Upload
vandung
View
218
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PRAKTIK KAWIN GANTUNG DI DESA CIPAEH SERDANG
KECAMATAN GUNUNG KALER KABUPATEN TANGERANG
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu
Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
MAURIZKA CHAIRANI AGZA
NIM : 11140440000084
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/2018 M
iv
ABSTRAK
Maurizka Chairani Agza. NIM 11140440000084. PRAKTIK KAWIN
GANTUNG DI DESA CIPAEH SERDANG KECAMATAN GUNUNG KALER
KABUPATEN TANGERANG. Program Studi Hukum Keluarga (Akhwal
Syakhsiyyah), Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Jakarta,
1439 H/2018 M lx + 56 halaman 16 halaman lampiran.
Studi ini bertujuan untuk menjelaskan sebab terjadinya kawin gantung di
Desa Cipaeh Serdang, pandangan masyarakat setempat terhadap kawin gantung,
dan proses pelaksanaan kawin gantung. Desa Cipaeh Serdang Kecamatan Gunung
Kaler yang merupakan daerah pedesaan dengan mayoritas penduduknya
melangsungkan perkawinan pada usia dini dimana masalah mental,dan kesiapan
yang tidak begitu diperhatikan desa ini memiliki tradisi kawin gantung yang
sampai sekarang belum hilang dan masih dipertahankan oleh masyarakat disana
walaupun banyak pertentangan dan perdebatan.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian sosiologis-empiris harus
dilakukan dilapangan dengan menggunakan metode dan penelitian teknik
lapangan. Peneliti mengadakan kunjungan kepada masyarakat dan berkomunikasi
dengan masyarakat.
Faktor yang paling mendasar terjadinya kawin gantung ialah tradisi turun
temurun dari nenek moyang yang memang mengharuskan anak mereka untuk
melakukannya, kemudian pandangan masyarakat terhadap kawin gantung
sebenarnya mereka tidak setuju dengan kawin gantung namun karena adanya
tradisi yang harus memaksakan mereka untuk melakukan perkawinan gantung dan
mereka juga akan takut apabila tidak melakukannya mereka takut akan terjadi hal
yang tidak diinginkan pada anak-anak mereka. Hasil penelitian menunjukan
bahwa proses pelaksanaan perkawinan gantung dilakukan sesuai dengan syariat
Islam rukun dan syaratanya terpenuhi hanya saja perkawinannya tidak dicatat di
KUA karena usia mereka yang masih dibawah umur,
Kata Kunci: Kawin Gantung, Anak-Anak, Desa Serdang
Pembimbing : Qosim Arsyadani
Daftar Pustaka : 2000 s.d. 2014
v
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah S.W.T yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sudah memberikan saya kepercayaan dalam menyelesaikan skripsi ini. Sholawat
serta salam saya ucapkan kepada baginda kita nabi Muhammad SAW beserta
keluarga, sahabat dan seluruh umat-Nya.
Penulis menyadari bahwasannya skripsi ini masih sangat jauh dari kesempurnaan.
Namun demikian skripsi ini ialah hasil upaya dan jerih payah dari penulis dan
penulis tidak akan dapat menyelesaikan skripsi ini tanpa adanya bantuan dari
orang-orang sekitar penulis. Dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan
terimakasih sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Asep Saepudin Jahar, MA, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta serta
para jajarannya.
2. Bapak Dr. H. Abdul Halim, M.Ag. selaku ketua Program Studi Hukum
Keluarga dan juga kepada Bapak Indra Rahmatullah, S.Hi., M.H., selaku
sekretaris Program Studi Hukum Keluarga yang telah bekerja dengan
maksimal.
3. Bapak Qosim Arsyadani, MA selaku dosen pembimbing karena berkat
bimbingan beliau yang sudah mencurahkan tenaga, pikiran, perhatian dan
kesabaran dalam membimbing penulis sehingga dapat menyelesaikan
skripsi ini.
4. Ibu Dr. Hj Azizah, MA selaku dosen pembimbing akademik yang sudah
membantu dan memberikan motivasi dalam kuliah.
5. Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Negeri Islam
Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuan
kepada saya dan semoga bisa menjadi ilmu yang bermanfaat bagi penulis.
vi
6. Kepada Ibunda saya Zaitun Haris dan Ayahanda saya Agus Hariyanto
yang selalu memberikan semangat, dorongan dan motivasi serta yang
selalu mendoakan saya tanpa lelah, semoga kalian selalu dalam lindungan
Allah SWT
7. Kepada sahabat saya Harfina Duata, Habibi Ahmad Dalili, Abu Rizal
Hafiz, Faizulludin dan Fahmi Kurniawan yang selalu menemani dan
memberikan semangat kepada saya untuk terus selalu semangat
mengerjakan skripsi ini.
8. Kepada kak Hikmah yang selalu mengarahkan dan membantu saya dalam
mengerjakan skripsi.
9. Kepada Zaenal yang sudah selalu menemani saya ke Desa Serdang
Kecamatan Gunung Kaler untuk penelitian dalam skripsi yang saya
kerjakan
10. Kepada Haikal Munzani yang tidak henti-hentinya memberikan semangat
untuk menyelesaikan skripsi penulis
11. Teman-teman Program Studi Hukum Keluarga angkatan 2014 yang telah
memberikan saran dan dukungan pada penulis.
Demikianlah ucapan terimakasih dari penulis semoga Allah SWT membalas dan
melipat gandakan kebaikan kalian semua. Akhir kata dengan segala
kerendahanhati semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan pihak yang
membutuhkan .
Penulis memohon maaf apabila dalam penyusunan skripsi ini terdapat
kekurangan, semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat dan karunianya
selalu kepada kita umat-Nya. Amin Ya Rabbal Alamin
Jakarta, 9 Maret, 2018
Penulis
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i
LEMBAR PERSETUJUAN ............................................................................ ii
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................. iii
ABSTRAK ..................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ...................................................................................... v
DAFTAR ISI ..................................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ....................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ............................................................. 4
C. Rumusan Masalah ................................................................ 4
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................ 5
E. Review Studi Terdahulu ....................................................... 6
F. Metodologi Penelitian .......................................................... 7
G. Sistematika Penulisan ........................................................... 9
BAB II PERKAWINAN & BATAS USIA MINIMAL
PERKAWINAN
A. Pengertian Perkawinan ........................................................ 10
B. Dasar Hukum Perkawinan ................................................... 13
C. Hukum Melakukan Perkawinan .......................................... 17
D. Tujuan Perkawinan .............................................................. 18
E. Hikmah Perkawinan ............................................................ 21
F. Rukun dan Syarat Perkawinan ............................................. 24
G. Batas Usia Minimal Perkawinan .......................................... 26
H. Asas dan Prinsip Perkawinan ............................................... 28
BAB III KONDISI DESA CIPAEH SERDANG
A. Keadaan Geografis Desa Cipaeh Serdang ............................ 31
viii
B. Keadaan Demografis Desa Cipaeh Serdang ......................... 35
C. Kondisi Sosial dan Adat ....................................................... 36
D. Praktik Kawin Gantung Desa Cipaeh Serdang ..................... 38
BAB IV PRAKTIK KAWIN GANTUNG TERHADAP ANAK-
ANAK DI DESA CIPAEH SERDANG
A. Pengertian Kawin Gantung ................................................... 40
B. Gambaran Pelaksanaan Kawin Gantung di Desa Cipaeh
Serdang .................................................................................. 40
C. Faktor-Faktor Terjadinya Kawin Gantung Terhadap
Anak-Anak ............................................................................ 42
D. Pandangan Masyarakat Terhadap Kawin Gantung .............. 44
E. Analisis Hukum Islam Terhadap Kawin Gantung ................ 45
F. Analisis Undang-Undang Terhadap Kawin Gantung ........... 47
G. Analisis Penulis Terhadap Praktik Kawin Gantung .............. 48
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................... 52
B. Saran ..................................................................................... 53
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 54
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia diciptakan Allah S.W.T mempunyai naluri manusiawi yang
perlu mendapat pemenuhan untuk mengabdikan dirinya kepada Khaliq,
penciptanya dengan segala aktivitas hidupnya. Pemenuhan naluri manusiawi
seorang manusia antara lain adalah kebutuhan biologisnya, agar manusia
mengetahui tujuan kejadiannya, Allah SWT mengatur hidup manusia dengan
perkawinan.1
Dari segi agama Islam, perkawinan merupakan sunnatullah yang
dilakukan oleh umat Islam, dan menyendiri dengan tidak kawin tanpa ada
alasan yang dibenarkan oleh Syara’ merupakan perbuatan yang menyalahi
Sunnah Nabi Muhammad SAW. Perkawinan merupakan akad yang
menghalalkan pergaulan serta menyebabkan terjadinya hak dan kewajiban
serta tolong-menolong antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan
yang bukan mahram. 2
Dalam membangun ikatan perkawinan diperlukan adanya cinta lahir
batin antara pasangan suami istri agar dapat terbentuk keluarga yang sakinah,
mawaddah, dan rahmah seperti yang di impikan oleh pasangan suami istri.
Ada 3 tujuan dalam pernikahan yang ingin dicapai dalam mengarungi rumah
tangga yaitu: pertama, Sakinah dimana pasangan suami istri merasakan
kebutuhan untuk mendapatkan (Kedamaian) yaitu keharmonisan dan
ketenangan hidup. Kedua, Mawaddah (Rasa kasih) adalah cinta yang disertai
dengan penuh keikhlasan dalam menerima kekurangan dan kelebihan orang
yang dicintai. Ketiga, Rahmah (Rasa sayang) merupakan perasaan saling
simpati, menghormati, menghargai antara satu dengan yang lainnya.3
1 Abd. Rahman Ghazaly. Fiqh Munakahat, (Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2003),
h. 22-23 2 Sulaiman Rasyid. Fiqh Islam, Cet ke-34, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2002), h. 374
3 Mufidah Ch, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender (Malang: UIN Malang
Press,2008), h. 48-50
2
Di antara anjuran untuk menikah bagi setiap muslim dapat diketahui
dalam Al-Qur’an (QS An-Nur : 24 : 32)
Artinya : “Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-
orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-
hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan
mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha
Mengetahui”.
Dengan tujuan yang ingin dicapai 3 tujuan di atas ternyata dalam
kenyataannya tidak mudah untuk dicapai. Banyak faktor yang mempengaruhi
hal tersebut, diantaranya adalah kematangan para pihak baik secara materi
maupun lainnya dan diantaranya lagi faktor umur. Kawin gantung merupakan
istilah adat yang mempunyai makna perkawinan antara laki-laki yang masih
kecil dan perempuan yang masih kecil setelah di nikahkan masa
pencampurannya ditangguhkan dan juga belum hidup bersama. Kawin
gantung dapat disamakan dengan pernikahan usia dini kaitannya dengan
masalah usia.4
Menurut masyarakat Desa Serdang Kabupaten Tangerang kawin
gantung ialah anak laki-laki yang masih kecil dan anak perempuan yang masih
kecil lalu dijodohkan dan setelah itu di nikahkan walaupun umur mereka
masih kecil mulai dari umur 6 sampai dengan 12 tahun hanya saja
pernikahannya tidak di catatkan di KUA.5 Mereka di nikahkan sesuai syariat
Islam yaitu dengan terpenuhinya syarat dan rukun nikah, Perkawinan gantung
ini diselenggarakan secara sah menurut ajaran Islam dan mengadakan resepsi
seperti pada umumnya, kemudian kedua pengantin kecil didandani
sebagaimana pengantin dalam walimatul ursy.6 Pernikahan baru dianggap sah
4 Alif Jum'an Azend, “Hukum Pernikahan Dini / Kawin Gantung”, dalam 1883-hukum-
pernikahan-dini-kawin-gantung.html di akses pada tanggal 22 september 2017 pukul 23:40 WIB 5 Ibu Rawi, (Masyarakat Desa Serdang), wawancara tanggal 1 Agustus 2017
6 Hasil Putusan Muktamar ke-32 NU (Jakarta: Sekertariat Jendral PBNU,2011), h. 206
3
apabila terpenuhi semua rukun pernikahannya yang ada 5 (lima). Adapun
rukun pernikahan yaitu :
1. Pengantin Laki-laki
2. Pengantin Perempuan
3. Wali Nikah Mempelai Wanita
4. 2 Orang Saksi
5. Ijab dan Qabul
Dalam perwalian pernikahan hukum Islam mengklasifikasikan dua
istilah yang pertama Wali mujbir dan yang kedua wali tidak mujbir. Wali
mujbir ialah Wali yang bisa/boleh memaksa anak gadisnya dibawah
perwaliannya untuk dikawinkan dengan laki-laki tanpa izin yang
bersangkutan. Wali mujbir ini ialah mereka yang mempunyai garis keturunan
ke atas dengan perempuan yang akan menikah. Menurut mazhab Hanafi,
Maliki dan Hambali adalah: Bapak, orang yang diberi wasiat oleh bapak dan
hakim Sedangkan menurut mazhab Syafi’i wali mujbir ialah bapak dan kakek
saja ketika tidak ada Bapak. Dalam pandangan mazhab Maliki dan Syafi’i
seorang wali disunahkan meminta izin anak menikahkan anak perempuannya
yang masih perawan sedangkan Menurut mazhab Hambali tidak perlu
dimintakan izinnya. Meneurut mereka, hakim dan semua wali tidak memiliki
hak untuk mengawinkan anak perempuan yang berumur kurang dari sembilan
tahun.7 Sedangkan wali tidak mujbir ialah apabila mempelai wanita sudah
pernah melakukan pernikahan atau yang dikenal dalam masyarakat ialah
janda.
Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan menyebutkan
bahwa batas minimal usia perkawinan untuk perempuan 16 tahun dan laki-laki
19 tahun.8 Meskipun syarat-syarat perkawinan telah di tetapkan namun pada
kenyatannya banyak dijumpai terjadinya pernikahan dini yaitu salah satunya
7 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu (Terjemahan ) (Jakarta : Gema Insani
2011) jilid 9 h. 183 8Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dalam Undang-Undang Perkawinan
Di Indonesia
4
di Desa Cipaeh Serdang Kecamatan Gunung Kaler yang merupakan daerah
pedesaan dengan mayoritas penduduknya melangsungkan perkawinan pada
usia dini dimana masalah mental,dan kesiapan yang tidak begitu diperhatikan.
Di jelaskan juga dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014
tentang Perlindungan Anak pada pasal 1 ayat 1 dijelaskan bahwa anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 Tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan. Kemudian dalam pasal 26 ayat 1 huruf c berbunyi bahwa orangtua
bertanggung jawab dan berkewajiban mencegah terjadinya perkawinan pada
usia anak. Kawin gantung ini tentu bertentangan dengan undang-undang
perlindungan anak karena mengadakan pernikahan dibawah usia 18 tahun,
Anak perlu mendapat perlindungan baik fisik, mental, maupun sosial.
Perlindungan hukum bagi anak dapat di artikan sebagai upaya perlindungan
terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi manusia serta sebagai kepentingan
yang berhubungan dengan kesejahteraan anak.9 Perlindungan anak ialah
segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar
dapat tumbuh, hidup, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi.
Di Desa Cipaeh Serdang Kecamatan Gunung Kaler ini memiliki tradisi
kawin gantung dan tradisi ini sampai sekarang belum hilang dan masih
dipertahankan oleh masyarakat disana walaupun banyak pertentangan dan
perdebatan.
Melihat dari latar belakang maka penulis tertarik untuk membahas dan
mengadakan penelitian guna menjawab permasalahan yang ada lalu
dituangkan untuk menjadi skripsi yang berjudul “PRAKTIK KAWIN
GANTUNG DI DESA CIPAEH SERDANG KECAMATAN GUNUNG
KALER KABUPATEN TANGERANG”
B. Identifikasi Masalah
Masalah-masalah yang menjadi identifikasi peneliti adalah:
9 Waluyadi, Hukum Perlindungan Anak, (Bandung: Maju Mundur 2009), h. 1
5
1. Apakah sebab terjadinya kawin gantung di Desa Cipaeh Serdang?
2. Bagaimana proses pelaksanaan kawin gantung di Desa Cipaeh Serdang?
3. Bagaimana dampak dari kawin gantung di Desa Cipaeh Serdang?
4. Bagaimana pandangan masyarakat setempat terhadap tradisi kawin
gantung?
5. Apakah filosofis kawin gantung menurut masyarakat di Desa Cipaeh
Serdang?
C. Pembatasan Masalah dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Agar pembatasan dalam skripsi ini tidak meluas maka di adakannya
batas masalah, Penulis membatasi masalah pada skripsi ini hanya terfokus
pada Praktik Kawin Gantung Terhadap Anak-anak
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, permasalahan yang akan
diteliti dirumuskan sebagai berikut :
1. Apa sebab terjadinya kawin gantung di Desa Cipaeh Serdang?
2. Bagaimana pandangan masyarakat setempat terhadap kawin gantung?
3. Bagaimana proses pelaksanaan kawin gantung di Desa Cipaeh
Serdang?
D. Tujuan dan Manfaat penelitian
Berdasarkan pokok penelitian di atas, maka tujuan penelitian dapat
dirumuskan sebagai berikut:
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui apa yang menjadi sebab terjadinya kawin gantung
di Desa Cipaeh Serdang
b. Untuk mengetahui bagaimana pandangan masyarakat setempat
terhadap kawin gantung
6
c. Untuk mengetahui proses pelaksanaan kawin gantung di Desa Cipaeh
Serdang
2. Manfaat Penelitian
Adapun dalam penelitian skripsi ini diharapkan memberi manfaat
sebagi berikut:
a. Manfaat Teoritis
Penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan teori
maupun praktik hukum, dan dapat juga dijadikan sebagai bahan
referensi pada penelitian selanjutnya.
b. Manfaat Praktis
Manfaat untuk UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yaitu untuk menambah
karya ilmiah khususnya pada Fakultas Syariah dan Hukum
Manfaat bagi penulis untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum (S.H)
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Manfaat secara umum untuk memberikan informasi dan menambah
pengetahuan seputar kawin gantung diberbagai kalangan
E. Review Studi Terdahulu
Review atau kajian terdahulu ini akan memaparkan beberapa penelitian
yang sudah dilakukan, baik berupa skripsi, tesis, ataupun penelitian-penelitian
lainnya yang pernah membahas tentang Praktik Kawin Gantung Terhadap
Anak-anak, yaitu:
1. Skripsi yang berjudul “Pandangan Ulama Ponorogo Terhadap Putusan NU
Ke-32 Tentang Kawin Gantung” oleh Ahmad Husaini (210111006/STAIN
Ponorogo/ Tahun 2015/Jurusan Hukum Keluarga/Fakultas Syariah dan
Hukum) dalam skripsi ini penulis membahas mengenai Ulama Ponorogo
sesuai hukum Islam setuju dengan keputusan Mukhtamar NU tentang
diperbolehkannya kawin gantung.
Perbedaannya : Peneliti lebih membahas pandangan ulama Ponorogo yang
setuju terhadap adanya keputusan mukhtamar NU yang mengesahkan
kawin gantung .
7
2. Skripsi yang berjudul “Tradisi Nikah Gantung Sebelum Pelaksanaan
Resepsi Pernikahan Masyarakat Sungai Tonang Kecamatan Kampar Utara
Ditinjau Menurut Hukum Islam” oleh Nurfiyas (11021204134/UIN Sultan
Syarif Kasim Riau/Tahun 2015/Jurusan Hukum keluarga/Fakultas Syariah
Dan Hukum) dalam skripsi ini penulis membahas nikah gantung dalam
tradisi masyarakat sungai tonang dan tinjauannya terhadap Hukum Islam.
Perbedaannya : peneliti lebih membahas mengenai tinjauan hukum Islam
terhadap tradisi sebelum pelaksanaan resepsi pernikahan pada masyarakat
sungai tonang yang biasa mereka sebut nikah gantung
3. Skripsi yang berjudul “Tradisi Perkawinan Bawah Umur Di Kelurahan
Pamenang Kec. Pamenang Kab. Merangin” yang disusun oleh Syoraya
Nurjannah (1110044100079/UIN Syarif Hidayatullah Jakarta/Tahun
2014/Jurusan Hukum Keluarga/Fakultas Syariah dan Hukum) dalam
skripsi ini penulis membahas tentang terjadinya perkawinan bawah umur
yang kini menjadi tradisi di desa Pamenang.
Perbedaannya : peneliti lebih membahas dampak negatif terhadap
terjadinya pernikahan dibawah umur
F. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan penelitian sosiologis-empiris, sosiologi
adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama dalam masyarakat.
Sementara itu Soerjono Soekamto mengartikan sosiologi sebagai suatu
ilmu pengetahuan yang membatasi diri terhadap persoalan penilaian.
Pendekatan sosiologis adalah landasan kajian sebuah studi atau penelitian
untuk mempelajari hidup bersama dalam masyarakat.10
Sedangkan empiris
artinya bersifat nyata yaitu suatu metode yang mengutamakan keadaan-
keadaan nyata yang ada dimasyarakat dan meneliti bagaimana bekerjanya
10
Musakkir, Karakteristik Kajian Sosiologi Hukum dan Psikologi Hukum, artikel ini di
akses dari https://musakkir.page.tl/ pada 22 September 2015 pada pukul 23:28 WIB
8
hukum didalam lingkungan mayarakat11
. Jadi maksudnya penelitian
dengan menggunakan metode penelitian sosiologis-empiris harus
dilakukan dilapangan dengan menggunakan metode dan penelitian teknik
lapangan. Peneliti mengadakan kunjungan kepada masyarakat dan
berkomunikasi dengan masyarakat.
2. Sumber Data
Dalam penulisan skripsi ini penulis memperoleh data penelitian dari 2
sumber antara lain sebagai berikut:
a. Data Primer adalah data yang diperoleh melalui penelitian lapangan
atau field research yaitu penelitian yang menekankan pada hasil
pengumpulan data dari informan yang telah ditentukan yaitu
wawancara langsung dari beberapa narasumber12
yaitu masyarakat di
Desa Serdang.
b. Data Sekunder adalah yang berasal dari bahan pustaka yang berkaitan
dengan pokok bahasan karya tulis13
ini yaitu mengenai praktik kawin
gantung terhadap anak-anak.
3. Teknik Pengumpulan Data
Untuk dapat mengumpulkan data-data yang diperlukan maka penulis
menggunakan alat pengumpulan data atau instrument penelitian yakni alat
atau fasilitas yang digunkan oleh peneliti dalam pengumpulan data, agar
pengerjaannya menjadi lebih mudah dan hasilnya lebih lengkap dan
sistematis sehingga mudah diolah.14
Alat Pengumpulan Data yang digunakan ialah:
a. Wawancara (interview), yaitu suatu kegiatan yang dilakukan oleh
peneliti untuk mendapatkan informasi secara langsung dengan
11
http://irwaaan.blogspot.co.id/2013/11/metodologi-penelitian-hukum.html di akses pada
tanggal 30 September 2017 pukul 20:58 WIB 12
Lexy J Moleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya,2005) h. 135 13
Soerjono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta:Penerbit Universitas
Indonesia 2007), h. 52. 14
Suharsimi Arikunto. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. (Jakarta: Rineka
Cipta 2006)
9
menggunakan pertanyaan-pertanyaan pada narasumber15
dan nantinya
hasilnya akan penulis olah sebagai bahan skripsi.
b. Studi Pustaka
Dilakukan untuk mendapatkan data serta teori-teori yang membahas
mengenai Praktik Kawin Gantung Terhadap Anak-anak.
4. Subjek-Objek Penelitian
Untuk lebih fokusnya penelitian ini lokasi yang akan dijadikan subjek
penelitian ialah Desa Serdang Kecamatan Gunung Kaler, Kabupaten
Tangerang. Serta objeknya ialah masyarakat di desa Serdang.
5. Teknik Penulisan
Teknik penulisan skripsi ini telah berdasarkan pada buku “Pedoman
Penulisan Skripsi” yang dikeluarkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017.
G. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah penulisan skripsi ini, penulis membagi pembahasan
menjadi beberapa bab yang diuraikan dalam sistematika sebagai berikut:
BAB I, Berisikan tentang pendahuluan yang berhubungan dengan yang
permasalahan yang akan dibahas, Identifikasi Masalah, Pembatasan dan
Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Review Studi Terdahulu,
Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
BAB II, Kajian teoritis tentang perkawinan yang meliputi pengertian
perkawinan,dasar hukum perkawinan,hukum melakukan perkawinan, tujuan
dan hikmah perkawinan, rukun dan syarat perkawinan, asas dan prinsip
perkawinan, dan batas minimial usia perkawinan.
BAB III, Gambaran umum kondisi Desa Serdang yang meliputi keadaan
geografis, keadaan demografis, sejarah dan perkembangannya.
BAB IV, Praktik Kawin Gantung Terhadap Anak-anak di Desa Serdang yang
menjelaskan proses pelaksanaan kawin gantung, faktor-faktor yang
15
Irawan Soehartono, Metodologi Penelitian Sosial (Bandung: PT. Remaja Rosdakrya,
2008), h. 68
10
menyebabkan kawin gantung, dan pandangan masyarakat terhadap kawin
gantung.
BAB V, Merupakan bab akhir dalam penelitian ini, terdiri dari penutup yang
berisi kesimpulan dan saran-saran yang bersifat membangun.
11
BAB II
KAJIAN TEORITIS TENTANG PERKAWINAN
A. Pengertian Perkawinan
Pengertian perkawinan secara bahasa berarti mengumpulkan atau sebuah
pengibaratan akan sebuah hubungan intim dan akad sekaligus yang di dalam
syariat dikenal dengan akad nikah. Sedangkan secara syariat berarti sebuah
akad yang mengandung pembolehan bersenang-senang dengan perempuan,
dengan berhubungan intim, menyentuh, mencium, memeluk dan sebagainya,
jika perempuan tersebut bukan termasuk mahram dari segi nasab, sesusuan
dan keluarga. Atau bisa juga diartikan bahwa nikah adalah sebuah akad yang
telah ditetapkan oleh syariat yang berfungsi untuk memberikan hak
kepemilikan bagi lelaki untuk bersenang-senang dengan perempuan dan
menghalalkan seorang perempuan bersenang-senang dengan lelaki.1
Perkawinan merupakan cara yang dipilih Allah S.W.T sebagai jalan bagi
manusia untuk beranak-pinak, berkembang biak dan melestarikan hidupnya
setelah masing-masing pasangan siap melakukan peranan yang positif dalam
mewujudkan tujuan perkawinan. Allah S.W.T tidak menjadikan manusia
seperti mahluk lainnya yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan
berhubungan tanpa aturan. Demi menjaga kehormatan dan martabat kemuliaan
manusia, Allah S.W.T mengadakan hukum sesuai dengan martabatnya,
sehingga hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat dan
berdasarkan rasa saling meridhai, dengan ijab kabul sebagai lambang adanya
rasa ridha-meridhai, dan dengan dihadiri dengan para saksi yang menyaksikan
bahwa pasangan antara laki-laki dan perempuan itu sudah saling terikat.2
Di dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman bahwa manusia diciptakan
saling berpasangan-pasangan antara laki-laki dengan perempuan untuk
1 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta : Gema Insani 2011) jilid 9 h.
