Upload
seven-gapoel
View
35
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
NYERI KRONIS
I. DIFINISI
Definisi nyeri berdasarkan International Association for the Study of Pain (IASP, 1979)
adalah pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkan dimana berhubungan dengan
kerusakan jaringan atau potensial terjadi kerusakan jaringan.
Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang satu periode
waktu. Nyeri kronis dapat tidak mempunyai awitan yang ditetapkan dan sering sulit untuk
diobati karena biasanya nyeri ini tidak memberikan respon terhadap pengobatan yang diarahkan
pada penyebabnya. Nyeri kronis sering didefenisikan sebagai nyeri yang berlangsung selama
enam bulan atau lebih (Brunner & Suddarth, 1996 dikutip dari Smeltzer 2001).
Menurut Taylor (1993) nyeri ini bersifat dalam, tumpul, diikuti berbagai macam
gangguan, terjadi lambat dan meningkat secara perlahan setelahnya, dimulai setelah detik
pertama dan meningkat perlahan sampai beberapa detik atau menit. Nyeri ini berhubungan
dengan kerusakan jaringan, ini bersifat terus-menerus atau intermitten.
Perbedaan karakteristik nyeri akut dan nyeri kronis:
NNNNNNNNYERI AKUT NNYERI KRONIS
- Lamanya dalam hitungan menit
- Sensasi tajam menusuk
- Dibawa oleh serat A-delta
- Ditandai peningkatan BP, nadi, dan
respirasi
- Kausanya spesifik, dapat diidentifikasi
secara biologis
- Respon pasien : Fokus pada nyeri,
menangis dan mengerang, cemas
- Tingkah laku menggosok bagian yang
nyeri
- Lamannya sampai hitungan bulan
- Sensasi terbakar, tumpul, pegal
- Dibawa oleh serat C
- Fungsi fisiologi bersifat normal
- Kausanya mungkin jelas mungkin
tidak
- Tidak ada keluhan nyeri, depresi dan
kelelahan
- Tidak ada aktifitas fisik sebagai respon
terhadap nyeri
- Respon terhadap analgesik :
meredakan nyeri secara efektif
- Respon terhadap analgesik : sering
kurang meredakan nyeri
II. FISIOLOGIS NYERI
1. Mekanisme Nyeri
Nyeri merupakan suatu bentuk peringatan akan adanya bahaya kerusakan
jaringan. Pengalaman sensoris pada nyeri akut disebabkan oleh stimulus noksius yang
diperantarai oleh sistem sensorik nosiseptif. Sistem ini berjalan mulai dari perifer melalui
medulla spinalis, batang otak, thalamus dan korteks serebri. Apabila telah terjadi
kerusakan jaringan, maka sistem nosiseptif akan bergeser fungsinya dari fungsi protektif
menjadi fungsi yang membantu perbaikan jaringan yang rusak.
Nyeri inflamasi merupakan salah satu bentuk untuk mempercepat perbaikan
kerusakan jaringan. Sensitifitas akan meningkat, sehingga stimulus non noksius atau
noksius ringan yang mengenai bagian yang meradang akan menyebabkan nyeri. Nyeri
inflamasi akan menurunkan derajat kerusakan dan menghilangkan respon inflamasi.
1) Sensitisasi Perifer
Cidera atau inflamasi jaringan akan menyebabkan munculnya perubahan
lingkungan kimiawi pada akhir nosiseptor. Sel yang rusak akan melepaskan
komponen intraselulernya seperti adenosine trifosfat, ion K+, pH menurun, sel
inflamasi akan menghasilkan sitokin, chemokine dan growth factor. Beberapa
komponen diatas akan langsung merangsang nosiseptor (nociceptor activators)
dan komponen lainnya akan menyebabkan nosiseptor menjadi lebih hipersensitif
terhadap rangsangan berikutnya (nociceptor sensitizers).
Komponen sensitisasi, misalnya prostaglandin E2 akan mereduksi ambang
aktivasi nosiseptor dan meningkatkan kepekaan ujung saraf dengan cara berikatan
pada reseptor spesifik di nosiseptor. Berbagai komponen yang menyebabkan
sensitisasi akan muncul secara bersamaan, penghambatan hanya pada salah satu
substansi kimia tersebut tidak akan menghilangkan sensitisasi perifer. Sensitisasi
perifer akan menurunkan ambang rangsang dan berperan dalam meningkatkan
sensitifitas nyeri di tempat cedera atau inflamasi.
2) Sensitisasi Sentral
Sama halnya dengan sistem nosiseptor perifer, maka transmisi nosiseptor
di sentral juga dapat mengalami sensitisasi. Sensitisasi sentral dan perifer
bertanggung jawab terhadap munculnya hipersensitivitas nyeri setelah cidera.
