Upload
duongnguyet
View
216
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
183
JEMBER MENGGAGAS KOTA RAMAH KAUM DIFABEL (STUDI ANALISIS
PERDA DIFABEL DIKOTA JEMBER)
Ana Laela Fatikhatul Choiriyah, Ken Ismi Rozana dan M. Khoirul Hadi al-Asy
ari1
E-mail: [email protected]
Abtract
This stigma against people with disibilities occupy a subordinate position
compared with people who look perfect physically. The cornerstone of
society contain potentially that restrict social inequality (Limitation) or
revocation (deregation) against people with disabilities. The research raises
the concept Jember disabled people friendly city initiated basing on people
with disabilities Jember Regulation wich was inaugurated on December 3,
2016. The concept of initiating Jember disabled people friendly cities in
terms of methods of content analysis. In terms of femonologis to read
Jember Regional Government’s efforts in bringing disabled people friendly
city. There are three question in this research: First, how the concept of
Jember city initiated the disabled people friendly. Second, how to draft
legislation disabled people in the city of Jember. Third, how the
implementation of regulation disabled people in the town of Jember. By
using the method of content analysis and femenologis as a method to look at
the implementation of the Regulation with disabilities in the city of Jember.
The results of this study are: First, the concept of Jember initiated the
disabled friendly city. Second, the concept of regulation with disabilities in
the town of Jember. Third, the implementation of the Regulation with
Disabilities in the City of Jember in Jember efforts towards disabled
friendly city.
Keywords: disibilities, friendly city
PENDAHULUAN
Penyandang disabilitas merupakan kelompok masyarakat yang beragam,
diantaranya penyandang disabilitas yang mengalami disabilitas fisik, disabilitas mental
maupun gabungan dari disabilitas fisik dan mental. Istilah penyandang disabilitas pun
sangat beragam. Kementerian Sosial menyebut penyandang disabilitas sebagai
penyandang cacat, Kementerian Pendidikan Nasional menyebut dengan istilah
berkebutuhan khusus, sedangkan Kementerian Kesehatan menyebut dengan istilah
Penderita cacat.
Secara yuridis pengertian penyandang cacat diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-
Undang Penyandang Cacat sebagai berikut: Setiap orang yang mempunyai kelainan
fisik dan/atau mental, yang dapat menganggu atau merupakan rintangan dan hambatan
1 Penulis adalah Dosen dan Mahasiswa Fakultas Syariah IAIN Jember
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
184
baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya, yang terdiri dari: Penyandang
cacat fisik, penyandang cacat mental dan Penyandang cacat fisik dan mental.
Pengertian ini sama dengan pengertian yang tercantun dalam Pasal 1 ayat (1)
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1998 tentang Upaya
Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat. Pengertian lain tentang disabilitas
yang dikemukakan oleh WHO yaitu salah satu badan PBB yang bertindak sebagai
koordinator kesehatan umum internasional mendefinisikan disabilitas sebagai “A
restriction or inbility to perfom an activity in the mannar or within the range considered
normal for a human being. Mosty resulting from impairment”2 dengan definisi tersebut
dengan jelas WHO menyatakan bahwa disabilitas merupakan pembatasan atau
ketidakmampuan untuk melakukan suatu kegiatan dengan cara yang atau dalam rentang
dianggap normal bagimanusia, sebagaian besar akibat penuruan kemampuan.
Data statistik yang dihimpun oleh WHO bahwa penyandang disabilitas berkisar
antara 15% dari total populasi penduduk dunia di indonesia, penyandang disabilitas,
diperkirakan mencapai 36. 150.000 orang atau sekitar 15% dari total penduduk
indonesia tahun 2011 yang penduduknya mencapai 241 juta jiwa sebelumnya menurut
riset pada tahun 2004 penyandang disabilitas di indonesia diperkirakan sebanyak 1.