47-48 2 Abd. Rahman Ghazaly, Fikih Munakahat, (Jakarta Timur: Fajar Interpreatama offset, cet.
1, 2003) h 11.
12
memenuhi kebutuhan biologisnya dan untuk meneruskan garis keturunannya.
Seperti didalam (QS An-Nisa:4:1) yang berbunyi sebagai berikut:
Artinya : “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang
telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah
menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang
biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada
Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu
sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah
selalu menjaga dan mengawasi kamu”.
Dengan demikian, hubungan antara laki-laki dengan perempuan diatur
secara terhormat berdasarkan kerelaan dalam suatu ikatan berupa pernikahan,
bentuk pernikahan ini memberikan jalan yang aman pada naluri seksual
untuk memelihara keturunan dengan baik dan menjaga harga diri wanita,
sehingga nantinya dapat menumbuhkan keturunan yang baik dan hasil yang
memuaskan.3
Muhammad Abu Zahrah di dalam kitabnya al-Ahwal al-Syakhsyiyyah,
mendefinisikan nikah sebagai akad yang menimbulkan akibat hukum berupa
halalnya melakukan persetubuhan antara laki-laki dengan perempuan, saling
tolong-menolong, serta menimbulkan hak dan kewajiban diantara keduanya.4
Dalam buku Hukum Perkawinan Islam karangan Mohd Idris Ramulyo,
definisi perkawinan menurut Sayuti Thalib adalah suatu perjanjian yang suci
kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki
dengan seorang perempuan membentuk keluarga yang kekal, saling
menyantuni, kasih mengasihi, tentram dan bahagia.5
3 http://repo.iain-tulungagung.ac.id/2232/5/5.%20bab%20ii%20kajian%20pustaka.pdf
diakses pada tanggal 6 Desember 2017 pukul 20:29 wib 4 https://perbandinganmadzhabfiqh.wordpress.com/2011/05/14/hukum-perkawinan-
menurut-undang-undang-dan-hukum-islam/ di akses pada tanggal 3 Desember 2017 pukul 13:42
WIB 5 Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam; Suatu Analisis Dari Undang-Undang
No 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara 1996) h. 2
13
Menurut sebagian ulama Hanafiah, nikah adalah akad yang
memberikan faedah (mengakibatkan) kepemilikan untuk bersenang-senang
secara sadar (sengaja) bagi seorang pria dan seorang wanita terutama guna
mendapatkan kenikmatan biologis. Sedangkan menurut sebagian mazhab
Maliki, nikah adalah sebuah ungkapan (sebutan) bagi suatu akad yang
dilaksanakan dan dimaksudkan untuk meraih kenikmatan (seksual) semata-
mata. Menurut ulama Syafi’iah : Akad yang menjamin kepemilikan untuk
bersetubuh. Sedangkan ulama Hanabilah mendefisinikan akad (yang
dilakukan dengan menggunakan) kata inkah atau tajwiz guna mendapatkan
kesenangan (bersenang)6
Pengertian pernikahan menurut undang-undang no 1 tahun 1974 pasal
(1) bahwa pernikahan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha
Esa.7 Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam pasal (2) menegaskan
bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang
sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah.8
B. Dasar Hukum Perkawinan
Dasar hukum perkawinan pada bagian hukum perkawinan penulis akan
membahas hukum perkawinan dalam tiga pandangan hukum yaitu:
1) Fiqh Munakahat, 2) Undang-undang Perkawinan dan 3) Kompilasi Hukum
Islam
1. Menurut Fiqh Munakahat
Dalam Fiqh munakahat dasar perkawinan dilihat dari tiga sumber
hukum islam yaitu: Al-Qur’an,Hadist dan Ijma Ulama.
a) Dalil Al-Qur’an
6 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu , jilid 9 h. 48
7 Undang-undang No 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan
8 Kompilasi Hukum Islam
14
Para ahli ushul fiqh memberikan definisi Al-qur’an dengan kalam
Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW setiap suratnya
berdaya mukjizat dan mendapat nilai ibadah waktu membacanya.9
Allah SWT berfirman dalam (Q.S An-Nur:24:32) sebagai berikut :
Artinya : “Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara
kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba
sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.
Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-
Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
Ayat di atas menjelaskan dengan penggunaan kata atau sighat
dengan kata amar (perintah) untuk kata pernikahan (nikah) menurut
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an bahwa pesan moral yang
terkandung didalamnya antara lain: 1) Kawinlah segera pemuda atau
gadis kalian yang sudah tiba masanya untuk memasuki jenjang
perkawinan. 2) Calonnya boleh saja dari orang-orang yang saleh, dari
hamba sahayamu baik yang laki-laki maupun perempuan. 3) Bila
mereka tidak mempunyai apa-apa atau miskin dengan pernikahan itu,
boleh jadi Allah S.W.T akan memberikan kemudahan dan keberkahan
dalam pernikahannya sehingga suatu saat akan menjadi orang yang
berkecukupan.
Betapa banyaknya pemuda yang asalnya miskin dan tidak
mempunyai apa-apa namun setelah berumah tangga, sedikit demi
sedikit usahanya berkembang dan meningkat sehingga menjadi orang
kaya, terpandang di mata masyarakat serta mempunyai kedudukan
yang terhormat. Bukti nyata lain mayoritas orang-orang kaya adalah
mereka yang sudah berkeluarga dan mempunyai rumah tangga.
9 Amir Syafruddin, Garis Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta: Fajar Interpreatama Offset
2012) h.34
15
Logikanya harta yang dikumpulkan sudah ada orang yang memelihara,
menjaga dan menyimpannya yaitu istrinya.
Jadi, ayat tersebut sangat logis dan benar bahwa Allah S.W.T
memberikan informasi tentang pemuda-pemudi yang miskin akan
menjadi kaya apabila ia melakukan pernikahan dan membentuk rumah
tangga, sehingga suatu ketika akan menjadi pasangan suami-istri yang
berpunya.10
Allah SWT berfirman dalam (Q.S. Al-Araf:7:189) berbunyi :
Artinya : “Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan
dari padanya Dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang
kepadanya. Maka setelah dicampurinya, isterinya itu mengandung
kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa
waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami-isteri)
bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya
jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami termasuk
orang-orang yang bersyukur”.
Sehingga perkawinan adalah menciptakan kehidupan keluarga anatar
suami istri dan anak-anak serta orang tua agar tercapai suatu kehidupan
yang aman dan tenteram (Sakinah), pergaulan yang saling mencintai
(Mawaddah) dan saling menyantuni (Rohmah).
b) Hadis
Hadis Nabi yang didefinisikan oleh ahli ushul fiqh adalah sesuatu yang
dihubungkan kepada nabi Muhammad SAW dalam bentuk ucapan,
perbuatan, dan pengakuannya.11
10
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Tafisr Al-Qur’an Tematik, (Jakarta:Kamil
Pustaka 2014, Jilid 2) h. 29 11
Amir Syafruddin, Garis Garis Besar Ushul Fiqh, h. 39
16
Banyak hadist Rasulullah S.A.W yang dijadikan para ulama sebagai
dasar pernikahan diantaranya adalah hadist dari Ibnu Mas’ud yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhori.
باب ى ا هلل عليه و سل ن,بن هسعىد قا ل:قال ر سى ل ا هلل صل عن ا يا هعشر الش
ج ة باء ال اع هنكن هن استط غض للبصر وأحصن للفرج، وهن لن أ أ ن ه فإ فليتزو
ىم ف ستطع فعليه ي .ن ه له وجاء ا بالص
Dari Ibnu Mas’ud, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Hai
para pemuda, siapa diantara kamu yang mampu (menanggung) biaya
pernikahan, maka nikahlah karena sesungguhnya nikah itu lebih dapat
menundukkan pandangan dan lebih dapat menjaga kemaluan; Dan
siapa yang tidak mampu maka hendaklah ia berpuasa karena
sesungguhnya berpuasa itu baginya (menjadi) pengekang syahwat”
(HR Imam Bukhori)12
Perintah pada hadits ini dikhususkan kepada pemuda, karena
umumnya dorongan menikah lebih banyak pada mereka dibandingkan
orang tua.
c) Ijma
Definisi ijma ulama yang diberikan ahli ushul fiqh adalah kesepakatan
semua mujtahid di dunia islam tentang hukum syara’ pada suatu masa
setelah wafatnya nabi Muhammad SAW terhadap suatu kejadian.13
Adapun hukum nikah:
1. Sekelompok ulama, yaitu jumhur berpendapat bahwa nikah itu
sunnah.
2. Ahli zhahir berpendapat bahwa nikah itu wajib.
3. Para ulama muta’akhkhirin (belakangan) dari madzhab maliki
berpendapat bahwa nikah itu untuk sebagian orang hukumnya
wajib, untuk sebagian yang lain sunnah dan untuk sebagian yang
lain lagi mubah. Hal itu berdasarkan kekhawatiran terhadap
perbuatan zina atas dirinya. 14
12
Mu’ammal Hamidy, dkk. Terjemahan Nailul Authar Himpunan Hadis-Hadis Hukum
(Surabaya: PT Bina Ilmu 2001) h.2129. 13
Amir Syafruddin, Garis Garis Besar Ushul Fiqh, h. 48 14
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid. Penerjemah Abu Usamah Fakhtur (Jakarta: Pustaka
Azzam 2007) h. 1
17
2. Menurut Undang – Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
Di dalam Undang – Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang
terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan
yang rumusannya :15
Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya itu. Tiap – tiap perkawinan
dicatat menurut peraturan – peraturan, perundang – undangan yang
berlaku.
3. Menurut Kompilasi Hukum Islam
Menurut Kompilasi Hukum Islam dasar perkawinan dalam Kompilasi
Hukum Islam Pasal 2 dan 3 disebutkan bahwa :
Perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu
akad yang sangat kuat atau miitsaaqan ghaliizhan untuk mentaati
perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Perkawinan
bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah, dan rahmah.16
C. Hukum Melakukan Perkawinan
Dilihat dari perspektif hukum melakukan perkawinan menurut Islam
ternyata para ulama menyampaikan adanya perubahan status hukum
perkawinan. Dari hukum asal nikah adalah mubah bisa berubah tergantung
dalam masing-masing keadaan dan orientasi orang yaitu:
Menurut para ahli fiqh bergantung pada keadaan masing-masing
orang:17
15
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 tentang pekawinan 16
Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam pasal 2 dan 3. (Jakarta:Logis Wacana Ilmu,
1999) 17
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, jilid 9 h.41-42.
18
1) Mubah : Hukum menikah menjadi mubah jika faktor yang mengharuskan
maupun menghalangi terlaksananya pernikahan tidak ada pada diri
seseorang.
Mubah yaitu apabila seseorang berkeyakinan tidak akan jatuh ke dalam
perzinaan kalau ia tidak kawin; seandainya ia kawin tidak akan
mengabaikan kewajibannya sebagai suami atau isteri.18
2) Fardhu : menurut kebanyakan para ulama fiqih, hukum penikahan adalah
wajib, jika seseorang yakin akan jatuh kedalam perzinahan seandainya
tidak menikah, sedangkan ia mampu memberi nafkah kepada istrinya
berupa mahar dan nafkah batin serta hak-hak penikahan lainnya. Ia juga
tidak mampu menjaga dirinya untuk terjatuh kedalam perbuatan hina
dengan cara berpuasa dan lainnya. Itu karena ia diwajibkan menjaga
kehormatan dirinya dari perbuatan haram. Segala sesuatu yang merupakan
sarana untuk kesempurnaan sebuah kewajiban maka ia hukumnya wajib
pula. Caranya dengan menikah. Menurut jumhur ulama antara wajib dan
fardhu tidak ada perbedaan.
3) Haram : nikah diharamkan juka seseorang yakin akan menzalimi dan
membahayakan istrinya jika menikahinya seperti dalam keadaan tidak
mampu untuki memenuhi kebutuhan pernikahan, atau tidak bisa berbuat
adil di antara istri-istrinya. Karena segala sesuatu yang menyebabkan
terjerumus ke dalam keharaman maka ia hukumnya juga haram.
4) Makruh : pernikahan dimakruhkan jika seseorang khawatir terjatuh pada
dosa dan mara bahaya. Kekhawatiran ini belum sampai derajat keyakinan
jika ia menikah. Ia khawatir tidak mampu memberi nafkah, berbuat jelek
kepada keluarga, atau kehilangan keinginan kepada perempuan. Menurut
mazhab Hanafi makruh ada dua macam; makruh tahrimi (mendekati
haram) dan tanzihi (mendekati halal) sesuai kuat dan lemahnya
kekhawatirannya. Sedangkan menurut para ulama Syafi’i, menikah
makruh hukumnya bagi orang yang memiliki kelemahan seperti tua renta,
penyakit abadi, kesusahan yang berkepanjangan dan terkena gangguan jin.
