Upload
irwansaleh
View
20
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
Skenario LBM 5
JATUH
Wanita 68 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan menurut keluarganya tiba-tiba jatuh terduduk
akibat terpeleset di depan kamar mandi tadi pagi. Setelah itu, salah satu tungkai tidak dapat digerakkkan
disertai nyeri. Sejak seminggu penderita terdengar batuk-batuk dan agak sesak nafas serta nafsu makan
berkurang tetapi tidak demam. Penderita selama ini mengidap dan minum obat penyakit DM dan
hipertensi, kedua mata dianjurkan untuk dioperasi tetapi penderita selalu menolak. Setelah dilakukan
pemeriksaan disarankan untuk dilakukan pemeriksaan radiologi dan BMD.
Terminologi
Jatuh merupakan
BDM merupakan
Key Word
Wanita 68 tahun
Keluhan Utama : jatuh terduduk
Onset : tadi pagi
Keluhan Penyerta : salah satu tungkai tidak dapat digerakkan dan nyeri, batuk-
batuk dan agak sesak nafas serta nafsu makan berkurang tetapi tidak demam.
Riwayat pemakaian obat : konsumsi obat DM dan hipertensi
Kedua mata dianjurkan untuk dioperasi tetapi penderita selalu menolak.
Setelah dilakukan pemeriksaan disarankan untuk dilakukan pemeriksaan radiologi dan BMD.
Permasalahan
1. Apa factor yang dapat menyebabkan jatuh pada scenario di atas?
2. Bagaimana hubungan riwayat minum obat DM dan hipertensi dengan keluhan pasien tersebut?
3. Apa penyebab tungkai tidak dapat digerakkan dan nyeri?
4. Bagaimana hubungan usia lanjut dengan jatuh?
5. Apa penyebab batuk dan sesak pada pasien scenario terbesut?
6. Jelaskan mengenai fisiologi tulang!
7. Apa hubungan DM dengan kejadian jatuh?
8. Pemeriksaan apa saja yang harus dilakukan dokter pada pasien tersebut?
9. Apa yang terjadi pada mata pasien?
10. Jelaskan Mengenai Osteoporosis!
a) Definisi
b) Etiologi dan factor resiko
c) Patofisiologi
d) Diagnosis
e) Penatlaksanaan
Jawaban Permasalahan
1. Factor yang dapat menyebabkan jatuh pada scenario di atas
Untuk dapat memahami faktor risiko jatuh, maka harus dimengerti bahwa stabilitas badan
ditentukan atau dibentuk oleh:
a. Sistem sensori
Yang berperan di dalamnya adalah: visus (penglihatan), pendengaran, fungsi vestibuler,
dan proprioseptif. Semua gangguan atau perubahan pada mata akan menimbulkan
gangguan penglihatan. Semua penyakit telinga akan menimbulkan gangguan
pendengaran. Vertigo tipe perifer sering terjadi pada lansia yang diduga karena adanya
perubahan fungsi vestibuler akibat proses manua. Neuropati perifer dan penyakit
degeneratif leher akan mengganggu fungsi proprioseptif (Tinetti, 1992). Gangguan
sensorik tersebut menyebabkan hampir sepertiga penderita lansia mengalami sensasi
abnormal pada saat dilakukan uji klinik.
b. Sistem saraf pusat (SSP)
SSP akan memberikan respon motorik untuk mengantisipasi input sensorik. Penyakit SSP
seperti stroke, Parkinson, hidrosefalus tekanan normal, sering diderita oleh lansia dan
menyebabkan gangguan fungsi SSP sehingga berespon tidak baik terhadap input
sensorik (Tinetti, 1992).
c. Kognitif
Pada beberapa penelitian, dementia diasosiasikan dengan meningkatkan risiko jatuh.
d. Muskuloskeletal
Faktor ini disebutkan oleh beberapa peneliti merupakan faktor yang benar-benar murni
milik lansia yang berperan besar terhadap terjadinya jatuh. Gangguan muskuloskeletal.
