Upload
others
View
1
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
RUMAH HARAPAN
“Bahwa persahabatan adalah sebuah hubungan yang tidak mudah untuk terabaikan. Meskipun
masing-masing jiwa memutuskan untuk meninggalkan.”
A
Novel
By
TEGAR SETIADI
Sebaris ucapan terima kasih
Alhamdulillahirrobbil alamin,
Kalimat ucapan terima kasih yang paling pertama selalu saya persembahkan kepada Alloh
SWT sang pencipta alam semesta beserta segala isinya, untuk inspirasi yang terus mengalir tanpa
henti dalam menyusun kata perkata. TanpaMu aku bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa. Nabi
Muhammad SAW, yang tak henti-henti menjadi panutan dan suri tauladan bagi umatnya. Untuk
wanita paling mulia yang setiap napasnya mengandung doa, ibu Siti Khomsiyah, terima kasih atas
segala perjuanganmu membesarkan dan mendidik anak yang belum mampu mengucapkan terima
kasih dengan benar ini. Istriku, Afrida Rachma Primadia yang terus menemani, memotivasi, dan
memberikan semangat serta kesabaran untuk dapat menyelesaikan naskah ini.
Pangeran kecilku, Alfarezqi Yodha Amrulloh, kehadiranmu menambah lengkap
kebahagiaan ayahmu ini. Tumbuhlah sebagaimana mestinya, Nak.
Dua saudaraku, Tabah dan Titis. Teman bermain pertama yang saya miliki dalam
kehidupan.
Juga kepada semua orang-orang yang telah memberikan dorongan sampai saya
menyelesaikan novel ini.
Yang paling berharga, para pembaca sekalian yang telah menyempatkan waktu untuk
menikmati karya sederhana yang telah saya buat, semoga menyukainya.
Amiin.
Salam Sahabat
TEGAR SETIADI
Berkumpul
“Sebuah cerita terkadang di mulai sejak kalimat pertama tertulis,”
Sebuah rumah kecil dan sederhana di salah satu sudut kota Purwokerto. Seorang pemuda
berperawakan sedang berusia sekitar 19 tahun, tampak mengeluarkan sepeda motor dari garasi,
menstandarnya, lalu menekan tombol starter. Sedetik kemudian terdengar suara mesin menderu,
memenuhi udara di suatu pagi yang cerah itu.
“Nak, sarapan dulu,” suara wanita dewasa nampak terdengar dari dalam rumah.
“Iya, Bu, sebentar.”
Pemuda itu mematikan mesin dan masuk ke dalam rumah, menuju meja makan. Di sana
terdapat sebuah piring yang telah berisi nasi yang masih mengepulkan asap, serta ikan pindang
sebagai lauknya.
“Makan yang banyak ya, Nak, jangan terburu-buru.”
Kata wanita itu sambil menuangkan air putih ke dalam gelas, lalu menarik sebuah kursi
disebelahnya. Dia terus memandang anaknya lekat-lekat, tampak jelas rasa sayang yang begitu
dalam.
“Ibu, jangan seperti itu, aku jadi semakin merasa berat ninggalin ibu. Atau aku batalkan
saja kuliah di Semarang?”
Mata wanita itu berkaca-kaca. Selama ini, hanya anak satu-satunya itu yang terus
menemani, dan sekarang dia akan menuntut ilmu di tempat yang cukup jauh.
“Jangan, Nak, ibu nggak apa-apa. Ini sudah jadi mimpimu, kamu harus menjadi orang yang
berpendidikan. Udah, dilanjutin aja makannya.”
“Bagas janji akan menyelesaikan kuliah secepatnya dan langsung pulang ke rumah,”
Wanita itu tersenyum, “Luluslah dengan nilai yang terbaik, Nak. Jangan Cuma asal lulus,”
“Iya, Bu. Doain Bagas biar bisa bikin ibu bangga.”
Wanita itu mengelus rambut anaknya, “Iyo, Le’1, Ibu pasti doain kamu. Kamu jaga diri di
sana, jangan tinggalin sholat, makannya juga jangan sembarangan. Jangan sampai salah pergaulan
apalagi terjerumus narkoba.”
“Siap, Ibu. Bagas pasti bisa jaga diri. Ibu juga hati-hati di rumah, nggak perlu terlalu
memikirkan soal uang bulanan, mungkin nanti disana Bagas bisa sambil kerja biar dapet uang buat
bayar semesteran,”
“Jangan sampai malah kuliahmu terganggu, Nak. Uang untuk pendidikanmu itu tanggung
jawab ibu, kamu tidak perlu sampai harus bekerja yang justru nantinya malah mengganggu
kuliahmu,”
“Ibu tenang saja, nanti Bagas cari kerja yang nggak sampai mengganggu waktu kuliah,”
jawabnya sambil memberikan senyum jenaka.
“Toh juga kan, nggak masalah kalau anaknya ingin membantu meringankan beban orang
tua. Karena Bagas tahu biaya kuliah itu pasti tidak sedikit. Sebenarnya juga sudah sejak dulu aku
pengin sekolah sambil kerja, tapi pasti selalu ndak boleh sama ibu,”
Cukup terharu juga wanita itu mendengar penuturan anaknya. Tanpa terasa anak yang dulu
dia gendong setiap malam ketika menangis mencari air susu, sudah sedewasa ini dalam berpikir.
Membuat sebuah senyum kecil tercipta di bibirnya.
“Yowes, Le, kalau memang itu sudah menjadi keputusanmu ya ibu manut saja. Yang
penting itu tadi pesen ibu, tujuan utamamu kesana itu untuk kuliah, mencari ilmu. Bukan mencari
uang,"
Bagas tertawa kecil untuk menanggapi kalimat yang baru saja dia dengar dari wanita yang
begitu dia hormati itu. Lalu melanjutkan sarapannya yang tinggal beberapa suap lagi, setelah
sebelumnya melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.
Pukul tujuh lebih tiga puluh menit.
“Ya udah, Bu, Bagas mau berangkat dulu. Udah siang, takut kalau ujan juga nanti di jalan,”
Bagas meraih jemari ibunya dan mencium punggung tangan wanita itu sambil
memejamkan mata, meminta restu kepada satu-satunya orang tua yang dia miliki. Meskipun
sebenarnya berat untuk meninggalkan ibunya seorang diri, tetapi Bagas ingin mewujudkan cita-
citanya.
Menjadi seorang guru, seperti almarhum bapaknya.
1 Panggilan kepada anak laki-laki
“Iya, Nak. Hati-hati di jalan, jangan ngebut. Ibu doain kamu bisa menjadi orang sukses
kelak,” Wanita itu mengangkat wajah Bagas dan mencium kedua pipi serta kening anaknya.
Lalu melepaskan kepergian Bagas walau harus dengan sedikit rasa sepi yang langsung
datang setelah pemuda itu melajukan motor keluar dari pelataran rumah.
Bus yang membawa Deka dari Blora, kampung halamannya, masih tertahan di terminal
Rembang sejak beberapa menit yang lalu. Membuat pemuda itu merasa gerah dan memutuskan
untuk turun dari bus dan mencari air minum.
“Bu, ini berapa?” Deka menunjukkan air mineral berukuran sedang kepada penjual
asongan.
“Lima ribu lima ratus, Mas.”
Deka merogoh saku celananya, lalu menyerahkan uang sepuluh ribuan kepada wanita yang
sudah memiliki keriputan-keriputan di wajahnya. Yang segera menghitung kembalian dan
menyerahkan kepada Deka.
“Matur suwun, Mas,” ucapnya.
Deka mengangguk, lalu berlalu dari tempat itu dan kembali menuju bus yang masih
terparkir menunggu penumpang. Membuatnya menghela napas pendek.
Sampai di dalam, ia mendapati seseorang duduk di samping kursinya yang sejak dari Blora
dia kuasai seorang diri. Nampak seorang pemuda yang kira-kira berumur hampir sama dengannya,
mengenakan kaos berwarna biru dan celana pendek berwarna krem.
“Permisi, Mas,” Ucap Deka, lalu duduk di sebelah pemuda itu.
Perjalanan Rembang-Semarang memakan waktu sekitar tiga jam jika kondisi jalan tidak
macet. Deka merasa lega karena akhirnya dia menemukan teman ngobrol selama perjalanan.
Setidaknya dia tidak akan merasa bosan lagi.
“Mau kemana, Mas?” pertanyaan basa basi untuk mengawali percakapan, karena
seharusnya Deka tahu pemuda itu pasti menuju ke kota Semarang. Pemberhentian terakhir bus
yang saat ini dia naiki.
“Semarang, Mas. Mau ke UNNES.”
“Wah, sama dong. Aku juga mau kesana. Mahasiswa baru juga?”
Pemuda itu mengangguk, “Iya. Kenalin, namaku Ringgo. Mahasiswa jurusan seni musik.”
Deka membalas uluran tangan di depannya, “Aku Deka. Jurusan Ilmu Kesehatan
Masyarakat,”
“Udah dapet kos belum?” lanjutnya.
“Belum, ini makannya aku berangkat tiga hari sebelum OSPEK, biar bisa buat nyari kos.”
“Kebetulan, aku udah nemu kos yang menurutku nyaman. Siapa tahu kamu mau liat,
mungkin masih ada kamar yang kosong,”
Ringgo mengangguk antusias. Selanjutnya mereka terus berbincang di sepanjang jalan
menuju Semarang. Kota yang kelak akan menjadi saksi lahirnya persahabatan yang penuh dengan
cerita.
Sepeda motor berwarna merah itu melaju dengan kencang menembus ramainya jalan
Kendal-Semarang. Firman, pemuda dengan kumis tipis dan brewok yang hampir memenuhi bagian
bawah dagunya itu, mengemudikan sepeda motor dengan kecepatan di atas seratus kilometer per
jam. Dia tidak menghiraukan umpatan dan cacian orang-orang yang hampir saja celaka olehnya.
Dia tidak takut. Kalau ada orang yang tidak terima dan mengajaknya ribut, sudah pasti akan
dia ladeni.
Satu yang ada dalam pikiran pemuda itu adalah, dia ingin segera sampai di Semarang, atau
lebih tepatnya, rumah kos yang akan dia tinggali selama kuliah di Universitas Negeri Semarang.
Meskipun jarak dua kota itu bisa di tempuh hanya dengan waktu satu setengah jam saja, tetapi dia
tetap memutuskan untuk hidup sebagai anak kos.
Dia ingin merasakan hidup mandiri tanpa harus tergantung dengan orang tuanya, seperti
yang selama ini dirasakan olehnya. Keputusan untuk keluar dari rumah dan hidup di kota orang
adalah salah satu cara Firman untuk belajar dewasa.
Firman ingin belajar memutuskan apapun dalam hidupnya seorang diri, dari hal terkecil
sampai keputusan yang paling berat sekalipun.
“Kelak, setiap laki-laki akan menjadi kepala keluarga yang punya tanggung jawab
memimpin rumah tangganya. Membimbing serta menjaga istri dan anak-anaknya. Kalau tidak
belajar dari muda, nanti kamu akan kesulitan ketika sudah waktumu mempunyai keluarga sendiri,”
Begitu pesan ayah Firman di suatu sore yang cerah, ketika dua laki-laki berbeda jaman itu
sedang duduk santai menikmati kopi di pekarangan belakang rumah.
“Dan menjadi laki-laki itu bukan hanya perihal tampan, tetapi juga harus mapan. Agar
keluargamu terjamin kehidupannya, tidak kesusahan. Jangan sampai kamu dan keluargamu
menjadi keluarga yang bingung besok akan makan apa. Karena itu kamu harus sekolah setinggi
mungkin.”
Kalimat-kalimat yang begitu mudah mendoktrin pemikiran pemuda itu, merubah jalan
hidupnya yang sebelumnya enggan untuk melanjutkan pendidikan selepas lulus SMA.
Dan disinilah dia sekarang, di atas roda-roda yang terus berputar membawanya menuju
masa depan gemilang.
Laki-laki berkumis tebal yang duduk di belakang kemudi sebuah mobil nampak turun
beberapa detik setelah dia selesai memarkirkan mobil dengan sempurna. Lalu berjalan menyusul
istri dan anaknya yang telah lebih dulu melangkah menuju teras sebuah rumah.
“Ini rumah kosnya?” Wanita berumur empat puluh tiga tahun itu nampak mengedarkan
pandangannya ke setiap sudut halaman.
“Bersih juga, sepertinya yang punya rumah ini merawatnya dengan baik. Mama nggak
perlu khawatir lagi kamu tinggal di rumah yang kotor, Nak.”
Yoga, anak laki-laki itu menggaruk kulit kepalanya meskipun tidak merasa gatal.
“Mah, sebenarnya Yoga bisa berangkat sendirian naik motor. Tidak perlu sampai diantar
seperti itu,”
“Kamu seperti tidak tahu ibumu saja,” timpal ayahnya.
“Mama pengin memastikan kamu sampai Semarang dengan selamat, dan Mama juga ingin
melihat kondisi rumah kos yang akan kamu tinggali ini.”
“Ya sudah, yang penting kita sudah sampai. Ayah pegel-pegel nyupir dari Cilacap, pengin
selonjoran. Ayo buruan masuk, itu kayaknya sudah ada orang. Pintu rumahnya terbuka.”
“Assalamualaikum,” Yoga mengucapkan salam dan menunggu beberapa saat.
“Waalaikum salam,” Seorang pemuda berperawakan kurus keluar dari salah satu kamar,
menyalami keluarga itu satu persatu.
“Masih sepi ya, Mas?” Yoga bertanya.
“Iya, baru saya yang datang. Tadi pagi baru sampai. Oh iya, kenalin namaku Scovita,”
“Aku Yoga, itu bapak sama ibuku,” Yoga menunjuk dua orang yang sudah duduk di sofa
di ruang televisi.
“Dari mana, Mas?” lanjutnya
“Aku dari Pati”
“Kalau aku dari Cilacap. Tuh pada kecapean abis perjalanan dari rumah, lumayan sih
perjalanan tujuh jam.”
“Wuih, lama juga ya. Aku yang cuma tiga setengah jam naik motor juga udah pegel-pegel,
gimana kalian ya.”
Yoga tertawa ringan, “Yaa begitulah,”
“Ya sudah istirahat dulu aja, kamarmu yang mana?”
“Itu, yang di tengah. Aku kesana dulu ya, mau beres-beres,”
“Iya, aku juga mau lanjutin beres-beres. Belum selesai dari tadi,”
“Sip. Mah, Pah. Ayo ke kamar Yoga. Istirahat disana aja,”
Rumah Kos
“Sebuah pagi yang indah adalah ketika kita bisa melewatinya bersama manusia-manusia
yang menyenangkan.”
Pagi yang belum sempurna, bahkan matahari masih malu-malu untuk menampakkan
kegagahanya. Embun menempel pada dedaunan, melengkapi udara dingin yang masih bertahta.
Membuat sebagian orang enggan untuk beranjak dari tempat tidur, memilih untuk berlindung di
bawah selimut tebal.
Melanjutkan mimpi-mimpi indah mereka.
Tetapi suasana berbeda jelas terdengar dari sebuah rumah, kesibukan sudah terlihat. Semua
penghuni tampak saling terburu-buru menyiapkan segala sesuatu yang telah diberitahukan oleh
senior mereka sebagai syarat mengikuti OSPEK.
Hari itu adalah hari pertama masa pengenalan kampus berlangsung dan semua mahasiswa
baru wajib mengikutinya.
Ada sejuta kenangan, ada sejuta harapan
Terbuai ku di simpang lima
Ada cinta yang tumbuh, ada cinta yang runtuh
Semarang ku datang, lepaskan rinduku terdalam.
Oh hangatnya
Semarang ku datang, lepaskan rinduku seorang
Oh hangatnya
Sepenggal lirik lagu dari Power Slave itu dinyanyikan oleh Deka yang saat itu sedang
menyetrika kemeja putihnya.
Mahasiswa baru jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat yang gemar memotong cepak
rambutnya ini adalah yang paling tua diantara penghuni kos yang lain, membuatnya lebih bijak
dan penuh perhitungan dalam mengambil keputusan. Pernah bercita-cita menjadi seorang polisi,
namun sayang gagal di saat ujian terakhir.
“Buruan dong mandinya,”
Scovita nampak gusar menunggu gilirannya untuk mandi dengan sebuah handuk tersampir
di pundak kiri. Mahasiswa asal Pati yang mengambil jurusan Pendidikan Geografi ini mempunyai
tubuh paling kecil dibandingkan lima penghuni kos yang lain, namun juga mempunyai rasa setia
kawan yang paling tinggi.
Dua orang yang sedang menguasai kamar mandi nampak acuh saja meskipun Scovita
sedang menunggu dengan raut tidak sabar. Mereka mandi sambil sesekali bersiul, membuat
Scovita semakin menggerutu.
“Man, buruan,”
“Bentar, lagi jongkok.”
Jawab Firman. Pemuda dari kota Kendal yang bertubuh cukup kekar ini adalah mahasiswa
Ilmu Keolahragaan. Paling mudah marah dan temperamental, membuatnya sering terlibat masalah
dengan orang lain.
“Mandi atau semedi sih? Lama banget,” gerutu Scovita yang segera masuk ke kamar mandi
sesaat setelah Ringgo keluar.
Pemuda beralis tebal itu hanya tertawa mendengarnya. Ringgo, remaja asli dari daerah
Rembang yang datang ke kota Semarang dengan bakat bermusiknya. Membuat dia memutuskan
untuk mengambil jurusan sesuai dengan bakat dan minatnya, Seni Musik. Penghuni kos yang
paling rajin dan pekerja keras.
“Wooooy, ada yang lihat co-card ku nggaaak?”
Yoga berteriak dari dalam kamar. Seorang mahasiswa jurusan teknik mesin yang berasal
dari kota Cilacap. Paling muda dan paling lugu, membuatnya sering menjadi target keisengan
teman-teman barunya.
“Lha memangnya kamu taruh dimana?” Ringgo yang sedang berjalan dari kamar mandi
berhenti sejenak.
“Aku lupa, tapi seingetku aku taruh di atas meja. Malah nggak ada,”
“Di dalam tas mungkin, atau di belakang pintu?”
“Nggak ada, udah aku cari dimana-mana.”
“Itu apa?” Ringgo menunjuk sebuah benda yang tergeletak di kolong meja.
Yoga mengikuti arah yang di tunjukkan oleh Ringgo, sedetik kemudian dia tersenyum
simpul. Membuat Ringgo hanya mampu menggeleng-gelengkan kepala.
“Gas, aku udah selesai nyetrikanya. Kamu jadi nyetrika enggak?”
Bagas beranjak dan melangkah menuju kamar Deka, “Jadi lah, pinjem bentar,”
Pemuda dari kota purwokerto ini adalah seorang mahasiswa jurusan Pendidikan Jasmani
Kesehatan dan Rekreasi, sama seperti Firman dan Deka di Fakultas Ilmu Keolahragaan. Seorang
yang sederhana dan tidak neko-neko, punya rasa ingin tahu yang tinggi dan mudah tertarik dengan
sesuatu.
“Udah mandi belum?”
“Belum, itu anak-anak mandi lama banget kayak anak perawan aja,”
“Kalau udah selesai pinjem setrikaannya, Gas,” Yoga menyela tiba-tiba, bergabung dengan
dua orang yang telah berada di tempat itu lebih dulu.
Kemeja putih berada di tangan kanannya.
“Buat nyetrika rambutmu yang ruwet itu ya?” Canda Bagas, membuat dua lainnya
serempak tertawa renyah.
“Bukan, tapi nyetrika wajahnya biar nggak keliatan ngantuk. Lihat aja tuh, kusut begitu,”
Deka menimpali.
“Bisa aja kalian.”
“Udah ketemu co-cardnya? Sampe teriak-teriak gitu,”
Yoga tersenyum, “Jatuh di kolong meja, hehehe.”
“Dasar. Untung ketemu, coba kalau ilang, bisa-bisa jadi makanan empuk senior pas
OSPEK nanti,” Bagas ikut bersuara.
“Ternyata disini semua antri. Mandi antri, nyetrika antri, beli makan antri. Kemarin juga
waktu kita ambil formulir di kampus pusat, antri juga. Malah seharian, dari pagi baru dapet giliran
sore,” keluh Yoga sambil meletakkan pantatnya di tepi ranjang.
“Cuma bernapas aja yang nggak perlu antri.” lanjutnya.
“Ada lagi, Yog, yang nggak perlu antri,”
“Apaan?”
“Buang angin,” Jawab Bagas asal sambil tersenyum usil.
“Namanya juga daerah kampus, Yog. Banyak mahasiswa dari macam-macam daerah yang
jadi anak kos kayak kita-kita ini.” kata Deka.
“Aku sih, udah biasa jadi anak kos. Dulu pas sekolah udah ngekos soalnya rumahku cukup
jauh, jadi udah nggak kaget. Kamu kebiasaan apa-apa udah disediain ya?” lanjut Deka.
Yoga tersenyum malu, “Maklum lah, anak tunggal jadi ya orang tuaku agak berlebihan
ngasih perhatian.”
“Pantesan, tapi ntar jadi bisa latihan mandiri kok disini. Tapi ya itu, kudu bener-bener
prihatin,”
“Itu emang salah satu tujuanku ambil kuliah di tempat yang jauh dari rumah, biar bisa
sedikit-sedikit belajar mandiri.”
“Harus begitu. Kita udah bukan anak kecil lagi yang apa-apa minta sama orang tua,”
“Kecuali uang buat bayar semesteran,” Sambar Bagas yang mengundang tawa kedua teman
barunya itu.
Pagi yang dingin, yang bagi sebagian orang lebih memilih berada di bawah selimut tebal
dan bermimpi. Tetapi kehangatan justru tercipta dari sekumpulan pemuda yang baru saling
mengenal di sebuah perguruan tinggi negeri, pencetak tenaga pendidik untuk dunia pendidikan di
seluruh Indonesia
OSPEK
“Kehidupan kampus yang menyenangkan di awali dari sini.”
Meskipun berada dalam satu kos, tetapi ke enam remaja itu mempunyai jurusan yang
berbeda.
Ringgo bergegas berangkat menuju fakultas bahasa dan seni. Yoga segera menuju fakultas
teknik, Scovita memacu motornya menuju fakultas ekonomi. Sedangkan Deka, Firman dan Bagas
sama-sama menuju fakultas ilmu keolahragaan, karena ketiganya memang satu fakultas. Namun
tetap saja mereka terpisah karena masing-masing berbeda jurusan.
Suasana sudah begitu ramai oleh para mahasiswa baru. Warna putih hitam mendominasi
setiap sudut, selain warna kuning yang terpancar dari jaket almamater yang dikenakan oleh para
senior sebagai panitia OSPEK. Mereka terlihat mondar mandir dengan memasang wajah yang
garang dan berwibawa untuk menciutkan mental mahasiswa baru.
“Woi, cepat baris, jangan pada ngobrol terus. Cepat-cepat!” komando salah seorang senior
laki-laki yang berdiri di atas podium.
Mahasiswa senior terus berteriak dengan wajah mereka yang galak, membuat seorang
mahasiswi terlihat buru-buru dan berlari kecil sambil meminum air dari botol mineral sampai ia
tersandung dan kehilangan keseimbangan.
Beruntung ada seseorang yang reflek menangkap tubuhnya sebelum benar-benar terjatuh.
Gadis itu selamat dari benturan dengan lantai semen lapangan basket.
Hanya saja gadis itu tidak sempat mencegah air yang menyiram wajah dan seragam
penyelamatnya.
“Maaf ya, Mas, saya enggak sengaja kok.” Kalimat pertama yang keluar dari bibir gadis
itu terdengar tanpa rasa bersalah.
“Tadi saya buru-buru sih, jadinya enggak liat-liat. Untung ada kamu, jadi saya nggak jatuh.
Kalau jatuh kan, malu.” Seakan tanpa beban, gadis itu terus berbicara dengan nada polos. Kali ini
sembari mengusap kemeja putih milik mahasiswa di depannya.
Laki-laki itu semakin takjub dengan polah tingkah lugu gadis yang baru saja membuat
seragam OSPEKnya menjadi basah.
“Deka.” Katanya tiba-tiba, sembari menjulurkan tangan.
Gadis dengan lesung pipit itu nampak terdiam sejenak sambil menatap wajah Deka tanpa
ekspresi. Lalu sedetik kemudian, dia kembali tersenyum sambil membalas uluran tangan dari
pemuda di hadapannya.
“Arum. Maaf ya udah bikin baju kamu basah.”
“I-iya. Nggak apa-apa, kok.”
“Eh, aku lupa. Aku lagi buru-buru, nih. Ada yang ketinggalan. Bisa dihukum kalau aku
enggak bawa.” lanjutnya kemudian.
Tanpa menunggu reaksi dari orang yang diajak bicara, dia bergegas menuju motor matic
birunya dan segera meninggalkan parkiran fakultas.
Deka masih terus menatap punggung gadis itu, sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Sebelum akhirnya teringat seragamnya yang basah, dan tidak mungkin mengikuti OSPEK dengan
baju basah seperti itu
Sial. Pagi-pagi udah apes. Rutuknya dalam hati, lalu beranjak meninggalkan parkiran.
Semua mahasiswa baru telah berbaris rapi di lapangan upacara. Semua menunjukkan sikap
siap tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Sementara di luar barisan, tampak beberapa senior
berjalan memeriksa kerapian. Mereka terdengar membentak adik kelasnya sambil menujuk
barisan, menyuruhnya agar tetap lurus.
Deka menyadari bahwa dirinya telah terlambat. Dia berjalan menuju arah barisan dengan
langkah tergesa-gesa, menemui seorang senior yang berdiri tidak jauh dari barisan paling
belakang.
“Maaf, Kak, saya terlambat.”
Senior itu melirik ke arah Deka dengan sinis, lalu memalingkan pandangan ke jam tangan
yang melingkar pada tangan kirinya.
“Kamu sudah telat lima belas menit. Dan toleransi keterlambatan hanya sepuluh menit.”
“Maaf kak, sebenarnya tadi saya sudah datang sebelum upacara dimulai. Tetapi karena
sesuatu hal makannya saya harus pulang lagi.”
“Tidak ada alasan, terlambat tetap saja terlambat. Tidak peduli karena apapun.”
Deka menundukkan muka pasrah, tidak dapat lagi berkata apa-apa untuk membela diri.
Kini dia hanya menunggu hukuman yang akan diberikan kepadanya.
“Sekarang, kamu masuk ke barisan di sebelah sana.”
“Itu barisannya mahasiswa baru yang melanggar aturan. Kamu juga harus masuk kesana.
Cepat!”
Deka berjalan gontai ke arah barisan yang ditunjukkan kakak kelasnya, beberapa mata
dalam barisan melirik. Ada yang melirik karena prihatin, ada yang melirik karena ingin tahu, ada
juga yang melirik sambil terkekeh-kekeh pelan. Deka membalas lirikan mereka.
Sialan.
Beberapa langkah sebelum dia sampai pada barisan, matanya menangkap sebuah tangan
mungil milik seorang gadis melambai-lambai ke arahnya. Deka memicingkan mata, mencoba
memperjelas pandangannya.
Arum. Rupanya dia terlambat juga.
“Sini-sini.”
“Telat juga ya mas? Kenapa?” Goda Arum sambil memamerkan senyum khasnya.
“Kan gara-gara kamu. Aku mesti pulang dulu buat ganti baju.”
Arum terkekeh mendengar jawaban Deka.
“Pssssstt. Aku nggak mau dapet hukuman tambahan gara-gara ada gadis ribut di
sebelahku.”
