42
STRATEGI MANAJEMEN NYERI KRONIS Pendahuluan Nyeri kronis biasanya diobati dengan kombinasi terapi medikamentosa dan nonmedikamentosa. Pasien awalnya menginginkan terapi terfokus pada medikamentosa, walaupun secara umum terapi nonmedikamentosa menawarkan manfaat jangka panjang. Dari survey populasi didapatkan 45% pasien melaporkan pengobatan nyeri mereka sangat efektif dan 41% merasakan efektif. Meskipun terapi medikamentosa sangat membantu, 64% dilaporkan terapi medikamentosa tidak adekuat untuk mengontrol nyeri. Data ini menyatakan bahwa walaupun medikamentosa merupakan komponen yang penting dalam manajemen nyeri, terapi medikamentosa seharusnya digunakan dalam program terapi komprehensif, termasuk penambahan terapi nonmedikamentosa untuk memaksimalkan hasil terapi. Terapi medikamentosa Pengobatan nyeri meliputi beberapa macam terapi (Tabel 2.1). Ketika analgesik sederhana dan opioid digunakan untuk mengurangi keparahan nyeri, pengobatan lain yang dikembangkan untuk mengobati kondisi medis juga menawarkan efek analgesik, termasuk pengobatan yang untuk mengurangi gangguan mood, epilepsi, dan peningkatan tekanan darah. Kebanyakan orang dengan nyeri kronis menggunakan resep obat, khususnya analgesik (2.1). Terapi adjuvan umumnya digunakan untuk mengobati nyeri neuropati dan nyeri kepala kronis. Tabel 2.1 Pengobatan nyeri 1

Strategi Manajemen Nyeri Kronis

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Strategi Manajemen Nyeri Kronis

STRATEGI MANAJEMEN NYERI KRONIS

Pendahuluan

Nyeri kronis biasanya diobati dengan kombinasi terapi medikamentosa dan

nonmedikamentosa. Pasien awalnya menginginkan terapi terfokus pada medikamentosa,

walaupun secara umum terapi nonmedikamentosa menawarkan manfaat jangka panjang. Dari

survey populasi didapatkan 45% pasien melaporkan pengobatan nyeri mereka sangat efektif

dan 41% merasakan efektif. Meskipun terapi medikamentosa sangat membantu, 64%

dilaporkan terapi medikamentosa tidak adekuat untuk mengontrol nyeri. Data ini menyatakan

bahwa walaupun medikamentosa merupakan komponen yang penting dalam manajemen

nyeri, terapi medikamentosa seharusnya digunakan dalam program terapi komprehensif,

termasuk penambahan terapi nonmedikamentosa untuk memaksimalkan hasil terapi.

Terapi medikamentosa

Pengobatan nyeri meliputi beberapa macam terapi (Tabel 2.1). Ketika analgesik

sederhana dan opioid digunakan untuk mengurangi keparahan nyeri, pengobatan lain yang

dikembangkan untuk mengobati kondisi medis juga menawarkan efek analgesik, termasuk

pengobatan yang untuk mengurangi gangguan mood, epilepsi, dan peningkatan tekanan

darah. Kebanyakan orang dengan nyeri kronis menggunakan resep obat, khususnya analgesik

(2.1). Terapi adjuvan umumnya digunakan untuk mengobati nyeri neuropati dan nyeri kepala

kronis.

Tabel 2.1 Pengobatan nyeri

Analgesik non opioid, sederhana

- Acetaminophen/paracetamol

- AINS

Analgesik adjuvan

- Antidepresan

- Antiepileptik neurostabiliser

- Antispasmodik

- Alfa-2 agonis

- Agen topikal (lidokain, capsaicin)

Analgesik opioid

- Lepas cepat

1

Page 2: Strategi Manajemen Nyeri Kronis

- Lepas lambat

2.1. Resep obat umum untuk nyeri kronis. Di antara orang dengan nyeri kronis sedang atau

berat di Eropa dan Israel, 53% melaporkan saat ini menggunakan resep obat untuk rasa nyeri.

Kelompok obat yang paling umum digunakan adalah AINS. Beberapa obat dilaporkan akan

digunakan untuk kondisi nyeri spesifik, seperti beta dan calcium channel blockers atau

triptans untuk nyeri kepala kronis dan disease-modifying antirheumatic drugs (DMARDs)

untuk rheumatoid arthritis.

Penelitian manajemen nyeri kronis pada pasien rawat jalan yang dianalisis dari literatur

yang ada mengidentifikasi jumlah pasien yang perlu diterapi untuk mendapat respon yang

efektif dari beberapa macam terapi medikamentosa (Tabel 2.2). Tidak ada terapi pada

seorang pun yang efektif untuk kebanyakan pasien. Data ini menunjukkan bahwa variasi

terapi dapat efektif untuk nyeri kronis, tetapi pasien mungkin akan mencoba beberapa kali

terapi sebelum menemukan satu obat yang baik bagi dirinya.

Tabel 2.2 Number-needed-to-treat (NNT) untuk efektivitas pengobatan nyeri

Pengobatan NNT

Analgesik minor

- Acetaminophen/paracetamol

- Ibuprofen

- Tramadol

- Propoxyphene

2,9

2,0

8,2

7,5

AINS topikal 3,0

Capsaicin topikal 3,9

Antidepresan 3,0

2

Page 3: Strategi Manajemen Nyeri Kronis

Antiepileptik 2,5

Efektivitas pengobatan ditentukan oleh tinjauan literatur dari uji klinis acak terkontrol. NNT

didefinisikan sebagai jumlah pasien yang diperlukan untuk diobati untuk menghasilkan 1

pasien dengan nyeri sedang-berat mencapai > 50% nyeri yang mereda dibandingkan dengan

plasebo. Nilai NNT antara 2 dan 4 dianggap menunjukkan pengobatan yang efektif.

Mekanisme pengobatan nyeri

Analgesik dan terapi adjuvan mempengaruhi baik mekanisme nyeri sentral maupun

perifer (2.2, Tabel 2.3). Cidera akut akan menghasilkan akumulasi abnormal dari natrium

pada saraf yang terkena, yang menyebabkan penurunan ambang batas depolarisasi.

Sensitisasi saraf perifer akan meningkatkan sinyal nyeri. Ketika saraf perifer teraktivasi,

perubahan pada kadar kalsium neuronal dan peningkatan regulasi reseptor NMDA akan

meningkatkan eksitabilitas medula spinalis, yang kemudian menghasilkan sensitisasi sentral

pada jalur nyeri. Pengobatan nyeri bekerja dengan mengurangi sensitisasi perifer atau sentral

atau meningkatkan aktivitas jalur inhibitor descendens dari otak. Jalur serotonik dari

periaqueductal gray dan jalur nonadrenergik dari lokus ceruleus mengurangi transmisi nyeri

dengan menghambat jalur nyeri pada medula spinalis, melalui interaksi penghambatan

interneuron.