Menyebabkan gangguan gaya berjalan (gait) dan ini berhubungan dengan proses menua
yang fisiologis. Gangguan gait yang terjadi akibat proses menua tersebut antara lain
disebabkan oleh:
Kekakuan jaringan penghubung
Berkurangnya massa otot
Perlambatan konduksi saraf
Penurunan visus/lapang pandang
Kerusakan proprioseptif
Yang kesemuanya menyebabkan:
Penurunan range of motion (ROM) sendi
Penurunan kekuatan otot, terutama menyebabkan kelemahan ekstremitas bawah
Perpanjangan waktu reaksi
Kerusakan persepsi dalam
Peningkatan postural sway (goyangan badan)
Penyebab jatuh pada lansia biasanya merupakan gabungan beberapa faktor, antara lain:
a. Kecelakaan : merupakan penyebab jatuh yang utama (30-50% kasus jatuh lansia)
b. Nyeri kepala dan atau vertigo
c. Hipotensi orthostatic
Hipovilemia / curah jantung rendah
Disfungsi otonom
Penurunan kembalinya darah vena ke jantung
Terlalu lama berbaring
Pengaruh obat-obat hipotensi
Hipotensi sesudah makan
d. Obat-obatan
Diuretik/antihipertensi
Antidepresen trisiklik
Sedativa
Antipsikotik
Obat-obat hipoglikemia
Alkohol
e. Proses penyakit yang spesifik
Penyakit-penyakit akut seperti:
Kardiovaskuler : aritmia, stenosis aorta, dan sinkope sinus carotis
Neurologi : TIA, stroke, serangan kejang, Parkinson, Kompresi saraf spinal
karena spondilosis, Penyakit serebelum
f. Idiopatik ( tak jelas sebabnya)
g. Sinkope : Drop attack (serangan roboh), Penurunan darah ke otak secara tiba-tiba,
Terbakar matahari
FAKTOR-FAKTOR SITUASIONAL YANG MUNGKIN MEMPRESIPITASI JATUH ANTARA LAIN:
a. Aktivitas
Sebagian besar jatuh terjadi pada saat lansia melakukan aktivitas biasa seperti berjalan,
naik atau turun tangga, mengganti posisi. Hanya sedikit sekali (5%), jatuh terjadi pada
saat lansia melakukan aktivitas berbahaya seperti mendaki gunung atau olahraga berat.
Jatuh juga sering terjadi pada lansia dengan banyak kegiatan dan olahraga, mungkin
disebabkan oleh kelelahan atau terpapar bahaya yang lebih banyak. Jatuh juga sering
terjadi pada lansia yang imobil (jarang bergerak) ketika tiba-tiba dia ingin pindah tempat
atau mengambil sesuatu tanpa pertolongan.
b. Lingkungan
Sekitar 70% jatuh pada lansia terjadi di rumah, 10% terjadi di tangga, dengan kejadian
jatuh saat turun tangga lebih banyak dibanding saat naik, yang lainnya terjadi karena
tersandung / menabrak benda perlengkapan rumah tangga, lantai yang licin atau tak
rata, penerangan ruang yang kurang
c. Penyakit Akut
Dizzines dan syncope, sering menyebabkan jatuh. Eksaserbasi akut dari penyakit kronik
yang diderita lansia juga sering menyebabkan jatuh, misalnya sesak nafas akut pada
penderita penyakit paru obstruktif menahun, nyeri dada tiba-tiba pada penderita
penyakit jantung iskenmik, dan lain-lain.
2. Hubungan riwayat minum obat DM dan hipertensi dengan keluhan pasien tersebut
3. Penyebab tungkai tidak dapat digerakkan dan nyeri
4. Hubungan usia lanjut dengan jatuh
5. Penyebab batuk dan sesak pada pasien scenario terbesut
6. Fisiologi tulang
7. Hubungan DM dengan kejadian jatuh
8. Pemeriksaan yang harus dilakukan dokter pada pasien tersebut
9. Apa yang terjadi pada mata pasien
10. Jelaskan Mengenai Osteoporosis!
a) Definisi
Osteoporosis yang lebih dikenal dengan keropos tulang menurut
WHO adalah penyakit skeletal sistemik dengan karakteristik massa
tulang yang rendah dan perubahan mikroarsitektur dari jaringan
tulang dengan akibat meningkatnya fragilitas tulang dan
meningkatnya kerentanan terhadap patah tulang.
