Sejarah Kuli Kebun Tembakau

  • Upload
    ridho

  • View
    218

  • Download
    0

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Sejarah Kuli Tembakau

Citation preview

SEJARAH KULI KEBUN TEMBAKAUGARA-GARA Mr.J.Van den Brand menulis brosur Jutaan Dari Deli pada tahun 1902, seluruh masyarakat perkebunan di sekitar Medan jadi heboh Van den Brand seorang advokat Medan, yang merasa terpanggil untuk menegakkan keadilan. Dengan mengambil resiko kehilangan nafkahnya sebagai pengacara, ia menggugat ordonasi kuli ( semacam undang-undang ) yang menjadi biang keladi keabsahan menghukum kuli dengan sewenang-wenang . Sebenarnya protes social yang mengecam peganiyaan kuli Deli sudah banyak di tulis di Koran-koran sebelumnya. Tetapi suara Koran itu tidak digubris dan dianggap fitnah. Mengapa brosur Advokat Van den Brand diperhatikan ? Tidak lain karena ketika ada semacam titik balik di kalangan pemerintaj Belanda. Dari cara berpikir colonial ke cara berpikir politik etis. Mereka merasa berutang budi pada tnah jajahan yang sudah sekian lama menguntungkan Negara ( Belanda), jadi perlu pendekatan yang lebih manusiawi. Dari sikap tidak di gubris berubah menjadi perhatian. Agar dapar menilai tulisan van de brand, banyak yang kemudian ingin tahu, apa sih yang diributkan ?Pada pertengahan abad ke 19, pemerintah Belanda mulai menarik diri dari kegiatan mengeduk untung secara langsung di negeri jajahan mereka memberi kesempatan para investor swasta untuk giliran memeras laba. Muncullah kemudian usaha perkebunan tambakau di karsidenan Sumatera timur (kini bernama Propinsi Sumatera Utara). Pelopor yang membuka hutan untuk di jadikan kebun tembakau ialah J Nienhuys, yang dating ke Deli tahun 1863. menurut mitos yang beredar, ia dating di kawasan yang tak berpenduduk, sehingga terpaksa membuka hutan sendiri. Tapi agaknya mitos ini keterlaluan. Sebab sudah sejak dulu para Raja pesisir Tanah melayu mencoba menjajah penduduk pedalaman daerah Batak. Jadi penduduk asli deli itu ada, tapi tidak ada yang bersedia bekerja sebagai buruh perkebunan di lahan bekas hutan > Neinhuys kemudian mencari tenaga kerja ke Penang dan memperoleh 190 orang kuli cina . semuanya diajak tidur di rumah kebesarannya sebagai administrateur perkebunan juga controleur yang diangkat sebagai penuntut umum oleh pemerintah di deli mula-mula mondok di rumah tuan besar ini Tembakau Deli sangat laku dipasaran eropa, untuk industri cerutu. Untuk memenuhi permintaan pasar yang meningkat, perkebunan harus di perluas dan tenaga kerjanya ditambah. Pada tahun 1869 dikerahkan 900 orang kuli . Disampingorang cina dari Penang, juga didatangkan orang keeling dari koromondel, India; orang Siam dari Muangthai dan orang Jawa dari bagelen, jawa tengah. Jumlahnya senantiasa kurang saja, karena tidak sebanding dengan luas lahan yang di garap. Tenaga kuli jadi langka. Lebih langka daripada tanah. Jadi perlu paksaan, agar bias di ikat di tempat kerjanya Ini diusahakan dengan memberi persekot pada saat kuli itu meneken kontrak dengan cap jempolnya dan meninggalkan desanya, menuju ke Deli kebanyakan orang-orang yang tadinya tenggelam dalam utang. Persekot ini untuk melunasi utang lama itu. Sebagai penebus persekot ia, wajib bekerja di perkebunan terus-menerus, sampai persekot utang (utang baru)nya lunas. Kontrak berlaku satu tahun, tetapi dengan sendirinya dapat di perpanjang, kalau pada akhirnya utang (atau berutanglagi yang baru.Mengapa ada orang yang mau teken kontrak kerja di Deli?. Biasanya karena tertipu.Ada salah paham tentang istilah ringgit, yang sengaja dibiarkan salah terus. Dipulau jawa, ringgit berate rijksdaalder yang bernilai dua setengah gulden ( uang perak zaman Belanda yang bulat). Padahal di Deli, ringgit berate dolar Meksiko, yang nilainya hanya satu perak lima belas sen. Jelas para calo kuli itu tahu, tapi orang-orang jawa calon tenaga kerja , tridak . Kalau calon kuli ini diiming-imingi gaji 6 ringgit sebulan, bayanganya di angan-angan ialah 15 gulden, padahal sebenarnya hanya bernilai 7 gulden. Sialnya, calo-calo kuli itu tidak mau menerangkan upah yang sebenarnya. Soalnya kalau jujur, ia tidak akan berhasil membujuk kuli sebanya-banyaknya. Dengan membanting tulang dan bercucuran keringat, kuli itu kemudian bekerja dari subuh hingga petang, 14 hari lamanya . selama itu ia tidak boleh meninggalkan perkebunan. Baru pada hari ke 15, yang memang hari gajian dan istirahar, ia bebas dan akan berekreasi, sesudah terkekang sekian lama. Ia kecewa berat, ketika menerima gaji. Bukannya uang perak seperti di bayangkan waktu teken kontrak, tapi kertas kupon yang hanya bias dibelanjakan di took perkebunan.yaaah, mengapa gajiannya berupa kertas? Bukannya kepingan-kepingan perak? Hukum rimba perkebunanSialnya, menurut adapt Melayu, perkebunan yang sudah memberi persekot sebagai tanda jadi itu berhak menghukum kalau kuli yang bersangkutan melanggar kontrak. Ini ditafsirkan oleh para tuan besarperkebunan sebagai boleh menindak sendiri pelanggar itu. Sialnya lagi, pemerintah Hindia Belanda diam seribu bahasa, melihat penafsiran ini. Seharusnya yurisdiksi itu di jalankan sendiri oleh Sultan, tapi yang mulia lebih senang menyerahkannya para pekebun masing-masing. Maka untuk menjaga ketertiban di wilayahnya masing-masing, para pekebun merasa boleh bertindak tegas. Dari boleh menindak sendiriberubah boleh bertindak keras kalau tidak malah di lecehi.Tidak ada polisi di tempat-tempat terpencil itu. Polisinya para tukang pukul tuan besar sendiri. Dari kebiasaan bertindak tegas dank eras inilah lama-lama timbul kebiasaan bertindak sewenang-wenang dan main hakim sendiri. Baru pada tahun 1873 pemerintah hindia belanda mengangkat orang asisten residen sebagai pejabat pemerintah yang menegakkan hokum untuk kawasan Deli. Ia mewakili hakim yang berwenang memutuskan perkara, yang diajuka oleh kontrolir sebagai jaksa penuntut umum. Mula-mula di labuhan , tapi kemudian pindah ke Medan pada 1879 sayang perubahan ini boleh dikatakan tak ada artinya, karena kurangnya aparat penegak hukum di lapangan. Polisi Deli hanya terdiri atas seorang mandor(sekarang kapolsek) dan 12 orang opas (sekarang prajurit) regu ini harus menjaga ketertiban di daerah seluas karsidenan (sekarang propinsi) Mudah di mengerti bahwa disiplin kerja kalau kalau ada pembangkangan besar-besaran, perkebunan tidak hanya rugi kehilangan tenaga kerja dan uang persekot, tapi juga