23
6 BAB II IKAN GURAME, BAKTERI Aeromonas hydrophila, PENANDA GENETIK, PCR, MIKROSATELIT & APLIKASINYA, DAN GEL POLIAKRILAMIDA A. Ikan Gurame (Osphronemus goramy Lac.) Ikan gurame (Osphronemus goramy Lac.) merupakan salah satu ikan asli perairan Indonesia. Menurut Jangkaru (2004) gurame mempunyai bentuk badan agak panjang, pipih dan tertutup sisik yang berukuran besar serta terlihat kasar dan kuat. Punggungnya tinggi dan mempunyai sirip perut dengan jari pertama sudah berubah menjadi alat peraba. Gurame jantan yang sudah tua terdapat tonjolan seperti cula. Mulutnya kecil dengan bibir bawah menonjol sedikit dibandingkan bibir atas. Pada jantan bibir bawah relatif tebal. Gurame memiliki lima buah sirip, yaitu: sirip punggung, sirip dada, sirip perut, sirip dubur dan sirip ekor. Sirip punggung tidak begitu panjang, atau pendek dan berada hampir di bagian belakang tubuh. Sirip dada kecil berada di belakang tutup insang. Sirip perut juga kecil berada di bawah sirip dada. Sirip ekor berada di belakang tubuh dengan bentuk bulat, sedangkan sirip dubur panjang, mulai dari belakang sirip perut hingga pangkal bawah sirip ekor (Arie, 2008) Menurut Jangkaru (2004) ujung sirip punggung dan sirip dubur dapat mencapai pangkal ekor, ujung pangkal ekor berbentuk busur. Pada dasar sirip dada gurame betina terdapat tanda berupa bundaran hitam. Bagian kepala gurame muda berbentuk lancip dan akan menjadi tumpul bila sudah besar. Pada badan

Rekam Kejadian Aeromonas

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Aeromonas hydrophila

Citation preview

6

BAB II

IKAN GURAME, BAKTERI Aeromonas hydrophila, PENANDA GENETIK,

PCR, MIKROSATELIT & APLIKASINYA, DAN GEL

POLIAKRILAMIDA

A. Ikan Gurame (Osphronemus goramy Lac.)

Ikan gurame (Osphronemus goramy Lac.) merupakan salah satu ikan asli

perairan Indonesia. Menurut Jangkaru (2004) gurame mempunyai bentuk badan

agak panjang, pipih dan tertutup sisik yang berukuran besar serta terlihat kasar

dan kuat. Punggungnya tinggi dan mempunyai sirip perut dengan jari pertama

sudah berubah menjadi alat peraba. Gurame jantan yang sudah tua terdapat

tonjolan seperti cula. Mulutnya kecil dengan bibir bawah menonjol sedikit

dibandingkan bibir atas. Pada jantan bibir bawah relatif tebal.

Gurame memiliki lima buah sirip, yaitu: sirip punggung, sirip dada, sirip

perut, sirip dubur dan sirip ekor. Sirip punggung tidak begitu panjang, atau

pendek dan berada hampir di bagian belakang tubuh. Sirip dada kecil berada di

belakang tutup insang. Sirip perut juga kecil berada di bawah sirip dada. Sirip

ekor berada di belakang tubuh dengan bentuk bulat, sedangkan sirip dubur

panjang, mulai dari belakang sirip perut hingga pangkal bawah sirip ekor (Arie,

2008)

Menurut Jangkaru (2004) ujung sirip punggung dan sirip dubur dapat

mencapai pangkal ekor, ujung pangkal ekor berbentuk busur. Pada dasar sirip

dada gurame betina terdapat tanda berupa bundaran hitam. Bagian kepala gurame

muda berbentuk lancip dan akan menjadi tumpul bila sudah besar. Pada badan

7

gurame muda terdapat garis tegak atau vertikal berwarna hitam berjumlah 7-10

buah dan garis-garis tegak ini akan hilang setelah dewasa (Robert, 1992).

Badan gurame bluesafir muda pada umumnya berwarna biru kehitaman

dan bagian perut berwarna putih atau kekuningan. Warna tersebut akan berubah

menjelang dewasa, yakni pada bagian punggung berwarna kecoklatan dan pada

bagian perut berwarna keperakan atau kekuningan (Jangkaru, 2004).

Gambar 2.1. Ikan gurame varietas bluesafir (Sumber : Kusumawaty et al., 2008)

Klasifikasi gurame menurut Lacapede (1801 dalam Sitanggang dan

Sarwono, 2003) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Phylum : Chordata

Class : Actinopterygii

Order : Perciformes

Family : Anabantidae

Genus : Osphronemus

Species : Osphronemus gouramy (Lacepede)

Penyebaran ikan gurame, pada awalnya banyak ditemukan di Pulau

Sumatra, Jawa dan Kalimantan, tetapi karena sangat digemari masyarakat, maka

8

ikan ini menyebar ke beberapa pelosok tanah air. Bahkan sejak abad 18, ikan

gurami sudah diproduksi ke negara lain, diantaranya: Madagaskar, Mauritius,

Sycheles, Australia, Srilangka, Suriname, Guyane, Martinique dan Haiti (Robert,

1992).

Sesuai dengan sejarah perikanan Indonesia yang cukup panjang, ikan

gurami juga telah lama dikembangkan secara komersial oleh para pembudidaya,

baik yang khusus memelihara gurami atau memelihara dengan jenis ikan lainnya.

