Upload
sugeng-riadi
View
71
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
This file contains information about environmental issues.
Citation preview
Sinopsis
Judul Buku : Problematika Penerapan Delik
Formil dalam Perspektif
Penegakan Hukum Pidana
Lingkungan di Indonesia.
Penulis : Syahrul Machmud.
Penerbit : CV. Mandar Maju, Bandung –
Indonesia (2012).
Tebal Buku : 412 Halaman
Buku ini berasal dari disertasi doktoral Syahrul Machmud di Universitas Islam Bandung.
Dalam buku ini Machmud secara khusus memaparkan tentang praktek peradilan
terdadap delik formil dalam perspektif penegakan hukum pidana lingkungan di
Indonesia.
Buku ini merupakan buku yang cukup penting dalam kajian hukum lingkungan sebab
penerapan undang-undang terbaru tentang lingkungan baru berlaku efektif mulai akhir
tahun 2009 (baru berlangsung sekitar 3 tahun), sehingga kajian-kajian hukum tentang
lingkungan di Indonesia – terutama yang bersifat praktis – amat diperlukan dalam
rangka membangun tata peradilan yang lebih efektif. Seiring dengan tujuan tersebut,
sinopsis ini berupaya untuk menganalisa pokok-pokok persoalan yang diangkat dalam
buku ini dengan harapan bisa membantu para pembaca memahami esensi isu-isu
lingkungan ditinjau dari perspektif hukum.
Sesuai dengan perkembangan jaman dan untuk memenuhi kebutuhan hukum
lingkungan yang begitu pesat, Indonesia membuat UU No. 4 Tahun 1982 tentang
Pokok-Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang diperbarui dengan UU No. 23
Tahun 1997 tentang Pengelolan Lingkungan Hidup (UUPLH). Duabelas tahun
kemudian undang-undang ini diganti dengan UU No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (untuk selanjutnya disingkat menjadi
UUPPLH) dan UU inilah yang diberlakukan hingga saat ini.
Sebagai undang-undang pokok, UUPPLH bertujuan untuk menguatkan prinsip-prinsip
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang didasarkan pada tata kelola
pemerintahan yang baik. Pola pikir global diperlukan untuk menangani masalah
lingkungan, namun langkah-langkah operasional dan tindakan yang perlu diambil
bersifat lokal. Di sinilah dibutuhkan sebuah payung hukum untuk menaungi
penanganan terhadap masalah-masalah lingkungan dan UUPPLH adalah jawaban
yang tepat. Dalam undang-undang ini disebutkan bahwa penegakan hukum pidana
lingkungan tetap memperhatikan asas ultimum remedium, yaitu asas yang mewajibkan
penerapan hukum pidana sebagai upaya terakhir setelah penerapan hukum
administrasi dianggap tidak berhasil. Namun dalam kenyatannya asas ini sering
diabaikan oleh para penegak hukum. Dari tahun 2002 sampai 2009 di Pengadilan
Negeri daerah Jawa Barat setidaknya terdapat 13 kasus lingkungan hidup yang
mengabaikan asas ultimum remedium. Dalam 13 kasus tersebut penuntut umum selalu
mendakwa dengan menggunakan delik formil dan materiil. Artinya, penuntut umum
selalu mengedepankan hukum pidana di atas hukum administrasi. Berhulu dari
permasalahan inilah buku ini hadir untuk mempelajari apa yang menjadi penyebab
aparat hukum selalu menerapkan penegakan hukum pidana terhadap delik formil
secara primum remedium dan siapa atau instansi apa saja yang berwenang
menyatakan bahwa hukum administrasi dianggap tidak efektif sebelum penerapan
hukum pidana.
Penelitian yang dipaparkan dalam buku ini menggunakan pendekatan yuridis normatif
agar dapat memecahkan permasalahan yang berkaitan dengan makna dan konsep
delik formil. Sifat penelitian yang dipakai adalah deskriptif dan preskriptif, yaitu
bertujuan untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual
dan aktual mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang
diselidiki, sekaligus juga bertujuan untuk mendapatkan saran-saran mengenai apa yang
harus dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah yang diteliti. Sumber data yang
digunakan adalah data sekunder berupa peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan lingkungan hidup. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi
kepustakaan dan wawancara. Lokasi penelitian dipusatkan di Pengadilan Negeri
Bandung, Tangerang, Garut, Jakarta Selatan dan Manado, karena dari kantor-kantor
inilah diperoleh data putusan tentang kasus-kasus perusakan lingkungan yang
menggunakan delik formil pada dakwaannya. Analisa terhadap data yang diperoleh
bersifat yuridis kualitatif dengan menggunakan logika induktif abstraktif, yaitu
pengambilan kesimpulan yang bertolak dari hal-hal khusus ke umum.
