Upload
anggecintadia
View
176
Download
13
Embed Size (px)
DESCRIPTION
regulasi siklus menstruasi
Citation preview
TINJAUAN PUSTAKA
Diagnosis dan penanganan siklus menstruasi berdasarkan pengetahuan tentang
mekanisme fisiologis termasuk pemahaman tentang siklus menstruasi normal. Untuk mengetahui
pemahaman tentang siklus menstruasi normal sebaiknya siklus dibagi menjadi tiga fase: fase
folikular, ovulasi, dan fase luteal.
1. Fase folikuler
Dalam fase folikuler biasanya telah terbentuk beberapa folikel yang siap untuk ovulasi.
Dalam ovarium manusia, pada akhir perkembangan folikel (biasanya) hanya terdapat satu folikel
yang matang. Proses ini terjadi dalam 10-14 hari, disertai sejumlah aksi beberapa hormon dan
peptide autokrin-parakrin dalam folikel untuk menuju ovulasi melalui tahapan perkembangan
awal dari folikel primordial lalu tahapan preantral, antral dan folikel preovulasi.
1.1 Fase ovulasi
Sel primordial yang mulanya berasal dari endoderm yolksac, alantois dan hindgut
pada embrio lalu pada minggu ke 5-6 gestasi, sel primordial akan migrasi ke genital
ridge. Perkembangan mitosis cepat sel germinal terjadi pada minggu ke 6-8 kehamilan,
dan pada minggu 16-20 jumlah oosit akan mencapai jumlah maksimum, yaitu 6-7 juta
pada kedua ovarium. Formasi folikel primordial dimulai dari midgestasi dan telah
lengkap saat sesudah lahir. Folikel primordial tidak berkembang dan terdiri dari oosit,
beristirahat pada tahap meiosis profase stage diplotene, dikelilingi selapis sel granulose.
Sampai jumlahnya berkurang, folikel primordial akan mulai berkembang dan
mengalami atresia di bawah lingkaran fisiologis. Perkembangan dan atresia folikel tidak
dipengaruhi oleh kehamilan, periode ovulasi maupun anovulasi, proses tetap berlanjut
termasuk bayi dan masa menoupase. Jumlah oosit akan mulai berkurang saat umur 16-20
minggu kehamilan dan akan terus berkurang secara bertahap. Pengurangan paling cepat
terjadi sesaat sebelum kelahiran, hasilnya dari 6-7 juta berkurang sampai 1-2 juta saat
lahir hingga hanya mencapai 300.000 sampai 500.000 saat pubertas, dan selama masa
reproduktif wanita hanya 400-500 folikel yang berovulasi.
Mekanisme penentuan folikel mana dan berapa banyak folikel yang mulai
berkembang belum diketahui. Sejumlah folikel mulai berkembang pada setiap siklus
tergantung ukuran residual pool dari inaktif folikel primordial. Mengurangi residual pool
(misalnya unilateral ooforektomi) bisa menyebabkan menopause dini. Pada akhirnya
hanya satu folikel yang berhasil dan dapat berkembang lebih lanjut.
2.1 Apoptosis
Total waktu untuk mencapai preovulatori mencapai 85 hari. Semua proses tersebut tidak
tergantung regulasi hormonal. Tanpa kenaikan hormon FSH maka sebagian besar folikel tersebut
akan menuju proses apoptosis. Folikel terus berkembang merespon hormon FSH yang terus
menerus meningkat sampai ke titik puncak sehingga akan menghantarkan folikel yang dominan
untuk berovulasi. Ingat, bahwa pada pembentukan awal folikel terlepas dari pengaruh hormon
gonadotropin, akhirnya sebagian folikel mengalami apoptosis.Sebagian lolos dari apoptosis
karena juxtaposition yang merespon hormon FSH hingga akhirnya menjadi folikel dominan.
Penampakan pertama dari pembentukan folikel adalah bertambahnya ukuran oosit, dan
sel garnulosa lebih menjadi bentuk kuboid daripada bentuk squamous. Perubahan ini mungkin
dapat dilihat sebagai proses maturasi daripada pertumbuhan. Pada waktu yang sama, terdapat
jembatan (gap junction) antara sel granulose dan oosit. Jembatan ini berfungsi sebagai
pertukaran nutrisi, ion, juga sebagai pertukaran metabolit berupa antara sel granulose dan oosit.
Connexin ini penting untuk pertumbuhan, multiplikasi sel granulose, nutrisi dan regulasi
perkembangan oosit. Ekspresi connexin ini meningkat dengan adanya FSH dan menurun dengan
adanya LH. Setelah ovulasi, gap junction juga berfungsi saat corpus luteum, yang akan
memproduksi oksitosin.
Dengan adanya multiplikasi sel granulose kuboid (sampai 15 sel), folikel primordial
dapat menjad folikel primer. Lapisan granulose dipisahkan dari lapisan stroma dengan adanya
membrane lamina. Sel stroma akan berdiferensiasi menjadi teka interna (lapisan yang dekat
dengan basal lamina) dan teka externa (lapisan luar). Lapisan teka terlihat saat proliferasi
granulosa mencapai 3-6 lapis.
Kepercayaan bahwa pertumbuhan folikel tidak tergantung dari stimulasi gonadotropin
didukung dengan inisiasi defisien gonadotropin pada tikus percobaan dan janin yang anencepali.
Pertumbuhan menjadi terbatas dan cepat mengalami atresia. Pada penelitian folikel ovarium
manusia, ekspresi gen untuk reseptor FSH tidak bisa terdeteksi sampai setelah folikel primordial
mulai tumbuh. Lebih lanjut, pada wanita dengan inaktif mutasi FSH beta subunit, aktivitas antral
folikel selalu ada dan berlanjut tumbuh dan ovulasi yang tidak mungkin terjadi. Pengobatan pada
wanita defisiensi FSH dengan FSH dari luar akan menghasilkan pertumbuhan folikel, ovulasi
dan kehamilan.
2.2 Folikel preantral
Ketika pertumbuhan telah terakselerasi, folikel berkembang ke masa preantral yaitu
terjadi pembesaran oosit yang dikelilingi oleh membrane yaitu zona pelusida. Granulosa sel
mengalami proliferasi beberapa lapis sebagai lapisan teka yang dikelilingi stroma. perkembangan
ini tergantung dari gonadotropin dan terikat dengan kenaikan estrogen. Hormon FSH
mempelopori steroidogenesis (produksi estrogen) dalam sel granulose dan menstimulasi
pertumbuhan dan proliferasi sel granulose. Spesifik reseptor FSH tidak terdeteksi pada sel
granulose sampai memasuki fase preantral. Pengaturan meningkat dan menurunnya FSH
tergantung dari reseptor sel granulose itu sendiri baik in vivo maupun in vitro. aksi dari FSH
sendiri dimodulasi oleh faktor pertumbuhan.
