20
Strategi Advokasi Transnasional Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) untuk Mencegah Pelanggaran Hak Indigenous Peoples di Kabupaten Kepulauan Aru – Maluku – Indonesia dalam Rencana Pembangunan Industri Perkebunan Tebu (2010-2015) Anindita Nur Hidayah, Ani Widyani Soetjipto 1. Departemen Ilmu Hubungan Internasional, FISIP, Universitas Indonesia 2. Departemen Ilmu Hubungan Internasional, FISIP, Universitas Indonesia Email: [email protected] Email: [email protected] Abstrak Penelitian ini membahas jejaring advokasi transnasional yang dilakukan non-state actor dalam menyelesaikan konflik HAM yang muncul di dalam sebuah Negara. Dalam skripsi ini, penulis meneliti AMAN sebagai non-state actor di Indonesia dalam menyelesaikan pelanggaran hak yang dialami indigenous peoples Kepulauan Aru sebagai studi kasus. Dengan menggunakan Transnational Advocacy Network (TAN) dari Keck dan Sikkink sebagai model analisis, penulis berupaya menganalisis strategi advokasi transnasional yang dilakukan AMAN dalam melindungi dan menegakkan hak-hak indigenous peoples Kepulauan Aru. Hal ini dikarenakan terdapat investor yang memasuki wilayah hutan Aru yang merupakan wilayah adat indigenous peoples. Hasil penelitian menunjukkan bahwa AMAN sebagai non-state actor mampu membentuk jejaring transnasional sehingga memberikan tekanan kepada Pemerintah Indonesia dengan menggunakan 4 (empat) tipologi analisis taktik TAN, yaitu: information politics (politik informasi), symbolic politics (politik simbolik), leverage politics (politik pengaruh), dan accountability politics (politik tanggung jawab). Transnational Advocacy Network Strategy by Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) to Prevent Violation of Indigenous Peoples’ Rights in Kepulauan Aru – Maluku – Indonesia on Sugar Cane Industry Construction Planning (2010-2015) Abstract This study discussed transnational advocacy network on indigenous peoples’ rights. In this thesis, the writer analyzed AMAN as non-state actor in Indonesia and its advocacy to address human rights violation of indigenous peoples in Kabupaten Kepulauan Aru. Using Transnational Advocacy Network (TAN) of Keck and Sikkink as frame of thought, the writer analyzed the transnational advocacy conducted by AMAN to protect and maintain the rights of indigenous peoples in Kepulauan Aru. The finding of this study showed that AMAN as non-state actor is able to conduct a transnational network. AMANS succeed giving pressure to Indonesia government by using four typology of TAN tactics, which are: information politics, symbolic politics, leverage politics, and accountability politics. Keywords: indigenous peoples’ rights; TAN; strategy Strategi Advokasi ..., Anindita Nur Hidayah, FISIP UI, 2017

Strategi Advokasi Transnasional Aliansi Masyarakat Adat

  • Upload
    others

  • View
    27

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Strategi Advokasi Transnasional Aliansi Masyarakat Adat

Strategi Advokasi Transnasional Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) untuk Mencegah Pelanggaran Hak Indigenous Peoples di Kabupaten Kepulauan Aru – Maluku – Indonesia dalam Rencana Pembangunan Industri

Perkebunan Tebu (2010-2015)

Anindita Nur Hidayah, Ani Widyani Soetjipto

1. Departemen Ilmu Hubungan Internasional, FISIP, Universitas Indonesia 2. Departemen Ilmu Hubungan Internasional, FISIP, Universitas Indonesia

Email: [email protected]

Email: [email protected]

Abstrak

Penelitian ini membahas jejaring advokasi transnasional yang dilakukan non-state actor dalam menyelesaikan konflik HAM yang muncul di dalam sebuah Negara. Dalam skripsi ini, penulis meneliti AMAN sebagai non-state actor di Indonesia dalam menyelesaikan pelanggaran hak yang dialami indigenous peoples Kepulauan Aru sebagai studi kasus. Dengan menggunakan Transnational Advocacy Network (TAN) dari Keck dan Sikkink sebagai model analisis, penulis berupaya menganalisis strategi advokasi transnasional yang dilakukan AMAN dalam melindungi dan menegakkan hak-hak indigenous peoples Kepulauan Aru. Hal ini dikarenakan terdapat investor yang memasuki wilayah hutan Aru yang merupakan wilayah adat indigenous peoples. Hasil penelitian menunjukkan bahwa AMAN sebagai non-state actor mampu membentuk jejaring transnasional sehingga memberikan tekanan kepada Pemerintah Indonesia dengan menggunakan 4 (empat) tipologi analisis taktik TAN, yaitu: information politics (politik informasi), symbolic politics (politik simbolik), leverage politics (politik pengaruh), dan accountability politics (politik tanggung jawab).

Transnational Advocacy Network Strategy by Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) to Prevent Violation of Indigenous Peoples’ Rights in Kepulauan Aru – Maluku –

Indonesia on Sugar Cane Industry Construction Planning (2010-2015)

Abstract

This study discussed transnational advocacy network on indigenous peoples’ rights. In this thesis, the writer analyzed AMAN as non-state actor in Indonesia and its advocacy to address human rights violation of indigenous peoples in Kabupaten Kepulauan Aru. Using Transnational Advocacy Network (TAN) of Keck and Sikkink as frame of thought, the writer analyzed the transnational advocacy conducted by AMAN to protect and maintain the rights of indigenous peoples in Kepulauan Aru. The finding of this study showed that AMAN as non-state actor is able to conduct a transnational network. AMANS succeed giving pressure to Indonesia government by using four typology of TAN tactics, which are: information politics, symbolic politics, leverage politics, and accountability politics. Keywords: indigenous peoples’ rights; TAN; strategy

Strategi Advokasi ..., Anindita Nur Hidayah, FISIP UI, 2017

Page 2: Strategi Advokasi Transnasional Aliansi Masyarakat Adat

Pendahuluan Hak asasi manusia (HAM) merupakan isu yang mendapatkan perhatian khusus di tingkat internasional, terutama oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), terlebih pada tahun 1948 yang ditandai dengan ditetapkannya United Nations Charter, dan kemudian dilengkapi dengan penyusunan perjanjian-perjanjian serta deklarasi bahwa setiap manusia memiliki hak legal fundamental yang harus dihargai.1 Seiring dengan perkembangannya, fokus kajian terhadap perlindungan hak-hak indigenous peoples juga menjadi isu yang diperhatikan. Secara umum, perlindungan terhadap hak-hak indigenous peoples telah diatur oleh PBB dalam United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP) yang resmi disetujui pada tahun 2007.2 Perkembangan dari indigenous peoples sebagai sebuah konsep internasional menjadikannya tidak memiliki pengertian yang dapat disepakati secara umum. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan definisi kerja dari indigenous peoples yang dirumuskan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nasional (AMAN). Sebagaimana ditetapkan dalam KMAN I (Konferensi Masyarakat Adat Nusantara I) yang diselenggarakan pada Maret 1999, disepakati bahwa “Masyarakat adat adalah komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul leluhur secara turun temurun di atas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakat” (Keputusan KMAN No. 01/KMAN/1999).3 Definisi indigenous peoples dari AMAN digunakan dalam penelitian ini karena lebih relevan untuk menganalisis advokasi yang dilakukan dan diperjuangkan oleh non-state actor dalam melakukan perlindungan terhadap hak-hak indigenous peoples, khusunya hak atas wilayah adat. Selain itu, pendefinisian indigenous peoples yang telah dipaparkan sebelumya (bukan definisi yang diberikan AMAN) tidak memiliki fokus terhadap hak wilayah indigenous peoples, namun lebih pada pendefinisian indigenous peoples yang dilihat dari identitas maupun jejak sejarahnya yang dihubungkan dengan kolonialisasi, dimana hal tersebut tidak memberikan penekanan bahwa indigenous peoples adalah kelompok masyarakat yang memiliki hak berdaulat atas wilayah yang dimiliki. Namun demikian, perlu digarisbawahi bahwa penelitian ini tidak berfokus pada pertentangan pendapat dari pendefinisian indigenous peoples, yang hingga sekarang belum memiliki definisi tunggal karena adanya perbedaan sudut pandang dalam melihat indigenous peoples itu sendiri.

Indonesia merupakan negara yang menarik untuk dikaji ketika berbicara mengenai NGO dan penegakan hak-hak indigenous peoples, dilihat dari dinamika pembentukan NGO di Indonesia. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) merupakan salah satu non-state actor di Indonesia yang memiliki perhatian khusus terhadap perlindungan dan penegakan hak-hak indigenous peoples. AMAN adalah NGO independen yang terdaftar secara resmi di Departemen Kehakiman dan HAM, yang anggotanya terdiri dari komunitas-komunitas indigenous peoples dari berbagai pelosok Nusantara, dan merupakan NGO pemerhati indigenous peoples terbesar di Asia Tenggara.4 Dalam penelitian ini, penulis kemudian melihat pelanggaran hak indigenous

                                                                                                                         1 United Nations, Overview, diakses dari http://www.un.org/en/sections/about-un/overview/index.html, pada 6/2/2017. 2 United Nations, “United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples,” dalam 107th Plenary Meeting, 13 September 2007, hlm. 4. 3 AMAN, Profil Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), diakses dari http://www.aman.or.id/wp-content/uploads/2017/02/PROFIL-AMAN_Update_Bahasa_Oct2016.pdf, pada 8/3/2017. 4 AMAN, Menggugat Hubungan Masyarakat Adat dan Negara, diakses dari http://www.aman.or.id/wp-content/uploads/2015/11/Profile-AMAN_2015.pdf, pada 27/2/2017.