480.000 dengan rincian sebagai berikut : penyandang tunadaksa berjumlah 162.800
orang (11%) tunanetra 192.400 (13%) tuna rungu 503.200 (34%), mental dan
intelektual 348.800 (26%), dan orang yang pernah mengalami penyakit kronis (kusta
dan tuberklosis) 236.800 (16%). Jumlah riset ini diperkirakan jumlah penyandang
disabilitas baik tinggal dengan keluarga ataupun masyarakat dan termasuk penyndang
disabilitas yang tinggal di panti asuhan.3
Menurut Convention On the Rights of Person with Dsabilities (konvensi mengenai
Hak-hak penyandang Disabilities )yag telah disahkan oleh Undang-Undang Nomor 19
Tahun, Mengatur tentang hak bagi penyandang disabilitas diantaranya hak untuk hidup,
perlindungan dalam situasi yang penuh resiko dan darurat. Pengakuan yang setara di
depan hukum, hak untuk bebas dan aman, bebas dari rasa sakit dan perlakuan yang
kejam, bebas dari eksploitasi, kekerasan dan pelecehan, penghormatan terhadap privasi,
2Eko Riyadi, at.al, (2012), Vulnerable Groups: Kajian dan Mekanisme Perlindungannya, Yogyakarta:
PUSHAM UII, hlm.293.
3Nicola Golbran, (2010), Akses terhadap Keadilan Penyandang Disabilitas Indonesia : Kajian Latar
Belakang Indonesia: Australia AID, hlm.29
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
185
bebas untuk hidup mandiri, hak untuk mengakses mobilitas personal, akses informasi,
penghormatan untuk memiliki rumah dan keluarga, berpartisipasi dalam kehidupan
publik dan politik, kebebasab berekspresi, serta hak hak ekonomi, sosial dan budaya
lainnya seperti hak atas pendidikan, kesehatan, rehabilitas dan habilitasi dan hak atas
pekerjaan.
Kabupaten Jember merupukan kabupaten yang mulai menerbitkan peraturan daerah
tentang perlindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas yaitu dengan
diterbitkannya Peraturan Daerah Nomor 7 tahun 2016 dalam Perda tersebut pemerintah
daerah dan pemerintah kabupaten berkewajiban memfasilitasi penyandang desabilitas
untuk memperoleh pendidikan, pelayanan publik, kesehatan dan ketenaga kerjaan.
Secara yuridis pengertian penyandang cacat diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-
Undang Penyandang Cacat sebagai berikut:
“Setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat
menganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk
melakukan kegiatan secara selayaknya, yang terdiri dari: Penyandang
cacat fisik, penyandang cacat mental dan Penyandang cacat fisik dan
mental.”
Pengertian ini sama dengan pengertian yang tercantun dalam Pasal 1 ayat (1)
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1998 tentang Upaya
Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat. Pengertian lain tentang disabilitas
yang dikemukakan oleh WHO yaitu salah satu badan PBB yang bertindak sebagai
koordinator kesehatan umum internasional mendefinisikan disabilitas sebagai “A
restriction or inbility to perfom an activity in the mannar or within the range considered
normal for a human being. Mosty resulting from impairment”4 dengan definisi tersebut
dengan jelas WHO menyatakan bahwa disabilitas merupakan pembatasan atau
ketidakmampuan untuk melakukan suatu kegiatan dengan cara yang atau dalam rentang
dianggap normal bagi manusia, sebagian besar akibat penuruan kemampuan.
Dalam penyusunan setiap karya tulis ilmiah, studi pustaka sangatlah penting
dilakukan untuk membuktikan orisinalitas bahwa terkait pembahasan Jember
menggagas kota ramah kaum difabel studi Perda difabel di kota Jember ini belum
pernah diteliti atau dibahas. Penyusun telah melakukan prapenelitian terhadap karya