Kerja FSH melalui protein G, sistem adenylate siklase yang mana menyebabkan
penurunan dan modulasi oleh banyak factor, termasuk dengan perantaraan kalsium-kalmodulin.
walaupun steroidogenesis folikel ovarium terutama diatur oelh gonadotropin, jalur multiple
signal juga terlibat. Jalur ini diatur melalui beberapa tingkatan termasuk factor pertumbuhan,
nitrat oksida, prostaglandin dan peptide seperti GnRH, angiostensin II, factor α jaringan nekrosis
dan vasoaktif peptide usus. Kombinasi sinergis FSH dan estrogen untuk meningkatkan aksi
mitosis pada sel granulosa. Bersama, FSH dan estrogen mempercepat peningkatan reseptor FSH,
yang kemudian akan meningkatkan jumlah sel granulose. Gambaran awal adanya estrogen dalam
folikel, memungkinkan folikel berespon terhadap kadar yang relatif rendah dari FSH. Hasil
pertumbuhan, sel granulose berdifferensisasi menjadi beberapa sub group dari populasi sel yang
berbeda.
Sistem komunikasi sel dalam folikel yaitu sel dengan reseptor dapat mentransfer sinyal
(melewati gap junction) yang menyebabkan aktivasi dari protein kinase dalam sel. Peran
androgen dalam pembentukan folikel sangatlah kompleks. Sistem komunikasi ini memungkinkan
bagi folikel untuk lanjut ke fase corpus luteum.
Reseptor androgen ada di dalam sel granulose, androgen tidak hanya sebagai substrat
bagi aromatisasi induksi FSH tapi dalam kadar yang rendah dapat meningkatkan aktivitas
aromatase. Bila terekspos dengan kadar androgen yang tinggi, folikel preantral akan
mengkonversi lebih banyak androgen menjadi 5α potent daripada menjadi estrogen. Androgen
yang telah terkonversi ini tidak bisa menjadi estrogen, bahkan dapat menghambat aktivitas
aromatase. Selain itu, dapat menghambat induksi FSH terhadap reseptor LH dan langkah penting
lain dalam pembentukan folikular.
Penentuan folikel preantral menuju keseimbangan. Pada konsentrasi rendah, androgen mempelopori aromatisasi dan berkontribusi dalam produksi estrogen. Pada kadar yang tinggi, aromatisasi akan berlebih dan folikel menjadi androgenic dan atretik. Folikel hanya akan berkembang saat FSH tinggi dan LH rendah. Keberhasilan folikel tergantung pada kemampuan mengkonversi androgen dominan-mikroenvironment ke estrogen dominan-mikroenvironment.
2.3 Folikel Antral
Di bawah pengaruh FSH dan estrogen, terjadi penambahan cairan folikel yang
terakumulasi di spatial interseluler dan membentuk cavitas yang kan membuat folikel memasuki
tahap antral. cairan ini memungkinkan untuk member nutrisi hormonal pada oosit. Sel granulose
yang mengelilingi oosit ini sekarang dikenal dengan cumulus oophorus.
Kehadiran FSH membuat estrogen menjadi substansi dominan dalam cairan folikel dan
ketidakhadiran FSH membuat androgen yang dominan. LH tidak akan tampak dalam cairan
folikel hingga pertengahan siklus. Bila LH muncul lebih awal dalam sirkulasi dan cairan antral,
maka aktivitas mitosis dalam granulose menurun, perubahan degenerative,dan level androgen
intrafolikuler meningkat. Sehingga adanya estrogen dan FSH dominan sangat penting untuk
pertumbuhan folikular. Folikel antral dengan proliferasi granulose paling besar memiliki
konsentrasi estrogen paling banyak dan androgen paling rendah.
2.4 Dua sel – Dua sistem gonadotropin
Aktivitas aromatase granulose dapat lebih jauh diamati pada sel teka. Pada folikel
preantral dan folikel antral, reseptor LH hanya ada pada sel teka dan reseptor FSH hanya di sel
granulose. Sel teka intersititial yang terdapatdalam teka interna mempunyai sekitar 20.000
reseptor LH pada membran selnya. Sebagai respon terhadap LH, jaringan teka terstimulasi untuk
memproduksi androgen yang kemudian melalui aromatisasi induksi FSH akan diubah menjadi
estrogen di dalam sel granulose.
Saat folikel terbentuk, sel teka mulai mengekspresikan reseptor LH, P450scc, and 3b
hydroxysteroid dehydrogenase. Regulasi terpisah (oleh LH) dari kolesterol sampai mitokondria,
penggunaan internal kolesterol LDL sangat penting untuk steroidogenesis. Maka dari itu,
steroidogenesis ovarium sangat bergantung terhadap LH. Sel granulose ovarium manusia, setelah
luteinisasi dan vaskularisasi terjadi dan diikuti ovulasi, dapat menggunakan kolesterol HDL
dimana berbeda dengan jalur kolesterol LDL. Lipoprotein tidak mengalami internalisasi,
walaupun jarang, cholesterylester diekstraksi dari lipoprotein pada sel permukaan dan kemudian
ditransfer ke dalam sel. Sebagai folikel yang tumbuh, sel teka memiliki ciri khas yaitu ekspresi
P450c17, suatu enzim untuk mengubah zat karbon 21 menjadi androgen. Sel granulosa tidak
mengekspresikan enzim ini sehingga tergantung androgen dari sel teka untuk membuat estrogen.
Peningkatan dari ekspresi dari sistem aromatisasi (P450arom) merupakan pertanda dari
peningkatan maturitas dari sel granulose. Kehadiran dari P450c17 yang hanya terdapat di sel teka
dan P450arom di sel granulose merupakan bukti dari kerja dua sel dan dua gonadotropin yang
menjelaskan produksi estrogen.
Yang terpenting dari awal dua sel, du sistem gonadotropin adalah dukungan melalui
respon dari wanita dengan defisiensi gonadotropin yang diatasi dengan pemberian rekombinan
(murni) FSH. Pembentukan folikel (menkorfirmasi pentingnya peran FSH daripada LH dalam
pertumbuhan dini) tetapi produksi estradiol berkurang. Beberapa aromatisasi terjadi, berharap
penggunaan androgen yang berasal dari kelenjar adrenal memproduksi fase folikular tingkat
estradiol, tetapi steroidogenesis yang yang baik biasanya dipengaruhi oleh LH untuk menyiapkan
produksi sel tekan dari zat androgen. Hasil ini menunjukkan bahwa hanya FSH yang dibutuhkan
untuk folikulogenesis.
2.5 Seleksi terhadap folikel dominan
Keberhasilan konversi dari folikel dominan estrogen menandakan seleksi terhadap folikel
yang kemudian hanya satu folikel yang dapat berhasil untuk ovulasi. Proses seleksi ini
merupakan hasil dari dua aksi estrogen yaitu 1)interaksi local antara estrogen dan FSH dalam
folikel, 2) efek dari estrogen terhadap sekresi pituitary FSH. Ketika estrogen member dampak
positif terhadap aksi FSH untuk pematangan folikel, akan terjadi feedback negatif antara FSH
pada tingkat hipotalamik-pituitari akan mengurangi dukungan gonadotropin keada folikel lain
yang kurang berkembang. Turunnya FSH menyebabkan aktivitas aromatase-FSH dependent
menurun, produksi estrogen sedikit dalam folikel yang kurang matang. Meskipun sedikit folikel
berhasil dalam lingkungan yang mikroestrogen, penurunan FSH akan menganggu proliferasi
granulose, meningkatkan konversi ke lingkungan mikroandrogen, dan menginduksi perubahan
atretik ireversibel. Peristiwa pertama dari atresia alah berkurangnya reseptor FSH dalam lapisan
granulose.