Strategi Advokasi ..., Anindita Nur Hidayah, FISIP UI, 2017

Page 3: Strategi Advokasi Transnasional Aliansi Masyarakat Adat

peoples yang terjadi dalam rencana pembangunan industri perkebunan tebu di Kepulauan Aru yang berpotensi besar menciptakan pelanggaran terhadap hak-hak indigenous peoples di sana, terutama pelanggaran terhadap hak wilayah adat. Dengan adanya persetujuan pembangunan industri tersebut dari pemerintah daerah yang bersangkutan, rencana pembangunan perkebunan tebu di wilayah hutan Kepulauan Aru ini adalah suatu pelanggaran bagi indigenous peoples di daerah tersebut. Kabupaten Kepulauan Aru merupakan sebuah kabupaten kepulauan yang terletak di sisi tenggara Provinsi Maluku, terdiri dari sekitar 187 pulau, dengan 89 diantaranya berpenghuni. Tutupan hutan seluas 730 ribu hektar di Kepulauan Aru sendiri setara dengan 12 kali dari luas daratan Singapura.5 Kabupaten Kepulauan Aru merupakan salah satu pulau kecil di Indonesia. Kasus ini menjadi semakin menarik ketika wilayah adat atau tempat tinggal dari indigenous peoples tersebut akan diubah menjadi perkebunan tebu dan tidak terdapat pertanggungjawaban dari pemerintah maupun perusahaan mengenai relokasi ataupun ganti rugi untuk menggantikan rumah mereka. Hal ini kemudian menjadi sebuah pertanyaan besar mengenai bagaimana kehidupan mereka selanjutnya jika hutan Aru benar dikonversi menjadi perkebunan tebu. Di sisi lain, indigenous peoples sendiri merupakan kelompok masyarakat yang selalu berhubungan dengan non-industrial mode of production, dimana hal tersebut berarti bahwa dalam proses produksi, indigenos peoples masih memanfaatkan peralatan tradisional.6 Mereka bukan semerta-merta melawan modernisasi, namun lebih pada melawan apa yang mereka lihat sebagai perusak wilayah yang menjadi haknya dan hak-hak mereka untuk memaknai cara hidup mereka sendiri.7

Rencana pembangunan industri tebu di Kepulauan Aru menimbulkan respon yang besar baik dari masyarakat setempat maupun dari non-state actor, dalam hal ini AMAN sebagai NGO di Indonesia, untuk melakukan advokasi. Pada tahun 2015, advokasi AMAN dan jejaringnya mampu menghentikan usaha dari PT Menara Group untuk membangun industri perkebunan tebu di hutan Aru. Hal ini diduga karena adanya kerjasama berupa pembentukan jejaring yang dilakukan AMAN baik di tingkat domestik, nasional, maupun internasional untuk memberikan tekanan kepada Pemerintah Indonesia. Jejaring yang terbentuk kemudian mampu memberikan tekanan kepada Pemerintah Indonesia melalui kerjasama yang dilakukan pula bersama CERD yang merupakan komisi di bawah naungan PBB. Oleh karena itu, penelitian ini ditujukan untuk menjawab pertanyaan permasalahan: Bagaimana AMAN membentuk jejaring transnasional untuk melakukan advokasi perlindungan hak indigenous peoples dalam isu pembukaan lahan perkebunan tebu di Kabupaten Kepulauan Aru pada tahun 2015?

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memahami strategi advokasi transnasional yang dilakukan oleh non-state actor dalam mengatasi permasalahan yang berhubungan dengan pelanggaran terhadap hak-hak indigenous peoples. Dalam penelitian ini, secara khusus penulis ingin mengetahui dan memahami strategi advokasi AMAN dalam kasus rencana pembangunan industri perkebunan tebu di wilayah hutan indigenous peoples Kepulauan Aru untuk melindungi hak-hak indigenous peoples di wilayah tersebut. Advokasi yang dilakukan oleh AMAN, sebagai salah satu aktor hubungan internasional, mengalami perluasan jejaring, bukan hanya bekerja sama dengan organisasi-organisasi kemanusiaan dalam negeri namun juga                                                                                                                          5 AMAN, Permohonan untuk Pertimbangan atas Situasi Masyarakat Adat Kepulauan Aru, Indonesia, di bawah Prosedur Peringatan Dini dan Aksi Mendeak Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial, diakses dari http://www.forestpeoples.org/sites/fpp/files/news/2015/10/Aru%20Islands%20EW-UA%20Request%20-%20Final%20_bahasa.pdf, pada 15/3/2017. 6 Thomas Hylland Eriksen, “Minorities and the State”, dalam Ethnicity and Nationalism: Anthropological Perspective Third Edition, (New York: Pluto Press, 2009), hlm. 15. 7 Ibid.

Strategi Advokasi ..., Anindita Nur Hidayah, FISIP UI, 2017

Page 4: Strategi Advokasi Transnasional Aliansi Masyarakat Adat

menjalin kerja sama dengan NGO dan pihak-pihak lain di luar Negara Indonesia. Selain itu, penelitian ini memiliki dua signifikansi yaitu signifikansi akademis dan signifikansi praktis. Secara akademis, penelitian ini memiliki keterkaitan dan dapat berkontribusi dalam kajian mengenai non-state actor dalam Ilmu Hubungan Internasional. Adapun signifikansi praktis dalam penelitian ini adalah ditujukan untuk Indonesia yang diharapkan dapat memberikan pandangan khusus terhadap pergerakan indigenous peoples yang masih berjuang untuk mendapatkan pengakuan dan keadilan hak-haknya dari pemerintah Indonesia, dimana hal tersebut harus ditangani secara serius oleh pemerintah. Tinjauan Teoritis Dalam penelitian ini, penulis menggunakan kerangka pemikiran dari Keck dan Sikkink mengenai jejaring advokasi transnasional yang kemudian digunakan untuk mengetahui bagaimana AMAN melakukan kerja sama dengan pihak lain di luar negara Indonesia untuk melakukan advokasi terhadap hak-hak indigenous peoples di Kabupaten Kepulauan Aru. Menurut Keck dan Sikkink, semakin lama, mengikuti perkembangan zaman, kegiatan politik akan mengalami perkembangan ditandai dengan hubungan dari aktor-aktornya yang semakin luas. Bukan hanya negara dengan negara, aktor-aktor bukan negara (non-state actors) kemuadian akan terlibat dalam kegiatan politik, dimana mereka akan saling berinteraksi baik dengan negara maupun dengan organisasi internasional.8 Transnational Advocacy Network (TAN) atau jejaring advokasi transnasional adalah sebuah bentuk organisasi yang di dalamnya terdapat aktor-aktor yang memiliki perhatian terhadap isu-isu internasional, yang terikat karena adanya shared values, common discourse, dan dense exchanges of information and services.9 Aktor utama dari jejaring advokasi ini sendiri adalah non-state actors, yaitu NGO internasional dan domestik, organisasi penelitian dan advokasi; gerakan-gerakan sosial lokal; yayasan; media; gereja, trade unions, consumer organizations, dan cendekiawan; beberapa dari organisasi antar-pemerintahan regional dan internasional; serta beberapa executive dan/atau parliamentary branches of governments.10 Tidak semua aktor tersebut selalu ada dalam kegiatan advokasi. Namun, NGO internasional dan domestik adalah ‘pemeran utama’ dalam jejaring advokasi, dimana mereka biasanya yang menginisiasi dan memiliki kekuatan lebih untuk mengambil posisi dalam melakukan aksi. NGOs tersebut menawarakan ide-ide baru, menyampaikan informasi, dan menjadi garda terdepan dalam mencoba mempengaruhi perubahan kebijakan melalui advokasi yang mereka lakukan.11

Jejaring yang dibentuk oleh NGOs internasional dan domestik memiliki tujuan untuk mengubah perilaku negara. Selain itu, mereka mengupayakan agar masyarakat sipil dapat memiliki akses untuk masuk ke pemerintah. Tertutupnya akses ke pemerintah tersebut, menjadikan aktivis maupun NGO domestik kemudian mencari dukungan dari luar negaranya. Hal ini yang disebut oleh Keck dan Sikkink sebagai boomerang pattern.12 Aktor-aktor dalam TAN percaya bahwa jejaring yang terbentuk tersebut kemudian akan melancarkan misi dan kampanye

                                                                                                                         8 Margaret E. Keck dan Kathryn Sikkink, “Transnational Advocacy Networks in International and Regional Politics”, dalam UNESCO, (USA: Blackwell Publishers, 1999), hlm. 89. 9 Ibid. 10 Ibid., hlm. 92. 11 Ibid. 12 Ibid., hlm. 93.

Strategi Advokasi ..., Anindita Nur Hidayah, FISIP UI, 2017

Page 5: Strategi Advokasi Transnasional Aliansi Masyarakat Adat

yang dilakukan. Selain itu, konferensi internasional dan bentuk-bentuk lain dari kontak/hubungan internasional dapat membentuk arena yang semakin memperkuat jejaring yang ada.13

Boomerang Pattern oleh Keck dan Sikkink Sumber: Margaret E. Keck dan Kathryn Sikkink, Activist beyond Borders: Advocacy Networks in International

Politics, (London: Cornell University Press, 1998), hlm. 13.

