Upload
leduong
View
219
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Skripsi Landasan Teori
Universitas Widyatama 6
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Definisi dan Tujuan Maintenance
2.1.1 Definisi Maintenance
Perawatan atau yang lebih dikenal dengan kata Maintenance dapat
didefinisikan sebagai suatu aktivitas yang diperlukan untuk menjaga atau
mempertahankan kualitas pemeliharaan suatu fasilitas agar fasilitas tersebut dapat
berfungsi dengan baik dalam kondisi siap pakai (Sudrajat, 2011).
Berdasarkan definisi tersebut, maka terdapat beberapa alasan melakukan
beberapa pekerjaan maintenance, antara lain (Sudrajat, 2011) :
1. Agar fasilitas dapat siap dipakai pada saat yang diperlukan.
2. Seiring dengan waktu, tentunya kondisi dari suatu fasilitas yang mengalami
pemakaian, kemampuan kinerjanya lambat laun akan menurun kerena tanpa
maintenance semua fasilitas tersebut akan melemah secara bertahap tapi pasti,
sehingga tidak lagi mempunyai kemampuan kerja baik secara teknis maupun
ekonomis.
3. Diharapkan akan dapat memperpanjang umur pakai dari fasilitas tersebut.
Perkembangan dan evolusi perawatan terjadi melalui beberapa tahapan,
yaitu sebagai berikut:
1. Perawatan tidaklah dikenal sebagai suatu keilmuan tertentu.
2. Perawatan dianggap sebagai spesialisasi tersendiri.
3. Mulai memperhatikan perawatan pencegahan.
4. Mulai diperkenalkan aspek-aspek manajerial.
5. Peran perawatan masuk kedalam proses desain.
6
Skripsi Landasan Teori
Universitas Widyatama 7
2.1.2 Tujuan Maintenance
Maintenance adalah suatu kegiatan pendukung bagi kegiatan komersial,
maka seperti kegitan lainnya, maintenance harus efektif , efisien dan berbiaya
rendah. Dengan adanya biaya maintenance ini, maka mesin/peralatan produksi
dapat digunakan sesuai dengan rencana dan tidak mengalami kerusakan selama
jangka waktu tertentu yang telah direncanakan dapat tercapai (Sudrajat, 2011).
Beberapa tujuan maintenance yang paling utama adalah:
1. Kemampuan berproduksi dapat memenuhi kebutuhan sesuai dengan rencana
produksi.
2. Menjaga kualitas pada tingkat yang tepat untuk memenuhi apa yang
dibutuhkan oleh produk itu sendiri dan kegiatan produksi yang tidak terganggu.
3. Untuk membantu mengurangi pemakaian dan penyimpangan yang diluar batas
dan menjaga modal yang diinvestasikan dalam perusahaan selama waktu yang
ditentukan sesuai dengan kebijakan perusahaan mengenai innvestasi tersebut.
4. Untuk mencapai tingkat biaya maintenance secara efektif dan efisien.
5. Untuk menjamin keselamtan orang yang menggunakan sarana tersebut.
6. Memaksimalkan ketersediaan semua peralatan sistem produksi (mengurangi
downtime).
7. Untuk memperpanjang umur/masa pakai dari mesin tersebut.
2.2 Jenis-jenis Kebijakan Maintenance
2.2.1 Perawatan Kerusakan (Breakdown Maintenance)
Perawatan kerusakan dapat diartikan sebagai kebijakan perawatan dengan
cara mesin/peralatan dioperasikan hingga rusak, kemudian baru diperbaiki atau
diganti. Kebijakan ini merupakan strategi yang sangat kasar dan kurang baik
karena dapat menimbulkan biaya tinggi, kehilangan kesempatan untuk mengambil
keuntungan bagi perusahaan yang diakibatkan terhentinya mesin, keselamatan
Skripsi Landasan Teori
Universitas Widyatama 8
kerja tidak terjamin, kondisi mesin tidak diketahui, dan tidak ada perencanaan
waktu, tenaga kerja maupun perencanaan biaya yang baik (Sudrajat, 2011).
Metode ini dikenal juga sebagai perawatan yang didasarkan pada
kerusakan (failure based maintenance). Kebijakan perawatan ini kurang sesuai
untuk mesin-mesin dengan tingkat kritis yang tinggi atau mempunyai harga yang
mahal, dan hanya cocok untuk mesin-mesin sederhana dimana tidak memerlukan
perawatan secara intensif.
Keuntungan dari kebijakan perawatan kerusakan, yaitu:
1. Murah dan tidak perlu melakukan perawatan.
2. Cocok untuk mesin/peralatan yang murah, sederhana dan modular.
Kerugian dari kebijakan perawatan kerusakan, yaitu:
1. Kasar dan berbahaya.
2. Menimbulkan kerugian yang besar bila ditetapkan pada mesin yang mahal,
kompleks, dan dituntut keselamatan tinggi.
3. Tidak bisa menyiapkan sumber daya manusia.
2.2.2 Perawatan Pencegahan (Preventive Maintenance)
Preventive Maintenance adalah kegiatan pemeliharaan dan perawatan
yang dilakukan untuk mencegah timbulnya kerusakan-kerusakan yang tidak
terduga dan menemukan kondisi atau keadaan yang dapat menyebabkan fasilitas
produksi mengalami kerusakan pada waktu digunakan dalam proses produksi
(A.Sudrajat,2011).
