Upload
others
View
25
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
STUDI FAKTOR KHARISMATIK ABAH UCI DAN MINAT
MENGIKUTI TA’LIM MINGGUAN TERHADAP INTERNALISASI
NILAI RELIGIUSITAS JAMAAH DI PONDOK PESANTREN
AL-ISTIQLALIYAH KECAMATAN PASAR KEMIS
KABUPATEN TANGERANG
TESIS
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai
Gelar Magister Pendidikan (M.Pd)
Oleh:
SUDARTO
NIM. 2115011000006
PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019 M/1440 H
LEMBAR PENGESAHAN TESIS
Nama : Sudarto
NIM : 21150110000006
Prodi : Magister Pendidikan Agama Islam
Judul Tesis : Studi Faktor Kharismatik Abah Uci dan Minat
Mengikuti Ta’lim Mingguan terhadap Internalisasi Nilai
Religiusitas Jamaah di Pondok Pesantren Al-Istiqlaliyah
Kecamatan Pasar Kemis Kabupaten Tangerang.
Menyatakan mahasiswa tersebut di atas sudah selesai penulisan bab I, II, III, IV, V
dan dinyatakan sah sebagai karya ilmiah sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh
fakultas.
Jakarta, 13 Agustus 2019
Dosen Pembimbing 1 Dosen Pembimbing 2
Dr. Romlah Askar, MA Dr. Lia Kurniawati, M.Pd
NIP : 19760521 200801 2 008
LEMBAR PENGESAIIAN TESIS
Tesis dengan judul "Studi Faktor Kharismatik Abah Uci dan Minat MengikutiTa'lim Mingguan Terhadap Internalisasi Nilai Religiusitas Jamah di Pondok
Pesantren Al-Istiqlaliyah Kecamatan Pasar Kemis Kabupaten Tangerang"yang ditulis oleh Sudarto dengan NIM 2115011000006, telah diujikan pada Ujian
Promosi 'fesis oleh Program Magister Pendidikan Agama Islam (MPAI) Fakultas
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada: Senin,
19 Agustus 2019, dan telah diperbaiki sesuai saran dari penguji sebagai salah satu
syorai memperoleh gelar Nlagister Pendidikan (M.Pd.) pada Program Magister
Pendidikan Agarna Islarn (MPAI).
」ak狙■ 20 Agustlls 2019
Ketua Prodi Magister MPI Tanggal
eo^B'%lgDr.H.Sapiudin Shidiq,1江 .Ag。
196703822000031001
Penguji
NamaNIP
NamaNIP
PenguJl
Nnfna l
NIP I
I
Dro H.Zaimmudin,M.Ag。
195907051991031002
Ⅱ
Dr.Ho Sapiudin ShidЪ MAg。
196703822000031001
Tanggal
役lC.1タリ
Diketahui oleh,
Dekan Fakultas]blu Tarbiyah dan Kegunlan(FITK)UIN SyarlfHidり atullah
Jaka血
NIP.197103191998032001
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI
Saya yang bertanda tangan di bawah ini,
Nama
I'ernpat/Tgl. I-ahir
NIM
.lurusauProdi
Judul Tesis
Sudarto
Cirebon. l4 Januari I 985
2l 1501 10000006
Magister Pendrdikan Agarna Islam
Studi Faktor Kharisrnatik Atrah Uci dan Mrnat N'fensikuti Ta'lrrnMingguan terhadap Intetnalisasi Nilai Reli-uiusitas Jarnaah diPondok Pesantren A1-Istiqlaliyah Kecamatan Pasar KernisKabupaten T'angerang.
Dosen Pembimbing : Dr. Rornlah Askar'. MA
r. Lia Kurniawati. M.Pd
l)engar ini men-vatakan bahwa Tesis yang saya buat benar-benal hasil kalya sendiri dan
sa-ria berlanggung jawab secara akadernis atas apa yang sarva tulis
Jatr<arra l3 Agustus 2019
Nlahasisrva Ybs.
卜fIN1 21150110000006
i
ABSTRAK
Sudarto (21150110000006). Studi Faktor Kharismatik Abah Uci dan Minat
Mengikuti Ta’lim Mingguan Terhadap Internalisasi Nilai Religiusitas Jamaah
di Pondok Pesantren Al-Istiqlaliyah Kecamatan Pasar Kemis Kabupaten
Tangerang.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor kharismatik Abah
Uci dan minat mengikuti ta’lim mingguan terhadap internalisasi nilai religiusitas
jamaah. Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan field research yang bersifat
kuantitatif. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
Survey Explanatory. Variabel dalam penelitian terdiri dari dua variabel bebas yaitu
kharisma Abah Uci sebagai variabel (X1), minat jamaah sebagai variabel (X2), dan
satu variabel terikat yaitu internalisasi nilai religiusitas jamaah sebagai variabel
(Y). Sampel dalam penelitian ini berjumlah 300 jamaah ta’lim mingguan Abah Uci
di Pesantren Istiqlaliyah di Kampung Cilongok, Kecamatan Pasar Kemis
Kabupaten Tangerang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) Terdapat pengaruh positif dan
signifikan dari Kharismatik Abah Uci terhadap Internalisasi nilai-nilai religiusitas
jamaah di Pondok Pesantren Al-Istiqlaliyah Kecamatan Pasar Kemis Kabupaten
Tangerang. Ini artinya makin berwibawa Kharismatik Abah Uci maka akan
berdampak pada baiknya Internalisasi nilai-nilai religiusitas, demikian juga
sebaliknya makin rendah Kharismatik Abah Uci maka akan berdampak pada
rendahnya Internalisasi nilai-nilai religiusitas. 2) Terdapat pengaruh positif dan
signifikan antara Minat mengikuti ta’lim mingguan terhadap Internalisasi nilai-nilai
religiusitas di Jamaah di Pondok Pesantren Al-Istiqlaliyah Kecamatan Pasar Kemis
Kabupaten Tangerang. Ini artinya makin tinggi minat mengikuti ta’lim mingguan
maka akan berdampak pada baiknya internalisasi nilai-nilai religiusitas, demikian
juga sebaliknya makin rendah minat mengikuti ta’lim mingguan maka akan
berdampak pada rendahnya Internalisasi nilai-nilai religiusitas. 3) Terdapat
pengaruh Kharismatik Abah Uci dan Minat mengikuti ta’lim mingguan secara
bersama-sama terhadap Internalisasi nilai-nilai religiusitas jamaah di Pondok
Pesantren Al-Istiqlaliyah Kecamatan Pasar Kemis Kabupaten Tangerang. Ini
artinya makin berwibawa Kharismatik Abah Uci dan tinginya minat mengikuti
ta’lim mingguan maka akan berdampak pada baiknya Internalisasi nilai-nilai
religiusitas, demikian juga sebaliknya kurang wibawanya kharismatik Abah Uci
dan rendahnya minat mengikuti ta’lim mingguan maka akan berdampak pada
rendahnya Internalisasi nilai-nilai religiusitas.
Kata Kunci: Kharismatik Kyai, Minat Mengikuti Ta’lim Mingguan,
Internalisasi Nilai Religiusitas Jamaah
ii
ABSTRACT
Sudarto (21150110000006). Study of Charismatic Factors of Abah Uci and
Interest Following Weekly Study of the Internalization of the Religious Value of
Congregations in Al-Istiqlaliyah Islamic Boarding School, Pasar Kemis District,
Tangerang Regency.
The purpose of this study was to determine the charismatic factors of Abah
Uci and the interest in participating in the weekly study towards the internalization
of the religious value of worshipers. This type of research is a field research field
research that is quantitative. The method used in this research is Survey
Explanatory research method. The variables in this study consisted of two
independent variables, namely Abah Uci's charisma as a variable (X1), the interest
of pilgrims as a variable (X2), and one dependent variable, namely internalization
of the religiosity value of pilgrims as a variable (Y). The sample in this study
amounted to 300 Abah Uci weekly pilgrims at the Istiqlaliyah Islamic Boarding
School in Kampong Cilongok, Pasar Kemis District, Tangerang Regency.
The results showed that: 1) There was a positive and significant influence of
the Charismatic Abah Uci on the internalization of the religious values of
worshipers in Al-Istiqlaliyah Islamic Boarding School, Pasar Kemis Subdistrict,
Tangerang Regency. This means that the more charismatic Abah Uci will have an
impact on the good internalization of the values of religiosity, and vice versa the
lower the Charismatic Abah Uci will have an impact on the low internalization of
religious values. 2) There is a positive and significant influence between the
interest in attending the weekly study on the internalization of religious values in
the Jamaah at Al-Istiqlaliyah Islamic Boarding School, Pasar Kemis District,
Tangerang Regency. This means that the higher interest in participating in weekly
classes will have an impact on the good internalization of religious values, and vice
versa the lower the interest in participating in weekly classes will have an impact
on the low Internalization of religious values. 3) There is a Charismatic influence
of Abah Uci and Interest in joining the weekly group together to internalize the
religious values of pilgrims in Al-Istiqlaliyah Islamic Boarding School, Pasar
Kemis District, Tangerang Regency. This means that the more charismatic
authority of Abah Uci and the high interest in participating in weekly study groups
will have an impact on the internalization of religious values, and vice versa, the
less charismatic authority of Abah Uci and the lack of interest in participating in
weekly studies will have an impact on the low internalization of religious values.
The value of religiosity.
Keywords: Charismatic Kyai, Interest in Joining Weekly Ta'lim, Internalization
of the Religious Value of Jamaat
iii
X
XY
iv
PEDOMAN TRANSLITERASI
A. PADANAN AKSARA
B. VOKAL
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak dilambangkan ا
B Be ب
T Te ت
Ts Te dan es ث
J Je ج
H Ha dengan garis bawah ح
Kh Ka dan Ha خ
D De د
Dz De dan Zet ذ
R Er ر
Z Zet ز
S Es س
Sy Es dan Ye ش
S Es dengan garis bawah ص
D De dengan garis bawah ض
T Te dengan garis bawah ط
Z Zet dengan garis bawah ظ
Koma terbalik di atas hadap kanan ‘ ع
Gh Ge dan Ha غ
F Ef ف
Q Ki ق
K Ka ك
L El ل
M Em م
N En ن
H Ha ه
W We و
A Apostrof ء
Y Ye ي
Tanda Vokal
Arab
Tanda Vokal
Latin Keterangan
A Fathah أ
I Kasrah إ U Dammah أ
Ai A dan i أي Au A dan u أو
v
C. VOKAL PANJANG
D. KATA SANDANG
Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf ال,
dialihaksarakan menjadi huruf (al), baik diikuti huruf syamsiyyah maupun
qamariyah. Kata sandang tidak mengikuti bunyi huruf langsung yang
mengikutinya. Kata sandang ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya dan
dihubungkan dengan garis mendatar (-). Contoh: al-syamsu bukan asy-syamsu
dan al-zalzalah bukan az-zalzalah.
E. SYADDAH/ TASYDID
Syaddah/tasydîd dalam tulisan Arab dilambangkan dengan , dalam alih aksara
dilambangkan dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syiddah. Akan
tetapi, hal ini tidak berlaku pada huruf-huruf syamsiyyah yang didahului kata
sandang. Misalnya kata مونلا tidak ditulis an-naum melainkan al-naum
F. TA MARBÛTAH
Ta marbûtah jika berdiri sendiri dan diikuti oleh kata sifat (na’at)
dialihaksarakan menjadi huruf (h). Namun, jika huruf tersebut diikuti kata
benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf (t). Contoh:
Tanda Vokal
Arab
Tanda Vokal
Latin Keterangan
 A dengan Topi di atas آ
Î I dengan Topi di atas إي
Û U dengan Topi di atas أو
No Kata Arab Alih Aksara
Madrasah مدرسة 1
Al-jâmi’ah al-islâmiyyah الجامعة اإلسالمية 2
Wihdat al-wujûd وحدة الوجود 3
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis persembahkan ke hadirat
Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya serta kekuatan lahir
dan batin sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Shalawat dan salam
semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi akhir zaman, Rasulullah Muhammad
SAW, beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya yang setia.
Selanjutnya, penulis menyadari bahwa dalam penyusunan tesis ini tidak
sedikit hambatan dan kesulitan yang dihadapi. Namun berkat bantuan dan motivasi
serta bimbingan yang tidak ternilai dari berbagai pihak, akhirnya penulis dapat
menyelesaikan tesis ini.
Oleh karena itu, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang
setinggi-tingginya, terutama kepada:
1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc., M.A, selaku Rektor
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Sururin, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Sapiudin Shidiq, MA. Ketua Prodi Magister Pendidikan Agama Islam
FITK yang telah memicu dan memacu penulis, agar dapat menyelesaikan studi
dengan baik.
4. Dr. Hj. Romlah Askar, selaku dosen pembimbing I yang telah membimbing,
memberi arahan, dan kritik konstruktif kepada penulis dalam penyusunan tesis
ini.
5. Dr. Lia Kurniawati, M.Pd, selaku dosen pembimbing II yang telah
membimbing, memberi saran dan kritik konstruktif kepada penulis dalam
penyusunan tesis ini.
vii
6. Seluruh dosen Program Magister Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
7. Pengasuh Pondok Pesantren Al-Istiqlaliyah Cilongok Pasar Kemis KH. Ahmad
Turtusi (Abah Uci), yang telah mengizinkan melakukan penelitian.
8. Orang tua tercinta ayahanda H. Muhammad Farhan dan ibunda Hj. Sutia Kaeti
yang telah memberikan motivasi, dukungan dan do’a yang tiada henti,
sehingga penulis dapat menyelesaikan Magister (S2) ini.
9. Istri tercinta Masfuha Turizqillah, yang telah mendampingi penulis dan anak-
anakku Muhammad Syafiq Adha dan Muhammad Hasyim Sya’bani yang
senantiasa memberikan do’a, semangat dan motivasinya kepada penulis untuk
terus bersabar dalam menyelesaikan tesis ini.
10. Para Narasumber yang memberikan informasi data dibutuhkan dalam
penyusunan tesis ini.
11. Bapak dan Ibu Pegawai Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
12. Semua pihak dan rekan-rekan seperjuangan, yang telah membantu dalam
menyelesaikan tesis ini.
Hanya harapan dan do’a, semoga Allah SWT memberikan balasan yang
berlipat ganda kepada semua pihak yang telah berjasa dalam membantu penulis
menyelesaikan tesis ini.
Akhirnya kepada Allah SWT jualah penulis serahkan segalanya dalam
mengharapkan keridhaan, semoga tesis ini bermanfaat bagi masyarakat umumnya
dan bagi penulis khususnya, serta anak keturunan penulis kelak. Amien.
Jakarta, 13 Agustus 2019
S u d a r t o
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN TESIS
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI
ABSTRAK ....................................................................................................... i
PEDOMAN TRANSLITERASI ........................................................................ iv
KATA PENGANTAR ......................................................................................... v
DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xi
DAFTAR TABEL ............................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1
B. Identifikasi Masalah ..................................................................... 4
C. Pembatasan Masalah ..................................................................... 5
D. Rumusan Masalah ......................................................................... 5
E. Tujuan Penelitian .......................................................................... 5
F. Manfaat Penelitian ........................................................................ 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kharismatik Kyai........................................................................... 7
1. Pengertian Kharismatik Kyai .................................................. 7
2. Peran Kyai ............................................................................... 13
3. Macam-macam Kyai ............................................................... 14
4. Kyai di Mata Masyarakat ........................................................ 16
ix
B. Minat Masyarakat .......................................................................... 17
1. Pengertian Minat ..................................................................... 17
2. Pengertian Masyarakat ............................................................ 18
3. Jenis-jenis Minat ...................................................................... 20
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Minat ............................... 21
5. Indikator Minat ................................................................... 22
C. Internalisasi Nilai Religiusitas ....................................................... 23
1. Pengertian Internalisasi Nilai .................................................. 23
2. Dimensi Nilai-Nilai Religiusitas ............................................. 26
3. Faktor-Faktor yang Menghasilkan Sikap Religiusitas.............. 27
4. Karakteristik Kesadaran Beragama yang Matang ................... 31
D. Pengajian / Majlis Ta’lim .............................................................. 34
1. Pengertian Majlis Ta’lim ......................................................... 34
2. Tujuan Majelis Ta’lim ............................................................. 39
3. Peran Majelis Ta’lim ............................................................... 40
4. Keadaan Majelis Ta’lim (Jama’ah) ......................................... 41
5. Materi Majelis Ta’lim ............................................................. 41
6. Metode Pengajaran Majelis Ta’lim ......................................... 43
E. Penelitian yang Relevan ................................................................ 47
F. Hipotesis Penelitian ....................................................................... 50
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian .............................................................................. 51
B. Variabel Penelitian ........................................................................ 52
C. Metode Pengumpulan Data ........................................................... 53
D. Populasi dan Sampel Penelitian..................................................... 53
E. Instrumen Penelitian ..................................................................... 54
F. Metode Pengumpulan Data ........................................................... 57
G. Teknik Analisis Data ..................................................................... 58
x
H. Pengujian Hipotesis ....................................................................... 60
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian .............................................................................. 63
B. Pembahasan Hasil Penelitian ......................................................... 90
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan .................................................................................... 94
B. Saran .............................................................................................. 95
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 98
LAMPIRAN
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1 : Desain Penelitian ......................................................................... 52
Gambar 4.1 : Struktur Organisasi Pondok Pesantren Al-Istiqlaliyah ................ 66
Gambar 4.2 : Grafik Histogram Variabel X1 ..................................................... 75
Gambar 4.3 : Grafik Histogram Variabel X2 ..................................................... 77
Gambar 4.4 : Grafik Histogram Variabel Y ...................................................... 80
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 : Kisi-kisi Instrumen Variabel Y ................................................... 54
Tabel 3.2 : Kisi-kisi Instrumen Variabel X1 .................................................. 55
Tabel 3.3 : Kisi-kisi Instrumen Variabel X2 .................................................. 56
Tabel 4.1 : Jadwal Kegiatan Santri Pondok Pesantren Al-Istiqlaliyah .......... 68
Tabel 4.2 : Daftar Nama Pengajar Pondok Pesantren Al-Istiqlaliyah ........... 69
Tabel 4.3 : Kategori Deskriptif Persentase .................................................... 73
Tabel 4.4 : Deskripsi Data Variabel X1 ......................................................... 74
Tabel 4.5 : Distribusi Frekuensi Variabel X1 ................................................ 75
Tabel 4.6 : Deskripsi Data Variabel X2 ......................................................... 76
Tabel 4.7 : Distribusi Frekuensi Variabel X2 ................................................ 77
Tabel 4.8 : Deskripsi Data Variabel Y .......................................................... 79
Tabel 4.9 : Distribusi Frekuensi Variabel Y .................................................. 79
Tabel 4.10 : Hasil Uji Normalitas .................................................................... 81
Tabel 4.11 : Uji Linieritas X1 dengan Y .......................................................... 82
Tabel 4.12 : Uji Linieritas X2 dengan Y .......................................................... 83
Tabel 4.13 : Uji Multikoliniaritas Data ........................................................... 84
Tabel 4.14 : Coefficients Regresi Variabel X1 dengan Y ................................ 85
Tabel 4.15 : Coefficients Regresi Variabel X2 dengan Y ................................ 86
Tabel 4.16 : Coefficients Regresi Variabel X1 dan X2 terhadap Y .................. 88
Tabel 4.17 : Uji F (Anova) .............................................................................. 89
Tabel 4.18 : Coefficients Determinasi X1 dan X2 terhadap Y ......................... 89
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1: Taksonomi Tingkah laku menurut Bloom ................................................. 8
Tabel 3.1: Desain Faktorial 2x2 ................................................................................. 50
Tabel 3.2: Desain Pembelajaran ................................................................................... 52
Tabel 3.3: Desain Faktorial 2x2 ................................................................................. 53
Tabel 3.4: Kisi-kisi Instrumen Hasil Belajar PAI ....................................................... 55
Tabel 3.5: Hasil Uji Validitas Instrumen Variabel Hasil Belajar PAI ......................... 57
Tabel 3.6: Hasil Uji Reliabilitas Instrumen Variabel Hasil Belajar PAI ..................... 58
Tabel 3.7: Kisi-kisi Instrumen Motivasi Belajar ........................................................ 60
Tabel 3.8: Hasil Uji Validitas Instrumen Variabel Motivasi Belajar .......................... 62
Tabel 3.9: Hasil Uji Reliabilitas Instrumen Variabel Hasil Belajar PAI ..................... 63
Tabel 3.10: Uji Hipotesis Anava ................................................................................ 68
Tabel 4.1: Hasil Belajar PAI dengan Hypermedia ...................................................... 70
Tabel 4.2: Distribusi Frekuensi Hasil Belajar PAI dengan Hypermedia ..................... 71
Tabel 4.3: Hasil Belajar PAI dengan Media Cetak ..................................................... 72
Tabel 4.4: Distribusi Frekuensi Hasil Belajar PAI dengan Media Cetak .................... 72
Tabel 4.5: Hasil Belajar PAI dengan Hypermedia
dan Memiliki Motivasi Belajar Tinggi ........................................................ 74
Tabel 4.6: Distribusi Frekuensi Hasil Belajar PAI dengan Hypermedia
dan Memiliki Motivasi Belajar Tinggi ...................................................... 74
Tabel 4.7: Hasil Belajar PAI dengan Hypermedia
dan Memiliki Motivasi Belajar Rendah .................................................... 75
Tabel 4.8: Distribusi Frekuensi Hasil Belajar PAI dengan Hypermedia
dan Memiliki Motivasi Belajar Rendah .................................................... 76
Tabel 4.9: Hasil Belajar PAI dengan Media Cetak
dan Memiliki Motivasi Belajar Tinggi ...................................................... 77
Tabel 4.10: Distribusi Frekuensi Hasil Belajar PAI dengan Media Cetak
dan Memiliki Motivasi Belajar Tinggi ................................................... 77
Tabel 4.11: Hasil Belajar PAI dengan Media Cetak
dan Memiliki Motivasi Belajar Rendah .................................................. 78
Tabel 4.12: Distribusi Frekuensi Hasil Belajar PAI dengan Media Cetak
dan Memiliki Motivasi Belajar Rendah .................................................. 79
Tabel 4.13: Hasil Uji Normalitas ................................................................................. 80
Tabel 4.14: Hasil Uji Homogenitas ............................................................................. 81
Tabel 4.15: Hasil Uji Linearitas .................................................................................. 81
Tabel 4.16: Hasil Rata-rata dan Standar Deviasi Pembelajaran
melalui Hypermedia dan Media Cetak .................................................... 82
Tabel 4.17: Hasil Uji Hipotesis Penggunaan Hypermedia dan Media Cetak ............... 82
Tabel 4.18: Hasil Rata-rata dan Standar Deviasi Motivasi Tinggi dan Rendah ........... 83
Tabel 4.19: Hasil Uji Hipotesis Siswa Motivasi Tinggi dan Rendah ........................... 83
Tabel 4.20: Hasil Rata-rata dan Standar Deviasi Motivasi Belajar Tinggi
Menggunakan Hypermedia dan Media Cetak ........................................ 84
Tabel 4.21: Hasil Uji Hipotesis Siswa Motivasi Belajar Tinggi
Menggunakan Hypermedia dan Media Cetak ........................................ 85
xiii
Tabel 4.22: Hasil Rata-rata dan Standar Deviasi Motivasi Belajar Rendah
Menggunakan Hypermedia dan Media Cetak ........................................ 86
Tabel 4.23: Hasil Uji Hipotesis Siswa Motivasi Belajar Rendah
Menggunakan Hypermedia dan Media Cetak ........................................ 86
Tabel 4.24: Hasil Rata-rata dan Standar Deviasi Interaksi Hypermedia
dan Motivasi Terhadap Hasil Belajar ..................................................... 87
Tabel 4.25: Hasil Uji Hipotesis Interaksi Hypermedia
dan Motivasi Terhadap Hasil Belajar ..................................................... 87
Tabel 4.26: Uji Tukey ................................................................................................. 88
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1: Bagan hubungan tujuan instruksional, pengalaman dan hasil belajar .... 10
Gambar 2.2: Alur komunikasi Metode Ceramah ......................................................... 26
Gambar 2.3: Interaksi antara Guru-Prosesor dan Siswa .............................................. 28
Gambar 2.4: Tampilan Indeks dalam Media Interaktif Hypermedia ............................ 31
Gambar 2.5: Struktur Navigasi Hypermedia Structured .............................................. 32
Gambar 2.6: Struktur Navigasi Hypermedia Unstructured .......................................... 32
Gambar 2.7: Tampilan Materi Hypermedia Structured ............................................... 32
Gambar 2.8: Tampilan Soal Evaluasi dalam Hypermedia .......................................... 34
Gambar 2.9: Konsep Kerangka Berpikir ..................................................................... 49
Gambar 4.1: Histogram Hasil Belajar PAI dengan Hypermedia ................................ 71
Gambar 4.2: Histogram Hasil Belajar PAI dengan Media Cetak ................................ 73
Gambar 4.3: Histogram Hasil Belajar PAI dengan Hypermedia
dan Memiliki Motivasi Belajar Tinggi ................................................. 75
Gambar 4.4: Histogram Hasil Belajar PAI dengan Hypermedia
dan Memiliki Motivasi Belajar Rendah ............................................... 76
Gambar 4.5: Histogram Hasil Belajar dengan Media Cetak
dan Memiliki Motivasi Belajar Tinggi ................................................. 78
Gambar 4.6: Histogram Hasil Belajar PAI dengan Media Cetak
dan Memiliki Motivasi Belajar Rendah ............................................... 79
Gambar 4.7: Suasana Pembelajaran dengan menggunakan Hypermedia .................... 90
Gambar 4.8: Suasana Pembelajaran dengan menggunakan Media Cetak ................... 91
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pesantren sejak awal tumbuh dan berkembang di berbagai daerah
Indonesia, telah dikenal sebagai lembaga keislaman yang memiliki nilai-nilai
strategis dalam pengembangan masyarakat Indonesia. Sejak kemunculannya
ratusan tahun yang lalu, telah menjangkau berbagai lapisan masyarakat
khususnya masyarakat muslim. Kehadiran pesantren telah diakui pula sebagai
lembaga pendidikan yang turut serta mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam khas Indonesia
(Indigenous cultural). Lembaga pendidikan ini lahir dan berkembang semenjak
masamasa permulaan kedatangan Islam di negeri kita bahkan sampai sekarang
menjadi lembaga pendidikan dan kegamaan yang tertua di negeri ini, meskipun
kepastian kapan lahirnya tidak disebutkan. Fungsi lembaga ini dipandang
sebagai media transformasi kultural, bahkan pondok pesantren disikapi sebagai
wujud manivestasi spiritual bangsa Indonesia (Noor, 2006; 17). Oleh karena
itu, pesantren mempunyai peranan yang sangat penting bagi umat Islam
khususnya dijadikan sebagai tempat untuk memperdalam ilmu agama.