Osteoporosis adalah kelainan di mana terjadi penurunan
massa tulang total. Terdapat perubahan pergantian tulang
homeostasis normal, kecepatan resorpsi tulang lebih besar dari
kecepatan pembentukan tulang, pengakibatkan penurunan masa
tulang total. Tulang secara progresif menjadi porus, rapuh dan
mudah patah; tulang menjadi mudah fraktur dengan stres yang
tidak akan menimbulkan pengaruh pada tulang normal.
b) Etiologi dan factor resiko
Osteoporosis postmenopause terjadi karena kekurangan estrogen
(hormone utama pada wanita), yang membantu mengatur
pengankutan kalsium ke dalam tulang pada wanita. Biasanya gejala
timbul pada wanita yang berusia dintara 53 – 73 tahun, tetapi bisa
muncul lebih cepat ataupun lebih lambat. Tidak semua wanita
memiliki risiko yang sama untuk menderita osteoporosis
postmenopause, pada wanita kulit putih dan daerah timur lebih
mudah menderita penyakit ini daripada kulit hitam.
Osteoporosis senilis kemungkinan merupakan akibat dari
kekurangan kalsium yang berhubungan dengan usia dan
ketidakseimbangan diantara kecepatan hancurnya tulang dan
pembentukan tulang yang baru. Senilis yaitu keadaan penurunan
massa tulang yang hanya terjadi pada usia lanjut. Penyakit ini
biasnya terjadi pada usia lanjut. Penyakit ini biasanya terjadi pada
usia diatas 70 tahun dan dua kali lebih sering menyerang wanita.
Wanita seringkali menderita osteoporosis postmenopause dan
senilis.
Kurang dari lima persen penderita osteoporosis juga
menngalami osteoporosis sekunder, yang disebabkan oleh keadaan
medis lainnya atau oleh obat-obatan. Penyakit ini bisa diakibatkan
oleh gagal ginjal kronik dan kelainan hormonal (terutama tiroid,
paratiroid, dan adrenal) dan obat-obatan (misalnya kortikosteroid,
barbiturate, antikejang, dan hormone tiroid yang berlebihan).
Pemakaian alcohol yang berlebihan dan kebiasaan merokok bisa
memperburuk keadaan ini.
Osteoporosis juvenile idiopatik merupakan jenis osteoporosis
yang tidak diketahui penyebabnya. Hal ini terjadi pada anak-anak
dan dewasa muda yang memiliki kadar dan fungsi hormone yang
normal, kadar vitamin yang normal dan tidak memiliki penyebab
yang jelas dari rapuhnya tulang.
Faktor resiko terjadinya osteoporosis:
Wanita
Osteoporosis lebih banyak terjadi pada wanita. Hal ini
disebabkan pengaruh hormon estrogen yang mulai menurun
kadarnya dalam tubuh sejak usia 35 tahun. Selain itu, wanita
pun mengalami menopause yang dapat terjadi pada usia 45
tahun.
Usia
Seiring dengan pertambahan usia, fungsi organ tubuh justru
menurun. Pada usia 75-85 tahun, wanita memiliki risiko 2 kali
lipat dibandingkan pria dalam mengalami kehilangan tulang
trabekular karena proses penuaan, penyerapan kalsium
menurun dan fungsi hormon paratiroid meningkat.
Ras/Suku
Ras juga membuat perbedaan dimana ras kulit putih atau
keturunan asia memiliki risiko terbesar. Hal ini disebabkan
secara umum konsumsi kalsium wanita asia rendah. Salah satu
alasannya adalah sekitar 90% intoleransi laktosa dan
menghindari produk dari hewan. Pria dan wanita kulit hitam
dan hispanik memiliki risiko yang signifikan meskipun
rendah.
