Upload
jamridafrizal
View
133
Download
16
Embed Size (px)
Citation preview
SIFAT DAN RUANG LINGKUPPENDIDIKAN MUSLIM, 750-1350
Jamridafrizal,S.Ag.S.S.,M.HumSumber Mehdi Nakosten. Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat
Eropa sedang berada dalam periode pertengahan ketika orang-orang
Muslim tengah dengan bersemangat menulis berbagai bab dalam sejarah
pendidikan. Beberapa diantara kontribusi mereka yang terbesar, terutama
kepada pendidikan Barat, sering diabaikan Karen adanya prasangka religius,
hambatan bahasa, mundurnya kebudayaan Islam, dan sulitnya para ahli
sejarah pendidikan dari Barat mendapatkan bahan-bahan tersebut. Orang-
orang Muslim berasimilasi dengan kebudayaan klasik dan
menyempurnakannya melalui sistem pendidikan. Di antara bidang-bidang
yang diasimilasikan itu adalah filsafat, ilmu kedokteran, matematika,
teknologi dan ilmu pengetahuan Helenistik. Matematika, kedokteran dan
sastra Hindu. Agama, kesusastraan dan ilmu pengetahuan Persia. Ulasan
tentang ilmu pengetahuan dan filsafat Helenistik dari Syria. Dengan
menerapkan ilmu-ilmu pengetahuan klasik untuk keperluan praktis, orang-
orang Muslim telah mengembangkan metode empirik-eksperimental,
meskipun mereka telah gagal untuk mengambil manfaat secara penuh
darinya. Kemudian metode tersebut diterapkan di Eropa. Mereka
mengembangkan penyelidikan bebas dan memberikan kepada masyarakat
peralatan riset dan beasiswa. Mereka membuka perpustakaan-perpustkaan
umum, bahkan perpustkaan pribadi untuk digunakan oleh masyarakat, tidak
hanya bersifat regional, tetapi internasional. Pada masa ketika buku-buku
hanya “diterbitkan” melalui pekerjaan tulisan tangan yang melelahkan,
mereka telah membuat ratusan, bahkan ribuan copy (salinan) bahan-bahan
referensi untuk memenuhi kebutuhan bagi orang-orang yang berminat untuk
mempelajarinya. Seringkali meminjamkan sejumlah buku, kadang-kadang
sampai lebih dari seratus buku per orang, untuk jangka waktu yang tidak
ditentukan, bagi keperluan penelitian dan riset yang menekan waktu lama.
Mereka menyediakan makanan, penginapan, bahkan uang saku untuk para
cendekiawan yang dating dari jauh. Mereka menyediakan guru-grur besar
yang berskala internasional dengan menerapkan konsep cendekiawan
pengembara.
Pada zaman keemasan (750-1150) aktivitas-aktivitas kebudayaan
pendidikan tersebut, mereka tidak mengijinkan teologi dan dogma membatasi
ilmu pengetahuan mereka. Mereka berusaha menyelidiki setiap cabang ilmu
pengetahuan manusia, baik itu filologi, sejarah, historiografi, hokum,
sosiologi, kesusastraan, etika filsafat, teologi, kedokteran, matematika, logika,
jurisprudensi, seni, arsitektur, atau ilmu (pembuatan) keramik. Mereka
menghormati ilmu pengetahuan, mereka memuliakan para cendekiawan.
Mereka memperkenalkan ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani, Persia dan
Hindu kepada kalangan terpelajar Kristen Barat. Tetapi ihwal berhutangnya
pendidikan Barat kepada Islam masih ditulis secara utuh, tanpa prasangka
dan tanpa akibat yang direncanakan sebelmunya. Bentuk pendidikan apakah
yang dalam waktu sedemikian singkat mampu menghasilkan prestasi seperti
itu?
Pendidikan Muslim melewati dua masa periode yang khsa. Pertama
adalah periode yang mencakup abad kesembilan dan kesepuluh, ketika
secara spontan sekolah-sekolah memberikan beasiswa pribadi kepada orang-
orang yang berminat mempelajari ilmu. Dan kedua adalah periode awal abad
kesebelas dan berkembang pada abad kedua belas dan ketigabelas, ketika
pendidikan menajdi fungsi bagi negara, dan sekolah-sekolah dilembagakan
untuk tujuan pendidikan sectarian dan indoktrinasi politik.
Madrasah dan Nizamiyyah
Sekolah dalam bentuk baru dirancang sebagai sebuah lembaga negara
untuk meningkatkan indoktrinasi agama berdasarkan agama Islam Sunni dan
indoktrinasi politik berdasarkan gaya Turki-Persia, disamping ilmu
pengetahuan umum dan pendidikan khusus. Nizamul Mulk (wafat 1092;485H),
pendiri dan yang mempopulerkan madrasah-madrasah (sekolah untuk
masyarakat umum), adalah seorang perdana mentri yang terkenal dalam
pemeritahan sultan-sultan Saljuq pada abad kesebelas. Ia mendirikan
madrasah kira-kira pada pertengahan abad tersebut, yang meskipun bukan
merupakan sekolah pertama dalam Islam, tetapi merupakan sistem pertama
sekolah khusus yang didirikan oleh negara dan Islam Sunni. Madrasah-
madrasah tersebut, selain memiliki spirit ilmu pengetahuan yang tinggi, baik
untuk tujuan politik maupun agama, membentuk opini publik Islam Sunni
ortodoks terhadap Islam Syi’ah. Banyak sekali dana yang dialokasikan untuk
mendirikan dan memelihara sekolah-sekolah ini dengan memberikan
beasiswa yang besar pensiun, dan ransum yang diberikan kepada para
mahasiswa yang patut menerimanya. Sesungguhnya, Nizam telah
merencanakan untuk memberikan beasiswa secara tetap kepada semua
mahasiswa. Sekolah-sekolah tersebut dilembagakan di bawah pengawasan
dan bantuan negara dan madrasah-madrasah standar didirikan di semua
kota-kota besar Islam, kecuali di Spanyol dan Sisilia. Di antara beberapa
akademi terbesar adalah yang didirikan oleh Nizam di Baghdad, akademi
Nizamiyyah yang terkenal, dibuka pada tahun 1066-67 (459 H) dan terus
berlangsung sebagai pusat ilmu pengetahuan selama beberapa abad,
terutama dimotivasi untuk menggali pengetahuan agama dan sastra. Nizamul
Mulk sekaligus memberikan kontribusi terbesar terhadap pendidikan dalam
mendirikan dan memperluas sistem sekolah yang nyaris bersifat universal
(madrasah) di seluruh wilayah Islam Timur.
Ia adalah salah satu di antara beberapa orang yang paling terpelajar
pada zamannya, yang sangat menguasai hadis atau tradisi Muslim, dan
merupakan salah seorang di antara ahli teori politik Islam terbesar,
sebagaimana ditunjukan dalam karyanya yang terkenal Siyasat Namah.
Semangatnya terhadap pendidikan universal hanyalah dibatasi oleh sarana
yang terbatas. Sekolah-sekolah yang didirikan di seluruh kekaisarannya
dibiayai secara melimpah. Ia melengkapi sekolah-sekolah tersebut dengan
perpustakaan, professor-profesor terbaik yang dapat diperoleh dan sistem
beasiswa untuk membantu semua mahasiswa. Marilah kita lihat usaha
pendidikannya secara lebih detail.
Nizamul Mulk dan Pendidikan Muslim
Dibukanya sekolah untuk pertama kalinya, yang membawa nama
wartawan Persia. Nizamul Mulk, terjadi pada tahun 1066 (459 H). peristiwa itu
menandai transisi dari sekolah-sekolah di Masjid kepada dimulainya system
sekolah umum madrasah, diseluruh kawasan dunia Muslim yang luas, yang
berada di bawah pengaruh cultural dan administrasi Persia yang kuat.
Pengaruh tersebut terus berlangsung, pertama di bawah kekuasaan politik
Arab pemerintahan Abisaniyah dari pertengahan abad ke delapan sampai
abad ke sembilan dan sekali lagi selama periode panjang kekuasaan politik
religius Turki. Sampai dasawarsa awal abad ke enambelas (1571). Memang
pemerintahan Turki pada masa awal memiliki sebuah kebudayaan yang
sederhana karena terlibat dengan peperangan dan penaklukan. Tetapi
disamping berusaha harus membereskan kerajaannya, mereka belajar dari
kebudayaan yang lebih tinggi yakni Persia dan Arab, menerapkan abjad Arab
dan menerima Islam. Pada saat ketika mereka mengadaptasi kebudayaan
asing sesuai dengan kebutuhan dan cita rasa mereka, dan mendorong
didirikannya sekolah-sekolah di seluruh kekaisaran mereka untuk menghidup-
hiudpkan Islam Sunni dengan kebijakan dan politik Turki. Tarikh dalam
bukunya At-Tamaddun al-Islami (Sejarah peradaban Islam), menyatakan
bahwa pangeran-pangeran Turki mendorong ilmu pengetahuan dan
menambah jumlah sekolah di dalam kekaisarannya, Mengharapkan pahala
akhirat, takut kehilangan ketakutan yang disebabkan oleh rasa lebih super
atau antagonis, sehingga mereka menggunakan kekayaannya untuk
mendirikan sekolah-sekolah : terakhir tetapi yang terpenting, yakni untuk
menanamkan keyakinan beragama dan untuk melawan pandangan masa
yang bertentangan.
Adalah menjadi tugas sekolah untuk menanamkan keyakinan beragama
danpengaruh serta propaganda politik yang mendorong Naljuk yang terkenal,
Salahudin, untuk mendirikan madrasah untuk menutup sekolah tinggi Darul
Ilmi (Rumah Ilmu Pengetahuan) di Kairo agar dapat menghilangkan pengaruh
Syi’ah. Sesungguhnya tidkalah aneh untuk memecat professor dari madrasah
selam periode tersebut, karena keyakinan beragama mereka, terutama yang
menganut keyakinan Syi’ah. Ilmu Kalam yang berkembang di sekolah-sekolah
tinggi agama ini adalah Ilmu Kalam yang berasal dari paham Sunni dan
Syi’ah.
Paham Sunni memperoleh perhatian dan dukungan yang besar dari
Nizamul Mulk. Sebelum masa pemerintahannya, terdapat beberapa lembaga
ilmu pengetahuan semacam itu di dunia Islam yang menyerupai sekolah
tinggi sejenis, seperti Al-Azhar di Kairo, Mesir, pada seperempat terakhir abad
kesepuluh ; Darul Ilmi dan Darul Hikmah, juga di Kairo, pada awal dasawarsa
abad kesebelas; Baitul Hikmah di Baghdad selama pemerintahan al-Ma’mun,
dan Baihaqiyyah di Nishapur di Khurasan, Persia. Nizamul Mulk di hargai
karena telah mendirikan sebuah pemerintah dan agama, untuk tujuan politik
dan agama, sebuah system pendidikan keagamaan untuk umum, yang
bermotivasi sekular dan politik.
Dengan tujuan-tujuan ini, Nizamul Mulk mendirikan sekolah-sekolah di
setiap kota dan desa di Irak dan Khurasan. Bahkan sebuah tempat kecil,
seperti “Kharn al-jabal dekat Tus… memiliki guru dan sekolah”. Sekolah-
sekolah ini tersebar dari Khurasan di timur sampai Mesopotamia di barat. Apa
yang disebut sebagai madrasah ini segera dibakukan dan beberapa di antara
sekolah-sekolah tersebut dibangun mengikuti contoh sekolah yang ada di
Baghdad, yang dibangun oleh Nizamul Mulk sendiri dan disebut Nizamiyyah
(atau Nidhamiyyah), sebagai penghormatan kepada dirinya.
Nizamiyyah didirikan tidak saja di Baghdad, tetapi juga di Nisabur, Balkh,
Heart, Isfahan, Marv, Basrah dan Mosul. Nizamul Mulk tidak hanya mendirikan
akademi-akademi ini, tetapi juga memberikan dana kepada akademi tersebut.
Diperkirakan $1.500.000 dihabiskan pertahun untuk membiayai institusi-
institusi pendidikan, semi pendidikan dan agama.
Universitas Nizamiyyah, yang paling terkenal di antara banyak
madrasah, didirikan di Baghdad pada tahun 1065 di bawah pengawasan
pribadi pendidik. Kisah tentang Universitas ini pernah diceritakan oleh ibnu
Khaldun, seorang filosuf dan sejarawan Arab besar, yang mengatakan
Nizamul Mulk memerintahkan Abu Ishaq ash-Shirazi agar menjadi
profesornya, tetapi ketika orang-orang berkumpul untuk mendengarkannya,
ia tidak muncul. Ia dicari-cari, tetapi tidak diketemukan, sehingga Abu Nasir
Ibnul Sabbagh di angkat untuk menduduki jabatan tersebut. Kemudian Abu
Ishaq menemui mahasiswanya di masjid, tetapi para mahasiswanya
memeprlihatkan ketidakpuasannya dengan tidnakannya tersebut dan
mengancam agar ia menggantikan Ibnul Sabbagh, atau menerima jabatan
sebagai professor di Nizamiyyah. Akhirnya ia mengabulkan permintaan
mereka dan Ibnul Sabbagh diberhentikan dari jabatannya setelah mengajar
hanya selama duapuluh hari.
