182
DITERBITKAN OLEH : MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA Jl. Medan Merdeka Barat No. 6 Jakarta Pusat Telp. (021) 2352 9000 Fax. (021) 3520 177 PO BOX 999 Jakarta 10000 Membangun konstitusionalitas Indonesia Membangun budaya sadar berkonstitusi Volume II Nomor 1 Juni 2010 TIDAK DIPERJUALBELIKAN Mahkamah Konstitusi adalah lembaga negara pengawal konstitusi dan penafsir konstitusi demi tegaknya konstitusi dalam rangka mewujudkan cita negara hukum dan demokrasi untuk kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang bermartabat. Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu wujud gagasan modern dalam upaya memperkuat usaha membangun hubungan-hubungan yang saling mengendalikan dan menyeimbangkan antar cabang-cabang kekuasaan negara. JURNAL KONSTITUSI PSKN - FH UNIVERSITAS PADJAJARAN SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

DITERBITKAN OLEH :

MAHKAMAH KONSTITUSIREPUBLIK INDONESIA

Jl. Medan Merdeka Barat No. 6Jakarta Pusat

Telp. (021) 2352 9000Fax. (021) 3520 177

PO BOX 999Jakarta 10000

Membangun konstitusionalitas IndonesiaMembangun budaya sadar berkonstitusi

Volume II Nomor 1Juni 2010

TIDAK DIPERJUALBELIKAN

Mahkamah Konstitusi adalah lembaga negara pengawal konstitusi dan penafsir konstitusi demi tegaknya konstitusi dalam rangka mewujudkan cita negara hukum dan demokrasi untuk kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang bermartabat. Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu wujud gagasan modern dalam upaya memperkuat usaha membangun hubungan-hubungan yang saling mengendalikan dan menyeimbangkan antar cabang-cabang kekuasaan negara.

JURNAL KONSTITUSIPSKN - FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAANMAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

PSKN-FHUNIVERSITAS PADJAJARAN

Page 2: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

2 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Opini yang dimuat dalam jurnal ini tidak mewakilipendapat resmi MK & Pengelola Jurnal

Diterbitkan oleh:Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Website: http://www.mahkamahkonstitusi.go.id

KONSTITUSIJ u r n a l

SUSUNAN DEWAN REDAKSI

Mitra Bestari:Prof. Dr. Satya Arinanto, S.H., M.H. (UI)

Prof. Dr. Asep Warlan Yusuf, S.H., M.H. (Unpar)Dr. Efik Yusdiansyah, S.H., M.H. (Unisba)

Penanggung Jawab:Dekan Fakultas Hukum Universitas Padjajaran

Dr. Ida Nurlinda, S.H., M.H.

Redaktur:Ali Abdurrahman, S.H., M.H.

Editor:Hernadi Affandi, S.H., M.H.

Lailani Sungkar, S.H.

Redaktur Pelaksana:Inna Junaenah, S.H.

Sekretaris Redaksi:Bilal Dewansyah, S.H.

Page 3: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

3Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Vol. II, No. 1, Juni 2010

Pengantar Redaksi ...................................................................................................... 5

Wewenang Mahkamah Konstitusi Dalam Memutus Perselisihan Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah

H. Rosjidi Ranggawidjaja ....................................................................................... 7

Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Dan Wakil Kepala Daerah Provinsi Jawa Timur: Perspektif Hukum Acara Mahkamah Konstitusi

Susi Dwi Harijanti & Lailani Sungkar ..................................................................... 23

Implikasi Pemilihan Gubernur Secara Langsung Terhadap Kedudukan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat

Inna Junaenah ....................................................................................................... 55

Politik Hukum Pemekaran Daerah Dikaitkan Dengan Tujuan Otonomi Seluas-luasnya Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945

Agus Kusnadi & Bilal Dewansyah .......................................................................... 73

Problema Hukum Pengakuan Dan Pemenuhan Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Sumber Daya Hutan

Edra Satmaidi ........................................................................................................ 99

Kedudukan dan Eksistensi Parlemen Dalam UUD 1945 Baru Rusli K. Iskandar .................................................................................................... 113

Konsep Negara Hukum Dalam Perspektif Epistemologi Arinto Nurcahyono ................................................................................................. 149

Biodata Penulis ............................................................................................................ 177

Ketentuan Penulisan Jurnal Konstitusi ..................................................................... 181

Opini yang dimuat dalam jurnal ini tidak mewakilipendapat resmi MK & Pengelola Jurnal

Daftar IsiJURNAL KONSTITUSIPSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Page 4: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

4 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Page 5: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

5Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Pengantar Redaksi

Pasal 236C UU No.12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 236C menggunakan istilah “sengketa” untuk pernyataan “Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan”. Sementara itu, dalam Pasal 24C UUD 1945 Perubahan Ketiga digunakan istilah “perselisihan”. Meskipun pengertian “sengketa” dan “perselisihan” mengandung makna yang sama, tetapi secara bahasa perundang-undangan terdapat ketidakseragaman (inkonsistensi) dalam penggunaan istilah tersebut. Dimulai dari hal inilah Rosjidi Ranggawidjaja membahas tulisan dengan judul ”Wewenang Mahkamah Konstitusi Dalam Memutus Perselisihan Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah”. Dengan tema yang serupa Susi Dwi Harijanti & Lailani Sungkar membahasnya dalam tulisan berjudul “Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Dan Wakil Kepala Daerah Provinsi Jawa Timur: Perspektif Hukum Acara Mahkamah Konstitusi”. Di dalamnya terdapat beberapa catatan terhadap perkara PHPU.D Jatim dari perspektif Hukum Acara MK.

Jurnal Edisi kali ini diwarnai pula dengan beberapa tulisan mengenai pemerintahan daerah. Tulisan ketiga membahas Implikasi Pemilihan Gubernur Secara Langsung

Page 6: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

6 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Terhadap Kedudukan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat, yang ditulis oleh Inna Junaenah. Tulisan keempat dari Agus Kusnadi & Bilal Dewansyah membahas tentang ”Politik Hukum Pemekaran Daerah Dikaitkan Dengan Tujuan Otonomi Seluas-luasnya Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945” yang disarikan dari hasil penelitian. Artikel kelima berjudul “Problema Hukum Pengakuan Dan Pemenuhan Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Sumber Daya Hutan” yang ditulis oleh Edra Satmaidi.

Bagian akhir dari jurnal ini diperkaya pula dengan dua tulisan dari Rusli K. Iskandar, berjudul ”Kedudukan dan Eksistensi Parlemen Dalam UUD 1945 Baru” menyoroti kedudukan DPR seolah-olah lebih tinggi dari UUD 1945, karena dominasi suara DPR dalam MPR, khususnya dalam perubahan UUD 1945. Terakhir, dengan latar belakang pendidikan filsafatnya, Arinto Nurcahyono membahas aspek filosofis, khususnya epistimologis negara hukum Indonesia dengan tulisan berjudul ”Konsep Negara Hukum Dalam Perspektif Epistemologi” Semoga bermanfaat.

Redaktur Pelaksana

Page 7: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

7Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MEMUTUS PERSELISIHAN HASIL

PENGHITUNGAN SUARA PEMILIHAN KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH

H. Rosjidi Ranggawidjaja1

Abstract

The Article 24C of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia stated limitation the functions of the Constitution Court as follow: ”…. shall possess the authority to try a case at final and binding and shall have the final power of decision in reviewing laws against the Constitution, determining disputes over the authorities of state institutions whose powers are given by this Constitution, deciding over the dissolution of political party, and deciding over disputes on the results of a general election”. To implement that provision and the provision of Article III of the Transitional Provision of the 1945 Constitution, the President of Indonesia enacted the Act No 24 of 2003 on the Constitutional Court. The Act No 24 of 2003 also regulates the powers or authorities of the Constitutional Court similarly.

But, in the Article 236C of the Act No 12 Year 2008, the Constitutional Court settle disputes the result of accounting votes of head and vice region election. Constitutionally, the Article 236C of the Act No 12 Year 2008, was added or created a new power of the Constitutional Court. Is that article valid? The laws do not allow creating a new power, if the constitution not regulated. The powers

1 Dosen Senior pada Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Unpad.

Page 8: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

8 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

of the state organs must be regulated in the constitution, because the content of the constitution is the most important substances, namely the distribution of power of the state organs. The power of the Constitutional Court to settle disputes the result of counting votes of head and vice head of local and regional election, is the content of the constitution. Firstly, it must be regulated in the 1945 Constitution, and then implemented in the organic law.

Keywords: authorities, constitutional court, local and regional election dispute.

PendahuluanSebelum menguraikan materi pokok bahasan dalam

tulisan ini, perlu dijelaskan pengertian mengenai istilah “sengketa” dalam pemilihan kepala daerah/wakil kepala daerah, sebagaimana diintrodusir dalam Pasal 236C UU No.12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 236C tersebut menyatakan: Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan.” (cetak miring, Penulis). Jadi yang dimaksud dengan sengketa pemilihan kepala daerah adalah sengketa yang berhubungan dengan hasil penghitungan atau perolehan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, baik di tingkat Provinsi, Kabupaten dan Kota.

Sementara itu, dalam Pasal 24C UUD 1945 Perubahan Ketiga digunakan istilah “perselisihan”.2 Meskipun pengertian “sengketa” dan “perselisihan” mengandung makna yang sama, tetapi secara bahasa perundang-undangan terdapat 2 Lihat rumusan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 Perubahan Ketiga sebagaimana dikutip dalam catatan kaki no.2.

Page 9: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

9Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

ketidakseragaman (inkonsistensi) dalam penggunaan istilah tersebut. Seyogianya dipakai peristilahan atau termonologi yang seragam, dalam hal ini undang-undang menyelaraskan dengan penggunaan istilah dalam UUD 1945.

Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen Ketiga menetapkan keberadaan sebuah lembaga peradilan baru yaitu Mahkamah Konstitusi. Kewenangan Mahkamah Konstitusi ditetapkan sebagai berikut:3

1. mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar;

2. memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar,

3. memutus pembubaran partai politik, 4. memutus perseliisihan tentang hasil pemilihan umum,

dan

3 Pasal 24C UUD 1945 Perubahan Ketiga menyatakan:(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan

terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undangundang terhadap UndangUndang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UndangUndang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

(2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UndangUndang Dasar.

(3) Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masingmasing oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden.

(4) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim konstitusi.

(5) Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara.

(6) Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undangundang.

Page 10: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

10 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

5. memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran hukum oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden dan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden .4

Sesuai dengan “perintah” Undang-Undang Dasar 1945 lahirlah Undang-undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Pasal 10 dan 11 Undang-undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menerangkan kembali wewenang yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi yaitu :

(1) “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: a. menguji Undang-undang terhadap Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

c. memutus pembubaran partai politik; dan d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan

umum. (2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas

pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden

4 Pasal 7B ayat (4) UUD 1945 Perubahan Ketiga, yang menyatakan: Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadiladilnya ter-hadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lama sembilan puluh hari setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi. Ketentuan dalam Pasal 24C ayat (1) dan Pasal 7B ayat (4) UUD 1945 tersebut diulangi dalam rumusan pasal UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Page 11: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

11Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa:a. pengkhianatan terhadap negara adalah tindak

pidana terhadap keamanan negara sebagaimana diatur dalam Undang-undang.

b. korupsi dan penyuapan adalah tindak pidana korupsi atau penyuapan sebagaimana diatur dalam Undang-undang.

c. tindak pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.

d. perbuatan tercela adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden.

e. tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”

Kemudian, Pasal 11-nya menyatakan: “Untuk kepentingan pelaksanaan wewenang

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Mahkamah Konstitusi berwenang memanggil Pejabat Negara,

Page 12: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

12 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Pejabat Pemerintah, atau warga masyarakat untuk memberikan keterangan.”

Jika merujuk secara eksplisit kepada ketentuan UUD 1945, maka UUD 1945 tidak mengatribusikan wewenang lain kepada Mahkamah Konstitusi, selain apa yang dirumuskan dalam Pasal 7B dan Pasal 24C tersebut di atas. Namun, dalam perkembangan selanjutnya, setelah UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dilaksanakan (yang diubah dan ditambah untuk kedua kalinya dengan UU No. 12 Tahun 2008), dan Kepala/Wakil Kepala Daerah dipilih secara langsung oleh rakyat,5 terjadi penambahan wewenang kepada Mahkamah Konstitusi, yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 236C UU No. 12 Tahun 2008. Pasal 236C UU No.12 Tahun 2008 tersebut menyatakan: Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan.”

Dengan demikian telah terjadi penambahan wewenang Mahkamah Konstitusi, yang semula ditetapkan dalam UUD 1945, kemudian ditambah melalui UU No.12 Tahun 2008. Sebagaimana diketahui wewenang tersebut tidak diatur dalam UUD 1945 atau UU tentang Mahkamah Konstitusi (UU No. 24 Tahun 2003), tetapi ditetapkan dalam undang-undang yang mengatur mengenai pemerintahan daerah.

5 Diatur dalam Pasal 24 ayat (5) yang menyatakan: Kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan.

Page 13: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

13Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

PembahasanMateri Muatan Undang-undang Dasar

Keberadaan undang-undang dasar dimaksudkan untuk menetapkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dimiliki oleh masyarakat (rakyat), serta hak-hak atau wewenang yang dimiliki oleh Pemerintah (dalam arti luas), selain kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhinya. Dengan demikian maka pertama-tama undang-undang dasar berfungsi untuk membatasi kekuasaan atau wewenang alat-alat perlengkapan negara, sehingga jelas batas-batas tugas dan wewenangnya. Dalam undang-undang dasar diatur luas lingkup dan batas-batas materi maupun waktu dari wewenang alat-alat perlengkapan negara tersebut. Materi apa yang menjadi lingkup wewenang dari sesuatu alat perlengkapan negara dan berapa lama seseorang pejabat negara menjalankan atau menduduki jabatannya. Dengan demikian suatu undang-undang dasar, sekurang-kurangnya akan menetapkan: (a) hak dan kewajiban warga negara; (b) batas-batas wewenang dan kewajiban Negara; (c) berapa lama seseorang pejabat negara menduduki jabatannya.

Masalah utama dalam tulisan ini adalah mengenai penetapan penambahan wewenang Mahkamah Konstitusi untuk menangani sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, yang ditetapkan dalam UU No. 32 Tahun 2004 jis. UU No. 8 Tahun 2005 dan UU No. 12 Tahun 2008; bukan dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Apakah penetapan penambahan wewenang Mahkamah Konstitusi tersebut, secara teori (hukum) konstitusi dan ilmu perundang-undangan tepat ditetapkan dalam undang-undang atau (seharusnya) ditetapkan dalam UUD 1945 terlebih dahulu? Apakah wewenang tersebut sah secara hukum (konstitusi), sementara UUD 1945 tidak mengatur dan mengatribusikannya?

Page 14: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

14 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Layakkah materi muatan undang-undang dasar diatur dalam undang-undang tanpa ada “delegation of rule making power” dari pembentuk UUD 1945 (MPR) sebagai pemilik wewenang untuk menetapkan undang-undang dasar?

Dalam berbagai literatur banyak dikemukakan mengenai fungsi dan materi muatan undang-undang dasar. Beberapa pakar yang menguraikan mengenai “the content of the constitution” antara lain dapat dikemukakan pendapat dari Wirjono Prodjodikoro, yang menyatakan bahwa di negara-negara dengan konstitusi tertulis ada dokumen tertentu, yang menentukan:

a. adanya wewenang dan cara bekerja pelbagai lembaga kenegaraan, di samping

b. penentuan pelbagai hak asasi para warga negara dari Negara itu yang diakui akan diperlindungi.6

Dengan ditetapkannya di dalam undang-undang dasar, wewenang dan cara bekerja lembaga negara, maka berarti pula adanya wewenangan konstitusional yang dimiliki oleh alat-alat perlengkapan negara tersebut. Ini berarti bahwa undang-undang dasar telah menetapkan tugas dan petugasnya (lembaga negara). Dengan penetapan tugas-tugas (termasuk wewenangnya) dari lembaga-lembaga negara tersebut di dalam undang-undang dasar, berarti pula telah disahkannya keberadaan tugas-tugas dan wewenang tersebut secara hukum. Jadi, tugas dan wewenang yang ada telah ditetapkan secara sah oleh undang-undang dasar, sebagai “the higher law of the land” atau “the supreme law of the land”. Dengan perkataan lain maka undang-undang dasar adalah sumber hukum primer keberadaan tugas dan wewenang dari lembaga-lembaga negara. Penetapan wewenang oleh undang-undang dasar biasa disebut sebagai “atribusi kewenangan” 6 Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Tatanegara di Indonesia, cetakan ketiga (Jakarta: Dian Rakyat, 1977), hlm. 11.

Page 15: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

15Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

(attributie van bevoegdheid) atau “atribusi kekuasaan” (atributie van macht). Atribusi dapat pula dilakukan melalui undang-undang, tetapi setelah keberadaan undang-undang tersebut mendapat “pendelegasian wewenang” (delegation of authority) dari undang-undang dasar. Dalam hal ini ada “delegation of rule making power” atau “delegatie van wetbevoegdheid).

Dalam bukunya berjudul General Theory of Law and State (terjemahan), pada bagian yang secara khusus mengupas mengenai “the content of the Constitutions”, Hans Kelsen 7 menyatakan adanya tujuh hal yang menjadi materi muatan undang-undang dasar, yaitu: a. The Preamble; b. Determination of the contents of future statutes; c. Determination of the administrative and judicial function; d. The “unconstitutional law”; e. Constitutional Prohibitions; f.Bill of Rights; dan g. Guarantee of the Constitutions.

Di dalam Undang-undang Dasar, khususnya di dalam batang tubuhnya, berisi ketentuan-ketentuan mengenai materi muatan peraturan perundang-undangan yang akan dibentuk kemudian (the contents of the future statutes). Selain materi muatan juga ditetapkan jenis peraturan perundang-undangan yang dimaksud. Dalam hal ini undang-undang dasar menentukan badan-badan yang berwenang membentuk suatu jenis peraturan perundang-undangan tertentu, jenis peraturan perundang-undangannya, materi muatan yang akan diatur, dan mungkin pula tata cara pembentukannya (secara garis besar). Dalam undang-undang dasar ditetapkan materi-materi tertentu (certain matters) yang akan diatur atau ditetapkan atau berdasarkan atau menurut Undang-undang.8 Undang-undang yang melaksanakan “perintah” dalam

7 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, translated by Anders Wedberg, (New York: Russel & Russel, l973), hlm. 260-269.8 Dalam istilah Bahasa Inggris sering dipakai istilah-istilah seperti “shall be regu-lated by law”, “shall be laid down by law”, “precribed by law”, dan “pursuant to Act of Parliament”.

Page 16: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

16 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

undang-undang dasar dimaksud biasanya disebut undang-undang organik (organic law; organiek wet).

Undang-undang organik merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari undang-undang dasar yang biasanya berupa Aturan Dasar/Pokok Negara (Staatsgrundgesetz). Di dalam setiap Aturan Dasar/Pokok Negara biasanya diatur hal-hal mengenai pembagian kekuasaan negara di puncak pemerintahan, dan selain itu mengatur juga hubugan antar lembaga-lembaga tinggi/tertinggi negara, serta mengatur hubungan antara negara dengan warganegaranya. Dengan demikian jelaslah bahwa Aturan Dasar/Pokok Negara merupakan sumber dan dasar bagi terbentuknya suatu Undang-undang (Formell Gesetz) yang merupakan Peraturan Perundang-undangan yaitu peraturan yang dapat mengikat secara langsung semua orang.9

Steenbeek punya pendapat lain, ia menguraikan tentang tiga hal pokok yang menjadi isi Undang-undang Dasar, yaitu:

a. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warga negara,

b. Ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental,

c. Adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental.10

Kemudian Rosso J Tresolini dan Martin Shapiro dalam bukunya yang berjudul American Constitutional Law menyatakan bahwa Undang-undang Dasar Amerika Serikat mengatur tiga hal pokok, yaitu:1. It establishes the framework or structure of government 9 A Hamid S Attamimi, dalam Maria Farida Indrati (penyusun), Ilmu Perundang-undangan, Dasar-dasar dan Pembentukannya, (Jakarta: Sekretariat Konsorsium Ilmu Hukum Universitas Indonesia , 1996), hlm. 34-35.10 Dikutip dari Sri Soemantri,Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, (Bandung: Alumni, 1979), hlm. 45.

Page 17: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

17Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

(menetapkan kerangka kerja atau susunan pemerintahan),2. It delegates or assigns the powers to the government

(pendelegasian atau penugasan kekuasaan kepada pemerintah),

3. It restrains the exercise of these powers by government officials in order that certain individual rights can be preseved (pembatasan pelaksanaan kekuasaan oleh pejabat-pejabat pemerintah dalam menjalankan pemerintahan agar hak-hak tertentu dari perorangan dapat dilindungi).11

Dari uraian singkat tentang pendapat para ahli tersebut ternyata bahwa weweng atau kekuasaan lembaga-lembaga negara secara prinsip harus diatur dalam undang-undang dasar, bukan dalam undang-undang sebagai peraturan pelaksanaan dari undang-undang. Pengaturan wewenang lembaga negara dalam undang-undang harus mendapat atribusi dari undang-undang dasar.

Pengaturan Konstitusional Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung.

Mahkamah Konstitusi adalah lembaga negara baru yang ada sesudah UUD 1945 diubah. Berdasarkan ketentuan UUD 1945, Mahkamah Konstitusi adalah salah satu badan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman, disamping Mahkamah Agung. Dalam UU No. 24 Tahun 2003 Pasal 2 disebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Sebagaimana telah diuraikan dalam Pendahuluan, wewenang Mahkamah Konstitusi telah ditetapkan secara eksplisit-limitatif-enumetarif dalam Pasal 7B dan 24C UUD 11 Ibid. (terjemahan bebas ke dalam bahasa Indonesia oleh Penulis).

Page 18: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

18 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

1945 yang kemudian diulang dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Penambahan dalam Pasal 236C UU No.12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah adalah sesuatu yang aneh, tidak seharusnya. Sementara itu wewenang Mahkamah Agung juga telah secara eksplisit ditetapkan dalam UUD 1945 Perubahan Ketiga Pasal 24A yang menyatakan: Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang dan melaksanakan wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.” Ada hal yang berbeda dengan kewenangan Mahkamah Agung, yaitu kewenangan yang disebutkan terakhir: “…………..melaksanakan wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang”. Dari uraian ketentuan tersebut dapat ditafsirkan bahwa, Mahkamah Agung berdasarkan kuasa undang-undang (tentunya bukan hanya undang-undang organik) dapat memperoleh wewenang tambahan. Adalah wajar jika wewenang Mahkamah Agung untuk mengadili penyelesaian sengketa pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang diatribusikan oleh UU No. 32 Tahun 2003 jo. UU No. 8 Tahun 2005 adalah sesuatu yang konstitusional. Akan tetapi bila hal itu diberikan kepada Mahkamah Konstitusi, menjadi suatu pertanyaan: atas dasar apa undang-undang memberikan atribusi kewenangan tersebut kepada Mahkamah Konstitusi?

Analisis atas Ketentuan Mengenai Wewenang Mahkamah Konstitusi dalam Perselisihan Pemilihan Kepala/ Wakil Kepala Daerah.

Tidak dapat disangkal bahwa Mahkamah Konstitusi memiliki wewenang untuk memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Hal itu ditetapkan dalam Pasal 24C UUD 1945 Perubahan Ketiga dan Pasal 10 UU No. 24 Tahun

Page 19: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

19Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

2003. Namun perlu dicatat bahwa pengertian “pemilihan umum” dalam rumusan pasal tersebut mengacu kepada pengertian pemilihan umum sebagaimana diuraikan dalam Pasal 22E UUD 1945 Perubahan Ketiga.12 bukan pemilihan (umum) untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah. Pemilihan umum dimaksud dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 adalah pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD dan Presiden dan atau Wakil Presiden. Perlu menjadi perhatian pula bahwa UU No. 32 Tahun 2004 tidak merujuk kepada ketenuan Pasal 24C UUD 1945.13

Atas dasar uraian singkat tersebut sudah dapat dipastikan bahwa keberadaan rumusan Pasal 236A UU No. 12 Tahun 2008 tidak mempunyai landasan yuridis konstitusional. Dan bila demikian maka ketentuan pasal itu harus batal atau sekurang-kurangnya dibatalkan. Masalahnya: apakah mau Mahkamah Konstitusi membatalkannya, sementara Mahkamah Konstitusi tentu mempunyai “interest”. Perhatikan saja kasus yang ditangani Mahkamah Konstitusi yang kemudian berujung pada pembatalan Pasal 50 UU N. 24 Tahun 2003. Kita tidak menampik bahwa wewenang itu sangat perlu dan secara faktual telah dijalankan, namun

12 Pasal 22E(1) Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia,

jujur dan adil setiap lima tahun sekali.(2) Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

(3) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.

(4) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan.

(5) Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.

(6) Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umjum diatur dengan undang-undang.

13 Persilahkan untuk meneliti konsideran “Mengingat” angka 1 UU No. 32 Tahun 2004.

Page 20: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

20 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

secara konstitusional hal itu perlu dibenahi. Setidak-tidaknya diatur dalam undang-undang tentang Mahkamah Konstitusi, bukan dalam undang-undang tentang pemerintahan daerah.

Kesimpulan dan SaranBerdasarkan pembahasan di atas, penulis penulis

menyimpulkanUUD 1945 telah menetapkan secara eksplisit-limitatif-enumeratif wewenang Mahkamah Konstitusi, sebagaimana diatur dalam Pasal 7B ayat (5) dan Pasal 24C ayat (1). Adanya wewenang Mahkamah Konstitusi untuk menangani sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam UU No. 12 Tahun 2008 tidak memiliki dasar yuridis konstitusional.

Sebagai rekomendasi, seharusnya wewenang tersebut diatur dalam UUD 1945, karena dari segi teori konstitusi wewenang lembaga negara dimuat dalam undang-undang dasar. Meskipun akan diatur dalam undang-undang, seharusnya ada “delegation of rule making power” dari UUD 1945. Sekurang-kurangnya materi tersebut dimuat dalam UU tentang Mahkamah Konstitusi, sebagai “derivasi” dari ketentuan UUD 1945, bukan diatur dalam undang-undang tentang pemerintahan daerah.Pengaturan dalam undang-undang tentang pemerintahan daerah sebgai rujukan dari undang-undang organik tentang Mahkamah Konstitusi.

Page 21: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

21Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

DAFTAR PUSTAKA

Bagir Manan, 1992. Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia, Jakarta: Ind.Hill,Co.

____________, 1995. Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, Bandung: Mandar Maju.

____________, 2003. DPR, DPD dan MPR dalam UUD 1945 Baru, Yogyakarta: FH-UII Press.

A. Hamid S Attamimi. 1990. Peranan Keputusan Presiden RI dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, disertasi, Jakarta: Pascasarjana UI.

___________, 1992. ”Teori Perundang-undangan Indonesia”, pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Jakarta: FH UI.

___________, 1993.”Hukum tentang Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan Kebijakan (Hukum Tata Pengaturan)”, Pidato Purna Bakti, Jakarta: FH-UI.

Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 Perubahan Pertama hingga Keempat.

________Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

________Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

________Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Jimly Asshiddiqie, 2005. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Konstitusi Press.

____________,2007. Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer.

Kelsen, Hans, 1973. General Theory of Law and State, translated by Anders Wedberg, New York: Russel & Russel.

Page 22: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

22 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Maria Farida Indrati (penyusun), 1996. Ilmu Perundang-undangan, Dasar-dasar dan Pembentukannya, Bahan yang disarikan dari perkuliahn Prof.Dr.A. Hamid S Attamimi, SH, Jakarta: Sekretariat Konsorsium Ilmu Hukum UI.

Rosjidi Ranggawidjaja, 2006. Menyoal Perundang-undangan Indonesia, Jakarta: PT Perca.

Sri Soemantri, 1979. Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Bandung: Alumni.

Wirjono Prodjodikoro, 1977. Azas-azas Hukum Tatanegara di Indonesia, cetakan ketiga, Jakarta: Dian Rakyat.

Page 23: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

23Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

PERKARA PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM KEPALA DAN WAKIL KEPALA DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR: PERSPEKTIF HUKUM

ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI

Susi Dwi Harijanti1

Lailani Sungkar2

Abstract

Since 29 October 2008, disputes regarding result of election of head and deputy head of local government (hereinafter PHPU.D) have been heard before the Constitutional Court. The object of the dispute is result of vote account decided by respondent (Regional Electoral Commission) which influence the determination of the pair of candidates eligible for the second round of Pemilukada or influence the pair of candidates to be elected as head and deputy head of local government. If the Court accepts the petition, the decision of the Court reverses the vote tally decided by respondent and determining the vote tally of petitioner. Petitioner must prove that the vote tally issued by respondent is incorrect and therefore the petitioner must prove that his/her tally is correct. Criminal offence and administrative violations do not include in jurisdiction of the Constitutional Court. In the case of PHPU.D East Java, the decision of the Constitutional Court ordered the respondent to repeat the election in Bangkalan and Sampang Regencies and ordered the respondent to repeat the vote count through the used ballots gradually. This sort of decision was 1 Dosen di Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Unpad. Wakil Ketua Paguyuban Hak Asasi Manusia (PAHAM) Fakultas Hukum Unpad.2 Asisten Dosen di Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Unpad.

Page 24: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

24 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

never handed down by the Court in previous PHPU.D cases. The questions arising from this article relate to the object of PHPU.D dispute of East Java Province and the arguments of the Court in its judgment.

It concludes that the Court acknowledges the inconsistency between posita and petitum provided by the petitioner and the petitioner cannot defend his arguments and therefore the petitioner’s arguments cannot be proved formally. However, the Court’s judges are substantially confident that a number of violations occurred which influenced to the vote tally. The judges’ arguments lead to perception that the object of dispute is criminal and administrative offences. This is because the Court’s judgments take the form of orders to the respondent to repeat the election in particular regencies as well as to repeat the vote count. As the petitioner cannot prove his arguments satisfactorily, the Court is unable to decide the correct vote tally based on judges’ reasonableness. This controversial decision may result in other submission of objection to the decision on Pemilukada vote tally, which in reality already occurred. It is recommended that the Court should uphold its procedural law which regulates object of the dispute, time limit submission, evidence and judgment. In addition, the Court should be able to provide justice based on legal certainty, and therefore the Court should make carefully consideration before it hands down its decision.

Key words: dispute, Pemilukada, East Java, Constitutional Court.

PendahuluanSalah satu penyelarasan sistem demokrasi di tingkat

daerah adalah dengan menerapkan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung. Meski masih dapat diperdebatkan apakah hal ini merupakan bentuk penyelarasan yang tepat, namun UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Page 25: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

25Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

telah memuat ketentuan mengenai pilkada langsung.UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan

Pemilihan Umum memasukkan pilkada dalam pengertian “pemilu”.3 Pasal 24C UUD 1945 memberikan kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memutus perselisihan hasil pemilu. Sejak pilkada dimasukkan dalam pengertian “pemilu” (Pemilukada), maka berdasarkan UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, penanganan Peselisihan Hasil Pemilihan Umum Daerah (PHPU.D) dialihkan dari Mahkamah Agung (MA) kepada MK.

Sejak perkara PHPU.D diserahkan pada MK, berikut ini adalah hasil rekapitulasi perkara PHPU.D sejak 1 November 2008 sampai dengan 25 Maret 2009:

Tabel 1.Rekapitulasi Perkara PHPU.D 1 November 2008 - 25 Maret 20094

No ThnSisa yg

lalu

Te-rima

Jmlh (3+4)

PUTUSAN Jmlh Putusan (6+7+8+

9=10)

Sisa Thn ini

(5-10)

ketKa-bul Tolak Tdk di-

terima

Tarik kem-bali

-1 -2 -3 -4 -5 -6 -7 -8 -9 -10 -11 -131 2008 - 27 27 3 12 3 - 18 9 -2 2009 9 - 9 1 8 - - 9 - -JUMLAH 0 27 0 4 20 3 0 27 0 -

Putusan ”tidak diterima” terjadi jika Pemohon tidak memenuhi legal standing, dan putusan ”ditolak” terjadi jika permohonan tidak beralasan. Dari sembilan perkara yang masuk pada tahun 2009, hanya satu perkara yang dikabulkan. Perkara tersebut adalah perkara PHPU.D Jawa Timur (Jatim).5

3 Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum4 www.mahkamahkonstitusi.go.id, diakses tanggal 10 Desember 2009 5 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PHPU.D-VI/2008.

Page 26: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

26 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Dalam pemilukada Jatim, KPU Provinsi Jatim pada tanggal 11 November 2008, melalui Keputusan KPU Provinsi Jawa Timur Nomor 30 Tahun 2008 tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Pemilukada Provinsi Jatim Tahun 2008 Putaran II, memutuskan : 1. Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur

Pemilihan Provinsi Jawa Timur dengan Nomor Urut 1 atas nama Hj. Khofifah Indar Parawansa dan Mudjiono memperoleh sejumlah 7.669.721 suara;

2. Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Pemilihan Provinsi Jawa Timur dengan Nomor Urut 5 atas nama Drs. H. Soekarno, SH., M.Hum dan Drs. H. Syaifullah Yusuf memperoleh sejumlah 7.729.994 suara;

Terhadap ptusan KPUD tersebut di atas, pasangan calon gubernur dan wakil gubernur pemilihan Provinsi Jatim dengan Nomor Urut 1 atas nama Hj. Khofifah Indar Parawansa dan Mudjiono (Pasangan Kaji), mengajukan permohonan keberatan.

Dalam putusannya, MK mengabulkan sebagian permohonan dengan membatalkan dan menyatakan tidak mengikat secara hukum Keputusan KPUD Jatim tersebut. Permohonan yang dikabulkan adalah permohonan yang terbukti beralasan dan selanjutnya MK akan menyatakan membatalkan hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh KPU/KIP provinsi atau KPU/KIP kabupaten/kota, serta menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut MK. Hal menarik dari putusan ini adalah pembatalan hanya sepanjang mengenai hasil rekapitulasi penghitungan suara di Kabupaten Bangkalan, Sampang, dan Pamekasan. MK tidak menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut MK, namun justru memerintahkan kepada KPU Provinsi Jatim untuk melaksanakan :

Page 27: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

27Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

1. Pemungutan suara ulang di Kabupaten Bangkalan dan Sampang dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak Putusan diucapkan;

2. Penghitungan suara ulang di Kabupaten Pamekasan dengan menghitung kembali secara berjenjang surat suara yang sudah dicoblos dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak Putusan ini diucapkan.

Putusan yang memberi perintah untuk melaksanakan pemungutan dan penghitungan suara ulang ini adalah yang pertama kali yang dilakukan oleh MK. Perkara PHPU.D Jatim ini menjadi contoh perkara yang merepresentasikan permasalahan dan kontroversi yang terjadi dalam perkara PHPU.D. Apalagi setelah diadakan pumungutan suara ulang di beberapa kabupaten sebagaimana disebutkan dalam putusan, Pemohon kembali mengajukan keberatan ke MK. Untuk perkara kedua ini MK justru mengeluarkan ketetapan yang menyatakan permohonan tidak dapat diregistrasi dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK) .

Putusan MK dan ketetapan ini menimbulkan pertanyaan terkait dengan objek perkara dan pertimbangan hukum hakim dalam putusannnya. Proses beracara dalam perkara ini menarik untuk dianalisis, terutama dari perspektif hukum acara. Hukum acara MK pasti akan diterapkan pada setiap kasus dan perlu terjamin kepastiannya. Oleh sebab itu tulisan ini akan menganalisis perkara PHPU.D Jatim dari perspektif Hukum Acara MK.

Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah.

Tata cara beracara dalam perkara PHPU.D di MK diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitutusi (PMK) No.15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan

Page 28: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

28 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah. Para pihak dalam PHPU.D adalah pasangan calon sebagai pemohon, KPU/KIP provinsi atau KPU/KIP kabupaten/kota sebagai termohon, dan pasangan calon selain pemohon dapat menjadi pihak terkait.6 KPU atau Komisi Pemilihan Umum adalah penyelenggara pemilukada dan KIP atau Komisi Independen Pemilihan adalah penyelenggara pemilukada di Provinsi Aceh.7 Permohonan diartikan sebagai keberatan terhadap penetapan hasil perhitungan suara pemilukada.8 Dengan demikian, objek perkara PHPU.D adalah hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh KPU yang mempengaruhi penentuan pasangan calon yang dapat mengikuti putaran kedua pemilukada atau terpilihnya pasangan calon sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah.9

Permohonan diajukan ke MK paling lambat 3 hari kerja setelah termohon menetapkan hasil penghitungan suara di daerah yang bersangkutan.10 Jika melewati masa tenggat ini, permohonan tidak dapat diregistrasi. Permohonan yang telah lengkap akan diregristrasi dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi (selanjutnya disebut BRPK). Apabila persyaratan administratif belum lengkap, pemohon diberi kesempatan untuk melengkapi isi permohonan, dengan tetap mengindahkan tenggat waktu yang telah ditetapkan.11 Permohonan dibuat dalam 12 rangkap dengan isi permohonan

6 Pasal 3 Ayat (1) PMK No. 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah 7 Pasal 1 Angka 5 dan 6 PMK No. 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah8 Pasal 1 angka 8 PMK No. 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah9 Pasal 4 PMK No. 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah10 Pasal 5 Ayat (1) PMK No. 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah11 Pasal 7 Ayat (2) PMK No. 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah

Page 29: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

29Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

adalah sebagai berikut :12

a. Identitas lengkap Pemohon yang dilampiri fotokopi KTP dan bukti sebagai peserta Pemilukada

b. Uraian yang jelas mengenai :a. Kesalahan hasil penghitungan suara yang

ditetapkan oleh Termohonb. Permintaan/petitum untuk membatalkan hasil

penghitungan suara yang ditetapkan oleh Termohon

c. Permintaan/petitum untuk menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut Pemohon.

UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK yang memuat Hukum Acara MK secara umum mengatur tahapan persidangan yang dimulai dengan pemeriksaan pendahuluan.13 Pemeriksaan pendahuluan bertujuan untuk: 14

a. Pemeriksaan kualifikasi pemohon, kewenangan bertindak dan surat-surat kuasa.

b. Kedudukan hukum (legal standing) pemohon.c. Penyederhanaan masalah yang diajukan. Termasuk

dalam hal ini integrasi perkara-perkara yang mempunyai posita dan petitum yang sama menyangkut UU yang sama. (point ini khusus terhadap perkara pengujian UU - Penulis)

d. Kebutuhan perubahan permohonan, sesuai dengan ketentuan UU, baik atas saran hakim maupun keinginan pemohon sendiri.

e. Statment of constitutional issues (masalah konstitusi yang diajukan)

12 Pasal 6 Ayat (2) PMK No. 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah13 Lihat Pasal 39 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi14 Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, (Jakarta : Konstitusi Press, 2005), hlm. 102-103.

Page 30: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

30 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

f. Alat-alat bukti yang diajukan secara full-disclosureg. Saksi dan ahli yang pokok-pokok pernyataannya

mendukung pemohon yang telah diajukan dahulu h. Jumlah saksi dan ahli yang relevan harus dibatasii. Pengaturan jadwal persidangan dan tertib

persidangan.

Acara persidangan perkara PHPU.D, dilakukan melalui tahapan berikut:15

a. Penjelasan permohonan dan perbaikan apabila dipandang perlu;

b. Jawaban Termohon;c. Keterangan Pihak Terkait apabila ada;d. Pembuktian oleh Pemohon, Termohon, dan Pihak

Terkait; dane. Kesimpulan.

Pada point “a” dijelaskan bahwa terdapat tahapan “penjelasan permohonan dan perbaikan apabila dipandang perlu.” Tahapan ini serupa dengan agenda pemeriksaan pendahuluan. Pemohon dapat memperbaiki permohonannya sepanjang dipandang perlu setelah melalui tahapan ini.

Setelah tahap mendengar jawaban termohon dan keterangan pihak terkait, tahapan selanjutnya adalah pembuktian. Asas pembuktian dalam Hukum Acara Mahkamah Konstitusi adalah “asas pembuktian bebas,” yaitu hakim bebas menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian atau sah tidaknya alat bukti berdasarkan keyakinannya.16 Hukum Acara MK

15 Pasal 8 Ayat (2) PMK No. 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah16 Fatkhurohman, et., al, Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2004), hlm. 94.

Page 31: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

31Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

untuk perkara PHPU.D juga mengatur alat bukti yang harus diajukan dalam perkara tersebut. Alat bukti tersebut dapat berupa: 17

a. keterangan para pihak;b. surat atau tulisan;c. keterangan saksi;d. keterangan ahli;f. petunjuk; dang. alat bukti lain berupa informasi dan/atau komunikasi

elektronik.

Alat bukti surat atau tulisan terdiri atas: 18 a. Berita acara dan salinan pengumuman hasil

pemungutan suara dari Tempat Pemungutan Suara (TPS)

b. Berita acara dan salinan sertifikat hasil penghitungan suara dari Panitia Pemungutan Suara (PPS);

c. Berita acara dan salinan rekapitulasi jumlah suara dari Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK);

d. Berita acara dan salinan rekapitulasi hasil penghitungan suara dari KPU/KIP provinsi atau kabupaten/kota;

e. Berita acara dan salinan penetapan hasil penghitungan suara pasangan calon kepala dan wakil kepala daerah provinsi atau kabupaten/kota;

f. Berita acara dan salinan rekapitulasi hasil penghitungan suara dari KPU/KIP provinsi;

g. Penetapan calon terpilih dari KPU/KIP provinsi atau kabupaten/kota; dan/atau dokumen tertulis lainnya.

17 Pasal 9 PMK No. 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah18 Pasal 10 PMK No. 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah

Page 32: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

32 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Pasal 11 PMK No. 15 Tahun 2008 mengatur ketentuan tentang saksi, yaitu:

(1) Saksi dalam perselisihan hasil Pemilukada terdiri atas:a. saksi resmi peserta Pemilukada; danb. saksi pemantau Pemilukada.

(2) Mahkamah dapat memanggil saksi lain yang diperlukan, antara lain, panitia pengawas pemilihan umum atau Kepolisian;

(3) Saksi sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) adalah saksi yang melihat, mendengar, atau mengalami sendiri proses penghitungan suara yang diperselisihkan.

Pasal 13 ayat (3) PMK No. 15 Tahun 2008 menyatakan bahwa amar putusan dapat menyatakan:

a. Permohonan tidak dapat diterima apabila Pemohon dan/atau permohonan tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, 4, 5, dan 6 Peraturan ini;

b. Permohonan dikabulkan apabila permohonan terbukti beralasan dan selanjutnya Mahkamah menyatakan membatalkan hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh KPU/KIP provinsi atau KPU/KIP kabupaten/kota, serta menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut Mahkamah;

c. Permohonan ditolak apabila permohonan tidak beralasan.

