Upload
juliana-prizzka
View
112
Download
10
Embed Size (px)
DESCRIPTION
refkas
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Meningitis adalah penyakit infeksi dari cairan yang mengelilingi otak dan
spinal cord (Meningitis Foundation of America). Classic triad dari meningitis
adalah demam, leher kaku, sakit kepala, dan perubahan di status mental (van de
Beek, 2010). Sistem saraf pusat manusia dilindungi dari benda-benda asing oleh
Blood Brain Barrier dan oleh tengkorak, sehingga apabila terjadi gangguan pada
pelindung tersebut, sistem saraf pusat dapat diserang oleh benda-benda patogen
(van de Beek, 2010).
Meningitis dibagi menjadi dua golongan berdasarkan perubahan yang
terjadipada cairan otak yaitu meningitis serosa dan meningitis purulenta.
Meningitis serosaditandai dengan jumlah sel dan protein yang meninggi disertai
cairan serebrospinalyang jernih. Penyebab yang paling sering dijumpai adalah
kuman Tuberculosis danvirus (Roos, 2005).
Meningitis purulenta atau meningitis bakteri adalah meningitis yang
bersifatakut dan menghasilkan eksudat berupa pus serta bukan disebabkan oleh
bakterispesifik maupun virus. Meningitis Meningococcus merupakan meningitis
purulentayang paling sering terjadi.Penularan kuman dapat terjadi secara kontak
langsung dengan penderita dandroplet infection yaitu terkena percikan ludah,
dahak, ingus, cairan bersin dan cairantenggorok penderita.Saluran nafas
merupakan port d’entree utama pada penularanpenyakit ini. Bakteri-bakteri ini
disebarkan pada orang lain melalui pertukaran udara dari pernafasan dan sekresi-
1
sekresi tenggorokan yang masuk secara hematogen(melalui aliran darah) ke dalam
cairan serebrospinal dan memperbanyak diri didalamnya sehingga menimbulkan
peradangan pada selaput otak dan otak (Roos, 2005).
Infeksi pada sistem syaraf pusat dan pada jaringan disekitarnya merupakan
kondisi yang mengancam jiwa. prognosis tergantung pada identifikasi tempat dan
jenis pathogen yang menyebabkan terjadinya inflamasi sehingga bisa diberikan
pengobatan antibiotic yang efektif secepat mungkin. Oleh karena analisis LCS,
biopsy, dan analisis laboratorium merupakan Gold standard untuk
mengidentifikasi pathogen penyebab meningitis, neuroimaging merupakan
pemeriksaan yang sangat penting untuk menggambarkan letak lesi pada otak dan
medulla spinalis. gambaran pola lesi menentukan diagnosis yang tepat dan
menentukan tatalaksana terapi selanjutnya. khususnya, neuroimaging memiliki
peran yang sangat penting pada penyakit-penyakit oportunistik, bukan hanya
untuk penegakan diagnosis, namun juga untuk memantau respon terapi
Pemeriksaan radiologi pada meningitis merupakan salah satu penunjang yang
dibutuhkan untuk mendukung tegaknya diagnosa, selain itu pemeriksaan radiologi
digunakan untuk deteksi dini adanya komplikasi meningitis seperti hidrochepalus,
empyema, efusi subdural, ventrikulitis, infark dan abses parenkim.
(Manguatmadja, 2003).
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Cerebri
Otak merupakan jaringan yang konsistensinya kenyal menyerupai
agar-agar dan terletak di dalam ruangan yang tertutup oleh tulang, yaitu
cranium (tengkorak), yang secara absolute tidak dapat bertambah
volumenya, terutama pada orang dewasa. Jaringan otak dilindungi oleh
beberapa pelindung, mulai dari permukaan luar adalah kulit kepala, tulang
tengkorak, selaput otak (meninges), dan cairan cerebrospinalis. Selaput otak
terdiri atas tiga lapisan (dari luar ke dalam) : duramater, arakhnoid, dan
piamater. Di dalam tempat tertentu duramater membentuk sekat-sekat
rongga cranium dan membaginya menjadi tiga kompartemen. Tentorium
merupakan sekat yang membagi rongga cranium menjadi kompartemen
supratentorial dan infratentorial, memisahkan bagian-bagian posterior-
inferior hemisfer cerebridan cerebellum (Saladin, 2003).
Otak (Mencephalon) dapat dibagi dalam tiga komponen utama :
hemisfer cerebri (otak besar), batang otak, dan cerebellum (otak kecil).
Cerebri adalah bagian otak terbesar (85%) yang berasal dari
pronsecephalon. Ia terdiri dari sepasang hemisfer yang berstruktur sama,
yang dipisahkan oleh flax cerebri dan dihubungkan oleh sekumpulan serabut
saraf yang disebut corpus callosum, yang berfungsi untuk menyampaikan
impuls di antara keduanya. Cerebri dari luar ke dalam tersusun oleh korteks
3
(massa kelabu atau subtansi agrisea atau grey matter), massa putih
(subtansia alba), dan massa kelabu yang dikenal sebagai ganglia basalis
(Saladin, 2003).
Gb. 1. Head CT—Normal anatomy: A, Fossa Posterior ; B, Cerebellum
Gb. 2. : A, Pons ;B, cerebral peduncles
Gb. 3. Head CT - Normal anatomy: A. highmidbrain level B.
basal gangliaregion
4
Gb. 4. Head CT—Normal anatomy: A, lateralventricles; B, upper cortex
2.2. Meningitis
2.2.1. Definisi
Peradangan atau inflamasi pada selaput otak (meninges)
termasuk dura, arachnoid dan piamater yang melapisi otak dan
medulla spinalis yang dapat disebabkan oleh beberapa etiologi
(infeksi dan non infeksi) dan dapat diidentifikasi oleh peningkatan
kadar leukosit dalam likuor cerebrospinal (LCS) (Osteogard, 2005).
2.2.2. Epidemiologi
Faktor resiko utama untuk meningitis adalah respons
imunologi terhadap patogen spesifik yang lemah terkait dengan
umur muda. Resiko terbesar pada bayi (1 – 12 bulan); 95 % terjadi
antara 1 bulan dan 5 tahun, tetapi meningitis dapat terjadi pada setiap
umur. Resiko tambahan adalah kolonisasi baru dengan bakteri
patogen, kontak erat dengan individu yang menderita penyakit
invasif, perumahan padat penduduk, kemiskinan, ras kulit hitam,
jenis kelamin lakilaki dan pada bayi yang tidak diberikan ASI pada
5
umur 2 – 5 bulan. Cara penyebaran mungkin dari kontak orang ke
orang melalui sekret atau tetesan saluran pernafasan (Pradana, 2009).
2.2.3. Etiologi
Penyebab tersering dari meningitis adalah mikroorganisme
seperti bakteri, virus, parasit dan jamur. Mikroorganisme ini
menginfeksi darah dan likuor serebrospinal. Meningitis juga dapat
disebabkan oleh penyebab non-infeksi, seperti pada penyakit AIDS,
keganasan, diabetes mellitus, cedera fisik atau obat – obatan tertentu
yang dapat melemahkan sistem imun (imunosupresif) (Pradana,
2009)
Meningitis dapat terjadi karena terinfeksi oleh virus, bakteri,
jamur maupun parasit :
a. Virus :
- Virus Mumps
- Virus Herpes, termasuk Epstein-Barr virus, herpes
simplexs, varicella-zoster, Measles, and Influenza
- Virus yang menyebar melalui nyamuk dan serangga
lainnya (Arboviruses)
b. Kasus lain yang agak jarang yakni LCMV (lymphocytic
choriomeningitis virus), disebarkan melalui tikus.
c. Jamur
6
Jamur yang menginfeksi manusia terdieri dari 2
kelompok yaitu, jamur patogenik dan opportunistik. Jamur
patogenik adalah beberapa jenis spesies yang dapat
menginfeksi manusia normal setelah inhalasi atau inflantasi
spora. Secara alamiah, manusia dengan penyakit kronis atau
keadaan gangguan imunitas lainnya lebih rentan terserang
infeksi jamur dibandingkan manusia normal. Jamur patogenik
menyebabkan histiplasmosis, blastomycosis,
coccidiodomycosis dan paracoccidiodomycosis. Kelompok
kedua adalah kelompok jamur apportunistik. Kelompok ini
tidak menginfeksi orang normal. Penyakit yang termasuk disini
adalah aspergilosis, candidiasis, cryptococcosis, mucormycosis
(phycomycosis) dan nocardiosis. Infeksi jamur pada susunan
saraf pusat dapat menyebabkan meningitis akut, subakut dan
kronik. Biasanya sering pada anak dengan imunosupresif
terutama anak dengan leukemia dan asidosis. Dapat juga pada
anak yang imunokompeten. Cryptococcusneoformans dan
Coccidioides immitis adalah penyebab utama meningitis jamur
pada anak imunokompeten. Candida sering pada anak dengan
imunosupresi dengan penggunaan antibiotik multiple, penyakit
yang melemahkan, resipien transplant dan neonatus kritis yang
menggunakan kateter vaskular dalam waktu lama.