Hilangnya beberapa oosit dan folikel melalui atresia (apoptosis) merupakan respon dari
beberapa factor. Stimulasi dan penurunan gonadotropin berperan sangat penting, tapi steroid
ovarium dan factor autokrin-parakrin juga ikut berperan. Ketika sel telah memasuki proses
apoptosis, maka respon sel terhadap FSH dipengaruhi oleh factor pertumbuhan local. Tumor
necrosis factor (TNF) diproduksi oleh sel granulose, menghambat stimulasi dari sekresi estradiol,
kecuali untuk folikel dominan. Pada folikel dominan akan terjadi peningkatan respon terhadap
gonadotropin dan penurunan produksi TNF. Folikel yang lainnya yang gagal merespon stimulasi
FSH akan meningkatkan produksi TNF, mempercepat kematian sel itu sendiri.Meski fungsi dari
hormon anti muellerian (AMH) adalah meregresi duktus muellerian selama differensiasi seksual
pria, namun hormon ini terdeteksi dalam sel granulose saat awal folikel primordial dan mencapai
kadar puncak saat folikel antral. Studi menyebutkan bahwa AMH dapat menghambat
pertumbuhan folikel primordial. Tambahan, ktivitas parakrin dari AMH menghambat stimulasi
FSH yang akan mengancam perkembangan folikel dominan. Karena aktivitas tersebut, tingkat
AMH dalam sirkulasi akan mencerminkan jumlah folikel yang tumbuh, dan konsentrasi AMH
dalam darah akan dapat diukur dari penuaan ovarium dan progrosis dari infertilitas.
Hubungan negatif dari estrogen pada FSH akan menghambat semua pertumbuhan kecuali
folikel dominan. Folikel dominan, harus diselamatkan dari supresi induksi FSH oleh akselerasi
produksi estrogennya. Folikel dominan memiliki dua keuntungan, sebagian besar reseptor FSH
didapat karena tingkat proliferasi granulose dan aksi dari FSH karena konsentrasi estrogen
intrafolikullar yang tinggi dan juga karema peptide local autokrin-parakrin. Folikel dominan
sensitif terhadap FSH sehingga folikel dominan akan terus berkembang selama terekpos FSH.
Hasilnya, stimulasi untuk aromatisasi, FSH diikutu penurununan pembentukan folikel lainnya.
Atresia folikel berhubungan dengan munculnya estrogen.
Sel granulose yang bertambah besar diikuti oleh pembentukan vascular pada teka. Hari
ke 9, vaskularisasi folikel dominan dua kali lebih banyak daripada folikel antral lainnya. Folikel
ovarian mengekspresikan factor pertumbuhan potent (factor pertumbuhan vascular endothelial)
yang menginduksi angiogenesis, ini dapat diamati saat proliferasi kapiler tejadi yaitu pada folikel
dominan dan awal korpus luteum.
Dalam merespon masa ovulasi dan menjadi korpus luteum yang berhasil, maka sel
granulose harus mendapatkan reseptor LH. FSH meninduksi pembentukan LH reseptor dalam
folikel antral. Disini estrogen dan local autokrin-parakrin kembali berperan. Dengan
meningkatnya estrogen, FSH mengubah fokusnya yakni dari memperbanyak resptornya sendiri
berubah ke memperbanyak reseptor LH. Ini terjadi karena kadar FSH yang lebih rendah daripada
estrogen local sehingga menyebabkan kondisi optimal bagi perkembangan reseptor LH.
LH memiliki peran yang kritis dalam tingkat akhir pembentukan folikel, menyediakan
dukungan untuk maturasi folikel dominan. LH muncul pada awal ovulasi sehingga dibutuhkan
folikel yang berkembang optimal agar tersedia oosit yang sehat. Aksi local dari estrogen folikel
ovarium dipertanyakan ketika penelitian gagal mendeteksi reseptor estrogen dalam kompartemen
ovarium. Selanjutnya diketahui bahwa dalam sel granulose manusia terdiri dari hanya mRNA
untuk beta reseptor estrogen. meski prolaktin selalu ada dalam cairan folikular, namun belum
terbukti bahwa prolaktin berperan penting selama siklus ovulasi.
2.6 Sistem timbal balik
Gonadotropin-releasing hormone (GnRh) memainkan peran penting dalam mengontrol
sekresi gonadotropin, tetapi pola sekresi gonadotropin yang diamati dalam siklus menstruasi
adalah hasil dari modulasi timbal balik dari steroid dan peptide yang berasal dari folikel
dominan, dipengaruhi langsung oleh hipotalamus dan anterior pituitary. Sebagai tambahan,
peningkatan GnRh diikuti lonjakan LH, mengindikasikan bahwa timbal balik positif estrogen
mempengaruhi sistem pituitary dan hipotalamus. Estrogen juga meningkatan efek penghambatan
anterior pituitary dan hipotalamus, menurunkan pulsasi sekresi GnRh dan respon GnRh pituitary.
Progesteron juga mempengaruhi dua sisi yaitu penghambatan level hipotalamus dan seperti
estrogen, memberi dampak positif terhadap pituitari.
Sekresi FSH sangat sensitif terhadap efek negatif penghambatan pada estrogen meski
dalam kadar rendah. Sebaliknya, dampak estrogen terhadap pelepasan LH bervariasi terhadap
konsentrasi dan lama pajanan. Pada konsentrasi rendah, estrogen imposes timbal balik negatif
terhadap LH. Pada konsentrasi tinggi, estrogen memacu stimulus positif untuk pelepasan LH.
Transisi dari supresi sampai stimulasi pelepasan LH terjadi saat estradiol muncul selama fase
midfolikular. Ada dua mekanisme yang terjadi disini, 1) Konsentrasi estradiol, 2) Lama waktu
puncak estradiol. Pada wanita, konsentrasi estradiol yang memberikan dampak positif ialah
lebih dari 200pg/ml, dan konsentrasi ini harus bertahan setidaknya selama 50 jam. Level ini tidak
akan terjadi sampai diameter folikel dominan mencapai 15 mm.
Pola pulsasi FSH tidak mudah dibedakan dengan LH meskipun FSH relatif lebih lama
half life nya, tetapi data eksprerimental mengindikasikan bahwa FSH dan LH disekresikan secara
simultan dan GnRh menstimulasi kedua gonadotropin. Pada 36-48 jam sebelum menstruasi,
sekresi gonadotropin memberikan lebih banyak LH dan FSH dalam level rendah yang
menandakan fase luteal berakhir. Selama transisi dari fase luteal sebelumnya samapi fase
folikular berikutnya, GnRH dan gonadotropin telah disekresikan dari efek penghambatan
estradiol, progesterone, dan inhibin. Peningkatan progresif dari sekresi GnRh lebih dihubungkan
dengan sekresi FSHdaripada LH. Pulsasi GnRh merubah fase luteal yang dihubungkan dengan
pajanan progesterone, bila amplitude pulsasi berubah maka akan berdampak pada level
progesterone.
