125
1 MOLECULAR BIOLOGY OF CANCER Prof. DR. Dr. I.B. Tjakra Wibawa Manuaba, MPH., Sp.B(K)Onk Sub. Bagian Bedah Onkologi Bag/SMF Ilmu Bedah FK UNUD/RS Sanglah Denpasar PENDAHULUAN Tumor atau kanker merupakan penyakit DNA, artinya kanker terjadi mulai dari satu sel yang mengalami transformasi atau ”berubah”. DNA yang rusak / berubah ini akan berperan sebagai cetakan dari mRNA yang akan memproduksi protein (yang berubah) ataupun dibawa pada siklus sel dan jika tidak diperbaiki atau dihentikan menghasilkan sel baru yang juga berubah ”good genes replaced by bad genes”. Perubahan atau tranformasi sel terjadi sebagai akibat kerusakan DNA, mengakibatkan sel tidak berfungsi normal dan mengalami perubahan baik morfologi maupun perilakunya. Sehingga faktor-faktor yang dapat merusak DNA seperti misalnya bahan kimia baik organik maupun non-organik, radiasi, virus tertentu, makanan (lemak hewani) dan sebagainya yang dapat merusak rantai DNA akan dapat menyebabkan kanker (tidak selalu terjadi). Pada prosentase yang kecil (< 10%), manusia dilahirkan dengan telah membawa cacat pada salah satu allele DNA-nya (kita sebut sebagai LOH = loss of heterozygocities), biasanya keadaan ini juga disertai adanya ketidak stabilan dari genomnya, dan sebagai akibatnya terjadi mutasi berantai dan akan terjadi kanker dalam waktu yang relatif pendek.

Referensi Block Clinical Oncology 2011

Embed Size (px)

DESCRIPTION

for science

Citation preview

Page 1: Referensi Block Clinical Oncology 2011

1

MOLECULAR BIOLOGY OF CANCER

Prof. DR. Dr. I.B. Tjakra Wibawa Manuaba, MPH., Sp.B(K)Onk

Sub. Bagian Bedah Onkologi Bag/SMF Ilmu Bedah FK UNUD/RS Sanglah Denpasar

PENDAHULUAN

Tumor atau kanker merupakan penyakit DNA, artinya kanker terjadi mulai dari satu sel yang

mengalami transformasi atau ”berubah”. DNA yang rusak / berubah ini akan berperan sebagai

cetakan dari mRNA yang akan memproduksi protein (yang berubah) ataupun dibawa pada

siklus sel dan jika tidak diperbaiki atau dihentikan menghasilkan sel baru yang juga berubah

”good genes replaced by bad genes”.

Perubahan atau tranformasi sel terjadi sebagai akibat kerusakan DNA, mengakibatkan

sel tidak berfungsi normal dan mengalami perubahan baik morfologi maupun perilakunya.

Sehingga faktor-faktor yang dapat merusak DNA seperti misalnya bahan kimia baik organik

maupun non-organik, radiasi, virus tertentu, makanan (lemak hewani) dan sebagainya yang

dapat merusak rantai DNA akan dapat menyebabkan kanker (tidak selalu terjadi). Pada

prosentase yang kecil (< 10%), manusia dilahirkan dengan telah membawa cacat pada salah

satu allele DNA-nya (kita sebut sebagai LOH = loss of heterozygocities), biasanya keadaan

ini juga disertai adanya ketidak stabilan dari genomnya, dan sebagai akibatnya terjadi mutasi

berantai dan akan terjadi kanker dalam waktu yang relatif pendek.

Kanker dapat ditinjau dari segi klinis, morfologi dan perilaku sel kanker, dan dari segi

molekuler sel. Pada pembicaraan kali ini, akan di diskusikan perubahan yang terjadi pada

tingkat molekuler sel kanker. Sel mempunyai dua peran sentral yaitu replikasi artinya

memperbanyak diri (sel) jika diperlukan, misalnya untuk mengganti sel yang mati,

penyembuhan luka dan sebagainya. Fungsi kedua sel adalah fungsi transkripsi dan translasi

yaitu memproduksi protein-protein tertentu atau ensim, yang berperan secara otokrin, parakrin

ataupun endokrin, sehingga sel tersebut (yang memproduksi protein) atau sel sekitarnya akan

berfungsi normal. Kedua fungsi sentral tersebut, baik replikasi ataupun transkripsi / translasi

dikontrol secara ketat oleh itu sendiri dibantu oleh sel sekitarnya. Kerusakan pada DNA dapat

mengganggu fungsi sentral tersebut dan menghasilkan sel baru yang berbeda. Kerusakan pada

DNA umumnya disebut sebagai ”mutasi”, dapat berupa point mutation, bisa hilangnya satu

atau lebih base pair (delesi), atau bertambahnya rantai DNA oleh karena DNA virus masuk

kedalamnya (insersi) atau terjadi perubahan gen tertentu di dalam DNA (DNA

rearrangement), atau dapat juga terjadi amplifikasi dari gen tertentu.

Page 2: Referensi Block Clinical Oncology 2011

2

PERUBAHAN GEN / DNA (Deoxyribo Nucleic cid)

DNA atau deoxyribo nucleic acid adalah merupakan rantai yang disusun oleh pasangan

(allele)yang terdiri dari base pair (A-T atau G-C), dipegang oleh kerangka susunan gula

(deoxyribose) dan fosfat. Perubahan DNA dapat terjadi pada pasangan nucleotida tetapi bisa

juga terjadi tanpa ada perubahan sekuensing dari nucleotidanya (kerusakan epigenetik). DNA

terdiri dari dobel helix (allele), yang mempunyai panjang kurang 2 meter, yang dapat

dimampatkan menjadi titik-titik khromatin yang terdapat didalam inti sel. Pada DNA

diketemukan puluhan ribu gen, yang merupakan bagian terkecil DNA yang mengkoding sifat

tertentu dari sel. Gen terdiri dari exon dan intron. Exon adalah bagian DNA yang mengkoding

protein tertentu, sedangkan intron tidak. Codon adalah 3 pasang base pair, yang akan

membentuk asam amino (yang akan menyusun protein) tertentu (didapatkan 20 macam asam

amino).

ONCOGENES DAN TUMOR SUPRESSOR GENES

Perubahan dari proto-oncogenes menjadi oncogens, berbeda dengan perubahan pada tumor

supressor genes, yaitu prubahan oncogens, biasanya terdapat pada gen struktural, yang akan

segera merubah produk protein secara langsung. Perubahan pada oncogenes dapat juga terjadi

pada gen yang meregulasi protein, akibatnya akan terjadi penambahan copy number dari gen

tersebut dan terjadi amplifikasi produksi protein, yang akan merangsang terjadinya proliferasi

sel. Sebaliknya produk tumor supressor genes, lebih bersifat menghambat proliferasi sel,

mendeteksi adanya signal yang abnormal untuk terjadinya proliferasi, ataupun adanya

kerusakan DNA. Tumor Supressor Genes bekerja sebagai regulator negatif dari proliferasi sel,

sehingga terjadinya mutasi atau hilangnya sebagian gen pada satu allele saja, tumor supressor

gene yang bersangkutan telah kehilangan fungsi regulasi proliferasi sel (Knudson Hypothesis)

(Murhy & Levine 2001). Mutasi DNA dapat terjadi pada satu lokus (point mutation), dapat

jugabersifat delesi (hilang), insersi (bertambah) atau berpindah tempat (translokasi),

Mutasi atau amplifikasi pada onkogen, akan mengakibatkan terbentuknya protein

yang akan berfungsi sebagai growth factors atau growth factor receptors (EGF/R; FGF/R.

IGF/R, PDGF/R) nya. Aktivasi oncogenes juga akan mengaktivasi cytoplasmic Signal

Transduction Molecules (contohnya src, ras, raf), ataupun mitogen inducible transcription

factors yang terletak di dinding atau didalam nukleus yaitu jun, fos dan myc. Semua

mekanisme aktivasi onkogen tersebut diatas akan menyebabkan sel berproliferasi dengan

cepat. Saat ini telah dikenal lebih dari 100 macam oncogenes pada manusia (Kimmelman, et

al., 2001).

Page 3: Referensi Block Clinical Oncology 2011

3

Disamping adanya produksi protein yang berupa growth factors, maka akan terjadi

juga inaktivasi gen tertentu yang perannya me”ngerem” proliferasi tersebut diatas. Gen ini

disebut sebagai tumor supressor genes (APC, DCC, P16, P53, Rb. Gene, BRCA-1, BRCA-2),

yang mengakibatkan hilangnya kontrol. Aktivasi proto-onkogen menjadi onkogen dan

inaktivasi tumor supressor genes merupakan dua mekanisme yang sangat penting untuk

terjadinya transformasi sel normal menjadi sel tumor / kanker, meskipun didapatkan

mekanisme lain yang turut berperan. Saat ini dengan teknik sitogenetik telah dikenal puluhan

tipe tumor supressor genes, yang di dapatkan pada bermacam tumor seperti antara lain :

retinoblastoma, Wilms tumor, kolo-rektal, vesika urinaria, ginjal, ovarium, prostat, pankreas

dan lain lain (Murphy & Levine, 2001).

DNA REPAIR GENES

Kerusakan DNA, jika dapat dideteksi akan menimbulkan suatu kaskade reaksi untuk

memperbaiki kerusakan tersebut. Kaskade reaksi tersebut, dimulai dengan penghentian siklus

sel dan usaha-usaha perbaikan kerusakan dengan eksisi bagian allele yang rusak dan

menggantinya dengan yang normal. Jika mekanisme perbaikan DNA tidak berhasil, maka sel

tersebut akan diperintahkan untuk mati (program cell death / apoptosis). Suatu familial

cancer, yang berhubungan dengan gangguan mekanisme DNA repair, adalah xeroderma

pigmentosum, dimana pada penderita mempunyai kepekaan terhadap sinar matahari

(ultraviolet) dan menimbulkan terjadinya keganasan kulit seperti BCC (Basal Cell

Carcinoma), SCC (Squamous Cell Carcinoma) dan Malignant Melanoma.

MEKANISME APOPTOSIS

Seperti telah diuraikan dimuka, sel-sel tubuh dengan kerusakan DNA, jika dapat di deteksi

pada check point siklus sel antara G1 – S, maka sel tersebut pada awalnya akan mengalami

arrest (penghentian dari siklus sel), untuk diberikan kesempatan memperbaiki kerusakan

DNA tersebut. Jika sel tidak mampu memperbaiki kerusakan DNA, maka sel tersebut

diperintahkan untuk apoptosis. Pada sel kanker sering dijumpai gangguan mekanisme

apoptosis sehingga jumlah apoptosis akan menurun.

Sebaliknya jika kerusakan DNA tidak terdeteksi sel akan terus bersiklus dan replikasi,

sehingga menghasilkan sel baru dengan kelainan DNA yang sama. Keadaan genom yang

tidak stabil akan mengakibatkan mutasi bertambah terus dan akan menghasilkan sel-sel baru

dengan morfologi dan perilaku yang lebih heterogen, artinya mempunyai bentuk morfologi

yang berbeda-beda dan mempunyai perilaku dan kemampuan yang berbeda pula. Keadaan

Page 4: Referensi Block Clinical Oncology 2011

4

heterogenitas sel kanker inilah merupakan kunci kegagalan terapi sistemik ataupun

radioterapi, karena hanya sebagian sel kanker saja yang sensitif dengan kemoterapi tertentu

ataupun terhadap radioterapi (Zornig, et al., 2001; Manuaba, 2006).

GANGGUAN MEKANISME TELOMERES

Sel normal mempunyai fungsi replikasi, sesuai dengan keperluan akan sel baru, misalnya

pada proses penyembuhan luka. Replikasi ini mendapat kontrol yang ketat dan seimbang

(lihat onkogen dan tumor supressor genes). Pada ujung DNA dari sel, didapatkan protein

yang berstruktur melingkar menyerupai ”tasbih” (disebut juga sebagai molecular clock), yang

akan bertambah pendek setiap kali sel menyelesaikan replikasinya. Sehingga setelah sel

(induk) kehabisan telomeres tersebut, maka sel tersebut akan diperintahkan untuk apoptosis.

Pada sel kanker telomeres biasanya tidak bertambah pendek oleh karena adanya ensim

telomerase (suatu polymerase enzym), yang akan mempertahankan panjang telomeres, dan sel

kanker menjadi imortal.

Karsinoma rongga mulut merupakan jenis keganasan dimana aktivitas telomerase,

turut memegang peranan penting untuk terjadinya onkogenesis dan saat ini sedang

dipergunakan untuk diagnosis dini karsinoma rongga mulut yang tersembunyi (Watkinson, et

al., 2000).

INVASI DAN METASTASIS

Klonal sel tertentu dari sel-sel kanker, mempunyai kemampuan untuk ekspansi, infiltrasi,

migrasi dan akhirnya metastasis jauh. Pada beberapa tahun terakhir ini di jumpai adanya gen-

gen tertentu yang kehilangan fungsi pada keganasan yang bermetastasis. Gen-gen tersebut

yaitu : gen nm23, KAI1, KISS-1.

Untuk kepentingan ini, klonal sel tersebut harus melepaskan ikatan dirinya terhadap

sel- sel disekitarnya (proses detachement). Beberapa gen atau protein yang berperan dalam

proses detachement ini adalah cadherin, integrins. Dalam proses ini sel kanker akan

memproduksi ensim-ensim proteases yang akan melisis ikatan-ikatan protein ataupun dengan

cara down regulated molekul-molekul adhesi antar sel, sehingga sel kanker ini akan

melepaskan diri dari ikatan sel sekitarnya. Sel kanker selanjutnya akan melekatkan diri pada

membrana basalis (sel kanker yang berasal dari epitel) dan memproduksi ensim proteases

yang akan melisis ikatan membrana basalis sehingga pecah dan sel kanker akan menginvasi

stroma jaringan ikat. Migrasi dapat berjalan setelah sel kanker lagi memproduksi ensim

proteases yang akan melisis protein yang terdapat pada stroma seperti MMP (Matrix Metallo

Page 5: Referensi Block Clinical Oncology 2011

5

Proteinases), Collagenases type IV, dan proteoses lain untuk melisiskan Extra Cellular

Matrix (ECM), sehingga sel kanker dapat migrasi dan akhirnya tumbuh. Sel kanker akan terus

memproduksi protein tertentu yang bekerja secara parakrin, yaitu menyiapkan sel- sel

sekitarnya (microenvirontment) agar suportif terhadap pertumbuhan kanker tersebut. Selain

ensim yang melisiskan ECM, juga didapatkan atau diproduksi oleh sel-sel sekitar protrein

yang menjadi inhibitor dari proteases (Plasminogen-Activator-inhibitors / PAI; Tissue

Inhibitors of Metalloproteinases / TIMPs). Sehingga migrasi sel kanker tergantung pada

keseimbangan kedua produk protein tersebut.

Pada keadaan tertentu (adanya tekanan intra tumor yang meningkat, hipoksia jaringan,

nutrisi yang turun), sel kanker akan memproduksi protein yaitu VEGF (Vascular Endothelial

Growth Factors), yang akan menstimulasi endotel pembuluh darah terdekat untuk

berproliferasi dan membentuk kapiler darah baru di jaringan kanker. Sel kanker juga akan

membentuk adhesion molecules (ICAM, VCAM) yang akan dipergunakan untuk melekatkan

diri pada endotel, yang disusul dengan intravasasi dan akhirnya turut dalam sirkulasi darah

atau limfe. Demikian juga untuk tumbuh pada tempat lain juga memerlukan adhesion

molecules, untuk melekatkan diri pada dinding dalam endotel, yang kemudian diikuti oleh

proses ekstravasasi dan keluar kejaringan / organ tertentu. Jika lingkungan mikro jaringan

baru ini menunjang, maka sel kanker akan tumbuh sebagai metastasis (Rosa Bani & Giavazzi,

200).

KESIMPULAN

Perubahan dari suatu sel normal menjadi sel kanker, adalah dimulai dari 1 sel. Perubahan

dimulai dengan adanya kerusakan DNA pada lokasi tertentu. Jika kerusakan DNA tidak

teridentifikasi, atau tidak dapat diperbaiki dan tidak terjadi proses apoptosis, maka sel tetap

bersiklus dan bereplikasi membentuk sel-sel baru dengan kerusakan DNA. Demikian juga

proses transkripsi dan translasi, akan terus berjalan dan akan menghasilkan protein yang

berperan sebagai growth factors. Protein ini dapat menstimulasi untuk terus berproliferasi

tanpa dapat dikontrol. Kontrol dari tumor supressor genes, hilang, sehingga proliferasi

semakin tidak terkontrol. Demikian juga mekanisme apoptosis terganggu dan adanya ensim

telomerase menyebabkan sel kanker imortal.

Mutasi DNA yang berjalan terus (o.k., instabilitas genom) akan menyebabkan semakin

terbentuknya sel-sel kanker baru yang semakin peiomorfik dan mempunyai perilaku dan

kemampuan yang berbeda-beda. Adanya heterogenitas jaringan tumor inilah yang menjadi

sebab sulitnya pengobatan dengan kemoterapi, terapi hormon ataupun radioterapi.

Page 6: Referensi Block Clinical Oncology 2011

6

KEPUSTAKAAN

Kalderon D, 2000. Growth Factors-Signaling Pathways in Cancer. In Bronchud M.H., Foote MA., Peters W.P., Robinson M.O., (editors). Principles of Molecular Oncology. Humana Press. Part II : 127 – 168.

Kimmelman A., Bafico A., Aaronson S.A., 2001. Oncogenes and Signal Transduction. In Mendelsohn J., Howley P.M., Israel M.A., Liotta L.A., (editors). The Molecular Basis of Cancer. 2nd Edition. W.B. Saunders Co. Philadelphia. 7 : 115 – 136.

Macdonald, F., Ford C.H.J., Casson A.G., 2004.Molecular Biology of Cancer. 2nd Edition. BIOS Scientific Publisher. London.

Manuaba, T.W., 2006. Apoptotic Index, P53 Expression and BCL-2 Expression as Predictor Factors of Response to Neoadjuvant Chemotherapy in LABC. Doctorate Dissertation, University of Udayana. Denpasar. Bali.

Murphy M., Levine A.J., 2001. Tumor Supressor Genes. In Mendelsohn J., Howley P.M., Israel M.A., Liotta L.A., (editors). The Molecular Basis of Cancer. 2nd Edition. W.B. Saunders Co. Philadelphia. 6 : 95 – 114.

Rosa-Bani M., Giavazzi R., 2000. Invasion and Metastasis. In Bronchud M.H., Foote MA., Peters W.P., Robinson M.O., (editors). Principles of Molecular Oncology. Humana Press. 12 : 297 – 322.

Ross D.W., 2002. Introduction to Molecular Medicine. 3rd Edition. Springer. New York.

Vile R.G., 1992. Introduction to The Molecular Genetics of Cancer. Molecular Medical Science Series. John Wiley & Sons. New York.

Watkinson J.C., Gaze M.N., Wilson J.A., 2000. The Nature of Head and Neck Cancer. In Watkinson J.C., Gaze M.N., Wilson J.A., (editors). Stell & Marans Head & Neck Surgery. 4 th

Edition. Butterworth Heinemann. Oxford. 1 : 1 – 10.

Zornig M., Baum W., Hueber A-O., Evan G., 2001. Programmed Cell Death and Senescence. In Mendelsohn J., Howley P.M., Israel M.A., Liotta L.A., (editors). The Molecular Basis of Cancer. 2nd Edition. W.B. Saunders Co. Philadelphia. 3 : 19 – 40.

Page 7: Referensi Block Clinical Oncology 2011

7

IMMUNOLOGY OF TUMOR

Dr. I Wayan Sudarsa, Sp.B(K)Onk

Sub. Bagian Bedah Onkologi Bag/SMF Ilmu Bedah FK UNUD/RS Sanglah Denpasar

Pendahuluan

Kanker saat ini telah menjadi masalah kesehatan yang utama di negara yang sudah maju

seperti USA dan merupakan penyebab kematian ke dua setelah penyakit kardovaskuler. Pada

tahun 2009 ini di USA diperkirakan akan didapatkan 1.479.350 kasus kanker baru dengan

jumlah kematian oleh karena kanker sebanyak 562.340 orang. Saat ini satu dari empat

kematian yang terjadi di negara tersebut adalah disebabkan oleh karena kanker (Jemal, et al.,

2009).

Walaupun kemajuan di bidang diagnostik kanker dan biologi molekuler telah

berkembang dengan pesat, sehingga menunjang modalitas terapi yang telah ada, kematian

akibat kanker masih cukup tinggi. Penyebab terbanyak kematian karena kanker adalah adanya

metastasis yang resisten terhadap terapi konvensional. Metastasis kanker ini di pengaruhi oleh

beberapa faktor antara lain : sifat biologi dari kanker itu sendiri, faktor lingkungan mikro

(microenvironment) penderita, serta imunitas dari host (Disis, et al., 2005).

Kanker tumbuh dari proliferasi sel yang tidak terkendali dan kemudian menyebarkan

klonal-klonal sel yang berasal dari sel yang telah mengalami transformasi. Kecepatan

pertumbuhan sel kanker ditentukan oleh kemampuan sel untuk menginvasi host dan

mengadakan metastasis jauh. kemungkina sel kanker dapat dieradikasi melalui sistem imun

spesifik telah mengundang pemikiran di bidang imunologi tumor (Pardol, 2008; Abbas, et al.,

2010).

Telah lama diketahui bahwa kanker sesungguhnya juga merupakan penyakit yang

bersifat imunogenik, namun sistem imun penderita tidak memadai untuk membunuh semua

sel kanker. Hipotesis mengenai pentingnya sistem imun dalam melawan kanker yang dikenal

dengan immune surveilance dikembangkan pertama kali ole Paul Ehrlich pada awal abad ke

20. Dikembangkan kemudian oleh MacFarlane Burnet dan Thomas pada tahun 1950 dan

1960an, dimana sisitem imun yang normal dapat mendeteksi dan membunuh sel kanker dalam

masa tertumbuhannya. Immune surveilance merupakan fungsi fisiologis dari sistem imun

untuk menghambat pertumbuhan berlebihan dari sel-sel yang telah mengalami transformasi

dengan menghancurkan sel ini sebelum menjadi tumor yang mengganggu, namun sistem ini

Page 8: Referensi Block Clinical Oncology 2011

8

sering terganggu sehingga pada penderita kanker dapat dikatakan memiliki kegagalan dalam

immunoprotection (Pardoll, 2008; Abbas & Lichtman, 2009; Abbas, et al., 2010).

Berikut di bawah ini akan dijelaskan secara ringkas mengenai : Gambaran umum

imunitas tumor, antigen tumor, respon imun terhadap tumor, dan lolosnya sel tumor dari

sistem imun.

Gambaran Umum Imunitas Tumor

Disamping mengekspresikan molekul-molekul yang menentukan sifat-sifat keganasan, sel

kanker juga sering menunjukkan disregulasi gen yang produknya berhubungan dengan sifat

pertumbuhan dan sifat invasif sel.

Disregulasi gen itu menyebabkan perubahan ekspresi berbagai molekul permukaan, gangguan

transkripsi dan translasi berbagai jenis molekul protein intraseluler maupun berbagai substansi

yang disekresikan, sehingga sel atau jaringan tumor, yang pada dasarnya berasal dari jaringan

sendiri (Self Cell), menjadi asing atau immunogenic. Oleh karena itu sistem imun yang normal

seharusnya mampu mengenali sel-sel abnormal tersebut dan dapat memusnahkannya.

Menurut Boedina (2001), beberapa bukti dari penelitian yang mendukung bahwa ada

peran sistem imun dalam melawan kanker diantaranya adalah :

1. Banyak tumor mengandung infiltrasi sel-sel imun seperti : sel T, sel NK dan makrofag.

2. Tumor dapat mengalami regresi secara spontan.

3. Tumor lebih sering berkembang pada individu dengan imunodefisiensi atau bila fungsi

sistem imun tidak efektif, bahkan imunosupresi seringkali mendahului pertumbuhan

tumor.

4. Tumor seringkali menyebabkan imunosupresi.

5. Ditemukannya limfosit berproliferasi dalam kelenjar getah bening yang merupakan

draining sites dari suatu tumor, disertai peningkatan ekspresi MHC dan intercellular

adhesion molecule (ICAM) yang menandakan sistem imun yang aktif.

Konsep immune surveillance menyatakan bahwa sistem imun mempunyai peran

mencegah dan membatasi pertumbuhan tumor. Dengan demikian sel-sel efektor seperti

limfosit T-helper, T-sitotoksik, sel NK dan limfosit B harus mampu mengenal antigen tumor

dan memperantarai atau menyebabkan kematian sel-sel tumor. Selanjutnya telah terbukti

bahwa tumor dapat membangkitkan respon imun seluler spesifik, dan bahwa antigen tumor

yang dapat dikenal oleh sel T-sitotoksik melalui MHC kelas I dikenal sebagai protein seluler

yang diekspresikan secara abnormal atau protein mutan. Penemuan ini mendukung dugaan

Page 9: Referensi Block Clinical Oncology 2011

9

bahwa fungsi sel T sitotoksik adalah surveillance dan dapat menghancurkan sel kanker

(Abbas, et al., 2010).

Namun demikian, immune surveillance ternyata tidak selalu efektif. Hal itu dibuktikan

dengan seringnya dijumpai tumor lethal pada individu yang imunokompeten. Karena itu

timbul dugaan bahwa respon imun terhadap tumor lemah, atau mungkin juga imunogenitas

tumor yang lemah. Respon imun sering kali gagal mencegah pertumbuhan tumor. Hal ini

dapat disebabkan oleh karena : pertama, sel tumor berasal dari sel host dan hampir sama

dengan sel normalnya, sehingga bersifat imunogenik lemah. Kedua, kecepatan pertumbuhan

dan penyebaran tumor ganas melebihi kemampuan sistem imun menghancurkan sel tumor

tersebut. Ketiga, banyak sel tumor mempunyai mekanisme spesifik untuk menghindar dari

sistem respon imun host (Abbas, et al., 2010).