Alasan utama mengapa Abu Ishaq menolak untuk mengajar di
Nizamiyyah menurut Ibnu Khallikan adalah, ia telah diberitahu bahwa
sebagian besar material yang dipergunakan dalam pembangunan sekolah
tinggi tersebut diperoleh dari sumber yang haram. Bagaimanapun kutipan di
atas merupakan informasi yang sangat menarik bagi kita, karena masjid
merupakan tempat-tempat belajar ilmu pengetahuan yang utama sebelum
didirikannya universitas. Terdapat lebih dari seratus masjid semacam itu di
Baghdad saja.
Motif utama didirikannya Nizamiyyah adalah motif agama. Tujuannya
adalah untuk mengajarkan Mazhab Hukum Syafi’iyyah (Sunni), penekanannya
pada pengajaran teologi dan hokum Islam, dan universitas tersebut berdiri
sebagai universitas ilmu pengetahuan teologi Islam selama beberapa abad.
Sufi besar al-Ghazali mengajar di universitas ini selama duapuluh lima tahun
setelah didirikannya universitas tersebut. Al-Abiwardi (wafat 1104; 498 H.)
dan Ibnu Mubarak (wafat 1184; 580 H.) memiliki hubungan dengan
universitas tersebut. Ibnu Jubair yang mengunjungi sekolah tersebut pada
pertengahan abad keempatbelas, mengatakan : “Ditengah-tengah Suqats-
Tsalatsa (Pasar Selasa) terdapat madrasah An-Nizamiyyah yang luar biasa,
yang keindahannya sangat terkenal.
Tujuan Pendidikan Muslim
Tujuan pendidikan Muslim pada “abad pertengahan” agaknya dapat
didefinisikan sebagai berikut :
1. Tujuan keagamaan, berdasarkan pada (a) Qur’an sebagai sumber
pengetahuan, (b) landasan ruhaniyah dalam pendidikan, (c) tawakkal
kepada Allah, (d) akhlak agama, (e) menomorduakan mata kuliah sekular
daripada mata kuliah agama, (f) manusia adalah sederajat di hadapan
Allah dan manusia, (g) meninggalkan Muhammad di atas seluruh para
nabi, (h) mempercayai enam rukun Iman, Malaikat, Kitab Suci, Nabi-nabi,
hari Kiamat, Takdir, dan (i) mempercayai serta mengamalkan perintah-
perintah agama, termasuk pengakuan keimanan (Tiada Tuhan selain
Allah), shalat, zakat, puasa dan haji.
2. Tujuan keduniaan (sekular), pentingnya keduniaan dinyatakan dalam
hadis Muslim, yang dikaitkan kepada Muhammad, beliau bersabda, “ Yang
terbaik di antara kamu bukanlah yang melalaikan dunianya untuk
mengejar akhirat, atau melalaikan akhirat karena mengejar dunia. Yang
terbaik di antara kamu adalah yang berusaha untuk mencari keduanya.”
Di antara tujuan-tujuan ini adalah menggali semua ilmu pengetahuan,
sebagaimana wahyu dari Allah, pendidikan terbuka bagi semua orang,
kecuali yang membatasi hanyalah kemampuan dan minatnya saja. Dan
bimbingan serta pengajaran adalah sangat penting untuk meningkatkan
(memprakarsai) ilmu pengetahuan dan pendidikan.
Mutakallimun, yakni guru-guru Ilmu Kalam Muslim (penyampai
kebenaran), menegaskan pentingnya guru-guru pengetahuannya
berkaitan dengan wahyu atau guru-guru yang memperoleh ilham. Inilah
pendapat ahli teologi-filosuf-pendidik al-Ghazali, yang meyakini adanya
tiga tingkatan pengetahuan : (a) pengetahuan indera, yang hanya
terbatas pada pengalaman indera dan tergantung pada otoritas eksternal;
(b) pengetahuan ilmiah; (c) pengetahuan intuitif.
Adalah menarik untuk diperhatikan bahwa konsep al-Ghazali
tentang pengetahuan ilmiah mencakup tujuh prinsip atau persyaratan
dasar, yakni rangsangan untuk mencari pengetahuan ilmiah; penerapan
ilmu sastra ilmiah; memajukan penelitian dan menggali pengalaman;
mendorong seni dan kerajinan (diantara filosuf Yunani, terutama
Aristoteleslah yang menarik bagi orang-orang Islam. Karena tokoh besar
dari Yunani tersebut dapat menerapkan filsafat dan ilmu pengetahuan
dalam seni dan keperluan sehari-hari, serta karena dapat
mengadaptasikan konsep filsafat dan ilmu pengetahuannya dalam
kehidupan serta kebutuhan individual serta kehidupan sebagai warga
negara). Mendorong inisiatif individual dan kebebasan akademik baik
untuk guru dan murid – di sekolah tinggi Baghdad seorang mahasiswa
yang mengajukan pertanyaan dan menyalami guru besarnya dengan
salam (membungkuk), seringkali berakhir dengan perdebatan karena
mempertahankan beberapa prinsip, saling menyanggah atau terlalu
berargumen tentang hal-hal yang sepele; pencapaian keutamaan, untuk
menghasilkan manusia besar dalam ilmu pengetahuan dan pemimpin
masyarakat. Semangat pragmatis pendidikan mereka ditunjukan dengan
berkembangnya industri tekstil, system irigasi, produk besi dan baja,
barang-barang tembikar, produk kulit, inovasi arsitektur, anyaman karpet
dan permadani, industri kertas dan mesiu, pemeliharaan kapal dagang
yang berjumlah ribuan kapal, dan memajukan aktivitas perdagangan.
Meskipun pendidikan Muslim bertujuan untuk menyelenggarakan
pelatihan praktis, namun pelatihan semacam itu pada umumnya
didasarkan pada diajarkannya ilmu-ilmu pengetahuan dasar. Dengan
demikian dalam system ini, praktek didukung oleh teori; teori dibuktikan
dengan praktik. Bahkan dalam pelatihan perdagangan, ilmu ekonomi
sebagai suatu ilmu pengetahuan dijadikan landasan dalam pelatihan
tersebut.
Menarik untuk diperhatikan bahwa ketika Islam mulai mundur
setelah akhir abad kesebelas, jumlah sekolah-sekolah tinggi semakin
bertambah dan tumbuh subur. Namun demikian, hampir semua sekolah
tinggi ini merupakan sekolah yang dikuasai oleh kelompok-kelompok
tertentu dan didukung oleh pemimpin-pemimpin dari berbagai faksi
keagamaan dalam Islam. Tiap-tiap sekolah tinggi milik kelompok yang
dibuka – dengan beberapa kekecualian – adalah pengikut mazhab
tertentu. Studi keagamaan dan sastra, bahasa dan tata bahasa Arab
mendominasi mata kuliah serta mengabaikan filsafat, ilmu pengetahuan
dan studi ilmu-ilmu social. Sangat banyaknya sekolah-sekolah agama ini
menunjukan bahwa kemunduran secara pelan-pelan secara berlangsung.
Sekolah-sekolah tinggi ini tidak toleran terhadap pembaharuan, curiga
terhadap studi ilmu-ilmu sekular, dan jauh dari cendekiawan-cendekiawan
kreatif. Beberapa di antara sekolah tinggi ini dapat terselamatkan dari
penghancuran yang dilakukan oleh orang-orang Mongol pada abad
ketigabelas, dan tetap menjadi pusat pengajaran ilmu-ilmu keagamaan
sampai abad keempatbelas dan kelimabelas.
Terdapat persaingan di antara sekolah-sekolah milik golongan
(kelompok) ini, terutama antara kelompok-kelompok agama Syi’ah dan
Sunni (Hanafiyyah). Persaingan ini menunjukan semakin meningkatnya
jumlah sekolah tinggi tersebut beserta fasilitasnya, sokongan dananya dan
sebagainya. Serta dapat menjadi kekuatan pendidikan yang sangat besar,
kecuali karena keterbatasannya akibat sifat keagamaan saja.
Juga menarik untuk dicatat bahwa selama periode yang sama,
universitas-universitas baru mulai berkembang di Eropa Barat, terutama di
Italia, Jerman, Prancis dan Inggris. Tetapi tidak sebagaimana sekolah-
sekolah Islam yang dimiliki oleh kelompok atau golongan dalam dunia
Islam, universitas-universitas Barat melestarikan unsure-unsur intelektual
terbaik yang pernah dikembangkan oleh riset dan ilmu pengetahuan Islam
selama abad-abad kreatifnya, dari abad kesembilan sampai abad
keduabelas. Karya-karya Islam sampai di Eropa kira-kira pada periode
yang sama (abad keduabelas dan ketigabelas) ketika ilmu pengetahuan
sekular sedang mengalami kemunduran dalam Islam. Karya-karya dari
ratusan penerjemah tidak saja ditingkatkan, diciptakan dan diperluas oleh
beberapa universitas Barat, tetapi juga melahirkan Renaisans Barat pada
abad keempatbelas dan kelimabelas. Alasannya tentu saja adalah bahwa
kebangkitan terhadap minat ilmu sekular dan riset di Barat ini, yang
meskipun dibatasi oleh semangat keagamaan sampai abad ketujuhbelas
dan kedelapanbelas, tetap relatif bebas untuk menyelidiki pengetahuan-
pengetahuan baru yang akan mengantarkan kepada dunia modern.
Di dalam Tarikh Adabyyat Iran (Sejarah Sastra Iran), Volume II,
Doktor Tsabih Allah Safa mentyatakan bahwa sekolah-sekolah tinggi milik
golongan ini etrsebar di seluruh wilayah Islam Timur, dari Mesir sampai
Yordania. Kebanyakan tumbuh subur di kota-kota terkenal seperti
Nishapur, Isfahan, Yezd, Marv, Kashan, Kirmansyah, Baghdad, Rayy, Qum,
Basrah, Balkh, Heart, Gorgan, Hamadan, Mosul, dan Varamin. Apapun
kelemahan yang terdapat pada sekolah-sekolah tersebut tumbuh subur
pada sejumlah besar kawasan yang sangat luas di wilayah Islam Timur.
Dengan demikian menunjukan banyaknya jumlah sekolah menengah yang
ada. Table berikut ini menunjukan contoh beberapa sekolah tinggi yang
dimiliki oleh golongan tertentu yang banyak terdapat pada periode
tersebut di Islam Timur. Sekolah-sekolah tinggi yang disebutkan di sini
berdasarkan sumber yang ditulis oleh Shafa, yang sumber utamanya
berasal dari karya berbahasa Arab abad keduabelas, berjudul Kitab an-
Naqd (Ba’dh Masailun Nawasib fi Naqd Ba’dh Fadhail ar-Rawafidh).
SEKOLAH TINGGI MAZHAB SYI’AH DAN SUNNI
DI ISLAM TIMUR
(Merebak kira-kira tahun 1050 sampai 1250)
NAMA SEKOLAH TINGGI MILIK KELOMPOK LOKASI
Syamsul Islam Hasya (Hasan) Syi’ah Imamiyah Rayy
Babuya Syi’ah Imamiyah Rayy
Sadat Gilaki Syi’ah Imamiyah Rayy
Abul Futuh Syi’ah Imamiyah Rayy
Faqih Ali Jasti Syi’ah Imamiyah Rayy
Khawja Abdul Jabbar Mufid Syi’ah Imamiyah Rayy
Kooy Firuzeh Syi’ah Imamiyah Rayy
Khawja Imam Rasyid Razi Syi’ah Imamiyah Rayy
Sa’d Selt Syi’ah Qum
Atsira al-Mulk Syi’ah Qum
Sayyid Azizudin Murtadha Syi’ah Qum
Imam Zainuddin Murtadha Syi’ah Qum
Imam Zainuddin Amirah Syi’ah Qum
Syaraf Syah al-Husaini Syi’ah Qum
Dhahiruddin Abdul Aziz Syi’ah Qum
Ustad Abul Hasan Kumaij Syi’ah Qum
Syamsuddin Murtadha Syi’ah Qum
Sayyid Murtadha Kabir Syi’ah Qum
Syarafuddin Syi’ah Qum
Sufiyyieh Syi’ah Kashan
Madjdiyieh Syi’ah Kashan
Sharafiyyieh Syi’ah Kashan
Aziziyyieh Syi’ah Kashan
Ezzol Mulki Syi’ah Aveh
Arab Shahi Syi’ah Aveh
Radhawiyyieh Syi’ah Varamin
Fathiyyieh Syi’ah Varamin
Nidhamiyyah Sunni (Syafi’iyyah) Baghdad
Tajiyyah Sunni (Syafi’iyyah) Baghdad
Nidhamiyyah di Nishapur Sunni (Syafi’iyyah) Nishapur
Nidhamiyyah di Basrah Sunni (Syafi’iyyah) Basrah
Nidhamiyyah di Isfahan (Sadriyya) Sunni (Syafi’iyyah) Isfahan
Nidhamiyyah di Balkh Sunni (Syafi’iyyah) Balkh
Nidhamiyyah di Heart Sunni (Syafi’iyyah) Herat
Nidhamiyyah di Mosul Sunni (Syafi’iyyah) Mosul
Malik Shah Hanafiyyah Isfahan
Khatun Mahd Araq Sunni (?) Nishapur
Husain Baihaqi Sunni (?) Nishapur
Khurnu Gardi (Saifuddin Abu Nasr Sunni (?) Nishapur
Muhammad ibnu Abi al-Khair Sunni (?) Nishapur
Sarwiyyah Sunni (?) Nishapur
Darwaza’I Araq Sunni (?) Nishapur
Nidhamiyyah Sunni Marv
Nidhamiyyah Sunni Shah Jahan
Mansur al-Mustawfi Sunni Shah Jahan
Gorgan Sunni Gorgan
Khawja Najamuddin (Hasan Amidi) Sunni Rayy
Malik al-Umara (Jamaludin) Sunni Hamadan
Tughril ibnu Muhammad Saljuqi Sunni Hamadan
Arsalan ibnu Tughril Sunni Hamadan
Anushirwan ibnu Khalid Sunni Kashan
Khatun Saljuqi Sunni Isfahan
Darb-i-Mahan Sunni Kirmanshah
Arsalan Shah Sunni Kirmanshah
Muhammad ibnu Arsalan Shah Sunni Kirmanshah
Abu Ja’far Ala ad-Dawlah Kalijar Sunni
(Doe Menareh) Sunni Yezd
Kyan Rosu Sunni Yezd
Ala Khan Sunni Yezd
Atabak Sam Sunni Yezd
Wardanrooz Sunni Yezd
Beltasiyyah Sunni Baghdad
Talshiyyah Hanafiyyah Baghdad
Suq al-Amid Hanafiyyah Baghdad
Mustansiriyyah Hanafiyyah Baghdad
Pendidikan dasar hampir terdapat di mana-mana di seluruh
kawasan Islam. Para Khalifah Abbasiyyah adalah pendukung pendidikan
dan pelajaran baca-tulis. Dimulai sejak Harun al-Rasyid, mereka
berpendapat bahwa setiap anak-anak Muslim memiliki kesempatan untuk
belajar dasar-dasar membaca, menulis, berhitung, ilmu-ilmu pengetahuan
dasar, geografi, sejarah dan sebagainya. Dengan demikian mereka
mendirikan sekolah dasar di setiap masjid, atau tempat peribadatan.
