Upload
arthurmawuntu
View
188
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
This article is in Bahasa Indonesia. It discussed the diagnosis and management of Sturge-Weber syndrome and its variants.This article is useful for clerks and residents in Neurology, Pediatric, Ophtalmology, etc
Citation preview
Refarat: Sindrom Sturge-WeberArthur H.P. Mawuntu
SINDROM STURGE-WEBERArthur H.P. Mawuntu
PENDAHULUAN
Sindrom Sturge-Weber merupakan suatu kelainan perkembangan yang
dimulai saat periode intrauterin dan dikelompokkan dalam penyakit
neurokutaneus (neurocutaneous disorder). Sindrom ini jarang ditemukan.
Insidensnya diperkirakan satu tiap 50.000 kelahiran. Meskipun demikian,
sindrom ini penting diketahui karena membutuhkan penanganan berbagai
bidang keahlian dalam hal diagnosis, terapi, serta pemantauan lanjutnya.
Neurologi anak memainkan peran sentral dalam diagnosis awal serta
penanganan penyulit sindrom ini seperti bangkitan, retardasi mental, dan
gangguan penglihatan.1,2
Penyakit neurokutaneus dibagi menjadi dua kelompok besar. Pada
kelompok pertama, bayi lahir dengan suatu kelainan kulit tertentu yang
muncul dalam bentuk yang ringan saat lahir lalu berkembang menjadi bentuk
kuasineoplastik. Kelompok yang ke dua (disebut fakomatosis oleh van der
Hoeve, 1920) memiliki kesamaan ciri berupa transmisi herediter, keterlibatan
organ yang berasal dari ektoderm (susunan saraf, bola mata, retina, dan
kulit), evolusi lesi yang lambat pada anak dan remaja, kecenderungan
membentuk hamartoma, dan perubahan menjadi bentuk maligna yang fatal.
Yang termasuk dalam kelompok ke dua adalah sklerosis tuberosa,
neurofibromatosis, dan angiomatosis kutan dengan abnormalitas susunan
saraf pusat (SSP). Sindrom Sturge-Weber termasuk dalam kelompok
angiomatosis kutan dengan abnormalitas susunan saraf pusat.1,3
Nama Sturge-Weber diambil dari W. Allen Sturge yang melaporkan
seorang anak dengan suatu noda “port-wine”(port-wine stain, selanjutnya
disingkat PWS dalam makalah ini) dan bangkitan sensorimotorik kontralateral
(1879) serta Parkes Weber (1922, 1929) yang pertama kali menunjukkan
hubungan antara gambaran radiografik atrofi dan kalsifikasi hemisfer serebri
ipsilateral dengan lesi kulit. Sayang eponim ini mengabaikan sumbangan
penting Kalischer (1897, 1901) yang pertama kali melaporkan suatu kasus
angioma meningen disertai angioma di wajah; Volland (1913) yang
menunjukkan adanya deposit kalsium intrakorteks; dan Dimitri (1923) yang
menggambarkan bayangan radiogradik double-contour (selanjutnya dikenal
1
Refarat: Sindrom Sturge-WeberArthur H.P. Mawuntu
dengan gambaran jalur trem = “tram-track appearance”) yang khas. Krabbe
(1932, 1934) membuktikan bahwa kalsifikasi tidak terletak di pembuluh
darah (seperti yang disimpulkan oleh Dimitri dan yang lain) tetapi di lapisan
ke dua dan ke tiga korteks.1
Sindrom ini mencakup kelainan kulit, mata, dan susunan saraf. Kelainan
kulit berupa suatu nevus vaskular yang melingkupi sebagian besar wajah dan
kranium sesisi (di wilayah ramus oftalmikus nervus trigeminus) yang terlihat
sejak lahir. Terkadang nevus bisa meliputi wilayah yang lebih luas. Gangguan
mata berupa buftalmos kongenital, glaukoma, serta gangguan koroid.
Gangguan neurologis bisa terlihat dalam tahun pertama setelah lahir atau di
akhir masa kanak-kanak. Gangguan neurologis tersering adalah bangkitan
unilateral diikuti hemiparesis spastik dengan pengecilan lengan dan tungkai,
defek hemisensorik, dan hemianopia homonim, yang semua terletak
kontralateral dari nevus trigeminal.1,4
DEFINISI DAN SINONIM
Sindrom Sturge-Weber (Sturge-Weber syndrome, selanjutnya akan
disingkat dengan SWS dalam makalah ini) merupakan suatu kelainan
neurokutaneus kongenital berupa angioma yang mengenai leptomeningen,
kulit wajah, serta mata dalam waktu yang berlainan. Sindrom ini juga disebut
angiomatosis ensefalotrigeminal atau angiomatosis ensefalofasial.4,5
ETIOLOGI DAN KLASIFIKASI
Sindrom Sturge-Weber terjadi karena adanya pembuluh darah embrional
residual. Penyebabnya masih belum jelas. Mungkin disebabkan oleh mutasi
somatik sporadik, familial, atau mungkin juga mutasi sporadik dan familial
(“2-hit hypothesis”). Huq, dkk melaporkan adanya bukti mosaikisme pada
empat pasien SWS. Inversi lengan 4q kromosom 4 dan trisomi 10 ditemukan
pada beberapa pasien.2,4,5
SWS disebut komplit bila terdapat angioma susunan saraf pusat (SSP)
dan fasial serta disebut inkomplit bila hanya mengenai salah satunya. Lebih
lanjut, skala Roach digunakan untuk klasifikasi SWS, sebagai berikut:4
Tipe I : Angioma fasial dan leptomeningen; bisa disertai glaukoma.
Tipe II : Hanya angioma fasial saja (tanpa keterlibatan SSP); bisa
disertai glaukoma.
2
Refarat: Sindrom Sturge-WeberArthur H.P. Mawuntu
Tipe III : Hanya angioma leptomeningen, biasanya tidak disertai
glaukoma.
EPIDEMIOLOGI
Insidens dan Distribusi Geografis
Insiden SWS diperkirakan 1 per 50.000 kelahiran. Tidak ada perbedaan
berdasarkan wilayah.2
Morbiditas dan Mortalitas
Gangguan neurologis mencakup bangkitan, kelemahan, stroke, nyeri
kepala, hemianopia, retardasi mental, serta abnormalitas perkembangan.
Perkembangan bangkitan dan usia awitan mungkin berkorelasi dengan
derajat keterlibatan neurologis. Gangguan neurologis meningkat pada PWS
bilateral. Penyulit yang dihadapi pasien paling sering diakibatkan oleh
bangkitan refrakter dan antikonvulsan, penurunan penglihatan dan kebutaan
akibat glaukoma, gangguan kosmetik, serta manifestasi keterlibatan jaringan
ikat lain.4,5,6
Dalam suatu penelitian terhadap 60 pasien SWS di Children’s Hospital,
Boston, Amerika Serikat, dilaporkan dua kematian (3,3%). Oakes (1990)
melaporkan empat kematian dari 30 pasien.4
Faktor Keturunan, Ras, dan Jenis Kelamin
Secara epidemiologi, kejadian SWS bersifat sporadik. Tidak ada
perbedaan berdasarkan ras atau jenis kelamin yang dilaporkan.6
Secara umum, SWS mudah didiagnosis saat lahir atau di masa bayi
berdasarkan tanda klinis saja. Walaupun demikian, perkembangan penyakit
akibat perubahan sekunder dan penyulit akan terjadi seumur hidup.
Kebanyakan bangkitan terjadi dalam tahun pertama setelah lahir (80%).
Glaukoma sekunder bisa muncul di segala usia meski paling banyak muncul
di usia dini. Enam puluh persen glaukoma timbul saat lahir atau di masa bayi
awal sedangkan 30% terjadi saat masa kanak-kanak.4,6
GAMBARAN PATOLOGI ANATOMI
Susunan Saraf Pusat
3
Refarat: Sindrom Sturge-WeberArthur H.P. Mawuntu
Leptomeningen terlihat menebal dan kehilangan warna akibat angioma
leptomeningen yang mengisi ruang subaraknoid. Terlihat juga struktur vena
yang abnormal.4
Biopsi biasanya tidak dilakukan pada SWS. Meskipun demikian, spesimen
patologis menunjukkan deposit kalsium di dinding pembuluh darah otak, di
jaringan perivaskular, dan kadang-kadang dalam neuron. Terlihat pula
kehilangan neuron dan gliosis. Abnormalitas ini bisa terlihat jauh dari lesi
vaskular sebenarnya. 4
Dari penelitian terhadap kasus-kasus bedah epilepsi, Di Trapeni, dkk
melaporkan adanya substansi mukopolisakarida dengan kalsium dalam
jaringan ikat pembuluh darah. Selanjutnya substansi mukopolisakarida
dengan kalsium tersebut membesar dan bermigrasi ke luar pembuluh darah.