Bahkan di beberapa daerah sudah terbentuk sentra-sentra kawasan pengembangan

budidaya, sehingga apabila memerlukan benih atau konsumsi dapat dengan

mudah mendatanginya. Berikut ini merupakan kawasan pembudidaya gurami

diantaranya: Jawa Barat (yaitu di Bogor, Tasikmalaya, Ciamis dan Garut), Jawa

Tengah (Cilacap, Banyumas, Banjarnegara dan Purbalingga), Daerah Istimewa

Yogyakarta (Kulonprogo, Bantul dan Sleman), Jawa Timur (Tulungagung, Blitar

dan Lumajang) dan propinsi lainnya, yaitu Sumatra Barat, Riau, dan Kalimantan

Selatan (Arie, 2008).

Gurame sangat menyenangi perairan yang tenang, seperti rawa, situ, danau

dan perairan tenang lainnya. Menurut Sitanggang & Sarwono (2003), di sungai

yang berarus deras, gurame jarang ditemui. Kehidupan yang menyukai perairan

yang bebas arus itu terbukti, ketika gurami sangat mudah dipelihara di kolam-

kolam tergenang, Max Weber dan De Beau Fort dalam The Fishes of The

Australian Archipelago mengungkapkan bahwa gurame dapat menyesuaikan diri

pada perairan yang agak payau dan agak asin. Kegiatan ini banyak dilakukan di

Cengkareng, Kamal, dan Tegal Alur di Wilayah Jakarta Barat.

9

Djarijah dan Puspowardoyo (1992) mengungkapkan gurame umumnya

hidup dan banyak dipelihara di perairan tawar, terutama pada perairan yang

tenang dan dalam. Gurame dapat tumbuh dan berkembang pada perairan tropis

dan subtropis. Ikan ini mempunyai daya adaptasi tinggi terhadap lingkungan,

tetapi lebih cocok hidup pada ketinggian maksimal 800 m di atas permukaan laut.

Selanjutnya keduanya mengatakan, bahwa suhu ideal untuk pertumbuhan gurami

antara 24–29oC, derajat keasaman (pH) antara 6,5–8, kandungan oksigen terlarut

3–5 ppm, dan air yang tidak terlalu keruh dengan kecerahan pada pengukuran alat

secchi disk.

B. Penyakit yang Disebabkan oleh Aeromonas hydrophila

Walaupun pemeliharaan ikan gurame relatif mudah, namun masih ada

kendala yang terjadi, yaitu terserangnya ikan oleh penyakit yang disebabkan oleh

bakteri. Salah satu penyakit bakterial yang merupakan kendala dalam budidaya air

tawar adalah penyakit yang disebabkan oleh Aeromonas hydrophila. Bakteri

Aeromonas tersebut umumnya hidup di air tawar, tanaman air, dan tubuh ikan,

sehingga berpeluang besar untuk dapat menginfeksi pada saat sistem pertahanan

tubuh ikan menurun akibat stres. Aeromonas dapat menyerang semua jenis ikan

air tawar dan jenis penyakitnya disebut Motil Aeromonas Septicemia (MAS)

(Plumb, 1994).

Sinonim dari penyakit MAS berhubungan dengan gejala serangan penyakit

yang disebabkan bakteri atau racun yang ditimbulkan yaitu septicemia pada

permukaan tubuh ikan dan organ tubuh ikan lainnya. Bakteri A. hydrophila adalah

bakteri gram negatif berbentuk batang yang biasanya diisolasi dari kolam air

10

tawar. Bakteri ini adalah organisme yang banyak ditemui pada saluran pencernaan

ikan (Cipriano, 2001).

Aeromonas hydrophila dikategorikan sebagai patogen oportunis, yaitu

dapat menyebabkan penyakit bila kondisi memenuhi syarat. Pada situasi alami,

kehadiran bakteri ini dianggap normal, akan tetapi pada kondisi akuakultur yang

intensif keberadaan bakteri ini patut diperhitungkan. Penyakit akibat bakteri ini

biasanya muncul akibat dari kondisi stres pada ikan. Ahli akuakultur sepakat

bahwa ikan dapat mengalami stres apabila terkondisikan pada penanganan yang

kurang baik, kepadatan yang terlalu tinggi, transportasi dalam kondisi yang buruk,

nutrisi yang tidak memadai dan kualitas air yang buruk. Beberapa faktor kualitas

air yang dapat menyebabkan ikan rentan terserang A. hydrophila antara lain

tingginya kandungan nitrit, rendahnya kandungan oksigen terlarut dalam air atau

tingginya kandungan karbon dioksida terlarut (Robert, 1992).

Ikan yang terserang penyakit dapat menunjukkan beberapa gejala antara

lain kematian yang mendadak, kurangnya nafsu makan, gerakan berenang yang

tidak normal, insang yang pucat, pembengkakan tubuh atau luka-luka pada ikan.

