Upload
phamphuc
View
217
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
Risalah Indonesia Menggugat Kang Ade Bastiawan
http://bastiawanade.blogspot.com/2014/04/risalah-indonesia-menggugat.html
Minggu, 20 April 2014
Meski Sukarno malah dijatuhi hukuman empat tahun penjara, dua kali lebih berat dari
rekan-rekannya –Soekarno mendapat remisi jadi dua tahun penjara. Bukan soal gagalnya
pledoi itu membebaskan Soekarno dan rekan-rekannya dari interniran, melainkan
bagaimana pledoi itu sendiri menjadi naskah klasik yang paling gemilang yang dilahirkan
manusia republik di masa pergerakan. Bahkan, pidato pembelaannya Bung Karno ini
menjadi sangat terkenal di seluruh dunia dengan judul “Indonesie klaagt aan” –Indonesia
Menggugat. Reaksi dari ide yang digelontorkan Sukarno di gedung Landraad ini,
menyebar hingga ke Eropa dan Asia. Di Belanda, Partai Buruh bergolak, mendukung
pledoi Sukarno Indonesie klaagt aan, sekaligus mendukung Indonesia Merdeka. Di Asia,
pidato ini menjadi salah satu inspirasi para tokoh negara-negara Asia untuk ikut
menggelorakan semangat kemerdekaan di negara mereka.
Penangkapan Tokoh PNI
Pada bulan Mei tahun 1929, keputusan diambil Hoofd-Bestuur dan cabang-cabang PNI
untuk mengadakan daadwerkelijke actie –aksi kekerasan. Bunyi keputusan Mei PNI
2
tersebut, adalah: “untuk mencapai kemerdekaan, kita harus bersatu, membinasakan
imperialisme dan kapitalisme atau merubuhkannya”. Hal ini, membuat berang pemerintah
kolonial Hindia Belanda. Pada 24 Desember 1929, pemerintah Hindia Belanda
perintahkan Procureur General bij het Hoog Gerechtshof. Tugas Procureur: geledah dan
tangkap pemimpin-pemimpin pergerakan di seluruh “Nederlandsch Indie”. Rumah-rumah
dan kantor pemimpin PNI digeledah, dokumen-dokumen dibeslah –disita. Tuduhannya
tunggal: “melakukan perbuatan pelanggaran keamanan umum”.
Pada 28 Desember 1929, diselenggarakan rapat umum PNI di Jogja. Tampil bicara:
Sukarno, Gatot Mangkupradja, Maskun Sumadiredja, dan Ki Hajar. Rombongan bermalam
di rumah Dr. Sujudi, Jl Tugu Kidul.
Saat menjelang Subuh –29 Desember 1930, terjadi kegaduhan. Pintu digedor keras oleh
Komisaris Polisi Belanda, sambil menyuruh Sukarno dkk keluar dari kamar –di bawah
todongan pistol. Sukarno dkk hanya dibolehkan tukar pakaian tidur dengan pakaian
sehari-hari –itu pun dilakukan di halaman, tidak boleh lagi balik ke kamar. Sukarno dkk
digiring ke penjara Mergangsan –Wirogunan, depan gedung Taman Siswa.
Hanya sehari, Sukarno dan interniran PNI lainnya diinapkan di Wirogunan. Subuh, sipir
penjara membangunkan. Kemudian, muncul Komisaris Polisi dan intel berbaju kain carik
dengan memakai ikat kepala dan baju tutup –wedana bernama Salamun yang digunakan
Belanda untuk mengawasi aktivis pergerakan.
Sang wedana memberikan perintah dalam bahasa Belanda: “De heren worden nu naar
Bandung getransporteerd, ga nu maar vlug aankleden” (Tuan-tuan sekarang diangkut ke
Bandung, lekas kenakan pakaian).
Dari stasion Tugu, Sukarno diangkut dengan kereta. Jendela-jendela ditutup rapat,
serta dikawal ketat oleh polisi-polisi bersenjata. Di peron stasion Cicalengka, Sukarno
dkk disambut oleh Edjeh Kartahadimedja (patih) dan Rahmat (camat) serta pasukan
bersenjata lengkap.