Tabel 2.3 Mekanisme pengobatan nyeri

Fungsi nyeri Mekanisme neural Medikasi

Sensitisasi perifer Kanal natrium Antiepileptik

(carbamazepine,

oxcarbazepine, phenytoin,

topiramate)

Anestesi lokal

Antidepresan tricyclic

Sensitisasi sentral Kalsium intraselular

Reseptor NMDA

Antiepileptik (gabapentin,

oxcarbazepine)

Ketamin

Dextromethorphan

Inhibisi descenden Resptor serotonin Antidepresan (tricyclics,

SSRIs, SNRIs)

3

Page 4: Strategi Manajemen Nyeri Kronis

Reseptor norepinfrin

Reseptor opioid

Tramadol

Opioid

NMDA: N-methyl-D-aspartate; SNRI: serotonin and norepinephrine reuptake inhibitor;

SSRI: selective serotonin reuptake inhibitor

2.2 Mekanisme analgesik umum. Serabut myelin A-δ dan serabut C tak bermyelin merespon

rangsangan, mengirimkan impuls ke bagian dorsal, di mana mereka bersinaps di luar lamina

sebelum menyeberang untuk naik di traktus spinotalamikus (A). Sinyal dari traktus

spinotalamikus berhenti dalam thalamus, menghasilkan aktivasi korteks somatosensori dan

sistem limbik. Analgesik mengurangi transmisi nyeri dengan mempengaruhi transduksi nyeri

perifer dan transmisi atau mekanisme modulasi sentral di otak atau sumsum tulang belakang

(B).

Gender dan etnis mempengaruhi efektivitas pengobatan

Wanita lebih sensitif terhadap nyeri dibandingkan dengan pria (2.3). Selain itu, respon

analgesik bervariasi berdasarkan gender. Meskipun pria mengalami efek awal yang lebih

besar pada opioid, secara keseluruhan respon analgesik lebih besar dan lebih persisten pada

wanita (2.4). Namun analgesik anti inflamasi non steroid lebih baik pada pria. Perbedaan

gender dalam persepsi nyeri dan respon pengobatan mungkin dijelaskan oleh peran penting

dari estrogen sebagai modulator nyeri.

Efektivitas sensitivitas nyeri dan pengobatan dipengaruhi oleh etnis. Meskipun ambang

nyeri hampir sama diantara kelompok etnis, penelitian menyatakan bahwa batas bawah

4

Page 5: Strategi Manajemen Nyeri Kronis

toleransi nyeri lebih rendah dan persepsi stimulus nyeri lebih besar pada orang Afrika

Amerika dan Hispanik jika dibandingkan dengan Kaukasoid (2.5).

2.3 Sensitivitas nyeri berdasarkan gender. Kemampuan untuk menerima stimulasi listrik

sebagai nyeri (ambang) dan tingkat terbesar yang dapat ditoleransi (toleransi) diuji pada 20

dewasa sehat. Kedua ambang nyeri dan toleransi secara signifikan lebih tinggi pada laki-laki

(P <0,05)

2.4 Respon analgesik berdasarkan gender. A: Pengaruh dosis tunggal morfin intravena diuji

pada orang dewasa sehat (10 pria dan 10 perempuan). Grafik menunjukkan individu (garis

biru) dan rata-rata (garis merah) brspon terhadap rangsangan arus listrik. Arus awal sama

5

Page 6: Strategi Manajemen Nyeri Kronis

antara kedua gender untuk ambang nyeri dan toleransi. Ketika konsentrasi morfin dan

metabolitnya sama antara kedua gender, perempuan menunjukkan potensi morfin yang lebih

besar secara keseluruhan, kecepatan onset analgesik lebih lambat, dan durasi yang lebih lama

dari efek analgesik. Data ini mendukung pengamatan klinis penggunaan opioid lebih tinggi

pada laki-laki untuk nyeri akut daripada perempuan. (Berdasarkan Sarton E, et al, 2000.) B:

Dua puluh orang dewasa yang sehat (10 pria dan 10 perempuan) sama-sama diobati dengan

ibuprofen atau plasebo dan diuji dengan stimulasi listrik. Baik ibuprofen atau plasebo tidak

mempengaruhi ambang nyeri, namun ibuprofen mempengaruhi toleransi nyeri. Toleransi

nyeri secara signifikan meningkat dengan ibuprofen pada pria (P <0,05) dan tidak berbeda

antara ibuprofen dan plasebo pada wanita. (Berdasarkan Walker JS, Carmody JJ, 1998)

2.5 Perbedaan respon nyeri berdasarkan ras. A: Uji nyeri eksperimental dialukan pada orang

dewasa yang sehat yang mewakili tiga kelompok etnis: Afrika Amerika (N = 63), Hispanik

Amerika (N = 61), dan non-Hispanik Kaukasia Amerika (N = 82). Faktor demografi

dianggap sebagai kovariat dalam analisis. Tidak ada perbedaan dalam ambang nyeri untuk

nyeri panas atau dingin antar jenis kelamin (tidak ditampilkan). Namun baik toleransi nyeri

panas maupun dingin, adalah sama untuk Afrika Amerika dan Hispanik dan secara signifikan

lebih rendah pada kedua kelompok etnis dibandingkan dengan non-Hispanik Kaukasia (P

<0,05). (Berdasarkan Rahim-Williams FB, et al, 2007) B: Dalam sebuah penelitian serupa,

pengujian nyeri dilakukan pada 40 orang dewasa yang sehat: 20 Inggris Kaukasia dan 20

Asia Selatan dari India, Pakistan, dan Bangladesh. Persepsi dingin dan hangat mirip antar

etnis, sementara ambang nyeri lebih rendah di antara orang Asia. Perbedaan antara Kaukasia

dan orang Asia signifikan untuk ambang nyeri panas (P = 0,006) dan menunjukkan

kecenderungan signifikansi ambang nyeri dingin (P = 0,057). (Berdasarkan Watson PJ, et al,

2005.)

6

Page 7: Strategi Manajemen Nyeri Kronis

Analgesik

Analgesik jangka pendek digunakan untuk mengobati secara intermiten dan nyeri yang

berat, sedangkan analgesik jangka panjang atau analgesik berkelanjutan dan terapi adjuvan

efektif untuk mengurangi nyeri persisten. Opioid memberikan potensi analgesik lebih kuat

untuk nyeri non inflamasi daripada analgesik non opioid., seperti AINS, tanpa resiko efek

prostaglandin (2.6). Sekitar 30% dari perawatan utama pasien diresepkan opioid untuk nyeri

kronis. Namun dalam praktek sering terjadi penyalahgunaan, termasuk laporan hilangnya

resep, mendapat opioid dari sember sekunder, dan secara cepat meminta pengadaan lagi.

Selain opioid sangat efektif dalam mengurangi nyeri non-neuropati, opioid juga digunakan

untuk mengobati nyeri neuropati, meskipun pengurangan nyeri mungkin lebih rendah dan

dosis yang dibutuhkan lebih besar (2.7).

2.6 Tangga potensi analgesik. Ini merupakan tangga potensi analgesik didasarkan pada 3-

langkah tangga analgesik WHO. WHO merekomendasikan pencocokan potensi analgesik

dengan derajat keparahan nyeri. Pasien dengan nyeri ringan pada awalnya diperlakukan

dengan terapi dalam anak tangga pertama dari tangga, termasuk analgesik nonopioid dan

terapi adjuvan. Pengobatan untuk pasien dengan nyeri sedang harus mencakup penambahan

opioid lemah, dengan opioid kuat disediakan untuk pasien dengan nyeri berat. Efektivitas

pendekatan ini divalidasi dalam 10-tahun studi prospektif dengan pasien nyeri kanker.

Meskipun 3 dari 4 pasien memerlukan opioid lemah atau kuat, penyembuhan nyeri terbukti

sama efektifnya dalam setiap langkah dari tangga ketika terapi dimulai dengan potensi

analgesik yang dicocokkan dengan derajat keparahan nyeri. LA: long-acting; NSAID: anti-

inflamasi non-steroid, TCA: antidepresan trisiklik.