Dalam hal putusan, bentuk-bentuk putusan di MK menurut sifatnya dikenal tiga macam putusan yaitu putusan

Page 33: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

33Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

declaratoir, constitutive, dan condemnatoir.19 Putusan declaratoir adalah putusan yang bersifat menerangkan, menegaskan suatu keadaan hukum semata-mata dan tidak mengandung unsur penghukuman. Putusan declaratoir sangat jelas terlihat dalam amar putusan perkara pengujian UU terhadap UUD. Sifat putusan tersebut declaratoir, tidak mengandung unsur penghukuman, namun juga besifat constitutif. Putusan constitutif adalah putusan yang meniadakan suatu keadaan hukum atau menimbulkan suatu keadaan hukum baru. Sedangkan putusan condemnatoir adalah putusan yang berisi penghukuman. Maruarar mencontohkan perkara di MK yang dapat dipandang memberi kemungkinan putusan yang bersifat condemnatoir yaitu dalam perkara sengketa kewenangan antar lembaga negara.20 Putusan sela yang diatur dalam Pasal 63 UU MK dapat dianggap bersifat condemnatoir sebab memerintahkan pada lembaga tersebut untuk tidak melaksanakan kewenangan yang dipersengketakan.21 Putusan yang bersifat condemnatoir ini juga dapat diartikan putusan yang memerintahkan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu, terlepas itu dipandang sebagai sebuah hukuman ataupun tidak.

Analisis Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Pada Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala dan Wakil Kepala Daerah Jawa Timur

a. Perbaikan Permohonan Dalam Tenggat Waktu Pengajuan Permohonan

Keputusan KPU Provinsi Jatim tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara ditetapkan pada tanggal 11 November 2008. Pemohon mengajukan permohonan keberatan atas hasil keputusan tersebut pada tanggal 14

19 Maruarar Siahaan, Hukum Acara…, op. cit., hlm. 194-200.20 Ibid, hlm 198.21 Ibid.

Page 34: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

34 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

November 2008. Permohonan yang telah lengkap akan dibuatkan Akta Penerimaan Berkas Permohonan oleh Panitera MK dan dicatat dalam BRPK, untuk selanjutnya diberi nomor perkara. Jika belum memenuhui kelengkapan secara administrasi, maka pemohon diberi kesempatan untuk memperbaiki sepanjang masih dalam tenggat waktu yang telah ditetapkan. Dalam perkara ini, Panitera menerbitkan Akta Penerimaan Berkas Permohonan Nomor 85/PAN.MK/XI/2008 yang kemudian diregistrasi dalam BRPK pada tanggal 14 November 2008 dengan Nomor Perkara 41/PHPU.D-VI/2008. Hal ini berarti, permohonan telah dianggap lengkap, sesuai dengan Pasal 5 dan 6 PMK No. 15 Tahun 2008.

Tahap pertama acara pemeriksaan persidangan perkara PHPU.D adalah mendengar penjelasan permohonan dan perbaikan apabila dipandang perlu. Sidang pertama perkara PHPU.D Provinsi Jatim dilaksanakan pada tanggal 19 November 2009. Pada saat sidang tersebut, Pemohon telah memperbaiki substansi permohonannya, yang diterima oleh Panitera Mahkamah Konstitusi pada tanggal 17 November 2009. Termohon dalam jawabannya atas permohonan mendalilkan bahwa perbaikan permohonan yang diterima oleh Kepaniteraan pada tanggal 17 November 2009 telah melebihi tenggat waktu yang ditetapkan. Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa perbaikan ini adalah hak Pemohon.

Tenggat waktu yang ditentukan dalam dalam perkara PHPU.D bukanlah tanpa tujuan. Pasal 2 PMK No.15 Tahun 2008 mengatur asas cepat dan sederhana. Dengan demikian sesuai dengan asas ini, tenggat waktu ditetapkan agar proses penyelesaian perselisihan berjalan dengan efisien dan menunjukan keadilan. Penghitungan hasil pemilukada dilakukan bersama-sama antara pasangan

Page 35: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

35Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

calon dan KPU. Artinya, kedua pihak berada dalam suatu kondisi yang sama, dan yang dihitung juga merupakan hal yang sama. Jika hasil penghitungan tersebut berbeda maka pasangan calon segera mengajukan permohonan keberatan dan pembatalan terhadap Keputusan KPU. Di sinilah keadilan tersebut dalam hal waktu penghitungan, Pemohon dan Termohon mulai dari sebuah kondisi yang sama dan waktu pengitungan yang sama. Tiga hari adalah waktu bagi pasangan calon untuk menyusun permohonan keberatan pada Mahkamah Konstitusi, bukan lagi waktu untuk menghitung dan melengkapi data.

Apa yang telah dikemukakan tersebut adalah substansi perkara PHPU.D dan tujuan tenggat waktu tersebut ditetapkan. Pada perkara konstitusi lain yang tidak menghendaki tenggat waktu dalam pengajuannya, pemohon mempunyai hak untuk memperbaiki permohonannya baik sebelum pemeriksaan pendahuluan ataupun sesudahnya. Pada perkara PHPU.D karena memiliki aturan tenggat waktu maka hak tersebut seharusnya diberikan setelah tahapan sidang pertama (yang agendanya semacam pemeriksaan pendahuluan). Hal ini untuk menghilangkan kesan formalitas, “yang penting masuk dulu, nanti gampang diubah kembali.”

b. Petitum Untuk Menetapkan Pemohon Sebagai Pasangan Calon Terpilih

Petitum Pemohon adalah: I. Menyatakan tidak sah dan batal demi hukum

Keputusan KPU Provinsi Jatim Nomor 30 Tahun 2008 tanggal 11 November 2008 tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Pemilukada Provinsi Jawa Timur Tahun 2008 Putaran II, atau setidak-tidaknya

Page 36: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

36 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

menyatakan tidak sah dan batal demi hukum hasil penghitungan ulang di Kabupaten Pamekasan, Kecamatan Dagangan di Kabupatan Madiun, juga di Kecamatan Ngetos Desa Kepel, Baron Desa Jambi, Nggrogot Desa Trayang di Kabupaten Nganjuk, serta Desa Mojolegi, Wangkal, Prasi dan Dandang di Kabupaten Probolinggo, serta Kecamatan Banyuwangi di Kabupaten Banyuwangi;

II. Menetapkan Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Pemilukada Jatim Tahun 2008, sebagai berikut :1. Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur

Provinsi Jawa Timur Nomor Urut 1 atas nama pasangan Hj. Khofifah Indar Parawansa-Mudjiono memperoleh sejumlah 7.654.742 suara;

2. Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Jawa Timur dengan Nomor Urut 5 atas nama Dr. H. Soekarwo, M.Hum dan Drs H. Saifullah Yusuf memperoleh sejumlah 7.632.28 suara;

3. Menyatakan dan menetapkan pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur dengan Nomor Urut 1 Hj. Khofifah Indar Parawansa dan Mudjiono sebagai Pasangan Calon Terpilih dalam Pemilukada Provinsi Jawa Timur Tahun 2008 Putaran II.

4. Apabila Majelis Hakim berpendapat lain, maka mohon putusan yang seadil- adilnya berdasarkan prinsip ex aequo et bono.

Petitum untuk “Menyatakan dan menetapkan pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur dengan Nomor Urut 1 Hj. Khofifah Indar Parawansa

Page 37: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

37Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

dan Mudjiono sebagai Pasangan Calon Terpilih…”, bukanlah kewenangan MK. Hal itu merupakan bagian dari pelaksanaan putusan MK yang membatalkan Keputusan KPU dan menetapkan hasil penghitungan yang dianggap benar oleh MK. Oleh sebab itu seharusnya petitum tersebut tidak dimohonkan.

c. Acara PembuktianPemohon mendalilkan bahwa telah terjadi

kesalahan perhitungan. Pembuktian merupakan suatu proses kegiatan untuk membuktikan sesuatu atau menyatakan kebenaran tentang suatu peristiwa.22 Dalam konteks ini, kebenaran yang harus diungkap adalah hasil perhitungan suara. Sesuai teori pembuktian pada umumnya, bahwa “siapa yang mendalilkan dia yang dibebankan untuk membuktikan dalil tersebut,”23 maka pemohon harus menyerahkan perhitungan versinya yang dianggap benar. Penghitungan versi pemohon ini didukung dengan alat-alat bukti yang sah sesuai dengan yang diatur dalam Hukum Acara MK. Alat-alat bukti yang digunakan adalah yang relevan dengan apa yang harus dibuktikan.

Pada perkara PHPU.D Jatim, Pemohon mendalilkan bahwa telah terjadi kesalahan hasil penghitungan suara di 25 kabupaten/kota serta sejumlah pelanggaran seperti rekapitulasi suara dilakukan per desa seharusnya dilakukan per TPS, kesalahan penulisan jumlah suara, kesalahan penghitungan pengguna hak pilih dan jumlah surat suara. Kesalahan perhitungan dan pelanggaran

22 Lihat Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana Di Indonesia, Cetakan ke-6, (Bandung : Sumur Bandung, 1967), hlm., 73.23 ”The burden of proof is the obligation which rests on a party in relation to a particular issue of fact in a civil or criminal case, and which must discharged or satisfied if that party is to win on the issue in question” Christopher Allen, Practical Guide to Evidence, Third Edition, (Great Britain : Cavendish Publishing Limited, 2006) hlm. 113.

Page 38: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

38 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

yang didalilkan oleh Pemohon tersebut dibuktikan dengan hasil perhitungan versi Pemohon. Dalil dan hasil perhitungan inilah yang harus dibuktikan oleh Pemohon.

Meskipun Faturohman, dkk, mengatakan bahwa asas pembuktian dalam Hukum Acara MK adalah “asas pembuktian bebas,” 24 Hukum Acara MK untuk perkara PHPU.D mengatur secara spesifik ketentuan mengenai alat bukti yang harus diajukan dalam perkara tersebut. Hal yang demikian disebut oleh Indroharto sebagai “ajaran pembuktian bebas yang terbatas” karena alat bukti yang digunakan dalam membuktikan sesuatu sudah ditentukan secara limitatif dalam UU.25 Pengaturan dalam Pasal 9, 10 dan 11 PMK No.15 Tahun 2008 bertujuan membuktikan dalil bahwa telah terjadi kekeliruan perhitungan dan hasil penghitungan versi Pemohon. Oleh sebab itu, pendapat Indroharto di atas lebih sesuai dengan praktek pembuktian di MK dalam konteks perkara ini, karena pada dasarnya pembuktiannya bersifat bebas namun terbatas.

Terkait dengan sifat pembuktian yang bebas terbatas, dalam proses pemuktian dikenal beberapa teori misalnya Positief wettelijk, Negatief wettelijk, Beredebeerde overtuiging atau conviction raisonne, dll. Positief wettelijk26 adalah teori pembuktian yang hanya berdasarkan apa yang telah diatur dalam UU. “Negatief-wettelijk” 27 adalah teori pembuktian yang menghendaki adanya keyakinan hakim yang disertai penyebutan alasan-alasan yang logis yang didasarkan pada apa yang telah diatur dalam UU. Jadi hakim tetap tidak diperbolehkan memakai alat bukti lain yang tidak disebutkan dalam UU, demikian pula

24 Fatkhurohman, et., al, loc., cit. 25 Indroharto, Usaha Memahami UU Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1991), hlm. 371.26 Lihat Wirjono Prodjodikoro, op. cit., hlm. 76.27 Ibid.

Page 39: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

39Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

cara penggunaannya semua sesuai dengan apa yang diatur dalam UU. Sedangkan “Beredebeerde overtuiging atau conviction raisonne” 28 adalah teori pembuktian yang menghendaki adanya keyakinan hakim yang disertai penyebutan alasan-alasan yang logis namun tidak terikat pada apa yang telah diatur dalam UU. Menurut Wirjono Prodjodikoro, sebaiknya sistem “negatief-wettelijk” yang dipertahankan di Indonesia sebab dapat mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya, sehingga terdapat patokan tertentu bagi hakim.29

Hakim MK Maruarar Siahaan pernah menerangkan mengenai keyakinan hakim (beyond reasonable doubt) 30 dan preponderance of evidence.31 Penilaian ini juga harus diterapkan pada hukum acara perkara PHPU.D. Dengan pembatasan alat-alat bukti yang digunakan tersebut, bukan berarti MK harus menganut teori pembuktian “positief wettelijk.” Hakim juga harus menetapkan keyakinannya dari alat-alat bukti yang sah (beyond reasonable doubt).

28 Ibid.29 Ibid., hlm. 77. Pendapat Wiryono Prodjodikoro ini dalam konteks hukum acara Pidana secara umum, bukan hukum acara Mahkamah Konstitusi.30 Maruarar Siahaan, Hukum Acara…, op. cit., hlm. 119-120. “Beyond reasonable doubt” merupakan istilah hukum yang dikenal dalam sistem hukum common law. Meskipun istilah ini tidak dikenal dalam sistem hukum civil law, namun konsep serupa dikenal. Secara umum konsep ini berarti standar keyakinan yang perlu dirasakan oleh hakim atau juri dalam memutus bersalah atau tidaknya terdakwa atas dakwaan penuntut. Dalam perkara pidana yang menganut sistem hukum common law, jaksa penuntut umum harus membuktikan dakwaannya berdasarkan standar beyond reasonable doubt, yaitu supaya hakim atau juri sangat yakin bahwa tidak ada alternatif lain kecuali terdakwa melakukan kejahatan sebagaimana didakwakan. Tanpa pengarang, Glossary Istilah Hukum Inggris-Indonesia, (Jakarta: Asian Law Group, Indolaw, hukumonline, the Asia Foundation, AusAID dan USAID, 2005), hlm 34-35.31 “Preponderance of evidence” merupakan istilah hukum acara dimana, “hakim menilai alat-alat bukti yang diajukan sehingga sampai pada kesimpulan bahwa salah satu pihak lebih besar kemungkinan kebenaran dalil-dalilnya” Maruarar Sia-haan, Hukum Acara…, op. cit., hlm. 120.

Page 40: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

40 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Karakteristik setiap perkara dapat ditentukan dari apa yang menjadi objek perkara, isi putusan dan akibat dari putusannya. Perkara pengujian UU, objek perkaranya adalah UU atau bagian dari UU yang dianggap bertentangan dengan UUD, isi putusannya adalah pernyataan bahwa objek perkara tersebut bertentangan atau tidak dengan UUD, dan akibat putusannya adalah erga omnes yang artinya tidak hanya berakibat pada pihak yang berperkara saja. Perkara dengan karakter seperti ini, cocok dengan teori pembuktian conviction raisonne, sebab hakim harus bebas dalam membangun alasan-alasan logisnya tanpa terikat dengan alat-alat bukti yang sudah diatur dengan UU. Hakim benar-benar menggali dan mengungkapkan kebenaran materil dari perkara tersebut. Pada perkara PHPU.D, objek perkaranya adalah hasil perhitungan suara, isi putusannya juga telah ditentukan oleh UU yaitu berupa pembatalan hasil perhitungan suara dan penetapan hasil perhitungan pemohon, kemudian akibat putusannya adalah inter partes artinya hanya berakibat pada pihak-pihak yang berparkara saja. Objek perkara PHPU.D bukan pelanggaran administratif atau pidana yang terjadi selama pemilukada berlangsung. Karakteristik inilah yang menjadi salah satu dasar penggunaan teori pembuktian. Oleh sebab itu, pada perkara PHPU.D, teori pembuktian dengan “negatief-wettelijk” dipandang lebih tepat. Menurut Wirjono bukan berarti sistem “negatief-wettelijk” membuat hakim pasrah dengan alat bukti yang ada dan tidak menggali sedalam-dalamnya, sebab hakim masih harus berpegang pada praduga tidak bersalah, sehingga penggalian itu tetap akan terjadi.32

32 Ibid., hlm., 78.

Page 41: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

41Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

d. Objek Sengketa dan Pertimbangan Hakim KPU menetapkan hasil perhitungan suara,

Pemohon mengajukan keberatan atas ketetapan tersebut. Pada pembahasan sebelumnya telah dikutip isi petitum Pemohon yang juga telah mencantumkan hasil perhitungan yang benar versi Pemohon. Hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh KPU yang mempengaruhi penentuan pasangan calon yang dapat mengikuti putaran kedua pemilukada atau terpilihnya pasangan calon sebagai kepala dan wakil kepala daerah itulah yang menjadi objek perkara PHPU.D, sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 4 PMK No. 15 Tahun 2008. Dengan demikian, bukti-bukti yang dikemukakan adalah bukti untuk menguatkan hasil perhitungan versi Pemohon.

Pada proses pembuktian ternyata Pemohon tidak berhasil menyediakan alat-alat bukti yang mendukung hasil perhitungannya. Hal ini diakui oleh Mahkamah Konstitusi sebagaimana disebutkan dalam pertimbangan Hakim bahwa posita dan petitum Pemohon tidak konsisten dan tidak terbukti secara formal.33 Pemohon mengajukan banyak alat bukti yang menunjukan bahwa telah terjadi pelanggaran, baik administratif maupun pidana. Alat bukti tersebut antara lain kronologis kejadian kecurangan, kontrak program Pihak Terkait, kumpulan surat pernyataan dari para Kepala Desa di seluruh Kecamatan Klampis Kabupaten Bangkalan yang menyatakan siap mendukung dan memenangkan Pihak Terkait, beberapa rekaman pembicaraan yang isinya kurang lebih mengenai konspirasi pemenangan Pihak Terkait, dan keterangan para saksi. Jika dilihat dari alat bukti yang diajukan oleh Pemohon maka dapat dikatakan bahwa alat-alat bukti tersebut tidak relevan dengan apa

33 Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PHPU.D-VI/2008, hlm. 113.

Page 42: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

42 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

yang harus dibuktikan.Pasal 66 ayat (4) UU No. 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah jo Pasal 78,79, dan 82 UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum jo Pasal 111 – 112 PP NO. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah mengatur bahwa jika terjadi pelanggaran-pelanggaran dalam penyelenggaraan pemilihan umum, maka mekanismenya adalah dilaporkan ke Panwas kabupaten/kota. Jika pelanggaran tersebut tersebut mengandung unsur pidana akan diteruskan ke penyidik, sedangkan apabila pelanggaran tidak mengandung unsur pidana, Panitia Pengawas Pemilihan akan menyelesaikan secara administratif.

Dalam perkara ini, tidak jelas apakah terjadinya kesalahan hasil penghitungan suara di 25 kabupaten/kota sebagaimana yang didalilkan oleh Pemohon, telah di proses lebih lanjut oleh Panwas kabupaten/kota baik secara administratif atau diteruskan ke penyidik. Meskipun Hakim MK mengakui inkonsistensi antara posita dan petitum Pemohon serta apa yang didalilkan tidak terbukti secara formal, namun secara materil hakim meyakini telah terjadi pelanggaran ketentuan pemilukada yang berpengaruh terhadap perolehan suara Pasangan Calon, dengan turut mempertimbangkan hal-hal di luar masalah hasil perhitungan suara. Selain itu, MK juga menegaskan dalam pertimbangan hukumnya bahwa larangan untuk menangani kasus pelanggaran dan tindak pidana dalam Pemilukada harus diartikan bahwa MK tidak boleh melakukan fungsi peradilan pidana atau peradilan administrasi, namun tetap boleh mempermasalahkan dan mengadili setiap pelanggaran yang berakibat pada hasil penghitungan suara. Pertimbangan yang demikian ini yang membuat objek

Page 43: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

43Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

perkara seolah-olah adalah pelanggaran administratif dan pidana sebab yang dapat meyakinkan Hakim adalah telah terjadinya pelanggaran tersebut dan Hakim tidak menetapkan hasil perhitungan versi Pemohon.

e. Putusan Ultra Petita dan Penerapan Judicial activism MK dalam perkara ini, untuk pertama kalinya

mengeluarkan putusan penghitungan suara dan pemungutan suara ulang, meskipun hanya di beberapa daerah yang ditentukan. Berdasarkan petitum terakhir dari Pemohon (ex aequo et bono), maka MK dalam perkara ini berpendapat lain dengan mengeluarkan putusan di luar petitum (ultra petita).

Putusan ultra petita tidak selamanya tidak tepat. Belajar dari sejarah, mekanisme judicial review di Amerika-pun lahir dari sebuah putusan ultra petita.34 Lembaga peradilan memang dapat berperan dalam pengembangan hukum melalui putusan-putusannya yang inovatif demi tercapainya keadilan. Hal inilah yang tampaknya dilakukan oleh MK.

Dalam pertimbangan hukumnya MK mengutip pendapat Gustaf Radbruch, 35 MK berpendapat bahwa sebagai pengadilan konstitusi, MK tidak boleh membiarkan aturan keadilan prosedural (procedural justice) memasung dan mengesampingkan keadilan

34 Lihat Marburry vs Madison 5 U.S. (1 Cranch) 137 (1803). Dalam perkara ini Marbury hanya meminta agar pengadilan mengeluarkan writ of mandamus. Kenya-taannya, Chief Justice Marshall justru menyatakan bahwa Judiciary Act 1789 yang memberikan kewenangan pada pengadilan untuk mengeluarkan writ of mandamus ini bertentangan dengan Konstitusi Amerika.35 Preference should be given to the rule of positive law, supported as it is by due enact-ment and state power, even when the rule is unjust and contrary to the general welfare, unless, the violation of justice reaches so intolerable a degree that the rule becomes in effect “lawlesslaw” and must therefore yield to justice.” G. Radbruch, Rechtsphilosophie, 4th ed. page 353.Fuller’s translation of formula in Journal of Legal Education. hlm.,181 dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PHPU.D-VI/2008.

Page 44: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

44 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

substantif (substantive justice). Selanjutnya dikatakan bahwa berdasarkan prinsip keadilan universal: “tidak seorangpun boleh diuntungkan oleh

penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukannya sendiri dan tidak seorang pun boleh dirugikan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain” (nullus/nemo commodum capere potest de injuria sua propria).

Dengan demikian, tidak satu pun pasangan calon pemilihan umum yang boleh diuntungkan dalam perolehan suara akibat terjadinya pelanggaran konstitusi dan prinsip keadilan dalam penyelenggaraan pemilihan umum. MK memandang perlu menciptakan terobosan untuk memajukan demokrasi dan melepaskan diri dari praktik pelanggaran yang sistematis, terstruktur, dan masif.

MK tidak dapat menetapkan versi perhitungan yang tepat sebab MK tidak memperoleh keyakinan terhadap semua hasil perhitungan. Jika perolehan suara di kabupaten-kabupaten yang terkena dampak pelanggaran struktural sebagaimana yang diyakini MK didiskualifikasi, maka hal tersebut dianggap mencederai hak demokrasi pemilih. Suara mereka menjadi tidak diperhitungkan. Di lain pihak, MK memandang tidak tepat jika hanya menghitung ulang hasil yang telah ditetapkan oleh KPU Jatim, karena prosesnya diwarnai dengan pelanggaran-pelanggaran yang cukup serius. Dengan demikian yang diperlukan adalah pemungutan suara ulang.

Berdasarkan alasan-alasan tersebut MK memerintahkan penghitungan dan pemungutan suaran ulang di daerah-daerah yang dianggap paling besar

Page 45: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

45Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

pelanggarannya. MK berusaha menerapkan doktrin judicial activism melalui putusannya.36 Banyak yang beranggapan kewenangan yang limitatif membuat MK dianalogikan sebagai “pengadilan kalkulator”, karena fungsinya hanya menghitung angka-angka hasil penghitungan suara.37

“Judicial activism” diartikan sebagai: “A philosophy of judicial decision-making whereby judges

allow their personal views about public policy, among other factors, to guide their decisions, usually with the suggestion that adherents of this philosophy tend to find constitutional violations and are willing to ignore precedent”.38

David Strauss mengatakan bahwa “judicial activism” secara sempit dapat didefinisikan sebagai salah satu atau lebih dari tiga kemungkinan di bawah ini, yaitu: · overturning laws as unconstitutional · overturning judicial precedent· ruling against a preferred interpretation of the

constitution.39

Dilihat dari isi putusan MK pada perkara ini, termasuk pada sifat condemnatoir, sebab memerintahkan untuk berbuat sesuatu, terlepas itu dipandang sebagai sebuah hukuman ataupun tidak. Putusan semacam ini

36 Penyataan ini juga dikemukakan oleh Pan Muhammad Faiz, “Belajar Dari Sengketa Pemilukada Jatim”, http://panmohamadfaiz.com/2008/12/03/putusan-pemilihan-umum-kepala-daerah-pemilukada-jawa-timur/#more-471, diakses tanggal 27 Desember 2009,37 Pendapat ini juga dikemukakan oleh Pan Muhammad Faiz, ibid.38 Bryan A. Garner (ed), Black’s Law Dictionary, Seventh Edition, (St Paul Minn : West Group, 1999), hlm.850.39 http://encyclopedia.thefreedictionary.com/judicial+activism, diakses tanggal 25 Desember 2009

Page 46: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

46 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

tidak diatur dalam Pasal 13 ayat (3) huruf b PMK No.15 Tahun 2008, namun dalam pandangan Penulis, Pasal 13 ini membuka peluang MK untuk memutuskan di luar apa yang dimohonkan. Pasal 13 PMK tersebut menyatakan “Amar putusan dapat…” Kata “dapat” menurut ilmu perundang-undangan berarti memberikan alternatif kepada MK memutuskan selain apa yang telah diatur dalam ayat tersebut.

Namun demikian, terlepas dari tindakan judicial activism atau memang sesuatu hal yang dimungkinkan, yang terpenting adalah bahwa putusan MK bersifat final, artinya tidak ada upaya hukum lagi setelahnya. Dalam perkara PHPU.D, bentuk putusan yang sudah ditentukan, yaitu berupa putusan declaratoir dan constitutif. Jika MK memberi putusan berupa pemungutan suara ulang maka tidak menutup kemungkinan bahwa perselisihan hasil perhitungan suara ini berulang. Jika hal ini terjadi maka MK tidak boleh menganggap hal tersebut nebis in idem, sebab pelanggaran dapat tetap terjadi pada pemilu ulang (baik pelanggaran yang sama maupun jenis pelanggaran baru). Oleh sebab itu, Hukum Acara MK telah mengatur agar segera terdapat jalan keluar dan tidak terulang.

f. Ketetapan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PHPUD.D-VI/2008

Apa yang di khawatirkan dari adanya perintah penghitungan dan pemungutan suara ulang ini, ternyata benar terjadi. Pemohon mengajukan permohonan baru kepada MK, pada 2 Februari 2009. Permohonan tersebut adalah Keberatan atas Keputusan KPU Jatim No. 01 Thn 2009 bertanggal 30 Januari 2009 tentang Penetapan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara (Pelaksanaan Putusan MK No. 41/PHPU.D-VI/2008).

Page 47: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

47Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Tehadap permohonan ini MK mengeluarkan ketetapan yang berisi: 40

1. Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diregistrasi dalam BRPK.

2. Menyatakan sah Keputusan KPU Provinsi Jatim No.01 Tahun 2009 tentang Penetapan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Pemilukada Provinsi Jatim Thn 2009 (Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PHPU.D-VI/2008) bertanggal 30 Januari 2009 dan Surat Keputusan KPU Provinsi Jatim No. 02 Tahun 2009 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih dalam Pemilukada Provinsi Jawa Timur Tahun 2009 bertanggal 31 Januari 2009.

3. Memerintahkan Panitera MK untuk menerbitkan Akta Pernyataan Tidak Diregistrasi.

Ketetapan tersebut dihasilkan dari Rapat Permusyawaratan Hakim tanggal 3 Februari 2009 yang mempertimbangkan beberapa hal, antara lain:1. Putusan MK No. 41/PHPU.D-VI/2008 bertanggal

2 Desember 2008 merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat menurut UU;

2. Termohon telah melaksanakan putusan a quo dengan hasil sebagaimana dituangkan dalam SK No. 01 Tahun 2009 bertanggal 30 Januari 2009 tentang Penetapan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Pemilukada Provinsi Jatim Thn 2009 dan Surat Keputusan KPU Provinsi Jatim No. 02 Tahun 2009 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih dalam Pemilukada Provinsi Jatim Tahun 2009 bertanggal 31 Januari 2009.

3. Persoalan hukum yang muncul sebagaimana

40 Ketetapan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PHPUD.D-VI/2008, hlm., 5.

Page 48: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

48 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

dikemukakan dalam permohonan bertanggal 2 Februari 2009 prima facie merupakan pelanggaran administratif dan pidana yang menjadi ranah penegakan hukum oleh aparat yang berwenang di luar MK;

4. Surat Keputusan KPU Provinsi Jatim No.01 Tahun 2009 bertanggal 30 Januari 2009 tentang Penetapan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Pemilukada Provinsi Jawa Timur Tahun 2009 merupakan pelaksanaan Putusan MK No. 41/PHPU.D-VI/2008 bertanggal 2 Desember 2008 dan merupakan bagian dari proses Pemilukada Provinsi Jawa Timur Putaran II, oleh karena itu permohonan bertanggal 2 Februari 2009 tidak termasuk kategori permohonan baru, sehingga permohonan a quo tidak dapat diregistrasi sebagai permohonan baru. 41

Terdapat beberapa kejanggalan dalam ketetapan ini. Kejanggalan tersebut antara lain:

Pertama, permohonan tersebut diajukan atas keberatan Pemohon terhadap hasil perhitungan KPU pada pemilu ulang yang dilaksanakan atas perintah MK. Permohonan ini jelas merupakan permohonan baru, namun MK mengatakan permohonan ini tidak dapat diregistrasi sebagai permohonan baru. Kedua, pada tahap persidangan yang pertama sebelum memasuki pokok perkara hakim akan mempertimbangkan kewenangan memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan, legal standing pemohon, serta tenggang waktu pengajuan Permohonan. Pada Ketetapan ini, MK berpendapat bahwa persoalan hukum yang dikemukakan dalam permohonan Pemohon bertanggal 2 Februari 2009 merupakan pelanggaran administratif dan pidana yang menjadi ranah penegakan

41 Ketetapan Mahkamah Konstitusi Nomor. 41/PHPUD.D-VI/2008, hlm., 3 – 4.

Page 49: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

49Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

hukum oleh aparat yang berwenang di luar MK. Artinya, MK mempertimbangkan mengenai kewenangannya untuk memeriksa dan mengadili permohonan tersebut, padahal belum memasuki tahap persidangan. Ketiga, dalam Ketetapan tersebut MK menyatakan permohonan tidak dapat diregistrasi dalam BRPK dan memerintahkan pada Panitera untuk menerbitkan Akta Pernyataan Tidak Diregistrasi. Masalah regirstrasi perkara adalah masalah administrasi yang dilakukan oleh kepaniteraan. Dalam hal ini tidak ada hubungannya dengan hakim. Jika perkara sudah sampai ke meja hakim maka isi ketetapan tersebut bukan lagi sekedar tidak dapat diregistrasi namun “ditolak” atau “tidak diterima.”

Telepas dari semua pendapat yang telah dikemukakan dalam tulisan ini, namun perlu dihargai usaha MK menegakan keadilan substantif melalui doktrin “judicial activism”. Tantangan ke depan adalah konsistensi MK dalam mengadili perkara PHPU.D. Atau dengan kata lain, MK harus didorong mulai membangun yurisprudensi yang digunakan untuk mengadili perkara-perkara yang sejenis. Harus disadari bahwa kondisi seperti dalam perkara PHPU.D Jatim ini sangat mungkin terulang pada perkara lain. Tanpa bermaksud menyamakan seluruh perkara, sebab setiap perkara pasti memiliki fakta yang berbeda, namun pada perkara yang serupa, MK harus memberlakukan hal yang sama. Di sisi lain, MK tetap harus berpegang pada Hukum Acara MK yang telah mengatur mengenai objek perkara, tenggat waktu, pembuktian dan putusan. Keadilan yang harus diwujudkan adalah keadilan yang lahir dari sebuah kepastian hukum.

Page 50: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

50 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Kesimpulan dan SaranDari perspektif Hukum Acara MK, terdapat beberapa hal

yang menjadi catatan dalam perkara PHPU.D Jatim antara lain:1. Hak perbaikan permohonan seharusnya diberikan

setelah tahapan sidang pertama (yang agendanya semacam pemeriksaan pendahuluan). Hal ini untuk menghilangkan kesan formalitas dari aturan “tenggat waktu”

2. Petitum untuk menetapkan pemohon sebagai pasangan calon terpilih bukanlah kewenangan MK. Hal itu merupakan bagian dari pelaksanaan putusan MK yang membatalkan Keputusan KPU dan menetapkan hasil penghitungan yang dianggap benar oleh MK. Seharusnya petitum tersebut tidak dimohonkan.

3. Sesuai dengan karakteristik Perkara PHPU.D maka teori pembuktian dengan “negatief-wettelijk” dipandang lebih tepat.

4. Pertimbangan hukum hakim membuat objek perkara seolah-olah adalah pelanggaran administratif dan pidana.

5. Pasal 13 ayat (3) huruf b PMK No.15 Thn 2008 membuka peluang MK untuk memutuskan di luar apa yang dimohonkan.

6. Permohonan (Permohonan ke 2) Keberatan atas Keputusan KPU Jatim No. 01 Thn 2009 bertanggal 30 Januari 2009 tentang Penetapan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara (Pelaksanaan Putusan MK No. 41/PHPU.D-VI/2008) merupakan akibat dari putusan MK yang memerintahkan penghitungan dan pemungutan suara ulang.

Page 51: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

51Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Beberapa hal yang dapat disarankan antara lain : 1. MK diharapkan tetap berpegang pada Hukum Acara

MK yang mengatur mengenai objek perkara, tenggat waktu, pembuktian dan putusan. Keadilan yang harus diwujudkan adalah keadilan yang lahir dari sebuah kepastian hukum.

2. Dalam membuat suatu putusan diharapkan MK harus memikirkan akibat dari putusan tersebut. Dengan lahirnya Putusan MK Nomor 41/PHPU.D-VI/2008, menjadi tantangan tersendiri bagi MK untuk memberlakukan hal yang sama pada perkara yang serupa. Oleh sebab itu MK diharapkan mulai membangun yurisprudensinya.

Page 52: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

52 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

DAFTAR PUSTAKA

A. BukuBryan A. Garner (ed), 1999. Black’s Law Dictionary, Seventh

Edition, St Paul Minn : West Group.Christopher Allen, 2006. Practical Guide to Evidence, Third

Edition, Great Britain : Cavendish Publishing Limited.Fatkhurohman, et., al, 2004. Memahami Keberadaan Mahkamah

Konstitusi, Bandung : Citra Aditya Bakti.Indroharto, 1991. Usaha Memahami UU Tentang Peradilan Tata

Usaha Negara, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.Maruarar Siahaan, 2005. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi

Republik Indonesia, Jakarta : Konstitusi Press.Wirjono Prodjodikoro, 1967. Hukum Acara Pidana Di Indonesia,

Cetakan ke-6, Bandung : Sumur Bandung.

B. Peraturan Perundang-undanganUndang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah

KonstitusiUndang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan

DaerahUndang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang

Penyelenggaraan Pemilihan UmumUndang-Undang Nomor 12 tahun 2008 Tentang Perubahan

Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008 Tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil

Page 53: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

53Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Pemilihan Umum Kepala Daerah

C. Putusan Mahkamah KonstitusiPutusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PHPU.D-VI/2008Ketetapan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PHPUD.D-

VI/2008

D. Jurnal dan Sumber-Sumber Lainhttp://panmohamadfaiz.com/2008/12/03/putusan-

pemilihan-umum-kepala-daerah-pemilukada-jawa-timur/#more-471 diakses pada 27 Desember 2009.

h t t p : / / e n c y c l o p e d i a . t h e f r e e d i c t i o n a r y . c o m /judicial+activism, diakses pada 25 Desember 2009, pukul 23.00

Glossary Istilah Hukum Inggris-Indonesia, Jakarta: Asian Law Group, Indolaw, hukumonline, the Asia Foundation, AusAID dan USAID, 2005

E. KasusMarburry vs Madison 5 U.S. (1 Cranch) 137 (1803).

Page 54: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

54 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Page 55: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

55Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

IMPLIKASI PEMILIHAN GUBERNUR SECARA LANGSUNG TERHADAP KEDUDUKAN

GUBERNUR SEBAGAI WAKIL PEMERINTAH PUSAT

Inna Junaenah1

Abstract

The Ammendment of 1945 Constitution and The Law No. 32/2004 on Local Government determine The Chief of Local Government, including Governor to be elected directly by people. This paper explored that election system tends to empower authonomy in Province level but unoptimalize the role as Central Government representative. Since using theoretical and comparative study, the conclusion points that democracy by people participation needs another instruments. Furthermore, to support the discourse on Governor Election by Local Representative Council, some evaluation is the next idea in order to supervise qualification and work of this Body.

Keywords: governor, direct election, central government representative.

PendahuluanPengisian jabatan Gubernur saat ini diatur dengan

cara yang sama seperti pengisian jabatan Kepala Daerah

1 Dosen Fakultas Hukum Unpad. Sekretaris Bagian Hukum Tata Negara Fakul- Dosen Fakultas Hukum Unpad. Sekretaris Bagian Hukum Tata Negara Fakul-tas Hukum Unpad.

Page 56: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

56 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

pada satuan Pemerintahan Kabupaten/Kota, yaitu dipilih langsung oleh rakyat. Sejak kewenangan mengadili sengketa pemilihan kepala daerah beralih dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi, penyebutan pilkada beralih menjadi Pemilukada.2 UUD 1945 memberikan dasar bahwa Pemilu Kada diselenggarakan secara demokratis.3 Cara demokratis seperti itu ternyata diimplementasikan oleh UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dengan dipilih secara langsung oleh rakyat,4 dengan kemungkinan diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik, maupun calon perseorangan.5

Di lain pihak Gubernur memiliki keunikan tersendiri sehubungan dengan kedudukannya. Di satu sisi Gubernur berkedudukan sebagai Kepala Daerah Provinsi6 dan di sisi lain sebagai wakil Pemerintah Pusat.7 Dari dwi status ini, muncul kemungkinan suatu pertanyaan, apakah dengan pengisian jabatan seperti itu Gubernur cenderung lebih menunjukkan peran salah satu kedudukan itu atau justru akan seimbang? Berdasarkan hal tersebut perlu suatu kajian untuk menilai bagaimana pengaruh pemilukada khususnya Gubernur terhadap kedudukannya yang dualistis tersebut. Dalam tulisan ini dapat saja terjadi kekeliruan analisa. Maka dari itu segala kemungkinan koreksi sangat terbuka untuk mencapai pemahaman yang lebih utuh.

2 Akil Mochtar, dalam pernyataannya pada saat menerima kunjungan Kuliah Lapangan Mahasiswa FH Unpad ke Mahkamah Konstitusi, Jakarta, November 2009.3 Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 Perubahan Kedua.4 Pasal 24 ayat (5) UU No. 32 Tahun 2004.5 Ibid., lihat juga lebih lanjut dalam UURI Nomor 8 Tahun 2005 Tentang Pe- Ibid., lihat juga lebih lanjut dalam UURI Nomor 8 Tahun 2005 Tentang Pe-netapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerin-tahan Daerah Menjadi Undang-Undang dan UURI Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerin-tahan Daerah.6 Pasal 24 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004.7 Pasal 37 dan 38 UU No. 32 Tahun 2004.

Page 57: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

57Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Pembahasan

Pengaturan Pemilukada Secara LangsungSubstansi perubahan Pasal 18, khususnya ayat (4)

menyebutkan bahwa pemilihan Kepala Daerah dilakukan secara demokratis. Lebih tepat bunyi ayat tersebut adalah “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis”.8 Terhadap hal ini Bagir Manan mengemukakan bahwa dapat saja Kepala Daerah dipilih oleh DPRD.9 Walaupun demikian Bagir Manan menekankan akan pentingnya pemilihan secara langsung berkaitan dengan otonomi daerah.

Dalam perjalanannya, Pasal 18 ayat (4) tersebut diimplementasikan dengan pemilihan langsung oleh rakyat. Penerjemahan Pasal 18 ayat (4) seperti itu dipandang sebagai jawaban atas persoalan pemilukada yang semula dilaksanakan melalui sistem perwakilan. Salah seorang yang menganggap demikian adalah Samsul Wahidin. Menurutnya, penggunaan kata “demokratis” dalam Pasal 18 ayat (4) tersebut mengandung kerangka lama sistem pemilihan kepala daerah perlu ditata ulang.

Pemilukada diatur lebih lanjut dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam salah satu ketentuannya disebutkan bahwa Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan.10 Lebih lanjut dijelaskan bahwa Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat yang persyaratan dan tata caranya ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.11 8 Perubahan Kedua UUD 1945.9 Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Cetakan III, (Yogyakarta: UII Press, 2004), hlm. 17. 10 Pasal 24 ayat (5) UU No. 32 Tahun 2004.11 Penjelasan Umum UU No. 32 Tahun 2004.

Page 58: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

58 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dapat dicalonkan baik oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu yang memperoleh sejumlah kursi tertentu dalam DPRD dan atau memperoleh dukungan suara dalam Pemilu Legislatif dalam jumlah tertentu. Masih dalam Penjelasan Umum tersebut dikatakan pula bahwa Gubernur sebagai Kepala Daerah Provinsi berfungsi pula selaku wakil Pemerintah di daerah dalam pengertian untuk menjembatani dan memperpendek rentang kendali pelaksanaan tugas dan fungsi Pemerintah termasuk dalam pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan pada strata pemerintahan kabupaten dan kota.

Implikasi Pemilihan Gubernur Secara LangsungBerbagai pengalaman menunjukkan terdapat beberapa

sisi positif pemilukada secara langsung. Di antaranya disebutkan oleh Samsul Wahidin bahwa Pemilukada secara langsung dipandang sebagai bagian dari pembelajaran demokrasi. Dengan seperti ini rakyat benar-benar memilih sendiri seorang Kepala Daerah yang sesuai dengan aspirasinya. Selain itu disebutkan pula cara tersebut dapat memperkuat otonomi daerah. Tujun untuk mencapai sisi positif tersebut tampaknya sejalan dengan pendapat Bagir Manan mengenai otonomi untuk memelihara negara kesatuan. Dikatakan bahwa daerah yang otonom dan mandiri diberi tempat yang layak untuk mengurus rumah tangganya, sehingga tidak ada alasan bagi daerah untuk memisahkan diri dari Republik Indonesia. 12Kedua pendapat tersebut sangat tepat terutama untuk diterapkan pada tingkat Kabupaten/Kota dengan semangat otonomi sebagai ujung tombak untuk memudahkan pelayanan publik.

