Upload
vokiet
View
216
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
347
ARTIKULASI PRINSIP HAK PENENTUAN NASIB SENDIRI (RIGHT TO
SELF-DETERMINATION) DI INDONESIA: STUDI PADA MASYARAKAT
ADAT KASEPUHAN
Luh Rina Apriani1
Cindy Julianti2
Email: [email protected]
Abstract
The right of self-determination has extension its meaning, so that it also
applies to population in an independent country. The right of self-
determination for indigenous peoples is one form of application of this
extension. Indonesia articulates the concept of self-determination through
article 18B paragraph 2 of the 1945 Constitution and is followed by other
laws and regulations. This research will describe the principle of self-
determination through international instruments and the application of this
principle in Indonesia from the view of Local Regulation of Lebak Number 8
Year 2015. Through doctrinal research methods, can be concluded that the
right of self-determination is a principle in international law. Various
international instruments, especially those relating to indigenous peoples,
include this right as a platform for the fulfillment on other rights of
indigenous peoples. Indonesia The application of the right of self-
determination for indigenous peoples in Indonesia, has been adjusted to
Indonesia’s constitutional system. This adjusment is also made in the
provisions in the Local Regulation of Lebak Number 8 Year 2015, which in
general, have summarized the concept of self-determination despite several
weaknesses.
Keywords: indigenous peoples, Kasepuhan community,rights of self-
determination,
Pendahuluan
Dalam paradigma tradisional, prinsip hak penentuan nasib sendiri diakui sebagai
hak dari sebuah bangsa untuk mencapai kemerdekaan atas kolonialisme dan
pendudukan asing (alien accupation). Setelah hak penentuan nasib sediri dituangkan
dalam International Covenant on Civil and Political Rights(ICCPR) dan International
Covenant on Economic, Social ad Cultural Rights(ICESR), maka lahirlah intepretasi
1Penulis adalah Dosen Hukum Adat pada Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Jakarta.
2Mahasiswa pada Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Jakarta.
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
348
baru dari hak penentuan nasib sendiri. Pencatuman frasa “all peoples” bisa ditafsirkan
secara luas, yang artinya bahwa hak penentuan nasib sendiri tidak hanya berbicara pada
hak bagi sebuah negara (bangsa) untuk dapat menentukan nasibnya sendiri dengan cara
intergrasi atau disintegrasi pada sebuah negara baru, namun yang di maksudkan dengan
“all peoples” harus dimaknasi secara luas. Anaya menjelaskan bahwa,3
“the term of ”peoples” indicates the collective or grup character of the
principle. Self determination is concerned with human beings not simply as
individuals with outonomous will be more as social creatures engaged in the
constitution and fuctioning of communities”.
(Kata “peoples” mengindikasikan karakter kelompok komunal dalam sebuah
prinsip. Hak penentuan nasib sendiri memberikan attensi pada kemanusiaan
bukan hanya pada konteks individu yang memiliki otonomi saja namun lebih
kepada kelompok sosial yang terikat pada konstitusi dan komunitas fungsional.
Artinya makna “peoples” tersebut juga berlaku pada seuatu kelompok komunal
(populasi) yang berada disuatu negara berdaulat yang terikat pada konstitusi-
terjemahan oleh Penulis).
Dengan melihat pada konsepsi ini, bisa dimaknai bahwa konteks pelaksanaan
hak penentuan nasib sendiri berkembang secara dinamis dan tidak hanya diasosiasikan
pada pembebasan nasional dari suatu negara, namun hak penentuan nasib sendiri juga
berlaku bagi sebuah populasi yang berada disuatu negara yang merdeka (berdaulat).