7
d. Bakteri
8
Mikroorganisme yang sering menyebabkan meningitis
berdasarkan usia adalah sebagai berikut :
a. 0 – 3 bulan
Pada grup usia ini meningitis dapat disebabkan oleh
semua agen termasuk bakteri, virus, jamur, Mycoplasma, dan
Ureaplasma. Bakteri penyebab yang tersering seperti
Streptococcus grup B, E.Coli, Listeria, bakteri usus selain
E.Coli ( Klebsiella, Serratia spesies, Enterobacter),
streptococcus lain, jamur, nontypeable H.influenza, dan bakteri
anaerob. Virus yang sering seperti Herpes simplekx virus
(HSV), enterovirus dan Cytomegaloviru (WHO, 2005).
b. 3 bulan – 5 tahun
Sejak vaksin conjugate HIB menjadi vaksinasi rutin di
Amerika Serikat, penyakit yang disebabkan oleh H.influenza
tipe B telah menurun. Bakteri penyebab tersering meningitis
pada grup usia ini belakangan seperti N.meningitidis dam
S.Pneumoniae. H. influenza tipe B masih dapat
dipertimbangkan pada meningitis yang terjadi pada anak
kurang dari 2 tahun yang belum mendapat imunisasi atau
imunisasi yang tidak lengkap. Meningitis oleh karena
Mycobacterium Tuberculosis jarang, namun harus
dipertimbangkan pada daerah dengan prevalensi tuberculosis
9
yang tinggi dan jika didapatkan anamnesis, gejala klinis, LCS
dan laboratorium yang mendukung diagnosis Tuberkulosis.
Virus yang sering pada grup usia ini seperti enterovirus, HSV,
Human Herpesvirus-6 (HHV-6) (WHO, 2005).
c. 5 tahun – dewasa
Bakteri yang tersering menyebabkan meningitis pada
grup usia ini seperti N.meningitidis dan S.pneumoniae.
Mycoplasma pneumonia juga dapat menyebabkan meningitis
yang berat dan meningoencephalitis pada grup usia ini.
Meningitis virus pada grup ini tersering disebabkan oleh
enterovirus, herpes virus, dan arbovirus. Virus lain yang lebih
jarang seperti virus Epstein-Barr , virus lymphocytic
choriomeningitis, HHV-6, virus rabies, dan virus influenza A
dan B (WHO, 2005).
Pada host yang immunocompromised, meningitis yang terjadi
selain dapat disebabkanoleh pathogen seperti di atas, harus juga
dipertimbangkan oleh pathogen lain sepertiCryptococcus,
Toxoplasma, jamur, tuberculosis dan HIV.
10
2.2.4. Klasifikasi
a. Meningitis Bakterial
Di Amerika Serikat, sebelum pemberian rutin vaksin
conjugate-pneumococcal, insidens dari meningitis bakteri 6000
kasus per tahun; dan sekitar setengahnya adalah pasien anak
(≤18 tahun). N. meningitidis menyebabkan 4 kasus per 100.000
anak (usia 1 – 23 bulan). Sedangkan S.pneumoniae
menyebabkan 6,5 kasus per 100.000 anak (usia 1 – 23 bulan)
(Pradana, 2009).
Pengenalan dari vaksin meningococcal baru-baru ini di
Amerika Serikat diharapkan dapat mengurangi insidens
meningitis bacterial di kemudian hari. Insidens dari meningitis
bacterial pada neonatus sekitar 0,15 kasus per 1000 bayi lahir
cukup bulan dan 2,5 kasus per 1000 bayi lahir kurang bulan
11
(premature). Hampir 30% bayi baru lahir dengan klinis sepsis,
berhubungan dengan adanya meningitis bakterial. Sejak adanya
pemberian antibiotik inisiasi intrapartum tahun 1996, terjadi
penurunan insidens nasional dari onset awal infeksi GBS
(Group B Streptococcus) dari hampir 1,8 kasus per 1000 bayi
lahir hidup pada tahun 1990 menjadi 0,32 kasus per 1000 bayi
lahir hidup pada tahun 2003 (Pradana, 2009).
Secara umum, mortalitas dari meningitis bacterial
bervariasi menurut usia dan jenis pathogen, dengan angka
tertinggi untuk S.pneumoniae. Mortalitas pada neonatus tinggi
dan meningitis bakterial juga menyebabkan long term sequelae
yang menyebabkan morbiditas pada periode neonatal. Mortalitas
tertinggi yakni pada tahun pertama kehidupan, menurun pada
pertengahan (mid life) dan meningkat kembali di masa tua.
Insidens lebih banyak pada kulit hitam. Bayi laki – laki lebih
sering terkena meningitis gram negatif, bayi perempuan lebih
rentan terhadap infeksi L.monocytogenes , sedangkan
Streptococcus agalactiae (GBS) mengenai kedua jenis kelamin
(Pradana, 2009).
Di Indonesia, angka kejadian tertinggi pada umur antara 2
bulan-2 tahun. Umumnya terdapat pada anak distrofik,yang daya
tahan tubuhnya rendah. Insidens meningitis bakterialis pada
neonatus adalah sekitar 0.5 kasus per 1000 kelahiran hidup.
12
Insidens meningitis pada bayi berat lahir rendah tiga kali lebih
tinggi dibandingkan bayi dengan berat lahir normal.
Streptococcus group B dan E.coli merupakan penyebab utama
meningitis bakterial pada neonatus. Penyakit ini menyebabkan
angka kematian yang cukup tinggi (5-10%). Hampir 40%
diantaranya mengalami gejala sisa berupa gangguan
pendengaran dan defisit neurologis (Pradana, 2009).
b. Meningitis Tuberkulosis
Di seluruh dunia, tuberkulosis merupakan penyebab
utama dari morbiditas dan kematian pada anak. Di Amerika
Serikat, insidens tuberkulosis kurang dari 5% dari seluruh kasus
meningitis bakterial pada anak, namun penyakit ini mempunyai
frekuensi yang lebih tinggi pada daerah dengan sanitasi yang
buruk. Meningitis tuberkulosis masih banyak ditemukan di
Indonesia karena morbiditas tuberkulosis anak masih tinggi.
Angka kejadian tertinggi dijumpai pada anak terutama bayi dan
anak kecil dengan kekebalan alamiah yang masih rendah. Angka
kejadian jarang dibawah usia 3 bulan dan mulai meningkat
dalam usia 5 tahun pertama, tertinggi pada usia 6 bulan sampai 2
tahun. Angka kematian berkisar antara 10-20%. Sebagian besar
memberikan gejala sisa, hanya 18% pasien yang normal secara
neurologis dan intelektual. Anak dengan meningitis tuberkulosis
yang tidak diobati, akan meninggal dalam waktu 3-5 minggu.
13
Angka kejadian meningkat dengan meningkatnya jumlah pasien
tuberkulosis dewasa (Swierzewski, 2002).
c. Meningitis Viral
Insidens meningitis viral di Amerika serikat yang
secara resmi dilaporkan berjumlah lebih dari 10.000 kasus,
namun pada kenyataannya dapat mencapai 75.000 kasus.
Kekurangan dalam pelaporan data ini disebabkan oleh gejala
klinis yang tidak khas dan inabilitas beberapa virus untuk
tumbuh dalam kultur. Menurut data yang dilaporkan Centers
forDisease Control and Prevention (CDC), pasien rawat inap
dengan meningitis viral sekitar25.000 – 50.000 tiap tahunnya
(Swierzewski, 2002).