2.7 Inhibin, Aktivin, dan Folistatin
Inhibin terdiri dari dua peptide yang berbeda (yang dikenal alpha dan beta sub unit)
dihubungkan dengan rantai disulfide. Dua bentuk inhibin (inhibin A dan inhibin B), setiapnya
terdiri dari sub unit alpha yang identik. Maka ada tiga sub unit bagi inhibin yaitu alpha, beta A
dan beta B. Setiap sub unit memproduksi mRNA yang berbeda, yang akan terikat oleh prekusor
masing masing molekul.
The form of inhibin :
Inhibin A: Alpha-BetaA
Inhibin B : Alpha-BetaB
2.8 Faktor pertumbuhan
Faktor pertumbuhan merupakan polipetida yang memodulasi proliferasi dan diferensiasi
sel , yang akan menggabungkan diri ke reseptor spesifik membran sel. Mereka bekerja secara
lokal dan berfungsi dalam bentuk autokrin dan parakrin. Terdapat banyak faktor pertumbuhan
dan kebanyakan sel berisi banyak reseptor untuk faktor pertumbuhan yang bervariasi.
Faktor pertumbuhan serupa insulin (Insulin-Like Growth Factor)
Faktor pertumbuhan serupa insulin (sebelumnya disebut somatomedin) adalah
peptide yang memiliki struktur dan fungsi yang hampir sama dengan insulin dan
memediasi aksi dari hormon pertumbuhan. Faktor pertumbuhan serupa insulin I (IGF 1)
dan faktor pertumbuhan serupa insulin II (IGF II) merupakan polipetida tunggal berisi 3
ikatan disulfida. IGF I disandikan pada lengan panjang kromosom 12 dan IGF II pada
lengan pendek kromosom 11 (yang juga berisi insulin).
Sirkulasi terbesar IGF I tergantung dari sintesis hormon pertumbuhan di hepar.
IGF I disintesis di banyak jaringan dimana produksinya dapat diregulasi oleh hormon
pertumbuhan atau faktor lainnya. IGF II sedikit bergantung pada hormon pertumbuhan.
Kedua IGFs ini dapat menginduksi ekspresi gen selular yang bertanggung jawab dalam
proliferasi dan differensiasi.
Insulin Like growth factor Binding Protein
Ada enam peptide tidak terglikosiliasi yang fungsinya hamper sama seperti IGF
binding protein., IGFBP-1 sampai IGFBP-6. Protein pengikat ini bertugas membawa
IGFs dalam serum, memperpanjang waktu paruh, dan meregukasi dampak IGFs terhadap
jaringan. Aksi regulasi ini dikarenakan pengikatan dan sequesterisasi dari IGFs,
mencegah akses IGFs terhadap reseptor . membran sel.
Reseptor IGF
Reseptor yang mengikat IGF I disebut reseptor IGF I , dan reseptor tipe II yang
mirip disebut reseptor IGF II. IGF I juga berikatan dengan reseptor insulin, tetapi dengan
afinitas yang rendah. Ikatan insulin dengan reseptor IGF I dengan afinitas yang moderat.
Reseptor IGF I dan reseptor insulin memiliki struktur yang hamper sama. Reseptor IGF II
tidak berikatan dengan insulin, terdiri dari rantai glikoprotein tunggal, dengan 90%
strukturnya berisi ekstraseluler. Reseptor ini berfungsi sebagai reseptor yang berpasangan
dengan protein G. Efek fisiologis IGF I dapat diatur oleh reseptornya, tetapi reseptor IGF
II dapat mendesak aksinya melalui kedua reseptor. Memang reseptor IGF I mengikat IGF
I dan IGF II dengan afinitas seimbang. Dalam sel manusia, reseptor IGF I dan reseptor
IGF II terdapat dalam sel teka dan sel granulosa dan di dalam luteinisasi sel granulosa.
Aksi ovarium terhadap IGFs. IGF-1 menstimulasi kejadian di teka ovarium dan
sel granulosa: sintesis DNA, steroidogenesis, aktivitas aromatase, sintesis reseptor LH,
dan sekresi inhibin. IGF II menstimulasi mitosis granulosa. Dalam sel ovarium manusia,
IGF I bekerja sinergis dengan FSH, menstimulasi sintesis protein dan steroidogenesis.
Setelah LH muncul, IGF I memicu sintesis LH-induksi progesteron dan menstimulasi
proliferasi dari sel granulosa-luteal di masa folikel preovulasi. IGF I juga terlibat dalam
sintesis estradiol dan progesterone. Hormon pertumbuhan juga bekerja sinergis dengan
FSH dan estradiol untuk meningkatkan sintesi IGF.
IGF II dapat didapatkan di sel teka dan sel granulosa, kadar tertinggi terdapat di sel granulosa dan makin tinggi seiring dengan pertumbuhan folikel. Sel teka mengekspresikan transkripsi mRNA, yang akan mengkode reseptor IGF dan insulin, karena insulin dan IGF II dapat mengaktivasi reseptor IGF I. Penambahan hormon pertumbuhan akan meningkatkan produksi IGF dan secara tidak langsung memicu stimulasi gonadotropin.
Pada penelitian, IGFBP 1 menghambat IGF 1 yang dimediasi oleh steroidogenesis
dan proliferasi dari luteinisasi sel granulosa. Sintesis IGFBPs dihambat oleh FSH, IGF I
dan IGF II. IGFBP 1 ditemukan sel granulosa pada folikel yang sedang tumbuh, IGFBP 3
di sel teka dan granulosa pada folikel dominan, IGFBP 2,4,5 di sel teka dan granulosa
pada fase antraal dan folikel atresia, IGFBP 6 belum ditemukan dimanapun. Protein
pengikat yang predominan adalah IGFBP 2 dan IGFBP 3 yang meningkat pada tingkat
folikel dominan dan menurun saat akhir masa folikuler. Disimpulkan bahwa IGFBP 1, -
2,-3 berperan dalam pertumbuhan folikel, IGFBP -4,-5 dalam masa atretik.Sirkulasi
IGFBP 1 menurun saat merespon insulin, makanya kadarnya juga menurun pada wanita
saat masa anovulasi dan polikistik ovary yang kadar insulinnya meningkat, mereka juga
memiliki kadar IGF 1 yang meningkat karena rangsangan LH. IGFBP 2 dan -4 pada
pasien anovulatori meningkat ( seperti folikel yang atretik).Kekurangan IGF 1 yang
terkait abnormalitas reseptor faktor pertumbuhan dapat menyebabkan dwarfisme tipe
laron.
Faktor pertumbuhan epidermal
Sel granulosa bertanggung jawab dalam faktor pertumbuhan ini dan dihubungkan
dengan stimulasi gonadotropin. Faktor pertumbuhan epidermal mensupresi up regulasi
dari FSH dan reseptornya sendiri.
Faktor pertumbuhan fibroblas
Faktor ini ada pada semua jaringan yang memproduksi steroid. Berperan dalam
menstimulasi mitosis dalam sel granulosa, angiogenesis, aktivasi plasminogen,
menghambat up regulasi FSH, menghambat FSH-induksi reseptor LH dan produksi
estrogen. Peranannya berlawanan dengan TGF β.
