Upload
lamtruc
View
229
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
STRATEGI PENGEMBANGAN CITRA MEREK PRODUK KREATIF
1
SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF
KATA PENGANTAR
Kami bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat-Nya yang senantiasa mengiringi kami
selama penyusunan laporan “Snapshot Citra Merek Produk Kreatif” ini dan juga selama penelitian
yang kami lakukan yang bermuara pada laporan ini. Laporan ini merangkum dan menggambarkan
hasil penggalian dan pengolahan informasi dan data yang kami peroleh dari berbagai sumber
mengenai pengembangan citra merek produk kreatif. Informasi dan data tersebut telah kami
gali melalui Focus Group Discussion (FGD) dengan pelaku UMKM industri kreatif, wawancara
mendalam dengan lembaga pemerintah daerah yang terkait dengan industri dan ekonomi kreatif,
serta hasil survei konsumen produk kreatif.
Kami berterima kasih kepada seluruh pihak yang telah mendukung dan membantu kami selama
penelitian dan penyusunan laporan ini, terutama Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), pemerintah
daerah, pelaku industri kreatif, dan responden survei konsumen yang tersebar di berbagai wilayah
Indonesia. Kami membuka pintu untuk saran dan kritik sebagai bahan perbaikan kekurangan yang
ada dalam penelitian dan laporan ini agar kami dapat berkontribusi lebih baik dalam penelitian
serupa tentang industri kreatif di masa yang akan datang. Semoga laporan ini dapat bermanfaat
bagi pembaca dan juga bermanfaat jangka panjang dalam pengembangan ekonomi dan industri
kreatif nasional.
Jakarta, September 2017
Penyusun
2
STRATEGI PENGEMBANGAN CITRA MEREK PRODUK KREATIF
2
SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF
Daftar Isi
KATA PENGANTAR
TIM PENYUSUN
PENDAHULUAN
STRATEGI PENGEMBANGAN
CITRA MEREK PRODUK KREATIF:
SEBUAH URGENSI
9
1
20
6 10
5
29
23
24
26
27
LANDASAN TEORI
KUPANG
PALEMBANG
JAKARTA
MAKASSAR
AMBON
33
34
36
38
41
MEMBANGUN IDENTITAS MENUJU CITRA INDUSTRI KREATIF
METODOLOGI PENELITIAN
KARAKTERISTIK INDUSTRI KREATIF
INDUSTRI KREATIF DI INDONESIA
CITRA MEREK
UMKM DAN CITRA MEREK
13
14
16
18
DESAIN PENELITIAN
PENGUMPULAN DATA
PENGOLAHAN DATA
KETERBATASAN PENELITIAN
MANADO
SEMARANG
SURABAYA
MEDAN
BANDUNG
43
44
47
49
50
3
STRATEGI PENGEMBANGAN CITRA MEREK PRODUK KREATIF
3
SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF
KESIMPULAN
PENUTUP
82
84
52
SEKTOR KULINER
SEKTOR KRIYA
SEKTOR FASHION
SEKTOR MUSIK
SEKTOR ANIMASI
SEKTOR APLIKASI
54
57
59
61
63
65
MEMAHAMI CITRA MEREK PRODUK KREATIF DI MATA KONSUMEN
68 KENDALA PELAKU INDUSTRI DAN HARAPAN PEMERINTAH
KUPANG
PALEMBANG
JAKARTA
MAKASSAR
AMBON
MANADO
SEMARANG
SURABAYA
MEDAN
BANDUNG
70
71
73
74
75
76
77
78
79
80
5
STRATEGI PENGEMBANGAN CITRA MEREK PRODUK KREATIF
5
SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF
PEREKAYASA UTAMA 1
Prof. Agus W. Soehadi, Ph.D.
Dr. Fathony Rahman
PEREKAYASA UTAMA 2
Dr. Zaki Saldi
Stevanus Wisnu Wijaya, Ph.D.
PENGARAH
Rektor Universitas Prasetiya Mulya
Prof. Dr. Djisman S. Simanjuntak
GRAFIK DAN LAYOUT Firdaus
Detty Sathia
PEMBANTU PENELITI
Fitriana Nurindah Kusumadewi
Gregorius Dimas Hapsoro
Leli Ira Novita
Risqa Tsania
Yohana Desi
Fanni Dyah Anggraini
PEREKAYASA MADYA
Fredy Utama, MM.
Hanesman Alkhair, MM.
Joklan Imelda Goni, MM.
Arief Budiman, M.Si.
Donil Beywiyarno, S.E., M.Com (Extn)
PEREKAYASA MUDA
Muhamad Ridwan
Chevy Andhika Putra
Annanias Shinta Dewi
Tim Penyusun
Universitas Prasetiya Mulya
Undergraduate Program - BSD Campus
Jl. BSD Raya Utama, BSD City, Serpong, Tangerang , Indonesia 15820
P +62-21-304-50-500 ext 2126 / F +62-21-304-50-555 / W www.prasetiyamulya.ac.id
Graduate Program | Business School - Cilandak Campus
JL. R. A. Kartini (TB Simatupang), Cilandak Barat. Jakarta Selatan, Indonesia 12430
P +62-21-751-1126 | F +62-21-751-1128 | W www.pmbs.ac.id
6
STRATEGI PENGEMBANGAN CITRA MEREK PRODUK KREATIF
6
SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF
PE
ND
AH
UL
UA
N
7
STRATEGI PENGEMBANGAN CITRA MEREK PRODUK KREATIF
7
SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF
PENGEMBANGAN CITRA MEREK PRODUK KREATIF: SEBUAH URGENSI 9
9
SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF
Pada tahun 2008, Kementerian Perdagangan RI
menerbitkan buku Pengembangan Ekonomi Kreatif
Indonesia 2025 sebagai publikasi visi pemerintah
dalam mengembangkan industri kreatif nasional yang
berkontribusi secara signifikan terhadap kemajuan bangsa
(Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia tahun 2025,
2008). Instruksi Presiden RI nomor 6 tahun 2009 tentang
Pengembangan Ekonomi Kreatif mempertegas komitmen
pemerintah dalam memperkuat sektor ini. Sebagai
kelanjutan agenda tersebut, pemerintah menjadikan
pengelolaan ekonomi kreatif sebagai tugas lembaga
kementerian, yaitu Kementerian Pariwisata dan Ekonomi
Kreatif, yang merupakan bagian dari Kabinet Indonesia
Bersatu II (2011- 2014).
Dalam rentang 2008–2015, dapat dikatakan bahwa
istilah “industri kreatif” di Indonesia menjadi semakin
populer seiring dengan semakin kuatnya sektor ini dalam
menggerakkan roda perekonomian nasional. Rata-rata
kontribusi industri kreatif di Indonesia untuk tahun 2010-
2013 adalah 7,13% dari total PDB (Zulaikha, 2016). Sektor
ini juga telah didukung oleh tenaga kerja sebesar sekitar
11,8 juta jiwa di tahun 2012 yang meningkat sampai 15,9
juta jiwa di tahun 2015 (Rusiawan et al., 2017; Zulaikha,
2016). Sebagai kulminasi komitmen dan visi pemerintah
dalam mengawal terus berkembangnya sektor ini dengan
beragam potensinya, Presiden RI mendelegasikan
pengelolaan ekonomi kreatif nasional yang lebih terfokus
dan strategis kepada Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf)
yang terbentuk pada tahun 2015.Sejak pembentukannya,
Bekraf dengan program dan kebijakannya telah menaungi
aktivitas pengembangan industri kreatif nasional yang
mengakomodasi pelaku industri kreatif di tanah air.
Karakter kewirausahaan sangat kental dalam sektor
yang berbasis ide-ide kreatif, originalitas, dan inovasi ini,
sehingga tidak mengherankan bahwa banyak pelaku
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang
berkecimpung di industri kreatif. Wirausahawan MKM
industri kreatif, layaknya juga di sektor-sektor non-kreatif,
memiliki banyak tantangan dalam mengembangkan
usahanya. Hal ini secara bertahap telah diidentifikasi oleh
Pengembangan Citra Merek Produk Kreatif: Sebuah Urgensi
Bekraf dalam berbagai forum interaksi dan komunikasi.
Salah satu tantangan yang dihadapi UMKM kreatif adalah
pembentukan dan pengembangan identitas dan citra
merek (brand image). Citra merek memainkan peranan
penting dalam keberlangsungan sebuah usaha, terlepas
dari sektor usaha yang dilakukan – kreatif atau non-kreatif,
maupun skala usaha – MKM atau besar. Penyampaian
pesan sebuah produk dan aktivitas untuk meningkatkan
penjualan selalu berakar dari penciptaan identitas dan
citra merek dan bagaimana mengelolanya.
Di satu sisi, langkah-langkah strategis dalam
pengembangan citra merek telah lazim dilakukan oleh
perusahaan besar yang telah memiliki sumber daya yang
memadai, misalnya dengan pendekatan Strategic Brand
Management (SBM). Di sisi lainnya, pada tingkatan MKM,
pengembangan citra merek bukanlah hal yang lumrah
dilakukan atau menjadi agenda penting, mengingat
keterbatasan sumber daya yang dimiliki UMKM dan
karakteristik pembeda lainnya.
Bekraf melihat potensi peningkatan penjualan produk
serta nilai usaha yang cukup menjanjikan dari sektor
kreatif. Hal ini didasari oleh sumbangsih UMKM kreatif
di tanah air terhadap PDB sebesar Rp852,24 Triliun
dan penyerapan 15,9 juta tenaga kerja pada tahun 2015
(Rusiawan et al., 2017). Dengan usaha pengembangan citra
merek produk kreatif secara tepat oleh para pelaku UMKM
tersebut, sektor ini dapat berkembang secara optimal dan
berkontribusi terhadap perekonomian nasional secara
lebih signifikan. Berangkat dari pemikiran tersebut, serta
minimnya studi pengembangan citra merek produk
UMKM kreatif di Indonesia, laporan ini bertujuan untuk
menambah wawasan masyarakat luas tentang bagaimana
pelaku industri kreatif (UMKM) mengembangkan citra
merek produknya, serta hambatan dan peluang apa saja
yang dapat teridentifikasi.
10
STRATEGI PENGEMBANGAN CITRA MEREK PRODUK KREATIF
10
SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF
LA
ND
AS
AN
TE
OR
I
11
STRATEGI PENGEMBANGAN CITRA MEREK PRODUK KREATIF
11
SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF
KARAKTERISTIK INDUSTRI KREATIF
INDUSTRI KREATIF DI INDONESIA
CITRA MEREK
UMKM DAN CITRA MEREK
13
14
16
18
13
SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF
INDUSTRI KREATIF
Pemerintah Inggris melalui Department of Culture, Media,
and Sport (DCMS) dapat dikatakan sebagai pencetus
pertama istilah “industri kreatif”. Istilah ini muncul untuk
merepresentasikan tiga belas sektor usaha yang berbasis
kreativitas, keterampilan dan bakat individual, serta yang
memiliki potensi komersial dan menciptakan lapangan
kerja melalui penciptaan dan eksploitasi kekayaan
intelektual. Sektor-sektor tersebut adalah: (1) arsitektur,
(2) desain, (3) fashion (mode, busana), (4) film dan video,
(5) kerajinan, (6) layanan perangkat lunak dan komputer,
(7) musik, (8) pasar barang seni atau barang antik, (9)
penerbitan, (10) perangkat lunak hiburan interaktif, (11)
periklanan, (12) pertunjukan seni, dan (13) televisi dan
radio (DCMS, 1998).
Dalam kerangka DCMS ini, industri kreatif dapat
diidentifikasi melalui beberapa karakteristik utama.
Pertama, industri tersebut memiliki misi untuk
menghasilkan gagasan baru dalam produk atau layanan
yang ditawarkan secara berkelanjutan. Kedua, industri
tersebut berfokus pada nilai orisinalitas dan keunikan
sehingga membutuhkan perlindungan kekayaan
intelektual. Terakhir, industri ini secara umum memiliki
keterkaitan kuat dengan teknologi sehingga tercapai
nilai orisinalitas dari proses kreatifnya (Banks & O’Connor,
2009; Galloway & Dunlop, 2007; Garnham, 2005;
O’Connor, 2009).
Seperti yang diperkenalkan oleh DCMS, gagasan
mengenai industri kreatif ini awalnya didasari oleh
fenomena yang ditemukan di negara maju, khususnya
Amerika Utara, Eropa, dan Australia. Namun, belum ada
definisi yang jelas sejauh mana pemahaman terhadap
fenomena industri kreatif di negara maju tersebut dapat
diterapkan untuk konteks yang berbeda. Fahmi, McCann,
and Koster (2015) berpendapat bahwa kemungkinan
terdapat pola yang berbeda antara karakteristik industri
kreatif di negara maju dan di negara berkembang.
Perbedaan ini dapat berdampak pada ketidakcocokan
penerapan kebijakan yang berkaitan dengan industri
kreatif dari negara maju di negara berkembang. Pendapat
tentang ketidakcocokan ini diperkuat oleh temuan
empiris yang menyatakan bahwa elemen sosial, politik,
dan ekonomi secara regional berpengaruh terhadap
tingkat kreativitas dan perilaku kewirausahaan di suatu
wilayah, yang bermuara pada perkembangan industri
kreatif (Clare, 2012; Florida, 2002; Lee, Florida, & Acs,
2004).
Di negara berkembang, khususnya di Asia, ada banyak
sektor kreatif yang masih memegang teguh nilai warisan
turun-menurun yang dipertahankan. Hal tersebut
sering kali menjadi nilai jual yang unik. Di sisi lain, inovasi
pengetahuan, orisinalitas dan teknologi belum menjadi
nilai utama (Kong, Gibson, Khoo, & Semple, 2006;
O’Connor, 2015; O’Connor & Xin, 2006).
Hal ini menggambarkan polarisasi pemahaman industri
kreatif di negara berkembang menjadi; (1) industri budaya
dan tradisional. Istilah ini mewakili kelompok industri
yang menghasilkan produk yang memiliki atribut makna
simbolis yang berakar pada nilai nilai budaya lokal dan
dikembangkan berdasarkan kekayaan intelektual yang
berakar pada budaya tradisional. (Banks & O’Connor,
2009; Galloway & Dunlop, 2007; O’Connor, 2000;
O’Connor, 2009). (2) Industri kreatif berbasis inovasi
dengan memanfaatkan teknologi media baru. Adapun
kelompok industri ini cenderung mengembangkan
inovasi produk dengan memanfaatkan teknologi media
baru. Implikasi utama dari kelompok industri ini adalah
perlunya legalitas hak cipta sebagai syarat keberlanjutan
usaha kelompok industri ini. Contoh dari kelompok
industri ini adalah perfilman, aplikasi & permainan,
animasi, dan yang lainnya (UNDP, 2013).
Fahmi et al. (2015) melihat bahwa kedua kelompok industri
kreatif di atas berkembang di Indonesia karena didukung
oleh faktor faktor penopang yang berbeda. Industri
budaya tradiosional dipengaruhi oleh faktor penopang
budaya lokal yang kuat misalnya dareah Bali, Yogyakarta,
dan Surakarta. Sedangkan industri kreatif berbasiskan
inovasi teknologi berkembang diwilayah yang secara
geographis dapat menyedikaan infrastruktur media baru,
dan ketersediaan SDM yang mampu berinovasi dengan
media baru seperti Jakarta dan Bandung.
Karakteristik Industri Kreatif
14
SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF
Industri kreatif di Indonesia memberikan kontribusi
sebesar 7,38% terhadap total perekonomian nasional, dan
mengalami kenaikan 4,38% dari Rp 784,82 Trilliun pada
tahun 2014 menjadi Rp 852,24 Trilliun pada tahun 2015.
Tiga subsektor yang berkontribusi paling tinggi terhadap
PDB adalah kuliner, fashion, dan kriya, masing-masing
sebesar 41,69%, 18,15%, dan 15,7% (Rusiawan et al., 2017).
Industri kreatif Indonesia memasok sekitar 10% ekspor
nasional, sedangkan nilai impor industri ini hanya 1%.
Nilai ekspor industri kreatif yang 10 kali lipat lebih tinggi
daripada nilai impornya menunjukkan bahwa produk
industri kreatif Indonesia memiliki keunggulan kompetitif
di pasar global. Fakta ini juga menjelaskan bahwa industri
kreatif Indonesia memiliki tingkat ketergantungan
impor yang kecil sehingga memiliki kesempatan untuk
terus berekspansi dan menguasai pasar dalam negeri
(Simarmata & Adiwidjaja, 2011).
Industri kreatif nasional akan berkembang dengan lebih
optimal apabila para pelaku UMKM kreatif juga dapat
mengasah kualitas usaha dan produknya. Salah satu
strategi perbaikan tersebut adalah dengan membangun
citra merek yang positif. Pengembangan citra merek
akan berimplikasi secara signifikan terhadap keuntungan
ekonomi perusahaan (Kandampully & Suhartanto, 2003).
Sayangnya, hal ini belum secara baik dilakukan oleh
kebanyakan UMKM kreatif di Indonesia.
Pada umumnya UMKM kreatif belum menaruh perhatian
khusus terhadap strategi penguatan eksistensi mereknya
melalui pengembangan citra merek. Padahal, layaknya di
tingkat bisnis secara luas, UMKM dapat mempunyai daya
saing yang tinggi dengan menciptakan citra merek yang
unik di pasaran. Membentuk citra merek tersebut dapat
dilakukan melalui penawaran produk atau layanan yang
memiliki inovasi berbeda sehingga dapat menonjol di
antara pesaingnya (Erenkol & Öztaş, 2015). Hal ini masih
menjadi kendala dari UMKM kreatif di Indonesia.
Kendala lain yang ditemukan adalah mengenai hak
paten. Setelah membentuk citra merek yang positif
dan unik, kekayaan intelektual yang terasosiasi dengan
merek tersebut atau inovasi yang telah dilakukan perlu
dilindungi oleh hak paten. Pendaftaran hak paten dan
merek dapat memberikan kebebasan gerak bagi UMKM
dan mengeleminasi ancaman pesaing. Inovasi yang
dilakukan juga dapat memberikan nilai tambah di pasar
yang akhirnya dapat membawa profit bagi UMKM dan
memperkuat posisi merek mereka di pasar (Erenkol &
Öztaş, 2015).
Pada tahun 2016, persentase UMKM kreatif yang sudah
memiliki Hak Kekayaan Intelektual (HKI) cenderung
rendah. Sesuai dengan grafik di bawah ini, hanya 11,05%
UMKM kreatif yang sudah memiliki HKI, sedangkan
sebesar 88,95% masih belum memiliki HKI (Utoyo,
Rozama, & Wulandari, 2016).
Gambar 2.1
PDB Ekonomi Kreatif
(Ekraf) 2014-2015
(Bekraf, 2016)
Industri Kreatif di Indonesia
15
SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF
Gambar 2.2
Persentase UMKM
kreatif yang
memiliki HKI
Dari 11,05% UMKM kreatif yang memiliki HKI, tiga
subsektor yang paling banyak sudah memiliki HKI adalah
(1) subsektor film, animasi dan video, sebesar 21,08%;
(2) subsektor kuliner, sebesar 19,75%; dan (3) subsektor
televisi dan radio, sebesar 16.59% (Utoyo et al., 2016).
Gambar 2.3
Persentase UMKM
kreatif yang
memiliki HKI
menurut subsektor
Perusahaan yang memiliki fokus pada inovasi dapat
memiliki posisi merek yang lebih kuat sehingga tercipta
suatu citra merek yang kuat pula dan mencapai keunggulan
kompetitif (Covin & Miles, 1999; Miles, 2012). Keberhasilan
dalam menerapkan elemen-elemen yang dipaparkan di
atas ke dalam tatanan strategis perusahaan dapat menjadi
kunci kesuksesan UMKM di pasar.