18
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah Jilid 3, (Jakarta:Cakrawala Publishing, 2011) h.211
19
5) Dianjurkan dalam kondisi stabil menurut jumhur ulama selain imam
Syafi’i pernikahan dianjurkan apabila seseorang berada dalam kondisi
stabil, sekiranya ia tidak khawatir terjerumus kedalam pernikahan apabila
tidak menikah. Juga tidak khawatir akan berbuat zalim kepada istrinya jika
menikah. Keadaan stabil ini merupakan fenomena umum dikalangan
manusia.19
D. Tujuan Perkawinan
Tujuan perkawinan menurut agama Islam ialah untuk memenuhi petunjuk
agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan
bahagia. Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban anggota keluarga,
Sejahtera artinya terciptanya ketenangan lahir dan batin disebabkan
terpenuhinya keperluan hidup lahir dan batin, sehingga timbulah kebahagiaan
yakni kasih sayang antar anggota keluarga. Manusia diciptakan Allah S.W.T
mempunyai naluri manusiawi yang perlu mendapat pemenuhuan. Dalam pada
itu manusia diciptakan oleh Allah S.W.T untuk mengabdikan dirinya kepada
Khaliq penciptanya dengan segala aktivitas hidupnya. Pemenuhan naluri
manusiawi yang antara lain keperluan biologis termasuk aktivitas hidup agar
manusia tujuan kejadiannya, Allah S.W.T Mengatur hidup manusia dengan
aturan perkawinan. 20
Tujuan dalam perkawinan yaitu diantaranya dapat dilihat sebagimana yang
disampaikan oleh Drs. H. Abd. Rahman Ghazaly, M.A. dalam bukunya Fiqh
Munakahat ialah : 21
1. Mendapatkan Keturunan
Bahwa naluri manusia mempunyai kecenderungan untuk
mempunyai keturunan yang sah keabsahan anak keturunan yang diakui
oleh dirinya sendiri, masyarakat, negara dan keyakinan agama islam.
Kebahagiaan dunia dan akhirat apabila mempunyai keluarga yang bahagia,
19
.Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, jilid 9 h. 41-42 20
Abdul Rahman Ghazaly, M.A, Fiqh Munakahat, (Jakarta:Kencana Prenada Media Group,
2003), hal 22 21
Abdul Rahman Ghazaly, M.A. Fiqh Munakahat, h. 23-31
20
umunya dengan adanya kehadiran anak-anak karena anak merupakan buah
hati dan belahan jiwa. Banyak hidup rumah tangga yang kandas karena
tidak dikarunia anak.
2. Penyaluran Syahwat dan Penumpukan Kasih Sayang Berdasarkan
Tanggung Jawab
Sudah menjadi kodrat Allah SWT manusia diciptakan berpasang-
pasangan dan diciptakan mempunyai keinginan untuk berhubungan antara
pria dan wanita sebagaimana firman Allah SWT pada (QS Ali Imran : 3 :
14)
Artinya : “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan
kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta
yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang
ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di
sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)”.
Disamping itu perkawinan untuk pengaturan naluri seksual
juga untuk menyalurkan cinta dan kasih sayang dikalangan pasangan
wania dan pria secara harmonis dan bertanggung jawab. Namun,
penyaluran cinta dan kasih sayang yang diluar perkawinan tidak akan
menghasilkan keharmonisasian dan tanggung jawab yang layak,
karena didasarkan atas kebebasan yang tidak terikat oleh satu norma.
3. Memelihara Diri dari Kerusakan
Ketenangan hidup dan cinta serta kasih sayang keluarga dapat
ditunjukkan melalui perkawinan. Orang yang tidak melakukan
perkawinan akan mengalami ketidak wajaran dan dapat menimbulkan
kerusakan, entah kerusakan dirinya sendiri ataupun orang lain bahkan
masyarakat,karena manusia mempunyai nafsu sedangkan nafsu itu
21
condong untuk mengajak kepada perbuatan yang tidak baik. Dorongan
nafsu yang utama ialah nafsu seksual karenanya perlulah
menyalurkannya dengan baik yakni perkawinan
4. Menimbulkan Kesungguhan Bertanggung Jawab
Hidup sehari-hari menunjukkan bahwa orang-orang yang belum
berkeluarga tindakannya sering dipengaruhi oleh emosinya sehingga
kurang dalam bertanggung jawab. Misalnya dalam menggunakan harta,
orang yang telah berkeluarga cenderung lebih hemat karena mengingat
kebutuhan keluarga dirumah dan jarang yang belum berkeluarga
memikirkan untuk kedepannya dan biasanya lebih boros.
Rasa tanggung jawab akan kebutuhan mendorong semangat untuk
mencari rezeki sebagai bekal hidup sekeluarga tidak hanya memikiran
untuknya sendiri dan tentunya jerih payah dalam mencari rezeki dapat
digolongkan sebagai ibadah.
5. Membangun Rumah Tangga dalam Rangka Membentuk Masyarakat yang
Sejahtera Berdasarkan Cinta dan Kasih Sayang
Suatu kenyataan bahwa manusia di dunia tidaklah berdiri sendiri
melainkan bermasyarakat yang terdiri dari unit-unit yang terkecil yaitu
keluarga yang terbentuk melalui perkawinan. Dalam hidup manusia
memerlukan ketenangan dan ketentraman hidupuntuk mencapai
kebahagiaan. Keluarga merupakan bagian masyarakt yang menjadi faktor
terpenting dalam penentuan ketenangan dan ketentaraman dalam
masyarakat. Ketenangan dan ketentraman keluarga tergantung dari
keberhasilan pembinaan yang harmonis antara suami istri dalam satu
rumah tangga.22
E. Hikmah Perkawinan
Pernikahan dalam Islam memiliki banyak hikmah. Oleh karena itu, Islam
menganjurkan umatnya untuk menikah dan tidak hidup melajang. Hal ini
22
Abdul Rahman Ghazaly, M.A. Fiqh Munakahat, h. 29-31
22
sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah saw, yang hidup sebagai manusia
pada umumnya, hidup menikah dan tinggal bersama orang yang dicintai.
Berikut ini beberapa hikmah pernikahan dalam Islam yang bisa diambil
pelajaran;
Dalam pernikahan terdapat hikmah yang sangat besar untuk
keberlangsungan hidup manusia diantaranya sebagai berikut : 23
1. Memenuhi Panggilan Fitrah Yang Telah Allah S.W.T Tetapkan Pada
Manusia
Allah S.W.T telah menciptakan manusia dan menanamkan naluri
seksual ke dalam dirinya yang dipusatkan pada wanita dan perasaan cinta
kepadanya. Demikian pula Allah S.W.T menjadikan hal serupa dalam
diri wanita. Islam adalah agama fitrah yang memenuhi kebutuhan itu dan
mengatur pelaksaannya. Sebagai pemenuhan terhadap hasrat terdalam
yang bersemayam dalam diri manusia inilah Islam mensyariatkan
pernikahan. Bahkan Islam menjadikan pernikahan sebagai satu-satunya
jalan untuk menyalurkan hasrat ini.
2. Membantu Umat Dalam Mendapatkan Keturunan Yang Saleh Dan Cerdas
Islam menganjurkan untuk memperbanyak keturunan yang
merupakan salah satu misi terbesarnya dalam rangka menciptakan suatu
masyarakat muslim yang berwibawa dan disegani. Pernikahan membantu
terciptanya masyarakat dengan anak yang mereka lahirkan dalam naungan
kedua orangtua yang saling menyayangi dan mengasihi, yang bisa
mengerti bagaimana membentuk kecerdasan sang anak dan bagaimana
mendidik bakatnya.
3. Menenangkan Dan Menenteramkan Jiwa
Dalam pernikahan yang syar’i dan mulia ini, akan diperoleh
ketenangan dan ketenteraman jiwa.
4. Menjaga Keberlangsungan Hidup Umat Manusia Secara Sehat
23
Musthafa al-Bugha dkk, Fikih Manhaji Jilid 1 (Yogyakarta: Darul Uswah, 2012) h. 600
23
Sudah menjadi ketentuan Allah S.W.T bahwasannya tidak ada
manusia yang lahir melainkan dari ayah ibunya (laki-laki dan
perempuan). Sebagimana yang mengetahui bahwa islam benar-benar
mengharamkan laki-laki dan perempuan hidup bersama kecuali atas dasar
pernikahan yang sah. Dengan demikian Islam sudah membatasi
pelestarian eksistensi manusia pernikahan.
5. Memperluas Lingkup Kekerabatan Dan Menciptakan Ruang Untuk Saling
Bantu24
Pernikahan itu memperluas wilayah kekerabatan. Dua keluarga
akan berjumpa, menyatukan dua keluarga menjadi utuh. Dengan sebab
hubungan pernikahan ini akan muncul garis kekerabatan baru dan saling
menyayangi. Pernikahan akan menyempurnakan tolong-menolong antara
sumai-isteri. Sang isteri menolong suaminya dalam berbagai urusannya;
sandag, pangan, papan , mendidik anak-anak. Dan menjaga rumah
suami.sang suami menolong istri dalam memenuhi kebutuhannya,
mencarikan nafkahnya, membelanya, melindunginya, dan menjaga harga
dirinya.
Islam adalah agama tolong-menolong dan gotong royong. Islam telah
mensyariatkan pernikahan untuk mewujudkan kemaslahatan ini.
6. Melindungi Diri Dari Zina25
Sesungguhnya naluri seksual merupakan naluri yang sangat kuat
yang selalu mengarhkan manusia untuk berusaha mencari sarana untuk
menyalurkannya. Jika tidak terpenuhi dia akan dihinggapi rasa gelisah
yang berkelanjutan bahkan bisa terjerumus pada hal-hal yang tidak baik.
Pernikahan merupakan sarana terbaik untuk menyalurkan naluri seksual
manusia. Pernikahan dapat menjauhkan manusia dari rasa gelisah, dapat
menjaga pandangan mata dari sesuatu yang dilarang, dan beralih pada
sesuatu yang dihalalkan Allah S.W.T.
24
Musthafa al-Bugha dkk, Fikih Manhaji Jilid 1 , h. 601. 25
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah Jilid 3, (Jakarta:Cakrawala Publishing, 2011) h. 205
24
F. Rukun dan Syarat Perkawinan
1. Pengertian Rukun,dan Syarat.26
“Rukun yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan
tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam
rangkaian pekerjaan itu, seperti membasuh muka untuk wudhu dan
takbiratul ihram untuk shalat”. Atau adanya calon pengantin laki-laki /
perempuan dalam perkawinan.
“Syarat yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukann sah dan
tidaknya suatu pekerjaan (ibadah) tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam
rangkaian pekerjaan, seperti menutup aurat untuk shalat”. Atau menurut
Islam calon laki-laki/perempuan harus beragama Islam.
2. Rukun Perkawinan
Jumhur Ulama sepakat bahwa rukun perkawinan itu ada lima (5)
terdiri atas:27
1. Adanya calon suami yang akan melakukan perkawinan
2. Adanya calon istri yang akan melakukan perkawinan
3. Adanya wali dari pihak pengantin wanita.
Akad nikahan tidaksah kecuali dengan kehadiran seorang wali.
4. Adanya dua orang saksi
Pelaksanaan akad nikah akan sah apabila dua orang saksi yang
menyaksikan akad nikah tersebut.
5. Ijab dan kabul
Ijab dan kabul yang diucapkan oleh wali atau wakilnya dari pihak
wanita, dan dijawab oleh calon pengantin laki-laki.
Ijab menurut jumhur ulama adalah adalah perkataan yang keluar dari
wali mempelai wanita sengkan qabul adalah perkataan yang
menunjukkan akan keridhaan untuk menikah yang diucapkan oleh
mempelai pria
26
Abdul Rahman Ghazaly, M.A. Fiqh Munakahat, h. 45-46. 27
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, jilid 9 h. 55-83
25
3. Syarat Perkawinan28
1) Calon suami, syarat-syaratnya :
a. Beraga islam
b. Laki-laki
c. Jelas orangnya
d. Dapat memberikan persetujuan
e. Tidak terdapat halangan perkawinan
2) Calon istri, syarat-syaratnya:
a. Beragama Islam
b. Perempuan
c. Jelas orangnya
d. Dapat dimintai persetujuan
e. Tidak terdapat halangan perkawinan
3) Wali nikah, syarat-syaratnya:
a. Laki-laki
b. Dewasa
c. Mempunyai hak perwalian
d. Tidak terdapat halangan perwalian
4) Saksi nikah, syarat-syaratnya:
a. Minimal dua orang laki-laki
b. Hadir dalam ijab qabul
c. Dapat mengerti maksud akad
d. Islam
e. Dewasa
5) Ijab Qabul, syarat-syaratnya:
a. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali mempelai wanita
b. Adanya pernyataan menerima dari calon mempelai laki-laki
c. Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kedua kata
tersebut
28
Mardani, Hukum Perkawinan Islam Di Dunia Islam Modern, (Jakarta:Graha Ilmu 2010)
h. 10
26
d. Antara ijab dan qabul bersambungan
e. Orang yang terkait ijab dan qabul tidak sedang ihram haji atau
umrah
f. Majelis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimal empat orang yaitu
calon mempelai atau wakilnya,wali dari mempelai wanita, dan dua
orang saksi.