Sensitisasi sentral memfasilitasi dan memperkuat transfer sipnatik dari nosiseptor
ke neuron kornu dorsalis. Pada awalnya proses ini dipacu oleh input nosiseptor ke
medulla spinalis (activity dependent), kemudian terjadi perubahan molekuler
neuron (transcription dependent)
Sensitisasi sentral dan perifer merupakan contoh plastisitas sistem saraf,
dimana terjadi perubahan fungsi sebagai respon perubahan input (kerusakan
jaringan). Dalam beberapa detik setelah kerusakan jaringan yang hebat akan
terjadi aliran sensoris yang masif kedalam medulla spinalis, ini akan
menyebabkan jaringan saraf didalam medulla spinalis menjadi hiperresponsif.
Reaksi ini akan menyebabkan munculnya rangsangan nyeri akibat stimulus non
noksius dan pada daerah yang jauh dari jaringan cedera juga akan menjadi lebih
sensitif terhadap rangsangan nyeri.
2. Nosiseptor (Reseptor Nyeri)
Nosiseptor adalah reseptor ujung saraf bebas yang ada di kulit, otot, persendian,
viseral dan vaskular. Nosiseptor-nosiseptor ini bertanggung jawab terhadap kehadiran
stimulus noksius yang berasal dari kimia, suhu (panas, dingin), atau perubahan
mekanikal. Pada jaringan normal, nosiseptor tidak aktif sampai adanya stimulus yang
memiliki energi yang cukup untuk melampaui ambang batas stimulus (resting).
Nosiseptor mencegah perambatan sinyal acak (skrining fungsi) ke SSP untuk
interpretasi nyeri.
Saraf nosiseptor bersinap di dorsal horn dari spinal cord dengan lokal interneuron
dan saraf projeksi yang membawa informasi nosiseptif ke pusat yang lebih tinggi
pada batang otak dan thalamus. Berbeda dengan reseptor sensorik lainnya, reseptor
nyeri tidak bisa beradaptasi. Kegagalan reseptor nyeri beradaptasi adalah untuk
proteksi karena hal tersebut bisa menyebabkan individu untuk tetap awas pada
kerusakan jaringan yang berkelanjutan. Setelah kerusakan terjadi, nyeri biasanya
minimal. Mula datang nyeri pada jaringan karena iskemi akut berhubungan dengan
kecepatan metabolisme. Sebagai contoh, nyeri terjadi pada saat beraktifitas kerena
iskemia otot skeletal pada 15 sampai 20 detik tapi pada iskemia kulit bisa terjadai
pada 20 sampai 30 menit.
Tipe nosiseptor spesifik bereaksi pada tipe stimulus yang berbeda. Nosiseptor C
tertentu dan nosiseptor A-delta bereaksi hanya pada stimulus panas atau dingin,
dimana yang lainnya bereaksi pada stimulus yang banyak (kimia, panas, dingin).
Beberapa reseptor A-beta mempunyai aktivitas nociceptor-like. Serat –serat sensorik
mekanoreseptor bisa diikutkan untuk transmisi sinyal yang akan menginterpretasi
nyeri ketika daerah sekitar terjadi inflamasi dan produk-produknya. Allodynia
mekanikal (nyeri atau sensasi terbakar karena sentuhan ringan) dihasilkan
mekanoreseptor A-beta. Nosiseptor viseral, tidak seperti nosiseptor kutaneus, tidak
didesain hanya sebagai reseptor nyeri karena organ dalam jarang terpapar pada
keadaan yang potensial merusak. Banyak stimulus yang sifatnya merusak
(memotong, membakar, kepitan) tidak menghasilkan nyeri bila dilakukan pada
struktur viseris. Selain itu inflamasi iskemia, regangan mesentrik, dilatasi, atau
spasme viseralis bisa menyebabkan spasme berat. Stimulus ini biasanya dihubungkan
dengan proses patologis, dan nyeri yang dicetuskan untuk mempertahankan fungsi.
3. Perjalanan Nyeri (Nociceptive Pathway)
Perjalanan nyeri termasuk suatu rangkaian proses neurofisiologis kompleks yang
disebut sebagai nosiseptif (nociception) yang merefleksikan empat proses komponen
yang nyata yaitu transduksi, transmisi, modulasi dan persepsi, dimana terjadinya
stimuli yang kuat diperifer sampai dirasakannya nyeri di susunan saraf pusat (cortex
cerebri).
1). Proses Transduksi
Proses dimana stimulus noksius diubah ke impuls elektrikal pada ujung saraf.
Suatu stimuli kuat (noxion stimuli) seperti tekanan fisik kimia, suhu dirubah menjadi
suatu aktifitas listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf perifer (nerve ending) atau
organ-organ tubuh (reseptor meisneri, merkel, corpusculum paccini, golgi mazoni).