7

Page 8: Strategi Manajemen Nyeri Kronis

2.7 Efektivitas opioid untuk nyeri neuropatik. Opioid dapat secara efektif digunakan untuk

mengurangi nyeri neuropatik. Pereda nyeri total dievaluasi dalam studi 4 dosis tunggal pada

168 pasien yang menerima dosis opioid (A). Nyeri mereda pada kedua kelompok, meskipun

secara signifikan lebih baik pada pasien dengan nyeri non-neuropatik (P = 0,02).

(Berdasarkan Cherny NI, et al., 1994). Dalam studi kedua (B), dosis buprenorfin yang

diperlukan untuk mengurangi rasa sakit setidaknya 50% dibandingkan pada 21 pasien yang

dirawat nyeri pasca operasi bedah thoraks non-neuropatik dan 1 bulan kemudian untuk nyeri

neuropatik pasca-torakotomi. Sementara pengurangan nyeri berhasil dicapai untuk kedua

nyeri neuropatik akut non-dan nyeri neuropatik berkelanjutan, dosis opioid yang diperlukan

untuk mencapai pengurangan nyeri yang sama secara signifikan lebih tinggi untuk nyeri

neuropatik (P <0,001). (Berdasarkan Benedetti F, et al, 1998.)

Antidepresan

Selain bersifat meningkatkan mood, antidepresan juga menawarkan efek analgesik

yang ampuh. Berbagai mekanisme neural menjelaskan sifat analgesik dari antidepresan

(Tabel 2.4). Antidepresan mungkin efektif digunakan untuk mengobati nyeri kronis dan yang

sering disertai dengan gangguan mood dan tidur.

Sifat analgesik dari antidepresan, independen terhadap kualitas perbaikan mood,

dengan analgesi terjadi pada pasien tanpa komorbid depresi. Di antara beberapa kelas dari

antidepresan yang berbeda, trisiklik memiliki efek analgesik yang paling poten (2.8). Di

antara antidepresan baru, serotonin dan inhibitor reuptake noradrenergik, seperti venlafaxine

dan nefazodone, dan noradrenergik dan serotonergik antidepresan tertentu, seperti mirtazapin,

menawarkan efek analgesia yang paling menjanjikan. Kedua kelas antidepresan ini

mempengaruhi reseptor α2-adrenergik dan reseptor κ1, κ3, δ-opioid, yang dapat berkontribusi

dalam efek analgesik.

Tabel 2.4 Efek analgesik antidepresan

8

Page 9: Strategi Manajemen Nyeri Kronis

Efek presinaptik

- Inhibisi reuptake noradrenalin

- Inihibisi reuptak serotonin

Postsinaptik

- Blok reseptor alfa-adrenergik

- Blok reseptor histamin

- Blok reseptor kolinergik

- Induksi pelepasan opioid

- Antagonis NMDA

- N-type calcium channel blockade

NMDA: N-methyl-D-aspartate

2.8 Efek antidepresan pada nyeri neuropati diabetik. Lima puluh tujuh pasien (59% laki-laki,

usia rata-rata = 58 tahun) dengan neuropati diabetik yang menyakitkan diacak untuk

menerima pengobatan dengan amitriptyline, despiramine, fluoxetine, atau plasebo dalam dua

studi double-blind. Rata-rata dosis harian adalah 105 mg amitriptyline, 111 mg despiramine,

dan 40 mg fluoxetine. Grafik menunjukkan persentase pasien yang menerima masing-masing

pengobatan yang mengalami pengurangan nyeri sedang atau membaik. Pengurangan nyeri

lebih unggul dengan plasebo untuk kedua antidepresan trisiklik (P <0,05) tetapi tidak untuk

fluoxetine. Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam keberhasilan antara dua trisiklik.

(Berdasarkan Max MB, et al, 1992)

Antiepileptik neurostabiliser

Obat antiepileptik dengan efek neurostabiliser mengurangi eksitabilitas neuronal

dengan mengeblok kanal natrium dan kalsium dan beraksi menyerupai GABA. Antiepileptik

seperti gabapentin, pregabalin, carbamazepine, baclofen, valproate, topiramate, dan lain-lain,

meberikan keuntungan analgesik dan mengurangi nyeri neuropatik dan nyeri kepala kronis.

9

Page 10: Strategi Manajemen Nyeri Kronis

Penyembuhan nyeri dengan antiepileptik sama dengan yang diterima dengan antidepresan

trisiklik (2.9).

2.9 Antiepileptics untuk nyeri neuropatik. Dalam penelitian pilot terkontrol, 25 pasien dengan

neuropati diabetik diacak untuk mndapat pengobatan dengan gabapentin (rata-rata dosis =

1,565 mg per hari) atau amitriptyline (rata-rata dosis = 59 mg sehari-hari). Setidaknya

penguranagan nyeri sedang dialami pada 52% dengan gabapentin dan 67% dengan

amitriptyline. Grafik menunjukkan perubahan keparahan nyeri dari awal pada pasien yang

menyelesaikan 6 minggu penuh pengobatan. Pengurangan 0,35 mewakili penurunan dari

nyeri sedang ke nyeri ringan. Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam pengurangan nyeri

antara gabapentin dan amitriptyline. Data ini mendukung bahwa kedua antidepresan trisiklik

dan antiepileptics dapat menjadi terapi efektif untuk nyeri neuropatik. (Berdasarkan Morello

CM, et al, 1999)

Muscle relaxan

Sebagian besar muscle relaxan atau obat antispasmodic menawarkan manfaat jangka

panjang minimal untuk nyeri kronis. Tizanidine telah terbukti mengurangi rasa sakit dan

gangguan tidur pada pasien dengan nyeri kepala kronis dan nyeri neuropatik. Tizanidine

bertindak sebagai reseptor agonis alpha 2-adrenergik, mirip dengan mekanisme analgesik

clonidine.

Agen topikal

Agen topikal yang efektif untuk nyeri neuropatik termasuk patch lidocaine 5% dan

krim capsaicin (2.10, 2.11). Selain untuk pengurangan nyeri neuropatik, pengobatan ini juga

memberikan efek samping sistemik yang minimal.

10

Page 11: Strategi Manajemen Nyeri Kronis

2.10 Patch Lidocaine. 5% patch lidocaine ditempatkan untuk menutupi area dada yang

mengalami nyeri neuralgia postherpetic, dengan menggunakan 2.5 patch. Patch disarankan

untuk digunakan selama 12 jam, diikuti dengan 12 jam tanpa patch. Kadar serum lidocaine

tetap rendah, bahkan dengan penggunaan beberapa patch.

2.11 Keberhasilan agen topikal. Lima puluh delapan pasien rawat jalan dengan sindrom nyeri

neuropatik fokal perifer kronis di Swiss dan Jerman diacak untuk menerima pengobatan

dengan patch 5% lidokain atau plasebo. Diagnosis yang paling umum adalah postherpetic

neuralgia (55%) dan pascaoperasi neuralgia (18%). Usia rata-rata pasien adalah 63 tahun,

dengan durasi nyeri rata-rata 3 tahun. Nyeri diukur dengan menggunakan skala analog visual

(VAS) dengan 0 mewakili tidak ada rasa nyeri dan nyeri maksimum 100. Perubahan derajat

nyeri dibandingkan dengan keadaan awal yang ditunjukkan dalam grafik (A). Perbedaan

antara lidokain dan plasebo yang signifikan dan penggunaan lidokain selama 4 jam pertama

setelah penempatan patch (** P <0,01) dan setelah 4, 5, dan 7 hari pengobatan (* P <0,05).