Kunci utama dari pelaksanaan hak penentuan nasib sendiri secara internal oleh
masyarakat adat adalah dengan menilai masyarakat adat sebagai “a historical
continuity” atau sejarah keberlanjutan, sehingga memiliki aspirasi tertentu untuk
mencapai hak-haknya. Pengaturan hak masyarakat adat dalam hukum internasional
dalam dilihat dari Konvensi ILO No. 107 Tahun 1957 dan Konvensi ILO No. 169
Tahun 1989 serta United Nation Declaration on The Rights of Indigenous Peoples
(UNDRIP), 2007. UNDRIP menyatakan bahwa Masyarakat adat memiliki hak
penentuan nasib sendiri, melalui hak mereka untuk secara bebas untuk menentukan
status politik dan secara bebas menentukan kebijakan ekonomi, sosial dan
pengembangan budaya.4
3James S. Anaya,(1996), Indigenous Peoples in Internatinal Law, New York: OxfordUniversity Press,
hlm. 75. 4UNDRIP, (2007), Pasal 3.
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
349
Bagi masyarakat adat, hak penentuan nasib sendiriself determination adalah
“induk dari seluruh hak”.5Hak penentuan nasib sendiri memperlihatkan kebutuhan dasar
dari masyarakat untuk dapat menikmati semua hak-hak yang mereka
suarakan6.Penafsiran hak penentuan nasib sendiri (self determination) dalam konteks
masyarakat adat merefleksikan makna kebebasan, integritas dan penghormatan.Intinya,
banyak dari aspirasi dan harapan masyarakat adat diekspresikan di bawah payung
prinsip self-determination.7Oleh karena ituhak penentuan nasib sendiri dapat menjadi
platform bagi masyarakat adat untuk terbebas dari diskriminasi dan ketimpangan sosial
sebab dalam hal ini kebanyakan masyarakat adat memiliki permasalahanyang sama
yang timbul dari pelanggaran hak asasi manusia yang sistematis dengan status
masyarakat adat yang dekat dengan kemiskinan.8
Diperkirakan ada sekitar 370 juta masyarakat adat di dunia yang tersebar dari
kurang lebih 90 negara. Jumlah mereka terdiri dari kurang lebih 5% populasi dunia,
namun sekitar 15% diantaranya ada dibawah garis kemiskinan yang parah. Mayoritas
mereka di seluruh dunia diperkirakan memiliki 7.000 bahasa yang mewakili sekitar
5.000 tradisi dan budaya yang berbeda dan 2/3 dari mereka tinggal di Asia.9 Sedangkan
di Indonesia sendiri, AMAN memperkirakan bahwa jumlah masyarakat adat di
Indonesia berkisar antara 50-70 juta atau sekitar 20% dari penduduk Indonesia.10
KendatiUNDRIP diadopsi untuk memberikan pemberian aturan yang lebih
komprehensif tentang hak-hak masyarakat adat, namun instrumen hukum inipun masih
memiliki permasalahan mengingat UNDRIP adalah instrumen internasional yang
sifatnya deklaratif semata, sehingga tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat
kuat bagi negara-negara.Maka pelaksanaan hak penentuan nasib sendiri bagi masyarakat
5Sebagaimana dikutip oleh Anna Cowan, Undrip and The Intervention: Indigenous Self Determination,
Participation, and Racial Discrimination in The Northern Territory of Australia, Pacific Rim Law&
Policy Journal Vol. 22. dalam S James Anaya, (1999), Superpower Attitudes Towards Indigenuous
People and Group Rights, in Proceedings Of The Annual Meeting American Society Of International
Law , hlm. 251 dan 257. 6Ibid., hlm 256.
7Ibid.,hlm. 257.
8Ibid., hlm 248.
9United Nation, International Day of the World's Indigenous Peoples 9 August :
http://www.un.org/en/events/indigenousday/background.shtml, diakses pada tanggal 17 November 2016. 10
Lihat, https://www.aman.or.id/2016/10/14/7659/, diakses pada tanggal 17 November 2016.
