Upload
vuonghanh
View
225
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
161
RESPON TANAMAN KELAPA SAWIT DI LAHAN GAMBUT TERHADAP BERBAGAI AMELIORAN (STUDI KASUS DESA ARANG-ARANG PROVINSI JAMBI)
RESPONE OF OIL PALM PLANTED ON PEATLAND TO AMELIORANTS : A CASE STUDY IN ARANG-ARANG, JAMBI
Salwati, R. Purnamayani, Firdaus, Endrizal
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi, Jl. Samarinda Paal V, Kotabaru, Jambi.
Abstak. Tanah gambut yang miskin hara mikro dan makro, selain
memerlukan pupuk dalam jumlah cukup tinggi juga memerlukan amelioran.
Penelitian bertujuan untuk mempelajari pengaruh amelioran terhadap
pertumbuhan dan produksi kelapa sawit di lahan gambut. Penelitian
dilaksanakan di di Desa Arang-Arang, Provinsi Jambi (1o 40’ 40.79” – 1
o
41’ 00.85” LS dan 97o 48’ 48.56” – 97
o 49’ 33.63’ BT), dilaksanakan dari
Oktober 2012 sampai Juni 2014. Ketebalan gambut dominan di demplot
200 – 250 cm, tingkat dekomposisi hemik sampai saprik, ditanami kelapa
sawit berumur 6 tahun. Penelitian dengan rancangan acak kelompok, 4
ulangan, dengan perlakuan yaitu : (a) pupuk gambut/pugam, (b) kompos
tankos, dan (c) pupuk kandang / pukan ayam. Pengukuran dilakukan
terhadap : Jumlah pelepah daun dengan menghitung jumlah penambahan
pelepah setiap bulan, panjang pelepah yang diukur dari pangkal sampai
ujung pelebah terpanjang, lingkar batang dengan mengukur keliling batang
pada ketinggian 1 – 1,5 m dari permukaan tanah, dan tandan buah segar
dihitung setiap panen 2 kali sebulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pemberian pugam, pukan dan tankos berpengaruh tidak nyata terhadap
jumlah pelepah, lingkar batang dan panjang, namun berpengaruh nyata
terhadap Tandan Buah Segar (TBS) dibanding kontrol, masing-masing
terjadi peningkatan berturut-turut sebesar 35,3%, 34,9%, 33,9% dibanding
kontrol. TBS (kg/ha/tahun) kontrol 11,11 + 0,6, sedangkan pugam, pukan
dan tankos berturut-turut adalah 17,18 + 2,1 ; 17,09 + 1,8 dan 16,83 + 1,8.
Pemberian amelioran dapat meningkatkan produksi kelapa sawit. Aplikasi
pugam dan pupuk kimia sangat dibutuhkan untuk mendapatkan hasil sawit
yang optimal.
Kata kunci : Respon, Amelioran, Gambut, Sawit, Jambi
Abstract. Peatland has micro and macro nutrients indigent. It requires
fairly high amount of fertilizer and ameliorant added. This study aimed to
examine the effect of both ameliorant and fertilization on oil palm growth
and production in peatland. The experiment was conducted in Arang-arang
village, Jambi Province, from October 2012 to June 2014. Thickness of
peat is between 200 - 250 cm with a Hemik - Saprik maturity level. Oil palm
has planted over 6 years old. Study done with randomized complete block
design, 4 replications using 3 ameliorant + basic fertilizer treatments as
10
Salwati et al.
162
follows: (a) pugam, (b) tankos, (c) chicken manure. Observations and
measurements were made from: The number of completely leaf midrib
developed by counting it in each month, measured the longest stem from the
base to the tip frond, measured trunk cycle at a height of 1 - 1.5 m from soil
surface, and calculated fresh fruit bunches (TBS) harvested every twice a
month. The results showed that application of pugam, tankos and chicken
manure gave no significant effect on the number of midrib, the length of
stem and trunk cycled because ameliorant was scarcely affected oil palm
vegetative development phase. In contrast, treatments significant effect on
fresh fruit bunches (FFB) increased by 35.3% on pugam , 34,9% on
tangkos, and 33.9% on manure compared to controls. TBS (kg/ha/year) for
control was 11,11 + 0,6, while on pugam, manure and tankos were 17,18 +
2,1 ; 17,09 + 1,8 dan 16,83 + 1,8 respectively. Ameliorant application can
increase oil palm production. Application of both pugam and basic
fertilizer is needed to obtain optimal oil palm production in peatland.
Key words: Response, Ameliorant, Peatland, Oil Palm, Jambi.
