1
Kesejarahan daerah Bantaran dapat sedikit diketahui, yakni sebatas informasi sekilas dari “Prasasti Gulung-Gulung” yang dikeluarkan pada hari Selasa Pahing, tanggal 9 Suklapaşa, bulan Waiśaka, tahun 851 Śaka atau tanggal 20 April 929 M di Lowokjati, Singosari. Prasasti yang ditulis pada masa pemerintahan Pu Sindok ini antara lain menyebut sebidang tanah wakaf (dharmmaksetra) berupa sawah bagi bangunan suci Rakryan Hujung, yaitu ‘mahaprashada’ di Himad. Penghasilan sawah itu juga diperuntukkan bagi persembahan kepada Sang Hyang Kahyangan di Pangawan, berupa seekor kambing dan 1 ‘pada’ beras, yang diadakan setahun sekali pada waktu ada upacara pemujaan bagi “Bhattara” yang ada di Pangawan. Tersirat dalam informasi ini adalah pembukaan areal hutan di Bantaran untuk dijadikan persawahan. Nama “Bantaran” kini masih dijumpai sebagai nama daerah di sebelah selatan Polowijen. Kala itu (abad X M) di daerah ini masih terdapat areal hutan yang bertetangga dengan pemukiman areal Panawijyan (Polowijen sekarang-pen). Daerah Bantaran masuk dalam wilayah kekuasaan “Rakryan Hujung”. Topografinya yang datar dan adanya aliran sungai kecil di Bantaran jadipertimbangan untuk menjadikannya sebagai persawahan. Sawah yang baru dibuka di Bantaran tersebut berstatus perdikan (sima) yang berupa tanah wakaf (dharmmaksetra) bagi kepentingan upacara keagamaan bangunan suci yang terletak di lereng barat Tengger (Cahyono, 2013: 132-133). Sumber: Cahyono, M. Dwi, (2013). Wanwacarita Kesejarahan Desa-Desa Kuno di Kota Malang. Malang: DISBUDPAR Kota Malang.

Sejarah Bantaran

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Sejarah

Citation preview

Page 1: Sejarah Bantaran

Kesejarahan daerah Bantaran dapat sedikit diketahui, yakni sebatas informasi sekilas dari

“Prasasti Gulung-Gulung” yang dikeluarkan pada hari Selasa Pahing, tanggal 9 Suklapaşa,

bulan Waiśaka, tahun 851 Śaka atau tanggal 20 April 929 M di Lowokjati, Singosari. Prasasti

yang ditulis pada masa pemerintahan Pu Sindok ini antara lain menyebut sebidang tanah

wakaf (dharmmaksetra) berupa sawah bagi bangunan suci Rakryan Hujung, yaitu

‘mahaprashada’ di Himad. Penghasilan sawah itu juga diperuntukkan bagi persembahan

kepada Sang Hyang Kahyangan di Pangawan, berupa seekor kambing dan 1 ‘pada’ beras,

yang diadakan setahun sekali pada waktu ada upacara pemujaan bagi “Bhattara” yang ada di

Pangawan.

Tersirat dalam informasi ini adalah pembukaan areal hutan di Bantaran untuk dijadikan

persawahan. Nama “Bantaran” kini masih dijumpai sebagai nama daerah di sebelah selatan

Polowijen. Kala itu (abad X M) di daerah ini masih terdapat areal hutan yang bertetangga

dengan pemukiman areal Panawijyan (Polowijen sekarang-pen). Daerah Bantaran masuk

dalam wilayah kekuasaan “Rakryan Hujung”. Topografinya yang datar dan adanya aliran

sungai kecil di Bantaran jadipertimbangan untuk menjadikannya sebagai persawahan. Sawah

yang baru dibuka di Bantaran tersebut berstatus perdikan (sima) yang berupa tanah wakaf

(dharmmaksetra) bagi kepentingan upacara keagamaan bangunan suci yang terletak di lereng

barat Tengger (Cahyono, 2013: 132-133).

Sumber: Cahyono, M. Dwi, (2013). Wanwacarita Kesejarahan Desa-Desa Kuno di Kota

Malang. Malang: DISBUDPAR Kota Malang.