Upload
others
View
9
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987
Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982
Perubahan atas Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002
Tentang Hak Cipta
(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara
Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah). (2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang
Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk
Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah). (3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang
Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk
Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4
(empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah). (4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang
dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah). Pasal 114 Setiap Orang yang
mengelola tempat perdagangan dalam segala bentuknya yang dengan sengaja
dan mengetahui membiarkan penjualan dan/atau penggandaan barang hasil
pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait di tempat perdagangan yang
dikelolanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, dipidana dengan pidana
denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Pasal 115 Setiap
Orang yang tanpa persetujuan dari orang yang dipotret atau ahli warisnya
melakukan Penggunaan Secara Komersial, Penggandaan, Pengumuman,
Pendistribusian, atau Komunikasi atas Potret sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 untuk kepentingan reklame atau periklanan untuk penggunaan secara
komersial baik dalam media elektronik maupun nonelektronik, dipidana dengan
pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
Perpustakaan Nasional RI Data Katalog dalam Terbitan (KDT)
Hidup Damai Bersama/ penulis naskah, Kuswaya, Adang –
Sukoharjo: Kekata, 2018.
xv + 138 hlm.; 15 cm x 23 cm
ISBN 978-602-476-956-7
1. Pengetahuan I. Judul II. Surahman, Cucu
Hidup Damai Bersama
Kajian Sosio-Tematik terhadap
Ayat-Ayat Alquran Tentang Kedamaian
Copyright © 2018
Penulis: Adang Kuswaya
Desain Sampul: Mubin YP
Penyunting Naskah: Cucu Surahman
Penata Letak: Affan Luthfi
Anggota IKAPI Provinsi Jawa Tengah
Diterbitkan oleh CV Kekata Group
Palur Mojolaban Sukoharjo
Cetakan Pertama, November 2018
Surakarta, Kekata Publisher, 2018
xv + 138 hlm.; 15 cm x 23 cm
ISBN: 978-602-476-956-7
Hak Cipta dilindungi oleh undang-undang.
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku tanpa izin tertulis dari penerbit.
Isi di luar tanggung jawab Penerbit Kekata Publisher
Buku ini didedikasikan
Untuk Ayahanda Muhammad Omon,
Ibunda Esin Kuraesin,
Isteri tercinta, Layly Atiqoh
Kedua belahan hati,
Adila Tara Nisawanda Dluha Alfani dan
Nur Adli Sania Alima Syabana.
vi
KATA PENGANTAR
ecara garis besar tulisan ini membicarakan konsep
kedamaian alquran yang terlihat dalam kehidupan
sosial kemasyarakatan dalam kontek kehidupan
keberagamaan. Kajian ini menggunakan pemikiran sosio-
tematik hermeneutika al-Qur‘an.
Al-Quran mengajarkan perdamaian sebagai prinsip
hubungan antarmanusia. Hal itu tecermin dari kata Islam
yang mengandung arti perdamaian sehingga setiap insan
yang mengikrarkan diri sebagai muslim sepatutnya
mengejawantahkan perdamaian sebagai prinsip interaksi
sosial. Perbedaan keyakinan dan agama tidak bisa menjadi
alasan tindak intoleran. Demi membangun martabat manusia,
agama meletakkan perdamaian sebagai titik tujuan.
S
vii
Namun demikian, pemahaman tentang kedamaian
akan terus berlanjut sesuai dengan kebutuhan zamannya.
Maka sebuah keharusan melakukan penafsiran terhadap al-
Qur‘an sebagai metode tafsir perseptif, tafsir al syu‘uri yang
bersifat tematik, temporal, realistis dan sesuai dengan
kebutuhan umat sekarang. Mengkritisi metode-metode tafsir
yang sudah dilakukan para ulama terdahulu tetapi tidak
menganggap salah apa yang dilakukan mereka. Melainkan,
hanya dijadikannya sebagai satu alternatif penafsiran
Prinsip- prinsip dalam tafsir tematik di antaranya
menempatkan yang sama teks al-Qur‘an sebagaimana teks-
teks lainnya seperti karya sastra dan teks sejarah. Aturan-
aturan dalam tafsir tematik yang di dalamnya di antara- nya
bahwa mufasir adalah seorang yang terlibat dalam drama di
mana krisis dalam kehidupannya berlangsung.
Di samping itu, aturan-aturan kebahasaan sampai
kepada perban- dingan antara yang ideal dan yang riil,
mengintegrasikan logos dan praxis, yakni mengidealisasikan
yang riil dan merealisasikan yang ideal. Tafsir ini bertujuan
mendeskripsikan manusia itu sendiri, hubungannya dengan
manusi lain dan hubungan manusia dengan alam sekitarnya.
Semoga buku ini, di samping menambah wawasan
tentang meto- dologi penafsiran juga citra yang positif dari
pada kesan yang negatif yang selama ini dialamatkan kepada
viii
hermeneutika al-Qur‘an. Penulis menyadari masih banyak
kekurangan. Untuk itu, penulis mengharapkan masukan,
saran dan kritik demi penyempurnaan buku ini.
Wallahu A‘lam Bishshawab.
Salatiga, November 2018
Adang Kuswaya
ix
UCAPAN TERIMA KASIH
yukur alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah
SWT yang telah memberikan kekuatan sehingga
penulis dapat menyelesaikan pe- nulisan tulisan ini.
Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada
Nabi Muhammad SAW, pembawa pelita dan menjadi rahmat
bagi sekalian alam.
Sesungguhnya dalam penulisan ini, penulis banyak
menghadapi kendala terutama yang berkenaan dengan trend
pemikiran mengenai hermeneutika al-Qur‘an yang begitu
luas. Namun demikian, penulis ber- usaha semaksimal
mungkin dan alhamdulillah tulisan ini akhirnya dapat
S
x
diselesaikan. Penyelesaian tulisan ini adalah berkat bantuan
berbagai pihak. Sebagai tanda penghargaan, penulis
mengucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya secara
khusus ditujukan kepada:
Kementerian Agama Republik Indonesia yang
memberikan dana beasiswa sejak penulis duduk di bangku
Madrasah Aliyah Program Khusus (MANPK) di Darussalam
Ciamis pimpinan KH. Irfan Hielmy (alm.), di bangku kuliah
SI di IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, kuliah program S2
dan S3 di UIN Syarif Hidayatullah. Bahkan, beasiswa
Postdoktoral di Mesir.
Instansi IAIN Salatiga pimpinan Dr. Rahmat
Hariyadi, MPd kolega-kolega lainnya Dr. Zakiyuddin, M.Ag,
, Dr. Imam Sutomo, Dr. Mukti Ali, Dr. Sa‘adi, Dr. Benny
Ridwan, M.Hum., Dr. Illya Muhsin, dan Dr. M. Irfan
Hielmy, Dr. Budiyono Saputro, di lingkungan IAIN Salatiga.
Kolega colloquium waktu tinggal di Noida, UP, India Dr.
Zakiyuddin Baidhawy, Dr. Agus Ahmad Sua‘idi, M.A. dan
Hammam, PhD.; Kolega, teman dialog waktu tinggal di
Antigonish, Kanada: Dr.Ihsan Maulana, Encung, Ismail, Dr.
Teguh, Dr. Ibnu, Dr. Roy Purwanto, Dr. Maghfur, Hasan
Basri, Dr. Zainul Abbas, dan Dr. Arif Maftuhin, M.A.
Dr. Abad Badruzzaman, Dr. Hamka Hasan, Dr. Aksin
W, Dr. Fajar Waryani, Dr. Hamdani Mu‘in, Dr. Muhammad
xi
Jidin, Prof. Dr. M. Mardan, Dr. Suryadinata, Dr. Iskandar,
dan Dr. Slamet, rekan-rekan diskusi sewaktu tinggal di
Kairo, Mesir.
Terima kasih disampaikan kepada Adib Abd.
Shomad, PhD, Dr. Agam Syarifudin, Dr. Abdullah Arifin
(Gus Aab), Dr. Abdullah Faqih, Dr. KH Fakhrur Rozy, Dr.
Marjuni Kusnun, Aminudin Aziz, Ibu Nyai Rizma Ilfi
Yahya, Nurul Hamidah, Mukhlishoh dan Bella Moulina
kawan kawan seperjuangan waktu program IVLP di USA.
Ayahanda Mohammad Omon (alm.) yang pertama
kali mengajarkan ilmu nahwu, sharaf, fiqh dan tauhid dan
menunjukan penulis akan pentingnya ilmu pengetahuan.
Ibunda Esin Quraisin yang telah mengajarkan penulis
tentang kesederhanaan. Terima kasih kepada mertua penulis
KH. Ali Muntaha (alm.) dan Hj. Umi Chadijah.
The last but not least, Layly Atiqah istri tercinta yang
setia memotivasi terus-menerus demi terwujudnya tulisan ini
di sela-sela waktunya mengajar selalu menyempatkan
menjalin komunikasi dua putri belahan hati tersayang, Adila
Tara NDA dan Nur ‗Adli Sania AS.
Kritik dan saran yang konstruktif dari pembaca
sangat penulis harapkan demi penyempurnaan tulisan ini.
Mudah-mudahan tulisan ini dapat menambah khazanah
xii
pengetahuan khususnya di bidang penafsiran al-Qur‘an dan
umumnya khazanah ilmu-ilmu keislaman.
Wassalam
Salatiga, November 2018
Adang Kuswaya
xiii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR vi
UCAPAN TERIMA KASIH ix
DAFTAR ISI xiii
BAB I 1
A. Menyoal Kedamaian dalam al-Quran 1
B. Masalah–Masalah yang Bisa ditanyakan 4
C. Target yang Ingin Dicapai 5
D. Kerangka Dasar Pemikiran 5
E. Membaca Pustaka Terdahulu 19
F. Metodologi Penelitian 24
BAB II 29
xiv
A. Kemunculan Pemikiran Hermeneutika Tematik al-Qur‘an 29
B. Teori dan Teknis Hermeneutika Al-Qur‘an 34
BAB III 70
A. Pemahaman Orang Muslim tentang Hidup Damai 70
B. Sikap Muslim Salatiga hidup bersama dengan Tetangga. 74
C. Sikap Muslim Salatiga hidup bersama dengan tetangga
beda Agama 75
D. Bentuk Kehidupan Damai dalam Kehidupan Masyarakat 81
E. Potret Kehidupan Sosial Muslim dengan Non-Muslim
di Salatiga 85
BAB IV 90
A. Teori tentang Kedamaian dalam literature Tafsir al-Quran 90
B. Tujuan Kehidupan Damai 92
C. Damai dalam kehidupan Keluarga 99
D. Makruf sebagai Bangunan dari Kedamaian 101
E. Damai Sebagai Dasar dalam Hubungan Sosial 104
F. Damai Sebagai Dasar Interaksi Umat Beragama 107
G. Salam, Menebar Benih Damai 113
H. Membangun Kesepahaman 118
BAB V 121
xv
A. Kesimpulan 121
B. Saran 123
DAFTAR PUSTAKA 125
DAFTAR RIWAYAT HIDUP 132
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Menyoal Kedamaian dalam al-Quran
Sebagai mahluk sosial manusia tidak terlepas dari
masalah sosial yang mengitarinya. Cara mereka bergaul
antara satu dengan yang lainnya sangat beragam. Demikian
juga dalam menghadapi masalah yang didapatkannya ada
yang menjadikan masalah sebagai tantangan, ada yang
menganggapnya sebagai hambatan/ rintangan bahkan,
mereka menjaga kehidupan agar tetap damai anatarpemeluk
agama yang berbeda.
Kedamaian adalah tindakan untuk mengontrol emosi
dan pikirannya agar tidak melakukan tindakan yang dapat
merugikan orang lain serta dapat memicu terjadinya konflik
kekerasan secara terbuka. Kedamaian merupakan kebutuhan
manusia yang paling hakiki dan menjadi tanggung jawab
2
semua umat untuk menciptakan perdamaian di tengah
keberagaman dan perbedaan.
Untuk menciptakan perdamaian harus dilakukan
upaya untuk memenuhi rasa keadilan dan rasa aman individu
atau komunitas, baik aman dari ancaman fisik maupun
ekonomi. Oleh karena itu, kedamaian termasuk salah satu
focus perhatian organisasi internasional UNESCO seperti
disebutkan dalam Declaration of a culture of peace. Menurut
UNESCO bahwa sejumlah karakteristik perdamaian: (1)
perdamaian itu dinamis; (2) perdamaian itu merupakan
penyelesaian masalah yang adil tanpa kekerasan; (3)
perdamaian itu menghasilkan keseimbangan dalam interaksi
social sehingga manusia hidup dalam relasi yang harmonis;
(4) perdamaian itu baik untuk masyarakat; (5) bila ada
kekerasan, tidak aka nada kedamaian; (6) supaya ada
keseimbangan dalam dinamika interaksi social, perdamaian
harus berdiri di atas keadilan dan kebebasan; (7) bila ada
ketidakadilan dan ketidakbebasan, tidak akan ada
perdamaian.
(http://www.unesco.org/cpp/uk/declarations/2000 /htm).
Umat Muslim meyakini al Quran sebagai
pedoman hidupnya. Walaupun sebetulnya al-Quran sendiri
mengatakan sebagai petunjuk kehidupan bagi seluruh
manusia (Hudan li alnas). Nah, dalam konteks ini bagaimana
3
memahami ayat-ayat al Qur‘an tentang hidup damai
bermasyarakat bersama dengan pemeluk beda agama? ayat-
ayat al-Qur‘an yang berbicara tentang kehidupan damai
dinyatakan selain oleh kata al-shulh dan al-aman juga oleh
kata al-salam. Bahkan, al-Salâm merupakan salah satu nama
dari asma al-Husna (Nama- nama Allah yang baik).
Sebagai bagian besar dari masyarakat di lingkungan
Kota Salatiga, umat muslim sudah lama bergumul, hidup
bersosialisasi dengan pemeluk beda agama. Bahkan, hidup
guyub dan rukundi Kota Salatiga sudah dipraktekkan sejak
puluhan tahun yang lalu. Tetapi kehidupan bersosialisasi
yang terjalin baik seperti itu tidak jarang masih ditemukan
riak – riak kecil ketegangan antarpemeluk agama berbeda.
Walau terkadang sifatnya masih isu-isu. Seperti kasus di
Togaten beberapa tahun belakangan ada penolakan sebagian
warga terhadap berdirinya sebuah sekolah milik yayasan
Islam dan ditengarai setelah ditelusur mengarah kepada isu
sara. Tetapi kemudian isu tersebut perlahan hilang ditelan
waktu. Warga tetap terlihat akur dibuktikan kerjabakti warga
sekitar dengan pihak sekolah. Mengedepankan hidup damai
antarpemeluk agama sangat didahulukan dalam kehidupan
bersosialisasi. Hal itulah yang membuat peneliti ingin
menemu kan data-data apa yang dipahami oleh umat muslim
terhadap ajaran agamanya dalam hal ini ayat al-Qur‘an yang
4
berbicara tentang al salam, ketenangan hati dan kedamaian;
al-shulhu, menghilangkan kebencian antarmanusia dan al
aman kondisi aman dan tenang. Peneliti tertantang untuk
melakukan penelitian khusus untuk menemukan data-data
dari fenomena tersebut dengan menggunakan pendekatan
tafsir sosio-tematik untuk. Peneliti menggunakan analisis
hermeneutika sosio-tematik. Analisis ini sering digunakan
untuk mengungkap berbagai tradisi yang sudah mengakar di
masyarakat guna tetap menjaga tradisi tetapi dengan
pembacaan baru. Harapannya tetap menjaga tradisi yang baik
dengan sentuhan pemahaman masa kini. Oleh karenanya,
peneliti merumuskan topic penelitian berikut: Hidup
Bersama Beda Agama: Pendekatan Tafsir Sosio – Tematik
Al-Qur‘an Tentang Pergumulan Muslim Kota Salatiga
dalam Memahami Ayat-Ayat Kedamaian dalam Al-Quran.
Sepanjang pengetahuan peneliti belum ada yang menekuni
dan mendalami penelitian dengan tema tersebut dan menjadi
lahan kajian yang menarik.
B. Masalah–Masalah yang Bisa ditanyakan
Peneliti akan mengutarakan permasalahan pokok.
Persoalannya seputar pendekatan tafsir sosio- tematik Al-
Qur‘an Tentang entang al salam, ketenangan hati dan
kedamaian; al-shulhu, menghilangkan kebencian
antarmanusia dan al aman kondisi aman dan tenang. Supaya
5
penelitian terfokus maka berikut pemaparan pokok yang
dibuat berupa pertanyaan.
1. Apakah arti damai bagi umat muslim Kota Salatiga
dalam kehidupan beda agama?
2. Bagaimana potret kehidupan umat muslim di Salatiga
menjalani hidup bersama dengan beda agama?
3. Bagaimana pendekatan Tafsir Sosio-tematik
terhadap tema-tema kedamaian yang ada dalam ayat-
ayat al- Qur‘an?
C. Target yang Ingin Dicapai
1. Untuk mencari data tentang arti damai bagi umat
muslim Kota Salatiga dalam kehidupan beda agama.
2. Untuk mengungkap data tentang potret kehidupan
umat muslim di Kota Salatiga yang menjalani hidup
bersama dengan beda agama.
3. Untuk menemukan data tentang pendekatan tafsir
Sosio-tematik terhadap tema-tema kedamaian yang
ada dalam ayat-ayat al- Qur‘an.
D. Kerangka Dasar Pemikiran
Teori Tafsir Sosio-Tematik
Peneliti menerima sebagian gagasan baik
hermeneutika metodis bahwa hermeneutika merupakan
disiplin tentang teknis penafsiran, maupun hermeneutika
filosofis yang berpegang pada hakikat peristiwa penafsiran.
6
Hanya saja ia menambahkan bahwa disiplin tersebut harus
juga memperbincangkan dua dimensi lainnya, yakni sejarah
teks dan kepentingan praktis dalam kehidupan.
Peneliti beranggapan bahwa hermeneutika bukan
sekedar ―sains penafsiran‖ atau teori pemahaman belaka,
melainkan, anggota kompehensif tentang sejarah teks,
intepretasi, dan prakteknya dalam mentransformasikan
kenyataan sosial. Menurutnya, hermeneutika adalah ilmu
yang menjelaskan penarimaan wahyu sejak dari tingkat
perkataan sampai pada tindakan nyata di dunia (Hanafi,
1999: 1). Hermeneutika merupakan ilmu tentang proses
wahyu dari huruf sampai kenyataan, dari logos sampai
praxis, kehidupan manusia.
Hermeneutika ini tidak dibatasi pada perbincangan
mengenai model-model pemahaman tertentu atas teks
semata, tapi lebih jauh lagi, berkaitan juga dengan
penyelidikan sejarah teks untuk menjamin otentisitasnya
hingga penerapan hasil penafsiran dalam kehidupan
manusia. Menurutnya, proses interpretasi menempati posisi
kedua, setelah kritik sejarah1.
Menurut Peneliti, prasyarat pemahaman yang baik
terhadap suatu teks kitab suci adalah dengan terlebih
dahulu membuktikan keasliannya melalui kritik sejarah.
1 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 1
7
Sebab jika tidak, pemahaman terhadap teks yang palsu akan
menjerumuskan orang pada kesalahan, sekalipun, misalnya,
tafsirannya benar mengenai kandungan teks palsu tersebut.
Setelah memperoleh keaslian teks, barulah hermeneutika
dalam pengertian ilmu pemahaman bisa dimulai.
Menurutnya, pada titik ini, hermeneutika berfungsi sebagai
ilmu yang berkenaan dengan bahasa dan keadaan-keadaan
sejarah yang melahirkan teks. Setelah mengetahui
makna yang tepat dari sebuah teks, segera diikuti dengan
proses menyadari teks ini dalam kehidupan manusia.
Sebab, pada dasarnya, tujuan akhir sebuah teks wahyu
adalah bagi transpormasi kehidupan manusia itu sendiri.
Dalam bahasa fenomenologis, dapat dikatakan
bahwa her meneutika adalah ilmu yang menentukan
hubungan antara kesadaran dan objeknya, yakni kitab-
kitab suci. Pertama, kita memiliki kesadaran historis yang
menentukan keaslian teks dan tingkat kepastiannya.
Kedua, kita memiliki kesadaran eidetik yang
menjelaskan makna teks dan menjadikannya rasional.
Ketiga, kesadaran praktis yang menggunakan makna
tersebut sebagai dasar teoritis bagi tindakan dan
mengantarkan wahyu pada tujuan akhirnya dalam
kehidupan manusia di dunia ini sebagai struktur ideal yang
mewujudkan kesempurnaan dunia.
8
Dengan tiga fase analisis ini, Peneliti mengharapkan
hermeneutika pembebasan dapat bersifat teoritik sekaligus
praktis. Perbincangan yang berpusat pada penafsiran teks,
di satu sisi, dan pada metodologi tanpa maksud praktis, di
sisi lain, benar-benar perlu dihindari. Hermeneutika sebagai
aksiomatika menurut peneliti harus pula menjadi jalan
tengah antara kutub umum dalam penafsiran: penafsiran
praktis dan filosofis. Penafsiran praktis, sebagai analisis
filologi murni terhadap teks yang erat kaitannya dengan
philologi sacra2. Penafsiran semacam ini menurutnya, tidak
akan memperbincangkan masalah-masalah prinsipil dalam
penafsiran, kecuali memusatkan diri pada detail-detail yang
sama sekali tidak membuat teks menjadi lebih asli, jelas,
maupun praktis. Sementara itu hermeneutika filosofis
menurutnya, kembali pada subjektivitas penafsir, sebuah
istilah yang digunakannya untuk menunjukkan masalah
yang terfokus pada problem pembacaan, yang menyerap
teks kedalam perbincangannya sendiri.
Jika penafsiran praktis bersifat ekstrovert, maka
hermeneutika filosofis cenderung lebih introvert.
1. Kritik Historis
Keaslian sebuah kitab suci tidak tercipta karena
adanya keyakinan, tetapi merupakan hasil kritik sejarah.
2 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 2-3
9
Kritik ini harus terbebas dari hal-hal yang semata-mata
berbau teologis, filosofis, mistik, spritiual, atau bahkan
fenomenologis. Keaslian kitab suci tidak dijamin oleh
takdir Tuhan, keyakinan dogmatis, pemuka agama atau
pranata sejarah apa pun.
Menurut Peneliti ada dua pola jenis kata-kata
sebagai berikut ini. Pertama, metode transferensi tertulis
(al naql al maktûb) dan kedua, metode transferensi oral
(al naql al syafâhî). Melalui jalan metode transferensi
tertulis adalah seperti penulisan al Quran dan melalui
jalan metode oral adalah seperti diteransfer- ensikannya
hadits atau al sunah3.
1. Pola kata-kata dengan metode transferensi tertulis
dalam Kitab suci seperti al Quran
Kata-kata yang diucapkan oleh Nabi yang
didiktekan kepadanya oleh Tuhan melalui malaikat dan
langsung didiktekan oleh Nabi kepada penyalinnya pada
saat pengucapan dan dengan demikian menyimpannya
dalam tulisan sampai sekarang. Kata-kata ini merupakan
wahyu in verbatim persis sama dengan kata-kata yang
diucapkan pertama kali.4 Wahyu ini tidak melewati masa
3 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyyah, hlm 549
4 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm.
5 Bandingkan dengan Quraish Shihab, Membumikan al Quran, Bandung : Mizan, cet Ke-2, 1992 hlm. 122.
10
pengalihan secara lisan; tetapi ditulis pada saat
pengucapannya. Menurut Peneliti, tak satu pun kitab suci
dalam tradisi kitab suci sejak Kitab Taurat yang
memenuhi persyaratan ini kecuali Kitab suci al Quran.
Hanya al Quranlah yang ditulis pada saat diturunkannya.
Bagi Peneliti, wahyu pada hakekatnya merupakan firman
Tuhan yang diberikan kepada Nabi in verbatim dan harus
disampaikan kepada manusia secara in verbatim pula.
Meskipun demikian, hermeneutika sebagai kritik sejarah
tidak berurusan dengan wahyu in verbatim ketika masih
dalam pemikiran Tuhan atau sebelum diturunkan kepada
Nabi-Nya. Hermeneutika baru berfungsi setelah Nabi
menyampaikan wahyu tersebut dalam sejarah.
Karena al Quran ditujukan bagi manusia, maka
konsekuensinya, hermeneutika tidak berurusan dengan
wahyu pada tahap metafisika, seperti tentang substansi
logos (Kalam Tuhan) atau masalah cara-cara pewahyuan,
tetapi berurusan dengan pada tahap teks dan produktivitas
(penafsiran) teks5. Dalam hal ini, pendefinisian al Quran
sebagai Kalam Allah yang bersifat Qadim (dahulu) dan
azali atau bersifat Hadits (baru) dan makhluq hal ini
dianggap tidak relevan diperbincangkan di sini. Dalam
bahasa yang lebih fenomenologi, metafisika al Quran
5 Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 69
11
diletakkan dalam tanda kurung (apoche), tidak diafirmasi,
namun tidak ditolak6.
Keaslian wahyu dalam sejarah, menurut Peneliti,
ditentukan oleh tidak adanya syarat-syarat kemanusiaan di
dalamnya. Kata-kata yang diterima Nabi dan didiktekan
langsung oleh Tuhan melalui malaikat, langsung pula
didiktekan oleh Nabi kepada para penyalinnya pada saat
pengucapan dan lestari sampai saat ini dalam tulisan (al
Quran). Pada kasus al Quran, wahyu ditulis in verbatim
yang secara harfiah dan kebahasaan, persis sama dengan
yang diucapkan Nabi. Prasarat lain bagi kesempurnaan
teks dalam sejarah adalah keutuhannya. Artinya wahyu
disimpan dalam bentuk tertulis tanpa mengalami
pengurangan dan penambahan apa pun dalam sejarah7.