PENDAHULUAN
Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) merupakan tanaman penghasil minyak
yang dikembangkan di berbagai negara tropis termasuk Indonesia. Kelapa sawit
merupakan tanaman yang bernilai ekonomi tinggi dan cocok diusahakan di iklim tropis
seperti Indonesia. Pengembangan perkebunan kelapa sawit terus dilakukan karena
merupakan komoditi penghasil minyak yang terdiri dari minyak mentah (CPO atau Crude
Palm Oil) dan inti atau kernel (Pahan 2008).
Indonesia sebagai salah satu negara agraris, berpeluang untuk mengembangkan
tanaman kelapa sawit secara lebih efektif. Terbukti pada tahun 2005 Indonesia menjadi
produsen kelapa sawit terbesar kedua dengan total produksi mencapai 39,18% di bawah
produksi Malaysia sekitar 50,68% dari 100% kebutuhan dunia. Padahal, Indonesia
memiliki luas lahan 5,16 juta ha lebih luas dibandingkan Malaysia sebagai pemasok CPO
terbesar dunia saat itu (LRPI 2007). Hal ini terjadi karena produktivitas tanaman kelapa
sawit di Indonesia yang masih rendah rata-rata 3,29 ton CPO/ha/tahun dibanding
Malaysia dengan produksi rata-rata 4,24 ton CPO/ha/tahun (Direktorat Tanaman Tahunan
2009).
Peningkatan produksi tanaman kelapa sawit dapat dilakukan melalui peningkatan
produktivitas dan/atau perluasan lahan. Salah satu upaya dalam peningkatan produktivitas
atau perluasan pembangunan perkebunan kelapa sawit dapat dilakukan melalui
pemanfaatan lahan gambut (Gusmawartati dan Wardati 2012).
Pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian menjadi polemik global dalam dua
dekade terakhir ini. Pemanfaatan lahan gambut menjadi dilematis karena terjadi
Respon Tanaman Kelapa Sawit di Lahan Gambut Terhadap Berbagai Amelioran
163
pertentangan antara aspek ekonomi dan aspek lingkungan. Berdasarkan aspek ekonomi,
pemanfaatan lahan gambut telah menjadi sumber pendapatan bagi petani, perkebunan dan
pemerintah daerah (Sabiham dan Sukarman 2012). Namun berdasarkan aspek lingkungan,
pemanfaatan lahan gambut menjadi sumber emisi gas rumah kaca (GRK) penyebab
pemanasan global. Lahan gambut selain menyimpan stok karbon terbesar juga
menghasilkan emisi GRK (Subiksa 2012).
Upaya peningkatan daya dukung lahan gambut untuk pertanian telah dilakukan
melalui serangkaian penelitian, baik oleh lembaga penelitian maupun perguruan tinggi
(Widyati 2011). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengelolaan air, ameliorasi dan
pemupukan menjadi kunci peningkatan produktivitas lahan. Pengalaman empiris, baik
oleh petani maupun lembaga penelitian menunjukkan bahwa pupuk kandang serta bahan
amelioran yang kaya dengan kation polivalen menjadi amelioran yang sangat efektif
untuk meningkatkan produktivitas lahan dan stabilitas gambut (Agus et al., 2008).
Pemilihan jenis bahan amelioran dalam penelitian ini mengacu kepada hasil-hasil
penelitian dan pengalaman empiris serta kearifan lokal yang sudah dilakukan bertahun-
tahun dengan hasil agronomis yang nyata. Selain meningkatkan produktivitas lahan,
amelioran yang dipilih diharapkan mampu meminimalkan emisi karbon (Sabiham dan
Sukarman 2012).
Tujuan Penelitian untuk mempelajari pengaruh ameliorasi terhadap pertumbuhan
dan produksi tanaman kelapa sawit di lahan gambut.
METODOLOGI
Deskripsi lokasi Percobaan
Lokasi percobaan terletak pada demplot ICCTF (Indonesian Climate Change Trust
Fund) di Desa Arang-Arang, Kecamatan Kumpeh Ulu Kabupaten Muaro Jambi, berjarak
40 km dari Kota Jambi ibukota Provinsi Jambi. Secara geografis terletak antara 1o 40’
40.79” – 1o
41’ 00.85” LS dan 97o 48’ 48.56” – 97
o 49’ 33.63’ BT. Lokasi percobaan
mempunyai tipe iklim basah dengan curah hujan antara 2.000 – 3.000 mm/tahun. Pola
curah hujan tergolong III C, yaitu daerah mempunyai curah hujan rata-rata tahunan 2.000
– 3.000 mm, dengan bulan kering (curah hujan rata-rata bulanan < 100/mm) kurang dari 4
bulan dan mempunyai bulan basah (curah hujan rata-rata bulanan lebih dari 200 mm)
antara 6 – 8 bulan dengan pola ganda. Sementara itu, berdasarkan zona agroklimat pulau
Sumatera (Oldeman 1978) lokasi demplot tergolong Zone Agroklimat B1 yaitu Zone
Agroklimat yang mempunyai bulan basah berturut-turut antara 7 – 9 bulan dan bulan
kering berturut-turut kurang dari 2 bulan.
