Review Pola Inti Plasma Sawit Di Indonesia

  • Upload
    yulia

  • View
    175

  • Download
    20

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Tinjau ulang pola kemitraan yang semakin menyengsarakan petani plasma dan semakin memudahkan korporasi sawit merajalela

Citation preview

MENENGOK KEMBALI POLA INTI PLASMA DI SEKTOR PERKEBUNAN SAWIT

A. POLA PIR-BUN, PIRSUS DAN PIR LOKALPerkebunan inti rakyat (PIR) merupakan model pengembangan perkebunan di wilayah bukaan baru dengan perusahaan perkebunan besar sebagai inti yang membangun dan membimbing perkebunan rakyat di sekitarnya sebagai plasma.

Nucleus estate small holding (NES) menjadi tonggak awal dijalankannya PIR di Indonesia. Sejak 1969 Bank Dunia terlibat dalam pembangunan perkebunan di Indonesia dengan memberikan pinjaman kepada tujuh perkebunan milik negara atau PTP. Kemudian pada 1973 dirintis program NES I untuk pengembangan karet di Aloimerah, Aceh dan Tebenan, Sumatera Selatan. Sedangkan proyek NES untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit baru dimulai sekitar awal tahun 80-an, yaitu proyek NES IV Betung.

Pembiayaan perkebunan ini kemudian diikuti oleh Bank Pembangunan Asia dan Bank Pembangunan Jerman. Bank Dunia terlibat dalam pendanaan mulai dari NES I hingga NES VII. Kemudian program kemitraan ini diperluas dengan diadakannya seri proyek PIR Swadana, yaitu PIR Khusus (PIRSUS) dan PIR Lokal.

Sistem pendanaan proyek pola PIR mengikuti mekanisme APBN. Dana non-kredit dituangkan dalam Daftar Isian Proyek (DIP) dan dana untuk pembangunan kebun plasma dituangkan dalam Daftar Isian Pembiayaan Proyek (DIPP). Untuk mencairkan DIPP, harus dibuat perjanjian kredit antara petani dengan Direksi Bank Pelaksana.

Pada tahap awal pembangunan kebun plasma, karena petaninya belum ada maka yang melakukan penandatanganan kredit mewakili petani adalah Direktur Jenderal Perkebunan. Pada saat konversi, jumlah dana yang dikonversi kepada petani peserta mengurangi tanggungan beban kredit Direktur Jenderal Perkebunan.

Berbeda dengan proyek-proyek lingkup sektor pertanian pada umumnya yang kegiatan pokoknya bersifat pembinaan, penyuluhan bimbingan, dan bantuan agro input seperlunya, proyek pola PIR mencakup kegiatan pembangunan fisik kebun dan perangkat pendukungnya yang merupakan kegiatan lintas sektor.

Tingkat suku bunga pada masa tenggang atau sebelum konversi sebesar 10,5% dibayar oleh pemerintah. Setelah konversi, pemerintah masih menanggung 4,5% dari total suku bunga yang dibebankan ke petani.

Kegagalan kredit sebelum konversi menjadi tanggungan pemerintah sepenuhnya, sedangkan risiko kemacetan cicilan pengembalian kredit setelah konversi ditanggung pemerintah sebesar 70%, Bank Pelaksana sebesar 25%, dan Bank Indonesia sebesar 5%.

Selama 1980 hingga 1994, untuk komoditi kelapa sawit terdapat 13 proyek NES, 10 program PIR-SUS dan 8 proyek PIR-Lokal dengan realisasi kebun plasma masing-masing seluas 71.042,15 Ha, 52.587,21 Ha dan 24.961,83 Ha. Dengan demikian total kebun plasma yang berhasil dibangun selama periode 15 tahun ini hampir menyentuh angka 150 ribu hektar.

Mempertimbangkan dampak positif dari munculnya perkebunan rakyat dan penyerapan tenaga kerja di perkebunan sawit, pemerintah bermaksud memperpanjang pola inti-plasma sawit namun dengan skema pembiayaan yang berbeda. Muncul gagasan melibatkan swasta dalam pola kemitraan melalui pola PIR-TRANS untuk bukaan baru dan pola kemitraan untuk PIR lokal.

B. PROGRAM PIR-TRANS

Sebagai tindak lanjut dari gagasan melibatkan swasta dalam pola PIR, menteri pertanian mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No 469/KPTS/KB.510/6/1985 pada bulan Juni 1985, isinya antara lain mewajibkan setiap permohonan izin prinsip baru pengembangan perkebunan kelapa sawit oleh perusahaan swasta disertai dengan pola PIR yang selanjutnya disebut PIR Swasta kelapa sawit.

Juga kepada BUMN perkebunan sawit diminta untuk melanjutkan pengembangan perkebunan kelapa sawit rakyat dengan pola PIR, selanjutnya disebut PIR Akselerasi. PTP yang ditugaskan yaitu PTP II, PTP IV, PTP V, PTP VI dan PTP VII.