2. Pola kata-kata yang berupa Hadits
Kata-kata yang diucapkan Nabi yang datang dari
Nabi sendiri untuk menjelaskan sebuah gagasan atau
memberitahukan bagaimana suatu tindakan secara tetap
harus dilakukan agar sesuai maksud Tuhan. Pola kedua ini
dapat berupa kata-kata, perbuatan atau izin yang diberikan
Nabi tetapi tidak pernah berupa mimpi, bayangan atau
perjumpaan langsung dengan Tuhan.
6 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. 1, hlm.
495 7 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 7
12
Demi menjamin otentisitas wahyu yang in
verbatim tersebut, Hassan membedakannya dari kata-kata
yang juga berasal dari Nabi tetapi bukan merupakan
wahyu yang didiktekan langsung oleh Tuhan yang
kemudian disebut al hadits. Materi ini berasal dari buah
pikiran Nabi sendiri tentang ide tertentu atau dalam
rangka memberi petunjuk pelaksanaan dari wahyu in
verbatim.
2. Kritik Eidetis
Setelah melalui kritik sejarah yang dilakukan demi
menentukan keaslian kitab suci, seorang penafsir dapat
melakukan proses interpretasi atau yang secara teknis ia
sebut sebagai kritik eidetis. Peneliti sendiri tidak
menjelaskan pengertian eidetis —sebuah istilah
fenomenologi—kecuali dikaitkan dengan proses
interprestasi8.
Jika tafsiran penulis tidak salah, barang kali kritik
eidetis dalam pemikiran Peneliti merupakan analisis
fenomenologi teks seutuhnya sebagaimana yang
8 Lazimnya dalam fenomenologi, dikenal istilah ‚reduksi
iedetik‛ dan visi eidetik‛ yang bersifat positif, yang dibedakan dari reduksi fenomenologis yang bersifat negatif. Jika reduksi fenomenologis menunda afirmasi mengenai ada tidaknya suatu fenomena atau kebenaran, maka reduksi eidetik adalah penyaringan fenomena dari eksistensinya dalam kesadaran kepada eidos (hakikat) yang ada dalam fenomena tersebut (Saenong, Hermeneutika Pembe- basan, hlm. 117)
13
ditangkap oleh kesadaran penafsir untuk memperoleh
hakikat pemahaman yang benar mengenai fenomena
tersebut.
Peneliti menjelaskan bahwa fungsi kesadaran
eidetis adalah memahami dan menginterpretasi teks
setelah validitasnya dikukuhkan oleh kesadaran historis.
Kesadaran eidetik juga merupakan bagian terpenting
dalam ilmu ushul fiqh karena melalui mediasinya proses
inferensi ketentuan-ketentuan hukum dari dasar-dasarnya
yang empat menjadi sempurna dan komprehensip9.
Metode yang disediakan berfungsi untuk menganalisis
fenomena dicangkokkan oleh Peneliti ke dalam
hermeneutika pembacaan teks. Oleh karena itu objeknya
adalah teks dan maknanya sebagaimana yang ditangkap
oleh kesadaran. Suatu penafsiran, menurutnya, harus
menghindarkan diri pada pengulang-ulangan prasangka
tertentu dari dogma. Karena hal ini akan menjerumuskan
suatu penafsiran ke dalam dugaan-dugaan semata.
Seorang penafsir harus memulai pekerjaan dengan tabula
9 Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm.78 Menurutnya,
kritik Eidetik ini merupakan bagian yang merepresentasikan
kesungguhan dan kemampuan manusia terhadap pemahaman
dan interpretasi alegoris karena di dalam dasar-dasar itu tidak
ada tempat masuk bagi manusia Hassan Hanafi, Dirasat
Islamiyah, hlm. 78)
14
rasa, tidak boleh ada, kecuali analisis linguistiknya10
. Apa
yang dimaksud Peneliti sebagai tabula rasa di sini
agaknya harus dipahami secara fenomenologis. Dalam
fenomenologi, kesadaran bukanlah kesadaran murni
sebagaimana dalam rasionalisme, tapi selalu merupakan
kesadaran yang terarah atau ―kesadaran akan
……sesuatu‖.11
Kritik eidetis, menurut Peneliti, berada pada tiga
level atau tahap analisis. Pertama, pada analisa bahasa;
kedua, analisa konteks, sejarah; dan ketiga, generalisasi.
2.1. Tahap Analisis Kebahasaan
10
Mengutip Bergson, Hassan Hanafi menyebut
penafsiran-penafsiran yang penuh dengan stereotype dan
memproyeksikannya ke dalam makna peristiwa sejarah
kekinian sebagai le mouvement rétrograde au vrai (kembali pada
hakekat benda-benda) atau le mirage du présent au passe
(proyeksi masa kini ke dalam masa lalu). Dalam sejarah
hermeneutika kitab suci, penafsiran jenis ini banyak ditemukan
dalam penafsiran tipologis terhadap Injil. (Hassan Hanafi,
Religious Dialogue and Revolution, hlm. 13. 11
Seperti dijelaskan K. Bertern bahwa menurut Husserl,
kesadaran menurut kodratnya terarah pada realitas yang dapat
disebut sebagai ‚Inter- sionalitas‛. Disamping itu, kesadaran
juga ‚mengkonstitusi‛ realitas. Konsti- tusi dimaksudkan
sebagai proses tampaknya realitas pada kesadaran. Dengan
demikian, dalam fenomenologi, kesadaran sejajar dengan
realitas. (K. Bertern, Filsafat Barat Abad X Inggris-Jerman, hlm.
101)
15
a) Analisis Linguistik
Analisis linguistik terhadap kitab suci
memang bukan dengan sendirinya merupakan analisis
yang baik, demikian diakui Peneliti. Tapi ia merupakan
alat sederhana yang membawa kepada pemahaman
terhadap makna kitab suci. Misalnya fonologi adalah
cabang ilmu bahasa yang mengawasi pembacaan teks.
Walaupun demikian, menurutnya, fenologi ini masih
berada dibawah bidang makna.
b) Analisis Sintaksis
Morfologi berfungsi menjelaskan bentuk kata
berikut implikasi maknanya akibat perbedaan
penggunaan kata. Leksikologi, di lain pihak,
menjelaskan jenis-jenis makna: ―makna etimologi‖,
―makna biasa‖, ―makna baru‖. Makna etimologis
adalah makna dasar. Makna biasa adalah makna yang
mengikat wahyu pada penggunaan kata dalam suatu
masyarakat, ruang, dan waktu tertentu12
.
Makna biasa inilah yang membuat wahyu sesuai
dengan yang dimaksud oleh situasi khusus. Sementara
makna baru yang diberikan wahyu adalah makna yang
tidak terkandung dalam makna etomologis, maupun
makna biasa. Makna yang terakhir ini yang menjadikan
12
Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 14
16
dasar turunnya wahyu. Makna baru berfungsi memberi
petunjuk bagi tindakan dan merupakan dorongan baru
bagi manusia. Oleh karena itu, kandungan maknanya
sama sekali bebas dari hal-hal yang misterius, tetapi justru
merupakan makna alamiah, rasional, dan jelas, kandungan
makna baru dimaksudkan untuk membebaskan manusia
dari usaha-usaha mencari teori agar manusia dapat
memusatkan diri pada perhatian pada praktik. Sementara
itu, sintaksis yang bagi Peneliti merupakan kunci
sesungguhnya dari kegiatan penafsiran dalam tahap ini
dan berguna untuk menyingkap prinsip-prinsip makna
ganda dalam teks. Kajian sintaksis ini seperti terlihat pada
makna haqîqah (makna harfiyah) dan makna majâz
(kiasan); istilah-istilah mubayan (univokal), dan mujmal
(ekuivokal); mubham (makna samar) dan al nash (makna
yang tepat); al zhahir (makna yang tampak) dan al
muawwal (makna yang tersembunyi); al „am (makna
umum) dan al khash (makna khusus); al amr (perintah)
atau al nahy (larangan).
2.2. Tahap Analisis Kesejarahan
Di samping prinsip-prinsip kebahasaan di atas,
pada level berikutnya, penafsiran harus juga memusatkan
diri pada latar belakang sejarah yang melahirkan teks.
Menurut Hassan Hanafi, terhadap dua jenis situasi, yakni
17
―situasi saat‖ atau ―contoh situasi‖ dan ―situasi sejarah‖.
Situasi saat adalah kasus dimana teks diturunkan yang
menjadi subtratum bagi wahyu. Dalam wahyu yang
ditulis in verbatim, situasi tersebut adalah situasi
saatnmya. Sementara situasi sejarah terjadi ketika teks
tidak ditulis in verbatim atau yang ditulis bukan berupa
wahyu, tapi inspirasi mengenai wahyu (tafsiran seperti
dalam injil, atau komentar seperti dalam al-hadits) tertentu
dalam sejarah yang ditulis oleh para penulis wakyu pada
masa berikutnya.
2.3. Tahap Generalisasi
Setelah makna linguistik dan latar belakang
sejarah ditentukan, dilakukan generalisasi. Generalisasi
disini berarti mengangkat makna dari situasi saat dan
situasi sejarahnya agar dapat menimbulkan situasi-situasi
lain. Pada tahap terakhir ini, Peneliti menginginkan
diperolehnya makna baru dari kegiatan penafsiran yang
berguna untuk menyingkap beragam kasus spesifik dalam
kehidupan masyarakat.
3. Kritik Praktis
Generalisasi pada tahap eidetis di atas membuka
jalan bagi kritik praktis yang menjadi tujuan hermeneutika
aksiomatika. Hermeneutika pembebasan semenjak awal
18
memang merupakan cara baca al Quran dengan maksud-
maksud praktis. Dengan kepentingan semacam ini,
hermeneutika menurut Peneliti jelas menaruh perhatian
besar pada transformasi masyarakat.
Hermeneutika Peneliti melampaui tafsir historis
yang digunkan banyak ahli tafsir. Seolah-olah al Quran
hanya berbicara untuk realitas, ruang, dan waktu tertentu
saja karena menampilkan peristiwa-peristiwa masa lalu.
Kami menurut Peneliti membangun tafsir perseptif (al
tafsîr al-syu‟îirî) agar al Quran dapat mendeskripsikan
manusia, hubungannya dengan manusia lain, tugas-
tugasnya di dunia, kedudukannya dalam sejarah,
membangun sistem sosial, dan politik13
. Hermeneutika
sebagai metode melampaui tafsir ayat per ayat, dari surat
ke surat yang terkesan fragmentaris dan mengulang-ulang.
Menurut Peneliti, kita bangun tafsir tematis dengan
menghimpun ayat-ayat yang satu tema dan dianalisis
begitu rupa sehingga muncul konsep universal tentang
Islam, dunia, manusia dan sistem sosial. Menurutnya,
lebih lanjut kami tegakkan tafsir revolusioner dengan
mentransformasikan akidah menjadi ideologi revolusi.
13
Hassan Hanafi, al Yasâr al Islâmy, hlm. 19.
19
Kritik historis, analisis makna dan praktis teks ke
dalam realitas dalam pandangan Peneliti tidak lain
merupakan konsekuensi logis dari objek analisis
hermeneutika aksiomatis, yakni teks-teks suci. Sementara
terhadap teks-teks lain, seperti teks sastra, analisisnya
hanya perlu pada tahap historis dan eidetis. Bahkan dalam
banyak kasus yang dibutuhkan hanyalah masalah terakhir.
Keaslian teks sastra harus selalu diterima, kecuali pada
teks-teks kuno. Hal ini tidak dengan sendirinya
menunjukkan bahwa hermeneutika sacra berbeda dari
hermeneutika umum (general hermeneutics), sebab pada
dasarnya yang pertama tetap merupakan bagian yang
terakhir. Hanya saja, dalam hal objek penafsiran,
hermeneutika sacra menampilkan spektrum analisis yang
lebih luas, mengingat pemahaman pada suatu kitab suci
tidak mungkin melepaskan diri dari masalah otentisitas,
pemahaman maknanya, dan realisasi pemahaman tersebut
dalam dunia nyata.
E. Membaca Pustaka Terdahulu
Penelitian berkenaan dengan tema damai oleh
peneliti lain memang sudah banyak tetapi yang diangkat
secara spesifik bagaimana pemahaman umat Muslim Kota
Salatiga tentang kedamaian belum ada yang melakukan
penelitian tentang itu. Sama belum dilakukan penelitian oleh
20
banyak kalangan tentang konsep al salam, al shulh, dan al
aman dalam al-Quran. Namun demikian, sebagai bahan
pertimbangan akan peneliti sampaikan judul-judul penelitian
yang berbicara seputar kedamaian.
Dr. H.M. Zulfa, laporan Penelitian 76 halaman untuk
P3M STAIN Salatiga tahun 2011, meneliti dengan judul
Model Kerukunan Antarumat Beragama; studi kasusu di
kota Salatiga, Kabupaten Magelang dan Kabupaten
Semarang. Persamaan dari penelitian di atas dengan
penelitian yang akan dilakukan memang ada bagian tentang
kerukunan antarumat beragama tetapi berbeda karena di
penelitian tersebut di atas tidak menggunakan pendekatan
sosio-tematik terhadap ayat-ayat yang khusus tentang
kedamaian dalam al-Qur‘an.
Muhamad Ali, Ph.D menulis buku Teologi Pluralis-
Multikultural: Menghargai Kemajemukan Menjalin
Kebersamaan, tebal 298+xxvi penerbit Kompas Jakarta
tahun 2003. Bagian ke tiga dalam bukunya menulis
Humanisme, Moderasi Agama dan Perdamaian. Di antara
sub-sub judulnya seperti Paradigma beragama yang humanis;
Kesadaran agama moderat; Terorisme dan militansi agama;
Antiterorisme, Negara dan civil society; Intoleransi Israel
dan HAM universal; Kesalehan dan toleransi; Mengubah
pola pikir kekerasan dan Pendidikan perdamaian. Buku karya
21
Muhamad Ali tersebut secara umum kajian perspektif
Teologi. Berbeda dengan tulisan tersebut, penelitian yang
akan dilakukan peneliti adalah perspektif Tafsir Sosio-
tematik tentang ayat-ayat kedamaian dalam al-Quran di
realitas Muslim Kota Salatiga.
Buku karya Dr. Imam Taufiq, M.Ag berjudul Al-
Quran Bukan Kitab Teror. Di kesimpulan buku tersebut ia
menulis bahwa ada beberapa hal penting yang bisa dicatat
dari pandangan Al-Quran tentang perdamaian yang
semestinya diimplentasikan oleh umat Islam yang hidup
dalam masyarakat yang tidak lepas dari konflik seperti di
Indonesia. Pertama, Al-Quran adalah salah satu kitab suci
yang mendorong kebebasan setiap orang untuk memilih
agama tertentu. Prinsip ini menjadi pegangan Nabi Saw.
dalam berhubungan dengan pemeluk agama lain. Oleh
karena itu, dukungan umat Islam terhadap terwujudnya
perdamaian di Indonesia merupakan ekspresi menjalankan
ajaran Al-Quran. Seharusnya umat Islam menjadikan dalil-
dalil Al-Quran tersebut sebagai pedoman dalam interaksi
sosial. Kedua, dalam upaya membangun perdamaian
personal, interpersonal, dan intrapersonal, dibutuhkan
kehadiran tafsir Al-Quran yang lebih menghargai
kepentingan pihak lain. Tafsir keagamaan eksklusif yang
cenderung mendiskriminasi pemeluk agama lain tidak selaras
22
dengan cita-cita kehidupan damai, terlebih dalam konteks
Indonesia. Sebab, sudah mafhum, Indonesia adalah negara-
bangsa yang didirikan bukan hanya oleh umat Islam,
melainkan juga oleh umat agama lain seperti Hindu, Buddha,
dan Kristen. Dengan demikian, di Indonesia tak dikenal
warga negara kelas dua berdasar agama yang dipeluk
sebagaimana pandangan sebagian ulama klasik. Menerapkan
tafsir-tafsir keagamaan yang eksklusif tidak menolong
terciptanya kerukunan dan perdamaian. Ketiga, setiap orang
perlu menghapus stigmatisasi dan generalisasi menyesatkan
bahwa Islam adalah agama kekerasan dan teroris.
Generalisasi merupakan simplifikasi dan stigmatisasi sangat
merugikan umat Islam dan orang lain. Yang bisa kita
lakukan untuk menghapus stigma ini adalah menampilkan
wajah Islam wacana-tanding, yakni menghadirkan wajah
Islam yang sesungguhnya, yang selaras dengan prinsip-
prinsip perdamaian dalam setiap segi kehidupan. Studi
Taufik terhadap masalah perdamaian dalam al-Quran
sedangkan fokus kajian penelitian ini adalah menggali data
hidup damai bersama beda agama di Salatiga.
Pendidikan Karakter Pendidikan Menghidupkan
Nilai untuk Pesantren, Madrasah dan Sekolah, buku terdiri
dari 4 jilid buku 1-4 ditulis oleh kelompok aktivis dan para
trainer LVE Budhi Munawar-Rachman sebagai
23
penyuntingnya, terbitan kerja sama The asia Foundation,
Yayasan Paramadina dan Association for Living Values
Education (ALIVE) Indonesia tahun 2015. Buku I
mengungkap pertama, Unit Kedamaian memuat pelajaran 1-
32 di antaranya berisi Islam agama damai; Membangun
sebuah dunia yang damai; membangun suasana damai;
Kedamaian dan keadilan social dan Damai dengan
lingkungan; dan yang kedua, Unit Penghargaan. Buku
pendidikan karakter tersebut lebih menekankan pentingnya
nilai-nilai yang harus ditanamkan kepada siswa sebagai
pembentukan karakter. Sementara penelitian yang akan
dilakukan ingin menemukan data bagaimana pemahaman
dan sikap umat muslim Kota Salatiga tentang ayat-ayat
kedamaian dalam al-Qur‘an.
Demikian sekilas pembahasan tentang kedamaian di
berbagai literatur yang ada. Belum ada satupun
penelitian yang memusatkan penelitiannya kepada
pemahaman umat muslim Kota Salatiga terhadap ayat-ayat al
Qur‘an tentang kedamaian, hidup bersama dengan pemeluk
beda agama. Hal inilah yang menjadi fokus penelitian yang
diajukan di kluster penelitian madya khusus akselerasi
Profesor IAIN Salatiga tahun 2017.
24
F. Metodologi Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif,
field research penelitian lapangan dengan menggunakan
pendekatan tafsir al-Qur‘an Sosio-tematik. Penelitian ini
memadukan data yang diperoleh dari penelitian library
research dan field research. Data lapangan dirancang untuk
melihat apa yang sesungguhnya sudah dipraktekan warga
terhadap apa yang selama ini mereka pahami tentang materi
dari kajian-kajian yang diperoleh mereka dari pemahaman
al-quran tentang kedamaian.
Untuk memperoleh data autentik peneliti terlibat
langsung dalam kehidupan social mereka lalu mencari
sumber yang dapat dipercaya dari berbagai sumber tafsir al-
quran tentang kedamaian. Jadi dengan demikian, kekuatan
penelitian ini terletak pada akurasi pemahaman ayat tentang
kedamaian yang diperoleh dari berbagai tafsir yang sudah
ada kemudian ditambahkan hasil pendekatan tafsir al qur‘an
sosio-tematik tentang kedamaian dan bagaimana realitas di
lapangan kehidupan yang sesungguhnya memahami tentang
kedamaian.
Penelitian didesain dalam rentang waktu satu
semester sekitar lima-enam bulan. Asumsinya bahwa waktu
dua bulan dipakai untuk penelitian lapangan dua bulan
penelitian library research, satu bulan untuk penulisan dan
25
pengujian laporan. Adapun waktu penilitian akan kami
rancang dari bulan Juni sampai dengan Oktober tahun 2017.
1. Langkah-langkah Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini, penulis
menggunakan metode deskriptif yaitu mengumpulkan,
mempelajari, membandingkan dan menganalisa masalah
yang ada kaitannya dengan konsep saling memaafkan
dalam al-Qur‘an. Data-data di atas sosio tematik sabar
kemudian dikupas menggunakan pendekatan pisau analasis
hermeneutika pembebasan. Sedangkan tehnik penelitiannya
menggunakan tehnik Book Survey (penelitian Literatur)
Adapun cara-cara yang akan ditempuh adalah
sebagai berikut:
1. Menghimpun dan mengumpulkan ayat-ayat tentang
sabar dalam al-Qur‘an;
2. Menyusun ayat-ayat tentang sabar sesuai urutan
turun (tartib nuzul) suratnya masing-masing;
3. Mempelajari dan menelaah latar belakang dan
setting historis (Asbab al-nuzul) ayat-ayat tersebut
dalam suratnya masing-masing;
4. Mempelajari literatur-literatur baik yang berupa
kitab tafsir atau buku-buku pengetahuan lain yang
mendukung pada pembahasan inti;
26
5. Mengkaji dan menganalisa masalah yang sedang
dibahas;
6. Membuat kesimpulan-kesimpulan.
2. Metode Tafsir al-Quran Sosio-tematik
Al-Qur‘an al Karim itu laksana samudera yang
keajaiban dan keunikannya tidak akan pernah sirna di telan
masa, sehingga lahirlah bemacam-macam Tafsir yang
beraneka ragam pula. Kitab-kitab tafsir yang memenuhi
perpustakaan merupakan bukti nyata yang menunjukkan
betapa tingginya semangat dan besarnya perhatian para
ulama untuk menggali dan memahami makna-makna
kandungan kitab suci al-Qur‘an al-Karim tersebut.
Para ulama telah menulis dan mempersembahkan
karya- karya mereka di bidang tafsir ini dan menjelaskan
metode- metode yang pernah dipergunakan. Meode-metode
tafsir yang dimaksud adalah: metode Tahlily, metode
Ijmaly, metode Muqaran dan metode Maudlu‟iy.
Metode Maudlu‟iy atau tafsir tematik adalah suatu
metode tafsir dengan cara menghimpun ayat-ayat yang
mempunyai satu makna dan menyusunnya di bawah satu
judul bahasa (farmawi,1994:34).
Dr. Abd. Hayy Farmawi sorang guru besar pada
Fakultas Usuludin Al Azhar, mengemukakan secara
terperinci langkah-langkah tersebut ialah:
27
1. Menetapkan masalah yang akan dibahas;
2. Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan
masalah tersebut;
3. Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa
turunnya, disertai dengan pengetahuan tentang
asbab al nuzulnya;
4. Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam
suratnya masing-masing;
5. Menyusun pembahasan dalam kerangka yang
sempurna;
6. Melengkapi pembahasan dengan hadits-hadits yang
relevan dengan pokok pembahasan;
7. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan
dengan jalan menghimpun ayat-ayatnya yang
mempunyai pengertian sama, atau
mengkompromikan yang ‗am dan yang khash, yang
mutlaq dengan yang muqayyad, yang tampak
lahirnya bertentangan sehingga kesemuanya
bertemu pada suatu muara, tanpa perbedaan atau
pemaksaan.
Seperi yang dituturkan Quraisy Shihab dalam buku
monumentalnya, Membumikan Al-Qur‟an, dia mengatakan
bahwa metode maudlu‘iy ini memiliki keistimewaan di
antaranya: kes- impulan yang dihasilkannya mudah
28
difahami. Dengan metode ini dapat dibuktikan bahwa
persoalan yang disentuh al-Qur‘an bukan bersifat teoritis
semata-mata dan atau tidak dapat diterapkan dalam
kehidupan masyarakat. Metode ini memungkinkan
seseorang untuk menolak anggapan adanya ayat-ayat yang
bertentangan dalam al-Qur‘an.
29
BAB II
TEORI PENAFSIRAN ALQURAN
I. Sosio-Tematik Hermeneutika Al-Qur‘an
A. Kemunculan Pemikiran Hermeneutika Tematik al-
Qur’an
Secara geneologis, metode tematik untuk
menafsirkan al- Qur‘an dirumuskan secara terinci pertama
kalinya oleh Hayy Farmawi yang sebelumnya dicetuskan
oleh Sayid al Kummî. Pada tahun 1977 Hayy Farmawi
menerbitkan bukunya Al Bidâyah fî al Tafsîr al Maudlû‘î.
Sebetulnya sebelum itu sudah ada yang mempraktekan
dengan menggunakan metode tematik tetapi bukansebagai
pembahasan tafsir14
.
14
Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, Bandung:
Mizan, Cet.ke-1, 1992 hlm. 114. Menurut Quraish Shihab
30
Salah satu pemikir Tafsir al-qur‘an terkini, Hassan
Hanafi tidak memberikan pernyataan jelas berasal dari mana
metode tersebut diperolehnya. Agaknya, ia memang
mengadopsi metode tematik ini dari Hayy Farmawi
walaupun dalam prakteknya ada beberapa modifikasi
terhadap metode yang sudah dirinci oleh Hayy Farmawi.
Perincian langkah-langkah metode tematik yang ditawarkan
oleh menurut hemat penulis, merupakan penyempurna dari
apa yang sudah sudah dirinci oleh Hayy Farmawi.
Kebanyakan tafsir yang ditulis sampai tahun 1960
masih dilakukan dari surat al Fâtihah sampai surat al Nâs.
Tafsir-tafsir tersebut ditulis per surat, dan per ayat, sesuai
dengan susunan yang ada dalam Mushhaf Usmânî15
.