terancam keamanannya di daerah terpencil yang benar-benar dibiarkan hidup atau mati sendirian itu. Kuli-kuli yang meninggalkan tempat kerja biasanya membentuk gerombolan perampok sekuat 20-40 orang. Kuli-kuli yang masih (terpaksa) bekerja terus di perkebunan yang di rampok, biasanya tidak tinggal diam, tetapi ikut merusak karena dendam kesumat akibat perlakuan buruk sebelumnya. Yang menjadi sasaran adalah gudang pengeringan tembakau yang mudah sekali ternakar. Toh, kerja merampok itu tidak langgeng. Suatu ketika kalau tidak ada yang di rampok lagi, ada diantara kuli-kuli itu yang kemudian menyesal dosanya, dan kembali ke majikannya lagi untuk meminta maaf pertimbangannya, kelak kalau pulang ke jawa sebagai orang bebas lagi. Tetapi apa apa yang mereka terima? Bukannya maaf, tapi pukulan rotan dan hokum kurungan dalam sel selama berharihari, sebelum di pulihkan hak dan kewajibannya sebagai kuli. Menurunkan Jadel (jawa deli)Dalam keadaan tertip, di kalangan kuli ada semacam hirarki, berdasarkan prestasi kerja. Kelompok terpenting diantara mereka adalah kuli lading yang mendapat sebidang tanah untuk di kelola sebagai tempat untuk bertanan tembakau. Upah diberikan borongan, pada waktu panen nanti. Tingginya produksi dan mutu tembakau sangat bergantung pada kerajinan dan kesungguhan kerjan mereka.Ada yang bekerja dari pagi hari sampai petang di ladang, karena keyakinan bahwa hanya dengan raji menyirami tanaman muda dan memberantas ulat atau hama tanaman saja, hasil tembakau bias memberi uang banyak, sesudah bekerja berbulan-bulan. Dalam kerja borongan ini iadi Bantu oleh kongsingkang (sejumlah kuli yang tidak mempunyai pengalaman), yang di kerahkan untuk mencangkul-cangkul mendangir, mengurus air dan mencari kutu. Juga kuli yang dinilai bodoh, malas dan banyak omongtapi enggan bekerja, dipenamtukan pada kuli lading (pemborong) yang lebih cakap itu, kalau ada kuli pemborong, yamg karena sikapnya tak berkenan di hati tuan kecil (asisten kebun) pembantu tuan besar(administrator), akan dipindahkan dan diturunkan derajatnya menjadi kuli pembantu. Sebaliknya kalau kuli pembantu yang campur aduk jenisnya ini kemudian ada yang cakap, patuh pada atura dan tidak banyak bikin perkara, ia di beri tanah yang sudah di tanami tembakau, lalu di tugasi memelihara tanaman ini sampai panen. Sampai taraf tertentu, orang semacam ini merasa dirinya lelih tinggi kedudukannya daripada kuli pembantu. Sebagai pemimpin para kuli dianggkat tandil (kalau ia orang cina) dan mandor (kalau ia orang Jjawa). Selain memimpin pekerjaan 20-40 orang kuli, ia juga bertanggung jawab atas ketertian mereka dalam kelompok. Selain mengawasi. Ia juga menjadi penghubung antara tuan besar yang membagi tugas dalam bahasa Melayu dan masyarakat kuli yang tidak bahasa melayu. Kadang-kadang tuan besar membagi tugas melalui tuan kecil bangsa eropa kepada mandor. Para mandor dikoodinasikan oleh opzichter (opseter) yang tugasnya memata-matai sepak terjang kuli berikut mandornya dan menyampaikannya ke tuan kecil. Kelompok lain ialah para kuli perempuan, yang tugasnya memetik daun tembakau, mengangkutnya ke gudang menyortir dan mrentengnya untuk digantungkankeringkan. Karena hidup bersama kuli-kuli bangsa lain, ada yang kemudian menemukan jodoh dan membentuk keluarga, diantaranya juga ada yang kemudian bebas setelah kontrak berakhir, lalu hidup sebagai pedagang kecil di desa di luar perkebunan. Mereka menurunkan generasi baru yang di sebut Jadel ( Jawa Deli). Orang jawa yang lahir di Deli.Para mandor dan tandil kadang-kadang menimbulkan perkara dengan perbuatan mereka yang tidak terpuji, seperti meminjam uang dengan bunga mencekek leher. Menjual barang tak bermutu secara krdit dengan harga gila. Atau melakukan skandal seks dengan kuli-kuli perempuan. Praktek semacam ini menimbulkan ketidaksenangan yang bias menyulut pemberontakan. Kalau perkara ini di ajukan ke tuan kecil atau tuan besar, selalu yang di persalahkan kuli yang tidak senang ini. Hukum annya berupa pukulan dengan rotan. Dua puluh lima kali atau lebih, bergantung pada berat ringannya pelanggaran. Jarang sekali ada mandor atau tandil yang di hokum karena skandal seks, curang jualkreditan atau curang mengutangi uang, penyebab ketidak senangan itu. Sumber ketidakadilan lain fitnah yang dilancarkan karena dendam, keki atau dengki. Informasi yang di sampaikan opseter sebagai mata-mata ke tuan kecil, kadang-kadang tidak benar. Kuli yang menjadi korban fitnah di gebugi tanpa proses peradilan.Bahwa adapembangkangan karena salah urus dan skandal macam-macam di Deli, disadari banar oleh pemerintah. Lalu dibuat rancangan ordonasi( keputusan gibernur Jenderal, berlaku sebagai undang-undang), yang yang tadinya bermaksud melindungi para kuli, tapi karena tekanan para pengusaha perkebunan, malah menjadi semacam pengesahan atas tindakan menghukum kuli (oleh pimpinan perkebunan). Pada tahun 1889 di undanglah ordonasi kuli ini, yang kemudian sempat di perbaiki pada tahun 1898. Rumusan dalam ordonasi ini memang bagus, tetapi pelaksanaannya di lapangan yang konyol. Kuli memang boleh dihukum, kalau ia lari meninggalkan perkebunan, atau mogok bekerja. Tapi sialnya, perbuatan menghina atau mengancam mandor, melawan pemerintah, berkelahi dan mabuk-mabukan juga di pandang sebagai pelanggaran, meskipun tidak melanggar kontrak kerja. Sebaiknya, ordonasi itu hanya menyinggung sedikit tentang hukuman bagi tuan kecil, opseter dan lain anggota pimpinan kebun.Tuan besar dan kecil ini hanya dihukum kalau menyebabkan kuli melanggar kontrak misalnya tidak member perumahan kepada kuliyang sudah lari tapi kembali lagi. Tapi bagai mana kalau ia melanggar kesusilaan? Atau menganiaya karena jengkel? Tidak ada pasal yang mengatur hukumannya. Sialnya, kalau ada kuli yang diadili di kantor kontrolir setempat (yang bertugas sebagai penuntut umum) kemudian dinyatakan bersalah, ia dihukum kerja paksa krakal (membuat jalan) diluar perkebunan. Kebun yang bersangkutan kehilangan tenaga kerja. Ini mendorong para pekebun untuk menghakimi sendiri saja pelanggaran-pelanggaran kecil yang dilakukan oleh kuli. Praktik main hakim sendiri inilah yang kemudian mendorong advokat Van den Brand untuk menyelidiki keadaan perkebunan Deli itu, sampai akhirnya ia menulis brosur yang membeberkan penderitaan para kuli itu sebagai budak belian. Bahwa mereka benar-benar di pandang sebagai budak, jelas terasa dari pasal-pasal