Namun, kebijakan PIR Swasta kelapa sawit dan PIR Akselerasi hanya menyangkut pembangunan perkebunannya saja, belum ada kejelasan tentang pembangunan pemukiman sehingga tidak dapat berjalan seperti yang diharapkan.

Untuk menanggulangi permasalahan tersebut, pada salah satu sidang kabinet diambil keputusan yang intinya : 1. Proyek pola PIR yang sedang berjalan terus dilanjutkan pelaksanaannya sampai selesai.2. Pengembangan pola PIR baru perlu diusahakan dengan mengundang dunia usaha swasta kuat untuk menjadi perusahaan inti. Pelaksanaannya dikaitkan dengan program transmigrasi.

Menteri Perencanaan Pembangunan / Ketua Bappenas pada waktu itu, JB Sumarlin, kemudian mengundang pihak swasta untuk membicarakan kelanjutan pola PIR. Dari pertemuan ini, muncullah konsep tentang tata cara penyelenggaraan pengembangan perkebunan kelapa sawit yang dikaitkan dengan program Transmigrasi. Konsep itu tertuang dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri Pertanian dan Menteri Transmigrasi untuk kemudian disampaikan dalam satu forum pertemuan yang dipimpin langsung oleh JB Sumarlin. Muncul kekhawatiran SKB ini tidak efektif karena banyaknya instansi yang harus terlibat.

Serangkaian pembahasan akhirnya melahirkan Inpres Nomor 1 tahun 1986 tentang Pengembangan Perkebunan dengan Pola Perusahaan Inti Rakyat yang dikaitkan dengan Program Transmigrasi (PIR-Trans) tertanggal 3 Maret 1986. Melalui Inpres menjadi jelas tugas, fungsi dan tanggung jawab unit fungsional terkait, sehingga dapat lebih mempertegas tata cara, mekanisme saling keterkaitan dan ketergantungan yang dibutuhkan.

Kesebelas kementrian dan lembaga yang mendapat penugasan dari presiden yakni:

NoIntansi/ PejabatTugas dan tanggung jawab

1Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenasmenyusun, mengkoordinasikan, dan menyerasikan rencana-rencana pembangunan yang terkait dengan rencana pelaksanaan proyek PIR-TRANS

2Menteri Pertanianmelaksanakan, memantapkan, dan meningkatkan usahapengembangan perkebunan dengan pola PIR-TRANS

3Menteri Transmigrasimelaksanakan penyediaan, persiapan, termasuk latihan danpengiriman transmigran peserta proyek PIR-TRANS serta menyelenggarakan penyiapan lahan pangan, pembangunan pemukiman dan pembinaan transmigran

4Menteri Tenaga Kerjamelaksanakan penyediaan, seleksi, latihan, dan pengirimanangkatan kerja antar daerah (AKAD) yang dibutuhkan perusahaan inti sebagai karyawan perkebunan Inti dalam pelaksanaan proyek PIR-TRANS

5Menteri Dalam Negerimengatur penyediaaan lahan dan pemberian hak dalam rangka pelaksanaan proyek PIR-TRANS serta memberi petunjuk dan pengarahan kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dan para Bupati Kepala Daerah Tingkat II tentangkoordinasi dalam pembinaan pelaksanaan proyek PIR-TRANS di daerah

6Menteri Keuanganmengatur penyediaan biaya dan/atau menetapkan ketentuanketentuan yang bersangkutan dengan pembiayaan proyek PIR-TRANS yang bersumber dari APBN

7Menteri Kehutananmengatur pelaksanaan proses pelepasan lahan yang diperlukan untuk proyek PIR-TRANS dari kawasan hutan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku

8Menteri Koperasimelaksanakan pembinaan petani peserta PIR-TRANS untukpengembangan prakarsa ke arah pertumbuhan koperasi sebagai usaha bersama dalam mengelola kebun mereka

9Menteri Muda Urusan Peningkatan Produksi Tanaman Kerasmengikuti, mengkoordinasikan, dan menyerasikan pelaksanaan usaha pengembangan perkebunan dengan pola PIR-TRANS

10Gubernur Bank Indonesiamengatur penyediaan dan/atau menetapkan ketentuanketentuan pembiayaan proyek PIR-TRANS yang bersumber dari kredit perbankan

11Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modalmemperlancar perizinan dan pemberian fasilitas penanaman modal yang diperlukan bagi pelaksanaan pengembangan perkebunan dengan pola PIR-TRANS sesuai dengan fungsi dan kewenangannya

Instruksi presiden dilengkapi dengan pedoman pengembangan perkebunan pola PIR-Trans. Disebutkan dalam pedoman itu, Proyek PIR-Trans merupakan suatu paket pengembangan wilayah yang utuh yang terdiri dari komponen utama dan komponen penunjang. Komponen utama berupa:(a) pembangunan perkebunan inti(b) pembangunan kebun plasma(c) pembangunan pemukiman yang terdiri dari lahan pekarangan dan perumahan.

Sedangkan yang disebut komponen penunjang adalah pembangunan prasarana umum.

Luas lahan yang disediakan untuk masing-masing petani berupa 2 ha kebun plasma dan 0,5 ha lahan pekarangan.