12 Bagir Manan, Menyongsong... op.cit., hlm. 3.

Page 59: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

59Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Agak unik ketika kehendak positif tersebut diterapkan pada pemilihan Gubernur. Tersirat suatu kehendak bahwa kedudukan sebagai wakil Pemerintah Pusat akan lebih kuat jika mendapat legitimasi rakyat secara langsung. Di satu sisi Gubernur berkedudukan sebagai wakil Pusat, sekaligus di sisi lain juga sebagai Kepala Daerah yang diberi otonomi, walaupun terbatas. Pasal 37 dan 38 UU No. 32 Tahun 2004 menyebutkan bahwa sebagai wakil Pusat, Gubernur mempunyai fungsi koordinasi, pembinaan, dan pengawasan. Sementara itu sebagai Kepala Daerah, Gubernur memimpin daerah provinsi dengan urusan yang disebutkan dalam Pasal 13 UU tersebut. Dalam hal ini Wakil Gubernur Jawa Barat, Dede Yusuf berpendapat bahwa dengan Pemilihan langsung Gubernur yang terpilih merasa percaya diri, karena itu merupakan itu hasil legalitas dari pemilihan rakyat.13

Bagaimanapun, diskusi mengenai pemilukada khususnya bagi Gubernur belum betul-betul final. Terdapat berbagai tantangan yang perlu diperhatikan sebagai implikasi dari pelaksanaan pemilihan secara langsung. Salah satu fungsi yang banyak mengemuka adalah permasalahan mengenai koordinasi. Untuk melaksanakan fungsi koordinasi Gubernur, tampak bergantung kepada suatu peraturan pelaksana. Hal itu ditunjukkan dengan kesulitan yang dirasakan oleh Gubernur Kalimantan Selatan (Kalsel) Rudy Ariffin.14 Menurutnya karena belum ada penjabaran undang-undang No. 32 Tahun 2004, membuat bupati maupun wali kota seakan-akan memiliki kewenangan penuh untuk menentukan kebijakan daerahnya sehingga tidak perlu melakukan koordinasi dengan gubernur. Contoh lainnya seperti yang disuarakan

13 Rudi Kurniawansyah, “Raker Gubernur Se-Indonesia tidak Hasilkan Keputusan”, http://www.mediaindonesia.com/read/2009/12/12/113231/3/1/Raker-Gubernur-Se-Indonesia-tidak-Hasilkan-Keputusan, diakses pada tanggal 23 Januari 2010.14 Oto,“Gubernur Sulit Koordinasi dengan Bupati”, http://bataviase.co.id/node/27556, diakses pada Tanggal 24 januari 2010.

Page 60: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

60 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

oleh seorang anggota masyarakat, sebagai berikut:15

”Setiap hari saya melewati Jalan Diponegoro di kota Palu. Sebenarnya tidak ada yang istimewa terhadap jalan ini kecuali sebagai jalan poros apabila kita jalan darat menuju Sulawesi Barat. Aspalnya tidak terlalu mulus dan lebarnya pun hanya sekitar 5 meter. Sepanjang jalan itu belum lama ini, terdapat galian untuk pembangunan kabel serat optik. Belum selesai pekerjaan itu, masih pada jalan yang sama, ada lagi galian untuk pelebaran jalan. Setelah itu mungkin ada lagi galian lain seperti pipa air. Setelah pembangunan pipa air, jalan kemudian dibongkar lagi karena ada pembangunan trotoar. Pohon-pohon disepanjang jalan itu banyak yang ditebang. Tentu ini sangat mengurangi kenyamanan dan sangat mengganggu pelayanan publik”.

Dengan keadaan seperti itu masyarakat juga dirugikan

sebagai dampak dari kekurangan koordinasi antar instansi. Tidak dapat lepas juga untuk turut diperhatikan mengenai suatu pandangan bahwa dalam konteks pemerintahan daerah, lemahnya koordinasi justru dipengaruhi oleh demokrasi secara langsung. Termasuk mereka yang terpilih menjadi Gubernur adalah dari partai yang mungkin berbeda dengan Presiden atau Menteri Dalam Negeri. Dalam hal ini Hikmahanto Juwono memandang sebagai berikut:16

“Chain of command untuk mengimplementasi kebijakan kerap terkendala. Kerap terjadi kondisi di mana kepala daerah harus mendahulukan

15 Saleh Awal, “Perlu koordinasi dalam pembangunan infrastruktur”, http://salehawal.blogspot.com/2009/01/perlu-koordinasi-dalam-pembangunan.html, 24 Januari 2010.16 Hikmahanto Juwono, “Koordinasi Antarinstansi”, http://news.okezone.com/index.php/read/2009/05/28/58/223811/koordinasi-antarinstansi, diakses pada tanggal 24 Januari 2010.

Page 61: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

61Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

kepentingan rakyat pemilihnya daripada kepentingan pemerintah pusat. Apalagi bila ada kebijakan yang saling bertentangan. Bahkan instruksi partai akan lebih dikedepankan daripada instruksi pemerintah pusat. Ini karena apa yang ditafsirkan sebagai amanah, mandat rakyat, serta janji kampanye bisa berbeda dengan garis kebijakan yang diambil oleh pemerintah pusat dalam tataran yang paling konkret. Berbeda dengan di Provinsi DKI Jakarta. Gubernur pun tidak lagi berperan sebagai pemimpin yang menentukan, tetapi hanya sebagai koordinator para bupati atau wali kota.”

Bahkan permasalahan koordinasi seperti ini disampaikan juga dalam pandangan Bappenas terkait pelaksanaan pembangunan perkotaan.17 Salah satu isunya adalah terdapat fragmentasi sektoral dan fungsional pelaksanaan pembangunan perkotaan, berkaitan dengan efisiensi maupun efektifitas pelaksanaan manajemen perkotaan. Konsekuensinya adalah miskoordinasi antar pelaku pembangunan perkotaan di tingkat pusat maupun di daerah (ex: tumpang tindih kebijakan dan regulasi antar departemen, lemahnya kerja sama antardaerah di kawasan perkotaan skalabesar, dll).18

Sepanjang berdiri Negara RI, kedudukan Gubernur sebagai perpanjangan Pemerintah Pusat masih dipertahankan, sekalipun setelah reformasi yang mengukuhkan era otonomi daerah. Bahkan di masa lalu, semacam perantara antara Pemerintah Pusat dengan Daerah pernah diterapkan tidak saja bagi Kepala Daerah Kabupaten/Kota tetapi juga pada

17 Deputi Bidang Pengembangan Regional Dan Otonomi Daerah Bappenas, “Koordinasi Pembangunan Perkotaan Dalam USDRP”, www.usdrp-indonesia.org/files/downloadContent/57.pdf, diakses pada 24 Januari 2010.18 Ibid.

Page 62: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

62 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Daerah Tingkat III. Alasan yang paling kuat mengapa pada Gubernur hal itu dipertahankan adalah keutuhan Negara Kesatuan.19 Kembali kepada mengapa diskursus mengenai pemilukada bagi Gubernur dipandang belum betul-betul final adalah terkait dengan kedudukan sebagai wakil Pusat ini.

Telah disebutkan sebelumnya bahwa salah satu sisi baik dari pemilukada adalah untuk memperkuat otonomi. Berkaitan dengan hal ini terdapat berbagai kemungkinan ketika otonomi menguat pada tingkat Provinsi. Pertama, di antara dwi status tersebut Gubernur akan cenderung lebih berperan sebagai Kepala Daerah. Hal tersebut terkait dengan latar belakang bahwa Gubernur memiliki konstituen yang pernah dijanjikan dalam kampanye. Dalam hal terdapat suatu pertentangan, Gubernur akan lebih menuruti partainya daripada pemerintah Pusat yang diwakilinya. Gubernur sama-sama menjadi pelaku pembangunan sebagaimana yang dilakukan oleh Bupati/Walikota. Dalam hal ini koordinasi antara program Gubernur dengan Bupati/Walikota sangat penting.

Jika dengan pemilihan Gubernur dilakukan secara langsung, justru akan terjadi tarik ulur antara kedudukan sebagai wakil Pusat atau Kepala Daerah. Dapat saja Gubernur melaksanakan tugas sebagai wakil Pusat yang diturunkan secara tertulis dan tegas. Walaupun begitu tugas lainnya yang tidak tertulis dapat saja harus dilaksanakan misalnya berkaitan dengan fungsi koordinasi atau pembinaan. Dengan demikian, pemilukada secara langsung tidak linier dengan kedudukan Gubernur sebagai wakil Pusat. Tugas dekonsentrasi yang diberikan kepada Gubernur dalam pendapat Ateng Syafrudin adalah beban kerja kepada

19 Eko Yahya, Pasang Surut Otonomi dan Dinamika Sistem Pemerintahan Daerah., (Bandung: Ceplos, 2002), hlm. 24.

Page 63: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

63Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

staf di luar ibu kota negara.20 Sementara itu, kehedak dari pemilukada secara langsung adalah untuk memperoleh legitimasi rakyat. Yang menjadi kecenderungan terjadi adalah bahwa Gubernur akan menjadi pelaku pembangunan sebagai pemenuhan janji-janji kampanyenya, sehingga tugas sebagai pemerintahan umum dalam hal pembinaan, pengawasan, dan koordinasi, kurang terlaksana dengan optimal. Perlu kiranya diperhatikan pandangan Ateng Syafrudin21 bahwa dengan pengendalian dan koordinasi yang baik, maka dalam penyelenggaraan pemerintahan: (1) dapat dicegah dan dihilangkan titik pertentangan, (2) para pejabat/petugas terpaksa berpikir dan dicegah terjadi kesimpangsiuran dan duplikasi kegiatan, (3) petugas karena dalam rangka koordinasi mereka mau tidak mau harus mendapatkan cara dan jalan yang cocok bagi pelaksanaan-pelaksanaan tugas secara menyeluruh dan mencapai keseimbangan dan keserasian. Maka dari itu dikatakan bagi penyelenggaraan pemerintahan, terutama di daerah, koordinasi bukan hanya bekerja sama, melainkan juga integrasi dan sinkronisasi yang mengandung keharusan penyelarasan unsur-unsur jumlah dan penentuan waktu kegiatan di samping penyesuaian perencanaan, dan keharusan ada komunikasi yang teratur di antara sesama pejabat/petugas yang bersangkutan.

Kedua, semakin kuat otonomi pada Tingkat Provinsi cenderung akan melemahkan otonomi di Kabupaten/Kota dengan tetap tergantung kepada program-program Gubernur. Pelayanan publik makin banyak harus dilaksanakan oleh perangkat provinsi, dan ini mengurangi salah satu hakikat otonomi untuk mendekatkan pelayanan publik karena

20 Ateng Syafrudin dalam Gunawan Undang (ed), 80 Tahun Prof. Dr. H. Ateng Syafrudin, S.H. Mengarungi Dua Samudera, Setengah Abad Pemikiran Seorang Pamongpraja dan Ilmuwan Hukum Tata Pemerintahan”, (Bandung: Sayagatama, 2006), hlm. 214.21 Ateng Syafrudin, Pengaturan Koordinasi Pemerintahan di Daerah, (Bandung: Tar-sito, 1976), hlm. 221.

Page 64: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

64 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

jarak antara pemerintah Provinsi dengan rakyat terlalu jauh. Sementara itu pada tingkat Kabupaten/Kota yang lebih membutuhkan pembinaan dan fasilitasi, kurang terberdayakan kemampuan dan kemandiriannya.

Dalam hal pandangan di atas keliru, kemungkinan lain dapat saja bahwa karena kewenangan provinsi ditentukan oleh undang-undang, maka tidak berimplikasi secara signifikan terhadap apakah otonomi di Provinsi menguat atau tidak dengan pemilu secara langsung. Dengan seperti itu tampak bahwa pemilihan langsung tidak serta merta memberi keleluasaan Gubernur untuk memenuhi janj-janjinya, sepanjang otonomi provinsi belum diperluas. Jadi partisipasi rakyat akan suaranya tidak serta merta akan menentukan maju mundur suatu provinsi, karena otonomi yang terbatas. Namun demikian suara rakyat bagi Gubernur tampak terlalu jauh dan tidak seimbang dengan maksud pembelajaran berdemokrasi. Kesadaran akan hal itu salah satunya tercermin di Perancis, bahwa partisipasinya dalam pemilihan umum terutama nasional terlalu jauh serta tidak memiliki dampak bagi masyarakat lokal.22 Partisipasi anggota perkumpulan lebih tercermin dalam pemerintahan lokal yang basisnya pada commune. Dikatakan oleh Eko Prasojo23 bahwa pada dasarnya fungsi yang dimainkan oleh masyarakat ini adalah fungsi penyeimbang dan fungsi admnistrasi. Fungsi penyeimbang berupa advokasi dan menjadi sarana artikulasi kepentingan masyarakat yang tidak diperhatikan oleh anggota conceil. Sementara itu fungsi administrasi berupa tindakan perkumpulan untuk menghubungkan antara kepentingan negara dengan kepentingan masyarakat.

22 Eko Prasojo, Pemerintahan Politik Lokal di Jerman dan Perancis, (Jakarta: Salemba Humanika, 2009), hlm. 203.23 Ibid., hlm. 204.

Page 65: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

65Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Pengisian Gubernur: Menguatkan AlternatifSaat ini telah bermunculan berbagai gagasan mengenai

kedudukan, kewenangan, dan pengisian Gubernur, khususnya jika dikaitkan dengan kedudukannya sebagai wakil Pemerintah Pusat. Di antara gagasan tersebut adalah yang dilansir Eko Prasojo supaya kedudukan dan kewenangan Gubernur menjadi setingkat menteri.24 Selain itu ada pula wacana supaya Gubernur dipilih oleh DPRD25, atau juga melalui pengangkatan oleh Presiden26. Merespon wacana tersebut bagian tulisan ini tidak hendak mengemukakan suatu gagasan yang baru, melainkan hanya memperkuat alternatif-alternatif yang pernah mengemuka seperti yang disebutkan di atas. Sebelum sampai demikian, terlebih dahulu dapat dikemukakan terlebih dahulu sekilas suatu contoh pengisian jabatan di Perancis.27 Kepala Daerah Provinsi disebut prefet yang diangkat oleh Presiden atas usul Menteri Dalam Negeri. Prefet mempunyai status sebagai pejabat Pemerintah Pusat. Dikatakan oleh Ateng Syafrudin bahwa kewenangan prefet luas, di antaranya mengangkat pegawai di tingkat provinsi termasuk guru-guru dari semua tingkatan. Selain itu juga mengawasi dan membawahkan Kepolisian Negara, mengawasi juga Pemerintahan Kotapraja yang ada di dalam provinsinya. Baru pada tingkat Kotapraja, Kepala Daerah yang dipilih oleh dan dari anggota DPR Kotapraja. Kedudukan sebagai wakil Pemerintah juga disandang oleh Walikota, yang tidak digaji melainkan tunjangan kehormatan. Hubungan hirarkis antara Walikota dengan satuan pemerintah di atasnya tampak dengan kemungkinan

24 Eko Prasojo, “Kontroversi Kewenangan Gubernur”, http://els.bappenas.go.id/upload/other/ Kontroversi%20Kewenangan%20Gubernur.htm, diakses 24 Agustus 2009.25 pernyataan Ryass Rasyid dalam Pikiran Rakyat, “Gubernur Harus Dipilih DPRD”, 22 Januari 2010.26 Gagasan ini pernah dilontarkan oleh Mantan Menteri Dalam Negeri, Rudini.27 Ateng Syafrudin Gunawan Undang (ed), 80 Tahun ...., op.cit., hlm. 240-241.

Page 66: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

66 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

dapat diskors satu bulan oleh prefet dan 3 bulan oleh Menteri Dalam Negeri jika melakukan suatu tindakan yang menyalahi hukum. Memang tercatat terdapat kekurangan dari penataan commune, yang dinilai terlalu banyak sehingga menimbulkan ketergantungan kepada department atau region (provinsi).28 Walaupun demikian hal tersebut tidak secara langsung signifikan terkait dengan telaah pengisian jabatan Gubernur.

Berdasarkan beberapa hal yang telah dibahas di atas, berkaitan dengan kedudukan Gubernur dalam kerangka negara kesatuan dan bagaimana pengisian jabatannya, dapat dikemukakan sebagai berikut:1) Untuk kepentingan pelaksanaan fungsi pembinaan,

pengawasan, koordinasi dan fasilitasi oleh Gubernur sebagai Wakil Pusat Gubernur harus berkapasitas dan berkemampuan untuk mendorong kemampuan daerah, karena titik berat otonomi yang pernah dirancang oleh Mohammad Yamin, Hatta, dan Soepomo adalah pada Kabupaten/Kota.29 Jika terdapat program-program pembangunan yang ditugaskan kepada Gubernur, sebaiknya diintegrasikan dengan program pembangunan Kabupaten/Kota. Perencanaan program tersebut lebih sinergis pada saat Kabupaten/Kota sedang menyusun rancangan program, sedikitnya pada rencana kerja tahunan. Maka dari itu, Akan lebih tepat jika Gubernur diangkat oleh Presiden atas usulan Menteri Dalam Negeri untuk mendukung kedudukannya sebagai Wakil Pusat. Dengan demikian diharapkan dapat menjalankan urusan pemerintahan umum dalam rangka menjaga keutuhan negara kesatuan.

2) Tugas Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat kelihatannya terbatas, tetapi kenyataannya cukup luas.30

28 Eko Prasojo, Pemerintahan..., op.cit., hlm. 187.29 Ateng Syafrudin dalam Gunawan Undang (ed), 80 Tahun..., op.cit., hlm. 292.30 Sunindhia dan Ninik Widiyanti, Kepala Daerah dan Pengawasan dari Pusat, (Ja-

Page 67: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

67Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Suatu pendapat mengatakan bahwa di negara Eropa untuk hubungan nasional dan sub nasional tidak ada demokrasi.31 Walaupun pendapat ini terlalu ekstrem, namun memiliki sisi baik untuk kepentingan keutuhan negara kesatuan. Dalam tugas dekonsentrasi yang diemban Gubernur, dasar permusyawaratan itu tidak ada, dekonsentrasi dapat hadir tanpa menghiraukan corak negara atau sistem kenegaraan.32 Kehadiran dekonsentrasi, semata-mata untuk melancarkan pemerintahan sentral/Pusat di Daerah33 atau yang juga disebut urusan pemerintahan umum. Terhadap otonomi, Pemerintah Pusat dapat saja kapan pun memperluas dan mempersempit. Namun demikian, kedaulatan rakyat yang menjadi salah satu prinsip penyelenggaraan bernegara dalam UUD 194534 tidak dapat begitu saja dikesampingkan. Maka dari itu pembelajaran demokrasi yang pada hakikatnya adalah partisipasi rakyat dipraktikkan oleh rakyat, bukan oleh suprastruktur.

Hal ini dapat dicontoh dari Jerman dengan keberadaan Burgerbegehren dan Burgerentscheiden.35 Demokrasi langsung merupakan salah satu perkembangan yang terjadi dalam sistm demokrasi di Jerman, baik pada level negara bagian maupun pemerintahan local. Instrumen demokrasi langsung diwujudkan dalam bentuk tuntutan masyarakat (Burgerbegehren), sedangkan keputusan masyarakat (Burgerentscheiden) merupakan pelembagaan formal dalam sistem politik dan pemerintahan lokal di Jerman. Beberapa pakar hukum berpendapat bahwa

karta Bina: Aksara, 1987), hlm. 111-112.31 Eko Prasojo, Pemerintahan Politik..., hlm. 178.32 Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indo-nesia, Edisi Revisi, (Bandung: Alumni, 1997), hlm. 274-275.33 Ibid.34 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, (Jakarta: Konpress, 2004), hlm. 70. 35 Eko Prasojo, Pemerintahan Politik Lokal...., op.cit., hlm. 92-94.

Page 68: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

68 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

demokrasi langsung dalam kedua bentk ini merupakan pelengkap dari demokrasi perwakilan.Dalam tulisannya yang lain, Ateng Syafrudin menuliskan,

“Makin luas otonomi daerah dalam rangka desentralisasi, makin sedikit fungsi-fungsi dekonsentrasi”.36 Dengan demikian, jika pada Gubernur makin menguat otonomi karena pengaruh pemilihan secara langsung maka akan makin sedikit Gubernur memainkan perannya sebagai Wakil Pusat. Pada praktiknya hal itu terutama terlihat terhadap fungsi-fungsi yang belum dirasakan terdapat penjabarannya, walaupun dapat saja dengan bersumber dari freies ermessen37, gubernur dapat melakukan tindakan-tindakan nyata. Jika yang menjadi pertimbangan utama pengisian jabatan Gubernur adalah demokrasi, maka tidak harus dijawab dengan demokrasi langsung. Tidak semua hal dapat dilakukan dengan demokrasi langsung dan kepentingan minoritas dapat dengan mudah diabaikan oleh kepentingan mayoritas.38

Kesimpulan dan SaranBerdasarkan uraian di atas, dapat dikemukakan suatu

kesimpulan bahwa pemilihan kepala daerah secara langsung, khususnya untuk mengisi jabatan Gubernur, tampaknya cenderung menjadikan Gubernur lebih perperan sebagai Kepala Daerah dari pada sebagai Wakil Pemerintah Pusat. Padahal peran sebagai Wakil Pusat yang saat ini cukup berat dan tidak semua terjabarkan dalam peraturan pelaksana adalah berkaitan dengan fungsi koordinasi. Sementara itu, peran sebagai Kepala Daerah itu sendiri memiliki implikasi bahwa terdapat dua pelaku pembangunan di suatu daerah, yaitu Bupati/Walikota daerah yang bersangkutan dan

36 Ateng Syafrudin dalam Gunawan Undang (ed), 80 Tahun..., op.cit., hlm. 217.37 Ateng Syafrudin, Kepala Daerah, (Bandung: PT Citra Aditya Bhakti, 1994), hlm. 45-46.38 Eko Prasojo, Pemerintahan..., op.cit., hlm. 93.

Page 69: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

69Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Gubernur yang melaksanakan program pembangunan di daerah yang sama. Dalam hal inipun fungsi koordinasi sangat penting.

Berkaitan dengan hal itu, ke depan dapat dipertimbangkan untuk dikembangkan suatu aspirasi dari Pemerintah Kota bahwa sebaiknya Gubernur tidak sekaligus menjadi Kepala Daerah. Peran pengawasan oleh Gubernur saat ini sudah cukup jelas diatur, terutama terhadap peraturan daerah. Lebih dari itu, dibutuhkan peran Gubernur dalam hal pembinaan bagi Kabupaten/Kota, koordinasi kegiatan oleh instansi vertikal yang dilaksanakan di provinsinya, dan koordinasi kegiatan, kerja sama, yang dilakukan oleh Kabupaten/Kota. Maka dari itu, pengisian jabatan Gubernur sebaiknya tidak dipilih, melainkan Pemerintah Pusat yang menentukan dan mengangkat Gubenur. Hubungan antara Gubernur dengan Pemerintah Pusat bersifat kepegawaian. Dalam lingkungan desentralisasi dapat saja fungsi dekonsentrasi dilaksanakan, karena dekonsentrasi merupakan mekanisme untuk menyelenggarakan urusan Pusat di Daerah (bersifat kepegawaian/”ambtelijk”).39

Langkah di atas tampak terlalu jauh sehubungan harus terlebih dahulu mengubah Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Oleh karena itu dapat saja diskursus supaya Gubernur dipilih oleh DPRD dikuatkan. Bukan saja untuk menghindari kecenderungan federalisme, tetapi juga diarahkan untuk memperjelas penjabaran urusan Gubernur. Prinsip demokrasi pada level provinsi tidak berhenti begitu saja dengan mekanisme pemilihan oleh DPRD tanpa mengevaluasi kembali pengalaman di masa lalu. Artinya, pengawasan terhadap DPRD dimulai dari kriteria pencalonan perlu dikaji lebih lanjut. Bahkan dapat saja dengan kedudukannya sebagai wakil Pusat, justru Gubernur yang diberi tugas oleh Pusat untuk mengawasi DPRD.**39 Ibid., hlm. 284.

Page 70: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

70 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Daftar Pustaka

Ateng Syafrudin, 1994. Kepala Daerah, Bandung: PT. Citra Aditya.

______________, 1976. Pengaturan Koordinasi Pemerintahan di Daerah, Bandung: Tarsito.

Bagir Manan, 2004. Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Cetakan III, Yogyakarta: UII Press.

Bagir Manan dan Kuntana Magnar, 1997. Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Edisi Revisi, Bandung: Alumni.

Deputi Bidang Pengembangan Regional Dan Otonomi Daerah Bappenas, “Koordinasi Pembangunan Perkotaan Dalam USDRP”, www.usdrp-indonesia.org/files/downloadContent/57.pdf, diakses pada 24 Januari 2010.

Eko Prasojo, 2009. Pemerintahan Politik Lokal di Jerman dan Perancis, Jakarta: Salemba Humanika.

__________, “Kontroversi Kewenangan Gubernur”, http://els.bappenas.go.id /upload/other/ Kontroversi%20Kewenangan%20Gubernur.htm, diakses 24 Agustus 2009

Gunawan Undang (ed), 80 Tahun Prof. Dr. H. Ateng Syafrudin, S.H., Mengarungi Dua Samudera, Setengah Abad Pemikiran Seorang Pamongpraja dan Ilmuwan Hukum Tata Pemerintahan, Bandung: Sayagatama, 2006.

Hikmahanto Juwono, “Koordinasi Antarinstansi”, h t t p : / / n e w s . o k e z o n e . c o m / i n d e x . p h p /read/2009/05/28/58/223811/koordinasi-antarinstansi, diakses pada tanggal 24 Januari 2010.

Jimly Asshiddiqie, 2004. Konstitusi dan Konstitusionalisme, Jakarta: Konpress.

Page 71: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

71Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Oto,“Gubernur Sulit Koordinasi dengan Bupati”, http://bataviase.co.id/node/27556, diakses pada Tanggal 24 januari 2010.

Pikiran Rakyat, “Gubernur Harus Dipilih DPRD”, 22 Januari 2010.

Rudi Kurniawansyah, “Raker Gubernur Se-Indonesia tidak Hasilkan Keputusan”, http://www.mediaindonesia.com/read/2009/12/12/113231/3/1/Raker-Gubernur-Se-Indonesia-tidak-Hasilkan-Keputusan, diakses pada tanggal 23 Januari 2010.

Saleh Awal, “Perlu koordinasi dalam pembangunan infrastruktur”, http://salehawal.blogspot.com/2009/01 /perlu-koordinasi-dalam-pembangunan.html, 24 Januari 2010.

Sunindhia dan Ninik Widiyanti, 1987. Kepala Daerah dan Pengawasan dari Pusat, Jakarta: Bina Aksara.

Page 72: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

72 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Page 73: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

73Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

POLITIK HUKUM PEMEKARAN DAERAH DIKAITKAN DENGAN TUJUAN OTONOMI

SELUAS-LUASNYA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG DASAR 19451*

Agus Kusnadi2, Bilal Dewansyah3

Abstract

The local government secession, as we call as “pemekaran”, became more extensive since the enactment Law Number 22 Year 1999 regarding Municipal Government and continued after Law Number 32 Year 2004 enacted in the context of local government establishment. Besides “pemekaran”, those two legislations also regulated the other form of local government establishment, namely “penggabungan daerah” (amalgamation), but never used until now. There are several problems raised from this phenomenon such as: the lack of qualified available human resources, the weakness of local government capacity to managed natural resources, horizontal conflicts, area borders, provincial funding, transfers of government official, and the burden of national budget transfers. This article aims to find out what the legal policy of local government secession is and how it related to the aims of widespread autonomy based on 1945 1 Tulisan ini disarikan dari laporan penelitian berjudul “Politik Hukum Pemek-Tulisan ini disarikan dari laporan penelitian berjudul “Politik Hukum Pemek-aran Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemer-intahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah Dikaitkan Dengan Tujuan Otonomi Seluas-luasnya Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945”, (Bandung: Fa-”, (Bandung: Fa-kultas Hukum Unpad). Penelitian ini, dibiayai oleh DIPA Fakultas Hukum Unpad 2008.2 Dosen Fakultas Hukum Unpad.3 Asisten Dosen di Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Unpad.

Page 74: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

74 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Constitution as the mains principle on Indonesia decentralization. In the other word, is the legal policy have the positive relevance to the goals of the widespread autonomy principle based on 1945 Constitution?

Keywords: local government, secession, widespread autonomy principle.

PendahuluanSejak pemberlakuan UU No. 22 Tahun 1999 tentang

Pemerintahan Daerah yang kemudian digantikan dengan UU No. 32 Tahun 2004, pembentukan daerah otonom terus terjadi. Hingga bulan Agustus 2008, telah terbentuk 191 daerah otonom baru yang terdiri dari 7 provinsi, 153 kabupaten, dan 31 kota.4 Saat ini Indonesia memiliki 510 daerah otonom, yang terdiri dari 33 provinsi, 386 kabupaten, dan 91 kota.5

Dalam prakteknya, pemekaran daerah menumbulkan sejumlah masalah, antara lain. Masalah pemekaran daerah lainnya yang terjadi misalnya daerah-daerah baru tersebut cukup berhasil membangun kelembagaan lokal yang efektif, namun belum berhasil dalam kualitas dan ketersediaan sumber daya manusia (aparatur) serta berkapasitas lemah untuk mengelola sumber daya alam (potensi ekonomi) yang ada.6 Masalah lainnya, yaitu munculnya konflik horizontal7,

4 Pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam Pidato Kenegaraan di hadapan anggota DPD di Gedung DPD, Jakarta, Jumat, 22 Agustus 2008. Inilah.com, “Tahukah Anda Jumlah Daerah Otonom RI?”, diakses dari http://www.inilah.com/berita/politik/2008/08/22/45388/tahukah-anda-jumlah-daerah-otonom-ri/, pada tanggal 11 Februari 2009, pukul 15.18 WIB.5 Ibid.6 Dari 104 daerah (97 Kabupaten dan 5 Propinsi) yang terbentuk antara tahun 2000-2004, sekitar 73 daerah (76%) dinilai bermasalah. Lihat dalam Robert Endi Jaweng, “Menimbang Regulasi Baru Pemekaran Daerah”, Sinar Harapan, 27 Febru-ari 2008. 7 Misalnya, konflik horizontal di kawasan Aralle, Tabulahan, dan Mambi karena pemekaran Kabupaten Polewali Mamasa menjadi Kabupaten Polewali Mandar dan Kabupaten Mamasa berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2002. Namun

Page 75: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

75Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

konflik antara daerah otonom baru dengan daerah induk8, masalah batas wilayah9, dukungan dana dari daerah induk, masalah perpindahan pegawai negara sipil (PNS) 10, serta masalah bertambahnya beban keuangan negara.11

Masalah-masalah di atas menimbulkan pertanyaan, bagaimanakah politik hukum pemekaran daerah dikaitkan dengan masalah-masalah di atas dan apakah mekanisme pemekaran daerah sejalan dengan tujuan otonomi seluas-luasnya? Hal ini terkait dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam UUD 194512 yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah.13

demikian, pemekaran itu justru melahirkan konflik horizontal antara kelompok yang pro pemekaran (setuju bergabung dengan Mamasa) dan yang kontra pemeka-ran (tetap bergabung dengan Polewali Mandar). Kompas, 6 Maret 2008.8 Misalnya antara Kabupaten Bau-Bau dan Kabupaten Buton di Provinsi Sul- Misalnya antara Kabupaten Bau-Bau dan Kabupaten Buton di Provinsi Sul-wesi Tenggara karena perebutan aset daerah. Jumrana, “Meninjau Pemekaran Wi-layah di Provinsi Sulawesi Tenggara”, makalah, disampaikan dalam Seminar In-ternasional ke-8 Dinamika Politik Lokal di Indonesia: Penataan Daerah (Territorial Reform) dan Dinamikanya, (Salatiga: Lembaga Percik – Ford Foundation, 17 – 19 Juli 2007), hlm 17. 9 Menurut Direktur Jenderal Otonomi Daerah Depdagri, 79 persen daerah otonom baru belum memiliki batas wilayah yang jelas. Sumber: http://www.apkasi.or.id/modules.php?name=News&file=article&sid=117, diunduh pada tanggal 18 Februari 2009, pukul 10.00 WIB.10 Menurut Direktur Jenderal Otonomi Daerah Depdagri, 89,48 persen daerah induk belum memberikan dukungan dana kepada daerah otonomi baru dan 84,2 persen pegawai negeri sipil (PNS) sulit dipindahkan dari daerah induk ke daerah pemekaran. Ibid 11 Lihat Sri Mulyani Indrawati dalam Semiloka Nasional Grand Strategy Penataan Daerah Di Indonesia yang difasilitasi oleh Kemitraan bekerjasama dengan Departemen Dalam Negeri (Depdagri) pada tanggal 18-19 Desember 2008 di Hotel Gran Melia, Jakarta. http://www.kemitraan.or.id/partnership-events/events-highlight/for-the-sake-of-rescuing-the-restructuring-of-the-regions-in-indonesia/lang-pref/id/, diunduh pada tanggal 11 Februari 2009 pukul 15.25 WIB.12 Lihat Pasal 18 ayat (5) Perubahan Kedua UUD 1945.13 Lihat Pasal 2 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004.

Page 76: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

76 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Hasil Penelitian

Politik Hukum Pemekaran Daerah Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 dan PP No. 78 Tahun 2007

Politik hukum pemekaran daerah dapat dilihat dari aspek tujuan pemekaran dan cara pembentukan daerah otonom.14 UU No. 32 Tahun 2004 tidak merumuskan secara tegas tujuan pembentukan daerah otonom (baru) dalam pasal-pasalnya. Namun demikian, tujuan pemekaran daerah dapat diketahui dapat penjelasan UU No. 32 Tahun 2004,15 tujuan pembentukan daerah, termasuk pemekaran daerah.

Dalam Penjelasan Umum (angka II) UU No. 32 Tahun 2004, dinyatakan bahwa:“Pembentukan daerah pada dasarnya dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat di samping sebagai sarana pendidikan politik di tingkat lokal”. Dari penjelasan umum di atas, ada dua tujuan (atau maksud) dari pembentukan daerah otonom, yaitu: 1) untuk meningkatkan pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat; 2) sebagai sarana pendidikan politik di tingkat lokal. Sebagai perbandingan, pada masa UU No. 22 Tahun 1999, tujuan pembentukan daerah tidak diatur dalam UU

14 Ruang lingkup politik hukum menurut Satjipto Rahardjo , yang mencakup: (1) tujuan yang hendak dicapai melalui sistem yang ada; (2) cara yang digunakan serta cara terbaik yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut; (3) waktu dan cara yang dilakukan untuk mengubah hukum; dan (4) kemungkinan perumusan pola yang baku untuk membantu memutuskan proses pemilihan tujuan serta cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut dengan baik. Lihat Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum,( Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 352 – 353. Kami menggunakan 2 ruang lingkup pertama dari politik hukum di atas untuk mengidentifikasi politik hukum pemekaran daerah sebagai bagian dari pembentukan daerah yang berlaku saat ini. 2 ruang lingkup terakhir dari politik hukum di atas, tidak digunakan, karena lebih bersifat turunan dari 2 ruang lingkup pertama.15 Menurut Bintan R. Saragih, politik hukum dapat diketahui dalam penjelasan suatu peraturan perundang-undangan. Bintan R. Saragih, Politik Hukum, (Bandung: C.V. Utama, 2006), hlm. 38.

Page 77: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

77Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

tersebut, namun diatur dalam PP No. 129 Tahun 2000 sebagai peraturan pelaksananya.16 Dari perbandingan tersebut dapat disimpulkan bahwa pada masa UU No. 22 Tahun 1999, tujuan pembentukan daerah hanya satu, yaitu peningkatan kesejahteraan masyarakat, namun disertai dengan rumusan cara pencapaian tujuan tersebut. Cara-cara pencapaian tersebut dapat dianggap sebagai indikator (standar pencapaian tujuan) keberhasilan pembentukan daerah. Dengan tidak dirumuskannya indikator pencapaian tujuan pembentukan daerah dalam UU No. 32 Tahun 2004, maka dikhawatirkan proses evaluasi daerah otonom baru menjadi tidak terukur.

Dalam PP No. 78 Tahun 2007, tujuan pembentukan daerah juga tidak dirumuskan dalam pasal-pasal, melainkan dalam penjelasan, sehingga berbeda dengan PP No. 129 Tahun 2000. Penjelasan Umum PP No. 78 Tahun 2007 hanya menyinggung 1 tujuan pembentukan daerah yaitu: untuk meningkatkan pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat,17 tanpa merumuskan indikator pencapaian tujuan tersebut seperti dalam PP No. 129 Tahun 2000. Walaupun dalam PP No. 129 Tahun 2000 indikator pencapaian tujuan pembentukan daerah diatur, namun hasil dari pembentukan daerah (khususnya pemekaran) sulit diukur, bagaimana jika hal tersebut tidak dirumuskan secara eksplisit seperti dalam PP No. 78 Tahun 2007?18

16 Dalam Pasal 2 PP No. 129 Tahun 2000, diatur bahwa “pembentukan, pemeka- Dalam Pasal 2 PP No. 129 Tahun 2000, diatur bahwa “pembentukan, pemeka-ran, penghapusan dan penggabungan Daerah bertujuan untuk meningkatkan kese-jahteraan masyarakat dengan melalui: a) peningkatan pelayanan kepada masyara-kat; b) percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi; c) percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah; d) percepatan pengelolaan potensi daerah; e) peningkatan keamanan dan ketertiban; f) peningkatan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah”.17 Penjelasan Umum (paragraf ketiga) PP No. 78 Tahun 2007.18 Misalnya, Robert Endi Jewang mengatakan bahwa “amat mengherankan ba- Misalnya, Robert Endi Jewang mengatakan bahwa “amat mengherankan ba-hwa PP No 78/2007 justru tidak mengatur tetapan standar tujuan pemekaran. Pa-dahal PP No 129/2000 yang mengatur itu secara eksplisit pun masih saja hasilnya sulit diukur”. Robert Endi Jewang, loc.cit.

Page 78: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

78 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Namun demikian, sebagai peraturan pelaksana, PP No. 78 Tahun 2007, seharusnya tidak dapat bertentangan dengan UU No. 32 Tahun 2004 sebagai peraturan perundang-undangan yang mendelegasikannya.19 Namun demikian, karena perbedaan tersebut hanya dalam hal titik tekan yang kemudian ditempatkan dalam penjelasan, maka hal tersebut tidak menimbulkan persoalan secara yuridis.20 Walaupun PP No. 78 Tahun 2007 tidak menegaskan tujuan pendidikan politik di tingkat lokal dalam pembentukan daerah, namun PP tersebut tidak dapat mengabaikan ketentuan dalam UU No. 32 Tahun 2004, yang tetap mendasarkan usulan pemekaran secara bottom up di mana sebagai syarat administratif, harus terdapat persetujuan DPRD provinsi/ kabupaten/ kota yang akan dicakup dalam daerah baru, dan persetujuan DPRD dari daerah induk.21 Berdasarkan ketentuan tersebut, PP No. 78 Tahun 2007 juga tetap mengatur bahwa usulan pembentukan daerah dimulai dengan adanya aspirasi sebagian besar masyarakat.22

Diskursus mekanisme pembentukan daerah di berbagai negara dibicarakan dalam konteks territorial reform (penataan daerah), khususnya dalam arti yang sempit, yaitu pembentukan, penggabungan, maupun pemecahan suatu wilayah menjadi wilayah-wilayah baru yang berdiri sendiri.23 19 Salah satu prinsip hierarki peraturan perundang-undangan adalah peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undan-gan yang lebih tinggi. Lihat dalam Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia,( Jakarta: Ind.Co-Hill, 1992), hlm. 14.20 Hal ini terkait dengan kedudukan penjelasan dalam suatu peraturan perun- Hal ini terkait dengan kedudukan penjelasan dalam suatu peraturan perun-dang-undangan sebagai bentuk penafsiran otentik, bukan norma hukum. Lihat je-nis-jenis penafsiran hukum dan penjelasannya dalam Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, (Bandung: Alumni , 2000), hlm. 8 -12.21 Lihat Pasal 5 UU No. 32 Tahun 2004.22 Lihat Pasal 14 – Pasal 17 PP No. 78 Tahun 2007.23 Pengertian penataan daerah menurut USAID (2006) Laila Kholid Alfirdaus dan Longgina Novadano Bayo, “Penataan Daerah Sebagai Penataan Institusi”, makalah, disampaikan dalam Seminar Internasional ke-8 “Dinamika Politik Lokal di Indonesia: Penataan Daerah (Territorial Reform) dan Dinamikanya”, , (Salatiga: Lembaga Percik – Ford Foundation, 17 – 19 Juli 2007) hlm. 1.

Page 79: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

79Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Dalam pengertian tersebut pola penataan daerah dapat berupa secession, partitionsm (partition),dan amalgamation.24 Konsep secession dan partition pada dasarnya hampir sama, mengacu pada pemisahan suatu daerah dari suatu negara menjadi negara baru yang berdaulat, namun secession lebih merupakan gerakan sepihak sementara partition merupakan hasil dari kesepakatan secara damai.25

Dari konsep aslinya, kedua hal tersebut tidak dibicarakan dalam konteks pembagian dan pembentukan daerah otonom, melainkan dalam konteks pembentukan “negara”. Hal tersebut disebabkan, dalam praktek pemisahan daerah dari suatu daerah induk dalam suatu negara, sangat jarang. Contoh secara internasional yang menggambarkan usaha pemisahan daerah dari suatu daerah induk, salah satunya di Amerika Serikat, namun tidak ada yang berhasil karena tingkat partisipasi masyarakat yang minim.26 Selain persoalan partisipasi masyarakat yang sangat minim, rumitnya

24 Ibid., hlm. 2.25 Seccesion dalam makna aslinya didefinisikan sebagai wilayah teritorial sebuah komunitas yang memisahkan diri dari sebuah negara dan membangun wilayahnya sendiri dan menjadi entitas yang mempunyai kedaulatan politik sendiri. Sementara itu, menurut Alexis Heraclides, partition diartikan sebagai pembentukan dua atau lebih state yang merupakan hasil kesepakatan bersama. Berbeda dengan secession, yang diartikan oleh Heraclides sebagai gerakan sepihak yang tiba-tiba menuntut kebebasan salah satu daerah yang merupakan wilayah metropolitan, lambang ke-daulatan negara dan oleh karena itu bertentangan dengan negara. Dalam pandan-gan Heraclides di atas, proses seccesion bisa didahului melalui partition. Ibid., hlm. 3, 5.26 Seperti dikatakan oleh Andrew Sancton, bahwa “pressure in the United States has been for municipal secession, not municipal Amalgamation”. (garis tebal oleh peneliti). Sancton mencontohkan rencana pemisahan daerah antara lain gerakan pemisahan Staten Island dari New York pada tahun 1990-an, namun rencana tersebut ditolak oleh Majelis Negara Bagian (State Assembly), dan usulan pemisahan daerah dari San Fernando Valley di Los Angeles, yang juga gagal setelah suara masyarakat yang menyetujui rencana tersebut dari hasil referendum lokal sangat kecil (jumlah pemilih yang menyetujui pemisahan daerah hanya 33% (67% tidak mendukung)). Lihat Andrew Sancton, “Why Municipal Amalgamations? Halifax, Toronto, Mon-treal”, paper presented at “Conference on Municipal-Provincial-Federal Relations in Can-ada” (Canada: Institute of Intergovernmental Relations - Queen’s University, 9 – 10 Mei, 2003), hlm. 2.