Di seluruh dunia, penyebab meningitis viral termasuk
enterovirus, mumps virus mumps (gondongan), virus measles
(campak), virus varicella zoster (VZV) dan HIV. Gejala
meningitis dapat timbul hanya pada 1 dari 3000 kasus. Mumps
menyebabkan 10-20% meningitis dan meningoencephalitis di
bagian negara dimana akses vaksin sulit. Insidens 20 kali lebih
besar pada tahun pertama kehidupan. Pada neonatus lebih dari 7
hari, meningitis aseptik sering disebabkan oleh enterovirus.
Vaksinasi mengurnagi insidens dari meningitis oleh virus
mumps, polio dan measles. Virus mumps dan measles sering
menyebabkan meningitis pada anak usia sekolah sampai kuliah.
14
Enterovirus 1,3 – 1,5 kali lebih sering lebih sering menyebabkan
meningitis pada laki-laki dibanding perempuan , sedangkan
virus mumps 3 kali lebih sering menyerang laki-laki dibanding
perempuan. Menurut WHO tahun 1997, meningitis enteroviral
dengan sepsis merupakan penyebab tersering ke-5 kematian
pada neonatus. Diluar periode neonatal mortalitas kurang dari
1%, begitu juga dnegan morbiditasnya (Swierzewski, 2002).
Meningitis virus lebih sering dijumpai pada anak
daripada orang dewasa. Di negeri tropis dan subtropis tingginya
frekuensi meningitis virus tidak bergantung kepada musim
seperti pada negeri beriklim dingin yang angka kejadian
tertingginya dijumpai pada musim panas dan musim rontok
(Swierzewski, 2002).
d. Meningitis Jamur
Meningitis jamur jarang ditemukan, namun dapat
mengancam kehidupan. Walaupun semua orang dapat terkena
meningitis jamur, namun resiko tinggi terdapat pada orang yang
menderita AIDS, leukemia, atau bentuk penyakit
imunodefisiensi ( sistem imun tidak mempunyai respon yang
adekuat terhadap infeksi) lainnya dan orang dengan
imunosupresi (malfungsi dari sistem imun sebagai akibat obat-
obatan) (Roos, 2005).
15
Penyebab tersering dari meningitis jamur pada orang
dengan defisiensi imun seperti HIV adalah Cryptococcus.
Penyakit ini merupakan salah satu dari penyebab tersering
meningitis di Afrika. Jamur lain yang dapat menyebabkan
thrush, Candida, dapat menyebabkan meningitis pada beberapa
kasus, terutama pada bayi prematur dengan berat lahir sangat
rendah. (very low birth weight) (Swierzewski, 2002).
2.2.5. Patogenesis
a. Meningitis Bakterial
Infeksi dapat mencapai selaput otak melalui :
1. Alian darah (hematogen) oleh karena infeksi di tempat
lain seperti faringitis, tonsillitis, endokarditis,
pneumonia, infeksi gigi. Pada keadaan ini sering
didapatkan biakan kuman yang positif pada darah, yang
sesuai dengan kuman yang ada dalam cairan otak (Roos,
2005).
2. Perluasan langsung dari infeksi (perkontinuitatum) yang
disebabkan oleh infeksi dari sinus paranasalis, mastoid,
abses otak, sinus cavernosus.
3. Implantasi langsung : trauma kepala terbuka, tindakan
bedah otak, pungsi lumbal dan mielokel.
4. Meningitis pada neonates dapat terjadi oleh karena:
16
a) Aspirasi cairan amnion yang terjadi pada saat bayi
melalui jalan lahir atau oleh kuman-kuman yang
normal ada pada jalan lahir
b) Infeksi bakteri secara transplacental terutama
Listeria.
b. Meningitis Tuberkulosis
Meningitis tuberkulosis terjadi sebagai akibat komplikasi
penyebaran tuberkulosis primer, biasanya dari paru. Terjadinya
meningitis bukanlah karena terinfeksinya selaput otak langsung
oleh penyebaran hematogen, melainkan biasanya sekunder
melalui pembentukan tuberkel pada permukaan otak, sumsum
tulang belakang atau vertebra yang kemudian pecah ke dalam
rongga arachnoid (rich dan McCordeck). Kadang-kadang dapat
juga terjadi perkontinuitatum dari mastoiditis atau spondilitis.
Pada pemeriksaan histologis, meningitis tuberkulosa ternyata
merupakan meningoensefalitis. Peradangan ditemukan sebagian
besar pada dasar otak, terutama batang otak (brain stem) tempat
terdapat eksudat dan tuberkel. Eksudat yang serofibrinosa dan
gelatinosa dapat menimbulkan obstruksi pada sisterna basalis dan
mengakibatkan hidrocephalus serta kelainan saraf pusat. Tampak
juga kelainan pembuluh darah seperti Arteritis dan Phlebitis yang
menimbulkan penyumbatan. Akibat penyumbatan ini terjadi
17
infark otak yang kemudian mengakibatkan perlunakan otak
(Swierzewski, 2002).
c. Meningitis Viral
Virus masuk tubuh manusia melalui beberapa jalan.
Tempat permulaan masuknya virus dapat melalui kulit, saluran
pernapasan, dan saluran pencernaan. Setelah masuk ke dalam
tubuh virus tersebut akan menyebar keseluruh tubuh dengan
beberapa cara:
a) Setempat : virus hanya terbatas menginfeksi selaput lender
permukaan atau organ tertentu.
b) Penyebaran hematogen primer : virus masuk ke dalam
darah kemudian menyebar ke organ dan berkembang biak
di organ-organ tersebut.
c) Penyebaran hematogen sekunder : virus berkembang biak
di daerah pertama kali masuk (permukaan selaput lender)
kemudian menyebar ke organ lain.
d) Penyebaran melalui saraf : virus berkembang biak
dipermukaan selaput lender danmenyebar melalui system
saraf.
Transmisi virus pada meningitis viral terbagi menjadi
beberapa cara, seperti :
1) Enterovirus : biasanya melalui rute oral-fekal, namun
dapat juga melalui rute saluran respirasi
18
2) Arbovirus : melalui artropoda menghisap darah,
biasanya nyamuk
3) Virus limfositik koriomeningitis – melalui kontak
dengan tikus dan sejenisnya ataupun bahan eksresinya.
Pada umumnya, virus masuk ke sistem limfatik, melalui
penelanan enterovirus; pemasukan membran mukosa oleh
campak, rubela, VVZ atau HSV; atau dengan penyebaran
hematogen dari nyamuk atau gigitan serangga lain. Ditempat
tersebut, mulai terjadi multiplikasi dan masuk alirann darah
menyebabkan infeksi beberapa organ. Pada stadium ini (fase
ekstraneural) ada sakit demam, sistemik, tetapi tidak terjadi
multiplikasi virus lebih lanjut pada organ yang ditempati,
penyebaran sekunder sejumlah virus dapat terjadi. Invasi SSP
disertai dengan bukti klinis penyakit neurologis. HSV-1
mungkin mencapai otak dengan penyebaran langsung sepanjang
akson saraf. Kerusakan neurologis disebabkan (1) oleh invasi
langsung dan penghancuran jaringan saraf oleh pembelahan
virus secara aktif dan atau (2) oleh reaksi hospes terhadap
antigen virus. Kebanyakan penghancuran saraf mungkin karena
invasi virus secara langsung, sedangkan respon jaringan hospes
yang hebat mengakibatkan demielinasi dan penghancuran
vaskuler serta perivaskuler dan (3) oleh reaksi aktivitas virus
neurotropik yang bersifat laten (Swierzewski, 2002).
19
d. Meningitis Jamur
Infeksi pertama terbanyak terjadi akibat inhalasi yeast dari
lingkungan sekitar. Pada saat dalam tubuh host Cryptococcus
membentuk kapsul polisakarida yang besar yang resisten
terhadap fagositosis. Produksi kapsul distimulasi oleh
konsentrasi fisiologis karbondioksida dalam paru. Keadaan ini
meyebabkan jamur ini beradaptasi sangat baik dalam host
mamalia. Reaksi inflamasi ini menghasilkan reaksi kompleks
primer paru kelenjar limfe (primary lung lymp node complex)
yang biasanya membatasi penyebaran organisme (Roos, 2005).