Beberapa mekanisme sel tumor untuk menghindar dari sistem imun adalah

pertumbuhan yang berlebih dari antigen negatif, berkurang atau melemahnya ekspresi antigen

kompleks MHC, hilangnya kostimulator atau adanya inhibisi, adanya agen imunosupresif atau

apoptosis sel T. Tumor yang berkembang sangat cepat tanpa perlawanan dari sistem imun

menunjukkan imunitas yang lemah terahadap kanker. Beberapa teori yang dikembangkan

untuk menerangkan hal ini adalah teori klonal delesi dan anergi regulatory T Cell. (Treg)

(Abbas, et al., 2010).

Antigen Tumor

Walaupun tumor berasal dari jaringan sendiri (self), pada umumnya tumor ganas

mengekspresikan antigen yang dapat dikenal oleh sistem imun sebagai antigen asing. Ekspresi

antigen tumor pada umumnya menggambarkan perubahan material genetik akibat

transformasi sel, tetapi mekanisme molekuler yang menghasilkan antigen tumor itu

bermacam-macam (Abbas, et al., 2010).

Antigen tumor disebabkan adanya mutasi atau disregulasi gen yang menyebabkan

diproduksinya protein baru, atau pada tumor yang disebabkan virus onkogenik, biasanya

diekspresikan protein virus. Produk gen yang mutasi atau yang mengalami disregulasi,

maupun produk gen virus dapat dikenal oleh sel T dan sel B sebagai protein asing. Molekul-

molekul protein itu dapat merangsang respon imun spesifik atau berfungsi sebagai target bagi

sel-sel efektor respon imun nonspesifik, misalnya sel NK (Abbas, et al., 2010).

Spesifisitas dan sifat imunogenitas antigen tumor tergantung pada bagaimana tumor

itu terbentuk dan potensi karsinogen penyebab transformasi sel serta interaksi karsinogen

Page 10: Referensi Block Clinical Oncology 2011

10

dengan sel target. Tumor yang terbentuk akibat infeksi retrovirus juga bersifat imunogenik

(Abbas, et al., 2010).

Ada beberapa jenis pengelompokan atau klasifikasi antigen tumor. Menurut klasifikasi

lama, yang didasarkan atas pola ekspresinya pada sel normal atau sel kanker, antigen tumor

dikelompokkan menjadi : tumor specific antigens (TSAs) yaitu antigen yang hanya

diekspresikan oleh sel tumor atau sel kanker tetapi tidak diekspresikan oleh sel yang normal,

dan tumor associated antigens (TAAs) yaitu antigen yang diekspresikan oleh sel tumor atau

sel kanker tetapi juga diekspresikan oleh sel yang normal. Sedangkan menurut klasifikasi

yang baru, antigen tumor dikelompokkan berdasarkan struktur molekul dan sumber dari

antigen tersebut. Secara garis besar antigen tumor digolongkan dalam antigen yang dapat

dideteksi oleh limfosit T dan antigen yang dapat dideteksi oleh antibodi, seperti penjelasan

dibawah ini (Abbas, et al., 2010).

1. Antigen tumor yang dapat dideteksi oleh limfosit T

Sel tumor dapat memproduksi protein yang tidak diekspresikan pada sel normal atau

yang merupakan bentuk mutan dari protein normal. Antigen tumor yang merupakan peptida

yang berasal dari protein, diproses di dalam sitosol dan ditampilkan pada permukaan sel

tumor bersama MHC kelas I, akhirnya akan dikenal oleh sel T-sitotoksik CD8+ (CTL)

(Abbas, et al., 2010).

Antigen dari Produk Mutasi Gen

Hampir semua jenis tumor mengekspresikan gen yang produknya diperlukan untuk

transformasi ganas atau mempertahankan fenotip ganas. Dalam banyak hal, gen ini

merupakan bentuk abnormal gen yang terlibat dalam mengatur pertumbuhan dan diferensiasi

sel. Proto-onkogen seluler ini berubah karena mutasi yang disebabkan karsinogen, karena

hilang (deletion) atau translokasi kromosom, sehingga menjadi onkogen yang produknya,

secara umum disebut onkoprotein, mengakibatkan transformasi. Antigen-antigen tersebut di

atas semuanya dapat dikenal oleh sel T-sitotoksik (CTL). Selain itu, integrasi gen virus

onkogenik ke dalam proto-onkogen seluler normal dapat menghasilkan struktur gen abnormal

yang produknya menunjukkan aktivitas onkogenik. Gen supresor tumor (tumor suppressor

genes) juga menyandi protein yang diperlukan untuk mengatur pertumbuhan dan diferensiasi

sel normal. Mutasi pada gen supresor ini menyebabkan gen tidak berfungsi dan berakibat

transformasi ganas. Produk gen-gen abnormal itu biasanya merupakan protein intraseluler dan

diproses kemudian ditampilkan ke permukaan sel tumor bersama molekul MHC kelas I,

Page 11: Referensi Block Clinical Oncology 2011

11

sehingga seharusnya dapat merangsang respon imun. Banyak penelitian membuktikan bahwa

CD4+ dan CD8+ dapat memberikan respon terhadap onkoprotein-onkoprotein tersebut,

termasuk di antaranya onkoprotein ras, p53 dan p21 (produk bcr-abl). Protein lain yaitu HER-

2/neu bukan produk gen mutan, tetapi dapat menyebabkan transformasi sel bila diekspresikan

berlebihan. Walaupun onkoprotein-onkoprotein tersebut dapat merangsang respon imun,

belum diperoleh bukti kuat bahwa respon imun ini memberikan dampak protektif (Abbas, et

al., 2010).

Antigen dari Ekspresi Abnormal Protein Seluler

Beberapa jenis gen tidak diekspresikan pada sel normal, atau hanya diekspresikan

pada awal perkembangan janin sebelum mekanisme self-tolerance terbentuk. Bila terjadi

disregulasi pada gen-gen tersebut akibat transformasi sel dan gen-gen itu diekspresikan secara

tidak tepat, produk gen itu dapat bersifat sebagai antigen tumor. Salah satu contoh adalah gen

melanoma (MAGE) yang dikenal oleh sel T sitotoksik spesifik melanoma. Gen MAGE

pertama kali diisolasi pada sel-sel melanoma manusia, tetapi kemudian terbukti bahwa

MAGE juga dapat diekspresikan pada banyak jenis tumor lain di antaranya kanker kandung

kemih, payudara, kulit, paru, prostat dan beberapa jenis sarcoma (Abbas, et al., 2010).

Antigen dari Virus Onkogenik

Baik DNA maupun RNA virus terlibat dalam perkembangan tumor. Tumor yang

diinduksi oleh virus onkogenik biasanya mengandung genom provirus terintegrasi dalam

genom sel tumor dan sering mengekspresikan protein yang disandi oleh genom virus

bersangkutan. Protein yang disintesis secara endogen ini dapat diproses dan diekspresikan

bersama MHC kelas I, sehingga merupakan sasaran untuk aktivitas sel T sitotoksisk CD8+.

Beberapa contoh virus onkogenik adalah human papilloma virus (HPV) khususnya HPV E6

dan E7 yang dihubungkan dengan kanker serviks dan virus Epstein Barr (EBV) yang

dihubungkan dengan limfoma sel B dan kanker nasofaring.

Ada keterkaitan antara infeksi virus EBV, keganasan dan imunodefisiensi. EBV

adalah virus DNA yang tergolong keluarga herpesvirus. Virus ini ditularkan melalui saliva,

menginfeksi epitel nasofaring dan limfosit B melalui reseptor komplemen tipe-2 (CR2 atau

CD21). Ada 2 jenis infeksi EBV yang dapat terjadi, yaitu infeksi litik, pada saat mana DNA,

RNA dan protein virus disintesis, disusul dengan perakitan partikel virus dan lisis sel. Jenis

infeksi yang kedua adalah infeksi laten non-litik, pada saat mana DNA virus dipertahankan di

dalam sel terinfeksi sebagai episom. Infeksi laten inilah yang sering berlanjut menjadi

Page 12: Referensi Block Clinical Oncology 2011

12

keganasan. Berbagai antigen yang disandi oleh virus dapat diidentifikasi dalam nukleus,

sitoplasma dan membran sel terinfeksi, dan dapat menginduksi respon imun, misalnya EBNA

yang diekspresikan pada infeksi litik dini tetapi juga dapat diekspresikan pada infeksi laten.

Protein lain adalah LMP (latent membrane protein) dan VCA (viral capsid antigen). Infeksi

EBV mempunyai dampak yang jelas pada sel B. Percobaan in vitro membuktikan bahwa virus

ini merupakan aktivator proliferasi poliklonal sel B yang tidak bergantung pada sel T, dan

mengakibatkan sel B yang terinfeksi menjadi imortal dan mengalami transformasi ganas.

Walaupun dapat terjadi respon seluler maupun respon humoral terhadap antigen yang disandi

oleh virus DNA tersebut, ternyata hanya sel T spesifik terhadap antigen tersebut dapat

memperantarai penolakan terhadap tumor tersebut in vivo. Jadi untuk mengatasi infeksi EBV

diperlukan respon imun seluler atau respon sel T, sedangkan defisiensi respon imun seluler

dapat mengakibatkan sel yang terinfeksi EBV secara laten mengalami transfomasi ganas. Hal

ini juga terbukti dari data epidemiologi yang menyatakan bahwa limfoma sel B terjadi dengan

frekuensi tinggi pada individu imunodefisiensi sel T, termasuk mereka dengan

imunodefisiensi kongenital dan AIDS (Abbas, et al., 2010).

Contoh virus RNA yang sudah dikenal luas adalah human T cell lymphotropic virus

(HTLV-1) yang merupakan virus penyebab leukemia sel T pada orang dewasa (adult T-cell

leukemia, ATL) atau limfoma, yang dikenal sebagai tumor ganas pada sel T CD4+ yang

agresif. Seperti halnya pada tumor-tumor yang lain, respon imun terhadap tumor-tumor ini

belum terbukti memberikan dampak protektif, selain itu penderita ATL biasanya

menunjukkan imunodefisiensi karena virus tersebut cenderung menginfeksi sel T CD4+

(Abbas, et al., 2010).

Tissue Specific Differentiation Antigen

Antigen lain yang disebut tissue specific differentiation antigen adalah protein yang

diekspresikan oleh sel normal jaringan tertentu pada stadium diferensiasi tertentu pula.

Karena antigen ini berasal dari jaringan sendiri, diharapkan ia menimbulkan toleransi dan

bukan stimulasi sistem imun. Pada beberapa keadaan hal itu memang terjadi, Namun pada

suatu percobaan terbukti bahwa antigen sel melanoma yang di-klon dari seorang penderita

melanoma ternyata mengekspresikan beberapa tissue specific antigens. Salah satu di

antaranya adalah tyrosinase, suatu enzim yang terlibat dalam biosintesis melanin. Peptida

tyrosinase mampu merangsang sel T-sitotoksik untuk melisiskan sel yang mengekspresikan

antigen tersebut. Pada penelitian selanjutnya terbukti bahwa tyrosinase bersangkutan berbeda

dari tyrosinase yang diproduksi oleh sel normal pada satu residu aspartat yang merupakan

Page 13: Referensi Block Clinical Oncology 2011

13

modifikasi dari residu asparagines yang disandi oleh gen tyrosinase. Baik sel T CD4+ maupun

T CD8+ dapat memberikan respon terhadap tyrosinase bersangkutan (Abbas, et al., 2010).

2. Antigen Tumor yang Dikenal oleh Antibodi

Beberapa jenis molekul pada permukaan sel tumor dapat membangkitkan respon

antibodi autolog. Selain itu, beberapa jenis molekul tumor dapat dikenal oleh antibodi

xenogenik yang diperoleh melalui imunisasi hewan percobaan spesies lain dengan antigen

bersangkutan. Molekul-molekul itu tidak selalu harus membangkitkan respon imun pada

penderita tumor bersangkutan, tetapi antibodi yang bereaksi dengan antigen tersebut

mempunyai makna penting untuk diagnosis dan terapi tumor. Antigen tumor ini sebagian

besar diekspresikan oleh berbagai jenis tumor yang berasal dari jenis sel yang sama, dan

sebagian besar antigen ini tidak merangsang respon imun pada penderita karena merupakan

protein sendiri (self proteins), dan walaupun antibodi dapat mengikat antigen tersebut,

antibodi tersebut tidak mempunyai potensi protektif (Abbas, et al., 2010).

Antigen Onkofetal

Ada berbagai cara penggolongan antigen tumor yang dikenal oleh antibodi, salah satu

di antaranya didasarkan atas sifat biokimiawi atau pola penyebarannnya dalam jaringan. Salah

satu golongan antigen tumor disebut antigen onkofetal karena dalam keadaan normal antigen

ini hanya diekspresikan oleh jaringan fetal dan tidak terdapat pada jaringan dewasa. Antigen

onkofetal tidak bersifat imunogenik. Antigen onkofetal sejak lama digunakan untuk

menunjang diagnosis tumor-tumor tertentu Dua contoh klasik antigen onkofetal adalah

carcino-embryonic antigen (CEA) dan alpha-fetoprotein. (AFP). CEA (CD66) merupakan

protein membran anggota Ig superfamily, dan dapat dilepaskan ke dalam cairan ekstraseluler.

Dalam keadaan normal CEA hanya diekspresikan pada sel-sel saluran cerna, pankreas, dan

hepar selama kehamilan trimester pertama dan kedua, kemudian ekspresinya menurun dan

pada orang dewasa hanya diekspresikan pada mukosa kolon dan payudara yang sedang

laktasi. Pada penelitian selanjutnya terungkap bahwa CEA berfungsi sebagai molekul adhesi

interseluler (ICAM) dan meningkatkan adhesi sel satu dengan yang lain yang memungkinkan

sel-sel tumor berinteraksi satu dengan yang lain dan interaksi sel tumor dengan jaringan

sekitarnya. AFP merupakan glikoprotein yang disintesis dan disekresi pada masa fetal oleh

yolk sac dan hepar. Kadar AFP dalam serum fetus dapat mencapai 2-3 mg/L tetapi pada orang

dewasa protein itu digantikan oleh albumin dan kadarnya dalam serum sangat sedikit. Kadar

AFP meningkat pada karsinoma hepatoseluler, germ cell tumor dan kadang-kadang pada

Page 14: Referensi Block Clinical Oncology 2011

14

kanker lambung dan pankreas. Seperti halnya CEA, AFP juga tidak membangkitkan respon

imun pada penderita (Abbas, et al., 2010).

Antigen Glicolipid dan Glicoprotein yang Mengalami Perubahan

Golongan antigen tumor lain adalah glikoprotein dan glikolipid yang pada umumnya

mengalami perubahan. Beberapa di antaranya yang sudah dikenal luas adalah Ca125 dan

Ca19.9 yang diekspresikan pada kanker ovarium dan yang akhir-akhir ini mendapat perhatian

luas adalah MUC-1 yang diekspresikan pada kanker payudara. Seperti halnya mucin yang

lain, MUC-1 adalah protein membran yang biasanya diekspresikan pada permukaan apikal

epitel saluran kelenjar payudara, suatu daerah yang relatif terlindung dari sistem imun. Pada

kanker payudara, molekul itu diekspresikan secara tidak terpolarisasi dan mengandung

molekul-molekul karbohidrat baru yang sangat spesifik dan epitop peptida yang dapat dikenal

oleh antibodi. Epitop peptida dapat menginduksi respons sel T maupun respons sel B. Secara

ringkas pengelompokan antigen tumor yang dijelaskan tersebut diatas dapat dilihat pada

gambar 1 dan tabel 1 tersebut di bawah ini (Abbas, et al., 2010).

Gambar 1: Beberapa jenis Antigen Tumor yang dapat dikenal oleh Sel T (Dari: Abbas, et al.,

2010).

Tabel 1: Antigen Tumor

Page 15: Referensi Block Clinical Oncology 2011

15

JENIS ANTIGEN CONTOH ANTIGEN TUMORPADA MANUSIA

Produk onkogen dan genSupresor

Onkogen: mutasi Ras (=10% karsinoma); p210 produk bcr/abl (CML); ekspresi Her-2/neu berlebihan (kanker payudaradll)Gen supresor: p53 mutant (dijumpai pada> 50% kanker)

Mutasi gen seluler yang tidak terlibat dengan tumorigenesis

Mutasi p91A dalam mastositoma mencit; mutasi berbagai protein pada melanoma yang dikenalOleh CTL

Produk gen yang “silent”Dalam jaringan normal

Protein MAGE, BAGE, GAGE yang diekspresi- kan pada melanoma dan banyak karsinoma;Dalam keadaan normal hanya diekspresikan pada testis dan plasenta

Produk gen yangDiekspresikan berlebihan

Tirosinase, gp100, MART pada melanoma (dalam keadaan normal diekspresikan pada melanosit)

Produk onkogen virus Virus papiloma E6 dan E7 (kanker serviks)Protein EBNA-1 EBV (limfoma yang disebabkanEBV dan kanker nasofaring)Antigen SV40T (tumor rodent yang diinduksiSV40)

Antigen onkofetal CEA pada berbagai jenis tumor; AFPGlikolipid dan glikoprotein GM2, GD2 pada melanomaAntigen diferensiasi yangdalam keadaan normaldijumpai pada jaringan asal

PSA; petanda permukaan limfosit misalnyaCD10, CD20, idiotip Ig pada sel B

Diterjemahkan dari: Abbas, et al., 2010.

Tissue specific differentiation antigens termasuk golongan antigen tumor yang dikenal

oleh antibodi. Banyak di antaranya yang telah digunakan untuk menentukan diagnosis

keganasan tertentu. Tabel 2 di bawah menunjukkan beberapa contoh tissue specific antigen

yang sering digunakan untuk menganalisis tumor secara klinikopatologik. Makna klinik tissue

specific differentiation antigen adalah di samping untuk menentukan diagnosis juga sebagai

sasaran untuk imunoterapi. Keganasan sel B yang belum matang dapat diidentifikasi dengan

antibodi monoklonal terhadap CD20, sedangkan bagi sel B yang sudah lebih matang

digunakan antibodi terhadap imunoglobulin permukaan (Abbas, et al., 2010).

Tabel 2 : Tissue Specific Tumor Antigens

Asal jaringan Tumor AntigenLimfosit B Leukemia sel B dan

LimfomaCD10 (CALLA)Imunoglobulin

Limfosit T Leukemia sel T danlimfoma

IL-2R (rantai-α)TCR, CD45R, CD4+/CD8+

Prostat Karsinoma prostat PSA, PAPNeural crest derived Melanoma S-100Sel epitel Karsinoma Sitokeratin

Dikutip dari: Boedina, S.K., 2001

Respon Imun Terhadap Tumor

Page 16: Referensi Block Clinical Oncology 2011

16

Berbagai mekanisme efektor baik mekanisme imun alami maupun adaptif telah

terbukti dapat membunuh sel tumor in vitro. Pada beberapa penelitian menggunakan hewan

percobaan terungkap bahwa baik respon imun seluler maupun respon imun humoral terhadap

antigen tumor dapat dibangkitkan in vivo. Tantangannya sekarang adalah mekanisme mana

yang paling efektif dan mana yang memberikan kontribusi pada respon imun protektif, dan

bagaimana meningkatkan mekanisme efektor ini dengan cara yang relatif spesifik tumor.

Berikut ini akan dibahas berbagai komponen yang berperan dalam mekanisme efektor dan

mekanisme mana yang paling relevan untuk tumor (Pardoll,2008; Abbas, et al., 2010).

Respon Imun Alami (Innate) Terhadap Tumor

Banyak penelitian awal telah dilakukan untuk mengetahui fungsi dan peranan sel

efektor pada sistem imun alami seperti Sel NK dan makrofag yang difokuskan pada

kemampuan sel-sel ini didalam membunuh sel kanker pada sel kultur.

Sel NK

Sitotoksisitas alami yang diperankan oleh sel NK merupakan mekanisme efektor yang sangat

penting dalam melawan tumor. Sel NK adalah sel efektor dengan sitotoksisitas spontan

terhadap berbagai jenis sel sasaran. Sel efektor ini tidak memiliki sifat-sifat klasik dari

makrofag, granulosit maupun CTL, dan sitotoksisitasnya tidak bergantung pada MHC. Sel

NK dapat membunuh berbagai jenis sel kanker terutama yang tidak mengekspresikan MHC

klas I, tetapi mengekspresikan ligand untuk NK cell activating receptors (Abbas, et al., 2010).

Sel NK dapat berperan baik dalam respon imun nonspesifik maupun spesifik terhadap

tumor, dapat diaktivasi langsung melalui pengenalan antigen tumor atau sebagai akibat

aktivitas sitokin yang diproduksi oleh limfosit T spesifik tumor. Mekanisme lisis yang

digunakan sama dengan mekanisme yang digunakan oleh sel T CD8+ untuk membunuh sel,

tetapi sel NK tidak mengekspresikan TCR dan mempunyai rentang spesifisitas yang lebar. Sel

NK dapat membunuh sel terinfeksi virus dan sel-sel tumor tertentu, khususnya tumor

hemopoetik, in vitro. Sel NK tidak dapat melisiskan sel yang mengekspresikan MHC, tetapi

sebaliknya sel tumor yang tidak mengekspresikan MHC, yang biasanya terhindar dari lisis

oleh CTL, justru merupakan sasaran yang baik untuk di lisiskan oleh sel NK. Beberapa jenis

tumor juga mengekspresikan MICA, MICB dan ULB yang merupakan ligand untuk NKG2D

activating receptor dari sel NK. Sel NK dapat diarahkan untuk melisiskan sel yang dilapisi

imunoglobulin karena ia mempunyai reseptor Fc (FcγRIII atau CD16) untuk molekul IgG

(Pardoll,2008; Abbas, et al., 2010).

Page 17: Referensi Block Clinical Oncology 2011

17

Kemampuan membunuh sel tumor ditingkatkan oleh sitokin, termasuk IFN, TNF, IL-2

dan IL-12. Karena itu peran sel NK dalam aktivitas anti-tumor bergantung pada rangsangan

yang terjadi secara bersamaan pada sel T dan makrofag yang memproduksi sitokin tersebut.

(Abbas, et al., 2010). Ketiga jenis IFN (α,β,γ) dapat meningkatkan fungsi sel NK. IFN

mengubah pre-NK menjadi sel NK yang mampu mengenal dan melisiskan sel target,

mempermudah interaksi dengan dan lisis sel target. Sel NK mungkin berperan dalam immune

surveillance terhadap tumor yang sedang tumbuh, khususnya tumor yang mengekspresikan

antigen virus. Aktivitas sel NK sering dihubungkan dengan prognosis. Beberapa penelitian

mengungkapkan bahwa ada korelasi antara penurunan kemampuan sitotoksisitas sel NK

dengan peningkatan risiko metastasis. Dari penelitian-penelitian itu disimpulkan bahwa

sitotoksisitas alami dapat berperan dalam mencegah pertumbuhan kanker dan metastasis

(Abbas, et al., 2010).

Yang menarik adalah peran sel NK yang diaktifkan dengan stimulai IL-2 dalam

membunuh sel tumor. Sel-sel itu yang disebut lymphokine activated killer cells (LAK cells)

dapat diperoleh in vitro dengan memberikan IL-2 dosis tinggi pada biakan sel-sel limfosit

darah perifer atau sel-sel tumor infiltrating lymphocytes (TIL) yang berasal dari penderita

kanker. IL-2 berperan dalam menginduksi ekspresi rantai α reseptor IL-2 pada tingkat

transkripsi, dan hal inilah yang memperkuat kemampuan IL-2 untuk meningkatkan

pertumbuhan sel NK. Sel-sel yang diaktifkan oleh limfokin ini (LAK cells) menunjukkan

peningkatan aktivitas sitotoksik yang sangat jelas. Besar kemungkinan bahwa sel LAK dapat

digunakan di kemudian hari dalam imunoterapi adoptif (Pardoll, 2008; Abbas, et al., 2010).

Makrofag

Makrofag merupakan mediator seluler yang potensial dalam imunitas anti-tumor. Makrofag

yang diaktivasi dapat melisiskan sel tumor tetapi tidak sel normal, in vitro. Namun belum

jelas bagaimana makrofag ini diaktifasi oleh sel tumor, kemungkinan mekanismenya adalah

melalui pengenalan langsung beberapa antigen permukaan dari sel tumor dan aktifasi

makrofag melalui interferon-γ (IFN-γ) yang diproduksi oleh sel T spesifik tumor.

Seperti halnya sel NK, makrofag mengekspresikan reseptor Fc-γ, dan aktivitasnya

dapat diarahkan kepada tumor yang dilapisi antibodi. Besar kemungkinan bahwa mekanisme

pembunuhan sel tumor dilakukan dengan mekanisme yang sama dengan mekanisme

pembunuhan mikroba patogen, yaitu dengan melepaskan enzim lisosom, ROS, dan NO.

Makrofag teraktivasi juga memproduksi TNF. TNF merusak sel tumor dengan efek toksik

langsung atau secara tidak langsung dengan merusak pembuluh darah dalam tumor. Efek

toksik langsung terjadi melalui pengikatan TNF pada reseptor permukaan sel tumor. Efek

Page 18: Referensi Block Clinical Oncology 2011

18

toksik langsung ini sebagian terjadi melalui mekanisme apoptosis, yaitu mekanisme yang

mirip dengan apoptosis yang diinduksi oleh pengikatan Fas-FasL, sebagian lagi terjadi

melalui disrupsi protein sitoskeletal, atau melalui pembentukan trombosis dalam pembuluh

darah sehingga terjadi nekrosis tumor (Abbas, et al., 2010).

