Upload
volien
View
232
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
SKRIPSI
PENGEMBANGAN EDIBLE FILM KITOSAN DENGAN
PENAMBAHAN ASAM LEMAK DAN ESENSIAL OIL: UPAYA
PERBAIKAN SIFAT BARRIER DAN AKTIVITAS ANTIMIKROBA
Oleh :
BETI CAHYANING ASTUTI
F24103025
2008
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
PENGEMBANGAN EDIBLE FILM KITOSAN DENGAN
PENAMBAHAN ASAM LEMAK DAN ESENSIAL OIL: UPAYA
PERBAIKAN SIFAT BARRIER DAN AKTIVITAS ANTIMIKROBA
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh :
BETI CAHYANING ASTUTI
F24103025
2008
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Beti Cahyaning Astuti. F24103025. Pengembangan Edible Film Kitosan dengan Penambahan Asam Lemak dan Esensial Oil: Upaya Perbaikan Sifat Barrier dan Aktivitas Antimikroba. Di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS dan Dr. Ir. Nugraha Edhi Suyatma, DEA.
RINGKASAN
Edible film dapat mencegah penurunan mutu produk dengan cara bertindak
sebagai barrier untuk mengendalikan transfer uap air, pengambilan oksigen, kehilangan komponen volatil dan terlarut atau transfer lipid. Film dengan bahan kitosan mempunyai sifat mekanik yang kuat dan sulit dirobek. Selain itu, film dari kitosan mempunyai nilai permeabilitas gas yang cukup rendah dan bisa diaplikasikan untuk meningkatkan umur simpan produk segar.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik edible film kitosan yang diinkorporasi dengan asam lemak dan ekstrak kunyit untuk memperbaiki sifat barrier terhadap uap air, serta mengetahui pengaruhnya terhadap aktivitas antimikroba. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat diaplikasikan sebagai bahan pengemas dan pengawet pada produk pangan. Penelitian ini dibagi dalam dua tahap yaitu tahap pendahuluan dan tahap utama. Tahap pendahuluan dilakukan untuk mendapatkan ekstrak kunyit sebagai bahan antimikroba alami yang akan ditambahkan dan melakukan uji coba pembuatan edible film. Penelitian utama penelitian ini adalah pembuatan edible film dari kitosan dengan menggunakan dua pelarut yaitu asam asetat 1% dan asam laktat 2% teknis, penambahan asam lemak palmitat dan laurat, dan penambahan esensial oil ekstrak kunyit. Analisis karakteristik edible film kitosan dilakukan dengan pengukuran aw, kadar air, pH, warna, ketebalan, pengukuran kuat tarik dan persen pemanjangan, pengukuran laju transmisi oksigen metode manometer, pengukuran laju transmisi uap air metode gravimetri, dan pengamatan mikrostruktur dengan Scanning Electron Microscopy (SEM). Pada penelitian ini dilakukan pula pengujian aktivitas antimikroba edible film kitosan dengan metode cakram. Penambahan asam lemak dan esensial oil pada edible film kitosan berfungsi untuk memperbaiki sifat fisik, mekanik, dan perbaikan aktivitas antimikroba dari kitosan. Asam lemak yang ditambahkan yaitu asam lemak palmitat dan asam lemak laurat dengan konsentrasi 0%, 5 %, dan 10% (w/w kitosan). Penambahan asam lemak bertujuan memperbaiki sifat barrier terhadap uap air. Esensial oil yang ditambahkan adalah ekstrak kunyit dengan konsentrasi 0% dan 100 µl/g kitosan. Hasil analisis pH berkisar 2.60 - 4.03, kadar air 26.37 - 32.48 %, aw berkisar 0.611 – 0.672, ketebalan berkisar antara 0.1 - 0.3 mm, kuat tarik berkisar 1.8 - 30 MPa, persen elongasi berkisar 32.22 - 693.33 %, nilai WVP berkisar 0.7692 – 1.7317 g.mm/m2.hari.mmHg, nilai O2TR berkisar 0.4 - 4.8 cc/m2/hari, dan warna edible film kitosan cenderung ke warna merah dan kuning gelap. Perbedaan pelarut mempengaruhi aw, pH, kadar air, tebal, kuat tarik, persen elongasi, WVP, dan aktivitas antimikroba. Edible film kitosan dengan pelarut asam laktat 2% mempunyai aw, kadar air, pH, dan tebal lebih besar dibandingkan dengan edible film kitosan dengan pelarut asam asetat 1%. Edible film kitosan dengan pelarut
asam asetat 1% mempunyai kuat tarik lebih besar dibandingkan dengan edible film kitosan dengan pelarut laktat 2%. Tetapi persen elongasi berbanding terbalik dengan kuat tarik. Penambahan asam lemak mempengaruhi pH, tebal, kuat tarik, persen elongasi, WVP, dan O2TR. Derajat keasaman edible film kitosan menurun dengan adanya penambahan asam lemak palmitat dan asam lemak laurat. Penambahan asam lemak meningkatkan tebal dari edible film kitosan. Penambahan asam lemak menurunkan kuat tarik dan pensen elongasi. Penambahan asam lemak menurunkan nilai permeabilitas edible film kitosan. Tetapi penambahan asam lemak terhadap nilai O2TR berbanding terbalik dengan nilai WVP.
Pengamatan struktur permukaan dengan SEM edible film kitosan memperlihatkan adanya pori-pori bekas dari asam lemak yang terlarut dengan heksana. Pori-pori semakin kecil diameternya maka permeabilitas uap air edible film kitosan semakin bagus. Mikrostruktur edible film kitosan dengan penambahan asam lemak laurat memperlihatkan tidak terbentuknya globula-globula lemak yang dikhawatirkan asam lemak memisah. Penambahan esensial oil ekstrak kunyit memperkuat aktivitas antimikroba dari edible film kitosan. Diameter penghambatan edible film terbesar pada Bacillus cereus sebesar 13.595 mm.
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PENGEMBANGAN EDIBLE FILM KITOSAN DENGAN
PENAMBAHAN ASAM LEMAK DAN ESENSIAL OIL: UPAYA
PERBAIKAN SIFAT BARRIER DAN AKTIVITAS ANTIMIKROBA
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh:
BETI CAHYANING ASTUTI
F24103025
Dilahirkan pada tanggal 29 Agustus 1984 di Sragen
Tanggal lulus : 21 Januari 2008
Menyetujui,
Bogor, Januari 2008
Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS Dr. Ir. Nugraha Edhi Suyatma, DEA
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Mengetahui,
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc
Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Sragen pada tanggal 29 Agustus
1984. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara,
anak dari pasangan Bapak Supardi dan Ibu Sri Rejeki.
Dalam perjalanan hidupnya penulis mengawali
pendidikan formalnya di TK Pertiwi II Sidodadi pada tahun
1989-1990, SD Negeri Sidodadi II pada tahun 1991-1997,
SLTP Negeri 1 Kebakkramat pada tahun 1997-2000, SMU Negeri 5 Surakarta
pada tahun 2000-2003, dan selanjutnya diterima di Departemen Ilmu dan
Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada
tahun 2003 melalui jalur USMI.
Selama masa kuliah, penulis aktif dalam berbagai kegiatan organisasi
kemahasiswaan. Penulis tergabung dalam keanggotaan HIMITEPA (Himpunan
Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan). Penulis juga aktif dalam berbagai
kepanitiaan kegiatan di dalam kampus, diantaranya Seminar Pangan Halal
Nasional (2004), Lomba Cepat Tepat Ilmu Pangan Nasional XIII (2005), dan
BAUR Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fateta, IPB (2006) dan berbagai
kegiatan intra kampus lainnya.
Semasa kuliah penulis juga aktif dalam bidang akademik. Penulis pernah
menjadi asisten praktikum Teknologi Pengolahan Hasil Hortikultura, Departemen
Ilmu dan Teknologi Pangan. Penulis adalah penerima beasiswa BBM (Bantuan
Belajar Mahasiswa) (2005-2007). Sebagai syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,
penulis melakukan penelitian dengan judul: Pengembangan Edible Film Kitosan
dengan Penambahan Asam Lemak dan Esensial Oil: Upaya Perbaikan Sifat
Barrier dan Aktivitas Antimikroba. Di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Rizal
Syarief, DESS dan Dr. Ir. Nugraha Edhi Suyatma, DEA.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillaahirobbil ’alamin, puji dan syukur atas rahmat dan karunia
dari Allah SWT sehingga penulis bisa menyelesaikan penelitian dan menyusun
skripsi yang berjudul “Pengembangan Edible Film Kitosan dengan Penambahan
Asam Lemak dan Esensial Oil: Upaya Perbaikan Sifat Barrier dan Aktivitas
Antimikroba”.
Selama melakukan penelitian dan penyusunan skripsi, penulis banyak
mendapat bimbingan, bantuan, dan dukungan dari berbagai pihak. Pada
kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS selaku dosen pembimbing I yang telah
memberikan bimbingan, nasehat, dan motivasi selama masa studi dan
penyusunan skripsi ini.
2. Dr. Ir. Nugraha Edhi Suyatma, DEA selaku dosen pembimbing II yang telah
memberikan bimbingan, nasehat dan motivasi dengan penuh kesabaran selama
penelitian dan penyusunan skripsi ini.
3. Siti Nurjanah, S.TP. M.Si atas kesediaannya sebagai dosen penguji dan telah
memberikan saran dan kritik untuk perbaikan skripsi ini.
4. Ibu dan Bapak yang selalu memberikan doa, kasih sayang, motivasi hidup,
dan canda tawa buat penulis.
5. Dedek Nevy yang selalu membuat hari-hari semakin indah dengan canda tawa
dan pertengkaran.
6. Seluruh dosen dan staf pengajar ITP yang telah memberikan ilmu dan
bimbingan selama penulis kuliah.
7. Bu Rubiyah, Pak Gatot, Pak Rojak, Bu Antin, Mbak Sri, Teh Ida, Mas Edi,
Pak Wahid, Pak Sobirin, Pak Koko, Pak Yahya, Mbak Darsi, Pak Mul, dan
seluruh laboran ITP yang banyak memberikan bantuan dan pengalaman
selama penelitian.
8. Bapak-bapak di perpustakaan PAU, FATETA, dan LSI. Dan tidak lupa bapak-
bapak dan ibu-ibu di AJMP FATETA. Terima kasih atas layanan dan
bantuannya selama penulis menyelesaikan skripsi.
9. Salam hangat buat Om, Tante, dan Saudara-saudara di Jakarta dan Bogor.
Terima kasih atas motivasi, tumpangan menginap, dan canda tawa selama
penulis kuliah.
10. Marto, Kak Hana, dan Mbak Erni atas kebersamaan dalam satu Tim Kitosan.
11. Tya dan Natalia, kalian adalah teman-teman yang memberi motivasi dan
semangat buat penulis.
12. Tias, Marlin, Anin, dan Evi atas kebersamaan di IPB yang lebih mendekatkan
kita semua.
13. Lilin, Mitoel, Yoga, Nchus, Ujo, Denny, Adie, Ados, Arie, Tathan, Danang
RT, Eja, Arga, Sarwo, dan Gading dengan semua canda tawa, keceriaan, dan
bantuan buat penulis.
14. Ratih, Maya, Tina, Hesty, Fitria, Primi, Enol, dan sahabat-sahabat SD, SMP,
dan SMU yang selalu ada dalam ingatan penulis.
15. Mbak Miksusanti, Mbak Dorkas, Mbak Fenny, Mbak Chyntia, Mbak Lenny,
Mbak Dian, dan Bang Ahyar atas bantuan dan canda tawa.
16. Penghuni Wisma Windhy : Angga, Dhia, Lina, Gading, Femi, Nooy, Sari,
Jeng Krut, Ekus, Lasty, Maya, Vina, Lita, Primus, Ivon, Dewi, Ikong, Otong,
Eneng, Annissa, Dang-dut, Maymoet, Rubi, dan Mbak Nur yang telah
memberikan warna yang indah di hidup penulis. Dan tidak lupa buat Doni
dengan segala bantuan dan canda tawa.
17. Teman-teman angkatan 40 : Mbak Asih, Oneth, Dhea, Gilang, Dani, Her her,
Hayuning, Wayan, Fitri, Rika, Kanin, Ade, Abdy, Martin, Nunu, Step, Oboth,
Tuti, Andal, Dion, serta teman-teman angkatan 38, 39, 41, 42, dan 43 yang
tidak dapat disebutkan satu persatu.
18. Pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak
membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini.
Saran dan masukan yang membangun sangat diharapkan untuk
kesempurnaan penelitian ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan sumbangan
bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan penerapannya dalam bidang industri
pangan.
Bogor, Januari 2008
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR .......................................................................... i
DAFTAR ISI ......................................................................................... iii
DAFTAR TABEL ................................................................................ v
DAFTAR GAMBAR ............................................................................ vi
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................ vii
I. PENDAHULUAN ............................................................................ 1
A. LATAR BELAKANG ............................................................... 1
B. TUJUAN .................................................................................... 3
C. MANFAAT PENELITIAN ......................................................... 3
II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. 4
A. KITOSAN .................................................................................. 4
B. KITOSAN SEBAGAI BAHAN EDIBLE FILM ........................ 10
C. PLASTICIZER ............................................................................. 14
D. ASAM LEMAK .......................................................................... 14
E. KUNYIT ..................................................................................... 15
F. AKTIVITAS ANTIMIKROBA .................................................. 17
G. KARAKTERISTIK MIKROBA PATOGEN ............................. 19
III. METODOLOGI PENELITIAN ................................................... 21
A. BAHAN DAN ALAT ................................................................. 21
B. METODE PENELITIAN .......................................................... 21
1. Penelitian Pendahuluan Ekstraksi Kunyit ............................. 21
a. Persiapan Ekstraksi............................................................ 21
b. Ekstraksi ............................................................................ 21
2. Penelitian Utama ................................................................... 22
a. Pembuatan Edible Film dari Kitosan................................. 22
b. Penentuan Karakteristik Edible Film Kitosan ................... 25
1. Pengukuran Nilai pH ................................................. 25
2. Pengukuran Aktivitas Air (aw) ................................. 25
3. Pengukuran Kadar Air Metode Oven ........................ 25
Halaman
4. Pengukuran Warna dengan Chromameter ................ 25
5. Pengukuran Ketebalan .............................................. 26
6. Pengukuran Kuat Tarik dan Persen Pemanjangan .... 26
7. Laju Transmisi Oksigen Metode Manometer ........... 26
8. Laju Transmisi Uap Air Metode Gravimetri ............. 28
9. Pengamatan Mikrostuktur dengan SEM ................... 28
c. Pengujian Aktivitas Antimikroba Edible Film .................. 28
1. Persiapan Kultur Uji .................................................. 29
2. Pengujian Aktivitas Antimikroba Metode Cakram ... 29
d. Rancangan Percobaan ....................................................... 30
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................... 32
A. PENELITIAN PENDAHULUAN .............................................. 32
B. KARAKTERISASI EDIBLE FILM ............................................ 33
1. Hasil Analisis pH .................................................................... 34
2. Hasil Analisis Nilai Kadar Air dan Aktivitas Air (aw) ............ 35
3. Hasil Analisis Warna............................................................... 39
4. Hasil Analisis Ketebalan ......................................................... 41
5. Hasil Analisis Kuat Tarik ........................................................ 43
6. Hasil Analisis Persen Pemanjangan ........................................ 45
7. Hasil Analisis Transmisi Uap Air ........................................... 47
8. Hasil Analisis Transmisi Oksigen ........................................... 50
9. Hasil Analisis SEM ................................................................. 51
C. AKTIVITAS ANTIMIKROBA EDIBLE FILM KITOSAN ....... 53
V. KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................... 61
A. KESIMPULAN .......................................................................... 61
B. SARAN ..................................................................................... 61
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 62
LAMPIRAN-LAMPIRAN .................................................................. 70
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Sifat dan mutu kitosan ............................................................. 8
Tabel 2. Aplikasi kitin, kitosan, dan turunannya dalam industri .......... 9
Tabel 3. Hasil pengukuran kadar air (% b.k)............................................................... 36
Tabel 4. Hasil pengukuran aw ................................................................ 38
Tabel 5. Hasil pengukuran ketebalan (mm) .......................................... 42
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Struktur kimia kitin dan kitosan .......................................... 5
Gambar 2. Rumus struktur (a) asam asetat, (b) asam laktat ................. 6
Gambar 3. Diagram alir proses ekstraksi .............................................. 22
Gambar 4. Larutan edible film .............................................................. 23
Gambar 5. Diagram alir pembuatan edible ........................................... 24
Gambar 6. Diagram alir persiapan kultur uji ........................................ 29
Gambar 7. Diagram alir metode cakram ............................................... 30
Gambar 8. Edible film kitosan (a) pelarut asetat, (b) pelarut laktat ...... 33
Gambar 9. Grafik nilai pH edible film kitosan ...................................... 34
Gambar 10. Grafik analisis warna dengan chromameter (a) warna L,
(b) warna a, (c) warna b ...................................................... 40
Gambar 11. Grafik nilai kuat tarik edible film kitosan............................ 44
Gambar 12. Grafik nilai persen pemanjangan ......................................... 46
Gambar 13. Grafik analisis WVP ........................................................... 49
Gambar 14. Grafik analisis O2TR ........................................................... 51
Gambar 15. Mikrostruktur edible film kitosan ........................................ 52
Gambar 16. Zona penghambatan (a) Edible film kitosan, (b) Edible
film kontrol pati sagu ........................................................... 54
Gambar 17. Aktivitas penghambatan edible film terhadap Escherichia
coli ....................................................................................... 55
Gambar 18. Aktivitas penghambatan edible film terhadap Bacillus
cereus .................................................................................. 55
Gambar 19. Aktivitas penghambatan edible film terhadap Salmonella
typhimurium ........................................................................ 56
Gambar 20. Aktivitas penghambatan edible film terhadap Staphylococcus
aureus ................................................................................. 56
Gambar 21. Zona penghambatan (a) Edible film kitosan pelarut asam
laktat, (b) Edible film kitosan pelarut asam asetat.............. 57
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Daftar singkatan dan istilah ............................................... 71
Lampiran 2. Rekapitulasi analisis Anova dan Uji Lanjut Duncan aw ... 72
Lampiran 3. Rekapitulasi analisis Anova dan Uji Lanjut Duncan pH .. 73
Lampiran 4a.Rekapitulasi analisis Anova dan Uji Lanjut Duncan
warna L ............................................................................. 75
Lampiran 4b.Rekapitulasi analisis Anova dan Uji Lanjut Duncan
warna a .............................................................................. 77
Lampiran 4c.Rekapitulasi analisis Anova dan Uji Lanjut Duncan
warna b .............................................................................. 79
Lampiran 5. Rekapitulasi analisis Anova dan Uji Lanjut Duncan tebal 81
Lampiran 6. Rekapitulasi analisis Anova dan Uji Lanjut Duncan
elongasi ............................................................................. 83
Lampiran 7. Rekapitulasi analisis Anova dan Uji Lanjut Duncan
kuat tarik ........................................................................... 84
Lampiran 8. Rekapitulasi analisis Anova dan Uji Lanjut Duncan
WVP .................................................................................. 85
Lampiran 9. Data analisis zona penghambatan edible film terhadap
bakteri-bakteri patogen (mm) .......................................... 87
Lampiran 10. Rekapitulasi analisis Anova dan Uji Lanjut Duncan
kadar air ............................................................................. 88
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Perkembangan teknologi pangan yang pesat menimbulkan berbagai
produk pangan yang baru. Hampir seluruh produk pangan tersebut
memerlukan kemasan dalam proses distribusi dan pemasarannya. Hal ini
dibutuhkan untuk memperpanjang umur produk pangan tersebut.
Kemasan yang sering digunakan untuk produk pangan adalah plastik.
Plastik memiliki sifat barrier terhadap oksigen, karbondioksida dan uap air
yang baik, dan harganya tidak terlalu mahal. Namun demikian, plastik ini
bersifat non biodegradable sehingga limbah dari plastik ini dapat mencemari
lingkungan. Oleh karena itu perlu dikembangkan suatu kemasan yang
memiliki sifat barrier seperti plastik tetapi yang bersifat “ramah lingkungan”.
Kemasan tersebut adalah edible atau biodegradable film. Kelebihan edible
film sebagai pengemas produk pangan antara lain : dapat melindungi produk
dari pengaruh lingkungan dan kontaminan, sifatnya yang transparan sehingga
penampakan produk yang dikemas masih terlihat dan dapat dimakan sehingga
tidak menyebabkan pencemaran lingkungan.
Edible film adalah lapisan tipis dan kontinyu yang dibuat dari bahan
yang dapat dimakan, dibentuk di atas komponen makanan (film) atau
diletakkan diantara komponen makanan (coating) yang berfungsi sebagai
penghambat terhadap transfer massa (misalnya kelembaban, oksigen, lipida,
zat terlarut), dan/atau sebagai carrier bahan makanan atau aditif, dan/atau
untuk meningkatkan penanganan makanan (Krochta, 1992).
Pada penelitian ini dilakukan pembuatan edible film dengan
menggunakan bahan baku utama kitosan. Kitosan dipilih berdasarkan
pertimbangan bahwa ketersediaan limbah udang cukup banyak dan mudah
diperoleh. Udang merupakan salah satu komoditas hasil perikanan di
Indonesia yang diperdagangkan dalam pasar lokal dan ekspor. Potensi sumber
daya udang sebesar 94,8 ribu ton dari 6,4 juta ton per tahun potensi sumber
daya ikan laut Indonesia (7,5% total potensi stok ikan laut dunia) (Dahuri,
2005). Dalam pemanfaatannya oleh industri pengolahan, udang akan
menghasilkan limbah. Selama ini limbah udang baru dimanfaatkan oleh
industri kecil dalam pembuatan terasi, kerupuk udang, petis, dan campuran
pakan ternak (Bastaman, 1989).
Melalui pendekatan teknologi yang tepat, potensi limbah ini dapat
diolah lebih lanjut menjadi kitin dan kitosan. Kitosan merupakan hasil proses
deasetilasi dari kitin. Kitin merupakan karbohidrat polimer yang terdapat pada
kulit crustacea. Harga jual kitosan di pasar internasional saat ini telah
mencapai 10 US$/kg (Sandford, 2003).
Pemanfaatan kitosan dalam bidang industri di Indonesia belum banyak
digunakan, misalnya kitosan dapat digunakan sebagai penstabil, pengental,
pengemulsi makanan, dan pembentuk lapisan pelindung jernih. Penggunaan
kitosan sebagai lapisan pelindung terus dikembangkan antara lain sebagai
pelapis semipermeabel yang bersifat edible atau dapat dimakan sehingga
mengurangi ketergantungan produsen terhadap pemakaian bahan plastik
sebagai bahan pengemas. Kitosan termasuk salah satu jenis polisakarida yang
dapat digunakan sebagai edible film. Pelapis dari polisakarida merupakan
penghalang (barrier) yang baik karena dapat membentuk matriks yang kuat
dan kompak.