Perjalanan dilanjutkan ke Bandung dengan mobil, Sukarno dkk kemudian digiring ke
penjara Banceuy di Bantjeujweg –Jalan Banceuy.
Pledoi Sukarno
Sejak ditangkap di Jogja 29 Desember 1929, Sukarno dkk resmi jadi tahanan penjara
3
Banceuy pada 30 Desember 1929 –dijaga satu regu tentara KNIL. Selama kurang lebih 8
bulan menjadi tahanan penjara Banceuy inilah, Sukarno menyusun pledoi yang sangat
terkenal yang kemudian diberi nama Indonesia Menggugat tersebut.
Dua bulan, Sukarno –sebagai pendiri dan Voorzitter Bestuur PNI,
Gatot Mangkupradja –sebagai Sekretaris II Hoofdbestuur PNI,
Maskun Sumadiredja –sebagai Sekretaris II Bestuur cabang Bandung, dan
Supriadinata –sebagai kandidat propagandis PNI cabang Bandung, diinterogasi Parket
Pokrol Djendral.
Strafproses atas keempat pemimpin PNI tersebut, dimulai pada 18 Agustus 1930
hingga 22 Desember 1930 di Landraad Bandung. Selama 27 hari (18 Agustus – 29
September 1930), proses verbaal Sukarno berlangsung di Landraad Bandung –ada 32
saksi dihadirkan. Setelah proses verbaal, sidang kemudian ditambah dengan
mendengarkan pembacaan pledoi –pembelaan Sukarno yang dipersiapkannya di penjara
Banceuy dan diberi judul: “Indonesia Menggugat”.
Sukarno membaca “Indonesia Menggugat” pada 1 Desember 1930.
Jika naskah itu diindeks dengan jeli, maka kita akan dapatkan sekitar 66 nama tokoh
yang dikutip Sukarno. Sebut saja: Albarda, Anton Menger, August de Wit, Bauer,
Boeke, Brailsford, Brooshooft, Clive Day, Colenbrander, Daan van der Zee, de Kat
Angelino, Dietrich Schafer, Dijkstra, Duys, Engels, Erskin Childres, Federik Peter
Godfried, FG Waller, Gonggijp, Henriette Roland Holsts, Herbert Spencer, HG Wells,
Houshofer, Huender, Jaures, John Robert Seeley, dan Jozef Mazzini. Ada juga:
Jules Harmand, Karl Kautsky, Karl Marx, Karl Renner, Kilestra, Koch, Kraemer,
Lievegoed, Mac Swiney, Manuel Quezon, Michael Davitt, Multatuli, Mustafa Kamil,
Parvus, Peter Maszlow, Pieter Veth, Raffles, Reinhard, Rouffaer, Rudolf Hilferding,
Sandberg, Sarojini Naidu, Schrieke, Scmalhausen, Sister Nivedita, Sneevliet, Snouck
Hugronje, Stokvis, Sun Yat Sen, Treub, Troelstra, van den Bergh van Eysinga, van
Gelderen, van Heldingen, van Kol, van Lith, dan Vleming.
Tokoh-tokoh itu menempati posisi dari pelbagai penjuru aliran pemikiran; dari kaum
agamawan, sosialis liberal, komunis, hingga penganjur kapitalis modern.
Bung Karno dan Inggit Garnasih
4
Bagaimana bisa Sukarno mendapatkan begitu banyak pasokan buku? Padahal, naskah itu
ditulisnya saat ia disekap dalam penjara Banceuy yang kotor dan jorok selama 330 hari.
Bahkan dalam kamar sel nomor 5 yang berukuran 1.5 x 2.5 meter itu, Sukarno dijaga
ketat dan berlapis karena dianggap sebagai musuh pemerintah kolonial kelas wahid.
Inggit Garnasih
Adalah Inggit Garnasih – istri Sukarno, yang mengambil peran itu. Inggit Garnasih tahu,
5
Sukarno itu hantu buku. Ia pelahap buku yang sangat rakus –bahkan, ketika rekannya
yang membeli buku belum sempat membacanya, sudah direbut Sukarno duluan dan
setelah selesai barulah buku itu dikembalikan.