Pesantren tidak sebagaimana kehidupan bisnis, bahwa pelanggan adalah
raja, mereka harus dibikin puas agar menjadi pelanggan tetap. Pesantren tidak
memiliki pandangan seperti itu. Banyak hal penting dan menarik dari
pendidikan pesantren. Salah satu aspek yang dianggap sangat menarik dalam
pendidikan pesantren ialah bahwa peran kiai sebagai sosok yang karismatik
mampu memberikan andil yang sangat besar terhadap keberhasilan dan
keberlangsungan pendidikan di Indonesia.
Dhofier (2012; 44) menyebutkan bahwa elemen-elemen sebuah
pesantren terdiri dari lima elemen yaitu pondok, masjid santri pengajaran
kitab-kitab Islam klasik, dan kyai. Maka dari itu, potret pesantren pada
dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan Islam tradisional dimana para
jamaahnya tinggal bersama dan mengikuti majlis ta’lim ilmu-ilmu Religiusitas
di bawah bimbingan kyai yang lebih dikenal dengan sebutan kyai. Asrama
untuk para jamaah tersebut berada dalam komplek pesantren dimana kyai
bertempat tinggal. Disamping itu juga ada fasilitas ibadah berupa masjid.
Biasanya komplek pesantren dikelilingi dengan tembok untuk dapat
mengawasi arus keluar masuknya santri.
2
Peranan kyai sebagai sebagai salah satu dari elemen-elemen suatu
pesantren, mempunyai peranan yang sangat penting. Seorang kyai memiliki
kedudukan ganda di suatu pesantren yaitu selain sebagai pengasuh juga
sebagai pemilik pesantren (Wahid & Rahardjo, 2004: 46). Di kalangan umat
Islam sebutan bagi ahli-ahli yang mempunyai pengetahuan Islam disebut
ulama. Ulama adalah orang-orang yang berpengetahuan dalam soal agama,
yang antara lain ahli dalam hukum Syari’ah, paham fiqh dan tasawuf,
tergantung dari bidang spesialisasi yang dipilihnya. Istilah sebutan tersebut di
masing-masing daerah berbeda-beda. Di Jawa Barat mereka disebut dengan
istilah ajengan, sementara di Jawa Timur dikenal dengan isilah kyai.
Kharisma kyai sebagai figur sentral, dari masa penjajahan sampai
sekarang selalu diperhitungkan keberadaannya, terutama oleh pihak penguasa
dan para elit politik di negeri ini. Oleh karena itu, sekarang tidak sedikit
pesantren yang mendapat bantuan dana dari pihak-pihak tersebut. Hal ini
menunjukkan bahwa peran seorang kyai bukan hanya sebagai tokoh yang
dianggap penting di mata santrinya saja bahkan di mata para pihak penguasa
pun dianggap penting. Terbentuknya kharisma seorang kyai di pesantren
didukung oleh beberapa faktor yaitu pertama, kemampuan pengetahuan ilmu
agama yang luas dan memadai, sebagai tempat masyarakat bertanya tentang
pengetahuan agama. Kedua, memiliki integritas moral, penuh keikhlasan
dalam mengabdi dan membina umat yang bisa dijadikan sebagai tauladan oleh
masyarakatnya. Ketiga, memiliki kemampuan ekonomi yang mandiri, tidak
bergantung pada bantuan apapun (Wahid & Rahardjo, 2004: 47).
Salah seorang kiai fenomenal di wilayah Tangerang saat ini adalah KH.
Uci Turtusi atau yang lebih dikenal dengan sebutan Abah Uci, pimpinan
Pondok Pesantren Al-Istiqlaliyah. Tidak banyak pesantren yang mempunyai
pengaruh besar di hati masyarakat saat ini. Satu diantaranya Pesantren
Istiqlaliyah di Kampung Cilongok, Kecamatan Pasar Kemis Kabupaten
Tangerang. Orang lebih mengenalnya Pesantren Cilongok saja.
Berada di tengah-tengah masyarakat modern dengan latar belakang kota
industri, Pesantren Al-Istiqlaliyah tidak kehilangan jati diri sebagai pondok
pesantren salafi yang konsisten dalam mengajarkan ilmu agama. Pesantren ini
menjadi wadah penyebaran ajaran Islam sekaligus panutan akan sikap
kereligiusitasn bagi masyarakat sekitar. Pesantren Al-Istiqlaliyah terletak di
Kampung Cilongok, Desa Sukamantri, Kecamatan Pasar Kemis. Pesantren ini
berdiri sejak tahun 1957 M. Didirikan oleh KH. Dimiyati (almarhum). Seorang
ulama yang digolongkan sebagai salah satu dari tiga ulama sufi berpengaruh di
Jawa. Beliau merupakan ayah dari KH. Uci Turtusi, pemimpin pondok
pesantren saat ini.
3
Kesan tradisional pesantren ini terlihat pada sisitem pengelolaan
pesantren yang masih mempertahankan sistem kekeluargaan. Di mana antara
kyai dan santrinya terjalin ikatan yang dekat. Asrama dalam bentuk kobong-
kobong dikepalai oleh seorang lurah kobong atau penanggungjawab kobong.
Lurah kobong bertanggungjawab kepada pemimpin pondok. Pondok pesantren
ini tidak membebani biaya pendidikan para santrinya. Mereka hanya diminta
iuran listrik sebesar lima belas ribu per-bulan. Siapa saja boleh mengaji disini.
Tidak ada batasan usia. Sementara dalam pembalajarannya tidak ada
penjenjangan, para santri dibebaskan untuk mengikuti pengajian-pengajian
yang diajarkan di pesantren ini. Seperti pesantren salafiyah lainnya, kurikulum
pendidikan yang ada di pesantren ini tidak mengikat dan bukan dalam bentuk
materi kajian, melainkan didasarkan pada kajian kitab kuning serta dalam
berbagai disiplin ilmu, seperti ilmu bahasa dan ilmu fiqih dalam kitab-kitab
tradisional. semuanya disampaikan dalam metode pengajaran sorogan dan
bandongan.
Setiap minggu pagi, pesantren ini selalu ramai santri dari berbagai
tempat untuk mendengarkan siraman rohani. Di sana ada pengajian rutin yang
langsung dipimpin oleh Abah Uci, panggilan akrab KH Uci Turtusi. Biasanya
pengajian ini dihadiri ribuan orang. Pengajian ini dirasa cukup efektif
mengingat sebagian besar warga sekitar adalah pekerja yang mungkin hanya
mempunyai waktu luang di hari minggu. Di saat ribuan orang sibuk dengan
aktifitas libur akhir pekan dengan mengunjungi berbagai tempat rekreasi,
ternyata masih ada (banyak) yang meluangkan waktu mengisi akhir pekan
dengan duduk khusu’ mengikuti pengajian yang memang rutin
diselenggarakan tiap Minggu ini. Kegiatan rutin pekanan ini menjadi semacam
oase spiritual bagi sebagian masyarakat Tangerang dan sekitarnya. Sulit
menemukan pengajian akbar yang digelar setiap minggu ini yang dihadiri oleh
ribuan jamaah setianya. Tanpa komando, tanpa publikasi canggih media, tanpa
organisasi majlis pengajian yang marak tahun-tahun belakangan ini.
Secara teoretik daya penerimaan (acceptability) seseorang dapat diakui
manakala ada kesaksian sekelompok manusia yang mencintai, mengagumi,
menghormati dan lebih jauhnya berkesiapan mematuhi dan mengikuti ajakan
tokoh tertentu. Kriteria tersebut tidak hanya diukur karena kelantangan
suaranya, tinggi atau besarnya tubuh seseorang, dan apalagi ketampanan atau
warna kulit, tetapi seberapa daya penerimaan masyarakat terhadap daya tarik
kualitas personal (personal quality), kemampuan komunikasi (competence)
dan konteks situasi (situation context). Daya tarik kualitas personal misalnya
ditunjukkan dengan integritas, konsistensi, kejujuran (akhlak dan/kepribadian).
Kemampuan komunikasi efektif ditunjukkan dengan artikulasi konsep dan
gagasan dalam sebuah cara yang memberikan insfirasi dan motivasi. Prestasi
4
dalam situasi krisis (situation context) di tengah masyarakat ditunjukkan
dengan pemberian solusi atas masalah Religiusitas di tengah masyarakat.
Hal ini sebagaimana dijelaskan Robert House tentang teori karismatik
(Jennifer L. Efley, 2015), Keberadaan seorang pemimpin (Kyai) karismatik
memiliki pengaruh luar biasa terhadap pengikut, bukan karena tradisi atau
otoritas tapi karena persepsi pengikut; ia tampil sebagai model peran dan
panutan hidup; Ia memiliki percaya diri yang luar biasa, mempunyai visi, dan
mampu mengungkapkan visi secara gamblang, mempunyai keterampilan
komunikasi yang hebat, bersedia membuat pengorbanan diri, mengambil
resiko pribadi. Keberadaannya sangat dihormati, dihargai, dicintai, dipatuhi,
dan mereka sangat setia dan berpengharapan tinggi terhadap kehadirannya.
Dari uraian-uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa nilai-nilai
kharismatik yang dimiliki oleh seorang kyai akan menjadi magnet bagi
jamaahnya untuk mengikuti atau mengamini apa-apa yang disampaikan sang
kyai. Hal itu akan berdampak pada minat jamaah untuk mengikuti setiap ta’lim
atau kajian yang diisi oleh sang kyai, dan diharapkan kharismatik seorang kyai
dan minat jamaah dalam mengikuti ta’lim dapat berpengaruh terhadap proses
pendalaman nilai-nilai religiusitas jamaah yang mengikuti ta’lim tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk mengkaji lebih lanjut
mengenai fenomena antusiasme masyarakat dalam mengikuti kegiatan
pengajian mingguan dalam sebuah penelitian yang penulis beri judul: “Studi
Faktor Kharismatik Abah Uci dan Minat Mengikuti Ta’lim Mingguan
terhadap Internalisasi Nilai Religiusitas Jamaah di Pondok Pesantren Al-
Istiqlaliyah Kecamatan Pasar Kemis Kabupaten Tangerang.”
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka identifikasi masalah
dalam penelitian ini adalah:
1. Peranan kyai sebagai sebagai salah satu dari elemen-elemen suatu
pesantren, mempunyai peranan yang sangat penting
2. Kharisma kyai sebagai figur sentral, dari masa penjajahan sampai sekarang
selalu diperhitungkan keberadaannya.
3. Tidak banyak pesantren yang mempunyai pengaruh besar di hati
masyarakat.
4. Berada di tengah-tengah masyarakat modern dengan latar belakang kota
industri, Pesantren Al-Istiqlaliyah tidak kehilangan jati diri sebagai pondok
pesantren salafi yang konsisten dalam mengajarkan ilmu agama.
5. Kesan tradisional pesantren Al-Istiqlaliyah terlihat pada sisitem
pengelolaan pesantren yang masih mempertahankan sistem kekeluargaan
5
6. Kurikulum pendidikan yang ada di pesantren ini tidak mengikat dan bukan
dalam bentuk materi kajian, melainkan didasarkan pada kajian kitab kuning
serta dalam berbagai disiplin ilmu, seperti ilmu bahasa dan ilmu fiqih
dalam kitab-kitab tradisional. semuanya disampaikan dalam metode
pengajaran sorogan dan bandongan
C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka agar penelitian ini dapat
fokus dan tidak meluas, peneliti hanya akan membatasinya pada:
1. Kharisma Abah Uci di mata jamaah pengajian
2. Minat jamaah antusias mengikuti pengajian Ahad pagi di Majelis
Ta’lim Pondok Pesantren Al-Istiqlaliyah Kecamatan Pasar Kemis
Kabupaten Tangerang.
3. Internalisasi Nilai Religiusitas jamaah yang terdiri dari tiga unsur pokok
yaitu aqidah, ibadah dan akhlak
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka yang menjadi rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah kharisma abah Uci dimata jama’ahnya?
2. Apakah terdapat pengaruh kharismatik abah Uci terhadap Internalisasi
Nilai Religiusitas jamaah di Pondok Pesantren Al-Istiqlaliyah Kecamatan
Pasar Kemis Kabupaten Tangerang?
3. Apakah terdapat pengaruh minat mengikuti pengajian mingguan terhadap
Internalisasi Nilai Religiusitas jamaah di Pondok Pesantren Al-
Istiqlaliyah Kecamatan Pasar Kemis Kabupaten Tangerang?
4. Apakah terdapat pengaruh kharismatik abah Uci dan minat mengikuti
pengajian mingguan terhadap Internalisasi Nilai Religiusitas jamaah di
Pondok Pesantren Al-Istiqlaliyah Kecamatan Pasar Kemis Kabupaten
Tangerang?
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, maka yang menjadi
tujuan penelitian ini adalah untuk:
1. Mengetahui kharisma abah Uci dimata jama’ahnya
2. Mengetahui dan menganalisis pengaruh kharismatik abah Uci terhadap
Internalisasi Nilai Religiusitas jamaah di Pondok Pesantren Al-
Istiqlaliyah Kecamatan Pasar Kemis Kabupaten Tangerang.
3. Mengetahui dan menganalisis pengaruh minat mengikuti pengajian
mingguan terhadap Internalisasi Nilai Religiusitas jamaah di Pondok
6
Pesantren Al-Istiqlaliyah Kecamatan Pasar Kemis Kabupaten Tangerang
4. Mengetahui dan menganalisis pengaruh kharismatik abah Uci dan minat
mengikuti pengajian mingguan terhadap Internalisasi Nilai Religiusitas
jamaah di Pondok Pesantren Al-Istiqlaliyah Kecamatan Pasar Kemis
Kabupaten Tangerang.
F. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Penelitian Secara Teoritis
a. Hasil penelitian ini dapat memberikan konstribusi bagi pengembangan
dan memperkaya khazanah ilmu pengetahuan khususnya ilmu
pengetahuan agama.
b. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi atau bahan
pustaka oleh mahasiswa pascasarjana yang sedang menyusun tesis.
