89
SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) UNTUK APLIKASI ENHANCED OIL RECOVERY (EOR) SKRIPSI CHINTA PERMATASARI SUPIANDI PROGRAM STUDI KIMIA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2019 M / 1440 H

SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …

  • Upload
    others

  • View
    23

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …

SINTESIS DAN KARAKTERISASI

SURFAKTAN ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG)

UNTUK APLIKASI ENHANCED OIL RECOVERY (EOR)

SKRIPSI

CHINTA PERMATASARI SUPIANDI

PROGRAM STUDI KIMIA

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2019 M / 1440 H

Page 2: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …

SINTESIS DAN KARAKTERISASI

SURFAKTAN ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG)

UNTUK APLIKASI ENHANCED OIL RECOVERY (EOR)

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains

Program Studi Kimia

Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Oleh :

CHINTA PERMATASARI SUPIANDI

11140960000078

PROGRAM STUDI KIMIA

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2019 M / 1440 H

Page 3: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …
Page 4: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …
Page 5: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …

ABSTRAK

CHINTA PERMATASARI SUPIANDI. Sintesis dan Karakterisasi Surfaktan

Alkil Poliglikosida (APG) untuk Aplikasi Enhanced Oil Recovery (EOR).

Dibimbing oleh DEDE SUKANDAR dan AGNESYA PUTRI G.

Enhanced Oil Recovery (EOR) merupakan tahapan ketiga dari produksi minyak

bumi yang bertujuan meningkatkan perolehan minyak bumi. Salah satu teknik yang

dapat dilakukan adalah chemical flooding. Surfaktan alkil poliglikosida (APG)

merupakan salah satu surfaktan yang dapat diaplikasikan pada proses EOR.

Surfaktan disintesis menggunakan fatty alcohol (C12), D-glukosa, katalis para

toluene sulfonic acid (PTSA) dengan konsentrasi katalis 0,5, 1, 1,25 dan 1,5% serta

variasi purging N2 dan non purging N2. APG dikarakterisasi menggunakan fourier

transform infra red (FTIR), uji kompatibilitas, interfacial tension (IFT), stabilitas

termal, pH dan kelakuan fasa. Uji FTIR menunjukkan adanya uluran CH pada

bilangan gelombang 2.924,09 cm-1, gugus OH pada bilangan gelombang 3.373,50

cm-1 dan puncak peregangan C-O-C yang lemah pada bilangan gelombang 1.714,42

cm-1. Hasil uji kompatibilitas dan stabilitas termal yaitu kompatibel terhadap air

formasi dan stabil pada kondisi termal, nilai pH 10, uji kelakuan fasa terbentuk

emulsi fasa tengah. Nilai IFT yang dihasilkan pada non purging N2 dengan

konsentrasi surfaktan 0,5 dan 2%, menunjukkan konsentrasi optimum pada formula

A3X yaitu konsentrasi katalis 1,25% dengan nilai IFT berturut-turut sebesar 0,0125

mN/m dan 0,0092 mN/m. Penggunaan purging N2 dengan konsentrasi surfaktan

0,5% menunjukkan konsentrasi optimum pada formula A4Y yaitu konsentrasi

katalis 1,5% dengan nilai IFT sebesar 0,0009 mN/m. Sedangkan penggunaan

purging N2 pada konsentrasi surfaktan 2% menunjukkan konsentrasi optimum pada

formula A1Y dengan nilai IFT sebesar 0,0008 mN/m.

Kata Kunci: Alkil poliglikosida (APG), EOR, IFT, surfaktan

Page 6: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …

ABSTRACT

CHINTA PERMATASARI SUPIANDI. Synthesis and Characterization of Alkyl

Polyglycoside (APG) Surfactants for Enhanced Oil Recovery (EOR) Applications.

Guided by DEDE SUKANDAR and AGNESYA PUTRI G.

Enhanced Oil Recovery (EOR) is the third stage of petroleum production that aims

to increase petroleum production. One technique that can be done is chemical

flooding. Alkyl polyglycoside (APG) surfactant is one of the surfactants that can be

applied to the EOR process. Surfactants are synthesized using fatty alcohol (C12),

D-glucose, catalysts for toluene sulfonic acid (PTSA) with catalyst concentrations

of 0,5, 1, 1,25 and 1,5% as well as variations in purging N2 and non purging N2.

APG was characterized using fourier transform infra red (FTIR), compatibility test,

interfacial tension (IFT), thermal stability, pH and phase behavior. The FTIR test

showed a CH stretching at wave number 2.924,09 cm-1, OH group at wave number

3.373,50 cm-1 and stretching vibration C-O-C at wave number 1.714,42 cm-1. The

results of thermal compatibility and stability test are compatible with formation

water and stable in thermal conditions, pH value 10, phase behavior test formed

middle phase emulsion. The IFT value produced on non-purging N2 with a

concentration of 0,5 and 2% surfactant, showed the optimum concentration in the

A3X formula namely 1,25% catalyst concentration with an IFT value of 0,0125

mN/m and 0,0092 mN/m respectively. The use of purging N2 with a 0.5% surfactant

concentration showed the optimum concentration in the A4Y formula, namely the

concentration of 1,5% catalyst with an IFT value of 0,0009 mN / m. While the use

of N2 purging at a 2% surfactant concentration shows the optimum concentration

in the A1Y formula with an IFT value of 0,0008 mN / m.

Keywords: Alkyl polyglycosides (APG), EOR, IFT, surfactants

Page 7: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …
Page 8: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahuwata’ala atas

segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Shalawat serta salam selalu tercurah limpahkan kepada Nabi Muhammad

Shallallahu’alaihi wassalam serta kepada keluarga, sahabat dan pengikutnya hingga

akhir zaman. Alhamdulillah, penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul

“Sintesis dan Karakterisasi Surfaktan Alkil Poliglikosida (APG) untuk

Aplikasi Enhanced Oil Recovery (EOR)”.

Skripsi ini tidak mungkin dapat diselesaikan tanpa ada pihak-pihak yang

terus menerus memberikan bimbingan, dukungan dan saran kepada penulis. Oleh

sebab itu tak lupa penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Drs. Dede Sukandar, M.Si selaku Pembimbing I sekaligus Ketua Program

Studi Kimia di Fakultas Sains dan Teknologi yang telah memberikan arahan

serta semangat yang diberikan dalam membimbing penulis selama proses

penelitian, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

2. Agnesya Putri Gustianthy, M.Si selaku Pembimbing II yang telah membantu

penulis selama penelitian, memberikan arahan, kritik dan saran serta telah

meluangkan waktunya untuk berdiskusi dan memberikan dukungan semangat

kepada penulis.

3. Dr. Siti Nurbayti, M.Si dan Isalmi Aziz, MT selaku Penguji I dan II yang telah

banyak memberikan saran serta masukan yang bermanfaat untuk skripsi ini.

4. Dr. Agus Salim, M.Si selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Page 9: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …

vii

5. Segenap dosen Program Studi Kimia atas ilmu pengetahuan dan pengalaman

hidup yang dengan ikhlas diajarkan dan diberikan kepada penulis.

6. Orang tua dan keluarga tercinta H. Irwan E Supiandi dan Hj. Ida Widyawati

yang senantiasa mengirimkan doa, selalu berusaha membangkitkan semangat

dan selalu mendukung baik moril maupun materil. Tak lupa kepada kakanda

Widya Permatasari Supiandi S.Sy dan adinda Citra Permatasari Supiandi yang

senantiasa memberikan dukungan dan semangat.

7. Kak Nita, Kak Adim, Kak Vivi, Kak Eva, Kak Elsa, Kak Fuad, dan Mas Syaiful

yang telah membantu penulis selama penelitian.

8. Sahabat-sahabat tercinta Ambar, Nurlathifah, Lucyta, Fauziyah, Afriana, Isni,

Isti, Dhiya dan Hanif yang selalu memberikan kebahagiaan serta kebersamaan

kepada penulis selama kuliah dan dalam berjuang menyusun skripsi.

9. Pertamina Research and Technology Center, khususnya Laboratorium Kimia

dan Lingkungan serta Laboratorium Kimia Fakultas Teknik Universitas

Indonesia.

10. Semua pihak yang telah membantu hingga terselesaikannya skripsi ini.

Jakarta, Maret 2019

Penulis

Page 10: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …
Page 11: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …
Page 12: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …
Page 13: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …

xi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Skema proses produksi minyak bumi ............................................ 8

Gambar 2. Proses thermal recovery ................................................................. 10

Gambar 3. Proses gas injection ........................................................................ 10

Gambar 4. Proses chemical flooding ................................................................. 11

Gambar 5. Crude Oil lapangan X................................................................. ..... 12

Gambar 6. Air formasi ...................................................................................... 13

Gambar 7. (a).Struktur molekul surfaktan; (b).Struktur molekul surfaktan

didalam air ....................................................................................... 15

Gambar 8. Proses APG sintesis satu tahap ........................................................ 18

Gambar 9. Reaksi pembentukan butanolisis ..................................................... 18

Gambar 10. Reaksi pembentukan alkil poliglikosida ........................................ 19

Gambar 11. Pembentukan hemiasetal oleh aldehid dan alkohol ....................... 22

Gambar 12. Struktur pembentukan asetal dari D-glukosa................................. 22

Gambar 13. Elongated droplet minyak dalam tabung berisi larutan surfaktan

yang diputar .................................................................................... 27

Gambar 14. Phase behaviour berdasarkan sistem Winsor ................................ 29

Gambar 15. Diagram alir sintesis ...................................................................... 32

Gambar 16. Mekanisme reaksi butanolisis ........................................................ 40

Gambar 17. Mekanisme reaksi transasetalisasi ................................................. 41

Gambar 18. Hasil sintesis APG tahap transasetalisasi ...................................... 42

Gambar 19. Hasil sintesis alkil poliglikosida (APG) ........................................ 44

Gambar 20. Spektrum FTIR alkil poliglikosida ................................................ 45

Page 14: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …

xii

Gambar 21. Kompatibilitas surfaktan APG....................................................... 43

Gambar 22. Perbandingan formulasi surfaktan APG dengan konsentrasi 0,5%

dan 2% pada penggunaan non purging N2 ..................................... 50

Gambar 23. Perbandingan formulasi surfaktan APG dengan konsentrasi 0,5%

dan 2% pada penggunaan purging N2 ............................................ 57

Gambar 24. Analisis kelakuan fasa pada konsentrasi surfaktan 0,5% pada

formula A2Y .................................................................................. 58

Page 15: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …

xiii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Karakteristik Crude Oil ....................................................................... 13

Tabel 2. Karakteristik air formasi...................................................................... 14

Tabel 3. Reaksi kimia terhadap fatty alcohol dan hasilnya ............................... 20

Tabel 4. Bilangan gelombang spektrum FTIR .................................................. 25

Tabel 5. Karakteristik surfaktan APG dari jenis alkohol lemak C12

dengan pengujian FTIR ....................................................................... 46

Tabel 6. Karakteristik surfaktan APG berdasarkan uji kompatibilitas .............. 47

Tabel 7. Nilai pH formulasi surfaktan APG 0.5% dan 2% ............................... 53

Tabel 8. Karakteristik surfaktan APG berdasarkan uji stabilitas termal

(kualitatif) ............................................................................................ 55

Tabel 9. Karakteristik surfaktan APG berdasarkan uji stabilitas termal

(kuantitatif) ......................................................................................... 55

Tabel 10. Karakteristik surfaktan APG berdasarkan uji kelakuan fasa .............. 57

Page 16: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Reaktor dan destilasi yang digunakan ............................................. 66

Lampiran 2. Alat instrumen yang digunakan ...................................................... 66

Lampiran 3. Hasil uji sintesis APG tahap netralisasi .......................................... 66

Lampiran 4. Formulasi surfaktan alkil poliglikosida .......................................... 67

Lampiran 5. Hasil uji karakterisasi kompatibilitas ............................................. 67

Lampiran 6. Hasil uji karakterisasi stabilitas termal ........................................... 68

Lampiran 7. Hasil uji karakterisasi kelakuan fasa............................................... 68

Lampiran 8. Hasil uji karakterisasi FTIR ............................................................ 70

Lampiran 9. Hasil uji pengukuran IFT ................................................................ 72

Lampiran 10. Hasil perhitungan bahan baku........................................................72

Lampiran 11. Data perhitungan IFT menggunakan instrumen spinning drop

tensiometer .................................................................................... 74

Page 17: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Minyak bumi merupakan sumber daya alam yang memberikan kontribusi

penting dalam kehidupan manusia. Terdapat beberapa teori mengenai pembentukan

minyak bumi, salah satunya yaitu teori organik mengenai terjadinya minyak bumi

yang diajukan oleh Engler pada tahun 1911, yang menyebutkan bahwa minyak

bumi dan gas alam terbentuk dari beraneka jasad organik seperti hewan dan

tumbuhan yang mati dan tertimbun endapan pasir dan lumpur, hingga mengendap

jutaan tahun didasar lautan (Hardjono, 2000).

Berdasarkan Qur’an Surah Al-ala (1-5) yang berbunyi :

Artinya : Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi. Yang menciptakan dan

yang menyempurnakannya dan yang menentukan lalu menunjukkan.

Dan yang menumbuhkan tumbuh-tumbuhan. Lalu dijadikannya tumbuh-

tumbuhan itu kering kehitam-hitaman. (Q.S Al-a’la [87:1-5 )

Menurut Depag RI (2009), berdasarkan ayat ke-5 surah Al-a’la terdapat kata

Ghutsaa-an yang berarti seperti buih yaitu mendidihnya sesuatu pada sesuatu yang

lain. Ahwa berarti gelap atau hitam kehijauan. Merujuk pada ayat sebelumnya yaitu

Page 18: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …

2

ayat 4, bahwa Allah telah menumbuhkan rumput-rumputan yang bercampur dengan

daun dan sampah yang busuk. Mengendap didasar bumi dan tertutup lumpur, yang

lambat laun berubah menjadi batuan karena pengaruh tekanan dan lapisan

diatasnya. Kemudian bakteri anaerob menguraikan sisa-sisa jasad renik tersebut

menjadi minyak dan gas disebabkan meningkatnya suhu dan tekanan sehingga

terbentuknya minyak bumi yang berwarna hitam kental.

Kebutuhan akan minyak bumi di dunia khususnya di Indonesia selalu

meningkat tiap tahunnya. Hal ini tidak sebanding dengan hasil produksi minyak

yang semakin lama semakin menurun. Berdasarkan Renstra ESDM tahun 2015-

2019, sejak tahun 2010 sampai dengan 2014 terjadi penurunan produksi rata-rata

sekitar 4,41% per tahun. Puncak produksi minyak di Indonesia terjadi sebanyak 2

kali yaitu pada tahun 1977 dan 1995 dimana produksi minyak bumi masing-masing

sebesar 1,68 juta barel per day (bpd) dan 1,62 juta bpd. Rendahnya kemampuan

produksi minyak bumi Indonesia disebabkan karena sumur-sumur minyak

Indonesia yang umumnya merupakan lapangan tua (mature fields), yang mana

lapangan tua tersebut telah melewati masa puncak produksi, dimana proses

produksi minyak yang dilakukan masih pada tahap primary recovery.

