM
melibatkan hati dan limpa. mielofibrosis Model oleh pembuluh
darah merusak, pemeriksaan ultrastruktur menunjukkan
peningkatan luar hematopoietic sumsum yang dipadatkan, dan
mulai melepaskan prekursor hematopoietik. ekstramedulare
Non ditumbuhi sel hematopoietic transfer. Pembebasan dari
prekursor sumsum mirip dengan hasil kerusakan sinusoid
ekstramedulare hematopoietik dalam metastasis kanker dan
mungkin merupakan mekanisme umum.
Tanda dan gejala
Dalam 25% kasus yang mielofibrosis mencari asimtomatik,
diagnosis dissugestion di hadapan tes darah abnormal atau
splenomegali inseidensil sana. Gejala klinis pada kelelahan otot
umum dan penurunan berat badan (7-39%), sindrom
hipermetabolik (demam, berkeringat malam hadir dalam 50-
20% pasien), perdarahan dan memar, kadang-kadang ada kali
dalam gout, perut dan kolik ginjal, ada 4 – 6%, tophi jarang
diperoleh, diare tanpa sebab yang jelas dan nyeri Substernal
kadang-kadang ditemukan.
Hal ini juga dapat ditemukan pada pasien pucat, jantung
berdebar, sesak napas, gatal, sakit perut atau ketidaknyamanan
di perut, nyeri pada bahu kiri atau tubuh bagian atas kiri,
pendarahan spontan, nyeri tulang, terutama di kaki.
Gangguan klinis untuk diagnosis pasien Mielofibrosis
Sangat sering ditemukan (> 50% kasus)
• Splenomegali
• hepatomegali
• Kelelahan
• Anemia
• leukositosis
• trombositosis
32
Sering ditemukan (10-50% kasus)
• Asimtomatik
• Berat badan
• Keringat malam
• Perdarahan
• Leukocytopenia
• Trombositopenia
Kurang umum (<10% dari kasus)
• Peripheral edema
• Hipertensi Portal
• Limfadenopati
• Kuning
• Gout
Pemeriksaan Penunjang
a. Darah Pada pemeriksaan sel darah perifer
memperoleh eritrosit berbentuk tear drop yang
dihubungkan inti dalam sirkulasi eritrosit, leukosit dan
neutrofil immatur trombosit normal besar. retikulosit
meningkat; policromasia eritrosit, fragmentasi dan target sel
juga sering ditemukan. Kelainan morfologi ini disebabkan
oleh perubahan hematopoietik, sel bebas lebih awal dari
sumsum tulang dan ekstramedulare hematopoietik.
Bagaimana perubahan ini terjadi masih belum jelas. Anemia
dengan hemoglobin kurang dari 10 g / dl ditemukan pada
60% kasus, yang dapat terjadi akibat hemodilusi dari
volume plasma meningkat, gangguan produksi sumsum
tulang dan hemolisis. Darah perifer pasien BTA
mielofibrosis: aniso-poikilositosis, oval eritrosit, reaksi
leukomoid (granulosit sisi ada satu metamielosit, satu
promielosit dan satu normoblast). Sedangkan penyebab
hemolisis diperkirakan: hipersplenisme, autoantibodies
33
eritrosit, hemoglobin H diperoleh dan kepekaan
(hemoglobinuria Paroxysmal nocturnal) membran
melengkapi serupa PNH. Morfologi anemia umumnya tidak
normositik normokromik KHS, makrositik jika kekurangan
asam folat dan hipokromik mikrositik ketika defisiensi Fe
atau perdarahan gastrointestinal. Jumlah leukosit meningkat
sebesar 50% dari kasus, diikuti dengan eosinofilia dan
basofilia, sementara jumlah limfosit normal. Beberapa
meiloblas ditemukan dalam sirkulasi perifer dan tidak
mungkin dianggap sebagai konversi terhadap leukemia
akut, tapi mieloblas konsentrasi> 1 memeberikan%
prognosis buruk. Juga ditemukan neutrofil hipersegmen,
meningkatkan enzim neutrofil, platelet meningkat di MMM
awal, pada perkembangan penyakit dapat terjadi
trombositopenia.