ilmiah yang memiliki korelasi tema yang sama namun beberapa karya tulis tersebut
4 Ibid, 293.
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
186
memiliki perbedaan pembahasan. Beberapa karya tulis ilmiah tersebut diantaranya
adalah:
Skripsi dengan judul “Proses Adaptasi Sosial Siswa Disabilitas dengan Siswa
Nondisabilitas di Sekolah Inklusi (Studi Kasus pada Siswa Tunanetra di SMP Inklusi
Taman Pendidikan dan Asuhan Kabupaten Jember)” yang ditulis oleh Amiroh Muntaz
pada tahun 2015, pada penelitian ini penulis membahas mengenai proses adaptasi siswa
penyandang disabilitas terhadap kondisi sosial di sekitarnya dalam lingkup sekolah
Inklusi Taman Pendidikan dan Asuhan Kabupaten Jember. Ditinjau dari datanya
pendekatan penelitian yang digunakan adalah Kualitatif dan jenis pendekatanya
merupakan penelitian studi kasus.5
Skripsi dengan judul “Kebijakan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta dalam
Upaya Meningkatkan Pemenuhan Hak Pendidikan Penyandang Disabilitas menururt
PERDA DIY Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak
Penyandang Disablitas” yang ditulis oleh Nuzulul Hidayah pada tahun 2015, dalam
penelitian ini peneliti lebih fokus membahas kesesuaian kebijakan pendidikan bagi
penyandang disabilitas dikaitkan dengan perda DIY nomor 4 tahun 2012 dan peraturan
perundang-undangan lainnya. Jenis penelitian yang dipakai merupakan penelitian
lapangan dan bersifat deskriptif kualitatif.6
Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data
dengan tujuan dan kegunaan tertentu pertama, Jenis penelitian ini merupakan sebuah
penelitian lapangan yang berfugsi untuk memperoleh data langsung dari lapangan,
bersifat deskriptif kualitatif yaitu penelitian yang bertujuan untuk menerangkan
fenomena sosial atau peristiwa.7 Kedua, Pendekatan penelitian Pendekatan yang
digunakan didalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis-empiris. Pendekatan yuridis
yang dimaksud dalam penelitian guna melihat peraturan Daerah Kabupaten Jember
Nomor 7 tahun 2016. Sedangkan pendekatan empiris guna melihat bagaimana hukum di
dalam undang-undang yang diterapkan dalam kehidupan masyarakat dalam hal ini
5Amirah Muntaj, (2015), Proses Adaptasi Sosial Siswa Disabilitas Dengan Siswa Non Disabilitas
Disekolah Inklusi (Studi Kasus Pada Siswa Tunanetra Di Smp Inklusi Taman Pendidikan Dan Asuhan
Kabupaten Jember), Jember: Skripsi Universitas Jember.
6Nuzulul Hidayah, (2015), “Kebijakan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Upaya
Meningkatkan Pemenuhan Hak Pendidikan Penyandang Disabilitas menururt PERDA DIY Nomor 4
Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disablitas, Yogyakarta:
Skripsi UIN Sunan Kalijaga,
7Sugiyono, (2009), Metode Penelitian kulitatif kuantitatif dan R&D, Bandung: Alfabeta, hlm.2
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
187
ditinjau menggunakan Perda Kabupaten Jember tentang perlindungan dan pemenuhan
hak-hak penyandang disabilitas. Ketiga, Lokasi penelitian Lokasi penelitian dilakukan
di Dinas Pendudukan dan Catatan Sipil, Rumah Sakit Bina Sehat, Kantor Kecamatan
Ambulu. Keempat, Teknik pengumpulan data Teknik pengumpulan data adalah
prosedur yang sitematis dan standar untuk memperoleh data yang diperlukan. Selalu ada
hubungan antara metode mengumpulan data dengan masalah penelitian yang ingin
dipecahkan masalah memberi arahan dan mempengaruhi metode pengumpulan data.
Banyak masalah yang dirumuskan tidak bisa dipecahkan karena metode untuk
memperoleh data yang digunakan tidak memungkinkan, ataupun metode yang ada tidak
dapat menghasilkan data seperti yang diinginkan.8 Observasi dilakukan pertama kali
sebelum melakukan penelitian yaitu di Dinas Pendudukan dan Catatan Sipil.
Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara
tanya jawab, sambil bertatap muka antara pewawancara (interview) sebagai pengaju
atau pemberi pertanyaan dengan yang diwawancarai atau nara sumber (interviewe).9
Dokumentasi merupakan langkah terakhir untuk mencari data berupa peraturan
perundang-undangan, laporan penelitian, buku-buku terkait disabilitas, catatan serta
dokumen lainnya yang berkaitan dengn penelitian ini ataupun beberapa hasil
dokumentasi atau gambar yang berhasil peneliti dapatkan.
- Metode analisis data
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan
metode analisis kualitatif, yakni data yang telah diperoleh dari hasil penelitian
dipilih dan diseleksi berdasar kualitas dan kebenarannya sesuai dengan
relevansinya terhadap materi penelitian. Dan disusun secara sistematis dan dikaji
dengan metode berfikir deduktif untuk menjawab permasalahan yang diajukan.