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
350
adat masih dibenturkan dengan komitmen negara-negara untuk menaati UNDRIP itu
sendiri.11
Di Indonesia prinsip hak penentuan nasib sendiri atas masyarakat adat
diartikulasikan melalui Pasal 18 B ayat (2) yang mengakui dan menghormati kesatuan
masyrakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.Mandat konstitusi ini lantas
diikuti dengan pengaturan di peraturan perundang-undangan yang terkait baik langsung
maupun tidak langsung dengan masyarakat hukum adat di Indonesia.Menjadi menarik
untuk ditelaah apakah legitimasi normatif ini memiliki aura yang serupa dengan hak
penentuan nasib sendiri yang merupakan prinsip dalam hukum internasional dan telah
termaktub dalam beberapa instrumen internasional, khususnya yang menyoroti
masyarakat, seperti yang telah disebutkan di atas. Penerapan prinsip hak penentuan
nasib sendiri atas masyarakat hukum adat yang ada di Indonesia tentunya tidak terlepas
dari pengaruh gerakan masyarakat adat namun di lain pihak juga harus menyesuaikan
dengan konsep ketatanegaraan yang ada di Indonesia. Masyarakat Kasepuhan di daerah
Gunung Halimun akan menjadi “alat” untuk meneropong bentuk pengakuan hukum dan
konsepsi hak penentuan nasib sendiri di Indonesia.
Metode Penelitian
Permasalahan dalam penelitian ini dijawab melalui metode penelitian doktrinal,
suatu metode penelitian yang menjadikan kaidah-kaidah hukum abstrak sebagai ukuran
kebenaran dalam studi hukum.Dalam metode penelitian ini, hukum dikonsepkan dan
dikembangkan atas dasar doktrin yang dianut sang pengkonsep dan/atau
pengembangnya.12
Penelitian ini akan melihat hukum dalam bentuknya sebagai kaidah
dalam peraturan perundang-undangan (in abstracto). Melihat prinsip penentuan hak
sendiri sesuai konsep Indonesia dan relevansinya dengan pengakuan hak masyarakat
adat kasepuhan.
Analisis dilakukan terhadap data sekunder yang diperoleh dari bahan hukum
primer13
dan bahan hukum sekunder14
.Bahan hukum primer yang dipergunakan dalam
11
Anna Cowan, Op.Cit., hlm. 249. 12
Soetandyo Wignjosoebroto, (2013), Hukum: Konsep dan Metode, Malang: Setara Press, hlm. 35-36. 13
Bahan hukum primer adalah semua aturan hukum yang dibentuk dan/atau dibaut secara resmi oleh
suatu lembaga negara, dan/atau badan-badan pemerintahan, yang demi tegaknya akan diupayakan
berdasarkan daya paksa yang dilakukan secara resmi pula oleh aparat negara. Termasuk bahan hukum
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
351
penelitian ini terdiri dari UUD NRI 1945, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang
Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, Peraturan Menteri
Agraria dan Tata Ruang Nomor 10 Tahun 2016 tentang tata Cara Penetapan Hak
Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat Yang Berada di
Kawasan Tertentu, Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Provinsi Banten Nomor 8 Tahun
2015 tentang Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat Adat
Kasepuhan, United Nation Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (2007),
Convention (No.107) Concerning the Protection and Integration of Indigenous and
Tribal and Semi-Tribal Population in Independent Countries (1957), serta Convention
(No. 169) Concerning Indigenous and Tribal Peoples in Independent Countries
(1989).Bahan hukum sekunder yang dipergunakan berfungsi untuk memberikan
penjelasan lebih lanjut mengenai bahan hukum primer, antara lain buku teks, laporan
penelitian, dan jurnal hukum.
Hasil dan Pembahasan
Originalitas hak masyarakat adat merupakan dasar bagi pembicaraan hak
masyarakat adat sebagai hak yang asasi. Sebagai hak asasi, maka hak masyarakat adat
adalah hak yang mendahului hukum negara. sifat originalitas ini juga dikenal dengan
istilah otohton, asli atau asal. Karakteristik originalitas ini juga dikenal dalam istilah
hukum sebagai prima facie yaitu yang mengatur terlebih dahulu yang eksistensinya
melekat pada keberadaan masyarakat adat selaku pemilik hak. Oleh karena itu, hak-hak
masyarakat adat atas wilayah kehidupannya bersifat asasi (basic rights).15
Sifat yang asasi inilah yang membedakan antara hak masyarakat adat dengan
hak-hak lainnnya yang diciptakan melalui hukum negara yang disebut dengan hak
hukum (legal rights). Hak hukum merupakan hak yang hadir berdasarkan peraturan
primer yaitu peraturan perundang-undangan, putusan hakim, dan produk hukum dari badan internasional.