Kerusakan jaringan karena trauma baik trauma pembedahan atau trauma lainnya
menyebabkan sintesa prostaglandin, dimana prostaglandin inilah yang akan
menyebabkan sensitisasi dari reseptor-reseptor nosiseptif dan dikeluarkannya zat-zat
mediator nyeri seperti histamin, serotonin yang akan menimbulkan sensasi nyeri.
Keadaan ini dikenal sebagai sensitisasi perifer.
2) Proses Transmisi
Proses penyaluran impuls melalui saraf sensori sebagai lanjutan proses
transduksi melalui serabut A-delta dan serabut C dari perifer ke medulla spinalis,
dimana impuls tersebut mengalami modulasi sebelum diteruskan ke thalamus oleh
tractus spinothalamicus dan sebagian ke traktus spinoretikularis. Traktus
spinoretikularis terutama membawa rangsangan dari organ-organ yang lebih dalam
dan viseral serta berhubungan dengan nyeri yang lebih difus dan melibatkan emosi.
Selain itu juga serabut-serabut saraf disini mempunyai sinaps interneuron dengan
saraf-saraf berdiameter besar dan bermielin.
3) Proses Modulasi
Proses perubahan transmisi nyeri yang terjadi disusunan saraf pusat (medulla
spinalis dan otak). Proses terjadinya interaksi antara sistem analgesik endogen yang
dihasilkan oleh tubuh kita dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior medulla
spinalis merupakan proses ascenden yang dikontrol oleh otak. Analgesik endogen
(enkefalin, endorphin, serotonin, noradrenalin) dapat menekan impuls nyeri pada
kornu posterior medulla spinalis. Dimana kornu posterior sebagai pintu dapat terbuka
dan tertutup untuk menyalurkan impuls nyeri untuk analgesik endogen tersebut. Inilah
yang menyebabkan persepsi nyeri sangat subjektif pada setiap orang.
4) Persepsi
Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dari proses tranduksi, transmisi dan
modulasi yang pada akhirnya akan menghasilkan suatu proses subjektif yang dikenal
sebagai persepsi nyeri, yang diperkirakan terjadi pada thalamus dengan korteks
sebagai diskriminasi dari sensorik
III. TEORI PENGONTROLAN NYERI (GATE CONTROL THEORY)
Terdapat berbagai teori yang berusaha menggambarkan bagaimana nosireseptor dapat
menghasilkan rangsang nyeri. Sampai saat ini dikenal berbagai teori yang mencoba menjelaskan
bagaimana nyeri dapat timbul, namun teori gerbang kendali nyeri dianggap paling relevan
(Tamsuri, 2007)
Teori gate control dari Melzack dan Wall (1965) mengusulkan bahwa impuls nyeri dapat
diatur atau dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat. Teori ini
mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan impuls
dihambat saat sebuah pertahanan tertutup. Upaya menutup pertahanan tersebut merupakan dasar
teori menghilangkan nyeri.
Suatu keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan serabut kontrol desenden dari otak
mengatur proses pertahanan. Neuron delta-A dan C melepaskan substansi C melepaskan
substansi P untuk mentranmisi impuls melalui mekanisme pertahanan. Selain itu, terdapat
mekanoreseptor, neuron beta-A yang lebih tebal, yang lebih cepat yang melepaskan
neurotransmiter penghambat. Apabila masukan yang dominan berasal dari serabut beta-A, maka
akan menutup mekanisme pertahanan. Diyakini mekanisme penutupan ini dapat terlihat saat
seorang perawat menggosok punggung klien dengan lembut. Pesan yang dihasilkan akan
menstimulasi mekanoreseptor, apabila masukan yang dominan berasal dari serabut delta A dan
serabut C, maka akan membuka pertahanan tersebut dan klien mempersepsikan sensasi nyeri.
Bahkan jika impuls nyeri dihantarkan ke otak, terdapat pusat kortek yang lebih tinggi di otak
yang memodifikasi nyeri. Alur saraf desenden melepaskan opiat endogen, seperti endorfin dan
dinorfin, suatu pembunuh nyeri alami yang berasal dari tubuh. Neuromedulator ini menutup
mekanisme pertahanan dengan menghambat pelepasan substansi P. tehnik distraksi, konseling
dan pemberian plasebo merupakan upaya untuk melepaskan endorfin (Potter, 2005)
IV. RESPON NYERI
1. Respon Psikologis
Respon psikologis sangat berkaitan dengan pemahaman klien terhadap nyeri yang terjadi
atau arti nyeri bagi klien.