Salwati et al.
164
Tanah gambut di lokasi demplot seluas 5 ha ini termasuk kedalam gambut
Oligotropik sampai Mesotrofik, dengan ketebalan 150 – 200 cm (1.08 ha atau 17,87% dari
luas demplot), ketebalan 200 – 250 cm (2,79 ha atau 49,80%), ketebalan 250 – 300 cm
(1,82 atau 32,34%). Tingkat dekomposisi gambut tergolong hemik sampai saprik dengan
nilai bobot isi antara 0,21 – 0,28 g/cm3, reaksi tanah sangat masam, kandungan hara
rendah, dan kadar abu rendah sampai sedang. Tanah gambut di lokasi demplot menurut
taxonomi tanah USDA (2010) termasuk kedalam Typic Haplosaprists, Hemik
Haplosaprists dan Fluvaquentic Haplosaprists. Kesesuaian lahan untuk tanaman kelapa
sawit tergolong sesuai marginal (S3) dengan faktor penghambat utama reaksi tanah sangat
masam dan kejenuhan basa sangat rendah. Oleh sebab itu, tindakan pemupukan dan
pengapuran sangat diperlukan untuk memperbaiki faktor-faktor tersebut.
Pelaksanaan Percobaan
Percobaan di lokasi demplot dimulai Oktober tahun 2012 sampai Juli tahun 2014.
Tanaman utama sebagai indikator adalah kelapa sawit umur 6 tahun pada tahun 2013.
Kebun kelapa sawit ini merupakan kebun plasma dari lokasi transmigrasi Arang-Arang,
Provinsi Jambi. Lokasi mulai dibuka untuk perkebunan kelapa sawit pada tahun 2005.
Daerah ini sebelumnya berupa hutan sekunder lahan gambut. Sebelum dilakukan
percobaan, pengelolaan sawit di lokasi ini belum optimal, saluran drainase yang ada
kurang terpelihara, sehingga permukaan air tanah terutama pada saat musim hujan sangat
tinggi (5 – 10 cm). Kondisi air tanah yang demikian sangat menganggu pertumbuhan
tanaman kelapa sawit.
Bahan yang digunakan dalam penelitian terdiri dari: pugam (pupuk gambut),
pupuk kandang (pukan) ayam, kompos tandan kosong (tankos) kelapa sawit, pupuk dasar
(Urea, SP-36, KCl) dan herbisida (Round Up dan Gramozon). Alat yang digunakan terdiri
dari : gerobak dorong, arit, parang, dan cangkul.
Rancangan penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok Lengkap
(RAKL), 4 perlakuan dan 4 ulangan. Tiga perlakuan ameliora yaitu pugam, kompos
tankos, dan pukan ayam, serta kontrol (tanpa pemberian amelioran).
Pugam adalah pupuk organik yang rendah emisi Gas Rumah Kaca (GRK) untuk
lahan gambut. Selain mampu menekan laju emisi khususnya karbon dioksida, dan
meningkatkan stabilitas gambut, pugam juga dapat meningkatkan produktivitas lahan dan
efisiensi pemupukan. Pukan adalah semua produk buangan dari binatang peliharaan yang
dapat digunakan untuk menambah hara, memperbaiki sifat fisik, dan biologi tanah. Pukan
yang digunakan dalam penelitian ini adalah pupuk yang berasal kotoran ayam. Kompos
tankos merupakan limbah padat hasil pabrik kelapa sawit yang didekomposisikan menjadi
Respon Tanaman Kelapa Sawit di Lahan Gambut Terhadap Berbagai Amelioran
165
pupuk organik. Pemberian kompos tankos ke tanah akan dapat mempengaruhi populasi
mikroba tanah yang secara langsung dan tidak langsung akan mempengaruhi kualitas
tanah.
Hasil karakteristik pugam, pukan ayam, dan tankos yang digunakan di demplot
disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil karakteristik pugam, pukan, dan tankos yang digunakan pada lokasi
demplot.