Mereka memperkirakan bahwa anoksia, nekrosis, dan variasi kadar kalsium
hanya merupakan faktor sekunder. 4
Kulit
Pada biopsi kulit PWS terlihat pembuluh darah tipis dan melebar di
pleksus vaskularis superior tanpa peningkatan jumlah pembuluh darah. 4
Mata
Pada spesimen trabekulektomi pasien SWS terlihat deposit kolagen
abnormal dan banyaknya pembuluh darah di ruang intratrabekular kanal
Schlemm. Jala hemangioma intratrabekular merupakan ciri khas SWS. 4
PATOGENESIS
Seperti telah disebutkan, pembuluh darah embrional residual dan efek
sekundernya terhadap jaringan otak sekitar menyebabkan sindrom Sturge-
Weber. Suatu pleksus vaskularis berkembang di sekitar bagian sefalik tuba
neuralis di bawah ektoderm yang dirancang untuk menjadi kulit. Normalnya,
pleksus ini terbentuk pada minggu ke-6 dan mengalami regresi pada minggu
ke-9 kehamilan. Kegagalan regresi normal ini menyebabkan timbulnya
jaringan vaskular residual yang membentuk angiomata leptomeningen,
wajah, dan mata ipsilateral.4,5,7
4
Refarat: Sindrom Sturge-WeberArthur H.P. Mawuntu
Gangguan neurologis terjadi karena efek terhadap jaringan otak sekitar
yang mencakup hipoksia, iskemia, oklusi vena, trombosis, infark, dan
fenomena vasomotor.4,5
Dari pemeriksaan spesimen patologis, Norman dan Schoene
beranggapan bahwa abnormalitas aliran darah dalam angioma
leptomeningen menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler, stasis, dan
anoksia. Garcia, dkk dan Gomez & Bebin melaporkan bahwa oklusi vena bisa
secara nyata menyebabkan gangguan neurologis awal seperti bangkitan,
hemiparesis sepintas, atau keduanya.4
Steal phenomenon vaskular bisa berkembang di sekitar angioma
sehingga menyebabkan iskemia korteks. Bangkitan berulang, status
epileptikus, bangkitan refrakter, dan kejadian vaskular berulang bisa
memperparah fenomena tersebut karena peningkatan iskemia korteks.
Selanjutnya iskemia korteks juga menyebabkan kalsifikasi progresif, gliosis,
dan atrofi yang pada gilirannya menyebabkan peningkatan peluang
bangkitan dan perburukan neurologis.4,5
Maria, dkk, Reid, dkk, dan Sujansky & Conradi mencatat adanya
perburukan SWS yang jelas meski angioma leptomeningen tidak membesar.4
Udani, dkk mengikuti perjalanan penyakit dan mengamati temuan MRI
sembilan pasien dengan SWS. Mereka menemukan bahwa bangkitan yang
lebih dini berhubungan dengan defisit neurologis residual dan memperburuk
atrofi otak. Mereka juga menemukan bahwa dalam kebanyakan kasus,
perjalanan penyakit menjadi stabil setelah usia lima tahun.4
Pengendalian bangkitan, terapi aspirin, dan terapi bedah dini mencegah
perburukan neurologis.4
Manifestasi okular utama (mis. buftalmos, glaukoma) terjadi sekunder
dari peningkatan tekanan intraokular (TIO) dengan obstruksi mekanis di
sudut mata, peningkatan tekanan vena episklera, atau peningkatan sekresi
humor akuosa.4,6
Pembuluh darah korteks yang mengalami malformasi ternyata hanya
diinervasi oleh serabut saraf noradrenergik. Peningkatan ekspresi endothelin-
1, suatu peptida yang mampu menyebabkan vasokonstriksi, juga terlihat di
pembuluh-pembuluh darah tersebut. Temuan ini mungkin menjelaskan
peningkatan vasokonstriksi di pembuluh darah korteks yang mengalami
malformasi. 4
5
Refarat: Sindrom Sturge-WeberArthur H.P. Mawuntu
Fibronektin merupakan molekul yang penting dalam regulasi
angiogenesis, mempertahankan sawar darah-otak, struktur dan fungsi
pembuluh darah, dan respons jaringan otak terhadap bangkitan. Comi, dkk
melaporkan bahwa pada pasien SWS, terlihat penurunan ekspresi fibronektin
di pembuluh darah leptomeningen dan peningkatan ekspresi di pembuluh
darah parenkim. Selain itu, ditemukan juga penurunan lingkar pembuluh
darah dan peningkatan densitas pembuluh darah. 4,8,9
Secara keseluruhan, pada SWS, mutasi somatik kelihatannya
mempengaruhi regulasi struktur dan fungsi pembuluh darah, inervasi
pembuluh darah, serta ekspresi matriks ekstrasel dan molekul vasoaktif. 4
GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinis SWS mencakup kelainan SSP, mata, dan kulit. Tabel I
memperlihatkan gambaran klinis SWS yang sering ditemui. 4
TABEL I.GAMBARAN KLINIS SWS
Gambaran Klinis Prosentase(%)
Risiko SWS dengan PWS fasial 8SWS tanpa nevus fasial 13Keterlibatan otak bilateral 15Bangkitan 72 – 93Hemiparesis 33Hemianopia 44Nyeri kepala 77Keterlambatan perkembangan dan retardasi mental 50 – 75Glaukoma 30 – 71Hemangioma koroid 40
Sumber : Masanori & Riviello (2008). 4
Bercak Port-wine, Masalah Kosmetik, dan Hipertrofi Jaringan Lunak
PWS merupakan efloresensi makular kongenital yang bisa menjadi
progresif. Lesi ini awalnya bisa berwarna merah muda yang kemudian
berubah menjadi lesi nodular merah tua atau ungu (Gambar 1). PWS bisa
muncul sendiri di kulit, berhubungan dengan lesi di pembuluh darah koroid
mata atau pembuluh darah leptomeningen otak, atau bahkan di kulit bagian
tubuh lain. PWS sulit terlihat pada pasien berkulit gelap. 4
6
Refarat: Sindrom Sturge-WeberArthur H.P. Mawuntu
Pasien yang khas memiliki angioma fasial saat lahir. Meskipun demikian,
tidak semua pasien dengan angioma fasial dan PWS mengidap SWS. Insidens
keseluruhan SWS pada pasien PWS sekitar 8 – 33%. Di lain pihak, pada SWS
skala Roach tipe III terdapat angioma leptomeningen tanpa kelainan kulit
sehingga tidak timbul kecurigaan akan adanya SWS sampai timbul bangkitan
atau gangguan neurologis lain. Ini tentu menjadi masalah dalam diagnosis
dan prognosis. 4,6
Gambar 1. Bercak port-wine pada pasien SWS di daerah fasial bilateral pada distribusi ramus oftalmikus dan maksilaris.
Sumber : Masanori & Riviello (2008). 4
Enjolras, dkk secara retrospektif mempelajari 106 pasien dengan PWS
fasial. Dua belas dari mereka menderita SWS dan empat menderita glaukoma
tanpa lesi pia mater. SWS terjadi hanya saat PWS melibatkan kulit di
distribusi ramus oftalmikus nervus trigeminus (N. V1). Tidak ada pasien
dengan PWS di daerah distribusi ramus maksilaris dan mandibularis nervus
trigeminus (N. V2 & N.V3) tanpa keterlibatan N. V1 yang menderita PWS. 4
Bioxeda, dkk mempelajari 121 pasien PWS yang mengenai kulit pada
distribusi nervus trigeminus. Mereka menyimpulkan bahwa hanya pasien
dengan PWS di daerah N. V1 yang berisiko epilepsi atau glaukoma. 4
Dalam studi tentang SWS terbesar sampai saat ini, Tallman, dkk
melaporkan 310 pasien dengan SWS. Delapan puluh lima persen mengalami
lesi PWS unilateral, 15% bilateral, dan 68% mengalami lesi di lebih daripada
satu dermatom. Hanya pasien dengan PWS yang mengenai distribusi N. V1
dan N. V2 yang mengalami keterlibatan SSP dan mata. Dua puluh empat
pasien dengan lesi bilateral dan 6% pasien dengan lesi unilateral mengalami
7
Refarat: Sindrom Sturge-WeberArthur H.P. Mawuntu
lesi di SSP dan mata. Mereka merekomendasikan pemeriksaan glaukoma dan
keterlibatan SSP jika PWS melibatkan kelopak mata, lesi V1, V2, dan V3
unilateral, atau lesi bilateral. 10
Perlu diingat bahwa PWS ekstrafasial bisa berhubungan dengan
abnormalitas intrakranial seperti yang ditemukan pada SWS, misalnya pada
sindrom Klippel-Trenaunay-Weber. PWS di leher juga berhubungan dengan
kalsifikasi di lobus oksipitalis. 4,5
Survei Sturge-Weber Foundation terhadap 171 pasien SWS melaporkan
adanya abnormalitas lain pada seluruh pasien tersebut. Abnormalitas ini
mencakup lesi kulit pada semua pasien, asimetrisitas tubuh pada 164 dari
171. Dari 164 pasien tersebut, ditemukan hipertrofi jaringan lunak pada 38
pasien dan skoliosis pada 11 pasien. Karsinoma sel basal dilaporkan pernah
timbul dalam lesi PWS. 4
Bangkitan: Bangkitan Refrakter, Bangkitan Fokal, Umum, dan Status
Epileptikus
Insidens epilepsi pada pasien SWS sekitar 75 – 90%. Bangkitan bisa
bersifat refrakter. Anak dengan SWS bisa memiliki perkembangan neurologis
awal yang normal sampai muncul bangkitan sebagai manifestasi gangguan
neurologis. Pascual-Castroviejo, dkk melaporkan adanya bangkiyan pada 32
dari 40 pasien SWS. Bangkitan dimulai saat demam pada 10 pasien (demam
bisa menjadi faktor pencetus di segala usia). 4,11
Kebanyakan tipe bangkitan adalah bangkitan fokal. Dalam penelitian
Pascual-Castroviejo, dkk juga dilaporkan 22 (69%) pasien mengalami
bangkitan fokal kontralateral dari PWS. Generalisasi sekunder terjadi pada
enam dari 22 pasien tersebut. Delapan pasien (25%) mengalami bangkitan
umum saat awitan. Dua pasien mengalami spasme infantil. 11
Pasien dengan awitan bangkitan lambat memiliki insiden keterlambatan
perkembangan yang lebih rendah. Awitan bangkitan sebelum usia dua tahun
meningkatkan risiko epilepsi refrakter dan retardasi mental. Pasien dengan
bangkitan refrakter lebih sering mengalami retardasi mental. 4
Bebin dan Gomez melaporkan awitan lebih dini pada penyakit bilateral.