Produksi minyak sumur reservoir melalui primary recovery diperoleh

sekitar 20-40% dari potensi minyak yang ada, dan karenanya masih terdapat 60-

80% minyak yang tersisa di reservoir (Abidin et al., 2012). Upaya peningkatan

produksi dan perolehan minyak dapat dilakukan dengan usaha pengurasan tahap

lanjut (secondary recovery). Usaha tersebut diantaranya dengan menginjeksikan

air, yang ditujukan untuk mempertahankan tekanan reservoir dan mendorong

minyak tersisa setelah tahap awal pengurasan. Namun, proses injeksi air tersebut,

Page 19: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …

3

masih menyisakan minyak di dalam reservoir kurang lebih sebanyak 50-70% OOIP

(Original Oil In Place) (Abidin et al., 2012). Oleh sebab itu, diperlukan metode

perolehan kembali minyak bumi tahap lanjut atau dikenal dengan istilah Enhanced

Oil Recovery (EOR).

Teknik dalam EOR diklasifikasikan berdasarkan tiga kategori yaitu thermal

flooding, gas injection dan chemical flooding. Namun, berdasarkan beberapa

penelitian dilaporkan bahwa teknik thermal flooding dan gas injection tidak cocok

diaplikasikan di lapangan minyak bumi Indonesia karena terkendala oleh sumber

bahan/energi yang digunakan diantaranya sumber panas dan letak reservoir yang

jauh dari cadangan gas CO2 (Naqvi, 2012). Salah satu teknologi EOR yang banyak

dilakukan adalah chemical flooding. Pada chemical flooding, bahan kimia

diinjeksikan ke dalam reservoir guna meningkatkan efisiensi perolehan minyak

bumi. Bahan kimia yang umumnya digunakan pada chemical flooding adalah

surfaktan, polimer, dan alkali.

Terdapat beberapa penelitian yang telah dilakukan untuk aplikasi chemical

flooding dengan menggunakan bahan kimia alkali, polimer dan surfaktan. Naqvi

(2012) melaporkan bahwa senyawa alkali dapat digunakan untuk mengubah asam

yang terkandung dalam minyak bumi sehingga produksi minyak bumi meningkat.

Namun, penggunaan senyawa alkali pada carbonate reservoir dapat menyebabkan

pembentukan kalsium hidroksida, akibat reaksi antara senyawa alkali dengan ion

kalsium yang terdapat dalam batuan. Berdasarkan penelitian Wang et al (2014)

penambahan polimer dapat meningkatkan kemampuan adsorpsi surfaktan ke dalam

inti batuan pada carbonate reservoir. Injeksi surfaktan merupakan salah satu cara

untuk mengurangi sisa minyak yang masih tertinggal di dalam reservoir dengan

Page 20: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …

4

cara menginjeksikan suatu zat aktif permukaan ke dalam reservoir sehingga

tegangan antarmuka minyak-air dapat diturunkan. Dengan turunnya tegangan

antarmuka maka tekanan kapiler pada daerah penyempitan pori-pori batuan

reservoir dapat dikurangi sehingga minyak yang terperangkap dalam pori-pori

batuan dapat didesak dan diproduksi (Rivai et al., 2011). Sampai saat ini, surfaktan

yang banyak digunakan oleh industri perminyakan di Indonesia adalah petroleum

sulfonat. Namun, surfaktan tersebut harganya relatif mahal dan bersifat tidak ramah

lingkungan.

Salah satu jenis surfaktan yang sedang dikembangkan saat ini adalah

surfaktan alkil poliglikosida (APG) yang bersifat ramah lingkungan. Surfaktan

APG merupakan surfaktan yang bersifat nonionik, karena pada gugus polar

(hidrofilik) dan nonpolarnya (hidrofobik) tidak bermuatan. Sifat APG nonionik

menjadikan surfaktan ini tidak terpengaruh terhadap kesadahan dan perubahan pH

sehingga berpotensi sebagai alternatif surfaktan pada aplikasi EOR (Salager, 2002).

Beberapa penelitian mengenai sintesis surfaktan APG telah dilakukan diantaranya

yaitu penelitian yang dilakukan oleh Sukkary et al. (2008) mengenai sintesis

surfaktan APG dengan panjang rantai atom yang berbeda. Namun, tidak

diaplikasikan untuk proses EOR. Erliza et al. (2012) mengenai sintesis surfaktan

APG dengan menggunakan fatty alcohol (C16). Namun, glukosa yang digunakan

adalah glukosa cair 85% dan Uzwatania et al. (2017) mengenai sintesis APG

dengan fatty alcohol (C12) dan fatty alcohol (C16). Namun, katalis yang digunakan

adalah katalis (mehyl ester sulfonic acid) MESA yang bukan merupakan katalis

komersil sehingga tidak diperjual belikan serta hasil sintesis surfaktan APG yang

dihasilkan tidak diaplikasikan untuk EOR. Oleh sebab itu, pada penelitian ini

Page 21: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …

5

dilakukan sintesis dengan menggunakan fatty alcohol (C12), glukosa pada

konsentrasi yang lebih rendah yaitu 75% dan katalis para toluene sulfonic acid

(PTSA). Sehingga diharapkan penggunaan bahan baku glukosa dengan nilai

ekonomis yang lebih rendah dan katalis yang dijual secara komersial dapat

menghasilkan produk dengan hasil yang sama atau bahkan lebih baik.

Surfaktan APG yang akan diaplikasikan untuk proses EOR memilki

parameter utama yaitu nilai interfacial tension (IFT). Interfacial tension (IFT)

merupakan uji yang dilakukan untuk mengetahui tegangan antarmuka. Dari

pengujian ini dapat diketahui kemampuan surfaktan dalam menurunkan tegangan

antarmuka minyak-air agar minyak yang terperangkap dalam batuan dapat

terangkat. Pada sintesis ini ditambahkan penggunaan Purging N2 dan Non Purging

N2 untuk mengetahui seberapa besar pengaruh surfaktan terhadap nilai IFT yang

dihasilkan. Karena penggunaan purging N2 bertujuan untuk menggantikan kondisi

vakum yang dapat menghasilkan nilai IFT yang lebih baik.

Sintesis APG dapat dilakukan dengan metode Fisher melalui proses

asetalisasi (satu tahap) atau melalui proses butanolisis dan transasetalisasi (dua

tahap) yang dilanjutkan dengan tahap netralisasi, distilasi, pelarutan, dan

pemucatan (Uzwatania et al., 2017). Pada penelitian ini, pembuatan surfaktan

dilakukan dengan metode Fisher melalui sintesis APG butanolisis dan

transasetalisasi (dua tahap), karena menurut penelitian El-Sukkary (2008) dan Ware

et al. (2007), tingkat kepolaran glukosa dalam alkohol rantai panjang yang

hidrofobik sangat rendah disebabkan karena perbedaan kepolarannya. Oleh sebab

itu, direaksikan terlebih dahulu glukosa dengan alkohol rantai pendek (butanol)

Page 22: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …

6

melalui reaksi butanolisis yang dilanjutkan dengan reaksi transasetalisasi dengan

alkohol rantai yang lebih panjang untuk membentuk alkil poliglikosida (APG).

Surfaktan disintesis menggunakan fatty alcohol (C12) dan D-glukosa

dengan katalis para toluene sulfonic acid (PTSA). Katalis PTSA dipilih karena

merupakan asam lemah, sehingga tidak korosif dan lebih mudah ketika dilakukan

proses netralisasi pada proses pemurnian APG (Hill, 2000). D-glukosa dipilih

karena cukup banyak diproduksi dalam skala industri dan fatty alcohol (C12) dipilih

karena Wuest et al. (1992) menyarankan penggunaan alkohol lemak dilakukan

dengan panjang rantai C8-C12. APG yang dihasilkan dikarakterisasi dengan

parameter uji Fourier Transform Infra Red (FTIR), kompatibilitas, Interfacial

Tension (IFT) dengan menggunakan alat spinning drop tensiometer, stabilitas

termal, pH, dan kelakuan fasa.

1.2 Perumusan Masalah

Rumusan masalah yang akan diteliti adalah

1. Bagaimana pengaruh konsentrasi katalis berdasarkan parameter nilai

interfacial tension (IFT) yang dihasilkan?

2. Bagaimana pengaruh penggunaan purging N2 dan non purging N2 pada

sintesis alkil poliglikosida (APG) terhadap nilai interfacial tension (IFT)

yang dihasilkan?

3. Bagaimanakah karakteristik hasil sintesis surfaktan alkil poliglikosida

(APG) berdasarkan parameter uji FTIR, kompatibilitas, stabilitas termal, pH

dan kelakuan fasa yang akan diaplikasikan untuk proses enhanced oil

recovery (EOR)?

Page 23: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …

7

1.3 Hipotesis

1. Konsentrasi optimum katalis yang didapatkan akan mempengaruhi

penurunan nilai IFT sehingga menghasilkan nilai IFT yang semakin baik.

2. Penggunaan purging N2 menghasilkan nilai IFT yang lebih rendah apabila

dibandingkan dengan non purging N2.

3. Surfaktan APG yang dihasilkan memiliki karakteristik yaitu kompatibel

terhadap air formasi, stabil dalam pengaruh termal, pH netral,

menghasilkan emulsi fasa tengah dan menghasilkan nilai IFT terendah.

1.4 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah

1. Menentukan konsentrasi katalis optimum berdasarkan parameter nilai IFT

yang dihasilkan.

2. Menentukan jenis perlakuan purging N2 maupun non purging N2 terhadap

parameter nilai IFT yang dihasilkan.

3. Menentukan karakteristik surfaktan APG hasil sintesis dari glukosa 75%,

fatty alcohol (C12) dan katalis PTSA.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini yaitu memberikan suatu gambaran mengenai

surfaktan alkil poliglikosida (APG) pada proses produksi minyak dari reservoir

yang dapat dijadikan suatu pertimbangan ataupun acuan bagi ilmu pengetahuan

khususnya dalam melakukan kinerja lapangan dibidang produksi minyak bumi.

Page 24: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Enhanced Oil Recovery (EOR)

Enhanced Oil Recovery (EOR) merupakan teknik yang digunakan untuk

meningkatkan produksi minyak pada suatu sumur dengan cara mengangkat minyak

yang sebelumnya tidak dapat diproduksi lagi. Berdasarkan proses produksinya,

perolehan minyak bumi pada reservoir dapat dibagi menjadi tiga tahap yaitu

primary recovery, secondary recovery, dan tertiery recovery. Teknik EOR

dilakukan setelah tahap primer dan sekunder dikerjakan. Primary recovery

merupakan cara memproduksi minyak menggunakan tenaga dorong alami yang

berasal dari tekanan sumur dan menggunakan pompa atau dengan gas lift (Naqvy,

2012). Berikut pada Gambar 1 merupakan skema proses produksi minyak bumi

berdasarkan primary recovery, secondary recovery dan tertiery recovery :

Gambar 1. Skema proses produksi minyak bumi (Abidin et al, 2012)

Page 25: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …

9

Produksi minyak sumur reservoir melalui primary recovery diperoleh sekitar 20-

40% dari potensi minyak yang ada, dan karenanya masih terdapat 60-80% minyak

yang tersisa direservoir. Tahap selanjutnya adalah secondary recovery yaitu

peningkatan produksi dan perolehan minyak dengan cara menginjeksikan air, yang

ditujukan untuk mempertahankan tekanan reservoir dan mendorong minyak tersisa

setelah tahap awal pengurasan. Proses injeksi air tersebut, masih menyisakan

minyak di dalam reservoir kurang lebih sebanyak 50-70% Original Oil In Place

(OOIP) (Abidin et al 2012). Sementara itu tertiary recovery atau yang dikenal

dengan istilah Enhanced Oil Recovery (EOR) yang dapat memproduksi minyak

bumi hingga 60% dari total cadangan minyak yang ada, dilakukan dengan

menambahkan bahan kimia pada air yang diinjeksikan, injeksi gas yang larut dalam

minyak, dan injeksi uap air untuk menurunkan kekentalan (Naqvi, 2012).

Ada beberapa teknik EOR yang dapat dilakukan, yaitu: thermal flooding,

gas injection dan chemical flooding yaitu

1. Thermal flooding

Teknik ini dilakukan dengan menginjeksikan sumber panas yang dapat

berupa steam, air panas ataupun pembakaran ke dalam reservoir guna menurunkan

viskositas minyak bumi dan meningkatkan laju alir minyak bumi ke reservoir.

Namun, pada aplikasi thermal flooding memiliki beberapa kelemahan diantaranya

hanya dapat diaplikasikan pada reservoir yang dangkal dan memiliki batuan dengan

porositas yang besar, serta tidak adanya sumber panas yang dekat dengan reservoir

(Naqvi, 2012).

Page 26: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …

10

Berikut pada Gambar 2 merupakan proses EOR dengan mengunakan thermal

flooding :

Gambar 2. Proses thermal flooding (Baihaki, 2015)

2. Gas Injection

Bertujuan untuk meningkatkan tekanan di reservoir dengan cara

menginjeksikan gas ke dalam reservoir guna meningkatkan laju alir minyak bumi.

CO2 merupakan gas yang umum digunakan. Teknik ini mempunyai kelemahan

yaitu teknik gas injection hanya dapat diaplikasikan pada lapangan minyak bumi

yang memiliki sumber CO2 yang dekat dan berkapasitas besar (Naqvi, 2012). Pada

Gambar 3 dibawah ini merupakan proses gas injection:

Gambar 3. Proses gas injection (Baihaki, 2015)

Page 27: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …

11

3. Chemical Flooding

Prinsip kerja chemical flooding adalah membebaskan minyak yang

terperangkap di dalam batuan dengan menggunakan injeksi bahan kimia. Pada

chemical flooding bahan kimia seperti surfaktan, polimer, alkali ataupun kombinasi

ketiganya diinjeksikan ke dalam reservoir. Surfaktan pada chemical flooding

menurunkan tegangan antarmuka (interfacial tension) antara air dengan minyak

dan dapat meningkatkan capillary number sehingga minyak bumi yang

terperangkap pada pori-pori batuan menjadi dapat mengalir (Lohne & Fjelde,

2012). Gambar 4 dibawah ini merupakan proses EOR dengan menggunakan

chemical flooding :

Gambar 4. Proses chemical flooding (Baihaki, 2015)

Polimer pada chemical flooding berfungsi untuk meningkatkan viskositas

pada fasa air dan mengurangi permeabilitas air agar minyak bumi dapat mengalir

(Abidin et al., 2012). Sedangkan alkali pada chemical flooding bermanfaat dalam

mengurangi retensi surfaktan dalam batuan. Pada beberapa jenis minyak, alkali

dapat mengubah asam dalam minyak bumi dan membantu produksi minyak bumi

(Naqvi, 2012).

Page 28: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …

12

2.1.1 Crude Oil

Crude oil biasa disebut sebagai minyak mentah atau minyak bumi yang

merupakan cairan kental, berwarna coklat gelap, atau kehijauan, mudah terbakar,

dan berada di lapisan atas pada beberapa area kerak bumi. Minyak mentah bersifat

kompleks terutama mengandung senyawa parafin, napthenic dan aromatik. Minyak

mentah mengandung semua senyawa alkena mulai C1 sampai C120. Kandungan

senyawa hidrokarbon dalam campuran bervariasi mulai dari 50 sampai lebih dari

97% yang terdiri dari alkana, sikloalkana dan beberapa jenis senyawa aromatik.

Komponen lainnya adalah senyawa nitrogen, oksigen, sulfur, dan logam-logam

terikut lainnya seperti besi, nikel, tembaga dan vanadium (Yasin et al., 2013).