Semua fasilitas produksi yang diberikan preventive maintenance akan
terjamin kelancarannya dan selalu diusahakan dalm kondisi atau keadaan yang
siap digunakan untuk setiap operasi atau proses produksi pada setiap saat.
Sehingga dimungkinkan pembuatan suatu rencana dan jadwal pemeliharaan dan
perawatan yang sangat cermat dan rencana produksi yang lebih tepat. Tujuan
preventive maintenance dimaksudkan untuk memaksimalkan availability, dan
Skripsi Landasan Teori
Universitas Widyatama 9
meminimasikan ongkos peningkatan reliability. Dengan lingkup kegiatan hanya
mencakup area process (operation, utility, main process dan lain lain) atau bisa
diperluas ke area lain seperti building office dan fasilitas umum (Sudrajat, 2011).
Criteria penentuan fasilitas yang masuk dalam program perawatan
pencegahan dapat dilihat dari sebagai berikut:
1. Apakah kerusakan alat berdampak pada safety?
2. Apakah kerusakan alat dapat menyebabkan system down?
3. Apakah repair cost nya tinggi dan lama?
4. Ketersediaan spare part dari fasilitas tersebut.
5. Kondisi kerja dari fasilitas tersebut.
2.2.3 Perawatan Terjadwal (Schedule Maintenance)
Perawatan terjadwal merupakan bagian dari perawatan pencegahan.
Perawatan ini bertujuan mencegah terjadinya kerusakan dan perawatannya
dilakukan secara periodic dalm rentang waktu tertentu. Strategi perawaytan ini
disebut juga sebagai perawatan berdasarkan waktu (time based maintenance).
Kebijakan perawatan ini cukup baik dalam mencegah terhentinya mesin yang
tidak direncanakan. Rentang waktu perawatan ditentukan berdasarkan
pengalaman, data masa lalu atau rekomendasi dari pabrik pembuat mesin yang
bersangkutan tersebut. Kekurangannya jika rentang waktu perawtan terlalu
pendek akan mengganggu aktivitas produksi dan dapat meningkatkan kesalahan
yang timbul karena kurang cermatnya teknisi dalam memasang kembali
komponen yang diperbaiki serta kemungkinan adanya kontaminasi yang masuk
kedalam mesin. Jika rentang waktu perawatan terlalu panjang, maka kemungkinan
mesin akan mengalami kerusakan sebelum tiba waktu perawatan, selain itu jika
kondisi mesin atau komponen mesin/peralatan masih baik dan menurut jadwal
harus sudah diganti atau diperbaiki akan menimbulkan kerugian (Sudrajat, 2011).
Skripsi Landasan Teori
Universitas Widyatama 10
2.2.4 Perawatan Prediktif (Predictive Maintenance)
Perawatan prediktif ini merupakan bagian dari perawatan pencegahan dan
dapat diartikan sebagai strategi perawatan dimana pelaksanaannya didasarkan
pada kondisi mesin itu sendiri. Untuk menentukan kondisi mesin harus dilakukan
tindakan pemeriksaan atau monitoring secara rutin, jika terdapat tanda atau gejala
kerusakan maka segera dilakukan tindakan perbaikan untuk mencegah kerusakan
lebih lanjut, jika tidak terjadi kerusakan maka segera pula diketahui (Sudrajat,
2011).
Perawaran prediktif disebut juga perawatan berdasarkan kondisi
(Condition Based Maintenance) atau juga disebut monitoring kondisi mesin
(Machinery Condition Monitoring), yang artinya sebagai penentuan kondisi mesin
dengan cara memeriksa mesin secara rutin, sehingga dapat diketahui keandalan
mesin serta keselamatan kerja terjamin.
Kegiatan monitoring yang harus dipenuhi yaitu dengan menetapkan
langkah-langkah inpeksi/pemeriksaan , merencanakan prosedur inpeksi sehingga
dapat menghemat waktu dan melakukan pemeriksaan secara rutin terhadap
kelengkapan mesin dan peralatan agar dapat melakukan kegiatan sebagai berikut:
1. Memastikan system beroperasi sesuai rencana.
2. Melakukan pemeriksaan terhadap kondisi mesin.
3. Melakukan evaluasi potensi yang akan menimbulkan gangguan dan kerusakan
mesin.
4. Melakukan penaksiran terjadinya kerusakan
5. Melakukan identifikasi komponen-komponen pengganti.
6. Membuat jadwal perbaikan berdasarkan kebutuhan.
Dilakukan kegiatan inspeksi dapat diketahui kondisi mesin/peralatan
secara pasti dan gejala kerusakan dapat terdeteksi secara dini. Ada beberapa
perhitungan dalam menentukan frekuensi untuk melakukan inspeksi, yaitu beban
Skripsi Landasan Teori
Universitas Widyatama 11
kerja, umur, pengalaman dan kritisnya fasilita, kegiatan dilakukan bisa berupa
sebagai berikut:
1. Perawatan, yang merupakan langkah pemeliharaan secara rutin yang
didasarkan pada cara perawatan harian, mingguan, bulanan dan seterusnya atau
bisa juga didasarkan pada jumlah jam pemaksaian tertentu atau satuan
output/produksi.
