Upload
erick-thayang-dia
View
17
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
apen
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Apendisitis akut adalah peradangan/inflamasi dari apendiks vermiformis
(umbai cacing).1,2 Penyakit ini diduga inflamasi dari caecum (usus buntu) sehingga
disebut typhlitis atau perityphlitis. Di Indonesia sejak jaman Belanda juga
menggunakan istilah radang usus buntu (blindre darm), walaupun istilah itu
sebenarnya tidak tepat.1
Apendisitis akut masih merupakan penyebab tersering dari akut abdomen dan
salah satu dari penyebab operasi emergensi terbanyak di unit gawat darurat. Prevalensi
seumur hidup untuk apendisitis akut adalah berkisar satu dari tujuh. Sedangkan
insidensi apendisitis akut adalah 1,5 1,9 per 1000 pada populasi pria dan wanita, dan
insidensi pada pria kurang lebih 1,4 kali lebih besar dibandingkan wanita.3
Diagnosis apendisitis akut sebagian besar didasarkan pada temuan klinis
bersumber pada anamnesis riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan dikombinasikan
dengan pemeriksaan laboratorium.3 Pemeriksaan penunjang lain seperti ultrasonografi
(USG) dan CT scan sedikit membantu, akan tetapi kedua modalitas tersebut
membutuhkan biaya yang lebih mahal dan tidak mudah tersedia saat diperlukan, dan
justru dengan melakukan USG ataupun CT Scan membuat penegakan diagnosis dan
2
tindakan operasi kadang menjadi tertunda.3 Penegakan diagnosis pasti apendisitis akut
tidaklah mudah dan merupakan masalah diagnostik yang membingungkan terutama
pada tahap-tahap awal penyakit. Pada banyak kasus, terutama pada golongan usia
muda, orang tua dan wanita dalam masa reproduksi, manifestasi klinis dari apendisitis
akut tidaklah jelas (samar-samar) dan kadang tidak pasti. Kegagalan dan keterlambatan
untuk melakukan diagnosis dini terhadap apendisitis akut ini merupakan alasan utama
dalam tetap tingginya tingkat morbiditas dan mortalitas.3 Disisi lain, pengambilan
keputusan yang salah dalam diagnosis apendisitis akut, akan meningkatkan angka
apendektomi negatif yang berkisar antara 2% - 41%.4 Penelitian lain menyebutkan
kisaran apendektomi negatif yang lebih tinggi yaitu 20%-40%.3
Dalam tiga dekade terakhir, banyak sistem skoring apendisitis dikembangkan
dalam membantu para klinisi dalam penegakan diagnosis pasien-pasien dengan nyeri
perut yang dicurigai sebagai apendisitis akut. Beberapa sistem skoring lebih
dikhususkan untuk digunakan pada pasien anak-anak, dan beberapa sistem skoring lain
dikembangkan untuk populasi campuran, baik dewasa maupun anak-anak.5
Sistem skoring yang sudah sangat dikenal adalah sistem skoring Alvarado.
Pada tahun 1986, Alvarado mempublikasikan penelitiannya tentang skoring
apendisitis. Penelitian awal dilakukan pada dewasa dan anak-anak dengan range umur
dari 4 s/d 80 tahun (rerata 25,3). Skor 7 digunakan sebagai cut off untuk suatu resiko
tinggi apendisitis. Walaupun tidak secara eksplisit disebutkan tentang batas nilai
3
ambang tersebut, akan tetapi sensitivitas dan spesifisitasnya mencapai angka 81% dan
74%.6
Skor RIPASA merupakan anggota terbaru dalam golongan sistem skoring
apendisitis yang berkembang. Dinamakan sesuai dengan rumah sakit tempat penelitian
di Brunei Darussalam. Dalam penelitian yang dilakukan secara retrospektif ini, Skor
RIPASA juga menggunakan populasi campuran baik dewasa maupun anak-anak yang
masuk unit gawat darurat (UGD) dengan nyeri perut kanan bawah dan dilakukan
apendektomi. 15 parameter tetap digunakan dalam sistem skoring ini dengan bobot
nilai antara 0,5, 1 dan 2, total skor maksimal yang dihasilkan adalah 16. Nilai ambang
(cut off point) yang digunakan pada skor RIPASA adalah 7,5 dimana pada angka
tersebut menunjukan sensitivitas 88% dan spesifisitas 67%, 3 Chong dkk pada tahun
2011 kemudian melanjutkannya dengan suatu penelitian yang membandingkan antara
skor RIPASA dan skor Alvarado. Hasil dari penelitian ini secara statistik menunjukan
bahwa skor RIPASA lebih superior dibanding dengan skor Alvarado dalam sensitivitas
(98% vs 68%), nilai duga negatif (97% vs 71%) dan akurasi (92% vs 87%).