Sedangkan dalam prakteknya bahwa metode seperti ini
sudah dilakukan oleh sementara ahli tafsir yang diduga
bahwa Ahmad Sayyid al Kumi adalah Ketua Jurusan Tafsir
pada Fakultas Ushuluddin Universitas al Azhar sampai tahun
1981.
15 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World I, Kairo:
Dar el Kebaa, 2000, hlm. 484. Pernyataan ini
disampaikandalam sebuah seminar internasional dengan tema
‚The Quran as Text‛ di Universitas Bonn, Jerman, 21 Nopember
1993. Lihat footnote (Hassan Hanafi, ‚Method of Thematic
Interpretation of The Quran‛ dalam Islam in The Modern World I,
hlm. 484).
31
dimulai oleh Al Farra (w. 207 H) dan mencapai puncaknya
di bawah usaha Ibrahim bin Umar Al Biqa‘ î (809-885 H)16
.
Berdasarkan keterangan dari Quraish Shihab bahwa
metode tematik ini awal mulanya karena terinspirasi oleh
karya-karya ilmiah seperti al Insân fî al-Qur‟an karya Abbas
Mahmud Aqqad dan al Ribâ fî al-Qur‟an karya al Maududi
yang disusun bukan sebagai pembahasan tafsir. Sehingga
untuk yang pertama kalinya DR. Ahmad Sayyid al Kummi
mencetuskan dan menggunakan metode tafsir tematik17
.
Disusul kemudian tahun 1977, Prof. DR. Abdul Hayy
al Farmawy yang juga menjabat guru besar pada Fakultas
16
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, hlm. 112. Quraish Shihab menuturkan bahwa bentuk metode tahlîlî ini menjadikan petunjuk-petunjuk al-Qur’an terpisah-pisah dan tidak disodorkan kepada para pembacanya secara menyeluruh.
17 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, hlm. 114.
Menurutnya bahwa menurut al Kummî, seorang mufasir harus menetapkan satu topik tertentu, dengan jalan menghimpun seluruh atau sebagian ayat-ayat dari beberapa surat yang berbicara topik tertentu. Kemudian dikaitkan satu dengan yang lainnya sehingga pada akhirnya diambil kesimpulan secara menyeluruh tentang masalah tersebut menurut pandangan al-Qur’an. Menurutnya, beberapa dosen di Universitas al Azhar telah berhasil menyusun banyak karya ilmiah dengan menggunakan metode tersebut. Antara lain dilakukan Prof. DR. Al Husaini, namun ia tidak mencantumkan seluruh ayat dari seluruh surat, walaupun seringkali menyebutkan jumlah ayat-ayatnya dengan memberikan beberapa contoh, sebagaimana tidak juga dikemukakan perincian ayat-ayat yang turun pada periode Mekkah sambil membedakannya dengan periode Madinah, sehingga terasa bahwa apa yang ditempuhnya itu masih mengandung beberapa kelemahan (Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, hlm. 114).
32
Ushuluddin Universitas al Azhar, menerbitkan buku al
Bidâyah fî Tafsîr al Maudlû‟î dengan mengemukakan
secara rinci langkah-langkah yang hendaknya ditempuh
untuk menerapkan metode tematik tersebut. Langkah-
langkah tersebut menurut Hayy Farmawy adalah18
1. Memilih atau menetapkan topik masalah yang akan
dibahas.
2. Melacak dan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan
dengan masalah tersebut, ayat makiyah dan ayat
madaniyah.
3. Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya,
disertai pengetahuan tentang aspek asbâb al nuzûl-nya.
4. Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam suratnya
masing-masing.
5. Menyusun tema pembahasan dalam kerangka yang
sistematis, utuh dan sempurna (out line).
6. Melengkapi pembahasan dengan hadist ‟âm (umum)
dan yang khâs (khusus), mutlaq dan muqayyad (terikat)
atau yang pada lahirnya bertentangan, sehingga
kesemuanya bertemu dalam satu muara, tanpa
perbedaan atau pemaksaan.
Menurut Farmawi ada dua bentuk metode maudlû‟î
dalam tafsir al-Qur‘an.
18
Hayy Farmawi, al Bidâyah fî Tafsîr Maudlû’î, hlm. 61 – 63.
33
Pertama, bentuk penafsiran menyangkut satu surat
dalam al-Qur‘an dengan menjelaskan tujuan-tujuannya
secara umum dan khusus, korelasi persoalan yang beraneka
ragam dalam surat tersebut antara satu dengan lainnya,
sehingga semua persoalan tersebut saling keterkaitan
bagaikan satu persoalan saja, sebagaimana ditempuh oleh
Mahmud Syalthuth dalam kitab tafsirnya.19
Kedua, bentuk penafsiran dengan menghimpun ayat-
ayat al-Qur‘an yang membahas masalah tertentu dari
berbegai surat al-Qur‘an, kemudian menjelaskan pengertian
menyeluruh ayat-ayat tersebut, sebagai jawaban terhadap
masalah yang menjadi pokok pembahasannya.20
Sementara pengertian lainya diungkapkan oleh
Muhammad Baqir Shadr bahwa tafsir maudlû‘î yaitu
pendekatan tafsir yang mencoba mengkaji al-Qur‘an dengan
mengambil sebuah tema khusus dari berbagai macam tema
doktrinal, sosial dan kosmologi yang dibahas oleh a1 Quran
dengan tujuan nenetapkan pandangan a1 Quran mengenai hal
tersebut.21
19
Hayy Farmawi, Al Bidâyah fî Tafsîr Maudlû’î, hlm. 35.
Bandingkan den- gan Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an,
hlm. 114. 20
Hayy Farmawi, Al Bidâyah fî Tafsîr Maudlû’î, hlm. 35. 21
Baqir al Shadr, dalam Jurnal UQ No.4. Th.1993, Jakarta:
Aksara Buana, 1993, hlm. 28. Menurut Quraish Shihab bahwa
M. Baqir Shadr adalah ulama Irak yang menulis uraian
34
B. Teori dan Teknis Hermeneutika Al-Qur’an
Hassan Hanafi menerima sebagian gagasan baik
hermeneutika metodis bahwa hermeneutika merupakan
disiplin tentang teknis penafsiran, maupun hermeneutika
filosofis yang berpegang pada hakikat peristiwa penafsiran.
Hanya saja ia menambahkan bahwa disiplin tersebut harus
juga memperbincangkan dua dimensi lainnya, yakni sejarah
teks dan kepentingan praktis dalam kehidupan.
Hermeneutika bukan sekedar ―sains penafsiran‖ atau
teori pemahaman belaka, melainkan, anggota kompehensif
tentang sejarah teks, intepretasi, dan prakteknya dalam
mentransformasikan kenyataan sosial. Hermeneutika adalah
ilmu yang menjelaskan penerimaan wahyu sejak dari tingkat
perkataan sampai pada tindakan nyata di dunia.22
Hermeneutika merupakan ilmu tentang proses wahyu dari
huruf sampai kenyataan, dari logos sampai praxis, kehidupan
manusia.
Hermeneutika tidak dibatasi pada perbincangan
mengenai model-model pemahaman tertentu atas teks
semata, tetapi lebih jauh lagi, berkaitan juga dengan
menyangkut rafsir tentang hukum-hukum sejarah dalam al-
Qur’an dengan menggunakan metode yang mirip metode
maudhu’î dan menamakannya dengan metode tauhîdî
(Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, footnote di hlm. 74). 22
Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 1.
35
penyelidikan sejarah teks untuk menjamin otentisitasnya
hingga penerapan hasil penafsiran dalam kehidupan manusia.
Proses interpretasi menempati posisi kedua, setelah kritik
sejarah.23
Prasyarat pemahaman yang baik terhadap suatu teks
kitab suci adalah dengan terlebih dahulu membuktikan
keasliannya melalui kritik sejarah. Sebab jika tidak,
pemahaman terhadap teks yang palsu akan menjerumuskan
orang pada kesalahan, sekalipun, misalnya, tafsirannya benar
mengenai kandungan teks palsu tersebut.24
Setelah
memperoleh keaslian teks, barulah hermeneutika dalam
pengertian ilmu pemahaman bisa dimulai. Menurutnya, pada
titik ini, hermeneutika berfungsi sebagai ilmu yang
berkenaan dengan bahasa dan keadaan-keadaan sejarah yang
melahirkan teks. Setelah mengetahui makna yang tepat dari
sebuah teks, segera diikuti dengan proses menyadari teks ini
dalam kehidupan manusia. Sebab, pada dasarnya, tujuan
akhir sebuah teks wahyu adalah bagi transpormasi kehidupan
manusia itu sendiri.25
23
Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 1. 24
Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 1. 25
Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 1.
36
Dalam bahasa fenomenologis, dapat dikatakan bahwa
hermeneutika adalah ilmu yang menentukan hubungan
antara
kesadaran dan objeknya, yakni kitab-kitab suci.26
Pertama,
kesadaran historis yang menentukan keaslian teks dan
tingkat kepastiannya. Kedua, kesadaran eidetik yang
menjelaskan makna teks dan menjadikannya rasional.
Ketiga, kesadaran praktis yang menggunakan makna tersebut
sebagai dasar teoritis bagi tindakan dan mengantarkan wahyu
pada tujuan akhirnya dalam kehidupan manusia di dunia,
sebagai struktur ideal yang mewujudkan kesempurnaan
dunia.
Dengan tiga fase analisis ini, diharapkan
hermeneutika al-Qur‘an dapat bersifat teoritik sekaligus
praktis. Baginya, perbincangan yang berpusat pada
penafsiran teks, di satu sisi, dan pada metodologi tanpa
maksud praktis, di sisi lain, benar-benar perlu dihindari.
Hermeneutika sebagai aksiomatika harus pula
menjadi jalan tengah antara kutub umum dalam penafsiran:
penafsiran praktis dan filosofis. Penafsiran praktis, sebagai
analisis filologi murni terhadap teks yang erat kaitannya
dengan philologi sacra.27
26
Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 1. 27
Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 2.
37
Penafsiran semacam ini menurutnya, tidak akan
memperbincangkan masalah-masalah prinsipil dalam
penafsiran, kecuali memusatkan diri pada detail-detail yang
sama sekali tidak membuat teks menjadi lebih asli, jelas,
maupun praktis.
Sementara itu hermeneutika filosofis menurutnya,
kembali pada subjektivitas penafsir, sebuah istilah yang
digunakannya untuk menunjukkan masalah yang terfokus
pada problem pembacaan, yang menyerap teks kedalam
perbincangannya sendiri. Jika penafsiran praktis bersifat
ekstrovert, maka hermeneutika filosofis cenderung lebih
introvert.28
1. Kritik Historis
Keaslian sebuah kitab suci tidak tercipta karena
adanya keyakinan, tetapi merupakan hasil kritik sejarah.
Kritik ini harus terbebas dari hal-hal yang semata-mata
berbau teologis, filosofis, mistik, spritiual, atau bahkan
fenomenologis. Keaslian kitab suci tidak dijamin oleh
takdir Tuhan, keyakinan dogmatis, pemuka agama atau
pranata sejarah apa pun.29
Jadi, keaslian sebuah kitab suci
diuji berdasarkan atas kritik sejarah bukan berdasarkan atas
keyakinan, bukan kritik teologi dan hal-hal yang anti kritik.
28
Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 3.
29 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution,hlm. 4.
38
Dalam konteks Islam, hal ini berkaitan dengan
tradisi dua pola pengalihan (al naql) jenis kata-kata sebagai
berikut ini. Pertama, metode transferensi tertulis (al naql al
maktûb) dan kedua, metode transferensi oral (al naql al
syafâhî). Melalui jalan metode transferensi tertulis adalah
seperti penulisan al-Qur‘an dan melalui jalan metode oral
adalah seperti diteransferensikannya al hadits atau al
sunah.30
1.1. Pola kata-kata dengan metode transferensi tertulis
dalam Kitab suci seperti al-Qur‘an
Kata-kata yang diucapkan oleh Nabi yang
didiktekan kepadanya oleh Tuhan melalui malaikat dan
langsung didiktekan oleh Nabi kepada penyalinnya pada
saat pengucapan dan dengan demikian menyimpannya
dalam tulisan sampai sekarang. Kata-kata al-Qur‘an
merupakan pengalihan verbatim yaitu al-Qur‘an di mana
ia ditulis segera setelah pewahyuan di bawah pengawasan
Nabi sendiri (selain dihafal oleh para sahabat Nabi) dan
persis sama dengan kata-kata yang diucapkan pertama
kali ketika diwahyukan.31
Wahyu ini tidak melewati masa
30
Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyyah, hlm 549. 31
Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 5. Bandingkan dengan Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, Bandung : Mizan, cet Ke-2, 1992 hlm. 122. Menurut Quraish Sihab, atas dasar ini kedudukan al-Qur’an dari segi otentisitasnya bersifat qath’iy al wurûd.
39
pengalihan secara lisan; tetapi ditulis pada saat
pengucapannya, tak satu pun kitab suci dalam tradisi kitab
suci sejak Kitab Taurat yang memenuhi persyaratan ini
kecuali Kitab Suci al-Qur‘an. Hanya al-Qur‘anlah yang
ditulis pada saat diturunkannya.32
Wahyu pada hakekatnya merupakan firman Tuhan
yang diberikan kepada Nabi in verbatim dan harus
disampaikan kepada manusia secara in verbatim pula.
Meskipun demikian, hermeneutika sebagai kritik sejarah
tidak berurusan dengan wahyu in verbatim ketika masih
dalam pemikiran Tuhan atau sebelum diturunkan kepada
Nabi-Nya.33
Hermeneutika baru berfungsi setelah Nabi
menyampaikan wahyu tersebut dalam sejarah.
Karena al-Qur‘an ditujukan bagi manusia, maka
konsekuensinya, hermeneutika tidak berurusan dengan
wahyu pada tahap metafisika, seperti tentang substansi
logos (Kalam Tuhan) atau masalah cara-cara pewahyuan.
Namun, hermeneutika berurusan dengan al-Qur‘an pada
tahap teks dan produktivitas (penafsiran) teks.34
Dalam
hal ini, pendefinisian al-Qur‘an apakah sebagai Kalam
Allah yang bersifat Qadim (dahulu) dan azali atau apakah
32
Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 5. 33
Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 7. 34
Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 69.
40
bersifat Hadits (baru) dan makhluq. Hal ini dianggap
tidak relevan diperbincangkan di sini. Dalam bahasanya
yang lebih fenomenologi, metafisika al-Qur‘an diletakkan
dalam tanda kurung (apoche), tidak diafirmasi, namun
juga tidak ditolak.35
Fungsi kritik historis dalam hermeneutika untuk
memastikan keaslian teks yang terdapat dalam Kitab Suci
dengan wahyu yang disampaikan oleh Nabi dalam sejarah
yang disebarkan dari mulut ke mulut dalam kasus
transferensi oral, atau pengalihan dari tangan yang satu ke
yang lainnya dalam kasus transferensi tulisan.36
Karena
al-Qur‘an ditujukan kepada manusia, maka sebagai
konsekwensi logisnya hermeneutika tidak berurusan
dengan wahyu pada tahapan metafisis. Artinya, perhatian
hermeneutika terletak pada dimensi horizontal wahyu
yang bersifat historis, dan bukan pada dimensi vertikalnya
yang metafisis seperti bagaimana Nabi menerima wahyu
dari Tuhannya tersebut.
Keaslian wahyu dalam sejarah, ditentukan oleh
tidak adanya syarat-syarat kemanusiaan di dalamnya.
Kata-kata yang diterima Nabi dan dibacakan langsung
oleh Tuhan melalui malaikat, langsung pula dibacakan
35
Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. 1, hlm. 495.
36 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 6.
41
oleh Nabi kepada para penyalinnya pada saat pengucapan
dan lestari sampai saat ini dalam tulisan (al-Qur‘an).37
Pada kasus al-Qur‘an, wahyu ditulis in ver batim yang
secara harfiah dan kebahasaan, persis sama dengan yang
diucapkan oleh Nabi. Prasyarat lain bagi keaslian Kitab
Suci dalam sejarah adalah keutuhannya. Artinya semua
37
Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 5; Seperti sudah diutarakan bahwa wahyu semacam ini tidak melalui pengalihan lisan, tapi ditulis pada saat pengucapannya. Menurutnya, hanya al-Qur’an yang memenuhi persyaratan ini. Bandingkan pula dengan karya Hassan Hanafi dalam Humûm al Fikr wa al Wathan: al Turâts wa al ‘ashr, Kairo: Dar Qubali al Thaba’ah wa al Nasyr wa al Tauzi’, cet. Ke-2. 1998, hlm. 17-56. Hal ini pula yang membuat hermeneutika al-Qur’an berbeda dengan hermenutika kitab suci lainnya. Secara histories, al-Qur’an adalah wahyu verbatim, dalam suatu fase pewahyuan selama kurang lebih 23 tahun, sebagai jawaban atas kondisi sosiohistoris masyarakat Arab saat itu. Karena pewahyuannya yang tidak sekaligus, membuat al-Qur’an memiliki keunikan yang tak dimiliki kitab suci lain, di antaranya dalam hal sistematika. Al-Qur’an bukanlah kitab yang tersusun secara tematik, sehingga suatu tema tertentu tersebar di beberapa tempat yang berbeda dalam al-Qur’an, dan beberapa ayat tertentu atau kisah tertentu terkesan diulang-ulang berbeda dengan kitab suci lain, al-Qur’an yang ada sekarang tidaklah berbeda dengan yang ada pada zaman Rasulullah, tidak ada perubahan. Kecuali dalam kaitannya dengan penambahan tanda baca, baik yang berupa titik (I’jam), maupun tanda baca lain (sya- kal) pada masa awal Islam dan perubahan ini tidak signifikan, karena hanya untuk memperjelas pembacaan, tidak mengubah al-Qur’an (Daud al Aththar, Perspektif Baru Ilmu Al-Qur’an, terj. Afif Muhammad dan Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka Hidayah, 1994, hlm. 191-200). Bandingkan pula Montgom- ery Watt, Pengantar Studi Al-Qur’an, terj. Taufik Adnan Amal, Jakarta: Rajawali Press, 1991, hlm. 71-74.
42
yang dituturkan oleh Nabi, baik dengan menggunakan
pola transferensi lisan maupun tertulis harus tersimpan
dalam bentuk teks tertulis.38
Berbeda dengan kritik yang terjadi pada teks-teks
yang mengalami fase pengalihan lisan seperti dalam al
hadits, al-Qur‘an tidak mendapatkan kritik yang rumit.
Artinya, otentisitas al-Qur‘an telah teruji secara histories.
Beberapa kritik yang diterapkan pada al-Qur‘an, antara
lain seputar aspek bacaan seperti (qira`ah), al ahruf al
sab‘ah, hakekatnya sebagai Kalam Allah, keberadaan
basmalah, dan keberadaan kosa kata asing (non- Arab).39
Kritik terhadap al-Qur‘an juga berlaku pada
kronologi ayat, karena diakui secara historis bahwa wahyu
al-Qur‘an diturunkan secara bertahap sejalan dengan
perkembangan realitas sejarah masa Rasulullah. Dalam
kaitan ini, terjadinya naskh adalah sangat mungkin karena
ia merupakan konsekwensi logis dari wahyu yang
diturunkan secara gradual dan tidak terjadi pada wahyu
yang diturunkan secara sistematik seperti buku-buku
hokum. Nasakh justru menunjukkan hitorisitas wahyu,
38
Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 7. 39
Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 69.
43
keterlibtan wahyu dalam sejarah. Wahyu tidaklah muncul
di luar sejarah.40
1.2.Pola kata-kata yang berupa Hadits dimana ia
melewati fase pengalihan lisan sebelum ditulis
Kata-kata yang diucapkan Nabi yang datang
dari Nabi sendiri untuk menjelaskan sebuah gagasan atau
memberitahukan bagaimana suatu tindakan secara tetap
harus dilakukan agar sesuai maksud Tuhan. Pola kedua ini
dapat berupa kata-kata, perbuatan atau izin yang diberikan
Nabi tetapi tidak pernah berupa mimpi, bayangan atau
perjumpaan langsung dengan Tuhan. Karena, hadits Nabi
datang dari situasi kehidupannya.41
Untuk melihat pemilahan transferensi wahyu
dari yang in verbatim, (al-Qur‘an), Hassan Hanafi
membedakannya dari kata-kata lain yang juga berasal dari
Nabi tetapi bukan merupakan wahyu yang didiktekan
langsung oleh Tuhan. Materi ini berasal dari buah pikiran
Nabi sendiri tentang gagasan tertentu atau dalam rangka
40
Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 70. 41
Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 7. Bandingkan pula dengan Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, Bandung : Mizan, cet. Ke-2, 1992 hlm. 122. Dengan demikian, menurut Quraish Shihab, kedudukan hadits dari segi otentitasnya adalah bersifat zhanniy al warûd.
44
memberikan petunjuk pelaksanaan dari wahyu in verbatim
yang dapat disebut dengan al hadits.42
Secara teoritis antara wahyu in verhatim dan hadis
Nabi tidak ada pertentangan;43
keduanya berasal dari
Tuhan, yang satu secara langsung yang lainnya tidak
langsung. Sebab setiap ter jadi pertentangan akan
diselesaikan dengan baik. Antara yang prinsipil dengan
yang kasuistik, antara makna umum dan makna khusus,
atau merupakan kontinuitas pola pertama (wahyu in
verbatim) kepada pola kedua yaitu al hadits.44
Penyelesaian tersebut dengan cara berikut ini.
Pertama, pola yang pertama memberikan gagasan
umum dan yang kedua merupakan kasus perorangan.
Kedua, pola yang pertama memberikan arti yang umum
dan yang kedua menawarkan arti yang khusus. Ketiga,
pola yang pertama biasanya muncul lebih dahulu dari
pada pola yang kedua.45
42
Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 7. 43
Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 7. Hal ini senada dengan apa yang dijelaskan oleh Quraish Shihab bahwa tidak ada pertentangan antara al-Qur’an dan al Hadits. Lihat Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an,. 117; Bandingkan pula dengan Hayy Farmawiy, Al Bidâyah fî Tafsîr Maudlû’ î, hlm. 53.
44 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm.
7. 45
Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm.
7-8. Bandingkan pula dengan Quraish Shihab, Membumikan
45
Dengan melihat paparan di atas terlihat bahwa
Hassan Hanafi termasuk orang yang tidak mengakui
kebolehan menasakh ayat al-Qur‘an dengan al sunnah, al
hadits. Bahkan, dia hanya menganggap kompromi seperti
di atas justru memperkuat pendapat adanya dua posisi al
hadits terhadap al-Qur‘an yang berfungsi sebagai bayân li
ta‟kîd dan bayân li tafsîr. Dalam pengertian, seperti yang
dikemukakan oleh Quraish Shihab yang mengutip
pendapat Abdul Halim bahwa dalam kaitannya tentang
posisi al sunnah dengan al-Qur‘an, ada dua fungsi al
sunnah yang tidak diperselisihkan yaitu fungsi bayân ta‟
kîd dan bayân tafsîr. Fungsi bayân ta‟ kîd yaitu
menguatkan atau menegaskan dan menggarisbawahi
kembali apa yang terdapat dalam al-Qur‘an. Sedangkan
fungsi bayân tafsîr, berarti memperjelas, memerinci,
bahkan membatasi pengertian lahir dari ayat-ayat al-
Qur‘an.
al-Qur’an, Bandung : Mizan, cet. Ke-2, 1992 hlm. 122. Quraish
Shihab dengan mengutip pendapat Abdul Halim yang
menegaskan bahwa, dalam kaitannya tentang posisi al
sunah, hadits dengan al-Qur’an, ada dua fungsi al sunnah yang
tidak diperselisihkan yaitu fungsi bayân ta’ kîd dan bayân
tafsîr. Fungsi bayân ta’ kîd berarti sekedar menguatkan atau
menegaskan dan menggarisbawahi kembali apa yang dapat
dalam al-Qur’an. Sedangkan fungsi bayân tafsîr, berarti
memperjelas, memerinci, bahkan membatasi pengertian lahir
dari ayat-ayat al-Qur’an.
46
Pola yang kedua ada kemungkinan melewati masa
pengalihan lisan. Dalam hal ini keaslian sejarahnya harus
terjamin. Karena tidak mungkin mencapai keaslian mutlak
bagi semua kata-kata yang ada, maka yang dilakukan
hanya menentukan derajat keaslian.46
Setiap riwayat
terdiri dari dua bagian; orang-orang yang melaporkannya
dari masa ke masa yang disebut dengan rawy atau sanad;
dan laporan kisah yang disebut matan. Dalam
hubungannya dengan para rawy terdapat empat metode
pengalihan lisan diantaranya hanya yang pertama yaitu
pengalihan multilateral, mutawatir, yang menyediakan
kemungkiman keaslian mutlak.47
Dalam tulisan ini, hanya
yang pertama yang akan dijelaskan sebagai berikut ini.
46
Sebuah Hadits terbagi menjadi tiga bagian : pertama,
kata-kata sahabat yang dengan kata-kata itu mereka mulai
melakukan transferensi (peri- wayatan). Kedua sanad (rangkaian
pewarta), dan ketiga matan (materi hadits). (Hassan Hanafi,
Dirâsât Islâmiyah, hlm : 71). 47
Hassan Hanafi, D i r â s â t Islâmiyah, hlm. 71. Sebagaimana dijelaskan pula oleh Mahmud ‘Thahhan dalam Taisîr Mushthalah al Hadîts. Menurutnya, hadits bila ditinjau dari segi metode pengalihannya ada empat yang terbagi dalam dua kategori yakni pertama, mutawatir dan kedua, hadits ahâd. Sedangkan hadits ahâd ini terbagi menjadi tiga. Pertama, al masyhûr, kedua, al ‘azîz dan ketiga, al gharîb. Lihat Mahmud Thahhân, Taisîr Mushthalah al Hadîts, Beirut: Dâr al Tsaqâfah, t.t., hlm. 19. Berkaitan dengan cara penyam- paian hadits, menurut Hassan Hanafi kata-kata yang disampaikan oleh para sahabat terdiri atas lima susunan hierakis Pertama, kata-kata yang paling kuat yaitu sahabat berkata: ‚aku mendengar‛, ‚mewartakan padaku‛, atau ‚telah diceritakan kepadaku‛.