Page 80: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

80 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

pemecahan daerah di Amerika Serikat juga disebabkan karena jika suatu daerah memisahkan diri dari daerah induknya, maka daerah baru tersebut akan mengalami proses aneksasi (penggabungan dengan daerah lain).27

Sementara itu, amalgamation merupakan instrumen menata daerah yang mencoba untuk melakukan penggabungan beberapa wilayah administrasi menjadi satu.28 Terdapat 3 model dasar dari penggabungan daerah sebagai implementasi penataan daerah:29 voluntary amalgamations (penggabungan daerah secara sukarela), administrative (forced) amalgamations (penggabungan daerah secara paksa), dan mixed ”stick and carrot” model (ketika periode penggabungan daerah secara sukarela diikuti dengan periode penggabungan daerah secara paksa). Secara umum, mekanisme amalgamation merupakan pola penataan daerah yang dilakukan di banyak Negara, bahkan mendominasi konsep penataan daerah.30

27 Seperti dikatakan oleh McCarthy dan Reynolds, bahwa “The “seccesion” objec-tive, an extremy difficult one, may result in return to unincorporated status or disconnec-tion from one city in other to be annexed to anathor”. David J. McCarthty Jr & Laurie Reynolds, Local Government Law in A Nuthshell, fifth edition, (St.Paul Minn: West Publishing .Co., 2003), hlm. 67 – 68.28 Laila Kholid Alfirdaus dan Longgina Novadano Bayo, loc.cit., hlm. 5. 29 National Association Of Local Authorities In Denmark, The International Consultancy Division, “Local Government Territorial Reform In Estonia – Roles, Criteria, Procedures And Support Measures”, Paper, 1999, hlm. 3. www.siseministeerium.ee/public/table_of_contents.doc, diunduh pada tanggal 20 November 2009, pukul 23.30. WIB.30 Misalnya di Skandinavia karena tradisi communatarim negara-negara terse-but masih sangat tinggi. Penggabungan daerah juga dilakukan di Latvia, Selandia Baru, beberapa negara bagian di Australia, beberapa pemerintahan lokal di Inggris, dan di Afrika Selatan pasca Apartheid. Di Asia, negara yang menerapkan kebijakan penggabungan daerah secara masif adalah Jepang. Bahkan tidak berlebihan jika di-katakan bahwa sejarah pemerintahan daerah di Jepang dapat dilihat dari kebijakan penggabungan daerah. Lihat Laila Kholid Alfirdaus dan Longgina Novadano Bayo, op.cit., hlm. 5; Andrew Sancton, loc.cit., hlm. 2; Masaru Mabuchi, “Municipal Amal-gamation in Japan”, paper, (Washington DC: World Bank Institute, 2001), hlm. 1.

Page 81: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

81Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Dalam konteks pembentukan daerah berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004, diatur cara pemekaran daerah dan penggabungan daerah.31 Namun demikian, selain penggabungan daerah dan pemekaran daerah, UU No.32 Tahun 2004 juga mengatur pembentukan daerah dengan cara lain, yaitu melalui penghapusan dan penggabungan daerah. Penghapusan daerah diartikan sebagai pencabutan status sebagai daerah provinsi atau daerah kabupaten/kota.32 Daerah dapat dihapus dan digabung dengan daerah lain apabila daerah yang bersangkutan tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah.33 Penghapusan dan penggabungan daerah otonom dilakukan setelah melalui proses evaluasi terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah.34 Dua istilah tersebut merupakan satu kesatuan, karena jika suatu daerah dihapuskan, maka otomatis daerah tersebut digabungkan dengan daerah lain bersandingan.

Artinya, pembentukan daerah berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 dapat dilakukan melalui 3 cara, yaitu pemekaraan daerah, penggabungan daerah, penggabungan daerah karena penghapusan daerah. Baik pemekaran daerah maupun penggabungan daerah (dengan atau tanpa penghapusan daerah) ditetapkan dengan undang-undang.35 Selain itu, UU No. 32 Tahun 2004 juga menentukan bahwa pembentukan daerah juga harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam, yang meliputi syarat administratif, teknis dan fisik.36 Diaturnya 3 cara pembentukan daerah di atas, mencerminkan bahwa pembentuk UU No. 32 Tahun 2004 bersifat netral

31 Pasal 4 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 mengatur bahwa “pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandin-gan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih”.32 Pasal 1 angka 8 PP No. 78 Tahun 2007.33 Pasal 6 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004.34 Pasal 6 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004.35 Pasal 4 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004.36 Pasal 5 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004.

Page 82: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

82 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

terhadap seluruh pola-pola penataan daerah (territorial reform) yang berkembang dalam praktek di berbagai negara, yaitu antara secession (pemisahan), amalgamation (penggabungan). Bahkan dalam konteks penggabungan daerah, UU No. 32 Tahun 2004 juga melembagakan baik volunatary amalgamation (berupa penggabungan daerah) dan forced amalgamation (berupa penggabungan daerah dengan penghapusan daerah).

Namun demikian, PP No. 78 Tahun 2007 hanya mengatur prosedur pembentukan daerah melalui pemekaran daerah, sementara penggabungan daerah atas dasar inisiatif daerah tidak diatur prosedurnya sebagaimana digambarkan dalam Tabel di bawah ini.

Cara dan Pengaturan Prosedur Pembentukan Daerah Menurut PP No. 78/2007

No Pembentukan Provinsi Pembentukan Kab/ Kota KeteranganCara Pembentukan

Peng-aturan Prosedur

Cara Pembentukan

Peng-aturan Prosedur

1. pemekaran dari 1 (satu) provinsi menjadi 2 (dua) provinsi atau lebih;

Pasal 14 pemekaran dari 1 (satu) kabupaten/kota menjadi 2 (dua) kabupaten/kota atau lebih;

Pasal 16

2. penggabungan beberapa kabupaten/kota yang bersandingan pada wilayah provinsi yang berbeda;

Pasal 15 penggabungan beberapa kecamatan yang bersandingan pada wilayah kabupaten/kota yang berbeda;

Pasal 17 Istilah “wilayah provinsi” dan “wilayah kabupaten/kota” “yang berbeda” mencerminkan, kedua cara tersebut merupakan pemekaran daerah, karena provinsi dan kabupaten/ kota yang lama tetap ada.

Page 83: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

83Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

3. penggabungan beberapa provinsi menjadi 1 (satu) provinsi.

Tidak diatur

penggabungan beberapa kabupaten/kota menjadi 1 (satu) kabupaten/kota.

Tidak diatur

Belum pernah dipraktikkan.

Sumber: analisis penulis berdasarkan PP No. 78 Tahun 2007

Bagan di atas menunjukan bahwa, walaupun PP No. 78 Tahun 2007 memungkinkan penggabungan beberapa daerah menjadi satu daerah, namun tanpa disertai prosedur yang jelas, maka memungkinkan penggabungan daerah tersebut tidak digunakan sebagai alternatif pembentukan daerah secara praktik. Dengan demikian, pemekaran daerah memang merupakan konstruksi yang diinginkan oleh PP No. 78 Tahun 2007, dibandingkan pola penggabungan daerah (atas inisiatif daerah) yang sebenarnya juga ditekankan oleh UU No. 32 Tahun 2004, apalagi jika dikaitkan dengan dalam konteks praktik yang tidak pernah menerapkan mekanisme penghapusan dan penggabungan daerah (penggabungan daerah karena penghapusan daerah atas inisiatif pusat).

Kesesuaian Politik Hukum Pemekaran Daerah Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 dan PP No. 78 Tahun 2007 dengan Tujuan Otonomi Seluas-luasnya Berdasarkan UUD 1945

Perubahan Kedua UUD 1945 mengatur mengenai pemerintahan daerah lebih rinci dibandingkan sebelum Perubahan Kedua UUD 1945. Dalam Perubahan Kedua UUD 1945, pengaturan pemerintahan daerah yang semula terdiri dari 1 pasal (Pasal 18), menjadi 3 pasal (Pasal 18, 18A, 18B). Salah satu prinsip penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah prinsip menjalankan otonomi seluas-luasnya (Pasal 18 ayat (5)).37 Menurut Bagir Manan kehendak untuk

37 Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, cetakan ketiga, (Yogyakarta: PSH FH UII, 2004) , hlm. 11

Page 84: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

84 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

memberikan otonomi seluas-luasnya sudah tercermin dalam proses perumusan UUD 1945 (sebelum perubahan).38 Bagir Manan menyitir pidato Ratulangi pada saat BPUPK menyusun rancangan UUD, yang menyebutkan bahwa:

“..yaitu supaya daerah pemerintahan di beberapa pulau-pulau besar diberi hak seluas-luasnya untuk mengurus keperluannya sendiri, tentu dengan memakai pikiran persetujuan, bahwa daerah – daerah itu adalah daerah dari pada Indonesia”.39

Kehendak ini kemudian ditegaskan dalam UUDS 1950,

Pasal 131 ayat (2), 40 yang menyatakan bahwa “kepada daerah-daerah diberikan autonomi seluas-luasnya untuk mengurus rumah tangganya sendiri”. Dalam konteks UUD 1945, prinsip tersebut baru ditegaskan dalam Perubahan Kedua UUD 1945 sebagaima telah disinggung di atas. Dengan otonomi seluas-luasnya berdasarkan UUD 1945, semua urusan pemerintahan dapat diselenggarakan oleh pemerintahan daerah, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.41

Lalu apa yang menjadi tujuan pemberian otonomi seluas-luasnya kepada pemerintahan daerah? UUD 1945 tidak secara eksplisit tujuan tersebut. Namun demikian, tujuan tersebut secara tegas dirumuskan dalam UU No. 32 Tahun 2004 yang mengatur bahwa penyelenggaran pemerintahan daerah melalui otonomi seluas-luasnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah.42 Hal di atas menunjukan bahwa UU

38 Ibid.39 Ibid.40 Ibid.41 Pasal 18 (5) Perubahan Kedua UUD 1945 mengatur bahwa: “Pemerintahan da-Pasal 18 (5) Perubahan Kedua UUD 1945 mengatur bahwa: “Pemerintahan da-erah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat”.42 Rumusan lengkap Pasal 2 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 berbunyi “Pemerin- Rumusan lengkap Pasal 2 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 berbunyi “Pemerin-

Page 85: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

85Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

No. 32 Tahun 2004 lebih menekankan pada aspek efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan daerah. Padahal tujuan pemberian otonomi seluas-luasnya lebih dari penekanan aspek efektifitas dan efsiensi penyelenggaran pemerintahan daerah. hal tersebut sebenarnya juga dapat dicapai dalam suasana pemerintahan yang sentralistik. Sementara itu, sejak Indonesia berdiri, adanya desentralisasi khususnya dalam bentuk otonomi lebih ditekankan pada alasan kedaulatan rakyat. Mohammad Hatta menyatakan bahwa:

“Menurut dasar kedaulatan rakyat itu, hak rakyat untuk menentukan nasib sendiri tidak hanya pada pucuk pimpinan negeri, melainkan juga pada tiap tempat, di kota, di desa, dan di daerah. Tiap – tiap golongan persekutuan itu memiliki Badan Perwakilan sendiri seperti Gemeenteraad, Provinciale Raad, dan lain-lainnya. Dengan keadaan demikian, maka tiap-tiap bagian atau golongan rakyat mendapat autonomi (membuat dan menjalankan peraturan sendiri) dan zelfbestuur (menjalankan peraturan-peraturan yang dibuat Dewan yang lebih tinggi)”.43

Prinsip otonomi seluas-luasnya dalam UUD 1945 secara implisit bertujuan untuk memberikan kebebasan kepada daerah sekaligus menciptakan kemandirian daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya.44 Jika tujuannya

tahan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah, dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah”.43 Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994), hlm. 33. 44 Bagir Manan menafsirkan prinsip otonomi seluas-luasnya, bahwa “selain da-Bagir Manan menafsirkan prinsip otonomi seluas-luasnya, bahwa “selain da-lam pengertian urusan atau fungsi pemerintahan, otonomi luas harus – bahkan terutama – tercermin pada (dalam) kemandirian dan kebebasan daerah”. Bagir Ma-nan, Menyongsong Fajar…., op.cit., hlm. 12.

Page 86: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

86 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

otonomi seluas-luasnya hanya menekankan pada peningkatan kesejehteraan rakyat dengan mengabaikan prinsip kedaulatan rakyat, maka penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat diselenggarakan dengan cara sentralisasi.45 Namun demikian, baik upaya peningkatan kesejahteraan rakyat, pelayanan umum (yang lebih efisien), dan daya saing daerah di satu sisi, dan upaya menciptakan kemandirian daerah serta memberikan kebebasan bagi daerah di sisi lain, merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu, tujuan otonomi seluas-luasnya sebagai bentuk desentralisasi adalah masyarakat yang demokrastis dan sejahtera.46

Terdapat beberapa fungsi otonomi, yaitu pengelolaan pemerintahan atau manajemen pemerintahan, fungsi pelayanan publik, fungsi politik, fungsi polisionil, fungsi keragaman.47 Jika dikaitkan dengan tujuan otonomi seluas-luasnya di atas, maka fungsi-fungsi otonomi tersebut dapat dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu: fungsi otonomi yang menekankan pada aspek demokrasi (fungsi politik) dan menekankan pada aspek kesejahteraan masyarakat (fungsi pengelolaan pemerintahan atau manajemen pemerintahan, fungsi pelayanan publik, fungsi polisonil, dan fungsi

45 Dalam konteks perdebatan akademis ada dua kelompok yang berbeda me- Dalam konteks perdebatan akademis ada dua kelompok yang berbeda me-mandang desentralisasi dalam kaitannya dengan percepatan pembangunan daerah. Kelompok pertama, positivist, menganggap bahwa desentralisasi selalu merupakan faktor determinan bagi percepatan pembangunan daerah. Sementara itu, kelompok kedua, relativist, cenderung skeptis memandang hubungan antara desentralisasi dengan pembangunan daerah. Menurut kelompok relativist, tanpa desentralisasi pun pembangunan daerah tetap dapat berlangsung. Lihat Syarif Hidayat, “Desen-tralisasi Untuk Pembangunan Daerah: Dialog Kelompok Positivist dan Relativist”, Jurnal Hukum Jentera, Edisi 14 Tahun IV, (Jakarta: PSHK, 2006), hlm. 9. Dalam hal ini, Tim Peneliti menganggap bahwa tujuan desentralisasi khususnya dalam ben-tuk otonomi, lebih dari bertujuan untuk mempercapat pembangunan daerah, tetapi juga untuk memberikan kebebasan dan menciptakan kemandirian daerah dalam konteks implementasi prinsip kedaulatan rakyat (demokrasi).46 Lihat dalam Bagir Manan, Menyongsong Fajar…., op.cit., hlm. 13.47 Bagir Manan, “Tugas Sosial Pemerintahan Daerah”, opini, Pikiran Rakyat, 28 November 2008.

Page 87: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

87Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

keragaman48). Pentingnya aspek kesejaheteraan masyarakat terkait

dengan paham negara kesejehteraan (welfare state) yang dianut Indonesia, sebagaimana tercermin dari tujuan negara dalam Pembukaan UUD 1945, khususnya tujuan menciptakan kesejahteraan umum. Tujuan tersebut tidak dapat terlepas dari tujuan otonomi seluas-luasnya. Artinya, desentralisasi di Indonesia diarahkan untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat yang dilakukan dengan cara-cara demokratis. Artinya, tujuan pemberian otonomi seluas-luasnya harus dapat mencerminkan keseimbangan pelaksanaan fungsi – fungsi otonomi, yang tidak hanya fungsi politik, namun juga fungsi manajemen pemerintahan dan fungsi-fungsi lain dalam rangka peningkatan kesejehteraan masyarakat. Dalam konteks tersebut, tujuan otonomi seluas-luasnya adalah untuk mencapai kesejahteraan masyarakat sekaligus menciptakan masyarakat yang demokratis secara politis.

Seperti telah dibahas sebelumnya, bahwa tujuan pemekaran daerah daerah berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 dan PP No. 78 Tahun 2007 ditekankan pada dua aspek, yaitu mempercepat terwujudnya kesejahteran masyarakat dan sebagai sarana pendidikan politik di tingkat lokal. Artinya, secara normatif, tujuan pembentukan daerah yang didominasi oleh konsep pemekaran daerah memiliki kesesuaian dengan tujuan otonomi seluas-luasnya. Namun demikian, dalam praktik, pemekaran daerah yang berkembang hingga saat ini menimbulkan sejumlah masalah.

Beberapa hasil kajian yang membahas perkembangan daerah otonom baru hasil pemekaran menunjukkan

48 Dalam penelitian ini, fungsi polisionil dianggap sebagai bagian dari fungsi pencapai tujuan kesejaheteraan masyarakat secara tidak langsung, karena penega-kan peraturan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah adalah salah upaya menciptakan kesejehteraan masyarakat.

Page 88: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

88 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

kecenderungan yang negatif.49 Bappenas pada tahun 2005 telah melakukan Kajian Percepatan Pembangunan Daerah Otonom Baru (DOB) dalam hal pembangunan daerah otonom baru dan sektor yang menjadi andalan dalam pengembangan ekonomi di beberapa kabupaten. Hasil kajian tersebut menunjukkan, pendapatan asli daerah (PAD) meningkat, tapi ketergantungan terhadap Dana Alokasi Umum (DAU) masih tetap tinggi. Terjadi pula peningkatan belanja pembangunan, meskipun proporsinya terhadap belanja rutin masih kecil. Tidaklah mengherankan bila para responden menyatakan kualitas pelayanan masyarakat belum meningkat. Hal ini ternyata disebabkan pemda DOB pada tahun-tahun awal memprioritaskan pembenahan kelembagaan, infrastruktur kelembagaan, personil dan keuangan daerahnya.

Lembaga Administrasi Negara (2005) juga melakukan Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Otonomi Daerah untuk periode 1999-2003. Studi yang dilakukan di 136 kabupaten/kota ini menyimpulkan bahwa kesejahteraan masyarakat, khususnya dilihat dari indikator ekonomi dan sosial secara umum, mengalami peningkatan. Namun demikian, tetap terjadi kesenjangan antara wilayah Indonesia Bagian Barat dan Indonesia Bagian Timur, yang salah satunya menggunakan ukuran evaluasi berdasarkan indeks pembangunan manusia.

Meski studi ini tidak secara langsung berkaitan dengan daerah pemekaran, secara umum daerah induk, daerah DOB dan daerah yang tidak mekar menunjukkan kecenderungan yang hampir sama.

49 Paparan ini didasarkan pada hasil penelitian Bappenas – UNDP yang juga mengutip hasil peneltian lain, yaitu Direktorat Otonomi Daerah. Evaluasi Kebija-kan Pembentukan Daerah Otonomi Baru, Kajian Kelembagaan, Sumberdaya Aparatur dan Keuangan di Daerah Otonomi Baru, (Jakarta: Bappenas, 2005); Pusat Penelitian dan Pengembagan Otonomi Daerah, Sinopsis Penelitian: Efektifitas Pemekaran Wilayah di Era Otonomi Daerah, (Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Dalam Negeri, 2005). Lihat dalam Darmawan dkk, Studi Evaluasi Dampak Pemekaran Daerah 2001-2007, (Jakarta: Bappenas - UNDP, 2008), hlm. 2 -3.

Page 89: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

89Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Pusat Litbang Otonomi Daerah Departemen Dalam Negeri (2005) melakukan penelitian Efektivitas Pemekaran Wilayah di Era Otonomi Daerah di sembilan daerah otonom baru. Penelitian ini menyimpulkan bahwa secara umum tidak ada satupun daerah DOB yang bisa dikelompokkan dalam kategori mampu, meski penataan berbagai aspek pemerintahan untuk menunjang penyelenggaraan pemerintahan telah sesuai dengan pedoman yang ada. Namun demikian, dari evaluasi Depdagri tersebut, tidak pernah diusulkan penghapusan dan penggabungan daerah. Padahal berdasarkan hasil evaluasi Depdagri tersebut, Mendagri dapat mengusulkan kepada Presiden (yang sebelumnya meminta pendapat DPOD), untuk mengusulkan penghapusan dan penggabungan daerah. Pada intinya, studi-studi di atas menunjukkan bahwa secara umum daerah otonom baru belum mampu menggunakan segala sumber daya yang tersedia untuk mencapai kesejahteraan masyarakatnya.

Belum terpenuhinya tujuan untuk meningkatkan kesejehteraan masyarakat melalui pemekaran daerah juga karena indikator yang kurang tepat. Hal tersebut juga terkait dengan syarat teknis yang ditentukan dalam UU No. 32 Tahun 2004 dan diatur lebih lanjut dalam PP No. 78 Tahun 2007. Pasal 5 ayat (4) UU No. 32 Tahun 2004 mengatur syarat teknis tersebut berupa faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Sementara itu, dalam Pasal 6 ayat (1) PP No. 78 Tahun 2007, ditambahkan 3 faktor lain, yaitu: kemampuan keuangan, tingkat kesejahteraan masyarakat, dan rentang kendali penyelenggaraan pemerintahan daerah. Syarat teknis tersebut hampir sama dengan syarat teknis yang ditentukan dalam PP No. 129 Tahun 2000. Perbedaannya, PP No. 129 Tahun 2000, tidak mencantumkan faktor pertahanan,

Page 90: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

90 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

kemampuan keuangan, tingkat kesejahteraan masyarakat.50 Selain itu, dalam PP No. 78 Tahun 2007, metode yang digunakan hanya dua, yaitu metode rata-rata dan metode kuota, sementara dalam PP No. 129 Tahun 2000, selain metode rata-rata dan metode kuota, juga digunakan metode distribusi.51 Pada intinya, metode penilaian yang digunakan bersifat matematis. Dengan demikian, dari segi indikator dan metode penilaian, tidak banyak perbedaan dalam kedua PP tersebut.

Faktor-faktor di atas merupakan kriteia yang akan mencerminkan layak atau tidaknya suatu daerah dimekarkan. Jika dikaitkan dengan praktik di negara-negara lain, kriteria tersebut terlalu banyak. Menurut Ferrazzi, di negara-negara lain, kriteria yang ditetapkan oleh pemerintah, jumlahnya relatif hanya sedikit.52 Tiap kriteria tentu saja dapat diperluas menjadi beberapa indikator.53 Ferrazzi menekankan pada pemilihan kriteria/indikator yang jelas-jelas memiliki kegunaan dalam pembuatan kebijakan.54 Jika dikaitkan dengan tujuan otonomi seluas-luanya, khususnya peningkatan kesejahateraan masyarakat, maka seharusnya faktor-faktor teknis yang ditentukan hanya mengarah kebijakan peningkatan masyarakat, misalnya fasilitas pendidikan, kesehatan dan berbagai fasilitas pelayanan dasar. Sementara itu, faktor-faktor dan indikator yang diatur dalam PP N. 78 Tahun 2007 juga tidak semuanya berkaitan dengan pembuatan kebijakan.55 Kriteria/indikator harus mengacu pada visi untuk 50 Lihat Pasal 3 PP No. 125 Tahun 2000 dan lampirannya.51 Lihat lampiran kedua PP tersebut.52 Gabriele Ferrazzi, “Pengalaman Internasional mengenai Reformasi Teritori-al- Implikasi terhadap Indonesia, Laporan Utama, (Jakarta: USAID – DRSP – DSF, 2007), hlm. 24.53 Ibid.54 Ibid., hlm. 25.55 Misalnya terdapat indikator jumlah pelanggan telpon, angka kriminalitas, dan sebagainya. Pertanyaan yang muncul, apa relevansinya jumlah pelanggan telepon tetap atau angka dengan kesejahteraan masyarakat? Kalau pun ada relevansinya, namun hal tersebut tidak terkait langsung tingkat kesejahteraan masyarakat.

Page 91: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

91Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

jenis daerah tertentu, dan pada sistem pemerintahan daerah.56 Sebagai contoh, kebijakan penggabungan daerah di Jepang, misalnya, dalam rangka komitmen pada konstitusinya, yaitu dalam rangka kesejahteraan sosial (social walfare).57 Untuk mencapai tujuan tersebut, suatu daerah harus memiliki 8000 penduduk dengan dengan pertimbangan bahwa jumlah tersebut dengan jumlah minimum untuk mendirikan sekolah menengah pertama.58 Artinya, indikator yang ditentukan relevan dengan tujuan yang ditentukan.

Persoalan lainnya, penilaian faktor-faktor yang merupakan syarat teknis dalam PP No. 78 Tahun 2007 cenderung meringkas faktor-faktor tersebut secara teknis kuantitatif. Dapat saja faktor-faktor yang relevan dengan tujuan pemekaran, justru memiliki bobot yang lebih kecil dari pada bobot faktor-faktor lain yang sebenarnya tidak relevan dengan tujuan pemekaran daerah.59 Lagi pula alasan suatu indikator dari faktor tertentu diberi bobot yang lebih tinggi dari pada indikator dari faktor lain juga tidak jelas. Artinya, tidak ada pendekatan normatif yang ditetapkan, melainkan hanya pendekatan kuantitatif. Menurut Ferrazzi, hal ini dapat menyebabkan terjadinya manipulasi dan memberi “kilauan ilmiah” yang justru menyembunyikan/mengaburkan kelemahan analisanya.60

Dengan syarat-syarat teknis dan metode penilaiannya yang sangat kuantitif, layak atau tidaknya suatu daerah dimekarkan, hanya dilihat dari data-data pada saat diajukannya usulan pemekaran daerah. Sementara itu,

56 Gabriele Ferazzi, op.cit., hlm. 25.57 Alan Norton, International Handbook of Local Government and Regional Govern-ment: A Comparative Analisis of Advanced Democracies. (England – USA: Edward El-gar, 1994), hlm. 457. 58 Ibid.59 Misalnya, dalam PP No. 78 Tahun 2008, tingkat kesejahteraan masyarakat han- Misalnya, dalam PP No. 78 Tahun 2008, tingkat kesejahteraan masyarakat han-ya diberi bobot 2 poin, sementara rasio jumlah personil aparat pertahanan terhadap luas wilayah diberi bobot 3 poin.60 Gabriele Ferazzi, op.cit.

Page 92: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

92 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

rencana pengembangan calon daerah otonom baru tidak menjadi pertimbangan. Padahal dalam konteks otonomi seluas-luasnya apalagi dengan paham negara kesejahteraan, urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah cenderung bertambah luas. Hal ini disebabkan dalam negara kesejehtaraan, pemerintah diwajibkan pelayanan pada hampir setiap aspek kehidupan individu maupun masyarakat.61 Artinya, urusan pemerintahan daerah dapat berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakat. Dalam konteks, pemekaraan daerah, data-data yang terkait syarat teknis usulan pemekaran tidak dapat dijadikan satu-satunya ukuran objektif yang menggambarkan kondisi daerah. Seharusnya, selain syarat-syarat teknis yang dinilai secara kuantitatif, layak atau tidaknya suatu daerah dimekarkan harus dilihat dari rencana pengembangan daerah otonom yang mencakup rencana keuangan daerah dan pengembangan potensi daerah.62 Walaupun dalam PP No. 78 Tahun 2007 disyaratkan adanya kajian daerah, namun tidak ada syarat untuk merumuskan rencana pengembangan daerah otonom, karena kajian tersebut hanya merupakan sebuah studi kelayakan yang merupakan kajian terhadap syarat-syarat teknis yang ditentukan dalam PP No.78 Tahun 2007.

Namun demikian, temuan-temuan di atas menunjukkan bahwa sebagian besar besar usulan pemekaran daerah disetujui oleh Pemerintah dan DPR, kecuali sejak Presiden Susilo Bambang Yodhoyono pada tahun 2007 menerapkan

61 Bagir Manan, Perjalanan Historis Pasal 18 UUD 1945, (Karawang: Penerbit UN-SIKA, 1993), hlm. 55.62 Hal ini misalnya disyaratkan dalam usulan pemisahan San Fernandi Val- Hal ini misalnya disyaratkan dalam usulan pemisahan San Fernandi Val-ley dari Kota Los Angeles Amerika Serikat. Pada tanggal 24 April 2002, Executive Officer’s Report on the Special Reorganization of the San Fernando Valley (laporan tim khusus reorganisasi San Fernando Valley) dipublikasikan di mana laporan tersebut menggambarkan secara tepat bagaimana sebuah pemecahan daerah akan diimple-mentasikan, termasuk perencanaan keuangan secara rinci dari kota baru yang akan dibentuk sebagai bentuk kompensasi kepada Kota Los Angeles yang telah kehi-langan sumber pendapatannya akibat pemecahan. Andrew Sancton, loc.cit., hlm. 3.

Page 93: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

93Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

kebijakan moratorium pemekaran daerah.63 Hal ini disebabkan karena ketentuan PP No. 78 Tahun 2007 mengatur bahwa pemekaran daerah diusulkan berdasarkan aspirasi sebagian besar masyarakat. Bentuk aspirasi tersebut berupa Keputusan BPD untuk Desa dan Forum Komunikasi Kelurahan atau nama lain untuk Kelurahan. Hal tersebut menunjukkan fungsi politik dari pemekaran daerah daerah, yang dalam istilah UU No. 32 Tahun 2004, sebagai sarana pendidikan politik. Pengaturan syarat aspirasi masyarakat dalam PP No. 78 Tahun 2007 sebenarnya lebih jelas dari pada dalam PP No. 129 Tahun 2000.64 Namun demikian, apakah hal tersebut dapat dijadikan indikator aspirasi sebagian besar masyarakat? Berapa banyak dukungan warga yang diperlukan untuk dapat dijadikan bahan pertimbangan BPD atau Forum Komunikasi Kelurahan dalam membuat keputusannya? PP No. 78 Tahun 207 memang tidak bermaksud untuk mensyaratkan usulan pemekaran daerah berasal dari aspirasi seluruh masyarakat daerah, melainkan aspirasi “sebagian besar masyarakat”. Namun demikian, apakah keputusan BPD atau Forum Komunikasi Keluruhan mewakili aspirasi sebagian besar masyarakat? Tidak adanya indikator yang jelas dalam hal syarat aspirasi sebagian besar masyarakat, dapat menyebabkan pemekaran daerah hanya diinginkan oleh kelompok-kelompok masyarakat tertentu, sehingga tidak mencerminkan aspirasi sebagian besar masyarakat.

Dari pembahasan di atas, walaupun UU No. 32 Tahun 2004 menekankan tujuan pembentukan daerah dalam dua aspek tujuan di atas, namun cara-cara pembentukan daerah yang ditentukan dalam UU No. 32 Tahun 2004 jo PP No. 78

63 Suara Karya Online, “Pemekaran Wilayah Dihentikan Sementara”, 7 Februari 2009, diakses dari http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=219940, 17 Agustus 2009, pukul 15.24 WIB.64 Pasal 16 ayat (1) PP No. 129 Tahun 2000 mengatur tahap awal prosedur pe- Pasal 16 ayat (1) PP No. 129 Tahun 2000 mengatur tahap awal prosedur pe-mekaran daerah, berupa ada (nya) kemauan politik dari Pemerintah Daerah dan masyarakat yang bersangkutan.

Page 94: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

94 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Tahun 2007 hanya menekankan pada satu aspek saja, yaitu aspek demokrasi politik (sebagai sarana pendidikan poltik di tingkat lokal). Hal tersebut juga berkontradiksi dengan tafsiran UU No. 32 Tahun 2004 terhadap tujuan otonomi seluas-luasnya, yang lebih menekankan pada kesejehtaraan masyarakat. Sementara itu, UUD 1945 lebih menghendaki tujuan otonomi seluas-luasnya secara seimbang, baik tujuan untuk menciptakan masyarakat demokratis dan masyarakat yang sejahtera.

Kesimpulan dan SaranKesimpulan yang diperoleh, pertama, politik hukum

pemekaran daerah berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 jo. PP No. 78 Tahun 2007 merupakan bagian dari mekansime pembentukan daerah yang bertujuan untuk melakukan percepatan peningkatan kesejahteraan masyrakat dan sebagai sarana pendidikan politik di tingkat lokal. Namun demikian, dalam PP No. 78 Tahun 2007, hanya pemekaran daerah yang diatur lebih dominan, karena mekanisme penggabungan daerah atas inisiatif daerah tidak diatur mekanismenya. Sementara itu, mekanisme penghapusan dan penggabungan daerah atas inisiatif pemerintah pusat tidak pernah dilakukan.

Kedua, Dalam praktik, politik hukum pemekaran daerah belum sepenuhnya dapat mencapai tujuan peningkatan kesejahteraan masyarakat, yang juga merupakan salah satu tujuan pemberian otonomi seluas-luasnya. Hal tersebut disebabkan, syarat-syarat ditentukan, khususnya syarat teknis yang dinilai secara kuantitatif, tidak seluruhnya relevan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, tidak adanya ketentuan yang mengharuskan dirumuskannya rencana pengembangan calon daerah otonom baru, menyebabkan tidak tergambarnya upaya- upaya yang dilakukan dalam rangka peningkatan kesejahteraan

Page 95: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

95Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

masyarakat setelah suatu daerah otonom baru terbentuk. Politik hukum pemekaran daerah lebih mencerminkan pencapaian tujuan dari aspek pendidikan politik, yang terlihat dari banyaknya usulan pemekaran daerah yang didasarkan pada aspirasi masyarakat. Walaupun demikian, pelembagaan partisipasi masyarakat dalam pengusulan pemekaran daerah juga tidak dapat diukur secara objektif, karena hanya didasarkan pada keputusan BPD atau forum komunikasi kelurahan.

Penulis menyarankan, sebaiknya Pemerintah dan DPR menetapkan strategi dasar penataan daerah yang tidak hanya menekankan pada pemekaran daerah, namun juga penggabungan daerah disesuaikan dengan tujuan otonomi seluas-luasnya, dan bila perlu hal tersebut dituangkan dalam bentuk undang-undang tersendiri. Sebaiknya indikator aspirasi masyarakat dalam hal usulan pemekaran daerah dikonkretkan dalam bentuk jajak pendapat agar lebih mencerminkan aspirasi sebagian besar masyarakat secara nyata. Selain itu, agar syarat fisik kewilayahan dapat dilaksanakan secara konsisten dalam konteks pemekaran kabupaten/ kota, perlu adanya pengaturan lebih lanjut mengenai pemekaran kecamatan. Faktor-faktor sebagai komponen syarat teknis dan metode penilaian perlu ditinjau ulang, agar lebih relevan dengan upaya percepatan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sebaiknya usulan pemekaran daerah, tidak hanya didasarkan syarat administratif, syarat teknis, dan syarat fisik kewilayahan, namun juga berdasarkan rencana pengembangan daerah otonom agar prospek daerah otonom baru dalam upaya meningkatkan kesejehteraan rakyat dapat lebih terukur.

Page 96: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

96 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

DAFTAR PUSTAKA

Bagir Manan, 1992. Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, Jakarta: Ind.Co-Hill.

Bagir Manan, 2004. Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, cetakan ketiga, (Yogyakarta: PSH FH UII, 2004).

Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Bagir Manan, 1993. Perjalanan Historis Pasal 18 UUD 1945, Karawang: Penerbit UNSIKA.

Bagir Manan, 2008. “Tugas Sosial Pemerintahan Daerah”, opini, Pikiran Rakyat, 28 November.

Bintan R. Saragih, 2006. Politik Hukum, Bandung: C.V. Utama.Darmawan dkk, 2008. Studi Evaluasi Dampak Pemekaran Daerah

2001-2007, Jakarta: Bappenas - UNDP.Ferrazzi, Gabriele, 2007. “Pengalaman Internasional mengenai

Reformasi Teritorial- Implikasi terhadap Indonesia, Laporan Utama, Jakarta: USAID – DRSP – DSF.

Inilah.com, “Tahukah Anda Jumlah Daerah Otonom RI?”, diakses dari http://www.inilah.com/berita/politik/2008/08/22/45388/tahukah-anda-jumlah-daerah-otonom-ri/, pada tanggal 11 Februari 2009, pukul 15.18 WIB.

Jumrana, 2008. “Meninjau Pemekaran Wilayah di Provinsi Sulawesi Tenggara”, makalah yang disampaikan dalam Seminar Internasional ke-8 Dinamika Politik Lokal di Indonesia: Penataan Daerah (Territorial Reform) dan Dinamikanya, , Salatiga: Lembaga Percik – Ford Foundation, 17 – 19 Juli

Kompas, 6 Maret 2008

Page 97: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

97Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Laila Kholid Alfirdaus dan Longgina Novadano Bayo, “Penataan Daerah Sebagai Penataan Institusi”, makalah yang disampaikan dalam Seminar Internasional ke-8 Dinamika Politik Lokal di Indonesia: Penataan Daerah (Territorial Reform) dan Dinamikanya, , Salatiga: Lembaga Percik – Ford Foundation, 17 – 19 Juli.

Mabuchi, Masaru, 2001. “Municipal Amalgamation in Japan”, paper,Washington DC: World Bank Institute.

McCarthty Jr, David J. & Reynolds, Laurie, 2003. Local Government Law in A Nuthshell, fifth edition, St.Paul Minn: West Publishing .Co.

National Association Of Local Authorities In Denmark, The International Consultancy Division, 1999, “Local Government Territorial Reform In Estonia – Roles, Criteria, Procedures And Support Measures”, Paper, hlm. 3. diunduh www.siseministeerium.ee/public/table_of_contents.doc, pada tanggal 20 November 2009, pukul 23.30. WIB.

Norton, Alan, 1994. International Handbook of Local Government and Regional Government: A Comparative Analisis of Advanced Democracies. England – USA: Edward Elgar.

Robert Endi Jaweng, “Menimbang Regulasi Baru Pemekaran Daerah”, Sinar Harapan, 27 Februari 2008.

Sancton, Andrew, 2003. “Why Municipal Amalgamations? Halifax, Toronto, Montreal”, paper presented at “Conference on Municipal-Provincial-Federal Relations in Canada”, Canada: Institute of Intergovernmental Relations - Queen’s University, 9 – 10 Mei.

Satjipto Rahardjo, 2000. Ilmu Hukum,Bandung: Citra Aditya Bakti.

Suara Karya Online, “Pemekaran Wilayah Dihentikan Sementara”, 7 Februari 2009, diakses dari http://www.

Page 98: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

98 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

suarakarya-online.com/news.html?id=219940, 17 Agustus 2009, pukul 15.24 WIB.

Syarif Hidayat, 2006. “Desentralisasi Untuk Pembangunan Daerah: Dialog Kelompok Positivist dan Relativist”, Jurnal Hukum Jentera, Edisi 14 Tahun IV, Jakarta: PSHK.

Yudha Bhakti Ardhiwisastra, 2000. Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Bandung: Alumni.

http://www.apkasi.or.id/modules.php?name=News&file=article&sid=117, diunduh pada tanggal 18 Februari 2009, pukul 10.00 WIB.

http://www.kemitraan.or.id/partnership-events/events-highlight/for-the-sake-of-rescuing-the-restructuring-of-the-regions-in-indonesia/lang-pref/id/, diunduh pada tanggal 11 Februari 2009 pukul 15.25 WIB.

Page 99: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

99Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

PROBLEMA HUKUM PENGAKUAN DAN PEMENUHAN HAK-HAK MASYARAKAT HUKUM

ADAT ATAS SUMBER DAYA HUTAN1

Edra Satmaidi2

Abstract

The forest management practices by the Central Government and Local Government based on Act No. 41 Year 1999 concerned with Forestry had not been able to achieve forest management objectives for the welfare of the people and the sustainability of forest resources. Recognition of the rights of customary law community to manage and use forests in the Act No. 41 Year 1999 not able to be realized, but increasingly driven by the forest management system that is more oriented exploitation either implemented by the Central Government or by the Local Government. Yet government regulation decree for the establishment of legal protection for indigenous forest management to make the customary law community increasingly pessimistic about the security protection and fulfillment of their rights over forest resources.

The development and demand of fulfilling the human rights has influenced the indonesia’s dynamics of state administration and penetrated into improving the substance of human rights law. Not only the recognition of individual rights, but also collective rights of customary law community protection guaranteed in the constitution. Article 18B paragraph (2) and Article 28I paragraph 1 Penulis mengucapkan terima kasih kepada sdr. Inna Junaenah yang telah memberikan kesempatan dimuatnya tulisan ini. 2 Dosen Fakultas Hukum Universitas Bengkulu.

Page 100: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

100 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

(3) second amendment of the 1945 Constitution affirmed the obligation of states to respect, protect and acknowledge customary law communities and their traditional rights as a their cultural identity.

Keywords: protection, constitution, customary law community, forest resources.

PendahuluanMasyarakat hukum adat diperkirakan paling sedikit 30

juta jiwa di antaranya berada di dalam atau di sekitar kawasan hutan.3 Dengan ditetapkannya UU No. 1 Tahun 1967 jo. UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, pemerintah telah menetapkan kawasan hutan negara seluas 143 juta hektar.4 Menurut UU Kehutanan semua kawasan hutan itu dikuasai oleh negara dengan memberikan kewenangan kepada Pemerintah (Pusat) untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, serta mengatur hubungan hukum dan perbuatan hukum mengenai kehutanan. Sebagian kewenangan dari Pemerintah tersebut menurut UU Kehutanan akan diserahkan kepada Pemerintahan Daerah menjadi urusan rumah tangganya. Sementara kesatuan masyarakat hukum adat yang tinggal di dalam atau di sekitar kawasan hutan tidak disebutkan sebagai pihak seperti halnya Pemerintahan Daerah yang dapat mengatur, mengurus dan memanfaatkan sumber daya hutan di wilayah hukum adatnya. Eksistensi masyarakat hukum adat dan hak-hak mereka atas sumber

3 Bestari Raden dan Abdon Nababan, “Pengelolaan Hutan Berbasiskan Masy-“Pengelolaan Hutan Berbasiskan Masy-arakat Adat, Antara Konsep dan Realitas”, Makalah untuk disajikan dalam Kongres Kehutanan Indonesia III, Jakarta: 25-28 Oktober 2001.4 Iman Santoso, tanpa tahun. “Perjalanan Desentralisasi Pengurusan Sumberdaya Hutan Indonesia”, www.wg-tenure.org/file/Makalah/Perjalanan%20Desent..., diakses 10 Desember 2008

Page 101: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

101Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

daya hutan sangat tergantung dengan pengakuan dan perlindungan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.