Film dengan bahan kitosan mempunyai sifat yang kuat, elastis,
fleksibel, dan sulit dirobek (Butler et al., 1996). Selain itu, film dari kitosan
mempunyai nilai permeabilitas air yang cukup rendah dan bisa digunakan
untuk meningkatkan umur simpan produk segar dan sebagai cadangan
makanan dengan nilai aktivitas air yang lebih tinggi (Kittur et al., 1998).
Selain itu, kitosan berpotensi sebagai antimikroba alami sehingga
diharapkan aman bagi manusia. Tsai dan Su (1999) menunjukkan adanya efek
bakterisidal dari kitosan udang terhadap E. coli. Berdasarkan penelitian Coma
et al. (2002) kitosan dapat menghambat pertumbuhan Listeria monocytogenes.
Menurut Pranoto et al. (2004) film dari kitosan yang diinkorporasi dengan
minyak bawang putih, kalium sorbat, dan nisin (bakteriosin) mempunyai efek
sebagai antibakteri.
Karakteristik yang penting bagi edible film adalah tingkat
permeabilitas terhadap uap air dan elastisitas. Kombinasi dari berbagai bahan
yang ditambahkan dalam pembuatan edible film kitosan masing-masing akan
dikaji terhadap sifat-sifat fisik, mekanis, dan aktivitas antimikrobanya.
B. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan asam
lemak laurat, asam lemak palmitat, dan esensial oil ekstrak kunyit terhadap
sifat barrier uap air dan sifat mekanik, serta aktivitas antimikroba edible film
kitosan yang dihasilkan. Produk yang diharapkan adalah edible film yang
memiliki sifat barrier uap air dan mekanik yang lebih baik sebagai pengemas
makanan, serta mempunyai sifat antimikroba yang lebih kuat.
C. MANFAAT PENELITIAN
1. Memperoleh informasi asam lemak yang tepat untuk meningkatkan
barrier terhadap uap air.
2. Memperoleh alternatif pengemas dan pengawet makanan yang alami dan
aman.
3. Mengurangi pencemaran lingkungan dengan menyediakan alternatif
plastik yang bersifat biodegradable.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. KITOSAN
Kitosan adalah polisakarida alami hasil dari proses deasetilasi
(penghilangan gugus-COCH3) kitin. Kitin merupakan penyusun utama
eksoskeleton dari hewan air golongan crustacea seperti kepiting dan udang.
Kitin tersusun dari unit-unit N-asetil-D-glukosamin (2-acetamido-2-deoxy-D-
glucopyranose) yang dihubungkan secara linier melalui ikatan β-(1→ 4). Kitin
berwarna putih, keras, tidak elastis, merupakan polisakarida yang mengandung
banyak nitrogen, sumber polusi utama di daerah pantai (Goosen, 1997).
Proses deasetilasi (penghilangan gugus asetil) kitin menjadi kitosan
dapat dilakukan secara kimiawi maupun enzimatis. Secara kimiawi, deasetilasi
kitin dilakukan dengan penambahan NaOH (Kolodziesjska et al., 2000; Chang
et al., 1997), sedangkan secara enzimatis digunakan enzim kitin deasetilase
(CDA) (Hetmat et al., 2003). Proses deasetilasi secara termokimiawi, yang
saat ini secara komersial banyak dilakukan, dalam banyak hal tidak
menguntungkan karena tidak ramah lingkungan, prosesnya tidak mudah
dikendalikan, dan kitosan yang dihasilkan memiliki berat molekul dan derajat
deasetilasi yang tidak seragam (Chang et al., 1997; Tsigos et al., 2000). Proses
deasetilasi menggunakan kombinasi perlakuan secara kimiawi dan enzimatis
seperti yang telah dilaporkan oleh Emmawati (2004) dan Rochima (2005)
merupakan alternatif proses yang lebih baik.
Deasetilasi kitin akan menghilangkan gugus asetil dan menyisakan
gugus amino yang bermuatan positif, sehingga kitosan bersifat polikationik.
Adanya gugus reaktif amino pada C-2 dan gugus hidroksil pada C-3 dan C-6
pada kitosan tersebut sangat berperan dalam aplikasinya, antara lain sebagai
pengawet dan penstabil warna, sebagai floculant dan membantu proses reserve
osmosis dalam penjernihan air, sebagai aditif untuk produk agrokimia dan
pengawet benih (Shahidi et al., 1999). Struktur kitin dan kitosan dapat dilihat
pada Gambar 1.
Gambar 1. Struktur kimia kitin dan kitosan
Adapun perbedaan-perbedaan seperti pelarut, konsentrasi, waktu, suhu
proses, dan ekstraksi dapat mempengaruhi sifat dan penampilan akhir produk
kitosan (Sophanodora dan Benjakula, 1993).
Kitosan adalah nama yang digunakan untuk bentuk deasetilasi kitin.
Kitosan merupakan polimer rantai panjang yang disusun oleh monomer-
monomer glukosamin (2-amino-2-deoksi-D-glukosa). Biopolimer ini disusun
oleh dua jenis gula amino yaitu glukosamin (2-amino-2-deoksi-D-glukosa, 70-
80 %) dan N-asetilglukosamin (2-asetamino-2-deoksi-D-glukosa, 20-30%)
(Goosen, 1997). Menurut Knorr (1984), berat molekul kitosan adalah 1,036 x
106 Dalton. Berat molekul tersebut tergantung dari degradasi yang terjadi pada
saat proses pembuatannya. Semakin banyak gugus asetil yang hilang dari
polimer kitin, maka berat molekulnya semakin rendah dan sebaliknya interaksi
antar ion dan ikatan hidrogen dari kitosan akan semakin kuat (Ornum, 1992).
Kitosan memiliki nama kimia (1-4)-2-amino-2-deoksi-D-glukosa
(Shahidi et al., 1999). Kitosan berbentuk spesifik dan mengandung gugus
amino dalam rantai panjangnya. Kitosan adalah gula yang unik, karena
polimer ini mempunyai gugus amin bermuatan positif, sedangkan polisakarida
lain umumnya bersifat netral atau bermuatan negatif (Angka dan Suhartono,
2000). Grup amin kitosan dapat berinteraksi dengan muatan negatif suatu
molekul seperti protein dan polimer. Nitrogen pada gugus amin kitosan
berfungsi sebagai donor elektron dalam pengikatan selektif logam tertentu.
Kitosan dapat menghambat sel tumor, anti kapang, anti bakteri, anti virus,
menstimulasi sistem imun, dan mempercepat germinasi tumbuhan (Goosen,
1997).
Pelarut yang digunakan dalam penelitian ini adalah pelarut asam asetat
1 % dan pelarut asam laktat 2 %. Pelarut terbaik yang digunakan dalam proses
pembuatan membran polimer berbahan dasar kitosan adalah pelarut asam
asetat (Aryanto, 2002). Pelarut yang umum digunakan untuk melarutkan
kitosan adalah asam asetat dengan konsentrasi 1 – 2 % (Knorr, 1982). Asam
asetat adalah cairan tidak berwarna dengan karakteristik bau yang tajam,
berasa asam, serta larut dalam air, alkohol, dan gliserol. Rumus empirik asam
asetat adalah C2H4O2 dan rumus strukturnya CH3COOH. Asam asetat
mempunyai berat molekul 60, titik didih 118 oC, titik beku 16,7 oC, dan dapat
digunakaan sebagai penambahan rasa (Dillon, 1992). Rumus struktur (a) asam
asetat, (b) asam laktat dapat dilihat pada Gambar 2.
(a) (b)
Gambar 2. Rumus struktur (a) Asam asetat, (b) Asam laktat
Asam laktat atau asam 2-hidroksi propionat merupakan senyawa non-
atsiri dan tidak berbau yang diklasifikasikan ke dalam GRAS (Generally
Recognized As Safe) sebagai bahan aditif makanan. Asam laktat mempunyai
sifat larut dalam air dan pelarut organik polar tetapi tidak larut dalam pelarut
organik lainnya. Pelarut asam laktat yang ditambahkan untuk mendapatkan
hasil yang terbaik adalah 2 % (Kim, 2006).
Dalam struktur kimianya, asam laktat merupakan salah satu molekul
terkecil yang memiliki sifat optis aktif yang mempunyai satu atom karbon
kiral sehingga memiliki dua bentuk enantiomer, yaitu L- dan D-laktat. Sekitar
85% kebutuhan asam laktat saat ini adalah untuk aplikasi di bidang pangan
dan yang berhubungan dengan pangan, antara lain sebagai pengasam makanan
(food acidulan, flavoring agent, pH buffering agent, dan antimicrobial agent)
(Koesnandar, 2004).
Molekul kitosan di dalam larutan asam encer berkekuatan ion rendah
bersifat lebih kompak bila dibandingkan dengan larutan polisakarida lainnya.
Hal ini disebabkan densitas muatan yang tinggi. Namun, dalam larutan
berkekuatan ionik tinggi, ikatan hidrogen, dan gaya elektrostatik pada molekul
kitosan terganggu sehingga konformitas menjadi bentuk acak (random coil).
Sifat fleksibel molekul ini yang akan menjadikan kitosan dapat membentuk
baik konformitas kompak maupun memanjang (polisakarida lainnya
umumnya berbentuk memanjang). Sifat fleksibel kitosan membantu daya
gunanya di dalam berbagai produk (Angka dan Suhartono, 2000).
Selain itu, Lab. Protan (1987) menyatakan bahwa kitosan merupakan
poliglukosamin yang dapat larut dalam kebanyakan asam seperti asam asetat,
asam laktat atau asam-asam organik (adipat, malat), asam mineral seperti HCl,
HNO3 pada konsentrasi 1 % dan mempunyai daya larut terbatas dalam asam
fosfat dan tidak larut dalam asam sulfat. Kitosan mempunyai gugus fungsional
yaitu gugus amina, sehingga mempunyai derajat reaksi kimia yang tinggi
(Johnson dan Peniston, 1975).
Kitin dan kitosan merupakan senyawa kimia yang mudah
menyesuaikan diri, hidrofilik, memiliki reaktivitas kimia yang tinggi (karena
mengandung gugus OH dan gugus NH2) untuk ligan yang bervariasi (sebagai
bahan pewarna dan penukar ion). Disamping itu ketahanan kimia keduanya
cukup baik, yaitu kitosan larut dalam larutan asam, tetapi tidak larut dalam
basa dan ikatan silang kitosan memiliki sifat yang sama baiknya dengan kitin,
serta tidak larut dalam media campuran asam dan basa (Muzzarelli, 1997).
Banyak sekali potensi kitosan yang sudah banyak diteliti, mulai dari
pangan, mikrobiologi, kesehatan, pertanian, dan sebagainya. Aplikasi kitosan
dalam bidang pangan salah satunya yaitu sebagai makanan berserat sehingga
dapat meningkatkan massa feses, menurunkan respon glisemik dari makanan,
dan menurunkan kadar kolesterol (Manullang, 1998). Dalam bidang kesehatan
dapat berperan sebagai antibakteri, anti koagulan dalam darah, pengganti
tulang rawan, pengganti saluran darah, anti tumor (penggumpal) sel-sel
leukimia (Manullang, 1998). Chen et al. (1996) meneliti aplikasi kitosan
sebagai antimikrobial untuk pengemas dan Kittur et al. (1998) menggunakan
kitosan sebagai bahan dasar pengemas berupa film. Sifat dan mutu kitosan
dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Sifat dan mutu kitosan
Sifat Nilai
Ukuran partikel Serpihan sampai bubuk
Kadar air (% berat kering) ≤ 10.0
Kadar abu (% berat kering) ≤ 2.0
Warna larutan Jernih
Derajat deasetilasi (%) ≥ 70
Viskositas (cps)
Rendah
Medium
Tinggi
Ekstra tinggi
< 200
200-799
800-2000
> 2000
Sumber : Protan Laboratories Inc. (1987)
Kitosan telah dimanfaatkan dalam berbagai keperluan industri seperti
industri kertas dan tekstil sebagai zat aditif, industri pembungkus makanan
berupa film khusus, industri metalurgi sebagai absorban untuk ion-ion metal,
industri kulit untuk perekat, photografi, industri cat sebagai koagulan,
pensuspensi dan flokulasi, serta industri makanan sebagai aditif dan penghasil
protein sel tunggal (Suptijah et al., 1992).
Pemanfaatan yang potensial yaitu sebagai pengental, flokulan,
penyerap, dan pembentuk lapisan untuk bidang pertanian, industri kimia, obat-
obatan, kosmetik, pangan, dan industri tekstil sebagai pengolah limbah cair
(Chandkrachang, 1991).
Kitosan dapat digunakan sebagai obat antikolesterol. Kitosan
mempunyai potensi sebagai hipokolesterolemik yang tinggi, dalam saluran
pencernaan senyawa ini berinteraksi dengan lemak membentuk misela atau
emulsifikasi lipid pada fase absorbsi (Deuchi et al., 1994). Kitosan dapat
menyerap 97% absorpsi lemak tubuh yang dianggap lebih unggul
dibandingkan jenis polimer lain seperti selulosa, karagenan, agar-agar, dan
lain–lain (Sugano et al., 1980). Knorr (1984) menyatakan bahwa kitosan
merupakan senyawa yang tidak beracun sebagai unsur serat makanan dan
dapat menurunkan kadar kolesterol, selain itu kitosan juga diketahui tidak
menyebabkan alergi dan dapat memacu pertumbuhan bakteri penghasil enzim
laktase yang biasa hidup dalam organ pencernaan bayi (Austin, 1984).
Penelitian Ikeda et al. (1993) menunjukkan bahwa kitosan DD 80 %
dengan berat molekul (BM) 50.000 Da memiliki kemampuan mengikat asam
empedu hingga 0,52 nmol/20mg serta mampu mengikat dan membawa
kolesterol, trigliserida (lemak), fosfolipid keluar dari pencernaan melalui
feses. Kemampuan tersebut nampak dari hasil percobaan yang menyatakan
bahwa kolesterol darah tikus yang diberi ransum kitosan mengalami
penurunan secara signifikan dari 142 mg/dL (hari ke-7) menjadi 116 mg/dL
pada hari ke-14, setelah mengkonsumsi kitosan DD 80 % dengan berat
molekul 50.000 Da sebanyak 0,004 g/g dari berat badan per hari (Ikeda et al.,
1993). Analisis kitosan terhadap manusia telah dilakukan oleh Maezaki et al.
(1993). Konsumsi 3-6 g kitosan (DD 90,5%; 500.000 Da; 280 cP) perhari
dapat menurunkan kolesterol darah secara signifikan dari 189 menjadi 177
mg/dL (hari ke-14), dan meningkatkan kolesterol HDL secara signifikan dari
51 menjadi 56 mg/dL (hari ke-14). Aplikasi kitin, kitosan, dan turunannya
dalam industri makanan dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Aplikasi kitin, kitosan, dan turunannya dalam industri makanan
Aplikasi Contoh Antimikroba Bakterisidal, fungisidal, dan menghambat
kontaminasi jamur pada komoditi pertanian Industri edible film Mengatur perpindahan uap air antara makanan dan
lingkungan sekitar; flavour; mereduksi tekanan parsial oksigen; pengatur suhu; menahan browning enzimatis pada buah; dan mengembalikan tekanan osmosis membran
Bahan aditif Mempertahankan flavor alami; bahan pengontrol tekstur; bahan pengemulsi; bahan pengental dan stabilizer; dan penstabil warna
Sifat nutrisi Sebagai serat diet; penurun kolesterol; persediaan dan tambahan makanan ikan; mereduksi penyerapan lemak; memproduksi protein sel tunggal; bahan antigastritis (radang lambung); dan sebagai bahan makanan bayi
Pengolah limbah makanan padat
Flokulan dan pemecah agar
Pemurnian air Memisahkan ion-ion logam, pestisida, dan penjernih Sumber : Shahidi et al., 1999
Pada tahun belakangan ini, aplikasi kitosan dan turunannya sebagai
antimikroba (bahan pengawet) makanan telah dilaporkan oleh beberapa
peneliti (Roller et al., 2002; Sagoo et al., 2002; Jeong et al., 2002; Zivanovic
et al., 2004). Roller et al. (2002) menunjukkan bahwa kitosan bekerja sinergis
dengan pengawet seperti asam benzoat, asam asetat, dan sulfit. Penambahan
kitosan 0,6 % dalam penggunaan sulfit pada konsentrasi yang rendah (170
ppm) mampu menghambat mikroorganisme perusak lebih efektif (3-4 log
CFU/g) dibandingkan penggunaan sulfit secara tunggal dengan konsentrasi
yang tinggi (340 ppm). Kombinasi penggunaan sulfit dan kitosan tersebut
mampu memperpanjang umur simpan sosis daging babi. Perendaman sosis
daging babi dalam larutan kitosan 1 % mampu menurunkan jumlah mikroba
sebanyak 1-3 log CFU/g selama 18 hari pada suhu 7 oC. Kitosan juga dapat
mengawetkan ikan hering dan kod, yaitu dengan berfungsi sebagai edible film
sehingga mampu meningkatkan kualitas produk perikanan selama
penyimpanan.
Kitosan memiliki reaktivitas kimia tinggi yang menyebabkan kitosan
mampu mengikat air dan minyak. Oleh karena itu kitosan dapat digunakan
sebagai bahan makro molekul emulsifikasi. Zivanovic et al. (2004)
memanfaatkan kitosan dalam produk emulsi. Penambahan 0,1 % kitosan
polisakarida dapat menjamin keamanan dari produk emulsi oil-in water.
Model emulsi yang digunakan terdiri dari campuran 20 % minyak jagung, 1 %
Tween 20, 1,5 % Tripticase soy broth, 0,58 % asam asetat, dan kitosan
polisakarida.
B. KITOSAN SEBAGAI BAHAN EDIBLE FILM
Edible film adalah lapisan tipis dan kontinyu yang dibuat dari bahan
yang dapat dimakan, dibentuk di atas komponen makanan (film) atau
diletakkan diantara komponen makanan (coating) yang berfungsi sebagai
penghambat terhadap transfer massa (misalnya kelembaban, oksigen, lipida,
zat terlarut), dan/atau sebagai carrier bahan makanan atau aditif, dan/atau
untuk meningkatkan penanganan makanan (Krochta, 1992).
Film sendiri sebenarnya merupakan salah satu bentuk polimer yang
mudah dibentuk. Proses pembentukan polimer sendiri biasa disebut dengan
proses polimerisasi. Polimer yang berupa larutan encer memiliki rantai bebas
bergerak, sehingga kemungkinan terbentuk konfigurasi rantai yang beragam.
Akan tetapi polimer dalam bentuk padat memiliki rantai tidak teratur sehingga
gerakan dan konfigurasinya terbatas.
Menurut Park et al. (1996), penggunaan yang potensial dari edible film
dan pelapisan biopolimer adalah untuk memperlambat pengangkutan gas O2
dan CO2 untuk buah dan sayur, migrasi uap air untuk pangan kering atau
setengah basah dan migrasi bahan terlarut dari pangan beku. Kekurangan
terbesar dari edible film kitosan adalah kurang mampu menahan uap air karena
sifat hidrofilik yang dimilikinya.
Menurut Dominic et al. (1994) secara teoritis bahan edible film
diharapkan dapat : a). menjadi panahan kehilangan air yang efisien, b).
mempunyai sifat permeabel terhadap keluar masuknya gas, c). mengendalikan
perpindahan dari air ke larutan untuk mempertahankan warna pigmen alami
dan nutrisi serta, d). membawa zat tambahan yang diperlukan.
Bahan dasar pembuatan edible film menurut Krochta (1992) dapat
digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu hidrokoloid (protein dan
polisakarida), lemak (asam lemak dan wax), dan campuran (hidrokoloid dan
lemak). Protein yang digunakan sebagai bahan dasar antara lain protein
kedelai, jagung, kasein, kolagen, gelatin, dan protein ikan. Selulosa, pati,
pektin, ekstrak ganggang laut, gum, dan kitosan merupakan contoh-contoh
polisakarida yang digunakan. Selanjutnya lemak yang umum digunakan antara
lain beeswax, paraffin wax, carnauba wax, dan asam lemak seperti asam
laurat dan asam oleat.
Bahan dasar pembentuk edible film sangat mempengaruhi sifat-sifat
edible film itu sendiri. Edible film yang berasal dari hidrokoloid memiliki
ketahanan yang bagus terhadap gas O2 dan CO2, meningkatkan kekuatan fisik,
namun ketahanan terhadap uap air sangat rendah akibat sifat hidrofiliknya.
Edible film dari lemak merupakan tahanan yang baik terhadap uap air,
meningkatkan kilap permukaan dan mengurangi abrasi. Edible film yang
terdiri dari satu komponen bahan tidak dapat memberikan hasil yang
memuaskan dibandingkan dengan emulsi campuran beberapa bahan (Wong et
al., 1994).
Film dengan bahan kitosan mempunyai sifat yang kuat, elastis,
fleksibel, dan sulit untuk dirobek. Kebanyakan dari sifat mekanik sebanding
dengan polimer komersial dengan kekuatan sedang (Butler et al., 1996).
Hoagland dan Parris (1996) mengemukakan alasan dalam membuat
film dengan bahan dasar kitosan :
1. Kitosan merupakan turunan kitin, polisakarida paling banyak di bumi
setelah selulosa
2. Kitosan dapat membentuk film dan membran dengan baik
3. Sifat kationik selama pembentukan film merupakan interaksi elektrostatik
dengan anionik.
Film dari kitosan mempunyai nilai permeabilitas air yang cukup dan
bisa digunakan untuk meningkatkan umur simpan produk segar, dan sebagai
cadangan makanan dengan nilai aktivitas air yang lebih tinggi (Kittur et al.,
1998). Butler et al. (1996) mengamati bahwa kitosan film merupakan
penghalang yang baik terhadap oksigen tetapi penghalang yang kurang
terhadap uap air.
Kitosan sebagai polimer film dari karbohidrat lainnya, memiliki sifat
selektif permeabel terhadap gas-gas (CO2 dan O2), tetapi kurang mampu
menghambat perpindahan air. Secara umum, pelapis yang tersusun dari
polisakarida dan turunannya hanya sedikit menahan penguapan air, tetapi
selektif untuk mengontrol difusi dari berbagai gas (Nisperoscarriedo, 1995).
Kemampuan dari kitosan film dibatasi oleh permeabilitas kelembaban
yang relatif tinggi. Salah satu kegunaannya yaitu sebagai pengemas roti,
dimana difusi kelembaban yang melalui kemasan dapat digunakan dalam
menyeimbangkan kelembaban kulitnya yang rendah (Caner et al., 1998).