Kurniadie (2005) dan Meita (2005) mengemukakan bahwa ikan yang terinfeksi

bakteri A. hydrophila mengalami gejala klinis seperti organ dalam ikan hancur,

terjadi pendarahan, sisik mengelupas, tubuh luar memerah sampai borok dan

terjadi pembengkakan perut dan mata sehingga terlihat menonjol. Simptom

penyakit bervariasi karena tergantung dari beberapa faktor antara lain virulensi

dari bakteri, resistensi ikan terhadap infeksi, hadirnya atau tiadanya septicemia

dan bacterimia dan faktor yang diasosiasikan dengan stres pada ikan (Cipriano,

11

2001). Berikut beberapa gambar yang menunjukkan gejala klinis dari ikan yang

mati atau sensitif terhadap bakteri A. hydrophila

Gambar 2.2. Ikan gurame yang terserang bakteri A. hydrophila, bagian mata memerah (Sumber : Kusumawaty et al., 2008).

a

b

Gambar 2.3. Ikan gurame yang terserang bakteri A. hydrophila, (a) sisiknya

mengelupas dan (b) terdapat bercak-bercak merah di tubuhnya (Sumber : Kusumawaty et al., 2008)

Terdapat beberapa data tentang kasus serangan bakteri A. hydrophila

terhadap ikan air tawar. Serangannya terjadi sepanjang bulan Mei sampai Agustus

2002. Pada bulan Mei ratusan ton ikan mati secara mendadak akibat serangan

bakteri ini di Kabupaten Subang. Pada bulan Juni, wabah ini menyerang petani

ikan di Kabupaten Bandung dan Kabupaten Garut. Serangan bakteri yang terjadi

di Kabupaten Bandung menyebabkan kematian ikan mas sebanyak 63,3 ton.

Kejadian ini menyebabkan kerugian sebanyak 506,7 juta rupiah (Holipah, 2006).

12

Wabah ini juga menyerang empat kecamatan di Kabupaten Garut, yaitu

Kecamatan Bayongbong, Kadungora, Sukawening dan Cikajang. Kejadian di

Kabupaten Garut ini menyebabkan petani ikan mas tidak berhasil menjual hasil

tambaknya ke pasaran, bahkan ikan yang tersisa dipanen secara terpaksa (Holipah,

2006).

Pada bulan Juli 2002, di Kabupaten Bandung kembali terjadi wabah

serangan bakteri A. hydrophila dengan jumlah keseluruhan ikan yang terserang

adalah 442,4 ton dan hanya 10% dari jumlah tersebut yang berhasil diselamatkan.

Pada bulan yang sama, terjadi juga di daerah Kuningan serangan bakteri ini

menyebabkan kerugian sebesar 3,2 milyar rupiah dan di daerah tersebut, bakteri

Aeromonas hydrophila menyerang ikan mas, ikan tawes dan ikan gurame

(Holipah, 2006).

Pada bulan Mei 2003 ribuan petani ikan mas di sepanjang Sungai Cimala

dan Waduk Cirata di Kecamatan Cipeundeuy, Cikalong Wetan, dan Cililin,

Kabupaten Bandung, Jawa Barat, juga mengalami gagal panen karena ikan mas-

nya terserang bakteri Aeromonas. Sekitar 1.430 petani ikan dengan jumlah kolam

dan karamba mencapai 2.000 buah di kedua kecamatan tersebut dan 400

pembudidaya ikan mas yang menggunakan jaring terapung di Waduk Cirata

terancam bakteri Aeromonas. Ikan mas yang mati terserang bakteri Aeromonas

tampak mengambang di kolam air deras yang memanfaatkan aliran Sungai

Cimala. Ikan yang mati itu terlihat menggembung dengan insang membengkak.

Akibat wabah ini, diperkirakan produksi ikan mas dari wilayah ini menurun 70-

80% (Tn. 2003a).

13

Pada bulan Oktober 2005, warga Kanagarian Lubuk Pandan Kabupaten

Padang Pariaman dikejutkan oleh kematian ikan gurame lebih kurang 47 ton

gurame konsumsi dan 2,1 juta ekor benih yang siap untuk dipasarkan milik

kelompok tani ikan Mutiara Sukma di Kanagarian Lubuk Pandan. Lokasi yang

terserang luasnya sekitar 50 hektar dengan jumlah petani sekitar 80 KK, ditaksir

nilai kerugian lebih kurang Rp. 1,5 milyar. Masyarakat mengatakan penyakit aneh

dengan gejala ikan yang terserang nafsu makannya berkurang, juga menyerang

bagian mata dan kulit ikan. Kematian ikan sudah sudah berlangsung sejak awal

tahun 2005 tapi dalam jumlah yang sedikit (Diraja, 2007).

Beberapa kasus serangan bakteri A. hydrophila tersebut menimbulkan

banyak kematian pada ikan, tetapi masih ada ikan yang tetap hidup dalam jumlah

sedikit. Ikan yang tetap hidup tersebut merupakan ikan berkualitas baik karena

tahan terhadap serangan bakteri A. hydrophila. Selama ini, para petani ikan

gurame pada umumnya melihat kualitas ikan dari morfologi saja. Namun, petani

belum bisa menentukan secara pasti antara ikan yang resisten dengan ikan yang

sensitif terhadap bakteri A. hydrophila. Penanda DNA sangat potensial untuk

membantu memecahkan masalah ini, karena teknik ini sudah dapat menunjukkan

adanya perbedaan antara individu dalam satu species yang tinggi (Kusumawaty et

al., 2008). Dengan diperolehnya penanda DNA tersebut akan sangat membantu

para pemulia ikan gurame dengan program perbaikan mutu ikan untuk

mendapatkan ikan gurame yang unggul.

14

C. Penanda Genetik

Perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat pesat dewasa ini,

memungkinkan saling menunjangnya perkembangan berbagai disiplin ilmu

pengetahuan. Beberapa kemajuan tersebut antara lain adalah perkembangan ilmu

biologi molekul yang memungkinkan diperolehnya suatu marka (penanda) gen

yang mengendalikan karakter suatu individu. Teknik-teknik yang digunakan

dalam genetika banyak menggunakan penanda genetik sebagai alat bantu

mengidentifikasi genotipe suatu individu. Penanda genetik merupakan ekspresi

pada individu yang terlihat oleh mata atau terdeteksi dengan alat tertentu, yang

menunjukkan dengan pasti genotif suatu individu (Widodo, 2003).