47
Pengalihan multilateral, mutawatir dalam
prosesnya teks harus dilaporkan in verbatim oleh
beberapa orang yang hidup pada zaman yang sama
dengan kejadian yang dilaporkan. Untuk mencegah segala
kemungkinan terjadinya kesalahan, pengalihan
multilateral harus memenuhi empat syarat berikut ini.48
a) Para rawy tidak boleh ada ketergantungan antara rawy
yang satu dengan yang lainnya, untuk menjaga segala
kemungkinan adanya keinginan merendahkan diri.
Kata-kata ini tidak bisa ditembus oleh kemungkinan salah. Kedua, adalah: ‚Rasulullah bersabda‛, ‚mewartakan‛, atau ‚bercerita‛. Bentuk ini memuat satu kemungkinan kesalahan karena Istima’ (mendengarkan) kadang-kadang tidak secara langsung. Ketiga, adalah ‚Rasulullah memerintah‛ atau ‚Rasulullah melarang‛. Dengan berdasar pada adanya kemungkinan pertama adanya kesalahan, maka bentuk ini pun bisa ditembus atau mengandung kemungkinan yang lain, yaitu bentuk perintah kadang-kadang bukan rnerupakan perintah. Keempat, adalah ‚kita diperintah demikian‛ atau ‚kita dilarang dari demikian‛. Dengan bersandar pada kemungkinan-kemungkinan yang terdahulu, maka bentuk ini bisa ditembus oleh kemungkinan yang lain, yaitu pemberi perintah kadang-kadang bukan Rasulullah. Kelima, adalah ‚dulu mereka melakukan‛. Berdasarkan pada adanya kemungkinan-kernungkinan kesalahan yang terjadi pada bentuk-bentuk yang terdahulu, maka bentuk ini juga bisa ditembus oleh kemungkinan yang lain, yaitu adanya kemungkinan bahwa tindakan (yang dilakukan) itu merupakan tindakan yang sudah sempurna tetapi tidak pada zaman Rasulul- lah. Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 71.
48
Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 71. Bandingkan pula dengan Lihat Mahmud Thahhan, Taisîr Mushthalah al Hadîts, hlm. 20
48
b) Jumlah rawy harus cukup banyak untuk memberikan
kemungkinan yang lebih besar bagi keaslian suatu
riwayat.49
c) Tingkat penyebaran riwayat harus seragam pada
setiap waktu, sejak penyebaran riwayat generasi
pertama sampai generasi tradisi penulisan.
d) Isi riwayat harus sesuai dengan pengalaman manusia
dan kesaksian indrawi. Wahyu bukanlah sesuatu yang
ajaib dan supranatural, ataupun ajaib. Oleh karena itu,
semua riwayat tentang kejaiban harus dihilangkan,
bukan karena keajaiban itu tidak ada, melainkan
karena tidak cocok dengan panca indra. Selain itu,
keajaiban adalah peristiwa alamiah yang
menyebabkan tidak diperhatikan. Begitu penyebabnya
diketahui, maka hilanglah keajaibannya.50
Dalam hal matan riwayat harus dibuat secara
tekstual, tanpa ada pengurangan ataupun penambahan.
Hubungan yang ada antara kata maknanya adalah
49
Kongjungitas, mutawatir atau pengulangan yang terus menerus (at-tawatur ), yakni periwayatan oleh sejumlah orang yang tidak terbatas jumlahnya sehingga menghindarkan adanya kemungkinan mereka membuat kesepakatan untuk mengadakan dusta, manipulasi, maupun kamuflase, akan memberikan atau menghasilkan ilmu pengetahuan ( Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 71).
50
Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution,
hlm.8-9.
49
hubungan yang mutlak. Makna ini diungkapkan hanya
melalui kata ini saja. Jika digunakan kata lain, akan
terdapat makna bayangan yang tidak akan sama dengan
makna yang sebenarnya.51
Setelah pola kata-kata yang pertama dan kedua
digunakan, berakhirlah wewenang teks. Kitab suci
tersimpan melalui pola-pola. Maka dimulailah peran
tradisi dalam masyarakat. Tradisi terjadi karena
kesepakatan masyarakat yang merupakan refleksi
terhadap kitab suci dan kenyataan-kenyataan baru.
Perkataan para sahabat Nabi bukan merupakan bagian
dari kitab suci melainkan dari tradisi yang bisa diterima
atau ditolak berdasarkan kesamaan atau perbedaannya
dengan kitab suci. Menurutnya, perkataan-perkataan itu
merupakan penafsiran pribadi yang dapat diperbaiki
langsung oleh Nabi sendiri jika terdapat kesalahan.52
Setelah tercapai kesepakatan, setiap individu harus
berusaha mencapai pemahaman. Jika ternyata suatu
kesadaran benar-benar sulit atau tidak mungkin maka
kesadaran individu akan dapat berpikir sendiri.
51
Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm.
10. 52
Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 11.
50
Mengambil keputusan dan menemukan status bagi
masalah baru yang dihadapinya.53
Dengan demikian wahyu terdiri atas tingkatan-
tingkatan: wahyu langsung dari Allah, yaitu al Kitab,
wahyu detail berasal dari Rasulullah dengan bimbingan
yang bersumber dari Allah, wahyu komunal yang berasal
dari umat (publik) maka umat adalah khalifah Allah, dan
wahyu personal yang berasal dari nalar yang diafiliasikan
pada wahyu al-Kitab, sunnah, dan komunal. Dasar yang
pertama dan yang kedua menunjuk pada wahyu yang
tertulis-statis, sedangkan dasar yang ketiga dan keempat
menunjuk pada wahyu yang dinamis.54
2. Kritik Eidetis
Setelah melalui kritik sejarah yang dilakukan demi
menentukan keaslian kitab suci, seorang penafsir dapat
melakukan proses interpretasi atau yang secara teknis ia
sebut sebagai kritik eidetis. Hassan Hanafi sendiri tidak
menjelaskan pengertian eidetis--sebuah istilah
fenomenologi—kecuali dikaitkan dengan proses
interprestasi.55
Jika tafsiran penulis tidak salah, barang kali
53
Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 12.
54
Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 73. 55
Lazimnya dalam fenomenologi, dikenal istilah ‚reduksi eidetik‛ dan visi eidetik‛ yang bersifat positif, yang
51
kritik eidetis dalam pemikiran Hassan Hanafi merupakan
analisis fenomenologi teks seutuhnya sebagaimana yang
ditangkap oleh kesadaran penafsir untuk memperoleh
hakikat pemahaman yang benar mengenai fenomena
tersebut.
Fungsi kesadaran eidetis adalah memahami dan
menginterpretasi teks setelah validitasnya dikukuhkan oleh
kesadaran historis. Kesadaran eidetik juga merupakan
bagian terpenting dalam ilmu ushul fiqh karena melalui
mediasinya proses pengambilan ketentuan-ketentuan
hukum dari dasar-dasarnya yang empat menjadi sempurna
dan komprehensip.56
Metode yang sedianya berfungsi untuk menganalisis
fenomena dicangkokkan oleh Hassan Hanafi ke dalam
hermeneutika pembacaan teks. Oleh karena itu objeknya
dibedakan dari reduksi fenomenologis yang bersifat negatif. Jika reduksi fenomenologis menunda afirmasi mengenai ada tidaknya suatu fenomena atau kebenaran, maka reduksi eidetik adalah penyaringan fenomena dari eksistensinya dalam kesadaran kepada eidos (hakikat) yang ada dalam fenomena tersebut (Saenong, Hermeneutika Pembebasan, hlm. 117).
56
Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm.78. Menurutnya,
kritik Eidetik ini merupakan bagian yang merepresentasikan
kesungguhan dan kemampuan manusia terhadap pemahaman
dan interpretasi alegoris karena di dalam dasar-dasar itu tidak
ada tempat masuk bagi manusia. (Hassan Hanafi, Dirâsât
Islâmiyah, hlm. 78).
52
adalah teks dan maknanya sebagaimana yang ditangkap
oleh kesadaran. Suatu penafsiran, menurutnya, harus
menghindarkan diri pada pengulangan prasangka tertentu
dari dogma. Karena hal ini akan menjerumuskan suatu
penafsiran ke dalam dugaan-dugaan semata. Seorang
penafsir harus memulai pekerjaan dengan tabula rasa, tidak
boleh ada, kecuali analisis linguistiknya.57
Apa yang
dimaksud Hassan Hanafi sebagai tabula rasa di sini
agaknya harus dipahami secara fenomenologis. Dalam
fenomenologi, kesadaran bukanlah kesadaran murni
sebagaimana dalam rasionalisme, tapi selalu merupakan
kesadaran yang terarah atau ―kesadaran akan …sesuatu‖58
57
Mengutip Bergson, Hassan Hanafi menyebut
penafsiran-penafsiran yang penuh dengan stereotype dan
memproyeksikannya ke dalam makna peristiwa sejarah
kekinian sebagai le mouvement rétrograde au vrai (kembali pada
hakekat benda-benda) atau le mirage du présent au passe
(proyeksi masa kini ke dalam masa lalu). Dalam sejarah
hermeneutika kitab suci, penafsiran jenis ini banyak ditemukan
dalam penafsiran tipologis terhadap Injil. (Hassan Hanafi,
Religious Dialogue and Revolution, hlm. 13). 58
Seperti dijelaskan K. Bertern bahwa menurut Husserl, kesadaran menurut kodratnya terarah pada realitas yang dapat disebut sebagai ‚Inter- sionalitas‛. Disamping itu, kesadaran juga ‚mengkonstitusi‛ realitas. Konsti- tusi dimaksudkan sebagai proses tampaknya realitas pada kesadaran. Dengan demikian, dalam fenomenologi, kesadaran sejajar dengan realitas. (K. Bertern, Filsafat Barat Abad X Inggris-Jerman, hlm. 101)
53
Kritik eidetis, ada tiga level atau tahap analisis.
Pertama, analisa bahasa; kedua, analisa konteks sejarah;
dan ketiga, generalisasi.
2.1. Tahap Analisis Kebahasaan
a) Analisis Linguistik
Analisis linguistik terhadap kitab suci memang
bukan dengan sendirinya merupakan analisis yang baik.
Tapi ia merupakan alat sederhana yang membawa kepada
pemahaman terhadap makna kitab suci. Misalnya fonologi
adalah cabang ilmu bahasa yang mengawasi pembacaan
teks. Walaupun demikian, menurutnya, fenologi ini masih
berada dibawah bidang makna.
b) Analisis Sintaksis
Morfologi berfungsi menjelaskan bentuk kata
berikut implikasi maknanya akibat perbedaan penggunaan
kata. Leksikologi, di lain pihak, menjelaskan jenis-jenis
makna: ―makna etimologi‖, ―makna biasa‖, ―makna
baru‖. Makna etimologis adalah makna dasar. Makna
biasa adalah makna yang mengikat wahyu pada
penggunaan kata dalam suatu masyarakat, ruang, dan
waktu tertentu.59
59
Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm.
14.
54
Makna biasa inilah yang membuat wahyu sesuai
dengan yang dimaksud oleh situasi khusus. Sementara
makna baru yang diberikan wahyu adalah makna yang
tidak terkandung dalam makna etomologis, maupun makna
biasa. Makna yang terakhir ini yang menjadikan dasar
turunnya wahyu. Makna baru berfungsi memberi petunjuk
bagi tindakan dan merupakan dorongan baru bagi
manusia.60
Oleh karena itu, kandungan maknanya sama
sekali bebas dari hal-hal yang misterius, tetapi justru
merupakan makna alamiah, rasional, dan jelas, kandungan
makna baru dimaksudkan untuk membebaskan manusia
dari usaha-usaha mencari teori agar manusia dapat
memusatkan diri pada perhatian pada praktik. Sementara
itu, sintaksis yang bagi Hassan Hanafi merupakan kunci
sesungguhnya dari kegiatan penafsiran dalam tahap ini dan
berguna untuk menyingkap prinsip-prinsip makna ganda
dalam teks.61
Kajian sintaksis ini seperti terlihat pada
makna haqîqah (makna harfiyah) dan makna majâz
(kiasan); istilah-istilah mubayan (univokal), dan mujmal
(ekuivokal); mubham (makna samar ) dan al nash (makna
yang tepat); al zhâhir (makna yang tampak) dan al
60
Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 14.
61
Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm.
14-17, Hassan Hanafi Dirâsât Islâmiyah, hlm. 80.
55
muawwal (makna yang tersembunyi); al ‗am (makna
umum) dan al khash (makna khusus); al amr (perintah)
atau al nahy (larangan).
a. Makna haqîqah, makna harfiyah dan makna majâz,
kiasan
Tema al-Haqîqah wa al-Majâz (yang harfiyah dan
yang metafora) yang mengandung prinsip-prinsip linguistik
universal, dan tidak mengandung logika bahasa yang
meliputi yang mujmal (global) dan yang mubayyan
(klarifikatif), yang zhahir (eksplisit) dan yang interpretatif
alegoris (mu‟awwal, implisit), perintah dan larangan, umum
dan khusus.
Al-Haqiqah merupakan makna kata-kata yang
digunakan pada proporsinya sedangkan metafora
merupakan penggunaan kata-kata yang tidak pada
proporsinya. Ada tiga macam metafora: pertama, kata-kata
yang dipinjam oleh sesuatu dengan alasan ada kesamaan
dalam spesifikasi yang sudah dikenal. Kedua, penambahan
seperti huruf kaf za‟idah dalam ayat laisa kamist lihi
syai‟un (tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya).
Ketiga, pengurangan yang tidak menggusur pemahaman
sebagaimana yang terjadi dalam ayat was‟al al-qaryah (dan
tanyakanlah kepada penduduk desa).62
62
Hassan Hanafi selanjutnya menjelaskan bahwa
56
b. Mubayan, univokal, dan mujmal, ekuivokal
Mubayyan adalah kata yang maknanya jelas dalam
pengertian tidak mengandung (makna) yang lain, dan
disebut juga dengan nashsh (teks). Mujmal adalah kata
yang berputar-putar di antara dua pengertian atau lebih
tanpa tarjih (penguatan salah satu makna di atas yang
makna yang lain), tanpa kepastian bahasa, dan tanpa
melalui pengertian adat pemakaian. Jika pengertian kata-
kata itu hanya eksplisit pada makna yang lain, maka ia
disebut zhahir.63
Globalitas (ijmal) suatu saat berada dalam
kata tunggal, kata majemuk, dan pada saat yang lain berada
dalam susunan perkataan, definisi, huruf-huruf
metafora dapat diketa- hui melalui empat tanda, yaitu pemberlakukan yang harfiah (hakikat) ter- hadap hal-hal yang universal, larangan istiqaq (pengasalan) terhadapnya, perbedaan bentuk plural bagi kata benda, dan ketergantungan yang harfiah terhadap yang lain. Setiap metafora mempunyai hakikat (makna harfiah) akan tetapi tidak semua yang harfiah harus memiliki metafora. Oleh karena itu, nama-nama alam dan nama-nama yang tidak umum tidak mempunyai metafora. Demikian itu menunjukkan bahwa di penghujung akhir sesuatu terdapat aspek estetika secara bahasa dan pemakaian bentuk-bentuk estetisme dalam wahyu agar berkesan bagi jiwa dan berorientasi pada motivasi-motivasi menuju perjalanan praksis (Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 80)
63 Menurutnya lebih lanjut, jika dimungkinkan membawa
kata pembuat hukum (alsyari’) pada sesuatu yang memberikan dua
makna dan membawanya pada sesuatu yang memberikan satu
makna di mana ia berada dalam ke bimbangan di antara
keduanya, maka kata-kata itu adalah mujmal demi kehati-hatian
(Hassan Hanafi Dirâsât Islâmiyah, hlm. 80).
57
penghubung, tempat-tempat berhenti dan permulaan
(ibtida‟).
c. Al zhahir, makna yang tampak dan al muawwal,
makna yang tersembunyi
Arti yang tampak adalah arti yang dapat ditangkap
dengan jelas pada kontak pertama dengan teks tanpa perlu
mengeluarkan usaha pemahaman ekstra. Sedangkan arti
yang tidak tampak memerlukan usaha yang lebih besar dan
petunjuk pendalaman yang lebih banyak.64
Kunci ganda ini
memberi dimensi kedalaman, disebabkan adanya
perbedaan-perbedaan lain di antara manusia dalam
memahami teks untuk memuaskan semua pihak dengan
cara memberikan kedalaman arti yang berbeda.
Kata zhâhir (eksplisit) dan muawwal (implisit)
merepresentasikan kaidah bahasa (al-qâ‟idah al-
lughawiyyah) yang kedua. Kaidah ini berkaitan dengan
kaidah pertama. Hal itu dikarenakan kata yang memberikan
petunjuk yang tidak merupakan kata yang mujmal kadang-
kadang merupakan teks (nashsh) dan kadang-kadang
merupakan eksplisit (zhahir). Teks (nashsh) adalah kata
yang tidak mengandung kemungkinan interpretasi alegoris
(takwil) sedangkan zhahir merupakan kata yang
64
Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution,
hlm. 16.
58
mengandung interpretasi alegoris (takwil).65
hahir, teks
yang samar dan al nash, teks yang tepat. Istilah ganda ini
menunjukkan adanya dimensi teori dan praktek Zhâhir,
teks yang samar menyajikan banyak kemungkinan
tindakan yang dapat diambil. Al nash, teks yang tepat
hanya menyediakan satu kemungkinan. Hal ini berarti
bahwa teori cukup luas menyediakan pilihan tindakan
menurut setiap keadaan.66
65
Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 81. 66
Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution,
hlm. 16. Band ingkan dengan Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah,
hlm. 81. Menurutnya, teks (nashsh) adalah nama homonim (ism
musytarak) yang dinyatakan dalam tiga macam : zhahir
(eksplisit) sebagaimana yang terjadi dalam pandangan al Syafi’i,
kata yang pada dasarnya tidak bisa ditembus oleh suatu
kemungkinan baik dari dekat maupun dari jauh, dan kata yang
tidak bisa ditembus oleh kemungkinan yang diterima yang
didukung oleh dalil. Sedangkan interpretasi alegoris (takwil)
adalah kemungkinan yang didukung oleh dalil yang lebih
didominasi oleh spekulasi daripada makna yang ditunjukkan oleh
kata zhahir. Identik dengan hal ini adalah semua interpretasi
alegori adalah emalingkan kata dari (makna) yang harfiah pada
(makna) yang metaforis, demikian pula hanya dengan spesifikasi
yang umum (takhshish al ‘umûm). Dari dalil itu harus terdapat
argumentasi pertalian (qarînah), penalaran analogis, atau
fenomena eksplisit lain yang lebih kuat. Pertalian-pertalian itu
kadang-kadang berakumulasi untuk menunjukkan falsifikasi atau
kesalahan interpretasi alegoris yang tidak cukup hanya
ditunjukkan oleh satu argumentasi saja (Hassan Hanafi, Dirâsât
Islâmiyah, hlm. 81).
59
d. Al’âm, makna umum dan al khâsh, makna khusus
‗Amm (universal) adalah satu kata yang ditinjau dari
satu sisi menunjukkan dua hal atau lebih. Kata ini terdiri
atas kata yang universal absolut, spesial absolut, atau kata
universal dan kata spesial yang direlasikan. Dalam
pandangan universal, kata-kata universal mempunyai lima
bentuk, yaitu kata-kata dalam bentuk plural, huruf
permulaan yang dipakai dalam kalimat bersyarat dan
jawabnya, ―kapan‖ dan ―di mana‖ yang dipakai untuk
tempat dan waktu, kata-kata yang meniadakan (nafy), dan
kata benda tunggal (singular) yang dimakrifatkan (yakni
diberi awalan huruf alif dan lam, yakni al-) dan kata-kata
penguat. Semua kata-kata penguat menunjukkan pengertian
yang mengambil secara keseluruhan (al-istighraq) secara
posisi kecuali jika ada yang melampaui posisinya.67
Makna umum dan khusus merupakan istilah ganda
yang membentuk dimensi perorangan. Teks berisi deskripsi
manu sia secara umum dan selebihnya terserah pada
penentuan masing-masing penafsir. Isi teks adalah
masing-masing individu tersebut.68
e. Al amr, perintah dan al nahy, larangan
67
Uraian yang lebih detail selanjutnya lihat Hassan
Hanafi, Dirâsât Is- lâmiyah, hlm. 83. 68
Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 16.
60
Perintah adalah suatu ucapan yang berimplikasi
pada ketaatan yang diperintah (al-ma‟mûr) dengan
melakukan tindakan yang diperintahkan. Larangan adalah
suatu ucapan yang berimplikasi pada peninggalan tindakan
yang dilarang.69
2.2. Tahap Analisis Kesejarahan
Di samping prinsip-prinsip kebahasaan di atas, pada
level berikutnya, penafsiran harus juga memusatkan diri
pada latar belakang sejarah yang melahirkan teks. Dua jenis
situasi, yakni ―situasi saat‖ atau ―contoh situasi‖ dan
―situasi sejarah‖. Situasi saat adalah kasus dimana teks
diturunkan yang menjadi subtratum bagi wahyu. Dalam
wahyu yang ditulis in verbatim, situasi tersebut adalah
situasi saatnmya. Sementara situasi sejarah terjadi ketika
69
Para pakar usul telah membahas persoalan apakah
ucapan merupakan pernyatan dengan lisan atau pernyataan
jiwa. Dalam persoalan ini, para ahli terpolarisasi menjadi dua
kelompok. Kelompok pertama adalah kelompok yang
menetapkan atau mengakui jiwa. Sedangkan kelompok
yang kedua adalah kelompok yang mengingkari pernyataan
jiwa. Kelompok ini menjadikan pernyataan jiwa kadang-
kadang berupa huruf dan suara, bentuk dasar (shighah) dan
bebas dari qarinah-qarinah yang menunjukkan pada aspek
perintah, seperti ancaman dan kebolehan (al ibâhah), kadang-
kadang merupakan akumulsi keinginan yang diperintah (al
ma’mûr ), dan keinginan menciptakan bentuk (shighah) dan
keinginan menunjukkan implikasi tekstual (dilâlah) perintah
sebagaimana yang ditegaskan oleh sebagian kaum Mu’tazilah
(Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 82).
61
teks tidak ditulis in verbatim atau yang ditulis bukan berupa
wahyu, tapi inspirasi mengenai wahyu (tafsiran seperti
dalam injil, atau komentar seperti dalam al hadits) tertentu
dalam sejarah yang ditulis oleh para penulis wakyu pada
masa berikutnya.70
2.3. Tahap Generalisasi
Setelah makna linguistik dan latar belakang sejarah
ditentukan, dilakukan generalisasi. Generalisasi disini
berarti mengangkat makna dari situasi saat dan situasi
sejarahnya agar dapat menimbulkan situasi-situasi lain.
Pada tahap terakhir ini, diperoleh makna baru dari kegiatan
penafsiran yang berguna untuk menyingkap beragam kasus
spesifik dalam kehidupan masyarakat.71
Langkah-langkah kritik eidetik di atas adalah yang
nampak dalam karya Hassan Hanafi Religious Dialogue
and Revolution. Tetapi dalam beberapa karya Hassan
Hanafi berikutnya, dan dalam karya eksegetiknya nampak
terjadi perubahan pendekatan. Terutama dalam analisis
histories; tidak lagi menekankan sejarah yang
melatarbelakangi turunnya ayat, melainkan, lebih
merupakan analisis sejarah kontemporer atau lebih
70
Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm.
21. 71
Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm.
16.
62
tepatnya, analisis social. Hal itu tidak lepas dari konsepsi
tentang asbab al nuzul yang berbeda dari yang dikenal
selama ini. asbab al nuzul menunjukkan bahwa wahyu
tidaklah menentukan realitas, tetapi justru wahyu diundang
oleh realitas aktual itu sendiri. Hal ini seperti yang terlihat
dalam karya Hassan Hanafi, ―Mâdzâ Ta‟nî Asbâb al Nuzûl‖
dalam buku al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981 vol.
7.
Berkaitan dengan asbâb al nuzûl, realitas dapat
diketahui dengan fitrah sehingga memungkinka bagi orang
lain untuk bersepakat dan membenarkannya
(intersubyektif). Hal ini telah terjadi misalnya pada Umar
Bin Khathab, di mana dia mengetahui realitas kaum
muslimin dan kebutuhan mereka dengan menggunakan
fitrahnya. Ketika Nabi memohon wahyu untuk masalah
atau realitas tertentu yang dihadapi kaum muslimin dan
Beliau mengetahui wahyu yang dikehendaki dengan
menggunakan hawasnya, kemudian wahyu turun justru
membenarkan pengetahuan Umar Bin Khathab.72
72
Hassan Hanafi, al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981 vol.
7, hlm. 72-73. Demikian juga kasus ketika wahyu membenarkan
firasat Umar Bin Khathab tentang kekhawatiran bahaya khamr
terhadap akal dan kehidupan. Kemudian wahyu turun tetang
pelarangan terhadap khamr (Hassan Hanafi, al Dîn wa al Tsaurah fî
Mishr 1952-1981 vol. 7, hlm. 73).
