45

Click here to load reader

Referat Polifarmasi Pada Lansia

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Geriatri

Citation preview

Page 1: Referat Polifarmasi Pada Lansia

BAB I

PENDAHULUAN

Keperawatan Gerontik adalah Praktek perawatan yang berkaitan dengan

penyakit pada proses menua (KOZIER, 1987). Menurut Lueckerotte (2000)

keperawatan gerontik adalah ilmu yang mempelajari tentang perawatan pada

lansia yang berfokus pada pengkajian kesehatan dan status fungsional,

perencanaan, implementasi serta evaluasi.

Penampilan penyakit pada lanjut usia (lansia) sering berbeda dengan pada

dewasa muda, karena  penyakit pada lansia merupakan gabungan dari kelainan-

kelainan yang timbul akibat penyakit dan proses menua, yaitu proses

menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki

diri atau mengganti diri serta mempertahankan struktur dan fungsi normalnya,

sehingga tidak dapat berthan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki

kerusakan yang diderita.

Hasil penelitian profil penyakit lansia di 4 Kota (Padang, Bandung,

Denpasar dan Makassar) yaitu fungsi tubuh yang dirasakan menurun: penglihatan

(76,24%), daya ingat (69,39%), seksual (58,04%), kelenturan (53,23%), gigi dan

mulut (51,12%). Lalu masalah kesehatan yang sering muncul: sakit tulang atau

sendi (69,39%), sakit kepala (51,15%), daya ingat menurun (38,51%), selera

makan menurun (30,08%), mual/perut perih (26,66%), sulit tidur (24,88%), dan

sesak nafas (21,28%). Kemudian penyakit kronis: rematik (33,14%), darah tinggi

(20,66%), gastritis (11,34%) dan jantung (6,45%).

1

Page 2: Referat Polifarmasi Pada Lansia

Semua keadaan ini menyebabkan lansia memperoleh pengobatan yang

banyak jenisnya. Pemberian obat atau terapi untuk kaum lansia, memang banyak

masalahnya, karena beberapa obat sering beinteraksi. Kondisi patologi pada

golongan usia lanjut, cenderung membuat lansia mengkonsumsi lebih banyak obat

dibandingkan dengan pasien yang lebih muda sehingga memiliki risiko lebih

besar untuk mengalami efek samping dan interaksi obat yang merugikan

(Anonim, 2004).

Peresepan obat pada lanjut usia (lansia) merupakan salah satu masalah yang

penting, karena dengan bertambahnya usia akan menyebabkan perubahan-

perubahan farmakokinetik dan farmakodinamik. Pemakaian obat yang banyak

(polifarmasi), lebih sering terjadi efek samping, interaksi, toksisitas obat, dan

penyakit iatrogenik, lebih sering terjadi peresepan obat yang tidak sesuai dengan

diagnosis penyakit dan berlebihan, serta ketidakpatuhan menggunakan obat sesuai

dengan aturan pemakaiannya (inadherence).

Dari data yang diperoleh, peresepan obat pada lansia berkisar sepertiga dari

semua peresepan dan separuh dari obat yang dibeli tanpa resep digunakan oleh

lansia. Secara keseluruhan, 80 % dari lansia setiap hari menggunakan paling

sedikit satu jenis obat. Dengan semakin meningkatnya jumlah lansia maka

masalah peresepan obat pada lansia akan menjadi masalah yang sangat perlu

diperhatikan atau perlu mendapat perhatian khusus.

Penyakit pada usia lanjut sering terjadi pada banyak organ sehingga

pemberian obat sering terjadi polifarmasi. Polifarmasi berarti pemakaian banyak

obat sekaligus pada seorang pasien, lebih dari yang dibutuhkan secara logis-

2

Page 3: Referat Polifarmasi Pada Lansia

rasional dihubungkan dengan diagnosis yang diperkirakan. Diantara demikian

banyak obat yang ditelan pasti terjadi interaksi obat yang sebagian dapat bersifat

serius dan sering menyebabkan hospitalisasi atau kematian. Kejadian ini lebih

sering terjadi pada pasien yang sudah berusia lanjut yang biasanya menderita lebih

dari satu penyakit.

3

Page 4: Referat Polifarmasi Pada Lansia

BAB II

PEMBAHASAN

Pengantar Polifarmasi

Penderita usia lanjut umumnya mengalami beberapa penyakit secara

bersamaan, dan ada kemungkinan dokter (beberapa dokter) berusaha memberikan

obat untuk setiap penyakit. Jumlah obat-obat yang banyak ini dapat menimbulkan

masalah baru antara lain karena efek samping dan interaksi obat. Walaupun tidak

mudah mengelola penderita lanjut usia dengan multipatologi, beberapa pedoman

dapat dipakai sebagai pegangan, antara lain: langkah-langkah untuk menghindari

polifarmasi.

a. catat semua obat yang dipakai, untuk review dan monitoring

b. kenali nama generik dan golongan obat

c. kenali indikasi klinik untuk setiap obat

d. ketahui profil efek samping setiap obat

e. kenali faktor risiko sesuatu efek yang tak terduga

f. hentikan pemberian obat tanpa manfaat penyembuhan

g. hentikan pemberian obat tanpa indikasi klinik

h. gantilah dengan obat yang lebih aman

i. jangan menangani efek tak terduga suatu obat dengan obat lagi

j. gunakan obat tunggal bila cara pemberiannya tidak sering, Obat-obat herbal

yang banyak beredar dimasyarakat dan dikonsumsi juga oleh golongan lanjut usia

tidak boleh dianggap sepenuhnya aman. Fitofarmaka dengan menggunakan

4

Page 5: Referat Polifarmasi Pada Lansia

obatobat ini dapat menyebabkan efek samping dan interaksi obat yang berat sama

dengan obat-obat sintetik.