“Tenang saja, Dek, senior-senior galak kita lagi pada fokus ke barisan yang sana kok. Kita
enggak diurusin.” Jawab Arum santai.
“Kamu emang aneh ya, heran aku.” Ujar Deka, tak urung akhirnya dia ikut tersenyum juga.
“Eh, ngomong-ngomong, apa sih yang ketinggalan di kos sampe bikin kita ada di barisan
terisolasi kayak gini?”
“Name tag.” Jawab Arum santai.
Deka hanya mampu menepuk keningnya mendengar jawaban santai Arum, saat itu dia
sangat ingin menjitak kepala gadis manis di sebelahnya yang menyebabkan dia terlambat dan
mendapat hukuman.
Puisi Ringgo
“Kita bersaudara karena perbedaan kita.”
Hari ketiga Ospek pun tiba. Hari terakhir mereka harus mendapat perintah-perintah dari
seniornya. Hari terakhir sebelum untuk pertama kalinya mereka mendapatkan pelajaran sebagai
seorang mahasiswa. Terpancar jelas kelegaan dari wajah-wajah mahasiswa baru.
Acara kali ini jauh lebih santai dari dua hari sebelumnya, tidak ada aktifitas berat yang
harus mereka lakukan. Setelah sebelumnya disuruh untuk selalu berjemur di bawah panasnya
matahari, berbaris, di bentak-bentak, mendapatkan tugas yang aneh-aneh. Kali ini mereka hanya
harus duduk berkumpul di sebuah aula besar.
Yang lebih spesial lagi, Ospek hari terakhir itu tidak hanya antar jurusan saja. Semua
fakultas menggabung menjadi satu, semua jurusan membaur bersama jurusan yang lain, menyemut
di dalam ruangan. Saling melempar senyum dan berkenalan satu sama lain. Kebersamaan jelas
terasa dari arah mereka.
Hampir seribu lima ratus lebih anak manusia berseragam putih hitam dari berbagai penjuru
daerah di Indonesia tumpah ruah berkumpul dalam satu tempat. Saling bercengkerama meskipun
baru pertama kali ini mereka saling bertemu. Suasana terlihat begitu akrab.
Semua mahasiswa baru duduk dengan rapi, sementara mahasiswa senior masih tetap berdiri
menjalankan tugas mereka. Mengatur dan mengendalikan semua acara agar berjalan lancar dan
tepat waktu.
Acara dimulai.
Lagu Indonesia Raya membahana memenuhi aula, mengawali acara yang tidak akan
dialami lagi oleh mahasiswa-mahasiswa baru di tempat itu.
Rektor berdiri dan naik ke atas mimbar, menyampaikan pidatonya dengan menggebu-gebu
dan penuh semangat, mencoba menyampaikan apa yang dirasakannya kepada semua yang berada
disitu, tanpa terkecuali.
“Kalian adalah manusia pilihan, satu dari beribu-ribu anak manusia yang haus akan
pendidikan. Yang dengan restu Tuhan dapat terus melanjutkan petualangan kalian dalam mencari
ilmu. Bersyukurlah kalian kepada–Nya, berterimakasihlah. Pendidikan adalah sebuah telaga di
padang gurun yang gersang, menyegarkan. Jalanilah dengan ikhlas, maka kalian akan
menikmatinya.”
Semua mahasiswa mendengarkan dengan sungguh-sungguh, menatap rektor dengan
tatapan kekaguman. Gemuruh tepuk tangan memenuhi ruangan itu ketika rektor telah selesai
memperdengarkan pidatonya dan kembali duduk.
Seorang mahasiswa senior naik ke atas podium dengan langkah yang gagah dan dia buat
penuh wibawa. Untuk selanjutnya mengangguk kepada rekannya yang duduk di balik meja dan
menyanding sebuah laptop. Beberapa detik kemudian muncul sebuah layar proyektor di dinding
Aula, menampilkan bait-bait lagu Syukur, yang diciptakan oleh bapak Husein Mutahar pada masa
kemerdekaan dulu.
“Marilah kita semua berdiri.”
Mahasiswa senior itu memberikan komando dengan suara yang lantang, suara gagah
seperti saat dirinya menyampaikan aspirasi-aspirasi dikala demonstrasi menuntut keadilan sedang
terjadi.
Serempak semua mahasiswa baru, mahasiswa senior, dan segenap petinggi kampus bangkit
dari duduk mereka, melantunkan lagu nasional tersebut dengan penuh perasaan dan penuh
penjiwaan. Memasukkan setiap bait-bait lagu itu ke dalam hati, ke dalam jiwa mereka.
Deka mengatupkan bibir, menahan haru yang menjalar dalam dirinya. Sebuah rasa bangga
telah membuat sekujur tubuhnya bergetar, ia bersyukur dapat menjadi bagian dari orang-orang ini.
Ringgo tidak henti-hentinya mengangkat mukanya ke atas, menatap langit-langit ruangan,
mengucap syukur kepada pencipta alam atas suatu karunia yang bernama Indonesia. Bagas
menekan kuat-kuat dadanya, menahan gemuruh jiwa mudanya, jiwa patriotnya yang bergelora
mendengar lantunan lagu itu. Firman terus memejamkan mata, mencoba merasakan semua makna
yang tersirat di dalam setiap bait lagu itu.
Yoga, tak kuasa meneteskan air matanya. Ia teringat kepada sang kakek yang merupakan
pejuang bangsa Indonesia, yang dengan gagahnya melawan para penjajah untuk merebut kembali
kemerdekaan bangsa. Kebanggan tersendiri baginya menyanyikan lagu itu, seolah sedang
menyanyikannya untuk sang kakek yang gugur sebelum Indonesia merdeka. Scovita berdiri
mematung, menikmati rasa bangganya berdiri bersama dengan orang-orang yang mencintai
Indonesia.
“MERDEKA!” Senior itu berteriak lantang setelah Indonesia Raya selesai dinyanyikan.
Seakan tersengat akan semangat para pejuang ketika mempertaruhkan nyawa untuk
berperang melawan penjajah tanpa rasa takut, semuanya sontak menjawab teriakan itu dengan
suara yang tidak kalah menggelegar.
“MERDEKA!!!”
Tepuk tangan bergemuruh memenuhi ruangan itu.
“Seperti kegiatan Ospek tahun-tahun sebelumnya dan menurut tradisi dalam lingkungan
keluarga besar kampus kita, bahwa pada hari terakhir program pengenalan kampus ini harus ada
satu mahasiswa baru yang akan berdiri di atas sini dengan membacakan sebuah puisi.” Ucap senior
setelah suasana mereda.
Sontak suara gaduh kembali terdengar dari semua mahasiswa baru.
“Tenang, tenang. Kami telah menyiapkan sebuah puisi untuk kalian bacakan. Kalian tidak
perlu takut, tunjukan mental kalian sebagai seorang mahasiswa.”
“Dan, yang beruntung membacakan puisi tahun ini adalah,” Senior itu sengaja
menghentikan kalimatnya, membuat semua mahasiswa baru penasaran.
“Mahasiswa baru dengan hasil Ospek terbaik, Ringgo Setiawan. Berikan tepuk tangan
untuknya.”
Di balik helaan napas lega dari semua mahasiswa baru, dan gemuruhnya tepuk tangan yang
terdengar, seorang mahasiswa yang tidak menyangka dirinya adalah mahasiswa terpilih itu berdiri
dan melangkah dengan lemas.
Semua mata tertuju kepadanya, membuatnya semakin grogi.
Ringgo naik ke atas mimbar. Ia menerima selembar kertas yang terlipat dari mahasiswa
senior yang menyebutkan namanya tadi. Dibukanya kertas itu perlahan-lahan, tiba-tiba raut
mukanya berubah.
Kertas itu kosong, tidak ada sebait puisi pun yang tertulis.
Dipandangnya seluruh mahasiswa baru yang menunggu dengan wajah penasaran.
Dilihatnya jajaran petinggi kampus, semua menunggu pemuda itu membacakan puisi. Rektor
nampak tersenyum, lalu mengacungkan jempol kanan. Ringgo kembali menatap kertas di
tangannya, berharap akan terjadi keajaiban yang membuat kertas itu terisi sebuah puisi, walau
hanya satu bait.
Ringgo menghela napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan semua keberanian yang
dia miliki. Dia pasrah, pasrah kepada Tuhan, pasrah kepada kemampuannya. Kembali tatapan dia
berikan kepada semua mahasiswa baru, seakan meminta keberanian dari semua rekan sejawat.
Perlahan mulutnya mulai membuka, Ringgo membawakan sebuah puisi untuk semua orang yang
berada di tempat itu.
Ini adalah masa kita, ini adalah waktu kita
Ini adalah saat di mana kita dapat membuktikan bahwa kita layak menjadi bangsa
Indonesia
Bersatulah kalian wahai saudara-saudaraku
Bersatulah kalian di bawah panji-panji merah putih
Jangan biarkan nusantara kembali terjajah
Kembali dijajah oleh bangsanya sendiri, dijajah oleh kekuasaan yang menyengsarakan
rakyat
Di sini tempat kita lahir menjadi seonggok bayi merah
Di tanah ini kita menjejakan kaki
Dengan udara ini kita bernafas
Di sini tertinggal jasad-jasad nenek moyang kita, yang telah mempertaruhkan nyawa
untuk memperjuangkan nasib kita,
nasib negara ini
Masih tegakah kalian mengotorinya?
Masih sampai hatikah kalian menghancurkannya?
Demi ibu pertiwi yang telah membesarkan kita semua
Berjanjilah akan terus menjaga Indonesia
Ringgo membawakan puisi itu dengan penuh penjiwaan. Semua terdiam mendengar
lantunan puisi yang mereka dengar, semua merasakan makna yang dalam. Rektor berdiri dari
duduknya, dan perlahan bertepuk tangan, seakan menyampaikan pujian atas apa yang dilakukan
mahasiswa baru beralis tebal itu. Semua tersengat, gemuruh tepuk tangan kembali menggema,
mengisi aula.
Layar proyektor kembali menyala, menampilkan bait-bait lagu yang sebelumnya mereka
nyanyikan berkali-kali ketika masa OSPEK. Ringgo melangkah bangga turun dari podium dan
melemparkan senyum kepada senior yang tadi memanggilnya, senyum bersahabat. Senior itu
membalasnya.
Sebuah melodi menyengat semangat mereka. MARS MAHASISWA menggema di dalam
ruangan, bergelora di hati semua mahasiswa baru dan mahasiswa lama. Entah siapa yang memulai,
semua tangan saling menggenggam, semua bergandengan tangan. Tidak peduli dengan jurusan
apa mereka bergandengan, tidak peduli mereka dari daerah yang berbeda dan baru saja saling
mengenal di tempat itu.
Semua menyatu di bawah lantunan lagu pemersatu mereka. Di bawah kibaran merah putih,
dan tatapan tajam sang garuda. Semua melantunkan MARS MAHASISWA dengan penuh
penghayatan.
Kepada para mahasiswa yang merindukan kejayaan
Kepada rakyat yang kebingungan, di persimpangan jalan
Kepada pewaris peradaban, yang telah menggoreskan
Sebuah catatan kebanggaan di lembar sejarah manusia
Wahai kalian yang rindu kemenangan
Wahai kalian yang turun ke jalan
Demi mempersembahkan jiwa dan raga
Untuk negeri tercinta
Teras Depan
“Sebuah cerita yang mengalir begitu saja adalah bukti bahwa kita saling percaya.”
Sore hari, setelah acara OSPEK di auditorium selesai.
Semua penghuni kos sedang berkumpul di ruang tengah dengan hanya mengenakan celana
kolor dan kaos dalam, mereka berserakan tak beraturan di lantai. Mencoba menghilangkan lelah
yang sudah sejak tiga hari lalu mendera tubuh.
“Fiiuuh, akhirnya kelar juga. Padahal cuma tiga hari, tapi capeknya kerasa banget.” Ucap
Ringgo.
Yoga menyodorkan tangan ke Deka, mengambil alih air mineral dari tangannya dan
langsung menenggak hingga tak tersisa.
“Bener banget tuh, badanku sampe pegel-pegel semua.” Dukung Deka
“Tapi, tadi lumayan juga kamu pas baca puisi. Yah, walaupun tampangmu sempet pucet
sih.” Yoga membersihkan mulut menggunakan punggung tangan.
Semua tertawa mendengar seloroh pemuda berambut ikal itu.
“Untung udah disediain teksnya yah. Coba kalo belum, nggak cuma pucet, tapi bisa pingsan
di tempat.” Tambah Scovita disela tawanya.
Ringgo menggeleng, “Kata siapa tadi ada teksnya?”
Serempak semuanya memandang Ringgo, tawa mereka terhenti.
“Tadi kertasnya kosong, brengsek bener tuh senior. Untung aja aku lumayan jago ngarang,
kalo enggak, bisa mampus berdiri.” Ringgo tersenyum sendiri membayangkan kejadian beberapa
jam lalu.
“Jadi tadi itu kertasnya bener-bener kosong?” Tanya Bagas yang dijawab dengan anggukan
kepala oleh Ringgo.
“Berarti puisi tadi kamu ngarang sendiri?” Tambah Yoga, Ringgo kembali mengangguk.
“Ngarang mendadak?” Firman yang dari tadi hanya mendengarkan ikut bertanya. Sekali
lagi Ringgo mengangguk.
“Beneran kertas itu kosong? Berarti puisi tadi kamu yang ngarang? Ngarang mendadak di
atas podium?” Kali ini Ringgo tidak mengangguk, namun melempar botol ke arah Scovita yang
memberikan pertanyaan terakhir.
Scovita mengelak, dan lagi-lagi semua tertawa.
“Berarti hebat juga kamu. Tadi lumayan bagus puisinya, aku nggak ngira kalo ternyata itu
hasil karangan mendadak.” Puji Deka yang diamini oleh yang lain.
Ringgo tersenyum menanggapi pujian Deka, ada sedikit perasaan bangga yang muncul
dalam hatinya.
Ini belum seberapa, nanti aku pasti bakal lebih hebat lagi. Tuturnya dalam hati.
Malam telah cukup larut, suasana di sekitar mulai sepi. Hanya sesekali melintas mahasiswa
yang selesai mengikuti kegiatan di kampus dan berjalan pulang ke kos mereka. Udara dingin
menambah sempurna latar malam itu. Mereka ber enam duduk di teras, dua sofa yang berada di
ruang tivi sengaja di angkut keluar.
“Sepi banget di sini, apa bener ini Semarang?” Firman berujar pelan.
“Terang aja lah, udah malem gini. Lagian selain kita-kita yang mahasiswa baru ini,
mahasiswa di atas kita kan emang lagi libur. Kecuali para senior yang ngurusin OSPEK.” Ringgo
menerangkan.
“Iya aku tahu, tapi nggak nyangka bakalan sepi banget kayak gini.”
“Kata temenku yang udah duluan kuliah di sini sih emang kayak gitu, kalo lagi masa-
masanya libur kuliah daerah sini kayak kota mati. Jadi yang bikin rame ya mahasiswa yang ngekos
di sini.”
“Padahal ini malam minggu ya? Ya kan?” Yoga yang saat itu berkerodong sarung karena
hawa dingin ikut memberikan suara.
“Hahaha, iya. Baru sadar kalo sekarang malam minggu. Sumpah nggak ingat.”
“Ngomong-ngomong malam minggu. Kalian pada nggak video call apa telepon-teleponan
sama cewek kalian?” Tutur Ringgo kepada teman-temannya.
Bagas dan yang lain menggeleng, kemudian keenamnya saling pandang, detik berikutnya
tawa menggelegar di teras kos itu. Tak peduli malam yang telah larut dan suasana yang sudah
sangat sepi, mereka tertawa terbahak-bahak.
“Jadi, kita jomblo semua?” Ringgo berujar di sela tawanya.
Semua mengangguk sambil tetap tertawa.
“Gila, kita emang ditakdirkan ketemu.”
“Sama-sama enggak laku.”
“Memalukan bangsa dan negara.”
“Astagfirulloh hal’adzim,”
Semua masih setia dengan tawanya masing-masing, sampai Deka berbicara.
“Tapi kemarin pas OSPEK aku sempet kenalan sama cewek lho. Sudah kuputuskan, dia
akan menjadi targetku.”
Semua mengalihkan pandangannya ke arah pemuda dengan postur paling tinggi tersebut.
“Kamu sih emang cakep, jadi gampang cari kenalan cewek.” Puji Yoga.
Deka menggeleng, “Nggak sengaja kenalannya.”
“Kamu nggak sengaja, tapi dia pasti sengaja pengen kenalan sama kamu.”
“Udah ganteng, tinggi lagi. Kalau aku cewek, aku juga udah jatuh cinta sama kamu,”
Scovita membuat semua orang melirik curiga ke arahnya.
“Nggak usah mikir macem-macem, aku cowok normal,” tak urung Scovita menyadari
kalimat ambigunya.
“Jurusan apa dia, Dek?”
Deka mengangkat bahu, “Belum sempet nanya. Tapi kita satu fakultas kok,”
“Ganti topik, ah, sedih kalo jomblo kaya kita ngomongin cewek.” Pinta Bagas sambil
tertawa.
“Iya, berasa hampa.” Tambah Scovita.
“Nama kamu unik banget, Scovita. Apa sih artinya?”
“Scorpio, virgo, sama taurus. Zodiak orang tuaku, sama Zodiakku sendiri.” Scovita
menjawab pertanyaan Ringgo.
“Keren.” Yoga mengacungkan kedua jempol tangannya.
“Tapi susah dipanggilnya. Gimana kalo kita pakai nama panggilan aja?”
“Apaan?” Tanya Scovita dengan penasaran.
“Sekop aja.” Saran Yoga asal.
“Enak aja, emang aku alat bangunan.”
“Sekdes?”
“Apaan tuh? Tanya Scovita.
“Sekertaris desa,” jawab Ringgo yang langsung mengundang tawa teman-temannya.
“Nggak ada yang lebih keren apa?” Scovita protes.
“Sekrup?”
“Ogah,”
“Scoby aja, keren tuh. Pendek dan gampang diingetnya.” Usul Deka setelah beberapa menit
berpikir.
“Itu kan nama anjingnya Shagy di film Scoby doo? Masa aku di samain sama anjing?”
Scovita kembali protes.
“Ya enggak gitu juga, bukan anjingnya, tapi kita ambil namanya aja.” Deka menjelaskan.
“Lucu juga tuh.” Firman menimpali.
“Ya udah, terserah kalian aja deh.” Akhirnya Scovita yang sekarang resmi memiliki
julukan baru pasrah, menerima sebuah nama yang diusulkan oleh teman-temannya.
“Kita juga belum punya nama untuk rumah kos ini, bagaimana?
Deka kembali menyalakan sebatang rokok, yang baru saja dia ambil dari bungkus milik
Firman. Sebuah hal yang akhir-akhir ini menjadi kebiasaan para penghuni kos, berbagi walau
hanya satu batang.
“Iya, aku juga memikirkan itu. Kemarin ditanya sama temen, nge kos dimana nah aku
bingung jawabnya.” Yoga merespon.
“Bagaimana kalau kita beri nama rumah harapan?” Usul Bagas sambil menyecap kopi
yang sebentar lagi hanya menyisakan ampas.
“Filosofinya?”
“Ya, kita kan ke kota ini membawa sejuta harapan dan impian. Dan menurutku, harapan-
harapan itu akan mulai kita wujudkan ya berawal dari sini, dari rumah kos ini.”
“Bagus juga sih menurutku, penuh dengan doa. Gimana kalian?” Tanya Deka.
“Okelah,”
“Aku setuju,”
Firman hanya mengacungkan jempol kanannya.
“Aku nurut sama kalian,” Yoga menjadi yang paling akhir memberikan suara.
Semua sama-sama tersenyum sejenak, lalu terdiam. Masing-masing bermain dengan
pikiran mereka sendiri, sesaat asik berbicara dengan hati dan pikiran mereka masing-masing.
Sepertinya bakal asik kalo kumpul terus bersama anak-anak ini. Batin Scovita, yang sudah
resmi mendapat nama panggilan baru dari teman-temannya.
Ngga nyangka, malam ini aku ada di kota ini, kuliah di sini, dan bertemu dengan mereka.
Semoga kali ini aku bisa bersahabat dengan mereka. Pikir Firman.
Mereka semua menyenangkan. Bagas ikut membatin.
Malam ini aku mencoba lebih mengenal mereka, sahabat-sahabat baruku. Tutur hati
Ringgo
Ini menyenangkan. Deka terbawa suasana
Mama, aku kangen sama mama, Yoga bergumam dalam hati.
Kontrak Kuliah
“Semangat yang masih menyala”
“Bagas.”
Bagas mengangkat tangan kanan ketika dosen yang sedang duduk di depan kelas
memanggil namanya.
“Hadir, Pak.”
Dosen tersebut menatap Bagas sejenak, lalu kembali memanggil nama mahasiswa lain di
kelas satu persatu. Pemuda berambut pendek itu menurunkan kembali tangannya lalu
mengedarkan pandangan ke penjuru kelas, mengamati wajah asing orang-orang di tempat itu.
Hari pertama mengikuti kuliah, rasa antusias membuatnya begitu bersemangat.
Hmmm, mereka akan jadi teman-teman kelasku selama kuliah. Gumam Bagas dalam hati.
Suara berat dosen laki-laki berumur empat puluh lima tahun itu masih memanggil beberapa
nama mahasiswa lainnya, lalu menuliskan di buku kehadiran.
“Ada yang belum di panggil?” dia bertanya ketika merasa semua nama dalam daftar
hadirnya sudah disebutkan.
“Kalau begitu sudah semuanya.”
“Sebelumnya perkenalkan dulu, nama saya Agus Widodo, kalian bisa panggil saya Pak
Agus, atau AW biar lebih akrab. Saya yang akan menjadi dosen untuk mata kuliah Atletik, Dasar-
dasar Penjas, dan Metodologi Pendidikan. Jadi selama di semester satu ini kalian akan bertemu
dengan saya pada tiga mata kuliah itu.” Dosen itu berdiri dari duduknya, berjalan menuju ke depan
kelas.
Semua mahasiswa terlihat serius memperhatikan dosen tersebut, tidak ada suara yang
terdengar dari masing-masing mahasiswa. Konsentrasi dan pandangan mereka terpusat
sepenuhnya.
Mereka tidak ingin hari pertama langsung mendapatkan teguran karena tidak
memperhatikan.
“Ini adalah hari pertama kalian kuliah, jadi kita belum akan masuk ke materi. Kita baru
akan membicarakan tentang kontrak kuliah. Sebelumnya, siapa yang akan menjadi ketua kelas di
sini?”
Kini kasak kusuk terdengar dari arah mahasiswa. Saling pandang dan mengangkat bahu.
“Tidak ada yang mengajukan diri? Kalau begitu saya yang akan menunjuk salah satu dari
kalian untuk jadi ketua kelas.” Dosen tersebut mengamati masing-masing mahasiswanya satu
persatu, hingga pandangannya terhenti pada satu wajah mahasiswa.
“Kamu saja, siapa namamu?”
“Anton, pak.”
“Ya sudah, kamu saja yang jadi ketua kelas. Nanti kalau ada apa-apa, misalnya saya tidak
bisa hadir mengajar, atau memberikan tugas tambahan saya akan menghubungimu. Dan tugasmu
harus menyebarkannya ke teman-teman kelas, sanggup?”
Mahasiswa itu mengangguk, “Sanggup, Pak.”
“Bagus. Kalian juga harus memberitahukan kepadanya kalau mau ijin tidak masuk kuliah.
Sekarang kita masuk ke dalam kontrak kuliah.” Ia mengeluarkan sebuah spidol dari dalam tas dan
menuliskan sesuatu di white board.
“Pertama adalah kalian harus menghadiri perkuliahan sekurang-kurangnya tujuh puluh
lima persen, artinya kalian hanya boleh maksimal tiga kali tidak hadir dari seluruh pertemuan
kuliah. Jika melebihi itu, kalian akan saya beri nilai E. Paham?”
“Paham, Pak.” Jawab semua mahasiswa serempak.
“Yang kedua adalah toleransi keterlambatan maksimal lima belas menit, melebihi itu,
kalian tidak boleh masuk ke dalam kelas dengan alasan apapun.” Kesan tegas tergambar jelas dari
wajahnya.
Mahasiswa mencatat peraturan tersebut pada buku tulis mereka masing-masing dengan
ekspresi wajah yang berbeda-beda. Beberapa mahasiswa menunjukkan wajah keberatan dengan
kontrak kuliah yang diberikan dosennya, tetapi tidak dapat menolak.
“Kemudian penilaian akan saya bagi menjadi tiga. Yang pertama adalah dari tugas-tugas
yang saya berikan. Yang kedua adalah dari jumlah presensi atau kehadiran kalian, dan yang
terakhir adalah dari hasil ujian semester nanti.”
“Ada pertanyaan?” Tatapan Dosen beralih kepada mahasiswanya yang duduk tenang di
bangku mereka masing-masing.
Seorang mahasiswi mengacungkan tangannya, “Apa kontrak kuliah ini berlaku buat semua
mata kuliah yang bapak ampu?”
“Tentu, untuk perkuliahan yang lain juga seperti ini. Semua dosen akan menerapkannya,
memang sudah peraturan.”
“Berikutnya, karena kita adalah jurusan olahraga, jadi untuk setiap mata kuliah praktek
diharuskan menggunakan pakaian olahraga. Silahkan, salah satu dari kalian dikoordinir untuk
membuat seragam kelas yang akan dipakai waktu kuliah praktek,”
“Ada pertanyaan lain?”
“Ada ujian tengah semester, Pak?”
“Iya, itu jelas ada. Tetapi jadwalnya tidak selalu sesuai dengan jadwal kampus pusat. Bisa
tiba-tiba saya memutuskan untuk diadakan ujian tengah semester. Tetapi kalian tenang saja, pasti
saya beritahu seminggu sebelumnya supaya kalian bisa siap-siap,”
“Ada lagi?”
Mahasiswa dalam kelas itu saling pandang, “Tidak ada. Kalau begitu pertemuan hari ini
sampai di sini dulu. Minggu depan kita baru masuk ke materi. Selamat siang.”
Mahasiswa-mahasiswa itu bangkit dan menyusul keluar kelas. Bagas berjalan ke arah
kantin kampus, memesan sebotol teh, lalu bergabung dengan Deka dan Firman yang telah lebih
dulu berada di tempat itu. Keduanya nampak sedang menikmati makan siangnya.
“Nggak makan?” sambut Deka begitu Bagas telah duduk disampingnya.
“Belum laper.”
“Gimana kuliah hari pertama?” Tanya Firman kepada dua sahabatnya.
“Baru kontrak kuliah kok, belum ada materi yang diberikan.” Bagas menyalakan rokok.
“Tadi aku sempet dikasih materi awal, tapi ya emang belum penuh kuliahnya. Masih
ngomongin kontrak juga.”
“Sama, aku udah dua kelas hari ini masih ngomongin kontrak kuliah. Minggu depan baru
ke materi.”
“Ternyata kayak gini ya, ada kontraknya juga kalau mau kuliah. Kayak rumah aja,”
“Iya biar kita lebih teratur sih, nggak kayak pas SMA dulu. Yang bisa seenaknya bolos,
nggak ikut pelajaran yang kita enggak suka. Sekarang harus beda, harus lebih baik lagi dari waktu
kita sekolah dulu.”
Deka dan Firman tersenyum mendengar celotehan Bagas yang mencoba untuk bijak. Yang
justru membuatnya menjadi terlihat lucu.