Parameter Unit Pugam Pukan Kompos Tankos
pH H2O (1:5) 8,6 8.5 7.0
Kadar Air % 3,8 70.08 55.89
As. Humat % - 1.37 1.43
As. Fulfat % - 1.60 2.42
Asam Humat % - 4.48 6.66
C-Organik % - 6.13 19.23
Organik % - 0.40 1.54
NH4 % - 0.06 0.15
NO3 % - 0.03 0.08
Total % - 0.49 1.77
C/N % - 12 11
P2O5 % 13,15 0.56 4.75
K2O % 0,08 0.49 0.45
Ca % 18,9 0.72 1.29
Mg % 6,53 0.33 0.80
S % 0,56 0.10 0.20
Penempatan pugam, pukan, dan tankos pada demplot disesuai dengan rancangan
yang digunakan. Pemilihan tanaman sampel mengikuti keseragaman/homogenitas
tanaman sawit di lapangan. Empat sampel tanaman sawit digunakan untuk pengamatan
pertumbuhan tanaman selama penelitian berlangsung (Gambar 1).
Salwati et al.
166
Gambar 1. Denah pohon sampel di lokasi demplot
Komposisi dan dosis perlakuan amelioran dan pemberian pupuk dasar pada semua
perlakukan ditunjukkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Perlakuan amelioran dan pemberian pupuk dasar pada demplot.
Perlakuan
Dosis Amelioran dan Pupuk Dasar
Pertama (sesudah dua bulan pertama
pengamatan emisi
GRK)
Kedua: Enam bulan sesudah pemberian
pertama
Ketiga: Enam bulan sesudah pemberian
kedua
1. A - -
2. Pugam (kg/phn) 5,0 3,0 3,0
3. Pupuk Kandang Ayam
(kg/phn) 10 6,0 6,0
4. Kompos Tandan Kosong sawit (kg/phn)
15 9,0 9,0
Pupuk Dasar*)
1. Urea (kg/phn) 2 2 2
2. SP-36 (kg/phn) 2 2 2
3. KCl (kg/phn) 2,5 2,5 2,5
*) Pupuk dasar diberikan pada semua perlakuan (pugam, pukan, tankos, dan kontrol)
Sebelum aplikasi amelioran terlebih dahulu dilakukan pengambilan contoh tanah
secara acak pada piringan tanaman sampel dan ditandai pohon tempat pengambilan
contoh sebelumnya untuk pengambilan contoh tanah berikutnya. Aplikasi dilakukan 2 kali
setahun, yaitu pada awal musim hujan (bulan Agustus 2013) dan akhir musim hujan
Respon Tanaman Kelapa Sawit di Lahan Gambut Terhadap Berbagai Amelioran
167
(bulan Februari 2014). Piringan sekitar pohon sampel dibersihkan dengan radius 2 - 3 m
dari batang pokok dan dibatasi dengan saluran dangkal. Pugam, pukan, dan tankos serta
pupuk dasar ditaburkan secara larikan merata pada keliling piringan (Gambar 2).
Perlakukan pugam pupuk SP-36 tidak diberikan lagi.
Gambar 2. Aplikasi amelioran dan pupuk dasar di piringan dan diantara empat tanaman
sampel
Aplikasi amelioran dan pupuk dasar juga dilakukan diantara empat tanaman
sampel (Gambar 2). Aplikasi pugam, pukan, dan tankos diantara empat tanaman sampel
juga diberikan pada awal dan akhir musim hujan dengan dosis berturut-turut 750 kg/ha,
1500 kg/ha, dan 1500 kg/ha. Pupuk dasar diberikan dengan dosis Urea 2 kg/pohon, SP-36
2 kg/pohon, dan KCl 2,5 kg/pohon.
Analisis kimia tanah dilakukan untuk mendukung data pertumbuhan dan
perkembangan tanaman. Pengamatan dan pengukuran agronomi tanaman sawit dilakukan
setelah aplikasi amelioran dan pemberian pupuk dasar pertama dilakukan. Parameter
agronomi yang diamati adalah jumlah pelepah daun yang sudah berkembang, dengan
menghitung jumlah penambahan pelepah setiap bulannya, panjang pelepah tanaman
kelapa sawit, diukur dari pangkal sampai ujung pelebah yang terpanjang, lilit batang
tanaman kelapa sawit, dengan mengukur keliling batang ketinggian dari 1 – 1,5 m dari
permukaan tanah. Parameter produksi Tandan Buah Segar (TBS) tanaman sawit dihitung
setiap panen 2 kali sebulan pada pohon sampel. Selanjutnya, data pertumbuhan dan
produksi tanaman sawit dianalisis statistik dan perbedaan antar perlakuan berdasarkan
perbedaan standar deviasi.