Pascual-Castroviejo, dkk juga melaporkan bahwa pasien dengan bangkitan
yang lebih sering cenderung mengalami awitan bangkitan lebih dini. 4,11
8
Refarat: Sindrom Sturge-WeberArthur H.P. Mawuntu
Status epileptikus lebih berbahaya pada pasien SWS. Ini dikarenakan
sistem vaskular telah mengalami gangguan seperti steal phenomenon dari
angioma sehingga bangkitan akan lebih mudah menyebabkan cidera otak. 4
Hemiparesis
Insidens hemiparesis sekitar 33%. Hemiparesis paling sering terjadi
akibat iskemia karena oklusi vena dan trombosis. Umumnya kelemahan
sepintas bisa terjadi setelah bangkitan. Hemiparesis sepintas bisa disertai
nyeri kepala migrain. Ini mungkin menandakan bahwa mekanisme vaskular
bertanggung jawab bagi terjadinya hemiparesis sepintas. 4
Episode-episode Serupa Stroke
Gangguan neurologis sepintas berulang disebut episode-episode serupa
stroke. Maria, dkk melaporkan 14 dari 20 pasien yang ditelitinya mengalami
gejala ini. Garcia, dkk melaporkan episode trombosis berulang. Selain
episode serupa stoke, bisa juga terjadi stroke pada pasien SWS. Insidens
gangguan neurologis lebih tinggi pada orang dewasa. 4
Hemianopia
Mekanisme terjadinya serupa dengan hemiparesis hanya lokasinya saja
yang berbeda. Uram dan Zullabigo melaporkan heminaopia pada 11 dari 25
(44%) pasien. 4
Keterlambatan Perkembangan dan Retardasi Mental
Keterlambatan perkembangan dan retardasi mental berhubungan
dengan besarnya keterlibatan SSP. Masalah ini terjadi pada 50 – 60% pasien
dan lebih sering terjadi pada penyakit bilateral. 4
Pada sepuluh pasien SWS, Maria, dkk menemukan keterlambatan
perkembangan dan masalah belajar pada kesepuluh pasien dan gangguan
hiperaktivitas defisit atensi (attention deficit hyperactivity disorder = ADHD)
pada tiga pasien. Abnormalitas yang luas ditemukan pada tujuh dari sepuluh
pasien saat dilakukan pemeriksaan menggunakan kombinasi CT scan, MRI,
dan SPECT. 4
9
Refarat: Sindrom Sturge-WeberArthur H.P. Mawuntu
Bangkitan berhubungan dengan insidens retardasi mental yang lebih
tinggi dan regresi mungkin berhubungan dengan frekuensi dan keparahan
bangkitan. 4
Nyeri Kepala
Nyeri kepala pada SWS terutama terjadi akibat gangguan vaskular.
Gejalanya serupa dengan nyeri kepala tipe migrain. 4
Menurut survei yang dilakukan Sturge-Weber Foundation, nyeri kepala
terjadi pada 132 dari 171 (77%) pasien yang diteliti. Pada subkelompok
dewasa, nyeri kepala dialami oleh 28 dari 45 (62%) pasien. 4
Prevalensi migrain pada pasien SWS yang berusia lebih muda daripada
10 tahun adalah 31%. Jumlah yang lebih besar daripada prevalensi di
populasi normal. 4
Manifestasi Gangguan Okular, Glaukoma, Kebutaan, dan Buftalmos
Keterlibatan okular mencakup perubahan serupa hemangioma di kelopak
mata (dalam pemeriksaan histologi menunjukkan dilatasi vena saja),
glaukoma, hemangioma konjungtiva dan episklera, hemangioma koroid difus,
dan heterokromia iris. Pembuluh darah retina yang berkelok dengan
hubungan arteriovenosus juga bisa ditemukan. Sullivan, dkk meneliti
abnormalitas bola mata pada 51 pasien SWS. Dari seluruh pasien, 36 (71%)
mengalami glaukoma, dengan awitan sebelum usia 24 bulan pada 26 pasien.
Hemangioma konjungtiva atau episklera terjadi pada 35 pasien dan 28
pasien mengalami hemangioma koroid. 4,6
Manifestasi gangguan okular yang mengindikasikan adanya glaukoma
infantil mencakup diameter kornea lebih daripada 12 mm dalam tahun
pertama setelah lahir, edema kornea, robekan membrana desemet,
perubahan miopik unilateral atau bilateral, cupping nervus optikus lebih
besar daripada 0,3 atau setiap asimetrisitas cup yang berhubungan dengan
TIO tinggi. 4,6
Glaukoma secara khusus terjadi pada SWS hanya bila PWS melibatkan
kelopak mata. Insidens berkisar antara 30 – 71%. Glaukoma bisa terjadi sejak
lahir tetapi juga bisa terjadi di usia berapa saja bahkan pada orang dewasa.
Terapi mencakup pemeriksaan tahunan, mendeteksi kerusakan nervus
10
Refarat: Sindrom Sturge-WeberArthur H.P. Mawuntu
optikus (dengan pengukuran TIO dan lapangan pandang) dan diameter
kornea serta perubahan refraksi pada anak. 4,6
Glaukoma biasanya terjadi hanya pada PWS fasial ipsilateral tetapi bisa
terjadi glaukoma bilateral bila lesinya bilateral. Jarang terjadi glaukoma
kontralateral. 6
Glaukoma pada SWS disebabkan oleh obstruksi mekanik sudut mata,
peningkatan tekanan vena episklera, atau hipersekresi cairan, baik oleh
hemangioma koroid atau korpus siliaris. Abnormalitas sudut kamera okuli
anterior secara konsisten terlihat pada glaukoma infantil pada SWS.
Peningkatan tekanan vena episklera mungkin memainkan peran kunci pada
glaukoma awitan lambat. 6
Peningkatan vaskularisasi konjungtiva dapat dilihat dengan pemeriksaan
slit lamp. Dengan mata telanjang, peningkatan vaskularisasi konjungtiva
terlihat berwarna merah mudah. Pleksus pembuluh darah episklera yang
abnormal letaknya bisa tersembunyi di bawah jaringan kapsula Tenon pada
bayi dan baru terlihat di akhir masa kanak-kanak. 4
Pleksus vaskularis episklera dan konjungtiva yang menonjol dan berkelok
terdapat pada sekitar 70% pasien SWS dan sering berhubungan dengan
peningkatan tekanan vena episklera. Pembuluh darah retina di atasnya
mungkin terkena sehingga memberikan memberikan gambaran yang
melebar dan berkelok dan juga hubungan arteriovenosa perifer. 4
Diagnosis hemangioma koroid dibuat berdasarkan penampakan tumor
saat dilihat dengan oftalmoskopi binokular indirek. Dengan berlalunya waktu,
hemangioma koroid mampu menyebabkan perubahan sekunder lain seperti
degenerasi epitel pigmen retina, metaplasia fibrosa, degenerasi retina kistik,
dan ablasio retina. Perkelokan pembuluh darah retina, heterokromia iris,
koloboma diskus optikus, dan katarak telah dilaporkan pada pasien SWS. 4,6
Heterokromia iris terlihat pada sekitar 10% pasien SWS. Iris yang
pigmennya lebih gelap biasanya sesisi dengan PWS. Ini menandakan adanya
peningkatan aktivitas dan jumlah melanosit di daerah itu. 4,6
Penurunan penglihatan dan kebutaan terjadi karena glaukoma yang tidak
diterapi sehingga terjadi peningkatan TIO yang menyebabkan kerusakan
nervus optikus. 6
Pembesaran bola mata bisa terjadi dengan mekanisme yang sama
dengan glaukoma. 6
11
Refarat: Sindrom Sturge-WeberArthur H.P. Mawuntu
Orang Dewasa Dengan SWS
Hanya sedikit data yang tersedia tentang orang dewasa dengan SWS.