Sebelum menjawab persoalan-persoalan yang menjadi bahan penyelidikan buku ini
terlebih dahulu mengupas sejarah perkembangan hukum lingkungan pada tingkat dunia
dan kemudian mengarah secara khusus pada perkembangan di tingkat domestik. Pada
tingkat global salah satu hal yang melatarbelakangi pentingnya isu-isu lingkungan
ditandai dengan terbitnya sebuah buku berjudul “The Silent Spring” (Musim Semi Yang
Sunyi) karangan Rachel Carson pada tahun 1962. Dalam buku tersebut Carson
bercerita tentang masa depan yang dipenuhi dengan peristiwa-peristiwa misterius,
seperti munculnya penyakit mematikan yang menyerang ayam, sapi dan domba tanpa
diketahui penyebabnya. Kasus-kasus kematian kemudian menyebar pada manusia,
tidak hanya pada golongan orang dewasa namun juga pada anak-anak yang
kematiannya terjadi secara tiba-tiba tanpa diketahui penyebabnya. Cerita Carson ini
menuai reaksi keras dari kalangan industrialis kimia, bahkan mereka berupaya keras
membuktikan bahwa cerita kematian yang dihubungkan dengan masalah lingkungan itu
hanyalah bentuk kedunguan Carson. Namun tidak berselang lama setelah terbitnya
buku tersebut dunia dikejutkan dengan munculnya penyakit aneh dan misterius di
Jepang disusul dengan mewabahnya penyakit mematikan yang disebut itai-itai. Hal ini
membuat dunia sadar bahwa tulisan Carson bukan sekedar fiktif-imaginatif melainkan
suatu kenyataan yang telah menimpa umat manusia. Sejak saat itu muncullah
gagasan-gagasan yang memberikan perhatian besar terhadap masalah lingkungan
hidup. Secara konkrit gagasan semacam ini pertama kali diajukan oleh negara Swedia
pada tahun 1968, yaitu tentang perlunya suatu konferensi internasional mengenai
lingkungan hidup manusia. Usulan ini diterima oleh PBB dan melahirkan Konferensi
Stockholm. Konferensi Stockholm telah memberikan satu keputusan yang penting bagi
negara Indonesia, sebab Indonesia merupakan salah satu negara yang dipilih menjadi
anggota Gouvering Council for Environmental Programs. Sejak saat itu Indonesia selalu
berperan aktif dalam konferensi yang diadakan oleh United Nations Environment
Programme (UNEP) di Nairobi. Menindaklanjuti hasil-hasil konferensi lingkungan di
Stockholm dan Nairobi, PBB kemudian membentuk suatu komisi yang bernama The
World Commission on Environment and Development (WCED). Kemudian WCED
mengajulan usulan untuk menyelenggarakan suatu konferensi lingkungan tingkat dunia
dan membuahkan Konferensi Rio de Janeiro pada tahun 1992. Konferensi ini
merupakan konferensi terbesar dalam sejarah pertemuan tingkat dunia dan menjadi
tonggak bersejarah bagi pengembangan kebijakan dan hukum lingkungan di tingkat
internasional, nasional dan lokal.
Untuk konteks nasional perkembangan masalah lingkungan hidup sebenarnya telah
mulai sebelum Indonesia merdeka. Ketentuan-ketentuan tentang lingkungan telah
dikelurkan sejak jaman penjajahan oleh Hindia Belanda maupun Jepang. Dokumen
tertua yang menunjukkan peraturan tentang pengelolaan lingkungan adalah ordonasi
tentang perikanan mutiara dan perikanan bunga karang yang dikeluarkan di Bogor oleh
Gubernur Jenderal Idenburg pada tanggal 29 Januari 1916. Peraturan ini diikuti oleh
ordonansi Cagar Alam pada tahun yang sama dan kemudian disusul dengan aturan-
aturan yang lain sampai Indonesia memasuki jaman Jepang sebelum akhirnya
mencapai kemerdekaan. Sejak jaman kemerdekaan Indonesia semakin sering
mengeluarkan produk-produk hukum tentang lingkungan hidup, mulai dari pasal-pasal
lingkungan dalam UUD 1945 sampai dengan UUPPLH yang dipakai hingga sekarang.