Penampilan penyakit pada lanjut usia (lansia) sering berbeda dengan pada

dewasa muda, karena  penyakit pada lansia merupakan gabungan dari kelainan-

kelainan yang timbul akibat penyakit dan proses menua, yaitu proses

menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki

diri atau mengganti diri serta mempertahankan struktur dan fungsi normalnya,

sehingga tidak dapat berthan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki

kerusakan yang diderita.

Penampilan penyakit pada lanjut usia (lansia) sering berbeda dengan pada

dewasa muda, karena  penyakit pada lansia merupakan gabungan dari kelainan-

kelainan yang timbul akibat penyakit dan proses menua, yaitu proses

menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki

diri atau mengganti diri serta mempertahankan struktur dan fungsi normalnya,

sehingga tidak dapat berthan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki

kerusakan yang diderita.

Konsep Dasar Pemakaian Obat

Ada tiga faktor yang menjadi acuan dasar dalam pembuatan atau peresepan

obat

1. Diagnosis dan patofisiologi penyakit

2. Kondisi organ tubuh

3. Farmakologi klinik obat (Boedi, 2006)

5

Page 6: Referat Polifarmasi Pada Lansia

Setelah dokter mendiagnosis penyakit pasien, maka sebelum penentuan obat

yang diberikan perlu dipertimbangkan kondisi organ tubuh serta farmakologi dari

obat yang akan diresepkan. Pada usia lanjut banyak hal-hal yang lainnya yang

perlu dipertimbangkan dalam pemilihan obat, karena pada golongan lansia

berbagai perubahan fisiologik pada organ dan sistema tubuh akan mempengaruhi

tanggapan tubuh terhadap obat. Adapun prinsip umum penggunaan obat pada usia

lanjut:

1. Berikan obat hanya yang betul-betul diperlukan artinya hanya bila ada indikasi

yang tepat. Bila diperlukan efek plasebo berikan plasebo yang sesungguhnya.

2. Pilihlah obat yang memberikan rasio manfaat yang paling menguntungkandan

tidak berinteraksi dengan obat yang lain atau penyakit lainnya

3. Mulai pengobatan dengan dosis separuh lebih sedikit dari dosis yang biasa

diberikan pada orang dewasa yang masih muda.

4. Sesuaikan dosis obat berdasarkan dosis klinik pasien, dan bila perlu dengan

memonitor kadar plasma pasien. Dosis penunjang yang tepat umumnya lebih

rendah.

5. Berikan regimen dosis yang sederhana dan sediaan obat yang mudah ditelan

untuk memelihara kepatuhan pasien

6. Periksa secara berkala semua obat yang dimakan pasien, dan hentikan obat

yang tidak diperlukan lagi (Manjoer, 2004)

Farmakokinetik

Pada usia lanjut perubahan terjadi pada saluran cerna yang diduga

mengubah absorbsi obat, misalnya meningkatnya pH lambung, menurunnya aliran

6

Page 7: Referat Polifarmasi Pada Lansia

darah ke usus akibat penurunan curah jantung dan perubahan waktu pengosongan

lambung dan gerak saluran cerna. Oleh karena itu, kecepatan dan tingkat absorbsi

obat tidak berubah pada usia lanjut, kecuali pada beberapa obat seperti fenotain,

barbiturat, dan prozasin (Bustami, 2001).

Pada distribusi obat terdapat hubungan antara penyebaran obat dalam cairan

tubuh dan ikatannya dengan protein plasma (biasanya dengan albumin, tetapi pada

beberapa obat dengan protein lain seperti asam alfa 1 protein), dengan sel darah

merah dan jaringan tubuh termasuk organ target.

Pada usia lanjut terdapat penurunan yang berarti pada massa tubuh tanpa

lemak dan cairan tubuh total, penambahan lemak tubuh dan penurunan albumin

plasma.

Penurunan albumin sedikit sekali terjadi pada lansia yang sehat dapat lebih

menjadi berarti bila terjadi pada lansia yang sakit, bergizi buruk atau sangat

lemah. Selain itu juga dapat menyebabkan meningkatnya fraksi obat bebas dan

aktif pada beberapa obat dan kadang-kadang membuat efek obat lebih nyata tetapi

eliminasi lebih cepat.

Munculnya efek obat sangat ditentukan oleh kecepatan penyerapan dan cara

penyebarannya. Durasi (lama berlangsungnya efek) lebih banyak dipengaruhi oleh

kecepatan ekskresi obat terutama oleh penguraian di hati yang biasanya membuat

obat menjadi lebih larut dalam air dan menjadi metabolit yang kurang aktif atau

dengan ekskresi metabolitnya oleh ginjal.

Sejumlah obat sangat mudah diekskresi oleh hati, antara lain melalui

ambilan (uptake) oleh reseptor di hati dan melalui metabolisme sehingga

7

Page 8: Referat Polifarmasi Pada Lansia

bersihannya tergantung pada kecepatan pengiriman ke hati oleh darah. Pada usia

lanjut, penurunan aliran darah ke hati dan juga kemungkinan pengurangan

ekskresi obat yang tinggi terjadi pada labetolol, lidokain, dan propanolol.

Efek usia pada ginjal berpengaruh besar pada ekskresi beberapa obat.