Berikut merupakan crude oil lapangan X yang digunakan pada proses karakterisasi

EOR :

Gambar 5. Crude Oil X (Dokumentasi pribadi, 2018)

Secara umum, crude oil dapat dikategorikan sebagai fraksi ringan, fraksi

sedang, dan fraksi berat berdasarkan titik didihnya. Fraksi ringan dan fraksi sedang

yang terdapat pada crude oil akan terpisah terlebih dahulu dibandingkan fraksi

beratnya. Fraksi ringan dan sedang tersebut mengandung komponen-komponen

seperti gas, nafta, bensin dan kerosin. Pada crude oil, fraksi berat tidak mampu

Crude X

Page 29: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …

13

menguap dan akhirnya terpisahkan dari fraksi ringan maupun fraksi sedangnya

yang mampu menguap pada suhu yang lebih rendah. Komponen-komponen fraksi

berat tersebut seperti aspal, paraffin wax, dan residu (Baihaki, 2015).

Crude yang digunakan pada penelitian ini memiliki karakteristik sebagai

berikut :

Tabel 1. Karakteristik Crude Oil lapangan X

Parameter Nilai

API Gravity 32,7 oAPI

Saturated Hydrocarbon 60,68 %

Resin 1,38 %

Aromatic Hydrocarbon 35,36 %

Asphaltenes 2,58 %

2.1.2 Air Formasi

Air formasi merupakan air yang terakumulasi dalam suatu reservoir

bersama minyak mentah hasil pengeboran banyak mengandung garam-garam. Air

formasi biasanya disebut dengan oil field water atau connate water atau

intertial water. Air formasi selalu ditemukan di dalam reservoir yang menempati

sebagian minimal 10% dari keseluruhan pori. Di dalam air formasi terlarut sejumlah

ion antara lain kation (Na+, Ca2+, Mg2+, Ba2+, Sr2+, dan Fe3+) dan anion ( Cl-, HCO3-

, SO42-, CO3

2-). Berikut merupakan air formasi pada lapangan X :

Gambar 6. Air formasi lapangan X (Dokumentasi Pribadi, 2018)

Page 30: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …

14

Kandungan garam dalam air formasi dapat mempengaruhi interfacial

tension minyak dan air sehingga akan mempengaruhi juga keefektifan pelepasan

minyak dari batuan dengan metode EOR (Baihaki, 2015). Air formasi yang

digunakan pada penelitian ini memiliki karakteristik sebagai berikut :

Tabel 2. Karakteristik Air formasi

Parameter / Sumber Data Nilai

Konstituen, mg/L

Na 5070,5

K 63,2

Ca 55,1

Mg 25,6

Sr 4,0

Fe 0

Cl- 9076,0

HCO3- 2802,4

SO42-

Total kation, mg/L

Total Anion, mg/L

Total konsentrasi NaCl equivalen, ppm

13,0

5255,04

11931,59

12897

2.2 Surfaktan

Surfaktan (surface active agent) adalah suatu zat yang bersifat aktif

permukaan yang dapat menurunkan tegangan antar muka, antara minyak dan air

karena strukturnya yang amphifilik, yaitu adanya dua gugus yang memiliki derajat

polaritas yang berbeda pada molekul yang sama. Bentuk umum surfaktan terdiri

dari gugus hidrokarbon yang bersifat nonpolar dan gugus yang bersifat polar.

Gugus hidrokarbon pada surfaktan biasa disebut “ekor” dan gugus yang bersifat

polar disebut “kepala”. Gugus hidrokarbon dapat berupa rantai lurus maupun

bercabang. Gugus hidrokarbon pada surfaktan bereaksi sangat lemah dengan

molekul air, maka gugus hidrokarbon ini disebut hydrophobic. Sedangkan

Page 31: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …

15

kelompok polar bereaksi kuat dengan molekul air, sehingga disebut hydrophilic

(Sany et al., 2008).

Surfaktan biasanya senyawa organik yang amphifilik. Oleh karena itu,

mereka larut dalam pelarut organik dan air. Mereka mengadsorpsi atau

berkonsentrasi di permukaan atau antarmuka fluida/cairan untuk mengubah sifat

permukaan secara signifikan, khususnya untuk mengurangi tegangan permukaan

atau tegangan antar muka (IFT) (Sheng et al., 2015). Ashrawi (1984) menyatakan,

jenis surfaktan yang digunakan dalam injeksi kimia/surfaktan harus disesuaikan

dengan kondisi reservoir terutama kadar garam, suhu dan tekanan karena akan

mempengaruhi daya kerja surfaktan untuk menurunkan tegangan antarmuka (IFT

minyak-air). Surfaktan berfungsi sebagai senyawa aktif yang dapat digunakan

untuk menurunkan energi pembatas yang membatasi dua cairan yang tidak saling

larut, kemampuan ini disebabkan oleh gugus hidrofilik dan hidrofobik yang

dimiliki oleh surfaktan.

Berikut merupakan gambar molekul surfaktan yang dapat dilihat pada

Gambar 7.

(a) (b)

Gambar 7. (a). Struktur molekul surfaktan; (b). Struktur molekul surfaktan didalam air ( Green and Willhite, 1998)

Page 32: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …

16

Berdasarkan muatannya surfaktan dibagi menjadi empat golongan berdasarkan

gugus polarnya (Holmberg et al., 2002) yaitu:

1. Surfaktan anionik yaitu surfaktan yang bagian alkilnya terikat pada suatu anion.

Umumnya surfaktan anionik digunakan pada produk-produk perawatan diri

(personal care product), deterjen dan sabun. Kelemahan surfaktan ini adalah

sensitif terhadap adanya mineral dan perubahan pH. Contoh surfaktan anionik

antara lain alkilbenzen sulfonat linier (LAS), metil ester sulfonat (MES).

2. Surfaktan kationik yaitu surfaktan yang bagian alkilnya terikat pada suatu

kation. Surfaktan kationik banyak digunakan sebagai bahan antikorosi,

kondisioner, dan lain sebagainya. Kelemahan surfaktan ini adalah tidak memiliki

kemampuan deterjensi bila diformulasikan ke dalam larutan alkali. Contoh

surfaktan kationik antara lain garam alkil trimethil ammonium, garam dialkil

dimethil ammonium.

3. Surfaktan nonionik yaitu surfaktan yang bagian alkilnya tidak bermuatan.

Surfaktan nonionik umumnya digunakan pada produk-produk perawatan diri

(personal care products), formulasi herbisida, dan kosmetik. Keunggulan

surfaktan ini adalah tidak terpengaruh oleh kesadahan air dan perubahan pH.

Contoh surfaktan nonionik antara lain polietilena alkil amina, alkil poliglukosida

(APG), mono alkanol amina.

4. Surfaktan amfoterik yaitu surfaktan yang bagian alkilnya mempunyai muatan

positif dan negatif. Surfaktan amfoterik sangat dipengaruhi oleh perubahan pH,

dimana pada pH rendah berubah menjadi surfaktan kationik dan pada pH tinggi

akan berubah menjadi surfaktan anionik. Contohnya surfaktan yang

mengandung asam amino, betain, fosfobetain.

Page 33: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …

17

2.2.1 Surfaktan Alkil Poliglikosida (APG)

Alkil poliglikosida pertama kali disintesis dan diidentifikasi di laboratorium

oleh Emil Fischer sekitar 100 tahun yang lalu. Aplikasi paten dengan menggunakan

alkil poliglikosida sebagai bahan bakunya dipublikasikan di Jerman sekitar 40

tahun kemudian, hingga saat ini berbagai penemuan tentang alkil poliglikosida

terus berkembang. Pada awalnya Fischer mereaksikan glukosa dan alkohol yang

bersifat hidrofilik seperti metanol, etanol, gliserol, dan lain-lain kemudian

mereaksikannya pada alkohol yang bersifat hidrofobik dengan rantai alkil dari octil

(C8) hingga heksadecil (C16) yang merupakan sifat dari alkohol lemak. Hasil

sintesis yang diperoleh berupa kumpulan dari alkil mono, poli, dan oliglikosida.

Karena kompleksitas inilah maka produk yang dihasilkan disebut Alkil

poliglikosida (Hill, 2000).

Alkil poliglikosida (APG) merupakan surfaktan nonionik yang ramah

lingkungan karena disintesis dengan menggunakan bahan baku yang berbasis

karbohidrat dan alkohol lemak. APG telah diuji mengenai dampak terhadap

lingkungan dan telah mendapatkan beberapa green label seperti Ecocert, EU

Ecoflower, Green Seal dan sebagainya sebagai surfaktan yang ramah lingkungan.

APG juga tidak beracun atau berbahaya bagi manusia, memiliki sifat iritasi yang

rendah pada kulit jika dibandingkan dengan surfaktan lainnya (Mehling et al.,

2007).

2.2.2 Sintesis Surfaktan Alkil Poliglikosida (APG)

Sintesis surfaktan APG dapat dilakukan melalui dua prosedur yang bereda

yaitu berupa tahap asetalisasi menggunakan bahan baku dekstrosa dan alkohol

Page 34: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …

18

lemak (fatty alcohol) serta melalui tahap butanolisis dan tahap transasetalisasi.

Kemudian pada kedua cara ini dilanjutkan tahap netralisasi, distilasi, pelarutan, dan

pemucatan sehingga diperoleh surfaktan APG (Hill, 2000). Pada reaksi APG satu

tahap glukosa langsung direaksikan dengan alkohol rantai panjang dengan bantuan

katalis asam yang akan menghasilkan alkil poliglikosida (APG). Proses reaksi APG

satu tahap dapat dilihat pada Gambar 8:

Gambar 8. Proses APG sintesis satu tahap (Wuest et al, 1992)

Sedangkan pada proses reaksi dua tahap, tahap pertama dilakukan dengan

mereaksikan glukosa dengan alkohol rantai pendek yang disebut butanolisis.

Kemudian dilanjutkan dengan tahap kedua yaitu tahap tr ansasetalisasi dengan

mereaksikan hasil butanolisis dengan alkohol rantai panjang yang akan membentuk

alkil poliglikosida (APG).

Proses reaksi APG dua tahap dapat dilihat pada Gambar 9 dan 10:

Gambar 9. Reaksi pembentukan butanolisis (Hill, 2000)

Page 35: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …

19

Gambar 10. Reaksi pembentukan alkil poliglikosida (Hill, 2000)

Wuest et al (1992) telah melakukan sintesis surfaktan APG dengan reaksi

dua tahap berbahan baku pati. Tahap pertama direaksikan dengan alkohol rantai

pendek, terutama butanol dan tahap kedua transasetalisasi direaksikan dengan

alkohol rantai lebih panjang C8 sampai C22

terutama C12

sampai C18. Tahap

butanolisis dilakukan pada suhu 140-150ᵒC, tekanan reaktor sebesar 4,5-7 bar

dalam zona reaksi tertutup dan tahap transasetalisasi dilakukan pada suhu 110-120

ᵒC dengan kondisi vakum. Menurut Gibson dan Leedy (2001) konsentrasi katalis

yang digunakan pada proses sintesis APG sekitar 0,7-1,4% dari berat glukosa/pati

pada reaksi butanolisis dan pada reaksi transasetalisasi sekitar 25-50% dari berat

katalis yang ditambahkan pada reaksi butanolisis.

2.2.3 Fatty Alcohol

Fatty Alcohol adalah termasuk salah satu jenis bahan oleokimia dasar,

merupakan alkohol rantai panjang. Alkohol Alifatik dengan panjang rantai antara

C6 sampai C22. Sebagian besar merupakan rantai lurus serta dapat diserap atau

mempunyai satu atau lebih ikatan ganda. Alkohol dengan panjang atom karbon

lurus di atas C22 lebih dikenal dengan Wax Alkohol. Fatty alcohol merupakan

turunan dari minyak nabati seperti minyak kelapa maupun minyak kelapa sawit

Page 36: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …

20

yang lebih dikenal sebagai fatty alcohol alami sedangkan turunan dari petrokimia

(parafin dan etilen) dikenal sebagai fatty alcohol sintetis (Hill, 2000).

Berikut merupakan sifat fisik dan kimia fatty alcohol C12 :

Nama Kimia : 1-Dodekanol

Nama umum : Lauryl Alcohol

Rumus Molekul : C12H26O

Warna : Putih

Bentuk : Seperti bubur

Massa Molar : 186,33 g/mol

Densitas : 0,83 g/cm3 pada 20°C

Kelarutan dalam air : 0,004 g/l pada 25°C

Titik Leleh : 21-24 °C

Titik Didih : 258 - 265°C pada 1,013 hPa

Tekanan Uap : 8,48 x 10-4 mm Hg at 25°C

Titik Nyala : 119°C

Fatty alcohol utamanya digunakan sebagai bahan intermediate, di Eropa

Barat hanya 5% yang digunakan secara langsung dan kira-kira 95% dimanfaatkan

dalam bentuk turunannya. Pemanfaatan fatty alcohol untuk pembuatan surfaktan

kira-kira sebesar 70-75%. Lebih dari dua per tiga atau sekitar 80% dari jumlah fatty

alcohol yang diproduksi digunakan sebagai bahan baku pembuatan surfaktan.

Sebagai bahan baku surfaktan fatty alcohol mampu bersaing dengan produk turunan

petroleum seperti alkil benzena. Selain karena surfaktan yang dihasilkan bersifat

lebih stabil, juga harganya lebih murah jika dibandingkan dengan surfaktan turunan

petroleum (Presents, 2000). Berikut merupakan beberapa reaksi kimia terhadap

fatty alcohol C12 :

Tabel 3. Reaksi kimia terhadap fatty alcohol dan hasilnya

Pereaksi Hasil

Fatty Alcohol

+ Oksigen Aldehid, Asam Karboksilat

+ Basa cair Asam Karboksilat

+ Asam Karboksilat Ester

+ Ammonia Amina

+ Aldehid / Keton Asetal

Sumber: Presents (2000)

Page 37: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …

21

Seperti halnya alkohol, fatty alcohol memiliki gugus hidroksil (OH). Dimana

sifat kelarutannya sangat dipengaruhi oleh ikatan hidrogen. Dengan bertambah

panjangnya rantai karbon pengaruh gugus hidroksil yang bersifat polar menurun.

Akibatnya alkohol dengan bobot molekul rendah cenderung larut dalam air

sedangkan alkohol berbobot tinggi sebaliknya cenderung bersifat non polar (Hui,

1996).

2.2.4 Glukosa

Monosakarida (gula sederhana) adalah satuan karbohidrat yang

tersederhana, yang tidak dapat dihidrolisis menjadi molekul karbohidrat yang lebih

kecil. Glukosa merupakan monosakarida yang terpenting, kadang-kadang disebut

sebagai gula darah (karena dijumpai dalam darah), gula anggur (karena dijumpai

dalam anggur) atau dekstrosa (karena memutar bidang polarisasi kekanan

(Fessenden dan Fessenden, 1982).

Berikut merupakan sifat fisik dan kimia D-Glukosa :

Nama Kimia : D-Glukosa

Nama Umum : Dextrose anhydrous

Rumus Molekul : C₆H₁₂O₆ Bentuk : Padat

Warna : Tidak berwarna

Massa Molar : 180,16 g/mol

Titik Lebur : 146 °C

Kelarutan dalam air : 470 g/l pada 20°C

Monosakarida yang mengandung gugus aldehida dirujuk sebagai aldosa

(aldehid plus –osa). Glukosa, galaktosa, ribosa dan deoksiribosa semuanya aldosa.