Negara, dalam hal ini pemerintah, adalah pemilik tanggung jawab dari terselenggaranya penegakan dan perlindungan HAM dari seluruh masyarakatnya. Ketika pemerintah dalam negara sendiri melakukan pelanggaran dan penolakan untuk memberikan pengakuan terhadap hak-hak tersebut, kelompok-kelompok domestik kemudian tidak memiliki jalan lain selain mencari koneksi internasional untuk mengutarakan keprihatinan mereka, bahkan untuk melindungi hidup mereka sendiri.14 Berdasarkan pola di atas, dapat dipahami bahwa NGO domestik kemudian mengambil langkah untuk beraliansi dengan pihak-pihak internasional dari luar negaranya untuk menciptakan tekanan dari luar ke dalam negaranya. Hal ini yang disebut sebagai ‘boomerang pattern’ di mana tujuan utama dari aktivitas yang dilakukan adalah untuk mengubah perilaku negara.15 Usaha advokasi melalui pembentukan jejaring transnasional dibentuk untuk menciptakan pengaruh yang ditujukan untuk mengubah kebijakan pemerintah terhadap kelompok-kelompok tertentu. Terdapat setidaknya 4 (empat) bentuk-bentuk taktik (typology of tactics) yang biasanya digunakan oleh jejaring dalam melakukan persuasi, sosialisasi ide, hingga memberikan tekanan, yaitu information politics (politik informasi), symbolic politics (politik simbolik), leverage politics (politik pengaruh), dan accountability politics (politik tanggung jawab).16

Information politics (politik informasi) yaitu kemampuan untuk memobilisasi informasi politik secara cepat dan dapat dipercaya kepada pihak-pihak yang dapat memberikan pengaruh yang kuat. Kesamaan informasi yang didapatkan oleh seluruh anggota jejaring tersebut kemudian mampu mengikat anggota dan hal ini sangat penting untuk efektifitas upaya advokasi yang dilakukan oleh non-state actor. Informasi yang disebarkan oleh non-state actor kepada jejaringnya kebanyakan bersifat informal, yaitu berupa informasi yang dikirim melalui panggilan telpon, komunikasi melalui surat elektronik, penggunaan laporan berkala, penyebaran pamplet

                                                                                                                         13 Ibid. 14 Ibid., hlm. 93. 15 Ibid. 16 Ibid., hlm. 95.

Strategi Advokasi ..., Anindita Nur Hidayah, FISIP UI, 2017

Page 6: Strategi Advokasi Transnasional Aliansi Masyarakat Adat

atau brosur, serta melalui siaran.17 Media-media yang digunakan dalam taktik information politics tersebut menyediakan informasi yang bukan hanya dapat didengarkan namun dapat dibaca dan diakses oleh publik atau semua kalangan yang memiliki jarak baik secara geografis maupun sosial. Melalui taktik ini, non-state actor dapat melakukan persuasi kepada kelompok-kelompok lain agar mengkuti gerakan yang dilakukan dengan memberikan pernyataan benar dan salah tentang kasus yang sedang terjadi. Framing kasus dalam information politics menjadi efektif dalam upaya advokasi ketika pernyataan yang diberikan dapat menjadi pesan yang mudah dipahami, berpengaruh kuat guna menyebarkan ide-ide yang menjadi shared values, hingga dapat memberikan pengaruh terhadap kebijakan negara. Peran utama dari information poitics ini sendiri adalah membantu non-state actor atau aktivis untuk menjelaskan tujuan dan latar belakang dari diadakannya kampanye atau gerakan demi membentuk jejaring yang lebih luas. Media-media yang telah disebut di atas kemudian menjadi partner penting dalam information politics guna memperoleh dukungan yang lebih luas agar advokasi yang dilakukan tepat sasaran dengan berpegang pada ide serta nilai yang sama.

Symbolic politics (politik simbolik) yaitu kemampuan untuk menyampaikan ide-ide dan shared values melalui simbol-simbol, tindakan, maupun narasi kepada pihak-pihak yang terdapat di lintas batas. Pembingkaian kasus dalam symbolic politics ini dilakukan dengan mengidentifikasi dan memberikan penjelasan yang menyakinkan kepada seluruh anggota yang menjadi kelompok pengadvokasi. Selain itu, penggunaan simbol ataupun nasrasi dalam taktik advokasi ini dilakukan untuk menghubungkan seluruh anggota yang memiliki perbedaan baik karakter maupun wilayah.18 Secara umum, symbolic politics merupakan taktik yang berfungsi untuk memahami isu yang ada dan ide-ide yang menjadi shared value secara sederhana melalui simbol-simbol dalam komunikasi yang dilakukan oleh para aktivis yang ditujukan kepada pemerintah, perusahaan, maupun publik untuk menyebarkan pengaruh agar pihak-pihak tersebut kemudian terpengaruh terhadap mandat yang dibawa oleh jejaring advokasi demi menyelesaikan konflik yang ada.

Leverage politics (politik pengaruh) yaitu kemampuan untuk menarik perhatian dari aktor yang lebih kuat untuk mempengaruhi situasi. Dalam melakukan upaya untuk mengubah kebijakan pemerintah, jejaring advokasi juga memanfaatkan kekuatan dari aktor-aktor ber-power (powerful actors) untuk memberikan pengaruh dan memberikan tekanan kepada pihak-pihak yang disasar. Dengan menggunakan kekuatan pengaruh yang dimiliki oleh powerful actor, pergerakan non-state actor ataupun aktivis yang sebelumnya tidak dianggap oleh negara dan cenderung bersifat lemah kemudian memiliki kekuatan dan kemampuan lebih untuk mempengaruhi praktik-praktik yang dilakukan oleh negara atau pihak yang menjadi sasaran yang berasal dari sokongan yang diberikan oleh powerful actor melalui leverage politics.19 Walaupun pengaruh yang diberikan oleh non-state actor untuk mengubah kebijakan pemerintah kemudian terlihat bergantung pada dukungan yang diberikan oleh powerful actor, namun upaya untuk menciptakan hubungan dan kemudian membentuk jejaring adalah kemampuan tersendiri yang dimiliki oleh non-state actor dalam memobilisasi solidaritas dari setiap anggotanya hingga ke publik sehingga mampu menyampaikan ide dari penyelesaian isu yang sedang diupayakan penyelesaiannya.

                                                                                                                         17 Ibid. 18 Ibid. 19 Ibid., hlm. 97.

Strategi Advokasi ..., Anindita Nur Hidayah, FISIP UI, 2017

Page 7: Strategi Advokasi Transnasional Aliansi Masyarakat Adat

Accountability politics (politik tanggung jawab) yaitu upaya untuk mendorong aktor yang lebih kuat untuk bertindak sesuai dengan kebijakan maupun prinsip-prinsip yang diperjuangkan.20 Dalam taktik accountability politics, jejaring advokasi memantau tindakan yang dilakukan oleh negara ataupu perusahaan yang menjadi sasaran pengadvokasian. Jika negara atau korporasi tersebut kemudian melakukan aktivitas yang tidak sesuai dengan komitmen yang telah menjadi kesepakatan, jejaring advokasi yang bersangkutan dapat mempublikasikan hal ini. Pemublikasian tersebut dilakukan dengan menyoroti ketidakpatuhan dari negara ataupun perusahaan sasaran. Dengan melakukan hal tersebut, para aktivis dalam jejaring advokasi transnasional tersebut kemudian dapat menciptakan sebuah sentimen public dan memberikan tekanan bagi negara ataupun perusahaan untuk menyesuaikan dengan kesepakatan yang telah terbentuk. Oleh karena itu, dalam accountability politics ini jejaring melakukan pemantauan secara berkelanjutan agar pihak-pihak yang menjadi sasaran pengadvokasian melakukan aktivitas sesuai dengan apa yang telah dimandatkan.

Metode Penelitian

Dalam melakukan penelitian, penulis menggunakan metodologi penelitian kualitatif. Secara lebih spesifik akan menggunakan metode deskriptif dengan desain studi kasus. Dengan menggunakan metode ini, penulis mengeksplorasi suatu masalah dengan suatu batasan yang terperinci, memiliki pengambilan data yang mendalam, dan menyertakan informasi dari berbagai sumber.21 Metode deskriptif sendiri merupakan salah satu metode dalam penelitian sosial yang mengarahkan peneliti untuk memberikan gambaran atau mendeskripsikan sebuah situasi. Walau demikian, metode penelitian ini tidak memberikan arahan kepada peneliti untuk menciptakan suatu prediksi yang akurat mengenai hasil penelitian maupun untuk membentuk sebuah kejadian sebab-akibat dari penelitian tersebut.22 Hal tersebut berarti bahwa hasil penelitian akan bergantung pada proses penelitian yang berjalan di lapangan, dan tidak berpatok pada sebuah hipotesis penelitian. Metode penelitian kualitatif deskriptif ini merupakan metode yang digunakan untuk menemukan pengetahuan terhadap subjek penelitian pada kurun waktu tertentu, dan berusaha untuk mendeskripsikan seluruh keadaan yang ada pada saat tersebut. Metode penelitian kualitatif deskriptif sendiri memiliki beberapa tipe, yaitu observational methods, case studies, archival method, qualitative methods, dan surveys.23 Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif dengan tipe/model case studies (studi kasus). Oleh karena itu, dalam menjawab pertanyaan permasalahan, penulis akan memasukkan sumber-sumber data agar penulis dapat memberikan analisis secara detail berdasarkan pada fenomena yang diteliti dalam konteks dari sebuah kejadian yang benar-benar ada dan nyata.24

Dalam proses pengumpulan data, penulis akan menggunakan studi literatur dengan mengumpulkan dokumen sebagai sumber data utama. Data yang digunakan adalah data primer yaitu publikasi hingga dokumen dari situs resmi baik dari AMAN dan jejaringnya maupun dari

                                                                                                                         20 Ibid. 21 Sherri L. Jackson, Research Methods and Statistics: A Critical Thinking Approach 4th Edition, (Amerika Serikat: Wadsworth Cengage Learning, 2012), hlm. 86-87. 22 Ibid., hlm. 79. 23 Ibid. 24 Sonya J. Morgan, et.al., “Case Study Observational Research: A Framework for Conducting Case Study Research Where Observation Date Are the Focus”, dalam Qualitative Health Research, 2016,http://journals.sagepub.com/doi/pdf/10.1177/1049732316649160, hlm. 1.