Platelet-derived growth factor
Ikut merespon FSH termasuk differensiasi sel. Bersama EGF ikut dalam
memproduksi prostaglandin.
Angiogenic growth factor
Vaskulariosasi folikel dipengaruhi oleh peptida dalam cairan folikular, terutama
vascular endothelial growth factor (VEGF), sitokin yang diproduksi oleh sel granulosa
karena respon dari LH.
Sistem Interleukin 1
Merupakan sitokin golongan immunomediator. Pada tikus, interleukin 1
menstimulasi sintesis prostaglandin.
Tumor Necrosis Factor α (TNF α)
Merupakan produk dari leukosit (makrofag), merupakan kunci dari proses
apoptosis/ atresia folikel.
Peptida lainnya
Cairan folikel terdiri dari prorenin, precursor inaktif dari rennin dengan konsentrasi 12
kali lebih banyak daripada di plasma. Itu muncul karena adanya stimulus LH. Kadar prorenin d
sirkulasi juga meningkat pada awal kehamilan karena adanya stimulasi hormon hCG. Peran dari
sistem prorenin-renin-angiostensin termasuk steroidogenesis ini untuk menyediakan substrat
androgen untuk produksi estrogen, regulasi metabolism kalsium dan prostaglandin dan stimulasi
angiogenensis. Sistem ini mungkin berefek pada vascular dan jaringan di luar dan dalam
ovarium.
Kadar ACTH dan βlipotropin dalam folikular cukup konstan selama siklus tapi kadar
βendorphin memuncak sesaat sebelum ovulasi. Corticotropin releasing hormon (CRH) ada di sel
tekam hormon ini menghambat LH-stimulated produksi androgen dalam sel teka.
Anti muellerian hormon diproduksi oleh sel granulosa dan mungkin berperan dalam pematangan
oosit dan pembentukan folikular, secara langsung proliferasi dari sel granulosa dan sel luteal.
Kehamilan-associated plasma protein A, ditemukan dalam plasenta yang juga ada dalam
cairan folikular. Itu mungkin menghambat aktivitas proteolitik dalam folikel sebelum ovulasi.
Endothelin 1 yaitu pepetida yang diproduksi oleh sel vaskular endothelial yang sebelumnya
dikenal sebagai penghambat luteinisasi; ekspresi gennya diinduksi oleh hipoksia yang
berhubungan dengan granulosa avaskular dan menghambat LH-induksi produksi progesteron.
Oksitosin ditemukan di folikel preovulasi dan korpus luteum.
Pada awal fase folikular, activin diproduksi oleh sel granulosa pada folikel imatur lalu
memicu aktivitas aromatase FSH dan formasi reseptor FSH dan LH, sementara secara bertahap
menekan sintesis theca androgen. Pada fase akhir folikular, terjadi peningkatan inhibin (terutama
inhibin B) oleh granulosa (dan menurunkan aktivin) mempelopori sintesis androgen dalam teka
sebagai respon dari LH dan IGF II untuk menyediakan substrat untuk produksi estrogen yang
lebih banyak.
Folikel yang berhasil adalah satu folikel yang mendapat kadar aktivitas aromatase paling
tinggi dan reseptor LH dalam merespon FSH. Ciri folikel yang berhasil ini memiliki estrogen
paling banyak (feedback sentral) dan penghambatan inhibin paling besar (lokal maupun sentral).
Kadar tertinggi aktivin terdapat pada imatur folikel antral dan paling rendah pada folikel
preovulatori. Inhibin B merupakan inhibin predominan pada foliikel preantral dan inhibin A
meningkat ketika folikel menjadi besar dan matang. Sintesis dan sekresi inhibin selama fase
folikular diregulasi oleh FSH dan faktor pertumbuhan.
Adanya androgen dalam sel granulosa mempelopori adanya aktivitas aromatase dan
produksi inhibin, sebaliknya, inhibin mendorong stimulasi LH dari sintesis theca androgen.
Seiring perkembangan folikel, ekspresi inhibin (inhibin A) dibawah kontrol LH. Kunci sukses
ovulasi dan fungsi luteal adalah konversi dari produksi inhibin untuk merespon LH untuk
menekan FSH secara sentral dan memicu kerja LH secara lokal. Pematangan akhir dari folikel
dominan dan kesehatan oosit ditandai dengan adanya LH.
2.9 Folikel preovulatori
Sel granulosa menjadi bertambah besar dan terdapat inklusi lipid, dan sel teka menjadi
bervakuola dan mendapat banyak vaskularisasi dan gambaran folikel menjadi hiperemik. Folikel
preovulatori memproduksi lebih banyak estrogen. Selama akhir fase folikuler, estrogen
meningkat sedit dan mencapai puncak saat 24-36 jam sebelum ovulasi. Peristiwa puncak LH
terjadi ketika kadar puncak estradiol tercapai. Lalu LH memicu terjadinya luteinisasi granulosa
dri folikel dominan yang akan menghasilkan progesteron. Begitu resptor LH muncul akan
menghambat pertumbuhan sel dan focus terhadap steroidogenesis (yang dipicu oleh IGF).
Peningkatan progesteron dapat dideteksi pada aliran vena paling tidak hari ke 10 dari siklus.
Reseptor progesteron mulai muncul dalam sel granulosa pada periode periovulatori. Pandangan
lama menyatakan bahwa progesterone muncul karena respon dari estrogen. Penelitian pada
monyet menyebutkan bahwa progesterone muncul karena distimulasi oleh LH. Data in vitro
menyebutkan bahwa resptor progesteron dan progesteron secara langsung menghambat mitosis
sel granulosa, yang mungkin dapat menjelaskan proliferasi granulosa yang terbatas sejak
mendapat reseptor LH.
Progesteron mempengaruhi feedback positif merespon estrogen. Ketika telah ada kadar estrogen
yang adekuat, progesteron memberi feedback positif, dalam aksi langsung ke pituitary, dan
dalam adanya kadar subtreshold dari estradiol yang dapat menginduksi kadar puncak LH.
Sebelum adanya stimulus estrogen atau dalam kadar tinggi (> 2 ng/ml dalam darah) progesteron
memblokade kadar puncak LH. Aksi dari estrogen dan progesteron ini membutuhkan aksi dari
GnRh.
Periode preovulasi berhubungan dengan munculnya 17αhydroxyprogestrone dalam level plasma.
Ini sinyal untuk stimulus LH untuk P450scc dan P450c17, yaitu enzim untuk produksi teka
androgen, substrat untuk estrogen granulosa. Setelah ovulasi, beberapa sel teka menjadi
luteinisasi sebagai bagian dari korpus luteum dan kehilangan kemampuan untuk megekspresikan
P450c17. Ketika folikel lainnya gagal mencapai kematangan, maka sel teka akan kembali asal
menjadi jaringan ikat. Karena sel teka memproduksi androgen, peningkatan jaringan ikat pada
fase akhir folikular berhubungan dengan munculnya andorogen dalam plasma perifer yaitu !5%
peningkatan androstenidione dan 20% testosterone. Hal ini dipicu oleh kemunculan inhibin.