Trombosit biasanya besar, dalam sirkulasi megakariocyte
ditemukan utuh atau mengalami fragmentasi. Seringkali
fungsi trombosit yang abnormal, gangguan pendarahan
waktu dan jendalan pencabutan dan penurunan: tingkat
faktor, kelengketan platelet platelet 3 dan aktivitas
lipogenesis. Perubahan faktor larut yang dapat terajdi
pemebekuan penyakit. yang menyebar koagulasi
intravascular (DIC) subklinis dapat ditemukan di 15% dari
pasien MMM dengan bentuk lanjutan dan diperoleh faktor
kekurangan V dapat terjadi pada pasien tersebnut di atas.
kadar asam urat dan enzim dehidrogenase laktat hampir
selalu meningkat, menggambarkan adanya suatu periode
yang berlebihan dari sel-sel hematopoietik atau suatu
hematopoietik tidak efektif atau keduanya. Hal ini juga
dapat meningkatkan tingkat serum alkalinefosfatase enzim
yang keterlibatan tulang, penurunan kadar albumin,
34
kolesterol dan lipoprotein. Dapat meningkatkan kadar
vitamin B12 pada pasien dengan leukositosis, yang
merupakan refleksi dari peningkatan neutrofil tersebut.
b. Tulang sumsum
Aspirasi sumsum tulang mungkin tidak akan berhasil
(drytap) dan memerlukan biopsi sumsum tulang untuk
mendiagnosa MMM. konsensus telah dibuat oleh
Masyarakat Italia Hematologi.
Morfologi dan klinis data digabungkan untuk mendiagnosa
MMM banding dari penyakit CMPD lain, dan dari sindrom
mielodisplasi dengan fibrosis sumsum tulang. Kriteria
adalah: fibrosis sumsum tulang sumsum tulang dan
gangguan hiperplasia morfologi dan ekstramedulare
hematopoietik. Ketiga unsur di atas harus berisi dengan
kriteria MMM.
Fibrosis telah terjadi di semua kasus MMM, dan biasanya
dalam informasi pasien. Pada tahap awal fibrosis minimal
dan hiperplasia sumsum tulang mungkin lebih jelas. Situasi
di atas disebut MMM tahap selular. Ketika pasien fibrosis
sumsum tulang diduga tidak terbukti MMM, telah
mengambil bahan dari tempat lain, karena penyebaran tidak
merata.
Fibrosis mungkin perlu dinilai oleh sistem yang telah
dipublikasikan dan terbukti. Ketika fibrosis masif, seluruh
cellularity akan turun, tetapi masih ada hiperplasia
megakariocyte. Tulang sumsum sinusoid akan tersebar luas,
telah ada hematopoietic intravaskular.
Peningkatan jumlah sel mast dapat diamati pada pasien
dengan fibrosis pada saat biopsi. Dalam penyusunan apusan
sumsum tulang, bukan kelaianan melihat sepintas, tetapi
35
sering ditemukan hiperplasia neutrofilik dan megakariocyte.
Para mikromegakariocyte kehadiran dan
makromegakariocyte dapat ditemukan, sehingga
menimbulkan asynchrony nuklir-sitoplasma.
Granulosit bisa hipo atau hiperlobulasi sehingga
memeperlihatkan Pelger-Huet anomali diperoleh atau
kehadiran asynchrony nuklir-sitoplasma. Prekursor
erythroid normal atau meningkat, yang dapat diperiksa
dengan pemindaian tulang sumsum isotop sulfur koloid
untuk retikuloendoteliel sel dan dengan besi koloid untuk
sel erythroid mengindikasikan ekspansi dalam sumsum
tulang ke tulang panjang tidak aktif normal.
c. Kelainan kromosom
Setengah dari pasien MMM terkandung kelainan kariotipe
klonal. Hanya beberapa pasien menunjukkan kelainan pada
metafase, yang membuktikan pasien MMM hematopoietik
meninggalkan sel-sel normal. Sering ditemukan penghapusan
segmen kromosom terkait dengan gen retinoblastoma, del 13
(q13q21) dan del 20q. Kromosom sering terganggu adalah:
1,5,7,8,9,13,20 dan 21. Bentuk penghapusan trisomi dan
monosomi, parsial dan translokasi juga sering ditemukan.