2. Secara Praktis
a. Bagi Pendidik (Praktisi Dakwah). Hasil penelitian ini dapat digunakan
sebagai umpan balik (feed back), sehingga dapat memberikan masukan
kepada pendidik dalam menciptakan dan mengamalkan strategi dakwah
dan syiar Islam dengan menggunakan teknik, strategi dan metode yang
sesuai dengan masyarakat.
b. Bagi Masyarakat (Jama’ah). Hasil penelitian ini dapat digunakan
sebagai bahan pertimbangan jama’ah agar senantiasa istiqomah
mengikuti kegiatan pengajian.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kharismatik Kyai
1. Pengertian Kharismatik Kyai
Secara etimologi, kharisma berasal dari kata Yunani yang artinya
divinely inspired gift (karunia yang diinspirasi ilahi), seperti kemampuan
untuk melakukan mukjizat atau memprediksi peristiwa-peristiwa di masa
mendatang (Yuki, 2008: 268). Pengertian kharisma dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia adalah keadaan atau bakat yang dihubungkan dengan
kepemimpinan yang luar biasa dalam hal kepemimpinan seseorang untuk
membangkitkan pemujaan dan rasa kagum dari masyarakat terhadap
dirinya atau atribut kepemimpinan yang didasarkan atas kualitas
kepribadian individu. Dengan demikian, kharisma merupakan atribut yang
melekat pada diri seseorang. Kharisma dapat bersumber dari keturunan
atau ciri fisik, kepribadian mulia, serta kelebihan khusus dalam
pengetahuan keagamaan maupun pengetahuan umum yang dimiliki
seseorang (Thomas, 2007: 43). Horikhosi (2012:212), berpendapat bahwa kharisma merupakan
wujud dari kualitas seseorang yang bisa mempengaruhi orang lain.
Seseorang dianggap kharismatik jika dia bisa melakukan sesuatu yang
orang lain tidak bisa melakukannya. Kualitas kepribadian,
kemampuan intelektual, dan kemampuan supranatural bisa menjadi
faktor-faktor seseorang mendapatkan karisma. Kekuatan mistik atau
supranatural banyak dimiliki oleh kyai sehingga mereka dianggap
sebagai wali. Menurut ahli ilmu-ilmu sosial, kharisma tidak bisa
terjemahkan secara definitif. Horikhosi (2012: 213) berpendapat bahwa
kharisma hanya bisa diamati dari sederetan kepribadian yang kuat,
berpengaruh besar, tekun, sangat ekspresif, pemberani, tegas, penuh
percaya diri, supel, berpandangan luas, dan tajam dalam pemikiran.
Kyai adalah seseorang yang mengajarkan pengetahuan agama
dengan cara berceramah, menyampaikan fatwa agama kepada masyarakat
luas (Sukamto, 2009: 85). Kyai secara etimologis (lughotan) menurut
Adaby darban kata kiyai berasal dari bahasa jawa kuno “kiya-kiya” yang
artinya orang yang dihormati (Raharjo, 2008, 32). Sedangkan secara
terminologi kyai menurut Ziemek (2006: 131) adalah pendiri dan
8
pemimpin sebuah pesantren yang sebagai muslim “terpelajar” telah
membaktikan hidupnya “demi Allah” serta menyebarluaskan dan
mendalami ajaran-ajaran, pandangan Islam melalui kegiatan pendidikan
Islam.
Secara umum Kyai mempunyai beberapa pengertian yaitu:
a. Kyai adalah orang yang memiliki lembaga pondok pesantren, dan
menguasai pengetahuan agama serta konsisten dalam menjalankan
ajaran-ajaran agama
b. Kyai yang ditujukan kepada mereka yang mengerti ilmu agama, tanpa
memiliki lembaga pondok pesantren atau tidak menetap dan mengajar
di Pondok pesantren.
c. Kyai adalah orang yang mengajarkan pengetahuan agama dengan cara
berceramah, menyampaikan fatwa agama kepada masyarakat luas
(Sukamto, 2009: 85).
Di Indonesia, istilah kyai ada yang membedakan dengan istilah
ulama. Horikoshi membedakan kyai dan ulama terutama dalam
perilaku dan pengaruh keduanya di masyarakat. Secara umum ulama lebih
merujuk kepada seorang muslim yang berpengetahuan,sedangkan istilah
yang paling umum sering digunakan untuk merujuk tingkat keulamaan
yang lebih tinggi adalah kyai (Turmudi, 2003: 29).
Kyai menjadi tokoh yang kharismatik berdasarkan beberapa
kriteria yang berlaku di masyarakatnya. Meskipun di berbagai daerah
di Indonesia mempunyai standar yang berbeda-beda, namun secara
umum seorang kyai dianggap kharismatik jika mempunyai extra
ordinary knowledge atau perilaku yang dianggap diluar kebiasaan
manusia pada umumnya. Oleh karena itu seorang kyai sebenarnya
adalah seorang ilmuwan yang menguasai sesuatu bidang agama atau
beberapa bidang sekaligus. Lebih jauh, kyai lebih dekat sebagai pemikir
dan sekaligus sebagai panutan umat atau kelompok pengikutnya karena
mereka tidak hanya dianggap mumpuni dalam ilmu agama melainkan
juga dianggap pandai dalam ilmu-ilmu lainnya.
Di Jawa Barat (sunda) orang memanggil ulama dengan ajengan, di
wilayah Sumatera Barat di sebut buya, di Aceh dikenal dengan
teungku, di Sulawesi Selatan dipanggil dengan nama tofanrita, di Jawa
disebut dengan kyai dan di Lombok dikenal tuan kyai (Jaiz & Akaha,
2005: 30). Seorang kyai mempunyai pengaruh kharismatik yang luar biasa,
sehingga kyai tidak disamakan dengan ulama. Kyai memiliki keunggulan
baik secara formal maupun sebagai seorang alim, karena pengaruhnya yang
9
dipercaya oleh sebagian publik. Pengaruh kyai tergantung pada loyalitas
komunitas terbatas yang didorong oleh perasaan hutang budi, namun
sepenuhnya ditentukan oleh kualitas kekharismaan mereka (Koshi, 2007:
212).
Kedudukan kyai tidak bisa diwarisi begitu saja oleh generasi
keturunannya, karena pribadi yang dinamis atau kharisma yang dimiliki
merupakan manifestasi dari kemampuan-kemampuan secara individual.
Secara esensial kata kyai dan alim memiliki makna yang sama,
yakni mereka yang menguasai ilmu agama dan sangat dihormati oleh para
santri. Dalam bahasa jawa, kyai biasa digunakan dalam gelar-gelar yang
berbeda yaitu; pertama, gelar kehormatan yang biasanya digunakan pada
benda-benda yang dianggap memiliki kekuatan lain atau biasa disebut
benda keramat. Kedua, adalah gelar kehormatan bagi orang-orang yang
sudah tua, ketiga gelar kyai diberikan pada seorang yang alim (ahli
pengetahuan Islam) atau pemimpin pondok pesantren (Dhofier, 2012: 55).
Dalam beberapa hal kyai terkesan menunjukkan kekhasan dalam
bentuk bentuk pakaian yang digunakan seperti kopyah, surban, sarung,
jubah yang menjadi simbol kealiman. Fenomena kharismatik menjadi
pengaruh di mana posisi kyai berada. Kyai kharismatik bukanlah
kenyataan metafisik tetapi sebuah kualitas manusia yang sepenuhnya bisa
diamati secara empirik, karena merupakan hal-hal yang berkaitan dengan
perbuatan dan sikap manusia (Dhofier, 2012: 213).
Beberapa kepribadian yang mungkin bisa untuk mengenali
kharismatik kyai misalnya pengaruh besar, ekspresif, tegas, tekun,
pemberani, percaya diri, supel, energik, dan berpandangan tajam dalam ide,
sikap dan tindakan. Karismatik tidak bisa diterjemahkan secara definitif.
Dalam tradisi dunia pesantren, ada juga orang yang menjadi kyai karena “
ascribed status” seorang dapat menjadi kyai dikarenakan ayahnya,
kakeknya, dari pihak ayah atau ibu semua menjadi kyai, walau hal ini
merupakan penilaian parsial (Sobari, 2007).
Pengertian kyai yang paling luas adalah “pendiri dan pemimpin
sebuah pesantren yang sebagian muslim “terpelajar” telah membaktikan
hidupnya“ demi Allah” serta menyebarluaskan dan memahami ajaran
ajaran dan pandangan Islam melalui kegiatan pendidikan Islam (Ziemek,
2006: 131). Dalam perspektif Al-quran, kyai adalah sebutan bagi orang
yang berpengetahuan beranekaragam yaitu ulama; ulil ilm; arraasikhun fil
ilm, ahludzkr dan ulul albab (Eksan, 2000: 2). Karena banyaknya definisi
tentang kyai maka kajian Bahrudin Asubki, membatasi kriteria kyai
sekurang-kurangnya meliputi:
10
a. Menguasai ilmu agama (taffaqquh fi al din) dan sanggup membimbing
umat dengan memberikan ilmu keIslaman yang bersumber dari al-
quran, hadis, ijma dan Qiyas.
b. Ikhlas melaksanakan ajaran Islam
c. Mampu menghidupkan sunnah rosul dengan mengembangkan Islam
secara kaffah
d. Berakhlak luhur, berpikir kritis, aktif mendorong masyarakat melakukan
perbuatan positif, bertanggungjawab dan istiqomah
e. Berjiwa besar, kuat mental dan fisik, tahan uji, hidup sederhana,
amanah, beribadah berjamaah, tawadhu‟ kasih sayang terhadap sesama,
mahabah, dan tawakkal pada Allah SWT.
f. Mengetahui dan peka terhadap situasi zaman serta mampu menjawab
setiap persoalan untuk kepentingan Islam dan umatnya.
g. Berwawasan luas dan menguasai beberapa cabang ilmu demi
pengembangannya dengan Islam dan bersikap tawadhu‟ (Arifin, 2003:
307).
Secara sederhana Kyai menjadi dua tipologi yaitu; pertama ulama
akhirat atau ulama yang berorientasi pada kehidupan akhirat. Ulama akhirat
senantiasa konsisten antara ucapan dan perbuatan, menghindari bergaul
dengan penguasa, menghindari hal-hal yang dapat mengacaukan iman dan
wajahnya senantiasa memancarkan sinar yang membuat orang ingat kepada
Allah SWT. Kedua ulama su„ yang berorientasi keduniawiaan. (Arifin, 2003:
307).
Dalam khazanah Islam kyai yang dikenal dengan kyai su‟ adalah kyai
yang hanya dipermainkan oleh beberapa penguasa untuk kepentingan dunia
semata.
Sementara dalam kehidupan politik, menurut Amin Rais, Haedar nasir
pernah menyitir tipologi kyai yang membagi menjadi tiga yaitu: pertama kyai
yang menguasai kitab kuning tetapi berwawasan dan berilmu terbatas. Pada
tipe ini menurutnya keberadaan kyai tidak memberi kontribusi yang berarti
dalam kehidupan demokrasi. Kedua kyai yang memiliki kemampuan handal
dalam penguasaan ilmu agama, selain itu juga memiliki penguasaan
cakrawala yang tidak sempit dalam perubahan dan perkembangan zaman.
Tipe kedua ini memiliki sikap modernis dan mempunyai kontribusi positif
terhadap kehidupan demokrasi. Ketiga kyai yang masuk serta terjun langsung
dalam dunia politik praktis yang sebenarnya terkadang hal ini menjadi
penghambat perkembangan dunia demokrasi (Kuntowijoyo, 2005, 56).
11
Menurut Turmudi (2003:32) kyai dibedakan menjadi empat kategori
yaitu:
a. Kyai Pesantren, adalah kyai yang memusatkan perhatian pada mengajar di
pesantren untuk meningkatkan sumberdaya masyarakat melalui
peningkatan pendidikan.
b. Kyai tarekat, memusatkan kegiatan mereka dalam membangun batin
(dunia hati) umat Islam. Karena tarekat adalah sebuah lembaga informal.
Para pengikut kyai tarekat adalah anggota formal gerakan tarekat.
c. Kyai panggung, adalah para dai. Melalui kegiatan dakwah mereka
menyebarkan dan mengembangkan Islam
d. Kyai politik, merupakan tipologi kyai yang mempunyai concern
(perhatian) dalam dunia perpolitikan.
Keempat tipologi ini karena disesuiakan dengan kegiatan-kegiatan
mereka dalam dakwah Islam atau mengembangkan ajaran Islam. Sementara
kaitannya dengan para pengikut, Turmudi juga membagi tipologi kyai. Kyai
yang banyak pengikutnya dan berpengaruh kuat. Kategori selanjutnya
adalah kebalikan dari kategori yang pertama, yaitu mempunyai sedikit
pengaruh dan sedikit pengikutnya dibanding kyai yang masuk kategori
pertama (Turmudi, 2003:32).
Selain yang disebut di atas, Abdurrahman Masud menyimpulkan pula
karakteristik dan tipologi dari beberapa figur kyai yaitu:
a. Kyai atau ulama encyclopedic dan multidisipliner, kyai ini
mengkonsentrasikan diri dalam dunia ilmu, mengikuti majelis ta‟lim
mengajar dan menulis, menghasilkan banyak kitab seperti Nawawi al-
Bantani
b. Kyai yang ahli dengan satu spesialisasi bidang ilmu pengetahuan Islam
c. Kyai kharismatik yang memperoleh kharismanya dari ilmu pengetahuan
religiusitas, khususnya dari sufismenya. Kyai yang memiliki derajat
spiritualitas yang tertinggi dan paling dihormati dalam tradisi pondok
pesantren.
d. Kyai da‟i keliling, kyai ini perhatian dan keterlibatan terbesar mereka
pada interaksi dengan publik dan menyampaikan ilmunya bersamaan
dengan misi melalui bahasa retorikal yang efektif.
12
Kyai pergerakan, kyai ini pemimpin yang paling menonjol karena
keunikan posisinya kaena memiliki peran dan skill kepemimpinan yang luar
biasa, baik dalam masyarakat maupun organisasi yang didirikannya. Selain itu
kyai ini memiliki kedalaman ilmu pengetahuan religiusitas yang dia peroleh
dari para kyai paling disegani dalam komunitas pondok pesantren (Mas‟ud,
2004: 236).
Kerangka dalam konsep Weber tentang “kharisma” (kharisma), dan
meski terminologi ini bukan berasal darinya, namun telah menjadi bagian dari
bahasa umum di diskusi-diskusi sosial dan budaya yang dipengaruhi Weber.
Meski bagi Weber sendiri, peran nabi keagamaan seperti ini hanyalah
prototipe bagi “kepemimpinan kharismatik” (Ritzer, 2012: 38). Akan tetapi,
ada dua hal yang sangat menonjol terkait konsep kharisma ini, yang
signifikansinya hanya bisa dinilai berdasarkan hubungan konsep ini dengan
perkembanagan “konsep-konsep” order (tatanan, aturan, ketertiban), aspek
kognitif dari proses rasionalisasi. Pertama adalah fokus ke pribadi individu
yang mengambil tanggung jawab mengumandangkan “patahan” (break) di
tatanan normatif yang sudah ada, untuk kemudian mendeklarisasikan patahan
ini sah (legitimate) secara moral sehingga karenanya, nabi meletakkan dirinya
sendiri di hal-hal yang jelas-jelas bertententangan dengan tatanan yang sudah
ada. Dalam rangka melegitimasi upaya membuat patahan inilah nabi harus
mengubah dirinya menjadi sumber otoritas moral, sebuah imperatif yang
mengarah langsung pada problem-problem di konsep pemaknaan dan tatanan.
Harus ditegaskan juga bahwa penitik beratan individualitas di
penggunaan konsep kharisma oleh Weber cenderung memburamkan fakta
bahwa sebenarnya dia memaksudkannya bukan hanya kualitas yang dimiliki
“seorang” individu, tapi juga berbicara tentang sebuah tatanan normatif.
Pemaknaan kedua ini menjadi basis yang dibutuhkan untuk membedakan
konsep-konsepnya yang lain, seperti kharisma turunan atau bawaan
(Gentilkharisma, lineage-kharisma) dan kharisma jabatan (Amtkharisma,
kharisma of office). Hal kedua yang perlu diperhatikan dan berkaitan erat
dengan konsep nubuat adalah penitik-beratan Weber bahwa tak peduli
seberapa dekat hubungan dan konsep kognitif suatu tatanan yang
diperjuangkan nabi. Namun kriteria esensial nubuat bukan terletak pada gelar
yang diberikan, melainkan pesan yang disampaikan, yang sifatnya
mematahkan tatanan yang sudah ada (Weber, 2012: 40). Maka, konsep dari
kharisma di sini tidak lain hanyalah untuk mengajarkan syari‟at Islam kepada
masyarakat, dengan demikian kyai menunjukkan sifat keteladannya terhadap
masyarakat serta bisa membimbing dalam kehidupan yang lebih baik dalam
13
segi keagamaan. Sedangkan kharisma di sini, sebagaimana menurut Weber
yang mengartikan sebagai nabi, akan tetapi pengungkapan tersebut bisa
ditelaah lagi bahwa yang disebut nabi adalah untuk meneruskan ajaran-ajaran
agama Islam sebagaimana Nabi Muhammad SAW mengajarkan kepada umat
muslim. Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa kharismatik Kyai yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah wujud dari kualitas seorang kyai dari kepribadian, kemampuan
intelektual, dan pengetahuan religiusitas khususnya nilai sufisme yang dapat
mempengaruhi orang lain (jamaah).
2. Peran Kyai
Menurut Suhardono (Patoni, 2012: 41) konsep peran dapat dijelaskan
melalui beberapa cara, yaitu, pertama penjelasan historis. Menurut penjelasan
historis, konsep peran semula dipinjam dari kalangan yang memiliki hubungan
erat dengan drama. Atau bisa disebut teater yang hidup subur pada zaman
Yunani Kuno atau Romawi. Kedua, pengertian peran menurut ilmu sosial.
Berarti suatu fungsi yang dibawakan seseorang ketika menduduki suatu posisi
dalam struktur sosial tertentu. Sedangkan peran dalam sosiologi dikenal dua
konsep penting yaitu status (status) dan peran (role). Adapun definisi yang
dibuat oleh sosiolog Ralp Linton mengenai kedua konsep-konsep tersebut ialah
sebagai berikut. Status ialah “a collection of righ and dutties” (suatu kumpulan
hak dan kewajiban), sedangkan peran ialah “the dynamic aspect of status”
(aspek dinamis dari suatu status). Menurut Linton, seseorang dikatakan
menjalankan peran manakala ia menjalankan hak dan kewajiban yang
merupakan bagian tidak terpisah dari status yang disandangnya. Kalau
memakai kerangka Linton ini untuk membedakan antara status kyai dengan
peran ke-kyaiannya misalnya, kita dapat mengatakan bahwa status kyai terdiri
atas sekumpulan kewajiban tertentu; seperti kewajiban mendidik santri,
melayani umat, mengabdikan hidupnya untuk agama dan mengajarkan ilmu
yang dimilikinya. Selain sekumpulan kewajiban, dalam status kyai juga ada
sekumpulan hak, seperti; mendapat penghormatan dari santri dan umat,
memperoleh legitimasi sosial, memiliki pengikut, dan menerima imbalan atas
jasanya.
Adapun terkait dengan perannya, maka peran seorang kyai mengacu
kepada bagaimana seseorang yang berstatus sebagai kyai menjalankan hak dan
kewajibannya itu; antara lain bagaimana ia mengajar kepada santrinya,
bagaimana ia memberikan pencerahan tauladan dan melakukan bimbingan
14
kepada umatnya. Dengan demikian, peran merupakan implementasi dari
kerangka yang melekat dari hak-haknya tersebut (Patoni, 2012: 41).
Sebelum menggambarkan sebuah kerangka untuk membantu
memahami hubungan sosial antara kyai dengan komunitasnya, atau antara
kyai dengan masyarakat secara luas, pertama, di sini akan membahas
gambaran umum tentang hubungan sosial dan hubungan antar pribadi sebagai
contoh dikalangan orang Jawa. Masyarakat Jawa dikenal secara luas mengakui
perbedaan-perbedaan antara pribadi-pribadi dalam status sosial mereka, dan ini
telah menjadi norma yang mengatur hubungan-hubungan sosial dikalangan
orang Jawa. Status sosial secara luas dapat ditentukan oleh usia, kekayaan, dan
pekerjaan, dan karena itu, orang yang lebih tua di sebuah desa, misalnya, akan
mendapatkan penghormatan dari orang yang lebih muda, dan lain sebagainya.
Meskipun perbedaanperbedaan dalam status sosial sebenarnya lebih rumit dan
tumpang tindih, namun kehidupan sosial orang Jawa ditandai oleh berjalannya
norma-norma yang membedakan antara yang tua dan yang muda.
Menurut Turmudi (2003: 94) sesuai dengan konsep-konsep perbedaan
dalam status sosial maka para ulama, khususnya para kyai, di desa-desa Jawa
menerima penghormatan yang tinggi dari masyarakat. Dibandingkan dengan
elit lokal yang lain, seperti para petani kaya, kyai, khususnya yang memimpin
pesantren, mempunyai posisi yang lebih terhormat. Hal ini telah
menjadikannya sebagai pemimpin dalam masyarakat. Keberhasilannya dalam
peran-peran kepemimpinan ini menjadikannya semakin kelihatan orang yang
berpengaruh mudah dapat menggerakkan aksi sosial.