Aplikasi penanda genetik sangat luas. Bidang-bidang kedokteran,

pertanian, ilmu pangan, lingkungan, antropologi, sejarah, hukum

menggunakannya sebagai alat analisis atau alat pembuktian. Beberapa penanda

genetik sangat terpercaya karena tidak mudah berubah akibat pengaruh

lingkungan. Terdapat beberapa penanda genetik dalam menganalisis genom, yaitu

penanda morfologi, penanda biokmia dan penanda molekul.

Penanda morfologi merupakan penanda yang mudah dilihat oleh mata dan

telah banyak digunakan sejak masa awal genetika. Contohnya adalah warna,

ukuran, atau bentuk organ tertentu. Dalam jumlah besar penanda morfologi

dipelajari dan dipetakan untuk manusia, mencit, Drosophila, jagung, tomat serta

hewan dan tumbuhan lainnya (Liu, 1998). Penanda morfologi ini dapat

termodifikasi oleh pengaruh lingkungan sehingga dianggap tidak stabil. Selain itu,

penanda morfologi jumlahnya sangat terbatas dan untuk mengamatinya orang

15

harus menunggu hingga sifat penanda itu muncul sehingga penggunaan penanda

ini sangat terbatas.

Perkembangan ilmu pengetahuan yang begitu pesat, menyebabkan

ditemukanlah suatu penanda molekul yang mengandalkan sifat-sifat aplikatif

DNA. Penanda ini mulai dipakai semenjak ditemukannya secara berturut-turut

enzim endonuklease restriksi, teknik Southern blot, dan PCR sekitar tahun 1970.

Teknik elektroforesis gel, yang juga menjadi prasyarat penggunaan penanda ini,

telah dipakai bertahun-tahun sebelumnya. Dukungan dari bidang automasi,

robotika, dan bioinformatika terhadap teknik sekuensing pada tahun 1990 hingga

awal abad ke-21 menjadikan penanda molekul menjadi hal yang relatif ekonomis

untuk dikerjakan. Berikut ini adalah beberapa penanda molekul berdasarkan DNA

yang dikenal hingga saat ini, yaitu RFLP (Restriction Fragment Length

Polymorphisms), RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA), ISSR (Inter

Simple Sequence Repeat) dan mikrosatelit (Widodo, 2003).

Restriction Fragment Length Polymorphisms atau RFLP adalah penanda

yang berasal dari susunan DNA yang terjadi karena proses evolusi, mutasi titik

pada situs enzim restriksi, insersi atau delesi dalam fragmen DNA. Restriction

Fragment Length Polymorphisms merupakan marker kodominan yang dapat

dipercaya dalam analisis keterpautan dan breeding. Penggunaan RFLP

menyebabkan proses analisis keterpautan dan breeding dapat ditentukan dengan

mudah jika karakter terdapat dalam bentuk homozigot atau heterozigot. Kelebihan

dari penanda RFLP adalah konsistensi yang tinggi, sifat pewarisan kodominan,

dapat diulang antarlaboratorium, tidak memerlukan informasi sekuen, dan relatif

mudah diinterpretasikan menjadi data matrik karena perbedaan yang besar antar

16

fragmen, tetapi penggunaan RFLP memerlukan DNA dalam jumlah yang besar

untuk pemotongan dengan enzim restriksi. Kekurangan lain dalam penggunaan

RFLP adalah penggunaan isotop radioaktif yang relatif mahal dan berbahaya serta

waktu yang diperlukan cukup lama (Semagn et al, 2006). Penanda lain adalah

RAPD merupakan penanda molekul yang menggunakan teknik PCR. Primer yang

digunakan dalam RAPD adalah Oligonukleotida tunggal pendek (10-12 basa)

dengan urutan acak untuk mengamplifikasi genomik DNA dengan temperatur

annealing yang rendah (Bardakci, 2001). Penanda lainnya adalah ISSR,

merupakan penanda molekul yang melibatkan amplifikasi segmen DNA yang

berada pada jarak yang dapat teramplifikasi antara dua daerah mikrosatelit

berulang yang identik tetapi dengan orientasi arah yang berbeda dan penanda yang

terakhir adalah mikrosatelit yang dikenal juga dengan simple sequence repeats

(SSRs) adalah kelas terkecil dari sekuen berulang yang terdiri dari dua, tiga atau

empat nukleotida. Penanda ini sering menunjukkan polimorfisme inter dan

intraspesifik dengan level tinggi dan terdapat melimpah dalam genom suatu

species. Salah satu contoh umum mikrosatelit adalah dinukleotida berulang

(CA)n, dimana n menunjukkan jumlah total nukeotida.

Karakteristik jenis-jenis penanda molekul tersebut dapat digunakan untuk

berbagai macam kepentingan yang biasanya bersifat diagnostik serta forensik.

Selain itu, penanda genetik bisa dipakai sebagai alat bantu seleksi dan pengukur

keanekaragaman genetik. Penanda genetik juga berguna dalam proses mengetahui

sidik jari DNA pada pembuktian forensik, uji serologi untuk mengetahui

kehadiran penyakit tertentu, pembuatan peta genetik, seleksi berbantuan marker

(marker-assisted selection, MAS), deskripsi keanekaragaman genetik, analisis

17

hubungan kekerabatan etnis manusia, analisis kekerabatan/taksonomi, analisis

kualitas lingkungan dan analisis kandungan bahan pangan/pakan (Widodo, 2003).