Fibroblast tidak memberikan kontribusi terhadap kelainan
kromosom pada MMM.
d. Kerusakan sistem kekebalan tubuh
Klinis kelainan sistem kekebalan tubuh umum di MMM, ini
berbeda dengan CMPD lainnya. T dan sel limfosit B
langsung dipengaruhi oleh cacat stem cell di MMM dan cacat
fungsional sel B dan T dapat ditampilkan. Variasi humoral
kelainan sistem kekebalan tubuh telah ditemukan. Tingkat
36
penurunan C3 mungkin terjadi dan menyebabkan
peningkatan kemungkinan infeksi bakteri. autoantibodi
patologis dapat ditemukan antara lain: autoantibodies
eritrosit, antibodi trombosit, antibodi antiimunoglobulin,
antinuclear dan antiphosfolipid antibodi. Dalam MMM
disaring sumsum tulang limfoid. Monoklonal Gamopati
timbul 10% pasien MMM, dalam beberapa kasus terjadinya
simultan MMM dan diskrasia plasma sel telah dilaporkan.
e. Pemeriksaan Patologis
gambar Khas dari MMM adalah adanya fibrosis sumsum
tulang dan ekstramedulare hematopoietik. fibrosis sumsum
tulang mengikuti osteosclerosis 30-70% kasus, terutama
mengenai kerangka aksial dan proksimal tulang panjang.
Tulang kortikal menebal dan pola normal trabekula
menghilang. Hematopoietic terutama terjadi di limpa di
hadapan splenomegali, hati dan beberapa organ lainnya juga
dapat terlibat, misalnya: kelenjar getah bening, ginjal,
adrenal, periosteum, usus, pleura, paru-paru, jaringan lemak,
kulit, susu, dura, ovarium dan thimus. cluster hematopoietik
mungkin berisi campuran derivatif dan prekursor mungkin
mieloid dilihat sebagai makroskpois infiltrat mikroskopis
atau tumor. Proporsi ekstramedulare erythroid lebih tinggi di
samping bukan di sumsum tulang dan ekstramedulare
hematopoietik, ada kecenderungan indeks mitosis yang
rendah, sel-sel matang dan lebih tinggi daripada medulare
hematopoietic megaloblastik. Kerusakan organ target dapat
terjadi karena tekanan fisik di sekitar jaringan normal, namun
arsitektur normal masih dapat dipertahankan.
37
Diagnosis
Italia konsensus Konferensi untuk Diagnosis Mielofibrosis :
A. Kriteria Mayor
1. Diffuse tulang sumsum fibrosis
2. Hilangnya T9: 22 kromosom atau bcr / Rearrangement abl
dalam sel darah perifer
3. Splenomegali
B. Kriteria Minor
1. Anisopoikilocytosis dengan sel darah meah berbentuk tear
drop
2. Clustred sumsum megakaryoblast dan megakariocytes
anomali
3. Metaplasia mieloid
Terapi
Tujuan pengobatan adalah untuk mengurangi gejala dan
mengurangi risiko komplikasi. MMM mungkin dapat
disembuhkan dengan sel induk Transplantasi hematopoetic
(HSCT), tetapi biasanya HSCT berhasil bagi pasien yang lebih
muda dan merupakan risiko yang signifikan dari kematian.
Tidak ada bentuk lain dari terapi untuk memperpanjang
kelangsungan hidup atau mencegah mielofibrosis kemajuan.
Terapi pendukung adalah diarahkan langsung ke komplikasi
yang terjadi. Beberapa pasien tidak menunjukkan gejala dan
memerlukan pengamatan. Allopurinol diberikan untuk menjaga
kadar asam urat darah tetap normal, untuk menghambat: vena
nefropathy, bate ginjal dan asam urat. Anemia dan
trombositopenia mungkin timbul, dan akan terus sampai gejala
berkembang. Ketika beberapa gagal memperbaiki terapi
hematopoietik, transfusi diperlukan untuk menjaga menghitung
darah. suplementasi asam folat sangat diperlukan karena sering
38
terjadinya hemolisis. Transfusi darah dapat diberikan untuk
mengatasi anemia yang terjadi pada pasien.
4. Acute Myeloid Leukimia
Definisi
Leukimia mieloblastik akut (LMA) adalah suatu penyakit yang
ditandai dengan transformasi neoplastik dan gangguan diferensiasi
sel-sel progenitor dari seri mieloid. Bila tidak diobati, penyakit ini
akan mengakibatkan kematian secara cepat dalam waktu beberapa
minggu sampai bulan sesudah diagnosis. Sebelum tahun 1960
pengobatan LMA terutam bersifat paliatif, tetapi sejak sekitar 40
tahun yang lalu pengobatan penyakit ini berkembang secara cepat
dan dewasa ini banyak pasien LMA yang dapat disembuhkan dari
penyakitnya. Kemajuan pengobatan LMA ini dicapai dengan
regimen kemoterapi yang lebih baik, kemoterapi dosis tinggi
dengan dukungan cangkok sumsum tulang dan terapi suportif yang
lebih baik seperti antibiotik generasi baru dan transfusi komponen
darah untuk mengatasi efek samping pengobatan.