Keturunan Penderita Osteoporosis
Jika ada anggota keluarga yang menderita osteoporosis, maka
berhati-hatilah. Osteoporosis menyerang penderita dengan
karakteristik tulang tertentu. Seperti kesamaan perawakan dan
bentuk tulang tubuh. Itu artinya dalam garis keluarga pasti
punya struktur genetik tulang yang sama.
Gaya Hidup Kurang Baik
Konsumsi daging merah dan minuman bersoda, karena
keduanya mengandungfosfor yang merangsang
pembentukan horman parathyroid, penyebab pelepasan
kalsium dari dalam darah.
Minuman berkafein dan beralkohol.
Minuman berkafein seperti kopi dan alkohol juga dapat
menimbulkan tulang keropos, rapuh dan rusak. Hal ini
dipertegas oleh Dr.Robert Heany dan Dr. Karen Rafferty dari
creighton University Osteoporosis Research Centre di
Nebraska yang menemukan hubungan antara minuman
berkafein dengan keroposnya tulang. Hasilnya adalah bahwa
air seni peminum kafein lebih banyak mengandung kalsium,
dan kalsium itu berasal dari proses pembentukan tulang.
Selain itu kafein dan alkohol bersifat toksin yang
menghambat proses pembentukan massa tulang
(osteoblas).
Malas Olahraga
Mereka yang malas bergerak atau olahraga akan terhambat
proses osteoblasnya (prosespembentukan massa tulang).
Selain itu kepadatan massa tulang akan berkurang. Semakin
banyak gerak dan olahraga maka otot akan memacu tulang
untuk membentuk massa.
Merokok
Ternyata rokok dapat meningkatkan risiko penyakit
osteoporosis. Perokok sangat rentan terkena osteoporosis,
karena zat nikotin di dalamnya mempercepat penyerapan
tulang. Selain penyerapan tulang, nikotin juga membuat
kadar dan aktivitas hormon estrogen dalam tubuh
berkurang sehingga susunan-susunan sel tulang tidak kuat
dalam menghadapi proses pelapukan. Disamping itu, rokok
juga membuat penghisapnya bisa mengalami hipertensi,
penyakit jantung, dan tersumbatnya aliran darah ke seluruh
tubuh. Kalau darah sudah tersumbat, maka proses
pembentukan tulang sulit terjadi. Jadi, nikotin jelas
menyebabkan osteoporosis baik secara langsung tidak
langsung. Saat masih berusia muda, efek nikotin pada
tulang memang tidak akan terasa karena proses pembentuk
tulang masih terus terjadi. Namun, saat melewati umur 35,
efek rokok pada tulang akan mulai terasa, karena proses
pembentukan pada umur tersebut sudah berhenti.
Mengkonsumsi Obat
Obat kortikosteroid yang sering digunakan sebagai anti
peradangan pada penyakit asma dan alergi ternyata
menyebabkan risiko penyakit osteoporosis. Jika sering
dikonsumsi dalam jumlah tinggi akan mengurangi massa
tulang. Sebab, kortikosteroid menghambat proses
osteoblas. Selain itu, obat heparin dan anti kejang juga
menyebabkan penyakit osteoporosis.
c) Klasifikasi
Menurut Farida Mulyaningsih (2008), osteoporosis diklasifikasikan
sebagai berikut:
Osteoporosis Postmenopausal
Terjadi karena kekurangan estrogen (hormon utama pada
wanita), yang membantu mengatur pengangkutan kalsium ke
dalam tulang pada wanita. Biasanya gejala timbul pada wanita
yang berusia di antara 51-75 tahun, tetapi bisa mulai muncul
lebih cepat ataupun lebih lambat. Tidak semua wanita memiliki
risiko yang sama untuk menderita osteoporosis
postmenopausal, wanita kulit putih dan daerah timur lebih
mudah menderita penyakit ini daripada wanita kulit hitam.
Osteoporosis Senilis
Merupakan akibat dari kekurangan kalsium yang
berhubungan dengan usia dan ketidakseimbangan
diantara kecepatan hancurnya tulang dan pembentukan
tulang yang baru. Senilis berarti bahwa keadaan ini hanya
terjadi pada usia lanjut. Penyakit ini biasanya terjadi pada usia
diatas 70 tahun dan 2 kali lebih sering menyerang wanita.