16
SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF
Citra merek adalah kesan yang muncul dalam benak
konsumen saat ia berinteraksi dengan sebuah merek
(Salim & Dharmayanti, 2014). Hal ini merupakan salah satu
faktor utama yang mempengaruhi keputusan pelanggan
dalam memilih suatu produk atau layanan, sehingga
secara umum mempengaruhi perilaku konsumen
dalam pembelian (Kandampully & Suhartanto, 2003;
Lahap, Ramli, Said, Radzi, & Zain, 2015). Citra merek yang
kuat memiliki kapasitas untuk mempengaruhi tingkat
penjualan, harga penjualan, pendapatan dan tingkat
keuntungan ke arah yang lebih positif (So, King, Sparks,
& Wang, 2013).
Untuk membentuk sebuah citra merek yang kuat, sebuah
organisasi perlu menentukan identitas dari merek yang
ditawarkan. Identitas merek adalah nilai atau persona
yang paling mendasar dari sebuah merek. Merek dapat
menjadi kuat jika identitasnya sesuai dengan perilaku
pelanggannya. Dengan landasan ini, identifikasi dan
pengembangan identitas merek menjadi penting agar
komunikasi tentang seperti apa produk atau layanan yang
menyandang merek tersebut dapat dilakukan dengan
lebih baik kepada konsumen. Dalam penentuan identitas
merek, konsep Carl Jung mengenai 12 archetype dari
manusia kerap kali dijadikan acuan.
Dalam ilmu pemasaran, konsep “12 Brand Archetype” yang
dikembangkan oleh Carl Jung lazim digunakan sebagai
dasar penentuan identitas merek. Brand Archetype
adalah identitas yang ditetapkan oleh pemilik merek
berdasarkan sebuah simbol atau ikon yang dirasakan
cocok dengan perilaku konsumennya. Gagasan di balik
penggunaan Brand Archetype adalah untuk menciptakan
kedekatan yang kuat antara konsumen dan merek. Merek
akan lebih mudah menciptakan keterkaitan emosional
dengan konsumen apabila identitas yang diusung sesuai
dengan perilaku konsumen sehingga terbentuk citra
merek yang personal dan melekat di benak konsumen
(Lahap et al., 2015). Berikut adalah 12 tipe archetype:
Citra Merek
Gambar 2.4
Brand
Acrhetype Beserta
Karakterisriknya
17
SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF
Membangun identitas sebuah merek merupakan sebuah
langkah awal dan paling mendasar dalam menciptakan
sebuah merek yang kuat. Indikator utama dari kekuatan
sebuah merek terlihat dari ekuitasnya (brand equity), yaitu
nilai komersial yang diturunkan dari persepsi konsumen
terhadap nama sebuah merek. Semakin tinggi ekuitas
yang dimiliki sebuah merek, semakin banyak pula manfaat
yang diperoleh perusahaan. Beberapa manfaat yang
dimaksud adalah loyalitas pelanggan, marjin keuntungan
yang lebih besar, pelanggan yang tidak terpengaruh oleh
perubahan harga, kemudahan terciptanya kolaborasi
dengan pihak-pihak lain, peningkatan efektivitas
komunikasi pemasaran, dan lain-lain. Sebuah teori
pengembangan ekuitas merek dirumuskan berdasarkan
hal tersebut, serta juga berbasis konsumen. Teori ini
adalah consumer-based brand equity. Premis dasar dari
model ini adalah kekuatan sebuah merek terletak pada
bagaimana konsumen memahami, merasakan, melihat,
dan mendengar sebuah merek tertentu dari waktu ke
waktu. Dengan kata lain, kekuatan merek terletak dalam
pikiran atau persepsi konsumen (Keller, 2001).
Model consumer-based brand equity ini tersusun dari 4
tahapan sesuai dengan yang diilustrasikan dalam gambar
2.5 di atas, yaitu identitas (identity), makna (meaning),
respon (response), dan hubungan (relationship).
Terdapat 6 blok dalam model ini, yaitu ciri khas (salience),
kinerja/performa (performance), imagery, pertimbangan
(judgment), perasaan (feeling), dan resonance.
Brand Salience mencakup aspek kesadaran konsumen
dalam mengidentifikasi identitas suatu merek. Kesadaran
konsumen ini terbentuk dari beberapa elemen, seperti
nama merek, logo, simbol, dan yang lainnya. Seluruh
elemen tersebut memiliki pengaruh dalam membentuk
asosiasi atau identitas tertentu dalam benak konsumen.
Brand Salience ini menjadi fondasi utama dalam
mempengaruhi pembentukan asosiasi atau identitas
terhadap suatu merek yang pada akhirnya membentuk
citra dan arti dari merek tersebut.
Brand Performance terikat dengan aspek fungsional dari
sebuah merek. Mendesain produk yang dapat memenuhi
kebutuhan dan keinginan konsumen merupakan
salah satu hal penting dalam konstruksi merek yang
kuat. Dalam rangka menciptakan loyalitas merek dan
keterikatan dengan merek, pengalaman konsumen
dalam mengonsumsi produk harus sesuai dengan
ekspektasi mereka. Brand Performance mencakup
aspek fungsional produk atau layanan dalam memenuhi
kebutuhan konsumen.
Brand Imagery memiliki keterikatan terhadap nilai
ekstrinsik dari produk dalam memenuhi kebutuhan
psikologis atau sosial. Aspek ini berfokus terhadap
bagaimana persepsi konsumen terhadap sebuah merek
dalam hal yang cenderung berupa nilai-nilai psikologis
daripada secara fungsional. Dengan demikian, hal ini
terkait pada nilai-nilai yang tidak berwujud (intangible)
dari sebuah merek.
Brand Judgement melibatkan penilaian konsumen
terhadap assosiasi-asosiasi yang muncul dari performance
dan imagery suatu merek sehingga membentuk suatu
opini. Beberapa elemen yang tercakup dalam aspek ini
adalah kualitas merek, kredibilitas merek, konsiderasi
merek, dan keunikan merek (superiority).
Brand Feelings memiliki keterikatan dengan aspek nilai
perasaan yang sesuai dengan kondisi sosial konsumen,
misalnya perasaan yang timbul dari aktivitas pemasaran
dari suatu merek, bagaimana sebuah merek berpengaruh
terhadap perasaan konsumen terhadap dirinya sendiri
dan hubungan dengan lingkungan sosialnya. Perasaan-
perasaan tersebut secara alamiah dapat terbentuk secara
ringan atau intensif, dan secara positif maupun negatif.
Brand Resonance berfokus pada hubungan antara
pelanggan dengan merek. Aspek ini merujuk pada
kekuatan hubungan yang terbentuk antara keselarasan
nilai-nilai yang dimiliki pelanggan dengan merek. Hal ini
tercipta dari intensitas atau kedalaman ikatan psikologis
yang dimiliki pelanggan dengan merek. Hubungan atau
ikatan pelanggan dengan merek yang semakin kuat
berpengaruh terhadap loyalitas pelanggan terhadap
merek tersebut.
18
SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF
Pengembangan citra merek sangat lazim dilakukan oleh
perusahaan yang telah berdiri cukup lama dan telah
memiliki pasar dengan skala besar. Dengan sumber daya
manusia dan keuangan yang mencukupi, manajemen
citra merek perusahaan tersebut dapat dilaksanakan
secara strategis untuk mencapai kesadaran publik
tentang merek yang dijual (brand awareness) dan
akhirnya memaksimalkan penjualan produk.
Pada skala usaha yang lebih kecil, yaitu di tingkat UMKM
(Usaha Mikro Kecil dan Menengah), pengembangan
citra merek bukanlah suatu hal yang lazim. Walaupun
ada sejumlah kecil UMKM yang memperhatikan
pengembangan citra merek produknya, kegiatan
pengembangan tersebut tidak dilakukan secara strategis
dan terpadu layaknya perusahaan besar. Keterbatasan
waktu dan sumber daya merupakan faktor utama
penghambat pengembangan citra merek UMKM.
Karakteristik utama UMKM adalah keterlibatan pemiliknya
secara aktif dalam menjalankan usaha UMKM tersebut.
Krake (2005) melihat bahwa format pengembangan
citra merek UMKM umumnya berlandaskan semangat
(passion) dari pemilik merek tersebut sebagai seorang
wirausahawan. Semangat ini diimplementasikan dalam
peran aktif wirausahawan tersebut untuk mencapai
pengakuan tentang mereknya (brand recognition).
UMKM umumnya tidak memiliki divisi marketing yang
khusus menangani urusan pengembangan merek,
sehingga peran ini juga dipegang oleh sang pemilik
usaha. Hal serupa juga ditunjukkan oleh temuan Spence
and Hamzaoui Essoussi (2010) bahwa citra merek
UMKM merupakan perpanjangan atau kelanjutan dari
visi, keyakinan, dan nilai dari sang wirausahawan pemilik
UMKM dan Citra Merek
Gambar 2.5
Brand Equity Model
oleh Keller
Resonance
Salience
FeelingsJudgments
ImageryPerformance
4. RelationshipWhat about you and me?
3. ResponseWhat about you?
2. MeaningWhat are you?
1. IdentityWho are you?
19
SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF
UMKM.
Krake (2005) juga menemukan bahwa pola kewirausahaan
yang mengendalikan UMKM berdampak pada warna
merek yang mirip dengan karakter sang wirausahawan
pemilik usaha. Pola kewirausahaan juga memungkinkan
kreativitas dan keinovasian dalam pengembangan citra
merek untuk tumbuh tanpa hambatan struktural, seperti
pada perusahaan besar dengan struktur organisasi yang
lebih kompleks.
Yin Wong and Merrilees (2005) membawa kajian
tentang empat konsep inti dari strategi merek (brand
orientation, brand barriers, brand distinctiveness, dan
brand-marketing performance) ke ranah UMKM. Mereka
menemukan bahwa pengembangan citra merek UMKM
umumnya masih beroperasi di tingkat brand orientation,
yaitu sebuah proses kreasi, pengembangan, dan proteksi
identitas merek dalam interaksinya dengan konsumen
sasaran. Jenis yang paling sederhana untuk brand
orientation UMKM adalah minimalist brand orientation.
Satu tingkat di atasnya adalah embryonic brand
orientation, dan yang paling tinggi adalah integrated
brand orientation. Ciri-cire tipe minimalist adalah
kegiatan marketing yang sangat sederhana. Kegiatan
marketing yang lebih kuat ditemukan di tipe embryonic,
tetapi kegiatan pengembangan merek dalam tipe ini
bersifat sangat informal dan hanya sekedar pilihan. Di
tingkat teratas, yaitu integrated, kegiatan promosi dan
pengembangan merek sama-sama sangat kuat dan
dianggap sebagai prioritas.
Studi yang dilakukan oleh Berthon, Ewing, and Napoli
(2008) mengindikasikan bahwa ada sejumlah UMKM yang
berhasil menjalankan kegiatan branding (BMP, Brand
Management Practices) dengan mengadopsi BMP utama
khas perusahaan besar dan menyesuaikannya dengan
skala usaha dan sumber daya UMKM tersebut. UMKM
tersebut berhasil menunjukkan kinerja dan prestasi
yang baik. Hal ini berarti bahwa pengembangan citra
merek yang baik bukanlah sesuatu yang tidak mungkin
dilakukan oleh UMKM, terlepas dari keterbatasan sumber
daya yang dimiliki. Elemen-elemen BMP terpenting yang
berhasil diidentifikasi sebagai faktor penentu kesuksesan
UMKM tersebut adalah: mengerti kebutuhan konsumen
dan persepsi tentang merek; menciptakan merek yang
relevan dan bernilai; konsisten dalam setiap kegiatan
branding; mengkomunikasikan merek dengan efektif;
dan membangun arsitektur merek yang koheren.
Pada tingkat UMKM, Centeno, Hart, and Dinnie (2013)
membangun model pengembangan merek yang terdiri
dari lima tahapan, yaitu (1) merek sebagai sebuah pribadi;
(2) merek sebagai sebuah produk dan diferensiasi merek;
(3) merek sebagai sebuah simbol; (4) merek sebagai
sebuah organisasi; dan (5) pengembangan identitas
merek dan pertumbuhan merek. Model ini, sayangnya,
tidak baku dan tidak mudah diimplementasikan karena
dalam mengksplorasi merek sang pemilik/wirausahawan
selalu melakukan proses yang literatif, eksperimental, dan
berbasis trial and error. Elemen penting dalam proses
pembangunan ini adalah komitmen pemilik merek
untuk terus mendorong kemajuan pengembangan
merek. Selain itu, karakteristik kewirausahaan lainnya,
seperti bagaimana menyikapi sebuah risiko, keinginan
berinovasi, serta intuisi dalam menangani ketidakpastian
dan kompleksitas usaha, juga menentukan keberhasilan
pengembangan merek UMKM.
20
STRATEGI PENGEMBANGAN CITRA MEREK PRODUK KREATIF
20
SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF
ME
TO
DO
LOG
I P
EN
EL
ITIA
N
21
STRATEGI PENGEMBANGAN CITRA MEREK PRODUK KREATIF
21
SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF
DESAIN PENELITIAN
PENGUMPULAN DATA
PENGOLAHAN DATA
KETERBATASAN PENELITIAN
23
24
26
27
23
SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF
Gambar3.1
Diagram Alur
Penelitian
Bab ini menjabarkan metodologi penelitian yang mencakup kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk memperoleh data
dan bagaimana data tersebut diolah. Secara singkat, 3 kegiatan utama dalam pengumpulan data adalah Focused Group
Discussion (FGD), In-depth Interview (IDI), dan survei konsumen. Pengolahan data dilakukan menggunakan pendekatan
kualitatif dan kuantitatif dalam rangka menghasilkan insight untuk pengembangan citra merek produk kreatif nasional.
Desain Penelitian
Gambar 3.1 adalah diagram yang menggambarkan alur
penelitian yang sudah dilakukan. Penelitian ini mencakup
kegiatan Focused Group Discusssion (FGD), In-depth
Interview (IDI), dan survei. FGD dilakukan terhadap pelaku
industri kreatif pada level UMKM dari 6 sektor kreatif. IDI
dilakukan terhadap pejabar pemerintah daerah dari dinas-
dinas yang terkait dengan pengembangan industri dan
ekonomi kreatif. Survei dilakukan secara daring terhadap
konsumen di pasar produk kreatif. Pada akhirnya,
penggabungan antara analisis temuan dalam FGD dan
IDI serta hasil survei online menjadi dasar perumusan
kesimpulan dan rekomendasi. Hasil akhir penelitian ini
diharapkan menjadi laporan yang berisi wawasan yang
berguna bagi para pihak yang terlibat dalam industri
kreatif di Indonesia.
24
SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF
SEKTOR USAHA PESERTA FGD
USIA PESERTA FGD TINGKAT PENDIDIKAN PESERTA FGD
Focused Group Discussion
Kegiatan Focused Group Discussion (FGD) dilakukan
dengan mempertemukan pelaku industri kreatif di enam
sektor, yaitu animasi, aplikasi, musik, kuliner, fashion
(mode dan busana), dan kriya. Pelaksanaan FGD ini
dilakukan di 10 kota di Indonesia, yaitu Manado, Makassar,
Palembang, Medan, Jakarta, Bandung, Ambon, Kupang,
Pengumpulan Data
Semarang, dan Surabaya. Total peserta kegiatan FGD ini
adalah 92 orang.
Berikut adalah gambaran dari profil peserta kegiatan FGD
di 10 kota di Indonesia:
25
SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF
In-depth Interview
Kegiatan In-depth Interview (IDI) dilakukan terhadap
pejabat Pemerintah Daerah dari dinas-dinas terkait, antara
lain Dinas Koperasi, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Dinas
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, dan Dinas Perindustrian
dan Perdangangan. Dengan IDI ini, program-program
Survei konsumen secara online dilakukan untuk
mengetahui sudut pandang konsumen terhadap elemen
citra merek dari sebuah produk kreatif dalam enam sektor
yang telah ditentukan. Proses pengambilan data survei ini
dibantu oleh pihak ketiga yaitu JakPat, selaku penyedia
yang telah dijalankan dan kendala-kendala yang dihadapi
oleh Pemda dalam hal-hal yang terkait pengembangan
citra merek produk kreatif dapat digali.
layanan kuesioner online. Sebanyak 1.825 responden
telah mengisi kuesioner ini dengan profil per sektor
sebagai berikut:
Survey Konsumen
26
SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF
Pengolahan Data
Pengolahan data hasil FGD dan IDI dilakukan
menggunakan qualitative content analysis. Teknik
pengolahan data ini mencakup prosedur kategorisasi
persamaan atau perbedaan temuan (coding), refleksi
terhadap ketegori yang dirumuskan (memoing),
pemahaman hubungan antar kategori, pengecekan
dan perbaikan, generalisasi, dan pengembangan
teori. Pengolahan data kualitatif ini dilakukan dengan
menggunakan software NVIVO. Hasil akhir dari proses
ini adalah kategorisasi yang valid atas temuan-temuan di
lapangan.
Data responden FGD dan hasil data survei konsumen
diolah menggunakan proses pengolahan data kuantitatif,
mengingat data yang didapat berbentuk numerik.
Data kuantitatif tersebut diolah dengan menggunakan
software SPSS dan dengan melihat hasil realibilitas
serta validitas dari data yang didapatkan. Hasil akhir
dari proses ini adalah bar chart ataupun pie chart yang
menggambarkan persentase jawaban responden.
DOMISILI
JENIS KELAMIN
27
SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF
Keterbatasan yang dapat diidentifikasi dalam penelitian
ini adalah:
1. Tidak semua narasumber FGD dapat hadir pada saat
pelaksanaannya, meskipun narasumber tersebut
telah menyatakan bersedia hadir. Hal ini berpengaruh
kepada jumlah sampel, walaupun secara agregat
tingkat keterwakilan dari sampel kepada populasi
tetap baik.
2. Jadwal pejabat pemerintah yang dapat berubah
sewaktu-waktu menjadi salah satu kendala penelitian
ini. Mengingat waktu yang dialokasikan untuk
wawancara di masing-masing kota cukup terbatas,
jumlah informan yang berhasil diwawancarai juga
menjadi terbatas karena jadwal yang tidak sesuai.
3. Salah satu kendala yang umum dalam menggunakan
kuesioner adalah jawaban responden yang mengisi
data secara tidak valid. Akibatnya, banyak data yang
dibuang dan tidak dimasukan kedalam analisis. Akan
tetapi, jumlah responden yang mengisi kuesioner
cukup banyak, sehingga validitas dan reliabilitas
penelitian ini tetap baik.
Keterbatasan Penelitian
28
STRATEGI PENGEMBANGAN CITRA MEREK PRODUK KREATIF
28
SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF
ME
MB
AN
GU
N
IDE
NT
ITA
S M
EN
UJU
C
ITR
A I
ND
US
TR
I K
RE
AT
IF
29
STRATEGI PENGEMBANGAN CITRA MEREK PRODUK KREATIF
29
SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF
KUPANG
PALEMBANG
JAKARTA
MAKASSAR
AMBON
MANADO
SEMARANG
SURABAYA
MEDAN
BANDUNG
33
34
36
38
41
43
44
47
49
50
30
SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF
Temuan dari proses FGD pengembangan citra merek
oleh pelaku UMKM kreatif dijabarkan dalam bab ini.
Pembahasan ini mencakup pemahaman pelaku industri
kreatif terkait pengembangan citra merek serta kegiatan
apa saja yang sudah dilakukan dalam mengembangkan
citra merek produknya. Selain itu, strategi yang pelaku
industri kreatif telah jalankan dalam pengembangan
citra merek juga diidentifikasi. Penjelasan mengenai
kondisi pengembangan citra merek akan dipaparkan
berdasarkan temuan di masing-masing sektor, yaitu kriya,
fashion (mode, busana), aplikasi, animasi, kuliner, serta
aplikasi.