Menindaklanjuti instruksi presiden, menteri pertanian mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No.183/Kpts.15/4/1986 tanggal 5 April 1986 terkait penilaian terhadap studi kelayakan, satuan biaya dan lain-lain yang berhubungan dengan pembiayaan pembangunan Proyek PIR-TRANS.

Bank Indonesia menindaklanjuti dengan mengeluarkan surat edaran pada tanggal 5 Juni 1986 tentang kredit Pengembangan Perkebunan dengan Pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR) yang dikaitkan dengan Program Transmigrasi. Surat edaran ini menyebutkan adanya kredit investasi khusus untuk pembangunan kebun inti maupun kebun plasma.

Disebutkan bahwa tingkat suku bunga bagi perusahaan inti untuk pembangunan kebun inti dan kebun plasma untuk pertama kali ditetapkan sebesar 16%. Sedangkan tingkat suku bunga bagi petani peserta ditetapkan oleh Bank Indonesia sesuai ketentuan perkreditan untuk golongan ekonomi lemah. Bagi bank-bank penyalur kredit investasi program pembangunan kebun sawit, Bank Indonesia menyediakan Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) dengan suku bunga pertama kali sebesar 6,5%. KLBI adalah kredit atau pembiayaan yang disediakan oleh Bank Indonesia dalam rangka membiayai Kredit Program.

Pada bulan dan tahun yang sama, Menteri Pertanian mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 333/Kpts/KB.510/6/1986 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pengembangan Perkebunan dengan Pola PIR-TRANS. Pada surat keputusan ini antara lain disebutkan di pasal 10 ayat 2a bahwa lahan untuk kebun inti dan kebun plasma perimbangan luasnya antara 20 : 80. Namun perimbangan alokasi kebun inti dan plasma ini diperlunak, melalui Keputusan Menteri Pertanian No.353 tahun 2003. Pasal 10 ayat (2), menjadi sebagai berikut :(2) Lahan yang disediakan dalam proyek PIR-TRANS terdiri dari :a. Lahan untuk kebun inti dan kebun plasma yang perimbangan luasnya antara 20 : 80 atau dapat disesuaikan dengan kondisi setempat;b. Penyesuaian perimbangan lahan kebun inti dan plasma sebagaimana dimaksud pada butir a ditetapkan oleh Direktur Jenderal Bina Produksi Perkebunan berdasarkan criteria/persyaratan yang berlaku setelah menerima usulan dari perusahaan inti.Artinya perusahaan inti bisa mengajukan usul perubahan perimbangan luas kebun inti dan plasma dengan kemungkinan menambah luas kebun inti dan mempersempit kebun plasma.

Kemudian, Menteri Keuangan bersama dengan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan BAPPENAS menetapkan surat keputusan bersama tentang tata cara pengusulan, pengesahan, pengalihan, dan pemantauan pembiayaan pembangunan proyek PIR-Trans. SKB ini menetapkan secara rinci tahapan-tahapan yang harus dilalui oleh perusahaan, tim teknis lintas sektoral kementrian maupun pihak perbankan; mulai dari perencanaan, pembiayaan, pengalihan kebun dari perusahaan ke petani peserta, pembiayaan maupun pemantauan kegiatan.

Seiring berjalannya program PIR-Trans, terjadi perubahan kebijakan dari Bank Indonesia (BI) terkait pembiayaan program. Pada saat dimulainya program di tahun 1986, aturan Bank Indonesia memberi keleluasaan kepada perusahaan inti untuk memperoleh kredit pembangunan kebun inti. Namun pada 2004, BI mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia No 6/12/PBI/ 2004, yang menyatakan pihak perusahaan harus menyediakan 35% dari total biaya pembangunan kebun inti, selebihnya bisa dibiayai dengan kredit investasi. Sementara untuk biaya pembangunan kebun plasma tidak ada perubahan, yakni tetap 100% didanai oleh kredit investasi.

Pada aturan baru itu juga disebutkan bahwa kredit invetasi untuk kebun inti berasal dari Kredit Likuidtas Bank Indonesia (KLBI) sebesar 55% dan dari dana bank sebesar 45%. Artinya ada perbedaan suku bunga pinjaman dari kedua sumber pembiayaan ini dengan dana dari bank akan dikenakan beban bunga lebih tinggi. Perubahan ini menunjukkan ada pengetatan sumber pembiayaan untuk pembangunan kebun inti.