Kebanyakan infeksi paru ini tanpa gejala, tetapi secara
klinis dapat terjadi seperti gejala pneumonia pada infeksi
pertama dengan gejala yang bervariasi beratnya. Keadaan ini
biasanya membaik perlahan dalam beberapa minggu atau bulan
dengan atau tanpa pengobatan. Pada pasien lainnya dapat
terbentuk lesi pulmonar fokal atau nodular. Cryptococcus dapat
dorman dalam paru atau limfenodus sampai pertahanan host
melemah. Cryptococcus neofarmans dapat menyebar dari paru
dan limfenodus torakal ke aliran darah terutama pada host yang
sistem kekebalannya terganggu. Keadaan ini dapat terjadi selama
infeksi primer atau selama masa reaktivasi bertahun-tahun
kemudian. Jika terjadi infeksi jauh, maka tempat yang paling
sering terkena adalah susunan saraf pusat. Keadaan dimana
20
predileksi infeksi ini terutama pada ruang subarakhnoid, belum
dapat diterangkan. Ada beberapa faktor yang berperanan dalam
patogenesis infeksi Cryptococcus neofarmans pada susunan saraf
pusat. Jamur ini mempunyai beberapa fenotif karakteristik yang
diaktakan berhubungan dengan invasi pada susunan saraf pusat
seperti, produksi phenoloxidase, adanya kapsul polisakarida,dan
kemampuan untuk berkembang dengan cepat pada suhu tubuh
host.Informasi terakhir mengatakan bahwa melanin bertindak
sebagai antioksidan yang melindungi organisme ini dari
mekanisme pertahanan tubuh host. Faktor karakteristik lainnya
yaitu kemampuan kapsul untuk melindungi jamur dari
pertahanan tubuh terutama fagositosis dankemampuan jamur
untuk hidup dan berkembang pada suhu tubuh manusia
(Swierzewski, 2002).
2.2.6. Manifestasi Klinis
Meningitis mempunyai karakteristik yakni onset yang
mendadak dari demam, sakit kepala dan kaku leher (stiff neck).
Biasanya juga disertai beberapa gejala lain, seperti : mual, muntah,
fotofobia (sensitif terhadap cahaya), perubahan atau penurunan
kesadaran (Roos, 2005).
Gambaran klinis dapat dibedakan berdasarkan penyebab dari
meningitis, yaitu :
21
1. Meningitis Bakterial
Gambaran klinis untuk meningitis bakterial tidak ada yang
patognomik. Tanda dan manifestasi klinis meningitis bakterial
begitu luas sehingga sering didapatkan pada anakanak baik yang
terkena meningitis ataupun tidak. Tanda dan gambaran klinis
sangat bervariasi tergantung umur pasien, lama sakit di rumah
sebelum diagnosis dan respon tubuhterhadap infeksi. Meningitis
pada bayi baru lahir dan prematur sangat sulit didiagnosis,
gambaran klinis sangat kabur dan tidak khas. Biasanya pasien
tampak lemas dan malas, tidak mau makan, muntahmuntah,
kesadaran menurun, ubun-ubun besar tegang dan membonjol,
leher lemas, respirasi tidak teratur, kadang-kadang disertai
ikterus kalau sepsis. Secara umum apabila didapatkan sepsis
pada bayi baru lahir kita harus mencurigai adanya meningitis
(Roos, 2005).
Bayi berumur 3 bulan – 2 tahun jarang memberi gambaran
klasik meningitis.Biasanya manifestasi yang timbul hanya
berupa demam, muntah, gelisah, kejang berulang, kadang-
kadang didapatkan pula high pitch cry (pada bayi). Tanda fisik
yang tampak jelas adalah ubun-ubun tegang dan membonjol,
sedangkan tanda Kernig dan Brudzinsky sulit di evaluasi. Oleh
karena insidens meningitis pada umur ini sangat tinggi, maka
adanya infeksi susuan saraf pusat perlu dicurigai pada anak
22
dengan demam terus menerus yang tidak dapat diterangkan
penyebabnya (Roos, 2005).
Pada anak besar dan dewasa meningitis kadang-kadang
memberikan gambaran klasik. Gejala biasanya dimulai dengan
demam, menggigil, muntah dan nyeri kepala. Kadangkadang
gejala pertama adalah kejang, gelisah, gangguan tingkah laku.
Penurunan kesadaran seperti delirium, stupor, koma dapat juga
terjadi. Tanda klinis yang biasa didapatkan adalah kaku kuduk,
tanda Brudzinski dan Kernig. Nyeri kepala timbul akibat
inflamasi pembuluh darah meningen, sering disertai fotofobia
dan hiperestesi, kaku kuduk disertai rigiditas spinal disebabkan
karena iritasi meningen serta radiks spinalis (Roos, 2005).
Kelainan saraf otak disebabkan oleh inflamasi lokal pada
perineurium, juga karena terganggunya suplai vaskular ke saraf.
Saraf – saraf kranial VI, VII, dan IV adalah yang paling sering
terkena. Tanda serebri fokal biasanya sekunder karena nekrosis
kortikal atau vaskulitis oklusif, paling sering karena trombosis
vena kortikal. Vaskulitis serebral menyebabkan kejang dan
hemiparesis (Roos, 2005).
Manifestasi Klinis yang dapat ditimbulkan oleh meningitis
meliputi :
1) Gejala infeksi akut, yaitu berupa letargi, irritabilitas,
demam ringan, muntah, anoreksia, sakit kepala (pada anak
23
yang lebih besar), petechia dan Herpes Labialis (untuk
infeksi Pneumococcus) (Roos, 2005).
2) Gejala tekanan intrakranial yang meninggi, yaitu berupa
muntah, nyeri kepala (pada anak yang lebih besar),
moaning cry /Tangisan merintih (pada neonatus),
penurunan kesadaran, dari apatis sampai koma, kejang
dapat terjadi secara umum, fokal atau twitching, Bulging
fontanel /ubun-ubun besar yang menonjol dan tegang,
gejala kelainan serebral (hemiparesis, paralisis,
strabismus), Crack pot sign, pernafasan Cheyne Stokes,
hipertensi dan Choked disc papila N. optikus (pada anak
yang lebih besar) (Roos, 2005).
3) Gejala ransangan meningeal, yaitu berupa kaku kuduk
positif, Kernig, Brudzinsky I dan II positif. Pada anak
besar sebelum gejala di atas terjadi, sering terdapat
keluhan sakit di daerah leher dan punggung. Pada anak
dengan usia kurang dari 1 tahun, gejala meningeal tidak
dapat diandalkan sebagai diagnosis. Bila terdapat gejala-
gejala tersebut diatas, perlu dilakukan pungsi lumbal untuk
mendapatkan cairan serebrospinal (CSS) (Roos, 2005).
2. Meningitis Tuberkulosis
Secara klinis kadang-kadang belum terdapat gejala
meningitis nyata walaupun selaput otak sudah terkena. Hal
24
demikian terdapat apda tuberlukosis miliaris sehingga pada
penyebaran miliar sebaiknya dilakukan pungsi lumbal walaupun
gejala meningitis belum tampak. Gambaran klinis pada
meningitis tuberkulosis dibedakan berdasarkan beberapa
stadium, yaitu :
a) Stadium prodromal
Gejala biasanya didahului oleh stadium prodromal
berupa iritasi selaput otak. Meningitis biasanya mulai
perlahan-lahan tanpa panas atau hanya terdapat kenaikan
suhu ringan, jarang terjadi akut dengan panas tinggi. Sering
di jumpai anak mudah terangsang (iritabel) atau anak
menjadi apatis dan tidurnya sering terganggu. Anak besar
dapat mengeluh nyeri kepala. Malaise, snoreksia, obstipasi,
mual dan muntah juga sering ditemukan. Belum tampak
manifestasi kelainan neurologis (Pradana, 2009).
b) Stadium transisi
Stadium prodromal disusul dengan stadium transisi
dengan adanya kejang. Gejala diatas menjadi lebih berat
dan muncul gejala meningeal, kaku kuduk dimana seluruh
tubuh mulai menjadi kaku dan opistotonus. Refleks tendon
menjadi lebih tinggi, ubun-ubun menonjol dan umumnya
juga terdapat kelumpuhan urat saraf mata sehingga timbul
gejala strabismus dan nistagmus. Sering tuberkel terdapat di
25
koroid. Suhu tubuh menjadi lebih tinggi dan kesadaran lebih
menurun hingga timbul stupor. Kejang, defisit neurologis
fokal, paresis nervus kranial dan gerakan involunter
(tremor, koreoatetosis, hemibalismus) (Pradana, 2009).
c) Stadium terminal
Stadium terminal berupa kelumpuhan kelumpuhan,
koma menjadi lebih dalam, pupil melebar dan tidak bereaksi
sama sekali. Nadi dan pernafasan menjadi tidak teratur,
kadang-kadang menjadi pernafasan Cheyne-Stokes (cepat
dan dalam). Hiperpireksia timbul dan anak meninggal tanpa
kesadarannya pulih kembali Tiga stadium diatas biasanya
tidak mempunyai batas yang jelas antara satu dengan yang
lainnya, namun jika tidak diobati umumnya berlangsung 3
minggu sebelum anak meninggal (Pradana, 2009).