11

Page 12: Strategi Manajemen Nyeri Kronis

Jumlah pasien yang perlu diobati (NNT) untuk mendapatkan satu pasien dengan 50%

pengurangan nyeri adalah 4,4 untuk patch lidocaine. Para penulis membandingkan penelitian

ini dengan laporan literatur NNT untuk pasien dengan postherpetic neuralgia (B).

(Berdasarkan Meier T, et al, 2003)

Pengobatan nyeri selama kehamilan

Pemilihan obat yang diresepkan untuk wanita yang mampu melahirkan anak dipengarhui oleh

pengobatan yang aman selama kehamilan. Gabapentin dapat digunakan selama konsepsi dan

awal kehamilan (Tabel 2.5). Karena gapabentin memiliki efek samping pada pertumbuhan

palatum janin, maka gabapentin seharusnya dihentikan seiring berkembangnya kehamilan.

Opioid digunakan secara terbatas hingga intermiten. Pasien yang telah menggunakan opioid

secara kronis selama pertengahan hingga akhir kehamilan harus tetap melanjutkan opioid

setiap hari karena terdapat resiko mortalitas janin dan kelahiran prematur yang berhubungan

dengan withdrawal dari opioid terhadap janin intrauterin.

Tabel 2.5 Pengobatan nyeri selama kehamilan dan konsepsi

Aman

(Risiko FDA kategori

A atau B)

Manfaat > risiko

(Risiko FDA kategori

C)

Dihindari

(Risiko FDA kategori

D atau X)

Pencegahan Beta-bloker

Opioid jangka

panjang

Lidokain topikal

Antidepresan SSRI

Antidepresan trisiklik

Venlafaxine

Gabapentin

Topiramate

Lamotrigine

Topical capsaicin

Buproprion

Paroxetine

Valproate

Pengobatan Actaminophen

AINS trimester 2

opioid

AINS trimester 1

Triptan

Aspirin

Ergotamin

AINS trimester 3

Terapi intervensi

12

Page 13: Strategi Manajemen Nyeri Kronis

Terapi intervensi yang memiliki target struktur neural dipercaya berperan sebagai

generator nyeri. Terapi meliputi blok neural reversibel dengan anestesi lokal, neuroablasi

(neurotomi radiofrekuensi), peningkatan stimulasi medula spinalis, dan pengobatan

penghantaran intraspina. Pengurangan nyeri dengan terapi intervensi memberikan fasilitasi

untuk rehabilitasi dan secara signifikan memperbaiki fungsi dan mood.

Injeksi

Injeksi titik pemicu untuk nyeri myofacial, blok perifer untuk mononeuropati (blok

saraf occipital), blok simpatis untuk nyeri yang dimediasi secara simpatis (seperti sindrom

nyeri regional), dan injeksi epidural untuk nyeri spinal, menawarkan penyembuhan nyeri

sementara, biasanya dalam beberapa minggu hingga beberapa bulan (2.12 – 2.14). Facet

bergabung dengan sendi sinovial membentuk artikulasi vertebra superior diatas dan artikulasi

vertebra inferior dibawah, diinervasi oleh ramus posterior dari ujung medula spinalis. Injeksi

facet meredakan nyeri sementara (2.15). Penambahan kortikosteroid pada injeksi mengeblok

respon inflamasi lokal terhadap nyeri. Anestesi lokal membantu meredakan nyeri hingga

steroid memiliki waktu efektif.

2.12 Injeksi piriformis. Fluoroskopi digunakan untuk meningkatkan keberhasilan berbagai

inejksi. Otot piriformis antara sakrum dan trokanter mayor sering di injeksi untuk meredakan

nyeri pantat yang berhubungan dengan sindrom myofascial piriformis. Dengan panduan

fluoroscopic, daapt dikonfirmasi penempatan jarum melalui injeksi kontras, hal ini

menguntungkan karena ukurannya yang kecil, lokasi yang dalam, dan berhubungan dekat

dengan struktur neurovaskular dari otot piriformis.

13

Page 14: Strategi Manajemen Nyeri Kronis

2.13 Blok saraf oksipital. Blok saraf oksipital dilakukan dengan memasukkan jarum di dasar

tengkorak dan menyuntikkan obat disekitar saraf oksipital yang lebih besar atau lebih kecil.

2.14 Blok saraf oksipital. Limapuluh pasien dengan nyeri kepala cervicogenic (74%

perempuan, usia rata-rata 46,5 tahun) secara acak menerima blok saraf oksipital atau

menerima kontrol dengan injeksi saline. Derajat keparahan nyeri dinilai dengan 11-point

skala, dari 0 (tidak ada nyeri) untuk 10 (nyeri luar biasa). Frekuensi nyeri kepala

didefinisikan dengan jumlah nyeri kepala selama 2 minggu. Penggunaan parasetamol

didefinisikan dengan penggunaan 500 mg tablet dikonsumsi selama 2 minggu. Keadaan awal

karakteristik nyeri kepala adalah sama antar kelompok. Dua minggu setelah pengobatan,

nyeri kepala secara signifikan lebih baik pada pasien yang diobati dengan blok saraf oksipital

untuk nyeri berat (P = 0,0001), frekuensi (P = 0,026), dan penggunaan parasetamol (P =

0,0001). Penggunaan dekstropropoksifen, tramadol, dan ketoprofen yang juga serupa pada

keadaan awal antar kelompok tetapi berkurang secara signifikan setelah pengobatan untuk

pasien yang menerima blok saraf oksipital (P ≤ 0,01). (Berdasarkan Naja ZM, et al, 2006)

14

Page 15: Strategi Manajemen Nyeri Kronis

2.15 Blok facet servikal. Arthropathy facet dapat diobati dengan injeksi ke dalam sendi facet

sendiri atau pada cabang median blok saraf dengan panduan fluoroskopi. Sendi facet

ditampilkan pada pandangan oblik servikal tulang belakang. Lintas persarafan dari facet

memerlukan blok beberapa tingkatan, biasanya satu tingkat di atas dan satu di bawah sendi

yang terkena. Injeksi facet yang umumnya dilakukan yaitu pada vertebra servikal atau

lumbal, karena dapat terjadi risiko pneumotoraks jika dilakukan pada vertebra thoraks. Jika

blok facet memberikan hasil yang signifikan tapi reda sementara, pasien dapat menerima

pengulangan blok facet, ablasi frekuensi radio, atau stimulasi sinyal frekuensi radio.

Pada nyeri muskuloskeletal, nyeri yang reda dengan injeksi secara umum hanya

simptomatik dan seringkali sementara; oleh karena itu, terapi ini baik digunakan dengan

digabungkan dengan penambahan terapi untuk meredakan nyeri yang dirancang untuk

mendapatkan manfaat jangka panjang, seperti terapi fisik. Pada pasien dengan nyeri

neuropatik yang dimediasi scara simpatis (contoh sindrom nyeri regional kompleks, neuritis

postherpes, dan neuropati perifer HIV), blok saraf simpatis dapat memodifikasi perjalanan

penyakit, mencegah berkembang menjadi kronis, melemahkan sindrom nyeri.

Injeksi epidural meliputi blok caudal, interlaminar, dan transforaminal (2.16-2.17). Jika

pasien mencapai >50% pengurangan nyeri selama 6-8 minggu, injeksi dapat diulangi setelah

2 bulan atau lebih, maksimal 4-6 prosedur dalam waktu satu tahun. Sebuah tinjauan literatur

sistematis mengenai epidural injeksi steroid untuk nyeri tulang belakang kronis memberikan

bukti rekomendasi, dengan bukti manfaat sedang hingga kuat untuk kedua pengurangan nyeri

jangka pendek dan jangka panjang pada pasien dengan nyeri radikuler serviks maupun

lumbar yang diobati dengan injeksi epidural (Tabel 2.6). Epidural juga dianggap perawatan

rutin untuk stenosis lumbal yang tidak berespon terhadap tindakan konservatif. Injeksi

epidural memiliki batas manfaat untuk nyeri nonradicular dan nonstenosis atau nyeri

punggung terisolasi.