Respon Imun Adaptif Terhadap Tumor

Baik respon imun seluler maupun humoral dapat terjadi terhadap tumor, dan beberapa

penelitian menyatakan bahwa respon sel T terhadap tumor memegang peranan sebagai

proteksi. Saat ini sedang dikembangkan usaha meningkatkan peran respon sel T ini dalam

terapi imun pada tumor.

Limfosit T

Pada percobaan eksperimental terbukti bahwa sel T sitotoksik (CTL) menghasilkan

respon imun antitumor yang efektif in vitro. Prinsip mekanisme imunitas terhadap tumor

adalah membunuh sel tumor oleh CD8+CTL. Pada banyak penelitian terbukti bahwa sebagian

besar sel efektor yang berperan dalam mekanisme anti-tumor adalah sel T CD8+, yang secara

fenotip dan fungsional identik dengan CTL yang berperan dalam pembunuhan sel yang

terinfeksi virus atau sel alogenik. CTL dapat melakukan fungsi surveillance dengan mengenal

dan membunuh sel-sel potensial ganas yang mengekspresikan peptida yang berasal dari

protein seluler mutan atau protein virus onkogenik yang dipresentasikan oleh molekul MHC

kelas I. Limfosit T yang menginfiltrasi jaringan tumor (tumor infiltrating lymphocyte / TIL)

juga mengandung sel CTL yang memiliki kemampuan melisiskan sel tumor. Walaupun

respon CTL mungkin tidak efektif untuk menghancurkan tumor, peningkatan respon CTL

merupakan cara pendekatan terapi antitumor yang menjanjikan di masa mendatang (Abbas, et

al., 2010).

Respon sel T CD8+ yang spesifik terhadap tumor memerlukan

cross-presentation/cross-priming dari antigen tumor oleh APC profesional seperti sel

Dendritik. Sebagian besar sel tumor bukan merupakan APC, sehingga tidak mengekspresikan

kostimulator yang diperlukan untuk menginisiasi respon sel T, atau MHC klas II yang

diperlukan untuk mengaktifasi sel T helper untuk merangsang diferensiasi sel T CD8+.

Kemungkinannya adalah sel Dendritik mencerna dan memproses sel tumor atau antigen

tumor, kemudian mempresentasikan peptida tumor melalui MHC klas I untuk dikenal oleh sel

T CD8+. APC mengekspresikan kostimulator untuk diferensiasi sel T CD8+, dan MHC klas II

Page 19: Referensi Block Clinical Oncology 2011

19

untuk aktifasi sel T CD4+. Setelah CTL terbentuk maka sel ini akan mampu membunuh sel

tumor.

Sel T CD4+ pada umumnya tidak bersifat sitotoksik bagi tumor, tetapi sel-sel itu dapat

berperan dalam respon antitumor dengan memproduksi berbagai sitokin yang diperlukan

untuk perkembangan sel-sel CTL menjadi sel efektor. Di samping itu sel T CD4+ yang

diaktivasi oleh antigen tumor dapat mensekresi TNF dan IFN-γ yang mampu meningkatkan

ekspresi molekul MHC kelas I dan sensitivitas tumor terhadap lisis oleh CTL. Ada juga

kemungkinan bahwa sel T CD4+ yang spesifik tumor meningkatkan respon DTH terhadap

tumor. Sebagian kecil tumor yang mengekspresikan MHC kelas II dapat mengaktivasi sel T

CD4+ spesifik tumor secara langsung. Yang lebih sering terjadi adalah bahwa APC profesional

yang mengekspresikan molekul MHC kelas I meng-fagositosis, memproses dan menampilkan

protein yang berasal dari sel-sel tumor yang mati kepada sel T CD8+, sehingga terjadi aktivasi

sel-sel tersebut. seperti pada gambar 2 tersebut dibawah ini (Abbas, et al., 2010).

Gambar 2: Induksi respon sel T terhadap sel tumor (dari: Abbas, et al., 2010).

Antibodi

Antibodi mungkin kurang penting dibanding sel T dalam mekanisme efektor terhadap

tumor, tetapi seperti telah dibahas sebelumnya, penderita kanker dapat memproduksi antibodi

terhadap berbagai antigen tumor, bahkan antibodi itu bersifat spesifik misalnya antibodi

terhadap EBV pada tumor yang disebabkan oleh EBV. Potensi untuk membunuh tumor yang

diperantarai oleh antibodi telah terungkap in vitro yaitu melalui mekanisme ADCC di mana

makrofag dan sel NK yang mengekspresikan reseptor Fc-γ memperantai pembunuhan atau

melalui aktivasi komplemen. Apakah mekanisme pembunuhan tumor melalui antibodi ini

berlaku juga in vivo belum diketahui pasti (Abbas, et al., 2010).

Page 20: Referensi Block Clinical Oncology 2011

20

Kordinasi antara sistem imun alami dan adaptif dalam pengenalan sel atau antigen tumor

secara skematis dapat dilihat pada gambar 3 di bawah ini.

Gambar 3: Pengenalan sel atau antigen tumor secara langsung atau tidak langsung oleh sistem

imun alami dan adaptif (Dari: Dranoff, G. 2004).

Mekanisme Lolosnya Sel Tumor dari Respon Imun

Walaupun tumor ganas mengekspresikan antigen tumor yang bersifat asing (imunogenik)

terhadap host, dan immunosurveillance mungkin dapat membatasi pertumbuhan beberapa

jenis tumor, namun belum ada bukti bahwa sistem imun dapat mencegah pertumbuhan tumor

ganas. Mungkin oleh karena kecepatan pertumbuhan dan penyebaran tumor ganas melebihi

kemampuan mekanisme efektor respon imun untuk mencegah pertumbuhan itu, jadi

kegagalan immune surveillance merupakan kegagalan mekanisme efektor sistem imun host.

Beberapa kegagalan faktor host adalah imunodefisiensi terutama defek pada sel T CD8+ yang

secara intrinsik tidak mampu memberikan respon normal, terdapat banyak sel T regulator

(Regulatory T Cells / Treg), terjadinya imunotoleransi dan faktor genetik.

Di samping kegagalan yang disebabkan faktor host, banyak tumor yang memiliki

kemampuan untuk lolos atau mengelak dari respon imun, dan proses pengelakan itu, yang

disebut tumor escape atau tumor editing dapat terjadi melalui beberapa mekanisme seperti

diuraikan di bawah ini.

Page 21: Referensi Block Clinical Oncology 2011

21

Antigen Tumor dapat Menginduksi Toleransi Imunologis

Toleransi dapat terjadi oleh karena antigen tumor adalah self antigen yang didapatkan

selama perkembangan sistem imun. Seseorang mungkin menunjukkkan toleransi terhadap

antigen tumor tertentu akibat pemaparan pada masa neonatal atau tumor mengekspresikan

antigen dalam bentuk tolerogenik.

Salah satu contoh bahwa pemaparan yang terjadi pada masa neonatal dapat

menimbulkan toleransi adalah terjadinya tumor yang disebabkan murine mammary tumor

virus pada mencit dewasa yang pernah terpapar pada virus bersangkutan pada masa neonatal

karena menyusu. Contoh lain diperlihatkan oleh mencit transgenik yang mengekspresikan

genom virus SV40 sebagai transgen. Bila ekspresi genom SV40 itu terjadi pada awal

kehidupan, mencit tersebut menunjukkan toleransi sehingga insiden tumor pada mencit-

mencit itu tinggi. Berbeda halnya dengan mencit transgenik SV40 lain yang mengekspresikan

genom SV40 pada usia lebih tua. Mencit-mencit ini tidak menunjukkan toleransi terhadap

SV40 dan insidens tumor pada mencit-mencit itu rendah (Abbas, et al., 2010).

Regualtory T Cells (Treg) dapat Menekan Respon Sel T terhadap Tumor

Kenyataan yang didapatkan pada model tikus penelitian dan pada penderita kanker

adanya peningkatan jumlah Treg pada tumor dan sel ini didapatkan sebagai TIL di dalam

tumor. Penurunan Treg pada tumor pada tikus penelitian menunjukkan peningkatan imunitas

antitumor dan mengurangi pertumbuhan tumor (Abbas, et al., 2010).

Tumor Menurunkan Ekspresi Beberapa Antigen yang Menimbulkan Respon Imun

Ekspresi MHC kelas I dan MHC kelas II (untuk tumor-tumor tertentu) sering

berkurang atau mengalami disregulasi pada tumor, bahkan ada tumor yang tidak

mengekspresikan MHC sehingga tidak mampu membentuk kompleks MHC-peptida yang

merupakan persyaratan untuk dikenal oleh CTL. Kompleks MHC-peptida dibentuk dalam

endoplasmic reticulum (ER) dengan bantuan kompleks proteasome multikalatitik dan

berbagai protease. Banyak komponen intraseluler lain yang terlibat dalam pembentukan

antigen tumor, di antaranya berbagai ko-faktor seperti tapasin, calnexin, calreticulin dan lain-

lain dan secara keseluruhan semua komponen yang terlibat disebut mesin pembentuk antigen

(antigen processing machinery). Apabila ada defek pembentukan MHC kelas I, dan defek

mesin pembentuk antigen seperti yang sering dijumpai pada berbagai jenis tumor, tumor tidak

dikenal oleh CTL sehingga terhindar dari lisis (Abbas, et al., 2010).

Page 22: Referensi Block Clinical Oncology 2011

22

Banyak penelitian yang membuktikan bahwa peningkatan ekspresi MHC kelas I pada

sel tumor meningkatkan kepekaan tumor terhadap lisis oleh CTL in vitro dan penurunan

tumorigenesis in vivo. Transfeksi gen MHC kelas I kepada sel tumor menurunkan

kemampuan tumor untuk tumbuh bila ia ditransplantasikan kepada hewan sehat. Virus

terbukti mampu menurunkan ekspresi MHC kelas I dan pembentukan kompleks MHC-

peptida, sehingga dengan demikian virus menghambat presentasi antigen tumor kepada CTL.

Walaupun bukti-bukti in vitro mendukung mekanisme down-regulation MHC ini, belum

dapat dibuktikan adanya korelasi yang jelas in vivo (Abbas, et al., 2010).

Semakin banyak bukti yang mendukung bahwa sel T CD4+ mempunyai peran dalam

aktivitas anti-tumor. Sel T CD4+ dapat menyebabkan efek langsung pada tumor dengan

mensekresi IFN-γ dan TNF-α. Sebagian antigen tumor diekspresikan oleh MHC kelas II

sehingga dikenal oleh sel T CD4+, misalnya p53 melalui HLA-DR1, MUC-1 melalui HLA-

DR3, produk HPV yaitu E7, dan HER2/neu melalui HLA-DR4 dan ras melalui HLA-DQ.

Karena itu kegagalan dalam pembentukan MHC kelas II pada tumor-tumor tertentu berperan

dalam kegagalan immunosurveillance (Abbas, et al., 2010).

Tumor Tidak Mampu Menginduksi CTL oleh karena Sebagian Besar Tumor Tidak

Mengekspresikan Molekul MHC klas II atau Kostimulator

Tumor yang mengekspresikan kompleks peptida-MHC kelas I yang dikenal oleh CTL

kadang-kadang gagal mengaktivasi CTL bersangkutan. Kemungkinan pertama adalah karena

sebagian besar tumor manusia tidak mengekspresikan MHC kelas II, maka ia tidak dapat

secara langsung merangsang Sel T CD4+ (Th) yang spesifik tumor. Aktivitas anti-tumor pada

CTL sebagian bergantung pada sinyal yang dilancarkan oleh Sel T CD4+. Bila tumor tidak

mengekspresikan MHC kelas II, atau bila APC profesional tidak menginfiltrasi tumor secara

adekuat, pengambilan dan presentasi antigen tumor serta aktivasi Sel T CD4+ tidak akan

terjadi.

Kemungkinan kedua adalah tidak adanya molekul kostimulator pada permukaan sel

tumor yang fungsinya adalah memberikan sinyal kedua untuk aktivasi Sel T CD4+.

Aktibatnya sel CTL memerlukan ko-stimulasi melalui molekul kostimulator seperti B7-1

(CD80) atau B7-2 (CD86), padahal molekul-molekul itu seringkali tidak ada pada permukaan

sel tumor. Presentasi antigen kepada sel T tanpa disertai ko-stimulator dapat menginduksi

toleransi perifer (clonal anergy) pada limfosit T spesifik tumor atau bagian dari interaksi

antara kostimulator B7 dengan CTLA-4 (Abbas, et al., 2010).

Page 23: Referensi Block Clinical Oncology 2011

23

Sel Tumor Memproduksi Substansi yang Dapat Menekan Respon Imun Anti-tumor

Sel-sel tumor dapat memproduksi substansi yang menekan respons imun. Salah satu

produk yang menekan respon anti-tumor adalah transforming growth factor (TGF-β) yang

diproduksi dalam jumlah berlebihan oleh berbagai jenis tumor dan menghambat fungsi

limfosit dan makrofag. Beberapa jenis tumor mensekresi IL-10 yang juga menghambat fungsi

makrofag, dan beberapa jenis tumor spontan yang lain mengekspresikan FasL (Fas ligand).

Pengikatan FasL pada molekul Fas yang terdapat pada permukaan limfosit dapat

menyebabkan kematian limfosit (apoptosis). Namun demikian jenis sel tumor yang

mengekspresikan FasL hanya sedikit (Abbas, et al., 2010).

Perubahan Fenotip atau Modulasi Antigen Permukaan

Modulasi antigen tumor sebagai akibat pengikatan oleh antibodi menyebabkan tumor

resisten terhadap mekanisme efektor sistem imun. Modulasi antigen dapat disebabkan oleh

endositosis atau pelepasan kompleks antigen-antibodi. Bila modulasi antigen disebabkan

antibodi anti-tumor yang tidak mengaktifkan komplemen, tumor akan resisten terhadap

complement-activating antibodies yang lain. (Boedina,2001)

Resistensi Tumor

Kinetik pertumbuhan tumor dapat menghasilkan tumor yang resisten terhadap

mekanisme respon imun sebelum respon imun yang efektif terbentuk. Dugaan ini muncul

pada percobaan transplantasi tumor. Transplantasi sejumlah kecil sel tumor menyebabkan

tumbuhnya tumor lethal, sedangkan transplantasi dengan jumlah besar sel tumor ditolak.

Penjelasan untuk fenomena yang kontradiktif ini adalah bahwa jumlah sel yang sedikit tidak

cukup untuk merangsang respon imun, dan pada waktu banyak sel tumor tumbuh, bisa terjadi

mutasi pada gen antigen yang mengurangi kemungkinan pengenalan tumor oleh sistem imun.

Resistensi tumor terhadap apoptosis yang diperantarai Fas juga merupakan komponen

penting pengelakan tumor terhadap sistem imun. Seperti diketahui Fas adalah reseptor

penginduksi kematian. Salah satu hal yang mungkin berkaitan dengan resistensi tumor

terhadap Fas adalah mutasi pada onkogen dan atau gen supresor. Mutasi pada p53 dapat

menekan terjadinya apoptosis termasuk kelemahan sinyal Fas. Protein fusi Bcr-Abl yang

diekspresikan pada leukemia limfositik kronik dan onkogen abl sendiri, demikian pula mutasi

pada c-myc dapat menghalangi sinyal Fas dan mengakibatkan sel ganas itu resisten terhadap

apoptosis yang diperantarai Fas. Di lain fihak ada bukti-bukti bahwa berbagai jenis sel ganas

Page 24: Referensi Block Clinical Oncology 2011

24

dapat mengekspresikan FasL pada permukaannya yang apabila berikatan dengan Fas yang

terdapat pada permukaan sel limfosit akan mengakibatkan kematian sel limfosit. Dengan

demikian, sel ganas tidak saja resisten terhadap apoptosis yang diinduksi oleh CTL tetapi juga

dapat melakukan serangan balik terhadap respon imun dengan mengakibatkan kematian sel T

(Boedina, 2001; Abbas, et al., 2010).

Antigen Masking

Antigen permukaan sel tumor dapat ”disembunyikan” dari sistem imun karena dilapisi

oleh molekul glikokaliks, termasuk mukopolisakharida yang mengandung asam sialat. Sel-sel

tumor dapat memproduksi glikokaliks dalam jumlah lebih besar dibanding sel normal (Abbas,

et al., 2010).

Gambar 4 di atas secara skematik menjelaskan mekanisme lolosnya sel tumor dari respon

imun tubuh (Dari: Abbas, et al., 2010).

Ringkasan

Tumor mengekspresikan antigen yang dapat dikenali oleh sistem imun, tetapi sebagian besar

tumor memiliki sifat imunogenik yang lemah, sehingga sistem immun sering kali gagal

Page 25: Referensi Block Clinical Oncology 2011

25

mencegah pertumbuhan tumor. Sistem imun dapat distimulasi untuk membunuh tumor

dengan efektif.

Tumor antigen dapat dikenali oleh CTLs, yang merupakan pencetus utama serta

menjadi target untuk imunitas antitumor. Antigen-antigen ini terdiri dari onkogen yang

mengalami mutasi, protein selular lainnya, protein normal yang mengalami disregulasi atau

meningkat pada tumor, dan produk dari onkogen virus. Antibodi yang spesifik untuk sel

tumor dapat mengenal antigen, dipakai sebagai alat diagnostik dan sebagai target yang

potensial untuk terapi antibodi.

Respon imun yang mampu membunuh sel tumor terdiri dari CTLs, sel NK, dan

makrofag yang diaktifkan. Namun peranan dari mekanisme efektor dari sistem imun dalam

melindungi individu dari tumor masih belum dapat dijelaskan dengan baik.

Tumor dapat menghindar dari respon imun melalui beberapa mekasisme seperti:

down-regulasi ekspresi dari MHC molekul, memilih sel yang tidak mengekspresikan antigen

tumor, memproduksi substansi imunosupresif, dan merangsang toleransi terhadap tumor

antigen.

DAFTAR PUSTAKAAbbas, A.K., Lichtman, A.H., Pillai, S. 2010. Immunity to Tumors. Cellular and Molecular Immunology. updated 6th Ed. Philadelphia: Saunders Elsevier. p.397 – 417.

Abbas, A.K., Lichtman, A.H. 2009. Immune Responses Against Tumors and Transplants. Basic Immunology: Functions and disorders of the Immune System. 3rd Ed. Philadelphia: Saunders Elsevier. p.189 - 196.

Boedina, S.K., 2001. Aspek Imunologi Tumor In: Imunologi: Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Edisi 4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. p.208-229.

Disis, M.L. 2005. Global Role of the Immune System in Identifying Cancer Initiation and Limiting Disease Progression. J Clin Oncol. 23:p.8923-8925

Dranoff, G. 2004: Nature Review Cancer 4:p.11-22

Jemal, A., Murray, T., Ward, E., Samuels, A., Tiwari, R.C., Ghafoor, A., Thun, M.J. 2009. Cancer Statistics. CA Cancer J Clin;59:p.225-249.

Pardoll, D.M., 2008. Cancer Immunology. In Abeloff M.D., Armitage J.O., Niederhuber J.E., Kastan M.B., McKenna W.G. (Editors). Clinical Oncology. 4rd Edition. Philadelphia: Elsevier Churchill Livingstone. 6 : 101 – 112.

EPIDEMIOLOGY OF CANCER

Dr. I Wayan Sudarsa, Sp.B(K)Onk

Page 26: Referensi Block Clinical Oncology 2011

26

Sub. Bagian Bedah Onkologi Bag/SMF Ilmu Bedah FK UNUD/RS Sanglah Denpasar

PENDAHULUAN

Kanker saat ini telah menjadi masalah kesehatan yang utama di negara yang sudah maju

seperti USA dan merupakan penyebab kematian ke dua setelah penyakit kardovaskuler.

Menurut American Cancer Society pada tahun 2006 ini di USA diperkirakan akan didapatkan

1.399.790 kasus kanker baru dengan jumlah kematian oleh karena kanker sebanyak 564.830

orang. Saat ini satu dari empat kematian yang terjadi di negara tersebut adalah disebabkan

oleh karena kanker.

Menurut Cancer Statistics 2006, insiden kanker pada laki-laki relatif menetap sejak

tahun 1995 sampai tahun 2000, dengan tiga jenis kanker terbanyak yaitu kanker prostat,

kanker paru dan kanker colorectal. Sedangkan pada wanita cenderung meningkat 0,4% setiap

tahun sejak tahun 1987 sampai tahun 2000, dengan tiga jenis kanker terbanyak yaitu kanker

payudara, kanker paru dan kanker colorectal. Angka kematian beberapa jenis kanker

cenderung menurun seperti kanker paru, kanker colorectal dan kanker prostat pada laki laki,

serta kanker payudara dan kanker colorectal pada wanita.

Sampai saat ini belum ada data yang pasti mengenai insiden kanker di Indonesia oleh

karena belum adanya sistem registrasi kanker berdasar penduduk (Population Based Cancer

Registry), tetapi WHO memperkirakan bahwa insidens kanker di Indonesia 180 per 100.000

penduduk dan merupakan urutan ke enam sebagai penyebab kematian serta ada

kecenderungan meningkat mengikuti negara yang sudah maju. Beberapa jenis kanker

tampaknya akan terus meningkat di Indonesia termasuk di Bali. Berdasarkan data yang

dikumpulkan dari bagian Patologi (Pathological Based) dari tahun 1996 sampai dengan tahun

2000 didapatkan bahwa frekwensi sepuluh kanker terbanyak di Bali adalah kanker: Serviks,

payudara, nasofaring, kulit, colorectal, limfoid, penis, prostat, thyroid dan ovarium. Pada laki-

laki yang terbanyak adalah kanker : Nasofaring, limfoid, kulit, penis, kolorektal, prostat,

thyroid dan hati. Sedangkan pada wanita kanker dengan urutan terbanyak : Serviks, payudara,

kulit, nasofaring, ovarium, limfoid, thyroid dan kolorektal.

Pada makalah ini akan dibahas beberapa aspek epidemiologi dari lima jenis kanker

yang sering didapatkan di Rumah Sakit Sanglah dengan ilustrasi data dari penderita kanker

yang dirawat di Rumah Sakit Sanglah Denpasar antara tahun 1999-2003 menurut jumlah rata-

rata kasus baru pertahun.

KANKER SERVIKS

Page 27: Referensi Block Clinical Oncology 2011

27

Kanker serviks merupakan kanker yang paling sering dijumpai dan merupakan penyebab

utama kematian kanker pada wanita pada kelompok umur 35-54 tahun di Indonesia.

Diperkirakan 90-100 kasus kanker baru per 100.000 penduduk dan merupakan 65-77% dari

seluruh kanker ginekologi. Sedangkan di negara yang sudah maju insidens kanker ini sudah

sangat menurun dengan angka kematian yang sangat rendah, oleh karena pengetahuan

masyarakat tentang hygiene yang sangat baik, paritas yang rendah, dan adanya program

screening massal berupa Pap Smear yang sudah mapan.

Seperti diketahui bahwa kanker serviks dimulai dari lesiprakanker yaitu displasia atau

Cervical Intraepitelial Neoplasia (CIN) yang bisa berubah menjadi kanker serviks yang

invasif dan saat ini Human Papilloma Virus (HPV) ditengarai sebagai faktor penyebab utama

kanker serviks. Telah diketahui pula bahwa bila dilakukan pengobatan pada tahap displasia /

insitu ini maka kesembuhannya dapat mencapai 100%.

Sebenarnya kanker serviks dapat dicegah dengan melakukan edukasi, peningkatan

partisipasi masyarakat dan adanya program screening yang baik. Namum kenyataan yang

didapatkan bahwa sebagian besar kanker serviks yang ditanganani di RS Sanglah adalah

kanker yang sudah invasif dan stadium lanjut. Data kanker serviks di Rumah Sakit Sanglah

tahun 2002 - 2003 sebanyak 98 kasus baru, 39,8% didapatkan pada kelompok umur diatas 50

tahun dan 33,7% didapatkan pada kelompok umur 40-49 tahun. Hampir 71% sudah dalam

stadium III, hanya 16% yang datang dalam stadium I.

KANKER PAYUDARA

Di negara maju kanker payudara merupakan kanker terbanyak didapatkan, pada tahun 2006

ini diperkirakan sebanyak 32% dari seluruh kanker pada wanita. Angka insiden kanker

payudara paling tinggi di USA yaitu 87.1 per 100.000 penduduk. Sedangkan insiden rendah

(kurang dari 30 per 100.000 penduduk) didapatkan di sub-sahara Afrika dan Asia. Insiden

kanker payudara di seluruh dunia cenderung menetap atau sedikit meningkat. Demikian

halnya di Bali tampaknya jumlah kasusnya meningkat walaupun pada urutan kedua setelah

kanker serviks, dan cenderung bergeser kearah umur yang lebih muda.

Beberapa faktor risiko terhadap kanker payudara seperti : pernah kanker payudara,

kelainan jinak payudara atypical ductal hyperplasia, genetic susceptibility (mutasi BRCA1/2

gene) dan faktor risiko lain seperti: faktor reproduksi, diet tinggi lemak, obesitas, hormonal

dan lainya. Hampir 95% kanker payudara adalah sporadic cancer yang penyebabnya belum

diketahui dengan pasti, sedangkan hanya 5% kanker payudara bersifat familial cancer yang

terjadi oleh karena mutasi dari tumor suppresor gene BRCA1 atau BRCA2. Oleh karena itu

Page 28: Referensi Block Clinical Oncology 2011

28

usaha pencegahan primer belum dapat dikembangkan, hanya usaha pencegahan sekunder /

screening yang sudah dilakukan yaitu dengan mamografi.