Monosakarida yang mengandung gugus ketosa dirujuk sebagai ketosa (keton plus

–osa), misalnya fruktosa. Seperti air, suatu alkohol dapat mengadisi suatu gugus

karbonil (salah satunya aldehid dan keton). Dalam kebanyakan hal, keseimbangan

Page 38: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …

22

terletak pada sisi aldehid atau keton, sama seperti reaksi dengan air. Produk adisi

satu molekul suatu alkohol pada suatu aldehida disebut suatu hemiasetal, sedangkan

produk adisi dua molekul alkohol (dengan hilangnya H2O) disebut asetal (hemiketal

dan ketal merupakan nama padanan untuk produk keton). Semua reaksi ini

dikatalisis oleh asam kuat. Berikut merupakan proses pembentukan hemiasetal oleh

aldehid dan alkohol (Gambar 11) :

Gambar 11. Pembentukan hemiasetal oleh aldehid dan alkohol (Fessenden dan Fessenden, 1982)

Bila suatu hemisetal diolah dengan suatu alkohol, akan terbentuk suatu

asetal. Asetal monosakarida disebut glikosida dan memperoleh nama berakhir

dengan –osida. Berikut pada Gambar 12 merupakan reaksi pembentukan asetal dari

D-Glukosa :

Gambar 12. Reaksi pembentukan asetal dari D-Glukosa

(Fessenden dan Fessenden, 1982)

Page 39: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …

23

Karbon glikosida (karbon 1 dalam suatu aldosa) mudah dikenal karena mempunyai

dua gugus OR yang terikat pada karbon 1 itu. Meskipun suatu hemisetal dari suatu

monosakarida berada dalam keseimbangan dengan bentuk rantai terbuka dan

dengan anomernya dalam larutan air, suatu asetal bersifat stabil dalam larutan netral

dan basa (Fessenden dan Fessenden, 1982).

2.2.5 Surfaktan dalam industri minyak

Surfaktan untuk aplikasi EOR dalam industri perminyakan memerlukan

karakteristik tertentu. Karakteristik surfaktan yang dibutuhkan diantaranya, tahan

pada kondisi air formasi (brine water) yang mempunyai tingkat salinitas dan

kesadahan yang tinggi, tahan pada suhu reservoir, memiliki IFT 10-3-10-6 mN/m

(Hambali et al., 2011).

Menurut BP MIGAS 2009, surfaktan yang digunakan untuk aplikasi EOR

memiliki persyaratan khusus, yakni memiliki ultralow interfacial tension ≤ 10-3

mN/m, stabil dalam suhu reservoir, pH berkisar 6-8, memiliki phase behaviour tipe

III, rasio filtrasi < 1,2 dan incremental oil recovery berkisar 15-20% OOIP.

Surfaktan yang diinjeksikan ke dalam reservoir, harus tetap stabil terhadap

kondisi suhu reservoir dalam waktu yang lama karena prosesnya memakan waktu

hingga bertahun-tahun. Selain itu injeksi surfaktan harus menghindari adanya

pengendapan atau pemisahan fasa lain yang tidak diinginkan. Surfaktan juga harus

dapat mengembangkan tegangan antar muka (IFT) yang sangat rendah dengan

minyak mentah di dalam kondisi reservoir, rendah adsorpsi batuan reservoir, larut

satu fasa dengan air pada saat pencampuran dan suhu injeksi. (Puerto et al., 2010).

Page 40: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …

24

2.3 Karakterisasi Surfaktan Alkil Poliglikosida

2.3.1 Spektroskopi Fourier Transform Infra Red (FTIR)

Spektrofotometri Fourier Transform Infra Red (FTIR) merupakan suatu

metode analisis yang dipakai untuk analisis gugus fungsi, pengenalan senyawa, dan

analisa campuran. Penemuan gugus fungsional diperoleh berdasarkan bilangan

gelombang yang dibutuhkan untuk suatu molekul bervibrasi pada suatu ikatan baik

berupa rentangan (streaching) maupun berupa bengkokan (bending) dimana setiap

ikatan mempunyai bilangan gelombang yang spesifik sehingga setiap molekul

mempunyai spektra infra merah yang spesifik atau sidik jari (fingerprint) tertentu

(Ibrahim dan Sitorus, 2013).

Suatu molekul bila menyerap radiasi infra merah, maka energi yang diserap

menyebabkan kenaikan amplitudo getaran atom-atom yang terikat, sehingga

molekul berada dalam keadaan tereksitasi. Energi yang diserap akan dilepaskan

dalam bentuk panas jika molekul kembali ke keadaan dasar. Panjang gelombang

yang diabsorpsi suatu ikatan bergantung pada jenis getaran dari ikatan tersebut,

ikatan yang berlainan akan menyerap pada panjang gelombang yang berlainan. Hal

inilah yang menyebabkan spektroskopi infra merah dapat digunakan untuk

mengidentifikasi adanya gugus fungsi dalam suatu molekul. Banyaknya energi

infra merah yang diserap oleh suatu molekul beraneka ragam yang disebabkan

perubahan momen dipol pada saat energi diserap. Ikatan non polar seperti C-H atau

C-C menyebabkan absorpsi lemah, sedangkan ikatan polar seperti O-H, N-H dan

C=O menyebabkan absorpsi yang lebih kuat (Supratman, 2010).

Penggunaan metode tersebut menghasilkan spektroskopi IR yang dapat

menyerap radiasi hingga frekuensi 5.000–400 cm-1. Daerah radiasi spektroskopi

Page 41: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …

25

infra merah (IR) berkisar pada bilangan gelombang 12.800-10 cm-1 atau panjang

gelombang 0,78-1.000 μm. Umumnya daerah radiasi IR terbagi dalam daerah IR

dekat (12.800-4.000 cm-1), daerah IR tengah (4.000-200 cm-1), dan daerah IR jauh

(200-10 cm-1) (Hermanto, 2008).

Informasi yang diperoleh dalam analisis struktur senyawa organik

menggunakan FTIR adalah frekuensi atau bilangan gelombang berbagai gugus

fungsional yang menyerap sinar infra merah.

Daerah bilangan gelombang terpenting yang digunakan ditampilkan pada

Tabel 4.

Tabel 4. Bilangan gelombang spektrum FTIR

Gugus Fungsi Bilangan Gelombang (cm-1)

- CH2

Asymmetric bending

Asymmetric strech

1.461

2.932

- CH3

Symmetric bending

Symmetric strech

Asymmetric strech

1.375

2.865

2.960

- O-H 3.200-3.400

- C-O 1.055

- CHO 1.716

- Ether Linkage 1.150

Sumber : El-Sukkary, 2008

2.3.2 Kompatibilitas

Kompatibilitas adalah uji yang dilakukan untuk mengetahui kelarutan

surfaktan APG hasil sintesis dengan air formasi yang berasal dari lapangan minyak.

Uji kompatibilitas dilakukan untuk mengetahui seberapa besar kecocokan antara

surfaktan dengan air formasi dalam suatu reservoir. Uji ini merupakan uji paling

awal dilakukan sebelum uji-uji lainnya. Apabila pada uji ini surfaktan tidak cocok

(tidak kompatibel), maka surfaktan dianggap tidak layak untuk reservoir yang

Page 42: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …

26

bersangkutan. Oleh karena itu, uji-uji lainnya tidak perlu dilakukan. Ada tiga

kemungkinan yang terjadi pada pencampuran surfaktan dengan air formasi, yaitu :

1. Larut sempurna, terbentuk larutan jernih.

2. Koloid (milky) terbentuk campuran yang terlihat seperti air susu (milky).

3. Terbentuknya suspensi

Pada uji kompatibilitas diharapkan campuran yang terjadi adalah larutan

sempurna atau koloid, sedangkan suspensi sangat tidak diharapkan karena

dikhawatirkan akan terjadi penyumbatan pada saat larutan surfaktan diinjeksikan

ke dalam batuan. Uji bernilai positif bila surfaktan larut sempurna dalam air

formasi, sedangkan uji bernilai negatif bila surfaktan tidak larut sempurna dalam

air formasi. Surfaktan yang baik untuk EOR dapat membentuk emulsi O/W, jernih,

tidak keruh, dan tidak membentuk endapan (Sukriya, 2011).

2.3.3 Pengukuran Interfacial Tension (IFT)

Tegangan permukaan merupakan suatu gaya yang timbul sepanjang garis

permukaan suatu cairan, sedangkan tegangan antar muka adalah energi yang

bergerak melintang sepanjang garis permukaan. Gaya ini timbul karena adanya

kontak antara dua cairan yang berbeda fase. Berdasarkan satuan Standard

International (SI) besaran tegangan antarmuka dinyatakan dengan mN/m atau

dyne/cm.

Menurut Myers (2006) terdapat tiga mekanisme utama dalam pencapaian

EOR menggunakan senyawa aditif surface active, antara lain:

a) Tegangan antarmuka minyak dan larutan kurang ≤ 10-3 mN/m.

Page 43: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …

27

b) Secara spontan, membentuk emulsifikasi atau mikroemulsi dari minyak yang

terjebak dalam pori-pori batuan.

c) Kontrol keterbasahan pori-pori batuan, untuk mengoptimalkan pengambilan

minyak

Interfacial tension (IFT) adalah uji yang dilakukan untuk mengetahui

tegangan antarmuka. Analisis dilakukan dengan menggunakan alat spinning drop

tensiometer. Pengujian ini dapat mengetahui kemampuan surfaktan dalam

menurunkan tegangan antarmuka pada air. Setelah dilarutkan denga air formasi,

surfaktan APG hasil sintesis diharapkan memiliki nilai ultralow interfacial tension

≤ 10-3 mN/m, sesuai dengan persyaratan BP MIGAS.

2.3.4 Spinning Drop Tensiometer

Spinning drop tensiometer merupakan alat yang hanya dapat digunakan

untuk pengukuran tegangan antarmuka cair-cair. Berikut merupakan Ilustrasi

pengukuran nilai IFT antara surfaktan dengan minyak dapat dilihat pada Gambar

13.

Gambar 13. Elongated droplet minyak dalam tabung berisi larutan surfaktan

yang diputar (Drelich et al., 2002)

Suatu tube sampel diisi dengan larutan surfaktan yang sudah dilarutkan

dalam air formasi dan dimasukkan minyak. Tabung di putar dengan kecepatan

tinggi. Droplet minyak dapat dilihat dengan lampu pada alat. Bentuk droplet

minyak tergantung pada tegangan antarmuka kedua cairan. Batas pengukuran untuk

Page 44: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …

28

menggunakan alat spinning drop tensiometer adalah 10-6 mN/m (Drelich et al.,

2002).

Ilustrasi pengukuran IFT surfaktan terhadap minyak mentah yaitu tetesan

minyak mentah dimasukkan ke dalam campuran surfaktan. Keseluruhan massa itu

dirotasikan sehingga tetesan minyak mentah tadi akan berada di tengah. Rotasi

tabung yang horizontal menciptakan gaya sentrifugal ke arah dinding tabung,

bulatan (droplet) cairan akan mulai memanjang (elongated) dan perpanjangan ini

akan berhenti bila tegangan antarmuka dan gaya sentrifugal yang seimbang.

2.3.5 Stabilitas termal

Pengujian stabilitas termal dilakukan untuk mengetahui kestabilan

surfaktan terhadap suhu reservoir. Surfaktan yang baik akan tetap stabil terhadap

pengaruh suhu. Salah satu faktor yang mempengaruhi efektifitas formula surfaktan

selama mengalir dalam media berpori adalah degradasi formula surfaktan akibat

suhu. Larutan surfaktan yang stabil dan tidak rusak (tidak terdegradasi) ditandai

dengan warna yang jernih dan tidak terbentuk endapan (Sugihardjo, 2002). Selain

melakukan pengamatan, selama uji ini juga dilakukan pengukuran interfacial

tension (IFT) secara berkala dengan periode 1 minggu sekali selama dua minggu.

Diharapkan IFT tetap stabil (rendah) atau menurun.

2.3.3 Kelakuan fasa

Kelakuan fasa adalah uji yang dilakukan untuk melihat fase yang terbentuk

antara surfaktan dengan minyak bumi setelah dikontakkan, uji ini juga dapat

mengetahui kecocokan antara surfaktan dengan minyak bumi. Penentuan kelakuan

Page 45: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …

29

fasa campuran surfaktan-air-minyak merupakan faktor penting dalam

memperkirakan kinerja peningkatan perolehan minyak pada proses injeksi

surfaktan. Proses emulsifikasi dapat menurunkan tegangan antarmuka antara fluida

pendorong dengan minyak. Pada dasarnya campuran surfaktan-air-minyak dapat

membentuk beberapa macam jenis emulsi yang diantaranya dapat menurunkan

tegangan antar muka ke tingkat yang sangat rendah, yaitu dengan orde 10-2 sampai

dengan 10-4 mN/m, yang dapat digunakan dalam injeksi kimia (Sugihardjo, 2001).

Berikut merupakan kelakuan fasa berdasarkan sistem winsor:

Gambar 14. Phase behaviour berdasarkan Sistem Winsor (Gudiña et al., 2013)

1. Sistem winsor I adalah sistem yang terdapat kelebihan fasa minyak. Emulsi

yang terbentuk pada sistem ini yaitu emulsi fasa bawah (emulsi yang terbentuk

berada dalam fasa air).

2. Sistem winsor II adalah sistem yang terdapat kelebihan fasa air. Emulsi yang

terbentuk pada sistem ini yaitu emulsi fasa atas (emulsi yang terbentuk berada

dalam fasa minyak).

Page 46: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …

30

3. Sistem winsor III adalah sistem yang terdapat keseimbangan antara fasa air dan

fasa minyak (mikroemulsi). Emulsi yang terbentuk pada sistem ini yaitu emulsi

fasa tengah berupa mikroemulsi

Phase behaviour yang diharapkan adalah terbentuknya Type III

(berdasarkan sistem winsor) yakni terbentuknya emulsi fasa tengah atau

mikroemulsi, sesuai dengan persyaratan dari (BP MIGAS, 2009). Terbentuknya

sistem winsor III menandakan kinerja surfaktan yang baik. Kinerja yang dimaksud

adalah pada kondisi tersebut dihasilkan nilai IFT yang sangat rendah atau mencapai

ultralow IFT sehingga proses pendesakan minyak bumi dapat berjalan secara

optimal.

Page 47: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …

31

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di laboratorium Material & Chemical Research,

Research and Technology Center Pertamina dan laboratorium Kimia Fakultas

Teknik Universitas Indonesia dari bulan Oktober 2017 – April 2018.

3.2 Alat dan Bahan

3.2.1 Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah peralatan gelas (pipet ukur,

pipet tetes, gelas ukur, erlenmeyer, dan beaker glass), corong pisah, labu leher dua,

neraca analitik digital, statif, aluminium foil, botol kaca, botol vial, batang

pengaduk, kertas saring whattman no 42, pH indikator universal, spatula, hot plate,

magnetic stirrer, oven, piknometer, reaktor berpengaduk yang dapat diatur suhu

dan tekanan, thermostat, Distilasi Vakum ASTM D 1160, instrumen FTIR

Shimadzu seri IR Prestige-21, instrumen spinning drop tensiometer seri M6500,

dan tabung phase behavior.