G. Batas Usia Minimal Perkawinan
Dalam cara pandang hukum fiqih tidak dibahas secara langsung
pembatasan umur seseorang boleh melakukan perkawinan. Namun para ulama
menentukan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi baik calon mempelai
laki-laki dan calon mempelai perempuan untuk melaksanakan pernikahan
sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Wahbah Zuhaili dalam kitabnya Fiqih
Islam Wa Adillatuhu yaitu :
1. Adapun syarat-syarat kedua belah pihak mengenai menikahkan anak kecil
menurut empat mazhab ialah sebagai berikut :29
a) Para ulama Hanafiah untuk melaksanakan akad nikah tidak disyaratkan
orang baligh, karena itu merupakan syarat nafaadz (pelaksanaan).
b) Para ulama Syafi’iah membolehkan seorang wali; ayah atau kakek untuk
menikahkan anak kecil yang sudah tamyiz (dapat membedakan),
sekalipun dengan lebih dari satu perempuan, jika itu dipandang
maslahat. Karena menikahkan anak kecil tersebut berdasarkan
kemaslahatan, terkadang memang hal itu dibutuhkan.
c) Para ulama Hanabilah juga membolehkan khususnya seorang ayah
untuk menikahkan putranya yang masih kecil : Al-Atsram meriwayatkan
bahwasannya ibnu umar menikahkan putranya ketika masih kecil.
Lantas orang-orang meminta keputusan hukum kepada zaid. Kemudian
mereka membolehkan hal itu bagi semua orang.
29
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, jilid 9 h. 55
27
d) Para ulama Malikiah juga membolehkan seorang ayah, orang yang
diberi wasiat dan hakim untuk menikahkan orang gila dan anak kecil
demi kemaslahatan seperti khawatir terjerumus kedalam perzinaan atau
bahaya.
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 7
ayat 1 menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah
mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai
umur 16 (enam belas) tahun30
.
3. Kompilasi Hukum Islam
Setelah dikemukakan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 kemudian dipertegas kembali dalam pasal 15 ayat 1 KHI (kompilasi
hukum islam) Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga,
perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai
umur yang ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No.1 tahun 1974
yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri
sekurangkurangnya berumur 16 tahun31
H. Asas dan Prinsip Perkawinan
Adapun asas-asas dan prinsip-prinsip yang dianut oleh UU
perkawinan adalah sebagaimana yang terdapat dalam penjelasan umum UU
perkawinan itu sendiri,sebagai berikut: 32
1. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar
masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan
mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil.
30
Undang-undang No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan 31
http://e-dokumen.kemenag.go.id/files/tdTAsFc51315881487.pdf diakses pada tanggal 2
November 2017 pukul 22:43 WIB 32
Mardani, Hukum Perkawinan Islam Di Dunia Islam Modern, cetakan pertama, h.6
28
2. Dalam undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah
sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaan itu; dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat
menurut perundang-undangan yang berlaku.
Pencatatan tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan
peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang misalnya
kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu
akta yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.
3. Undang-undang ini menganut asas monogami. Hanya apabila
dikehendaki oleh yang bersangkutan karena hukum agama dari yang
bersangkutan mengizinkannya, seorang suami dapat beristri lebih dari
seorang. Namun demikian, perkawinan suami lebih dari seorang istri,
meskipun hal itu dihendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya
dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan
diputuskan oleh pengadilan.
4. Undang-undang ini menganut prinsip, bahwa suami istri harus telah
masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar
supaya diwujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada
perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus
dicegah adanya perkawinan antara calon suami istri yang masih dibawah
umur.
Disamping itu, perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah
kependudukan. Ternyata bahwa batas umur yang lebih rendah bagi
seorang wanita untuk kawin mengakibatkan laju kelahiran yang lebih
tinggi jika dibandingkan dengan batas umur yang lebih tinggi.
Berhubungan dengan itu, maka undang-undang ini menentukan nahwa
untuk kawin baik bagi pria 19 tahun dan wanita ialah 16 tahun.
5. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang
bahagia, kekal dan sejahtera,maka undang-undang ini menganut prinsip
untuk mempersukar terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan
29
perceraian harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan
didepan sidang pengadilan.
6. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kewajiban
suami baik dalam kehidupanrumah tangga maupun dalam pergaulan
masyarakat, sehinggadengan demikian segala sesuatu dalam keluarga
dapat dirundingkan dan diputuskan bersama suami-istri.
Asas dan prinsip perkawinan dalam bahasa sederhana adalah sebagai
berikut:33
1) Asas sukarela
2) Partisipasi keluarga
3) Perceraian dipersulit
4) Poligami dibatasi secara ketat
5) Kematangan calon mempelai
6) Memperbaiki derajat kaum wanita
Jika disederhanakan, asas perkawinan itu menurut Undang-undang No.
1/1974 ada enam. yaitu sebagai berikut:34
1) Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia
dan kekal.
2) Sahnya perkawinan sangat tergantung pada ketentuan hukum agama
dan kepercayaan masing-masing.
3) Asas monogami.
4) Calon suami dan istri harus telah dewasa jiwa dan raganya.
5) Mempersulit terjadinya perceraian.
6) Hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang.
33 Mardani, Hukum Perkawinan Islam Di Dunia Islam Modern,cetakan pertama, h.8 34
Mardani, Hukum Perkawinan Islam Di Dunia Islam Modern, cetakan pertama, h.8
31
BAB III
KONDISI DESA CIPAEH SERDANG KECAMATAN GUNUNG KALER
A. Keadaan Geografis Desa Cipaeh Serdang
Desa Cipaeh Serdang dengan karakteristik desa yang masih terplosok
dan jauh dari perkotaan, dimana desa ini merupakan desa dibawah pemerintah
Kabupaten Tangerang.
Letak Geografis Desa Cipaeh Serdang dengan Lintang: -6°5'41" LS dan
Bujur: 106°21'56" BT dengan jumlah penduduk Desa Cipaeh Serdang adalah
5017 jiwa yang terdiri dari 2517 laki-laki dan 2500 perempuan
Dan secara administrative batas-batas wilayah Desa Cipaeh Serdang
sebagai berikut:1
a. Sebelah utara berbatasan dengan Desa Kedaung
b. Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Kandawati
c. Sebelah timur berbatasan dengan Desa Ranca Gede
d. Sebelah barat berbatasan dengan Desa Onyam
Potensi Sumber Daya Manusia
Tabel 1
Jumlah Penduduk Desa Cipaeh Serdang
Jumlah Laki-laki 2517 orang
Jumlah Perempuan 2500 orang
Jumlah Total 5017 orang
Jumlah Kepala Keluarga 1402 KK
Kepadatan Penduduk 47 per km
Sumber Data dari Kantor Kepala Desa Cipaeh Serdang Kecamatan
Gunung Kaler, 2016.
1 Sumber Data dari Kantor Kepala Desa Cipaeh Serdang Kecamatan Gunung Kaler,
2016.
32
Tabel 2
Usia Penduduk Desa Cipaeh Serdang
Usia Laki-laki Perempuan
0-12 bulan 30 orang 42 orang
1-5 tahun 262 276
6-10 218 213
11-15 221 209
16-20 198 218
21-25 205 210
26-30 183 178
31-35 120 127
36-40 107 101
41-45 125 130
46-50 147 129
51-55 151 144
56-60 158 140
61-65 128 124
65-70 136 129
70-75 106 115
75-ke atas 22 15
Jumlah 2.517 2.500
Sumber Data dari Kantor Kepala Desa Cipaeh Serdang
Kecamatan Gunung Kaler, 2016.
33
Tabel 3
Tingkatan Pendidikan Penduduk Desa Cipaeh Serdang
No Tingkatan Pendidikan Laki-laki Perempuan
1 Usia 3-6 tahun yang belum masuk TK 150 150
2 Usia 3-6 tahun yang sedang TK/Play group 97 97
3 Usia 7-18 tahun yang tidak pernah sekolah 512 517
4 Usia 7-18 yang sedang sekolah 425 450
5 Usia 18-56 tahun yang tidak pernah
sekolah
150 152
6 Usia 18-56 tahun pernah SD tetapi tidak
tamat
215 173
7 Tamat SD/sederajat 250 249
8 Jumlah usia 12-56 tahun tidak tamat SLTP 175 174
9 Jumlah usia 18-56 tahun tidak tamat SLTA 60 58
10 Tamat SMP/sederajat 300 291
11 Tamat SMA/sederajat 182 180
12 Tamat D-1/sederajat
13 Tamat D-2/sederajat
14 Tamat D-3/sederajat
15 Tamat S-1/sederajat 3 4
16 Tamat S-2/sederajat
17 Tamat S-3/sederajat
18 Tamat SLB A
19 Tamat SLB B
20 Tamat SLB C
Jumlah 2523 2495
Jumlah Total 5017 orang
Sumber Data dari Kantor Kepala Desa Cipaeh Serdang
Kecamatan Gunung Kaler, 2016.
34
Tabel 4
Mata Pencaharian Penduduk Desa Cipaeh Serdang
Jenis Pekerjaan Laki-laki Perempuan
Petani 874 874
Buruh tani 50 47
Buruh Migran
Pegawai Negeri Sipil 2 1
Pengrajin Industri Rumah Tangga
Pedagang keliling 60 60
Peternak 5
Nelayan
Montir 3
Dokter swasta 1
Bidan swasta
Perawat swasta
Pembantu rumah tangga
TNI 2
POLRI 1
Pensiunan PNS/TNI/POLRI
Pengusaha kecil dan menengah
Pengacara
Notaris
Dukun
Jasa pengobatan alternatif
Dosen swasta
Pengusaha besar
Arsitektur
Seniman/artis
Karyawan perusahaan swasta
Karyawan pengusaha pemerintah
Jumlah 997 983
Jumlah Total 1.980 Oraang
Sumber Data dari Kantor Kepala Desa Cipaeh Serdang
Kecamatan Gunung Kaler, 2016.
35
Tabel 5
Jumlah Penduduk Penganut Agama Desa Cipaeh
Serdang
Agama Laki-laki Perempuan
Islam 2.517 2.500
Kristen
Katholik
Hindu
Budha
Khonghucu
Jumlah 5.017 orang
Sumber Data dari Kantor Kepala Desa Cipaeh Serdang
Kecamatan Gunung Kaler, 2016.
B. Keadaan Demografis
Masyarakat Desa Cipaeh Serdang sebagaian besar mata pencariannya
adalah bertani dengan penghasilannya ialah padi, selain itu sebagaian
masyarakatnya anatara lain ialah pegawai negeri sipil, peternak, pedagang,
dan buruh. Walaupun demikian masyarakat Desa Cipaeh Serdang memiliki
jiwa kekeluargaan yang sangat erat sehingga dalam kegiatan-kegiatan sangat
berdampak positif tehadap kebersamaannya.
Adapun fasilitas dan tingkat pendidikan masyarakat Desa Cipaeh
Serdang dapat dilihat dari table berikut ini :
Tabel 6
Fasilitas Pendidikan Desa Cipaeh Serdang
No Fasilitas Pendidikan Jumlah Fasilitas
1 TK 2
2 SD 1
3 SMK 1
4 PESANTREN 1
36
Sumber Data dari Kantor Kepala Desa Cipaeh Serdang Kecamatan
Gunung Kaler, 2016.
Meskipun sarana dan prasana pendidikan di Desa Cipaeh Serdang
sudah mulai mengalami perkembangan dan kemajuan pada dasarnya tidak
menjamin terwujudnya cita-cita pendidikan yaitu agar para masyarakarat
dikalangan daerah perdalaman seperti desa cipaeh serdang tidak buta terhadap
pendidikan. Namun masih banyak diantara masyarakat desa cipaeh serdang
yang merasa sulit dalam menyekolahkan anaknya, karena mahalnya biaya
pendidikan dan rendahnya tingkat kesadaran masyarakat terhadap pendidikan.
C. Kondisi Sosial dan Adat
Bila dilihat dari segi sosial dan budaya, bahwa masyarakat Desa
Cipaeh Serdang Kecamatan Gunung Kaler ini adalah masyarakat yang
menganut sistem sosial dengan menggunakan adat istiadat yang sudah
menjadi sendi kehidupan dalam masyarakat, dan memegang tradisi adat
istiadat seperti kawin gantung pada anak-anak usia dini ialah salah satu contoh
adat yang masih berlangsung belum hilang dan masih sangat dipertahankan
sampai sekarang.