Pengelolaan hutan yang bersifat eksploitatif melalui perizinan konsesi hutan baik yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat maupun oleh Pemerintahan Daerah terbukti telah menimbulkan kerusakan hutan. Departemen Kehutanan menyebutkan bahwa laju kerusakan hutan pada tahun 1990–1997 sebesar 1,8 juta hektar, 1997 – 2000 meningkat menjadi 2,83 juta hektar dan periode tahun 2000-2006 turun menjadi 1,08 juta hektar.5 Kerusakan hutan tersebut selain menimbulkan kerugian ekologi (ecological cost) yang tak terhitung nilainya, juga menimbulkan kerusakan sosial dan budaya (social and cultural cost), termasuk pembatasan akses dan penggusuran hak-hak masyarakat (adat) serta munculnya konflik-konflik atas pemanfaatan sumber daya hutan di Daerah.6

Jaminan perlindungan dan pemenuhan hak-hak masyarakat hukum adat atas hutan dan sumber daya hutan secara kostitusional telah diatur dalam perubahan kedua UUD 1945. Eksistensi masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya diakui dan dihormati oleh negara. Bahkan perubahan kedua UUD 1945 secara eksplisit menyatakan bahwa pemenuhan atas hak-hak masyarakat hukum adat tersebut menjadi tanggung jawab negara. Namun persoalannya, konstitusi mensyaratkan adanya proses verifikasi dan pengakuan dari negara. Dengan kata lain yang dapat dikatakan sebagai masyarakat hukum adat dan berhak memanfaatkan sumber daya hutan secara hukum hanyalah masyarakat hukum adat yang telah mendapatkan pengakuan 5 Direktorat Bina Rehabilitasi Hutan dan Lahan, 2008. “Resume Data Informasi Rehabilitasi Hutan dan Lahan Tahun 2007”, http//www.dephut.go.id, diakses 16 Desember 20086 I Nyoman Nurjaya, tanpa tahun. “Sejarah Hukum Pengelolaan Hutan di Indonesia”, http://eprints.ums.ac.id/347/1/3._Nyoman_Nurjaya.p... , diakses 9 Februari 2009.

Page 102: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

102 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

dari negara. Sedangkan untuk mendapatkan pengakuan dari negara tersebut, masyarakat hukum adat dihadapkan pada persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang yang tidak mudah untuk dipenuhi oleh masyarakat hukum adat.

PembahasanPerlindungan dan pemenuhan hak-hak masyarakat

hukum adat atas sumber daya hutan merupakan perwujudan hak generasi kedua dan ketiga dari HAM. Ahli hukum Perancis, Karel Vasak mengemukakan perjalanan hak asasi manusia dengan mengklasifikasikan hak asasi manusia atas tiga generasi yang terinspirasi oleh tiga tema Revolusi Perancis, yaitu : Generasi Pertama; Hak Sipil dan Politik (Liberte); Generasi Kedua, Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Egalite) dan Generasi Ketiga, Hak Solidaritas (Fraternite). Tiga generasi ini perlu dipahami sebagai satu kesatuan, saling berkaitan dan saling melengkapi. Vasak menggunakan istilah “generasi” untuk menunjuk pada substansi dan ruang lingkup hak-hak yang diprioritaskan pada satu kurun waktu tertentu.7

Ketiga generasi hak asasi manusia tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut: 1. Hak asasi manusia generasi pertama, yang mencakup

soal prinsip integritas manusia, kebutuhan dasar manusia, dan prinsip kebebasan sipil dan politik.8 Termasuk dalam generasi pertama ini adalah hak hidup, hak kebebasan bergerak, perlindungan terhadap hak milik, kebebasan berpikir, beragama dan berkeyakinan, kebebasan berkumpul dan menyatakan pikiran, hak

7 LG. Saraswati dkk, Hak Asasi Manusia, Teori, Hukum, Kasus, (Depok: Filsafat UI Press, 2006), hlm. 14.8 Jimly Assidiqie, “Dimensi Konseptual dan Prosedural Pemajuan Hak Asasi Manusia Dewasa Ini, (Perkembangan ke Arah Pengertian Hak Asasi Manusia Generasi Keempat)”, hlm. 7. http://www.jimly.com, diakses 9 Februari 2009.

Page 103: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

103Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

bebas dari penahanan dan penangkapan sewenang-wenang, hak bebas dari hukum yang berlaku surut dsb. Hak-hak generasi pertama ini sering pula disebut sebagai “hak-hak negatif” karena negara tidak boleh berperan aktif (positif) terhadapnya, karena akan mengakibatkan pelanggaran terhadap hak-hak dan kebebasan tersebut.9

2. Pada perkembangan selanjutnya yang dapat disebut sebagai hak asasi manusia Generasi Kedua, konsepsi hak asasi manusia mencakup pula upaya menjamin pemenuhan kebutuhan untuk mengejar kemajuan ekonomi, sosial dan kebudayaan, termasuk hak atas pendidikan, hak untuk menentukan status politik, hak untuk menikmati ragam penemuan penemuan-penemuan ilmiah, dan lain-lain sebagainya. Puncak perkembangan kedua ini tercapai dengan ditandatanganinya ‘International Couvenant on Economic, Social and Cultural Rights’ pada tahun 1966. Termasuk dalam generasi kedua ini adalah hak atas pekerjaan dan upah yang layak, hak atas jaminan sosial, hak atas pendidikan, hak atas kesehatan, hak atas pangan, hak atas perumahan, hak atas tanah, hak atas lingkungan yang sehat dsb. Dalam pemenuhan hak-hak generasi kedua ini negara dituntut bertindak lebih aktif (positif), sehingga hak-hak generasi kedua ini disebut juga sebagai “hak-hak positif”. 10

3. Hak-hak generasi ketiga diwakili oleh tuntutan atas “hak solidaritas”” atau “hak bersama”. Hak-hak ini muncul dari tuntutan gigih negara-negara berkembang atau Dunia Ketiga atas tatanan internasional yang adil. Melalui tuntutan atas hak solidaritas itu, negara-negara berkembang menginginkan terciptanya suatu tatanan ekonomi dan hukum internasional yang kondusif bagi

9 Rhona K.M Smith dkk., Hukum Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: PUSHAM UII, 2008), hlm. 15.10 Jimly Assidiqie, Op.cit, hlm. 8.

Page 104: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

104 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

terjaminnya hak-hak berikut: (i) hak atas pembangunan; (ii) hak atas perdamaian; (iii) hak atas sumber daya alam sendiri; (iv) hak atas lingkungan hidup yang baik dan (v) dan hak atas warisan budaya sendiri.11

UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) memuat prinsip bahwa hak asasi manusia harus dilihat secara holistik bukan parsial sebab HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara hukun, Pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.12 Oleh sebab itu, perlindungan dan pemenuhan HAM di bidang sosial politik hanya dapat berjalan dengan baik apabila hak yang lain di bidang ekonomi, sosial dan budaya serta hak solidaritas juga dilindungi dan dipenuhi, dan begitu pula sebaliknya. Dengan diratifikasinya konvenan Hak EKOSOB oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005, kewajiban Indonesia untuk melakukan pemenuhan dan jaminan-jaminan ekonomi, sosial dan budaya harus diwujudkan baik melalui aturan hukum ataupun melalui kebijakan-kebijakan pemerintah.

Dalam tataran implementasi perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia, hak-hak masyarakat di bidang ekonomi, sosial dan budaya kurang mendapatkan perhatian yang memadai, bahkan atas nama pembangunan seringkali hak-hak masyarakat (adat) dilanggar dan diabaikan begitu saja oleh Pemerintah. Jaminan dan pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya dalam konteks kehutanan dapat dilakukan melalui perubahan paradigma pengelolaan sumber daya

11 Ibid.12 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

Page 105: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

105Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

hutan dari pengelolaan hutan berbasiskan negara (state based forest management) ke pengelolaan hutan berbasiskan masyarakat (community based forest management). Hal ini sangat mungkin dilakukan karena masyarakat adat yang sebagian besar tinggal di dalam atau di sekitar kawasan hutan telah mempunyai kearifan lokal dan praktik-praktik tradisional dalam mengelola dan melestarikan sumber daya hutan secara turun-temurun.

Menurut Abdon Nababan,13 prinsip-prinsip kearifan adat yang masih dihormati dan dipraktekkan oleh kelompok-kelompok masyarakat adat, yaitu antara lain:

a. masih hidup selaras alam dengan mentaati mekanisme ekosistem di mana manusia merupakan bagian dari ekosistem yang harus dijaga keseimbangannya;

b. adanya hak penguasaan dan/atau kepemilikan bersama komunitas (comunal tenure/”property” rights) atas suatu kawasan hutan adat masih bersifat eksklusif sehingga mengikat semua warga untuk menjaga dan mengamankannya dari kerusakan;

c. adanya sistem pengetahuan dan struktur kelembagaan (pemerintahan) adat yang memberikan kemampuan bagi komunitas untuk memecahkan secara bersama masalah-masalah yang mereka hadapi dalam pemanfaatan sumberdaya hutan;

d. ada sistem pembagian kerja dan penegakan hukum adat untuk mengamankan sumberdaya milik bersama dari penggunaan berlebihan baik oleh masyarakat sendiri maupun oleh orang luar;

e. ada mekanisme pemerataan distribusi hasil “panen” sumberdaya alam milik bersama yang bisa meredam kecemburuan sosial di tengah masyarakat.

13 Abdon Nababan, “Pengelolaan Hutan Berbasiskan Masyarakat Adat”, Makalah disajikan dalam Pelatihan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah, (Bogor: Pusat Penelitian Lingkungan Hidup - IPB. 5 Juli 2002).

Page 106: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

106 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Pengakuan adanya hak-hak masyarakat hukum adat dan hutan adat dimuat dalam Pasal 5 dan Pasal 67 UU No. 41 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa hutan berdasarkan statusnya terdiri dari hutan negara dan hutan hak. Selanjutnya dikatakan bahwa hutan negara dapat berupa hutan adat, di mana masyarakat adat dapat memungut hasil hutan dan melakukan pengelolaan hutan menurut hukum adat. Dimasukkannya hutan-hutan yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat dalam pengertian hutan negara, adalah sebagai konsekuensi adanya hak menguasai negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat dalam prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, dapat melakukan kegiatan pengelolaan hutan dan pemungutan hasil hutan.14

Kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya secara konstitusional sudah diakui secara tegas dalam perubahan kedua UUD 1945. Pasal 18B ayat (2) perubahan kedua UUD 1945 menegaskan bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Pengakuan dan perhomatan atas masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya, sangat mungkin dilakukan oleh negara, apabila negara konsekuen melaksanakan amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yang menyatakan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya di kuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Adanya penghormatan dan pengakuan negara atas hak-hak masyarakat hukum adat atas pengelolaan sumber daya hutan, sekaligus merupakan jaminan bagi anggota-anggota masyarakat hukum adat untuk 14 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.

Page 107: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

107Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

menikmati hak-hak individualnya seperti yang diatur dalam Pasal 28A (hak mempertahankan hidup dan kehidupan), 28C (hak untuk mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasar) dan 28H (hak hidup sejahtera lahir batin, bertempat tinggal, mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat). Menurut Siti Sundari Rangkuti, dalam rangka pemenuhan hak atas lingkungan hidup pemerintah harus menggariskan kebijaksanaan dan melakukan tindakan yang mendorong ditingkatkannya upaya pelestarian lingkungan hidup15. Dalam konteks pengelolaan hutan tentunya kebijaksanaan dan tindakan dimaksud meliputi pengakuan dan jaminana kepada masyarakat hukum adat atas pengelolaan hutan serta hak-hak untuk memanfaatkan sumber daya hutan.

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan (UU Kehutanan) menyatakan bahwa hutan merupakan kekayaan alam yang dikuasai negara yang akan dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat. Pemerintah yang mewakili negara, berwenang menetapkan status hutan termasuk menetapkan satu wilayah sebagai hutan adat. Dalam Undang-undang No. 41 Tahun 1999, hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah adat yang pengelolaannya diserahkan pada masyarakat hukum adat, dalam arti bukan sebagai pemilik, tetapi masyarakat adat mempunyai hak mengelola dan memanfaatkan hutan menurut hukum adat. Pemerintahlah yang berwewenang memberikan hak itu, melalui proses pengakuan masyarakat hukum adat.

Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 menetapkan hak masyarakat adat atas sumber daya hutan yaitu:16

a. hak memungut hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari;

15 Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, (Surabaya: Airlangga University Press, 2005), hlm. 171.16 Penjelasan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan

Page 108: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

108 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

b. hak melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan dengan undang-undang; dan

c. mendapatkan pemberdayaan untuk meningkatkan kesejahteraannya.

Persyaratan utama untuk memperoleh pengakuan atas hak-hak itu adalah pembuktian keberadaan sebagai masyarakat adat. Apabila suatu komunitas dapat membuktikan sebagai kesatuan masyarakat hukum adat, pengukuhannya ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Disini tidak dijelaskan apakah Peraturan Daerah dimaksud adalah Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten. Penjelasannya hanya menyebutkan bahwa Peraturan Daerah disusun dengan pertimbangan hasil penelitian para pakar hukum adat, aspirasi masyarakat setempat, dan tokoh masyarakat adat yang ada di daerah yang bersangkutan, serta instansi atau pihak lain yang terkait. Ketidakjelasan tersebut dapat diatasi dengan segera menerbitkan peraturan pemerintah sebagaimana ditegaskan dalam UU No. 41/1999 yang akan mengatur lebih lanjut mengenai tata cara pemuhan hak atas sumber daya hutan, persyaratan serta mekanisme pengukuhan hutan adat.17

Ketentuan di atas, disatu sisi membuka kemungkinan bagi masyarakat hukum adat melakukan pemungutan hasil hutan. Namun disisi lain beberapa rumusan dalam ketentuan tersebut ternyata belum memberikan rasa keadilan dan ketidakjelasan mengenai pemungutan hasil hutan dengan pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan lengkap dengan alas haknya seperti HPH?

Merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan 17 Pasal 67 ayat (2 dan 3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.

Page 109: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

109Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Hutan Serta Pemanfaatan Hutan, yang dimaksud dengan “pemungutan hasil hutan adalah kegiatan untuk mengambil hasil hutan baik berupa kayu dan atau bukan kayu dengan batasan waktu, luas dan/atau volume tertentu. Ketentuan umum ini dijabarkan pada Pasal 45 PP 6 2007 yang intinya menyatakan, pemungutan hasil hutan kayu oleh masyarakat adat dalam hutan alam pada hutan produksi bukan untuk diperdagangkan, diberikan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan fasilitas umum kelompok masyarakat setempat paling banyak 50 meter kubik dan untuk memenuhi kebutuhan hidup individu tidak melebihi 20 meter kubik untuk setiap kepala keluarga . Sedangkan pemungutan hasil hutan bukan kayu seperti rotan, manau, madu, getah, gaharu, tanaman obat, buah-buahan dapat diperdagangkan dengan volume maksimal 20 ton setiap kepala keluarga.

Prasyarat yang cukup berat dipenuhi oleh masyarakat hukum adat untuk mendapatkan pengakuan dari Pemerintah Daerah mengakibatkan hak-hak masyarakat hukum adat yang telah dijamin oleh UUD 1945 terancam tidak dapat dinikmati oleh masyarakat hukum adat. Persyaratan tersebut sebagaimana dinyatakan dalam penjelasan Pasal 67 UU No. 41 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, jika menurut kenyataannya memenuhi unsur antara lain:

a. masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap);

b. ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;

c. ada wilayah hukum adat yang jelas;d. ada pranata dan perangkat hukum, khusunya

peradilan adat yang masih ditaati; dane. masih melakukan pemungutan hasil hutan, di

wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.

Page 110: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

110 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Prasyarat tersebut jelas berat dipenuhi oleh masyarakat hukum adat, karena untuk mengetahui keberadaan masyarakat hukum adat tidak sekedar dilakukan identifikasi, namun dibutuhkan kajian mendalam dan penguatan kembali perangkat kelembagaan adat. Mengingat keberadaan masyarakat hukum adat telah mengalami pemudaran peran dalam pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan di masyarakat.

Kondisi ini semakin memperihatinkan ketika penjabaran dan pengaturan lebih lanjut mengenai hak-hak masyarakat hukum adat dan pengukuhan hutan adat dengan Peraturan Pemerintah. Saat tulisan ini dibuat, PP tersebut masih terbatas pada Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP). Masih terdapat perdebatan apakah substansi RPP tersebut akan lebih menekankan pada segala sesuatu yang berkaitan dengan pengelolaan hutan adat, atau sekaligus juga mengatur tentang tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat. Banyak pihak berharap agar substansi RPP tersebut lebih banyak mengatur aspek pengelolaan hutan adat, karena pengakuan keberadaan masyarakat adat sudah menjadi kewenangan Pemerintahan Daerah untuk mengukuhkannya sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 67 ayat (2) UU 41/1999. Beberapa pasal dalam RPP ini juga masih menimbulkan pertanyaan, seperti cakupan masyarakat hukum adat yang akan dikukuhkan dengan Peraturan Daerah Provinsi atas usulan masyarakat atau Bupati. Jika masyarakat hukum adat yang dimaksudkan mencakup satu wilayah Kabupaten, tentu mustahil dilakukan mengingat perkembangan dan perubahan yang terjadi. Berbeda, jika pengukuhan tersebut dapat dilakukan terhadap beberapa atau satu komunitas yang sekarang secara administratif dinamakan desa, tentu akan lebih mungkin dilakukan.

Page 111: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

111Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Kesimpulan dan SaranKesimpulan yang dapat ditarik dari pembahasan di atas:

pertama, kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya diakui dan dijamin oleh UUD 1945. Jaminan tersebut bukan saja terhadap hak yang bersifat kolektif sebagai kesatuan masyarakat hukum, tetapi juga hak-hak dari anggota masyarakat hukum adat sebagai perseorangan. Kedua, hak-hak masyarakat hukum adat atas sumber daya hutan secara normatif telah diakomodir dalam UU Kehutanan, namun belum ada peraturan yang bersifat operasional untuk mewujudkan hak-hak masyarakat adat tersebut.

Sebagai saran, demi kepastian hukum dan memenuhi rasa keadilan masyarakat perlu segera ditetapkan peraturan pemerintah yang mengatur pengelolaan hutan adat dan tata cara pengakuan dan penetapan masyarakat hukum adat.

Page 112: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

112 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Daftar Pustaka

Abdon Nababan, 2002. “Pengelolaan Hutan Berbasiskan Masyarakat Adat”, Makalah disajikan dalam Pelatihan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah, Bogor: Pusat Penelitian Lingkungan Hidup – IPB, 5 Juli.

Bestari Raden dan Abdon Nababan, 2001. “Pengelolaan Hutan Berbasiskan Masyarakat Adat, Antara Konsep dan Realitas”, Makalah untuk disajikan dalam Kongres Kehutanan Indonesia III, Jakarta, 25-28 Oktober.

Iman Santoso, tanpa tahun. Perjalanan Desentralisasi Pengurusan Sumberdaya Hutan Indonesia, www.wg-tenure.org/file/Makalah/Perjalanan%20Desent..., diakses 10 Desember 2008

I Nyoman Nurjaya, tanpa tahun, ”Sejarah Hukum Pengelolaan Hutan di Indonesia”, http://eprints.ums.ac.id/347/1/3._Nyoman_Nurjaya.p..., diakses 9 Februari 2009

Jimly Assidiqie, tanpa tahun. “Dimensi Konseptual dan Prosedural Pemajuan Hak Asasi Manusia Dewasa Ini, (Perkembangan ke Arah Pengertian Hak Asasi Manusia Generasi Keempat)”, http://www.jimly.com, diakses 9 Februari 2009.

LG. Saraswati dkk, 2006. Hak Asasi Manusia, Teori, Hukum, Kasus, Depok Filsafat UI Press.

Smith, Rhona K.M dkk., 2008. Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta: PUSHAM UII.

Direktorat Bina Rehabilitasi Hutan dan Lahan, 2008. “Resume Data Informasi Rehabilitasi Hutan dan Lahan Tahun 2007”. Diakses dari http//www.dephut.go.id, diakses 16 Desember 2008.

Siti Sundari Rangkuti, 2005. Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Surabaya: Airlangga University Press.

Page 113: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

113Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

KEDUDUKAN DAN EKSISTENSI PARLEMEN DALAM UUD 1945 BARU

Rusli K. Iskandar1

Abstract

Indonesian constitutional paradigm shift from the division to the separation of powers, causing no longer the highest category of state institutions and the higher state institutions. But based on the New 1945 Constitution, the total quorum in matter to amend the constitution dominated by members of The House of Representatives (DPR) with the composition of 2/3 of the whole membership at The People’s Consultative Assembly (MPR). This condition precisely shifting the position of DPR as a parliament has become the highest state institution. Therefore, any amendment in the 1945 Constitution that would happen in the future, determined by the parliament in the name of the Assembly. This fact will shift the 1945 Constitution to be under the House, and was contrary to the principles of the supremacy of the Constitution which followed the 1945 Constitution.

Keywords: parliament, The New 1945 Constitution.

PendahuluanPembaharuan Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya

disingkat UUD 1945)2 yang dilakukan sejak Perubahan

1 Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung (UNISBA), Kandidat Doktor Ilmu Hukum dari Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta.2 Dalam Perubahan Pertama ditetapkan nama resminya “Undang-Undang Da- Dalam Perubahan Pertama ditetapkan nama resminya “Undang-Undang Da-

Page 114: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

114 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Pertama tahun 1999 sampai Perubahan Keempat3 tahun 2002, telah membawa implikasi yang sangat besar terhadap perubahan ketatanegaraan Indonesia, baik menyangkut struktural maupun fungsional kelembagaan negara.

Secara struktural, terjadi perubahan fundamental berkaitan dengan dihapuskan lembaga Dewan Pertimbangan Agung (disingkat DPA)4 diganti dengan sebuah dewan pertimbangan (dalam tulisan ini disingkat dan ditulis dengan hurup kecil miring dp), yang kedudukan kelembagaannya tidak jelas,5 apakah di atas, sederajat, atau malah di bawah

sar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Dalam tulisan ini dengan sengaja akan tetap menggunakan istilah populer UUD 1945 dengan maksud sama menyebut nama resmi. Alangkah baiknya pula apabila MPR menetapkan sebutan UUD 1945 sebagai singkatan dari nama resmi itu.3 Karena keempat perubahan UUD 1945 yang dilakukan sekarang ini, terkait langsung dengan momen dan even reformasi (tidak reguler), dalam hemat penulis ada baiknya diberi sebutan khusus dengan istilah “Empat Perubahan Pertama UUD 1945” (the First Fourth Amandment). Istilah ini mengambil contoh seperti dalam 11 perubahan Pertama UUD Amerika, yang dikenal dengan sebutan “the First Eleven Amandment”. Sekedar bandingan lainnya, menurut Moh. Mahfud MD., “sebetul-nya amandemen atas UUD 1945 baru dilakukan satu kali tetapi disahkan dalam empat tahap”. Untuk lengkapnya, perhatikan uraian beliau yang menyatakan: “pe-rubahan itu sebenarnya hanya dilakukan satu kali tetapi memakan waktu selama tiga tahun, sebab dalam kenyataannya sepanjang tiga tahun itu MPR tidak pernah berhenti membahas rangkaian gagasan-gagasan amandemen yang dilakukannya. Hanya saja, pengesahannya dilakukan dalam empat tahun sesuai dengan tingkat capaian kesepakatan pada setiap Sidang Tahunan MPR yang biasanya hanya ber-langsung sekitar dalam satu minggu”. Lihat Moh. Mahfud MD., Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Mandemen Konstitusi, (Jakarta: LP3ES, 2007), hlm. xii.4 Penghapusan itu nampak dari loncatan materi BAB III langsung ke BAB V. Sebelum Perubahan Keempat, materi Bab IV itu mengenai DPA. Karena itu, naskah resmi UUD 1945 yang berlaku sekarang, tidak memiliki Bab IV. Lihat keterangan Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, (Jakarta: PSHTN-F.H.-UI , 2002, catatan kaki No. 47, hlm. 20.5 Seyogyanya kedudukan dp ini termasuk organ konstitusi, karena terkait dengan fungsi penasehat lembaga negara Kepresidenan. Sebagai organ konstitusi, dp diatur dalam bab tersendiri, sejajar dengan lembaga Kepresidenan. Supra catatan kaki Nomor 6 hlm. 2. Berdasarkan ketentuan yang ada, untuk sementara dapat di-simpulkan kedudukan kelembagaan dp setingkat lebih rendah dari lembaga Kepre-sidenan. Kedudukan ini akan mempengaruhi kinerja dp, karena akan berhadapan dengan kendala teknis dan psikologis, yakni “ewuh pakewuh” ketika harus mena-sehati Presiden.

Page 115: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

115Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Presiden. Dikatakan tidak jelas, karena yang berkepentingan membentuk lembaga itu adalah Presiden sendiri, bukan UUD 1945, meskipun ditentukan akan diatur dengan undang-undang.6 Karena itu, dapat dikatakan bahwa dp tidak termasuk institusi atau organ konstitusi,7 melainkan sebagai perangkat eksekutif yang dikukuhkan dengan undang-undang, atau singkatnya disebut sebagai organ undang-undang.8 Padahal, sebagai lembaga penasehat, seyogyanya berada di atas, atau setidak-tidaknya sejajar dengan Presiden, dan merupakan organ konstitusi seperti DPA semula.

Di samping itu, dihadirkan pula tiga lembaga negara9 baru, Dewan Perwakilan Daerah (disingkat DPD),10 6 Hasil Perubahan Keempat, rumusan ketentuan lengkapnya sebagai berikut : “Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberi nasi-hat dan pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutnya diatur dalam undang-undang” (kursif penulis). Undang-undang tentang dp ini, secara kategoris termasuk jenis undang-undang organic, yakni undang-undang yang dibentuk karena perin-tah UUD. 7 Sebagai organ konstitusi, ke-8 lembaga negara itu masing-masing diatur da- Sebagai organ konstitusi, ke-8 lembaga negara itu masing-masing diatur da-lam bab tersendiri, yaitu : Bab II tentang MPR, Bab III tentang Presiden, Bab VII tentang DPR, Bab VIIA tentang DPD, Bab VIIIA tentang BPK, dan Bab IX tentang MA, MK, dan Komisi Yudisial. 8 Jimly Asshiddiqie, membagi secara kategoris organ negara itu ke dalam tiga jenis, yaitu : organ konstitusi, organ undang-undang, dan organ Kepres. Kuliah Program Doktor (S3) Ilmu Hukum UII, Yogyakarta, 17 Nopember 2003.9 Sebelum perubahan, UUD 1945 menggunakan istilah “badan negara” seperti nampak dalam Pasal II Aturan Peralihan, tetapi di dalam praktiknya lebih popu-ler menggunakan istilah Lembaga Negara. Istilah ini mulai dikenal dalam prak-tik sejak keluarnya Ketetapan MPRS Nomor VIII/MPRS/1965, [lihat BAB IV Pasal 11 ayat (1)], yang kemudian terakhir disebut dalam Ketetapan MPR Nomor III/MPR/1978. Inkonsistensi penggunaan istilah dengan praktik ini, sangat berbeda dengan UUDS 1950 yang tegas menyebut istilah “Alat-alat Perlengkapan Negara” (lihat Bab II Pasal 44) dan UUD RIS 1949 yang menyebut “Perlengkapan RIS” (BAB III). Dalam UUD 1945 baru, istilah lembaga negara dijumpai sama dalam Pasal II Aturan Peralihan, yang kemudian dijumpai pula dalam UU Nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, seperti tertuang dalam Bab II Pasal 2 yang menyebutkan “Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang …”. Ketentuan sejenis juga dite-mukan dalam Bab II Bagian Pertama UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Pasal 2 “Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang …”.10 DPD ini merupakan perwakilan kedaerahan, yang mirip dengan perwakilan senat dalam negara federasi. Memperhatikan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945

Page 116: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

116 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Mahkamah Konstitusi (disingkat MK),11 dan Komisi Yudisial12 (disingkat KY). DPD bertalian dengan kekuasaan dan kelembagaan legislatif, MK dan KY bertalian dengan kekuasaan dan kelembagaan yudikatif. Sementara dp bertalian dengan kekuasaan dan kelembagaan eksekutif. Apabila dilihat dari struktur kekuasaan inti dalam negara, perubahan ini berdekatan dan sejalan dengan ajaran trias politika Montesquieu.13 Artinya, disadari atau tidak, perubahan ini

Perubahan Keempat, kehadiran DPD memang mengarah pada model sistem dua kamar perwakilan di MPR.11 Sebagai lemabaga yudikatif, MK menjalankan fungsi peradilan, hanya me- Sebagai lemabaga yudikatif, MK menjalankan fungsi peradilan, hanya me-mang terkesan campur aduk dengan kekuasaan MA. Keduanya sama-sama me-miliki kewenangan sengketa orang dan kelembagaan dan sengketa perundang-undangan, meskipun terhadap jenis perundang-undangan yang berbeda. Di masa depan, dalam rangka penegakkan supremasi hukum, harus diarahkan pada pemis-ahan tegas fungsi yudikatif ini, yakni MK khusus menangani sengketa perundang-undangan, dan MA menangani penyelesaian sengketa orang dan kelembagaan.12 Menurut Jimly Asshiddiqie, fungsi Komisi Yudisial ini dimaksudkan agar ma-syarakat di luar struktur lembaga parlemen, dapat dilibatkan dalam proses peng-angkatan, penilaian kinerja, bahkan pemberhentian hakim. Lihat dalam Jimly Asshid-diqie , Konsolidasi …, op.cit. catatan kaki No. 97, hlm. 42. Terhadap catatan Jimly ini, penulis pun memberikan catatan lain, yakni bagaimana mekanisme pengangkatan dan pemberhentian hakim oleh masyarakat itu, sebab hal itu berkaitan langsung dengan kewenangan konstitusional dan institusional. Dalam batas apa kewenangan masyarakat itu? Mungkin di sini sebatas masyarakat memberikan pendapat atau opini yang diharapkan dapat dijadikan pertimbangan oleh Komisi Yudisial dalam rangka pengangkatan atau pemberhentian hakim dimaksud. Seandainya demikian, berarti badan yudikatif dipengaruhi oleh lingkungan luar, meskipun dalam soal kewenangan administratif. Bukankah hal ini sesuatu yang dilarang oleh konstitusi? Kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan merdeka, terlepas dari kekuasaan lain, bah-kan terlepas pula dari pengaruh kekuasaan dari dalam lingkungannya sendiri. Ka-rena itu, perlu ditentukan mekanisme keterlibatan masyarakat, tetapi tetap dalam batas tidak memasuki kewenangan konstitusional KY. Selanjutnya, dengan pola ini diharapkan menjadi daya dorong kepada para hakim untuk senantiasa berhati-hati dalam menjalankan kekuasaan sesuai dengan koridor konstitusi.13 Teori trias politika ini, pertama kalinya dikemukakan oleh John Locke yang di- Teori trias politika ini, pertama kalinya dikemukakan oleh John Locke yang di-kembangkan kemudian oleh Montesquieu. Perbedaan dengan John Locke terletak pada kekuasaan ketiga (the third treatises) yang disebut federatif, yaitu kekuasaan-kekuasaan yang bertalian dengan soal: perang (war), damai (peace), perserikatan (alliances), dan hubungan-hubungan (transactions) individual dengan masyarakat di luar ikatan persekemakmuran. Lihat dalam John Locke, Of Civil Government, Gatewey Editions, Indiana, 1955, hlm. 121. Sementara menurut Montesquieu, “the third treatises” adalah yudikatif, yang mandiri terpisah dari kedua kekuasaan lain-

Page 117: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

117Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

telah menggeser paradigma sistem ketatanegaraan Indonesia yang mengarah ke model pemisahan kekuasaan,14 atau telah penuh mengikuti penuh ajaran trias politika.15

Karena itu, dalam memandang masalah trias nya. Adapun kekuasaan dalam lingkup federatif itu, justeru merupakan urusan eksekutif. Lihat Baron De Montesquieu, The Spirit of the Laws, Translated by Thomas Nugent, (London - New York: Hafner Press-Collier Macmillan Publishers, 1949), hlm. 151.14 Semula menganut sistem ketatanegaraan pembagian kekuasaan Negara (divi-sion atau distribution of powers)..Lihat Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 195, (Yogyakarta: F.H. UII Press, 2004), hlm. 160-161. Secara konseptual, setiap negara memang dapat mengembangkan teori kenegaraan sendiri dari suatu teori kenegaraan umum, yang diterapkan dengan memperhatikan alam budaya dan sejarah suatu kelompok masyarakat dan dijadi-kan pandangan resmi kenegaraannya. Lihat Padmo Wahjono, Negara Republik Indo-nesia, (Jakarta: Rajawali, ,1982), hlm. 2. Apabila hendak konsekwen secara teoretik, sebetulnya konsep pembagian kekuasaan itu bersifat vertikal yang umumnya dia-nut atau berlaku di negara federasi, yakni membagi kekuasaan di antara pemerintah federal dengan pemerintah negara bagian. Sementara pemisahan kekuasaan seperti dimaksud dalam ajaran trias politika, adalah pemisahan ke samping atau bersifat horizontal di antara tiga cabang kekuasaan yang sederajat, meliputi legislatif, ekse-kutif, dan yudikatif. Karena itu, kalau Republik Indonesia menyatakan diri me-milih teori pembagian kekuasaan, berarti menganut ajaran pembagian kekuasaan secara vertikal seperti berlaku di negara federasi. Namun tidak jelas pula, apakah membagi itu ke samping (horisontal) atau ke atas (vertikal), karena secara faktual Republik Indonesia menganut prinsip negara kesatuan dengan sistem otonomi dan bukan federasi. Karena itu, kalau maksudnya membagi di antara berbagai cabang kekuasaan yang ada, maka yang nampak adalah pembagian kekuasaan dari Pres-iden - bukan dari konstitusi - baik ke samping maupun ke atas. MPR sebagai lem-baga negara tertinggi pada waktu itu, juga dibagi oleh dan dari Presiden. Ketentuan Ketetapan MPR yang memberi kekuasaan khusus kepada Presiden, menunjukkan bahwa kekuasaan Presiden lebih tinggi dan lebih besar dari lembaga perwakilan rakyat, termasuk dengan kekuasaan kehakiman yang secara konseptual dijamin kemerdekaannya. Praktik ini menunjukkan bukti bahwa karakter kekuasaan akan selalu mengusahakan untuk melindungi dan memperbesar dirinya sendiri.15 Telah disepakati bahwa Pancasila sebagai dasar idologis bangsa, adalah sistem nilai yang terbuka. Artinya, terbuka untuk menerima nlai-nilai baru yang datang dari luar, dengan catatan tidak bertentangan dengan sistem nilai idologis tersebut. Untuk itu, ajaran trias politika dalam bidang ketatanegaraan, nyatanya telah mem-pengaruhi hampir keseluruhan teori ketatanegaraan di dunia ini. Karena itu, dalam kaitan ini, tidak dapat dipungkiri kalau sistem ketatanegaraan Indonesia pun, di-pengaruhi kuat dan bahkan menunjukkan karakter trias politika, terutama dilihat dari fungsi pranata kelembagaannya. Kenyataan ini membuktikan, bahwa sistem nilai Pancasila di bidang ketatanegaraan, tidak dapat menolak begitu saja sistem trias politika.

Page 118: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

118 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

politika, misalnya, bukan semata-mata hanya melihat soal pemisahan kekuasaan, tapi harus pula melihat pada pranata kelembagaannya.16 Salah satu pengaruh trias politika terhadap ajaran ketatanegaraan berbagai negara, adalah adanya pranata kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif. Pranata ketiga kekuasaan ini, juga terdapat dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, seperti DPR sebagai legislatif, Presiden sebagai eksekutif, dan Mahkamah Agung sebagai yudikatif.17 Adanya ketiga pranata

16 Dapat dipastikan, hampir sebagian besar - kalau tidak dikatakan semua negara di dunia ini - dalam menyusun kelembagaan ketanegaraannya mendapat pengaruh langsung dari trias politika. Hal ini dubuktikan, bahwa di semua negara terdapat fungsi dari ketiga cabang kekuasaan itu sekaligus, meskipun dalam sebutan atau istilah dan mekanisme kerja yang berbeda satu sama lainnya.17 Berdasarkan Perubahan Ketiga, kekuasaan yudikatif selain dijalankan oleh Mahkamah Agung, juga dijalankan oleh Mahkamah Konstitusi dengan fungsi-fungsi kekuasaan, menguji undang-undang (UU) terhadap UUD, menyelesaikan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus sengketa hasil pemilihan umum. Di samping itu, wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/ atau Wakil Presiden menurut UUD se-bagaimana dimaksud Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2). Untuk melihat masalah ini secara komprehensif, selanjutnya perhatikan usulan rumusan Komisi Konstitusi tentang Mahkamah Konstitusi yang tidak lagi disenafaskan dengan Mahkamah Agung sebagai kekuasaan yudikatif. Mahkamah Konstitusi dikeluarkan dari Pasal 24 ayat (2), melainkan langsung dikaitkan dengan fungsi yang harus dijalankannya sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 24C ayat (1). Lihat Komisi Konstitusi, Buku Kedua Persandingan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Hasil Perubahan dan Usul Komisi Konstitusi, (Jakarta: Komisi Konstitusi, 2004, hlm). 18, 20. Terhadap usu-lan Komisi Konstitusi ini, penulis memberikan catatan tersendiri tentang MK, yakni apakah ia lembaga yudikatif seperti MA atau bagaimana. Rumusan perubahan Ke-tiga UUD 1945 sudah tepat, hanya secara redaksional masih menimbulkan masa-lah, seolah-olah MK berada dibawah MA. Mestinya Komisi Konstitusi mengadakan pelurusan redaksional terhadap Pasal 24 ayat (2), misalnya menjadi : “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi, berikut badan peradilan di bawahnya”. Kemudian diusulkan rumusan baru untuk ayat (3) “Badan peradilan di bawahnya sebagaimana dimaksud ayat (2) adalah badan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang meliputi lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha Nega-ra, dan lingkungan badan peradilan lainnya”. Ayat (3) lama menjadi ayat (4) baru. Dengan rumusan seperti ini, jelas Mahkamah Konstitusi adalah sama-sama sebagai lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman yang sejajar dengan Mahkamah Agung.

Page 119: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

119Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

kelembagaan itu, disadari atau tidak, merupakan pengaruh18 baik langsung ataupun tidak langsung dari trias politika. Pelurusan pemikiran ini penting, karena ternyata eksesif, yakni ketika tidak jelas teori ketatanegaraan apa yang dianut, terbukti menjadi tidak jelas pula praktik ketatanegaraan yang dijalankan.19

Hal ini sudah dibuktikan bahwa dengan sistem sendiri itu, ternyata menyulitkan bangsa ini membangun 18 Mochtar Kusumaatmadja dengan tegas mengatakan bahwa keadaan Indone- Mochtar Kusumaatmadja dengan tegas mengatakan bahwa keadaan Indone-sia sebagai negara kepulauan yang terletak di persimpangan lalu lintas barat dan timur, di antara dua benua Asia dan Australia, dua Samudera Pasifik dan Hindia, mustahil akan tetap steril dari pengaruh lalu lintas itu. Hal yang tidak dapat diing-kari, di antaranya pengaruh Islam dan hindu, yang bukan saja dalam soal agama, tapi juga dalam bidang kehidupan sosial, seperti ekonomi dan perdagangan. Li-hat dalam karyanya, Tradisi dan Pembaharuan di Negara Yang Sedang Berkembang, (Bandung: Program Pascasarjana Unpad, 21 Oktober 1996), hlm. 4. Karena itu, tidak dapat dipungkiri pula, kalau kehidupan ketatanegaraan yang dikembangkan, mer-upakan sublimasi dari pengaruh budaya luar, terutama dari negara-negara yang sudah terlebih dahulu memperoleh kemerdekaan. Meskipun dalam beberapa even selalu dinyatakan digali dari budaya dan nilai sosial bangsa sendiri, tapi yang pasti nilai budaya lokal maupun nasional yang digali itu sendiri, merupakan akulturasi dari pengaruh budaya luar sebelumnya. Begitu seterusnya.19 Praktik di sini dimaksudkan sebagai cara menjalankan aturan-aturan kon- Praktik di sini dimaksudkan sebagai cara menjalankan aturan-aturan kon-stitusi tertulis dalam kenyataan ketatanegaraan. Dalam ilmu hukum tata negara, praktik ketatanegaraan ini disebut konvensi ketatanegaraan, sebagai aturan dasar yang hidup dan lazim terjadi sebagai upaya mendinamisasi penerapan kaidah-kai-dah tertulis ketatanegaraan dalam praktik. Bagir Manan, Konvensi Ketatanegaraan, (Bandung : Armico, 1987), hlm. 29. Namun sayangnya, dalam setiap praktik ke-tatanegaraan sekedar proses uji coba “trail and error”. Dapat ditunjukkan misalnya, praktik berdemokrasi. Sejak pertama merdeka sampai sekarang, telah dicoba ber-macam demokrasi, seperti demokrasi liberal, demokrasi terpimpin, terakhir demo-krasi Pancasila. Hasilnya bukan sekedar tidak demorkatis, bahkan anti demokrasi. Demokrasi itu, bukan kata benda melainkan kata kerja yang mengandung makna sebagai proses dinamis. Namun demikian, demokrasi sebagai prinsip pemerinta-han penting ditegaskan dan dikomitmenkan, dengan tidak perlu didasarkan pada embel-embel tertentu. Demokrasi, bukan semata-mata pada identitasnya, tapi pada komitmen masyarakat untuk hidup secara demokratis. Salah satunya harus tercer-min dari cara-cara demokratis pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Tapi dalam perkembangan terakhir sekarang menuju pada pola oli-garkhi, yakni pemerintahan oleh segelintir elit politik. Demikian dinyatakan Moh. Mahfud MD. mengomentari pidato pengukuhan jabatan Guru Besar Saldi Irsa ten-tang perlunya MK pro aktif melakukan hak uji formal UU. Kompas, Jumat, 12 Pe-bruari 2010, hlm. 4.