D. Teknik PCR (Polymerase Chain Reaction)

Untuk amplifikasi DNA digunakan teknik PCR yaitu suatu metode yang

digunakan untuk memperbanyak DNA secara in-vitro dengan dasar reaksi

enzimatik. Amplifikasi DNA secara eksponen terjadi melalui peningkatan dan

penurunan suhu di dalam mesin thermocycler sehingga terjadi tahapan sebagai

berikut, yaitu tahap denaturasi, penempelan primer (annealing) dan tahap

ekstensi. Tahap pertama denaturasi menggunakan suhu tinggi yaitu sekitar 90-

95oC. Selama denaturasi DNA rantai ganda akan tepisah menjadi DNA rantai

tunggal, semua reaksi enzimatik terhenti. Tahap selanjutnya adalah penempelan

primer, suhu yang digunakan berkisar antara 35-65oC (tergantung primer yang

digunakan) sehingga primer menempel pada DNA rantai tunggal. Setelah primer

menempel pada DNA cetakan, primer akan mengalami polimerisasi, yaitu suatu

proses penambahan deoksinukleosida trifosfat yang dikatalis oleh enzim DNA

polymerase, kemudian terjadi pemanjangan sehingga dihasilkan dua DNA rantai

ganda baru, pemanjangan ini terjadi pada suhu 72oC. Gambar 2.4.

Gambar 2.4 Gambaran tahapan-tahapan pada reaksi PCR yang dimulai dari

denaturasi, annealing sampai ekstensi (Vierstraete, 1999)

18

Pada Gambar 2.5 menunjukkan jumlah salinan DNA yang dihasilkan dari

satu siklus yang terdiri atas tiga tahapan. Jumlah salinan DNA target meningkat

secara eksponensial. Bila n jumlah siklus, maka jumlah salinan DNA target adalah

2n

Gambar 2.5 Ilustrasi sejumlah salinan DNA target yang meningkat secara

eksponensial. Bila n jumlah siklus, maka jumlah salinan DNA target adalah 2n ((Vierstraete, 1999)

Bahan bahan yang digunakan dalam PCR terdiri atas oligonukleotida

sebagai sumber energi dan donor basa untuk sintesis DNA. Primer, DNA

polymerase, DNA cetakan, buffer dan MgCl2. Siklus dalam PCR dapat berulang

beberapa kali sesuai dengan kebutuhan karena deoksinukleotida dan primer

terdapat dalam jumlah berlebih.

Enzim DNA polymerase hanya akan menambahkan deoksinukleotida

trifosfat pada nukleotida yang komplementer dengan nukleotida pada DNA

cetakan. Denaturasi rantai ganda memerlukan suhu tinggi (90-95oC), sehingga

mendenaturasi enzim yang digunakan. Oleh karena itu, digunakan enzim yang

tetap aktif dalam suhu tinggi. Enzim tersebut berasal dari bakteri temofilik,

Thermus aquaticus yang lebih dikenal dengan sebutan Taq polymerase (Saiki,

1988). Penggunaan enzim tahap panas ini mempermudah pengerjaan PCR karena

tidak membutuhkan panggantian enzim untuk setiap siklus dan setiap reaksi.

19

Selain itu enzim ini juga sangat efektif untuk proses polimerisasi pada suhu 72oC

karena enzim ini bekerja efektif pada suhu 70-75oC. Spesifitas reaksi amplifikasi

juga tergantung pada suhu penempelan primer yang ditentukan oleh urutan dan

panjang nukleotida primer (Lusiana, 1997).

E. Mikrosatelit

Mikrosatelit adalah sekuen sederhana yang berulang-ulang terdiri dari 2-4

motif sekuen nukleotida sebagai sekuen konservatif yang melimpah dalam genom

suatu species. Sebagai contoh adalah motif (GAG)10 =

(GAGGAGGAGGAGGAGGAGGAGGAGGAGGAG) atau (AT)20 =

(ATATATATATATATATATATATATATATATATATATATAT) yang aka n

berulang-ulang tanpa interupsi. Panjang pengulangan ini bervariasi tergantung

individu/varietas dan diwariskan secara baka kepada generasi berikutnya

(Prasetiyono et al., 2003).

Gambar 2.6. Penanda mikrosatelit dan aplikasinya. (Nagaraju et al.,2002)

20

Bentuk pengulangan sekuen DNA sederhana yang berulang-ulang

menjadikan penanda mikrosatelit sering disebut Simple Sequence Repeat (SSR),

Short Tandem Repeats (STRs) atau Simple Sequence Length Polymorphisms

(SSLPs) yang sekarang menjadi salah satu penanda paling banyak digunakan

secara luas untuk pemetaan genetik, analisis keragaman genetik, dan studi evolusi

(Temnykh et al., 2000). Mikrosatelit juga merupakan salah satu tipe polimorfisme

yang berulang-ulang, yang biasa dikelompokkan ke dalam Simple Tandem Repeat

Polymorphism (STRP), karena perbedaan genetik diantara molekul-molekul DNA

yang mengandung sejumlah kopi sekuen DNA pendek yang diulang beberapa

kali. STRP dengan pengulangan 10-60 pasang basa sering disebut minisatelit atau

variable number of tandem repeats (VNTR) sedangkan yang memiliki

pengulangan 2-4 pasang basa sering disebut mikrosatelit (Brown, 2002).