Kegiatan FGD dilakukan sebanyak 10 kali di 10 kota di
Indonesia yaitu: Palembang, Jakarta, Makassar, Medan,
Ambon, Surabaya, Kupang, Bandung, Semarang dan
Manado. Proses FGD ini dihadiri oleh para pelaku UMKM
kreatif di 6 sektor yang telah dijabarkan di atas.
Berikut adalah profil dari peserta FGD citra merek secara
agregat. Profil dari peserta FGD ini mencakup lama
berdiri usaha, jumlah karyawan, modal usaha, persentase
pertumbuhan usaha dalam tiga tahun terakhir, kondisi
usaha saat ini, dan sumber penjualan.
USIA USAHA BISNIS PESERTA FGD
31
SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF
JUMLAH KARYAWAN PESERTA FGD
KENAIKAN PENJUALAN DALAM 3 TAHUN TERAKHIR
MODAL BISNIS USAHA PESERTA FGD
32
SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF
SUMBER PENJUALAN DI TAHUN 2014
SUMBER PENJUALAN DI TAHUN 2016
PERUBAHAN BISNIS DALAM 3 TAHUN TERAKHIR
33
SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF
Sejauh Manakah Industri Kreatif di Kupang Membangun Mereknya
Hasil penggalian informasi dan data dari kegiatan FGD citra merek dari masing-masing kota dijabarkan di bawah ini.
Kegiatan Focus Group Discussion (FGD) yang dilaksanakan
di Hotel Swiss-Belinn Kupang, pada tanggal 26 Juli 2017
dihadiri oleh 10 pelaku UMKM kreatif sebagai narasumber.
Dalam FGD ini ditemukan bahwa kegiatan membangun
citra merek di Kupang masih belum dipahami dengan
baik oleh para peserta. Hal ini menjadikan produk yang
ditawarkan belum terintegrasi atau belum selaras dengan
suatu identitas merek. Akibatnya, sebagian besar merek
pelaku industri kreatif belum memiliki citra merek yang
kuat.
Secara garis besar, pelaku industri kreatif di Kupang masih
kesulitan menentukan persona identitas apa yang ingin
ditonjolkan dalam merek mereka. Para pelaku hanya
memiliki keinginan yang kuat untuk terus bertahan
sehingga mengasosiasikan diri mereka dengan archetype
creator. Padahal, persona dari creator adalah nilai inovasi
yang didasari atas keinginan yang kuat mengeksplorasi
dan menciptakan sesuatu yg baru. Hal ini terlihat dari
beberapa pelaku di sektor kuliner, musik, dan animasi,
seperti tergambar pada kutipan-kutipan berikut:
“The creator, usaha yang sudah dilakukan, karena ini
dokumenter, jadi memang harus benar-benar bertahan
lama, karena bergantung pada kebudayaan asli dari
daerah saya sendiri maupun kita semua” (Ibu Maria dari
Sektor Animasi)
“The creator, karena saya ingin bertahan lama. Bisa
mengenalkan merek mungkin dengan kado, jadi terus
memperbanyak referensi” (Bapak Akis dari Sektor Musik)
Implikasi dari kurangnya pemahaman ini adalah nilai
pembeda yang ditawarkan dari masing-masing pelaku
usaha tidak unik. Bahkan, ada yang belum memiliki
merek. Sebagian besar pelaku UMKM kreatif di Kupang
bertahan karena jaringan konsumen dari kerabat-kerabat
terdekat. Namun, kondisi seperti ini kemungkinan besar
akan membuat skala usaha sulit untuk berkembang.
Meskipun demikian, terdapat salah satu pelaku usaha di
sektor musik yang cukup menonjol dari sisi pemahaman
mengenai identitas merek. Identitas merek yang ‘inovatif’
ditanamkan dalam merek musik sasandonya. Hal ini
mendorong pelaku usaha tersebut melakukan inovasi
produk, yaitu sasando elektrik dan variasi warna sasando
yang menarik. Gebrakan ini memperkuat citra merek
“Edon Sasando” menjadi kental akan nilai inovatif,
modern, dan kreatif.
Terdapat hal lain yang cukup menarik, yaitu dari salah satu
pelaku usaha di sektor animasi .yang menyediakan jasa
pembuatan film & animasi yang berfokus kepada topik
budaya NTT. Identitas merek yang peduli akan kearifan
budaya Kupang ini justru belum diangkat secara kuat
oleh pemiliknya. Untuk itu, masih diperlukan upaya upaya
untuk memperkuat idnetitas yna unik ini agar merk yang
ada dapat menembus pasar dengan baik.
Di sisi lain, salah seorang pelaku usaha di sektor kriya
telah menunjukan pemahaman identitas merek
dan implementasinya. Produk aksesoris tenun yang
dimodifikasi dengan bahan etnis dari pelosok NTT
memperkuat identitas inovatif dan kreatif yang ingin
diusung. Hal ini berkontribusi dalam pembentukan citra
merek yang kuat.
34
SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF
Penjabaran kondisi di atas tentang usaha industri
kreatif di Kupang saat ini menunjukkan bahwa tidak
banyak kegiatan strategis yang telah dilakukan dalam
membangun citra merek. Pelaku masih menghadapi
kesulitan dalam menentukan persona apa yang ingin
diusung. Pola pikir pelaku masih terpaku pada mimpi
mempertahankan kelangsungan usahanya, bukan pada
elemen apa saja yang harus dipahami untuk membuat
usahanya dapat bertahan lama. Hal ini menggambarkan
dengan jelas bahwa pemahaman pelaku usaha terhadap
identitas merek masih belum mendalam. Meskipun
demikian, terdapat segelintir pelaku usaha yang sudah
mengimplementasikan identitas yang dimilikinya ke
dalam atribut produknya meskipun aktivitas tersebut
Ibu Marline merupakan salah satu pemilik dan
pengembang usaha alat musik sasando di bawah
merek “Edon Sasando”. Usaha ini telah berdiri dari
tahun 2008 dengan tekad untuk menjadi sebuah
merek yang inovatif dan modern dibandingkan dengan
pesaingnya. Berdasarkan hal tersebut, Ibu Marline dan
sang suami mengembangkan produk sasando elektrik.
Dengan gebrakan yang sangat mencuri perhatian
tersebut, sasando elektrik ini membentuk citra merek
Strategi Pengembangan Citra Merek yang Telah Dilakukan
Praktik Terbaik (Best Practice)
sering dilakukan tanpa sadar. Strategi yang dilakukan oleh
pelaku-pelaku usaha tersebut, antara lain:
- “Edon Sasando” yang menemukan inovasi sasando
elektrik dan menyediakannya dalam berbagi varian
warna, memperkuat citra merek inovatif dan kreatif yang
diusung.
- “Geska”, merek dari produk kriya yang melakukan
modifikasi tenun dengan barang-barang etnis dari
pelosok daerah NTT. Hal ini memperkuat citra inovatif,
kreatif dan kental akan budaya yang diusung oleh pelaku
usaha tersebut.
“Edon Sasando” sebagai merek usaha sasando yang
inovatif, modern, dan kreatif. Tidak sampai di situ,
untuk memperkuat citra mereknya, Ibu Marline juga
meluncurkan produk sasando dengan berbagai variasi
warna dan bentuk. Ibu Marline juga sudah memiliki divisi
sendiri untuk mendesain produk sasando ini dan desain
yang dimiliki tidak sama dengan yang tersedia di toko-
toko.
Kegiatan Focus Group Discussion (FGD) yang
dilaksanakan di Hotel MaxOne Palembang pada
tanggal 12 Juli 2017 dihadiri oleh 10 pelaku UMKM
kreatif sebagai narasumber. Dalam FGD buku
snapshot Citra Merek di Palembang ini, peserta dari
sektor kuliner dan sektor kriya memiliki kemiripan
dalam kebanggaan terhadap suku serta nilai budaya
yang dimiliki masyarakat Palembang. Etnosentrisme
dalam arti positif terlihat jelas di kedua sektor tersebut.
Hal ini diperkuat dengan munculnya unsur budaya
yang melekat pada produk-produk mereka, yakni
kemplang dengan cuko kentalnya, bakso dengan
tulang sumsumnya, dan boneka dengan songketnya.
Selain itu, mereka memiliki aspirasi yang kuat untuk
Profil Peserta FGD di Palembang
m e n u n j u k a n
eksistensi diri
maupun suku
daerah Palembang
di khalayak yang lebih
luas. Kutipan di bawah ini dapat
menggambarkan penjelasan diatas:
- “Harapannya dengan kemplang ini orang yang jauh
dan kangen Palembang bisa mengobatinya dengan
menicipi makanan ini” (Sektor Kuliner)
- “Saya ingin membuktikan kalau orang Palembang
itu mendunia” (Sektor Kuliner)
- “Dengan brand bakso saya ini saya ingin adanya
eksistensi” (Sektor Kuliner)
35
SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF
- “Kalau saya sekarang Regular Guy karena memiliki
daerah khas Palembang, selanjutnya saya the creator,
mungkin kedepannya mungkin ada cabangnya”
(Sektor Kriya)
Hal yang berbeda tergambar dari sektor fashion
(mode, busana), dimana terlihat jelas sektor fashion
ingin sekali menunjukan citra modern, modis, dan
elegan. Hal ini dianggap menjadi keunikan tersendiri
dibandingkan dengan kompetitor yang menawarkan
desain “kuno”. Inovasi ini diterjemahkan melalui
pemilihan warna yang lebih lembut, desain yang
elegan dan praktis, sampai ke pelayanan kustomisasi
produk sesuai dengan kemauan pelanggan. Kutipan
di bawah ini dapat menggambarkan penjelasan di
atas:
- “Orang hijab identik dengan yang kekunoan. Bahkan
orang hijab yang daftar ke bank disuruh tawarkan ibu
mau melepas hijabnya. Jadi orang yang berhijab ini
didiskriminasi. Dari ini saya mempunyai tujuan untuk
merubah persepsi tadi, jadi orang berhijab itu belum
tentu tidak menarik gitu loh pak”
- “Wanita itu sangat identik dengan kelembutan dan
anggun juga. Jadi ketika menggunakan produk saya,
yang akan tampil adalah kesederhanaan tapi tetap
elegan”
- “Orang yang ingin buat gantungan saya penuhi, tapi
ide mereka saya penuhi tetapi tidak lepas dari dengan
bahan saya”
Kemiripan juga ditemui kembali di dalam sektor
aplikasi dan animasi. Aspirasi untuk menjadi developer
aplikasi dan animasi yang inovatif, imajinatif, dan
berbeda terlihat sangat jelas dari sektor ini. Hal
ini disebabkan oleh persepsi pelaku yang percaya
bahwa elemen-elemen tersebut adalah modal utama
dalam bersaing di pasaran. Selain itu, keinginan dan
idealisme pelaku dari kedua sektor tersebut untuk
dapat berguna bagi masyarakat atau konsumen
dapat tergambar secara implisit dari penyataan-
pernyataan yang terlontar. Kutipan di bawah ini dapat
menggambarkan penjelasan di atas:
- “Sekarang dibuat game sendiri dituntut untuk out of
the box, jadi harus selalu kreatif” (Sektor Aplikasi)
- “Saya ingin punya start-up seperti Amazon, Uber,
Gojek, dll, jadi saya punya aplikasi yang bisa dipakai
orang lain” (Sektor Aplikasi)
- “Saya ingin ketika orang main games saya akan selalu
merasa bahagia” (Sektor Aplikasi)
- “Membuat suatu advertising yang out of the box juga
sehingga suatu brand bisa dikonsumsi oleh konsumen.
Dan juga kedepannya bisa jadi The Magician di mana
suatu advertising bisa memotivasi dan karismatik”
(Sektor Animasi)
Strategi Pengembangan Citra Merek yang Telah Dilakukan
Dengan karakteristik yang teridentifikasi di atas, para
pelaku usaha kreatif di Palembang telah berusaha untuk
menjalankan strategi tertentu dalam mengembangkan
citra merek. Para pelaku industri kreatif di Palembang
telah memiliki harapan akan identitas apa yang ingin
ditonjolkan dalam merek yang mereka kembangkan.
Namun, tidak banyak strategi yang dilakukan untuk
mengembangkan citra merek ini. Secara garis besar
strategi yang dilakukan oleh pelaku industri kreatif di
Palembang masih berfokus pada penyelarasan identitas
dan atribut produk yang ditawarkan. Berikut adalah
penjabarannya:
• Salah satu pelaku usaha di sektor fashion
mengembangkan produk hijab yang memiliki desain
modern dan modis. Selain itu, ia juga memasukkan
elemen kepraktisan dalam produknya, yaitu hijab
yang dapat digunakan menjadi 6 gaya yang berbeda
dari 1 hijab yang sama. Hal ini sesuai dengan visi
pemilik yang ingin mengomunikasikan citra merek
produk hijab yang jauh dari kata “kuno”.
• Keinginan para pelaku usaha di sektor kuliner untuk
menonjolkan nilai budaya Palembang juga masih
terlihat dalam tahap atribut produk, yakni cuko kental
dari “Kemplang Kito”, kain songket dari “Flanel
Vent Craft”, dan tulang sumsum dari “Bakso Opa
Godeg”. Ciri khas masyarakat Palembang tersebut
berhasil membentuk citra merek para pelaku di
sektor kuliner yang kuat akan unsur budaya lokal.
• Kesan kreatif, inovatif, dan out of the box yang ingin
di tunjukan oleh salah satu pelaku di industri animasi
mendorong terjadinya penggabungan teknik
pembuatan film dalam proses produksinya. Teknik
yang dipakai dalam proses produksinya adalah
penggabungan film dan visual cinematography serta
museography.
36
SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF
Dengan kebanggaan atas budaya Palembang yang
sangat mendalam, Ibu Nuralamah menghadirkan produk
kemplang dengan sentuhan budaya Palembang. Usaha
kemplang yang diberi nama “Kemplang Kito” ini
telah berdiri semejak tahun 2016. Walaupun usahanya
belum berlangsung lama, merek “Kemplang Kito” telah
menunjukan kegiatan pengembangan merek yang
cukup kuat dibandingkan pesaingnya.
Menggunakan nama “Kito”, yang merupakan Bahasa
Palembang dari kata ‘kita’ menciptakan citra merek
yang hangat namun tetap mengandung unsur budaya
Palembang. Tidak hanya berhenti pada pemberian nama
merek saja, kegiatan pengembangan citra merek ini
juga sampai pada pada atribut produk yang ditawarkan.
Hal ini yang mendorong Ibu Nuralamah menggunakan
cuko kental untuk disandingkan dengan produk
kemplangnya. Cuko kental yang merupakan khas kuliner
kota Palembang memperkuat citra merek kemplang kito
menjadi “kemplangnya orang Palembang banget”.
Cara komunikasi yang menggunakan bahasa Palembang
juga diterapkan oleh “Kemplang Kito”. Hal ini dapat
dilihat dari jejak digital pemasarannya di kanal Facebook.
Penggunaan bahasa lokal ini semakin memperkuat citra
merek “Kemplang Kito” yang kuat akan sentuhan budaya
Palembang. Selain itu, penggunaan kanal Facebook ini
menjadi cara yang efektif untuk meningkatkan eksposur
merek dan membentuk kredibilitas merek. Hal ini
akhirnya akan berkontribusi pada penguatan citra merek.
Praktik Terbaik (Best Practice)
Kegiatan Focus Group Discussion (FGD) yang
dilaksanakan di Hotel Haris FX Sudirman, Jakata Pusat,
pada tanggal 15 Juni 2017 dihadiri oleh 9 pelaku UMKM
kreatif sebagai narasumber. Pelaku industri kreatif di
Jakarta telah memahami pentingnya pengembangan
citra merek. Mereka telah memahami beberapa
aspek dalam mendefinisikan identitas dan citra merek
produk mereka, mulai dari filosofi di balik pemilihan
identitas merek hingga bagaimana identitas tersebut
diterjemahkan secara praktis.
Salah satu contohnya adalah seorang pengusaha produk
kriya. Ia telah membawa citra merek dan identitasnya
sampai pada aspek kemasan. Demi menciptakan citra
mainan kayu yang dijualnya sebagai produk non-toxic,
sang pemilik merek sedang mengembangkan kemasan
yang terlihat alami.
Contoh lainnya adalah di sektor kuliner. Seorang
usahawan makanan kerak telor mempunyai misi untuk
melestarikan kebudayaan Betawi, dimana misi ini
merupakan suatu kebanggaan khusus baginya. Hal ini
diejawantahkan dalam nama merek dan desain logo yang
berciri khas Betawi.
Secara garis besar, nuansa idealisme sangat menonjol
dari misi penciptaan usaha produk-produk kreatif seperti
yang dicontohkan. Pencarian posisi identitas merek
yang sesuai berperan cukup besar karena berkaitan erat
dengan langkah pengembangan citra merek.
Sejauh Manakah Industri Kreatif di Jakarta Membangun Mereknya
37
SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF
Strategi Pengembangan Citra Merek yang Telah Dilakukan
Salah satu strategi pengembangan citra merek yang
dilakukan adalah mendesain sebuah pengalaman
interaksi dengan konsumen. Seorang pengusaha
kerak telor “Kerak Telor Bang Sape’i” yang memiliki
identitas nilai budaya Betawi yang kental mengajak para
konsumennya untuk ikut serta dalam proses memasak
kerak telor. Misalnya, apabila sang pembeli ingin membeli
2 porsi, maka 1 porsi dimasak oleh penjual dan 1 porsi
lainnya dimasak oleh pembeli, dan pengalaman tersebut
dapat dibagikan lewat media sosial. Penggunaan media
sosial dan strategi digital seperti ini juga telah dilakukan
oleh beberapa peserta lainnya dalam menyebarluaskan
citra merek serta memasarkan produk mereka.
Hal ini dapat memperkuat citra merek “Kerak Telor
Bang Sape’i” sebagai merek yang sangat peduli dalam
melestarikan budaya Betawi. Merek ini bukan hanya
menjadi merek yang mengusung budaya Betawi, tetapi
juga menjadi merek yang secara aktif melestarikan
budaya Betawi. Harapan pemilik merek secara jangka
panjang adalah apabila konsumennya mendengar kata
pelestarian budaya Betawi, asosiasi yang muncul adalah
citra merek “Kerak Telor Bang Sape’i”.
38
SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF
Kegiatan Focus Group Discussion (FGD) yang
dilaksanakan di Hotel Best Western Makassar pada
tanggal 11 Juli 2017 dihadiri oleh 10 pelaku UMKM kreatif
sebagai narasumber. Dalam FGD Citra Merek di Makassar,
sektor kuliner mempunyai misi untuk mengangkat nilai
kedaerahan Sulawesi Selatan melalui penggunaan bahan
baku lokal. Dalam mengembangkan citra mereknya,
seorang produsen kerupuk dan minuman dari rumput
laut telah mendaftarkan merek dagangnya. Seorang
produsen minuman jahe juga telah membuat produk
yang sangat detail warna Sulsel-nya dalam unsur
kemasan dan bahan baku. Selain itu, misi edukasi tentang
pentingnya makanan sehat homemade pendamping ASI
untuk bayi juga diemban oleh seorang wirausahawati
katering makanan bayi.
Temuan dari sektor aplikasi dalam pengembangan citra
merek adalah keinginan seorang pengembang aplikasi
untuk dikenal sebagai kontributor terhadap solusi dari
permasalahan dalam masyarakat melalui pengembangan
aplikasi atau software. Namun belum terlihat usaha
pengembangan citra merek yang selaras dengan identitas
tersebut, baik dari penentuan nama merek, desain visual,
ataupun aktifitas komunikasi pemasarannya.