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa peran Kyai adalah memberikan pencerahan tauladan dan
melakukan bimbingan kepada umatnya serta menjadi pemimpin dalam
masyarakat.
3. Macam-macam Kyai
Secara mendasarnya bahwa konteks untuk memehami figur seorang
kyai, tentunya ada faktor-faktor tersendiri yang mendorong dalam sebuah
pemimpin atau tokoh agama dalam kehidupan masyarakat. Sebagaimana
menurut Usman dalam Muthmainnah (2013: 43) dalam penelitianya di
kabupaten Pamekasan menemukan adanya 3 istilah kyai dalam masyarakat
Madura yaitu sebagai berikut:
a. Kyai diartikan sebagai figur pemimpin pondok pesantren. Status ini didapat
karena keturunan (ascribed status). Penyandangnya adalah seorang
keturunan kyai (anak, saudara kandung, ipar, menantu) yang mempunyai
15
keahlian dalam ilmu agama dan menjadi tokoh masyarakat serta fatwa-
fatwanya selalu diperhatikan.
b. Kyai diartikan sebagai tokoh masyarakat berpengetahuan religiusitas. Kyai
tipe ini tidak menjadi pemimpin namun seringkali mengadakan pertemuan
dengan kyai pemimpin pondok pesantren. Kebanyakan dari mereka adalah
alumni pondok pesantren itu atau ada beberapa diantaranya yang
merupakan keturunan kyai.
c. Kyai diartikan sebagai kyai mengaji di surau (musholla). Sebetulnya,
mereka bukan selalu tokoh masyarakat yang dimintai pendapat, tetapi
hanyalah orang yang mempunyai beberapa santri untuk mengikuti majelis
ta‟lim mengaji al-Qur‟an. Di samping itu, mereka juga berfungsi sebagai
imam di surau (masjid) setempat.
Dari kategori ini, tergambar bahwa peran kyai di Madura tidak hanya
dalam masalah religiusitas. Dalam bidang sosial dan politik fatwa mereka
selalu dikedepankan. Banyak di antara mereka melakukan pengobatan
beberapa penyakit dengan pertolongan doa-doa dan obat-obatan tertentu. Kyai
juga memberi nasihat dan bimbingan kepada warga desa dalam urusan
ekonomi dan kepentingan bisnis. Bahkan, ketika individu merasa tidak aman
karena suatu ancaman mereka akan mengadu dan minta nasihat pada kyai.
Predikat ini diberikan pada suatu tipe kepemimpinan ketika seseorang dengan
status tertentu melakukan beberapa peran sekaligus (Muthmainnah, 2013: 43).
Namun, di desa-desa, peranan kyai-kyai gaji atau kyai tampak pada tradisi
religiusitas yang dilaksanakan berdasarkan penanggalan. Kehadiran kyai amat
diperlukan dalam kenduri (pesta makan-makan) malam Jum‟at untuk
memperingati seseorang yang sudah meninggal dunia. Lebih dari itu, kyai juga
memimpin pesta ritual religiusitas yang lebih menduniawi, seperti rokat desa,
yakni pesta tahunan desa, dan rokat bandaran atau rokat tasik, yakni pesta
para nelayan, serta slametan pada waktu pembuatan dan peluncuran prau-prau
(Kuntowijoyo, 2012: 332).
Bersandar pada penjelasan di atas, tentunya tidak jauh berbeda hanya
saja dalam pemikiran-pemikiran masyarakat yang membedakan kata kyai
tersebut. Akan tetapi, jika ditelaah lagi mengenai konsep kyai diberbagai desa
pasti terdapat seorang kyai, akan tetapi fokus kyai yang berada di desa-desa
yaitu untuk mengajarkan ngaji pada anak-anak di musholla. Lain halnya
dengan kyai yang berada di pondok pesantren, jadi, kyai di sini baik dari desa-
desa maupun yang berada di pondok pesantren dijadikan sebagai tokoh
16
masyarakat. Oleh karena itu, dalam kehidupan sosial masyarakat sangat
membutuhkan seorang figur.
4. Kyai di Mata Masyarakat
Menurut Harun (2013: 310) karena kedalaman ilmu pengetahuannya di
bidang agama, kyai menempati posisi yang terhormat di mata masyarakat. Hal
ini juga berkaitan dengan watak masyarakat yang religius, sangat menghormati
para ulama, sehingga ulama (kyai) menjadi tempat bertanya dalam segala
urusan agama. Bahkan kyai juga menjadi tempat masyarakat di sekitarnya
mengadu untuk mencarikan jalan keluar bagi problematika yang dihadapinya,
yang tidak hanya terbatas pada masalah agama, tetapi juga persoalan hidup
yang lain. Di sinilah letak kekuatan kyai yang membedakannya dengan
pemimpin lainnya. Kyai mendudukkan dirinya sebagai bapak (orang tua) dari
semua orang. Dengan penuh kesabaran dan kasih sayang, kyai melayani
kebutuhan masyarakat. Maka masyarakatpun merasa puas. Sebagai timbal-
baliknya atau balasannya, umat akan patuh, tunduk, dan siap mengabdi kepada
kyai. Menurut Ma‟arif (2015: 128) ketundukan masyarakat kepada kyai
kadangkala melampaui batas kewajaran. Sehingga bukan hanya tidak berani
“melawan” dan mengoreksi kyai, masyarakat acapkali menganggap setiap
ucapan dan perbuatan kyai sebagai cerminan kebenaran. Melawan kyai adalah
tindakan yang biadab (kurang ajar). Meskipun kebanyakan kyai tinggal di
daerah perdesaan, mereka merupakan bagian dari kelompok elit dalam
struktur sosial, politik dan ekonomi masyarakat Indonesia. Kebanyakan
mereka memiliki sawah yang cukup, namun tidak perlu tenggelam dalam
pekerjaan sawah. Mereka bukan petani, tetapi pemimpin dan pengajar, yang
memiliki kedudukan tinggi di masyarakat. Oleh karena itu, para kyai dengan
kelebihannya dalam penguasaan pengetahuan Islam, seringkali dilihat sebagai
orang yang senantiasa dapat memahami Religiusitas Tuhan dan rahasia alam,
hingga dengan demikian mereka dianggap memiliki kedudukan yang tak
terjangkau, terutama oleh kebanyakan orang awam (Dhofier, 2012: 94).
Namun, kebanyakan masyarakat memandang seorang kyai tidak hanya
melihat dalam bentuk pakaian dan kopiah saja. Akan tetapi, masyarakat hanya
memandang dari nama atau sebutan “kyai” itu sudah menunjukkan bahwa
seorang kyai tersebut merupakan orang yang alim, dan mempunyai ilmu
pengetahuan khususnya agama yang cukup baik. Oleh karena itu, sekali lagi di
sini kehadiran kyai sangat penting dalam kehidupan masyarakat.
17
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka yang dimaksud dengan
kharismatik kyai dalam penelitian ini adalah wujud dari kualitas seorang kyai
dari kepribadian, kemampuan intelektual, dan pengetahuan religiusitas
khususnya nilai sufisme yang dapat mempengaruhi orang lain (jamaah).
B. Minat Masyarakat
1. Pengertian Minat
Minat dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai sebuah
kecenderungan hati yang tinggi terhadap sesuatu gairah atau keinginan
(Moeliono, 2009: 225). Menurut pendapat lain minat adalah kesukaan
(kecenderungan hati) kepada sesuatu. Secara sederhana minat itu dapat
diartikan suatu kecenderungan untuk memberikan perhatian kepada orang
dan bertindak terhadap orang, aktivitas atau situasi yang menjadi objek dari
minat itu tersebut dengan disertai dengan perasaan senang (Shaleh dan
Wahab, 2014: 263). Minat merupakan motivasi yang mendorong orang
untuk melakukan apa yang mereka inginkan bila mereka bebas memilih.
Setiap minat akan memuaskan suatu kebutuhan. Dalam melakukan
fungsinya kehendak itu berhubungan erat dengan pikiran dan perasaan.
Pikiran mempunyai kecenderungan bergerak dalam sektor rasional analisis,
sedang perasaan yang bersifat halus atau tajam lebih mendambakan
kebutuhan. Sedangkan akal berfungsi sebagai pengingat fikiran dan
perasaan itu dalam koordinasi yang harmonis, agar kehendak bisa diatur
dengan sebaik-baiknya (Sukanto, 2005,120). Minat (interest) merupakan
situasi seseorang sebelum melakukan tindakan yang dapat dijadikan sebagai
dasar untuk memprediksi perilaku atau tindakan tersebut (Kotler, 2002:
407).
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan
bahwa minat akan timbul apabila mendapatkan rangsangan dari luar.
Kecenderungan untuk merasa tertarik pada suatu bidang bersifat menetap
dan merasakan perasaan yang senang apabila ia terlibat aktif didalamnya.
Perasaan senang ini timbul dari lingkungan atau berasal dari objek yang
menarik.
Masyarakat, dalam bahasa Inggris adalah “society” yang berasal dari
kata “socius” artinya kawan, sedangkan kata masyarakat berasal dari bahasa
Arab yaitu “syirk” artinya bergaul. Adapun pengertian masyarakat menurut
beberapa ahli adalah sebagai berikut:
18
a. Menurut Koentjaraningrat mengatakan bahwa: Masyarakat adalah
kesatuan hidup dari makhluk-makhluk manusia yang terkait oleh suatu
sistim adat istiadat yang tertentu (Wahyu, 2010: 60).
b. Menurut Ralph Linton menyatakan bahwa: Masyarakat adalah setiap
kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja sama cukup lama
sehingga mereka dapat mengatur diri mereka dan menganggap diri
mereka sebagai suatu social dengan batas yang dirumuskan dengan
jelas (Wahyu, 2010: 61).
c. Menurut Selo Soemarjan menyatakan bahwa: Masyarakat adalah orang-
orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan (Soekarno,
2009:26).
Dari beberapa pengertian di atas, maka dapat di tarik kesimpulan
bahwa masyarakat adalah sekelompok manusia yang telah hidup dan
bekerja sama cukup lama dan terikat oleh suatu adat istiadat serta
menghasilkan suatu kebudayaan.
Berdasarkan pengertian minat dan masyarakat maka dapat
disimpulkan bahwa minat masyarakat adalah motivasi yang mendorong
untuk melakukan apa yang diinginkan dan kecenderungan untuk merasa
tertarik pada suatu bidang bersifat menetap dan merasakan perasaan yang
senang dari sekelompok manusia yang telah hidup dan bekerja sama cukup
dan terikat oleh adat istiadat hingga menghasilkan sebuah kebudayaan.
2. Pengertian Masyarakat
Masyarakat dalam istilah bahasa Inggris adalah society yang
berasal dari kata Latin socius yang berarti (kawan). Istilah masyarakat
berasal dari kata bahasa Arab syaraka yang berarti (ikut serta dan
berpartisipasi). Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling
bergaul, dalam istilah ilmiah adalah saling berinteraksi. Suatu kesatuan
manusia dapat mempunyai prasarana melalui warga-warganya dapat saling
berinteraksi. Definisi lain, masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang
berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat
kontinyu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama. Kontinuitas
merupakan kesatuan masyarakat yang memiliki keempat ciri yaitu: 1)
Interaksi antar warga-warganya, 2). Adat istiadat, 3) Kontinuitas waktu, 4)
Rasa identitas kuat yang mengikat semua warga (Koentjaraningrat, 2009:
115-118). Semua warga masyarakat merupakan manusia yang hidup
bersama, hidup bersama dapat diartikan sama dengan hidup dalam suatu
tatanan pergaulan dan keadaan ini akan tercipta apabila manusia
19
melakukan hubungan, Mac lver dan Page (dalam Soekanto 2006: 22),
memaparkan bahwa masyarakat adalah suatu sistem dari kebiasaan, tata
cara dari wewenang dan kerja sama antara berbagai kelompok,
penggolongan, dan pengawasan tingkah laku serta kebiasaan-kebiasaan
manusia. Masyarakat merupakan suatu bentuk kehidupan bersama untuk
jangka waktu yang cukup lama sehingga menghasilkan suatu adat istiadat,
menurut Ralph Linton (dalam Soekanto, 2006: 22) masyarakat merupakan
setiap kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja bersama cukup
lama, sehingga mereka dapat mengatur diri mereka dan menganggap diri
mereka sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas-batas yang dirumuskan
dengan jelas sedangkan masyarakat menurut Selo Soemardjan (dalam
Soekanto, 2006: 22) adalah orang-orang yang hidup bersama yang
menghasilkan kebudayaan dan mereka mempunyai kesamaan wilayah,
identitas, mempunyai kebiasaan, tradisi, sikap, dan perasaan persatuan yang
diikat oleh kesamaan.
Menurut Durkheim (dalam Taneko, 2009: 11) bahwa masyarakat
merupakan suatu kenyataan yang obyektif secara mandiri, bebas dari
individu-individu yang merupakan anggota-anggotanya. Masyarakat
sebagai sekumpulan manusia didalamnya ada beberapa unsur yang
mencakup. Adapun unsur-unsur tersebut adalah:
a. Masyarakat merupakan manusia yang hidup bersama;
b. Bercampur untuk waktu yang cukup lama;
c. Mereka sadar bahwa mereka merupakan suatu kesatuan
d. Mereka merupakan suatu sistem hidup bersama.
Menurut Durkheim (dalam Muhni, 2009: 29-31) keseluruhan ilmu
pengetahuan tentang masyarakat harus didasari pada prinsip-prinsip
fundamental yaitu realitas sosial dan kenyataan sosial. Kenyataan sosial
diartikan sebagai gejala kekuatan sosial didalam bermasyarakat. Masyarakat
sebagai wadah yang paling sempurna bagi kehidupan bersama antar
manusia. Hukum adat memandang masyarakat sebagai suatu jenis hidup
bersama dimana manusia memandang sesamanya manusia sebagai tujuan
bersama.
Sistem kehidupan bersama menimbulkan kebudayaan karena setiap
anggota kelompok merasa dirinya terikat satu dengan yang lainnya
(Soekanto, 2006: 22). Beberapa pendapat para ahli di atas dapat
disimpulkan masyarakat memiliki arti ikut serta atau berpartisipasi,
sedangkan dalam bahasa Inggris disebut society.
20
Bisa dikatakan bahwa masyarakat adalah sekumpulan manusia yang
berinteraksi dalam suatu hubungan sosial. Mereka mempunyai kesamaan
budaya, wilayah, dan identitas, mempunyai kebiasaan, tradisi, sikap, dan
perasaan persatuan yang diikat oleh kesamaan.
3. Jenis-jenis Minat
Menurut Surya (2010: 36) minat merupakan suatu karakterisrik efektif
yang dapat mempengaruhi proses mengikuti majelis ta‟lim mengajar,
sehingga dapat dilihat langsung hasilnya antara jamaah yang berminat
dan tidak berminat. Ditinjau dari timbulnya minat di dalam proses mengikuti
majelis ta‟lim mengajar terdapat 3 macam minat, yaitu:
a. Minat volunteer, minat ini adalah proses minat yang timbul dengan
sendirinya dari pihak pelajar tanpa ada pengaruh dari luar.
b. Minat involunteer, minat ini adalah minat yang timbul dari dalam
diri pelajar dengan pengaruh situasi yang diciptakan oleh pengajar
(kyai).
c. Minat non volunteer, minat ini adalah minat yang timbul secara sengaja
atau diharuskan oleh para kyai sehingga minat dalam diri jamaah itu
yang sebelumnya tidak ada menjadi ada.
Dari ketiga jenis minat tersebut dapat dilihat bahwa minat volunteer
merupakan minat yang tumbuh dengan sendirinya dalam diri jamaah tanpa
adanya pengaruh dari pihak pengajar. Minat ini timbul bukan karena adanya
faktor dari luar atau pengajar akan tetapi minat itu timbul karena jamaah
tersebut suka membacaatau karena rasa keingintahuan yang besar terhadap
suatu bidang atau objek. Adapun minat involunteer timbul karena situasi
yang diciptakan oleh kyai. Jamaah akan merasa berminat apabila ia merasa
senang dengan proses pemmengikuti majelis ta‟liman dan situasi yang
menyenangkan yang diciptakan oleh kyai. Sebaliknya, apabil kyai tersebut
tidak dapat menciptakan situasi yang menyenangkan dalam proses
mengikuti majelis ta‟lim mengajar maka minat jamaah akan menjadi
berkurang. Sedangkan minat non volunteer, merupakan minat yang timbul
karena adanya keharusan dari luar, minat ini timbul dalam diri jamaah
karena ia merasa harus menyukai sesuatu hal tersebut sebab itu
merupakan suatu keharusan baginya.
21
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Minat
Minat sebagai salah satu faktor internal psikologis yang
mempengaruhi kualitas pencapaian hasil mengikuti majelis ta‟lim, minat
tidak muncul dengan sendirinya, akan tetapi banyak faktor yang
memyebabkan minat dalam diri jamaah itu timbul terhadap beberapa mata
kajian yang diajarkan oleh kyai bidang studi. Beberapa faktor yang
mempengaruhi minat antara lain:
a. Motivasi
Minat seseorang akan semakin tinggi bila disertai motivasi, baik
yang bersifat internal maupun eksternal. Menurut Tampubolon (2013:
41), “minat merupakan perpaduan antara keiginan yang dapat
berkembang jika ada motivasi.” Seorang jamaah yang ingin
memperdalam ilmu pengetahuan tentang agama Islam misalnya, tentu
saja akan terarah minatnya untuk mengikuti majelis ta‟lim, membaca
buku-buku tentang agama Islam, mendiskusikannya dan sebagainya.
b. Mengikuti majelis ta‟lim
Minat dapat diperoleh melalui mengikuti majelis ta‟lim, karena
dengan mengikuti majelis ta‟lim jamaah yang semula tidak menyenangi
suatu kajian tertentu lama kelamaan disebabkan bertambahnya
pengetahun mengenai kajian tersebut, minat pun akan tumbuh sehingga
ia akan lebih giat lagi mempelajari kajian tersebut. Hal ini sesuai dengan
pendapat yang dikemukakan Gunarsa (2009: 68), bahwa “minat akan
timbul dari sesuatu yang kita sukai dan kita dapat mengetahui sesuatu
dengan mengikuti majelis ta‟lim, karena itu semakin banyak mengikuti
majelis ta‟lim semakin luas pula bidang minat.”
c. Bahan Kajian
Bahan kajian yang menarik minat jamaah, akan sering dipelajari
oleh jamaah yang bersangkutan. Dan sebaliknya bahan kajian yang tidak
menarik minat jamaah tentu akan dikesampingkan oleh jamaah
sebagaimana yang dikemukakan oleh Slameto (2013:59) bahwa Minat
mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap mengikuti majelis
ta‟lim, krena bila bahan kajian yang dipelajari tidak sesuai dengan minat
jamaah, maka jamaah tidak akan mengikuti majelis ta‟lim dengan
sebaik-baiknya karena tidak ada daya tarik baginya.
d. Kyai
Menurut Singer (2017: 93) Kyai juga termasuk salah satu objek
yang dapat merangsang dan membangkitkan minat mengikuti majelis
ta‟lim jamaah. Kyai yang berhasil membina kesediaan mengikuti majelis
22
ta‟lim jamaah-jamaahnya, berarti telah melakukan hal-hal yang
terpenting yang dapat dilakukan demi kepentingan jamaah-jamaahnya.
Kyai yang baik, pandai, ramah dan kharismatik serta disenangi banyak
jamaah-jamaah sangat besar pengaruhnya dalam membangkitkan minat
jamaah, sebaliknya kyai yang memiliki sikap yang buruk tidak disukai oleh
jamaah, akan sulit untuk merangsang perhatian dan minat dalam diri
jamaah.
d. Keluarga
Keluarga sangat besar pengaruhnya dalam menentukan minat
dalam diri jamaah terhadap kajian sebagaimana yang diungkapkan oleh
Abror (2013: 113) bahwa tidak semua jamaah memulai studi barunya
karena faktor minatnya sendiri, ada yang mengembangkan minatnya
terhadap bidang kajian tertentu karena pengaruh dari kyainya, teman
sekelasnya atau orang tuanya.
e. Teman Sepergaulan
Melalui pergaulan, seorang jamaah akan dapat terpengaruh arah
minatnya, karena teman-teman pergaulannya. Seseorang yang bergaul
dengan teman-teman yang memiliki minat, pemahaman dan pengamalan
agama yang baik akan mempengaruhi minat Religiusitasnya sebaliknya
seseorang yang bergaul dengan teman-teman yang tidak memiliki minat,
pemahaman dan pengamalan agama yang baik bahkan terbiasa
melanggar aturan-aturan agama maka akan mempengaruhi minat
Religiusitasya. Sehingga ia melakukan hal-hal yang serupa dengan
teman-teman sepergaulannya.