Spesifisitas, nilai duga positif dan angka apendektomi negatif diantara keduanya tidak
bermakna secara statistik.7
Indonesia dan Brunei Darussalam adalah negara serumpun, dengan posisi
geografis terletak pada daerah Asia Tenggara, kedua negara ini relatif mempunyai
sebaran populasi masyarakat dengan etnis yang sama. Skor RIPASA di klaim
mempunyai keunggulan akurasi dibanding dengan skor Alvarado pada populasi
4
masyarakat Asia dan etnis oriental. Sampai saat ini belum banyak penelitian untuk
menguji realibilitas skor RIPASA ini pada pusat pendidikan dan kedokteran di wilayah
Asia terutama Asia Tenggara.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka kami merumuskan pertanyaan
penelitian sebagai berikut:
Apakah skor RIPASA sebagai sistem skoring apendisitis yang baru,
mempunyai tingkat akurasi diagnosis lebih baik dalam kasus apendisitis akut
dibanding skor Alvarado di institusi RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta?
C. Hipotesis
Skor RIPASA mempunyai akurasi, sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif,
nilai duga negatif serta menurunkan angka apendektomi negatif lebih baik
dibandingkan dengan skor Alvarado terutama pada populasi masyarakat di Yogyakarta
yang relatif sama dengan populasi sampel yang digunakan dalam penelitian
sebelumnya.
D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan tingkat sensitivitas, spesifisitas,
nilai duga positif, nilai duga negatif serta akurasi diantara sistem skoring RIPASA dan
5
sistem skoring Alvarado dalam diagnosis apendisitis akut di RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta.
E. Manfaat Penelitian
Penelitian ini memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Mengetahui tingkat akurasi, sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif, nilai duga
negatif serta angka apendektomi negatif untuk kedua sistem skoring terutama di
RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta pada tahun 2012 s/d 2013.
2. Membantu evaluasi terhadap para peserta Program Pendidikan Spesialis Bedah I FK
UGM yang sedang menjalani residensi dalam menghadapi pasien-pasien dengan
kecurigaan apendisitis akut yang masuk ke UGD RSUP Dr.Sardjito dalam
penegakan diagnosisnya.
F. Keaslian Penelitian
Beberapa penelitian yang sudah pernah dilakukan sebelumnya:
1. Comparison of RIPASA and Alvarado scores for the diagnosis of acute
appendicitis, oleh Chong CF dkk, tahun 2011, Penelitian prospektif ini
membandingkan skor Alvarado dan skor RIPASA dalam diagnosis apendisitis
akut terutama pada ras oriental dan etnis Asia. Hasil penelitian menyimpulkan
bahwa, skor RIPASA dengan nilai ambang 7,5 adalah sistem skoring untuk
apendisitis yang lebih baik dibandingkan dengan skor Alvarado. Yaitu dengan
6
sensitivitas sebesar 98% vs 68%, nilai duga negatif adalah 97% vs 71% dan
tingkat akurasi sebesar 92% vs 87%. Spesifisitas, nilai duga positif dan angka
apendektomi negatif diantara keduanya tidak terdapat perbedaan bermakna.
2. Alvarado versus RIPASA score in diagnosing acute appendicitis, oleh Ismail
Alnjadat dkk, tahun 2013, menyebutkan bahwa sensitivitas skor RIPASA dan
Alvarado adalah sebesar 93.2% vs 73,7%, nilai duga negatif untuk skor
RIPASA adalah 7,8% sementara skor Alvarado mempunyai nilai 8%. Peneliti
menyimpulkan bahwa, kedua sistem skoring tersebut dapat menurunkan angka
negatif apendektomi secara signifikan. Akan tetapi, menurut penelitian ini, skor
RIPASA mampu mengidentifikasi secara lebih signifikan proporsi pasien-
pasien apendisitis akut yang terlewat oleh skor Alvarado.
3. Akurasi sistem skor alvarado dalam menegakan diagnosis apendisitis akut,
oleh Untung Tranggono tahun 2000, melakukan penelitian uji diagnosis
dengan rancangan cross sectional yang dilakukan terhadap 76 pasien yang
dirawat dan dilakukan apendektomi, baik emergensi maupun elektif selama
periode Maret 1998 sampai dengan Februari 1999 di RSUP Dr.Sardjito
Yogyakarta. Dalam penelitian ini, ditemukan bahwa sensitivitas, spesifisitas
dan akurasi sistem skoring Alvarado adalah 71,43%, 69,09% dan 69,74%.