3. Meningitis Viral
Biasanya gejala dari meningitis viral tidak seberat
meningitis dan dapat sembuh alami tanpa pengobatan yang
spesifik.Umumnya permulaan penyakit berlangsung mendadak,
walaupun kadang-kadang didahului dengan panas selama
beberapa hari (Pradana, 2009).
Gejala yang ditemukan pada anak besar ialah panas dan
nyeri kepala mendadak yang disertai dengan kaku kuduk. Gejala
lain yang dapat timbul ialah nyeri tenggorok, nausea, muntah,
26
penurunan kesadaran, nyeri pada kuduk dan punggung,
fotophobia, parestesia, myalgia. Gejala pada bayi tidak khas.
Bayi mudah terangsang dan menjadi gelisah. Mual dan muntah
sering dijumpai tetapi gejala kejang jarang didapati. Bila
penyebabnya Echovirus atau Coxsackie, maka dapat disertai
ruam dengan panas yang akan menghilang setelah 4-5 hari. Pada
pemeriksaan ditemukan kaku kuduk, tanda Kernig dan
Brudzinski kadang-kadang positif (Pradana, 2009).
4. Meningitis Jamur
Gejala klinis dari meningitis jamur sama seperti
meningitis jenis lainnya; namun, gejalanya sering timbul
bertahap. Sebagai tambahan dari gejala klasik meningitis seperti
sakit kepala, demam, mual dan kekakuan leher, orang dengan
meningitis jamur juga mengalami fotofobia, perubahan status
mental, halusinasi dan perubahan personaliti (Pradana, 2009).
2.2.7. Pemeriksaan Penunjang
- Darah : LED, lekosit, hitung jenis, biakan
- Air kemih : biakan
- Uji tuberkulin
- Biakan cairan lambung
- Pungsilumbal
- Radiologi
a. CT scan
27
CT scan berfungsi untuk mengidentifikasi tulang, organ dan
jaringan.Ketika dimasukkan kontras, CT scan dapat menyoroti
jaringan otak untuk menentukan adanya radang pada selaput
meningen, CT scan juga dapat menunjukkan apakah ada
peradangan pada tengkorak atau sinus, yang dapat membantu
dalam mendiagnosis meningitis (Ismael, 1997).
Pada keadaan yang diduga meningitis bakterialis dengan
penurunan kesadaran, pemeriksaan CT-Scan cranium
direkomendasikan sebelum lumbal punksi untuk menghindari
herniasi otak akibat edema serebri, CT-Scan penting dan cukup
untuk mengetahui kelainan pada basis cranii yang mungkin
sebagai penyebab dan menentukan penanganan yang cepat dan
konsultasi bedah jika diperlukan (Radiopedia, 2008).
Berikut gambaran gambaran CT scan pada kasus
meningitis:
Gb. 1.vaskulitis sekunder.
28
Pada gambar diatas menunjukkan CT Scan Kontras
potongan Axial. Dimana terdapat vaskuler-vaskuler enhancement,
yang menandakan vaskulitis, sebagai akibat komplikasi pada
meningitis, terjadi pada 20% kasus meningitis (Radiopedia,
2008).
Gb. 2. CT Scan Potongan Axial
Pada gambar diatas menunjukkan gambaran batas cairan
dan infark lacunar pada pasien dengan meningitis bakteri. Aksial
Ct scan ini menunjukkan area hipodens yang menandakan infark
kiri fronto parietal, infark lacunar ganglia basal kanan , dan efusi
subdural bilateral meningitis (Radiopedia, 2008).
29
Gb. 3. Ct scan Axial Ventriculitis
Pada gambar di atas menunjukkan ependimal enhancement
pada pasien dengan meningitis bakterial, yang berarti bahwa
terdapat Ventriculitis.
Gb. 4. CT Scan Axial
Gambar diatas menunjukkan gambar CT scan pada pasien
meningitis bakterial akut. Gambaran axial CT scan nonenhanced
ini menunjukan ventriculomegali sedang dan sulcus menghilang
(Radiopedia, 2008).
Gb. 5. CT scan Axial
30
Pada gambar diatas menunjukkan gambaran pada pasien
dengan meningitis bacterial akut, tampak gambaran Sisterna
basalis enhancement (Radiopedia, 2008).
b. Magnetic resonance imaging (MRI)
Menggunakan magnet sangat kuat bersama dengan gelombang
radio yang dihasilkan computer untuk menghasilkan gambar tubuh.
Gambar dari scan MRI memberikan detail bahkan lebih dari pada yang
dari CT scan. MRI dapat mendeteksi apakah ada peradangan di otak dan
sumsum tulang belakang, infeksi, penyakit mata, atau tumor, di antara
banyak gangguan lainnya Magnetic Resonance Imaging (MRI) bukan
merupakan pemeriksaan rutin pada kasus meningitis bakterialis tanpa
komplikasi. pemeriksaan MRI akan membantu memberikan gambaran
yang lebih jelas pada parenkim otak.Pada pemeriksaan MRI pada kasus
meningitis biasanya menunjukkan perubahan intensitas sinyal dari likuor (
gejala dini pada meningitis, dimana gambaran CT scan masih normal).
Dalam beberapa hari tampak intensitas meningen dan korteks serebri akan
meningkat pada T2 serta adanya eksudat dan adesi akan segera terlihat.
Saat ini, MRI adalah modalitas pencitraan yang paling sensitif, karena
kehadiran dan luasnya perubahan peradangan di meninges, serta
komplikasi, dapat dideteksi. MRI lebih unggul CT scan dalam evaluasi
pasien dengan meningitis diduga, serta menunjukkan peningkatan
leptomeningeal dan distensi dari ruang subarachnoid dengan pelebaran
fisura interhemispheric, yang dilaporkan menjadi temuan awal meningitis
31
parah. penelitian terbaru menunjukkan bahwa pemeriksaan MRI sangat
berguna pada kasus meningitis tuberculosis. Karena visibilitas gambaran
meningen pada T1-weighted lebih bagus terlihat (Radiopedia, 2008).
Berikut adalah contoh gambaran MRI pada kasus meningitis :
Gambar 1. MRI Axial FLAIR
Pada gambar diatas memperlihatkan Axial FLAIR MRI
pada pasien dengan indikasi crhonic HHV 6, yang memperlihatkan
hiperintensitas pada area putih dan cortex. (Radiopedia, 2008).
Gambar 2: Coronal T1WI
32
After gadolinium enhancement. Patient after bone marrow
transplantation with aspergillus encephalitis. Ring-enhancing
lesion with perifocal edema and mass effect compressing the lateral
ventricle.
Gambar 3. MRI AXIAL T1
Pada gambar diatas sinusitis frontal, empiema, dan
pembentukan abses pada pasien dengan meningitis bakteri.
Peningkatan kontras, AxialT1-weighted magnetic resonance ini
menunjukkan parenkim frontal kanan intensitas rendah (edema),
leptomeningitis (tanda panah), dan empyema subdural berbentuk
lentiform (tanda panah).
33
Gambar 4. MRI AXIAL T1
Pada pasien dengan meningitis bakterial akut. Peningkatan
kontras ini , gambaran axial Ti- weighted magnetic resonance
menunjukan peningkatan (Radiopedia, 2008).