Metode kualitatif merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan data
deskriptif analitis, yaitu apa yang dinyatakan oleh narasumber secara tertulis
atau lisan dan juga perilaku nyata yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu
yang utuh.10
8Moh. Nazir, (2011), Metode Penelitian, Bogor: Ghalia Indonesia, hlm.174
9Basrowi dan Suwandi, (2008), Memahami Penelitian Kualitatif, Jakarta: Rineka Cipta, hlm. 188
10Nusa Putra dan Hendrawan, (2012), Metodologi Penelitian Kebijakan, Bandung, Rosda, hlm.101.
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
188
Konsep Jember Menggagas Kota Ramah Kaum Difabel
Hak untuk mendapatkan pendidikan merupakan salah satu hak fundamental bagi
setiap warga negara. Pendidikan merupakan tolak ukur keberhasilan satu bangsa dan
gerbang menuju bangsa yang beradab dan bermatabat. Untuk mencapai tujuan negara
tersebut, berbagai peraturan perundang-undangan dan produk hukum telah dibuat untuk
menjamin terpenuhinya hak atas pendidikan bagi setiap warga negara, termasuk
penyandang disabilitas.11
Penyandang disabilitas merupakan bagian dari warga Indonesia yang mempunyai
hak yang sama termasuk hak mendapatkan pendidikan yang layak sebagaimana diatur
dalam pasal 3 ayat (2) Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia. Bahkan juga dijelaskan di dalam Undang-undang Nomor 4 tahun 1997
tentang Penyandang Cacat, hak mendapatkan pendidikan dalam setiap jalur, jenis dan
satuan juga telah diakomodir.
Setiap anak di Indonesia mempunyai hak atas pendidikan, di dalam Undang-
undang dasar 1945 pasal 28c ayat (1) dan pasal 31 ayat (1), menyatakan “bahwa setiap
warga negara berhak mendapatkan pendidikan ” dengan adanya ketentuan tersebut
diperkuat kembali dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional yang didalamnya mengamanatkan pendidikan di Indonesia agar
diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan
menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan
kemajemukan bangsa sejalan dengan ketentuan tersebut, dijelaskan pula di dalam
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak terdapat pada pasal
48 menyebutkan bahwa “wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9
(sembilan) tahun untuk anak” dan didalam pasal 49 menyebutkan “Negara, pemerintah,
keluarga dan orang tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak
memperoleh pendidikan”.12
Dengan adanya undang-undang yang sudah diciptakan bertujuan untuk pemenuhan
hak-hak bagi penyandang disabilitas di masyarakat luas, akan tetapi didalam
kenyataannya penyandang disabilitas jika ditempatkan sebagai masyarakat masih
11
Dedy Kustawa dan Budi Hermawan, (2013), Model Implementasi Pendidikan inklusif Ramah Anak,
Jakarta: Luxima, hlm.1.
12Ibid, hlm.3
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
189
ditempatkan sebagai masyarakat kelas dua dimana seringkali hak-hak penyandang
disabilitas masih diabaikan, dari uraian diatas sangatlah jelas bahwa penyandang
disabilitas memiliki kedudukan hak dan kewajiban yang sama dengan masyarakat non
disabilitas, sebagai bagian dari warga negara indonesia penyandang disabilitas berhak
mendapatkan perlakuan khusus yang dimaksudkan sebagai upaya perlindungan dan
kerentanan terhadap berbagai tindakan diskriminasi dan terutama perlindungan dari
berbagai pelanggaran hak asasi manusia. Perlakuan khusus tersebut dipandang sebagi
upaya maksimalisasi penghormatan, pemajuan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi
manusia secara universal.