Salwati et al.
168
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Sifat Kimia Lahan Gambut di Demplot Kegiatan
Karakteristik kimia tanah gambut di Indonesia sangat beragam dan ditentukan oleh
kandungan mineral, ketebalan, dan jenis tanaman penyusun gambut, jenis mineral pada
substratum (di dasar gambut), serta tingkat dekomposisi gambut. Karakteristik lahan
gambut akan sangat bervariasi baik antar lokasi, maupun antar areal dalam satu lokasi.
Kasus pada kegiatan ini, karakteristik lahan gambut sangat bervariasi antar areal di
dalam demplot. Hal ini karena sifat inherent tanah gambut yang terdiri dari senyawa-
senyawa organik, sehingga hasil analisis tanah pada demplot I sampai dengan IV
karakteristik kimia tanah gambutnya sangat bervariasi (Tabel 3).
Kandungan P potensial (P-HCl) pada demplot I lebih tinggi dibandingkan dengan
ketiga demplot lainnya, dimana pada demplot I dikategorikan sangat tinggi sedangkan di
lokasi lainnya berkisar sedang. Hal ini sejalan dengan P-tersedia (P-Bray) yaitu demplot I
miliki kandungan P tertinggi diikuti dengan demplot III Kandungan Ca dan Mg di
keempat demplot termasuk dalam kriteria ‘tinggi’, karena areal kebun tersebut sudah
sering mendapatkan aplikasi dolomit/kapur. Kandungan Al dan Fe tidak jauh berbeda di
masing-masing lokasi demplot. Secara keseluruhan, kesuburan tanah di demplot
penelitian termasuk kategori baik, karena demplot telah mendapatkan aplikasi amelioran
dan pupuk anorganik sesuai kebutuhan tanaman sawit, serta sesuai dosis dan waktu
pemberian.
Tabel 3. Hasil analisis sifat kimia tanah di lokasi demplot
Jenis Analisis Demplot I Demplot II Demplot III Demplot IV
P-HCl (me/100g) 71,25 31 39,5 29
K-HCl (me/100g) 25,25 17 25,25 32,75
P-Bray (ppm) 199,43 96,98 170,83 90,83
Ca (me/100g) 12,40 11,3 17,78 8,60
Mg (me/100g) 2,41 2,38 3,97 2,64
K (me/100g) 0,49 0,32 0,45 0,63
Al (%) 0,14 0,12 0,15 0,15
Fe (%) 0,03 0,02 0,03 0,03
Respon Tanaman Kelapa Sawit di Lahan Gambut Terhadap Berbagai Amelioran
169
Perbedaan kandungan unsur hara pada masing-masing demplot tergantung pada
susunan kimia dan tingkat kematangan gambut. Semakin lanjut tingkat kematangan
gambut, maka semakin banyak unsur hara yang dilepaskan dan tersedia bagi tanaman.
B. Keragaan Agronomis Tanaman Kelapa Sawit
1. Jumlah pelepah tanaman
Jumlah pelepah tanaman sawit merupakan salah satu penciri keragaan agronomis
tanaman kelapa sawit. Umumnya jumlah pelepah kelapa sawit bertambah 2 pelepah setiap
bulannya. Pada Gambar 3 terlihat bahwa setiap perlakuan memiliki kecenderungan
peningkatan jumlah pelepah yang sama. Di mana, pada 6 bulan pertama, peningkatan
jumlah pelepah cenderung landai, setelah 6 berikutnya terlihat meningkat cukup tajam.
Diduga hal ini terjadi karena pengaruh pupuk dasar maupun amelioran baru berpengaruh
pada saat 6 bulan setelah pemberian.
Kecenderungan peningkatan jumlah pelepah pada kontrol berbeda tidak nyata
dengan pemberian amelioran pugam, pukan maupun tankos. Hal ini terlihat dari standar
deviasi pada setiap perlakukan (Gambar 3). Fenomena ini memberi gambaran bahwa
pemberian pupuk anorganik lebih berpengaruh dibandingkan pemberian amelioran.
Menurut Pauli et al., (2014) pemberian pupuk anorganik sangat dibutuhkan untuk
pertumbuhan dan hasil tanaman sawit terutama yang tumbuh di lahan marjinal seperti
lahan gambut karena kemungkinan besar terjadi pencucian dan pengikatan oleh unsur
kimia beracun oleh tanaman.