Sukarno boleh jadi hantu buku yang lahap, tapi penjara Banceuy tetap mengharamkannya
bertemu dengan buku. Penjara dan pengucilan di Banceuy, memutus hobi Sukarno pada
buku dan diskusi. Inggit Garnasih yang membuka jalan bagaimana Sukarno kembali
bergulat dengan buku, terutama sekali saat Sukarno sedang mempersiapkan pleidoi
panjang atas tuduhan subversif yang dituduhkan pengadilan kepadanya.
Cara Inggit Garnasih sangat sederhana, untuk mempertemukan Sukarno dengan buku.
Inggit menempuh jalan klandestin. Mula-mula, Inggit mengutus kurir ke Jakarta untuk
mengambil buku-buku milik Sartono – kawan sepergerakan dan jaksa pembela Sukarno.
Inggit memesan kurir untuk berpindah-pindah kendaraan agar tak diketahui spion-spion
pemerintah kolonial yang berkeliaran menginternir aktivis-aktivis pergerakan.
Untuk bisa lolos ke dalam penjara, buku-buku dililitkan Inggit Garnasih distagennya
dengan didahului puasa tiga hari –supaya perutnya bisa kempis betul.
Lolos dari pintu depan, tak berarti mata para spion Banceuy lepas. Namun Inggit
Garnasih selalu berhasil memperdaya penjagaan berlapis spion itu, hingga Sukarno
mendapatkan pasokan buku yang cukup dalam selnya yang pengap. Buku-buku pasokan
Inggit itulah yang dinukil Sukarno secara diam-diam, nyaris setiap malam.
Inggit Garnasih
6
Mereka diadili dengan Hakim Ketua: Mr. Siegenbeek van Heukelom dengan Jaksa
Penuntut: R. Soemadisoerja. Belanda, yang diwakili oleh Jaksa R. Soemadisoerja,
menggunakan dakwaan ‘penyebaran kebencian terhadap penguasa’ sesuai Pasal 169 bis
dan Pasal 153 bis Wetboek van Strafrecht, yang dikenal dengan haatzai
artikelen –pasal-pasal ‘karet’, untuk menjerat Sukarno dan rekan-rekannya.
Mereka juga dituduh oleh pemerintah kolonial Belanda telah melakukan makar, serta
dianggap telah menghasut masyarakat melalui pemberitaan dan propaganda di Fikiran
Ra’jat, untuk melakukan pemberontakan terhadap pemerintah kolonial.
Pengadilan Landraad pun, memberikan kesempatan kepada Sukarno untuk menyampaikan
pidato pembelaannya. Sukarno membacakan pledoi ini dengan didampingi kwartet
pembela: Meester in de rechten (Mr) Sartono; Mr. Sastromuljono; Dr. Sujudi; dan R.
Ipih Prawiradiputra (Paguyuban Pasundan); serta didukung pula oleh Iskaq
Tjokrohadisurjo (PNI).
Tapi, Landraad tetap tak bergeming dengan keputusannya. Sukarno tetap dihukum 4
tahun penjara – dengan tuduhan melanggar pasal 169 dan 153 bis Wetboek van
Strafrecht/KUHP-nya jaman kolonial, sementara tiga rekan Sukarno di PNI: Gatot
Mangkupradja (dihukum 2 tahun); Maskun Sumadiredja (1 tahun 8 bulan); dan
Supriadinata (1 tahun 3 bulan).
Setelah diadili di pengadilan Landraad, para tokoh ini kemudian dimasukkan dalam sel
penjara Sukamiskin Bandung –tidak lagi di penjara Banceuy. Penjara Sukamiskin, sebuah
penjara yang ironisnya dirancang oleh Bung Karno sendiri ketika ia masih bekerja di biro
arsitek milik gurunya yaitu Prof. C.P. Wolff Schoemaker, yang kini justru
mengurungnya.
Sukarno merasa, penjara Sukamiskin lebih parah ketimbang penjara Banceuy –tempat
dia ditahan saat masih menjalani persidangan di pengadilan. Di penjara Banceuy, dia
masih bisa mempelajari sejarah, lewat buku dan surat kabar yang diselundupkan istrinya.
Namun di penjara Sukamiskin, semua itu tidak bisa dilakukannya lagi.