5. Indikator Minat
Ada beberapa indikator minat yang dapat dikenali atau dilihat
melalui proses mengikuti majelis ta‟lim di kelas maupun di rumah,
diantaranya:
a. Perasaan Senang
Jamaah yang berminat terhadap suatu materi kajian maka ia akan
memiliki perasaan senang terhadap kajian tersebut. Jamaah yang
berminat terhadap materi kajian religiusitas, ia akan merasa senang dalam
mempelajarinya. Ia akan rajin mengikuti majelis ta‟lim dan terus
mempelajari semua materi yang berhubungan dengan materi kajian
Religiusitas. Ia mengikuti kajian dengan antusias tanpa ada beban
paksaan dalam dirinya.
23
b. Perhatian dalam Mengikuti Majelis Ta‟lim
Perhatian merupakan konsentrasi atau aktifitas jiwa seseorang
terhadap pengamatan, pengertian ataupun yang lainnya dengan
mengesampingkan hal lain selain daripada hal itu. Jadi jamaah yang
memiliki perhatian dalam mengikuti majelis ta‟lim jiwa dan pikirannya
terfokus pada apa yang dipelajarinya.
c. Pengetahuan
Selain dari perasaan senang dan perhatian untuk mengetahui
berminat atau tidaknya seorang jamaah terhadap suatu materi kajian
dapat dilihat dari pengetahuan yang dimilikinya. Jamaah yang
berminat terhadap suatu materi kajian maka ia akan memiliki
pengetahuan yang luas tentang kajian tersebut.
C. Internalisasi Nilai Religiusitas
1. Pengertian Internalisasi Nilai
Menurut Mulyana (2011: 21), Internalisasi adalah menyatunya nilai
dalam diri seseorang, atau dalam bahasa psikologi merupakan penyesuaian
keyakinan, nilai, sikap, praktek, dan aturan baku pada diri seseorang. Dalam
bahasa Inggris, internalized berarti to incorporate in oneself. Jadi,
internalisasi berarti proses menanamkan dan menumbuh kembangkan suatu
nilai atau budaya menjadi bagian diri (self) orang yang bersangkutan
(Sahlan: 2009: 130). Penanaman dan penumbuhkembangan nilai tersebut
dilakukan melalui berbagai didaktik metodik pendidikan dan pengajaran.
Seperti pendidikan, pengarahan, indoktrinasi, brain washing dan lain
sebagainya. Internalisasi yang penulis deskripsikan di sini adalah proses
mengenal, menghayati dan menanaman nilai-nilai agama islam kepada
masyarakat yang diharapkan oleh karenanya masyaraakat mendaapat
pemahaman sehingga dapat berperilaku sesuai dengan pandangan atau
nilai-nilai agama yang telah dianggapnya sebagai sesuatu yang bai,
berharga dan menjadi bagian dari dirinya
Menurut Steeman dalam Adisusilo (2012; 56), nilai adalah sesuatu
yang memberi makna pada hidup, yang memberi acuan, titik tolak dan
tujuan hidup. Nilai adalah sesuatu yang di junjung tinggi, yang dapat
mewarnai dan menjiwai tindakan seseorang. Nilai itu lebih dari sekedar
keyakinan, nilai selalu menyangkut pola pikir dan tindakan, sehingga ada
hubungan yang amat erat antara nilai dan etika. Salah satu nilai yang
seharusnya ditumbuhkan adalah nilai religiusitas (Kereligiusitasan).
24
Menurut etimologi kuno, religi berasal dari bahasa Latin “religio”
yang akar katanya adalah “re” dan “ligare” yang mempunyai arti mengikat
kembali. hal ini berati dalam religi terdapat aturan-aturan dan kewajiban-
kewajiban yang harus dipenuhi dan mempunyai fungsi untuk mengikat diri
seseorang dalam hubungannya dengan sesama, alam dan Tuhan Driyarkara
(2008: 6). Menurut Mensen dalam Thontowi (2014: 1) religiusitas berasal
dari bahasa latin “relegare” yang berarti mengikat secara erat atau ikatan
kebersamaan. Religiusitas adalah sebuah ekspresi spiritual seseorang yang
berkaitan dengan sistem keyakinan, nilai, hukum yang berlaku dan ritual.
Definisi lain mengatakan bahwa religiusitas merupakan sebuah
proses untuk mencari sebuah jalan kebenaran yang berhubungan dengan
sesuatu yang sakral. Menurut Majid dalam Thontowi (2014: 2) religiusitas
adalah tingkah laku manusia yang sepenuhnya dibentuk oleh kepercayaan
kepada kegaiban atau alam gaib, yaitu kenyataan-kenyataan supra-
empiris. Manusia melakukan tindakan empiris sebagaimana layaknya
tetapi manusia yang memiliki religiusitas meletakkan harga dan makna
tindakan empiris-nya dibawah supra-empiris. Secara mendalam Chaplin
Thontowi (2014: 2) mengatakan bahwa religi merupakan sistem yang
kompleks yang terdiri dari kepercayaan, keyakinan yang tercermin dalam
sikap dan melaksanakan upacara-upacara keagaman dengan maksud
untuk dapat berhubungan dengan Tuhan.
Ananto dalam Thontowi (2014: 2) menerangkan religious
seseorang terwujud dalam berbagai bentuk dan dimensi, yaitu:
a. Seseorang boleh jadi menempuh religiusitas dalam bentuk penerimaan
ajaran-ajaran agama yang bersangkutan tanpa merasa perlu bergabung
dengan kelompok atau organisasi penganut agama tersebut. Boleh jadi
individu bergabung dan menjadi anggota suatu kelompok Religiusitas,
tetapi sesungguhnya dirinya tidak menghayati ajaran agama tersebut.
b. Pada aspek tujuan, religiusitas yang dimiliki seseorang baik berupa
pengamatan ajaran-ajaran maupun mengabungkan diri ke dalam
kelompok Religiusitas adalah semata-mata kegunaan atau manfaat
intrinsik itu, melainkan kegunaan manfaat yang justru tujuannya lebih
bersifat ekstrinsik yang akhirnya dapat ditarik kesimpulan dalam empat
dimensi religius, yaitu aspek intrinsik dan aspek ekstrinsik, serta sosial
intrinsik dan sosial ekstrinsik.
Spirituallitas/religiusitas merupakan pengalaman yang universal
yang tidak hanya terdapat dalam kegiatan-kegiatan ritual Religiusitas di
tempat-tempat ibadah namun juga pada keseluruhan aspek kehidupan
25
manusia. Ditambahkan pula oleh Mangunwijaya dalam Darmawati
(2015:103), religiusitas merupakan aspek personal dari kehidupan yang
Religiusitas, mencangkup totalitas rasa kedalaman pribadi dari individu itu
sendiri. Religiusitas ini hanya dapat dihayati dari dalam, lebih menekankan
kepasrahan diri dan rasa hormat pada Tuhan. Menurut Spranger dalam
Dister (2009: 31) religiusitas adalah keyakinan dimana seseorang
merasakan dan mengakui adanya kekuatan tertinggi, yang menaungi
kehidupan dan hanya kepada-Nya bergantung dan berserah hati.
Dari beberapa definisi yang diungkapkan di atas, dapat diambil
kesimpulan bahwa religiusitas merupakan suatu bentuk hubungan manusia
dengan penciptanya melalui ajaran agama yang sudah terinternalisasi dalam
diri seseorang dan tercermin dalam sikap perilakunya sehari-hari.
Istilah nilai kereligiusitasan merupakan istilah yang tidak mudah
untuk diberikan batasan secara pasti. Ini disebabkan karena nilai merupakan
sebuah realitas yang abstrak. Secara etimologi nilai kereligiusitasan berasal
dari dua kata yakni: nilai dan kereligiusitasan. Menurut Rokeach dan Bank
bahwasanya nilai merupakan suatu tipe kepercayaan yang berada pada
suatu lingkup system kepercayaan di mana seseorang bertindak atau
menghindari suatu tindakan, atau mengenai sesuatu yang dianggap pantas
atau tidak pantas (Sahlan, 2009: 66). Ini berarti pemaknaan atau pemberian
arti terhadap suatu objek.Sedangkan kereligiusitasan merupakan suatu sikap
atau kesadaran yang mucul yang didasarkan atas keyakinan atau
kepercayaan seseorang terhadap suatu agama. Kereligiusitasan
(religiusitas) tidak selalu identik dengan agama. Agama lebih menunjuk
kepada kelembagaan kebaktian kepada Tuhan, dalam aspek yang resmi,
yuridis, peraturan-peraturan dan hukum-hukumnya. Sedangkan
kereligiusitasan atau religiusitas lebih melihat aspek yang “di dalam lubuk
hati nurani” pribadi. Dan karena itu, religiusitas lebih dalam dari agama
yang tampak formal.
Menurut Gay Hendricks dan Kate Ludeman dalam Agustian (2012),
terdapat beberapa sikap religius yang tampak dalam diri seseorang dalam
menjalankan tugasnya, diantaranya: kejujuran, keadilan, bermanfaat bagi
oranglain, rendah hati, bekerja efisien, visi ke depan, disiplin tinggi dan
keseimbangan. Menurut Nurcholis Madjid, agama bukanlah sekedar
tindakan-tindakan ritual seperti shalat dan membaca doa. Agama lebih
dari itu, yaitu keseluruhan tingkah laku manusia yang terpuji, yang
dilakukan demi memperoleh ridho atau perkenaan Allah. Agama dengan
demikian meliputi keseluruhan tingkah laku manusia dalam hidup ini, yang
26
tingkah laku itu membentuk keutuhan manusia berbudi luhur atas dasar
percaya atau iman kepada Allah dan tanggung jawab pribadi di hari
kemudian.
2. Dimensi Nilai-Nilai Religiusitas
Aspek religiusitas menurut kementrian dan lingkungan hidup RI
dalam Thontowi (2014: 3) religiusitas (agama Islam) terdiri dalam lima aspek
yaitu:
a. Aspek iman menyangkut keyakinan dan hubungan manusia dengan Tuhan,
malaikat, para nabi dan sebagainya.
b. Aspek Islam menyangkut frekuensi, intensitas pelaksanaan ibadah yang
telah ditetapkan, misalnya sholat, puasa dan zakat.
c. Aspek ihsan menyangkut pengalaman dan perasaan tentang kehadiran
Tuhan, Takut melanggar larangan dan lain-lain.
d. Aspek ilmu yang menyangkut pengetahuan seseorang tentang ajaran-
ajaran agama.
e. Aspek amal menyangkut tingkah laku dalam kehidupan bermasyarakat,
misalnya menolong orang lain, membela orang lemah, bekerja dan
sebagainya.
Verbit mengemukakan ada enam komponen religiusitas dan masing-
masing komponen memiliki empat dimensi. Keenam komponen tersebut
adalah:
a. Ritual yaitu perilaku seremonial baik secara sendiri-semdiri maupun
bersama-sama.
b. Doctrin yaitu penegasan tentang hubungan individu dengan Tuhan.
c. Emotion adanya perasaan seperti kagum, cinta, takut, dan sebagainya.
d. Knowledge yaitu pengetahuan tentang ayat-ayat dan prinsip-prinsip suci.
e. Ethics yaitu aturan-aturan untuk membimbing perilaku interpersonal
membedakan yang benar dan yang salah, yang baik dan yang buruk.
f. Community yaitu penegasan tentang hubungan manusia dengan makhluk
atau individu lain.
Sedangkan dimensi dari komponen tersebut adalah:
a. Content, Merupakan sifat penting dari komponen misalnya ritual khusus,
ide-ide, pengetahuan, prinsip-prinsip dan lain-lain
b. Frequency, merupakan seberapa sering unsur-unsur atau ritual tersebut
dilakukan.
c. Intensity, merupakan tingkat komitmen.
d. Centrality, yaitu hal-hal yang paling menonjol atau penting.
27
Menurut Glock dalam Ancok dan Suroso (2014: 46) bahwa ada
lima aspek atau dimensi religiusitas yaitu:
a. Dimensi Ideologi atau keyakinan, yaitu dimensi dari kereligiusitasan yang
berkaitan dengan apa yang harus dipercayai, misalnya kepercayaan
adanya Tuhan, Malaikat, surga, dan sebagainya. Kepercayan atau doktrin
agama adalah dimensi yang paling mendasar.
b. Dimensi Peribadatan, yaitu dimensi kereligiusitasan yang berkaitan
dengan sejumlah perilaku, dimana perilaku tersebut sudah ditetapkan
oleh agama, seperti tata cara ibadah, pembaptisan, pengakuan dosa,
berpuasa, shalat atau menjalankan ritual-ritual khusus pada hari-hari
suci.
c. Dimensi Penghayatan, yaitu dimensi yang berkaitan dengan perasaan
religiusitas yang dialami oleh penganut agama atau seberapa jauh se-
seorang dapat menghayati pengalaman dalam ritual agama yang
dilakukannya, misalnya kekhusyuan ketika melakukan sholat.
d. Dimensi Pengetahuan, yaitu berkaitan dengan pemahaman dan
pengetahuan seseorang terhadap ajaran-ajaran agama yang dianutnya
e. Dimensi Pengalaman, yaitu berkaitan dengan akibat-akibat dari ajaran-
ajaran agama yang dianutnya yang diaplikasikan melalui sikap dan perilaku
dalam kehidupan sehari-hari.
3. Faktor-Faktor yang Menghasilkan Sikap Religiusitas
Menurut Rahman (2013: 55) beberapa faktor yang bisa memainkan
peranan dalam pembentukan sikap Religiusitas atau yang menyebabkan
manusia berusaha mendekatkan diri kepada dzat yang adikodrati yaitu Tuhan
adalah sebagai berikut:
a. Faktor Sosial
Faktor ini mencangkup semua pengaruh sosial dalam mengembangkan
sikap Religiusitas itu: pendidikan dari orang tua, tradisi-tradisi sosial, dan
tekanan-tekanan sosial untuk menyesuaikan diri dengan berbagai pendapat
dan sikap yang disepakati oleh lingkungan itu. Konsep psikologik yang
paling erat kaitannya dengan pengaruh-pengaruh seperti itu adalah konsep
sugesti yakni proses komunikasi yang menyebabkan diterimanya dan
disadarinya suatu gagasan yang dikomunikasikan tanpa alasan-alasan
rasional yang cukup.
28
b. Faktor Alami
Pada umunya ada anggapan bahwa kehadiran keindahan, keselarasan,
dan kebaikan yang dirasakan dalam dunia nyata secara psikologik turut
memainkan peran dalam membentuk sikap religiusitas. Sebenarnya ada tiga
unsur yang bisa dibedakan dalam sumbangan-sumbangan pengalaman di
dunia nyata kepada sikap religiusitas yaitu: Pengalaman-pengalaman
mengenai manfaat, keharmonisan dan keindahan. Pengalaman mengenai
manfaat timbul dari kenyataan bahwa beberapa benda dari alam semesta
atau semua ciptaan Tuhan bermanfaat bagi manusia, tak satupun yang
ada di alam ini tak berguna, semua kejadian yang terjadi di alam ini
mengandung hikmah yang cukup besar bagi manusia asalkan mereka mau
memikirkannya. Adapun yang dimaksud dengan pengalaman keharmonisan
bisa dijelaskan dengan mengacu buku Paley, Natural Theology. Paley
mengemukakan argumen, dari berbagai adaptasi bagian-bagian dari
beberapa jenis organisme yang terjadi secara timbal balik dan dari berbagai
adaptasi berbagai jenis organisme dengan lingkungannya mansing-masing,
bahwa organisme itu dicipta oleh disainer yang berpribadi (personal).
Mungkin dia salah dari sudut logikanya bahwa argumen ini membuktikan
adanya relitas disainer yang berpribadi, tetapi dia benar dari sudut
pandang psikologik bahwa ini merupakan salah satu alasan mengapa orang
percaya akan adanya disainer yang berperibadi itu. Bila yang terjadi
memang demikian, kita dapat mengatakan bahwa jenis pengalaman ini,
dimana dunia tampak memiliki sifat sebagai barang buatan pabrik,
merupakan salah satu sumber atau akar sikap religiusitas.
Selanjutnya yang ketiga adalah pengalaman mengenai keindahan di
dunia nyata ini. Dunia ini tampak indah mengagumkan dan luar biasa dan
ini tidak mungkin telah muncul dengan sendirinya, keindahan di alam
ini sudah pasti ada yang membuat (yang mungkin disebut Tuhan).
Pengalaman mengenai keindahan itu sudah diintelektulisasikan menjadi
argumen filosofis yang menyatakan bahwa adanya keindahan di dunia itu
menunjukkan adanya pencipta keindahan itu. Barang kali ini disebut
argumen estetik untuk membuktikan ekistensi Tuhan. Jadi pengalaman
mengenai keindahan itu merupakan salah satu faktor dalam proses
pembentukkan sikap religiusitas.
29
c. Faktor Konflik Moral
Konflik moral dapat dianggap sebagai salah satu faktor yang
menentukan sikap religiusitas sama halnya dengan pengalaman di alam ini.
Konflik itu merupakan konflik antara kekuatan-kekuatan yang baik dan
kekuatan yang jahat yang ada pada dirinya sendiri. Kekuatan-kekuatan yang
baik bisa dijelaskan sebagai kekuatan-kekautan yang ada pada pihak
makhluk yang baik, sedangkan kekuatan yang jahat merupakan kekuatan
yang ada pada pihak lawannya, atau kekuatan jahat bisa dipersonifikasikan,
misalnya sebagai sifat makhluk-makhluk jahat. Dengan demikian
kepercayaan akan adanya Tuhan yang baik, antara lain bisa dianggap
sebagai intelektualisasi konflik moral itu. Konflik moral ini dapat
membawa orang pada dualisme dalam sikap religiusitasnya karena
rangsangan-rangsangan yang baik dapat dianggap sebagai
rangsangan yang sesuai dengan kehendak Tuhan, sedangkan rangsangan
yang tidak benar berasal dari kekuatan-kekuatan spiritual dunia spiritual
yang bertentangan dengan Tuhan.
d. Faktor Intelektual
Proses-proses intelektual itu merupakan bagian dari landasan sikap
religiusitas, karena memang ada benarnya bahwa suatu kepercayaan
secara diam-diam akan lebih kuat dipengangi bila proses pemikiran dapat
digunakan untuk memberikan alasan pembenarannya, dan kebanyakan
orang cenderung meninggalkan kepercayaan-kepercayaan yang dimata
mereka tampak kurang mendapatkan dukungan intelektual meskipun
kepercayaan-kepercayaan ini menarik perhatian mereka berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan lainnya. Selanjutnya metode-metode
pengajaran agama yang bersifat otoriter dapat mengakibatkan
meningkatnya kepastian dalam keyakian agama dan juga intoleransi agama.
e. Faktor Afektif (Emosional)
Salah satu faktor yang membantu pembentukan sikap religiusitas adalah
sistem pengalaman emosional yang dimiliki setiap seseorang dalam
kaitannya dengan agama mereka. Ini bisa disebut “emosional” atau
afektif” dalam sikap religiusitas. Pengalaman religiusitas di sini bisa berupa
pengalaman yang meskipun secara orisinal terjadi dalam kaitan bukan
religiusitas tetapi ia cenderung mengakibatkan perkembangan keyakinan
religiusitas atau bisa juga suatu corak pengalaman yang timbul sebagai
bagian dari perilaku religiusitas yang mungkin memperkuat, memperkaya
30
atau justru memodifikasi kepercayaan-kepercayaan religiusitas yang sudah
dianut sebelumnya.
f. Faktor Kebutuhan yang Tidak Terpenuhi
Faktor lainnya yang dianggap juga sebagai sumber keyakinan agama
ialah adanya kebutuhan-kebutuhan yang tidak terpenuhi secara sempurna di
mana-mana sehingga mengakibatkan terasa adanya kebutuhan akan
kepuasan-kepuasan agama. Menurut Daradjat kebutuhan manusia secara
garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua golongan besar, yaitu:
1) Kebutuhan primer, yaitu kebutuhan jasmaniah/fisik (makan, minum,
seks, dan sebagainya)
2) Kebutuhan rohaniah (psychis and sosial), antara lain:
a. Kebutuhan akan rasa kasih sayang
b. Kebutuhan akan rasa aman
c. Kebutuhan akan rasa harga diri
d. Kebutuhan akan rasa bebas
e. Kebutuhan akan rasa sukses
f. Kebutuhan akan rasa tahu (mengenal)
Tidak selamanya orang dalam kehidupan ini, dapat memenuhi semua
kebutuhan di atas, karena bermacam-macam suasana yang mempengaruhi
dan yang harus dihadapinya. Jika tidak terpenuhi maka orang akan
gelisah dan mencari jalan untuk mengatasinya, baik denga cara yang
wajar, maupun dengan cara yang tidak wajar atau kurang sehat. untuk
menutupi atau mengimbangi kekurangan-kekurangan yang dirasa- kan
dalam memenuhi kebutuhan tersebut, perlu adanya kepercayaan kepada
Tuhan. Sebab jika unsur Tuhan disingkirkan dalam upaya proses
pemenuhan kebutuhan seseorang, maka yang akan terjadi adalah semakin
banyak orang yang berusaha untuk memenuhi kebutuhannya baik yang
bersifat jasmani maupun rohani dengan cara yang tidak benar dan
menyimpang dari akidah-akidah atau norma-norma agama yang telah
digariskan. Sebagai misal untuk memenuhi kebutuhan biologis, bagi orang
yang jauh dari Tuhan maka ia akan memenuhinya dengan cara melakukan
seks bebas yang penting ada uang, untuk memenuhi kebutuhan ingin sukses
seseorang akan rela menyakiti teman kerjanya sekiranya ia dapat kepuasan
dan yang lain terkalahkan. Dengan demikian jelas bahwa unsur Tuhan
mutlak harus selalu dijadikan fondasi jika seseorang dalam proses
31
pemenuhan kebutuhan hidupdan tetap berdampak pada ketenangan dan
ketentraman batin.