63
Berdasarkan atas hal itu, asbâb al nuzûl
menunjukkan bahwa penafsir haruslah memilih dari wahyu
(al-Qur‘an) yang relevan untuk memecahkan permasalahan
aktual yang dihadapi. Dengan kata lain, penafsiran adalah
melacak kembali peristiwa pewahyuan, dan asbâb al nuzûl
itu tidak lain adalah problem dalam realitas kontemporer.
Oleh karena itu analisis terhadap realitas kontemporer
adalah bagian integral dari hermeneutikanya. Berdasarkan
hal di atas, terdapat tiga tahap penafsiran: tahap analisis
realitas, tahap analisis kebahasaan yang terdiri dari analisis
bentuk dan analisis isi, dan tahap generalisasi. Tahap-tahap
ini didukung oleh karya eksegetik dari Hassan Hanafi
seperti ―al Mâl fî al-Qur‘an‖ yang termuat dalam buku al
Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981 vol. 7. Tahap
analisis ini adalah untuk mengetahui problem realitas
kontekstual. Tahap ini melibatkan pendekatan
interdisipliner dan dengan bantuan pakar-pakar sosial,
politik dan ekonomi. Dari sinilah diperoleh tema-tema
penafsiran dengan memberikan prioritas pada tema-tema
yang menyentuh kebutuhan kontemporer.
Tahap analisis kebahasaan yang terdiri dari analisis
bentuk (tahlîl al shurah) dan analisis isi (tahlîl al
madlmûn). Analisis bentuk dilakukan dengan mengalisis
bangunan konseptual dan bentuk kebahasaan ayat-ayat
64
yang satu tema yang diklasifikasikan berdasarkan atas kata
benda atau kata kerja dan seterusnya sehingga
memungkinkan untuk membatasi tema. Sedangkan analisis
isi berkaitan dengan analisis makna dan susunannya dalam
kumpulan-kumpulan pokok sehingga memungkinkan
untuk membangun tema, membedakan antara makna primer
dan makna sekunder, antara yang positif dan negatif antara
yang ilahiyah dan manusiawi, antara yang spiritual dan
material, antara yang individual dan sosial, sehingga
memungkinkan untuk mengetahui ide wahyu dalam tema-
tema pokok. Setelah tahapan semua di atas kemudian
dilakukan tahapan terakhir yaitu geralisasi.
3. Kritik Praktis
Generalisasi pada tahap eidetis di atas membuka
jalan bagi kritik praktis yang menjadi tujuan hermeneutika
aksiomatika. Hermeneutika al-Qur‘an semenjak awal
memang merupakan cara baca al-Qur‘an dengan maksud-
maksud praktis. Dengan kepentingan semacam ini,
hermeneutika jelas menaruh perhatian besar pada
transformasi masyarakat.
Hermeneutika Hassan Hanafi melampaui tafsir
historis yang digunakan banyak ahli tafsir. Seolah-olah al-
Qur‘an hanya berbicara untuk realitas, ruang, dan waktu
tertentu saja karena menampilkan peristiwa-peristiwa masa
65
lalu. Kami membangun tafsir perseptif (al tafsîr al
syu‟ûrî) agar al-Qur‘an dapat mendeskripsikan manusia,
hubungannya dengan manusia lain, tugas-tugasnya di
dunia, kedudukannya dalam sejarah, membangun sistem
sosial, dan politik.73
Hermeneutika sebagai metode
melampaui tafsir ayat per ayat, dari surat ke surat yang
terkesan fragmentaris dan mengulang-ulang, kita bangun
tafsir tematis dengan menghimpun ayat-ayat yang satu tema
dan dianalisis begitu rupa sehingga muncul konsep
universal tentang Islam, dunia, manusia dan sistem sosial.
Menurutnya, lebih lanjut kami tegakkan tafsir revolusioner
dengan mentransformasikan akidah menjadi ideologi
revolusi.
Praktis merupakan penyempurnaan Kalam Tuhan di
dunia mengingat tidak ada kebenaran teoritis dari sebuah
dogma atau kepercayaan yang datang begitu saja; dogma
lebih merupakan suatu gagasan atau motivasi yang
ditujukan untuk praktis. Hal ini menurutnya, karena wahyu
al-Qur‘an sebagai dasar dogma merupakan motivasi bagi
tindakan di samping sebagai objek pengetahuan.74
73
Hassan Hanafi, Jurnal al Yasâr al Islâmî : Kitâbât fî al
Nahdlah al Islâmiyah, Kairo : Heliopolis. 1981, hlm. 19. 74
Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm.
18.
66
Pandangan Hassan Hanafi mengenai sifat
fungsional dan dimensi psikologis dari al-Qur‘an di sini —
dan bukannya sifat kebenarannya empiris-historis dari
isinya secara keseluruhan seperti pandangan banyak kaum
Muslim— perlu memperoleh perhatian sebab berpengaruh
pada pendirian hermeneutisnya mengenai hakikat teks,
intepretasi, makna, dan kebenaran bahasa agama. Sebuah
dogma, hanya dapat diakui eksistensinya jika didasari sifat
keduniaannya sebagai sebuah sistem ideal, namun dapat
terealisasi dalam tindakan manusia. Karena, satu-satunya
sumber legitimasi dogma adalah pembuktiannya yang
bersifat praktis. Menurutnya realisasi wahyu dalam sejarah
melalui perbuatan manusia sama dengan realisasi perbuatan
illahiyyah dan dengan sedirinya, merupakan realisasi
kekuasaan (khilafah) Tuhan di atas bumi. Prinsip yang
sama menjadi dasar penciptaan dan penerapan hukum-
hukum Tuhan (al ahkam al syar‟iyyah) di dunia. Itulah
sebabnya mengapa yurisprudensi (‗ilm usûl alfiqh)
dianggap ‗ilm al tanzil, yang dibedakan dari „ilm al ta‟wil
dalam tradisi sufisme. Sebab yang terakhir ini
menginginkan gerak dari manusia kepada Tuhan,
sementara yurisprudensi menginginkan transformasi Tuhan
kembali menuju kehidupan manusia.75
Kita tidak perlu
75
Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 102. Lihat pula
67
membuktikan teoritis akan eksistensi Tuhan kecuali sebagai
pengenalan terhadap sabda-sabda-Nya dalam kehidupan
dunia. Tuhan sebagai personal, oleh Hassan Hanafi,
diletakkan dalam tanda kurung, sehingga teologi positif
tidak lagi berurusan dengan fakta, intuisi, atau aturan, tetapi
transformasi wahyu dari teori ke praktik.76
Dengan kritik
praktis ini, dimaksudkan ingin menunjukkan fungsi
transformatif wahyu dalam kehidupan manusia.
Kritik historis, analisis makna dan praktis teks ke
dalam realitas tidak lain merupakan konsekuensi logis dari
objek analisis hermeneutika aksiomatis, yakni teks-teks
suci. Sementara terhadap teks-teks lain, seperti teks sastra,
analisisnya hanya perlu pada tahap historis dan eidetis.
Bahkan dalam banyak kasus yang dibutuhkan hanyalah
masalah terakhir. Keaslian teks sastra harus selalu diterima,
Hassan Hanafi, Humûm al Fikr wa al Wathan. Cet. Ke-2. Kairo:
Dâr Qubâ, 1998, hlm. 17-56. Menurutnya, Memang benar
wahyu telah dikodipikasikan, bahwa pembacaan dilakukan
terhadap tradisi dan interpretasi terhadap kitab suci. Namun,
wahyu sendiri melalui asbâb al nuzûl. Realitas sebagai yang
pertama dan wahyu sebagai yang kedua. Realitas bertanya dan
wahyu menjawab. Dengan demikian, tanzil, sebenarnya
penafsiran. Turun dari langit pada hakikatnya terangkat dari
bumi. Upaya mencari makna dari asal melalui kaidah bahasa
sebenarnya bersejajar dengan memburu illat melalui
pengalaman (Hassan Hanafi, Humûm al Fikr wa al Wathan, hlm.
17-56). 76
Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm.
18.
68
kecuali pada teks-teks kuno.77
Menurutnya, hal ini tidak
dengan sendirinya menunjukkan bahwa hermeneutika sacra
berbeda dari hermeneutika umum (general hermeneutics),
sebab pada dasarnya yang pertama tetap merupakan bagian
yang terakhir. Hanya saja, dalam hal objek penafsiran,
hermeneutika sacra menampilkan spektrum analisis yang
lebih luas, mengingat pemahaman pada suatu kitab suci
tidak mungkin melepaskan diri dari masalah otentisitas,
pemahaman maknanya, dan realisasi pemahaman tersebut
dalam dunia nyata.78
Hal yang menarik dari gagasan Hassan Hanafi
tersebut adalah pandangannya tentang fungsi hermeneutika
al-Qur‘an sebagai sarana perjuangan melawan bermacam-
macam bentuk ketidakadilan dan eksploitasi dalam
masyarakat. Di samping itu, hermeneutika al-Qur‘an
Hassan Hanafi menghasilkan tafsir perseptif (kesadaran),
yakni tafsir berdasarkan kesadaran tentang kemanusiaan,
hubungan manusia dengan yang lainnya, tugasnya di dunia,
kedudukannya dalam sejarah, dan untuk membangun
system sosial dan politik. Demikian kuatnya kepentingan
praksis dalam hermeneutika al-Qur‘an Hassan Hanafi,
perbincangan mengenai hermeneutika al-Qur‘an dianggap
77
Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah,hlm. 527. 78
Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah,Ibid.
69
sebagai salah satu bagian dari sebuah skema besar
perubahan sosial. Praksis adalah tujuan, setelah dilakukan
kritik sejarah teks dan analisis eidetik. Di samping itu,
hermeneutika al-Qur‘an sebagai salah satu elemen
transformasi social dari proyek yang digagas oleh Hassan
Hanafi, al Turats wa Tajdid yang mencakup tradisi, kritik
atas dunia Barat dan transformasi realitas kontemporer.
Meskipun membangun hermeneutika dengan
praksis, pada kenyataannya Hassan Hanafi lebih banyak
bergerak dalam kerangka teori. Barangkali kenyataan ini
harus dipahami dalam pengertian bahwa praksis terletak
bukan karena hermeneutikanya hanya berbicara tentang
teori dan formulasi tafsir perubahan, dan bukannya dalam
bentuk aksi sosial. Sebab maksud praksis di sini adalah
keterkaitan antara teori dan praktek, refleksi dan aksi yang
dapat menjadi sumbangan bagi para aktitivis gerakan dalam
melakukan usaha-usaha transformatif. Alasan ini juga
menurut penulis dapat dijadikan jawaban terhadap kritik
yang diajukan Boulattayang mengatakan Hassan Hanafi
terlalu teoritis untuk dipraktekan.
70
BAB III
KEHIDUPAN SOSIAL YANG DAMAI
A. Pemahaman Orang Muslim tentang Hidup Damai
Penelitian ini mengungkap arti hidup damai dari
beberapa informan. Menurut mereka arti dari hidup damai
sebagai berikut: toleransi, kerja sama yang baik, selalu
bersyukur, meminimalkan konflik, tidak ada perasaan
tertekan, rukun, hubungan antaragama harus akur, saling
menghargai, hubungan vetikal dengan Tuhan (Allah) dan
kita punya hubungan horisontal dengan alam dan seisinya /
makhluk Allah.
Beragam arti hidup damai dapat dilihat dalam tabel
berikut ini.
71
Tabel 3.1
Arti hidup damai
No informan Arti Hidup Damai
1 Muslim yang tinggal
serumah dengan ibu
mertuanya yang Non-
Muslim
Harus ada toleransi yang kuat.
Bebas menjalankan sholat lima
waktu tanpa ada rasa sungkan,
malu maupun sembunyi-
sembunyi.
Ketika sholat bebas
menggunakan tempat
manapun.
2 Aktifis pengajian Majelis
Tafsir Al Qur‘an (MTA)
Menjalani hidup dengan
selalu bersyukur dalam
keadaan apapun.
Meminimalkan konflik dalam
keluarga dan lingkungan
sekitar.
72
3 Isteri Ketua Rukun
Tetangga
Tidak ada perasaan tertekan
dari pihak manapun
Bisa menciptakan rasa senang,
Nyaman dimanapun berada
termasuk dalam diri sendiri,
Mengembangkan sikap
toleran
Tidak ada rasa benci, dendam
terhadap siapapun termasuk
beda agama.
4 Kiyai dan Tokoh Agama Hubungan antara orang satu
dengan yang lain harus rukun;
Saling membantu satu sama
lain;
Toleransi,
Sesama manusia mempunyai
pengertian satu sama lain.
73
5 Aktifis Perempuan Saling menghargai pada
posisinya masing-masing
tanpa harus membawa
madhzabnya masing-masing.
Saling mengerti, memahami,
kerjasama yang baik.
6 warga yang tinggal di
masyarakat yang
Heterogen mayoritas
muslim
Punya hubungan vertikal den-
gan Tuhan (Allah) dan kita
punya hubungan horisontal
dengan alam dan seisinya /
makhluk Allah.
Damai dunia dan damai
akhirat
Jadi, hidup damai menurut muslim kota salatiga dapat
disimpulkan sebagai sikap hidup seseorang yang toleran,
rukun dalam membangun hubungan antaragama, kerjasama
yang baik, tidak ada perasaan tertekan, meminimalisir
konflik saling menghargai satu dengan lainnya dan menjaga
hubungan dengan alam semesta.
74
B. Sikap Muslim Salatiga hidup bersama dengan
Tetangga.
Tempat tinggal dalam kehidupan bermasyarakat tidak
terlepas dari namanya tetangga. Dalam kehidupan
bermasysarakat tetangga merupakan orang terdekat secara
jarak. Bagi mereka tetangga merupakan saudara yang
terdekat. Tempat tinggal mereka dalam masyarakat berada di
depan, belakang, samping kanan dan kiri.
Muslim salatiga menjalin hubungan baik dengan
tetangga. Sikap hidup mereka dengan tetangga seperti satu
keluarga. Ketika sakit ikut merasakan sedih, dan sebaliknya
anggota keluarga gembira ikut gembira. Jika tetangga sakit,
punya hajat, secara langsung atau tidak langsung ikut
merasakan semua. Tetangga merupakan bagian dari saudara,
karena lebih dekat dan setiap hari dapat ketemu. Beda agama
bukan suatu penghalang untuk berbuat baik dan tolong
menolong. Muslim Salatiga melakukan semuanya bukan
karena agama tetapi sesama manusia yang berkeinginan
hidup rukun dan damai.
Sikap hidup dengan tetangga, senantiasa harmoni.
Keberadaannya bisa diterima masyarakat luas. Menjalin
hubungan baik dengan tetangga adalah suatu keharusan.
Sikap hidup dengan tetangga yang toleran, akur adalah kunci
utama. Hubungan dan pergaulan yang baik merupakan
75
hubungan yang terlihat secara lahiriyah. Substansi dari
hubungan tersebut adalah toleransi dan saling menghormati.
Damai yang sesungguhnya jika keadaan tidak ada
konflik dan tetap ada interaksi dinamis antara warga
masyarakat. Formula untuk menepis konflik bagi warga
masyarakat beragama adalah hidup dengan suasana senang,
rukun dan toleran. Perilaku dapat saling menghargai baik
dalam pekerjaan, hubungan kemasyarakatan, hubungan
keagamaan, bahkan dalam konsep berfikirpun harus saling
menghargai biar tidak terjadi perang ide, tetapi bisa seiring
meskipun berbeda.
Sikap terhadap tetangga yang berbeda dalam ritual
ibadah namun seiman tetap baik. Datang jika diundang
untuk yasinan, tahlilan bahkan berjanjen/dhiba‟an.
Kegiatan keagamaan justru menjadi perekat kerukunan
umat beragama (khususnya muslim).
C. Sikap Muslim Salatiga hidup bersama dengan
tetangga beda Agama
Tetangga yang hidup bermasyarakat dan
bersosialisasi di sekitar tempat tinggal seorang muslim di
Salatiga tidak semua Muslim. Muslim menjalani kehidupan
bermasyarakat bersama mereka yang beda iman. Walaupun
demikian, Muslim Salatiga menjalaninya tanpa membedakan
76
status agama tetangganya. Hal itulah yang menjadikan
mereka bisa hidup damai.
―Prinsip yang dikembangkan dalam hidup damai
dengan orang lain yang beda iman ialah toleransi, tidak boleh
mencela apalagi mempersoalkan keyakinan orang lain‖ hal
itu seperti diungkapkan oleh seorang Muslimah di Salatiga.
Ketika yang beda Iman merayakan Natal, ikut menyiapkan
seperti menyiapkan berbagai masakan dan makanan, kecuali
pengadaan pohon natal.
Sebaliknya jika perayaan lebaran (idul fitri, perayaan
setelah bulan puasa) non muslim di Salatiga membantu
dengan segala kebutuhan waktu lebaran. Baju-baju muslim
bahkan ketika Anak seorang Muslim mendatangkan guru
ngaji TPQ di rumah, non muslim yang menyediakan tempat
dan segala kebersihannya.
Ketika lebaran tiba muslim di Salatiga membagi-bagi
makanan (bahasa jawa munjung) ke tetangga yang khusus
beragama Kristen, mereka juga datang ke rumah
mengucapkan selamat hari raya Idul Fitri dan sebaliknya
ketika Natal tiba Non Muslim munjung ke tetangga yang
beragama Islam, mereka datang berkunjung ke rumah
mengucapkan selamat hari natal dan tahun baru. Dalam
kehidupan sosial lainnya juga seorang Muslim menjenguk
ketika non muslim sakit dan ikut mendoakannya‖.
77
Sikap hidup damai dengan orang lain yang berbeda
iman toleran kepada sesama, baik muslim maupun non
muslim Karena agama tidak membatasi kami untuk berbuat
baik. Sebuah kasus bahwa ada satu keluarga non muslim
yang hidupnya sangat pas-pasan, keluarga itu benar-benar
membutuhkan bantuan, akhirnya keluarga yang muslim
sepakat membantu berupa sembako. Muslim Salatiga
melakukannya atas rasa kemanusiaan bkan melihat apa
agama mereka. Sebagai sesama manusia dan sesama
makhluk hidup Muslim Salatiga ikut mendo‘akan meskipun
beda agama. Muslim Salatiga tidak iktu mendo‘akan orang
yang sudah meninggal dunia yang beda agama. Adapun
contoh do‘a Muslim terhadap orang yang masih hidup tetapi
beda agamaseperti berikut ini. ―Mudah-mudahan kamu
diberi keselamatan, kesehatan dan mendapatkan hidayah dari
Allah SWT‖.
Tetangga Muslim Salatiga beragam bahkan ada yang
darimancanegara dan berbagai macam agama. Mereka tetap
bisa menjalin komunikasi yang baik, rukun dengan warga
setempat. Ketika ada orang muslim meninggal dunia,
tetangga dari manca negara tersebut juga datang melayat.
Tidak itu saja, ketika ada pengajian dan walimahan, mereka
juga datang bersama anak-anaknya.
78
Masalah agama-agama sangat rentan konflik, maka
segala sesuatu harus segera diselesaikan. Segala sesuatu itu
tidak bisa dengan alasan kepentingan pribadi. Menjaga
persatuan dan kesatuan bangsa harus dilakukan. Kepentingan
umum harus didahulukan daripada kepentingan pribadi.
Jangan mempersoalkan perbedaan, apakah kita sudah bisa
menerma perbedaan, jika belum itu yang dipersoalkan.
Muslim Salatiga yakin sedang berproses untuk bisa
sesuai dengan pesan dari hadis-hadis Nabi SAW yang
menerangkan. Pertama, bahwa: ―tidak dianggap sempurna
imanmu jika kamu tidak berbuat baik kepada tetanggamu.‖
Kedua, Nabi menjelaskan, ―Tidak ada negara Islam tapi
Darussalam, pimpinan tertinggi adalah Nabi Muhammad
SAW, maka muncullah piagam Madinah. Untuk mengatur
negara agar damai dan tentram karena di dalamnya banyak
suku dan agama. Ketiga, hadist Nabi SAW yang artinya:
―Orang muslim adalah orang yang menjadikan orang lain,
tetangganya merasa tenang/ tentram/damai karena ucapan
dan prilakunya tidak mengganggu mengusik ketenangan
mereka.‖
Muslim Salatiga tidak menghendaki suatu keadaan
yang muncul tidak hidup damai. Menurutnya kondisi
tersebut merusak hubungan yang sudah lama terbangun baik.
Hal tersebut muncul hanya dilakukan oleh orang-orang yang
79
ketidak dewasa dan tidak bijaksana. Konflik batin masih bisa
diatasi sendiri, tetapi kalau sudah masuk konflik orang
banyak benar-benar menjadi repot dan mengancam jiwa.
Table 3.2
Sikap Muslim Salatiga terhadap Tetangga
Tetangga sesama Muslim Muslim Tetangga Non Muslim
Tetangga seperti satu
keluarga.
Tetangga merupakan
bagian dari saudara.
Tetangga beda agama
bukan suatu penghalang
untuk berbuat baik
Bukan karena agama tetapi
sesama manusia yang
berkeinginan hidup rukun dan
damai.
Sikap hidup dengan
tetangga, senantiasa harmoni.
Hubungan baik dengan
tetangga adalah suatu
keharusan.
Sikap hidup dengan
Muslim menjalani kehidupan
bermasyarakat bersama mereka
yang beda iman.
Sikap hidup saling menghormati,
Tidak menuntut orang lain
seperti keinginan kita.
Hidup damai dengan siapapun
baik muslim maupun non
muslim,
Mempunyai sifat tepo seliro
(mampu memahami yang lain).
Prinsip toleransi.
Tidak mencela apalagi
mempersoalkan keyakinan orang
lain.
Membantu ketika ada yang
merayakan Natal.
80
tetangga yang toleran, akur
adalah kunci utama.
Hubungan dan pergaulan
merupakan hubungan yang
terlihat secara lahiriyah.
Substansi hidup bertetangga
adalah toleransi dan saling
menghormati.
Damai yang sesungguhnya
tidak ada konflik dan tetap
ada interaksi dinamis antara
warga masyarakat.
Formula untuk menepis
konflik bagi warga masyarakat
beragama adalah hidup
dengan suasana senang, rukun
dan toleran.
Perilaku dapat saling
menghargai baik dalam
pekerjaan, hubungan
kemasyarakatan, hubungan
keagamaan, bahkan dalam
konsep berfikir.
Sikap terhadap tetangga yang
Muslim menjenguk non
muslim yang sedang sakit dan
ikut mendoakannya. Contoh
do‘a terhadap mereka yang
masih hidup, ―Mudah-mudahan
kamu diberi keselamatan,
kesehatan dan mendapatkan
hidayah dari Allah SWT‖.
Keluarga non-muslim yang
hidupnya sangat pas-pasan,
dibantu oleh keluarga yang
muslim.
Muslim Salatiga melakukannya
atas rasa kemanusiaan bukan
melihat apa agama mereka.
Muslim Salatiga tidak iktu
mendo‘akan orang yang sudah
meninggal dunia yang beda
agama.
Tetangga Muslim Salatiga ada
yang dari mancanegara dan
berbagai macam agama mereka
mereka tetap diundang acara
yasinan dan mereka mau datang.
81
berbeda tetap datang jika
diundang karena menjadi
perekat kerukunan.
Menolong orang lain tanpa
melihat agamanya.
D. Bentuk Kehidupan Damai dalam Kehidupan
Masyarakat
Muslim Salatiga mengekpresikan sikap hidup
damainya dalam kehidupan bermasyarakat. Bentuk–bentuk
kehidupan damai bermasyarakat bisa dilihat dari tiga bentuk
aktifitasnya di masyarakat. Bagaimana bentuk aktifitas hidup
damai mereka di kegiatan sosial keagamaan, sosial
kemasyarakatan dan partisipasi mereka dalam mensukseskan
program-program pemerintah.
a. Muslim Salatiga menjalani hidup damai bersama
dengan mengekpresikan sosial keagamaannya dalam
kehidupan bermasyarakat.
Bentuk kegiatannya beragam seperti halal
bihalal bersama dan natalan bersama. Pada waktu perayaan
kedua agama tersebut semua melebur jadi satu, yang
menjadi panitia bareng-bareng muslim dan Kristen. Ketika
halal-bihalal yang menjadi MC-nya dari Kristen dan
sementara ketika acara Natalan dari muslim belum ada
yang menjadi MC.
82
Ketika ada Hari Besar agama, seperti Idul Adha,
menyembelih korban, non muslim membantu motong-
motong daging lalu membaginya. Itu sudah biasa, dan dari
yang muslim tidak ada masalah. Ketika hari raya Idul Fitri
(lebaran) sudah biasa dikunjungi dan mendapatkan ucapan
Selamat Hari Raya Idul Fitri.
Halal bihalal di setiap RT pasti diadakan di rumah-
rumah. Mereka yang non muslim akan datang. Kegiatan
acara pengajian biasa seperti yasinan dan tahlilan, mereka
yang non muslim juga datang duduk diam mendengarkan.
Tidak memakai jilbab tetapi pakai mukena cukup
disampirkan.
Sebaliknya, ketika natalan diadakan serentak satu
RW bertempat di balai RW, ketika tetangga non muslim
ada kegiatan gereja, Muslim Salatiga ada yang
membantu masak-masak, ikut menyiapkan sajian yang
akan dihidangkan. Pada perayaan hari raya Idul Adha,
kurban sapi, semua dibagi-bagikan kepada tetangga yang
membutuhkannya, tanpa pandang bulu siapa yang akan
menerimanya. Di Salatiga setiap tahunnya ada bakti sosial
bersama-sama dalam keluarga muslim Salatiga bertepatan
dengan Perayaan Hari Besar Islam (PHBI). Ada halal
bihalal di tingkat kota, juga dihadiri non muslim. Cuma
dari yang non muslim tidak dikenai iuran.