Pledoi itu sendiri terdiri dari 6 bagian, yakni: Pendahuluan; Imperialisme dan
Kapitalisme; Imperialisme di Indonesia; Pergerakan di Indonesia; Partai Nasional
Indonesia; dan Pelanggaran Pasal-pasal 169 dan 153 bis.
Risalah
7
Diambil dari Risalah “Indonesia Menggugat”, yaitu Pidato Pembelaan Bung Karno di depan
pengadilan kolonial (Landraad) Bandung, 1930.
Imperialisme Tua dan Modern
Oleh: Sukarno
Dan bukan saja di dalam dua macam itu imperialisme bisa kita bagikan, – imperialisme
juga bisa kita bagikan dalam imperialisme-tua dan imperialisme-modern. Bukankah besar
bedanya imperialisme-tua bangsa Portugis dan Spanyol atau East India Company Inggris
atau Oost Indische Compagnie Belanda dalam abad ke-16, 17 dan 18— dengan
imperialisme-modern yang kita lihat dalam abad ke-19 atau 20, imperialisme-modern
yang mulai menjalar ke mana-mana sesudah kapitalisme-modern bertakhta kerajaan di
benua Eropa dan di benua Amerika Utara?
Imperialisme-modern, – imperialisme-modern yang kini merajalela di seluruh benua dan
kepulauan Asia dan yang kini kami musuhi itu – imperialisme-modern itu adalah anak
kapitalisme-modern.
Imperialisme-modern pun sudah mempunyai perpustakaan, – tetapi belum begitu
terkenal di dalam arti-artinya dan rahasia-rahasianya sebagai soal kapitalisme.
Imperialisme-modern itu, oleh karenanya, Tuan-tuan Hakim, mau kami dalilkan artinya
agak lebar sedikit dari buku-buku satu dua. Kami tidak akan mendalilkan buku Sternberg
“Der-Imperialismus” yang walau sangat menarik hati dan tinggi ilmu toh roda “kering”
untuk mendengarkannya, – kami mendalilkan Mr. Pieter Jalles Troelstra, pemimpin
Belanda yang baru wafat, yang menulis:
“Yang saya artikan dengan imperialisme ialah kejadian, bahwa kapital besar sesuatu
negeri yang sebagian besar dikuasai bank-bank, mempergunakan politik luar negeri dari
negeri itu untuk kepentingannya sendiri. Perkembangan ekonomi yang cepat dalam abad
kesembilan belas itu, menimbulkan suatu persaingan hebat di lapangan pertanian dan
industri. Salah satu akibat persaingan ini, ialah bahwa pada penghabisan abad itu, politik
proteksi (melindungi negara sendiri) dengan cepat menjadi pegangan. Lahirlah industri
besar yang modern, tenaga produksi industri besar itu sangat diperbesar, tapi
kemungkinan-kemungkinan untuk menjualkan di negeri sendiri terbatas dan timbullah
kemustian mencari pasar di luar batas negeri sendiri.
Caranya industri besar mengatur kesukaran ini dengan tidak mengurangi untungnya ialah:
meninggikan harga di pasar dalam negeri yang dilindungi dan menjalankan taktik dumping
8
di luar negeri (yakni menjual barang-barang dengan harga yang lebih murah dari harga
biasa di situ). Politik “perlindungan yang agresif” ini saja sudah membikin tambah
panasnya perhubungan internasional. Di samping itu dengan cepat bertambah subur
bank-bank yang besar, kapitalnya tambah besar dan industri dan perdagangan dalam
negeri tidak cukup lagi untuk menanamkan kapital itu. Akibatnya mengalirlah kapital itu
keluar, istimewa ke negeri-negeri yang belum maju ekonominya dan miskin akan modal
(misalnya aliran kapital Prancis dan Inggris ke Rusia dan kapital Belanda ke Timur).