Strategi Advokasi ..., Anindita Nur Hidayah, FISIP UI, 2017

Page 8: Strategi Advokasi Transnasional Aliansi Masyarakat Adat

pemerintah, dan data sekunder yaitu buku, jurnal, artikel, dan surat kabar yang memuat informasi yang dibutuhkan terkait dengan penelitian. Pada pengumpulan data primer, dokumen digunakan sebagai sumber utama karena fakta dan data mengenai objek penelitian terdapat dalam bahan yang berbentuk dokumentasi.25 Selain itu, penelitian ini akan diperkaya dengan adanya metode pengumpulan data berupa wawancara yang bersifat semi-structured, dimana penulis dapat mengeksplorasi pertanyaan ketika melakukan wawancara dengan menyesuaikan alur pembicaraan dari informan. Dalam hal ini, penulis akan menggunakan wawancara sebagai alat untuk re-checking atau pembuktian26 terhadap informasi yang diperoleh dari data primer maupun sekunder yang telah disebutkan sebelumnya. Penulis akan melakukan wawancara dengan AMAN sebagai organisasi (non-state actor) yang menjadi pusat penelitian dalam tulian ini, mengenai strategi advokasi transnasional AMAN dalam kasus hak-hak indigenous peoples, dimana kasus pelanggaran hak indigenous peoples di Kepulauan Aru yang kemudian menjadi studi kasus dalam penelitian ini. Monica Kristiani Ndoen merupakan staff Perlindungan HAM dalam Pengurus Besar (PB) AMAN yang kemudian menjadi narasumber dalam penelitian ini. Narasumber adalah anggota dalam bagian advokasi Deputi II AMAN dan salah satu anggota dalam PB AMAN yang sering dijadikan sebagai delegasi AMAN dalam konferensi-konferensi tingkat internasional mengenai perlindungan hak-hak indigenous peoples khususnya indigenous peoples Indonesia. Hasil Penelitian Kronologi dari masuknya PT Menara Group ke wilayah hutan Kepulauan Aru untuk membangun industri perkebunan tebu dmulai dari tahun 2010 yang ditandai dengan dikeluarkannya izin konversi hutan. Izin konversi hutan Aru yang dikeluarkan oleh Bupati Kabupaten Kepulauan Aru – Teddy Tengko – tersebut kemudian menjadi permulaan dari dikeluarkannya izin dan surat rekomendasi lain dari pemerintah domestik hingga nasional untuk keperluan menjalankan usaha dan konversi lahan oleh PT Menara Group. Kronologi rencana pembangunan industri perkebunan tebu tersebut kemudian dipaparkan penulis hingga tahun 2015 yang merupakan tahun tercapainya gugatan AMAN dan jejaringnya kepada PT Menara Group dan pemerintah. Hal tersebut ditandai dengan berhentinya aktivitas PT Menara Group yang berhubungan dengan usaha pembangunan industri perkebunan tebu, seperti penebangan pohon di hutan Kepulauan Aru. Dapat dilihat bahwa mulai dari tahun 2010 hingga tahun 2015 terdapat dinamika yang muncul, khususnya di tingkat domestik, baik dari AMAN, PT Menara Group, maupun pemerintah, berkaitan dengan kasus pelanggaran hak indigenous peoples Kepulauan Aru hingga memunculkan perlawanan dari berbagai pihak.

Respon yang muncul dari adanya kasus pelanggaran hak indigenous peoples Kepulauan Aru bukan hanya datang dari AMAN dan indigenous peoples Kepulauan Aru, namun juga dari berbagai kalangan mulai dari solidaritas kemasyarakatan, aktivis, hingga akademisi. Dapat diamati bahwa pihak-pihak terkait bukan hanya memberikan respon berupa perlawanan, namun juga menyelesaikan konflik dengan membentuk jejaring hingga melakukan pembagian tugas dengan ide utama yang digagas oleh AMAN. Dalam hal ini, AMAN menjadi non-state actor yang mampu memperjuangkan madat yang dimiliki yang juga mampu bebas dari tekanan dan intervensi dari pemerintah. Ide utama yang disebarkan oleh AMAN adalah bahwa indigenous peoples memiliki hak untuk bebas dari tekanan dan bebas untuk memutuskan hidupnya di atas

                                                                                                                         25 Pupu Saeful Rahmat, “Penelitian Kualitatif”, dalam Equilibrium, Vol. 5, No. 9 (2009), hlm. 7. 26 Ibid.

Strategi Advokasi ..., Anindita Nur Hidayah, FISIP UI, 2017

Page 9: Strategi Advokasi Transnasional Aliansi Masyarakat Adat

wilayah adatnya sendiri, karena mereka juga merupakan bagian dari masyarakat Indonesia yang berhak mendapat perlindungan dari Pemerintah Indonesia sebagaimana kelompok masyarakat lain. Pembahasan AMAN menjadi non-state actor yang berperan dalam membentuk jejaring baik di tingkat nasional maupun internasional dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah untuk melindungi dan menegakkan hak-hak indigenous peoples Kepulauan Aru. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa dalam melakukan upaya perlindungan dan penegakan hak indigenous peoples tersebut terdapat hambatan bagi AMAN dan jejaringnya. Dasar hukum yang jelas mengenai perlindungan hak-hak indigenous peoples sendiri belum terdapat di Indonesia. Undang-undang mengenai hak dan kewajiban indigenous peoples terhadap pemerintah maupun sebaliknya belum dimiliki oleh Negara Indonesia. Hal ini yang kemudian dilihat sebagai hambatan besar bagi para aktivis dalam melindungi hak-hak indigenous peoples karena tidak memiliki landasan hukum yang kuat yang berasal dari Pemerintah Indonesia. Undang-undang tentang perlindungan hak-hak indigenous peoples dianggap penting karena hal tersebut mampu menjadi dasar hukum yang bersifat legal. Selain itu, perizinan-perizinan yang diberikan oleh pemerintah kepada PT Menara Group untuk melakukan konversi lahan juga sempat menjadi hambatan bagi pergerakan masyarakat untuk mempertahankan dan memperjuangkan hak mereka sebagai indigenous peoples di Kepulauan Aru.

Perjuangan AMAN dan jejaringnya untuk menyelesaikan kasus pelanggaran hak indigenous peoples Aru semakin gencar dilakuakn dengan membentuk kerjasama yang lebih luas. Berdasarkan penjelasan dalam bab 3 dapar diperhatikan bahwa AMAN kemudian juga menjalin kerjasama dengan akademisi untuk melakukan kegiatan penelitian mengenai pelanggaran hak indigenous peoples yang dilakukan oleh PT Menara Group. Dengan hal tersebut, AMAN kemudian mengumpulkan amunisi untnuk menghentikan aktivitas Menara Group secara bertahap. Posisi AMAN menjadi semakin kuat ketika terdapat bukti bahwa PT Menara Group memang telah melakukan pelanggaran terhadap hak-hak indigenous peoples di Kabupaten Kepulauan Aru. Terlebih, bukti-bukti pelanggaran tersebut ditemukan oleh Komnas HAM. Selain itu, bukti pelanggaran tersebut juga ditemukan oleh AMAN berkaitan dengan prosedur perizinan yang diberikan kepada PT Menara Group oleh Pemerintah Daerah Maluku, dimana keputusan dilakukan untuk memberikan izin tersebut dapat dikatakan cacat hukum. Dasar hukum yang digunakan untuk membuat perizinan tersebut tidak sesuai dengan SK dari Keputusan Menteri yang sedang berlaku pada saat itu. SK yang berlaku adalah Peraturan Menteri No. 26, sedangkan SK yang digunakan sebagai dasar pembuatan izinterhadap seluruh aktivitas perusahaan adalah Keputusan Menteri Pertanian No. 357. Oleh karena itu, seharusnya tidak ada alasan lagi bagi PT Menara Group untuk melanjutkan aktivitas pembangunan industrinya di kawasan hutan Kepulauan Aru.

Berdasar pada pemikiran dan model analisis yang diberikan oleh Keck dan Sikkink dalam memahami strategi advokasi transnasional, usaha yang dilakukan oleh non-state actor dengan membentuk jejaring transnasional dilakukan untuk menciptakan pengaruh, dimana pengaruh tersebut ditujukan untuk mengubah kebijakan pemerintah terhadap kelompok-kelompok

Strategi Advokasi ..., Anindita Nur Hidayah, FISIP UI, 2017

Page 10: Strategi Advokasi Transnasional Aliansi Masyarakat Adat

tertentu.27 Setidaknya terdapat 4 (empat) tipologi analsis taktik yang digunakan oleh jejaring dalam melakukan persuasi, sosialisasi ide, hingga memberikan tekanan kepada pemerintah hingga mampu mempengaruhi kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, antara lain melalui: (1) information politics (politik informasi) yaitu kemampuan untuk memobilisasi informasi politik secara cepat dan dapat dipercaya kepada pihak-pihak yang dapat memberikan pengaruh yang kuat; (2) symbolic politics (politik simbolik) yaitu kemampuan untuk menyampaikan melalui simbol, tindakan, maupun narasi kepada pihak-pihak yang terdapat di lintas batas; (3) leverage politics (politik pengaruh) yaitu kemampuan untuk menarik perhatian dari aktor yang lebih kuat untuk mempengaruhi situasi;dan (4) accountability politics (politik tanggung jawab) yaitu upaya untuk mendorong aktor yang lebih kuat untuk bertindak sesuai dengan kebijakan maupun prinsip-prinsip yang diperjuangkan.28

Berdasarkan operasionalisasi konsep dari boomerang pattern yang terdapat dalam bab 1, penulis menemukan bahwa terdapat hambatan yang dialami oleh baik indigenous peoples di Kabupaten Kepulauan Aru, AMAN Maluku dan Nasional, dan non-state actors Indonesia penggiat perlindungan hak indigenous dalam melindungi hak-hak indigenous peoples Kepulauan Aru. Hal ini dapat dilihat melalui aktivitas dari pemerintah Indonesia yang tidak menunjukkan bahwa negara mengupayakan perlindungan terhadap hak-hak warga negaranya. Negara tidak mengambil tindakan apapun untuk menangani ancaman-ancaman ini atau hak-hak yang akan dilanggar. Sebaliknya, Negara berkomitmen untuk mengizinkan pengambilalihan tanah adat yang masif dan bahaya ekstrim dan kerugian nyata bagi pemilik tradisionalnya.29 Padahal, dalam UU RI No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Bab II, Pasal 5, Ayat 3 dikatakan bahwa “Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya”, dimana hal tersebut kemudian menjadi dasar dalam terbentuknya nilai bersama yang berpandangan bahwa Negara harus memberikan jaminan perlindungan terhadap indigenous peoples – yang merupakan anggota masyarakatnya – untuk hidup tanpa tekanan dan bebas untuk memutuskan hidupnya di atas tanah dan hutannya sendiri.