Page 120: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

120 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

ketatanegaraan dalam rangka mewujudkan berbagai tujuan negara,20 terutama kesejahteraan rakyat.21 Kehancuran di hampir seluruh lini kehidupan yang dialami sejak sekurang-kurangnya pertengahan 1997 sampai gerakan reformasi 21 Mei 1998, bahkan sampai hari ini, merupakan akibat tidak langsung dari ketidakjelasan teori sistem ketatanegaraan yang dianut. Sementara akibat langsung, menyangkut rapuhnya semangat22 penyelenggara negara dalam rangka melaksanakan amanat konstitusi dan aturan-aturan hukum negara yang lainnya.23

20 Mengenai masalah ini lihat dan baca Aliena keempat Pembukaan UUD 1945 yang merumuskan tujuan negara dengan dua dimensi tujuan, internal dan ekster-nal. Dimensi internal, membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melin-dungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa. Sementara dimensi eksternal, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerde-kaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.21 Maksudnya bahwa berbagai lapangan kehidupan masyarakat dimasuki oleh campur tangan negara, namun tidak secara utuh dalam rangka kesejahteraan raky-at. Tuntutan yang mengarah pada disintegrasi dari berbagai daerah yang potensial memiliki kekayaan alam, adalah akibat langsung tidak adanya “sharing” yang adil dalam membangun kesejahteraan rakyat secara material. Negara di balik legalitas-nya, mengeksploatasi kekuasaan dengan memberi tafsir keliru, bahkan dikelirukan terhadap maksud Pasal 33 “asas kekeluargaan”, menjadi asas keluarga. Kenyataan ini menunjukkan telah terjadi pemusatan hasil dan bahkan penggunaan sumber kekayaan alam oleh pemerintah pusat, secara tidak adil dan sangat menyakitkan bagi daerah-daerah yang memiliki sumber kekayaan yang potensial berlimpah, se-perti Aceh, Riau, Kaltim, Irian Jaya, dan daerah lainnya. Itulah sebabnya, di antara daerah-daerah ini ada yang berusaha membangun riak gelombang untuk menjadi teritorial sendiri yang merdeka.22 Istilah semangat penyelenggara ini pertama kali ditemukan dalam Penjelasan Umum angka IV UUD 1945. Karena itu, tidak selalu tepat untuk mengatakan ba-hwa seluruh rumusan Penjelasan keliru atau bahkan bertentangan dengan UUD 1945. Ketentuan tentang “semangat penyelenggara negara” memiliki nilai kon-struktif yang tinggi bagi kehidupan negara, karena memang semangat memberi pengaruh yang signifikan terhadap kinerja kelembagaan negara, pemerintahan, termasuk masyarakat. Keseluruhan kekeliruan bahkan kesalahan praktik ketatane-garaan sekarang, bukan kesalahan Penjelasan, tapi sepenuhnya kesalahan penyel-enggara negara sendiri memaknakan semangat, tidak konsisten dengan maksud isi penjelasan. Sekedar contoh, lihat uraian catatan kaki 23 di atas. 23 Inilah yang secara konseptual disebut dengan negara hukum. Sebelum peru- Inilah yang secara konseptual disebut dengan negara hukum. Sebelum peru-bahan UUD, sebutan negara hukum Republik Indonesia dimuat dalam Penjelasan

Page 121: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

121Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Pergeseran ke pemisahan kekuasaan negara ini, menandakan adanya perubahan paradigamtik, yang sedikit banyak akan mempengaruhi praktik ketatanegaraan di kemudian hari. Salah satu pergeseran itu, menyangkut badan dan kekuasaan legislatif, atau umumnya disebut parlemen.24

Berdasarkan Perubahan Pertama, kekuasaan legislatif telah digeser dari yang semula ada pada Presiden dengan persetujuan DPR, menjadi sepenuhnya dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).25 Pergeseran ini sekaligus

UUD 1945 dengan sebutan “de rechtsstaat” yang diperlawankan dan “machtsstaat”, dengan kata-kata “dan tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka”. Secara tata bahasa, kata-kata terakhir lebih menonjolkan fungsi negara kekuasaan daripada negara hu-kum. Keadaan ini memberi pengaruh yang signifikan bahwa Indonesia menganut konsep negara hukum formal, yakni sekedar menunjukkan bahwa seluruh tinda-kan kenegaraan didasarkan pada aturan hukum sah, seperti dikonsepsikan John Austin, yakni hukum yang dibuat berdasarkan kehendak kekuasaan (command of the sovereign). Padahal inti negara hukum yang sesungguhnya bukan semata-mata pada adanya hukum, tapi pada keharusan dan kemampuan negara, untuk membe-rikan jaminan rasa aman bagi masyarakat dalam segala hal, dengan hukum yang diciptakannya. Sementara itu, hukum penguasa dapat dipastikan kurang bahkan tidak memberikan jaminan itu, melainkan sebaliknya mendatangkan ketidaknya-manan masyarakat. Setelah Perubahan Keempat, Penjelasan tersebut resmi dihapus (Perhatikan Pasal II Aturan Tambahan). Karena itu, gagasan Negara hokum dalam Penjelasan diangkat menjadi ketentuan Pasal 1 ayat (3). Ketentuan dalam pasal ini, mirip dengan yang diatur dalam UUDS 1950 [Lihat Pasal 1 ayat (1)] dan UUD RIS 1949 [Lihat Pasal 1 ayat (1)]. 24 Istilah parlemen ini diambil dari perkataan dalam bahasa Perancis “parler” yang artinya bicara, sehingga parlemen diartikan sebagai pembicaraan atau tempat bicara. Di Perancis sendiri, untuk pertama kalinya kekuasaan parlemen ini diberi-kan kepada majelis hakim tinggi yang sudah ada sejak abad ke-14, dengan fungsi mengawasi dan membatasi kekuasaan raja dalam membuat undang-undang, da-lam bentuk mengajukan keberatan atau menolak sarat pendaftaran undang-un-dang raja. Sementara itu, perwakilan rakyat biasa, dinamai “Etats-Generaux” (Be-landa - Staten Generaal, German Bundestaag). Sejak Revolusi Perancis 1790, parlemen majelis hakim tinggi dibubarkan, sementara yang dipertahankan ”Etats-Generaux”. Lihat Sunario, Sistem Parlementer, Sistem Partai, dan Sistem Pemilihan, Cetakan Keem-pat, (Jakarta: Tintamas, 1950), hlm. 5. 25 Sebelum diubah, kekuasaan ini dijalankan oleh Prersiden, seperti diatur da- Sebelum diubah, kekuasaan ini dijalankan oleh Prersiden, seperti diatur da-lam Pasal 5 ayat (1) yang menentukan : “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”. Setelah diubah, perhatikan Pasal 20 ayat (1) “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan mem-bentuk undang-undang”. (kursif – penulis)

Page 122: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

122 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

menunjukkan bahwa fungsi-fungsi di antara kedelapan lembaga negara itu, terpisah secara horizontal, tapi tidak dalam pengertian pemisahan kelembagaan,26 kecuali fungsi dan kelembagaan kekuasaan kehakiman.27

Dalam tulisan ini, dengan sengaja hanya akan melihat fungsi dan kelembagaan parlemen. Di antara berbagai kelembagaan negara, apakah dengan utuh model trias politika atau bukan, karena parlemen merupakan salah satu organ kekuasaan negara yang kategoris terpenting.28

Dari riwayatnya, pembentukan parlemen dimaksudkan dalam rangka “mempertimbangkan pertolongan apa yang hendak diberikan kepada raja dalam menghadapi berbagai kesulitannya,”29 dan membangun cara membatasi bahkan mengurangi kekuasan pemerintahan (raja) pada waktu itu.30

26 Jennings menyebut dengan istilah pemisahan dalam arti formal, atau yang umum dikenal dengan sebutan pembagian kekuasaan negara (distribution or division of power). Lawannya pemisahan dalam arti material, atau yang umum dikenal dengan pemisahan kekuasaan itu (separation of power). Dikutip dari Ismail Suny, Pembagian Kekuasaan Negara, (Jakarta: Aksara Baru, 1978), hlm. 7- 8.27 Pemisahan kekuasaan kehakiman dari cabang-cabang kekuasaan yang lain- Pemisahan kekuasaan kehakiman dari cabang-cabang kekuasaan yang lain-nya, seperti kekuasaan legislatif dan eksekutif, bahkan dari lingkungan kekuasaan-nya sendiri itu, merupakan pembawaan alamiahnya. Lihat di antaranya pendapat Baron De Montesquieu, Loc.cit.28 Ketika John Locke mengeluarkan gagasan perlunya pemisahan kekuasaan, yang perama kali harus dipisahkan adalah kekuasaan legislatif dari raja. Pemikian ini didasari oleh kejengkelan Locke melihat praktik raja dalam membuat undang-undang yang isinya sangat menindas rakyat. Lihat John Locke, op.cit., hlm. 121-122. Dalam perkembangan selanjutnya, diakui bahwa kekuasaan legislatif negara meru-pakan sebuah kekuasaan raksasa dalam suatu sistem hukum. Lihat Lawrence M. Friedman, Hukum Amerika Sebuah Pengantar, Terjemahan Wishnu Basuki, (Jakarta: Tatanusa, 2001), 118.29 Sunario, op.cit., hlm. 11.30 Pada mulanya seluruh kekuasaan negara berpusat pada satu tangan raja, yang menyatakan diri atas nama Tuhan. Kekuasaan yang berpusat itu, senantiasa identik dengan kesewenang-wenangan dan sangat menindas rakyat. Itulah di antaranya yang dikatakan Madison, bahwa “accumulation of legislative, executive, and judicial powers in the same hands was the very definition of tyranny”. Lihat dalam G.S. Diponolo, Ilmu Negara, Jilid 2, (Jakarta: Balai Pustaka, 1975), hlm. 157. Selanjutnya, dalam kes-ewenang-wenangan ini, mulailah dipikirkan cara-cara membatasi bahkan mengu-rangi kekuasaan raja. Gagasan klasik membatasi kekuasaan, di antaranya dengan

Page 123: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

123Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Pembatasan dan pengurangan kekuasaan ini, selain karena kekecewaan terhadap praktik kesewenang-wenangan raja dalam pemerintahan, juga karena cita-cita mempertahankan dan melindungi hak-hak warga masyarakat, sebagai esensi dari kekuasaan kenegaraan yang terletak di tangan rakyat.31

Berbagai usaha yang dilakukan di atas, seluruhnya diformulasikan dalam sebuah naskah hukum yang umumnya dikenal dengan sebutan konstitusi32 dan sempitnya UUD. UUD menentukan cara-cara bagaimana pusat-pusat kekuasaan dalam negara, bekerjasama dan menyesuaikan diri satu sama lain. UUD merekam hubungan-hubungan kekuasaan dalam suatu negara. Itulah sebabnya, menurut Herman Finer33 konstitusi adalah “the authobiography of power relationship” (riwayat hidup sesuatu hubungan kekuasaan).

Tujuan penulisan makalah ini sederhana sekali, yakni hendak melihat kedudukan dan eksistensi parlemen,34 dan

ajaran pemisahan atau pembagian pemisahan kekuasaan (separation or distribution of powers). John Locke, Loc.cit., Baron De Montesquieu, loc.cit. Dalam perkembangan lebih modern lagi dikembangkan ajaran lain, seperti ajaran negara berdasarkan atas hukum (de rechtsstaat, the rule of law), ajaran demokrasi, ajaran negara berkonstitutsi (con-stitutional government), Lihat Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, (Yogyakarta: FH.UII Press, 2003), hlm. 133-134. 31 Itulah yang kemudian dikenal dengan sebutan pemerintahan republik yang berkedaulatan rakyat atau demokrasi.32 Istilah konstitusi mengandung pengertian lebih luas, karena di dalamnya mencakup kaidah-kaidah tertulis dan kaidah-kaidah tidak tertulis. Kaidah konsti-tusi yang tertulis, umumnya dikenal dengan nama UUD, seperti halnya UUD 1945. Adapun kaidah hukum tidak tertulis dikenal dengan sebutan Konvensi Ketatane-garaan.33 Herman Finer, Theory and Practice of Modern Government, dikutip dari Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 1977), hlm. 96.34 Dalam berbagai tulisan, kedudukan parlemen itu ada yang supreme ada pula yang tidak supreme. Jenis parlemen yang supreme terjadi karena corak pemerinta-Jenis parlemen yang supreme terjadi karena corak pemerinta-hannya totalitarianisme atau otoritarianisme, atau bahkan komunisme. Lihat Jimly Asshiddiqie, “Mahkamah Konstitusi Di Berbagai Negara”, Makalah Seminar Re-gional, ”Fungsi dan Peran Mahkamah Kontitusi”, (Yogyakarta: Program Doktor Ilmu Hukum UII,Mei 2002), hlm. 4. Lihat pula Rod Hague et.al., Comparative Govern-ment and Politics : An Introduction, Second Edition, (London: Macmillan Education Ltd.,1987), hlm. 318.

Page 124: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

124 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

bagaimana model parlemen Indonesia dalam UUD 1945 Baru.35 Hal ini penting diketahui, karena pergeseran ini sekaligus menandakan adanya perubahan paradigmatik yang signifikan terhadap praktik keparlemenan dalam rangka membangun kesejahteraan masyarakat yang egaliter dan masyarakat madani.36

Ada dua masalah pokok yang merupakan patokan penulisan, yang sekaligus hendak di jawab dalam makalah ini, yaitu :

35 Istilah UUD 1945 Baru dicatat dari Bagir Manan dalam, DPR, DPD, dan MPR dalam UUD 1945 Baru, (Yogyakarta: FH UII Press, 2003). Selanjutnya kalau sebutan parlemen diartikan secara umum, yakni badan pembentuk undang-undang, maka parlemen Indonesia adalah DPR baru setelah Perubahan Pertama menjadi badan pembentuk undang-undang. Kekuasaan ini diperoleh berdasarkan rumusan ke-tentuan Pasal 20 ayat (1) “DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang” (kursif – penulis). Perubahan ini oleh Jimly dinamakan sebagai “pergeseran kekua-saan legislatif”. Lihat Jimly Asshiddiqie, Format …., op.cit., hlm. 179. Sebelumnya kekuasaan ini ada pada Presiden berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Per-wakilan Rakyat” (kursif penulis). Kata “memegang” dalam pasal ini oleh Hamid S. Attamimi diartikan sebagai “memegang kewenangan” membentuk undang-un-dang. Lihat Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden RI Dalam Penyelengga-raan Pemerintahan Negara, Disertasi, (Jakarta: Fakultas Pascasarjana UI, 1990), hlm. 151. Untuk hal ini bandingkan dengan Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Peng-antar Hukum Tata Negara Indonesia, Cetakan keempat, (Jakarta: PSHTN FH-UI dan Sinar Bakti, 1981), hlm. 203-204. Bandingkan pula dengan Abubakar Busro dan Abu Daud Busroh, Hukum Tata Negara, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), hlm.83.36 Istilah ini diambil dari terjemahan barat civil society. Popularitas sebutan ma-syarakat madani di Indonesia, dimulai menjelang reformasi 1998. Namun sebagai terminologi kenegaraan, terutama di barat, istilah ini dikatakan telah muncul jauh sebelum itu. Bahkan disinyalir telah ada jauh sebelum Islam, yakni sejak zaman Aristoteles (384 – 332 sM) dengan sebutan koinonia politike, yakni sebuah komunitas politik tempat warga dapat terlibat langsung dalam berbagai percaturan ekonomi, politik, kenegaraan, dan pengambilan keputusan. Koinonia politike ini merupakan gambaran masyarakat politik dan etis dalam kesederajatan dan sama di depan hu-kum. Lihat Dede Rosyada dkk, Pendidikan Kewargaan (Civic Education) : Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Masyarakat Madani, ICCE UIN Jakarta, (Jakarta: Prenada Media, 2003), hlm. 243. Untuk kajian teoretik tentang masyarakat madani yang lebih kom-Untuk kajian teoretik tentang masyarakat madani yang lebih kom-prehensif lagi, lihat J. Keane, Democracy and Civil Society, (London: Verso, 1988); A. Seligman, The Idea of Civil Society, (New York: The Free Press, 1992); dan A. Arato et.al., Political Theory and Civil Society, (Cambridge: MIT Press, 1992). Dikutip dari Muhammad A.S. Hikam, Demokrasi dan Civil Society, (Jakarta: LP3ES, 1999), hlm. 3.

Page 125: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

125Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

1. Apakah yang dimaksud dengan parlemen dalam suatu sistem ketatanegaraan?

2. Bagaimanakah kedudukan dan eksistensi parlemen dalam UUD 1945 Baru?

Pembahasan

1. Sejarah Singkat Keparlemenan IndonesiaCikal bakal parlemen37 – DPR dalam struktur

ketatanegaraan Indonesia, bermula dari lahirnya Maklumat Wakil Presiden38 Nomor X39 tahun 1945 (tanggal 16 Oktober 1945). Maklumat tersebut serta merta telah mengubah kedudukkan KNIP, dari semula semata-mata sebagai badan pembantu Presiden (Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945 dan Keputusan PPKI tanggal 18 Agustus 1945), menjadi badan yang secara mandiri menjalankan kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan GBHN. KNIP menjadi semacam DPR Sementara yang bersifat nasional, dan melakukan sebagian

37 Baik John Locke maupun Montesquieu sebagai orang yang mula-mula meng- Baik John Locke maupun Montesquieu sebagai orang yang mula-mula meng-gagas dan mengembangkan teori pemisahan kekuasaan, mengartikan kekuasaan legislatif sebagai kekuasaan membuat undang-undang. Tidak pernah diartikan le-bih luas, membuat perundang-undangan. Pengertian ini dadasarkan pada makna undang-undang sebagai jenis aturan harian, dan badan legislatif pembentuknya sebagai badan perwakilan sehari-hari. 38 Dinamakan Maklumat Wakil Presiden, karena hanya ditandatangani oleh Wa- Dinamakan Maklumat Wakil Presiden, karena hanya ditandatangani oleh Wa-kil Presiden Moh. Hatta, atas nama Presiden. Oleh karena itulah, menurut A.G. Pringgodigdo semestinya maklumat itu bernama Maklumat Presiden. Tetapi ka-rena waktu itu belum ada kepastian istilah-istilah mengenai peraturan perundang-undangan negara, maka dipakailah istilah Maklumat. Lihat A.G. Pringgodigdo, Perubahan Kabinet Presidensiil Menjadi Kabinet Parlementer, (Yogyakarta: Universitas Gajahmada. 1969), hlm. 27-28. Lihat pula M. Syafi’i Anwar (ed.), Menggapai Kedaula-tan Untuk Rakyat, 75 tahun Prof. Miriam Budiardjo, (Bandung: Ummat-Mizan, 1998), hlm. 135.39 Dalam catatan sejarah, tidak ditemukan keterangan apakah Maklumat ini No- Dalam catatan sejarah, tidak ditemukan keterangan apakah Maklumat ini No-mor X atau Nomor sepuluh Romawi. Namun menurut Joeniarto nomor itu harus dibaca “iks” bukan angka sepuluh Romawi. Lihat dalam R. Joeniarto, Sejarah Ke-tatanegaraan Republik Indonesia, (Jakarta: Bina Aksara, 1984), catatan kaki Nomor 17, hlm. 49. Selanjutnya, lihat pula Berita Republik Indonesia No. 1 Tahun 2, hlm. 10, kolom 3.

Page 126: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

126 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

wewenang MPR dalam hal menetapkan GBHN.40 Perubahan status KNIP ini, membawa konsekwensi terhadap cara melaksanakan kekuasaan legislatif menurut UUD 1945.41

Kedudukan nasional ini kembali berubah, menyusul ditandatanganinya perjanjian RI - Belanda menindaklanjuti Konferensi Meja Bundar (KMB) yang diikuti dengan pembentukan Negara Republik Indonesia Serikat (RIS)42 berdasarkan K.RIS 1949,43 Akibatnya, KNIP hanya menjadi 40 Bagir Manan, DPR, DPD...,op.cit., hlm. 9. Sementara menurut Moh. Mahfud M.D,. perubahan melalui praktik ketatanegaraan ini, tidak sekali-kali dimaksudkan bahwa KNIP sebagai pengganti DPR dan MPR. Lihat Moh. Mahfud M.D., Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1998), hlm. 35. Selanjutnya, perubahan sema-cam ini merupakan praktik yang lazim terjadi dalam kehidupan politik ketatanega-raan. Lihat A.K. Pringgodigdo, Kedudukan Presiden Menurut Tiga UUD Dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: Pembangunan, 1956), hlm. 15. Sementara menurut A.G. Pring-godigdo, perubahan itu meskipun terjadi dalam praktik, tapi tidak sepenuhnya te-pat, sebab yang terjadi adalah kesengajaan berdasarkan Pasal 37 UUD 1945. Lihat dalam op.cit., hlm. 68-69.41 Menurut hemat penulis, apabila isi Maklumat itu menentukan kepada KNIP diserahi kekuasaan legislatif, berarti pembuatan UU sepenuhnya ada pada KNIP, ter-lepas apakah KNIP menjadi DPR atau tidak. Sementara Presiden menjadi hanya ikut mengesahkan saja. Dari praktik ini sedikit banyak menunjukkan telah terjadi praktik pemisahan kekuasaan negara antara legislatif dengan eksekutif.42 Negara RIS ini terbentuk bersamaan dengan penyerahan kedaulatan oleh Be- Negara RIS ini terbentuk bersamaan dengan penyerahan kedaulatan oleh Be-landa kepada Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949. Sebetulnya tidak tepat dikatakan begitu, sebab seolah-olah RI benar-benar kehilangan kedaulatan. Perang kemerdekaan melawan Belanda bukan karena RI telah kehilangan kedaulatan, tapi justeru karena memiliki kedaulatan sebagai akibat Proklamasi 17 Agustus 1945. Li-hat Tolchah Mansoer, Pembahasan Beberapa Aspek Kekuasaan-kekuasaan Eksekutif dan Legislatif di Indonesia, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1977), hlm. 44. Sejalan dengan pendapat itu, penulis pun demikian, sebab karena berdaulatlah RI melawan segala bentuk imperialisme dan berhasil menang. Sebutan penyerahan kedaulatan itu, jus-teru menguntungkan Belanda. Oleh karena itu, benar dan tepat tanggal 27 Desem-ber 1949 sebagai kemenangan perang bangsa Indonesia melawan Belanda, dalam bentuk melahirkan piagam “Penyerahan Kedaulatan”. Tapi bagi bangsa Indonesia piagam itu harus dibaca sebagai “pemulihan kedaulatan”, yakni Belanda menga-kui kedaulatan Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, meskipun pada waktu itu Negara Republik Indonesia Proklamasi telah beru-bah menjadi salah satu negara bagian dari Negara Republik Indonesia Serikat.43 Istilah resmi Konstitusi RIS 1949 ini ditetapkan dalam Keputusan Presiden RIS Nomor 48 tanggal 31 Januari 1950 L.N. Nomor 3. Dalam hemat penulis, lebih tepat disebut UUD RIS 1949, sebab maksudnya sama dengan UUD, yakni keseluruhan materi muatan konstitusi itu yang tertulis saja. Tidak dimuat kaidah-kaidah yang

Page 127: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

127Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

badan legislatif Negara Bagian RI44 yang berpusat di Yogyakarta.

Dalam RIS, parlemen terdiri dari dua jenis, Senat dan DPR. Senat merupakan unsur perwakilan negara bagian dengan jumlah sama, yakni 2 orang senator.45 Sementara DPR merupakan wakil seluruh rakyat RIS dengan tidak memperhatikan besar kecilnya penduduk dari setiap negara bagian.46 Namun demikian, kedua badan itu tidak menunjukkan sistem parlemen dua kamar (bicameral system),47 tidak tertulis (konvensi ketatanegaraan) sebagai kelengkapan pemahaman sebutan konstitusi. Namun demikian, dalam tulisan ini tetap mengikuti istilah resmi K.RIS 1949. Lihat Rusli Iskandar, Kedudukan, Tugas, dan Pertanggungjawaban Wakil Presiden Republik Indonesia Menurut UUD 1945, Tesis, (Bandung: Program Pascasarjana UN-PAD, 1993), catatan kaki No. 19, hlm. 11.44 Sejak berdiri RIS dengan KRIS 1949 tanggal 27 Desember 1949, memang UUD 1945 tidak lagi berlaku secara nasional, tapi hanya sebagai UUD Negara Bagian RI yang merupakan satuan negara dengan segala kelengkapan kenegaraan. Karena itu, secara material sebetulnya UUD 1945 berlaku sampai dengan tanggal 17 Agus-tus 1950. Bahkan lebih dari itu, sejak kembali ke negara kesatuan di bawah UUDS 950, tidak ada satu pun ketentuan formal yang mencabut keberlakuan UUD 1945. Lihat R. Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1984, Cetakan Kedua, hlm. 78. Kalau demikian, bukankah secara formal selama ber-laku UUDS 1950, UUD 1945 pun tetap berlaku, hanya tidak jelas di negara RI mana. Untuk itu, menurut hemat penulis perlu dilakukan penelitian tersendiri guna ke-pentingan pelurusan sejarah ketatanegaraan Indonesia, bagi anak cucu negeri ini di masa depan.45 K.RIS 1949, Pasal 80 ayat (2).46 K.RIS 1949, Pasal 98 tidak menentukan perimbangan perwakilan dengan jum- K.RIS 1949, Pasal 98 tidak menentukan perimbangan perwakilan dengan jum-lah penduduk, tapi hanya menentukan jumlah keseluruhan anggota DPR sebanyak 150 orang, yang keangotaannya ditentukan berdasarkan perundingan di antara ne-gara bagian, dengan cara penunjukkan, tidak melalui pemilihan [Pasal 110 ayat (2)]. Berbeda dengan UUDS 1950 yang menentukan perimbangan jumlah penduduk, ya-kni setiap 300.000 penduduk, satu orang wakil di DPR (Lihat Pasal 56). 47 Sistem satu kamar atau dua kamar, tidak semata-mata diukur oleh jumlah BPR yang ada, tapi oleh unsur yang membentuk perwakilan dengan kekuasaan dan wewenang yang dijalankannya. Negara yang hanya memiliki satu jenis BPR, sangat dimungkinkan menganut dua kamar, karena di dalam BPR tersebut kemun-gkinan terdapat dua unsur perwakilan rakyat. Tapi mungkin pula satu kamar, apabila dalam badan perwakilan tersebut hanya terdapat satu unsur perwakilan, seperti National People Congress di Republik Rakyat Cina. Selanjutnya, dilihat dari kekuasaan dan wewenang yang dipikulnya, hanya satu jenis, umumnya memben-tuk undang-undang. Karena itu, ketika badan perwakilan suatu negara lebih dari satu, secara langsung dapat diidentifikasi kemungkinan besar menganut sistem

Page 128: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

128 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

karena keduanya merupakan badan yang masing-masing berdiri sendiri-sendiri. Senat sebagai wakil negara bagian memiliki kekuasaan sendiri meskipun terbatas, yakni ikut membahas undang-undang mengenai hal yang menyangkut daerah bagian atau bagian dari daerah bagian atau mengenai hubungan antara RIS dengan daerah bagian.48 Sementara DPR memiliki kekuasaan selebihnya yang dibahas sepenuhnya bersama pemerintah.49

Pada tangal 17 Agustus 1950,50 RIS bubar dan kembali ke bentuk negara kesatuan di bawah UUDS 1950.51 Menurut UUDS 1950 ini, parlemen disusun dengan model satu kamar (monocameral system).52

satu kamar, dengan kekuasaan masing-masing yang mandiri. Berdasarkan konsep itu, dalam UUD 1945 Baru terdapat tiga badan, MPR, DPR, dan DPD yang masing-masing mandiri. MPR menjalankan kekuasaan sebagaimana dimaksud Pasal 3, ya-kni mengubah dan menetapkan UUD, melantik Presiden dan Wakil Presiden, atau memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden. DPR menjalankan kekuasaan legis-latif membentuk undang-undang sebagaimana dimaksud Pasal 20 ayat (1). DPD menjalankan kekuasaan sebagaimana dimaksud Pasal 22D ayat (1). Berdasarkan kenyataan itu, maka sistem yang dianut tetap satu kamar. Dalam hubungan ini, menarik pendapat Jimly Asshiddiqie dengan melihat fakta kekuasaan ketiga BPR tersebut, beliau menyimpulkan justeru sistem badan perwakilan Indonesia “satu setengah kamar”. Setengah kamarnya dilihat dari fungsi dan kekuasaan DPD yang hanya sekedar mengajukan RUU tapi tidak dilibatkan dalam pembahasan dan pe-netapan RUU yang diusulkannya. Lihat dalam Jimly Asshiddiqie, Format …, op.cit., hlm. 159.48 K.RIS 1949, Pasal 127 huruf a.49 K.RIS 1949, Pasal 127 huruf b50 Dengan UU Federal Nomor 7 tahun 1950, L.N. Nomor 56 tahun 1950, tertangal 15 Agustus 1950, UUD RIS 1949 diubah menjadi UUD Sementara 1950 dan dinyata-kan mulai berlaku sejak tanggal 17 Agustus 1950. UU Federal ini bentuk perubahan resmi terhadap UUD RIS 1949 sebagaimana dimaksud Pasal 190, dan merupakan pelaksanaan dari Persetujuan 19 Mei 1950. Keterangan lebih lanjut, infra, catatan kaki berikut.51 Secara material, UUDS 1950 adalah UUD RIS 1949, yang diubah di sana sini sedemikian rupa terutama dengan membuang sifat-sifat federalismenya, seperti di-hapuskannya lembaga Senat. Lihat Piagam Persetujuan 19 Mei 1950 antara Pemerin-tah RIS dan Pemerintah RI, angka II.A.1, 3. Dikutip dari R. Joeniarto, op.cit., hlm. 161.52 Lihat Pasal 56 dan Pasal 58.

Page 129: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

129Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

UUDS 1950 menentukan bahwa anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih dalam pemilihan umum,53 termasuk perwakilan minoritas54 seperti juga dengan K.RIS 1949, ditetapkan masing-masing untuk golongan Tionghoa 9, Eropah 6, dan Arab 3. Apabila kelompok minoritas tidak mencapai jumlah minimal yang ditentukan, Pemerintah mengangkat anggota tambahan.55

Sementara itu, pemilihan umum dalam rangka amanat UUDS 1950 ini baru terlaksana tahun 1955. Karena itu, antara tahun 1950-1955, kekuasaan DPR dilaksanakan oleh DPRS yang dibentuk berdasarkan Pasal 77 UUDS 1950.56 Menurut ketentuan pasal ini, sebelum dibentuk dan menjalankan kekuasaan sesuai dengan Pasal 57, DPR akan dijalankan oleh anggota-anggota Konstituante sebagaimana dimaksud Pasal 138. Tapi semuanya tidak terlaksana, karena ternyata DPR lebih dahulu terbentuk (1955), sementara pembentukan Konstituante menyusul kemudian (1956).57

Sebagaimana lazimnya parlemen, DPR ini menjalankan fungsi dan kekuasaan legislatif. Menurut UUDS 1950 ini, DPR bersama-sama dengan Pemerintah58 merupakan lembaga

53 Lihat UUDS 1950, Pasal 57.54 UUDS 1950, Pasal 58. Dalam K.RIS 1949, lihat Pasal 100 ayat (1).55 K.RIS 1949, Pasal 100 ayat (2).56 “Dengan tidak mengurangi ketentuan dalam Pasal 138, maka untuk perta- “Dengan tidak mengurangi ketentuan dalam Pasal 138, maka untuk perta-ma kali selama DPR belum tersusun dengan pemilihan menurut undang-undang, DPR terdiri dari Ketua, Wakil-wakil Ketua, dan Anggota-anggota DPR RIS, Ketua, Wakil-wakil Ketua, dan Anggota-anggota BPKNIP, dan Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota-anggota DPA”. Selanjutnya, ketentuan Pasal 138 isinya : “Apabila pada waktu Konstituante terbentuk belum diadakan pemilihan Anggota-anggota DPR menurut aturan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57, maka Konstituante merangkap menjadi DPR yang tersusun menurut aturan-aturan yang dimaksud dalam pasal tersebut”. 57 Pemilihan Umum untuk mengisi anggota DPR dan Konstituante, dilaksana- Pemilihan Umum untuk mengisi anggota DPR dan Konstituante, dilaksana-kan berdasarkan UU Nomor 7/1953. Untuk pemilihan umum anggota DPR ter-laksana tahun 1955, dan Konstituante baru terlaksana tahun 1956.58 Sebagai konsekwensi pemerintahan parlementer, maka yang dimaksud dengan pemerintah adalah Presiden (Kepala Negara) atau Wakil Presiden (Wakil Kepala Negara) bersama kabinet atau dengan salah satu menteri yang memegang

Page 130: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

130 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

pelaksana kedaulatan rakyat,59 membuat undang-undang. Itulah sebabnya, UU dalam sistem UUDS 1950, merupakan produk hukum yang tidak dapat diganggu gugat.60

Pada tanggal 5 Juli 1959, dikeluarkan Dekrit Presiden yang menyatakan berlaku kembali UUD 194561 dalam keseluruhan naskah.62 Berdasarkan Dekrit dan Pasal II Aturan Peralihan itu, kedudukan, status, dan fungsi DPR hasil pemilihan umum tahun 1955, berlaku dalam rangka UUD 1945.63

Tetapi dengan Penetapan Presiden Nomor 3 tahun 1960, DPR hasil pemilihan umum ini dibubarkan64 oleh Presiden (suatu tindakan yang terang-terangan bertentangan dengan UUD 1945, karena menurut sistem UUD 1945, Presiden tidak berwenang membubarkan DPR).65 Pembubaran ini tanggung jawab tertentu. Meski demikian, Presiden (termasuk Wakil Presiden – penulis) yang kepala negara hanyalah pemerintahan simbul yang tidak memikul tanggung jawab. Tangung jawab pemerintahan ada dan dijalankan oleh Kabinet.59 UUDS 1950, Pasal 1 ayat (2)60 UUDS 1950, Pasal 95 ayat (2). Maksudnya adalah, undang-undang itu tidak dapat dinilai keabsahannya, baik dari sudut formal maupun dari sudut material, atau tidak dapat diuji baik secara formal atau material.61 Nampaknya kurang bahkan tidak tepat disebut berlaku kembali, karena tidak pernah ada ketentuan yang secara formal menyatakan UUD 1945 tidak berlaku, sehubungan dengan bubarnya RIS dan berlaku UUDS 1950. Karena tidak ada pen-cabutan, saat berlaku UUDS 1950, secara diam-diam UUD 1945 tetap berlaku di Republik Indonesia. Infra catatan kaki No. 44, hlm. 9-10. 62 Lihat angka 8 keputusan rapat Dewan Menteri mengenai pelaksanaan demo- Lihat angka 8 keputusan rapat Dewan Menteri mengenai pelaksanaan demo-krasi terpimpin dalam rangka kembali ke UUD 1945. Dirumuskan “UUD 1945 ini dipertahankan sebagai keseluruhan”.63 Pengukuhannya ditetapkan dalam Penetapan Presiden Nomor 1 tahun 1959 tertanggal 22 Juli 1959. Lihat Tolchah Mansoer, op.cit., hlm. 306.64 Sebutan yang terdapat dalam Penetapan Presiden tersebut “Pembaharuan Susunan Dewan Perwakilan Rakyat” tetapi dengan implikasi menghentikan pelaks-anaan tugas dan pekerjaan anggota-anggota DPR hasil pemilu tahun 1955. Dikata-kan Presiden Soekarno, bahwa “apa-apa yang telah dikukuhkan dalam Penetapan Presiden Nomor 1 tahun 1959 – tentang susunan DPR dalam rangka kembali ke UUD 1945, dengan ini ditinjau kembali” (kursif – penulis). Lihat Penjelasan Penpres Nomor 4 tahun 1960 dalam Departemen Penerangan, Almanak Lembaga-lembaga Ne-gara dan Kepartaian, (Jakarta: Departemen Penerangan, 1961), hlm. 99.65 Perhatikan Penjelasan UUD 1945 tentang Sistem Pemerintahan Negara angka VII, “Kedudukan DPR adalah kuat”, yakni dewan ini tidak dapat dibubarkan oleh Pre-siden (berlainan dengan sistem parlementer). Artinya, sistem pemerintahan yang

Page 131: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

131Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

terjadi menyusul penolakan DPR atas RAPBN yang diajukan Presiden.66

Menyusul pembubaran tersebut, dikeluarkan Penetapan Presiden Nomor 4 tahun 1960 tentang pembentukan DPR Gotong Royong (DPRGR), yang seluruh anggotanya diangkat oleh Presiden dari unsur perwakilan partai politik dan golongan karya.67

Pasca peristiwa G30S PKI, DPRGR bekerja dalam rangka UUD 1945 sampai dengan pemilihan umum tahun 1971, yang dilaksanakan berdasarkan UU Nomor 15 tahun 1969.68 Sementara susunannya sendiri, yang ditentukan berdasarkan UU Nomor 16 tahun 1969, DPR terdiri atas organisasi peserta pemilu (partai politik dan golongan karya), golongan karya ABRI, dan Golongan karya non ABRI,69 yang keanggotaan- nya diangkat oleh Presiden.70

Sejak pemilihan umum tahun 1971, kembali terjadi pergeseran kekuasaan. Pemerintah (baca Presiden) menjadi super kuat (executive heavy), dan terkesan “uncontrolled”.71

berlaku berdasarkan UUD 1945 adalah presidensial.66 Pembubaran itu terjadi, karena menurut Presiden Soekarno, DPR yang ada tidak bekerja atas dasar saling membantu antara pemerintah dan DPR. Lihat Penje-lasan Penpres Nomor 4 tahun 1960, dalam Departemen Penerangan, loc.cit.67 Melalui golongan karya ini, dimulailah perwakilan TNI hadir dalam DPR, yang kemudian diperluas sebagai wakil ABRI (TNI dan Polri) dengan fraksi sendiri. Lihat Bagir Manan, DPR, …., op.cit., hlm. 12.68 Tapi, UU ini tidak menegaskan kapan pemilihan umum harus diselenggara- Tapi, UU ini tidak menegaskan kapan pemilihan umum harus diselenggara-kan.69 Status golongan karya non-ABRI ini, sebetulnya merupakan perluasan dari dwi fungsi ABRI yang kemudian dirasakan sangat eksesif. Golkar non ABRI diha-dirkan, dengan cara menafsirkan sama dengan golongan fungsional sebagaimana dimaksud Penjelasan Pasal 3 UUD 1945. Tafsir ini meskipun bertentangan, tetap berlaku dalam rangka mempertahankan kepentingan, memperbesar, dan memper-kuat kekuasaan Presiden. Karena itu, keanggotaannya diangkat sendiri oleh Pre-siden. Keanggotaan golkar non ABRI, akhirnya dihapuskan sejak tahun 1985, dan susunan keanggotaannya yang 25 orang, dialihkan ke golkar ABRI yang 75 orang, sehingga menjadi 100 orang.70 Lihat UU Nomor 16 tahun 1969, Pasal 10 ayat (4) huruf b.71 Presiden mengendalikan seluruh supra dan infra struktur politik. Di antara- Presiden mengendalikan seluruh supra dan infra struktur politik. Di antara-

Page 132: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

132 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Malah terjadi sebaliknya, Presiden yang mengontrol keseluruhan lembaga negara. Fungsi dan peran DPR yang menurut UUD 1945 melakukan kontrol terhadap Presiden, diciptakan terbalik, dikontrol Presiden. Dalam bahasa sinis, DPR dijuluki lembaga banci, stempel pemerintah, dan sebutan negatif lainnya.

Puncak dari kekuasaan yang tidak terkontrol ini, mendorong lahirnya gerakan reformasi 21 Mei 1998, dengan cita-cita utama menegakkan supremasi hukum.72 Cita-cita ini, secara konseptual dapat dicapai dengan memerankan secara optimal fungsi dan peran DPR dalam membentuk hukum dan mengontrol kinerja pemerintahan.73 Namun hingga saat ini, cita-cita tersebut belum terlaksana sepenuhnya, malah sebaliknya eksesif.74

Memang sekarang DPR termasuk DPRD, telah memegang peranan penting dalam pembuatan UU dan Perda untuk tingkat daerah, dan kontrol terhadap pemerintah, tapi belum berjalan sesuai dengan cita-cita membangun keseimbangan kekuasaan. Dalam praktik, lebih sering memperlihatkan

nya, pemfusian 10 partai politik peserta pemilu 1971 ke dalam tiga partai politik, merupakan kebijakan politik yang dikendalikan Presiden. Indikasi ini kuat, karena terbukti pasca pemilihan umum tahun 1987, ada gerakan masyarakat untuk men-dirikan partai politik alternatif, seperti PUDI yang dimotori anggota DPR Sri Bin-tang Pamungkas, tapi selalu berhadapan dengan kekuatan tentara. Ketika Presiden membuka pintu demokrasi menyusul reformasi 21 Mei 1998, terbukti lebih dari 100 partai politik didirikan masyarakat. Ini membuktikan bahwa yang menutup dan membuka kran demokrasi adalah Presiden, sekaligus Presidenlah yang mengenda-likan kebijakan politik negara.72 Lima agenda besar reformasi meliputi : turunkan dan adili Soeharto, hapuskan dwi fungsi ABRI, berantas KKN, Amandemen UUD 1945, dan tegakkan supremasi hukum.73 Menurut Jimly Asshiddiqie, perkembangan fungsi dan peran parlemen ke de- Menurut Jimly Asshiddiqie, perkembangan fungsi dan peran parlemen ke de-pan tidak lagi dalam fungsi legislatif, tapi pada fungsi pengawasan (controlling). Ini dibuktikan dengan mengambil contoh di negara demokrasi seperti Amerika dan Perancis, ternyata, fungsi legislatif parlemen lebih efektif dijalankan oleh pemerin-tah dari pada oleh parlemen sendiri. Jimly Asshiddiqie, Format …, op.cit., hlm. 185.74 Di antaranya nampak dalam sikap arogan sebagai anggota DPR, premanisme, dan terkesan tidak care terhadap rakyat pemilih.

Page 133: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

133Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

arogansi kekuasaan dengan mengatasnamakan rakyat.75 Lebih dari itu, ada semacam kesan balas dendam terhadap pemasungan fungsi dan peran parlemen selama 32 tahun orde baru. Dalam batas tertentu, dapat diterima secara manusiawi, tapi untuk membangun peradaban dalam ketatanegaraan, kesan ini malah akan membunuh cita-cita reformasi. Peran parlemen yang harus dibangun di kemudian hari, adalah menciptakan keseimbangan kekuasaan (checks and balances), bukan sebaliknya.