Peserta dari sektor animasi ingin membangun citra
mereknya menjadi merek yang memiliki kreasi media
hiburan edukatif. Dalam rangka memperkuat citra merek
yang ingin dibangun, selain memproduksi animasi yang
kental akan unsur edukasi, ia berencana mengembangkan
inovasi virtual dan augmented reality. Hal ini menjadikan
konsumen dapat memiliki pengalaman yang interaktif
dari konten-konten edukatif yang diproduksi. Di samping
itu, hal ini juga dapat memperluas target audiens kepada
anak-anak berkebutuhan khusus.
Di sektor fashion (mode, busana), kedua peserta yang
hadir juga ingin mengangkat nilai-nilai khas daerah
Sulawesi Selatan, seperti peserta dari sektor kuliner.
Seorang peserta yang menggeluti usaha hijab ingin
mengangkat tulisan Lontara (aksara tradisional Sulawesi
Selatan) melalui hijab bermotif batik Lontara. Ia sedang
mengembangkan motif batik Lontara, dari yang
sederhana, misalnya tulisan “Aga kareba?” (apa kabar?)
sampai yang lebih kompleks dengan muatan pesan
moral. Peserta lainnya, yang menjalankan bisnis kaus,
memposisikan produknya sebagai kaus khas Makassar,
seperti Dagadu di Jogja atau Joger di Bali. Pengembangan
citra mereknya dilakukan dengan misalnya menggunakan
tagline yang unik, yaitu: “Desain Artis, Kualitas Turis, Harga
Friends”.
Sejauh Manakah Industri Kreatif di Makassar Membangun Mereknya
Praktik Terbaik (Best Practice)
Dari eksplorasi melalui kegiatan FGD, usaha industri
kreatif yang dapat dijadikan sebagai contoh best practice
adalah “Kerak Telor Bang Sape’i”. Usaha beliau adalah
contoh kombinasi yang baik antara misi pelestarian
budaya Betawi (unsur tradisional) dan aktivitas digital
(unsur modern). Pengembangan citra merek melalui
nama dan desain logo yang menonjolkan nuansa Betawi
dipadukan dengan aktivitas pemasaran menggunakan
website. Dengan cara tersebut, identitas Betawi yang
ingin ditonjolkan tentunya dapat ditangkap dengan
mudah dan luas oleh masyarakat dalam era digital saat ini.
Lebih jauh lagi, beliau juga telah memikirkan dan
merancang pengalaman seperti apa yang dapat
ditawarkan kepada konsumennya untuk mempermudah
penyampaian pesan tentang pentingnya melestarikan
budaya Betawi lewat kuliner kerak telor. Konsumen diajak
untuk menerapkan cara memasak kerak telor di outlet
penjualannya.
39
SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF
Pelaku usaha kreatif di Makassar telah menjalankan strategi
tertentu dalam mengembangkan citra merek. Beberapa
strategi atau rencana khusus untuk mengembangkan
citra merek, antara lain:
1. Pelaku usaha produk makanan sehat pendamping ASI
untuk bayi memiliki citra merek kepedulian terhadap
tumbuh kembang anak. Selaras dengan hal tersebut,
kegiatan edukasi terhadap kebutuhan tumbuh
kembang anak menjadi fokus utama. Salah satu
contoh edukasinya adalah menanamkan pentingnya
makanan sehat pendamping ASI, kandungan gizi,
serta cara pengolahan yang baik. Pada akhirnya,
citra merek “Diangga Baby Meal” yang peduli
akan tumbuh kembang anak terbentuk secara kuat
melalui inovasi produk yang makanan sehat untuk
bayi serta kegiatan edukasi kepada sang ibu.
2. Pelaku usaha minuman jahe menggunakan
kata “Sarabba” pada merek produknya untuk
mempertegas bahwa produk minuman jahenya
adalah khas Makassar.
3. Untuk kasus produsen kaus, sang pelaku usaha telah
memikirkan untuk merancang suasana tokonya, di
mana pelayan tokonya adalah orang lokal dengan
pakaian adat dan keramahan khas Makassar. Dengan
demikian, misi mengangkat budaya dan nilai lokal
dapat berjalan dengan baik.
Strategi Pengembangan Citra Merek yang Telah Dilakukan
40
SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF
Praktik Terbaik (Best Practice)
Terdapat dua usaha kreatif dari Makassar yang dapat
dijadikan contoh sebagai praktik terbaik dalam
pengembangan citra merek. Kedua usaha tersebut adalah
“Diangga Baby Meal” (produsen makanan homemade
sehat pendamping ASI untuk bayi) dan “Stalagmite”
studio (studio animasi).
“Diangga Baby Meal” telah melakukan langkah yang
cukup unik dalam mengembangkan citra mereknya
melalui inovasi makanan sehat sebagai produk yang
ditawarkan, serta kegiatan edukasi kepada para ibu
mengenai kebutuhan anak dalam masa tumbuh
kembang. Strategi lain yang dilakukan untuk memperkuat
citra mereknya adalah dengan cara memperluas cakupan
pasarnya sehingga terbentuk citra yang kredibel. Dengan
banyaknya ibu-ibu yang berkunjung ke Makassar, baik
untuk berlibur maupun bekerja, ketika mereka membawa
serta bayinya, peluang penjualan produk tersebut ke
kalangan ini cukup tinggi. Kerja sama dengan hotel
tempat ibu-ibu tersebut menginap juga menunjukkan
kreativitas pemilik merek dalam mengembangkan citra
mereknya.
Pemilik brand “Stalagmite Studio” dapat dikatakan
sangat terpelajar dan berwawasan luas dalam hal
pengembangan merek dan aktivitas digital. Ia telah
melakukan pengembangan dengan menggunakan jasa
konsultasi branding. Selain itu, penggunaan search engine
optimisation untuk memilih nama brand “Stalagmite”
dan meningkatkan kepopuleran brand secara online
juga mengindikasikan kesiapan dalam melangkah lebih
jauh lagi dalam memperkuat citra mereknya. Visi jauh ke
depan telah dapat ditunjukkan oleh sang pemilik merek,
yaitu dengan menerapkan teknologi augmented dan
virtual reality untuk produk animasi yang akan digunakan
untuk media edukasi anak-anak berkebutuhan khusus.
41
SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF
Kegiatan Focus Group Discussion (FGD) yang
dilaksanakan di Hotel Amaris Ambon, pada tanggal 15
Juli 2017 dihadiri oleh 7 pelaku UMKM kreatif sebagai
narasumber. Pelaku industri kreatif di Ambon telah
menyadari pentingnya pengembangan citra merek
dari produk-produk mereka. Personifikasi merek yang
dipetakan menuju brand archetype dan didiskusikan
dalam FGD menunjukkan bahwa setiap peserta telah
membangun konsep mereknya dengan jelas. Namun
demikian, kedalaman dan kematangan eksekusi
pengembangan yang dilakukan berbeda-beda antar tiap
peserta atau pelaku usaha. Sebagai contoh, beberapa
peserta telah mempunyai nama merek, tetapi terdapat
pula beberapa peserta yang belum memiliki merek.
Seorang produsen aplikasi pembelajaran, dengan
guru-guru dan murid-murid sebagai konsumen,
mengembangkan citra edukatif untuk merek produknya.
Citra merek produk yang dikembangkan tercermin –
salah satunya – dalam penamaan aplikasi dengan nama-
nama yang terasosiasi dengan media pembelajaran.
Untuk mempermudah penyampaian misinya agar dikenal
sebagai merek yang membantu sektor pendidikan,
peserta tersebut berinteraksi langsung dengan guru-
guru dengan mendatangi sekolah untuk menunjukkan
contoh-contoh aplikasi pembelajaran mata pelajaran.
Peserta di sektor animasi menjalankan usahanya dengan
memperhatikan pentingnya mendapatkan chemistry
yang baik dan kecocokan dengan konsumen sebagai
strategi untuk membangun citra merek. Ini juga
diharapkan sebagai sarana untuk memperoleh order
secara berkelanjutan. Untuk itu, ia membangun interaksi
secara terus-menerus dengan konsumen, dimana ia
bersama dengan konsumen membahas konsep produk
animasi yang akan dibuat. Oleh karena itu, citra merek
yang terbentuk adalah merek yang ramah dan sangat
paham terhadap yang kebutuhan konsumennya.
Hal yang menarik terlihat juga dari sektor kuliner yang
memproduksi makanan olahan dari tuna, bluder sageru
dari air nira, dan selai pala. Namun, dari ketiga pelaku
usaha kuliner ini, hanya produsen selai pala yang sudah
memiliki nama merek, sedangkan dua lainnya belum,
sehingga belum ada citra merek yang terbentuk kuat dari
pelaku di sektor kuliner ini.
Sektor kriya diwakili oleh seorang wirausahawan pembuat
produk kriya dari tempurung kelapa. Pengembangan
citra merek dilakukannya dengan menekankan bahwa
tempurung kelapa dapat diolah menjadi bermacam
bentuk produk dan kerajinan tangan, antara lain
pelampung, dompet, guci, vas, dll. Untuk mendukung
hal tersebut, beliau selalu berusaha menciptakan model
desain yang baru untuk menambah variasi produknya.
Citra merek yang terbentuk menjadi merek kriya yang
inovatif dan kreatif.
Seorang wirausahawan yang memiliki sanggar kesenian
musik tifa mewakili sektor musik. Misi pelestarian
kebudayaan lokal melalui musik dan tarian tradisional
dengan alat musik tifa melatarbelakangi pengembangan
citra merek dari sanggar kesenian tersebut. Secara
berkala, sanggar ini tampil dalam berbagai kegiatan adat
dan acara pernikahan.
Sejauh Manakah Industri Kreatif di AmbonMembangun Mereknya
Secara garis besar, strategi yang dilakukan telah selaras
dengan citra merek yang ingin diusung, yaitu berkaitan
dengan pemberian nama merek, desain visual, produk
yang sesuai dengan citra merek, inovasi produk, hingga
bentuk layanan yang diberikan. Meskipun begitu, pelaku
belum menyentuh komunikasi dengan konsumen yang
dapat memperkuat persepsi konsumen terhadap citra
merek yang diusung. Namun demikian, strategi yang
telah dilakukan sudah cukup baik dalam membangun
citra merek di pasar. Di sisi lain, masih terdapat pelaku-
pelaku UMKM yang bahkan belum memiliki nama merek.
Kesenjangan pengetahuan citra merek di Ambon cukup
tinggi.
Strategi Pengembangan Citra Merek yang Telah Dilakukan
42
SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF
Kebudayaan Ambon yang begitu kaya banyak
menginspirasi masyarakatnya untuk berkarya dalam
rangka melestarikan budaya tersebut, termasuk Bapak
Domi. Untuk menyalurkan kecintaannya terhadap budaya
Ambon, Bapak Domi mendirikan “Sanggar Papala”.
Bagi Bapak Domi, budaya memiliki peranan yang sangat
penting dalam kehidupan masyarakat, khususnya di
Maluku. Hal ini dikarenakan budaya bagi masyarakat
Maluku telah menjadi bahasa yang dapat menjembatani
ketegangan sosial antar masyarakat.
Dengan misi tersebut, Bapak Domi membentuk
“Sanggar Papala”, sebuah sanggar kesenian klasik yang
dapat mengangkat dan melestarikan budaya asli Ambon.
Selain itu, Bapak Domi juga memproduksi alat musik tifa
sebagai produk yang ditawarkan. Upaya menjaga keaslian
budaya Ambon, menjadikan “Sanggar Papala” sebagai
sanggar yang menyediakan pelatihan seni dan musik
klasik Ambon. Hal ini merupakan kegiatan yang dilakukan
oleh Bapak Domi untuk membentuk citra mereknya.
Selain itu, “Sanggar Papala” juga sering terlibat dalam
kegiatan-kegiatan multietnik dalam rangka memperkuat
citra merek yang diusungnya.
Praktik Terbaik (Best Practice)
43
SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF
Kegiatan Focused Group Discussion (FGD) dilaksanakan
di Hotel Lion Manado, pada tanggal 28 Juli 2017 dihadiri
oleh 7 pelaku UMKM kreatif sebagai narasumber. Peserta
dari sektor kuliner menjalankan usaha snack kue cubit
dan minuman. Dengan target konsumen mahasiswa,
peserta tersebut mengedepankan unsur kreativitas pada
produknya. Hal ini tercerminkan dari bentuk, tekstur,
warna, dan rasa kue cubit yang selalu diusahakan untuk
mendapatkan sentuhan inovasi dan berubah-ubah. Selain
itu, pelaku usaha kuliner tersebut melihat adanya masalah
kesehatan untuk makanan jajanan di kalangan mahasiswa,
di mana mereka umumnya mengonsumsi gorengan.
Produk yang ia jual merupakan snack yang sehat, dan
hal tersebut dijadikan sebagai bagian terpenting dari
identitas merek yang dibawa. Sebagai turunan dari
identitas tersebut, ia menggunakan bahan-bahan
organik. Dalam kegiatan promosi, ia selalu menekankan
bahwa snack-nya adalah produk organik. Dengan produk
snack organik tersebut juga, ia membawa misi edukasi
bagi masyarakat untuk mengonsumsi makanan sehat.
Tiga peserta dari sektor kriya merupakan pemain lama
yang cukup senior dalam usaha kerajinan di Manado.
Mereka masing-masing telah berkiprah selama 18 tahun
(usaha kerajinan tangan), 12 tahun (toko souvenir), dan
10 tahun (usaha kerajinan tangan dari kayu kelapa).
Pengembangan citra merek sektor kriya di Manado
yang diwakili oleh ketiga peserta tersebut menekankan
aspek kekhasan daerah, dimana citra merek dibangun
dengan misi agar konsumen merasakan menjadi bagian
integral dari Manado, Sulawesi Utara, baik dari aspek
sumber daya alam maupun budayanya. Hal ini, misalnya,
diturunkan dalam penggunaan kayu hitam eboni (yang
cukup banyak ditemukan di daerah Sulawesi Utara) untuk
produk kerajinan tangan. Selain itu, kemasan produk yang
digunakan juga didesain dengan menonjolkan warna
khas Manado. Unsur estetika dan kreativitas juga mereka
tonjolkan dalam mengembangkan produk-produknya.
Dari sektor fashion (mode, busana), kedua peserta yang
hadir menjalankan usaha yang serupa, yaitu clothing
dengan tema etnik Sulawesi Utara. Nuansa tradisi dan
misi edukasi tentang kekhasan lokal sangat nyata dalam
pengembangan citra merek mereka yang tercerminkan
dengan baik dalam produk yang dijual. Salah satu peserta
menggunakan gambar burung Manguni, burung khas
Minahasa, pada desain baju yang dijual. Burung itu
digambarkan dengan sembilan bulu sayap. Jumlah ini
melambangkan sembilan subsuku dari suku Minahasa.
Dalam pengembangan citra mereknya, peserta di sektor
fashion juga sangat aktif dalam menggunakan media
sosial, website dan e-commerce untuk menyampaikan
pesan merek dan memasarkan produk-produknya.
Peserta dari sektor aplikasi menjalankan usahanya dengan
pembuatan produk-produk aplikasi yang bermanfaat
dalam banyak sektor. Di antara proyek pengembangan
aplikasi yang dikerjakan adalah dalam bidang pariwisata
(bekerjasama dengan Dinas Pariwisata Kota Manado)
dan kriminalitas (bekerjasama dengan Polda Sulawesi
Utara). Dengan keterlibatan di berbagai sektor, identitas
merek yang diusung dapat berganti-ganti, sesuai dengan
produk aplikasi yang dikembangkan.
Sejauh Manakah Industri Kreatif di ManadoMembangun Mereknya
44
SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF
Pengembangan citra merek yang dilakukan oleh peserta
FGD di Manado mencakup penggunaan media sosial dan
website yang cukup berkelanjutan oleh keempat sektor
yang terwakilkan. Selain itu, sektor kriya dan fashion juga
menggunakan words of mouth, kegiatan pameran, toko,
dan outlet.
Penggunaan tema-tema kedaerahan seperti burung
Manguni dan sumber daya alam khas Sulawesi Utara
seperti kayu eboni menunjukkan bahwa citra merek yang
dikembangkan oleh pelaku usaha kreatif di Sulawesi Utara
sangat menjunjung tinggi nilai kekhasan daerahnya.
Strategi Pengembangan Citra Merek yang Telah Dilakukan
“It is DAN!” Merupakan sebuah merek clothing line
asal Manado yang mengusung budaya sebagai poin
pembeda disain yang ditawarkan. Semenjak tahun
2015, Bapak Daniel yang merupakan pemilik dari merek
tersebut, mengembangkan usaha di sektor fashion.
Darah Minahasa yang mengalir kuat secara turun
menurun, membuat Bapak Daniel terdorong untuk
menggabungkan gairahnya dalam desain dengan budaya
Minahasa. Oleh karena itu, muncullah kolaborasi desain
t-shirt yang modern namun kental akan sentuhan budaya
Minahasa.
Desain yang secara jelas berbeda dengan para pesaingnya
telah membentuk citra merek yang kuat. Citra modern
dan simpel yang bercampur dengan budaya khas
Minahasa kuat terpatri ketika merek “it is DAN!” muncul
di pasar. Desain dengan unsur Sam Ratulangi, burung
Manguni, dan suku asli Minahasa itu sendiri menjadi
warna utama dari produk-produknya.
Praktik Terbaik (Best Practice)
Sejauh Manakah Industri Kreatif di Semarang Membangun Mereknya
Kegiatan FGD yang dilaksanakan di Hotel Dafam
Semarang, pada tanggal 28 Juli 2017 dihadiri oleh 11 pelaku
UMKM kreatif sebagai narasumber. Secara umum, pelaku
belum memahami penuh pentingnya pengembangan
citra merek dan bagaimana mejalankan pengembangan
tersebut. Akan tetapi, secara naluriah para peserta telah
menanamkan visi dari para pemilik merek ke dalam
mereknya. Hal ini tergambar secara kuat dari atribut
produk yang ditawarkan. Meskipun demikian, serupa
dengan pelaku UMKM kreatif di kota-kota lainnya,
kegiatan pengembangan merek ini belum dilakukan
secara terintegrasi dan penyampaian citra atau identitas
belum berjalan konsisten pada setiap atribut mereknya.
Dari sektor fashion (mode, busana), citra merek yang
dapat dipercaya menjadi nilai yang ditonjolkan. Hal
ini muncul karena mereka ingin memenuhi ekpektasi
konsumen terhadap produk mereka. Selain itu, salah
satu pelaku dari sektor fashion pun menanamkan nilai
kepercayaan diri pada konsumennya. Akan tetapi, hal
tersebut hanya dilakukan dari diri sendiri, belum secara
menyeluruh. Kegiatannya belum menyentuh elemen-
elemen merek lainnya, seperti nama merek, desain visual,
komunikasi pemasaran, atau standarisasi pelayanan sales
person. Aspek-aspek ini akan membuat citra merek yang
kuat dan menarik jika dieksekusi dengan baik.
Hal yang menarik datang dari sektor kriya. Di kota
Semarang ini, sektor kriya menunjukan kegiatan
pengembangan citra merek yang cukup mendalam.
Hal ini terlihat dari inovasi produk yang sesuai dengan
identitas yang diusung ataupun pengalaman yang
disajikan untuk memperkuat citra merek. Salah satu
pelaku ingin mengusung nilai anti mainstream yang
akhirnya mendorong inovasi produk kerajinan kulit, yakni
menggunakan kulit ikan ayam-ayam atau kulit singa.
Pelaku lainnya dalam sektor ini bahkan menciptakan
paket wisata edukatif di areal produksi kerajinan eceng
gondok. Meskipun begitu, kegiatan pengembangan citra
merek tersebut masih harus ditopang oleh konsistensi
dari elemen-elemen merek lainnya.