“Kamu hari ini berapa kelas?”
“Empat, bakal sampai sore di Kampus nih.” Deka menjawab pertanyaan yang diajukan
Bagas.
“Wah, jangan-jangan ntar pulang ke kosan udah banyak uban di rambutmu, tuh,” Bagas
mengeluarkan candaannya.
“Kamu sendiri?”
“Aku cuma dua. Kamu, Man?”
“Aku juga dua.”
“Sial, berarti cuma aku nih yang kuliah sampai sore?”
Bagas dan Firman tertawa bersamaan.
“Selamat menikmati hari pertama, kawan.”
Ringgo menjinjing tas biola menggunakan tangan kanan ketika ia berjalan menaiki tangga
kampus, sesekali cowok itu melemparkan senyum dan menyapa rekan mahasiswa yang
berpapasan. Ia masuk ke dalam kelas yang sudah seminggu lebih ia datangi. Masih sepuluh menit
sebelum kelas hari itu di mulai.
Pemuda itu mengambil duduk di pojok belakang, dekat dengan jendela kaca. Suasana
kampus terlihat cukup ramai dari tempatnya berada saat ini, ia memperhatikan beberapa aktivitas
mahasiswa melalui kaca jendela.
“Udah lama?” Sebuah suara merebut perhatiannya.
Ringgo menoleh, menemukan Nolan, teman satu kelasnya berdiri di samping kursi. Sebuah
tas biola juga nampak berada di tangan kanan mahasiswa yang kini duduk di sampingnya itu.
“Baru sampai, nih pantat juga masih melayang belum jatuh ke kursi.”
“Kamu udah nyelesein tugas minggu kemarin?”
“Udah, kamu?”
“Aku juga udah, semalem aku kebut ngerjain, akhirnya keburu selesai juga. Galak Dosen
kita yang satu ini.”
Ringgo tersenyum kecil sebelum mengangguk menyetujui pendapat teman satu kelasnya
itu. Ia kembali mengalihkan pandangan keluar jendela, memperhatikan berbagai aktivitas di
kampusnya. Beberapa mahasiswa nampak sedang duduk membentuk lingkaran, membicarakan
sesuatu, mahasiswa lain terlihat duduk seorang diri sambil memainkan gadgetnya.
“Bikin band yuk.” Suara itu kembali merebut perhatian.
“Band?”
“Iya, kita bikin band, ntar ngajak Alan, Ryan, sama Tomas juga, gimana?”
“Boleh, kebetulan aku juga pengin bikin band.”
“Sip, ntar kita kasih tau mereka bertiga kalau udah pada datang, semoga mereka juga mau.”
“Itu pas banget mereka datang.”
“Ada apa?” Tanya salah satu dari mereka.
“Aku dan Nolan punya rencana mau bikin band. Kita pengin ngajak kalian, gimana?”
Mereka terlihat antusias ketika mendengarkan penjelasan Ringgo. Dan tanpa berpikir lama
tiga mahasiswa itu menganggukan kepala secara bersamaan. Ringgo dan Nolan nampak tersenyum
puas mendapat jawaban dari tiga rekannya tersebut.
“Oke ntar sore kita latian.”
“Langsung?” Tanya Alan.
“Iya, langsung aja. Biar bisa tahu formasi yang pas. Sama kira-kira aliran musik apa yang
cocok buat kita. Kalian nggak ada acara, kan?”
Ke empat mahasiswa itu menggeleng menjawab pertanyaan Ringgo.
“Oke deh, dari pada nggak ngapa-ngapain di kos.” Ujar Nolan.
“Tapi di mana?”
“Di kampus kita kan ada?” Jawab Alan.
“Sepertinya mahasiswa baru belum boleh pakai deh,”
“Ada studio di dekat kosku, bagaimana kalau di situ?” Tomas memberikan solusi.
Semuanya langsung setuju dengan usul yang di ajukan oleh Tomas. Kemudian percakapan
mereka terhenti ketika dosen yang akan mengisi kelas berjalan masuk dengan penuh wibawa.
“Dari mana, kok pulang sampai malam?” Yoga heran melihat Ringgo yang baru sampai
kos pukul tujuh malam, masih dengan pakaian yang dia kenakan saat kuliah.
“Nge band.”
“Wuih, udah bikin band nih rupanya?” Kali ini Bagas yang menyahut.
“Yo’i, tadi sama temen-temen kelasku.”
“Pegang apa kamu?”
“Gitar, sekaligus vokal. Anak-anak yang nunjuk aku jadi vokal.”
“Ciee, keren. Good luck ya buat band barumu.” Scoby ikut menyumbang pendapatnya.
“Makasih, Sco.”
Ringgo berlalu menuju kamar. Beberapa menit kemudian ia kembali keluar, handuk
berwarna biru tersampir dipundaknya.
“Deka sama Firman kemana?”
“Deka pergi makan sama Arum, Firman nggak tahu kemana.”
“Arum itu yang kayak gimana sih?” Scoby meniup cangkir berisi kopi panas sebelum
meminumnya.
Yoga menggeleng, “Aku juga sekedar tahu namanya, Deka sering ngomongin tentang
Arum, Arum terus. Bagas tuh yang satu fakultas, mungkin dia tahu.”
“Iya, aku pernah bertemu dengannya beberapa kali di kantin kampusku. Memang anaknya
manis dan selalu ceria, wajar kalau Deka jatuh hati sama tuh cewek.”
“Dia satu jurusan sama Deka, Gas?”
“Iya, tiap di kampus mereka bareng terus, sampai bikin cowok-cowok di kampusku iri sama
Deka.” Bagas tersenyum saat mengatakannya.
“Haha, paling bentar lagi mereka pacaran.” Yoga tertawa kecil, ia meraih cangkir kopi dari
tangan Scoby.
“Mungkin. Kayaknya Arum juga suka kok sama Deka.”
Malam Inaugurasi
“Duel dua orang laki-laki.”
Sebuah panggung pertunjukkan setinggi dua meter berdiri di lapangan sepak bola yang
terletak di belakang fakultas keolahragaan. Tak mau kalah dengan tukang-tukang yang sejak tadi
sibuk mendirikan panggung, beberapa orang lain juga terlihat begitu lincah memasang lighting
untuk mendukung tampilan panggung agar terlihat lebih meriah.
Di atas panggung, kini mulai dipasangi alat-alat yang nantinya akan di gunakan oleh para
pengisi acara. Seperangkat alat band, gamelan, serta beberapa alat lainnya disediakan untuk
memeriahkan acara puncak dari rangkaian OSPEK yang sudah dijalani selama beberapa hari.
Malam Inaugurasi, itulah tagline yang sudah menggaung di telinga semua warga kampus.
Acara untuk menyambut mahasiswa baru. Dengan menampilkan bintang tamu, sebuah band dari
kota Yogyakarta yang sudah sangat terkenal di seluruh wilayah Indonesia.
“Tes, tes. Satu, dua, tiga suara di coba,” seseorang laki-laki berkumis tebal nampak
memegang microphone di tangan kirinya, sedangkan seseorang yang lain mengatur mixer dari
sebuah tenda kecil yang jaraknya agak jauh dari panggung utama.
Laki-laki berkumis itu mengacungkan jempol kanannya, tanda suara yang dihasilkan sudah
sesuai dengan yang dibutuhkan.
Persiapan selesai beberapa jam kemudian, siap untuk pertunjukan nanti malam.
Ringgo baru saja meletakkan tas cangklong warna abu-abunya ketika terdengar suara
sepeda motor milik firman memasuki halaman dengan suaranya yang menggerung-gerung,
nampak sengaja di geber dengan sangat kencang oleh pemiliknya.
Pemuda itu masuk ke dalam dengan wajahnya yang merah padam, membuat teman-
temannya saling menatap dengan bingung.
“Brengsek! Brengsek! Brengsek!”
“Kenapa tuh anak?” Bagas yang pertama kali berkomentar.
“Tau tuh, pulang kuliah malah marah-marah kayak gitu. Mungkin dimarahin sama
dosennya gara-gara nggak ngerjain tugas,” jawab Yoga asal.
“Kamu kenapa, Man? Pulang kuliah malah kayak baru pulang dari medan perang. Emosi
banget kayaknya,”
“Kamu tahu Jaka, Dek? Kakak kelasmu dua tingkat.”
Deka nampak berpikir sejenak, sampai ingatannya tertuju pada satu orang yang pernah
bertemu beberapa kali di kampusnya.
“Jaka yang dulu jadi pemandu pas OSPEK itu?”
“Iya, dia orangnya. Brengsek!” firman terus menunjukkan wajah tegangnya, yang semakin
membuat teman-teman satu kosnya heran.
“Kamu kenapa sih, Man? Ribut sama dia?” Ringgo yang sejak tadi mendengarkan dari
dalam kamar ikut berkumpul bersama yang lain di ruang tivi.
“Aku baru saja adu mulut sama dia, untung ada anak-anak lain yang misahin. Kalau enggak
udah aku hajar sampe nangis minta ampun tuh anak,” Firman sama sekali tidak mengendorkan
raut tegang pada wajahnya.
“Walah, kenapa bisa sampe ribut gitu?”
“Minum dulu, Man.”
Deka menyodorkan segelas air dingin yang baru saja dia ambil dari kulkas, mencoba untuk
meredakan amarah yang masih terlihat dari sorot mata salah satu teman satu kosnya tersebut. Deka
paham, Firman masih belum tenang dan bisa jadi justru akan membuat masalah baru dengan
teman-teman kosnya yang lain.
“Cerita kalau kamu ngerasa udah lebih tenang,” lanjutnya.
Firman menyambut gelas yang disodorkan oleh Deka, lalu menghabiskannya dalam sekali
tenggak. Ia duduk di sebelah Yoga setelah merasa bisa menguasai emosinya. Deka, Yoga, Scoby
dan Ringgo duduk mengelilinginya. Menunggu pemuda itu untuk bercerita.
“Tadi waktu aku baru saja selesai kuliah dan sedang minum di atas motorku, dia datang
dan langsung nyuruh aku untuk cepat-cepat pergi karena tempat parkirnya mau dia pakai. Jelas aja
aku tanya maksudnya apa, tempat parker lain masih banyak yang kosong, kok,”
“Terus, terus?” Scoby nampak penasaran.
“Dia jawab, dari dulu tempat parkir itu udah jadi tempatnya. Kan, brengsek banget tuh
orang yang seperti itu. Mentang-mentang senior terus bisa seenaknya, kalau bukan aku mungkin
bisa diperlakukan kayak gitu.”
“Kamu debat sama dia?”
Firman mengangguk, “Bahkan aku dan dia sudah saling dorong. Untung aja lagi banyak
anak yang buru-buru misahin. Beruntung dia nggak ngerasain pukulanku,”
“Kalian satu kampus pasti akan sering ketemu, kan?” Ringgo merasa sedikit khawatir
permasalahan ini akan terus berlanjut.
Pemuda itu tersenyum sinis, “Aku tidak pernah takut. Kalau nanti ketemu lagi dan dia
masih pengin nyari ribut, aku siap dan nggak bakal mundur.”
Sebuah sifat yang sebenarnya cukup membuat lima mahasiswa yang lain sering merasa
was-was. Bukan cuma untuk Firman sendiri, tetapi mereka khawatir sifat Firman yang mudah
tersulut emosi bisa menyeret mereka semua ke dalam sebuah masalah.
“Sudah-sudah. Kalau besok-besok kalian bertemu dan dia tidak mengungkit itu artinya dia
juga nggak ingin memperpanjang masalah. Intinya kamu jangan sampai jadi orang yang cari
masalah lebih dulu, apalagi sama senior.” Deka coba memberikan nasihat.
“Aku tidak akan melukai siapapun jika tidak dilukai lebih dulu. Kalian tenang saja, selama
dia tidak menyentuhku aku juga tidak akan menyentuhnya sama sekali,”
Kalimat yang setidaknya bisa membuat teman-temannya bisa bernapas lega. Beberapa
lama berada dalam satu rumah membuat enam remaja sudah saling mengerti dengan sifat dan
karakter mereka masing-masing.
“Hey, ada apa ini. Kok sore-sore gini pada ngumpul di ruang tivi?” Bagas yang baru saja
pulang kuliah heran mendapati ruang tivi penuh oleh teman-temannya.
“Sore banget kuliahmu?” Ringgo balik bertanya.
Bagas mengambil rokok dari saku celana dan membakarnya, ia menghisap dalam-dalam
asap nikotin dengan racun-racunnya, lalu menghembuskan melalui dua lubang hidung.
“Sebenarnya udah selesai dari tadi, tapi nongkrong dulu sama anak-anak di kantin. Sambil
liatin tukang-tukang masang panggung buat ntar malem,”
“Oh iya, inaugurasi ya,” Deka menimpali.
“Nonton, yuk,” ajak Scoby yang langsung di sambut antusias oleh teman-temannya.
“Iya, ayo. Buat hiburan, spaneng mikir kuliah sama tugas terus-terusan,”
“Betul. Siapa tau bisa ketemu cewek,” Sambar Ringgo, mengundang tawa lima lainnya.
“Ayo aja, deh. Aku ikut, yang penting ada kalian,” Yoga turut menyumbangkan suara.
“Gimana, Man?” Deka beralih ke Firman.
“Kapan lagi nonton konser gratis,” jawabnya dengan senyum tipis tersungging di bibir.
Pukul delapan malam, enam sekawan itu sudah siap dengan dandanan mereka masing-
masing. Siap untuk meramaikan konser malam inauguruasi yang diadakan oleh kampus mereka.
Masing-masing mengenakan pakaian andalan mereka.
“Keren juga jaketmu, kapan-kapan minjem ya,” Bagas mengagumi jaket yang dipakai oleh
Ringgo, membuatnya tidak tahan untuk memberikan komentar.
“Kemarin celanaku yang kamu pinjam, sekarang jaket Ringgo.mau di sikat juga,” Yoga
melemparkan tisu yang baru saja dipakainya untuk membersihkan wajah.
“Lho,lho. Selama masih bisa pinjam, kenapa harus beli. Itu prinsipku,” Sanggah Bagas
sambil memakai sepatu kets warna merahnya.
“Huuu, dasar nggak modal,” Cibir Scoby, yang langsung disambut tawa oleh kelima
temannya.
“Sudah belum, ayo berangkat. Panggung inaugurasi menunggu kita,” Deka memberi
komando.
“Jalan atau naik motor?” tanya Firman.
“Jalan aja yuk, sambil menikmati malam. Mumpung malamnya cerah tuh, bintangnya
banyak,” sahut Yoga.
“Sok puitis kamu, Yog,” Bagas merasa mendapat momen untuk balas mencibir Yoga.
Yoga tertawa, tetapi akhirnya semua setuju dan berjalan kaki menuju lapangan sepakbola
fakultas olahraga yang menjadi tempat pertunjukan. Samar-samar, suara musik terdengar dari
kejauhan, acara memang sudah mulai sejak pukul tujuh tadi. Meskipun baru sebatas pertunjukan-
pertunjukan pembuka.
Enam remaja dari berbeda daerah itu sampai di fakultas olahraga lima belas menit
kemudian. Jarak rumah kos mereka memang cukup strategis, tidak begitu jauh dari fakultas mereka
masing-masing.
Suasana sudah begitu ramai oleh penonton yang datang dari berbagai kalangan. Entah itu
dari mahasiswa baru dan lama, penduduk kampung, atau komunitas penggemar band yang akan
menjadi bintang tamu malam ini.
Semua menyemut sampai di depan panggung.
“Gila, rame banget. Pulang aja yuk,” Yoga mengajak yang lainnya, siap berbalik badan.
Bagas langsung merangkul pundak Yoga, “Mumpung malam ini cerah, kita nikmati aja
sampai pagi,”
“Enak aja pulang, udah capek-capek jalan kesini malah minta pulang,” Scoby
mengeluarkan protesnya.
Firman hanya tersenyum melihat tingkah teman-temannya, sembari menyalakan sebatang
rokok kretek favoritnya.
“Yuk maju,” Deka berjalan tanpa menunggu respon teman-temannya.
“Kalau ketua sudah memutuskan untuk maju, anak buah harus mendukungnya. Ayo,”
Bagas menarik tangan Yoga agar tidak nekat pulang sendirian.
Semua mengangguk, lalu menyusul Deka yang sudah berjalan beberapa langkah di depan
mereka. Scoby mengangkat dua tangannya ke atas, seakan melakukan pemanasan. Firman berjalan
dengan kedua tangan yang masuk ke saku celananya, sementara Ringgo melangkah sembari
mengikat rambutnya yang cukup panjang.
“Firman tuh, Jak,” Seorang pemuda berjaket cokelat menunjuk ke arah Firman dan kawan-
kawan, mengundang reaksi dari orang yang bernama Jaka.
“Kebetulan dia dateng, ayo samperin. Kita kasih dia pelajaran,” Desis jaka dengan nada
yang mengancam.
“Betul, biar dia bisa paham tentang sopan santun sama yang lebih senior,” timpal satu orang
yang lain.
Mereka semua berjumlah delapan orang, berjalan mendekati Firman dengan tatapan penuh
kebencian. Siap untuk melampiaskan amarah karena merasa rekan satu kelompoknya sudah
diremehkan.
Deka menyadari kedatangan Jaka dan gerombolannya mendekati mereka dengan aura yang
tidak bersahabat, membuatnya langsung merasa panik.
Sialan, bisa gawat nih, rutuknya dalam hati.
“Hoy!” Jaka berteriak persis setelah dia hanya berjarak beberapa langkah dari Firman,
membuat pemuda itu menoleh dan langsung memasang wajah penuh waspada.
“Kebetulan kamu datang kesini, ayo kita selesaikan masalah tadi siang,” lanjutnya.
Firman mengatupkan rahangnya kuat-kuat, tatapan matanya tajam tertuju pada satu orang.
Dia mengambil ancang-ancang, siap untuk melawan orang-orang yang ada di hadapannya.
Sementara teman-teman lainnya nampak terkejut dan saling pandang.
Ketegangan jelas terasa.
Keculai Deka yang langsung mengambil inisiatif untuk menengahi, “Sebentar, Bang,
tunggu dulu. Tahan emosi kalian,”
Jaka mengalihkan pandangannya, dia mengenali Deka yang memang adik kelasnya di
jurusan, “Kamu ngapain ikut campur? Kamu kenal dia?”
“Iya, Bang, dia teman satu kosku,”
“Oh, tapi aku enggak peduli. Dia sudah bersikap kurang ajar, jadi sudah sepantasnya aku
kasih sedikit pelajaran,”
“Minggir, Dek. Biar aku hadapi orang ini sama teman-temannya,” Firman siap-siap untuk
menerjang Jaka.
Jaka tak mau kalah, dia sudah maju lebih mendekati Firman dan siap melayangkan
pukulannya. Teman-temannya juga sudah siap untuk berkelahi.
“Woo, wooo, wooo. Tunggu sebentar, dengarkan dulu.” Deka kembali mencoba
meredakan suasana.
“Kamu apaan sih, Dek? Mau aku hajar juga?” Jaka nampak tidak suka.
“Dengerin dulu, Bang. Firman sudah cerita tentang kejadian di parkiran tadi sore. Jadi
dengerin aku dulu,”
“Kamu juga, Man,”
Dua orang yang bersitegang itu nampak tidak sabar, tetapi tetap memberikan kesempatan
kepada Deka untuk menyelesaikan ucapannya.
“Pertama, ini masalah kalian berdua, jadi seharusnya teman-temanmu nggak usah ikut
campur, begitu juga dengan teman-temanku itu. Karena nanti pertikaian justru akan melebar,
jurusan kita dan jurusan Firman atau bahkan jurusan dari fakultas lain bisa terpancing karena hal
ini.”
Deka menyadari potensi konflik yang akan semakin melebar jika keributan ini tidak dia
cegah, rasa solidaritas antar jurusan akan membuat permusuhan yang semakin melibatkan banyak
orang. Deka tahu teman kosnya berasal dari berbagai jurusan, akan sangat rawan jika mereka
terlibat.
“Kalau memang harus adu fisik, selesaikan satu lawan satu. Jangan libatkan orang lain,”
Jaka nampak setuju dengan pemikiran yang disampaikan oleh Deka, akal sehatnya masih
bisa mencerna dengan jelas konsekuensi yang akan terjadi. Kemungkinan yang baru saja dia
dengar dari mulut Deka memang bisa terjadi, dan itu jelas bukan masalah sepele.
“Oke, aku terima idemu. Ayo kita selesesaikan sekarang juga,” ucapnya.
“Jangan disini. Kalian lihat ke sekitar kalian, petugas keamanan kampus sedang menatap
kesini dengan tajam. Jelas mereka tahu apa yang sedang terjadi. Apa kalian mau ditangkap mereka
dan di bawa ke sidang senat? Ujung-ujungnya kalian di skors.” Salah satu teman Jaka menyadari
situasi.
Mereka sepakat menuju aula fakultas yang sedang dalam kondisi sepi. Dua pemuda itu
berdiri saling berhadapan dengan kuda-kuda masing-masing, siap untuk menyelesaikan pertikaian
antara mereka berdua secara jantan.
Deka melangkah mendekati Firman, “Hati-hati, dia ketua taekwondo,” bisiknya pelan.
Firman tersenyum kecil mendengar bisikan Deka, “Kita lihat siapa yang akan menang,
tarung jalanan atau taekwondo.”
Pertarungan dimulai, jual beli pukulan terus terjadi antar keduanya. Beberapa kali Firman
berhasil memasukkan tinjunya ke perut dan rahang Jaka. Berkali-kali juga dia terkena hantaman
dan tendangan dengan telak.
Perbedaan akhirnya menentukan. Serangan yang menggunakan teknik dari Jaka lebih
menguasai daripada serangan asal-asalan yang dilakukan oleh Firman. Sebuah tendangan keras
yang hanya bisa dilakukan oleh seorang petarung terlatih berhasil merobohkan Firman.
Membuatnya jatuh tersungkur.
Bagas nampak hendak menolong teman satu kosnya itu, tetapi langsung di cegah oleh
Deka.
Jaka yang juga sudah terlihat berantakan dan sedikit mengeluarkan darah dari pelipisnya
itu berdiri di hadapan Firman. Dengan napas yang cukup tersengal-sengal dia berujar, “Lumayan
juga kamu, aku salut.”
Kemudian dia menyodorkan tangan, mencoba membantu Firman untuk bangkit, membuat
pemuda itu cukup terkejut. Tetapi tak urung Firman menjabat tangannya dan berdiri. Kini lagi-lagi
mereka berdiri saling berhadapan.
“Aku tunggu kamu bergabung dengan UKM taekwondo,” ujar Jaka sambil menepuk
pundak orang di hadapannya. Sebuah senyum tersungging di bibirnya.
“Lain kali aku akan mengalahkanmu,” Firman membalas senyuman bersahabat itu.
Dari arah panggung, nyanyian dari bintang tamu sudah mulai terdengar samar-samar.
Mengiringi langkah kaki enam remaja yang berjalan meninggalkan tempat itu dengan perasaan
lega.
Satu masalah sudah mereka selesaikan dengan baik.
Keributan Kecil
“Seorang gadis manis bernama Alena,”
Bagas dan Scoby berjalan santai keluar dari sebuah toko sepatu. Sebuah kantong plastik
berwarna oranye nampak dibawa oleh Scoby.
Keduanya berjalan menuju parkiran.
“Gila kamu, beli sepatu yang harganya selangit. Jatah makan satu bulan itu mah.”
Scoby tersenyum “Aku udah pengen sepatu ini sejak lama. Mumpung lagi ada duit, aku
beli aja. Lagi juga ini kan limited edition.”
“Tapi kalo aku sih yang penting bisa dipakai. Tuh sepatu yang sering aku pake, beli pas
kelas satu SMA. Biarpun pada bolong-bolong, tapi entah kenapa sayang kalo mau dibuang.” Ujar
Bagas sambil menikmati rokoknya.
“Itu kan kamu, sukanya sama yang kuno. Tuh liat buktinya, muka jaman megalitikum aja
masih terus kamu pakai.”
Bagas mau tak mau tertawa mendengar candaan yang terlontar dari mulut Scoby.
“Sialan.”
Keduanya sampai di tempat motor mereka di parkir, Bagas mengeluarkan kunci dari dalam
saku celana,dan melemparkan ke arah Scoby.
“kamu yang nyetir. Aku capek.”
Scoby memakai helm dan duduk di atas jok motor. Bagas melakukan hal serupa, namun
gerakannya terhenti. Sepasang remaja yang sedang bertengkar menarik perhatiannya.
“Aku kesana dulu.”
Tanpa menunggu reaksi Scoby, pemuda itu turun dan berjalan ke arah mereka. Sayup-
sayup Bagas yang semakin dekat dapat mendengar apa yang sedang dibicarakan oleh keduanya.
“Aku janji, aku bakal berubah asal kamu enggak ninggalin aku. Aku mau tobat.”
“Kamu udah sering bilang kayak gitu. Tapi mana? Cuma omongan doang, kamu tetap
nggak bisa berubah. Aku udah bosen dengernya.” Disela tangisnya, ia berbicara dengan nada yang
cukup keras.
“Kali ini aku serius. Aku bakal berubah. Kamu mesti percaya sama omonganku. Aku
sayang sama kamu”.
“Bohong!! Kamu enggak sayang sama aku, kamu cuma sayang sama diri kamu sendiri.
Kamu lebih milih barang haram itu dari pada aku.”
“Aku udah ngasih kamu kesempatan berkali-kali. Kamu udah janji enggak make lagi, tapi
nyatanya, kamu masih sering make di belakang aku.”
“Kamu harusnya masuk rehabilitasi. Kamu sakit.”
Laki-laki itu tampak emosi. Dia mengangkat tangan, siap melayangkan tamparan.
Beruntung Bagas tiba disaat yang tepat, sehingga dapat menahan tangan tersebut dari belakang.
“Siapa kamu?”
“Aku? Bukan siapa-siapa. Aku cuma mau ngelerai pertengkaran kalian, tapi kayaknya
kamu udah keterlaluan.”
“Enggak usah ikut campur! Ini urusanku sama cewekku. Enggak ada hubungannya sama
kamu.”
“Aku enggak bakal ikut campur kalo kamu nggak main kasar sama cewekmu. Kamu nggak
berhak nyakitin dia.” Ujar Bagas.
Kali ini dia sedikit menaikkan nada bicaranya beberapa oktaf. Harga dirinya sebagai
seorang laki-laki tidak bisa membiarkannya tetap tenang setelah dibentak oleh orang yang belum
dia kenal.
“Brengsek. Aku udah bilang, kamu enggak usah ikut campur, atau”
“Atau apa?”
Sebuah suara yang lain memotong. Scoby yang ternyata mengikuti Bagas muncul dari
belakang tubuh Bagas.
“Atau apa?” Ulang Scoby.
Dia nampak terkejut melihat kemunculan Scoby.
Sial, dua orang. Aku nggak bakal bisa menang.
“Udahlah, ini bukan urusan kalian. Ini masalah kami.” Ia kembali meraih pergelangan
tangan gadis yang sejak tadi terdiam, lalu menariknya.
“Lepasin, aku enggak mau pergi sama kamu.”
Dia melirik ke arah Bagas, meminta pertolongan.
Bagas yang sejak tadi memang ingin menolong merasa mendapat persetujuan.
“Dia enggak mau ikut sama kamu, jadi mending kamu yang pergi sekarang.” Perintah
Bagas sambil melepaskan cengkeraman tangannya.
“Bangsat, awas kalian.” Ancamnya sambil berjalan pergi.