Peningkatan yang cukup tajam jumlah pelepah kelapa sawit dari bulan Februari ke
bulan Maret diduga juga disebabkan oleh aplikasi pupuk kedua yang dilaksanakan pada
akhir awal Februari 2014. Kandungan unsur hara yang cepat tersedia dari pupuk
anorganik menyebabkan unsur hara tersebut cepat diserap tanaman dan berpengaruh
terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman, salah satunya adalah jumlah pelepah kelapa
sawit.
Perbandingan dengan tinggi muka air tanah pada bulan Maret, tinggi muka air
tanah berada di bawah 1 m. Kondisi ini diduga menyebabkan peningkatan jumlah pelepah
di bulan tersebut karena kondisi tanah yang mencapai kapasitas lapang untuk tanaman
sawit. Menurut Lim et al., (2012) muka air yang optimum untuk hasil panen kelapa sawit
di lahan gambut adalah 50 - 70 cm (saluran draenase) dan 40 – 60 cm (pembacaan
piezometer air tanah dari permukaan).
Salwati et al.
170
Gambar 3. Jumlah pelepah tanaman kelapa sawit setelah aplikasi amelioran dan pupuk
dasar pemberian pertama dan kedua di Provinsi Jambi tahun 2013 dan tahun 2014.
2. Lingkar batang
Lingkar batang merupakan salah satu keragaan agronomis tanaman kelapa sawit
yang dapat menunjukkan tingkat pertumbuhan tanaman kelapa sawit (Paoli et al., 2013).
Kecenderungan pertumbuhan tanaman sawit yang diberi amelioran menujukkan
pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan kontrol. Berbeda dengan jumlah
pelepah kelapa sawit, lingkar batang pada perlakuan pemberian amelioran justru menurun
dari bulan Februari ke bulan Maret. Sedangkan pada kontrol terus meningkat dengan
kecenderungan yang landai. Hal ini mungkin terjadi kesalahan pengukuran pada lingkar
batang karena pengukuran dipengaruhi oleh tonjolan-tonjolan bekas potongan pelepah.
Kontrol Pugam
Tankos Pukan
Kontrol Pugam
Respon Tanaman Kelapa Sawit di Lahan Gambut Terhadap Berbagai Amelioran
171
Gambar 4. Lingkar batang tanaman kelapa sawit setelah aplikasi amelioran dan pupuk
dasar pertama dan kedua di Provinsi Jambi tahun 2013 dan tahun 2014.
3. Panjang pelepah
Panjang pelepah yang diukur adalah pelepah terpanjang pada tanaman contoh.
Dari Gambar 5 terlihat bahwa perlakuan tankos memiliki kecenderungan yang sama
dengan kontrol. Sedangkan perlakuan pugam memiliki kecenderungan yang sama dengan
pukan. Peningkatan panjang pelepah berbeda tidak nyata diantara semua perlakuan,
terlihat dari standar deviasi dalam grafik. Standar deviasi pada masing-masing
pengukuran sangat besar menunjukkan nilai-nilai yang sangat bervariasi. Penurunan
jumlah pelepah pada perlakuan pugam dan pukan diyakini karena terjadi pemotongan
pelepah sampel, sehingga pada bulan Maret hasil pengukuran menurun. Peningkatan
panjang pelepah tidak dipengaruhi perlakuan diduga karena kandungan dalam amelioran
tidak berpengaruh pada pertumbuhan vegetatif tanaman sawit.
Tankos memiliki kandungan unsur hara yang beragam, memiliki kandungan
Kalium yang lebih tinggi yaitu 2,05% dibandingkan dengan N (0,22%) dan P (1,20%)
(Purnamayani et al., 2011). Kalium lebih berperan terhadap pertumbuhan generatif
tanaman diantaranya adalah meningkatkan kualitas buah, meningkatkan kadar karbohidrat
dalam buah, dan membuat biji tanaman lebih berisi dan padat. Selain itu Kalium
berfungsi untuk memperkuat tegaknya batang, sehingga Kalium lebih berpengaruh
terhadap pertumbuhan generatif dari pada pertumbuhan vegetatif. Sedangkan pugam
lebih banyak mengandung unsur mikro yang berfungsi untuk pertumbuhan sel dan
jaringan tanaman. Unsur-unsur mikro dalam pugam dapat berfungsi untuk mengikat
asam-asam organik yang berbahaya di dalam tanah gambut. Akan tetapi, kelebihan
beberapa unsur mikro juga akan menghambat ketersediaan unsur hara makro yang dapat
mengganggu pertumbuhan tanaman.
Pukan Tankos
Salwati et al.
172
Kasus pada tanaman kelapa sawit panjang pelepah tidak merupakan parameter
yang digunakan dalam pengukuran agronomis untuk tanaman menghasilkan (TM), tetapi
biasanya digunakan pada tanaman belum menghasilkan (TBM).