45
SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF
Pelaku usaha kreatif di Semarang telah menjalankan
strategi tertentu dalam mengembangkan citra merek.
Sebagian besar pelaku masih berfokus pada atribut
pelayanan atau produk yang sesuai dengan citra
merek yang diusung. Akan tetapi, terdapat beberapa
pelaku usaha yang memiliki strategi berbeda dalam
mengembangkan citra mereknya, antara lain:
1. Salah satu pelaku di sektor fashion menggunakan
ukuran baju dengan standar luar negeri. Hal ini
membentuk persepsi konsumen menjadi merek
fashion yang memberikan kepercayaan diri, terutama
wanita. Jika pada umumnya konsumen menggunakan
pakaian dengan ukuran XL, ternyata pada merek ini
konsumen akan dapat mengenakan pakaian dengan
ukuran M atau L. Hal ini menciptakan kepercayaan
diri bagi konsumen setelah menggenakan produk
dari merek tersebut.
2. Dari sektor kriya, salah satu merek usaha menanamkan
nilai anti mainstream. Hal ini diterjemahkan melalui
inovasi produk yang out of the box. Penggunaan
kulit ikan ayam-ayam hingga kulit singa menjadikan
citra merek tersebut menjadi unik dan berbeda.
Di sisi lain, produksi yang dibatasi memperkecil
kemungkinan konsumen memiliki barang yang sama
dengan orang lain. Setelah konsumen menggunakan
merek ini akan semakin terasa bahwa konsumen
tersebut menjadi konsumen yang anti-mainstream
dan berbeda, layaknya citra merek yang diusung.
3. Masih dari sektor kriya, pelaku lainnya menciptakan
paket wisata edukatif untuk memperkuat citra merek
yang kental akan budaya dan alam. Ia menyiapkan
paket wisata kreatif yang mengajarkan beberapa
bentuk kerajinan, melihat pertanian enceng gondok
secara langsung, mengenalkan wisata di daerah
sekitar yang dekat sekali dengan adanya bahan baku
eceng gondok, yaitu objek wisata Bukit Cinta. Ia juga
mengangkat sejarah dari areal produksi kerajinannya,
yaitu “Klinting”. Nama tersebut diambil dari nama
depan, silsilah, dan simbol dari naga yang ada di Rawa
Pening.
Strategi Pengembangan Citra Merek yang Telah Dilakukan
Di sektor lainnya, pelaku usaha kreatif di Semarang masih
melakukan kegiatan pengembangan citra merek sesuai
dengan nalar pemilik dan karakteristik usaha yang dijalani.
Animasi masih berfokus pada pembangunan citra merek
melalui pelayanan yang ramah dan memenuhi keinginan
konsumen. Kuliner berfokus kepada penyetaraan kualitas
rasa makanan dan pelayanan yang ramah.
46
SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF
Dimulai pada tahun 2011, Ibu Dwi Hafirani membangun
merek “Zawa Leather” yang memproduksi tas, dompet,
buku agenda serta semua kerajinan berbahan dasar kulit.
Dengan persona yang anti-mainstream, Ibu Dwi Hafirani
mencoba memasukan unsur tersebut dalam mereknya.
Mengusung inovasi-inovasi produk yang tak biasa
membuat kesan ‘rebel’ dan ‘unik’ menjadi citra yang
terbentuk dari mereknya. Hal ini tercermin dari
penggunaan bahan seperti bulu domba, kulit ikan buntal,
kulit ikan ayam-ayam, dan yang lainnya.
Produk “Zawa Leather” dibuat secara khas (eksklusif),
bahkan berani memberikan garansi. Mereka juga
mengeluarkan produk terbatas yang hanya diluncurkan
pada waktu tertentu. Produk yang dihasilkan
menggunakan aneka sumber bahan yang unik dan tidak
terpikirkan, seperti kulit ikan buntal dan kulit ikan ayam-
ayam, dengan total produksi hanya 10 – 12 buah per
model.
Praktik Terbaik (Best Practice)
47
SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF
Kegiatan FGD yang dilaksanakan di Hotel Grand Darmo
Surabaya, pada tanggal 13 Juni 2017 dihadiri oleh 10
pelaku UMKM kreatif sebagai narasumber. Dalam FGD
citra merek di Surabaya ini tergambar ketimpangan
pengetahuan pelaku UMKM kreatif terhadap branding,
termasuk citra merek di dalamnya. Kesenjangan terlihat
pada bagian mengenai pemahaman branding dan
seberapa penting branding bagi sebuah UMKM. Sebagian
merasa bahwa branding hanya mencakup desain logo.
Sementara, sebagian lain merasa bahwa kegiatan
branding merupakan kegiatan yang tidak perlu dilakukan
di tahap awal saat menjalankan bisnis.
“Kalau dari saya, selling dahulu, branding-nya kemudian.
Kalau selling kan mendapatkan uang fresh money cepat,
tapi kalau branding adalah PR yang sangat jauh ke depan”
“Itu tidak hanya logo dan tagline yang pas tapi juga riset
yang tepat”
Selain itu, sebagian besar pelaku UMKM kreatif dalam
FGD di Surabaya masih belum mengimplementasi
pengetahuan terhadap branding secara mendalam.
Kegiatan pengembangan citra merek yang dilakukan
masih berfokus kepada kualitas atau atribut produk yang
ditawarkan.
Namun demikian, terdapat beberapa pelaku UMKM
kreatif yang sudah memiliki pemahaman mendalam
mengenai branding. Mereka memahami bahwa untuk
menciptakan citra merek yang positif kegiatan branding
yang holistik dari hulu ke hilir perlu dilakukan.
“Adalah janji kita kepada konsumen, komitmen bahwa
kita memang punya produk ini, mulai belanja dari mana,
bagaimananya prosesnya sampai selesai”.
Pelaku di sektor aplikasi dengan nama merek “Kinetikum”
telah memahami prinsip dasar dari pengembangan citra
merek. Hal ini tercermin dari pemilihan nama merek yang
mencerminkan nilai yang dimiliki. Gabungan filosifi kinetik
yang terasosiasi dengan energi dan pergerakan serta
adamantium (sebuah zat yang sangat kuat) menjadikan
nilai yang diusung oleh “Kinetikum” menjadi merek
yang memiliki energi atau pergerakan yang begitu kuat.
Nilai ini menjadi dasar seluruh proses bisnisnya. Eksekusi
yang tepat dapat menciptakan citra merek yang lebih
kuat mengenai “Kinetikum” di benak konsumen.
Sejauh Manakah Industri Kreatif di SurabayaMembangun Mereknya
48
SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF
Secara garis besar, strategi pembentukan citra merek
yang dilakukan oleh pelaku UMKM kreatif di Surabaya
antara lain adalah:
1. Penggunaan media sosial untuk melakukan kegiatan
endorsement oleh tokoh publik dilakukan untuk
memperkuat asosiasi merek dengan tokoh publik
tersebut. Hal ini dilakukan oleh pelaku di sektor
kuliner dengan memanfaatkan artis Rina Nose,
Shireen Sungkar dan Glenn Alinskie. Strategi ini
dapat membentuk citra merek yang sesuai dengan
citra tokoh publik yang terlibat.
“Kinetikum” yang didirikan oleh Bapak Budi Santoso
pada tahun 2009 bergerak pada bidang aplikasi. Jenis
aplikasi yang dikembangkan oleh Bapak Budi Santoso
adalah software untuk Enterprise Resource Planning
(ERP). Aplikasi ini dirancang untuk menciptakan sistem
alur sumber daya yang efektif bagi sebuah usaha. Berikut
adalah beberapa jenis software “Kinetikum”; (1) Sales
distribution manufacture, (2) project management, dan
(3) human resource information system.
“Kinetikum” diambil berdasarkan ketertarikannya
dengan jam cyclo kinetic yang hanya dapat berfungsi
apabila pemakainya bergerak, serta kata adamantium
yang merupakan zat yang sangat kuat. Hal ini menjadi
filosofi dasar Bapak Budi dalam menjalankan usahanya,
2. Penerapan riset perilaku konsumen yang mendalam
dipraktekkan dengan nyata. Hal ini bertujuan
untuk memastikan inovasi produk sesuai dengan
sumberdaya yang dimiliki oleh pelaku, sudut
pandang konsumen, serta tren terkini. Inovasi yang
tepat ini dapat memperkuat kredibilitas atas citra
merek yang diusung.
yaitu selalu ingin bergerak dan memiliki energi yang
luar biasa besar. Karena itu beliau berambisi untuk
memudahkan proses usaha dengan mengotomatisasi
sistem dan proses kerjanya. Hal ini tergambar dari inovasi
varian aplikasinya yang mulai merambah berbagai aspek
proses bisnis. Kini, ia mencoba membuat aplikasi untuk
sistem usaha dengan skala yang lebih kecil.
Pemahaman yang dalam mengenai nilai apa yang diusung
dari merek “Kinetikum” membuat Bapak Budi bergerak
secara terarah dan terintegrasi. Hal ini menjadikan citra
merek Bapak Budi menjadi kuat di benak pelanggannya.
Dalam hal penjualan, citra merek yang kuat terbukti dari
keberhasilannya menjual produk dengan kisaran harga
Rp 350 juta.
Strategi Pengembangan Citra Merek yang Telah Dilakukan
Praktik Terbaik (Best Practice)
49
SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF
Terdapat beberapa strategi-strategi yang menonjol yang
dilakukan oleh pelaku UMKM kreatif di Medan dalam
rangka mengembangkan citra mereknya, antara lain:
1. Pentol Sadis menciptakan penamaan terhadap
tingkatan kepedasannya menggunakan istilah yang
menarik. Beberapa contoh nama produknya adalah
penyayang, kejam, terlalu sayang dan sadis. Selain
itu pengembangan logo dari merek Pentol Sadis
yang ingin terlihat sangar semakin memperkuat citra
merek yang diusung.
2. Masbro Web berinovasi dengan membuat sistem
Point of Sales (POS) bagi usaha berskala kecil. Sistem
POS yang biasanya mahal kini dapat diakses dengan
harga yang terjangkau bagi klien-klien Masbro Web.
Inovasi tersebut dan juga pelayanan yang ramah
menjadikan citra merek ramah dan dapat diandalkan
semakin terbentuk dalam benak kliennya.
3. Pelaku lainnya berusaha dalam mengembangkan
citra merek melalui usaha peningkatan exposure
merek. Partisipasi dalam pameran dengan skala
regional, nasional maupun internasional kerap
kali mereka perjuangkan. Selain itu bagi beberapa
pelaku, menggunakan Search Engine Optimization
(SEO) juga merupakan salah satu strategi dalam
meningkatkan eksposurnya dalam dunia maya.
Strategi Pengembangan Citra Merek yang Telah Dilakukan
Kegiatan Focus Group Discussion yang dilaksanakan di
Hotel Hermes Medan pada tanggal 20 Juli 2017 dihadiri
oleh 9 narasumber. Sebagian besar pelaku UMKM kreatif
memiliki visi yang cukup jelas mengenai persona atau
identitas seperti apa yang ingin dikembangkan dalam
mereknya. Hal ini terlihat dari penamaan merek dan
atribut produk yang kuat asosiasinya dengan identitas
atau pesona yang ingin dibentuk dalam benak konsumen.
Kedua pelaku dari sektor kuliner merupakan contoh
yang memahami citra merek apa yang ingin dibangun.
Berangkat dari fenomena kata sadis yang semakin marak
digunakan dalam bahasa sehari-hari oleh kalangan anak
muda, Ibu Ella menamakan produk pentol pedasnya ini
dengan nama Pentol Sadis. Kata sadis yang asosiasinya
kuat dengan sesuatu yang ekstrim digunakan untuk
mempertegas pentol yang rasanya pedas. Keunikan
penamaan ini menjadikan pentol sadis ini dekat dengan
konsumennya dan mudah diingat. Hal ini merupakan
langkah mendasar dalam membentuk citra merek yang
kuat.
Hal serupa juga dilakukan oleh Bapak Dzikriy. Durian
yang diolah menjadi produk durian tub, cake dan
juga es krim dengan berbagai topping yang menarik
terkomunikasikan dengan baik oleh nama mereknya yaitu
Hepi Pancake. Dari sektor aplikasi terdapat nama merek
Masbro Web, yang melakukan hal serupa. Pemahaman
yang mendalam mengenai konsumennya membuat
Bapak Reza memilih nama Masbro salah satunya karena
mudah diingat karena memang sedang tren digunakan.
Selain itu, kata ini juga mengomunikasikan dengan baik
nilai keramahan dan sosok yang dapat diandalkan. Hal-
hal tersebut menjadikan citra mereknya menjadi sangat
kuat.
Namun demikian, masih terdapat beberapa pelaku dari
sektor kriya, fesyen, ataupun aplikasi yang masih belum
mengomunikasikan persona maupun identitas apa yang
ingin dibangun dalam mereknya. Kebanyakan dari pelaku-
pelaku ini mengembangkan merek menggunakan nama
sendiri atau singkatan dari lingkungan sosialnya untuk
menunjukan jati dirinya. Belum terdapat strategi yang
konkrit untuk menunjukkan jati diri atau identitas apa
yang sebenarnya ingin dikomunikasikan.
Sejauh Manakah Industri Kreatif di MedanMembangun Mereknya
50
SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF
Praktik Terbaik (Best Practice)
Bapak Reza dari Masbro Web bergerak dalam bidang
website mulai 2011, tetapi mulai serius menggarapnya
dalam setahun terakhir. Nama Masbro diambil untuk
menunjukkan citra yang akrab dan dapat diandalkan.
Selain itu sebutan ‘masbro’ yang merupakan trend
membuat orang lebih mudah mengenal dan mengingat
merek tersebut.
Ciri khas dari Masbro Web adalah desain yang mengikuti
trend dan dipastikan tidak memiliki tema yang sama
dengan web lainnya. Pengerjaan pembuatan website
terhitung agak lama, karena desain dibuat khusus dan
berbeda sesuai dengan permintaan klien.
Kesan Masbro Web yang akrab dan dapat diandalkan
diramu menjadi sebuah identitas layaknya seorang
pahlawan (archetype hero). Hal ini diimplementasikan
melalui indentifikasi produk yang dibutuhkan pasar saat
ini. Contohnya sistem Point of Sales (POS) yang dibutuhkan
banyak UKM, namun umumnya kurang terjangkau karena
harganya mahal. Masbro Web menciptakan sistem POS
yang terjangkau untuk membantu UKM. Citra yang
terbentuk adalah Masbro Web yang akrab dan dapat
diandalkan, karena jika membutuhkan sesuatu mengenai
sebuah sistem, Masbro Web dapat menyediakannya.
Kegiatan Focus Group Discussion dilaksanakan di
Hotel Ibis Style Bandung pada tanggal 16 Juni 2017 dan
dihadiri 10 pelaku UMKM kreatif sebagai narasumber.
Temuan utama mengenai citra merek di kota Bandung
ini adalah bahwa sebagian besar pelaku masih terpaku
pada sisi operasional bisnis dan belum seutuhnya
memperhatikan pengembangan citra merek yang
terencana dan terintegrasi. Meskipun demikian, terdapat
beberapa pelaku UMKM kreatif yang memiliki diferensiasi
dalam hal citra merek yang cukup kuat walupun belum
dikomunikasikan dengan baik.
Hasan Batik di Bandung mengklaim mereknya
memiliki ciri khas desain batik yang kontemporer. Hal
ini merupakan nilai pembeda yang menarik, mengingat
banyaknya batik yang mengusung nilai yang kental akan
unsur budaya tradisional. Hasan Batik melawan arus
dengan desain yang lebih modern. Namun, sayangnya
belum terlihat strategi-strategi yang kuat baik dari
elemen-elemen mereknya seperti nama merek, logo,
desain visualisasi maupun komunikasi pemasarannya.
Salah satu pelaku UMKM kreatif yang cukup memiliki
potensi citra merek yang kuat adalah Federal Science oleh
Bapak Yoyo. Pemiliki usaha yang berfokus pada kerajinan
bambu ini memiliki pengetahuan mengenai bambu yang
mendalam. Bapak Yoyo memahami 109 jenis bambu yang
terdapat di Indonesia dan mengedukasikannya melalui
sebuah modul yang disebarkan ke sekolah-sekolah.
Hal ini dapat memperkuat citra merek produk kerajinan
Bapak Yoyo seiring dengan banyaknya konsumen yang
semakin teredukasi mengenai kelebihan dan keunikan
dari masing-masing jenis bambu. Sayangnya nilai-nilai
pembeda tersebut belum dikomunikasikan secara
terintegrasi melalui elemen-elemen merek yang dimiliki.
Hal tersebut menjadikan citra merek yang terbentuk
belum kuat. Kurangnya pemahaman akan citra merek
ini ditemukan pula pada sebagian besar pelaku UMKM
kreatif yang berperan sebagai narasumber.
Sejauh Manakah Industri Kreatif di BandungMembangun Mereknya
51
SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF
Strategi Pengembangan Citra Merek yang Telah Dilakukan
Melihat kondisi yang telah dijabarkan sebelumnya,
di antara peserta FGD di kota Bandung masih belum
terlihat adanya strategi-strategi yang kuat dalam rangka
mengembangkan citra merek para pelaku UMKM
kreatif. Kegiatan yang dilakukan masih berkutat pada
peningkatan eksposur melalui SEO, social media,
pameran, edukasi pasar dan words of mouth. Belum
terlihat adanya pemahaman yang cukup mengenai
persona atau identitas apa yang ingin dikembangkan dan
strategi untuk mengembangkannya.
Praktik Terbaik (Best Practice)
Hasan Batik merupakan usaha yang telah berdiri
semenjak tahun 1980-an. Usaha ini merupakan usaha
keluarga yang diturunkan kepada Ibu Nia oleh ayahnya.
Oleh karena itu, Ibu Nia merupakan generasi kedua dari
Hasan Batik itu sendiri. Awalnya, usaha ini bergerak pada
bidang dekorasi rumah seperti taplak, base mat, wall
hanging, dll. Namun semenjak tahun 2000-an ketika Ibu
Nia mulai menjalani usaha ini, ia melihat bahwa antusiasme
pasar menurun sehingga mendorongnya untuk merubah
arah usaha menjadi fesyen.
Dengan mengusung diferensiasi motif yang
kontemporer, Hasan Batik mampu mengembalikan
antuasiasme pelanggan. Motif garis-garis dan kotak-
kotak yang cenderung geometris menjadikan batik yang
ditawarkan terlihat tidak kuno. Hal ini bahkan menarik
pejabat-pejabat pemerintah kota Bandung.
Namun, diferensiasi yang cukup kuat ini tidak dijaga
konsistensinya hingga saat ini. Selain itu juga nilai ini
tidak dikomunikasikan secara terintegrasi melalui strategi
terhadap elemen-elemen mereknya.
52
STRATEGI PENGEMBANGAN CITRA MEREK PRODUK KREATIF
52
SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF
ME
MA
HA
MI
CIT
RA
M
ER
EK
PR
OD
UK
K
RE
AT
IF D
IMA
TA
K
ON
SU
ME
N
53
STRATEGI PENGEMBANGAN CITRA MEREK PRODUK KREATIF
53
SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF
54
57
59
61
63
65
SEKTOR KULINER
SEKTOR KRIYA
SEKTOR FASHION
SEKTOR MUSIK
SEKTOR ANIMASI
SEKTOR APLIKASI
54
SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF
Survei secara online menyasar 1.800 konsumen produk
kreatif di Indonesia. Hasil dari survei ini menunjukkan
atribut apa saja yang dianggap penting dalam masing-
masing sektor industri kreatif, alasan dibalik pembelian
sebuah produk kreatif, dan titik interaksi pembelian
produk kreatif tersebut. Sektor yang diteliti mencakup
sektor kuliner, sektor kriya, sektor fashion (mode,
Sektor Kuliner
Gambar 5.1
Perspektif Responden
Terhadap Produk Sektor
Kuliner
busana), sektor musik, sektor animasi, dan sektor aplikasi.