15

Page 16: Strategi Manajemen Nyeri Kronis

2.16 Injeksi epidural lumbal. Melakukan epidural lumbal dengan menggunakan landmark

anatomi (A) dan persepsi hilangnya resistensi tekanan udara untuk memverifikasi lokasi

ruang epidural menghasilkan injeksi yang salah ke dalam jaringan lunak di posterior diluar

belakang dari kanal vertebra di denga satu dari empat kesempatan. Memanfaatkan panduan

fluoroscopic (B) meningkatkan akurasi penempatan injeksi epidural, seperti yang terlihat

yaitu pewarna pada kolumna dalam ruang epidural, dan pengobatan berhasil. (C)

Epidurolysis yang dikembangkan oleh Dr Gabor Racz dirancang untuk melarutkan jaringan

parut di sekitar saraf yang terjebak dalam ruang epidural dengan memasukkan kateter

epidural dibawah fluoroskopi, diikuti dengan menyuntikkan hyaluronidase dan kemudian

anethestic dan steroid. Pasien ini memiliki jaringan parut pada akar saraf L5 kanan, dengan

radiculopathy L5. Nyeri yang gagal merespon tindakan konservatif maka dilakukan

epidurolysis.

2.17 Injeksi epidural caudal. Blok epidural caudal dicapai dengan memasukkan jarum suntik

hipodermic melalui ligamen sacrococcygeal ke dalam kanal caudal, yang terus berlanjut

16

Page 17: Strategi Manajemen Nyeri Kronis

hingga dengan ruang epidural lumbal (A). Blok caudal pada pasien dengan perubahan

pascaoperasi, seperti jaringan parut epidural atau kehilangan ruang epidural, umumnya secara

teknis lebih mudah daripada epidural lumbal, dengan risiko yang lebih rendah dari tusukan

dari kantung dural. Panduan fluoroscopic dengan konfirmasi pewarnaan kontras memastikan

penempatan yang akurat (B). Dalam sebuah penelitian prospektif baru-baru ini, lebih dari

setengah dari pasien yang diobati dengan injeksi epidural caudal dengan panduan fluroskopi

untuk stenosis lumbalis degeneratif dicapai pengurangan nyeri minimal 50% dan perbaikan

fungsi (toleransi berjalan dan berdiri) yang dipertahankan selama minimal 1 tahun setelah

prosedur.

Tabel 2.6 Rekomendasi berdasarkan bukti untuk steroid epidural untuk nyeri vertebra kronis

Interlaminar epidural

- Bukti sedang mendukung manfaat jangka pendek dan jangka panjang untuk radikulopati

servikal

- Bukti kuat untuk manfaat jangka pendek untuk radikulopati lumbal

- Bukti terbatas untuk manfaat jangka panjang untuk radikulopati lumbal

- Bukti tak tentu untuk nyeri aksial vertebra atau stenosis lumbal

Transforaminal epidural

- Bukti sedang mendukung manfaat jangka pendek dan jangka panjang untuk nyeri radix

saraf servikal

- Bukti kuat mendukung manfaat jangka pendek untuk nyeri radix saraf lumbal

- Bukti sedang mendukung manfaat jangka panjang untuk nyeri radix saraf lumbar

- Bukti tak tentu untuk nyeri aksial vertebra dan ekstrusi diskus lumbalis

Caudal epidural

- Bukti kuat untuk manfaat jangka pendek untuk radikulopati lumbal dan sindrom

Laminektomi postlumbal (gagal kembali)

- Bukti sedang untuk manfaat jangka panjang untuk radikulopati lumbal dan sindrom

Laminektomi postlumbal (gagal kembali)

- Bukti sedang mendukung manfaat jangka pendek dan panjang untuk nyeri punggung

kronis nonradicular

Kemungkinan komplikasi dengan injeksi epidural disebutkan pada Tabel 2.7.

Komplikasi utama jarang terjadi dengan epidural dan komplikasi dengan bimbingan

17

Page 18: Strategi Manajemen Nyeri Kronis

fluoroscopic telah dilaporkan untuk 10% transforaminal lumbal, 17% interlaminar servikal,

20% interlaminar torakal, dan 16% epidural caudal.

Tabel 2.7 Komplikasi yang mungkin terajdi dari injeksi steroid epidural

• Dural puncture

• Trauma medula spinalis

• Infeksi atau abses

• Hematoma

• Injeksi subdural

• Injeksi udara intrakranial

• Epidural lipomatosis

• Pneumotoraks

• Kerusakan saraf

• Nyeri kepala

• Peningkatan tekanan intrakranial

• Injeksi intravascular

• Emboli pembuluh darah cerebral atau paru

• Efek steroid (misalnya euforia, peningkatan gula darah, hipertensi)

Stimulasi medula spinalis

Stimulasi kontak metal ditempatkan pada ruang epidural dorsal dan melekat pada sinyal

generator, menciptakan medan listrik untuk merangsang kolumna. Stimulasi elektris ini

dirancang untuk meningkatkan hambatan pada traktur spinotalamikus lateral dan

meningkatkan sinyak antinociseptif dari jalur hambatan descenden. Stimulasi medula

spinalis sangat bermanfaat untuk neuropati yang dimediasi secara simpatis (2.18) dan nyeri

iskemi yang cukup stabil dan terlokalisasi.

18

Page 19: Strategi Manajemen Nyeri Kronis

2.18 Efek jangka panjang stimulasi medula spinalis. Pasien dengan distrofi refleks simpatis

kronis diacak 2:1 untuk menerima stimulasi medula spinalis ditambah terapi fisik (N = 35)

atau terapi fisik (saja N = 16). Sebuah sistem stimulasi permanen ditempatkan pada 24 pasien

setelah stimulasi tes yang sukses. Grafik menunjukkan rata-rata skor keparahan nyeri pada

baseline (B), awal terapi (S), dan 1 3, 6, 12, dan 24 bulan setelah pengobatan. Nyeri dinilai

pada skala visual analog dari 0 (tidak ada rasa nyeri) sampai 10 (nyeri yang sangat parah).

Setelah 2 tahun, rata-rata intensitas nyeri berkurang sebesar 2,1 pada pasien yang menerima

rangsangan ditambah dengan terapi fisik dibanding 0 diantara pasien yang diobati dengan

terapi fisik saja (P <0,001). Nyeri dilaporkan jauh lebih baik pada 15 dari 35 pasien yang

diobati dengan stimulasi ditambah terapi fisik (43%) dibandingkan 1 dari 16 yang diobati

dengan terapi fisik saja (6%). Pada 2 tahun, stimulasi medula spinalis berhasil pada 20 dari

35 pasien (57%), dengan 15 laporan terjadi banyak perbaikan dan 13 mengalami penurunan

nyeri 50%. (Berdasarkan Kemler MA, et al, 2004)

Neuroablasi

Neurolisis pleksus celiaca dapat mengurangi nyeri yang parah terkait dengan kanker

intra-abdominal. Blok neurololitik dipertimbangkan pada manfaat pasien dari diagnostik blok

dengan anestesi. Blok neurolitik dengan menggunakan alkohol 50-100% atau fenol

menawarkan pereda nyeri sementara, hingga beberapa bulan (2.19). Blok neurolitik dapat

diulang terapi neuritis merupakan komplikasi tersering dalam beberapa bulan terakhir; olah

karena itu prosedur ini tidak diindikasikan pada penyakit kronis eksaserbasi akut, seperti

pankreatitis.