83
Bentuk damai dalam pergaulan hidup di masyarkat
baik kegiatan sosial keagamaan maupun sosial
kemasyarakatan, yang sudah berjalan. Kegiatan tersebut
sebagai wadah semangat berkumpul warga untuk
kerjasama, tanpa melihat apa idiologinya.
Saling memberi dan menerima menjadi tradisi yang
sudah biasa sekali. Ikut aktif di Organisasi Masyarakat
(Ormas) di kampungya, karena dengan aktifitas tersebut
menjadikan kaya ilmu dan pengetahuan. Dari Sana menjadi
tahu dinamika muslim yang beda aliran.
b. Bidang sosial kemasyarakatan dimaksudkan sebagai
kegiatan yang berasal dari inisiatif warga sendiri.
Bentuk aktifitas Muslim Salatiga dalam kegiatan
sosial kemasyarakatan bisa berupa kerja bakti, gerakan
lingkungan sehat, posyandu, PKK, agustusan warga lebur
jadi satu tanpa melihat apa agamanya. Aktifitas lainnya
seperti kesehatan lingkungan. Muslim Salatiga
melakukannya bersama-sama dengan siapapun tanpa
melihat apa keyakinannya. Ini merupakan kebutuhan
masyarakat bersama-sama dan dikerjakan secara gotong
royong.
Hidup dengan tetangga apa yang kita rasakan saya
pasti sama dengan mereka yang dirasakan, dan hidup dalam
84
masyarakat tidak boleh egois. Kita harus ngrengkuyung
bareng-bareng (kerjasama yang baik) tanpa melihat apa
agamanya.
Dalam kegiatan RT maupun PKK tetangga manca
negara (bule) mereka aktif hadir dan bermusyawarah.
Hubungan lintas iman, lintas madhzab atau satu madhzab,
semua guyub untuk kegiatan sosial kemasyarakatan.
Kegiatan berupa ikut kerja bakti, sambatan tetangga yang
mempunyai hajatan tanpa melihat idiologinya.
c. Musliam Salatiga menjalankan program-program
sosial pemerintah dalam usaha membangun
kehidupan damai berupa, gerakan bersih
lingkungan, sarasehan. Mengikuti sarasehan
memperingati 17an, malam tirakatan, do’a bersama
untuk para pahlawan dan keselamatan oleh Allah
SWT.
85
Tabel 3.3
Bentuk Kehidupan Damai dalam Kehidupan Masyarakat
Sosial Keagamaan Sosial asyarakat Sosial Pemerintah
Halal bihalal bersama
Natalan bersama.
Hari besar agama,
seperti Idul Adha,
Menyembelih hewan
kurban.
Hari raya Idul Fitri
(lebaran) Acara
pengajian seperti
yasinan dan tahlil,
Menghadiri Natalan
yang diadakan serentak
satu RW bertempat di
balai RW.
Saling memberi dan
menerima menjadi
tradisi yang sudah biasa
sekali.
Aktif di Organisasi
Masyarakat (Ormas)
Tidak menganggu
atau mencampuri
urusan ibadah mereka.
Saling menghormati
hari besar agama lain.
Aktif di kegiatan
masjid.
Kerja bakti.
Gerakan lingkungan sehat.
Posyandu
Pembinaan Kesejahteraan
Keluarga (PKK )
Agustusan
halal bihalal di tingkat RT atau
Gotong royong.
Nyengkuyung, mendukung
kegiatan tanpa melihat apa
agamanya.
Sambatan (membantu
tanpa pamrih) kepada
tetangga yang mempunyai
hajatan tanpa melihat
idiologinya.
Menjenguk orang sakit.
Silaturahmi kepada warga
meskipun beda keyakinan.
Jalan santai bersama.
Tidak melakukan aktifitas
kemasyarakatan saat per- ayaan
hari besar agama lain
Rewang, kerjaan sukarela
yang biasanya dikerjakan ibu-
ibu.
Gerakan bersih lingkungan,
Sarasehan RT bulanan,
Acara tujuhbelasan
Sarasehandan malam tirakatan
memperingati 17 Agustus.
E. Potret Kehidupan Sosial Muslim dengan Non-
Muslim di Salatiga
Kebhinekaan di kota Salatiga masih dapat dilihat
dalam kehidupan sehari-hari baik yang seagama maupun
dengan yang berbeda agama atapun latar belakang etnisnya.
Komunikasi yang berlangsung di masyarakat baik di kota
maupun di tingkat kelurahan menunjukkan komunikasi yang
86
sehat dan cenderung mengarah kepada persatuan. Meskipun
ada sedikit gejolak namun masih dalam kondisi yang wajar
saja. Secara umum kerukunan antar umat beragama di
wilayah Salatiga dapat dikatakan sangat baik dan kondusif.
Masing-masing masih berpegang pada prinsip bahwa pada
dasarnya semua agama mengajarkan sesuatu yang baik atau
mengajarkan tentang kebenaran kepada para pengikutnya.
Pertikaian yang timbul di sejumlah wilayah di Indonesia
disebabkan karena ketidak tahuan dari pemeluk agama yang
ada di wilayah tersebut.
Secara sosiologis hubungan fungsional antara agama
dan masyarakat masih menekankan pada aspek rasional dan
harmonisasi dimanan nantinya akan mengarahkan
masyarakat pada perkembangan dan perubahan. Seperti yang
kita lihat pada akhir-akhir ini banyak terjadi pertikaian yang
ujung-ujungnya bernuansa Sara. Jika diamati secara lebih
dekat pertikaian antar etnis yang bernuansa SARA tersebut
muncul karena adanya ketidakpuasan dari salah satu
pemeluk agama sehingga memicu perselisihan kecil.
Perselisihan kecil tersebut semakin diperparah dengan
kondisi masyarakat di wilayah tersebut yang labil dalam
artian tidak dapat menyaring informasi yang mereka terima.
Dalam hubungannya dengan kerukunan antarumat
beragama ada dua faktor utama yang perlu menjadi
87
pertimbangan. Pertama, struktur sosial masyarakat, hal ini
memiliki peranan yang sangat penting dalam membangun
kerukunan antara agama. Masyarakat yang kolot dan tidak
mau untuk berkembang cenderung mempertahankan ide-ide
ataupun gagasan mereka yang picik, dan hanya memandang
suatu permasalahan dari satu sudut pandang saja yaitu sudut
pandang dirinya sendiri dan kelompoknya. Jika hal ini terjadi
maka pertikaian pasti akan mudah muncul dan nantinya
meluas menjadi tidak terkendali. Masalah struktur sosial
inilah yang sering terabaikan bahkan luput dari penamatan
pemerintah daerah. Semestinya pemerintah daerah
mempelajari lebih mendalam struktur dan pola masyarakat
yang berada di wilayah mereka. Sehingga dengan cepat
pemerintah dapat dengan cepat merespon jika terjadi
permasalahan yang nantinya akan berkembang menjadi
permasalah yang sangat besar.
Kedua, factor yang perlu menjadi perhatian adalah
tingkat pendidikan dari masyarakat. Semakin tinggi
pendidikan masyarakat maka akan semakin mudah
mereka memilah mana yang perlu ditanggapi dan mana
yang tidak. Semakin rendah pendidikan seseorang maka pola
berfikir yang mereka terapkan adalah sesuatu yang sederhana
saja, mereka tidak mau berfikir untuk jangka panjang. Jika
dalam suatu wilayah masyarakatnya memiliki pendidikan
88
yang seimbang maka perbedaan pendapat antar pemeluk
agama dapat dihindarkan. Karena mereka sudah dapat
memilah mana yang semestinya mereka lakukan dan mana
yang tidak. Demikian halnya dengan kegiatan keberagamaan
seseorang cenderung mereka saling menghargai dan tidak
saling mempengaruhi satu sama lain. Ini terjadi karena
mereka yakin bahwa masing-masing agama memiliki
maksud tujuan yang baik dan agama selalu mengajarkan
kearah kebaikan bukan keburukan bagi para pemeluknya.
Poin-poin penting toleransi dari masyarakat Salatiga
seperti berikut di bawah ini. Pertama, toleransi adalah saling
menghargai melalui saling pengertian. Kedua, Kedamaian
adalah tujuan dari toleransi sedangkan toleransi adalah
metode atau caranya. Ketiga, toleransi adalah melihat
perbedaan sebagai sesuatu kekayaan dalam kehidupan
spiritual beragama. Keempat, toleransi adalah menolak
untuk mendiskriminasikan orang berdasarkan agamanya.
Kelima, prinsip toleransi bukanlah menyamakan perbdaan
yang ada, melainkan kesadaran akan adanya perbedaan.
Keenam, toleransi akan membimbing kita untuk mempelajari
sesuatu. Ketujuh, toleransi merupakan konsekwensi atas
nilai-nilai kemanusiaan. Kita semua mempunyai kekurangan
dan kesalahan; jadikan masing-masing di antara kita saling
memaafkan satu sama lainnya. Kedelapan, toleransi adalah
89
anugerah dari pikiran yang luar biasa. Kesembilan, toleransi
adalah sikap untuk dapat hidup bersama masyarakat
penganut agama lain, dengan memiliki kebebasan untuk
menjalankan prinsip-prinsip keagamaan (ibadah) masing-
masing tanpa adanya paksaan dan tekanan, baik untuk
beribadah maupun untuk tidak beribadah, dari satu pihak
kepada pihak lainnya. Kesepuluh, prinsip toleransi bukanlah
menyamakan perbedaan yang ada, melainkan kesadaran
akan adanya perbedaan. Kesebelas, toleransi adalah
menghargai saling menghargai melalui saling pengertian.
Keduabelas, benih
dari toleransi adalah cinta, disiram dengan kasih dan
pemeliharaan.
90
BAB IV
ANALISIS SOSIO-TEMATIK
A. Teori tentang Kedamaian dalam literature Tafsir al-
Quran
Apabila merujuk pada Kamus Besar Bahasa
Indonesia (2008:330), tema damai adalah kata sifat
(adjektiva) yang memiliki arti ‗tidak ada perang‘, ‗aman‘,
‗tenteram‘, ‗tenang‘, ‗rukun‘, dan ‗tidak ada kerusuhan‘.
Kata damai merupakan kata dasar yang kemudian
membentuk istilah perdamaian (nomina) setelah mendapat
imbuhan per-an. Imbuhan ini memberi makna ‗proses aktif
membangun damai dan penghentian permusuhan, serta
perihal damai‘. Sementara, damai dengan imbuhan ke-an,
91
kedamaian (nomina) adalah ‗suatu keadaan damai dan
kehidupan yang aman tenteram‘.
Seperti yang ditulis Imam Taufiq bahwa pengertian
damai, perdamaian, dan kedamaian dapat dibedakan dalam
beberapa hal. Pertama, dalam hal jenis kata: damai
merupakan adjektiva, sedang perdamaian dan kedamaian
adalah kata benda atau nomina. Kedua, terkait fungsi dan
makna kata. Kata damai merujuk pada keterangan tentang
sifat kondisi individu maupun kelompok. Contohnya begini,
Islam dikenal sebagai agama damai. Kata damai dalam
contoh ini berfungsi membentuk makna keterangan tentang
sifat sebuah agama yang sarat dengan hal-hal yang
berhubungan dengan aman, tenteram, dan tanpa pertikaian.79
Selanjutnya, kata kedamaian merupakan kata
benda yang menyiratkan makna keterangan situasi.
Misalnya, surga merupakan tempat kedamaian abadi.
Artinya, surga selalu diliputi situasi aman, tenteram, tanpa
adanya pertikaian. Sementara, kata perdamaian adalah kata
benda yang mengandung makna proses dan aktivitas‘. Lebih
tepatnya, perdamaian digunakan untuk mendeskripsikan
sebuah upaya individu maupun kelompok dalam membangun
dan mewujudkan kedamaian.
79
Imam Taufiq, Al-Qur Bukan Kitab Teror,Yogyakarta:
Bentang, 2016, hlm. 30
92
Kata damai adalah antonim dari kata konflik,
permusuhan, perseteruan, sengketa, pertengkaran,
perselisihan, dan tikai. Kendati demikian, dalam hukum
logika biner, keberadaan atau ketiadaan salah satu
merupakan keberadaan dan sekaligus ketiadaan yang lain.
Damai tidak akan ada jika tak ada konflik. Damai menjadi
ada hanya karena konflik juga mengada. Ketika damai
dinegasikan, hadirlah konflik. Jika konflik dinegasikan,
hadirlah damai. Keduanya adalah dua sisi pada mata uang
yang satu.
Konflik sendiri sering diartikan sebagai tidak
bertemunya dua atau lebih tujuan (baca: kepentingan).
Dalam bahasa Fischer, konflik adalah tidak seimbangnya
hubungan-hubungan status sosial, kekayaan, akses terhadap
sumber-kuasa, dan kekuasaan yang berakibat pada
munculnya berbagai problematik seperti diskriminasi,
penindasan, kriminalitas, pengangguran, dan kemiskinan.80
B. Tujuan Kehidupan Damai
Seruan menuju perdamaian ini selaras dengan pesan
Al- Quran. Al-Quran tidak jarang menyebut ajakan menuju
perdamaian. Dalam salah satu ayat, misalnya, Al-Quran
80
Christ Mitchell, The Structure of International Conflict.
London: MacMil- lan. 1981, hlm. 12. Imam Taufiq, Al-Qur
Bukan Kitab Teror.Yogyakarta: Ben- tang. 2016, hlm. 31.
93
berbicara tentang kondisi kedamaian (dâr as-salâm) di
akhirat sebagai balasan bagi manusia yang melaksanakan
kesalehan vertikal dan horizontalnya dengan baik. Al-Quran
Surat (selanjutnya dising- kat QS.) Yunus [10]: 25) yang
artinya, ―Allah menyeru (manusia) ke darussalam (surga),
dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan
yang lurus (Islam)‖.
Rasyid Ridla memberikan penjelasan bahwa redaksi
wallâh yadû ilâ dâr as-salâm merupakan kalimat majemuk
setara (jumlah „athf) atas kalimat yang dibuang, wa asy-
syaithân yad‟û ilâ dâr al-khizy wa an-nakâl, setan menyeru
manusia ke neraka. Idiom dar as-salam merupakan gabungan
dari dua kata; dâr dan as-salâm. Ini menunjukkan beberapa
hal, yaitu (i) jaminan keselamatan dari musibah, aib,
kekurangan, dan permusuhan; (ii) penghormatan Allah Swt.
dan malaikat-Nya kepada ahli surga, dan penghormatan
antar-sesama penghuni surga yang menunjukkan sikap saling
mencintai (tahâhub) dan menyayangi (tawâdud).81
Hal tersebut bukan berarti misi perdamaian hanya di
akhirat. Terdapat beberapa ayat yang mendorong manusia
untuk mewujudkan perdamaian di dunia. Di antaranya, Allah
Swt. mengajak kaum beriman membangun perdamaian di
81
Muhammad Rasyid bin Ali Ridha, Tafsir alQuran al
Karim al-Mannar Berut: Dar al Fikr. 1990 Jilid XI.hlm. 286
94
muka bumi. Secara khusus, Allah Swt. juga berpesan agar
kaum yang berjuang membangun perdamaian tidak merasa
rendah diri. Mereka harus percaya diri bahwa mereka adalah
kelompok manusia yang unggul, selalu dilindungi Allah
Swt., dan amal perbuatannya tidak akan sia-sia. Sebagaimana
firman Allah Swt. Dalam QS Muhammad [47]: 35 yang
artinya, ―Janganlah kamu lemah dan minta damai Padahal
kamulah yang di atas dan Allah pun bersamamu dan Dia
sekali-kali tidak akan mengurangi pahala amal-amalmu‖.
Oleh karena itu, mereka diseru agar berupaya
membangun perdamaian secara total dan tidak setengah-
setengah. Mereka juga dilarang mengikuti jejak setan
dengan menumbuhkan rasa permusuhan antarsesama
manusia sebagaimana firman Allah Swt. dalam QS Al-
Baqarah [2] ayat 208 yang artinya, ―Hai orang-orang yang
beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan
janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan.
Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.‖
Kata silm bermakna istislâm dan thâ‘ah, yang
dimutlakkan sebagai Islam dan perdamaian. Hal senada
diungkapkan Ar-Razi82
bahwa asal makna silm adalah
inqiyâd, yakni ke-tundukan seperti dalam QS Al-Baqarah.
82
Fakhruddin Ar Razi, Tafsir al Kabir wa Mafatih al Ghaib,
Beirut: Dar al fikr.1992. Jilid III. hlm.224
95
131. Ketika Tuhannya berfirman kepadanya: “Tunduk
patuhlah!” Ibrahim menjawab: “Aku tunduk patuh kepada
Tuhan semesta alam”.
Kata islâm bermakna ketundukan. Di samping itu,
sudah populer bahwa kata silm bermakna shulh, artinya
‗mendamaikan dan meninggalkan perang pertikaian‘.
Pemaknaan ini merujuk pada makna inqiyâd (ketundukan)
karena ketika menempuh perdamaian, setiap pihak harus
menundukkan ego demi terwujudnya perdamaian dan
hilangnya pertikaian.
Dalam ayat di atas, Ridhâ menafsirkan bahwa Allah
Swt. memerintahkan kaum beriman untuk masuk dalam misi
perdamaian secara total. Allah Swt. telah memberi hidayah
kepada manusia untuk mentransformasikan perdamaian
(salâm), kebajikan (shalâh), dan kerukunan (wifâq)
sebagaimana telah ditetapkan dalam Islam.83
Ibnu Katsir,
Nafi‗, dan Al-Kisai membaca dengan harakat fathah, as-
salm, sedangkan ulama lain membacanya dengan kasrah, as-
silm, kedua bacaan ini merupakan dua dialek. Sebagian
mufasir seperti Ibnu Katsir memaknai kata as-silm dengan
83
Muhammad Rasyid bin Ali Ridha, Tafsir alQuran al Karim, al-Mannar Berut: Dar al Fikr. 1990 Jilid II.hlm. 204. Imam Taufiq, Al-Qur Bukan Kitab Teror,Yogyakarta: Bentang, 2016, hlm. 91.
96
agama Islam (dîn al-Islâm) dan sebagian lainnya dengan
perdamaian (shulh).84
Salah satu fondasi kerukunan (wifâq) dan perdamaian
antarmanusia adalah dengan meninggalkan peperangan dan
pertikaian karena perintah untuk memasuki suatu hal berarti
larangan untuk memasuki kebalikannya. Ayat QS Al-
Baqarah (2): 208 di atas dibuka dengan sapaan kepada kaum
Mukmin dan langsung disambung dengan shighat amar yang
memerintahkan mereka untuk mewujudkan perdamaian.
Perintah ini secara langsung melarang kita untuk
melakukan hal yang bertentangan dengan perdamaian,
seperti peperangan dan pertikaian. Sayyid Quthb
menjelaskan bahwa ada hubungan (munâsabah) antara awal
dan akhir ayat. Awal ayat memerintahkan totalitas dalam
transformasi perdamaian sebagai kesempurnaan keberimanan
seseorang. Sementara, akhir ayat berisi larangan mengikuti
jejak setan berupa konflik dan persengketaan. Ada dua sisi
yang berlawanan; antara petunjuk (hudâ) dan kesesatan
(dhalâl); antara Islam dan jahiliah; antara jalan Tuhan dan
setan; antara petunjuk Allah Swt. dan bisikan setan; antara
damai dan konflik.85
84
Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al Azhim, Berut: Dar al Fikr. 1980.Jilid I. hlm.565.
85 Sayyid Quttub, Fi Zhilal al Quran. Beirut: Dar al Fikr.
1987, Jilid I. hlm 211
97
Silm merupakan kondisi keridaan seorang hamba
secara total, tidak tebersit sedikit pun keingkaran. Ridhâ
(selanjutnya ditulis rida) di sini merupakan tahapan tertinggi
ketundukan, sebagaimana Nabi bersabda, ar-ridhâ bi al-
qadhâ‟ bâb Allâh al-„azhîm, rida terhadap ketetapan Allah
Swt. merupakan bagian terpenting dalam ketaatan kepada
Allah. Menurut Shihab qadhâ adalah ketetapan yang bersifat
menyeluruh bagi sifat-sifat yang pasti dan langgeng untuk
segala persoalan. Sementara, qadar merupakan pengarahan
hukum-hukum tersebut dengan ukuran yang teliti menuju
akibatnya masing-masing, tidak kurang dan tidak lebih.86
Dengan demikian, rida memiliki kondisi jiwa
tertinggi dalam konteks kondisi damai. Rida menempati
ruang ketundukan puncak dalam menaati perintah dan
ketetapan-Nya. Dan, Allah Swt. memberi petunjuk bagi
orang-orang yang mengikuti keridaan-Nya menuju jalan
keselamatan.
Islam adalah jalan kedamaian dan keselamatan (subul
as-salâm). Allah Swt. telah meridai Islam sebagai
agama, yang memberi petunjuk bagi siapa saja yang
mengikuti jalan tersebut. Salam merupakan tujuan akhir
agama ini dalam segala aspek kehidupan. Islam mendorong
pemeluknya untuk membangun kedamaian individu (salâm
86
Muhammad Quraisy Shihab, Tahsir al Mishbah, Jakarta: Lentera Hati. 2004. Jilid XV. hlm. 388),
98
al-fard), kedamaian kelompok atau komunitas (salâm al-
mujtama‟), kedamaian dunia (salâm al „âlam), kedamaian
hati (salâm adh-dhamîr), kedamaian keluarga (salâm al-
baît), kedamaian kemanusiaan (salâm al-basyar wa al-
insâniyyah), dan kedamaian bersama Allah Swt. (salâm ma‟a
Allâh).
Sementara, salâm tidak akan pernah ditemukan
manusia kecuali dalam Islam karena Islamlah yang
mengajarkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip salam untuk
diterapkan, bukan hanya sebatas slogan. Pada masa jahiliah,
cara menyelesaikan konflik dan mewujudkan perdamaian
adalah dengan peperangan (sub-ul al-harb). Peperangan
menjadi pilihan untuk menyelesaikan pertikaian dalam
hidup sehingga peperangan menjadi tabiat masyarakat
pada masa itu. Kemudian, datang Islam yang
memperkenalkan salam sebagai jalan membangun
perdamaian.
Sebagai perwujudan dari kondisi damai, dalam Al-
Quran, terdapat kata mardhiyyah (diridai) yang terangkai
dengan kata „isyah (kehidupan). Frasa ini mendeskripsikan
kehidupan yang diridai, sebagaimana ayat-ayat berikut: (QS
Al- Haqqah [69]: 21); (QS Al- Qari‘ah [101]: 7); (QS Al-
Ghasyiyah [88]: 9). Ketiga ayat di atas menunjukkan kata
râdhiyah yang digunakan untuk merujuk sebuah kondisi
99
keridaan di akhirat, kehidupan penuh kepuasan. Ayat QS Al-
Hâqqah (69): 21 dan QS Al-Qâri‗ah (101): 7 berkaitan
dengan orang-orang yang menerima catatan amal
perbuatan dengan tangan kanan dan amal kebaikannya
berat. Mereka masuk surga dan merasakan kehidupan yang
menyenangkan. Kata râdhiyah dalam QS Al- Ghâsyiyah
(88): 9 juga berkaitan dengan kisah Hari Kiamat ketika
orang-orang berseri wajahnya, gembira dengan amal
perbuatan yang telah dilakukannya di dunia, dan dipersilakan
masuk surga.87
„Isyat mardhiyyah merupakan nikmat yang
tak terhingga. Kenikmatan tersebut diilustrasikan dengan
makan dan minum enak, bertelekan di atas dipan-dipan
berderetan, dan bersama bidadari-bidadari cantik bermata jeli
(hûr „în), sebagai balasan perbuatan baik (QS Al-Thur [52]:
19-20). Kata hûr pada ayat ini adalah bentuk jamak dari kata
haurâ‟. Kata hûr adalah kata yang netral kelamin, bisa laki-
laki ataupun perempuan.
C. Damai dalam kehidupan Keluarga
Mungkin sudah banyak yang tahu bahwa Al-Quran
menyebut keluarga harmonis dengan istilah sakinâh. Namun,
tahukah Anda bahwa akar kata sakinâh, yakni kata sakana
juga membentuk kata sikkîn yang bermakna pisau? Lalu, apa
87
Imam Taufiq, Al-Qur Bukan Kitab Teror,Yogyakarta:
Bentang, 2016, hlm.90- 94.
100
hubungan antara sakinâh dan pisau? Mengapa keharmonisan
keluarga yang identik dengan kesejahteraan dan
ketenteraman ini justru terkait dengan pisau yang identik
dengan kekerasan? Mari kita simak penjelasannya berikut
ini.
Al-Quran menyebut keluarga harmonis dengan term
sakinah. Kata sakinâh berasal dari sakana yang merupakan
antonim dari ‗guncangan atau gerakan‘. Dari akar kata yang
sama muncul kata sakan (tempat tinggal) yang berarti ‗segala
sesuatu menetap padanya karena kecintaan‘. Begitu pula kata
sikkîn (pisau) yang dipakai menyembelih dan karenanya
mendiamkan semua gerakan sembelihan. Kata sakinâh
berarti ‗ketenangan atau kedamaian (al-waqâr)‘. Menurut
Ibnu Abbas, semua kata sakinâh dalam Al-Quran
mempunyai makna tenteram, damai, dan tenang. Hal ini
sebagaimana dipahami dalam firman Allah Swt. (QSAl-Rum
[30]: 21). Menurut Ar-Razi (XII: 225), ketenangan yang
dimaksud dalam ayat di atas adalah ketenangan yang
bersemayam dalam hati karena struktur kalimatnya
menggunakan preposisi ila (sakana ilâ), bukan „inda (sakana
„indâ) yang merujuk pada objek materiil. Pernikahan
memungkinkan terwujudnya ketenangan, kebahagiaan, dan
kedamaian jiwa selama suami-istri saling menyayangi.