Umumnya obat diekskresi melalui filtrasi glomerolus yang sederhana dan

kecepatan ekskresinya berkaitan dengan kecepatan filtrasi glomerolus (oleh

karena itu berhubungan juga dengan bersihan kreatinin). Misalnya digoksin dan

antibiotik golongan aminoglikosida. Pada usia lanjut, fungsi ginjal berkurang,

begitu juga dengan aliran darah ke ginjal sehingga kecepatan filtrasi glomerolus

berkurang sekitar 30 % dibandingkan pada orang yang lebih muda. Akan tetapi,

kisarannya cukup lebar dan banyak lansia yang fungsi glomerolusnya tetap

normal. Fungsi tubulus juga memburuk akibat bertambahnya usia dan obat

semacam penicilin dan litium, yang secara aktif disekresi oleh tubulus ginjal,

mengalami penurunan faali glomerolus dan tubulus (Bustami, 2001).

Interaksi Farmakokinetik

1. Fungsi Ginjal

Perubahan paling berarti saat memasuki usia lanjut ialah berkurangnya

fungsi ginjal dan menurunnya creatinine clearance, walaupun tidak terdapat

penyakit ginjal atau kadar kreatininnya normal. Hal ini menyebabkan ekskresi

obat sering berkurang, sehingga memperpanjang intensitas kerjanya. Obat yang

mempunyai half-life panjang perlu diberi dalam dosis lebih kecil bila efek

sampingnya berbahaya.

8

Page 9: Referat Polifarmasi Pada Lansia

Dua obat yang sering diberikan kepada lansia ialah glibenklamid dan

digoksin. Glibenklamid, obat diabetes dengan masa kerja panjang (tergantung

besarnya dosis) misalnya, perlu diberikan dengan dosis terbagi yang lebih kecil

ketimbang dosis tunggal besar yang dianjurkan produsen. Digoksin juga

mempunyai waktu-paruh panjang dan merupakan obat lansia yang menimbulkan

efek samping terbanyak di Jerman karena dokter Jerman memakainya berlebihan,

walaupun sekarang digoksin sudah digantikan dengan furosemid untuk mengobati

payah jantung sebagai first-line drug (Darmansjah, 1994).

Karena kreatinin tidak bisa dipakai sebagai kriteria fungsi ginjal, maka

harus digunakan nilai creatinine-clearance untuk memperkirakan dosis obat yang

renal-toxic, misalnya aminoglikoside seperti gentamisin. Penyakit akut seperti

infark miokard dan pielonefritis akut juga sering menyebabkan penurunan fungsi

ginjal dan ekskresi obat.

Dosis yang lebih kecil diberikan bila terjadi penurunan fungsi ginjal,

khususnya bila memberi obat yang mempunyai batas keamanan yang sempit.

Alopurinol dan petidin, dua obat yang sering digunakan pada lansia dapat

memproduksi metabolit aktif, sehingga kedua obat ini juga perlu diberi dalam

dosis lebih kecil pada lansia.

2. Fungsi Hati

Hati memiliki kapasitas yang lebih besar daripada ginjal, sehingga

penurunan fungsinya tidak begitu berpengaruh. Ini tentu terjadi hingga suatu

batas. Batas ini lebih sulit ditentukan karena peninggian nilai ALT tidak seperti

penurunan creatinine clearance. ALT tidak mencerminkan fungsi tetapi lebih

9

Page 10: Referat Polifarmasi Pada Lansia

merupakan marker kerusakan sel hati dan karena kapasitas hati sangat besar,

kerusakan sebagian sel dapat diambil alih oleh sel-sel hati yang sehat.

ALT juga tidak bisa dipakai sebagai parameter kapan perlu membatasi obat

tertentu. Hanya anjuran umum bisa diberlakukan bila ALT melebihi 2-3 kali nilai

normal sebaiknya mengganti obat dengan yang tidak dimetabolisme oleh hati.

Misalnya pemakaian metilprednisolon, prednison dimetabolisme menjadi

prednisolon oleh hati. Hal ini tidak begitu perlu untuk dilakukan bila dosis

prednison normal atau bila hati berfungsi normal. Kejenuhan metabolisme oleh

hati bisa terjadi bila diperlukan bantuan hati untuk metabolisme dengan obat-obat

tertentu.

First-pass effect dan pengikatan obat oleh protein (protein-binding)

berpengaruh penting secara farmakokinetik. Obat yang diberikan oral diserap oleh

usus dan sebagian terbesar akan melalui vena porta dan langsung masuk ke hati

sebelum memasuki sirkulasi umum. Hati akan melakukan metabolisme obat yang

disebut first-pass effect dan mekanisme ini dapat mengurangi kadar plasma hingga

30% atau lebih. Kadar yang kemudian ditemukan dalam plasma merupakan

bioavailabilitas suatu produk yang dinyatakan dalam prosentase dari dosis yang

ditelan. Obat yang diberikan secara intra-vena tidak akan melalui hati dahulu tapi

langsung masuk dalam sirkulasi umum. Karena itu untuk obat-obat tertentu yang

mengalami first-pass effect dosis IV sering jauh lebih kecil daripada dosis oral.

Protein-binding juga dapat menimbulkan efek samping serius. Obat yang

diikat banyak oleh protein dapat digeser oleh obat lain yang berkompetisi untuk

ikatan dengan protein seperti aspirin, sehingga kadar aktif obat pertama meninggi

10

Page 11: Referat Polifarmasi Pada Lansia

sekali dalam darah dan menimbulkan efek samping. Warfarin, misalnya, diikat

oleh protein (albumin) sebanyak 99% dan hanya 1% merupakan bagian yang

bebas dan aktif. Proses redistribusi menyebabkan 1% ini dipertahankan selama

obat bekerja. Bila kemudian diberi aspirin yang 80-90% diikat oleh protein,

aspirin menggeser ikatan warfarin kepada protein sehingga kadar warfarin-bebas

naik mendadak, yang akhirnya menimbulkan efek samping perdarahan spontan.