2. Perbaikan, yang dimaksud dengan perbaikan disini adalah perbaikan kecil
yang mungkin timbul dari pemeriksaan.
Tujuan perawatan prediktif ini adalah:
Mereduksi breakdown dan kecelakaan yang disebabkan oleh kerusakan
alat.
Meningkatkan waktu operasi dan produksi.
Mereduksi waktu dan cost of maintenance,
Meningkatkan kualitas produk dan pelayanan.
2.3 Standar dalam Perencanaan Perawatan
Standar adalah salah satu bentuk rencana dari perencanaaan dala proses
manajemen dan merupakan satu gambaran pencapaian yang diharapakan dari
kegiatan-kegiatan yang telah direncanakan dalam memecahkan situasi
permasalahan.
Jenis- jenis standar dalam perusahaan secara umum, yaitu:
Standar teknik, penerapan pada tingkat produktif suatu bisnis, antara lain seperti
material, komponen-komponen, produk, proses pengerjaan, prosedur dan metoda
pengerjaan, metode pengetesan/pengujian, gambar kerja dan lain-lain.
Standar manajerial, penerapannya pada tingkat administrative suatu bisnis, antara
lain seperti kebijakan perusahaan, prosedur tenaga kerja, sistem akuntansi,
evaluasi performansi dan lain-lain.
Skripsi Landasan Teori
Universitas Widyatama 12
Standar kerja perencanaan merupakan hal penting dalam manajemen
manufacturing guna menghadapi persaingan bisnis terutama dalam
menyeimbangkan segitiga Quality, Delivery dan Cost. Perawatan memerlukan
estimasi kerja perencanaan yang akurat dalam menunjang kelancaran sistem
produksi, perawatan juga memerlukam standar-standar kerja untuk digunakan
sebagai tolak ukur dalam menentukan Work Content (Kadar Kerja) dan sebagai
dasar dalam melakukan pengambilan keputusan yang tepat (Sudrajat, 2011).
2.4 Total Productive Manitenance (TPM)
2.4.1 Pendahuluan
Manajemen pemeliharaan msin/peralatan modern dimulai dengan apa yang
disebut preventive Maintenance yang kemudian berkembang menjadi productive
maintenance. Kedua metode pemeliharaan ini umumnya disingkat dengan PM dan
pertama diterpakan oleh industri-industri manufaktut di Amerika Serikat dan pusat
segala kegiatannya ditempatkan satu departemen yang disebut maintenance
departemen (Nakajima, 1988).
Preventive maintenance mulai dikenal pada tahun 1950-an yang kemudian
berkembang seiring dengan perkembangan teknologi yang ada, kemudian pada
tahun 1960-an muncul apa yang disebut productive maintenance. Total
Productive Maintenance (TPM) mulai dikembangkan pada tahun 1970-an pada
perusahaan di Negara jepang yang merupakan pengembang konsep maintenance
yang diterapkan pada industry manufaktur Amerika Serikat yang disebut
preventive maintenance. Seperti dapat dilihat masa periode perkembangan PM di
Jepang dimana periode tahun 1950-an juga bisa dikategorikan sebagai periode
break down (Nakajima, 1988). Mempertahankan kondisi mesin/peralatan yang
mendukung pelaksanaan produksi merupakan komponen penting dalam
pelaksanaan pemeliharaan unit produksi. Tujuan pemeliharaan produktif
(productive maintenance) adalah untuk mencapai apa yang disebut dengan
profitable PM.
Skripsi Landasan Teori
Universitas Widyatama 13
2.4.2 Definisi Total Productive Miantenance (TPM)
TPM adalah hubungan kerjasama yang erat antara perawatan dan
organisasiproduksi secara menyeluruh yang bertujuan untuk meningkatkan
kualitas produksi, mengurangi waste, mengurangi biaya produksi, meningkatkan
kemampuan peralatan dan pengembangan dari keseluruhan system perawatan
pada perusahaan manufaktur (Nakajima, 1988). Secara menyeluruh definisi dari
total productive maintenance (TPM) mencakup lima elemen yaitu sebagai berikut
(Nakajima,1988) :
1. TPM bertujuan untuk menciptakan suatu sistem preventive maintenance (PM)
untuk memperpanjang umur penggunaan mesin/peralatan.
2. TPM bertujuan untuk memaksimalkan efektifitas mesin/peralatan secara
keseluruhan (overall effectiveness).
3. TPM dapat diterapkan pada berbagai departemen (seperti engineering, bagian
produksi dan maintenance).
4. TPM melibatkan semua orang mulai dari tingkatan manajemen tertinggi hingga
para karyawan/operator lantai produksi.
5. TPM merupakan pengembangan dari sistem maintenance berdasarkan PM
melalui manajemen motivasi.
2.4.3 Manfaat Total Productive Maintenance (TPM)
Manfaat dari TPM secara sistematik dalam rencana kerja jangka panjang
pada perusahaan khususnya menyangkut faktor-faktor berikut: (Nakajima,1988).
1. Peningkatan produktifitas dengan menggunakan prinsip-prinsip TPM akan
meminimalkan kerugian-kerugian pada perusahaan.