Neurotomi frekuensi radio mungkin digunakan untuk meredakan nyeri facet. Manfaatn

jangka panjang telah diperlihatkan pada pasien yang memiliki keuntungan dari diagnostik

blok berulang (2.20).

19

Page 20: Strategi Manajemen Nyeri Kronis

2.19 Blok pleksus Celiaca. Pleksus celiaca simpatis mengelilingi arteri celiaca anterior

hingga aorta pada L1 (A). Blok dilakukan dengan penempatan jarum bilateral di L1 (B).

Dengan pasien dalam posisi tengkurap, jarum yang disisipkan 45° horisontal di rusuk 12

sampai vertebra L1 tercapai, jarum kemudian ditarik dan dimasukkan kembali dengan sudut

meningkat untuk berjalan turun melalui vertebra secara anterior. Penempatan dikonfirmasi

dengan fluoroscopi dengan injeksi kontras.

2.20 Persentase pasien mencapai berbagai tingkat penyembuhan jangka panjang setelah

neurotomy frekuensi radio. Dalam 10 tahun, pasien dengan nyeri pinggang kronis dan

mengalami penyembuhan nyeri setelah dua diagnostik blok facet dengan anestesi lokal

diobati dengan denervasi frekuensi radio dari sendi zygapophysial lumbal. Fluoroskopi

digunakan untuk memverifikasi penempatan elektroda di persimpangan prosesus transversus

dan dasar prosesus artikularis superior. Data lengkap tersedia untuk 174 pasien, dengan

perbaikan nyeri 6 bulan pascaprosedur. Pereda nyeri adalah dianggap baik jika nyeri

berkurang sebesar > 80%, baik jika berkurang 50-80%, dan buruk jika pengurangan <50%.

Durasi rata-rata penyembuhan nyeri adalah 9 bulan. (Berdasarkan Gofeld M, et al, 2007)

Stimulasi frekuensi radio

Beberapa terapi intervensi bermanfaat unutk nyeri nonradikular, penyakit diskus

degeneratif dari lumbal atau cervical. Diskus diinervasi oleh saraf tidak bermyelinisasi dari

medula spinalis dorsal pada tiap tingkat vertebra. Saraf tak bermyelinisasi rentan terhadap

rangsangan sinyal frekunsi radiopada suhu 42 tanpa ablasi saraf. Hipotesis mekanisme aksi

20

Page 21: Strategi Manajemen Nyeri Kronis

meliputi: perubahan sintesis protein dalam jalur nyeri, transformasi gen, dan pengaturan

ulang homeostasis siklus umpan balik simpatik. Daerah di dekat ganglion akar dorsal dengan

aman dapat dirangsang dengan menggunakan frekuensi radio. Salah satu penulis (DKC)

memiliki pengalaman dalam pengobatan dengan sinyal frekuensi radio > 100 cervical dan

lumbal pada ganglion akar dorsal untuk nyeri diskus degeneratif, dengan lebih dari setengah

pasien mengalami nyeri reda jangka panjang, ditandai dengan penurunan penggunaan

analgesik, dan peningkatan fungsi selama 6 bulan sampai 1 tahun dan hanya satu kasus

neuritis transient.

Pompa intratekal

Manfaat utama terapi melalui intraspinal adalah efektivitas obat ditingkatkan melalui

pengurangan efek samping yang tidak diinginkan. Infus intratekal meliputi opioid,

bupivacaine, clonidine, baclofen, ziconotide, atau obat kombinasi (2.21). Manfaat jangka

panjang telah ditunjukkan oleh dosis opioid yang cenderung meningkat seiring waktu (2.22)

27. Ziconotide adalah peptida sintetik berasal dari toksin siput laut Conus magnus yang

bertindak sebagai neuronal N-type voltage-sensitive calcium channel blocker yangpoten,

selektif, dan reversibel. Ziconotide memberikan alternatif yang efektif untuk pasien yang

gagal merespon pengobatan dengan opioid yang adekuat.

2.21 Penempatan pompa intratekal. Sebuah kateter dimasukkan melalui pertngahan

punggung, ke dalam ruang subarachnoid, dan diposisikan dekat mdula spinalis (A). Setelah

kateter pada posisinya, perpanjangan kateter dilewatkan di bawah kulit dari tulang belakang

ke perut, di mana saku dibuat antara kulit dan lapisan otot memegang penghantaran pompa

21

Page 22: Strategi Manajemen Nyeri Kronis

obat (B). Perangkat eksternal yang dapat diprogram digunakan untuk mengatur pelepasan

obat.

2.22 Efek jangka panjang morfin intratekal. Sebanyak 25 pasien dengan nyeri berat, refrakter,

nonmalignant kronis diuji dengan infus morfin intratekal. Pengurangan nyeri > 50% dicapai

oleh 16 pasien, yang menerima pompa implan, diprogram untuk terus menerus mengalirkan

morfin. Pasien diikuti selama 13-49 bulan. Rata-rata waktu untuk akhir follow up adalah 29

bulan. Tidak ada pasien yang mampu melanjutkan dosis morfin yang stabil selama follow up.

Selama 6 bulan pertama pengobatan, dosis morfin rata-rata harian meningkat dari 1,1-3,1 mg.

Pasien diikuti selama lebih dari 2 tahun mengalami peningkatan dosis morfin > 10 mg/hari.

Pengurangan nyeri rata-rata setelah 6 bulan adalah 68%, dengan 38% mengalami

pengurangan nyeri ≥ 50% dan 94% mengalami pengurangan nyeri ≥ 25%. Pada akhir follow

up, pengurangan nyeri ≥ 50% sebanyak 44% dan ≥ 25% sebanyak 75%. Tiga dari empat

pasien dianggap menjalani keberhasilan pengobatan. Rata-rata perubahan dalam derajat

nyeri, yang diukur dengan 100 mm skala analog visual (VAS) menurut jenis nyeri

ditampilkan dalam grafik. Kategori nyeri termasuk gagal kembali (N = 12), neuropati

(neuropati perifer, arachnoiditis, dan nyeri pasca-torakotomi, N = 2 untuk setiap diagnosa),

nyeri nociceptive ortopedi (fraktur postspinal, N = 3 dan postileosacral arthrodesis, N = 2),

dan deafferentation di paraplegik (N = 2). Pengurangan nyeri terbesar pada akhir follow up

untuk nyeri deafferentation (pengurangan 75%) dan paling kecil untuk nyeri neuropatik

(penurunan 37%). (Berdasarkan Kumar K, et al, 2001.)

Terapi non farmakologis

Sebuah survei berbasis komunitas dari orang yang mengalami setidaknya nyeri sedang

kronis mengungkapkan bahwa 69% menggunakan terapi non medikamentosa, paling sering

adalah pijat, terapi fisik, dan akupunktur (2.23). Sebanyak 38% melaporkan bahwa terapi

tanpa obat sangat membantu. Manfaat terapi non farmakologi dimaksimalkan dengan

22

Page 23: Strategi Manajemen Nyeri Kronis

penggabungan multidisiplin, program rehabilitatif, berfokus pada restorasi fungsional.