Pengetatan selanjutnya terkait batas waktu penyerahan kebun plasma. Pada aturan sebelumnya tidak ada ketentuan mengenai batas waktu penyerahan kebun plasma kepada petani peserta atau konversi Di beleid yang baru ini disebutkan paling lambat tahun 2008 harus sudah dilaksanakan konversi. Bila sampai batas waktu ini masih ada lahan yang belum dikonversi maka dikenakan sanksi sebagai berikut:a. Kelonggaran tarik KLBI KIK Pasca Konversi yang belum dilimpahkan menjadi hangus.b. Baki debet KLBI Kebun Plasma ditarik oleh Bank Indonesia.c. Penyelesaian kepemilikan lahan yang belum dikonversi diserahkan kepada Tim Koordinasi PIR-Trans. Yang dimaksud dengan Tim Koordinasi PIR Trans adalah sebagaimana ditetapkan dalam SK Mentan No. 183/ Kpts/KP.150/4/86 tanggal 5 April 1986 juncto Keputusan Menteri Pertanian No. 485/Kpts/KP. 150/6/96 tentang Tim Koordinasi Pengembangan Perkebunan Dengan Pola PIR yang Dikaitkan Dengan Program Transmigrasi.d. Selama proses penyelesaian konversi, perusahaan inti diminta membuat rekening terpisah atau escrow account untuk menampung dana hasil kebun. Dana di rekening khusus ini bisa ditarik untuk keperluan pembiayaan kebun plasma dan membayar kredit petani.

Apabil kondisi kebun belum memenuhi syarat untuk dilakukan konversi, maka sesuai Keputusan Menteri Nomor 333 tahun 1986 pasal 14 ayat 3(a) dan (b) dapat dilakukan dua jenis pilihan tindakan, yakni:a. menetapkan penundaan penyerahan kebun plasma kepada petani peserta dan diwajibkan perusahaan inti untuk memperbaiki kebun atas beban sendiri dengan ketentuan bahwa hasil kebun tersebut sampai saat penyerahan dikurangkan dari jumlah biaya pembangunan kebun plasma yang diambil alih Bank Pemerintah dan badan lainnya sebagaimana dimaksud pasal 12 ayat (1).b. tetap menetapkan dilangsungkannya penyerahan kebun plasma yang bersangkutan kepada petani peserta dan mewajibkan perusahaan inti untuk menanggung perbaikannya sampai memenuhi standar fisik.

Pada umumnya, pembayaran kembali kredit oleh petani plasma dilakukan dengan memotong 30% hasil kebun, selebihnya 70% dibayarkan kepada petani. Di berbagai tempat pelaksanaan PIR-Trans, proses konversi sebagian mengalami keterlambatan. Akibatnya, kredit yang ditanggung petani semakin besar dengan suku bunga komersial yang terus berubah, petani plasma dihadapkan pada situasi tidak punya pilihan selain menerima besaran kredit yang ditetapkan oleh pemerintah daerah setempat.

Sumber: Bank Indonesia

Perubahan pola pembiayaan ini berpengaruh pada hubungan kerja antara perusahaan inti dengan petani plasma. Pada riset ini akan dipaparkan pengetatan berpengaruh pada kinerja perusahaan secara keseluruhan dan berdampak buruk pada petani dengan beban kredit yang lebih tinggi maupun menjadi korban penipuan perusahaan. Ini terjadi terutama pada petani yang terlambat mendapatkan konversi.

Pengembangan pola PIR-TRANS dilaksanakan pada 11 provinsi dengan proyek 50 unit PIR-TRANS kelapa sawit, meliputi rencana pengembangan pembangunan kebun inti seluas 167.702 Ha, kebun plasma 398.644 Ha, dengan total luasan 566.346 Ha (data Ditjen Perkebunan 2009).

C. POLA KKPA

Sejalan dengan perkembangan perkebunan rakyat melalui pola PIR-Trans, pertumbuhan koperasi kebun sawit juga meningkat. Koperasi pada pola PIR-Trans berfungsi sebagai mediator dalam proses penjualan tandan sawit maupun pembayaran cicilan kredit. Keberadaan koperasi menjadi sangat penting. Banyak koperasi yang mampu menjalankan fungsinya dengan baik dan tumbuh menjadi koperasi yang kuat, meski tidak sedikit pengurus koperasi yang tidak jujur dan mengakibatkan terbengkelainya proses jual beli tandan sawit.

Timbullah pemikiran untuk lebih memperkuat posisi koperasi dengan menyediakan kredit investasi untuk pengembangan perkebunan sawit. Menteri Pertanian Sjarifudin Baharsjah bersama Menteri Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil, Subiakto mengeluarkan surat keputusan bersama (SKB) pada Februari 1998 tentang Pembinaan dan Pengembangan Koperasi Unit Desa di Bidang Usaha Perkebunan dengan Pola Kemitraan Melalui Pemanfaata n Kredit Kepada Koperasi Primer untuk Anggotanya. Di dalam SKB ini tercantum peran, fungsi dan kegiatan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan pengelolaan kebun sawit, yakni koperasi, petani peserta dan perusahaan inti.

Pembiayaan yang disediakan berbentuk skim kredit dengan syarat lunak yang diberikan oleh pemerintah melalui PT. (Persero) Permodalan Nasional Madani (PT. PNM) kepada koperasi primer yang selanjutnya disalurkan kepada anggotanya. Penyaluran KKPA kepada anggota koperasi dilakukan melalui bank pelaksana yang ditunjuk oleh PT. PNM.

