32
NYERI KRONIS I. DIFINISI Definisi nyeri berdasarkan International Association for the Study of Pain (IASP, 1979) adalah pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkan dimana berhubungan dengan kerusakan jaringan atau potensial terjadi kerusakan jaringan. Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang satu periode waktu. Nyeri kronis dapat tidak mempunyai awitan yang ditetapkan dan sering sulit untuk diobati karena biasanya nyeri ini tidak memberikan respon terhadap pengobatan yang diarahkan pada penyebabnya. Nyeri kronis sering didefenisikan sebagai nyeri yang berlangsung selama enam bulan atau lebih (Brunner & Suddarth, 1996 dikutip dari Smeltzer 2001). Menurut Taylor (1993) nyeri ini bersifat dalam, tumpul, diikuti berbagai macam gangguan, terjadi lambat dan meningkat secara perlahan setelahnya, dimulai setelah detik pertama dan meningkat perlahan sampai beberapa detik atau menit. Nyeri ini berhubungan dengan kerusakan jaringan, ini bersifat terus-menerus atau intermitten. Perbedaan karakteristik nyeri akut dan nyeri kronis: NNNNNNNNYERI AKUT NNYERI KRONIS - Lamanya dalam hitungan menit - Lamannya sampai hitungan bulan

Tugas Nyeri Kronis

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Tugas Nyeri Kronis

NYERI KRONIS

I. DIFINISI

Definisi nyeri berdasarkan International Association for the Study of Pain (IASP, 1979)

adalah pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkan dimana berhubungan dengan

kerusakan jaringan atau potensial terjadi kerusakan jaringan.

Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang satu periode

waktu. Nyeri kronis dapat tidak mempunyai awitan yang ditetapkan dan sering sulit untuk

diobati karena biasanya nyeri ini tidak memberikan respon terhadap pengobatan yang diarahkan

pada penyebabnya. Nyeri kronis sering didefenisikan sebagai nyeri yang berlangsung selama

enam bulan atau lebih (Brunner & Suddarth, 1996 dikutip dari Smeltzer 2001).

Menurut Taylor (1993) nyeri ini bersifat dalam, tumpul, diikuti berbagai macam

gangguan, terjadi lambat dan meningkat secara perlahan setelahnya, dimulai setelah detik

pertama dan meningkat perlahan sampai beberapa detik atau menit. Nyeri ini berhubungan

dengan kerusakan jaringan, ini bersifat terus-menerus atau intermitten.

Perbedaan karakteristik nyeri akut dan nyeri kronis:

NNNNNNNNYERI AKUT NNYERI KRONIS

- Lamanya dalam hitungan menit

- Sensasi tajam menusuk

- Dibawa oleh serat A-delta

- Ditandai  peningkatan BP, nadi, dan

respirasi

- Kausanya spesifik, dapat diidentifikasi

secara biologis

- Respon pasien : Fokus pada nyeri,

menangis dan mengerang, cemas

- Tingkah laku menggosok bagian yang

nyeri

- Lamannya sampai hitungan bulan

- Sensasi terbakar, tumpul, pegal

- Dibawa oleh serat C

- Fungsi fisiologi bersifat normal

- Kausanya mungkin jelas mungkin

tidak

- Tidak ada keluhan nyeri, depresi dan

kelelahan

- Tidak ada aktifitas fisik sebagai respon

terhadap nyeri

Page 2: Tugas Nyeri Kronis

- Respon terhadap analgesik :

meredakan nyeri secara efektif

- Respon terhadap analgesik : sering

kurang meredakan nyeri

II. FISIOLOGIS NYERI

1. Mekanisme Nyeri

Nyeri merupakan suatu bentuk peringatan akan adanya bahaya kerusakan

jaringan. Pengalaman sensoris pada nyeri akut disebabkan oleh stimulus noksius yang

diperantarai oleh sistem sensorik nosiseptif. Sistem ini berjalan mulai dari perifer melalui

medulla spinalis, batang otak, thalamus dan korteks serebri. Apabila telah terjadi

kerusakan jaringan, maka sistem nosiseptif akan bergeser fungsinya dari fungsi protektif

menjadi fungsi yang membantu perbaikan jaringan yang rusak.

Nyeri inflamasi merupakan salah satu bentuk untuk mempercepat perbaikan

kerusakan jaringan. Sensitifitas akan meningkat, sehingga stimulus non noksius atau

noksius ringan yang mengenai bagian yang meradang akan menyebabkan nyeri. Nyeri

inflamasi akan menurunkan derajat kerusakan dan menghilangkan respon inflamasi.

1) Sensitisasi Perifer

Cidera atau inflamasi jaringan akan menyebabkan munculnya perubahan

lingkungan kimiawi pada akhir nosiseptor. Sel yang rusak akan melepaskan

komponen intraselulernya seperti adenosine trifosfat, ion K+, pH menurun, sel

inflamasi akan menghasilkan sitokin, chemokine dan growth factor. Beberapa

komponen diatas akan langsung merangsang nosiseptor (nociceptor activators)

dan komponen lainnya akan menyebabkan nosiseptor menjadi lebih hipersensitif

terhadap rangsangan berikutnya (nociceptor sensitizers).