Di RS Sanglah, sebagian besar (hampir 70-80%) kanker payudara yang datang berobat

sudah dalam stadium lanjut (stadium III / IV) sehingga penanganannya lebih susah dan

hasilnya juga tidak memuaskan. Lain halnya dengan di negara yang sudah maju kebanyakan

mereka sudah datang dalam stadium dini bahkan yang nonpalpable sekalipun, hal ini oleh

karena sudah adanya program screening mamografi yang sangat baik. Data di Rumah Sakit

Sanglah selama empat tahun terakhir didapat 188 kasus baru kanker payudara, terbanyak

didapatkan pada kelompok umur 46-50 tahun (22,87%) dan 42,55% didapatkan pada stadium

IIIb dan 20.2% pada stadium IV.

KANKER NASOFARING

Kanker nasofaring cukup banyak didapatkan di Indonesia termasuk di Bali. Insidens kanker

nasofaring sangat bervariasi diseluruh dunia. Kanker ini paling banyak didapatkan di China

Selatan dan Asia tenggara terutama pada etnis China dimana saja, dengan insidens 24,3 pada

laki-laki dan 9,5 pada wanita, diantara 100.000 penduduk. Insidens kanker nasofaring juga

cukup tinggi di Alaska dan Greenland.

Beberapa faktor penyebab yang telah diketahui berhubungan dengan kanker

nasofaring seperti infeksi Ebstein Barr Virus (EBV), nitrosamines yang banyak didapatkan

pada ikan asin atau ikan yang diawetkan, merokok dan lainnya. Sebagian besar kanker

nasofaring datang dengan stadium lanjut oleh karena pada awalnya sering kali kanker ini tidak

meberikan keluhan. Keluhan yang paling sering didapatkan adalah tininitus yang menetap

pada salah satu telinga saja. Dengan demikian deteksi dini pada kanker ini cukup sulit

dilakukan.

Data dari bagian Patologi Rumah Sakit Sanglah tahun 1996 - 2000 didapatkan bahwa

kanker nasofaring merupakan kanker terbanyak pada laki-laki dan menempati urutan ke tiga

pada wanita. Jumlah kasus baru yang datang berobat ke RS Sanglah selama 5 tahun (1999-

2003) sebanyak 192 orang, rata-rata 38 kasus per tahun, terbanyak pada pada kelompok umur

46-50 tahun (16,9%), dimana hampir 75% datang dengan stadium lanjut (stadium III dan IV),

sehingga prognosis sangat buruk. Saat ini modalitas terapi utama pada kanker nasofaring

adalah radioterapi atau kombinasi antara radioterapi dengan kemoterapi.

KANKER KOLOREKTAL

Page 29: Referensi Block Clinical Oncology 2011

29

Pada tahun 2006 ini insidens dan mortalitas kanker kolorektal diprediksikan masih tetap

menempati urutan ke tiga didunia baik pada laki-laki maupun wanita. Insidensnya terus

meningkat walaupun angka kematiannya cenderung menurun. Beberapa faktor risiko yang

dihubungkan sebagai penyebab dai kanker kolorektal ini adalah diet banyak lemak hewani

dan beberapa keadaan tertentu seperti; Familial Adnomatous Polyposis (FAP), Hereditary

Polyposis Syndromes, Hereditary Nonpolyposis Colon Cancer (HNPCC) dan Inflammatory

Bowel Diseases. Diperkirakan 75% kanker kolorektal adalah sporadic cancers, sedangkan

sisanya adala familial cancers yang berhubungan dengan kelainan familial tersebut diatas.

Program deteksi dini (screening) kanker kolorektal di negara yang sudah maju sudah

berjalan dengan baik yaitu dengan melakukan pemeriksaan darah dalam faeces (Fecal Occult

Blood Test/FOBT), Endoscopy / Colonoscopy, pemeriksaan Barium Enema. Dengan

melakukan pendidikan masyarakat mengenai diet yang baik dan dengan melakukan deteksi

dini keainan-kelainan tersebut diatas dan diikuti dengan terapi yang baik maka diharapkan

akan menurunkan insidens dan mortalitas kanker kolorektal.

Data di Rumah Sanglah selama tiga tahun (2001-2003) didapatkan 110 kasus baru

dengan rata-rata 35 kasus per tahun dan ada kecenderungan meningkat setiap tahunnya.

Paling banyak dijumpai pada kelompok umur 41-50 tahun (25%). Namun sayangnya hampir

75% datang sudah dalam stadium III-IV, hanya 2,3% yang datang berobat dalam stadium I,

sehingga usaha-usaha pengobatan lebih banyak bersifat paliatif saja.

KANKER PARU

Kanker paru merupakan kanker terbanyak didunia yaitu 12,8% dari seluruh kanker dan masih

tetap merupakan penyebab kematian tertinggi oleh karena kanker (17,8%). Hampir 60%

kanker paru didapatkan di negara maju. Walaupun insidensnya tetap pada laki-laki namun

pada wanita cenderung meningkat yang dihubungkan dengan semakin banyaknya wanita yang

merokok, atau bekerja diluar rumah (berhubungan dengan polusi udara). Insidens kanker pau

di Asia Tenggara diperkirakan 29,69 per 100.000 penduduk pada laki-laki dan 9,29 per

100.000 pada wanita. Di Indonesia blum didapatkan data yang pasti mengenai kanker paru

ini.

Data di Rumah Sakit Sanglah / Wangaya selama 5 tahun dilaporkan sebanyak 127

kasus baru, rata-rata 25,4 kasus per tahun dengan ratio laki-laki : wanita 1,44 : 1. Lima puluh

persen didapatkan pada kelompok umur 44-64 tahun dan 32% pada umur 65 tahun keatas.

Usaha pencegahan primer hanyalah pada edukasi pendidkan masyarakat tentang

bahaya merokok, polusi udara termasuk side-smokers dan asbestosis. Sedangkan deteksi dini

Page 30: Referensi Block Clinical Oncology 2011

30

dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan foto rontgen toraks pada penduduk yang

berisiko tinggi.

RINGKASAN

Dengan meningkatnya umur rata-rata harapan hidup, adanya perbaikan derajat kesehatan

masyarakat dan meningkatnya pendidikan masyarakat, serta meningkatnya polutan, maka

insidens kanker cenderung meningkat, sehingga akan menjadi masalah kesehatan yang perlu

mendapat perhatian.

Untuk mendapatkan data yang baik, peranan registrasi kanker seharusnya

mendapatkan perhatian khusus dari para ahli yang menangani kanker, sehingga didapatkan

data yang valid dari waktu ke waktu untuk kepentingan pelayanan, pendidikan dan penelitian.

Penanganan kanker adalah penanganan yang bersifat multidisiplin yang melibatkan

berbagai bidang keilmuan untuk dapat maju dan berkembang bersama-sama.

Sebagian besar kanker yang datang ke Rumah Sakit Sanglah adalah kanker yang

sudah stadium lanjut. Hal ini disebabkan oleh karena program pencegahan primer dan

program deteksi dini beberapa jenis kanker belum ada atau belum berjalan dengan baik.

KEPUSTAKAAN

1. Jemal A, Siegel R, Ward E, Murray T, Xu J, Smigal C, Thun MJ. Cancer Statistic, 2006. CA Cancer J Clin 2006; 56:106-130.

2. Parkin DM, Pisani P, Ferlay J. Global Cancer Statistics. CA J Clin 1999; 49:33-64.3. Bondy ML, Chang S, Cancer Epidemiology In: Chang AE, Ganz PA, Hayes DF, Kinsella

TJ, Pass HI, Schiller JH, Stone RM, Strecher VJ. Eds. Oncology:An Evidence-Based Approach, New York: Springer, 2006, p. 287-300.

4. Helzisouer KJ, Visvanathan K, Epidemiology and Population Sciences In: Abeloff MD, Armitage JO, Niederhuber JE, Kastan MB, McKenna WG. Eds. Clinical Oncology, 3rd Ed, Philadelphia: Elsevier Churchill Livingstone, 2004. p.407-424.

5. Cole P, Rodu B. Discriptive Epidemiology and Cancer Statistic In: DeVita Jr VT, Hellman S, Rosenberg SA, eds. Cancer Principles and Practice of Oncology. 6 th Ed. Philadephia: Lippincott Williams and Wilkins publisher, 2001. p228-230.

6. Garfinkel L. Cancer Stastistics and Trends In: Holleb AI, Fink DJ, Murphy GP, eds. The American Cancer Society Textbook of Clinical Oncology. Atlanta: The American Cancer Society Inc., 1991. p1-5.

7. Manuaba, TW. Epidemiology of Cancers. Proceeding Basic Science of Oncology, Pertemuan Ilmiah Berkala Proyek Trigonum XVIII, Surabaya 14-16 April 2006.

8. Bevers MW, Bodurka Bevers DC, Wolf JK. Gynecologic Cancers In: Feig BW, Berger DH, Fuhrman GM. eds. The M.D. Anderson Surgical Oncology Handbook. 3 rd ed. Philadelpia: Lippincot Williams Wilkins, 2003. p445-490.

9. Suwiyoga, IK. Beberapa Masalah Pap Smear Sebagai alat Diagnosis Dini Kanker Serviks Di Indonesia. Majalah Kedokteran Udayana 2004;35(124):79-83.

Page 31: Referensi Block Clinical Oncology 2011

31

10. Solorzano CC, AhearnaLeach SD, Feig BW. Invasive Breast Cancer In: Feig BW, Berger DH, Fuhrman GM. eds. The M.D. Anderson Surgical Oncology Handbook. 3 rd ed. Philadelpia: Lippincot Williams Wilkins, 2003. p14-40.

11. Yin Chu Chien, Chien-Jen Chen. Epidemiology and Etiology of Nasopharingeal Cancer. Cancer Reviews Asia Pacific 2003; 1(1):1-19.

12. Rousseau Jr. DL, Midis GP, Feig BW. Cancer of Colon, Rectum and Anus In: Feig BW, Berger DH, Fuhrman GM. eds. The M.D. Anderson Surgical Oncology Handbook. 3rd ed. Philadelpia: Lippincot Williams Wilkins, 2003. p215-222.

13. Vaporciyan AA, Swisher S. Thoracic Malignancies In: Feig BW, Berger DH, Fuhrman GM. eds. The M.D. Anderson Surgical Oncology Handbook. 3rd ed. Philadelpia: Lippincot Williams Wilkins, 2003. p.125-137.

EPIDEMIOLOGI KANKER DAN KARSINOGENESIS

Prof. DR. Dr. I.B. Tjakra Wibawa Manuaba, MPH., Sp.B(K)Onk

Sub. Bagian Bedah Onkologi Bag/SMF Ilmu Bedah FK UNUD/RS Sanglah Denpasar

Page 32: Referensi Block Clinical Oncology 2011

32

EPIDEMIOLOGI KANKER

Epidemiologi adalah cabang ilmu kedokteran dan ilmu kesehatan masyarakat yang

mempelajari distribusi dan perubahan-perubahan penyakit tertentu pada populasi “beresiko”.

Dengan demikian Epidemiologi Kanker adalah suatu cabang ilmu kedokteran/ kesehatan

masyarakat yang mempelajari “distribusi” dan “perubahan-perubahan” penyakit kanker

tertentu pada polulasi yang beresiko. Distribusi tersebut mencakup angka insiden yaitu jumlah

penderita kanker tertentu yang diketemukan dalam satu periode waktu (1 tahun, 5 tahun dan

seterusnya); angka prevalens adalah jumlah penderita kanker tertentu pada populasi yang di

teliti dalam satu waktu yang ditentukan.

Adapun tujuan mempelajari epidemiologi kanker adalah untuk mendapatkan informasi

“penyebab/ etiologi” dari suatu jenis kanker. Jika kausa kanker tertentu di ketahui maka

usaha-usaha pencegahan (pencegahan primer) dapat dilaksanakan dengan efektif dan efisien.

Adapun objektif yang tertinggi dari mempelajari epidemiologi kanker, selain mencari etiologi,

dan melakukan usaha pencegahan primer, adalah “untuk menurunkan angka morbiditas dan

mortalitas” dari kanker tersebut. Sebagai contoh usaha pencegahan yang berhasil menurunkan

angka morbiditas/ kesakitan dan angka kematian adalah “vaksinasi” terhadap hepatitis B”.

Problem yang muncul adalah bahwa kausa dari kanker bersifat multifaktorial, sehingga studi

epidemiologis lebih bertujuan untuk mendapatkan “faktor resiko” terjadinya kanker tertentu.

Dalam perkembangan selanjutnya, kanker ternyata suatu penyakit DNA dan Genetik,

artinya pada populasi penderita kanker tertentu seperti kanker payudara dan kanker usus

besar, sebagian kecil penderita (5 – 10%) lahir dengan “defek/ kecacadan/ lost of

heterozygocity” pada salah satu “gena” (contohnya Kanker payudara: BRCA-1, BRCA-2,

kanker usus besar: FAP, NHPCC; multi cancer syndrome: LI-Fraumeni sydrome, dan lain

lain) yang menyebabkan meningkatnya resiko menderita kanker tersebut diatas. Hal ini juga

memacu perkembangan epidemiologi kanker, jika di masa lalu epidemiologi kanker lebih

berorientasi pada populasi, maka di masa kini epidemiologi juga berkembang dan melingkupi

molekul DNA/ tumor -“epidemiologi molekuler/ molecular epidemiology”-.

World Health Organization (W.H.O.), telah memberikan rekomendasi dan prioritas

penanggulangan kanker, yang terdiri dari :

1. Primary Prevention yaitu usaha-usaha pencegahan primer yang berupa “public

education” dan perbaikan “life style”. Usaha-usaha yang gencar dilakukan oleh

W.H.O., antara lain adalah “menghentikan merokok”, “vaksinasi” terhadap hepatitis

B, HPV, dan sebagainya.

Page 33: Referensi Block Clinical Oncology 2011

33

2. Secondary Prevention yang dalam hal ini berarti “deteksi dini” kanker. Pada beberapa

jenis kanker, deteksi dini dapat menurunkan angka kematian, seperti misalnya kanker

leher rahin, kanker payudara, dan kanker usus besar. Tetapi pada sebagian besar

kanker lain, deteksi dini akan dapat meningkatkan “survival” secara umum, dan dapat

menurunkan “beaya” pengobatan secara umum. Skrining dapat dilakukan secara

“individual” ataupun “masal” jika memenuhi syarat. Persyaratan untuk skrining masal

adalah a.l.: kanker tersebut diketemukan cukup banyak dan merupakan masalah

pengobatan didaerah tersebut; perjalanan kanker tersebut telah dikenal dengan baik di

dunia kedokteran; tersedia alat skrining yang sederhana dan murah yang cukup

sensitive dan cukup spesifik; dapat diterima oleh masyarakat yang di skrining:

tersedia fasiltas pengobatan yang baik terhadap kanker yang di skrining dan

memberikan hasil yang baik.

3. Teriary Prevention yang berarti diagnosis yang akurat, dan pemberian terapi secara

adekuat.

4. Terapi Paliatif. Untuk penderita “kanker lanjut”, dimana terapi kuratif tidak mungkin

dilaksanakan, maka pengobatan hanya bersifat paliatif dan suportif untuk

meningkatkan “kualitas hidup” penderita. Komponen penting dari terapi paliatif

adalah “managemen nyeri” yang baik.

Penelitian epidemiologi terhadap kanker adalah antara meliputi pengukuran angka

morbiditas seperti angka insiden, perubahan berdasar “waktu/ time trends”, perbedaan-

perbedaan antar daerah, family clustering, hubungan dengan perkerjaan tertentu. Untuk

kepentingan pencatatan kanker, maka perlu disepakati “klasifikasi tumor”, apakah

berdasarkan organ yang terkena, berdasarkan histopatologi, klasifikasi stadium tumor (TNM).

Dalam penelitian epidemiologi kanker penting juga dimengerti bahwa kausa kanker adalah

tidak pasti dan multifaktorial dan umumnya kanker mempunyai “periode latent” yang

panjang. Guna kepentingan pencatatan dan pengukuran terhadap disease free survival, overall

survival, maka titik awal pencatatan/ registrasi harus “sama”. Sejak diagnosis ditegakan

secara histopatologis, ataupun secara kanker “terangkat pada saat pembedahan”.

Registrasi kanker terutama yang berbasis pada masyarakat (population based cancer

registry) merupakan komponen penting dalam studi epidemiologi kanker. Tidak adanya

registrasi kanker berbasis masyarakat, menyebabkan studi epidemiologi lebih banyak

Page 34: Referensi Block Clinical Oncology 2011

34

mengambil dari “catatan medik R.S., atau data patologi”, menyebabkan data yang didapat

belum merupakan data representatif masyarakat yang diteliti. Pada umumnya data tersebut

bersifat under reported.

Penelitian yang lebih bersifat/ berorientasi pada individual, keluarga atau sekelompok

penderita kanker lebih banyak di aplikasikan di klinik. Seperti misalnya studi cross sectional,

case control study, cohort-prospective, famly based association study, case-only design, dan

Gene-Environment Interaction & Polygenic Model of Disease Risks masing-masing dengan

keuntungan dan kerugiannya.

Dengan demikian sebagai konklusi bahwa epidemiologi kanker selalu bertujuan untuk

mendapatkan “petunjuk” kausa dari kanker tertentu, dan jika tidak mungkin didapatkan, maka

epidemiologi kanker berusaha mencari “populasi” atau “keluarga” yang mempunyai “factor

resiko” untuk terkena kanker di masa mandating dan melakukan usaha-usaha pencegahan.

Tujuan akhir adalah menurunkan angka insiden (jika mungkin) dan angka kematian akibat

kanker tertentu.

KARSINOGENESIS

Karsinogenesis adalah suatu proses perubahan dari sel normal menjadi sel kanker.

Perubahan ini terjadi sebagai akibat perubahan atau kerusakan DNA terutama dalam inti sel.

Bahan yang menyebabkan kerusakan DNA dan dapat menyebabkan terjadinya kanker disebut

sebagai bahan “carcinogen/ karsinogen”. Bahan yang tidak langsung aktif merusak DNA,

tetapi memerlukan perubahan struktural atau kimiawi terlebih dahulu sebelum aktif atau

mampu merusak DNA disebut sebagai “cocarcinogen/ kokarsinogen”. Bahan-bahan

karsinogen yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari antara lain: radiasi/ ionizing radiation/

Uv; bahan kimiawi; infeksi virus; endogenous carcinogenic reactions dan sebagainya.

Radiasi sebagai bahan karsinogenik terdiri dari 2 macam, pertama adalah “gelombang

energi/ radiasi elektromagnetik” seperti misalnya sinar “gamma, sinar X”, dan kedua berupa

partikel atom”, contohnya: “sinar alpha/ dan sinar beta/ ”. Beberapa tipe radiasi dapat

menimbulkan kerusakan DNA dan transformasi sel menjadi sel kanker. Sinar “gelombang

energi” menghantam jaringan/ sel, akan meyebabkan terlepasnya satu atau dua “electron” dan

akan merubah molekul yang netral menjadi reaktif dan bersifat “electrical charge”.

Sebaliknya sinar “peng-ion” dapat menimbulkan kerusakan DNA secara langsung (“DNA

strand breaks”) ataupun melalui pembentukan ROS (“Reactive Oxygen Species”), yang akan

bereaksi dengan DNA dan menimbulkan kerusakan. Tipe sinar lain adalah sinar ultraviolet

yang berasal dari matahari. Dari ketiga jenis Uv (UVA, UVB, dan UVC), UVB lah yang

Page 35: Referensi Block Clinical Oncology 2011

35

bersifat karsinogen. UVB berkerja sebagai karsinogen melalui pembentukan “photoproducts:

cyclobutane pyrimidine dimers & pyrimidine-pyrimidone photoproducts”, yang dapat

menimbulkan kerusakan DNA (“bend in the DNA helix”), sehingga ensim polymerase tidak

mampu membaca “template” DNA.

Bahan kimia yang terdapat dilingkungan manusia dapat berperan sebagai karsinogen

atau ko-karsinogen. Mekanisme yang umum terjadi adalah adanya aktifitas bahan kimia yang

berkerja sebagai “electrophilic (electron deficient)” bereaksi dengan “nucleophilic sites” yang

dapat mendonasikan electron pada cincin purine dan pyrimidine dari asam nukleat. Sebagian

kecil karsinogen bahan kimia tertentu berkerja langsung pada DNA, atau menjadi aktif setelah

mengalami metabolisme ditubuh manusia (ko-karsinogen “ultimate carcinogen”) sebelum

menimbulkan kerusakan DNA. Ensim “cytochrome P450” merupakan salah satu protein yang

berperan pada perubahan ko-karsinogen menjadi karsinogen tersebut diatas di hati. Bahan

kimia karsinogenik dapat digolongkan menjadi 10 macam antara lain:

1. Polycyclic Aromatic Hydrocarbons

2. Aromatic Amines

3. Azo dyes

4. Nitrosamines & nitrosamides

5. Hyrazo & azoxy compounds

6. Carbamates

7. Halugenated compounds

8. Natural products

9. Inorganic carcinogens

10. Miscellanous compounds (alkylating agents, aldehydes, phenolics)

Bahan karsinogenik lain adalah viruses melalui suatu proses infeksi yang bersifat

kronis dan menahun. Virus penyebab kanker pada dasarnya terdapat 2 macam, yaitu “virus

DNA” dan “virus RNA/ retrovirus”. Virus DNA memacu terjadinya karsinogenesis dengan

meng”koding” protein virus yang dapat menghambat kerja dari tumor suppressor genes,

sebaliknya retro-virus RNA, akan berintegrasi dengan genome manusia, dan menggunakan

mesin DNA sel induk untuk memproduksi protein virus ataupun menimbulkan “de-regulasi”

dari ekspresi gena penting dari sel. Beberapa jenis virus yang dikenal sebagai penyebab

kanker adalah antara lain yang termasuk virus DNA: human papilloma virus (HPV); Epstein

Barr virus (EBV), sebagai penyebab kanker leher rahim dan kanker nasofaring dan limfoma;

yang termasuk virus RNA adalah human T-cell Leukemia Virus Type 1 (HTLV-1). Beberapa

Page 36: Referensi Block Clinical Oncology 2011

36

jenis mikro-organisme lain yang juga bersifat karsinogenik antara lain Helicobacter pylori

menyebabkan kanker lambung.

Proses karsinogenesis lain yang dikenal adalah endogenous carcinogenic reaction. Hal

ini terjadi oleh karena adanya reaksi seluler endogen yang menimbulkan terjadinya kerusakan

ataupun mutasi DNA. Respirasi oksidasi dan lipid peroxydation akan memproduksi ROS

(Reactive Oxygen Species), yang akan bereaksi dengan DNA dan lemak dan lebih jauh akan

memproduksi oxidized products, yang dapat merusak atau merubah DNA dan menimbulkan

kerusakan sel. Mekanisme ini serupa dengan karsinogenesis oleh karena radiasi, meskipun

pada radiasi proses yang terjadi lebih agresif.

Bahan disarikan dari :

- Albert D.S., Hess L.M., 2008. Fundamentals of Cancer Prevention. 2nd Edition.

Springer. Berlin

- Hans-Olov Adami, Hunter D., Trichopoulos D., 2008. “Textbook of Cancer

Epidemiology. 2nd Edition. Oxford University Press. New York.

- Lilienfeld A.M., Pedersen E., Dowd J.E., 1967. Cancer Epidemiology. Methods of

Study. The John Hopkins Press. Baltimore

- Mausner J.S., Bahn A.K., 1974: Epidemiology. An Introductory Text. W.B. Saunders

Co. Philadelphia. 11 : 237 – 255

- Pecorino L., 2006.: Molecular Biology of Cancer: Mechanism, Targets and

Therapeutics. Oxford University Press. New York.

KARSINOGENESIS

Prof. DR. Dr. I.B. Tjakra Wibawa Manuaba, MPH., Sp.B(K)Onk

Sub. Bagian Bedah Onkologi Bag/SMF Ilmu Bedah FK UNUD/RS Sanglah Denpasar

Page 37: Referensi Block Clinical Oncology 2011

37

PENDAHULUAN

Sebagian besar (90 – 95%) dari kanker adalah disebabkan oleh karena lingkungan dan

kebiasaan hidup yang tidak baik, sedangkan sebagian kecil lagi ( 5 – 10%) adalah oleh adanya

kecacadan genetik yang telah dibawa sejak lahir. Kanker yang disebabkan oleh lingkungan

dan kebiasaan hidup kita, dapat disebabkan oleh bahan – bahan kimiawi, radiasi (uV, radiasi

o.k sinar gamma), diet tertentu, dan juga disebabkan oleh virus.

Semua bahan – bahan tersebut diatas disebut sebagai karsinogen, dan proses terjadinya

kanker sebagai akibat terpapar karsinogen ini disebut sebagai karsinogenesis. Proses

terjadinya kanker adalah dimulai dari satu sel, melalui kerusakan dari rantai DNA. Kerusakan

DNA ini pada umumnya dapat di koreksi oleh mekhanisme molekuler (DNA repair gene

mechanism), yang jika tidak berhasil maka sel akan diperintahkan untuk menjalani proses

apoptosis/ program cell death, sehingga keseimbangan terjadi kembali. Apabila mekhanisme

pertahanan tersebut tidak berjalan dengan baik, dan jika kerusakan DNA ini cukup besar,

maka akan mempengaruhi proses replikasi sel (menghasilkan sel yang tidak normal), ataupun

proses transkripsi dan translasi, dan menghasilkan protein yang tidak normal, yang akan dapat

mempengaruhi kehidupan sel, kecepatan replikasinya dsb, dan akan membentuk sel tumor/

kanker.