Aspirin sebagai antiplatelet juga akan menambah intensitas perdarahan. Hal ini

juga dapat terjadi pada aspirin yang mempunyai waktu-paruh plasma hanya 15

menit. Sebagian besar mungkin tidak berpengaruh secara klinis, tetapi untuk obat

yang batas keamanannya sempit dapat membahayakan penderita (Boestami, 2001)

Farmakodinamik

Farmakodinamik adalah pengaruh obat terhadap tubuh. Respon seluler pada

lansia secara keseluruhan akan menurun. Penurunan ini sangat menonjol pada

respon homeostatik yang berlangsung secara fisiologis. Pada umumnya obat-obat

yang cara kerjanya merangsang proses biokimia selular, intensitas pengaruhnya

akan menurun misalnya agonis untuk terapi asma bronkial diperlukan dosis yang

lebih besar, padahal jika dosisnya besar maka efek sampingnya akan besar juga

sehingga index terapi obat menurun. Sedangkan obat-obat yang kerjanya

menghambat proses biokimia seluler, pengaruhnya akan terlihat bila mekanisme

regulasi homeostatis melemah (Boedi, 2006)

Interaksi Farmakodinamik

Interkasi farmakodinamik pada usia lanjut dapat menyebabkan respons

reseptor obat dan target organ berubah, sehingga sensitivitas terhadap efek obat

11

Page 12: Referat Polifarmasi Pada Lansia

menjadi lain. Ini menyebabkan kadang dosis harus disesuaikan dan sering harus

dikurangi. Misalnya opiod dan benzodiazepin menimbulkan efek yang sangat

nyata terhadap susunan saraf pusat. Benzodiazepin dalam dosis “normal” dapat

menimbulkan rasa ngantuk dan tidur berkepanjangan. Antihistamin sedatif seperti

klorfeniramin (CTM) juga perlu diberi dalam dosis lebih kecil (tablet 4 mg

memang terlalu besar) pada lansia.

Mekanisme terhadap baroreseptor biasanya kurang sempurna pada usia

lanjut, sehingga obat antihipertensi seperti prazosin, suatu α1-adrenergic blocker,

dapat menimbulkan hipotensi ortostatik; antihipertensi lain, diuretik furosemid

dan antidepresan trisiklik dapat juga menyebabkannya (Darmansjah, 1994).

Usia lanjut merupakan kelompok yang mesti mendapatkan perhatian khusus

dalam berbagai hal, termasuk soal kesehatan. Populasi mereka yang berusia lebih

dari 65 tahun sekitar 75%. Sekitar 25% diantaranya, sudah mengalami penurunan

kualitas dalam aktvitas yang sifatnya instrumental seperti bertransportasi, belanja,

memasak, memakai telepon, meminum obat sendiri dan sebagainya. Selain itu,

terdapat juga penurunan kualitas dalam aktivitas sehari-hari seperti mandi,

memakai baju, makan, buang air. Keluhan kesehatan pada lansia seringkali

atipikal sehingga sulit dimengerti. Kelainan pada satu sistem organ bisa jadi

sebenarnya akibat kelainan pada sistem organ yang lain.

Tak heran bila pelayanan kesehatan pada lansia membutuhkan perubahan

yang signifikan dalam pendekatan medis dibandingkan pasien usia muda.

Penyakit-penyakit pada lansia umumnya merupakan stadium awal yang sangat

mudah menimbulkan gejala akibat mekanisme homeostatik tubuh yang sudah

12

Page 13: Referat Polifarmasi Pada Lansia

terganggu. Berbagai penyakit yang umum terjadi pada lansia antara lain demensia,

kepribadian dependent, imobilitas, depresi, hipertensi, stroke, kanker,

osteoporosis, inkontinensia urin, penurunan berat badan dan malnutrisi, gangguan

pendengaran dan penglihatan dan sebagainya.

Jadi, wajar pasien lansia sangat membutuhkan pendekatan khusus dan

perhatian lebih matang terutama saat merencanakan terapi farmakologis.

Memahami tujuan pasien berobat akan membantu dokter agar fokus pada inti

permasalahan dan tujuan terapi pada pasien lansia.

Perubahan Farmakokinetik dan Farmakodinamik

Pengetahuan yang mesti diketahui dalam memberikan pengobatan ialah

pengetahuan mengenai farmakokinetik dan farmakodinamik obat dalam tubuh.

Hal tersebut biasanya berkaitan dengan usia pasien yang dikelompokkan menjadi

bayi, balita, anak-anak dan remaja/dewasa. Pengelompokkan itu bertujuan untuk

mempermudah dokter dalam mengukur tingkat farmakokinetik dan

farmakodinamik obat dalam tubuh seseorang sehingga obat yang diberikan pada

pasien menjadi efektif untuk penyembuhan dan tidak memiliki efek samping/

toksisitas. Biasanya dalam kemasan obat yang beredar di pasaran saat ini, sudah

dicantumkan dosis pemberian normal. Akan tetapi, sayangnya dalam kemasan

obat tersebut baik di Indonesia maupun di negara lain, pengelompokkan dosis

hanya sebatas hingga usia dewasa saja, melupakan satu kelompok terakhir yakni

lansia. Akibatnya pasien lansia ini walaupun diberikan obat dalam dosis normal

seperti dosis orang dewasa malah dapat berefek toksisitas.