Persoalan yang kemudian muncul adalah impelementasi dari landasan-landasan
yuridis yang seyogyanya dapat menjamin hak-hak penyandang disabilitas khususnya
hak mendapatkan pendidkan yang bermutu pada kenyataanya belum terimplementasi
dengan baik. Masih terdapat berbagai masalah yang sangat kompleks dihadapi oleh
penyandang disabilitas dalam mengakses pendidikan seperti tindakan diskriminatif yang
kerap dialami dan tidak adanya akses untuk mendapatkan pendidikan sebagaimana
anak-anak pada umumnya kondisi tersebut secara tidak langsung berpengaruh terhadap
penerimaan diri, harga diri status sosial dan kepribadian penyandang disabilitas.13
Dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh UNESCO, diperkirakan terdapat 113
juta anak usia sekolah di seluruh dunia, 90% dari mereka hidup di negara miskin
termasuk Indonesia tidak mendapatkan pendidikan dan putus sekolah14
dengan adanya
riset tersebut negara Indonesia mulai mencoba menjawab dengan meratifikasi Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Dengan
adanya peraturan perundang-undangan tersebut untuk pertama kalinya Daerah Istimewa
Yogyakarta menerbitkan Peraturan Daerah yang mengadopsi isi CRPD tersebut
kedalam pasal-pasalnya, yaitu dengan diterbitkannya Peraturan Daerah DIY nomor 4
tahun 2012 tentang Perlindungan Dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Di
dalam Perda tersebut Pemerintahan Daerah dan Pemerintahan Kabupaten/kota
berkewajiban memfasilitasi penyandang disabilitas untuk memperoleh kesempatan yang
sama dalam memperoleh pendidikan pada satuan jalur, jenis dan jenjang pendidikan.
13
Ibid
14Erica Harper, (2009), Internasional Law And Standard Applicable In Natural Disaster Situation
Perlindungan Hak-Hak Sipil Dalam Keadaan Bencana (terjemah), Jakarta:Grasindo, hlm.152
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
190
Sedangkan untuk implementasi Perda DIY Nomor 4 tahun 2012 ini mulai pada bulan
Mei 2014 terhitung dua tahun sejak diundangkannya Perda tersebut.
Setelah Daerah Istimewa Yogyakarta menciptakan peraturan daerah pertama di
Indonesia tentang pelindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang desabilitas,
selanjutya Kabupaten Jember mulai mengagas Peraturan Daerah tentang Hak Hak
Tentang Kebutuhan Disabilitas yaitu Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2016 yang telah
disahkan pada tanggal 3 desember 2016 diserahkan langsung oleh ketua DPRD Toif
Zamroni dan disaksikan langsung oleh Bupati Jember Dr Faida dan Menteri Sosial
Khofifah Indar Parawansa.
Setelah penyerahan perda tersebut sesungguhnya konsep peraturan daerah tentang
disabilitas ini memuat tujuan penting untuk memberikan perlidungan kepada para
penyandang cacat dan memberikan hak yang sama kepada mereka untuk mendapatkan
pendidikan pekerjaan dan sebagainya. Dengan adanya perda tersebut berharap seluruh
pelayanan dan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) di lingkungan pemkab Jember
harus menyediakan sarana dan prasana untuk para penyandang disabilitas untuk bisa
menjangkau atau mengakses kantor tersebut sedangkan harapan lain dari bupati Jember
setelah diterbitkannya peraturan daerah tentang perlindungan dan pemenuhan hak-hak
penyandang disabilitas mengatakan bahwa setelah ditandatangani perda tentang
penyandang disabilitas maka seluruh jajaran di Pemkab Jember, mulai bupati, camat,
lurah dan kepala desa, sudah harus siap menjelankan peraturan daerah tersebut dan juga
meminta semuanya mendukung dan sekaligus meningkatkan Jember jadi kota inklusi
sebagai komitmen bupati dengan seluruh masyarakat Jember untuk peduli terhadap
mereka yang memiliki kebutuhan khusus.
Menurut Muhaimin dalam artikel yang ditulis dalam Jawa Pos Radar Jember bulan
oktober 2016 menjelaskan bahwa terbentuknya raperda ini luput dari perhatian publik
dilihat dari bobot politisnya. Raperda pemenuhan dan hak-hak difabel yang disejatinya
diproyeksikan sebagai payung hukum terhadap pemenuhan dan hak-hak difabel,
ketidakseksian raperda ini, dikarnakan salah satunya dan yang paling mendasar
kesadaran kolektif masyarakat yang masih belum memandang dan memposisikan kaum
difabel.
Dalam pembentukan raperda ini aktivis sosial kurang concern dalam mendampingi
kaum difabel untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Padahal, bisa jadi Perda ini
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
191
merupakan sebuah hadiah untuk kaum difabel dalam memperingati Hari Difabel
Internasional pada tanggal 3 Desember 2016.