Sementara pasien sering lebih memilih untuk berkonsentrasi pada terapi fisik saja, program

rehabilitasi menggabungkan pekerjaan dan terapi psikologis bersama dengan terapi fisik

memaksimalkan perbaikan kecacatan (2.24).

2.23 Terapi nyeri kronis nonmedikamntosa yang paling umum. Sebuah survei orang dewasa

dengan setidaknya keluhan nyeri sedang kronis di Eropa dan Israel mengungkapkan bahwa

sebagian besar penderita nyeri telah menggunakan beberapa jenis terapi nonmedikamentosa,

yang paling sering adalah pijat, terapi fisik, dan akupunktur. (Berdasarkan Breivik H, et al,

2006)

2.24 Rehabilitasi multidisiplin diabnding terapi fisik saja. Pasien dengan nyeri pinggang

kronis secara acak mengikuti salah satu dari dua program pelatihan 5-minggu: rehabilitasi

multidisiplin (N = 44) atau terapi fisik aktif saja (N = 42).Pengobatan multidisiplin termasuk

peregangan, penguatan, aerobik, dan latihan daya tahan ditambah terapi okupasi dan

intervensi psikologis. Terapi aktif fisik meliputi latihan peregangan, strategi mengatasi nyeri,

dan pelatihan fungsional, dengan rekomendasi untuk membangun ketahanan

kardiorespiratori. Pada awal pengobatan, > 90% pasien melaporkan kesulitan di tempat kerja

mereka dan sekitar setengah menajalani cuti sakit. Pasien dinilai setelah 6 bulan pengobatan.

Rasa nyeri dan cacat membaik pada kedua kelompok, dengan daya tahan lebih baik secara

signifikan dan memiliki kemampuan untuk melakukan olahraga dan kegiatan rekreasi setelah

23

Page 24: Strategi Manajemen Nyeri Kronis

pengobatan multidisiplin. Jumlah rata-rata hari cuti sakit selama 6 bulan sebelum pengobatan

(101 pada kelompok multidisiplin dan 110 dalam kelompok terapi fisik) menurun secara

signifikan setelah kedua perlakuan (29 hari setelah pengobatan multidisiplin banding 48 hari

setelah terapi fisik, P <0,001). Perbedaan numerik tidak mencapai signifikansi statistik.

(Berdasarkan Jousset N, et al, 2004)

Manajemen gaya hidup

Nikotin mempengaruhi berbagai modulator nyeri, termasuk endorphin. Mungkin karena

perubahan pada tingkat neurotransmiter modulasi nyeri, perokok lebih mungkin untuk

mengalami berbagai keluhan nyeri kronis dan menggunakan opioid jika dibandingkan dengan

bukan perokok (2.25). Dalam suatu penelitian, keparahan nyeri kepala terkait dengan

konsumsi rokok, sehingga disarankan untuk mengurangi penggunaan nikotin yang pada

akhirnya dapat mengurangi intensitas nyeri.

2.25 Pengaruh konsumsi nikotin pada nyeri kronis. Sebuah sampel acak dari 12.907 pasien

dari 34 tempat praktek umum di Inggris termasuk 6.513 mantan perokok dan 3.184 saat ini

perokok. Pada grafik dtampilkan prevalensi setiap nyeri muskuloskeletal pada tahun

sebelumnya (A) dan nyeri pada tahun sebelumnya yang mencegah aktivitas normal (B)

berdasarkan wilayah. Setelah penyesuaian untuk usia, jenis kelamin, dan keluhan nyeri

kepala, kelelahan, dan stres, risiko relatif nyeri secara signifikan lebih besar untuk semua rasa

nyeri pada perokok dahulu dan sekarang, dengan risiko terbesar untuk nyeri yang

menonaktifkan pada perokok saat ini. (Berdasarkan Palmer KT, et al, 2003)

Kurang tidur berhubungan dengan ambang batas berkurangnya nyeri. Gangguan tidur

terjadi pada lebih dari setengah dari semua pasien dengan nyeri kronis. Salah satu survei dari

287 pasien dengan nyeri kronis didapatkan gangguan tidur pada 89% pasien, keluhan yang

24

Page 25: Strategi Manajemen Nyeri Kronis

paling umum adalah kurangnya kuantitas tidur (62%). Kurang tidur telah secara konsisten

dikaitkan dengan depresi. Kurang tidur juga meningkatkan perburukan yang berkaitan

dengan nyeri, bahkan setelah mengendalikan efek mood.

Berat badan yang berlebihan juga mempengaruhi keluhan nyeri. Prevalensi nyeri

muskuloskeletal secara signifikan lebih tinggi pada orang dewasa dengan obesitas dibanding

orang dewasa yang tidak obes (64% vs 35%) (2.26). Obesitas meningkatkan beban mekanik

pada sendi dan tingkat proinflamasi sitokin yang menyebabkan destruksi sendi. Seperti yang

diharapkan, berat badan meningkat meningkatkan risiko untuk mengembangkan osteoarthritis

pada tangan, pinggul, dan lutut. Nyeri nonarthritis juga sering terjadi pada individu obese.

Pengurangan nyeri biasanya meningkat dengan penurunan berat badan dengan terapi bedah

atau non-bedah.

2.26 Risiko nyeri muskuloskeletal pada pria dan wanita obes. Sebuah studi longitudinal

hubungan antara obesitas dan nyeri muskuloskeletal dilakukan pada 2.460 pria dan 3.868

wanita di Swedia. Prevalensi nyeri muskuloskeletal secara signifikan lebih besar pada

individu obesitas dibandingkan dengan kontrol, baik pada laki-laki (58% laki-laki obes

banding 32% dari kontrol) maupun perempuan (68% banding 37%). Odds ratio disesuaikan

untuk usia, merokok, status pekerjaan, dan tingkat aktivitas fisik. Nyeri muskuloskeletal

terjadi lebih sering pada setiap daerah tubuh pada pria dan wanita obese dibandingkan dengan

kontrol (P <0,001). Selain itu, pemulihan dari nyeri muskuloskeletal setelah 2 tahun secara

signifikan lebih baik pada pasien obes yang mengalami penurunan berat badan setelah

pembedahan bariatrik (penurunan berat badan rata-rata 27,6-29,5 kg) dibandingkan dengan

pasien yang diobati konvensional yang tidak mengalami penurunan berat badan yang

signifikan (penurunan berat badan rata-rata 0,3-0,4 kg). (Berdasarkan Peltonen M, et al,

2003).

Terapi perilaku dan kognitif

Psikologi untuk pasien nyeri kronis harus fokus pada terapi perilaku dan kognitif (2.27,

Tabel 2.8). Restrukturisasi kognitif melibatkan penggantian pemikiran destruktif ('nyeri saya

25

Page 26: Strategi Manajemen Nyeri Kronis

tidak akan pernah membaik; tidak ada yang bisa saya lakukan untuk membantu! ') menjadi

pikiran positif dan realistis (‘Saya perlu istirahat dan melakukan beberapa latihan peregangan

untuk mengurangi rasa nyeri saya'). Tekanan emosional sering menyertai nyeri kronis dan

seharusnya ditangani melalui terapi psikologis. Risiko depresi atau kecemasan empat kali

lebih besar pada orang dewasa dengan nyeri kronis dibandingkan dengan bebas nyeri. Jika

depresi dan kecemasan sangat parah, terapi psikiatris mungkin perlu mendahului manajemen

nyeri karena tekanan yang berat akan merusak kemampuan pasien untuk berpartisipasi penuh

dalam pembelajaran efektif dan menerapkan keterampilan baru.