4. Karakteristik Kesadaran Religiusitas yang Matang
Menurut Rahman (2013: 167) kesadaran Religiusitas merupakan dasar
dan arah dari kesiapan seseorang mendakan tanggapan, reaksi, pengolahan,
dan penyesuian diri terhadap rangsangan yang datang dari dunia luar.
Semua tingkah laku dalam hidupnya seperti berpolitik, berekonomi,
berkeluarga, bertani, berdagang, dan sebagainya diwarnai oleh sitem
kesadaran Religiusitas. Menurut G.W. Allport dalam Rahman (2013: 167)
bahwa karakteristik orang yang telah matang kesadaran Religiusitasnya
apabila telah memiliki enam ciri khusus, yaitu:
a. Diferensiasi yang Baik
Diferensiasi berarti semakin bercabang, makin bervariasi, makin
kaya dan makin majemuk suatu aspek psikis yang dimilki seseorang.
Semua pengalaman, rasa dan kehidupan Religiusitasn makin lama semakin
matang, semakin kaya, kompleks dan makin bersifat pribadi. pemikirannya
makin kritis dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi dengan
berlandaskan Ketuhanan. Kesadaran religiusitas yang tidak
terdiferensiasi menunjukan sikap dan tingkah laku keagaman yang tidak
kritis, statis, miskin wawasan, kurang dinamis dan kurang terintegrasi di
dalam kepribadiannya serta menerima nasib. Ia menerima ajaran agama
tanpa pengolahan serta memeprcayai begitu saja, apa yang diaturkan oleh
kyai maupun tokoh agama, dan ia merasa puas dengan keimanan yang
dimilikinya.
b. Motivasi Kehidupan Religiusitas yang Dinamis
Menurut Rahman (2013: 168) motivasi kehidupan religiusitas pada
mulanya berasal berasal dari berbagai dorongan, baik psikologis, psikis
maupun sosial. Pertama, dorongan biologis, seperti rasa lapar, rasa haus,
kemiskinan, penderitaan dan sebagainya. Orang biasanya akan lebih
mendekatkan diri kepada Tuhan jika hidupnya dilanda penderitaan dan
kemiskinan. Kedua, dorongan psikologi, seperti kebutuhan akan kasih
sayang, pengembangan diri, rasa ingin tahu, harga diri dan sebagainya.
Dalam realitas kehidupan Religiusitas, sering ditemukan banyak pemuda-
pemudi aktif mendekatkan diri kepada Tuhan dikala memiliki
pengharapan jatuh cinta pada lawan jenis-nya, atau mereka mengharapkan
agar Tuhan memberikan jodoh yang baik. Ketiga, dorongan sosial seperti
32
ingin populer, agar diterima oleh sutau kelompok maupun ambisi peribadi
akan kebutuhan kekuasaan juga seringkali menjadi motif seseorang atau
kelompok untuk lebih intens dalam melakukan aktifitas Religiusitas
atau aktif dalam kegiatan sosial Religiusitas sosial dimasyarakat, seperti
menjadi takmir masjid, ikut membangun madrasah atau panti asuhan, ikut
aktif dalam kegiatan kelompok tahlil atau yasinan dan sebagainya.
Kebutuhan-kebutuhan tersebut jika mendapat pemuasan dalam
kehidupan religiusitas dapat menimbulkan dan memperkuat motivasi
religiusitas yang lama-kelamaan akan menjadi otonom, yaitu orang akan
termotivasi untuk beribadah, baik didorong oleh kebutuhan atau tidak.
Dalam bahasa sederhana seseorang jika sudah membisakan diri untuk
melakukan segala aktifitas religiusitas secara rutin (istiqomah), maka dia
akan termotivasi dengan sendirinya melaukan aktifitas tersebut, walupun
terkadang sekali waktu mungkin ia tidak melakukannya karena kondisi
fisik maupun psikisnya tidak memungkinkan
c. Pelaksanaaan ajaran Agama secara Konsisten dan Produktif
Menurut Rahman (2013: 169) kesadaran agama yang matang juga
terletak pada kosistensi atau keajegan pelaksanaan hidup religiusitas secara
bertanggung jawab dengan mengerjakan perintah agama sesuai kemampuan
dan berusaha secara maksimal meninggalkan larangan-larangan-Nya.
Pelaksanaan kehidupan religiusitas atau peribadatan merupakan realisasi
penghayatan ketuhanan dan keimanan. Dalam melaksanakan hubungan
dengan Tuhan benar-benar menghayati hubungan tersebut dan tiap kali
terjadi penghayatan baru. Ibadahnya bersifat subjektif, kreatif dan dianamis.
Ia selalu berusaha mengharmoniskan hubungan dengan Tuhan, sesama
manusia lain dan alam sekitarnya melalui sikap dan tingkah lakunya
dan itulah yang dinamakan perilaku moralitas agama.
d. Pandangan Hidup yang Komprehensif dan Integral
Menurut Rahman (2013: 170) kesadaran agama yang matang ditandai
adaya pandangan hidup yang komprehensif yang dapat mengarahkan dan
menyelesaikan berbagai masalah hidup. Filsafat hidup yang komprehensif
itu meliputi berbagai pola pandangan, pemikiran dan perasaan yang luas.
Kepribadian yang matang memiliki filsafat hidup yang utuh dan
komprehensif. Keanekaragaman kehidupan dunia harus diarahkan pada
keteraturan. Keteraturan ini berasal dari analisis terhadap fakta yang ter-
nyata mempunyai hubungan satu sama lain. Fakta itu bukan hanya benda
33
materi, akan tetapi meliputi alam perasaan, pemikiran, motivasi, norma,
nilai-nilai kemasyarakatan dan nilai-nilai kehidupan rohaniah. Manusia
memerlukan pegangan agar dapat menentukan pilihan tingkah lakunya
secara pasti, dan pegangan itu bukan hanya berasal dari filsafat saja me-
lainkan juga dari agama sebagi penentu arah.
Bagi orang yang matang religiusitasnya, maka memahami dan mela-
kukan agama tidak sekedar bersifat formalitas dan parsial, tetapi berusaha
memahami dan melaksanakan agama secara logika, perasaan dan tindakan,
bahkan memasuki wilayah agama secara utuh. Disamping komprehensif,
pandangan dan pegangan hidup harus terintegrasi, yakni merupakan suatu
landasan hidup yang menyatukan hasil diferensiasi aspek kejiwaan yang
meliputi fungsi kognitif, afektif dan psikomotorik. Dalam kesadaran
religiusitas, integrasi tercermin pada keutuhan pelaksanaan jaran agama,
yaitu keterpaduan ihsan, iman dan peribadatan. Pandangan hidup yang
matang bukan hanya keluasan cakupannya saja, akan tetapi mempunyai
landasan terpadu yang kuat dan harmonis.
Pandangan orang yang matang kesadaran religiusitasnya akan
terbuka lebar dan berusaha mencari, menafsirkan dan menemukan nilai-
nilai baru dalam ajaran agamanya agar dapat direalisasikan dalam
kehidupan sehari-hari, yang penafsiran itu pada masing-masing orang
berbeda sesuai dengan tingkat kematangan masing-masing. Dan tiap-tiap
orang memiliki kematangan kesadaran religiusitas berbeda, karena
perbedaan pengalaman hidup. Akibatnya, penghayatan dan perasaan
ketuhanan, keimanan dan peribadatannya sangat bersifat subyektif dan
pribadi, namun secara sosial religiusitas ia tetap senang hati bergabung
dengan orang-orang yang taat religiusitas di sekitarnya tanpa memamerkan
kelebihannya di muka umum.
e. Semangat Pencarian dan Pengabdian kepada Tuhan
Menurut Rahman (2013: 173) ciri lain dari orang yang memiliki
kesadaran religiusitas yang matang ialah adanya semangat mencari
kebenaran, keimanan, rasa ketuhanan dan cara terbaik untuk berhubungan
dengan manuia dan alam sekitar. Ia selalu menguji keimananya melalui
pengalaman-pengalaman Religiusitas sehingga menemukan keyakinan yang
lebih tepat. Peribadatannya selalu dievaluasi dan ditingkatkan agar bisa
menemukan kenikmatan penghayatan “kehadiran” Tuhan. Tapi walaupun
demikian ia masih merasakan bahwa keimanan dan peribadatannya, belum
sebagaimana mestinya dan belum sempurna. Karena kesempurnaan itu
34
sendiri tidak mungkin dicapai seumur hidupnya, ia hanya mampu
mendekatinya. Setiap beribadah ia merasa dekat dengan Tuhan, sehingga ia
menyakini sepenuhnya Bahwa Tuhan itu ada dan selalu memantau setiap
langkah perbuatan kita. Dengan demikian ciri dari orang yang matang
Religiusitas adalah setiap nafas, setiap langkah dan aktvitasnya selalu
diupayakan untuk mendekatkan diri kepada-Nya sera untuk mencari
ridho-Nya dengan sesegera mungkin.
Dari beberapa penjelasan di atas dapat dipahami bahwa yang
dimaksud dengan internalisasi nilai religiusitas dalam penelitian ini
adalah proses mengenal, menghayati dan menanamkan nilai-nilai
kehidupan yang mencerminkan tumbuh kembangnya kehidupan
religiusitas yang terdiri dari tiga unsur pokok yaitu aqidah, ibadah dan
akhlak yang menjadi pedoman perilaku sesuai dengan aturan-aturan
Illahi untuk mencapai kesejahteraan serta kebahagiaan hidup di dunia
dan akhirat.
D. Majelis Ta’lim
1. Pengertian Majelis Ta’lim
Menurut Hasbullah (2016: 95) kata Majelis Ta‟lim berasal dari
bahasa Arab, yakni dari kata Majelis dan Ta‟lim. Majelis berarti tempat dan
ta‟lim berarti pengajaran atau pengajian. Dengan demikian secara bahasa
majelis ta‟lim bisa diartikan sebagai tempat melaksanakan pengajaran atau
pengajian ajaran Islam. Secara istilah Hasbullah (2016: 95) mengemukakan
pengertian Majelis Ta‟lim sebagaimana dirumuskan pada musyawarah
Majelis Ta‟lim se DKI Jakarta yang berlangsung pada tanggal 9-10 Juli
1980, adalah lembaga pendidikan Islam nonformal yang memiliki kurikulum
tersendiri, diselenggarakan secara berkala dan teratur, diikuti oleh jamaah
yang relatif banyak, dan bertujuan untuk membina dan mengembangkan
hubungan yang santun dan serasi antara manusia dengan Allah SWT, antara
manusia dengan sesamanya, maupun manusia dengan lingkungannya,
dalam rangka membina masyarakat yang bertakwa kepada Allah SWT.
Pengajian menurut para ahli berbeda pendapat dalam mendefinisikan
pengajian. Menurut Muhzakir mengatakan bahwa pengajian adalah:
Istilah umum yang digunakan untuk menyebut berbagai kegiatan
mengikuti majelis ta‟lim dan mengajar agama (Dirdjosanjoto, 2009: 3).
Menurut Prasodjo mengatakan bahwa pengajian adalah: Kegiatan yang
bersifat pendidikan kepada umum (Ghazali, 2003: 40). Sedangkan arti kata
dari ngaji adalah wahana untuk mendapatkan ilmu (Marzuqi, 2015: ix). Jadi
35
pengajian atau majelis ta‟lim adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh
sekumpulan orang untuk mendapatkan suatu ilmu atau pencerahan.
Perkembangan era globallisasi saat ini, pengajian atau majelis ta‟lim tumbuh
dan berkembang di kalangan masyarakat Islam yang kepentingannya adalah
untuk kemaslahatan ummat manusia. Keberadaan majelis ta‟lim merupakan
suatu komunitas Muslim yang secara khusus menyelenggarakan pembinaan
dan pengajaran tentang agama Islam yang kemudian mampu membantu
meningkatkan kesejahteraan khususnya kesejahteraan keluarga di kalangan
ibu-ibu anggota majelis ta‟lim. Majelis ta‟lim dikenal diberbagai tempat
dengan istilah yang berbeda-beda, seperti pengajian, ceramah, Taman
Pendidikan Al-Quran dll.
Menurut Alawiyah (2009: 75), pada umumnya Majelis Ta‟lim
adalah lembaga swadaya masyarakat murni. Ia didirikan, dikelola,
dipelihara, dikembangkan, dan didukung oleh anggotanya. Oleh karena itu,
Majelis Ta‟lim merupakan wadah masyarakat untuk memenuhi kebutuhan
mereka sendiri. Sehingga dapat dikatakan bahwa Majelis Ta‟lim adalah suatu
komunitas muslim yang secara khusus menyelenggarakan pendidikan dan
pengajaran tentang agama Islam yang bertujuan untuk memberikan
bimbingan dan tuntunan serta pengajaran agama Islam kepada jamaah.
Majelis Ta‟lim bila dilihat dari struktur organisasinya, termasuk organisasi
pendidikan luar sekolah atau lembaga pendidikan Islam yang bersifat
nonformal, yang senantiassa menanamkan akhlak yang luhur dan mulia,
meningkatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan keterampilan jamaahnya,
serta memberantas kebodohan umat Islam agar dapat memperoleh
kehidupan yang bahagia dan sejahtera serta diridhoi oleh Allah SWT.
Menurut Arifin (2003: 75) bila dilihat dari segi tujuan, Majelis Ta‟lim
termasuk lembaga atau sarana dakwah Islam yang secara self standing dan
self disclipined dapat mengatur dan melaksanakan kegiatan-kegiatannya, di
dalamnya berkembang prinsip demokrasi yang berdasarkan musyawarah
untuk mufakat demi kelancaran pelaksanaan ta‟lim sesuai dengan tuntunan
pesertanya.
Dari pengertian tersebut di atas, tampak bahwa majelis ta‟lim
diselenggarakan berbeda dengan lembaga pendidikan Islam lainnya, seperti
pesantren dan madrasah, baik menyangkut sistem, materi maupun tujuannya.
Pada majelis ta‟lim terdapat hal-hal yang cukup membedakan dengan yang
lain, di antaranya:
36
a. Majelis ta‟lim adalah lembaga pendidikan non formal Islam.
b. Masyarakat adalah pendiri, pengelola, pendukung, dan pengembang
majelis ta‟lim.
c. Waktu mengikuti majelis ta‟limnya berkala tapi teratur, tidak setiap
hari sebagaimana halnya sekolah atau madrasah
d. Pengikut atau pesertanya disebut jamaah (orang banyak), bukan pelajar
atau santri. Hal ini didasarkan kepada kehadiran di majelis ta‟lim bukan
merupakan kewajiban sebagaimana dengan kewajiban jamaah menghadiri
sekolah atau madrasah.
e. Tujuannya yaitu memasyarakatkan ajaran Islam Alawiyah (2009: 95).
Dengan merujuk penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa
majelis ta‟lim adalah salah satu pendidikan Islam non formal yang ada di
Indonesia yang sifatnya tidak terlalu mengikat dengan aturan yang ketat
dan tetap, yang efektif dan efisien, cepat menghasilkan, dan sangat baik
untuk mengembangkan tenaga kerja atau potensi umat, dan bertujuan
untuk mengembangkan ilmu pengetahuan khususnya ajaran agama Islam.
Majelis ta‟lim adalah suatu lembaga pendidikan yang diselenggarakan
oleh masyarakat dan dibimbing oleh alim „ulama yang bertujuan membina
dan mengajarkan hubungan antara manusia dengan Allah swt. Dan manusia
dengan sesamanya, serta manusia dengan lingkungannya. Selain itu juga
bertujuan untuk membina suatu masyarakat yang bertakwa dan beriman
kepada Allah swt. Umumnya majelis ta‟lim merupakan lembaga swadaya
masyarakat murni. Ia dilahirkan, dikelola, dipelihara, dikembangkan, dan
didukung oleh anggotanya. Oleh karena itu, majelis ta‟lim merupakan wadah
masyarakat untuk memenuhi kebituhan mereka sendiri (Alawiyah, 2009:75).
Perkembangan majelis tak‟im di kota-kota besar maupun di pedesaan baik
yang di prakarsai oleh umat yang membutuhkannya, maupun yang terbentuk
atas prakarsa tokoh agama, tokoh politik maupun lembaga religiusitas
menunjukkan betapa penting dakwah dan pendidikan religiusitas masyarakat.
Keberadaan majelis ta‟lim sangat potensial dalam memecahkan
berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat dewasa ini, karena melalui
majelis ta‟lim sebagian masalah yang dihadapi oleh para anggota seperti hal-
hal yang merusak aqidah dan masalah yang berkaitan dengan kehidupan,
akhirnya bisa diatasi dengan dialog atau tanya jawab yang berkesinambungan
antara penceramah dengan jamaah yang termasuk dalam anggota majelis
ta‟lim. Perkembangan teknologi dan informasi seperti sekarang ini,
keberadaan majelis ta‟lim sangat penting sebagai benteng dalam menghadapi
37
pengaruh negatif dari perkembangan zaman tersebut sehingga memang
sangat perlu dalam mempertahankan majelis ta‟lim yang sudah terbentuk.
Dari beberapa definisi-definisi di atas adapun definisi tentang
kelompok pengajian atau majelis ta‟lim adalah: Kelompok mengikuti majelis
ta‟lim untuk mendalami ajaran agama islam secara bersama. Kelompok ini
biasanya menyelenggarakan kegiatan mengikuti majelis ta‟lim rutin di
bawah bimbingan orang yang dipandang lebih mengetahui tentang ajaran
agama seperti kyai atau ustadz.
Majelis Ta‟lim merupakan salah satu wadah yang efektif menjadi
tempat penyelenggaraan dakwah Islam sejak zaman Nabi hingga sekarang.
Wadah tersebut tumbuh dalam masyarakat seiring dengan perkembangan
agama Islam ke seluruh penjuru dunia. Sebagai salah satu lembaga
pendidikan non-formal yang bergerak dalam bidang penyiaran agama Islam.
Rasulullah SAW., memberikan motivasi kepada kaum muslimin untuk
mendatangi majelis-majelis ilmu, karena itu merupakan salah jalan untuk
menuju syurganya Allah SWT. Sebagaimana Rasulullah shallallaahu „alaihi
wa sallam bersabda:
ب ستل أت اىر ح ب ح حذثا
.داعياءاهاه ب حذ تحع أت
قاه .تشاأخ :ح قاه .ىح ظاىيف
ظ،أعاه ع عاح، أت حذثا :آخشااه
قاه :قاه .سجش أت ع صاىح، أت ع
تحمش إ ع فش ) :ملسو هيلع هللا ىلص اهلل سصه
مشب تحمش ع اهلل فش ا،اىذ مشب
عي اهلل ضش صش،ع عي ضش .قاحاه
صرش ىا،ش صرش .آخشجاه ااىذ ف
دعةاه ع ف اهلل .آخشجاه ااىذ ف اهلل
طشقا صيل .أخ ع ف دعةاه ما ا
ئى طشقا ت ى اهلل صو ا،عو ف ذشو
اهلل، تخ خت ف ق ذعاج ا .جحاه
ئىا ،ت رذاسص اهلل، مراب ىد
38
حاىشح غغد اىضنح، عي زىد
.دع ف اهلل رمش يائنح،اه حفد
.ضث ت سعش ى عي، ت تطأ
“Yahya bin Yahya At-Tamimi, Abu Bakr bin Abu Syaibah, dan
Muhammad ibnul 'Ala` Al-Hamdani telah menceritakan kepada kami. Dan
lafazh ini milik Yahya. Yahya berkata: Telah mengabarkan kepada kami.