Namun demikian, perlindungan Negara yang seharusnya diberikan kepada setiap warga negaranya belum dapat ditemukan di Indonesia, khususnya di Kabupaten Kepulauan Aru, dimana pemerintah justru memberikan persetujuan kepada PT Menara Group untuk membangun industri perkebunan tebu yang kemudian berpotensi untuk menghilangkan wilayah adat dari indigenous peoples di sana. Hal ini yang kemudian menjadi alasan bagi AMAN untuk membentuk jejaring hingga di tingkat internasional untuk memberikan perlindungan atas hak-hak yang seharusnya dimiliki oleh indigenous peoples di Kabupaten Kepulauan Aru.30 Penulis menganalisis tipologi analisi taktik yang dilakukan oleh non-state actor, dalam hal ini AMAN dan jejaring yang dibentuknya, yang kemudian mampu memberikan tekanan kepada pemerintah – baik pemerintah Indonesia maupun pemerintah daerah Kabupaten Kepulauan – dalam kasus pembangunan industri perkebunan tebu di wilayah ulayat. Melalui keempat tipologi tersebut, penulis kemudian

                                                                                                                         27 Margaret E. Keck dan Kathryn Sikkink, “Transnational Advocacy Networks in International and Regional Politics”,dalam UNESCO, (USA: Blackwell Publishers, 1999), hlm. 95. 28 Ibid. 29 Fax Message dari AMAN – bekerja sama dengan FPP – ditujukan kepada Sekretaris Committee on the Elimination of Racial Discrimination, pada 14 Juli 2015, berisi tentang Permohonan untuk Pertimbangan atas Situasi Masyarakat Adat Kepulauan Aru, Indonesia, di bawah Prosedur Peringatan Dini dan Aksi Mendesak Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial, diakses dari http://www.forestpeoples.org/sites/fpp/files/news/2015/10/Aru%20Islands%20EW-UA%20Request%20-%20Final%20_bahasa.pdf, pada 6/3/2017. 30 Ibid.

Strategi Advokasi ..., Anindita Nur Hidayah, FISIP UI, 2017

Page 11: Strategi Advokasi Transnasional Aliansi Masyarakat Adat

 

melakukan analisis mengenai strategi yang dilakukan oleh jejaring AMAN dalam melakukan advokasi untuk melindungi hak-hak indigenous peoples di Kabupaten Kepulauan Aru sehingga mampu menekan pemerintah Indonesia hingga mempengaruhi keputusan pemerintah yang sebelumnya telah ditetapkan, yaitu untuk melakukan konversi hutan alam menjadi perkebunan tebu. Dalam menganalisis hal ini, penulis melihat tekanan yang diberikan oleh non-state actor, dalam hal ini AMAN, melalui pembentukan information politics, symbolic politics, leverage politics, dan accountability politics.

Information politics (politik informasi) merupakan sebuah kemampuan yang dimiliki oleh non-state actor untuk memobilisasi informasi yang dapat dipercaya dan secara cepat, ditujukan kepada pihak-pihak yang dapat memberikan pengaruh yang kuat untuk mendukung upaya advokasi yang dilakukan oleh aktivis dan jejaringnya. Jejaring advokasi transnasional sendiri secara strategis membingkai informasi untuk menarik pemerintah agar mau mengikuti kepentingan dari non-state actor tersebut. Oleh karena itu, information politics sangat penting dimiliki oleh jejaring transnasional ini. Distribusi informasi yang cepat dan akurat, yang diidentifikasikan sebagai information politics ini memiliki keterkaitan erat dengan teknologi komunikasi.31 Teknologi komunikasi memungkinkan non-state actor dari seluruh dunia untuk melakukan kerja sama dan kolaborasi dalam isu yang menjadi fokus kajian mereka dan sedang berusaha diselesaikan oleh non-state actor yang bersangkutan. Melalui teknologi informasi tersebut, informasi mengenai isu yang sedang menjadi pembahasan lebih mudah tersebar dan dibagikan, baik melalui percakapan dalam telepon, email, hingga media sosial.32

Dalam kasus pelanggaran hak-hak indigenous peoples di Kepulauan Aru, strategi information politics dilakukan oleh masyarakat lokal maupun internasional. Masyarakat kepulauan Aru khususnya semakin yakin dan kuat dalam mengkonsolidasikan gerakan masyarakat lokal dan menghubungkan gerakan lokal dengan gerakan solidaritas dari berbagai pulau di Indonesia, yang diantaranya dilakukan melalui media sosial seperti twitter, facebook, website, blog, petisi online, dsb. Melalui jejaring yang berhasil dibangun melalui media sosial tersebut, indigenous peoples Aru berhasil membuat gerakan solidaritas yang dinamakan dengan Save Aru yang kemudian berhasil mendapat perhatian dari dunia internasional.

Gambar 4.2. Bentuk Information Politics #SaveAru melalui YouTube

Sumber: Save Aru (Tribute Song to #SaveAru Islands) MHC – Wessly – Wirol, Official Account Gerakan #SaveAru di YouTube, Aru Islands dalam https://www.youtube.com/watch?v=n0AolKskEKM

                                                                                                                         31 Anise Fatima Shah, “Constructivism and Transnational Advocacy Networks: The Role of Non-State Actors in the Global Anti-Trafficking Movement”, dalam A Project Presented to the Faculty of the Department of Government, California State University, Sacramento, hlm. 25. 32 Ibid.

Strategi Advokasi ..., Anindita Nur Hidayah, FISIP UI, 2017

Page 12: Strategi Advokasi Transnasional Aliansi Masyarakat Adat

 

 

Gambar 4.3. Bentuk Information Politics #SaveAru melalui Website Sumber: #SaveAru, Now!,Website ResmiGerakan #SaveAru, #SaveAruIslands dalam http://savearuislands.com/  

Dari level internasional sendiri, Gerakan Save Aru juga menjadi tonggak utama dalam

strategi information politics yang kemudian didukung oleh publikasi-publikasi dari IWGIA mengenai kondisi indigenous peoples Kepulauan Aru yang berada di bawah ancaman PT Menara Group. Penyebaran pengaruh melalui teknologi informasi ini memberikan pengaruh besar terhadap keberhasilan kampanye. Hal ini terbukti dari jumlah penandatangan petisi #SaveAru lebih dari 15.000 orang, yang merupakan pendukung penolakan pembangunan industri perkebunan tebu di kawasan hutan indigenous peoples Aru.33

Gambar 4.5. Bentuk Informationa Politics #SaveAru di Tingkat Internasional

                                                                                                                         33 Glenn Fredly, “Pak @SBYudhoyono Pak @Zul_Hasan: Batalkan Izin Penebangan Hutan Kepulauan Aru”, dalam Mempetisi Ketua MPR RI Zulkifli Hasan dan 4 Penerima Lainnya, diakses dari https://www.change.org/p/pak-sbyudhoyono-pak-zul-hasan-batalkan-izin-penebangan-hutan-kepulauan-aru, pada 23/7/2017. Glenn Fredly merupakan salah satu public figure Indonesia, berasal dari Maluku, dan memiliki kecintaan yang begitu besar terhadap Indonesia. Menanggapi isu yang menimpa indigenous peoples di Kepulauan Aru karena adanya rencana konversi hutan untuk menjadi perkebunan tebu, Glenn mengupayakan berbagai gerakan untuk menarik masyarakat agar peduli dan ikut berperan dalam mengatasi kasus yang tengah dihadapi oleh masyarakat (indigenous peoples ) Kepualuan Aru. Bukan hanya melalui lagu, penyebaran informasi tersebut ia lakukan melalui gerakan-gerakan mulai dari Voice from The East (EOTE) dan Save Aru Island. Selain itu, Glenn merupakan promotor dari pembuatan petisi Save Aru.

Strategi Advokasi ..., Anindita Nur Hidayah, FISIP UI, 2017

Page 13: Strategi Advokasi Transnasional Aliansi Masyarakat Adat

Pembingkaian sebuah isu dalam information politics dianggap sebagai sebuah cara yang efektif dalam upaya advokasi. Pernyataan yang disampaikan oleh jejaring aktivis dalam melakukan penyebaran informasi mengenai isu tersebut kemudian menjadi pesan yang mudah dipahami, berpengaruh kuat guna menyebarkan ide-ide yang menjadi shared values, hingga dapat memberikan pengaruh terhadap kebijakan negara. Isu pelanggaran HAM yang dialami oleh indigenous peoples Kepulauan Aru sendiri juga mengalami pembingkaian, terutama melalui media sosial. Media sosial ini kemudian menjadi partner penting dalam information politics guna memperoleh dukungan yang lebih luas agar advokasi yang dilakukan tepat sasaran dengan berpegang pada ide serta nilai yang sama. Pembingkaian isu yang dilakukan oleh jejaring advokasi yang dimotori oleh AMAN ini sendiri memiliki ide utama bahwa Negara harus memberikan jaminan perlindungan terhadap indigenous peoples – sebagai anggota masyarakatnya – untuk hidup tanpa tekanan dan bebas untuk memutuskan hidupnya di atas tanah dan hutannya sendiri. Peran utama dari information poitics ini sendiri adalah membantu non-state actor atau aktivis untuk menjelaskan tujuan dan latar belakang dari diadakannya kampanye atau gerakan demi membentuk jejaring yang lebih luas.