Lihat Ibid., hlm. 67-68. 14
Bahan hukum sekunder adalahselurih informasi yang relevan dengan permasalahan hukum, namun yang
tidak dapat dibilangkan sebagai aturan-aturan hukum yang pernah diundangkan atau diumumkan sebagai
produk badan legislatif, yudisial, eksekutif, dan/atau administrasi negara.Termasuk bahan hukum
sekunder antara lain buku-buku teks, laporan penelitian, jurnal huku, notulen seminar, monograp, dan
lain-lain. Lihat Ibid., hlm. 68-69. 15
Yance Arizona (Ed.), (2010), Antara Teks dan Konteks : Pengakuan Hukum Terhadap Masyarakat Adat
Atas Sumber Daya Alam di Indonesia,Jakarta: Huma, hlm 6.
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
352
perundang-undangan yang diciptakan oleh pemerintah disuatu negara. Sehingga Hak
Hukum berbeda dengan hak asasi. Hak asasi melekat pada diri manusia sejak dia lahir,
kalau bagi komunitas maka hak asasi itu melekat sejak komunitas itu ada, sedangkan
hak hukum memiliki keterbatasan-keterbatasan.16
Maka, hak masyarakat adat dapat
dikatakan sebagai hak asasi dalam konteks keberlangsungan hidup dan identitasnya dan
hak hukum dalam konteks hak-hak berian yang diberikan oleh negara. Dalam Hukum
Internasional hak-hak masyarakat adat dapat dilihat dalam ICCPR, ICESCR, Konvensi
ILO dan UNDRIP yang secara garis besar memuat hak masyarakat adat, antara lain:17
1. Hak untuk menentukan nasib sendiri internal (rights of internal self-
determination);
2. Hak untuk turut serta dalam pemerintahan (rights of participation);
3. Hak atas pangan, kesehatan, habitat, sosial dan keamanan ekonomi (rights to
food, health, habitat, social and economic security);
4. Hak atas pendidikan (rights to education);
5. Hak atas pekerjaan (rights to work);
6. Hak anak (rights of children);
7. Hak pekerja (rights of workers);
8. Hak minoritas dan masyakarat hukum adat (rights of minorities and
indigenous peoples);
9. Hak atas tanah (rights of land);
10. Hak atas persamaan (rights of equality);
11. Hak atas perlindungan lingkungan (rights to environmental protection);
12. Hak atas pelayanan administrasi pemerintahan yang baik (right to
administrative due process);
13. Hak atas penengakan hukum yang adil (rights to the rule of law).
Pengakuan hukum bagi masyarakat adat Kasepuhan telah dilakukan sejak tahun
2010. Bupati Lebak mengeluarkan Surat Keputusan Bupati Lebak yang memberikan
legalitas keberadaan seluruh Kasepuhan di Lebak adalah SK Bupati
No.430/Kep.318/Disporabudpar/2010 tentang Pengakuan Keberadaan Masyarakat Adat
16
Ibid., hlm. 7. 17
Ibid., hlm. 8.
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
353
Cisitu, Banten Kidul di Kabupaten Lebak, yang kemudian dicabut dan diganti dengan
lahirnya SK Bupati Lebak No.430/Kep.298/Disdikbud/2013 tentang Pengakuan
Keberadaan Masyarakat Adat di Wilayah Kesatuan Adat Banten Kidul, di Kabupaten
Lebak, yang meliputi 17 Kasepuhan diantaranya: Cisungsang, Cisitu, Cicarucug,
Ciherang,Citorek, Bayah, Karang, Guradog, Pasir Eurih, Garung, Karang Combrong,
Jamrut, Cibedug, Sindangagung, Cibadak, Lebak Larang dan Babakan Rabig.18
Selanjutnya, pada tahun 2013-2015 perjuangan warga Kasepuhan untuk
mendapatkan pengakuan dalam bentuk Perda terus dilakukan. Proses menyusun Perda
Kasepuhan mendapatkan sambutan baik setelah tiga kali pergantian ketua DPR.