Komponen sensitisasi, misalnya prostaglandin E2 akan mereduksi ambang

aktivasi nosiseptor dan meningkatkan kepekaan ujung saraf dengan cara berikatan

pada reseptor spesifik di nosiseptor. Berbagai komponen yang menyebabkan

sensitisasi akan muncul secara bersamaan, penghambatan hanya pada salah satu

substansi kimia tersebut tidak akan menghilangkan sensitisasi perifer. Sensitisasi

Page 3: Tugas Nyeri Kronis

perifer akan menurunkan ambang rangsang dan berperan dalam meningkatkan

sensitifitas nyeri di tempat cedera atau inflamasi.

2) Sensitisasi Sentral

Sama halnya dengan sistem nosiseptor perifer, maka transmisi nosiseptor

di sentral juga dapat mengalami sensitisasi. Sensitisasi sentral dan perifer

bertanggung jawab terhadap munculnya hipersensitivitas nyeri setelah cidera.

Sensitisasi sentral memfasilitasi dan memperkuat transfer sipnatik dari nosiseptor

ke neuron kornu dorsalis. Pada awalnya proses ini dipacu oleh input nosiseptor ke

medulla spinalis (activity dependent), kemudian terjadi perubahan molekuler

neuron (transcription dependent)

Sensitisasi sentral dan perifer merupakan contoh plastisitas sistem saraf,

dimana terjadi perubahan fungsi sebagai respon perubahan input (kerusakan

jaringan). Dalam beberapa detik setelah kerusakan jaringan yang hebat akan

terjadi aliran sensoris yang masif kedalam medulla spinalis, ini akan

menyebabkan jaringan saraf didalam medulla spinalis menjadi hiperresponsif.

Reaksi ini akan menyebabkan munculnya rangsangan nyeri akibat stimulus non

noksius dan pada daerah yang jauh dari jaringan cedera juga akan menjadi lebih

sensitif terhadap rangsangan nyeri.

2. Nosiseptor (Reseptor Nyeri)

Nosiseptor adalah reseptor ujung saraf bebas yang ada di kulit, otot, persendian,

viseral dan vaskular. Nosiseptor-nosiseptor ini bertanggung jawab terhadap kehadiran

stimulus noksius yang berasal dari kimia, suhu (panas, dingin), atau perubahan

mekanikal. Pada jaringan normal, nosiseptor tidak aktif sampai adanya stimulus yang

memiliki energi yang cukup untuk melampaui ambang batas stimulus (resting).

Nosiseptor mencegah perambatan sinyal acak (skrining fungsi) ke SSP untuk

interpretasi nyeri.

Saraf nosiseptor bersinap di dorsal horn dari spinal cord dengan lokal interneuron

dan saraf projeksi yang membawa informasi nosiseptif ke pusat yang lebih tinggi

pada batang otak dan thalamus. Berbeda dengan reseptor sensorik lainnya, reseptor

Page 4: Tugas Nyeri Kronis

nyeri tidak bisa beradaptasi. Kegagalan reseptor nyeri beradaptasi adalah untuk

proteksi karena hal tersebut bisa menyebabkan individu untuk tetap awas pada

kerusakan jaringan yang berkelanjutan. Setelah kerusakan terjadi, nyeri biasanya

minimal. Mula datang nyeri pada jaringan karena iskemi akut berhubungan dengan

kecepatan metabolisme. Sebagai contoh, nyeri terjadi pada saat beraktifitas kerena

iskemia otot skeletal pada 15 sampai 20 detik tapi pada iskemia kulit bisa terjadai

pada 20 sampai 30 menit.

Tipe nosiseptor spesifik bereaksi pada tipe stimulus yang berbeda. Nosiseptor C

tertentu dan nosiseptor A-delta bereaksi hanya pada stimulus panas atau dingin,

dimana yang lainnya bereaksi pada stimulus yang banyak (kimia, panas, dingin).

Beberapa reseptor A-beta mempunyai aktivitas nociceptor-like. Serat –serat sensorik

mekanoreseptor bisa diikutkan untuk transmisi sinyal yang akan menginterpretasi

nyeri ketika daerah sekitar terjadi inflamasi dan produk-produknya. Allodynia

mekanikal (nyeri atau sensasi terbakar karena sentuhan ringan) dihasilkan

mekanoreseptor A-beta. Nosiseptor viseral, tidak seperti nosiseptor kutaneus, tidak

didesain hanya sebagai reseptor nyeri karena organ dalam jarang terpapar pada

keadaan yang potensial merusak. Banyak stimulus yang sifatnya merusak

(memotong, membakar, kepitan) tidak menghasilkan nyeri bila dilakukan pada

struktur viseris. Selain itu inflamasi iskemia, regangan mesentrik, dilatasi, atau

spasme viseralis bisa menyebabkan spasme berat. Stimulus ini biasanya dihubungkan

dengan proses patologis, dan nyeri yang dicetuskan untuk mempertahankan fungsi.