Perbedaan antara edible film dengan edible coating yaitu, edible film
merupakan bahan pengemas yang telah dibentuk terlebih dahulu berupa
lapisan tipis (film) sebelum digunakan untuk mengemas produk pangan.
Sedangkan edible coating merupakan bahan pengemas yang dibentuk
langsung pada produk dan bahan pangan (Harris, 1999). Edible film dan
coating digunakan dalam produk obat-obatan, konfeksioneri, buah-buahan,
dan sayuran segar, serta beberapa produk daging (Brandenberg, 1993).
Kittur et al. (1998) menyatakan bahwa edible film dan coating telah
digunakan untuk mengontrol pertukaran gas (O2, CO2, dan etilen) antara
produk makanan dengan lingkungan atau antar komponen makanan, juga
dapat mengontrol perubahan fisiologi, mikrobiologi, dan fisikokimia produk
makanan.
Sifat penahan gas dan uap air dari edible film dan coating dipengaruhi
oleh komposisi, gelembung udara dan lubang dalam film. Pembentukan
gelembung udara dan kemungkinan adanya lubang dipengaruhi oleh teknik
preparasi dan komposisi kimia, termasuk konsentrasi dari plasticizer.
Keberadaan gelembung udara dan lubang mempengaruhi karakteristik
permeabilitas film (Park dan Chinnan, 1995).
Aplikasi yang potensial dari edible film dan coating dari biopolimer
adalah untuk memperlambat transportasi gas oksigen dan karbondioksida dari
buah dan sayuran, perpindahan kelembaban pangan yang dikeringkan atau
pangan dengan kelembaban sedang, serta perpindahan zat terlarut pada pangan
beku. Kekurangan yang paling besar dari kebanyakan edible film yaitu
kemampuannya yang kurang dalam menghalangi air yang merupakan sifat
hidrofilik dari edible film. Kemampuan edible film dan coating dalam
menahan uap air dan oksigen dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan
kesegaran dari buah, sayuran, dan pangan lainnya (Park et al., 1996).
Edible coating mempunyai kemampuan untuk meningkatkan mutu dan
memperpanjang umur simpan dari produk yang telah diproses (Li & Barth,
1998). Kitosan telah terbukti dapat digunakan sebagai bahan edible coating
karena kemampuannya dalam membentuk film (Shahidi et al., 1999). Dong et
al. (2004) telah menguji bahwa edible coating pada buah kelengkeng yang
dikupas dapat meningkatkan mutu dan memperpanjang umur simpan. Dalam
aplikasi dalam bidang pertanian, edible coating digunakan untuk melapisi
mangga dalam bentuk slice dapat memperkecil kehilangan air dan
memperpanjang umur simpan (Baldwin et al., 1999). Kitosan coating pada
buah mangga dalam bentuk slice bertujuan untuk meningkatkan mutu dengan
mencegah pecahnya permukaan mangga dan kebocoran sari buah.
C. PLASTICIZER
Plasticizer adalah bahan dengan bobot molekul rendah yang
ditambahkan dengan maksud meningkatkan elastisitas (Gennadios, 2002).
Plasticizer didefinisikan sebagai substansi non volatil yang mempunyai titik
didih tinggi, yang jika ditambahkan ke senyawa lain akan mengubah sifat fisik
dan mekanik senyawa tersebut (Krochta, 1992).
Plasticizer secara umum meningkatkan permeabilitas film terhadap
gas, uap air, dan zat–zat terlarut, juga dapat menurunkan elastisitas dan daya
kohesi film (Caner et al., 1998), meningkatkan daya rentang, menghaluskan
film dan mempertipis hasil film yang terbentuk. Plasticizer yang digunakan
dalam penelitian ini adalah polietilen glikol.
Polietilen glikol (PEG) adalah polimer adisi dari etilen glikol dengan
berat molekul di atas 200. PEG bersifat netral, larut dalam air dan pelarut
organik, non volatil, dan non toksik. Polimer ini adalah polimer yang bersifat
hidrofilik (Zhang et al., 2002). Disebutkan pula bahwa permukaan zat yang
dimodifikasi oleh PEG akan bersifat hidrofilik. PEG juga bersifat misibel
terhadap beberapa lilin (wax), gum, minyak, pati, dan pelarut organik.
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa plasticizer polietilen glikol yang
ditambahkan dalam edible film kitosan akan memberikan sifat yang elastis
(Suyatma et al., 2005).
D. ASAM LEMAK
Menurut Grosch dan Belitz, (1995) asam lemak merupakan
monokarboksilat berantai panjang, mungkin bersifat jenuh atau tidak jenuh,
panjang rantai berbeda-beda tetapi bukan siklik atau bercabang. Pada
umumnya asam lemak yang ditemukan di alam merupakan monokarboksilat
dengan rantai tidak bercabang dan memiliki jumlah atom genap. Asam-asam
lemak ini dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu asam lemak jenuh dan
asam lemak tak jenuh. Penggolongan tersebut berdasarkan pada perbedaan
bobot molekul dan derajat ketidakjenuhannya (Winarno, 1997).
Menurut Hagenmaier dan Shaw (1990), asam lemak rantai panjang
biasa digunakan dalam pembuatan edible film karena mempunyai titik didih
(melting point) yang tinggi dan sifat hidrofobiknya.
Asam laurat adalah asam lemak jenuh yang mudah diperoleh dari
minyak kelapa dan minyak inti sawit. Wujudnya padat pada suhu ruang,
dengan rumus kimia C12H24O2.
Salah satu asam lemak yang paling mudah diperoleh adalah asam
palmitat atau asam heksadekanoat. Tumbuh-tumbuhan dari famili Palmaceae,
seperti kelapa (Cocos nucifera) dan kelapa sawit (Elaeis guineensis)
merupakan sumber utama asam lemak ini. Minyak kelapa bahkan
mengandung hampir semuanya palmitat (92%). Minyak sawit mengandung
sekitar 50% palmitat. Produk hewani juga banyak mengandung asam lemak
ini (dari mentega, keju, susu, dan juga daging).
Asam palmitat adalah asam lemak jenuh yang tersusun dari 16 atom
karbon (CH3(CH2)14COOH). Pada suhu ruang, asam palmitat berwujud padat
berwarna putih. Titik leburnya 63,1°C. Asam palmitat adalah produk awal
dalam proses biosintesis asam lemak. Dari asam palmitat, pemanjangan atau
penggandaan ikatan berlangsung lebih lanjut.
Dalam industri, asam palmitat banyak dimanfaatkan dalam bidang
kosmetika dan pewarnaan. Dari segi gizi, asam palmitat merupakan sumber
kalori penting namun memiliki daya antioksidasi yang rendah. Park et al.
(1996) menyatakan bahwa permeabilitas uap air dan gas dari edible film
dipengaruhi oleh asam lemak dan konsentrasinya.
E. KUNYIT
Tanaman kunyit termasuk ke dalam famili Zingiberaceae atau suku
temu-temuan. Tumbuhan ini merupakan tanaman tahunan berupa herba yang
memiliki tinggi hingga satu meter. Tanaman kunyit tidak berbulu, berbatang
pendek, warna bunganya pucat dan pangkalnya berwarna kuning, daunnya
berjumbai-jumbai, mempunyai daun pelindung yang berwarna putih serta
pelepah daun yang membentuk batang semu (Pursglove et al., 1981).
Umbi utama tanaman kunyit terletak di dasar batang, berbentuk
elipsoidal dan berukuran 5 x 2.5 cm. Umbi utama ini membentuk rimpang
dengan dua hingga tiga cabang, dimana secara keseluruhan membentuk satu
kesatuan yang kompak dan saling berhubungan dengan banyak akar. Bagian
luar rimpang berwarna kecoklatan, sedangkan bagian dalam berwarna jingga
cerah atau kuning tua. Rimpang kunyit memiliki bau dan rasa yang khas, yaitu
pahit dan getir (Pursglove et al., 1981).
Tanaman kunyit banyak digunakan sebagai obat, terutama rimpang
kunyit yang telah dikeringkan. Selain itu kunyit juga dikenal karena warna
kuning-jingga yang khas, namun juga memiliki aroma dan citarasa yang dapat
digolongkan ke dalam rempah-rempah. Kunyit dapat digunakan langsung
ataupun melalui tahap ekstraksi oleorisin untuk digunakan sebagai bumbu
ataupun pewarna (Pursglove et al., 1981).
Rimpang kunyit yang telah diawetkan mengandung minyak volatil,
pigmen, campuran minyak (lemak), zat pahit, resin, protein, selulose, pati,
mineral dan sebagainya. Komponen utama adalah pati dengan jumlah berkisar
antara 40-50 persen berat kering. Kandungan kimia tersebut berbeda-beda
tergantung dari daerah pertumbuhan serta kondisi pemanennya (Pursglove et
al., 1981).
Mutu dari rimpang kunyit yang telah diawetkan ditentukan oleh
beberapa faktor, antara lain adalah kandungan pigmen kurkumin, sifat
organoleptik, penampakan secara umum, ukuran dan bentuk fisik. Dua
komponen utama yang menentukan mutu kunyit adalah kandungan pigmen
kurkumin dan kandungan minyak volatilnya. Bila kunyit akan dibuat zat
pewarna, maka kandungan pigmennya harus tinggi, tetapi kandungan minyak
volatilnya harus rendah karena dapat menimbulkan bau yang tidak diinginkan.
Kurkuminoid merupakan senyawa fenolik, oleh sebab itu diduga
memiliki mekanisme yang sama dengan senyawa fenolik lainnya dalam
fungsinya sebagai zat antimikroba (Lukman, 1984). Menurut Lukman (1984),
bubuk kunyit utuh dan residunya bersifat bakterisidial terhadap L. fermentum,
L. bulgaricus, dan B. subtilis pada konsentrasi 5 mg/ml. Selain itu juga
mampu menghambat pertumbuhan B.megaterium dan B.cereus pada
konsentrasi masing-masing, 3 mg/ml dan 2 mg/ml.
Gan (1987) melaporkan bahwa bubuk rimpang kunyit pada konsentrasi
5 mg/ml mampu menghambat pertumbuhan sel vegetatif B.cereus, B.subtilis,
dan B.stearothermophilus. Namun, sampai dengan konsentrasi 15 mg/ml
bubuk rimpang kunyit tersebut belum mampu menghambat germinasi spora
semua basili tersebut.
Suwanto (1983) melaporkan bahwa bubuk rimpang kunyit pada
konsentrasi 2 g/l bersifat bakterisidal terhadap bakteri gram positif batang,
yaitu B.subtilis dan L.acidophilus. Sampai dengan inkubasi 24 jam, bubuk
rimpang kunyit masih mampu menghambat pertumbuhan S.aureus pada
konsentrasi 2 g/l dan juga S.faecalis dan S.galinarum pada konsentrasi 4 g/l.
Pertumbuhan E.coli juga akan terhambat oleh bubuk kunyit pada konsentrasi 7
g/l pada inkubasi 24 jam. Namun, lebih lanjut ia juga menyatakan bahwa pada
waktu inkubasi lebih dari 24 jam, bubuk rimpang kunyit tersebut bersifat
merangsang pertumbuhan S.aureus, S.faecalis, S.galinarum, dan E.coli.
F. AKTIVITAS ANTIMIKROBA
Menurut Pelczar dan Reid (1979), senyawa antimikroba adalah
senyawa biologis atau kimia yang dapat menghambat pertumbuhan dan
aktivitas mikroba. Menurut Fardiaz (1992), senyawa antimikroba dapat
bersifat bakterisidal (membunuh bakteri), bakteri statik (menghambat
pertumbuhan bakteri), fungisidal (membunuh kapang), fungistatik
(menghambat kapang), germisidal (menghambat germinasi spora bakteri), dan
sebagainya.
Mekanisme aktivitas penghambatan antimikroba menurut Branen dan
Davidson (1993) dapat melalui beberapa faktor, antara lain (1) mengganggu
komponen penyusun dinding sel, (2) bereaksi dengan membran sel sehingga
mengakibatkan peningkatan permeabilitas dan menyebabkan kehilangan
komponen penyusun sel, (3) menginaktifkan enzim esensial yang berakibatkan
terhambatnya sintesis protein dan destruksi atau kerusakan fungsi metarial
genetik.
Menurut Thatte (2004), aktivitas antibakteri kitosan dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu: sumber kitosan, unit monomer yang menyusun kitosan,
mikroba yang diuji, derajat deasetilasi (DD) kitosan, pH media tumbuh,
keberadaan ion logam bebas, dan kondisi lingkungan (kadar air, nutrisi yang
tersedia bagi mikroba).
Unit monomer kitosan tidak menghambat bakteri E. Coli dan S. Aureus
(Tanigawa et al. 1992). Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas antibakteri
kitosan merupakan kerja dari oligomer kitosan. DD kitosan menunjukkan
keberadaan atau jumlah sisi kationik potensial yang ada di sepanjang rantai
polimer, sehingga semakin besar DD semakin banyak pula jumlah sisi
kationiknya.
Tsai et al. (2004) menunjukkan bahwa kitosan dengan berat molekul
(BM) rendah (12 kDa) memiliki aktivitas antibakteri yang lebih baik
dibanding bentuk oligomernya. Menurut Thatte (2004), kitosan dengan berat
molekul yang sangat besar (lebih besar dari 500 kDa) memiliki aktivitas
antibakteri yang kurang efektif dibandingkan kitosan dengan BM yang lebih
rendah. Hal ini terkait dengan viskositasnya yang besar pada kitosan ber-BM
tinggi sehingga sulit bagi kitosan untuk berdifusi.
No et al. (2002) menguji 6 kitosan dan 6 oligomer kitosan dengan
berbagai BM terhadap 4 bakteri Gram negatif dan 7 bakteri Gram positif.
Aktivitas antibakteri kitosan lebih tinggi jika dibandingkan oligomernya.
Kitosan dan turunannya merupakan antimikroba alami yang sangat
potensial karena merupakan produk pemanfaatan dari limbah. Berbagai studi
telah membuktikan kemampuan kitosan sebagai antimikroba (Tsai et al.,
2004). Tsai dan Su (1999) menguji aktivitas penghambatan kitosan udang
(DD 98) terhadap E.coli. Kitosan menyebabkan kebocoran glukosa dan laktat
dehidrogenase dari sel E. coli.
G. KARAKTERISTIK MIKROBA PATOGEN
1. Bacillus cereus
Bacillus cereus merupakan bakteri Gram positif, bersifat motil,
anaerobik fakultatif, dan mempunyai diameter sel lebih besar atau sama
dengan 0,9 μm. Bacillus cereus bervariasi pada karakteristik pertumbuhan dan
daya tahannya. Suhu optimum pertumbuhannya adalah 30 - 40 oC. Bacillus
cereus dapat tumbuh pada pH 4,3 – 9,3 dan pada aktivitas air (aw) minimum
0,95 (Blackburn dan McClure, 2002).
Bakteri ini banyak terdapat di alam seperti di tanah, udara, serealia,
tumbuhan, bulu binatang, air, dan sedimen. Bakteri ini dapat menyebabkan
emetik sindrom apabila mengkonsumsi makanan dengan konsentrasi 105 -108
sel per gram. Bakteri ini dapat menyebakan diare apabila 105 – 107 sel
menginfeksi usus kecil (Blackburn dan McClure, 2002).
2. Eschericia coli
Bakteri Eschericia coli merupakan bakteri Gram negatif yang
termasuk dalam famili Enterobacteriaceae. Eschericia coli bersifat aerobik
dan fakultatif anaerobik, katalase positif, oksidase negatif, dapat
memfermentasi glukosa, mereduksi nitrat menjadi nitrit dan tidak
mengahasilkan spora. Bakteri ini dapat tumbuh pada suhu optimum 35 – 40 oC. Bakteri ini dapat tumbuh pada aktivitas air (aw) minimum 0,95 dan pH
minimum 4,4 (Blackburn dan McClure, 2002).
Eschericia coli terdapat secara normal di dalam usus besar manusia
dan hewan, yang pada umumnya tidak bersifat patogen. Bakteri ini dapat
mengkontaminasi makanan baik secara langsung maupun tidak langsung
seperti melalui air, daging dan buah segar. Ada empat jenis Eschericia coli
yang sering menimbulkan panyakit yaitu enteropatogenik (EPEC),
enteroinvasive (EIEC), enterotoxigenik (ETEC), dan enterohaemoragik
(EHEC). Eschericia coli dapat menghasilkan toksin yang dapat menyebabkan
food poisoning seperti demam tipus, penghambatan saluran urin, septikimia
(keracunan darah), meningitis (radang selaput otak), dan infeksi saluran
pencernaan (Blackburn dan McClure, 2002).
3. Salmonella typhimurium
S. typhimurium meupakan bakteri Gram negatif, berbentuk batang dan
tidak berspora. S. typhimurium tumbuh optimum pada suhu 37 oC. Nilai pH
untuk pertumbuhan S. typhimutium berkisar antara 4.0 - 9.0 dan nilai pH
optimum 6.5 - 7.5, pada pH di bawah 4 dan di atas 9 bakteri ini akan mati
perlahan-lahan. Viabilitas Salmonella menurun selama penyimpanan beku
(Blackburn dan McClure, 2002).
Bakteri dari genus Salmonella merupakan bakteri penyebab infeksi
yang jika tertelan dan masuk ke dalam tubuh akan menimbulkan gejala yang
disebut salmonelisis. Gejala salmonelisis yang paling sering terjadi adalah
gastroenteritis yang sering disebabkan oleh Salmonella sp., juga bervariasi
tergantung daya virulen dan invasi dari galur bakteri tersebut, jumlah sel yang
tertelan, dan daya tahan tubuh yang dipengaruhi oleh umur dan kesehatan
penderita (Blackburn dan McClure, 2002).
Makanan yang sering terkontaminasi oleh Salmonella adalah telur dan
hasil olahannya, daging ayam, daging sapi, susu, dan hasil olahannya.
Pencegahan Salmonella sp., dapat dilakukan dengan sanitasi yang baik
terhadap alat-alat pengolahan, ruang pengolahan, lingkungan, dan pekerja-
pekerja. Makanan tidak boleh terlalu lama pada suhu kamar dan penyimpanan
harus pada suhu rendah.
4. Staphylococcus aereus
Staphylococcus aureus adalah bakteri Gram positif yang termasuk
dalam genus Staphylococcus. Bakteri ini bersifat fakultatif anaerobik,
koagulase dan deoksiribonuklease positif, dan dapat tidak menghasilkan spora.
Bakteri ini berbentuk kokus dengan suhu optimal pertumbuhan 37 – 40 oC, pH
optimum 6,0 – 8,0 dan aktivitas air (aw) minimum 0,86 (Jay, 1986).
Staphylococcus aureus dapat menghasilkan enterotoksin yang
menyebabkan food poisoning. Ada 8 jenis enterotoksin yaitu A, B1, C1, C2,
C3, D, E, dan F. Toksin ini diproduksi pada masa pertumbuhan bakteri di
dalam suatu makanan. Toksin ini merupakan polipeptida tunggal, yang tahan
terhadap enzim proteolitik dan pemanasan (Blackburn dan McClure, 2002).
II. METODOLOGI PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kitosan (DD =
100%) dari France Chitine, asam asetat, asam laktat, aquades, NaCl, etil
asetat, etanol, kultur mikroba, plasticizer polietilen glikol (PEG-400) dari
Sigma Aldrich, asam palmitat dari Sigma Aldrich, asam laurat dari Sigma
Aldrich, kunyit dari pasar lokal, garam K2SO4, garam CaCl2, Nutrient Broth
(NB), Nutrient Agar (NA), parafilm, heksana, dan pengencer.
Alat untuk ekstraksi seperti blender, erlenmeyer, kertas saring, shaker,
penyedot vakum, corong gelas, dan alat gelas lainnya. Peralatan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah petri dish untuk pembuatan edible film,
desikator, hot plate dan magnetic stirrer, pengaduk, termometer, gelas kimia,
aw-meter Shibaura WA-360, pH-meter, Chromameter CR 310 Minolta,
mikrometer, Tensile Strength and Elongation Tester Comten Industries, Gas
Transmission Rate Tester Speedivac 2, kaleng WVTR, JEOL Model JSM
5310 LV Scanning Microscope, cawan petri, ose, tabung reaksi, neraca
analitik, gunting, penggaris, erlenmeyer, pipet, botol semprot, inkubator 37 oC,
inkubator 45 oC, dan inkubator 55 oC.
B. METODE PENELITIAN
1. Penelitian Pendahuluan Ekstraksi Kunyit ( Curcuma domestica Val. )
a. Persiapan Ekstraksi
Rimpang kunyit yang diperoleh dari pasar, dilakukan sortasi dan
dicuci bersih menggunakan air. Setelah itu rimpang dikeringkan dan
digiling hingga menjadi bubuk untuk memudahkan proses ekstraksi.
b. Ekstraksi
Bubuk rimpang kunyit kemudian diekstraksi dengan menggunakan
metode maserasi (ekstrak dingin), menggunakan pelarut etil asetat.
Diagram alir proses ekstraksi dapat dilihat pada Gambar 3.
↓
Ekstrak dengan etil asetat (1:4)
↓
Shaker (37oC, 24 jam)
↓
Rotavapor suhu 50 oC
↓
Gambar 3. Diagram alir proses ekstraksi
2. Penelitian Utama
a. Pembuatan Edible Film dari kitosan
Edible film kitosan dibuat dengan modifikasi metode yang
dikembangkan oleh Butler et al. 1996 adalah sebagai berikut : mula-
mula 3 gram kitosan dilarutkan dalam 300 ml asam asetat 1 % atau 300
ml asam laktat 2 %. Pelarutan kitosan dalam pelarut dilakukan sedikit
demi sedikit supaya terbentuk gel campuran kitosan dan pelarut secara
sempurna. Larutan dihomogenkan dengan pengaduk stirer pada suhu 50 oC selama 60 menit sampai larutan film tersuspensi dengan sempurna.
Pemilihan pelarut kitosan yang digunakan untuk melarutkan kitosan
adalah asam asetat dengan konsentrasi 1 – 2 % (Knorr, 1982) dan
pelarut asam laktat yang ditambahkan untuk mendapatkan hasil yang
terbaik adalah 2 % (Kim, 2006). Kemudian ditambah dengan plasticizer
PEG-400 10% (pelarut asam laktat) dan 15% (pelarut asam asetat).
Larutan edible film kitosan dapat dilihat pada Gambar 4.