Arti nyeri bagi setiap individu berbeda-beda antara lain :
1) Bahaya atau merusak
2) Komplikasi seperti infeksi
3) Penyakit yang berulang
4) Penyakit baru
5) Penyakit yang fatal
6) Peningkatan ketidakmampuan
7) Kehilangan mobilitas
8) Menjadi tua
9) Sembuh
10) Perlu untuk penyembuhan
11) Hukuman untuk berdosa
12) Tantangan
13) Penghargaan terhadap penderitaan orang lain
14) Sesuatu yang harus ditoleransi
15) Bebas dari tanggung jawab yang tidak dikehendaki
Pemahaman dan pemberian arti nyeri sangat dipengaruhi tingkat pengetahuan, persepsi,
pengalaman masa lalu dan juga faktor sosial budaya
2. Respon fisiologis terhadap nyeri
1) Stimulasi Simpatik:(nyeri ringan, moderat, dan superficial)
a) Dilatasi saluran bronkhial dan peningkatan respirasi rate
b) Peningkatan heart rate
c) Vasokonstriksi perifer, peningkatan BP
d) Peningkatan nilai gula darah
e) Diaphoresis
f) Peningkatan kekuatan otot
g) Dilatasi pupil
h) Penurunan motilitas GI
2) Stimulus Parasimpatik (nyeri berat dan dalam)
a) Muka pucat
b) Otot mengeras
c) Penurunan HR dan BP
d) Nafas cepat dan irreguler
e) Nausea dan vomitus
f) Kelelahan dan keletihan
3. Respon tingkah laku terhadap nyeri
1) Respon perilaku terhadap nyeri dapat mencakup:
2) Pernyataan verbal (Mengaduh, Menangis, Sesak Nafas, Mendengkur)
3) Ekspresi wajah (Meringis, Menggeletukkan gigi, Menggigit bibir)
4) Gerakan tubuh (Gelisah, Imobilisasi, Ketegangan otot, peningkatan gerakan jari &
tangan
5) Kontak dengan orang lain/interaksi sosial (Menghindari percakapan, Menghindari
kontak sosial, Penurunan rentang perhatian, Fokus pd aktivitas menghilangkan nyeri)
Individu yang mengalami nyeri dengan awitan mendadak dapat bereaksi sangat berbeda
terhadap nyeri yang berlangsung selama beberapa menit atau menjadi kronis. Nyeri dapat
menyebabkan keletihan dan membuat individu terlalu letih untuk merintih atau menangis. Pasien
dapat tidur, bahkan dengan nyeri hebat. Pasien dapat tampak rileks dan terlibat dalam aktivitas
karena menjadi mahir dalam mengalihkan perhatian terhadap nyeri.
Meinhart & McCaffery mendiskripsikan 3 fase pengalaman nyeri:
1) Fase antisipasi (terjadi sebelum nyeri diterima)
Fase ini mungkin bukan merupakan fase yg paling penting, karena fase ini bisa
mempengaruhi dua fase lain. Pada fase ini memungkinkan seseorang belajar tentang
nyeri dan upaya untuk menghilangkan nyeri tersebut. Peran perawat dalam fase ini sangat
penting, terutama dalam memberikan informasi pada klien.
2) Fase sensasi (terjadi saat nyeri terasa)
Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri. karena nyeri itu bersifat subyektif, maka
tiap orang dalam menyikapi nyeri juga berbeda-beda. Toleraransi terhadap nyeri juga
akan berbeda antara satu orang dengan orang lain. orang yang mempunyai tingkat
toleransi tinggi terhadap nyeri tidak akan mengeluh nyeri dengan stimulus kecil,
sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah akan mudah merasa nyeri
dengan stimulus nyeri kecil. Klien dengan tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri mampu
menahan nyeri tanpa bantuan, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah
sudah mencari upaya mencegah nyeri, sebelum nyeri datang.
Keberadaan enkefalin dan endorfin membantu menjelaskan bagaimana orang
yang berbeda merasakan tingkat nyeri dari stimulus yang sama. Kadar endorfin berbeda
tiap individu, individu dengan endorfin tinggi sedikit merasakan nyeri dan individu
dengan sedikit endorfin merasakan nyeri lebih besar.
Klien bisa mengungkapkan nyerinya dengan berbagai jalan, mulai dari ekspresi
wajah, vokalisasi dan gerakan tubuh. Ekspresi yang ditunjukan klien itulah yang
digunakan perawat untuk mengenali pola perilaku yang menunjukkan nyeri. Perawat
harus melakukan pengkajian secara teliti apabila klien sedikit mengekspresikan nyerinya,
karena belum tentu orang yang tidak mengekspresikan nyeri itu tidak mengalami nyeri.
Kasus-kasus seperti itu tentunya membutuhkan bantuan perawat untuk membantu klien
mengkomunikasikan nyeri secara efektif.
3) Fase akibat (terjadi ketika nyeri berkurang atau berhenti)
Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada fase ini klien masih
membutuhkan kontrol dari perawat, karena nyeri bersifat krisis, sehingga dimungkinkan
klien mengalami gejala sisa pasca nyeri. Apabila klien mengalami episode nyeri
berulang, maka respon akibat (aftermath) dapat menjadi masalah kesehatan yang berat.
Perawat berperan dalam membantu memperoleh kontrol diri untuk meminimalkan rasa
takut akan kemungkinan nyeri berulang.