Pembentukan Perda didampingi oleh berbagai elemen baik dari Pemerintah Daerah
Lebak, warga Kasepuhan dan Organisasi Non Pemerintah yang membantu pembentukan
Perda. Proses pembahasan Raperda tentang Kasepuhan oleh tim Pansus, bersama
eksekutif daerah dilakukan pada tangga 13 November 2015. Dari proses tersebut
akhirnya berhasil dibentuk Raperda tentang Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan
Masyararakat Hukum Adat Kasepuhan di Kabupaten Lebak. Raperda terdiri dari 11
BAB dan 26 Pasal. Raperda tersebut berhasil diundangkan pada akhir 2015 dengan
Lembaran Daerah Kabupaten Lebak Nomor 20158 dengan Judul Peraturan Daerah
Kabupaten Lebak Provinsi BantenNomor 8 Tahun 2015TentangPengakuan,
Perlindungan Dan PemberdayaanMasyarakat Hukum Adat Kasepuhan.
Melalui penjelasan umum, terlihat bahwa pada dasarnya pembentukan Perda ini
bertujuan untuk dapat melindungi dan menghormati hak-hak masyarakat adat Kasepuhan
yang pernah terdiskriminasi dalam kepemilikan dan pelaksanaan hak-hak tradisionalnya
sekaligus tindak lanjut dari adanya Putusan MK No.35/ PUU-X/2012.Maka dengan
dibentuknya Perda Kasepuhan tersebut, diharapkan Masyarakat Adat Kasepuhan dapat
secara bebas melaksanaan haknya dalam konteks pengelolaan wilayah adat, hukum adat,
pembangunan, sistem nilai, pranta sosial, ekonomi, dan politik yang dapat disebut
sebagai penentuan nasib sendiri.
Pasal 1 butir 6 memberikan definisi, “Pengakuan adalah pernyataan penerimaan
dan pemberian status keabsahan oleh Pemerintah Daerah terhadap keberadaan dan hak-
hak kesatuan masyarakat hukum adat sebagai perwujudan konstitutif dari negara untuk
18
Ibid., hlm. 19.
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
354
menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak asasi warga negara”.Hal ini
menyiratkan bahwa dibentuknya Perda pengakuan oleh Pemerintah Daerah
dimaksudkan untuk memberikan legalitas (keabsahan) bagi masyarakat adat
Selanjutnya, sesuai dengan amanat Konstitusi.
Perda ini memuat deskripsi masyarakat hukum adat dalam Pasal 1 butir ke 10
yaitu:
“Kesatuan Masyarakat Hukum Adat adalah kelompok masyarakat yang
secara turun-temurun bermukin di wilayah geofrafis tertentu karena
adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan
lingkunagn hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata
ekonom, politik, sosial, budaya dan hukum”
Sedangkan Pasal 1 butir ke 11 menjelaskan bahwa, “Kasepuhan adalah kesatuan
masyarakat hukum adat yang terdapat di Kabupaten Lebak”. Melalui Pasal 1 butir 11 ini
maka pengakuan hukum bagi masyarakat adat yang dimaksud pada Perda ini hanya
berlaku bagi masyarakat adat kasepuhan yang berada diwilayah Kabupaten Lebak yang
terdiri dari 6 induk Kasepuhan dan 522 Anak Kasepuhan19
. Batasan ini menjadi penting
karena masyarakat adat kasepuhan juga terdapat di daerah Sukabumi dan Bogor.
Terakhir, Ketentuan Umum juga memberikan penjelasan mengenai beberapa
terminologi yang digunakan masyarakat adat Kasepuhan untuk menjelaskan unsur-
unsur yang ada didalamnya seperti Wewengkon, Leweung Kolot, Leweung Titipan,
Leweung Sampalan, Leweung Kolot, Tatali Paranti Karuhun, Sesepuh, Kokolot, Baris
Kolot, Palawari, Pangiwa, Juru Basa, Ronda Kokolot, Amil, Bengkong, Paraji dan Incu
Putu.