13

Page 14: Referat Polifarmasi Pada Lansia

Bertambahnya usia akan menyebabkan perubahan-perubahan

farmakokinetik dan farmakodinamik. Perubahan ini akan menyebabkan gangguan

pada metabolisme obat terutama akibat penurunan fungsi ginjal (filtrasi

glomerulus dan sekresi tubuli) dan penurunan bersihan hepatik. Penurunan filtrasi

glomerulus sekitar 30% pada usia 65 tahun. Perubahan farmakokinetik lainnya

adalah penurunan aktivitas enzim mikrosom, berkurangnya kadar albumin plasma

(sehingga dapat meningkatkan kadar obat bebas), pengurangan berat badan dan

cairan tubuh serta penambahan lemak tubuh (sehingga dapat mengubah distribusi

obat), berkurangnya perfusi hepatik karena penuaan, dan berkurangnya absorpsi

aktif. Hasil dari semua perubahan ini adalah kadar obat yang lebih tinggi dan

bertahan lebih lama dalam darah dan jaringan. Waktu paruh obat dapat meningkat

sampai 50%.

Perubahan faktor-faktor farmakodinamik yakni peningkatan sensitivitas

reseptor, terutama reseptor di otak (terhadap obat-obat yang bekerja sentral) dan

penurunan mekanisme homeostatik, misalnya homeostatik kardiovaskular

(terhadap obat-obat antihipertensi). Selain faktor perubahan-perubahan

farmakokinetik dan farmakodinamik, adanya berbagai penyakit pada usia lanjut

juga dapat berpengaruh pada konsumsi obat tertentu. Pasien lansia dengan kondisi

kronis multiple seringkali mendapatkan banyak obat termasuk obat yang tidak

diresepkan (seperti vitamin, dan obat jual bebas lainnya). Pemakaian banyak obat

tersebut dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya interaksi obat. Akibatnya

seringkali terjadi respon yang berlebihan atau efek toksik serta berbagai efek

samping.

14

Page 15: Referat Polifarmasi Pada Lansia

Prinsip umum peresepan obat pada lansia, yaitu: pertama, obat hanya

diberikan apabila ada indikasi yang tepat. Bila diperlukan efek plasebo, berikan

plasebo sesungguhnya (yang tidak mengandung bahan aktif). Kedua, pilih obat

yang memberikan rasio manfaat-risiko paling menguntungkan bagi pasien lansia

(misalnya bila diperlukan hipnotik, jangan digunakan barbiturate) dan tidak

berinteraksi dengan obat lain atau penyakit lain pada pasien yang bersangkutan.

Ketiga, mulailah dengan dosis separuh lebih sedikit dari dosis yang biasa

diberikan kepada pasien dewasa muda. Selanjutnya dosis obat disesuaikan

berdasarkan respon klinik pasien dan bila perlu dengan memonitor kadar obat

dalam plasma pasien. Dosis penunjang yang tepat pada umumnya lebih rendah

daripada dosis untuk pasien dewasa muda. Keempat, berikan regimen dosis yang

sederhana (yang ideal 1x sehari) dan sediaan obat yang mudah ditelan (sebaiknya

sirop atau tablet yang dilarutkan dalam air) untuk memelihara kepatuhan pasien.

Kelima, periksa secara berkala semua obat yang dimakan pasien dan hentikan

obat yang tidak diperlukan lagi.

Besarnya dosis dapat diperkirakan dari berat badan pasien, indeks terapi

obat dan cara eliminasi obat. Untuk obat-obat yang eliminasi utamanya melalui

ekskresi ginjal (misalnya digoksin, aminoglikosida dan klorpropamid) besarnya

penurunan dosis dapat diperhitungkan berdasarkan besarnya penurunan bersihan

kreatinin pasien. Sedangkan untuk obat-obat lain, besarnya penurunan dosis hanya

dikira-kira saja berdasarkan educated guess.

Beberapa contoh obat yang mesti diperhatikan

15

Page 16: Referat Polifarmasi Pada Lansia

Digoksin. Obat ini dapat menyebabkan respon intoksikasi akibat filtrasi

glomerulus yang berkurang, penurunan berat badan (indeks massa tubuh) terhadap

distribusi obat, adanya gangguan elektrolit pada lansia dan penyakit

kardiovaskular yang lanjut.

Antihipertensi (terutama penghambat adrenergik). Efek toksisitas obat ini

dapat mengakibatkan sinkope akibat hipotensi postural dan insufisiensi koroner

karena penurunan mekanisme homeostatik kardiovaskular pada lansia.

Diuretik (tiazid, furosemid). Efek toksisitas pada obat ini dapat

mengakibatkan hipotensi, hipokalemia, hipovolemia, hiperglikemia dan

hiperurikemia. Efek tersebut berkaitan dengan berat badan pada pasien lansia

yang sudah sangat berkurang, penurunan fungsi ginjal dan penurunan mekanisme

homeostatik kardiovaskular.

Obat-obat glaukoma seperti beta bloker topikal dan asetazolamid dapat

mengakibatkan efek samping sistemik seperti bradikardi, asma dan gagal jantung.

Sementara anti emetik seperti metoklopramid dan proklorperazin dapat

mengakibatkan drug-induced parkinsonism.

Antikoagulan. Efek toksisitas obat ini dapat menyebabkan perdarahan akibat

penurunan respon homeostatik vaskular pada pasien lansia.

Barbiturat dapat menyebabkan kebingungan mental (gelisah sampai

psikosis). Diazepam, nitrazepam dan flurazepam dapat meningkatkan depresi

pada Susunan Saraf Pusat (SSP). Fenotiazin dapat menyebabkan hipotensi

postural, hipotermia dan reaksi koreiform.

16

Page 17: Referat Polifarmasi Pada Lansia

Triheksifenidil dapat menyebabkan kebingungan mental, halusinasi,

konstipasi dan retensi urin. Respon berlebihan pada obat ini terjadi akibat

peningkatan sensitivitas otak terhadap obat-obat tersebut, penurunan metabolisme

obat-obat tersebut di hepar serta penurunan eliminasi obat. Isoniazid juga

termasuk obat yang dimetabolisme di hati. Oleh karena itu harus diwaspadai pula

sebab dapat mengakibatkan hepatotoksisitas.

