28
CAP BURUK PERKEBUNAN SAWIT BERAWAL DAN BERAKHIR DI PENATAAN RUANG JEFRI GIDEON SARAGIH (KETUA DEPARTEMEN KAMPANYE SAWIT WATCH) Pernah Dimuat di Insist Press, edisi Desember 2011 “Ia memiliki harumnya bunga violet, rasa minyak zaitun dan warna yang memberi nuansa saffron pada makanan tetapi lebih menarik” (Ca’da Mosto, petualang abad 15 tentang penemuan minyak kelapa sawit) Pendahuluan Tanaman kelapa sawit (Elais Quineensis Jacg) adalah pohon palma kuno liar berasal dari Afrika Barat. Menurut sejarah, sejak 5.000 tahun yang lalu tanaman ini telah diekstraksi untuk mengambil minyaknya untuk bahan memasak makanan oleh manusia. Selain itu minyak sawit juga digunakan sebagai penghangat tubuh apabila musim dingin tiba dan bahan obat-obatan. Semua itu dibuktikan dari penemuan arkeologi berupa guci tanah liat yang mengandung sisa residu minyak sawit pada sebuah makam kuno di Mesir. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama sejak Revolusi Industri di Eropa pada abad ke-19, membuat minyak sawit semakin dibutuhkan terutama untuk minyak pelumas pelbagai jenis mesin- mesin pabrik dan tranportasi. Demi memenuhi kebutuhan pasar yang semakin meningkat, mobilisasi orang dalam bentuk perbudakan untuk dijadikan buruh di kebun sawit pun terjadi. Umumnya para budak diambil dari afrika dan dipaksa bekerja di perkebunan di benua Amerika dan Asia. Di Indonesia sendiri, tanaman sawit pertama sekali masuk tahun 1848 dibawa oleh pegawai pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Jumlahnya sangat sedikit karena hanya dijadikan sebagai tanaman hias di halaman istana gubernur jenderal Belanda di Bogor. Saat

Selengkapnya : “Opini Tata Ruang Di Kebun Sawit”

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Selengkapnya : “Opini Tata Ruang Di Kebun Sawit”

CAP BURUK PERKEBUNAN SAWIT BERAWAL DAN BERAKHIR

DI PENATAAN RUANG

JEFRI GIDEON SARAGIH (KETUA DEPARTEMEN KAMPANYE SAWIT WATCH)

Pernah Dimuat di Insist Press, edisi Desember 2011

“Ia memiliki harumnya bunga violet, rasa minyak zaitun dan warna yang memberi nuansa saffron pada makanan tetapi lebih menarik” (Ca’da Mosto, petualang abad 15 tentang penemuan minyak kelapa sawit)

Pendahuluan

Tanaman kelapa sawit (Elais Quineensis Jacg) adalah pohon palma kuno liar berasal dari Afrika Barat. Menurut sejarah, sejak 5.000 tahun yang lalu tanaman ini telah diekstraksi untuk mengambil minyaknya untuk bahan memasak makanan oleh manusia. Selain itu minyak sawit juga digunakan sebagai penghangat tubuh apabila musim dingin tiba dan bahan obat-obatan. Semua itu dibuktikan dari penemuan arkeologi berupa guci tanah liat yang mengandung sisa residu minyak sawit pada sebuah makam kuno di Mesir.

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama sejak Revolusi Industri di Eropa pada abad ke-19, membuat minyak sawit semakin dibutuhkan terutama untuk minyak pelumas pelbagai jenis mesin-mesin pabrik dan tranportasi. Demi memenuhi kebutuhan pasar yang semakin meningkat, mobilisasi orang dalam bentuk perbudakan untuk dijadikan buruh di kebun sawit pun terjadi. Umumnya para budak diambil dari afrika dan dipaksa bekerja di perkebunan di benua Amerika dan Asia.

Di Indonesia sendiri, tanaman sawit pertama sekali masuk tahun 1848 dibawa oleh pegawai pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Jumlahnya sangat sedikit karena hanya dijadikan sebagai tanaman hias di halaman istana gubernur jenderal Belanda di Bogor. Saat itu pemerintah kolonial belum mengetahui banyak manfaat lain dari tanaman sawit. Namun di ujung abad 18 akibat dorongan revolusi industri, pemerintah kolonial mulai melirik tanaman sawit untuk dijadikan komoditi andalan. Hal itu dimulai dengan membangun perkebunan sawit skala besar di beberapa daerah di Hindia Belanda. Inilah yang menjadi cikal-bakal industri sawit Asia Tengga, terutama di Indonesia dan Malaysia.

Alasan pembukaan kebun sawit di Indonesia oleh pemerintah kolonial adalah:

1. Indonesia merupakan koloni Belanda yang memiliki ketersediaan tanah yang luas.2. Beriklim tropis, letaknya persis di garis khatulistiwa, yang sangat cocok bagi

pertumbuhan tanaman sawit,

Page 2: Selengkapnya : “Opini Tata Ruang Di Kebun Sawit”

3. Ketersediaan sarana dan prasana transportasi, termasuk cikal-bakal pelabuhan di Belawan dan Jakarta.

4. Disamping itu tentu saja buruh murah dan tenaga kerja paksa (rodi) bisa dimobilisasi untuk pembukaan, perawatan dan pemanenan kebun sawit dari daerah dan pulau-pulau lain yang berdekatan dengan Sumatra Timur.

Kelapa Sawit sendiri akan tumbuh subur pada ketinggian 10 – 500 meter di atas permukaan air. Hidup diantara suhu udara 24 – 28 derajat Celsius. Mesti mendapat curah hujan yang merata sepanjang tahun 2.000 – 3.000 mm. Memerlukan sinar matahari 5 – 7 jam perhari sepanjang tahun. Kemiringan tanah 16 – 30 derajat. Semua syarat-syarat di atas sesuai dengan iklim Indonesia yang terletak persis di 6 derajat Lintang Utara sampai 11 derajat Lintang Selatan dan sejajar garis khatulistiwa di 96 derajat sampai 141 derajat Bujur Timur.

Produk Derivatif Minyak Sawit

Seiring dengan kemajuan zaman, perasan tandan buah segar (TBS) kelapa sawit kini diolah untuk menghasilkan pelbagai jenis barang yang mencukupi kebutuhan hidup manusia. Secara garis besar, kelapa sawit menghasilkan dua jenis minyak – minyak kelapa sawit dari daging buah mesocarp dan minyak inti sawit dari biji atau kernel-. Minyak kelapa sawit digunakan terutama untuk produk makanan, minyak goreng, shortening, margarine, pengganti lemak susu dan pengganti mentega coklat/cocoa butter.