Pada program KKPA, koperasi dapat berperan sebagai pelaksana pemberi KKPA (executing agent) atau sebagai penyalur (chanelling agent). Sebagai exeuting agent, koperasi bertanggungjawab atas resiko pengembalian kredit secara penuh. Pada peran sebagai penyalur atau chanelling, koperasi tidak mempunyai tanggungjawab atas risiko pengembalian kredit. Akad Kredit dilakukan oleh Bank dengan masing-masing anggota penerima KKPA, yang diketahui oleh pengurus koperasi. Dalam pelaksanaan Akad Kredit, para anggota diwakili oleh pengurus koperasi. Oleh karena itu, anggota penerima KKPA harus membuat Surat Kuasa kepada pengurus koperasi.

Tugas koperasi dalam program KKPA: (a) mengajukan usulan proyek yang akan dibiayai dengan KKPA, (b) seleksi bagi anggota yang layak dibiayai, (c) mengawain penggunaan kebun yang dibiayai dengan KKPA, (d) pembinaan bagi anggota, (e) penagihan angsuran KKPA, dan (f) administrasi pemberi KKPA dan angsurannya.

Dalam hal koperasi sebagai penyalur KKPA, tugas koperasi sama dengan tugas koperasi bila sebagai pelaksana pemberi KKPA seperti butir 2(a) sampai butir 2(f) di atas. Perbedaannya terletak pada pertanggungan resiko pengembalian kredit petani peserta, koperasi sebagai penyalur kredit tidak bertanggung jawab atas resiko ini.

Pengaturan suku bunga dan imbalan jasa koperasi ditetapkan sebagai berikut:1. Suku bunga KKPA berkisar 16% per tahun pada saat awal program. Dari Jumlah ini termasuk 2% setahun sebagai imbalan jasa koperasi. Namun, imbalan jasa ini tidak diberikan pada masa tenggang, sehingga suku bunga yang dibayarkan atau dibebankan kepada anggota berkurang 2% atau hanya 14% per tahun. Besarnya tingkat suku bunga dan imbalan untuk koperasi bersifat tidak tetap, karena itu dapat ditinjau kembali. Peninjauan ini ditetapkan oleh Pemerintah dalam hal ini adalah PT. PNM.

2. Apabila Koperasi bertindak sebagai pelaksana pemberi KKPA, maka imbalan jasa sebesar 2% tersebut seluruhnya untuk koperasi yang bersangkutan, yang pembayarannya dilakukan dengan cara:

a. Sebesar 50% dari imbalan dibayarkan kepada koperasi atas dasar realisasi pembayaran angsuran pokok dan bunganya oleh anggota koperasi bersangkutan, dan

b. Sisanya sebesar 50% lagi disimpan dalam bentuk tabungan beku di bank dan dikembalikan setelah diperhitungkan dengan tunggakan yang timbul pada saat KKPA jatuh tempo. Dengan kata lain, sisa sebesar 50% tersebut dapat dicairkan setelah kredit lunas. Tabungan tersebut diberi bunga sebesar suku bunga yang berlaku pada bank yang bersangkutan.

3. Apabila Koperasi bertindak sebagai penyalur KKPA, maka dari imbalan sebesar 2% tersebut, hanya diberikan kepada koperasi sebesar 50%-nya atas dasar realisasi pembayaran angsuran pokok dan bunganya oleh anggota koperasi yang memperoleh KKPA, dan sisanya 50% lagi menjadi penerimaan bank.

KKPA Perkebunan Kelapa SawitKKPA Perkebunan Kelapa Sawit adalah KKPA yang diberikan untuk pembangunan kebun kelapa sawit petani anggota koperasi primer. Oleh karena jangka waktu pembangunan kebun ini cukup panjang dan masa pengembaliannya juga lama, maka jenis kredit ini termasuk dalam kredit investasi.Kredit ini dikembalikan atau diangsur sesuai dengan jangka waktu yang telah ditetapkan berdasarkan perjanjian bersama dengan Bank. Besarnya cicilan kredit termasuk bunga dihitung dengan persentase tertentu dari hasil kotor kebun sesuai dengan perjanjian antara bank dengan koperasi.

Petani yang akan memperoleh fasilitas KKPA harus memiliki lahan yang akan dibangun kebun kelapa sawit, ditandai dengan surat pemilikan lahan (tanah) sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku, seperti sertifikat hak milik (SHM), atau surat keterangan tanah (SKT) yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang, sehingga bukti pemilikan tersebut mempunyai kekuatan hukum yang sah.

Koperasi yang akan menerima atau menyalurkan KKPA harus mempunyai mitra kerja, dalam hal ini adalah Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit, yang dalam istilah sehari-hari disebut dengan Perusahaan Inti. Hubungan kerjasama antara Koperasi dengan Perusahaan Inti dibuat secara tertulis.

Kredit maksimum yang bisa diberikan kepada masing-masing Anggota Koperasi Primer maksimum sebesar Rp 50 juta untuk membiayai pembangunan Kebun Plasma dengan luas 2 (dua) hektar sampai dengan 4 (empat) hektar

Sama halnya dengan pola PIR-Trans, penyerahan kebun plasma kepada koperasi/petani plasma dilaksanakan oleh Perusahaan Inti setelah tanaman memenuhi standar penilaian fisik kemudian lahan akan dikembalikan kembali kepada petani peserta kemitraan disertai dengan penandatanganan perjanjian konversi pembayaran pembangunan kebun.

