Upload
others
View
10
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
LANDASAN TEORITIS
Bagian landasan teoritis ini, menguraikan beberapa teori, asas dan konsep
serta pendapat-pendapat para sarjana, yang berhubungan dengan judul permasalahan
yang dikemukakan, merupakan pisau analisis guna menjawab pokok-pokok
permasalahan yang dikemukakan dalam disertasi ini. Teori yang digunakan dalam
penelititan dan penulisan disertasi ini, adalah teori-teori yang berkaitan dengan
kewenangan lembaga negara dalam pembentukan undang-undang, baik dilihat dari
substansi maupun dalam konteksnya, terutama Negara Timor-Leste di mana di satu pihak
Timor-Leste memiliki heterogenitas nilai, suku, agama, di pihak lain secara nasional
menganut hukum nasional yang harus dianut oleh seluruh warga Negara. Teori-teori yang
digunakan tersebut diharapkan bisa menjadi model wacana teoritis yang dapat membantu
dalam mengembangkan perspektif hukum dalam bidang Politik, Tata Negara, dan
Pemerintahan terutama untuk kepentingan ilmiah, yang berkaitan dengan lembaga
legislatif, eksekutif dan yudisial. Teori-teori tersebut digunakan, sebagai pisau analisis
terhadap permasalahan yang dikemukakan dalam latar belakang, yang berkaitan dengan
4 (empat) kajian hukum yaitu: (1) hukum, (2) pembentukan hukum, (3) Implementasi
hukum, dan (4) interaksi politik dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
2.1 Teori Trias Politika
Negara Republik Demokratik Timor-Leste, adalah negara hukum yang
demokratis, memiliki 4 (empat) lembaga kedaulatan negara, yang menurut ketentuan
Pasal 67 Konstitusi RDTL Tahun 2002 bahwa, lembaga-lembaga kedaulatan Negara
terdiri atas: Presiden Republik, Parlemen Nasional, Pemerintah, dan Pengadilan.
Lembaga-lembaga kedaulatan negara tersebut, dalam melaksanakan fungsinya, harus
mengikuti asas pemisahan kekuasaan, menurut ketentuan Pasal 69 Konstitusi RDTL
Tahun 2002 bahwa, lembaga-lembaga kedaulatan negara, dalam hubungannya satu sama
lain dan dalam pelaksanaan fungsi-fungsinya, harus mengikuti asas pemisahan kekuasaan
dan saling ketergantungan yang ditetapkan dalam UUD.
Bertitik tolak dari lembaga kedaulatan negara dalam Konsttusi RDTL tersebut
di atas, dikaitkan dengan teori trias politika, yang dikemukakan oleh Montesquieu, dalam
bukunya “L’Esprit des Lois” (1748), yang mengikuti jalan pikiran John Locke, membagi
kekuasaan negara dalam tiga cabang, yaitu (i) kekuasaan legislatif sebagai pembuat
undang-undang, (ii) eksekutif yang melaksanakan undang-undang, dan (iii) yudisial
untuk menghakimi. Klasifikasi Montesquieu inilah dikenal pembagian kekuasaan negara
modern dalam tiga fungsi, yaitu: legislatif (the legislative function), eksekutif (the
executive or administrative function), dan yudisial (the judicial function).1 Sebelumnya,
John Locke, juga membagi kekuasaan negara dalam 3 (tiga) fungsi, tetapi berbeda isinya.
Menurut John Locke, fungsi-fungsi kekuasaan negara itu meliputi:2
1) Fungsi Legislatif;
2) Fungsi Eksekutif;
3) Fungsi Federatif.
1 Ibid. 13 2 Ibid.
Dalam bidang legislatif dan eksekutif, pendapat ke dua sarjana itu, nampaknya
mirip tetapi dalam bidang yang ketiga pendapat mereka berbeda. John Locke
mengutamakan fungsi federatif, sedangkan Baron de Montesquieu mengutamakan fungsi
kekuasaan kehakiman (yudisial).3 Montesquieu lebih melihat pembagian atau pemisahan
kekuasaan itu dari segi hak asasi manusia setiap warga negara, sedangkan John Locke
lebih melihatnya dari segi hubungan kedalam dan keluar dengan negara-negara lain. Bagi
John Locke, penjelmaan fungsi defencie baru timbul apabila fungsi diplomacie terbukti
gagal, dan yang dianggap penting adalah fungsi federatif. Sedangkan, fungsi yudisial bagi
Locke, cukup dimasukkan ke dalam kategori fungsi legislatif, yaitu terkait dengan fungsi
pelaksanaan hukum. Tetapi bagi Montesquieu, fungsi pertahanan (defence) dan hubungan
luar (diplomasi) yang termasuk ke dalam fungsi eksekutif, sehingga tidak perlu disebut
tersendiri. Justru dianggap penting oleh Montesquieu, adalah fungsi yudisial atau fungsi
kekuasaan kehakiman. Van Vollenhoven, membagi fungsi kekuasaan itu ke dalam 4
(empat) fungsi, yang kemudian biasa disebut dengan “catur praja”, yaitu:4
1) Regeling (pengaturan) yang kurang lebih identik dengan fungsi legislatif
menurut Montesquieu;
2) Bestuur yang identik dengan fungsi pemerintahan eksekutif;
3) Rechtspraak (peradilan); dan
4) Politie yang menurutnya merupakan fungsi untuk menjaga ketertiban dalam
masyarakat (social order) dan peri kehidupan bernegara.
Di samping itu, dalam studi Ilmu Administrasi Publik atau public
administration dikenal pula adanya teori yang membagi kekuasaan ke dalam dua fungsi
3 Miriam Budiardjo. 2005, Dasar-Dasar Ilmu Politik. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 282 4 Jimly Asshiddiqqie, op.cit. h.14
saja. Kedua fungsi itu adalah (i) fungsi pembuatan kebijakan (policy making function),
dan (ii) fungsi pelaksanaan kebijakan (policy executing function). Semua usaha membagi
dan membedakan serta bahkan memisah-misahkan fungsi-fungsi kekuasaan itu ke dalam
beberapa cabang, pada pokoknya adalah dalam rangka membatasi kekuasaan itu sendiri
sehingga tidak menjadi sumber kesewenang-wenangan.
Konsep pemisahan dan pembagian kekuasaan, menurut Mohammad Kusnardi
dan Hermaily Ibrahim, dalam bukunya, Pengantar Hukum Tata Negara, menyatakan
bahwa, istilah pemisahan kekuasaan (separation of powers), dan pembagian kekuasaan
(divisions of power), merupakan dua istilah yang memiliki pengertian berbeda satu sama
lainnya.5 Pemisahan kekuasaan berarti, kekuasaan negara itu, terpisah-pisah dalam
beberapa bagian, baik mengenai organnya, maupun fungsinya. Dengan kata lain, lembaga
pemegang kekuasaan negara yang meliputi lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif,
merupakan lembaga yang terpisah satu sama lainnya, berdiri sendiri tanpa memerlukan
koordinasi dan kerjasama. Setiap lembaga menjalan fungsinya masing-masing. Contoh
negara yang menganut mekanisme pemisahan kekuasaan adalah Amerika Serikat.
Berbeda dengan mekanisme pemisahan kekuasaan, di dalam mekanisme
pembagian kekuasaan, kekuasaan negara itu memang dibagi-bagi dalam beberapa bagian
(legislatif, eksekutif dan yudikatif), tetapi tidak dipisahkan. Hal ini membawa
konsekuensi bahwa, diantara lembaga-lembaga itu, dimungkinkan ada koordinasi atau
5 Mohammad Kusnardi dan Hermaily Ibrahim, 1983, Pengantar Hukum Tata Negara, Indonesia,
Fakultas hukum Universitas Negeri Malang, h.140
kerjasama. Mekanisme pembagian ini banyak sekali dilakukan oleh banyak negara di
dunia, termasuk negara Timor-Leste.
Berdasarkan lembaga-lembaga kedaulatan Negara tersebut di atas, secara
historis bahwa, Timor-Leste memperoleh kembali kemerdekaannya secara dejure, pada
era mellineum ke 20, tepatnya pada tanggal 20 Mei Tahun 2002. Ide pembentukan
lembaga negara ini, berdasarkan teori trias politika, namun tidak secara mutlak
mengimplementasi ide Monstequiue, karena dalam Konstitusi Republik Demokratik
Timor-Leste, terdapat 4 lembaga tinggi negara, yaitu Presiden Republik, Parlemen
Nasional, Pemerintah, dan Pengadilan.
1) Kekuasaan Legislatif (Legislative Powers)
Menuurut ketentuan Pasal 92 Konstitusi RDTL bahwa, Parlemen Nasional
adalah lembaga kedaulatan Republik Demokratis Timor Leste yang mewakili semua
warga negara Timor-Leste dan diberikan wewenang legislatif, pengawasan dan
pengambilan keputusan politik. Kekuasaan legislatif adalah kekuasaan untuk membuat
undang-undang, pengawasan terhadap penyelenggaraan program pemerintah, dan
sosialisasi (civic education) kepada warganegaranya. Selanjutnya, Pasal 96 ayat (1)
Konstitusi RDTL Tahun 2002, Parlemen Nasional mengijinkan Pemerintah untuk
membentuk usulan undang-undang yang berkaitan dengan materi muatan sebagaimana
ditetapkan dalam ayat (1) tersebut. Selanjutnya Pasal 97 mengenai prakarsa undang-
undang ayat (1) bagian huruf (c) Pemerintah mempunyai kewenangan inisiatif untuk
membentuk undang-undang.
Dalam Negara hukum yang demokrasi, peraturan perundang-undangan harus
berdasarkan kedaulatan rakyat maka, badan perwakilan rakyat yang harus dianggap
sebagai badan yang mempunyai kekuasaan tertinggi untuk menyusun undang-undang
yang dinamakan legislatif. Lembaga legislatif ini sangatlah penting di dalam
penyelenggaraan Negara, karena undang-undang ibarat yang menegakkan hidup
perumahan negara dan sebagai alat yang menjadi pedoman hidup bagi masyarakat dan
negara. Sebagai badan pembentukan undang-undang maka, lembaga legislatif hanyalah
berhak untuk membentuk undang-undang, tidak boleh melaksanakannya, dan untuk
melaksanakan undang-undang haruslah diserahkan kepada badan lain (Pemerintah).
2) Kekuasaan Eksekutif (Executive Powers)
Menurut ketentuan Pasal 103 Konstitusi RDTL Tahun 2002 bahwa,
Pemerintah adalah badan kedaulatan yang bertanggung jawab atas pengarahan dan
pelaksanaan kebijakan umum negara dan merupakan badan pemerintahan umum
tertinggi. Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan untuk menjalankan undang-undang.
Kekuasaan menjalankan undang-undang ini, dipegang oleh kepala Pemerintah dalam hal
ini, Perdana Menteri, Perdana menteri tentu tidak dapat dengan sendirinya menjalankan
segalah undang-undang, oleh karena itu, kekuasaan dari Perdana Menteri dilimpahkan
(didelegasikan) kepada pejabat-pejabat Pemerintah atau institusi-institusi yang
merupakan suatu badan pelaksana undang-undang (badan eksekutif), badan inilah yang
berkewajiban menjalankan kekuasaan eksekutif. Selanjutnya Pasal 115 ayat (3)
Konstitusi RDTL Tahun 2002 menentukan bahwa, Pemerintah mempunyai wewenang
legislatif eksklusif atas urusan yang menyangkut penataan dan tata kerjanya sendiri, serta
atas penyelenggaraan Negara, baik secara langsung maupun tidak langsung.
3) Kekuasaan Yudikatif atau kekuasaan Kehakiman (Judicative Powers)
Dalam ketentuan Pasal 118 ayat (1) sampai ayat (3) Konstitusi RDTL Tahun
2002 ditentukan bahwa, Pengadilan adalah badan kedaulatan dengan wewenang untuk
menegakkan keadilan, atas nama rakyat. Dalam menjalankan fungsi-fungsinya,
pengadilan berhak memperoleh bantuan dari aparat Pemerintah lainnya; Putusan
pengadilan bersifat mengikat dan berada di atas putusan pihak berwewenang apapun
lainnya. Oleh karena itu, kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan untuk mengawasi dan
mengadili. Kekuasaan yudisial berkewajiban untuk mempertahankan UU dan berhak
untuk memberikan peradilan kepada rakyat. Badan yudisial yang memiliki kekuasaan
untuk memutuskan perkara yang dijatuhi dengan hukuman terhadap setiap pelanggaran
undang-undang yang telah diadakan dan dijalankan. Walaupun para hakim itu biasanya
diangkat oleh kepala negara (Presiden) tetapi mereka mempunyai kedudukan yang
istimewa dan mempunyai hak tersendiri, karena ia tidak diperintah oleh kepala negara
yang mengangkatnya, bahkan yudikatif adalah badan yang berhak menghukum kepala
negara, jika kepala negara melanggar hukum.
Bertitik tolak dari segi kelembagaan, prinsip kedaulatan rakyat itu, dikaitkan
dengan prinsip Negara hukum, yang menegaskan pada Pasal 69 Konstitusi RDTL 2002,
dengan demikian, pembatasan kekuasaan biasanya diwujudkan melalui dua cara, yaitu
sistem pemisahan kekuasaan (separation of power), atau pembagian kekuasaan
(distritibuition atau divition of power). Dengan demikian teori trias politika digunakan
dalam disertasi ini, untuk menjustifikasi kewenangan lembaga negara dalam Konstitusi
Timor-Leste, yang berkaitan dengan ketentuan Pasal 69 tentang asas pemisahan
kekuasaan, yang menyatakan bahwa “lembaga-lembaga kedaulatan negara, dalam
hubungannya satu sama lain dan dalam pelaksanaan fungsi-fungsinya, harus mengikuti
asas pemisahan kekuasaan dan saling ketergantungan yang ditetapkan dalam konstitusi.”
Dalam formulasi kalimat “mengikuti asas pemisahan kekuasaan” dan “saling
ketergantungan” menimbulkan norma kabur, sehingga membingungkan masyarakat
tentang kewenangan lembaga negara dalam melaksanakan fungsinya, berdasarkan asas
pemisahan kekuasaan atau pembagian kekuasaan, oleh karena itu, dalam penulisan ini,
teori terias politika sangat relevan guna menganalisis dan menjelaskan secara jelas
terhadap fungsi kewenangan lembaga negara dalam Konstitusi, serta menganalisis
masalah pertama tentang landasan filosofis kewenangan lembaga negara dalam
pembentukan undang-undang berdasarkan Konstitusi Republik Demokratik Timor-Leste.
Secara ontologis, kekuasaan itu merupakan kemampuan seseorang untuk
memaksakan kehendaknya atas pihak lain. Dalam konteks negara hukum, sumber dan
batas-batas kekuasaan yang ditentukan oleh hukum, dan harus dipergunakan dalam
koridor hukum. Dari epistemologis, supaya terhindar dari penumpukan kekuasaan yang
dapat mengarah pada tindakan penyalahgunaan kekuasaan, maka dalam konsep negara
hukum juga disyaratkan adanya pemisahan atau pembagian kekuasaan. Sedangkan secara
aksiologis, kekuasaan yang bersifat menentukan tidak semata-mata karena diperoleh
dengan cara menundukkan pihak yang lemah melalui kekuatan fisik, melainkan terletak
dalam kekuasaan terhadap suara hati nurani manusia.
Secara historis, ada dua istilah atau konsep yang sangat berpengaruh di dunia
terkait ide negara yang berdasarkan atas hukum, yaitu konsep “rechtsstaat” yang
berkembang di Eropa Kontinental (abad XIX) dan konsep “rule of law” yang
berkembang di negara-negara Anglo Saxon. Kedua konsep tersebut berkaitan dengan
tipologi negara dipandang dari segi hubungan antara lembaga negara dalam hal ini
Pemerintah sebagai pihak yang memerintah (mengusai) dan warga negara sebagai pihak
yang dikuasai (yang diperintah). Konsep rechtsstaat yang bertumpu pada sistem civil law
lahir dari suatu perjuangan panjang menentang absolutisme kekuasaan negara
(machtstaat), sedangkan konsep rule of law bertumpuk pada sistem common law yang
bersifat memutus perkara yang didelegasikan kepada hakim berdasarkan hukum
kebiasaan di Inggris (common custom of England). Meskipun, antara konsep rechtsstaat
dan rule of law mempunyai perbedaan latar belakang historis, tetapi pada dasarnya
keduanya berkenaan dengan perlindungan atas hak-hak kebebasan sipil warga negara dari
kemungkinan tindakan sewenang-wenang kekuasaan negara.6
Pemerintahan yang berdasarkan hukum merupakan pemerintahan yang
menjunjung supremasi hukum dan tidak berdasarkan kepada kemauan manusianya.
6 Mukthie Fadjar, A., R 2003, Reformasi Konstitusi Dalam Masa Transisi Paradigmatik, In-Trans,
Malang, h. 8-9, dalam Abdul Rokhim, 2012, kekuasaan dalam Konteks negara hukum (kajian filosofis dari
aspek ontology, epistemology, dan aksiologi). https://aljurem.wordpress.com/2012/05/05/kekuasaan-
dalam-konteks-negara-hukum-kajian-filosofis-dari-aspek-ontologi-epistemologi-dan-aksiologi/. Diakses
pada tanggal 17 Februari 2018, h. 1
Sudikno Mertokusumo mengatakan dengan sebutan “the governance not by man but by
law”.7 Hal ini sejalan dengan prinsip pembagian kekuasaan pemerintahan (distribution of
power) yang dianut dalam Konstitusi RDTL Tahun 2002 yang dimaksud untuk
membatasi dan mencegah kemungkinan penumpukan maupun penyalahgunaan
kekuasaan pada badan/lembaga atau pejabat penyelenggara pemerintahan.8
Pembuatan undang-undang (legislator) tidak dapat menghukum ataupun
memihak individu-individu tertentu secara langsung, sehingga terhindar pula dari
dilakukan kontrol personal secara langsung. Pelaksanaan undang-undang (administrator)
berurusan dengan individu hanya sebatas aturan-aturan yang ditentukan, dan aturan-
aturan ini bukan dia yang membuatnya. Maka, berdasarkan pemikiran ini, pelaksana
undang-undang terhindar dari upaya penggunaan kekuasaan publik untuk mencapai
tujuan pribadi. Sebab, untuk bertindak dalam batas-batas yang ditentukan oleh undang-
undang harus ada orang lain dengan kewenangan terakhir untuk menentukan makna
hukum, dan dalam pelaksanaannya membutuhkan metode yang berbeda dengan metode
administratif.9 Apabila pelaksanaan hukum juga merangkap sebagai hakim, maka
mungkin saja makna aturan-aturan hukum yang wajib dilaksanakannya malah “dipelintir”
sedemikian rupa agar sesuai dengan tujuan-tujuan pribadinya, selain itu, dapat
menimbulkan penafsiran dalam metode administratif dan metode peradilan, sebab
7 I Made Arya Utama, 2005, Sistem Hukum Perizinan Berwawasan Lingkungan Hidup dalam
Mewujudkan Pembangunan Daerah yang Berkelanjutan, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas
Padjadjaran, Bandung, h. 21 8 Ibid. h. 21-22. 9 Roberto M. Unger, loc.cit. h. 235
masing-masing metode memiliki keutamaan sendiri dan tidak bisa diabaikan demi
penyelenggaraan negara dengan sebaik-baiknya.
Menurut Hans Nawiasky bahwa, seluruh kegiatan negara juga dibagi menjadi
dua bidang, yakni: (1) Normgebung dan Normvollziehung. Yang dimaksud normgebung
adalah: “der Schaffung von Rechtsnormen” (pembentukan norma-norma hukum) dan
termasuk juga pengundangannya (der Erlasz von Gesetzen), yang sifatnya bebas dalam
memilih obyeknya menurut keperluan (inhaltlich frei). Sedangkan, Normvollziehung
merupakan fungsi pelaksanaan undang-undang (eksekutif) yang terikat pada norma-
norma atau undang-undang yang harus dijalankannya (inhaltlich gebunden). Selanjutnya,
Nawiasky membagi fungsi Normvollziehung ke dalam dua bagian, yaitu: (1) Verwaltung
atau pemerintahan (“pangreh”); dan (2) Rechtsplege atau peradilan. Dengan demikian,
pendirian ini sangat dekat dengan teori “dichotomy”-nya Kelsen.
Berdasarkan Konstitusi RDTL Tahun 2002, adanya sistem “Pemisahan
kekuasaan” dan “pembagian kekuasaan” (Separation of Power and division of powers),
walaupun dalam Pasal 69 menegaskan bahwa lembaga-lembaga kedaulatan negara,
dalam melaksanakan fungsinya harus tunduk pada asas pemisahan kekuasaan, namun
disisi lain, saling ketergantungan satu sama lain, dalam penyelenggaraan pemerintahan
negara. Asas pemisahan kekuasaan yang dimaksud dalam Pasal 69 Konstitusi RDTL
tidak secara mutlak mengadopsi teori Trias Politika yang dikemukakan oleh
Montesquieu, walaupun ditegaskan bahwa, harus tunduk pada asas pemisahan kekuasaan,
namun ada kalimat “saling ketergantungan” artinya, pemisahan yang dimaksud adalah
pemisahan dalam struktur kelembagaannya, namun dalam melaksanakan fungsinya,
saling ketergantunag yang satu terhadap lembaga lain, sebagaimana dalam pengartian
asas pembagian kekuasaan dikatakan oleh Ismail Sunny, yang menekankan adanya
pembagian fungsi-fungsi pemerintahan, bukan pada pemisahan organ-organnya.10
Adapun ketentuan dalam Konstitusi RDTL Tahun 2002 menggunakan istilah-
istilah yang berasal dari ajaran Trias Politika dari Montesquieu seperti; legislative power,
executive power dan judicial power, hal itu tidak boleh diartikan bahwa Konstitusi RDTL
Tahun 2002, menganut ajaran tersebut. Penggunaan peristilahan itu sekedar memberikan
penjelasan dan perbandingan semata mengenai sistem ketatanegaraan yang
sesungguhnya diikuti oleh konstitusi.11 Meskipun Montesquieu hanya membagi dalam
tiga cabang kekuasaan, tetapi dalam praktek ada negara-negara tertentu yang mempunyai
lebih dari tiga cabang kekuasaan yang dimaksud. Di antaranya adalah Negara Timor-
Leste yang mempunyai 4 (empat), sebagaimana dalam ketentuan Pasal 67 Konstitusi
RDTL Tahun 2002, bahkan lebih, cabang kekuasaan negara yang tercermin dalam
lembaga-lembaga negara yang ada, misalkan; Dewan Negara dalam Pasal 90 ayat (1) dan
(2) Konstitusi RDTL bahwa, Dewan Negara, adalah lembaga penasehat politik Presiden
Republik, dan di pimpin oleh Presiden sendiri; dan ayat (2) Dewan Negara terdiri atas: a)
para mantan Presiden Republik yang tidak pernah diberhentikan dari jabatannya; b)
Presiden Parlemen Nasional; c) Perdana Menteri; d) lima orang warga negara yang dipilih
10 Ismail Sunny, 1983, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Aksara Baru, Jakarta, h. 15-16 11 Attamimi, A. Hamid S., 1999, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Disertasi, Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta,
h. 116
oleh Parlemen Nasional, berdasarkan asas perwakilan proporsional untuk masa jabatan
yang sesuai dengan masa jabatan badan legislatif, asal mereka bukan anggota dari
lembaga-lembaga kedaulatan. Selanjutnya, lembaga Kepolisian Republik Demokratik
Timor-Leste dengan sebutan Polisia Nasional Timor-Leste (PNTL), lembaga Angkatan
bersenjata dengan sebutan Falintil-Forca Defesa Timor-Leste (F-FDTL), selain itu,
adapun lembaga ombudsman dengan sebutan Provedor Direito Humanos e Justisa
(PDHJ), lembaga pemilihan umum dengan sebutan Comisaun nasional da Elisaun
(CNE), lembaga keuangan negara.
Berdasarkan lembaga-lembaga kedaulatan negara, sebagaimana tercantum
dalam konstitusi RDTL Tahun 2002, dalam aspek aksiologi pandangan tentang hubungan
hukum dan kekuasaan itu sebenarnya tidaklah tunggal. Antara kaum idealis yang
berorientasi pada das sollen dan kaum empiris yang lebih melihat hukum sebagai das
sein, memberikan pandangan yang berbeda. Namun, kedua pandangan itu sama-sama
sependapat bahwa seharusnya hukum itu supreme atas kekuasaan. Ketika kita melihat
teori yang ditawarkan oleh Roscue Pound, bahwa “law as a tool as social engineering”,
maka perlu diketahui, bahwa hukum harus mempengaruhi kehidupan masyarakat. Tetapi,
manakala mengacu ajaran Von Savigny, yang mengatakan bahwa “hukum berubah jika
masyarakatnya berubah”, maka hukum semestinya harus mampu mengikuti
perkembangan dan memenuhi tuntutan masyarakat.
Secara empiris, dalam penyelenggaraan pemerintahan, hukum seringkali tidak
memiliki otonomi yang kuat, karena energinya lebih lemah dari pada energi sub-sistem
politik, sehingga dapat dilihat bukan hanya materi hukum itu yang sarat dengan cerminan
“konfigurasi kekuasaan”, melainkan juga penegakannya kerapkali dintervensi oleh
kekuasaan, sehingga hukum sebagai penunjuk atau rel menjadi terabaikan. Menurut
Mahfud MD, bahwa materi hukum itu tidak lain, merupakan kristalisasi dari kehendak-
kehendak politik yang saling bersaingan yang kemudian dimenangkan oleh pemegang
kekuasaan politik yang dominan atau kompromi politik antar faksi-faksi yang bersaing.12
Bertitik tolak dari pandangan tersebut, maka bagi orang yang melakukan
telaah tentang hukum akan menemukan minimal dua model yang dapat digunakan untuk
menilai hubungan hukum dan kekuasaan, yaitu: pertama, hukum menentukan dan
mempengaruhi kekuasaan (politik) yang menyertai wawasan negara hukum yang das
sollen; di sini hukum, terutama hukum dasar (konstitusi) menjadi pemberi batas yang
tegas atas lingkup kekuasaan agar tidak terjadi kesewenang-wenangan. Kedua, hukum
dipengaruhi, ditentukan, bahkan diintervensi oleh politik (kekuasaan) seperti yang sering
terlihat di dalam kenyataan empirik (das sein); di sini hukum lebih dijadikan sebagai alat
justifikasi (pembenar) atas kehendak-kehendak pemegang kekuasaan politik yang
dominan, sehingga hukum tidak dapat memainkan perannya sebagai alat kontrol dan
penjaga batas kekuasaan.
Dalam penelititan untuk penulisan Disertasi ini, secara filosofis,
mendiskusikan tentang kewenangan lembaga negara dalam pembentukan undang-undang
berdasarkan Konstitusi Republik Demokratik Timor-Leste, ditinjau dari aspek ontologis
12 Mahfud MD, Moh., 1998, Menegakkan Supremasi Hukum Melalui Demokrasi, dalam Dahlan
Thaib dan Mila Karmila Adi, Hukum dan Kekuasaan, FH-UII, Yogyakarta, h. 48
(mengenai hakikat dan sumber kekuasaan), aspek epistemologis (tentang Rechtssaat dan
rule of law sebagai cara atau metode untuk membatasi kekuasaan), dan dari aspek
aksiologis (mengenai pandangan kaum idealis dan empiris tentang hubungan hukum dan
kekuasaan).
Aspek ontologi istilah kekuasaan dalam bahasa Inggris disebut power, macht
(dalam bahasa Belanda) dan pouvoir atau puissance (dalam bahasa Perancis). Dalam
Black’s Law Dictionary, istilah kekuasaan (power) berarti: “The right, ability, authority,
or faculty of doing something. . . A power is an ability on the part of a person to produce
a change in a given legal relation by doing or not doing a given act.13 Istilah kekuasaan
berbeda maknanya dengan kewenangan. Dalam literatur berbahasa Inggris istilah
kewenangan atau wewenang disebut authority atau competence, sedang dalam bahasa
Belanda disebut gezag atau bevoegdheid. Wewenang adalah kemampuan untuk
melakukan suatu tindakan hukum publik atau kemampuan bertindak yang diberikan oleh
undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan-hubungan hukum.14
Berdasarkan definisi tersebut di atas, kekuasaan secara sosiologis adalah
kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain agar mengikuti kehendak pemegang
kekuasaan, baik dengan sukarela maupun dengan terpaksa. Sedangkan, kewenangan
adalah kekuasaan yang diformalkan (secara hukum) baik terhadap segolongan orang
13 Henry Campbell Black, 1990, Black’s Law Dictionary, 6th Ed., West Publishing Co., St. Paul
Minnesota, h. 1169 14 Marbun, S.F., 1997, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia,
Liberty, Yogyakarta, h. 153
tertentu maupun terhadap suatu bidang pemerintahan tertentu. Apakah hakikat kekuasaan
(power) itu? Apakah kekuasaan itu identik dengan kekuatan (force).
Aspek epistemologi, kekuasaan itu mempunyai suatu sifat yang khas, yakni ia
cenderung untuk merangsang bagi yang memilikinya untuk lebih berkuasa lagi.
Kekuasaan haus akan lebih banyak lagi kekuasan.
Dalam kaitannya dengan kekuasaan (power), Lord Acton telah
memperingatkan bahwa: Power tends to corrupt; and absolute power tends to corrupt
absolutly (Semakin besar kekuasaan, akan semakin besar pula kecenderungan untuk
disalahgunakan). Karena itu, dalam konsep negara hukum, sumber untuk memperoleh
dan menggunakan kekuasaan serta batas-batasnya harus secara jelas diatur dan
dipertanggungjawabkan menurut peraturan perundang-undangan. Inilah esensi
kekuasaan menurut konsep negara hukum (rule of law; rechtsstaat). Oleh karena itu,
dalam perspektif sosiologis, ide rule of law mengandung makna bahwa otoritas harus
diberi bentuk hukum dan bahwa kekuasaan harus dilaksanakan dengan cara-cara
hukum.15
Dari aspek aksiologis, kekuasaan yang bersifat menentukan tidak semata-
mata karena diperoleh dengan cara menundukkan pihak yang lemah melalui kekuatan
fisik, melainkan sebagaimana yang diajarkan oleh Spinoza terletak dalam kekuasaan
terhadap suara hati manusia. Hukum dapat timbul dari kekuasaan, termasuk kekuatan
fisik, asal saja ia berkembang menjadi kekuasaan susila (kekuatan moral), yakni
15 Miriam Budiardjo, 1993, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, h. 52
kekuasaan yang berkuasa atas suara hati orang. Kekuasaan susila tersebut membentuk
hukum, karena ia bercita-citakan keadilan, artinya bercita-cita memberi pada tiap-tiap
orang apa yang menjadi bagiannya. Mengapa dikatakan “bercita-citakan”, karena
keadilan yang sungguh-sungguh tak dapat dicapai oleh hukum, karena pertama, hukum
terpaksa mengorbankan keadilan sekedarnya untuk mencapai tujuannya (bersifat
kompromi), dan kedua, hukum itu dibuat manusia yang tidak dikaruniai Tuhan untuk
mengetahui apa yang adil dan tidak adil secara mutlak. Keadilan, menurut falsafah bangsa
Romawi, adalah kehendak yang tetap dan yang tak ada akhirnya, untuk memberi pada
tiap-tiap orang apa yang menjadi haknya (Justitia est constans et perpetua voluntas ius
suum cuique tribuere).16
Berdasarkan pandangan dari berbagai sarjana hukum tersebut di atas, dapat
disimpulkan bahwa, kewenangan lembaga negara dalam pembentukan undang-undang,
secara filosofis dapat dikaji dari tiga aspek filsafat hukum, yaitu aspek ontologis,
epistemologis dan filosofis. Dari aspek ontologis, pada hakekatnya kewenangan itu
adalah kemampuan seseorang untuk memaksakan kehendaknya atas pihak lain. Dalam
konteks negara hukum, sumber dan batas-batas kekuasaan ditentukan oleh hukum dan
harus dipergunakan dalam koridor hukum. Hukum memerlukan kekuasaan bagi
pelaksanaannya, sebaliknya kekuasaan itu sendiri ditentukan batas-batasnya oleh hukum.
Dari aspek epistemologis, supaya terhindar dari penumpukan kekuasaan yang
dapat mengarah pada tindakan penyalahgunaan kekuasaan, maka dalam konsep negara
16 Peters, A.A.G., dan Koesriani S., 1990, Hukum dan Perkembangan Sosial, Buku III, Pustaka
Sinar Harapan, Jakarta, h. 52
hukum juga disyaratkan adanya pemisahan atau pembagian kekuasaan. Secara aksiologis,
kekuasaan yang bersifat menentukan tidak semata-mata karena diperoleh dengan cara
menundukkan pihak yang lemah melalui kekuatan fisik, melainkan terletak dalam
kekuasaan terhadap suara hati nurani manusia. Hukum dapat timbul dari kekuasaan,
termasuk kekuatan fisik, asal saja ia berkembang menjadi kekuasaan susila (kekuatan
moral), yakni kekuasaan yang berkuasa atas suara hati orang. Kekuasaan susila tersebut
membentuk hukum, karena ia bercita-citakan keadilan. Meskipun, keadilan yang
sungguh-sungguh tak dapat dicapai oleh hukum, karena hukum itu dibuat manusia yang
tidak dikaruniai Tuhan untuk mengetahui apa yang adil dan tidak adil secara mutlak.
Dalam perspektif ini, hukum tidak bebas nilai, karena terkait dengan hati
nurani (moral), termasuk di dalamnya nilai-nilai keadilan, kepastian dan kemanfatan
hukum dalam masyarakat.
2.2 Teori Kewenangan
Pada hakekatnya, kewenangan merupakan implikasi dari hubungan hukum.
Dalam hukum Administrasi negra (HAN). Hubungan hukum yang terjadi adalah antara
penguasa sebagai subjek yang memerintah, dan warga masyarakat sebagai subjek yang
diperintah. Hal ini selaras dengan yang disampaikan oleh A.V. Dicey, sebagaimana
dikutip oleh Tedi Sudrajat, bahwa:
Adminstrative law determines (1) constitution and the relations of those organs
of society which are charged with the care of those social interests (interests
collectifs) which are the object of public administration, by which term is meant
the different representatives of society among which the state is the most
important, and (2) the relation of the administrative authorities toward the
citizens of the state.17
Penguasa dalam hal ini pemerintah melaksanakan Bestuurzorg, yaitu
menyelenggarakan kepentingan umum yang dijalankan oleh penguasa administrasi
negara, di mana penguasa tersebut harus mempunyai wewenang. Keabsahan tindakan
pemerintahan diukur berdasarkan wewenang yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan. hal inipun dinyatakan oleh H.W.R. Wade bahwa: “the primary purpose of
administrative law, therefore, is to keep the power of government withim their legal
bounds, so as to protect the citizen agains their abuse”18 (tujuan dari hukum Administrasi
adalah untuk menjaga agar kekuasaan pemerintahan berada dalam batas-batas hukum
yang melandasinya, sehingga dapat melindungi masyarakat dari perbuatan
penyalahgunaan atau pelampauan wewenang dari Pemerintah).
Berkaitan dengan lembaga negara yang ditegaskan dalam Pasal 67 Konstitusi
RDTL Tahun 2002, memberikaan legitimasi kepada Badan Publik dan lembaga negara
dalam menjalankan fungsinya. Wewenang dalam hal ini, adalah kemampuan bertindak
yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku, untuk melakukan hubungan dan
perbuatan hukum. Selanjutnya, Pasal 69 Konstitusi RDTL Tahun 2002, menyatakan
bahwa, lembaga-lembaga negara dalam melaksanakan fungsinya harus mengikuti asas
pemisahan kekakuasaan dan saling ketergantungan menurut ketentuan konstitusi.
17 Tedi Sudrajat, 2017, Hukum Biokrasi Pemerintah (kewenangan & jabatan), Sinar Grafika,
Jakarta Timur, h. 52 18 H.W.R. Wade and C.F. Forsyth, 1994, Administrative law 7th edition, Oxford University Press,
New York, h. 5
Menurut Nur Basuki Winanmo,19 bahwa wewenang sebagai konsep hukum publik,
sekurang-kurangnya terdiri atas tiga komponen, yaitu: pengaruh, dasar hukum, dan
konformitas hukum; Komponen pengaruh adalah bahwa, penggunaan wewenang
dimaksudkan untuk mengendalikan perilaku sujek hukum. Komponen dasar hukum
bahwa, wewenang itu selalu dapat ditunjukkan dasar hukumnya dan komponen
konformitas hukum, mengandung makna adanya standar wewenang yaitu standar umum
(semua jenis wewenang), dan standar khusus (untuk jenis wewenang tertentu).20
Sejalan dengan pilar utama negara hukum, yaitu asas legalitas (legaleits
Beginselen atau Wetmatigheid van Bestuur), atas dasar prinsip tersebut bahwa, wewenang
Pemerintah berasal dari peraturan perundang-undangan. Dalam perpustakaan hukum
administrasi terdapat dua acara untuk memperoleh wewenang Pemerintah yaitu: Atribusi
dan delegasi; kadang-kadang juga mandate ditempatkan sebagai cara tersendiri untuk
memperoleh wewenang. Asas legalitas, merupakan salah satu prinsip utama yang
dijadikan sebagai dasar dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan, penyelenggaraan
pemerintahan harus didasarkan pada hukum (wetmatigheid de la l’egalite de’l
administration). Dengan kata lain, setiap penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan
harus memiliki legitimasi, yaitu wewenang yang diberikan oleh undang-undang. Dengan
demikian, substansi asas legalitas adalah wewenang, yaitu suatu kemampuan untuk
melakukan suatu tindakan-tindakan hukum tertentu.
19 Nur Basuki Winanmo, 2008, Penyalahgunaan Wewenang Dan Tindak Pidana Korupsi,
Laksbang Mediatama, Yogyakarta, h. 65 20 Tedi Sudrajat, 2017, Hukum Birokrasi Pemerintah (kewenangan dan jabatan), sinar grafika
Jakarta Timur, h. 53
Dalam praktiknya, terdapat kesulitan membedakan antara wewenang dengan
kewenangan. Pengertian kewenangan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan
sama dengan wewenang, yaitu hak dan kekuasaan untuk melakukan sesuatu. Sedangkan
dalam Black’s Law Dictionary, seperti dikutip oleh Tedi Sudarjat, bahwa kewenangan
atau (authority) adalah Right to Exercise powers; to implement and enforce laws; to exact
obedience; to command; to judge, control over; jurisdiction. often synonymous with
power.21 Untuk menjelaskan kewenangan tersebut di atas, menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, kata wewenang disamakan dengan kata kewenangan, yang diartikan sebagai
hak dan kekuasaan untuk bertindak, kekuasaan membuat keputusan, memerintah dan
melimpahkan tanggung jawab kepada orang/badan lain.22
Beberapa pendapat ahli mengenai kewenangan dan wewenang dan sumber-
sumber kewenangan sangatlah beragam, ada yang mengaitkan kewenangan dengan
kekuasaan dan membedakannya serta membedakan antara atribusi, delegasi dan mandat.
1) Menurut H.D Stout wewenang adalah pengertian yang berasal dari hukum
organisasi pemerintahan, yang dapat dijelaskan sebagai seluruh aturan-aturan
yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang-wewenang
pemerintahan oleh subjek hukum publik didalam hubungan hukum publik.23
2) Indroharto,24 mengemukakan, bahwa wewenang diperoleh secara atribusi,
delegasi, dan mandat, yang masing-masing dijelaskan sebagai berikut:
Wewenang yang diperoleh secara atribusi, yaitu pemberian wewenang
pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-
undangan. Jadi, disini dilahirkan/diciptakan suatu wewenang pemerintah yang
baru. Pada delegasi terjadilah pelimpahan suatu wewenang yang telah ada
21 Hendry Campbell Black, 1978, Black’s Law Dictionary, West Publishing dalam Tedi Sudraja,
h.54 22 Kamal Hidjaz, 2010, Efektivitas Penyelenggaraan Kewenangan Dalam Sistem Pemerintahan
Daerah Di Indonesia. Pustaka Refleksi. Makasar. h.35. 23 Ridwan HR. 2013, Hukum Administrasi Negara. PT Raja Grafindo Persada; Jakarta h. 71 24 Ridwan HR, 2008, HukumAdministrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 104
oleh Badan atau Jabatan TUN yang telah memperoleh suatu wewenang
pemerintahan secara atributif kepada Badan atau Jabatan TUN lainnya. Jadi,
suatu delegasi selalu didahului oleh adanya sesuatu atribusi wewenang. Pada
mandat, disitu tidak terjadi suatu pemberian wewenang baru maupun
pelimpahan wewenang dari Badan atau Jabatan TUN yang satu kepada yang
lain.
3) Philipus M. Hadjon,25 mengatakan bahwa setiap tindakan pemerintahan
disyaratkan harus bertumpu atas kewenangan yang sah. Kewenangan itu
diperoleh melalui tiga sumber, yaitu atribusi, delegasi, dan mandat.
Kewenangan atribusi lazimnya digariskan melalui pembagian kekuasaan
negara oleh undang-undang dasar, sedangkan kewenangan delegasi dan
mandat adalah kewenangan yang berasal dari pelimpahan. Kemudian Philipus
M Hadjon pada dasarnya membuat perbedaan antara delegasi dan mandat.
Dalam hal delegasi mengenai prosedur pelimpahannya berasal dari suatu
organ pemerintahan kepada organ pemerintahan yang lainnya dengan
peraturan perundang-undangan, dengan tanggung jawab dan tanggung gugat
beralih ke delegataris. Pemberi delegasi tidak dapat menggunakan wewenang
itu lagi, kecuali setelah ada pencabutan dengan berpegang dengan asas
contrarius actus. Artinya, setiap perobahan, pencabutan suatu peraturan
pelaksanaan perundang-undangan, dilakukan oleh pejabat yang menetapkan
peraturan dimaksud, dan dilakukan dengan peraturan yang setaraf atau yang
lebih tinggi. Dalam hal mandat, prosedur pelimpahan dalam rangka hubungan
atasan bawahan yang bersifat rutin. Adapun tanggung jawab dan tanggung
gugat tetap pada pemberi mandat. Setiap saat pemberi mandat
dapat menggunakan sendiri wewenang yang dilimpahkan itu.
4) S.F. Marbun,26 menyebutkan wewenang mengandung arti kemampuan untuk
melakukan suatu tindakan hukum publik, atau secara yuridis adalah
kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku
untuk melakukan hubungan-hubungan hukum. Wewenang itu dapat
mempengaruhi terhadap pergaulan hukum, setelah dinyatakan dengan tegas
wewenang tersebut sah, baru kemudian tindak pemerintahan mendapat
kekuasaan hukum (rechtskracht). Pengertian wewenang itu sendiri akan
berkaitan dengan kekuasaan.