Bubuk rimpang kunyit
Larutan Ampas
Ekstrak etil asetat
Gambar 4. Larutan edible film kitosan
Larutan diaduk terus menerus. Kemudian larutan film diberi
perlakuan berupa penambahan asam palmitat 0%, 5%, dan 10% (w/w),
serta asam laurat 0%, 5%, dan 10% (w/w). Pada perlakuan terakhir
larutan film ditambah dengan esensial oil ekstrak kunyit dengan
konsentrasi 0% dan 100 µl/ g kitosan. Selama proses polimerisasi,
pengadukan senantiasa dipertahankan agar interaksi antara kitosan,
pelarut, asam lemak, PEG-400, dan esensial oil ekstrak kunyit dapat
berjalan dengan baik. Kemudian larutan film dihomogenisasi selama 2
menit dengan homogenizer kecepatan 14.000 rpm. Homogenisasi
bertujuan untuk memperkecil ukuran partikel bahan-bahan yang
ditambahkan. Sehingga emulsi lemak dan kitosan dapat stabil.
Larutan film yang homogen mulai mengalami proses polimerisasi.
Polimer dalam bentuk encer ini memiliki rantai polimer yang masih bisa
bebas bergerak. Apabila larutan ini telah menjadi polimer padat maka
rantai polimer memiliki gerakan dan konfigurasi rantai yang terbatas.
Hal ini karena rantai-rantai polimer tersebut saling bersambung silang
ke berbagai arah membentuk polimer jaringan berupa matriks film.
Larutan film dituangkan pada petri dish yang sudah dibersihkan
dengan etanol 96%. Setelah itu larutan film diratakan. Film dikeringkan
di inkubator suhu 45 oC untuk pelarut asam asetat dan 55 oC untuk
pelarut asam laktat selama 2 hari. Suhu yang digunakan untuk
pengeringan akan sangat berpengaruh terhadap kecepatan pembentukan
film dan penguapan bahan pelarut. Suhu terlampau tinggi akan
mengakibatkan film menjadi sangat tipis, kering, dan retak. Hal ini
Kitosan 3 gram
karena proses pengeringan berjalan lebih cepat dibandingkan proses
pembentukan film. Bahan-bahan pembentuk film akan cepat menguap
sebelum terjadi pembentukan film. Sedangkan apabila suhu yang
digunakan sangat rendah akan mengakibatkan lamanya proses
pengeringan larutan sehingga terjadi kontaminasi. Film yang sudah
kering kemudian dilepas dari cetakan, dibungkus dengan alumunium
foil dan dimasukkan ke dalam desikator pada RH yang distabilkan
(75%) dengan NaCl sebelum di analisis. Diagram alir pembuatan edible
film dapat dilihat pada Gambar 5.
↓ ↓
Ditambahkan PEG-400
↓ Pengaduk stirer 50 OC, 60 menit
↓ Homogenizer 2 menit
↓ Penuangan larutan film pada petri dish
↓ Pengeringan pada suhu ruang 24 jam
↓ Pengeringan inkubator 45 oC atau 55 oC
↓ Pengangkatan film dari cetakan
↓ Pemasukkan film pada aluminium foil
↓ Pemasukkan film ke dalam kantung plastik berkelim
↓
Gambar 5. Diagram alir pembuatan edible film
Perlakuan: Penambahan Asam palmitat dengan konsentrasi: 0%, 5%, dan 10% (w/w)
Asam laurat dengan konsentrasi: 0%, 5%, dan 10% (w/w)
Essensial oilekstrak kunyit: 0% dan 100 µl/ g kitosan
Larutan film
Cetakan film dibersihkan dengan etanol 96 %
Edible film
Dilarutkan dalam 300 ml asam asetat
1% atau 300 ml asam laktat 2 %
b. Penentuan Karakteristik Edible Film Kitosan
1. Pengukuran Nilai pH
Pengukuran pH edible film dilakukan dengan menggunakan
pH-meter. Adapun prosedur analisisnya adalah sebagai berikut: larutan
yang telah homogen didiamkan sampai dingin. Kemudian dilakukan
pengukuran pH dengan menggunakan pH-meter yang telah dikalibrasi
dengan dua macam buffer, yaitu buffer pH 4 dan pH 7.
2. Pengukuran Aktivitas Air (aw)
Pengukuran aktivitas air dilakukan dengan menggunakan aw-
meter Shibaura WA-360. Sebelum dilakukan pengukuran, terlebih
dahulu alat dikalibrasi dengan menggunakan larutan garam jenuh NaCl
sampai menunjukkan aw sebesar 0.750 pada suhu 30 oC. Edible film
kitosan yang telah dikondisikan dipotong kecil-kecil dengan berat 1-3
gram dan diletakkan dalam cawan pengukuran aw. Pencatatan
dilakukan terhadap nilai aw.
3. Analisis Kadar Air Metode Oven (AOAC, 1984)
Cawan aluminium dikeringkan dalam oven selama 15 menit,
didinginkan dalam desikator selama 10 menit kemudian ditimbang.
Sampel sejumlah 2 – 3 gram ditimbang dan dimasukkan dalam cawan
kering yang telah diketahui bobotnya. Cawan beserta isinya
dimasukkan ke dalam oven bersuhu 105 oC selama kurang lebih 12
jam atau sampai bobotnya konstan. Selanjutnya cawan beserta isinya
didinginkan dalam desikator selama 10 menit dan ditimbang.
Perhitungan kadar air dilakukan dengan rumus :
kadar air (% b.k) = c – ( c-b ) x 100% (c-b) keterangan : a = bobot sampel (g)
b = bobot cawan (g)
c = bobot akhir (g)
4. Pengukuran Warna dengan Chromameter
Pengukuran warna dilakukan menggunakan Chromameter CR
310 Minolta. Sebelumnya dilakukan kalibrasi pada alas putih dengan
nilai L 97.51, a +5.35, dan b -3.37. Sampel edible film ditempatkan
pada alas putih. Pengukuran menghasilkan nilai L, a, dan b. L
menyatakan parameter kecerahan (warna kromatis, 0: hitam sampai
100: putih). Sedangkan a dan b adalah koordinat-koordinat chroma.
Parameter a adalah cahaya pantul yang menghasilkan warna kromatik
campuran merah – hijau dengan nilai +a (positif) dari nol sampai 100
(merah) dan nilai –a (negatif a) dari nol sampai 80 (hijau). Parameter b
adalah warna kromatik campuran biru – kuning dengan nilai +b
(positif b) dari nol sampai 70 (kuning) dan nilai –b (negatif b) dari nol
sampai 70 (biru).
5. Pengukuran Ketebalan
Film yang dihasilkan diukur ketebalannya dengan menggunakan
pengukur ketebalan mikrometer dengan ketelitian 0.0001 mm pada
lima tempat yang berbeda. Nilai ketebalan diukur dari rata-rata lima
pengukuran ketebalaan film.
6. Pengukuran Kuat Tarik dan Persentase Pemanjangan
Kuat tarik dan persentase pemanjangan diukur dengan
menggunakan Tensile Strength and Elongation Tester Industries model
SSB 0500. Sebelum dilakukan pengukuran, film dikondisikan dalam
ruangan bersuhu 25 oC dengan kelembaban (RH) 75 % selama 24 jam.
Nilai gaya maksimum untuk memotong film yang diukur dapat dilihat
pada display (layar) Tensile Strength and Elongation Tester.
Kuat tarik ditentukan berdasarkan beban maksimum pada saat
film pecah dan persentase pemanjangan didasarkan atas pemanjangan
film saat film pecah.
Kuat tarik = F/ A ; F = gaya kuat tarik (N), A = luas contoh (m2)
% Elongasi =
Keterangan: a: panjang awal
b: panjang setelah putus
6. Laju Transmisi Oksigen Metode Manometer
Laju transmisi oksigen terhadap film diukur dengan
menggunakan Gas Transmission Rate Tester Speedivac 2. Sebelum
diukur, film dikondisikan dalam ruangan bersuhu 25oC, RH 50%
%100xa
ab −
selama 24 jam. Film yang diuji dipotong dengan diameter 105-108
mm. Film harus bebas dari kerusakan atau cacat.
Contoh ditempatkan pada dasar sel, ditutup dan sekrup
dikencangkan. Ujung alat pengukur dimiringkan ke kiri agar tetesan
merkuri pada dasar tabung pengukur menuju pipa kapiler. Kran-kran
ditutup, kran A dan 4 dibuka, serta pompa vakum dihidupkan.
Tabung tekanan compesation dan tabung pengukur dikosongkan
serta divakumkan sesempurna mungkin kira-kira lima menit untuk
mengurangi gas yang teradsorpsi. Pemompaan vakum dilanjutkan
dalam ruang 2 kurang dari 0.2 mmHg (27 Pa). Kran 4 ditutup dan
pompa vakum tetap dijalankan.
Alat pengukur dikembalikan pada posisi tegak lurus. Udara
dimasukkan perlahan-lahan pada distributor dengan cara membuka
kran 3 sampai benang merkuri akan turun dimana lajunya akan
tergantung kepada permeabilitas film yang diuji. Selanjutnya dibuat
grafik antara tinggi merkuri (h) dalam cm terhadap waktu (t) dalam
jam.
Laju transmisi gas (G) pada tekanan 1 atm dihitung dengan
rumus :
Keterangan :
To = 273oC
G = laju transmisi gas (cm3/m2/24 jam)
T = suhu pengujian (oK)
Po = tekanan atmosfir normal (1 atm)
A = luas permukaan film (cm2)
V = volume awal ruang (cm3)
a = penampang melintang tabung kapiler (cm2)
h = tinggi merkuri dalam tabung dibaca pada waktu mulai (cm)
H = tinggi merkuri dihubungkan dengan tekanan atmosfir (cm)
C = faktor koreksi (1)
dh/dt = slope dari kurva pada titik t (cm/jam)
dtdhxC
CHHaHVx
Ax
Pox
TToxG
−+
=210124
4
7. Laju Transmisi Uap Air Metode Gravimetri (ASTM E-96-99)
Laju transmisi uap air terhadap film diukur dengan
menggunakan metode gravimetri. Bahan penyerap uap air (CaCl2)
diletakkan dalam kaleng. Kemudian sampel diletakkkan di atas kaleng
tersebut sedemikian rupa sehingga menutupi kaleng tersebut. Tutup
dengan parafilm untuk menutupi bagian antara wadah dengan sampel
sehingga tidak ada udara masuk.
Cawan ditimbang dengan ketelitian 0.0001 g kemudian
diletakkan dalam desikator yang berisi garam K2SO4. Cawan
ditimbang tiap hari pada jam yang sama dan ditentukan panambahan
berat dari cawan. Selanjutnya dibuat grafik hubungan antara
pertambahan berat dan waktu. Nilai WVTR dihitung dengan rumus :
WVTR = slope / luas sampel (m2)
= g/m2/24 jam (97% RH, 30oC)
WVP = WVTR x L / [(P2-P1)]
L : tebal film (mm)
P2 : tekanan uap air jenuh di luar kaleng (mm Hg)
P1 : tekanan uap air jenuh di dalam kaleng (mm Hg)
8. Pengamatan Mikrostruktur dengan Scanning Electron Microscopy (SEM)
Scanning electron microscope (SEM) digunakan untuk melihat
mikrostrukur edible film. Sebelum dilakukan pengukuran, edible film
kitosan dilarutkan di dalam heksana selama 60 menit dengan
pengocokan menggunakan Shaker. Edible film kitosan dilapiskan pada
plat alumunium dengan menggunakan pelekat. Kemudian divakum
selama 5 menit. Selanjutnya proses coating dengan emas selama 15
menit. Edible film kitosan siap di foto dengan JEOL Model JSM 5310
LV Scanning Microscope.
c. Pengujian Aktivitas Antimikroba Edible Film Terhadap Bakteri-
bakteri Patogen (Garriga et al., 1993)
Pengujian aktivitas antimikroba edible film terhadap bakteri
patogen dilakukan dengan metode cakram (Garriga et al., 1993).
1. Persiapan Kultur Uji
Disiapkan terlebih dahulu kultur uji dengan menginokulasikan
satu ose kultur murni dari agar miring Nutrient Agar (NA) ke dalam 10
ml medium cair Nutrient Broth (NB) secara aseptik. Kultur uji
kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37 oC. Kultur uji yang
digunakan dalam penelitian ini adalah Bacillus cereus, Eschericia coli,
Salmonella typhimurium, dan Staphylococcus aureus. Diagram alir
persiapan kultur uji dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Diagram alir persiapan kultur uji
2. Pengujian Aktivitas Antimikroba dengan Metode Cakram
Kultur uji diinokulasikan sebanyak 0.2 ml ke dalam media NA
100 ml sehingga diperoleh konsentrasi 0.2% yang telah siap dituang ke
cawan petri steril. Selanjutnya 20 ml media NA yang telah berisi kultur
uji dituangkan ke cawan petri dan dibiarkan menjadi padat. Setelah
memadat, ditempelkan edible film yang telah dipotong-potong, dan
diinkubasi pada suhu 37 oC selama 1 hari. Zona penghambatan adalah
lebar areal bening yang terbentuk di sekitar sumur yang diukur dengan
jangka sorong dengan satuan mm. Selain itu, dilakukan pengujian
aktivitas antimikroba terhadap kontrol yaitu edible film dari pati sagu
dengan pelarut asam asetat 1% dan asam laktat 2%. Diagram alir
metode cakram dapat dilihat pada Gambar 7.
Kultur murni bakteri
Diinokulasikan ke dalam 10 ml Nutrient Broth
Diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam
Kultur uji
Gambar 7. Diagram alir metode cakram
d. Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah
rancangan acak lengkap faktorial dengan 3 faktor yang diulang 2 kali.
Perlakuan yang diterapkan berturut-turut adalah perbedaan pelarut (asam
asetat 1% dan asam laktat 2%), penambahan asam lemak (asam palmitat
0%, 5% dan 10% (w/w) dan asam laurat 0%, 5% dan 10% (w/w)), dan
penambahan esensial oil ekstrak kunyit (0 % dan 100 µl/g kitosan).
Rancangan ini digunakan untuk uji statistik terhadap analisis nilai pH, kadar
air, aw, warna, ketebalan, kuat tarik, persen pemanjangan, dan nilai WVP.
Model rancangan percobaan yang digunakan sebagai berikut :
Yijkl = µ + αi + βj + γk + (αβγ)ijk + εijkl
Dimana:
Yijkl = Pengamatan pada faktor A taraf ke-i, faktor B taraf ke-j, faktor
C taraf ke-k, dan ulangan ke-l
µ = Nilai tengah umum
α = Pengaruh utama faktor A (pelarut)
β = Pengaruh utama faktor B (asam lemak)
Diinkubasi pada suhu 37 OC selama 24 jam
Diukur diameter penghambatan (mm)
Diinokulasikan 0,2 % ke dalam 20 ml NA
Dituangkan ke dalam cawan petri dan dibiarkan membeku
Ditempelkan potongan edible film ke dalam cawan
yang membeku
Dibuat potongan edible film dengan diameter 1 cm
Kultur uji
γ = Pengaruh utama faktor C (esensial oil ekstrak kunyit)
(αβγ) = Komponen interaksi dari faktor A, faktor B, dan Faktor C
ε = Galat
i = Banyaknya perlakuan faktor A (pelarut)
j = Banyaknya perlakuan faktor B (asam lemak)
k = Banyaknya perlakuan faktor C (esensial oil ekstrak kunyit)
l = Ulangan
Apabila perlakuan berpengaruh nyata, maka akan dilanjutkan dengan
uji jarak berganda Duncan (Duncan Multiple Range Test) pada taraf 5 %
untuk mengetahui apakah ada perbedaan nyata antar perlakuan. Analsis ini
dilakukan menggunakan software SPSS 12.0.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PENELITIAN PENDAHULUAN
Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mendapatkan esensial oil
ekstrak kunyit yang akan ditambahkan pada pembuatan edible film. Ekstraksi
adalah suatu tahapan yang bertujuan sebagai tahap pemisahan komponen
terlarut untuk tujuan identifikasi komponen. Reineccius (1994) melaporkan
bahwa terdapat tiga metode utama untuk memisahkan atau mengisolasi
komponen flavor tanaman yaitu dengan cara destilasi, pengepresan, dan
ekstraksi pelarut.
Metode ekstraksi yang dilakukan tergantung pada beberapa faktor,
antara lain : (1) tujuan dilakukan ekstraksi, (2) skala ekstraksi, (3) sifat-sifat
komponen yang akan diekstraksi, dan (4) sifat-sifat pelarut yang akan
digunakan (Hougton dan Raman, 1998). Metode paling sederhana untuk
mengekstraksi padatan adalah mencampurkan seluruh bahan dengan pelarut,
lalu memisahkan larutan dengan padatan tidak terlarut. Ekstraksi pada
rempah-rempah dengan menggunakan pelarut menghasilkan oleoresin dan
soluble spices (Farrel, 1990).
Metode ekstraksi yang digunakan pada penelitian ini adalah metode
maserasi (basah) dengan pelarut etil asetat perbandingan 1 : 4. Sebelum
dilakukan ekstraksi, pertama-tama bahan perlu dilakukan persiapan. Menurut
Purseglove et al. (1981), persiapan bahan baku yang mencakup pengeringan
bahan sampai kadar air tertentu dan penggilingan yang bertujuan untuk
mempermudah proses ekstraksi yang akan dilakukan.
Ekstraksi maserasi dilakukan dengan cara perendaman sampel dalam
pelarut kemudian di shaker selama 24 jam. Kemudian larutan disaring dengan
menggunakan pompa vakum. Selanjutnya dilakukan pemisahan komponen
kunyit dengan pelarut etil asetat menggunakan rotavapor dengan suhu 50oC
sampai membentuk cincin. Persyaratan yang harus dipenuhi oleh pelarut untuk
mengekstrak rempah-rempah antara lain adalah: tidak berbau dan tidak berasa,
sehingga tidak mempengaruhi mutu produk akhir; mudah berpenetrasi karena
viskositasnya rendah, sehingga efisiensi ekstraksi tinggi; mudah dipisahkan
tanpa menimbulkan residu sehingga produk dapat bebas dari pelarut dan dapat
digunakan secara selektif dengan berbagai suhu dan tekanan ekstraksi untuk
mendapatkan ekstrak bermutu baik (Moyler, 1994).
Brenan dan Davidson (1993), menyatakan bahwa aktivitas antimikroba
yang optimum sangat ditentukan oleh keseimbangan hidrofilik-lipofilik. Sifat
hidrofilik dibutuhkan agar zat antimikroba dapat larut di dalam air yang
merupakan tempat tumbuh mikroba, sedangkan karakteristik lipofilik
diperlukan agar zat tersebut dapat bereaksi dengan membran dari mikroba.
Pelarut etil asetat mempunyai dua sifat kelarutan yang dikehendaki dalam
menunjang aktivitas antimikroba tersebut.
Hasil rendemen ekstrak kunyit adalah 7,63 % (w/w). Ekstrak kunyit di
kemas pada botol warna dan di simpan di lemari es sebelum digunakan.
Ekstrak kunyit ini selanjutnya digunakan untuk penambahan antimikroba
alami pada penelitian utama. Kunyit dapat digunakan sebagai antimikroba
karena kunyit mengandung 5% esensial oil yang terdiri dari turmeron,
borneol, sineol, phellandrene, kurkumin, dan zingeron (Farrel, 1990). Minyak
esensial dari rempah-rempah dapat digunakan sebagai antimikroba alami.
B. KARAKTERISASI EDIBLE FILM KITOSAN
Hasil sensori penampakan edible film kitosan yang menggunakan
pelarut asam laktat menghasilkan edible film yang lebih elastis dibandingkan
dengan pelarut asetat. Hal ini karena asam laktat mempunyai sifat plasticizer.
Plasticizer biasanya adalah bahan dengan bobot molekul rendah yang
ditambahkan dengan maksud meningkatkan elastisitas (Wan et al., 2005).
(a) (b)
Gambar 8. Edible film kitosan (a) pelarut asetat, (b) pelarut laktat
1. Hasil Analisis pH
Derajat keasaman bahan pangan yang dinyatakan dengan pH
merupakan salah satu faktor penting yang menentukan ketahanan bahan
pangan tersebut terhadap kontaminasi mikroorganisme. pH merupakan tingkat
konsentrasi ion H+ yang ada pada sampel terukur. Ion H+ tersebut dapat
berasal dari disosiasi komponen asam dalam sampel tersebut, semakin banyak
ion H+ yang terdisosiasi maka nilai pH akan semakin rendah. Pengukuran pH
pada larutan film menggunakan pH meter. Pada penelitian ini larutan film
dengan pelarut asam asetat 1% mempunyai nilai pH antara 3.78 sampai 4.03,
sedangkan larutan film dengan pelarut asam laktat 2% mempunyai nilai pH
antara 2.60 sampai 2.66. Hasil pengukuran nilai pH dari larutan film kitosan
dapat dilihat pada Gambar 9.
2.56
2.58
2.6
2.62
2.64
2.66
2.68
0 5 10
Palmitat (laktat)Laurat (laktat)Palmitat + Kunyit (laktat)Laurat + Kunyit (laktat)
pH
Asam lem ak (% , w/w )
3.75
3.8
3.85
3.9
3.95
4
4.05
Palm itat (asetat)Laurat (asetat)Palm itat + Kunyit (asetat)Laurat + Kunyit (asetat)
pH
Gambar 9. Grafik nilai pH edible film kitosan
Pembentukan film kitosan mudah terjadi apabila dalam keadaan asam,
karena kitosan dapat larut secara sempurna dalam keadaan asam dan bersifat
polielektrolit netral pada pH asam. Kitosan larut dalam beberapa larutan asam
organik tetapi tidak larut dalam pelarut organik dan tidak larut dalam larutan
yang mengandung konsentrasi ion hidrogen di atas pH 6,5, tetapi kitosan
dapat larut dalam asam hidroklorit dan asam sitrat pada konsentrasi 0,15-1,1
% dan tidak larut pada konsentrasi 10 %. Kitosan juga tidak larut dalam
larutan asam sulfur tetapi sebagian larut pada asam ortofosfat dengan
konsentrai 0,5 %. Kitosan berbentuk spesifik dan mengandung gugus amino
dalam rantai karbonnya. Hal ini disebabkan kitosan bermuatan positif yang
berlawanan dengan polisakarida lainnya (Ornum, 1992).
Hasil uji lanjut Duncan edible film kitosan yang dihasilkan terhadap
nilai pH dinyatakan berbeda nyata secara statistik pada taraf 5% (Lampiran
3). Hal ini menunjukkan adanya perbedaan derajat keasaman dari berbagai
perlakuan. Perbedaan pelarut asam laktat 2% dan pelarut asam asetat 1%
menunjukkan berbeda nyata secara statistik pada taraf 5%, penambahan asam
lemak palmitat dan asam lemak laurat menunjukkan berbeda nyata secara
statistik pada taraf 5%. Larutan edible film kitosan dengan pelarut asam laktat
mempunyai pH yang lebih tinggi dibandingkan dengan pelarut asetat. Karena
konsentrasi pelarut asam laktat yang digunakan lebih tinggi. Hal ini sesuai
dengan nilai pKa asam laktat yang lebih rendah (3,08) dibandingkan dengan
nilai pKa asam asetat (4,75) (Doores, 2005). Penambahan asam lemak
semakin banyak menunjukkan adanya peningkatan derajat keasaman dari
larutan edible film. Sedangkan perbedaan asam lemak yang ditambahkan
tidak berpengaruh terhadap peningkatan derajat keasaman. Penambahan
esensial oil ekstrak kunyit menurunkan derajat keasaman edible film kitosan
yang dihasilkan.