Produksi androgen dalamfase ini memiliki dua tujuan 1) Peran lokal untuk memicu atresia
folikel yang gagal, 2) Efek sistemik untuk menstimulasi libido.
3. Ovulasi
Perkiraan ovulais terjadi dalam 10-12 jam setelah terjadi puncak LH dan 24-36 jam
setelah terjadi puncak estradiol. Kejadian puncak LH merupan indiikasi ovulasi, terjadi 34-36
sebelum rupture folikel. Ambang batas konsentrasi Lh harus maintenance setidaknya 14-27 jam
agar terjadi pematangan oosit sempurna. Biasanya puncak LH berakhir 48-50 jam. Studi
menyebutkan bahwa ovulasi dan kehamilan sering terjadi pada ovarium sebelah kanan. Ovulasi
bergantian antara dua ovarium ini sering terjadi pada wanita muda, namun setelah umur 30
tahun, ovulasi sering terjadi pada kedua ovarium. Kadar puncak Lh menginisiasi kelangsungan
meiosis oosit (meiosis tidak akan lengkap sampai masuknya sperma dan badan polar kedua
dilepaskan), luteinisasi sel granulosa, ekspansi cumulus, sintesis prostaglandin dan eukasinoid
lainnya untuk rupture folikel.Maturasi premature oosit dicegah oleh faktor lokal. LH-induksi
siklik AMP mengatasi aksi lokal dari penghambat maturasi oosit (OMI) dan penghambat
luteinisasi (LI). OMI berasal dari sel granulosa dan produksinya tergantung kontak dengan
cumulus oophorus. Activin juga menekan produksi progesterone dari sel luteal untuk mencegah
luteinisasi dini.
Dengan adanya puncak LH, kadar prosgesteron terus meningkat. Adanya kenaikan
progesteron menyebabkan penurunan dari LH (feedback negatif). Progesteron juga
meningkatkan distensibilitas dinding folikel. ]FSH, LH dan progesteron menstimulasi aktivasi
enzim protelitik yang akan mencerna kolagen dalam dinding folikel dan meningkatkan
distensibilitas dinding. Kadar puncak gonadotropin juga melepaskan histamine yang dapat
menginduksi ovulasi dan menstimulasi sel teka dan granulosa untuk memproduksi activator
plasminogen. Aktivator plasminogen ini akan mengaktivasi plasminogen dalam cairan folikular
untuk memproduksi plasmin. Plasmin, sebaliknya, memperbaharui kolagen untuk
menghancurkan dinding folikel. pada tikus, peningkatan aktivasi plasminogen dipicu oleh
stimulus LH dimana penghambatan plasminogen menurun. Sebelum dan sesudah ovulasi
penghambat plasminogen meningkat dan sesaat sebelum ovulasi activator plasminogen
meningkat dan penghambat plasminogen menurun.
Prostaglandin E dan F serta eukasinoid lain mencapai kadar puncak saat ovulasi. Sintesis
prostaglandin disintesis oleh interleukin β. Penghambatan sisntesis produk ini dari asam
arakidonat memblok rupture folikel tanpa mempengaruhin proses LH-induksi lainnya seperti
luteinisasi, stereodogeneisis, maturasi oosit. Peran prostaglandin penting sehingga pada pasien
infertilitas disaranakan menjauhi penggunaan obat-obatan penghambat sintesis prostaglandin.
Sejumlah besar leukosit berada dalam folikel dalam sebelum masa ovulasi. Neutrofil merupakan
substansi dominan dalam kompartemen sel teka pada kedua folikel, folikel sehat dan folikel
atretik. Akumulasi leukosit dimediasi oleh mekanisme kemotatik dari sistem interleukin. Sel
imum ini mungkin berkontribusi dalam proses perubahan selular yang berhubungan dengan
ovulasi, fungsi korpus luteum dan apoptosis.
Kadar puncak FSH mungkin tergantung dari kemunculan progesteron. Produksi activator
plasminogen senstif terhadap FSH seperti juga LH. Disproporsi dan ekspansi sel cumulus
menyebabkan oosit-massa sel cumulus menjadi melayang-layang di dalam cairan folikel antral
sesaat sebelum rupture folikel. Mekanisme penghentian LH belum diketahui pasti. Beberapa jam
setelah kemunculan LH, kadar estrogen sirkulasi menurun. Penurunan LH dapat dihubungkan
dengan hilangnya stimulasi positif dari estradiol atau kenaikan feedback negatif terhadap
progesterone. Turunnya LH juga mencerminkan deplesi LH pada pituitary due to down-regulasi
dari reseptor GnRh. Dalam siklus normal, pelepasan gonadotropin dan pematangan akhir karena
waktu puncak gonadotropin dikontrol oleh estradiol.
4. Fase luteal
Sebelum rupture folikel dan ovum dilepaskan, sel granulosa mulai menambah ukuran dan
gambaran vaskular dengan akumulasi pigmen kuning, lutein, yakni korpus luteum. Selama 3 hari
pertama setelah ovulasi, sel granulosa lanjut membesar dan sel teka berdiferensiasi dari
mengelilingi sel teka menjadi bagian dari korpus luteum. Kapiler mulai berpenetrasi dalam
lapisan granulosa mencapai kavitas sentral dan kadang berisi darah setelah puncak LH.
Angiogenesis merupakan hal penting dalam proses luteinisasi, respon dari LH yang dimediasi
oleh faktor pertumbuhan yaitu VEGF dan angiopotein yang diproduksi sel granulosa yang
terluteinisasi. Pada fase luteal awal, angiogenesis diikuti peningkatan VEGF dengan
menstabilisasi pertumbuhan vaskular. Regresi korpus luteum, VEGF dan angiopoetin 1 menurun
diikuti dengan luruhnya vaskular yang diikuti luteolisis.Hari ke 8 atau 9 setelah ovulasi, puncak
vaskularisasi tercapai dihubungkan dengan puncak progesteron dan estradiol dalam darah.
Fungsi normal luteal dapat diperoleh secara maksimal pada perkembangan folikel preovulasi.
Penekanan terhadap FSH selama fase folikular dihubungkan dengan rendahnya kadar estradiol
pre ovulasi, penurunan produksi progesteron mid luteal. Perubahan granulosa avaskular dari fase
folikuler ke jaringan luteal yang vaskularnya juga penting. Karena produksi steroid tergantung
transportasi kolesterol LDL. Vaskularisasi lapisan granulosa adalah penting untuk mengizinkan
kolesterol LDL mencapai sel luteal memberikan substrat yang cukup untuk memproduksi
progesteron. Satu pekerjaan penting LH adalah mengatur reseptor LDL, internalisasi, dan proses
postreseptor; perangasangan gambaran reseptor LDL terjadi pada sel granulosa selama stadium
awal luteinisasi sebagai respon terhadap puncak LH mid siklus. mekanisme tersebut mengalirkan
kolesterol ke mitokondria untuk utilisasi sebagai penghambat pembangunan dalam
stereodogenesis.
Ketergantungan korpus luteum terhadap LH kemudian didukung oleh suatu luteolisis
yang mengikuti GnRh agonis atau antagonis atau GnRh withdrawal apabila ovulasi diinduksi
oleh GnRh secara pulsatif. Tidak ada kejadian hormon luteotrofik lainnya seperti rolaktin
memiliki peran dalam siklus menstruasi.