3.2.2 Bahan

Bahan kimia yang digunakan adalah fatty alcohol (C12) yang diperoleh dari

PT. Ecogreen Oleochemical, D-glukosa dari PT. Raya Sugarindo Inti, katalis para

toluene sulfonic acid (PTSA), butanol, NaOH 50%, aquadest, air formasi, dan

crude oil lapangan X.

Page 48: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …

32

3.3 Diagram Alir

Gambar 15. Diagram alir sintesis surfaktan APG

Glukosa 75% Butanol Katalis PTSA

(0,5, 1, 1,25, 1,5%)

Butanolisis ( 150 ˚C, t = 2 jam P= 1- 4 bar )

Transasetalisasi ( T= 110-120 ˚C,

t = 2 jam)

Fatty alcohol + 50%

katalis PTSA proses

butanolisis

Netralisasi

( T = 80 ˚C pH = 6 – 8 ) + NaOH 50%

Distilasi

T = 180 – 200 ˚C P = Vakum Fatty

alcohol +

butanol

berlebih

Alkil Poliglikosida

(APG)

Formulasi surfaktan

APG 0,5% dan 2%

+ Aquades ( 1:1 )

Formulasi

surfaktan terbaik

Stabilitas termal pH Kelakuan fasa

FTIR

Non Purging N2

Disaring Karakterisasi

kompatibilitas

Interfacial

Tension (IFT)

APG : Aquades

(1:1)

+ Air formasi

Purging N2

Karakterisasi

tahap lanjut

Page 49: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …

33

3.4 Prosedur Kerja

3.4.1 Preparasi sampel minyak mentah

Sampel minyak mentah yang digunakan yaitu minyak mentah yang berasal

dari lapangan X. Sampel minyak mentah dipanaskan selama 1 jam pada suhu 40˚C

dengan pengocokan agar sampel minyak mentah tersebut lebih homogen sebelum

diujikan.

3.4.2 Preparasi air formasi

Air formasi adalah air yang mengandung garam-garam kation dan anion.

Preparasi air formasi yang berasal dari lapangan X dilakukan dengan cara

penyaringan menggunakan kertas whattman 42. Air formasi yang semula terdapat

sisa-sisa minyak yang menempel dan endapan kuning menjadi jernih.

3.4.3 Preparasi D-Glukosa

D-glukosa yang berasal dari PT. Raya Sugarindo Inti dibuat dengan

konsentrasi 75% dalam 500 mL aquadest (b/v). Sebanyak 375 gram serbuk d-

glukosa dimasukan kedalam beaker glass sambil dipanaskan, kemudian

ditambahkan dengan aquadest sedikit demi sedikit sambil diaduk. D-glukosa yang

ditambahkan dengan aquadest apabila tidak diaduk secara merata akan terjadi

gumpalan dan sulit untuk diaduk. Suhu yang digunakan berkisar 150 ˚C dengan

kecepatan 300 rpm.

Page 50: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …

34

3.4.4 Sintesis alkil poliglikosida (APG)

Proses sintesis alkyl polyglycoside (APG) dilakukan dengan memodifikasi

metode Wuest et al. (1992) dan Gibson et al. (2001). Penelitian ini dilakukan

dengan menggunakan reaktor berpengaduk yang dapat diatur suhu dan tekanan.

Sintesis alkyl polyglycoside (APG) dilakukan dengan dua tahap reaksi yaitu tahap

butanolisis dan tahap transasetalisasi. Kemudian dilanjutkan dengan netralisasi dan

distilasi. Secara skematis sintesis APG melalui beberapa tahapan, yaitu:

1. Tahap Butanolisis

Proses butanolisis dilakukan pada reaktor berpengaduk yang dapat diatur

suhu dan tekanan dengan mencampurkan butanol sebanyak 145,77 gram, glukosa

75% sebanyak 60,05 gram dan katalisator asam p-toluena sulfonat dengan

konsentrasi katalis 0,5, 1, 1,25 dan 1,5% dari berat glukosa yang digunakan. Pada

reaksi butanolisis rasio mol yang digunakan antara glukosa dan butanol adalah

1:5,9. Kondisi proses dilakukan pada suhu 150 oC pada tekanan 1 – 4 bar, selama 2

jam. Sebelum dilanjutkan proses transasetalisasi, proses sintesis dimodifikasi

dengan penggunaan purging N2 dan tanpa penggunaan purging N2. Penggunaan

purging N2 bertujuan untuk mendapatkan kondisi vakum sehingga tidak kontak

dengan udara luar. Pada proses ini akan didapatkan 4 produk butilglikosida yang

dilakukan dengan purging N2 dan 4 produk butilglikosida tanpa penggunaan

purging N2.

2. Tahap Transasetalisasi

Proses transasetalisasi dilakukan pada reaktor dengan mencampurkan hasil

proses butanolisis pada penggunaan purging N2 maupun tanpa penggunaan purging

N2 dengan fatty alcohol (C12) dan katalisator asam p-toluena sulfonat. Dilakukan

Page 51: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …

35

dengan kondisi proses pada suhu 110 – 120oC selama 2 jam. Pada reaksi

transasetalisasi rasio mol antara glukosa dengan fatty alcohol (C12) adalah 1:3

dengan konsentrasi katalis PTSA sekitar 50% dari katalis yang digunakan pada

proses butanolisis.

3. Tahap Netralisasi

Tahap netralisasi dilakukan setelah mendapatkan hasil transasetalisasi yang

telah didinginkan hingga mencapai suhu 90oC. Proses ini dilakukan dengan

menggunakan NaOH 50% sampai pH netral tercapai (berkisar 6-8). Suhu yang

digunakan pada saat netralisasi yaitu 80oC.

4. Tahap Distilasi

Proses distilasi bertujuan untuk menghilangkan butanol dan alkohol

berlebih yang tidak bereaksi. Proses distilasi dilakukan dengan menggunakan

distilasi vakum ASTM D 1160 yang dilakukan pada suhu 180-200oC dan tekanan

15 mmHg hingga didapatkan hasil sintesis berupa padatan alkyl polyglycoside

(APG).

3.4.5 Formulasi surfaktan APG

Sebelum dilakukan karakterisasi, APG hasil sintesis dilarutkan terlebih

dahulu dengan air formasi sebanyak 50% dengan perbandingan 1:1. Kemudian

dibuat larutan surfaktan APG 0,5 dan 2%. Larutan surfaktan APG tersebut

kemudian disaring dengan menggunakan kertas saring whattman 42, dikarenakan

menghasilkan fasa yang tidak homogen.. Kemudian dikarakterisasi dengan uji

FTIR, kompatibilitas, uji interfacial tension (IFT) dengan menggunakan alat

spinning drop tensiometer, pH, stabilitas termal dan kelakuan fasa.

Page 52: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …

36

3.5 Karakterisasi Produk Surfaktan APG

3.5.1 FTIR (Fourier Transformation Infra Red) (Lemigas, 2008)

Analisa instrumen spektroskopi infra merah dilakukan dengan

menggunakan peralatan spektrofotometer Shimadzu seri IR Prestige-21. Sampel

APG dapat langsung diuji tanpa proses preparasi. Sebanyak 1 g sampel APG

formula A1Y dimasukan ke dalam tube FTIR untuk dianalisis dengan bilangan

gelombang 400-4.000 cm-1. Sinar inframerah ditembakkan pada sampel, dengan

bantuan software komputer kemudian ditampilkan hasil spektrogram gugus fungsi

dari sampel.

3.5.2 Kompatibilitas (Lemigas, 2008)

Pengujian kompatibilitas dilakukan secara manual yakni dengan mengamati

hasil formulasi surfaktan APG konsentrasi 0,5 dan 2% pada tabung reaksi apakah

surfaktan larut sempurna dalam air formasi atau tidak. Pengamatan dilakukan setiap

hari selama 2 minggu. Surfaktan yang baik akan menghasilkan surfaktan yang larut

dalam air formasi, jernih dan tidak terbentuk endapan.

3.5.3 Densitas (Lemigas, 2008)

Pengukuran densitas dilakukan dengan menggunakan piknometer 10 mL.

Piknometer yang kosong dan bersih terlebih dahulu dimasukan kedalam oven

dengan suhu reservoir 40 ˚C selama 5 menit dan ditimbang sebagai bobot kosong

(W1). Kemudian diisi piknometer dengan surfaktan APG yang telah dibuat

konsentrasinya 0,5% dan 2%, setelah itu dimasukkan kedalam oven dengan suhu

reservoir 40 ̊ C selama 15 menit dan ditimbang sebagai bobot isi (W2). Pengukuran

densitas akan dimasukan sebagai perhitungan nilai IFT.

Page 53: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …

37

3.5.4 Pengukuran nilai Interfacial Tension (IFT) (Lemigas, 2008).

Pengukuran nilai IFT dilakukan dengan menggunakan alat spinning drop

tensiometer seri M6500. Sebelum diuji sampel surfaktan APG terlebih dahulu

dilarutkan dengan air formasi yang berasal dari lapangan jirak pada konsentrasi 0,5

dan 2%. Alat beserta komputer dinyalakan dan suhu diatur sampai 400C mengikuti

suhu reservoir. Tube sampel diisi dengan larutan surfaktan sampai penuh. Didalam

tube sampel tersebut tidak boleh ada gelembung udara karena dapat mengganggu

proses pengukuran. Sebanyak 1 mikroliter sampel minyak mentah diinjeksikan

menggunakan syringe ke dalam tube sampel yang telah berisi larutan surfaktan.

Lalu tube sampel tersebut dimasukkan ke dalam alat. Frekuensi putaran diatur

sebesar 3.000 rpm selama 30 menit. Gambar droplet minyak yang terbentuk di

capture dan diukur diameter droplet minyak tersebut.

Penentuan nilai IFT dilakukan berdasarkan rumus dibawah ini (Drelich, 2002) :

ϒ = 1.44 x 10-7 x Δρ x D3 x θ2 ................. (1)

Keterangan :

ϒ = Tegangan antarmuka (mN/m)

Δρ = perbedaan densitas fluida (g/mL)

D = Jari-jari droplet (mm)

θ = kecepatan putaran (rpm)

3.5.5 pH (Lemigas, 2008)

Pengujian pH dilakukan dengan menggunakan indikator pH universal.

Sebelum diuji sampel surfaktan APG terlebih dahulu dilarutkan dengan air formasi

dari lapangan jirak pada konsentrasi 0,5 dan 2%.

Page 54: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …

38

3.5.6 Stabilitas termal (Lemigas, 2008)

Pengujian stabilitas termal dilakukan dengan memasukkan formulasi

surfaktan APG konsentrasi 0,5 dan 2% pada tabung reaksi, kemudian dipanaskan

kedalam oven dengan suhu 40 oC yang disesuaikan dengan kondisi suhu reservoir

pada lapangan X. Kemudian diamati apakah surfaktan tetap stabil terhadap suhu

atau tidak. Surfaktan yang stabil terhadap suhu reservoir tidak akan membentuk

endapan dan air yang keruh. Pengamatan dilakukan selama 2 minggu.

Selain melakukan pengamatan, selama uji ini juga dilakukan pengukuran

IFT secara berkala dengan periode 1 minggu sekali selama dua minggu. Pengujian

ini dilakukan untuk menentukan apakah surfaktan terdegradasi oleh pengaruh suhu

atau tidak. Surfaktan yang baik akan stabil pada kondisi suhu reservoir dan tidak

terdegradasi oleh pengaruh suhu dengan tidak adanya kenaikan nilai IFT.

3.5.7 Kelakuan fasa (Lemigas, 2008)

Pengujian kelakuan fasa dilakukan secara manual dengan cara memasukkan

larutan surfaktan yang sudah dicampurkan dengan air formasi dengan konsentrasi

0,5 dan 2% kedalam phase behaviour testing aparatus kemudian ditambahkan

minyak mentah dari lapangan X dengan perbandingan antara surfaktan dan minyak

mentah adalah 1:1. Selanjutnya phase behaviour testing aparatus yang sudah

disiapkan dimasukkan kedalam oven sesuai dengan suhu reservoir yaitu 40oC

selama 30 menit dan dikocok sebanyak 3 kali dan dimasukkan kembali kedalam

oven selama 1 jam. Kemudian diamati emulsi yang terbentuk. Pengamatan

dilakukan setiap hari selama 2 minggu.

Page 55: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …

39

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Sintesis alkil poliglikosida

Senyawa APG diperoleh melalui metode Fisher dengan dua tahap reaksi

yaitu tahap butanolisis dan transasetalisasi. Tahap butanolisis yaitu dengan

mereaksikan glukosa 75% dan butanol yang ditambahkan dengan katalis PTSA.

Tahap transasetalisasi yaitu penambahan fatty alcohol (C12) dengan 50% katalis

PTSA dari proses butanolisis. Kemudian dilanjutkan dengan tahap netralisasi, dan

distilasi sehingga didapatkan padatan alkil poliglikosida (APG). Proses sintesis ini

dilakukan dengan menggunakan reaktor berpengaduk yang dilengkapi dengan

thermoset sehingga dapat diatur suhu dan tekanan.

1. Butanolisis

Tahap butanolisis merupakan reaksi antara glukosa 75% dan butanol dengan

menggunakan katalis asam yaitu katalis para toluene sulfonac acid (PTSA) dengan

variasi katalis yang digunakan yaitu 0,5, 1, 1,25 dan 1,5%. Reaksi berlangsung pada

xv kondisi temperatur 150 ᵒC dengan tekanan 1- 4 bar selama 2 jam. Menurut

Luders (2000), penggunaan suhu tinggi pada proses sintesis maka reaksi akan

berjalan lebih cepat, penambahan katalis yang semakin tinggi memungkinkan

terjadinya kondisi keasaman yang semakin tinggi selama proses butanolisis.

Dengan suasana asam memungkinkan ion H+ yang diperoleh dari katalis membantu

terjadinya ikatan antara gula dan butanol. Berikut reaksi yang terjadi antara glukosa

dan butanol yang ditunjukkan pada Gambar 16:

Page 56: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …

40

Gambar 16. Mekanisme reaksi butanolisis (Hill, 2000)

Berdasarkan Wang et al. (2014) reaksi tanpa menggunakan katalis lebih

sulit dilakukan karena laju reaksi yang sangat lambat dan glukosa terkumpul

menghasilkan ukuran partikel yang lebih besar sehingga dapat menyebabkan

terjadinya karamelisasi. Selain itu, reaksi pembentukan asetal (glikosida) terjadi

karena salah satu oksigen diprotonasi oleh katalis asam. Hasil proses sintesis pada

tahap butanolisis akan menghasilkan butilglikosida. Sebelum memasuki tahap

transasetalisasi proses sintesis divariasikan dengan menggunakan purging N2 dan

non purging N2. Penggunaan purging N2 dan non purging N2 untuk mengetahui

seberapa besar pengaruh surfaktan terhadap nilai IFT yang dihasilkan. Karena

penggunaan purging N2 bertujuan untuk menggantikan kondisi vakum sehingga

dapat menghasilkan nilai IFT yang lebih baik.