Peran adat istiadat dalam masyarakat ialah disebabkan karena turun
temurun dari nenek moyang mereka yang berpesan agar kawin gantung ini
harus terus dijalankan dan tidak boleh dihilangkan oleh karena itulah adat ini
bisa bertahan hingga sekarang walaupun banyak pertentangan karena kawin
gantung ini tentunya menyalahi syariat Islam dan hukum yang berlaku di
Indonesia tetapi masyarakat Desa Cipaeh Serdang tetap kokoh ingin
mempertahankan dan menjaga adat istiadat mereka. 2
Kaitannya dalam kawin gantung masyarakat Desa Cipaeh Serdang
untuk melakukan kawin gantung adapun beberapa ketentuannya yaitu
dilakukan pada waktu ketika terjadinya panen padi. Dan adapun bulan yang
2 Ibu Siti Azani, (Masyarakat Desa Cipaeh Serdang), wawancara tanggal 11 November
2017
37
tidak boleh untuk melakukan kawin gantung yaitu bulan safar dan bulan
puasa.3
Adapun pemuka tokoh atau masyarakat biasa menyebutnya ialah wali
dalam kawin gantung ini yaitu ada 2 orang, tetapi mereka sudah meninggal
dunia dan mereka hanya berpesan kepada masyarakat desa Cipaeh Serdang
agar meneruskan kebiasaan ini sampai cucu serta cicit dan penerus masyarakat
yang ada di Desa Cipaeh Serdang ini dan tidak boleh sampai dihilangkan.
Oleh karena itu apapun yang menentang atau berbeda pemikiran dengan
masyarakat ataupun para tokoh tidak akan didengar dan diperdulikan oleh
masyarakat desa Cipaeh Serdang. Karena masyarakat sangat menghormati
para wali dan mereka juga takut apabila tidak meneruskan kawin gantung
tersebut.4
Belum lagi dahulu apabila ada anak kecil yang tidak melakukan kawin
gantung di desa Cipaeh Serdang akan terlihat berbeda atau tidak biasa dan
akan dikucilkan di masyarakat, mereka menyebutnya ‘tidak sah anak kecil
disini jika tidak melakukan kawin gantung’ karena disana semestinya anak-
anak harus melakukan kawin gantung sesuai adat mereka.5
Selain itu secara sosial masyarakat desa Cipaeh Serdang mempunyai
jiwa kebersamaan dan kekeluargaan yang sangat erat dalam kehidupan sehari-
hari, masyarakat didesa ini juga dikenal ramah dan santun dalam bersikap.
Mungkin hal ini disebabkan juga oleh budaya mereka yang menjunjung tinggi
persaudaraan dan silahturahmi terhadap sesama. Para masyarakat desa
Serdang biasanya menjodohkan dan menikahkan anak mereka dengan sesama
masyarakat desa serdang yaitu bisa kerabat atau tengga yang sama sama
berasal dari desa Serdang. Karena kawin gantung ini memang ada di Desa
Cipaeh Serdang.
3 Bapak Nining Gian Hayrani, (Sesepuh Masyarakat Desa Cipaeh Serdang), wawancara
tanggal 25 September 2017 4 Bapak Arkani, (Sesepuh Masyarakat Desa Cipaeh Serdang), wawancara tanggal 11
November 2017 5 Ibu Siti, (Masyarakat Desa Cipaeh Serdang), wawancara tanggal 11 November 2017
38
D. Praktik Kawin Gantung Di Desa Cipaeh Serdang
Kawin gantung ialah anak laki-laki yang masih kecil dan anak
perempuan yang masih kecil lalu dijodohkan dan setelah itu di nikahkan
walaupun umur mereka masih kecil mulai dari umur 6 sampai dengan 12
tahun. Mereka di nikahkan sesuai syariat islam yaitu dengan terpenuhinya
syarat dan rukun menikah kemudian ada juga maharnya biasanya berupa
emas, uang dan seperangkat alat solat.6
Hanya saja pernikahannya tidak dicatat oleh Kantor Urusan Agama
(KUA) karena umur mereka yang masih terlalu kecil, bahwasannya telah
diatur pada Undang Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 perkawinan baru
diizinkan jika usia wanita 16 tahun dan laki-laki 19 tahun.
Pernikahan ini terjadi seperti resepsi pernikahan pada umumnya hanya
saja yang membedakan calon pengantinya ialah anak kecil. Biasanya resepsi
pernikahan mereka dilakukan secara meriah dan besar-besaran. Pada saat
seusai menikah biasanya pengantin diarak keliling kampung dengan
menggunakan kuda agar masyarakat setempat tahu bahwa anak ini sudah
melakukan kawin gantung. Lalu biasanya juga mereka memberikan hiburan
untuk para tamu yang datang seperti lenong, wayang golek, dangdut dan
lainnya. Agar resepsi penikahannya ramai oleh para tamu yang datang.7
Adapun kebiasaan dan adat di desa Cipaeh Serdang yaitu untuk pesta
pernikahannya para tamu yang hadir tidak boleh memberikan uang tetapi
mereka memberikan padi atau beras istilahnya sebagai simbol untuk
menabung dalam rumah tangga. 8
Setelah menikah pengantin tersebut tidak hidup bersama, tetapi mereka
tinggal dirumah orang tua mereka masing-masing selain itu kehidupan mereka
juga ditangguhkan oleh orang tua mereka masing-masing. Namun setelah
6 Ibu Rawi, (Masyarakat Desa Cipaeh Serdang), wawancara tanggal 1 Agustus 2017
7 Bapak Arkani, (Sesepuh Masyarakat Desa Cipaeh Serdang), wawancara tanggal 11
November 2017 8 Ibu Siti Azani, (Masyarakat Desa Cipaeh Serdang), wawancara tanggal 11 November
2017
39
cukup umur dan sudah baligh barulah mereka menikah lagi dan mencatatkan
pernikahannya di KUA. Hanya saja di desa Serdang ini mempunyai kebiasaan
bahwa pernikahan ini tidak diadakan resepsi kembali karena sebelumnya
mereka sudah mengadakan resepsi pada kawin gantung.9
Jadi ketika kawin gantung resepsi pernikannya diadakan secara meriah
dan besar-besaran namun ketika menikah kembali ketika cukup umur dan
sudah baligh tidak diadakan resepsi kembali.
9 Ibu Siti Azani , (Masyarakat Desa Cipaeh Serdang), wawancara tanggal 11 November
2017
40
BAB IV
PRAKTIK KAWIN GANTUNG TERHADAP ANAK-ANAK DI DESA
CIPAEH SERDANG
A. Identifikasi Kawin Gantung
1. Pengertian Kawin Gantung
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Kawin Gantung adalah
Perkawinan yang sudah sah, tetapi suami dan istri belum boleh serumah
(masih tinggal di rumah masing-masing); Perkawinan yang belum
diresmikan penuh (pengesahannya ditunda setelah dewasa).1
Dalam praktik perkawinan anak, kawin gantung adalah perjodohan
yang diikat dengan perkawinan (ijab kabul). Kawin gantung artinya
perkawinan itu sah, tapi tidak bisa langsung hidup bersama, menunggu
pengantin perempuan akil balig atau tamat sekolah.2
Nikah gatung atau kawin gantung adalah salah satu istilah dalam
pernikahan yang merujuk pada pernikahan yang dilakukan oleh seorang
pria dengan seorang wanita dan setelah pernikahan tersebut pasangan tidak
tinggal disatu rumah. Nikah gantung biasanya dilakukan ketika pasangan
tersebut masih remaja atau anak-anak dan belum mengerti betul kehidupan
berumah tangga.3
B. Gambaran Pelaksanaan Kawin Gantung di Desa Cipaeh Serdang
Kawin gantung merupakan hal yang sudah biasa ditemui di Desa
Cipaeh Serdang Kecamatan Gunung Kaler. Dalam menyelesaikan skripsi ini,
penulis berhasil mewancarai beberapa orang masyarakat Desa Cipaeh
Serdang. Berikut pemaparannya:
1 http://kbbi.kata.web.id/kawin-gantung/ diakses pada tanggal 9 januari 2018 pada pukul
22:39 WIB 2 https://rumahkitab.com/kawin-gantung/ diakses pada tanggal 15 februari 2018 pada
pukul 23:22 WIB 3 https://dalamislam.com/hukum-islam/pernikahan/nikah-gantung-menurut-islam diakses
pada tanggal 18 januari 2018 pada pukul 00:02 WIB
41
Hasil wawancara dengan bapak Arkani yang merupakan sesepuh Desa
Cipaeh Serdang, kawin gantung ini dilakukan dari usia 6 sampai dengan 12
tahun. perkawinan ini dilakukan sesuai syariat Islam namun tidak dicatatkan
di KUA karena usia mereka yang masih dibawah umur. Kawin gantung yang
terdiri dari pengantin laki-laki dan pengantin perempuan, saksi, wali,
penghulu, serta mahar. Biasanya mahar untuk kawin gantung ialah cincin,
uang dan seperangkat alat solat. Setelah itu dilakukan ijab dan kabul seperti
akad perkawinan pada umumnya. Pelaksanaannya sama seperti walimatul ursy
pada umumnya hanya saja yang berbeda pengantinnya masih anak kecil. 4
Menurut ibu Siti namun setelah perkawinan gantung ini mereka tidak
tinggal bersama hingga baligh atau sesuai kesepakatan mempelai dan
kemudian setelah itu dia kembali mencatatkan perkawinan mereka di KUA
namun tidak dilakukan pesta lagi karena sudah dilakukan kawin gantung
kalaupun ada yang ingin melakukan pesta itu hanya kecil-kecilan dan tidak
semeriah kawin gantung.5
Dalam praktik kawin gantung ini kedua calon pengantin ini tentunya
masih sama-sama kecil kemudian mereka dijodohkan oleh orang tua mereka
masing-masing hingga kemudian mereka dikawinkan. Orang tua calon
mempelai mencarikan jodoh untuk anaknya yang sama-sama dari masyarakat
Desa Serdang dan dalam memilih jodoh untuk anaknya biasanya mereka tidak
ada kriteria khusus.6
Untuk melakukan tradisi tersebut pun banyak persyaratannya yang
pertama untuk melaksankan kawin gantung ada waktu tertentu yaitu ketika
sedang terjadinya panen padi, lalu adapun bulan yang tidak boleh untuk
melakukan kawin gantung yaitu bulan safar dan bulan puasa.7 Kedua, setelah
4 Bapak Arkani, (Sesepuh Masyarakat Desa Cipaeh Serdang), wawancara tanggal 11
November 2017 5 Ibu Siti Azani, (Masyarakat Desa Cipaeh Serdang), wawancara tanggal 11 November
2017 6 Ibu Siska, (Masyarakat Desa Cipaeh Serdang), wawancara tanggal 25 September 2017
7 Bapak Nining Gian Hayrani (Sesepuh Masyarakat Desa Cipaeh Serdang, wawancara
tanggal 11 November 2017
42
akad mempelai laki-laki dan perempuan menaiki kuda dan akan di arak
keliling kampung agar masyarakat tahu bahwasannya mereka adalah
pengantin baru. Kemudian ketiga mereka berziarah ke makam nenek
moyang atau yang mereka sebut wali atau pemuka tokoh terdahulu disana lalu
memberikan sesajen berupa ayam kampung dan nasi kuning. Apabila tidak
berziarah atau ada kesalahan dalam menyiapkan sesajen pengantin akan sakit.
Menurut masyarakat disana memang ini terbukti dan sudah sering kali terjadi.8
Lalu keempat, untuk pesta pernikahannya para tamu yang hadir biasanya
tidak memberikan uang tetapi mereka memberikan padi atau beras istilahnya
masyarakat setempat mengartikannya sebagai simbol untuk menabung dalam
rumah tangga.9
Pesta pernikahan dalam kawin gantung selalu diadakan dengan
meriah yaitu dengan memberikan hiburan untuk para tamu yang datang seperti
lenong, wayang golek, dangdut dan lainnya kawin gantung ini dilakukan
semeriah mungkin agar masyarakat setempat terhibur.10
Kemudian setelah
menikah mereka juga melakukan tradisi yaitu siraman yang dilakukakan
kepada mempelai laki-laki dan mempelai perempuan tidak ada filosofinya
tetapi ini memang sudah menjadi kebiasaan didalam tradisi mereka.11
C. Faktor-Faktor Terjadinya Kawin Gantung Terhadap Anak-Anak
Berdasarkan fakta dari pelaksanaan tradisi kawin gantung di Desa Serdang
dapat diketahui beberapa faktor penyebab terjadinya kawin gantung, sebagai
berikut:
1. Faktor Adat Istiadat
Hasil wawancara dengan masyarakat di Desa Cipaeh Serdang
bahwasannya yang melakukan kawin gantung itu faktor yang paling mendasar
8 Bapak Arkani, (Sesepuh Masyarakat Desa Cipaeh Serdang), wawancara tanggal 11
November 2017 9 Ibu Siti Azani, (Masyarakat Desa Cipaeh Serdang, wawancara tanggal 11 november
2017 10
Ibu rawi , (Masyarakat Desa Cipaeh Serdang, wawancara tanggal 11 november 2017 11
Dina (Pelaku Kawin Gantung Masyarakat Desa Cipaeh Serdang, wawancara tanggal 28
Maret 2018
43
ialah tradisi adat istiadat Desa tersebut yang sudah terjadi sejak lama dan
menjadi turun-temurun dari nenek moyang yang harus di teruskan kepada
anak, cucu serta cicit mereka.
Walaupun masyarakat setempat menyadari bahwa kawin gantung
menyalahi syariat agama Islam dan tentunya sudah banyak sekali yang
menentang tetapi mereka sangat mempertahankan tradisi kawin gantung
hingga kini dan siapa pun yang memberi nasehat tidak akan diperdulikan oleh
masyarakat disana.