Guru-guru yang pandai mengajar anak-anak orang kaya dan anak orang
miskin dengan perlakuan yang sama. Di mana-mana orang dapat
membaca dan menulis.
Kebebasan yang seluas-luasnya inilah yang ditunjukan oleh
pemerintahan Muslim dalam mendidik rakyatnya di sekolah-sekolah yang
merupakan salah satu factor terpenting bagi berlembangnya peradaban
secara cepat dan cemerlang. Pendidikan tersebar di mana-mana sehingga
sangat sulit untuk menemukan orang-orang Muslim yang tidak dapat
membaca atau menulis.
Meskipun demikian, pendidikan bagi kaum wanita mengikuti tradisi
klasik, yang tujuannya adalah agar mereka mampu mengatur rumah
tangga, meskipun beberapa orang wanita Muslim ada yang menjadi warga
masyarakat yang sangat terpelajar. Di antara mereka adalah penyair-
penyair seperti misalnya Badanuyyah, juga seorang yang sangat ahli
dalam prosa; Hafsah ar-Rakuniyyah dari Granada, seorang guru dan
penyair besar; Maryam binti Abi Ya’qub al-Aswari, guru danpenyair lain
yang terkenal ; Safiyyah dari Seville, seorang penyair orator dan ahli
kaligrafi yang ternama; Zainah binti asy-Syari, seorang ahli teologi;
Unaidah, nenek Abul Khair al-Aqta, seorang guru yang terkenal ; Taqiyyah
Unim Ali Abi al-Faraji, seorang penyair; juga penyanyi besar seperti
misalnya Jamilah, Danamir, Ulayyah, Mariyyam, Khadijah, anak
perempuan al-Ma’mun, dan Ubaidah at-Tanbariyyat; dan dokter-dokter
terkenal seperti Zainab dari Banu dan Unim al-Hassan (binti al-Qadi Abi
Ja’far) at-Tanjali. Namun demikian pada umumnya pendidikan bagi kaum
wanita hanya terbatas pada pendidikan dasar, pelajaran agama, sastra,
musik dan seni.
Organisasi Pendidikan Muslim
Halaqah. Bentuk yang paling sederhana pendidikan Muslim pada
masa awal adalah duduk melingkar. Ini merupakan pengalaman
pendidikan yang khas dalam Islam dan dikenal dengan nama Halaqah,
yang arti harfiahnya sebuah perkumpulan yang melingkar (pengkajian
yang dilakukan dengan duduk melingkar). Dinamakan demikian, karena
guru duduk di tengah-tengah di sebuah mimbar atau bantal
membelakangi tembok atau tiang, dan para pelajar duduk dengan
membentuk setengah lingkaran di depan guru. Lingkaran tersebut
dibentuk menurut tingkatannya, semakin tinggi tingkatan seorang pelajar,
atau pelajar pengunjung, maka ia duduk paling dekat dengan gurunya.
Sebuah tempat yang telah ditentukan dalam lingkaran tersebut selalu
disediakan untuk pengunjung.
Organisasi Pendidikan Muslim, 750-1350
Dikenal sebagai Dikenal sebagai 1) Baitul Hikmah (Rumah
maktab-maktab atau 1) Sekolah-sekolah Masjid kebijaksanaan),
kuttab-kuttab (sekolah- (Masjid), 2) Kedai buku sebagai pusat-
sekolah menulis). 2) Lingkaran-lingkaran, di pusat penelitian,
Masjid (Halaqah), 3) Salon-salon kesusastraan
3) Madrasah-madrasah, di sebagai pusat-pusat pertu-
luar masjid-masjid, me- karan wawasan dan perde-
nambah keduanya disi- batan berbagai persoalan.
plin-disiplin sekunder
dan disiplin-disiplin
sekolah-sekolah tinggi
5 atau 6 hingga 14 Dasar, hingga 18 atau di atas se- Universitas pendidikan dan
kebanyakan di luar masjid, kolah tinggi sekunder pasca-Univeristas
di kedai-kedai atau rumah- Transisi dari sekunder ke 4) Perpustakaan-perpustakaan
rumah para guru pribadi. sekolah tinggi adalah umum, semi umum dan
fleksibel dan didasarkan dan pribadi di rumah-rumah
atas inisiatif individual. para cendekiawan, sebagai
pusat-pusat riset dan cen-
dekiawan.
5) Pendidikan yang lebih
tinggi juga dilakukan di
beberapa masjid secara
eksklusif, semacam
Al-Azhar.
Para guru yang ternama adalah lambing ilmu pengetahuan dan
intelektual, ucapan-ucapan mereka dicatat dengan sangat cermatnya di
dalam buku catatan oleh semua pendengar. Buku catatan tersebut kadang-
kadang diteliti kembali dengan cermat oleh guru tersebut, yang kemudian
mengoreksi dan menyetujui untuk digunakan sebagai bahan mengajar bagi
pihak lain. Cara mengajar dalam lingkaran tersebut adalah dengan jalan dikte
(imla), guru memberikan kuliahnya, dan mahasiswa mencatat kuliah tersebut.
Apabila bahan kuliah telah tersedia, para mahasiswa diperintahkan untuk
mempelajarinya dan saling mendiskusikannya agar memperoleh pemahaman
yang lebih baik untuk selanjutnya diajarkan di tempat-tempat tertentu.
Mahasiswa yang telah maju, bahkan mahasiswa baru atau pengunjung,
didorong untuk bertanya kepada guru tentang persoalan apa saja, dan bebas
untuk menyanggah berdasarkan sudut pandangnya sendiri, atau bahkan
menentang dan mengoreksi pernyataan gurunya. Dengan demikian
perselisihan antara guru dan mahasiswa sering terjadi dan kadang-kadang
memanas, serta berdebat dengan sengitnya. Tetapi semua itu dilakukan atas
nama untuk kepentingan penyelidikan dan ilmu pengetahuan.
Setiap mata kuliah dibicarakan secara metodis oleh guru. Pertama, guru
melakukan survey umum terhadap mata kuliah tersebut. Kemudian ia
mengubungkan kuliah hari itu dengan kuliah sebelumnya agar dapat
dikembangkan rasa kesinambungan dan pemahaman. Ia menyediakan waktu
yang banyak untuk memusatkan fase-fase perbedaan pendapat yang lebih
sulit mengenai mata kuliah yang harus dijelaskan dan diterangkan.
Para mahasiswa seringkali melakukan perjalanan yang lama untuk
bergabung dengan lingkaran dari seorang guru ternama, atau berpindah dari
satu lingkaran, ke lingkaran yang lainnya. Kadang-kadang melakukan
perjalanan ke kota-kota yang jauh, untuk menyerap suatu ilmu dari seorang
cendekiawan, kemudian berpindah kepada cendekiawan lainnya.
Maktab, atau Kuttab (Sekolah Menulis) Maktab, atau tempat-tempat
untuk mengajar menulis, terdapat di dunia Arab bahkan sebelum Islam.
Maktab sesungguhnya merupakan sebuah tempat untuk belajar membaca
maupun menulis, yang terletak di rumah guru di mana para murid berkumpul
untuk menerima pelajaran. Di sana juga terdapat bentuk-bentuk maktab
lainnya, dimana setelah datangnya Islam, secara khusus diberikan pelajaran
tentang Qur’an dan agama.10 Maktab-maktab seperti itu, misalnya Abdul
Qasim al-Balkhi di Julfa (meninggal 723; 105 H.) memiliki tigaratus murid.
Guru-guru di maktab ini disebut Muallim atau pengajar.
Maktab merupakan tempat untuk memperoleh pendidikan dasar pada
masa awal Islam hampir di semua kota atau desa. Disamping pelajaran
Qur’an dan agama, puisi, menunggang kuda, berenang, peribahasa terkenal,
ilmu hitung, tata bahasa, adab-adab, juga diajarkan ketrampilan menulis
indah. Maktab-maktab ini terdapat di Spanyol, Sisilia, Afrika dan Timur
Tengah, meskipun kandungan kurikulumnya berbeda-berbeda dan
disesuaikan dengan kebutuhan social-budaya dan latar belakang setempat.
Sekolah Istana. Sekolah ini diselenggarakan di istana kerajaan.
Disamping memberikan kurikulum sebagaimana yang diajarkan di maktab,
juga diajarkan ilmu-ilmu social dan kebanyakan yang diperlukan untuk
memasuki pendidikan yang lebih tinggi, untuk memasuki pergaulan di
masyarakat, dan untuk bekerja di pemerintahan khalifah. Sesungguhnya,
para pengajar di sekolah-sekolah istana disebut mu’addib dari kata adab,
atau tingkah laku yang baik, dan seseorang yang bertingkah laku dengan baik
disebut mu’addib. Seni pidato dan percakapan yang baik, etika formal,
sejarah dan tradisi juga terdapat dalam kurikulum tersebut.11
Sekolah Masjid. Sekolah Muslim yang paling khas dan bertahan paling
lama adalah sekolah masjid, yang didukung oleh Harun al-Rasyid dan
dilanjutkan oleh para Khalifah setelah dia. Di mana saja Islam tersebar pada
abad pertama dengan perkembangannya yang luar biasa, tradisi masjid
sebagai pusat peribadatan juga menyertainya. Dengan demikian, wajarlah
apabila para khalifah terdahulu (Abbasiyyah) sedikit demi sedikit melihat
pentingnya masjid bukan saja sebagai tempat peribadatan, tetapi juga
sebagai pusat pengajaran bagi kaum muda. Sedemikian banyaknya dan
sedemikian tersebarnya masjid-masjid ummat Islam sehingga al-Yaqubi
melaporkan bahwa di Baghdad saja terdapat 3.000 masjid pada abad ketiga
Hijriah, atau pada dasawarsa pertama abad kesepuluh Masehi. Menurut ibnu
Jubair, Alexandria dinyatakan terdapat 12.000 masjid pada abad
keempatbelas. Beberapa di antaranya merupakan masjid yang sangat indah
dan mahal. Masjid al-Mansur, didirikan selama masa pemerintahan Harun al-
Rasyid di Baghdad, diberitakan bernilai 18.000.000 dinar.12 Masjid tersebut
sebagaimana yang terdapat di Mesir, Iran, Irak, Afrika Utara dan Spanyol,
menjadi pusat ilmu pengetahuan bagi para mahasiswa dari seluruh dunia
Muslim. Masjid-masjid yang paling terkenal adalah masjid-masjid yang
terdapat di Alhambra, Kairo dan Damaskus, terkenal sebagai salah satu
keajaiban Abad Pengetahuan; juga masjid-masjid yang terdapat di Isfahan,
Mashhad, Qum dan kota-kota lain di Persia.
Sekolah Kedai Buku. Disamping tiga jenis sekolah manulis tersebut,
yakni maktab, sekolah istana (adab) dan sekolah masjid, terdapat pusat-pusat
pendidikan Islam lainnya sebelum dikembangkannya madrasah umum oleh
Nizamul Mulk. Yang terpenting di antara pusat-pusat ini adalah kedai buku,
tempat tinggal pribadi para cendekiawan besar Muslim, dan apa yang disebut
sebagai “salon sastra”.
Selama periode Abbasiyyah, ilmu pengetahuan Muslim berada di tempat
yang sangat tinggi sehingga mengilhami tumbuhnya kedai-kedai buku,
penyalur buku dan para penyalin naskah di semua kota-kota penting Islam,
terutama di Baghdad, Cordova, Kairo, Mashhad (Meshed) dan Damaskus.
Tidak saja jumlah kedai buku selalu bertambah di luar dugaan di Islam Timur
selama periode Abbasiyyah, dan Islam Barat selama periode Umayyah II
(Spanyol), tetapi dengan bertambahnya kedai-kedai buku ini menyebabkan
bermunculannya kedai-kedai buku di tempat lainnya di dunia Islam. Banyak
para cendekiawan yang menghabiskan waktunya berjam-jam di kedai-kedai
buku ini. Mereka dengan bebas meneliti, membaca, dan mempelajari buku-
buku yang ada, atau membeli buku-buku menarik untuk dikoleksi di
perpustakaan pribadinya. Para cendekiawan Islam ternama diketahui sering
mengunjungi kedai-kedai buku terkenal ini.