5) Bagir Manan,27 menyatakan dalam Hukum Tata Negara, kekuasaan
menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat. Wewenang
mengandung arti hak dan kewajiban. Hak berisi kebebasan untuk melakukan
atau tidak melakukan tindakan tertentu atau menuntut pihak lain untuk
melakukan tindakan tertentu. Kewajiban memuat keharusan untuk melakukan
25 Ibid. 26 SF, Marbun 2011, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia, FH
UII Press, Yogyakarta. 27 Nurmayani, 2009, Hukum Administrasi Daerah. Universitas Lampung Bandarlampung. h. 26.
atau tidak melakukan tindakan tertentu. Dalam hukum administrasi negara
wewenang pemerintahan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan
diperoleh melalui caracara yaitu atribusi, delegasi dan mandate.
6) Ateng Syafrudin, menguraikan perbedaan antara wewenang (competence
bevoegheid) dengan kewenangan (authority gezag), yaitu: “Kewenangan
adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari
kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang, sedangkan wewenang hanya
mengenai suatu onderdeel (bagian) tertentu saja dari kewenangan. Di dalam
kewenangan terdapat wewenang-wewenang (recthbevoegheid). Wewenang
merupakan lingkungan tindakan hukum public, lingkup wewenang
pemerintahan, tidak hanya meliputi wewenang membuat keputusan
pemerintah (bestuur), tetapi meliputi wewenang dalam rangka pelaksanaan
tugas dan memberikan wewenang serta distribusi wewenang utamanya
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.”28
7) Prajudi Atmosudirdjo, berpendapat sama tentang pengertian wewenang dalam
kaitanya dengan kewenangan yaitu: “Kewenangan adalah apa yang disebut
kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan legislatif (diberikan
oleh undang-undang) atau dari kekuasaan eksekutif atau administrative.
Kewenangan adalah kekuasaan terhadap segolongan orang-orang tertentu
atau kekuasaan terhadap sesuatu bidang pemerintahan (bidang urusan
administrasi) tertentu yang bulat, sedangkan wewenang hanya mengenai
sesuatu onderdeel tertentu saja. Di dalam kewenangan terdapat wewenang-
wewenang. Wewenang adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindak
hukum publik.29
Bertitik tolak dari pemaparan pendapat tersebut di atas, dapat disimpulkan
bahwa, Kewenangan merupakan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu sesuai dengan peraturan perundang-undangan,
sedangkan wewenang hanya merupakan sebagian dari kewenangan. Artinya, wewenang
bersumber dari kewenangan, karena di dalam kewenangan terdapat wewenang-
wewenang. Oleh karena itu, teori kewenangan yang digunakan dalam disertasi ini sangat
penting, guna menganalisis serta menjelaskan secara jelas terhadap kewenangan lembaga
28 Ibid. 29 Tedi Sudrajat, Loc.Cit. h. 54-55
negara dalam pembentukan Undang-undang yang dirumuskan dalam masalah pertama
dan masalah kedua dalam penulisan disertasi ini.
Dalam literatur ilmu politik, ilmu pemerintahan, dan ilmu hukum sering
ditemukan istilah kekuasaan, kewenangan, dan wewenang kekuasaan sering disamakan
begitu saja dengan kewenangan, dan kekuasaan sering dipertukarkan dengan istilah
kewenangan, demikian pula sebaliknya. Bahkan kewenangan sering disamakan juga
dengan wewenang. Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan dalam arti bahwa “ada satu
pihak yang memerintah dan pihak lain yang diperintah” (the rule and the ruled).30
Ajaran negara berdasarkan atas hukum (de rechts staat dan the rule of law)
mengandung pengertian bahwa hukum adalah supreme dan kewajiban bagi setiap
penyelenggara negara atau pemerintah untuk tunduk pada hukum (subject to the law).
Tidak ada kekuasaan diatas hukum (above to the law).31 Atas dasar pernyataan diatas
maka tidak boleh ada kekuasaan yang sewenang-wenang (arbitrary power) atau
penyalahgunaan kekuasaan (misuse of power) baik pada negara berbentuk kerajaan
maupun republik. Tunduk pada hukum mengandung pengertian pembatasan
kekuasaan seperti halnya ajaran pemisahan dan pembagian kekuasaan. Oleh sebab
itu, negara berlandaskan hukum memuat unsur pemisahan atau pembagian
kekuasaan.32
30 Miriam Budiardjo, 1998, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. h 35-36 31 Bagir Manan, 2003, Lembaga Kepresidenan, FH UII Press, Jakarta, h. 11 32 Ibid.
Menurut Aristoteles bahwa, negara hukum adalah negara yang berdiri di
atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan
syarat bagi tercapainya kebahagiaan hidup untuk warga Negara dan sebagai daripada
keadilan itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar ia menjadi
warganegara yang baik. Peraturan yang sebenarnya menurut Aristoteles ialah
peraturan yang mencerminkan keadilan bagi pergaulan antar warga negaranya,
menurut Beliau, yang memerintah negara, bukanlah manusia melainkan “pikiran
yang adil.” Penguasa hanyalah pemegang hukum dan keseimbangan saja.33
Timor-Leste merupakan salah satu negara yang berdasarkan hukum,
dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) bahwa, Republik Demokratis Timor-Leste adalah
Negara yang demokratis, berdaulat, merdeka dan bersatu, berdasarkan kekuatan hukum,
keinginan Rakyat dan kehormatan atas martabat manusia.34 Makna dari pasal tersebut,
menunjukkan bahwa, dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara Republik
Demokratis Timor-Leste, prinsip supermasi hukum dan perlindungan hak asasi
manusia, merupakan landasan fundamental dalam proses penyelenggaraan
pemerintahan, maka dengan itu, setiap aspek tindakan pemerintahan baik dalam
lapangan pengaturan maupun dalam lapangan pelayanan harus didasarkan pada
peraturan perundang-undangan atau berdasarkan pada asas legalitas. Artinya
pemerintah tidak dapat melakukan tindakan pemerintahan tanpa dasar kewenangan.
33 Aristoteles, 2008, Politik (La Politica), diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh Benjamin
Jowett dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Syamsur Irawan Khairie, Cetakan Kedua,
Visimedia, Jakarta, h. 43 34 Pasal 1 ayat (1) Konstitusi Republik Demokratis Timor Leste Bagian I Asas-asas dasar
2.2.1 Pengertian Kewenangan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata wewenang disamakan dengan
kata kewenangan, yang diartikan sebagai hak dan kekuasaan untuk bertindak, kekuasaan
membuat keputusan, memerintah dan melimpahkan tanggung jawab kepada orang/badan
lain.35 Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal
dari kekuasaan legislatif (diberi oleh undang-undang) atau dari kekuasaan eksekutif
administratif. Kewenangan yang biasanya terdiri dari beberapa wewenang adalah
kekuasaan terhadap segolongan orang tertentu atau kekuasaan terhadap suatu bidang
pemerintahan.36 Menurut H.D. Stoud sebagaimana dikutip oleh Irfan fachruddin,
menyatakaan: Bevoegheid wet kan worden omscrevenals het geheel van
bestuurechttelijke bevoegdheden door publiekrechtelijke rechtssubjecten in het
bestuurechttelijke rechtsverkeer. (wewenang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan
aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang Pemerintah
oleh subjek hukum dalam hukum publik).37
Dari pemaparan di atas, maka disimpulkan bahwa kewenangan (authority)
memiliki pengertian yang berbeda dengan wewenang (competence). Kewenangan
merupakan kekuasaan formal yang berasal dari undang-undang, sedangkan wewenang
adalah suatu spesifikasi dari kewenangan, artinya barang siapa (subyek hukum) yang
35 Kamal Hidjaz. 2010, Efektivitas Penyelenggaraan Kewenangan Dalam Sistem Pemerintahan
Daerah Di Indonesia. Pustaka Refleksi. Makasar. h 35. 36 Prajudi Atmosudirdjo. Hukum Administrasi Negara; Ghalia Indonesia, Jakarta: h. 78. 37 Irfan Fachruddin, 2004, Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap Tindakan Pemerintah,
Alumni, Bandung, h. 4
diberikan kewenangan oleh undang-undang, maka ia berwenang untuk melakukan
sesuatu dalam kewenangan itu. Kewenangan yang dimiliki oleh organ (institusi)
pemerintahan dalam melakukan perbuatan nyata (riil), mengadakan pengaturan atau
mengeluarkan keputusan selalu dilandasi oleh kewenangan yang diperoleh dari konstitusi
secara atribusi, delegasi, maupun mandat. Suatu atribusi menunjuk pada kewenangan
yang asli atas dasar konstitusi (UUD). Pada kewenangan delegasi, harus ditegaskan suatu
pelimpahan wewenang kepada organ pemerintahan yang lain. Pada mandat tidak terjadi
pelimpahan apapun dalam arti pemberian wewenang, akan tetapi, yang diberi mandat
bertindak atas nama pemberi mandat. Dalam pemberian mandat, pejabat yang diberi
mandat menunjuk pejabat lain untuk bertindak atas nama mandator (pemberi mandat).
Bagir Manan,38 mengemukakan bahwa wewenang dalam bahasa hukum tidak
sama dengan kekuasaan (match). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat
atau tidak berbuat. Di dalam hukum, wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban
(rechten en plichen). dalam kaitan dengan kewenangan lembaga negara dalam
pembentukan undang-undang, mengandung pengertian kekuasaan untuk mengatur
sendiri (zelfregelen), sedangkan kewajiban secara horizontal berarti kekuasaan untuk
menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana mestinya. Vertikal berarti kekuasaan
untuk menjalankan pemerintahan dalam suatu tertib ikatan pemerintahan negara secara
keseluruhan. Selanjutnya, J.G. Brouwer berpendapat bahwa atribusi merupakan
kewenangan yang diberikan kepada suatu organ (institusi) pemerintahan atau lembaga
38 Bagir Manan, Wewenang Provinsi, Kabupaten dan Kota dalam Rangka Otonomi Daerah. h.1-
2
Negara oleh suatu badan legislatif yang independen. Kewenangan ini adalah asli, yang
tidak diambil dari kewenangan yang ada sebelumnya, badan legislatif menciptakan
kewenangan mandiri dan bukan perluasan kewenangan sebelumnya dan memberikan
kepada organ yang berkompeten.39 Delegasi adalah kewenangan yang dialihkan dari
kewenangan atribusi dari suatu organ (institusi) pemerintahan kepada organ lainnya,
sehingga delegator (organ yang telah memberi kewenangan) dapat menguji kewenangan
tersebut atas namanya, sedangkan pada Mandat, tidak terdapat suatu pemindahan
kewenangan tetapi pemberi mandat (mandator) memberikan kewenangan kepada organ
lain (mandataris) untuk membuat keputusan atau mengambil suatu tindakan atas
namanya.
Ada perbedaan mendasar antara kewenangan atribusi dan delegasi. Pada
atribusi, kewenangan yang ada siap dilimpahkan, tetapi tidak demikian pada delegasi.
Berkaitan dengan asas legalitas, kewenangan tidak dapat didelegasikan secara besar-
besaran, tetapi hanya mungkin dibawah kondisi bahwa peraturan hukum menentukan
menganai kemungkinan delegasi tersebut. Delegasi harus memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:40
a) Delegasi harus definitif, artinya delegasi tidak dapat lagi menggunakan sendiri
wewenang yang telah dilimpahkan itu;
b) Delegasi harus berdasarkan ketentuan perundang-undangan, artinya delegasi
hanya dimungkinkan jika ada ketentuan yang memungkinkan untuk itu dalam
peraturan perundang-undangan;
c) Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hierarki kepagawaian tidak
diperkenankan adanya delegasi;
39 J.G. Brouwer dan Schilder, 1998, A Survey of Dutch Administrative Law, Nijmegen: Ars
Aeguilibri, h. 16-17 40 Philipus M. Hadjon, Op..Cit, h. 5
d) Kewajiban memberi keterangan (penjelasan), artinya delegans berwenang
untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut;
e) Peraturan kebijakan (beleidsregel), artinya delegans memberikan instruksi
(petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut.
Kewenangan harus dilandasi oleh ketentuan hukum yang ada (konstitusi),
sehingga kewenangan tersebut merupakan kewenangan yang sah. Dengan demikian,
pejabat (organ) dalam mengeluarkan keputusan didukung oleh sumber kewenangan
tersebut, F.A.M. Stroink sebagaimana dikutip oleh Abdul Rasyid Tahlib, menjelaskan
bahwa sumber kewenangan dapat diperoleh bagi pejabat atau organ (institusi)
pemerintahan dengan cara atribusi, delegasi dan mandat. Kewenangan organ (institusi)
Pemerintah adalah suatu kewenangan yang dikuatkan oleh hukum positif guna mengatur
dan mempertahankannya. Tanpa kewenangan tidak dapat dikeluarkan suatu keputusan
yuridis yang benar.41
Secara epistemologi kewenangan berasal dari kata wewenang, dengan variasi
imbuhan yang menjadi wewenang, kewenangan, berwewenang dan sebagainya.
Wewenang berarti hak dan kekuasaan untuk bertindak. Sedangkan kewenangan berarti
hak dan kekuasaan yang dimiliki untuk melakukan sesuatu, dan berwewenang artinya
mempunyai/mendapat hak dan kekuasaan untuk melakukan sesuatu42. Istilah wewenang
atau kewenangan sering disejajarkan dengan istilah Authority dalam bahasa Inggris dan
bevoegdheid dalam istilah hukum Belanda.43 Authority dalam Black’s law Dictionary
41 Abdul Rasyid Thalib, 2006, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Aplikasinya dalam Sistem
Ketatanegaraan Republik Indonesia, Citra Aditya Bakti Bandung. h. 219 42 Departemen Pendidikan Nasional, 2012, Kamus Besar Bahasa Indonesia, pusat bahasa, edisi
ke empat, cet. Ke empat, penerbit PT. Gramedia pustaka utama, Jakarta. h. 1560 43 Nur Basuki Minamarno. Loc.Cit. h. 65
diartikan sebagai Legal power, a right to command or to act, the right and power of public
offiers to require obedience to their orders law fully issued in scope of their public
duties.44
Philipus M. Hadjon,45 dalam tulisannya tentang wewenang mengemukakan
bahwa, istilah wewenang disejajarkan dengan istilah “bevoegdheid” dalam istilah hukum
Belanda. Kedua istilah ini terdapat sedikit perbedaan yang teletak pada karakter
hukumnya, yaitu istilah “bevoegdheid” digunakan baik dalam konsep hukum publik
maupun dalam konsep hukum privat, sementara istilah wewenang atau kewenangan
selalu digunakan dalam konsep hukum publik. Selanjutnya H. D Stout, sebagaimana
dikonstantir oleh Ridwan H.R, menyebutkan bahwa: 46
Bevoedheid is een begrip uit bestuurlijke organisatierecht, watkan worden
omschreven als het geheel van regels dat betrekking heeft op de verkrijging en
uitoefening van bestuurscrechttelijke bevoegheden door publiekrechtelijke
rechtssubjecten in hetnbestuursrechtelijke rechtsverkeer. (wewenang merupakan
pengertian yang berasal dari hukum organisasi pemerintahan, yang dapat
dijelaskan sebagai keseluruhan atura-aturan yang berkenaan dengan perolehan
dan penggunaan wewenang pemerintahan oleh subjek hukum publik di dalam
hubungan hukum publik).
Atas dasar konsep hukum publik di atas, wewenang (bevoegdheid)
dideskripsikan sebagai kekuasaan hukum (rechsmacht) dimana konsep tersebut di atas,
berkaitan pula dalam pembentukan besluit (keputusan pemerintahan) yang harus
didasarkan undang-undang (asas legalitas).47 Dengan kata lain, keputusan pemerintahan
44 Henry Campbell blacks, 1990, Black’s law Dictionary, west publishing. h. 133 45 Philipus M. Hadjon, 2002, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia_Introduction to
Indonesian Administrative Law, Gadja Mada University Press, Yogyakarta h.1 46 Ridwan HR, 2002, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h..101 47 Philipus M Hadjon I, op. Cit. 130
oleh organ yang berwenang, harus berdasarkan pada wewenang yang secara atribusi
maupun delegasi berdasarkan undang-undang. Menurut F.P.C.L. Tonner, menyatakan
bahwa:48
overheidsbevoegdheid wordt in dit verband opgevat als het vermogen om
positiefrecht vast te stellen n aldus rechtsbetrekking tussen burgers onderling en
tussen overheid en te schepen. (Kewenangan pemerintah dalam kaitan ini
dianggap sebagai kemampuan untuk melaksanakan hukum positif, dan dengan
begitu, dapat dirincikan hubungan hukum antara pemerintah dengan warga
negara)
Berbagai pengertian mengenai wewenang sebagaimana dikemukakan diatas,
walaupun dirumuskan dalam bahasa yang berbeda, namun mengandung pengertian
bahwa wewenang itu merupakan pemebrian kewenangan berdasarkan hukum untuk
bertindak dan mengambil keputusan tertentu berdasarkan wewenang yang diberikan atau
melekat padanya, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan kata
lain, dapat dikatakan bahwa kewenangan itu haruslah jelas diatur secara jelas dan
ditetapkan dalam peraturan perundangan-undangan yang berlaku. Hal ini berarti,
perolehan dan penggunaan wewenang dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan merupakan kewenangan atribusi (berdasarkan Undang-Undang Dasar).
Philipus M. Hadjon,49 menyatakan bahwa, minimal dasar kewenangan harus
ditemukan dalam suatu undang-undang, apabila penguasa ingin meletakan kewajiban-
kewajiban di atas para warga masyarakat. Melalui undang-undang, Parlemen sebagai
pembentuk undang-undang yang mewakili rakyat pemilihnya, ikut menentukan
48 Ridwan HR, op.cit. h. 102 49 Phlipus M Hadjon I, loc.cit. h 131.
kewajiban-kewajiban apa yang pantas bagi warga masyarakat. Dari sini, atribusi dan
delegasi kewenangan harus didasarkan pada undang-undang formal, setidak-tidaknya
apabila keputusan itu meletakkan kewajiban-kewajiban pada masyarakat.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat menimbulkan kekuasaan yang tidak
berkaitan dengan hukum, yang oleh Henc van Maarseven disebut sebagai “blote
match,”50 sedangkan kekuasaan yang berkaitan dengan hukum, Max Weber
menyebutnya sebagai wewenang rasional atau legal, yakni wewenang yang berdasarkan
suatu sistem hukum, sebagai suatu kaidah-kaidah yang telah diakui serta dipatuhi oleh
masyarakat dan bahkan yang diperkuat oleh Negara.
Menurut Hans Kelsen, Parlemen Nasional yang menetapkan undang-undang
dan warga negara yang memilihnya, melalui pemilihan umum, sama-sama merupakan
organ negara dalam arti luas. Pendek kata, dalam pengertian yang luas ini, organ identik
dengan individu yang menjalankan fungsi atau jabatan tertentu dalam konteks kegiatan
bernegara. Inilah yang disebut sebagai jabatan publik atau jabatan umum (public offices),
dan pejabat publik (public officials).51 Selanjutnya, Hans Kelsen menyatakan “An organ,
in this sense, is an individual fulfilling a specific function”. Kualitas individu itu sebagai
organ negara ditentukan oleh fungsinya. “He is an organ because and in so far as he
performsa law-creatingor law-applying function”. Individu tersebut dapat disebut
sebagai organ negara, karena ia menjalankan fungsi yang menciptakan hukum (law-
50 Suwoto Mulyosudarmo, loc.cit. h. 30 51 Hans Kelsen, 2006, General Theory of Law and State, Russell & Russell, New York, 1961,
diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara, Cetakan I, Penerbit
Nusamedia dan Penerbit Nuansa, Bandung, h. 276-277
creating function) atau fungsi yang menerapkan hukum (law-applying function).52 Selain
konsep di atas, ada satu konsep lain yang lebih sempit, yakni konsep "material", yang
dimaksud konsep material dalam praktek seseorang disebut "organ” negara jika dia secara
pribadi menempati kedudukan hukum tertentu (...he personally has a specific legal
position).
Berdasarkan pemaparan di atas, disimpulkan bahwa, kewenangan adalah
kemampuan seseorang untuk melakukan sesuatu sesuai dengan bidang keahliannya,
dalam pelaksanaan, kemampuan tersebut, harus mendapat pengakuan dari pihak lain
terhadap kinerja yang dimilikinya, supaya eksistensinya mendapatkan legitimasi dari
masyarakat.
Dalam prespektif negara hukum, kekuasaan harus mempunyai legitimasi
hukum. Legitimasi hukum terhadap kekuasaan dapat diperoleh apabila memenuhi 2 (dua)
syarat yakni:
1) Pengisian kekuasaan tersebut dilaksanakan sesuai dengan tata cara, ketentuan
dan syarat yang telah ditentukan oleh Konstitusi dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku di negara tersebut. Hal ini berlaku, baik dalam negara
dengan bentuk pemerintahan Monarki dan Republik. Dalam negara Republik
pengisian kekuasaan melalui prosedur dengan cara melibatkan rakyat secara
langsung atau biasa disebut dengan demokrasi. Namun demikian proses
demokrasi tersebut juga harus dilaksanakan sesuai dengan konstitusi
52 Ibid.
(Demokrasi konstitusional). Demikian juga halnya dengan negara Monarki,
pengisian kekuasaan juga harus sesuai dengan tata cara dan prosedur yang di
aur dalam konstitusi.
2) Pelaksanaan kekuasaan harus sesuai dengan hukum (rechtmatigheid van het
bestuur). Dalam negara hukum, penguasa dilarang bertindak yang tidak
sesuai dengan hukum (onrechtmatigheid). Kekuasaan dapat dikatakan
mempunyai legitimasi hukum atau tidak, sangat ditentukan oleh kesesuaian
pelaksanaan kekuasaan tersebut dengan hukum. Apabila kekuasaan tersebut
dilaksanakan sesuai dengan hukum, maka kekuasaan tersebut mempunyai
legitimasi hukum, dan sebaliknya apabila kekuasaan tersebut dilaksanakan
dengan cara yang bertentangan dengan hukum, maka kekuasaan tersebut
tidak mempunyai legitimasi hukum. Dengan adanya legitimasi hukum
terhadap segala tindakan penguasa, maka akan memberikan jaminan
perlindungan kepada penguasa yang bersangkutan dan rakyat sebagai adresat
dari segala keputusan atau kebijakan penguasa. Jaminan perlindungan
kepada penguasa tersebut diwujudkan terhadap tindakan penguasa sampai
pada pembatalan dari pihak yang berwenang. Sedangkan jaminan
perlindungan kepada rakyat diwujudkan dengan adanya hak dari setiap rakyat
untuk memperoleh manfaat dari segala tindakan Pemerintah dan apabila
rakyat dirugikan dengan tindakan penguasa, maka rakyat diberikan hak untuk
mengajukan gugatan.53
Disamping legitimasi hukum, kekuasaan juga membutuhkan yang namanya
legitimasi politik. Suatu kekuasaan dapat dikatakan memperoleh legitimasi politik,
apabila kekuatan politik dalam negeri dapat mengakui dan menghormati kekuasaan
tersebut. Dalam prespektif hukum Internasional, kekuasaan akan memperoleh legitimasi
apabila negara-negara lain mengakui kekuasaan negara tersebut. Tapi yang perlu
diketahui, bahwa legitimasi politik adalah akibat dari adanya legitimasi hukum, artinya,
apabila suatu kekuasaan telah memiliki legitimasi hukum yang kuat, maka kekuasaan
tersebut sesuai dengan ajaran supremacy of law, sehingga yang utama dan pertama
adalah legitimasi hukum.
Dalam ketentuan Konstitusi RDTL, kewenangan lembaga pembentukan
undang-undang terdiri atas Parlemen Nasional dan Pemerintah. Kewenangan Parlemen
Nasional ditetapkan dalam Pasal 95 ayat (2) selanjutnya, Parlemen Nasional
mengijinkan Pemerintah untuk membentuk undang-undang tentang materi muatan yang
ditetapkan dalam Pasal 96 ayat (1) dan Pasal 97 ayat (1) huruf (c) tentang inisiatif
undang-undang dari Pemerintah dan Pasal 115 ayat (3) tentang kewenangan Pemerintah
secara eksklusif membentuk undang-undang yang mengatur tata cara kerjanya dalam
penyelenggaraan pemerintahannya sendiri, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Pelimpahan wewenang adalah penyerahan sebagian dari wewenang
pejabat atasan kepada bawahan untuk membantu dalam melaksanakan tugas-tugas
53 Hufron dan Syofyan hadi, 20016, Ilmu negara Kontemporer, LaksBang Grafika Yogyakarta
dan kantor Advokat “Hufron & Rubaie” Surabaya, h. 118-119
kewajibannya, dan untuk bertindak sendiri. Pelimpahan wewenang ini, dimaksud
untuk menunjang kelancaran tugas dan ketertiban alur komunikasi yang
bertanggung jawab, dan sepanjang tidak ditentukan secara khusus oleh peraturan
perundang-undangan yang berlaku.54
Pendelegasian diberikan biasanya antara organ Pemerintah satu dengan
organ Pemerintah lain, dan biasanya pihak pemberi wewenang memiliki kedudukan
lebih tinggi dari pihak yang diberikan wewenang. Hal ini tercermin dalam
kedudukan Parlemen Nasional memberikan delegasi kewenangan kepada
Pemerintah untuk membentuk undang-undang sesuai dengan materi muatan yang
ditetapkan dalam konstitusi.55
Wewenang yang diperoleh berdasarkan atribusi maupun berdasarkan
pelimpahan sama-sama harus terlebih dahulu dipastikan bahwa yang melimpahkan
benar memiliki wewenang tersebut, dan wewenang itu benar ada berdasarkan
konstitusi atau peraturan perundang-undangan.56
Pada atribusi terjadi pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh
suatu ketentuan perundang-undangan, sedangkan dalam delegasi terjadi pelimpahan
wewenang yang telah ada oleh badan yang telah memperoleh suatu wewenang
pemerintahan secara atributif kepada badan atau pejabat pemerintahan lainnya. Pada
atribusi maupun delegasi, adapun pihak yang bertanggung jawab kepada
54 Ibid. 55 Moh. Mahfud MD, 1998, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta., Pustaka LP3ES, h. 376 56 R. Sri Soemantri M., 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Penerbit Alumni,
Bandung, h 29
pelaksanaan tugas bersangkutan dibebankan kepada penerima kewenangan. 57
Perbedaan delegasi dan mandat adalah, pada delegasi terdapat
pelimpahan wewenang, kewenangan tidak dapat dijalankan secara insidental oleh
organ yang memiliki wewenang asli, terjadi peralihan tanggung jawab, harus
berdasarkan undang-undang, dan harus tertulis, sedangkan pada mandat terdapat
perintah untuk melaksanakan, kewenangan dapat sewaktu-waktu dilaksanakan oleh
mandans, tidak terjadi peralihan tanggung jawab, tidak harus dengan undang-
undang, dan dapat tertulis atau lisan.
Berkaitan dengan kewenangan Pemerintah yang diperoleh dari lembaga
legislatif (Parlemen Nasional) untuk membentuk undang-undang menurut ketentuan
Konstitusi RDTL sebagai berikut:
Pertama; Perijinan bidang kekuasaan legislatif oleh Pemerintah dapat secara resmi
disahkan dengan apa yang dinamakan “delegasi kekuasaan legislatif” yaitu
penyerahan kekuasaan legislatif oleh pemegang kekuasaan itu kepada suatu badan
penguasa lain untuk melaksanakan sebagian kewenanagan pemegang kekuasaan
tersebut. Relevannya dengan kewenangan atau kekuasaan legislatif oleh
pembentuk undang-undang diserahkan kepada Pemerintah. Timbul pertanyaan:
bolehkah ini menurut Undang-Undang Dasar? Menurut ketentuan Pasal 96 ayat
(1), Pasal 97 ayat (1) bagian (c), Pasal 115 ayat (3) Konstitusi RDTL Tahun 2002
yang secara tegas menyerahkan kewenangan pembentukan undang-undang
57 Indroharto, 1991, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, h. 64-66.
kepada Pemerintah untuk membuat undang-undang tentang materi muatan yang
diatur dalam Konstitusi RDTL Tahun 2002.
Kedua; Menurut Kranenburg,58 bahwa di semua negara modern, ada gejala semakin
banyak terjadi penyerahan kekuasaan, legislatif atau perundang-undangan kepada
Pemerintah, sebagai kekuasaan eksekutif. Gejala ini disebabkan oleh dua hal; 1)
pembentukan undang-undang yaitu kepala Negara dan dewan perwakilan
Rakyat, merasa tidak cakap untuk mengatur permasalahan secara detail, oleh
karena ini memerlukan pengetahuan teknik yang hanya dimiliki oleh para ahli-
teknik; 2) bagi pembentukan undang-undang tidak ada waktu yang cukup
terluang untuk memikirkan persoalan-persoalan itu secara detail.
Dengan berpikir bahwa jangan sampai ketinggalan jaman dalam penyelenggaraan
pemerintahan, untuk mengatur sesuatu hal inilah yang mendorong timbulnya gejala
delegasi kewenangan. Meskipun demikian, para cendekiawaan memeras pemikiran,
bagaimana gejala ini dapat diterapkan dalam sistem konstitusional dengan lain, perkataan
sampai di mana gejala ini dapat dikatakan tidak bertentangan dengan konstitusi, maka di
antara para sarjana hukum Perancis dicoba memasukkan tindakan Pemerintah yang
mengatur sesuatu, itu tetap dalam istilah “eksekutif” yaitu menjalankan apa yang
diperintahkan oleh pembentuk undang-undang.
Pandangan yang tidak riil ini, kemudian ditinggalkan dan mulai merata suatu
pendapat bahwa, yang dimaksud dalam konstitusi, bahwa oleh pembentuk undang-
58 Wirjono Prodjodikoro,1983, Asas-asas hukum tata Negara Indonseia; Dian Rakjat. h.79-80
undang cukuplah diatur garis-garis besar saja. Sedangkan hal-hal yang lebih detail dapat,
bahkan harus diserahkan kepada institusi lain, dan institusi ini tidak lain adalah
Pemerintah. Demikian dapat dibenarkan bahwa Pemerintah memperoleh kewenangan
untuk membentuk undang-undang atas dasar persoalan-persoalan yang mendasar secara
nyata, masyarakat membutuhkan perlindungan hak-hak warga negaranya secara
konstitusional.
a) Delegasi
Delegatie; overdracht van een bevoegheid van het ene bestuursorgaan aan een
ander, (delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari suatu organ
pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya) Delegasi diartikan sebagai
penyerahan wewenang (untuk membuat “besluit”) oleh pejabat pemerintahan
(pejabat TUN) kepada pihak lain dan wewenang tersebut menjadi tanggung jawab
pihak lain tersebut.59
b) Mandat
Mandaat; een bestuursorgaan laat zinj bevoegheid names hem uitoefeen door een
ander, (mandat terjadi ketika organ pemerinatahan mengizinkan kewenangannya
dijalankan oleh organ lain atas namanya). Mandat merupakan suatu pelimpahan
wewenang kepada bawahan. Pelimpahan itu bermaksud memberi wewenang
kepada bawahan untuk membuat keputusan a.n pejabat tun yang memberi mandat.
Keputusan itu merupakan keputusan pejabat TUN yang memberi mandat. Dengan
demikian tanggung gugat dan tanggung jawab tetap pada pemberi mandat. Untuk
mandat tidak perlu ada ketentuan perundang-undangan.60
Mengenai rumusan pengertian dari mandat, Philipus M. Hadjon, kembali
menjelaskan bahwa:61
Kewenangan membuat keputusan hanya dapat diperoleh dengan dua cara, yaitu
atribusi atau delegasi. Oleh karena mandat merupakan suatu pelimpahan
wewenang kepada bawahan. Pelimpahan ini bermaksud memberi wewenang
kepada bawahan untuk membuat keputusan a.n. pejabat tun yang memberi
59 Philipus M. Hadjon, 1994, Fungsi Normatif Hukum Administrasi Dalam Mewujudkan
Pemerintahan Yang Bersih, Pidato Peresmian Penerimaan Jabatan Guru Besar Dalam Ilmu Hukum Pada
Fakultas Hukum Airlangga., h. 7 60 Ibid. 61 Ibid.
mandat. Keputusan itu merupakan keputusan pejabat tun yang memberi mandat.
Dengan demikian tanggung jawab dan tanggung gugat tetap pada pemberi
mandat. Untuk mandat tidak perlu ada ketentuan peraturan perundang-undangan
yang melandasinya karena mandat merupakan hal rutin dalam hubungan intim-
hirarkis organisasi pemerintahan”
Kriteria delegasi yang dimaksud, ten Berge, menyatakan bahwa syarat-syarat
delegasi antara lain:62
a) Delegasi harus definitif, artinya delegans tidak dapat lagi menggunakan
sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu.
b) Delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, artinya
delegasi hanya dimungkinkan kalau ada ketentuan untuk itu dalam peraturan
perundang-undangan.
c) Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan hirarki kepegawaian
tidak diperkenankan adanya delegasi.
d) Kewajiban memberi keterangan (penjelasan), artinya delegans berwenang
untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut.
e) Peraturan kebijakan (beleidsregel), artinya delegans memberikan instruksi
(petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut.
Mengenai perbedaan antara delegasi dan mandat, Philipus M. Hadjon,63
menyatakan bahwa dalam kepustakaan digunakan istilah dekonsentrasi, yaitu
kemungkinan terjadinya pemberian wewenang dalam hubungan kepada bawahan.
Dekonsentrasi diartikan sebagai atribusi wewenang kepada para pegawai (bawahan),
tujuan diadakannya dekonsentrasi ialah:
a) Adanya sejumlah besar permohonan keputusan dan dibutuhkannya keahlian
khusus dalam pembuatan keputusan;
b) Kebutuhan akan penegakan hukum dan pengawasan;
c) Kebutuhan koordinasi.
62 Philipus M Hadjon II, Ibid, h. 5 63 Ibid. h. 7
Dengan konsep delegasi seperti di atas, berarti tidak mungkin ada delegasi
umum dan tidak mungkin ada delegasi dari atasan kepada bawahan. Perbedaan antara
delegasi dan mandat disajikan dalam bentuk tabel sebagai berikut.64
Tabel 1:
Perbedaan kewenangan delegasi dengan Mandat.
MANDAT DELEGASI
a. Prosedur
pelimpahan
Dalam hubungan rutin
atasan bawahan: hal biasa
kecuali dilarang secara
tegas
Dari suatu organ pemerintahan kepada
orang lain: dengan peraturan
perundang-undangan
b. Tanggung jawab
dan tanggung gugat
Tetap pada pemberi
mandate
Tanggung jawab dan tanggung gugat
beralih kepada delegataris
c. Kemungkinan si
pemberi
menggunakan
wewenang itu lagi
Setiap saat dapat
menggunakan sendiri
wewenang yang
dilimpahkan itu
Tidak dapat menggunakan wewenang
itu lagi kecuali setelah ada pencabutan
dengan berpegang pada asas
“contrarius actus”
Pada bagian ini Penulis mengkaji dan menganalisis terkait dengan parameter
penyalagunaan wewenang dan hubungannya dengan asas spesialitas
(Specialiteitsbeginsel).
Dalam konsep hukum administrasi, setiap pemberian wewenang kepada suatu
badan atau kepada pejabat administrasi negara selalu disertai dengan “tujuan dan
maksud” diberikannya wewenang itu, sehingga penerapan wewenang itu harus sesuai
dengan tujuan dan maksud pemberian wewenang itu sendiri. Dalam hal penggunaan
wewenang itu tidak sesuai dengan tujuan dan maksud pemberian wewenang tersebut,
64 Philipus M Hadjon III. Loc.Cit., h. 8
maka telah melakukan penyalagunaan wewenang (detournement de pouvoir) Parameter
“tujuan dan maksud” pemberian wewenang dalam menentukan batasan-batasannya, agat
tidak terjadinya penyalagunaan wewenang yang dikenal dengan asas spesialias
(Specialiteitsbeginsel), yang dikembangkan oleh Mariette Kobussen dalam bukunya yang
berjudul ‘De Vrijheid Van De Overheid’. Secara substansial Specialiteitsbeginsel
mengandung makna bahwa, setiap kewenangan memiliki tujuan tertentu. Menurut Hani
Handoko ada dua pandangan yang saling berlawanan mengenai sumber wewenang:
a) Teori formal (pandangan klasik) adalah wewenang adalah dianugrahkan yakni
wewenang ada karena seseorang diberikan atau dilimpahkan hal tersebut.
pandangan mengangap bahwa wewenang berasal dari tingkat masyarakat
yang sangat tinggi dan kemudian secara hukum diturunkan dari tingkat
ketingkat.
b) Teori penerimaan (acceptance theory of authority) adalah berpendapat bahwa
wewenang seseorang timbul hanya bila hal itu diterima oleh kelompok atau
individu kepada siapa wewenang tersebut dijalankan dan ini tidak tergantung
pada penerima (reciver).65
Menurut R. Sri Sumantri,66 bahwa kewenangan diperoleh seseorang melalui
2 (dua) cara yaitu dengan atribusi atau dengan pelimpahan wewenang:
a) Atribusi, yaitu wewenang yang melekat pada suatu jabatan. Dalam tinjauan
hukum tata Negara, atribusi ini ditunjukan dalam wewenang yang dimiliki
oleh organ pemerintah dalam menjalankan pemerintahannya berdasarkan
kewenangan yang dibentuk oleh pembuat undang-undang. Atribusi ini
menunjuk pada kewenangan asli atas dasar konstitusi (UUD) atau peraturan
perundang-undangan.
b) Pelimpahan wewenang (delegasi), yakni pelimpahan wewenang adalah
penyerahan sebagian dari wewenang pejabat atasan kepada bawahan tersebut
membantu dalam melaksanakan tugas-tugas kewajibannya untuk bertindak
sendiri. Pelimpahan wewenang ini dimaksudkan untuk menunjang kelancaran
tugas dan ketertiban alur komunikasi yang bertanggung jawab, dan sepanjang
65 Moh. Mahfud MD, 1998, Politik Hukum di Indonesia, Pustaka LP3ES, Jakarta, h.376 66 R. Sri Soemantri M, 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, ,
h. 29
tidak ditentukan secara khusus oleh peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Dalam kaitan dengan hal tersebut, Philipus M. Hadjon menyatakan dengan
menyitir pendapatnya N.E. Algra bahwa: “pada kepustakaan Belanda jarang
menggunakan istilah uitvoerende macht, melainkan menggunakan istilah yang populer
betuur yang dikaitkan dengan sturen dan sturing, Bestuur dirumuskan sebagai lingkungan
kekuasaan negara di luar lingkungan kekuasaan legislatif dan kekuasaan yudisial”.67
Konsep bestuur membawa implikasi kekuasaan pemerintahan tidaklah semata sebagai
kekuasaan terikat tetapi juga, merupakan suatu kekuasaan bebas (vrij bestuur, Freies
Ermessen, discretionary power).68 Selanjutnya, Philipus M. Hadjon menyatakan bahwa,
untuk memberikan pemahaman tentang kekuasaan bebas atau kekuasaan diskresi dengan
cara melihat ruang lingkupnya. Kekuasaan bebas atau kekuasaan diskresi meliputi;
kewenangan untuk memutus sendiri, dan kewenangan interpretasi terhadap norma-norma
tersamar (vage normen).69 Kekuasaan bebas (vrij bestuur) asas wetmatigheid tidaklah
memadai, kekuasaan bebas di sini tidak dimaksud kekuasaan yang tanpa batas, tetapi
tetap dalam koridor hukum (rechtmatigheid), setidak-tidaknya kepada hukum yang
tertulis atau asas-asas hukum. Badan hukum publik yang berupa Negara, Pemerintah,
Departemen, Pemerintah Daerah, institusi untuk dapat menjalankan tugasnya mereka
memerlukan kewenangan.
67 Ibid. h. 2. 68 Ibid. h. 3. 69 Ibid. h. 6.
Pemberian kewenangan terhadap badan hukum publik tersebut, dapat dilihat
pada konstitusi masing-masing negara. Perihal kewenangan tidak terlepas dari Hukum
Tata Negara dan Hukum Administrasi, karena kedua jenis hukum itulah yang mengatur
tentang kewenangan. Hukum Tata Negara berkaitan dengan susunan negara atau organ
dan negara (staats, inrichtingrecht, organisatierecht) dan posisi hukum dan warga negara
berkaitan dengan hak-hak dalam (grondrechten). Dalam susunan organ negara diatur
mengenai, bentuk negara, bentuk pemerintahan, dan pembagian kekuasaan dalam negara.
Pembagian kekuasaan lembaga negara terdiri atas pembagian secara horizontal yang
meliputi: kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudisial dan secara vertikal terdiri atas
Pemerintah pusat dan pemerintahan Daerah.
Pembagian kekuasaan dalam negara secara horizontal dimaksudkan untuk
menciptakan keseimbangan dalam negara dan saling melakukan kontrol. Adapun
pembagian tugas secara vertikal maupun horizontal, sekaligus dengan pemberian
kewenangan badan-badan negara tersebut, yang ditegaskan dalam konstitusi.
Sehubungan dengan pendapat diatas, F.P.C.L. Tonnaer70 menyatakan bahwa:
Overheids bevoegdheid wordt in dit verband opgevat als het vermogen om
positiefrecht vast te stellen naldus rechts betrekking tussen burgers onderling en
tussen overheid en te scheppen (Kewenangan pemerintah dalam kaitan ini
dianggap sebagai kemampuan untuk melaksanakan hukum positif, dan dengan
begitu, dapat dirincikan hubungan hukum antara pemerintah dengan warga
negara).
70 Ridwan H.R., Op.cit., h.108.
Berdasarkan Hukum administrasi, mengetahui sumber dan cara memperoleh
wewenang pemerintahan ini penting, karena berkenaan dengan pertanggungjawaban
hukum (rechtelijke verantwording), penggunaan wewenang tersebut, seiring dengan
salah satu prinsip dalam negara hukum, geen bevoegheid zonder verantwoordelijkheid
atau there is no authority without responsibility (tidak ada kewenangan tanpa
pertanggungjawaban).71 Indroharto, mengatakan bahwa, pada atribusi terjadi pemberian
wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-
undangan. Di sini dilahirkan atau diciptakan suatu Wewenang baru. Lebih lanjut
disebutkan bahwa, legislator yang kompeten untuk memberikan kewenangan atribusi.
Wewenang Pemerintah itu dibedakan antara:72
1) Yang berkedudukan sebagai original legislator, di negara kita di tingkat pusat
adalah MPR sebagai pembentuk kontstitusi dan DPR bersama-sama
pemerintah sebagai lembaga yang melahirkan suatu undang-undang, dan di
tingkat daerah adalah DPRD dan Pemda yang melahirkan Peraturan Daerah.
2) Yang bertindak sebagai delegated legislator; seperti presiden yang berdasar
pada suatu ketentuan undang-undang mengeluarkan peraturan Pemerintah di
mana diciptakan wewenang-wewenang pemerintahan kepada badan atau
jabatan tata usaha negara tertentu.