2. Meningkatkan kualitas mesin dengan TPM, meminimalkan kerusakan pada
mesin/peralatan dan downtime mesin dengan metode terfokus.
3. Waktu delivery ke konsumen dapat ditepati, karena produksi yang tanpa
gangguan akan lebih mudah untuk dilaksanakan.
Skripsi Landasan Teori
Universitas Widyatama 14
4. Biaya produksi rendah, karena kerugian dapat dikurangi dengan efektifitas
pekerjaan.
5. kesehatan dan keselamatan lingkungan kerja lebih baik.
6. meningkatkan motivasi kerja, karena hak dan tanggung jawab menjadi tugas
bagian setiap pekerja.
2.5. Pengukuran Waktu
2.5.1 Pengukuran Waktu
Pengukuran waktu adalah pekerjaan mengamati dan mencatat waktu-waktu
kerja yang baik setiap elemen ataupun siklus dengan menggunakan alat-alat yang
telah disiapkan (stopwatch, pulpen/pensil, kertas/buku untuk mencatat hasil
pengamatan waktu). Bila operator telah siap di depan mesin atau di tempat kerja
lain yang waktu kerjanya akan diukur, pengukur memilih posisi untuk tmpat dia
berdiri mengamati dan mencatat. Pengukuran waktu ditujukan juga untuk
mendapatkan waktu baku penyelesaian pekerjaan yaitu waktu yang dibutuhkan
secara wajar oleh seseorang pekerja normal untuk menyelesaikan suatu pekerjaan
yang dijalankan dalam sistem kerja terbaik. Sistem kerja yang baik merupakan
yang dapat bekerja dengan cepat sesuai dengan waktu baku. Untuk tercapainya
kegiatan kerja yang baik maka diperlukan perhitungan waktu baku yang tepat
sesuai data. Ada beberapa waktu yang dapat dihitung dari kasus tersebut yaitu
waktu siklus, waktu normal, waktu baku/standar (Sutalaksana, 2006).
Waktu siklus
Waktu siklus adalah waktu antara penyelesaian dari dua pertemuan berturut-
turut, asumsikan konstan untuk semua pertemuan. Dapat dikatakan waktu siklus,
merupakan hasil pengamatan secara langsung yang tertera dalam stopwatch.
Rumus penghitungan waktu siklus:
Ws =
N
Xi
Dimana Ws = waktu siklus
Skripsi Landasan Teori
Universitas Widyatama 15
i
X = total pengamatan operasi waktu kerja
N = jumlah pengamatan
Waktu normal
Waktu normal merupakan waktu kerja yang telah mempertimbangkan faktor
penyesuaian, yaitu waktu siklus rata-rata dikalikan dengan faktor penyesuaian.
Rumus perhitungan waktu normal:
Wn = P*Ws
Dimana: Wn = waktu normal
Ws = waktu siklus
P = faktor penyesuaian
Waktu baku/standar
Waktu baku/standar adalah waktu yang sebenarnya digunakan operator
untuk memproduksi satu unit dari data jenis produk. Waktu standar untuk setiap
part harus dinyatakan termasuk toleransi untuk beristirahat untuk mengatasi
kelelahan atau untuk faktor-faktor yang tidak dapat dihindarkan.
Rumus penghitungan waktu baku:
Wb = (1+A%)*Wn
Dimana: Wb = waktu baku
Wn = waktu normal
A% = kelonggaran
2.5.2 Penyesuaian dan Kelonggaran Data
Pembakuan sistem kerja tidak dapat dilepasakan dari dua aspek berikut,
yaitu: pemberian penyesuain dan pemberian kelonggaran. Penyesuaian diberikan
Skripsi Landasan Teori
Universitas Widyatama 16
berkenaan dengan tingkat kecepatan kerja yang dilakukan pekerja dalam
melakukan pekerjaannya. Sedangkan kelonggaran diberikan berkenaan dengan
adanya sejumlah keadaan di luar kerja, yaitu terjadi selama pekerjaan
berlangsung. Secara sistematis, perhitungan waktu baku dapat digambarkan
sebagai berikut (Sutalaksana, 2006):
Penyesuian Kelonggaran
Gambar 2.1. Perhitungan Waktu Baku
Pemberian penyesuainan dan kelonggaran secara bersama-sama,
selayaknya dapat dirasakan adil (fair), baik dari sisi pekerja maupun sisi
manajemen. Terdapat beberapa cara untuk menentukan faktor penyesuaian
diantaranya yaitu (Sutalaksana, 2006):
1. Persentase
Cara yang paling awal digunakan dalam melakukan penyesuaian. Disini,
besarnya faktor penyesuaian sepenuhnya ditentukan oleh pengukur melalui
pengamatannya selama melakukan pengukuran.
2. Shummard
Cara ini memberikan patokan-patokan penilaian melalui kelas-kelas
performance kerja dimana setiap kelas mempunyai nilai sendiri-sendiri.
Kelas-kelas tersebut dibagi menjadi beberapa kelas seperti pada tabel 2.1.