Minyak inti sawit atau palm kernel oil lebih banyak digunakan dalam industri oleochemical untuk membuat sabun, deterjen, produk perawatan tubuh dan kosmetik. Terlebih, kajian nutrisi telah menemukan bahwa minyak kelapa sawit merupakan salah satu sumber alami terkaya dan terampuh Vitamin E dan sekarang sedang dibuat dalam bentuk kapsul dan dipasarkan sebagai produk suplemen diet.

Selain itu, produktifitas tanaman sawit untuk menghasilkan tandan buah segar (fresh fruit bunches) jauh lebih tinggi (bisa mencapai 10 kali) dibandingkan produktifitas vegetables oil yang lain, seperti minyak bunga matahari atau jarak.

Penemuan terbaru manfaat minyak sawit adalah biofuels (bahan bakar nabati/BBN). BBN dari minyak sawit didapat setelah minyak sawit mentah (crude palm oil/ CPO) dicampurkan dengan fossil fuels (bahan bakar minyak/ BBM) jenis solar lalu diekstraksi dengan memakai teknologi tertentu untuk menghasilkan biodiesel. Penemuan baru berupa biodiesel ini didasari dari fakta semakin langka dan mahalnya BBM akibat pertambahan konsumsi yang sejalan dengan pertumbuhan penduduk bumi.

Selain itu penggunaan BBM, berdasarkan penemuan ilmiah, sangat berdampak terdapat perubahan iklim dan pemasanan global. Pelepasan emisi dari gas buang motor/ mesin yang menggunakan fossil fuels kebanyakan akan tertahan di atmosfer hingga menjadi selubung gelap yang menjadi gas rumah kaca/GRK (green house gasses). Dalam jumlah normal, GRK

Page 3: Selengkapnya : “Opini Tata Ruang Di Kebun Sawit”

berfungsi sebagai penghangat suhu namun bila berlebihan ia akan menyebabkan pemanasan global serta perubahan iklim.

Penemuan baru baru ini mengakibatkan permintaan yang cukup tinggi terhadap minyak sawit sebagai bahan baku (feed stock) biodiesel, terutama untuk Negara-negara Uni Eropa. Bahkan sejak Juli 2011, beberapa perusahaan penerbangan, KLM Royal Dutch Airlines dan Lufthansa Jerman, sudah menggunakan bahan bakar nabati (campuran avtur dan crude palm oil) dalam penerbangannya ke pelbagai Negara di dunia. Hal lain yang patut dicatat dari BBN ini adalah dia digolongkan sebagai bahan bakar terbarukan (renewable energy) dan ramah lingkungan.

Selain minyaknya, setiap bagian dari kelapa sawit dapat dipergunakan. Residu biji sawit digunakan dalam pakan ternak. Kulit atau shell, setelah dipecahkan dan diambil biji intinya, digunakan sebagai bahan baker dalam banyak pembakar industri dan untuk memproduksi activated charcoal. Daun palem, furniture dan bahkan tikar serat untuk melawan erosi dan desertification (proses perubahan menjadi gurun pasir/tandus).

Minyak Sawit Komoditi Primadona Dunia

Berdasarkan data OIL WORLD 2006 – 2010, demand pasar menunjukkan tren peningkatan secara pesat terhadap komoditi minyak sawit mentah. Hal ini membuat negara-negara produsen ketiban untung -termasuk Indonesia yang saat ini berada diurutan pertama penghasil minyak sawit dunia- memperluas kebun sawitnya. Patut dicatat bahwa produksi minyak sawit mentah Indonesia dan Malaysia mencapai 85% dari total produksi dunia sejumlah 40 juta ton.

Meski bulan Agustus sampai November 2008 harga minyak sawit mentah (crude palm oil/ cpo) dunia mengalami penurunan tajam hingga 300 dolar AS per ton, namun sepanjang lima tahun terakhir sejak 2005, harga minyak sawit dunia relatif stabil berada di level 700 – 1.200 dolar Amerika per ton.

Hingga akhir tahun 2010, Indonesia berhasil mencatatkan diri sebagai negara penghasil minyak sawit mentah terbesar di dunia dengan total produksi mencapai 21,3 juta ton. Dari jumlah itu, hampir 6 juta ton dipakai untuk konsumsi domestik sedangkan diekspor ke beberapa negara Eropa, China, India dan lain-lain. Bahkan menurut majalah Info Sawit edisi akhir tahun 2010, bisnis CPO Indonesia menghasilkan keuntungan hingga 9,11 miliar dolar Amerika.

Petaka Dibalik Kemilau Minyak Sawit

Meski diakui minyak sawit memiliki beberapa keunggulan dibanding jenis minyak nabati lainnya, seperti bebas rekayasa genetika, produktifitas per hektarnya 10 kali lebih banyak dibanding kacang kedelai, rapeseed atau sunflower, kelapa sawit memproduksi lebih dari 34% (minyak kelapa sawit dan minyak inti sawit) dari 8 minyak nabati utama dengan menggunakan lahan yang lebih sempit dibanding tanaman penghasil minyak, namun ada banyak persoalan yang muncul dibalik semua keunggulan tadi.

Page 4: Selengkapnya : “Opini Tata Ruang Di Kebun Sawit”

Secara global keberadaan kebun sawit sering dituding melakukan deforestasi, pengeringan lahan gambut, pembakaran lahan yang mengakibatkan kabut asap dan perubahan iklim serta pemanasan global serta penghilangan keanekaragamanhayati yang seharusnya dilindung. Tudingan ini tidak dapat ditolak begitu saja karena berangkat dari penemuan lapangan yang otentik.

Selain itu, di tempatnya berada pun, perkebunan sawit juga dicap jelek karena melakukan perampas lahan dan kriminasilisasi terhadap kelompok rentan (masyarakat adat/lokal, petani dan buruh) ketika memperjuangkan hak-haknya. Cap jelek ini juga tak bisa disebut sebagai kasus semata, sebab terjadi sangat massif di seluruh perkebunan sawit. Ini merupakan pola atau modus perusahaan sawit untuk mendapatkan lahan milik masyarakat adat dan meraih keuntungan besar dari pengelolaan kebunnya.

Menurut hemat penulis, setiap tahun masalah besar yang muncul dibalik gemericik keuntungan bisnis sawit tadi semakin membesar dan mengeras. Apabila tidak segera diselesaikan bisa dipastikan ia akan menjadi faktor kuat untuk menghancurkan bisnis sawit itu sendiri bahkan akan berimplikasi kuat terhadap ketahanan negeri ini.