Menyimak dari kewenangan atribusi yang dimaksud oleh Indroharto di atas,
dalam kaitannya dengan Negara Timor-Leste secara Konstitusi RDTL untuk sementara
hanya memiliki satu kamar yaitu Parlemen Nasional (PN), dikatakan “sementara” karena
Pemerintah telah merancang politik desentralisasi pemerintahan, dari pusat ke daerah, hal
itu akan menciptakan kewenangan baru dalam sistem pemerintahan RDTL yang disebut
71 Ibid. h. 200 72 Indroharto, Op.cit, h. 91.
Parlemento Municipo (DPRD). Oleh karena itu, saat ini masih menganut sistem
unicameral (satu kamar) sehingga, Parlemen Nasional melahirkan atribusi untuk
memberikan ijin kepada Pemerintah untuk membentuk undang-undang sebagaimana
diatur pada Pasal 96 ayat (1) Konstitusi RDTL. Sedangkan pada bagian kedua bahwa
sistem pemerintahan yang dianut oleh Negara RDTL adalah sistem pemerintahan semi
Presidensiil maka, presiden hanya sebagai symbol persatuan nasional, dan secara
konstitusi tidak memberi kewenangan kepada presiden untuk membentuk undang-
undang atau peraturan Pemerintah, sebagaimana dalam Sistem Pemerintahan presidensiil
di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Menegaskan adanya delegasi suatu
pelimpahan wewenang kepada badan pemerintahan yang lain.
Dalam Hukum Administrasi Belanda telah merumuskan pengertian delegasi
dalam undang-undang di Belanda yang terkenal dengan singkatan AWB (Algemene Wet
Bestuursrecht). Dalam Pasal 10:3 AWB, delegasi diartikan sebagai penyerahan
wewenang (untuk membuat “besluit”) oleh pejabat pemerintahan (pejabat tun) kepada
pihak lain dan wewenang tersebut menjadi tanggung jawab pihak lain tersebut.73 Pemberi
atau yang melimpahkan wewenang disebut delegans dan yang menerima disebut
delegataris. Jadi suatu delegasi selalu didahului oleh adanya suatu atribusi wewenang.74
Pemberian atau pelimpahan wewenang ada persyaratan-persyaratan yang
harus dipenuhi, yaitu:
73 Philipus M. Hadjon I, Op.cit, h. 4. 74 Nur Basuki Minarno, 2009, Penyalahgunaan Wewenang Dan Tindak Pidana Korupsi Dalam
Pengelolaan Keuangan Daerah, diterbitkan Laksbang Mediatama, Palangkaraya, h.72.
1) Delegasi harus definitif, artinya delegans tidak lagi menggunakan sendiri
wewenang yang telah dilimpahkan itu.
2) Delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, artinya
delegasi hanya dimungkinkan kalau ada ketentuan itu dalam peraturan
perundang-undangan.
3) Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan hirarki kepegawaian
tidak diperkenankan adanya delegasi.
4) Kewajiban memberikan keterangan (penjelasan), artinya delegans berwenang
untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut.
5) Peraturan kebijakan (beleidsregelen), artinya delegans memberikan instruksi
(petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut.75
Berdasarkan kewenangan delegasi yang dimaksud, maka konsep delegasi
seperti itu, tidak ada delegasi umum dan tidak mungkin ada delegasi dari atasan ke
bawahan. Atribusi berkenaan dengan penyerahan wewenang baru, sedangkan delegasi
menyangkut pelimpahan wewenang yang telah ada (oleh organ yang telah memperoleh
wewenang secara atributif kepada organ lain); jadi delegasi secara logis selalu didahului
oleh atribusi. Dalam melaksanakan fungsinya (terutama berkaitan dengan wewenang
pemerintahan), Pemerintah mendapatkan kekuasaan atau kewenangan itu bersumber dari
kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang. Sutarman mengutip pendapat dari H.D.
van Wijk/Willem Konijnenbelt76 menyatakan bahwa: “Wetmatigheid van bestuur: de
uitvoerende mach bezit uitsluitend die bevoegdheden welke haar uitdrukkelijk door de
Grondwet of door een andere wet zijn toegekend.” (pemerintahan menurut undang-
undang: Pemerintah mendapatkan kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh undang-
undang atau Undang-Undang Dasar).
75 Philipus M Hadjon., Op. Cit. h. 4-5. 76 Sutarman, Op.cit., h. 112.
Dalam kaitan dengan konsep atribusi, delegasi, ataupun mandat, menurut J.G.
Brouwer dan A.E. Schilder, mengatakan bahwa:77
a) With atribution, power is granted to an administrative authority by an
independent legislative body. The power is initial (originair), which is to say
that is not derived from a previously existing power. The legislative body
creates independent and previously non existent powers and assigns them to
an authority.(Dengan atribusi, kekuasaan diberikan kepada otoritas
administratif oleh badan legislatif independen. Kekuasaan yang awal
(originair), yang mengatakan bahwa tidak berasal dari kekuatan yang sudah
ada sebelumnya. Badan legislatif menciptakan kemerdakaa dan kekuatan
yang sebelumnya tidak ada dan memberikan mereka kewenangan)
b) Delegation is a transfer of an acquired atribution of power from one
administrative authority to another, so that the delegate (the body that the
acquired the power) can exercise power in its own name. (Delegasi adalah
transfer dari atribusi diperoleh kekuasaan dari satu otoritas administrasi yang
lain, sehingga delegasi (tubuh yang mengakuisisi kekuasaan) dapat
menjalankan kekuasaan atas namanya sendiri).
c) With mandate, there is not transfer, but the mandate giver (mandans) assigns
power to the body (mandataris) to make decision or take action in its
name.(Dengan mandat, tidak ada mentransfer kewenangan, tetapi pemberi
mandat (Mandate) memberikan kekuatan untuk penerima (Mandataris) untuk
membuat keputusan atau mengambil tindakan dalam namanya).
J.G. Brouwer,78 berpendapat bahwa atribusi merupakan kewenangan yang
diberikan kepada suatu organ (institusi) pemerintahan atau lembaga Negara oleh suatu
badan legislatif yang independen. Kewenangan ini adalah asli, yang tidak diambil dari
kewenangan yang ada sebelumnya. Badan legislatif menciptakan kewenangan mandiri
dan bukan perluasan kewenangan sebelumnya dan memberikan kepada organ yang
berkompeten.
77 J.G. Brouwer dan Schilder, 1998, A Survey of Dutch Administrative Law, Ars Aeguilibri,
Nijmegen, h. 16-17 78 Philipus M Hadjon II, Op.cit. Jilid III, h. 7.
Delegasi merupakan kewenangan yang dialihkan dari kewenangan atribusi
dari suatu organ (institusi) pemerintahan kepada organ lainnya, sehingga delegator (organ
yang telah memberi kewenangan) dapat menguji kewenangan tersebut atas namanya,
sedangkan pada mandat, tidak terdapat suatu pemindahan kewenangan tetapi pemberi
mandat (mandator) memberikan kewenangan kepada organ lain (mandataris) untuk
membuat keputusan atau mengambil suatu tindakan atas namanya.
Ada perbedaan mendasar antara kewenangan atribusi dan delegasi. Pada
atribusi, kewenangan yang ada siap dilimpahkan, tetapi tidak demikian pada delegasi.
Kewenangan harus dilandasi oleh ketentuan hukum yang ada dalam konstitusi, sehingga
kewenangan tersebut merupakan kewenangan yang sah. Dengan demikian, pejabat
(organ) dalam mengeluarkan keputusan didukung oleh sumber kewenangan tersebut.
Stroink,79 menjelaskan bahwa sumber kewenangan dapat diperoleh bagi pejabat atau
organ (institusi) pemerintahan dengan cara atribusi, delegasi dan mandat. Kewenangan
organ (institusi) Pemerintah adalah suatu kewenangan yang dikuatkan oleh hukum positif
guna mengatur dan mempertahankannya. Tanpa kewenangan tidak dapat dikeluarkan
suatu keputusan yuridis yang benar.
Dalam hukum publik, wewenang berkaitan dengan kekuasaan. Kekuasaan
memiliki makna yang sama dengan wewenang karena kekuasaan yang dimiliki oleh
eksekutif, legislatif dan yudikatif adalah kekuasaan formal. Kekuasaan merupakan unsur
esensial dari suatu Negara dalam proses penyelenggaraan pemerintahan di samping
79 Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang, Makalah, Universitas Airlangga, Surabaya, h. 1
unsur-unsur lainnya, yaitu:80 a) hukum; b) kewenangan (wewenang); c) keadilan; d)
kejujuran; e) kebijakbestarian; dan f) kebajikan. Kekuasaan yang tidak berkaitan dengan
hukum oleh Henc van Maarseven81 disebut sebagai “blote match,” sedangkan kekuasaan
yang berkaitan dengan hukum oleh Max Weber.82 Disebut sebagai wewenang rasional
atau legal, yakni wewenang yang berdasarkan suatu sistem hukum ini dipahami sebagai
suatu kaidah-kaidah yang telah diakui serta dipatuhi oleh masyarakat dan bahkan yang
diperkuat oleh Negara. Selanjutnya, E. Utrecht,83 membedakan istilah “kekuasaan”
(gezag, authority) dan “kekuatan” (macht, power) bahwa “kekuatan” merupakan istilah
politik yang berarti paksaan dari suatu badan yang lebih tinggi kepada seseorang, biarpun
orang itu lebih tinggi kepada seseorang, biarpun orang itu belum menerima paksaan
tersebut sebagai sesuatu yang sah sebagai tertib hukum positif. “Kekuasaan” adalah
istilah hukum. Kekuatan yang menjadi kekuasaan apabila diterima sebagai sesuatu yang
sah atau sebagai tertib hukum positif dan badan yang lebih tinggi itu diakui sebagai
penguasa (otoriteit).
Dari berbagai pengertian kewenangan sebagaimana tersebut di atas, penulis
simpulkan bahwa, kewenangan (authority) memiliki pengertian yang berbeda dengan
wewenang (competence). Kewenangan merupakan kekuasaan formal yang berasal dari
80 Rusadi Kantaprawira, 1998, Hukum dan Kekuasaan, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta,
h. 37-38. 81 Suwoto Mulyosudarmo, 1990, Kekuasaan dan Tanggung Jawab Presiden Republik Indonesia,
Suatu Penelitian Segi-Segi Teoritik dan Yuridis Pertanggungjawaban Kekuasaan, Universitas Airlangga,
Surabaya, h. 30. 82 A. Gunawan Setiardja, 1990, Dialektika Hukum dan Moral dalam Pembangunan Masyarakat
Indonesia, Kanisius, Yogyakarta, h. 52. 83 Utrecht, E., op cit., h. 43
undang-undang, sedangkan wewenang merupakan suatu spesifikasi dari kewenangan,
artinya barang siapa (subyek hukum) yang diberikan kewenangan oleh undang-undang,
maka ia berwenang untuk melakukan sesuatu tersebut atas dasar kewenangan yang
diberikan kepada pejabat tersebut.
Bertitik tolak dari pemaparan tersebut, berkaitan dengan kewenangan
lembaga negara dalam pembentukan undang-undang. Secara konstitusional, Konstitusi
RDTL, kewenangan lembaga negara dalam pembentukan undang-undang terdiri atas dua
lembaga negara, yang masing-masing mempunyai kewenangan secara atribusi dan
delegasi untuk membentuk undang-undang, sebagaimana diatur dalam Pasal 95 ayat (2),
kewenangan Parlemen Nasional, dan Pasal 96 ayat (1) Huruf (a) sampai (l) perijinan
legislatif, Pasal 97 inisiatif undang-undang dan Pasal 115 ayat (3) wewenang Pemerintah
secara eksklusif legislasi.
Berkaitan dengan kewenangan Pemerintah sebagaimana diatur dalam Pasal
103 Konstitusi RDTL tentang Pemerintah, dan Pasal 115 mengenai kewenangan
Pemerintah. Namun dalam konstitusi, Pemerintah juga sebagai lembaga legislasi
sekaligus sebagai lembaga eksekutif. Secara normatif prinsip asas pemisahan kekuasaan
yang diatur dalam konstitusi, bertentangan dengan teori trias politika yang dianut dalam
Konstitusi Republik Demokratik Timor-Leste, tentang asas pemisahan kekuasan. Hal
demikian sangat mempengaruhi proses pembanggunan di negara baru yang nota benenya
masih dalam proses pembanggunan berkelanjutan, apabila kewenangan yang diberikan
kepada Pemerintah sangat tumpang tindih maka secara otomatis pembanggunan tidak
berjalan secara efektif dan efisien.
Berdasarkan pemaparan teori kewenangan di atas, berkaitan dengan
kewenangan lembaga negara dalam pembentukan undang-undang menurut ketentuan
Pasal 96 Parlemen Nasional dapat mengijinkan Pemerintah untuk mengusulkan undang-
undang tentang materi muatan sebagaimana diatur dalam ayat (1) Konstitusi RDTL
Tahun 2002 adalah kewenangan atribusi, hal demikian dikarenakan Pemerintah
memperoleh kewenangan untuk membentuk undang-undang melalui perijinan legislatif
tersebut secara langsung dalam konstitusi.
Secara teoritis kewenangan yang dimaksud hanya melihat dari aspek obyektif
atau lembaganya saja, tidak memperhatikan subyek atau individu yang melaksanakan
kewenangan yang diberikan kepadanya. Oleh karena itu, disimpulkan bahwa, seharusnya
kewenangan yang diperoleh baik secara atribusi, delegasi maupun mandat, perlu
menentukan syarat-syarat bagi seseorang yang akan menjalankan kewenangan tersebut,
apabila tidak ada syarat yang menentukan maka, tentu setiap individu memiliki hasrat
ingin menjadi pejabat. Syarat-syarat yang dimaksud adalah sebagai berikut:
Pertama, Secara Intelektual; seseorang yang memilih untuk menduduki jabatan tertentu
harus memiliki kemampuan dalam bidang yang diimbangginya;
Kedua, Secara sosiologis; seseorang yang memiliki kewenangan untuk menjabat dalam
jabatan ketatanegaraan, harus memiliki kemampuan secara sosioal, agar setiap
keputusan yang dikeluarkan dapat ditaati oleh masyarakat;
Ketiga, Secara ekonomi; seseorang yang mendapat kepercayaan untuk menduduki
jabatan tertentu, harus memiliki kemampuan dalam bidang ekonomi, agar
melaksanakan fungsi kewenangan tersebut tidak menimbulkan unsur korupsi dan
penyalahgunaan kewenangan;
Ke empat, Secara historis, setiap Negara yang baru merdeka, latarbelakang historis sangat
mempengaruhi, oleh karena itu setiap pejabat Negara, harus memiliki
latarbelakang historis yang mencerminkan prinsip nasionalime dan patriotisme,
dengan demikian, yang bersangkutan menjalankan fungsi kewenangan tersebut
memiliki rasa memiliki dan pertanggungjawaban baik secara administrasi
maupun secara social terhadap kewenangan yang dijalankan;
Ke lima, Secara politik, seseorang yang akan menduduki jabatan pada lembaga Negara,
harus memiliki daya analisis dan pemikiran yang rasional, agar setiap tindakan
atau kebijakan dapat diterima oleh warganegaranya.
Dari ke lima (5) syarat yang diuraikan diatas, apabila di penuhi oleh seseorang
maka, yang bersangkutan menjalankan fungsi kewenangannya akan mencerminkan
prinsip asas legalitas, keadilan, dan kesusilaan dalam masyarakat.
2.3 Teori Perundang-Undangan
Peraturan perundang-undangan dalam kaitan dengan Negara terletak pada
dijaminnya hak-hak warga negara dalam tujuan negara, sehingga upaya untuk mencapai
tujuan negara yang dilakukan oleh Pemerintah tidak meniadakan, mengesampingkan
ataupun melanggar hak-hak warga negara. Penegakkan dan perlindungan hak-hak
dimaksud harus dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.84
Pembentukan peraturan perundang-undangan (legislasi) menjadi salah satu
kunci dalam terjaminnya hak-hak warga negara yang merupakan bagian dari HAM.
Berbarengan dengan itu, pembatasan HAM melalui prasyarat dan prakondisi tertentu
dibolehkan dan ditetapkan dengan undang-undang.85 Pembentukan peraturan
perundang-undangan pada dasarnya, merupakan suatu proses yang menyangkut;
perencanaan, penyusunan dan pembentukan yang dilakukan melalui tahapan-tahapan
kegiatan terencana dan terkoordinasi. Sebagai proses dalam pelaksanaan kegiatannya
melibatkan dan memerlukan kerjasama berbagai pihak pemangku kepentingan
(Stakeholder's).
Teori perundang-undangan digunakan dalam penelitian dan penulisan
disertasi ini, untuk menjustifikasi terhadap norma-norma dan menjelaskan mekanisme
(Proses) pembentukan peraturan perundang-undangan oleh lembaga legislatif dan
eksekutif berdasarkan Konstitusi RDTL dan hierarki peraturan perundang-undangan
serta, asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.
Keterkaitan dengan peraturan perundang-undangan, menurut ketentuan Pasal
1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 bahwa, “peraturan perundang-
84 Nurrahman Aji Utomo 2016, Mengurai Kerangka Legislasi Sebagai Instrumen Perwujudan
Hak Asasi Manusia (Unraveling Legislation Framework as an Instrument for Realization of Human
Rights). Dalam Jurnal Konstitusi, Volume 13, Nomor 4 Desember 2016.
https://media.neliti.com/media/publications/113071-ID-mengurai-kerangka-legislasi-sebagai-inst.pdf. Di
akses pada tanggal 5 April 2018, h. 1 85 Ibid.
undangan merupakan peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat
secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang
berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian, dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan secara
garis besar dapat dibagi menjadi 2 (dua) tahap kegiatan, yaitu: Pertama, kegiatan yang
berhubungan dengan proses tahapan perencanaan yang keduamencakup persiapan bahan
atau material (preparatory material) dan persiapan pelaksanaan tugas (preparatory task)
dan kedua, kegiatan yang berhubungan dengan prosedur penyusunan dan pembentukan
(formal procedure). Ketiga, tahapan tersebut, antara yang satu dengan lainnya saling
ketergantungan dan merupakan kegiatan yang saling berkaitan antara satu dengan yang
lain.
Pembedaan proses dan prosedur dimaksud, pada hakekatnya untuk
memberikan penjelasan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan harus
memenuhi kaidah penyiapan dan penyusunan (kaidah-kaidah legislative drafting), yakni:
Kegiatan pertama, meliputi tahapan perencanaan dan persiapan pelaksanaan rencana
yang berkaitan dengan penyiapan bahan materi rumusan dan penyusunan rancangan
peraturan perundang-undangan. Kegiatan kedua, meliputi tahapan prosedur; meliputi
penyusunan prolegnas, pembahasan dan harmonisasi rancangan peraturan perundang-
undangan, prosedur pengajuan dan pembahasan rancangan peraturan perundang-
undangan, dan selanjutnya, pengesahan, pengundangan dan publikasi.
Peraturan perundang-undangan berada dalam domain hukum tertulis (jus
scriptum), yakni hukum yang dibentuk dan diterapkan oleh institusi atau pejabat yang
berwenang dengan bentuk dan format tertentu. Jimly Asshidiqie86 mengkategorikan
peraturan perundang-undangan selaku hukum tertulis kedalam 4 (empat) macam:
a) Peraturan perundangan yang bersifat umum, yaitu berlaku umum bagi siapa
saja dan bersifat abstrak karena tidak menunjuk kepada hal atau peristiwa,
atau kasus kongkrit yang sudah ada sebelum peraturan itu ditetapkan;
b) Peraturan perundangan yang bersifat khusus karena kekhususan subyek yang
diaturnya, yaitu hanya berlaku bagi subyek tertentu;
c) Peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus karena kekhususan
wilayah berlakunya, yaitu hanya berlaku di dalam wilayah tertentu;
d) Peraturan perundangan yang bersifat khusus, karena kekhususan daya ikat
materinya, yaitu hanya berlaku internal.
Sifat dari peraturan perundang-undangan, dalam hukum tertulis, berimplikasi
pada jenis maupun institusi, atau pejabat yang berwenang membentuknya. Termasuk pula
berimplikasi terhadap penjabaran dari norma yang abstrak, menjadi norma yang kongkrit,
harus berdasarkan sumber kewenangan, sehingga lahirnya suatu bentuk peraturan
perundang-undangan.
Kekuasaan atribusi khusus membentuk peraturan perundang-undangan
(attributievan wetgevendemacht), sering diartikan sebagai pemberian kewenangan
kepada badan atau lembaga atau pejabat (ambt) negara tertentu, yang diberikan oleh
pembentukan Undang-Undang Dasar maupun undang-undang. Pemberian wewenang
dimaksud melahirkan suatu kewenangan serta tanggung jawab yang mandiri. Jadi ada
suatu original power (originaire van macht) yang kemudian melahirkan suatu original
86 Jose Cardoso de Araujo, 2010, Tesis, Studi perbandingan pembentukan Undang-undang antara
Indonesia dan Timor-Leste, program Pascasarjana Universitas, Satya Wacana Salatiga semarang, h. 39
power of legislation (originaire wetgevendemacht) jelasnya dalam kewenangan atribusi,
terdapat suatu kewenangan baru.87 Sedangkan delegasi kewenangan (delegatie
vanbevoegdheid), adalah sebagai suatu penyerahan atau pelimpahan kewenangan, (dalam
hal ini kewenangan pembentukan undang-undang delegatie van wetbevoegdheid dari
badan atau lembaga atau pejabat yang menyerahkan, atau melimpahkan wewenang
tersebut (delegans), melalui penyerahan kewenangan yang dimaksud, berarti seluruh
kewenangan yang diserahkan atau dilimpahkan menjadi tanggung jawab atau beralih
kepada penerima kewenangan (delegataris).
Dalam delegasi kewenangan yang diserahkan atau dilimpahkan tersebut sudah
ada pada delegans, sehingga tidak ada penciptaan kewenangan baru.88 Meskipun
dimungkinkan dalam hukum perundang-undangan untuk pendelegasian kewenangan dari
bentuk hukum peraturan perundang-undangan tertentu kepada pemegang kewenangan
dalam membentuk peraturan perundang-undangan lainnya, yang perlu diperhatikan
sebagai koridor adalah hierarkhi peraturan perundang-undangan yang hanya
dimungkinkan untuk didelegasikan kepada bentuk hukum yang sederajat atau yang lebih
rendah (lex superiori derogate legi lmperiori).
2.3.1 Pengertian Peraturan Perundang-undangan
Sebelum mengetauhi pengertian peraturan perundang-undangan, perlu
memahami terlebih dahulu pengertian Hukum. Hukum pada dasarnya dapat
87 I Gde Pantja Astawa, 2008, Dinamika Hukum dan Ilmu Perundang-Undangan Di Indonesia,
Penerbit, PT Alumni, Bandung, h. 53. 88 Ibid. 77-78.
diklasifikasikan dalam berbagai pengelompokkan. Dalam konteks pembentukan hukum,
yang penting diperhatikan adalah pengelompokkan hukum, berdasarkan atas bentuk dan
sifatnya, yaitu berupa hukum tertulis dan tidak tertulis.89 Hukum tidak tertulis dalam
ketatanegaraan Timor-Leste diakui keberadaannya dalam Pasal 2 ayat (4) Konstitusi
RDTL yang mengatakan bahwa. “Negara mengakui dan menghargai norma dan adat
Timor-Leste yang tidak bertentangan dengan UUD dan undang-undang apapun lainnya,
khususnya berkaitan dengan hukum adat.” Hakikat dan fungsi peraturan perundang-
undangan dalam konsep negara hukum menjadi menarik dan akan selalu menarik
dilakukan pengkajian ketika dihubungkan dengan gagasan pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik karena beberapa alasan:
Pertama; Salah satu unsur negara hukum adalah setiap tindakan
Pemerintah/pemerintahan harus berdasarkan hukum dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Negara diselenggarakan tidak atas kemauan semata sang penguasa, tetapi
negara diperintah berdasarkan hukum yang sudah dibuat dan disediakan sebelumnya serta
penguasa tunduk pada hukum tersebut.90 Dalam penjelasan Pasal 1 ayat (1) dikatakan
bahwa Negara Republik Demokratik Timor-Leste adalah negara yang berdasarkan atas
hukum (Rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machtsstaat).
89 I Nyoman Suyatna, 2011, Disertasi, Asas-asas umum pemerintahan yang baik dalam
pembentukan peraturan daerah: Program Studi Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas
Brawijaya Malang, h. 152-153 90 Satjipto Rahardjo, 2009, Negara Hukum Yang Membahagiakan Rakyatnya, Genta Publishing.
Yogyakarta, Dalam Jalaluddin, hakikat dan fungsi peraturan perundang-undangan sebagai batu uji kritis
terhadap gagasan pembentukan Perda yang baik. http//: jurnal
.untad.ac.id/jurnal/index.php/AKTUALITA/article/download/2481/1624. Diakses pada tanggal 5 April
2018, h. 1-3
Kedua; Jika dikaitkan dengan tipe negara kesejahteraan modern yang dianut
oleh konstitusi dimana Pemerintah diberi kewenangan yang sangat luas untuk ikut serta
aktif campur tangan dalam segala bidang sosial budaya dan ekonomi. Dengan
kewenangan Pemerintah yang begitu luas tersebut, jika tidak dipagari dengan aturan-
aturan hukum yang baik dan adil, serta pengawasan penggunaan kewenangan yang ketat
dapat menimbulkan kesewenang-wenangan dari Pemerintah. Dalam konteks demikian
pembentukan peraturan perundang-undangan akan menjadi suatu keniscayaan.
Ketiga; Secara umum tujuan pembentukan perundang-undangan adalah
mengatur dan menata kehidupan dalam suatu negara supaya masyarakat yang diatur oleh
hukum itu memperoleh kepastian, kemanfaatan dan keadilan didalam kehidupan
bernegara dan bermasyarakat. Oleh karena itu, salah satu tiang utama dalam
penyelenggaraan pemerintahan suatu negara hukum adalah pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik, harmonis, dan mudah diterapkan
dalam masyarakat.
Bertitik tolak tentang peraturan perundang-undangan adalah persoalan hukum
tertulis. Para pemikir sosiologis tentang hukum menganggap bahwa hukum tertulis itu
banyak mengandung kelemahan-kelemahan terutama dalam hal mengikuti
perkembangan zaman. Selain itu hukum tertulis hanya mengejar kepastian dan
mengabaikan rasa keadilan masyarakat yang tumbuh seiring dengan perkembangan
masyarakat itu sendiri. Atas dasar pemikiran sosiologis tersebut diatas, hukum tertulis
(peraturan perundang-undangan) mempunyai kelebihan dengan hukum yang tidak
tertulis, karena selain perubahan/prilaku yang diharapkan dapat direncanakan melalui
pembentukan peraturan perundang-undangan, juga perubahan/prilaku yang diharapkan
dimaksud dapat di lakukan dalam waktu yang cepat. Namun demikian, kehadiran hukum
(peraturan perundang-undangan) tidak boleh/harus selaras dengan hakikat hukum
sebagaimana dikemukakan oleh para pemikir tentang hukum antara lain:
1) Socrates91 berpendapat bahwa hakikat hukum (peraturan perundang-
undangan adalah keadilan. Hukum berfungsi melayani kebutuhan keadilan
dalam masyarakat. Hukum menunjuk pada suatu aturan hidup yang sesuai
dengan cita-cita hidup bersama, yaitu keadilan. Sejalan dengan pendapat
socrates, Plato mencanangkan suatu tatanan di mana hanya kepentingan
umum yang diutamakan, yakni partisipasi semua orang dalam gagasan
keadilan akan dicapai secara sempurna.
2) Plato92 berpendapat bahwa hukum itu ada karena adanya suatu perjanjian atau
kontrak. Perjanjian ini terjadi semata-mata karena manusia itu adalah makhluk
sosial, sehingga selalu ada keinginan untuk hidup bermasyarakat. Hukum dan
negara bertujuan untuk ketertiban dan keamanan. Dengan demikian hakekat
hukum menurut mereka dapat dikatakan adalah untuk ketertiban dan
keamanan.
3) Rousseau93 tokoh yang mengetengahkan teori kedaulatan rakyat berpendapat
bahwa hakekat undang-undang itu merupakan penjelmaan dari kemauan atau
kehendak rakyat. Rousseau memulai penjelasannya dengan mengatakan
bahwa tujuan negara itu adalah untuk menegakkan hukum dan menjamin
kebebasan dari para warganegaranya, dalam pengertian bahwa kebebasan
dalam batas-batas perundang-undangan. Dalam hal ini, pembentukan undang-
undang adalah menjadi hak rakyat sendiri untuk membentuknya, sehingga
undang-undang itu merupakan penjelmaan dari kemauan atau kehendak
rakyat.
4) Cicero94 berpendapat bahwa hakekat hukum merupakan keharusan rasio
manusia. Rasio manusia dimaksudkan adalah rasio ilahi. Jadi hukum
merupakan keharusan kehendak ilahi bagi manusia agar bisa hidup aman
damai sebagai manusia.
91 Socrates, dalam J.J. Von Schmid, 1958, Ahli-Ahli Pikir Besar Tentang Negara dan Hukum, PT.
Pembangunan Jakarta, h. 9 92 Ibid. h. 15 93 Ibid. h.177 94 Ibid. h. 46
5) Thomas Hobes95, tanpa hukum manusia yang satu akan menjadi serigala bagi
manusia yang lain (homo homini lupus). Dalam kondisi alamiah, manusia
adalah serigala bagi yang lain (keadaan disorder). Tidak ada konsep adil atau
tidak adil. Jika ingin adanya keadilan, harus ada peraturan yang mengatur.
Untuk itulah diperlukan negara. Disinilah asal mulanya ide tentang hukum
dan negara sebagai penjaga keamanan.
Beranjak dari pendapat tersebut di atas, dalam kaitannya dengan hukum
tertulis (peraturan perundang-undangan), maka harus dipahami pula bahwa hakikat
hukum adalah juga merupakan hakikat peraturan perundang-undangan. Sangat disadari
bahwa Hukum tidak identik dengan peraturan perundang-undangan, karena disamping
peraturan perundang-undangan sebagai hukum tertulis ditemukan juga hukum yang tidak
tertulis yang berlaku dalam masyarakat. Banyak pihak (terutama para ahli yang
berpikiran sosiologis dan historis) menganggap bahwa hukum tidak tertulis ini yang
sesungguhnya pencerminan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat karena berkembang
seiring dengan perkembangan masyarakatnya.
Peraturan perundang-undangan sebagai hukum tertulis yang cenderung
kearah positivisme, dibuat secara sadar oleh lembaga yang memiliki otoritas untuk itu.
Dalam perjalanan keberlakuannya, hukum yang tertulis tidak berjalan searah dengan nilai
yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat, atau tidak mampu mengikuti
perkembangan masyarakat kelemahan-kelemahan hukum tertulis yang demikian, oleh
para pemerhati hukum dibidang perundang-undangan mengarahkan pikirannya pada segi
pembentukan peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan sebagai
95 Ibid. 136
hukum yang tertulis yang diberi bentuk sejak awal diharapkan bahwa dalam
pelaksanaannya akan memberikan kepastian hukum. Disadari bahwa suatu hukum tertulis
mengandung banyak kelemahan, tetapi juga memiliki kelebihan disbanding dengan
hukum yang tidak tertulis. Peranan peraturan perundang-undangan semakin penting
sebagai tuntutan asas legalitas sebagai salah satu ciri negara hukum.
Dalam Negara kesejahteraan modern, tatkala menyusun suatu rencana,
peraturan perundang-undangan semakin penting baik sebagai kerangka rencana itu
sendiri, maupun sebagai instrument pemandu dalam melaksanakan suatu rencana.
Menurut Aan Seidmen,96 bahwa tanpa adanya undang-undang perubahan yang terjadi itu
tidak terjadi sebagaimana diusulkan atau diprediksikan oleh Pemerintah, tetapi terjadi
secara tidak sengaja dan hanya bersifat intuisi saja.
Menurut Bagir Manan yang mengutip pedapat P.J.P tentang wet in materiele
zin melukiskan pengertian perundang-undangan dalam arti materil yang esensinya
anatara lain sebagai berikut.97
a. Peraturan perundang-undangan berbentuk keputusan tertulis. Karena
merupakan keputusan tertulis, peraturan perundang-undangan sebagai kaidah
hukum tertulis (geschrevenrecht, written law)
b. Peraturan perundang-undangan dibentuk oleh pejabat atau lingkungan jabatan
(badan, organ) yang mempunyai wewenang membuat “peraturan” yang
berlaku atau mengikat umum (algemeen)
c. Peraturan perundang-undangan bersifat mengikat umum, tidak dimaksudkan
harus selalu mengikat semua orang. Mengikat umum hanya menunjukkan
bahwa Peraturan perundang-undangan tidak berlaku terhadap peristiwa
konkret atau individu tertentu.
96 Aan Seidmenn et.all., 2001, Penyusunan Rancangan Undang-Undang Dalam Perubahan
Masyarakat yang demokratis: Sebuah Panduan untuk Pembuat Rancangan undang-undang, ELIPS, h.17 97 Mahendra Kurniawan, dkk, 2007, Pedoman Naska Akademik PERDA Partisipatif, Kreasi Total
Media, Cet. Ke 1, Yogyakarta: h. 5
Maria Farida Indrati Soeprapto menyatakan bahwa istilah perundang-
undangan (legislation, wetgeving, atau gezetzgebbung) mempunyai dua pengertian:98
a. Perundang-undangan merupakan proses pembentukan/proses membentuk
peraturan-peraturan Negara, baik tingkat pusat maupun ditingkat daerah.
b. Perundang-undangan adalah segala peraturan Negara, yang merupakan hasil
pembentukan peraturan-peraturan, baik ditingkat pusat maupun di tingkat
daerah.
H. Soehino memberikan pengertian istilah perundang-undangan sebagai
berikut:99
a. Pertama berarti proses atau tata cara pembentukan peraturan-peraturan
perundangan Negara dari jenis dan tingkat tertinngi yaitu undnag-undang
sampai yang terendah, yang dihasilkan secara atribusi atau delegasi dari
kekuasaan perundang-undangan.
b. kedua berarti keseluruhan produk peraturan- peraturan perundangan tersebut.
Berdasarkan pemaparan tersebut di atas maka, Negara Timor-Leste ada
hukum dasar tertulis dan hukum dasar tidak tertulis. Jika di tingkat aturan dasar diakui
adanya hukum dasar tidak tertulis maka ini, menunjukan adanya pengakuan terhadap
hukum tidak tertulis dalam penyelenggaraan pemerintahan. Hukum tidak tertulis
merupakan hukum yang bentuknya tidak tertulis, tetapi hidup dan berkembang dalam
masyarakat. Hukum tidak tertulis ini bentuknya dapat berupa hukum adat (adatrecht)
dan hukum kebiasaan (gewoonterecht), sedangkan hukum tertulis, di kalangan ahli
hukum terdapat perbedaan dalam memandangnya.
98 Ibid. 99 Ibid.
Penyelenggaraan pemerintahan baik dipusat maupun didaerah, pembentukan
peraturan perundang-undangan merupakan suatu hal yang sangat penting. Dengan
demikian maka, perlu memahami apa itu perundang-undangan. Kata “perundang-
undangan” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai yang
“bertalian dengan undang-undang atau seluk beluk undang-undang” sedangkan kata
“undang-undang” diartikan sebagai “ketentuan-ketentuan dan peraturan-peraturan
Negara yang dibuat oleh Pemerintah (menteri, badan eksekutif dan sebagainya) disahkan
oleh Parlemen (dewan perwakilan rakyat, badan legislatif, dan sebagainya), ditanda
tanggani oleh kepala Negara (Presiden, kepala Pemerintah, Raja), dan mempunyai
kekuatan yang mengikat.100 Sedangkan secara maknawi, peraturan perundang-undangan
belum ada kesepakatan. Ketidakesepakatan berbagai ahli sebagian besar ketika sampai
pada persoalan apakah perundang-undangan mengandung arti proses pembuatan atau
mengandung arti hasil (produk) dari pembentukan peraturan perundang-undangan.
Istilah perundang-undangan, untuk menggambarkan keseluruhan jenis-jenis
Peraturan Negara. Dalam arti lain, peraturan perundang-undangan merupakan istilah
yang dipergunakan untuk menggambarkan berbagai jenis (bentuk) peraturan (produk
hukum tertulis) yang mempunyai kekuatan mengikat secara umum yang dibuat oleh
pejabat atau badan yang berwenang.101 S.J. Fockema Andrea dalam bukunya
100 Suharso dan Ana Retnoningsih, 2011, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi Lux, Widya Karya
Semarang, h. 616 101 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,1990, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
Cetakan ketiga, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Jakarta, h. 990-991
Rechtsgeleerd handwoorden book. Perundangan-undangan atau legislation mempunyai
dua pengertian yang berbeda, yaitu:
a) Perundang-undangan merupakan proses pembentukan/proses membentuk
Peraturan-peraturan negara baik ditingkat pusat maupun daerah;
b) Perundangan-undangan merupakan semua peraturan-peraturan negara, yang
merupakan hasil pembentukan peraturan-peraturan, baik ditingkat pusat
maupun ditingkat Daerah.
Dengan demikian dapat diartikan bahwa, dalam pembahasan peraturan
perundang-undangan, selain mempersoalkan proses pembentukan peraturan-peraturan
Negara, tetapi juga melihat sisi dari hakikat seluruh peraturan Negara yang dibentuk
melalui proses pembentukan peraturan perundang-undangan, baik dari tingkat pusat
maupun tingkat Daerah. Oleh karena itu, peraturan perundang-undangan merupakan
bagian dari hukum tertulis. Hukum tertulis tidak sama dengan peraturan perundang-
undangan karena hukum tertulis ruang lingkupnya lebih luas dari pada peraturan
perundang-undangan. peraturan perundang-undangan adalah produk hukum yang dibuat
oleh pejabat yang berwenang berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, mempunyai
bentuk tertentu dan tentunya berbeda dengan traktat maupun Yurisprudensi. Disisi lain,
Hans kelsen tidak membedakan antara hukum tertulis dengan peraturan perundang-
undangan. Namun Hans Kelsen membagi hukum atas Costumary law dan statutory
law.102 Statutory law meliputi: Parliament act, government act, Judicial act/decision, dan
treaty.
102 I Nyoman Suyatna, Asas-asas, op.cit. h.54
Dalam pembagian hukum menurut Hans Kelsen ini terlihat bahwa pengertian
peraturan perundang-undangan lebih luas, karena didalamnya tidak hanya menyangkut
peraturan yang dibuat oleh Pemerintah atau Parlemen Nasional saja, tetapi putusan hakim
dan traktat juga menjadi bagiannya. Perbedaan batasan pengertian peraturan perundang-
undangan, sama halnya dengan pengertian Hukum.103 Dengan demikian, ada beberapa
pengertian peraturan perundang-undangan menurut para ahli Hukum, seperti yang
dikemukakan oleh, Soetandyo Wignjosoebroto104 terdapat tiga karakteristik yang
melekat, sine qua non, dalam konsep rechtsstaat, ketika harus diterapkan dalam
103 Bintan Regen Saragih, 2006, Politik Hukum: CV. Utomo Bandung, h.8 Menguraikan bahwa
tidak terbantahkan, banyak pakar yang telah mendalami bidang hukum, namun diantara pakar hokum
tersebut tidak membantah terhadap sulitnya membuat suatu definisi tentang hukum yang dapat di terima
oleh semua pihak. Kesulitan mendefinisikan hukum tersebut disebabkan disamping karena luasnya ruang
lingkup Hukum, juga karena kompleksnya bahan-bahan pembentuk hukum. Dipaparkan pula pendapat
Sjachran basah dan Lili Rasjidi tentang kesulitan merumuskan pengertian hukum. Dijelaskan, menurut
Sjachran Basah bahwa: memang sulit memberikan suatu rumusan yang dapat diterima secara umum, atau
Communis opinio doctorum mengenai apakah yang dimaksud dengan hukum itu. Sehingga dengan
demikian apa yang dikemukakan oleh Immanuel Kant yang mengatakan bahwa tidak seorang ahli
hukumpun yang mampu membuat definisi tentang Hukum. (Noch suchen die juristen eine definition zu
ihrem begriffe von recht). Menurut I Nyoman Suyatna, bahwa hukum masih tetap berlaku. Walaupun
demikian, tidaklah berarti ada definisi hukum, karena batasan mengenai hukum itu ada, bahkan batasan-
batasan yang ada termaksud aneka ragam macamnya tergantung dari pangkal tolak dan keahlian si pemberi
batasan itu sendiri”. Disebutkan pula pendapat Lili Rosjidi bahwa kesulitan memberikan pengertian hukum
disebabkan karena perumusan tentang hukum yang dapat mengcakup segala segi dari hokum yang luas itu
memang tidak mungkin dibuat. Sebab suatu definisi tentunya memerlukan berbagai persyaratan seperti
jumlah kata-kata yang digunakan yang sedapat mungkin tidak terlalu banyak, mudah dipahami, pokoknya
pendek, singkat dan jelas. Hukum yang banyak seginya tidak mungkin dapat dituangkan hanya ke dalam
beberapa kalimat saja. Oleh karena itu jika ada yang mencoba merumuskan hokum itu, sudah dapat
dipastikan definisi tersebut tidak sempurna. Dari uraian beberapa pendapat para ahli tersebut di atas tentang
merumuskan Hukum, menurut saya, untuk merumuskan hukum yang ruang lingkupnya begitu luas dan
berkembang seiring dengan berkembangnya masyarakat maka, tentunya sangat sulit untuk merumuskan
atau mendefinisikan hukum dengan sebuah kalimat yang singkat dan jelas. Oleh sebab itu, hukum
merupakan instrument untuk mengatur tata pergaulan hidup manusia, sepanjang manusia itu masih bernafas
maka, hukum tetap mengikuti perkembangan manusia itu sendiri baik secara sadar maupun tidak sadar. 104 Soetandyo Wignjosoebroto, 2012, Negara Hukum Dan Permasalahan Akses Keadilan Di
Negeri Berkembang Pasca-Kolonial, (Makalah disampaikan dalam Konferensi Dan Dialog Nasional,
Hotel Bidakara 9-10 Oktober Jakarta, h.16
kehidupan bernegara, yaitu: Pertama, bahwa apa yang disebut ‘hukum’ dalam negara
hukum itu harus dibentuk dalam wujudnya yang positif.
Demi kepastian berlakunya di alam yang objektif (yang dalam bahasa falsafah
positivisme Perancis disebut ‘alam positif’), hukum mestilah dibentuk ke dalam
preskripsi-preskripsi, ialah rumus-rumus tertulis yang mendalilkan adanya hubungan
sebab akibat antara suatu perbuatan hukum atau peristiwa hukum tertentu dengan akibat
hukumnya; kedua, apa yang disebut hukum (yang telah selesai dalam bentuknya yang
preskriptif-positif itu, dan boleh disebut ius constitutum atau lege alias undang-undang
itu) harus merupakan hasil proses kesepakatan kontraktual antara golongan-golongan
partisan dalam suatu negeri, langsung ataupun melalui wakil-wakilnya, melalui suatu
proses yang disebut proses legislasi ketiga; hukum yang telah diwujudkan dalam bentuk
undang-undang (berikut undang-undang yang paling dasar yang disebut Undang-
Undang Dasar) dan bersifat kontraktual itu akan mengikat seluruh warga bangsa secara
mutlak, mengalahkan aturan-aturan normatif macam apapun, yang lokal ataupun yang
sektarian, namun yang belum disepakatkan melalui proses legislatif tidak diberlakukan
sebagai bagian dari hukum Nasional.