101
D. Makruf sebagai Bangunan dari Kedamaian
Makruf merupakan bentuk ism maf‘ûl dari kata
‗arafa yang tersusun dari huruf ‗ain, râ‟, fâ‟. Menurut Ibnu
Faris (1967: 234) di dalam Maqâyis Al-Lughah, kata ‗arafa
ini memiliki arti pokok ‗berkesinambungan dan tenang‘. Dari
akar kata tersebut lahir beberapa bentuk, antara lain a‘raf,
yaitu ‗suara kuda‘; ma‘rifah yang berarti ‗pengetahuan‘
karena orang yang memiliki pengetahuan hatinya akan
tenang; ‗arf yang berarti ‗bau harum‘ karena akan
menyenangkan orang yang menciumnya; ‗urf artinya
‗kebaikan‘ karena membuat orang tenang, kata ‗urf juga
berarti ‗tradisi‘ karena tradisi itu mem- buat senang
pendukungnya; serta i‘tarafa yang berarti ‗mengakui‘.
Al-Qurthubi menyamakan makna ‗urf, ma‟rûf dan
„arifah, yaitu semua kebiasaan atau pekerti yang dapat
diterima oleh akal sehat dan membuat jiwa menjadi tenang.
Ia menambahkan bahwa kata al-ma‗rûf mempunyai empat
arti, yaitu fardu; persiapan-persiapan yang baik; bersolek
bagi wanita yang habis masa idahnya; dan segala sesuatu
yang memudahkan manusia.88
88
Muhammad bin Ahmad Abi Bakar bin Fakhr al
Qurthubi. Al Jami liah- kam alquran. Beirut: Dar al Fikr. 1992.
Jilid III. hlm. 96
102
Di dalam Al-Quran, kata ma„rûf terulang sebanyak
39 kali. Kata ma‗rûf dan derivasinya di dalam Al-Quran
disebutkan berdampingan dengan kata munkar sebanyak tiga
belas kali, yaitu di dalam QS Ali-‘Imrân (3): 104, 110, dan
114; QS Al-A‗râf (7): 157; QS Al-Taubah (9): 67, 71, dan
112; QS Yûsuf (12): 58; QS QS Al-Nahl (16): 83; QS Al-
Hajj (22): 41 dan 72; QS Al-Mu‘minûn (23): 69; dan QS
Luqmân (31): 17. Meskipun memiliki arti yang banyak, arti
tersebut tetap bermuara pada arti pokoknya, yakni ‗segala
yang dapat memberi ketenangan dan ketenteraman jiwa dan
karenanya pula dapat berkesinambungan‘.
Ulama berbeda pendapat saat mengartikan ma„rûf
dalam Al-Quran. Al-Ashfahani (1986: 210) mengatakan,
ma„rûf adalah sebutan untuk setiap perbuatan baik menurut
akal pikiran atau syara‟ (wahyu). Para ahli tafsir
menganggap, kata ma‗rûf sebagai ism jami‟ (kata yang
mencakup) segala yang diketahui di dalam rangka ketaatan
dan kedekatan kepada Allah Swt. dan/atau kebajikan atas
manusia. Hal yang dianjurkan atau dicegah oleh syara
merupakan bagian sifat yang umum atau perilaku yang sudah
dikenal, yang tidak diingkari keberadaannya. At-Tirmidzi
menyebutkan bahwa kata ma‗rûf berarti ‗apa-apa yang
diketahui berdasarkan hukum-hukum Allah Swt. dan Sunah
Rasul‘.
103
Merujuk pandangan Asy-Sya‘rawi, Shihab (2006,
II: 382) berpendapat bahwa Allah Swt. Menujukan ma„rûf di
atas kepada suami yang tidak lagi mencintai istrinya. Shihab
membedakan antara mawaddah yang seharusnya menghiasi
hubungan suami-istri dengan ma„rûf yang diperintahkan di
sini. Mawaddah menurutnya adalah berbuat baik
kepadanya, merasa senang bersamanya serta bergembira
dengan kehadirannya, sedangkan ma„rûf tidak harus
demikian. Mawaddah pastilah disertai dengan cinta,
sedangkan ma‗rûf tidak mengharuskan adanya cinta.
Shihab merujuk pada firman Allah Swt. yang
menafikan adanya mawaddah atau cinta kepada orang-orang
yang menentang Allah Swt. dan Rasul-Nya sekalipun orang-
orang itu bapak, anak, atau saudara (QS Al-Mujâdilah [58]:
22). Padahal, dalam ayat yang lain, Allah Swt.
memerintahkan anak untuk bergaul dengan ma„rûf kepada
ibu-bapak yang memaksa anak untuk tidak percaya keesaan
Allah Swt. (QS Luqman [31]: 15). Ini artinya, ma‗rûf dan
cinta adalah dua hal yang berbeda.
Apa yang dikemukakan Shihab di atas sungguh
tepat. Mawaddah yang diharapkan terjalin antara suami-istri,
bukan dalam arti cinta belaka, tetapi cinta plus. Al-Biqa‘i
(1995: 412) mengemukakan bahwa akar kata mawaddah
mengandung makna kelapangan dan kekosongan. Mawaddah
104
adalah cinta plus karena yang sekadar mencintai sekali-sekali
hatinya mendongkol atau kesal terhadap kekasih. Mawaddah
tidak demikian, ia adalah cinta yang tampak buabnya dalam
sikap dan perlakuan baik, serupa dengan kepatuhan sebagai
hasil rasa kagum. Kendati demikian, sebagaimana mufasir
lain, Al-Biqa‘i memahami ma‗rûf sebagai ‗ucapan,
perbuatan, tidur bersama, nafkah, dan mawaddah, sesuai
ketentuan agama‘.
Rangkaian pemaknaan ma‗rûf di atas
menggambarkan betapa pentingnya kehidupan berbasis
moralitas agar kehidupan rumah tangga tidak berantakan
hanya karena cinta suami-istri telah pupus. Walau cinta
putus, ma‗rûf masih diperintahkan. Ketika ada seorang yang
bermaksud menceraikan istrinya dengan alasan dia tidak
mencintainya lagi, ‗Umar bin Khaththab mengecamnya,
―Apakah rumah tangga hanya dibina atas dasar cinta? Kalau
demikian mana nilai-nilai luhurnya? Mana pemeliharaan,
mana amanah yang engkau terima?‖
E. Damai Sebagai Dasar dalam Hubungan Sosial
Menurut Al-Qurthubi (X: 200), ayat 125 Quran Surat
al-Nahl (QS: 125) ini turun di Mekah ketika terjadi gencatan
senjata dengan kaum musyrik Quraisy. Nabi Saw.
diperintahkan untuk mengajak musyrik Quraisy ke jalan
105
Allah Swt. dengan lemah lembut tanpa pertumpahan darah
dan tindakan anarki.
Terdapat tiga hal penting tentang sikap Nabi Saw.
dalam menghadapi perlawanan Quraisy. Pertama, prinsip
kebijaksanaan (hikmah). Hikmah merupakan wahyu Allah
Swt. yang diturunkan lewat Nabi-Nya (Ath-Thabari, 17:
321)11. Lebih dari itu, hikmah adalah perkataan benar dan
tegas karena hal itu menjadi argumentasi yang akan memberi
efek keyakinan batin. Tanpa pendekatan hikmah, misi
dakwah tidak mencitrakan kebenaran dan kebaikan, justru
memicu tindakan anarki. Oleh karena itu, Nabi Saw.
dikaruniai hikmah (QS Al-Baqarah [2]: 23, 24, 129)
sebagaimana para nabi terdahulu (QS Al-Baqarah [2]: 151).
Kedua, nasihat yang santun (al-mauizhat al-
hasanah). Al-mauizhat al-hasanah merupakan diksi yang
indah dan santun sebagai argumentasi (hujjah) dakwah Nabi
(Ath-Thabari, 17: 125). Al-Baghawi menambahkan, selain
kesantunan dan kelemahlembutan, Nabi Saw. juga tidak
memicu kekerasan, celaan, dan teguran keras. Muatannya
berisi motivasi melakukan kebaikan (QS Al-Ma‘idah [5]:
52). Dalam Fath Al-Qadir (IV: 276), disebutkan bahwa al-
106
mauidhat al-hasanah harus memberi dampak positif bagi
pendengarnya.89
Ketiga, debat santun (wa jâdilhum bi al-latî hiya
ahsan), yakni perdebatan yang didasari atas kesantunan yang
mampu membawa mitra debat untuk lebih mengenal maksud
dari misi kenabian (Ath-Thabarî, 17: 321). Debat juga
diupayakan dengan lemah lembut (rifq) dan tutur redaksi
santun (husn al-khithâb).
Terkait tiga strategi di atas, Ridha (III: 216)
menjelaskan perbedaannya. Hikmah adalah sesuatu yang
dituturkan oleh para cendekiawan dengan memaparkan dalil
dan argumentasi. Mauizhah adalah strategi ketika objek
dakwah adalah orang awam. Sementara, jadal menjadi
strategi yang digunakan untuk berkomunikasi dengan
kalangan menengah yang tidak mampu menggapai tingkatan
hikmah dan terlalu rendah memasuki ruang mauizhah
sehingga jadal menjadi ruang untuk berdiskusi. Cara debat
harus dilakukan dengan santun dan disesuaikan dengan kadar
kemampuan akal mitra tutur.90
89
Muhammad bin Ali bin Muhammad Al Syaukanie, Fath
Al-Qadir. Bei- rut: Dar al-Marifah hlm. 807. 90
Imam Taufiq, Al-Qur Bukan Kitab Teror,Yogyakarta:
Bentang, 2016, hlm.190- 191
107
F. Damai Sebagai Dasar Interaksi Umat Beragama
Salah satu basis interaksi antarumat beragama adalah
toleransi. Karena, perbedaan bukanlah alasan untuk
bertindak intoleran kepada siapa pun. Menerima dan
menghormati persamaan memang lebih mudah daripada
menerima perbedaan karena yang terakhir ini butuh
kedewasaan. Sebab itulah, kualitas beragama seseorang bisa
diukur dari seberapa bijak ia mampu berinteraksi dengan
perbedaan. Maka dari itu, sikap toleransi pada dasarnya
adalah mendamaikan perbedaan untuk saling menghargai
dan menghormati identitas, perilaku, dan kepentingan
masing-masing.91
Nabi Saw. adalah teladan sempurna dalam
menghargai perbedaan. Dalam catatan As-Sirât An-
Nabawiyyah, Nabi Saw. menyambut dengan hangat
kunjungan 60 orang tokoh Nasrani Najran. Ketika
rombongan tersebut sampai di Madinah, mereka langsung
menuju masjid. Saat itu Nabi Saw. sedang melaksanakan
shalat ‗Asar berjemaah. Mereka datang dengan memakai
jubah dan serban. Ketika waktu kebaktian tiba, mereka tidak
perlu mencari gereja. Nabi Saw. memperkenankan mereka
91
Imam Taufiq, Al-Qur Bukan Kitab Teror,Yogyakarta:
Bentang, 2016, hlm. 197
108
untuk menjalankan kebaktian di dalam masjid (Hisyâm,
1995: 164).
Dalam kisah ini terdapat teladan interaksi harmonis
antaragama. Sikap toleransi mewujud dalam: (i) para tokoh
Nasrani Najran mengadaptasikan diri secara busana dengan
mengenakan jubah dan serban sebagai sebuah penghormatan
kunjungan kepada Nabi Saw. dan komunitas muslim; (ii)
bersedia menunggu Nabi Saw. hingga shalat ‗Asar usai; (iii)
Nabi menyambut para tamu dengan hangat di masjid meski
beda agama; (iv) bahkan Nabi Saw. memberi kesempatan
bagi mereka untuk melakukan kebaktian di masjid.
Dalam relasi dengan umat beragama lain, Rasulullah
Saw. menegaskan bahwa dirinya merupakan penyempurna
dan penutup para nabi sebelumnya. Ibnu Hajar dalam Fath
Al-Bâri (1999: X: 31) menjelaskan bahwa hadis tersebut
merupakan permisalan (tasybîh). Nabi Saw.
mengilustrasikan sebuah bangunan sebagai wujud dan upaya
membangun keutuhan misi diturunkannya para nabi, yaitu
tauhid, mengesakan Tuhan. Sebuah rumah tidak akan berdiri
diri tanpa ditopang tiang dan material lainnya, termasuk batu
bata. Tanpa batu bata, rumah akan roboh. Fungsi Nabi Saw.
dalam konstruksi rumah tersebut adalah sebagai pelengkap
dan penyempurna (mukmilah wa muhsinah). Tanpa batu bata
tersebut, konstruksi rumah tampak kurang. Nabi Saw.
109
bukanlah satu-satunya penyangga rumah, ia justru
melengkapi misi kenabian terdahulu.
Oleh karena itulah, Al-Quran beberapa kali
menyinggung interaksi sosial yang harmonis dalam kerangka
agama; in-tern dan ekstern umat beragama. Pola interaksi
yang diajarkan Al-Quran berorientasi membangun
perdamaian, bukan memicu konflik, karena Nabi Saw.
adalah pelengkap dan penyempurna. Kesempurnaan dan
kelengkapan tak akan bisa diwujudkan tanpa adanya
kedamaian. (QS Al-Mumtahanah [60]: 8); (QS Al-An-fal [8]:
61) ; (QS Al-Baqarah [2]: 208).
Islam membangun interaksi beda agama atas dasar
komunikasi damai. Dalam QS Al-Mumtahanah (60): 8,
pembangunan relasi harmonis dan keadilan terhadap orang
lain harus selalu diupayakan selama ia yang berbeda agama
tadi berbuat baik kepada umat Islam. Perang boleh
dilaksanakan ketika umat Islam diperangi dan kebebasan
beragama dihambat.
Ayat ini turun merespons sensitivitas interaksi ibu
dan anak yang berbeda agama. Ada seorang ibu yang
bernama Qathîlah binti ‗Abd Al-‗Uzzâ. Ia adalah janda yang
ditalak Abû Bakar pada masa Jahiliah. Qathîlah adalah
seorang nonmuslim. Qathîlah datang membawa hadiah,
samin dan keju untuk anaknya yang bernama Asma. Namun,
110
Asma tidak menerima, bahkan tidak mempersilakan ibunya
masuk rumah. Kemudian, Asma bertanya kepada Nabi Saw.
lewat perantara ‗Aisyah, turunlah ayat tersebut. Barulah
kemudian Asma menerima hadiah dan mempersilakan
ibunya masuk rumah (Al-Wahidi, 1991: 320).
Menurut Ath-Thabari (1992, XII: 62) ada beberapa
alternatif penafsiran pada identitas orang yang tidak
memerangi kamu karena agama dan tidak mengusir kamu
dari negerimu (QS Al-Mumtahanah [60]: 8). Pertama,
mukmin Mekah yang tidak berhijrah ke Madinah. Kedua,
bukan penduduk Mekah yang tidak berhijrah. Ketiga,
musyrik Mekah yang tidak bermusuhan dengan kaum
Muslim.
Al-Mawardi (1987, V: 519) menambahkan,
mereka adalah wanita dan anak nonmuslim yang secara
syara‟ tidak boleh diperangi. Meskipun demikian, menurut
Ath-Thabari (1992, V: 84), redaksi ayat tersebut bersifat
umum (‗âmm), tidak mengkhususkan pada sebuah komunitas
tertentu.
Menafsirkan wa tuqsithû ilaihim, dan berlaku adil
kepada mereka, Al-Qurthûbî menjelaskan bahwa yang
dimaksud adalah memberi sebagian dari kekayaan kepada
mereka dalam rangka menjaga hubungan baik. Kata tuqsithû
tidak bermakna berlaku adil karena menegakkan keadilan
111
merupakan keniscayaan kepada semua manusia tanpa beda
(Al-Qurthûbî, 1992, XVIII: 40). Ia menambahkan bahwa
pendapat tersebut merupakan pendapat mayoritas ulama
sebagaimana tertera dalam Zâd Al-Ma‗âd karya Ibnu Al-
Qayyim (Al-Qurthûbî, 1992, XVIII: 40).
Menurut Qatadah dan Ikrimah, kedua ayat tersebut
(QS Al-Mumtahanah [60]: 8 dan QS Al-Anfal [8]: 61) di
nasakh (dihapus) oleh QS Al-Taubah (9): 5 dan 36 yang
berisi perintah memerangi orang musyrik. Namun, pendapat
ini dianulir oleh As-Suddi dan Ibnu Zaid (Al-Qurthûbî, 1992,
VIII: 27).
Selanjutnya, dalam QS Al-Baqarah (2): 208 di atas,
kita bisamelihat bahwa perdamaian merupakan dasar
hubungan dalam agama Islam. Perdamaian ini dapat ditilik
dari penggunaan kata as-silm yang seakar dengan kata Islam.
Ayat ini memerintahkan orang beriman masuk ke dalam as-
silm secara total. Beberapa mufasir membacanya as-salm dan
as-silm. Keduanya sama-sama menekankan makna
perdamaian (Ath-Thabari, 1992, II: 440). Dalam Al-Mannâr,
kata as-silm memiliki makna perdamaian dan Islam (Ridha,
II: 256). Islam mengajarkan perdamaian sebagai prinsip
hubungan antarmanusia. Hal itu tecermin dari kata Islam
yang mengandung arti perdamaian sehingga setiap insan
yang mengikrarkan diri sebagai muslim sepatutnya
112
mengejawantahkan perdamaian sebagai prinsip interaksi
sosial.
Perbedaan keyakinan dan agama tidak bisa menjadi
alasan tindak intoleran. Hal ini disebabkan oleh, pertama,
pandangan Islam tentang manusia dan agama. Al-Quran
menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk yang
diciptakan dengan sempurna (QS Al-Sajdah [32]: 9, QS Al-
Hijr [15]: 29, dan QS Shad [38]: 72). Kesempurnaan tersebut
karena anugerah moral dan akal pikiran. Setiap manusia,
muslim atau nonmuslim, memiliki agama fitrah (dîn al-
fithrah) kesadaran terhadap Tuhan yang wajib di sembah.
Menurut Ismâ‘il Al-Faruqi (1978:95), penemuan Islam
terhadap din al-fithrah menjadi pijakan agama historis
menuju arah pembangunan hubungan antarumat beragama
lebih baik. Setiap umat beragama yang berbeda merupakan
saudara dalam persaudaraan keagamaan universal karena
masing-masing agama pada hakikatnya bermuara pada dîn
al-fithrah.
Kedua, Al-Quran melarang sikap tertutup (eksklusif)
seperti komunitas Yahudi dan Nasrani yang dihadapi Nabi.
Eksklusivitas mereka bertumpu pada beberapa hal, yaitu (i)
anggapan sebagai kekasih Tuhan dan menafikan yang lain
(QS Al-Jumu‘ah [62]: 6); (ii) klaim suci (QS Al-Nisa [4]:
49); (iii) klaim sebagai anak dan kekasih Tuhan (QS Al-
113
Maidah [5]: 18); (iv) klaim bahwa kehidupan akhirat khusus
untuk mereka (QS Al-Baqarah [2]: 94); (v) hanya Yahudi
yang masuk surga (QS Al-Baqarah [2]: 111); (vi) siksa
neraka hanya mereka alami sebentar saja (QS Ali-Imran [3]:
24); dan (vii) hanya dengan menjadi Yahudi akan
mendapatkan keselamatan (QS Al-Baqarah [2]: 135).
Kecaman Al-Quran terhadap Yahudi dan Nasrani bukan
karena alasan agama, melainkan karena manipulasi (tahrif)
ajaran agama yang dilakukan umat Yahudi dan Nasrani itu
sendiri. Ketiga, ajaran tauhid tidak terbatas pengakuan, tetapi
membutuhkan tindakan. Tauhid yang benar tercermin dalam
amal saleh di masyarakat. Sementara tindakan asosial
merupakan cermin dari tauhid yang tidak benar.92
G. Salam, Menebar Benih Damai
Manusia pada hakikatnya adalah makhluk yang selalu
membutuhkan pihak lain dan karenanya melakukan interaksi
sosial. Sebab itulah, setiap manusia harus menjalin hubungan
harmonis dengan sesama (Khaldun, 1406: 34). Hubungan
harmonis hanya bisa dicapai dalam hubungan yang dilandasi
oleh semangat perdamaian. Dari sinilah, fondasi peradaban
bisa diletakkan, demi menjunjung martabat manusia.
92
Merupakan kutipan dari Imam Taufiq, Al-Qur Bukan Kitab Teror,Yogyakarta: Bentang. 2016, hlm.203
114
Demi membangun martabat manusia, agama
meletakkan perda- maian sebagai titik tujuan. Beberapa ayat
di bawah ini memaparkan upaya pembangunan hubungan
damai antarumat beragama. Beberapa upaya tersebut antara
lain mengucapkan salam, larangan memaki sesembahan
antaragama yang berbeda, dan berdiskusi dengan santun.
(QS An-Nisa‘ [4]: 86); (QS Al-Anam [6]: 108); (QS Al-
‗Ankabut[29]: 46).
Dalam QS Al-Nisa (4): 86 di atas disebut kata
tahiyyah yang secara harfiah bermakna ‗penghormatan‘.
Dalam konteks ayat di atas, kata tahiyyah merujuk pada
salam. Ayat di atas mengajarkan seseorang untuk menjawab
salam dengan ungkapan salam yang lebih baik atau paling
tidak sama. Di bagian akhir ayat, Tuhan selalu mengawasi
manusia dalam memelihara hubungan baik dengan simbol
ucapan salam. Ridha (1990, V: 317) menjelaskan bahwa ayat
tersebut mengisyaratkan larangan mengabaikan balasan
salam karena hal tersebut akan diperhitungkan Tuhan.
Redaksi salam, as-salâm „alaikum (kedamaian untukmu),
menegaskan Islam sebagai agama perdamaian dan keamanan
(Ridla, 1990, V: 311).
115
Salam berarti suatu janji kedamaian dan
keamanan dari orang yang mengucapkan kepada orang yang
diberi salam. Ini berarti orang yang menerima ucapan salam
memperoleh kedamaian dan keamanan selama berada di
depan orang yang mengucapkannya. Ridha (1990, V: 835)
menegaskan bahwa barang siapa mengucapkan salam kepada
seseorang berarti dia telah menjamin rasa aman orang
tersebut dan apabila kemudian dia menyakitinya,
sesungguhnya dia telah berkhianat dan mengingkari janjinya.
Konteks pemaknaan ayat di atas adalah ucapan dan
jawaban salam oleh sesama muslim, sedangkan atas salam
yang diucapkan oleh nonmuslim, seorang muslim cukup
menjawabnya dengan ungkapan waalaikum. Hal ini
didasarkan pada hadis Nabi Saw.:
Menurut Atha bin ‟Abd Rab, jawaban seorang
muslim atas ucapan salam dari nonmuslim adalah „alaika.
Al-Qurthubi menyebutkan „alaik as-salam atau „alaik as-
silam. Penafsiran semacam ini disemangati oleh hubungan
antaragama yang penuh kecurigaan. Ibnu Abbas
mengatakan, siapa pun makhluk Allah Swt. yang
mengucapkan salam kepadamu maka jawablah, sekalipun
ia adalah seorang Majusi.
Pandangan Ibnu Abbas ini didasarkan pada
ketentuan umum firman Allah Swt., Dan apabila kamu
116
diberi penghormatan dengan suatu penghormatan, maka
balaslah dengan yang sama (Ath-Thabari, 1992, V: 258).
Suatu ketika Asy-Sya‗bi menjawab salam dari nonmuslim
dengan waalaikum as-salâm warahmatullah. Ia dikritik
karena hal tersebut tidak boleh menurut Islam. Ia menjawab,
―Bukankah orang itu hidup di dalam rahmat Allah?‖ (Ridha,
1990, V: 313).
Kata ‗alaikum dalam hadis di atas menunjukkan
makna pemilahan (tanwîr), bukan alternatif (takhyîr). At-
takhyîr artinya memilah antara jawaban kepada muslim dan
nonmuslim. Muslim diberi jawaban yang lebih baik,
nonmuslim masih dipilah lagi antara ahli kitab dan bukan.
Kepada ahli kitab diberi jawaban seperti salam yang
diucapkannya, nonmuslim bukan ahli kitab dijawab dengan
ungkapan wa‘alaikum. (Al-Qurthubi, 1992, III: 322).
Menurut Ridha, perbedaan seperti ini tidak ada dalilnya, baik
dari ayat maupun dari Sunah Nabi Saw. (Ridha, 1990,V:
312).
Perintah Nabi Saw. untuk menjawab salam
nonmuslim dengan wa‘alaikum harus dilihat konteksnya
terlebih dahulu. Ada dua hadis yang dapat dipahami
mengapa Nabi Saw. Menyuruh mengucapkan wa‘alaikum.
Pertama, hadis Nabi Saw.:(HR Muslim 7: 4); (HR Ahmad
59:193)
117
Ibnu Qayyim Al-Jauzi menegaskan, larangan
menjawab dan mengucapkan salam terhadap nonmuslim ini
terjadi dalam konteks khusus. Dalam hadis pertama di atas,
jawaban wa‟alaikum diberikan Nabi Saw. karena kelompok
Yahudi mengucapkan salam as-sâmu „alaikum kepada Nabi
Saw., sedangkan dalam hadis kedua tampaknya Nabi Saw.
pergi ke kelompok Yahudi yang tidak bersahabat dengan
umat Islam. Nabi Saw. tidak mengucapkan salam karena
mereka sering mengkhianati Nabi Saw. (Abduh, 1990, V:
315).