Dari hasil pengamatan, penemuan lapangan dan analisis mendalam, penulis sangat berkeyakinan bahwa semua persoalan yang terjadi di perkenan kelapa sawit itu bersumber dari perencanaan ruang yang silang-sengketa dan penegakan Undang Undang (UU) payung serta pembuatan peraturan teknis terkait perkebunan sawit sendiri yang lemah dan karu-marut.

Adakah jalan keluar yang bisa dilakukan untuk menyelesikan semua persoalan-persoalan tersebut? Tulisan ini coba mengurai persoalan mendasar di atas sambil menawarkan sebuah solusi alternative demi keberlanjutan perkebunan sawit.

Sejarah Ekspansi Kebun Sawit di Indonesia

A.Perkebunan Sawit Masa Pemerintahan Kolonial (1875–1945)

Menurut Kartodirdjo & Suryo (1991), sejarah perkebunan di negara berkembang, termasuk Indonesia, tidak dapat dipisahkan dari masuknya kolonialisme, kapitalisme dan modernisasi. Di negara-negara berkembang, perkebunan hadir sebagai perpanjangan dari perkembangan kapitalisme agraris barat yang diperkenalkan melalui sistem perekonomian kolonial. Sistem perkebunan yang dibawa oleh pemerintah kolonial adalah sistem perkebunan Eropa, yang berbeda dengan sistem kebun (garden system1) yang ada di Negara-negara lain pada masa pra-kolonial”.

1 Garden system menunjukkan sebuah perkebunan rumah tangga untuk melengkapi kebutuhan pokoknya, terutama pertanian pangan. Modal usaha ini relatif kecil, penggunaan lahan tidak terlalu luas, sumber tenaga kerja berpusat pada anggota keluarga, kurang berorientasi kepada pasar, dan lebih fokus untuk melayani kebutuhan subsisten. Berbanding terbalik dengan system perkebunan Eropa.

Page 5: Selengkapnya : “Opini Tata Ruang Di Kebun Sawit”

Untuk perkebunan sawit sendiri, seperti yang telah dituliskan di atas, pertama kali masuk ke Indonesia tahun 1848. Awalnya hanya empat pohon yang ditanam sebagai penghias istana gubernur jenderal Hindia Belanda. Penanamannya dilakukan di Kebun Raya Bogor. Dua pohon sawit tadi berasal dari Hortus Botanicus Amsterdam dan dua lagi dibawa dari Mauritus. Patut diduga bahwa kelapa sawit yang ada di Indonesia semuanya berasal dari Afrika tetapi tiba di sini melalui jalan yang berbeda.

Namun kemajuan teknologi dari hasil revolusi indutri di Eropa membuat pemerintah kolonial memperbanyak menanam sawit karena laku di pasar dunia. Penanaman sawit dalam jumlah besar pun dilakukan pemerintah di Banyumas dan Palembang pada tahun 1875. Merasa berhasil mengembangkannya, pemerintah kemudian membangun perkebunan kelapa sawit di wilayah Deli (Sumatra Utara). Pengembangan usaha perkebunan kelapa sawit skala besar oleh swasta di Indonesia dilakukan pertama kali oleh Adrian Hallet tahun 1911 di Sungai Liput (Pantai Timur Aceh) dan Pulo Raja (Asahan). Pada tahun yang sama, K.L.T. Schadt menanam juga kelapa sawit di Sungai Itam Ulu (Deli). Tahun 1914 luasan perkebunan kelapa sawit mencapai 3.250 Ha.

Sejarah ekspansi sawit dalam bentuk perkebunan skala besar itu pantas disebut sebagai Era Baru, ditandai dengan kedatangan buruh kontrak yang tidak digaji atau yang dibayar sangat murah. Kebanyakan buruh yang bekerja di perkebunan sawit di Pulau Sumatra itu didatangkan dari pulau Jawa yang memang sudah mulai dilanda ledakan penduduk. Berangkat dari sejarah itu, mesti diakui bahwa pengembang kebun sawitt skala besar memang bersifat eksploitatif dan menindas.

B. Perkebunan Sawit Masa Sukarno (1945-1967)Penghisapan di perkebunan sawit pada masa kolonial tadi, segera terhenti ketika Indonesia merdeka. Masa ini banyak rakyat Indonesia secara spontan menduduki perkebunan sawit eks Belanda dan asing yang ada di sekitar tempat tinggalnya. Puncaknya adalah tahun 1957, ketika Presiden Sukarno menyerukan nasionalisasi seluruh aset perusahaan asing yang ada di Indonesia dan diberikan kepada rakyat, termasuk perusahaan perkebunan sawit. Tak berhenti di situ, kebijakan Pemerintahan Soekarno yang populis dilanjutkan dengan rencana land reform dengan diterbitkannya Undang-Undang Pokok Agraria No 5 tahun 1960, dimana salah satu obyek dari land reform adalah lahan-lahan perkebunan skala besar. Tapi amat disayangkan agenda land reform belum sempat dilakukan, Pemerintahan Soekarno sudah langsung jatuh.

C. Perkebunan Sawit Masa Suharto (1967-1998)Ketika Suharto naik ke tampuk kekuasaan tahun 1966, masalah kepemilikan kebun sawit yang sebelumnya dikelola rakyat kembali digugat. Pada masa ini, perwira-perwira militer aktif banyak menduduki posisi-posisi penting di perusahaan sawit dan mulai bekerja sama dengan pengusaha (lokal maupun asing) memaksa warga yang dulu mengokupasi kebun sawit eks perusahaan asing segera menyerahkan lahan itu kembali kepada pemerintah. Apabila rakyat menolak maka stempel pemberontak (baca: antek-antek Partai Komunis Indonesia) akan segera diberikan. Segala hak pun layak disita meski tanpa pembuktian dari tuduhan yang disematkan tadi.

Merasa diintimidasi dan dipaksa, banyak rakyat yang tergusur dari lahan kelolanya sejak republik ini merdeka sampai jatuhnya Bung Karno. Sebagian kebun yang diambil kembali dari

Page 6: Selengkapnya : “Opini Tata Ruang Di Kebun Sawit”

rakyat itu kemudian diberikan pengelolaannya kepada perusahaan perkebunan milik Negara, sedangkan sebagian lagi dijual kepada pihak asing dengan dasar hukum Undang-Undang tentang Penanaman Modal Asing tahun 1967.