Berdasarkan ketiga karakteritik pokok di atas, berimplikasi bahwa hukum
Nasional adalah hasil kesepakatan legislatif yang berkedudukan tertinggi. Konsep
rechtsstaat tersebut sekaligus juga menyatakan bahwa, asas hukum undang-undang
Nasional itu, merupakan hukum yang berstatus paling tinggi (mengatasi norma macam
apapun yang berlaku secara informal dalam masyarakat). Dinyatakan di dalam bahasa
Belanda, rechtsstaat itu boleh juga terbaca sebagai singkatan dari de hoogste rechtsstaat,
atau yang dikatakan di dalam bahasa Inggris sebagai the supreme state of law, yang
apabila diterjemahkan balik ke dalam Bahasa Indonesia tidak lagi berarti ‘negara hukum’
melainkan ‘status supremasi hukum perundang-undangan nasional’, yang akan mengikat
siapapun yang berada di teritori berlakunya hukum nasional hasil kerja legislasi itu, baik
yang awam biasa maupun yang mengembang jabatan di struktur kekuasaan. A. Hamid S.
Attamimi105 memberikan dua pandangan di satu sisi dikatakan peraturan perundang-
undangan merupakan peraturan Negara, di tingkat pusat dan di tingkat daerah, yang
dibentuk berdasarkan kewenangan perundang-undangan, baik bersifat atribusi maupun
bersifat delegasi, sedangkan pada sisi lain disebutkan bahwa peraturan perundang-
undangan merupakan semua aturan hukum yang dibentuk oleh semua tingkat lembaga
dalam bentuk tertentu, dengan prosedur tertentu, biasanya disertai dengan sanksi dan
berlaku umum serta mengikat rakyat.
Beberapa teori tentang pembentukan peraturan perundang-undangan
(theories of lawmaking), di antaranya, menurut Jan Michiel Otto dkk.106 sebagaimana
dikutip oleh Suzanne Stoter dkk, yang mengarahkan teori pembentukan undang-
undang kepada "the socio-legal concept of real legal certainty,”107 dengan
105 A. Hamid S. Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden RI dalam Penyelenggaraan
Pemerintah Negara, Disertasi, Fakultas Hukum Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, h.161 106 Suzanne Stoter dkk, 2004, Legislative Theory to Improve Law and Development Projects,
dalam Jumal Regel Mat Vol. /4, h. 4. 107 Ibid., h. 2.
menyatakan bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, terdiri atas
lima elemen pencapaian kepastian hukum yang nyata, yaitu:108
1) a lawmaker has laid down dear, accessible and realistic rules (seorang
anggota parlemen telah menetapkan peraturan yang baik, mudah diakses dan
realistis)
2) the administration follows these rules and induces citizens to do the same
(administrasi mengikuti peraturan ini dan mendorong warga untuk melakukan
hal yang sama);
3) the majority of people accept these rules, in principle, as just (mayoritas
orang menerima peraturan ini, pada prinsipnya, adil);
4) serious conflicts are regularly brought before independent and impartial
judges who decide cases in accordance with those rules (Konflik serius
diajukan secara reguler di hadapan hakim independen dan tidak memihak
yang memutuskan kasus sesuai dengan peraturan tersebut);
5) these decisions are actually complied with defining objectives of law and
development projects in these terms could help improving their
effectiveness. keputusan ini benar-benar sesuai dengan penentuan tujuan
proyek hukum dan pembangunan dalam persyaratan ini dapat membantu
meningkatkan efektivitasnya).
Selanjutnya, Otto, dkk. membahas tentang permasalahan pembuatan
undang-undang di negara berkembang, yang dibedakan menjadi dua bagian:
a) A first set of problems has to do with the roles and legitimacy of lawmakers
and of the lawmaking process as such.
b) The second set of problems relates to the effectiveness of legislation in
society.109 (a) Satu set pertama masalah berkaitan dengan peran dan legitimasi
pembuat undang-undang dan proses pembuatan undang-undang tersebut. b)
masalah kedua terkait dengan efektivitas legislasi di masyarakat).
Kedua jenis masalah tentang pembuatan undang-undang tersebut, dibahas
secara gamblang dengan menyatakan bahwa, members of legislatures often lack
knowledge for and interest in their key task, lawmaking.110 Pandangan yang diberikan
108 Ibid. 109 Ibid. h. 3. 110 Ibid.
Otto, dkk ini, setidaknya dapat dipakai sebagai perbandingan dalam mengukur
kualitas pembentukan undang-undang, terutama Negara yang baru berkembang
termasuk Negara RDTL. Lebih lanjut, berkaitan dengan legislative theories, Otto dkk,
membedakan bahasan teori legislasi ke dalam tiga kategori:111
1) Theories on the lawmaking process itself;(Teori tentang proses pembuatan
undang-undang itu sendiri);
2) Theories on the social effects of laws that are enacted; (Teori tentang
dampak sosial hukum yang diberlakukan);
3) Theories on internationally driven law reform. (Teori tentang reformasi
hukum yang didorong oleh internasional).
Menurut Otto, dkk. Teori tentang pembentukan undang-undang (legislative
theories) memungkinkan untuk mengenali faktor-faktor relevan yang memengaruhi
kualitas hukum (the legal quality) dan substansi undang-undang (the content of the
law). Teori-teori tersebut meliputi:112
1) The synoptic policy-phases theory; (teori fase-sinoptik);
2) The agenda-building theory; (teori pembuatan agenda);
3) The elite ideology theory; (teori ideologi elit);
4) The bureau-politics theory or organisational politics theory; (Teori biro-
politik atau teori politik organisasi);
5) The four rationalities theory. (Keempat teori rasionalitas).
Di antara kelima macam teori pembentukan undang-undang tersebut, the
agenda-building theory kiranya sesuai memiliki kesamaan dengan situasi dan kondisi
pembentukan hukum di Indonesia, yang pada umumnya memiliki karakteristik
abottom-up approach. Dalam kaitan tersebut Otto, dkk., mengemukakan bahwa:113
111 Ibid. h. 4. 112 Ibid. 113 Ibid. h. 5.
The agenda-building theory clarifies that the lawmaker is not one single
central legal actor, but that lawmaking is a long, complex transformation-
process upon which many different actors and factors can have an impact.
(Teori pembentukan agenda menjelaskan bahwa pembuat undang-undang
tersebut bukanlah satu-satunya pelaku hukum utama, namun pembuatan undang-
undang itu adalah proses transformasi yang panjang dan kompleks dimana banyak
aktor dan faktor berbeda dapat memiliki dampak).
Dengan demikian, the agenda-building theory mengandung persamaan
unsur-unsur dengan proses pembentukan undang-undang di Indonesia, mengingat
bahwa: It conceives lawmaking not as a well-organised and directed process but
rather as the outcome of a societal process in which different parties with different
ideas and interests clash.
Berkaitan dengan pembentukan undang-undang, dapat dicermati, bahwa
banyaknya perangkat rancangan undang-undang (RUU) yang di bentuk oleh lembaga
legislatif dan eksekutif, namun di antaranya terdapat RUU yang terkesan tidak
memiliki relevansi dan terjadi tumpang tindih pengaturan satu dengan lainnya, tanpa
adanya agenda yang jelas, dan sinergis satu sama lain. Contohnya tumpang tindih
antara RUU perekonomian dan pembangunan, RUU ketenagakerjaan (Depnaker) dan
infrastruktur.
Beragamnya pengertian peraturan perundang-undangan menyebabkan
sulitnya menetapkan pengertian mana yang paling baik. Namun demikian, dapat
diidentifikasi sifat-sifat atau ciri-ciri dari suatu peraturan perundang-undangan, yaitu:114
a) Peraturan perundang-undangan berupa keputusan tertulis, jadi mempunyai
bentuk atau format tertentu;
114 I Nyoman Suyatna, Asas-asas, Op. Cit. h.156
b) Dibentuk, ditetapkan, dan dikeluarkan oleh pejabat yang berwewenang baik
ditingkat pusat maupun di tingkat daerah, yang dimaksud dengan pejabat
berwewenang adalah pejabat yang ditetapkan berdasarkan ketentuan yang
berlaku, baik berdasarkan atribusi maupun delegasi;
c) Peraturan Perundang-undangan tersebut berisi aturan pola tingka laku. Jadi
Peraturan Perundang-undangan bersifat mengatur (regulerend), tidak bersifat
sementara atau sekali jalan (einmalig);
d) Peraturan Perundang-undangan mengikat secara umum (karena ditujukan
kepada umum), artinya tidak ditujukan kepada seseorang individu tertentu
(tidak bersifat individual).
Ciri-ciri peraturan perundang-undangan di atas sangat relevan dengan
kewenangan lembaga Negara dalam pembentukan undang-undang dengan demikian
syarat-syarat pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan salah satu dasar
pertimbangan para pejabat yang berwenang untuk menjadikannya sebagai bahan
pertimbangan dalam proses pembentukaan undang-undang, baik dari lembaga legislatif
maupun lembaga eksekutif.
Secara normatif, peraturan perundang-undangan yang dirumuskan dalam
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan adalah,
peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk
oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan
dalam peraturan perundang-undangan.
Berkaitan dengan proses pembentukan peraturan perundang-undangan
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Normor 12 Tahun 2011,
Timor-Leste untuk saat ini, belum memiliki undang-undang tersebut, namun dalam
ketentuan Pasal 165 Konstitusi RDTL menyatakan bahwa, undang-undang dan
peraturan-peraturan yang pernah berlaku (Hukum Indonesia) sebelum Timor-Leste
merdeka, akan tetap berlaku berkaitan dengan semua hal kecuali bila bertentangan
dengan UUD, atau asas-asas yang terkandung didalamnya. Dengan demikian asas-asas
umum pembentukan peraturan perundang-undangan, dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 merupakan salah satu sumber, untuk membentuk
peraturan perundang-undangan di Negara Timor-Leste saat ini.
Menurut Yohanes Usfunan,115 bahwa peraturan perundang-undangan, yang
baik dari sudut pandang ilmu hukum, harus memenuhi syarat yuridis, sosiologis, dan
filosofis. Dari sisi pendekatan normatif, syarat yuridis dan filsofis menjadi dasar yang
sangat penting untuk mewujudkan kepastian hukum dan mewujudkan keadilan. Kecuali
itu, dari sisi pendekatan empiris suatu peraturan perundang-undangan dikategorikan
sebagai ketentuan yang baik manakala peraturan tersebut diterima dan di taati oleh
masyarakat. Selanjutnya Yohanes Usfunan, menyatakan bahwa, persyaratan yuridis
juridische gelding sangat penting dalam pembuatan peraturan perundang-undangan.
Dalam kaitannya ini, Yohanes Usfunan mengkutip beberapa hal penting
pendapat Bagir manan antara lain:116
1) Keharusan adanya kewenangan dari pembuat peraturan perundang-undangan.
Setiap peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh badan atau pejabat
yang berwewenang. Kalau tidak peraturan perundang-undangan itu batal demi
hokum “van rechtwegeneitig” dianggap tidak pernah ada dan segala akibatnya
batal secara hukum.
115 Yohanes Usfunan, 2004, Perancangan Peraturan Perundang-undangan yang baik
menciptakan pemerintahan yang bersih dan Demokratis (Orasi Ilmiah Pidato Pengukuhan Guru Besar pada
Tanggal 1 Mei tetap dalam Bidang Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana Denpasar,
h. 6-7 116 Ibid.
2) Keharusan adanya kesesuaian bentuk atau jenis peraturan perundang-
undangan dengan materi yang diatur, terutama kalau diperintahkan oleh
perundang-undangan tingkat lebih tinggi atau sederajat.
3) Keharusan mengikuti tata cara tertentu. Apabila tata cara tersebut tidak
diikuti, peraturan perundang-undangan mungkin demi hukum. Misalnya
keharusan peraturan Daerah ditetapkan oleh kepala daerah dengan persetujuan
DPRD.
4) Keharusan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi tingkatannya.
Berdasarkan pengertian hukum tata negara merupakan seperangkat peraturan
perundang-undangan tertulis maupun tidak tertulis yang berkaitan dengan kenegaraan
baik ditingkat supra struktur kenegaraan maupun ditingkat infra struktur kemasyarakatan,
baik secara vertikal maupun horisontal dan sinergisitas keduanya yang mengatur tentang
kelembagaan negara dari sisi struktur, fungsi, wewenang dan tugas, serta hubungan antar
kelembagaan negara baik secara vertikal dan atau horisontal serta struktur kelembagaan
pemerintahan daerah, demikian juga peraturan perundang-undangan yang mengatur
hubungan warga negara sebagai rakyat dengan negara sebagai institusi kenegaraan dan
atau dengan kelembagaan pemerintahan daerah dan jaminan perlindungan atas hak-hak
warga negara (HAM).
Menurut A. Hamid S. Attamimi,117 menyatakan bahwa, peraturan perundang-
undangan merupakan salah satu metode dan instrumen ampuh yang tersedia untuk
mengatur dan mengarahkan kehidupan masyarakat menuju cita-cita yang diharapkan.
Dengan kata lain, secara filosofis, pembentukan peraturan perundang-undangan
merupakan suatu cita hukum yaitu, bagaimana hukum tersebut dapat memberikan
117 A. Hamid S. Attamimi, teori…, Op.Cit. h.8
keadilan, kepastian, dan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat. Terkait dengan cita
hukum Rudolf Stammler,118 mengemukakan bahwa cita hukum adalah konstruksi pikiran
yang merupakan keharusan untuk mengarahkan hukum kepada cita-cita yang diinginkan
masyarakat. Pendapat Stammler dipertegas oleh Gustav Radbruch, dengan menyebutkan
dua fungsi cita hukum, yaitu sebagai dasar konstruktif pembentukan hukum (dalam arti
tanpa cita hukum, segenap norma hukum kehilangkan maknanya sebagai hukum), dan
sekaligus sebagai tolok ukur regulatif untuk menilai adil atau tidak adilnya suatu hukum
positif. Selanjutnya, A. Hamid S. Attamimi,119 mengartikan pendapat Stammler itu
dengan menyebutkan bahwa cita hukum dengan demikian berfungsi sebagai” Bintang
pemadu” bagi tercapainya cita-cita masyarakat. Dalam hal ini, cita hukum menjalankan
dua fungsi yaitu: pertama dapat menguji hukum positif yang berlaku; kedua dapat
mengarahkan hukum positif sebagai usaha mengatur tata kehidupan sebagai sanksi
pemaksa, menuju sesuatu yang adil.
2.3.2 Pengertian Undang-Undang
Undang-undang dibedakan menjadi dua, yaitu undang-undang dalam arti
materiil dan undang-undang dalam arti formil,120 yang merupakan terjemahan secara
harfiah dari “wet in formele zin” dan “wet materiёle zin” yang dikenal di Belanda.
Undang-undang dalam arti materiil merupakan keputusan atau ketetapan penguasa yang
dilihat dari isinya disebut undang-undang dan mengikat setiap orang secara umum.
118 Sidarta, 2006, Karakteristik penalaran Hukum dalam konteks keindonesian, CV. Utomo
Bandung, h. 496 119 Ibid. 120 L.J. van Apeldoorn, 1978, Pengantar Ilmu Hukum: Pradnya Paramita, Jakarta, h. 92
Undang-undang dalam arti formil ialah keputusan penguasa yang disebut dengan undang-
undang dilihat dari cara pembentukannya.121 Paul Laband menyatakan “Das Staatsrecht
des deutsches Reiches”122 bahwa undang-undang bersifat umum, karena mengikat setiap
orang dan merupakan produk lembaga legislatif.
Undang-undang harus diundangkan atau diumumkan dengan memuatnya
dalam lembaran negara, agar semua warganegara mengetahui dan mentaatinya, dengan
dimuatnya dalam lembaran negara maka, undang-undang tersebut mempunyai kekuatan
mengikat secara umum. Sebagaimana ketentuan Undnag-Undang RDTL Nomor 1 Tahun
2002, tentang perundang-undangan yang dipublikasikan, mengikat setiap orang untuk
mengetahui eksistensinya.
2.3.3 Peraturan Perundang-Undangan Negara RDTL
Peraturan perundang-undangan merupakan salah satu pedoman dalam
proses pembangunan suatu Negara yang berdasarkan hukum, Negara Timor-Leste
merupakan negara hukum yang demokratik, yang memperoleh kemerdekaan
sepenuhnya pada Tahun 2009, dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, melalui misinya,
Unitet Nation Transition of East Timor (UNTAET). Setelah memperoleh
kemerdekaan yang sepenuhnya, banyak kendala yang dihadapi dalam proses
pembangunan suatu bangsa yang baru keluar dari penderitaan yang berkepanjangan
selama beberapa abad hidup dalam jajahan bangsa koloni, salah satu kendala adalah
121 Ibid. 122 E. Utrecht, 1961, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, P.T. Penerbitan dan Balai Buku Ichtiar,
Jakarta, h.136
proses pembangunan dalam bidang hukum, sampai saat ini masalah hukum menjadi
sorotan masyarakat internasional pada umumnya, dan khususnya masyarakat Timor-
Leste, belum merasakan hak-hak mereka dapat terlindung oleh hukum. Oleh karena
itu, tujuan Negara untuk menjamin keadilan dan kepastian hukum kepada
masyarakat tidak terwujud sebagaimana dalam ketentuan Pasal 6 Konstitusi RDTL
Tahun 2002. Politik pembentukan hukum (legal policy) bagi negara transisi sangat
signifikan untuk mengatur, mengendalikan penyelenggaraan pemerintahan dan
negara berkaitan dengan hal-hal yang mendasar sebagai berikut:123
a) Pembentukan hukum (legislation).
b) Pembaruan hukum (law reformation).
c) Penerapan hukum (law applied).
d) Penegakkan hukum (law enforcement).
e) Kesadaran dan kepatuhan hukum (law consciousness and law obedience).
Dengan adanya, ruang lingkup politik hukum yang sangat luas
cakupannya maka, dalam kajian ini dibatasi hanya pada pembentukan undang-
undang dan reformasi hukum yang merupakan fokus politik legislasi. Pembentukan
peraturan perundang-undangan, merupakan persoalan mendasar yang memerlukan
perhatian dan penanganan secepatnya, persoalan tersebut meliputi:124
1) Pembentukan undang-undang organik untuk menjalankan perintah
Undang-Undang Dasar Negara Timor Leste Tahun 2002. Sebab “Undang-
Undang Dasar sebagai suatu dokumen hukum yang mengandung materi
123 Yohanes Usfunan, 2007, Politik Legislasi Dalam Negara Transisi, Orasi Ilmiah Dalam Acara
wisuda Sarjana Angkatan I Universidade DA PAZ (UNPAZ), Dili 24 Oktober, Timor Leste, (Hukum, HAM
dan Pemerintahan), Udayana Press cetakan ke I Denpasar, h. 257 124 Ibid
muatan mengenai aturan-aturan pokok ketatanegaraan suatu negara harus
dijabarkan lebih laujut dalam undang-undang organik”)125
2) Pembentukan undang-undang yang berkaitan dengan desentralisasi,
keamanan; ketertiban masyarakat pengendalian masyarakat dan lain-lain
yang relevan perlu mengakomodir asas dalam hukum adat bangsa Timor
Leste seperti asas “Nahe Biti Bot” dan kemungkinan asas-asas lain yang
berfungsi sebagai pedoman dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara.
3) Melakukan reformasi hukum melalui peninjauan kembali ketentuan-
ketentuan perundang-undangan dengan cara amandemen maupun revisi
terbatas terhadap pasal-pasal yang kemungkinan tidak sesuai lagi dengan
perkembangan. Tujuannya, menciptakan harmonisasi dan sinkronisasi
secara vertikal antara undang-undang dan peraturan dibawah agar tidak
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Sedangkan harmonisasi dan
sinkronisasi horisontal antara undang-undang dengan undang-undang
atau antara peraturan pelaksanaan satu dengan peraturan pelaksanaan
lain.
4) Pembentukan dan reformasi hukum terhadap peraturan kebijakan
(policy rules), yang dikeluarkan oleh badan-badan pemerintahan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas bahwa, Parlemen Nasional, tidak serta
merta menjawab semua tuntutan atas kebutuhan warganegara, oleh karena sumber
daya manusia yang ada dalam Parlemen Nasional maupun Pemerintah pada
umumnya berlatarbelakang politik, tentu pengetahuan tentang pembentukan
undang-undang masih terbatas. Parlemen Nasional dan Pemerintah, serta
Departemen terkait, perlu secepatnya menetapkan program legislatif drafting dalam
rangka merealisasi politik perundang-undangan atau Prolegnas (politik legislasi
Nasional), khususnya pembentukan undang-undang untuk mengatur lebih lanjut, hal-
hal yang mendasar sesuai perintah Undang-Undang Dasar Negara Demokratis
Timor-Leste. Hal-hal yang mendasar tersebut, seperti kedaulatan negara, hak asasi
125 Yohanes Usfunan, 1998, Kebebasan Berpendapat Di Indonesia, Disertasi, Program Pasca
Sarjana Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, h. 153.
manusia (HAM), kewarganegaraan, batas-batas wilayah negara, lembaga-lembaga
negara, sistim desentralisasi, kepartaian, hubungan internasional, solidaritas, negara
dan agama, pertahanan keamanan dan sebagainya.
Secara konstitusional dalam Konstitusi Republik Demokratis Timor-Leste
juga tetap mengakui pemberlakuan undang-undang dan peraturan-peraturan lain
(sebelum kemerdekaan negara Timor-Leste) sepanjang tidak bertentangan dengan
Konstitusi, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 165 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Demokratis Timor-Leste 2002 bahwa, undang-undang dan Peraturan yang
berlaku. tetap diberlakukan berkaitan dengan semua hal kecuali bila bertentangan dengan
konstitusi atau asas-asas yang terkandung di dalamnya.
Supremasi hukum tidak terbatas, hanya dalam bentuk peraturan
perundang-undangan, tetapi termasuk supremasi hukum adat Timor-Leste,
kebiasaan-kebiasaan dalam praktek ketata negaraan (konvensi) sepanjang sesuai
dengan Undang-Undang Dasar, dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Timor-Leste Tahun 2002
menyatakan bahwa, negara mengakui dan menghargai norma adat Timor
Leste...” Penghormatan terhadap supremasi hukum negara Republik Demokratis
Timor-Leste, lebih jelas dirumuskan dalam Pasal 6 huruf (b) bahwa” untuk
menjamin dan memajukan Hak Aasasi Manusia dan kebebasan–kebebasan asasi
warga negara serta demokrasi berdasarkan kekuatan hukum” Supremasi hukum
yang diakui dan dijamin secara konstitusional dalam Konstitusi Negara Timor-
Leste Tahun 2002 sejalan dengan konsep the rule of law.
Menurut M.C. Burkens, merumuskan syarat-syarat Negara hukum
sebagai berikut;126
1) Asas legalitas.
2) Pembagian Kekuasaan.
3) Perlindungan HAM.
4) Pengawasan Pengadilan (Peradilan Administrasi).
Sistim hukum Anglo Saxon dan sistim hukum Eropa Kontinental sama-
sama menempatkan supremasi hukum sebagai prinsip dasar dalam kehidupan
bernegara. Asas ini mensyaratkan agar setiap tindakan Pemerintah berdasarkan
peraturan perundang-undangan Wettelijke Gronslag. Dengan landasan ini undang-
undang dalam arti formal dan Undang Undang Dasar sendiri merupakan tumpuan
dasar bagi tindakan Pemerintah, pembentukan peraturan perundang-undangan, pada
dasarnya untuk mengimplementasikan asas supremasi hukum (legalitas).
Pembentukan undang-undang, bertujuan untuk mengatur hal-hal pokok
yang didelegasikan oleh konstitusi sehingga, peraturan perundang-undangan yang
dihasilkan harus mencerminkan keadilan sesuai cita hukum (rechtsidee). Hukum
(dalam arti peraturan perundang-undangan) sebagai suatu pernyataan kehendak yang
mengandung obyek yang berada diluar kehendak itu sendiri dan terletak di dalam
alam waktu yang akan datang dan menjadi tujuan menurut Stammler, disebut
126 Moh Koesnu, 1995, Bunga Rampai Perkembangan Hukum Indonesia , Kumpulan Karya
Ilmiah Pakar Hukum, editor FH Unud, Eresco Bandung. h.168.
rechtsidee. Dalam filsafat Stammler, dalam hukum dibedakan antara konsep hukum
dengan ide hukum atau rechtsidee. Rechtsidee dibentuk dari hukum sebagai konsep
untuk melakukan analisis terhadap tujuan hukum.” Cita hukum adalah sesuatu yang
di cita-citakan masyarakat yang bersifat abstrak dan berfungsi sebagai metodologi
konstruksi berpikir.127 Cita hukum dibedakan antara cita hukum yang praktis dan
teoritis. Cita hukum praktis yaitu cita hukum yang memberikan arah pada
pembentukan dan pemahaman hukum, sedangkan cita hukun teoritis yang
memimpin proses pembentukan hukum dinamis. Hamid Attamimi,128 hukum
Indonesia terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan atas yang di sebut cita hukum”
rechtsidee” dan lapisan bawah yaitu norma-norma hukum dengan norma
fundamental negara sebagai norma tertinggi. Norma hukum yang dimaksud
merupakan peraturan perundang-undangan. Sedangkan norma fundamental yang
merupakan norma tertinggi adalah batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945.
“Dengan demikian secara hierarki lapisan hukum Indonesia meliputi:129
a) Pertama, rechtsidee (Pembukaan UUD 1945).
b) Kedua, norma fundamenital negara (batang tubuh UUD 1945) dan
c) Ketiga, Undang-undang beserta peraturan pelaksanaan
d) Cita hukum merupakan filsafat hukum. Indonesia sehingga segala
(Peraturan Perundang-undnagan) yang diciptakan harus bersumber dan
sesuai dengan filsafat hukum Indonesia yang tercermin dalam rechtsidee.
127 Ibid 128 Hamid Atamini, 1990, Peranan Keputusan Persiden RI Dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan Negara, Disertasi PPS.Univesitas Indonesia, Jakarta, h.199. 129 Yohanes Usfunan, Orasi Ilmiah, Op.Cit.h.22.
Berdasarkan cita hukum sebagaimana dikemukakan oleh Hamid
Attamimi di atas, merupakan dasar atau pedoman dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan oleh setiap lembaga yang berwenang, apabila terdapat
Peraturan Perundang-undangan yang bertentangan dengan rasa keadilan dan
kepastian hukum berarti hal tersebut bertentangan dengan cita hukum. Lapisan
hukum tersebut, kategori semacam ini, perlu dikembangkan dalam negara Republik
Demokratis Timor-Leste sebagai dasar pembenaran untuk kemudian menentukan
hierarki peraturan perundang-undangan. Hal ini penting dilakukan dengan tujuan:
a) Menjaga harmonisasi dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan.
b) Memberikan landasan hukum yang tepat bagi penyelenggara negara.
c) Menjamin kepastian hukum dan keadilan.
Sebagai pemikiran awal dalam mengembangkan lapisan hukum
(peraturan perundang-undangan), Negara Republik Demokratik Timor-Leste dapat
dideskripsi sebagai berikut:
1) Pembukaan Konstitusi Negara Republik Demokratis Timor-Leste Tahun
2002 memuat hal-hal mendasar yang bersifat filosofis berkaitan dengan
aksiologi hukum mengenai ajaran nilai, kebenaran, keadilan,
kemanusiaan, demokrasi, kebebasan, hak asasi manusia dan negara
hukum. Karenanya, dalam primbolo (pembukaan) Konstitusi Negara
Republik Demokratis Timor-Leste memuat cita hukum (rechtsidee) yang
fungsinya mengilhami segala peraturan perundang-undangan.
2) Batang tubuh Konstitusi Negara Republik Demokratis Timor-Leste
ditetapkan pada pembukaan paragraph ke delapan dan dipertegaskan lagi
dalam Pasal 1 ayat (1) Konstitusi RDTL sebagai norma dasar dalam
penyelenggaraan negara.
3) Undang-undang beserta peraturan pelaksanaannya sebagai lapisan ketiga.
Dalam penyelenggaraan urusan-urusan kepentingan umum, organ-organ
pemerintahan juga dalam wewenang melakukan aktifitas-aktifitas menurut hukum
publik yang bertujuan:130
1) Membebankan kewajiban pada organ-organ pemerintahan itu untuk
menyelenggarakan kepentingan umum.
2) Mengeluarkan peraturan yang melarang atau membolehkan masarakat
3) Mengeluarkan ketetapan-ketetapan atau instruksi-instruksi yang bersifat
memberikan beban.
4) Memberikan subsidi atau bantuan-bantuan kepada pihak swasta.
5) Memberikan kedudukan hukum kepada seseorang sehingga orang
tersebut mempunyai hak dan kewajiban.
6) Melakukan pengawasan terhadap pekerjaan swasta.
7) Bekerja sama dengan perusahaan/swasta untuk kepentingan umum.
8) Mengadakan perjanjian dengan warga negara berdasarkan hukum.
Dalam bidang perbuatan hukum perdata, berbagai tugas pemerintahan
dapat dijalankan oleh badan-badan di luar Pemerintah seperti:131
1) Badan-badan hukum perdata yang didirikan oleh Pemerintah sendiri
misa1nya Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Migas, Timor-Telkom
dan tidak jarang suatu instansi Pemerintah mendirikan yayasan untuk
melaksanakan tugas-tugas pemerintahan.
2) Instansi-instansi yang merupakan hasil kerja sama semacam itu dapat
bersifat hukum perdata, hukum publik seperti halnya mengikut sertakan
pihak swasta dalam urusan kerjasama (joint venture).
130 Situmorang, 1989, Dasar-Dasar Hukun Administrasi Negara, Bina Aksara Jakarta, h.104 131 Indoharto, 1991, Usaha Memahami Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara,
Sinar Harapan, Jakarta, h.55.
3) Demikian pula kerjasama oleh Pemerintah dengan perusahaan-
perusahaan real estate mengenai pengaturan penghunian dan penjualan
rumah-rumah hasil kerja sama.
4) Kerjasama lain dalam hal pendidikan swasta, kegiatan sosial, di bidang
kesehatan masyarakat seperti rumah sakit, rumah perawatan orang jompo
dan anak-anak yatim piatu.
Badan pemerintahan yang menyelenggarakan aktivitas untuk kepentingan
umum dalam negara disebut Badan atau Pejabat tata usaha negara yang dapat
dikelompokkan sebagai berikut:132
1) Instansi-instansi resmi Pemerintah (eksekutif)
2) Instansi-instansi dalam lingkungan kekuasaan Negara di luar lingkungan
kekuasaan eksekutif yang berdasarkan peraturan perundang-undangan
melaksanakan tugas-tugas pemerintahan
3) Badan-badan hukum perdata yang didirikan oleh Pemerintah dengan maksud
melaksanakan tugas-tugas pemerintahan.
4) Instansi-instansi yang merupakan kerjasama pihak Pemerintah dengan pihak
swasta yang melaksanakan tugas-tugas pemerintahan
5) Lembaga-lembaga hukum swasta yang melaksanakan tugas-tugas
pemerintahan.
Lembaga tersebut berkedudukan sebagai badan atau pejabat Tata Usaha
Negara, sehingga merekapun dimiliki wewenang yang dapat mengeluarkan keputusan
karenanya, peranan hukum pemerintahan “bestuurs recht” dan hukum tata negara sangat
penting dalam menata penyelenggaraan pemerintahan dalam negara transisi.
Negara-negara transisi yang menjunjung tinggi konsep negara hukum
mengakui pentingnya peranan policy rules bagi Pemerintah untuk menjalankan aktivitas-
aktivitas yang berkaitan dengan pelayanan umum, penyelenggaraan pemerintahan dan
132 Ibid. h.57
pembangunan. “Bentuk-bentuk konkrit peraturan kebijakan tersebut meliputi, peraturan
keputusan, pedoman, pengumuman, surat edaran, petunjuk teknis, dan petunjuk
pelaksanaan.133
Konstitusi Negara Republik Demokratis Timor-Leste Tahun 2002, mengakui
juga peraturan perundang-undangan semu (pseudo wetgeving) yang merupakan istilah
lain dari peraturan kebijakan. Bentuk-bentuk hukum yang diakui dalam Konstitusi
Negara Demokratik Timor-Leste Tahun 2002 diidentifikasi dalam bentuk bagan di bawah
ini:
Bagan 2:
Tata Susunan Norma Hukum RDTL134
KONSTITUSI RDTL 2002
Undang-undang Parlemen Nasional dan Pemerintah RDTL
(termasuk Peraturan UNTAET dan Hukum Indonesia yang
dianggap masih relavan dari 1976 -1999)
Peraturan-peraturan Pemerintah
Resoslusi PN dan Pemerintah
Keputusan Presiden
Instruksi-instruksi atau regulasi-regulasi umum
(peraturan pelaksana lainnya)
Pengakuan terhadap hukum adat atau norma
adat
133 Usfunan, Op.Cit.h. 110. 134 B. da silva dkk., 2013, Hatene kona ba/Compriender/Understading/mengerti, Timor-Leste
Vol. 1 The collection first published in 2014 by Timor-Leste Studies Association.
www.tlstudies.org.Antero. h.82
Keterangan:
a) Konstitusi (Undang-Undang Dasar) Negara Republik Demokratis Timor-
Leste 2002.
b) Undang-Undang (diatur dalam Pasal 24, 31, 38, 57, 59, 72, 85 j, 96 ayat (2
dan 3) Pasal 98, Pasal 107 dan Pasal 116, Konstitusi RDTL).
c) Putusan Pengadilan (Jurisprudensi) (diatur Pasal 35 dan Pasal 79 Konstitusi
RDTL)
d) Perundang-undangan keputusan, Ijin (diatur Pasal 71, ijin Pasal 80 dan Pasal
87 bagian (a) Konstitusi RDTL)
e) Resolusi Parlemen (diatur Pasal 85, Konstitusi RDTL).
f) Tata Tertib Dewan Negara, Parlemen Nasional (diatur Pasal 9l ayat (1) bagian
(e) Pasal 93 (4), 95 (4) bagian (e) Pasal 99 (2), Pasal 101 (1 dan 2) Konstitusi
RDTL).
g) Aturan dan peraturan umum (Pasal 96 ayat (1) (i) dan (k) Konstitusi RDTL).
h) Garis pedoman (Pasal 108 (1), dan Pasal 116 (a) Konstitusi RDTL).
i) Peraturan Pemerintah (Pasal 117 Konstitusi RDTL).
j) Peraturan Untaet (Pasal 168 dan Pasal 169 Konstitusi RDTL).
Identifikasi peraturan perundang-undangan yang ada dikelompokkan ke
dalam kategori pertama, peraturan perundang-undangan meliputi undang-undang,
putusan pengadilan (Jurisprudensi), Peraturan UNTAET dan peraturan Pemerintah.
Kategori kedua meliputi resolusi Parlemen, aturan-aturan, peraturan umum, perundang-
undangan- keputusan dan ijin. Kategori ketiga, meliputi tata tertib dan garis pedoman.
Dari bentuk peraturan menurut Konstitusi Negara Republik Demokratis
Timor-Leste (RDTL) tersebut masalah norma yang memerlukan pengkajian bahwa,
apakah putusan pengadilan (Jurisprudensi) hanya sebagai sumber hukum seperti halnya
di Indonesia mengingat Indonesia tidak menerapkan asas preseden ataukah di Negara
Timor-Leste akan memasukkan jurisprudensi sebagai salah satu bentuk dalam hierarki
peraturan perundang-undangan? dan apakah peraturan UNTAET hanya merupakan
landasan hukum yang mengantarkan bangsa Timor Leste ke pintu gerbang kemerdekaan
sehingga bersifat einmalig (sekali berlaku), ataukah peraturan ini tetap menjadi
peganggan sesuai ketentuan Pasal 165 Undang-Undang Dasar Timor-Leste dalam rangka
mengisi kevakuman hukum? dalam konteks ini apakah status hukum peraturan UNTAET
sama dengan undang-undang ataukah Undang-Undang Dasar?
Berdasarkan bentuk peraturan dalam kategori kedua dan kategori ketiga,
bentuk-bentuk peraturan apa saja yang merupakan peraturan pelaksanaan undang-undang
dan bentuk-bentuk peraturan apa saja yang merupakan peraturan kebijakan? Oleh karena
itu, pengkajian masalah-masalah hukum ini perlu penangganan segera dalam rangka
menentukan arah politik pembentukan undang-undan Timor-Leste. Perumusan bentuk-
bentuk hukum dan hierarki peraturan perundang-undangan bertujuan menjamin kepastian
hukum dan mencegah konflik norma hukum (antinomy). Sebab menurut teori
penjenjangan norma hukum (Stuffenbau teorie Hans Kelsen135), norma hukum yang
tingkatannya lebih rendah memiliki daya mengikat apabila bersumber dan berdasarkan
norma hukum yang lebih tinggi”
135 Hans Kelsen, 1970, The Pure Theory of Law, University of California Press, Berkeley, Los
Angeles, h. l38.
Pembentukan peraturan perundang-undangan, menurut teori Gelding,136
bahwa, Politik legislasi yang baik dalam menciptakan peraturan perundang-undangan
harus memenuhi syarat filosofis, yuridis dan sosiologis.” Syarat filosofis berkaitan
dengan prinsip bahwa undang-undang yang dibuat untuk menjamin keadilan, syarat
yuridis berkaitan dengan harapan bahwa undang-undang yang menjamin kepastian
hukum karena dibuat oleh lembaga-lembaga yang mempunyai wewenang. Sedangkan
syarat sosiologis berkaitan dengan harapan bahwa suatu undang-undang yang dihasilkan
sesuai dengan keinginan masyarakat. Berikut hierarki peraturan perundang-undangan
Negara Timor-Leste dalam bagan di bawah ini:
Bagan 3 :
Hierarki Peraturan Perundang-undangan RDTL
-→
136 Bagir Manan, 1991, Dasar-Dasar Perundang-Undangan Di Indonesia, Gajah Mada
University Press, Yogyakarta, h. 14.
KONSTITUSI RDTL 2002
UNDANG-UNDANG
PARLEMEN NASIONAL
UNDANG-UNDANG DARI
PEMERINTAH (pasal 96)
Peraturan-peraturan Pemerintah:
1. Peraturan Pelaksan UU
2. Keputusan-keputuasn menteri
3. Instruksi Menteri
Tata Tertib Parlemen Nasional
Resolusi Parlemen Nasional (pasal 85, a) dan Pemerintah
KEPUTUSAN PRESIDEN
REPUBLIK
pasal 85 a, c, f, g, I, dan j.
Instruksi atau regulasi-regulasi umum
Peraturan
UNTAET, Produk
Hukum Indoneisa
dan Potugis
Norma Adat
Dalam hierarki peraturan perundang-undangan ada 2 (dua) pendapat ilmiah
terkenal yang dipakai yaitu Hans Kelsen dengan Stufentheorie (teori penjenjangan
norma) sedangkan Hans Nawiasky dalam teorinya mengenai Die Stufenaufbau der
Rechtsordnung atau Die Stufenordnung der Rechtsnormen, mengemukakan empat lapis
norma-norma hukum, yakni Groundnorm (norma dasar), Grundgesetze (aturan-aturan
dasar), Formelle Gesetze (peraturan perundang-undangan), dan Verordnungen serta
autonome Satzungen yang dapat digolonkan ke dalam peraturan-peraturan
pelaksanaan.137
Berdasarkan Stufentheorie di atas, dikaitkan dengan pembentukan peraturan
perundang-undangan Timor-Leste, oleh lembaga legislatif dan eksekutif, syarat-syarat
yang menjadi dasar pembentukan undang-undang, belum terpenuhi secara baik, oleh
karena setiap produk hukum baik dari lembaga legislatif maupun lembaga eksekutif pada
umumnya, tidak melalui suatu penelitian untuk menjastifikasi terhadap masalah-masalah
dasar yang dihadapi oleh masyarakat. Setiap produk hukum kadang-kadang bertentangan
dengan kepentingan warga Negara. Misalkan; undang-undang tentang hak milik atas
tanah, undang-undang pertanahan mengakui sertifikat-sertifikat tanah yang diberikan
pada zaman pemerintahan koloni Portugis dan pendudukan Negara Republik Indonesia.
Hal ini berdampak terhadap masyarakat yang berdomisili di daerah-daerah perkotaan,
terutama masyarakat yang berdomisili di kota, Dili (Ibu kota Negara), karena yang
menguasai tanah di ibu kota Negara RDTL adalah milik mantan Anggota pemerintahan
137 Hans Nawiasky, 1948, Allgemeine als recht System Lichen Grundbegriffe,
ensiedenln/Zurich/koln, cet. II benziger, h. 3
Portugal yang pada waktu itu bekerja untuk pemerintahan Portugal dan sebagian mantan
anggota pemerintahan pada masa pendudukan Negara Republik Indonesia.
Bertitik tolak dari hierarki peraturan perundang-undangan negara Timor-
Leste, sering terjadinya konflik antar warga Negara dengan pemerintahan, karena
masyarakat merasa undang-undang tersebut tidak memberikan keadilan dan kemanfaatan
hukum terhadap hak-hak rakyat oleh karena; pertama kurang adanya pengajian secara
normatf terhadap norma-norma (undang-undang) yang telah ada, namun tidak berfungsi
secara efektif, kedua kurang adanya penelitian, terhadap isu hukum yang terjadi dalam
masyarakat, yanag berkaitan dengan pembuatan rancangan peraturan perundang-
undangan, ketiga, kurang adanya mencermati asas-asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik.
Apabila suatu peraturan perundang-undangan yang baik seharusnya, para
pembentuk undang-undang khususnya perancang undang-undang, semestinya
menggunakan pendekatan induktif dalam penyusunan peraturan perundang-undangan
sehingga dalam menyusun norma-norma hukum dalam pasal-pasal suatu rancangan,
diawali dengan identifikasi masalah melalui pendekatan emipiris dan perumusan serta
pembentukan Naskah akademik pada setiap pembentukan peraturan perundang-
undangan supaya dapat memberikan solusi terhadap masalah-masalah hukum yang
diharapkan oleh masyarakat. Selanjutnya, Van. Apeldoor, mengemukakan bahwa, tujuan
hukum yakni menciptakan perdamaian, keadilan, kesejahteraan, dan kebahagian warga
masyarakat. Tujuan-tujuan ini memperlihatkan hubungan ketergantungan karena tujuan
pertama merupakan persyaratan atau landasan bagi tujuan berikutnya. Tujuan utama yang
harus diwujudkan yaitu menciptakan perdamaian masyarakat dalam tertib hukum. Bagi
negara-negara transisi tujuan tersebut sangat penting untuk menata kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara secara damai dan adil.
Berdasarkan pemaparan tersebut di atas maka, dapat disimpulkan bahwa,
Negara Timor-Leste adalah negara hukum yang demokratik, maka tindakan Pemerintah
dalam proses pembangunan, harus berdasarkan atas hukum (asas legalitas), asas legalitas
yang dimaksud adalah peraturan perundang-undangan. peraturan perundang-undangan
yang dibentuk oleh pejabat atau lembaga yang berwenang harus mencerminkan
kepentingan nasional, agar hak-hak rakyat secara konstitusional dapat terlindung, sesuai
dengan tujuan Negara hukum yang dimaksud dalam konstitusi, maka dalam proses
pembentukan peraturan perundang-undangan oleh pejabat atau lembaga yang berwenang,
harus membentuk Naskah Akademik terlebih dahulu dalam proses pembentukan setiap
peraturan perundang-undangan, baik undang-undang yang dibentuk oleh Parlemen
Nasional maupun Pemerintah, pembentukan naskah akademik sangat penting untuk
menetapkan materi muatan rancangan undang-undang serta masalah-masalah social yang
sesegera mungkin dapat diatasi oleh Pemerintah maupun Parlemen Nasional dapat
ditetapkan dalam naskah Akademik.