Para penyalur buku juga memberikan andilnya dalam menyebarkan ilmu
pengetahuan, yakni dengan bepergian ke kota-kota Muslim yang terkenal
untuk mencari naskah-naskah yang langka. Baik untuk dijual secara pribadi
kepada para kolektor atau cendekiawan yang berminat atau untuk memenuhi
pesanan khalifah, gubernur, dan sebagainya, yang bersedia membayar
berapa saja harga yang diminta, untuk dijadikan kebanggaan dengan
memiliki naskah langka tersebut.
Beberapa di antara naskah-naskah itu pada akhirnya dapat ditemui di
perpustakaan-perpustakaan pribadi para cendekiawan Muslim atau penguasa
yang menjadi pendukung dan penyebar ilmu pengetahuan, dan disediakan
kepada siapa saja yang berminat untuk mempelajarinya. Di perpustakaan
seperti itulah, ibnu Sina menghabiskan masa penelitiannya, yang menurut
pengakuannya sendiri terdapat naskah-naskah tentang kedokteran dan ilmu-
ilmu lainnya yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Sehingga seakan-akan
perpustakaan tersebut merupakan sumber ilmu pengetahaun yang melimpah,
yang kemudian digabungkan dengan karya-karyanya yang monumental yakni
ilmu kedokteran. Demikian pula beberapa cendekiawan Muslim besar seperti
al-Ghazali, al-Farabi dan Avicenna, serta beberapa nama lainnya yang pernah
mengajar di madrasah juga memiliki perpustakaan pribadi dan melakukan
studi, serta menjadikan rumahnya sebagai pusat bagi orang-orang yang
mencari limu. Banyak orang-orang yang beruntung di undang mengunjungi
perpustakaan mereka.
Salon Sastra. Salon-salon sastra, yang berkembang di sekitar para
khalaifah yang berwawasan ilmu dan para cendekiawan sahabatnya, menjadi
tempat pertemuan untuk bertukar pikiran tentang sastra dan ilmu
pengetahuan. “Di salon-salon sastra itu,” kata Syalaby, “Adat kebiasaan dan
peradaban asing berkembang dengan sendirinya; salon-salon dipersiapkan
dengan sungguh-sungguh, hanya orang-orang dari kelas-kelas tertentu saja
diijinkan masuk. Anggota-anggotanya harus dating tepat waktu dan
meninggalkan salon menurut tanda-tanda khusus yang telah diterapkan oleh
khalifah. Hanya khalifah sajalah dan tidak ada orang lain yang dapat
membuka diskusi.”13
Orang-orang yang mengunjungi salon-salon sastra tidak saja dipilih
secara khusus, tetapi juga diperintahkan untuk mengenakan pakaian tertentu
yang harus mereka kenakan dan harus mengikuti aturan yang ketat dalam
menjaga sikap dan martabatnya. Setiap orang telah ditentukan terlebih
dahulu tempat duduknya, menurut kelasnya. Ketika khalifah membuka pidato
pembukaan, semuanya harus diam serta mendengarkan dengan sungguh-
sungguh dan penuh rasa hormat. Peserta diskusi harus berbicara dengan
bahasa yang baik dan benar, tenang, dengan suara yang ditata. Interupsi
tidak diperbolehkan.
Dengan semua formalitas itu, perkumpulan sastra tersebut merupakan
pusat pendidikan yang sangat penting. Pertemuan tersebut menarik para
cendekiawan besar untuk berdiskusi, bertukar pikiran, dan berkomunikasi
tentang bidang-bidang ilmu pengetahuan yang sangat luas serta tentang
topik-topik yang sedang actual, sehingga menjadi pusat-pusat penggalian
ilmu pengetahuan yang sangat orisinal. Salon-salon tersebut mencapai
puncaknya selama periode Abbasiyyah, dibawah para khalifah seperti Harun
al-Rasyid. Mereka menggunakan salon-salon tersebut untuk mengadakan
tukar pikiran tentang persoalan-persoalan yang luas dan beragam di antara
para cendekiawan ternama, terutama di bidang agama, ilmu kalam, filsafat,
retorika, tata bahasa dan puisi (syair). Al-Ma’mun, khalifah yang berwawasan
ilmu lainnya, mendorong dan mengembangkan ilmu pengetahuan dengan
mengadakan tukar pikran dan dialog di antara para cendekiawan yang
berbeda pendapat dalam filsafat dan ilmu kalam (Aristotelian dan anti-
Aristotelian) yang ada padas masa itu saling bertentangan. Perdebatan-
perdebatan ini termasuk topik-topik seperti “ Apakah Qur’an diciptakan atau
tidak diciptakan?” Dengan cara ini istana khalifah dan istana raja-raja Muslim
berikutnya berfungsi sebagai pusat-pusat kebudayaan.14
Salah satu diskusi terbesar dalam Islam terjadi di istana Nizamul Mulk,
dimana al-Ghazali, setelah memperoleh kemenangan dalam diskusi tersebut
diangkat oleh perdana menteri untuk menduduki jabatan professor di
Universitas Nizamiyyah yang terkenal di Baghdad.
Madrasah (Pendidikan Sekolah untuk Umum; arti harfiahnya, tempat
untuk memberikan pelajaran). Pelajaran yang diberikan di maktab-maktab,
sekolah-sekolah istana dan sekolah masjid memiliki beberapa keterbatasan.
Kurikulumnya terbatas, sekolah tidak selalu memiliki guru-guru yang baik,
fasilitas fisik tidak mendukung bagi lingkungan pendidikan yang memadai.
Pertentangan antara tujuan pendidikan dan tujuan agama di dalam masjid
hampir-hampir tidak dapat diperoleh titik temu. Tujuan pendidikan
menghendaki adanya aktivitas sehingga menimbulkan hiruk pikuk, sementara
beribadat di dalam masjid menghendaki ketenangan dan kekhuyukan
beribadat. Dengan demikian sangat perlu untuk sedapat mungkin
membebaskan masjid dari beban-beban pendidikan secular-sektarian.
Didirikannya sekolah dengan bentuk baru, yakni madrasah adalah sesuatu
yang wajar dan diperlukan. Factor eksternal yang juga mendukung
dikembangkannya konsep baru ini adalah adanya kenyataan bahwa kemajuan
dan penyebaran ilmu pengetahuan menyebabkan adanya sekelompok orang
yang menemui hambatan untuk menciptakan kehidupan yang layak melalui
ilmu pengetahuan abstrak mereka (Tidak jauh berbeda dengan kondisi saat
ini). Oleh karena itu perlu untuk memajukan pendidikan dan memberikan gaji
kepada mereka sebagaimana yang benar-benar telah diwujudkan oleh
madrasah.15 Fasilitas-fasilitas fisik madrasah tentu saja agak berbeda antara
satu tempat dengan tempat lainnya, dan antara satu negara dengan negara
lainnya, tergantung pada perbedaan geografi, ekonomi dan budayanya.
Adanya motif-motif keagamaan dalam usaha awal untuk
mengembangkan pendidikan sebagaimana dilakukan oleh Nizamul Mulk,
Nuruddin dan lain-lain, dalam mendirikan madrasah di seluruh penjuru negara
Islam tidak dapat diragukan lagi. Namun semangat mereka tidak pernah puas
untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan pendidikan umum juga
merupakan salah satu factor penting yang mendorong didirikannya sekolah-
sekolah ini.16 Faktor yang sama juga di motivasi oleh semangat mereka untuk
mendirikan dan membiayai sekolah tinggi dan universitas di pusat-pusat
kebudayaan Islam seperti di Nishapur, Baghdad, Damaskus, Kairo dan
Cordova, adalah menjadi pendorong dibukanya madrasah-madrasah pertama
di kota-kota besar lainnya di wilayah tersebut. Syalaby mencatat nama-nama
sekolah semacam itu, semuanya berjumlah lima belas, yang didirikan oleh
Nuruddin di Damaskus, Aleppo, dan kota-kota Syria lainnya. Enampuluh lebih
sekolah lainnya didirikan oleh para sultan, pangeran, amir, menteri
Ayyubiyyah, dan oleh orang-orang awam di Mesir, Jerusalem dan Damaskus.17
Ia juga memberikan deskripsi yang detail yang bersumber dari ibnu Jubair
mnegenai sebuah madrasah pada abad keenam, sebagai “salah satu sekolah
tinggi terbaik di dunia”. Sekolah tersebut terletak di sebuah tempat yang saat
ini disebut sebagai al-Khayyatin, kira-kira setengah mil dari Masjid Umar.
Sekolah tersebut terdiri dari sebuah ruangan kuliah yang besar (qo’ah),
“panjangnya 8,25 m, lebar 7,8m. dan tingginya 9,17 m,” masjid tersebut
diperuntukan bagi para mahasiswa dan peribadatan umum (yang cukup jauh
dari gedung kuliah), ruang guru, tempat tinggal mahasiswa (delapan), tempat
tinggal pengurus, dan kamar-kecil. Dapur dan ruang makan, ruang
penyimpanan makanan, dan ruang penyimpanan umum.18
Universitas. Puncak dan kejayaan “abad pertengahan” pendidikan
Muslim adalah universitas-universitas atau pusat-pusat penelitian. Kita telah
membahas universitas besar Nizamiyyah pada bab Nizamul Mulk, tetapi
marilah kita mengambil ilustrasi lain dari karakter universitas-universitas
Muslim, pusat penelitian terbesar mustansiriyyah.
Universitas Mustansiriyyah didirikan untuk bersaing dengan Nizamiyyah.
Asal-usul dan perkembangan universitas ini, penulis Baghdad During the
Abbasid Caliphate mengatakan:19
Tak jauh dari tempat tersebut dan, sebagaimana mungkin terlihat, persis di sekitar pintu
Gerbang Gharabah – menempati beberapa kawasan yang sebelumnya di kuasai Istana Hasani
tua, yang salah satu di antara temboknya digerus oleh aliran berupa Tigris – berdiri Sekolah
Tinggi Mustansiriyyah yang besar. Reruntuhan dari sekolah tinggi ini masih ada (1900),
sementara bangunan-bangunan istana para Khalifah hampir tidak ada jejaknya yang tersisa.
Sayangnya sebagai sekolah tinggi. Mustansiriyyah hanya sampai pada tahun 631 (1234 M.). tidak
disebut oleh Yaqur – yangtelah menyelesaikan kamus geografi besarnya – tidak lama sebelum
tahun tersebut. Dan karena itu, kita tidak tahu dengan pasti di atas dasar-dasar apa sebenarnya
sekolah tinggi di daerah tua tersebut berdiri. Mustansir, Khalifah sebelum terakhir dari istana
Abbas dan ayah Mustasim yang dibunuh oleh Hulagu, dan madrasah Mustansiriyyah telah
didirikan olehnya, dengan maksud untuk menggantikan Mustansiriyyah telah didirikan olehnya,
dengan maksud untuk menggantikan kemunduran sekolah tinggi Nizamiyyah yang terkenal,
didirikan oleh Nizamul Mulk yang telah membangun hampir dua abad sebelumnya.
Kita mengetahui, bahwa dari kenampakan luarnya dengan kemegahan ornamen dan
kemewahan perabotnya, dan dalam keluasan serta kekayaan kesalihannya, Mustansiriyyah
unggul dalam segala sesuatunya, dari yang pernah terlihat dalam dunia Islam sebelumnya.
Terdiri dari empat sekolah hokum (fiqih) yang terpisah, untuk tiap-tiap aliran ahli sunnah dengan
seorang professor menjabat sebagai kepala pada masing-masing sekolah tersebut. Masing-
masing memiliki tujuhpuluh lima mahasiswa (fakih) yang menjadi tanggung jawabnya dan yang
ia beri pelajaran secara gratis. Empat orang professor masing-masing menerima gaji bulanan
untuk mengajar tigaratus mahasiswa, ditetapkan satu dinar emas tiap bulan. Dapur besar
(umum) sekolah, selanjutnya menyediakan ransum roti dan daging setiap hari, untuk semua
penghuni. Menurut ibnul Furat, ada satu perpustakaan (Darul Kutub) di Mustansiriyyah dengan
buku-buku yang langka, membicarakan bermacam-macam ilmu pengetahuan, demikian tersusun
rapi sehingga para mahasiswa dapat dengan mudah memeriksa atau mencarinya. Dan bagi siapa
yang ingin menyalin manuskrip-manuskrip tersebut disediakan pena dan kertas oleh petugas.
Lampu-lampu untuk mahasiswa dan satu jatah persediaan minyak zaitun untuk penerangan
sekolah, juga disebutkan pada tempat penyimpanan untuk air minum yang dingin dan di dalam
ruangan masuk yang luas itu (Aywan), berdiri sebuah jam (Sanduk at-saat, Chest of the Hours,
memiliki bentuk depsydra), untuk memberitahu saat-saat salat yang ditetapkan dan tanda-tanda
perubahan waktu siang dan malam.