Gambar 5. Panjang pelepah tanaman kelapa sawit setelah aplikasi amelioran dan pupuk
dasar pertama dan kedua di Provinsi Jambi tahun 2013 dan 2014.
4. Tandan Buah Segar (TBS)
Tandan Buah Segar (TBS) merupakan parameter agronomi perkembangan
generatif yang menggambarkan produkvitas tanaman kelapa sawit. TBS pada tanaman
kelapa sawit umumnya dipanen setiap dua kali seminggu. Gambar 6 menunjukkan
keragaan produksi TBS per bulan dan dikaitkan dengan tinggi muka air tanah yang diukur
satu kali sebulan. Gambar 7 menunjukkan total produksi TBS sampai dengan waktu
pengamatan terakhir.
Produksi TBS kelapa sawit dipengaruhi oleh jenis klon dan faktor lingkungan
(Lumbangaol 2012). Produksi kelapa sawit antara kontrol dibandingkan perlakuan
amelioran sangat bervariasi, akan tetapi TBS pada perlakuan amelioran jumlahnya berada
di atas kontrol. Produksi TBS pada kontrol cenderung turun pada 6 bulan pertama dan
kemudian meningkat setelah aplikasi ke-2. Hal ini menunjukkan perlakuan amelioran
berpengaruh dalam peningkatan produksi TBS. Perlakuan pugam dan pukan memiliki
kecenderungan perkembangan yang sama.
Respon Tanaman Kelapa Sawit di Lahan Gambut Terhadap Berbagai Amelioran
173
(a)
(b)
Gambar 6. Tandan Buah Segar (kg/tanaman, dengan n=16) setelah aplikasi amelioran
dan pupuk dasar pertama dan kedua di Provinsi Jambi tahun 2013 dan 2014 (a) dikaitkan
dengan tinggi muka air tanah pada bulan yang sama (b).
Salwati et al.
174
Melihat trend produksi TBS diselaraskan dengan trend tinggi muka air tanah,
diduga tinggi muka air tanah berpengaruh terhadap produksi TBS. Mulai bulan Januari
sampai dengan Maret tinggi muka air mulai menurun, dan mulai bulan Februari produksi
TBS mulai meningkat walaupun tidak setinggi sebelumnya. Kondisi tanah akibat
penurunan tinggi muka air tanah menyebabkan tercapainya kondisi kapasitas sehingga
mengakibatkan terjadinya peningkatan produktivitas kelapa sawit.
Total produksi TBS selama pengamatan menunjukkan bahwa produksi TBS pada
perlakukan amelioran berpengaruh nyata terhadap kontrol masing-masing terjadi
peningkatan berturut-turut sebesar 35,3%, 34,9%, 33,9% dibanding kontrol, dan diantara
perlakuan pemberian amelioran berpengaruh tidak nyata. Hal ini menunjukkan bahwa
kandungan unsur hara dalam pugam, pukan dan tankos mampu meningkatkan produksi
TBS tanaman kelapa sawit. Dari hasil pengukuran berat TBS (ton/ha/tahun) kelapa sawit
yang tertinggi adalah pugam sebesar 17,18 + 2,1 diikuti pukan sebesar 17,09 + 1,8 dan
tankos sebesar 16,83 + 1,8, serta yang terendah kontrol sebesar 11,11 + 0,6 (Gambar 7).
Gambar 7. Produksi Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit (ton/ha/tahun)
Tankos memiliki kandungan bahan organik yang tinggi dan beberapa kandungan
unsur hara utama yang dibutuhkan oleh tanaman sawit (Darmosarkoro et al., 2007).
Pukan diketahui mengandung unsur-unsur organik yang dapat membantu mengikat asam
organik beracun dalam tanah. Sedangkan pugam memiliki kelengkapan unsur hara mikro
yang dapat mengikat asam organik berbahaya bagi tanaman pada lahan gambut, dapat
meningkatkan produktivitas lahan dan effisiensi pemupukan, menekan laju emisi gas
rumah kaca dan meningkatkan stabilitas gambut (Subiksa, 2012). Menurut Comte et al.,
(2013), pemberian pupuk organik dan inorganik yang dilakukan dalam jangka panjang
TBS (ton/ha/tahun) ton/ha ton/ha ton/ha
Respon Tanaman Kelapa Sawit di Lahan Gambut Terhadap Berbagai Amelioran
175
dan sesuai kebutuhan pertanaman kelapa sawit akan memberikan pengaruh yang baik
terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman sawit maupun lingkungan tempat tumbuhnya.