Jadi kanker adalah penyakit DNA apapun penyebabnya. Jika kerusakan DNA tidak

dapat dikoreksi, maka akan terbentuk sel kanker dengan segala akibatnya. Kerusakan DNA

ini biasanya berupa mutasi, dan mutasi biasanya akan berlangsung terus, sehingga nantinya

akan terbentuk sel – sel yang beraneka ragam bentuk dan sifatnya, yang kita kenal sebagai

heterogenitas dari sel kanker.

KARSINOGEN

BAHAN KIMIA

Karsinogen yang cukup banyak kita jumpai adalah adalah bahan kimiawi. Bahan kimiawi

karsinogen ini dapat kita bagi 2 macam. Ada bahan kimia yang harus mengalami degradasi

terlebih dahulu (indirectly acting carcinogens), sebelum menjadi aktif dan bersifat

karsinogenetik, sedangkan dilain pihak ada bahan kimia yang tidak perlu mengalami

degradasi untuk aktif sebagai karsinogen (directly acting carcinogens). Bahan kimia ini baik

langsung maupun setelah mengalami aktivasi, akan mempunyai kemampuan untuk merusak

DNA (struktur DNA) didalam artian t.u mengaktivasi oncogenes, dan meng-inaktivasi tumor

suppressor genes. Bahan – bahan ini juga seringkali mempunyai kemampuan untuk

mengganggu proses apoptosis dan merusak gene yang berperan didalam DNA repair genes.

Page 38: Referensi Block Clinical Oncology 2011

38

Dua macam bahan kimia yang bersifat karsinogen, dibagi atas dua (lihat diatas) tipe. Grup

pertama disebut sebagai alkilator (alkylating ones) dimana mempunyai kemampuan untuk

memsubstitusi alkyl residue untuk menggantikan proton pada DNA. Sedangkan grup yang

kedua adalah non alkylating agents yang bereaksi dengan DNA dengan cara yang berbeda.

Non alkylating agents biasanya merupakan bahan kimiawi yang sangat sederhana, seperti a.l :

nitrous acid (0=N-OH); hydroxylamine (H2N-OH); methoxyamine (H2N-O-CH3); Hydrazine

H2N-NH2; formaldehyde (H2C=O).

Bahan kimia ini menyerang dan menggantikan asam amino yang dibagian luar dari basis

nucleotide, yang disebut sebagai exocyclic amino groups, dan prosesnya disebut sebagai

deaminasi (de-amination). Sebagai akibatnya keseimbangan dari basis nucleotide menjadi

terganggu, disamping itu bahan kimia ini juga dapat mengganggu dan merubah pasangan

basis (base pair), yang akan menyebabkan terjadinya mutasi – mutasi dari genes tertentu, dan

akhirnya akan dapat mengaktivasi oncogenes, dll.

Sebagai contoh, nitrous acid dapat merubah cytidine (CS) menjadi uridine (US), adenosine

(AS) menjadi hydroxantin (HXS), dan guanosine (GS) menjadi xantin (XS). Reaksi ini dapat

mempengaruhi pada pasangan basa (base pair), dan menimbulkan kerusakan DNA. Tipe

reaksi yang lain dari nitrous acid adalah pembentukan cross link/ penghubung antara 2

Guanosin (GS) dengan 1 guanosin, atau 1 adenosine (AS). Adanya penghubung asam amino

ini akan menyebabkan hilangnya aktivitas basa ini pada urutannya secara biokimiawi. Reaksi

ini lebih mudah dan lebih sering terjadi pada polynucleotide yang single strand.

Page 39: Referensi Block Clinical Oncology 2011

39

Nitrous acid dapat merubah cytidine (C) (asam amino) menjadi uridine (U), deaminasi dari

adenosine (A) menjadi hydroxantin (HX), dan guanosine (GS) menjadi Xantin (XS).

Pembentukan cross link antara dua buah guanosine (G-G) ataupun antara guanosine dan

adenosine (G – A ).

Grup karsinogen yang lain adalah alkylating chemicals seperti misalnya: dimethylsulfate/

(CH3)2 SO4 ataupun methylmetanesulfonate/ (CH3)SO2 –O-CH3. Bahan tersebut diatas akan

melakukan methylasi, ataupun alkylasi pada grup asam amino exocyclic, atom nitrogen pada

ring system, dan atom oksigen pada basa nucleotide.

Alkylasi dapat terjadi pada beberapa tempat pada molekul asam amino (exocyclic), dan

menimbulkan perubahan mulai dari karsinogen yang lemah sampai karsinogen yang kuat.

Bahan kimia N-nitroso yang akan mengakylasi atom oksigen pada umumnya merupakan

karsinogen yang sangat poten, dan sebagai contoh bahan ini adalah: dialkyl-nitrosamine

(O=N-NR2), N-nitrosoureas (O=N-NR-CO-NH2), N-alkyl-N-Nitro-N-Nirosoguanidine (O=N-

NR-(C=NH)-NH-NO2. Bahan – bahan tersebut diatas akan membentuk bahan akhir alkylating

dalam bentuk alkalydiazonium ions R-N2+. Alkalydiazonium ions ini telah dikenal didalam

mengaktifkan Ha-ras proto oncogene dan memulai proses karsinogenesis. Pada gugus asam

amino guanine, terjadinya methylasi pada atom oksigen, akan membentuk gugus O6meG,

dimana dalam proses replikasi, akan terjadi mispairing dengan O6meG-T base pair, sehingga

akan terjadi aktivasi oncogene.

Page 40: Referensi Block Clinical Oncology 2011

40

Aktivasi dari guanine oleh N-methyl-N-nitrosourea dimana atom 0xygen akan mengalami

methylasi, maka akan terbentuk O6meG (G= guanine), yang dalam replikasi akan mudah

terjadi mispairing, sehingga terbentuk O6meG – T base pair.

Terdapat masih banyak lagi bahan karsinogen lain yang mempunyai kemampuan

karsinogenesis oleh karena sifat alkylasinya. Bahan halonitrosoureas, mempunyai sifat

alkylasi dua fungsi, yaitu berfungsi alkylasi berkerja sebagai agen sitotoksik dengan

melakukan reaksi cross linking pada basa nucleotide, dan sifat alkylasi yang lain mempunyai

kemampuan untuk melakukan pemutusan rantai dan terjadinya karsinogenesis. Sebagai

contoh dari bahan ini adalah bis(chloroethyl)- nitrosourea Cl-(CH2)2 –N(NO)-CO-NH-(CH2)2-

Cl.

Bahan alkylating yang bersifat karsinogen yang lain adalah bahan cyclic, dan bahan

karsinogen yang penting dari jenis ini adalah gas sulfur mustard dan derivatnya. Epoxide juga

merupakan bahan alkylating yang sangat reaktif dengan membentuk carbenium ions, yang

akan meng-alkylasi N7 pada guanine dan ion nitrogen dari adenine hydroxy – alkyl

derivatives.

Demikian juga vinyl chloride, yang harus mengalami metabolisme terlebih dahulu sebelum

membentuk bahan/ karsinogen yang aktif yaitu chloroethylene oxide. Bahan ini akan berubah

menjadi chloroacetaldehyde yang akan bereaksi dengan pada sisi imino dari guanine dan

cytosine, yang akan menimbulkan hilangnya chloride dan akan membentuk senyawa cincin

baru. Senyawa cincin baru ini akan mengalami dehidrasi dan akan membentuk medium asam.

Yang akan bereaksi dengan cytosine, adenine, & guanine. Dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa beberapa bahan kimia akan bersifat karsinogenik langsung atau hanya

memerlukan satu perubahan ensimatik saja untuk bersifat karsinogenik.

Page 41: Referensi Block Clinical Oncology 2011

41

Beberapa bahan karsinogen yang lebih kompleks, artinya memerlukan pemecahan ensimatik

secara bertahap dan merubah struktur kimiawinya, untuk dapat menjadi karsinogen yang aktif.

Karsinogen yang terpenting didalam grup ini adalah polycyclic aromatic hydrocarbons

(PAH), yang banyak kita dapatkan pada asap rokok. Beberapa jenis PAH adalah a.l :

phenanthrene (a), benzo(a)pyrene (b), benzo(e)pyrene (c).

a. b c

Bahan benzo(a)pyrene, dan 2 and 3 acetaminofluorene(2-AAF, 3-AAF), terutama dua bahan

terakhir, bukan merupakan PAH yang sesungguhnya, adalah merupakan bahan – bahan yang

sangat banyak dipelajari dalam hubungannya dengan karsinogenesis. Benzo(a)pyrene akan

mengadakan reaksi atau ikatan dengan guanine, yaitu dengan memberikan substitusi

elektrofilik pada grup 2-amino dari guanine. Metabolisme yang terjadi adalah mengikuti alur

umum, yaitu PAH (I) akan di oksidasi oleh ensim monoxygenase menjadi arene oxide (II)

yang merupakan suatu epoxide, yang kemudian dengan ensim epoxide hydrolase terjadi trans-

dehydro-diol (III), dan akhirnya senyawa ini dirubah oleh ensim monoxygenase menjadi anti

(IV) atau syn (V) dihydro-diol epoxide (lihat gambar dibawah). Senyawa diol-epoxide akan

mengalami detoksikasi menjadi tetrol, atau senyawa electrophilic, yang nantinya akan

mengikat diri dan bereaksi dengan bagian nucleophilic dari basa nucleotide.

Page 42: Referensi Block Clinical Oncology 2011

42

RADIASI.

Radiasi dapat terjadi oleh karena sinar ultraviolet, radiasi oleh sinar “X” dan sinar γ (gama),

ataupun sinar/ radiasi bahan yang mengandung partikel seperti bahan radioaktif α (helium

nuclei), β (electrons), yang kesemuanya dapat menimbulkan terjadinya kanker.

Sinar Uv saat ini merupakan radiasi penyebab kanker, yang banyak didiskusikan pada saat

belakangan ini, yang di hubungkan dengan adanya lubang pada lapisan ozon kita, yang

meningkatkan intensitas Uv yang masuk ke permukaan bumi, terutama jenis/ frekwensi Uv

yang memang berbahaya. Uv dengan panjang gelombang sekitar 260nm, akan membunuh

bakteri, dan menyebabkan terjadinya mutasi pada populasi bakteri yang berhasil hidup. Jadi

artinya dalam dosis yang cukup radiasi akan menimbulkan kerusakan berat pada DNA sel

yang akan berakhir dengan kematian sel, sedangkan dengan dosis yang lebih kecil, kerusakan

DNA akan menimbulkan mutasi genetik, dan menimbulkan transformasi sel sel tumor/

kanker.

Semua jenis radiasi, terutama dengan energi yang tinggi (high frequency) akan membentuk

radicals (yaitu suatu bahan kimia yang sangat reaktif, dan mengandung electron bebas)

didalam sel, yang oleh karena reaktifitasnya akan mampu merusak DNA dan menimbulkan

mutasi.

Sebagai akibat perubahan kimiawi oleh karena UV, adalah terbentuknya cyclobutane ring

diantara dua molekul thymine yang kebetulan berdekatan pada satu strand DNA. Dimana

sebagai akibatnya menimbulkan perubahan yang drastis pada struktur DNA dan struktur

sekitarnya.

Page 43: Referensi Block Clinical Oncology 2011

43

Ikatan cyclobutan ring & TC (6-4) dari molekul thymine pada DNA sebagai akibat radiasi

UV.

Kemungkinan lain yang dapat terjadi adalah sebagai akibat radiasi UV, timbulnya produk

TC(6-4), yang juga menimbulkan distorsi geometric dari DNA. Adanya ensim photolyase

pada organisme yang lebih rendah dan bakteri, dan adanya A-D UVR (UV repair) gene, pada

organisme yang lebih kompleks organisme seringkali mampu memutuskan rantai

cyclobutane, ataupun TC(6-4) diantara molekul thymines. Photolyase teraktivasi oleh cahaya

(photoactivation), dan berkerja sebagai ensim yang memutuskan rantai penghubung thymine

tersebut, sedangkan UVR genes, berkerja dengan melakukan eksisi pada bagian DNA yang

mengalami kerusakan tersebut diatas. UVR genes (A, B,C) setelah mengalami aktivasi akan

melakukan transkripsi dan translasi dan membentuk ensim uvr endonuclease yang akan

memotong bagian DNA yang rusak, sedangkan DNA helicase enzyme akan memindahkan

bagian yang dipotong tersebut dari pasangannya (complimentary DNA), dan akhirnya DNA

polymerase enzyme akan menutup bagian DNA (dalam 1 strand) yang hilang tersebut diatas.

Sehingga terbentuklah DNA yang normal kembali.

Mekhanisme repair yang lain (yang ketiga) adalah post-replicative repair, merupakan

mekhanisme perbaikan yang lebih kompleks. Replikasi akan tetap terjadi, hanya dalam hal

ini, terjadinya pyrimidine dimerization dalam satu strand DNA (biasanya kerusakan akibat

UV lebih dari 1 thymine), menyebabkan berhentinya replikasi DNA berhenti pada nucleotide

yang mengalami kerusakan, dan replikasi akan berlangsung lagi setelah melewati bagian

nucleotide yang rusak. Sehingga sesudah replikasi terjadi, akan didapatkan dua double strands

DNA, tang mengandung satu pyrimidine dimer, dan satu rantai DNA yang terputus. Dimana

pada replikasi berikutnya, akan didapatkan suatu broken DNA segments, yang kemudian juga

disebut sebagai double strand breaks. Mekhanisme perbaikan selanjutnya merupakan proses

ensimatik saja, yaitu suatu genetic recombinant, yang terjadi adalah proses exchange diantara

Page 44: Referensi Block Clinical Oncology 2011

44

strand yang normal dan strand yang tidak normal, sehingga proses kembali lagi, sehingga

akhirnya didapatkan rantai DNA yang nomal dengan informasi genetik yang kembali normal

juga.

Dengan melihat ketiga mekhanisme repair tersebut diatas yaitu photolyase, excision (DNA

endonuclease), dan post- replicative repair, bagaimana mutasi DNA tetap dapat terjadi. DNA

yang mengalami kerusakan akibat radiasi, akan menimbulkan reaksi sel, yaitu dengan

mengaktifkan suatu system SOS yang sebenarnya bertujuan untuk mengaktifkan semua

system ensim yang penting bagi repair mechanism. Akan tetapi yang dapat juga terjadi adalah

mekhanisme ini juga dapat menimbulkan reading error dan terbentuknya protein lain, dan

menstimulasi terjadinya mutasi – mutasi genetik (aktivasi proto-oncogenes, inktivasi tumor

suppressor genes, dll). Hal diatas ini sering disebut sebagai error prone repair. Saat ini

diketahui minimal terdapat 12 genes, yang akan teraktivasi sebagai akibat terjadinya

kerusakan DNA yang cukup hebat. Reaksi SOS ini di mulai dengan aktivasi rec A gene dan

produknya rec A protein, yaitu suatu protease, yang akan memotong (cleavage) terutama

protein lex A, yang merupakan repressor terhadap dari genes yang mengkoding SOS system.

Segera setelah memotong lax A protein, sehingga protein ini lepas pada tempat ikatannya

(binding site) pada DNA, sehingga SOS gene akan bebas berekspresi. Rec A gene akan

kembali inaktif segera setelah mekhanisme perbaikan selesai.

Dalam hubungan dengan error prone repair, kita dapatkan adanya error prone repair genes,

yang akan teraktivasi oleh adanya system SOS yang teraktivasi, maka kita dapatkan dua buah

genes yang disebut sebagai umu-C dan umu-G (umu= UV mutagenesis), yang turut berperan

didalam mutasi DNA. Dalam keadaan normal, genes akan memproduksi DNA polymerase III,

yang berfungsi memperbaiki/ menyambung DNA kembali pada tempat/ bagian DNA yang

secara geometris mengalami gangguan, tetapi didalam keadaa error, dan adanya matrix yang

sudah destorsi, maka error sangat mungkin terjadi.

Radiasi sebagai akibat sinar X dan sinar γ, yang merupakan suatu ionizing radiation

(electromagnetic radiation, or particle radiation), akan terjadi interaksi partikel ini dengan

electrons pada materi/ jaringan yang dikenai, yang dengan cara demikian bahan radiasi akan

kehilangan energinya. Hilangnya energi di satu sisi, akan menyebabkan ionisasi pada pihak/

molekul yang lain. Sebagai akibatnya akan terjadi interaksi antara energi radiasi dan

macromolecules dalam sel (yang kebanyakan terdiri dari molekul air), dan hal tersebut diatas

akan menyebabkan terbentukya chemical radicals akan terlepas. Chemical radicals ini akan

bereaksi dengan molekul – molekul biologis penting didalam sel. Derajat kerusakan yang

Page 45: Referensi Block Clinical Oncology 2011

45

terjadi tergantung kepada kekuatan radiasi yang mengenai sel (yaitu dosis radiasi, jenis

radiasi). Sinar X dan γ, biasanya tidak banyak menimbulkan ionisasi, sehingga mempunyai

kemampuan untuk menembus jaringan tubuh, sebaliknya radiasi partikel, banyak

menimbulkan ionisasi, tetapi tidak dapat menembus jaringan terlalu dalam.

Kerusakan DNA akibat radiasi yang mudah untuk dideteksi, adalah terjadinya double strand

breaks (DSB), dimana terjadinya end to end reunion akan menyebabkan terjadinya

khromosom yang tidak normal. Kerusakan kerusakan lain baik yang direct ataupun indirect

dapat juga terjadi pada DNA, sebagai contoh adanya cross link pada base pair, cross link

diantara khromatids, dll.

Hal yang cukup penting untuk dibicarakan adalah pemberian dosis radiasi yang lebih rendah,

dan bagaimana radiasi dengan dosis yang lebih rendah tersebut dapat memacu trerjadinya

karsinogenesis, dan bagaimana atau mengapa mekhanisme repair tidak berhasil memperbaiki

kerusakan yang terjadi.

Setelah radiasi yang tidak fatal terhadap sel, maka akan terjadi abberasi dari khromosom

(DSB) ataupun khromatid (SSB) dari sel, dan pada umumnya mekhanisme repair automatis

akan berjalan, dan akan menurunkan frekwensi abberasi yang terjadi. Abberasi khromosom

lebih banyak terjadi sebelum synthesis DNA, sedangkan abberasi dari khromatid terjadi

sesudah proses replikasi.

Kerusakan yang terjadi adalah :

Y = a + bD + cD2

Y = Jumlah kerusakan/ abberasi yang terjadi per waktu dan per sel.

a = frekwensi radiasi.

b & c = adalah linear & quadratic coeeficient pada dosis pemberian radiasi (D).

Dengan kata lain terjadinya abberasi/ kerusakan didalam struktur DNA sel (Y) tergantung

atau berbanding lurus dengan dosis, frekwensi radiasi (jumlah kali radiasi) dan coefficient

linear dan quadratic .

Dengan rumus yang lebih kompleks, kerusakan yang terjadi adalah :

Y = (a + bD + cD2) exp[ - (dD + eD2)]

Y tetap tergantung pada dosis, frekwensi, dan beberapa coefficients .

Dari segi radiasi maka dapat disimpulkan bahwa, dengan dosis yang tinggi, sel akan mati

sebelum terjadi proses mutasi, sedangkan dengan dosis yang rendah (what low is low?) jika

kerusakan DNA yang terjadi tidak dapat diperbaiki, maka akan terjadi mutasi DNA . Pada

radiasi dengan dosis rendah terdapat 2 konsep yang dapat menerangkan terjadinya

Page 46: Referensi Block Clinical Oncology 2011

46

karsinogenesis, yaitu satu adalah hipotesis terjadinya strand breaks (single), menyebabkan

terjadinya abberasi, sedangkan hipotesis kedua adalah tidak terjadi putusnya DNA strand,

melainkan terjadi pertukaran dari bagian khromatids, yang akan menyebabkan kinesis sel

berubah. Hipotesis yang pertama, saat ini lebih dibenarkan.

VIRUS – KARSINOGENESIS.

“Replacing or stealing good genes and transform them into bad genes”.

Sejak 30 tahun, virus DNA dan retrovirus RNA mempunyai kemampuan untuk merubah sel.

Virus – virus ini sangat penting artinya bagi perkembangan biologi molekuler manusia dan

terjadinya proses transformasi sel, dan identifikasi oncogenes. Kebanyakan informasi ini

didapatkan dari retrovirus, terutama Rous Sarcoma Virus, yang dapat menyebabkan

keganasan pada ayam percobaan, yang ternyata virus ini mengandung SRC oncogene. SRC

oncogene ini sebenarnya tidak berasal dari virus ini, melainkan kemungkinan didapatkan

virus dari host genome yang lain (transduction process). Hal ini terjadi oleh karena retrovirus

mempergunakan ensim reverse transcriptase untuk meng”kopi” genome RNA dan

merubahnya menjadi DNA (duplex) secara retrograde. Kopi DNA ini kemudian dapat

mengintegrasikan diri pada DNA sel manusia secara reversible. Sehingga yang terjadi adalah

seakan – akan virus mengabduksi host gene untuk menjadi bagian dari virus genome, dan

sebaliknya memberikan sebagian genome nya untuk sel host, ataupun jika menginfeksi sel

manusia lain, akan memindahkan genomenya ke sel host yang baru, dan menimbulkan

transformasi sel terutama jika viral promoters ikut pindah pada sel host yang baru . Sel tuan

rumah yang baru akan mengalami perubahan replikasi, transkripsi dan translasi, tergantung

dari ada tidak aktivasi oncogenes dan supressi tumor suppressor genes dan diikuti dengan

mutasi – mutasi gene yang lain, dan akan menghasilkan sel – sel kanker yang bermacam

bentuk penotipik (pleomorfism).

Retrovirus juga dapat mengaktivasi proto-oncogene secara langsung, melalui proses yang

disebut insertional mutagenesis. Dalam proses ini terjadi insersi copy DNA dari retrovirus

pada genome dari sel manusia berdekatan dengan proto-oncogene, dan menimbulkan aktivasi

dari oncogene tersebut melalui aksi promoter dari LTR (long terminal repeat).

Page 47: Referensi Block Clinical Oncology 2011

47

Daftar diatas menunjukan jenis virus yang saat ini telah diketahui menimbulkan kanker pada

manusia.

a. Rantai diatas merupakan genome dari retrovirus, dengan tiga genes yang merupakan

inti gene dari retrovirus.

b. Retrovirus yang telah mengalami transformasi, dan mendapatkan tambahan gene baru

(SRC gene) dari organisme lain ( mammalian?), sehingga mempunyai kemampuan

untuk mentransformasi sel yang DNA nya mengalami insersi dengan retrovirus ini.

Page 48: Referensi Block Clinical Oncology 2011

48

Daftar diatas adalah daftar dari retrovirus dengan oncogenes yang dibawa didalam genomenya

dan keganasan yang disebabkannya.

Siklus hidup dari retrovirus.

KESIMPULAN.

Telah dikemukakan proses karsinogenesis, baik yang disebabkan oleh bahan kimia, radiasi

ataupun virus.

Proses karsinogenesis merupakan proses yang sangat kompleks, dan tidak sepenuhnya

dimengerti.

Page 49: Referensi Block Clinical Oncology 2011

49

Pada prinsipnya semua bahan yang dapat menimbulkan perubahan DNA ataupun struktur

disekitar DNA, yang nantinya menimbulkan perubahan didalam aktivitas replikasi,

transkripsi, dan translasi dari sel, akan membentuk sel yang berbeda dengan sel normal. Jika

perubahan tersebut menyebabkan terjadinya sel kanker, maka proses tersebut disebut sebagai

proses karsinogenesis.

Batas yang tegas antara sel yang mengalami transformasi dan sel kanker adalah tegas.

KEPUSTAKAAN.

Albert D.S., Hess L.M., 2008. Fundamentals of Cancer Prevention. 2nd Edition. Springer.

Berlin.

American Society of Clinical Oncology, 1997. Educational Book. Thirty – third Annual

Meeting. Denver Colorado.

Antonarakis S.E., et al., 2002. The Nature and Mechanism of Human Gene Mutation. In

Vogelstein & Kinzler The Genetic Basis of Human Cancer. McGrawhill – Hill, New

York. 2 : 7 – 42.

Howley P.M., 2001. Viral Carcinogenesis. In Mendelsohn J., et al (editors). The Molecular

Basis of Cancer. 2nd Edition. W.B. Saunders Co. Philadelphia. 5 : 71 – 94.

Ladik, J., Forner W., 1994. The Beginning of Cancer in the Cell. An Interdisciplinary

Approach. Springer – Verlag. Berlin

Macdonald F., Ford C.H.J., 1997. Molecular Biology of Cancer. Bios Scientific Publisher.

UK.

Ross D.W. 2002. Introduction to Molecular Medicine. 3rd Edition. Springer. New York.

Page 50: Referensi Block Clinical Oncology 2011

50

SCREENING OF CANCER

Dr. I Wayan Sudarsa, SpB(K)Onk

Subbagian Bedah Onkologi Bagian/SMF Ilmu bedah FK UNUD/RSUP Sanglah

Denpasar

PENDAHULUAN

Kanker saat ini telah menjadi masalah kesehatan yang utama di negara yang sudah

maju seperti USA dan merupakan penyebab kematian ke dua setelah penyakit kardovaskuler.

Menurut American Cancer Society pada tahun 2005 ini di USA diperkirakan akan didapatkan

1.372.910 kasus kanker baru dengan jumlah kematian oleh karena kanker sebanyak 570.280

orang. Saat ini satu dari empat kematian yang terjadi di negara tersebut adalah disebabkan

oleh karena kanker.