3. Perjalanan Nyeri (Nociceptive Pathway)

Perjalanan nyeri termasuk suatu rangkaian proses neurofisiologis kompleks yang

disebut sebagai nosiseptif (nociception) yang merefleksikan empat proses komponen

yang nyata yaitu transduksi, transmisi, modulasi dan persepsi, dimana terjadinya

stimuli yang kuat diperifer sampai dirasakannya nyeri di susunan saraf pusat (cortex

cerebri).

1). Proses Transduksi

Proses dimana stimulus noksius diubah ke impuls elektrikal pada ujung saraf.

Suatu stimuli kuat (noxion stimuli) seperti tekanan fisik kimia, suhu dirubah menjadi

suatu aktifitas listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf perifer (nerve ending) atau

Page 5: Tugas Nyeri Kronis

organ-organ tubuh (reseptor meisneri, merkel, corpusculum paccini, golgi mazoni).

Kerusakan jaringan karena trauma baik trauma pembedahan atau trauma lainnya

menyebabkan sintesa prostaglandin, dimana prostaglandin inilah yang akan

menyebabkan sensitisasi dari reseptor-reseptor nosiseptif dan dikeluarkannya zat-zat

mediator nyeri seperti histamin, serotonin yang akan menimbulkan sensasi nyeri.

Keadaan ini dikenal sebagai sensitisasi perifer.

2) Proses Transmisi

Proses penyaluran impuls melalui saraf sensori sebagai lanjutan proses

transduksi melalui serabut A-delta dan serabut C dari perifer ke medulla spinalis,

dimana impuls tersebut mengalami modulasi sebelum diteruskan ke thalamus oleh

tractus spinothalamicus dan sebagian ke traktus spinoretikularis. Traktus

spinoretikularis terutama membawa rangsangan dari organ-organ yang lebih dalam

dan viseral serta berhubungan dengan nyeri yang lebih difus dan melibatkan emosi.

Selain itu juga serabut-serabut saraf disini mempunyai sinaps interneuron dengan

saraf-saraf berdiameter besar dan bermielin.

3) Proses Modulasi

Proses perubahan transmisi nyeri yang terjadi disusunan saraf pusat (medulla

spinalis dan otak). Proses terjadinya interaksi antara sistem analgesik endogen yang

dihasilkan oleh tubuh kita dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior medulla

spinalis merupakan proses ascenden yang dikontrol oleh otak. Analgesik endogen

(enkefalin, endorphin, serotonin, noradrenalin) dapat menekan impuls nyeri pada

kornu posterior medulla spinalis. Dimana kornu posterior sebagai pintu dapat terbuka

dan tertutup untuk menyalurkan impuls nyeri untuk analgesik endogen tersebut. Inilah

yang menyebabkan persepsi nyeri sangat subjektif pada setiap orang.

4) Persepsi

Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dari proses tranduksi, transmisi dan

modulasi yang pada akhirnya akan menghasilkan suatu proses subjektif yang dikenal

sebagai persepsi nyeri, yang diperkirakan terjadi pada thalamus dengan korteks

sebagai diskriminasi dari sensorik

Page 6: Tugas Nyeri Kronis

III. TEORI PENGONTROLAN NYERI (GATE CONTROL THEORY)

Terdapat berbagai teori yang berusaha menggambarkan bagaimana nosireseptor dapat

menghasilkan rangsang nyeri. Sampai saat ini dikenal berbagai teori yang mencoba menjelaskan

bagaimana nyeri dapat timbul, namun teori gerbang kendali nyeri dianggap paling relevan

(Tamsuri, 2007)

Teori gate control dari Melzack dan Wall (1965) mengusulkan bahwa impuls nyeri dapat

diatur atau dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat. Teori ini

mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan impuls

dihambat saat sebuah pertahanan tertutup. Upaya menutup pertahanan tersebut merupakan dasar

teori menghilangkan nyeri.

Suatu keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan serabut kontrol desenden dari otak

mengatur proses pertahanan. Neuron delta-A dan C melepaskan substansi C melepaskan

substansi P untuk mentranmisi impuls melalui mekanisme pertahanan. Selain itu, terdapat

mekanoreseptor, neuron beta-A yang lebih tebal, yang lebih cepat yang melepaskan

neurotransmiter penghambat. Apabila masukan yang dominan berasal dari serabut beta-A, maka

akan menutup mekanisme pertahanan. Diyakini mekanisme penutupan ini dapat terlihat saat

seorang perawat menggosok punggung klien dengan lembut. Pesan yang dihasilkan akan

menstimulasi mekanoreseptor, apabila masukan yang dominan berasal dari serabut delta A dan

serabut C, maka akan membuka pertahanan tersebut dan klien mempersepsikan sensasi nyeri.

Bahkan jika impuls nyeri dihantarkan ke otak, terdapat pusat kortek yang lebih tinggi di otak

yang memodifikasi nyeri. Alur saraf desenden melepaskan opiat endogen, seperti endorfin dan

dinorfin, suatu pembunuh nyeri alami yang berasal dari tubuh. Neuromedulator ini menutup

mekanisme pertahanan dengan menghambat pelepasan substansi P. tehnik distraksi, konseling

dan pemberian plasebo merupakan upaya untuk melepaskan endorfin (Potter, 2005)

IV. RESPON NYERI

1. Respon Psikologis

Page 7: Tugas Nyeri Kronis

Respon psikologis sangat berkaitan dengan pemahaman klien terhadap nyeri yang terjadi

atau arti nyeri bagi klien.