Waktu Siklus (WS)
Waktu Normal (WN)
Waktu Normal (WN)
Skripsi Landasan Teori
Universitas Widyatama 17
Tabel. 2.1 Tabel Penyesuaian menurut cara Shumard
Kelas Penyesuaian Kelas Penyesuaian
Super fast 100 Good - 65
Fast + 95 Normal 60
Fast 90 Fair + 55
Fast -
Excellent
85
80
Fair
Fair -
50
45
Good + 75 Poor 40
Good 70
3. Weshtinghouse
Cara ini mengarahkan penilaian pada 4 faktor yang dianggap menentukan
kewajaran atau ketidakwajaran dalam bekerja yaitu Keterampilan, Usaha,
Kondisi kerja dan Konsistensi.
Keterampilan terbagi atas : Super skill, Excellent Skill, Good Skill,
Average Skill, Fair Skill, dan Poor Skill.
Usaha terbagi atas : Excessive effort, Excellent effort, Good
effort, Average effort, Fair effort, dan
Poor effort.
Kondisi kerja terbagi atas : Ideal, Excellent, Good, Average, Fair dan
Poor.
Konsistensi terdiri atas : Perfect, Excellent, Good, Average, Fair dan
Poor.
4. Objektif
Kelonggaran diberikan untuk hal-hal sebagai berikut:
1. Kebutuhan pribadi
Kebutuhan pribadi disini adalah hal-hal seperti minum sekadarnya untuk
menghilangkan rasa haus, ke kamar kecil, bercakap- cakap dengan teman
sekerja sekedar untuk menghilangkan ketegangan ataupun kejemuan kerja.
Skripsi Landasan Teori
Universitas Widyatama 18
2. Menghilangkan rasa fatique
Rasa fatique tercermin antara lain dari menurunnya hasil produksi baik
jumlah maupun kualitas. Karenanya salah satu cara untuk menentukan besarnya
kelonggaran ini adalah dengan melakukan pengamatan sepanjang hari kerja dan
mencatat pada saat-saat dimana hasil produksi menurun. Tetapi masalahnya
adalah kesulitan kedalam menentukan pada saat-saat mana menurunnya hasil
produksi disebabkan oleh timbulnya rasa fatique karena masih banyak
kemungkinan lain yang dapat menyebabkannya.
3. Hambatan-hambatan yang tidak dapat dihindarkan.
Contohnya adalah:
Menerima atau meminta petunjuk kepada pengawas.
Melakukan penyesuaian-penyesuaian mesin.
Memperbaiki kemacetan-kemacetan singkat.
Mengasah peralatan potong.
2.5.3 Tingkat Ketelitian & Tingkat Keyakinan
Waktu yang dicari dalam pengukutran waktu proses adalah waktu yang
sebenarnya dibutuhkan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Tingkat ketelitian
dan tingkat keyakinan adalah pencerminan tingkat kepastian yang diinginkan oleh
pengukur setelah memutuskan tidak akan melakukan pengukuran yang sangat
banyak karena adanya berbagai keterbatasan (Sutalaksana, 2006).
Tingkat ketelitian menunjukan penyimpangan maksimum hasil
pengukuran dari waktu penyelesaian sebenarnya. Tingkat ketelitian ini biasanya
dinyatakan dalam persen (dari waktu penyelesaian sebenarnya). Sedangkan
tingkat keyakinan menunjukan besarnya keyakinan pengukur bahwa hasil yang
diperoleh memenuhi syarat ketelitian tersebut. Tingkat keyakinan juga dinytakan
dengan persen. Jadi tingkat ketelitian 5% dan tingkat keyakinan 95% artinya
bahwa pengukur membolehkan rata-rata hasil pengukurannya menyimpang sejauh
5% dari rata-rata sebenarnya, dan kemungkinan berhasil hal ini adalah 95%
(Sutalaksana, 2006).
Skripsi Landasan Teori
Universitas Widyatama 19
xX 3BKB =
2.5.4. Uji Keseragaman Data
Uji keseragaman data dilakukan untuk mengetahui apakah data-data yang
diperoleh sudah ada dalam keadaan terkendali atau belum. Keadaan sistem yang
selalu berubah dapat diterima, asalkan perubahannya memang merupakan
perubahan yang sepantasnya terjadi. Waktu proses yang dihasilkan sistem juga
pasti berubah namun harus dalam batas kewajaran (Sutalaksana, 2006).
Salah satu tujuan uji keseragaman data adalah untuk mendapatkan data
yang seragam. Suatu alat yang dapat mendeteksi ketidakseragaman data adalah
batas-batas kontrol. Data yang dikatakan seragam apabila berasal dari sitem sebab
yang sama dan berada diantara batas kelas (batas kelas atas dan batas kelas
bawah), sedangkan data dikatakan tidak seragam apabila berasal dari sistem sebab
yang berbeda dan berada diluar batas kelas (Sutalaksana, 2006).
Batas kelas bawah dan batas kelas atas dapat dihitung dengan rumus di bawah ini:
BKA =
Dimana: BKA = Batas Kendali Atas
BKB = Batas Kendali Bawah ............................................(2.1)
X = Nilai Rata-rata Sempel
3 = Standar Devisiasi
2.5.5 Uji Kecukupan Data
Uji kecukupan data dilakukan untuk mengetahui jumlah data yang
diperoleh telah memenuhi jumlah pengamatan yang dibutuhkan dalam
pengukuran atau belum, sesuai dengan tingkat ketelitian yang diinginkan. Rumus
yang digunakan untuk melakukan uji kecukupan adalah sebagai berikut:
(Sutalaksana, 2006).