Pasal 5 tidak lupa memberikan kriteria siapakah Masyarakat Adat Kasepuhan,
yaitu terdiri dari masyarakat yang warganya memiliki perasaan sebagai satu kelompok
karena adanya nilai-nilai yang dirawat secara bersama-sama;emiliki lembaga adat yang
tumbuh secara tradisional; memiliki harta kekayaan dan/atau benda-benda adat;
memiliki norma hukum adat yang masih berlaku; dan memiliki wilayah adat
tertentu.Pada dasarnya kriteria Masyarakat Adat Kasepuhan yang termaktub dalam
Perda Kasepuhan sudah memenuhi kriteria masyarakat adat didalam ketentuan
19
Lihat lampiran Perda Kasepuhan
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
355
Konvensi ILO No. 169. serta kriteria masyarakat (hukum) adat dalam peraturan
perundang-undangan di Indonesia antara lain adanya:20
a. Sejarah masyarakat hukum adat;
b. Wilayah adat;
c. Hukum adat;
d. Harta kekayaan dan/atau benda-benda adat;
e. Kelembagaan atau sistem pemerintahan adat;
f. Masyarakat yang warganya memiliki perasaan bersama dalam kelompok;
g. Masyarakat masih dalam bentuk peguyuban.
Selanjutnya, hak-hak masyarakat adat Kasepuhan termuat dalam Pasal16 Ayat 1
yang menyatakan,“Pemerintah Daerah mengakui, menghormati, melindungi dan
memenuhi hak-hak Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan”. Hak-hak Masyarakat Hukum
Adat Kasepuhan terdiri dari:
a. Hak ulayat;
b. Hak perorangan warga Kasepuhan atas tanah dan sumberdaya alam;
c. Hak memperoleh pembagian manfaat dari sumber daya genetik dan
pengetahuan tradisional oleh pihak luar;
d. Hak atas pembangunan;
e. Hak atas spiritialitas dan kebudayaan;
f. Hak atas lingkungan hidup;
g. Hak untuk mendapatkan layanan pendidikan khusus;
h. Hak untuk mendapatkan layanan kesehatan;
i. Hak untuk mendapatkan layanan administrasi kependudukan;
j. Hak untuk mengurus diri sendiri;
k. Hak untuk menjalankan hukum dan peradilan adat;
l. Hak untuk didengar aspirasinya dalam penyelenggaraan pemerintahan desa
dan pemilihan kepala desa; dan
m. Hak-hak lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
20
Kriteria tersebut diakumulasi berdasarkan ketentuan Permendagri No. 52 Tahun 2014, Permen ATR No.
10 Tahun 2016 dan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
356
Dalam hal ini, hak-hak Masyarakat Adat Kasepuhan yang dimuat dalam Perda
secara garis besar memiliki muatan yang sama dengan apa yang dimuat dalam Konvensi
ILO maupun UNDRIP. Meski tidak secara tersurat mencantumkan hak penentuan nasib
sendiri namun apabila ditarik dari ketentuan Pasal 3 UNDRIP yang menjelaskan bahwa
masyarakat adat memiliki hak penentuan nasib sendiri dan atas hak tersebut mereka
dapat secara bebas menentukan status politik, ekonomi, sosial, dan penembangan
budaya serta Pasal 4 UNDRIP yang menjelaskan bahwa dalam menjalankan/
mengimplementasikan hak penentuan nasib sendiri masyarakat adat memiliki hak atas
otonomi atau hak mengurus diri sendiri (self-governance) dalam hak yang berkaitan
dengan kepentingan internalnya, maka ketentuan Pasal 16 Ayat (2) huruf e dan j cukup
merepresentasikan hak penentuan nasib sendiri dalam UNDRIP.
Sejalan dengan pengakuan hak Masyarakat Adat Kasepuhan,Pasal 12 ayat (1)
dan (2) menjelaskan bahwa Pemerintah Daerah mengakui, melindungi dan
memberdayakan lembaga adat Kasepuhan yang sudah ada secara turun temurun pada
masyarakat hukum adat menurut hukum adat setempat. Masyarakat Adat Kasepuhan
sebagai subjek pemegang hak dan kewajiban, dan pelaksanaan hak kewajiban sebagai
subjek hukum tersebut dilakukan melalui lembaga adat.Pasal 17 ayat (2) huruf a, b dan
c memberikan suatu kejelasan bahwa Masyarakat Adat Kasepuhan melalui lembaga
adatnya memiliki hak untuk mengurus diri sendiri (self governance) dan hal ini
merupakan hak yang dimaksudkan dalam hak penentuan nasib sendiri.