Naskah akademik merupakan salah satu syarat dalam proses pembentukan
peraturan perundang-undangan yang baik, pembentukan peraturan perundang-undangan
Negara RDTL sangatlah penting, oleh karena Timor-Leste, adalah Negara baru, maka
tentu masalah-masalah social dalam kehidupan masyarakat sangat rumit dan sulit
mendapatkan jawabanya, oleh karena itu, salah satu jawabannya adalah Peraturan
Perundang-undangan untuk mengatur dan menjawab setiap masalah melalui tindakan
Pemerintah yang nyata. Dengan demikian tujuan pembentukan Naskah Akademik sangat
penting untuk menentukan dan menetapkan masalah-masalah yang perlu ditelusuri oleh
Pemerintah melalui undang-undang yang ditetapkan baik oleh Parlemen Nasional
maupun Pemerintah.
2.3.4 Pembentukan Undang-Undang
Pembentukan undang-undang merupakan rencana atau plan dalam
membentuk hukum. Hukum pada hakekatnya adalah produk penilaian akal-budi yang
berakar dalam hati nurani manusia tentang keadilan berkenaan dengan perilaku manusia
dan situasi kehidupan manusia. Penghayatan tentang keadilan memunculkan penilaian
bahwa dalam situasi kemasyarakatan tertentu, orang seyogyanya berperilaku dengan cara
tertentu, karena hal itu adil atau memenuhi rasa keadilan.138
Keadilan merupakan nilai abstrak yang perlu perwujudan dalam bentuk norma
hukum sebagai sarana untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan
bermasyarakat.139 Perwujudan nilai-nilai norma hukum dalam masyarakat terbentuk
melalui aturan perundang-undangan. Aturan perundang-undangan yang dibentuk harus
memenuhi rasa keadilan. Menurut Sajipto Rahardjo,140 dalam proses pembuatan
138 Bernard Arief Sidharta, 2010, Ilmu Hukum Indonesia, FH Unika Parahyangan, Bandung, h. 88. 139 Mahmutarom HR., Rekonstruksi Konsep Keadilan, Badan Penerbit Undip, Semarang, h. 119. 140 Sajipto Rahardjo, 2006, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Penerbit Buku Kompas,
Jakarta, h. 140.
rancangan undang-undang harus memperhatikan peran dari asas hukum. Sistem hukum
termasuk peraturan perundang-undangan yang dibangun tanpa asas hukum hanya akan
berupa tumpukan undang-undang. Asas hukum memberikan arah yang dibutuhkan. Di
waktu-waktu yang akan datang masalah dan bidang yang diatur pasti semakin bertambah.
Maka pada waktu hukum atau undang-undang dikembangkan, asas hukum memberikan
tuntunan dengan cara bagaimana dan ke arah mana sistem tersebut akan dikembangkan.
Dalam kenyataan empiris telah terbukti bahwa suatu undang-undang, bahkan
kodifikasi, tidak akan pernah lengkap dalam mengatur segala persoalan yang terjadi
maupun yang akan terjadi di tengah-tengah dinamika perkembangan masyarakat.141
Dengan demikian, untuk menciptakan tertib pembentukan peraturan perundang-
undangan, agar konsepsi dan perumusan normanya mantap, bulat, dan harmonis, tidak
saling bertentangan, dan tumpang tindih satu sama lain. Melalui undang-undang tersebut,
diharapkan semua lembaga yang berwenang membentuk peraturan perundang-undangan
memiliki pedoman khusus yang baku dan terstandarisasi dalam proses dan metode
membentuk peraturan perundang-undangan secara terencana, terpadu, dan sistematis.
Pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan syarat dalam rangka
pembangunan hukum Nasional yang hanya dapat terwujud apabila didukung oleh metode
yang baik, yang mengikat semua lembaga yang berwenang membuat peraturan
perundangundangan. Timor-Leste merupakan negara hukum yang mempunyai kewajiban
melaksanakan pembangunan hukum nasional yang baik, yang dilakukan secara
141 Basuki Rekso Wibowo, 1997, Peranan Hakim dalam Pembangunan Hukum”, Pro Justitia,
Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, Tahun XV, Nomor 4, Oktober, h. 62.
terencana, terpadu dan berkelanjutan dalam sistem hukum nasional. Sistem hukum
tersebut diharapkan dapat menjamin perlindungan hak dan kewajiban segenap rakyat
berdasarkan pada tujuan-tujuan negara sebagaimana diatur dalam konstitusi.
Proses pembentukan undang-undang merupakan suatu kumpulan aktifitas
pekerjaan-pekerjaan yang terstruktur, tersistem, harmonis, dan teratur sesuai dengan
ruang dan waktu yang saling mengait untuk mengolah dan menyelesaikan masalah
tertentu untuk menghasilkan suatu keluaran ataupun pelayanan tertentu sesuai dengan
keahlian dan sumber daya yang tersedia. Dengan demikian proses adalah sesuatu yang
akan diawali dengan bahan baku atau yang disebut dengan input. Setelah adanya input,
maka proses dapat dilakukan. Hasil dilakukannya suatu proses disebut dengan output.
Sedangkan pembentukan undang-undang (UU) adalah produk hukum yang dibentuk oleh
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam sistem pemerintahan Presidensil, dan dalam
sistem pemerintahan Parlementer adalah Parlemen Nasional (PN), dan Presiden dalam
sistem pemerintahan Presidensil. Sedangkan dalam sistem pemerintahan Parlementer,
Pemerintah (Perdana Menteri). Adapun proses sederhana dapat dilihat pada bagan
berikut:142
Bagan 4 :
Proses Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Feedback
142 Inu Kencana Syafiie, 2015. Proses Legislatif; Rafika Aditama.Semarang, h. 1-2
INPUT PROSES OUTPUT
Terhadap proses pembentukan peraturan perundang-undangan di atas dapat dijelaskan
sebagai berikut:
Input adalah bahan kajian untuk diolah serta diproses yang akan menghasilkan
produksi barang dan jasa dalam suatu proses ekonomi namun dalam politik pemerintahan
dapat berupa peraturan seperti undang-undang dan peraturan daerah yang dianggap
output, yang pada gilirannya menghasilkan pelayanan sebagai Outcomes. Oleh karena,
proses dimulai dari input dan diakhiri dengan output, walaupun kemudian menimbulkan
feedback pada input, dan begitulah seterusnya sebagaimana gambar di atas. Khusus untuk
proses legislatif maka dimulai dari mencari input pada artikulasi dan agregasi
kepentingan masyarakat, para politikus membahasnya dalam suatu proses legislatif agar
lahir undang-undang serta peraturan perundang-undangan lainnya. Tetapi selain dari
output itu, proses juga melahirkan impacht dan juga benefit yang diuraikan sebagaimana
bagan di bawa ini.
Bagan 5 :
Proses pembentukan Undang-undang dan Masalahannya
Feedback
Terhadap gambar konsep proses legislatif tersebut di atas dapat dijelaskan sebagai
berikut:143
143 Ibid.
INPU
T
PROSES OUTPUT
Outcomes
Impact
Benefit
Input Dalam proses legislatif; adalah masukan yang dicari oleh para anggota legislatif
yang berasal dari para anggota partai politik yang berhasil mengalih artikulasi
kepentingan dan agregasi seluruh lapisan masyarakat, seperti kemiskinan,
kesenjangan, dekadensi moral, dan lain-lain.
Proses Dalam proses legislatif; adalah suatu kumpulan aktifitas pekerjaan-pekerjaan yang
berstruktur, tersistem, harmonis, dan teratur sesuai dengan ruang dan waktu yang
saling mengkait untuk menyelesaikan masalah tertentu yang selanjutnya
menghasilkan suatu keluaran ataupun pelayanann tertentu sesuai dengan keahlian
dan sumber daya yang tersedia.
Output Dalam proses legislatif; adalah apa saja yang dirumuskan anggota dewan oleh
anggota dewan Parlamen Nasional, berupa peraturan perundang-undangan yang
baik dan benar, selanjutnya pengawasan terhadap jalannya pemerintahan
berdasarkan undang-undang. Hal yang paling utama diawasi adalah timbulnya
korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Outcomes Dalam proses legislatif; adalah hasil dari pemilihan umum tidak langsung
berupa aparat Pemerintah yang baik dan benar, yaitu yang melayani masyarakat
dalam arti biaya pelayanan makin murah, mutu pelayanan makin baik serta waktu
pelayanan makin cepat.
Impact Dalam proses legislatif; adalah hasil proses legislatif yang melahirkan kebijakan
(policy) tentang apa sebaiknya yang dilakukan Pemerintah dan apa yang tidak
dilakukan karena Pemerintah adalah penguasa yang sudah dilengkapi dengan
seperangkat alat dan dana dari uang rakyat sehingga diperlukan inisiatif berupa
kebijaksanaan (wisdom)
Benefit Dalam proses legislatif; adalah hasil komersial berupa peraturan di bidang
pemungutan pajak yang dipaksakan kepada anggota masyarakat dan retribusi
berupa pemasukan biaya setelah pelayanan diberikan Pemerintah kepada berbagai
lapisan masyarakat.
Feedback Dalam proses legislatif; adalah umpan balik dari keseluruhan hasil yang
dikelaurkan proses legislatif seperti gagalnya proses legislatif melahirkan
kebencian masyarakat kepada anggota Parlamen Nasional sehingga pemilihan
umum berikutnya memperbanyak oposisi dan golongan putih.
Berdasarkan uraian proses tersebut di atas, bahwa dalam proses pembentukan
peraturan perundang-undangan yang baik dan berkualitas maka, pejabat yang bewenang
harus memperhatikan beberapa syarat sebagai berikut:
Pertama; Profesional dalam bidang ilmu hukum; pembentukan peraturan perundang-
undangan harus memiliki keahlian dalam bidangnya masing-masing, terutama
dalam bidang hukum. Hal ini dikarenakan untuk menganalisis berbagai persoalan
yang akan merumuskan dalam Pasal-pasal tertentu dan ayat-ayat yang terkandung
dalam peraturan perundang-undangan tersebut;
Kedua; Independen (bebas dari Partai politik) dalam hal ini untuk menghindari adanya
kepentingan politik maupun kelompok tertentu dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan;
Ketiga; Integritas dan tanggungjawab, dalam hal ini, untuk menghindari adanya unsur-
unsur kepentingan ekonomi (jasa) semata, dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan, melainkan rasa memiliki dan ikut serta bertanggungjawab
terhadap kepentingan negara dan warganegaranya;
Ke empat; Prinsip nasionalime dan patriotisme, terhadap Bangsa dan negaranya, hal ini
untuk menghindari adanya penyimpangan-penyimpangan kepentingan individu,
kelompok (partai politik) untuk sengaja menciptakan suatu peraturan untuk
menjatuhkan pemerintahan negara.
Terkait dengan syarat-syarat tersebut di atas, apabila terpenuhi, maka kualitas
suatu produk peraturan perundang-undangan memiliki kekuatan pemberlakuan dalam
masyarakat baik secara filosofis, sosiologis maupun secara yuridis. Menurut Jimly
Asshiddiqie,144 seharusnya norma hukum yang hendak dituangkan dalam rancangan
peraturan perundang-undangan, benar-benar telah disusun berdasarkan pemikiran yang
matang dan perenungan yang memang mendalam, semata-mata untuk kepentingan umum
(public interest), bukan kepentingan pribadi atau golongan.
Rancangan undang-undang tersebut, dilakukan setahap demi setahap dengan
melibatkan tim ahli dan dengar pendapat (public hearing) dari masyarakat. Menurut
Jimly Asshiddiqie tersebut diatas, disimpulkan bahwa, pada umumnya di berbagai
Negara, terutama Negara-negara yang menganut sistem demokratis, setiap produk norma
hukum yang dibentuk oleh pejabat atau badan yang berwewenang tidak terlepas dari
144 Jimly Asshiddiqie, 2006, Perihal Undang-Undang di Indonesia, Sekretariat Jenderal
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, h. 320
adanya unsur kepentingan baik secara individu maupun secara kelompok kepentingan
yang lebih diutamakan daripada kepentingan umum (public). Oleh karena pejabat atau
badan berwewenang membentuk undang-undang ataupun kebijakan tertentu berasal dari
partai politik, lain halnya, pejabat yang berwewenang tersebut berasal dari kelompok
profesional (bukan partai politik), hanya saja, inisiatif undang-undang berasal itu, berasal
dari kelompok politik, namun sebagai negara hukum, kepentingan yang diutamakan
tetaplah kepentingan masyarakat yang didasarkan pada pengakuan, perlindungan dan
pemenuhan hak asasi manusia.
2.3.5 Landasan Pembentukan Undang-Undang
Setiap peraturan perundang-undangan dapat dikatakan baik (good
legislation), sah menurut hukum (legal validity) dan berlaku efektif karena dapat diterima
masyarakat secara wajar dan berlaku untuk waktu yang panjang, sehingga harus
didasarkan pada landasan peraturan perundang-undangan. Sudah banyak para ahli hukum
yang memberikan argumentasi mengenai landasan peraturan perundang-undangan,
antara lain M. Solly Lubis yang mengatakan bahwa ada tiga landasan pembuatan
peraturan perundang-undangan, yakni:145
1) Landasan filosofis, yaitu dasar filsafat atau pandangan atau ide yang menjadi
dasar cita-cita sewaktu menuangkan hasrat dan kebijaksanaan (pemerintahan)
kedalam suatu rencana atau draft peraturan negara. Misalnya pancasila
menjadi dasar filsafat perundang-undangan. Pada prinsipnya tidak dibuat
suatu peraturan yang bertentangan dengan dasar filsafat ini.
2) Landasan yuridis, ialah ketentuan hukum yang menjadi dasar hukum
(rechtsground) bagi pembuatan suatu peraturan. Misalnya UUD menjadi
landasan yuridis bagi pembuatan UU organik. Selanjutnya UU itu menjadi
145 Admin Sudut Hukum, 2016, landasan dan azas-azas pembentukan perda
https://www.suduthukum.com/.html. Akses pada Tanggal 22 Juni 2018
landasan yuridis bagi pembuatan peraturan Pemerintah ataupun Peraturan
daerah.
3) Landasan politis, ialah garis kebijakan politik yang menjadi dasar selanjutnya
bagi kebijakan-kebijakan dan pengarahan ketatalaksanaan pemerintahan
negara. I Gede Pantja Astawa,146 menambahkan satu landasan lagi yaitu
landasan sosiologis (Sociologiche gronsdlag, sociologiche gelding). Suatu
peraturan perundang-undangan dikatakan mempunyai landasan sosiologis
apabila ketentuan-ketentuannya sesuai dengan keyakinan umum atau
kesadaran masyarakat. Hal ini penting agar peraturan perundang-undangan
yang dibuat di taati oleh masyarakat, tidak menjadi huruf-huruf mati belaka.
Atas dasar sosiologis, diharapkan suatu peraturan perundang-undangan yang
dibuat akan diterima oleh masyarakat secara wajar bahkan spontan. Peraturan perundang-
undangan yang diterima secara wajar akan mempunyai daya berlaku efektif dan tidak
begitu banyak memerlukan pengerahan institusional untuk melaksanakannya. Dalam
teori pengakuan (Annerken-nungstheorie) di tegaskan bahwa kaidah hukum berlaku
berdasarkan penerimaan dari masyarakat tempat hukum itu berlaku. Tegasnya bahwa
dasar sosiologis artinya mencerminkan kenyataan hidup dalam masyarakat.
2.4 Asas-asas Pembentukan Undang-Undang
Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang digunakan
dalam Disertasi ini, sangat penting karena asas-asas pembentukan undang-undang
merupakan dasar atau pedoman dalam pembentukan undang-undang, oleh karena itu,
asas-asas pembentukan undang-undang, digunakan untuk menjustifikasi terhadap
kewenangan lembaga negara dalam pembentukan undang-undang, yang dibentuk oleh
146 I Gede Pantja Astawa dan Suprin Na’a, 2005, Buku Pegangan Perancangan Peraturan
Perundang-undangan, Direktur Jendral Peraturan Perundang-undangan diterjemahkan dari buku I.C Van
der Vlies, Handboek Wetgeving, alih bahasa oleh Linus Doludjawa, Bandung, h. 54-55
lembaga legislatif dan eksekutif dalam Negara Timor-Leste. Asas-asas tersebut
merupakan dasar atau pedoman yang dijadikan tumpuan berpikir, berpendapat dan
bertindak, sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku dan mengikat secara terbatas.
Maksud secara terbatas disini bahwa, badan atau pejabat berwenang dalam berpikir,
berpendapat dan bertindak, harus sesuai dengan asas-asas yang ditetapkan, tidak boleh
bertindak diluar asas-asas, dan materi muatan yang ditetapkan, oleh karena Asas-asas
pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan suatu pedoman atau suatu
rambu-rambu dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Asas dalam
Kamus Umum Besar Bahasa Indonesia, berarti hukum dasar atau fundamen, yakni
sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat.147
Pembahasan asas peraturan perundang-undangan berkaitan erat dengan sistem
hukum yang berlaku dalam Negara RDTL yang cenderung menganut civil law sebagai
akibat dari sikap represif penjajahan Negara Portugal dan Indonesia yang nota bene
menganut civil law.148 Dalam sistem hukum lebih banyak dibentuk melalui undang-
undang bahkan ada kecenderungan untuk melakukan kodifikasi dan unifikasi atau
sekurang-kurangnya, dilakukan kompilasi. Menurut The Liang Gie, asas adalah suatu
dalil umum yang dinyatakan dalam istilah umum tanpa menyarankan cara-cara khusus
mengenai pelaksanaannya, yang diterapkan pada serangkaian perbuatan untuk menjadi
147 Suharso dan Ana Retnoningsih, Loc. Cit. h. 55 148 Rosjidi Ranggawidjaja, 1998, Pengantar Ilmu Perndang-undangan Indonesia (Mandar Madju,
Bandung, h. 30.
petunjuk yang tepat bagi perbuatan itu.149 Selanjutnya, Satjipto Rahardjo menyebutkan
asas hukum ini merupakan jantungnya ilmu hukum. Sedangkan, Scholten mengatakan
asas hukum adalah kecenderungan-kecenderungan yang disyaratkan oleh pandangan
kesusilaan pada hukum, merupakan sifat-sifat umum dengan segala keterbatasannya
sebagai pembawaan yang umum itu, tetapi yang tidak boleh tidak harus ada.150
Sudikno Mertokusumo, asas hukum adalah bukan merupakan peraturan
hukum konkrit, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan
latar belakang dan peraturan yang konkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap
sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim
yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat umum
dalam peraturan konkrit tersebut.151
Atas dasar pemikiran ahli tersebut di atas, bahwa asas hukum bukanlah kaidah
hukum yang konkrit (nyata), melainkan merupakan latar belakang peraturan yang konkrit
dan bersifat umum atau abstrak, atau dengan perkataan lain, asas hukum bukanlah hukum,
namun hukum tidak dapat dimengerti tanpa asas-asas tersebut. Scholten mengemukakan
lebih lanjut adalah menjadi tugas ilmu pengetahuan hukum untuk menelusuri dan mencari
asas hukum itu dalam hukum positif.
Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan, merupakan dasar
atau pedoman dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan Negara Timor-
149 Fence M. Wantu dkk, 2002, Cara Cepat Belajar Hukum Acara Perdata, Reviva Cendekia,
Jakarta, h.14 150 Ibid. h. 15 151 Ibid. h. 13
Leste, walapun asas-asas umum pembentukan undang-undang dalam Negara Timor-
Leste belum diatur secara jelas, namun secara teori asas-asas umum pembentukan
peraturan perundang-undangan digunakan sebagai pedoman dalam proses pembentukan
peraturan perundang-undangan yang baik, oleh lembaga legislatif dan lembaga eksekutif
(Pemerintah). Asas merupakan dasar atau sesuatu yang dijadikan tumpuan berpikir,
berpendapat dan bertindak.152
Asas-asas pembentuk peraturan perundang-undangan berarti dasar atau
sesuatu yang dijadikan tumpuan dalam menyusun peraturan perundang-undangan. Asas
hukum merupakan sebuah aturan dasar atau merupakan prinsip hukum yang masih
bersifat abstrak, dapat dikatakan bahwa asas dalam hukum merupakan dasar yang
melatarbelakangi suatu peraturan yang bersifat konkrit dan bagaimana hukum itu dapat
dilaksanakan.153 Menurut The Liang Gie,154 asas adalah suatu dalil umum yang
dinyatakan dalam istilah umum tanpa menyarankan cara-cara khusus mengenai
pelaksanaannya, yang diterapkan pada serangkaian perbuatan untuk menjadi petunjuk
yang tepat bagi perbuatan itu. Satjipto Rahardjo, menyebutkan asas hukum ini merupakan
jantungnya ilmu hukum, dan merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu
peraturan hukum.155
152 Departemen Pendidikan Nasional, 2002, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Edisi
III, Jakarta, h. 70. 153 Fence M. Wantu Dkk, 2002, op.cit. h.13 154 Ibid h.14 155 Ishaq. 2007, Dasar-dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 75
Batasan pengertian asas hukum dapat dilihat beberapa pendapat para ahli,
diantaranya sebagai berikut:156 Bellefroid berpendapat bahwa asas hukum umum
merupakan norma dasar yang dijabarkan dari hukum positif dan yang oleh ilmu hukum
tidak dianggap berasal dari aturan-aturan yang lebih umum. Paul Scholten157 mengatakan
asas hukum adalah kecenderungan-kecenderungan yang disyaratkan oleh pandangan
kesusilaan pada hukum, merupakan sifat-sifat umum dengan segala keterbatasannya
sebagai pembawaan yang umum itu, tetapi yang tidak boleh tidak harus ada. Asas hukum
bukanlah kaidah hukum yang konkrit (nyata), melainkan merupakan latar belakang
peraturan yang konkrit dan bersifat umum atau abstrak. Umumnya asas hukum tidak
dituangkan dalam bentuk peraturan yang konkrit atau pasal-pasal seperti, asas reo, asas
res judicato pro veritate habetur, asas lex posteriori derogat legi priori dan lain
sebagainya.
Dalam rangka menciptakan suatu peraturan perundang-undangan yang baik
yakni dengan diterimanya peraturan tersebut di dalam masyarakat maka, peraturan
tersebut harus dibentuk dan berasal dari adanya suatu sistem yang baik. Kedudukan teori
dalam ilmu hukum mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam proses penciptaan
hukum itu sendiri.158 Hans Kelsen menyatakan bahwa, hukum termasuk dalam sistem
Norma yang dinamik nomodynaamics, karena hukum itu selalu dibentuk dan dihapus
oleh lembaga-lembaga atau otoritas-otoritas yang berwenang membentuknya, sehingga
156 Ibid. h.76 157 Fence M. Wantu dkk, Loc.Cit. h. 15. 158 Otje Salman dan Anthon F. Susanto, 2008, Teori Hukum: Mengingat, Mengumpulkan dan
Membuka Kembali, PT. Refika Aditama, Bandung, h. 1-2.
dalam hal ini yang harus diperhatikan adalah dari sudut pemberlakuan dan
pembentukannya.159
Menurut Hans Kelsen, norma dalam negara selamanya selalu berjenjang,
bertingkat dan merupakan suatu regressus. Norma hukum (legal norm) dapat dibedakan
antara general norm dan individual norm. General norm termasuk customary law atau
statue berupa hukum yang diciptakan oleh legislatif, sedangkan norma individual
merupakan putusan badan judisial atau judicial act, putusan badan administrasi disebut
judicial act atau transaksi hukum berupa contract atau treaty.160 Menurut A. Hamid
Attamimi, menyatakan norma individual adalah hukum yang ditujukan atau dialamatkan
(addressatnya) pada seseorang, beberapa orang atau banyak orang yang telah tentu,
sehingga norma hukum individual ini biasanya dirumuskan secara individual atau
perorangan.161 Pada umumnya norma hukum berisi, pertama, suruhan (gebod), yaitu
berisi apa yang harus dilakukan oleh manusia berupa suatu perintah untuk melakukan
sesuatu. Kedua, larangan (verbod) yaitu berisi apa yang tidak boleh dilakukan dan ketiga,
kebolehan (mogen) berisi apa yang dibolehkan artinya tidak dilarang dan tidak disuruh.162
Sedangkan menurut Hamid S. Attamimi norma hukum itu terdiri dari perintah (gebod),
larangan (verbod), pengijinan (toestemming) dan pembebasan (vrijstelling).163
159 Hans Kelsen, 1973, General Theory of law and state, termejaman Anders Wedberg dkk (New
York, h. 114 160 Ibid. 161 Hamid S. Attamimi, 1999, Ilmu Perundang-undangan Dasar-dasar dan Pementukannya
Kanisius: Jakarta h. 12 162 Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, 1978, Perhal Kaedah Hukum (Bandung, h.16 163 A. Hamid S. Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden dalam Penyelenggaraan
Pemerintah Negara (Disertasi), UNI Jakarta, h. 314
Perkembangan teori hukum, memiliki tempat tersendiri dalam perkembangan ilmu
hukum secara keseluruhan. Perkembangan teori hukum dalam ilmu hukum tidak lepas
dari mencari makna sejati dari keadilan yang sampai saat ini tidak pernah selesai untuk
diperbincangkan dan diperdebatkan.164
Berbagai sarjana hukum ternama telah berusaha untuk menafsirkan makna
dan hakekat keadilan yang merupakan tujuan utama dari adanya hukum. Keberadaan
keadilan sebagai tujuan utama adanya hukum diharapkan menjadi cita-cita luhur dari
perkembangan ilmu hukum itu sendiri, yaitu dalam mencari format ideal dari suatu sistem
hukum terbaik bagi masyarakatnya.165 Teori hukum menjadi teori yang ada dan
jumlahnya telah mencapai ratusan dan bahkan ribuan, dapat dianggap menjadi tolok ukur
atau landasan pacu atas terbentuknya sistem hukum yang ideal bagi suatu masyarakat
pada suatu masa.
Berkaitan dengan teori dan asas hukum di atas, dapat dikatakan sebagai
landasan berpijak dan tolok ukur apakah suatu materi muatan peraturan perundang-
undangan yang telah mampu membawa tujuan keadilan didalamnya, sehingga dengan
demikian, pembahasan mengenai teori dan asas hukum dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan, menjadi sangat penting untuk dibahas dalam disertasi yang
berjudul “Kewenangan Lembaga Negara Dalam Pembentukan Undang-undang
Berdasarkan Konstitusi RDTL ini.” Sedangkan disisi lain, teori pembentukan peraturan
perundang-undangan mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam pembuatan
164 Zainuddin Ali, 2006, Filsafat Hukum, PT. Sinar Grafika, Jakarta h. 8. 165 Ibid.
peraturan perundang-undangan, Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto,
memperkenalkan asas hukum dalam perundang-undangan yakni sebagai berikut:166
a) Peraturan perundang-undangan tidak berlaku surut (non retroaktif);
b) Peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi,
mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula (sistem hierarki);
c) Peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus menyampingkan
peraturan perundang-undangan yang bersifat umum (lex specialis derogate
lex generalis);
d) Peraturan perundang-undangan yang berlaku belakangan membatalkan
Peraturan Perundang-undangan yang berlaku terdahulu (lex posteriori
derogate lex periori);167
e) Peraturan perundang-undangan tidak dapat di ganggu gugat;168
f) Peraturan perundang-undangan sebagai sarana untuk semaksimal mungkin
dapat mencapai kesejahteraan spiritual dan materil bagi masyarakat maupun
individu, melalui pembaharuan atau pelestarian (asas welvaarstaat).169
Berdasarkan asas-asas tersebut di atas, dijelaskan bahwa dalam penyusunan
Peraturan perundang-undangan, harus mengedepankan minimal empat asas dari asas-asas
tersebut di atas, keberadaan asas tidak berlaku surut (non retroaktif) adalah untuk
menjamin adanya kepastian hukum, di masyarakat mengenai berlakunya suatu hukum,
walaupun keberadaan asas ini, dikecualikan bagi kasus-kasus pelanggaran terhadap hak
asasi manusia (HAM), yang berskala Internasional, dengan beberapa alasan tertentu, akan
tetapi alasannya, tetap dalam rangka untuk memberikan kepastian hukum, dan keadilan
bagi masyarakat secara keseluruhan. Asas hierarki menegaskan bahwa, dalam tata urutan
166 Purnadi Purbacaraka, dan Soerjono Soekanto, 1989, Peraturan Perundang-undangan dan
Yurisprudensi. Cet. ke-3, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. h. 7-11 167 Munir Fuady, 2009, Teori Negara Hukum Modern, PT. Refika Aditama, Bandung, h. 82-83. 168 Rangga Widjaja, 1998, Pengantar Ilmu Perundang-undangan, CV. Mandar Maju, Bandung,
h. 34 169 Soerjono Soekanto, 2007, Faktor-faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum, PT. Raja
Grafindo Persada Jakarta, h. 56-57.
peraturan perundang-undangan, harus memperhatikan kordinasi antara satu peraturan
dengan peraturan yang lainnya, antara peraturan di tingkat pusat dan Peraturan di tingkat
daerah. Dengan adanya asas ini, menegaskan bahwa adanya hierarki, dalam sistem
perundang-undangan dan bersifat subordinasi, tidak hanya koordinasi saja, dan juga
menegaskan bahwa adanya taat hukum dan taat asas antara peraturan pusat dan peraturan
daerah. Asas lex posterior derogate lex priori menegaskan asas hierarki dalam sistem
peraturan perundang-undangan.
Keberadaan peraturan yang di atas otomotis harus lebih ditaati keberadaannya
dan dijadikan rujukan oleh peraturan yang dibawahnya sekaligus menjadi dasar atas
pembentukan peraturan perundang-undangan yang berada di bawahnya. Dengan asas ini
menegaskan bahwa peraturan perundang-undangan merupakan suatu sistem yang bersifat
sistematis menuju terciptanya sistem hukum yang berkeadilan. Asas specialis derogate
legi generalis menegaskan bahwa hukum dibuat untuk menciptakan keadilan. Tujuan
hukum tiada lain tiada bukan adalah menuju keadilan. Keberadaan asas ini menegaskan
bahwa peraturan yang lebih khusus mengecualikan peraturan yang lebih umum bahwa,
ketika telah dibuat suatu peraturan yang lebih khusus, dalam suatu bidang tertentu maka,
serta merta keberadaan peraturan ini, mengecualikan peraturan yang sebelumnya, yang
masih bersifat umum. Keberadaan asas ini kembali menegaskan tidak adanya penafsiran
yang berbeda, dengan tujuan diciptakannya peraturan itu sendiri, sehingga akan
memberikan rasa kepastian hukum, ditengah masyarakat. Hampir sama dengan pendapat
ahli sebelumnya Amiroedin Sjarief, dengan mengajukan lima asas, sebagai berikut:170
a) Asas tingkatan hierarki;
b) Peraturan perundang-undangan tidak dapat di ganggu gugat;
c) Peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus menyampingkan
undang-undang yang bersifat umum (lex specialis derogate lex generalis);
d) Peraturan perundang-undangan tidak berlaku surut;
e) Undang-undang yang baru menyampingkan Undang-undang yang lama (lex
posteriori derogat lex periori
Pendapat yang lebih terperinci di kemukakan oleh I.C van der Vliesdi tentang
asas-asas hukum pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu asas formal dan
asas materil. Asas formal mencakup:171
a) Asas tujuan yang jelas (beginsel van duetlijke doelstelling);
b) Asas organ / lembaga yang tepat (beginsel van het juiste organ);
c) Asas perlu pengaturan (het noodzakelijkheids beginsel);
d) Asas dapat dilaksanakan (het beginsel van uitvoorbaarheid);
e) Asas konsensus (het beginsel van consensus);
Sedangkan yang masuk asas materiil adalah sebagai berkut:
a) Asas terminologi dan sistematika yang benar (het beginsel van duitdelijke
terminologie en duitdelijke systematiek);
b) Asas dapat dikenali (het beginsel van de kenbaarheid);
c) Asas perlakuan yang sama dalam hukum (het rechsgelijkheids beginsel);
d) Asas kepastian hukum (het rechtszekerheidsbeginsel);
e) Asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individual (het beginsel van
de individuale rechtsbedeling).
170 Amiroeddin Syarief dalam Rojidi Ranggawijaya, 1998, Pengantar Ilmu Perundang-undangan
Indonesia: CV. Mandar Majuh. Bandung, h.78. 171 A. Hamid S. Attamimi. 1990, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara; Studi Analisis mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi
Pengaturan dalam Kurun Waktu PELITA I-PELITA IV, Jakarta, Disertasi Doktor Universitas Indonesia, h.
330
Pendapat terakhir dikemukakan oleh A. Hamid S. Attamimi, sebagaimana
dikutip oleh Maria Farida,172 yang mengatakan bahwa, pembentukan peraturan
perundang-undangan, yang patut akan mengikuti pedoman dan bimbingan yang diberikan
oleh cita negara hukum, yang diistilahkan sebagai “bintang pemandu”, prinsip negara
hukum dan konstitusionalisme, dimana sebuah negara menganut paham
konstitusionalisme. Lebih lanjut A. Hamid Attamimi, mengatakan, jika dihubungkan
pembagian atas asas formal dan materil, maka pembagiannya sebagai berikut:173
1. Asas–asas formal:
a) Asas tujuan yang jelas.
b) Asas perlunya pengaturan.
c) Asas organ / lembaga yang tepat.
d) Asas materi muatan yang tepat.
e) Asas dapat dilaksanakan.
f) Asas dapat dikenali.
2. Asas–asas materiil:
a) Asas sesuai dengan cita hukum dan Norma fundamental negara.
b) Asas sesuai dengan hukum dasar negara.
c) Asas sesuai dengan prinsip negara berdasarkan hukum.
d) Asas sesuai dengan prinsip pemerintahan berdasarkan konstitusi.
Berbagai pendapat yang dikemukakan oleh para ahli di atas, pada dasarnya
menunjuk pada bagaimana sebuah peraturan perundang-undangan yang dibentuk, hal ini
mengacu pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, baik dari segi materi-materi yang harus
dimuat dalam peraturan perundang-undangan, maupun teknik pembuatannya, akurasi
172 Maria Farida Indrati. S, 2007, Ilmu Perundang-undangan, Kanisius, Yogyakarta, h. 197. 173 Ibid.
organ pembentuk dan lain-lain, dengan tambahan dan penjelasan yang dideduksi dari
uraian para ahli, yaitu:174
1) Asas-asas hukum Umum
a) Peraturan perundang-undangan tidak berlaku surut (non retroaktif).
Peraturan Perundang-undangan yang dibuat hanya berlaku pada peristiwa-
peristiwa hukum yang terjadi setelah peraturan perundang-undangan itu
lahir. Namun demikian, mengabaikan asas ini dimungkinkan terjadi dalam
rangka untuk memenuhi keadilan masyarakat.
b) Asas kepatuhan pada hirarkhi (lex superior derogat lex inferior) Peraturan
perundang-undangan yang ada di jenjang yang lebih rendah tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berada pada
jenjang lebih tinggi, dan seterusnya sesuai dengan hierarki norma dan
peraturan perundang-undangan.
c) Peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus menyampingkan
peraturan perundang-undangan yang bersifat umum (lex specialis derogat
lex generalis);
d) Peraturan perundang-undangan yang berlaku belakangan membatalkan
Peraturan Perundang-undangan yang berlaku terdahulu (lex posteriori
derogate lex periori); dalam setiap peraturan perundang-undangan
biasanya terdapat klausul yang menegaskan keberlakuan peraturan
perundang-undangan tersebut dan menyatakan peraturan perundang-
undangan sejenis yang sebelumnya digunakan, kecuali terhadap
pengaturan yang tidak bertentangan.
2) Asas Material/ Prinsip-prinsip Substantif
Secara umum, prinsip-prinsip yang dapat dijadikan acuan dalam menilai
substansi/materi muatan peraturan perundang-undangan adalah:
1) Nilai-nilai hak asasi manusia (HAM) dan keadilan gender yang sudah
tercantum di dalam konstitusi;
2) Jaminan integritas hukum nasional; dan
174 Amiroeddin Sjarif, 1997, Perundang-undangan: Dasar, Jenis, dan Teknik Membuatanya,
Rineka Cipta, Jakarta, h. 78-84.
3) Peran negara versus masyarakat dalam negara demokrasi.
Ketiga prinsip dasar itu jika diturunkan secara lebih rinci, yang ditentukan dalam
Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 2011sebagai berikut:
1) Pengayoman; memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan
ketenteraman masyarakat.
2) Kemanusiaan; memberikan perlindungan dan penghormatan terhadap hak-
hak asasi manusia serta harkat dan martabat.
3) Kebangsaan; mencerminkan watak bangsa Indonesia yang pluralistik.
4) Bhinneka tunggal ika; memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku,
golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya.
5) Keadilan; memuat misi keadilan.
6) Kesamaan kedudukan di muka hukum dan pemerintahan; memberikan akses
dan kedudukan yang sama di hadapan hukum.
7) Ketertiban dan kepastian hukum; menciptakan ketertiban melalui jaminan
hukum.
8) Keseimbangan, keseresaian, dan keselarasan; menyeimbangkan antara
kepentingan individu dan masyarakat, serta kepentingan bangsa dan negara.
9) Keadilan dan kesetaraan gender; memuat substansi yang memberikan
keadilan dan kesetaraan gender dan mengandung pengaturan mengenai
tindakan-tindakan khusus bagi pemajuan dan pemenuhan hak perempuan.
10) Anti diskriminasi; tidak mengandung muatan pembedaan (baik langsung
maupun tidak langsung), berdasarkan jenis kelamin, warna kulit, suku, agama,
dan identitas sosial lainnya.
11) Kejelasan tujuan; mengandung tujuan yang jelas yang hendak dicapai, akurasi
pemecahan masalah.
12) Ketepatan kelembagaan pembentuk Perda; jenis peraturan perundang-
undangan harus dibuat oleh lembaga yang memiliki kewenangan.
13) Kesesuaian antara jenis dan materi muatan; jenis dan hirarki peraturan
perundang-undangan memuat substansi yang sesuai berdasarkan kewenangan
yang telah diberikan oleh undang-undang.
14) Dapat dilaksanakan; memuat aturan yang efektif secara filosofis, yuridis, dan
sosiologis, sehingga dapat dilaksanakan.
15) Kedayagunaan dan kehasilgunaan; Peraturan perundang-undangan harus
memuat aturan yang menjawab kebutuhan masyarakat, memberikan daya
guna dan hasil guna.
16) Kejelasan rumusan; bahasa, terminologi, sistematika, yang mudah dimengerti
dan tidak multitafsir.
17) Rumusan yang komprehensif; muatan Perda harus dibuat secara holistik dan
tidak parsial.
18) Universal dan visioner; muatan peraturan perundang-undangan disusun untuk
menjawab persoalan umum dan menjangkau masa depan (futuristik), tidak
hanya dibuat untuk mengatasi suatu peristiwa tertentu.
19) Fair trial (peradilan yang fair dan adil); muatan tentang pelaksanaan peraturan
perundang-undangan harus menyediakan mekanisme penegakan hukum yang
fair.
20) Membuka kemungkinan koreksi dan evaluasi; setiap peraturan perundang-
undangan harus memuat klausul yang memungkinkan peninjauan kembali
bagi koreksi dan evaluasi untuk perbaikan.
Sumber peraturan perundang-undangan dengan kata lain, bisa disebut dengan
landasan peraturan perundang-undangan. Amiroeddin Syarief175 menyebut (tiga) kategori
landasan:
a) Landasan filosofis, di mana norma-norma yang diadopsi menjadi materi
muatan Peraturan perundang-undangan mendapat justifikasi atau pembenaran
secara filosofis.
b) Landasan sosiologis, di mana rumusan norma-norma hukum mencerminkan
kenyataan, keyakinan umum atau kesadaran hukum masyarakat.
c) Landasan yuridis, di mana norma-norma yang tertuang merujuk pada
ketentuan peraturan perundang-undangan yang derajat hierarkhinya lebih
tinggi. Landasan yuridis dibagi menjadi dua (1) landasan yuridis formal, yaitu
ketentuan-ketentuan hukum yang memberi kewenangan kepada organ
pembentuknya; dan (2) landasan yuridis materil, yaitu ketentuan-ketentuan
hukum tentang masalah atau materi-materi yang harus diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
Undang-undang juga mengamanahkan bahwa dalam perumusan peraturan
perundang-undangan tidak menutup kemungkinan untuk memperhatikan asas-asas lain
yang sesuai dengan bidang hukum peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
Pembuatan perundang-undangan harus berfungsi untuk memberikan perlindungan dalam
rangka menciptakan ketenteraman masyarakat. Selain itu mencerminkan perlindungan
175 Ibid. h.77
dan pengayoman hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara
dan penduduk Indonesia secara proporsional. Asas ketertiban dan kepastian hukum juga
menjadi penting tercermin dalam materi muatan peraturan perundang-undangan sehingga
dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian
hukum, dan juga harus mencerminkan keseimbangan, keserasian dan keselarasan antara
kepentingan bangsa dan negara. Selain itu, pembentukan peraturan perundang-undangan
juga harus berpedoman serta bersumber dan mendasar pada konstitusi, dimana hal ini
ditegaskan dalam pembukaan Konstitusi RDTL dan Pasal 1 ayat (1).176
Berdasarkan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan di atas,
ada juga asas-asas hukum umum yang harus diperhatikan dan diperlukan dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu:177
1) Asas lex superior derogat legi inferiori; yaitu peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi tingkatannya didahulukan berlakunya daripada peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah dan sebaliknya, peraturan perundang-
undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya
2) Asas lex specialis derogat legi generalis, yaitu peraturan perundang-
undangan khusus didahulukan berlakunya dari pada peraturan perundang-
undangan yang umum.
3) Asas lex posterior derogat legi priori, yaitu peraturan perundang-undangan
yang baru didahulukan berlakunya daripada yang terdahulu.
4) Asas lex neminem cogit ad imposibilia, yaitu peraturan perundang-undangan
tidak memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak mungkin
dilakukan atau sering juga disebut asas kepatutan (bilijkheid).
5) Asas lex perfecta, yaitu peraturan perundang-undangan tidak saja melarang
suatu tindakan tetapi juga menyatakan tindakan terlarang itu batal.
6) Asas non retroactive, yaitu peraturan perundang-undangan tidak
dimaksudkan untuk berlaku surut.
176 Maria Farida Indrati. S, Op.Cit. h. 197. 177 Armen Yasir, Op.Cit., h. 69-70.
7) Asas welvaarstaat, yaitu peraturan perundang-undangan sebagai sarana untuk
semaksimal mungkin dapat mencapai kesejahteraan spiritual & material bagi
masyarakat maupun individu.