2. Hasil Analisis Nilai Kadar Air dan Aktivitas Air (aw)
Air dalam bahan pangan berperan sebagai pelarut dari beberapa
komponen selain ikut serta sebagai bahan pereaksi, sedangkan bentuk air
dapat ditemukan sebagai air bebas dan air terikat. Air bebas dapat dengan
mudah hilang apabila terjadi penguapan atau pengeringan, sedangkan air
terikat sulit dibebaskan dengan cara tersebut. Air dapat terikat secara fisik,
yaitu ikatan menurut sistem kapiler dan air terikat secara kimia, antara lain
kristal dan air yang terikat dalam sistem disperse (Purnomo, 1995).
Secara umum dapat dikatakan bahwa kadar air dan aktivitas air (aw)
sangat berpengaruh dalam menentukan masa simpan dari produk pangan,
karena faktor-faktor ini akan mempengaruhi sifat-sifat fisik (kekerasan dan
kekeringan) dan sifat-sifat fisiko kimia, perubahan-perubahan kimia
(pencoklatan non enzimatis), kerusakan mikrobiologis dan perubahan
enzimatis terutama pangan yang tidak diolah (Winarno, 1997).
Pada penelitian ini edible film kitosan dengan pelarut asam asetat 1%
mempunyai nilai kadar air antara 26.37 sampai 29.69 %, sedangkan edible
film kitosan dengan pelarut asam laktat 2% mempunyai nilai kadar air antara
27.34 sampai 32.48 %. Hasil pengukuran nilai kadar air dari edible film
kitosan dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil pengukuran kadar air (% b.k)
Edible film Konsentrasi asam lemak ( w/w ) 0% 5% 10%
Ase
tat
Palmitat 26.34 a ± 0.60 26.57 ab ± 0.47 28.54 cdef ± 0.63
Laurat 26.34 a ± 0.60 29.69 fg ± 0.37 28.20 cd ± 0.81
Palmitat + Kunyit - 27.82 c ± 0.39 27.37 abc ± 0.66
Laurat + Kunyit - 28.36 cde ± 0.76 28.47 cdef ± 0.65
Lakt
at
Palmitat 30.50 g ± 0.33 27.34 ab ± 0.31 29.57 efg ± 0.32
Laurat 30.50 g ± 0.33 31.95 h ± 0.66 32.48 h ± 0.43
Palmitat + Kunyit - 29.36 defgh ± 0.69 27.60 bc ± 0.31
Laurat + Kunyit - 30.17 g ± 0.44 27.81 c ± 0.11
Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%
Hasil uji lanjut Duncan edible film kitosan yang dihasilkan terhadap
nilai kadar air dengan perbedaan pelarut asam asetat 1% dan asam laktat 2%
dinyatakan berbeda nyata secara statistik pada taraf 5% (Lampiran 10). Hal
ini menunjukkan adanya perbedaan kadar air dari berbagai perlakuan. Edible
film kitosan dengan pelarut asam laktat 2% mempunyai kadar air lebih tinggi
dibandingkan dengan pelarut asam asetat 1%. Hal ini dapat dijelaskan dengan
adanya gugus hidrofilik yang lebih banyak pada pelarut asam laktat 2% yaitu
gugus –OH dan gugus -COOH. Sehingga ikatan hidrogen antara pelarut laktat
dengan air semakin kuat. Penambahan asam lemak palmitat, asam lemak
laurat, dan esensial oil ekstrak kunyit tidak berpengaruh terhadap nilai kadar
air edible film kitosan.
Kadar air berpengaruh terhadap sifat mekanik dan aktivitas
antimikroba dari edible film kitosan. Semakin besar kadar air ketebalan
semakin besar, persen elongasi semakin besar, dan nilai kuat tarik semakin
rendah. Gontard et al. (1993) melaporkan bahwa air merupakan plasticizer
yang paling efektif untuk hydrokoloid, akan tetapi tidak stabil karena sangat
tergantung pada kondisi RH ruangan.
Selain itu dilakukan pengukuran aktivitas air pada edible film kitosan.
Tingkat mobilitas dan peranan air bagi proses kehidupan biasanya dinyatakan
dengan besaran aktivitas air (aw), yaitu perbandingan tekanan uap parsial
dalam bahan pangan dengan tekanan uap air jenuh. Semakin tinggi aw suatu
bahan pangan maka semakin tinggi pula kemungkinan tumbuhnya jasad renik
dalam bahan pangan tersebut.
Aktivitas air ini adalah jumlah air bebas yang dapat digunakan oleh
mikroba untuk pertumbuhannya. Istilah aktivitas air digunakan untuk
menjabarkan air yang tidak terikat atau bebas dalam suatu sistem yang dapat
menunjang reaksi biologi dan kimiawi. Berbagai mikroorganisme mempunyai
aw minimum agar dapat tumbuh baik, misalnya bakteri aw 0,90, khamir aw
0,80-0,90, dan kapang aw 0.60-0,70.
Nilai aktivitas air (aw) diukur untuk mengetahui kemungkinan produk
tercemar oleh pertumbuhan mikroba. Menurut Labuza (1982), hubungan
antara aktivitas air dan mutu makanan yang dikemas yaitu pada selang
aktivitas air sekitar 0.7–0.75 atau lebih, mikroorganisme berbahaya dapat
mulai tumbuh dan produk menjadi beracun. Nilai aktivitas air (aw) dapat
diukur dengan menggunakan alat aw-meter yang telah dikalibrasi dengan
menggunakan garam jenuh yang memiliki kelembaban 75%. Prinsip
pengukuran nilai aktivitas air yaitu sampel diletakkan pada suatu wadah yang
memiliki sensor dan dibiarkan mencapai keadaan setimbang. Dari hasil
pengukuran aktivitas air edible film kitosan dengan pelarut asam asetat 1%
berkisar antara 0.611 – 0.624 dan edible film kitosan dengan pelarut asam
laktat 2% berkisar antara 0.664 – 0.672 dapat dilihat pada Tabel 4.
Berdasarkan nilai yang diperoleh, maka dapat disimpulkan edible film kitosan
tersebut aman dari pertumbuhan mikroba khususnya bakteri dan khamir.
Sedangkan kapang masih bisa tumbuh. Pada umumnya kapang dapat tumbuh
pada pangan yang memiliki nilai aktivitas air (aw) diatas 0,6-0,7 (Winarno,
1997).
Tabel 4. Hasil pengukuran aw
Edible film Konsentrasi asam lemak ( w/w ) 0% 5% 10%
Ase
tat
Palmitat 0.624 c ± 0.0014 0.613 b ± 0.0021 0.611 a ± 0.0014
Laurat 0.624 c ± 0.0014 0.613 ab ± 0.0007 0.611 a ± 0.0007
Palmitat + Kunyit - 0.618 ab ± 0.0028 0.613 ab ± 0.0014
Laurat + Kunyit - 0.614 ab ± 0.0007 0.613 ab ± 0.0007
Lakt
at
Palmitat 0.669 de ± 0.0021 0.664 d ± 0.0071 0.664 d ± 0.0049
Laurat 0.669 de ± 0.0021 0.669 de ± 0.0007 0.668 de ± 0.0014
Palmitat + Kunyit - 0.669 de ± 0.0007 0.669 de ± 0.0007
Laurat + Kunyit - 0.672 e ± 0.0014 0.670 de ± 0.0021
Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%
Hasil uji lanjut Duncan edible film kitosan yang dihasilkan terhadap
nilai aw dengan perbedaan pelarut asam asetat 1% dan asam laktat 2%
dinyatakan berbeda nyata secara statistik pada taraf 5% (Lampiran 2). Hal ini
menunjukkan adanya perbedaan aktivitas air dari berbagai perlakuan.
Penambahan asam lemak palmitat dan asam lemak laurat menurunkan nilai aw
edible film kitosan. Semakin banyak kosentrasi asam lemak yang
ditambahkan, aktivitas air dari edible film kitosan semakin menurun. Hal ini
dapat dijelaskan dengan prinsip interaksi hidrofobik dan hidrofilik.
Penambahan asam lemak palmitat dan asam lemak laurat pada edible film
kitosan menurunkan interaksi gugus hidrofilik kitosan dan air, karena sifat
asam-asam lemak tersebut yang mengandung gugus hidrofobik. Sehingga, air
yang dapat diikat oleh kitosan melalui ikatan hidrogen menjadi berkurang.
Akibatnya, nilai aw edible film kitosan yang dihasilkan menjadi turun.
Mekanisme lain yang mungkin terjadi adalah adanya asam lemak
rantai panjang memberikan pengaruh interaksi hidrofobik. Menurut
Paramawati (2001), interaksi hidrofobik merupakan ikatan kimia yang paling
kuat dalam membentuk matriks tiga dimensi dari film. Kondisi ini dapat
memberikan peluang yang besar bagi matriks yang terbentuk untuk dapat
mengikat air bebas. Sehingga, nilai aw edible film kitosan yang dihasilkan
semakin tinggi. Semakin besar konsentrasi asam lemak rantai panjang yang
ditambahkan, maka interaksi hidrofobik akan bertambah besar. Sehingga, aw
akan semakin meningkat dengan kenaikkan konsentrasi asam lemak rantai
panjang tersebut.
Tetapi perbedaan asam lemak tidak berpengaruh terhadap penurunan
nilai aktivitas air edible film kitosan. Sedangkan penambahan ekstrak kunyit
tidak berpengaruh terhadap aktivitas air dari edible film kitosan yang
dihasilkan. Nilai aw untuk edible film kitosan yang dihasilkan sekitar 6 cukup
baik untuk aplikasinya dalam bahan pangan.
3. Hasil Analisis Warna
Pengukuran intensitas warna pigmen dilakukan dengan alat
Chromameter Minolta CR-310. Alat ini menggunkan sistem L, a, dan b. L
menunjukkan kecerahan dengan nilai 0 (gelap/ hitam) hingga 100 (terang/
putih), sedangkan a dan b adalah koordinat-koordinat chroma. Parameter a
adalah cahaya pantul yang menghasilkan warna kromatik campuran merah –
hijau dengan nilai +a (positif) dari nol sampai 100 (merah) dan nilai –a
(negatif a) dari nol sampai 80 (hijau). Parameter b adalah warna kromatik
campuran biru – kuning dengan nilai +b (positif b) dari nol sampai 70
(kuning) dan nilai –b (negatif b) dari nol sampai 70 (biru).
40
50
60
70
80
0 5 10
Palmitat (asetat)Laurat (asetat)Palmitat + Kunyit (asetat)Laurat + Kunyit (asetat)
War
na L
Asam lemak (%, w/w)
0 5 10
Palmitat (laktat)Laurat (laktat)Palmitat + Kunyit (laktat)Laurat + Kunyit (laktat)
Asam lemak (%, w/w) (a)
0
5
10
15
20
0 5 10
Palmitat (asetat)Laurat (asetat)Palmitat + Kunyit (asetat)Laurat + Kunyit (asetat)W
aran
a
Asam lemak (%, w/w)
0 5 10
Palmitat (laktat)Laurat (laktat)Palmitat + Kunyit (laktat)Laurat + Kunyit (laktat)
Asam lemak (%, w/w) (b)
20
25
30
35
40
45
50
55
0 5 10
Palmitat (asetat)Laurat (asetat)Palmitat + Kunyit (asetat)Laurat + Kunyit (asetat)
War
na b
Asam lemak (%, w/w)
0 5 10
Palmitat (laktat)Laurat (laktat)Palmitat + Kunyit (laktat)Laurat + Kunyit (laktat)
Asam lemak (%, w/w) (c)
Gambar 10 . Grafik analisis warna dengan chromameter (a) warna L, (b)
warna a, (c) warna b
Hasil uji lanjut Duncan edible film kitosan yang dihasilkan terhadap
nilai L, a. dan b dinyatakan berbeda nyata secara statistik pada taraf 5%.
Perbedaan pelarut asam laktat 2% dan pelarut asam asetat 1% menunjukkan
berbeda nyata secara statistik pada taraf 5%, penambahan asam lemak
palmitat, asam lemak laurat, dan ekstrak kunyit menunjukkan berbeda nyata
secara statistik pada taraf 5% (Lampiran 4a, 4b, dan 4c).
Warna edible film kitosan yang diukur nilai L, a, dan b dapat dilihat
pada Gambar 14. Tingkat kecerahan edible film kitosan ditunjukkan oleh nilai
L. Semakin tinggi nilai L yang terukur, semakin cerah warna aktual yang
terlihat. Nilai L edible film kitosan yang diukur adalah 51.14 sampai 80.54.
Penambahan asam lemak palmitat, asam lemak laurat, dan ekstrak kunyit
menurunkan nilai L. Ini berarti bahwa edible film kitosan semakin gelap.
Penambahan asam lemak palmitat, asam lemak laurat, dan ekstrak kunyit
menaikkan nilai a. Hal ini berarti warna edible film kitosan cenderung ke
warna merah. Penambahan asam lemak palmitat, asam lemak laurat, dan
ekstrak kunyit meningkatkan nilai positif b. Hal ini berarti warna edible film
kitosan cenderung ke warna kuning. Warna kuning pada edible film kitosan
disebabkan oleh adanya pigmen kurkuminoid yang terdapat pada kunyit.
Kurkuminoid yang terkandung pada kunyit terdiri dari kurkumin,
desmetoksikurkumin, dan bisdesmetoksikurkumin. Kurkuminoid merupakan
komponen zat pigmen yang memberikan warna kuning tua (orange) pada
kunyit. Warna ini sangat dipengaruhi oleh pH asam (Rukmana, 1994).
4. Hasil Analisis Ketebalan
Ketebalan film dipengaruhi oleh banyaknya total padatan dalam larutan
dan ketebalan cetakan. Dengan cetakan yang sama, film yang terbentuk akan
lebih tebal apabila volume larutan yang dituangkan ke dalam cetakan lebih
banyak. Demikian juga dengan total padatan yang akan membentuk film
menjadi lebih tebal dengan jumlah yang lebih banyak.
Perbedaan jenis pelarut mempengaruhi ketebalan edible film yang
dihasilkan. Edible film yang dihasilkan dengan pelarut asam laktat 2%
mempunyai ketebalan lebih besar dibandingkan dengan edible film dengan
pelarut asam asetat 1%. Penambahan asam lemak palmitat dan asam lemak
laurat mempengaruhi ketebalan film semakin bertambah. Ketebalan edible film
kitosan tergantung pada total padatan yang terkandung dalam larutan film dan
jumlah larutan yang dituangkan pada kaca casting. Banyaknya larutan
pembentuk film adalah 300 ml setiap lembaran film.
Tabel 5. Hasil pengukuran ketebalan (mm)
Edible film Konsentrasi asam lemak ( w/w ) 0% 5% 10%
Ase
tat
Palmitat 0.127 a ± 0.0027 0.143 b ± 0.0031 0.155 cd ± 0.0008
Laurat 0.127 a ± 0.0027 0.150 c ± 0.0008 0.159 de ± 0.0025
Palmitat + Kunyit
- 0.150 c ± 0.0038 0.153 cd ± 0.0028
Laurat + Kunyit
- 0.153 cd ± 0.0013 0.163 e ± 0.0010
Lakt
at
Palmitat 0.234 f ± 0.0053 0.258 g ± 0.0010 0.256 g ± 0.0031
Laurat 0.234 f ± 0.0053 0.254 g ± 0.0029 0.258 g ± 0.0016
Palmitat + Kunyit
- 0.265 h ± 0.0035 0.279 i ± 0.0055
Laurat + Kunyit
- 0.271 h ± 0.0010 0.283 i ± 0.0033
Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%
Ketebalan edible film kitosan dengan pelarut asam asetat 1% yang
diperoleh berkisar antara 0.127 sampai 0.163 mm, sedangkan ketebalan edible
film kitosan dengan pelarut laktat 2% berkisar 0.234 sampai 0.283 mm. Hasil
uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa berbagai perlakuan memberikan hasil
ketebalan film yang berbeda nyata secara statistik pada taraf 5%. Uji lanjut
berganda Duncan menunjukkan bahwa ketebalan film dengan pelarut asam
laktat 2% dan pelarut asam asetat 1% berbeda nyata pada taraf 5% dan
penambahan asam laurat dan asam palmitat menghasilkan ketebalan yang
berbeda nyata pada taraf 5% (Lampiran 5). Ketebalan film dengan pelarut
asam laktat lebih besar tebalnya dibandingkan dengan film dengan pelarut
asam asetat. Edible film kitosan dengan pelarut asam laktat memiliki ketebalan
lebih tinggi dibandingkan dengan film dengan pelarut asam asetat. Hal ini
dapat terjadi karena asam laktat memiliki potensi untuk berikatan dengan air
lebih banyak dari pada asam asetat. Berdasarkan strukturnya, setiap molekul
asam laktat mempunyai gugus satu hidroksi (-OH) dan satu gugus karboksilat
(-COOH), sedangkan asam asetat hanya memiliki satu gugus karboksilat.
Perbedaan struktur ini mengakibatkan asam laktat mempunyai potensi
berikatan hidrogen dengan air lebih besar. Sehingga, film yang terbentuk
mampu menyerap air dengan lebih banyak. Akibatya, film dengan pelarut
asam laktat mempunyai ketebalan yang lebih tinggi.
Penambahan asam lemak meningkatkan tebal edible film kitosan.
Ketebalan edible film kitosan dengan pelarut asam asetat dengan perbedaan
asam lemak berpengaruh nyata pada taraf 5%. Penambahan asam laurat lebih
meningkatkan ketebalan dibandingkan dengan penambahan asam lemak
palmitat. Sedangkan edible film kitosan dengan pelarut asam laktat, perbedaan
asam lemak tidak berpengaruh nyata pada taraf 5% terhadap ketebalan. Hal ini
dapat terjadi akibat semakin bertambahnya total padatan pada edible film
kitosan tersebut. Interaksi antara penambahan ekstrak kunyit menyebabkan
perbedaan secara nyata terhadap ketebalan film pada taraf 5%. Ketebalan
edible film dipengaruhi oleh luas cetakan, volume larutan, dan banyaknya total
padatan dalam larutan (Park et al. 1993).
5. Hasil Analisis Kuat Tarik
Kuat tarik merupakan gaya tarik maksimum yang dapat di tahan oleh
sebuah film hingga terputus. Kuat tarik yang terlalu kecil mengindikasikan
bahwa film yang bersangkutan tidak dapat dijadikan kemasan, karena karakter
fisiknya kurang kuat dan mudah patah.
Pada penelitian ini edible film kitosan dengan pelarut asam asetat 1%
mempunyai nilai kuat tarik antara 17.69 sampai 29.29 MPa, sedangkan edible
film kitosan dengan pelarut asam laktat 2% mempunyai nilai kuat tarik antara
1.83 sampai 2.90 MPa. Grafik nilai kuat tarik edible film kitosan dapat dilihat
pada Gambar 11.
1 .6
2
2 .4
2 .8
3 .2
0 5 1 0
P a lm ita t ( la k t a t )L a u r a t ( la k t a t )P a lm ita t + K u n y it ( la k ta t )L a u r a t + K u n y it ( la k ta t )
Kua
t tar
ik (M
Pa)
A sa m le m a k (% , w /w )
1 6
1 8
2 0
2 2
2 4
2 6
2 8
3 0P a lm it a t ( a se t a t )L a u r a t (a s e t a t )P a lm it a t + K u n y it (a s e ta t )L a u r a t + K u n y it ( a s e ta t )
Kua
t tar
ik (M
Pa)
Gambar 11. Grafik nilai kuat tarik edible film kitosan
Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa perbedaan pelarut
memberikan hasil kuat tarik yang berbeda nyata secara statistik pada taraf 5%
(Lampiran 7). Edible film kitosan dengan pelarut asetat mempunyai kuat tarik
yang lebih besar dibandingkan dengan edible film kitosan dengan pelarut asam
laktat. Menurut Kim et al. (2006), keberadaan counter ion yang lebih besar
seperti asam laktat dapat mengurangi sifat kekuatan film yang dihasilkan. Uji
lanjut Duncan pelarut asam laktat 2% menunjukkan bahwa perlakuan
penambahan asam palmitat, asam laurat, dan ekstrak kunyit memberikan hasil
kuat tarik yang tidak berbeda nyata pada taraf 5%. Sedangkan uji lanjut
Duncan pelarut asetat 1% memberikan hasil kuat tarik yang berbeda nyata
pada taraf 5%. Penambahan asam lemak menurunkan kuat tarik edible film
kitosan. Hal ini dapat dijelaskan, asam lemak bersifat non polar. Ikatan antara
non polar dari asam lemak dan polar dari air lebih tidak stabil dibandingkan
dengan ikatan polar dan polar. Oleh karena itu, ikatan non polar dan polar
lebih mudah patah.
Menurut Yang dan Paulson (2000) penambahan asam lemak
mengakibatkan penurunan kuat tarik dari edible film. Srinivasa et al. (2006)
melaporkan bahwa edible film kitosan yang ditambah dengan polyols (gliserol,
sorbitol, dan polietilen glikol (PEG)) dan asam lemak dapat menurunkan kuat
tarik edible film kitosan. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang telah
dilakukan oleh beberapa peneliti ( Caner et al. 1998; Srinivasa et al. 2006).
Krochta dan Johnston (1997) melaporkan bahwa kisaran nilai kuat
tarik yang dapat diaplikasikan untuk edible film standar antara 10 sampai 100
MPa. Dengan demikian edible film kitosan dengan pelarut asam asetat 1%
baik untuk diaplikasikan sebab nilai kuat tariknya >10 Mpa, sedangkan edible
film kitosan dengan pelarut laktat 2% baik untuk diaplikasikan pada edible
coating.
6. Hasil Analisis Persen Pemanjangan
Pemanjangan merupakan perubahan panjang maksimum sebelum
edible film terputus. Persen pemanjangan mempresentasikan kemampuan film
untuk meregang secara maksimum.
Pada penelitian ini edible film kitosan dengan pelarut asam asetat 1%
mempunyai nilai persen pemanjangan antara 32.22 sampai 76.67 %,
sedangkan edible film kitosan dengan pelarut asam laktat 2% mempunyai nilai
persen pemanjangan antara 438.89 sampai 693.33 %. Grafik nilai persen
pemanjangan edible film kitosan dapat dilihat pada Gambar 12.
Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa perbedaan pelarut
memberikan hasil persen elongasi yang berbeda nyata secara statistik pada
taraf 5% (Lampiran 6). Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa persen
elongasi pada pelarut asam laktat 2% dan pelarut asam asetat 1% berbeda
nyata pada taraf 5%. Uji lanjut Duncan pelarut asam asetat 1% menunjukkan
bahwa perlakuan penambahan asam palmitat, asam laktat, dan kunyit
memberikan hasil persen elongasi yang tidak berbeda nyata pada taraf 5%.
Sedangkan uji lanjut Duncan pelarut asam laktat 2% memberikan hasil persen
elongasi yang berbeda nyata pada taraf 5%.
24
32
40
48
56
64
72
80
0 5 10
Palmitat (asetat)Laurat (asetat)Palmitat + Kunyit (asetat)Laurat + Kunyit (asetat)
Pers
en e
long
asi (
%)
Asam lemak (%, w/w)
300
400
500
600
700
Palmitat (laktat)Laurat (laktat)Palmitat + Kunyit (laktat)Laurat + Kunyit (laktat)
Pers
en e
long
asi (
%)
Gambar 12. Grafik nilai persen pemanjangan
Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa pelarut asam laktat 2%
mempunyai persen elongasi yang sangat besar dibandingkan dengan pelarut
asetat. Karena asam laktat mempunyai sifat sebagai plasticizer. Menurut
Begin dan Calsteren (1999) pembentukkan edible film kitosan dapat
dipengaruhi oleh keberadaan senyawa lain. Keberadaan senyawa ionik seperti
asam asetat dan asam laktat dapat mempengaruhi pembentukan kristal kitosan.
Semakin tinggi volume (bobot molekul) suatu pelarut yang ditambahkan akan
semakin mempengaruhi pembentukan kristal kitosan. Asam laktat mempunyai
bobot molekul yang lebih tinggi dibandingkan dengan asam asetat. Sehingga,
sifat kristal edible film kitosan lebih dipengaruhi oleh keberadaan asam laktat
dibandingkan keberadaan asam asetat. Akibatnya, kuat tarik dan persen
pemanjangan film dengan pelarut asam laktat lebih lembut dan elastis. Selain
itu juga dipengaruhi oleh ikatan hidrogen air dan asam laktat yang lebih kuat,
sehingga air yang terikat pada edibel film kitosan semakin banyak.
Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa dengan adanya
penambahan asam palmitat dan asam laurat menurunkan persen elongasi.
Penambahan asam lemak membuat matrik film akan tidak kompak sehingga
mudah robek.
Kuat tarik dan pensen elongasi dipengaruhi oleh plasticizer. Plasticizer
yang digunakan dalam penelitian ini adalah PEG-400 dengan konsentrasi 15%
(w/w) untuk pelarut asetat 1% dan 10% (w/w) untuk pelarut asam laktat 2%.
Plasticizer merupakan bahan dasar yang ditambahkan sebagai pembentuk
polimer film. Plasticizer berfungsi untuk mengurangi gaya antar molekul
sehingga meningkatkan mobilitas rantai biopolimer dan memperbaiki sifat
mekanik (Krochta dan McHugh, 1994).
Krochta dan Johnston (1997) melaporkan karakteristik edible film
standar mempunyai persen pemanjangan 10 – 50 %. Nilai persen pemanjangan
yang mendekati dengan edible film standar yaitu edible film kitosan dengan
pelarut asam asetat 1%, sedangkan pada pelarut asam laktat 2% dihasilkan
edible film kitosan yang sangat fleksibel menyebabkan kesulitan pada
aplikasinya. Kemungkinan edible film kitosan dengan pelarut asam laktat 2%
cocok diaplikasikan sebagai edible coating.
Edible film dengan nilai pemanjangan yang rendah mengindikasikan
bahwa film tersebut kaku dan mudah patah. Umumnya struktur film lebih
lembut, kuat tarik menurun dan persen pemanjangan meningkat. Persen
pemanjangan yang lebih tinggi menunjukkan bahwa film lebih fleksibel. Hal
ini membuktikan bahwa film tahan terhadap kerusakan secara mekanik pada
penanganan dengan mesin secara proses di industri pangan.
7. Hasil Analisis Transmisi Uap Air
Permeabilitas merupakan salah satu faktor penting dalam pengemasan
pangan, sebab berhubungan erat dengan masa simpan produk pangan. Nilai
permeabilitas berfungsi untuk memperkirakan daya simpan produk yang
dikemas dan untuk menentukan bahan yang sesuai dikemas didalamnya.
Transmisi uap air sangat dipengaruhi oleh aw, RH, temperatur,
ketebalan, jenis dan konsentrasi plasticizer dan sifat bahan pembentuk edible
film. Umumnya film yang terbuat dari bahan protein dan polisakarida
mempunyai nilai transmisi uap air yang tinggi. Hal ini disebabkan karena
bahan tersebut merupakan polimer polar dan mempunyai jumlah ikatan
hidrogen yang besar, sehingga menghasilkan penyerapan air pada RH tinggi.
Akibatnya, penyerapan air tersebut akan mengganggu interaksi rantai
intermolekuler, yang kemudian diikuti dengan peningkatan difusifitas dan
mampu menyerap uap air dari udara (Krochta et al., 1994).
Pembuatan edible film dengan penambahan asam lemak laurat dan
palmitat berfungsi menurunkan transmisi uap air karena sifat hidrofobiknya.
Permeabilitas merupakan salah satu faktor penting dalam pengemasan
pangan, sebab berhubungan erat dengan masa simpan produk pangan. Nilai
permeabilitas berfungsi untuk memperkirakan daya simpan produk yang
dikemas dan untuk menentukan bahan pangan yang sesuai dikemas
didalamnya. Pada penelitian ini edible film kitosan dengan pelarut asam asetat
1% mempunyai nilai WVP antara 0.7692 sampai 0.927 g.mm/m2.hari.mmHg,
sedangkan edible film kitosan dengan pelarut asam laktat 2% mempunyai nilai
WVP antara 1.3914 sampai 1.7317 g.mm/m2.hari.mmHg.
Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa perbedaan pelarut
memberikan hasil WVP yang berbeda nyata secara statistik pada taraf 5%
(Lampiran 8). Perbedaan pelarut mempengaruhi nilai WVP. Edible film
kitosan dengan pelarut asam laktat 2% mempunyai nilai WVP lebih besar
dibandingkan dengan pelarut asam asetat 1%. Hal ini dapat dijelaskan dengan
mekanisme interaksi hidrofilik-hidrofilik asam laktat dengan air dari
lingkungan. Gugus hidroksi (-OH) pada asam laktat yang lebih banyak dari
pada asam asetat, menjadikan asam laktat mampu mengikat air lebih banyak
pula. Akibatnya penyerapan air dari lingkungan ke dalam kaleng WVP
semakin meningkat, sehingga nilai WVP-nya pun semakin bertambah. Hasil
tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Caner et al. (1998) yang
menyatakan bahwa nilai WVPC edible film kitosan semakin menurun dengan
pelarut berturut-turut dari laktat, format, propionat, dan asetat.
0.75
0.8
0.85
0.9
0.95
1
0 5 10
Palm itat (asetat)Laurat (aseta t)Palm itat + K unyit (asetat)Laurat + K unyit (asetat)
WV
P (g
.mm
/m2.
24 ja
m.m
mH
g)
Asam lemak (% , w/w)
1.35
1.4
1.45
1.5
1.55
1.6
1.65
1.7
1.75
Palm itat + K unyit (laktat)Laurat (laktat)Palm itat (laktat)Laurat + K unyit (laktat)
0 5 10
WV
P (g
.mm
/m2.
24 ja
m.m
mH
g)
Gambar 13. Grafik analisis WVP
Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa perlakuan penambahan
asam lemak memberikan hasil WVP yang berbeda nyata secara statistik pada
taraf 5%. Berdasarkan hasil analisis WVP, penambahan asam lemak laurat dan
asam lemak palmitat menurunkan nilai transmisi uap air. Penambahan asam
lemak palmitat lebih efektif menurunkan nilai transmisi uap air dibandingkan
dengan penambahan asam lemak laurat. Hasil ini berbeda dengan hasil
penelitian Dominic et al. (1992), penambahan asam lemak yang paling efektif
menurunkan permeabilitas uap air adalah asam laurat dibandingkan dengan
asam lemak palmitat. Hal ini dapat dijelaskan pada penambahan asam laurat
tidak optimum karena asam laurat memisah dari edible film kering.
Penambahan asam lemak dan ekstrak kunyit tidak memberikan hasil WVP
yang optimum. Hal ini dapat dijelaskan karena asam lemak dan ekstrak kunyit
memberikan efek tidak sinergis. Yang dan Paulson (2000) melaporkan bahwa
penambahan asam lemak pada edible gellan film dapat menurunkan nilai
WVP. Hal ini berbeda dengan penelitian Srinivasa et al. (2006), bahwa
penambahan asam lemak tidak mempengaruhi WVP.
Menurut Kim et al. (2006), edible film kitosan dengan pelarut asam
asetat dan propionat mempunyai nilai WVP dan persen pemanjangan yang
rendah, tetapi nilai kuat tariknya tinggi. Sedangkan edible film kitosan yang
dihasilkan dari pelarut asam laktat mempunyai nilai persen pemanjangan dan
WVP yang tinggi, tetapi nilai kuat tariknya rendah.
Ketebalan edible film juga berpengaruh terhadap transmisi uap air.
McHugh et al. (1994) menyatakan bahwa film hidrofilik menunjukkan
hubungan positif antara ketebalan dan tranmisi uap air, jika ketebalan film
meningkat maka film memberikan peningkatan ketahanan terhadap
perpindahan massa sehingga tercapai kesetimbangan tekanan parsial uap air
pada permukaan film bagian dalam meningkat.
8. Hasil Analisis Transmisi Oksigen
Laju transmisi oksigen adalah banyaknya gas oksigen yang melalui
suatu lapisan dari material yang permukaannya datar dan rata, sebagai akibat
perbedaan tekanan udara pada kedua sisi permukaannya (Harris, 1999).
Transmisi oksigen merupakan parameter penting dalam kemasan pangan,
karena berhubungan dengan sifat kecepatan oksidasi produk pangan di dalam
kemasan. Sifat transmisi gas oksigen suatu kemasan akan menentukan jenis
produk pangan yang sesuai dengan kemasan tersebut.
Berdasarkan hasil analisis O2TR menunjukkan bahwa dengan
penambahan asam lemak ada yang menurunkan dan meningkatkan nilai
O2TR. Hasil yang didapatkan menunjukkan nilai yang hampir seragam sekitar
0.3950 sampai 4.7628 cc/m2/24 jam. Transmisi gas oksigen dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu sifat fisik dan berat molekul pemlastis, modifikasi film
dan struktur permukaan, interaksi kimia antara pemlastis dan gas O2 dan CO2
serta kemampuan molekul-molekul kecil untuk mengisi kekosongan di dalam
matrik polimer (Donhowe dan Fennema, 1993).
0
1
2
3
4
5
0 5 10
Palmitat (asetat)Laurat (asetat)Palmitat + Kunyit (asetat)Laurat + Kunyit (asetat)
O2T
R (c
c/m
2/24
jam
)
Asam lemak (%, w/w)
0 5 10
Palmitat (laktat)Laurat (laktat)Palmitat + Kunyit (laktat)Laurat + Kunyit (laktat)
Asam lemak (%, w/w) Gambar 14. Grafik analisis O2TR
Bobot molekul O2
yang lebih besar dari H2O, sifat O2 yang hidrofobik
dan struktur permukaan polisakarida bersifat hidrofilik menyebabkan O2 agak
susah menembus jaringan rantai polimer polisakarida dibandingkan dengan
transmisi uap air. Nilai transmisi uap air lebih besar dibandingkan nilai
transmisi O2.
Film polisakarida mempunyai sekat lintas yang sangat baik terhadap
gas O2 dan CO2 karena mempunyai susunan molekul-molekul yang sangat
rapat sekali, struktur jaringan ikatan hidrogen yang sangat kuat sekali dan
mempunyai kelarutan yang rendah (Krochta dan McHugh, 1994).
Laju transmisi oksigen edible film kitosan yang rendah dapat
diaplikasikan untuk kemasan, karena produk yang dikemas akan aman dari
proses oksidasi. Oleh karena itu perlu dipilih edible film yang memiliki laju
transmisi oksigen yang rendah atau bernilai nol.
9. Hasil Analisis SEM
Scanning Electron Microscopy (SEM) permukaan edible film yang
mengandung asam lemak digunakan untuk mengetahui mikrostruktur
permukaan film. Film yang dianalisis dengan Scanning Electron Microscopy
dapat dilihat pada Gambar 15.
(a) (b)
(c) (d)
(e) (f)
Gambar 15 . Mikrostruktur edible film kitosan (a) Asetat + Palmitat 5%; (b)
Laktat + Palmitat 5%; (c) Asetat + Palmitat 10%; (d) Laktat + Palmitat
10%; (e) Asetat + Laurat 10%; (f) Laktat + Laurat 10% dengan
pembesaran x3.500
Berdasarkan Gambar 15 dapat dilihat pori-pori bekas asam lemak
yang terlarut dengan heksana pada permukaan edible film kitosan. Semakin
kecil diameter pori-pori edible film berarti mikrostruktur edible film yang
terbentuk semakin bagus. Perbedaan asam lemak mempengaruhi diameter
pori-pori edible film kitosan yang terbentuk. Berdasarkan Gambar 15 terlihat
edible film kitosan dengan penambahan asam lemak palmitat diameter pori-
porinya lebih kecil dan jumlahnya banyak, dibandingkan dengan penambahan
asam laurat. Pada penambahan asam lemak laurat tidak terbentuk globula-
globula lemak dan dikhawatirkan ada pemisahan fase. Semakin kecil diameter
pori-pori yang terbentuk pada permukaan edible film kitosan dapat
menurunkan difusi uap air pada permukaan edible film.
C. AKTIVITAS ANTIMIKROBA EDIBLE FILM KITOSAN
Kitosan mempunyai aktivitas antimikroba karena sifat-sifat yang
dimilikinya yaitu dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme perusak
dan sekaligus melapisi produk yang diawetkan sehingga terjadi interaksi yang
minimal antara produk dan lingkungannya. Berbagai hipotesa yang sampai
saat ini masih berkembang mengenai mekanisme kerja kitosan sebagai
antibakteri.
Mekanisme kitosan dan turunannya sebagai antibakteri belum
diketahui dengan pasti. Ada beberapa kemungkinan mekanisme, yaitu (1)
kitosan merupakan polikationik yang dapat berikatan dengan muatan negatif
dari membran sel bakteri melalui interaksi elektrostatik, sehingga
mempengaruhi permeabilitas membran sel dan mengakibatkan terjadinya
kebocoran bahan-bahan intraseluler seperti protein, enzim, materi generik,
dan lain-lain (Chen et al., 1998); (2) kitosan sebagai pengkelat logam mampu
mengikat ion-ion logam pada larutan intrasel yang berperan penting bagi
kelangsungan hidup sel bakteri; (3) kitosan berikatan dengan DNA dan
manghambat mRNA dan sintesis protein (Sudharshan et al., 1992).
Mekanisme antibakteri kitosan pertama kali didokumentasikan oleh
Muzarelli et al. (1990) yang menunjukkan perubahan pada dinding sel bakteri
dan organel melalui mikrograf elektron. Hasil tersebut kemudian diperkuat
oleh Helander et al. (2001) yang menunjukkan bahwa kitosan merusak
perlindungan membran luar dari bakteri Gram negatif. Mikroskop elektron
memperlihatkan bahwa kitosan menyebabkan terjadinya perubahan pada
permukaan sel dan menutupi membran luar bakteri dengan struktur vesikular.
Kitosan berikatan dengan membran luar dan menyebabkan kehilangan fungsi
barrier dari membran sel bakteri. Sifat ini memungkinkan kitosan
diaplikasikan sebagai pelindung/pengawet makanan (Helander et al., 2001).
Muatan positif dari C-2 glukosamin pada pH dibawah 6 membuat
kitosan lebih baik aktivitas antibakterinya dibandingkan kitin. Aktivitas
antimikroba kitosan bergantung pada jenis grup fungsional dan berat
molekulnya (Shahidi et al., 1999). Aktivitas antimikroba kitosan berasal dari
polikation alaminya yang dapat berikatan dengan protein. Panjang ikatan grup
alkil kitosan berpengaruh terhadap aktivitas antimikrobanya (Jung et al.,
1999).
Untuk menguji aktivitas antimikroba dari edible film kitosan, maka
dilakukan serangkaian uji daya hambat edible film kitosan dengan metode
kontak terhadap bakteri patogen yaitu Bacillus cereus, Eschericia coli,
Salmonella typhimurium, dan Staphylococcus aureus. Zona penghambatan
adalah lebar areal bening yang terbentuk di sekitar sumur yang diukur dengan
jangka sorong dengan satuan mm. Selain itu, dilakukan uji kontrol terhadap
edible film pati sagu dengan pelarut asam asetat 1% dan asam laktat 2%.
(a) (b)
Gambar 16. Zona penghambatan (a) Edible film kitosan, (b) Edible film
kontrol pati sagu
Ket : D1 : Diameter edible film dan penghambatan (mm)
D2 : Diameter edible film (mm)
D1
D2
Zona penghambatan: D2 –D1
Hasil pengujian aktivitas antimikroba edible film dapat dilihat pada Gambar
17, 18, 19, dan 20. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 9.
10.605
8.84
3.183.285
6.3856.415
7.945 8.05 7.645
10.67510.715
7.12 7.12
11.0711.115
5.82
2.865
5.7
0.000
1.000
2.000
3.000
4.000
5.000
6.000
7.000
8.000
9.000
10.000
11.000
12.000
13.000
A
A+P5%
A+P10%A+L5%
A+L10%
A+P5%+K
A+P10%+K
A+L5%+K
A+L10%+K L
L+P5%
L+P10%L+L5%
L+L10%
L+P5%+K
L+P10%+K
L+L5%+K
L+L10%+K
Perlakuan
Diam
eter
pen
gham
bata
n (m
m)
A
A+P5%
A+P10%
A+L5%
A+L10%
A+P5%+K
A+P10%+K
A+L5%+K
A+L10%+K
L
L+P5%
L+P10%
L+L5%
L+L10%
L+P5%+K
L+P10%+K
L+L5%+K
L+L10%+K Gambar 17. Aktivitas penghambatan Edible Film terhadap Escherichia coli
2.015
4.560 4.5955.150
5.295
6.2956.390
5.715 5.765
10.70510.10510.180
10.305
10.330
13.595
12.480
11.14011.165
0.000
1.000
2.000
3.000
4.000
5.000
6.000
7.000
8.000
9.000
10.000
11.000
12.000
13.000
14.000
15.000
A
A+P5%
A+P10%
A+L5%
A+L10%
A+P5%+K
A+P10%+K
A+L5%+K
A+L10%
+K L
L+P5%
L+P10
%L+
L5%
L+L1
0%
L+P5%
+K
L+P10
%+K
L+L5
%+K
L+L1
0%+K
Perlakuan
Diam
eter
pen
gham
bata
n (m
m)
A
A+P5%
A+P10%
A+L5%
A+L10%
A+P5%+K
A+P10%+K
A+L5%+K
A+L10%+K
L
L+P5%
L+P10%
L+L5%
L+L10%
L+P5%+K
L+P10%+K
L+L5%+K
L+L10%+K
Gambar 18. Aktivitas penghambatan Edible Film terhadap Bacillus cereus
1.945 2.2 2.355
3.85 3.885
7.15 7.185
6.036.81
10.3310.895
11.005
9.79.895
11.09 11.14
12.3112.28
0.000
1.000
2.000
3.000
4.000
5.000
6.000
7.000
8.000
9.000
10.000
11.000
12.000
13.000
14.000
A
A+P5%
A+P10%A+L5%
A+L10%
A+P5%+K
A+P10%+K
A+L5%+K
A+L10%+K L
L+P5%
L+P10%L+L5%
L+L10%
L+P5%+K
L+P10%+K
L+L5%+K
L+L10%+K
Perlakuan
Diam
eter
pen
gham
bata
n (m
m)
A
A+P5%
A+P10%
A+L5%
A+L10%
A+P5%+K
A+P10%+K
A+L5%+K
A+L10%+K
L
L+P5%
L+P10%
L+L5%
L+L10%
L+P5%+K
L+P10%+K
L+L5%+K
L+L10%+K
Gambar 19. Aktivitas penghambatan Edible Film terhadap Salmonella
typhimurium
1.895
2.845 2.9503.915 3.960
6.735 6.820
5.3155.325
4.6255.2005.685 5.775
5.930
11.285 11.320
12.060
11.310
0.000
1.000
2.000
3.000
4.000
5.000
6.000
7.000
8.000
9.000
10.000
11.000
12.000
13.000
14.000
A
A+P5%
A+P10%A+L5%
A+L10%
A+P5%+K
A+P10%+K
A+L5%+K
A+L10%+K L
L+P5%
L+P10%L+L5%
L+L10%
L+P5%+K
L+P10%+K
L+L5%+K
L+L10%+K
Perlakuan
Dia
met
er p
engh
amba
tan
(mm
)
A
A+P5%
A+P10%
A+L5%
A+L10%
A+P5%+K
A+P10%+K
A+L5%+K
A+L10%+K
L
L+P5%
L+P10%
L+L5%
L+L10%
L+P5%+K
L+P10%+K
L+L5%+K
L+L10%+K
Gambar 20. Aktivitas penghambatan Edible Film terhadap Staphylococcus
aureus
Pelarut asam asetat 1% dan asam laktat 2% mempunyai sifat
antimikroba. Sehingga perlu dilakukan pengujian aktivitas antimikroba
kontrol dengan bahan baku pati sagu. Berdasarkan uji kontrol aktivitas
antimikroba terhadap edible film pati sagu, pelarut asam asetat 1% tidak
memberikan aktivitas penghambatan dan pelarut asam laktat 2% memberikan
aktivitas penghambatan. Hal ini membuktikan bahwa kitosan mempunyai
aktivitas antimikroba Diameter penghambatan edible film kitosan adalah zona
penghambatan edible film kitosan dikurangi dengan diameter penghambatan
kontrol pati sagu. Interaksi muatan positif molekul kitosan dengan muatan
negatif membran sel mikroba menyebabkan terjadinya lisis sehingga terjadi
kebocoran protein dan komponen penyusun intraseluler dari dalam sel
mikroba. Kitosan dapat berfungsi sebagai chelating agent yang secara spesifik
mengikat ion metal sehingga dapat menghambat produksi toksin dan
pertumbuhan mikroba. Kitosan juga dapat mengikat air dan dapat
menghambat berbagai enzim. Kitosan dapat mengikat DNA dan menghambat
sintesis mRNA (Shahidi et al., 1999).