Selanjutnya, sejalan dengan Pasal 10 ayat (1) huruf k bahwa Perda mengakui
hak atas hukum adat dan peradilan adat Kasepuhan, Pasal 18 menjelaskan bahwa
hukum adat tetap dihormati untuk dapat dijalankan dalam konteks pelaksanaan aturan
adat dan penyelesaian sengketa adat. Namun yang menarik dari ketentuan ini adalah
pada Ayat (4) dijelaskan bahwa pelaksanaan hukum adat harus memperhatikan prinsip
keadilan sosial, keadilan gender, hak asasi manusia dan kelestarian lingkungan hidup.
Pasal 22 ayat (1), (2) dan (3)menjelaskan bahwa Pemerintah Daerah menghormati dan
mengakui peradilan adat, sehingga sengketa yang terjadi pada anggota masyarakat adat
Kasepuhan (incu putu) dapat dilakukan melaui peradian adat. Dalam hal terjadi
perselisihan antar Kasepuhan maka Pemerintah Daerah membantu penyelesaian
sengketa melalui mediasi, dan apabila penyelesaian sengeketa tidak berhasil ditempuh
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
357
melalui peradilan adat atau mediasi maka diselesaikan melalui Peradilan Umum.Yang
perlu digaris bawahi dalam ketentuan ini adalah bahwa negara mengakui peradilan adat
sebagai penegak hukum adat dan lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa
adat.
Setelah melihat ketentuan-ketentuan yang temaktub dalam Perda Kasepuhan,
kita dapat melihat bahwa pengakuan terhadap masyarakat adat Kasepuhan tidaklah
dilakukan secara keseluruhan sebab dalam Perda ini dinyatakan bahwa yang dimaksud
Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan dalam Perda ini adalah Kasepuhan yang berada di
wilayah Kabupaten Lebak, sementara pada bagian awal dijelaskan bahwa masyarakat
adat Kasepuhan tersebar dibeberapa bagian di Jawa Barat dan Banten seperti Sukabumi
dan Bogor. Selain itu, Perda ini juga tidak secara komprehensif memberikan seluruh hak
masyarakat adat, sebab pada Pasal 25 dijelaskan bahwa hak masyarakat adat Kasepuhan
atas hutan adat harus tetap dilaksanakan melalui mekanisme permohonan penetapan
hutan adat.Namun, Perda ini juga telah memperlihatkan pelaksanaan penghormatan dan
perlindungan terhadap Masyarakat Adat Kasepuhan, sebab Perda ini memuat beberapa
ketentuan yang menjelaskan bahwa Masyarakat Adat Kasepuhan diberikan hak
kebebasan untuk dapat mengatur dan mengurus dirinya sendiri (self governance), dan
hal tersebut merupakan hak yang dimaksud di dalam prinsip hak penenentuan nasib
sendiri (internal) bagi masyarakat adat di dalam ketentuan UNDRIP.
Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan dari penelitian ini dapat disimpulkan, Pertama, bahwa
hak penentuan nasib sendiri merupakan prinsip internasional yang telah diadopsi ke
dalam beberapa instrumen international, khususnya yang mengatur mengenai hak-hak
masyarakat adat yaitu United Nation Declaration on the Rights of Indigenous Peoples
(2007), Convention (No.107) Concerning the Protection and Integration of Indigenous
and Tribal and Semi-Tribal Population in Independent Countries (1957), serta
Convention (No. 169) Concerning Indigenous and Tribal Peoples in Independent
Countries (1989). Hak penentuan nasib sendiri, di Indonesia, diartikulasikan dalam
Pasal 18 B ayat (2) yang berisi pengakuan dan penghormatan terhadap masyarakat
hukum adat serta hak-hak tradisionalnya. Amanah konstitusi ini lantas diturunkan
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
358
melalui berbagai produk peraturan perundang-undangan, antara lain Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52
Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat,
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang Nomor 10 Tahun 2016 tentang tata Cara
Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat Yang
Berada di Kawasan Tertentu, Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Provinsi Banten
Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat
Adat Kasepuhan.