2. Kedudukan dan kekuasaan parlemenKonsep keparlemenan modern, pada umumnya mengikuti

ajaran kenegaraan trias politika, yakni menempatkan berbagai cabang kekuasaan negara pada kedudukan yang sejajar dalam rangka membangun pengawasan dan keseimbangan kekuasaan (checks and balances).76

Prinsip checks and balances ini penting dipelihara, untuk menghindarkan dan menjamin agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan oleh masing-masing badan ketatanegaraan yang ada.77 Melalui prinsip checks and balances,

75 Parlemen baru sekarang ini, sepertinya memiliki gigi taring yang amat tajam, yang siap menerkam eksekutif, terutama di daerah, sehingga menciptakan ketaku-tan tersendiri bagi eksekutif, terutama dalam kaitannya dengan penilaian Laporan Pertanggungjawaban (LPJ). Dalam sejumlah praktik yang terjadi, LPJ menjadi ajang untuk memberhentikan eksekutif, dengan dalil LPJ ditolak. Praktik ini menggeser sistem pemerintahan kepada pola-pola parlementer, dan ini bertentangan dengan sistem presidensial. Apapun alasannya, mekanisme pertanggungjawaban eksekutif daerah kepada DPRD mengikuti model keseimbangan, bukan saling menjatuhkan seperti terjadi selama ini. 76 Ajaran checks and balances ini di antaranya dianut Baron De Montesquieu dari Frans Neumann, yakni parlemen dikonstruksi model sistem dua kamar. “The leg-islature, in turn, should be composed of two parts, a peers’ body and one of commons, the Lords vetoing legislation of the Commons”. Frans Neumann, dalam Baron De Montes-quieu, op.cit, hlm. ii.77 Istilah ini di antaranya dianut oleh Usep Ranawidjaja yang maksudnya sama dengan sebutan lembaga negara. Lihat dalam Usep Ranawidjaja, Hukum Tata Nega-ra Indonesia Dasar-dasarnya, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), hlm. 31.

Page 134: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

134 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

diharapkan masing-masing cabang kekuasaan berusaha menjaga diri dan kekuasaannya, untuk tidak menyimpang. Setiap penyimpangan tindakan, akan berhadapan dengan kekuasaan lain yang mengawasi, bahkan kemungkinan membatalkan tindakannya lewat mekanisme pengujian.78 Artinya, pengujian dapat dilakukan secara lintas kekuasaan. Bahkan kekuasaan kehakiman, dapat menguji sekaligus produk kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif, termasuk kebijakan administrasi negara.79 Tujuan utama pengujian adalah di samping melindungi UUD 1945 sebagai peraturan perundang-undangan tertinggi dalam negara,80 juga dalam rangka memenuhi tuntutan membangun pemerintahan yang bertanggungjawab.81

Sementara itu, menyangkut kekuasaan dan wewenang 78 Pengujian atau review dapat berbentuk : judicial review, political review, dan ad-ministrative review. Perbedaan prinsipil ketiga jenis pengujian ini, terletak pada badan pengujinya. Disebut judicial review, karena pengujian dilakukan oleh badan yudisial atau kekuasaan kehakiman. Disebut political review, karena pengujian dilakukan oleh badan yang berkarakter politik. Sementara administrative review, karena pengujian dilakukan oleh badan atau pejabat administrasi Negara. Lihat Bagir Manan, “Pengu-jian Yustisial Peraturan Perundang-undangan dan Perbuatan Administrasi Negara di Indonesia”, Makalah Kuliah Umum, (Yogyakarta: Unika Atmajaya, 1994), hlm. 2. Selanjutnya, mengenai pengujian perundang-undangan dalam kaitan dengan ju-dicial review, perhatikan pendapat Kleintjes yang membedakan dua jenis pengujian, formele toetsingsrecht (pengujian hukum secara formal) atau menilai dari sudur formal perundang-undangan, seperti prosedur dan tata cara pembentukannya, dan materi-ele toetsingsrecht (pengujian hukum secara material) atau menguji kesesuaian materi perundang-undangan dengan yang tinggi derajatnya. Lihat dalam Sri Soemantri, Hak Menguji Material Di Indonesia, (Bandung: Alumni, 1982), hlm. 5.79 Bagir Manan, ”Pengujian …, op.cit. hlm. 1.80 Dalam UUD 1945 Baru baca ketentuan Pasal 24C ayat (1) tentang wewenang MK. Selanjutnya dalam UU Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pasal 3 ayat (1) “UUD 1945 merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan”.81 Dikatakan “Government should be responsible. No one – learned or lay – would disagree with any of these assertions”. Lebih lanjut, dikatakan bahwa “pemerintahan yang bertanggung jawab itu, merupakan konsekwensi dari bangunan negara de-mokrasi yang konstitusional”. Sementara itu, “constitutional democracy is based upon the political responsibility of the individual citizen”. Lihat Herbert J. Spiro, Responsibility in Government: Theory and Practice, (New York: Van Nostrand Reinhold Company, 1969), hlm. 1, 24, dst.

Page 135: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

135Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

parlemen, umumnya mengenai pembuatan kebijakan dalam bidang perundang-undangan, khususnya membuat undang-undang (fungsi legislatif), fungsi atau kewenangan dalam bidang anggaran (fungsi budgeting), dan fungsi pengawasan (fungsi kontrol).82 Di samping itu ada pula fungsi keempat, representasi.83

Ketiga fungsi dan kewenangan di atas, dilekatkan pada parlemen, sebagai konsekwensi fungsi keempat, representasi atau fungsi perwakilan. Fungsi representasi ini erat kaitannya dengan konsep demokrasi,84 yang dalam perkembangan pemerintahan modern, berbentuk pemerintahan perwakilan yang populer dikenal dengan sebutan representatives government atau representatives democracy.85

82 Ketiga fungsi parlemen ini dengan tegas ditentukan dalam UUD 1945, Pasal 20A. Di masa Orde Baru, ketiga fungsi parlemen ini dituangkan dalam Peraturan Tata Tertib DPR.83 Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi …, op.cit., catatan kaki no. 65, hlm. 27-28.84 Dalam perkembangan modern, demokrasi diartikan sebagai pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat (government of, by, and to the peoples). Namun satu hal, pengertian demokrasi sesuai dengan kata-katanya, “mungkin tidak ada dan tidak akan pernah ada dalam kenyataan”, karena hal itu, demikian dikatakan Jean Jacques Rousseau, “bertentangan dengan norma alami yang wajar, jumlah yang besar akan memerintah dan yang lebih sedikit diperintah”. Lihat Jean Jacques Rousseau, Kon-trak Sosial, Alih Bahasa Sumardjo, (Jakarta: Erlangga, 1986), hlm. 57. Lihat pula Maurice Duverger, Teori dan Praktek Tata Negara, Terjemahan Suwirjadi, (Jakarta: Pustaka Rakyat, 1961), hlm. 7.85 Pemerintahan perwakilan “is a government deriving its power and authority from the people, which power and authority are exercised through representative freely chosen and responsible to them”. Demikian rumusan Konferensi International Commission of Jurist, Bangkok 1965. Dikutip dari Sri Soemantri, Tentang Lembaga-lembaga Negara Menurut UUD 1945, (Bandung: Alumni, 1983), hlm. 14. Sementara itu, dalam hu-bungan ini perlu pula dipahami latar belakang kelahiran demokrasi perwakilan, yang oleh Maurice Duverger digambarkan sebagai demokrasi model baru dari daratan Amerika Serikat, yakni praktik demokrasi dalam negara besar. Demokrasi model ini menunjukkan bahwa warga negara tidak turut sendiri dalam pemerin-tahan, melainkan memilih wakilnya untuk duduk dalam badan perwakilan rakyat yang akan memerintah dirinya. Selanjutnya dikatakan, “dimana ada pemilihan yang merdeka dan beres, di situ ada demokrasi”. Model demokrasi perwakilan ini telah melahirkan dua perubahan besar dalam kehidupan politik dan ketatanega-raan, yakni “penerimaan adat pemilihan umum dan timbulnya partai-partai politik yang berorganisasi”. Lihat Maurice Duverger, op.cit., hlm. 16-17.

Page 136: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

136 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Dalam demokrasi perwakilan, mereka yang duduk di lembaga perwakilan adalah cerminan dari kehendak rakyat, yang dipilih oleh dan dari rakyat melalui mekanisme dan cara-cara demokratis. Mekanisme dan cara-cara demokratis ini, dikatakan pula sebagai “cara memerintah negara oleh rakyat”.86

Dalam hubungan ini, Moh. Mahfud M.D. memberikan dua alasan negara memilih corak pemerintahan demokrasi. Pertama, hampir semua negara di dunia ini telah menjalankan demokrasi sebagai asas fundamentalnya. Kedua, demokrasi sebagai asas kenegaraan, secara esensial telah memberikan arah bagi peranan masyarakat untuk menyelenggarakan negara, sebagai organisasi tertingginya.87

Dari uraian di atas, jelas bahwa organisasi negara-negara modern, memerlukan mekanisme demokrasi sebagai “solus populi suprema lex” yakni keputusan negara harus senantiasa didasarkan pada kehendak rakyat yang tertinggi, sejalan dengan semboyan “Vox populi vox Dei”,88 tapi dengan catatan kehendak rakyat yang tertinggi itu, tetap berada dalam koridor keberadaban.89

Parlemen Dalam UUD 1945 BaruHal terpenting dalam UUD 1945 Baru adalah pergeseran

kekuasaan legislatif seperti nampak dalam Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1). Selama pemerintahan rezim orde baru,

86 Moh. Hatta, Kedaulatan Rakyat, (Surabaya: Usaha Nasional, 1980), hlm. 13. Li-hat pula Ramdlon Naning, Lembaga Legislatif Sebagai Pilar Demokrasi dan Mekanisme Lembaga-lembaga Negara Menurut UUD 1945, (Yogyakarta: Liberty, 1982), hlm. 18.87 Moh. Mahfud M.D., Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, (Yogyakarta: Gema Me-dia, 1999), hlm. 76.88 Ramdlon Naning, loc.cit.89 Penting ditegaskan, untuk menghindarkan terjadinya kesalahpahaman, ba- Penting ditegaskan, untuk menghindarkan terjadinya kesalahpahaman, ba-hwa semua suara rakyat harus dianggap suara Tuhan. Haruskah suara masyarakat komunis yang anti Tuhan, tetap dianggap suara Tuhan juga ? Di sinilah keberada-ban dimaksud.

Page 137: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

137Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

kekuasaan pembentukan UU ini berada di tangan Presiden. DPR yang lazim disebut legislatif, berfungsi hanya menyetujui RUU menjadi UU. Fungsi persetujuan ini (termasuk tidak menyetujui),90 dianggap kurang menggambarkan keutuhan DPR sebagai legislatif,91 meskipun di dalamnya dilengkapi dengan sejumlah hak legislasi lainnya,92 seperti hak amandemen yang memungkinkan DPR melakukan perubahan terhadap RUU yang diajukan pemerintah (Presiden).

Pelaksanaan fungsi keparlemenan dengan sejumlah hak legislasilainnya itu, diharapkan fungsi utama legislasi DPR, dapat dijalankan sepenuhnya sebagaimana mestinya. Pengertian sepenuhnya di sini, dimaksudkan pada tujuan menghasilkan UU yang mencerminkan kehendak dan esensi representasi konstituen.

Mengenai pergeseran kekuasaan legislatif menjadi sepenuhnya ada pada DPR, sementara pemerintah (Presiden) sekedar menjalankan fungsi pengesahan yang diikuti dengan pembatasan waktu, sebagaimana ditentukan dalam Pasal

90 Fungsi persetujuan ini di dalamnya mengandung fungsi kontrol preventif, yakni tindakan mengawasi sebelum suatu putusan diberlakukan. Dalam wacana yang ber-kembang menjelang reformasi, fungsi ini selain oleh DPR sendiri, juga berkembang pemikiran untuk melibatkan Mahkamah Konstitusi, yakni mengawasi suatu produk perundang-undangan apakah bertentangan atau tidak dengan UUD (fungsi pre-emtif), dan akan dilakukan sebelum diundangkan dalam lembaran negara. Putusan akhir tentang pengawasan oleh Mahkamah Konstitusi berbentuk pengujian undang-un-dang setelah diundangkan. Lihat UUD 1945, Pasal 24C ayat (1).91 Dalam banyak pemikiran, keutuhan fungsi legislatif DPR itu harus terwujud- Dalam banyak pemikiran, keutuhan fungsi legislatif DPR itu harus terwujud-kan dari mulai menyusun RUU sampai menjadi UU. Sepanjang RUU masih dimun-gkinkan diusulkan oleh pemerintah (Presiden), DPR dianggap tidak utuh sebagai badan legislatif. Menurut hemat penulis bukan pada soal utuh tidaknya urusan le-gislatif dijalankan oleh DPR, tapi sejauh mana UU yang dihasilkan mencerminkan kebutuhan hukum masyarakat. Karena itu, kalaupun RUU diusulkan oleh Presi-den, DPR semestinya aktif melakukan evaluasi dan penilaian untuk memberikan persetujuan atau menolak atas dasar obyektifitas kepentingan hukum masyarakat.92 Termasuk hak DPR secara kelembagaan, seperti : hak interpelasi, hak budget, hak inisiatif, hak mengajukan atau menganjurkan seseorang. Di samping itu, ada pula hak keanggotaan, seperti hak bertanya dan hak imunitas. Mengenai hak-hak ini, selanjutnya lihat dalam peraturan tata tertib DPR.

Page 138: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

138 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

20 ayat (5),93 menunjukkan bahwa tuntutan pemisahan kekuasaan, sesuatu yang tidak dapat ditunda. Pemisahan ini, melukiskan pemikiran, seolah-olah fungsi perwakilan dan legislasi, hanya dapat diwujudkan apabila keseluruhan fungsi itu dijalankan sendiri oleh DPR.

Di samping mengenai kekuasaan parlemen di atas, ada satu hal lain terkait dengan kedudukan lembaga-lembaga negara yang ada. Pergeseran pardigmatik kelembagaan negara ini dalam rangka menciptakan kesejajaran dan kesetaraan, dalam arti tidak ada lagi lembaga negara tertinggi dan lembaga negara tinggi. Hal itu tidak terbukti dalam kenyataan.

Secara diagramatik, kedudukan lembaga negara menurut UUD 1945 Baru adalah:

Dari gambar di atas, nampak yang tertinggi dan mengatasi semuanya adalah UUD 1945. Semua lembaga negara berada di bawah UUD 1945. Namun demikian, disadari atau tidak, UUD 1945 Baru telah menempatkan DPR menjadi supreme di antara lembaga negara yang ada. Kekuasaan dan fungsi yang

93 Menurut Jimly Asshiddiqie ketentuan pengundangan menurut pasal ini, mengandung empat makna, yaitu : (i) Presiden tidak boleh menolak kewajiban un-tuk mengundakan RUU yang telah mendapat persetujuan bersama itu (pengesahan material) untuk mengesahkan secara formal administratif menjadi UU, (ii) Pengun-dangan itu harus dilakukan sebagai tanda bahwa RUU yang bersangkutan resmi menjadi UU yang mebngikat umum, (iii) Masa tenggang antara pengesahan ma-terial RUU menjadi UU dengan pengesahan formal administratif adalam waktu 30 hari, adalah masa otomatis sebagai UU yang sah, (iv) Setelah masa tenggang waktu itu, Presiden terikat kewajiban untuk mengundangkan UU tersebut dalam lemba-ran negara, sebagaimana mestinya. Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi …, op.cit., catatan kaki No. 64, hlm. 27.

MPR DPR DPD Pesiden BPK MA MK KY

UUD 1945 BARU

Page 139: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

139Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

dimilikinya telah mengambil dan menentukan sendirian sebagian besar fungsi-fungsi ketatanegaraan yang sifatnya fundamental, di antaranya menyangkut perubahan UUD 1945.

Berdasarkan Pasal 3 ayat (1), kewenangan mengubah dan menetapkan UUD ada pada MPR. Tapi ketika hal itu dikaitkan dengan keanggotaan MPR yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Jo susunan keanggotaan DPD di MPR yang tidak ”lebih” dari sepertiga jumlah anggota DPR, maka kewenangan mengubah UUD telah beralih atau bahkan diambil alih oleh DPR dari MPR. Artinya, “secara diam-diam” UUD 1945 telah mendudukkan DPR pada posisi sebagai lembaga negara tertinggi membawahkan UUD 1945 dan di atas lembaga-lembaga negara lainnya, di balik kedudukan yang secara diagramatik sejajar. Kalau di masa UUD 1945 asli, supremasi lembaga negara ada pada MPR karena ia merupakan lembaga pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat,94 tetapi supremasi DPR dalam UUD 1945 Baru didasarkan pada susunan keanggotaan di MPR.95

Dasar pemberian supremasi yang berbeda akan membawa dampak terhadap produk hukum yang dihasilkannya, terlebih lagi terkait dengan kewenangan MPR untuk mengubah UUD 1945 yang secara kategoris menyangkut hal-hal yang fundamental dalam negara. Oleh karena demikian, maka hal-hal fundamental negara sekarang telah beralih menjadi kewenangan DPR yang sekaligus telah menempatkan UUD

94 Baca Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 Asli yang merumuskan “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Bandingkan dengan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 Baru yang merumuskan: “Kedaula-tan berada di tangan rakyat, dan dilaksanakan menurut UUD”. Ketentuan terakhir ini, menandakan kalau semua lembaga negara adalah sama-sama pelaksana kedau-latan rakyat, yang berarti kedudukannya sejajar satu sama lain.95 Lihat Pasal 22C ayat (2) UUD 1945 Jo. UU Nomor 27 Tahun 2009 Pasal 74 ayat (1) bahwa jumlah anggota DPR adalah 560 orang, dan Pasal 227 ayat (1) menentu-kan jumlah anggota DPD sebagai wakil Provinsi dengan jumlah sama 4 orang, tidak lebih dari sepertiga anggota DPR.

Page 140: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

140 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

1945 sebagai konstitusi yang berada di bawah kekuasaan legislatif.96

Menempatkan UUD 1945 di bawah kekuasaan legislatif terkait dengan kewenangan perubahannya, langsung atau tidak langsung akan menjadikan UUD sebagai kaidah yang sarat dengan kepentingan politik, atau politisasi UUD.97 Memang tidak dapat dipungkiri kalau setiap kaidah hukum merupakan produk politik.98 Tapi sekali keputusan politik telah menjadi kaidah hukum, ia menjadi kaidah publik yang berlaku dan mengikat semua orang, termasuk lembaga politik yang menetapkannya. Konsekwensi ini telah menggeser wewenang mengubah UUD 1945 selanjutnya dari MPR kepada DPR. Karena itu, dalam hal DPD sebagai anggota MPR berkeinginan untuk mengubah UUD 1945, capaiannya hanya sampai pada usul perubahan99 tapi tidak akan mencapai pada keputusan perubahan yang diinginkan.Dalam hal kejadiannya seperti ini, maka UUD 1945 tidak lebih sekedar kaidah-kaidah hukum yang melindungi kepentingan politik DPR, dan MPR ditempatkan sebagai “alat” legalitas berbagai keinginan politik DPR melalui perubahan UUD 1945. Itulah yang akan terus terjadi sepanjang perjalanan yang akan membentuk sejarah ketatanegaraan Indonesia ke depan.

96 Dalam klasifikasi K.C. Wheare, suatu konstitusi yang kedudukannya berada di bawah parlemen (DPR), tergolong konstitusi fleksibel. Lihat dalam K.C. Wheare, Modern Constitutions, (New York: Oxford University Press, 1966), hlm. 18.97 Beberapa contoh berikut dalam Infra catatan kaki Nomor 95, adalah bentuk politisasi UUD 1945 untuk membesarkan kedudukan dan kekuasaan DPR sendiri.98 Moh. Mahfud MD. mengatakan, bahwa hukum itu merupakan produk politik. Lihat dalam Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1998), hlm. 7. 99 Baca Pasal 37 ayat (1) UUD 1945 Baru, “Usul perubahan dapat diagendakan dalam sidang MPR apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPER”. DPD adalah bagian dari 1/3 anggota MPR, sebagaimana diatur dalam Pasal 22C ayat (2) Jo Pasal 227 ayat (2) UU Nomor 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.

Page 141: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

141Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Kesimpulan dan SaranDari uraian di atas, dapat diambil simpulan berikut :

1. Parlemen adalah nama umum dari badan legislatif yang tugas utamanya menjalankan kekuasaan membentuk undang-undang dalam negara. Karena itu, parlemen akan selalu ada di setiap negara dengan nama-nama yang berbeda-beda. Di Indonesia badan sejenis parlemen ini bernama DPR.

2. Secara konseptual, UUD 1945 menempatkan semua lembaga negara yang ada pada kedudukan sejajar. Tapi dengan beberapa ketentuan yang ada dalam UUD 1945 Baru, telah menggeser kedudukan dan eksistensi DPR menjadi lembaga negara yang supreme, tidak hanya terhadap lembaga negara lainnya, tapi juga supreme terhadap UUD 1945 Baru. Hal ini dibuktikan terkait dengan kewenangan mengubah UUD 1945 berdasarkan ketentuan Pasal 37. Kekuasaan MPR dalam mengubah UUD 1945, didominasi oleh DPR yang menjadi bagian 2/3 anggota MPR. Pasal 37 itu tunduk patuh kepada kehendak dan kemauan DPR, bukan kemauan MPR. Karena itu, MPR pun menjadi alat legitimasi keinginan-keinginan politik DPR melalui perubahan UUD 1945.

Untuk menghindarkan politisasi UUD 1945, sekaligus menghindarkan MPR menjadi alat legitimasi kepentingan politik DPR terutama terkait dengan perubahan UUD 1945, ke depan sebaiknya tidak lagi dilakukan oleh MPR tapi oleh lembaga independen dan bersifat adhoc, yang dapat bernama Konstituante, Komisi Konstitusi, Badan Perubah UUD, atau Komisi Negara, atau nama lain yang dianggap paling tepat. Untuk sampai pada rekomendasi ini, maka perubahan kelima harus terjadi dengan kelegowoan dan kenegarawanan DPR sebagai anggota terbesar MPR. Fokus perubahan kelima

Page 142: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

142 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

khusus menyangkut Pasal 37 yang mengantarkan perubahan-perubahan selanjutnya langsung dilakukan oleh badan adhoc tersebut. Hal tersebut untuk menghindarkan UUD 1945 dari usaha-usaha politisasi dalam bentuk apapun oleh siapapun.

Page 143: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

143Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

DAFTAR PUSTAKA

BukuAbubakar Busro dan Abu Daud Busroh, 1985. Hukum Tata

Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia.Arato, A. and J. Cohen, 1992. Political Theory and Civil

Society, Cambridge: MIT Press.Bagir Manan , 2003. DPR, DPD, dan MPR Dalam UUD 1945

Baru, Yogyakarta: FH UII Press.----------------, 1987. Konvensi Ketatanegaraan, Bandung:

Armico.----------------,1994. “Pengujian Yustisial Peraturan Perundang-

undangan dan Perbuatan Administrasi Negara di Indonesia”, Makalah Kuliah Umum, Yogyakarta: Unika Atmajaya.

----------------, 2003.Teori dan Politik Konstitusi, Yogyakarta: FH.UII Press.

Dede Rosyada dkk, 2003. Pendidikan Kewargaan (Civic Education) : Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Masyarakat Madani, ICCE UIN Jakarta, Jakarta: Prenada Media.

Duverger, Maurice, 1961. Teori dan Praktek Tata Negara, Terjemahan Suwiryadi, Jakarta: Pustaka Rakyat.

Friedman, Lawrence M, 1998. Hukum Amerika Sebuah Pengantar, Terjemahan Wishnu Basuki, Jakarta: Tatanusa.

G.S. Diponolo, 1975. Ilmu Negara, Jilid 2, Jakarta: Balai Pustaka.

Hague, Rod and Martin Harrop, 1987. Comparative Government and Politics: An Introduction, Second Edition, London: Macmillan Education Ltd.

Hamid S. Attamimi, 1990. Peranan Keputusan Presiden RI Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Disertasi,

Page 144: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

144 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Jakarta: Fakultas Pascasarjana UI. Ismail Suny, 1978. Pembagian Kekuasaan Negara, Jakarta:

Aksara Baru. Jimly Asshiddiqie, 2004. Format Kelembagaan Negara dan

Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, Yogyakarta: F.H. UII Press.

----------------------, 2002. Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, Jakarta: PSHTN-F.H.-UI.

----------------------, 2002. “Mahkamah Konstitusi di Berbagai Negara”, Makalah Seminar Regional, ”Fungsi dan Peran Mahkamah Konstitusi”, Yogyakarta: Program Doktor Ilmu Hukum UII, Mei.

Keane, J., 1988. Democracy and Civil Society, London: Verso. Komisi Konstitusi, 2004. Naskah Akademik UUD Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta: Komisi Konstitusi.

-----------------------, 2004. Buku Kedua Persandingan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Hasil Perubahan dan Usul Komisi Konstitusi, Jakarta: Komisi Konstitusi.

Locke, John, 1955. Second Treatise Of Civil Government, South Bend, Indiana: Gateway Editions Ltd.

Miriam Budiarjo, 1977. Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia.

Mochtar Kusumaatmadja, 1996. Tradisi dan Pembaharuan di Negara Yang Sedang Berkembang, Bandung: Program Pascasarjana Unpad, 21 Oktober.

Moh. Hatta, 1980. Kedaulatan Rakyat, Surabaya: Usaha Nasional.

Moh. Mahfud M.D., 1999. Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, Yogyakarta: Gama Media.

------------------------, 2007. Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Mandemen Konstitusi, Jakarta: LP3ES.

Page 145: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

145Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

------------------------, 1998. Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: LP3ES.

Montesquieu, Baron De, 1949. The Spirit of the Laws, Translated by Thomas Nugent, New York: Hafner Press.

Muhammad A.S. Hikam, 1999. Demokrasi dan Civil Society, Jakarta: LP3ES.

Padmo Wahyono, 1982. Negara Republik Indonesia, Jakarta: Rajawali.

Pringgodigdo, A.G., 1969. Perubahan Kabinet Presidensiil Menjadi Kabinet Parlementer, Yogyakarta: Universitas Gajahmada.

Pringgodigdo, A.K., 1956. Kedudukan Presiden Menurut Tiga UUD Dalam Teori dan Praktek, Jakarta: Pembangunan.

Ramdlon Naning, 1982. Lembaga Legislatif Sebagai Pilar Demokrasi dan Mekanisme Lembaga-lembaga Negara Menurut UUD 1945, Yogyakarta: Liberty.

R. Joeniarto, 1984. Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, Cetakan Kedua, Jakarta: Bina Aksara.

Rousseau, Jean Jacques, 1986. Kontrak Sosial, Alih Bahasa Sumardjo, Jakarta: Erlangga.

Seligman, A., 1992. The Idea of Civil Society, New York: The Free Press.

Spiro, Herbert J., 1969. Responsibility in Government : Theory and Practice, New York: Van Nostrand Reinhold Company.

Sri Soemantri, 1982. Hak Menguji Material Di Indonesia, Bandung: Alumni.

-----------------, 1983. Tentang Lembaga-lembaga Negara Menurut UUD 1945, Bandung: Alumni.

Sunario, 1950. Sistem Parlementer, Sistem Partai, dan Sistem Pemilihan, Cetakan Keempat, Jakarta: Tintamas.

Page 146: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

146 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

M. Syafi’i Anwar (ed.), 1998. Menggapai Kedaulatan Untuk Rakyat, 75 tahun Prof. Miriam Budiardjo, Bandung: Ummat-Mizan.

Tolchah Mansoer, 1977. Pembahasan Beberapa Aspek Kekuasaan-Kekuasaan Eksekutif dan Legislatif di Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita.

Usep Ranawidjaja, 1983. Hukum Tata Negara Indonesia Dasar-dasarnya, Jakarta: Ghalia Indonesia.

Wheare, K.C., 1966. Modern Constitutions, New York: Oxford University Press.

Peraturan Perundang-undangan1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 Baru.2. UUD Sementara 1950.3. Konstitusi RIS 1949.4. Tap MPR Nomor III/MPR/1978, tentang Kedudukan

dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan Lembaga-lembaga Tinggi Negara.

5. Tap MPRS Nomor VIII/MPRS/1965, Tentang Prinsip-prinsip Musyawarah untuk Mufakat dalam Demokrasi Terpimpin sebagai pedoman Bagi Lembaga-lembaga Permusyawaratan/ Perwakilan.

6. UU Nomor 27 tahun 2009, tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.

7. UU Nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.8. UU Nomor 24 tahun 2003, tentang Mahkamah Konstitusi.9. UU Nomor 15 tahun 1969, tentang Pemilihan Umum10. UU Nomor 16 tahun 1969, tentang SUSDUK MPR/MPR/

DPRD.

Page 147: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

147Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

11. UU Nomor 7 tahun 1953, tentang pemilihan Umum anggota DPR dan Konstituante.

12. UU Federal Nomor 7 tahun 1950, tentang Perubahan KRIS menjadi UUDS 1950.

13. Penetapan Presiden Nomor 3 tahun 1960 tentang Pembubaran DPR Hasil Pemilihan Umum Tahun 1955.

14. Penetapan Presiden Nomor 4 tahun 1960 tentang Pembentukan DPRGR.

15. Penetapan Presiden Nomor 1 tahun 1959 tentang Susunan DPR dalam Rangka Kembali ke UUD 1945.

16. Keputusan Presiden Nomor 48 tahun 1950, L.N. Nomor 3 tahun 1950.

17. Maklumat Wakil Presiden Nomor X , 16 Oktober 1945.18. Berita Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2, 1946. 100

100 Baca Pasal 37 ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945 Baru. Syarat 2/3 sebagai korum sidang MPR akan diganjal oleh DPR kalau pasal-pasal yang harus diubah berda-sarkan usulan DPD, tidak sejalan dengan kebijakan politik DPR. Apalagi untuk di-putuskan sebagai putusan perubahan UUD. Persetujuan dalam ayat (4) tidak akan dengan mudah dicapai, karena 2/3 anggota MPR adalah berasal dari anggota DPR.

Page 148: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

148 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Page 149: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

149Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

KONSEP NEGARA HUKUM DALAM PERSPEKTIF EPISTEMOLOGI

Arinto Nurcahyono1

Abstract

The development of the rule of law concept is a product of history. The formulation or understanding is always developed regarding with the historical development of human being. The law state for positivist, epistemologically, is an entity which organizes all life aspects within the State and it based on formalized living law. In Indonesia the law is not everything, although Indonesia is a law State, but the law is not above the human, is only a part of humanitarian device for maintaining status and dignity of human being.

Keywords: rule of law, epistemology.

PendahuluanCita-cita negara hukum Indonesia merupakan cita-cita

yang terus hidup dalam hati masyarakat Indonesia. Sebagai gagasan ia disambut dengan antusias dan dibahas dalam sidang-sidang rapat Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tahun l945. Konstitusi dan praktek ketatanegaraan pada awal kemerdekaan sampai tahun l957 mencerminkan dianutnya konsep negara hukum yang demokratis. Namun sesudah itu

1 Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung (Unisba) dan Fakultas Psi-Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung (Unisba) dan Fakultas Psi-kologi Univ. Kristen Maranatha.

Page 150: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

150 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

ia tenggelam dalam arus ideologi patrimonialisme demokrasi Terpimpin. Rezim demokrasi Terpimpin yang otoritarian itu berusaha mengubur habis gagasan dan konsep negara hukum, dengan memberikan tafsir otoritarinistik UUD l945 sebagai dasar untuk mengabsahkan praktek ketatanegaraan yang sesungguhnya menyimpangi konstitusi tersebut. Namun cita negara hukum yang demokratis itu tetap hidup dalam hati dan pikiran para penentang demokrasi Terpimpin. Maka ketika rezim demokrasi Terpimpin ambruk seketika itu pula para mahasiswa, intelektual, golongan profesi, dan masyarakat politik Indonesia menggemakan kembali gagasan dan konsep negara hukum.

Gagasan dan konsep negara hukum melandasi tuntutan pelaksanaan UUD l945 secara murni dan konsekuen yang disampaikan oleh berbagai aktor politik pada waktu itu. Dukungan masyarakat luas terhadap rezim Orde Baru karena pada awalnya rezim ini menjanjikan pemulihan kehidupan negara hukum yang demokratis sebagaimana difahami sebagai praktek ketatanegaraan yang sesuai dengan UUD l945.

Pada awal Orde Baru kita saksikan penataan kembali fungsi-fungsi kekuasaan negara, seperti, eksekutif, legislative, dan yudikatif yang pada era demokrasi terpimpin dicampur-adukan. Pada awal Orde Baru itu pula dibangun sistem kekuasaan kehakiman yang otonom yang secara formal menutup intervensi eksekutif ke badan yudikatif. Tak pula dapat disangkal penguasa baru pada saat itu bersikap toleran terhadap kebebasan berekspresi, khususnya kebebasan pers.

Namun masa berkembangnya harapan bagi perwujudan konsep negara hukum yang demokratis itu tidak berlangsung lama. Dengan segera setelah penguasa Orde Baru berhasil melalui tahap konsolidasi kepentingan dan kekuasaannya kita menyaksikan berkembangnya suatu sistem politik yang

Page 151: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

151Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

mengarah pada Otoritarianisme baru. Rezim Otoritarianisme baru ini tidak mendasarkan legitimasinya pada idea populis dan ideologi patrimonialisme seperti pendahulunya, tetapi mendasarkan legitimasinya pada ideologi pembangunanisme, integralisme yang mengabsahkan tafsir Otoritarianistik atas UUD l945. Dengan begitu gagasan negara hukum yang demokratis yang semula, yaitu yang diperdebatkan dan disepakati oleh para pendiri bangsa dikesampingkan.

Maka ketika Soeharto sebagai pemimpin rezim Orde Baru jatuh dengan segera Presiden BJ. Habibie dan jajaran kekuasaannya merespon tuntutan politik yang sudah lama dikemukakan para mahasiswa, intelektual, golongan profesional, yaitu merombak tatanan politik Otoritarian Orde Baru dan kemudian membangun suatu tatanan politik yang memastikan ditegakkanya negara hukum yang demokratis. Respon dari pemerintah Habibie terhadap tuntutan politik itu tidak bersifat serentak dan serta merta tetapi bersifat gradual.

Dimulai dengan membuka peluang bagi tiga kebebasan dasar yang sangat vital bagi pembangunan demokrasi, yaitu kebebasan berekspresi, kebebasan berkumpul, dan kebebasan berorganisasi. Pembukaan tiga kebebasan dasar ini mrerupakan langkah awal untuk memulihkan kedaulatan rakyat yang sudah begitu lama dilumpuhkan. Dengan adanya tiga kebebasan dasar itu rakyat tidak saja dapat mengekspresikan pendapat dan perasaannya. Tapi juga rakyat dapat berkumpul dan membangun organisasi guna memperjuangkan kepentingannya bersama. Pada tahapan ini kita menyaksikan berkembang tumbuhnya berbagai organisasi rakyat dan partai-partai politik baru.

Dalam tahapan berikutnya reformasi sistem pemilihan umum dan badan-badan perwakilan rakyat, yang diikuti dengan penyelenggaraan pemilihan umum yang bebas dan demokratis.Sejak itu rakyat Indonesia memasuki era

Page 152: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

152 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

kebebasan politik ( political freedom ) yang terus kita nikmati hingga hari ini.

Negara Hukum Indonesia jelas bukan sekedar kerangka bangunan formal tapi lebih daripada itu ia memiliki landasan filososfis dan itu merupakan manifestasi dari nilai-nilai dan norma-norma , seperti, kebersamaan, kesetaraan, keseimbangan, keadilan yang sepakat dianut bangsa Indonesia. Nilai-nilai luhur itu berasal dari berbagai sumber seperti, agama, budaya, dan berbagai ajaran filsafat social, serta pengalaman hidup bangsa Indonesia. Kalau begitu masalah yang dihadapi Negara Hukum Indonesia (NHI) bukan pada ketiadaan nilai dan norma yang disepakati bersama yang mendasari eksistensi NHI tersebut. Tapi masalahnya terletak pada belum terwujudnya tata hubungan kekuasaan yang simetris dan adanya elemen-elemen kultural yang menghambat perwujudan NHI itu.

Ada pertanyaan yang perlu diajukan secara mendasar, dan sekaligus dijadikan perumusan masalah dalam tulisan ini. Bagaimanakah landasan epistemologi dari negara hukum itu sendiri. Pelacakan yang akan dilakukan menyangkut dua hal yakni pada landasan pemikiran kaum positivistik dan yang terakhir adalah landasan dasar negara Indonesia yakni Pancasila.

PembahasanKonsep Negara Hukum

Perkembangan konsep negara hukum merupakan produk dari sejarah, sebab rumusan atau pengertian negara hukum itu terus berkembang mengikuti sejarah perkembangan umat manusia. Karena itu dalam rangka memahami secara tepat dan benar konsep negara hukum, perlu terlebih dahulu diketahui gambaran sejarah perkembangan pemikiran politik dan hukum, yang mendorong lahir dan berkembangnya

Page 153: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

153Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

konsepsi negara hukum2. Selain itu Pemikiran tentang Negara Hukum sebenarnya sudah sangat tua, jauh lebih tua dari dari usia Ilmu Negara ataupun Ilmu Kenegaraan itu sendiri3 dan pemikiran tentang Negara Hukum merupakan gagasan modern yang multi-perspektif dan selalu aktual4. Ditinjau dari perspektif historis perkembangan pemikiran filsafat hukum dan kenegaraan gagasan mengenai Negara Hukum sudah berkembang semenjak 1800 S.M5. Akar terjauh mengenai perkembangan awal pemikiran Negara Hukum adalah pada masa Yunani kuno. Menurut Jimly Asshiddiqie gagasan kedaulatan rakyat tumbuh dan berkembang dari tradisi Romawi, sedangkan tradisi Yunani kuno menjadi sumber dari gagasan kedaulatan hukum6.

Pada masa Yunani kuno pemikiran tentang Negara Hukum dikembangkan oleh para filusuf besar Yunani Kuno seperti Plato7 (429-347 s.M) dan Aristoteles (384-322 s.M). Dalam bukunya Politikos yang dihasilkan dalam penghujung hidupnya, Plato (429-347 s.M) menguraikan bentuk-bentuk pemerintahan yang mungkin dijalankan. Pada dasarnya, ada dua macam pemerintahan yang dapat diselenggarakan; pemerintahan yang dibentuk melalui jalan hukum, dan pemerintahan yang terbentuk tidak melalui jalan hukum8.2 S.F. Marbun, “Negara Hukum dan Kekuasaan Kehakiman”, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, No. 9 Vol 4 – 1997, hlm. 9.3 Sobirin Malian, Gagasan Perlunya Konstitusi Baru Pengganti UUD 1945, (Yogya-karta: FH UII Press, 2001), hlm.25.4 A. Ahsin Thohari, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, (Jakarta: Elsam, 2004), hlm. 48.5 Lihat J.J. von Schmid, Pemikiran Tentang Negara dan Hukum, (Jakarta: Pembangu-nan, 1988), hlm. 7.6 Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaan-nya di Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1994), hlm.11.7 Plato (429-347 s.M) adalah murid Socrates (469-399 s.M), ia dilahirkan pada tanggal 29 Mei 429 s.M di Athena. Plato banyak menghasilkan karya dalam bidang Filsafat, Politik dan Hukum. Diantar karyanya yang termasyur adalah Politea (ten-tang negara), Politicos (tentang Ahli Negara) dan Nomoi (tentang UU).8 Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Hukum; Problemtika Ketertiban yang Adil, (Jakarta: Grasindo, 2004), hlm.36-37.

Page 154: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

154 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Konsep Negara Hukum menurut Aristoteles (384-322 s.M) adalah negara yang berdiri diatas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi tercapainya kebahagian hidup untuk warga negaranya, dan sebagai dasar dari pada keadilan itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar ia menjadi warga negara yang baik. Dan bagi Aristoteles (384-322 s.M) yang memerintah dalam negara bukanlah manusia sebenarnya, melainkan fikiran yang adil, sedangkan penguasa sebenarnya hanya pemegang hukum dan keseimbangan saja9

Ide Negara Hukum, selain terkait dengan konsep ‘rechtsstaat’ dan ‘the rule of law’, juga berkaitan dengan konsep ‘nomocracy’ yang berasal dari perkataan ‘nomos’ dan ‘cratos’. Perkataan nomokrasi itu dapat dibandingkan dengan ‘demos’ dan ‘cratos’ atau ‘kratien’ dalam demokrasi. ‘Nomos’ berarti norma, sedangkan ‘cratos’ adalah kekuasaan. Yang dibayangkan sebagai factor penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan adalah norma atau hukum. Karena itu, istilah nomokrasi itu berkaitan erat dengan ide kedaulatan hukum atau prinsip hukum sebagai kekuasaan tertinggi. Dalam istilah Inggeris yang dikembangkan oleh A.V. Dicey, hal itu dapat dikaitkan dengan prinsip “rule of law” yang berkembang di Amerika Serikat menjadi jargon “the Rule of Law, and not of Man”. Yang sesungguhnya dianggap sebagai pemimpin adalah hukum itu sendiri, bukan orang. Dalam buku Plato berjudul “Nomoi” yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggeris dengan judul “The Laws”, jelas tergambar bagaimana ide nomokrasi itu sesungguhnya telah sejak lama dikembangkan dari zaman Yunani Kuno10.

9 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: PSHTN FH UI dan Sinar Bakti, 1988), hlm. 153.10 Jimly Asshiddiqie, Cita Negara Hukum Indonesia Kontemporerm, Orasi ilmiah Pada Wisuda Sarjana Hukum, (Palembang: Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, 23 Maret 2004).

Page 155: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

155Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Pada perkembangan berikutnya menurut Jimly Asshiddiqie11 pada zaman modern, konsep Negara Hukum di Eropah Kontinental dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu “rechtsstaat’. Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika, konsep Negara hukum dikembangkan atas kepeloporan A.V. Dicey dengan sebutan “The Rule of Law”. Menurut Julius Stahl, konsep Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah ‘rechtsstaat’ itu mencakup empat elemen penting, yaitu:1. Perlindungan hak asasi manusia.2. Pembagian kekuasaan.3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang.4. Peradilan tata usaha Negara.

Sedangkan A.V. Dicey dalam bukunya The Law of the Constitution (1885)12 menguraikan adanya tiga ciri penting dalam setiap Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah “The Rule of Law”, yaitu:1. Supremacy of Law.2. Equality before the law.3. Due Process of Law.

Keempat prinsip ‘rechtsstaat’ yang dikembangkan oleh Julius Stahl tersebut di atas pada pokoknya dapat digabungkan dengan ketiga prinsip ‘Rule of Law’ yang dikembangkan oleh A.V. Dicey untuk menandai ciri-ciri Negara Hukum modern di zaman sekarang. Bahkan, oleh “The International Commission of Jurist”, prinsip-prinsip Negara Hukum itu ditambah lagi dengan prinsip peradilan bebas dan tidak memihak

11 Ibid.12 Martin Loughlin, “Albert Venn (1835-1922)”, Routledge Encyclopedia of Phi- Martin Loughlin, “Albert Venn (1835-1922)”, Routledge Encyclopedia of Phi-losophy, Version 1.0, London: Routledge. Lihat Albert Venn Dicey, Introduction to the Study of the Law of the Constitution (London: Macmillan, 1915), hlm. 110-115.

Page 156: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

156 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

(independence and impartiality of judiciary) yang di zaman sekarang makin dirasakan mutlak diperlukan dalam setiap negara demokrasi. Prinsip-prinsip yang dianggap ciri penting Negara Hukum menurut “The International Commission of Jurists” itu adalah:1. Negara harus tunduk pada hukum.2. Pemerintah menghormati hak-hak individu.3. Peradilan yang bebas dan tidak memihak.