Arti nyeri bagi setiap individu berbeda-beda antara lain :

1) Bahaya atau merusak

2) Komplikasi seperti infeksi

3) Penyakit yang berulang

4) Penyakit baru

5) Penyakit yang fatal

6) Peningkatan ketidakmampuan

7) Kehilangan mobilitas

8) Menjadi tua

9) Sembuh

10) Perlu untuk penyembuhan

11) Hukuman untuk berdosa

12) Tantangan

13) Penghargaan terhadap penderitaan orang lain

14) Sesuatu yang harus ditoleransi

15) Bebas dari tanggung jawab yang tidak dikehendaki

Pemahaman dan pemberian arti nyeri sangat dipengaruhi tingkat pengetahuan, persepsi,

pengalaman masa lalu dan juga faktor sosial budaya

Page 8: Tugas Nyeri Kronis

2. Respon fisiologis terhadap nyeri

1) Stimulasi Simpatik:(nyeri ringan, moderat, dan superficial)

a) Dilatasi saluran bronkhial dan peningkatan respirasi rate

b) Peningkatan heart rate

c) Vasokonstriksi perifer, peningkatan BP

d) Peningkatan nilai gula darah

e) Diaphoresis

f) Peningkatan kekuatan otot

g) Dilatasi pupil

h) Penurunan motilitas GI

2) Stimulus Parasimpatik (nyeri berat dan dalam)

a) Muka pucat

b) Otot mengeras

c) Penurunan HR dan BP

d) Nafas cepat dan irreguler

e) Nausea dan vomitus

f) Kelelahan dan keletihan

3. Respon tingkah laku terhadap nyeri

1) Respon perilaku terhadap nyeri dapat mencakup:

Page 9: Tugas Nyeri Kronis

2) Pernyataan verbal (Mengaduh, Menangis, Sesak Nafas, Mendengkur)

3) Ekspresi wajah (Meringis, Menggeletukkan gigi, Menggigit bibir)

4) Gerakan tubuh (Gelisah, Imobilisasi, Ketegangan otot, peningkatan gerakan jari &

tangan

5) Kontak dengan orang lain/interaksi sosial (Menghindari percakapan, Menghindari

kontak sosial, Penurunan rentang perhatian, Fokus pd aktivitas menghilangkan nyeri)

Individu yang mengalami nyeri dengan awitan mendadak dapat bereaksi sangat berbeda

terhadap nyeri yang berlangsung selama beberapa menit atau menjadi kronis. Nyeri dapat

menyebabkan keletihan dan membuat individu terlalu letih untuk merintih atau menangis. Pasien

dapat tidur, bahkan dengan nyeri hebat. Pasien dapat tampak rileks dan terlibat dalam aktivitas

karena menjadi mahir dalam mengalihkan perhatian terhadap nyeri.

Meinhart & McCaffery mendiskripsikan 3 fase pengalaman nyeri:

1) Fase antisipasi (terjadi sebelum nyeri diterima)

Fase ini mungkin bukan merupakan fase yg paling penting, karena fase ini bisa

mempengaruhi dua fase lain. Pada fase ini memungkinkan seseorang belajar tentang

nyeri dan upaya untuk menghilangkan nyeri tersebut. Peran perawat dalam fase ini sangat

penting, terutama dalam memberikan informasi pada klien.

2) Fase sensasi (terjadi saat nyeri terasa)

Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri. karena nyeri itu bersifat subyektif, maka

tiap orang dalam menyikapi nyeri juga berbeda-beda. Toleraransi terhadap nyeri juga

akan berbeda antara satu orang dengan orang lain. orang yang mempunyai tingkat

toleransi tinggi terhadap nyeri tidak akan mengeluh nyeri dengan stimulus kecil,

sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah akan mudah merasa nyeri

dengan stimulus nyeri kecil. Klien dengan tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri mampu

Page 10: Tugas Nyeri Kronis

menahan nyeri tanpa bantuan, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah

sudah mencari upaya mencegah nyeri, sebelum nyeri datang.

Keberadaan enkefalin dan endorfin membantu menjelaskan bagaimana orang

yang berbeda merasakan tingkat nyeri dari stimulus yang sama. Kadar endorfin berbeda

tiap individu, individu dengan endorfin tinggi sedikit merasakan nyeri dan individu

dengan sedikit endorfin merasakan nyeri lebih besar.

Klien bisa mengungkapkan nyerinya dengan berbagai jalan, mulai dari ekspresi

wajah, vokalisasi dan gerakan tubuh. Ekspresi yang ditunjukan klien itulah yang

digunakan perawat untuk mengenali pola perilaku yang menunjukkan nyeri. Perawat

harus melakukan pengkajian secara teliti apabila klien sedikit mengekspresikan nyerinya,

karena belum tentu orang yang tidak mengekspresikan nyeri itu tidak mengalami nyeri.