Obat lainnya yang harus diperhatikan antara lain antibiotik seperti penisilin

dalam dosis besar, aminoglikosida, streptomisin dan tetrasiklin, klorpropamid

serta simetidin. Streptomisin yang berlebihan dalam tubuh akan memberikan

respon berupa ototoksisitas, sementara klorpropamid akan mengakibatkan

hipoglikemia. Semua obat ini dikaitkan dengan penurunan fungsi ginjal pada

lansia sehingga sulit diekskresi melalui ginjal.

Polifarmasi Pada Lansia

Peresepan obat pada lanjut usia (lansia) merupakan salah satu masalah yang

penting, karena dengan bertambahnya usia akan menyebabkan perubahan-

perubahan farmakokinetik dan farmakodinamik. Pemakaian obat yang banyak

(polifarmasi), lebih sering terjadi efek samping, interaksi, toksisitas obat, dan

penyakit iatrogenik, lebih sering terjadi peresepan obat yang tidak sesuai dengan

diagnosis penyakit dan berlebihan, serta ketidakpatuhan menggunakan obat sesuai

dengan aturan pemakaiannya (inadherence).

Dari data yang diperoleh, peresepan obat pada lansia berkisar sepertiga dari

semua peresepan dan separuh dari obat yang dibeli tanpa resep digunakan oleh

lansia. Secara keseluruhan, 80% dari lansia setiap hari menggunakan paling

17

Page 18: Referat Polifarmasi Pada Lansia

sedikit satu jenis obat. Dengan semakin meningkatnya jumlah lansia maka

masalah peresepan obat pada lansia akan menjadi masalah yang sangat perlu

diperhatikan atau perlu mendapat perhatian khusus.

Peresepan Obat Yang Rasional

Menurut World Health Organization (1985) bahwa yang termasuk dalam

peresepkan obat yang rasional adalah jika penderita yang mendapat obat-obatan

sesuai dengan diagnosis penyakitnya, dosis dan lama pemakaian obat yang sesuai

dengan kebutuhan pasien, serta biaya yang serendah mungkin yang dikeluarkan

pasien maupun masyarakat untuk memperoleh obat.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka di dalam meningkatkan mutu

pengobatan terhadap pasien perlulah diperhatikan hal-hal yang dapat

menimbulkan peresepan obat yang tidak rasional pada lansia.

Di bawah ini diuraikan beberapa bentuk peresepan obat yang tidak rasional

pada lansia, yaitu:

1. Meresepkan obat dengan boros (extravagantly drug prescribing): hal ini terjadi

karena meresepkan obat yang mahal, sedangkan masih ada obat pilihan lain

yang lebih murah dengan manfaat dan keamanan yang sama atau hampir sama.

Termasuk juga disini berupa pemberian obat-obat yang hanya mengurangi

gejala-gejala dan tanda-tanda tanpa memperhatikan penyebab penyakit yang

lebih penting.

2. Meresepkan obat secara berlebihan (over drug prescribing): hal ini terjadi jika

dosis, lama pemberian, jumlah/jenis obat yang diresepkan melebihi dari yang

18

Page 19: Referat Polifarmasi Pada Lansia

diperlukan, termasuk juga disini meresepkan obat-obat yang sebenarnya tidak

diperlukan untuk pengobatan penyakitnya.

3. Meresepkan obat yang salah (incorrect drug prescribing): hal ini terjadi akibat

menggunakan obat untuk hal-hal yang tidak merupakan indikasi, pemakaian

obat tanpa memperhitungkan keadaan lain yang diderita pasien secara

bersamaan.

4. Meresepkan obat lebih dari satu jenis (multiple drugs

prescribing/polypharmacy): hal ini dapat terjadi pada pemberian dua jenis atau

lebih kombinasi obat, sedangkan sebenarnya cukup hanya diperlukan satu jenis

obat saja, termasuk pula disini berupa pemberian obat terhadap segala gejala

dan tanda-tanda yang timbul, tanpa memberikan obat yang dapat mengatasi

penyebab utamanya.

5. Meresepkan obat yang kurang (under drug prescribing): hal ini dapat terjadi

jika obat yang seharusnya diperlukan tidak diberikan, dosis obat yang

diberikan tidak mencukupi maupun lama pemberian terlalu singkat

dibandingkan dengan yang sebenarnya diperlukan.

Masalah Dalam Peresepan Obat

Beberapa masalah yang sering timbul dalam peresepan obat pada lansia

adalah sebagai berikut :

1. Farmakokinetik

Penyerapan obat

Beberapa hal yang menghambat penyerapan obat pada lansia adalah

berkurangnya permukaan lapisan atas usus, berkurangnya gerakan dan aliran

19

Page 20: Referat Polifarmasi Pada Lansia

darah saluran cerna, berkurangnya keasaman lambung, dan penyakit-penyakit

tertentu. Sebaliknya, akibat berkurangnya gerakan saluran cerna menyebabkan

lebih lama obat didapati saluran cerna sehingga absorpsinya lebih banyak.

Akibat hal-hal tersebut di atas ma ka penyerapan obat hanya sedikit terganggu.

Distribusi obat

Dipengaruhi oleh jumlah darah yang dipompakan jantung keseluruh

tubuh per menit (curah jantung), kelarutan obat dalam air atau lemak dan

keterikatan obat dengan protein. Akibat bertambahnya usia, curah jantung

berkurang yang menyebabkan berkurangnya obat yang terikat dengan reseptor

yang terdapat di dalam sel.

Demikian juga terjadi perubahan komposisi tubuh (berkurangnya cairan

dan bertambahnya lemak tubuh) serta berkurangnya massa otot.