Aliran kapital keluar ini tidak hanya berupa uang saja. Negeri-negeri yang mengeluarkan
kapital itu juga mengirimkan mesin-mesin, mendirikan pabrik-pabrik, membikinkan
jalan-jalan kereta-api dan pelabuhan-pelabuhan, dll. Dalam banyak hal bagi penanam
modal lebih menguntungkan memasukkan uangnya dalam onderneming-onderneming di
negeri-negeri yang terkebelakang ekonominya, di mana tenaga buruh murah dan
keuntungan tidak dibatasi oleh undang perburuhan dsb. ”
Begitulah keterangan Mr. Pieter Jalles Troelstra. Marilah kita sekarang mendengarkan
seorang sosialis lain, yakni H.N. Brailsford, pengarang Inggris yang termashur itu.
“Di dalam zaman sekarang, yang dinamakan kekayaan itu ialah pertama-tama
kesempatan menanamkan modal dengan untung luarbiasa. Penaklukan dalam pengertian
yang lama sudah tidak berlaku lagi… Memburu konsesi-konsesi di luar negeri dan
membuka kekayaan-kekayaan terpendam dari negara-negara yang lemah dan
kerajaan-kerajaan yang setengah mati, makin menjadi suatu pekerjaan resmi, suatu
peristiwa nasional.
Dalam fase ini bagi kaum berkuasa jadi lebih penting dan menarik hati mengalirkan modal
keluar negeri dari mengekspor barang-barang. Imperialisme adalah semata-mata
penglahiran politik dari kecenderungan yang bertambah besar dari modal, yang
bertimbun-timbun di negeri-negeri yang lebih maju industrinya, untuk diperusahakan ke
negeri-negeri yang kurang maju dan kurang penduduk”.
Bukankah dengan dua contoh ini nyata dengan sejelas-jelasnya, bahwa sangkaan
imperialisme itu kaum amtenar, atau bangsa kulit putih, atau pemerintah, atau “gezag”
pada umumnya, adalah salah sama sekali?
Tapi marilah kita mendengarkan satu kali lagi uraian seorang sosialis lain, yakni Otto
Bauer yang termashur itu, yang melihat di dalam imperialisme-modern itu, suatu politik
meluaskan daerah, suatu expansie politiek yang “Senantiasa mengusahakan tercapainya
9
maksud menjamin supaya kapital mendapat lapangan menanaman dan pasar-pasar
penjualan.
Di dalam perekonomian negeri kapitalis setiap waktu sebagian dari modal uang
perusahaan ditarik dari peredaran kapital pabrik… Jadinya, setiap waktu sebagian dari
modal perusahaan dibekukan, setiap waktu menjadi “bero” (Jawa, maksudnya tanah
kosong yang tidak dimanfaatkan).
Apabila banyak modal uang dibekukan, apabila pecahan-pecahan kapital yang lepas ini
hanya lambat mengalirnya kembali keperusahaan-perusahaan produksi, maka yang
pertama-tama berkurang ialah permintaan kepada alat-alat produksi dan tenaga-tenaga
kerja.
Ini berarti segera merosotnya harga-harga dan keuntungan-keuntungan dalam industri
alat-alat produksi, bertambah beratnya perjuangan serikat sekerja, turunnya upah-upah
kaum buruh. Tapi kedua peristiwa itu berpengaruh pula atas industri-industri, yang
membikin barang-barang keperluan sehari-hari. Permintaan kepada barang-barang yang
langsung dibutuhkan untuk memenuhi keperluan orang, berkurang, pertama oleh karena
kaum kapitalis yang mendapat penghasilannya dari industri-industri alat produksi, lebih
sedikit mendapat untung, dan kedua karena bertambah besarnya pengangguran dan
turunnya upah-upah, mengurangi tenaga pembeli golongan buruh.
Oleh karena itu, juga dalam perusahaan-perusahaan barang-barang keperluan hidup,
harga-harga, keuntungan-keutungan, upah-upah buruh merosot pula; demikianlah
penarikan sebagian besar dari modal uang dari peredaran kapital dalam industri umum,
berakibat merosotnya harga-harga, keuntungan-keuntungan, upah-upah, serta
bertambah banyaknya pengangguran.
Maka pengetahuan ini buat maksud kita penting sekali, sebab sekaranglah baru bisa kita
mengerti maksud-maksud politik kapitalis untuk menguasai (negeri lain). Politik ini
bergiat mencari lapangan untuk menanaman kapital dan pasar-pasar buat penjualan
barang-barang. Sekarang mengertilah kita bahwa ini bukan soal-soal yang berdiri
sendiri-sendiri, tapi, pada hakekatnya adalah satu soal saja”.