Berkaitan dengan asas-asas tersebut di atas apabila menyimak pada prinsip-
prinsip regulasi atau peraturan yang baik (Beginselen van behoorlijke regelgeving/
wetgeving), merupakan asas hukum yang memberikan pedoman dan bimbingan bagi
penuangan isi peraturan ke dalam bentuk dan susunan yang sesuai bagi penggunaan
metode pembentukan yang tepat, mengikuti proses dan prosedur pembentukan yang telah
ditentukan. Selain dikenal asas-asas hukum umum, perlu diperhatikan asas-asas
pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana di negeri Belanda disebut
materiele wetten atau wetten in materiele zin, yang tumbuh dengan pesat setelah orang
mulai memikirkan asas-asas penyelenggaraan pemerintahan yang baik (beginselen van
behoorlijke bestuur).
Asas ini pada umumnya oleh para ahli dibagi menjadi asas-asas yang bersifat
formal dan material. Asas-asas formal ialah menyangkut tata cara pembentukan dan
bentuknya, sedangkan asas-asas material ialah menyangkut isi atau materinya.
Perkembangan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan tidak hanya di
negara Eropa Kontinental, akan tetapi juga di negara yang tidak berbasis peraturan
perundang-undangan.
Montesquieu178 dalam L’Esprit des Lois jauh hari menyatakan untuk
membentuk peraturan perundang-undangan dapat dijadikan asas-asas, sebagai berikut: (i)
Gaya harus padat (concise) dan mudah (simple); kalimat-kalimat bersifat kebesaran dan
retorikal hanya merupakan tambahan yang membingungkan. (ii) Istilah yang dipilih
hendaknya sedapat-dapatnya bersifat mutlak dan tidak relatif, dengan maksud
menghilangkan kesempatan yang minim untuk perbedaan pendapat yang individual. (iii)
Hukum hendaknya membatasi diri pada hal-hal yang riil dan aktual, menghindarkan
sesuatu yang metaforik dan hipotetik. (v) Hukum hendaknya tidak halus (not be subtle),
karena hukum dibentuk untuk rakyat dengan pengertian yang sedang, bahasa hukum
bukan latihan logika, melainkan untuk pemahaman yang sederhana dari orang rata-rata
(awam sekalipun memahaminya). (v) Hukum hendaknya tidak merancukan pokok
masalah dengan pengecualian, pembatasan, atau pengubahan; gunanya semua itu hanya
apabila benar-benar diperlukan (vi) Hukum hendaknya tidak bersifat argumentatif dapat
diperdebatkan, adalah berbahaya merinci alasan-alasan hukum, karena hal itu lebih
menumbuhkan pertentangan-pertentangan. (vii) Lebih dari itu semua, pembentukan
hukum hendaknya dipertimbangkan dengan masak dan mempunyai manfaat praktis, dan
hendaknya tidak menggoyahkan sendi-sendi pertimbangan dasar, keadilan, dan hakekat
permsalahan; sebab hukum yang lemah, tidak perlu, dan tidak adil akan membawa
178 Mifakhulhuda. 2016, Asas Hukum, Asas-Asas Formal, Asas-Asas Material, http://www,
Beginselen van behoorlijke regelgeving, Beginselen van behoorlijke wetgeving, Peraturan Perundang-
Undangan. diakses pada tanggal 27
seluruh sistem perundang-undangan kepada nama jelek dan menggoyahkan kewibawaan
negara.
Jeremy Bentham sebagaimana dikemukakan E. A. Driedger,179 Legislatife
Drafting dalam Canadian Bar Review, mengemukakan ketidaksempurnaan yang terbagi
dalam dua derajat yang mempengaruhi undang-undang dan dapat dijadikan asas dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu: Derajat pertama ketidaksempurnaan
disebabkan hal-hal yang meliputi: (i) Arti ganda (ambiguity); (ii) Kekaburan; (iii) Terlalu
luas (overbulkiness). Sedangkan derajat kedua disebabkan hal-hal yang meliputi: (i)
Ketidaktetapan ungkapan (unsteadiness in respect of expression); (ii) ketidaktetapan
tentang pentingnya sesuatu (unsteadiness in respect of import); (iii) Berlebihan
(redundancy); (iv) terlalu panjang lebar (longwindedness); (v) Membingungkan
(entanglement); (vi) Tanpa tanda yang memudahkan pemahaman (nakedness in respect
of helps to intellection); (vii) Ketidakteraturan (disorderliness).
Berdasarkan pendapat Jeremy Bentham di atas, dapat disimpulkan bahwa,
peraturan perundang-undangan yang dibentuk harus berdasarkan kepentingan
(kebutuhan) masyarakat, kondisi sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan masyarakat
Negara yang bersangkutan; menggunakan bahasa yang sederhana mudah dipahami oleh
masyarakat, memberikan tujuan dan batasan undang-undang yang jelas agar tidak
membinggungkan dalam intreprestasi. Lon L. Fuller, menyatakan tugas pembentukan
179 Ibid.
peraturan perundang-undangan, akan berhasil apabila memenuhi persyaratan-persyaratan
tertentu (asas-asas) sebagai berikut:180
a) Hukum harus dituangkan dalam aturan-aturan yang berlaku umum dan tidak
dalam penetapan-penatapan yang berbeda satu dengan lainnya.
b) Hukum harus diumumkan dan mereka yang berkepentingan harus
mengetahuinya.
c) Aturan-aturan hukum harus diperuntukkan bagi peristiwa-peristiwa yang
datang dan bukan untuk kejadian-kejadian yang sudah lalu.
d) Aturan hukum harus dapat dimengerti, sebab jika tidak demikian orang tidak
tahu apa yang harus diperbuatnya.
e) Aturan-aturan hukum tidak boleh saling bertentangan, sebab apabila hal itu
terjadi orang tidak tahu lagi berpegang pada aturan yang sama.
f) Aturan hukum tidak boleh meletakkan beban/ persyaratan yang tidak dapat
dipenuhi oleh mereka yang bersangkutan.
g) Aturan hukum tidak boleh sering berubah, sebab apabila demikian orang tidak
dapat mengikuti aturan mana yang masih berlaku.
h) Pemerintah sendiri harus juga menaati aturan-aturan hukum yang
dibentuknya, sebab apabila tidak demikian hukum tidak dapat dipaksakan
berlakunya.
Berdasarkan asas-asas hukum sebagaimana dikemukakan oleh beberapa ahli
di atas dikaitkan dengan asas-asas hukum di negara Timor-Leste belum mengatur
sedemikian, namun pada dasarnya para pejabat berwewenang dalam pembentukan
undang-undang hanya mengunakan Stufenbau theorie yang dikemukakan oleh Hans
kelsen, tentang penjenjangan norma, dan Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 6 tujuan negara yang
ditetapkan dalam Konstitusi RDTL, atas dasar itulah menjadi dasar atau sumber bahan
untuk merancang suatu undang-undang. Paul Scholten mengemukakan bahwa, sebuah
asas hukum (rechtsbeginsel) bukanlah sebuah aturan hukum (rechtsregel). Untuk dapat
dikatakan sebagai suatu aturan hukum, sebuah asas hukum adalah terlalu umum sehingga
180 Lon L. Fuller, 1965, The Morality of Law, Journal Indian Edwin W. Tucker University of
Connecticut Morality of Law. Vol.40. akses pada tanggal 15 Agustus 2016
ia atau bukan apa-apa atau berbicara terlalu banyak (of niets of veel te veel zeide).
Penerapan asas hukum secara langsung melalui jalan substansi atau pengelompokkan
sebagai aturan tidaklah mungkin, karena itu terlebih dahulu perlu dibentuk isi yang lebih
kongkrit.
Menurut Meuwissen ada 4 faktor yang menjadi parameter sebuah peraturan
perundang-undangan, yaitu; momen politik, momen idiil, momen normatif dan momen
teknikal.181
a) Aspirasi dan kebutuhan riil masyarakat merupakan landasan keberlakuan
factual dari momen politik. Momen politik ini mengakomodasi seluruh
kepentingan nasional dan daerah. Momen politik terdiri dari kepentingan
politik dan tujuan politik
b) Kenyataan alamiah dan kenyataan serta sejarah kemasyarakatan setempat
merupakan landasan keberlakuan filosofikal yang mewarnai momen idiil.
Momen idiil terdiri dari; pandangan hidup (kultur), keyakinan keagamaan,
filsafat hukum, kesadaran hukum (adat), wawasan kebangsaan.
c) Momen idiil menjiwai momen normatif. Momen normatif terdiri dari: cita
hukum, Undang Undang Dasar, nilai- nilai, asas-asas, kaidah-kaidah, pranata
hukum.
d) Proses interaksi dialektikal antara momen politik dan momen normatif
hasilnya diolah bersaranakan momen teknikal yang berupa teknik
perundangan-undangan dan akhirnya menghasilkan aturan umum atau
perundangan-undangan.
Menurut A. Hamid S. Attamimi berpendapat, bahwa pembentukan peraturan
perundang-undangan yang patut, adalah sebagai berikut:182
a) Cita Hukum; Cita Hukum Negara Timor-Leste berdasarkan Konstitusi,
dengan demikian pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi merupakan
pasangan adanya wawasan negara berdasar atas hukum. Dalam wawasan
pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi ini, kewenangan Pemerintah
181 Arief Sidarta, 2007, Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum,
dan Filsafat Hukum, PT. Refika Aditama, Bandung, h. 25 182 Maria Farida Indrati Soeprapto, 2007, Ilmu Perundang-undangan Proses dan Teknik
Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta, h. 228
beserta segala tindakannya dalam menjalankan tugas-tugasnya dibatasi oleh
adanya konstitusi (hukum dasar) negara tersebut. Oleh karena Negara
Republik Demokratik Timor-Leste, menganut adanya wawasan pemerintahan
berdasar sistem konstitusi, maka kekuasaan perundang-undangan di Negara
Timor-Leste terikat oleh konstitusi dan hukum dasar, sedangkan kekuasaan
pemerintahan dan kekuasaan peradilannya terikat oleh undang-undang dan
hukum negara. sebagaimana ketentuan dalam pembukaan (Mukahdima)
Konstitusi RDTL pada bagian Paragraf terakhir, dan diatur lebih lanjut dalam
Pasal 1 ayat (1) Konstitusi DRTL 2002 yang merupakan norma Fundamental
dalam penyelenggaraan pemerintahan.
b) Asas Negara berdasar atas hukum dan asas pemerintahan berdasar sistem
konstitusi; Asas Negara berdasar atas hukum yang menempatkan undang-
undang sebagai alat pengaturan yang khas berada dalam keutamaan hukum
(der Primat des Recht). Asas-asas pemerintahan berdasar sistem konstitusi
yang menempatkan undang-undang sebagai dasar dan batas penyelenggaraan
kegiatan-kegiatan pemerintahan. Dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) Konstitusi
Republik Demokratik Timor-Leste, menyatakan bahwa Republik Demokratis
Timor-Leste adalah Negara yang demokratis, berdaulat, merdeka dan
bersatu, berdasarkan kekuatan hukum, keinginan Rakyat dan kehormatan atas
martabat manusia.
Timor-Leste, merupakan Negara hukum, yang bertujuan mensejahterakan
kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian, asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang patut itu, meliputi juga asas tujuan yang jelas, asas perlunya
pengaturan, asas organ (lembaga) dan materi muatan yang tepat, asas dapatnya
dilaksanakan, asas dapatnya dikenali, asas perlakuan yang sama dalam hukum, asas
kepastian hukum, asas pelaksanaan hukum sesuai dengan kemampuan individual. Asas-
asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik seperti dikemukakan diatas
dirumuskan juga dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan khususnya diatur dalam Pasal 5 dan Pasal 6. Pasal 5
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 beserta penjelasanya, menjelaskan asas
pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, dirumuskan sebagai berikut:
1) Asas kejelasan tujuan; Bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-
undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai. Asas
kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat; bahwa setiap jenis peraturan
perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat pembentuk peraturan
perundang-undangan yang berwenang. peraturan perundang-undangan
tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum, apabila dibuat oleh
lembaga/pejabat yang tidak berwenang.
2) Asas kesesuaian antara jenis dan materi muatan; bahwa dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi
muatan yang tepat dengan jenis peraturan perundang-undangannya. Asas
dapat dilaksanakan; bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-
undangan harus memperhitungkan efektifitas Peraturan Perundang-undangan
tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis.
3) Asas kedayagunaan dan kehasilgunaan; Bahwa setiap Peraturan Perundang-
undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat
dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Asas
kejelasan rumusan; bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus
memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan,
sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta Bahasa hukumnya jelas
dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam
interpretasi dalam pelaksanaannya. Asas keterbukaan; bahwa dalam proses
pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan,
persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka.
Menyimak dari asas-asas tersebut di atas, Negara Timor-Leste mengenai asas-
asas pembentukan pearturan perundang-undangan belum diatur sedemikian rupa secara
normatif atas dasar Pasal 165 Konstitusi RDTL ditentukan bahwa, untuk mengisi
kekosongan hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara RDTL, undang-
undang yang pernah berlaku dalam Negara RDTL sebelum Tanggal 1 Oktober Tahun
1999 tetap diberlakukan sepanjang belum adanya undang-undang baru yang
menggantinya, yaitu undang-undang Negara Republik Indonesia. Oleh karena itu, maka
proses pembentukan undang-undang Negara Republik Demokratik Timor-Leste,
berkaitan dengan proses pembentukan undang-undang, pada umumnya masih
menggunakan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011, tentang
proses pembentukan undang-undang, sebagai salah satu sumber dalam rancangan
peraturan perundang-undangan negara Timor-Leste. Dengan demikian seluruh lapisan
masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan
dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan.
Menurut PJP. Tak, peraturan perundang-undangan (wet in mateeriele zin)
adalah:183
…al seen besluit van een organ met wetgevende bevoegdheid algemene, burgers
bindende regels bevat. Het begrip algemeenin deze omschrijving wil niet zeggen
dat materiele wetten alleen die wetten zijn die alle burgers binden, maar slechts
materiele wetten uniet voor een bepaal gavel gelden, maar van toepassing zijn in
een onbepaald aantal gevallen en voor een aantal personen”
(sudah berisi aturan yang mengikat melihat keputusan organ dengan kekuasaan
legislatif masyarakat umum. Konsep untuk masyarakat umum, definisi ini tidak
berarti bahwa materi hukum hanya hukum-hukum yang mengikat semua warga
negara, tetapi hanya materi hukum yang berlaku untuk serikat tertentu
memutuskan palu, tetapi berlaku untuk jumlah yang tak terbatas dari kasus dan
untuk beberapa orang)
Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan, berarti dasar atau
sesuatu yang dijadikan tumpuan dalam menyusun peraturan perundang-undangan.
Dengan kata lain, asas adalah prinisip yang berarti kebenaran yang menjadi pokok dasar
dalam berpikir, berpendapat dan bertindak. Dalam menyusun peraturan perundang-
undangan banyak para ahli yang mengemukakan pendapatnya. Meskipun berbeda
redaksi, pada dasarnya beragam pendapat itu mengarah pada substansi yang sama.
Berikut ini akan dikemukakan beberapa pendapat ahli, kemudian penulis akan
183 Yuliandri, 2009, Azas-azas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Baik, rajawali
Pers, Jakarta, h. 39
mengklasifikasikannya ke dalam dua bagian kelompok asas utama (1) asas materil atau
prinsip-prinsip substantif; dan (2) asas formal atau prinsip-prinsip teknik pembentukan
peraturan perundang-undangan.
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekantanto, memperkenalkan enam asas
sebagai berikut:184
1) Peraturan perundang-undangan tidak berlaku surut (non retroaktif);
2) Peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi,
mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula;
3) Peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus menyampingkan
peraturan perundang-undangan yang bersifat umum (lex specialis derogat lex
generalis);
4) Peraturan perundang-undangan yang berlaku belakangan membatalkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku terdahulu (lex posteriori
derogate lex periori);
5) Peraturan perundang-undangan tidak dapat di ganggu gugat;
6) Peraturan perundang-undangan sebagai sarana untuk semaksimal mungkin
dapat mencapai kesejahteraan spiritual dan materil bagi masyarakat maupun
individu, melalui pembaharuan atau pelestarian (asas welvaarstaat).
Dalam kerangka berpikir mengenai jenis dan hierarki peraturan perundang-
undangan, pasti tidak terlepas dalam pikiran mengenai Teori Stuffenbau karya Hans
Kelsen (selanjutnya disebut sebagai” Teori Aquo.” Hans Kelsen dalam Teori Aquo
mambahas mengenai jenjang norma hukum, dimana ia berpendapat bahwa norma-norma
hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan
peraturan perundang-undangan.185 Teori ini digunakan apabila terjadi pertentangan,
184 Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, 1989, Peraturan perundang-undangan dan
Yurisprudensi, Cet. Ke-3 PT. Citra Aditya Bakti, Bandung: h. 7-11 185 Maria Farida Indrati Soeprapto, , 2010, Ilmu Perundang-Undangan : Jenis, Fungsi, Dan Materi
Muatan, Kanisius, Yogyakarta, h. 41.
antara undang-undang dengan konstitusi atau antara regulasi dan undang-undang,
misalnya ketika terjadi pertentangan antara peraturan Pemerintah (PP) dengan undang-
undang, maka yang digunakan adalah undang-undang karena undang-undang lebih tinggi
derajatnya. Teori aquo semakin diperjelas dalam hukum positif peraturan perundang-
undangan. Pembentukan peraturan perundang-undangan perlu berpedoman pada asas-
asas pembentukan peraturan yang baik dan ideal. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari
kesalahan dan kecacatan dalam pembentukan norma. Sehingga asas pembentukan
peraturan perundang-undangan menjadi pedoman bagi pejabat (lembaga) yang
berwenang dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, oleh karena
itu setiap pembentukan undang-undang yang dibentuk harus menganalisis secara
mendalam terhadap ke 6 (enam) asas yang dikemukakan tersebut di atas, agar setiap
produk undang-undang oleh pejabat yang berwenang tidak bertentangan satu sama yang
lain.
2.5 Teori Sistem Pemerintahan
Teori sistem pemerintahan digunakan dalam disertasi ini, untuk mengetahui
hubungan antara lembaga eksekutif dengan legislatif sebagai kelanjutan eksplorasi dari
konsep pembagian atau pemisahaan kekuasaan. Oleh karena itu, teori sistem
pemerintahan sangat urgensi, karena sistem pemerintahan merupakan salah satu unsur
yang sangat berpengaruh terhadap proses penyelenggaraan pemerintahan negara, dengan
demikian, apabilah salah satunya tidak berfungsi atau tidak jelas maka akan terpengaruh
juga terhadap unsur yang lain.
Sistem Pemerintahan Republik Demokrati Timor-Leste, secara normatif
masih membinggungkan dan kadang salah menginterpretasi, ada yang menyebut sistem
semi presidensial, ada yang menyebut sistem semi Perlementer dan ada yang menyebut
sistem parlementer. Dengan demikian, melalui penulisan disertasi ini dapat memberikan
salah satu jawaban alternative terhadap kebingunggan-kebinggunggan oleh masyarakat,
terutama para penyelenggaraan pemerintahan. Sistem pemerintahan sering kali terjadi
pencampuran dalam mengunakan istilah “Bentuk pemerintahan” dan “sistem
pemerintahan” padahal dalam ilmu Negara kedua istilah tersebut mempunyai perbedaan
mendasar. Hans Kelsen, dalam teori politik klasik, bentuk pemerintahan diklasifikasikan
menjadi monarki dan republik. Selanjutnya, Paham L. Duguit, sebagaimana dipaparkan
dalam buku “traite’ de Droit Constituitionel”186 lebih lazim dipakai untuk membedakan
kedua bentuk tersebut, jika kepala Negara di angkat berdasarkan hak warisan atau
keturunan maka disebut dengan Negara monarki, sedangkan jika kepala Negara di pilih
melalui pemilihan umum untuk masa jabatan tertentu maka bentuk Negaranya disebut
Republik.
Berkaitan dengan kewenangan lembaga Negara dalam pembentukan undang-
undang, menurut Konstitusi RDTL, pada ketentuan Pasal 76 ayat (1) Presiden Republik
dipilih melalui pemilihan umum yang universal, bebas, langsung, rahasia dan pribadi.
Selanjutnya ayat (2) Pemilihan Presiden Republik dilakukan dengan sistem berdasarkan
mayoritas suara yang diberikan secara sah, tanpa menghitung suara kosong, artinya
186 Hans Kelsen, 1971, General Theory of law and State, Russel & Russel. New York.h. 256
Presiden Republik dipilih melalui pemilihan umum berdasarkan sistem demokrasi, maka
bentuk Negara Republik Demokratik Timor-Leste adalah Negara kesatuan. Bintan R.
Saragih,187 sistem pemerintahan merupakan struktur pemerintahan suatu negara yang
mengatur fungsi dan menggambarkan yang semestinya berlaku antara badan legislatif
dan badan eksekutif untuk mencapai tujuan Negara yang telah dirumuskan dalam
konstitusi Negara yang bersangkutan; dan apabila salah satu lembaga tersebut kurang
berfungsi atau bertindak melebihi fungsinya akan langsung mempengaruih terhadap
lembaga yang lain, sehingga akan mempengaruhi juga pelaksanaan pencapaian tujuan
Negara tesebut.
Ditinjau dari aspek pembagian kekuasaannya, organisasi pemerintahan dapat
di bagi menjadi dua (2) yaitu: pembagian kekuasaan secara horizontal yang didasarkan
atas sifat tugas yang berbeda-beda jenisnya yang menimbulkan berbagai macam lembaga
di dalam suatu negara, dan pembagian kekuasaan secara vertikal menurut tingkat
pemerintahan, melahirkan hubungan antara pusat dan daerah dalam sistem desentralisasi
dan dekonsentrasi.188 Hal ini, secara struktural, struktur ketatanegaraan Timor-Leste,
bentuk strukturnya secara Horizontal (sejajar). Menurut ketentuan Pasal 67 Konstitusi
RDTL Tahun 2002 bahwa, lembaga-lembaga kedaulatan Negara terdiri dari Presiden
Republik, Parlemen Nasional, Pemerintah dan Peradilan. Artinya tidak ada lembaga
Negara yang lebih tinggi dari lembaga-lembaga yang lain, ke empat (4) lembaga tersebut
masing-masing mempunyai kedudukan yang sama, perbedaannya hanya terdapat pada
187 Ibid. 188 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, loc.cit.,
fungsi kewenangannya masing-masing lembaga. Sebagaimana diatur dalam ketentuan
Pasal 69 Konstitusi RDTL Tahun 2002.
Dari penelusuran berbagai literatur hukum tata negara dan ilmu politik,
terdapat beberapa varian sistem pemerintahan. C.F. Strong membagi sistem pemerintahan
ke dalam kategori: parliamnetary executive dan non-parliamnetary executive atau the
fixed executive. Lebih bervariasi lagi Giovanni Sartori membagi sistem pemerintahan
menajadi tiga kategori: presidentialism, parliamnetary system, dan semi-presidentialism.
Jimly Asshiddiqie dan Sri Soemantri juga mengemukakan tiga variasi sistem
pemerintahan, yaitu: sistem pemerintahan presidensial (presidential system), sistem
parlementer (parliamnetary system), dan sistem pemerintahan campuran (mixed system
atau hybrid system).189 Sistem parlementer merupakan sistem pemerintahan yang paling
luas diterapkan diseluruh dunia. Sistem parlementer lahir dan berkembang seiring dengan
perjalanan ketatanegaraan Inggris.190 Dalam sistem parlementer hubungan antara
eksekutif dan badan perwakilan sangat erat. Hal ini disebabkan adanya
pertanggungjawaban para menteri terhadap Parlemen, maka setiap kabinet yang dibentuk
harus memperoleh dukunganan kepercayaan dengan suara terbanyak dari Parlemen
Nasional yang berarti, bahwa setiap kebijakasanaan pemerintahan atau kabinet tidak
boleh menyimpang dari apa yang dikehendaki oleh Parlemen.191
189 Saldi Isra, op.cit., h. 24-25 190 Ibid., h. 26 191 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, op.cit., h. 172
Mariam Budiardjo, mengatakan bahwa, dalam sistem pemerintahan
Parlementer, badan eksekutif dan badan legislatif bergantung satu sama lain. Kabinet
sebagai bagian dari badan eksekutif yang “bertanggung jawab” diharapkan
mencerminkan kekuatan-kekuatan politik dalam badan legislatif yang mendukungnya,
dan mati-hidupnya kabinet tergantung pada dukungan dalam badan legislatif (asas
tanggung jawab menteri).192 Kemudian Saldi Isra menyimpulkan bahwa, pemisahan
jabatan kepala negara (head of master) dengan kepala pemerintahan (head of goverment),
karakter paling mendasar dalam sistem pemerintahan parlementer adalah tingginya
tingkat dependensi atau ketergantungan eksekutif kepada dukungan parlemen. Hal
demikian dikarenakan, lembaga eksekutif tidak dipilih langsung oleh Rakyat,
sebagaimana pemilihan terhadap anggota legislatif, dan Presiden Republik (kepala
Negara). Dengan demikian maka, pihak eksekutif harus mendapat dukungan maksimal
dari Anggota Parlemen.
Hubungan antara presiden dengan perdana menteri atau lembaga legislatif,
pengaturan dalam konstitusi dan situasi politik sebuah negara mix system dapat menjadi
sistem semi-presidensial atau semi-parlementer. Jika konstitusi atau situasi politik
cenderung memberikan kekuasaan lebih besar bagi presiden, sistem Pemerintahan
campuran lebih sering disebut dengan sistem semi-presidensial, sebaliknya jika perdana
menteri dan badan legislatif mempunyai kekuasaan lebih besar dari presiden, maka sistem
campuran lebih sering disebut dengan sistem Semi-Parlementer.193
192 Miriam Budiardjo, op.cit. h. 297 193 Saldi Isra, Op.Cit. h. 45
Amerika Serikat merupakan tanah kelahiran dan contoh ideal sistem
pemerintahan Presidensial. Sistem Pemerintahan ini lahir sebagai upaya Amerika Serikat
menentang dan melepaskan diri dari kolonial Inggris, dengan membentuk sistem
pemerintahan yang berbeda, yaitu pemisahan kekuasaan antara legislatif dan eksekutif
sebagaimana konsep Trias Politica-nya Montesquieu194. Jimly Asshiddiqie
mengemukakan sembilan karakter Pemerintahan presidensial sebagai berikut:
1) Terdapat pemisahan kekuasaan yang jelas antara cabang kekuasaan eksekutif
dan legislatif.
2) Presiden merupakan eksekutif tunggal. Kekuasaan eksekutif presiden tidak
terbagi dan yang ada hanya presiden dan wakil presiden saja.
3) Kepala pemerintahan adalah sekaligus kepala negara atau sebaliknya kepala
negara adalah sekaligus kepala pemerintahan.
4) Presiden mengangkat para menteri sebagai pembantu atau sebagai bawahan
yang bertanggung jawab kepadanya.
5) Anggota parlemen tidak boleh menduduki jabatan eksekutif dan demikian
pula sebaliknya.
6) Presiden tidak dapat membubarkan atau memaksa Parlemen Nasional
7) Berlaku prinsip supremasi konstitusi karena itu, Pemerintah bertanggung
jawab kepada konstitusi
8) Eksekutif bertanggung jawab langsung kepada rakyat yang berdaulat
kekuasaan tersebar secara tidak terpusat.
Salah satu karakter sistem pemerintahan presidensial yang utama adalah
presiden memegang fungsi ganda, yaitu sebagai kepala negara sekaligus kepala
pemerintahan. Dalam kekuasaan eksekutif, sebagai kepala Pemerintah, Presiden
memegang kekuasaan tunggal dan tertinggi, Presiden dipilih dan mengangkat menteri
anggota kabinet dan berperan penting dalam pengambilan keputusan didalam kabinet,
tanpa bergantung kepada lembaga legislatif. Karakter sistem presidensial dapat juga
194 Ibid. h. 31-32
dilihat dari pola hubungan antara lembaga eksekutif (presiden) dengan lembaga legislatif,
dimana adanya pemilihan umum yang terpisah untuk memilih presiden dan anggota
legislatif. Sistem presidensial membawa ciri yang kuat pada pemisahan kekuasaan,
dimana badan eksekutif dan badan legislatif bersifat independen satu sama lain.195
Sistem pemerintahan campuran (mixed system atau hybrid system) adalah
sistem pemerintahan yang berupaya mencarikan titik temu antar sistem pemerintahan
presidensial dan sistem pemerintahan Parlementer. Fungsi ganda presiden sebagaimana
dalam sistem pemerintahan presidensial tetap dipertahankan. Namun sebagai kepala
pemerintahan, presiden berbagi kekuasaan dengan perdana menteri yang menimbulkan
dual executive system196.
Terkait dengan pola hubungan antara presiden dengan perdana menteri atau
lembaga legislatif, pengaturan dalam konstitusi dan situasi politik sebuah negara mix
system dapat menjadi system Semi-Presidensial dan Semi-Parlementer197. Misalnya;
Sistem pemerintahan Prancis, (sistem campuran Parlementer dan Presidensil), Presiden
kuat karena dipilih langsung oleh rakyat. Kepala negara adalah presiden dengan masa
jabatan 7 Tahun, Presiden dapat bertindak dimasa darurat untuk menyelesaikan krisis,
Bila terjadi pertentangan antara kabinet dengan legislatif maka presiden membubarkan
legislatif, jika suatu UU telah disetujui oleh badan legislatif tapi tidak disetujui Presiden
republic, maka diajukan kepada rakyat melalui referendum atau persetujuan Mahkamah
195 Saldi Isra, op.cit., h. 40 196 Ibid., h. 48 197 Ibid., h. 45
Konstitusional, mosi dan interplasi dipersukar harus disetujui oleh 10 % dari anggota
legislatif. Jika konstitusi atau situasi politik cenderung memberikan kekuasaan lebih besar
bagi presiden, sistem pemerintahan campuran lebih sering disebut dengan sistem semi-
presidensial. Sebaliknya jika perdana menteri dan badan legislatif mempunyai kekuasaan
lebih besar dari presiden, sistem campuran lebih sering disebut dengan sistem semi-
Parlementer.
Bertitik tolak dengan sistem pemerintahan negara RDTL, Presiden dipilih
secara langsung oleh rakyat, dengan masa jabatannya lima (5) Tahun, Presiden dapat
bertindak pada saat negara keadaan darurat dan untuk menyelesaikan krisis, namun perlu
melakukan konsultasi dengan Parlemen Nasional, Pemerintah dan dewan Negara, bila
terjadi pertentangan antara kabinet (eksekutif) dengan legislatif melalui mosi tidak
percaya, atau terjadinya sengketa kewenangan, maka Presiden membubarkan legislatif,
atas permohonan Pemerintah, namun Presiden tidak secara langsung membubarkan
Parlemen Nasional, dalam hal ini Presiden perlu melakukan konsultasi dengan Dewan
Negara dan Parlemen Nasional untuk meminta persetujuan pembubaran Parlemen, jika
suatu rancangan undang-undang telah disetujui legislatif tapi tidak disetujui presiden
maka, apabila presiden mengembalikan rancangan undang-undang tersebut ke Parlemen
Nasional untuk melakukan revisi terhadap pasal-pasal tertentu atau seluruhnya, berturu-
turut sampai ketiga kali, namun Parlemen Nasional tetap pada prinsip tidak melakukan
revisi terhadap anjuran dari Presiden, dan anggota Parlemen Nasional 100% menyetujui
undang-undang tersebut dalam waktu 90 hari, secara langsung Parlemen Nasional
mengajukan rancangan undang-undang tersebut, untuk dipublikasikan melalui lembaran
Negara, tanpa minta pengesahan dari Presiden atau sebagaiman di Perancis Presiden
mengajukan kepada rakyat melalui referendum atau persetujuan Mahkamah konstitusi,
oleh karena itu kewenangan Presiden mengenai hak veto terhadap undang-undang tidak
memiliki kekuatan secara konstitusional, karena kekuasaan secara konstitusional berada
pada Parlemen Nasional.
Berdasarkan pandangan para ahli terhadap sistem pemerintahan di atas,
berkaitan dengan sistem pemerintahan Timor-Leste, secara struktur ketatanegaraan
Negara RDTL kekuasaan lembaga Negara lebih dominan pada lembaga legislatif dan
eksekutif, sedangkan kekuasaan Presiden Republik dan lembaga yudisial sangat terbatas,
terutama lembaga kepresidenan hanya sebagai symbol Negara. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa, Sistem pemerintahan yang dianut Negara Timor-Leste adalah sistem
Parlementer dan bentuk pemerintahannya adalah Republik.
Pemerintahan merupakan suatu tatanan dimana membentuk kerangka suatu
Negara dengan pelaksanaan fungsi-fungsinya saling ketergantungan satu sama lain,
dalam arti bahwa pemisahan kekuasaan secara fungsional dalam pelaksanaannya tanpa
adanya campur tangan lembaga lain, namun secara adminstratif saling mempengaruhi
satu dengan yang lainnya, dan mengawasi, mengkontrol proses penyelenggaraan
pemerintahan Negara, guna menjamin prinsip check and balances. Oleh karena itu, untuk
memahami lebih lanjut sistem pemerintahan pada uraian sebagai berikut:
2.5.1 Sistem Pemerintahan Parlementer
Sistem Pemerintahan Parlementer merupakan sebuah sistem pemerintahan di
mana parlemen memiliki peranan penting dalam pemerintahan. Dalam hal ini Parlemen
memiliki wewenang dalam mengangkat perdana menteri dan parlemenpun dapat
menjatuhkan pemerintahan, yaitu dengan cara mengeluarkan semacam mosi tidak
percaya. Berbeda dengan sistem presidensiil, di mana sistem Parlementer dapat memiliki
seorang presiden dan seorang perdana menteri, yang berwenang terhadap jalannya
pemerintahan.
Dalam sistem presidensiil adalah Presiden berwenang terhadap jalannya
pemerintahan, namun dalam sistem parlementer Presiden hanya menjadi simbol kepala
negara saja. Sistem Parlementer dibedakan oleh cabang eksekutif Pemerintah tergantung
dari dukungan secara langsung atau tidak langsung cabang legislatif, atau Parlemen,
sering dikemukakan melalui sebuah veto keyakinan. Oleh karena itu, tidak ada pemisahan
kekuasaan yang jelas antara cabang eksekutif dan cabang legislatif, menuju kritikan dari
beberapa ahli yang merasa kurangnya pemeriksaan dan keseimbangan yang ditemukan
dalam sebuah pemerintahan Republik Kepresidenan.
Sistem parlementer dipuji, dibanding dengan sistem presidensiil, karena
kefleksibilitasannya dan tanggapannya kepada publik. Kekurangannya adalah sering
mengarah ke pemerintahan yang kurang stabil, seperti dalam Republik Weimar Jerman
dan Republik Keempat Perancis. Sistem parlementer biasanya memiliki pembedaan yang
jelas antara kepala pemerintahan dan kepala negara, dengan kepala pemerintahan adalah
perdana menteri, dan kepala negara ditunjuk sebagai kepala negara dengan kekuasaannya
terbatas atau hanya seremonial. Namun beberapa sistem parlementer juga memiliki
seorang presiden terpilih dengan banyak kekuasaan sebagai kepala negara, memberikan
keseimbangan dalam sistem ini.
Berdasarkan sistem pemerintahan yang dikemukakan tersebut, sistem
Parlementer merupakan sistem pemerintahan yang paling luas diterapkan di seluruh
dunia. Tercatat dalam sejarah, Inggris adalah kelahiran sistem pemerintahan
parlementer.198 Selanjutnya, Douglas V. Verney,199 mengingatkan bahwa analisis sistem
pemerintahan Parlementer dimulai dengan mengacu pada berbagai lembaga dalam sistem
politik Inggris. Tidak hanya merujuk kepada lembaga-lembaga politik, analisis juga
mengacu kepada pengalaman Inggris dalam membangun sistem parlementer. Pentingnya
merujuk terhadap pengalaman Inggris dikemukakan oleh Strong, dengan menyatakan
“the history of the growth of the Cabinet sistem in Britain is one of the most instructive
studies in the whole realm of the science of government.” Selanjutnya, Douglas V.
Verney,200 mengatakan bahwa evoluasi menuju sistem pemerintahan parlementer
berlangsung melalui tiga tahapan yaitu: Pertama Pemerintah dipimpin oleh seorang Raja
yang bertanggung jawab atas seluruh sistem politik dan sistem ketatanegaraan; kedua
muncul sebuah majelis yang menentang hegemoni raja; dan ketiga majelis mengambil
198 Saldi Isra,2010: Pergeseran Fungsi legislasi; (menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam
sistem presidensial Indonesia; RajaGrafindo Persada, Jakarta.h.26 199 Douglas V. Verney, 1992, parliamentary Governmen and Presidential Governmen, dalam
Parlimentary Versus Presidential Governmen, Arend Lijphart (edit), Oxford University Press. h.31 200 Ibid.
alih tanggung jawab atas pemerintahan dengan bertindak sebagai parlemen sehingga raja
kehilanggan sebagian besar kekuasaan tradisionalnya. Sekalipun sistem pemerintahan
parlementer berasal dari Inggris, namun tidak semua Negara yang mengadopsi sistem
pemerintahan Parlementer.
Menurut Alan R. Ball yang dikutip oleh Sri Soemantri, ciri-ciri sistem
pemerintahan parlementer adalah sebagai berikut:201
1) There is a nominal head of state whose functions are chiefly formal and
ceremonial and whose political infulence is small. This head of state may be
a monarch, as in the United Kingdom, Japan or Australia, or a president ini
West Germany, India or Italy. (Ada kepala negara nominal yang fungsinya
terutama bersifat formal dan seremonial dan infulence politiknya kecil. Kepala
negara ini mungkin seorang raja, seperti di Inggris Raya, Jepang atau
Australia, atau presiden dari Jerman Barat, India atau Italia.
2) The political executive, the prime minister, the chancellor, etc, together with
the cabinet, is part of legislature, and can be removed by the legislature if the
legislature withdraws it support. (eksekutif politik, perdana menteri, kanselir,
dan lain-lain, bersama kabinet, adalah bagian dari badan legislatif, dan dapat
dikeluarkan oleh legislatif jika legislatif mencabut dukungannya.
3) The legislature is elected in varying period by the electorate, the election date
being chosen by the formal head of state on the advice of the prime minister
or chancello. (legislatif dipilih dalam periode yang bervariasi oleh pemilih,
tanggal pemilihan dipilih oleh kepala negara formal atas saran perdana
menteri atau Dewan Meteri).
Dari pendapat di atas, dapat diketahui bahwa dalam sistem pemerintahan
parlementer, kepala negara (raja, presiden atau dengan sebutan lain) hanya memilki
kekuasaan secara formal dan seremonial saja sehingga pengaruh politiknya sangat kecil.
Dalam sistem ini, eksekutif yang sesungguhnya dipegang oleh perdana menteri beserta
para menteri (kabinet) yang merupakan bagian dari legislatif. Namun menurut, Alan R.
201 Moh, Kusnardi, dan Harmaily Ibrahim, 1988, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat
Studi HTN-FH UI dan CV. Sinar Bakti, Jakarta, h 32
Ball, tidak mengatakan secara eksplisit bahwa Perdana Menteri dan kabinet bertanggung
jawab kepada Parlemen karena kedudukannya yang berasal dari legislatif. Perdana
menteri beserta para menterinya dapat diberhentikan oleh legislatif jika legislatif menarik
dukungannya. Dalam sistem Parlementer anggota legislatif dipilih dalam periode yang
beragam. Tanggal pemilihannya ditentukan oleh kepala negara dengan
mempertimbangkan nasehat perdana menteri.
Dalam pendapatnya, Sri Soemantri yang mendasarkan pendapatnya dari Alan
R. Ball dan H.D. Trail,202 tidak mencantumkan beberapa ciri-ciri yang dikemukakan dua
sarjana sebelumnya, seperti ciri yang diungkapkan oleh Alan R. Ball, bahwa Kepala
Negara hanya memegang kekuasaan formal dan seremonial. Padahal ciri ini cukup
penting, karena justru sistem pemerintahan parlementer saja yang membedakan fungsi
eksekutif sesungguhnya (kepala pemerintahan) dan eksekutif formal (kepala negara).
Menurut Bagir Manan,203 ketika mengomentari kedudukan Presiden
Indonesia sebagai Kepala Negara dan kepala pemerintahan dalam sistem pemerintahan
presidensial bahwa: “dua pengertian terakhir ini (kepala Negara dan kepala
Pemerintahan), sebetulnya hanya bersifat analisis keilmuan dan hanya tampak pada
sistem parlementer”. Selain itu, kepala Negara memiliki pengaruh yang kecil dalam
kehidupan politik, tetapi dalam hal tertentu kepala Negara dapat berpengaruh dan sangat
menentukan, seperti dalam hal terjadi mosi tidak percaya dari kabinet untuk
202 Saldi Isra, Loc.Cit. h. 24-25 203 Bagir Manan, 1995, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, Mandar Maju,
Bandung, h. 78-79
membubarkan parlemen, Kepala Negaralah yang berhak menentukan pembubaran
parlemen atau tidak dengan pertimbangan nasehat dari Perdana Menteri.
Berdasarkan sistem pemerintahan parlementer yang berkembang saat ini,
anggota kabinet tidak harus semuanya atau sebagian berasal dari anggota legislatif,
karena ada negara yang seluruh anggota kabinetnya bukan anggota legislatif, seperti
dikatakan oleh Sri Soemantri bahwa ada yang anggota-anggota kabinetnya seluruhnya
tidak berasal dari parlemen dan ada pula yang hanya sebagian saja yang harus anggota
parlemen,204 sehingga ciri tersebut tidak menjadi ciri yang utama dari sistem
pemerintahan parlementer melainkan hanya bersifat turunan. Selanjutnya ciri ketiga yang
diungkapkan Sri Soemantri, menegaskan bahwa pertanggungjawaban kabinet kepada
parlemen tidak hanya bersifat kolektif tetapi juga bersifat individual. Ciri inilah yang
membedakan pendapat Sri Soemantri dengan H.D. Trail yang hanya menekankan
pertanggungjawaban kolektif saja. Akhirnya dapat disimpulkan bahwa ciri sistem
pemrintahan parlementer adalah:205
1) Dalam sistem pemerintahan parlementer, kepala negara (raja, presiden atau
dengan sebutan lain) hanya memilki kekuasaan secara formal dan seremonial
saja sehingga pengaruh politiknya sangat kecil.
2) Ketua kabinet (perdana menteri, kanselir atau sebutan lainnya) bersama
dengan kabinetnya, sebagai eksekutif sesungguhnya, merupakan bagian dari
parlemen dan dibentuk oleh atau berdasarkan kekuatan atau kekuatan-
kekuatan yang menguasai parlemen.
3) Kabinet dengan ketuanya bertanggung jawab kepada parlemen.
4) Apabila kabinet atau seorang atau beberapa orang anggotanya mendapat mosi
tidak percaya dari parlemen, maka kabinet atau seorang atau beberapa orang
daripadanya harus mengundurkan dirinya. Sebaliknya Kepala Negara
204 Sri Soemantri, op.cit, h 33 205 Ibid.
(Presiden atau Raja/Ratu) dengan saran atau nasehat Perdana Menteri dapat
membubarkan Parlemen.