dalam ordonasi kuli dan model kontrak kerja mereka. Dalam pasal 9 dan 10 misalnya, di tetapkan bahwa hukuman bagi kuli yang melanggar kontrak, berupa denda atau kerja paksa. Pada buruh bebas, pelanggaran seperti itu hanya berakibat di pecat saja atau dituntut membayar ganti rugi. Dalam Burgerlijk Wetboek van Nederlands Indie (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) juga kita temui ketentuan dalam pasal1239, bahwa semua sengketa pelanggaran kontrak diselesaikan dengan ganti rugi. Ini suatu pasal dalam undang-undang. Tapi dalam ordonasi kuli tidak di gubring. Bagi kita mengadili seseorang diluar hukun yang berlaku bagi bebas itu, tidak lain adalah mengadili budak belian. Dalam pasal 11 ordonasi kuli itu lebih jelas lagi kedudukan kuli yang malang itu sebagai budak belian. Yaitu bagi siapa yang member penginapan kuli yang lari, diancam dengan hukuman kepada pemberi orang yang lari dari majikan swasta, hanya berlaku bagi budak belian seperti di Amerika.Kontrolir yang diangkat sebagai penuntut umum itu dipelihara baik-baik hubungannya oleh para tuan besar. Hubungan baik ini di pertahankan dengan jalan setiap kali mengundangnya makan, pada pesta-pesta perayaan hari besar keagamaan, hari libur dan hari-hari nasional bukan libur. Maksudnya jelas agar kontrolir itu suka menutup perkara (istilah sekarang mempetieskan) pengaduan terhadap kesewenag-wenangan tuan besar terhadap kuli. Pejabat pemerintah colonial ini juga di suap secara halus, dengan di beri harga penawaran lelang barang-barangnya yang tinggi sekali, kalau masa dinasnya habis dan ia dipindah tugaskan ke tempat lain biasanya barang-barang rumah tangganya dilelang. Pelelangan bias menghasilkan uang banya, kalau dalam masa tugasnya yang lalu ia bersikap luwes terhadap para tuan besar pekebun tembakau, antara lain suka menutup perkara. Ketentuan tak tertulis ini sudah diberitahukan dengan bisik-bisik kepada setiap kontrolir yang baru diangkat. Kalau ada tuan besar yang diadukan karena bertindak sewenang-wenang menyuruh memukuli kuli sampai luka berat misalnya, ia hanya dihukum membayar ongkos dokter dan perawatan di rumahsakit bagi kuli yang bersangkutan saja. Sudah habis perkara!. Apakah ada hakim di Deli? Sialnya, tidak. Hakim yang berwenang mengadili orang bule berada di Jakarta. Itulah sebabnya, tidak pernah ada seorang kuli yang berani menuntut tuan besar ke pengadilan. Yang sering terjadi ialah, kalau kuli tidak senang dengan tuannya, ia akan mogok kerja. Lalu diajukan ke kontrolir untuk dihukum. Ya boleh saja di hokum krakal di luar perkebunan. Malak kebetualan. Soalnya kerja krakal bias leha-leha banyak istirahat, ngobrol-ngobrol. Keadaan di dunia luar ini lebih baik daripada di perkebunan. Kuli-kuli yang melanggar peraturan memang harus dibawa ke kontrolir, dengan dikawal seorang mandor yang membawa surat pengantar. Ini memang resmi, demi santun kedinasan, tapi yang tidak bias ialah, dalam surat pengantar itu selain nama para kuli, juga di cantumkan jenis hukuman yang harus dikenakan pada terdakwa masing-masing. Tanpa pemeriksaan lagi, kontrolir yang sudah dianggap itu langsung menghukum kuli yang bersangkutan, sesuai srat tuan besar. Peradilan macam ini sudah lazim di Medan Zaman itu > Tapi jelas, tidak semua kontrolirberlaku konnyol seperti itu. Ada yang baik dan bertanggung jawab, seperti misalnya kontrolir di serdang, yang kisahnya akan diutarakan di bawah nanti.Dalam abat ke-20 ini sudah tidak ada kekejaman seperti yang terjadi dalam abad pertengahan dan perbudakan yang lalu, tulis Van den Brand dalam brosurnya :Orang masa kini sudah lebih beradap kekejaman lebih manusiawitapi kekejaman init oh kekejaman juga. Di perkebunan tembakau kecil yang terpencil misalnya, pernah ada enam kuli cina melarikan diri, tapi ditangkap kembali. Sebagai hukuman, mereka di gebuki punggungnya dengan bamboo batangan. Bukan bamboo cina yang kecil, tapi bamboo apus bergaris tengah 4 cm. Punggung kuli itu babak belur, tapi tuan besar yang menyuruh menggebuki tidak dihukum. Bukankah menghukum pelanggar hokum dengan gebukan seperti itu sudah lazim?. Yang menyedihkan ialah penderitaan kuli-kuli yang sakit. Ada yang lesu karena kurang gizi, ada yang masuk angin. Pokoknya sakit, lalu tidak bersemangat kerja. Apa yang terjadi? Mereka bukannya di beri izin istirahat memulihkan kesehatan, tapi dibawa kontrolir di serdang agar dihukum karena membangkang, tidak mau bekerja. Untung kontrolir serdang ini orang baik. Ketika ia bertanya mengapa tidak mau bekerja, ia mendapat jawaban yang memelas, tidak kuat bekerja, tuan karena sakit. Sungguh sakit, Tuan. Tidak bohong, Tuan Melihat raut muka mereka yang memelas kekurangan tenaga itu , kontrolir sadar bahwa orang-orang malang ini tidak bohong. Ia menyangsikan kejujuran tuan besar kebun tembakau yang mengajukan perkara kuli-kuli dengan dalih membangkang. Beberapa hari kemudian ia mengadakan kudak (kunjungan mendadak) kebperkebunan itu dan melihat sebuah kamar kecil seperti kandang ternak yang pintunya di gembok. Ia terkejut melihat ke dalam melalui jendela bertrali. Ada 2 laki-laki jawa, 6 perempuan jawa dan satu mayat. Baunya bukan main busuknya. Antara lain bau tinja. Ternyata mereka terpaksa membuang kotoran di dekat dinding dari kayu yang masih ada celahnya, antara dinding itu dengan tanah. Sebelum membuang hajat, kuli yang bersangkutan menggali tanah dengan tangan dulu kalau sudah, hajat yang dibuang itu di dorong dengan tanah galian ini keluar dinding. Tapi baunya jelas tidak bias ikut keluar. Lebih terkejut lagi kontrolir itu, ketika memeriksa penjelasan, bahwa kamar seperti kandang ternak itu adalah rumah sakit perkebunan. Masya Allah! Yang menerangkan ialah orang-orang sakitdi rumah sakit itu sendiri, melalui jendela bertrali. Rumah sakit di gembok, agar para kuli tidak lari. Ternyata mereka juga tidak di beri air minum. Kalau sudah tidak kuat menahan haus terpaksa mereka menukar nasi ransumnya dengan air minum dari orang yang lewat. Untuk setengah hari mereka tidak makan, karena jatah makan sudah di tukar dengan air minum. Ini memang pembunuhan pelan-pelan, karena kuli-kuli sudah tidak biasa diperas tenaganya lagi. Mengapa perlakuan kuli sakit ini begitu mengecewakan? Jawaban yang di peroleh dari tuan besar lebih mengejutkan lagiAh sebentar lagi mereka juga akan mati. Tuan besar dari perkebunan itu hanya mau member makan kepada kuli-kuli yang masih kuat