Wanita seringkali menderita osteoporosis senilis dan
postmenopausal.
Osteoporosis Sekunder
Dialami kurang dari 5% penderita osteoporosis, yang
disebabkan oleh keadaan medis lainnya atau oleh obat-obatan.
Penyakit osteoporosis bisa disebabkan oleh gagal ginjal kronis
dan kelainan hormonal (terutama tiroid, paratiroid dan
adrenal) dan obat-obatan (misalnya kortikosteroid, barbiturat,
anti-kejang dan hormon tiroid yang berlebihan). Pemakaian
alkohol yang berlebihan dan merokok bisa memperburuk
keadaan osteoporosis.
Osteoporosis Juvenil Idiopatik
Merupakan jenis osteoporosis yang penyebabnya belum
diketahui. Hal ini terjadi pada anak-anak dan dewasa muda
yang memiliki kadar dan fungsi hormon yang normal, kadar
vitamin yang normal dan tidak memiliki penyebab yang jelas
dari rapuhnya tulang (Mulyaningsih, 2008).
d) Patofisiologi
Di dalam kehidupan, tulang akan selalu mengalami proses
perbaharuan. Tulang memiliki 2 sel, yaitu osteoklas (bekerja
untuk menyerap dan menghancurkan/merusak tulang) dan
osteoblas (sel yang bekerja untuk membentuk tulang).
Tulang yang sudah tua dan pernah mengalami
keretakan, akan dibentuk kembali. Tulang yang sudah rusak
tersebut akan diidentifikasi oleh sel osteosit (sel osteoblas
menyatu dengan matriks tulang). (Cosman, 2009) Kemudian
terjadi penyerapan kembali yang dilakukan oleh sel osteoklas dan
nantinya akan menghancurkan kolagen dan mengeluarkan
asam. (Tandra, 2009) Dengan demikian, tulang yang sudah
diserap osteoklas akan dibentuk bagian tulang yang baru yang
dilakukan oleh osteoblas yang berasal dari sel prekursor di
sumsum tulang belakang setelah sel osteoklas hilang. (Cosman,
2009)
Menurut Ganong, ternyata endokrin mengendalikan proses
remodeling tersebut. Dan hormon yang mempengaruhi yaitu
hormon paratiroid (resorpsi tulang menjadi lebih cepat) dan
estrogen (resorpsi tulang akan menjadi lama). Sedangkan pada
osteoporosis,terjadi gangguan pada osteoklas, sehingga timbul
ketidakseimbangan antara kerja osteoklas dengan osteoblas.
Aktivitas sel osteoclas lebih besar daripada osteoblas. Dan secara
menyeluruh massa tulang pun akan menurun, yang akhirnya
terjadilah pengeroposan tulang pada penderita osteoporosis.
Dalam pembentukan massa tulang tersebut tulang akan
mengalami perubahan selama kehidupan melalui tiga fase: Fase
pertumbuhan, fase konsolodasi dan fase involusi. Pada fase
pertumbuhan sebanyak 90% dari massa tulang dan akan
berakhir pada saat epifisi tertutup. Sedangkan pada tahap
konsolidasi yang terjadi usia 10-15 tahun. Pada saat ini massa
tulang bertambah dan mencapai puncak ( peak bone mass ) pada
pertengahan umur tiga puluhan. Serta terdapat dugaan bahwa
pada fase involusi massa tulang berkrang ( bone Loss ) sebanyak
35-50 tahun
Secara garis besar patofisiologi osteoporosis berawal
dari Adanya massa puncak tulang yang rendah disertai adanya
penurunan massa tulang. Massa puncak \ tulang yang rendah ini
diduga berkaitan dengan faktor genetic, sedangkan faktor yang
menyebabkan penurunan massa tulang adalah proses ketuaan,
menopause, faktor lain seperi obat obatan atau aktifitas fisik
yang kurang serta faktor genetik. Akibat massa puncak tulang
yang rendah disertai adanya penurunan massa tulang
menyebabkan Densitas tulang menurun yang merupakan faktor
resiko terjadinya fraktur.