....................................................................(2.2)
xX 3
Skripsi Landasan Teori
Universitas Widyatama 20
Dimana:
N’ = Jumlah pengamatan yang seharusnya dilakukan.
K = Tingkat kepercayaan dalam pengamatan
S = Derajat ketelitian dalam pengamatan (5%).
N = Jumlah pengamatan yang sudah dilakukan.
Xi = Data pengamatan.
2.6. Pengujian Model Efisiensi Mesin
Setiap penelitian diperlukan adanya model atau cara untuk mencapai suatu tujuan
penelitian yang dilakukan oleh seseorang. Adapun bangun model yang dibuat
dalam penelitian ini adalah seperti pada gambar 2.2.dibawah ini (Lembaga
Manajemen PPM, Gemba Kaizen).
Gambar 2.2. Model Perhitungan Efisiensi Mesin
A
Tingkat Waktu
Operasi
Waktu Muat
Waktu Gangguan
B
Tingkat Kemampuan
Operasi
Tingkat Kecepatan
Operasi
Waktu Operasi
Bersih
C
Tingkat Hasil Produksi
Bersih
Waktu Siklus Standar
Waktu Siklus
Sebenarnya
Skripsi Landasan Teori
Universitas Widyatama 21
Model perhitungan efisiensi total mesin tersebut merupakan model yang
digunakan untuk mengetahui tingkat keborosan atau kerusakan yang terjadi pada
mesin. Adapun penjelasan dari bentuk model di atas adalah sebagai berikut:
1. Efisiensi Total, merupakan nilai akhir yang didapat dari hasil perkalian tingkat
waktu operasi, tingkat kemampuan operasi, dan tingkat hasil produksi bersih.
Efisiensi Total = Tingkat Waktu Operasi x Tingkat Kapasitas Operasi x
Tingkat Hasil Produksi Bersih
2. Tingkat Waktu Operasi adalah waktu operasi sebenarnya dibandingkan
dengan waktu muat (waktu peralatan harus beroperasi), yang dapat dihitung
dengan cara sebagai berikut:
Tingkat Waktu Operasi = Waktu Muat – Waktu Gangguan
Waktu Muat
Waktu muat dalam penelitian ini adalah waktu dimana peralatan harus
beroperasi. Sedangkan waktu gangguan adalah hambatan atau kerusakan yang
terjadi pada saat mesin beroperasi.
3. Tingkat Kemampuan Operasi, merupakan tingkat kemampuan mesin
beroperasi dalam menghasilkan produk. Dapat dihitung dengan cara:
Kemampuan Operasi = Tingkat Kecepatan Operasi x Waktu Operasi Bersih
Tingkat kecepatan operasi ini adalah perbedaan kecepatan antara kecepatan
peralatan (waktu siklus/jumlah gerakan) dengan kecepatan sebenarnya.
Sedangkan waktu operasi bersih adalah ukuran kestabilan kecepatan operasi
dari setiap unit.
4. Tingkat Hasil Produksi Bersih, merupakan kemampuan kapasitas produksi
yang dhasilkan pada setiap periodenya. Dapat dihitung dengan cara sebagai
berikut:
Tingkat Waktu Operasi Bersih = Jumlah Produk x Waktu Siklus Sebenarnya
Waktu Muat – Waktu Gangguan
X 100
Skripsi Landasan Teori
Universitas Widyatama 22
Jumlah produk adalah kapasitas produksi yang dihasilkan. Sedangkan waktu
siklus sebenarnya adalah waktu operasi yang dihasilkan oleh mesin dalam
setiap unit.
2.7. Line Balancing
Line balancing merupakan metode penugasan sejumlah pekerjaan ke
dalam stasiun-stasiun kerja yang saling berkaitan/berhubungan dalam suatu
lintasan atau lini produksi sehingga setiap stasiun kerja memiliki waktu yang tidak
melebihi waktu siklus dari stasiun kerja tersebut. Menurut Gasperz (2000), line
balancing merupakan penyeimbangan penugasan elemen-elemen tugas dari suatu
assembly line ke work stations untuk meminimumkan banyaknya work station dan
meminimumkan total harga idle time pada semua stasiun untuk tingkat output
tertentu, yang dalam penyeimbangan tugas ini, kebutuhan waktu per unit produk
yang di spesifikasikan untuk setiap tugas dan hubungan sekuensial harus
dipertimbangkan. Selain itu dapat pula dikatakan bahwa line balancing sebagai
suatu teknik untuk menentukan product mix yang dapat dijalankan oleh suatu
assembly line untuk memberikan fairly consistent flow of work melalui assembly
line itu pada tingkat yang direncanakan.
Assembly line itu sendiri adalah suatu pendekatan yang menempatkan
fabricated parts secara bersama pada serangkaian workstations yang digunakan
dalam lingkungan repetitive manufacturing atau dengan pengertian yang lain
adalah sekelompok orang dan mesin yang melakukan tugas-tugas sekuensial
dalam merakit suatu produk, sedangkan idle time adalah waktu dimana
operator/sumber-sumber daya seperti mesin, tidak menghasilkan produk karena:
setup, perawatan (maintenance), kekurangan material, kekurangan perawatan, atau
tidak dijadwalkan.