Analisa Perda Nomor 7 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Dan Pemenuhan Hak-
Hak Penyandang Disabilitas Di Kota Jember
Didalam Peraturan Daerah Kabupaten Jember Nomor 7 Tahun 2016 tentang
Pelindungan Dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas memiliki beberapa
tujuan diantaranya untuk mewujudkan penghormatan, pemajuan, pelindungan dan
pemenuhan Hak Asasi Manusia serta kebebasan dasar penyandang disabilitas secara
penuh dan setara dan juga bertujuan untuk melindungi penyandang disabilitas dari
penelantaran dan eksploitasi, pelecehan dan segala tindakan diskriminatif, serta
pelanggaran Hak Asasi Manusia dan masih banyak lagi tujuan perlindungan dan
pemenuhan hak-hak disabilitas lainnya.
Beberapa hak penyandang disabilitas yang tercantum dalam peraturan daerah antara
lain hak hidup, hak bebas dari stigma, hak privasi, hak keadilan dan perlindungan
hukum, hak pendidikan, hak pekerjaan, kewirausahaan dan koperasi, hak kesehatan, hak
politik, hak keagamaan, hak keolahragaan, hak kebudayaan dan pariwisata, hak
kesejahteraan sosial, hak aksesibilitas, hak pelayanan publik, hak perlindungan dari
bencana, hak habilitasi dan rehabilitasi, hak konsesi, hak pendataan, hak hidup secara
mandiri dan dilibatkan dalam masyrakat, hak berekspresi, berkomunikasi dan
memperoleh informasi, hak berpindah tempat dan kewarganegaraan, dan hak bebas dari
tindakan diskriminasi penelantaran, penyiksaan, dan exsploitasi. Selain beberapa hak
penyandang disabilitas sebagaimana yang tercantum diatas terdapat beberapa hak
penyandang disabilitas khusus perempuan dan anak yang tercantum di dalam pasal 5
ayat (2) dan (3).
Secara subtansi, pasal demi pasal dalam raperda itu seharusnya memuat tiga agenda
utama: Pertama, membantu dalam pengembangan dan evaluasi program penyedian
layanan dan kebijakan bagi kaum difabel. Kedua, memantau fungsi misalnya dalam
pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas yang tercantum dalam perda tersebut.
Ketiga, menilai pemerataan kesempatan misalnya melihat fakta peluang kerja bagi
penyandang disabilitas.
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
192
Faktanya, masih banyak penyandang disabilitas di Jember yang status sosialnya
masih memprihatinkan, banyak dari mereka masih dikucilkan bahkan ditelantarkan.
Mereka belum benar-benar mendapatkan tempat yang layak untuk bermasyarakat. Dari
segi pendidikan hanya terdapat satu sekolah yang disediakan untuk penyandang
disabilitas, dan belum ada satupun Universitas yang pelayanan ataupun fasilitasnya
ramah terhadap penyandang disabilitas. Ini membuktikan bahwa keluarnya Perda
Nomor 8 Tahun 2016 ini belum maksimal dalam hal implementasinya. Diharapkan
adanya sosialisasi yang lebih kepada tempat layanan publik mengenai hadirnya
peraturan daerah tentang penyandang disabilitas ini, agar lebih memperhatikan
kebutuhan penyandang disabilitas dan mengupayakan memenuhi kebutuhan mereka.