Bagas menghela napas, lalu menoleh ke arah gadis disebelahnya. “Kamu enggak apa-apa?”
Gadis itu menggeleng, “Udah sering kayak gini, jadi udah kebal.” Jawabnya sambil
menyusut air mata.
“Makasih ya.” Lanjutnya.
“Sama-sama. Aku cuma nggak suka aja liat cewek dikasarin. Aku Bagas, dan ini temenku
Scoby.”
“Aku Alena.”
“Manis.” Tanpa sadar Bagas menggumam pelan, mengagumi wajah Alena.
“Apa?”
“Hah? Eh, enggak. Pulang naik apa?” Tanya Bagas gugup, dan memilih untuk mengalihkan
pembicaraan.
“Tadi berangkat berdua sama dia, bawa mobilnya. Tapi sekarang pulang sendiri, naik taksi
aja.” Jawab Alena.
“Aku anterin yah?”
“Eh, enggak usah. Nggak perlu kok. Kasihan temen kamu, tuh.”
“Enggak apa-apa. Aku bisa pulang sendiri, tuh bawa motor.”
“Iya, aku enggak tega ngebiarin kamu pulang sendirian. Entar kalo supir taksinya maniak
gimana? Tukang culik? Atau psikopat? Kamu mau jadi korbannya?”
Alena tersenyum, “Kamu tuh tukang culiknya.” Alena membalas candaan Bagas.
“Ya udah, kalo enggak ngerepotin sih.” Lanjutnya.
Scoby memohon diri ketika keduanya hendak mencari taksi.
“Kemana?”
“Apanya?”
“Pulang kemana?”
“Oh, Tembalang, aku ngekos di sana.”
Bagas mengangguk, “Ke Tembalang pak.” Perintah Bagas kepada supir taksi.
Keduanya terdiam di sepanjang perjalanan, diam-diam Bagas melirik ke arah Alena yang
nampak sedang menatap keluar. Gadis itu terlihat muram.
“Cowok tadi itu,”
“Namanya Lexi. Dia pacarku, ah, mungkin mantan pacar lebih tepatnya. Entahlah,
hubungan kami memang rumit.” Alena memotong perkataan Bagas tanpa mengalihkan
pandangannya.
“Tadi kenapa?” Tanya Bagas dengan hati-hati.
“Dia enggak terima aku putusin, dia masih pengen pacaran sama aku. Tapi aku sudah
enggak tahan sama sifatnya. Kamu lihat sendiri tadi, dia seneng banget main kasar kalo lagi marah,
aku udah sering dipukulin.”
“Tapi yang paling bikin aku enggak bisa tetap bertahan pacaran sama dia karena dia
seorang pemake, pecandu narkoba.” Perlahan suara Alena berubah serak, air matanya mengalir
kembali.
Bagas diam mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut gadis disebelahnya, mencoba
mengerti dengan perasaan Alena yang terlihat begitu terluka.
“Bahkan, dia pernah mencoba ngajak aku ikut mengkomsumsi barang itu. Aku benar-
benar nggak nyangka dia bakal ngelakuin itu ke aku. Hal itulah yang bikin aku ngambil keputusan
buat mutusin dia, aku udah nggak tahan.”
“Kok kamu mau jadi pacarnya?” Bagas terlihat ragu-ragu ketika menanyakannya.
Alena terdiam beberapa detik, membuat Bagas serba salah.
“Kami dijodohin.” Jawab Alena lemah. Gadis itu tersenyum masam.
“Makasih ya udah nolongin aku, makasih juga udah mau ndengerin aku. Padahal kita baru
kenal.”
“Iya, sama-sama,” Bagas memberikan senyumnya.
Selanjutnya, suasana hening menguasai. Alena tidak lagi melanjutkan ceritanya. Bagaspun
tidak berani bertanya lebih jauh lagi, dia sudah cukup mengerti dengan apa yang dirasakan Alena
dari sepenggal ceritanya.
Taksi itu merayap dijalan aspal yang sedikit bergelombang, melintasi gedung-gedung serta
semua orang yang lalu lalang dengan berbagai aktifitas mereka masing-masing, membawa kedua
remaja didalamnya menuju kedekatan yang kelak akan menjadi lebih jauh lagi.
Namannya Arum Ndalu. Seorang gadis manis berperawakan tinggi. Kulitnya putih,
rambutnya sedikit di bawah bahu, yang hampir selalu dia gulung menggunakan jepit rambut
berwarna merah.
Dua buah lesung pipit akan tampak apabila dia sedang berbicara, tersenyum dan tertawa.
Arum tumbuh menjadi gadis aktif dan sedikit tomboy, yang selalu membuat ulah yang akan
menghadirkan gelengan kepala dari orang-orang disekitarnya. Sifatnya yang selalu ceria, periang
dan dapat membuat suasana menjadi hangat dengan segala tingkah lakunya menjadikan gadis itu
mudah bergaul.
Begitulah Arum Ndalu, gadis manis yang periang, yang hampir tidak pernah menunjukkan
kesedihan dalam dirinya.
Deka selalu senang jika ada di dekat Arum, begitu juga dengan Arum jika di dekat Deka.
Menurutnya, Arum adalah orang yang bisa membuat sekitarnya menjadi nyaman dengan polah
tingkahnya yang konyol.
Dan menurut Arum, Deka dapat membuatnya merasa aman dan tenang. Dengan paras ayu
yang dia miliki, membuatnya sering digoda oleh mahasiswa laki-laki dikampusnya. Entah itu
teman seangkatannya, senior, atau juga mahasiswa dari fakultas lain. Tapi hal itu tidak perlu di
khawatirkan ketika ada Deka disebelahnya.
Keduanya sangat akrab, di dalam maupun di luar kampus mereka sering menghabiskan
waktu bersama. Entah berdiskusi, makan, atau sekedar jalan-jalan.
Jika tidak sedang bersama sahabat-sahabat kosnya, hampir dipastikan Deka akan bersama
gadis muda itu.
Temperamental
“Senandung kerinduan di malam hari.”
Ringgo meraih gitar yang tersandar di tembok kamar, ia mengatur posisi duduk dan mulai
memetik dawai gitar, melantunkan nada merdu yang disusul dengan nyanyian yang keluar dari
mulutnya. Sebuah lagu dari Sheila On 7 mengisi keheningan malam itu.
Saat-saat seperti ini, pintu t’lah terkunci lampu t’lah mati
Ku ingin pulang, tuk segera berjumpa denganmu
Waktu-waktu seperti ini, di dalam selimut harapkan mimpi
Bayangan pulang, tuk segera berjumpa denganmu
Ku ingin kau tahu, ku bergetar merindukanmu
Hingga pagi menjelang
Nyanyian itu terhenti ketika pintu kamarnya diketuk, lalu terbuka dengan perlahan. Dia
menunggu seseorang yang telah membuatnya berhenti bernyanyi masuk ke dalam kamar, sampai
kemudian sosok Deka muncul sambil tersenyum. Sebuah buku berada di tangan kanan, dan
secangkir kopi di tangan kiri.
“Belum tidur?”
“Nggak ngantuk. Kamu sendiri?”
Deka menunjukkan buku yang ia bawa, “Ada tugas yang belum kelar buat besok. Udah
jam tiga pagi tapi belum selesai nih.”
“Kirain cuma aku yang masih melek, kosan udah sepi banget.”
“Yang lain udah pada molor.”
“Denger suara gitar, ya udah aku kesini. Ternyata ada yang nggak bisa tidur juga. Aku
numpang ngerjain tugas di sini ya,” lanjutnya.
Ringgo mengangguk, ia membiarkan teman kosnya itu berjalan menuju meja belajar yang
tergeletak di sudut kamar, Deka langsung serius mengerjakan tugas kuliah. Sementara Ringgo
kembali memetik senar gitar, melanjutkan lantunan lagu yang sempat terhenti tadi.
Sesaat mata terpejam tirai imaji membuka
Semakin kuterlelap s’makin jelas sangat senyuman
Tak ingin terjaga sampai aku pulang
Sesaat mata terpejam bintang-bintang menari indah
Iringi langkahmu rangkai mimpi yang smakin dalam
Tak ingin terjaga sampai aku pulang
Deka menghentikan aktivitasnya, lalu beralih memandang Ringgo yang terlihat masih
bermain dengan alat musik kesayangannya itu.
“Lagi kangen siapa?”
Pemuda itu menoleh, lalu tertawa kecil, “Cuma kangen orang rumah. Mungkin minggu ini
aku mau pulang.”
Deka kembali mengalihkan pandangannya kepada tugas yang masih harus diselesaikan.
“Aku juga mungkin minggu ini pulang ke rumah, tadi ditanyain sama ibu, kapan mau pulang.”
Tidak ada tanggapan, hanya terdengar petikan-petikan pelan senar gitar yang dilakukan
dengan cukup terampil oleh mahasiswa jurusan musik itu.
“Tadi siang Firman mau ribut di kantin,” Deka mengganti topik.
“Oh iya? Sama siapa?”
“Temen satu jurusannya Bagas. Tapi untung pas itu aku sama Bagas lagi di sana juga, jadi
bisa melerai sebelum Firman adu jotos.”
“Itu anak emang emosian banget.”
Deka mengamini pendapat teman satu kosnya.
“Iya, padahal cuma gara-gara temennya Bagas itu nggak sengaja nyenggol Firman. Tapi
sekarang udah damai kok. Bagas yang menengahi,” ia meminum kopi sececepan.
“Udah berapa kali si Firman ribut sama mahasiswa lain, bahkan sama anak-anak kampung
juga. Takutnya nanti ada yang dendam terus main keroyok pas dia lengah,”
“Dia cukup jago, sepertinya kita tidak perlu terlalu mengkhawatirkannya,”
“Siapa yang tahu, kita tetap harus mencegahnya saat dia emosi dan akan berkelahi.
Mengurangi resiko jauh lebih baik, bukan?”
Deka menganggukkan kepala, “Kamu benar, kapan-kapan aku akan bilang ke anak itu agar
bisa sedikit menghilangkan sifat temperamentalnya,”
Ringgo memilih untuk kembali bermain dengan alat musiknya. Memetik senar-senar gitar
dengan lebih pelan, tidak ingin mengganggu Deka yang kembali fokus mengerjakan tugas. Dua
puluh menit kemudian Deka pamit, meninggalkan Ringgo yang juga langsung mematikan lampu
kamar.
Pemuda itu terlelap beberapa menit kemudian.
Yoga berjalan di sepanjang trotoar, dia baru saja selesai kuliah. Seorang diri pemuda
berambut keriting itu melangkahkan kaki, hingga ia berhenti di sebuah halte pemberhentian bus
kampus.
Kampus tempatnya belajar menyediakan bus gratis untuk memberikan fasilitas bagi para
mahasiswa yang tidak mempunyai kendaraan pribadi untuk mengantarkan berangakat maupun
pulang kuliah, beberapa halte disediakan di masing-masing fakultas.
Sesekali ia melirik jam tangan berwarna putih yang melingkar di tangan kirinya, pukul
empat lebih lima belas menit, artinya lima belas menit lagi untuk menunggu bus kampus melewati
halte itu.
Tiba-tiba sebuah suara memanggil namanya. Bagas duduk di atas motor dan berhenti di
seberang jalan.
“Ayo bareng,”
Yoga berdiri dan berjalan menghampiri Bagas. Motor itu melaju menjauh dari halte,
membawa keduanya melintasi jalanan yang masih cukup ramai oleh mahasiswa-mahasiswa lain.
“Kebeneran banget bisa ketemu kamu, Gas,”
Bagas tersenyum, “Iya, nemu orang ilang di halte. Kasihan jadi aku bawa pulang aja,”
“Bangke, lu,”
Keduanya tertawa di atas sepeda motor.
Tidak lama untuk sampai di kos, mereka disambut dengan senyuman oleh empat orang
yang saat itu sedang asik bermain kartu di ruang tivi, wajah mereka nampak cemong karena ampas
kopi.
“Dandanan macam apa itu?” Tanya Yoga sambil melepas sepatu.
“Hukuman buat yang kalah.” Scoby mewakili teman-temannya.
Yoga dan Bagas tertawa menyaksikan tingkah ke empat teman satu kos mereka.
“Gila kalian.”
“Ikut aja sini.”
“Enggak dulu, aku mau keluar.” Tolak Bagas.
“Kemana?” Deka bertanya sambil memilih satu kartu, lalu menjatuhkannya ditumpukan
kartu yang telah berserakan di lantai.
“Futsal sama anak-anak kelas.”
Bagas berlalu, masuk ke dalam kamar dan langsung mengganti pakaian dengan seragam
futsalnya.
Yoga yang telah mengganti pakaian kuliahnya dengan kaos bergabung dengan empat orang
yang masih bermain kartu tersebut, beberapa menit kemudian wajahnya telah penuh dengan
coretan-coretan ampas kopi.
“Aku mau nyari makan, ada yang mau nitip?” Firman bertanya kepada Yoga dan Scoby
yang tengah menonton tivi malam itu.
Yoga menggeleng, “Aku udah makan tadi.”
“Aku ikut aja deh.”
“Ya udah, yuk,”
Scoby berdiri dari duduknya dan mengikuti langkah Firman yang berjalan menuju motor.
“Makan apa nih?”
“Aku pengin nasi goreng ujung gang.”
“Ya udah aku sama deh, sekalian.”
Tiba-tiba Sebuah sepeda motor menyalip mereka secara mendadak, membuat Firman
terkejut dan sedikit kehilangan kendali laju motornya, beruntung Firman dapat
menyeimbangkannya kembali.
“Brengsek.” Rutuk pemuda yang langsung menggas motornya lebih cepat, mengejar motor
yang tadi menyalipnya.
Scoby menepuk jidat melihat gelagat Firman yang emosi, ia sudah tahu watak sahabatnya
yang gampang tersulut emosi.
Bakal ribut nih.
Firman berhasil menyusul motor tersebut, memepetnya dan langsung menyuruh
pengendaranya berhenti.
“Hati-hati kalau naik motor.”
“Apa masalahmu?” Pengendara motor itu nampak kebingungan.
“Tadi kamu hampir bikin aku dan temanku celaka, brengsek,” Firman tidak menurunkan
nada bicaranya.
Scoby hanya diam berdiri di samping Firman, merasa tidak enak dengan orang-orang
disekitar yang tengah melihat keributan itu.
“Maaf, aku buru-buru.”
Firman meludah, “cih, enak banget minta maaf. Terima ini dulu,” ia melayangkan tinjunya
tepat ke arah pipi kiri pemuda itu, membuatnya langsung jatuh terjengkang.
Reflek Scoby menahan Firman yang terlihat masih akan menendang tubuh pemuda yang
saat itu masih mengerang sambil memegang pipi kirinya, lalu menyuruh pemuda itu untuk segera
pergi.
“Gila kamu,”
“Dia yang mulai,” Firman membela diri.
“Dia sudah minta maaf,”
“Ah, sudahlah. Aku malas berdebat.”
Wajah Firman masih terlihat emosi. Ia berjalan menuju motornya, Scoby menggelengkan
kepala sebelum menyusul dan naik keboncengan. Keduanya meninggalkan tempat itu tanpa
menghiraukan tatapan dari orang-orang yang sejak tadi menyaksikan keributan itu.
Alena
“Kisah asmara di kota Semarang,”
Sabtu malam dengan udara yang cukup dingin. Hujan baru berhenti selepas mahrib, masih
menyisakan tetesan air yang menempel pada dedaunan. Setetes demi setetes jatuh ke dalam
genangan air di atas aspal, menimbulkan gelombang kecil pada genangan itu.
Bagas masih mematut diri di depan cermin di kamar Ringgo, dia menyisir rambutnya yang
gondrong dan sedikit awut-awutan. Dengan kaos krem berbahan katun dan celana jeans andalan
yang membalut tubuh.
Ringgo, Yoga dan Deka yang sedang ngobrol di atas ranjang memperhatikan tingkah
sahabatnya itu dengan pandangan takjub sekaligus heran.
“Mau kemana sih? Heboh banget kayaknya?”
Bagas hanya menjawab dengan senyuman lalu kembali sibuk dengan cermin yang
menampakkan bayangan dirinya.
“Buset, dicuekin.”
“Maklum aja Dek, namanya juga orang baru kenalan sama cewek cakep, lupa sama
segalanya. Kamu tanya aja siapa namanya sendiri, pasti dia lupa juga,” Ringgo ikut-ikutan
menggoda Bagas.
“Gas, kata Scoby kamu dapet kenalan cewek ya? Kenal di mana? Hebat juga,” Deka tidak
putus asa untuk mendapat perhatian dari Bagas, dan kali ini dia berhasil.
“Aku kenal udah lumayan lama kok. Ya enggak sengaja sih kenalnya, waktu itu dia lagi
ribut sama mantannya yang suka main tangan, terus aku bantuin. Nih mau main ke kosnya.”
“Bagi-bagi dong, kamu kan tahu aku jomblo. Masa tega seneng-seneng sendirian?”
“Kamu kan ganteng, Dek, ya di bawahku dikit lah. Harusnya kamu yang lebih gampang
nyari cewek,” Tukas Bagas.
“Lagian, kamu kan lagi deket sama cewek yang namanya Arum,” lanjutnya sambil
menyemprotkan parfum yang dia ambil dari meja.
“Yang beda kampus maksudku, Gas.”
“Udah, deh, nggak usah macem-macem. Aku mau berangkat.” Bagas meraih jaket yang
tergantung di belakang pintu kamar Ringgo.
“Pinjem jaketnya, ya.”
“Huuu, enggak modal.” Sindir Yoga.
Bagas tidak peduli, dia tetap berjalan keluar kamar meninggalkan tiga orang sahabatnya
yang kembali asyik mengobrol sambil menikmati kopi panas yang masih mengeluarkan asap.
Angin malam yang bertiup dan menghembuskan udara dingin tidak menyurutkan niat
Bagas untuk menemui Alena, gadis yang sudah sebulan ini menempati hatinya. Laju motor
menembus kegelapan malam kota, membawa Bagas mengikuti kata hatinya.
Lampu penerang jalan membias kuning remang-remang tertutup embun dan berpendar-
pendar membentuk pelangi kecil, mengitari lampu itu. Roda motornya membelah genangan air
hingga menimbulkan cipratan kecil yang sedikit mengenai sepatu ketsnya. Tetapi Bagas tidak
peduli dengan hal kecil seperti itu, dia tetap menjalankan motor dengan senyum mengambang di
bibir.
Bagas sudah berjanji kepada Alena, malam ini dia akan mengajaknya melintasi setiap sudut
kota.
Tentu saja Bagas merasa begitu senang, karena selama sebulan ini Alena selalu enggan
diajak kemana-mana olehnya, gadis itu bilang kalo dia butuh waktu untuk menenangkan hati, dan
Bagas tidak ingin memaksa.
Sekarang, Alena telah membuka sedikit hatinya untuk menerima ajakan Bagas, dan dia
tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini.
Bagas membelokkan motor masuk ke dalam gerbang sebuah rumah bercat putih. Dia turun
dari motornya, berjalan menuju pintu dan mengetuknya. Ia menunggu beberapa saat, hingga pintu
dibuka dari dalam oleh seorang wanita muda.
“Malem Hen, Alenanya ada?”
Bagas yang sudah cukup sering dateng ke tempat itu telah mengenal beberapa penghuni
lainnya, dan gadis muda yang membukakan pintu adalah Henny, salah satu teman Alena.
“Ada kok, udah siap juga kayaknya tadi. Bentar ya aku panggilin, kamu duduk dulu aja.”
Bagas mengangguk, dia duduk pada sebuah kursi yang memang disediakan untuk para
tamu kos. Lima menit kemudian sepasang kaki jenjang berdiri di hadapan matanya, membuat
darahnya berdesir tiba-tiba.
Alena berdiri di hadapannya dengan senyum termanis yang baru kali ini dia tunjukkan
kepada Bagas. Mengenakan kaos yang dibalut bolero jacket dan dilengkapi pencil skirt. Alena
terlihat cantik di mata Bagas.
Sederhana namun memikat.
Alena, malam ini kamu cantik banget. Aku benar-benar jatuh hati sama kamu. Bagas
bergumam dalam hatinya.
“Udah siap? Langsung berangkat aja ya, takut kemalemen.” Usul Bagas sambil berdiri dari
duduknya.
“Oke Bos,” Alena mengacungkan jempol kanan sambil kembali menunjukkan senyumnya.
Bagas sangat senang melihat senyum itu.
Malam itu keduanya terlibat dalam sebuah kisah baru dengan berbagai obrolan, tawa,
senyum dan sebuah perasaan lain yang merasuk ke dalam hati mereka. Alena menyadari bahwa
sudah saatnya dia membuka hati untuk sebuah hati lain yang ingin menghibur dan menemaninya.
Bagas pun semakin yakin kepada perasaannya untuk Alena. Dia semakin tahu, kalo
sebenarnya dia begitu peduli kepada gadis ini. Meskipun keduanya masih menyimpan itu di dalam
hati mereka masing-masing.
“Hallo, Bu. Assalamualaikum,”
Bagas duduk seorang diri di teras rumah kosnya, mencoba untuk sedikit menjauh dari
teman-temannya yang sedang bermain kartu remi di dalam kamar. Dia butuh ketenangan ketika
melepaskan rindu dengan wanita yang berada ditempat yang jauh.
Ya, malam hari ini Bagas merasa begitu rindu dengan ibunya.
“Ibu apa kabar? Sehat kan di rumah?” lanjut Bagas setelah dia mendengar balasan salam
dari dalam telepon genggamnya.
“Alhamdulillah Bagas juga sehat.”
“Belum, Bu. Disini temen-temen tidurnya malem, jadi Bagas juga ketularan. Tapi shubuh
tetep jalan, kok. Ibu tenang saja. Kuliah juga lancar.”
“Iya, Bu. Lagi kangen yang bener-bener kangen sama ibu, jadi Bagas telepon. Ada hal yang
ingin Bagas ceritakan juga.”
“Bukan, ibuuu. Kalau masalah uang ibu nggak usah khawatir, yang kemarin ibu kirim
masih ada. Dan juga Bagas sudah dapat kerja,”
“Kalau yang tetap sih jadi penyiar radio sama ngelatih renang anak-anak SD, Bu. Tapi
kadang Bagas juga jadi koordinir pembuatan baju seragam, lumayan persenannya.”
“Enggak, ibu nggak perlu khawatir masalah kuliah. Bagas bisa bagi waktu dengan baik,
kok. Ini Bagas mau cerita dulu, hehehehe.”
Sejenak, pemuda itu menghela napas sebelum memulai bercerita.
“Ya habis ibu tanya-tanya terus. Begini, Bu. Bagas lagi deket sama orang Salatiga,
namanya Alena. Sudah beberapa bulan ini aku sama dia berkomunikasi, dia kuliah di UNDIP, Bu.”
“Hahahaha, ibu bisa saja. Iya, ya sejauh ini kami masih sebatas teman. Nanti lah, Bu, kalau
memang diantara kami ada yang lebih. Toh juga belum tentu dia suka sama Bagas.”
Bagas terdiam ketika tiba-tiba ibunya berbicara panjang. Memberinya nasihat. Beberapa
kali dia mengangguk-anggukkan kepala, walaupun dia tahu ibunya tidak akan dapat melihatnya
melakukan itu.
Begitulah niat pemuda itu, dia selalu menceritakan tentang apapun kepada ibunya agar dia
bisa mendapatkan nasihat maupun masukan yang dia butuhkan. Dan juga, sebagai satu-satunya
orang tua yang dia miliki, Bagas merasa bahwa ibunya berhak untuk tahu apapun yang terjadi
dengan anak semata wayangnya itu.
PLAY STATION
“Mereka yang selalu menciptakan tawa bersama, adalah jiwa-jiwa yang tak terpisahkan.”
“Kuliah woy! Sudah jam berapa ini? Kalian bisanya cuma molor aja. Cepet pada bangun!”
Suara cempreng Yoga sudah membahana di seantero kos ketika pagi baru saja membuka
tirainya, mengusik ketenangan penghuni lain yang masih terlelap. Dengan mata yang masih
setengah terpejam, satu persatu keluar dari kamar mereka masing-masing. Scoby membawa
bantalnya keluar, dan merebahkan diri di sofa.
“Kalian itu tujuannya ke sini mau ngapain sih? Kalian ini dipercaya sama orang tua buat
kuliah, bukan buat malas-malasan kayak gini, dasar generasi gagal,” Yoga mencoba ceramah.
“Emang sekarang jam berapa sih?” Tanya Bagas santai.
“Jam tujuh kurang seperempat, begoooo.”
“Aku kuliah jam Sembilan, brengsek,” Omel Bagas ketus.
“Aku jam sebelas, sialan kamu,” Deka ikut ngomel.
“Aku nggak ada kuliah hari ini, kampret. Nggak inget jadwal kita apa?” Sembur Ringgo.
Yoga tersenyum masam, sambil menggaruk kulit kepalanya, “Kalo kamu Sco?”
“Aku juga jam Sembilan.”
Yoga nyengir lagi, dia melirik Firman.
“Apa lirik-lirik? Aku baru ntar sore kuliahnya,”
“Gila, berarti cuma aku yang kuliah jam tujuh?”
“Urusanmu,” kata Firman sebelum balik badan dan masuk kamar lagi.
“Emangnya kita anak sekolah yang harus berangkat pagi tiap hari?” tambah Deka.
“Huh, ya udah. Sialan,” gerutu Yoga sambil menyalakan televisi.
“lho-lho, bukannya kamu kuliah?” Tanya Bagas.
“Males.”
“Terus, nasehat-nasehat yang tadi itu apa?”
“Kamu ini dipercaya buat kuliah, bukan buat nonton tivi,” Ringgo menirukan gaya Yoga
yang langsung membuat teman-temannya tertawa.
“Udah, nggak usah ngeledekin, tidur lagi aja sana kalian.”
“Males, udah terlanjur bangun gini. Aku mau nyuci motor aja,”
“Sama, aku juga mau nyuci baju. Udah numpuk.”
“Eh kebetulan, aku titip ya, Gas,” pinta Ringgo.
“Ogah, bajuku aja udah banyak banget.”
“Ah, cuma beberapa doang kok, nggak banyak. Ntar aku kasih detergent.”
“Aku punya sendiri.” Bagas masih menolak.
“Aku traktir mie ayam semangkok.”
“Kamu yang aku traktir dua mangkok mie ayam kalo mau nyuciin bajuku,” Balik Bagas.
“Beneran?” Tanya Ringgo antusias.
“Iya, bener. Dua mangkok, mangkoknya doang.” Bagas tertawa puas.
“Sialan.”
Yoga dan Scoby yang dari tadi mendengarkan percakapan dua orang itu ikut tertawa kecil.
“Sekop, pindah kamar sana. Ganggu orang nonton tivi aja.”
“Ogah, aku mau tidur di sini aja,”Scoby justru melebarkan kakinya di sofa.
Yoga mendengus kesal.
“Dek, kapan-kapan temenin aku nyari kado ya, Alena mau ulang tahun,” omong Bagas saat
dia sedang mencuci baju.
Sambil mengguyur sepeda motornya Deka mengangguk, “Boleh deh,”
Ringgo berjalan dari dalam mendekati keduanya, “Gas, aku nitip dong,”
“Kamu, masih nggak kapok juga. Aku bilang ogah ya ogah. Mau aku siram air sabun?”
Ancam Bagas.
Ringgo tertawa dengan cukup keras.
“Eh, main PS yuk, sewa gitu,” Bagas mengusulkan, tangannya sibuk memeras cuciannya.