Profesor Utrecht membedakan antara Negara hukum formil atau Negara hukum klasik, dan negara hukum materiel atau Negara hukum modern13. Negara hukum formil menyangkut pengertian hukum yang bersifat formil dan sempit, yaitu dalam arti peraturan perundang-undangan tertulis. Sedangkan yang kedua, yaitu Negara Hukum Materiel yang lebih mutakhir mencakup pula pengertian keadilan di dalamnya. Karena itu, Wolfgang Friedman dalam bukunya ‘Law in a Changing Society’ membedakan antara ‘rule of law’ dalam arti formil yaitu dalam arti ‘organized public power’, dan ‘rule of law’ dalam arti materiel yaitu ‘the rule of just law’.

Sekilas Mengenai Pengertian EpistemologiCabang ilmu filsafat yang secara khusus menggeluti

pertanyaan - pertanyaan yang bersifat menyeluruh dan mendasar tentang pengetahuan disebut epistemologi. Istilah “epistemologi” sendiri berasal dari kata Yunani episteme = pengetahuan dan logos = perkataan, pikiran, ilmu. Kata “episteme”dalam bahasan Yunani berasal dari katra kerja epistamai, artinya mendudukan , menempatkan, atau meletakkan. Maka secara harafiah episteme berarti pengetahuan sebagai upaya intelektual untuk “menempatkan

13 Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, (Jakarta: Ichtiar, 1962), hlm. 9.

Page 157: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

157Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

sesuatu dalam kedudukan setepatnya”14.Epistemologi bermaksud mengkaji dan menemukan

ciri-ciri umum dan hakiki dari pengetahuan manusia. Bagaimana pengetahuan itu pada dasarnya diperoleh dan diuji kebenarannya? Manakah ruang lingkup atau batas-batas kemampuan manusia untuk menghetahui? Epistemologi juga bermaksud secara kritis mengkaji pengandaian-pengandaian dan syarat-syarat logis yang mendasari dimungkinkannya pengetahuan serta memberi pertanggungjawaban rasional terhadap klaim kebenaran dan objektivitasnya. Pertanyaan pokok “bagaimana saya tahu bahwa saya dapat tahu?” mau dicoba untuk dijawab secara seksama15.

Epistemologi atau fildafat pengetahuan pada dasarnya juga merupakan suatu upaya rasional untuk menimbang dan menentukan nilai kognitif pengalaman manusia dalam interaksinya dengan diri, lingkungan sosial, dan alam sekitarnya. Maka epistemologi adlaah suatu disiplin ilmu bersifat evaluatif, normatif, an kritis. Evaluasi berarti menilai, ia menilai apakah suatu keyakinan, sikap, pernyataan pendapat, teori pengetahuan dapat dibenarkan, dijamin kebenarannya, atau memiliki dasar yang dapat dipetanggungjawabkan secara nalar. Normatif berarti menentukan norma atau tolak ukur, dalam hal ini tolak ukr kenalaran bagi kebenaran pengetahuan.

Tinjauan Epistemologis Konsep Negara Hukuma. Kacamata Positivisme Hukum

Positivisme sesungguhnya muncul sebagai anak kandung dari empirisme; aliran pemikiran yang berkembang terutama di Inggris yang kemudian menjadi

14 A.M.W. Pranaka, Epistemologi Dasar, Suatu Pengantar, (Jakarta: CSIS, 1987), hlm. 3-5.15 J. Sudarminta, Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat Pengetahuan, (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hlm. 18.

Page 158: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

158 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

basis filosofis bagi Francis Bacon untuk merumuskan cara kerja ilmu pengetahuan.

Mendapat inspirasi dari empirisme filosofis, para pemikir hukum abad ke-19 berusaha menjadikan hukum sebagai produk ilmiah. Tekanan yang kuat pada fakta sebagai satu-satunya basis pembenaran atau pertanggungjawaban inilah yang melahirkan positivisme hukum. Ini berarti, hukum hanya dapat diterima apabila ilmiah. Hukum adalah karya ilmiah. Untuk itu hukum harus mendapatkan pembenarannya dan didukung sepenuhnya oleh fakta empiris.

Tekanan pada dimensi ilmiah hukum ini, sebagaimana dijelaskan H.L.A Hart, justru makin memperkuat makna “hukum positif” yang paling tidak sudah sejak awal abad ke-14 digunakan terutama untuk menekankan watak hukum sebagai ciptaan manusia dan sekaligus mempertentangkannya dengan konsep hukum kodrat. Dengan demikian, istilah hukum positif yang lazim digunakan dalam konsep hukum digunakan untuk menekankan dua sifat dasar dari hukum: (1) hukum adalah karya atau ciptaan manusia; dan (2) hukum dibangun diatas basis ilmiah16

Bagi para legis dari kaum positivis berpendapat bahwa yang namanya hukum itu tak lain daripada apa yang didefinisikan sebagai norma-norma keadilan (ius) yang telah dibentuk (constitutum, constituted) menjadi aturan hidup oleh suatu badan legislatif melalui pelbagai prosedur yang formal, dan yang kemudian diumumkan (diundangkan) sebagai hukum yang berlaku secara pasti (dipositifiskan) dalam suatu wilayah negara tertentu, yang oleh karena itu pula mengikat seluruh warga negara tanpa kecuali. Itulah hukum positif, yang juga

16 Andre Ata Ujan, Filsafat Hukum : Membangun Hukum, Membela Keadilan, (Yo-gyakarta: Kanisius, 2009), hlm. 66.

Page 159: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

159Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

disebut hukum undang-undang (lege, lex, ius constantium) yang oleh sebab sifatr prosedurnya juga disebut hukum formal., yang kemudian sering disebut hukum negara, diundangkan sebagai produk legislatif.

Berangkat dari pemahaman hukum dari positifistik ini, Soetandyo Wigjosoebroto memberikan pendefinisian rechstaat (negara hukum) dalam kacamata positivis sebagai: “Negara yang menata seluruh kehidupan didalamnya

berdasarkan atas aturan-aturan hidup yang yang telah dipositifkan secara formal sebagai undang-undang, yang oleh sebab itu telah berkepastian sebagai satu-satunya hukum yang berlaku di suatu wilayah negeri”17.

Bertolak dari dari definisi negara hukum dalam perpektif kaum positivis tak pelak lagi doktrin supremasi hukum akan terbataskan sebagai supremsi undang-undang. Maka secara epistemologi hukum itu dikatakan mengandung kebenaran jika merujuk pada undang-undang. Artinya pengetahuan tentang isi undang-undang dan tentang bagaimana menangkap makna-maknanya, lalu menjadi penting bagi seseorang yang hendak melibatkan diri dalam percaturan hukum secara benar dan memenangkan suatu perkara hukum dengan cara yang akan dianggap benar.

Gelombang kritik terhadap positivisme hukum dengan luar biasa pada dekade 60-an dan 70-an. Maraknya gerakan sosial pada kedua dekade tersebut menjadi lahan tumbuh yang subur bagi kritik tersebut. Pada dua dekade ini, setelah melalui zaman kelesuan

17 Soetandyo Wigjosoebroto “Doktrin Apakah Sesungguhnya Yang terkandung Dalam Istilah Negara Hukum?” Dalam Ifdal Kasim (ed), Hukum Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, (Jakarta: ELSAM dan HUMA, 2002), hlm. 474.

Page 160: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

160 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

ekonomi akibat perang dunia I dan II, Eropa daratan dan Amerika Serikat, tumbuh menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi yang mengesankan. Amerika Serikat bahkan disimpulkan sudah menjadi sebuah masyarakat yang makmur (affluent society). Namun, kemajuan yang membawa kemakmuran ini dianggap justru menjerumuskan manusia ke dalam dehumanisasi. Kemajuan hanya diukur dari aspek materi. Manusia hanya sekedar mesin pencetak uang dengan harus kehilangan hati nurani dan hubungan-hubungan emosional7. Kapitalisme dan modernitas yang didukung oleh ilmu-ilmu sosial yang berbau positivistik, dituduh sebagai biang keladi dari kemerosotan ini.

Ilmu hukum yang berkiblat pada filsafat positivisme juga dianggap memberikan sumbangsih pada kemerosotan ini. Tidak berdayanya rejim hukum positif untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial kala itu ditengarai disebabkan oleh 2 faktor, yakni: Pertama, bangunan sistem hukum beserta doktrin-doktrin yang menopangnya memang tidak memungkinkan hukum melakukan perubahan sosial atau menghadirkan keadilan substantif. Kondisi ini disebabkan oleh faktor Kedua yakni tercemarnya institusi-institusi hukum karena bekerja sebagai alat kekuasaan sehingga menyebabkan sulitnya menghadirkan tertib hukum seperti yang dijanjikan oleh penganjur positivisme hukum. Situasi-situasi tersebut dianggap tidak terlepas dari watak dogmatika hukum (legal dogmatics) yang menjauhkan diri dari sentuhan aspek-aspek sosial.

Ketidakberdayaan rejim hukum positif beserta doktrin pendukungnya, akhirnya mengundang celaan bahkan pendapat yang bernada sindiran. Ada yang mengajukan pernyataan retorik berikut ini: apakah hukum sudah mati? Selain, itu sejumlah teori atau doktrin penting

Page 161: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

161Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

dalam aliran positivisme hukum terus dipertanyakan. Doktrin rule of law terbilang paling banyak dipertanyakan. Pada akhirnya, situasi obyektif ini menyebabkan bangkitnya kerinduan untuk menggunakan sentuhan pendekatan ilmu sosial dalam menjelaskan penomena hukum. Tulis Nonet&Selznick: “Masa dua puluh tahun terakhir ini menjadi

bangkitnya kembali ketertarikan pada persoalan-persoalan dalam institusi-institusi hukum, yaitu bagaimana institusi-institusi hukum bekerja, berbagai kekuatan yang mempengaruhinya, serta berbagai keterbatasan dan kemampuannya”18.

Masih menurut Nonet dan Selznick, masalah-masalah hukum yang muncul ketika itu membuat komunitas politik menjadi terpojok. Tertib hukum dipaksa untuk menanggung beban baru, ditagih untuk menemukan solusi yang paling tepat dan diminta untuk mengkaji ulang gagasan-gagasan dasarnya. Saat ilmu hukum kepayahan menghadapi semua itu, kajian tentang hukum dan masyarakat (law and society), sekonyong konyong tampil sebagai topik yang sangat penting. Bersamaan dengan itu, disiplin hukum kembali diperkaya dengan penjelasan-penjelasan ilmu sosial. Kecakapan kajian hukum dan masyarakat dalam mendeskripsikan penyebab dari masalah-masalah yang tengah berlangsung, memang menjadi daya pikat tersendiri karena dogmatika hukum tidak bisa melakukannya.

18 Ucapan ini disampaikan oleh Philippe Nonet& Philip Selznick dalam buku mereka yang diterbitkan pada tahun 1978. Dengan demikian, masa dua puluh ta-hun yang mereka maksudkan adalah periode ketika di Amerika Serikat dan Eropa sedang berkembang pemikiran kiri baru. Mengenai ucapan Nonet&Selznick, sila-hkan baca dalam karya mereka yang telah dialibahasakan ke dalam Bahasa Indo-nesia, Philippe Nonet& Philip Selznick, Hukum Responsif Pilihan di Masa Transisi, (Jakarta: HuMA, 2003), hlm. 1.

Page 162: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

162 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

b. Negara Hukum dalam Perspektif PancasilaKelahiran Indonesia sebagai Negara hukum tidak

melalui proses pergulatan sistem sosial seperti yang terjadi di Eropa. Indonesia menjadi Negara hukum karena “dipaksa” melalu pencangkokan (transplantasi) hukum oleh Belanda. Pemaksaan ini dilakukan tanpa melalu proses musyawarah ataupun menunggu keambrukan suatu sistem sosial Indonesia. Proses kelahiran Negara hukum Indonesia tergolong instan, cepat, melalui sebuah lompatan sistem sosial dari tradisional dan feodalisme langsung ke negara hukum. Substansi Negara hukum pada masa penjajahan menjadi sangat kompleks, yaitu berlaku dualisme hukum (hukum Barat dan hukum adat) pada wilayah yang sama dan dalam waktu bersamaan pula. Lebih kompleks lagi bahwa hukum adat sendiri bersifat kedaerahan, komunalistik, religius, sehingga terdapat pluralisme hukum di Indonesia pada waktu itu19Terkait dengan perbedaan-perbedan yang cukup tajam antara Negara hukum dan Rechtstaat, maka kesepakatan mengenai aturan main dalam menjalankan sistem pemerintahan Negara pun menjadi berbeda pula. Pada rechtstaat terdapat prinsip bahwa penyelenggaraan pemerintahan Negara harus didasarkan pada rule of law. Artinya, hukum negara ditempatkan sebagai pengendali utama dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara. Puncak dari hukum negara adalah konstitusi. Jadi ada supremasi hukum. Rechtstaat harus konstitusional. Siapapun orang yang memegang pemerintahan Negara, tidak boleh memerintah kecuali atas dasar hukum negara. Prinsip ini digunakan secara tegas dan ketat, agar selera seseorang pemimpin tidak mencemari penyelenggaraan

19 Sudjito Bin Atmoredjo, Negara Hukum Dalam Perspektif Pancasila, Makalah un-tuk Kongres Pancasila di Balai Senat UGM, (Yogyakarta: Mahkamah Konstitusi RI dan UGM, tanggal 30, 31 dan 1 Juni 2009).

Page 163: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

163Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

pemerintahan Negara sehingga menjurus menjadi negara kekuasaan (machtstaat).

Negara Hukum dalam Undang-undang Dasar 1945 (sebelum amandemen) terdapat pada Penjelasan Umum UUD 1945, Bab Sistem Pemerintahan Negara, Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (Rechtsstaat). Negara Indonesia berdasar atas hukum (Rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machtsstaat). Pasca Perubahan UUD 1945 terdapat pada Pasal 1 ayat (3) UUD 1945: Negara Indonesia adalah negara hukum (Perubahan Ketiga).

Negara hukum Indonesia menurut Sudjito Bin Atmoredjo20 dapat digambarkan sebagai berikut :

Negara hukum Indonesia seperti tergambar di atas jelas bukan rechtstaat sebagaimana konsep aslinya. Rule of law yang khas bagi rechtstaat, tidak mudah berlaku di Indonesia. Kehidupan bernegara hukum tidak serta merta menjadi tuntas karena hukum negara sudah dijalankan secara konsisten. Hukum Negara masih perlu terus dikritisi, karena sering cacat ideologi, sehingga

20 Ibid.

PANCASILA

HUKUM NASIONAL

TUJUAN NEGARA

Page 164: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

164 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

sarat dengan nilai-nilai dan kepentingan ideologi asing. Kalaupun hukum negara sudah bagus, hukum negara harus berinteraksi dengan jenis hukum-hukum lain. Dalam interaksi tersebut ada berbagai kemungkinan kejadian. Mungkin hukum negara mendominasi hukum adat maupun hukum internasional. Bisa pula hukum adat justru ditempatkan lebih utama dari negara dan hukum internasional. Tak tertutup kemungkinan, justru hukum negara dan hukum adat dihegemoni oleh hukum internasional21.

Ada pelaksanaan hukum yang mekanis-linier, tetapi ada pula pelaksanaan hukum yang sangat personal dan kontekstual. Pendek kata, teramat sulit dirumuskan aturan main dalam kehidupan bernegara hukum yang pasti, final, universal untuk sembarang tempat dan waktu. Keberlakuan aturan main senantiasa tunduk kepada berbagai faktor dominan di sekitarnya, seperti: faktor politik, budaya, ekonomi, keamanan dan sebagainya. Dihadapkan pada faktor-faktor dominan di luar hukum tersebut, supremasi hukum negara bisa hilang dan digantikan supremasi politik, ekonomi atau yang lain. Proses bernegara hukum, sepintas akan tampak seolah menjadi kacau (chaos).

Namun demikian, apabila proses bernegara hukum tersebut diikuti dan dilihat secara utuh (sejak Pancasila, hukum nasional sampai dengan tujuan negara) justru akan tampak bahwa pluralisme hukum mampu menghadirkan ketertiban dan keteraturan dalam skala yang lebih besar. Hal demikian terjadi karena menjalankan negara hukum bukanlah sekedar sebagai rutinitas menjalankan hukum negara, melainkan kebersamaan mewujudkan kehidupan yang lebih baik, didukung komitmen, dedikasi, empati

21 Ibid.

Page 165: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

165Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

serta perilaku inovatif dan kreatif untuk saling memberi dan melengkapi, antara hukum negara, hukum adat maupun hukum internasional. Oleh sebab itu dalam bernegara hukum diperlukan modifikasi dan dinamisasi rule of law, dan bukan memperbanyak kuantitas hukum negara. Secara empiris telah terbukti ketika produksi Undang-undang melimpah, maka kehidupan justru tidak semakin nyaman tetapi semakin menyesakkan. Jadi, bernegara hukum tidak dapat diukur dari kuantitas peraturan perundang-undangan, melainkan diukur dari kualitas hukum yang fasilitatif dan akomodatif terhadap kebutuhan bangsa.

Lebih lanjut Sudjito menandaskan bahwa Rechtstaat dalam keotentikannya senantiasa mempersyaratkan adanya perilaku warga negara dan penyelenggara negara yang rasional, impersonal dan sekuler. Hukum negara dijalankan sebagai institusi yang otonom bagi semua pihak, tanpa pandang bulu dan di atas semua jenis hukum. Dikenal adanya unifikasi hukum, bahwa satu hukum negara (Undang-undang misalnya) berlaku secara nasonal bagi semua warga negara. Pelaksanaan hukum berpegang pada prinsip rule and logic. Azas legalitas ditegakkan, bahwa tiada suatu perbuatan dapat dikenai sanksi hukum kecuali sudah ada aturan tertulis yang jelas dan mengikat. Muncul pula kredo equality before the law. Ada pula semboyan “hukum harus tegak walaupun langit runtuh”. Tidak dikenal pembedaan keadilan formal dan keadilan substansial, melainkan telah dipandang adil apabila hukum negara telah dijalankan secara konsisten. Inilah ciri-ciri perilaku dan hukum pada negara modern (rechtstaat)22.

22 Ibid.

Page 166: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

166 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

c. Pancasila sebagai Proyek yang Belum Selesai Alfred North Whitehead (1864 – 1947), tokoh utama

filsafat proses, berpandangan bahwa semua realitas dalam alam mengalami proses atau perubahan, yaitu kemajuan, kreatif dan baru. Realitas itu dinamik dan suatu proses yang terus menerus “menjadi”, walaupun unsur permanensi realitas dan identitas diri dalam perubahan tidak boleh diabaikan. Sifat alamiah itu dapat pula dikenakan pada ideologi Pancasila sebagai suatu realitas (pengada). Masalahnya, bagaimanakah nilai-nilai Pancasila itu diaktualisasikan dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara? Dengan meminjam istilah Habermas maka dapat dikatakan bahwa bagi penulis Pancasila sebagai “Proyek yang belum selesai”.

Menilik dari perjalanan sejarah Indonesia dimana Pancasila mengalami pasang surutnya, presmis bahwa Pancasila sebagai proyek yang belum selesai dapat dijadikan suatu sikap optimistik untuk menjadikan Pancasila sebagai suatu Cita Hukum (rechtsidee). Melalui Cita Hukum seperti yang dikatakan Rudolf Stammler, Cita Hukum (rechtsidee) berfungsi sebagai penentu arah bagi tercapainya cita-cita masyarakat. Walaupun disadari benar bahwa titik akhir dari cita-cita masyarakat itu tidak mungkin dicapai sepenuhnya, namun Cita Hukum memberi faedah positif karena ia mengandung dua sisi, dengan Cita Hukum dapat diuji hukum positif yang berlaku dan kepada Cita Hukum dapat diarahkan hukum positif sebagai usaha mengatur tata kehidupan masyarakat dan bangsa. Lebih lanjut menurutnya, keadilan yang dituju sebagai Cita Hukum itu menjadi pula usaha dan tindakan mengarahkan hukum positif kepada Cita Hukum. Dengan demikian, hukum yang adil adalah hukum yang diarahkan oleh Cita Hukum

Page 167: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

167Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

untuk mencapai tujuan-tujuan masyarakat 23.Pada bagian lain B. Arief Sidharta Menurutnya,

Cita Hukum itu berfungsi sebagai asas umum yang mempedomani (guiding principle), norma kritik (kaidah evaluasi) dan faktor yang memotivasi dalam penyelenggaraan hukum (pembentukan, penerapan, penegakan dan penemuan) dan perilaku hukum24. Hukum dalam hubungannya dengan Cita Hukum (rechtsidee) mengandung pula suatu pedoman dan suatu ukuran umum tentang apa yang harus dilihat sebagai hukum di dalam budaya yang bersangkutan. Cita Hukum dalam dirinya adalah merupakan sesuatu yang di dalamnya mengandung unsur-unsur yang emosional – ideal, yang batasan rasionalnya tidak pasti. Pengertian dari konsepsi hukum yang berusaha mewujudkan Cita Hukum harus memenuhi tuntutan bahwa hal tersebut dapat dikerjakan. Untuk itu diperlukan unsur-unsur dari konsepsi hukum yang dapat dinilai dan merupakan sesuatu yang rasional.

Upaya perwujudan Pancasila sebagai Cita Hukum tentunya diperlukan proses rasionalisasi yang menjadikan Pancasila memiliki kedalaman aktual. Ada hal yang patut ditelaah lebih lanjut yakni bagaimana proses itu harus dilalui atau syarat apakah yang diperlukan supaya Pancasila dapat menghadapi segala perubahan yang ada, utamanya pada era Globalisasi yang sudah menjadi keniscayaan.

Tuntutan masyarakat yang selalu berubah, menjadi tantangan tersendiri bagi kehidupan bernegara yang

23 Roeslan Saleh, ”Pembinaan Cita Hukum dan Penerapan Asas-asas Hukum Nasio-nal” dalam Majalah Hukum Nasional (Edisi Khusus 50 Tahun Pembangunan Nasio-nal), No. 1, (Jakarta: Pusat Dokumentasi Hukum BPHN Departemen Kehakiman, 1995), hlm. 50.24 B. Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 2000), hlm. 181.

Page 168: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

168 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

tetap menginginkan adanya integrasi sosial. Merujuk pada pendapat Jurgen Habermas yang mengatakan bahwa Integrasi sosial tidak dapat terwujud terwujud bila negara hanya bertindak sebagai “polisi” saja, dan juga bila negara merasa mendapat legitimasinya dari kehendak umum rakyat, yang nota bene juga melindas kepentingan mereka yang minoritas. Di sini hukum bisa berbicara. Integrasi sosial, bagi Habermas, tidak dapat terwujud tanpa adanya hukum25.

Bagi Habermas hukum memberikan acuan bagi masyarakat sehingga masyarakat tak perlu lelah berdiskursus tentang apa yang harus dilakukan. Artinya hukum, yang merupakan kesepakatan hasil diskursus yang inklusif, bebas dominasi, dan egaliter dari pihak-pihak yang terkait dengannya, dapat meringankan diskursus, sehingga masyarakat cukup mengikuti hukum tersebut sebagai acuan tindakan.

Merujuk dari pemikiran Habermas tersebut maka dapat dikatakan Integrasi sosial (dapat dibaca sebagai Sila Persatuan Indonesia) tidak dapat terwujud tanpa adanya hukum. Hukum merupakan hasil dari konsensus yang dicapai dari proses diskursus. Pada proses diskursus ini memberikan tempat pula pada pola rasionalisasi dalam proses pembentukan hukum. Proses rasionalisasi tersebut terbingkai melalui nilai musyawarah atas dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, bebas dominasi dan bersifat inklusif.

Maka selanjutnya dapat dikatakan hukum menyediakan semacam kerangka, yang memberikan tempat bagi orang-orang untuk memperjuangkan kepentingannya masing-masing secara sah dan bertanggung jawab. Habermas menulis :

25 Reza A. A. Wattimena, Melampaui Negara Hukum Klasik: Locke-Rousseau-Haber-mas, (Yogyakarta: Kanisius, 2009), hlm. 121.

Page 169: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

169Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

“…paradigma hukum yang ingin dirumuskan harus memuaskan deskripsi paling rumit tentang masyarakat majemuk, paradigma itu harus menampung sekali lagi ide orisinal tentang penentuan diri kolektif yang bebas dan setara, dan paradigma itu juga harus melampaui partikularisme dalam tatanan hukum yang telah kehilangan kemampuan untuk menyesuaikan diri dalam masyarakat majemuk, dan sirna sedikit demi sedikit…”26

Habermas dalam hal ini berpendapat bahwa hukum menawarkan tips praktis untuk hidup secara damai. Orang cukup melihat hukum sebagai standar tindakannya maka mekanisme kehidupan sosial terutama dalam masyarakat majemuk yang kompleks dan plural akan berjalan lancar. Bagi Habermas hukum dapat berfungsi maksimal, diperlukan legitimasi dari masyarakat. Legitimasi ini juga termasuk pengakuan hak yang minoritas untuk mengambil bagian memperjuangkan kepentingan mereka dalam konteks pembuatan keputusan-keputusan legal politis yang bersifat publik27. Pada legitimasi hukum dalam arti prosedur dan pengandaian-pengandaian komunikatif yang ketika telah diresmikan secara institusional mendasari pengharapan bahwa proses pembuatan dan penetapan hukum akan membawa pada hasil yang rasional.

Hukum menurut Habermas adalah ruang operasi dari interaksi strategis serta hasil dari sebuah konsesus yang hanya bisa dicapai, bila para aktor strategis itu meninggalkan orientasi suksesnya sendiri dan saling berkomunikasi untuk mencapai pemahaman timbal

26 J. Habermas, Between Facts and Norm, Contribution to A Discourse Theory of Law and Democracy, (New Baskerville: MIT Press, 2001), hlm. 39327 Ibid., hlm. 441.

Page 170: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

170 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

balik. Dari sini dapat terlihat bahwa Habermas melihat bahwa hukum pada akhirnya berakar dalam konsesus rasional.

Hukum bagi Habermas memperlihatkan ciri ganda. Maksudnya, hukum di satu pihak memiliki ciri objektif sebuah fakta keras yang dapat memaksa targetnya untuk mematuhi aturan itu, dan juga memungkinkan mereka untuk melanggar aturan itu secara lihai, namun di lain pihak hukum juga memiliki ciri intersubjektif sebuah proses komunikasi yang dapat dikembalikan kepada pemahaman timbal balik para targetnya28.

Norma-norma yang diterapkan di dalam legislasi politis dan hak-hak yang diakui oleh institusi hukum yang resmi membuktikan rasionalitasnya pada fakta bahwa para partisipan diberlakukan secara bebas dan setara sebagai keanggotaan dari institusi hukum yang resmi. Singkatnya, rasionalitas ini terbukti dalam perlakuan setara dari para partisipan legal yang pada saat bersamaan dilindungi integritasnya. Konsekuensin ini secara yuridis diterapkan dalam perlunya perlakuan yang setara. Walaupun termasuk kesetaraan dalam penerapan hukum, serta kedudukan warga negara yang setara di hadapan hukum, hal ini ekuivalen dengan prinsip yang lebih luas tentang kesetaraan substantif pada level hukum, yang memegang prinsip yang sama di dalam semua aspek yang relevan harus diperlakukan sama, yang tidak sama harus diperlakukan juga secara tidak sama.

Analisa epistemologis yang dapat diberikan dalam pemikiran Habermas dalam kaitannya dengan negara hukum maka setiap proses berbangsa dan bernegara khususnya dalam bagaimana proses hukum itu dibentuk,

28 F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif: Menimbang ‘Negara Hukum dan ‘Ruang Publik’ dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas, (Yogyakarta: Kanisius, 2009), hlm. 60.

Page 171: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

171Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

diperlukan sifat yang komunikatif. Diperlukan upaya dialog antara mekanisme legislatif dengan diskursus-diskursus baik formal ataupun informal dalam dinamika masyarakat sipil. Diperlukannya ruang di luar kekuasaan administratif negara dan kekuasaan ekonomi korporasi nasional maupun internasional. Ruang ini adalah kekuasaan komunikatif melalui jaringan-jaringan komuniksi publik dalam masyarakat sipil. Upaya komunikatif ini memberikan ruang rasional bagi terwujudnya Negara Hukum yang berkeadilan, Negara Demokrasi yang berkeadaban, dan Negara Kesejahteraan yang berkemakmuran, sebagai amanat tercantum dalam Pembukaan dan Pasal-pasal UUD 1945.

Wujud dari jaringan-jaringan komunikatif ini adalah media massa, pers, LSM dan organisasi-organisasi lain yang berada di luar sistem politik maupun ekonomi. Jaringan komunikatif ini mampu menekan sehingga mengharuskan sistem politik menjadi responsif pada hal yang menjadi keprihatinan dalam dinamika sosial. Bagi Habermas ruang publik adalah ’sistem yang memperingatkan’ walaupun tidak spesifik, namun sensitif terhadap keadaan masyarakat. Ruang publik berfungsi sebagai pengeras suara permasalahan yang harus diproses oleh sistem politik karena masalah itu tidak dapat diselesaikan di temat lain29.

Di samping itu, masyarakat berhak dan berkewajiban mengembangkan potensi komunikatif ini. Dalam negara hukum demokratis, kebebasan berpendapat mendapat jaminannya sehingga kekuatan komunikatif ini mampu memberikan memberikan pengaruh pada berbagai keputusan, yang dikeluarkan oleh institusi legal politis. Namun demikian, tetap harus disadari bahwa “kekuasaan komunikatif ini tidak dapat menguasai sistem politik,

29 Ibid., hlm. 359.

Page 172: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

172 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

namun dapat mengarahkan keputusan-keputusannya. Dalam sebuah negara hukum menurut Habermas,

negara tidak dapat mengeluarkan kebijakan publik atau keputusan politik dalam suasana splendid isolatian – suasana rahasia dan tertutup dari tatapan kritis mata publik. Semua keputusan dan kebijakan, yang berkaitan dengan kepentingan publik, harus melalui jalur diskursus dengan semua elemen masyarakat sipil. Di sinilah peran ruang publik menjadi penting. Ruang publik menjadi semacam tempat UU dipersiapkan dan dimatangkan dalam suasana diskursus yang rasional30.

KesimpulanNegara hukum modern di Indonesia bukanlah

dipahami sebagai hal yang sudah jadi. Diperlukan sebuah strategi yang rasional bagi terwujudnya Negara Hukum yang berkeadilan, Negara Demokrasi yang berkeadaban, dan Negara Kesejahteraan yang berkemakmuran, sebagaimana tercantum dalam Pembukaan dan Pasal-pasal UUD 1945. Salah satu strategis itu adalah dikedepankannya proses dialogis yang komunikatif seperti yang diungkapkan oleh Habermas.

Ruang diskurus menekankan pentingnya segala keputusan publik harus melibatkan seluruh elemen masyarakat, yang natinya akan terkena dampak dari keputusan tersebut dalam diskursus publik yang setara dan bebas dominan. Pancasila dalam hal ini dapat memberikan ruang kondusif yakni melalui cara bermusyawarah yang berprikemanusian, berkeadilan dalam masyarakat yang beradab.

Negara hukum modern pada akhirnya mengandaikan suatu negara haruslah sudah bebas dan beradab, dan

30 Reza A. A. Wattimena, op.cit., hlm. 124.

Page 173: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

173Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

terus mau belajar, sehingga mampu mengkritisi gerak pemerintah maupun kekuatan ekonomi. Dengan demikian cita-cita masyarakat yang adil dan makmur dalam bingkai kebhinekaan selalu dikedepankannya komunikasi intensif semua elemen sosial masyarakat secara berkala akan mampu mewujudkan sistem yang menjadi milik dan tanggung jawab bersama.

Page 174: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

174 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Daftar Pustaka

A. Ahsin Thohari, 2004. Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, Jakarta: Elsam.

A.M.W. Pranaka, 1987. Epistemologi Dasar, Suatu Pengantar, Jakarta, CSIS.

Andre Ata Ujan, 2009. Filsafat Hukum : Membangun Hukum, Membela Keadilan, Yogyakarta Kanisius.

B. Arief Sidharta, 2000. Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Bandung: Mandar Maju.

Budiono Kusumohamidjojo, 2004. Filsafat Hukum; Problemtika Ketertiban yang Adil, Jakarta: Grasindo.

Dicey, Albert Venn, 1915. Introduction to the Study of the Law of the Constitution, London: Macmillan.

F. Budi Hardiman, 2009. Demokrasi Deliberatif: Menimbang ‘Negara Hukum dan ‘Ruang Publik’ dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas, Yogjakarta: Kanisius.

Habermas, Jurgen, J., 2001. Between Facts and Norm, Contribution to A Discourse Theory of Law and Democracy, New Baskerville: MIT Press.

J. Sudarminta, 2003. Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat Pengetahuan,Yogyakarta: Kanisius.

Jimly Asshiddiqie, 2004. Cita Negara Hukum Indonesia Kontemporer, Orasi ilmiah Pada Wisuda Sarjana Hukum, Palembang: Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, 23 Maret.

______________, 1994. Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve.

Loughlin, Martin, (tanpa tahun). “Albert Venn Dicey (1835-1922)”, Routledge Encyclopedia of Philosophy, Version 1.0, London: Routledge.

Page 175: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

175Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Marbun, S.F., 1997. ”Negara Hukum dan Kekuasaan Kehakiman, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, No. 9 Vol. 4 .

Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1988. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: PSHTN FH UI dan Sinar Bakti.

Nonet, Philippe and Selznick, Philip, 2003. Hukum Responsif Pilihan di Masa Transisi, terjemahan, Jakarta: HuMA.

Roeslan Saleh, 1995. ”Pembinaan Cita Hukum dan Penerapan Asas-asas Hukum Nasional” dalam Majalah Hukum Nasional (Edisi Khusus 50 Tahun Pembangunan Nasional), No. 1, Jakarta: Pusat Dokumentasi Hukum BPHN Departemen Kehakiman.

Schmid, J.J. von, 1988. Pemikiran Tentang Negara dan Hukum, Jakarta, Pembangunan.

Sobirin Malian, 2001. Gagasan Perlunya Konstitusi Baru Pengganti UUD 1945, Yogyakarta: FH UII Press.

Ifdal Kasim (ed), 2002. Hukum Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Jakarta: ELSAM dan HUMA.

Sudjito Bin Atmoredjo, 2009. Negara Hukum Dalam Perspektif Pancasila, Makalah untuk Kongres Pancasila di Balai Senat UGM, Yogyakarta : Mahkamah Konstitusi RI – UGM, tanggal 30, 31 dan 1 Juni.

Utrecht, 1962. Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Jakarta: Ichtiar.

Wattimena, Reza A. A., 2009. Melampaui Negara Hukum Klasik: Locke-Rousseau-Habermas, Yogjakarta: Kanisius.

Page 176: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

176 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Page 177: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

177Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

BIODATA PENULIS

Agus Kusnadi adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. Menyelesaikan S1 di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran pada tahun 1987, S2 (Magister Ilmu Hukum) pada tahun 1995 dan S3 (Doktor Ilmu Hukum) pada tahun 2009 dari Program Pasca Sarjana Universitas Padjadjaran. Beberapa jabatan dalam lingkungan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran juga pernah beliau duduki, antara lain Pembantu Dekan III Bidang Kemahasiswaan (1999-2003), Ketua Bagian Hukum Administrasi Negara (2000-2004), dan Ketua Biro Bantuan Hukum (BBH) F.H. UNPAD (2005-2006 ).

Arinto Nurcahyono, dilahirkan di Cirebon 22 Oktober 1967. Saat ini menjadi dosen di Fakultas Hukum Univ. Islam Bandung (Unisba), Fakultas Psikologi Univ. Kristen Maranatha. Jenjang S1-nya didapatkan dari Fakultas Filsafat UGM, dan S2 Filsafat Program Pascasarjana UGM.

Bilal Dewansyah dilahirkan di Cirebon, 15 Juni 1982. Menyelesaikan S1 (SH) pada tahun 2006 dari Fakultas Hukum Unpad, program kekhususan Hukum Tata Negara. Sejak tahun 2006 yang bersangkutan menjadi dosen magang staf pengajar di Bagian Hukum Tata Negara FH Unpad dan menjadi peneliti di Pusat Studi Kebijakan Negara FH Unpad. Sejak tahun 2008 yang bersangkutan menempuh studi S2 Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Ketatanegaraan di Program Pascasarjana FH Unpad.

Page 178: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

178 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Edra Satmiadi adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Bengkulu. Mendapat dan gelar sarajana hukum (SH), dari Universitas Andalas dan Magister Hukum (MH) dari Universitas Padjadjaran.

Inna Junaenah, dilahirkan di Bandung, 15 September 1978. Saat ini mengajar di Fakultas Hukum Unpad dan menjabat sebagai Sekretaris Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Unpad. Pendidikan S1-nya (SH) ditempuh di Fakultas Hukum Unpad. Saat ini sedang menyelesaikan studi S2-nya di Program Pascasarjana Fakultas Hukum Unpad.

Lailani Sungkar dilahirkan pada tanggal 31 Mei 1984 di Banda Aceh. Gelar Sarjana Hukum diperoleh dari FH Unpad tahun 2006. Sejak tahun 2008 yang bersangkutan melanjutkan pendidikan di S2 Ilmu Hukum Program Pascasarjana FH Unpad, konsentrasi Hukum Ketatanegaraan. Sejak SMA aktif berorganisasi dan semasa kuliah juga aktif di HMI, ISMAHI, dan BPH Kosgoro. Saat ini dalam pembinaan menjadi staf pengajar di Bagian Hukum Tata Negara FH Unpad, khususnya pada mata kuliah Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Selain itu, aktif terlibat dalam berbagai penelitian dan bergabung dengan beberapa pusat studi. Email: [email protected].

Rosjidi Ranggawidjaja, lahir di Sumedang, 16 Pebruari 1942. Menyelesaian studi S1 dan S2 di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung. Menjadi dosen pada fakultas yang sama sejak tahun 1982 untuk mata-mata kuliah Hukum Tata Negara, Hukum tentang Lembaga Negara, Ilmu Perundang-undangan, Perbandingan Hukum Tata Negara, Hukum Pemerintahan Daerah, Teknik Perancangan

Page 179: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

179Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Perundang-undangan dan Hukum Acara di Mahkamah Konstitusi. Setelah pensiun tahun 2007, tetap mengabdi di almamaternya sebagai dosen Luar Biasa.

Rusli K. Iskandar adalah dosen di Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung. Saat ini yang bersangkutan sedang menyelesaikan studi S3-nya di Program Doktor Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta.

Susi Dwi Harijanti, dilahirkan di Malang, 16 Januari 1966. Beliau mendapatkan gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran pada tahun 1990, Master of Laws (LL.M) dari University of Melbourne (1998) dan Kandidat Doktor dari University of Melbourne tahun 2002- sekarang. Beliau adalah Wakil Ketua Paguyuban Hak Asasi Manusia (PAHAM) Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran.

Page 180: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

180 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

Page 181: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

181Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

KETENTUAN PENULISANJURNAL KONSTITUSI

Jurnal Konstitusi adalah salah satu media per-semester yang diterbitkan oleh Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mah kamah Konstitusi bekerjasama dengan Pusat Kajian Konstitusi sebagai upaya mempublikasikan ide dan gagasan mengenai hukum, konstitusi dan isu-isu ketata negaraan. Jurnal Konstitusi ditujukan bagi pakar dan para akademisi, praktisi, penyelenggara negara, kalangan LSM serta pemer-hati dan penggiat hukum dan konstitusi serta masalah ke-tatanegaraan.

Sebagaimana jurnal pada umumnya, Jurnal Konstitusi tampil dalam format ilmiah sebuah jurnal sehingga tulisan yang dikirim untuk dimuat hendaknya memenuhi keten-tuan tulisan ilmiah. Untuk memudahkan koreksi naskah, diharapkan penulisan catatan kaki (footnote) mengikuti ke-tentuan:1. Emmanuel Subangun, Negara Anarkhi, (Yogyakarta: LKiS,

2004), hlm. 64-65.2. Tresna, Komentar HIR, Cetakan Ketujuhbelas, (Jakarta: PT

Pradnya Paramita, 2001), hlm. 208-9. 3. Paul Scholten, Struktur Ilmu Hukum, Terjemahan dari De

Structuur der Rechtswetenschap, Alih bahasa: Arief Sidhar-ta, (Bandung: PT Alumni, 2003), hlm. 7.

4. “Jumlah BUMN Diciutkan Jadi 50”, Republika, 19 Oktober 2005.

5. Prijono Tjiptoherijanto, “Jaminan Sosial Tenaga Kerja di Indonesia”, http://www.pk.ut.ac.id/jsi, diakses tanggal 2 Januari 2005.

Sedangkan untuk penulisan daftar pustaka sebagai be-rikut.1. Asshiddiqie, Jimly, 2005. Sengketa Kewenangan Antar-

lembaga Negara, cetakan pertama, Jakarta: Konstitusi Press.

Page 182: SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN PSKN-FH …pskn.fh.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/029-UNPAD-Vol-2-No-1.pdf · memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya

182 Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2010

PSKN-FH UNIVERSITAS PADJAJARAN

2. Burchi, Tefano, 1989. “Current Developments and Trends in Water Resources Legislation and Administration”. Paper presented at the 3rd Conference of the International Association for Water Kaw (AIDA) Alicante, Spain: AIDA, December 11-14.

3. Anderson, Benedict, 2004. “The Idea of Power in Javanese Culture”, dalam Claire Holt, ed., Culture and Politics in Indonesia, Ithaca, N.Y.: Cornell University Press.

4. Jamin, Moh., 2005. “Implikasi Penyelenggaran Pilkada Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi”, Jurnal Konstitusi, Volume 2 Nomor 1, Juli 2005, Jakarta: Mahkamah Konstitusi.

5. Indonesia, Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

6. Republika, “Jumlah BUMN Diciutkan Jadi 50”, 19 Oktober 2005.

7. Tjiptoherijanto, Prijono. Jaminan Sosial Tenaga Kerja di Indonesia, http://www.pk.ut.ac.id/jsi, diakses tanggal 2 Januari 2005. Kami menerima tulisan, artikel kajian ilmiah dan/

atau hasil penelitian yang berbobot mengenai masalah ketatanegaraan, hukum, dan konstitusi, serta isu hukum di daerah. Secara khusus setiap edisi kami menyajikan tema sesuai hasil rapat redaksi berdasarkan isu yang berkembang yang berkaitan dengan isu hukum di daerah, wacana hukum tata negara dan konstitusi, serta hasil penelitian hukum dan konstitusi.

Tulisan dilampiri dengan biodata dan foto serta alamat email, tulisan dikirim via email ke alamat: [email protected]