Temuan-temuan survei ini dianalisis di bawah ini untuk
setiap sektor usaha kreatif untuk memunculkan wawasan
yang terkait dengan masing-masing sektor.
Dari 4 hal berikut, manakah yang Anda rasakan selama berinteraksi dengan sebuah brand (merek) produk atau
layanan dalam sektor kuliner (makan, minuman, restoran, cafe, dsb) Anda boleh memilih lebih dari satu
Gambar 5.1 menunjukkan perspektif responden survei
terhadap produk sektor kuliner. Dari grafik di atas terlihat
bahwa konsumen melihat pengalaman edukatif yang
diberikan oleh merek produk kuliner merupakan atribut
terpenting dari produk tersebut. Citra merek dari produk
kreatif akan menjadi positif apabila pemilik merek dapat
menghadirkan pengalaman atau pengetahuan baru bagi
konsumennya.
Pengetahuan baru yang dimaksud adalah informasi yang
mendidik dan membuat konsumen dapat memahami
suatu pelajaran baru yang terdapat dari produk kuliner
tersebut. Cara untuk melakukan hal tersebut dapat
melalui keterlibatan interaktif penjual-pembeli, baik
secara pikiran (intellectual) atau berupa pelatihan secara
fisik (Pine & Gilmore, 2011).
55
SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF
Gambar 5.2
Alasan Responden
Membeli Produk
Sektor Kuliner
Berikan nilai dari 1 (sangat tidak setuju) hingga 5 (sangat setuju) untuk pertanyaan berikut:
Pengetahuan yang dihadirkan harus merupakan informasi
yang sesuai dengan keinginan konsumen. Dalam grafik di
atas terlihat bahwa alasan konsumen membeli produk
kuliner adalah karena adanya rasa “kedekatan” dengan
merek tertentu. Hal ini dapat memotivasi pelaku untuk
menyediakan informasi-informasi produk yang dekat
dengan kehidupan sehari-hari konsumen. Akibatnya,
tercipta hubungan emosional yang terkait. Pemberian
informasi yang edukatif ini dapat dilakukan melalui
penyampaian data atau fakta atau mengajak konsumen
berpartisipasi secara aktif dalam memproduksi produk
kuliner.
56
SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF
Dimanakah Anda membeli produk kreatif? (Boleh lebih dari satu)
Media yang dapat digunakan untuk memperkuat citra
merek pada sektor kuliner adalah melalui toko/workshop.
Hal ini terlihat dari survei bahwa mayoritas konsumen
membeli produk kreatif melalui toko/workshop
online. Temuan ini dapat dimanfaatkan bagi pelaku
agar menjadikan toko/workshop mereka dan seluruh
elemen di dalamnya sebagai media untuk menambah
pengetahuan konsumen.
Keselarasan identitas atau nilai merek yang ditanamkan
oleh pelaku usaha dengan pengalaman edukatif yang
mengandung informasi yang dekat dengan kehidupan
konsumen dapat secara kuat membentuk citra merek di
benak konsumen. Apabila pelaku berhasil menciptakan
citra merek yang kuat di benak konsumen, hal ini bisa
menjadi titik balik perkembangan usaha secara signifikan.
Gambar 5.2
Tempat Pembelian
Produk Sektor Kuliner
57
SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF
Gambar 5.5
Perspektif Responden
Terhadap Produk
Sektor Kriya
Serupa dengan sektor kuliner, terlihat bahwa konsumen
pada sektor kriya pun memiliki pandangan yang sama
mengenai atribut penting dari produk kriya, yaitu
pengalaman yang edukatif. Citra dari sebuah produk kriya
akan menjadi positif, apabila pelaku mampu memberikan
pengetahuan-pengetahuan baru dan unik kepada
konsumennya. Penyediaan pengetahuan baru ini dapat
dilakukan melalui atribut produk, desain visual, kegiatan
pemasaran, pengalaman konsumsi, ataupun yang lainnya.
Produk kriya di Indonesia kental akan unsur kreativitas dan
budaya lokal. Pengetahuan mengenai proses pembuatan
produk kriya atau filosofi makna dari produk tersebut,
merupakan informasi yang menarik bagi kosumen.
Pelaku usaha dapat memberikan informasi secara satu
arah dan melibatkan pikiran konsumen atau dengan
cara menciptakan partisipasi aktif konsumen (seperti
pelatihan kepada konsumen).
Sektor Kriya
3 dari 4 hal berikut, manakah yang Anda rasakan selama berinteraksi dengan sebuah brand (merek) produk
atau layanan dalam sektor kriya (kerajinan tangan, daur ulang, dsb) Anda boleh memilih lebih dari satu
58
SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF
Berbeda dari sektor kuliner, pengetahuan baru yang
dihadirkan pada sektor kriya harus dapat berkontribusi
dalam memperkuat jati diri konsumen. Tergambar dalam
grafik bahwa konsumen memutuskan untuk membeli
produk kriya karena merek tersebut mencerminkan
jati dirinya. Temuan ini menjadi dasar bagi pelaku
yang bergerak di bidang kriya untuk lebih memahami
konsumen sampai pada tahap jati dirinya.
Pemahaman mendalam mengenai konsumen ini akan
Masih serupa dengan sektor kuliner, sebagian besar
konsumen sektor kriya membeli produk di toko/
workshop. Dengan demikian, pelaku usaha perlu
mendesain seluruh elemen yang tercakup dalam
toko/workshop tersebut agar mencerminkan jati diri
konsumennya. Hal ini semakin menciptakan citra merek
yang kuat dibenak konsumen produk kriya.
Citra merek produk kriya dapat terbentuk apabila
menciptakan hubungan personal antara konsumen dan
merek, sehingga terjadi peleburan antara merek dan
diri konsumen. Merek tersebut adalah bagian dari diri
konsumen. Baik melalui atribut produk, desain visual,
komunikasi pemasaran ataupun yang lainnya, konsumen
merasa bahwa merek tersebut berkontribusi pada
penguatan jati dirinya.
pelaku berhasil memahami jati diri konsumennya dan
menerjemahkan hal tersebut menjadi pengetahuan-
pengetahuan baru. Keberhasilan pelaku mengeksekusi
hal tersebut dapat membentuk citra merek yang kuat,
sehingga dapat berkontribusi terhadap perkembangan
usaha secara signifikan.
Gambar 5.5
Alasan Responden
Membeli Produk
Sektor Kriya
Berikan nilai dari 1 (sangat tidak setuju) hingga 5 (sangat setuju) untuk pertanyaan berikut:
Gambar 5.6
Tempat Pembelian
Produk Sektor Kriya
59
SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF
Survei pada sektor fashion (mode, busana) menunjukkan
atribut penting dalam sebuah produk fashion yang
serupa dengan dua sektor sebelumnya. Penambahan
pengetahuan baru masih menjadi atribut utama yang
dilihat konsumen dalam mengonsumsi produk fashion.
Elemen yang terdapat pada produk fashion memiliki
cakupan yang luas, mulai dari bahan, warna, aksesoris,
desain dan yang lainnya. Variasi dari elemen-elemen
tersebut menjadi salah satu bentuk informasi yang
menarik untuk diketahui oleh konsumen.
Gambar 5.7
Perspektif Responden
Terhadap Produk
Sektor Fashion
“Wow Effect” yang timbul akibat pengetahuan baru yang
diberikan dapat menimbulkan kekaguman terhadap
merek. Hal ini membentuk citra merek yang positif
terhadap merek tersebut melalui keterikatan emosional.
Informasi yang diberikan dapat melalui cara menciptakan
partisipasi konsumen secara pasif ataupun aktif.
Sektor Fashion
60
SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF
Serupa dengan sektor kriya, penguatan jati diri konsumen
oleh merek menjadi penting. Pengetahuan baru yang
sesuai dengan jati diri konsumen menjadi salah satu
faktor yang menarik konsumen membeli produk fashion.
Pemahaman terhadap jati diri konsumen menjadi kunci
utama pembentukan citra merek yang kuat. Fashion
memang secara umum dipandang sebagai media untuk
mengomunikasikan siapa diri pemakainya. Karena itu,
setiap elemen dari merek harus mengomunikasikan
nilai-nilai yang sama dengan jati diri konsumen, sehingga
tercipta hubungan emosional yang erat.
Hal yang menarik dari sektor fashion adalah konsumen
membeli produk fashion di toko/workshop dan
toko online. Persentase yang hampir sama besar
memungkinkan bahwa konsumen yang membeli di
toko offline juga membeli di toko online. Berdasarkan
hal tersebut, perancangan pengalaman edukatif yang
terintegrasi antara toko offline dan toko online perlu
diimplementasikan.
Kesinambungan citra yang ditemukan pada toko offline
dan toko online dengan identitas merek menjadi kunci
terbentuknya citra merek produk fashion yang kuat.
Kesuksesan membentuk citra merek tersebut tidak
terlepas dari hadirnya unsur pengalaman edukatif
yang sesuai dengan jati diri konsumen. Hal ini dapat
berpengaruh terhadap laju berkembangnya usaha secara
signifikan.
Gambar 5.8
Alasan Responden
Membeli Produk
Sektor Fashion
Berikan nilai dari 1 (sangat tidak setuju) hingga 5 (sangat setuju) untuk pertanyaan berikut:
Gambar 5.9
Tempat Pembelian
Produk Sektor
Fashion
61
SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF
Gambar 5.10
Perspektif Responden
Terhadap Produk
Sektor Musik
Sektor Musik
Seperti yang terlihat pada grafik, dalam sektor musik
atribut penting dalam perspektif responden adalah
edukasi dan hiburan. Selain penambahan pengetahuan
baru, menghadirkan hiburan yang sesuai dengan
selera konsumen menjadi hal yang penting untuk
produk musik. Sejatinya, salah satu fungsi dari musik
adalah hiburan. Hal tersebut yang menjadikan unsur
hiburan selalu lekat dalam menciptakan produk musik.
Meskipun begitu, unsur edukasi juga tetap penting untuk
dihadirkan. Sektor musik mengandung banyak informasi
mengenai kebudayaan tradisional maupun populer. Hal
ini mendasari terjadinya variasi dalam sektor musik.
Penggabungan atribut hiburan dan edukasi dalam
produk musik dapat menciptakan ketertarikan
konsumen terhadap suatu merek. Melalui hal ini,
produk musik dapat membentuk citra merek yang kuat.
Keterlibatan konsumen secara pasif dan secara aktif dapat
dikombinasikan dalam kegiatan pembangunan citra
merek.
62
SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF
Sama halnya dengan sektor fashion, konsumen membeli
produk musik di toko/workshop dan toko online. Temuan
ini menjadikan dasar penanaman nilai-nilai yang sesuai
dengan jati diri konsumen pada toko offline maupun
online. Tentunya, nilai yang disampaikan melalui elemen-
elemen dalam toko offline dan online harus terkait
secara berkesinambungan. Akhirnya, citra merek yang
kuat dapat terbentuk. Dalam rangka mengembangkan
usaha secara signifikan, pelaku dalam sektor musik perlu
memahami jati diri konsumennya secara mendalam serta
mengeksekusi dalam setiap elemen mereknya.
Musik yang sering digunakan untuk mengekpresikan
diri merupakan media dalam mencerminkan jati diri
penggunanya. Fenomena ini memperkuat hasil survei
yang menunjukan bahwa keselarasan merek dengan
jati diri konsumen adalah hal yang penting. Hasil ini
Gambar 5.11
Alasan Responden
Membeli Produk
Sektor Musik
Gambar 5.12
Tempat Pembelian
Produk Sektor Musik
ditemukan juga pada sektor kriya dan sektor fashion.
Atribut hiburan dan edukasi yang didesain selaras
dengan jati diri konsumennya menjadi salah satu cara
dalam membentuk citra merek yang kuat dalam benak
konsumen.
Berikan nilai dari 1 (sangat tidak setuju) hingga 5 (sangat setuju) untuk pertanyaan berikut:
63
SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF
Dalam konteks produk animasi, atribut utamanya adalah
hiburan. Unsur hiburan mendominasi atribut-atribut
lainnya dalam sektor animasi. Hal ini tergambar pada
grafik di atas. Layaknya produk musik, salah satu fungsi
utama dari produk animasi adalah terhiburnya penonton.
Oleh karena itu, unsur ini harus terasa kuat ketika pelaku
memproduksi sebuah video animasi.
Pelaku yang dapat menciptakan sebuah video animasi
yang menghibur mampu mengajak penonton untuk
terlibat secara emosional dan pikiran. Keterlibatan ini
memunculkan rasa puas dan asosiasi yang kuat terhadap
merek, sehingga tercipta citra merek yang positif.
Meskipun konsumen berpartisipasi secara pasif, namun
unsur hiburan ini dapat mengikat pikiran dan emosi
konsumen secara aktif ke dalam video animasi yang
dibuat.
Gambar 5.13
Perspektif
Responden
Terhadap Produk
Sektor Animasi
Sektor Animasi
3 dari 4 hal berikut, manakah yang Anda rasakan selama berinteraksi dengan sebuah brand (merek) produk
atau layanan dalam sektor film (layar lebar, film pendek, sinteron, dokumenter, ftv dsb) dan animasi (ipinupin,
sopo jarwo, dsb) Anda boleh memilih lebih dari satu
64
SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF
Dari grafik di atas ditemukan sebuah gambaran menarik
mengenai sektor animasi, yaitu tempat konsumen
membeli produk animasi adalah dari toko online dan
teman/kerabat. Konsumen seringkali membeli produk
animasi dari teman/kerabat yang dapat membuat video
animasi atau mereka mendapatkan referensi dari teman/
kerabat mengenai penyedia layanan video animasi
kenalannya. Temuan ini menjadi sebuah arahan bagi
pelaku usaha animasi untuk menyediakan hiburan yang
sesuai dalam toko-toko online-nya. Selain itu, pelaku
usaha kreatif juga harus menjaga hubungan dengan
konsumennya layaknya teman/kerabat yang menghibur.
Dengan demikian dapat tercipta words of mouth.
Hiburan yang ditawarkan tentunya perlu sesuai dengan
jati diri setiap konsumen. Kesesuaian antara hiburan
dalam toko online dan pelaku menjaga hubungan dengan
konsumennya menjadi kunci sukses dari usaha di sektor
ini. Usaha yang semakin berkembang dapat menjadi
bukti dari eksekusi kegiatan pengembangan citra merek
sektor animasi yang sesuai.
Animasi memang merupakan salah satu bentuk hiburan
yang kerap dikonsumsi masyarakat saat ini. Hiburan
yang dikonsumsi oleh setiap konsumen berbeda-beda
tergantung preferensinya. Oleh karena itu, pelaku
usaha animasi perlu memahami perilaku dan jati diri dari
konsumen sehingga mengerti preferensi yang sesuai
dari konsumennya. Dengan menawarkan hiburan yang
berhubungan dengan jati diri konsumennya, pelaku
usaha animasi mampu membentuk citra mereknya
dengan kuat di benak konsumen.
Gambar 5.14
Alasan
Responden
Membeli Produk
Sektor Animasi
Gambar 5.15
Tempat Pembelian
Produk Sektor
Animasi
65
SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF
Sektor Aplikasi
Gambar 5.16
Perspektif Responden
terhadap Produk
Sektor Aplikasi
3 dari 4 hal berikut, manakah yang Anda rasakan selama berinteraksi dengan sebuah brand (merek) produk
atau layanan dalam sektor aplikasi dan pengembangan permainan (software, mobile apps, games dsb)
Sesuai dengan gambaran dari grafik di atas, upaya
memberikan pengetahuan baru untuk sektor aplikasi
merupakan hal yang penting. Dominasi atas atribut
informasi yang edukatif ini ditemukan juga pada sektor
kuliner, kriya, dan fashion. Tersedianya informasi-
informasi menarik seputar produk aplikasi yang diberikan
kepada konsumen dapat menciptakan citra merek yang
kuat.
Proses penciptaan produk aplikasi yang kompleks
menjadi menarik untuk dieksplorasi. Perilaku masyarakat
yang semakin digitally-savvy menjadikan ketertarikan
terhadap bidang ini meningkat. Salah satu cara untuk
menyampaikan fakta menarik mengenai aplikasi dapat
dilakukan melalui media yang dapat diserap secara pasif
seperti infografik, video, artikel, dan lainnya. Selain itu,
pelaku juga dapat menyampaikan edukasi mengenai
aplikasi melalui pelatihan yang melibatkan konsumen
untuk mencoba langsung.
66
SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF
Gambar 5.17
Alasan Responden
Membeli Produk
Sektor Aplikasi
Berikan nilai dari 1 (sangat tidak setuju) hingga 5 (sangat setuju) untuk pertanyaan berikut:
Berbeda dengan sektor-sektor lainnya, konsumen
memilih produk aplikasi karena dirasa memiliki kesamaan
karakterisik. Aplikasi yang mampu mendukung
konsumen dalam menjalani gaya hidupnya atau sesuai
dengan perilakunya adalah yang menjadi pilihan
konsumen. Dengan kata lain, sisi fungsional aplikasi yang
memiliki kesamaan karakteristik dengan konsumennya
menjadi sangat penting. Lebih lagi jika didukung dengan
pengetahuan baru yang ditawarkan sesuai dengan gaya
hidup serta karakteristik perilaku konsumen. Ini semua
dapat membentuk citra merek yang kuat.
67
SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF
Elemen digital dan aplikasi merupakan satu kesatuan yang
tidak bisa dipisahkan. Oleh karena itu, sebagian besar
konsumen membeli produk aplikasi melalui platform/
toko online. Pengetahuan akan hal ini dapat membantu
pelaku usaha aplikasi memaksimalkan presensi digitalnya,
khususnya di platform/toko online. Informasi edukatif
yang sesuai dengan gaya hidup dan perilaku konsumen
menjadi salah satu unsur yang perlu ada dalam platform/
toko online. Hal tersebut akan berimplikasi pada
pembentukan citra merek yang positif sehingga dapat
membantu berkembangnya usaha sektor aplikasi.
Gambar 5.18
Tempat
Pembelian
Produk Sektor
Aplikasi
68
STRATEGI PENGEMBANGAN CITRA MEREK PRODUK KREATIF
68
SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF
KE
ND
AL
A P
EL
AK
U
IND
US
TR
I D
AN
HA
RA
PA
N
TE
RH
AD
AP
PE
ME
RIN
TA
H
69
STRATEGI PENGEMBANGAN CITRA MEREK PRODUK KREATIF
69
SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF
70
71
73
74
75
76
77
78
79
80
KUPANG
PALEMBANG
JAKARTA
MAKASSAR
AMBON
MANADO
SEMARANG
SURABAYA
MEDAN
BANDUNG
70
SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF
Kendala-kendala yang menonjol dalam pengembangan
citra merek yang teridentifikasi melalui penggalian
dalam FGD di Kupang, antara lain adalah:
1. Salah satu kendala yang ditemui adalah kesulitan dalam
pembentukan citra merek yang positif dan kredibilitas
yang baik. Hal ini disebabkan oleh: (1) pengetahuan
yang terbatas tentang pentingnya merek, dan (2)
kesulitan mendapatkan nomer B-POM untuk produk
kuliner. Salah satu pelaku usaha di sektor kuliner yang
telah menjalankan usaha keripik selama tiga tahun
belum memiliki nama merek. Keripik yang hanya
dikemas dengan plastik didistribusikan langsung ke
rekan-rekan perkantorannya untuk dijadikan cemilan
sambil bekerja. Tidak adanya nama merek menjadikan
proses mendapatkan nomer B-POM menjadi semakin
sulit.