Sujansky dan Condradi mempelajari keluaran 52 orang dewasa berusia lebih
daripada 18 tahun dengan SWS. Bangkitan terjadi pada 83% pasien,
glaukoma pada 60% pasien, dan defisit neurologis terjadi pada 65% pasien
(mencakup stroke, paralisis, spastisitas, dan kelemahan). Rentang usia saat
awitan bangkitan adalah 0 – 23 tahun dengan median 6 bulan.4
Keluaran bangkitan diketahui pada 41 pasien. Pengendalian penuh
dialami 11 pasien (27%), penurunan bangkitan 20 pasien (49%), dan tidak
ada perbaikan 10 pasien (24%). Tabel II memperlihatkan morbiditas
perkembangan yang berhubungan dengan bangkitan pada orang dewasa
dengan SWS.4
TABEL II.MORBIDITAS PERKEMBANGAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN BANGKITAN
PADA ORANG DEWASA DENGAN SWS
Dengan Bangkitan (%) Tanpa Bangkitan (%)Keterlambatan Perkembangan 45 0Masalah emosi/ perilaku 85 58Perlunya pendidikan khusus 71 0Kerja 46 78
Sumber : Masanori & Riviello (2008). 4
Sekitar 39% dari pasien bisa menghidupi dirinya sendiri dan 55%
menikah. 4
Nyeri kepala terjadi pada 28 dari 45 (62%) pasien. Rentang awitan
adalah dari masa kanak-kanak awal hingga usia 38 tahun dengan median 18
tahun. Nyeri kepala berhubungan dengan peningkatan kehilangan warna
PWS fasial, aura, mual/ muntah, disartria, pusing, dan sensasi berdenyut di
wajah. 4
Rentang usia awitan glaukoma adalah 0 – 41 tahun dengan median lima
tahun. 4
PEMERIKSAAN PENUNJANG
12
Refarat: Sindrom Sturge-WeberArthur H.P. Mawuntu
Pemeriksaan Laboratorium
Kadar protein cairan serebrospinalis mungkin meningkat. Peningkatan
protein ini terjadi akibat perdarahan sekunder. Perdarahan intrakranial
sendiri jarang terjadi tetapi perdarahan mikroskopis sering terjadi. 4
Pemeriksaan kadar hormon sebaiknya dilakukan mengingat SWS telah
dihubungkan dengan gangguan sekresi hormon pertumbuhan dan hormon
tiroid.12
Pencitraan
Selain pemeriksaan klinis, pencitraan neurologis sudah menjadi prosedur
pilihan dalam menegakkan diagnosis. Pencitraan neurologis berkembang
mulai dari foto Rontgën kepala, angiografi, CT scan, MRI, MRI dengan
gadolinium, dan pencitraan fungsional dengan MRS, SPECT, atau PET. 4,5
Foto Rontgën Kepala
Foto Rontgën kepala bisa menunjukkan gambaran klasik tram-track
seperti ditunjukkan di Gambar 2 13, suatu gambaran kalsifikasi yang dianggap
patognomonik untuk SWS di zaman sebelum pencitraan modern. Meskipun
demikian, gambaran ini biasanya tidak ditemukan pada tahap awal penyakit.
Wilms, dkk melaporkan kalsifikasi “tram-track” pada pasien sklerosis
tuberosa. Borns dan Rancier juga melaporkan temuan ini pada leukemia pada
anak. 5
Gambar 2. Gambaran klasik kalsifikasi tram-track pada pasien SWS.
Sumber : Desai, dkk (2008).13
13
Refarat: Sindrom Sturge-WeberArthur H.P. Mawuntu
Angiografi
Angiografi tidak menunjukkan angioma tetapi memperlihatkan kurangnya
vena-vena korteks superfisial, tidak terisinya sinus-sinus dura mater, dan
vena-vena yang membengkok secara tidak normal ke arah vena Galen. 4,5
CT Scan
CT scan mampu memperlihatkan kalsifikasi pada bayi bahkan neonatus.
Temuan lain mencakup atrofi otak, pembesaran pleksus koroideus, vena-
vena pengalir yang tidak normal, dan kebocoran sawar darah-otak setelah
bangkitan. Gambar 3 memperlihatkan penyangatan yang intens dari
malformasi angiomatosa dan atrofi hemisfer ipsilateral (a) dan hemiartrofi
sinistra korteks serebri serta kalsifikasi giriform yang klasik (b) pada CT scan
penderita SWS. Penelitian oleh Terdjman, dkk terhadap CT scan 14 anak
dengan SWS memperlihatkan kalsifikasi korteks pada 12 pasien, atrofi
terlokalisasi 10 pasien, dan pembesaran pleksus koroideus serta vena-vena
yang abnormal tujuh pasien.4,5
A B
Gambar 3. CT scan penderita SWS.a. CT scan kontras: penyangatan yang intens dari malformasi angiomatosa & atrofi hemisfer ipsilateral; b. hemiartrofi korteks serebri sinistra & kalsifikasi giriform yang klasik.
Sumber : Khan, dkk (2008).5
Magnetic Resonance Imaging (MRI)
14
Refarat: Sindrom Sturge-WeberArthur H.P. Mawuntu
Meski MRI tidak bisa memperlihatkan kalsifikasi, penyangatan gadolinium
mampu memperlihatkan angioma di pia mater. Jadi diagnosis dini SWS
dimungkinkan dengan MRI. Sugama, dkk melaporkan bahwa temuan paling
khas SWS di MRI adalah penyangatan angioma leptomeningen setelah
pemberian gadolinium yang biasanya tidak terlihat di CT scan atau
angiografi. Gambar 4 memperlihatkan MRI T1WI dengan pemberian zat
kontras gadolinium pada pasien SWS. Tampak penyangatan pia mater yang
intens di malformasi angiomatosa dan atrofi korteks serebri sekitarnya (a)
dan atrofi serebri dekstra, korteks oksipital yang menyangat, dan
pembesaran pleksus koroideus dekstra (b2). 4,5
Temuan lain mencakup mielinisasi di sekitar angioma leptomeningen,
pleksus koroideus besar yang ukurannya berkorelasi dengan pembesaran
angioma, serta oklusi sinovenosa progresif di MRI venografi. 4
Juhasz, dkk melaporkan bahwa volume substansia alba hemisfer serebri
yang terletak sesisi dengan angioma merupakan prediktor independen untuk
IQ. Penurunan volume substansia alba di lokasi tersebut mungkin berperan
dalam terjadinya gangguan kognitif pada anak dengan SWS. 4
Lin, dkk melaporkan temuan MRI perfusi yang sesuai dengan gangguan
drainase vena pada kasus SWS awal dengan bangkitan awitan baru. MRI
spektroskopi menunjukkan peningkatan kolin tetapi tidak ada penurunan N-
asetil-aspartat (NAA). Laporan lain menunjukkan adanya penurunan NAA.
Gambaran MRI difusi di daerah yang abnormal menunjukkan peningkatan
apprarent diffusion coefficient (ADC). 4
Sivaswamy, dkk melaporkan abnormalitas diffusion tensor imaging (DTI)
di traktus kortikospinalis hemisfer yang terkena yang terlihat sebelum timbul
defisit motorik. 4
15
Refarat: Sindrom Sturge-WeberArthur H.P. Mawuntu
A
B1 B2
Gambar 4. a. MRI T1WI potongan aksial dengan pemberian zat kontras gadolinium pada anak berusia 5 tahun dengan nevus fasialis dekstra dan riwayat kejang fokal: tampak penyangatan pia mater yang intens pada malformasi angiomatosa dan atrofi korteks serebri sekitarnya; b1. CT scan potongan aksial dengan pemberian kontras pada pasien SWS: tampak atrofi serebri dekstra dan pembesaran pleksus koroideus dekstra; b2. MRI T1WI potongan aksial dengan pemberian zat kontras gadolinium pasien yang sama: tampak atrofi serebri dekstra, korteks oksipital yang menyangat, dan pembesaran pleksus koroideus dekstra; penyangatan malformasi ini tidak jelas terlihat dalam CT scan yang dibuat sebelumnya.
Sumber : Khan, dkk (2008). 5
Single-photon Emission Computed Tomography (SPECT)
SPECT mengukur aliran darah otak secara noninvasif. Pada pasien SWS
terlihat penurunan perfusi di lokasi angioma pia mater (Gambar 5) dan
dengan demikian bisa mendeteksi angioma laten yang tidak terdeteksi
dengan modalitas lain. 4
Reid, dkk menunjukkan bahwa hipoperfusi sudah terjadi sebelum timbul
kalsifikasi, pengaliran abnormal, atau penyangatan CT scan/ MRI. Namer, dkk
memperlihatkan adanya steal phenomenon selang terjadinya bangkitan yang
menyebabkan iskemia di daerah yang jauh. Printon, dkk menemukan bahwa
16
Refarat: Sindrom Sturge-WeberArthur H.P. Mawuntu
awalnya korteks mengalami hiperperfusi selang tahun pertama setelah lahir,
sebelum bangkitan pertama. Setelah satu tahun baru timbul gambaran
hipoperfusi bahkan pada pasien tanpa epilepsi. Maria, dkk melaporkan
pembesaran pleksus koroideus dengan abnormalitas yang terlihat di SPECT. 4
Gambar 5. SPECT pasien SWS.Tampak penurunan perfusi terutama di hemisfer dekstra.