Pada UUPPLH telah jelas dinyatakan bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup dilaksanakan berdasarkan pada 14 (empat belas) asas umum, yaitu tanggung
jawab negara, kelestarian dan keberlanjutan, keserasian dan keseimbangan,
keterpaduan, manfaat, kehati-hatian, keadilan, ekoregional, keanekaragaman hayati,
sanksi pencemaran, partisipatif, kearifan lokal, tata kelola pemerintah dan otonomi
daerah. Sedangkan dari aspek hukum UUPPLH menerapkan asas ultimum remedium
(sebagai pengganti asas subsidiaritas pada UUPLH), yang berarti bahwa hukum
administrasi lebih didahulukan daripada hukum pidana, yang esensinya adalah bahwa
UU ini menekankan pada upaya preventif dengan mendayagunakan secara maksimal
instrumen pengawasan dan perizinan (misalnya PP tentang AMDAL). Namun ternyata
kejadian di lapangan (law in action) amatlah berbeda dengan aturan di buku (law in
book). Sebagian besar kasus lingkungan hidup langsung diproses dengan hukum
pidana tanpa ada pembuktian yang jelas bahwa hukum administrasi tidak berhasil.
Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam khazanah hukum di Indonesia terdapat pro dan
kontra mengenai tingkat kepentingan dan efektifitas hukum pidana dan hukum
administrasi. Para ahli hukum terpecah menjadi dua kubu dalam memberikan
pandangan tentang aspek pidana dan administrasi dalam persoalan lingkungan.
Kelompok yang pertama lebih mendukung diutamakannya tindakan hukum pidana
daripada hukum administrasi dengan alasan bahwa hukum administrasi terlalu lemah
dan kurang efektif. Sedangkan kelompok kedua lebih mengedepankan hukum
administrasi dalam menangani kasus-kasus pelanggaran lingkungan hidup. Menurut
kelompok ini hukum pidana baru tepat diterapkan ketika hukum administrasi (seperti
asas subsidiaritas) sudah terbukti tidak berhasil. Dari keseluruhan pembahasan dalam
buku ini tampak jelas bahwa penulis (Syahrul Machmud) termasuk pada kelompok yang
kedua. Namun demikian ia juga mengakui bahwa hukum administrasi seringkali kurang
tegas dibandingkan dengan hukum pidana, dan hal ini secara tidak langsung
menunjukkan bahwa ia sebenarnya juga memiliki keraguan tentang efektifitas hukum
administrasi.
Ketidaksamaan pendapat hukum dalam penanganan masalah lingkungan sebenarnya
juga diakibatkan oleh amat luasnya bidang tersebut. Dengan demikian bisa dipahami
bahwa UUPLH dan UUPPLH hanya mengatur masalah-masalah pokok tentang
lingkungan hidup dan lebih sering berfungsi sebagai payung hukum bagi penyusunan
dan penyesuaian ketentuan peraturan perundang-undangan lingkungan yang bersifat
lebih khusus, seperti masalah sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, sumber
daya buatan, cagar budaya, perindustrian, kesehatan lingkungan, kependudukan, tata
ruang dan sebagainya.
Menurut buku ini, asas ultimum remedium, meskipun kenyataannya kurang disukai oleh
kelompok pertama, harus tetap mengikat untuk diaplikasikan oleh para penegak hukum.
Institusi formil yang memiliki kewenangan melakukan interpretasi atau penafsiran
hukum adalah lembaga yudikatif. Pendapat dan pandangan para pakar bersifat
subyektif, sering masih berupa wacana dan belum memiliki daya ikat. Pendapat pakar
hukum baru memiliki daya ikat (harus dilaksanakan) setelah dituangkan dalam suatu
produk yudikatif. Di sinilah aparat penegak hukum, terutama para hakim dari tingkat
pengadilan negeri sampai mahkamah agung memiliki peran utama dalam rangka
membuat terang suatu perundang-undangan yang kurang jelas dalam tingkat teori. Dan
dari hasil penelitian yang dilakukan penulis ditemukan fakta bahwa para aparat
penegak hukum baik penyidik, penuntut umum dan bahkan para hakim kurang
mengenal makna asas subsidiaritas dalam UUPLH yang substansinya sama dengan
asas ultimum remedium dalam UUPPLH. Ini merupakan sebagian jawaban dari
persoalan utama yang diangkat dalam buku ini, yaitu mengapa aparat penegak hukum
cenderung menerapkan asas hukum pidana dalam menangani kasus-kasus lingkungan
hidup. Jawaban lain dari persoalan tersebut adalah kurang jelasnya kerangka
kelembagaan pengelolaan lingkungan hidup dan pembagian kewenangan serta
tanggung jawab dari masing-masing instansi yang terkait, lemahnya kewenangan
kementrian negara lingkungan hidup (KNLH) dan lemahnya perumusan tentang
AMDAL.
UUPPLH sebenarnya dapat dikategorikan sebagai hukum pidana khusus karena
penerapan delik formil (yaitu kasus pelanggaran yang belum terbukti benar-benar
terjadi) harus disandarkan pada ketentuan hukum administrasi, demikian pula subjek
hukumnya dapat berupa suatu badan hukum – suatu hal yang tidak ditemukan dalam
KUHP. Dengan menganggap bahwa ketentuan hukum lingkungan merupakan aturan
khusus maka ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UUPPLH dapat diselesaikan
dengan mengabaikan aturan umum dalam KUHAP.