Etiologi
Pada sebagian besar kasus, etiologi dari LMA tidak diketahui.
Meskipun demikian ada beberapa faktor yang diketahui dapat
menyebabkan atau setidaknya menjadi faktor prediposisi LMA
pada populasi tertentu. Benzene, suatu senyawa kimia yang banyak
digunakan pada insidens penyamakan kulit di negara berkembang,
diketahui merupakan zat leukomogenik untuk LMA. Selain itu
radiasi ionik juga diketahui dapat menyebabkan LMA. Ini
diketahui dari penelitian tentang tingginya insidensi kasus
leukemia, termasuk LMA, pada orang-orang yang selamat bom
atom di Hirosima dan Nagasaki pada 1945. Efek leukomogenik
dari paparan ion radiasi tersebut mulai tampak sejak 1,5 tahun
sesudah pengeboman dan mencapai puncaknya 6 atau 7 tahun
sesudah pengeboman. Faktor lain yang diketahui sebagai
39
predisposisi untuk LMA adalah trisomi kromosom 21 yang
dijumpai pada penyakit herediter sindrom down. Pasien Sindrom
Down dengan trisommi kromosom 21 mempunyai resiko 10
hingga 18 kali lebih tinggi untuk menderita leukemia, khususnya
LMA tipe M7. Selain itu pada beberapa pasien sindrom genetik
seperti sindrom bloom dan anemia Fanconi juga diketahui
mempunyai resiko yang jauh lebih tinggi dibandingkan populasi
normal untuk menderita LMA.
Faktor lain yang dapat memicu terjadinya LMA adalah pengobatan
dengan kemoterapi sitotoksik pada pasien tumor padat. LMA
akibat terapi adalah komplikasi jangka panjang yang serius dari
pengobatan limfoma, mieloma multipel, kanker payudara, kanker
ovarium, dan kanker testis. Jenis terapi yang paling sering memicu
timbulnya LMA adalah golongan alkylating agent dan
topoisomerase II inhibitor.
Patogenesis
Patogenesis utama LMA adalah adanya blokade maturitas yang
menyebabkan proses diferensiasi sel-sel seri mieloid terhenti pada
sel-sel muda (blast) dengan akibat terjadi akumulasi blast di
sumsum tulang. Akumulasi Blast di dalam sumsum tulang akan
menyebabkan gangguan hematopoesis normal dan pada gilirannya
akan mengakibatkan sindrom kegagalan sumsum tulang (bone
marrow failure syndrome) yang ditandai dengan adanya sitopenia (
anemia, leukopeni, trombositopeni). Adanya anemia akan
menyebabkan pasien mudah lelah dan pada kasus yang lebih berat
akan sesak nafas, adanya trombositopenia akan menyebabkan
tanda-tanda perdarahan, sedang adanya leukopenia akan
menyebabkan pasien rentan terhadap infeksi, termausk infeksi
oportunis dari flora normal bakteri yang ada di dalam tubuh
manusia. Selain itu, sel-sel blast yang terbentuk juga punya
kemampuan untuk migrasi keluar sumsum tulang dan berinfiltrasi
40
ke organ-organ lain seperti kulit, tulang, jaringan lunak dan sistem
syaraf pusat dan merusak organ-organ tersebut dengan segala
akibatnya.
Sel ganas pada AML myeloblast tersebut. Dalam hematopoiesis
normal, myeloblast merupakan prekursor belum matang myeloid
sel darah putih, sebuah myeloblast yang normal secara bertahap
akan tumbuh menjadi sel darah dewasa putih. Namun, dalam
AML, sebuah myeloblast tunggal akumulasi perubahan genetik
yang "membekukan" sel dalam keadaan imatur dan mencegah
diferensiasi.Seperti mutasi saja tidak menyebabkan leukemia,
namun ketika seperti "penangkapan diferensiasi" dikombinasikan
dengan mutasi gen lain yang mengganggu pengendalian proliferasi,
hasilnya adalah pertumbuhan tidak terkendali dari klon belum
menghasilkan sel, yang mengarah ke entitas klinis AML.