bekerja. Begitu ada kuli yang tidak punya harapan hidup lagi, dimasukkanlah ia kedalam rumah sakit perkebunan anno 1890. Ada seorang kuli perkebunan perempuan yang ternyata tidak mati-mati lalu ia dikirim ke rumah sakit umum di lubuk pakam. Beberapa hari kemudian ia meninggal, tapi sebelum meninggal ia sempat menjelaskan kepada kontrolir serdang, bahwa dulu ketika masik di rumah sakit perkebunan, setiap hari tuan besar menengoknya melalui jendela, lalu menggerutu, Buset belum mati juga. Namun kekejaman menjijikkan menimpa seorang kuli gadis remaja yang tidak mau melayani ajakan kencan tuan kecil. Seorang saksi menceritakan kepada Van den Brand, bahwa seorang gadis kira-kira berumur 16 tahun itu diikat pada tiang bawah rumah panggung tuan kecil. Pada tiang itu di pakukan balok yang melintang, dan pada balok ini kedua tangannya gadis itu di ikatkan. Tubuhnya ditelanjangi. Dari pukul 06.00-18.00 ia dijadikan tontonan yang merintih-rintih menyayat hati, minta ampun kepada Gusti Allah. Seorang pelayan rumah menjelaskan kepada saksi, bahwa gadis itu di hokum lebih suka kawi dengan kuli sebangsanya, dari pada dirusak kegadisanya oleh tuan kecil. Sudah tau skandal seks ini dilaporkan ke tuan besar oleh opseter. Tapia pa yang terjadi tuan kecil itu hanya dipindahkan ketempat lain saja. Bukan karena ia melanggar kesusilaan, tapi karena tuan besar khawatir kalau kuli-kuli lainya yang solider berontak. Di perkebunan tembakau tidak hanya ada kuli Jawa, tapi juga kuli Cina. Kerjanya bagus tapi tingkah lakunya lebih kasar. Nafsu birahinya juga besar. Kalau tidak ada perempuan ya sesama jenis pun jadi. Sialnya untuk memenuhi biologis mereka, tuan besar mendatangkan ratusan gadis jawa setiap tahun, untuk di umpankan kepada kuli-kuli Cina itu. Resminya gadis-gadis ini di pekerjakan sebagai tenaga penyortir tembakau, tapi upah mereka begitu rendah tidak cukup untuk membeli pakaian. Maka untuk itu kuli gadis terpaksa mau dibawa tidur kuli Cina, agar mendapatkan uang cukup untuk membeli pakaian. Yang lebih menyedihkan lagi, mereka tidak di beri perumahan seperti para kuli laki-laki dan permpuan yang sudah dewasa mereka toh bias tidur diantara orang-orang yang lain tutur seorang tuan besar kepada Van den Brand enteng. Perasaan tuan besar itu tumpul dan karatan, karena lama hidup dengan nafsu rendah di masyarakat perkebunan kasar seperti itu. Mungkinkah dalam waktu luang selagi merenung sendirian di rumah panggungnya ia mendengar bisikan hati nuraninya? Bahwa perlakuan terhadap gadis-gadis malang itu tidak berperikemanusiaan? Brosur Van den Brand berisi kekejaman exoploitation de Ihomme itu mengundang perdebatan di kalangan pers. Koran-koran yang pro pemerintah melontarkan tuduhan, Van den Brand itu fitnah. Berapa mantan tuan besar yang pernah karatan di deli menulis artikel untuk mencuci tangan. Koran-koran independen mendukung usul Van den Brand untuk menghapus ordonasi kuli. Tapi reaksi palis keras dating dari para belantik (makelar) pengerah kuli. Soalnya sumber duitnya pedagang budak, kalau pengrahan tenaga kuli tidak boleh lagi. Setelah timbul krisis politik di parlemen Belanda, akhirnya pemerintah membentuk komisi pencari fakta, yang di pimpin oleh Mr,J.L.T Rhemrew dari Raad Van Justitie di Betawi (sekarang Departemen Kehakiman di Jakarta). Laporan yang kemudian disusunya membenarkan apa yang di tulis oleh Van den Brand. Yang terpenting nasip sedih kuli deli itu dinyatakan dengan tegas, gara-gara ordonasi kuli tahun 1898 yang berisi poenale sanctie. Sanksi dalam ordonasi ini berupa ketentuan :1. Barang siapa melanggar kontrak kerja dinyatakan bersalah dan dapat dihukum.2. Kuli tidak boleh meninggalkan pekerjaan, dan kalau lari boleh ditangkap kembali dengan kekerasan.3. Malas bekerja juga di pandang sebagai tindak pidana melanggar undang-undang. Perjuangan untuk menghapus saksi ini, yang dimulai oleh Van den Brand tahun 1902, akhirnya didukung oleh pemerintah Hindia Belanda tahun karena laporan Rhemrev. Rhemrev sendirimemang pejabat pemerintah Hindia Belanda. Sebelum itu, ordonasi memangakan diperbaiki, tapi perbaikan yang bertujuan meringankan penderitaan para kuli itu mendapat perlawanan keras dari para pekebun. Berkali-kali rancangan perbaikan yang sudah diumumkan di kotan tidak jadi di kerjakan lebih lanjut menjadi ordonasi. Baru pada tahun 1918 itulak diterbitkan ordonasi kuli yang baru, tetapi masih berisi semangat peonale sanctie, walaupun versi lunak yang lebih manusiawi. Ordonasi masih dianggap relevan, karena menjamin perkebunan di Deli untuk memperoleh tenaga kerja murah. Tanpa itu terpaksa mencari tenaga kerja bebas yang mahal. Soalnya tenaga bebas ini membawa keluarganya ke Deli dan minta jaminan perumahan, tunjangan keluarga dan pelayanan kesehatan. Penghapusan ordonasi akan merombak tata cara menghasilka tembakau secara besar-besaran. Maka, praktik memeras tenaka kuli yang diributkan oleh Van den Brand dulu itu pun masih berjalan terus, antara tahun 1918-1931. Pada tahun 1931, berbagai ordonasi kuli dari daerah lain di satukan dengan ordonasi kuli tanah deli, menjadi ordonasi kuli umun. Didalamnya poenale sanctie dihapus secata bertahap. Penghapusan ini sangat dipercepat oleh kepusan bersama para pengusaha tembakau Deli sendiri untuk tidak memakai kuli kontrak lagi denagn poenale sanctie. Bukan karena mereka sudah tobat dan baik hati, tapi karena ingin mencegah jangan sampai ehspor tembakaunya ke Amerika Serikar ditolak. Waktu itu Amerika memang sedang giat-giatnya memberantas perbudakan dan tidak mau membeli tembakau hasil penganiayaan. Ditimpa malaisetahun 1930, banyak perkebunan tembakau yang gulung tikar pula, sehingga zaman meleset ini merupakan isyarat untuk tidak memakai poenale sanctie lagi samasekali. Tapi pemerintah beru menarik ordonasi kuli umum tahun 1931 itu secara resmi pada tanggal 1 Januari 1942. Dalam brosurnya yang menghebohkan itu, Van den Brand sempat menutup cerita lembaran hitam yang memalukan kita sebagai bangsa beradap itu dengan berita akhir penderitaan, dari Koran Java Bode 28 Juni 1898. Enam orang kuli perempuan yang berhasil lepas dari cengkeraman kontrak deli dan kembali ke pulau Jawa, terdampar di kota Semarang. Karena sudak tidak mempunyai uang sepeser pun, mereka terpaksa tidur di bawah pohon asam pinggir jalan. Akhirnya, seorang wartawan Koran De Locomotief menelpon polisi, agar mau menolong orang-orang malang itu, supaya bias