Sumber : Masanori & Riviello (2008).
Positron Emission Tomography (PET)
Dari penelitian terhadap gambaran PET pasien SWS, Chugani, dkk
memperlihatkan daerah dengan abnormalitas metabolik yang luasnya
melebihi daerah dengan abnormalitas anatomik. Dengan demikian, modalitas
PET bisa dijadikan sumber informasi dalam menentukan pasien mana yang
akan menjalani hemisferektomi atau reseksi korteks terbatas. 4
Sebagai rangkuman, untuk mengetahui perluasan maksimal penyakit
dibutuhkan kombinasi modalitas pencitraan neurologis struktural dan
fungsional karena ketidakcocokkan (mismatch) bisa terjadi di antara
modalitas-modalitas tersebut. Hal ini terutama penting dalam identifikasi
daerah epileptogenik yang harus diketahui dalam pembedahan. 4,5
Elektroensefalografi
EEG digunakan untuk mengevaluasi bangkitan dan lokalisasi aktivitas
bangkitan pada bangkitan refrakter yang dipertimbangkan untuk dioperasi. 4
Brenner dan Sharbrough melaporkan penurunan unilateral amplitudo
latar sebagai temuan yang paling konsisten baik pada saat bangun atau
17
Refarat: Sindrom Sturge-WeberArthur H.P. Mawuntu
tidur. Temuan EEG mendahului timbulnya kalsifikasi. Aktivitas epileptiform
terbatas di hemisfer yang terlibat. 4
Pada studi terbaru, Sassower, dkk melaporkan atenuasi voltase yang
bermakna di daerah angioma pada 13 dari 14 pasien. Aktivitas delta
polimorfik timbul pada 12 dari 14 pasien. Aktivitas delta polimorfik bersifat
unilateral pada enam pasien dan berkorelasi dengan angiomatosis. Tidak ada
pasien dengan aktivitas delta polimorfik unilateral yang mengalami retardasi
mental. Pada enam pasien dengan aktivitas delta polimorfik bilateral, empat
pasien mengalami retardasi mental meski angiomanya unilateral. Gelombang
paku interiktal terlihat hanya pada dua pasien dan bersifat bilateral pada
satu pasien dengan angioma unilateral. Bangkitan terekam pada empat
pasien dan aktivitas iktalnya muncul dari sekitar lesi. Bangkitan bersifat
refrakter terhadap terapi pada enam dari 14 pasien. 4
Erba dan Cavazzuti melaporkan di akhir perjalanan penyakit, aktivitas
epileptiform bisa timbul dari korteks kontalateral. 4
Pada suatu studi yang dilakukan di Toronto, ditemukan bahwa EEG hanya
normal pada 4% kasus, supresi latar terjadi pada 74% kasus (64% unilateral,
10% bilateral), dan lepasan epileptiform terjadi pada 22% kasus. 4
Rangkuman temuan pemeriksaan penunjang yang menunjang diagnosis
SWS dapat dilihat dalam Tabel III. 4
TABEL III.TEMUAN YANG MENUNJANG DIAGNOSIS SWS DARI PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Penunjang TemuanAnalisis CSS Peningkatan proteinFoto Rontgën Kepala Kalsifikasi bentuk “tram-track”Angiografi Kurangnya vena korteks superfisial
Tidak terisinya sinus-sinus dura materPembuluh darah yang berkelok secara abnormal
CT scan Kalsifikasi, kalsifikasi bentuk “tram-track”Atrofi korteksPembesaran pleksus koroideusKebocoran sawar darah-otak (saat bangkitan)Penyangatan kontras
MRI Oklusi sinovenosa
18
Refarat: Sindrom Sturge-WeberArthur H.P. Mawuntu
Atrofi korteksMielinisasi sekitar angioma leptomeningen
SPECT Hiperperfusi, tahap diniHipoperfusi, tahap lanjut
PET HipometabolismeEEG Penurunan aktivitas latar
Aktivitas delta polimorfikAktivitas epileptiform
Sumber : Masanori & Riviello (2008). 4
DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING
Seperti telah disebutkan sebelumnya, pada kasus-kasus klasik, diagnosis
PWS mudah dibuat. Adanya PWS mengarahkan kecurigaan kita terhadap
SWS. Meskipun demikian tidak semua SWS memiliki manifestasi kulit dan
tidak semua PWS adalah SWS. 4
Pemikiran ke arah SWS masuk akal bila kita menemukan neonatus
dengan PWS atau glaukoma infantil. Pemeriksaan neurologis, mata, dan
pemeriksaan penunjang berupa pencitraan neurologis dan profil hormon
sebaiknya dibuat untuk membantu menegakkan diagnosis. Jika dalam
pemeriksaan belum ditemukan apa-apa, maka pasien harus diikuti
perkembangannya karena gejala SWS dapat timbul di usia yang lebih tua. 4,5,6
Timbulnya manifestasi neurologis berupa epilepsi refrakter,
keterlambatan perkembangan, episode serupa stroke, atau stroke juga
mengarahkan kita untuk melakukan pencitraan neurologis struktural,
fungsional dan EEG dengan SWS sebagai salah satu diagnosis bandingnya. 4
Diagnosis banding SWS cukup banyak bila kita mendiagnosis banding
setiap unsur dari sindrom tersebut. Bangkitan, nyeri kepala, episode serupa
stroke, dan stroke, keterlambatan perkembangan, serta retardasi mental
harus didiagnosis banding dengan penyebab lain yang bisa ditemukan pada
anak.
Sindrom Klippel-Trenaunay-Weber memberikan gambaran PWS di wajah
dan ekstremitas yang disertai hemihipertrofi jaringan lunak dan tulang,
angioma SSP, dan mungkin berhubungan dengan tumor solid organ dalam
terutama ginjal, kelenjar adrenal, atau hepar. Sindrom Beckwith-Wiedemann
memberikan gambaran PWS disertai makroglosia, omfalokel, dan hiperplasia
organ dalam. 5
Hemangioma koroid terkadang sukar dibedakan dengan melanoma.
Tumor fundus berwarna jingga yang harus dipertimbangkan dalam
19
Refarat: Sindrom Sturge-WeberArthur H.P. Mawuntu
mendiagnosis banding hemangioma koroid difus adalah ablasio epitel pigmen
retina serosa, osteoma koroid, skleritis nodular, dan hemangioma kapiler
retina eksofitik. 4,6
Sindrom Klippel-Trenaunay-Weber dan sindrom Wyburn-Mason dapat
memberikan gambaran angiografik yang mirip SWS. Kalsifikasi intrakranial
giriformis juga bisa disebabkan oleh infark serebri, meningitis dan ensefalitis,
iradikasi tulang tengkorak, meningioangiomatosis, penyaki seliak, dan
leukemia setelah pemberian methotrexate intratekal. 5
Diagnosis SWS klasik dibuat jika kita menemukan adanya PWS yang
disertai angioma leptomeningen dan koroid. Terdapat beberapa variasi dari
bentuk klasik penyakit ini seperti yang terlihat dalam skala Roach. 4
Pada Gambar 6 ditunjukkan ilustrasi pendekatan diagnosis SWS pada
seorang anak dengan PWS. 6
A B
20
Refarat: Sindrom Sturge-WeberArthur H.P. Mawuntu
C
Gambar 6. Contoh pendekatan diagnosis pada SWS.a. Seorang anak dengan PWS yang terutama mengenai daerah N. V2 & V3 sinistra dengan keterlibatan daerah N. V1 sinistra yang lebih ringan. Tampak jelas glaukoma sekunder; b. Selanjutnya dilakukan ultrasonografi bola mata dan tampak penebalan koroid difus yang sesuai dengan hemangioma koroid difus; c. MRI T1WI yang dibuat selanjutnya menunjukkan hemiatrofi serebri sinistra yang berhubungan dengan angioma leptomeningen.
Sumber : Del Monte & Eibschitz-Tsimhoni (2007). 6
PENATALAKSANAAN
Medikamentosis
Terapi medikamentosis mencakup antara lain antikonvulsan untuk
pengendalian bangkitan, terapi simptomatik dan profilaksis nyeri kepala,
terapi glaukoma untuk menurunkan tekanan intraokular, dan terapi laser
untuk PWS. 4
Bangkitan
Obat antiepilepsi yang dipilih sebaiknya adalah antiepilepsi yang efektif
untuk bangkitan fokal karena bangkitannya yang khas bersifat fokal. Dapat
dicoba terapi dengan carbamazepine, valproic acid, gabapentin, clonazepam,
phenobarbital, dan phenytoin. Cara pemberian dan evaluasi sama seperti
dalam pengobatan epilepsi. 4
Glaukoma
Tujuan terapi adalah perbaikan gejala, pengendalian tekanan intraokular
untuk mencegah cidera nervus optikus. 6
Untuk anisometropia ringan dapat dilakukan koreksi optik total di kedua
mata atau setidaknya koreksi total perbedaan refraksi antar mata. Pada
21
Refarat: Sindrom Sturge-WeberArthur H.P. Mawuntu
anisometropia berat atau jika timbul strabismus pada anak harus dilakukan
terapi untuk mencegah ambliopia dan strabismus. 6
Terapi medis pada SWS dengan glaukoma biasanya pada akhirnya gagal.