“Wah, boleh juga tuh. Udah lama juga kan kita nggak main play station. Kayaknya bakal
asik nih,”
“Gimana Dek? Kamu mau nggak?”
“Kan kita semua kuliah?”
“Ya enggak sekarang, nunggu pada pulang dulu.”
“Iya, lagian besok kan sabtu, kita nggak ada yang kuliah toh, jadi bisa main sampe pagi.
Kita bikin liga deh,”
“Gimana?”
“Ayo deh, dari pada nggak ngapa-ngapain juga ntar malem. Ya udah sana bilang sama yang
lain, sekalian tarikin duit buat iuran nyewa PS.” Perintah Deka.
“Oke, Bos.” Jawab Ringgo sambil beranjak dari tempat itu.
Abg tua tingkahmu semakin gila
Kau menjerat semua wanita
Wanita yang ada di depan mata
Rayuanmu sungguh mempesona
Lantunan lagu dangdut menggema dari kamar Yoga, membuat sore yang sedikit panas itu
menjadi berisik. Yoga yang hanya mengenakan celana kolor bergoyang, ditemani Bagas dan Deka
yang ikut meningkahi gerakan pemuda keriting itu. Mereka bergoyang seenaknya sendiri, semua
gerakan konyol yang memancing tawa.
Firman yang duduk di sofa hanya menggeleng-gelengkan kepala mengikuti musik.
Sesekali mereka ikut bernyanyi bersama-sama.
“Tarik mang, cihuy,” ucap Deka sambil terus bergoyang serampangan.
“Capek kuliah ilang kalau udah kayak gini, lanjuuut.” Bagas ikut menimpali.
Yoga menyenggol bahu Bagas, “Woy bung, yang santai dong goyangnya. Wilayah gue
nih,” canda Yoga.
“Damai coy, piss. nggak sengaja.”
“Mau gue kepret lo.”
“Kayaknya enak nih kalo sambil minum bir,” usul Firman.
“Minum bir sambil main PS juga, kayaknya asik tuh?”
“Dasar. Ya udah, buruan kabarin Ringgo apa Scoby suruh mampir ke swalayan buat beli
bir sama rokok. Mumpung mereka lagi nyewa PS, suruh sekalian beli,” perintah Deka.
Yoga mengambil ponsel sesuai perintah Deka. Lalu kembali asik bergoyang tanpa aturan.
Hingga beberapa menit kemudian suara sepeda motor Scoby terdengar dari pelataran.
Ringgo dan Scoby masuk, masing-masing menenteng satu tas sedang dan sebuah kantong kresek.
Ringgo geleng-geleng kepala setelah mendapati ke empat temannya sedang asik bergoyang
serampangan di temani lagu dangdut.
“Orang-orang gila, nggak punya perasaan. Aku sama Scoby panas-panasan sewa PS kalian
malah asik joged gini.”
“Nih, PS sama birnya udah dateng, matiin musiknya cepet. Kita bikin liga,” tambah Scoby
sambil meletakan kantong kresek hitam berisi enam botol bir dan empat bungkus rokok di sofa.
Yoga berjalan ke kamar dan mematikan musik yang dia putar melalui laptopnya. Bagas
dan Deka mangambil alih tas dari tangan Ringgo, mengeluarkan playstation, memasang kabel-
kabel ke sebuah televisi berukuran 21 inchi.
“Mau pada pakai tim apa?”
“Aku Barcelona.” Firman menjawab cepat.
“Real Madrid.” Ringgo memilih tim jagoannya.
“As Roma dong,” ujar Yoga mantap.
“Inter aja aku. Jagoanku udah di pake Firman.” Scoby mengalah.
“Kamu, Gas?”
“Aku Liverpool.”
“Ok, kalo gitu aku Manchester United aja,”
“Nih, Firman sama Yoga duluan yang main.”
“Eh, tunggu dulu. Biar rame, gimana kalo yang juru kunci suruh nguras bak mandi?” Scoby
mengusulkan.
Semuanya langsung mengangguk setuju.
“Terus, yang juara dapat apa?” Tanya Yoga.
“Yang juara nggak usah, yang juru kunci aja yang dapet hukuman. Nguras Bak mandi dua
tuh,”
“Oh, ya udah, gitu aja perjanjiannya. Deal lho, nggak boleh protes ntar.” Deka menegaskan.
Selanjutnya mereka ber enam asik bermain play station, ditemani oleh enam botol bir dan
rokok.
“Uugh, gila. Berat boy, ampuuuun,”
Yoga yang sedang tiduran di kamar langsung berteriak ketika tiba-tiba tubuhnya di timpa
oleh tubuh Firman, lalu Ringgo ikut menjatuhkan badan di atas tubuh Firman, disusul Scoby,
mereka saling berteriak.
Yoga yang berada paling bawah terus mencoba meloloskan diri, “Udaaaah, aku nggak bisa
napas.”
“Ahahaha, rasain kalian, rasain kalian,” Ucap Scoby tanpa dosa.
Dengan leluasa dia menekan badannya, membuat tiga orang di bawahnya semakin lemas.
Muka Firman, Ringgo dan Yoga memerah.
“Ampun-ampun, aku nyerah,” kata Firman sambil berontak.
“Berat kali kau Sco. Tulangku mau patah,”
Deka yang sejak tadi konsentrasi bermain play station berlari dari ruang tivi dan melompat,
menjatuhkan diri di atas badan Scoby, ‘egh,’ keempatnya tidak siap mendapat satu serangan lagi,
membuat mereka berteriak semakin kencang.
“Bangkeee.” Yoga terus berusaha meloloskan diri, wajahnya semakin memerah.
Di atas Scoby, Deka tertawa puas, “Matilah kalian, hahaha.”
Yoga terus berontak, melonggarkan himpitan ke empat sahabatnya, Firman ikut berontak,
disusul Ringgo dan Scoby, hingga akhirnya dapat menjatuhkan Deka dari badan mereka. Semua
merasa lemas, bernapas tanpa aturan. Wajah mereka masih merah.
“Brengsek kalian,” rutuk Yoga.
Semuanya tertawa sambil terus mengatur napas, merasa puas, merasa senang. Ini bukan
yang pertama mereka melakukan perbuatan yang menurut mereka konyol tapi mengasyikan seperti
tadi, mereka selalu menganggap itu menyenangkan.
“Capek,” ucap Deka lirih di sela tawanya.
“Eh, apa aku pernah ngomong?” tanya Ringgo tiba-tiba.
Bagas masuk kamar sambil menghisap rokok.
“Ngomong apa?”
“Ngomong kalo bertemu kalian itu bener-bener menyenangkan, aku bersyukur bisa
menjadi bagian dari kisah kalian,”
Semua menghentikan tawa mereka, menggantinya dengan sebuah senyuman, setuju
dengan ucapan Ringgo, merasa kebersamaan mereka selama ini memang benar-benar
menyenangkan.
“Iya, aku juga merasa bersyukur bisa satu kosan sama kalian. Meski kadang kalian bisa
berubah menjadi manusia yang paling menyebalkan di muka bumi,”
“Meski kadang kalian suka minta detergent buat nyuci.”
“Meski sampe sekarang utang Ringgo ke aku belum diganti, padahal sudah dua tahun,”
cakap Scoby sambil terkekeh, Ringgo juga tertawa.
“Sebelum ini, aku belum pernah punya sahabat, bahkan seorang temanpun aku sulit. Tapi
bersama kalian, entah kenapa aku percaya,” Firman memandang wajah sahabatnya satu persatu.
Semuanya terdiam, semua merenung, terbawa suasana. Sedetik kemudian, mereka semua
tertawa.
“Apaan sih, kok jadi melankolis gini.”
“Kalian muka pada gahar semua, ternyata bisa romantis juga,” Yoga terkekeh.
“Kamu juga sama aja,” Ringgo melemparkan bantal ke muka Yoga.
“Udah, ganti topik aja,” ajak Scoby.
“Oh iya, Gas, siapa yang jadi juru kunci tadi?”
Bagas menunjuk ke arah Deka, menjawab pertanyaan Firman.
“Deka juru kuncinya? Ahahaha” Scoby tertawa, semua tertawa.
“Sialan kalian, aku cuma kurang beruntung aja.” Deka membela diri.
“Terserah, yang penting hukuman tetap sesuai perjanjian, menguras kamar mandi.”
“Buruan kuras, aku mau mandi, gerah. Yang bersih ya ngurasnya,” Yoga terlihat begitu
puas.
“Brengsek.” Rutuk Deka, dia menarik tubuh Yoga dan menindihnya.
Empat orang yang lain tidak mau ketinggalan, mereka kembali saling tindih satu sama lain.
“Ugh, sialan. Wooy, berat, nggak bisa napas.”
Rasa yang Akhirnya Terucap
“Karena jawaban apapun aku tidak peduli, aku hanya ingin kamu tahu. Itu saja.”
“Mau kemana?” tanya Yoga sore itu ketika dia, Bagas dan Ringgo sedang duduk di ruang
tivi melihat Deka telah rapi dan wangi.
“Mau ada urusan pribadi,”
“Arum?” tebak Bagas.
Pemuda berambut cepak itu mengangguk mantap sambil mengedipkan mata kiri ke arah
tiga sahabatnya.
“Kapan mau nembak dia?”
“Iya, Kalian kan sering jalan bareng, masa enggak ada perubahan sama sekali?”
Deka hanya tersenyum mendengar komentar sahabat-sahabatnya itu. Tangan kanannya
mengeluarkan sebungkus rokok dari saku jaket, lalu menyalakan satu batang dengan korek kayu.
“Udah setahun lebih juga kan kenal sama dia? Masa enggak kamu tembak juga? Keburu
basi,” ledek Bagas, disusul tawa yang lainnya.
Deka menghembuskan asap rokok dari mulutnya.
“Entar diambil orang baru nyesel, kebanyakan mikir sih.”
“Halah, udah-udah. Kalian ini paling seneng ngeledekin temen,” jawab Deka akhirnya.
“Sekarang aku emang mau keluar sama Arum, niatnya juga mau nyatain perasaan ke dia.
Tapi aku masih bingung nih, gimana entar mulai ngomongnya. Kalian semua kan tau aku enggak
pernah pacaran. Aku enggak punya pengalaman nembak cewek,” lanjutnya.
Bagas berdiri dari duduknya dan berjalan mendekati Deka, dia meletakkan tangan
kanannya di pundak pemuda itu, lalu memejamkan mata. Semua bingung dengan tingkah Bagas.
“Ngapain sih?”
“Nyalurin bakat playboy,” jawab Bagas kalem dengan mata yang masih terpejam.
“Ah, serius nih, malah bercanda,” Deka menepis tangan Bagas.
“Lagian, muka cakep tapi kayak ginian aja enggak bisa,” sindir Ringgo.
“Iya, kalah sama Yoga,” tambah Bagas.
Ringgo memandang Bagas bingung, “Kalah apanya?”
“Kalah keriting, hahaha.” Bagas dan Ringgo sontak tertawa sambil menghindari lemparan
bantal oleh Yoga.
“Udah ah, kalian ngaco. Aku mau berangkat, doain aja.”
“Sukses, Dek. Aku doain kamu bisa ngomong.”
“Apa aku perlu bikinin teks dulu?” lanjut Ringgo sambil tertawa.
“Kalo perlu aku rekam suaraku, entar kamu tinggal mangap-mangap aja,” susul Yoga.
Semua kembali tertawa, Deka tidak terlalu memperdulikan omongan teman-temannya. Dia
sudah membulatkan tekad untuk menyatakan perasaannya kepada Arum malam ini. Bagas melihat
jam dinding setelah Deka menghilang dari pelataran kos, dia terlonjak kaget.
“Gawat, udah jam empat,” Setengah melompat, Bagas bangkit dari duduknya. Membuat
Ringgo dan Yoga yang duduk di sebelahnya terlonjak kaget.
“Kesambet apa sih?” tanya Yoga heran.
“Ada janji sama Alena, mau nemenin dia belanja,” jawab Bagas sambil ngeloyor masuk ke
dalam kamar.
“Kirain ada gempa, sampe heboh gitu.”
“Cinta dan wanita, dua hal yang bisa menaklukan pria,” ucap Yoga dengan mimik serius,
tangan kirinya memegang dagu.
Ringgo mengangguk-angguk, setuju dengan ucapan Yoga.
Deka mengetuk pintu beberapa kali sebelum ia melangkah dan duduk di kursi kayu.
Beberapa menit kemudian, Sesosok anggun muncul dari balik pintu. Dengan senyumnya yang
khas dan keceriaan yang selalu terpancar dari dirinya, gadis itu menyapa Deka.
“Hai Dek, udah lama nunggu? Ah, paling belum, baru aja kamu ngetuk pintu kan? Aku
tahu kok,”
Deka yang sudah terbiasa dengan sifat Arum hanya bisa tersenyum. Dia sudah hapal betul
kelakuan gadis yang sekarang berdiri dihadannya. Dan justru karena itulah Deka merasa nyaman
di dekat Arum.
Seperti biasa, gadis itu hanya menggunakan kaos oblong bergambar Doraemon, tokoh
kesukaannya, disambung dengan celana jeans sepanjang lutut, memamerkan betis Arum yang
mulus dan jenjang. Penampilan simple, menggambarkan sifat Arum yang memang cuek dan apa
adanya, tetapi tetap tidak mengurangi kecantikan yang terdapat pada wajahnya.
Sekali lagi Deka sudah terbiasa melihat penampilan itu, kemanapun Arum pergi
dengannya, hampir pasti dia akan mendapatinya dengan penampilan apa adanya seperti itu.
“Enggak perlu dandan cantik-cantik, yang penting enggak ngebosenin kalau diliat,” bantah
Arum suatu hari ketika Deka menguatarakan keinginannya melihat Arum berdandan.
Dan gadis itu memang benar, Deka tidak pernah bosan menatap Arum.
Deka sadar, selama dia berteman dengan Arum, dan kedekatan-kedekatan yang terjadi
diantara mereka, telah menumbuhkan benih-benih cinta dalam hatinya. Deka merasa dia
mempunyai perasaan lebih dari seorang teman, dan semakin hari perasaan itu semakin berbunga.
“Heh, malah ngelamun,”
“Eh, i-iya,”
Arum ketawa geli melihat ekspresi yang ditunjukkan Deka, “ayo jalan.”
Deka memilih duduk sedikit ke dalam ketika mereka telah sampai di sebuah rumah makan.
Dia sudah memutuskan untuk menyatakan perasaannya kepada Arum saat itu juga dan dia tidak
mau suara bising kendaraan yang lalu lalang mengganggu konsentrasi, yang akan membuat
susunan kata yang dia ucapkan menjadi berantakan. Deka butuh suasana yang tenang untuk
mereka berdua.
“Ternyata suara kamu bagus juga, enggak nyangka cewek cuek kayak kamu punya suara
yang merdu,” Puji Deka setelah dia memasukkan potongan steak ke mulutnya.
“Hmm, keluar deh gombalnya. Enggak bagus-bagus amat kok, masih kalah sama Sherina.”
“Aku serius tau. Yah, walaupun baru kali ini aku pergi karaoke sama cewek, tapi aku udah
sering denger cewek nyanyi dan suaranya enggak sebagus kamu.”
“Masa? Kamu baru pernah karokean sama cewek? Nggak percaya aku, secara kamu
ganteng gini,” sekarang gantian Arum yang menyelipkan pujian dalam kalimatnya.
Deka menggeleng, “Aku enggak punya pengalaman sama cewek. Sedekat ini juga baru
sama kamu,”
“Wah, aku beruntung dong, mendapat kehormatan jadi cewek yang pertama deket sama
kamu.”
“Justru aku yang beruntung bisa deket sama kamu. Kamu manis, siapa yang enggak kenal
kamu di kampus kita, udah gitu pinter pula. Jadinya kan aku bisa jadi orang pertama yang nyalin
tugas dari kamu.”
Kalimat Deka membuat tawa terdengar dari keduanya. Hanya beberapa saat, karena
selanjutnya mereka sama-sama terdiam, tenggelam dengan perasaan mereka masing-masing.
Deka tengah mengumpulkan semua keberaniannya, mencoba mengalahkan kegugupannya,
tubuhnya sedikit gemetar, pengalaman pertama membuatnya grogi.
“Arum,” panggil Deka akhirnya.
Arum mengangkat mukanya, menatap Deka, menunggu lanjutan yang akan diucapkan oleh
pemuda itu.
“Ya?”
Deka kembali terdiam. Ragu-ragu. Tatapan mata Arum semakin membuat nyalinya
menciut, dia menghela napas sejenak.
“Aku sayang sama kamu,” tutur Deka akhirnya, mengalahkan semua ketakutan dalam
dirinya.
“Aku cinta sama kamu. Sebenernya udah lama aku ngerasain ini, setiap waktu yang kita
lewatin berdua makin membuat aku bener-bener yakin kalau aku cinta dan sayang kamu. Aku
enggak bisa membohongi perasaanku sendiri,” Deka mulai menemukan keberaniannya kembali.
Deka menggenggam tangan Arum, “Aku cinta sama kamu, aku sayang sama kamu, aku
nyaman sama kamu, kamu yang aku cari selama ini.”
“Kamu, kamu mau jadi pacar aku?” Deka akhirnya mengeluarkan pertanyaan yang menjadi
inti dari semua omongannya dengan penuh keyakinan.
Perasaan tenang dan lega langsung menjalar dalam dirinya.
Arum menatap Deka dalam-dalam, lalu tersenyum. Tanpa melepaskan genggaman tangan,
gadis berambut hitam itu menggelengkan kepala. Deka tertegun, genggaman tangannya
melonggar, namun Arum buru-buru mengeratkan kembali.
“Maafin aku, Dek, aku enggak bisa,”
“Kenapa?”
“Aku enggak bisa nganggep kamu lebih dari seorang sahabat. Aku udah keburu nyaman
dengan posisi kita sekarang, aku enggka mau kita jadi kaku entarnya, kita udah enakan kayak gini,
tanpa status yang lebih spesial lagi, karena ini yang paling spesial buat aku,” lanjut Arum.
Jawaban yang terlontar dari bibir Arum memunculkan kekecewaan dalam hati Deka, ia
menunduk, menghindari matanya bertemu dengan mata milik Arum yang tak pernah lepas
menatapnya.
“Jadi, kamu nolak aku?” tanya Deka sekali lagi, mencoba meyakinkan dirinya.
Arum tersenyum manis, “Kayak ngelamar kerjaan aja ditolak. Aku enggak bisa, bukannya
nolak.”
“Bedanya apa?” tanya Deka lemah.
Arum tersenyum.
“Dek, tau enggak kalau misalnya setiap huruf itu disamain dengan angka, misalnya huruf
A itu satu, B itu dua, seterusnya sampai Z itu dua puluh enam, berarti love itu berapa?” tanya Arum
sedikit menekankan kalimat love yang dia ucapkan.
Deka terdiam, matanya menerawang ke atas, berpikir, “Emm, lima puluh empat, iya kan?”
Arum mengangguk, “Pinter, terus kalo friendship, jadinya berapa?”
Deka kembali berpikir, kali ini sambil mencoret-coret di kertas tisu, “Seratus delapan,
bener enggak?” kata Deka akhirnya, sedikit kurang yakin.
Arum kembali mengangguk, “Kamu tahu artinya?”
Deka terdiam, nampak berfikir. Tatapannya bertanya-tanya, menunjukkan wajah yang
tidak mengerti dengan maksud semua pertanyaan Arum. Pemuda itu menggeleng akhirnya.
“Artinya persahabatan itu lebih berharga dari cinta, lebih tinggi nilainya, aku harap kamu
juga ngerasain itu,”
Deka tersenyum, memahami apa yang dimaksud gadis di depannya. Dia tidak lagi
menunjukkan kesedihan, pemuda itu kembali ceria, meskipun rasa kecewa masih dirasakan
hatinya, tetapi tidak dia tunjukkan lagi dihadapan Arum.
Tidak ingin lagi.
“Makasih ya, kamu udah nunjukkin banyak hal ke aku. Aku banyak belajar dari kamu.”
Arum mengangguk senang, lalu menunjukkan senyum termanisnya pada Deka.
Maafin aku Dek, sebenernya aku juga sayang sama kamu, tapi aku engga boleh egois.
Bisik Arum dalam hati.
Ancaman
“Selesaikan apa yang sudah kamu mulai, dari situlah kamu akan mendapat pelajaran.”
Dear God milik Avenged Sevenvold menggema di perpustakaan Fakultas Bahasa dan Seni
siang itu. Ringgo segera meraih ponselnya dari dalam saku.
“Dari siapa?”
Diandra, teman satu fakultas yang akhir-akhir ini sering menemaninya, bertanya. Gadis itu
menutup buku yang sejak tadi menyita konsentrasinya.
“Dari Yoga. Bentar, ya.”
Diandra mengangguk.
“Hallo, kenapa, Yog?”
Raut wajah Ringgo berubah tegang, lalu menutup teleponnya dan menatap Diandra.
“Ada apa? Kok tegang gitu?”
“Scoby masuk rumah sakit, katanya dia dipukulin,” jawab Ringgo panik.
“Astaga, dipukulin siapa? Kok bisa? Trus gimana keadaannya?” Dengan suara pelan
Diandra memberondong Ringgo dengan berbagai pertanyaan, ikut merasa khawatir.
“Enggak tahu, nih baru mau ke rumah sakit. Mau ikut?”
Diandra mengangguk.
Mereka segera memasukkan buku-buku ke dalam rak tempatnya semula, lalu bergegas
keluar dari perpustakaan. Dengan tergesa-gesa Ringgo mengendarai sepeda motor, keluar dari area
kampus, menuju rumah sakit.
Handphone di saku samping celana Bagas bergetar, membangunkan dia yang sedang
tertidur ketika mengikuti kuliah. Dengan malas pemuda itu mengambil dan melihat benda yang
sudah dia miliki sejak duduk di bangku kelas 2 SMA.
Sebuah kabar yang langsung membuatnya terkejut.
“Aduh gimana nih, kuliah masih satu setengah jam lagi.”
Tapi sebuah ide muncul tiba-tiba, Bagas memasukkan semua buku-buku yang berserakan
di atas meja ke dalam tas, kemudian melemparkan tas itu melalui jendela di sebelahnya. Bagas
bangun dan berjalan ke depan kelas.
“Maaf Bu, mau minta ijin ke toilet,”
Dosen itu menoleh, menurunkan kacamatanya yang memiliki frame warna cokelat dan
sedikit tebal, kemudian mengangguk. Bagas langsung berjalan dengan tergesa-gesa keluar dan
mengambil tas yang tergeletak di bawah jendela.
“Masa bodoh urusan sama itu dosen, aku urus nanti. Yang penting sekarang kudu cepet ke
rumah sakit,”
Dia mengeluarkan handphone dan mencari nama Deka di phonebook hapenya, lalu
memencet tombol call. Sedetik kemudian terdengar duara Deka di seberang sana.
“Halo,”
“Halo Dek, dimana? Udah dapet kabar dari Yoga?”
“Parkiran. Udah, ini mau cabut ke rumah sakit.”
“Ya udah, aku ikut sekalian, ini lagi jalan kesitu,” Bagas mempercepat langkahnya.
“Kamu udah ngasih tau Firman?” tanya Bagas ketika mereka bertemu di parkiran.
“Udah, dia udah lagi jalan ke rumah sakit,”
“Ya udah. Brengsek, sebenernya siapa yang gebukin Scoby? Awas aja kalo aku sampe
tahu,”
“Entahlah, aku juga belum tahu. Nggak tahu masalah apa yang bikin Scoby sampe
berantem.”
“Setahuku, Scoby nggak punya musuh.”
Deka mengangkat bahu. Dia terus memacu sepeda motornya secepat mungkin, ada
perasaan tidak enak yang menyelinap dihatinya.
Ringgo dan Diandra yang tiba di rumah sakit segera menuju lantai dua, mencari ruang di
mana Scoby dirawat. Dengan tergesa-gesa mereka menaiki tangga. Peluh sedikit menetes di
kening Ringgo, Diandra mengambil sapu tangan dan segera menyeka keringat pemuda itu.
“Makasih ya,”
Mereka berdua sampai di depan ruangan. Ringgo mengetuk pintu dan kemudian
membukanya. Ia mendapati Scoby sedang berbaring, pipi kanannya biru lebam dan tangannya
tampak dibalut menggunakan gips.
Disampingnya duduk Rosita, pacar Scoby, sedang menyuapkan buah jeruk. Mata Rosita
tampak sembab dan sayu. Ringgo menggandeng tangan Diandra, membimbingnya masuk ke
dalam.
“Gimana keadaanmu?”
“Ya gini, kamu liat sendiri. Tanganku patah, kakiku juga ada yang retak.”
“Brengsek, siapa sih yang ngelakuin ini?” Ringgo terlihat begitu geram.
“Entar aku jelasin, tunggu semuanya dateng. Kamu kok tahu aku kayak gini?”
“Iya, aku dikabarin Yoga. Eh ngomong-ngomong mana tuh anak?”
“Tadi katanya turun beli makan.” Jawab Scoby.
“Aku ke kamar kecil dulu ya,” kata Rosita, Scoby mengangguk.
Ringgo tersenyum geli melihat kedua pasangan yang baru berpacaran selama dua bulan itu,
keisengannya muncul.
“Enak kamu, sakit-sakit gini ada yang ngerawat. Aku juga mau kalau gitu,”
“Sini gantiin aku kalau mau. Ogah banget tiduran di sini terus. Tapi kamu cari perawat
sendiri ya,” Balas Scoby, sambil melirik Diandra.
Gadis itu tersenyum kikuk.
Langkah kaki terdengar bergema di lorong rumah sakit, kemudian pintu tampak didorong
dari luar. muncul wajah Yoga yang membawa kantong plastik berwarna hitam, bersama Firman
yang mengikuti di belakangnya. Firman bergegas menghampiri Ringgo dan Scoby, sementara
Yoga meletakkan kantong plastik itu di atas meja.
Selang beberapa menit, Deka dan Bagas tiba di kamar itu dengan wajah yang panik, tetapi
setelah mendapati ke empat teman se-kosnya itu mengobrol sambil tertawa, keduanya pun merasa
tenang dan yakin keadaan Scoby tidak seburuk yang mereka pikirkan.
“Kamu oke?” Tanya Bagas sambil mengamati kondisi Scoby dari atas sampai bawah.
Scoby mengangguk, “Nggak apa-apa. Thanks ya, kalian semua mau langsung ke sini.”
Rosita menaruh enam minuman di atas meja di sebelah bed rumah sakit, “Nih, diminum.
Pasti kalian pada capek,”
“Thanks ya Ros, udah mau njagain buluk satu ini,” kata Deka, sikutnya menyenggol tangan
Scoby yang dibalut perban, membuat cowok itu langsung menjerit pelan menahan ngilu.
“Masih sakit inii.”
“Ya udah, aku pulang dulu ya, toh udah banyak temen-temenmu yang datang,” Rosita
memohon diri pada Scoby.
“Ada tugas juga yang harus dikumpulin besok,” lanjutnya.
Scoby mengangguk. “Iya, terima kasih ya,”
“Mau dianterin? Yoga bisa nganterin kalau kamu mau. Ya kan, Yog?”
“Nggak usah, biar aku naik taksi aja. Kasian Yoga bolak balik.”
“Apa kalo enggak bareng aku aja, gimana?” Diandra yang sedari tadi diam menawarkan
diri.
“Kamu enggak bareng aku?” kata Ringgo begitu mendengar ucapan Diandra.