pulang ke kampong halaman masing-masing. Mereka batal menjadi jadel, tapi Jadok (Jawa medok)HUKUM RIMBAKULI KEBUN TEMBAKAUGARA-GARA Mr.J.Van den Brand menulis brosur Jutaan Dari Deli pada tahun 1902, seluruh masyarakat perkebunan di sekitar Medan jadi heboh Van den Brand seorang advokat Medan, yang merasa terpanggil untuk menegakkan keadilan. Dengan mengambil resiko kehilangan nafkahnya sebagai pengacara, ia menggugat ordonasi kuli ( semacam undang-undang ) yang menjadi biang keladi keabsahan menghukum kuli dengan sewenang-wenang . Sebenarnya protes social yang mengecam peganiyaan kuli Deli sudah banyak di tulis di Koran-koran sebelumnya. Tetapi suara Koran itu tidak digubris dan dianggap fitnah. Mengapa brosur Advokat Van den Brand diperhatikan ? Tidak lain karena ketika ada semacam titik balik di kalangan pemerintaj Belanda. Dari cara berpikir colonial ke cara berpikir politik etis. Mereka merasa berutang budi pada tnah jajahan yang sudah sekian lama menguntungkan Negara ( Belanda), jadi perlu pendekatan yang lebih manusiawi. Dari sikap tidak di gubris berubah menjadi perhatian. Agar dapar menilai tulisan van de brand, banyak yang kemudian ingin tahu, apa sih yang diributkan ? Pada pertengahan abad ke 19, pemerintah Belanda mulai menarik diri dari kegiatan mengeduk untung secara langsung di negeri jajahan mereka memberi kesempatan para investor swasta untuk giliran memeras laba. Muncullah kemudian usaha perkebunan tambakau di karsidenan Sumatera timur (kini bernama Propinsi Sumatera Utara). Pelopor yang membuka hutan untuk di jadikan kebun tembakau ialah J Nienhuys, yang dating ke Deli tahun 1863. menurut mitos yang beredar, ia dating di kawasan yang tak berpenduduk, sehingga terpaksa membuka hutan sendiri. Tapi agaknya mitos ini keterlaluan. Sebab sudah sejak dulu para Raja pesisir Tanah melayu mencoba menjajah penduduk pedalaman daerah Batak. Jadi penduduk asli deli itu ada, tapi tidak ada yang bersedia bekerja sebagai buruh perkebunan di lahan bekas hutan > Neinhuys kemudian mencari tenaga kerja ke Penang dan memperoleh 190 orang kuli cina . semuanya diajak tidur di rumah kebesarannya sebagai administrateur perkebunan juga controleur yang diangkat sebagai penuntut umum oleh pemerintah di deli mula-mula mondok di rumah tuan besar ini Tembakau Deli sangat laku dipasaran eropa, untuk industri cerutu. Untuk memenuhi permintaan pasar yang meningkat, perkebunan harus di perluas dan tenaga kerjanya ditambah. Pada tahun 1869 dikerahkan 900 orang kuli . Disampingorang cina dari Penang, juga didatangkan orang keeling dari koromondel, India; orang Siam dari Muangthai dan orang Jawa dari bagelen, jawa tengah. Jumlahnya senantiasa kurang saja, karena tidak sebanding dengan luas lahan yang di garap. Tenaga kuli jadi langka. Lebih langka daripada tanah. Jadi perlu paksaan, agar bias di ikat di tempat kerjanya Ini diusahakan dengan memberi persekot pada saat kuli itu meneken kontrak dengan cap jempolnya dan meninggalkan desanya, menuju ke Deli kebanyakan orang-orang yang tadinya tenggelam dalam utang. Persekot ini untuk melunasi utang lama itu. Sebagai penebus persekot ia, wajib bekerja di perkebunan terus-menerus, sampai persekot utang (utang baru)nya lunas. Kontrak berlaku satu tahun, tetapi dengan sendirinya dapat di perpanjang, kalau pada akhirnya utang (atau berutanglagi yang baru.Mengapa ada orang yang mau teken kontrak kerja di Deli?. Biasanya karena tertipu.Ada salah paham tentang istilah ringgit, yang sengaja dibiarkan salah terus. Dipulau jawa, ringgit berate rijksdaalder yang bernilai dua setengah gulden ( uang perak zaman Belanda yang bulat). Padahal di Deli, ringgit berate dolar Meksiko, yang nilainya hanya satu perak lima belas sen. Jelas para calo kuli itu tahu, tapi orang-orang jawa calon tenaga kerja , tridak . Kalau calon kuli ini diiming-imingi gaji 6 ringgit sebulan, bayanganya di angan-angan ialah 15 gulden, padahal sebenarnya hanya bernilai 7 gulden. Sialnya, calo-calo kuli itu tidak mau menerangkan upah yang sebenarnya. Soalnya kalau jujur, ia tidak akan berhasil membujuk kuli sebanya-banyaknya. Dengan membanting tulang dan bercucuran keringat, kuli itu kemudian bekerja dari subuh hingga petang, 14 hari lamanya . selama itu ia tidak boleh meninggalkan perkebunan. Baru pada hari ke 15, yang memang hari gajian dan istirahar, ia bebas dan akan berekreasi, sesudah terkekang sekian lama. Ia kecewa berat, ketika menerima gaji. Bukannya uang perak seperti di bayangkan waktu teken kontrak, tapi kertas kupon yang hanya bias dibelanjakan di took perkebunan.yaaah, mengapa gajiannya berupa kertas? Bukannya kepingan-kepingan perak? Hukum rimba perkebunanSialnya, menurut adapt Melayu, perkebunan yang sudah memberi persekot sebagai tanda jadi itu berhak menghukum kalau kuli yang bersangkutan melanggar kontrak. Ini ditafsirkan oleh para tuan besarperkebunan sebagai boleh menindak sendiri pelanggar itu. Sialnya lagi, pemerintah Hindia Belanda diam seribu bahasa, melihat penafsiran ini. Seharusnya yurisdiksi itu di jalankan sendiri oleh Sultan, tapi yang mulia lebih senang menyerahkannya para pekebun masing-masing. Maka untuk menjaga ketertiban di wilayahnya masing-masing, para pekebun merasa boleh bertindak tegas. Dari boleh menindak sendiriberubah boleh bertindak keras kalau tidak malah di lecehi.Tidak ada polisi di tempat-tempat terpencil itu. Polisinya para tukang pukul tuan besar sendiri. Dari kebiasaan bertindak tegas dank eras inilah lama-lama timbul kebiasaan bertindak sewenang-wenang dan main hakim sendiri. Baru pada tahun 1873 pemerintah hindia belanda mengangkat orang asisten residen sebagai pejabat pemerintah yang menegakkan hokum untuk kawasan Deli. Ia mewakili hakim yang berwenang memutuskan perkara, yang diajuka oleh kontrolir sebagai jaksa penuntut umum. Mula-mula di labuhan , tapi kemudian pindah ke Medan pada 1879 sayang perubahan ini boleh dikatakan tak ada artinya, karena kurangnya aparat penegak hukum di lapangan. Polisi Deli hanya terdiri atas seorang mandor(sekarang kapolsek) dan 12 orang opas (sekarang prajurit) regu ini harus menjaga ketertiban di daerah seluas karsidenan (sekarang propinsi) Mudah di mengerti bahwa disiplin kerja kalau kalau ada pembangkangan besar-besaran, perkebunan tidak hanya rugi kehilangan tenaga kerja dan uang persekot, tapi juga terancam keamanannya di daerah terpencil yang benar-benar dibiarkan hidup atau mati