D. Perkebunan Sawit Era Reformasi (1998-sekarang)Satire masih terus terjadi meski Suharto tidak lagi berkuasa di zaman reformasi. Di masa ini, arus investasi swasta nasional maupun asing di sektor perkebunan sawit semakin terbuka lebar. Hal ini disebabkan oleh krisis moneter yang dialami Indonesia cukup akut sehingga membutuhkan suntikan dana segar untuk menggerakkan roda perekonomiannya .

Masuknya modal asing secara besar-besaran diawali dari kebangkrutan perusahaan Salim Grup yang memaksanya mesti menjual 23 anak perusahaan yang bergerak di perkebunan sawit di Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi seluas 256 ribu ha dengan nilai Rp 3 triliun ke perusahaan sawit Malaysia, Sime Darby. Langkah ini kemudian diikuti oleh banyak perusahaan asing dengan cara juga membeli kebun sawit perusahaan-perusahaan swasta nasional yang bangkrut serta mengajukan ijin guna pembukaan kebun sawit baru. Sebut saja misalnya perusahaan asal AS, Cargill, kini memiliki lahan cukup luas di Pulau Sumatra dan Kalimantan. Juga Wilmar International, terdaftar di bursa efek Singapore, yang memiliki kebun sawit cukup luas di Sumatra dan Kalimantan.

Dampak Perluasan Kebun Sawit

Menurut data Sawit Watch, sejak tahun 1998 sampai sekarang, sedikitnya 500-800 ribu ha hutan, lahan gambut dan lahan kelola masyarakat dikonversi menjadi perkebunan sawit. Perluasan kebun sawit dengan alasan pertumbuhan ekonomi, pembukaan lapangan kerja serta pengentasan kemiskinan tentu saja memberikan dampak negative terhadap keberlanjutan sosial dan lingkungan di Indonesia karena tidak direncanakan dan diawasi dengan baik oleh pemerintah.

Kecepatan dan percepatan perluasan kebun sawit yang tak terencana dan terkontrol tadi mengakibatkan dua hal, yaitu:

A. Persoalan Sosial Dampak sosial yang muncul dan paling signifikan akibat perluasan kebun sawit tadi adalah konflik lahan antara perusahaan dengan masyarakat adat/ lokal, petani dan buruh perkebunan

Page 7: Selengkapnya : “Opini Tata Ruang Di Kebun Sawit”

sawit. Tak jarang konflik itu berujung pada kekerasan yang berakibat pada kekerasan, kriminalisasi bahkan kematian.

Di semester pertama tahun 2011 ini saja, Sawit Watch mencatat ada 5 orang meninggal akibat konflik lahan di kebun sawit dan sedikitnya 25 orang masyarakat dikenai tindak pidana. Hingga ujung tahun 2010 lalu total konflik yang terjadi mencapai 663 komunitas di seluruh Indonesia.

Konflik sosial yang terjadi di kebun sawit ini, memunculkan kelompok-kelompok rentan dan persoalan yang melilitnya, yaitu:

1. Masyarakat Adat/ Penduduk Lokal; a. kerap tergusur dari wilayah tinggal dan kelolanya (hutan, rawa gambut dan kebun

pertanian). b. Sebagian kecil dari kelompok ini mendapat kompensasi pergantian tanam-tumbuh di

lahannya, selebihnya tergusur paksa. c. Ini bisa terjadi karena ketiadaan alas hak lahan (sertifikat atau pengakuan tertulis

lainnya) yang dimiliki atas lahan tersebut. d. Dan tentu saja karena ketidakmampuan dan ketidakmauan pemerintah memberikan

pengakuan legal terhadap hak penguasaan dan kelola lahan terhadap masyarakat adat/ lokal.

2. Petani Plasma; a. Penyerahan kebun sawit kemitraan kepada petani tidak tepat waktu/ sesuai janji.

Biasanya petani yang berasal dari masyarakat adat/ lokal dijanjikan akan menjadi mitra perusahaan apabila mau menyerahkan lahannya, dengan pembagian 10 : 2. Artinya bila si penduduk memberikan lahan 10 ha maka dia akan mendapatkan kebun sawit kemitraan 2 ha dalam bentuk hutang yang pembayarannya dicicil berdasarkan hasil panen tandan buah segar dari kebun tadi. Agar bisa mendapatkan lahan dengan cepat, perusahaan membuat perjanjian bahwa konversi kebun sawit ke petani akan diberikan paling lama 4 tahun setelah tanggal penyerahan lahan. Namun realitas yang terjadi, kebun dikonversi ke petani rata-rata setelah 6-7 tahun.

b. Selain itu kwalitas Kebun Plasma yang buruk dan tidak sesuai ukuran, Jumlah utang dan bunga kredit yang dibebankan terlalu tinggi dan tidak transparan,

c. Penyediaan bibit, pupuk, pestisida dan alat-alat kerja lainnya dimonopoli oleh perusahaan induk,

Page 8: Selengkapnya : “Opini Tata Ruang Di Kebun Sawit”

d. Penentuan harga TBS secara sepihak oleh perusahaan induk, e. Contract Farming lewat pola kemitraan antara petani dan perusahaan dalam system

pengelolaan satu manajemen (PSM). Artinya, petani hanya perlu menyerahkan lahan dan proses pengelolaannya kepada perusahaan dan setiap akhir bulan akan mendapatkan uang dari hasil produksi kebunnya.

3. Buruh; a. sebanyak 65% buruh yang bekerja di kebun sawit berstatus buruh harian lepas (BHL)

yang Gaji Rp 24.500 – 27.000 /hari selama 7 jam kerja, maksimal kerja 15 hari dalam sebulan,

b. Tidak ada jaminan/asuransi kesehatan, c. Alat kerja disediakan sendiri, d. Rentan terhadap pelecehan sexual, e. Rentan terhadap keracunanan bahan kimia & kecelakaan kerja.