34
35
Gambar. 5. MRI (FLAIR)
Pada gambar diatas menunjukkan pasien dengan meningitis
bacterial akut, tampak gambaran infarcts dari mastoiditis.
36
Gambar. 6 MRI (T1 C+) C+ T1
Pada gambaran diatas menunjukkan pasien dengan
meningitis bacterial akut, yang menunjukkan leptomeningeal
enhancement yang terlihat tuberculoma multiple dan enhancement
eksudat pada sisterna basalis (Radiopedia, 2008).
c. Foto Thorax
Foto thorax dilakukan untuk mencari et causa dari meningitis
(Etliket.al, 2004).
37
Gambar 1. X Foto Thorax PA
Menunjukkan gambaran X foto thorax pada posisi PA, menunjukkan
gambaran bercak kesuraman dan infiltrate pada lobus kanan paru, dan juga
peningkatan corakan bronkovaskuler, yang menandakan TB Paru fase
aktif (Radiopedia, 2008).
2.2.8. Tatalaksana
1) Meningitis bakterial
Pemberian terapi dilakukan secepatnya saat diagnosis
mengarah ke meningitis. Idealnya kultur darah dan likuor
cerebrospinal (LCS) harus diperoleh sebelum antibiotik yang
diberikan. Jika bayi yang baru lahir dengan ventilator dan
penilaian klinis menunjukkan pungsi lumbal mungkin
berbahaya, dapat ditunda hingga bayi stabil. Pungsi lumbal yang
38
dilakukan beberapa hari pengobatan awal berikut masih
menunjukkan kelainan seluler dan kimia namun hasil kultur bisa
negatif (Osteograad, 2005).
Mencari akses intravena, dan pemberian cairan. Neonatus
dengan meningitis rentan untuk mengalami hiponatremia akibat
SIADH. Perubahan ini elektrolit juga berkontribusi terhadap
timbulnya kejang, terutama selama 72 jam pertama penyakit.
Peningkatan tekanan intrakranial sekunder akibat edema
serebral jarang pada bayi. Monitor kadar gas darah dengan ketat
untuk memastikan oksigenasi yang memadai dan stabilitas
metabolisme (Osteograad, 2005).
Pada bayi dan anak-anak, Manajemen meningitis bakteri
akut melibatkan kedua terapi antimikroba yang tepat dan terapi
suportif. Semua pasien harus evaluasi audiologic setelah selesai
terapi (Osteograad, 2005).
Terapi cairan dan elektrolit dilakukan dengan memantau
pasien dengan memeriksa tanda-tanda vital dan status neurologis
dan balans cairan, menetapkan jenis yang dan volume cairan,
risiko edema otak dapat diminimalkan. Anak harus menerima
cairan cukup untuk menjaga tekanan darah sistolik pada sekitar
80 mm Hg, output urin 500 mL/m2/hari, dan perfusi jaringan
yang memadai. Meskipun menghindari SIADH adalah penting,
mengurangi hidrasi pasien dan risiko penurunan perfusi serebral
39
sama-sama penting juga. Dopamin dan agen inotropik lain
mungkin diperlukan untuk mempertahankan tekanan darah dan
sirkulasi yang memadai (Osteograad, 2005).
Bila anak dalam status konvulsivus diberikan diazepam 0,2-
0,5 mg/kgBB secara intravena perlahan-lahan, apabila kejang
belum berhenti pemberian diazepam dapat diulang dengan dosis
dan cara yang sama. Apabila kejang berhenti dilanjutkan dengan
pemberian fenobarbital dengan dosis awal 10-20mg/kgBB IM,
24 jam kemudian diberikan dosis rumatan 4-5mg/kgBB/hari.
Apabila dengan diazepam intravena 2 kali berturut-turut kejang
belum berhenti dapat diberikan fenitoin dengan dosis
10-20mg/kgBB secara intravena perlahan-lahan dengan
kecepatan dalam 1 menit jangan melebihi 50 mg atau
1mg/kgBB/menit. Dosis selanjutnya 5mg/kgBB/hari diberikan
12-24 jam kemudian. Bila tidak tersedia diazepam, dapat
digunakan langsung phenobarbital dengan dosis awal dan
selanjutnya dosis maintenance (Osteograad, 2005).
a. Terapi antibiotik
Bayi dan anak
Pemberian antibiotik yang cepat pasien yang dicurigai
meningitis adalah penting. Pemilihan antibiotik inisial harus
memiliki kemampuan melawan 3 patogen umum: S
40
pneumoniae, Nmeningitidis, dan H. Influenza. (Osteograad,
2005).
Menurut Infectious Diseases Society of America
(IDSA) practice guidelines forbacterial meningitis tahun
2004, kombinasi dari vankomisin dan ceftriaxone atau
cefotaxime dianjurkan bagi mereka yang dicurigai
meningitis bakteri, dengan terapi ditargetkan berdasarkan
pada kepekaan patogen terisolasi. Kombinasi ini
memberikan respon yang adekuat terhadap pneumococcus
yang resisten penisilin dan H. Influenza tipe B yang resisten
beta-laktam. Perlu diketahui, Ceftazidime mempunyai
aktivitas yang buruk terhadap penumococcus dan tidak
dapat digunakan sebagai substitusi untuk cefotaxime atau
ceftriaxone (Osteograad, 2005).
Oleh karena buruknya penetrasi vankomisin pada
susunan saraf pusat, dosis yang lebih tinggi 60 mg/kg/hari
dianjurkan untuk mengatasi infeksi susunan saraf pusat.
Cefotaxime atau ceftriaxone cukup adekuat untuk
pneumococcus yang peka. Namun, bila S.pneumonia
terisolasi mempunya MIC yang lebih tinggi untuk
cefotaxime, dosis tinggi cefotaxime (300 mg/kg/hari)
dengan vankomisisn (60 mg/kg/hari) bisa menjadi pilihan.8
Terapi dengan Carbapenem merupakan pilihan yang baik
41
patogen yang resisten sefalosporin. Meropenem lebih
dipilih dibandingkan imipenem oleh karena resiko kejang
lebih rendah. Antibiotik lain seperti oxazolidinon
(linezolid), masih dalam penelitian. Fluorokuinolon dapat
menjadi pilihan untuk pasien yang tidak dapat
menggunakan antibiotik jenis lain atau gagal pada terapi
sebelumnya (Osteograad, 2005).
Pada pasien yang alergi beta-laktam (penisilin dan
sefalospori) dapat dipilih vankomisin dan rifampisin untuk
kuman S.pneumoniae. Kloramfenikol juga
direkomendasikan pada pasien dengan meningitis
meningococcal yang alergi beta-laktam.8 Penilaian LCS
pada akhir terapi tidak dapat memprediksi akan terjadinya
relaps atau rekrudesensi dari meningitis. H.influenzae tipe B
dapat menetap pada sekret nasofaring walaupun setelah
terapi meningitis. Untuk alasan tersebut, pasien harus
diberikan Rifampisin 20 mg/kg dosis single selama 4 hari
bila anak dengan resiko tinggi tinggal di rumah ataupun
pusat penitipan anak. N.meningitidis dan S.pneumoniae
biasanya dapat di eradikasi dari nasofaring setelah terapi
meningitis berhasil (Osteograad, 2005).
42
Menurut Pedoman Pelayanan Medis IDAI tahun 2010,
terapi empirik pada bayi dan anak dengan meningitis
bakterial sebagai berikut :
Usia 1 – 3 bulan :
- Ampisilin 200-400 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4
dosis + Sefotaksim 200- 300 mg/kgBB/hari IV
dibagi dalam 4 dosis, atau
- Seftriakson 100 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 2
dosis
Usia > 3 bulan :
- Sefotaksim 200-300 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam
3-4 dosis, atau
- Seftriakson 100 mg/kgBB/hari IV dibagi 2 dosis,
atau
- Ampisilin 200-400 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4
dosis + Kloramfenikol 100 mg/kgBB/hari dibagi
dalam 4 dosis
Jika sudah terdapat hasil kultur, pemberian antibiotik
disesuaikan dengan hasil kultur dan resistensi.Durasi
pemberian antibiotik menurut IDSA 2004 guidelines for
management of bacterial meningitis adalah sebagai berikut :
N meningitidis - 7 hari, H influenzae - 7 hari, S pneumoniae
- 10-14 hari, S agalactiae - 14-21 hari, Bacil aerob Gram
43
negatif - 21 hari atau or 2 minggu, L monocytogenes - 21
hari atau lebih (Osteograad, 2005).
b. Terapi Deksametason
Studi eksperimen mendapatkan bahwa pada hewan
dengan meningitis bakterial yang menggunakan
deksametason menunjukkan perbaikan proses inflamasi,
penurunan edema serebral dan tekanan intrakranial dan
lebih sedikit didapatkan kerusakan otak (Osteograad, 2005).