sendirian itu. Kuli-kuli yang meninggalkan tempat kerja biasanya membentuk gerombolan perampok sekuat 20-40 orang. Kuli-kuli yang masih (terpaksa) bekerja terus di perkebunan yang di rampok, biasanya tidak tinggal diam, tetapi ikut merusak karena dendam kesumat akibat perlakuan buruk sebelumnya. Yang menjadi sasaran adalah gudang pengeringan tembakau yang mudah sekali ternakar. Toh, kerja merampok itu tidak langgeng. Suatu ketika kalau tidak ada yang di rampok lagi, ada diantara kuli-kuli itu yang kemudian menyesal dosanya, dan kembali ke majikannya lagi untuk meminta maaf pertimbangannya, kelak kalau pulang ke jawa sebagai orang bebas lagi. Tetapi apa apa yang mereka terima? Bukannya maaf, tapi pukulan rotan dan hokum kurungan dalam sel selama berharihari, sebelum di pulihkan hak dan kewajibannya sebagai kuli. Menurunkan Jadel (jawa deli)Dalam keadaan tertip, di kalangan kuli ada semacam hirarki, berdasarkan prestasi kerja. Kelompok terpenting diantara mereka adalah kuli lading yang mendapat sebidang tanah untuk di kelola sebagai tempat untuk bertanan tembakau. Upah diberikan borongan, pada waktu panen nanti. Tingginya produksi dan mutu tembakau sangat bergantung pada kerajinan dan kesungguhan kerjan mereka.Ada yang bekerja dari pagi hari sampai petang di ladang, karena keyakinan bahwa hanya dengan raji menyirami tanaman muda dan memberantas ulat atau hama tanaman saja, hasil tembakau bias memberi uang banyak, sesudah bekerja berbulan-bulan. Dalam kerja borongan ini iadi Bantu oleh kongsingkang (sejumlah kuli yang tidak mempunyai pengalaman), yang di kerahkan untuk mencangkul-cangkul mendangir, mengurus air dan mencari kutu. Juga kuli yang dinilai bodoh, malas dan banyak omongtapi enggan bekerja, dipenamtukan pada kuli lading (pemborong) yang lebih cakap itu, kalau ada kuli pemborong, yamg karena sikapnya tak berkenan di hati tuan kecil (asisten kebun) pembantu tuan besar(administrator), akan dipindahkan dan diturunkan derajatnya menjadi kuli pembantu. Sebaliknya kalau kuli pembantu yang campur aduk jenisnya ini kemudian ada yang cakap, patuh pada atura dan tidak banyak bikin perkara, ia di beri tanah yang sudah di tanami tembakau, lalu di tugasi memelihara tanaman ini sampai panen. Sampai taraf tertentu, orang semacam ini merasa dirinya lelih tinggi kedudukannya daripada kuli pembantu. Sebagai pemimpin para kuli dianggkat tandil (kalau ia orang cina) dan mandor (kalau ia orang Jjawa). Selain memimpin pekerjaan 20-40 orang kuli, ia juga bertanggung jawab atas ketertian mereka dalam kelompok. Selain mengawasi. Ia juga menjadi penghubung antara tuan besar yang membagi tugas dalam bahasa Melayu dan masyarakat kuli yang tidak bahasa melayu. Kadang-kadang tuan besar membagi tugas melalui tuan kecil bangsa eropa kepada mandor. Para mandor dikoodinasikan oleh opzichter (opseter) yang tugasnya memata-matai sepak terjang kuli berikut mandornya dan menyampaikannya ke tuan kecil. Kelompok lain ialah para kuli perempuan, yang tugasnya memetik daun tembakau, mengangkutnya ke gudang menyortir dan mrentengnya untuk digantungkankeringkan. Karena hidup bersama kuli-kuli bangsa lain, ada yang kemudian menemukan jodoh dan membentuk keluarga, diantaranya juga ada yang kemudian bebas setelah kontrak berakhir, lalu hidup sebagai pedagang kecil di desa di luar perkebunan. Mereka menurunkan generasi baru yang di sebut Jadel ( Jawa Deli). Orang jawa yang lahir di Deli.Para mandor dan tandil kadang-kadang menimbulkan perkara dengan perbuatan mereka yang tidak terpuji, seperti meminjam uang dengan bunga mencekek leher. Menjual barang tak bermutu secara krdit dengan harga gila. Atau melakukan skandal seks dengan kuli-kuli perempuan. Praktek semacam ini menimbulkan ketidaksenangan yang bias menyulut pemberontakan. Kalau perkara ini di ajukan ke tuan kecil atau tuan besar, selalu yang di persalahkan kuli yang tidak senang ini. Hukum annya berupa pukulan dengan rotan. Dua puluh lima kali atau lebih, bergantung pada berat ringannya pelanggaran. Jarang sekali ada mandor atau tandil yang di hokum karena skandal seks, curang jualkreditan atau curang mengutangi uang, penyebab ketidak senangan itu. Sumber ketidakadilan lain fitnah yang dilancarkan karena dendam, keki atau dengki. Informasi yang di sampaikan opseter sebagai mata-mata ke tuan kecil, kadang-kadang tidak benar. Kuli yang menjadi korban fitnah di gebugi tanpa proses peradilan.Bahwa adapembangkangan karena salah urus dan skandal macam-macam di Deli, disadari banar oleh pemerintah. Lalu dibuat rancangan ordonasi( keputusan gibernur Jenderal, berlaku sebagai undang-undang), yang yang tadinya bermaksud melindungi para kuli, tapi karena tekanan para pengusaha perkebunan, malah menjadi semacam pengesahan atas tindakan menghukum kuli (oleh pimpinan perkebunan). Pada tahun 1889 di undanglah ordonasi kuli ini, yang kemudian sempat di perbaiki pada tahun 1898. Rumusan dalam ordonasi ini memang bagus, tetapi pelaksanaannya di lapangan yang konyol. Kuli memang boleh dihukum, kalau ia lari meninggalkan perkebunan, atau mogok bekerja. Tapi sialnya, perbuatan menghina atau mengancam mandor, melawan pemerintah, berkelahi dan mabuk-mabukan juga di pandang sebagai pelanggaran, meskipun tidak melanggar kontrak kerja. Sebaiknya, ordonasi itu hanya menyinggung sedikit tentang hukuman bagi tuan kecil, opseter dan lain anggota pimpinan kebun.Tuan besar dan kecil ini hanya dihukum kalau menyebabkan kuli melanggar kontrak misalnya tidak member perumahan kepada kuliyang sudah lari tapi kembali lagi. Tapi bagai mana kalau ia melanggar kesusilaan? Atau menganiaya karena jengkel? Tidak ada pasal yang mengatur hukumannya. Sialnya, kalau ada kuli yang diadili di kantor kontrolir setempat (yang bertugas sebagai penuntut umum) kemudian dinyatakan bersalah, ia dihukum kerja paksa krakal (membuat jalan) diluar perkebunan. Kebun yang bersangkutan kehilangan tenaga kerja. Ini mendorong para pekebun untuk menghakimi sendiri saja pelanggaran-pelanggaran kecil yang dilakukan oleh kuli. Praktik main hakim sendiri inilah yang kemudian mendorong advokat Van den Brand untuk menyelidiki keadaan perkebunan Deli itu, sampai akhirnya ia menulis brosur yang membeberkan penderitaan para kuli itu sebagai budak belian. Bahwa mereka benar-benar di pandang sebagai budak, jelas terasa dari pasal-pasal dalam ordonasi kuli dan model kontrak kerja mereka. Dalam pasal 9 dan 10 misalnya, di