Tujuan line balancing adalah untuk memperoleh suatu arus produksi yang
lancar dalam rangka memperoleh utilisasi yang tinggi atas fasilitas, tenaga kerja,
dan peralatan melalui penyeimbangan waktu kerja antar work station, dimana
setiap elemen tugas dalam suatu kegiatan produk dikelompokkan sedemikian rupa
dalam beberapa stasiun kerja yang telah ditentukan sehingga diperoleh
keseimbangan waktu kerja yang baik. Permulaan munculnya persoalan line
Skripsi Landasan Teori
Universitas Widyatama 23
balancing berasal dari ketidak seimbangan lintasan produksi yang berupa adanya
work in process pada beberapa workstation.
Persyaratan umum yang harus digunakan dalam suatu keseimbangan
lintasan produksi adalah dengan meminimumkan waktu menganggur (idle time)
dan meminimumkan pula keseimbangan waktu senggang (balance delay).
Sedangkan tujuan dari lintasan produksi yang seimbang adalah sebagai berikut:
1. Menyeimbangkan beban kerja yang dialokasikan pada setiap
workstation sehingga setiap workstation selesai pada waktu yang
seimbang dan mencegah terjadinya bottle neck. Bottle neck adalah
suatu operasi yang membatasi output dan frekuensi produksi.
2. Menjaga agar pelintasan perakitan tetap lancar.
3. Meningkatkan efisiensi atau produktifitas.
Penyeimbangan lintasan memerlukan metode tertentu yang sistematis. Metode
penyeimbngan lini rakit yang biasa digunakan antara lain:
1. Metode formulasi dengan program sistematis
2. Metode Kilbridge-Wester Heruistic\
3. Metode Helgeson-Birnie
4. Metode Moodie Young
5. Metode Immediate Update First-Fit Heruistic
6. Metode Rank And Assign Heruistic
Syarat dalam pengelompokan stasiun kerja:
1. Hubungan dengan proses terdahulu
2. Jumlah stasiun kerja tidak boleh melebihi jumlah elemen kerja
3. Waktu siklus lebih dari atau sama dengan waktu maksimum dari tiap
waktu di stasiun kerja dari tiap elemn pengerjaan
Istial-Istilah Dalam Line Balancing
Precedence diagram
Merupakan gambaran secara grafis dari urutan kerja operasi kerja, serta
ketergantungan pada operasi kerja lainnya yang tujuannya untuk memudahkan
pengontrolan dan perencanaan kegiatan yang terkait di dalamnya. Adapun tanda-
tanda yang dipakai sebagai berikut: (Apple, James, 1990).
Skripsi Landasan Teori
Universitas Widyatama 24
Symbol lingkaran dengan huruf atau nomor di dalamnya untuk
mempermudah identifikasi dari suatu proses operasi.
Tanda panah menunjukkan ketergantungan dan urutan proses operasi.
Dalam hal ini, operasi yang berada pada pangkal panah berarti
mendahului operasi kerja yang ada pada ujung anak panah.
Angka di atas symbol lingkaran adalah waktu standar yang diperlukan
untuk menyelesaikan setiap operasi.
Asssamble product
Adalah produk yang melewati urutan work stasiun di mana tiap work
stasiun (WS ) memberikan proses tertentu hingga selesai menjadi produk akhir
pada perakitan akhir.
Work elemen
Elemen operasi merupakan bagian dari seluruh proses perakitan yang
dilakukan.
Waktu operasi (Ti)
Adalah waktu standar untuk menyelesaikan suatu operasi.
Work stasiun (WS)
Adalah tempat pada lini perakitan di mana proses perakitan dilakukan.
Setelah menentukan interval waktu siklus, maka jumlah stasiun kerja efisien dapat
ditetapkan dengan rumus berikut:
.......................................................(2.3)
Di mana:
Ti : waktu operasi/elemen ( I=1,2,3,…,n)
C :waktu siklus stasiun kerja
N : jumlah elemen
Kmin : jumlah stasiun kerja minimal
Skripsi Landasan Teori
Universitas Widyatama 25
Cycle time (CT)
Merupakan waktu yang diperlukan untuk membuat satu unit produk satu
stasiun. Apabila waktu produksi dan target produksi telah ditentukan, maka waktu
siklus dapat diketahui dari hasil bagi waktu produksi dan target produksi. Pada
saat mendesain keseimbangan lintasan produksi untuk sejumlah produksi tertentu,
waktu siklus harus sama atau lebih besar dari waktu operasi terbesar yang
merupakan penyebab terjadinya bottle neck (kemacetan) dan waktu siklus juga
harus sama atau lebih kecil dari jam kerja efektif per hari dibagi dari jumlah
produksi per hari, yang secara matematis dinyatakan sebagi berikut
..............................................(2.4)
Di mana:
ti max : waktu operasi terbesar pada lintasan
CT : waktu siklus (cycle time)
P : jam kerja efektif per hari
Q : jumlah produksi per hari
Station time (ST)
Jumlah waktu dari elemen kerja yang dilakukan pada suatu stasiun kerja
yang sama.