Kejadian osteoporosis dapat terjadi pada setiap umur
kehidupan. Penyebabnya adalah akibat terjadinya penurunan
bone turn over yang terjadi sepanjang kehidupan. Satu dari dua
wanita akan mengalami osteoporosis, sedangkan pada laki-laki
hanya 1 kasus osteoporsis dari lebih 50 orang laki-laki. Dengan
demikian insidensi osteoporosis pada wanita jauh lebih banyak
daripada laki-laki. Hal ini di duga berhubungan dengan adanya
fase masa menopause dan proses kehilangan pada wanita jauh
lebih banyak.
Setelah usia 30 tahun, resorpsi tulang secara perlahan
dimulai akhirnya akan lebih dominan dibandingkan dengan
pembentukan tulang. Kehilanga massa tulang menjadi cepat
pada beberapa tahun pertama setelah menopause dan akan
menetap padabeberapa tahun kemudian pada masa
postmenopause. Proses ini terus berlangsung pada akhirnya
secara perlahan tapi pasti terjadi osteoporosis. Percepat
osteoporosis tergantung dari hsil pembentukan tulang sampai
tercapainya massa tulang puncak.
Massa tulang puncak ini terjadi sepanjang awal kehidupan
sampai dewasa muda. Selama ini, tulang tidak hanya tumbuh
tetapi juga menjdai solid. Pada usia rata-rata 25 tahun tulang
mencapai pembentuk massa tulang puncak. Walaupun demikian
massa puncak tulang ini secara individual sangat bervariasi dan
pada umumnya pada laki-laki lebih tinggi dibanding pada wanita.
Massa puncak tulang ini sangatlah penting, yang akan menjadi
ukuran seseorang menjadi risiko terjadinya fraktur pada
kehidupannya. Apabila massa puncak tulang ini rendah maka akan
mudah terjadi fraktur kan saja, tetapi apabila tinggi makan akan
terlindung dari ancaman fraktur. Faktor faktor yang menentukan
tidak tercapainya massa tulang puncak sampai saai ini belum
dapat dimengerti sepenuhnya tetapi diduga terdapat
beberapa faktor yang berperan, yaitu genetik, asupan
kalsium, aktifitas fisik, danhormon seks. Untuk memelihara
dan mempertahan massa puncak tulang adalah dengan diet,
aktifitas fisik, status reproduktif, rokok, kelebiham konsumsi
alkohol, dan beberapa obat (Permana, 2009).
e) Gejala Klinis
Patah tulang
Punggung yang semakin membungkuk
Penurunan tinggi badan
Postur tubuh kelihatan memendek akibat dari Deformitas
vertebra thorakalis
Nyeri punggung
Nyeri tulang akut. Nyeri terutama terasa pada tulang belakang,
nyeri dapat dengan atau tanpa fraktur yang nyata dan nyeri
timbul mendadak
Nyeri berkurang pada saat beristirahat di tempat tidur
Nyeri ringan pada saat bangun tidur dan akan bertambah bila
melakukan aktivitas
Deformitas tulang. Dapat terjadi fraktur traumatic pada vertebra
dan menyebabkan kifosis angular yang menyebabkan medulla
spinalis tertekan sehingga dapat terjadi paraparesis
Gambaran klinis sebelum patah tulang, klien (terutama wanita
tua) biasanya datang dengan nyeri tulang belakang, bungkuk
dan sudah menopause sedangkan gambaran klinis setelah
terjadi patah tulang, klien biasanya datang dengan keluhan
punggung terasa sangat nyeri (nyeri punggung akut), sakit pada
pangkal paha, atau bengkak pada pergelangan tangan setelah
jatuh
f) Diagnosis
Untuk menentukan kepadatan tulang tersebut, ada 3 teknik yang
biasa digunakan di Indonesia, antara lain :
Densitometri DXA (dual-energy x-ray absorptiometry)
Menurut Putri, DXA dapat digunakan pada wanita yang
mempunyai peluang untuk mengalami osteoporosis,
seseorang yang memiliki ketidakpastian dalam diagnosa,
dan penderita yang memerlukan keakuratan dalam hasil
pengobatan osteoporosis. (Putri, 2009).