Pada perjanjian kredit disebutkan pengaturan hasil penjualan tandan sawit. Pada umumnya, dibuat cara pembagian hasil kebun sebagai berikut: Untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga petani sebesar 30%. Cicilan Kredit sebesar 30% atau sesuai dengan perjanjian dengan Bank Pelaksana. Biaya Produksi dan Pemeliharaan Kebun sebesar 40%

Dari jumlah 40% biaya produksi dan pemeliharaan kebun, 5% diantaranya merupakan tabungan beku yang disimpan di Bank dan diberikan bunga sesuai dengan tingkat suku bunga yang berlaku.

Biaya Produksi dan pemeliharaan mencakup biaya transport TBS ke Pabrik, biaya pupuk, biaya pemberantasan hama penyakit tanaman, biaya pemeliharaan infrastruktur (jalan, jembatan dan drainase), biaya replanting dan biaya manajemen dan organisasi. Dana untuk biaya produksi disimpan di Bank, diberikan bunga sesuai dengan tingkat suku bunga yang berlaku.

Pada pola KKPA ini kesempatan untuk memperkuat fungsi organisasi koperasi sangat besar. Namun kenyataannya, sebagian besar atau bisa dikatakan hampir semua koperasi kebun mitra perusahaan tidak dibentuk dari bawah atas kesepakatan anggota, melainkan difasilitasi, dikendalikan dan diawasi oleh perusahaan inti. Posisi koperasi sebagai baik sebagai pelaksana maupun penyalur kredit sangat lemah. Hal ini tampak sekali dari paparan hasil riset lapangan yang disampaikan pada bab-bab berikutnya.

Sumber: Bank Indonesia

D. REVITALISASI PERKEBUNAN

Program Revitalisasi Perkebunan adalah upaya percepatan pengembangan perkebunan rakyat melalui perluasan, peremajaan dan rehabilitasi tanaman perkebunan yang didukung oleh kredit investasi oleh perbankan dan subsidi bunga oleh pemerintah. Pelaksanaan Program Revitalisasi Perkebunan dilaksanakan melalui 2 (dua) pola yaitu pola kemitraan dengan melibatkan perusahaan di bidang perkebunan sebagai mitra pengembangan dalam pembangunan kebun, pengolahan dan pemasaran hasil dan pola non kemitraan.

Subsidi bunga yang dimaksudkan merupakan selisih bunga komersial dengan bunga yang dikenakan kepada petani yang menjadi beban pemerintah dan harus dibayar kepada bank.

Landasan hukum pengembangan perkebunan melalui program Revitalisasi Perkebunan adalah:a. Peraturan Menteri Petanian Nomor 33/Permentan/OT.140/7/2006 tentang Pengembangan Perkebunan melalui Program Revitalisasi Perkebunan;b. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 117/PMK.06/2006 tentang Kredit Pengembangan Energi Nabati dan Revitalisasi Perkebunan;c. Perjanjian Kerjasama Pendanaan antara Menteri Keuangan/Dirjen Perbendaharaan dengan 16 Bank Pelaksana (PT Bank Rakyat Indonesia, PT Bank Mandiri, PT BUKOPIN, PT BNI, PT BPD Sumatera Utara, BPD Sumatera Selatan, BPD Sumatera Barat/Bank Nagari, BPD Riau, BPD NAD, BPD Papua, PT Bank Niaga, PT Bank Agro, Bank Mega, Bank Artha Graha, PT BII, dan BPD Kalimantan Timur).

Petani peserta program revitalisasi perkebunan diatur dalam Peraturan Menteri No 33 tahun 2006. Mereka adalah pekebun dan penduduk setempat. Penetapan petani peserta dilakukan oleh bupati/walikota dalam hal ini Kepala Dinas yang membidangi perkebunan di kabupaten atau kota.

Pasal 12 di Permentan menyebutkan petani peserta sebagai pekerja selama masa pengembangan kebun. Artinya perusahaan harus menerima mereka sebagai pekerja, meski pada pelaksanaannya tidak semua peserta berminat menjadi pekerja kebun.

Untuk mengatur secara teknis perhitungan pembiayaan pembangunan kebun plasma, Direktur Jenderal Perkebunan mengeluarkan surat keputusan terkait satuan biaya maksimum pembangunan kebun. Salah satu surat keputusan yang menyebutkan hal ini pada awal pelaksanaan program adalah SK No. No.60/Kpts/RC.110/4/08 tertanggal 7 April 2008.

Sedangkan biaya riil di lapangan ditentukan bersama antara Bank Pelaksana dengan Calon Peserta Program Revitalisasi Perkebunan.

Biaya satuan maksimum ditetapkan berbeda-beda nilainya tergantung wilayah geografis dengan pembagian 6 wilayah. Wilayah I merupakan kebun yang dibangun di provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Banten dan Bali. Wilayah II di Sumatera Selatan, Jambi, Bengkulu, Lampung, Sumatera Barat, dan Bangka Belitung. Wilayah III meliputi Nangro Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kepulauan Riau. Sedangkan daerah yang masuk Wilayah IV adalah NTB dan NTT. Kemudian Wilayah V terdiri dari Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Gorontalo, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. Sementara Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat dimasukkan ke Wilayah VII.