Gupta et al. (1996) menyebutkan bahwa sebagian besar minisatelit

berpusat dekat telomere, sedangkan mikrosatelit tersebar di seluruh genom. Salah

satunya adalah mikrosatelit kloroplas (cpSSRs) yang pada dasarnya mikrosatelit

ini sama dengan mikrosatelit di dalam inti sel, tetapi ulangan pada mikrosatelit

kloroplas hanya terdiri dari 1 pasang basa (misal (T)n). Setiap spesies biasanya

memiliki ciri khas dalam pengulangan sekuen sederhana ini. Misalnya pada padi,

sekuen mikrosatelit ini memiliki urutan dari yang terbanyak, yaitu: (GA)n, (GT)n,

(TTG)n, (ATT)n, (CGG)n, (TCT)n, (CAG)n, (TGG)n, (GATA)n, (ATC)n,

(CTTT)n, dan (CATG)n (McCouch et al., 1997). Secara umum sekuen AT paling

banyak terdapat pada tanaman, sedangkan AC/TG pada hewan (Morgante &

Olivieri, 1993 dalam prasetiyono et al., 2003). Motif lain yang juga banyak

didapatkan di dalam genom tanaman adalah (GA)n. Selain itu, motif (AAG)n dan

21

(AAT)n merupakan motif trinukleotida yang sering ditemukan dalam genom

tanaman. Pengulangan (CA)n terdapat pada genom manusia sekitar 50.000 buah,

dengan n sekitar 10 sampai 60. Pengulangan tri dan tetra nukleotida juga

umumnya terdapat pada genom manusia. Pengulangan motif CA juga banyak

didapatkan pada mammalia, namun motif ini sangat sedikit ditemukan di dalam

genom tanaman. Setiap 100 pb DNA akan didapatkan 2-3 lokus mikrosatelit pada

primata, 1,8 lokus pada ragi, dan 0,224 pada tanaman (Prasetiyono et al. 2003).

Menurut Weber (1990 dalam Kusumawaty et al.,2008) mengemukakan

bahwa panjang unit ulangan motif mikrosatelit, jumlah ulangan, dan

kesempurnaan atau kemurnian lokus mikrosatelit ini menentukan tingkat

polimorfisme suatu individu. Lokus mikrosatelit dinukleotida dengan jumlah

ulangan kurang dari 10 kali sering menghasilkan lokus yang monomorfik

sehingga hanya merupakan informasi untuk aplikasi mikrosatelit. Primer yang

digunakan untuk mengamplifikasi sampel sebaiknya berasal dari lokus

mikrosatelit dinukleotida yang mempunyai jumlah ulangan sedikitnya sepuluh

kali, sedangkan untuk trinukleotida sedikitnya tujuh kali dengan jumlah total

nukleotida dari ulangan tersebut sedikitnya adalah 20 nukleotida (Weber et al.,

1990 dalam Kusumawaty et al., 2008).

Ketika urutan yang berisi motif mikrosatelit sudah diperoleh, primer yang

spesifik dapat dirancang untuk mengamplifikasi lokus mikrosatelit. Hal ini dapat

dilakukan karena mikrosatelit memiliki daerah pengapit (Flankin region) yang

sifatnya lestari, sehingga dapat diaplikasikan pada individu atau varietas lain

(Mulyani 2003 dalam Kusumawaty et al., 2008). Primer merupakan

22

oligonukleotida untai tunggal yang menempel pada fragmen DNA yang

diamplifikasi. Menurut Weber (1990 dalam Kusumawaty et al., 2008), motif-

motif mikrosatelit pada genom manusia dapat dikelompokkan ke dalam empat

kategori, yaitu :1. Sempurna (Perfect) : bilamana diantara motif mikrosatelit

tidak diselingi oleh nukleotida lain. Contoh (GC)10: 2. Tidak Sempurna

(imperfect) : bilamana diantara motif mikrosatelit terdapat nukleotida yang bukan

motif mikrosatelit contoh (CT)gg(CT)6t(CT)5; Campuran sempurna (Perfect

Compound) merupakan gabungan dua atau lebih motif mikrosatelit dan diantara

motif mikrosatelit tidak terdapat nukleotida yang bukan motif mikrosatelit.

Contoh (CA)12(GC)10; dan 4. Campuran tidak sempurna (Imperfect compound) :

merupakan gabungan dua atau lebih motif mikrosatelit dan diantara kedua motif

mikrosatelit terdapat nukleotida yang bukan motif mikrosatelit. Contoh

(CA)7gcc(GT)6(CCG)5. Pemakaian motif mikrosatelit dengan jumlah

pengulangan dibawah 10 kali serta jumlah total nukleotida dari ulangan tersebut

kurang dari 20 nukleotida untuk keempat kategori ataupun motif mikrosatelit

kurang sempurna dengan jumlah ulangan lebih dari 10 kali dapat menghasilkan

alel-alel yang polimorfik (Kusumawaty et al., 2008)

Pada penelitian ini digunakan penanda mikrosatelit dengan motif

sempurna dan campuran sempurna dengan jumlah ulangan 4-15 kali. Penggunaan

mikrosatelit motif tersebut diharapkan dapat menghasilkan alel-alel yang

polimorfik. Selain itu, penggunaan mikrosatelit sebagai penanda yang bersifat

polimorfisme dan daya pembeda yang sangat tinggi, diharapkan dapat mendeteksi

keragaman alel pada level yang tinggi terutama membedakan individu yang

23

memiliki hubungan kekerabatan sangat dekat (Kusumawaty et al., 2008).