Keuntungan yang didapatkan jika melakukan
pemeriksaan ini yaitu dapat menentukan kepadatan tulang
dengan baik (memprediksi resiko patah tulang pinggul) dan
mempunyai paparan radiasi yang sangat rendah. Akan tetapi
alat ini memiliki kelemahan yaitu membutuhkan koreksi
berdasarkan volume tulang (secara bersamaan hanya
menghitung 2 dimensi yaitu tinggi dan lebar) dan jika pada
saat seseorang melakukan pengukuran dalam posisi yang
tidak benar, maka akan mempengaruhi hasil pemeriksaan
tersebut. (Cosman, 2009)
Hasil dari DXA dapat dinyatakan dengan T-score, yang
dinilai dengan melihat perbedaan BMD dari hasil
pengukuran dengan nilai rata-rata BMD puncak. (Tandra,
2009)
Menurut WHO, kriteria T-score dibagi menjadi 3, yaitu T-
score > -1 SD yang menunjukkan bahwa seseorang masih
dalam kategori normal. T-score <-1 sampai -2,5
dikategorikan osteopenia, dan < - 2,5 termasuk dalam
kategori osteoporosis, apabila disertai fraktur, maka orang
tersebut termasuk dalam osteoporosis berat. (WHO, 1994)
Densitometri US (ultrasound)
Kerusakan yang terjadi pada tulang dapat didiagnosis dengan
pengukuran ultrsound, yaitu dengan mengunakan alat
quantitative ultrasound (QUS). Hasil pemeriksaan ini
ditentukan dengan gelombang suara, karena cepat atau
tidaknya gelombang suara yang bergerak pada tulang dapat
terdeteksi dengan alat QUS. Jika suara terasa lambat, berarti
tulang yang dimiliki padat. Akan tetapi, jika suara cepat,
maka tulang kortikal luar dan trabekular interior tipis. Pada
beberapa penelitian,menyatakan bahwa dengan QUS dapat
mengetahui kualitas tulang, akan tetapi QUS dan DXA sama-
sama dapat memperkirakan patah tulang . (Lane, 2003)
Pemeriksaan CT (computed tomography)
Pemeriksaan CT merupakan salah satu pemeriksaan
laboratorium yang dilakukan dengan memeriksa biokimia
CTx (C-Telopeptide). Dengan pemeriksaan ini dapat menilai
kecepatan pada proses pengeroposan tulang dan pengobatan
antiesorpsi oral pun dapat dipantau. (Putri, 2009) Kelebihan
yang didapatkan jika menggunakan alat ini yaitu
kepadatan tulang belakang dan tempat biasanya terjadi
patah tulang dapat diukur dengan akurat. Akan tetapi pada
tulang yang lain sulit diukur kepadatannya dan ketelitian
yang dimiliki tidak baik serta tingginya paparan radiasi.
(Cosman, 2009) (Agustin, 2009).
Penilaian langsung densitas tulang untuk memngetahui
ada tidaknya osteoporosis dapat dilakukan secara:
Radiologic
Radioisotope
QCT (Quantitative Computerized Tomography)
MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Densitometer (X-ray absorpmetry)
Penilaian osteoporosis secara laboratorik dilakukan dengan melihat
patanda biokomia untuk osteoblas, yaitu osteokalsin, prokolagen I
peptide dan alkali fosfatase total serum. Petanda kimia untuk
osteoklas; dioksipiridinolin (D-pyr), piridinolin (Pyr) Tartate
Resistant Acid Phosfotase (TRAP), kalisium urin, hidroksisiprolin dan
hidroksi glikosida. Secara bioseluler, penilaian biopsi tulang
dilakukan secara histopometri dengan menilai aktivitas osteoblas
dan osteoklas secara langsung. Namun pemeriksaan diatas
biayanya masih mahal.
g) Penatlaksanaan