Untuk komoditi kelapa sawit, biaya maksimum perluasan kebun berkisar antara 25,9 juta rupiah hingga 32,8 Juta rupiah per hektar. Sedangkan biaya maksimum untuk peremajaan atau re-planting paling rendah 23,2 juta rupiah dan paling tinggi ditetapkan 30,35 juta rupiah per hektar.

Tabel : Satuan Biaya Per-hektar Perluasan Kelapa Sawit Tahun 2008 (pola kemitraan)

NoUraian KegiatanWilayah

Wil IWil IIWil IIIWil IVWil VWil VI

1P0 Pembukaan lahan dan penanaman11.061.00011.370.00011.633.00011.759.00012.034.00012.631.000

(Tenaga Kerja, infrastruktur, bahan dan alat, manajemen fee 5%, sertifikasi lahan, administrasi)

2P1 Pemeliharaan Tahun 15.059.0005.370.0005.557.0005.673.0005.907.0006.554.000

(Tenaga Kerja, infrastruktur, bahan dan alat, manajemen fee 5%)

3P2 Pemeliharaan Tahun 24.755.0005.127.0005.272.0005.395.0005.693.0006.600.000

(Tenaga Kerja, infrastruktur, bahan dan alat, manajemen fee 5%)

4P3 Pemeliharaan Tahun 3 5.087.005.475.000 5.598.005.721.0006.019.0006.977.000

(Tenaga Kerja, infrastruktur, bahan dan alat, manajemen fee 5%)

Jumlah25.962.000 27.342.000 28.060.000 28.548.0029.653.0032.762.000

Sumber: Lampiran Keputusan Direktur Jenderal Perkebunan Nomor 60/Kpts/RC.110/4/08 Tanggal 7 April 2008

Tabel : Satuan Biaya Per-hektar Peramajaan Kelapa Sawit Tahun 2008 (pola kemitraan)

NoUraian KegiatanWilayah

Wil IWil IIWil IIIWil IVWil VWil VI

1P0 Pembukaan lahan dan penanaman11.061.00011.366.00011.444.00011.437.00012.988.00012.051.000

(Tenaga Kerja, infrastruktur, bahan dan alat, manajemen fee 5%, sertifikasi lahan, administrasi)

2P1 Pemeliharaan Tahun 14.103.0004.851.0004.760.0004.645.0005.210.0006.088.000

(Tenaga Kerja, infrastruktur, bahan dan alat, manajemen fee 5%)

3P2 Pemeliharaan Tahun 23.679.0004.433.0004.408.0004.344.0004.844.0005.617.000

(Tenaga Kerja, infrastruktur, bahan dan alat, manajemen fee 5%)

4P3 Pemeliharaan Tahun 34.434.0005.284.0005.231.0005.163.0005.705.0006.594.000

(Tenaga Kerja, infrastruktur, bahan dan alat, manajemen fee 5%)

Jumlah23.232.00025.934.00025.843.00025.589.00027.747.00030.350.000

Sumber: Lampiran Keputusan Direktur Jenderal Perkebunan Nomor 60/Kpts/RC.110/4/08 Tanggal 7 April 2008

Sedangkan untuk tingkat suku bunga, Permentan No 33 tahun 2006 menyebutkan di Pasal 22 ayat (3) dan (4) sebagai berikut:(3) Selain satuan biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pekebun dibebani bunga sebesar 10 persen selama masa pengembangan perkebunan yaitu maksimal 5 (lima) tahun untuk kepala sawit dan kakao sedangkan untuk karet maksimal 7 (tujuh) tahun.(4) Selisih bunga komersial dengan bunga yang dibebankan kepada Petani peserta selama masa pengembangan perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi beban pemerintah sebagai subsidi bunga, dan setelah masa pengembangan perkebunan petani peserta dibebani bunga komersial.

Sejak diterapkan pada 2006 hingga akhir 2009, realisasi persetujuan bank untuk pelaksanaan program revitalisasi perkebunan mencapai 227.981 hektar yang tersebar di 69 (enam puluh sembilan) kabupaten, 22 (dua puluh dua) provinsi dengan luas kebun kelapa sawit seluas 217.354 hektar, karet seluas 9.135 hektar, dan kakao seluas 1.492 hektar. Sementara yang masih dalam tahap proses persetujuan baik di tingkat perbankan maupun tingkat lapangan untuk menjadi peserta Program Revitalisasi Perkebunan (KPEN-RP) komoditi kelapa sawit seluas 228.935 hektar.