Kasus-kasus seperti itu tentunya membutuhkan bantuan perawat untuk membantu klien

mengkomunikasikan nyeri secara efektif.

3) Fase akibat (terjadi ketika nyeri berkurang atau berhenti)

Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada fase ini klien masih

membutuhkan kontrol dari perawat, karena nyeri bersifat krisis, sehingga dimungkinkan

klien mengalami gejala sisa pasca nyeri. Apabila klien mengalami episode nyeri

berulang, maka respon akibat (aftermath) dapat menjadi masalah kesehatan yang berat.

Perawat berperan dalam membantu memperoleh kontrol diri untuk meminimalkan rasa

takut akan kemungkinan nyeri berulang.

4. Faktor yang mempengaruhi respon nyeri

1) Usia

Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji respon nyeri

pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami

kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung memendam nyeri yang dialami, karena mereka

Page 11: Tugas Nyeri Kronis

mengangnggap nyeri adalah hal alamiah yang harus dijalani dan mereka takut kalau mengalami

penyakit berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan.

2) Jenis kelamin

Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wnita tidak berbeda secara signifikan dalam

merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya (ex: tidak pantas kalo laki-laki mengeluh

nyeri, wanita boleh mengeluh nyeri).

3) Kultur

Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon terhadap nyeri

misalnya seperti suatu daerah menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus

diterima karena mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika ada nyeri.

4) Makna nyeri

Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri dan dan

bagaimana mengatasinya.

5) Perhatian

Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat mempengaruhi

persepsi nyeri. Menurut Gill (1990), perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang

meningkat, sedangkan upaya distraksi dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. Tehnik

relaksasi, guided imagery merupakan tehnik untuk mengatasi nyeri.

6) Ansietas

Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan seseorang

cemas.

7) Pengalaman masa lalu

Page 12: Tugas Nyeri Kronis

Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat ini nyeri yang

sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya. Mudah tidaknya seseorang

mengatasi nyeri tergantung pengalaman di masa lalu dalam mengatasi nyeri.

8) Pola koping

Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan sebaliknya pola

koping yang maladaptive akan menyulitkan seseorang mengatasi nyeri.

9) Support keluarga dan sosial

Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga atau

teman dekat untuk memperoleh dukungan dan perlindungan

V. PENGELOLAAN NYERI KRONIK

Tujuan pengelolaan nyeri kronik adalah mereduksi nyeri secara maksimal, membantu

pasien menghadapi nyeri residual yan mungkin timbul, dan meningkatkan kapasitas fingsional

pasien. Sebelum memberikan terapi, seorang dokter harus mengetahui ekspektasi pasien terhadap

penatalaksanaan yang akan diberikan dan harus dapat memberikan gambaran sejelas-jelasnya

bahwa nyeri kronik sangat berbeda dengan nyeri akut.

Non-narkotik analgetik

Meliputi aspirin dan OAINS yang kerjanya menghambat pembentukan prostaglandin pada

ujung-ujung perifer dimana terjadi kerusakan. Obat-obat ini meliputi: Aspirin, Fenoprofen,

Ibuprofen, Difluisel Naproksen, dan Asetaminofen.

Obat-obat ini bekerja sebagai analgetik, antipiretik, anti-inflamasi dan anti trombotik serta

mempunyai sifat:

a. “ceiling efeect” artinya daya analgesinya tidak meningkat dengan kenaikan dosis

tapi durasi kerjanya menjadi lebih lama.

b. Tidak menimbulkan toleransi, ketergantungan fisik maupun psikologis ataupun

adiksi.

Page 13: Tugas Nyeri Kronis

c. Mekanisme kerjanya menghambat pembentukan Prostaglandin E2 (PGE2).

Prostaglandin ini dikenal sebagai zat yang dapat merangsang pengeluaran pain

substance misalnya bradikinin, serotonin, histamin dan lain-lain.

Narkotik analgetik

Merupakan morfin dan turunannya, yang mekanisme kerjanya mengikat reseptor dalam susunan

saraf pusat. Jenis yang diberikan biasanya sama dengan pemberian pada nyeri akut.

Analgesia Adjuvant

Obat-obat tambahan (Analgesia Adjuvant) merupakan obat-obat yang tidak tergolong narkotik

tapi dapat meningkatkan efek analgesik narkotik. Bila diberikan bersama-sama atau terpisah

memiliki daya analgetik sendiri. Obat-obat ini meliputi :

1. Anti depresan trisiklik (Amitriptilin, Imipramin, Despiramine, Doksepin)

Diduga bahwa nyeri kronik biasanya diikuti dengan depresi. Pemberian antidepresan

terbukti mengurangi nyeri. Obat-obat ini mempunyai daya analgesik karena sifatnya yang

menghambat pengambilan serotonin dan noradrenalin pada susunan saraf pusat. Pada dosis

rendah (25-50mg/hari) daya analgesi lebih menonjol daripada antidepresi-nya. Obat-obat ini

efektif dalam memodulasi nyeri, meningkatkan mood, dan membuat pasien tidur dengan tenang

karena efek anti-insomnia. Sedangkan efek sampingnya adalah efek antikolinergik (mulut kering,

retensi urine, delirium), sedasi dan hipotensi ortostatik.