(a)
(b)
Gambar 21. Zona penghambatan (a) Edible film kitosan pelarut asam laktat,
(b) Edible film kitosan pelarut asam asetat
Pada Gambar 17 terlihat bahwa sampel Laktat+Palmitat10%+Kunyit
memiliki aktivitas penghambatan terhadap Eschericia coli terbesar, yaitu
11.115 mm. Selain itu sampel Laktat+Palmitat5%, Laktat+Laurat10%,
Laktat+Palmitat5%+Kunyit, dan Laktat+Laurat10%+Kunyit memiliki
aktivitas penghambatan yang hampir sama. Sedangkan sampel-sampel yang
lain memiliki aktivitas penghambatan tidak jauh beda.
Pada Gambar 18 terlihat bahwa sampel Laktat+Palmitat5%+Kunyit
memiliki aktivitas penghambatan terhadap Bacillus cereus terbesar, yaitu
15.595 mm. Sedangkan sampel-sampel yang lain memiliki aktivitas
penghambatan sekitar 2.015 sampai 12.48 mm.
Pada Gambar 19 aktivitas penghambatan yang terbesar terhadap
Salmonella typhimurium ditunjukkan oleh sampel Laktat+Laurat10%+Kunyit,
yaitu dengan rerata penghambatan 12.31 mm. Sampel-sampel pelarut laktat
yang lain memiliki aktivitas penghambatan 9.7 sampai 12.28 mm. Sedangkan
sampel-sampel dengan pelarut asetat memiliki aktivitas penghambatan 1.945
sampai 7.185 mm.
Hasil pengujian aktivitas penghambatan terhadap Staphylococcus
aureus pada Gambar 20, menunjukkan bahwa aktivitas terbesar adalah
sampel Laktat+Laurat5%+Kunyit, yaitu dengan rerata penghambatan 12.06
mm. Sampel-sampel pelarut laktat yang lain memiliki aktivitas penghambatan
4.625 sampai 11.35 mm. Sedangkan sampel-sampel dengan pelarut asetat
memiliki aktivitas penghambatan 1.895 sampai 6.82 mm.
Berdasarkan pengujian aktivitas antimikroba memperlihatkan
perbedaan yang sangat nyata dengan perbedaan pelarut. Edible film kitosan
dengan pelarut asam laktat 2 % memperlihatkan aktivitas penghambatan yang
lebih besar dibandingkan dengan edible film kitosan dengan pelarut asam
asetat 1 %. Hal ini kemungkinan dipengaruhi edible film kitosan dengan
pelarut asam laktat 2% mempunyai kadar air yang lebih tinggi sehingga proses
difusi ke dalam media Nutrient Agar lebih mudah, sehingga proses
penghambatan kitosan lebih optimum. Selain itu, edible film kitosan dengan
pelarut asam laktat 2% mempunyai nilai pH yang lebih asam dibandingkan
dengan pelarut asam asetat 1%. Penurunan pH di bawah kisaran pH
pertumbuhan mikroba sehingga menghambat pertumbuhan mikroba dengan
baik. Hal ini dapat disimpulkan bahwa pelarut asam laktat 2% lebih efektif
aplikasinya sebagai penghambat mikroba.
Riaudo et al. (1999) melaporkan bahwa interaksi antara kation dari
asam organik sebagai pelarut dan nitrogen dari gugus amino kitosan. Interaksi
ini sangat mempengaruhi efek antimikroba dari edible film kitosan yang
dihasilkan.
Berdasarkan hasil pengujian aktivitas antimikroba memperlihatkan tidak
adanya pola pada penghambatan dengan penambahan asam lemak terhadap
aktivitas antimikroba edible film kitosan. Hal ini dapat terjadi diakibatkan
perubahan senyawa asam-asam lemak tersebut menjadi bentuk esternya yang
bereaksi dengan polietilen glikoll (polialkohol). Menurut Kabara dan Marshall
(2005) asam lemak yang telah teresterifikasi menjadi tidak aktif dalam
menghambat pertumbuhan mikroba.
Berdasarkan pengujian aktivitas antimikroba memperlihatkan bahwa
penambahan esensial oil ekstrak kunyit sinergis memperbaiki aktivitas
penghambatan terhadap mikroba. Hal ini disebabkan karena kunyit
mempunyai senyawa antimikroba alami. Senyawa antimikroba dapat
menyebabkan kerusakan sel bakteri dengan beberapa cara. Secara umum
mekanisme kerja antimikroba dalam menghambat mikroba adalah: (1)
bereaksi dengan membran sel, (2) inaktivasi enzim esensial, dan (3)
mendekstruksi atau menginaktivasi fungsi dari materi genetik (Davidson,
2001). Menurut Pelczar dan Chan (1986), senyawa antimikroba dapat
digunakan untuk menghambat pertumbuhan mikroba atau membunuh mikroba
dengan mekanisme berupa perusakan dinding sel dengan cara menghambat
proses pembentukannya atau menyebabkan lisis pada dinding sel yang sudah
terbentuk, dan perubahan permeabilitas membran sitoplasma sehingga terjadi
kebocoran nutrisi dari dalam sel. Dengan rusaknya membran sitoplasma akan
menyebabakan terhambatnya pertumbuhan atau matinya sel.
Zivanovic et al. (2005) melaporkan bahwa edible film kitosan dengan
inkorporasi esensial oil aregano dapat menghambat aktivitas antimikroba,
edible film kitosan murni dapat menurunkan L. monocytogenes 2 log,
inkorporasi 1% dan 2% esensial oil aregano dapat menurunkan L.
monocytogenes 3.6 sampai 4 log dan E. coli 3 log. Selain itu, Kanatt et al.
(2008) juga telah menghasilkan penelitian bahwa kitosan yang ditambah
dengan mint lebih efektif menghambat pertumbuhan bakteri Gram positif (S.
aureus dan B. cereus) dari pada Gram negatif (E. coli).
Pada Gambar 20 terlihat bahwa zona penghambatan terbesar adalah
terhadap Bacillus cereus, yaitu 13.595 mm. Dari semua perlakuan terhadap
sampel edible film kitosan, penghambatan yang kuat terhadap Bacillus cereus
sebagai bakteri Gram positif. Hal ini diduga oleh adanya perbedaan pada
senyawa penyusun struktur dinding sel, di mana pada bakteri Gram positif
dinding selnya mengandung lipid yang rendah, yaitu 1-4 %. Sedangkan pada
bakteri Gram negatif terdapat kandungan lipid yang lebih tinggi, yaitu 11-
22%. Semakin besar lipid yang terkandung pada dinding sel bakteri, maka
efek hidrolisisnya akan semakin kuat. Sehingga, efek polikationik kitosan
sebagai antimikroba menjadi lebih dominan dalam menghambat pertumbuhan
bakteri tersebut. Selain itu, dinding sel bakteri Gram positif hanya berlapis
tunggal, sedangkan pada bakteri Gram negatif memiliki lapis tiga (Pelczar dan
Chan, 1986). Kedua faktor inilah yang menyebabkan bakteri Gram positif
lebih rentan terhadap masuknya antimikroba melalui dinding selnya
dibandingkan dengan bakteri Gram negatif.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Penambahan asam lemak dan esensial oil pada edible film kitosan
berfungsi memperbaiki sifat fisik, mekanik, dan perbaikan aktivitas
antimikroba dari kitosan. Asam lemak yang ditambahkan yaitu asam lemak
palmitat dan asam lemak laurat dengan konsentrasi 0%, 5%, dan 10% (w/w
kitosan). Penambahan asam lemak bertujuan memperbaiki sifat barrier
terhadap uap air. Esensial oil yang ditambahkan adalah esensial oil ekstrak
kunyit dengan konsentrasi 0% dan 100 µl/g kitosan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dengan adanya penambahan
asam lemak palmitat dan asam lemak laurat dapat memperbaiki sifat barrier
terhadap uap air dan sifat mekanik dari edible film kitosan. Ini terbukti dengan
penambahan asam lemak menurunkan nilai WVP dari edible film kitosan yang
dihasilkan. Penambahan esensial oil kunyit tidak berpengaruh terhadap sifat
barrier uap air dan sifat mekanik edible film kitosan yang dihasilkan. Selain
itu, penambahan esensial oil ekstrak kunyit dapat memperbaiki aktivitas
antimikroba dari edible film kitosan. Edible film kitosan yang paling optimum
sifat barrier uap air dan sifat mekaniknya pada penelitian ini adalah edible
film kitosan dengan formulasi pelarut asam asetat 1% dan penambahan asam
palmitat 10%.
B. SARAN
1. Setelah mengetahui karakteristik edible film kitosan maka perlu dipelajari
aplikasi pada produk pangan yang sesuai dengan karakteristik edible film
yang dihasilkan.
2. Perlu dilakukan analisis FTIR untuk mengetahui interaksi kitosan – lipid
pada edible film komposit yang dihasilkan.
DAFTAR PUSTAKA
Angka, S.L. dan M.T. Suhartono. 2000. Bioteknologi Hasil Laut. Pusat
Pangkajian Sumberdaya dan Pesisir Lautan. IPB. Bogor. AOAC (Association of Official Agricultural Chemist). 1984. Official Methods of
Analysis. AOAC, Washington D. C. Aryanto, A. Y. 2002. Pemanfaatan Khitosan dari Limbah Kulit Udang (Crustacea)
Sebagai Bahan untuk Pembuatan Membran. Skripsi. Fakultas Teknologi Perikanan, IPB. Bogor.
[ASTM] American Society for Testing and Material. 1993. Annual Book of
ASTM Standars, Philadelpia. Austin, P. A. 1984. Chitin Solvent and Solibility Parameters. Departement of
Commerse. The University of Dewalare. US. Bastaman, S. 1989. studies on degradation extraction of chitin and chitosan from
prawn shrimp [thesis]. belfast: The Department of Mechanical Manufacturing Aeronautical and Chemical Engineering, The Queen University.
Begin, A. dan Van Calsteren, M.R. 1999. Antimicrobial films produced from
chitosan. Int J. Biol Macromol 26:63–7. Belitz, H. D. Dan Grosch, W. 1999. Food Chemistry. Germany: Springer
Publishing. Blackburn , C. W. Dan McClure, P. J. 2002. Foodborne pathogens hazard, risk
analysis and control. CRC Press. New York. USA. Brandenberg, A. H., C. L. Weller, dan R. S. Testin. 1993. Edible film and coating
from soy protein. J. Food Sci. 5: 5. Brenan, A. L dan P. M. Davidson. 1993. Antimicrobial in Foods. Marcel Dekker,
inc. New York. Brezki, M. M. 1987. Chitin and chitosan putting waste to good use. Infofish 5/87 :
31-33. Butler, B. L., P. J. Vergano, R. F. Testin, J. M. Bunn dan J. L. Wiles. 1996.
Mechanical and Barrier Properties of Edible Chitosan Films as affected by Composition and Storage. J. Food Sci. Vol 61(5) 953-955p.
Caner, C., Vergano, P. J., & Wiles, J. L. 1998. Chitosan film mechanical and permeation properties as affected by acid, plasticizers, and storage. Journal of Food Science, 63, 1049–1052.
Chang, K. L. B., Tsai, G., Lee, J., Fu, W. 1997. Heterogenous N-deacetylation of
chitin in alkaline solution. Carb Res 303: 327-332. Chen, M. C., G. H. C. Yeh, B. H. Chiang. 1996. Antimicrobial and
physicochemical properties of methylcellulosa and chitosan films containing aqueus preserpative. J. Food Processing and Preservation 20: 379-390.
Chen, C. S. Liau, W. Y. dan Tsai, G. J. 1998. Antibacterial effects of N-sulfonated
and N-sulfobenzoyl chitosan and application to oyster preservation. J. Food Prot 61: 1124-1128.
Coma, V., A. Martial-Cros., S. Garreau., A. Copinet., F. Salin. dan A. Deschamps.
2002. Edible antimicrobial films based on chitosan matrix. J. Food Science. Vol. 67/ nr.3.
Davidson PM. 2001. On the nature trail in search of the wild antimicrobial. J.
Food Sci Technol 15:55. Dahuri, R. 2005. Road Map Pembangunan Nasional Menuju Indonesia yang maju,
Adil-Makmur dan Bermartabat. Di dalam: BEM KM IPB. Membangun Indonesia. IPB Press, Bogor.
Deuchi, K., Kanauchi, O., Imasoto, Y., Kobayashi, E. 1994. Decreasing Effect of
Chitosan on the Apparent Fat Digestibility by Fats of a High Fat Diet. Biosci. Biotech. Biochem. 58:1613-1616.
Dillon, C. P. 1992. Materials Selection for The Chemical Process Industries.
McGrow-Hill, USA. Dominic, W.S.W., W.M. Camirand dan A.E. Paulath. 1994. Development of
Edible Coating for Minimally Processed Fruit and Vegetables. Di dalam : Krochta et al. (ed). Edible Coatings and Films to Improve Food Quality. Technomic Publ Co. Inc. Lancaster-Basel. Pennsylvania, USA.
Donhowe, I. G. dan Fennema, O. R. 1993. The effects of plastisizer on
crystallinity, permeability and mechanical properties of methylcellulose films. J. Food Process and Preserv 17: 247-257.
Doores, S. 2005. Organic Acid. Di dalam: Davidson, P.M, J.N. Sofos, dan A.L.
Branen (eds.). Antimicrobials in Food 3nd. CRC Press, Boca Raton. Emmawati, A. 2004. Produksi khitosan dengan perlakuan kimiawi dan enzimatis
menggunakan NaOH dan khitin deasetilase [Tesis]. Bogor. Sekolah Pascasarjana, Institur Pertanian Bogor.
Fardiaz, S. 1992. mikrobiologi Pangan I. PT. Gramedia Pustaka Utamaa, Jakarta. Farrel, K. T. 1990. Spice, Condiments, and Seasoning. The AVI Publishing Co.
Inc., Van Nonstrand Reinhold New York. Gan, Y. 1987. Pengaruh Bubuk Rimpang Kunyit (Curcuma domestica Val.)
terhadap Pertumbuhan Sel Vegetatif, Germinasi, dan Pertumbuhan Spora Bacillus sp. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor.
Gennadios, A. 2002. Protein Based Films and Coating. CRC Press, Florida. Gontard, N., Guilbert, S. dan Cuq, J. L. 1993. Water and glyserol as plasticizer
affect mechanical and water vapor barrier properties of an wheat gluten film. J. Food Sci. Vol. 57: 190-195p.
Goosen, M.F.A. 1997. Applications of Chitin and Chitosan. USA : Technomic. Greener, I. K. dan Fennema, O. R. 1989. Barrier properties and surface
characteristic of edible bilayer film. Recerived and Expanded Marcel dekker, Inc. New York.
Hagenmaier, R. D., dan Shaw, P. E. 1990. Moisture permeability of edible ®lms
made with fatty acids and hydroxypropyl methylcellu-lose. Journal of Agricultural and Food Chemistry. Vol 38: 1799-1803.
Harris, H. 1999. Kajian Teknik Formulasi terhadap Karakteristik Edible Film dari
Pati Ubi Kayu, Aren dan Sagu untuk Pengemas Produk Pangan Semibasah. Disertasi. Program Pascasarjana, IPB. Bogor.
Hekmat, O., tokuyasu, K., dan Withers, S. G. 2003. Subsite strukture of the
endotype chitin deasetylase from a Deuteromycetes, Colleotrishum lindemuthianum: an investigation using stesdy state kinetic analysis and MS. Biochem 374: 369-380.
Helander, I. M. Nurmiaho, E. L. Ahvenainen, R. Rhoades, J. dan Roller, S. 2001.
Chitosan disrupts the barrier properties of the outer membrane of Gram-negative bacteria. Int J Food Microbial 71: 235-244.
Houghton, P. J. Dan A. Raman. 1998. Laboratory Handbook for The Fractination
of Natural Extracts. Di dalam: Muhtadi. 2002. Isolasi Komponen Antibakteri dari Biji Atung (Parinarium glaberrium Hassk) [disertasi]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Hal 30-31, 34.
Igoe, R.S. dan Y. H. Hui. 1994. Dictionary of Food Ingredients. Chapman and
Hall. New York.
Ikeda, I., Sugano., Yoshida, K., Sasaki, E., Iwamoto, Y., Hatano, K. 1993. Effect of Chitosan Hidrolysates on Lipid Absorption and on Serum and Liver Lipid Consentration in Rats. J. Agric. Food Chem. 41(3):431-435.
Jay, J. M. 1986. Modern Food Microbiology 2(nd) edition. Wayne State
University. New York. Jeong, Y. J., dan Kim, S. K. 2002. Chitosan as an edible invisible film for quality
preservation of herring and Atlatic cod. J. Agric Food Chem 50: 5167-5178. Johnson, E. L. dan Q. P. Peniston. 1982. Utilization of Shelfish Wastes for
Produstion Chitin and Chitosan Production Chemistry of Marine Food Product. AVI Publ., Westport. P. 415-422.
Jung, B.O. Kim, C.H. Choi, K.S, Lee,Y.M. dan Kim, J.J. 1999. Preparation of
Amphiphilic Chitosan and Their Antimicrobial Activities. J. Appl. Pol. Sci.72: 1713-1719.
Kabara, J.J. dan D.L. Marshall. Medium-Chain Fatty Acid and Esters. Di dalam:
Davidson, P.M, J.N. Sofos, dan A.L. Branen (eds.). Antimicrobials in Food 3nd. CRC Press, Boca Raton.
Kanatt, S.R., R. Chander, dan A. Sharma. 2008. Chitosan and Mint Mixture: A
New Preservative for Meat and Meat Product. J. Food Chemistry. 107: 845-852
Ketaren, S. 1986. Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. UI Press. Jakarta. Kim, S. H., No, H. K., Kim, S. D. dan Prinyawiwatkul, A. 2006. Effect of
Plasticizer Concentration and Solvent Types on Shelf-life of Eggs Coated with Chitosan. J. of Food Scince. Vol 7/ nr. 4.
Kittur, F.S., K.R. Kumar dan R.N. Tharanathan. 1998. Functional packaging
properties of chitosan film. Z. Lebesm Unters Forsch A. 206: 44-47. Koesnandar. 2004. Penelitian dan Pengembangan Asam Laktat di Indonesia.
Simposium Asam Laktat: Peluang dan Aplikasi di Industri, 20 April 2004. Jakarta. BPPT.
Kolodziejska, I., Wojtasz- Pajak, A., Ogonowska, G., dan Sikorski, Z. E. 2000.
Deacetylation of Chitin in two-stage Chemical and Enzymatic Process. Bulletin of Sea Fisheries Institute 2: 15-24.
Knorr, D. 1982. Functional properties of chitin and chitosan. J. Food Sci. 8: 593. ,1984. Dye Binding Properties of Chitin and Chitosan. food Sci. New
York.
Krochta, J.M. 1992. Control of Mass Transfer in Food with Edible Coatings and Films. Di dalam : Singh, R.P. dan M.A. Wirakartakusumah (eds). Advances in Food Engineering. CRC Press : Boca Raton, F.L. : pp 517-538.
Krochta, J. M. Baldwin, E. A. dan Nisperos-Carriedo, M. A. 1994. Edible coating
and film to Improve Food Quality. USA: Technomic. Krochta, J. M. dan Johnston, C. deMulder. 1997. Edible and biodegradable
polymer films: Challenges and opportunities. Food Technol 51(2):61-74. Krochta, J. M. dan McHugh, T. H. 1994. Sorbitol vs glyserol plastisized whey
protein edible film: Integrated oxygen permeability and tensile property evaluation. J. Agric Food Chem 42(4): 841-845.
Kumins, C. A. 1965. Transport througgh polymer film. J. Polymer Sci. part
C.10:1. Labuza, T. P. 1982. Shelf Life Dating of Foods. Food and Nutrition Press Inc.,
Westport, Conneticut. Lap. Protan. 1987. Cational Polymer for Recovering Valuable by Product from
Processing Waste Burggess. USA. Lukman, A. A. S. 1984. Pengaruh Bubuk rimpang Kunyit (Curcuma domestica
Val) dan Bubuk Residu Ekstraknya Terhadap Pertumbuhan Beberapa Bakteri Basili Gram positif. Skripsi. IPB. Bogor.
Manullang, M. 1998. Pemanfaatan khitosan dalam minuman kaya serat makanan.
Bul. Teknologi dan Industri Pangan. vol IX no. 1: 34-43. McHugh, T. H. Aujard, J. F. dan Krochta, J. M. 1994. Plasticized whey protein
edible films: water vapour permeability properties. J. Food Sci 59(2): 416-419.
Moyler, D. A. 1994. Spices Recent Advances. Di dalam charalambous (Ed.).
Spices, Herb and Edible Fungi. Elsevier. Amsterdam. Muchtadi, T. R. dan Sugiono. 1992. Petunjuk Laboratorium Ilmu Pengetahuan
Bahan Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. IPB. Bogor. Muzarelli, R. A. A. Farsi, R. Filippini, O. Giovanetti, E. Biagini, G. Varaldo, P. E.
1990. Antimicrobial properties of N-Carboxybutyl chitosan. Antimicrobial Agents Chemonth 34: 2019-2023.
No, H. K. Park, N. Y. kim, H. R. dan Meyers, S. P. 2002. Antibacterial activity of
chitosan and chitosan oligomers with different molecular weight. J. Food Microbial 74: 65-72.
Ornum, J. U. 1992. Shrimp Waste Must It Be Wasted?. Infofish 6: 48-51. Paramawati, R. 2001. Kajian fisik dan mekanik terhadap karakteristik film
kemasan organik dari α-zein jagung [Tesis]. Program Pascasarjana, IPB. Bogor.
Park, H. J. dan M. S. Chinnan. 1995. Gas and water vapour barrier properties of
edible films from protein and cellulose materials. J. Food Eng. 25: 766. Park, H.J., C.L. Weller, P.J. Vergano dan R.F. Testin. 1996. Factor affecting
barrier and mechanical properties of protein-edible, degradable films. New Orlean. L.A.
Pelczar, M. J. dan Reid, R. D. 1972. Food Microbiology. Mc Graw Hill Book Co.
Inc., New York. Pranoto, Y., S.K. Rakshit., V.M. Salokhe. 2004. Enhancing antimicrobial activity
of chitosan film by incorporating garlic oil, potassium sorbate and nisin. LWT. 38: 859-865.
Purnomo, H. 1995. Aktivitas Air dan Peranannya dalam Pengawetan Pangan.
UIPress, Jakarta. Pursglove et. al.1981. Spices vol. II. Reineccius. 1994. Source Book of Flavors. Chapman and Hall, New York. Rinaudo, M., Milas, M., dan Dung, P. L. 1993. Characterization of chitosan
influence of ionic strength and degree of acetylation on chain expansion. International Journal of Biological Macromolecules, 15, 281–285.