B.Degradasi Lingkungan Dampak negatif ekspansi perkebunan sawit terhadap keberlanjutan lingkungan sering dituduhkan banyak pihak secara global terhadap Indonesia melakukan:

1. Deforestasi:a. Setiap tahun sejak 1998, Sawit Watch mencatat ada konversi wilayah hutan dan

gambut (areal konservasi) seluas 400 ribu.b. Konversi hutan dan gambut itu sering dilakukan dengan cara membakar yang

menyebabkan kabut asap, terutama di Riau dan Kalimantan Tengah.c. Hilangnya keanekaragamanhayati: Hingga 2007, ada beberapa jenis spesis flora dan

fauna yang telah punah. Misalnya saja: terdapat 140 jenis burung, 63 jenis mamalia, dan 21 jenis reptile yang telah punah. Selain itu, Badak Sumatra hingga tahun 2007

Page 9: Selengkapnya : “Opini Tata Ruang Di Kebun Sawit”

hanya tersisa 300 ekor. Sedangkan badak Jawa kurang dari 60 ekor. Gajah Sumatra diperkirakan hanya tersisa 2400-2800, sedangkan gajah Kalimantan 60-100 ekor saja. Diperkirakan dalam 15 tahun ke depan bila tidak diperhatikan dengan baik, maka 35% dari jumlah gajah tadi akan punah. Bila keadaan seperti ini masih terus berlanjut, dipastikan dalam 30 tahun ke depan gajah sudah tidak akan ada lagi di Indonesia. Tingkat kepunahan orang utan diperkirakan 1-1.5 % per tahun di Sumatra. Dan 1.5-2.0% per tahun di Kalimantan. Saat ini jumlah orang utan di Sumatra sebanyak 6,667 dan di Kalimantan terdapat 54,567. Di Kalimantang Tengah terdapat 1.500 ekor orang utan mati di daerah kebun sawit tahun 2006 lalu. (Bambang H.S, 2009).

d. Bencana banjir dan tanah longsor setiap tahun akibat konversi wilayah konservasi menjadi perkebunan sawit, terutama di Pulau Sumatra dan Kalimantan.

2. Degradasi Sumberdaya AirDaerah tangkapan dan pinggiran sungai juga dikonversi jadi kebun sawit akibatnya saat musim hujan serung terjadi banjir dan saat musim kemarau sering terjadi kekeringan. Pencemaran air sungai oleh limbah dan bahan-bahan kimia perkebun sawit. Juga 45o sumber air utama saat ini sedang dalam keadaan kritis. Dan 60 sungai sebagai sumber air masyarakat mesti segera direhabilitasi. Di Kalimantan Tengah setidaknya 6 sumber air masyarakat rusak permanen akibat perkebunan sawit (sajarwan, 2008). Penguasaan sumber daya air yang terdapat di perkebunan oleh perusahaan bisa mencapai 95 tahun (usia HGU berdasarkan UU PenanamanModal no 25 tahun 2007)

3. Kesuburan Lahan; penurunan tingkat kesuburan tanah akibat penggunaan bahan-bahan kimia perkebunan seperti pupuk, pestisida dan herbisida.

Page 10: Selengkapnya : “Opini Tata Ruang Di Kebun Sawit”

Tabel Penggunan dan Jumlah Bahan-Bahan Kimia Beracun di Kebun Sawit

C.Pemanasan Global Akibat konversi hutan dan lahan gambut serta pembakaran terhadapnya, juga penggunaan zat-zar kimia beracun serta penggunaan bahan bakar fosil untuk transportasi dan pabrik di kebun sawit, menjadikan sektor ini diangap memberikan sumbangan signifikan terhadap perubahan iklim dan pemanasan global.

Teori perubahan iklim dan pemanasan global menyebutkan bahwa energi dari matahari dalam bentuk panas dan cahaya yang terus-menerus menyinari bumi. Biasanya panas dan cahaya tadi dikembalikan ke angkasa, tetapi sebagian lain terperangkap oleh molekul-molekul gas rumah kaca (GRK), seperti Karbon dioksida (CO2), Methana (CH4), Nitrogen Oksida (N2O), Hydrofluorocarbons(HFCS), Perfluorocarbons(PFCs) dan Sulphur hexafluoride(SF6). Gas rumah kaca ini terdapat dan menempel di lapisan atmosfer bumi. Sebenarnya dalam jumlah normal, molekul gas rumah kaca itu berfungsi untuk menyelimuti bumi agar suhu tetap hangat sehingga bisa dihuni manusia.

Namun sejak revolusi industri yang menghasilkan perkembangan pesat teknologi mekanikal, disebutkan suhu bumi mengalami peningkatan rata-rata meningkat 0,74% derajat celscius per tahun. Selain karena proses alam, peningkatan suhu bumi tadi sangat dipengaruhi oleh aktifitas manusia. Terutama dari penggunaan bahan bakar fosil (misalnya minyak bumi dan batubara) juga akibat penebangan hutan dan konversi lahan untuk perkebunan dan pertambangan skala besar.

Sebelum revolusi industri, kandungan CO2 dan GRK lain diatmosfer mencapai 280 ppm (part per million), namun kini telah meningkat pesat menjadi 380 ppm. Diperkirakan dari aktifitas

Page 11: Selengkapnya : “Opini Tata Ruang Di Kebun Sawit”

manusia saat ini (eksplorasi tambang, membuka hutan jadi perkebunan skala besar dll) pada 2050 tingkat emisi karbon diperkirakan mencapai 750 ppm (part per million)

Masih berdasarkan penelitian ahli iklim, dikatakan pemanasan global dan perubahan iklim non alam disebabkan oleh dua hal yaitu: Emisi Energi dan Emisi Non energi (lihat slide di bawah ini)

.

Tabel Pelepasan Gas Rumah Kaca di Perkebunan Sawit

Emisi terbesar dari sektor non energi terjadi karena penggunaan lahan, perubahan peruntukan lahan, hutan atau sering disebut dengan LULUCF (landuse, landuse change, forestry). Berdasarkan hitungan di atas, Indonesia dikategorikan sebagai penyumbang emisi terbesar terhadap perubahan iklim dan pemanasan global karena sangat massif mengonversi lahan dan hutannya, menjadi perkebunan sawit skala besar (lihat slide urutan Negara penyumbang emisi dunia berdasarkan LULUCF di bawah ini)

Sumber Konflik: Benturan Kepentingan Penguasaan dan Pengelolaan Keruangan

Apabila dirunut secara teliti, ada 3 penyebab konflik ruang di Indonesia, yaitu:

1. Ketiadaan peta Rencana Tata Ruang Wilayah secara berjenjang dan lengkap, terperbaharui serta mengikat secara hukum dari tingkat kabupaten hingga nasional untuk dijadikan acuan pembangunan.