2. Anti konvulsan (fenitoin, Carbamazepin, Klonazepam, Asam Valproat)

Berguna untuk nyeri neuropatik atau nyeri kronik yang menyayat, seperti trigeminal

neuralgia, post-herpetik neuralgia, phantom limb pain. Karbamazepin dalam dosis 400-600

mg/hari merupakan drug of choice dalam pengelolaan trigeminal neuralgia.

Blok Saraf

Teknik ini merupakan cara yang cukup populer dalam pengelolaan nyeri kronik dan nyeri

kanker kronik, yaitu dengan cara menyuntikkan obat anestesi lokal atau zat neurolitik ke ruang

epidural atau intratekal. Sebelum melakukan blok saraf, perlu diperhatikan:

Page 14: Tugas Nyeri Kronis

a. Jumlah trombosit minimal 100.000/mm3, untuk mencegah epidural hematom.

b. Penderita harus dalam keadaan normovolemia, supaya tidak terjadi hipotensi yang hebat.

c. Fungsi paru yang adekuat, bila kita akan melakukan blok di daerah torakal

d. Bila sebelumnya mendapat narkotik oral ataupun sistemik, jangan dihentikan.

Pembagian blok saraf:

Pemberian anestetik lokal ke ruang epidural

Yaitu dengan cara menyuntikkan obat anestesi lokal ke dalam ruang epidural melalui

kateter epidural, yang efek obat dapat diperpanjang melaui suntikan berkalaatau dengan

penggunaan continuous infusion pump. Kerugian teknik ini adalah umumnya kurang praktis

karena disertai gangguan motorik dan hipotensi.

Hampir semua obat anestesi lokal dapat digunakan, tetapi yang paling disenangi adalah

Marcain, karena efek obatnya lama dan efek samping yang lebih minimal jika dibandingkan

denah obat anestesi lokal lainnya. Konsentrasi 0,25 % dari konsentrasi umum dapat

menghasilkan analgesia yang adekuat. Sedangkan volume kebutuhan obat tergantung banyaknya

segmen yang ingin di blok (tiap segmen 1-1,5 cc).

Pemberian narkotik ke ruang epidural dan intratekal

Pemberian dengan dosis kecil dapat menghasilkan efek analgesi yang cukup kuat. Pada

teknik ini tidak terdapat gangguan motorik, tidak mempengaruhi propioseptif, saraf otonom dan

perabaan sehingga penderita dapat berobat jalan tanpa khawatir akan terjadi hipotensi atau

gangguan koordinasi. Tetapi efek samping berupa depresi napas, retensio urine, dan pruritus

masih sering dijumpai pada pemberian secara intratekal. Oleh karena itu pemberian secara

epidural lebih disenangi daripada intratekakl. Untuk mengurangi bahaya infeksi seperti

meningitis, telah dikembangkan suatu cara yaitu implantable drug deliver system (inafusaid)

yang dapat ditanam dibawah kulit. Larutan narkotik dapat disuntikkan ke infusaid setiap hari.

Dosis untuk intratekal tergantung umur penderita, berkurang dengan penambahan usia, yaitu; 20-

50 tahun: 1,5 mg, 50-70 tahun: 1 mg, lebih dari 70 tahun: 0,5 mg). Dosis rata-rata 0,02-0,2

mg/kgBB dapat menghasilkan efek anlgesi optimal pada penderita nyeri kanker kronik, denan

lama kerja obat 6-14 jam. Sedangkan dosis optimal pemberian morfin secara epidural rata-rata 2-

4 mg yang volumenya tergantung luas daerah yang ingin diblok.

Page 15: Tugas Nyeri Kronis

TABLE 69–8. Examples of Patient-Controlled Epidural Analgesia Regimensa

DRUGCONC

ENTRATION

LOADIN

G DOSE

INCREMENT

AL DOSE

LOCKOU

T

(min)

CONTINUO

US

INFUSION/h

Morphine 50 μg/mL 2–4 mg 100–200 μg 10–15 300–600 μg

Hydromorpho

neb 10 μg/mL

0.5–1.5

mg20–30 μg 6–8 80–120 μg

Fentanyl 5 μg/mL75–100 μ

g10–15 μg 6 30–75 μg

Sufentanil 2 μg/mL 30–50 μg 4–6 μg 6 5–10 μg

Meperidine 5 mg/mL 30 mg 30 mg 30 None

Bupivacaine

plus fentanyl0.625% + 2

0.5%

bupivacai

ne

3 mL 6 6 mL

μg/mL

aDoses for use with lumbar epidural catheters; consider reductions if thoracic

catheters are used. bBupivacaine 0.031% was added in most cases.