Di samping sekolahan, sebuah tempat mandi (Hammam) dibangun untuk dipergunakan
khusus oleh para mahasiswa dan sebuah rumah sakit (Bimaristan), dengan seorang dokter yang
ditunjuk bertugas mengunjunginya setiap pagi, memberikan resep kepada siapa yang sakit. Di
dana juga terdapat ruang-ruang kedai yang besar, yang menyediakan segala kebutuhan akan
makanan, minuman dan obat-obatan. Khalifah Mustansiri sendiri amat menaruh perhatian
terhadap kegiatan institusi tersebut. Ia nyaris tidak pernah melewatkan satu hari pun tanpa
berkunjung untuk memeriksanya, dan dapat mengamati sekolah tinggi tersebut dari sana. Adalah
menjadi kebiasaannya untuk datang ke bangunan itu, dan ia terlihat sangat asyik, duduk di
depan jendela yang di depannya tergantung tirai. Apabila tirai ini dibuka, melalui jendela tersebut
ia dapat melihat semua kegiatan yang sedang berlangsung di gedung sekolah tinggi itu, bahkan
kuliah-kuliah yang diberikan oleh para professor dan demikian pula diskusi-diskusi di antara para
mahasiswa dapat didengarnya.
Satu abad setelah pendirian sekolah tersebut, ibnu Batutah, yang berkunjung ke Baghdad
pada tahun 727 H. (1327 M.) menambah luas kecemerlangan (kebesaran) Sekolah Tinggi
Mustansiriyyah, yang telah beruntung terhindar dari kehancuran selama serangan bangsa Mongol
yang berlarut-larut. Dan dia menggambarkan hal tersebut sebagaimana situasi pada bagian
selanjutnya tentang Pasar Selasa (Suuq ats-Tsulatsa’) yang merupakan pusat komersial Baghdad
pada masanya. Sekolah-sekolah hokum (fiqih) di Mustansiriyyah kemudian masih seringkali
dikunjungi oleh para mahasiswa dari empat aliran ahli sunnah tersebut, masing-masing sekolah
memiliki masjidnya dan ruang untuk kuliah yang terpisah. Oleh ibnu Batutah digambarkan
sebagai “duduk di bawah kubah dari kayu, di atas sebuah kursi yang dilapisi karpet, berbicara
dengan penuh ketenangan dan sikap yang serius, berpakaian serba hitam, mengenakan surban
dan didampingi dua asisten. Salah seorang darinya, dengan mengangkat tangan ke dekat
mulutnya, mengulang dengan suara keras apa yang didiktekan oleh sang guru”.
Ahli geografi Persia, Hamdallah, menulis duabelas tahun lebih belakangan dari ibnu
Batutah, juga menunjuk Madrasah Mustansiriyyah sebagai bangunan terindah yang ada di
Baghdad waktu itu. Dan tampak berdiri utuh selama beberapa abad, karena terbukti reruntuhan
sekolah ini (seperti telah disebutkan) tetap masih ada hingga tahun 1900, menempati satu
ruangan dasar yang persis terletak di bawah bagian ujung timur Bridge of Boats (Jembatan Kapal)
sekarang. Mustansir juga merestorasi masjid besar dengan mendirikan empat buah dikkah
(panggung) di sebelah kanan atau sisi barat dari mimbar, tempat para mahasiswa Mustansiriyyah
duduk dan berdiskusi di hari Jumat setelah orang-orang selesai melaksanakan salat Jumat. Sisa-
sisa masjid itu juga (masih) ada hingga kini. Menempati bagian dari Suuq al-Ghazl (Pasar Benang)
tidak seberapa jauh ke arah timur dari sisa reruntuhan Madrasah. Ketika Niebuhr mengunjungi
Baghdad tahun 1750, ia menemukan bahwa dapur sekolah tinggi Mustansiriyyah kuno, dikenali
dengan jelas, digunakan – pada saat ia berkunjung itu – sebagai Rumah Timbang, dan Niebuhr
menyalin inskripsi yang tertera nama dan gelar Khalifah Mustansir dengan pernyataan bahwa
madrasah itu telah diselesaikan pada tahun 630 H. (1233 M.). sebuah inskripsi yang mirip (juga
masih ada) terlihat oleh Niebuhr pada reruntuhan masjid dengan tahun 633 H. (1236 M.) tepat
ketika restorasi yang dilakukan oleh Mustansir telah selesai, sebagaimana telah dikatakan di
atas. Pondasi tembok (dinding) seluruhnya kemungkinan jaih lebih tua daripada tahun tersebut,
dan mestinya masjid besar ini adalah sebuah masjid Istana Khalifah.20
Deskripsi yang lebih rinci tentang Mustansiriyyah ini menguntungkan
bagi kita sekarang, universitas-universitas yang semacam itu, bercahaya
bagai bintang pagi pada permulaan abad ketigabelas. Hal ini boleh jadi akan
menarik, jika membandingkan antara universitas Mustansiriyyah dengan
unversitas-universitas Kristen tertua Bologna, Paris, Montpellier dan Oxford
pada abad keduabelas, untuk perbandingan dalam segi baik dan buruk,
persamaan dan perbedaan, dan pengaruh atas satu sama lain.
Di Spanyol perkembangan (dari) pendidikan tinggi dimulai pada abad
kesepuluh. Bangsa Moor (Berber) dan berikutnya bangsa Arab, memasuki
Spanyol pada tahun 712. mendekati tahun 756, pangeran dari dinasti
Umayyah, Abdul Rahman, telah ditaklukan oleh tentara Cordova. Inisiatif lain
abad keemasan Islam di Spanyol bagian selatan, di bawah Umayyah ini, terus
berjalan hingga abad kesebelas. Sementara itu, abad kesepluluh adalah
puncak perkembangan intelektual Muslim Spanyol dengan Cordova sebagai
pusatnya, dan Seville, Toledo serta Granada kurang penting menurut
perbandingan. History of the Muhammadan Dynasties karya al-Makkari dalam
bahasa Spanyol yang menyebut satu daftar panjang (60 halaman) tentang
periode sastrawan ini.21
Sekolah Tinggi yang memberikan pendidikan lenih tinggi, terdapat di
Cordova (yang sebenarnya adalah univeristas), Granada, Toledo, Marcia,
Almeria, Seville, Valencia dan Cadiz. Sekolah-sekolah dasar meminta uang
sekolah yang amat kontras dengan sekolah-sekolah Islam Timur yang dalam
jumlah besar, terbuka untuk anak laki-laki dan perempuan, bahkan beberapa
– sebagaimana dilakukan oleh Hakam II – membebaskan uang sekolah.
Perpustakaan-perpustakaan banyak (sekitar 70 buah yang diketahui) yang
menarik mahasiswa dan para cendekiawan hampir setiap bidang, ada seni,
musik, sastra, teologi, filologi, retorika, tata bahasa, ilmu pengetahuan atau
filsafat,menunjukan betapa bermacam-macam materi informative dalam
perpustakaan-perpustakaan tersebut.
Kurikulum Sekolah-sekolah Muslim
Kurikulum pendidikan Muslim pada waktu itu, mengingatkan kita kepada
sifat-sifat ekstensif dan intensif dari program-program kurikuler sistem-sistem
pendidikan moderen yang telah maju, khususnya pada jenjang pendidikan
yang lebih tinggi. Bukan suatu yang luar biasa menemukan pelajaran-
pelajaran matematika (aljabar, trigonometri dan geometri); sains (kimia,
fisika, dan astronomi); ilmu kedokteran (anatomi, pembedahan, farmasi, dan
cabang-cabang ilmu kedokteran khusus); filsafat (logika, etika dan
metafisika); kesusastraan (filologi, tata bahasa, puisi dan ilmu persajakan);
ilmu-ilmu social, sejarah, geografi, disiplin-disiplin yang berhubungan dengan
politik, hokum, sosiologi, psikologi dan jurisprudensi (fiqih), teologi
(perbandingan agama, sejarah agama-agama, studi Qur’an, tradisi religius
(hadis) dan topik-topik religius lain). Mereka menawarkan studi-studi yang
maju, dalam bidang profesi seperti hokum dan ilmu kedokteran.
Kurikulum kejuruan mereka, berbeda-beda dan terdapat lebih banyak
studi-studi umum. Sesungguhnya hal ini menampakkan secara umum bahwa
seluas-luasnya pendidikan mereka adalah universal. Keluasan dan kedalaman
kurikulum Muslim dapat ditemukan (dideteksi) dengan referensi-referensi
(berkenaan dengan) sejumlah ensiklopedia tentang pengetahuan umum dan
disiplin-disiplin khusus, diantaranya yang terkenal, Encyclopedia of the
Ikhwan al-Safa (Persaudaraan Murni) yang telah dikenal dan dihargai oleh
kalangan terpelajar Eropa.
Indikasi lain dari keluasan kurikulum Muslim adalah ditunjukan dengan
sebenarnya oleh sebuah bahasa Arab, terdiri dari enampuluh volume, dengan
satu ilustrasi untuk setiap definisi.22 Lagi, kekayaan kurikulum Muslim tersebut
boleh ditentukan oleh koneskuensi-konsekuensi praktikal dan bermanfaat.
Membawa kepada semacam usaha seperti dalam perhitungan sudut ekliptik,
pengukuran luas bumi, perhitungan saing dan malam, penemuan jam
pendulum, penjelasan dalam bidang optik dan fisika seperti fenomena
“refraksi cahaya, gravitasi, daya tarik kapiler dan proses pembusukan”,
penggunaan globe dan pengajaran geografi seluruh bumi, pengembangan
obervatorium-observatorium untuk studi-studi empirik tentang bintang-
bintang di langit. Menciptakan kemajuan dalam penggunaan obat-obatan,
tumbuh-tumbuhan dan makanan, untuk pengobatan, pembangunan berbagai
rumah sakit dengan satu system interen dan ekstern. Perbaikan atas ilmu
navigasi, pengenalan konsep-konsep baru tentang irigasi, kesuburan dan
pengolahan tanah, penemuan sebab-sebab penyakit khusus, dan
pengembangan diagnosis yang tepat terhadapnya. Usulan konsep-konsep
baru tentang kesehatan, penggunaan anastetik dalam pembedahan (operasi)
dengan alat-alat operasi inovasi baru, pengenalan ilmu pengetahuan tentang
pengirisan dalam anatomi (dissection). Lebih lanjut, pemeliharaan secara
ilmiah terhadap kuda dan lembu dan penemuan cara-cara baru okulasi untuk
menghasilkan jenis-jenis bunga dan buah-buahan baru. Dalam bidang kimia,
kurikulum ditujukan untuk penemuan-penemuan semacam zat-zat, seperti
kalium karbonat, alcohol, perak nitrat, asam sendawa, asam sulfur, corrosive
sublimate, juga dikembangkan satu tingkat kesempurnaan seni yang tinggi
dalam pertekstilan dan pembuatan keramik serta metalurgi.
Pada kurikulum sekolah lanjutan Muslim, dalam periode Abbasiyyah
sumasi yang diberikan Abu Yahya Zakariyya adalah menarik.23 Termasuk
seperti, subyek-subyek hokum (Syar’iyyat), sebagaimana ilmu fiqih, ilmu
tafsir dan hadis, studi-studi kesusastraan (adabiyat) dalam filologi, sintaksis,
retorika, ilmu persajakan, komposisi, membaca dan sejarah. Matematika
(riyadhiyyat) termasuk geometri, astronomi, aritmetika, aljabar, musik, politik,
etika dan logika, dialektika, teologi dogmatic, metafisika, ilmu pengetahuan
alam, ilmu kedokteran dan kimia; dan sejenis subyek-subyek yang diakui
seperti penelitian. Dokter hewan, pertanian, frenologi, tafsir (interpretasi)
mimpi, astrologi dan magis (ilmu gaib).
Bencana terbesar yang menimpa ilmu pengetahuan Muslim adalah
bencana penyerbuan bangsa Mongol pada abad ketigabelas. Tentara Mongol
menghancurkan sangat banyak institusi-institusi ilmu pengetahuan terbesar
di Khurasan dan Baghdad. Setelah orang-orang Mongol, universitas-
universitas tersebut tidak pernah memperoleh kembali semangat dan
keelokannya dahulu kala.
Untunglah kita memiliki beberapa informasi yang pasti atas jangkauan
dan ruang lingkup ilmu pengetahuan Islam pada bagian akhir abad
ketigabelas dari tiga sumber-sumber yang otentik, yakni (1) Al-Fihrist al-Ulum
(Indeks Ilmu Pengetahuan) oleh ibnul Nadim tahun 988, (2) karya-karya para
ahli ensiklopedia yang lebih dikenal sebagai Ikhwanush Shafa dan (3)
Mafatihul Ulum (kunci-kunci) Ilmu Pengetahuan) oleh Yusuf al-Katib dari
Khawarizmi (tahun 976).
Di dalam risalah-risalah Ikhwanush Shafa, yang termasyhur di Basrah
pada apruh kedua abad kesepuluh, kita memiliki informasi-informasi berikut
yang disusun oleh Friedrich Dieterici dari limapuluh satu risalah-risalah yang
diterbitkan oleh persaudaraan (Ikhwanush Shafa) :
Studi-studi Keduniaan : Membaca dan menulis, leksikografi dan tata bahasa, kalkulasi dan
komputasi, ilmu persajakan dan seni puisi, ilmu tentang alamat dan isyarat, ilmu magis, jumat-
jimat, kimia dan permainan sulap, perdagangan dan kerajinan, jual-beli, komersial, pertanian dan
peternakan sapi, serta biografi dan cerita.
Studi-studi Religius : Pengetahuan tentang Kitab Suci (yakni Al-Qur’an), penafisran Kitab
Suci, ilmu pengetahuan tentang tradisi (Hadist), fiqih dan peringatan Tuhan, kehidupan pertapa,
mirikisme (sufisme) dan kegembiraan atau pandangan yang membahagiakan.