Berdasarkan ciri-ciri sistem pemerintahan yang dikemukakan oleh Sri
Soemantri di atas, terkait dengan sistem pemerintahan negara Timor-Leste, dalam praktek
sistem ketatanegaraan Timor-Leste, sistem pemerintahan Timor-Leste menggunakan
model sistem Parlementer (Westminster system tend to have a more adversarial style of
debate and the plenary session of parliament is relatively more important than
committees). Oleh karena setiap usulan rancangan undang-undang, inisiatif dari Anggota
Parlemen, Fraksi-fraksi dalam kursi Parlemen dan Pemerintah, diajukan kepada ketua
Parlemen, kemudian dianalisis dan diagendakan untuk melakukan diskusi bersama sesuai
dengan peraturan tata tertib Parlemen Nasional.
Berkaitan dengan kedua model sistem pemerintahan parlementer yang
dikemukakan oleh Douglas V. Verney di atas, bahwa dalam sistem Pemerintahan
Parlementer objek utama yang diperebutkan adalah Parlemen Nasional. Parlemen
Nasional menjadi sangat penting karena kekuasaan eksekutif hanya mungkin diperoleh
setelah partai konstestan pemilihan umum berhasil meraih kursi mayoritas dalam
Parlemen. Seandainya tidak terdapat partai politik yang memperoleh suara mayoritas,
maka beberapa partai politik yang bergabung (koalisi) untuk membentuk kabinet
pemerintahan. Oleh karena itu, Sistem Pemerintahan Parlementer merupakan sistem
pemerintahan dimana hubungan antara eksekutif dan badan perwakilan (legislatif) sangat
erat dengan ciri-cirinya sebagai berikut:206
a) Kepala negara bisa raja/ratu/presiden. Namun, tidak bertanggung jawab atas
segala kebijakan yang diambil oleh kabinet.
b) Kepala negara hanya sebagai simbol negara karena yang menjadi kepala
pemerintahan adalah perdana menteri.
c) Parlemen mempunyai kekuasaan sebagai badan perwakilan dan lembaga
legislatif. Anggota parlemen dipilih oleh rakyat melalui pemilu.
d) Eksekutif (kabinet) bertanggung jawab kepada legislatif. Jika parlemen
mengeluarkan mosi tidak percaya kepada menteri, maka kabinet harus
mngembalikan mandat kepada kepala negara.
e) Dalam sistem dua partai, yang ditunjuk sebagai pembentuk kabinet sekaligus
perdana menteri adalah ketua parpol pemenang pemilu.
f) Dalam sistem banyak partai, formatur kabinet harus membentuk kabinet
secara koalisi, karena kabinet harus mendapat dukungan kepercayaan dari
Parlemen.
g) Kepala negara bisa menjatuhkan Parlemen Nasional. Selanjutnya kabinet
harus membentuk Parlemen baru melalui pemilu.
Ciri-ciri sistem Pemerintahan Parlementer di atas, apabila ditelaah
berdasarkan ketentuan Konstitusi Timor-Leste, maka dapat disimpulkan bahwa Negara
Timor-Leste menganut sistem pemerintahannya adalah sistem pemerintahan
Parlementer. Hal demikian dapat ditelusuri berdasarkan pengaturan ketentuan
kewenangan lembaga Negara dalam Konstitusi RDTL sebagai berikut:
Bagian pertama; menurut ketentuan Pasal 74 ayat (1) bahwa, “Presiden Republik adalah
kepala Negara dan lambang dan penjamin kemerdekaan nasional dan persatuan
Negara serta tata kerja lancar lembaga-lembaga demokratis. Presiden Republik
kepala negara hanya sebagai simbol negara karena yang menjadi kepala
206 Idup Suhadi dan Desi Fernanda, 2001, “Dasar-dasar Kepemerintahan yang baik”, Jakarta,
Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia, h.4
pemerintahan adalah perdana menteri. Presiden Republik dipilih secara langsung
melalui pemilihan umum yang demokrasi, bebas, langsung, umum dan rahasia.
Bagian kedua; menurut ketentuan Pasal 92 menjelaskan bahwa, “Parlemen Nasional
adalah lembaga kedaulatan Republik Demokratis Timor-Leste yang mewakili
semua warga negara Timor-Leste dan diberikan wewenang legislatif, pengawasan
dan pengambilan keputusan politik.” Anggota parlemen dipilih oleh rakyat
melalui pemilihan. Selanjutnya, Pasal 95 Konstitusi RDTL tentang kewenangan
Parlemen Nasional ayat (1), Parlemen Nasional berwewenang dan bertanggung
jawab untuk membuat undang-undang mengenai persoalan-persoalan dasar yang
menyangkut kebijakan dalam dan luar negeri; dan ayat (2), Parlemen Nasional,
secara eksklusif, berwewenang dan bertanggung jawab untuk membuat undang-
undang tentang muatan yang diatur pada bagian huruf (a) sampai dengan huruf
(q) dalam ayat (2) Pasal 95 Konstitusi RDTL.
Bagian ketiga; Pasal 103 menjelaskan bahwa, “Pemerintah adalah badan kedaulatan
yang bertanggung jawab atas pengarahan dan pelaksanaan kebijakan umum
negara dan merupakan badan Pemerintahan Umum tertinggi” dan Pasal 104 ayat
(1) bahwa, Pemerintah terdiri atas Perdana Menteri, para Menteri dan para
Sekretaris Negara.” Selanjutnya kewenangan Pemerintah sebagaimana diatur
dalam Pasal 115 Konstitusi RDTL.
Bagian ke empat; Pasal 118 lembaga yudisial, ayat (1) menjelaskan bahwa “Pengadilan
adalah badan kedaulatan dengan wewenang untuk menegakkan keadilan, atas
nama rakyat” selanjutnya ayat (2), menyatakan bahwa, dalam menjalankan
fungsi-fungsinya, pengadilan berhak memperoleh bantuan dari aparat
Pemerintah lainnya, dan ayat (3), bahwa putusan pengadilan bersifat mengikat
dan berada di atas putusan pihak berwewenang apapun lainnya.
Atas dasar kewenangan lembaga Negara sebagaimana diuraikan di atas maka,
disimpulkan bahwa sistem pemerintahan Timor-Leste adalah sistem Pemerintahan
Parlementer.
2.5.2 Sistem Pemerintahan Presidensil
Sistem pemerintahan presidensiil, merupakan suatu pemerintahan di mana
kedudukan eksekutif tidak bertanggung jawab kepada badan perwakilan rakyat, dengan
kata lain kekuasaan eksekutif berada di luar pengawasan (langsung) Parlemen.
Karaktristik sistem pemerintahan presidensiil, yaitu:207
a) Presiden adalah kepala eksekutif yang memimpin kabinetnya yang semua
diangkat olehnya dan bertanggung jawab olehnya.
b) Presiden tidak dipilih oleh badan legislatif, tetapi dipilh oleh sejumlah pemili.
c) Presiden tidak bertanggung jawab kepada badan legislatif dan tidak dapat
dijatuhkan oleh badan legislatif.
d) Sebagai imbangannya, presiden tidak dapat membubarkan badan legislatif.
e) Sistem pemerintahan quasi dan referendum.
Sistem pemerintahan quasi pada hakikatnya merupakan bentuk variasi dari
Sistem pemerintahan Parlementer dan Sistem pemerintahan Presidensiil. Hal ini
disebabkan situasi dan kondisi yang berbeda sehingga, melahirkan bentuk-bentuk sistem
pemerintahannya sesuai dengan kebutuhan Negara yang bersangkutan, sedangkan, sistem
207 Ibid. h.5
referendum merupakan bentuk variasi dari sistem quasi (quasi presidensiil) dan sistem
presidensiil murni. Tugas membuat undang-undang berada dibawah pengawasan rakyat
yang mempunyai hak pilih, pengawsan itu dilakukan dalam bentuk referendum. Sistem
pemerintahan referendum dibagi menjadi dua, yaitu:
a) Referendum obligator, yaitu jika persetujuan dari rakyat mutlak harus
diberikan dalam pembuatan suatu peraturan perundang-undangan yang
mengikat rakyat seluruhnya, karena sangat penting;
b) Referendum fakultatif, yaitu jika persetujuan dari rakyat dilakukan terhadap
undang-undang biasa, karena kurang pentingnya, setelah undang-undang itu
diumumkan dalam jangka waktu yang ditentukan.208.
Berhubung dengan sistem pemerintahan presidensial diatas, Jimly
Asshiddiqie mengemukakan sembilan karakter pemerintahan presidensial sebagai
berikut:209
a) Terdapat pemisahan kekuasaan yang jelas antara cabang kekuasaan eksekutif
dan legislatif.
b) Presiden merupakan eksekutif tunggal. Kekuasaan eksekutif Presiden tidak
terbagi dan yang ada hanya presiden dan wakil presiden saja.
c) Kepala Pemerintahan adalah sekaligus kepala negara atau sebaliknya kepala
negara adalah sekaligus kepala Pemerintahan.
d) Presiden mengangkat para menteri sebagai pembantu atau sebagai bawahan
yang bertanggung jawab kepadanya.
e) Anggota Parlemen tidak boleh menduduki jabatan eksekutif dan demikian
pula sebaliknya.
f) Presiden tidak dapat membubarkan atau memaksa Parlemen
g) Berlaku prinsip supremasi konstitusi, karena itu Pemerintah eksekutif
bertanggung jawab kepada konstitusi
h) Eksekutif bertanggung jawab langsung kepada rakyat yang berdaulat
i) Kekuasaan tersebar secara tidak terpusat.
208 Saldi Isra, op.cit., h. 30-31 209 Jimly Asshiddiqie, op.cit. h. 316.
Salah satu karakter sistem pemerintahan Presidensial yang utama adalah
Presiden memegang fungsi ganda, yaitu sebagai kepala negara sekaligus kepala
pemerintahan, dalam kekuasaan eksekutif, Perdana Menteri sebagai kepala Pemerintah,
Presiden memegang kekuasaan tunggal dan tertinggi. Presiden memilih dan mengangkat
Perdana menteri dan para anggota kabinet dan berperan penting dalam pengambilan
keputusan didalam kabinet, tanpa bergantung kepada lembaga legislatif. Karakter sistem
presidensial dapat juga dilihat dari pola hubungan antara lembaga eksekutif (presiden)
dengan lembaga legislatif, dimana adanya pemilihan umum yang terpisah untuk memilih
presiden dan anggota legislatif. Sistem presidensial membawa ciri yang kuat pada
pemisahan kekuasaan, dimana badan eksekutif dan Legislatif bersifat independen satu
sama lain.210
2.5.3 Sistem Pemerintahan semi-Presidensil
Sistem Pemerintahan campuran (mixed system atau hybrid system) adalah
sistem Pemerintahan yang berupaya mencarikan titik temu antar Sistem pemerintahan
Presidensial dan Sistem Pemerintahan Parlementer. Fungsi ganda Presiden sebagaimana
dalam Sistem Pemerintahan Presidensial, Presiden tetap dipertahankan. Namun sebagai
kepala Pemerintahan, Presiden berbagi kekuasaan dengan perdana menteri yang
menimbulkan dual executive system.
Karakteristik Sistim pemerintahan campuran. Ada dua pola utama dalam
sistim hybrid, yaitu pola yang berupa quasi parlementer atau quasi presidensiil. Hal itu
210 Saldi Isra, op.cit., h. 40
didasari kepada seberapa kuat kekuasaan yang melekat pada Presiden atau Perdana
Menteri. Melekatnya kepada Perdana Menteri kekuasaan inti akan memberikan deskripsi
bentuk sistim pemerintahannya tersebut adalah sistim campuran yang semi parlementer.
Sebaliknya, apabila penguatan kewenangan berada pada kekuasaan Presiden, maka sistim
campuran tersebut adalah quasi presidensiil. Sebagaimana dijelaskan oleh UNDP sebagai
berikut;
If the constitution and/or political circumstances tend to place the emphasis on
the powers of the President, it is sometimes termed a semi-presidential system. If,
on the other hand, the Prime Minister and the legislative leaders enjoy more
power than the President does, it may be referred to as a semi-parliamentary
system.211
Perancis menganut sistim hybrid yang mengarah kepada sistim semi-
presidensiil. Dimana Konstitusi Republik Ke-Lima memberikan penguatan-penguatan
kepada lembaga eksekutif. Hal tersebut adalah rencana de Gaulle untuk membatasi
kekuasaan politisi legislatif yang dianggapnya memperlemah kewibawaan Perancis
dimata koloni-koloninya. Eva Liu meringkaskan kondisi pemerintahan Perancis dengan
menjelaskan beberapa bentuk kekuasaan dari lembaga-lembaga negara (pembagian
kekuasaan memang baru dilakukan oleh Prancis setelah reformasi pada Tahun 1958
yaitu;212 Republik Ke-Lima Perancis memiliki karrakteristik pola semi presidensiil
pemerintahan parlementer yang terlihat melalui dualisme eksekutif, yaitu; kekuasaan
211 http://www.undp.org/governance/docs/Parl-Pub-govern.htm, Governing Systems and
Executive-Legislative Relations (Presidential, Parliamentary and Hybrid Systems). Diakses pada tanggal
12 Maret 2016 212 Eva Liu, 2000, System of Government in Some Foreign Countries: France,
http://www.legco.gov.hk 5th Floor, Citibank Tower, 3 Garden Road, Central, Hong Kong, diakses pada
tanggal 12 Maret 2016.
eksekutif terbagi antara Presiden dan Perdana Menteri. (The Fifth French Republic
(France) has a semi-presidential style of parliamentary government characterized by a
dual executive: executive power is being shared by the President of the Republic and the
Prime Minister).
1) The President is the Head of State and is elected for seven years by direct
universal suffrage. His functions and powers include inter alia being arbiter
of the Constitution, presiding over Cabinet meetings, promulgating laws,
calling for referendums, dissolving the Parliament, being Commander of the
armed forces, and negotiating and ratifying treaties (Presiden merupakan
kepala negara yang menjabat selama 7 Tahun melalui sebuah pemilihan
langsung. Fungsi dan kekuasaannya termasuk inter alia sebagai pengawas
pelaksanaan konstitusi, memimpin rapat kabinet, pelaksana undang-undang,
mengusulkan referendum, membubarkan parlemen, Panglima tertinggi
angkatan bersenjata, dan negosiator dan peratifikasi perjanjian internasional).
2) The Prime Minister is the Head of Government, who is appointed by the
President after a legislative election is held for the National Assembly. His
functions and powers include directing the actions of the government, being
responsible for national defence, ensuring the execution of the laws, and
exercising regulatory and appointment powers. He is to form a Council of
Ministers which shall help him to deliberate policies and decisions. (Perdana
Menteri adalah Kepala Pemerintahan yang diangkat oleh Presiden setelah
pemilihan legislatif untuk mengisi kedudukan di Majelis Nasional. Fungsi dan
kekuasaannya termasuk mengatur kegiatan Pemerintah, bertanggung jawab
terhadap pertahanan Nasional, memastikan penerapan hukum, dan
melaksanakan peraturan dan kekuasaan penunjukan tugas. Ia juga
memformulasikan Dewan Menteri yang akan membantunya dalam
pertimbangan kebijakan dan keputusan).
3) The French Parliament is bicameral, consisting of the National Assembly and
the Senate. The Parliament makes laws, controls the government budget and
oversees government policy. National Assembly Deputies are elected by direct
universal suffrage while Senators are indirectly elected by electoral college.
Only the National Assembly can compel the government to resign when it
produces a motion of censure. No government has been forced to resign by
censure in the Fifth Republic. (Parlemen Perancis menganut sistim dua kamar,
yang terdiri dari Majelis Nasional dan Senat. Parlemen berfungsi membentuk
undang-undang, mengontrol anggaran Pemerintah dan mengawasi kebijakan
Pemerintah. Anggota Majelis Nasional dipilih melalui pemilihan umum
sedangkan para Senator dipilih melalui electoral college. Hanya Majelis
Nasional saja yang bisa memaksa pergantian Pemerintah melalui mosi tidak
percaya. Namun tidak satupun pemerintahan yang diganti melalui mosi tidak
percaya selama Republik Ke-Lima).
4) The Executive dominates the Legislature. The Government sets the agenda for
the Parliament, and government bills are to take priority over private
members’ bills. The Government can even submit a bill for passage without
seeking parliamentary input on all details. Questions are limited to two
afternoons in a week in the National Assembly and one day in a month in the
Senate. The Government can promulgate its budget by decree if Parliament
does not approve it within 70 days. The Government can declare its policy
and provoke the Parliament to accept it unless a censure is successfully
produced. A successful censure has never happened in the Fifth Republic
because the opposition lacked enough votes. (Kekuasaan eksekutif
mendominasi legislatif. Pemerintah mengatur agenda parlemen, dan undang-
undang pemerintahan menjadi prioritas utama melalui undang-undang
tersendiri. Pemerintah bahkan dapat mengajukan undang-undang untuk
disahkan tanpa memerlukan masukan dari parlemen. Pengusulan undang-
undang terbatas pada 2 hari seminggu pada Majelis Nasional dan satu hari
sebulan di Senat. Pemerintah dapat mengumumkan anggaran melalui sebuah
kebijakan pemerintah apabila Parlemen tidak menyetujui anggaran tersebut
dalam 70 hari. Pemerintah bahkan bisa mendeklarasikan kebijakannya dan
memaksa Parlemen untuk menerima kebijakan tersebut walaupun mosi tidak
percaya telah sukses terlaksana. Mosi tidak percaya yang berhasil tidak pernah
terjadi di dalam Republik Ke-Lima dikarenakan oposisi memiliki jumlah
suara terbatas di Parlemen).
5) Political parties may be freely established and freely operate under the
Constitution. The Electoral Code restricts the amount and sources of
donations which can be received by candidates and political parties. (Partai-
partai politik bebas didirikan dan berjalan di bawah naungan Konstitusi.
Ketentuan Pemilu membatasi jumlah dana yang bisa diterima kandidat dan
partai politik dari sumber donator).
6) Amendments to the Constitution are provided for in the Constitution, which
comprise different routes of approval by the Parliament and
referendums.213(Amandemen Konstitusi diatur dalam konstitusi itu sendiri,
yang terdiri dari beberapa bentuk persetujuan oleh parlemen dan referendum).
7) Eight referendums have been held since 1958, five of which concerned foreign
policy. (Telah terjadi 8 (delapan) kali Referendum semenjak 1958, 5 (lima)
diantaranya terfokus kepada kebijakan luar negeri).
213 Ibid.
Berdasarkan sistem pemerintahan semi presidensial yang dipaparkan diatas,
Presiden merupakan eksekutif yang memiliki kekuasaan tertinggi walaupun dalam Pasal
20 Konstitusi Republik Ke-lima menyatakan; “the government decides and directs the
policy of the nation’ dan selanjutnya, Pasal 21, “the Prime Minister is in general charge
of the work of the government”. Pasal 5 Konstitusi Republik Ke-lima memperlihatkan
kekuasaan Presiden yang sangat besar sebagai lembaga negara yang menegakkan
pelaksanaan konstitusi yaitu:
The President of the Republic ensures that the constitution is respected. He
ensures, by his arbitration, the regular working of the public authorities as well
as the continuity of the State. He is the protector of national independence, of
territorial integrity and of the respect for Community agreements and treaties.
Dalam sistim Portugal, kekuasaan eksekutif juga bertumpu kepada Presiden,
selain sebagai panglima tertinggi angkatan perang yang berhak menyatakan negara dalam
kondisi perang/genting, presiden juga diberi kekuasaan mengangkat Perdana Menteri dan
Dewan Menteri. Selain itu, Presiden juga memiliki kewenangan untuk memecat Perdana
Menteri, membubarkan Majelis Republik (Assembly of the Republic, legislatif Portugal
bersistem unicameral) dan kemudian memerintahkan pelaksanaan pemilihan umum
untuk memilih anggota legislatif baru yang berjumlah 230 orang.214 Sedangkan sistem
pemerintahan Perancis, sistem Parlementer dicangkokan kedalam sistem Presidensial.
Adapun lembaga perwakilaan di Perancis adalah Parlemen yang terdiri atas National
Assembly (Dewan nasional) dan Senate (senat). Fungsi lembaga perwakilan rakyat ini
214 Ibid.
secara umum adalah fungsi representasi, pengawasan, legislasi dan anggaran. Mengenai
pelaksanaan fungsi, tugas dan mekanisme kerja masing-masing badan tersebut diatur di
dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan Negara yang bersangkutan.215
Berdasarkan sistem Pemerintah sebagaimana dipaparkan di atas, dapat
disimpulkan bahwa negara Republik Demokratik Timor-Leste menganut sistem
Pemerintahan Parlementer, karena kekuasaan diberikan kepada Parlemen Nasional,
sedangkan Presiden dan Pemerintah sebagai pelaksana kebijakan Parlemen Nasionl.
Adapun lembaga perwakilan hanya satu kamar (unikameral) yang disebut Parlemen
Nasional. Fungsi Parlemen Nasional adalah fungsi Representativ, Legislasi,
pengawasan, dan Anggaran. Sebagaimana diatur dalam Pasal 92 Konstitusi RDTL 2002,
ditentukan bahwa, “Parlemen Nasional adalah lembaga kedaulatan Republik Demokratis
Timor-Leste yang mewakili semua warga negara RDTL dan diberikan wewenang
legislatif, pengawasan dan pengambilan keputusan politik.” Berikut bagan struktur sistem
pemerintahan, Parlementer, Presidensial dan campuran (Semi Presidensial):216
215 Patanisari Siahaan, 2012, Politik Hukum Pembentukan Undang-undang (Pasca Amandemen
UUD 1945). Konpress, Jakarta, h.31-32 216 Paul Christoper Manuel dan Anne Maria Camissa, 1999, Checks and Balances? How a
Paliamentary System Could Changed American Politics, Westview Press, United State of America, h. 16.
Bagan 6 :
Sistem Pemerintahan
2.4.5 Sistem Pemerintahan Negara Republik Demokratik Timor-Leste
Dalam pembukaan Konstitusi RDTL paragraf ke 3 (tiga), menyatakan bahwa,
“perlu membangun suatu budaya demokratis dan kelembagaan yang sesuai untuk suatu
Negara Hukum, di mana penghormatan bagi UUD dan bagi lembaga-lembaga yang
terpilih secara demokratis, merupakan landasan yang tidak dapat dipertanyakan. Dengan
menafsirkan perasaan mendalam, cita-cita dan kepercayaan pada Tuhan dari rakyat Timor
Leste;
Lembaga-lembaga negara yang terpilih secara demokrasi, dalam
melaksanakan fungsinya untuk meujudkan kesejateraan rakyat maka, perlu membentuk
suatu sistem pemerintahan. Sistem pemerintahan merupakan landasan yang sangat
penting bagi negara-negara yang baru berkembang, untuk melaksanakan fungsi-fungsi
SISTEM
PEMERINTAHAN
Sistem pemerintahan
Parlamenter
Republik
Kerajaan
Sistem pemerintahan Campuran (semi
Presidensial)
Desentralisasi
Sentralisasi
Sistem pemerintahan
Presidensial Serikat
kesatuan
Sistem peerintahan
Proletariat Multi Partai
Mono Partai
lembaga negara. Negara Republik Demokratik Timor-Leste, salah satu negara yang baru
merdeka pada era Melinium ke 20, tepatnya pada Tanggal 20 Mei Tahun 2002.
Dalam Konstitusi RDTL terhadap sistem pemerintahannya, bila ditelaah dari
unsur-unsur pembentukan lembaga negara menunjukkan ciri khas sistem pemerintahan
Republik Demokratik Timor-Leste sebagai berikut:
1) Nama Resmi negara Timor-Leste adalah Republik Demokratik Timor-Leste
2) Bentuk negara Republik Demokratik Timor-Leste adalah negara yang berbentuk
negara kesatuan
3) Bentuk pemerintahan negara Republik Demokratik Timor-Leste adalah
pemerinthan yang berbentuk Republik
4) Bentuk sistem Pemerintahan negara Republik Demokratik Timor-Leste adalah
sistem pemerintahan Parlamenter.
Berdasarkan sistem Pemerintahan Parlementer dapat diuraikan sebagai berikut:
Pertama, Kepala negara bisa raja/ratu/presiden. Namun, tidak bertanggung jawab atas
segala kebijakan yang diambil oleh kabinet. Kepala negara hanya sebagai simbol
negara karena yang menjadi kepala pemerintahan adalah perdana menteri.
Menurut ketentuan Konstitusi RDTL Pasal 74, ayat (1) Presiden Republik
adalah Kepala Negara, dan lambang penjamin kemerdekaan Nasional, dan
persatuan Negara serta tata kerja lancar lembaga-lembaga demokratis; dan ayat
(2), menentukan bahwa, Presiden Republik adalah Panglima Tertinggi Angkatan
Bersenjata. Ketentuan Pasal 76, mengatur Presiden Republik dipilih dalam
pemilihan umum yang universal, bebas, langsung, rahasia dan pribadi.
Kedua, Parlemen mempunyai kekuasaan sebagai badan perwakilan dan lembaga
legislatif. Anggota Parlemen dipilih oleh rakyat melalui pemilu. Menurut
ketentuan Konstitusi Pasal 92, Konstitusi RDTL Parlemen Nasional adalah
lembaga kedaulatan Republik Demokratis Timor Leste yang mewakili semua
warga negara Timor-Leste dan diberikan wewenang legislatif, pengawasan dan
pengambilan keputusan politik dan ketentuan Pasal 93, Konstitusi RDTL
menentukan bahwa Parlemen Nasional dipilih melalui suatu pemilihan umum
yang bersifat bebas, langsung, sama, rahasia dan pribadi.
Ketiga, Kepala Pemerintah (Eksekutif) adalah Perdana Mentri yang memimpin
kabinet pemerintahan dan bertanggung jawab kepada lembaga legislatif. Jika
parlemen mengeluarkan mosi tidak percaya kepada menteri, maka kabinet
harus mengembalikan mandat kepada kepala negara. menurut ketentuan
Kostitusi Pasal 103, menentukan bahwa Pemerintah adalah badan kedaulatan
yang bertanggung jawab atas pengarahan dan pelaksanaan kebijakan umum
negara dan merupakan badan pemerintahan umum tertinggi dan Pasal 104
ayat (1), Pemerintah terdiri atas Perdana Menteri, para Menteri dan para
Sekretaris Negara. dan ayat (2) Pemerintah dapat mempunyai satu atau lebih
wakil Perdana Menteri dan wakil Menteri.
Ke empat, Dalam sistem dua atau kualisi partai, yang ditunjuk sebagai pembentuk
kabinet sekaligus perdana menteri adalah ketua parpol yang menjadi
pemenang pemilu.
Kelima, Dalam sistem banyak partai, formatur kabinet harus membentuk kabinet
secara koalisi, karena kabinet harus mendapat dukungan kepercayaan dari
Parlemen, berdasarkan Pasal 106, Konstitusi RDTL menentukan, Perdana
Menteri akan ditunjuk oleh partai politik atau oleh koalisi partai-partai
politik yang mempunyai mayoritas perwakilan dalam Parlemen Nasional dan
akan dilantik oleh Presiden Republik, setelah berkonsultasi dengan partai-
partai politik yang menduduki kursi dalam Parlemen Nasional.
Ke enam, Kepala negara bisa menjatuhkan Parlemen Nasional, dan kabinet harus
membentuk Parlemen Nasional yang baru melalui pemilu.
Berdasarkan ciri-ciri sistem pemerintahan tersebut di atas, disimpulkan
bahwa, sistem Pemerintahan Negara Timor-Leste adalah sistem Pemerintahan
Parlementer.
2.6 Konsep Negara Hukum
Konsep negara hukum berkaitan dengan kewenangan lembaga negara dalam
pembentukan undang-undang berdasarkan Konstitusi RDTL Tahun 2002, negara RDTL
menganut negara hukum sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1)
Konstitusi RDTL Tahun 2002, selain ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (1) tersebut, secara
filosofis telah ditetapkan pada pembukaan konstitusi paragraph ke 4 (empat) dan 5 (lima).
Perlu dikaji mengenai negara hukum yang dianut negara Timor-Leste serta kewenangan
lembaga negara dalam pembentukan undang-undang berdasarkan Konstitusi RDTL.
Penggunaan konsep negara hukum dalam penelitian ini, sebagai landasan
untuk mengkaji kewenangan lembaga negara dalam pembentukan undang-undang
berdasarkan konstitusi, oleh karena konsep negara hukum menjadi pedoman dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan dari konsep negara hukum itupula yang melahirkan
kewenangan lembaga negara dalam pembentukan undang-undang, dimana lembaga-
lembaga negara ini menjamin terselenggaranya pemerintahan yang berdasarkan hukum.
Ajaran negara berdasarkan atas hukum (de rechts staat dan the rule of law)
mengandung pengertian bahwa hukum adalah supreme dan kewajiban bagi setiap
penyelenggara negara atau Pemerintah untuk tunduk pada hukum (subject to the law),
tidak ada kekuasaan di atas hukum (above to the law).217 Atas dasar pernyataan di
atas, maka tidak boleh ada kekuasaan yang sewenang-wenang (arbitrary power) atau
penyalahgunaan kekuasaan (misuse of power) baik pada negara berbentuk kerajaan
maupun Republik. Secara maknawi, tunduk pada hukum mengandung pengertian
pembatasan kekuasaan seperti halnya ajaran pemisahan dan pembagian
kekuasaan.218Aristoteles merumuskan negara hukum adalah negara yang berdiri di
atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan
syarat bagi tercapainya kebahagiaan hidup untuk warga Negara dan terkait dengan
keadilan itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar ia menjadi
217 Bagir Manan, 2003, Lembaga Kepresidenan, FH UII Press, Jakarta, h. 11 218 Ibid.
warganegara yang baik. Peraturan yang sebenarnya, menurut Aristoteles ialah
peraturan yang mencerminkan keadilan, bagi pergaulan antar warga negaranya, maka
menurutnya yang memerintah negara bukanlah manusia, melainkan “pikiran yang
adil”. Penguasa hanyalah pemegang hukum dan keseimbangan saja.219
Pendekatan ini akan dilakukan melalui istilah rule of law dan rechtsstaat,
mengingat bahwa dalam konstitusi telah menempatkan unsur-unsur konsep negara
hukum rule of law dan rechtssaat, oleh karena itu, penelitian ini, mengkaji pemikiran-
pemikiran tersebut, melalui analisis yuridis normatif, tentang unsur-unsur negara hukum,
yang tercantum dalam Konstitusi Timor-Leste, sebagaimana yang dikutip oleh Azhari
dari pandangan Aristoteles yang mengatakan: “konstitusi merupakan penyusunan jabatan
dalam suatu negara, dan menentukan apa yang dimaksudkan dengan badan pemerintahan,
dan apa akhir dari setiap masyarakat, konstitusi merupakan aturan‐aturan, dan penguasa
harus mengatur negara menurut aturan‐aturan tersebut.220” Aristoteles berpendapat
bahwa, adanya suatu pemerintahan yang berlandaskan konstitusi akan terlihat dari tiga
unsur, yaitu adanya pemerintahan yang dilaksanakan untuk kepentingan umum, adanya
pemerintahan yang dilaksanakan menurut hukum yang berdasarkan atas ketentuan‐
ketentuan umum dan bukan dibuat secara semena‐mena, dan adanya pemerintahan yang
219 Aristoteles, 2008, Politik (La Politica), diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh Benjamin
Jowett dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Syamsur Irawan Khairie, Cetakan Kedua,
Visimedia, Jakarta, h. 43 220 Sayuti, 2011, Konsep Rechtsstaat Dalam Negara Hukum Indonesia (Kajian Terhadap
Pendapat Azhari) Journal NALAR FIQH, kajian Ekonomi, Islam dan Masyarakat, Volume 4, Nomor 2,
Desember, h.83
dilaksanakan atas kehendak rakyat dan bukan atas paksaan atau tekanan.221 John Locke,
telah memberikan pengaruh besar terhadap pemikiran negara hukum setelah abad XVII
M. Lewat karyanya yang berjudul “Two Treaties on Civil Government” mengemukakan
teori‐teori mengenai pemisahan kekuasaan, hak‐hak asasi dan sebagainya.222 Sedangkan
mengenai tugas negara, sebagaimana yang dikutip Azhari, dari pandangan Jhon Locke
berpendapat:223 “Negara secara alamiah diatur oleh hukum alam yang harus dipatuhi oleh
setiap orang sebagai hukurn, memberi arahan dalam kehidupan manusia di mana setiap
orang mempunyai kebebasan dan persamaan, tidak seorangpun boleh mengganggu
kehidupan, kemerdekaan atau memenjarakan orang lain.”
Inti dari buah pikiran Locke tersebut, antara lain meliputi bahwa adanya
penyelenggaraan negara harus berdasarkan atas hukum karena hukum berada pada posisi
yang supreme, adanya pemisahan kekuasaan, dan adanya hukum yang menjamin hak‐hak
asasi manusia. Dengan pemikiran‐pemikiran tersebut, maka Locke tidak langsung
menghabisi kekuasaan yang berada pada pihak Pemerintah (raja) sebelumya, melainkan
hanya berusaha untuk menggurangi kekuasaan absolut sebelumnya. Oleh karena itu
Locke dianggap berhasil dalam menjembatani pemikiran tentang negara dan hukum
sebelumnya (sebelum abad XVII) dengan pemikiran negara hukum abad XVIII M.224
Selain Locke, Montesquieu (1689‐1755) seorang ahli hukum berkebangsaan Perancis
dipandang sangat berjasa dalam memunculkan konsep negara hukum. Dalam bukunya
221 Ibid. 222 Ibid. h.84 223 Ibid. h. 25 224 Soehino, 2000, Ilmu Negara, Liberty Yogyakarta, h. 106
yang berjudul LʹEsprit des Lois (jiwa dari undang‐undang) yang terbit pada Tahun 1748,
Montesquieu seperti halnya Locke mengemukakan suatu pembagian kekuasaan (fungsi)
negara ke dalam tiga macam kekuasaan yang agak berbeda dengan teori Locke. Menurut
Montesquieu kekuasaan (fungsi) di dalam negara itu dibagi ke dalam kekuasaan legislatif
(membuat undang‐undang), kekuasaan eksekutif (melaksanakan undang‐undang) dan
kekuasaan yudikatif (mengadili atas pelanggaran‐pelanggaran bagi undang‐undang).225
Berkaitan dengan gagasan tentang negara hukum, menurut Montesquieu
negara hukum itu tercermin dari adanya pemisahan kekuasaan negara dalam tiga organ
kekuasaan, yang satu sama lainnya berada pada posisi seimbang, guna menjamin
kebebasan warga dan menghindari terjadinya kekuasaan Pemerintah yang absolut.226 J.J.
Rousseau (lahir 1712), sebagai generasi yang datang kemudian setelah Locke dan
Montesquieu, dan dianggap cukup memberikan andil besar mengenai gagasan negara
hukum, dalam bukunya yang berjudul Du Contract Social Rousseau berpendapat bahwa
dalam suatu negara diperlukan adanya suatu perjanjian masyarakat (social contract)
untuk menjamin keselamatan jiwa dan harta mereka sendiri. Perjanjian masyarakat ini
hanya berbentuk pactum unionis yaitu di mana adanya penyerahan dari rakyat secara
individu kepada rakyat secara keseluruhan. Beliau menambahkan bahwa untuk
membentuk persatuan rakyat harus dengan suara bulat (volente de tout), tetapi untuk
225 F. Marbun dan Moh. Mahfud MD, Pokok‐pokok Hukum Administrasi Negara, Op.cit. h. 24 226 Sayuti, Loc.Cit. h. 29
membentuk pemerintahan yang dapat menjamin kemerdekaan dan ketertiban hanya
diperlukan atas suara mayoritas (volente generate) saja.227
Berdasarkan pandangan Rousseau di atas, secara jelas dapat dipahami bahwa
kekuasaan yang tertinggi dalam negara berada di tangan rakyat, atau dengan kata lain
rakyatlah yang berdaulat. Pemikiran Rousseau berbeda dengan Hobbes dan Locke,
karena menurut kedua pemikir sebelumnya itu, bahwa dalam suatu negara harus ada
penyerahan seluruh kekuasaan dari rakyat kepada negara, meskipun dalam penyerahan
kepada negara itu ada sedikit perbedaan antara Hobbes dengan Locke. Albert Venn Dicey
Dalam bukunya yang berjudul, Introduction to The Study of The Law of The Constitution
Tahun 1885,228 mengatakan bahwa ada tiga ciri negara hukum, yaitu adanya supremasi
hukum (supremacy of law) dalam arti tidak boleh ada kesewenang‐wenangan sehingga
seseorang hanya boleh dihukum jika melanggar hukum, adanya kedudukan yang sama di
depan hukum (equality before the law) baik bagi rakyat biasa maupun pejabat, dan adanya
penegasan serta perlindungan hak‐hak manusia melalui konstitusi (constitution based on
individual rights and enforced by the courts) dan keputusankeputusan pengadilan.
Bentuk negara hukum yang dikemukakan Dicey tersebut, memuat tiga unsur
pokok, yaitu meletakkan supremasi hukum, adanya kedudukan yang sama di depan
hukum dan jaminan terhadap hak‐hak manusia, yang bukan saja ditegaskan dalam
konstitusi, tetapi juga dapat dilakukan melalui keputusan pengadilan. Untuk menghindari
227 Ibid. h.29-30 228 A.V. Dicey, 1952, Introduction to The Study of The Law of The Constitution. Macmillan and
Co. Limited, London: h. 202‐203
tindakan sewenang‐wenang dari penguasa, maka kekuasaan yang dimilik oleh raja
tersebut harus dipisah‐pisahkan atau dibagi-bagikan ke beberapa bagian tertentu, yang
disebut dalam teori trias politika Montesquieu, tentang pemisahan kekuasaan (saparation
of power) dalam pemerintahan negara.
Dalam bentuk pemisahan kekuasaan ini, yang lebih dikenal dengan Trias
Politika, kekuasaan negara harus dilaksanakan oleh tiga badan organisasi yang satu sama
lain berbeda fungsinya secara terpisah, yaitu badan legislatif (kekuasaan membuat
undang-undang), badan eksekutif (kekuasaan melaksanakan undang‐undang atau
pemerintahan) dan badan yudikatif (kekuasaan menegakkan dan menafsirkan undang‐
undang atau kekuasaan bidang peradilan).
Menurut Friedrich Julius Stahl, negara hukum (rechtsstaat) harus memiliki
ciri‐ciri, yaitu adanya perlindungan HAM, adanya pemisahan, atau pembagian
kekuasaan, adanya pemerintahan berdasarkan peraturan‐peraturan (wetmatigheid van
bestuur), dan adanya peradilan administrasi yang bebas dalam perselisihan.229 Konsep
negara hukum tersebut dianut oleh sebagian besar negara‐negara Eropa (khususnya selain
Inggris), sehingga penganut aliran ini kemudian dikenal dengan sebutan aliran Eropa
Kontinental, Benua Eropa, atau Eropa Daratan.
Berdasarkan konsep negara hukum yang dikemukakan oleh beberapa ahli
tersebut di atas, berkaitan dengan konsep negara hukum Timor-Leste, dalam pembukaan
konstitusi paragraph terakhir ditentukan bahwa, “Dengan sungguh-sungguh menegaskan
229 Moh. Mahfud MD., 1999, Hukum dan Pilar‐pilar Demokrasi, Gama Media, Yogyakarta, h. 24.
kembali tekadnya untuk melawan segala bentuk tirani, penindasan, penguasaan dan
pemisahan sosial, budaya dan keagamaan, untuk mempertahankan kemerdekaan
nasional, menghormati dan menjamin hak-hak asasi manusia dan hak-hak asasi warga
negara, untuk menjamin asas pemisahan kekuasaan dalam penataan Negara, dan untuk
menetapkan aturan-aturan inti yang mendasar dari demokrasi multi-partai, dengan tujuan
untuk membangun suatu negara yang adil dan makmur dan mengembangkan masyarakat
yang bersatu dan bersahabat.”
Negara Republik Demokratik Timor-Leste adalah negara Hukum yang
mengutamakan adanya, Supremacy of law, adanya persamaan di hadapan hukum
(equality before the law), adanya pemisahan kekuasaan (separatioan of power), adanya
pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan (wetmatigheid van bestuur),
adanya perlindungan hak asasi manusia (HAM), dan adanya peradilan administrasi yang
bebas. Oleh karena itu, dalam konsep negara hukum Timor-Leste memiliki tujuan dan
cita-cita negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Konstitusi RDTL tentang
tujuan-tujuan negara “Objectivo do Estado”. Sehingga dapat dikatakan, negara hukum
Timor-Leste adalah negara hukum campuran antara konsep the rule of law dan
rechtsstaat.
Menurut Azhari,230 rechtsstaat pada permulaannya merupakan negara penjaga
malam (nachtwachter staat), yakni di mana negara hanya sebagai penjamin ketertiban
dan pertahanan keamanan saja. Negara baru bertindak apabila ketertiban dan keamanan
230 Sayuti, Loc.Cit. h. 143
terganggu. Tetapi kemudian pemakaian rechtsstaat digunakan sebagai konsep negara
hukum formal. Negara hukum formal tersebut, sebagaimana merujuk pada pandangan
Friedrich Julius Stahl, memiliki empat unsur, yaitu:231 adanya perlindungan HAM,
adanya pemisahan atau pembagian kekuasaan, adanya pemerintahan berdasarkan
peraturan‐peraturan (wetmatigheid van bestuur), dan adanya peradilan yang bebas.
Negara hukum formal kemudian berubah lagi menjadi negara hukum material, yakni di
mana tugas negara dalam menyelenggarakan kepentingan umum menjadi lebih luas.
Akhirnya pada perkembangan berikutnya, konsep rechtsstaat telah digunakan sebagai
negara kesejahteraan (verzorgingstaat).232
Aristoteles berpendapat bahwa, suatu Negara yang baik adalah Negara yang
dijalankan berdasarkan aturan konstitusi dan hukum yang berdaulat.233 Menurut Didi
Nazmi, bahwa Negara hukum adalah Negara yang berlandaskan atas hukum dan keadilan
bagi warganya. Maksudnya adalah segala kewenangan dan tindakan alat-alat
perlengkapan Negara atau penguasa, semata-mata berdasarkan hukum atau dengan kata
lain diatur oleh hukum. Demikian dapat mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup
warganya.
Bertitik tolak dari pemikiran Aristoteles tersebut, berkaitan dengan
kewenangan lembaga Negara dalam membentuk undang-undang berdasarkan konstitusi,
hal ini sangat relevan, oleh karena, pejabat yang melaksanakan kewenangan lembaga
231 Moh. Mahfud MD., Loc.Cit. h. 23. 232 Sayuti, Loc. Cit. h. 143 233 Ibid.
Negara, dalam proses penyelenggaraan pemerintahan, yang memerintah sebenarnya
bukan kekuasaan belaka melainkan pemikirannya, oleh karena dengan pemikiran yang
mencerminkan rasa keadilan, dan kesusilaan dalam memimpin maupun memerintah
maka, akan menghasilkan keadialan social bagi warga negaranya. Namun apabila yang
memerintah adalah manusia maka, kepribadian manusia itu selalu menunjukkan egonya
dari pada pemikiran yang baik untuk membangun suatu masyarakat yang adil dan
beradapan. Pada dasarnaya, Negara yang menganut paham Negara hukum, selalu
berlakunya tiga prinsip dasar, yakni supermasi hukum (supremacy of law), kesetaraan
dihadapan hukum (equality before the law), dan penegakan hukum dengan cara tidak
bertentangan dengan hukum (due process of law).