Rochima, E. 2005. Aplikasi Kitin Deasetilase Termostabil dari Bacillus
papandayan K29-14 Asal Kawah Kamojang Jawa Barat Pada Pembuatan Kitosan [Tesis]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Roller, S., Sagoo,S., Board, R., O’Mahony,T., Fitzgerald, G., Fogden, M., Owen,
M., dan Flecher, H. 2002. Novel combination of chitosan, carnocin, and sulphite for preservation of chilled pork sausages. Meat Sci 19: 165-177.
Rukmana, H. R. 1994. Kunyit: Budi Daya dan Pasca Panen. Kanisius.
Yogyakarta. Sagoo, S., Board, R. dan Roller, S. 2002. Chitosan inhibits growth of spoilage
microorganisms in chilled pork products. Food Microbial 19: 175-182. Sanford, P. A. 1989. Chitosan use and potensial application. Dalam Chitin and
Chitosan Chemistry, Biochemistry, Physhical Properties and Application.
Sanford, P. Thorllef, A. Gudmund Skjak-Brak(eds). Elselvier Sci. Publ. Co. Inc. New York.
,2003. World market of chitin and its derivatives. Di dalam: Varum, K. M,
Domand, A. dan Smidsrod, O. Editors. Advances in Chitin Science. Vol VI. Trondheim, Norway.
Shahidi, F., Arachi, J. K. V. dan Jeon, Y. J. 1999. Food application of chitin and
chitosan. Review. Trends in Food Science and Technology. 10: 37-51. Shahidi. F., Arachchi. J. K. V., Jeon, Y. J. 1999. Food Applications of Chitin and
Chitosan. Trends Food Sci Technol 10: 37-51. Sophanodora, P. dan S. Benjakula. 1993. Convertion and utilition of from prawn
shell. Dalam Development of Food Science and Technology in Southest Asia. Proceeding at the 4 th Asia Good Conference 1992. B. L. Oei, A. Buchanan, dan D. Fardiaz (eds). Jakarta, Indonesia. february 17, 21, 1992.
Srinivasa, P.C. Ramesh, M.N. dan Tharanathan, R.N. 2006. Effect of plasticizers
and fatty acids on mechanical and permeability characteristics of chitosan films. J. Food Hydrocolloids. Vol 2: 1113-1122.
Sugano, M., Fujikawa, T., Hiratsuji, Y., Nakashirna, K., Fukuda, N., Santoso.J.
1980. A Novel Use of Chitosan as a Hipocholesterolernic Agent in Rats. Am. J. Clin. Nutr. 33(4):787.
Suptijah, P. Salamah, E. Sumaryanto, H. Purwaningsih, S. dan Santoso, J. 1992.
Pengaruh berbagai metode isolasi kitin dari kulit udang terhadap kadar dan mutunya. Laporan akhir penelitian Faperikan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Suyatma, N. E., Tighzert, L., dan Copinet, A. 2005. Effects of Hydrophilic
Plasticizers on Mechanical, Thermal, and Surface Properties of Chitosan Films. J. Agric. Food Chem. 53: 3950−3957.
Suwanto, A. 1983. Mempelajari Aktivitas Antibakteri Bubuk Rimpang Kunyit.
Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor. Tanigawa, T. Tanaka, Y. Shasiwa, H. Saimoto, H. Dan Shigemasa, Y. 1992.
Advances in Chitin and chitosan. Brione CJ, Sandford, PA, Zikakis JP. (eds). London, New York: Elsevier Science Pub Ltd.
Thatte, M. R. 2004. Synthesis and antibacterial assesment of water-soluble
hydrophobic chitosan derivatives bearing quarternary ammonium functionality [dissertation]. Los Angeles: Lousiana State University and Agricultural and Mechanical College.
Tsai, G. J. dan Su, W. H. 1999. Antibacterial activity of shrimp chitosan against Escherichia coli. J. Food Prot. 62: 239-243.
Tsai, G. J. Zhang, S. L. Shieh, P. L. 2004. Antimicrobial activity of low molecular
weight chitosan obtained from cellulase digestion of chitosan. Journal Food Prot 67: 396-398.
Tsigos, I., A. Martinou., Kafetzopoulos. dan V. Bouriotis. 2000. Chitin
deacetylases: New Versatile Tools in Biotechnology. Titbech Rev 18: 305-312.
Wade, A. dan Paul J. Weller. 1994. Hanbook of Pharmaceutical Exipients. The
Pharmaceutical Press, London. Wan, V. C. H, Kim, M. S, Lee, S. Y. 2005. Water vapor permeability and
mechanical properties of soy protein isolate edible films composed of different plasticizer combinations. J Food Science. 70:E387–91.
Winarno, F. G. 1997. Kimia pangan dan gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Wong. D.W.S., W.M. Camirand dan A.E. Paulath. 1994. Development of Edible
Coating for Minimally Processed Fruit and Vegetables. di dalam : Krochta et al. (ed). Edible Coatings and Films to Improve Food Quality. Technomic Publ Co. Inc. Lancaster-Basel. Pennsylvania, USA.
Yang, L.dan Paulson, A.T. 2000. Effects of lipids on mechanical and moisture
barrier properties of edible gellan film. J. Food Research International. Vol 33: 571-578.
Zivanovic, S., basurto, C. C., Chi, S., Davidson, P. M., dan Weiss, J. 2004.
Molecular weight of chitosan influences antimicrobial activity in oil-in-water emulsions. J. Food Prot 67: 952-959.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Daftar singkatan dan istilah
Perlakuan A = Asetat
A+P5% = Asetat + Palmitat 5%
A+P10% = Asetat +Palmitat 10%
A+L5% = Asetat + Laurat 5%
A+L10% = Asetat + Laurat 10%
A+P5%+K = Asetat + Palmitat 5% + Kunyit
A+P10%+K = Asetat + Palmitat 10% + Kunyit
A+L5%+K = Asetat + Laurat 5% + Kunyit
A+L10%+K = Asetat + Laurat 10% + Kunyit
L = Laktat
L+P5% = Laktat + Palmitat 5%
L+P10% = Laktat + Palmitat 10%
L+L5% = Laktat + Laurat 5%
L+L10% = Laktat + Laurat 10%
L+P5%+K = Laktat + Palmitat 5% + Kunyit
L+P10%+K = Laktat + Palmitat 10% + Kunyit
L+L5%+K = Laktat + Laurat 5% + Kunyit
L+L10%+K = Laktat + Laurat 10% + Kunyit
Lampiran 2. Rekapitulasi analisis Anova dan Uji Lanjut Duncan aw
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Aw a R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)
Post Hoc Tests Perlakuan Homogeneous Subsets
Aw Duncan a,b
Perlakuan N Subset 1 2 3 4 5 A+L10% 2 .61050 A+P10% 2 .61100 A+L10%+K 2 .61250 .61250 A+L5% 2 .61250 .61250 A+P5% 2 .61250 .61250 A+P10%+K 2 .61300 .61300 A+L5%+K 2 .61350 .61350 A+P5%+K 2 .61800 A 2 .62400 L+P10% 2 .66350 L+P5% 2 .66400 L+L10% 2 .66800 .66800 L 2 .66850 .66850 L+L5% 2 .66850 .66850 L+P10%+K 2 .66850 .66850 L+P5%+K 2 .66900 .66900 L+L10%+K 2 .66950 .66950 L+L5%+K 2 .67200 Sig. .308 .069 1.000 .053 .180
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .000. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.
Source
Type III Sum of Squares df
Mean Square F Sig.
Model 14.821(a) 19 .780 121657.229 .000 Ulangan .000 1 .000 .312 .584 Perlakuan .026 16 .002 251.636 .000 Error .000 17 .000 Total 14.821 36
Lampiran 3. Rekapitulasi analisis Anova dan Uji Lanjut Duncan pH
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: pH
Source
Type III Sum of Squares df
Mean Square F Sig.
Model 597.421(a) 20 29.871 220786.133 .000 Ulangan .000 2 .000 .246 .783 Perlakuan 21.310 16 1.332 9844.138 .000 Error .005 34 .000 Total 597.426 54
a R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)
Lanjutan Lampiran 3. pH
Duncan a,b
Perlakuan N Subset 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 L+P10%+K 3 2.5767 L+P10% 3 2.5867 2.5867 L+P5%+K 3 2.6000 2.6000 L+L10% 3 2.6033 2.6033 L+L10%+K 3 2.6067 2.6067 L+P5% 3 2.6067 2.6067 L+L5% 3 2.6167 L+L5%+K 3 2.6167 L 3 2.6600 A+P10% 3 3.7833 A+P10%+K 3 3.8233 A+L10%+K 3 3.8533 A+L10% 3 3.8733 A+P5%+K 3 3.9067 A+L5%+K 3 3.9700 A+P5% 3 3.9700 A+L5% 3 4.0100 A 3 4.0333Sig. .300 .067 .132 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .000. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000. b Alpha = .05.
Lampiran 4a. Rekapitulasi analisis Anova dan Uji Lanjut Duncan warna L Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Warna L
Source Type III Sum
of Squares df Mean
Square F Sig. Model 241246.124(a) 20 12062.306 8035.834 .000 Ulangan 2.538 2 1.269 .845 .438 Perlakuan 4651.739 16 290.734 193.685 .000 Error 51.036 34 1.501 Total 241297.160 54
a R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)
Lanjutan Lampiran 4a. Post Hoc Tests Perlakuan Homogeneous Subsets Warna L Duncan Perlakuan N Subset 1 2 3 4 5 6 7 8 9 A+L10%+K 3 51.13667 A+P10%+K 3 51.17000 A+L5%+K 3 52.49333 A+P5%+K 3 55.36333 L+P10%+K 3 59.45667 L+L10%+K 3 60.55333 L+P5%+K 3 61.10000 L+P10% 3 63.97333 L+L5%+K 3 64.38333 L+P5% 3 65.41333 A+L10% 3 67.83000 L+L10% 3 71.53333 L+L5% 3 72.63333 A+L5% 3 72.99000 A+P10% 3 76.28000 A+P5% 3 79.30333 A 3 80.54000 L 3 83.62667Sig. .209 1.000 .129 .183 1.000 .178 1.000 .225 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1.501. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000. b Alpha = .05.
Lampiran 4b. Rekapitulasi analisis Anova dan Uji Lanjut Duncan warna a Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Warna
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig. Model 6095.144(a) 20 304.757 757.870 .000Ulangan .016 2 .008 .020 .980Perlakuan 1143.626 16 71.477 177.748 .000Error 13.672 34 .402 Total 6108.816 54
a R Squared = .998 (Adjusted R Squared = .996)
Lanjutan Lampiran 4b. Warna a Duncan
Perlakuan N Subset
1 2 3 4 5 6 7 8 9 A 3 1.1467 A+P5% 3 2.4300 L 3 3.2300 A+P10% 3 3.4267 A+L5% 3 4.9567 L+L10% 3 5.3700 L+L5% 3 5.5467 L+P5% 3 9.1700 L+P5%+K 3 10.1900 10.1900 A+L10% 3 10.2933 L+P10%+K 3 10.8500 L+P10% 3 12.3333 L+L10%+K 3 12.8800 12.8800 A+P5%+K 3 13.5633 L+L5%+K 3 13.8167 A+P10%+K 3 15.8367 A+L5%+K 3 16.4700 16.4700A+L10%+K 3 17.0767Sig. 1.000 .077 .291 .057 .238 .298 .095 .230 .249
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .402. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000. b Alpha = .05.
Lampiran 4c. Rekapitulasi analisis Anova dan Uji Lanjut Duncan warna b Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Warna
Source Type III Sum
of Squares df Mean
Square F Sig. Model 87856.716(a) 20 4392.836 1319.251 .000Ulangan 7.789 2 3.894 1.170 .323Perlakuan 3590.597 16 224.412 67.395 .000Error 113.213 34 3.330 Total 87969.929 54
a R Squared = .999 (Adjusted R Squared = .998)
Lanjutan Lampiran 4c. Warna b Duncan
Perlakuan N Subset
1 2 3 4 5 6 7 8 9 A 3 22.6400 A+P5% 3 24.6333 24.6333 L 3 26.6333 A+P10%+K 3 31.7800 L+L5% 3 33.5733 33.5733 A+P10% 3 35.3433 35.3433 A+L10%+K 3 35.4767 35.4767 A+L5%+K 3 37.6533 37.6533 A+P5%+K 3 38.3667 38.3667 L+P5% 3 39.3600 39.3600 A+L5% 3 39.5733 39.5733 L+L10% 3 41.7933 L+P5%+K 3 48.4900 L+L10%+K 3 48.7733 48.7733L+P10%+K 3 49.1000 49.1000L+L5%+K 3 50.9733 50.9733L+P10% 3 51.0333 51.0333A+L10% 3 52.0967Sig. .190 .188 .237 .237 .071 .249 .132 .136 .052
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 3.330. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000. b Alpha = .05.
Lampiran 5. Rekapitulasi analisis Anova dan Uji Lanjut Duncan tebal
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Tebal
Source
Type III Sum of Squares df
Mean Square F Sig.
Model 1.646(a) 19 .087 11691.193 .000
Ulangan .000 1 .000 .607 .447 Perlakuan .104 16 .006 873.089 .000 Error .000 17 .000 Total 1.647 36
a R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)
Lanjutan Lampiran 5. Tebal Duncan a,b
Perlakuan N Subset 1 2 3 4 5 6 7 8 9 A 2 .12750 A+P5% 2 .14300 A+P5%+K 2 .15000 A+L5% 2 .15050 A+P10%+K 2 .15300 .15300 A+L5%+K 2 .15350 .15350 A+P10% 2 .15500 .15500 A+L10% 2 .15850 .15850 A+L10%+K 2 .16350 L 2 .23350 L+L5% 2 .25400 L+P10% 2 .25550 L+L10% 2 .25800 L+P5% 2 .25800 L+P5%+K 2 .26500 L+L5%+K 2 .27050 L+P10%+K 2 .27900L+L10%+K 2 .28250Sig. 1.000 1.000 .115 .079 .084 1.000 .194 .059 .216
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .000. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.
Lampiran 6. Rekapitulasi analisis Anova dan Uji Lanjut Duncan persen elongasi
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Elongasi
Source Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig. Model 8229222.096(a) 20 411461.105 588.914 .000Ulangan 22.244 2 11.122 .016 .984Perlakuan 3351529.546 16 209470.597 299.810 .000Error 23755.058 34 698.678 Total 8252977.154 54
a R Squared = .997 (Adjusted R Squared = .995)
Post Hoc Tests Perlakuan Homogeneous Subsets
Persen Elongasi Duncan a,b
Perlakuan N Subset 1 2 3 4 5 6 A+P10% 3 32.2233 A+P5% 3 35.5567 A+L10% 3 38.8867 A+L5% 3 44.4433 A+P10%+K 3 50.0000 A+L10%+K 3 58.8867 A+L5%+K 3 61.1133 A+P5%+K 3 63.3333 A 3 76.6667 L+L10% 3 350.0000 L+P10% 3 438.8867 L+L5% 3 487.7767 L+P5% 3 494.4433 L+L10%+K 3 583.3333 L+L5%+K 3 591.1100 L+P10%+K 3 611.1100 L+P5%+K 3 613.4433 L 3 693.3300Sig. .087 1.000 1.000 .759 .212 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 698.678. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000. b Alpha = .05.
Lampiran 7. Rekapitulasi analisis Anova dan Uji Lanjut Duncan kuat tarik Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Kuat tarik
Source Type III Sum
of Squares df Mean Square F Sig. Model 13976.099(a) 20 698.805 945.562 .000 Ulangan 2.760 2 1.380 1.867 .170 Perlakuan 4922.866 16 307.679 416.325 .000 Error 25.127 34 .739 Total 14001.227 54
a R Squared = .998 (Adjusted R Squared = .997) Post Hoc Tests Perlakuan Homogeneous Subsets
Kuat tarik (MPa)
Duncan Perlakuan N Subset 1 2 3 4 5 6 L+L10% 3 1.828400 L+P10% 3 2.055400 L+P10%+K 3 2.209400 L+L10%+K 3 2.222900 L+P5% 3 2.252567 L+L5%+K 3 2.291733 L+P5%+K 3 2.662600 L+L5% 3 2.803267 L 3 2.952733 A+P10% 3 17.207133 A+P5% 3 18.881500 A+L10%+K 3 19.832300 A+L5%+K 3 21.277700 A+L10% 3 23.574600 A+L5% 3 24.083933 A+P10%+K 3 24.224467 A+P5%+K 3 24.561667 A 3 27.961433Sig. .181 1.000 .184 1.000 .209 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .739. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000. b Alpha = .05.
Lampiran 8. Rekapitulasi analisis Anova dan Uji Lanjut Duncan WVP
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: WVP
Source
Type III Sum of Squares df
Mean Square F Sig.
Model 57.329(a) 19 3.017 6644.934 .000 Ulangan .000 1 .000 .175 .681 Perlakuan 4.440 16 .278 611.161 .000 Error .008 17 .000 Total 57.337 36
a R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)
Lanjutan Lampiran 8. WVP Duncan
Perlakuan N Subset
1 2 3 4 5 6 7 8 9 A+P10% 2 .769200 A+P10%+K 2 .828050 A+P5% 2 .830950 A+L10% 2 .834350 A+L10%+K 2 .881650 A+L5% 2 .884500 A+P5%+K 2 .887200 A+L5%+K 2 .898950 A 2 .982700 L+P10% 2 1.391400 L+P5% 2 1.440250 L+L10% 2 1.465850 L+L5% 2 1.485500 L+P10%+K 2 1.571100 L+P5%+K 2 1.573450 L+L10%+K 2 1.650300 L+L5%+K 2 1.687500 1.687500L 2 1.731750Sig. 1.000 .783 .466 1.000 1.000 .059 .913 .099 .053
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .000. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.
Lampiran 9. Data analisis zona penghambatan edible film terhadap bakteri-bakteri patogen (mm)
Perlakuan Eschericia coli Bacillus cereus Salmonella typhimurium Staphylococcus aureus 1 2 Rataan STDEV 1 2 Rataan STDEV 1 2 Rataan STDEV 1 2 Rataan STDEV
A 2.87 2.86 2.865 0.0071 1.99 2.04 2.015 0.0354 1.99 1.90 1.945 0.0636 1.87 1.92 1.895 0.0354 A+P5% 5.69 5.71 5.700 0.0141 4.52 4.60 4.560 0.0566 2.26 2.14 2.200 0.0849 2.85 2.84 2.845 0.0071 A+P10% 5.85 5.79 5.820 0.0424 4.59 4.60 4.595 0.0071 2.36 2.35 2.355 0.0071 2.88 3.02 2.950 0.0990 A+L5% 3.14 3.22 3.180 0.0566 5.04 5.26 5.150 0.1556 3.82 3.88 3.850 0.0424 3.88 3.95 3.915 0.0495 A+L10% 3.26 3.31 3.285 0.0354 5.29 5.30 5.295 0.0071 3.84 3.93 3.885 0.0636 3.95 3.97 3.960 0.0141 A+P5%+K 6.32 6.45 6.385 0.0919 6.26 6.33 6.295 0.0495 7.16 7.14 7.150 0.0141 6.74 6.73 6.735 0.0071 A+P10%+K 6.38 6.45 6.415 0.0495 6.40 6.38 6.390 0.0141 7.20 7.17 7.185 0.0212 6.80 6.84 6.820 0.0283 A+L5%+K 7.93 7.96 7.945 0.0212 5.71 5.72 5.715 0.0071 5.97 6.09 6.030 0.0849 5.35 5.28 5.315 0.0495 A+L10%+K 8.02 8.08 8.050 0.0424 5.77 5.76 5.765 0.0071 6.82 6.80 6.810 0.0141 5.33 5.32 5.325 0.0071 L 7.73 7.56 7.645 0.1202 10.71 10.70 10.705 0.0071 10.32 10.34 10.330 0.0141 4.64 4.61 4.625 0.0212 L+P5% 10.71 10.64 10.675 0.0495 10.07 10.14 10.105 0.0495 10.90 10.89 10.895 0.0071 5.21 5.19 5.200 0.0141 L+P10% 10.70 10.73 10.715 0.0212 10.15 10.21 10.180 0.0424 11.04 10.97 11.005 0.0495 5.67 5.70 5.685 0.0212 L+L5% 7.18 7.06 7.120 0.0849 10.32 10.29 10.305 0.0212 9.69 9.71 9.700 0.0141 5.72 5.83 5.775 0.0778 L+L10% 7.16 7.08 7.120 0.0566 10.29 10.37 10.330 0.0566 9.83 9.96 9.895 0.0919 6.01 5.85 5.930 0.1131 L+P5%+K 11.08 11.06 11.070 0.0141 13.58 13.61 13.595 0.0212 11.07 11.11 11.090 0.0283 11.27 11.30 11.285 0.0212 L+P10%+K 11.11 11.12 11.115 0.0071 12.46 12.50 12.480 0.0283 11.15 11.13 11.140 0.0141 11.31 11.33 11.320 0.0141 L+L5%+K 8.90 8.78 8.840 0.0849 11.20 11.08 11.140 0.0849 12.30 12.26 12.280 0.0283 12.80 11.32 12.060 1.0465L+L10%+K 10.56 10.65 10.605 0.0636 11.17 11.16 11.165 0.0071 12.32 12.30 12.310 0.0141 11.32 11.30 11.310 0.0141
Lampiran 10. Rekapitulasi analisis Anova dan Uji Lanjut Duncan kadar air
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Kadar air
Source Type III Sum of
Squares df Mean
Square F Sig. Model 29926.800(a) 19 1575.095 5689.83
0 .000
Ulangan .354 1 .354 1.279 .274Perlakuan 85.780 16 5.361 19.367 .000Error 4.706 17 .277 Total 29931.506 36
a R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000) Post Hoc Tests Perlakuan Homogeneous Subsets
Kadar Air (% b.k) Duncan
Perlakuan N Subset 1 2 3 4 5 6 7 8 A 2 26.3360 A+P5% 2 26.5699 26.5699 L+P5% 2 27.3414 27.3414 27.3414 A+P10%+K 2 27.3715 27.3715 27.3715 L+P10%+K 2 27.5979 27.5979 L+L10%+K 2 27.8054 A+P5%+K 2 27.8182 A+L10% 2 28.1984 28.1984 A+L5%+K 2 28.3619 28.3619 28.3619 A+L10%+K 2 28.4719 28.4719 28.4719 28.4719 A+P10% 2 28.5442 28.5442 28.5442 28.5442 L+P5%+K 2 29.3556 29.3556 29.3556 29.3556 L+P10% 2 29.5652 29.5652 29.5652 A+L5% 2 29.6881 29.6881 L+L5%+K 2 30.1695 L 2 30.4984 L+L5% 2 31.9511L+L10% 2 32.4787Sig. .087 .089 .062 .062 .053 .051 .065 .330
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .277. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05