KESIMPULAN
1. Pemberian pupuk gambut (pugam) dan pupuk dasar menunjukkan pertumbuhan dan
hasil tanaman sawit yang paling baik.
2. Pemberian amelioran berupa pugam, pukan dan tankos berpengaruh tidak nyata
terhadap jumlah pelepah, lingkar batang dan panjang pelepah tanaman kelapa sawit.
3. Pemberian amelioran berupa pugam, pukan dan tankos berpengaruh nyata jika
dibandingkan dengan kontrol terhadap produksi tandan buah segar. Perlakuan
amelioran Pugam memberikan hasil produksi sawit terbaik.
DAFTAR PUSTAKA
Agus, F., dan I.G.M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan Aspek
Lingkungan. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre (ICRAF),
Bogor, Indonesia. http://balittanah.litbang.deptan.go.id.
Balai Penelitian Tanah. 2012. Pugam-A, Pupuk Khusus Lahan Gambut.
http://www.litbang.depta.go.id/berita/one/1093/. Diakses tanggal 29 April 2014.
Comte, I., F.Colin, O. Grünberger, S. Follain, J.K. Whalen, and J.P. Caliman. 2013.
Landscape-scale assessment of soil response to long-term organic and mineral
fertilizer application in an industrial oil palm plantation, Indonesia. Agriculture,
Ecosystems and Environment: 169 (2013) 58– 68.
Darmosarkoro, W., S.S. Edy, dan Winarna. 2007. Lahan dan Pemupukan Kelapa Sawit.
Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS). Medan.
Direktorat Tanaman Tahunan. 2009. Pedoman umum sawit. Direktorat Jenderal
Perkebunan, Departemen Pertanian. Jakarta.
Gusmawartati, dan Wardati. 2012. Pemberian pupuk anorganik dan air pada tanah gambut
terhadap pertumbuhan kelapa sawit di pre-nursery. J. Agrotek. Trop. 1 (1): 23-
26 (2012).
Lim, KH., S.S. Lim, F. Parish, dan R. Suharto. 2012. Panduan RSPO untuk Praktik
Pengelolaan Terbaik (PPT) bagi Budidaya Kelapa Sawit Sedang Berjalan di
Lahan Gambut. RSPO, Kuala Lumpur.
Lumbangaol, P. 2012. Kunci sukses pemupukan kelapa sawit. R & D Departemen
Musim Mas Group. Medan.
[LRPI] Lembaga Riset Perkebunan Indonesia. 2007. Warta Penelitian dan pengembangan
Pertanian. Vol (29) : 6-7.
Salwati et al.
176
Najiyati, L. Muslihat, dan I.N. Suryadiputra. 2005. Panduan pengelolaan lahan gambut
untuk pertanian berkelanjutan. Proyek Climate Change, Forests and Peatlands in
Indonesia. Wetlands International – Indonesia Programme dan Wildlife Habitat
Canada. Bogor. Indonesia.
Pahan, I. 2008. Panduan Lengkap Kelapa Sawit. Penebar swadaya : Jakarta.
Pauli, N.C., T. Donough, J.Oberthür, R. Cock, Verdooren, G. Rahmadsyah, K.
Abdurrohim, A. Indrasuara, T. Lubis, J.M. Dolong, and Pasuquin. 2014.
Changes in soil quality indicators under oil palm plantations following
application of ‘best management practices’ in a four-year field trial.
Agriculture, Ecosystems and Environment 195 (2014); 98–111.
Paoli, G.D., P. Gillespie, P.L. Wells, L. Hovani, A.E. Sileuw, N. Franklin dan J.
Schweithelm. 2013. Sawit di Indonesia: Tata kelola, Pengambilan Keputusan
dan Implikasi bagi Pembangunan Berkelanjutan. The Nature Conservancy,
Jakarta, Indonesia.
Purnamayani, R., J. Hendri, E. Salvia, dan D.S. Gusfarina. 2011. Laporan Akhir
Pengkajian Efektivitas Dekomposer dalam Dekomposisi Tandan Kosong Kelapa
Sawit sebagai Pupuk Organik. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi.
Jambi.
Sabiham, S. dan Sukarman. 2012. Pengelolaan lahan gambut untuk pengembangan kelapa
sawit. Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 6 No. 2, Desember 2012.
Subiksa, I.G.M. 2012. Pugam: Pupuk rendah emisi GRK untuk lahan gambut. Warta
Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol 3. No. 2. 2012.
Widyati, E. 2011. Kajian optimasi pengelolaan lahan gambut dan isu perubahan iklim.
Tekno Hutan Tanaman. Vol.4 No.2, Agustus 2011, 57 – 68.