Sebagian besar keragaman dan heterogenitas AML berasal dari
kenyataan bahwa transformasi leukemia dapat terjadi di sejumlah
langkah yang berbeda di sepanjang jalur diferensiasi. Skema
klasifikasi modern untuk AML mengakui bahwa karakteristik dan
perilaku dari sel leukemia (dan leukemia) mungkin tergantung
pada tahap di mana diferensiasi dihentikan.
Spesifik sitogenetika kelainan dapat ditemukan pada banyak pasien
dengan AML, jenis kelainan kromosom sering memiliki makna
prognostik.
Para translokasi kromosom yang abnormal menyandikan protein
fusi, biasanya faktor transkripsi yang mengubah sifat dapat
menyebabkan "penangkapan diferensiasi." Sebagai contoh, pada
leukemia promyelocytic akut, t (15; 17) translokasi menghasilkan
protein fusi PML-RARα yang mengikat ke reseptor unsur asam
retinoat dalam beberapa promotor myeloid-gen spesifik dan
menghambat diferensiasi myeloid. Klinis tanda dan gejala hasil
AML dari kenyataan bahwa, sebagai klon leukemia sel tumbuh, ia
41
cenderung untuk menggantikan atau mengganggu perkembangan
sel-sel darah normal dalam sumsum tulang. Hal ini menyebabkan
neutropenia, anemia, dan trombositopenia.
Tanda dan gejala
Berbeda dengan anggapan umum selama ini, pada pasien
LMA tidak selalu dijumpai leukositosis. Leukositosis terjadi pada
sekitar 50% kasus LMA, sedang 15% pasien mempunyai angka
leukosit yang normal dan sekitar 35% mengalami netropenia.
Meskipun demikian, sel-sel blast dalam jumlah yang signifikan di
darah tepi akan ditemukan pada 85% kasus LMA. Oleh karena itu
sangat penting untuk memeriksa rincian jenis sel-sel leukosit di
darah tepi sebagai pemeriksaan awal, untuk menghindari kesalahan
diagnosis pada orang yang diduga menderita LMA.
Tanda dan gejala utama LMA adalah adanya rasa lelah,
perdarahan dan infeksi yang disebabkan oleh sindrom kegagalan
sumsum tulang sebagaimana telah disebutkan di atas. Perdarahan
biasanya terjadi dalam bentuk purpura atau petekia yang sering
dijumpai di ekstremitas bawah atau berupa epistaksis, perdarahan
gusi dan retina. Perdarahan yang lebih berat jarang terjadi kecuali
pada kasus yang disertai dengan DIC. Kasus DIC ini pling sering
dijumpai pada kasus LMA tipe M3. Infeksi sering terjadi di
tenggorokan, paru-paru, kulit dan daerah peri rektl, sehingga
organ-organ tersebut harus diperiksa secara teliti pada pasien LMA
dengan demam.
Pada pasien dengan angka leukosit yang sangat tinggi (lebih
dari 100 ribu/mm3), sering terjadi leukositosis, yaitu gumpalan
leukosit yang menyumbat aliran pembuluh darah vena maupun
arteri. Gejala leukositosis sangat bervariasi, tergantung lokasi
sumbatannya. Gejala yang sering dijumpai adalah gangguan
kesadaran, sesak nafas, nyeri dada dan priapismus.
42
Infiltrasi sel-sel blast akan menyebabkan tanda/gejala yang
bervariasi tergantung organ yang di infiltrasi. Infiltrasi sel-sel blast
di kulit akan menyebabkan leukemia kutis yaitu berupa benjolan
yang tidak berpigmen dan tanpa rasa sakit, sedang infiltrasi sel-sel
blast di jaringan lunak akan menyebabkan nodul di bawah kulit
(kloroma). Infiltrasi sel-sel blast di dalam tulang akan meninbulkan
nyeri tulang yang spontan atau dengan stimulasi ringan.
Pembengkakkan gusi sering dijumpai sebagai manifestasi infiltrasi
sel-sel blast ke dalam gusi. Meskipun jarang, pada LMA juga dapat
dijumpai infiltrasi sel-sel blast ke daerah menings dan untuk
penegakan diagnosis diperlukan pemeriksaan sitologi dari cairan
serebro spinal yang diambil melalui prosedur pungsi lumbal.