Asal muasal kawin gantung ini ialah sudah terjadi sejak lama
kemudian nenek moyang yang meninggal dahulu itu selalu berpesan
bahwasannya jangan sampai menghilangkan adat istiadat kawin gantung ini
jika mau hidupmu selamat dan sejak itu para masyarakat selalu takut apabila
tidak melakukan kawin gantung. Oleh karena itu semua anak kecil masyarakat
Desa Cipaeh Serdang dari usia 6 sampai dengan 12 tahun sudah pasti akan
melakukan tradisi tersebut. Masyarakat desa masih begitu percaya dengan
ucapan nenek moyang dan tidak ingin melanggar, padahal zaman dahulu
dengan zaman sekarang tentunya sudah berbeda. Dan masyarakat desa Cipaeh
Serdang juga sudah terdokrin bahwa tradisi dari para leluhur merupakan hal
yang sangat baik dan benar jika dilaksanakan dan akan terjadi sesuatu yang
buruk apabila tidak dilakukan. Praktik kawin gantung terhadap anak-anak ini
apabila dipersentase kan pada saat ini yang melakukan kawin gantung 85%
persen untuk desa Cipaeh Serdang dan untuk desa diluar Cipaeh Serdang
namun kecamatan masih dalam Gunung Kaler masih ada tetapi tidak
sebanyak di Cipaeh Serdang.
2. Faktor Sosial
Secara sosial masyarakat Desa Cipaeh Serdang mempunyai jiwa
kebersamaan dan kekeluargaan yang sangat erat dalam kehidupan sehari-hari,
masyarakat di desa ini juga dikenal ramah dan santun dalam bersikap.
mungkin ini disebabkan juga oleh budaya mereka yang menjunjung tinggi
persaudaraan dan silahturahmi terhadap sesama. Dan ini salah satu alasan
44
mengapa masyarakat desa Serdang akan mengkawinkan anaknya dengan
tetangga ataupun kerabatnya sesama di desa Cipaeh Serdang agar tali
persaudaraannya tetap terjaga dan terjalinnya kekeluargaan.
3. Pelaku Kawin Gantung Di Lingkungan Masyarakat Dan Sekolah
Praktik kawin gantung dalam masyarakat Desa Cipaeh Serdang sudah
menjadi hal yang biasa, bagi masyarakat desa Cipaeh Serdang kawin
gantung sudah bukan hal yang asing lagi. Mereka sangat paham dan
menyadari bahwa kawin gantung ialah tradisi yang ada sejak dahulu dan
turun-temurun dari nenek moyang. Awalnya tradisi kawin gantung ini tidak
hanya ada di Desa Cipaeh Serdang tetapi di setiap desa Kecamatan Gunung
Kaler melakukan kawin gantung tetapi seiring berkembangnya zaman di desa
lain sudah mulai menghilang tradisi kawin gantung ini, namun desa Cipaeh
Serdang masih mempertahankannya hingga sekarang. Menurut Dina yang
sekarang bersekolah kelas 2 SMA “kalau disekolah dan main sama teman-
teman seperti biasa aja, guru-guru juga biasa aja mereka paham dan
menghormati akan tradisi kok”12
. Untuk pelaku kawin gantung dalam
masyarakat desa Cipaeh Serdang seperti anak-anak pada umumnya mereka
tetap belajar dan bermain seperti biasa,tidak sama sekali dikucilkan karena
masyarakat setempat sadar dan paham sekali akan tradisi kawin gantung.
D. Pandangan Masyarakat Terhadap Kawin Gantung
Menurut bapak Arkani “ya kalau ditanya setuju atau tidak, saya
sebenernya tidak setuju dengan adanya kawin gantung ini soalnya dalam
agama Islam kan tidak ada cuman mau gimana lagi kan sudah tradisi disini
yang harus diturunin ke anak cucu kita.”13
Menurut ibu Rawi “ibu tidak begitu setuju tapi kalau orang tua dulu
mungkin setuju aja sama kawin gantung. soalnya menurut ibu udah enggak
12 Dina (Pelaku Kawin Gantung Masyarakat Desa Cipaeh Serdang, wawancara tanggal 28
Maret 2018 13
Bapak Arkani, (Sesepuh Masyarakat Desa Cipaeh Serdang), wawancara tanggal 11
November 2017
45
sesuai dengan kondisi sekarang, kalau dulu sih ibu juga sama suami ibu
melakukan kawin gantung ”14
Menurut ibu Siti “sebenarnya kan memang tidak ada kawin gantung di
dalam islam tetapi mau gimana lagi ini sudah tradisi sejak dulu sudah lama
banget dari nenek moyang, saya juga takut kalau melanggar lagi pula buat
kebaikan anaknya juga supaya tidak kenapa kenapa”15
Menurut bapak Nining“disini dari zaman dahulu anak kecil emang
harus kawin gantung apabila tidak melakukan tradisi kawin gantung akan
berbahaya, makanya kalau saya anak-anak saya semua juga saya kawinkan
gantung dari kecil”16
Menurut ibu Siska “saya mah setuju setuju aja sih kan memang di desa
Serdang dari sejak dahulu juga sudah ada tradisi kawin gantung dan sampai
sekaranmg pun masih ada dan belum hilang, masyarakat desa cipaeh serdang
mempertahankan sekali tradisi ini.”17
Menurut ibu Lurah “Disini ada kawin gantung memang sebenarnya
tidak boleh tetapi masyarakat disini sangat mempertahankan sekali mau siapa
pun yang menentang ataupun memberi nasehat percuma tidak akan didengar
udah sering ada kyai ataupun ustad yang memberi nasehat tapi percuma”18
Meskipun rata-rata dari mereka sebenarnya tidak setuju dengan adanya
kawin gantung terhadap anak-anak namun keadaan adat istiadat yang
mengharuskan kepada mereka untuk melakukan tradisi tersebut dan
masyarakat juga akan takut apabila menghilangkannya oleh karena itu mereka
terlihat sangat mempertahankan dan meneruskannya ke anak, cucu serta cicit
mereka.
E. Analisis Hukum Islam
14 Ibu rawi , (Masyarakat Desa Cipaeh Serdang, wawancara tanggal 11 november 2017 15 Ibu Siti Azani, (Masyarakat Desa Cipaeh Serdang, wawancara tanggal 11 november
2017 16 Bapak Nining Gian Hayrani (Sesepuh Masyarakat Desa Cipaeh Serdang, wawancara
tanggal 11 November 2017 17 Ibu Siska, (Masyarakat Desa Cipaeh Serdang), wawancara tanggal 25 September 2017
18 Ibu Lurah Desa Cipaeh Serdang, wawancara tanggal 11 November 2017
46
Dalam cara pandang hukum fiqih tidak dibahas secara langsung
pembatasan umur seseorang boleh melakukan perkawinan. Namun para ulama
menentukan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi baik calon mempelai
laki-laki dan calon mempelai perempuan untuk melaksanakan pernikahan
sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Wahbah Zuhaili dalam kitabnya Fiqih
Islam Wa Adillatuhu yaitu :
1. Adapun syarat-syarat kedua belah pihak mengenai menikahkan anak kecil
menurut empat mazhab ialah sebagai berikut :19
a) Para ulama Hanafiah untuk melaksanakan akad nikah tidak disyaratkan
orang baligh, karena itu merupakan syarat nafaadz (pelaksanaan).
b) Para ulama Syafi’iah membolehkan seorang wali; ayah atau kakek untuk
menikahkan anak kecil yang sudah tamyiz (dapat membedakan),
sekalipun dengan lebih dari satu perempuan, jika itu dipandang
maslahat. Karena menikahkan anak kecil tersebut berdasarkan
kemaslahatan, terkadang memang hal itu dibutuhkan.
c) Para ulama Hanabilah juga membolehkan khususnya seorang ayah
untuk menikahkan putranya yang masih kecil : Al-Atsram meriwayatkan
bahwasannya ibnu umar menikahkan putranya ketika masih kecil.
Lantas orang-orang meminta keputusan hukum kepada zaid. Kemudian
mereka membolehkan hal itu bagi semua orang.
d) Para ulama Malikiah juga membolehkan seorang ayah, orang yang
diberi wasiat dan hakim untuk menikahkan orang gila dan anak kecil
demi kemaslahatan seperti khawatir terjerumus kedalam perzinaan atau
bahaya.
Nabi Muhammad S.A.W menikahkan Aisyah pada saat Aisyah
berumur 6 Tahun. Berikut ialah haditsnya
جن ي النبي صلى هللا عليه وسلم وأنا بنت ست سنين، وبنى بي وأنا بنت تزو
تسع سنين
19
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, jilid 9 h. 55
47
Artinya “Dari Aisyah r.a. bahwa Rasulullah SAW. Menikahinya di
dikala ia dalam usia enam tahun , dan ia di serahkan kepada Rasul ketika
berusia sembilan tahun, dan ia tinggan bersama Rasul selama sembilan
tahun.
Dalam perwalian pernikahan hukum Islam ada yang disebut dengan
Wali mujbir . Wali mujbir ialah Wali yang bisa atau boleh memaksa anak
gadisnya dibawah perwaliannya untuk dikawinkan dengan laki-laki tanpa
izin yang bersangkutan. Orangtua mempunyai hak ijbar ialah hak untuk
menikahkan anaknya yang masih kecil. Wali mujbir ini mereka yang
mempunyai garis keturunan ke atas dengan perempuan yang akan menikah.
Menurut mazhab Hanafi, Maliki dan Hambali adalah: Bapak, orang yang
diberi wasiat oleh bapak dan hakim Sedangkan menurut mazhab Syafi’i
wali mujbir ialah bapak dan kakek saja ketika tidak ada Bapak. Dalam
pandangan mazhab Maliki dan Syafi’i seorang wali disunahkan meminta
izin anak menikahkan anak perempuannya yang masih perawan sedangkan
Menurut mazhab Hambali tidak perlu dimintakan izinnya. Meneurut
mereka, hakim dan semua wali tidak memiliki hak untuk mengawinkan
anak perempuan yang berumur kurang dari sembilan tahun. 20
F. Analisis Undang-Undang
1. Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 197421
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
menganut prinsip bahwa calon suami dan istri harus telah masak jiwa
raganya untuk dapat melangsungkan pernikahan, agar dapat
mewujudkan tujuan pernikahan secara baik tanpaberakhir diperceraian
dan mendapatkan keturunan yang baik dan sehat, untuk itu harus
dicegah adanya perkawinan antara calon suami dan istri yang masih
dibawah umur.
20
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu (Terjemahan) jilid 9 h. 183 21 Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974
48
Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dalam pasal 7
ayat 1 menjelaskan bahwa perkawinan hanya diizinkan apabila pria
mencapai usia 19 Tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16
Tahun kemudian mengenai praktik kawin gantung ini biasa dilakukan
pada mereka yang berusia 6 sampai dengan 12 Tahun. Tentunya tradisi
ini sangat bertentangan pada undang-undang perkawinan dimana batas
usia untuk laki-laki ialah 19 Tahun dan Wanita 16 Tahun.
2. Undang-undang Perlindungan Anak No. 35 Tahun 2014
Undang-undang Perlindungan Anak No. 35 Tahun 2014 dalam
pasal 1 ayat 1 menjelaskan bahwa anak adalah seseorang yang belum
berusia 18 Tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Kemudian pada pasal 26 ayat 1 bagian C orang tua berkewajiban dan
bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia
anak-anak.22
Praktik Kawin gantung terhadap anak-anak tentunya
berertentangan dengan undang-undang perlindungan anak dimana yang
seharusnya orang tua adalah berkewajiban untuk mencegah terjadinya
perkawinan pada usia anak namun pada kenyataan di Desa cipaeh
serdang ini orang tua menjodohkan dan menikhakan anak mereka.
Dan yang seharusnya anak itu mempunyai hak untuk hidup, tumbuh,
berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi anak.
G. Analisis Penulis
Oleh karena itu Analisi penulis dari hasil penelitian dengan masyarakat
Desa Cipaeh Serdang bahwa sebenarnya mereka tidak setuju dengan kawin
gantung namun karena adanya tradisi yang turun temurun dari nenek moyang
yang tidak boleh dihilangkan hingga ke anak serta cucu mereka yang harus
22 Undang-undang Perlindungan Anak No. 35 Tahun 2014
49
memaksakan mereka untuk melakukan perkawinan gantung dan mereka juga
akan takut apabila tidak melaksanakan tradisi tersebut mereka takut akan
terjadi hal yang tidak diinginkan pada anak-anak mereka misalnya terkena
musibah ataupun sakit.
Sudah menjadi kebiasaan bagi mereka untuk melaksanakan kawin
gantung karena penilaian dan anggapan yang sedari dulu bahwa tradisi yang
telah ada merupakan hal yang paling baik dan benar apabila tidak dilakukan
menjadi hal yang salah. Walaupun memang sudah tidak relevan jika
dibandingkan dengan kondisi sekarang karena tentunya zaman dahulu dan
zaman sekarang ini sangatlah berbeda dan harusnya dizaman yang serba
berkembang pesat dan modern seperti ini tradisi akan semakin hilang tetapi di
Desa Cipaeh Serdang ini tradisi semakin dipertahankan.