Page 57: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …

41

2. Transasetalisasi

Proses sintesis dilanjutkan melalui tahap transasetalisasi, tahap

transasetalisasi pada sintesa alkyl polyglycosides (APG) merupakan tahapan yang

sangat penting, karena pada tahap ini ikatan antara butilglikosida dan fatty alcohol

terbentuk. Pada tahapan ini terjadi proses penggantian C4 oleh C12 dengan katalis

asam p-toluene sulfonat sebanyak 50% dari proses butanolisis dengan suhu reaksi

pada interval 110-120 ˚C. Berikut merupakan mekanisme reaksi yang terjadi :

Gambar 17. Mekanisme reaksi transasetalisasi (Hill, 2000)

Alkil poliglikosida yang dihasilkan menentukan keseimbangan gugus

hidrofilik dan hidrofobik. Apabila rantai hidrofobik terlalu panjang, akan terjadi

ketidakseimbangan yaitu terlalu besarnya afinitas untuk gugus minyak atau lemak

atau terlalu kecilnya afinitas untuk gugus air. Hal ini akan ditunjukkan oleh

keterbatasan kelarutan di dalam air. Demikian juga sebaliknya, apabila rantai

hidrofobiknya terlalu pendek, komponen akan memiliki keterbatasan kelarutan

Page 58: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …

42

dalam minyak (Swern, 1979). Wuest et al. (1992) menyarankan penggunaan

alkohol lemak dengan panjang rantai C8-C12. Alkohol lemak pada APG diperlukan

untuk memperoleh gugus alkil rantai panjang sebagai bagian yang bersifat

hidrofobik. Semakin panjang rantai gugus alkil, sifat non polar akan semakin tinggi.

Pada proses transasetalisasi, butil glikosida bereaksi dengan alkohol lemak yang

dilakukan pada kondisi vakum untuk menurunkan titik didih dari alkohol lemak

sehingga gugus OH akan menjadi lebih reaktif untuk menggantikan rantai pendek

alkohol (butil) oleh rantai panjang alkohol sehingga membentuk senyawa surfaktan

alkil poliglikosida (APG).

Hasil akhir reaksi transasetalisasi yaitu larutan alkil poliglikosida. Sintesis

APG berbahan baku larutan glukosa 75% dan fatty alcohol C12 menghasilkan

larutan warna coklat tua hingga kehitaman. Selama proses transasetalisasi

berlangsung, sisa butanol dan air yang dihasilkan pada proses butanolisis akan

keluar melalui proses distilasi vakum. Gambar 18 dibawah ini merupakan hasil

sintesis APG tahap transasetalisasi :

Gambar 18. Hasil sintesis APG tahap transasetalisasi

A3X Purging N2

A3X Non purging N2

Page 59: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …

43

McCurry (1994), menyatakan bahwa larutan hasil proses transasetalisasi terdiri dari

dodecil poliglikosida, alkohol lemak berlebih, polidekstrosa dan sebagian kecil gula

yang tidak ikut bereaksi dengan alkohol lemak.

3. Netralisasi

APG yang dihasilkan masih bersifat asam yaitu memiliki pH berkisar 3

sehingga perlu dinetralkan terlebih dahulu dengan penambahan NaOH 50% sekitar

30-40 tetes sampai pH yang dihasilkan bernilai 7-9. Tahapan netralisasi

berlangsung pada suhu 80ᵒC dan tekanan normal sambil diaduk menggunakan

magnetic stirrer kurang lebih selama 30 menit. Pada penelitian ini pH yang

dihasilkan sekitar 7-8. Penambahan NaOH menciptakan suasana basa dalam larutan

karena gugus eter yang terbentuk dari ikatan asetal antara aldehid dan alkohol lebih

stabil dalam kondisi netral dan basa (Fessenden dan Fessenden, 1982).

Penggunaan NaOH untuk proses netralisasi karena NaOH tidak bereaksi

dengan fatty alcohol. Selain itu penggunaan natrium hidroksida lebih luas, dengan

biaya rendah dan memiliki kemampuan lebih baik dibandingkan basa lainnya

meskipun dengan konsentrasi rendah (Hargreaves, 2003). Jika tidak dilakukan

netralisasi maka APG yang telah terbentuk dalam larutan hasil transasetalisasi akan

mengalami kerusakan pada proses destilasi. Hal ini disebabkan karena larutan

masih bersifat asam dan suhu yang digunakan >140oC yang dapat merusak APG

yang telah terbentuk (Erliza, 2012). Setelah netralisasi tahapan selanjutnya adalah

distilasi.

4. Distilasi

Tahapan distilasi ini bertujuan untuk menghilangkan fatty alcohol (C12)

yang tidak bereaksi dan butanol berlebih, perbedaan titik didih akan memisahkan

komponen tersebut dari APG. Proses distilasi ini dilakukan pada interval suhu

Page 60: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …

44

sekitar 180-200oC dengan tekanan vakum. Hasil akhir proses distilasi akan

diperoleh APG kasar berbentuk pasta yang berwarna coklat kehitaman yang akan

segera mengeras pada suhu ruang seperti gulali. Berikut merupakan hasil sintesis

padatan APG ditunjukkan pada Gambar 19.

Gambar 19. Hasil sintesis APG (Alkil Poliglikosida)

Warna coklat tua hingga kehitaman yang terbentuk pada produk akhir APG

diperoleh dari proses pembuatannya, timbulnya warna gelap dapat disebabkan

karena pengaruh suhu yang terlalu tinggi dan penggunaan katalis asam yang

digunakan dalam pembentukan senyawa alkil poliglikosida. APG yang dihasilkan

akan mudah sekali mengeras sehingga harus segera diambil hasil distilasinya

didalam labu karena kalau tidak akan memadat dan sulit untuk dikeluarkan.

Menurut Ware et al. (2007) sintesis APG menggunakan alkohol lemak C8 dan C10

akan menghasilkan APG yang bersifat cairan kental, sedangkan menggunakan

alkohol lemak dengan jumlah C yang lebih tinggi, APG yang dihasilkan akan

berbentuk padat pada suhu kamar. Hasil sintesis ini akan dikarakterisasi

menggunakan FTIR bertujuan untuk melihat gugus fungsi yang terkandung didalam

surfaktan APG.

Page 61: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …

45

4.2 Karakterisasi Surfaktan APG

4.2.1 FTIR (Fourier Transform Infra Red)

Alkil poliglikosida yang disintesis memiliki gugus molekul yang dapat

diidentifikasi dengan menggunakan Fourier Transform Infrared (FTIR).

Spektrofotometer infra merah transformasi fourier merupakan alat untuk

mendeteksi gugus fungsi suatu senyawa dengan spektrum infra merah dari senyawa

organik yang memiliki sifat fisik yang khas. Energi radiasi inframerah akan

diabsorpsi oleh senyawa organik sehingga molekulnya akan mengalami rotasi atau

vibrasi. Setiap ikatan kimia yang berbeda seperti C-C, C=C, C=O, O-H dan

sebagainya mempunyai frekuensi vibrasi yang berbeda sehingga kemungkinan dua

senyawa berbeda akan mempunyai absorpsi yang berbeda. Gambar 20 dibawah ini

merupakan spektrum FTIR hasil sintesis APG dari formulasi surfaktan A1Y :

Gambar 20. Spektrum FTIR APG hasil sintesis

Page 62: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …

46

Menurut Wang et al. (2014), terbentuknya alkil poliglikosida didukung oleh

spektrum FT-IR dimana memberikan puncak peregangan getaran C-O-C yang

lemah pada bilangan gelombang disekitar 1710 yang menunjukkan apakah

memiliki jenis dari bahan surfaktan APG C12 yang dihasilkan atau tidak. puncak

peregangan getaran C-O-C yang lemah pada surfaktan APG hasil sintesis

dihasilkan pada bilangan gelombang 1.714,72 cm-1 dan serapan pada bilangan

1.149,57 cm-1 yang merupakan vibrasi ulur C–O–C.

Berikut merupakan tabel hasil karakterisasi FTIR :

Tabel 5. Karakteristik surfaktan APG dari jenis alkohol lemak C12 dengan

pengujian FTIR

Gugus

Fungsi

Bilangan Gelombang (Cm-1)

Sukkary et al.

2007

Uzwatania et

al. 2017

APG

Komersial

APG hasil

Sintesis

O-H 3.200-3400 3.369.29 3.394,70 3377.36

C-O-C 1.120-1.170 1.152.26 1.152,45 1149.57

CH 2.932 2.924,23 2.924,67 2924.09

CHO 1.716 1.738,57 1.637,25 1714.72

Hal ini sesuai pendapat Sukkary et al. (2007), bahwa gugus eter (C-O-C)

sebagai komponen gugus utama pada APG terdapat pada serapan bilangan

gelombang 1.120–1.170 cm-1, sedangkan gugus OH terbentuk pada serapan

bilangan gelombang 3.200–3400 cm-1. Hasil spektra gugus fungsi FTIR surfaktan

APG dapat dilihat pada Gambar 22, terbentuknya gugus eter (C-O-C) menandakan

bahwa sintesis antara gugus hidroksil dari glukosa dengan alkohol lemak telah

terbentuk, yang berarti struktur gugus hidrofobik dari surfaktan APG juga telah

terbentuk. Gugus OH menandakan gugus hidrofilik dari surfaktan APG telah

terbentuk.

Page 63: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …

47

4.2.2 Kompatibilitas

Untuk mengetahui karakteristik suatu surfaktan pada aplikasi EOR, uji yang

dilakukan paling awal dibandingkan uji-uji lainnya yaitu uji kompatibilitas. Uji

kompatibilitas dilakukan untuk mengetahui seberapa besar kecocokan antara

surfaktan dengan air formasi dalam suatu reservoir. Apabila pada uji ini surfaktan

tidak cocok (tidak kompatibel), maka surfaktan dianggap tidak layak untuk

reservoir yang bersangkutan. Uji bernilai positif bila surfaktan larut sempurna

dalam air formasi, sedangkan uji bernilai negatif bila surfaktan tidak larut sempurna

dalam air formasi. Uji kompatibilitas ini dilakukan dengan mengamati kelarutan

formulasi surfaktan APG 0,5 dan 2% yang telah dibuat dan diamati setiap hari

selama 2 minggu. Berikut merupakan tabel hasil karakterisasi berdasarkan uji

kompatibilitas :

Tabel 6. Karakteristik surfaktan APG berdasarkan uji kompatibilitas

Surfaktan Konsentrasi

Formulasi

Kompatibilitas ( Hari ke 1-14 )

A1X 0,5% Larut, jernih dan tidak membentuk endapan

2% Larut, jernih dan tidak membentuk endapan

A2X 0,5% Larut, jernih dan tidak membentuk endapan

2% Larut, jernih dan tidak membentuk endapan

A3X 0,5% Larut, jernih dan tidak membentuk endapan

2% Larut, jernih dan tidak membentuk endapan

A4X 0,5% Larut, jernih dan tidak membentuk endapan

2% Larut, jernih dan tidak membentuk endapan

A1Y 0,5% Larut, jernih dan tidak membentuk endapan

2% Larut, jernih dan tidak membentuk endapan

A2Y

A3Y

A4Y

0,5% Larut, jernih dan tidak membentuk endapan

2%

0,5%

2%

0,5%

2%

Larut, jernih dan tidak membentuk endapan

Larut, jernih dan tidak membentuk endapan

Larut, jernih dan tidak membentuk endapan

Larut, jernih dan tidak membentuk endapan

Larut, jernih dan tidak membentuk endapan

Page 64: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …

48

Keterangan :

A1X = Non Purging, Katalis PTSA 0,5%

A2X = Non Purging, Katalis PTSA 1%

A3X = Non Purging, Katalis PTSA 1,25%

A4X = Non Purging, Katalis PTSA 1,5%

A1Y = Purging, Katalis PTSA 0,5%

A2Y = Purging, Katalis PTSA 1%

A3Y = Purging, Katalis PTSA 1,25%

A4Y = Purging, Katalis PTSA 1,5%

Sifat surfaktan APG ini cenderung lebih larut dalam air sehingga larut dalam

air formasi dan tidak membentuk endapan. Pada umumnya, kelarutan surfaktan

dapat dilihat dari jenis surfaktan yang di uji. Surfaktan yang memiliki sifat

hidrofilik (suka terhadap air) yang lebih tinggi akan lebih larut dalam air formasi.

Sebaliknya, surfaktan yang memiliki sifat lipofilik (suka terhadap minyak) yang

lebih tinggi akan sulit larut dalam air atau dapat dikatakan lebih larut dalam minyak.

Hasil pengamatan secara visual yang dilakukan ditunjukkan pada Gambar 21.

Gambar 21. Kompatibilitas surfaktan APG

Pada uji kompatibilitas diharapkan campuran yang terbentuk adalah larutan

sempurna atau koloid, sedangkan suspensi sangat tidak diharapkan karena

dikhawatirkan akan terjadi penyumbatan pada saat larutan surfaktan diinjeksikan

ke dalam batuan. Berdasarkan hasil uji kompatibilitas, maka disimpulkan bahwa

surfaktan APG yang dibuat pada konsentrasi 0,5 dan 2% ini kompatibel terhadap

A1X A2X A3X A4X

A1Y

Page 65: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …

49

air formasi, karena pada hasil uji ini tidak menunjukkan adanya endapan atau

gumpalan yang dapat menimbulkan penyumbatan pada batuan reservoir.

4.2.3 Interfacial Tension (IFT)

Tegangan permukaan merupakan suatu gaya yang timbul sepanjang garis

permukaan suatu cairan. Gaya ini timbul karena adanya kontak antara dua cairan

yang berbeda fase (Myers, 2006). Interfacial Tension (IFT) atau tegangan

antarmuka minyak-air merupakan parameter yang sangat penting untuk

menentukan apakah suatu jenis surfaktan baik digunakan untuk aplikasi enhanced

oil recovery (EOR) atau tidak. Hal ini dapat dilihat dari parameter nilai IFT yang

dihasilkan, nilai IFT yang diharapkan berdasarkan BP MIGAS (2009) sebesar ≤10-

3 mN/m.

Pengukuran nilai IFT ini menggunakan alat Spinning Drop Tensiometer seri

M6500. Nilai IFT yang diperoleh didapatkan dengan membandingkan nilai IFT

antara penggunaan purging N2 dan non purging N2 pada konsentrasi formulasi 0,5

dan 2%. Pembuatan formulasi surfaktan dengan konsentrasi 0,5 dan 2% disebabkan

karena surfaktan yang akan diaplikasikan untuk EOR dibatasi dengan konsentrasi

3%. Oleh sebab itu, diharapkan dengan pembuatan konsentrasi surfaktan serendah

mungkin dengan tidak melebihi konsentrasi surfaktan 3% dapat bekerja secara

optimum sehingga menurunkan biaya yang akan dikeluarkan pada produksi

surfaktan yang akan diaplikasikan. Berikut merupakan grafik surfaktan APG

dengan penggunaan non purging N2 antara formulasi surfaktan APG 0,5 dan 2% :

Page 66: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …

50

Gambar 22. Perbandingan formulasi surfaktan APG dengan konsentrasi 0,5 dan

2% pada penggunaan non purging N2

Hasil dari uji kemampuan menurunkan tegangan antarmuka dari surfaktan

APG dengan penggunaan non purging N2 baik formula 0,5 maupun 2% mencapai

konsentrasi optimum pada formula A3X dengan kecepatan 3000 rpm, nilai IFT

yang diperoleh masing-masing sebesar 0,0125 mN/m dan 0,0092 mN/m. Hasil

keduanya menunjukan kinerja yang baik. Menurut Suryani et al. (2000) penurunan

tegangan antarmuka akan menurunkan gaya kohesi dan sebaliknya meningkatkan

gaya adhesi. Gaya kohesi adalah gaya antarmolekul yang bekerja diantara molekul-

molekul yang sejenis, sedangkan gaya adhesi adalah gaya antarmolekul yang

bekerja diantara molekul-molekul yang tidak sejenis. Gaya tolak-menolak bersifat

menstabilkan emulsi karena gaya ini mempertahankan butiran droplet agar tetap

terpisah.