2. Pembentukan citra merek yang kuat dan positif
memerlukan pengalaman positif selama proses
konsumsi suatu produk/jasa. Salah satu cara
membentuk pengalaman konsumsi yang positif
adalah melalui pemberian produk/jasa yang superior.
Berdasarkan hal tersebut, fasilitas yang mendukung
diperlukan. Kendala ditemukan dalam hal ini. Fasilitas
seperti mic condenser bagi studio di sektor musik,
tempat khusus wisata sasando bagi pelaku usaha
sasando, dukungan software serta komputer dengan
spesifikasi tinggi bagi sektor animasi, dan tempat
penyimpanan bagi sektor kriya, sangat diperlukan.
3. Kendala lain yang ditemukan adalah para pelaku
masih belum dapat mengomunikasikan pembeda
(diferensiasi) dari merek yang dikembangkan. Hal ini
menjadikan citra yang tercemin dari merek tersebut
menjadi serupa dengan pesaing di pasar, sehingga
persaingan semakin ketat dan berpengaruh secara
signifikan terhadap para pelaku usaha.
4. Kendala pembuatan hak paten juga ditemukan oleh
salah satu pelaku usaha di sektor musik. Inovasi
yang cukup unik yang diciptakan oleh pelaku usaha
tersebut. Untuk memperkuat citra mereknya, pelaku
tersebut perlu mematenkan inovasi yang dilakukan.
Dengan demikian, asosiasi citra merek alat musik
yang inovatif hanya melekat pada merek yang dimiliki.
Jika pembuatan hak paten ini tidak dilakukan, inovasi
yang diciptakan dapat diambil pesaing, sehingga citra
merek produk musik inovatif yang terbentuk akan
melekat pada pesaing tersebut.
5. Terdapat juga kendala mengenai pengetahuan
terhadap brand management. Kurangnya pemahaman
pelaku terhadap ilmu ini membuat pelaku kesulitan
menciptakan inovasi ataupun menentukan pasar
yang sesuai dengan mereknya.
6. Selain itu, kegiatan inovasi produk juga terhambat
karena sumber daya manusia yang terbatas. Kegiatan
inovasi yang terlambat akan berpengaruh pada
pembentukan citra merek pula.
Kendala-kendala dalam Mengembangan Citra Merek
Pembangunan citra merek mencakup banyak
pengembangan identitas merek melalui berbagai
elemen pendukung, seperti atribut produk, komunikasi
pemasaran merek, inovasi produk, sistem operasi
bisnis, hak paten, dan yang lainnya. Beberapa elemen
pendukung di atas masih memiliki kendala yang dirasakan
oleh pelaku usaha industri kreatif di Kupang. Sesuai
dengan kendala-kendala yang muncul di lapangan,
usulan yang diberikan kepada pihak pemerintah tidak
jauh dari kategori yang disebutkan. Berikut adalah usulan-
usulan yang muncul:
1. Bantuan dalam penyediaan fasilitas pelengkap seperti
tempat wisata khusus sasando, hardware & software,
mic conderser, dll.
2. Penghargaan terhadap para pelaku usaha di
sektor musik. Penghargaan yang dimaksud adalah
pembuatan acara-acara musik bagi pelaku usaha,
standar honor bagi para pemain musik, serta
memberikan kesempatan bagi pelaku musik untuk
terlibat dalam suatu acara.
3. Selalu dekat dengan para pelaku usaha sehingga
mengerti apa yang dibutuhkan oleh para pelaku
usaha, antara lain fasilitas, sumber daya manusia,
modal, akses pasar, atau yang lainnya.
4. Memudahkan pembuatan izin usaha.
Usulan Kepada Pemerintah untuk Memudahkan Pengembangan Citra Merek
71
SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF
Kendala-kendala dalam Mengembangan Citra Merek
Kendala-kendala yang menonjol dalam pengembangan
citra merek yang teridentifikasi melalui penggalian dalam
FGD di Palembang antara lain adalah:
1. Para pelaku masih belum dapat mengomunikasikan
pembeda (diferensiasi) dari merek yang
dikembangkan. Hal ini menjadikan citra yang
tercemin dari merek tersebut menjadi serupa dengan
pesaing di pasar. Selain itu, dari sisi konsumen,
perceived value menjadi rendah sehingga penawaran
harga jasa yang diberikan kepada konsumen menjadi
rendah. Padahal, masyarakat Palembang yang
memiliki kemampuan seni visual yang baik sangat
jarang.
2. Proses inovasi produk yang dapat memperkuat
citra merek terhambat oleh kurangnya informasi
mengenai bahan baku. Hal ini dialami oleh pelaku di
sektor fashion. Kurangnya informasi inovasi bahan-
bahan baru menjadikan progress inovasi yang
dilakukan cenderung terhambat. Ketika pelaku
memiliki ide inovasi produk, yang bersangkutan
merasa tidak ada arahan kemana ia harus mencari
bahan baku. Hal ini menjadikan realisasi inovasi tidak
terjadi dengan cepat. Selain itu, kendala tenaga kerja
dalam rangka memenuhi permintaan juga masih
dirasakan oleh para pelaku.
3. Menciptakan citra merek yang kuat perlu didukung
dengan sistem operasi bisnis yang berjalan lancar
sesuai dengan ekspektasi konsumen. Hal ini
dikarenakan sistem operasi yang baik akan menjaga
kualitas produk dan janji yang ditawarkan oleh
sebuah merek sehingga tercipta citra merek yang
positif. Akan tetapi, kurangnya pengetahuan akan
brand management menjadikan para pelaku usaha di
Palembang mengalami kesulitan mengembangkan
citra merek yang kuat. Hal ini dialami oleh sektor
kuliner. Pelaku merasa kesulitan dalam membentuk
sistem yang stabil, khususnya apabila ingin ekspansi
usaha. Kebutuhan untuk mempelajari sistem yang
stabil dan berkelanjutan dirasa penting oleh pelaku
usaha di sektor kuliner ini. Hal ini dikarenakan
persepsi pelaku yang percaya bahwa sistem yang
baik dapat membuat usaha terus bertahan dan dapat
membuat pelaku bekerja dengan baik.
72
SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF
Usulan atau feedback kepada pemerintah yang mencuat
dari FGD citra merek di Palembang secara garis besar
adalah bantuan exposure dan pengetahuan. Pelaku
merasa bahwa bantuan pemerintah untuk menyebarkan
eksistensi merek mereka dapat memperkuat citra
merek yang dimiliki sehingga meningkatkan kredibilitas
mereka. Hal ini tentu pada akhirnya dapat membantu
pertumbuhan bisnis. Contoh konkrit dari hal ini adalah
bantuan promosi dan pemasaran.
Selain itu, pengetahuan mengenai brand management
juga diharapkan dapat diberikan oleh pemerintah kepada
pelaku usaha. Hal ini karena para pelaku sadar akan
pentingnya pengelolaan sistem operasi bisnis yang dapat
mendukung pembentukan citra merek. Contoh konkrit
dari hal ini adalah pelatihan mengenai sistem operasi
bisnis dan pelatihan cara menghasilkan ide-ide baru.
Usulan Kepada Pemerintah untuk MemudahkanPengembangan Citra Merek
73
SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF
Sebagai pelaku UMKM industri kreatif, para peserta FGD
menghadapi beberapa kendala dalam mengembangkan
citra merek produk mereka. Hambatan yang cukup
menonjol antara lain adalah:
1. Salah satu media untuk mengkomunikasikan citra
merek adalah melalui packaging produk. Namun,
terdapat kendala yang dialami peserta dari sektor kriya
dalam membuat kemasan produk mainan mereka.
Awalnya, mereka menggunakan kemasan berupa
plastik Polyolefin (POF) shrink film yang mudah rusak.
Akan tetapi, setelah mereka menggunakan boks,
kemasan ini pun masih mudah dibuka (terutama oleh
anak-anak) sehingga terkadang mainan di dalamnya
juga rusak.
2. Saat mengikuti acara pameran atau bazaar, stand
pameran yang disediakan umumnya tidak dapat
mengakomodasi kebutuhan untuk menunjukkan
citra merek produk mereka karena luas stand yang
terbatas. Pelaku usaha di bidang fashion, misalnya,
tidak dapat mengundang pembatik untuk langsung
mendemonstrasikan pembuatan motif batik, yang
umumnya dapat menarik perhatian wisatawan asing.
Lokasi stand yang disediakan juga umumnya tidak
terletak di tempat yang ramai, sehingga merek dan
produk mereka tidak terekspos dengan maksimal.
Harga penyewaan stand pameran pun dirasakan
cukup mahal, dan prosedur pendaftaran pameran
masih dirasakan sangat rumit dan birokratif.
3. Beberapa pelaku telah menggunakan jasa
pembuatan logo merek dan konsultasi branding,
tetapi umumnya biaya yang harus dibayar untuk jasa
tersebut cukup mahal.
4. Pelaku dari sektor kriya sudah membuat video online
tentang merek dan produk mereka, tetapi mereka
masih mengalami kesulitan untuk menyampaikan
pesan lewat media tersebut secara singkat, menarik,
dan efektif.
Kendala-kendala dalam Mengembangan Citra Merek
Usulan Kepada Pemerintah untuk Memudahkan Pengembangan Citra Merek
Berkaitan dengan hambatan-hambatan tersebut, muncul
beberapa saran untuk meningkatkan kemudahan pelaku
usaha industri kreatif dalam mengembangkan citra
mereknya, antara lain:
1. Pelatihan branding dan pembuatan kemasan produk.
2. Pelatihan pembuatan video online untuk
menyampaikan pesan merek dan produk secara
menarik, singkat, dan efektif.
3. Penguatan sosialisasi kegiatan pameran dan
pembenahan prosedur pendaftaran keikutsertaan
dalam pameran menjadi lebih mudah dan tidak
birokratif.
4. Penempatan lokasi pameran dan stand yang lebih
tepat. Stand UKM produk kreatif lokal dan nasional
seharusnya ditempatkan di lokasi yang ramai (di
bagian depan), bukan di paling belakang atau ujung.
5. Pembenahan aspek legalitas, misalnya dalam
perizinan usaha (SIUP dan TDP). Koordinasi antara
lembaga terkait harus ditingkatkan, jangan sampai
ada perbedaan informasi dari lembaga yang berbeda.
6. Penguatan sistem database yang handal tentang
pelaku industri kreatif, yang dapat dimanfaatkan
terus menerus walaupun terjadi pergantian pejabat
pemerintahan.
7. Perhatian khusus kepada dunia teater, khususnya
bagaimana meningkatkan minat masyarakat untuk
menonton teater.
74
SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF
Kendala-kendala yang menonjol dalam pengembangan
citra merek yang teridentifikasi melalui penggalian dalam
FGD di Makassar antara lain adalah:
1. Seorang pelaku usaha kuliner, yaitu produsen
kerupuk dan minuman dari rumput laut, menemukan
bahwa saat ia mendaftarkan merek produknya, nama
merek yang diusulkan telah dipakai produk lain.
Ia sekarang masih mencari nama yang pas. Pelaku
usaha kuliner lainnya (produsen minuman jahe)
sudah pernah mendaftarkan merek produknya,
tetapi sampai sekarang masih belum tuntas. Dari
sektor kriya, seorang pembuat tas rajut juga telah
mendaftarkan HKI untuk produknya kira-kira setahun
yang lalu, tetapi juga belum tuntas sampai sekarang.
Kemudahan dalam mendaftarkan HKI ini menjadi
salah satu cara untuk membentuk citra merek yang
kuat.
2. Pelaku usaha kuliner dengan produk makanan sehat
pendamping ASI untuk bayi merasakan bahwa
masyarakat luas di Makassar masih belum teredukasi
dengan baik mengenai pentingnya makanan
sehat homemade pendamping ASI. Selain itu, ia
merasakan kendala dalam
aspek kemasan. Ia masih
menggunakan kemasan plastik.
Ia ingin menggunakan kemasan
yang bebas BPA (Bisphenol-A),
agar dapat masuk microwave,
namun harganya cukup mahal dan
ketersediaan di pasar juga sedikit.
Memberikan kemasan produk
yang menarik dan fungsional
juga dapat berkontribusi dalam
pembentukan citra merek.
3. Pelaku usaha kriya dengan produk tas rajut mengalami
hambatan dalam mendapatkan bahan baku. Misalnya,
benang yang ia peroleh didapatkan dari Surabaya.
Belum ada bahan baku yang sesuai standarnya yang
dapat ia peroleh dari Makassar atau sekitarnya.
Kesulitan mencari bahan baku ini berhubungan
dengan konsistensi pelayanan atau kualitas dan dapat
berpengaruh terhadap kredibilitas merek. Padahal,
kredibilitas merupakan salah satu elemen yang
membentuk citra merek dalam benak konsumen.
4. Produsen tas rajut tersebut juga mengalami kesulitan
untuk membuat logo merek yang dapat ditempel di
badan tasnya. Ia belum menemukan pihak di Makassar
yang dapat membuat logo dengan persyaratan
tersebut.
5. Para pelaku sektor aplikasi merasa bahwa masyarakat
luas, termasuk instansi pemerintah dan perusahaan,
masih menganggap bahwa pembuatan aplikasi
sangat mahal. Mereka juga merasa tertantang untuk
mengedukasi khalayak luas tentang pentingnya
produk-produk aplikasi dan software.
6. Pelaku usaha dari sektor fashion (mode, busana)
dengan produk kaus, merasakan adanya tantangan
untuk mengembangkan suasana toko atau tempat
penjualan agar sesuai dengan karakter produknya.
Kendala-kendala dalam Mengembangan Citra Merek
75
SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF
Usulan Kepada Pemerintah untuk Memudahkan Pengembangan Citra Merek
Usulan atau feedback kepada pemerintah mencuat dari
FGD citra merek di Makassar, antara lain adalah:
1. Instansi pemerintah pusat dan daerah yang
melaksanakan program atau kegiatan pengembangan
untuk pelaku industri kreatif diharapkan dapat terus
mengoptimalkan efektivitas program-program
pengembangan tersebut.
2. Pelaku usaha sektor aplikasi menyarankan agar
pemerintah melindungi merek lokal di sektor
aplikasi dan juga keterlibatan stakeholders dalam
pengembangan merek sektor aplikasi, misalnya dari
universitas.
Para peserta FGD di Ambon mengemukakan beberapa
kendala berikut dalam pembentukan citra merek:
1. Keterampilan dan kualitas SDM yang masih kurang.
2. Masalah kemasan (packaging). Hal ini diutarakan oleh
sektor kuliner.
3. Belum adanya konsep branding dan promosi yang
cocok dan inovatif. Hal ini dikemukakan oleh sektor
animasi.
4. Dari sektor aplikasi, kendala utama adalah banyaknya
kalangan konsumen target (guru-guru) yang belum
paham dengan teknologi informasi. Walaupun
interaksi dan promosi di sekolah sudah dilakukan,
konsumen masih bingung dalam menggunakan
aplikasi.
Kendala-kendala dalam Mengembangan Citra Merek
Usulan Kepada Pemerintah untuk Memudahkan Pengembangan Citra Merek
Peserta dari sektor kriya berharap agar pemerintah
semakin mendukung pengembangan citra merek
industri kreatif, salah satunya dengan memfasilitasi
produk-produk dalam negeri tampil secara lebih intensif
dalam berbagai kegiatan dan forum. Hal senada juga
diutarakan oleh peserta dari sektor musik. Menurut beliau,
selama ini pelaku industri kreatif sudah difasilitasi oleh
pemerintah dengan cukup baik, tetapi kegiatan untuk
mendorong merek merek dalam negeri agar dikenal
luas oleh masyarakat perlu untuk tetap dilaksanakan.
Pengembangan citra berbasis komunitas ditekankan
dengan menyoroti produk-produk khas Ambon, seperti
makanan khas dan tarian khas.
Peserta dari sektor animasi secara khusus menyoroti
kegiatan-kegiatan promosi yang telah dilakukan
pemerintah. Secara umum, kegiatan-kegiatan yang telah
berjalan cukup banyak dan variatif, tetapi dari sisi konsep
dibutuhkan konsep promosi dan branding yang lebih
cocok dan inovatif.
Selain itu, salah satu peserta dari sektor kuliner ingin
mendapatkan bantuan untuk mendapatkan kemasan
berlabel dan sertifikat halal.
76
SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF
Kendala-kendala dalam Mengembangan Citra Merek
Dalam usaha membangun citra merek, para pelaku usaha
kreatif di Manado mengalami hambatan-hambatan
berikut:
1. Peserta di sektor aplikasi merasakan bahwa
masyarakat, khususnya pengusaha kecil dan
menengah, masih belum memahami betapa aplikasi
dapat membantu banyak kegiatan usaha mereka.
Pola pikir “untuk apa membayar aplikasi, sedangkan
pekerjaan masih dapat dikerjakan oleh orang”
masih digunakan di kalangan ini. Dengan demikian,
pengusaha aplikasi cukup sulit untuk mendapatkan
konsumen dari kalangan ini. Hal ini merupakan
implikasi dari pengetahuan branding yang belum
mendalam, sehingga pelaku masih belum bisa
menyampaikan perceived value yang superior
dari diferensiasi yang diusungnya. Pada akhirnya,
konsumen tidak melihat produk yang ditawarkan
bernilai dan akhirnya tidak ingin membayar mahal.
Dengan pengetahuan branding yang baik, pelaku
akan mampu menciptakan citra merek yang baik
sehingga terbentuk perceived value yang tinggi di
benak konsumen.
2. Secara umum, semua peserta merasakan adanya
tumpang tindih masalah birokrasi dan kekurangan
koordinasi di antara dinas-dinas terkait dalam
mengimplementasikan kegiatan-kegiatan yang
relevan dengan usaha industri kreatif.
Usulan Kepada Pemerintah untuk Memudahkan Pengembangan Citra Merek
Dari FGD di kota Manado, muncul usulan-usulan untuk
pemerintah sebagai berikut:
1. Dukungan yang lebih terfokus, terprogram, dan
berkesinambungan. Selama ini sudah ada berbagai
bentuk dukungan, tetapi masih dalam tahap bantuan
peralatan, misalnya laptop untuk pengembang
aplikasi. Dukungan lebih jauh yang lebih strategis
dirasakan sangat penting.
2. Harmonisasi badan-badan pemerintah terkait dalam
mengimplementasikan program pengembangan
industri kreatif.
3. Penunjukan partisipan pameran (expo) yang lebih
tepat sasaran dan transparan. Peningkatan efisiensi
dan efektifitas kegiatan pameran juga dirasakan
penting.
77
SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF
Kendala-kendala dalam Mengembangan Citra Merek
Terdapat beberapa kendala yang dialami pelaku UMKM
kreatif di kota Semarang dalam membangun citra
mereknya. Secara garis besar kendala tersebut terfokus
pada: (1) terbatasnya pengetahuan branding untuk
memenangkan persaingan dan mengedukasi pasar,
dan (2) inkonsistensi kualitas produk yang disebabkan
sumber daya manusia ataupun operasi bisnis yang tidak
berkelanjutan. Berikut adalah penjabarannya:
1. Persaingan global pasar aplikasi dan game
developer di dalam app store menjadikan pelaku
membutuhkan dana untuk pemasaran yang besar.
Hal ini dibutuhkan untuk dapat bersaing secara
seimbang dengan pesaing-pesaing di level global.
Pemasaran ini menjadi penting karena mereka
membutuhkan user yang banyak untuk dapat
menarik klien memasang iklan yang menjadi
sumber utama pemasukannya.