2.27 Teknik manajemen nyeri psikologis. Tiga puluh tujuh pasien dengan nyeri leher kronis

secara acak diikutsertakan untuk pengobatan dengan pelatihan manajemen nyeri psikologis

atau kontrol perhatian. Kedua kelompok juga menerima perawatan oleh terapis fisik.

Kelompok pelatihan psikologis menerima tujuh sesi mingguan mengenai pelatihan relaksasi,

latihan kesadaran tubuh, dan manajemen stres. Keparahan nyeri dinilai sebelum pengobatan

dan pada 7 dan 20 minggu setelah pengobatan inisiasi menggunakan skala 11-poin dari 0

(tidak ada nyeri) sampai 10 (sakit luar biasa), dan jumlah rata-rata kunjungan layanan

kesehatan dievaluasi selama 3 bulan sebelumnya pada awal dan 20 minggu setelah onset

terapi (A). Keparahan nyeri tidak berubah pada kedua kelompok, sedangkan penambahan

pelatihan psikologis untuk rejimen terapi standar fisik yang mengakibatkan pengurangan

yang signifikan dalam kunjungan layanan kesehatan (P <0,05). Kunjungan layanan kesehatan

meningkat secara signifikan untuk kelompok perawatan biasa (P = 0,05). B: Rata-rata

penggunaan analgesik dinilai untuk nyeri leher dan nyeri dari bagian lain dari tubuh

menggunakan skala 5-point: 0 = tidak pernah, 1 = beberapa hari per bulan, 2 = 1-2 hari per

minggu, 3 = setiap hari, 4 = setiap hari. Analgesik yang digunakan di kalangan pasien dengan

perawatan psikologis secara signifikan menurun untuk nyeri leher (P <0,01), sedangkan

peningkatan pada kelompok perawatan biasa baik untuk nyeri leher (P <0,05) maupun nyeri

pada daerah lain (P <0,001). (Berdasarkan Gustavsson C, von Koch L, 2006)

Tabel 2.8 Kemampuan manajemen nyeri psikologis

26

Page 27: Strategi Manajemen Nyeri Kronis

- Latihan relaksasi

- Ketrampilan

- Manjemen stres

- Restrukturisasi kognitif

Latihan dan terapi fisik

Terapi fisik dan latihan dapat menyediakan baik manfaat jangka pendek maupun jangka

panjang untuk nyeri kronis (2.28). Program latihan aktif harus dimulai dengan latihan

peregangan dan kemudian bertahap ke kombinasi peregangan dan penguatan/daya tahan.

Peregangan dan latihan aerobik saja kurang efektif dibandingkan dengan penambahan latihan

penguatan/daya tahan untuk peregangan dan program untuk memperbaiki seluruh tubuh.

Terapi fisik juga mengurangi nyeri kronis dan kecacatan serta harus dianjurkan untuk pasien

yang tidak mampu untuk memulai pengobatan dengan latihan aktif secara efektif.

2.28 Latihan dan terapi fisik nyeri leher kronis. Dalam dua studi, kelompok wanita dengan

nyeri leher nonspesifik secara acak menerima terapi manual atau latihan atau ssebagai

kelompok kontrol. Parameter fisik dan nyeri dinilai jangka pendek dan jangka panjang.

Persentase perbaikan nyeri dan kecacatan ditampilkan. Dalam studi jangka pendek (A), 125

perempuan (rata-rata usia 43 tahun dan rata-rata durasi nyeri 3,4 tahun) secara acak menerima

terapi manual dua kali seminggu dari seorang terapis fisik, yang terdiri dari mobilisasi sendi

servikal dengan kecepatan rendah, pijat, dan peregangan pasif, atau melakukan latihan

peregangan 5 kali seminggu. Pengobatan diganti setelah 4 minggu. Penurunan yang

signifikan pada rasa nyeri dan kecacatan terjadi setelah 4 minggu pengobatan baik.

(Berdasarkan Ylinen J, et al, 2007). Dalam studi jangka panjang (B), 179 perempuan (usia

rata-rata 46 tahun) dengan nyeri leher kronis rata-rata 8 tahun secara acak diikutsertakan

27

Page 28: Strategi Manajemen Nyeri Kronis

untuk salah satu dari tiga kelompok pelatihan: daya tahan, kekuatan, dan kontrol. Kelompok

ketahanan dilatih untuk melakukan pengulangan fleksi leher, sementara kelompok kekuatan

belajar latihan isometrik leher. Kedua kelompok juga melakukan latihan beban dari bahu dan

ekstremitas atas, dengan kelompok ketahanan berfokus pada pengulangan dan kelompok

kekuatan pada peningkatan berat maksimum. Kedua kelompok juga melakukan latihan

peregangan untuk leher, bahu, dan bagian atas ekstremitas, serta squat dan sit-up untuk badan

dan penguatan ekstremitas bawah dan latihan ekstensi punggung. Latihan aerobik tiga kali

seminggu juga dilakukan. Kedua kelompok latihan diberikan sembilan sesi pelatihan, diikuti

oleh instruksi tertulis yang menyarankan sesi latihan 20 menit tiga kali seminggu. Kelompok

kontrol menerima sesi latihan peregangan, instruksi lisan untuk melakukan aerobik tiga kali

seminggu, dan instruksi tertulis yang sama untuk melanjutkan latihan peregangan. Setelah 1

tahun, jangkauan gerak leher dan kekuatan otot telah meningkat di semua kelompok, dengan

perbaikan yang lebih baik dalam kelompok pelatihan dan peningkatan terbaik dengan latihan

kekuatan. Perbaikan rasa nyeri dan kecacatan yang sama untuk kedua kelompok pelatihan

dan secara signifikan lebih baik daripada kelompok kontrol (P <0,001). (Berdasarkan Ylinen

J, et al, 2003).

Terapi kerja dan okupasi

Terapi okupasi menawarkan evaluasi kegiatan sehari-hari dan tugas pekerjaan yang

dapat memperburuk keluhan nyeri kronis. Setelah penilaian kegiatan, terapis dapat

menyarankan cara untuk mengubah kegiatan sehingga kecacatan yang diminimalkan (2.29).

Sebagai contoh, pasien dengan nyeri punggung bawah diperburuk dengan duduk di tempat

kerja mungkin menemukan bahwa menempatkan batu bata di bawah kaki mereka ketika

mereka duduk memperbaiki postur dan mengurangi nyeri. Demikian pula, seorang ibu rumah

tangga yang nyeri karena membersihkan rumah dengan vacuum cleaner mungkin diminta

untuk berjalan dengan vacuum cleaner, bukan mendorong dan menarik mesin. Perangkat

sederhana, seperti gerobak dorong untuk membawa perlengkapan di tempat kerja, juga dapat

membantu. Seorang terapis okupasi juga efektif dalam mengajar pasien dengan penjadwalan

kegiatan yang sesuai.

28

Page 29: Strategi Manajemen Nyeri Kronis

2.29 Manfaat pengerasan krja. Pengukuran hasil terlihat pada 196 orang dewasa (40%

perempuan, usia rata-rata 43 tahun) yang berpartisipasi dalam program rehabilitasi kerja yang

dirancang untuk meningkatkan kesiapan kerja secara fisik dan terapi okupasi. Terapi paling

umum dari nyeri kronis berlokasi di punggung (53%), ekstremitas bawah (31%), dan

ekstremitas atas (18%). Terlihat persentase perbaikan pada beberapa nyeri yang berhubungan

dengan tindakan. Perubahan untuk setiap pengukuran adalah signifikan (P <0,001).

(Berdasarkan Baker P, et al, 2005)

29