Surfaktan APG kemudian diuji nilai IFT nya dengan penggunaan purging

N2 dan formulasi konsentrasi APG 0,5 dan 2%. Berikut merupakan grafik nilai IFT

penggunaan purging N2 dengan konsentrasi surfaktan 0,5 dan 2% :

0

0,05

0,1

0,15

0,2

0,25

0,3

A1X A2X A3X A4X

Inte

rfac

ial

Ten

sio

n (

mN

/m)

0,50%

2%

Page 67: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …

51

Gambar 23. Perbandingan formulasi surfaktan APG dengan konsentrasi 0,5 dan

2% pada penggunaan purging N2

Surfaktan APG hasil sintesis 0,5% dengan penggunaan purging N2

memperlihatkan hasil yang baik karena beberapa formulasi dapat mencapai nilai

IFT hingga 10-3 mN/m dan paling tinggi nilai IFT yang dihasilkan berkisar 10-2

mN/m. Nilai konsentrasi optimum pada penggunaan purging N2 konsentrasi 0,5%

dicapai pada formulasi A4Y yaitu konsentrasi PTSA 1,5% sebesar 0,0009 mN/m

pada 3000 rpm.

Hasil uji pengukuran IFT yang ditunjukkan pada gambar 24, nilai IFT

surfaktan dapat mencapai 10-3 mN/m pada formulasi surfaktan A3Y. Jika

dibandingkan dengan nilai IFT seperti yang ditunjukkan pada konsentrasi 0,5%,

nilai IFT pada konsentrasi 2% menunjukkan hasil yang lebih rendah atau lebih baik

seperti yang diharapkan pada penelitian ini. Konsentrasi optimum pada formula

surfaktan 2% dicapai pada formula A1Y sebesar 0,0008 mN/m pada 3000 rpm. Hal

ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh kenaikan konsentrasi pada penurunan

nilai IFT. Menurut Sheng (2015) bahwa tegangan antarmuka (IFT) menurun seiring

bertambahnya konsentrasi surfaktan, penurunan sampai pada konsentrasi tertentu

nilai tegangan antar muka akan mencapai nilai minimum. Nilai konsentrasi

0

0,05

0,1

0,15

0,2

0,25

0,3

A1X A2X A3X A4X

Inte

rfac

ial

Ten

sio

n (

mN

/m)

0,50%

2%

Page 68: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …

52

surfaktan tertentu yang menunjukkan nilai tegangan antar muka dan tegangan

permukaan minimal merupakan nilai Critical Micelle Concentration (CMC) yang

sebenarnya. Jumlah molekul surfaktan dalam campuran minyak mentah dan brine

meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi surfaktan ketika konsentrasi

surfaktan pada fasa cair mendekati nilai CMC, kemudian nilai tegangan antar muka

dan tegangan permukaan akan mencapai nilai minimum. Dengan demikian

diharapkan surfaktan ini dapat efektif dalam meningkatkan % oil recovery.

Surfaktan dapat dikatakan efektif dalam meningkatkan % oil recovery apabila

surfaktan mampu menurunkan IFT sampai 10-3 – 10-6 mN/m (Rosen, 2004).

Apabila dibandingkan tanpa dan dengan penggunaan purging N2,

penggunaan purging N2 pada saat sintesis menghasilkan nilai IFT yang lebih baik

dibandingkan dengan non purging N2. Hal ini disebabkan karena penggunaan

purging N2 bertujuan untuk mendapatkan kondisi vakum, agar tidak kontak dengan

udara luar. Sehingga nilai IFT yang dihasilkan akan semakin baik. Penggunaan

katalis sangat menentukan keberhasilan ikatan asetal antara glukosa dan fatty

alcohol (C12) yaitu terbentuknya Alkil Poliglikosida (APG), diasumsikan bahwa

penggunaan katalis yang semakin banyak akan memperbesar peluang reaktan untuk

saling bertumbukan sehingga produk yang terkonversi semakin banyak sehingga

mempengaruhi penurunan nilai IFT yang dihasilkan. Uji kemampuan menurunkan

tegangan permukaan air dari APG yang dihasilkan menunjukkan kinerja yang baik

karena hal ini sudah sesuai dengan syarat ketentuan nilai IFT yaitu ≤10-3 mN/m.

Hasil tersebut menunjukkan karakteristik surfaktan APG dalam menurunkan

tegangan antar muka memiliki kecenderungan menurun pada konsentrasi formula

2% dengan penggunaan purging N2. Oleh sebab itu, formula surfaktan APG

Page 69: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …

53

Purging N2 akan dikarakterisasi lebih lanjut dengan uji pH, stabilitas termal dan

kelakuan fasa.

4.2.4 pH

Derajat keasaman (pH) surfaktan alkil poliglikosida (APG) dilakukan untuk

mengetahui seberapa besar tingkat keasaman surfaktan yang dihasilkan. Pengujian

ini digunakan secara kualitatif menggunakan pH indikator. Dengan diketahuinya

nilai pH tersebut, maka dapat diketahui seberapa besar korosif yang dapat

ditimbulkan bila kontak dengan peralatan fasilitas injeksi surfaktan. Nilai pH

berkaitan dengan konsentrasi ion hidrogen sebagai bagian komponen keasaman dan

konsentrasi ion hidroksil sebagai bagian komponen kebasaan. Pada kondisi pH

netral maka konsentrasi kedua ion menjadi seimbang, namun jika konsentrasi ion

hidrogen lebih besar dari ion hidroksil maka pH akan cenderung rendah (asam)

(Rondinini et al., 2001).

Pengujian dilakukan dengan menggunakan surfaktan APG hasil sintesis

yang dicampur dengan air formasi dengan pembuatan konsentrasi surfaktan 0,5%

dan 2%. Air formasi yang digunakan berasal dari lapangan X, kemudian diuji

nilainya dan mendapatkan nilai pH 10. Data hasil analisis pH surfaktan APG

disajikan pada Tabel dibawah ini:

Tabel 7. Nilai pH formulasi surfaktan APG 0,5 dan 2%

Formulasi Konsentrasi pH

A1Y

A2Y

A3Y

A4Y

0,5% 10

2%

0,5%

2%

0,5%

2%

0,5%

2%

10

10

10

10

10

10

10

Page 70: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …

54

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa semua formulasi surfaktan APG

yang dihasilkan memiliki pH 10. Umumnya surfaktan yang belum dicampurkan

dengan air formasi akan bersifat netral. Kondisi basa pada surfaktan APG diperoleh

pada proses netralisasi dengan penambahan NaOH 50% dan diperoleh dari

formulasi surfaktan yang dicampurkan dengan air formasi yang bersifat basa dan

bernilai 10. Selain itu, APG merupakan suatu asetal dimana asetal akan lebih stabil

pada kondisi netral dan lebih baik lagi dalam kondisi basa (Fessenden dan

Fessenden, 1982). Hal ini menandakan bahwa untuk pengujian nilai pH, surfaktan

APG telah sesuai dengan karakter air formasi yang digunakan. Air formasi yang

diambil dari dalam perut minyak bumi mempunyai kandungan ion-ion negatif dan

positif dengan konsentrasi tertentu. Adanya ion-ion tersebut dapat mempengaruhi

nilai pH dari larutan surfaktan APG.

4.2.5 Stabilitas termal

Uji thermal stability bertujuan untuk mengetahui kestabilan formula larutan

surfaktan yang akan digunakan terhadap suhu reservoir lapangan minyak.

Pemanasan dilakukan pada suhu reservoir lapangan X yaitu 40ᵒC. Suhu pada

reservoir lapangan minyak lebih tinggi dibandingkan dengan suhu ruang. Kondisi

thermal merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap degradasi formula

surfaktan. Uji ini dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Uji kualitatif dilakukan

dengan mengamati kelarutan surfaktan setelah dilakukan pemanasan sedangkan uji

kuantitatif pada penelitian ini dilakukan dengan pengukuran IFT setelah dilakukan

pemanasan dengan periode 1 minggu sekali selama 14 hari. Karakteristik uji

kualitatif stabilitas termal dapat dilihat pada Tabel 8 berikut :

Page 71: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …

55

Tabel 8. Karakteristik Surfaktan APG berdasarkan uji Stabilitas Termal

Formula

Surfaktan

Konsentrasi Pengamatan ( Hari ke 1-14 )

A1Y 0,5% Stabil pada suhu reservoir

2% Stabil pada suhu reservoir

A2Y 0,5% Stabil pada suhu reservoir

2% Stabil pada suhu reservoir

A3Y 0,5% Stabil pada suhu reservoir

2% Stabil pada suhu reservoir

A4Y 0,5% Stabil pada suhu reservoir

2% Stabil pada suhu reservoir

Tabel 9 menunjukkan bahwa uji stabilitas termal surfaktan APG pada semua

formulasi yang dilakukan selama 14 hari mendapatkan hasil yang diharapkan yaitu

memiliki ketahanan terhadap suhu yang baik karena setelah 14 hari larutan tetap

jernih atau tidak terbentuk endapan. Kemudian setelah dilakukan pengujian ini

dilakukan juga pengujian stabilitas termal dengan melihat nilai IFT yang dihasilkan.

Berikut merupakan data hasil pengamatan uji stabilitas termal:

Tabel 9. Karakteristik Surfaktan APG berdasarkan uji stabilitas termal (IFT)

Surfaktan

Konsentrasi

Formulasi

Tanpa

Pemanasan

(mN/m)

Minggu 1

Pemanasan

40 ˚C

(mN/m)

Minggu 2

Pemanasan

40 ˚C

(mN/m)

A1Y 0,5% 0,0042 0,0050 0,0011

2% 0,0008 0,0007 0,0007

A2Y 0,5% 0,0183 0,0117 0,0114

2% 0,0237 0,0221 0,0218

A3Y 0,5% 0,0021 0,0119 0,0027

2% 0,0013 0,0010 0,0089

A4Y 0,5% 0,0009 0,0009 0,0007

2% 0,0151 0,0056 0,0048

Data hasil pengukuran IFT pada Tabel 9 diatas menunjukkan perubahan

nilai IFT pada formula surfaktan sebelum dan sesudah pemanasan selama

pengukuran satu kali dalam seminggu yang dilakukan selama 14 hari. Selama

minggu pertama dan minggu kedua terjadi penurunan nilai IFT pada masing-

masing formula bila dibandingkan dengan tanpa pemanasan. Hal ini disebabkan

Page 72: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …

56

karena pada saat formulasi dengan pemanasan, reaktan-reaktan bergerak lebih

cepat dan saling bertumbukan sehingga dapat mempercepat laju reaksi.

Peningkatan suhu berpengaruh dalam mempercepat laju reaksi, jika tanpa

pemanasan, reaktan tidak mempunyai energi yang cukup untuk bereaksi. Sehingga

diasumsikan penurunan nilai IFT dapat terjadi (Novita, 2011). Berdasarkan uji

thermal stability maka dapat disimpulkan surfaktan APG stabil terhadap panas.

Sehingga diharapkan surfaktan APG memiliki karakteristik yang tetap baik dan

tidak terpengaruh oleh pemanasan.

4.2.6 Kelakuan fasa

Uji kelakuan fasa bertujuan untuk melihat terbentuknya fasa antara larutan

surfaktan dengan minyak bumi. Uji ini juga digunakan untuk mengetahui

kompatibilitas atau kecocokan antara surfaktan dengan fluida minyak. Penentuan

kelakuan fasa campuran surfaktan-air-minyak merupakan faktor penting dalam

memperkirakan kinerja peningkatan perolehan minyak dengan proses injeksi

surfaktan. Jenis emulsi yang diharapkan dalam proses EOR/injeksi surfaktan adalah

emulsi fasa tengah (Fase Form III) atau paling tidak emulsi fasa bawah. Pada

kondisi tersebut nilai tegangan antar muka yang dihasilkan adalah nilai IFT yang

sangat rendah sehingga proses pendesakan minyak bumi pun dapat dipastikan

berjalan efektif (Lemigas, 2002).

Page 73: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …

57

Tabel berikut merupakan karakteristik surfaktan APG berdasarkan uji

kelakuan fasa :

Tabel 10. Karakteristik Surfaktan APG berdasarkan uji kelakuan fasa

Keterangan : √ = emulsi fasa tengah - = tidak terbentuk emulsi, emulsi dibawah dan diatas.

Penentuan uji kelakuan fasa dilakukan secara visual dengan

membandingkan antara fasa larutan surfaktan terhadap fasa minyak. Pengamatan

dilakukan selama minimal 14 hari pada suhu reservoir lapangan X 40˚C. Hasil yang

didapatkan menunjukkan bahwa kelakuan fasa yang terbentuk tidak konstan

dimulai dari hari ke-1 sampai hari ke-14. Hal ini disebabkan karena faktor teknis

penggunaan oven yang bergantian dengan sampel pada saat pengujian, sehingga

diasumsikan terjadi ketidak seimbangan pengaruh suhu yang naik turun antara

surfaktan dan minyak mentah. Pada hari ke1-2 tidak terbentuk emulsi, fase yang

dicapai surfaktan APG adalah fase bawah.

Formula

Surfaktan Konsentrasi Hasil Pengamatan (Hari ke-)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

A1Y 0,5% - - -

2% - - - - - - -

A2Y 0,5% - - - - -

2% - - - - -

A3Y 0,5% - - - - - - - -

2% - - - - -

A4Y 0,5% - - -

2% - -

Page 74: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …

58

Gambar 24. Analisis kelakuan fasa pada konsentrasi surfaktan 0,5% pada

formula A2Y

Emulsi mulai terlihat konstan dan terbentuk emulsi fasa tengah dicapai pada

hari ke-13 dan berjalan konstan pada hari terakhir pengujian yaitu hari ke-14.

Walaupun demikian, dapat dilihat bahwa pengaruh pemanasan terhadap kelakuan

fasa menunjukkan kelarutan minyak meningkat seiring dengan lama pemanasan.

Hal tersebut mengindikasikan bahwa emulsi yang terbentuk berada pada fase air

sehingga menambah volume air dan mengurangi volume minyak. Kelarutan

minyak tersebut menunjukkan kinerja formula surfaktan yang baik karena formula

surfaktan mampu membentuk emulsi.

Page 75: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …

59

BAB V

PENUTUP

5.1 Simpulan

1. Penggunaan purging N2 pada konsentrasi surfaktan 2% menunjukkan

konsentrasi optimum pada formula A1Y dengan nilai IFT sebesar 0,0008

mN/m.

2. Penggunaan purging N2 pada saat sintesis menghasilkan penurunan

tegangan antarmuka yang lebih rendah apabila tanpa purging N2.

3. Karakteristik surfaktan APG yang dihasilkan memiliki pH 10, stabil dalam

kondisi termal, fasa yang terbentuk adalah fasa tengah pada hari terakhir

pengujian, niilai IFT yang dihasilkan pada rentang 10-2 – 10-4.

5.2 Saran

1. Perlu dilakukan pengujian karakteristik EOR yang lebih lama kurang lebih

selama 3 bulan serta memperhatikan kondisi peralatan teknis yang

digunakan pada saat pengujian, seperti kondisi temperatur untuk

mendapatkan hasil yang optimal terhadap pengaruh surfaktan yang

dihasilkan.