“Kamu di sini dulu aja sama mereka, biar aku pulang sama Rosita.”
“Oh, ya udah kalau gitu, hati-hati ya.”
“Oke”
Dua gadis itu berlalu setelahnya. Semua terdiam sesaat begitu pintu tertutup. Suara langkah
kaki keduanya terdengar menggema di lorong, perlahan mengecil lalu akhirnya menghilang, tak
terdengar lagi.
Angin meniup kain gorden yang terpasang di jendela, menyibak dan membiarkan sinar
matahari menerobos masuk menerpa wajah mereka masing-masing. Bagas berdiri dari duduknya,
dia melangkah ke depan jendela, dan membuka penuh gorden itu.
Di luar tampak sekawanan burung gereja tengah bermain-main di atas genteng, saling
berkejar-kejaran. Ada juga sepasang burung gereja yang naik turun ke tanah, mengambil ranting-
ranting kering untuk membuat sarang baru karena si betina akan segera bertelur. Keduanya tampak
sibuk dan tak kenal lelah.
“Oke, cewek-cewek itu udah pergi. Waktunya kamu cerita,” celetuk Firman memecah
keheningan.
“Iya, kamu janji bakal cerita apa yang terjadi dan siapa yang ngelakuin ini begitu kita
semua sudah kumpul. Sekarang, kamu kudu cerita.” Ringgo menambahkan.
“Sebelum aku cerita, aku minta kalian semua nggak gegebah ngambil sikap, aku nggak
mau masalah ini semakin panjang.”
Scoby mengalihkan pandangannya ke Bagas.
“Gas, kamu masih deket sama Alena?”
Bagas sedikit terkejut, tetapi tak urung Bagas menjawab pertanyaan Scovita.
“Iya masih, kita masih sering ketemu, kenapa?”
“Ini ada hubungannya dengan kalian.”
“Maksudnya?” Bagas menaikkan satu alisnya.
“Kamu masih inget Lexi kan? Cowok yang waktu itu kita liat lagi ribut sama Alena, terus
mau nampar gadis itu dan kamu langsung menahan tangannya?”
“Iya, aku inget. Ada apa emangnya? Jangan-jangan dia yang mukulin kamu?” tanya Bagas
penuh selidik.
“Tadi pas aku mau jemput Rosita di rumahnya, di jalan aku di pepet motor. Semua ada 7
orang, aku dipaksa berhenti sama mereka. Aku pun berhenti, lalu salah satu dari mereka tanya apa
aku kenal sama kamu, aku jawab iya, aku temen sekosmu. Tiba-tiba pipi kananku ditinju dari
samping.”
Semua mendengarkan dengan seksama, dengan wajah geram yang tidak bisa
disembunyikan.
“Habis itu, semua ngeroyok. Aku dipukul, ditendang sama mereka. Aku enggak bisa
ngelawan, mereka terlalu banyak. Setelah itu, dua orang ngangkat badanku, megangin tangan, lalu
satu orang lagi yang aku pikir pimpinan mereka ndeketin. Dia Lexi, Gas. Terus dia ngomong kalo
kamu nggak boleh ngedeketin Alena lagi, aku disuruh nyampein itu.”
Raut amarah semakin nampak jelas di wajah semuanya. Deka mengepalkan tangannya erat,
giginya bergelutuk menahan amarah.
“Bangsat,” sungut Firman.
“Brengsek, pengecut banget mereka.” Ringgo memukul meja di sampingnya.
“Kita harus balas mereka, kudu lebih dari ini.” Firman menatap semua wajah teman-
temannya menunggu reaksi dari yang lain.
“Nggak! Aku udah bilang kalian jangan gegabah.” Cegah Scoby.
“Biar Aku sendiri yang nemuin Lexi,” ucap Bagas mantap.
Semua menoleh ke arahnya.
“Tapi Gas,” sebelum Yoga menyelesaikan kata-katanya, Bagas buru-buru memotong.
“Guys, aku mohon, biar aku dulu yang ngomong ke dia. Ini masalahku, aku yang kudu
nyelesein ini.”
“Enggak Gas, sekarang bukan cuma masalahmu sendiri. Ini udah jadi masalah kita, liat
Scoby? Bagaimanapun kita harus bales mereka.” Firman tidak puas dengan keputusan Bagas, sifat
temperamentalnya muncul.
“Aku ngerti, tapi aku mohon, biar aku dulu aja yang nemuin mereka. Aku bakal tanya apa
mau mereka.”
“Udah jelas kan mereka mau kamu jauhin Alena.” Firman masih belum puas.
“Kamu bisa tenang enggak?” Suara Bagas meninggi.
Firman bangun dari duduknya, matanya menatap Bagas tajam.
“Hey, kalian berdua enggak usah ribut, nggak ada untungnya buat kita. Yang harus kita
lakuin sekarang justru bersatu.” Deka menengahi ketegangan yang timbul antara Bagas dan
Firman.
“Biarin Bagas sendiri yang nemuin mereka dulu. Kalau Bagas bisa nyelesein itu bagus, tapi
kalo enggak, kita pikirin apa yang harus kita lakuin.”
“Tapi,”
Firman masih terlihat keberatan, tetapi dia tau persis sifat Deka, susah untuk berubah ketika
sudah mengambil keputusan. Firman kembali duduk di kursinya.
Deka menatap Bagas, “Selesein sama caramu, kita semua percaya.”
Bagas mengangguk, dia melangkahkan kakinya menuju pintu.
“Gas,”
“Kamu harus perjuangin apa yang kamu yakinin. Itu pesenku,” ucap Scoby pasti.
“Aku ngerti. Maaf, Sco, kamu jadi ikut kena,”
Scoby menggeleng, “Bukan masalah. Udah sana, selesein apa yang udah kamu mulai.”
Bagas berlalu. Semua terdiam, hening. Hanya desah napas mereka dan tetesan air keran di
kamar mandi yang tidak ditutup sempurna oleh Rosita yang terdengar.
Di luar, kumpulan burung gereja masih bermain di atas genteng paviliun. Lalu seekor
burung mengepakan sayapnya, terbang menjauh dari tempat itu. Satu burung mengikuti arah
terbang burung pertama, lalu dua, tiga, dan semua burung telah terbang dari genteng paviliun.
Hanya tersisa dua burung gereja yang telah menyelesaikan sarangnya yang masih bertahan.
Mereka yakin burung-burung yang lain akan kembali lagi ke tempat itu suatu saat nanti,
entah kapan. Dan sebelum itu terjadi, mereka akan menetaskan telur di sarang yang baru mereka
bangun. Membesarkan anak-anak, mencoba terus mempertahankan generasi yang akan
menggantikan mereka nantinya, dan begitu seterusnya.
Adu Jotos
“Darah yang mengalir, membawa cinta yang akhirnya terukir.”
Bagas mengendarai motornya dengan sangat cepat, dia tidak mempedulikan pengguna
jalan lain yang marah-marah karena merasa terganggu. Dia tidak peduli, yang sekarang ada di
pikirannya adalah sesegera mungkin bertemu dengan Lexi dan menyeleseikan semua. Mungkin
dengan cara baik-baik, Bagas tidak mau ikut menjadi arogan seperti mereka.
Tetapi kalau harus berkelahi dengan mereka, dia tidak akan mundur selangkahpun.
Bagas tau pasti di mana Lexi biasa nongkrong dengan teman-temannya, dia tahu dari
Alena. Sebuah cafe kecil di pusat kota.
Pemuda itu mengedarkan pandangan ke seluruh sudut, tampak sepi, hanya beberapa meja
terisi oleh pengunjung. Sampai kedua matanya berhenti mencari ketika dia melihat wajah
seseorang yang dia kenal.
Bagas berjalan mendekat, Lexi terlihat sedang mengobrol dengan empat orang temannya,
sebatang rokok terselip diantara jari-jarinya. Lexi yang menyadari kehadiran Bagas langsung
memberi kode kepada empat orang temannya.
“Berani juga, dateng ke tempat ini sendirian,”
“Aku bukan kamu yang beraninya main keroyok,” Bagas menatap mata Lexi tajam.
“Temenku enggak ada hubungannya, dia enggak tahu apa-apa. Kenapa kamu mukulin
dia?”
“Itu buat peringatan. Kamu udah berani deketin Alena, pacarku,”
“Mantan,” potong Bagas.
“Aku nggak peduli, intinya aku enggak suka kamu deket-deket sama Alena. Mending
jauhin dia,”
“Sebenarnya aku malu ribut dengan alasan seperti ini, tapi kamu cowok, jangan jadi
pengecut yang tidak berani menyelesaikan masalah sendirian. Kita saingan secara sehat, secara
fair, nggak usah pakai kekerasan. Jangan kayak banci,”
“Banyak bacot!” Lexi siap melayangkan bogem ke arah Bagas.
Bagas tidak mundur, dia justru ikut mengepalkan tangannya, tetapi dua teman Lexi segera
menahan. Dia berontak namun tak dapat mengimbangi kekuatan mereka. Dengan leluasa Lexi
mendaratkan kepalan tangannya ke pipi kanan Bagas.
Beberapa kali tangan Lexi mendaratkan pukulannya di wajah dan perut Bagas yang tidak
bisa melawan, hanya bisa meringis menahan sakitnya.
“Kamu pikir kamu siapa? Tinggalin Alena mulai sekarang atau bakal ada yang lebih parah
dari ini,” ancam Lexi.
“Brengsek! Aku nggak takut, aku nggak akan kalah sama pengecut seperti kamu,” Bagas
kembali berontak dari cengkeraman teman Lexi, namun tubuhnya sudah terlalu lemah.
“Sepertinya kamu nggak bakal kapok kalo belum kehilangan nyawa.”
Bugh!
Firman, Deka, Yoga, dan Ringgo yang tiba di tempat itu langsung berlari menerjang Lexi
dan kawan-kawannya, Bagas terlepas dari cengkeraman dan jatuh tersungkur. Napasnya naik turun
tak karuan, darah masih menetes dari mulut dan hidungnya.
Sementara itu Deka dan yang lain masih terus adu pukul. Firman terpukul, dia balas
menendang, musuhnya jatuh terjengkang dan menabrak kursi. Sementara Ringgo mengambil
sebuah botol dan memukulkannya ke kepala salah satu teman Lexi, namun tiba-tiba ia terkena
hantaman dari belakang. Ia mengerang kesakitan dan memegang pinggangnya.
Yoga tak tinggal diam, dia berlari dan menerjang orang yang menendang Ringgo, keduanya
terjatuh. Yoga duduk di atas tubuh teman Lexi dan berkali-kali menghujankan pukulannya.
Deka berhadapan dengan Lexi dan seorang temannya, dia berusaha untuk menghindari
pukulan dan tendangan dari kedua orang itu. Sesekali Deka balas memukul, dan berkali-kali Deka
menerima pukulan. Bagas bangkit, lalu menendang tubuh Lexi.
Adu pukul terjadi antara keduanya. Dengan sisa tenaganya Bagas meladeni Lexi. Lexi tak
bisa menandingi Bagas hingga dia terpojok. Bagas kalap, berkali-kali ia memukul wajah dan tubuh
musuhnya. Deka dan Yoga yang telah berhasil mengalahkan musuh mereka berusaha menahan
Bagas.
Mata Bagas yang merah terus menatap tajam ke arah Lexi.
“Pergi kalian! Brengsek!”
Lexi yang masih tersungkur ditolong oleh empat temannya.
“Oke, kali ini kalian menang. Tapi lain kali aku akan datang lagi, inget itu,” ancam Lexi
sebelum teman-temannya memapahnya beranjak dari tempat itu.
Firman hendak mengejar mereka, tapi Ringgo menahannya. Firman meludah.
Deka dan Yoga melepaskan tangan dari tubuh Bagas yang sudah bisa menahan diri. Mereka
berlima terlihat berantakan, wajah mereka memar dan biru. Darah menghiasi wajah mereka.
Ringgo masih memegang pinggangnya, Deka menyeka darah dari sudut bibirnya. Yoga meneliti
sikunya yang terasa linu.
“Kalian semua nggak apa-apa?” Tanya Bagas, semuanya meringis menjawab pertanyaan
itu.
Bagas tersenyum, “Makasih teman, kalian datang di saat yang tepat. Kalo enggak, aku pasti
bisa menghajar mereka semua sendirian.”
Keempatnya langsung mencibir Bagas.
“Kok kalian semua bisa kesini?”
“Kita semua khawatir, makannya kita mutusin buat nyusul,” Deka mewakili temannya.
“Kami tahu tempat ini dari Alena, Scoby nelpon dia tadi,” tambah Yoga.
“Katanya dia mau kesini juga kok.”
Selesai Deka berbicara, pintu kafe berdecit terbuka. Dari luar tampak seseorang tengah
mendorong pintu itu. Sejenak sosok itu muncul, seorang wanita muda, dengan rambut sepanjang
punggung mengenakan bandeau top dan jaket panjang dilengkapi dengan skinny jeans pants.
Wajahnya menunjukkan kecemasan.
“Tuh anaknya datang,”
“Bagas, kamu enggak apa-apa kan?”
Alena terus meneliti keadaan Bagas dari atas sampai bawah, dia memegang pipi Bagas
yang memar, membuat Bagas memekik, “Aduh, pelan dong.”
“Eh, i-iya, maaf. Kamu bener enggak apa-apa kan?” Alena mengulang pertanyaannya,
Bagas mengangguk, tangannya memegang tangan Alena yang menempel di pipinya.
“Aku enggak apa-apa. Udah ada kamu disini.”
“Apaan sih, aku beneran khawatir tau, kamu malah bercanda.”
“Aku serius,” Bagas menatap mata Alena dengan tatapan tajam.
“Aku serius, aku sayang kamu. Aku kayak gini karena aku nggak mau kehilangan kamu.
Maaf jika kamu tidak suka dengan kejadian ini, tapi ini semua karena aku bener-bener cinta kamu,”
Alena terdiam, ia menatap Bagas tanpa bisa berkata apapun. Merasakan getaran yang
berbeda di dalam hatinya.
“Kamu mau jadi pacar aku?” kalimat yang terucap dari mulut Bagas membuat Alena kaget,
dia tidak menyangka Bagas akan mengungkapkan perasaannya saat itu, di tempat itu dan di depan
semua orang yang ada di situ.
“Kamu serius?”
Bagas mengeratkan genggamannya di tangan Alena, “Aku serius, aku yakin sama
perasaanku.”
Pelan-pelan, kepala Alena mengangguk. Gadis itu masih menundukkan kepala,
menyembunyikan wajahnya yang bersemu merah.
“Iya.” jawab Alena lirih.
“Apa?” Bagas mendekatkan telinganya ke wajah Alena.
“Iyaaa,”
Alena menambah volume suaranya, membuat Bagas tersenyum. Ia menarik tangan Alena,
membawa gadis itu ke pelukannya.
“Ayo kita pulang, sepertinya idiot satu ini udah nggak perlu di tolong,” Yoga menggoda.
“Iya, padahal kita juga memar-memar gini. Tapi enggak ada yang peduli,” Deka
mengedipkan mata ke Yoga.
“Yah, nasib kita kan emang kayak gini. Jomblo sejati.” Ringgo tak mau kalah.
Alena melepaskan pelukan Bagas secepat kilat, wajahnya semakin memerah karena malu.
Namun sedetik kemudian mereka semua tertawa, walaupun sesekali meringis menahan sakit.
Rahasia Arum
“Kabar yang datang tiba-tiba adalah sebuah ucapan perpisahan paling pahit.”
Sudah empat hari Deka tidak melihat Arum di kampus dan di kosan. Tidak ada keterangan
yang dapat menjelaskan di mana gadis itu saat ini dan kenapa dia tidak mengikuti semua kuliah.
Deka memutuskan untuk bertandang ke rumah Arum di Solo. Dia terlalu khawatir jika
hanya untuk berdiam diri tanpa melakukan apapun untuk mengetahui kabarnya.
Besok hari Minggu, kenapa enggak besok aja ke rumah Arumnya? Deka mencoba
memantapkan diri sendiri.
“Iya deh, besok aja. Toh aku juga enggak ada kegiatan apa-apa,” gumamnya lagi.
Lalu ia beranjak ke tempat tidur, mencoba memejamkan mata, berharap malam ini akan
segera berakhir dan berganti pagi. Dia ingin segera pergi ke Solo. Bayangan Arum terus menerus
hadir ketika matanya terpejam, membuatnya gelisah dan tidak tenang.
Hingga pukul dua, pemuda itu baru dapat terlelap.
Dalam mimpi, Arum mendatanginya. Dia mengenakan pakaian mempelai wanita khas
Jawa, berjalan perlahan mendekat. Arum sangat berbeda, dia menjelma menjadi wanita lembut
dan anggun dalam balutan pakaian adat itu. Hanya satu yang masih sama, senyumnya, senyum
paling manis yang pernah Deka lihat.
Mereka saling berhadapan, bau wangi bunga melati bercampur kamboja menusuk hidung.
Deka menggenggam tangan Arum, dia tersentak dan melepaskan genggamannya, tubuh Arum
terasa dingin.
Deka mundur beberapa langkah, mengamati Arum dari atas sampai bawah, saat itu dia baru
menyadari bahwa tubuh Arum telah berubah keriput seluruhnya, Arum menjadi lebih tua dari
sebelumnya. Seperti seorang nenek berumur enam puluh tahun.
“Siapa kamu?”
“Aku Arum, Arum Ndalu,” jawabnya, air mata menetes melewati kulit-kulit wajahnya
yang telah keriput.
“Bohong!! Kamu bukan Arum, Arum tidak seperti ini,” Deka berteriak sambil
menggeleng-gelengkan kepala, tidak mempercayai ucapan wanita itu.
“Aku mohon, percayalah. Ini aku, Arum Ndalu. Aku mohon, terimalah aku dengan keadaan
yang seperti ini.”
Deka terdiam, menatap wanita di hadapannya, mencoba mencari sesuatu yang
membuktikan bahwa dia benar-benar Arum. Tapi gadis itu justru bergerak mundur, meski kakinya
tidak melangkah. Dia terus bergerak mundur, membuat pemuda itu terbelalak, terkejut ketika
sosok Arum dalam mimpinya semakin menjauh.
“Hey, tunggu. Mau kemana kamu? Jangan pergi. Aku percaya kamu Arum, Arum Ndalu
yang aku kenal. Kembalilah, aku mohon,”
Deka terbangun dengan peluh yang membasahi seluruh tubuhnya.
Mimpi yang terasa nyata, apa maksud mimpiku barusan? Semoga tidak terjadi apa-apa
dengan Arum.
Dia mengucek-ucek matanya, lalu memandang ke sebuah jam dinding tua yang menempel
pada tembok kamar. Setengah enam pagi.
“Pagi-pagi udah rapi. Perasaan ini hari minggu, harusnya kan si Yoga yang udah rapi mau
ke gereja, malah kamu. Yoga aja masih molor,” cerocos Ringgo yang baru bangun dari tidurnya,
masih menggunakan sarung, pakaian resminya untuk tidur.
“Pagi apaan, udah jam delapan kok,”
“Kalo hari minggu, jam sepuluh juga berarti masih pagi,” eyel Ringgo sambil menjatuhkan
pantat di sofa dan menyalakan tivi.
“Aku mau ke Solo. Aku khawatir sama Arum, udah empat hari dia enggak masuk kuliah.
Aku takut dia kenapa-kenapa.”
“Enggak ditelpon dulu?”
“Udah, aku udah coba berkali-kali, tapi enggak aktif terus. Makannya aku putusin ke
rumahnya aja.”
“Nomor rumahnya?”
“Nggak punya.”
“Mau aku temenin?”
Deka berpikir sejenak, mencoba menimbang-nimbang. “Enggak usah deh, biar aku sendiri
aja.”
“Ehmm, ya udah. Yang penting hati-hati.”
Deka tidak menjawab, dia sibuk memakai sarung tangan dan menutupi mulut dan
hidungnya menggunakan masker.
“Aku berangkat dulu.”
“Oke, hati-hati, Bos.”
Yoga keluar kamar setelah Deka melaju. Dengan mata yang masih setengah terpejam dia
bertanya, “Mau kemana dia pagi-pagi gini?”
Ringgo menoleh ke belakang dan mendapati Yoga berdiri di pintu kamar, rambut
keritingnya berantakan, mencuat tak karuan. Ringgo tersenyum melihat penampilan Yoga pagi ini.
“Deka bilang mau ke Solo,”
“Oh, kenapa nggak bilang tadi?”
“Kamu kan masih tidur. Emang mau ikut?”
“Enggak. Tapi aku pengen nitip satu bungkus.”
“Satu bungkus? Apanya?” Ringgo mulai bingung dengan perkataan Yoga.
“Soto,” dengan polos Yoga berbalik dan menjatuhkan kembali badannya ke atas kasur.
Ringgo hanya bisa terdiam dengan mulut ternganga, bingung apa yang harus dia lakukan.
Perasaan, aku engga nyebut-nyebut Soto deh. Dasar kribo, sampe kupingnya juga kribo.
Deka tiba di kota Solo siang harinya. Dia berhenti di sebuah warung asongan di salah satu
sudut kota, dekat dengan alun-alun.
Pemuda itu menghabiskan teh botolnya dalam sekali teguk, udara yang menyengat kulit
yang dia rasakan sejak dari Semarang hingga sampai di Solo benar-benar membuat
tenggorokannya kering.
“Punten Pak, tau alamat ini?” Deka menunjukkan kertas bertuliskan alamat rumah Arum
yang dia dapat dari teman satu kosnya kepada pedagang itu.
Bapak itu memandang wajah Deka yang lusuh terkena debu jalanan. “Dari mana, Mas?”
“Dari Semarang, Pak.”
Lalu laki-laki berkepala botak itu mulai menjelaskan alamat rumah Arum. Deka
memperhatikan dengan seksama, sambil sesekali bertanya untuk memperjelas arah. Sampai
akhirnya pemuda itu memohon diri setelah sebelumnya mengucapkan terima kasih.
Deka sampai lima belas menit kemudian. Ia melangkah menuju gerbang, bertanya kepada
seorang ibu-ibu yang sedang berjalan untuk memastikan dia sudah berada di alamat yang tepat.
“Betul, Mas. Ini rumahnya Arum,” jawab ibu-ibu tersebut.
Deka mengucapkan terima kasih, lalu melangkah menuju pintu.
“Assalamu’alaikum,”
“Waalaikum’salam,” terdengar suara laki-laki dari dalam rumah.
Laki-laki itu menyuruhnya masuk ke dalam dan duduk di sebuah kursi yang bermodel jawa
kuno. Seorang wanita paruh baya nampak bergabung dengan mereka. Deka mengenalkan diri, lalu
mengutarakan maksud dan tujuannya.
Wanita paruh baya itu tiba-tiba meneteskan air mata setelah mengetahui Deka adalah teman
kuliah putrinya yang sengaja datang dari Semarang. Sementara suaminya terlihat menenangkan.
Dengan sangat hati-hati Deka bertanya, “Apa yang terjadi dengan Arum? Dia tidak pernah
lagi terlihat di kampus. Semua teman dan dosen mencarinya,”
“Arum,” laki-laki itu menghela napas sebelum melanjutkan kalimatnya, “Arum sudah
meninggal, Nak. Tiga hari yang lalu.”
Deka sangat terkejut mendengar penuturan laki-laki berkumis tebal itu. Dia memejamkan
mata, lalu mengambil napas dalam-dalam dan mengeluarkan perlahan.
“Innalilahi wa innalilahi ro’jiun.”
“Kami belum sempat mengabari pihak kampus, karena kami terlalu jatuh dalam kesedihan
ini. Kami semua sibuk mengurusi pemakaman Roro,” ujar wanita yang kini telah mampu
mengendalikan perasaannya.
“Apa Arum sakit? Atau ada penyebab lain?”
“Radang ginjal. Bahkan kami sendiripun tidak menyadari penyakit itu bersarang dalam
dirinya. Kami membiarkannya terlalu mandiri, sehingga kami tidak tahu bahwa dia telah lama
mengidap penyakit itu. Sampai beberapa hari yang lalu Arum jatuh pingsan di kamarnya. Kami
segera membawanya ke rumah sakit. Saat itu kami baru mengetahuinya,”
“Selama satu hari dia tidak sadar, hanya tergolek lemah. Kami semua benar-benar khawatir.
Tapi harapan itu muncul, Arum tersadar di hari berikutnya, kami semua dapat bernapas lega, meski
masih khawatir melihat kondisi Arum yang sangat membuat kami takut.”
“Selama dua hari dia tersadar dengan kondisi yang sangat lemah. Siang malam kami terjaga
tanpa memejamkan mata sekalipun, terus berdoa, terus menghiburnya agar dia bisa kembali sehat
dan tersenyum seperti biasanya.
“Bahkan saatdia tidurpun, kami tetap terjaga. Terkadang dia menyebut nama nak Deka
dalam tidurnya, dia mengigau memanggil-manggil namamu,”
Deka terpaku mendengar penuturan itu, bibirnya kembali bergetar dan air mata menetes
dari kedua sudut matanya.
“Saat hari terakhirnya, Arum meminta sesuatu yang menurut kami sangat tidak lazim. Dia
meminta agar dirinya didandani layaknya seorang mempelai wanita dengan pakaian adat jawa, dan
meminta agar tubuhnya dikasih wewangian bunga melati. Sebuah permintaan yang sangat aneh,
tetapi kami tetap menurutinya. Arum menghembuskan napas hari itu juga. Ternyata dia sudah
tidak sanggup menahan sakitnya itu.”
“Arum Ndalu. Bahkan menjelang kematiannya pun, dia masih ingin tetap menjadi harum,
Arum kembang.” Sang istri menuturkan.
Deka hanya terdiam, mencoba memasukkan semua perkataan itu ke dalam saraf
percayanya, agar dia dapat menerima kepergian wanita yang pertama kali berhasil merebut
hatinya.
“Arum menitipkan sesuatu untukmu,”
Wanita paruh baya itu beranjak dari duduknya dan masuk ke dalam sebuah kamar. Tidak
lama ia kembali keluar dengan selembar amplop di tangannya, lalu menyerahkannya kepada Deka.
Dengan tangan gemetar Deka membuka amplop dan mengambil beberapa lembar kertas
dengan tulisan tangan Arum di dalamnya.
Untuk Deka yang baik, Deka mendapati tulisan itu di atas sendiri. Surat itu memang
untuknya. Deka mengawali membaca dari lembar pertama.
Sebelumnya, aku kasih tebak-tebakan dulu ya. Emm, kenapa kodok suka melompat?
Hehehe, itu udah pernah ya? Yang ini aja, kenapa gajah sama semut enggak mau jadi kakak adik?
Hayoo, bisa jawab enggak?
Di bawah pertanyaan itu tersisa beberapa baris yang kosong, entah untuk apa, Deka tidak
mengerti. Tetapi Deka dapat menemukan Arum yang dia kenal pada surat itu.
Ah lama, padahal udah aku kasih tempat buat jawab, tapi enggak di isi juga. Deka payah.
Nih aku kasih tau. Kenapa gajah sama semut ogah jadi kakak adik, soalnya mereka enggak bisa
berpelukan. Hahahaha, Deka emang nggak pernah bisa jawab tebak-tebakanku, Deka engga asik.
Tapi aku tetep seneng kok bisa jadi sahabat Deka, aku bersyukur banget bisa kenal sama
kamu. Walaupun dengan awal yang konyol, inget kan? Hehehe.
Baiklah, Deka, aku akan mulai cerita ke kamu.