Idle time (I)
Merupakan selisih(perbedaan0 antara cycle time (CT) dan stasiun time
(ST) atau CT dikurangi ST.
Balance delay (D)
Sering disebut balancing loss, adalah ukuran dari ketidakefisiensinan
lintasan yang dihasilkan dari waktu menganggur sebenarnya yang disebabkan
karena pengalokasian yang kurang sempurna di antara stasiun-stasiun kerja.
Balance delay ini dinyatakan dalam persentase. Balance delay dapat dirumuskan:
...............................................(2.5)
Di mana:
n : jumlah stasiun kerja
C : waktu siklus terbesar dalam stasiun kerja
Skripsi Landasan Teori
Universitas Widyatama 26
: jumlah waktu operasi dari semua operasi
: waktu operasi
: balance delay (%)
Line efficiency (LE)
Adalah rasio dari total waktu di stasiun kerja dibagi dengan waktu siklus
dikalikan jumlah stasiun kerja.
......................................(2.6)
Di mana:
STi : waktu stasiun dari stasiun ke-1
K : jumlah(banyaknya) stasiun kerja
CT : waktu siklus
Smoothes index (SI)
Adalah suatu indeks yang menunjukkan kelancaran relative dari
penyeimbangan lini perakitan tertentu.
SI= ....................................................(2.7)
Di mana:
St max : maksimum waktu di stasiun
Sti : waktu stasiun di stasiun kerja ke-i
Output production (Q)
Adalah jumlah waktu efektif yang tersedi dalam suatu periode dibagi
dengan cycle time.
.......................................................(2.8)
Di mana:
T : jam kerja efektif penyelesaiaan produk
C : waktu siklus terbesar
2.8 Efisiensi Mesin
Efisiensi mesin menggambarkan tingkat efektifitas mesin bekerja. Secara
alamiah setiap proses memerlukan energi, menghasilkan kerja untuk melakukan
Skripsi Landasan Teori
Universitas Widyatama 27
proses, kemudian ada energi yang harus dibuang. Apabila proses ini tidak berjalan
dengan semestinya, maka mesin tersebut dinyatakan dalam keadaan sakit dan
tidak bisa beroperasi, dalam kondisi ini maka mesin dinyatakan dalam keadaan
rusak. Mesin merupakan salah satu faktor produksi yang menentukan kelancaran
suatu proses produksi. Agar proses produksi berjalan secara efisien, maka yang
membantu dalam proses produksi haruslah dapat tetap digunakan dengan baik.
Usaha untuk dapat mempergunakan terus peralatan atau fasilitas tersebut agar
kontinuitas produksi tetap terjamin, maka dibutuhkan kegiatan pemeliharaan
(maintenance). berdasarkan
Kegiatan maintenance tidak dapat diabaikan karena sebagian kegiatan
pengolahan yang dilakukan pada kegiatan proses produksi pada perusahaan
industri yang menggunakan mesin. Perusahaan yang berproduksi tanpa
memperhatikan pemeliharaan berarti telah menghilangkan masa depan perusahaan
tersebut. Pada jangka pendek perusahaan memang dapat menekan biaya produksi
karena tidak perlu mengeluarkan biaya maintenance yang cukup besar untuk
memenuhi permintaan pelanggannya, akan tetapi dalam jangka panjang
perusahaan akan mengalami kesulitan dalam kegiatan proses produksinya yang
membutuhkan biaya yang besar atau perbaikan-perbaikan dari mesin-mesin dan
fasilitas pabrik yang tidak terpelihara dengan baik, seperti kerusakan, kemacetan,
dan terlebih tidak jalan sama sekali.
Total Productive Maintenance (TPM) dirancang untuk mencegah
terjadinya suatu kerugian karena penghentian kerja yang disebabkan oleh
kegagalan dan penyesuaian, kerugian kecepatan dan pengurangan kecepatan, dan
kerugian karena cacat yang disebabkan oleh cacat dalam proses dimulainya dan
penurunan hasil dengan meningkatkan metode manufaktur dengan penggunaan
dan pemeliharaan perlengkapan, tujuannya adalah untuk memaksimalkan efisiensi
sistem produksi secara keseluruhan. Efisiensi keseluruhan peralatan dan mesin
adalah suatu indeks TPM untuk melihat secara keseluruhan kondisi lini dan
efektifitas peralatan secara keseluruhan.
Nilai efisiensi mesin merupakan parameter kualitas dari kegiatan produksi.
Adapun standar dari JIPM (Japan Institute of Plant Maintenance) indeks
efektifitas dan efisiensi peralatan dan mesin adalah ≥ 85%, apabila nilai efisiensi
Skripsi Landasan Teori
Universitas Widyatama 28
peralatan dan mesin yang didapat lebih besar dari 85%, maka nilai tersebut sudah
dikatakan memenuhi standar, dan apabila nilai efisiensi yang didapat kurang dari
85% maka dapat dikatakan tidak memenuhi standar dan perlu dilakukan perbaikan
untuk meningkatkan nilai efisiensi tersebut. Semakin singkat waktu perbaikan
maka semakin baik kualitas perawatan dan akan dapat menghasilkan produk yang
baik yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan konsumen (Nakazima,
Seichi. 1988).