Menurut Cancer Statistics 2005, insiden kanker pada laki-laki relatif menetap sejak

tahun 1995 sampai tahun 2000,dengan tiga jenis kanker terbanyak yaitu kanker prostat,

kanker paru dan kanker colorectal. Sedangkan pada wanita cenderung meningkat 0,4% setiap

tahun sejak tahun 1987 sampai tahun 2000, dengan tiga jenis kanker terbanyak yaitu kanker

payudara, kanker paru dan kanker colorectal. Angka kematian beberapa jenis kanker

cenderung menurun seperti kanker paru, kanker colorectal dan kanker prostat pada laki laki,

serta kanker payudara dan kanker colorectal pada wanita, oleh karena telah adanya program

screening kanker yang sudah berjalan dengan baik terutama untuk kanker serviks, payudara

dan kolorektal.

Kemajuan dibidang biologi dan molekuler kanker dan perbaikan tehnologi imaging

menyebabkan semakin baik dan banyaknya tes untuk screening pada kanker. Namun

demikian masih banyak terdapat kontroversi didalam melakukan screening kanker ini.

Tujuan utama melakukan screening pada kanker adalah menurunkan angka kematian akibat

kanker.

Pada makalah ini ditekankan pada screening kanker, terutama untuk beberapa jenis

kanker dimana program screening secara jelas telah memberikan hasil yang baik, artinya

dengan melakukan screening, angka kematian kanker tersebut menurun secara bermakna,

contohnya: Kanker Leher rahim, kanker payudara, dan kanker usus besar.

Page 51: Referensi Block Clinical Oncology 2011

51

PENGERTIAN SCREENING KANKER

Screening kanker adalah usaha untuk menemukan adanya kanker pada orang-orang

yang kelihatannya sehat, asimtomatik atau pada orang-orang yang mempunyai risiko tinggi

mendapat kanker, atau pada golongan masyarakat tertentu dan pada waktu tertentu.

Melakukan screening kanker sebenarnya jauh lebih rumit dibandingkan dengan

melakukan pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis dan menemukan kanker stadium dini

pada penderita simtomatik.

Pengertian dari kanker dini untuk beberapa jenis kanker tidak sama, tetapi pada

dasarnya yang dimaksud dengan kanker dini adalah kanker stadium lokal, dan belum ada

penyebaran, dimana terapi lokal yang adekuat akan cukup memberikan kesembuhan pada

penderita tersebut. Namun jika memahami proses karsinogenesis, proses transformasi genetic,

proses infiltrasi, invasi dan metastasis, dari sel kanker, tidak jarang ditemukan kanker yang

ukurannya sangat kecil, mempunyai sel klonal yang mampu bermetastasis. Dalam hal ini sulit

menentukan apakah kanker tersebut masih dini atau masih bersifat lokal.

TUJUAN SCREENING KANKER

Screening pada kanker bertujuan untuk menemukan adanya kanker dini, yaitu kanker

yang masih dapat disembuhkan, untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas kanker. Jadi

tujuan utama dari screening kanker adalan menurunkan angka mortalitas/kematian kanker.

Screening kanker akan bermanfaat apabila dapat menemukan kanker yang lebih dini,

sehingga pengobatan efektif dapat dilakukan lebih awal dan pengobatan tersebut memberikan

hasil (outcome) yang lebih baik dibandingkan dengan kanker yang ditemukan setelah adanya

gejala/simtomatik.

BEBERAPA ALASAN UNTUK MELAKUKAN SCREENING PADA KANKER.

Screening pada kanker didasarkan atas alasan atau kenyataan-kenyataan antara lain sebagai

berikut:

1. Perjalanan kanker umumnya mulai dari kanker in situ, atau kanker lokal pada tingkat

sel/organ. Fase kanker lokal biasanya cukup lama sebelum mengadakan invasi keluar

organ atau sebelum mengadakan metastasis.

2. Banyak kanker yang timbul dari lesi jinak pra kanker yang telah lama ada.

3. Lebih dari 75% kanker terdapat pada organ atau tempat-empat yang mudah diperiksa

sehingga mudah dapat diketemukan.

Page 52: Referensi Block Clinical Oncology 2011

52

4. Penderita kanker umumnya baru datang ke dokter sesudah penaykitnya dalam stadium

lanjut.

5. Hasil pengobatan kanker stadium dini jauh lebih baik daripada stadium lanjut.

6. Penyembuhan kanker secara spontan hampir amat sangat jarang.

KARAKTERISTIK PROGRAM SCREENING KANKER YANG IDEAL

Untuk dapat melakukan program screening kanker atau screening program perlu

diketahui karakteristik/persyaratan untuk melakukan screening kanker, oleh karena program

ini memerlukan biaya dan tenaga yang harus diperhitungkan efektifitasnya, yaitu:

A. Kasus kanker yang akan dilakukan screening :

1. Memberikan pengaruh yang bermakna terhadap kesehatan

masyarakat.

2. Mempunyai periode asimtomatik yang jelas diketahui

3. Pengobatan pada periode asimtomatik memberikan hasil yang lebih baik.

B. Pada Populasi yang akan dilakukan screening:

1. Insidens kanker yang akan dilakukan screening cukup tinggi, sehingga cukup

banyak terdapat kasus stadium dini.

2. Ada dan tersedia cara diagnostik dan pengobatan yang efektif untuk kanker

tersebut.

3. Kemauan penderita untuk melakukan pemeriksaan dan pengobatan yang

lengkap.

A. Cara/metode screening yang dipakai:

1. Sederhana. Tes yang dipakai harus sederhana sehingga dapat

dikerjakan dengan mudah dan cepat tanpa menimbulkan rasa

tidak enak pada penderita. Dapat dikerjakan pada banyak

orang dalam waktu singkat, dan dapat diterima penderita.

2. Sensitif. Tes harus sensitive yaitu prosentase negatif palsu kecil

dapat menemukan kanker dalam stadium dini.

3. Spesifik. Yaitu prosentase positif palsu kecil.

4. Murah. Alat yang dipergunakan untuk sceerning tidak mahal dan

tidak sukar melakukannya.

MACAM-MACAM SCREENING KANKER

Ada beberapa macam screening antara lain:

Page 53: Referensi Block Clinical Oncology 2011

53

1. Mass Screening. Adalah screening terhadap kanker tertentu dilakukan pada seluruh

penduduk golongan umur tertentu, dalam wilayah tertentu, dan dalam waktu tertentu

juga. Kegiatan ini memerlukan banyak biaya dan tenaga dan hanya dapat dilakukan

pada kanker tertentu saja.

2. Selective screening. Adalah screening kanker pada golongan penduduk yang

mempunyai risiko tinggi terkena kanker.

3. Multiple screening. Adalah screening untuk satu atau lebih jenis kanker pada

sekelompok penduduk.

4. Individual screening. Adalah screening yang dilakukan pada masing-masing individu

terhadap kanker tertentu.

CARA-CARA MELAKUKAN SCREENING KANKER

Berbagai cara dilakukan untuk screening kanker seperti : Pemeriksaan fisik,

pemeriksaan sitologi, Radiologi/imaging, Termografi, Endoskopi, tes biokimia atau

Imunologi, biologi molekuler (DNA), tergantung dari jenis kanker yang akan dilakukan

screening dan masing-masing cara ini mempunyai akurasi yang bervariasi.

EVALUASI SCREENING KANKER

Dalam melakukan program screening kanker, harus dilakukan evaluasi terhadap tes

screening yang akan dipakai agar dapat diterima secara luas. Tes screening paling baik

dievaluasi melalui population-based, randomized screning trial dengan angka kematian

spesifik kanker sebagai end-point.

BIAS (penyimpangan) dalam evaluasi screening kanker.

Kanker adalah penyakit DNA, perjalanan penyakit mulai dari proses biologi dengan

mutasi gena ditingkat seluler, melalui fase asimtomatik yang secara teori dapat dideteksi

dengan tes screening, sampai dengan menimbulkan gejala dan dapat didiagnosis suatu kanker.

Ada titik kritis (critical point) dimana terapi kanker relatif efektif sebelum melampaui titik

kritis ini dan terapi kanker akan tidak efektif sesudah melampauinya. Titik kritis pada kanker

terjadi pada saat didapatkan metastase regional atau metastase jauh. Screening kanker akan

memberikan dampak yang besar pada perjalanan penyakitnya apabila titik kritis ini terjadi

pada fase asimtomatik dari kanker tersebut, contohnya kanker serviks.

Beberapa bias (penyimpangan) yang mempengaruhi hasil akhir dalam program

screening kanker seperti: Selection, Lead-time, Length-time bias.

Page 54: Referensi Block Clinical Oncology 2011

54

SELECTION BIAS: Terjadi apabila hanya kelompok tertentu datang untuk melakukan

screening. Kelompok ini biasanya sudah termotivasi, mempunyai risiko tinggi (riwayat

keluarga kanker), atau status kesehatan yang lebih baik.

LEAD – TIME BIAS: Waktu antara diagnosis kanker ditegakkan sampai dengan penderita

meninggal memanjang, akan tetapi terapi yang diberikan tidak memperpanjang hidup,

penderita sebenarnya tidak hidup lebih panjang, hanya diagnosis ditegakkan lebih awal.

Lead-time bias terjadi apabila perjalanan alamiah kanker tersebut tidak diketahui dengan

jelas. Secara skematik dapat dijelaskan pada skema dibawah ini:

Skema 1: Diasumsikan pada suatu kanker dengan fatality rate 100%, dengan survival rate 3

tahun setelah diagnosis ditegakkan, dan periode asimtomatik 4 tahun. Median survival pada

populasi yang tidak dilakukan screening 3 tahun, sedangkan yang dilakukan screening 5

tahun. Sebenarnya populasi yang dilakuan screening tidak hidup lebih lama, akan tetapi

diagnosis dikelatui lebih awal dalam perjalanan alamiah kankernya. (Dari: Gates TJ.

Screening for Cancer: Evaluating the Evidence. Am Fam Physician 2001;63:513-22).

LENGTH-TIME BIAS: Terjadi karena sifat heterogenitas kanker. Pada kanker tertentu ada

yang mempunyai sifat yang sangat agresif, dengan periode asimtomatik yang pendek,

tumbuh sangat cepat dan survival yang pendek. Namun ada yang tidak agresif, tumbuh

lambat, periode asimtomatik yang panjang, dengan prognosis lebih baik, dan memungkinkan

diketemukan pada program screening kanker. Secara skematik dapat dijelaskan pada skema

dibawah ini:

Page 55: Referensi Block Clinical Oncology 2011

55

Skema 2: Pada program screening kanker dengan interval screening satu tahun, 50% penderita

kanker yang agresif mempunyai kemungkinan muncul dan terdiagnosis kanker pada interval

screening. Sedangkan pada kanker yang kurang agresif dengan fase asimtomatik yang

panjang, kanker diketemukan setelah beberapa interval screening. (Dari: Gates TJ. Screening

for Cancer: Evaluating the Evidence. Am Fam Physician 2001;63:513-22).

Kanker yang secara klinis muncul diantara dua jadwal screening biasanya lebih agresif

dan mempunyai prognosis yang buruk. Sering disebut sebagai Interval Cancer.

Beberapa angka-angka pengukuran yang sering dipakai untuk menilai efektifitas suatu

program screening kanker seperti: Relative risk and relative risk reduction (RRR), Gain in

life expectancy, Cost per case detected, Cost per life saved, Gain in qulity-adjusted life years

(QALYs), dan Number needed to screen (NNS). NNS adalah jumlah penderita yang harus

mengikuti program screening dalam periode waktu tertentu (normalnya 10 tahun) untuk

mencegah satu kematian akibat kanker tertentu.

Untuk menentukan akurasi dari suatu tes screening kanker dipakai 4 indeks yaitu: Sensitivity,

specificity, positive predictive value, and negative predictive value.

SCREENING PADA BEBERAPA JENIS KANKER

Menurut petunjuk (guideline) dari ”The American Cancer Society”, ada tiga jenis

kanker yaitu kanker leher rahim, kanker payudara, dan kanker usus besar dimana program

screening (terutama mass screening) memberikan hasil yang baik, terutama dalam hal

menurunkan angka kematian/mortalitas.

Berikut ini akan dijelaskan screening pada lima jenis kanker yang secara kumulatif

merupakan penyebab lebih dari 50% kematian kanker di USA.

Page 56: Referensi Block Clinical Oncology 2011

56

1. SCREENING KANKER LEHER RAHIM.

Kanker leher rahim merupakan contoh yang sangat baik, oleh karena pemeriksaan

Papanicolaou smear (Pap Smear) dapat mendeteksi kanker ini dalam fase preinvasif.

Pengembangan tehnik screening terhadap kanker leher rahim berkembang lagi dengan

mempergunakan asam asetat langsung pada mukosa leher rahim memberikan hasil negatif

palsu yang lebih kecil, dan pemakaian liquid-based cytology, serta pemeriksaan Human

Papilloma Virus - DNA (HPV-DNA).

Walaupun sampai saat ini tidak ada Randomized Clinical Trial (RCT) yang

menunjukkan adanya efektifitas dari Pap-smear, hanya berupa case-control saja, namun data

menunjukkan terjadi penurunan mortalitas sampai 80%. Dengan NNS sebanyak 1.140 orang.

Saat ini kontroversi pada screening kanker serviks adalah interval screening yang tepat

dan peranan tehnik screening yang baru. Pap-smear secara reguler direkomendasikan pada

wanita seksual aktif mulai umur 18 tahun, atau menurut ACS dimulai 3 tahun setelah mulai

melakukan kontak seksual tetapi tidak melewati umur 21 tahun, dengan interval 1 tahun

dengan metode konvesional atau setiap 2 tahun dengan metode liquid-based cytology. Pada

wanita risiko tinggi sebaiknya interval lebih sering. Tidak ada batasan sampai umur berapa

dilakukan pap-smear pada wanita. Screening dapat dihentikan pada wanita umur 65 tahun

keatas dimana hasil screening sebelumnya normal dan bukan termasuk risiko tinggi. Wanita

post subtotal histerektomi diperlakukan sama seperti wanita normal, dan tidak diperlukan

setelah histerektomi total.

2. SCREENING KANKER PAYUDARA.

Berbagai cara pemeriksaan telah dipakai untuk pemeriksaan deteksi dini kanker

payudara, yaitu: Pemeriksaan fisik oleh tenaga kesehatan (dokter bedah, dokter umum,

perawat terlatih) yang disebut Clinical Breast Examination (CBE) atau pemeriksaan oleh

pesertanya sendiri (SADARI), Pemeriksaan imaging/radiologi seperti: Mamografi,

Ultrasonografi, MRI, dan Pemeriksaan petanda tumor dari serum.

Pemeriksaan klinis payudara (CBE) tidak mempunyai sensitifitas dan spesifisitas yang

tinggi, yaitu hanya sekitar 40-50%. Meskipun cara SADARI murah, aman, dan sederhana

serta dapat diulang, penggunaan tes ini dalam program screening masih belum efektif. CBE

dan SADARI dipakai sebagai bagian dari program deteksi dini kanker payudara. Systematic

review menyatakan tidak ada manfaat BSE atau CBE dan tidak direkomendasikan untuk

screening kanker payudara.

Page 57: Referensi Block Clinical Oncology 2011

57

Mamografi adalah pemeriksaan radiodiagnostik khusus dengan mempergunakan

tehnik foto jaringan lunak pada payudara. Pemeriksaan ini dipergunakan secara luas pada

program screening kanker payudara karena memiliki sensitifikas dan spesifisitas yang tinggi,

yaitu sekitar 80-90%. Beberapa RCT menunjukkan bahwa screening mamografi setiap 1 atau

2 tahun telah dapat menunurukan angka kematian secara bermakna (20-30% bahkan ada yang

melaporka lebih besar lagi). Screening mammografi sampai saat ini dipakai untuk wanita 50

tahun keatas. Penggunaan screening mammografi pada wanita kelompok umur 40-49 tahun

masih kontroversi. Meta analisis dari delapan RCT screening mamografi pada umur 50-74

tahun menunjukkan relative risk dari kematian kanker payudara 0.77, dengan NNS 543 orang

setelah 10 tahun program screening mamografi. Dilain pihak beberapa studi screening

mamografi pada wanita usia 40-49 tahun, belum terlihat ada pengaruhnya terhadap penurunan

mortalitas secara bermakna, dan dari segi pembiayaan lima kali lipat lebih mahal dari pada

screening pada umur diatas 50 tahun, dengan efektifitas yang hanya 20%.

Beberapa faktor yang mempengruhi penurunan sensitifitas screening mamografi

seperti densitas payudara tinggi ynag berhubungan dengan umur dan status hormonal, dan

interpretasi dari ahli radiologinya sendiri. Dengan semakin baiknya tehnik/kualitas

mammografi diharapkan hasil screening pada wanita yang lebih muda (40-49 tahun) akan

memberikan hasil yang sama dengan wanita 50 tahun keatas.

ACS merekomendasikan pada populasi yang mempunyai risiko tinggi untuk

melakukan screening yang lebih dini, screening yang lebih sering, dan dibantu dengan

modalitas lain seperti MRI. Namun sangat sedikit data yang mendukung hal tersebut.

Screening mamografi tampaknya kurang sensitif pada wanita dengan BRCA1 atau BRCA2

mutasi, oleh karena kelompok wanita ini cenderung pada umur muda. MRI mempunyai

sensitifitas yang lebih tinggi daripada mamografi, oleh karena itu dapat dipakai mendeteksi

kanker payudara pada wanita yang lebih muda dan mempunyai risiko tinggi terhadap kankre

payudara.

Rekomendasi dari “American Cancer Society” mengenai screening dari kanker payudara

adalah sebagai berikut :

1. Wanita umur 20 keatas harus melakukan SADARI secara teratur dan benar.

2. Wanita umur 20-39 tahun harus menjalani pemeriksaan fisik payudara setiap tiga

tahun sekali.

3. Wanita umur 40 tahun keatas harus menjalani pemeriksaan fisik payudara setiap

tahun sekali.

Page 58: Referensi Block Clinical Oncology 2011

58

4. Wanita umur 35-40 tahun harus pernah menjalani mamografi satu kali sebagai data

dasar.

5. Wanita umur 40-49 tahun harus menjalani mamografi setiap 2-3 tahun

6. Wanita umur 50 tahun keatas harus menjalani mamografi setiap tahun.

7. Wanita dengan risiko tinggi (riwayat pribadi atau keluarga langsung dengan kanker

payudara) harus selalu berkonsultasi dengan dokter tentang perlunya dilakukan

mamografi secara lebih sering.

3. SCREENING PADA KANKER USUS BESAR

Pada saat ini ada 2 tehnik screening terhadap kanker uss besar sesuai dengan rekomendasi

dari WHO, yaitu:

1. Pemeriksaan adanya darah tersembunyi didalam feses (Faecal Occult Blood Test /

FOBT).

2. Endoscopic Examinations (Rigid Sigmoidoscopy atau flexible sigmoid-colonoscopy).

Pemeriksaan FOBT untuk screening pada kanker usus besar mempunyai beberapa

keuntungan antara lain: tehnik mudah, compliance dari masyarakat baik, dan mortalitas dapat

diturunkan. RCT dari Minnesotta FOBT Trial yang dimulai tahun 1975 dan selesai tahun

1993 dengan menggunakan rehydrated hemoccult test mempunyai kepekaan yang lebih

tinggi terhadap adanya darah dalam faeces, ternyata terbukti menurunkan angka kematian

sampai 33% dibandingkan grup kontrol. New York Study bahkan menunjukkan penurunan

angka mortalitas sampai 43% dibandingkan kontrol. Namun dua RCT berikutnya yang tanpa

memakai rehydrated hemocult test didapatkan penurunan angka matian 15-18%. Dengan

NNS 1000 dan 588 orang. Pada tahun 2002 ACS memodifikasi pemeriksaan FOBT dengan

menambahkan pemeriksaan Fecal Immunochemical Test (FIT).

Flexible Sigmoidoscopy jika dilakukan secara baik, diharapkan akan mampu

mendeteksi tumor usus besar sampai 50-70%. Diharapkan dalam jangka panjang deteksi

dengan tehnik ini akan menurunkan mortalitas kanker usus besar secara bermakna.

Kontroversi yang ada hingga saat ini adalah belum ada suatu penelitian yang bersifat RCT

untuk menilai efikasi dari cara deteksi ini. Kira-kira 50% polyps didapatkan dengan 35-cm

flexible sigmoidoscopy, dan 75% didapatkan dengan memakai 60-cm flexible sigmoidoscopy.

Sampai saat ini sangat sedikit data yang mendukung manfaat Digital Rectal

Examination (DRE) dan Barium enema sebagai alat screening untuk kakner kolorektal.

Walaupun Colonoskopi sering dipakai sebagai alat screening kanker kolorektal, manfaatnya

Page 59: Referensi Block Clinical Oncology 2011

59

belum jelas dan masih dalam tahap penelitian. Virtual Colonoscopy atau Computerized

Colonography akhir-akhir ini dikembangkan yang mungkin dapat menggantikan

Sigmoidoskopi atau Colonoskopi, namun untuk tujuan screening akurasinya masih dalam

penilitian.

Rekomendasi dari American Cancer Society untuk screening Kanker Usus besar adalah

sebagai berikut:

Laki dan wanita umur 50 tahun keatas harus melakukan salah satu dari cara screening tersebut

dibawah ini:

1. Menjalani pemeriksaan FOBT atau FIT setiap tahun.

2. Flexible sigmoidoscopy setiap 5 tahun.

3. Menjalani FOBT atau FIT setiap tahun dan Flexible sigmoidoscopy setiap 5 tahun.

4. Menjalani pemeriksaan Colonoscopy setiap 10 tahun

5. Menjalani pemerikasaan Double contrast barium enema , setiap 5 tahun.

ACS juga merekomendasikan surveillance yang intensif pada individu risiko tinggi terkena

kanker kolorektal seperti ada riwayat adenomatus polyps, pernah operasi kanker kolorektal,

riwayat keluarga kanker atau adenoma kolorektal, riwayat Inflammatory Bowel Disease atau

riwayat tes genetic yang berhubungan dengan hereditary syndromes

Lesi jinak pada usus besar seperti FAP (Familial Adenomatous Polyposis), merupakan

kelainan kolon yang hampir dapat dipastikan akan menjadi kanker melalui suatu “multihits

theory” dari “genetic transformation” dari Vogelstein. FAP ini harus diketemukan dan

mendapatkan penanganan yang tepat, untuk mecegah terjadinya kanker usus besar.

Molecular screening terhadap kanker kolorektal telah mulai dikembangkan, terutama

ditujukan terhadap aktivasi onkogen K-ras, dan inaktivasi dari tumor supressor gene APC,

DCC dan p53. namun sampai saat ini dari beberapa studi menyatakan sensitifitasnya msih

rendah

4. SCREENING PADA KANKER PROSTAT

Cara Deteksi dini kanker prostat adalah dengan pemeriksaan Colok dubur / digital

rectal examination, Transrectal Examination, atau pemeriksaan Prostat Spesific Antigen

(PSA). Pemeriksaan ini dapat dilakukan sendiri-sendiri atau dikombinasikan. Kombinasi tes

tersebut diatas diharapkan akan memberikan hasil yang lebih besar, dan diharapkan akan

menurunkan angka mortalitas. Namun hingga saat ini, proyek screning terhadap kanker

prostat ini yang dilakukan oleh American Cancer Society/ ACS belum banyak memberikan

pengaruh terhadap turunnya angka mortalitas. Dua RCT sedang dilakukan untuk

Page 60: Referensi Block Clinical Oncology 2011

60

mengevaluasi manfaat screening kanker prostat. Dalam konteks screening, Kanker prostat

cenderung menimbulkan lead-time bias, length-bias dan overdiagnosis, oleh karena kanker

prostat sering tumbuh lambat dan mempunyai peroide asimtomatik yang panjang. Namun

demikian ACS dan American Urologic Association merekomendasikan kepada laki-laki 50

tahun keatas dapat memilih melakukan screening setelahmendapat penjelasan mengenai

manfaat dan risiko dari screening.

5. SCREENING PADA KANKER PARU

Kanker Paru merupakan salah satu keganasan dengan insidens yang cukup tinggi, baik

pada laki-laki maupun wanita, dan merupakan problematik kesehatan mengingat angka

insidens yang cukup tinggi, mortalitas yang tinggi, angka survival yang rendah, dan belum

mengalami perubahan selama beberapa dekade terakhir ini.

Sampai saat ini tidak ada metode standar untuk screening kanker paru. Usaha

screening masal dengan foto paru, sitologi sputum atau keduanya pada populasi diatas 40

tahun, ataupun pada perokok, ternyata belum banyak memberikan pengaruh terhadap

mortalitas ataupun angka ketahanan hidup kanker paru. Systematic review menunjukkan

bahwa foto toraks dan sitologi sputum tidak ada manfaatnya untuk screening kanker paru.

Screening dengan Spiral CT dan Spiral CT dikombinasi dengan PET Scan sedang dalam

penelitian. Beberapa studi melaporkan bahwa pemeriksaan ini dapat mendeteksi kanker paru

stadium dini, namun belum jelas apakah dapat menurunkan kematian.

PENUTUP

Sebenarnya yang memegang peranan penting dalam screening kanker adalah pada

Primary Care, dan tujuan utama screening kanker adalah semata-mata menurunkan angka

kematian oleh karena kanker. Dengan semakin banyaknya permintaan untuk melakukan

screening kanker, para dokter seharusnya tahu bagaimana evaluasi terhadap evidence dari

masing-masing tes screening yang telah dilakukan saat ini sehingga dapat memberikan

penjelasan yang baik kepada masyarakat tentang manfaat dan risiko dari tes screening kanker

tersebut.