Implementasi Perda Difabel di Kota Jember dalam Upaya Jember Menuju Kota
Ramah Difabel
Wakil Bupati Jember Abdul Muqit Arif ketika diwawancarai oleh sebuah media
menyatakan bahwa terdapat delapan hal yang perlu dilaksanakan untuk menghapus
hambatan bagi penyandang disabilitas (penyandang cacat):
"Pertama, peningkatan standar sarana dan prasarana pelayanan
kesehatan di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP), terutama fasilitas
umum di FKTP bagi penyandang disabiltas. Kedua, standardisasi tenaga
kesehatan terlatih dalam penanganan penyandang disabilitas. Ketiga,
pencantuman persyaratan teknis fasilitas dan aksesibilitas pada bangunan
gedung dan lingkungan. Keempat, perlu ada peningkatan kemampuan
aparat dan masyarakat untuk mewujudkan penyediaan fasilitas dan akses
bagi penyandang disabilitas yang tertib. Kelima, optimalisasi akses
pendidikan inklusi yang merata sampai ke daerah pinggiran. Keenam,
penyediaan sarana dan prasarana umum yang dapat diakses dengan mudah
oleh penyandang disabilitas, seperti jalan, trotoar, tempat parkir,
perkantoran, bangunan gedung, toilet umum. Ketujuh, penambahan
persentase kesempatan kerja di instansi pemerintah dan swasta bagi
penyandang disabilitas. Dan terakhir, perluasan kesempatan mendapatkan
pelatihan kewirausahaan, tata boga, tata rias, bengkel, pertukangan, dan
lain-lain.15
Menurut Sekretaris Tim Aksesibilitas Difabel Kabupaten Jember Eko Puji
Purwanto, belum ada angka valid berapa jumlah kaum difabel di Jember. Namun, pada
15http://beritajatim.com/politik_pemerintahan/278246/8_hal_untuk_hapus_diskriminasi_bagi_ka
um_difabel_di_jember.html, diakses 06 Maret 2017.
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
193
tahun 2014 tercatat Sebanyak 3.930 orang cacat atau difabel di Kabupaten Jember
tercatat sebagai pemilih untuk pemilu legislatif. Dari 3.930 pemilih difabel itu,
sebanyak 750 orang adalah penyandang tuna netra dan sebanyak 2.000 orang
penyandang tuna daksa. Selain itu, ada 500 orang penyandang tuna grahita, 400 orang
tuna wicara dan sebanyak 280 orang tuna rungu. Mereka tersebar di 31 kecamatan yang
ada di Kabupaten Jember.16
Sedangkan menurut data statistik Jember, jumlah
penyandang disabilitas di tahun 2008 mencapai angka 5,473 jiwa, 2009 sebanyak 5,468
jiwa dan pada tahun 2010 tercatat sebanyak 5,184 jiwa.
Dalam penerapannya, Peraturan Daerah Kabupaten Jember Nomor 7 tahun 2016 ini
memang belum sepenuhnya dapat terlaksana, hanya beberapa hak yang benar-benar
dapat dirasakan oleh kaum difabel di Jember ini, bahkan kesadaran kolektif masyarakat
dalam memperlakukan kaum difabel sebagai manusia pada umumnya masih minim. Hal
ini disebabkan betapa sulitnya merubah persepsi masyarakat. Sikap sosial terhadap
kaum difabel di masyarakat belum diwarnai dengan sikap toleransi. Diskriminasi juga
terjadi dalam berbagai hal seperti minimnya peluang kerja bagi kaum difabel ataupun
kurangnya kesempatan yang dimiliki kaum difabel dalam hal pendidikan.
Kota Jember mulai menggagas konsep kota menuju ramah kaum difabel, dengan
terbentuknya peraturan daerah tentang perlindungan dan pemenuhan hak-hak
penyandang disabilitas, beberapa instansi pelayanan publikpun mulai menyediakan
tempat khusus atau pelayanan khusus bagi penyandang disabilitas, seperti parkir khusus
difabel yang mulai ada di Terminal Tawang Alun Jember, pelayanan administrasi
kependudukan khusus penyandang disabilitas di Kantor Dispendukcapil Jember,
palayanan serta fasilitas kesehatan khusus penyandang disabilitas di Rumah Sakit Bina
Sehat juga membuat masyarakat difabel memiliki harapan tentang komitmen ramah
difabel.