Mungkin tiga tahun yang lalu. Aku mulai merasakan perih yang teramat sangat di dalam
perut, aku sampai menangis karena menahan sakit itu. Saat itu aku tidak berani cerita kepada
kedua orang tuaku atau kepada siapapun, dan memutuskan untuk memeriksanya seorang diri. Aku
sangat terkejut saat dokter mendiagnosis penyakitku adalah radang ginjal, aku syok. Terlebih
ketika dokter itu mengatakan aku harus segera dioperasi, sebelum semakin parah. Saat itu aku
bingung, Dilema. Apakah aku harus menceritakannya kepada kedua orang tuaku, atau aku
pendam sendiri. Selama beberapa hari aku memikirkan itu, dan setelah beberapa hari meminum
obat dari dokter, rasa perih itu perlahan menghilang, dan aku memutuskan tidak perlu
mengatakannya kepada Romo dan ibu, toh juga sudah sembuh.
Tapi tiba-tiba sakit itu datang lagi, dan kali ini dengan rasa perih yang berlipat-lipat dari
sebelumnya. Aku kembali datang ke dokter itu. Ternyata masih dengan penyakit yang sama. Tetapi
yang berbeda, saat itu dokter langsung memvonis, bahwa umurku tinggal sebentar lagi. Aku syok,
aku takut. Tapi lagi-lagi aku tidak mengatakan kepada orang tuaku, dan aku justru memilih untuk
menyembunyikannya.
Makasih yah Dek, makasih banget buat semuanya. Aku sebelum kenal kamu adalah aku
yang berbeda, bukan aku yang sekarang. Dulu aku hanya pura-pura selalu tersenyum dan menjadi
gadis yang ceria. Aku tidak pernah sungguh-sungguh, itu semua hanya untuk menutupi rasa
takutku mengahadapi saat-saat seperti ini. Juga untuk menutupi penyakit ini dari Romo sama ibu,
dari saudara-saudaraku, juga dari semua orang di sekitarku. Aku tidak ingin melihat mereka
semua bersedih memikirkan aku, aku tidak tega melakukan itu. Dulu aku hanya ingin terus
menunjukkan senyum kepada semua orang sampai aku meninggal, meski senyum itu palsu.
Tapi kamu datang, dan membawa sejuta harapan dalam diriku untuk tetap hidup, untuk
tetap berjuang, untuk terus bertahan. Tapi aku sadar itu sudah tidak mungkin, sudah sangat
terlambat. Makannya, aku putuskan aku hanya sebatas memberikan senyum, yang kali ini sangat
tulus, aku putuskan untuk tidak lagi memberikan senyum palsu kepada semua orang. Terlebih
orang tuaku dan kamu. Dan saat itu aku mulai berubah, berubah menjadi seorang gadis yang
benar-benar ceria dengan senyum yang tulus setiap harinya. Semua itu berkat kamu, aku terima
kasih untuk itu. Kamu jugalah orang yang telah mengajariku tentang kehidupan ini, tentang
keberanian dalam menjalani hidup walaupun dengan kondisi yang seperti apapun, dan dengan
situasi seperti apapun.
Aku inget, dulu kamu pernah ngomong kalo kamu lebih suka menjalani hidup dengan apa
yang ada pada diri kita, jangan menjadi manusia palsu, dan itu semakin membuat aku sadar kalo
aku sudah keliru, sudah menjalani hidupku sendiri dengan kepura-puraan, dan aku menyesali itu.
Deka, maaf ya aku menyembunyikan semua ini dari kamu. Aku harap kamu bisa
memaklumi itu. Bukan karena aku tidak mau berbagi, hanya saja ini terlalu berat buat aku ceritain
kepada orang lain. Dan yang pasti, karena aku takut berpisah dengan kamu, aku takut kehilangan
kamu.
Jujur, aku seneng banget saat kamu nyatain perasaan ke aku, saat itu hatiku berbunga-
bunga bahkan seakan melayang sampai ke langit ketujuh. Saat itu ingin banget aku terima cinta
kamu, ngejalani sisa hidup aku sebagai seorang kekasih, yang belum pernah aku rasain dari dulu.
Tapi aku enggak mau egois. Aku sadar, kalau aku terima kamu, itu sama aja aku nyakitin kamu,
sama aja aku nyia-nyiain cinta kamu. Karena aku sadar betul, saat ini akan terjadi, dan aku
enggak mau kamu bersedih karena kehilangan seorang kekasih, maaf.
Aku sayang kamu Dek, sayang banget. Hatiku ngomong kayak gitu. Aku tenang cuma
dengan liat senyum kamu, saat di sisi kamu, aku bener-bener nyaman banget. Makannya aku betah
lama-lama sama kamu. Hatiku menjerit saat aku harus berpura-pura hanya bisa menjadikanmu
seorang sahabat, aku pengen lebih dari itu, aku pengen jauh lebih spesial di mata dan di hati
kamu. Tapi aku sudah berjanji sama diriku, bahwa sampai saat ini tiba, aku enggak boleh jatuh
cinta sama siapapun.
Terus tersenyum ya, Dek, terus tertawa dan ceria seperti saat masih ada aku di sisi kamu.
Seperti saat aku masih ada di dunia ini dan jadi sahabatmu. Kamu enggak boleh menangis, kamu
enggak boleh menangis, dan kamu enggak boleh menangis. Meskipun aku sudah tidak bisa lagi
nemenin kamu.
Aku pamit Dek, aku pergi. Sekarang aku akan tertidur dalam sebuah kabut keabadian yang
telah Tuhan sediakan untukku. Terlelap dalam kedamaian. Aku titip persahabatan kita, aku titip
perasaanku, dan aku titip semua hal yang sudah kita lewatin bersama. Aku yakin kamu enggak
bakal pernah lupa sama aku. Aku sayang kamu, Dek. Maaf aku enggak bisa nemenin kamu lebih
lama lagi, meskipun sebenarnya aku pengen banget ngelakuin itu.
Deka menyelesaikan kalimat terakhir yang ditulis oleh Arum dengan linangan air mata.
Dia tidak pernah menyangka dibalik pribadi Arum yang selalu ceria, tersimpan kesedihan yang
begitu dalam, tersimpan sebuah penyakit yang mengancam nyawanya. Dia terlambat menyadari
itu, dia terlalu terlena dengan keceriaan yang disuguhkan oleh Arum, tidak terlalu peka untuk
menyadari ketakutan dibalik semua senyumnya.
Dapat terbayang dalam benaknya, saat dimana Arum harus sendiri menunggu kematiannya,
saat dimana Arum merasakan kesepian yang teramat sangat ketika dia harus menghadapi
penyakitnya itu. Bahkan mungkin saat Arum bersama dirinya, dia merasakan sepi itu. Deka
menyesali dirinya yang terlambat menyadari semuanya.
Pemuda itu menarik napas terberat yang pernah dia lakukan dalam hidupnya. Baru kali
pertama dia merasakan kehilangan orang yang benar-benar berarti, membuatnya harus terpuruk
dalam kesedihan yang begitu dalam.
Deka mengusap air mata yang mengalir dipipinya. Sekali lagi dia menarik napas dalam-
dalam, paling dalam dari semua tarikan napas yang pernah dia lakukan.
Jalan kota Solo begitu lengang, seolah semua penduduk kota itu ikut merasakan duka
seperti yang Deka rasakan. Dia memacu motornya dalam keheningan berbeda, dalam kebisuan
yang tidak biasa. Deka merasa ada sesuatu yang tertinggal di kota itu saat harus meninggalkannya.
Jatuhnya Air Mata
“Musuh lama kembali. Dendam yang tidak pernah padam menggugurkan sehelai daun.”
Scoby sedang memacu motornya setelah dia mengantarkan Rosita pulang. Mesin motor
menderu-deru. Jalan menuju kampusnya memang bukan jalan yang lancar untuk dilewati. Perlu
melewati tanjakan yang cukup terjal.
Udara begitu menyengat, matahari sedang ganas-ganasnya memancarkan sinar ke bumi.
Dan hal itu berpengaruh pada aktivitas sebagian penduduk Semarang. Jalan yang di lewati Scoby
begitu lengang, nampak sepi.
Sampai di sebuah tanjakan, seorang pengendara sepeda motor memepetnya. Scoby yang
tidak siap sontak menginjak pedal rem, membuat sepeda motornya oleng dan membawanya jatuh
terjerembab.
Pengendara itu nampak berhenti dan turun, lalu menghampiri Scoby. Ia membuka helmnya,
menampakkan wajah yang langsung membuat Scoby terkejut.
“Masih inget aku?”
“Tentu aku inget, orang yang udah matahin tangan ini.”
Scoby langsung bangkit. Rasa sakit yang mendera sontak hilang ketika dia mendapati Lexi
berdiri di hadapannya.
“Mau apa lagi?”
“Aku kesini cuma pengen ngasih tahu, kalo temen-temenmu udah bikin malu waktu itu.
Dan sejak itu dendam ini nunggu-nunggu buat dilampiasin. Sekarang saatnya.”
Scoby menatap lexi dengan penuh waspada.
“Mungkin kalian lupa sama kejadian itu. Tapi aku nggak bakal lupa.”
“Oh, waktu itu kamu udah kalah, dan belum kapok juga? Baiklah.”
Scoby langsung melompat dan menerjang Lexi dengan kekuatannya, dia merobohkan Lexi
yang saat itu terlihat tidak siap dengan serangan secara mendadak yang dilakukan Scoby. Scoby
tidak ingin kejadian dulu terulang. Dia lebih memilih untuk menyerang terlebih dulu.
Lexi yang tersungkur segera bangkit dan membalas serangan Scoby, pergumulan terjadi
diantara keduanya. Jual beli pukulan berlangsung, masing-masing tidak ada yang mau mengalah
dan menghentikan adu jotos itu. Darah keluar dari lubang hidung Lexi saat Scoby dapat dengan
cepat mengarahkan pukulan tangan kanannya di wajahnya.
Lexi yang dilandasi rasa dendam makin memuncak amarahnya, dengan beringas dia
menyerang Scoby secara membabi buta, membuat pemuda itu kewalahan untuk menangkis
serangan yang diterima. Sampai akhirnya fisik menentukan, Lexi yang memiliki postur lebih besar
mendapatkan peluang, dia langsung menusuk perut Scoby.
Sebuah pisau belati berlumuran darah yang berada dalam genggamannya membuat Lexi
panik, dia langsung menjatuhkan pisau itu dan berlari ke arah motor. Terlalu terburu-buru dan
ketakutan, sampai tidak menyadari ada sebuah mobil yang berjalan sangat cepat dibelakangnya.
Gerakan yang tiba-tiba membuat sopir mobil itu kaget. Beruntung ia sempat memutar stir
kemudi, menghindari tubrukan yang lebih parah. Namun Lexi tetap terpental karena benturan,
kepalanya menghantam aspal, darah segar langsung mengalir membentuk sungai kecil.
Mobil itu menancap gas, kabur begitu saja meninggalkan mereka berdua.
Saat hampir kehilangan kesadarannya, dia melihat Scoby yang bersimbah darah berjalan
mendekat, satu tangannya memegang perut yang terus mengeluarkan darah akibat tusukan.
Matanya mulai meredup, Lexi melihat lawannya itu berjongkok disampingnya.
Scoby mengambil handphone dari saku celana. Samar-samar Lexi mendengar dia berbicara
dengan seseorang.
“Halo, rumah sakit, cepat kirim ambulans, ada kecelakaan di sini.”
Setelah itu suara Scoby semakin mengecil sampai akhirnya menghilang dari
pendengarannya. Lexi pingsan.
Dengan nada yang semakin lemah Scoby terus berbicara kepada seseorang di rumah sakit.
Tangannya yang semakin lemah menjatuhkan handphone. Dia menunduk, darah terus mengalir
dari lukanya. Scoby memucat, tubuhnya menggigil, perlahan kesadarannya menipis dan Scoby
pun jatuh tersungkur di samping Lexi.
Suasana pemakaman terlihat sepi di beberapa sudutnya, jejeran batu nisan yang terukir
nama membentuk barisan rapi, tumbuhnya banyak pohon kamboja memayungi setiap gundukan
tanah kering penyimpan jasad, seakan melindungi semua tulang belulang di bawahnya dari
sengatan matahari.
Rombongan pengantar jenasah yang didominasi warna hitam itu masuk beriringan
menyusuri jalan setapak berpaving di dalam areal pemakaman. Empat orang yang menggotong
keranda berisi jenasah berjalan paling depan, sementara di belakangnya seorang wanita tua yang
telah memiliki keriput-keriput pada sekitar wajah menangis tersedu-sedu, membuat kerutan di
wajahnya semakin jelas terlihat.
Mereka tiba pada di depan lubang persegi panjang yang baru selesai digali beberapa menit
yang lalu, terlihat dari warna tanahnya yang masih merah. Dengan hati-hati tiga orang lain turun
ke dalam dan menyambut jenasah dengan kedua tangannya, lalu dengan pelan jenasah diletakkan.
Ibu itu menangis semakin jadi ketika jasad putranya menghilang tertutup tanah. Meraung-
raung, mengeluarkan tangisan yang benar-benar menyayat hati orang-orang di sekitarnya, sampai
akhirnya wanita tua yang terlihat pucat itu tertunduk lemas di hadapan makam anaknya, tenaganya
benar-benar terkuras oleh tangisan yang tak pernah berhenti.
Sebuah kayu nisan segera tertancap saat gundukan tanah itu selesai menutupi semua
lubang. Dapat terbaca dengan jelas nama yang terukir pada kayu itu.
Scovita
Lahir
19-04-1995
Wafat
20-11-2018
Kerumunan pengantar jenasah meninggalkan pemakaman beberapa saat setelah seorang
ustadz membacakan do’a untuk si jenasah, hanya tersisa lima orang laki-laki dan satu gadis muda
yang masih memandangi gundukan tanah merah itu dengan tatapan kehilangan.
Deka, Bagas, Ringgo, Yoga, dan Firman memandang punggung Rosita yang bergetar
karena tangisannya. Dia berjongkok di samping makam, menaburi bunga di atasnya lalu
memejamkan mata, berdo’a untuk jenasah Scoby. Deka menepuk pundak Rosita, seakan
menyuruhkan untuk bangkit dan beranjak dari tempat itu.
Hari memang hampir petang dan mereka harus segera pulang ke Semarang.
Deka menjalankan laju mobil dengan kecepatan sedang. Matanya menatap lurus ke aspal
jalanan yang mulai diterpa sinar-sinar lampu kota berwarna kuning. Rosita berada disampingnya,
masih menangisi kepergian Scoby, tak henti-henti air mata mengalir dari kedua matanya. Dia
begitu merasa kehilangan.
Kata-kata hiburan yang diucapkan kelima sahabat kekasihnya itu tidak berhasil membuat
Rosita tenang. Dia tetap berduka dan menangis, Bagas dan Yoga duduk di jok kedua, sementara
Ringgo dan Firman di belakangnya. Mereka semua menunduk, terdiam, tak ada yang memulai
percakapan. Masing-masing masih sibuk dengan perasaan duka yang menyelimuti hati. Semua
masih belum benar-benar percaya akan hal ini.
Deka menginjak pedal rem saat mobil itu memasuki area rumah Rosita.
“Ikhlasin, ya Ros,” bujuk Deka, meskipun mimik wajahnya sendiri sama sekali tidak
menunjukkan keikhlasan itu.
Rosita keluar dari mobil tanpa menjawab, dengan berlari dia langsung masuk ke dalam
rumah. Deka memejamkan mata dan menghela napas, lalu menjalankan mobilnya meninggalkan
rumah Rosita.
Mobil mereka memasuki pekarangan kos-kosan tepat pukul sembilan malam. Bagas dan
Yoga turun dari mobil disusul Ringgo dan Firman, kemudian Deka membuntuti. Kelima remaja
itu masuk dengan raut wajah kelelahan dan tergambar kesedihan di ekspresi mereka. Semua masih
membisu.
Firman mempercepat langkah, mendahului Ringgo dan Yoga, menghampiri Bagas yang
berjalan paling depan. Dia membalikkan tubuh Bagas dan meninjunya, tersirat emosi dan penuh
kekesalan yang besar saat dia melakukannya.
Semua terkejut, tidak menduga dan tidak mengerti maksud dari tindakan yang dilakukan
Firman, termasuk Bagas sendiri.
“Anjing! Kamu yang udah bikin Scoby mati!”
“Apa maksudmu?”
“Gara-gara kamu, yang lebih mentingin diri sendiri, yang lebih ngutamain perasaanmu buat
Alena. Ngakunya sahabat tapi nyatanya kamu sama sekali bukan sahabat yang baik.”
“Brengsek,”
Bagas tersentak mendengar omongan yang terlontar dari mulut Firman, emosinya
meninggi, tersinggung dengan apa yang dia dengar. Dengan penuh amarah ia langsung menerjang
Firman hingga keduanya terlibat adu pukul.
Adu jotosan itu baru berhenti saat Yoga dan Ringgo memegang tubuh keduanya,
memisahkan mereka. Deka berdiri di tengah-tengah, tangannya direntangkan, membuat jarak
diantara Bagas dan Firman.
“Apa yang kalian berdua lakuin? Apa seperti ini cara kalian menunjukkan rasa sedih kalian
kehilangan sahabat?”
“Dia, Dek, dia yang punya masalah sama Lexi, dia yang menyulut api. Tapi dia enggak
bisa nyelesein masalahnya sendiri sampai-sampai Scoby yang harus mati. Itu semua gara-gara
dia!” Firman masih belum bisa meredakan emosinya, dia terus berbicara dengan nada tinggi.
“Aku enggak pernah menginginkan ini, kamu jangan sembarangan kalo ngomong.” Bagas
membela diri, dia berontak dari rangkulan Yoga.
“Tenang! Kalian berdua tenang!”
“Kita semua enggak pernah ingin ini terjadi. Enggak aku, Yoga dan Ringgo, enggak juga
kalian berdua. Semua sedih Scoby meninggal, sama seperti kamu.” Deka menunjuk Firman dengan
pandangannya.
“Tahan emosi kalian, percuma. Percuma kalo saat ini kalian mesti ribut, bukan itu yang
Scoby mau.” lanjutnya.
“Percuma kamu bilang? Terus apa? Apa yang bisa kita lakuin?” Firman berbicara sambil
mondar-mandir, dia tampak gelisah.
“Coba kalo kalian nurut sama aku dulu, enggak bakal kayak gini, mending kita hajar duluan
Lexi waktu itu.”
“Kita memang sudah menghajarnya, dan justru itu yang membuatnya dendam.” Ringgo
menanggapi.
“Dan nyatanya, itu enggak menyelesaikan masalah.” Tambah Deka.
“Itu yang bisa kamu bilang sekarang? Kamu selalu mikir seperti itu, lihat hasilnya, lihat!
Scoby mati, siapa yang bertanggung jawab?”
“Kamu bilang semua akan baik-baik aja, kamu yang selalu ngatur kita, sok kuasa,
semuanya kamu yang nentuin, tapi buat ngelindungin satu sahabat aja enggak becus, aku muak
sama sifat kamu!”
Deka terdiam mendengar omongan Firman. Dia emosi dan tersinggung, tapi tidak
melakukan tindakan apapun, tidak juga berbicara untuk membela diri. Firman beranjak dari tempat
itu, dia sempat menabrakkan tubuhnya ke bahu Bagas, lalu membanting pintu kamar keras-keras.
Brak!”
Semua masih terdiam, saling menunduk. Bagas berjalan ke arah kamar, menutup dan
mengunci pintu. Deka mengambil kunci motor, lalu berjalan keluar menuju garasi, beberapa detik
kemudian suara motornya terdengar, hingga akhirnya menghilang dikejauhan. Hanya tersisa
Ringgo dan Yoga yang masih berdiri terdiam di tempat itu.
Keduanya saling memandang bingung tidak tahu apa yang mesti dilakukan. Sama-sama
merasakan kekecewaan dengan yang baru saja terjadi diantara mereka. Disaat mereka semua
berduka, justru harus ada pertengkaran yang terjadi.
“Aku masuk kamar dulu ya. Aku musti packing.” Ringgo memecah keheningan.
“Kamu jadi pulang besok?”
“Iya, besok pagi. Sehari itu aku mau ngumpul bareng keluarga, bapak ibu, sebelum lusa
berangkat ke Amerika.”
“Aku bantu ya?”
“Enggak usah. Aku tau kamu capek, istirahat aja. Aku juga pengen sendiri.”
“Ya udah. Kalo butuh bantuan, aku di kamar.”
Ringgo mengangguk, lalu berjalan masuk kamar. Suasana semakin hening, tidak ada suara
sama sekali. Rumah yang biasanya terisi keceriaan dan terdengar gelak tawa dari dalamnya.
Malam itu berlalu dengan kesunyian yang berbeda.
Deka duduk di atas motor, matanya menatap kosong ke arah lampu-lampu kota Semarang
yang berkelap-kelip. Kejadian yang terjadi membuatnya sedih, kecewa dan marah. Tapi dia sama
sekali tidak tahu kepada siapa dia harus meluapkan itu.
Setelah dia menjalankan motornya keluar dari kos. Dia tidak tahu harus kemana, hanya
terus berjalan kemanapun hatinya mau.
Deka merasa sangat menyesal, entah untuk apa, yang jelas dia benar-benar kecewa pada
dirinya sendiri. Mungkin karena kematian Scoby. Masih teringat jelas bagaimana wajah ibu
sahabatnya itu saat mendapat kabar anaknya masuk rumah sakit karena ditusuk oleh seseorang,
terlebih saat Scoby menghembuskan napas terakhir, dia benar-benar masih dapat
membayangkannya dengan jelas, bagaimana kesedihan yang ditunjukkan oleh wanita tua itu.
Semua masih tampak nyata.
“Ya Alloh…Ya Gusti…Apa dosa hambamu? Ampun pundhut2 anak kulo Ya Alloh. Jangan
ambil anak saya. Kalau memang harus biar saya saja yang Gusti pundhut.”
“Leh, Leh, tego temen kamu ninggal Ibu? Ora sa’ake kamu karo ibu? Ibumu iki uwis tuwo,
uwis ora dhuwe sopo-sopo, kamu malah tego ninggal Ibu. Tangi Leh, tangi.3”
“Bapakmu sudah meninggal, sekarang kamu anak ibu satu-satunya. Terus Ibu karo sopo?4
Ibu uwis wegah urip Leh, Ibu melu kamu karo Bapakmu ae.5”
Scoby akhirnya meninggal setelah satu hari dia dirawat di rumah sakit, kehilangan banyak
darah membuatnya tidak mampu untuk terus berjuang melawan kematian. Sementara Lexi yang
juga ikut di rawat di rumah sakit yang sama menceritakan semua kejadian yang sebenarnya kepada
polisi dan menyerahkan diri.
Semua masih terngiang di telinga Deka, kejadian itu terus berputar dipikirannya. Matanya
masih menatap ke arah kolam, sebuah benda cair muncul di sudut mata.
Seketika itu juga dia kembali teringat sosok Arum Ndalu, wanita yang selalu bisa
membuatnya terus tersenyum, dia teringat janjinya kepada Arum Ndalu. Dengan punggung
tangannya dia menghapus air mata itu.
Aku kangen kamu, Rum.
2 Ambil 3 Nak, tega sekali kamu meninggalkan Ibu? Apa kamu tidak kasihan pada Ibu? Ibu mu ini sudah tua, sudah tidak punya siapa-siapa, kamu malah tega meninggalkan Ibu. Bangun Nak, bangun. 4 Sama siapa? 5 Ibu sudah tidak mau hidup Nak, Ibu ikut kamu dan Bapakmu saja.
Perpisahan
“Satu persatu, jiwa-jiwa yang pernah saling berbagi mulai pergi.”
“Kemana, Man?” Yoga mendapati Firman tengah memasukkan beberapa baju ke dalam tas
punggungnya.
“Jogja.”
“Berapa hari?”
“Sesukaku.”
Yoga menghela napas, “Man, boleh aku bicara?” ia terlihat hati-hati.
“Ngomong aja, nggak ada yang ngelarang.”
Yoga berjalan masuk ke dalam kamar dan duduk di samping Firman yang masih melipat
baju. Ia terdiam beberapa saat sambil terus memperhatikan teman kosnya itu.
“Ini bukan salah Bagas,”
Firman tidak menanggapi, ia masih menyibukkan diri. Kali ini Firman memasang jam ke
tangan kirinya, kemudian nampak mencari sesuatu di meja sampai akhirnya tangannya meraih
dompet kulit di atas buku.
“Dan aku pikir kata-katamu untuk Deka tadi malam,”
“Aku tahu itu keterlaluan.” Firman memotong kalimat Yoga, membuat Yoga terdiam.
“Asal kamu tahu aku memang menyesal mengatakannya, tapi memang seperti itu
kenyataannya.”
“Apa kalian harus seperti ini? Kenapa kalian malah bersikap seperti anak kecil. Bagas dan
Deka, aku tak melihatnya sejak semalam. Entah di mana mereka.”
Yoga menatap laki-laki didepannya dengan sedih, “Kita sahabat, kan?”
Firman mencibir, “Lupakan tentang sahabat, sekarang semuanya sudah berbeda.”
“Tapi,”
“Dan berhentilah membahas masalah ini, sebelum aku juga membencimu.” Firman
kembali memotong kata-kata Yoga.
Yoga menyerah, ia menunduk dan memejamkan mata, “Apa kamu tidak bisa menunda
keberangkatanmu, besok Ringgo berangkat.”
Firman tak menjawab, ia melangkah pergi meninggalkan Yoga yang menatap
punggungnya dengan tatapan kecewa. Pemuda itu kembali menghela napas, membiarkan Firman
berlalu dari tempat itu.
“Yoga terus melihat jam dinding yang tertempel di tembok Bandara Ahmad Yani, sudah
empat kali dia melakukan itu sejak setengah jam yang lalu. Raut wajahnya gelisah.
“Sampai kapan terus mondar-mandir sambil liat jam kayak gitu? Mending copot aja jam
itu terus pasang di muka.” Ringgo yang duduk di kursi Bandara tak tahan untuk menggodanya.
Kedua orangtua Ringgo ikut tersenyum dan geleng-geleng kepala.
Sementara Diandra terus terdiam sejak mereka tiba, kesedihan menjalar di setiap sendi.
Hari ini, dia harus merelakan kekasihnya pergi ke tempat yang jauh, Diandra merasa begitu berat
melepaskan, dia tidak bisa membayangkan betapa kosong hidupnya tanpa senyum dan canda yang
sering dia lakukan bersama Ringgo, betapa nanti dia akan merasakan kerinduan yang begitu besar
akan kehadiran sang kekasih disampingnya.
Tanpa terasa air mata muncul di pelupuk mata. Diandra segera menghapus itu, dia tidak
ingin Ringgo melihat kesedihannya, dia tidak ingin menjadi penghalang bagi kekasihnya untuk
menggapai cita-citanya.
Aku engga boleh egois, pikir Diandra.
“Aku udah bilang sama mereka semalem, kalo kamu mau berangkat hari ini. Aku juga
nyuruh mereka dateng, tapi sampai sekarang belum dateng-dateng juga, padahal sebentar lagi
kamu bakal berangkat.”
“Udahlah Yog, kalau mereka enggak dateng juga enggak apa-apa kok, pasti ada
alasannya.”
“Kamu bisa dateng aja udah cukup, aku udah seneng. Aku anggep kamu ngewakilin
mereka.”
“Tapi kan kamu mau pergi jauh, lama pula. Entah kapan kita bisa kumpul bareng lagi.”
“Udah, enggak apa-apa, yang penting ada satu di sini.”