Dengan adanya kemajuan dibidang tehnologi dan biomolekuler, saat ini mulai

berkembang tehnik untuk mengidentifikasi gambaran ekspresi dari protein atau proteomic

profilling dengan tehnologi Microarray yang juga dapat dipakai sebagai metode screening

kanker dimasa yang akan datang.

Page 61: Referensi Block Clinical Oncology 2011

61

KEPUSTAKAAN

1. Jemal A, Murray T, Ward E, Samuels A, Tiwari RC, Ghafoor A, Thun MJ. Cancer Statistics, 2005. CA Cancer J Clin 2005;55:10-30.

2. Rimer BK, Schildkraut J. Cancer Screening. In: DeVita Jr VT, Hellman S, Rosenberg SA. Eds. Cancer Principles and Practice of Oncology. 5 th ed. Philadelphia. 1997. Lippincott-Raven Publishers; p619-63.

3. Meyskens Jr. FL. Cancer Prevention, Screening, and Early Detection. In: Abeloff MD, Armitage JO, Niederhuber JE, Kastan MB, McKenna WG, eds. Clinical Oncology. 2nd Ed. Philadelphia 2004. Elsevier Churchill Livingstone p;425-471.

4. Gates TJ. Screening for Cancer: Evaluating the Evidence. Am Fam Physician 2001;63:513-22.

5. Brawley OW, Kramer BS. Cancer Screening in Theory and in Practice. J Clin Oncol 2005;23:293-300.

6. Heath Jr. CW. Cancer Prevention. In: Holleb AI, Fink DJ, Murphy GP, eds. The American Cancer Society Textbook of Clinical Oncology . Atlanta, 1991. The American cancer Society Inc. 99-106.

7. Smith RA, Cokkinides V, Eyre HJ. American Cancer Society Guidelines for the Early Detection of Cancer, 2005. CA Cancer J Clin 2005;55:31-44

8. Darwis I. Upaya pencegahan dan deteksi dini kakner payudara. Dalam: Susworo HR. eds. Pencegahan dan deteksi dini kanker. Perhimpunan Onkologi Indonesia. Jakarta, 1996. Penerbit Universitas Indonesia.184-192.

9. Manuaba, Tjakra Wibawa. Screening pada Kanker. Basic Science in Oncology. Proyek Trigonum, Wonosari, September 1997

10. Sukardja IDG. Deteksi dini kanker. Onkologi Klinik. Edisi 2. Airlangga University Press. Surabaya 2000; 175-177.

11. Saslow D, Runowicz CD, Solomon D, Moscicki AB, Smith RA, Eyre HJ, Cohen C. American Cancer Society Guideline for the Ealy Detection of Cervical Neoplasia and Cancer. CA Cancer J Clin2002;52:342-362.

12. Smith RA, Saslow D, Sawyer KA, Burke w, Costanza ME, Evans III WP, Hendrick E, Foster RS, Eyre HJ, Sener S. American Cancer Society Guideline for Breast Cancer Screening: Update 2003. CA Cancer J Clin2003;53:141-169.

13. McDonald S, Saslow D, Alciati MH. Performance and Reporting of Clinical Breast Examination: A Review of the Literature. CA Cancer J Clin 2004;54:345-361.

14. Kosters JP, Gotzsche PC. Reguler Self-examination or Clinical Examination for early detection of Breast Cancer (Cochrane Review-abstract). The Cochrane Library, issue 1, 2005.

Page 62: Referensi Block Clinical Oncology 2011

62

15. Olsen O, Gotzsche PC.Screening for Breats Cancer with Mammography (Cochrane Review-abstract). The Cochrane Library issue 1, 2005.

16. Duffy Sw, Tobar L, Smith RA. The Mammographic Screening Trials: Commentary on Recent Work by Olsen and Gotzsche. CA Cancer J Clin 2002;52:68-71.

17. Lisby MD. Screening Mammography in Women 40-49 Years of Age. Am Fam Physician 2004;70:1-4.

18. Moss S, Thomas I, Evans A, Thomas B, Johns L. Randomised Controlled Trial of Mammographic Screening in Women from Age 40: Results of Screening in the first 10 years. British J Cancer 2005;92:949-954.

19. Moss S, Waller M, Anderson TJ, Cuckle H. Randomised Controlled Trial of Mammographic Screening in Women from Age 40:Predicted Mortality based on surrogate outcome measures. British J Cancer 2005;92:955-960.

20. Smith RA. Breast Cancer Screening among women younger than age 50: A current assessment of issues. CA Cancer J Clin 2000;50:312-336.

21. Towler BP, Irwig L, Glasziou P, Weller D, Kewenter J. Screening for Colorectal Cancer Using the Faecal Occult Blood Test, Hemoccult (Cochrane Review – abstract). The Cochrane Library, issue 1, 2005.

22. Levin B, Brooks D, Smith RA, Stone A. Emerging Technologies in Screening of Colorectal Cancer: CT Colonography, Immunochemical Occult Blood Test, and Stool Screening using Molecular Markers. CA Cancer J Clin 2003;53:44-55.

23. Smith RA, Von Eschenbach AC, Wender R, et al. American Canecr Society Guidelines for Early Detection of Cancer: Update of early detection guidelines for Colorectal, Prostat, and Endometrial Cancer. Also Update 2001 – Testing for Early Lung Cancer detection. CA Cancer J Clin 2001;51:38-75.

24. Manser RL, Irving LB, Stone C, Byrnes G, Abramson M, Campbell D. Screening for Lung Cancer (Cochrane Review – Abstract). The Cochrane Library, issue 1, 2005.

25. Chen Yen-Ching, Hunter DJ. Molecular Epidemiology of Cancer. CA Cancer J Clin 2005;55:45-54.

Page 63: Referensi Block Clinical Oncology 2011

63

LAMPIRAN 1:

Dari: Brawley OW, Kramer BS. Cancer Screening in Theory and in Practice. J Clin Oncol

2005;23:293-300.

Page 64: Referensi Block Clinical Oncology 2011

64

LAMPIRAN 2:

Dari: Gates TJ. Screening for Cancer: Evaluating the Evidence. Am Fam Physician

2001;63:513-22.

Page 65: Referensi Block Clinical Oncology 2011

65

DIAGNOSTIC PROCEDURE OF CANCER

Dr. Ketut Widiana, Sp.B(K)Onk

Sub Bagian Bedah Onkologi Bag/SMF Ilmu Bedah FK UNUD/RS Sanglah Denpasar

PENDAHULUAN

Penyakit kanker merupakan penyakit genetic / DNA dengan beragam dampak klinis dan

berbagai macam perubahan genetik dan kejadian molecular. Sel kanker atau sel neoplasma

ganas itu berasal dari sel tubuh sendiri (self cells) yang mengalami perubahan atau

transformasi sehingga betuk, sifat dan kenetikanya berubah dan kemudian tumbuh menjadi

autonom, liar, tidak terkendali dan lepas dari koordinasi pertumbuhan normal. (Sukardja,

2000, Taat Putra S, 2005). Pada tingkat genetik terdapat empat gen yang ikut terlibat dalam

perubahan prilaku tersebut antara lain : oncogene, tumor suppressor gene, DNA repair gene

dan apoptosis gene. Pada tingkat system maka immune surveillance merupakan system yang

dilumpuhkan oleh sel kanker sehingga sel kanker dalam perkembangan menjadi massa tumor

dan mampu bermetastasis. Perubahan prilaku sel kanker terjadi akibat perubahan mutasi dan

perubahan epigenetic (non mutation). Perilaku oncogene akan berpengaruh terhadap perilaku

sel dalam proses diferensiasi dan proliferasi. Sel kanker merupakan sel yang mengalami

gangguan diferensiasi dan secara terus menerus melakukan proliferasi sehingga organ yang

dibentuk tidak mengikuti aturan fisiologis. (Putra ST. 2005).

Di Negara barat penyakit kanker pada umumnya menjadi penyebab kematian nomor

dua setelah penyakit kardiovaskuler, sedangkan penyebab kematian yang tertinggi oleh

kanker adalah kanker paru dan kemudian menyusul kanker payudara. (Solorzano, et al. 2003;

Farrar, et al. 1994). Sejalan dengan perkembangan ilmu dan tehnologi di bidang kedokteran,

seperti penemuan dan kemampuan mempergunakan perangkat tehnologi seperti : Ultra

sonography, Mammography, Computed tomography Scan, Radionuclide Bone Scans,

Magnetic Resonance Imaging, PDG-PET Scan dan berbagai pemeriksaan laboratorium seperti

: Immunohistochemestry, Flourence In Situ Hybridoma, Polymerase Chain Reaction, Reverse

Transcriptase-PCR, dan microarry. Dari semua ini, penanganan kasus kanker menjadi lebih

baik, baik dari segi secreening, diagnose dini, stadium, perencanaan terapi, implementasi

terapi dan evaluasi / follow-up penyakit dapat dikerjakan lebih akurat sehingga disease free

survival/DFS dan overalsurvival rate / OS menjadi lebih baik.

Sel kanker merupakan self cell yang memiliki berbagai macam sifat dan perilaku

diantaranya : heterogenitas, tumbuh autonom, mendesak dan merusak sekitarnya, dapat

Page 66: Referensi Block Clinical Oncology 2011

66

bergerak sendiri (amoeboid), tidak mengenal koordinasi, tidak menjalankan fungsi yang

normal, tumbuh tampa batas (immortal) dan kemampuan metastasis baik bersifat lokal,

regional maupun metastasis jauh. (Sukardja, 2000). Sel kanker dapat melakukan metastasis,

artinya berada dan tumbuh di tempat lain yang tidak berhubungan secara langsung dengan

tempat sel kanker. Ada tiga faktor yang menentukan metastasis, yaitu heterogenitas,

antigenetik sel kanker dan kualitas ketahanan tubuh terhadap sel kanker. Sel kanker dapat

menyebar melalui system pembuluh limpe dan system pembuluh darah.

Beberapa teori mencoba menjelaskan mekanisme terjadinya metastasis sel kanker

adalah pendapat Paget (1887) dengan hipotesis seed and soil, menyatakan bahwa ekologi

mikro organ atau jaringan(soil) memepengaruhi metastasis sel kanker (seeds), pendapat

Ewing (1928) metastasis di pengaruhi oleh faktor mekanik, misalnya anatomi dan

hemodinamika system vaskuler dan pendapat Kinsley (1960), yang mengatakan bahwa pola

sebar dan pola tumbuh sel kanker terjadi karena pengaruh kemampuan sel kanker tersebut dan

pendapat ini di dukung oleh Sugarbaker (1972) (Taat Putra. S, 2005). Kanker cendrungan

memiliki target organ metastasis yang berbeda satu dengan yang lain dan itu tergatung pada

perilaku sel kanker (behaviour of the cancer cells) dan ekologi mikro organ atau jaringan

(microenvironments).

DIAGNOSIS

Penegakan diagnosis kanker adalah suatu usaha untuk mengidentifikasi jenis kanker yang

diderita dengan cara pemeriksaan tertentu secara lage artis dan hal ini merupakan salah satu

dari prinsip penanganan kasus - kasus kanker secara umum, disamping penentuan suatu

stadium penyakit, penentuan status penampilan penderita / performance status penderita,

perencanaan terapi, implementasi terapi dan evaluasi atau follow-up. Prosedur diagnostik

kasus-kasus kanker umumnya dipergunakan ”triple diagnostic” antara lain : pemeriksaan

klinis, pemeriksaan radiologi / imaging oncology dan pemeriksaan histopatologi.

Pada pemeriksaan klinis dilakukan dengan cara anamnesis dan pemeriksaan fisik

seperti : insfeksi, palpasi, auskultasi, perkusi, toucher dan transilluminasi. Pemeriksaan klinis

ini sangat penting, karena dari pemeriksaan inilah ditentukan apakah ada atau tidak dugaan

penderita menderita kanker yang menentukan perlu tidaknya pemeriksaan lebih lanjut.

Anamnesis yang cermat dan terarah tentang keluhan utama, lokasi tumor, onset terjadinya

keluhan, kwalitas keluhan, kwantitas keluhan, kronologi dari penyakit, ada tidaknya faktor-

faktor yang memperberat dan memperingan, adanya riwayat keluarga dan adanya faktor-

faktor resiko lainnya harus dikerjakan dengan baik dan teliti. Pada pemeriksaan fisik harus di

Page 67: Referensi Block Clinical Oncology 2011

67

ungkap tentang keadaan umum penderita seperti tensi, nadi, temperatur tubuh dan sekaligus

menilai status penampilan / performance status. Status lokalis yang penting dinilai dengan

baik seperti adanya plaque, tumor atau ulkus yang dalam proses pertumbuhannya progresif,

adanya tanda-tanda hipervaskular atau ada gambaran neovaskularisasi, rapuh dan mudah

berdarah, menunjukan adanya tanda-tanda infiltrasi serta adanya tanda-tanda metastasis.

Status regional untuk menentukan adanya penyebaran disekitar organ seperti pada kanker

payudara perlu dinilai adanya penyebaran tumor ke kelenjar getah bening aksila,

supraclavikula dan kelenjar getah bening mamaria interna dan pada kanker kulit seperti

melanoma maligna yang mengenai daerah akral ektremitas bawah tentu diamati adanya

penyebaran tumor ke kelenjar getah bening sepanjang tungkai dengan basin-basin tertentu

seperti daerah poplitea dan inguinal dan begitu pula dengan tumor-tumor yang lainnya.

Pemeriksaan radiologi / imaging onkologi sebagai bagaian alat diagnosis dapat juga

sebagai alat untuk menentukan stadium tumor. Imaging onkologi ini dapat memberikan

informasi tentang lokasi tumor, tanda-tanda keganasan, adanya implikasi tumor terhadap

organ sekitarnya serta tanda-tanda yang menunjukan adanya metastasis pada organ-organ

jauh. Imaging onkologi yang dapat dikerjakan dari yang paling sederhana sampai yang paling

canggih seperti X-foto polos (tanpa persiapan atau tanpa kontras) abdomen, thorak,

muskuloskletal, USG, mammografi dan lain-lainnya dapat menentukan adanya lesi atau

pendesakan tumor terhadap struktur organ sekitarnya bahkan dapat menentukan suatu lesi

metastasis organ jauh. Mammografi sampai saat ini di dunia dipakai sebagai alat skrining

pada keganasan payudara disamping sebagai alat diagnostik dan staging. Imaging lain yang

mempergunakan kontras atau mempergunakan fiberendoskop untuk menentukan lesi-lesi

tumor yang letaknya lebih dalam/profundus antara lain : UGI radiografi (oesophagografi,

gastrografi dan barium intake follow-through) : yang bertujuan untuk menentukan adanya

lesi-lesi pada saluran pencernaan bagian atas, barium enema / barium in-loop : untuk lesi-lesi

pada daerah kolo-rektal, intra venous pyelografi / IVP : untuk melihat adanya lesi tumor pada

kidney ureter bladder/KUB System, bronchografi : untuk mendeteksi adanya lesi tumor pada

organ bronchus dan paru, gastro-duodenoskopi : untuk menentukan adanya lesi tumor pada

daerah oesophagus, gaster dan duodenum, kolonoskopi : untuk tumor didaerah rekto-sigmoid-

colon, kistoskopi : untuk tumor di buli-buli, angiografi : untuk menilai vaskularisasi tumor

dan alat yang lebih canggih lagi seperti CT. Scan : untuk tumor intracranian, intrthorakal,

intraabdominal, adanya invasi tumor pada organ sekitar dan dapat menentukan adanya

penyebaran tumor ke kelenjar getah bening hampir dapat mendeteksi seluruh tubuh, magnetic

resonance imaging / MRI : mampu mendeteksi adananya lesi tumor pada jaringan lunak

Page 68: Referensi Block Clinical Oncology 2011

68

dengan memberikan hasil yang lebih akurat karena mempunyai kemampuan tiga demensi

sehingga mampu membedakan jaringan lunak dengan jaringan tumor beserta struktur lain

disekitarnya dan PDG- PET Scan : untuk menentukan lesi tumor primer atau lesi metastasis

yang relatif lebih kecil dan hampir seluruh tubuh.

Pemeriksaan histopatologi adalah pemeriksaan tentang morfologi tumor baik

makroskopi maupun mikroskopi untuk memastikan bahwa tumor tersebut suatu malignant.

Berbagai cara mendapatkan bahan untuk pemeriksaan patologi antara lain : biopsi insisi :

yaitu pengambilan bahan dengan cara mengangkat sebagian kecil dari tumor, biopsi eksisi :

pengambilan bahan dengan cara mengangkat tumor beserta jaringan sehat sekitarnya, cara ini

dilakukan untuk tumor-tumor dengan ukuran yang lebih kecil, biopsi cakot (punch biopsy) :

pengambilan bahan dengan cara ini mempergunakan tang aligator jaringan dicakot atau

digigit untuk mendapatkan bahan jaringan, biopsi truncut : jaringan tumor di tusuk dengan

alat biopsi khusus berbentuk jarum besar yang dapat memotong dan mengambil jaringan,

biopsi kerokan (curratage) : dengan melakukan kerokan pada tumor sampai mendapatkan

bahan jaringan, biopsi jarum halus (FNA) : tumor di tusuk dengan jarum dengan nomor 23

dan diaspirasi dengan spuit 10 cc sampai jaringan tumor lepas dan masuk kedalam jarum,

biopsi jarum besar: dengan mempergunakan jarum nomor 18 atau jarum Jamshidi, biopsi

jarum khusus: dengan mempergunakan jarum Vin silverman yang dapat mengambil

sekaligus jaringan tumor dan biopsi endoskopi: memakai alat khusus untuk mengambil

bahan sitologi. Kemudian bahan-bahan ini dilakukan pemeriksaan histologi atau sitologi

untuk dapat memastikan tumor itu malignat dan mengetahui jenis morfologinya beserta

perilaku atau sifat-sifat dari sel tumor. Berdasarkan ”triple diagnostic” diatas maka suatu

tumor dapat ditentukan bahwa tumor tersebut malignant beserta stadiumnya sehingga

perencanaan terapi, implementasi terapi dan evaluasi/follow-up dapat dilakukan dengan baik

dan outcome terapi menjadi lebih baik.

KESIMPULAN

Dasar-dasar penegakan diagnose suatu tumor pada prinsipnya sama hanya saja penggunaan

imaging onkologi sangat tergantung situasi dan kondisi dari pada tumor. Deteksi dini suatu

tumor sangat tergantung pada pengetahuan serta pemahaman seseorang terhadap tumor baik

itu penderita, pelaku medis dan masyarakat secara umum, sehingga penderita tumor tidak

terjadi datang terlambat dan hasil akhir dari pada deteksi dini dapat memberikan harapan

penyembuhan kanker dengan prima. ”Education is the strongest weapon to against cancer”.

Page 69: Referensi Block Clinical Oncology 2011

69

KEPUSTAKAAN

Anonime. 2003; Protokol Penatalaksanaan Tumor / Kanker.; Protokol PERABOI.; Editor;

Albar ZA, Tjindarbumi D, Ramli M, Lukitto P, Reksoprawiro S, Handoyo D, Darwis

I, Suardi DR, Achmad D; Hal. 2 – 100.

Barnett CC, Sussman JJ, Gershenwald JE. 2003; Melanoma., The M.D.Anderson Sugical

Oncology Handbook.3th edition.,Editor; Feig BW, Berger DH, Fuhrman GM.,

Lippincott William & wilkins. Page 41-108.

Beart RW. 1991; Colorectal Cancer., American Cancer Society Texbook of Clinical

Oncology. Editor; Holleb HI, Fink DJ, Murphy GP. PHAGE 213-217.

Brennan MF, Lewis JJ. 2002; Clinical features, diagnosis and extent of disease evaluation.;

Diagnosis and Management of Soft Tissue Sarcoma.Ed. Martin Dunitz. Page. 56 - 65

Farrar WB, LaValle GJ, Kim JA. 1994; Breast Cancer. Cancer Surgery., Editor McKenna RJ,

Murphy GP, Lippincott JP. Philadelphia. Page 209-254.

Putra. ST. 2005; Patobiologi Kanker., Basic Science of Oncology; Petemuan Ilmiah Berkala

Proyek Trigonum plus XVIII., Hotel Hilton Surabaya. Page 58. Protokol

Sukardja DG. 2000; Diagnosis Kanker.;Onkologi Klinik. Edisi 2, Airlangga University

Press.Hal. 103 – 207.

Solorzano CC, Ahearne PM, Leach SD. 2003; Invasive Breast Cancre. The M.D. Anderson

Surgical Oncology Handbook; 3th Edition, Editor; Fieg BW, Berger DH, Fuhrman

GM. Lippincott Williams & Wilkins. Page 14-28.

Page 70: Referensi Block Clinical Oncology 2011

70

PRINCIPLES MANAGEMENT OF CANCER

MANAGEMEN KOMPREHENSIF PENDERITA KANKER

Prof. DR. Dr. I.B. Tjakra Wibawa Manuaba, MPH, Sp.B(K)Onk

Sub Bagian Bedah Onkologi Bag/SMF Ilmu Bedah FK UNUD/RS Sanglah Denpasar

PENDAHULUAN

Kanker atau penyakit keganasan merupakan penyakit yang dimulai dengan kerusakan DNA,

diikuti oleh gangguan replikasi sel yang menjadi lebih cepat, tidak terkontrol, adanya ketidak

stabilan genom sehingga mutasi berjalan terus, kerusakan mekanisme perbaikan DNA (yang

rusak), gangguan mekanisme apoptosis, yang sebagai akibatnya terjadi pertumbuhan jaringan

baru yang lebih cepat dari sel asalnya, dan tidak dapat dikontrol oleh tubuh. Dengan kata lain,

sel kanker tumbuh dari satu sel yang mengalami kerusakan DNA, yang terus bertambah mulai

dari sel monoklonal dan akhirnya menjadi pleiomorfik dan heterogen.

Jaringan kanker yang heterogen tersebut, merupakan kunci kegagalan terapi sistemik,

oleh karena sel kanker menjadi bermacam bentuk dan beraneka ragam kemampuannya.

Bermacam klonal sel ini, juga mempunyai sensitifitas dan resistensi yang berbeda terhadap

modalitas terapi tertentu seperti kemoterapi, terapi hormonal, radioterapi. Tumor dengan

ukuran kecil diharapkan masih monoklonal dan diharapkan lebih peka dengan pengobatan

sistemik. Demikian juga tumor yang masih kecil mempunyai vaskularisasi yang baik dan

metabolisme tumor masih aktif, sehingga penetrasi obat lebih baik, dan kerja obat menjadi

lebih baik. Sehingga salah satu kunci kesuksesan terapi sitemik ataupun radioterapi adalah

deteksi dini kanker.

Terapi yang terencana dengan baik sejak awal diagnosis ditegakan akan memberikan

hasil lebih baik dibandingkan pengobatan tanpa rencana. Harapan sembuh seorang penderita

kanker adalah pada usaha pengobatan atau pembedahan pertama yang adekuat. Terjadinya

rekurensi setelah pengobatan akan menurunkan harapan sembuh ataupun perpanjangan hidup

penderita. Oleh karena itu langkah managemen onkologi menjadi program mutlak ”conditio

sine quanon” yang harus dilaksanakan oleh semua dokter yang aktif memberikan terapi

terhadap kanker.

Page 71: Referensi Block Clinical Oncology 2011

71

MANAGEMEN KANKER (Rosenberg, et al., 2005)

1. Diagnosis

Diagnosis harus dimulai dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik dan lengkap.

Dimulai dengan mencari faktor resiko, adanya faktor keluarga, sampai dengan

pemeriksaan fisik yang lengkap mengenai tumor primer dan kemungkinan adanya

metastasis baik regional maupun jauh. Pemeriksaan klinis biasanya diikuti oleh

pemeriksaan imaging (oncologic imaging), yang untuk jenis kanker tertentu mempunyai

imaging dasar yang berbeda-beda. Misalnya karsinoma mama, dengan menggunakan

mamografi, sarkoma dengan menggunakan Magnetic Resonance Imaging/ MRI,

karsinoma paru dengan foto paru ataupun CT scan.

Tahapan terpenting dari diagnosis adalah mendapatkan sampel jaringan untuk

pemeriksaan patologi ataupun sitologi. Mengambil sampel jaringan disebut sebagai biopsi.

Biopsi dapat dilaksanakan dengan jarum halus (FNA/B: Fine Needle Aspiration/ Biopsy)

untuk pemeriksaan sitologi, biopsi dengan jarum besar core biopsy, untuk pemeriksaan

histopatologi, dan biopsi terbuka atau pembedahan dimana jaringan tumor diambil

sebagian kecil untuk diperiksa. Pada tumor yang kecil (<2-3 cm) seluruh jaringan tumor

dan jaringan sehat sekitarnya diangkat yang selain bersifat diagnostik juga terapeutik.

Terapi apapun sifatnya, tidak dimulai sebelum diagnosis sitologi ataupun histopatologi

pasti dapat ditegakan. Pemeriksaan patologi juga merupakan pemeriksaan yang

berjenjang, mulai dengan pengecatan konvensional H&E, pengecatan khusus untuk

mengecat komponen jaringan tertentu, pengecatan khusus dengan menggunakan antibodi

monoklonal, pemeriksaan mikroskop elektron, dan pemeriksaan genetik (cytogenetics).

Selain diagnosis patologi, perlu dicatat untuk kepentingan registrasi adalah organ

asal tumor (tumor site) yang sering dilupakan. Asal tumor sering sulit ditentukan pada

tumor yang sudah lanjut dan menginvasi organ-organ disekitarnya.