Mengenai kelarutan obat

Ada yang larut dalam air dan ada yang larut dalam lemak. Akibat

kurangnya cairan tubuh maka obat yang larut dalam air mempunyai volume

distribusi yang lebih sedikit, sehingga kadarnya dalam serum meningkat dan

takarannya perlu dikurangi.

Sebaliknya, obat yang larut dalam lemak, akibat pertambahan lemak

tubuh menyebabkan volume distribusi meningkat, sehingga memperpanjang

lamanya obat dalam tubuh. Kadar protein (albumin) yang berkurang pada

lansia menyebabkan bertambah sedikit obat yang terikat dengan albumin dan

bertambah banyak obat dalam bentuk bebas di dalam serum sehingga efek obat

meningkat.

20

Page 21: Referat Polifarmasi Pada Lansia

Metabolisme

Berkurangnya kecepatan metabolisme pada lansia karena berkurangnya

aliran darah ke hati dan fungsi hepatosit serta enzim hati cytochrome P 450.

Pengeluaran

Berkurangnya fungsi ginjal untuk mengeluarkan obat dari tubuh pada

lansia disebabkan berkurangnya fungsi glomerulus dan tubulus. Sebagai

akibatnya, obat -obat mempunyai durasi yang lebih lama dan kadarnya lebih

tinggi di dalam tubuh, sehingga mudah terjadi efek samping dan toksisitas

obat.

2. Farmakodinamik

Perubahan ini berupa gangguan kepekaan target organ terhadap obat yang

dikonsumsi pada lansia yang menyebabkan meningkatnya atau berkurangnya efek

obat tersebut dibandingkan dengan pada usia yang lebih muda. Hal ini disebabkan

gangguan pengikatan obat dengan reseptor dan berkurangnya jumlah reseptor.

3. Masalah-masalah khusus

Beberapa masalah khusus perlu diperhatikan di dalam meresepkan obat

pada lansia, yaitu:

Polifarmasi

Lansia cenderung mengalami polifarmasi karena penyakitnya yang lebih

dari satu jenis (multipatologi) dan diagnosis tidak jelas. Polifarmasi adalah

peresepan 5 jenis atau lebih obat, baik obat makan, salep, injeksi, yang digunakan

untuk jangka waktu yang lama (480 hari atau lebih dalam 2 tahun).

21

Page 22: Referat Polifarmasi Pada Lansia

Adapun lansia yang berisiko tinggi menderita penyakit atau masalah

kesehatan sebagai akibat penggunaan obat, yaitu: berusia lebih dari 85 tahun,

mendapat 9 jenis atau lebih obat atau lebih 12 dosis obat per hari, menderita 6

jenis atau lebih penyakit kronik yang sedang aktif, terutama gangguan fungsi

ginjal. Oleh karena itu, sedapat mungkin hindarilah polifarmasi, khususnya pada

yang berisiko tinggi.

Takaran obat

Akibat perubahan farmakokinetik dan farmakodinamik pada lansia maka

takaran obat perlu diberikan serendah mungkin yang masih mempunyai efek

untuk menyembuhkan (S1-½ takaran dewasa yang dianjurkan) dan titrasi secara

perlahanlahan setiap 7-14 hari sampai tercapai efek penyembuhan yang optimal

(start low, go slow, but use enough). Jika ingin mengganti atau mengkombinasi

dengan obat lain hendaknya dosis maksimal tercapai dulu dan kurangi jenis obat.

Efek samping, interaksi, toksisitas obat dan penyakit iatrogenik (penyakit yang

disebabkan obat yang digunakan)

Didapati hubungan positif antara jumlah obat yang digunakan dan usia

dengan risiko terjadinya efek samping, interaksi, toksisitas obat dan penyakit

iatrogenik.

Ketidakpatuhan menggunakan obat menurut aturan pemakaian, memegang

peranan untuk timbulnya efek samping obat.

Dalam hal ini, sebaiknya digunakan obat dengan satu kali pemberian per

hari. Jika terjadi efek samping obat, sebaiknya obat yang menimbulkan efek

22

Page 23: Referat Polifarmasi Pada Lansia

samping tadi dihentikan dan jangan ditambahkan obat lain untuk mengatasi efek

samping tersebut.

Ketidakpatuhan menggunakan obat menurut aturan pemakaian menjadi

meningkat dengan bertambah banyaknya jenis obat dan kepikunan.

Peresepan Obat Yang Dianjurkan

Sehubungan dengan berbagai masalah yang telah diuraikan di atas, untuk

mengurangi kejadian terhadap masalah-masalah tersebut maka peresepan obat

yang dianjurkan adalah sebagai berikut:

Gunakan obat seminimal mungkin dan regimen dosis sesederhana mungkin.

Start low, go slow, but use enough.

Gunakan obat yang mempunyai efek samping minimal.

Pengobatan sesuai diagnosis dan hindari pengobatan berdasarkan gejala dan

tanda, serta evaluasi kembali obat-obat yang telah diberikan secara berkala.

Jangan tambahkan obat untuk mengatasi efek samping obat lain yang

digunakan.

Jika ingin mengganti atau mengkombinasi obat untuk suatu diagnosis,

hendaknya dosis maksimal tercapai dulu dan kurangi jumlah obat.

Bentuk sediaan obat yang digunakan yang tepat.

Etiket/label yang digunakan pada obat yang tepat.

Keluarga dan pengasuh perlu dilibatkan dalam pemberian obat.

Biaya obat yang terjangkau, dengan mutu dan keamanan yang terjamin.

23

Page 24: Referat Polifarmasi Pada Lansia

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

24

Page 25: Referat Polifarmasi Pada Lansia

Istilah polifarmasi termasuk istilah di bidang kedokteran yang cukup sering

didengungkan beberapa tahun belakangan ini, khususnya di Indonesia.