Mikrosatelit memiliki kemampuan segregasi populasi seakurat RFLP, yaitu dapat

membedakan antara yang homozigot dan heterozigot, dan dengan kemampuan

multiple loading pada gel poliakrilamid pendeteksian populasi segregasi dengan

menggunakan penanda mikrosatelit akan dapat dilakukan secara cepat, tepat, dan

efisien (McCouch et al., 1997). Berdasarkan hal tersebut maka mikrosatelit

banyak digunakan untuk mengetahui genetika populasi, segregasi populasi,

pemetaan genetik dan tingkat kekerabatan suatu individu (Skirnisdottir et al.,

2008).

Selain keunggulan, penanda mikrosatelit mempunyai kelemahan. Dalam

pembuatan primernya, mikrosatelit memerlukan investasi yang besar, karena

harus melakukan sekuensing dan primer mikrosatelit ini bersifat spesifik species

(sukar dipertukarkan antarspecies) (Tn.2008c).

F. Aplikasi Mikrosatelit

Mikrosatelit sudah digunakan di beberapa kepentingan, diantaranya

adalah menganalisis keanekaragaman pada hewan dan tumbuhan, genetika

populasi suatu individu, tingkat kekerabatan suatu individu, sidik jari DNA pada

pembuktian forensik dan pembuatan peta genetik. Prasetiyono et al., (2003)

menggunakan teknik mikrosatelit untuk menganalisis keterpautan marka

mikrosatelit dengan sifat toleransi terhadap keracunan Al pada padi hasil

persilangan Dupa x ITA131. Pada penelitian tersebut digunakan 190 galur

tanaman padi generasi kedua (F2) hasil persilangan Dupa x ITA131 dan

24

menggunakan 243 pasang primer mikrosatelit. Hasil survei primer diperoleh hasil

bahwa dari 243 primer mikrosatelit, hanya 110 primer yang menghasilkan pita

yang polimorfik, tiga primer tidak menghasilkan pita, tujuh primer menghasilkan

pita yang banyak (lebih dari empat pita) dan 123 primer lainnya menghasilkan

pita yang monomorfik. 110 primer yang polimorfik tersebut digunakan 76 primer

untuk amplifikasi DNA dimana dari 76 primer tersebut hanya 67 yang primer

yang dapat dinterpretasikan menjadi data matrik, sembilan primer tidak dapat

dinterpretasikan menjadi data matrik karena pita polimorfiknya terlalu dekat, pita

terlalu banyak atau pita terlalu tipis. Berdasarkan hasil penelitian tersebut

didapatkan dua penanda mikrosatelit pada kromosom VII (RM248 dan RM445)

yang diduga terpaut dengan sifat toleransi terhadap keracunan Al.

Elfstrom et al. (2005) juga menggunakan teknik mikrosatelit untuk

mengetahui karakteristik lokus mikrosatelit pada Patinopecten caurinus utara

yaitu satu-satunya golongan bivalvia yang mempunyai kemampuan berenang.

Primer yang digunakan untuk analisisnya berjumlah 30 primer dan dihasilkan 16

primer yang menghasilkan pita yang cukup bersih untuk dianalisis dan bersifat

polimorfik.

Skirnisdottir et al. (2008) menggunakan teknik mikrosatelit untuk

pencarian segmen DNA genom Gadus morhua L. berisi motif mikrosatelit dengan

menggunakan 10 dinukleotida, lima trinukleotida, dua tetranukleotida dan

heptanukleotida. Pada penelitiannya, digunakan dua kondisi PCR dengan suhu

annealing berbeda. Delapan primer mikrosatelit diamplifikasi pada suhu

annealing 55oC dan sepuluh primer diamplifikasi pada suhu annealing 58oC yang

25

menghasilkan frekuensi alel antara 6-45 alel dan menunjukkan sifat heterozigot

yang berbeda signifikan sesuai dengan teori Hardy-Weinberg. Dari hasil

penelitian tersebut diperoleh kesimpulan bahwa penggunaan teknik mikrosatelit

dengan dua kondisi PCR (suhu annealing) berbeda diperoleh keuntungan yang

besar yaitu selain waktu dan biaya yang murah juga resiko kesalahan pada saat

penelitian dapat diperkecil.

Keberhasilan teknik mikrosatelit juga diperkuat oleh Alpermann et al.

(2006) dalam pencarian segmen DNA Alexandrium tamarense yang berisi lokus

mikrosatelit. Pada penelitiannya diperoleh hasil bahwa DNA Alexandrium

tamarense dapat diamplifikasi. Jumlah alel dan diversitas gen pada Alexandrium

tamarense menunjukkan bahwa lokus mikrosatelit yang dihasilkan cukup

polimorfik untuk digunakan dalam studi populasi dan menunjukkan

keanekaragaman yang tinggi dalam Alexandrium tamarens.

Untuk menganalisis lokus mikrosatelit yang dihasilkan melalui proses

amplifikasi PCR, para peneliti di atas ada yang menggunakan gel agarosa atau gel

poliakrilamida untuk visualisasi lokus mikrosatelit tersebut. Hal tersebut

berpengaruh terhadap jumlah larik yang dihasilkan. Jumlah larik yang dihasilkan

dengan visualisasi menggunakan gel poliakrilamida lebih banyak dibanding gel

agarosa. Hal ini terjadi karena kemampuan separasi gel poliakrilamida lebih tinggi

dibanding gel agarose. Menurut Reddy et al. (1999) gel poliakrilamida secara

efektif dapat digunakan untuk pemisahan fragmen DNA dari ukuran 200-1000 pb.