tetapkan bahwa hukuman bagi kuli yang melanggar kontrak, berupa denda atau kerja paksa. Pada buruh bebas, pelanggaran seperti itu hanya berakibat di pecat saja atau dituntut membayar ganti rugi. Dalam Burgerlijk Wetboek van Nederlands Indie (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) juga kita temui ketentuan dalam pasal1239, bahwa semua sengketa pelanggaran kontrak diselesaikan dengan ganti rugi. Ini suatu pasal dalam undang-undang. Tapi dalam ordonasi kuli tidak di gubring. Bagi kita mengadili seseorang diluar hukun yang berlaku bagi bebas itu, tidak lain adalah mengadili budak belian. Dalam pasal 11 ordonasi kuli itu lebih jelas lagi kedudukan kuli yang malang itu sebagai budak belian. Yaitu bagi siapa yang member penginapan kuli yang lari, diancam dengan hukuman kepada pemberi orang yang lari dari majikan swasta, hanya berlaku bagi budak belian seperti di Amerika.Kontrolir yang diangkat sebagai penuntut umum itu dipelihara baik-baik hubungannya oleh para tuan besar. Hubungan baik ini di pertahankan dengan jalan setiap kali mengundangnya makan, pada pesta-pesta perayaan hari besar keagamaan, hari libur dan hari-hari nasional bukan libur. Maksudnya jelas agar kontrolir itu suka menutup perkara (istilah sekarang mempetieskan) pengaduan terhadap kesewenag-wenangan tuan besar terhadap kuli. Pejabat pemerintah colonial ini juga di suap secara halus, dengan di beri harga penawaran lelang barang-barangnya yang tinggi sekali, kalau masa dinasnya habis dan ia dipindah tugaskan ke tempat lain biasanya barang-barang rumah tangganya dilelang. Pelelangan bias menghasilkan uang banya, kalau dalam masa tugasnya yang lalu ia bersikap luwes terhadap para tuan besar pekebun tembakau, antara lain suka menutup perkara. Ketentuan tak tertulis ini sudah diberitahukan dengan bisik-bisik kepada setiap kontrolir yang baru diangkat. Kalau ada tuan besar yang diadukan karena bertindak sewenang-wenang menyuruh memukuli kuli sampai luka berat misalnya, ia hanya dihukum membayar ongkos dokter dan perawatan di rumahsakit bagi kuli yang bersangkutan saja. Sudah habis perkara!. Apakah ada hakim di Deli? Sialnya, tidak. Hakim yang berwenang mengadili orang bule berada di Jakarta. Itulah sebabnya, tidak pernah ada seorang kuli yang berani menuntut tuan besar ke pengadilan. Yang sering terjadi ialah, kalau kuli tidak senang dengan tuannya, ia akan mogok kerja. Lalu diajukan ke kontrolir untuk dihukum. Ya boleh saja di hokum krakal di luar perkebunan. Malak kebetualan. Soalnya kerja krakal bias leha-leha banyak istirahat, ngobrol-ngobrol. Keadaan di dunia luar ini lebih baik daripada di perkebunan. Kuli-kuli yang melanggar peraturan memang harus dibawa ke kontrolir, dengan dikawal seorang mandor yang membawa surat pengantar. Ini memang resmi, demi santun kedinasan, tapi yang tidak bias ialah, dalam surat pengantar itu selain nama para kuli, juga di cantumkan jenis hukuman yang harus dikenakan pada terdakwa masing-masing. Tanpa pemeriksaan lagi, kontrolir yang sudah dianggap itu langsung menghukum kuli yang bersangkutan, sesuai srat tuan besar. Peradilan macam ini sudah lazim di Medan Zaman itu > Tapi jelas, tidak semua kontrolirberlaku konnyol seperti itu. Ada yang baik dan bertanggung jawab, seperti misalnya kontrolir di serdang, yang kisahnya akan diutarakan di bawah nanti.Dalam abat ke-20 ini sudah tidak ada kekejaman seperti yang terjadi dalam abad pertengahan dan perbudakan yang lalu, tulis Van den Brand dalam brosurnya :Orang masa kini sudah lebih beradap kekejaman lebih manusiawitapi kekejaman init oh kekejaman juga. Di perkebunan tembakau kecil yang terpencil misalnya, pernah ada enam kuli cina melarikan diri, tapi ditangkap kembali. Sebagai hukuman, mereka di gebuki punggungnya dengan bamboo batangan. Bukan bamboo cina yang kecil, tapi bamboo apus bergaris tengah 4 cm. Punggung kuli itu babak belur, tapi tuan besar yang menyuruh menggebuki tidak dihukum. Bukankah menghukum pelanggar hokum dengan gebukan seperti itu sudah lazim?. Yang menyedihkan ialah penderitaan kuli-kuli yang sakit. Ada yang lesu karena kurang gizi, ada yang masuk angin. Pokoknya sakit, lalu tidak bersemangat kerja. Apa yang terjadi? Mereka bukannya di beri izin istirahat memulihkan kesehatan, tapi dibawa kontrolir di serdang agar dihukum karena membangkang, tidak mau bekerja. Untung kontrolir serdang ini orang baik. Ketika ia bertanya mengapa tidak mau bekerja, ia mendapat jawaban yang memelas, tidak kuat bekerja, tuan karena sakit. Sungguh sakit, Tuan. Tidak bohong, Tuan Melihat raut muka mereka yang memelas kekurangan tenaga itu , kontrolir sadar bahwa orang-orang malang ini tidak bohong. Ia menyangsikan kejujuran tuan besar kebun tembakau yang mengajukan perkara kuli-kuli dengan dalih membangkang. Beberapa hari kemudian ia mengadakan kudak (kunjungan mendadak) kebperkebunan itu dan melihat sebuah kamar kecil seperti kandang ternak yang pintunya di gembok. Ia terkejut melihat ke dalam melalui jendela bertrali. Ada 2 laki-laki jawa, 6 perempuan jawa dan satu mayat. Baunya bukan main busuknya. Antara lain bau tinja. Ternyata mereka terpaksa membuang kotoran di dekat dinding dari kayu yang masih ada celahnya, antara dinding itu dengan tanah. Sebelum membuang hajat, kuli yang bersangkutan menggali tanah dengan tangan dulu kalau sudah, hajat yang dibuang itu di dorong dengan tanah galian ini keluar dinding. Tapi baunya jelas tidak bias ikut keluar. Lebih terkejut lagi kontrolir itu, ketika memeriksa penjelasan, bahwa kamar seperti kandang ternak itu adalah rumah sakit perkebunan. Masya Allah! Yang menerangkan ialah orang-orang sakitdi rumah sakit itu sendiri, melalui jendela bertrali. Rumah sakit di gembok, agar para kuli tidak lari. Ternyata mereka juga tidak di beri air minum. Kalau sudah tidak kuat menahan haus terpaksa mereka menukar nasi ransumnya dengan air minum dari orang yang lewat. Untuk setengah hari mereka tidak makan, karena jatah makan sudah di tukar dengan air minum. Ini memang pembunuhan pelan-pelan, karena kuli-kuli sudah tidak biasa diperas tenaganya lagi. Mengapa perlakuan kuli sakit ini begitu mengecewakan? Jawaban yang di peroleh dari tuan besar lebih mengejutkan lagiAh sebentar lagi mereka juga akan mati. Tuan besar dari perkebunan itu hanya mau member makan kepada kuli-kuli yang masih kuat bekerja. Begitu ada kuli yang tidak punya harapan hidup lagi, dimasukkanlah ia kedalam rumah