2. Perlu dilakukan karakteristik lebih lanjut yaitu pengujian imbibisi untuk

melihat kemampuan surfaktan dalam mengangkat minyak yang

terperangkap dalam batuan.

Page 76: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …

60

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Puspasaria, Nugroho. 2012. Polymers for Enhanced Oil Recovery

Technology. Procedia Chemistry, 4, 11–16.

Aisyah, S. 2011. Produksi surfaktan alkil poliglikosida (APG) dan aplikasinya

pada sabun cuci tangan cair. [Thesis]. Institut Pertanian Bogor.

Ashrawi SS. 1984. A Study of The Relationship Between Surfactant/Oil/Brine

System Fase Behavior and Chemical Flood Recovery in Short Core. SPE/DOE.

1272 : 311-320.

Baihaki, M. 2015. Universitas indonesia seleksi dan formulasi surfaktan untuk

meningkatkan produksi minyak bumi melalui teknik chemical flooding.

[Skripsi]. Universitas Indonesia.

Bastian, F., & Suryani, A. 2012. Peningkatan Kecerahan Pada Proses Sintesis

Surfaktan Nonionik Alkil Poliglikosida (APG) Berbasis Tapioka Dan

Dodekanol. Reaktor, 14(2), 143–150.

BP MIGAS. 2009. Spesifikasi Teknis Surfaktan untuk Aplikasi EOR. Jakarta: BP

MIGAS.

Buchanan Charles Michael dan Matthew Davie Wood, “Process For Making

Alkylpolyglycosides”, United States Patent. No. 6,077,945.

Depag RI. 2009. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: PT. Syigma Exemedia

Arkanleema.

Drelich J, Fang C, White CL. 2002. Measurement of interfacial tension in fluidfluid

systems. Encyclopedia of Surface and Colloid Science. Ed ke-1. New York:

Marcel Dekker. hlm 3:3152-3166.

E, S., Tobing, Dan, & Pratomo, S. W. 2001. Kelakuan fasa campuran antara

“reservoir-injeksi-surfaktan” untuk implementasi enhanced water flooding.

Yogyakarta: Prosiding Simposium Nasional IATMI.

El-Sukkary, Mohamed, Mahmoud, Rahman. 2008. Synthesis and characterization

of some alkyl polyglycosides surfactants. Journal of Surfactants and

Page 77: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …

61

Detergents, 11(2), 129–137.

Erliza Hambali, Pudji Permadi, Y. A. 2012. Surfaktan Alkil Poliglikosida Dari

Palm Fatty Alcohol. Institut Pertanian Bogor.

Fessenden, R.J. dan Fessenden, J.S. 1982. Kimia Organik (diterjemahkan oleh

Pudjaatmaka, A.H.), Ed ke-3, Jilid 2, Erlangga, Jakarta.

Gibson dan Leedy. 2001. Process for reducing cycle times in reaction during the

Prod of APGs. US006100391A.

Gudiña, Vivek Rangarajan, Ramkrishna Sen. 2013. Potential therapeutic

applications of biosurfactants. Trends in Pharmacological Science, 34(12),

667-665

Green, D.W. and Willhite, G.P., 1998. Enhanced Oil Recovery. SPE textbook

series, 6. SPE,Richardson, Texax. 34(12), 667–675.

Hambali, E., A. Suryani, M. Rivai, H. Handoko, E. Zulchaidir. 2011. Optimal

Salinity Metil Ester Sulfonat dari Jarak Pagar untuk EOR. Bogor : IPB

Hardjono, A. 2000. Teknologi Minyak Bumi. Yogyakarta: Gadjah Mada University

Press.

Hargreaves T. 2003. Chemical Formulation: An Overview of Surfactant - Based

Preparation Used in Everyday Life, RCS Publishing, Cambridge.

Hermanto, S. (2008). Mengenal Lebih Jauh Teknik Analisa Kromatografi dan

Spektrofotometri. Jakarta: Pusat Laboratorium Terpadu UIN Syarif

Hidayatullah.

Hill, K. 2000. Fats and Oils as Oleochemical Raw Materials. Journal of Oleo

Science, 72(7), 1255–1264.

Holmberg, K., Jonsson, B., Holmberg, K. and Lindman, B. 2002. Surfactants and

Polymers in Aqueous Solution. John Wiley & Sons, New York.

Hui, Y. H., 1996, Bailey’s Industrial Oil and Fat Products. Edisi ke-5, volume ke-

2, New York: John Willey & Sons, Inc.

Ibrahim S dan Sitorus M. 2013. Teknik Laboraturium Kimia Organik (1st ed.).

Yogyakarta: Graha Ilmu.

Lohne, A., & Fjelde, I. 2012. Surfactant Flooding in Heterogeneous Formations.

Page 78: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …

63

The SPE Imroved Oil Recovery Symposium-USA, (April), 14–18.

Lembaga Minyak dan Gas Bumi. 2002. Analisis Surfaktan dan Polimer untuk EOR.

Jakarta (ID): Lemigas.

Lembaga Minyak dan Gas Bumi. 2008. Prosedur Analisis Surfaktan dan Polimer

untuk EOR. Jakarta (ID): Lemigas.

Luders H. 2000. Structure and Nomenclature of Surface-Active Alkyl Glucosides.

Noninonic Surfactants Alkyl Polyglucosides.

McCurry Patrick M., Carl E. Pickens, both of Decatur, Ill, “Process for Preparation

of Alkylglycosides”, United States Patent, No. 4,950,743, 1990.

Mehling, A., Kleber, M., & Hensen, H. 2007. Comparative studies on the ocular

and dermal irritation potential of surfactants. Food and Chemical Toxicology,

45(5), 747–758.

Myers, D. 2006. Surfactant science and Technology (3rd ed.). United states of

American: Wiley intersence a john Wiley & Sons, Inc Publication.

Naqvi, S. 2012. Enhanced Oil Recovery of Heavy Oil by Using Thermal and Non-

Thermal Methods. Dalhousie University, Nova Scotia, Canada.

Novita, Ikha. 2011. Formulasi Surfaktan untuk Screening awal Chemical Flooding

pada EOR (Enhanced Oil Recovery) [Skripsi]. Universitas Indonesia.

Ophardt, Charles E., 2003, Diabetes-Errors of Metabolism, Virtual Chembook

Elmhurst University, USA.

Presents Z. 2000. All about fatty alcohol. http://www.condea.org. [13 Agustus,

2018].

Rivai Rivai, Tun Terja Irawadi. 2011. Perbaikan Proses Produksi Surfaktan Metil

Ester Sulfonat dan Formulasinya Untuk Aplikasi Enhanced Oil Recovery

(EOR). J. Tek. Ind. Pert. Vol. 21 (1), 41-49

Rondinini S, Buck RP, dan Covington AK. 2001. The measurement of pH-

definition, standards and procedures. Journal Pure Applied Chemistry. 74

(11):2169-2200

Rosen, Milton J.(2004). Surfactants and Interfacial phenomena. Third edition, John

Willey and Sons, Inc.,Publication:New York

Salager, J.-L. 2002. Surfactants Types and Uses. Laboratory of Formulation,

Interfaces, Rheology and Processes, 2, 1–49.

Page 79: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …

64

Sany 2008. Analisa Pengaruh Konsentrasi dan Stabilitas Surfactant Non Ionic

Terhadap Temperature Duration Resistant Test Melalui Proses Imbibisi

Spontanius. Jurnal ITB.

Sheng JJ, Bernd L, Nasser A. 2015. "Status of Polymer Flooding Technology".

Journal of Canadian Petroleum Technology.

Sugihardjo E, Tobing dan S. W. Pratomo. 2001. Kelakuan fasa campuran antara

reservoir-injeksi-surfaktan untuk impelementasi enhanced water flooding.

Prosiding Simposium Nasional IATMI. Yogyakarta (ID) 3-5 Oktober 2001.

Sugihardjo. 2002. Formulasi optimum campuran surfaktan, air, dan minyak.

Lembaran Publikasi Lemigas 36(3): 37-42.

Sukriya, I. N. M. 2011. Formulasi Surfaktan untuk Screening Awal Chemical

Flooding pada EOR (Enhanced Oil Recovery). Depok : Universitas Indonesia.

Supratman, U. 2010. Elusidasi Struktur Senyawa Organik. Bandung: Widya

Padjajaran.

Suryani, An., & Tjokrowardojo, A. S. 2008. Sintesis Alkil Poliglikosida (apg)

berbasis Alkohol Lemak dan Pati Sagu untuk Formulasi Herbisida, 5(1), 10–

20.

Swern, D., 1979, Bailey’s Industrial Oil and Fat Product Vol. I-4th Edition., John

Willey and Sons, Interscience Publication, New York.

Tong, Mingzhe, Liu, Pu, Zhang, Lufang, Zhu, Yajie. (1986). An improved Model

for interfacial Activity of Acidic Oil/Caustic System for Alkalone Flooding.

China : International Meeting on Petreleum Engineering, BeijingPost

Graduate School, Est China Petroleum Institute.

Uzwatania, F. 2015. Sintesis alkil poliglikosida (apg) berbasis dodekanol dan

heksadekanol dengan reaktan glukosa cair 75%. [Thesis]. Institut Pertanian

Bogor

Uzwatania, F. 2017. sintesis surfaktan poliglikosida (APG) berbasis dodekanol dan

heksadekanol dengan reaktan glukosa cair 75%. 27(1), 9–16.

Wang Jigang, Yongle Xin, Danting Fan dan Sitong Chen. 2015. Synthesis and

Characterization of APG-12. Open Journal of Composite Materials, 5.

Ware, A. M., Waghmare, J. T., & Momin, S. A. 2007. Alkylpolyglycoside:

Carbohydrate based surfactant. Journal of Dispersion Science and

Technology, 28(3), 437–444.

Page 80: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …

65

Wuest, Rainer Eskuchen, Josef. 1992. Process for preparing alkylglucoside

compounds from oligo-and/or polysaccharides.

Yasin, G., Iqbal Bhanger, M., Mahmood Ansari, T., Muhammad Sibtain Raza

Naqvi, S., Ashraf, M., & Naz Talpur, F. 2013. Quality and chemistry of crude

oils. Journal of Petroleum Technology and Alternative Fuels, 4(3), 53–63.

Page 81: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …

66

LAMPIRAN

Lampiran 1. Reaktor dan alat destilasi yang digunakan

a. Reaktor berpengaduk

b. Destilasi Vakum

Lampiran 2. Alat instrumen yang digunakan

a. Spinning drop tensiometer

b. FTIR

Lampiran 3 . Hasil uji sintesis APG tahap netralisasi

a. pH sebelum ditambahkan NaOH

b. pH setelah ditambahkan NaOH

Page 82: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …

67

Lampiran 4. Formulasi surfaktan alkil poliglikosida

a. Formulasi surfaktan 50:50 (APG : Aquades)

(

b. Formulasi surfaktan 0,5% dan 2%

Lampiran 5. Hasil uji karakterisasi kompatibilitas

Hari ke 1- 14 kompatibel terhadap air formasi tidak

membentuk endapan

Page 83: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …

68

Lampiran 6. Hasil uji karakterisasi stabilitas termal

a. Hasil uji stabilitas termal surfaktan 0,5% (hari ke 1-14 tetap stabil terhadap

pemanasan)

b. Hasil uji stabilitas termal surfaktan 2% (hari ke1-14 tetap stabil terhadap

pemanasan)

Lampiran 7. Hasil uji karakterisasi kelakuan fasa

a. Hasil uji kelakuan fasa hari ke 1 dan 2 tidak terbentuk mikroemulsi

Page 84: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …

69

b. Hasil uji kelakuan fasa hari ke-10

c. Hasil uji kelakuan fasa hari ke-6

formula A3Y 2% tidak terbentuk

mikroemulsi

d. Hasil uji kelakuan fasa hari ke-13

formula A1Y 0.5% terbentuk

mikroemulsi

Page 85: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …

70

Lampiran 8. Hasil uji karakterisasi FTIR

a. Hasil uji overlapping APG dengan menggunakan karakterisasi FTIR

Page 86: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …

71

b. Hasil uji karakterisasi FTIR Formulasi A1Y (Purging N2)

Page 87: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …

72

Lampiran 9. Hasil pengukuran IFT menggunakan instrumen spinning drop

tensiometer

a. Hasil pengukuran IFT surfaktan A1Y Formulasi 0,5% dengan kecepatan

putaran 3000 rpm

b. Hasil pengukuran IFT surfaktan A4Y Formulasi 0,5% dengan kecepatan

6000 rpm

Lampiran 10. Perhitungan bahan baku yang digunakan

Diketahui : BM Butanol = 74,12 g/mol

BM Dodekanol = 186,33 g/mol

BM glukosa anhidrat = 180, 16 g/mol

Rasio mol glukosa : butanol = 1 : 5.9

Rasio mol glukosa : fatty alcohol = 1 : 3

PTSA = 1% dari glukosa

Page 88: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …

73

1. Perhitungan pembuatan konsentrasi larutan glukosa 75% (asumsi densitas

air adalah 1)

Pembuatan larutan D-glukosa dengan konsentrasi 75% dalam 500 ml

aquades :

75% = 𝑏

𝑣

75% = 𝑏

500 𝑚𝑙

b = 75 x 5

b = 375 gram

2. Perhitungan 1 : 3 konsentrasi PTSA 1 % dari glukosa :

- Butanol = 1/3 (BM butanol x 5.9)

= 1/3 (74.12 x 5.9)

= 1/3 (437.31 g/mol)

= 145.77 g

- Glukosa 75% = 1/3 (BM Glukosa)

= 1/3 (180.16 g/mol)

= 60.05 g

- PTSA 1% = 1/100 (massa glukosa 75%)

= 1/100 (60.05 g)

= 0.60 g

- Dodekanol = 1/3 (BM dodekanol x 3)

= 1/3 (186.33 g/mol x 3)

= 186.33 g

Page 89: SINTESIS DAN KARAKTERISASI SURFAKTAN ALKIL …

74

Lampiran 11. Hasil pengukuran IFT menggunakan instrumen spinning drop

tensiometer

Surfaktan Formulasi

Konsentrasi

Rotasi

(rpm)

Suhu

(˚C)

Density

media

(g/cm3)

Density

drop

(g/cm3)

D

vertikal

(mm)

IFT

(mN/m)

A1X 0.5% 3000 40 1.0020 0.8471 0.8712 0.1327

2% 3000 40 1.0043 0.8471 0.6773 0.0633

A2X 0.5% 3000 40 1.0075 0.8471 1.5621 0.2743

2% 3000 40 1.0076 0.8471 1.0159 0.2181

A3X 0.5% 3000 40 1.0043 0.8471 0.3944 0.0125

2% 3000 40 1.0064 0.8471 0.3545 0.0092

A4X 0.5% 3000 40 1.0373 0.8471 0.4187 0.0181

2% 3000 40 0.9674 0.8471 0.4346 0.0128

A1Y 0.5% 3000 40 1.0054 0.8471 0.2742 0.0043

2% 3000 40 1.0086 0.8471 0.1563 0.0008

A2Y 0.5% 3000 40 1.0039 0.8471 0.4482 0.0183

2% 3000 40 1.0087 0.8471 0.3734 0.0109

A3Y 0.5% 3000 40 1.0008 0.8471 0.2227 0.0022

2% 3000 40 1.0037 0.8471 0.1857 0.0013

A4Y 0.5% 3000 40 1.0056 0.8471 0.1636 0.0009

2% 3000 40 1.0107 0.8471 0.4145 0.0151