Begitu juga pada penelitian bayi dan anak dengan
meningitis H.infulenzae tipe B yang mendapat terapi
deksametason menunjukkan penurunan signifikan insidens
gejala sisa neurologis dan audiologis, dan juga terbukti
memperbaiki gangguan pendengaran. Oleh karena itu IDSA
merekomendasikan penggunaan deksametason pada kasus
meningits oleh H.influenza tipe B 10 – 20 menit sebelum
atau saat pemberian antibiotik dengan dosis 0,15 – 0,6
mg/kg setiap 6 jam selama 2-4 hari (Osteograad, 2005).
Namun pemberian deksametason dapat menurunkan
penetrasi antibiotik ke SSP. Oleh karena itu pemberiannya
harus dengan pemikiran yang matang berdasarkan kasus,
resiko dan manfaatnya (Osteograad, 2005).
2) Meningitis Tuberkulosis
44
Berdasarkan rekomendasi American Academic of Pediatrics
1994 diberikan 4 macam obat selama 2 bulan dilanjutkan
dengan pemberian INH dan Rifampisin selama 10 bulan. Dasar
pengobatan meningitis tuberkulosis adalah pemberian kombinasi
obat antituberkulosa ditambah dengan kortikosteroid,
pengobatan simptomatik bila terdapat kejang, koreksi dehidrasi
akibat masukan makanan yang kurang atau muntah-muntah dan
fisioterapi (Osteograad, 2005).
Dosis obat anti-tuberkulosis (OAT) adalah sebagai
berikut:Isoniazid (INH) 5-10 mg/kgBB/hari dengan dosis
maksimum 300 mg/hari, Rifampisin 10-20 mg/kgBB/hari
dengan maksimum dosis 600 mg/hari, Pirazinamid 20-40
mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 2000 mg/hari,
Etambutol 15-25 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 2500
mg/hari dan Prednison 1-2 mg/kgBB/hari selama 2-3 minggu
dilanjutkan dengan tappering offuntuk menghindari terjadinya
rebound phenomenon (Osteograad, 2005).
3) Meningitis Viral
Kebanyakan meningitis viral jinak dan self-limited.
Biasanya hanya perlu terapi suportif dan tidak memerlukan
terapi spesifik lainnya. Pada keadaan tertentu antiviral spesifik
mungkin diperlukan. Pada pasien dengan defisiensi imun
( seperti agammaglobulinemia), penggantian imunoglobulin
45
dapat digunakan sebagai terapi infeksi kronik enterovirus
(Osteograad, 2005).
4) Meningitis Jamur 2
Candida
Terapi awal pilihan untuk meningitis Candida adalah
amfoterisin B (0,7 mg / kg / hari). Flusitosin (25 mg / kg qid)
biasanya ditambahkan dan disesuaikan untuk mempertahankan
tingkat serum 40-60 mcg / mL, di berikan selama 6-12 minggu,
bergantung dari efektivitas terapi dan adanya efek
samping.Terapi Azole dapat digunakan untuk follow-up terapi
atau pengobatan supresi. Peniadaan material prostetik (misalnya,
shunts ventriculoperitoneal) adalah komponen penting dalam
terapi meningitis Candida yang berkaitan dengan prosedur
bedah saraf (Osteograad, 2005).
Coccidioides immitis
Amfoterisin B merupakan drug of choice meningitis oleh
coccidioides, diberikan secara intravena dan intratekal. Dosis
inisial intratekal 0,1 mg untuk 3 kali suntikan pertama.
Selanjutnya dosis ditingkatkan 0,25 – 0,5 mg 3-4 kali setiap
minggu. Efek samping pemberian secara intratekal seperti
meningitis aseptic, nyeri punggung dan tungkai. Mikonazol
dapat diberikan secara intravena dan intratekal pada pasien yang
tidak dapat mentorelansi dosis tinggi dari Amfoterisin B.6
46
Regerensi lain menyebutkan flukonazol oral (400 mg / hari)
sebagai terapi untuk C immitis ataupun dengan dosis yang lebih
besar flukonazol (1000 mg / hari) atau dengan kombinasi
flukonazol dan amfoterisin B (Osteograad, 2005).
2.2.9. Komplikasi
a. Hidrosefalus
b. Edema otak
c. Abses otak
d. Renjatan septik
e. Pnemonia (karena aspirasi)
f. Koagulasi intravaskular menyeluruh (DIC)
2.2.10. Prognosis
Penderita meningitis dapat sembuh, sembuh dengan cacat
motorik/mental atau meninggal, hal tergantung dari : umur penderita,
jenis kuman penyebab, berat ringan infeksi, lama sakit sebelum
mendapat pengobatan, kepekaan kuman terhadap antibiotika yang
diberikan, adanya dan penanganan penyulit (Osteograad, 2005).
47
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1. Identitas Pasien
Nama : An. M
Umur : 1 tahun
Jenis kelamin : Laki-Laki
Alamat : Ds. Sukodono 2/2 Demak
Tanggal pemeriksaan : 14 Mei 2014
3.2. Anamnesis
Keluhan Utama : Panas
Keluhan Tambahan : -
Riwayat Penyakit Sekarang
Keluhan Utama
Panas sejak 2 hari SMRS.
Riwayat Perjalanan Penyakit
Pasien mengeluh panas sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit.
Panas muncul tiba-tiba dan berlangsung terus-menerus, sehari sebelum
ke rumah sakitibu pasien mengatakan pasien mengalami kejang yang
berlangsung 5 menit, mata mendelik keatas, ibu pasien mengatakan
pasien baru pertama kali ini kejang, keluhan lain seperti muntah,
mencret disangkal ibu pasien.
48
2 hari dirawat di RS pasien masih panas, tetapi sudah tidak
mengalami kejang tetapi pasien mengalami penurunan kesadaran,
keluhan lain seperti muntah mencret selama di ruang perawatan di
sangkal ibu pasien.
Riwayat Penyakit Dahulu
o Sebelumnya pasien tidak pernah mengeluh penyakit seperti ini.
o Riwayat kejang sebelumnya disangkal
o Riwayat alergi dan asma disangkal
o Riwayat trauma kepala disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit serupa dalam keluarga disangkal.
Riwayat Sosial Ekonomi
Kesan ekonomi cukup.
Riwayat Kehamilan
ANC tidak rutin diperiksakan ke bidan atau dokter, ibu tidak pernah
menderita penyakit saat hamil.
Riwayat Kelahiran
o Tempat kelahiran : dirumah
o Penolong persalinan : bidan
o Cara bersalin : spontan
o Masa gestasi : prematur
o Keadaan bayi : Berat badan lahir 2500 gram dan panjang
lahir ( ibu lupa ), langsung menangis, sianosis (-), kuning (-).
49
3.3. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Pasien tampak sakit sedang
Kesadaran : penurunan kesadaran
Tanda vital :
o denyut nadi 124x/ menit, denyut kuat, isi cukup
o pernapasan 36x/menit, regular.
o suhu 380 C
Status gizi :
BB : 2500 gram, TB: 50 cm, LILA: 8,5 cm
Antropometri : LILA/U = 8,5/10,8= 78% (gizi kurang)
Status Generalis :
Kepala : deformitas (-), rambut hitam tersebar merata, wajah
simetris, LK: 38 cm
Mata : conjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil bulat isokor.