Symbolic politics (politik simbolik) yaitu kemampuan untuk menyampaikan melalui simbol, tindakan, maupun narasi kepada pihak-pihak yang terdapat di lintas batas. Jejaring aktivis untuk sering kali menggunakan simbol-simbol untuk membingkai sebuah isu sebagai cara untuk penyebaran informasi. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan peringatan dari sebuah tragedi untuk meningkatkan kesadaran baik untuk non-state actor pengadvokasi maupun masyarakat luas. Salah satu contoh yang diberikan oleh Keck & Sikkink adalah ketika para anggota organisasi mahasiswa kampus UC Davis melakukan demo melawan perdagangan manusia dengan cara berdiri dengan mulut dilipat, memegang papan-papan yang berisi fakta maupun cerita mengenai perdagangan manusia. Gerakan tersebut bertujuan untuk mewakili korban perdagangan manusia yang tidak dapat berbicara untuk diri mereka sendiri.34 Selain itu, pemakaian baju hingga perlengkapan kampanye dengan tanda-tanda tertentu sesuai dengan gugatan juga menjadi symbolic politics dalam melakukan advokasi. Simbol-simbol semacam itu dianggap mampu menarik masa lebih banyak untuk melakukan advokasi, mempengaruhi, dan memberikan tekanan kepada para pembuat keputusan, baik dari tingkat nasional maupun internasional.35

Sebagai salah satu alat yang digunakan untuk melakukan advokasi, symbolic politics berperan untuk menerapkan simbol, aksi-aksi, hingga cerita mengenai sebuah situasi yang menggambarkan isu yang sedang diupayakan penyelesaiannya agar dapat ditangkap oleh semua lapisan masyarakat. Dengan kata lain, jejaring yang dibentuk oleh non-state actor menerapkan symbolic politics dengan mengemas sebuah isu menjadi simbol-simbol agar lebih mudah dipahami baik oleh seluruh anggota jejaring yang terbentuk, kelompok masyarakat yang diadvokasi, maupun pihak-pijak yang menjadi target dari dilakukannya kampanye. Selain itu, dalam melakukan usaha advokasi melalui symbolic politics, para aktivis yang telah membuat jejaring kemudian memberikan penjelasan dari sebuah masalah dengan cara yang meyakinkan melalui simbol-simbol untuk menciptakan kesadaran pada audiens yang kemudian hal ini akan berdampak pada meluasnya jejaring.36

                                                                                                                         34 Ibid., hlm. 28. 35 Ibid. 36 Margaret E. Keck dan Kathryn Sikkink, “Transnational Advocacy Networks in International and Regional Politics”, dalam UNESCO, (USA: Blackwell Publishers, 1999), hlm. 22.

Strategi Advokasi ..., Anindita Nur Hidayah, FISIP UI, 2017

Page 14: Strategi Advokasi Transnasional Aliansi Masyarakat Adat

Strategi advokasi yang dilakukan oleh AMAN dan jejaringnya pun menggunakan symbolic politics untuk menghimpun massa dan menyebarkan informasi mengenai pelanggaran hak indigenous peoples Kepulauan Aru. Hal ini dimotori oleh Gerakan Save Aru yang pada dasarnya adalah jejaring AMAN yang memiliki peran dalam kegiatan kampanye dan penyebaran informasi. Dalam kampanye yang dilakukan, Gerakan Save Aru ini selalu konsisten dalam menggunakan simbol, yaitu berupa gambar burung Cendrawasih serta penggunaan tagar SaveAru. Penggunaan simbol ataupun nasrasi dalam taktik advokasi ini pada dasarnya dilakukan untuk menghubungkan seluruh anggota yang memiliki perbedaan baik karakter maupun wilayah. Dalam advokasi yang dilakukan oleh AMAN untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang dialami oleh indigenous peoples Kepulauan Aru ini sendiri juga menggunakan dan memanfaatkan simbol-simbol demi membentuk sebuah jejaring. Dengan adanya simbol-simbol yang menjadi kekhususan dalam kampanye kasus tersebut, masyarakat dan anggota aktivis lain kemudian memiliki rasa yang sama dan tujuan yang sama untuk melindungi dan menegakkan hak-hak indigenous peoples di Kabupaten Kepulauan Aru tersebut. Selain itu, adanya simbol-simbol khusus dalam kampanye ini juga memudahkan para aktivis untuk menyampaikan aspirasi kepada pihak-pihak yang menjadi sasaran pengadvokasian, dalam hal ini PT Menara Group, Pemerintah Kabupaten Kepulauan Aru, dan Pemerintah Indonesia.

Secara umum, symbolic politics merupakan taktik yang berfungsi untuk memahami isu yang ada dan ide-ide yang menjadi shared value secara sederhana melalui simbol-simbol dalam komunikasi yang dilakukan oleh para aktivis yang ditujukan kepada pemerintah, perusahaan, maupun publik untuk menyebarkan pengaruh agar pihak-pihak tersebut kemudian terpengaruh terhadap mandat yang dibawa oleh jejaring advokasi demi menyelesaikan konflik yang ada. Melalui simbol-simbol yang tertera pada gambar 4.6. dapat dilihat bahwa mandat utama dari advokasi yang dilakukan oleh AMAN dan jejaringnya adalah untuk melindungi Kepulauan Aru (#SaveAru), khususnya sumber daya yang dimiliki serta kelestarian alamnya. Terlebih, Kepualauan Aru sendiri adalah kawasan yang didominasi oleh hutan alam dan terdapat beragam hewan-hewan langka di dalamnya. Oleh karena itu, penting bagi AMAN dan jejaring yang dibentuknya untuk melindungi alam Kepulauan Aru. Selain itu, seperti yang telah dijelaskan dalam bab 2 bahwa indigenous peoples adalah kelompok manusia yang mampu melindungi kelestarian alam terutama hutan. Terlebih, dalam kasus yang terjadi di Kepulauan Aru ini hutan alam akan dikonversi menjadi industri perkebunan tebu, yang secara langsung akan berdampak pada degradasi lingkungan, hilangnya habitat hewan-hewan langka, serta hilangnya wilayah adat dari indigenous peoples di sana. Oleh karena itu, AMAN dan jejaringnya kemudian menggunakan symbolic politics sebagai salah satu taktik advokasi untuk dapat menyampaikan ide secara sederhana.

Leverage politics (politik pengaruh) merupakan sebuah kemampuan yang dimiliki oleh jejaring advokasi yang bertujuan untuk menarik perhatian dari aktor yang lebih kuat untuk mempengaruhi situasi. Keck dan Sikkink mengukur efektivitas dari jejaring advokasi dengan melihat seberapa besar pengaruh yang ditimbulkannya terhadap suatu kebijakan.37 Dalam leverage politics ini, jejaring advokasi menggunakan pihak-pihak yang lebih kuat karena anggota dari jejaring tersebut belum tentu memiliki kemampuan untuk memberikan pengaruh secara langsung untuk menyelesaikan suatu kasus. Oleh karena itu, jejaring advokasi memerlukan peran dari aktor-aktor yang memiliki power besar untuk membantu memperlancar usaha advokasi yang sedang mereka lakukan. Sering kali jejaring advokasi tersebut meminta bantuan kepada institusi-institusi seperti entitas pemerintah ataupun perusahaan swasta seperti TNC dan NGO. Jejaring                                                                                                                          37 Ibid., hlm. 97.

Strategi Advokasi ..., Anindita Nur Hidayah, FISIP UI, 2017

Page 15: Strategi Advokasi Transnasional Aliansi Masyarakat Adat

advokasi ini menggunakan aktor yang memiliki power lebih besar untuk memberikan tekanan kepada pihak-pihak yang menjadi sasaran untuk kemudian mau mengubah kebijakan sesuai dengan tuntutan yang diberikan oleh jejaring advokasi tersebut.38

Dalam mendorong perubahan kebijakan pemerintah, jejaring advokasi memanfaatkan kekuatan dari aktor-aktor ber-power (powerful actors) untuk memberikan pengaruh dan memberikan tekanan kepada pihak-pihak yang disasar. Berhubungan dengan taktik advokasi yang dilakukan oleh jejaring AMAN dalam menyelesaikan kasus pelanggaran hak-hak yang dialami oleh indigenous peoples Kepulauan Aru, dalam leverage politics ini AMAN melakukan kerja sama dengan Forest Peoples Programme (FPP) untuk melaporkan pealanggaran yang terjadi di Kabupaten Kepulauan Aru kepada Committee of the Elimination on Rasial Discrimination (CERD). Seperti yang telah dijelaskan dalam bab 3 bahwa AMAN melakukan upaya pembentukan jejaring advokasi transnasionalnya dengan mengirim laporan tertulis yang ditujukan kepada CERD, dimana laporan tersebut berisi penjelasan mengenai latar belakang dari munculnya pelanggaran hak-hak indigenous peoples di Kepulauan Aru, laporan berupa data-data indikasi pelanggaran hak indigenous peoples yang diterbitkan oleh Komnas HAM, hingga permohonan dari AMAN dan jejaringnya, agar CERD melakukan tindakan sehingga pembangunan industri tebu yang dilakukan oleh PT Menara Group dapat dihentikan. Dalam hal ini, CERD merupakan powerful actor yang diajak bekerja sama oleh AMAN dan jejaringnya untuk menghimpun kekuatan dalam memberikan tekanan kepada Pemerintah Indonesia demi menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang dialami oleh indigenous peoples Kepulaun Aru, Maluku, Indonesia.

Dengan menggunakan kekuatan pengaruh yang dimiliki oleh powerful actor, pergerakan non-state actor yang sebelumnya tidak dianggap dan cenderung bersifat lemah kemudian memiliki kekuatan dan kemampuan lebih untuk mempengaruhi praktik-praktik yang dilakukan oleh negara atau pihak yang menjadi sasaran yang berasal dari sokongan yang diberikan oleh powerful actor melalui leverage politics. Walaupun pengaruh yang diberikan oleh non-state actor untuk mengubah kebijakan pemerintah kemudian terlihat bergantung pada dukungan yang diberikan oleh powerful actor, namun upaya untuk menciptakan hubungan dan kemudian membentuk jejaring adalah kemampuan tersendiri yang dimiliki oleh non-state actor dalam memobilisasi solidaritas dari setiap anggotanya hingga ke publik sehingga mampu menyampaikan ide dari penyelesaian isu yang sedang diupayakan penyelesaiannya.