Copyright © 2000, 1995, 1990, 1985, 1979 by Churchill Livingstone

Page 16: Tugas Nyeri Kronis

Pemberian zat neurolitik intratekal

Pemberian zat neurolitik intratekal berupa fenolgliserin 15% atau alkohol 100%, merupakan blok

saraf 7yang bersifat permanen (6-12 bulan). Fenolgliserin bersifat bifasik mula-mula bersifat

blok temporer sama dengan anestesi lokal, kemudian bersifat blok permanen dengan merusak

jaringan saraf. Sedangkan alkohol hanya merusak jaringan saraf saja. Penggunaan zat neurolitik

amat bermanfaat untuk pengelolaan nyeri kanker kronik terutama nyeri yang terlokalisisr pada

suatu tempat. Namun, teknik ini bisa memberikan komplikasi permanen berupa gangguan

motorik, serta gangguan miksi dan defekasi. Oleh karena itu, indikasinya hanya terbatas pada:

Tindakan paliatif nyeri kanker terminal.

1. Nyeri yang sudah tidak dapat diatasi lagi atau tidak responsif dengan pemberian narkotik

secara sistemik, epidural, maiupun intra tekal.

2. Didahului dengan pemberian anestetik lokal sebagai dignostik dan hasilnya harus lebih

dari 75% nyerinya menghilang.

3. Sumber nyeri terlokalisir

4. Tidak ada gangguan koagulopati

5. Tidak ada infeksi atau tumor pada tempat injeksi.

6. Pasien mengerti resiko yang mungkin muncul

Page 17: Tugas Nyeri Kronis

VI. MANAJEMEN NYERI NON-FARMAKOLOGI

Ada beberapa metode metode non-farmakologi yang digunakan untuk membantu penanganan

nyeri paska pembedahan, seperti menggunakan terapi fisik (dingin, panas) yang dapat mengurangi

spasme otot, akupunktur untuk nyeri kronik (gangguan muskuloskletal, nyeri kepala), terapi

psikologis (musik, hipnosis, terapi kognitif, terapi tingkah laku) dan rangsangan elektrik pada sistem

saraf (TENS, Spinal Cord Stimulation, Intracerebral Stimulation

MANAJEMEN NYERI

Tindakan Non Farmakologis.

Saat ini banyak dikembangkan terapi tambahan untuk mengatasi nyeri, seperti:

  Latihan relaksasi nafas dalam

 Masase

  Therapi es dan panas

  Stimulasi saraf elektris transkutan

Distraksi

  Imajinasi terbimbing.

  Hipnosis.

1. Relaksasi nafas dalam

Relaksasi otot rangka dipercaya dapat menurunkan nyeri dengan merelaksasikan

ketegangan otot yang mendukung rasa nyeri. Teknik relaksasi mungkin perlu diajarkan

beberapa kali agar mencapai hasil optimal. Dengan relaksasi pasien dapat mengubah persepsi

terhadap nyeri.

Latihan Relaksasi

1   Ambil posisi senyaman mungkin, jangan silangkan tangan dan kaki anda.

2     Mulailah dengan konsentrasi untuk menarik nafas dalam.

3      Jika pikiran anda terpecah, kembalilah dengan konsentrasi pada nafas anda.

4   Jadikan diri anda menyadari dan merasakan irama nafas anda.

Page 18: Tugas Nyeri Kronis

5.  Rasakan setiap tarikan nafas anda melalui seluruh tubuh anda, memberikan energi yang dapat

membantu menyembuhkan diri anda.

6.   Saat anda menghembuskan nafas, lepaskan ketegangan diri anda, lepaskan semua keluhan

anda.

7. Lemaskan seluruh serat otot anda mulai dari atas, kepala anda menjadi lemas dan relaks,

turunkan kebawah keleher anda, kedua tangan, dada, dan punggung anda.

Lanjutkan untuk melemaskan serat otot paha nada, betis dan kaki anda.

8. Hal ini akan menjadikan diri anda menjadi relaks lebih dalam, kenyamanan anda mulai anda

rasakan lebih baik.

9.   Anda dapat mulai membayangkan hal yang dapat membuat anda lebih senang dan nyaman,

lanjutkan dengan lebih menikmati kondisi tersebut, resapi dan hayati, dan nikmati lebih

mendalam.

10. Kondisi relaks dan nyaman ini dapat anda rasakan dan anda dapatkan kapanpun anda

menginginkannya.

2. Masase

Masase adalah stimulasi kuteneus tubuh secara umum, sering dipusatkan pada punggung

dan bahu. Masase tidak secara spesifik menstimulasi reseptor yang sama seperti reseptor nyeri

tetapi dapat mempunyai dampak melalui sistem control desenden. Masase dapat membuat pasien

lebih nyaman karena masase membuat relaksasi otot.

3. Terapi Es dan Panas.

Terapi es (dingin) dan panas dapat menjadi strategi pereda nyeri yang efektif pada beberapa

keadaan, namun begitu, keefektifannya dan mekanisme kerjanya memerlukan studi lebih lanjut.

Diduga bahwa terapi es dan panas bekerja dengan menstimulasi reseptor tidak nyeri (non-

noniseptor) dalam reseptor yang sama seperti pada cedera.

Terapi es dapat menurunkan prostaglandin, yang memperkuat sensivitas reseptor nyeri dan

subkutan lain [ada tempat cedera dengan menghambat proses inflamasi. Agar efektif, es harus

diletakkan pada tempat cedera segera setelah cedera terjadi.