Telinga : sekret -/-
Hidung : cavum nasi lapang, konka edema (-),hiperemis (-),sekret -/-
Tenggorok : faring hiperemis (-), tonsil T1-T1 tenang
Leher : KGB TTM
Thorax : pergerakan dada simetris saat statis dan dinamis, retraksi (-)
Jantung = bunyi jantung I & II regular, Gallop (-), mur-mur (-)
Pulmo : Inspeksi : simetris saat statis dan dinamis, Auskultasi : suara
nafas vesikular +/+, Rhonki -/-, wheezing -/-
50
Abdomen : Inspeksi : Supel, datar. Palpasi : turgor kulitbaik, NT
(-), Hepar teraba ½, ½ L tidak tampak membesar. Perkusi : timpani
diseluruhlapang abdomen. Auskultasi :bisingusus (+) Normal.
Ektremitas : akral hangat +/+, sianosis -/-, edema -/-.
Status Neurologis
o Kesadaran : GCS = 9, E = 3, M = 3, V = 3
o Tanda rangsang meningeal : Kaku kuduk (-), laseque >70/>70,
kernig >135/>135, brudzinski I dan II (-)
o Nervus kranialis
N. I = tidak dapat dinilai
N II = tidak dapat dinilai
N III, IV, VI = kesan parese (-)
N VII = kesan parese (-)
N VIII = tidak dapat dinilai
N IX,X = uvula ditengah, arkus faring simetris
N XI = tidak dapat dinilai
N XII = tidak dapat dinilai
o Tonus : normotonus
o Sensorik = sulit dinilai
o Autonom = sulit dinilai
o Refleks fisiologi +2/+2
o Refleks patologis = Babinski -/-, chadoks -/-, offenheim -/-,
gordon -/-
51
o Abdomen : nyeri tekan region kanan atas
3.4. Pemeriksaan Laboratorium
KIMIA DARAH
Hb 13 gr/dl
Leukosit 12.000 gr/dl
Trombosit 240.000 gr/dl
3.5. Pemeriksaan Penunjang
PREKONTRAS
52
POSTKONTRAS
HasilCT SCAN CRANIOOCEREBRAL
Sulcus cortikalis dan fissura normal
53
Cysterna tak tampak kelainan
Tak tampak lesi hipodens dan hiperdes
Pada pemberian kontras tak tampak penyengatan patologis
Ventrikel lateral III dan IV normal
Tak tampak deviasi garis tengah
Batang otak dan cerebelum tak tampak kelainan
K E S A N
Tak tampak perdarahan , infark
Tak tampak SOL
54
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada laporan kasus di atas didapatkan data bahwa, pasien laki-laki
berumur 1 tahun mengeluh panas sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Panas
muncul tiba-tiba dan berlangsung terus-menerus, sehari sebelum ke rumah sakit
ibu pasien mengatakan pasien mengalami kejang yang berlangsung 5 menit, mata
mendelik keatas, ibu pasien mengatakan pasien baru pertama kali ini kejang,
keluhan lain seperti muntah, mencret disangkal ibu pasien.
2 hari dirawat di RS pasien masih panas, tetapi sudah tidak mengalami
kejang, tetapi pasien mengalami penurunan kesadaran, keluhan lain seperti
muntah mencret selama di ruang perawatan di sangkal ibu pasien.
Dari anamnesis didapatkan keluhan panas, kejang, penurunan kesadaran.
Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan dan pada pemeriksaan CT Scan
Cranioserebral didapatkan hasil tak tampak perdarahan, infark dan SOL.
Dari hasil data yang diperoleh melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan laboratorium dicurigai adanya meningitis tetapi pada pemeriksaan
radiologis didapatkan hasil yang normal.
Pada uraian diatas di dapatkan gejala klinis yang mengacu untuk
dilakukannya CT Scan Cranio Cerebral, pemeriksaan CT-Scan cranium
direkomendasikan sebelum lumbal punksi untuk menghindari herniasi otak akibat
edema serebri, dan juga untuk mencari kontraindikasi dari lumbal punksi.
55
Pada uraian di atas didapatkan pula hasil dari CT scan normal, CT scan
tidak terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan intracranial seperti, mid line shift,
dilatasi ventrikel, penyempitan sulci, perdarahan intracranial, compresi cysterna
basalis. Hal ini bukan berarti pasien tidak didiagnosa meningitis, ada beberapa
kemungkinan yang mendasari hasil dari pemeriksaan CT scan normal, yaitu bisa
saja memang pasien tidak menderita meningitis, dan kemungkinan kedua pasien
menderita meningitis pada fase akut.
Untuk melihat gambaran otak pada meningitis fase akut harus dilakukan
imaging lain yaitu MRI, pada MRI apabila terjadi meningitis fase akut akan
terdapat gambaran yang menunjukkan perubahan intensitas sinyal dari likuor.
56
BAB V
KESIMPULAN
Pada saat ini, secara umum telah diterima bahwa CT scan merupakan
pemeriksaan imaging linipertama untuk membantu menegakkan diagnose
meningitis. Pada gambaran CT scan pada meningitis akan tampak gambaran
normal, hyperden cisterna basalis, leptomeningeal enhancement, komplikasi dari
meningitis seperti abses cerebri, pelebaran ventrikel dll.
Pada fase akut meningitis, gambaran radiologi akan didapatkan normal,
sehinggabutuh imaging yang lain seperti MRI yang nantinya akan menimbulkan
gambaran perubahan intensitas sinyal dan likuor.
Gambaran pola lesi menentukan diagnosis yang tepat dan menentukan
tatalaksana terapi selanjutnya, sehingga menurunkan angka mortalitas dan
meningkatkan derajat kesembuhan pasien meningitis.
57
DAFTAR PUSTAKA
Dugdale, D.C., Vyas, J.M., 2010, Meningitis. Medline
Plus .http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000680.htm.
[Accessed 5 maret 2010].
Ismael S, Passat J. Gambaran umum penyakit saraf pada usia bayi dan anak yang
memerlukan pemeriksaan pencitraan. Dalam: Nurhamzah W,
Pramulyo HS, Andayani P, penyunting. Pencitraan: penggunaan nya
untuk menunjang diagnosis penyakit saluran napas dan saraf pada
anak. Naskah lengkap Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu
Kesehatan Anak XL Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 1997. h. 1-12.
Mangunatmadja I, Pendekatanklinikbebagaikasusneurologianak yang
membutuhkanpemeriksaan imaging. Sari Pediatri, Vol. 5, No. 2,
September 2003: 85 – 90.
Meningitis Foundation of America. What is Meningitis?. USA: Meningitis
Foundation of America. Available from:
http://www.meningitisfoundationofamerica.org/templates/section-
view/17/index.html. [Accessed 5 maret 2010].
Ömer Etlik1, Ömer Evirgen2, Ali Bay3, Nebi Yılmaz4,Osman Temizöz1, Hasan
Irmak2, Ekrem Doğan5 RADIOLOGIC AND CLINICAL
FINDINGS IN TUBERCULOUS MENINGITIS, YuzuncuYıl
University, Faculty of Medicine, Departments of Radiology1,
Infectious Disease2, Pediatrics3, Neurosurgery4 and Internal
Medicine4
2004
Ostegaard, C., Konradsen, H.B., Samuelsson, S., 2005. Clinical Presentation and
Prognostic Factor of Streptococcus pneumonie Meningitis
According to The Focus of Infection. BioMed Central, 93 (5): 1-11.
58
Pradhana, D.Referat Meningitis. Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf Rumah
Sakit Umum Daerah Budhi Asih. Fakultas Kedokteran Universitas
Trisakti Jakarta. 2009.
Roos, K.L., Tyler, K.L., Meningitis, Encephalitis, Brain Abscess, and Empyema.
In: Kasper, D.L., Braunwald, E., Fauci, A.S., Hauser, S.L., Longo,
D.L., and Jameson, J.L. Harrison’s Principles of Internal Medicine.
16thed. New York: McGraw-Hill, 2471-2490. 2005.
Radiopedia, Imaging Leptomeningitis (more commonly referred to
as meningitis) refers to inflammation of the subarachnoid space
(i.e. arachnoid mater and pia mater). It is usually
infective.http://radiopaedia.org/images/16084, 2008
Saladin, K.S., Anatomy & Physiology: The Unity of Form and and Function. 3rd
ed. New York: McGraw-Hill. 2003.
Swierzewski, S., 2002. Meningitis, Insidens and Prevalence
http://www.neurologychannel.com/meningitis/incidence.shtml
WHO, 2005. Meningococcal Disease in India.
http://www.who.int/emc/diseases/meningitis.
59