Korpus luteum tidaklah homogen. Di samping sel luteal, juga terdapat sel endotel, leukosit dan
fibroblast. Bentuk sel nonsteroidogenik terbesar (70-85%) dari seluruh populasi sel. sel imun
leukosit memproduksi beberapa sitokin, meliputi interleukin 1β dan TNF α. Ada beberapa
perbedaan leukosit dalam korpus luteum juga merupakan sumber enzim sitolitik, prostaglandin,
dan faktor pertumbuhan termasuk angiogenesis, steroidogenesis, dan luteolisis. Korpus luteum
merupakan salah satu dari contoh terbaik sebagai komunikasi dan persilangan biologi. Seperti
contoh, sel endothelial banyak mengandung vasoaktif campuran, dan sebaliknya sel
steroidogenik mengkontribusi faktor yang menyebabkan angiogenesis. Fungsi yang harmonis
pada sistem proporsi terbalik masih merupakan kompleks. Sel endothelial mengandung sekitar
50% sel matur korpus luteum. Populasi sel luteal tidak homogeny, terdiri atas 2 tipe sel yang
jelas, yang besar dan kecil. Beberapa dipercaya bahwa sel besar diperoleh dari sel granulosa dan
sel kecil dari sel teka. Sel kecil biasanya berlebihan. Meskipun kenyataan bawa steroidogenesis
lebih banyak terjadi pada sel besar., sel kecil mengandung reseptor LH dan hCG.Hilangnya
reseptor LH dan hCG pada sel besar, kiranya diperoleh dari sel granulosayang terdapat pada
reseptor LH pada fase akhir folikuler, dapat dijelaskan, mungkin sel besar berfungsi pada kadar
maksimal dengan total reseptor menempati dan berfungsi atau karena komunikasi interseluler
secara terus-menerus mengalami gap junction, sel besar tidak langsung diperoleh dengan
dukungan gonadotropin. Kemudian sel besar dapat berfungsi pada kadar yang tinggi, di bawah
kontrol faktor pengaturan sel sel kecil yang asli yang respon terhadap gonadotropin. Sebagai
tambahan, beberapa fungsi disebarkan oleh tanda autokrin/parakrin dari sel endothelial dan sel
imun. Sel besar luteal memproduksi peptida ( oksitosin, relaksin, inhibin dan faktor pertumbuhan
lainnya) dan lebih diaktifkan saat stereodogenesis dengan aktivitas aromatase terbesar dan
sintesis progesteron daripada sel kecil. Sistem aromatase (P450arom) secara terus menerus aktif
pada sel granulosa yang mengalami luteinisasi. kadar progesteron meningkat secara tajam setelah
ovulasi, peningkatan puncak sekitar 8 hari setelah puncak LH. progesteron bekerja pada dua
lokasi lokal dan sentral untuk menekan beberapa folikel pertumbuhan. Apabila sirkulasi kadar
progesteron normal terpelihara setelah lutektomi berikutnya ovulasi dapat terjadi pada ovarium
yang dengan konsentrasi rendah yang menyebar melalui vena.
Permulaan pertumbuhan folikel baru setelah fase luteal selanjutnya dihambat oleh
rendahnya kadar gonadotropin yang member efek umpan balik negatif dari estrogen, progesteron
dan inhibin A. Dengan gambaran reseptor LH pada sel granulosa dari folikel dominan dan
selnjutnya perkembangan folikel sampai korpus luteum. gambaran penghambatan di bawah
kontrol LH dan perubahan ekspresi dari inhibin B ke inhibin A. Sirkulasi kadar inhibin A
meningkat pada fase akhir folikuler untuk meningkatkan kadar puncak pada fase midluteal.
Inhibin A kemudian menyebar terhadap penekanan FSH sampai kadar terendah selama fase
luteal, dan perubahan transisi luteal-folikuler. Pada siklus normal waktu periodic dari LH surge
pertengahan siklus sampai haid adalah konsisten selesai 14 hari. Untuk tujuan praktis, fase luteal
berakhir antara hari 11 dan 17 adalah normal. Insiden pendeknya fase luteal sekitar 5-56%. hal
ini baik diketahui secara bermakna dan bervariasi dalam lamanya siklus pada wanita merupakan
jumlah yang bervariasi diperoleh dari pertumbuhan dan perkembangan folikel pada fase
folikuler. Fase luteal tidak memanjang dengan meningkatnya LH yang keluar secara progresif
merupakan indikasi bahwa terjadi kerusakan korpus luteum akibat aktifnya mekanisme luteolitik.
Korpus luteum secara cepat mengalami kemunduran 9-11 hari setelah ovulasi, dan mekanisme
degenarasi tersebut tidak diketahui. Pada spesies mamalia, faktor luteolitik berasal dari uterus
(prostaglandin F2α) mengatur pertumbuhan korpus luteum Tidak adanya faktor luteolitik yang
diidentifikasi pada siklus haidm dan pengangkatan uterus tidak member pengaruh terhadap siklus
ovarium; yang mana secra morfologi regresi sel luteal diinduksi oleh produksi estrogen korpus
luteum. Terdapat kejadian yang mendukung peranan estrogen dalam member kemunduran
terhadap korpus luteum. Peningkatan sirkulasi estradiol dini pada fase awal luteal menyebabkan
turunnya progesteron. Injeksi langsung estradiol ke dalam ovarium menyebabkan korpus luteum
merangsang luteolisis serupa dengan pengobatan terhadap produksi ovarium kontralateral yang
tidak memberi efek. Terdapat peran lain yang mungkin memproduksi estrogen dari korpus
luteum. Sebagaimana diketahui bahwa estrogen dibutuhkan untuk sintesis reseptor progesteron
di endometrium, fase luteal estrogen adalah penting agar progesteron menyebabkan perubahan di
endometrium setelah ovulasi. Reseptor progesteron dan estrogem yang inadekuat merupakan
mekanisme tambahan penyebab infertilitas atau keguguran, suatu bentuk defisiensi fase luteal.
gap junction adalah gambaran meninjol dari sel luteal, yang disebut folikel sebelum ovulasi.
Struktur gap junction dipengaruhi oleh oksitosin, suatu parakrin yang bisa menyebabkan
kontraksi korpus luteum. Bila ovulasi diinduksi oleh GnRh, kematian fase luteal terjadi
meskipun tidak ada perubahan penanganan, pertentangan perubahan mulai dalam LH sebagai
mekanisme lteolitik. tambahan, reseptor LH binding afinitasnya tidak berubah sampai keluar dari
fase luteal. kemudian penurunan steroidogenesis mencerminkan inaktivvasi ssistem
(menghasilkan suatu pembiasan dari korpus luteum terhadap LH). Proses luteolisis meliputi
enzim proteolitik, terutama matrix metalloproteinase (MMPs). Enzim tersebut di bawah kontrol
inhibitor yaitu inhibitor jaringan dari metalloproteinase disekresi oleh sel luteal secara
steroidogenik dan penyebab kadar TIMP tidak berubah pada jaringan luteal, luteolisis dipercaya
secara langsung meningkatkan ekspresi MMP. bagian ini penting membantu HCG untuk
mencegah peningkatan ekspresi MMO. Indikasi lainnya bahwa HCG dapat meningkatkan
produksi TMP dan menghambat aktivitas MMP dan luteolisis.