Studi-studi Filosofikal : matematika, logika, ilmu berhitung, geometri, astronomi, musik,
hubungan aritmetikal dan geometrical, ilmu pengetahuan alam dan antroplogi, zat, bentuk, waktu
dan gerak; kosmologi; produksi, destruksi dan unsur-unsur ; meteorology, mineralogy; esensi
alam dan manifestasinya; botani; zoology; anatomi dan antroplogi; daya menanggapi perasaan;
embriologi; manusia sebagai mikrokosmos; perkembangan jiwa (evlousi psikis); tubuh dan jiwa;
sifat yang sebenarnya tentang perasaan sakit (menderita) dan kesenangan psikis dan fisik;
perbedaan bahasa (filologi); pengertian psikologi; dunia kejiwaan (ruh) dan sebagainya; dan
doktrin teologi-isoterik Islam, pesan-pesan dari dunia ruh; ilmu-ilmu gaib.
Di dalam Mafatihul Ulum (kunci-kunci Ilmu Pengetahuan) karya al-Kitab,
kita menemukan suatu ruang lingkup yang agak mirip, tetapi berbeda dalam
pengelompokan ilmu pengetahuan dengan meniadakan studi-studi
keduniaan. Ilmu-ilmu pengetahuan “yang sebagian terbesar mengenai ilmu
pengetahuan Yunani atau Persia”, terbagi ke dalam dua cabang utama,
sebagai berikut :
Ilmu-ilmu Pengetahuan Orisinal (Ushuliyyah): Jurisprudensi (Fiqih): Dasar-dasar dan
pelaksanaannya (furu’); syahadat, salat, berpuasa, zakat, haji, jual-beli, perkawinan,
pembunuhan, luka, balas dendam, ganti rugi dan hokum pertumpahan darah, (sebelas bagian) ;
filsafat skolastik (Kalam), “Berbagai sekolah dan sekte-sekte Muslim, Kristen, Yahudi, dan orang-
orang non-Yahudi (Persia, India, Chaldea, Manichaea, Marcionite, Bardesania, Mazdakite, Sophist
dan sebagainya), berhalaisme Arab, dan prinsip-prinsip utama agama” (tujuh bagian); tata
bahasa (Nahwu) (duabelas bagian; ilmu sekretaris (Kitabat) …termasuk penjelasan dari semua
istilah-istilah teknis bekerja di kantor-kantor pemerintah (delapan bagian); ilmu persajakan dan
seni puisi (Arudh dan Syi’ir) (lima bagian); Sejarah (Akhbar): “sejarah Persia kuno, sejarah
Muhammad, sejarah pra-Muhammad di Aarabia, khususnya Yaman dan sejarah bangsa Yunani
dan Romawi” (sembilan bagian).
Ilmu-ilmu Pengetahuan Eksotik: Filsafat (Falsafah) (tiga bagian); logika (Mantiq) (sembilan
bagian); ilmu kedokteran (Thibb) – anatomi, aptologi, bahan obat, terapetik, diet, berat dan
takaran (delapan bagian); aritmetika termasuk aljabar (Hisab, Aritma’tiqi) (lima bagian); geometri
(Handasa,Jumetriya) (empat bagian); astronomi (Ilmun Nujum) – “planet-planet dan bintang-
bintang tertentu, susunan agkasa luar menurut system Ptolemis, astrologi judicial” (empat
bagian); musik (Musiqy) (tiga bagian); mekanika, hidrostatika (Ilmul Hiyal) (dua bagian); dan
kimia (Kimiya) (tuga bagian).24
Tidak diragukan, bahwa dalam kurikulum pendidikan dalam agama Islam
dan Kitab-kitab religius (qur’an), berdiri pada pusat aktifitas semua ilmu
pengetahuan, sebagaimana dinyatakan oleh ibnu Khaldun. Selanjutnya
setelah agama, kecakapan berbahasa juga sangat penting – sebagaimana
yang berlaku hingga sekarang – sebagai sarana untuk memahami agama
secara lebih baik, sudah tentu dalam hal ini bahasa Arab. Sesungguhnya
pelajaran yang diberikan di sekolah dasar (sekolah menulis atau Maktab)
hanyalah al-Qur’an, menulis dan aritmetika.
Pendidikan Ilmu Kedokteran pada Masa Awal Islam
Profesi kedokteran dan pendidikan kedokteran pada abad-abad awal
Islam, mengikuti pola dan standar Yunani, terutama sebagaimana halnya
yang dipelihara dan disempurnakan di sekolah kedokteran Akademi Jundi-
Shapur. Pengaruh-pengaruh pendidikan Yunani melalui sekolah kedokteran di
Iran ini mungkin ditiru melalui periode Sasanian hingga periode Achaemenian.
Standar-standar dan tradisi sekolah kedokteran di Akademi Jundi Shapur ini
selanjutnya di transfer dan dikembangkan di Baghdad di bawah Khalifah
Abbasiyyah, dan oleh para guru ahli kedokteran sekolah Jundi-Shapur, yang
hampir seluruhnya orang Yahudi dan Kristen-Nestorian, membawa tradisi
tersebut ke beberapa rumah sakit Muslim di Baghdad, tempat diletakkannya
pondasi ilmu kedokteran.
Pendidikan kedokteran dimulai sejak dini, ketika seseorang (mahasiswa)
menempuh pendidikannya Akademi. Biasanya antara usia limabelas sampai
tujubelas tahun. Meskipun ibnu Sina memulainya pada usia sebelas tahun dan
Hunain ibnu Ishaq telah menyelesaikan pendidikan dasar kedokterannya
ketika ia berusia tujuhbelas tahun.
Studi-studi tentang musik, astronomi dan geometri merupakan mata
pelajaran pilihan sebelum seseorang menempuh pendidikan kedokteran :
Musik untuk mengembangkan apresiasi terhadap “kepekaan rasa; astronomi
untuk menentukan waktu baik dan buruk; geometri untuk menentukan bentuk
luka – untuk luka yang berbentuk bulat penyembuhannya lebih mudah.”25
Para mahasiswa belajar teori dan praktik medical, saling bekerja sama
dalam kelas-kelas kecil, sebagaimana lazimnya, di bawah seorang praktisi
senior. Aspek pengajaran dasar yang terpenting adalah pengajaran yang
bersifat klinis di rumah sakit-rumah sakit, termasuk menyaksikan secara
langsung operasi “dan hal-hal lain yang sangat penting bagi profesinya”.26
Disamping observasi dan internship, mahasiswa-mahasiswa mengikuti kuliah-
kuliah yang diberikan oleh para praktisi senior di rumah mereka atau di
tempat-tempat umum lainnya. Para mahasiswa bertanya kepada guru mereka
tentang seluk beluk ilmu bedah. Pertanyaan diajukan benar-benar secara
bebas, bahkan (boleh) menunjukan kesalahan atas teori gurunya. Apabila
terpojok, seorang guru seringkali terpaksa harus merevisi pendapatnya atau
menulis risalah untuk mempertahankan pendapatnya terhadap sanggahan
tersebut.27 Salah satu di antara risalah-risalah tersebut misalnya: Cure Within
an Hour, ditulis oleh Barr as-Saat setelah ditantang oleh salah seorang
penyanggah dalam kelasnya. Atas pernyataannya yang menyebutkan”
(sangat) mungkin membebaskan materies morbid penyakit tertentu dalam
waktu satu jam.” Metodologi pengajaran dan ilmu pengetahuan yang
dinyatakan disini yang berkaitan dengan ilmu kedokteran, adalah dengan
beberapa modifikasi; metodologi pendidikan tinggi dalam semua cabang studi
di sekolah-sekolah tinggi dan universitas-universitas Islam.28
Di ruang kuliah, di rumah para praktisi kedokteran atau masjid-masjid,
para mahasiswa mengambil tempat duduk menurut senioritas akademisnya
masing-masing. Mahasiswa yang lebih senior duduk dengan sesama senior
dan lebih dekat kepada guru. Kuliah-kuliah ini selalu didasarkan kepada
dokumen-dokumen kedokteran tertulis dan langsung memberikan
kesempatan bertanya, untuk memperoleh penjelasan tentang hal-hal yang
masih samar, atau definisi istilah-istilah kedokteran yang dipergunakan
selama kuliah dan cara pengucapannya yang benar. Kuliah diadakan kadang-
kadang sepanjang sore hari, terutama sekali pada bulan Ramadhan.
Mahasiswa-mahasiswa berkumpul mengelilingi dosen-dosen terkenal dari
seluruh dunia Muslim, dengan kebebasan sepenuhnya dari satu kelompok
kepada kelompok lainnya atau berpindah dari satu guru ke guru lainnya,
apabila guru yang pertama tersebut “sudah terkuras habis ilmunya” atau
sejak semula memang terkesan tidak cukup banyak ilmunya. Beberapa dari
kelompok mahasiswa yang berskala Internasional ini cukup besar, biasanya
semakin terkenal seorang guru, akan semakin besar kelompok (kelas-
kelas)nya.29
Teks-teks dan referensi yang palin sering dipergunakan adalah sebagai
berikut : Aphorisms, Hippocrates; Questions, Hunain ibnu Ishaq; Guide, Razes;
juga buku karya al-Mansuri, Continens; Commentaries, Abu Sahl an-Nile ;
Treasury, Tsabit ibnu Qurra; Aims, al-Jurjani; Hidayat (Guide), Ajwini; Kifaya
(Sufficiency), ibnu Faraj; Treatises, galen;Liber Regius, Haly Abbas; Hundred
Chapters, Abu Sahl; Canon, ibnu Sina; Thesaurus, al-Jurjani. Perlu diperhatikan
daftar karya-karya penting ini ketika diterjemahkan ke bahasa Latin, selama
abad keduabelas dan empatbelas, merupakan dasar-dasar bagi kurikulum
kedokteran untuk sekolah-sekolah kedokteran Eropa, seperti pada Universitas
Paris.30
Guru dalam Pendidikan Muslim
Tinggi rendahnya penghormatan terhadap guru pada awal abad-abad
pendidikan Muslim tergantung atas dua factor: (1) Tempat di mana di
amengajar – di negara seperti Persia, dimana penghormatan kepada Guru
merupakan suatu tradisi lama dalam pendidikan Zoroastrian, tradisi ini
dilanjutkan ke dalam periode Islam – dan (2) Tingkatan dimana ia mengajar.
Biasanya, penghormatan kepada guru semakin tinggi terhadap guru sekolah
menengah dan pendidikan tinggi. Guru-guru sekolah dasar kurang dihargai
karena pengetahuannya yang amat sederhana dan karena tingkat pendidikan
tampaknya sudah menjadi daya tarik. Mereka seringkali secara tidak adil
menjadi sasaran ejekan dan tertawaan masyarakat dan mahasiswa. Mereka
digambarkan sebagai orang naïf, bodoh dan bahkan tidak bermoral. Sebuah
peribahasa yang disampaikan oleh al-Jahim: “Jangan meminta nasihat kepada
guru, penggembala dan orang-orang yang banyak bergaul dengan wanita.”
Juga, “hanya kebodohan yang ada pada penjahit, guru dan tukang tenun.”
Suatu cerita tentang kenaifan seorang guru, bahkan masih dikenal di negara-
negara Muslim hingga kini. Terdapat kisah yang menyatakan tentang murid-
murid di suatu Maktab yang merencanakan untuk mengelabui guru mereka
agar percaya bahwa dirinya sedang sakit. Ketika setiap murid memasuki
ruang kelas dan satu per satu menatap gurunya dengan tatapan sedih
(simpati), mereka bertanya apa yang menyebabkan sang guru sakit. Guru
yang berpikiran sederhana tersebut termakan oleh tipu daya murid-muridnya,
kemudian menyuruh murid-muridnya libur dan ia sendiri pun pergi tidur.
Bagaimanapun kenyataan ini memeperlihatkan bahwa terdapat bukti di
dalam pendidikan Muslim, betapa para pelajar (mahasiswa) mempunyai
perhatian besar terhadap gurunya. Dan seringkali lebih menyukai hubungan
intelektual secara langsung dengan mereka daripada dengan tulisan-tulisan
mereka.31
Tipe-tipe Guru. Ada enam tipe guru yakni : muallim, mu’addib, mudarris,
syaikh, ustad, imam, belum lagi termasuk guru pribadi dan para muaiyyid
atau asisten (guru-guru yunior). Muallim biasanya julukan bagi guru sekolah
dasar. Mu’addib, arti harfiahnya orang yang beradab atau guru adab, adalah
julukan untuk guru-guru sekolah dasar dan sekolah menengah. Mudarris,
adalah satu julukan professional untuk seorang Mu’id atau pembantu. Ia sama
dengan asisten professor dan membantu mahasiswa menjelaskan hal-hal
yang sulit mengenai kuliah yang diberikan profesornya. Syaikh, atau guru
besar (master) adalah julukan khusus yang menggambarkan keunggulan
akademis atau teologis. Imam, adalah guru agama tertinggi.
Pakaian Guru. Selama pemerintahan Abbasiyyah, para guru mengikuti
gaya Persia : mengenakan tutup kepala Persia, celana lebar, “rok, rompi dan
jaket”, semuanya ditutup dengan jubah atau aba mantel luar dan taylasan di
atas surban.
Persatuan Guru. Niqabat (serikat kerja) dikenal dalam Islam. Ada
beberapa serikat kerja, berbeda-beda menurut tingkat kealiman masing-
masing guru. Termasuk persatuan (serikat) guru ini yang dengan besar
berperanan ikut menyusun standar-standar skolastik dan moral bagi guru-
guru. Ikatan guru-guru ini juga memiliki pengaruh yang besar terhadap
profesi.
Bimbingan.setiap guru adalah seorang pembimbing. Para ahli teori
pendidikan Muslim yang ideal adalah seperti Avicenna dan al-Ghazali.