Meskipun demikian terapi ini dapat digunakan sementara untuk segera
menurunkan TIO sembari pasien menunggu giliran operasi. Pada anak-anak,
hal ini juga bertujuan untuk menunda bedah filtrasi sebab tindakan ini sulit
dilakukan di mata yang lebih kecil (lebih eksesif dan kecenderungan
terjadinya parut di tempat flap sklera lebih besar). 6
Terapi medis juga berfungsi sebagai tambahan untuk pembedahan.
Terapi antiglaukoma topikal selama beberapa waktu bisa membantu
menurunkan TIO pasca operasi yang masih sedikit lebih tinggi daripada nilai
normal sehingga tidak perlu dilakukan reoperasi ulang. Terapi medis awal
dengan penyekat beta topikal yang diikuti penambahan inhibitor anhidrase
karbonat (sistemik pada bayi dan topikal pada anak yang lebih tua) dan
prostaglandin (latanoprost) merupakan protokol yang dianjurkan untuk
pasien SWS pasca operasi glaukoma. 5,6
Efektifitas radioterapi seperti brakiterapi atau iradiasi sinar eksternal
untuk pasien hemangioma koroid difus yang berhubungan dengan ablasio
retina bulosa masih belum diketahui. Masih diperlukan penelitian lanjut untuk
menilai hasilnya dibandingkan terapi standar seperti fotokoagulasi. 5,6
Paulus, dkk melaporkan adanya perbaikan dari ablasio retina eksudatif
persisten setelah terapi dengan injeksi pegaptanib (anti-WEGF) pada seorang
penderita SWS berusia 13 tahun. Walaupun demikian, tidak terjadi perbaikan
visus.14
Nyeri Kepala
Kossoff, dkk memeriksa 68 pasien SWS dengan nyeri kepala. Awitan rata-
rata nyeri kepala adalah delapan tahun. Lima puluh lima dari 68 pasien
tersebut juga menderita bangkitan. Dua puluh dua pasien dengan epilepsi
merasa nyeri kepalanya lebih bermakna daripada epilepsi. Riwayat nyeri
kepala dalam keluarga ditemukan pada 37 pasien. Kebanyakan pasien hanya
menerima terapi abortif, terutama paracetamol dan ibuprofen. Hanya 15
pasien yang menggunakan obat profilaksis seperti gabapentine, valproate,
dan amytriptiline (tidak ada yang menggunakan penyekat adrenergik beta). 4
22
Refarat: Sindrom Sturge-WeberArthur H.P. Mawuntu
Kossoff, dkk juga melaporkan 104 pasien dengan SWS dan nyeri kepala
tipe migrain. Kesimpulannya, pada SWS, agen profilaksis dan golongan
triptan terlihat lebih efektif mengatasi nyeri kepala. 4
Kejadian Serupa Stroke
Aspirin telah digunakan untuk nyeri kepala dan pencegahan penyakit
vaskular terutama pada pasien dengan perburukan gambaran neurologis dan
kejadian vaskular berulang. Aspirin harus digunakan secara berhati-hati pada
anak-anak karena risiko efek samping terutama terjadinya sindrom Reye.
Thomas-Sohl, Vaslow, dan Maria merekomendasikan aspirin 3 – 5
mg/kgBB/hari untuk kejadian serupa stroke. Mereka juga menganjurkan
imunisasi varisela dan influenza tahunan karena terdapat hubungan antara
varisela dan influenza dengan terjadinya sindrom Reye. 4
Maria, dkk melaporkan penurunan insiden kejadian serupa stroke pada
20 pasien yang menerima aspirin. Dari 119 kejadian serupa stroke, 31 terjadi
pada pasien yang diterapi dengan aspirin dan 88 terjadi pada pasien yang
tidak menerima aspirin. Peneliti menganjurkan penelitian lanjut tentang
terapi aspirin pada SWS. 4
Keterlambatan Perkembangan dan Retardasi Mental
Keterlambatan dan retardasi mental, seperti yang telah dikemukakan
sebelumnya, bisa ditemui pada penderita SWS. Keterlambatan
perkembangan mungkin bersifat global dan membutuhkan kerjasama
berbagai bidang keahlian. Idealnya penanganan harus segera dilakukan
sebelum usia enam bulan. 4
Penanganan mencakup terapi terhadap anak dan bimbingan/ bantuan
terhadap keluarga. 4
Penanganan terhadap anak berupa bantuan dalam menguasai suatu
keterampilan semaksimal mungkin, fisioterapi untuk gangguan
neuromuskular dan fungsi motorik kasar, terapi okupasi untuk masalah
motorik halus, terapi wicara, serta bimbingan mental dan psikososial. 1,4,16
Orang tua/ keluarga harus dibimbing dan diedukasi mengenai masalah
dan masa depan anak sehingga mampu menyesuaikan sikap dan harapan
terhadap anaknya. Informasi mengenai hal-hal yang dapat dilakukan juga
perlu disampaikan kepada orang tua/ keluarga. 1,16
23
Refarat: Sindrom Sturge-WeberArthur H.P. Mawuntu
Sampai saat ini belum ada terapi untuk mengembalikan fungsi susunan
saraf yang subnormal dalam perkembangannya. Penatalaksanaan retardasi
mental pada SWS, seperti halnya karena sebab lain, mencakup bimbingan
dan edukasi orang tua/ keluarga, penyesuaian pendidikan, sosial, dan
pekerjaan. Pada retardasi mental berat mungkin perlu dipertimbangkan
perawatan panti. 1,4
Peran dokter anak penting dalam memantau perkembangan anak dan
mendeteksi adanya penyulit lain yang sering ditemui pada anak dengan
gangguan perkembangan dan retardasi mental seperti infeksi, trauma, child
abuse, malnutrisi, dan gangguan hormonal.
Gangguan Perilaku
Gangguan perilaku pada SWS yang bersifat hilang-timbul harus
didiagnosis banding dengan suatu bangkitan. Gangguan perilaku bisa
merupakan manifestasi iktal (bangkitan parsial kompleks) atau postiktal.
Pada orang tua, perlu didiagnosis banding dengan demensia oleh berbagai
sebab. 4
Terapi mencakup pemberian obat antiepilepsi dan antipsikosis seperti
risperidone. 4
Bercak Port-wine
Bercak port-wine harus diperiksa dalam minggu pertama setelah lahir
dan dibedakan dengan hemangioma. PWS diterapi dengan terapi laser yang
harus dimulai sedini mungkin karena dapat mengurangi jumlah sesi yang
dibutuhkan. Makin kecil lesi awal juga akan makin menurunkan jumlah sinar
laser yang dibutuhkan untuk menghilangkan lesi. 4,15
Troilius, dkk melaporkan keuntungan psikologis dari terapi dini PWS. 4
Tidak ada perubahan pigmentasi menetap atau parut pasca terapi yang
dilaporkan setelah terapi laser. 4
Terapi Bedah
Pembedahan ditujukan untuk bangkitan refrakter, glaukoma, dan
masalah spesifik yang berhubungan dengan bermacam-macam kelainan
penyerta seperti skoliosis. 4
24
Refarat: Sindrom Sturge-WeberArthur H.P. Mawuntu
Bangkitan Refrakter
Pembedahan merupakan pilihan terapi bagi bangkitan refrakter yang
gagal diterapi secara medis, terutama untuk bangkitan fokal. Prosedur bedah
mencakup reseksi korteks terbatas, hemisferektomi, korpus kalosotomi, dan
yang paling baru adalah stimulasi nervus vagus. SWS dianggap salah satu
epilepsi berat yang, menurut Holmes, menyebabkan pengendalian dan
keluaran perkembangan yang jelek bila tidak dikendalikan sejak dini. 4
Pembedahan dini sudah dianjurkan secara khusus pada SWS untuk
memperbaiki keluaran dan mencegah bangkitan refrakter, keterlambatan
perkembangan, dan hemiparesis. Di era sebelum pencitraan neurologis
modern, Alexander dan Norman, dan kemudian Alexander, menganjurkan
kraniotomi eksplorasi dan kemudian lobektomi jika diagnosisnya sesuai. Ini
dianjurkan bahkan sebelum bangkitannya dimulai karena mereka
menemukan bahwa bangkitan awitan dini berhubungan dengan retardasi
mental. 4
Hoffman, dkk dan kemudian Ogunmegan, dkk selanjutnya menganjurkan
hemisferektomi dini untuk bangkitan. Dengan demikian, perlunya
pembedahan, waktunya, serta prosedur bedah yang cocok perlu
dipertimbangkan masak-masak. Erba dan Cavazzuti memperkirakan sekitar
40% pasien SWS bisa menjadi kandidat pembedahan epilepsi dengan
mengeksklusi pasien yang memiliki pengendalian bangkitan yang baik atau
penyakit bilateral. 4
Peluang untuk mencapai pengendalian bangkitan dengan terapi medis
pada SWS bervariasi. Menurut beberapa seri penelitian, pengendalian
bangkitan sempurna dicapai pada 10 – 50% pasien dan bangkitan refrakter
terjadi pada 11 – 83% pasien. 4
Jika dipertimbangkan untuk terapi bedah, pilihan prosedur yang sesuai
harus menjadi pertimbangan utama. Daerah epileptogenik dilokalisasi di
daerah korteks sekitar angioma. Mungkin diperlukan elektrokortikografi.