AMAN dan FPP mengirimkan laporan ke CERD pada 14 Juli 2015, yang kemudian mendapatkan respon dari CERD pada 28 Agustus 2015 berupa rekomendasi yang ditujukan kepada Pemerintah Indonesia untuk mengubah kebijakan, peraturan, serta praktik hukum nasionalnya guna memastikan bahwa konsep kepentingan nasional, modernisasi, serta pembangunan ekonomi dan sosial tidak menjadi alasan bagi negara untuk mengesampingkan hak-hak indigenous peoples.39 Selain itu, CERD juga memberikan rekomendasi bagi Indonesia agar meninjau ulang undang-undang, khususnya UU No.18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, serta pelaksanaannya dalam praktik, untuk memastikan bahwa mereka menghormati hak-hak indigenous peoples untuk memiliki, mengembangkan, mengendalikan, dan menggunakan tanah

                                                                                                                         38 Anise Fatima Shah, “Constructivism and Transnational Advocacy Networks: The Role of Non-State Actors in the Global Anti-Trafficking Movement”, dalam A Project Presented to the Faculty of the Department of Government, California State University, Sacramento, hlm. 28-29. 39 Balasan dari CERD untuk merespon Fax Message dari AMAN yang bekerja sama dengan FPP mengenai Permohonan untuk Pertimbangan atas Situasi Masyarakat Adat Kepulauan Aru, Indonesia, di bawah Prosedur Peringatan Dini dan Aksi Mendesak Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial,

Strategi Advokasi ..., Anindita Nur Hidayah, FISIP UI, 2017

Page 16: Strategi Advokasi Transnasional Aliansi Masyarakat Adat

komunal mereka.40 Namun, tidak dapat dipungkirri bahwa peran yang sangat besar juga dilakukan oleh aktivis dan masyarakat dalam negeri sendiri. Rekomendasi yang diberikan oleh CERD tersebut tidak secara langsung menjadi tekanan (pressure) bagi Pemerintah Indonesia, namun sebagai salah satu pegangan yang sangat kuat bagi para aktivis Indonesia untuk kemudian menekan pemerintah. Sebagai non-state actor yang membentuk sebuah jejaring, dalam melakukan advokasi, AMAN memanfaatkan gerakan yang dilakukan di dalam negeri yang kemudian disokong oleh hasil dari advokasinya yang dilakukan di luar negeri. Dalam kasus pelanggaran HAM indigenous peoples Kepulauan Aru ini sendiri, AMAN dan jejaringnya mendapatkan bantuan besar dari powerful actor yaitu CERD dengan dikeluarkannya rekomendasi-rekomendasi yang ditujukan kepada Pemerintah Indonesia. Walaupun demikian, rekomendasi tersebut tidak secara langsung mampu mengubah kebijakan pemerintah Indonesia, melaikan AMAN dan jejaringnya yang terdapat di dalam negeri harus terus melakukan kampanye dan melakukan tekanan-tekanan melalui temuan-temuan dan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa diizinkannya PT Menara Group untuk membangun industri perkebunan tebu di wilayah adat indigenous peoples Kepulauan Aru adalah hal yang salah. Oleh karena itu, dapat dilihat dalam kasus yang terjadi di Kepulauan Aru ini bahwa powerful actor tidak berperan secara langsung dalam memberikan pressure kepada Pemerintah Indonesia, melainkan rekomendasinya kemudian mampu menjadi amunisi yang kuat bagi para aktivis, AMAN dan jejaringnya, dalam memberikan tekanan kepada Pemerintah untuk mengubah kebijakannya.

Accountability politics (politik tanggung jawab) adalah salah satu taktik yang dilakukan oleh jejaring advokasi untuk mempertahankan pihak-pihak yang memiliki power besar untuk tetap sejalan dengan mandat yang dipegang dan diperjuangkan oleh jejaring advokasi tersebut. Dalam hal ini, setelah jejaring advokasi mampu meyakinkan pemerintah ataupun aktor yang lain untuk memiliki pandangan dan nilai yang sama terhadap sebuah kasus, jejaring ini akan menyingkap kesesuaian antara diskursus yang dibentuk oleh pemerintah dengan praktiknya.41 Dalam taktik accountability politics, jejaring advokasi memantau tindakan yang dilakukan oleh negara ataupu perusahaan yang menjadi sasaran pengadvokasian. Jika negara atau korporasi tersebut kemudian melakukan aktivitas yang tidak sesuai dengan komitmen yang telah menjadi kesepakatan, jejaring advokasi yang bersangkutan dapat mempublikasikan hal ini. Pemublikasian tersebut dilakukan dengan menyoroti ketidakpatuhan dari negara ataupun perusahaan sasaran. Dengan melakukan hal tersebut, para aktivis dalam jejaring advokasi transnasional tersebut kemudian dapat menciptakan sebuah sentimen publik dan memberikan tekanan bagi negara ataupun perusahaan untuk menyesuaikan dengan kesepakatan yang telah terbentuk.

Dalam accountability politics ini jejaring melakukan pemantauan secara berkelanjutan agar pihak-pihak yang menjadi sasaran pengadvokasian melakukan aktivitas sesuai dengan apa yang telah dimandatkan. Dalam kasus yang dialami oleh indigenous peoples Kepulauan Aru ini sendiri, AMAN dan jejaringnya melakukan pemantauan kepada pemerintah lokal maupun nasional serta PT Menara Group Sendiri. Dalam pemantauan berkala yang dilakukan oleh AMAN dan jejaringnya, mereka mengharapkan pihak-pihak tersebut konisten dalam melakukan aktivitas dengan tidak memulai lagi ataupun meneruskan pembangunan industri perkebunan tebu di wilayah adat indigenous peoples Kepulauan Aru. AMAN melakukan taktik accountability poitics dalam jejaringnya agar dapat memberikan tekanan kepada Pemerintah Indonesia. Hingga tahun

                                                                                                                         40 Ibid. 41 Fatima Shah, “Constructivism and Transnational Advocacy Networks: The Role of Non-State Actors in the Global Anti-Trafficking Movement”, dalam A Project Presented to the Faculty of the Department of Government, California State University, Sacramento, hlm. 29-30.

Strategi Advokasi ..., Anindita Nur Hidayah, FISIP UI, 2017

Page 17: Strategi Advokasi Transnasional Aliansi Masyarakat Adat

2016 (bahkan sampai saat ini), AMAN dan jejaringnya masih belum sepenuhnya meyakini bahwa aktivitas yang dilakukan oleh PT Menara Group untuk membangun industri perkebunan tebu di Kabupaen Kepulauan Aru telah berhenti. Oleh karena itu, hingga saat ini AMAN terus melakukan pengecekan dan pengawalan mengenai pencabutan izin prinsip yang dikeluarkan kepada PT Menara Group oleh pemerintah daerah maupun Kementerian Kehutanan RI. Meskipun Pemerintah Indonesia telah secara nyata mendapatkan rekomendasi-rekomendasi dari CERD untuk menyelesaikan kesus yang terjadi dan melindungi hak-hak indigenous peoples Aru, AMAN dan jejaringnya tetap melakukan upaya penguatan hak-hak indigenous peoples Maluku dengan memgang dan mamanfaatkan temuan-temuan pelanggaran dari Komnas HAM dan rekomendasi yang dibuat oleh CERD.

Penguatan hak-hak indigenous peoples Kepulauan Aru sebagai tindakan lanjut dari upaya tekanan-tekan yang diberikan kepada pemerintah ini menghasilkan Resolusi Haruku.42 Resolusi ini ditujukan kepada Pemerintah Indonesia di semua tingkatan untuk tidak memberikan izin kepada pihak manapun untuk melakukan kegiatan eksploitasi terhadap tanah, wilayah, dan sumber daya alam yang berada di wilayah-wilayah adat tanpa persetujuan dari indigenous peoples yang bersangkutan melalui mekanisme yang disepakati bersama.43 Selain itu, salah satu poin dalam resolusi tersebut menyatakan bahwa masyarakat Maluku, khususnya Kepulauan Aru, mendesak Presiden RI dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk segera mencabut 19 (sembilan belas) izin prinsip yang dikeluarkan kepada PT Menara Group agar tidak akan lagi melakukan kegiatan eksploitasi maupun eksplorasi di Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku, Indonesia.44 Kesimpulan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) merupakan salah satu NGO yang memiliki perhatian khusus terhadap hak-hak indigenous peoples di Indonesia. AMAN adalah NGO independen yang terdaftar secara resmi di Departemen Kehakiman dan HAM, yang anggotanya terdiri dari komunitas-komunitas indigenous peoples dari berbagai pelosok Nusantara, dan merupakan NGO pemerhati indigenous peoples terbesar di Asia Tenggara, bahkan di Dunia.Dalam melakukan kegiatan advokasi perlindungan hak-hak indigenous peoples, AMAN selalu membentuk jejaring demi mempermudah pengumpulan data hingga penyelesaian masalah. Advokasi yang dilakukan oleh AMAN untuk melindungi hak indigenous peoples dalam isu pembukaan lahan perkebunan tebu di Kabupaten Kepulauan Aru (2010-2015) sendiri tidak lepas dari pembentukan jejaring yang dibuat oleh AMAN. Tahun 2010 yang merupakan awal mula dikeluarkannya izin untuk konversi hutan oleh Bupati Kabupaten Kepulauan Aru, Teddy Tengko, hingga tahun 2015 yang merupakan tahun tercapainya gugatan AMAN dan jejaringnya untuk menghentikan penebangan pohon-pohon di hutan Aru, dimana dalam hal ini AMAN memanfaatkan kekuatan dari luar negaranya untuk memberikan tekanan kepada Pemerintah Indonesia.

AMAN menggunakan taktik jejaring advokasi transnasional dalam upaya menghentikan usaha konversi yang dilakuan oleh PT Menara Group di Kabupaten Kepulauan Aru. Menggunakan kerangka konsep Transnational Advocacy Network oleh Keck & Sikkink, penulis                                                                                                                          42 AMAN, “Muswil II PW AMAN Maluku Serukan Reolusi Haruku”, 24 Oktober 2016, diakses dari http://www.aman.or.id/muswil-ii-pw-aman-maluku-serukan-resolusi-haruku/, pada 23/5/2017. 43 Ibid. 44 Ibid.