“Maafin mereka yah.”
“Maaf? Mereka kan enggak punya salah apa-apa sama aku, kenapa kamu minta maaf?”
“Tapi,”
“Udahlah Yog, aku enggak apa-apa, beneran.”
Sebuah pengumuman yang memberitahukan pesawat menuju Jakarta akan berangkat
sebentar lagi terdengar di seantero Bandara. Ringgo bangun dari duduknya, begitu juga dengan
orangtuanya dan Yoga.
“Pak, Bu, Ringgo berangkat sekarang ya. Do’ain biar bisa selamat sampai pulang nanti.
Do’ain juga biar bisa jadi orang sukses.”
Ibu Ringgo menangis, dia memeluk anak laki-lakinya itu dengan erat, pelukan hangat
seorang ibu yang akan berpisah lama dengan anaknya, pelukan yang akan sangat dirindukan
Ringgo.
“Hati-hati yah, Nak. Jaga diri baik-baik di sana. Jaga pergaulanmu, jangan lupa sholat.”
Pesan ibunya.
Ringgo mengangguk, mendengarkan pesan dari ibunya, memasukkan ke hati, mematrinya
kuat-kuat.
“Iya Le, jangan macem-macem di negara orang, ora usah neko-neko. Yang penting kamu
belajar saja biar bisa cepet pulang dan kumpul lagi sama kami,” tambah bapak Ringgo sambil
mengelus rambut anaknya.
“Insya Alloh Pak, Bu. Yang penting restu dari bapak sama ibu tidak berhenti. Ringgo bakal
berusaha untuk cepat lulus, biar cepat juga balik ke Indonesia.”
Ringgo beralih kepada Diandra, “Aku berangkat yah, kamu jaga diri disini. Do’ain aku.”
Dia menghapus air mata yang mengalir di pipi gadis itu, “Aku janji, aku bakal sering kirim
surat buat kamu. Aku bakal terus kasih kabar ke kamu. Aku janji cuma kamu yang ada dalam
perjalanan cintaku, kamu harus percaya itu,” lanjutnya, mencoba meyakinkan Diandra,
menguatkan hati gadis itu, dan hatinya sendiri.
Diandra mengangguk, “Iya aku percaya. Kamu juga enggak perlu khawatir sama aku disini,
aku akan terus nunggu kamu pulang, aku akan terus di sini sampai kamu ada disisiku lagi suatu
saat nanti.”
“Aku berangkat ya, Yog. Doain aku,”
“Pasti, pasti aku do’ain kamu. Jangan lupa kirim surat buat kita semua nanti, yah,” jawab
Yoga tenang.
“Iya, aku usahain. Salam buat yang lain,”
Saat Ringgo mengucapkan kalimat itu, matanya menangkap sosok yang dia kenal berjalan
di kejauhan, mendekatinya. Bagas dan Deka bersamaan menghampiri kelompok itu, disusul
Firman yang berjalan dari arah lain. Ringgo tersenyum bahagia, semua sahabatnya ternyata
memang benar-benar seorang sahabat sejati, dan mereka datang, Yoga tersenyum lega.
“Heh, kamu mau ninggalin kita tanpa pamit? Gue hajar juga lo,” canda Deka pura-pura
marah.
“Tau tuh, enggak inget siapa yang dulu nemenin ngumpulin formulir beasiswa ini? Udah
diterima mau kabur aja,” tambah Bagas.
“Kalian semua, makasih banget yah. Aku seneng kalian pada dateng nganterin
kepergianku. Aku sempet sedih tadi, kirain pada enggak kesini.”
“Enggak mungkin kita enggak dateng, kita semua sahabatmu, apalagi kamu mau lama
disana, entah kapan kita bisa ketemu lagi,” Deka mencoba mewakili semua sahabatnya itu.
“Kita pasti ketemu lagi kok, entah kapan itu, dan dimana, pasti kita bakal ketemu lagi, aku
yakin itu.”
Semua mengangguk, setuju dengan perkataan Ringgo. Suatu saat, pasti akan ada waktu di
mana mereka akan berkumpul lagi, bisa tertawa dan bisa bercanda bersama lagi. semua yakin akan
hal itu, meskipun mereka masih sama-sama belum tahu, kapan itu akan terjadi.
Lalu Ringgo berjalan menjauh, melambaikan tangan pada semuanya dan menghilang di
balik tembok.
Kedua orangtua Ringgo memohon pamit kepada empat sahabat putranya setelah hampir
lima menit mereka semua hanya diam berdiri semenjak bayangan Ringgo lenyap. Firman berjalan
meninggalkan tempat itu tanpa berkata apa-apa. Bagas, Deka dan Yoga hanya bisa melihat
punggung Firman yang perlahan menjauh dari mereka.
Semua hanya bisa terdiam, ada rasa sepi yang menjalar di hati mereka, dan perasaan itu
tidak menghilang ketika Deka mengajak Bagas, Yoga, dan Diandra untuk pulang.
Wisuda
“Akan ada kisah persahabatan yang baru di tempat ini, yang pasti lebih menyenangkan.”
Sebuah sepeda motor berwarna orange memasuki pelataran kos, pengemudinya yang juga
berseragam sewarna dengan motornya turun dari atas motor, lalu berjalan menuju pintu. Laki-laki
tua itu mengetuk pintu.
“Permisi,”
Deka yang sedang membaca buku sambil tiduran di kamar bangkit dan beranjak ke depan.
“Permisi Mas, ada surat buat mas Deka.”
“Iya saya Deka, surat dari siapa?”
Petugas pos itu menyerahkan sebuah amplop berwarna coklat, sedikit agak besar, pada
sudut kiri bagian depan tertulis alamat United States Post Office, New York, NY 10095.
“Dari Amerika Mas.”
Deka terkejut.
Petugas pos pamit setelah Deka menerima amplop itu dan mengucapkan terima kasih,
Decky Setiawan
New York University
New York, United State of Amerika
Mata Deka berbinar-binar mengetahui memang Ringgo yang mengirim surat itu. Dengan
tidak sabar dia merobek ujung amplop dan mengeluarkan isinya. Deka memanggil Yoga dan
Bagas.
“Mana? Mana?” tanya Yoga tidak sabar.
“Nih.”
“Isinya yang ini,” lanjut Deka menunjukkan beberapa lebar kertas putih dengan tulisan
tangan Ringgo di dalamnya.
“Cepat bacain,”
Assalamu’alaikum.
Sebelumnya aku mau ngomong, kalau aku sehat-sehat aja di sini, aku juga baik-baik aja.
Cuma kadang masih belum terbiasa sama salju, gilaa, dingiiin banget. Kalian iri kan?hahaha.
Aku harap kalian juga masih rukun kayak dulu. Sori aku baru ngirim surat buat kalian
setelah lima bulan keberangkatanku. Banyak banget yang kudu diurusin, aku juga kudu adaptasi
dulu sama lingkungan yang baru ini. Tapi yang penting akhirnya aku bisa ngirim surat kan?
Guys, aku kangen sama kalian semua, aku belum punya banyak temen di sini, jadi sering
ngerasa kesepian, dan kalo lagi ngerasa sepi kayak gitu aku inget kalian, inget masa-masa jaya
kita dulu, saat-saat kita bisa kumpul lengkap, aku, Deka, Bagas, Scoby, Yoga dan Firman, kita ber
enam. Saat itu semua hal jadi terlihat enggak penting, yang penting kita semua seneng dan ketawa.
Enggak peduli banyak yang nggak suka sama kelakuan kita, kita bebas merdeka. Aku kangen saat-
saat itu.
Guys, kalian semua masih bareng kan? Bagas sama Firman udah nggak perang dingin
lagi kan? Deka juga, aku harap kalian udah bisa terima kepergian Scoby dengan ikhlas tanpa
saling nyalahin. Jujur dulu aku kecewa sama kalian, kalian justru pecah saat seharusnya kita
sama-sama saling nguatin karena kematian Scoby. Tapi ya udah, semua udah berlalu, yang
penting sekarang kalian semua harus rukun, seperti dulu lagi, karena kalian semua sahabat
terbaik yang pernah aku miliki. Oh ya, aku mau cerita sedikit tentang suasana kota dan kampusku
yang baru ini, bukan maksudku mau pamer, apalagi ngerendahin Indonesia, tapi emang di sini
bener-bener lebih maju dari pada Indonesia. Alatnya lengkap banget, semua alat musik ada, aku
tinggal milih mana yang pengen dimainin, semua tersedia. Keteraturannya juga lebih terjaga, itu
yang bikin aku nyaman, di samping orang-orangnya yang baik dan ramah-ramah, juga
lingkungan yang bersih. Dan yang lebih bikin aku betah, cewek-ceweknya bule semua man,
gokiiil! (Padahal yang bule disini malah aku, hehe. Rahasiain dari Diandra ya)
Yah, meskipun sampai sekarang aku belum bisa nyiptain lagu sendiri tapi bentar lagi pasti
bisa kok, aku harap gitu. Aku juga mau nyari personil band baru. Eh, kemarin aku sempet nonton
konsernya Avenged Sevenvold lho, langsung Man, kampusku yang ngadain. Gila enggak tuh?
Keren abis pokoknya. Tapi kalian semua tenang aja, aku bakal tetep cinta Indonesia kok, aku
enggak bakal lupa sama omonganku, enggak ada yang bakal ngalahin luar biasanya Indonesia di
hatiku. Bagiku, Indonesia tetep nomor satu, kerana ada orang-orang yang aku sayangi disitu,
termasuk kalian. Dan aku juga sama sekali nggak tertarik bikin puisi dadakan buat negara ini,
hehehe
Ya udah, itu dulu yang mau aku sampein, tangan sama mataku udah pegel nih. Kapan-
kapan aku kirim surat lagi kalau lagi kangen sama kalian. Aku tunggu balesan kalian. Suatu saat
nanti kita semua pasti bakal kumpul dan bareng lagi. Aku enggak sabar nunggu hari itu. Oh iya,
aku nitip surat buat Diandra yah, tolong sampein ke Diandra.
Angin berhembus, meniup daun kering yang telah jatuh dari rantingnya, membawa daun
itu pergi menjauh meninggalakan daun-daun yang lain. Suatu saat, ranting yang telah ditinggalkan
daun kering itu akan menumbuhkan satu daun lagi, yang akan melengkapi daun yang lain.
“Sepi yah, rasanya beda banget sama yang dulu,”
“Iya, kosong banget rasanya di sini.” Yoga menanggapi omongan Bagas.
“Bener kata Ringgo, kita semua kangen masa-masa kita masih lengkap dulu, sayangnya
kangen itu tidak mungkin terobati.”
“Bisa kok,” sambar Deka mantap.
“Kita bisa ngobatin kangen kita, meskipun kita tidak selengkap dulu.”
“Maksudnya?”
“Dari pertama kita masuk kos dulu, kita ber enam. Sampe kapan pun, kita tetap akan ber-
enam, di sini, di hati kita. Kalian masih nganggep kalau kita semua adalah sahabat kan?”
“Scoby masih ada di hati kita, dia masih hidup hi hati kita. Dan Firman, meskipun kita
enggak tahu dimana dia sekarang, dia juga masih tetap menjadi bagian dari ‘kita’ nya kita, itu yang
kudu kita yakini saat ini.”
“Jadi, sampe kapanpun kita ber-enam akan tetap ada, akan tetap lengkap seperti dulu,”
tambah Bagas.
“Benar. Di sini, di hati kita masing-masing,” lanjut Deka sambil menunjuk dadanya.
“Selamanya, enam itu akan terus ada.” Yoga tidak mau ketinggalan dua sahabatnya yang
terlihat bersemangat.
“Betul, bahkan nanti, saat kita telah lulus dan menjalani hidup kita masing-masing, akan
ada enam sahabat lagi yang akan datang ke rumah ini, bukan menggantikan kita, tetapi melanjutkan
cerita persahabatan kita,” kata Deka dengan mimik muka yang lebih ceria dari sebelumnya.
“Dan mereka akan selamanya menjadi sahabat, sampai kapanpun.”
“Seperti kita.”
“Ya, seperti kita.” Tutur Deka dan Bagas secara bersamaan.
“Sekarang tugas kita adalah menyelesaikan kuliah. Aku akan merampungkan skripsiku
yang sedikit terlambat ini,” Deka melangkah masuk ke dalam kos.
“Ya, kita juga harus menyeleseikannya.” Yoga mengajak Bagas menyusul Deka.
Dan akhirnya hanya tinggal mereka bertiga yang menempati rumah itu. Mereka menjalani
semuanya dengan berwarna lagi, sama seperti saat semua masih berkumpul, saat semua masih ada
membagi cerita, membagi suka dan duka.
“Bagas, geser sedikit ke kiri. Lebih mepet lagi sama Yoga,” Alena memerintah kekasihnya,
kamera menempel di wajah Alena.
Bagas menurut dan menggeser tubuhnya agar lebih mendekat kepada Yoga. Sementara
Yoga dan Deka mengatur gaya mereka masing-masing dengan sembarangan.
“Sip, sekarang cheese.” Alena menekan tombol kamera dengan jarinya beberapa kali,
mengabadikan tingkah konyol tiga orang laki-laki yang masih sibuk bergaya di bawah bidikan
kamera Alena.
Tiga laki-laki itu berangkulan, sedetik kemudian ketiganya melepaskan toga yang masih
terpasang di kepala mereka masing-masing, lalu melemparkannya ke udara. Diiringi tawa keluarga
yang memperhatikan polah tingkah tiga sahabat itu.
Deka mengepalkan tangan dan mengangkatnya ke udara, “Aku luluuuuuus!” Ia berteriak
sambil melompat.
Mereka kembali tertawa. Alena mengahmpiri Bagas, memberikan selamat dan
mendaratkan sebuah kecupan di pipi kanan Bagas.
Bagas meminta kamera yang masih dipegang Alena, lalu menyerahkannya kepada Yoga.
“Fotoin aku sama Alena, Yog.”
Yoga menerima kamera itu, lalu membidikan mata lensa ke arah Bagas dan Alena yang
langsung berpose beberapa kali. Kemudian ia memindahkan sasaran ke arah Deka yang tengah
berjalan mendekati orang tuanya.
Jepret, Yoga menangkap momen ketika Deka mencium punggung tangan ibu dan
bapaknya.
“Selamat ya, Nak. Akhirnya kamu berhasil,”
“Terima kasih untuk semuanya, Bu. Ini untuk ibu, untuk bapak juga.”
Deka membiarkan tubuhnya dipeluk oleh laki-laki tua yang selama ini telah mendoakan
keberhasilannya tersebut, ia lalu membalas pelukan ayahnya.
“Kamu sudah menjadi pria dewasa sekarang,”
Deka, Bagas, dan Yoga melangkah menyusuri area kampus. Matahari bersinar hangat
menemani langkah mereka menapaki jejak demi jejak tempat itu. Sore hari setelah wisuda, mereka
bertiga sepakat satu hari lagi berada di Semarang.
“Akhirnya kita lulus juga,” Yoga berjalan paling depan, disusul kedua rekannya yang
berjalan dibelakang.
“Ya, walapun harus terlambat satu semester,” jawab Bagas sambil tersenyum.
Deka dan Yoga menyambut kalimat Bagas dengan tertawa kecil.
Deka menyalakan rokok, lalu menghembuskan asapnya ke udara. “Tidak pernah ada kata
terlambat untuk sebuah keberhasilan.”
“Setelah ini, kalian mau kemana?” Bagas meminta satu batang rokok dari Deka dan
membakarnya dengan korek api.
“Aku akan pulang ke kotaku. Mencari kerja di sana,” jawab Deka.
“Aku juga demikian,” Yoga menyambung kalimat Deka.
“Kamu sendiri?”
“Aku juga akan pulang, sudah ada beberapa tawaran pekerjaan di sana,”
Ketiganya berhenti di sebuah gazebo, sebuah bangunan terbuka yang terbuat dari kayu,
bangku panjang berjejer di tempat itu. Yoga duduk sambil menyandarkan punggungnya kepada
tiang penyangga.
“Sebenarnya aku pengin kita berenam berada di sini bersama-sama, dalam momen yang
seperti sekarang ini,” Yoga mengedarkan pandangannya, nampak beberapa mahasiswa yang masih
mengenakan baju wisuda tengah berfoto dengan rekan-rekan mereka.
“Selalu ada saat di mana kita tidak dapat menikmati apa yang ingin kita rasakan,” Deka
menepuk pundak Yoga pelan.
“Meskipun kita hanya bertiga sekarang, tetapi kita masih bisa meraih apa yang memang
layak kita raih. Dulu kita memang ingin wisuda bersama-sama, tapi Tuhan selalu punya rencana
yang tidak pernah kita ketahui,” lanjutnya panjang.
“Tapi percayalah, Tuhan selalu menyiapkan rencana maha indah buat umat-Nya.” Bagas
menyahut.
Yoga mengangguk, “Semoga itu juga berlaku buat Firman. Aku tidak pernah melihatnya
lagi sejak di bandara dulu.”
“Kita hanya bisa mendoakannya.”
“Kalian masih menganggapnya sahabat, kan?” Yoga menatap Bagas dan Deka bergantian.
“Tentu saja, tidak ada yang bisa merubah itu,” jawab Bagas pasti.
Deka menjatuhkan gabus rokok ke lantai dan menginjaknya, “Tidak ada sahabat yang
sebaik kalian. Dan seburuk apapun kalian, aku tidak akan menggantinya dengan orang lain.”
Yoga tersenyum puas mendengar jawaban dua orang sahabatnya.
Pulang
“Selama tidak ada kalimat perpisahan, maka kita tidak pernah benar-benar berpisah”
Pesawat itu mendarat dengan mulus di landasan bandara Soekaro Hatta, roda-rodanya terus
berputar sampai sang pilot menarik tuas rem dari kokpit, membuat pesawat itu melambat, dan
kemudian berhenti.
Pintu pesawat terbuka, tangga mulai diturunkan pelan-pelan secara otomatis. Satu persatu
penumpang mulai turun, membawa bermacam-macam tas dan koper berukuran besar.
Seorang penumpang laki-laki, berusia sekitar tiga puluh tahun keluar dari dalam pesawat.
Dia mengangkat kedua tangan, meregangakan otot-ototnya. Laki-laki itu mengedarkan
pandangannya ke segala arah, lalu secara tiba-tiba dia berteriak, “Indonesia, aku pulang,” tanpa
mempedulikan tatapan orang-orang yang tersenyum geli melihat tingkahnya.
Sementara di ruang tunggu penumpang, tampak tiga orang pria yang sedang menunggu
dengan gelisah dan tidak sabar. Salah seorang dari mereka mencoba menutupi rasa tidak sabarnya
dengan berjalan mondar-mandir.
“Yog, bisa berhenti mondar-mandir enggak? Pusing ngeliatnya,” kata pria yang memakai
kacamata hitam.
“Aku enggak sabar, Dek, udah kangen banget, lama banget kan kita enggak ketemu dia, ya
enggak, Gas?” jawab Yoga.
Bagas mengangguk, “Biarin aja Dek. Tapi, kamu yakin kan jadwal pesawatnya bener?”
tanya Bagas.
“Bener kok, seratus persen. Ringgo yang ngasih tau. Kalo terlambat-terlambat sedikit sih
itu bukan salahku, udah jadi tradisi kan?”
“Tradisi jelek kok dipelihara,” cibir Deka.
Pintu kedatangan terbuka, semua penumpang yang mendorong koper mereka
menggunakan troli berhamburan keluar mencari jemputan masing-masing. Bagas dan Deka
bangun dari duduknya, Yoga melongok-longokkan kepala, mencari seseorang diantara kerumunan
penumpang, Deka dan Bagas mengikuti gerakan Yoga.
“Itu, itu, itu,” teriak Yoga ketika matanya berhasil menangkap sosok orang yang dia cari.
“Ringgo, woii!!” Yoga masih berteriak-teriak sambil melambaikan tangan, membuatnya
menjadi pusat perhatian beberapa orang.
Ringgo membalas lambaian tangan Yoga dan mempercepat langkah menuju sahabat-
sahabat lamanya yang berkumpul untuk menjemput kepulangannya dari Amerika.
“Woii sobat, gila, apa kabar?” sambut Deka setelah semuanya saling berpelukan, melepas
rindu setelah sekian tahun tidak bertemu.
“Alhamdulillah baik, kalian sendiri gimana?”
“Enggak nyangka bakal ketemu lagi. Gimana Amerika?” Bagas ikut mengajukan
pertanyaan.
“Aah, itu aku certain entar. Ngomong-ngomong kalian udah pada kerja? Jadi apa kalian?”
“Aku tetep berhubungan sama cita-citaku yang dulu, jadi dokter di satuan polisi,” jawab
Deka.
“Aku juga sama, ngewujudin cita-cita buat jadi guru. Sekarang targetku jadi kepala
sekolah, terus jadi kepala dinas pendidikan, hebat enggak?”
Ringgo tersenyum bahagia mendengar kesuksesan yang didapatkan kedua sahabatnya.
Pandangannya beralih ke Yoga, “Kalo kamu, Yog?’
“Aku sama kayak Bagas, udah jadi guru yang mempunyai sambilan sebagai pimpinan di
sebuah bengkel yang dibangun sendiri, lumayan lah buat tambah-tambah.”
“Terus kamu sendiri?” Deka balik bertanya tentang diri sahabatnya itu.
”Sebenernya aku dapet penggilan buat mimpin salah satu orchestra di Amerika sana, tapi
pas lagi main di kedutaan, dibilangin sama Dubes, beliau minta buat jadi duta musik di Istana
Negara, termasuk staff khusus negara lah.”
‘Wuiih, keren, hebat, terus kamu pilih yang mana?”
“Kayak yang pernah aku bilang ke kalian semua dulu, aku pengen berguna buat bangsa
Indonesia, jadi aku putusin buat milih yang kedua.”
“Firman bener-bener enggak pernah kumpul lagi sama kalian?”
Deka terdiam, wajahnya menampakkan mimik kesedihan, “Enggak, kita semua enggak
pernah ketemu sama dia. Kita udah berkali-kali nyoba buat SMS dan telpon, tapi enggak pernah
dibalas,”
“Entahlah, kita enggak tahu di mana dia sekarang, kita cuma bisa berharap dia baik-baik
aja,” lanjut Bagas.
“Cabut yuk, capek nih, badannya peda pegel-pegel.” Pinta Ringgo
“Oh iya, ayo, sini aku yang dorong kopernya,” dengan sigap Yoga merebut gagang troli
“Aku ambil mobil dulu, bentar ya kalian tunggu,” kata Bagas sambil berlari kecil
meninggalkan mereka.
Bagas menjadi sopir mobil yang ditumpangi rombongan kecil itu, dengan cekatan dia
mengendalikan laju mobil melintasi jalanan yang padat, melewati kendaraan-kendaraan lain yang
berlalu lalang di sekitar mereka.
Di dalam mobil semua mendengarkan cerita Ringgo tentang pengalamannya di luar negeri
dengan antusias.
Bagas membelokkan mobil itu masuk ke halaman parkir rumah makan, “Lho kok kesini?
Aku belum laper kok, tadi udah makan di pesawat. Langsung ke hotel aja, aku udah pengen
istirahat,”
“Kamu udah makan, kita belum, sejam nungguin, udah keroncongan nih,” jawab Deka.
Ringgo tersenyum. Benar juga, mereka udah lama nungguin aku di bandara, jelas pada
laper.
Semuanya turun dari mobil, satu persatu mereka melewati pintu masuk dan duduk di kursi.
Bagas mengangkat tangannya, memanggil pelayan, sementara Ringgo menelungkupkan kepalanya
di atas meja dengan beralaskan dua tangannya, rasa lelah melanda
. Seorang pelayan wanita bergegas menghampiri mereka dengan langkah ceria dan senyum
manis.
“Kamu mau pesen apa?” tanya Yoga setelah pelayan itu berdiri di sebelah meja makan.
“Aku es jeruk aja.” Jawab Ringgo.
“Apa?” Yoga bertanya sekali lagi.
Dengan sedikit malas Ringgo mengangkat kepalanya dan menatap pelayan wanita itu,
“Aku pesen,” Ringgo terkejut ketika dia menatap pelayan itu.
“Diandra,”
“Surpriiise,”
Ringgo berdiri dari duduknya, mendekati Diandra. Mereka berdua tampak kaku, canggung,
lama tidak bertemu membuat bingung apa yang harus mereka lakukan pertama kali. Keduanya
tersenyum malu, lalu tiba-tiba Ringgo menarik Diandra dan memeluknya. Diandra sedikit kaget
namun dia segera membalas pelukan itu, air mata muncul di sudut mata Diandra.
“Aku kangen banget sama kamu,”
“Sama, aku juga kangen banget sama kamu.” Jawab Diandra di dalam pelukan Ringgo, dia
membiarkan air matanya mengalir.
“Makasih ya udah mau nungguin aku,”
Diandra tidak menjawab, dia lebih memilih mengeratkan pelukannya, semakin dalam
menenggelamkan perasaannya, mencoba meluapkan rasa kangen yang sudah sangat menggunung
kepada kekasihnya yang sudah sekian lama meninggalkannya.
Bagas, Deka dan Yoga tersenyum senang, ikut merasakan kebahagiaan yang ditunjukkan
oleh sepasang kekasih yang sudah sangat lama tidak bertemu.
“Heh, kalian semua, makasih ya. Enggak nyangka Diandra ada disini juga,”
Ketiganya serempak tersenyum dan mengacungkan ibu jari kanan mereka.
“Buat kamu, apa sih yang enggak?” kata Yoga.
“Masih ada satu kejutan lagi buat kamu,” tambah Bagas.
“Satu lagi? Apaan?”
“Liat aja di belakangmu. Jangan pingsan ya.” Deka menunjuk ke arah sebuah meja
menggunakan kepalanya.
Ringgo membalikkan badan, menuruti perintah Deka. Matanya langsung menangkap
seorang pria yang dia kenal sedang duduk di sebuah kursi di dekat mereka.
“I-Itu Firman?”
“Yup, betul.”
“Eh tunggu, jadi cerita itu bohong? Firman enggak pernah cuti kuliah?”
“Aku memang sempet cuti kuliah kok, satu semester. Aku paling terakhir di wisuda,” jujur
Firman sambil tersenyum.
Sementara Ringgo terlihat masih bingung dengan apa yang sesungguhnya terjadi dengan
para sahabatnya selepas keberangkatannya ke Amerika.
“Udah, enggak usah bingung-bingung, entar aja kita bahasnya, sekarang makan dulu aja,”
perintah Deka.
“Iya udah laper nih,” sambung Yoga sambil mengusap-usap perutnya.
Ringgo mengangkat kedua bahunya, mencoba tidak memikirkan kebingungannya. Dia
menggandeng tangan Diandra dan mengajaknya duduk, keduanya masih menyisakan rasa rindu
yang belum sepenuhnya mereka luapkan.
Kali ini Bagas benar-benar memanggil pelayang restoran itu dan semuanya memesan menu
masing-masing.
Gelak tawa terus terdengar dari meja mereka, sedikit menimbulkan kegaduhan di dalam
restoran. Mereka tidak peduli, mereka terus bercerita dan bercanda di sela makan mereka, semua
merasakan kebahagiaan, semua merasakan keceriaan. Rasa ceria dan bahagia karena dapat
menemukan persahabatan yang indah di dalam kehidupan mereka. Persahabatan indah yang akan
terus terjalin dalam kehidupan mereka, karena seperti itulah sahabat sejati yang sesungguhnya.
Persahabatan memang selalu menyenangkan.
END