Terutama adalah pendidikan pra-sekolah tinggi yang benar dan dalam
pemilihan sautu karier. Anak-anak, demikian tegas Avicenna, harus dilatih
dalam satu profesi yang sesuai dengan bakat dan kecenderungan yang
dimilikinya dan jangan didorong untuk memilih kepada tiruan ayah mereka,
atau dari harapan orang tua semata-mata. “Itu adalah tugas dari seorang
guru, kemudian, mempelajari kualitas murid dan membimbingnya kepada
cabang ilmu pengetahuan yang paling cocok.”32
Kebebasan Akademis. Pada abad-abad keemasan Islam, agama telah
mendorong untuk bebas bertanya. Keunggulan ilmu pengetahuan dan
intelektual adalah dihormati dengan sangat tinggi. Para mahasiswa didorong
untuk mendiskusikan pandangannya dengan guru-guru mereka.
Perpustakaan-perpustakaan umum dan pribadi, bahkan istana-istana Khalifah
dan istana raja-raja adalah pusat-pusat yang terbuka dan menjadi ajang
kebebasan bertanya bagi para cendekiawan, yang seringkali menerima
bantuan finansial untuk mengikuti (mengejar) interes mereka.
Metode Pendidikan Muslim
Metode-metode pengajaran berikut ini berlaku di “abad pertengahan”
Islam, meskipun adaptasi-adaptasi telah dilakukan berdasarkan kebutuhan
dari tingkatan-tingkatan pengajaran yang berbeda : Penyampaian formal dan
kuliah di mana dosen duduk sebelum dia. Metode ini adalah yang berlaku
pada jenjang-jenjang pengajaran lebih tinggi. Guru membaca dari manuskrip
yang dipersiapkan atau dari teks, menjelaskan materi kuliah dan memberi
pertanyaan-pertanyaan dan mendiskusikan mata kuliah yang diberikan. Para
mahasiswa didorong untuk mengajukan pertanyaan tentang statemen-
statemen guru mereka dan bahkan untuk berbeda pendapat dengannya,
mereka mengajukan bukti-bukti yang mendukung pendapat mereka. Untuk
berkata, “Saya tidak tahu,” jika Anda (memang) tidak tahu adalah bernilai
setengah dari ilmu pengetahuan dan yang setenganya lagi adalah yang
terpenting.33 Para mahasiswa mencatat penuh masing-masing mata kuliah
dan harus menyalin ke buku catatan, untuk buku-buku yang cetakanya
terbatas.
Mu’id (asisten) seringkali membantu mahasiswa-mahasiswa mengenai
kuliah yang diberikan oleh guru besar. Pemberi kuliah selalu memulai dengan
meminta pertolongan dan bimbingan dari Tuhan, semoga ia berbicara benar.
Ia tidak pernah berbicara tentang teman sejawat atau tentang wibawa
dengan sikap yang menghina di hadapan mahasiswa. Ia seringkali
menyerahkan karya-karya orang lain dan dengan rasa hormat yang
sepantasnya, dan ia tidak kehilangan ketenangannya ketika dicemooh oleh
mahasiswa. Ia menggunakan tiga langkah dalam presentasinya, yakni
menerangkan matakuliahnya yang pertama secara umum, agak singkat dan
menghindari detail. Kemudian ia mengulang materi yang sama lebih
mendalam. Ia kemudian membacakan kembali tiap-tiap poin yang sulit dari
mata kuliahnya dengan penjelasan detail-detail seperlunya dan dengan
penjelasan dari semua bagian-bagian yang sulit. Kuliah pada umumnya
diberikan pada jam-jam terakhir pagi hari dan pada jam-jam permulaan sore
hari. Biasanya berlangsung perlu sebagai usaha terakhir.
Prinsip-prinsip penguasaan digunakan oleh mahasiswa termasuk
penghafalan, mengulang dari apa yang dihafal, memikirkan apa yang dikuasai
dan aplikasinya.34 Prinsip-prinsip lain, gabungan dari konsep-konsep : Bebas
dari kegelisahan adalah mendatangkan pengetahuan, makanan yang
sederhana dan dalam jumlah yang sedikit membantu menjaga pikiran yang
jernih,35 motivasi, dorongan dan pujian terhadap pekerjaan yang baik,
merangsang pengetahuan lebih jauh; dan hukuman fisik dianggap perelu
sebagai usaha terakhir.
Bebas dari perhatian terhadap keduniaan, belajar jauh dari rumah dan
memilih guru-guru yang tepat adalah tiga kondisi dari pendidikan yang baik.
Pemilihan guru yang baik, dilakukan secara serius oleh para mahasiswa.
Untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang lebih tinggi sering dilakukan
dengan pergi berjalan kaki berbulan-bulan dari Khurasan di Persia timur laut
ke Baghdad dan Kairo, mencari tidak hanya guru-guru yang baik, tetapi pergi
dari satu guru ke guru lain.
Dalam Persian Literature in Modern Times karya E.G. Browne, terdapat
satu deskripsi yang baik sekali tentang metode-metode melalui seorang
mahasiswa teologi Islam Syi’ah, yang telah memperoleh pendidikannya ;
sebuah metode yang tidak luar biasa, (sederhana) selama sejarah pendidikan
Muslim, termasuk abad keemasan ilmu pengetahuan Islam. Browne,
meskipun menunjuk kepada abad ketujuhbelas pendidikan Muslim, boleh jadi
sama-sama berlaku untuk “abad pertengahan” pendidikan Muslim dan dikutip
secara penuh, karena informasi yang luar biasa berkenaan dengan
penderitaan yang sering diderita oleh mahasiswa-mahasiswa pendidikan
tinggi dalam menyelesaikan studi-studinya.
Otobiografi Seorang mahasiswa Teologi
Ini adalah otobiografi yang sama dengan otobiografi Sayyid Nimatullah sebagaimana
disampaikan dalam Qisasul Ulama, yang memberi kita gambaran yang demikian luar biasa
gambling – sebuah potret dari kekurangan dan upaya dialami oleh seorang mahasiswa yang
bernasib malang. Ia dilahirkan tahun 1050/1641 – dan telah menulis cerita ini ketika ia berusia 39
tahun, “Dalam kehidupan yang singkat ini,” ia menambahkan, “penderitaan apa yang ditimpakan
kepada saya.”
Penderitaan ini dimulai ketika ia baru saja berusia 5 tahun, saat ia sedang bermain dengan
anak-anak sekelompoknya. Ayahnya muncul dan berkata: “Kemarilah anakku. Kita mungkin akan
pergi kepada seorang guru supaya engaku bias belajar membaca dan menulis. Agar engkau bias
mencapai satu derajat yang tinggi.” Kendatipun dengan menangis, protes dan mengadu kepada
ibunya, ia tetap harus pergi ke sekolah. Supaya lebih cepat pergi dan kembali kepada
permainannya, ia mengerahkan dirinya sendiri dengan tekun terhadap studinya, agar pada saat
ia berusia lima setengah tahun, kranya ia telah dapat menyelesaikan Qur’an, disamping
pengetahuan yang cukup tentang syair.
Guru-guru yang Lalim :
Begitulah, betapapun tidak membawa keringanan dan tidak membawanya kembali kepada
permainan (masa) kecilnya. Karena ia telah diasuh oleh seorang (guru) ahli tata bahasa yang
buta, untuk belajar tasrif bahasa Arab dan tata bahasa Zanjani. Kepada guru yang buta ini, ia
harus memotong dan membawakan rumput (makanan) ternak, untuk binatang-binatang buasnya
dan bebesaran (daun murbai) untuk ulat sutera yang dipeliharanya.
Seorang Profesor yang Bebal :
Ia kemudian mencari guru lain, kepada siapa ia belajar Kefiya karya ibnul Hajib, dan
menemukan seorang tokoh terkemuka yang mengagumkan, berpakaian putih dengan surban
yang hebat, “seperti kubah kecil”, betapapun tak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaannya.
“Jika Anda tidak cukup tentang tata bahasa, untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, kenapa
Anda mengenakan beban yang berat ini di atas kepala Anda?” Tanya sang anak yang membuat
para pendengar tertawa dan sang guru pun bangkit dalam keadaan malu, kemudian pergi.
“Hal ini menyebabkan dan mendorong diri saya sendiri untuk menguasai tasrif dan tata
bahasa,” kata penulis, “tetapi saya sekarang meminta ampun kepada Tuhan untuk pertanyaan-
pertanyaan saya kepada orang beriman itu, sementara saya bersyukur kepada-Nya bahwa hal itu
terjadi sebelum saya menginjak dewasa dan belum sepenunya bertanggung jawab terhadap
perbuatan saya.”
Penderitaan Perjalanan Mencari Pengetahuan :
Setelah menruskan perjalanan studinya dengan bermacam-macam guru lainnya, ia
mednapatkan ijin ayahnya untuk mengikuti kakaknya ke Huwayza. Perjalanan ke sana,
menggunakan perahu melalui terusan sempit penuh rumput liar, dimangsa nyamuk-nyamuk
“sebesar tawon”, dan hanya dengan susu sapi untuk menghilangkan laparnya, telah memberi dia
kesan pertamanya terhadap ketidaknyamanan dari perjalanan menjadi seorang mahasiswa
miskin. Sebagai pengganti pelajaran mengenai penjelasan kitab Jami dan Jabardi serta Syafiyah,
gurunya meminta ‘pelayanan lebih’ darinya dengan meminta ia dan siswa-siswa membawakan
ikan dan lauk pauk lain untuknya dari desa tetangga. Dia tidak akan mengijinkan siswa-siswa itu
untuk menyalin catatan kuliah miliknya, tetapi siswa-siswa itu mencurinya bila ada kesempatan
dan menyalinnya. “Demikian cara dia memperlakukan kami,” kata penulis, “Namun, di atas
semua itu kami telah dengan senang hati melayaninya, agar dengan demikian kami boleh
berharap mendapatkan kebaikan dari kata-katanya yang keramat.”
Belajar dalam Berbagai Kesulitan :
Ia mendatangi sekolah tinggi setiap hari – dari pagi hingga siang – untuk mengikuti pelajaran
dan diskusi. Dalam perjalanan pulang dan dalam keadaan lapar karena tidak mendapatkan
makanan yang lebih baik, maka ia mengumpulkan kulit-kulit buah melon yang terbuang di tanah.
Membersihkannya dari debu dan memakan bagian-bagian yang masih tersisa yang dapat
dimakan. Suatu hari dia mendapati kelompoknya, yang ternyata mengajarkan hal yang sama.
Masing-masing dari mereka merahasiakan tentang kekurangan makan mereka. Tetapi mereka
sekarang bersatu dan mengumpulkan serta mencuci kulit melon mereka secara bersama-sama.
Karena tidak mampu menyalakan lampu atau lilin, mereka hanya menghafalkan dalam hati teks-
teks kuliah di bawah cahay bulan, seperti Alfiyyah karya ibnu Malik dan Kafiyyah, apabila malam
gelap-gulita (tidak ada bulan), mereka menghafalkan dalam hati, agar tidak lupa. Untuk
menghindari percakapan-percakapan yang dapat mengganggu, mahasiswa tersebut seringkali
duduk (di lantai) sambil menundukan kepala di atas lutut yang ditekuknya, dan menutup mata
pura-pura sakit kepala.
Dari Basrah ke Shiraz :
Setelah pulang sebentar ke rumahnya, ia memutuskan untuk pergi ke Shiraz dan mulai
berangkat menuju Basrah melalui Syathul Arab dengan kapal. Ia khawatir jangan-jangan
dihentikan oleh ayahnya dan dibawa pulang kembali, maka selama dalam pelayaran, ia
menanggalkan pakaiannya, mendekam di belakang kapal dan bergantung di atas kemudi. Ketika
perjalanan telah cukup jauh, sehingga tidak mungkin dikenali lagi, ia melihat sekelompok orang
di tepi sungai. Salah seorang sesama penumpang kapal, memanggil mereka dan bertanya
apakah mereka (pengikut) Sunni atau Syi’ah. Begitu mengetahui bahwa mereka Sunni, ia pun
mencaci mereka dan mengutuk Khalifah pertama, dan mereka pun membalasnya dengan
lemparan batu.
Sekolah Tinggi Shiraz :
Penulis ini hanya tinggal sebentar di Basrah, yang kemudian diperintah oleh Husayn Pasha.
Karena ayahnya menyusul untuk dibawa pulang ke rumah, ia secara diam-diam, melarikan diri
dengan kakak lelakinya, dan sebagaimana telah diceritakan, ia memutuskan untuk pergi ke
Shiraz. Dan memutuskan untuk belajar di Sekolah Tinggi Mustansiriyyah, di mana pada waktu itu
umurnya baru 11 tahun. Pada waktu kuliah berakhir, salah seorang gurunya bernama ibnu Malik
yang mengajar Alfiyyah, menanyakan kepadanya tentang tujuan pengembaraannya. Setelah
mendengar jawabnya, sang guru menjewer telinganya, sambil berkata : “Oh, anakku. Jangan
jadikan dirimu seorang syaikh Arab atau mencari supremasi, dan jangan menyia-nyiakan
waktumu, jangan lakukan itu apabila engkau ingin menjadi seorang cendekiawan.”