Diagnosis
Secara klasik diagnosis LMA ditegakkan berdasarkan pemeriksaan
fisik, morfologi sel dan pengecatan sitokimia. Seperti sudah
disebutkan, sejak sekitar dua dekade tahun yang lalu berkembang 2
(dua) teknik pemeriksaan terbaru: immunophenotyping dan analisis
sitogenik. Berdasarkan pemeriksaan morfologi sel dan pengecatan
sitokimia, gabungan ahli hematologi Amerika, Perancis dan Inggris
pada tahun 1976 menetapkan klasifikasi LMA yang terdiri dari 8
subtipe (M0 sampai dengan M7). Klasifikasi ini dikenal dengan
nama klasifikasi FAB (French American British). Klasifikasi FAB
hingga saat ini masih menjadi diagnosis dasar LMA. Pengecatan
sitokimia yang penting untuk pasien LMA adalah Sudan Black B
(SSB) dan mieloperoksidase (MPO). Kedua pengecatan sitokimia
tersebut akan memberikan hasil positif pada pasien LMA tipe M1,
M2, M3, M4, dan M6.
Pertama, tes darah dilakukan untuk menghitung jumlah setiap
jenis sel darah yang berbeda dan melihat apakah mereka berada
dalam batas normal. Dalam AML, tingkat sel darah merah
mungkin rendah, menyebabkan anemia, tingkat-tingkat platelet
43
mungkin rendah, menyebabkan perdarahan dan memar, dan tingkat
sel darah putih mungkin rendah, menyebabkan infeksi.
Biopsi sumsum tulang atau aspirasi (penyedotan) dari sumsum
tulang mungkin dilakukan jika hasil tes darah abnormal. Selama
biopsi sumsum tulang, jarum berongga dimasukkan ke tulang
pinggul untuk mengeluarkan sejumlah kecil dari sumsum dan
tulang untuk pengujian di bawah mikroskop. Pada aspirasi sumsum
tulang, sampel kecil dari sumsum tulang ditarik melalui cairan
injeksi.
Pungsi lumbal, atau tekan tulang belakang, dapat dilakukan
untuk melihat apakah penyakit ini telah menyebar ke dalam cairan
cerebrospinal, yang mengelilingi sistem saraf pusat atau sistem
saraf pusat (SSP) - otak dan sumsum tulang belakang. Tes
diagnostik mungkin termasuk flow cytometry penting lainnya
(dimana sel-sel melewati sinar laser untuk analisa),
imunohistokimia (menggunakan antibodi untuk membedakan
antara jenis sel kanker), Sitogenetika (untuk menentukan
perubahan dalam kromosom dalam sel), dan studi genetika
molekuler (tes DNA dan RNA dari sel-sel kanker).
Penyakit Leukemia dapat dipastikan dengan beberapa
pemeriksaan, diantaranya adalah ; Biopsy, Pemeriksaan darah
{complete blood count (CBC)}, CT or CAT scan, magnetic
resonance imaging (MRI), X-ray, Ultrasound, Spinal tap/lumbar
puncture.
Kelainan hematologis
Ø Anemia dengan jumlah eritrosit yang menurun sekitar 1-3 x
106/mm3.
Ø Leukositosis dengan jumlah leukosit antara 50-100 x 103 /mm3.
Leukosit yang ada dalam darah tepi terbanyak adalah myeloblas.
44
Ø Trombosit jumlah menurun. Mieloblas yang tampak kadang-
kadang mengandung “badan auer” suatu kelainan yang
pathogonomis untuk LMA.
Sumsum tulang hiperseluler karena mengandung mieloblas yang masif,
sedang megakariosit dan pronormoblas dijumpai sangat jarang. Kelainan
sumsum tulang ini sudah akan jelas meskipun myeloblas belum tampak dalam
darah tepi. Jadi kadang-kadang ditemukan kasus dengan pansitopenia perifer
akan tetapi sumsum tulang sudah jelas hiperseluler karena infiltrasi dengan
myeloblas. Kadan-kadang ditemukan “Auer body” dalam mieloblas. Kadang
manifestasi pertama sebagai eritroleukemia (ploriferasi eritroblas dan
mieloblas dalam sumsum tulang) yang berlangsung beberapa bulan/tahun
sebelum fambaran mieloblastiknya menjadi jelas benar.