sakit perkebunan anno 1890. Ada seorang kuli perkebunan perempuan yang ternyata tidak mati-mati lalu ia dikirim ke rumah sakit umum di lubuk pakam. Beberapa hari kemudian ia meninggal, tapi sebelum meninggal ia sempat menjelaskan kepada kontrolir serdang, bahwa dulu ketika masik di rumah sakit perkebunan, setiap hari tuan besar menengoknya melalui jendela, lalu menggerutu, Buset belum mati juga. Namun kekejaman menjijikkan menimpa seorang kuli gadis remaja yang tidak mau melayani ajakan kencan tuan kecil. Seorang saksi menceritakan kepada Van den Brand, bahwa seorang gadis kira-kira berumur 16 tahun itu diikat pada tiang bawah rumah panggung tuan kecil. Pada tiang itu di pakukan balok yang melintang, dan pada balok ini kedua tangannya gadis itu di ikatkan. Tubuhnya ditelanjangi. Dari pukul 06.00-18.00 ia dijadikan tontonan yang merintih-rintih menyayat hati, minta ampun kepada Gusti Allah. Seorang pelayan rumah menjelaskan kepada saksi, bahwa gadis itu di hokum lebih suka kawi dengan kuli sebangsanya, dari pada dirusak kegadisanya oleh tuan kecil. Sudah tau skandal seks ini dilaporkan ke tuan besar oleh opseter. Tapia pa yang terjadi tuan kecil itu hanya dipindahkan ketempat lain saja. Bukan karena ia melanggar kesusilaan, tapi karena tuan besar khawatir kalau kuli-kuli lainya yang solider berontak. Di perkebunan tembakau tidak hanya ada kuli Jawa, tapi juga kuli Cina. Kerjanya bagus tapi tingkah lakunya lebih kasar. Nafsu birahinya juga besar. Kalau tidak ada perempuan ya sesama jenis pun jadi. Sialnya untuk memenuhi biologis mereka, tuan besar mendatangkan ratusan gadis jawa setiap tahun, untuk di umpankan kepada kuli-kuli Cina itu. Resminya gadis-gadis ini di pekerjakan sebagai tenaga penyortir tembakau, tapi upah mereka begitu rendah tidak cukup untuk membeli pakaian. Maka untuk itu kuli gadis terpaksa mau dibawa tidur kuli Cina, agar mendapatkan uang cukup untuk membeli pakaian. Yang lebih menyedihkan lagi, mereka tidak di beri perumahan seperti para kuli laki-laki dan permpuan yang sudah dewasa mereka toh bias tidur diantara orang-orang yang lain tutur seorang tuan besar kepada Van den Brand enteng. Perasaan tuan besar itu tumpul dan karatan, karena lama hidup dengan nafsu rendah di masyarakat perkebunan kasar seperti itu. Mungkinkah dalam waktu luang selagi merenung sendirian di rumah panggungnya ia mendengar bisikan hati nuraninya? Bahwa perlakuan terhadap gadis-gadis malang itu tidak berperikemanusiaan? Brosur Van den Brand berisi kekejaman exoploitation de Ihomme itu mengundang perdebatan di kalangan pers. Koran-koran yang pro pemerintah melontarkan tuduhan, Van den Brand itu fitnah. Berapa mantan tuan besar yang pernah karatan di deli menulis artikel untuk mencuci tangan. Koran-koran independen mendukung usul Van den Brand untuk menghapus ordonasi kuli. Tapi reaksi palis keras dating dari para belantik (makelar) pengerah kuli. Soalnya sumber duitnya pedagang budak, kalau pengrahan tenaga kuli tidak boleh lagi. Setelah timbul krisis politik di parlemen Belanda, akhirnya pemerintah membentuk komisi pencari fakta, yang di pimpin oleh Mr,J.L.T Rhemrew dari Raad Van Justitie di Betawi (sekarang Departemen Kehakiman di Jakarta). Laporan yang kemudian disusunya membenarkan apa yang di tulis oleh Van den Brand. Yang terpenting nasip sedih kuli deli itu dinyatakan dengan tegas, gara-gara ordonasi kuli tahun 1898 yang berisi poenale sanctie. Sanksi dalam ordonasi ini berupa ketentuan :1. Barang siapa melanggar kontrak kerja dinyatakan bersalah dan dapat dihukum.2. Kuli tidak boleh meninggalkan pekerjaan, dan kalau lari boleh ditangkap kembali dengan kekerasan.3. Malas bekerja juga di pandang sebagai tindak pidana melanggar undang-undang. Perjuangan untuk menghapus saksi ini, yang dimulai oleh Van den Brand tahun 1902, akhirnya didukung oleh pemerintah Hindia Belanda tahun karena laporan Rhemrev. Rhemrev sendirimemang pejabat pemerintah Hindia Belanda. Sebelum itu, ordonasi memangakan diperbaiki, tapi perbaikan yang bertujuan meringankan penderitaan para kuli itu mendapat perlawanan keras dari para pekebun. Berkali-kali rancangan perbaikan yang sudah diumumkan di kotan tidak jadi di kerjakan lebih lanjut menjadi ordonasi. Baru pada tahun 1918 itulak diterbitkan ordonasi kuli yang baru, tetapi masih berisi semangat peonale sanctie, walaupun versi lunak yang lebih manusiawi. Ordonasi masih dianggap relevan, karena menjamin perkebunan di Deli untuk memperoleh tenaga kerja murah. Tanpa itu terpaksa mencari tenaga kerja bebas yang mahal. Soalnya tenaga bebas ini membawa keluarganya ke Deli dan minta jaminan perumahan, tunjangan keluarga dan pelayanan kesehatan. Penghapusan ordonasi akan merombak tata cara menghasilka tembakau secara besar-besaran. Maka, praktik memeras tenaka kuli yang diributkan oleh Van den Brand dulu itu pun masih berjalan terus, antara tahun 1918-1931. Pada tahun 1931, berbagai ordonasi kuli dari daerah lain di satukan dengan ordonasi kuli tanah deli, menjadi ordonasi kuli umun. Didalamnya poenale sanctie dihapus secata bertahap. Penghapusan ini sangat dipercepat oleh kepusan bersama para pengusaha tembakau Deli sendiri untuk tidak memakai kuli kontrak lagi denagn poenale sanctie. Bukan karena mereka sudah tobat dan baik hati, tapi karena ingin mencegah jangan sampai ehspor tembakaunya ke Amerika Serikar ditolak. Waktu itu Amerika memang sedang giat-giatnya memberantas perbudakan dan tidak mau membeli tembakau hasil penganiayaan. Ditimpa malaisetahun 1930, banyak perkebunan tembakau yang gulung tikar pula, sehingga zaman meleset ini merupakan isyarat untuk tidak memakai poenale sanctie lagi samasekali. Tapi pemerintah beru menarik ordonasi kuli umum tahun 1931 itu secara resmi pada tanggal 1 Januari 1942. Dalam brosurnya yang menghebohkan itu, Van den Brand sempat menutup cerita lembaran hitam yang memalukan kita sebagai bangsa beradap itu dengan berita akhir penderitaan, dari Koran Java Bode 28 Juni 1898. Enam orang kuli perempuan yang berhasil lepas dari cengkeraman kontrak deli dan kembali ke pulau Jawa, terdampar di kota Semarang. Karena sudak tidak mempunyai uang sepeser pun, mereka terpaksa tidur di bawah pohon asam pinggir jalan. Akhirnya, seorang wartawan Koran De Locomotief menelpon polisi, agar mau menolong orang-orang malang itu, supaya bias pulang ke kampong halaman masing-masing. Mereka batal menjadi jadel, tapi Jadok (Jawa medok)