2. Stadium Tumor

Setelah diagnosis ditegakan, maka sebagai langkah selanjutnya adalah menentukan

stadium tumor. Stadium tumor ditentukan menurut sistem yang telah baku yaitu sistem

TNM (T= tumor; N= Nodes; M= Metastasis), baik menurut AJCC (American Joint

Committee on Cancer Staging and End Results reporting) ataupun menurut versi Eropah

yaitu UICC (Union Internationale Contre Le Cancer). Setelah masing-masing komponen

stadium dapat ditegakan, dapat dilakukan regrouping, untuk menentukan stadium klinis.

Page 72: Referensi Block Clinical Oncology 2011

72

Beberapa grup untuk beberapa jenis kanker tertentu, sering mengajukan sistem

stadium yang berbeda seperti grup untuk karsinoma gaster, grup untuk limfoma, dan

sebagainya.

Stadium yang di catat, selain stadium klinis (stadium inisial), juga dicatat stadium

pasca bedah ataupun stadium patologis. Untuk beberapa keganasan selain TNM juga perlu

dicatat stadium Grading sehingga menjadi GTNM. Selain stadium klinis, bedah dan

patologi, juga dikenal adanya stadium rekurensi tumor ataupun stadium reseksi tumor (R0,

R1, R2).

Pemeriksaan untuk menentukan stadium tumor berbeda-beda sesuai dengan

keganasan primernya dan seyogyanya diperiksa untuk memenuhi persyaratan.

Pemeriksaan penentuan stadium juga berubah-ubah sesuai dengan stadium T ataupun N

nya. Jika pemeriksaan stadium misalnya stadium M tidak memenuhi persyaratan, maka

stadium M dikatakan sebagai stadium Mx.

Pada beberapa tahun terakhir dengan semakin berkembangnya ilmu biologi tumor,

dimana diketemukan adanya protein-protein tertentu yang memegang peranan penting

dalam pertumbuhan tumor seperti growth factors, steroid receptors, maka sistem TNM

disesuaikan dengan adanya ekspresi protein tersebut.

3. Performance Status

Setelah diagnosis dan stadium ditegakan, maka kondisi umum penderita harus ditentukan

berdasarkan pada sistem skoring. Sistem skoring berbeda-beda, ada yang menganut pada

sistem Karnofsky, WHO, ECOG dan sebagainya. Sebagai contoh sistem skoring menurut

Karnofsky, didapatkan skor mulai 100 (normal) samnpai 0 (pasien meninggal).

Dengan menentukan skoring pasien, maka dapat dievaluasi prognosis pasien,

ketahanan pasien untuk menerima salah satu modalitas pengobatan, ataupun mengevaluasi

apakah stadium yang diketemukan sesuai dengan keadaan klinis penderita. Sebagai contoh

pasien dengan Karnofsky Score 60, merupakan kontraindikasi (relatif) untuk pemberian

suatu kemoterapi.

4. Perencanaan Terapi

Setelah diagnosis dan stadium ditentukan, maka perlu direncanakan pola ataupun urutan

pengobatan penderita. Terapi disusun sesuai dengan rencana pengobatan; modalitas apa

yang menjadi terapi utama, dan modalitas lain yang menjadi terapi tambahan.

Page 73: Referensi Block Clinical Oncology 2011

73

Pada keganasan solid yang masih awal, maka pembedahan merupakan modalitas

utama, sedangkan pada keganasan lanjut, maka perlu diberikan terapi neo-adjuvant baik

berupa kemoterapi ataupun radiasi untuk mengecilkan ukuran tumor, dan memudahkan

pembedahan. Terapi tambahan pasca pembedahan disebut sebagai adjuvant therapy,

dengan tujuan untuk mengeradikasi sisa tumor. Perencanaan pengobatan ini penting, dan

harus di timbang keuntungan dan kerugiannya jika suatu modalitas terapi tertentu

diberikan sebelum yang lain dan sebaliknya.

5. Implementasi Terapi

Setelah perencanaan terapi, maka implementasi terapi dan urutan terapi diberlakukan

sesuai dengan rencana yang disepakati. Perubahan modalitas pengobatan harus

dibicarakan kembali, agar semua perubahan dapat dicatat dan di follow up. Pertemuan-

pertemuan untuk membicarakan pasien dengan keganasan harus rutin dilaksanakan dan

dievaluasi (ad. 5) agar semua pihak yang terkait akan turut aktif didalam pengobatan

penderita.

6. Evaluasi

Evaluasi tentang stadium (misalnya stadium berbeda pasca bedah), pemberian terapi,

respon terhadap pengobatan kemoterapi atau radiasi dan perubahan modalitas terapi,

selalu di evaluasi secara teratur. Demikian juga adanya rencana merubah modalitas

pengobatan dan sebagainya harus tetap di evaluasi dan dicatat. Sehingga rekord medis

pasien tetap dapat diikuti dengan baik dan akurat.

MODALITAS BEDAH PADA MANAGEMEN KANKER (SURGICAL ONCOLOGY)

Peran bedah pada managemen kanker telah dikenal sejak masa Hipocrates, dimulai dari tujuan

diagnostik, staging sampai pada rekonstruksi defek akibat pembedahan sebelumnya.

Peran pembedahan pada managemen kanker adalah :

1. BIOPSI, yaitu suatu pembedahan untuk mengambil sampel jaringan guna pemeriksaan

patologi. Teknik biopsi lain adalah biopsi dengan jarum halus (FNA/B = Fine Needle

Aspiration/ Biopsy) untuk pemeriksaan sitologi ataupun biopsi jarum besar (core

biopsy)untuk pemeriksaan histopatologi.

2. PEMBEDAHAN UNTUK TUJUAN STAGING. Pembedahan untuk tujuan staging. Pada

masa sebelum adanya CT Scan. MRI ataupun radioaktif scanning, penentuan staging

keganasan tertentu seperti limfoma Hodgkin dan non Hodgkin, adalah dengan melakukan

Page 74: Referensi Block Clinical Oncology 2011

74

laparotomi dan biopsi kelenjar getah bening atau organ limfatik didalam abdomen.

Dengan adanya peralatan imaging seperti diatas, maka laparotomi staging jarang

dikerjakan.

3. PEMBEDAHAN DEFINITIF. Pembedahan untuk tujuan terapi definitif merupakan

modalitas pengobatan utama pada kanker solid. Pembedahan sebagai terapi utama dengan

tujuan kuratif, harus disesuaikan dengan stadium tumor. Pada umumnya pembedahan

akan memberikan hasil terbaik jika dilakukan pada stadium awal (stadium I dan II).

Sedangkan pembedahan pada stadium lanjut, sering menimbulkan rekurensi dan

metastasis jauh. Pada stadium yang lanjut pembedahan hanya bertujuan paliatif dan harus

didahului oleh modalitas pengobatan lain (neo-adjuvant therapy) seperti kemoterapi,

radiasi, untuk menurunkan stadium dan terutama mengecilkan ukuran tumor. Sebagai

contoh terapi definitif pembedahan antara lain: mastektomi, hemokolektomi, tiroidektomi,

amputasi pada sarkoma, operasi comando.

4. DEBULKING SURGERY, adalah pembedahan dengan tujuan mengecilkan volume tumor,

sehingga modalitas pengobatan lain dapat lebih efektif. Pembedahan dengan tujuan

mengecilkan volume tumor dapat dilakukan, hanya jika tersedia modalitas lain yang

efektif terhadap jenis keganasan tersebut. Di masa lalu dilakukan pada karsinoma ovarii

dan tumor/ limfoma Burkitt. Pada masa sekarang pembedahan debulking tidak dianjurkan

karena menyebabkan terjadinya perubahan vaskulatur/ pembuluh darah, hipoksia jaringan,

metabolisme anaerob, acidosis yang mengurangi efektifitas kemoterapi ataupun

radioterapi.

5. PEMBEDAHAN PROFILAKTIS. Pembedahan profilaktis adalah pembedahan yang

dilakukan pada lesi pre kanker (belum terjadi kanker), dengan harapan pada pasien

tersebut dikemudian hari tidak terjadi kanker. Untuk melakukan pembedahan profilaktis,

harus dipahami perjalanan alamiah suatu tumor ganas, lesi pra kanker, dan tingginya

penetrans rate. Penetrans, ialah besarnya kemungkinan suatu kelainan genetik bawaan

untuk berubah menjadi kanker dikemudian hari. Sebagai contoh pembedahan profilaktis

adalah orkhidektomi pada un-descensus testikulorum pada orang dewasa/ tua, kolektomi

total pada FAP (Familial Adenomatous Polyposis) atau HNPCC (Heriditary Non

Polyposis Colonic Cancer), mastektomi dan atau ovariektomi pada wanita dengan mutasi

pada gen brca-1 dan brca-2 (Rosenberg, et al., 2005).

6. PEMBEDAHAN TERHADAP METASTASIS. Metastasis single (solitary), baik pada

paru-paru ataupun liver merupakan indikasi pembedahan (metastasectomy), terutama jika

tumor primer dapat dikontrol dengan baik, dan tidak diketemukan adanya penyebaran

Page 75: Referensi Block Clinical Oncology 2011

75

tumor ditempat lain. Sebagai contoh metastasis tunggal pada paru dari sarkoma jaringan

lunak, jika dilakukan pembedahan maka diperkirakan 20% akan hidup lebih dari 5 tahun

(Muffat, et al., 1994)

7. PEMBEDAHAN REKONSTRUKSI (ONCOPLASTY). Pembedahan definitif suatu tumor

ganas seringkali meningggalkan defek luas jaringan, yang memerlukan tindakan

rekonstruksi untuk menutup defek tersebut. Oleh karena itu para ahli bedah yang

melakukan eksisi luas suatu tumor ganas, dituntut untuk mampu melakukan rekonstruksi

dan menutup dengan baik defek yang ditinggalkan. Tanpa kemampuan melakukan

rekonstruksi seorang ahli bedah terutama ahli bedah onkologi, akan mempunyai keragu-

raguan akan seberapa luas eksisi suatu tumor ganas harus dilakukan, dan seringkali

mengakibatkan tidak adekuatnya eksisi tumor tersebut. Dengan semakin berkembangnya

ilmu bedah onkologi, maka ilmu bedah onkologi tidak lagi merupakan bidang yang

disease oriented, melainkan menjadi suatu keahlian yang semakin dalam yaitu menjadi

bidang yang organ oriented. Hal ini nantinya akan menciptakan organs oriented

surgeons, seperti antara lain Breast Surgeons, Colo-Rectal Surgeons, Head & Neck

Surgeons, yang mempunyai kompetensi tidak saja melakukan eksisi luas suatu tumor

tetapi juga mempunyai kemampuan rekonstruksi. Seorang Breast Surgeon, harus

mempunyai kompetensi yang komprehensif, yaitu tidak saja mampu melakukan skrining,

pendidikan masyarakat, pembedahan karsinoma mama dengan baik, tetapi juga mampu

melakukan rekonstruksi payudara (oncoplasty) yang secara kosmetik baik.

8. PEMBEDAHAN TERHADAP KEDARURATAN ONKOLOGI. Pembedahan terhadap

kedaruratan onkologi biasanya ditujukan pada perdarahan tumor, adanya obstruksi jalan

nafas, obstruksi usus, absces, pneumotoraks & hematotoraks, vena cave superior

syndrome dengan obstruksi jalan nafas, ascites yang masif, kompresi spinal cord,

perdarahan usus, retensi urin dan sebagainya. Pada dasarnya pembedahan pada

kedaruratan onkologi lebih sering bersifat paliatif dan suportif yang bertujuan untuk

menyelamatkan jiwa penderita dan memperbaiki kualitas hidup.

9. PEMBEDAHAN UNTUK MENDAPATKAN VASCULAR ACCESS. Pembedahan ini

bertujuan untuk menempatkan suatu devices (chemoport), double lumen catheter, ataupun

vein graft, sebagai alat untuk dapat memasukan kemoterapi. Pasien dengan pemberian

kemoterapi khronis (therapeutic chemotherapy) setelah sekian lama mendapatkan

kemoterapi sistemik, akan mengalami kesulitan untuk mendapatkan vena yang masih

baik. Pada penderita dengan kondisi diatas, pemasangan vascular access, sejak awal harus

di lakukan (Raat, et al., 1994)

Page 76: Referensi Block Clinical Oncology 2011

76

TEKNIK PEMBEDAHAN

Pembedahan terhadap suatu tumor ganas/ kanker, harus direncanakan dengan baik, dilakukan

secara hati-hati dan dengan ketelitian yang tinggi, tajam dan tidak banyak melakukan

manipulasi jaringan tumor (meticulous surgery). Pembedahan harus berupa eksisi luas, artinya

menyertakan jaringan sehat disekitar tumor. You will never see the actual tumor, oleh karena

terbungkus baik oleh jaringan normal. Landmarks pembedahan harus menjadi panduan dari

suatu cleavage plain pembedahan, termasuk struktur anatomi yang harus diidentifikasi,

dipertahankan, ataupun dikorbankan. ”You preserve what you have to preserve, you cut what

you see and you see what you cut”. Dalam teknik pembedahan tumor tidak dijumpai suatu

“whoopla surgery”, atau melakukan pembedahan tumor yang diperkirakan jinak, ternyata

ganas.

Pembedahan harus sesuai dengan diagnosis, stadium kanker, dan lokasi kanker.

Pembedahan dengan tujuan kuratif, sebaiknya dilakukan satu kali, karena rekurensi yang

terjadi setelah suatu pembedahan mempunyai prognosis yang buruk.

MODALITAS RADIOTERAPI

Radioterapi dapat terdiri dari energi elektron, photon, proton & neutron ataupun sinar gamma,

yang mempunyai dasar yang sama yaitu meng-ionisasi sel atau DNA dari sel. Radioterapi

merupakan modalitas terapi yang efektif terhadap kontrol lokal dan regional. Bahkan pada

beberapa tumor solid tertentu, oleh karena lokasinya jauh didalam, maka radioterapi

merupakan modalitas utama. Radioterapi dapat diberikan sebelum pembedahan disebut

sebagai neo-adjuvant radiation therapy, dan dapat diberikan sesudah pembedahan disebut

sebagai adjuvant therapy. Radioterapi juga dapat diberikan dengan kombinasi kemoterapi.

Dalam hal kombinasi dengan kemoterapi, maka efek kemoterapi dapat sebagi

photosensitisizer (sinergistik dengan sinar dan saling menguatkan) ataupun diberikan dengan

harapan selain bekerja sinergistik, juga bekerja efektif sendiri-sendiri terhadap tumor tersebut

(concomitant therapy). Terapi concomitant ini misalnya dilakukan pada kanker rongga mulut

lanjut dengan hasil yang cukup baik meskipun mempunyai toksisitas yang cukup tinggi (Suit,

et al., 2001). Pemberian radioterapi dapat eksternal, yaitu sumber energi berada diluar tubuh

(telethrapy), dan internal (brachytherapy), dimana radioterapi internal, sumber penyinaran

dimasukan kedalam tubuh, baik melalui intravena, oral (bahan radioaktif), intracavitary, atau

didalam jaringan tubuh (interstitial).

Prinsip dasar dari radioterapi adalah mengadakan ionisasi DNA baik secara langsung

ataupun tidak langsung melalui produksi free radicals. Kerusakan DNA tersebut jika tidak

Page 77: Referensi Block Clinical Oncology 2011

77

dapat diperbaiki, akan menyebabkan kematian sel (apoptosis). Diketahui bahwa kemampuan

sel kanker untuk memperbaiki DNA juga terganggu, sehingga sel kanker dapat mengalami

apoptosis (sebagian kecil), ataupun bertahan dengan kerusakan DNA dan tetap bersiklus dan

ber-replikasi (sebagian besar) (Manuaba, 2006).

Kontroversi pemberian radioterapi pre and post operatif adalah: pemberian radioterapi

preoperatif teoritis memberikan hasil yang lebih baik, oleh karena adanya jaringan tumor yang

masih utuh, vaskularisasi yang lebih baik, belum didapatkan hipoksia yang berarti.

Kerugiannya adalah terbatasnya dosis pemberian radioterapi neo-adjuvant, untuk mencegah

terjadinya komplikasi pasca bedah. Pemberian radioterapi pasca bedah (adjuvant), sebaliknya

menimbulkan telah terjadinya jaringan parut, hipoksia jaringan, vaskulatur pembuluh darah

yang telah rusak, dan PH yang turun, akan menyebabkan terjadinya respon yang kurang

terhadap radioterapi (Connel, et al., 2005)

MODALITAS TERAPI SISTEMIK

Terapi sistemik terutama bertujuan untuk mengeradikasi metastasis jauh, disamping juga

membunuh sel-sel kanker yang ter”cecer” selama pembedahan. Pada sebagian kanker solid,

diperkirakan telah terjadi mikrometastasis pada saat diagnosis tumor primer ditegakan, yang

tidak dapat dibuktikan dengan pemeriksaan imaging yang ada saat ini. Positron Emission

Tomography Scaning (PET Scan), merupakan teknologi canggih kedokteran yang saat ini

sangat baik untuk mendeteksi rekurensi karsinoma kolo-rektal meskipun dalam ukuran yang

masih kecil, oleh karena PET Scan selain mendeteksi perubahan morfologi anatomi, juga

mampu mendeteksi adanya kelainan metabolisme (gula) pada tumor. Atas dasar tersebut

maka pemberikan terapi sistemik merupakan indikasi untuk diberikan, baik sebelum (neo-

adjuvant therapy), maupun sesudah pembedahan (adjuvant Therapy).

Kemoterapi sistemik saat ini merupakan terapi tambahan yang rutin diberikan pada

hampir semua keganasan solid. Indikasi pemberian tidak lagi berdasarkan pada stadium

tumor, tetapi juga pada marker tumor yang menunjukan derajat keganasan ataupun ke

agresifan suatu tumor (high risk cancers). Diberikan sebelum pembedahan pada kanker

stadium lanjut lokal (belum terlihat metastasis jauh) dengan tujuan untuk mengecilkan atau

menurunkan stadium tumor. Dan diberikan sesudah pembedahan pada kanker stadium yang

lebih awal, jika menunjukan keagresifan yang tinggi, misalnya ada penyebaran pada kelenjar

getah bening, adanya grading tumor yang tinggi, dan adanya marker protein yang

menunjukan prognosis yang buruk, atau adanya marker faktor prediktor untuk salah satu

modalitas pengobatan. Kemoterapi pada umnmnya berkerja pada sel kanker yang aktif

Page 78: Referensi Block Clinical Oncology 2011

78

bersiklus, terutama pada fase S (sintesa DNA) dan fase M (mitosis/ replikasi). Sel kanker

pada fase istirahat G0, pada umumnya resisten terhadap pemberian kemoterapi. Demikian

juga sel kanker yang memproduksi protein tertentu seperti HER-2, BCL-2, P53, biasanya

menunjukan resistensi terhadap pemberian kemoterapi. Pada umumnya kemoterapi bekerja

menginduksi apoptosis dari sel kanker, dan diharapkan jika mekanisme apoptosis berjalan

normal, maka sel kanker akan sensitif terhadap pemberian kemoterapi (Smith & Chabner,

2001; Manuaba, 2006)

Jenis sistemik terapi yang lain adalah terapi hormonal, yang biasanya diberikan pada

jenis keganasan tertentu yang pertumbuhannya tergantung pada satu atau dua jenis hormon

tertentu. Misalnya karsinoma mama, pertumbuhannya tergantung pada hormon estrogen,

sehingga terapi hormonal terhadap karsinoma mama, bertujuan untuk mengurangi pengaruh

hormon estrogen tersebut terhadap tumor. Jenis kanker lain yang pertumbuhannya juga

diperngaruhi oleh hormon yaitu karsinoma prostat (testosteron), karsinoma tiroid (TSH).

Terapi hormon pada umumnya bersifat aditif yaitu memblok reseptor tertentu (competitive

inhibitors), menetralisir hormon tersebut atau ensim yang mengtransformasi hormon tersebut,

menghambat produksi hormon tersebut. Terapi hormon dapat juga bersifat ablatif, aertinya

organ yang memproduksi hormon tersebut di hilangkan, baik secara bedah, radiasi, ataupun

dengan obat-obatan.

Terapi sistemik yang terbaru adalah bertujuan memblok protein-protein novel

(molecular targeting therapy), yang berperan terhadap pertumbuhan tumor, invasi dan

metastasis kanker. Protein-protein tersebut antara lain growth factors atau reseptornya, ensim

proteases yang memungkinkan migrasi sel kanker, dan anti VEGF ) atau anti angiogenesis,

yaitu menghentikan proliferasi endotel yang dapat menjadi jalan sel kanker metastasis.

Dengan memblok protein-protein novel tersebut, maka diharapkan proliferasi sel kanker

berhenti, sel tidak migrasi ataupun metastasis, sehingga modalitas terapi lain seperti

kemoterapi ataupun radiasi dapat berfungsi lebih efektif.

KESIMPULAN

Managemen kanker merupakan suatu tahapan pemeriksaan dan pengobatan yang harus

dilakukan dengan disiplin yang tinggi, mulai dengan diagnosis yang pasti, mengenali sifat

biologi tumor, menentukan stadium kanker, performance status pasien, dan merencanakan

pengobatan dengan baik.

Page 79: Referensi Block Clinical Oncology 2011

79

Tujuan atau intensi pembedahan harus jelas sejak awal, misalnya dengan tujuan

kuratif, debulking, paliatif atau tujuan lain. Pasien dan keluarga harus mendapatkan

penjelasan mengenai tujuan pembedahan, gambaran teknik pembedahan, komplikasi, akan

dilakukan atau tidaknya rekonstruksi, sehingga harapan pasien tidak jauh dari harapan dokter/

ahli bedah.

Modalitas bedah, masih merupakan primadona pengobatan pada kanker solid.

Pembedahan jika dilakukan pada tumor yang tepat, pada stadium yang tepat akan memberikan

hasil yang baik dan harapan kesembuhan. Pembedahan pada kanker dengan stadium lanjut,

harus lebih hati-hati dilaksanakan dan biasanya didahului suatu neo-adjuvant therapy, untuk

memperkecil ukuran tumor ataupun menurunkan stadium tumor.

Radioterapi, kemoterapi dan molecular targeting therapy, merupakan modalitas

pengobatan lain pada kanker solid, yang merupakan bagian integral dari pengobatan kanker.

Pemberian terapi kombinasi modalitas tersebut diatas baik sebagai neo-adjuvant, adjuvant,

concomitant, ataupun photosenitisizer akan menembah angka kesembuhan sebagian

penderita kanker solid. Pemeriksaan faktor prediktif terhadap respon dari berbagai modalitas

pengobatan diatas harus merupakan pemeriksaan rutin yang akan membantu memilih

modalitas terapi yang lebih tepat.

KEPUSTAKAAN

Bland K.I., Dalby J.M., 2001. Principles of Surgical Oncology. In Bland K.J., Daly J.M., Karakousis C.P., (editors). Surgical Oncology, Contemporary Principles & Practice. McGraw Hill. New York. Ch. 3. A : 123 – 136.

Connel P.P., Martel M.K., Hellman S., 2005. Principles of Radiation Oncology. In DeVita Jr V.T., Hellman S., Rosenberg S.A., (editors). Cancer, Principles & Practice of Oncology. 7 th

Edition. Lippincott, Williams & Wilkins. Philadelphia. 13 : 267 – 294.

Goedegebuure P.S., Liyanage U.K., Eberlein T.J., Surgical Oncology. Tumor Biology and Tumor Markers. In Townsend C.M., Beauchamp R.D., Evers B.M., Mattox K.L., (editors). Sabiston Textbook of Surgery. The Biological Basis of Modern Surgical Practice. 17 th

Edition. Elsevier Saunders. Philadelphia. Section V. 28 : 759 – 780.

Manuaba, T.W., 2006. Apoptotic index, P53 Expression, and BCL-2 Expression as Predictive Factors of Response to Neoadjuvant Chemotherapy in Local Advanced Breast Cancer. Doctorate Dissertation.

Muffat Jr F.L., Ketcham A.S., 1994. Surgical Oncology. In McKenna Sr R.J., Murphy G.P., (editors). Cancer Surgery. J.B. Lippincott Co. Philadelphia 1 : 1 – 20.

Page 80: Referensi Block Clinical Oncology 2011

80

Raaf J.H., Heil D., Rollins D.L., 1994. Vascular Access, Pumps and Infusion. In McKenna Sr R.J., Murphy G.P., (editors). Cancer Surgery. J.B. Lippincott Co. Philadelphia. 4 : 47 – 62.

Rosenberg S. A., 2005. Pinciples of Surgical Oncology. General Issues. In DeVita Jr V.T., Hellman S., Rosenberg S.A., (editors). Cancer, Principles & Practice of Oncology. 7 th Edition. Lippincott, Williams & Wilkins. Philadelphia. 12. 1 : 243 – 252.

Saclarides T.J., Millikan K.W., Godellas C.V., (editors) 2003. Surgical Oncology. An Algorithmic Approach. Springer. New York.

Smith, M.R., Chabner B.A., 2001. Systemic Chemotherapy of Solid Tumors. In Bland K.J., Daly J.M., Karakousis C.P., (editors). Surgical Oncology, Contemporary Principles & Practice. McGraw Hill. New York. Ch. 3. C : 147 – 158.

Suit H.D., Borgelt B., Smith A., Spiro I.J. 2001. Radiation as a Therapeutic Modality in Oncology. In Bland K.J., Daly J.M., Karakousis C.P., (editors). Surgical Oncology, Contemporary Principles & Practice. McGraw Hill. New York. Ch.3. B : 137 – 146.