45
DAFTAR PUSTAKA
1. Bakta, I made. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC, 2006.
2. Desen, Wan. Buku Ajar Onkologi Klinis Ed. 2. Balai penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta. 2008
3. Permono B, Ugrasena IDG. Leukemia Akut dalam Buku Ajar Hematologi-
Onkologi Anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia,
2005
4. Behrman, Kliegman, Arvin. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Ed. 15. Penerbit
Buku Kedokteran EGC. 1996.
5. Lanzkowsky, Philip. Manual of Pediatric Hematology and Oncology; 4th
Edition. London; Elsevier Academic Press; 2006; 401-411
6. Roberts, Irene A.G. Chronic myeloid leukemia. In Pediatric hematology,
editor: Arceci, Robert J. 3rd edition. London: Blackwell publishing; 2006
p: 384-399
7. Chronic Myeloid Leukemia available from
http://www.wikipedia.com/Chronic Myelogenous Leukemia/ Accessed on
January, 14 2015
8. Roberts, Irene A.G. Chronic myeloid leukemia. In Pediatric hematology,
editor: Arceci, Robert J. 3rd edition. London: Blackwell publishing; 2006
p: 384-399
9. Supandiman I,Sumahtri R.Polisitemia Vera.Pedoman diagnosis dan terapi
Hematologi Onkologi Medik.2003:83-90.
10. Prenggono D.Polisitemia vera. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II.
Edisi IV. Penerbit IPD FKUI. 2006:702-705.
11. James C.The JAK2V617F Mutation in Polycythemia Vera and Other
Myeloproliferative Disorders : One Mutation for Three Diseases?.
Hematology.2008;3:112-132.
12. Levine RL, Gilliland DG.Myeloproliferative Disorders.
Blood.2008;112:2190-2198.
46
13. Mazza, Joseph J.Polycythemia Vera. Myeloproliferative Diseases. Manual
of Clinical Hematology.2002:3; 137-142
14. Hillman.Robert S.Kenneth A. Polycythemia. Hematology in Clinical
Practice.2005;4:1-25.
15. Stuart B J,Viera AJ.Polycythemia Vera.Polycythemia :primary and
Secundary.Practical diagnosis of hematologyc disordrers.2000:3;221-227
16. Campbell PJ,Green AR.Management of Polycythemia Vera and Essential
Thrombocythemia. American Society of Hematology.2005;201-208.
17. Paquette R.Hiller E.The Myieloproliferative Syndromes. Modern
Hematology.2007:2:137-150Hillman, Robert S.Polycythemia.
Hematology in clinical Practice. 2005 4:137-143.
18. Schafer AI. Thrombocytosis and Essential Thrombocythemia. In : Beutler
E, Coller BS, Lichtman MA, Kipps TJ, Seligsohn U, eds. William
Hematology, 6th ed. New York : McGraw – Hill, 2001 : 1541-1549.
19. Kuter DJ. Thrombopoietin : Biology and Clinical Applications. The
Oncologist 1996 ;12: 98-106.
20. Espanol I, Hernandez A, Cortes M, Mateo J, Pujol-Moix N. Patiens with
Thrombocytosis have Normal or Slightly Elevated Thrombopoietin
Levels. Haematologica 1999;84:312-316.
21. Green AR. The Pathogenesis and Management of Essential
Thrombocythaemia. Haematologica 1999 ;84: 36-39.
22. Levine SP. Thrombocytosis. In : Lee GR, Foester J, Lukens J, Parakevas
F, Greer JP, Rodgers GM. eds.Wintrobe’s Clinical Hematology, 10th ed.
Volume 2. Philadelphia : Lippincott Williams and Wilkins, 1999 : 1648-
1655.
23. Falanga A, Marchetti M, Evangelista V, Vidnoli A, Licini M, Balicco M,
et al. Polymorphonuclear Leucocyte Activation and Hemostasis in Patients
47
with Essential Thrombocythemia and Polycythemia Vera. Blood
2000 ;98 : 4261-4266.
24. Barbui T. What is the Standard Treatment in Essential Thrombocythemia.
International Journal of Hematology, Supplement II 2002 ;76: 311-317.
25. Gale ER. Basic Sciences of Myeloproliferative Diseases : Pathogenic
Mechanisms of ET and PV. International Journal of Hematology,
Supplement II 2002 ;76: 305-310.
48