4. Faktor yang mempengaruhi respon nyeri
1) Usia
Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji respon nyeri
pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami
kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung memendam nyeri yang dialami, karena mereka
mengangnggap nyeri adalah hal alamiah yang harus dijalani dan mereka takut kalau mengalami
penyakit berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan.
2) Jenis kelamin
Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wnita tidak berbeda secara signifikan dalam
merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya (ex: tidak pantas kalo laki-laki mengeluh
nyeri, wanita boleh mengeluh nyeri).
3) Kultur
Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon terhadap nyeri
misalnya seperti suatu daerah menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus
diterima karena mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika ada nyeri.
4) Makna nyeri
Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri dan dan
bagaimana mengatasinya.
5) Perhatian
Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat mempengaruhi
persepsi nyeri. Menurut Gill (1990), perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang
meningkat, sedangkan upaya distraksi dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. Tehnik
relaksasi, guided imagery merupakan tehnik untuk mengatasi nyeri.
6) Ansietas
Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan seseorang
cemas.
7) Pengalaman masa lalu
Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat ini nyeri yang
sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya. Mudah tidaknya seseorang
mengatasi nyeri tergantung pengalaman di masa lalu dalam mengatasi nyeri.
8) Pola koping
Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan sebaliknya pola
koping yang maladaptive akan menyulitkan seseorang mengatasi nyeri.
9) Support keluarga dan sosial
Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga atau
teman dekat untuk memperoleh dukungan dan perlindungan
V. PENGELOLAAN NYERI KRONIK
Tujuan pengelolaan nyeri kronik adalah mereduksi nyeri secara maksimal, membantu
pasien menghadapi nyeri residual yan mungkin timbul, dan meningkatkan kapasitas fingsional
pasien. Sebelum memberikan terapi, seorang dokter harus mengetahui ekspektasi pasien terhadap
penatalaksanaan yang akan diberikan dan harus dapat memberikan gambaran sejelas-jelasnya
bahwa nyeri kronik sangat berbeda dengan nyeri akut.
Non-narkotik analgetik
Meliputi aspirin dan OAINS yang kerjanya menghambat pembentukan prostaglandin pada
ujung-ujung perifer dimana terjadi kerusakan. Obat-obat ini meliputi: Aspirin, Fenoprofen,
Ibuprofen, Difluisel Naproksen, dan Asetaminofen.
Obat-obat ini bekerja sebagai analgetik, antipiretik, anti-inflamasi dan anti trombotik serta
mempunyai sifat:
a. “ceiling efeect” artinya daya analgesinya tidak meningkat dengan kenaikan dosis
tapi durasi kerjanya menjadi lebih lama.
b. Tidak menimbulkan toleransi, ketergantungan fisik maupun psikologis ataupun
adiksi.
c. Mekanisme kerjanya menghambat pembentukan Prostaglandin E2 (PGE2).
Prostaglandin ini dikenal sebagai zat yang dapat merangsang pengeluaran pain
substance misalnya bradikinin, serotonin, histamin dan lain-lain.
Narkotik analgetik
Merupakan morfin dan turunannya, yang mekanisme kerjanya mengikat reseptor dalam susunan
saraf pusat. Jenis yang diberikan biasanya sama dengan pemberian pada nyeri akut.
Analgesia Adjuvant
Obat-obat tambahan (Analgesia Adjuvant) merupakan obat-obat yang tidak tergolong narkotik
tapi dapat meningkatkan efek analgesik narkotik. Bila diberikan bersama-sama atau terpisah
memiliki daya analgetik sendiri. Obat-obat ini meliputi :
1. Anti depresan trisiklik (Amitriptilin, Imipramin, Despiramine, Doksepin)
Diduga bahwa nyeri kronik biasanya diikuti dengan depresi. Pemberian antidepresan
terbukti mengurangi nyeri. Obat-obat ini mempunyai daya analgesik karena sifatnya yang
menghambat pengambilan serotonin dan noradrenalin pada susunan saraf pusat. Pada dosis
rendah (25-50mg/hari) daya analgesi lebih menonjol daripada antidepresi-nya. Obat-obat ini
efektif dalam memodulasi nyeri, meningkatkan mood, dan membuat pasien tidur dengan tenang
karena efek anti-insomnia. Sedangkan efek sampingnya adalah efek antikolinergik (mulut kering,
retensi urine, delirium), sedasi dan hipotensi ortostatik.
2. Anti konvulsan (fenitoin, Carbamazepin, Klonazepam, Asam Valproat)
Berguna untuk nyeri neuropatik atau nyeri kronik yang menyayat, seperti trigeminal
neuralgia, post-herpetik neuralgia, phantom limb pain. Karbamazepin dalam dosis 400-600
mg/hari merupakan drug of choice dalam pengelolaan trigeminal neuralgia.