Energi terkait lainnya 5%

Transportasi 14%

Pembangkit listrik 24%

Industri 14%Perubahan Lahan 18%

Pertanian 14%

Sampah 3%

Gedung/bangunan 8%

Emisi non-energi Emisi energi

emisi total tahun 2000 = 42GtCO2e

sumber: slide Stern

(1) Indonesia, 699.5MtC, 35%

(2) Brazil19%

(3) Malaysia10%

(5) Congo, DR 4%

(4) Myanmar6%

(6) Zambia3%

(7) Nigeria3%

(10) Venezuela2%

(9) PNG2%

(8) Peru3%

(13) Mexico1%

(12) Colombia1%

(11) Nepal2%

Page 12: Selengkapnya : “Opini Tata Ruang Di Kebun Sawit”

2. Benturan kepentingan internal pemerintah yang bersifat sektoral dan berjenjang untuk menguasai ruang demi kepentingan politik dan ekonomi tiap-tiap sektor dan tingkatan tadi.

Sedangkan bila dihitung emisi gabungan (Emisi Energi dan Emisi Non Energi) yang dilakukan oleh para ahli, disebutkan Indonesia menghasilkan 3,014 miliar ton emisi GRK dari sektor energi, pertanian dan sampah sebesar 451 juta ton. Sementara emisi dari hutan (konversi hutan menjadi perkebunan skala besar, misalnya perkebunan kelapa sawit) dan perubahan fungsi lahan (seperti pembukaan lahan gambut) diperkirakan mencapai 2,563 miliar ton. Akibatnya Indonesia pun diletakkan pada nomor urut ke-3 sebagai negeri emiter terbesar di dunia setelah China (6,005 miliar ton) dan Amerika Serikat (5,017 miliar ton)

Ekspansi perkebunan sawit dalam jumlah besar yang tanpa perencanaan dan pengawasan itu, berakibat pada munculnya persoalan sosial, degradasi lingkungan dan penyebab perubahan iklim dan pemanasan global. Bisnis sawit Indonesia pun dalam sorotan tajam dengan semua cap buruknya.

Moratorium Hutan dan Gambut Langkah Momen Pembenahan

Setelah dihantam banyak pihak terkait persoalan sosial, lingkungan dan pemanasan global yang muncul akibat penggunaan lahan, perubahan peruntukan lahan, hutan, pemerintah Indonesia pun mulai merespons tuntutan tadi dengan melakukan perbaikan terkait tuduhan tadi. Khusus di sektor sawit, tekanan banyak pihak terhadap pengelolaan kebun yang amburadul bahkan sampai mendapatkan sanksi berupa pemutusan kontrak oleh pembelinya.

Menghadapi semua tekanan itu, Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhono (SBY), pada tahun 2009 di Pittsburg, Amerika Serikat, mengumumkan komitmen Indonesia menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 26%. Bila mendapat dukungan dari negara-negara lain, angka penurunan tadi masih bisa ditingkatkan hingga 41%.

Demi mewujudkan tekad itu, pemerintahan SBY membuat serangkaian kebijakan dan program pengurangan emisi. Setidaknya ada satu hal yang dijanjikan pasca pernyataan komitmen tersebukat, yaitu: rencana penerbitan Instruksi Presiden (Inpres) tentang moratorium pembukaan hutan dan gambut selama dua tahun.

Merasa komitmen pemerintah Indonesia benar-benar akan dilakukan, pemerintah Norwegia sepakat mendukung komitmen penurunan emisi tersebut dengan memberikan bantuan uang sebesar satu miliar dolar berdasarkan prinsip pay-for-perfomance. Pada bulan Mei 2010, pemerintah kedua negara sepakat menandatangani Letter of Intent (LoI) terkait penurunan emisi Indonesia dari penggunaan lahan, perubahan peruntukan lahan, hutan.

Setahun pasca penandatanganan LoI, Presiden SBY menerbitkan Inpres No.10 Tahun 2011 tentang Moratorium (Penundaan) Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut, pada bulan Mei 2011. Dalam instruksi itu disebutkan soal moratorium izin baru konsesi hutan primer dan lahan gambut selama dua tahun, kecuali di sektor

(1) Indonesia, 699.5MtC, 35%

(2) Brazil19%

(3) Malaysia10%

(5) Congo, DR 4%

(4) Myanmar6%

(6) Zambia3%

(7) Nigeria3%

(10) Venezuela2%

(9) PNG2%

(8) Peru3%

(13) Mexico1%

(12) Colombia1%

(11) Nepal2%

Page 13: Selengkapnya : “Opini Tata Ruang Di Kebun Sawit”

minyak dan gas, geothermal, padi dan tebu. Juga disebutkan, terbitnya satu peta indikatif hutan Indonesia.

Dengan penghentian sementara perizinan selama itu, banyak ahli memperkirakan Indonesia setidaknya menyelamatkan 64 juta ha sisa hutannya. Selain itu banyak pihak juga optimis bahwa dalam kurun waktu 2 tahun, pemerintah akan memiliki waktu yang cukup untuk memperbaiki sistem pengelolaan hutan.

Secara implisit Instruksi Presiden itu jelas mensyaratkan penghentian ekspansi perkebunan kelapa sawit selama dua tahun. Merasa dirugikan, Inpres tersebut langsung diprotes Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI). Bagi penulis, moratorium ini merupakan awal positif dan harus dijadikan moment bagi perbaikan mekanisme dan manajemen perkebunan sawit. Juga merupakan waktu yang tepat bagi penegakan hukum terkait penyelanggaraan perkebunan sawit.

Solusi Sawit Bermula dari Penataan Ruang, Saat-saat ini adalah momen yang tepat untuk membenahi persoalan sosial dan lingkungan juga pemanasan global di perkebunan sawit. Dalam segala kekurangannya, Inpres No.10 Tahun 2011 tentang Moratorium (Penundaan) Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut yang baru saja ditandatangani Presiden SBY, sepatutnya diikuti oleh:

1.Pelaksanaan UU No.27 Tahun 2007 tentang Penataan RuangKarena dianggap memiliki banyak kelemahan, UU No. 24 Tahun 1992, direvisi untuk lebih lengkap dan tajam termasuk memuat sanksi bagi para pihak yang melanggar peraturan hukum tersebut. Di dalam UU No. 27 Tahun 2007 itu disebutkan beberapa hal pokok soal perencanaan dan pengaturan wilayah demi penentuan arah pembangunan Indonesia yang memperhatikan pertambahan penduduk dan daya dukung alam. Salah satu bagian penting yang tertulis dalam UU tersebut adalah penyediaan ruang konservasi (lindung) di setiap wilayah yang besarannya mencapai 30% dari luas suatu kawasan itu. Artinya harus segera dibuat rencana tata ruang wilayah secara nasional sebagai rencana induk (master plan). UU inilah yang seharusnya menjadi UU payung bagi penyelesaian semua konflik keruangan dan juga dasar dari pembangunan berkelanjutan di Indonesia.