Apabila banyak modal uang dibekukan, apabila pecahan-pecahan kapital yang lepas ini
hanya lambat mengalirnya kembali keperusahaan-perusahaan produksi, maka yang
pertama-tama berkurang ialah permintaan kepada alat-alat produksi dan tenaga-tenaga
kerja. Ini berarti segera merosotnya harga-harga dan keuntungan-keuntungan dalam
10
industri alat-alat produksi, bertambah beratnya perjuangan serikat sekerja, turunnya
upah-upah kaum buruh.
Tapi kedua peristiwa itu berpengaruh pula atas industri-industri, yang membikin
barang-barang keperluan sehari-hari. Permintaan kepada barang-barang yang langsung
dibutuhkan untuk memenuhi keperluan orang, berkurang, pertama oleh karena kaum
kapitalis yang mendapat penghasilannya dari industri-industri alat produksi, lebih sedikit
mendapat untung, dan kedua karena bertambah besarnya pengangguran dan turunnya
upah-upah, mengurangi tenaga pembeli golongan buruh.
Oleh karena itu, jugadalam perusahaan-perusahaan barang-barang keperluan hidup,
harga-harga, keuntungan-keutungan, upah-upah buruh merosot pula; demikianlah
penarikan sebagian besar dari modal uang dari peredaran kapital dalam industri umum,
berakibat merosotnya harga-harga, keuntungan-keuntungan, upah-upah, serta
bertambah banyaknya pengangguran. Maka pengetahuan ini buat maksud kita penting
sekali, sebab sekaranglah baru bisa kita mengerti maksud-maksud politik kapitalis untuk
menguasai (negeri lain).
Politik ini bergiat mencari lapangan untuk menanaman kapital dan pasar-pasar buat
penjualan barang-barang. Sekarang mengertilah kita bahwa ini bukan soal-soal yang
berdiri sendiri-sendiri, tapi, pada hakekatnya adalah satu soal saja”.
Sekianlah dalil-dalil kami tentang arti kata imperialisme, dari pena orang-orang sosialis.
Marilah kita sekarang mendengarkan keterangan orang yang bukan sosialis, yakni
keterangan Dr.J.S. Bartstra di dalam bukunya “Geschiedenis van het moderne
imperialisme”, dimana nanti akan tampak juga kebenaran perkataan kami, bahwa
imperialisme itu bukan pemerintahan, bukan sesuatu anggota pemerintah, bukan sesuatu
bangsa asing, –tetapi suatu kehausan, suatu nafsu, suatu sistem menguasai atau
mempengaruhi ekonomi bangsa lain atau negeri lain.
Berkata Dr.Bartstra:
“Perkataan “imperialisme” pertama sekali dipakai di Inggris kira-kira tahun 1880.
Yang dimaksud orang dengan perkataan itu, ialah usaha untuk mengeratkan kembali
perhubungan dengan Inggris dari daerah-daerah jajahan yang memerintah sendiri dan
pertaliannya dengan negeri induknya sudah agak kendur dalam “masa liberal” yang lampau.
Yang menarik hati ialah bahwa perkataan itu sudah hilang sama sekali maknanya yang
mula-mula itu”.…….. lama-kelamaan perkataan itu mendapat isi-pengertian yang lain:
maknanya sekarang ialah usaha bangsa Inggris, yang hendak memberi kepada “kerajaan”
11
pengluasan daerah jajahan yang lebih besar, baik dengan jalan menaklukkan
negeri-negeri yang oleh karena letaknya dalam ilmu bumi mungkin membahayakan jika
berada dalam tangan saingan, manapun dengan jalan merampas daerah-daerah, yang bisa
dijadikan pasar penjualan yang baik atau tepat-tempat orang bisa mendapakan
bahan-bahan pokok untuk pertukangan dalam negeri, yang justru waktu itu mulai makin
menderita oleh saingan luar negeri”. “Dalam arti pengluasan daerah jajahan dengan tidak
berbatas, pengertian itu segera juga menjadi umum….”