2. Terdapat kesulitan bagi pelaku
fashion dalam mengatasi
asosiasi konsumen terhadap
produk kulit. Banyak
beredarnya produk kulit
tidak asli di pasaran
menjadikan konsumen
ragu membeli produk
kulit dengan harga yang
mahal. Hal ini terjadi
akibat proses edukasi kualitas produk melalui
komunikasi yang tidak tepat.
3. Permasalahan SDM juga masih ditemukan di kota
Semarang. Banyak pelaku yang merasa kesulitan
mendapatkan sumber daya manusia yang kompeten.
Di sisi lain, ketika mendapatkan sumber daya manusia
yang cukup baik, mereka meminta upah yang sangat
tinggi. Hal ini berpengaruh pada kualitas produk
yang tidak konsisten.
4. Terdapat kesulitan lain untuk menjaga kualitas
produk untuk tetap konsisten. Hal ini dialami oleh
salah satu pelaku kuliner kerupuk kedelai. Karena
memanfaatkan panas matahari untuk produksi, ketika
musim penghujan tiba pelaku mengalami kesulitan
untuk menjaga kualitasnya. Hal ini terkendala karena
tidak adanya inovasi proses bisnis yang lebih
berkelanjutan.
Usulan Kepada Pemerintah untuk Memudahkan Pengembangan Citra Merek
Usulan atau feedback kepada pemerintah mencuat dari FGD citra merek di Semarang
antara lain adalah:
1. Kemudahan mengakses bantuan pembiayaan dari lembaga finansial, misalnya bank.
2. Wadah usaha dibutuhkan untuk mengelompokkan UMKM agar dapat saling bersaing
dengan kelompoknya sendiri, bukan dengan global corporate. Harapannya adalah
agar sumber daya dan kreativitas di Indonesia semakin berkembang.
78
SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF
Kendala-kendala dalam Mengembangan Citra Merek
Kendala yang dialami oleh para pelaku UMKM kreatif di
Surabaya masih serupa dengan kota lainnya. Pengetahuan
branding dan komunikasi, akses pasar, sumber daya
manusia dan birokrasi pengajuan HKI merupakan
kendala-kendala yang dialami. Berikut penjabarannya:
1. Pasar yang masih belum merasa membutuhkan
produk animasi. Hal ini menjadi tantangan
tersendiri bagi pelaku UMKM kreatif animasi
untuk mengedukasi pasar dan membangkitkan
kesadaran mengenai kebutuhan akan produk
animasi. Pemahaman mengenai konsep branding
yang berorientasi pada consumer behavior menjadi
penting.
2. Kendala yang ditemukan lainnya adalah akses
pasar. Dalam konteks pelaku UMKM kreatif aplikasi,
akses pasar menjadi penting untuk membangun
portofolio. Merek produk aplikasi akan menjadi kuat
apabila didukung dengan kredibilitas portofolio
yang dimiliki. Kemudahan mengakses pasar dapat
membantu pelaku untuk mengasah kemampuannya
bersamaan dengan memperbanyak portofolio.
3. Apresiasi konsumen yang rendah terhadap produk
batik. Banyaknya produk batik dengan harga murah
yang dijual di pasaran menjadikan pelaku UMKM
kreatif fashion batik kesulitan menjual produknya.
Proses membatik secara manual yang tidak mudah
merupakan salah satu unsur yang mempengaruhi
harga. Namun, hal ini luput dari mata konsumen.
Karena itu kemampuan komunikasi edukasi yang
tepat mengenai kualitas dari produk yang ditawarkan
menjadi penting.
4. Permasalahan SDM masih dialami oleh pelaku
UMKM kreatif di Surabaya. Hal ini mempengaruhi
tingkat kualitas pelayanan kepada konsumen dan
konsistensi kualitas produknya itu sendiri.
5. Terdapat permasalahan mengenai proses pengajuan
HKI. Sosialisasi mengenai peraturan-peraturan terkait
HKI perlu dilakukan secara lebih gencar sehingga
para pelaku usaha memiliki ekspektasi terhadap
bagaimana proses mengajukan HKI.
Usulan Kepada Pemerintah untuk Memudahkan Pengembangan Citra Merek
Usulan atau feedback kepada pemerintah mencuat dari
FGD citra merek di Surabaya antara lain adalah:
1. Bantuan dalam pendaftaran merek dan pengajuan
HKI.
2. Pelatihan mengenai branding dan/atau brand
management.
3. Sarana publikasi produk kreatif yang gencar untuk
menunjang penyebaran reputasi merek produk
kreatif kepada khalayak.
79
SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF
Kendala-kendala dalam Mengembangan Citra Merek
Dalam melaksanakan pembangunan citra merek, para
pelaku industri kreatif di Medan menemui kendala-
kendala seperti berikut ini:
1. Pelaku UMKM animasi merasakan hambatan dalam
hal kepercayaan kualitas layanan. Para pelaku
memiliki keahlian yang setara dengan pelaku di
kota-kota besar lainnya seperti Jakarta, namun
konsumen lebih mempercayai jasa yang ditawarkan
oleh pelaku dari ibu kota. Hal ini merupakan implikasi
kurangnya kemampuan merumuskan diferensiasi
dan mengomunikasikannya dengan tepat kepada
konsumen, sehingga citra merek yang tertanam
kalah kuat dengan citra merek pesaing.
2. Kesempatan membuka stand di pameran memiliki
perbandingan yang tidak seimbang dengan
peminatnya. Selain itu, pemilihan peserta pameran
secara acak menjadikan kesempatan ini semakin sulit
didapatkan. Padahal, pameran merupakan wadah
untuk memperkuat citra merek.
3. Birokrasi pembuatan HKI yang rumit dan memakan
waktu lama menjadikan pelaku memiliki keinginan
yang rendah untuk mendaftarkan merek mereka.
4. Dirasakannya apresiasi yang rendah dari konsumen
Medan dan sekitarnya terhadap produk kreatif.
Oleh karena itu, pelaku perlu memiliki pemahaman
konsep branding yang mampu menumbuhkan minat
konsumen terhadap suatu produk.
Dengan paparan di atas, konsumen di Medan memiliki
karakteristik yang kuat dan khas, yaitu lebih condong
kepada kiblat tren di Jawa (khususnya, Jakarta), dan
mempunyai preferensi konsumsi produk kreatif yang
sangat rendah, di mana umumnya masih lebih memilih
mengumpulkan aset kekayaan secara konkrit.
Usulan Kepada Pemerintah untuk Memudahkan Pengembangan Citra Merek
Usulan atau feedback kepada pemerintah mencuat dari
FGD citra merek di Medan antara lain adalah:
1. Pendampingan kepada rekan-rakan UMKM lain yang
lebih kecil dan belum terjangkau dapat dilakukan
secara lebih fokus sehingga nantinya betul-betul
dapat berdiri di atas kekuatan mereka sendiri.
2. Upaya peningkatan apresiasi seni dari warga Medan,
seperti halnya penduduk di kota lain di Jawa.
3. Pelatihan pendaftaran merek dan HKI untuk
memberikan kekuatan merek dari citra yang ingin
diwujudkan.
4. Wadah atau forum untuk menaungi pelaku sektor
animasi dan aplikasi untuk mendapatkan pembinaan
oleh dinas yang ada di wilayah kota dan provinsi.
80
SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF
Terdapat beberapa kendala yang dialami oleh masing-
masing pelaku UMKM kreatif. Berikut adalah hambatan-
hambatan yang dialami oleh para pelaku di Bandung,
yaitu:
1. Pelaku UMKM kreatif di sektor-sektor yang kental
akan unsur tradisional merasakan rendahnya
apresiasi pelanggan terhadap nilai-nilai budaya
yang ditawarkan, sehingga terjadi pembayaran
yang tidak sesuai dengan usaha yang dikeluarkan
pelaku usaha. Mereka menganggap pihak luar
negeri lebih mengerti akan hasil produk kreatif lokal
Indonesia dibandingkan orang Indonesia. Selain
bantuan edukasi dari pemerintah, pelaku juga perlu
memahami konsep komunikasi edukasi yang tepat
sehingga dapat membentuk persepsi atau citra yang
diinginkan.
2. Pembangunan citra merek sektor animasi
membutuhkan biaya dan dukungan yang sangat
besar, khususnya produk-produk yang khas dari
dalam perusahaan, bukan hanya memberikan jasa
pembuatan kepada klien ekternal. Hal tersebut
dikarenakan produksi yang memakan biaya besar
dan juga kandungan kekayaan intelektual.
3. Pelaku UMKM sektor aplikasi merasakan kendala
dalam hal kegiatan operasional yang terhambat oleh
birokrasi yang dimiliki masing-masing klien. Hal ini
membutuhkan pemahaman mengenai relationship
marketing sehingga pelaku dapat memberikan
masukan-masukan kepada klien dengan menjaga
hubungan tetap baik. Keberhasilan menciptakan
hubungan yang baik dengan klien dapat membentuk
citra merek yang positif.
Kendala-kendala dalam Mengembangan Citra Merek
Usulan Kepada Pemerintah untuk MemudahkanPengembangan Citra Merek
Selain terdapat hambatan yang dialami, pelaku juga
memiliki usulan atau saran kepada pemerintah dalam
membantu mereka mengembangkan mereknya. Berikut
adalah penjabarannya:
1. Semua program pemerintah diharapkan
berkelanjutan sampai mencapai suatu indikator
tertentu. Pelaku merasa perlunya bimbingan dan
evaluasi setelah pelatihan yang diberikan. Mereka
ingin dapat menjual produknya hingga ke pasar
global. Karena itu, mereka mengharapkan program
pemerintah yang dapat membimbing mereka
mencapai hal tersebut.
2. Perlunya ekosistem yang mendukung sebuah studio
yang dapat menelurkan karya intellectual property,
seperti yang dilakukan oleh pemerintah Malaysia.
Pelaku dari sektor animasi yang telah berkesempatan
menimba ilmu di Malaysia mempelajari sejarah
produk animasi unggulan Malaysia, seperti “Upin
Ipin”. Animasi itu sangat didukung oleh pemerintah
dan mendapatkan apresiasi baik dari ekosistem yang
terbentuk.
83
SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF
Kesimpulan
Analisis FGD, in-depth interview, dan survei konsumen
menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa proses
pengembangan citra merek yang dilakukan pelaku
industri kreatif terbagi menjadi 2 hal utama, yaitu
kemampuan mendefinisikan citra merek produk itu
sendiri dan bagaimana memperoleh Hak Kekayaan
Intelektual (HKI) merek yang telah diciptakan.
Kemampuan mendefinisikan citra merek yang dimaksud
adalah kemampuan teknis, antara lain kemampuan
khusus di bidang grafis untuk mendesain logo merek
dan video profil produk, maupun nonteknis, misalnya
desain pesan (konten) yang ingin disampaikan kepada
konsumen. Semakin menarik desain logo dan video
yang dibuat, serta juga pesan yang disampaikan, semakin
banyak orang yang tertarik untuk berkenalan dengan
merek yang dibuat. Hal ini akan memperkuat citra merek
produk kreatif.
Dalam hal HKI, banyak pelaku industri kreatif yang
mengalami kesulitan dalam mendapatkan/mendaftarkan
merek mereka ke institusi resmi, yaitu Direktorat
Jenderal Hak Atas Kekayaan Intelektual (Dirjen HAKI).
Tanpa adanya HKI, secara tidak langsung citra merek
akan terpengaruhi. Konsumen akan cenderung memilih
produk kreatif yang mempunyai HKI, karena dianggap
mempunyai orisinalitas dan nilai tambah.
Dari permasalahan yang teridentifikasi dalam hal
keterbatasan kemampuan dalam mendefinisikan citra
merek dan kesulitan mendaftarkan HKI, diperlukan
peran serta berbagai pihak yang terlibat dalam lingkaran
ekonomi kreatif di Indonesia. Bekraf dapat mengambil
peran utama melalui pelatihan terprogram dalam
meningkatkan kemampuan pelaku industri kreatif dalam
mengembangkan citra merek. Selain itu, informasi dan
panduan mengenai pendaftaran HKI juga merupakan
hal penting yang tidak bisa ditinggalkan, baik melalui
dukungan teknis maupun nonteknis.
Kesimpulan dan usulan di atas diharapkan dapat
berkontribusi dalam penguatan citra merek produk
kreatif nasional di masa yang akan datang.
85
SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF
Buku snapshot ini merupakan kontribusi tim penulis dalam
menggambarkan pengembangan citra merek produk
kreatif di Indonesia. Dengan adanya keterbatasan teknis dan
nonteknis, tentunya masih terdapat kekurangan dalam buku
ini. Beberapa hambatan dan harapan dari pelaku industri
kreatif mungkin belum teridentifikasi dalam penelitian ini
karena belum sempurnanya metode dan pelaksanaannya
di lapangan. Namun demikian, diharapkan penelitian ini
dapat mewakili suara para pelaku industri kreatif. Penyusun
berharap para pembaca dapat memberikan kritik dan
saran yang membangun mengenai penelitian dan laporan.
Ucapan terima kasih tidak lupa penyusun sampaikan
kepada Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) sebagai pemangku
kepentingan ekonomi kreatif Indonesia, Pemerintah Daerah
(Pemda) yang telah memberikan informasi mengenai
perkembangan dan strategi produk kreatif di daerah, pelaku
industri kreatif di berbagai sektor yang telah memberikan
informasi yang penyusun butuhkan, dan konsumen produk
kreatif di Indonesia yang telah memberikan pendapat
mereka terhadap produk kreatif. Semoga buku snapshot
ini berguna bagi para pembaca dan siapapun yang
membutuhkan gambaran mengenai citra merek produk
kreatif nasional dan perspektif konsumen produk kreatif
secara umum.
Penutup
86
SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF
Daftar Pustaka
Pine, B. J., & Gilmore, J. H. (2011). The experience
economy: Harvard Business Press.
Data Statistik dan Hasil Survei Ekonomi Kreatif.
(2017).
Zulaikha, M. (2016). Membangun Komitmen untuk
Sektor Ekonomi Kreatif. Retrieved from http://www.
Bekraf.go.id/berita/page/10/membangun-komitmen-
untuk-sektor-ekonomi-kreatif
Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2025.
(2008). Departmen Perdagangan Republik Indonesia.
Banks, M., & O’Connor, J. (2009). After the creative
industries. International Journal of Cultural Policy, 15(4),
365-373. doi:10.1080/10286630902989027
Berthon, P., Ewing, M. T., & Napoli, J. (2008). Brand
management in small to medium‐sized enterprises.
Journal of Small Business Management, 46(1), 27-45.
Centeno, E., Hart, S., & Dinnie, K. (2013). The five phases
of SME brand-building. Journal of Brand Management,
20(6), 445-457.
Clare, K. (2012). The Essential Role of Place Within The
Creative Industries: Boundaries, Networks and Play.
Covin, J. G., & Miles, M. P. (1999). Corporate
entrepreneurship and the pursuit of competitive
advantage. Entrepreneurship: Theory and practice,
23(3), 47-47.
DCMS, U. (1998). Creative industries mapping
document. In: DCMS London.
Erenkol, H. A. D., & Öztaş, Y. B. B. (2015). Entrepreneurial
Brand.
Fahmi, F. Z., McCann, P., & Koster, S. (2015). Creative
economy policy in developing countries: The case
of Indonesia. Urban Studies, 54(6), 1367-1384.
doi:10.1177/0042098015620529
Florida, R. (2002). The Rise of Creative City.
Galloway, S., & Dunlop, S. (2007). A CRITIQUE
OF DEFINITIONS OF THE CULTURAL AND CREATIVE
INDUSTRIES IN PUBLIC POLICY. International
Journal of Cultural Policy, 13(1), 17-31.
doi:10.1080/10286630701201657
Garnham, N. (2005). From cultural to creative
industries. International Journal of Cultural Policy, 11(1),
15-29. doi:10.1080/10286630500067606
Kandampully, J., & Suhartanto, D. (2003). The Role of
Customer Satisfaction and Image in Gaining Customer
Loyalty in the Hotel Industry. Journal of Hospitality
& Leisure Marketing, 10(1-2), 3-25. doi:10.1300/
J150v10n01_02
Kong, L., Gibson, C., Khoo, L.-M., & Semple, A.-L.
(2006). Knowledges of the creative economy: Towards
a relational geography of diffusion and adaptation in
Asia. Asia Pacific Viewpoint, 47(2), 173-194. doi:10.1111/
j.1467-8373.2006.00313.x
Krake, F. B. (2005). Successful brand management
in SMEs: a new theory and practical hints. Journal of
Product & Brand Management, 14(4), 228-238.
Lahap, J., Ramli, N. S., Said, N. M., Radzi, S. M., & Zain,
R. A. (2015). A Study of Brand Image Towards Customer’s
Satisfaction in The Malaysian Hotel Industry.
Lee, S. Y., Florida, R., & Acs, Z. (2004). Creativity
and Entrepreneurship: A Regional Analysis of New
Firm Formation. Regional Studies, 38(8), 879-891.
doi:10.1080/0034340042000280910
Miles, I. (2012). SERVICES INNOVATION: COMING
OF AGE IN THE KNOWLEDGE-BASED ECONOMY. In
Innovation Management in the Knowledge Economy
(pp. 59-81): PUBLISHED BY IMPERIAL COLLEGE PRESS
AND DISTRIBUTED BY WORLD SCIENTIFIC PUBLISHING
CO.
O’Connor, J. (2000). The Definition of the ‘Cultural
Industries’.
O’Connor, J. (2015). Intermediaries and Imaginaries
in the Cultural and Creative Industries. Regional Studies,
49(3), 374-387. doi:10.1080/00343404.2012.748982
O’Connor, J., & Xin, G. (2006). A new modernity?
International Journal of Cultural Studies, 9(3), 271-283.
doi:10.1177/1367877906066874
87
SNAPSHOT CITRA MEREK PRODUK KREATIF
O’Connor, J. (2009). Creative industries: a new
direction? International Journal of Cultural Policy, 15(4),
387-402. doi:10.1080/10286630903049920
Pine, B. J., & Gilmore, J. H. (2011). The experience
economy: Harvard Business Press.
Rusiawan, W., Pamungkas, S. A., Hariwan, P., Wijayanti,
S. C., Pajriyah, A. N., Parasian, W., . . . Mafiroh, R. S. (2017).
Data Statistik dan Hasil Survei Ekonomi Kreatif. Jakarta:
Badan Ekonomi Kreatif.
Salim, F. F., & Dharmayanti, D. (2014). Pengaruh Brand
Image dan Perceived Quality Terhadap Kepuasan dan
Loyalitas Pelanggan Mobil Toyota di Surabaya.
Simarmata, B., & Adiwidjaja, A. (2011). The Alluring
Export Trade of Indonesia’s Creative Industry. Retrieved
February, 19, 2012.
So, K. K. F., King, C., Sparks, B. A., & Wang, Y. (2013).
The Influence of Customer Brand Identification on Hotel
Brand Evaluation and Loyalty Development.
Spence, M., & Hamzaoui Essoussi, L. (2010). SME
brand building and management: an exploratory study.
European Journal of Marketing, 44(7/8), 1037-1054.
UNDP. (2013). Creative Economy Report 2013 Special
Edition - Widening Local Development Pathways.
Utoyo, S., Rozama, N. A., & Wulandari, V. C. (2016).
Profil Usaha/Perusahaan Ekonomi Kreatif 2016. Jakarta:
Badan Pusat Statistik (BPS).
Yin Wong, H., & Merrilees, B. (2005). A brand
orientation typology for SMEs: a case research approach.
Journal of Product & Brand Management, 14(3), 155-162.
Zulaikha, M. (2016). Membangun Komitmen untuk
Sektor Ekonomi Kreatif. Retrieved from http://www.
bekraf.go.id/berita/page/10/membangun-komitmen-
untuk-sektor-ekonomi-kreatif