Apabila rencana tata ruang wilayah nasional ini tidak segara dibuat, bisa dipastikan di masa depan akan terjadi banyak benturan yang berujun pada konflik menahun, berupa:

a.Pertumbuhan penduduk vs Ketersediaan Pangan.Tingkat kelahiran yang masih tergolong tinggi dan faktor migrasi penduduk dari wilayah lain ke suatu wilayah tertentu dipastikan akan menyebabkanketidakseimbangan ketersediaan pangan dan kebutuhan orang yang mengonsumsinya.

b.Pengangguran vs lapangan pekerjaan.Tingkat pengangguran yang semakin meningkat sepanjang tahun 2008 akibat krisis global membuat banyak tenaga kerja kembali ke kampung asal mengadu nasib dengan

Page 14: Selengkapnya : “Opini Tata Ruang Di Kebun Sawit”

bertani/kebun sekedarnya. Kepulangan para pekerja ini diyakini memunculkan benturan, baik dengan perusahaan atau dengan pengelola kawasan konservasi, karena kelompok buruh ini juga membutuhkan lahan garapan setelah terkenan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja).

c. Pemenuhan kebutuhan dasar vs krisis air dan energy.Penyempitan areal pertanian akibat konversi lahan menjadi perkebunan monokultur skala besar menyebabkan sumber Air untuk kebutuhan hidup rumah tangga dan energy mengalami penurunan kualitas dan kuantitas.

d.Kebutuhan lahan antara masyarakat vs dunia usaha.Kebijakan pemerintah yang terus memacu pertumbuhan ekonomi makro dengan memberikan kemudahan-kemudahan bagi dunia bisnis untuk berinvestasi menyebabkan sebagian besar lahan-lahan produktif dikuasai dunia bisnis (Perkebunan, HTI, Migas).

e. Perambahan besar-besaran terhadap kawasan konservasi atau lindung Dampak langsung penyempitan lahan kelola masyarakat menyebabkan kawasan-kawasan konservasi atau lindung menjadi terancam karena menjadi sasaran ekspansi pertanian/perkebunan masyarakat juga dunia industry. Selain konflik antar manusia, konflik dengan satwa juga semakin tinggi dan rentan terhadap bencana alam.

Menurut hemat penulis, untuk mengantisipasi potensi konflik besar di atas, setidaknya ada beberapa kementerian yang mesti duduk bersama membangun sinegisitas dalam pembuatan tata ruang wilayah nasional tersebut. Tentu saja dibutuhkan niat, kerja keras dan yang kuat antar dan inter kementerian tadi dalam pembuatan tata ruang nasional.

Sampai saat ini masih terdapat pekerjaan rumah yang berat untuk menyatupadukan antar dan inter kementerian di negara ini. (Lihat Tabel di Bawah ini)

Tabel Konflik Internal Pemerintah dalam Penataan Ruang (Koordinator P4W-IPB, Dr. Ernan Rustiadi)

Kelompok Kepentingan (Instansi Pemerintah)

UU / PP Yang digunakan

KepentinganObjektif / Umum Subjektif

Kehutanan UU 41/1999PP 10/2010

Pelestarian Hutan Kewenangan eksklusif pengelolaan Kawasan Hutan

Kemen PU UU 26/2007PP 26/2008PP 15/2010

Koordinasi Penataan Ruang

Kemudahan pengembangan infrastrukutur jalan (tol)

BPN UU 5/1960PP 11/2010

Reforma Agraria Mempertahankan Kewenangan terpusat hak guna tanah

Page 15: Selengkapnya : “Opini Tata Ruang Di Kebun Sawit”

Bappenas UU 25/2004 Koordinasi Sist Perenc Nasional

Superioritas kebijakan sistem perencanaan nasional, termasuk yg berdimensi spasial

PEMDA UU 32/2004 Pembangunan Daerah

Otonomi lebih luas tata kelola SDA daerah

Meningkatkan PADKLH UU 32/2009 Pembangunan

Berwawasan Lingkungan

Kewenangan perencanaan & pengendalian yang lebih luas dalam pengel SDA, Lingkungan & wilayah

Pertanian UU 41/2009 Ketahanan Pangan Mencegah alih fungsi lahan sawah

perlindungan usaha agribisnis (perkebunan)

ESDM Pembangunan Energi & SD devisa Nasional

Akses penambangan di kawasan lindung

Hak eksklusif kawasan tambang

Khusus di sektor perkebunan sawit, penulis sangat berkeyakinan bahwa pembuatan dan penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional yang dimulai dari tingkat wilayah dan pemerintahan terendah sampai tertinggi, terutama bupati, akan membuat aparat pemerintah (khususnya yang berkordinasi dibawah kementerian dalam negeri) akan lebih berhati-hati dalam memberikan ijin lokasi kepada dunia usaha di wilayah kekuasaannya. Apabila yang bersangkutan melakukan pelanggaran terhadap tata ruang tersebut, maka dia bisa dikenakan sanksi pidana dan perdata. (lihat tabel perijinan di bawah ini yang membuat sektor sawit ekspansi secara kebablasan)

Page 16: Selengkapnya : “Opini Tata Ruang Di Kebun Sawit”

Selama ini ketiadaan peta tata ruang Kabupaten, Provinsi dan Nasional menyebabkan mutu, cara pemanfaatan dan pengendalian ruang yang tersambung dengan daya dukung keruangan itu sendiri membuat pola pembangunan dan pengelolaan negeri ini karut-marut. Selain itu, benturan kepentingan sektoral di internal pemerintah menyebabkan kaburnya substansi pengendalian pembangunan. Juga tak terselesaikannya berbagai masalah- masalah yang di seputar keruangan.

Setelah menyelesaikan pembuatan perencanaan tata ruang wilayah nasional di atas, tugas lanjutan bagi pemerintah adalah segera membuat peraturan teknis terkait pelaksanaan dan pengawasan jalannya UU tersebut, sebagaimana yang telah diamanatkannya. Hall ini sangat penting dan mendesak demi menghindari multitafsir dan kebingungan di masyarakat soal hak dan kewajibaan berkenaan dengan penataan ruang.