Polifarmasi berarti pemakaian banyak obat sekaligus pada seorang pasien, lebih

dari yang dibutuhkan secara logis-rasional dihubungkan dengan diagnosis yang

diperkirakan. Istilah ini kerap dinilai memiliki makna berlebihan, tidak diperlukan

dan sebenarnya sebagian besar dapat dihilangkan tanpa mempengaruhi kondisi

pasien dalam hasil pengobatannya.

Polifarmasi di Indonesia umumnya terjadi pada pasien berusia lanjut dan

pasien anak-anak. Sudah menjadi rahasia umum bahwa orang yang sudah berusia

lanjut sangat rentan terhadap komplikasi penyakit seperti jantung, hipertensi,

diabetes mellitus, gangguan ginjal dan hati, gangguan pengindraan (penglihatan

maupun pendengaran), gangguan fungsi kognitif, dan beberapa penyakit lainnya.

Dengan beberapa penyakit yang sering menyerang para lansia, sudah tentu

pasien lansia ini mendapatkan pengobatan yang lebih kompleks dan banyak

jenisnya. Dalam kondisi itulah polifarmasi mungkin terjadi. Namun, jika semua 

obat yang dikonsumsi pasien lansia tersebut berdampak positif terhadap

penyembuhan penyakitnya, maka istilah polifarmasi tidak berlaku.

Beberapa interaksi obat yang penting ialah:

Simvastatin dengan gemfibrozil (rhabdomyolisis, kreatin-kinase meningkat)

Azathioprin dengan alopurinol (sifat sitotoksik azathioprin meningkat 3-4 kali)

Grapefruit juice (menghambat absorbsi karbamazepin, felodipin, dan

simvastatin)

St John’s wort merangsang metabolisme warfarin, indinavir, dan cyclosporine

25

Page 26: Referat Polifarmasi Pada Lansia

Cisapride dengan makrolid, ketokonazol, kinidin, atau grapefruit juice  (torsade

de pointes dan kematian mendadak)

Kumarin dengan antiplatelet (perdarahan)

Dengan kondisi demikian, seringkali para konsumen atau pasien dibuat

bingung dalam hal mengklasifikasikan apakah keadaan tersebut tergolong

polifarmasi atau tidak. Bila ditanyakan jumlah berapa yang dapat dianggap

sebagai polifarmasi, sulit dinyatakan dengan angka.

Oleh karena itu, pengertian umum sedikit ambigu karena tidak membedakan

penggunaan lebih dari satu obat yang memang ditopang dengan bukti penelitian

(hipertensi, diabetes, payah jantung) dan tidak dianggap ‘redundant’, walaupun

interaksi dan efek samping masih merupakan issue. Sehingga dalam arti asalnya

terdapat unsur mubazir (tidak perlu dan merugikan) yang memang merupakan

masalah yang ada, karena dalam keadaan multipatologis perlu dipakai lebih

banyak obat (diperlukan dan ditopang dengan bukti-bukti).

Saran

Kendati polifarmasi masih sering terjadi dan kita tidak dapat mengetahui

secara pasti apakah polifarmasi tersebut terjadi atau tidak, yang penting untuk kita

perhatikan adalah bagaimana mengelola pengobatan yang kita lakukan. Menurut

Pillans, ada beberapa langkah yang dapat diterapkan untuk memanajemen

polifarmasi, antara lain:

1. Pencegahan

26

Page 27: Referat Polifarmasi Pada Lansia

Hanya mengkonsumsi obat jika ada bukti yang kuat bahwa pasien benar-benar

dalam keadaan membutuhkan pengobatan. Hindari mengkonsumsi obat untuk

keadaan yang bisa disembuhkan tanpa obat

2. Review pengobatan secara rutin

Me-review catatan penggunaan obat sangat penting bagi pasien untuk

menjalani beberapa pengobatan. Review tersebut meliputi terapi yang sedang

dijalani maupun yang akan dijalani, efek samping, interaksi, dosis, formulasi

obat, dan berapa lama akan dilakukan.

3. Pendekatan non-farmasi

Gunakan gaya hidup sehat untuk mengukur kapan perlunya tindakan

pengobatan

4. Komunikasi

Komunikasi dengan tenaga kesehatan penting bagi pasien, terutama mengenai

ekspektasi, kesulitan dalam pengobatan dan kemampuan pasien untuk

memenuhi aturan pengobatan.

5. Sederhanakan

Pertimbangkan kemungkinan sekecil apapun untuk dosis yang paling kecil,

interval dan pengurangan dosis sepanjang itu tepat.Dengan menerapkan

langkah-langkah tersebut, diharapkan dampak dari polifarmasi yang merugikan

pasien dapat diminimalisasi.

27

Page 28: Referat Polifarmasi Pada Lansia

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2006, Terapi pada Usia Lanjut (Geriatri),

http://pojokapoteker.blogspot.com/2008/12/terapi-pada-usia-lanjut-

geriatri.html, diakses 30 Oktober 2013.

Anonim, 2004, Bagi Kaum Lansia Obat tidak Selalu Menjadi Sahabat

http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0804/01/index.htm.. diakses 30

Oktober 2013.

Bustami,Z.S. 2001. Obat Untuk Kaum Lansia. Edisi kedua. Penerbit ITB.

Bandung

Darmojo-Boedi, Martono Hadi (editor). 2006. Buku Ajar Geriatri. Balai Penerbit

Fakultas Kedokteran UI. Jakarta

Darmansjah, Iwan, Prof. 1994. Jurnal Ilmiah : Polifarmasi pada Usia Lanjut.

Diakses tanggal 30 Oktober 2013.

Manjoer, Arif M, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, 12, Media Aesculapius,

Jakarta.

28