26

G. Gel Poliakrilamida

Gel poliakrilamida adalah matriks separasi yang digunakan pada

elektroforesis biomolekul, seperti protein atau fragmen DNA. Teknik sekuensing

DNA tradisional seperti Maxam-Gilbert menggunakan gel poliakrilamida untuk

memisahkan fragmen DNA yang berbeda berdasarkan ukuran panjang base pair

(bp) sehingga urutannya bisa dibaca. Sekarang ini metode paling modern untuk

separasi DNA banyak menggunakan gel agarosa, tetapi untuk pemisahan fragmen

DNA yang kecil, gel poliakrilamida paling sering digunakan terutama dalam

bidang imunologi dan analisis protein.

Pada penelitian analisis variasi genetik menggunakan penanda

mikrosatelit, gel poliakrilamid lebih banyak digunakan dibandingkan dengan gel

agarosa. Clark et al., (2004) menggunakan gel poliakrilamida 6% untuk proses

separasi DNA dalam mempelajari genetik populasi ikan tuna atlantik dengan

menggunakan primer mikrosatelit. Dari 25 primer mikrosatelit yang digunakan,

dihasilkan alel sebanyak 3-23 alel dengan nilai heterozigositas tiap lokus antara

0,32-0,93. Elfstrom et al., (2005) juga menggunakan gel poliakrilamida 5% untuk

memvisualisasi hasil amplifikasi lokus mikrosatelit pada Patinopecten caurinus.

Penelitian tersebut menggunakan 30 primer mikrosatelit dan hanya 16 primer

yang menghasilkan larik yang bersih dan dapat dinterpretasikan menjadi data

matrik. Jumlah alel yang dihasilkan sebanyak 4-26 alel dengan nilai

heterozigositas tiap lokus antara 0,437-1. Chaix et al., (2002) menggunakan gel

agarosa sebagai media untuk memvisualisasi hasil amplifikasi Eucalyptus grandis

menggunakan penanda mikrosatelit. Penelitian tersebut menggunakan tujuh

primer mikrosatelit dan berhasil mengamplifikasi semua sampel Eucalyptus

27

grandis yang digunakan. Jumlah alel yang dihasilkan dalam penelitian tersebut

antara 2-6 alel . Hal ini membuktikan bahwa dalam proses separasi gel agarosa

memiliki kapasitas pemisahan yang lebih rendah dibandingkan dengan gel

poliakrilamida, tetapi memilik spektrum pemisahan yang lebih besar. Teknik

elektroforesis gel agarosa ini biasanya digunakan untuk memisahkan fragmen

DNA dengan ukuran relatif kecil yaitu sekitar 200 pb sampai kira-kira 50 kb.

Fragmen dengan ukuran di atas 50 kb tidak dapat dipisahkan lagi dengan baik

(Suryanto, 2003). Gel poliakrilamida mempunyai keunggulan dibandingkan

dengan gel agarosa yaitu memiliki kapasitas lebih tinggi dalam proses separasi

fragmen DNA sampai ukuran satu pasang basa dan dapat memuat kuantitas DNA

dalam jumlah besar (Sambrook et al., 1989).

Terdapat 2 jenis Gel poliakrilamida, yaitu: denaturing poliakrilamida dan

non- denaturing poliakrilamida. Perbedaan keduanya terletak pada ada atau

tidaknya urea pada komposisi gel poliakrilamida. Berikut ini tabel komposisi gel

poliakrilamida

Tabel 2.1 Komposisi Gel Non Denaturing Poliakrilamida

(Sumber : Sambrook et al., 1989)

Komposisi Gel 6% 8% 10% 12% Deion water (ml) 6,4 5,9 5,4 4,9 5x TBE (ml) 2,0 2,0 2,0 2,0 40% akrilamid (ml) 1,5 2,0 2,5 3,0 10% APS (µl) 100 100 100 100 TEMED (µl) 10 10 10 10 Total Volume 10 10 10 10

28

Tabel 2.2 Komposisi Gel Denaturing Poliakrilamida

(Sumber : Sambrook et al., 1989)

Perbedaan komposisi gel poliakrilamida ini mengakibatkan pada

perbedaan kemampuan dalam separasi DNA. Adanya urea maka ikatan hidrogen

pada rantai ganda DNA akan terdenaturasi menjadi ikatan tunggal, sehingga

kemampuan separasi denaturing poliakrilamida lebih besar dibandingkan dengan

non-denaturing poliakrilamida. Berikut ini adalah tabel kemampuan separasi

denaturing poliakrilamida dengan non-denaturing poliakrilamid.

Tabel 2.3 Separasi Gel Poliakrilamida

Denaturing Poliakrilamida Non-Denaturing Poliakrilamida

Konsentrasi Akrilamida (%)

Tingkat Separasi (pb)

Konsentrasi Akrilamida (%)

Tingkat Separasi (pb)

5 > 250 5 80-250 6 250-60 8 60-400 8 120-40 12 40-200 10 60-20 15 25-150 20 40-5 20 6-100

(Sumber : Sambrook et al., 1989)

Komposisi Gel 6% 8% 10% 12% Deion water (ml) 6,4 5,9 5,4 4,9 5x TBE (ml) 2,0 2,0 2,0 2,0 Urea (g) 4,8 4,8 4,8 4,8 40% akrilamid (ml) 1,5 2,0 2,5 3,0 10% APS (µl) 100 100 100 100 TEMED (µl) 10 10 10 10 Total Volume(ml) 10 10 10 10