Satu hal yang harus digaris bawahi, Nabi Saw.
Dideskripsikan sebagai pribadi etis (QS Al-Qalam [68]: 4).
Orang paling baik adalah orang yang paling baik etikanya
dan memperlakukan orang lain sebaik mungkin. Oleh karena
itu, tidak mungkin kandungan hadis di atas menjadi norma
umum dalam menghadapi orang lain yang berbeda agama.
Tidak dilarang di dalam hukum Islam untuk menjawab salam
Islam yang diucapkan oleh nonmuslim kepada muslim. Hal
ini sesuai dengan keumuman QS Al-Nisa (4): 86 yang
ditafsirkan di atas. Hadis larangan mendahului ucapan salam
kepada nonmuslim harus diletakkan dalam kasus khusus.
Nabi Ibrahim a.s. mengucapkan salam kepada ayahnya yang
nonmuslim seperti diceritakan dalam Al-Quran. (QS
Maryam [19]: 47)
118
Al-Qurthubi menulis bahwa salam Ibrahim a.s.
adalah salam perpisahan. Para ulama memperkenankan
menjawab dan mendahului orang kafir dengan salam. Sufyan
bin ‗Uyainah ditanya, ―Bolehkah mengucapkan salam
kepada orang kafir?‖ Dia menjawab, ―Ya. Allah berfirman,
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku
adit terhadap orang yang tidak memerangi kamu karena
agamamu dan tidak mengusir kamu dari negerimu.
Sesungguhnya, Allah mencintai orang-orang yang berlaku
adil. Allah juga berfirman, Sesungguhnya, terdapat suri
teladan yang baik bagimu pada Ibrahim, sedang Ibrahim a.s.
mengucapkan salam kepada ayahnya.‖ Beberapa mufasir
salaf seperti Ibnu Mas‘ud, Al-Auza‘i, dan Abu Umamah Al-
Bahili sepakat akan kebolehan ini. Ibnu Mas‘ud ditanya
alasannya. la menjelaskan bahwa kita diperintahkan untuk
menyebarkan salam (perdamaian) oleh Nabi Saw. (Al-
Qurthubi, 1992, XI: 111).
H. Membangun Kesepahaman
Untuk mencapai kesepahaman, kita bisa menambah
frekuensi dialog konstruktif untuk menjelaskan posisi
masing-masing. Dialog harus ditempuh dengan cara yang
ramah dan santun. Piagam Madinah merupakan bukti
hubungan harmonis antar-umat beragama. Setiap pihak
119
menghormati pihak lain, apa pun agama yang mereka peluk.
Namun, kaum Yahudi merusak perjanjian tersebut dan
berniat menghancurkan umat Islam secara diam-diam lalu
bersekutu dengan kafir Quraisy dan melanggar poin-poin
perjanjian Piagam Madinah.
Ibnu Al-Qayyim (1993: 94) mendeskripsikan
hubungan antarumat beragama sebagai berikut. Ketika Nabi
Saw. tiba di Madinah, nonmuslim dapat dikelompokkan ke
dalam tiga golongan. Pertama, kelompok yang mempunyai
hubungan damai dengan Nabi Saw. dan berjanji tidak akan
memerangi Nabi Saw. Meskipun tetap dalam kekafiran, Nabi
Saw. menjamin keamanan jiwa dan harta benda mereka.
Kedua, golongan yang memerangi dan menunjukkan
permusuhan kepada Nabi Saw. Ketiga, golongan yang tidak
memiliki hubungan perjanjian damai, tetapi tidak memerangi
Nabi Saw., mereka hanya menunggu perkembangan situasi.
Golongan ini terbagi menjadi dua: (i) kelompok yang
menginginkan kemenangan Muhammad Saw. dan (ii)
golongan yang secara lahir berada di barisan Nabi Saw.,
tetapi dalam batinnya memusuhi Nabi Saw.
Nabi Saw. menandatangani nota kesepahaman
dengan tiga kelompok besar Yahudi di Madinah, antara lain:
bani Qainuqa, Nadhir, dan Quraizhah. Setelah Perang Badar,
bani Qainuqa‘ memerangi Nabi Saw. dan menunjukkan sikap
120
tidak bersahabat. Kemudian, bani Nadhir melanggar
perjanjian. Ketika terjadi Perang Khandaq, bani Quraizhah
menunjukkan perlawanannya. Menghadapi hal ini, Nabi
Saw. mengambil langkah tegas dan angkat senjata. Menurut
Ridha, angkat senjata ini bukan karena perbedaan agama,
melainkan sebagai sanksi atas pelanggaran traktat bersama
(Ridha, 1990, VI: 426).
Dalam konteks sosial, perdamaian merupakan rukun
dan pilar penting kehidupan. Oleh karena itu, Al-Quran
menekankan betapa penting bermusyawarah untuk
mengambil keputusan, khususnya ketika terjadi
ketidaksepahaman agar ditemui jalan tengah terbaik yang
semaksimal mungkin bisa diterima semua kalangan sehingga
Islam sebagai agama damai mampu menjadi rahmat bagi
semesta, Islâm rahmatan li al-‟alâmîn.
121
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Hidup damai menurut muslim kota salatiga dapat
disimpulkan sebagai sikap hidup seseorang yang toleran,
rukun dalam membangun hubungan antaragama,
kerjasama yang baik, tidak ada perasaan tertekan,
meminimalisir konflik saling menghargai satu dengan
lainnya dan menjaga hubungan dengan alam semesta.
Menjaga persatuan dan kesatuan bangsa harus
dilakukan. Kepentingan umum harus didahulukan
daripada kepentingan pribadi. Jangan mempersoalkan
perbedaan, apakah kita sudah bisa menerma perbedaan,
jika belum itu yang dipersoalkan.
122
2. Potret kehidupan umat muslim di Salatiga menjalani
hidup bersama dengan beda agama masih terlihat dari
kebhinekaan di kota Salatiga. Kehidupan sosial
kemasyarakatan mereka sehari-hari berhubungan
harmonis baik yang seagama maupun dengan yang
berbeda agama ataupun latar belakang etnisnya.
Komunikasi yang berlangsung di masyarakat baik di
kota maupun di tingkat kelurahan menunjukkan
komunikasi yang sehat dan cenderung mengarah kepada
persatuan. Meskipun ada sedikit gejolak namun masih
dalam kondisi yang wajar saja. Secara umum kerukunan
antar umat beragama di wilayah Salatiga dapat
dikatakan sangat baik dan kondusif. Masing-masing
masih berpegang pada prinsip bahwa pada dasarnya
semua agama mengajarkan sesuatu yang baik atau
mengajarkan tentang kebenaran kepada para
pengikutnya. Pertikaian yang timbul di sejumlah
wilayah di Indonesia disebabkan karena ketidaktahuan
dari pemeluk agama yang ada di wilayah tersebut.
3. Al-Quran menyampaikan bahwa Islam mengajarkan
perdamaian sebagai prinsip hubungan antarmanusia. Hal
itu tecermin dari kata Islam yang mengandung arti
perdamaian sehingga setiap insan yang mengikrarkan
diri sebagai muslim sepatutnya mengejawantahkan
123
perdamaian sebagai prinsip interaksi sosial. Perbedaan
keyakinan dan agama tidak bisa menjadi alasan tindak
intoleran. Demi membangun martabat manusia, agama
meletakkan perdamaian sebagai titik tujuan. Beberapa
ayat memaparkan upaya pembangunan hubungan damai
antarumat beragama. Dalam konteks sosial, perdamaian
merupakan rukun dan pilar penting kehidupan. Oleh
karena itu, Al-Quran menekankan betapa penting
bermusyawarah untuk mengambil keputusan, khususnya
ketika terjadi ketidaksepahaman agar ditemui jalan
tengah terbaik yang semaksimal mungkin bisa diterima
semua kalangan sehingga Islam sebagai agama damai
mampu menjadi rahmat bagi semesta, Islâm rahmatan li
al-‟alâmîn.
B. Saran
Penelitian tentang kehidupan damai di Salatiga
diharapkan ada upaya dari pemerintah Kota Salatiga untuk
senantiasa menjaga kehidupan yang harmonis yang sudah
berjalan selama ini. Forum–forum atau lembaga yang selama
ini sudah bekerja untuk tetap menjadikan Kota salatiga
sebagai kota paling Toleran nomor 2 harus selalu melakukan
komunikasi diantara pemeluk agama.
124
Penelitian ini baru melakukan penelitian awal tentang
kehidupan damai dari umat muslim Salatiga belum
menyentuh kehidupan damai dari pemeluk agama lainnya.
Maka penelitian-penelitian ke depan diharapkan dapat
dilakukan penelitian yang objek penelitiannya seluruh
pemeluk agama. Dengan demikian, kita dapat mengukur dan
mempersiapkan ke harapan selanjutnya menjadikan Kota
Salatiga sebagai kota paling damai di Indonesia.
125
DAFTAR PUSTAKA
Bahan Bacaan
Al Qurthubi, Muhammad bin Ahmad Abi Bakar bin
Fakhr. Al Jami liahkam alquran. Beirut: Dar al
Fikr. 1992.
Al Syaukanie, Muhammad bin Ali bin Muhammad..
Fath Al-Qadir. Beirut: Dar al-Marifah.
Ali, Muhamad. 2003, Teologi Pluralis-Multikultural:
Menghargai Kemajemukan Menjalin Kebersamaan,
Jakarta: Kompas.
Al-thabari, Abu Jafar Muhammad bun Jarir . al Jami al
Bayan Fi Tafsir al-Quran, Beirut: Dar Al-Fikr.
1992..
Ar Razi, Fakhruddin Tafsir al Kabir wa Mafatih al
126
Ghaib, Beirut: Dar al Fikr.1992.
Hanafi, Hassan. 1977, Religious Dialogue and Revolution:
Essays an Judaism, Chistianity and Islam, Kairo:
Anglo Egyption Bookshop.
Hanafi, Hassan. 1981, ‚Mâdzâ Ta’nî al Yasâr al Islâmî‛,
al Yasâr al IslâmîKitâbât fî al Nahdlah al Islâmiyah,
Kairo: [t. p].
Hanafi, Hassan. 1981, Al Yasâr al Islâmî Kitâbât fî Nahdlah
Islâmiyat, Kairo: Heliopolis.
Hanafi, Hassan. 1981, Dirâsât Islâmiyyah, cet. Ke-2,
Kairo: Maktabah Anjilu.
Hanafi, Hassan. 1983, Qadlâyâ Mu’âsirah Fî Fikrinâ al
Mu’âshir, vol. 1 dan 2, Beirut:Dar al Tanwir.
Hanafi, Hassan. 1986, ‚The Preparation of Societies
For Life in Peace an IslamicPerspective‛
Makalah dalam seminar di Osaka.
Hanafi, Hassan. 1988, ‚Al Ushûliyyah al Islamiyyah‛
dalam Al-Din wa al Tsaurah fîMishr 1952-1981, Vol.
6, Kairo: Maktabah Madbul
Hanafi, Hassan. 1988, Al Din wa al Tsaurah fîMishr
1952-1981 Vol.1-7,Kairo: Maktabah Madbuli.
127
Hanafi, Hassan. 1988, Dirâsât Falsafiyyah, Kairo: Anjilu al
Mishriyyah.
Hanafi, Hassan. 1988, Min al Aqîdah ilâ al Tsaurah, Kairo:
Maktabah Madbuli.
Hanafi, Hassan. 1989, ‘al Salafiyah wa Ilmiyah fi
Fikrina al Mua’shir’, dalam Majalah Al
Azminah Volume III,.
Hanafi, Hassan. 1992, Al Turats wa al Tajdid, Ccet. Ke-
4, Beirut: Muassasah al Jam’iyyah li al Dirasat
wa al Nasyr wa al tauzi’.
Hanafi, Hassan. 2000, ‚Human subservience of
nature: AnIslamic model‛, Tema seminar di
Swedia, Dalam Islam in the Modern World, vol. I,
Kairo: Dar Kbaa.
Hanafi, Hassan. 2000, Islam in The Modern World:
Tradition, Revolution and Culture. Vol. II.
Kairo:Dar Kbaa.
Hanafi, Hassan. 2000, Islam in The Modern
World:Religion, Ideology and Development Vol.I
Kairo: Dar Kbaa.
Hanafi, Hassan.1998, Humûm al Fikr wa al Wathan al
128
Turâts wa al ‘Ashr,cet. Ke-2, Kairo: Dâr Qubâ li al
Thaba’ah wa ala Nasyr li al Tauzi’.
Izutsu, Toshihiko. 1964, God and Man in the Qur’an:
Semantics of the Qur’anic Weltanschauung .Tokyo:
Keio University.
Katsir, Ibnu. Tafsir al-Quran al Azhim, Berut: Dar al Fikr.
1980.Jilid I.
Kuswaya, Adang. 2008,Metode Tafsir Alternatif,
Jogjakarta:Mitra Cendekia.
Kuswaya, Adang. 2009,Hermeneutika Hassan
Hanafi.Salatiga: STAIN Salatiga Press.
Kuswaya, Adang. 2010, Studi Kritis terhadap Metode
Tafsir Tradisional, STAIN Salatiga Press.
Kuswaya, Adang. 2011, Metode Tafsir Kontemporer,
STAIN Salatiga Press.
Kuswaya, Adang. 2015, Model Riset Tafsir Sosio-
Tematik Hermeneutika al-Qur’an, Salatiga: LP2M
IAIN Salatiga Press.
Kuswaya, Adang. 2017, ‚Menafsir Ulang Doktrin Al-
Walla dan al-Barra dalam al-Qur’an sebagai akar
Sektarianisme‛ dalam bukuAzyumardi Azra CBE
129
dkk.Reformulasi Ajaran Islam Jihad, Khilafah dan
Terorisme. Bandung: Mizan.
Mitchel, Christ. The Structure of International Conflict .
London: MacMillan. 1981
Quttub, Sayyid. Fi Zhilal al Quran. Beirut: Dar al Fikr.
1987, Jilid I..
Rachman, Budhi Munawar sebagai Penyunting. 2015
Pendidikan Karakter Pendidikan Menghidupkan
Nilai untuk Pesantren, Madrasah dan Sekolah,
Jakarta: terbitan kerja sama The asia
Foundation, Yayasan Paramadina dan
Association for Living Values Education
(ALIVE).
Rahardjo, M. Dawam.1996, Eksiklopedi al-Qur’an; Tafsir
Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci. Jakarta:
Paramadina.
Ridha, Muhammad Rasyid bin Ali. Tafsir alQuran
al Karim, al-Mannar Berut: Dar al Fikr. 1990 Jilid
XI.
Saeed, Abdullah.2008,The Qur’an: An Introduction.
New York: Routledge.
130
Saeed, Abdullah.2006, Interpreting the Qur’an: Toward a
Contemporary Approach. New York: Routledge.
Shihab, M. Quraish.1992, Membumikan al-Qur’an: Fungsi
dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat.Bandung: Mizan.
Shihab, Muhammad Quraisy Tafsir al Mishbah,
Jakarta: Lentera Hati. 2004. Jilid XV.
Shihab, Quraisy 2010, Tafsir al Mishbah,
Jakarta:Lentera Hati
Shihab, Quraisy, 1992. Membumikan al-Qur’an
Bandung: Mizan.
Taufiq, Imam Al-Qur Bukan Kitab Teror,Yogyakarta:
Bentang, 2016, hlm. 30.
Zulfa, H.M. 2011. Model Kerukunan Antarumat
Beragama; studi kasusu di kota Salatiga, Kabupaten
Magelang dan Kabupaten Semarang laporan
Penelitian P3M STAIN Salatiga, tidak
diterbitkan.
131
Wawancara
No
Informan
Gender/ Usia Waktu
Wawancara
Tempat
1 Ninik Wanita/ 37 tahun 10 Oktober 2017 Rumahnya
2 Wiku Laki-laki/64 Tahun 9 Oktober 2017 Rumahnya
3 Erlisa Wanita/ 50 tahun 24 November 2017 Rumahnya
4 Sri Suwarsi Wanita/ 74 tahun 24 November 2017 Rumahnya
5 Agnes
Hartawati
Wanita/ 48 tahun 24 November 2017 Rumahnya
6 Supriyadi laki-laki 78 tahun 24 November 2017 Rumahnya
7 Siti Baqiah Wanita / 41 Tahun 12 Oktober 2017. PP Al-Falah
8 H. Zuhri Laki-laki/70 tahun 11November 2017 Rumahnya
9 Rumah
Fauziah
Wanita / 38 tahun 15 November 2017 Rumahnya
Nama Pewawancara: Dewi Maryam
132
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
IDENTITAS DIRI
Nama : Dr. Adang Kuswaya, M.Ag
ID Scopus : 57208795751
Tempat dan Tanggal
Lahir
: Ciamis, 31 Mei 1972
Perguruan Tinggi : Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Salatiga Ja-Teng
Alamat : Jl. Lingkar Salatiga KM. 02 Kota Salatiga
Alamat Rumah/ KTP : Jl. Nakula Sadewa V Kembangarum,
Dukuh, Sidomukti Kota Salatiga, Jawa
Tengah Kode Pos: 50721
Alamat E-mail [email protected] dan
133
PENGALAMAN PENDIDIKAN DI LUAR NEGERI Tahun Jenis Kegiatan Tempat Kegiatan Jangka waktu
2015 International Visitor
Leadership Program (IVLP)
Washington DC,
Michigan, Texas,
Oregon, AMERIKA
8 Pekan
2013 Entrepreneurship for Small Business Trainers and Promoters, ESB-TP
NIESBUD, INDIA 8 Pekan
2013 Short Course Community
Outreach, SCCO
COADY STFX
University, Antigonish
Nova Scotia,
CANADA
8 Pekan
2012 Advance Research: Muslim
Community in China
Niuji, CHINA 2 Pekan
2011 Advance Research: Islamic
Center in Bangkok
Bangkok,
THAILAND
2 Pekan
2010 Advance Research:
Educational system in
National Institute of
Education NIE, Nanyang
University
SINGAPORE 2 Pekan
2010 Advance Research:
International Class in UKM
and IIUM
MALAYSIA 2 Pekan
2007 Riset: Method of Tafseer al-
quran in Egypt
Al Azhar University,
Canal Suez University,
Cairo University,
EGYPT/ MESIR
4 Bulan
2007 Riset: Tareeqa Dusuqiyah in
Taneem ARAB SAUDI 2 Bulan
PELATIHAN PROFESIONAL
Tahun Jenis Kegiatan Tempat
Kegiatan
2015 International Visitor
Leadership Program (IVLP)
Washington DC,
Michigan, Texas,
Oregon,
AMERIKA
2013 Entrepreneurship for Small Business Trainers and
NIESBUD,
INDIA
134
Promoters, ESB-TP
2013 Short Course Community
Outreach, SCCO
COADY STFX
University,
Antigonish Nova
Scotia, CANADA
PRODUK BAHAN AJAR/ BUKU
Tahun Judul Penerbit
2017 Reformulasi Ajaran Islam
Jihad, Khilafah dan
Terorisme, bersama
Azyumardi Azra CBE dkk.
Bandung: Mizan Maret 2017,
Mizan Bandung
2015 Model Riset Tafsir Sosio-
Tematik Hermeneutika al-
Quran.
LP2M IAIN Salatiga Press
2011 Metode Tafsir Kontemporer STAIN Salatiga
Press
2010 Studi Kritis terhadap Metode
Tafsir Tradisional
STAIN Salatiga
Press
2009 Hermeneutika Hassan Hanafi STAIN Salatiga
Press
2009 Geliat Kajian Keislaman STAIN Salatiga
Press
2008 Metode Tafsir Alternatif Mitra Cendekia
Jogjakarta, Press
135
ARTIKEL TERPUBLIKASI
A. Jurnal Nasional Tidak Terakreditasi
B. Jurnal Nasional Bereputasi
Tahun Judul Penerbit/Jurnal
Artikel Jurnal
2015 Badhan, Pelestarian
Tradisi Bulan Syawal
Pada Masyarakat
Muslim Kembangarum
Kota Salatiga
Jurnal Penelitian
Vol.12, No.1 Mei
2015
2008 Hermeneutika Sebuah
Pengantar
jurnal, Ijtihad Vol. 6.
No.2
2008 Menimbang Tafsir
Depag RI jurnal
jurnal, Attarbiyah
Tahun Judul Penerbit/Jurnal
Artikel Jurnal
2018 Mentradisikan Kritik
Tafsir: Upaya Meretas
Mata Rantai
Absolutisme Penafsiran
Epesteme IAIN Tulungagung
Terakreditasi B Vol. 13 no 1
DOI:10.21274/epis.2018.13.1.1-31
2016 Agama; Antara Cita dan
Kritk
Fikrah : Jurnal Ilmu Aqidah dan
Studi Keagamaan
2016
DOI:10.21043/fikrah.v4i1.1612
2015 Chiefdom Madinah:
Mengurai Kekeliruan
Tafsir Negara Islam
jurnal Ijtihad Vol. 11. No.1
2013 Gerakan Damai ala
Kelompok-Kelompok
Islamis di Dunia Islam
Jurnal Ijtihad Vol. 13. No.2
2013 Tafsir Sosio-tematik al jurnal Ijtihad Vol. 9. No.2
136
KEGIATAN PENELITIAN
Tahun Judul Penelitian Sumber Dana
2018 Pengembangan Model Pembelajaran Tafsir
Sins Terpadu
Kementerian
Agama IAIN
Salatiga
2017 Hidup Bersama Beda Agama: Pendekatan
Tafsir Sosio - Tematik al-Qur‘an Tentang
Pergumulan Muslim Kota Salatiga dalam
Memahami Ayat-Ayat Kedamaian dalam Al-
Quran
Kementerian
Agama IAIN
Salatiga
2016 Mendefinisikan Ulang Ayat – Ayat Wala dan
Bara Dalam Al-Quran dan Akar-Akar
Sektarianisme
Maarif Institut
2015 Sikap Narima: Misinterpretasi Sabar
(Pendekatan Sosio-tematik Hermeneutika
Pembebasan tentang Konsepsi Sabar dalam
al-Qur‘an sebagai Prilaku Narima pada
Masyarakat Muslim)
Kementerian
Agama IAIN
Salatiga
2014 Badhan, Pelestarian Tradisi Bulan Syawal
Pada Masyarakat Muslim Kembangarum
Kota Salatiga sebagai Upaya Pemahaman
Konsep al-Qur‘an tentang Saling Memaafkan
STAIN Salatiga
2013 Penafsiran Ummy dalam Al-Qur‘an
Penafsiran Sosiotematik Terhadap Ummy
dalam Al-Qur‘an
STAIN Salatiga
Qur‘an
2011 Model Penafsiran
Muqatil Bin Sulaiman
jurnal Ijtihad Vol. 8. No.2
2009 Orientari dari Teks
Menuju Realitas
jurnal Ijtihad Vol. 8. No.1
137
PENGALAMAN REVIEWER/ MITRA
BESTARI
Tahun Peran Penerbit
2014-
2018
Editor IJIMS, Indonesian Journal of
Islam and Muslim Societies
(SCOPUS index Q1)
IAIN Salatiga
2018-
2020
Peer Review, Mitra Bebestari Jurnal
Hikmah
IAIN Pontianak
2018-
2020
Peer Review, Mitra Bebestari Jurnal
Ushuluddin Terakreditasi Sinta 2
UIN SUSKA
Pekanbaru Riau
2006-
2010
Editor in chief of Jurnal Ijtihad STAIN Salatiga
2010-
2017
Editor Ijtihad Jurnal Wacana Hukum
Islam dan Humaniora Terakreditasi
Sinta 2
Jurnal Ijtihad, IAIN
Salatiga
2014-
2017
Peer Review, Mitra Bebestari Jurnal
Akademika Terakreditasi Sinta 2
IAIN Metro
Lampung
2014-
2017
Peer Review, Mitra Bebestari Jurnal
Tabligh
UIN Makassar
2015-
2017
Peer Review, Mitra Bebestari Jurnal
Penelitian, Terakreditasi Sinta 2
IAIN Pekalongan
2018 Peer Review, Mitra Bebestari Jurnal
QIJIS, Scopus
IAIN Kudus
2018 Peer Review, Mitra Bebestari Jurnal
Al Bayan
UIN Bandung
Tahun Judul Keterangan
2017 Model Riset: Tafsir Sosio-Tematik
Hermeneutika al Quran
Hak Cipta dari
Kementerian Hukum
dan HAM
2017 Metode Tafsir Kontemporer Model
Pendekatan Hermeneutika
SosioTematik dalam Tafsir al Quran
Hassan Hanafi
Hak Cipta dari
Kementerian Hukum
dan HAM
138
RIWAYAT PENDIDIKAN
Tahun
Lulus
Program
Pendidikan
(jenjang
pendidikan)
Lembaga
Pendidikan/
Perguruan
Tinggi
Jurusan/
Bidang
Studi
2006 Doktor UIN Jakarta Kajian
Islam/
Tafsir
1999 Magister Agama
Islam
IAIN Jakarta Pemikiran
Islam/
Tafsir
1995 Sarjana Agama IAIN Bandung Tafsir
Hadis
1991 SLTA Madrasah Aliyah
Negeri Program
Khusus
(MANPK)
Darussalam
Ciamis
Program
Khusus