Blok Saraf
Teknik ini merupakan cara yang cukup populer dalam pengelolaan nyeri kronik dan nyeri
kanker kronik, yaitu dengan cara menyuntikkan obat anestesi lokal atau zat neurolitik ke ruang
epidural atau intratekal. Sebelum melakukan blok saraf, perlu diperhatikan:
a. Jumlah trombosit minimal 100.000/mm3, untuk mencegah epidural hematom.
b. Penderita harus dalam keadaan normovolemia, supaya tidak terjadi hipotensi yang hebat.
c. Fungsi paru yang adekuat, bila kita akan melakukan blok di daerah torakal
d. Bila sebelumnya mendapat narkotik oral ataupun sistemik, jangan dihentikan.
Pembagian blok saraf:
Pemberian anestetik lokal ke ruang epidural
Yaitu dengan cara menyuntikkan obat anestesi lokal ke dalam ruang epidural melalui
kateter epidural, yang efek obat dapat diperpanjang melaui suntikan berkalaatau dengan
penggunaan continuous infusion pump. Kerugian teknik ini adalah umumnya kurang praktis
karena disertai gangguan motorik dan hipotensi.
Hampir semua obat anestesi lokal dapat digunakan, tetapi yang paling disenangi adalah
Marcain, karena efek obatnya lama dan efek samping yang lebih minimal jika dibandingkan
denah obat anestesi lokal lainnya. Konsentrasi 0,25 % dari konsentrasi umum dapat
menghasilkan analgesia yang adekuat. Sedangkan volume kebutuhan obat tergantung banyaknya
segmen yang ingin di blok (tiap segmen 1-1,5 cc).
Pemberian narkotik ke ruang epidural dan intratekal
Pemberian dengan dosis kecil dapat menghasilkan efek analgesi yang cukup kuat. Pada
teknik ini tidak terdapat gangguan motorik, tidak mempengaruhi propioseptif, saraf otonom dan
perabaan sehingga penderita dapat berobat jalan tanpa khawatir akan terjadi hipotensi atau
gangguan koordinasi. Tetapi efek samping berupa depresi napas, retensio urine, dan pruritus
masih sering dijumpai pada pemberian secara intratekal. Oleh karena itu pemberian secara
epidural lebih disenangi daripada intratekakl. Untuk mengurangi bahaya infeksi seperti
meningitis, telah dikembangkan suatu cara yaitu implantable drug deliver system (inafusaid)
yang dapat ditanam dibawah kulit. Larutan narkotik dapat disuntikkan ke infusaid setiap hari.
Dosis untuk intratekal tergantung umur penderita, berkurang dengan penambahan usia, yaitu; 20-
50 tahun: 1,5 mg, 50-70 tahun: 1 mg, lebih dari 70 tahun: 0,5 mg). Dosis rata-rata 0,02-0,2
mg/kgBB dapat menghasilkan efek anlgesi optimal pada penderita nyeri kanker kronik, denan
lama kerja obat 6-14 jam. Sedangkan dosis optimal pemberian morfin secara epidural rata-rata 2-
4 mg yang volumenya tergantung luas daerah yang ingin diblok.
TABLE 69–8. Examples of Patient-Controlled Epidural Analgesia Regimensa
DRUGCONC
ENTRATION
LOADIN
G DOSE
INCREMENT
AL DOSE
LOCKOU
T
(min)
CONTINUO
US
INFUSION/h
Morphine 50 μg/mL 2–4 mg 100–200 μg 10–15 300–600 μg
Hydromorpho
neb 10 μg/mL
0.5–1.5
mg20–30 μg 6–8 80–120 μg
Fentanyl 5 μg/mL75–100 μ
g10–15 μg 6 30–75 μg
Sufentanil 2 μg/mL 30–50 μg 4–6 μg 6 5–10 μg
Meperidine 5 mg/mL 30 mg 30 mg 30 None
Bupivacaine
plus fentanyl0.625% + 2
0.5%
bupivacai
ne
3 mL 6 6 mL
μg/mL
aDoses for use with lumbar epidural catheters; consider reductions if thoracic
catheters are used. bBupivacaine 0.031% was added in most cases.
Copyright © 2000, 1995, 1990, 1985, 1979 by Churchill Livingstone
Pemberian zat neurolitik intratekal
Pemberian zat neurolitik intratekal berupa fenolgliserin 15% atau alkohol 100%, merupakan blok
saraf 7yang bersifat permanen (6-12 bulan). Fenolgliserin bersifat bifasik mula-mula bersifat
blok temporer sama dengan anestesi lokal, kemudian bersifat blok permanen dengan merusak
jaringan saraf. Sedangkan alkohol hanya merusak jaringan saraf saja. Penggunaan zat neurolitik
amat bermanfaat untuk pengelolaan nyeri kanker kronik terutama nyeri yang terlokalisisr pada
suatu tempat. Namun, teknik ini bisa memberikan komplikasi permanen berupa gangguan
motorik, serta gangguan miksi dan defekasi. Oleh karena itu, indikasinya hanya terbatas pada:
Tindakan paliatif nyeri kanker terminal.