Meskipun demikian, perlu diingat bahwa angioma leptomeningen biasanya
meliputi seluruh hemisfer dan daerah tanpa angioma pun dapat bersifat
epileptogenik dan karenanya membutuhkan pembedahan untuk mencapai
pengendalian bangkitan. 4
Reseksi korteks fokal (reseksi yang lebih terbatas) dilakukan bila
angioma leptomeningen lebih kecil dan lebih terlokalisasi. Reseksi korteks
25
Refarat: Sindrom Sturge-WeberArthur H.P. Mawuntu
terbatas lebih kurang menyebabkan defisit neurologis. Lokasi reseksi bisa
ditentukan sebelum tindakan dengan menentukan daerah awitan bangkitan.
Hal ini dilakukan dengan menggunakan elektroensefalografi permukaan
maupun elektrokortikografi yang dikombinasikan dengan pencitraan
neurologis struktural dan fungsional kemudian dilanjutkan dengan
elektrokortikografi intraoperatif. 4
Bangkitan sisa lebih sering terjadi pada reseksi terbatas daripada
hemisferektomi. Gilly, dkk melaporkan tingkat kegagalan sebesar 30%
setelah suatu reseksi terbatas. Pada kombinasi data dari tiga pusat bedah
didapatkan tingkat kegagalan 12,5%.4
Hemisferektomi dilakukan bila ditemukan daerah epileptogenik unilateral
yang luas. Kossoff, dkk mengevaluasi keluaran hemisferektomi pada 32
pasien SWS. Semua pasien menjalani hemisferektomi antara tahun 1979
hingga 2001, usia rata-rata saat awitan bangkitan adalah empat bulan, dan
usia rata-rata pembedahan adalah 1,2 tahun. Enam belas pasien menjalani
hemisferektomi anatomis, 14 menjalani hemisferektomi fungsional, dan dua
menjalani hemidekortikasi. Tindakan dilakukan di 18 pusat di seluruh dunia.
Lima belas pasien mengalami penyulit segera setelah operasi yang
mencakup perdarahan, infeksi, dan nyeri kepala berat. Mereka kemudian
menjalani operasi ulang karena bangkitan berulang, shunting, atau
hipertensi. Tidak ada yang meninggal. 4
Dalam studi tersebut, 81% pasien menjadi bebas bangkitan, dengan 53%
tidak lagi mengkonsumsi obat antiepilepsi. Tipe pembedahan
(hemisferektomi anatomis, hemisferektomi fungsional, hemidekortikasi) tidak
mempengaruhi keluaran. Usia saat awitan bangkitan tidak memprediksi
keadaan bebas bangkitan. Hemiparesis pasca operasi tidak memburuk
dibanding sebelum pembedahan. Keluaran kognitif tidak berhubungan
dengan usia saat pembedahan, lokasi pembedahan, atau keadaan bebas
bangkitan. 4
Menurut kelompok Toronto, hemisferektomi lebih baik dilakukan saat
bayi karena pengendalian bangkitan dini membantu mempertahankan fungsi
hemisfer normal. 4
Bila pasien bukan merupakan kandidat untuk reseksi terbatas atau
hemisferektomi, misalnya pada kasus penyakit bilateral, dapat dilakukan
korpus kalosotomi atau stimulasi nervus vagus. 4
26
Refarat: Sindrom Sturge-WeberArthur H.P. Mawuntu
Hoffman melaporkan beberapa hal mengenai pembedahan pada SWS: 4
Gangguan fokal berespons baik terhadap reseksi.
Elektrokortikografi mampu menentukan korteks epileptogenik.
Hemisferektomi menghasilkan perbaikan keluaran yang bermakna
dengan intelegensi normal dan peluang menjadi bebas kejang sebesar
lebih daripada 90%.
Sturge-Weber Foundation telah membentuk suatu kelompok kerja untuk
mengevaluasi bedah epilepsi pada SWS. Berikut adalah rekomendasinya: 4
Hemisferektomi tidak harus dilakukan pada semua pasien SWS hanya
karena makin meningkatnya praktek pembedahan dini. Pembedahan
hanya sesuai untuk bangkitan yang refrakter dengan obat-obatan.
Pasien dengan bangkitan refrakter dan lesi yang sangat terlokalisasi
sebaiknya menjalani reseksi terbatas yang mempertahankan sebanyak
mungkin jaringan normal.
Video EEG dan pencitraan neurologis struktural serta fungsional harus
digunakan untuk menentukan perluasan lesi dan lokasi asal bangkitan.
Korpus kalosotomi hanya dilakukan pada pasien dengan bangkitan atonik
atau tonik refrakter yang menyebabkan cidera sekunder, yang bukan
merupakan kandidat bagi pembedahan yang lebih definitif.
Pembedahan harus dilakukan hanya di pusat dengan program bedah
epilepsi anak yang sedang berjalan.
Meski keuntungan pembedahan bagi bangkitan refrakter telah diterima
secara umum, masih diperlukan penelitian lanjut untuk mengevaluasi
perjalanan penyakit dan untung-rugi yang mungkin diperoleh dari
pembedahan.
Stimulasi nervus vagus bisa dilakukan pada pasien yang bukan kandidat
pembedahan.
Pembedahan Mata
Kebanyakan dokter spesialis mata memilih pembedahan sebagai terapi
glaukoma pada pasien SWS dan terapi medis sebagai tambahan. Meskipun
demikian, teknik operasi masih menjadi kontroversi. Goniotomi,
trabekulotomi, kombinasi trabekulotomi-trabekulektomi, trabelukoplasti laser
argon, goniotomi laser Nd:YAG, dan prosedur seton sudah digunakan untuk
glaukoma pada SWS, tetapi hasil jangka panjangnya sering mengecewakan.
27
Refarat: Sindrom Sturge-WeberArthur H.P. Mawuntu
Belum ada prosedur yang memperlihatkan kesuksesan seperti pada
glaukoma infantil primer. 6
Tujun terapi adalah penurunan TIO yang cepat dan permanen hingga ke
nilai normal (<20 mmHg) atau sedikit lebih tinggi tanpa perburukan lain
seperti pembesaran kornea, peningkatan miopia, atau peningkatan cupping
nervus optikus. 6
Perawatan pasca operasi biasanya mencakup pemeriksaan berulang
dalam anestesi untuk bayi dan anak kecil untuk menilai kesuksesan
pembedahan. Jika terus ditemukan peningkatan TIO borderline maka maka
dicoba pemberian terapi medis dengan pemantauan ketat . Jika TIO tetap
tinggi atau timbul tanda-tanda kerusakan progresif karena glaukoma maka
harus dilakukan pembedahan ulang. 6
Tindakan anestesi juga harus hati-hati karena adanya angioma SSP pada
pasien SWS yang meningkatkan risiko perdarahan intraserebral atau
koagulasi intravaskular diseminata saat dilakukan anestesi. Dipilih obat dan
tindakan yang paling tidak menyebabkan hipertensi. 6
Setiap strabismus yang bermakna yang tetap muncul setelah terapi
ambliopia, koreksi lensa refraksi, dan ortoptik paling baik diterapi dengan
pembedahan otot mata. 6
Tidak ada terapi bedah maupun medis yang efektif mencegah atau
memulihkan perburukan penglihatan yang berhubungan dengan perubahan
sekunder struktur mata di atas hemangioma koroidal. 6
Bila mata yang terkena kemudian menjadi buta dan nyeri maka harus
dilakukan enukleasi bulbi. 6
PEMANTAUAN LANJUT
Semua pasien SWS sebaiknya terus dipantau, baik yang baru
memberikan gejala kulit maupun gejala mata dan saraf. Idealnya
pemantauan dilakukan di pusat yang memiliki program khusus untuk SWS. Di
kebanyakan tempat, belum ada pusat-pusat seperti itu. Dengan demikian
peran dari dokter spesialis saraf, dokter spesialis anak, maupun spesialis
saraf anak lebih dominan dalam situasi ini. 4
Dokter keluarga harus diberikan penjelasan tentang penyakit pasien.
Tambahan pengetahuan tentang SWS dapat diperoleh dokter keluarga dari
berbagai sumber. Dibutuhkan konsultasi dengan dokter spesialis saraf anak,
28
Refarat: Sindrom Sturge-WeberArthur H.P. Mawuntu
ahli epilepsi (terutama bila bangkitannya refrakter), dokter spesialis kulit,
dokter spesialis bedah plastik, dokter spesialis mata, psikolog, dokter
spesialis jiwa/ ahli neurobehaviour, dokter spesialis rehabilitasi medis, dan
ahli neuro-endokrin. Tidak dibutuhkan diet khusus. Tidak ada pembatasan
aktivitas kecuali untuk kondisi tertentu. 4,5,6
PROGNOSIS
Usia saat bangkitan dapat menjadi tanda prognostik bagi pengendalian
bangkitan akhir. Roach meyakini bahwa awitan bangkitan pada pasien lebih
muda daripada 2 tahun lebih cenderung berhubungan dengan bangkitan
refrakter dan masalah perkembangan. Data dari Bebin dan Gomez, Oakes,
Pascual-Casrtroviejo, dkk, serta Sujansky dan Condradi mendukung hal ini.