Penggunaan panas mempunyai keuntungan meningkatakan aliran darah ke suatu area dan

kemungkinan dapat turut menurunkan nyeri dengan mempercepat penyembuhan. Namun

Page 19: Tugas Nyeri Kronis

demikian, menggunakan panas kering dengan lampu pemanas tampak tidak seefektif

penggunaan es. Baik terapi panas kering dan lembab kemungkinan memberi analgesia tetapi

penelitian tambahan diperlukan untuk memahami mekanisme kerjanya dan indikasi

penggunaannya yang sesuai. Baik terapi es maupun panas harus digunakan dengan hati-hati dan

dipantau dengan cermat untuk menghindari cedera kulit.

4. Stimulasi Saraf Elektris Transkutan.

Stimulasi saraf transkutan (TENS) menggunakan unit yang dijalankan oleh baterai dengan

elektroda yang dipasang pada kulit untuk menghasilkan sensasi kesemutan , menggetar atau

menegung pada area nyeri. TENS telah digunakan baik pada nyeri akut dan kronik. TENS

diduga dapat menurunkan nyeri dengan menstimulasi reseptor tidak nyeri (non-nosiseptor) dalam

area yang sama seperti pada serabut yang menstrasmisikan nyeri. Mekanisme ini sesuai dengan

teori nyeri gate control. Reseptor tidak nyeri diduga memblok transmisi sinyal nyeri ke otak pada

jaras asendens saraf pusat.

Mekanisme ini akan menguraikan keefekitan stimulasi kutan saat digunakan pada araea

yang asama seperti pada cedera. Sebagai contoh, saat TENS digunakan apda pasien pasca

operatif elektroda diletekkan disekitar luka bedah. Penjelasan lain untuk keefektifan TENS

adalah efek placebo (pasien mengharapkannya agar efektif) dan pembentukan endorphin, yang

juga memblok transmisi nyeri.

5. Distraksi.

Distraksi, yang mencakup memfokuskan perhatian pasien pada sesuatu selai pada nyeri,

dapat menjadi stategi yang sangat berhasil dan mungkin merupakan mekanisme yang

bertanggung jawab pada teknik kognitif efektif lainnya ( Arntz dkk., 1991; Devine dkk., 1990).

Seseorang, yang kurang menyadari adanya nyeri atau memberikan sedikit perhatian pada nyeri,

akan sedikit terganggu oleh nyeri dan lebih toleransi terhadap nyeri. Distraksi diduga dapat

menurunkan persepsi nyeri dengan menstimulasi sistem control desenden, yang mengakibatkan

lebih sedikit stimuli nyeri yang ditransmisikan ke otak.

Keefektifan distraksi tergantung pada kemampuan pasien untuk menerima dan

membangkitkan input sensori selain nyeri. Peredaan nyeri secara umum meningkat dalam

Page 20: Tugas Nyeri Kronis

hubungan langsung engan parsitipasi aktif individu, banyaknya modalitas sensori yang dipakai

dan minat individu dalam stimuli. Karenanya, stimuli penglihatan, pendengaran, dan sentuhan

mungkin akan efektif dalam menurunkan nyeri dibanding stimulus satu indra saja.

6. Imajinasi Terbimbing.

Imajinasi terbimbing adalah menggunakan imajinasi seseorang dalam suatu cara yang

dirancang secara khusus untuk mencapai efek positf tertentu. Jika imajinasi terpadu diharapkan

agar efektif, doibutuhkan waktu yang banyak untuk menjelaskan tekniknya dan waktu untuk

pasien mempraktekkannya. Biasanya, pasien diminta untuk mempraktikkan imajinasi terbimbing

selama sekitar 5 menit, tiga kali sehari. Beberapa hari praktik mungkin diperlukan sebelum

intensitas nyeri dikurangi. Banyak pasien mulai mengalami efek rileks dari imajinasi terbimbing

saat pertama kali meraka mencobanya. Nyeri mereda dapat berlanjut selam berjam-jan setelah

imajinasi digunakan.

Pasien harus diinformasikan bahwa imajinasi terbimbing hanya dapat berfungsi pada

beberapa orang. Imajinasi terbimbing harus digunakan hanya sebagai tambahan dari bentuk

pengobatan yang telah terbukti, sampai riset telah menunjukkan apakah dan bilakah tekinik ini

efektif.

7.   Hipnosis.

Hipnosis efektif dalam meredakan nyeri atau menurunkan jumlah analgesik yang

dibutuhkan pada nyeri akut dan kronis. Teknik ini mungkin membantu dalam memberikan

peredaan pada nyeri terutama dalam situasi sulit. Mekanisme bagaimana kerjanya hipnosis tidak

jelas tetapi tidak tampak diperantari oleh sistem endorfin. Keefektifan hipnosis tergantung pada

kemudahan hipnotik individu.

Page 21: Tugas Nyeri Kronis

DAFTAR PUSTAKA

1. Latief, Said. A, dkk. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi Edisi 2. Bagian Anestesiologi

dan Terapi Intensif. Jakarta: FKUI.

2. Potter, Patricia A. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses, dan

Praktik Ed. 4 vol.2. Jakarta: EGC.

3. Smeltzer C. Suzanne, Brunner & Suddarth.2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal

Bedah. Jakarta : EGC