Dua yang lain berkata: Abu Mu'awiyah mengabarkan kepada kami, dari
Al-A'masy, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah. Beliau berkata:
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,Barangsiapa yang
melapangkan satu kesusahan dunia dari seorang mukmin, maka Allah
melapangkan darinya satu kesusahan di hari Kiamat. Barangsiapa
memudahkan (urusan) atas orang yang kesulitan (dalam masalah hutang),
maka Allah memudahkan atasnya di dunia dan akhirat. Barangsiapa
menutupi (aib) seorang muslim, maka Allah menutupi (aib)nya di dunia
dan akhirat. Allah senantiasa menolong hamba selama hamba tersebut
senantiasa menolong saudaranya. Barangsiapa yang meniti suatu jalan
untuk mencari ilmu, maka Allah memudahkan untuknya jalan menuju
Surga. Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allah
(masjid) untuk membaca Kitabullah dan mempelajarinya di antara
mereka, melainkan ketenteraman turun atas mereka, rahmat meliputi
mereka, Malaikat mengelilingi mereka, dan Allah menyanjung mereka di
tengah para Malaikat yang berada di sisi-Nya. Barangsiapa yang lambat
amalnya, maka tidak dapat dikejar dengan nasabnya.” (Diriwayatkan oleh
Muslim (no. 2699), Ahmad (II/252, 325), Abu Dawud (no. 3643), At-
Tirmidzi (no. 2646), Ibnu Majah (no. 225), dan Ibnu Hibban (no. 78-
Mawaarid).
Di dalam hadits ini terdapat janji Allah „Azza wa Jalla bahwa bagi
orang-orang yang berjalan dalam rangka menuntut ilmu syar‟i, maka Allah
akan memudahkan jalan baginya menuju Surga. Kehadiran Majelis Ta‟lim
ditengah-tengah masyarakat dapat diumpamakan ibarat dua sisi mata uang
yang tak terpisahkan. Di mana kaum muslimin tinggal, di sana pula kita dapati
Majelis Ta‟lim berdiri sebagai salah satu pilar penyampai syiar Islam ke
tengah-tengah kehidupan sosial mereka. Kenyatan umum seperti ini
menjelaskan arti penting keberadaan Majelis Ta‟lim sebagai salah satu
jawaban bagi kebutuhan warga masyarakat terhadap aspek pemantapan ilmu
39
agama dan pencerahan jiwa yang dipancarkan melalui pengajaran nilai-nilai
ajaran Islam. Kelenturan aspek manajemen keorganisasian yang dimiliki oleh
Majelis Ta‟lim sebagai lembaga pendidikan non-formal membuat kehadiran
Majelis Ta‟lim terasa membumi dalam hampir semua elemen masyarakat.
Majelis Ta‟lim menjadi wadah pemersatu masyarakat di mana semua
kalangan melebur tanpa sekat-sekat kelas sosial yang memisahkan
kebersamaan mereka.
Tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan Majelis Ta‟lim dalam gerak
dinamika sosial masyarakat muslim akan tetap ada sejalan dengan
perkembangan da‟wah Islam. Untuk itu, guna dapat meningkatkan perannya
dalam memberdayakan para jama‟ah yang umumnya merupakan umat Islam
dalam beragam kelas sosial dan tingkat penghidupannya, Majelis Ta‟lim
dituntut untuk terus dapat meningkatkan kualitas dirinya agar dapat berperan
lebih besar dalam menjembatani kesenjangan yang terjadi antara kondisi nyata
umat Islam dengan perkembangan dunia yang semakin maju. Di sini, Majelis
Ta‟lim dituntut untuk menjadi agen perubahan (agent of change), membawa
umat Islam menuju kondisi yang lebih maju sesuai dengan tujuan da‟wah
yaitu untuk mencapai masyarakat khairu ummah, sebagaimana ditegaskan
melalui QS. Ali Imran ayat 110,
سفعهٱب شذأ ىياس سجدأخ أح سخ مر
ءا ى ىيٱب ذإ نشهٱ ع ذ
إهٱ ى ا سخ ىنا بمدهٱ هأ
١١١ صقفهٱ ثشأك
“Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman
kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi
mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah
orang-orang yang fasiq.”
Masyarakat khairu ummah yang menjadi tujuan da‟wah Islam,
setidaknya memiliki 3 ciri khusus yang menandai karakter masyarakat ideal
yang dicita-citakan: [1] memiliki aqidah yang kuat [2] memiliki kontribusi
yang baik untuk manusia lainnya dan [3] memiliki kualitas-kualitas kebaikan
dalam bentuk peradaban yang bernilai tinggi. Oleh karena itu dalam
menjalankan peran da‟wahnya Majelis Ta‟lim diharapkan selain dapat
40
berperan besar dalam menanamkan nilai-nilai aqidah Islam kepada jama‟ah
yang dibimbingnya, juga diharapkan dapat menggugah kesadaran umat Islam
untuk dapat memberikan kontribusi yang terbaik bagi umat Islam, khususnya
dan umat manusia secara umum. Dari sini, harapan akan kembali munculnya
peradaban Islam yang bernilai tinggi akan dapat diwujudkan.
2. Tujuan Majelis Ta’lim
Hal yang menjadi tujuan Majelis Ta‟lim, mungkin rumusannya
bermacam-macam. Sebab para pendiri Majelis Ta‟lim dalam organisasi,
lingkungan, dan jamaah yang ada, tidak pernah mengkalimatkan tujuannya,
akan tetapi segala bentuk dari apa yang diperbuat oleh manusia itu pasti
mempunyai maksud dan tujuan yaitu untuk menyempurnakan pendidikan anak
supaya:
a. Benar-benar menjadi seorang muslim dalam seluruh aspeknya.
b. Merealisasikan ubudiyah kepada Allah SWT dengan segala makna yang
terkandung dalam tujuan ini dan segala dampaknya, seperti dalam
kehidupan, akidah, akal, dan pikiran (An-Nahlawi, 2012: 183).
Sedangkan menurut Alawiyah (2009:75) bahwa tujuan Majelis Ta‟lim
berdasarkan fungsinya, sebagai berikut:
a. Berfungsi sebagai tempat mengikuti majelis ta‟lim, maka tujuan Majelis
Ta‟lim adalah menambah ilmu dan keyakinan agama yang akan mendorong
mangamalkan agama.
b. Berfungsi sebagai tempat kontak sosial, maka tujuannya adalah untuk
bersilaturrahmi.
c. Berfungsi mewujudkan minat sosial, maka tujuannya adalah meningkatkan
kesadaran dan kesejahteraan rumah tangga dan lingkungan jamaahnya.
Sedangkan menurut penulis, tujuan dari Majelis Ta‟lim adalah
membentuk insan kamil yakni manusia sempurna di mata Allah
SWT dan agar terwujudnya kebbahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia
dan di akhirat yang diridhoi Allah SWT yang merupakan konsekuensi logis
dari aktifitas yang dilakukan manusia.
3. Peran Majelis Ta’lim
Secara strategis Majelis Ta‟lim menjadi sarana dakwah dan tabligh yang
bercorak Islami, berperan sentral pada pembinaan dan peningkatan kualitas
hidup umat Islam sesuai tuntutan ajaran agama. Di samping itu, untuk
41
menyadarkan umat Islam dalam rangka menghayati, memahami, dan
mengamalkan ajaran agamanya yang kontekstual kepada lingkungan hidup,
sosial budaya dan alam sekitar mereka, sehingga dapat menjadikan umat
Islam sebagai ummatan wasathan yang meneladani kelompok umat lain.
Untuk itu, pemimpinnya harus berperan sebagai penunjuk jalan ke arah
kecerahan sikap hidup Islami yang membawa kepada kesehatan mental
rohaniah dan kesadaran fungsional selaku kholifah di bumi ini (Arifin, 2003:
120).
Jadi peranan secara fungsional majelis Ta‟lim adalah mengkokohkan
landasan hidup manusia Indonesia pada khususnya di bidang menthal-spiritual
Religiusitas Islam dalam rangka meningkatkan kualitas hidupnya secara
integral, lahiriah dan bathiniahnya, duniawiah dan ukhrowiah bersamaan,
sesuai tuntutan ajaran agama Islam yaitu iman dan taqwa yang melandasi
kehidupan duniawi dalam segala bidang kegiatannya. Peran demikian sejalan
dengan pembangunan nasional kita.
4. Keadaan Majelis Ta’lim (Jama’ah)
Pengelolaan atau keadaan dalam majelis ta‟lim dibedakan menjadi
beberapa bagian antara lain:
a. Menurut lingkungan jamaah, maka majelis ta‟lim dapat di klasifikasikan
sebagai:
2) Majelis ta‟lim daerah pinggiran
3) Majelis ta‟lim daerah gedongan
4) Majelis ta‟lim daerah komplek perumahan
5) Majelis ta‟lim perkantoran dan sebagainya
b. Menurut tempat penyelenggaraan, klasifikasinya sebagai berikut:
1) Di masjid atau musholla
2) Di madrasah atau ruang khusus semacam itu
3) Di rumah secara tetap atau berpindah-pindah
4) Di ruang atau di aula kantor
c. Menurut organisasi jamaah, maka klasifikasi majelis ta‟lim antara lain
1) Majelis ta‟lim yang dibuka, dipimpin, dan bertempat khusus yang
dibuat oleh pengurus sendiri sendiri atau kyai
2) Majelis ta‟lim yang didirikan, dikelola, dan ditempati bersama, mereka
mempunyai pengurus yang dapat diganti kepengurusannya (di
pemukiman atau dikantor)
42
3) Majelis ta‟lim yang mempunyai organisasi induk seperti Aisyiah,
Muslimat, Al-hidayah, dan sebagainya.
5. Materi Majelis Ta’lim
Menurut Harlin (2008: 15) seperti yang telah terjadi di lapangan,
materi dari majelis ta‟lim merupakan kajian atau ilmu yang diajarkan dan
disampaikan pada saat pengajian itu dilakukan, dan materi-materi tersebut
tidak jauh berbeda dengan pendidikan agama yang ada disekolah-sekolah
atau madrasah-madrasah, dengan lain kata materi atau isi tetap mengacu pada
ajaran agama Islam. Adapun pengklasifikasian materi pada majelis ta‟lim
yang diajarkannya menurut Alawiyah (2009: 79) antara lain:
a. Majelis ta‟lim yang tidak mengajarkan sesuatu secara rutin,tetapi hanya
sebagai tempat berkumpul membaca sholawat bersama atau surat yasin,
atau membaca maulid nabi dan sholat sunnah berjamaah dan sebulan
sekali pengurus majelis ta‟lim mengundang seorang kyai untuk
berceramah, dan ceramah inilah yang merupakan isi ta‟lim.
b. Majelis ta‟lim yang mengajarkan pengetahuan dan keterampilan dasar
ajaran agama, seperti mengikuti majelis ta‟lim membaca al-qur‟an atau
penerangan fiqih.
c. Majelis ta‟lim yang mengajarkan pengetahuan agama tentang fiqih, tauhid,
atau akhlak yang diberikan dalam pidato-pidato muballigh kadang-kadang
dilengkapi juga dengan tanya jawab.
d. Majelis ta‟lim seperti butir ke tiga dengan menggunakan kitab tertentu
sebagai pegangan di tambah dengan pidato-pidato atau ceramah.
e. Majelis ta‟lim dengan pidato-pidato dan bahan kajian pokok yang diberikan
teks tertulis.materi kajian disesuaikan dengan situasi yang hangat
berdasarkan ajaran Islam.
Susilowati (2012: 27) mengemukakan bahwa majelis ta‟lim disini
juga merupakan sebuah tradisi yang kental bagi masyarakat, dengan
tradisi-tradisi semacam inilah pemahaman dan pengetahuan masyarakat luas
tentang ajaran Islam dapat terjawab, walaupun tidak setiap hari mengikuti
tetapi setidaknya mereka pernah mendengarkan ajaran Islam. Seperti halnya
majelis ta‟lim yang didalamnya ada kegiatan membaca sholawat bersama atau
membaca surat yasin dapat menumbuhkan rasa cinta kepada nabi Muhammad
serta mengetahui arti kehidupan yang sesungguhnya di dunia ini, kemudian
dengan mengikuti majelis ta‟lim membaca al-qur‟an akan mempermudah
seseorang dalam memahami arti al-qur‟an.
43
Majelis ta‟lim yang mengajarkan pengetahuan agama tentang fiqih,
tauhid, atau akhlak merupakan dimensi pembentukan awal dari pemahaman
tentang ajaran Islam. Hal ini dikarenakan aqidah (kepercayaan) adalah bidang
teori yang dipercayai terlebih dahulu sebelum yang lain-lain, hendaknya
kepercayaan itu bulat dan penuh tiada bercampur dengan syak, ragu dan
kesamaan. Kemudian aqidah merupakan seruan dan penyiaran yang pertama
dari rasulullah dan dimintanya supaya di percaya oleh manusia dalam tingkat
pertama (terlebih dahulu), dan dalam al-qur‟an aqidah di sebut dengan kalimat
“Iman.” Tentang akhlak yang merupakan ilmu budi pekerti yang membahas
sifat-sifat manusia yang buruk dan baik, dengan ilmu akhlak akan memberikan
jalan dan membuka pintu hati orang untuk berbudi pekerti yang baik dan hidup
berjasa dalam masyarakat.berbuat dan beramal untuk mencapai kebahagiaan
dunia dan akhirat, menurut Ghazali dalam Bakry (2013: 10) “Akhlak adalah
sifat yang melekat dalam jiwa seseorang yang menjadikan ia dengan mudah
bertindak tanpa banyak pertimbangan lagi” atau boleh juga dikatakan sudah
menjadi kebiasaan.
Menurut Shalud (2015:13) dimensi akhlak, adalah materi yang
paling sering disampaikan pada majelis ta‟lim, hal ini bertujuan karena
akhlak adalah sumber dari sikap atau berhubungan dalam kehidupan
masyarakat sehari-hari,dan secara sadar ataupun tidak akhlak itu akan
tercermin dalam diri seseorang. Seperti halnya lapang dada, peramah, sabar
(tabah), jujur, tidak dengki, dan sifat-sifat baik yang lainnya, dengan sifat
baik itu maka akan disenangi banyak orang dalam pergaulan dan hidup
bermasyarakat dilingkungan. Begitu pula sebaliknya sifat iri hati, dengki, suka
berdusta, pemarah, dan lainnya, maka akan dijauhi oleh masyarakat
dilingkungannya. Syariat atau fiqih diajarkan juga bertujuan untuk
memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang hubungannya baik
dengan tuhan, sesama manusia, ataupun dirinya sendiri, sebagaimana maksud
dari syariat sendiri adalah sebuah susunan, peraturan, dan ketentuan yang
disyariatkan Tuhan denhgan lengkap atau pkok-pokoknya saja supaya manusia
mempergunakannya dalam mengatur hubungan dengan tuhan. Hubungan
dengan saudara seagama, hubungan saudara sesama manusia serta
hubungannya dengan alam besar dan kehidupan.
Dalam al-qur‟an syariat disebut dengan istilah “amal saleh” yaitu
perbuatan baik, seperti perbuatan baik pada semuanya. Pertama, hubungan
dengan Tuhan yaitu dengan melakukan ibadah, seperti sholat, puasa, zakat
44
dan lainnya. Kedua, hubungan dengan sesama manusia seperti jual-beli,
utangpiutang, berbuat baik sesama dan semua hal di dunia yang masih ada
hubungan dengan sesama Shalud (2015:14).
6. Metode Pengajaran Majelis Ta’lim
Menurut Ramayulis dan Nizar (2009:209) kata metode berasal dari
bahasa Yunani. Secara etimologi, kata ini berasal dari dua kata, yaitu meta dan
hodos. Meta berarti melalui, dan hodos berarti jalan atau cara.39
Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, kata metode diartikan sebagai cara yang teratur
digunakan untuk melaksanakan pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang
dikehendaki; cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu
kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan (Depdiknas, 2012: 720).
Kusumowati (2013: 139) mengemukakan beberapa definisi lagi
menurut para ahli:
a. Muhammad Athiyah Al-Abrasyi mendefinisikan metode sebagai jalan yang
kita ikuti untuk memberi pemahaman kepada jamaah-jamaah dalam segala
macam kajian. Jadi, metode juga merupakan rencana yang kita buat untuk
diri kita sebelum kita memasuki kelas.
b. Abdurrahim Ghunaimah menyebut metode sebagai cara-cara yang diikuti
oleh kyai untuk menyampaikan sesuatu kepada anak didik.
c. Edgar Bruce Wesley mendefinisikan metode sebagai kegiatan terarah bagi
kyai yang menyebabkan terjadinya proses mengikuti majelis ta‟lim
mengajar yang berkesan.
Dalam pendidikan Islam, An-Nahlawi, seorang pakar pendidikan
Islam, mengemukakan metode pendidikan yang berdasarkan metode al Qur‟an
dan Hadits yang dapat menyentuh perasaan, yaitu sebagai berikut:
a. Metode hiwar (percakapan) Alqurani dan nabawi adalah percakapan silih
berganti antara dua pihak atau lebih mengenai suatu topik dan sengaja
diarahkan pada satu tujuan yang dikehendaki oleh pendidik. Dalam
percakapan itu, bahan pembicaraan tidak dibatasi yang dapat diaplikasikan
dalam berbagai bidang, seperti sains, filsafat, seni, dan agama. Kadang-
kadang pembicaraan itu sampai pada satu kesimpulan, kadang-kadang juga
tidak ada kesimpulan karena salah satu pihak tidak puas terhadap pendapat
pihak lain. Jenis-jenis hiwar ini ada lima macam, yaitu:
1) Hiwar khitabi merupakan dialog yang diambil dari dialog antara Tuhan
dan hambaNya.
2) Hiwar washfi yaitu dialog antara Tuhan dan makhluk-Nya. Misalnya,
45
Surah Al-Baqarah ayat 30-31.
ضأسهٱ ف جاعو ئ ئنحوىو ستل قاه ئر
فا صذف فا عوأذج اقاى خيفح
ىل قذس دكتح ضثح ح ءىذاٱ فلش
ءاد عي ٣١ ىذع ىا ا ىأع ئ قاه
فقاه ئنحوهٱ عي عشض ث ميا ءاأسهٱ
٣١ دقنيػ مر ئ ءؤىا ءاتأس بأ
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat:
"Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi."
mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi
itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan
darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui
apa yang tidak kamu ketahui." Dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-
nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada
Para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-
benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!”
3) Hiwar qishashi adalah percakapan yang baik bentuk maupun rangkaian
ceritanya sangat jelas. Hiwar ini merupakan bagian dari uslub kisah
dalam al-Qur‟an. Misalnya kisah Suaib dan kaumnya yang terdapat
dalam surah Hud ayat 84-85.
ق قاه ا بعع أخا ذ ئى
ىا ۥسغ ئه ىن ا ىيٱ تذاعٱ
مأس ئ زاهٱ اهلهٱ ذقصا
عزاب معي أخاف ئ ستخ
زاهٱ اهلهٱ فاأ ق ٤٤ حط
ىا ءاأط ىاسٱ خضاذة ىا طقشهٱب
٤٥ صذف ضأسهٱ ف اثذع
46
Dan kepada (penduduk) Mad-yan (kami utus) saudara mereka,
Syu'aib. ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali
tiada Tuhan bagimu selain Dia. dan janganlah kamu kurangi takaran
dan timbangan, Sesungguhnya aku melihat kamu dalam Keadaan yang
baik (mampu) dan Sesungguhnya aku khawatir terhadapmu akan azab
hari yang membinasakan (kiamat)." dan Syu'aib berkata: "Hai kaumku,
cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah
kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah
kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan.”
4) Hiwar jadali adalah hiwar yang bertujuan untuk menetapkan hujjah,
baik dalam rangka menegakkan kebenaran maupun menolak kebatilan.
Contohnya terdapat dalam Surah An-Najam ayat 1-5 yang
mendeskripsikan tentang:
عه ينطق وما ٢ غىي وما صاحبكم ضل ما ١ هىي إذا ملنجٱو
٥ قىيلٱ شديد ۥعلمه ٤ يىح يوح إلا هى إن ٣ هىيلٱ
“Demi bintang ketika terbenam. Kawanmu (Muhammad) tidak
sesat dan tidak pula keliru. Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-
Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain
hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). Yang diajarkan
kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat.”
5) Hiwar nabawi adalah hiwar yang digunakan oleh Nabi dalam mendidik
sahabat-sahabatnya.
b. Metode kisah Qurani dan nabawi adalah penyajian bahan pemmengikuti
majelis ta‟liman yang menampilkan cerita-cerita yang terdapat dalam al
Qur‟an dan hadits Nabi SAW. Kisah Qurani bukan semata-mata karya seni
yang indah, tetapi juga cara mendidik umat agar beriman kepada-Nya.