Maka sesudah itu, Dr. Bartstra lalu memberi keterangan lebih lanjut tentang penglihatan
kaum sosialis terhadap imperialisme itu, demikian:
“Sebabnya perkataan itu menjadi sangat populer, ialah karena propaganda kaum
sosial-demokrat, yang menganggap peristiwa itu sebagai konsekuensi dari sistem
produksi kapitalis. Memang yang memberikan perkataan itu pengertian yang lebih dalam
dan luas ialah pengarang-pengarang Marxis, seperti Rudolf Hilferding, Karl Renner dan
juga H.N. Brailsford yang terkenal itu. Menurut mereka, imperialisme itu adalah politik
luar negeri yang tidak bisa dielakkan dari negara-negara yang mempunyai “kapitalisme
keliwat matang”.
Yang dimaksud mereka ialah suatu kapitalisme yang pemusatan perusahaan-perusahaan
dari bank-bank yang dijalankan sampai sejauh-jauhnya. Oleh karena itu, dan tidak sedikit
pula oleh karena fungsi proteksionisme yang sudah berubah —dulu suatu cara untuk
mempertahankan diri terhadap luar negeri, sekarang menjadi “sistem dumping” —maka
imperialisme itu tidak puas lagi dengan pikiran-pikiran liberal yang tradisionil mengenai
tidak ikut campurnya negara (dengan urusan partikulir), persaingan bebas dan pasifisme.
Paham-paham kemudian ini seolah-olah sudah terbalik menjadi yang sebaliknya, yakni
menjadi usaha mempergunakan alat-alat kekuasaan negara yang melulu bersifat politik
untuk maksud-maksud ekonomi, yakni: mempengaruhi dan merampas daerah-daerah
pasaran dan daerah-daerah bahan pokok, pun juga menjamin pembayaran rente
kapital-kapital yang ditanam di negeri-negeri terkebelakang ekonominya.
Mengenai soal belakangan ini, yakni yang disebut “ekspor kapital”, oleh
pengarang-pengarang tersebut istimewa-istimewa sekali ditunjukkan betapa pentingnya.
Disebabkan karena usaha kerajinan lebih sungguh-sungguh dikerjakan, oleh
pemusatan-pemusatan bank-bank dan oleh “sistem dumping”, maka —demikian kata
mereka—bukan main banyaknya kapital tertimbun-timbun, yang seringkali di dalam
negeri tidak cukup bisa dipergunakan. Itulah sebabnya maka makin lama makin terasa
12
perlunya untuk menanam kapital besar-besar di negeri-negeri yang terkebelakang
ekonominya, tentu saja dengan bunga yang setinggi-tingginya.
Lagi pula dengan demikian didapatlah pesanan-pesanan besar jalan kereta-api,
mesin-mesin, dll. pada industri sendiri. Akibat segalanya itu pula: perhubungan dengan
luar negeri menjadi runcing, bahaya perang, ekspedisi-ekspedisi militer, “daerah-daerah
pengaruh” di daerah-daerah seberang lautan, pengawasan atas uang masuk dan uang
keluar dari negeri-negeri asing oleh perkumpulan-perkumpulan bankir Eropa, pemburuan
mencari jajahan. Itulah imperialisme! Akhirnya Dr. Bartstra sekali lagi mengatakan
dengan saksama apa yang disebutnya imperialisme-modern, katanya:
“Yang disebut imperialisme-modern ialah usaha meluaskan milik jajahan dengan tidak
berbatas, seperti cita-cita demikian itu menjadi pendorong dalam masa ± 1880 sampai
sekarang bagi politik luar negeri hampir semua negeri-negeri kebudayaan yang besar,
terutama untuk keuntungan industri dan kapital bank mereka sendiri. Imperialisme
bukan sekali-kali satu-satunya tenaga penggerak, bahkan tidak setiap saat yang paling
kena dari tenaga-tenaga penggerak yang sangat beragam-ragam dari jangka waktu itu,
tapi dalam akibat-akibatnya itulah salah satu yang menjadi sangat penting, oleh karena
panggung sejarah bertambah luas karenanya, buat pertamakali dan buat selama-lamanya,
di seluruh muka bumi”.
***
Diposkan oleh Ade Bastiawan di 01.41