Berdasarkan pendapat para ahli tentang negara hukum di atas, maka tidak
ada kekuasaan yang sewenang-wenang (arbitrary power), penyalahgunaan
kekuasaan (misuse of power) baik pada negara berbentuk kerajaan maupun republik.
Secara maknawi, tunduk pada hukum mengandung pengertian pembatasan kekuasaan
seperti halnya ajaran pemisahan dan pembagian kekuasaan. Oleh sebab itu, negara
berlandaskan hukum memuat unsur pemisahan atau pembagian kekuasaan.234 Negara
hukum materil ini, yaitu negara yang mempunyai kewajiban untuk menyelenggarakan
kesejahteraan rakyat, sehingga campur tangan Pemerintah dalam mengurusi kepentingan
ekonomi rakyat, kepentingan politik dan sosial, kepentingan budaya dan lingkungan
hidupnya serta masalah-masalah lainnya tidak dapat dielakkan, oleh karena negara
234 Jimly Asshiddiqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jilid I, Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta., h. 4
bertugas mengurusi rakyat, dan disamping itu, undang-undang diharapkan memberikan
pengarahan kepada Pemerintah dalam hal perlindungan hak-hak asasi warga negara.
Ciri-ciri dari Negara hukum rechtsstaat material/sosial ini ditandai dengan
adanya:235
a) Prinsip perlindungan hak-hak asasi manusia.
b) Prinsip pemisahan/pembagian kekuasaan.
c) Prinsip pemerintahan berdasar undang-undang.
d) Prinsip peradilan administrasi.
e) Prinsip pemerintahan yang menciptakan kemakmuran rakyat.
Berkaitan dengan ciri-ciri Negara hukum sebagaimana diuraikan di atas,
dengan Negara-negara Skandinavia (Swedia, Finlandia, Spanyol, Jerman, dan Inggris,
menunjukan ciri-ciri yang menonjol sebagai berikut:236
a) Sistem perpajakan yang sangat progresif bersamaan dengan sistem jaminan
social yang sangat efektif untuk melindungi lapisan social yang lemah yang
semua itu, merupakan “regulasi social” yang cerdas oleh Negara dalam
konteks historis yang spesifik, proses yang kompleks serta berbagai hasil
transformasi gradual dan evolutif serta dengan waktu yang panjang;
b) Aktor swasta sebagai agen pertumbuhan ekonomi yang efisien dimana
mekanisme pasar sepenuhnya menyampaikan signal-signal yang
memberikan arah untuk mengambil keputusan bagi kalangan swasta, tanpa
adanya ruang yang tradisional oleh perilaku birokrasi atau aktor Negara;
c) Kekuatan politik serikat buruh yang sangat menentukan, berdampingan
dengan sistem demokrasi parlementer yang efektif, dengan terdapatnya
partai-partai yang memerintah dan partai-partai oposisi sehingga terjamin
proses “checks and balance” dalam rangka merealisasikan hak-hak politik
dan kepastian hukum bagi setiap warga Negara.
Dengan memperhatikan tujuan pokok Negara kesejahteraan dan perspektif
ekonomi yang berkeadilan social, model welfare state yang dianut oleh Negara-negara
235 Ibid. 236 W. Riawan Tjandra, 2008, Hukum Administarsi Negara, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta,
h.5
Skandinavia tersebut maka Konstitusi RDTL Tahun 2002, mengarah ke model dan ciri-
ciri tersebut, walapun paradigma Negara kesejahteraan selalu dalam perubahan dari
Negara hukum klasik ke Negara hukum modern, perubahan tersebut mengubah peran
social Pemerintah yang semula sekedar subordinat terhadap legislasi Parlemen, menjadi
peran aktif untuk mampu mengatur kehidupan masyarakat melalui kebijakan regulasi
operasional, dan berbagai diskresi untuk tujuan mencegah menajamnya kesenjangan
social serta mengupayakan terwujudnya social welfare state. Dalam Negara welfare
state, factor kemandirian Negara lebih menonjol daripada factor kenetralan Negara,
tidak lagi terikat pada gagasan pluralism tetapi juga mendekati organisme. Berikut
perubahan paradigma Negara hukum dalam table di bawah ini.237
Tabel 2 :
Perubahan paradigm Negara hukum
Perubahan Paradigm Negara Hukum
Kriteria Negara hukum klasik Negara hukum modern
Tipe Negara Nachtwakkerstaat Welvaarsstaat
Aktivitas Negara Pasif Aktif
Konsep Staatsonthouding Staatsbbemoienis
Asas Wetmatigheid Recht-of doelmatigheid
Pemikiran Normstelling, voorschrif,
uitvoering/toepassing
Doelstelling, plan, beleid
Terminology Formele rechtsstaat Materiele of sociale
rechtsstaat
237 Busuki Rachmat, 2018, Pengenalan hukum Administrasi Negara https:
https://image.slidesharecdn.com/pengenalanhukumadministrasinegara, di akses pada tanggal 23 januari
Timor-Leste merupakan Negara hukum yang demokratis, yang meraih
kemerdekaannya pada era melinium ke 20, sehingga dalam penyelenggaraan
Pemerintahan sebagai welfare state, tentu tidak begitu mudah untuk dilaksanakan,
walaupun demikian Negara Timor-Leste telah memiliki predikat sebagai Negara
kesejahteraan secara konstitusional, namun dalam praktek belum dilaksanakan
berdasarkan amanat Konstitusi.
Bentuk Negara Timor-Leste berdasarkan Pasal 1 Konstitusi RDTL 2002
yaitu berbentuk Kesatuan, oleh karena itu, pembentukan peraturan perundang-undangan
pusat dan daerah tidak boleh lepas dari Pasal 1 Konstitusi sebagai “bingkai” Negara
kesatuan. Prinsip Negara demokrasi (democracy), mengisyaratkan agar setiap
pembentukan peraturan perundang-undangan senantiasa melibatkan peran serta
masyarakat, harus diberikan ruang secara demokrasi untuk berpartisipasi dalam
pembentukan peratauran perundang-undangan, dari tahap perancangan hingga pasca
diundangkannya undang-undang tersebut.
Keterlibatan rakyat secara langsung dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan tidak saja mencerminkan prinsip demokrasi yang dianut dalam
konsep pembentukan peraturan perundang-undangan, melainkan juga memberikan
indikasi terbentuknya penyelenggaraan pemerintahan yang terbuka dan responsif serta
mengarahkan pada terbentuknya, produk hukum yang demokratis.238 Berkaitan dengan
238 Leonito Ribeiro, 2009; Politik Legislasi Republik Demkratik Tmor-Leste, Pascasarjana
Universitas Udayana Denpasas, h.130
Sistem Pemerintahan yang demokrasi menurut “Internasioanl Commission of Jurist”
dalam konferensi pada Tahun 1965 merumuskan syarat-syarat pemerintahan yang
demokratis di bawah rule of law (yang dinamis baru) sebagai berikut:239
a) Perlindungan konstitusi, artinya selain menjamin hak-hak individu,
konstitusi harus pula menentukan cara prosedual untuk memperoleh
perlindungan atas hak-hak yang dijamin;
b) Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak;
c) Pemilihan umum yang bebas;
d) Kebebsasan berpendapat;
e) Kebebasan berserikat/organisasi dan beroposisi;
f) Pendidikan kewarganegaraan.
Berdasarkan syarat tersebut di atas, untuk mendukung proses pembentukan
undang-undang Negara RDTL sasaran yang akan dicapai harus terciptanya naskah
akademik, naskah akademik merupakan salah satu tahap pembentukan undang-undang
yang baik, oleh karena itu untuk menjamin adanya produk hukum yang berkeadilan bagi
setiap warganegara, maka proses pembentukannya perlu diadakan pembentukan, naskah
akademik untuk menetapkan materi muatan apa yang menjadi urgensi dalam kehidupan
masyarakat, dengan pembentukan naskah akademik maka, hukum yang di bentuk tentu
menjamin sistem hukum nasioanl yang adil, konsisten dan tidak mengandung unsur
diskriminatif terhadap gender, terlaksananya penegakkan hukum yang tegas, konsisten
dan tanpa pandang bulu dan manusiawi serta berpihak pada masyarakat, terciptanya
budaya dan kesadaran hukum serta terlaksananya penghormatan, pemenuhan, dan
perlindungan hak asasi manusia.
239 Ibid.
Terjaminnya konsistensi peraturan perundang-undangan pada tingkat pusat
dan Daerah serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan diatasnya
sangat penting diperhatikan. pembentukan undang-undang merupakan tujuan untuk
mewujudkan kepastian hukum, keadilan, kesejahteraan dan kebebasan rakyat sesuai
dengan eksistensi Negara hukum modern “welfare state”. Tipe Negara modern
mewajibkan Pemerintah ikut serta mewujudkan pembangunan yang seluas-luasnya
dalam segala aspek untuk kesejaheraan rakyat.
Menurut Yohanes Usfunan, bahwa Negara Republik Demokratik Timor-
Leste, sebagai Negara transisi kemungkinan masih menimbulkan masalah dalam
penegakkan prinsip-prinsip demokrasi karena:240
a) Adanya kevakuman hukum, sehingga Pemerintah maupun penegak hukum
kemungkinan menghadapi kesulitan menentukan peraturan perundang-
undangan yang dipergunakan dalam menyelesaikan masalah-masalah
konkrit.
b) Peraturan Perundang-undangan yang berlaku mungkin masih ada yang
memuat norma-norma kabur sehingga menyulitkan penerapannya.
c) Adanya konflik norma hukum (antinomy) secara vertikal maupun horizontal
antara undang-undang dengan peraturan yang dibawahnya antara undang-
undang dengan peraturan yang lebih tinggi tingkatannya.
Selanjutnya Yohanes Usfunan, menjelaskan bahwa, konsekwensi bagi
Pemerintah dengan adanya kevakuman hukum, norma kabur maupun antinorm antara
lain:241
a) Menyulitkan Pemerintah dalam mengambil keputusan dan menjalankan
aktivitas-aktivitas Pemerintahnya padahal Pemerintah merupakan institusi
diluar lingkungan kekuasaan legislative dan kekuasaan yudisial mempunyai
wewenang tidak saja melaksanakan undang-undang tetapi merupakan
240 Ibid. h.3-4 241 Ibid. h.131
wewenaang aktif dan kontinyu
b) Menyulitkan lembaga yudisial dan instansi-instansi pemerintahan dalam
penerapan dan penegakkaan hukum;
c) Menyebabkan tumpang tindih kewenangan, pengawasan dan menyulitkan
koordinasi antara lembaga Negara secara vertikal maupun horizontal antar
lembaga Negara dengan badan pemerintahan yang lebih rendah
tingkatannya;
d) Dalam peneyelenggaraan Negara khususnya menjalankan fungsi eksekutif
dan lembaga yudisial kemungkinan menghadapi dilemma dalam menentukan
hukum mana yang harus dipergunakan sebagai dasar untuk melegitimasi
suatu tindakan atau suatu hak. Dalam hal ini apakah memilih mengunakan
hukum Indonesia atau hukum Portugal yang sama-sama pernah berlaku di
Negara Timor-Leste sebagai dasar legitimasi.
Pemaparan Yohanes Usfunan tersebut, sangat relevan dengan kewenangan
lembaga pembentukan peraturan perundang-undangan, oleh karena Negara Hukum yang
beradasarkan sistem demokratik dalam penyelenggaraan pemerintahannya, harus
berdasarkan asas legalitas. Pengaturan kewenangan lembaga Negara dalam
pembentukan undang-undang, merupakan salah satu unsur Negara hukum, oleh karena
itu, lembaga atau pejabat yang berwenang dalam pembentukan undang-undang harus
memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum dan hindari
kepentingan-kepentingan pribadi atau kelompok kepentingan politik, agar undang-
undang yang dibentuk memberikan hasil yang optimal dan sifatnya responsif.
Kewenangan melaksanakan kebijakan perundang-undangan dalam sistem
penyelenggaraan pemerintahan Negara Timor-Leste berdasarkan Pasal 67 Konstitusi
RDTL 2002 mengakui adanya 4 (emapat) lembaga kedaulatan tertinggi Negara yakni,
lembaga kepresidenan, lembaga Parlemen, lembaga Pemerintah dan lembaga
Pengadilan.
Kewenangan Presiden Republik, sebagaimana dalam ketentuan Pasal 85
Konstitusi RDTL Tahun 2002 tentang pertanggungjawaban Pemerintah, dan Pasal 86
Konstitusi RDTL Tahun 2002 tentang hubungan dengan lembaga lain, dan Pasal 87
Konstitusi RDTL Tahun 2002 tentang hubungan Internasional, dan Pasal 88 Konstitusi
RDTL Tahun 2002 tentang pengumuman dan Veto, terhadap Peraturan Perundang-
undangan.
Dalam hal untuk melaksanakan kewenangan Presiden tersebut maka,
Presiden Republik mengeluarkan dekrit-dekrit (keputusan-keputusan Presiden) dalam
hierarki peraturan perundang-undangan, kekuatan keputusan Presiden mempunyai
keterikatan internal dan external, internal untuk kepentingan administrasi lembaga
kepresidenan dan external, mengenai hal-hal yang menyangkut kepentingan Negara dan
masyarakat, karena dalam Pasal 74 Konstitusi RDTL 2002, menyatakan Presiden
Republik adalah kepala Negara dan lambang (symbol) dan penjamin kemerdekaan
nasional dan persatuan Negara serta menjamin kelancaran tata kerja lembaga-lembaga
yang demokratis serta Panglima tertinggi Angkatan Bersenjata yakni: Pasal 74 ayat (1),
“Presidente da República é o Chefe do estado, simbolo e granted an independéncia
nacional, da unidade do estado e do regular funcionamento das instituições
democráticas.” (Presiden Republik adalah Kepala Negara dan lambang dan penjamin
kemerdekaan nasional dan persatuan Negara serta tata kerja lancar lembaga-lembaga
demokratis) dan Ayat (2), “o presidente da República é o Comandante Supremo das
Forças Armadas” (Presiden Republik adalah Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata).
Berdasarkan Kekuasaan Presiden Republik, yang ditetapkan dalam
Konstitusi maka, pemberlakuan keputusan Presiden Republik memiliki kekuatan hukum
yang mengikat untuk dilaksanakan, walaupun harus diakui mengandung banyak
kelemahan, terutama keputusan Presiden Republik menolak suatu rancangan undang-
undang (harus dikembalikan ke Parlemen Nasional), karena keputusan ini tidak mutlak
ditaati dalam implementasinya, atau dalam hal menyatakan Negara dalam keadaan
darurat ataupun membubarkan Parlemen Nasional, Presiden harus dikonsultasi dengan
dewan Negara dan dewan keamanan nasional. Hal ini terjadi saling ketergantungan,
sehingga legalitas formal keputusan Presiden Republik tidak serta merta didapatkan,
masih menunggu dukungan politik dari Rakyat untuk dapat dijadikan sebagai salah satu
produk hukum kenegaraan, walaupun pada saat Negara dipandang dalam keadaan
bahaya dan secara terpaksa dilakukan tindakan ketatanegaraan yang menyimpang dari
ketentuan-ketentuan hukum yang ada.
Kewenangan Parlemen Nasional secara eksklusif diatur dalam Pasal 95 ayat
(2) Konstitusi RDTL Tahun 2002 Pasal 96 Parlemen Nasional mengijinkan Pemerintah
untuk mengusulkan undang-undang sebagaimana telah diuraikan pada latar belakang
masalah dalam di atas. Pasal 97 Konstitusi RDTL Tahun 2002, mengenai prakarsa
inisatif pengajuan usulan rancangan undang-undang yang dimiliki oleh Anggota
Parlemen, Fraksi-fraksi dalam kursi Parlemen Nasional dan Pemerintah, sebagaimana
ketentuan Pasal 98 tentang pertimbangan ketua Parlemen Nasional terhadap usulan
rancangan undang-undang, yang diusulkan oleh Anggota Parlemen dan Pemerintah.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan Parlemen Nasional dapat membuat
undang-undang yang disebut, Lei do Parlemento Nasional, secara hierarki peraturan
perundang-undangan, undang-undang yang dibentuk oleh Parlemen Nasional adalah
undang-undang yang mempunyai kekuatan mengikat seluruh warga Negara. Menurut
M.C. Burkens,242 suatu negara dapat dikatakan sebagai negara hukum jika memenuhi
unsur-unsur dan asas-asas dasar sebagai berikut yakni:
1) Pengakuan, penghormatan dan perlindungan kepribadian manusia (identitas)
yang mengimplikasikan asas pengakuan dan perlindungan martabat dan
kebebasan manusia yang merupakan asas fundamental negara hukum.
2) Asas kepastian hukum yang mengimplikasikan hal berikut ini. Para warga
masyarakat harus bebas dari tindakan Pemerintah dan pejabatnya yang tidak
dapat diprediksi dari tindakan yang sewenangwenang. Pemerintah dan para
pejabatnya harus terikat dan tunduk pada aturan hukum positif. Semua
tindakan poemerintah dan para pejabatnya harus selalu bertumpu pada aturan
hukum positif sebagai dasar hukumnya. Implementasi asas ini menuntut
dipenuhinya:
a) Syarat legalitas dan konstitusionalis yang menuntut bahwa semua
tindakan Pemerintah dan para pejabatnya harus berdasarkan pada aturan
perundang-undangan dalam kerangka konstitusi;
b) Syarat undang-undang menetapkan berbagai aturan tentang cara
Pemerintah dan para pejabatnya melakukan tindakan, sehingga para warga
masyarakat dapat mengetahui apa yang dapat diharapkannya dari
Pemerintah dan para pejabatnya itu;
c) Syarat perundang-undangan hanya mengikat para warga masyarakat
setelah diundangkan dan tidak memiliki daya berlaku surut (non-
retroaktif);
d) Asas peradilan bebas yang menjamin obyektivitas, imparsialitas, adil dan
manusiawi;
e) Asas bahwa hakim atau pengadilan tidak boleh menolak mengadili
perkara yang dihadapkan kepadanya dengan alasan hukum mengenai
perkara itu tidak ada atau tidak jelas (asas non-liquet).
3) Asas persamaan (similia similibus). Pemerintah dan para penjabatnya harus
memberikan perlakuan yang sama kepada semua orang dan undang-undang
juga berlaku sama untuk semua orang.
242 Benard Arief Sidharta, 2000, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung,
h. 199-201.
4) Asas demokrasi. Asas ini berkenaan dengan cara pengambilan putusan. Tiap
warga negara memiliki kemungkinan dan kesempatan yang sama untuk
mempengaruhi putusan dan tindakan Pemerintah.
Berdasarkan asas-asas Negara hukum di atas yang dimaksud dengan Negara
Hukum ialah negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga
negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi terciptanya kebahagiaan hidup untuk warga
negaranya, dan sebagai dasar dari pada keadilan itu perlu diajarkan rasa susila kepada
setiap manusia agar ia menjadi warga negara yang baik. Demikian pula peraturan hukum
yang sebenarnya hanya ada jika peraturan hukum itu mencerminkan keadilan bagi
pergaulan hidup antar warganegaranya.243
Dengan demikian, keadilan menjadi intisari dan tujuan utama dari hukum,
untuk menjamin keadilan dan kebahagian warganegaranya, Negara semestinya
melaksanakan kekuasaannya dengan didasarkan pada kepentingan Rakyat yang
ditetapkan pada tujuan-tujuan negara oleh karena atas, dasar kepercayaan warga negara
memberikan legitimasi kepada badan atau pejabat tertentu untuk melayani kepentingan
warganegaranya, agar proses pelaksanaan fungsi pemerintahan berjalan dengan baik dan
terdapat dukungan dari warganegaranya, maka perlu melibatkan (partisipasi) masyarakat
dalam proses pengambilan kebijakan, baik secara langsung mapun melalui representatif,
untuk mendukung aktivitas roda pemerintahannya, demi menegakkan keadilan dan
kebahagiaan bersama yang diharapkan oleh masyarakat.
243 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1988, Hukum Tata Negara Indonesia, Sinar Bakti,
Jakarta, h, 153.
Mengenai Negara hukum A. Hamid Attamimi244 menegaskan bahwa, pada
saat membahas “konsepsi bernegara,” harus dibedakan dengan “konsepsi negara”, sebab
seringkali antara keduanya terjadi tumpang tindih pemahaman. Konsepsi Negara
berbicara pada persoalan mengapa di antara manusia itu hidup berkelompok,
bermasyarakat, dan sebagian dari kelompok memerintah yang lain. Dengan demikian,
pusat perhatian konsepsi negara itu, menyangkut masalah wibawa, kuasa, perintah,
membahas Negara sebagai struktur kekuasaan. Konsepsi negara ini melihat negara dari
sudut hukum, sedangkan konsepsi bernegara melihatnya dari sudut sosial dan filsafat.
Konsepsi bernegara memandang Negara tidak sebagai suatu struktur kekuasaan yang
menentukan kata putus bagi kekuasaan-kekuasaan lain yang ada di dalamnya.
Konsepsi Negara hukum, sebagaimana dikemukakan oleh A. Hamid
Attamimi, penulis berpendapat bahwa, diantara manusia yang hidup dalam berkelompok,
ada yang memerintah dan diperintah, yang memerintah adalah pihak atau kelompok yang
kuat baik secara fisik maupun secara berfikir, namun untuk menjamin keutuhan persatuan
antara pemimpin (memerintah) dengan yang diperintah, kelompok yang memerintah
harus mengandalkan pemikirannya dalam memerintah dan bukan sebaliknya. Suatu
244 A. Hamid S. Attamimi, 1999, Peranan Keputusan Presiden RI Dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan Negara, Disertasi, Pada Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, ,h. 83-87.
Bandingkan dengan Azhari, 1995, Negara Hukum Indonesia; Analisis Yuridis Normatif Tentang Unsur-
unsurnya, UI-Press, Jakarta, h. 72-76. Juga Azhari, 1995, Teori Bernegara Bangsa Indonesia (Suatu
Pemahaman tentang Pengertian-pengertian dan Asas-asas dalam Hukum Tata Negara), Pidato
Pengukuhan Guru Besar di Fak. Hukum UI, Jakarta, h. 3
Negara dapat dikategori sebagai Negara hukum (rechtsstate), menurut M.C Burkens,
harus memenuhi prinsip-prinsip sebagai berikut:245
1) Asas legalitas, setiap tindakan Pemerintah harus didasarkan atas peraturan
perundang-undangan (wettelijke grcnslag). Dengan landasan ini, undang-
undang dalam arti formal dan UUD sendiri merupakan tumpuan dasar
tindakan pemerintahan. Dalam hubungan ini, pembentukan undang-undang
merupakan bagian penting Negara hukum.
2) Pembagian kekuasaan, syarat ini mengandung makna bahwa kekuasaan
Negara tidak boleh hanya bertumpu pada satu tangan.
3) Hah-hak dasar (grondrechten) merupakan sasaran perlindungan dari
Pemerintah terhadap rakyat dan sekaligus membatasi kekuasaan pembentukan
undang-undang.
4) Pengawasan pengadilan bagi rakyat tersedia saluran melalui pengadilan yang
bebas untuk menguji keabsahan tindakan Pemerintah (rechtmaticggeheid
stoetsing).
Berdasarkan 4 (empat) prinsip Negara hukum yang dikemukakan oleh M.C
Burkens di atas, menurut Konstitusi RDTL, telah ditetapkan pada ketentuan pembukaan
(Primbolo) kostitusi paragraph ke 3 (tiga) bahwa, perlu membangun suatu budaya
demokratis dan kelembagaan yang sesuai untuk suatu Negara Hukum, di mana
penghormatan bagi UUD dan lembaga-lembaga yang terpilih secara demokratis,
merupakan landasan yang tidak dapat dipertanyakan, dan dengan menafsirkan perasaan
mendalam, cita-cita dan kepercayaan pada Tuhan dari rakyat Timor Leste;
selanjutnya dapat ditegaskan lagi pada paragraph ke 4 (empat) pembukaan (primbolo)
konstitusi bahwa ”Dengan sungguh-sungguh menegaskan kembali tekadnya untuk
melawan segala bentuk tirani, penindasan, penguasaan dan pemisahan sosial, budaya
dan keagamaan, untuk mempertahankan kemerdekaan Nasional, menghormati dan
245 Yohanes Usfunan, 2015, Hukum, HAM dan Pemerintahan; Udayana University Press, cetakan
ke I, Denpasar, h. 212
menjamin hak-hak asasi manusia dan hak-hak asasi warga negara, untuk menjamin asas
pemisahan kekuasaan dalam penataan Negara, dan untuk menetapkan aturan-aturan inti
yang mendasar dari demokrasi multi-partai, dengan tujuan untuk membangun suatu
negara yang adil dan makmur dan mengembangkan masyarakat yang bersatu dan
bersahabat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Negara Republik Demokratik
Timor-Leste, terpenuhi syarat-syarat Negara hukum, sebagaimana dikemukakan oleh
M.C. Burkens, oleh karena Negara Timor-Leste, merupakan Negara hukum, yang
berdasarkan sistem demokratik, sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (1) sebagaimana
diuraikan pada bab terdahulu, dapat ditelaah dari unsur-unsur Negara hukum yang
memuat unsur filosofis, sosiologis dan yuridis, sebagai berikut:
Pertama; unsur filosofis “penghormatan atas martabat manusia” artinya, bahwa Negara
menjunjung tinggi nilai-nilai dan norma -norma yang telah dianut oleh
masyarakat sebagai warisan leluhur yang melekat pada setiap warga Negara,
sebagaimana pada ketentuan Pasal 2 ayat (4) menjelaskan bahwa, “Negara akan
mengakui dan menghargai norma dan adat Timor-Leste yang tidak bertentangan
dengan konstitusi dan undang-undang apapun lainnya yang khususnya berkaitan
dengan hukum adat.
Kedua; unsur sosiologis keinginan rakyat dalam arti bahwa, proses penyelenggaraan
pemerintahan dengan tujuan untuk mengsejahterakan keinginan rakyat,
sebagaimana ketentuan Pasal 6 ayat (1) tujuan-tujuan Negara pada bagian huruf
(b) menjelaskan bahwa, “Untuk menjamin dan memajukan hak-hak dan
kebebasan-kebebasan asasi warga negara serta kehormatan bagi asas-asas Negara
demokratis yang berdasarkan kekuatan hukum;
Ketiga; unsur Yuridis, memuat “kedaulatan hukum” dalam arti bahwa, Negara Timor-
Leste merupakan Negara yang berdasarkan kekuatan hukum (supermasi Hukum).
Oleh karena itu, setiap tindakan penyelenggaraan pemerintahan Negara harus
berdasarkan hukum (prinsip asas legalitas). Dengan demikian, prinsip check and
balance dapat terjamin dengan baik.
Berdasarkan pemikiran di atas, asas penyelenggaraan pemerintahan untuk
mewujudkan kesejahteraan (kepentingan) warga Negara yang lebih diutamakan dari pada
kepentingan individu atau kelompok organisasi politik semata, dan proses
penyelenggaraan pemerintahan Negara, adalah untuk menghindari penyalahgunaan
wewenang (abuse of power atau de tournament de pouvoir) dan kesewenang-wenangan
(arbitrary atau wilekeurig). Penyalahgunaan wewenang merupakan istilah yang dikenal
dalam sistem hukum Eropa kontinental yang dikenal dengan istilah detournement de
pouvoir/ abuse of power, sedangkan dalam konsep Negara hukum the rule of law dalam
sistem hukum common law, pemahaman tentang penyalahgunaan wewenang dapat
terjadi, apabila tindakan Pemerintah untuk menetapkan suatu keputusan tanpa wewenang,
tindakan tersebut juga disebut “ultra vires. Doktrin ultra vires meliputi, abuse of power
dan pengambilan keputusan tanpa wewenang atau penyalahgunaan wewenang secara
esensial adalah:246
246 Ibid. h.213-214
1) Tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum dengan tujuan
kepentingan pribadi, kelompok atau golongan, organisai.
2) Tindakan untuk kepentingan umum, tetapi menyimpan dari wewenang sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
3) Pengunaan wewenang tersebut mengunakan prosedur lain dari pada prosedur
yang ditentukan.
Sewenang-wenang (abuse de droit/arbitrary) artinya, perbuatan pejabat
pemerintahan tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan atau
mengunakan wewenang lebih dari yang ditentukan menurut peraturan perundang-
undangan. Unsur sewenang-wenang, diuji dengan asas rasionalitas kepantasan yaitu
suatu kebijakan, dikatakan mengandung unsur kesewenang-wenangan jika tindakan
tersebut nyata-nyatanya, tidak masuk akal (tidak beralasan). Sedangkan penyalahgunaan
wewenang diuji dengan asas spesialitas yang menentukan suatu wewenang diberikan
kepada organ pemerintahan dengan tujuan tertentu yang baik.
Berdasarkan Konstitusi Negara Republik Demokratik Timor-Leste, dalam
penyelenggaraan tugas dan fungsi kekuasaan negara (functions of state power) harus
mengikuti prinsip asas pemisahan kekuasaan dan independensi dalam pelaksanaan
fungsinya serta saling ketergantungan antar satu lembaga terhadap lembaga yang lainnya,
sebagaimana diatur pada Pasal 69 Konstitusi RDTL Tahun 2002. Secara historis
perkembangan Negara Hukum pada zaman Klasik terdapat dua tipe pokok negara hukum,
yaitu Type Eropa Kontinental, yang berdasarkan pada kedaulatan hukum
(rechtsouvereiniteit), yang berintikan Rechtstaat (negara hukum) dan Type Anglo Saxon,
yang berintikan the rule of law. Rechtstaat adalah sebuah konsep dalam pemikiran hukum
Eropa kontinental yang awalnya dipinjam dari hukum Jerman, yang dapat diterjemahkan
sebagai legal state, state of law, state of justice, or state of rights dimana pelaksanaan
kekuasaan pemerintahan yang dibatasi oleh hukum247. Frederich Stahl mengungkapkan
setidaknya terdapat 4 unsur dari Rechstaat, yaitu248:
a) Jaminan terhadap Hak Asasi Manusia;
b) Adanya pembagian kekuasaan;
c) Pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan;
d) Adanya Peradilan Administrasi Negara yang berdiri sendiri (independent).
Istilah the rule of law ditemukan dalam buku AV. Dicey249 yang berjudul
Introduction to the study of the Constitution (1952). Di dalam buku yang banyak dipakai
dalam kajian tentang negara hukum ini, A.V.Dicey menjelaskan keunikan cara berhukum
orang-orang Inggris yang menganut sistem common law. Dicey menarik garis merah dari
cara berhukum tersebut sebagai sebuah konsep the rule of law dimana masyarakat dan
Pemerintah taat dan patuh kepada hukum sehingga ketertiban dapat dinikmati bersama-
sama yang tidak ditemukan di beberapa negara Eropa lainnya. A.V. Dicey, menguraikan
adanya 3 unsur penting dalam setiap negara hukum yang disebutnya dengan istilah the
rule of law, yaitu: 250
247 Friedrich Hayek, 1960, The Constitution of Liberty, University of Chicago Press, Chicago,
USA, h. 199 248 Sulistiyono, Adi, 2007, Negara Hukum: Kekuasaan, Konsep, dan Paradigma Moral, Cetakan
I, Lembaga Pengembengan Pendidikan (LPP) dan UPT Penerbitan dan percetakan UNS (UNS PRESS)
Universitas Sebelas Maret, Surakarta, h. 32 249 A.V. Dicey, 1952, Introduction To The Study Of The Law Of The Constitution, Mc Millan and
Co, Limited St. Martin’s Street, London, Part II. Chapters IV-XII,
http://www.constitution.org/cmt/avd/law_con.htm, artikel diakses18-01-2011, pukul 12,30 250 Philiphus M. Hadjon, 2007, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, sebuah studi
tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan
Pembentukan Peradilan Administrasi, Perabadan, h. 75
a) Supremacy of Law yaitu dominasi dari aturan-atauran hukum untuk
menentang dan meniadakan kesewenang-wenangan, dan kewenangan bebas
yang begitu luas dari Pemerintah;
b) Equality Before the Law yaitu persamaan di hadapan hukum atau penundukan
yang sama dari semua golongan kepada ordinary law of the land yang
dilaksanakan oleh ordinary court ini berarti tidak ada orang yang berada diatas
hukum, baik pejabat maupun warga negara biasa, berkewajiban untuk
mentaati hukum yang sama;
c) Due Prosess of law atau terjaminnya hak-hak manusia oleh konstitusi yang
merupakan hasil dari “the ordinary law of land”, bahwa hukum konstitusi
bukanlah sumber, akan tetapi merupakan konsekwensi dari hak-hak individu
yang dirumuskan dan ditegaskan oleh peradilan, singkatnya prinsip-prinsip
hukum privat melalui tindakan peradilan dan parlemen sedemikian diperluas
sehingga membatasi posisi crown dan pejabat.
Dalam perkembangan mengenai negara hukum, adanya upaya untuk
menghilangkan batasan pengertian negara hukum antara rechtstaat dan the Rule of Law,
seperti halnya berangkat dari embrio pemikiran para penggagas negara hukum, seperti
John Locke, Montesquieu dan Brian Tamanaha, yang mencoba melakukan terobosan
dengan memformulasikan sebuah alternatif baru dalam konsep negara hukum, dimana
Brian Tamanaha menawarkan pemisahan konsep The Rule of Law kedalam dua kategori
dasar, formal dan substantif, yang kedua-duanya masing-masing memiliki tiga cabang
atau format yang berbeda-beda251.
Berkaitan dengan konsep negara hukum the Rule of Law terdapat konsep Rule
by Law atau biasa disebut konsep tindakan negara harus berdasarkan hukum yang
memiliki arti bahwa hukum menjadi suatu acuan bagi praktek atau tindakan yang
dilakukan oleh negara atau Pemerintah, dimana menurut Brian Z Tamanaha Rule by Law
251, Brian Z. Tamanahan, 2004, On the Rule of law, History, Politics, Theory, Cambridge
University Press, United.Kingdom, h. 91
terdapat pada versi formal dari the Rule of Law252, dan konsep Rule by Law, sangat
popular digunakan oleh negara-negara modern.
Dalam konsep rule by law merupakan sebuah gagasan bahwa hukum, adalah
sarana negara melakukan urusan, segala tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah, harus
sesuai dengan aturan hukum. Sehingga apapun yang dikatakan oleh hukum adalah suatu
perintah yang harus dilaksanakan oleh Pemerintah, dan Pemerintah lebih memilih konsep
Rule by Law sebagai cara karena dianggap paling nyaman untuk memerintah. Rule by
Law merupakan antithesis sebagai pelaksanaan kekuasaan kesewenang-wenangan oleh
negara atau Pemerintah. Rule by Law bagian dari bentuk konsep formal, di dalam sistem
teori negara hukum Rule of Law253. Perbedaan kedua konsep tersebut adalah bahwa, pada
civil law lebih menitikberatkan pada administrasi, sedangkan Common Law
menitikberatkan pada yudisial.
Konsep Rechtsstaat mengutamakan prinsip Wetmatigheid yang kemudian
menjadi rechtsmatigheid, sedangkan the rule of law mengutamakan Equality before The
Law. Pada dasarnya, setiap negara yang menganut paham negara hukum, selalu
berlakunya tiga prinsip dasar yakni supermasi hukum (supremacy of law), kesetaraan di
hadapan hukum (equality before the law), dan penegakan hukum dalam praktek yang
tidak bertentangan dengan hukum (due process of law).
Dari ketiga prinsip hukum tersebut yang paling penting dalam negara hukum,
adalah perlindungan yang sama (equal protection) atau persamaan dalam hukum
252 Ibid. h. 92 253 Ibid.
(equality before the law). Menurut Sri Soemantri,254 unsur-unsur terpenting negara
hukum ada empat, yaitu (1) bahwa, Pemerintah dalam melaksanakan tugas dan
kewajibannya, harus berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan; (2)
adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara); (3) adanya pembagian
kekuasaan dalam negara; (4) adanya pengawasan dari badan-badan peradilan. Sesuai
dengan unsur-unsur negara hukum yang dimaksud oleh Sri Soemantri di atas
dikaitkan dengan negara Republik Demokratik Timor Leste, pada Pasal 1 ayat (1)
Konstitusi RDTL sebagaimana diuraikan terdahulu bahwa, negara Timor-Leste
merupakan negara Hukum yang mengadopsi tradisi negara hukum Rechtsstaat. Hal
ini dilihat dari unsur-unsur negara Hukum Rechtsstaate, sebagaimana dikemukakan
oleh AV. Dicey, Frederich Stahl, dan Sri Soemantri.255
Dari unsur negara hukum yang dikemukakan oleh ketiga tokoh tersebut di
atas, dikaitkan dengan negara Republik Demokratik Timor-Leste, telah memenuhi
unsur-unsur kedua konsep negara hukum tersebut baik The Rule of Law maupun
Rechtsstaat, Sebagaimana diatur pada Pasal 1 ayat (1) Konstitusi RDTL dan Pasal 6
tujuan-tujuan dasar negara ayat (1) huruf (b, c dan e) Konstitusi Republik Demokratik
Timor-Leste, maka dapat disimpulkan bahwa, Negara Timor-Leste merupakan
Negara Hukum the Mixture law (berdasarkan hukum campuran), The rule of law dan
Rechtsstaat. Dengan unsur-unsur yang dapat drumuskan sebagai berikut:
254 Sri Soemantri, 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, h. 29-
30. 255 Ibid.
1) Supremasi hukum; pada ketentuan Pasal 1 ayat (1) Konstitusi RDTL Tahun
2002, terdapat dalam Konsep Negara hukum the rule of law.
2) Pembagian atau pemisahan kekuasaan; pada ketentuan Pasal 69 Konstitusi
RDTL Tahun 2002 terdapat dalam Konsep Negara hukum rechtsstaat dan the
rule of law.
3) Pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan (asas legalitas)
ketentuan Pasal 30 ayat (2) Konstitusi RDTL Tahun 2002, bahwa, tidak
seorangpun dapat ditangkap atau ditahan, kecuali menurut ketentuan yang
secara jelas ditetapkan dengan undang-undang yang berlaku, dan surat perintah
penangkapan atau penahanan selalu harus diajukan kepada hakim yang
berwenang untuk dipertimbangkan, dalam batas waktu yang sah (konsep Negara
hukum Rechtsstaat).
4) Peradilan yang Independen; ketentuan Pasal 119 Konsitutsi RDTL Tahun 2002,
bahwa Pengadilan adalah mandiri dan hanya tunduk pada konstitusi dan undang-
undang. Selanjutnya, Pasal 120 (peninjauan kembali atas pertentangan dengan
UUD), pengadilan tidak diperkenankan menerapkan aturan yang bertentangan
dengan UUD atau asas-asas yang terkandung didalamnya. Menurut ketentuan
Pasal 123 Ayat (1) Konstitusi RDTL Tahun 2002, tentang golongan pengadilan
Republik Demokratis Timor-Leste adalah sebagai berikut:
a) Mahkamah Agung dan pengadilan-pengadilan lainnya;
b) Pengadilan Tinggi Administrasi, perpajakan dan pemeriksaan keuangan serta
pengadilan-pengadilan administrasi tingkat pertama lainnya;
c) Pengadilan militer.
Dalam ketentuan ayat (2) Pasal 123 Konstitusi RDTL menyatakan bahwa,
Tidak diperkenankan adanya pengadilan luar biasa dan tidak akan ada
pengadilan khusus untuk mengadili jenis-jenis kejahatan pidana tertentu artinya,
tidak ada pengadilan khusus untuk kejahatan yang khusus atau kejahatan yang
dilakukan oleh pejabat Negara atau pemerintahan. Oleh karena itu, semua
warganegara adalah sama dihadapan hukum. Menurut Pasal 123 ayat (1) huruf
(c) Konstitusi RDTL menentukan, adanya pengadilan Militer, namun untuk saat
ini pengadilan militer belum berfungsi, oleh karena keterbatasan sumber daya
manusia (SDM). Dengan demikian tindakan kejahatan yang dilakukan oleh
Anggota Militer proses persidangannya dipengadilan umum. (Konsep
Rechtsstaate)
5) Persamaan hak; pada ketentuan Pasal 17 Orang perempuan dan laki-laki
memiliki hak dan kewajiban yang sama, dalam setiap bidang kehidupan
keluarga, budaya, sosial, ekonomi dan politik. Selanjutnya pada ketentuan
Pasal 6 tujuan Negara bagian huruf (f) untuk menciptakan, memajukan dan
menjamin persamaan kesempatan yang nyata antara orang perempuan dan laki-
laki. Selanjutnya Pasal 29 ayat (1) konstitusi RDTL Tahun 2002, Kehidupan
manusia tidak dapat dipungkiri, dan ayat (2), Negara mengakui dan menjamin
hak untuk hidup, dalam ayat (3) Tidak ada hukuman mati di Republik
Demokratis Timor-Leste (konsep Negara hukum the rule of law).
Berdasarkan ciri-ciri Negara hukum menurut Pasal 1 ayat (1) Konstitusi
RDTL Tahun 2002, bahwa Republik Demokratis Timor Leste adalah Negara yang
demokratis, berdaulat, merdeka dan bersatu, berdasarkan kekuatan hukum, keinginan
Rakyat dan kehormatan atas martabat manusia. (The Democratic Republic of East Timor
is a democratic, sovereign, independent and unitary State based on the rule of law, the
will of the people and the respect for the dignity of the human person). dan Pasal 2 ayat
(4) Konstitusi RDTL Tahun 2002 menyatakan bahwa, Negara akan mengakui dan
menghargai norma dan adat Timor-Leste yang tidak bertentangan dengan UUD dan
undang-undang apapun lainnya yang khususnya berkaitan dengan hukum adat. (The State
shall recognise and value the norms and customs of East Timor that are not contrary to
the Constitution and to any legislation dealing specifically with customary law). Kalimat
dalam Pasal 1 ayat (1) Konstitusi RDTL Tahun 2002 bahwa “keinginan rakyat dan
kehormatan atas martabat Manusia” merupakan asas yang terkandung dalam konsep rule
of law. Selain Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 2 ayat (4) Konstitusi RDTL Tahun 2002 di atas,
dikaitkan dengan Pasal 118 ayat (1) Konstitusi RDTL Tahun 2002 bahwa, pengadilan
adalah badan kedaulatan dengan wewenang untuk menegakkan keadilan, atas nama
rakyat, ayat (3) bahwa, putusan pengadilan bersifat mengikat dan berada di atas putusan
pihak berwewenang apapun lainnya.
Berdasarkan pemaparan dalam konstitusi tersebut di atas, disimpulkan bahwa, konsep
Hukum, yang di adopsi dalam Konstitusi RDTL Tahun 2002, adalah menganut tradisi
hukum rule of law dan Rechtsstaat, oleh karena dalam Konstitusi RDTL merumuskan
beberapa unsur konsep negara hukum kedua tradisi hukum, dengan demikian maka,
konsep negara hukum Timor-Leste adalah negara hukum campuran (mix of law).