E. PERBANDINGAN MODEL KEMITRAAN

Pelaksanaan kemitraan mulai dari NES hingga revitalisasi perkebunan menjadi sarana terwujudnya kebun plasma 916.223 hektar atau mendekati satu juta hektar pada akhir 2013. Sejalan dengan pertumbuhan kebun inti dan plasma, perkebunan rakyat swadaya pun meningkat pesat. Secara nasional, perkebunan rakyat yang dibangun dengan kemitraan maupun swadaya telah mendekati 4,4 juta hektar. Angka ini melewati jumlah perkebunan sawit negara atau PTPN yang mengalami stagnasi pertumbuhan dengan total luas 769.357 hektar. Pertumbuhan paling pesat terjadi di perkebunan swasta nasional yang telah membangun kebun sawit dengan luas 5.935.465 hektar.

Tabel. Rekapitulasi area perkebunan sawit rakyatNoProgramLuas (Ha)

1NES, PIR-Sus, PIR Lokal153.388

2PIR-Trans362.528

3KKPA155.211

4Revitalisasi Perkebunan245.096

Jumlah area kebun plasma916.223

5Swadaya3.439.864

Perkebunan sawit milik rakyat4.356.087

6Perkebunan besar negara (PBN)769.357

7Perkebunan swasta 5.935.465

Total Perkebunan sawit nasional11.444.808

Sumber: Direktur Jenderal Perkebunan, 2015

Program revitalisasi perkebunan untuk tahun anggaran 2015 telah dihentikan. Terkait pembiayaan kemitraan, sesuai surat Menteri Keuangan nomor S-5/MK.05/2015 tanggal 6 Januari 2015 perihal pelaksanaan kredit program skema KUPS dan KPEN-RP, dinyatakan bahwa program revitalisasi perkebunan per 1 Januari 2015 untuk sementara dihentikan dan skema pembiayaan baru sedang dalam proses penyusunan disain.Sedangkan untuk menjamin pengembangan perkebunan kelapa sawit secara berkelanjutan, pemerintah pada 18 Mei 2015 telah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No 61 tentang penghimpunan dan penggunaan dana perkebunan kelapa sawit. Dana yang dihimpun merupakan pungutan atas ekspor komoditas Perkebunan Kelapa Sawit dan/atau turunannya sert iuran dari pelaku usaha perkebunan kelapa sawit. Presiden membentuk badan pengelola dana perkebunan sawit untuk menghimpun, mengadministrasikan, mengelola, menyimpan, dan menyalurkan Dana. Program pengumpulan dana dari komoditi kelapa sawit ini lebih dikenal sebagai CPO Fund.Menurut Pasal 11 ayat 1 Perpres tersebut, dana yang dikumpukan digunakan untuk:a. pengembangan sumber daya manusia Perkebunan Kelapa Sawit;b. penelitian dan pengembangan Perkebunan Kelapa Sawit;c. promosi Perkebunan Kelapa Sawit;d. peremajaan Perkebunan Kelapa Sawit; dane. sarana dan prasarana Perkebunan Kelapa Sawit.Bila kita ringkas, maka perbandingan keempat pola kemitraan bisa digambarkan dalam tabel di bawah ini:

Contoh Fasilitas Kredit Pengembangan Energi Nabati & Revitalisasi Perkebunan (KPEN-RP) yang disediakan Bank Mandiri:Merupakan upaya percepatan pengembangan perkebunan rakyat melalui perluasan, peremajaan dan rehabilitasi tanaman perkebunan yang didukung kredit investasi perbankan dan subsidi bunga oleh pemerintah dengan melibatkan perusahaan di bidang usaha perkebunan sebagai mitra pengembangan dalam pembagunan kebun, pengolahan dan pemasaran hasil.

Persyaratan :

Syarat perusahaan inti : Memiliki ijin Usaha Perkebunan dan ijin usaha sesuai ketentuan yang berlaku (SIUP, IUP, TDP, NPWP dll) Telah berpengalaman dibidang usaha perkebunan Bersedia menjadi avalis (corporate guarantee) Memiliki perjanjian kerjasama dengan koperasi Memenuhi persyaratan bank tekhnis Menyampaikan Feasibility Study Ditetapkan oleh Dirjenbun sebagai Mitra Usaha berdasarkan rekomendasi Disbun tingkat I dan tingkat II

Syarat Koperasi : Telah berbadan hukum Koperasi dan Pengurus tidak termasuk dalam daftar hitam dan kredit bermasalah Memiliki mitra usaha Perusahaan Inti.

Syarat Petani anggota Koperasi : Usia minimal 21 tahun atau telah menikah Tidak memiliki tunggakan kredit Merupakan penduduk setempat Terdaftar dalam daftar nominatif yang ditetapkan Bupati/Walikota

Fitur Kredit : Komoditi yang dibiayai Kelapa Sawit dan Karet Luas lahan minimal 2 ha, maksimal 4 ha per petani Limit kredit sebesar luas lahan dikalikan satuan biaya per hektar Dana sendiri 0% Jenis kredit adalah Kredit Investasi Suku bunga, setinggi-tingginya LPS + 5%, suku bunga kepada petani 7% Agunan adalah kebun petani plasma yang dibiayai Pengelolaan kebun plasma 'single management' dengan kebun inti Bebas biaya provisi

Manfaat : Pembiayaan 100% dari kebutuhan Subsidi suku bunga selama masa pembangunan Bebas biaya provisi