Penerapan Kajian Lingkungan Hidup StrategisSetelah membuat dan melakukan sinergisitas terkait Penataan Ruang, hal strategis yang harus segera dilakukan pemerintah adalah menerapkan pelaksanaan UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. UU baru ini dinilai banyak pihak sudah cukup lengkap dengan segala prasyarat lingkungan terhadap model pembangunan dan pengembangan atas satu kawasan berikut sanksi hukumnya dan partisipatif disbanding peraturan hukum yang telah dinyatakan tidak berlaku yaitu UU no. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Di pengantar UU No. 32 Tahun 2009 ini disebutkan bahwa hal yang dipertimbangkan sehingga peraturan hukum ini mesti segera diimplementasikan adalah:

Page 17: Selengkapnya : “Opini Tata Ruang Di Kebun Sawit”

Lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap warga Negara Indonesia

Pembangunan ekonomi nasional diselenggarakan berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan;

Semangat otonomi daerah telah membawa perubahan hubungan dan kewenangan antara Pemerintah dan pemerintah daerah, termasuk di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;

kualitas lingkungan hidup yang semakin menurun telah mengancam kelangsungan perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya sehingga perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang sungguhsungguh dan konsisten oleh semua pemangku kepentingan;

Pemanasan global yang semakin meningkat mengakibatkan perubahan iklim sehingga memperparah penurunan kualitas lingkungan hidup karena itu perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;

agar lebih menjamin kepastian hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari perlindungan terhadap keseluruhan ekosistem,

demi pencapaian banyak hal di atas, UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup jelas-jelas mensyaratkan dilakukan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang sangat mendukung dan bertalian erat dengan UU No.27 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

Hal itu dapat dilihat dari bunyi pasal 15 ayat 1 UU No.32 Tahun 2009 yang berisi:

“Pemerintah dan pemerintah daerah wajib membuat KLHS untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program”

Sementara itu disebutkan (pasal 16 UU No. 32 tahun 2009) KLHS mensyaratkan beberapa kajian yang harus dilakukan:

a. kapasitas daya dukung dan daya tamping lingkungan hidup untuk pembangunan;b. perkiraan mengenai dampak dan risiko lingkungan hidup;c. kinerja layanan/jasa ekosistem;d. efisiensi pemanfaatan sumber daya alam;e. tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim; danf. tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati.

KLHS untuk perkebunan sawit sendiri, sebenarnya sudah digagas dan direkomendasikan oleh beberapa kementerian terkait yang dikoordinasikan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional kepada kementerian pertanian. Secara kebetulan penulis juga terlibat secara aktif dalam pembuatan KLHS Perkebunan Sawit sejak Agustus 2010 sampai Januari 2011.

Proses pembuatan KLHS Perkebunan Sawit diawali dengan membahas isu-isu kunci di perkebunan sawit dan merekomendasikan hal-hal penting, diantaranya:

Page 18: Selengkapnya : “Opini Tata Ruang Di Kebun Sawit”

1. Kawasan Hutan: a. Percepatan penyelesaian Perda RTRW semua tingkatanb. Mempercepat sertifikasi lahan perkebunan rakyatb.Percepatan penentuan kawasan hutan dan padu serasi antara TGHK (tata guna hutan kesepakatan) dengan RTRW semua tingkatan

2. Kebijakan Penerapan Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan:a. pengakuan dan perlindungan terhadap areal bernilai konservasi tinggi.b. Kebijakan pengawasan dan implementasi GAP (good agriculture practice)c. perundangan tata ruang, kehutanan, dan lingkungan hidup

3. Perkebunan Kelapa Sawit dalam bingkai pembangunan berkelanjutan: a. Memanfaatkan lahan-lahan marginal/terlantar yang telah disepakati dan disahkan oleh

peraturan hukumb. Menyusun RTRW dan pemanfaatan lahan sesuai RTRWc. Penyelesaian Sosialisasi tata batas lahand. Analisis mengenai dampak lingkungan dan sertifikat AMDAL.

Penutup

Dari uraian panjang soal perkebunan kelapa sawit sampai rekomendasi KLHS di atas, didapati bahwa akar persoalan sekaligus solusi dari pelbagai persoalan yang muncul di perkebunan sawit adalah penataan ruang secara nasional yang mempertimbangkan pertumbuhan penduduk dan daya dukung alam. Tentu saja demi keberlanjutan sosial dan lingkungan.

Daftar Pusaka:

Marcus Colchester, Norman Jiwan, Andiko, Martua Sirait, Asep Yunan Firdaus, A. Surambo, Herbert Pane, 2006, Tanah Terjanji, Sawit Watch, World Agroforestry Center, HuMa, Forest People Programme.

Serge Marty, 2009, Hilangnya Tempat Berpijak, Sawit Watch, Life Mosaic, Friend of The Eart EWNI.

Norman Jiwan, Ahmad Surambo, Jefri G Saragih, Editor: Prof. Bambang Hero Sahardjo, Pembangunan Kebun Kelapa Sawit Berbasis Gas Rumah Kaca: Tinjauan Kritis, 2009, Sawit Watch.

Marcus Colchester, Patrick Anderson, Norman Jiwan, Andiko and Su Mei Toh, 2009, HCV and the RSPO: report of an independent investigation into the effectiveness of the application of High Conservation Value zoning in palm oil development in Indonesia. Forest Peoples Programme, HuMA, SawitWatch and Wils Asia, Moreton-in-Marsh.

Milieudefensie, Lembaga Gemawan and KONTAK Rakyat Borneo, 2007, Policy, Practice, Pride and Prejudice: review of legal, environmental and social practices of oil palm plantation companies of the Wilmar Group in Sambas District, West Kalimantan (Indonesia), Milieudefensie (Friends of the Earth Netherlands), Amsterdam.

Forest People Programme with Profundo, HSBC and the Palm Oil Sector in South East Asia: towards accountability, 2008, Forest People Programme with Profundo

Page 19: Selengkapnya : “Opini Tata Ruang Di Kebun Sawit”

Factsheet RSPO November 2004

Undang Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, 2007, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia

Undang Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, 2009, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia

Dokumen Kajian Lingkungan Hidup Strategis, 2010, Bapenas

Presentasi Ahmad Zazali, 2009, Scale Up

Presentasi Fitriansyah, 2007, WWF Indonesia

Dokumen Seminar Pembangunan Ekonomi Rendah Emisi: Mau Kemana?, 2011, Kemitraan dan Yayasan Perspektif Baru

Buletin Tandan Sawit Edisi 1 – 4 Tahun 2010, 2010, Perkumpulan Sawit Watch

Perlbagai Artikel Soal Perkebunan Sawit yang dimuat di website Sawit Watch, 2011, www.sawitwatch.or.id

Dokumen Seminar International Conference on Forest Tenure, Governance and Enterprise: Experience and Opportunity for Asia in a Changing Context, 2011, ITTO, Kemenhut, Right Resources