1. Nyeri yang sudah tidak dapat diatasi lagi atau tidak responsif dengan pemberian narkotik
secara sistemik, epidural, maiupun intra tekal.
2. Didahului dengan pemberian anestetik lokal sebagai dignostik dan hasilnya harus lebih
dari 75% nyerinya menghilang.
3. Sumber nyeri terlokalisir
4. Tidak ada gangguan koagulopati
5. Tidak ada infeksi atau tumor pada tempat injeksi.
6. Pasien mengerti resiko yang mungkin muncul
VI. MANAJEMEN NYERI NON-FARMAKOLOGI
Ada beberapa metode metode non-farmakologi yang digunakan untuk membantu penanganan
nyeri paska pembedahan, seperti menggunakan terapi fisik (dingin, panas) yang dapat mengurangi
spasme otot, akupunktur untuk nyeri kronik (gangguan muskuloskletal, nyeri kepala), terapi
psikologis (musik, hipnosis, terapi kognitif, terapi tingkah laku) dan rangsangan elektrik pada sistem
saraf (TENS, Spinal Cord Stimulation, Intracerebral Stimulation
MANAJEMEN NYERI
Tindakan Non Farmakologis.
Saat ini banyak dikembangkan terapi tambahan untuk mengatasi nyeri, seperti:
Latihan relaksasi nafas dalam
Masase
Therapi es dan panas
Stimulasi saraf elektris transkutan
Distraksi
Imajinasi terbimbing.
Hipnosis.
1. Relaksasi nafas dalam
Relaksasi otot rangka dipercaya dapat menurunkan nyeri dengan merelaksasikan
ketegangan otot yang mendukung rasa nyeri. Teknik relaksasi mungkin perlu diajarkan
beberapa kali agar mencapai hasil optimal. Dengan relaksasi pasien dapat mengubah persepsi
terhadap nyeri.
Latihan Relaksasi
1 Ambil posisi senyaman mungkin, jangan silangkan tangan dan kaki anda.
2 Mulailah dengan konsentrasi untuk menarik nafas dalam.
3 Jika pikiran anda terpecah, kembalilah dengan konsentrasi pada nafas anda.
4 Jadikan diri anda menyadari dan merasakan irama nafas anda.
5. Rasakan setiap tarikan nafas anda melalui seluruh tubuh anda, memberikan energi yang dapat
membantu menyembuhkan diri anda.
6. Saat anda menghembuskan nafas, lepaskan ketegangan diri anda, lepaskan semua keluhan
anda.
7. Lemaskan seluruh serat otot anda mulai dari atas, kepala anda menjadi lemas dan relaks,
turunkan kebawah keleher anda, kedua tangan, dada, dan punggung anda.
Lanjutkan untuk melemaskan serat otot paha nada, betis dan kaki anda.
8. Hal ini akan menjadikan diri anda menjadi relaks lebih dalam, kenyamanan anda mulai anda
rasakan lebih baik.
9. Anda dapat mulai membayangkan hal yang dapat membuat anda lebih senang dan nyaman,
lanjutkan dengan lebih menikmati kondisi tersebut, resapi dan hayati, dan nikmati lebih
mendalam.
10. Kondisi relaks dan nyaman ini dapat anda rasakan dan anda dapatkan kapanpun anda
menginginkannya.
2. Masase
Masase adalah stimulasi kuteneus tubuh secara umum, sering dipusatkan pada punggung
dan bahu. Masase tidak secara spesifik menstimulasi reseptor yang sama seperti reseptor nyeri
tetapi dapat mempunyai dampak melalui sistem control desenden. Masase dapat membuat pasien
lebih nyaman karena masase membuat relaksasi otot.
3. Terapi Es dan Panas.
Terapi es (dingin) dan panas dapat menjadi strategi pereda nyeri yang efektif pada beberapa
keadaan, namun begitu, keefektifannya dan mekanisme kerjanya memerlukan studi lebih lanjut.
Diduga bahwa terapi es dan panas bekerja dengan menstimulasi reseptor tidak nyeri (non-
noniseptor) dalam reseptor yang sama seperti pada cedera.
Terapi es dapat menurunkan prostaglandin, yang memperkuat sensivitas reseptor nyeri dan
subkutan lain [ada tempat cedera dengan menghambat proses inflamasi. Agar efektif, es harus
diletakkan pada tempat cedera segera setelah cedera terjadi.