Ketahanan hidup korpus luteum diperpanjang dengan adanya peningkatan stimulus dar HCG.
Stimulus pertama muncul pada saat puncak pertumbuhan korpus luteum (9-13 setelah ovulasi),
bersamaan mencegah regresi luteal. HCG sendiri memelihara vital steroidogenesis korpus
luteum sampai sekitar 9 atau 10 minggu kehamilan yang mana steroidogenesis plasenta telah
berfungsi dengan baik. Pada beberapa kehamilan, mana steroidogenesis plasenta telah berfungsi
dengan baik pada minggu ke 7 kehamilan. Dengan adanya bifasik dari sirkulasi progesteron
(penurunan setelah ovulasi dan meningkat saat fase midluteal). pada level mRNA dua enzim
mayor terlibat dalam sintesis progesteron akan maksimal saat ovulasi dan menurun saat fase
luteal. Ini menyatakan bahwa lama hidup korpus luteum adalah saat ovulasi, regresi luteal
kecuali kalau korpus lutem dibantu HCG dari kehamilan.
4.1 Peralihan luteal-folikular
Panjangnya interval dari fase akhir luteal mengakibatkan penurunan produksi estradiol
dan progesteron sebagai seleksi dari folikel dominanmerupakan penentuan dan waktu yang kritis,
ditandai dengan adanya haid, tetapi tampak lebih sedikit perubahan hormonal untuk memulai
siklus haid. faktor krisis ini yaitu GnRH, FSH, LH, estradiol, progesterone dan inhibin. Adanya
peranan penting terhadap kerja FSH-dimediasi sel granulosa, hal ini bertepatan dengan
penerimaan folikel yang berovulasi baru secra langsung oleh peningkatan selektif FSH yang
dimulai 2 hari sebelum terjadi haid. Inhibin B berasal dalam sel granulosa korpus luteum dan
sekarang di bawah kontrol LH. jangkauan terendah dalam sirkulasi periode midluteal. Inhibin A
mencapai puncaknya saat fase luteal, kemudian membantu menekan sekresi FSH oleh hipofisis.
Sampai kadar terendah tercapai selama siklus haid proses proteolisis, yang mana mekanisme
dengan menghasilkan kematian korpus luteum, mempengaruhi sekresi inhibin A sebaik
steroidogenesis. dari pelaporan terhadap inhibin A seekor kera, efektif menekan FSH. Beberapa
laporan wanita dengan defisiensi gonadotropin telah direkomendasikan bahwa pertumbuhan
awal folikel diperoleh dari FSH dan LH tidak begitu penting pada fase ini. Kadar inhibin B mulai
meningkat setelah peningkatan FSH (perangsangan FSH terhadap sel granulosa untuk
mensekresi inhibin) dan mencapai kadar puncak sekitar 4 hari setelah peningkatan maksimal
FSH. kemudian penekanan sekresi selama fase folikuler merupakan kerja inhibin Bsebagai
penghambatan FSH selama peralihan fase luteal-folikular sebagai suatu reaksi terhadap
penurunan sekresi inhibin A oleh korpus luteum. S
irkulasi kadar aktivin meningkat saat fase luteal dan puncaknya saat haid. Aktivin
ditemukan meningkat dalam sirkulasi, tapi tidak begitu pasti memiliki peran endokrin. Waktu
yang tepat bagi aktivin untuk berkontribusi dalam munculnya Sh adalah selama fase peralihan
luteal-folikular. Aktivin memicu dan folistatin menekan aktivitas GnRh.
Munculnya FSh juga dikarenakan adanya perubahan dalam pulsasi sekresi GnRh. sebelumnya
ditekan kuat oleh kadar tinggi estradiol dan progesteron dari fase luteal. Peningkatan progresif
pulsasi GnRh terjadi saat fase peralihan luteal-folikular. dari masa midluteal sampai puncak
menstruasi terdapat 4,5 kali peningkatan frekuensi denyutan LH (dan kiranya GnRh) dari sekitar
3 pulsasi per 24 jam sampai 14 pulsasi per 24 jam. Selama waktu periode rerata 4,8 IU/L sampai
8 IU/L peningkatan FSH tercatat terbesar daripada LH. Frekuensi pulsasi FSH meningkat 3,5
kali dari midluteal sampai haid, meningkat rerata sekitar 4 IU/L sampai 15 IU/L. Peningkatan
frekuensi pulsasi GnRh dari kadar rendah dihubungkan dengan peningkatan FSH pada beberapa
percobaan, termasuk ooforektomi kera dengan menghancurkan hipotalamus. pengobatan wanita
hipogonadal dengan pulsasi GnRh menghasilkan sekresi FSH predominan (LH lebih). Estradiol
menekan sekresi FSH dari pemeriksaan klasik feedback negatif dihubungkan dengan kadar
hipofisis. Penurunan estradiol pada fase akhir GnRh yang membaik responnya dengan
peningkatan sekresi FSH.
5. Siklus menstruasi normal
Lamanya haid ditentukan oleh rerata dan kualitas pertumbuhan dan perkembangan folikel
dan dalam hal ini merupakan variasi normal dari setiap individu wanita. Panjang siklus
memendek pada usia akhir 30 an, diikuti peningkatan FSH dan penurunan inhibin. Ini bisa
menjadi gambaran dari akselerasi pertumbuhan folikel. Pada waktu bersamaan, folikel yang
tumbuh setiap siklus lebih sedikit seiring bertambahnya usia wanita. Kira-kira 2-4 tahun sebelum
menopause, siklus memanjang kembali. Pada 10-15 tahun terakhir sebelum menopause, terdapat
percepatan kehilangan folikel. Akselerasi ini dimulai ketika jumlah total folikel mendekati
25.000 pada wanita pada usia 37-38. seringnya menopause terjadi karena cadangan folikel
berkurang. Prevalensi siklus anovulatori paling banyak terjadi pada wanita usia krang dari 20 dan
lebih dari 40 tahun.
Seluruhnya, variasi panjang siklus menstruasi berbeda dengan panjang fase folikuler
siklus menstruasi. Wanita yang memiliki siklus 25 hari berovulasi sekitar hari ke 10-12 dari
siklus dan dengan 35 hari siklus berovulasi sekitar 10 hari kemudian. Pada usia 25 tahun, 40%
lebih siklus berada diantara 25 dan 28 hari selamanya; dari 25 sampai 35, lebih dari 60% terjadi
lebih dari 25 dan 28 hari. 28 hari siklus yang biasanya terjadi, tetapi biasanya hanya 12,4% dari
siklus yang dinyatakan Vollman. Secara keseluruhan sekitar 15% siklus haid usia reproduktif
adalah 28 hari lamanya. Hanya 0,5% wanita mengalami siklus kurang dari 21 hari lamanya, dan
hanya 0,9% siklus lebih besar dari 35 hari. Kebanyakan wanita memiliki siklus 24 sampai 35
hari, tetapi kurang 20% wanita mengalami sikluus tak teratur.