Namun demikian, Maria, dkk membagi pasien dalam penelitian mereka
menjadi dua kelompok umur untuk studi longitudinal, usia 1 – 3 tahun dan
usia 10 – 22 tahun. Mereka menemukan tidak ada perbedaan keluaran klinis
di antara kedua kelompok tersebut. 4
Erba dan Cavazzuti melaporkan pengendalian bangkitan yang
memuaskan pada 50% pasien bahkan dengan pasien yang awitan
bangkitannya terjadi dalam tahun pertama setelah lahir. Tiga puluh persen
pasien mengalami bebas bangkitan selama setidaknya dua tahun dan pada
yang lain, 17% memiliki rata-rata satu bangkitan per bulan dan 33%
dianggap mengalami pengendalian bangkitan yang jelek dengan bangkitan
lebih daripada satu kali per minggu. Jadi, bangkitan dini tidak memprediksi
keparahan epilepsi ikutan atau terjadinya retardasi mental berat. 4
Faktor-faktor yang dapat memprediksikan keluaran yang buruk (atau
indikasi pembedahan) mencakup: 4
Awitan bangkitan dini.
Angioma leptomeningen luas.
Bangkitan yang refrakter dengan obat-obatan.
Defisit motorik berulang atau menetap.
Nyeri kepala atau trauma ringan yang berhubungan dengan defisit
motorik sepintas.
Bukti adanya kerusakan neurologis progresif.
Bangkitan fokal dengan generalisasi.
Peningkatan frekuensi dan durasi bangkitan.
29
Refarat: Sindrom Sturge-WeberArthur H.P. Mawuntu
Peningkatan durasi defisit postiktal.
Peningkatan atrofi fokal atau difus.
Kalsifikasi atau atrofi progresif.
Timbulnya hemiparesis.
Perburukan fungsi kognitif.
Faktor-faktor yang menandakan adanya suatu perburukan dalam
perjalanan klinis adalah: 4
Bangkitan fokal awal yang berkembang menjadi bangkitan generalisasi
sekunder yang sering.
Peningkatan frekuensi dan durasi bangkitan meski telah diberi obat
antiepilepsi.
Peningkatan durasi defisit postiktal sepintas.
Peningkatan atrofi fokal atau difus yang ditentukan oleh pencitraan
neurologis serial.
Peningkatan kalsifikasi progresif.
Timbulnya hemiparesis.
Perburukan fungsi kognitif.
PENUTUP
Sindrom Sturge-Weber merupakan kelainan perkembangan yang dimulai
saat periode intrauterin. SWS termasuk dalam kelompok angiomatosis kutan
dengan abnormalitas SSP.
Sindrom Sturge-Weber terjadi akibat pembuluh darah embrional residual.
Penyebabnya masih belum jelas. Spektrum SWS klasik mencakup angioma
fasial kongenital, angioma leptomeningen, dan hemangioma koroid dengan
berbagai manifestasi klinis seperti bangkitan, keterlambatan perkembangan,
retardasi mental, episode serupa stroke, nyeri kepala, glaukoma, buftalmos,
kebutaan, dll.
Kemungkinan SWS harus dipikirkan jika ditemukan PWS di wajah dan
gangguan neurologis seperti epilepsi refrakter, keterlambatan
perkembangan, atau hemiparesis pada anak.
Pemeriksaan penunjang mencakup pencitraan neurologis struktural dan
fungsional, elektroensefalografi, dan profil hormon.
Penanganannya membutuhkan kerjasama berbagai bidang keahlian
mencakup dokter spesialis saraf anak, ahli epilepsi (terutama bila
30
Refarat: Sindrom Sturge-WeberArthur H.P. Mawuntu
bangkitannya refrakter), dokter spesialis kulit, dokter spesialis bedah plastik,
dokter spesialis mata, psikolog, dokter spesialis jiwa/ ahli neurobehaviour,
dokter spesialis rehabilitasi medis, dan ahli neuro-endokrin.
Modalitas terapi medikamentosis yang umum digunakan mencakup obat
antiepilepsi, antinyeri, antiplatelet, antiglaukoma topikal dan oral, serta
terapi laser kulit. Modalitas terapi bedah saraf mencakup reseksi korteks
terbatas, hemisferektomi, korpus kalosotomi, dan yang paling baru adalah
stimulasi nervus vagus. Modalitas terapi kelainan mata mencakup goniotomi,
trabekulotomi, kombinasi trabekulotomi-trabekulektomi, trabelukoplasti laser
argon, goniotomi laser Nd:YAG, dan prosedur seton untuk glaukoma,
pembedahan otot mata untuk strabismus, dan enukleasi.
Terapi ambliopia, koreksi lensa refraksi, dan ortoptik dapat dilakukan
untuk strabismus ringan. Terapi rehabilitatif serta bimbingan dan edukasi
orang tua perlu juga dilakukan pada kasus-kasus epilepsi refrakter,
keterlambatan perkembangan, dan retardasi mental.
Intervensi dini memperbaiki perjalanan klinis penyakit.
Pemantauan lanjut harus dilakukan karena gangguan neurologis dan
mata pada SWS sering tidak langsung muncul di saat lahir. Pemantauan
lanjut mencakup pemeriksaan fisik umum, tumbuh-kembang, neurologis,
neurobehaviour, pemeriksaan mata, dan pemeriksaan penunjang.
31
Refarat: Sindrom Sturge-WeberArthur H.P. Mawuntu
KEPUSTAKAAN
1. Ropper AH, Brown RH. Adams and Victor’s Principles of neurology. 8-th ed. Meningo- or encephalofacial angiomatosis with cerebral calsification. New York: McGraw-Hill; 2005. p. 872.
2. Madaan V, Dewan V, Ramaswany S, Sharma A. Behavioural manifestations of sturge-weber syndrome: a case report. Prim Care Companion J Clin Psychiatry 2006;8:198 – 200.
3. Gutmann DH, Wetmore C, O’Neill BP. The phakomatoses. In: Schiff D, O’Neill BP, editors. Principles of neuro-oncology. New York: McGraw-Hill, 2005. p.233 - 58.
4. Masanori T, Riviello JJ. Sturge-weber syndrome. Available from: http://www.emedicine.com. Cited: September 25 2009. 5 of 5 screens.
5. Khan AN, Turnbull I, MacDonald S, Al-Okaili R. Sturge-weber syndrome. Available from: http://www.emedicine.com. Cited: September 25 2009. 4 of 4 screens.
6. Del Monte MA, Eibschitz-Tsimhoni M. Sturge-weber syndrome. Available from: http://www.emedicine.com. Cited: September 25 2009. 5 of 5 screens.
7. Parsa CF. Sturge-weber syndrome: a unified pathophysiologic mechanism. Curr Treat Options Neurol. 2008 Jan;10(1):47-54.
8. Zhou Q, Zheng JW, Yang XJ, Wang YA, Ye WM, Zhu HG, Zhang ZY. Fibronectin: characterization of a somatic mutation in Sturge-Weber syndrome (SWS). Med Hypotheses. 2009 Aug;73(2):199-200.
9. Comi AM. Advances in Sturge-Weber syndrome. Curr Opin Neurol. 2006 Apr;19(2):124-8.10. Tallman B, Tan OT, Morelli JG. Location of port-wine stains and the likelihood of
ophthalmic and/or central nervous system complications. Pediatrics. Mar 1991;87(3):323-7.
11. Pascual-Castroviejo I, Pascual-Pascual SI, Velazquez-Fragua R, Viaño J. Sturge-Weber syndrome: study of 55 patients. Can J Neurol Sci. 2008 Jul;35(3):301-7.
12. Comi AM, Bellamkonda S, Ferenc LM, Cohen BA, Germain-Lee EL. Central hypothyroidism and Sturge-Weber syndrome. Pediatr Neurol. 2008 Jul;39(1):58-62.
13. Desai P, SinghAD, Dessai A. Sturge-weber syndrome. Available from: http://www.emedicine.com. Cited: September 25 2009. 1 of 1 screens.
14. Paulus YM, Jain A, Moshfeghi DM. Resolution of persistent exudative retinal detachment in a case of Sturge-Weber syndrome with anti-VEGF administration. Ocul Immunol Inflamm. 2009 Jul-Aug;17(4):292-4.
15. Onesti MG, Fioramonti P, Carella S, Spinelli G, Scuderi N. Surgical and laser treatment of Sturge-Weber syndrome. Aesthetic Plast Surg. 2009 Jul;33(4):666-8.
16. Handryastuti S. Keterlambatan perkembangan motorik atau palsi serebral? Dalam: Ismail S, dkk. Pendidikan kedokteran berkelanjutan ilmu kesehatan anak XLIX: Pediatric neurology and neuroemergency in daily practice. Jakarta: Departemen IKA FKUI. hal. 119 – 36.
32