Kedua, melalui Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Provinsi Banten Nomor 8
Tahun 2015 tentang Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat Adat
Kasepuhan, konsep hak penentuan nasib sendiri menemukan pijakan ke-Indonesiaanya,
karena pasal-pasal dalam Perda tersebut mengakui dan menghormati hak asal usul
Masyarakat Adat Kasepuhan. Terlepas dari cakupan perda yang hanya meliputi
Masyarakat Adat Kasepuhan di wilayah Lebak, serta bersifat limitatif (salah satunya
dalam proses penentuan hutan adat), namun secara garis besar Perda ini bisa
merangkum konsep hak penentuan nasib sendiri yang awalnya merupakan prinsip dalam
tatanan internasional.
Daftar Pustaka
Adimihardja, Kusnak, (1992),Kasepuhan yang Tumbuh Diatas Yang Luruh:
Pengelolaan Lingkungan Secara Tradisional di Kawasan Gunung Halimun
Jawa Barat. Bandung: Tarsito.
Anaya, James S.,(1996), Indigenous Peoples in Internatinal Law. New York: Oxford
University Press.
Anaya, James S.,(1999), Superpower Attitudes Towards Indigenuous People and
Group Rights. Proceedings Of The Annual Meeting American Society Of
International Law.
Arizona, Yance (Ed.), (2010),Antara Teks dan Konteks: Pengakuan Hukum Terhadap
Masyarakat Adat Atas Sumber Daya Alam di Indonesia. Jakarta: Huma.
Riyadi, Ediie dan Emil Ola Kleden, (2006),Hak-Hak Masyarakat Adat Dalam Konteks
Pengelolaan Sumberdaya Alam, Jakarta: Elsam dan AMAN.
Vitasari, Desi Martika dan Nia Ramdhaniaty, (2015), Jalan Panjang Pengakuan Hukum
15 Tahun Pendampingan Masyarakat Kasepuhan. Jakarta: Epistema Institutue
dan RMI. Wignjosoebroto, Soetandyo, (2013), Hukum: Konsep dan Metode, Malang: Setara Press.
Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017
359
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen ke- 4
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
PeraturanMenteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 52 Tahun 2014 tentang
Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Tata Cara
Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan
Masyarakat Yang Berada di Kawasan Tertentu
Peraturan Daerah Lebak Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pengakuan, Perlindungan dan
Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan
Convention (No. 107) Concernung the Protection and Integration of Indigenous and
Tribal and Semi-Tibal Population in Independent Countries, June 26, 1957,
328 U.T.S. 2747
Convention (No. 169) Concerning Indigenous and Tribal Peoples in Independent
Countries, June 27, 1989
International Covenant on Civil and Political Rights, Dec, 16, 1966, 999 U.N.T.S. 171.
International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, Dec, 16, 1966, 993
U.N.T.S.3.
United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (2007)
Artikel
Ahmad Syofyan, Hak Menentukan Nasib Sendiri Secara Internal (Internal Rights Self-
Determination) Dalam Perspektif Hukum Internasional dan Implementasinya
di Indonesia. Dimuat dalam Jurnal Monograf Volume 2 Tahun 2014.
Anna Cowan. Undrip and The Intervention: Indigenous Self-Determination,
Participation, and Racial Discrimination in The Northern Territory of
Australia. Pacific Rim Law& Policy Journal Vol. 22. (tanpa tahun)
Yance Arizona, dkk. 2007 Pengakuan Hukum Terhadap Masyarakat Adat: Trend
Produk Hukum Daerah Dan Nasional Paska Putusan Mk 35/PUU-X/2012,
Outlook Epistema 2017
Website
https://yancearizona.net/2016/02/02/chief-deskaheh-pelopor-internasionalisasi-
permasalahan-indigenous-peoples/
https://yancearizona.net/2014/06/18/new-york-2014-mendefinisikan-indigenous-
peoples-di-indonesia
https://www.aman.or.id/2016/10/14/7659/