Penggunaan panas mempunyai keuntungan meningkatakan aliran darah ke suatu area dan
kemungkinan dapat turut menurunkan nyeri dengan mempercepat penyembuhan. Namun
demikian, menggunakan panas kering dengan lampu pemanas tampak tidak seefektif
penggunaan es. Baik terapi panas kering dan lembab kemungkinan memberi analgesia tetapi
penelitian tambahan diperlukan untuk memahami mekanisme kerjanya dan indikasi
penggunaannya yang sesuai. Baik terapi es maupun panas harus digunakan dengan hati-hati dan
dipantau dengan cermat untuk menghindari cedera kulit.
4. Stimulasi Saraf Elektris Transkutan.
Stimulasi saraf transkutan (TENS) menggunakan unit yang dijalankan oleh baterai dengan
elektroda yang dipasang pada kulit untuk menghasilkan sensasi kesemutan , menggetar atau
menegung pada area nyeri. TENS telah digunakan baik pada nyeri akut dan kronik. TENS
diduga dapat menurunkan nyeri dengan menstimulasi reseptor tidak nyeri (non-nosiseptor) dalam
area yang sama seperti pada serabut yang menstrasmisikan nyeri. Mekanisme ini sesuai dengan
teori nyeri gate control. Reseptor tidak nyeri diduga memblok transmisi sinyal nyeri ke otak pada
jaras asendens saraf pusat.
Mekanisme ini akan menguraikan keefekitan stimulasi kutan saat digunakan pada araea
yang asama seperti pada cedera. Sebagai contoh, saat TENS digunakan apda pasien pasca
operatif elektroda diletekkan disekitar luka bedah. Penjelasan lain untuk keefektifan TENS
adalah efek placebo (pasien mengharapkannya agar efektif) dan pembentukan endorphin, yang
juga memblok transmisi nyeri.
5. Distraksi.
Distraksi, yang mencakup memfokuskan perhatian pasien pada sesuatu selai pada nyeri,
dapat menjadi stategi yang sangat berhasil dan mungkin merupakan mekanisme yang
bertanggung jawab pada teknik kognitif efektif lainnya ( Arntz dkk., 1991; Devine dkk., 1990).
Seseorang, yang kurang menyadari adanya nyeri atau memberikan sedikit perhatian pada nyeri,
akan sedikit terganggu oleh nyeri dan lebih toleransi terhadap nyeri. Distraksi diduga dapat
menurunkan persepsi nyeri dengan menstimulasi sistem control desenden, yang mengakibatkan
lebih sedikit stimuli nyeri yang ditransmisikan ke otak.
Keefektifan distraksi tergantung pada kemampuan pasien untuk menerima dan
membangkitkan input sensori selain nyeri. Peredaan nyeri secara umum meningkat dalam
hubungan langsung engan parsitipasi aktif individu, banyaknya modalitas sensori yang dipakai
dan minat individu dalam stimuli. Karenanya, stimuli penglihatan, pendengaran, dan sentuhan
mungkin akan efektif dalam menurunkan nyeri dibanding stimulus satu indra saja.
6. Imajinasi Terbimbing.
Imajinasi terbimbing adalah menggunakan imajinasi seseorang dalam suatu cara yang
dirancang secara khusus untuk mencapai efek positf tertentu. Jika imajinasi terpadu diharapkan
agar efektif, doibutuhkan waktu yang banyak untuk menjelaskan tekniknya dan waktu untuk
pasien mempraktekkannya. Biasanya, pasien diminta untuk mempraktikkan imajinasi terbimbing
selama sekitar 5 menit, tiga kali sehari. Beberapa hari praktik mungkin diperlukan sebelum
intensitas nyeri dikurangi. Banyak pasien mulai mengalami efek rileks dari imajinasi terbimbing
saat pertama kali meraka mencobanya. Nyeri mereda dapat berlanjut selam berjam-jan setelah
imajinasi digunakan.
Pasien harus diinformasikan bahwa imajinasi terbimbing hanya dapat berfungsi pada
beberapa orang. Imajinasi terbimbing harus digunakan hanya sebagai tambahan dari bentuk
pengobatan yang telah terbukti, sampai riset telah menunjukkan apakah dan bilakah tekinik ini
efektif.
7. Hipnosis.
Hipnosis efektif dalam meredakan nyeri atau menurunkan jumlah analgesik yang
dibutuhkan pada nyeri akut dan kronis. Teknik ini mungkin membantu dalam memberikan
peredaan pada nyeri terutama dalam situasi sulit. Mekanisme bagaimana kerjanya hipnosis tidak
jelas tetapi tidak tampak diperantari oleh sistem endorfin. Keefektifan hipnosis tergantung pada
kemudahan hipnotik individu.
DAFTAR PUSTAKA
1. Latief, Said. A, dkk. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi Edisi 2. Bagian Anestesiologi
dan Terapi Intensif. Jakarta: FKUI.
2. Potter, Patricia A. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses, dan
Praktik Ed. 4 vol.2. Jakarta: EGC.
3. Smeltzer C. Suzanne, Brunner & Suddarth.2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah. Jakarta : EGC