Di Indonesia persoalan kejahatan lingkungan diklasifikasikan sebagai tindak pidana
administratif atau tindak pidana yang mengganggu kesejahteraan masyarakat. Dalam
hal ini fungsi hukum pidana bersifat menunjang sanksi-sanksi administratif demi
ditaatinya norma-norma hukum administrasi. Filosofi ini senafas dengan strategi
penegakan hukum nasional yang pada dasarnya menitikberatkan pada upaya
pencegahan atau preventif. Sarana preventif yang bersifat operasional adalah
dilaksanakannya proses perijinan secara cermat, lengkap dan jelas dan tahap
berikutnya adalah terlaksananya kegiatan pembinaan, pengawasan dan pemantauan
secara konsisten, efisien dan efektif. Selanjutnya, apabila hal tersebut tidak mampu
mencegah terjadinya pelanggaran, barulah tahap represif diterapkan (yaitu hukum
pidana murni).
Dari penelitian terhadap beberapa kasus pelanggaran lingkungan dapat disimpulkan
bahwa digunakannya ranah pidana cenderung hanya sebagai pemuas nafsu amarah
pihak pelapor. Upaya penistaan (pemenjaraan) terlapor menjadi target utama pelapor.
Dan yang lebih parah adalah bahwa bagi aparat penegak hukum kasus semacam ini
menjadi lahan untuk mendapatkan sejumlah keuntungan pribadi dari pihak pelapor.
Tentu saja hal yang demikian mencerminkan terjadinya degradasi moral dari pihak
pelapor maupun aparat penegak hukum.
Oleh karena itu, dalam rangka menghindari praktek-praktek hukum yang tidak humanis
dan tidak objektif sebagaimana dikemukakan di atas, penggunaaan hukum pidana
harus dibatasi untuk hal-hal yang sangat penting, sedangkan untuk penindakan
terhadap delik formil (yang berarti alam belum mengalami kerusakan, masyarakat tidak
resah dan perbuatan pelaku relatif tidak berat) dalam UUPPLH, fungsi hukum
administrasi harus dikedepankan.
Dalam penelitian terhadap 13 kasus lingkungan hidup, terutama yang diatur dalam
UUPLH dari tahun 2002 sampai tahun 2009 didapatkan sebuah fakta umum yaitu
bahwa aparat penegak hukum, mulai dari penyidik, penuntut umum dan hakim
cenderung tidak mempertimbangkan asas subsidiaritas ataupun ultimum remedium,
melainkan langsung menerapkan asas hukum pidana. Temuan ini, sebagaimana yang
telah disinggung sebelumnya mempertegas rendahnya tingkat familiaritas dan
apresisiasi aparat penegak hukum terhadap hukum administrasi, padahal penegakan
hukum administrasi dapat lebih efisien dari sudut pembiayaan dibandingkan dengan
hukum pidana atau perdata. Lebih jauh lagi, penegakan hukum administrasi lebih
memiliki kemampuan mengundang partisipasi masyarakat dalam rangka membangun
kesadaran hidup dalam lingkungan alam yang baik dan sehat.
Hasil analisa terhadap data penelitian dalam buku ini menunjukkan kesimpulan bahwa
rendahnya tingkat familiaritas dan apresiasi aparat penegak hukum terhadap hukum
administrasi adalah karena lemahnya aspek formulasi dari UUPPLH. Penyebab lain
adalah tidak adanya Peraturan Pemerintah yang memperjelas secara teknis prosedur
operasionalisasi delik formil dihubungkan dengan asas subsidiaritas atau ultimum
remedium. Kurangnya komitmen keilmuan para penegak hukum untuk menggali lebih
luas asas hukum administrasi juga berkontribusi terhadap diutamakannya hukum
pidana murni. Sayang sekali penelitian ini tidak berhasil menemukan kejelasan tentang
siapa atau instansi apa yang berwenang untuk menyatakan bahwa hukum administrasi
tidak efektif atau gagal. Tentu saja untuk menjawab persoalan ini dibutuhkan kajian
yang lebih mendalam dan komprehensif.
Akhirnya berangkat dari keseluruhan hasil penelitian buku ini menyarankan bahwa
pemerintah perlu membuat suatu pedoman operasionalisasi delik formal dihubungkan
dengan asas subsidiaritas atau ultimum remedium dalam bentuk peraturan pemerintah
tentang pelaksanaan delik formil lingkungan sebagai pedoman hukum acara khusus.
Dan hal yang tidak kalah penting adalah diperlukannya komitmen aparat penegak
hukum untuk selalu berupaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia, terutama
yang berkaitan dengan penerapan delik formal terhadap masalah-masalah lingkungan.