Kesimpulan
Berdasar hasil pembahasan dalam penelitian yang berjudul “Jember menggagas
kota ramah kaum difabel (Studi Analisis Perda Difabel Di Kota Jember)” maka dapat
diambil kesimpulan bahwa pertama, Konsep Peraturan daerah tentang penyandang
16
https://m.tempo.co/read/news/2014/04/02/269567288/di-jember-ada-3-930-pemilih-difabel. diakses 06 Maret 2017
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
194
disabilitas di Jember ini betangkat dari program Bupati ramah yang tertuang dalam 22
program janjinya. Bukan hanya itu, salah satu komitmen pemkab terkait realisasi
Jember ramah difabel tertulis dalam RPJMD Jember yang indikatornya disusun sendiri
oleh bupati. Kedua, Dalam upaya pemenuhan hak-hak penyandang disabiliatas, lahirnya
perda Nomor 8 tahun 2016 tentang perlindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang
disabilitas telah memberikan peluang bagi para penyandang disabilitas di Jember, dalam
pelayanan publik banyak perubahan yang sudah dirasakan, kaum difabel sekarang tidak
perlu merasa sulit untuk membuat Dokumen Administrasi Kependudukan, seperti Akte
Kelahiran, Kartu Keluarga (KK) dan lainnya. Sebab, Dinas Kependudukan dan
Pencatatan Sipil (Dispendukcapil) Jember sudah menyediakan layanan khusus bagi
warga “difabel”. Mulai dari tempat parkir, ruang tunggu dan tempat lainnya. Ketiga
Dalam implementasinya, Perda Nomor 8 Tahun 2016 ini dianggap kurang diterapkan
secara maksimal, meskipun banyak dari beberapa layanan publik mulai menerapkan
pelayanan dan fasilitas ramah difabel tapi banyak pula hak-hak seorang penyandang
disabilitas yang harus dipenuhi seperti dalam hal hak hidup, hak poitik, hak
kesejahteraan, hak pendidikan dan masih banyak lagi hak-hak yang harus diperjuangkan
oleh penyandang difabel, LSM, layanan publik, masyarakat dan para petinggi di
Kabupaten Jember.
Gambar 4.1 Jalan khusus penyandang disabilitas di Kantor Dispendukcapil Jember
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
195
Gambar 4.2 Loket khusus penyandang disabilitas di Kantor Dispendukcapil Jember
Gambar 4.3 Parkir khusus penyandang disabilitas di Kantor Dispendukcapil Jember
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
196
Gambar 4.4 Tempat antrian khusus penyandang disabilitas di Kantor Dispendukcapil
Jember
Gambar 4.5 Himbauan
untuk memprioritaskan
penyandang disabilitas
di Rumah Sakit Bina
Sehat Jember
Gambar4.6 Tempat
antrian khusus
penyandang disabilitas di
Rumah Sakit Bina Sehat
Jember
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
197
Daftar Pustaka
Basrowi dan Suwandi, (2008), Memahami Penelitian Kualitatif, Jakarta: Rineka Cipta.
Golbran, Nicola, (2010), Akses Terhadap Keadilan Penyandang Disabilitas Indonesia:
Kajian Latar Belakang, Indonesia: Australia AID.
Harper, Erica, (2009), Internasional Law And Standard Applicable In Natural Disaster
Situation Perlindungan Hak-Hak Sipil Dalam Keadaan Bencana (terjemah),
Jakarta:grasindo.
Hidayah, Nuzulul, (2015), “Kebijakan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta dalam
Upaya Meningkatkan Pemenuhan Hak Pendidikan Penyandang Disabilitas
menururt PERDA DIY Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan
Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disablitas, Yogyakarta: Skripsi UIN Sunan
Kalijaga.
Kustawa, Dedy dan Hermawan, Budi, (2013), Model Implementasi Pendidikan Inklusif
Ramah Anak, Jakarta: Luxima.
Muntaj, Amirah, (2015), Proses Adaptasi Sosial Siswa Disabilitas Dengan Siswa Non
Disabilitas Disekolah Inklusi (Studi Kasus Pada Siswa Tunanetra Di Smp
Inklusi Taman Pendidikan Dan Asuhan Kabupaten Jember ), Jember: Skripsi
Universitas Jember.
Nazir, Moh, (2011), Metode Penelitian, Bogor: Ghalia Indonesia.
Nusa Putra dan Hendrawan, (2012), Metodologi Penelitian Kebijakan, Bandung: Rosda.
Riyadi, Eko, at.al, (2012), Vulnerable Groups: Kajian dan Mekanisme
Perlindungannya, Yogyakarta: PUSHAM UII.
Sugiyono, (2009), Metode Penelitian Kulitatif Kuantitatif dan R&D, Bandung:
Alfabeta.
Internet:
http://beritajatim.com/politik_pemerintahan/278246/8_hal_untuk_hapus_diskriminasi_b
agi_kaum_difabel_di_jember.html, diakses 06 Maret 2017.
https://m.tempo.co/read/news/2014/04/02/269567288/di-jember-ada-3-930-pemilih-
difabel. diakses 06 Maret 2011