Strategi Advokasi ..., Anindita Nur Hidayah, FISIP UI, 2017

Page 18: Strategi Advokasi Transnasional Aliansi Masyarakat Adat

menemukan setidaknya terdapat 4 tipologi analsis taktik yang digunakan oleh jejaring dalam melakukan persuasi, sosialisasi ide, hingga memberikan tekanan kepada pemerintah hingga mampu mempengaruhi kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Analisis taktik tersebut antara laininformation politics, symbolic politics, leverage politics, dan accountability politics. Dalam kasus pelanggaran hak-hak indigenous peoples di Kepulauan Aru, strategi information politics dilakukan dengan gerakan terbentuknya solidaritas dari berbagai pulau di Indonesia, yang diantaranya dilakukan melalui media sosial seperti twitter, facebook, website, dsb. Melalui jejaring yang dibangun melalui media sosial tersebut, indigenous peoples Aru membuat gerakan solidaritas yang dinamakan dengan Save Aru yang kemudian mendapat perhatian dari dunia internasional.

Strategi advokasi yang dilakukan oleh AMAN dan jejaringnya menggunakan symbolic politics untuk menghimpun massa dan menyebarkan informasi mengenai pelanggaran hak indigenous peoples Kepulauan Aru. Hal ini dimotori oleh Gerakan Save Aru yang pada dasarnya adalah jejaring AMAN yang memiliki peran dalam kegiatan kampanye dan penyebaran informasi. Dalam kampanye yang dilakukan, Gerakan Save Aru ini selalu konsisten dalam menggunakan simbol, yaitu berupa gambar burung Cendrawasih serta penggunaan tagar SaveAru. Berhubungan dengan taktik advokasi yang dilakukan oleh jejaring AMAN dalam menyelesaikan kasus pelanggaran hak-hak yang dialami oleh indigenous peoples Kepulauan Aru, dalam leverage politics AMAN melakukan kerja sama dengan Forest Peoples Programme (FPP) untuk melaporkan pealanggaran yang terjadi di Kabupaten Kepulauan Aru kepada Committee of the Elimination on Rasial Discrimination (CERD). AMAN melakukan upaya pembentukan jejaring advokasi transnasionalnya dengan mengirim laporan tertulis yang ditujukan kepada CERD, dimana laporan tersebut berisi penjelasan mengenai latar belakang dari munculnya pelanggaran hak-hak indigenous peoples di Kepulauan Aru, laporan berupa data-data indikasi pelanggaran hak indigenous peoples yang diterbitkan oleh Komnas HAM, hingga permohonan dari AMAN dan jejaringnya, agar CERD melakukan tindakan sehingga pembangunan industri tebu yang dilakukan oleh PT Menara Group dapat dihentikan. AMAN melakukan taktik accountability poitics dalam jejaringnya agar dapat memberikan tekanan kepada Pemerintah Indonesia. Hingga saat ini AMAN masih terus melakukan pengecekan dan pengawalan mengenai pencabutan izin prinsip yang dikeluarkan kepada PT Menara Group. Meskipun Pemerintah Indonesia telah mendapatkan tekanan dari CERD untuk melindungi hak-hak indigenous peoples Aru, AMAN dan jejaringnya tetap melakukan upaya penguatan hak-hak indigenous peoples Maluku, yang kemudian menghasilkan Resolusi yang satu poinnya menyatakan bahwa masyarakat Maluku mendesak Presiden RI dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk segera mencabut 19 (sembilan belas) izin prinsip yang dikeluarkan kepada PT Menara Group agar tidak akan lagi melakukan kegiatan eksploitasi maupun eksplorasi di Kabupaten Kepulauan Aru. Saran Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, penulis mengalami kesulitan dalam mencari data mengenai penelitian sebelumnya yang membahas tentang pengadvokasian perlindungan hak-hak indigenous peoples oleh non-state actor. Dari literatur yang telah penulis temukan, dapat dikatakan bahwa penelitian mengenai indigenous peoples dan perlindungan hak-haknya ini masih sangat jarang ditulis oleh akademisi, terlebih akademisi di kawasan Asia. Rekomendasi yang diberikan penulis untuk penelitian berikutnya adalah agar peneliti mengelaborasi lebih lanjut seberapa penting peran pemerintah maupun non-state actor dalam melindungi hak-hak

Strategi Advokasi ..., Anindita Nur Hidayah, FISIP UI, 2017

Page 19: Strategi Advokasi Transnasional Aliansi Masyarakat Adat

indigenous peoples, dan mengelaborasi mengapa hak-hak indigenous peoples tersebut penting untuk dilindungi, mengingat secara kuantitas mereka adalah kelompok minoritas, hingga isunya pun menjadi perhatian di dalam diskusi-diskusi tingkat internasional.

Selain itu, dalam penelitian ini sendiri penulis menemukan bahwa sebagai non-state actor, AMAN ternyata tidak sepenuhnya melakukan taktik dalam konsep TAN yang dipaparkan oleh Keck dan Sikkink, namun advokasi yang dilakukan tetap menghasilkan tekanan pada pemerintah dan korporasi yang terbukti dari berhentinya aktivitas pembangunan industri perkebunan tebu oleh PT Menara Group di wilayah adat indigenous peoples Kepulauan Aru. Ditemukan bahwa pressure yang didapatkan Pemerintah Indonesia ternyata tidak sepenuhnya dari powerful actor yang terdapat dalam taktik leverage politics, melainkan porsi besar justru berada pada gerakan-gerakan nasional dan domestik. Oleh karena itu, sebagai rekomendasi, penelitian selanjutnya dapat mengelaborasi isu-isu transnational advocacy yang ternyata dapat menghasilkan kesepakan sesuai kepentingan jejaring tanpa menggunakan keempat strategi taktik yang diberikan oleh Keck dan Sikkink. Hal ini kemudian diharapkan mampu memberikan kontribusi dalam bidang akademis dengan argumentasi bahwa konsep dan teori yang ditawarkan tidak selalu linear dengan kejadian empiris yang ada di lapangan, karena setiap kejadian memiliki keunikan dan karakteristik masing-masing. Melalui penelitian yang telah dilakukan, penulis memberikan rekomendasi bagi AMAN sebagai non-state actor terbesar yang memiliki fokus dalam perlindungan hak-hak indigenous peoples di Indonesia agar lebih banyak menerbitkan publikasi baik berupa buku maupun publikasi di website resmi AMAN. Hal ini penting bagi penelitian selanjutnya, khusunya mengenai indigenous peoples dan peran perjuangannya, agar peneliti selanjutnya memiliki referensi lebih yang dapat dipercaya, khususnya untuk penelitian-penelitian akademis bagi perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia. Selain itu, penulis memberikan rekomendasi pula bagi pemerintah Indonesia untuk memberikan pandangan khusus kepada indigenous peoples. Penulis mengharapkan agar Pemerintah Indonesia menyadari bahwa indigenous peoples di Indonesia masih berjuang untuk mendapatkan pengakuan dan keadilan akan hak-haknya sebagai warga negara Indonesia. Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia perlu merancang dan mengesahkan undang-undang yang khusus berbicara mengenai hukum dan aturan mengenai hak dan kewajiban yang dimiliki oleh pemerintah bagi indigenous peoples maupun sebaliknya, dengan tetap mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak indigenous peoples secara utuh sebagai salah satu kelompok yang rentan akan penindasan. Kepustakaan ADMIN. “#savearu Mengusir Menara Group, Saatnya untuk #savebovendigoel”. Dalam Awas

MIFEE, 21 Mei 2014. Diakses dari https://awasmifee.potager.org/. Pada 13/6/2017. AMAN. Menggugat Hubungan Masyarakat Adat dan Negara, diakses dari

http://www.aman.or.id/wp-content/uploads/2015/11/Profile-AMAN_2015.pdf. Pada 27/2/2017.

AMAN. Permohonan untuk Pertimbangan atas Situasi Masyarakat Adat Kepulauan Aru, Indonesia, di bawah Prosedur Peringatan Dini dan Aksi Mendeak Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial. Diakses dari http://www.forestpeoples.org/sites/fpp/files/news/2015/10/Aru%20Islands%20EW-

Strategi Advokasi ..., Anindita Nur Hidayah, FISIP UI, 2017

Page 20: Strategi Advokasi Transnasional Aliansi Masyarakat Adat

UA%20Request%20-%20Final%20_bahasa.pdf. Pada 15/3/2017. AMAN. Profil Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Diakses dari

http://www.aman.or.id/wp-content/uploads/2017/02/PROFIL-AMAN_Update_Bahasa_Oct2016.pdf. Pada 8/3/2017.

Eriksen, Thomas Hylland. 2009. “Minorities and the State”. Dalam Ethnicity and Nationalism: Anthropological Perspective Third Edition. (New York: Pluto Press).

Jackson, Sherri L. 2012. Research Methods and Statistics: A Critical Thinking Approach 4th Edition. (Amerika Serikat: Wadsworth Cengage Learning).

Keck, Margaret E. dan Kathryn Sikkink. 1999. “Transnational Advocacy Networks in International and Regional Politics”. Dalam UNESCO, (USA: Blackwell Publishers).

Morgan, Sonya J. et.al. “Case Study Observational Research: A Framework for Conducting Case Study Research Where Observation Date Are the Focus”. Dalam Qualitative Health Research, 2016.

Rahmat, Pupu Saeful. “Penelitian Kualitatif”. Dalam Equilibrium, Vol. 5, No. 9 (2009). United Nations. “United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples”. Dalam

107th Plenary Meeting, 13 September 2007. United Nations. Overview. Diakses dari http://www.un.org/en/sections/about-

un/overview/index.html. Pada 6/2/2017.

Strategi Advokasi ..., Anindita Nur Hidayah, FISIP UI, 2017