Penderitaan akibat Dingin dan Lapar :
Di sekolah Tinggi ini ia juga hidup sangat sulit, dan persediaan makanan sehari-hari tidak
mencukupi, sehingga saudara laki-lakinya bermaksud pulang ke rumah. Ia sendiri memutuskan
untuk tetap di sana, menyalin buku-buku dan bekerja hampir sepanjang malam, dengan udara
yang panas, di sebuah kamar tertutup, sementara teman-temannya tidur di atas. Seringkali ia
tidak memiliki minyak untuk lampunya atau roti untuk dimakan, sehingga harus bekerja di bawah
cahaya bulan dalam keadaan lemah karena lapar. Sedangkan pada pagi hari di musim dingin,
jari-jarinya seringkali berdarah karena kedinginan, ketika ia menulis catatannya.
Hal yang demikian berlangsung selama dua atau tiga tahun lebih dan meskipun
penglihatannya terpengaruh secara permanen oleh pekerjaannya itu, ia sendiri mulai menulis
bukunya, sebuah ulasan dari kitab Kafiyyah dan sebuah ulasannya berjudul Miftahul Labib atas
kitab Tahdhib, karya Syaikh Bahauddin Muhammad. Ia sekarang telah mulai memperluas
jangkauan studinya di luar tata bahasa Arab dan seringkali menghadiri kuliah dari guru-guru yang
lebih terkemuka dari Baghdad, Al-Ahsa dan Bahrain, diantaranya Syaikh Jafar al-Bahrani.
Profesor yang Rewel :
Suatu hari ia tidak menghadiri kuliah Syaikh karena berita tentang kematian Syaikh yang
sampai kepadanya relatif pasti. Ketika ia datang kembali pada hari berikutnya, Syaikh marah
sekali dan menolak memberinya kuliah lebih lanjut, ia berkata: “Tuhanku mengutuk ayah dan
ibuku, jika saya mengajrmu lagi! Kenapa engkau tidak datang kemarin?” Dan ketika penulis
menjelaskan sebab ia absen kemarin, maka ia berkata: “Engkau boleh datang kuliah (lagi) sesuka
hatimu setelah pagi ini.” Hanya ketika sang mahasiswa telah bersumpah tidak akan pernah
membolos lagi apapun yang mungkin terjadi, ia boleh mengikuti kuliah kembali setelah jangka
waktu tertentu.
Hingga akhirnya telah (berhasil) memikat hati sang guru yang agak rewel ini, yang
kemudian menawarkan kepadanya untuk menikahi anak gadisnya. Satu kehormatan yang untuk
itu ia harus minta maaf, dengan berkata : “Jika Tuhan mengijinkan, setelah saya menyelesaikan
studi dan menjadi seorang alim, saya akan menikah.” Tak lama setelah guru memperoleh satu
pengangkatan di India, sebagai dekan di Hayderabad.
Kehidupan Seorang Mahasiswa Miskin di Shiraz :
Sayyid Nimatullah tinggal di Shiraz selama sembilan tahun dan karena sangat miskinnya,
ia seringkali tak meneguk apa-apa sepanjang hari kecuali air. Pada permulaan malam ia habiskan
dengan seorang teman yang tinggal di luar kota agar dapat menggunakan lampu untuk belajar
dan kemudian ia harus meraba-raba dalam gelap, melewati jalan-jalan pasar yang telah kosong
penghuninya, menenangkan anjing-anjing yang galak, yang menjaga took-toko majikan mereka,
hingga tiba di masjid tempat ia kuliah, sebelum subuh.
Atas harapan orang tuanya ia pulang ke rumahnya sebentar dan mengambil seorang istri
baginya, tetapi keputusan ini mendatangkan cemoohan orang alim kepada siap ia telah belajar.
Karena meninggalkan belajarnya yang masih amat dasar dalam ilmu pengetahuan tradisi (Hadis).
Ia kemudian meninggalkan orangtua dan istrinya – ia telah menikah hanya selama tujuh minggu –
kembali ke Sekolah Tinggi Mustansiriyyah di Shiraz. Tak lama setelah itu, sekolah tinggi tersebut
telah terbakar dengan memakan korban seorang mahasiswa dan sebagian besar perpustakaan
telah binasa oleh api.
Bersamaan dengan itu pula, ia mendapat kabar tentang kematian ayahnya. Itulah dua
kemalangan yang bertumpuk menjadi satu dengan keadaan-keadaan lain, telah membuatnya
meninggalkan Shiraz untuk pergi ke Isfahan.
Ia Mendapat Simpati Mullah Muhammad Baqir al-Majlisi
Selama berhari-hari pertama di Isfahan, ia masih menderita karena kemiskinan yang sama,
yang telah akrab dengan masa lalunya. Seringkali makan daging asin yang menambah rasa
dahaganya, agar dengan cara demikian mendorong untuk minum air yang mungkin bias
menghilangkan nafsu makan (untuk makanan padat). Perubahan nasibnya terjadi ketika ia
berkenalan dan menarik perhatian Mullah Muhammad Baqir al-Majlisi, seorang fanatikus besar.
Boleh jadi dialah dokter yang terkemuka dan sangat kuat dari kalangan Syi’ah, yang pernah
hidup.
Ia diterima di rumah orang terkenal tersebut dan tinggal bersamanya selam empat tahun,
belajar teologi dan terutama Hadis. Namun dalam hal keakraban ini sesungguhnya ia tidak
menginginkannya. Sebagaimana dikatakan dalam karyanya, “Al-Anwar an-Nu’maniyyah”, bahwa
meskipun disenangi oleh “Pangeran Kuil” yang hebat ini, seringkali ketika dipanggil ke
perpustakaannya untuk bercakap-cakap dengannya atau membantu dalam menyelesaikan
kompetensi himpunan dari Biharul Ansar, ia berdiri gemetar di depan pintu untuk beberapa saat,
sebelum ia memperoleh keberanian untuk masuk.
Ia Memperoleh Jabatan Dosen di Isfahan :
Betapapun, dengan bersyukur kepada daya tahannya yang sangat kuat, ia telah berhasil
diangkat menjadi seorang dosen (Mudarris) pada sebuah Sekolah Tinggi yang belum lama
didirikan oleh seorang yang dapat dipercaya Mirza Taqi, di dekat pemandian Syaikh Bahai di
Isfahan, yang menjadi tempat tugasnya selama delapan tahun.
Ketika kelemahan matanya semakin bertambah dan ketidaksanggupan dari ahli (dokter)
mata di Isfahan untuk memberinya pertolongan, telah membuat ia memutuskan untuk berangkat
lagi dalam pengembaraan. Ia mengunjungi Samarra, Kazimayan dan tempat-tempat suci lainnya
di Irak, dari mana ia kembali (pulang) melalui Shushtar ke Isfahan. Pada tahun 1079 H. (1668-9
M.), saudara laki-lakinya meninggal dunia dan sepuluh tahun kemudian ketika ia menulis biografi
ini, ia tetap sangat merasakan kehilangan ini.
Setelah mengunjungi Mashad, ia kembali ke Huwayza tempat ia hidup agak menyendiri
dan dalam kekecewaan, pada waktu penulisan biografinya tahun 1089 H. (1678-9 M.). Dalam
pengembaraan-pengembaraan ia yang selanjutnya, saya tak menemukan rekaman, tetapi ia
belum meninggal dunia hingga tahun 1130 H. (1718 M.), hanya empat tahun sebelum
malapetaka mengakhiri dinasti Safawi.
Dokumen ini menggambarkan betapa dekatnya metodologi Muslim menyerupai sekolah-
sekolah Eropa abad pertengahan. Kita menyaksikan anak-anak sebelum waktunya direnggut dari
permainan dan hiburan yang sesuai dengan umurnya. Untuk belajar dalam waktu yang lama,
berat dan membosankan, mengenai pelajaran filologi dan tata bahasa Arab, membaca tata
bahasa setelah dalam tingkatan kesulitan yang terus meningkat masih ditambah dengan ulasan-
ulasan yang luar biasa, terjemahan-terjemahan dan catatan masing-masing. Kita melihat ia
sebagai seorang anak, namun sekarang terbakar oleh ambisi, mengikuti kuliah-kuliah tentang
teologi dan hokum, setengah mati karena kelaparan atau penderitaan yang berat, kalau tidak,
sebagai kemungkinan lain dari penderitaan musim dingin dan udara yang sangat panas pada
musim panas. Kerusakan mata karena membaca catatan-catatan dengan cahaya bulan yang
kurang memadai dan kerusakan pencernaannya karena makanan yang tidak sehat dan tidak
teratur, bermacam-macam lagi yang menyebabkan kematian.
Memutuskan kehidupan rumah tangga dan pertalian keluarga, menyelam ke dalam lautan
formalisme dan fanatisme dirinya sendiri. Lambat laun tumpukan terjemahan dan catatan akan
membuatnya lebih merendam dan menggelapkan dirinya daripada menjelaskan teks-teks, di atas
mana mereka jadikan sebagai landasan. Dan akhirnya – jika bernasib baik – membuatnya tertarik
kepada perhatian yang menyenangkan tentang hal-hal yang bersifat ketuhanan dan menjadikan
dirinya sendiri sebagai seorang mudarris (dosen), seorang mutawalli (penjaga tempat suci) atau
bahkan seorang mujtahid (kiai, imam).36
Beberapa Kontribusi Muslim terhadap Pendidikan
Sebelum menyimpulkan ikhtisar singkat dari “abad pertengahan”
pendidikan Muslim ini, akan lebih baik jika lebih dulu dijelaskan beberapa
kontribusi dasar kepada teori dan praktik pendidikan tersebut serta
menyertakan pula kekurangan-kekurangan dasarnya.
1. Melalui abad keduabelas dan sebgaian abad ketigabelas,
karya-karya Muslim tentang Sains, Filsafat dan bidang-bidang lain telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, terutama dari bahasa Spanyol
dan memperkaya kurikulum Barat, khususnya di Eropa barat laut.
2. Orang-orang Muslim, telah memberi kepada Barat, metode
eksperimental, sekalipun masih kurang sempurna.
3. Sistem notasi dan desimal Arab telah diperkenalkan kepada
Barat.
4. Karya-karya terjemahan mereka, terutama dari orang-orang
seperti Avicenna dalam ilmu kedokteran, sudah digunakan sebagai teks
(kuliah) di dalam kelas-kelas Sekolah Tinggi, jauh ke dalam pertengahan
abad ketujuhbelas.
5. Merekamerangsang pemikiran orang-orang Eropa, dipelajari
kembali hal itu dengan kebudayaan-kebudayaan klasik dan lainnya,
sehingga membantu menghasilkan (abad) Renaisans.
6. Mereka adalah perintis universitas-universitas Eropa, mereka
telah mendirikan ratusan sekolah tinggi sebelum Eropa.
7. Mereka memelihara Greco-Persian ketika Eropa bersikap tidak
toleran terhadap kebudayaan-kebudayaan Pagan.
8. Mahasiswa-mahasiswa Eropa di dalam Universitas Muslim
membawa kembali (ke negaranya) metode-metode baru tentang
pengajaran.
9. Mereka telah memberi kontribusi tentang pengetahuan rumah
sakit-rumah sakit, sanitasi dan makanan kepada Eropa.
Kekuatan system pendidikan Muslim terletak dalam bidang-bidang
sebagai berikut : Menghasilkan cendekiawan-cendekiawan besar hampir
disegala bidang, mengembangkan program bebas buta huruf dalam skala
universal, ketika buta huruf menguasai Eropa. Menyebarkan roman-roman
dari kebudayaan klasik ke Barat. Memimpin (jalan) bagi perkembangan
perpustakaan-perpustakaan dan universitas-universitas. Sekolah tinggi dalam
abad-abad kreatifnya telah dibuka untuk orang kaya maupun miskin, dan
mereka memiliki kesempatan yang sama, syaratnya hanya memiliki
kemampuan dan ambisi. Menghormati guru dan buku, terutama dalam
pendidikan yang lebih tinggi. Guru, buku, kuliah, diskusi – adalah pusat urat
syaraf dari system pendidikannya.37
Kurikulum yang dalam abad-abad permulaan telah seimbang antara
studi-stusi sectarian dan studi-studi secular, telah menjadi abad-abad
skolastik yang belakangan, membuat semua atau pada khususnya, segenap
subyek studi-studi secular kepada persetujuan religius dan teologis.
Kurikulum telah menjadi formal, pasti, tradisional, religius dogmatis, cermin
keterbelakangan. Mendorong kepada pemikiran-pemikiran statis dan bersifat
penyesuaian-penyesuaian. Menjadikan otoriter dan esensialis.
Mengingat dalam abad-abad permulaan pendidikan Muslim yang
mendorong perdebatan (diskusi), eksperimentasi dan individualisme, taraf
selanjutnya mendorong kepada metoda-metoda formal, penghafalan dan
pembacaan. Suatu system yang pada taraf awalnya lebi spontan dan bebas,
harapan yang mendorong individu-individu untuk mengajar ilmu pengetahuan
dan mengilhami lainnya kepada pencerahan, telah tenggelam dalam
perasaan (terhadap) pengembaraan intelektual dan arahnya berubah lebih
(kuat) dari atas (Negara dan Gereja) daripada diilhami oleh rakyat. Hal ini
lambat laun membawa kepada satu konsep elitis dan aristokratis dalam
pendidikan, mrnggantikan semangat pendidikan yang demokratis pada
awalnya. Pendidikan Muslim dan dengan disiplin-disiplin skolastiknya tidak
dan, tidak dapat mengambil keuntungan dari alat-alat ilmu pengetahuan dan
eksperimen-eksperimen yang telah diwariskan serta telah meningkat di atas.
Lebih suka memberikan alat-alat itu kepada cendekiawan Eropa, yang telah
memanfaatkannya secara efektif setelah Renaisans dan hingga dimulai serta
dikembangkannya dunia ilmu pengetahuan moderen.