Pada umumnya perkawinan dilakukan oleh orang dewasa yang sudah
memiliki kematangan emosi karena dengan adanya kematangan emosi ini
mereka akan dapat menjaga kelangsungan perkawinan. Terlebih lagi mereka
belum banyak memiliki sejarah hidup dan pengalaman mereka sangat terbatas
terlebih lagi mengenai perkawinan. Pola fikir mereka tentunya juga belum
dewasa bahkan belum mengerti tentang perkawinan tetapi mereka tidak akan
bisa menolaknya karena itu memanglah sudah menjadi tradisi yang mendarah
daging dikehidupan masyarakat Desa Serdang.
Dalam praktiknya di Desa Cipaeh Serdang anak yang masih kecil
dijodohkan oleh orang tua mereka kemudian dinikahkan tanpa memperhatikan
kembali usia mereka yang seharusnya sesuai dengan ketentuan Undang-
undang yang berlaku karena sudah jelas pada Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 perkawinan hanya diizinkan apabila pria sudah mencapai umur 19 tahun
dan wanita sudah mencapai umur 16 tahun , kemudian Kompilasi Hukum
Islam menegaskan kembali bahwa perkawinan hanya boleh dilakukan apabila
calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam Undang-
undang No 1 Tahun 1974 dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35
Tahun 2014 tentang perlindungan anak, bahwa anak perlu dikondisikan agar
dapat tumbuh dan berkembang sesuai hak-hak sebagai anak dan di didik
50
sebaik mungkin agar dapat menjadi generasi penurus dimasa depan tetapi
dengan adanya kawin gantung ini malah merenggut hak anak sebagai mana
mestinya
Walaupun anak adalah tanggungan orang tua dan orang tua pun
mempunyai hak ijbar dalam mengawinkan mereka. Seharusnya peran orang
tua adalah mendidik anak-anaknya supaya mempunyai ilmu yang sangat luas
sehingga bisa mengangkat derajat kedua orang tua dan meningkatkan ekonomi
keluarga dengan ilmu, jadi sangat ironi jika sejak kecil sudah dijodohkan.
Rendahnya pengetahuan orang tua juga menyebabkan adanya
kecendrungan mengawinkan anaknya yang masih dibawah umur. Mungkin
jika mereka memahami dengan adanya Undang-undang No 1 Tahun 1974 dan
Kompilasi Hukum Islam yang menentukan batas usia untuk menikah,
kemudian ada juga Undang-undang No 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan
Anak bagian keempat juga menyebutkan yaitu kewajiban dan tanggung jawab
orangtua dan keluarga pada pasal 26 ayat 1 huruf c berbunyi mencegah
terjadinya perkawinan pada anak dengan begitu mungkin akan meminimalisir
adanya perkawinan gantung.
Orang tua desa Serdang menganggap mereka melakukan kawin
gantung demi kebaikan anak mereka agar tidak terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan seperti terkena musibah ataupun sakit dan masyarat desa sangat
percaya akan hal seperti itu, mereka berfikir dari pada terjadi hal- hal yang
buruk terhadap anak mereka lebih baik mereka melakukan kawin gantung.
Walaupun sudah banyak sekali pertentangan dikalangan para tokoh
agama tetapi masyarakat desa Serdang tetap mempertahankan tradisi mereka
dari nenek moyang, dan sebagai bentuk hormat mereka kepada para wali yang
sudah meninggal yang memberi amanat untuk harus selalu menjaga tradisi
kawin gantung dan jangan sampai menghilangkannya jikalau mau hidupmu
selalu selamat.
Untuk melakukan kawin gantung pun tidak sembarangan banyak
persyaratan dan tahapan yang harus dipenuhi. Mulai dari hari pelaksanaanya
harus dalam waktu panen padi tidak boleh dilakukan pada bulan puasa dan
51
bulan safar. Kemudian ketika hari pelaksanaan perkawinan gantung rukunnya
terpenuhi yaitu ada calon mempelai wanita, calon mempelai pria, ada wali,
saksi dan ijab kabul. Namun untuk penghulu yang menikahkan mereka tidak
dari KUA melainkan dari sesepuh desa Cipaeh Serdang, kemudian untuk
mahar biasanya ini berupa cincin dan uang. Setelah pengantin melakukan akad
mereka akan diarak keliling kampung dengan menggunakan kuda agar para
masyarakat mengetahui bahwa mereka sudah melakukan kawin gantung.
Setelah itu pengantin berziarah ke makam nenek moyang atau yang
mereka sebut wali atau pemuka tokoh terdahulu disana lalu memberikan
sesajen berupa ayam kampung dan nasi kuning. Apabila tidak berziarah atau
ada kesalahan dalam menyiapkan sesajen pengantin akan sakit. Dan untuk
para tamu yang hadir tidak mereka tidak memberikan uang tetapi mereka
memberikan padi dan beras istilahnya sebagai bekal dalam berumah tangga.
Biasanya dalam melakukan kawin gantung pesta perkawinannya selalu
diadakan dengan meriah yaitu dengan memberikan hiburan untuk para tamu
yang datang seperti lenong, wayang golek, dangdut dan lainnya.
Menurut penulis seharusnya dalam kasus ini orang tua juga
memperhatikan terlebih dahulu apabila ingin melakukan praktik kawin
gantung terhadap anak disamping memperhatikan hak anak juga harus sesuai
dengan ketentuan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974, Kompilasi Hukum
Islam, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2014 tentang
perlindungan anak. Oleh karena itu anak perlu dikondisikan agar dapat
tumbuh dan berkembang secara optimal sesuai hak-hak diasebagai anak dan di
didik sebaik mungkin agar dapat menjadi generasi penerus bangsa yang
berkarakter serta berkepribadian yang baik sebagaimana yang dijelaskan
dalam Undang-undang nomor 35 tahun 2014, dan kemudian masyarakat desa
Serdang juga harus memahami Undang-undang nomor tahun 1974 tentang
perkawinan dengan begitu masyarakat desa Cipaeh Serdang akan mulai
menghilangkan kebiasaan dan tradisi mereka karena memang sudah tidak
sesuai dengan kondisi saat ini.
52
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan dan uraian pada bab-bab sebelumnya, maka peneliti
dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Faktor penyebab terjadinya kawin gantung di Desa Cipaeh Serdang faktor
yang paling mendasar ialah tradisi desa tersebut yang sudah terjadi sejak
lama dan menjadi turun-temurun dari nenek moyang yang harus di
teruskan kepada anak, cucu serta cicit mereka. Faktor lainnya ialah faktor
sosial masyarakat Desa Serdang mempunyai jiwa kebersamaan dan
kekeluargaan yang sangat erat sehingga mereka menjodohkan anak
mereka masing-masing.
2. Pandangan masyarakat terhadap kawin gantung bahwa sebenarnya mereka
tidak setuju dengan kawin gantung namun karena adanya tradisi dan
kebiasaan yang harus memaksakan mereka untuk melakukan perkawinan
gantung dan mereka juga akan takut apabila tidak melakukannya mereka
takut akan terjadi hal yang tidak diinginkan pada anak-anak mereka.
3. Pelaksaan perkawinan gantung terhadap anak-anak mulai dari umur 6
sampai 12 Tahun, Perkawinan gantung dilakukan sesuai syariat Islam
rukun dan syaratanya terpenuhi hanya saja perkawinannya tidak dicatat di
KUA karena usia mereka yang masih dibawah umur
B. Saran-saran
Setelah penulis mengemukakan kesimpulan diatas, maka perlu saran-saran
sebagai berikut:
1. Bagi pemerintah Kecamatan Gunung Kaler harusnya ada sosialisasi
melalui penyuluhan perkawinan dibawah umur dan memberi
kesadaran pada masyarakat bahwa kawin gantung ini menyalahi
syariat agama Islam dan hukum yang berlaku di Indonesia.
53
2. Bagi orang tua, agar lebih menyesuakan dengan kondisi saat ini karena
zaman dahulu dengan saat ini sangatlah berbeda dan seharusnya orang
tua tidak terlalu percaya dengan mitos nenek moyang yang
mengatakan apabila tidak melaksakan kawin gantung hidupnya tidak
akan selamat.
3. Bagi para wali mujbir punya hak paksa untuk menikahkan anaknya
sampai anak itu masih disebut perawan. Sebab kalau sudah janda maka
sudah tidak mujbir, dan tujuan pernikahan tidak tercapai.
4. Dalam negara Indonesia menganut sistem Legal Formal dalam
melaksanakan suatu hukum “Agama/Fiqih” hendaknya umat islam
memperhatikan hukum formal baik berupa rancangan undang-undang
atau peraturan pemerintah sehinggan tujuan pernikahan mencapai
Sakinah, Mawaddah dan Warohmah dan tidak ada aturan yang
dilanggar sebagai menyalahkan pihak lain yang tidak sejalan dengan
pendapatnya hukumnya.
54
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Al-Bugha, Musthafa, dkk, Fikih Manhaji Jilid 1, Yogyakarta: Darul Uswah, 2012.
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:
Rineka Cipta 2006.
Azend, Alif Jum'an. “Hukum Pernikahan Dini / Kawin Gantung”, dalam 1883-
hukum-pernikahan-dini-kawin-gantung.html di akses pada tanggal
22 september 2017 pukul 23:40 WIB
Bisri, Cik Hasan, Kompilasi Hukum Islam pasal 2 dan 3, Jakarta:Logis Wacana
Ilmu, 1999.
Ghazaly, Abd. Rahman, Fiqh Munakahat, Jakarta:Kencana Prenada Media Group,
2003.
Hamidy, Mu’ammal. dkk. Terjemahan Nailul Authar Himpunan Hadis-Hadis
Hukum,Surabaya: PT Bina Ilmu 2001.
Hasil Putusan Muktamar ke-32 NU Jakarta: Sekertariat Jendral PBNU,2011.
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Tafisr Al-Qur’an Tematik Jilid 2,
Jakarta:Kamil Pustaka 2014.
Mardani, Hukum Perkawinan Islam Di Dunia Islam Modern, Jakarta Graha Ilmu,
2010.
Moleong, Lexy J, Metodelogi Penelitian Kualitatif , Bandung: PT Remaja
Rosdakarya,2005.
Mufidah Ch. Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender, Malang: UIN
Malang Press,2008.
Musakkir, Karakteristik Kajian Sosiologi Hukum dan Psikologi Hukum, artikel ini
di akses dari https://musakkir.page.tl/ pada 22 september 2015 pada
pukul 23:28 WIB
Ramulyo, Mohd. Idris, Hukum Perkawinan Islam; Suatu Analisis Dari Undang-
Undang No 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, Jakarta:
Bumi Aksara 1996.
Rasyid, Sulaiman. Fiqh Islam, Cet 34, Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2002.
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, jilid 9 (Terjemahan ) Jakarta :
Gema Insani 2011.
55
Rusyd, Ibnu, Bidayatul Mujtahid, Penerjemah Abu Usamah Fakhtur, Jakarta:
Pustaka Azzam 2007.
Soehartono, Irawan, Metodologi Penelitian Sosial, Bandung: PT. Remaja
Rosdakrya, 2008.
Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah Jilid 3, (Jakarta:Cakrawala Publishing, 2011.
Soekamto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta:Penerbit Universitas
Indonesia 2007.
Syafruddin, Amir. Garis Garis Besar Ushul Fiqh, Jakarta: Fajar Interpreatama
Offset 2012.
Sumber Data dari Buku Kantor Kepala Desa Serdang Kecamatan Gunung Kaler,
2016.
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan
Waluyadi, Hukum Perlindungan Anak, Bandung: Maju Mundur 2009.
B. Interview / Wawancara
Interview Pribadi dengan Ibu Siti Azani, Masyarakat Desa Serdang, tanggal 11
November 2017.
Interview Pribadi dengan Bapak Nining Gian Hayrani, Sesepuh Masyarakat Desa
Serdang, tanggal 25 September 2017.
Interview Pribadi dengan Bapak Arkani, Sesepuh Masyarakat Desa Serdang,
tanggal 11 November 2017.
Interview Pribadi dengan Ibu Siska, Masyarakat Desa Serdang, tanggal 25
September 2017.
Interview Pribadi dengan Ibu Rawi, Masyarakat Desa Serdang, tanggal 1 Agustus
2017.
C. Internet/Online :
http://irwaaan.blogspot.co.id/2013/11/metodologi-penelitian-hukum.html di akses
pada tanggal 30 september 2017 pukul 20:58 WIB
https://perbandinganmadzhabfiqh.wordpress.com/2011/05/14/hukum-perkawinan-
menurut-undang-undang-dan-hukum-islam/ di akses pada tanggal 3
desember 2017 pukul 13:42 WIB
56
http://kbbi.kata.web.id/kawin-gantung/ diakses pada tanggal 9 januari 2018 pada
pukul 22:39 WIB
https://rumahkitab.com/kawin-gantung/ diakses pada tanggal 15 februari 2018
pada pukul 23:22 WIB
https://dalamislam.com/hukum-islam/pernikahan/nikah-gantung-menurut-islam
diakses pada tanggal 18 januari 2018 pada pukul 00:02 WIB
http://www.kompasiana.com/baniaziz/menikahkan-anak-dibawah-usia-18-th-
melanggar-uu-perlindungan-anak_ diakses pada tanggal 24
september 2017 pukul 22:21 WIB
http://e-dokumen.kemenag.go.id/files/tdTAsFc51315881487.pdf diakses pada
tanggal 2 November 2017 pukul 22:43 WIB