Dalam pendidikan Islam, kisah merupakan metode yang sangat penting
karena dapat menyentuh hati manusia. Kisah menampilkan tokoh dalam
konteks yang menyeluruh sehingga pembaca atau pendengar dapat ikut
menghayati, seolah-olah ia sendiri yang menjadi tokohnya.
c. Metode amtsal (perumpamaan) Al-Qur‟ani adalah penyajian bahan
47
pembelajaran dengan mengangkat perumpamaan yang ada dalam Al-
Qur‟an. Metode ini mempermudah peserta didik dalam memahami konsep
yang abstrak. Ini terjadi karena perumpamaan itu mengambil benda yang
konkret, seperti kelemahan Tuhan orang kafir yang diumpamakan dengan
sarang laba-laba. Sarang itu lemah sekali, bahkan disentuh dengan lidi pun
dapat rusak.
d. Metode ini sama seperti yang disampaikan oleh Abdurrahman Saleh
Abdullah. Metode ini mempunyai kelebihan karena dapat memberikan
pemahaman konsep abstrak bagi peserta didik serta dapat memberi kesan
yang mendalam. Selain itu, dapat pula membawa pemahaman rasional
yang mudah dipahami, sekaligus dapat menumbuhkan daya motivasi untuk
meningkatkan imajinasi yang baik dan meninggalkan imajinasi yang
tercela.
e. Metode keteladanan (uswah hasanah) adalah memberikan teladan atau
contoh yang baik kepada peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Metode
ini merupakan pedoman untuk bertindak merealisasikan tujuan
pendidikan baik secara institusional maupun nasional. Pelajar cenderung
meneladani pendidiknya. Ini dilakukan oleh semua ahli pendidikan, baik di
Barat maupun di Timur. Secara psikologis, pelajar memang senang meniru,
tidak saja baik, tetapi juga yang tidak baik.
Menurut Ismail metode-metode yang di gunakan dalam majelis ta‟lim
antara lain:
a. Ceramah
Menurut Syah (2008: 205) metode ceramah adalah metode yang
paling disuka dan digunakan kyai dalam proses pembelajaran majelis
dikelas, karena dianggap paling mudah dan praktis di laksanakan. Metode
ini merupakan metode mengajar yang klasik, tetapi masih dipakai orang
dimana-mana hingga sekarang, metode ceramah adalah sebuah metode
mengajar dengan menyampaikan informasi dan pengetahuan lisan kepada
sejumlah jamaah yang pada umumnya mengikuti secara pasif. Untuk
pengajaran pokok bahasan keimanan, metode ceramah hendaknya
dipadukan dengan strategi yang relevan, yakni yang sesuai dengan materi,
karena materi tauhid tidak dapat untuk diperagakan, dan sangat sukar untuk
didiskusikan. Dalam keyakinan Islam wujud tuhan, malaikat, nabi dan
rasul, hari kiamat dan seterusnya sama sekali tidak dapat digambarkan atau
diperagakan (divisualkan).
Satu-satunya metode yang tepat untuk digunakan dalam penyajian
48
materi tauhid adalah ceramah, penggunaan metode ceramah memerlukan
kelincahan dan seni berbicara kyai agama (kiai, ustadz). Disamping
penyajian cerita-cerita lucu atau sedih yang proporsional (tidak
berlebih/seimbang). pada akhir jam kajian, kyai agama juga dianjurkan
untuk membuka forum tanya jawab untuk mengetahui atau memperbaiki
kadar pemahaman jamaah atas pokok-pokok bahasan yang telah disajikan.
b. Tanya jawab
Menurut Roestiyah (2011:5) metode tanya jawab adalah suatu
metode didalam pendidikan dan pengajaran dimana kyai bertanya
sedangakan jamaah menjawab atau sebaliknya tentang materi yang telah
disampaikan. Metode Tanya jawab ini dilakukan pelengakap atau variasi
dari metode ceramah, atau sebagai ulangan kajian yang telah diberikan,
selingan dalam pembicaraan, untuk merangsang anak didik (jamaah) agar
perhatiannya tercurah pada masalah yang sedang dibicarakan, dan untuk
mengarahkan pada proses berpikir. Oleh karena itu dapat dikatakan
metode Tanya jawab hanya sebagai pelengkap atau penopang pada materi
ceramah, apalagi pada majelis ta‟lim yang materinya tentang tauhid,
ataupun dimensi materi yang lain.
E. Penelitian yang Relevan
1. Penelitian yang dilakukan oleh Al Khanif (2011) dengan judul: “Menguji
Kharisma Kyai Dalam Kehidupan Masyarakat Madura Jember Jawa Timur.”
Karisma seorang kyai secara berangsur-angsur mengalami berbagai tantangan
sosial budaya dari waktu-kewaktu dikarenakan perkembangan masyarakat.
Intervensi pemerintah dalam usaha menanggulangi kemiskinan dan
meningkatkan kualitas pendidikan, globalisasi, modernisasi sepertihalnya
perubahan paradigma sosial telah mempengaruhi tradisi paternalistic. Namun
demikian peranan kyai bagi masyarakat Madura berbeda. Dalam tradisi sosial
budaya, kyai masih memainkan peranan penting untuk membentuk
pemahaman masyarakat tentang pandangan agama dan nilai-nilai budaya.
Terlebih lagi kyai juga masih dipengaruhi pandangan politik dari masyarakat
yang terkadang memiliki kekuatan untuk membentuk masyarakat dengan
hirarki structural organisasinya. Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa kyai
bagi masyarakat Madura masih karismatik karena mereka memiliki
kemampuan lebih dalam merespon berbagai permasalahan sosial. Terlebih lagi
masyarakat menganggap kyai sebagai wakil kelompok minoritas yang kreatif. Persamaan penelitian ini dengan peneliti adalah terletak pada variabel
kharismatik kyai. Sementara perbedaannya adalah pada pendekatan penelitian
49
yang digunakan. Peneliti ini menggunakan pendekatan kualitatif sementara
peneliti menggunakan pendekatan kuantitatif.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Firman Nugraha (2016) dengan judul: “Peran
Majelis Ta’lim dalam Dinamika Sosial Umat Islam” Perjalanan panjang
keberadaan majelis ta‟lim dalam gerak perubahan sosial umat Islam
menunjukan warna tersendiri pada setiap tempat yang kondisi sosialnya
berbeda termasuk masa yang berbeda. Majelis ta‟lim mengingat eksistensinya
yang megakar kuat pada masyarakat Islam pada kurun waktu tertentu telah
menjadi perhatian politik untuk mengukuhkan pola pengkaderan dan
pembinaan masyarakat. Dan pada dimensi masyarakat urban ia dapat dikatakan
sebagai respon masyarakat atas kondisi sosial di sekitarnya. Sementara pada
masyaraat perdesaan ia menjadi bagian penting sebagai agen untuk melakukan
perubahan ekonomi sosial jamaahnya. Hal ini merupakan refleksi dari peran
sosial yang ada dalam dirinya. Persamaan penelitian ini dengan peneliti terdahulu terletak pada
sampel penelitian, yakni masyarakat yang mengikuti majelis ta‟lim. Sementara
perbedaannya adalah pada pendekatan penelitian yang digunakan. Peneliti
terdahulu menggunakan pendekatan kualitatif sementara peneliti menggunakan
pendekatan kuantitatif.
3. Penelitian yang dilakukan oleh Oyoh Bariah, Iwan Hermawan, H.Tajuddin Nur
(2011) dengan judul: “Peran Majelis Ta’lim dalam Meningkatkan Ibadah Bagi
Masyarakat di desa Telukjambe Karawang.” Penelitian ini bertujuan untuk
mengungkapkan data tentang peran Majelis ta‟lim dalam meningkatkan
ibadah masyarakat di desa Telukjambe serta faktor penghambat dan
pendukung peran majelis ta‟lim dalam meningkatkan pengamalan ibadah
masyarakat. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik penyebaran
angket kepada jamaah majelis ta‟lim dan observasi dilakukan untuk melihat
langsung terhadap realitas majelis dan kondisi obyektif majelis ta‟lim..Setelah
data terkumpul, langkah selanjutnya diaadakan pengolahan dan analisa
data.Untuk data hasil observasi digunakan penafsiran logika., data hasil angket
digunakan skala prosentasi. Hasil penemuan dan penelitian tentang peran
majelis ta‟lim ini membuktikan bahwa keberadaan majelis ta‟lim mampu
memberikan tambahan ilmu dan pengetahuan bagi masyarakat dalam
meningkatkan ibadah dan akhlak masyarakat dengan kategori baik. Persamaan penelitian ini dengan peneliti terdahulu terletak pada
sampel penelitian, yakni masyarakat yang mengikuti majelis ta‟lim. Sementara
50
perbedaannya adalah pada pendekatan penelitian yang digunakan. Peneliti
terdahulu menggunakan pendekatan kualitatif sementara peneliti menggunakan
pendekatan kuantitatif.
4. Penelitian yang dilakukan oleh Hajir Tajiri (2017) denagn judul: “Studi
Faktor Karismatik Praktisi Dakwah di Kota Bandung” Penelitian ini
mendeskripsikan karakteristik karismatik yang melekat pada beberapa praktisi
dakwah di kota Bandung, berkaitan dengan mutu personal, kemampuan
komunikasi efektif, serta prestasi kemasyarakatan. Penelitian dengan metode
deskriptif dan pendekatan kualitatif ini menunjukkan bahwa beberapa praktisi
dakwah yang tergolong karismatik itu pertama, dari aspek mutu personal
umumnya memiliki ciri integritas kepribadian yang baik, konsisten dalam
memegang prinsip, menjunjung tinggi kejujuran dalam penyampaian pesan
maupun dalam hidup kesehariannya. Mereka juga istiqomah menjalankan
dakwah kendati ujian sewaktu-waktu datang menimpa mereka. Kedua,
kemampuan komunikasi efektif ditandai dengan kecerdasan dalam memilih
kata, strategi mengawali komunikasi, penggunaan humor sebagai sisipan
ceramah, gaya komunikasi, serta kemampuan dalam menyampaikan topik yang
beragam. Ketiga, prestasi kemasyarakatan ditandai dengan kemampuan
memanfaatkan situasi krisis di masyarakat dengan solusi-solusi cerdas yang
diberikan. Implikasinya karisma seseorang dapat terbangun tidak hanya satu
faktor saja melainkan harus integral mulai dari mutu personal, kompetensi dan
konteks situasi. Persamaan penelitian ini dengan peneliti terdahulu terletak pada
variabel kharismatik. Sementara perbedaannya adalah pada pendekatan
penelitian yang digunakan. Peneliti terdahulu menggunakan pendekatan
kualitatif sementara peneliti menggunakan pendekatan kuantitatif.
F. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan tinjauan teori di atas, maka penulis membuat hipotesis
(dugaan sementara) dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Terdapat pengaruh Kharismatik abah Uci terhadap Internalisasi Nilai
Religiusitas jamaah di Pondok Pesantren Al-Istiqlaliyah Kecamatan Pasar
Kemis Kabupaten Tangerang
2. Terdapat pengaruh minat mengikuti pengajian mingguan terhadap
Internalisasi Nilai Religiusitas jamaah di Pondok Pesantren Al-
51
Istiqlaliyah Kecamatan Pasar Kemis Kabupaten Tangerang
3. Terdapat pengaruh kharismatik abah Uci dan minat mengikuti pengajian
mingguan secara bersama-sama terhadap Internalisasi Nilai Religiusitas
jamaah di Pondok Pesantren Al-Istiqlaliyah Kecamatan Pasar Kemis
Kabupaten Tangerang
52
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan field research yang
bersifat kuantitatif. Penelitian lapangan merupakan suatu penelitian untuk
memperoleh data-data yang sebenarnya terjadi di lapangan (Anwar, 2011:8).
Sedangkan bersifat kuantitatif berarti menekankan analisa pada data
numerikal (angka) yang diperoleh dengan metode statistik (Anwar, 2011:5).
Yang menjadi lokasi penelitian ini adalah Pesantren Istiqlaliyah di Kampung
Cilongok, Kecamatan Pasar Kemis Kabupaten Tangerang.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
Survey Explanatory. Menurut Singarimbun dan Effendi (2010:3), penelitian
survei adalah penelitian yang mengambil sampel dari suatu populasi dengan
menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data yang pokok. Kerlinger
dalam Sugiyono (2012: 7) mengemukakan bahwa penelitian survei adalah
penelitian yang dilakukan pada populasi besar maupun kecil, tetapi data yang
dipelajari adalah data dari sampel yang diambil dari populasi tersebut,
sehingga ditemukan kejadian-kejadian relatif, distribusi, dan hubungan-
hubungan antar variabel sosiologis maupun psikologis.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer. Data
Primer merupakan data yang diperoleh secara langsung dari objek yang diteliti.
Sugiyono (2013: 137) menyatakan bahwa sumber primer adalah sumber data
yang langsung memberikan data kepada pengumpul data. Data primer
diperoleh melalui kuesioner yang disebarkan kepada responden. Setelah data
yang dibutuhkan telah terkumpul, maka langkah selanjutnya adalah mengolah,
menganalisis dan memproses data untuk diperoleh kesimpulan dari penelitian
ini. Analisis data dilakukan dengan pendekatan kuantitatif
B. Variabel Penelitian
Berdasarkan perumusan hipotesis dan kajian pustaka, maka dalam
penelitian ini peneliti menggunakan dua jenis variabel, yaitu:
1. Variabel Bebas (Indepenedent Variable)
Variabel ini sering disebut variabel stimulus, predictor dan
antecedent. Dalam bahasa Indonesia disebut sebagai variabel bebas.
53
Sugiyono (2013:4) mengemukakan bahwa variabel bebas merupakan
variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau
timbulnya variabel dependen. Dalam penelitian ini, kharismatik Abah Uci
dan minat sebagai variabel bebas atau independen (X).
2. Variabel Terikat (Devendent Variable)
Variabel terikat merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang
menjadi akibat, karena adanya variabel bebas (Sugiyono, 2013: 4). Variabel
dependen adalah variabel yang menjadi pusat perhatian peneliti. Dalam
penelitian ini Internalisasi Nilai Religiusitas jamaah menjadi variabel terikat
atau dependen (Y).
Kerangka konsep dari penggunaan variabel dalam penelitian ini sebagai
berikut:
Gambar 3.1
Desain Penelitian
Keterangan:
X1 : Kharisma Abah Uci
X2 : Minat jamaah
Y : Internalisasi Nilai Religiusitas jamaah
X1
X2
Y
54
C. Metode Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang diperlukan, penulis menggunakan teknik
sebagai berikut:
1. Teknik Kuesioner
Kuesioner yaitu teknik pengumpulan data melalui angket berupa
daftar pertanyaan yang ditujukan langsung kepada sejumlah responden
untuk dijawab dengan pilihan jawaban menggunakan skala likert .
2. Observasi
Dengan teknik ini penulis bertujuan untuk mengadakan pengamatan
dan pencatatan secara sistematis terhadap gejala atau fenomena yang
diselidiki. Menurut Arikunto (2012:139) teknik pengumpulan data dengan
obsevasi digunakan bila penelitian berkenaan dengan perilaku manusia,
proses kerja dan bila responden tidak terlalu besar. Teknik pelaksanaannya,
peneliti langsung ke lokasi dengan menggunakan alat berupa daftar
permasalahan yang akan diteliti, yang berisi item-item tentang kejadian atau
tingkah laku yang mungkin timbul atau digambarkan akan terjadi.
D. Populasi dan Sampel Penelitian
1. Populasi Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas
obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang
ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik
kesimpulannya (Sugiyono, 2012:80). Populasi dalam penelitian ini adalah
seluruh jamaah yang aktif mengikuti kegiatan pengajian atau ta’lim
mingguan Abah Uci di Pesantren Istiqlaliyah di Kampung Cilongok,
Kecamatan Pasar Kemis Kabupaten Tangerang.
2. Teknik Pengambilan Sampel Sugiyono (2010:56) mendefinisikan sampel adalah sebagian
populasi yang memiliki sifat dan karakteristik yang sama sehingga benar-
benar mewakili populasi, teknik pengambilan sampel yang digunakan
dalam penelitian ini adalah random sampling atau pengambilan sampel
secara acak dengan ketentuan jamaah atau orang yang mengikuti ta’lim
abah Uci di Ponpes Istiqlaliyah Pasar Kemis minimal 8 kali
pertemuan/ta’lim. Adapun proporsi yang peneliti pergunakan adalah seperti
yang dikemukakan oleh Arikunto (2006: 134) bahwa apabila subyeknya
kurang dari 100, lebih baik diambil semua sehingga penelitiannya
merupakan penelitian populasi, selanjutnya jika jumlah subyeknya besar
55
dapat diambil antara 10-15 % atau 20-25 % atau lebih.
Berdasarkan hasil pertimbangan di atas, karena jumlah populasi
lebih dari 100, maka peneliti mengambil sampel sebanyak 10% dari jumlah
populasi. Dengan demikian 10% dari 3000 adalah 300. Sehingga sampel
dalam penelitian ini berjumlah 300 jamaah ta’lim mingguan Abah Uci di
Pesantren Istiqlaliyah di Kampung Cilongok, Kecamatan Pasar Kemis
Kabupaten Tangerang.
E. Instrumen Penelitian 1. Instrumen Variabel Internalisasi Nilai Religiusitas (Y)
a. Definisi Konseptual
Internalisasi Nilai Religiusitas adalah proses mengenal,
menghayati dan menanamkan nilai-nilai kehidupan yang mencerminkan
tumbuh kembangnya kehidupan Religiusitas yang terdiri dari tiga unsur
pokok yaitu aqidah, ibadah dan akhlak yang menjadi pedoman perilaku
sesuai dengan aturan-aturan Ilahi untuk mencapai kesejahteraan serta
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat dan tercermin dalam keyakinan,
peribadatan, penghayatan, pengetahuan dan pengalaman.
b. Definisi Operasional
Internalisasi Nilai Religiusitas dalam penelitian ini dilihat
berdasarkan pada ideologi atau keyakinan, peribadatan, penghayatan,
pengetahuan dan pengamalan.
c. Kisi-kisi Instrumen
Tabel 3.1
Kisi-kisi Instrumen Variabel Y
No. Indikator No. Pernyataan
Positif Negatif
1.
2.
3.
4.
5.
Ideologi atau keyakinan
Peribadatan
Penghayatan
Pengetahuan
Pengamalan
1, 2, 3
7, 8, 10,
13,14,15
19,20,22
25,26,28
4,5,6
9,11,12
16,17,18
21,23,24
27,29,30
56
2. Kharismatik Kyai (X1)
a. Definisi Konseptual
Kharismatik kyai adalah wujud dari kualitas seorang kyai dari
kepribadian, kemampuan intelektual, dan pengetahuan Religiusitas
khususnya nilai sufisme yang dapat mempengaruhi orang lain (jamaah).
b. Definisi Operasional
Secara operasional kharismatik kyai yang dimaksud dalam
penelitian ini dilihat berdasarkan pada kepribadian yang kuat, pengaruh
yang besar, tegas, penuh percaya diri, berpandangan luas dan ketajaman
pemikiran.
c. Kisi-kisi Instrumen
Tabel 3.2
Kisi-kisi Instrumen Variabel X1
No. Indikator No. Pernyataan
Positif Negatif
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Kepribadian yang kuat
Pengaruh yang besar
Tegas
Penuh percaya diri
Berpandangan luas
Ketajaman pemikiran.
1, 2, 3, 4
7,9,10
12,13,14,15
18,20,22
23,24,26
28,30
5,6
8,11
16,17
19,21
25,27
29
3. Minat Masyarakat (X2)
a. Definisi Konseptual
Minat Masyarakat adalah motivasi yang mendorong untuk
melakukan apa yang diinginkan dan kecenderungan untuk merasa tertarik
pada suatu bidang bersifat menetap dan merasakan perasaan yang senang
dari sekelompok manusia yang telah hidup dan bekerja sama cukup dan
terikat oleh adat istiadat hingga menghasilkan sebuah kebudayaan.
b. Definisi Operasional
Minat Masyarakat secara operasional dalam penelitian ini dilihat
berdasarkan pada perasaan senang, perhatian dalam mengikuti majlis
ta’lim dan pengetahuan.
57
d. Kisi-kisi Instrumen
Tabel 3.3
Kisi-kisi Instrumen Variabel X2
No. Indikator No. Pernyataan
Positif Negative
1.
2.
3.
Perasaan senang
Perhatian dalam mengikuti
majlis ta’lim
Pengetahuan
1, 2, 4 ,6, 7
11,13,14,16,
19,20
21,23,24, 27,29
3,5,8,9,10
12,15,17, 18
22,25,26,
28,30
4. Uji Validitas dan Reliablitas
Menurut Arikunto (2010: 170) validitas adalah suatu ukuran yang
menujukan tingkat-tingkat validitas atau kesahihan sesuatu intrumen.
Tinggi rendahnya validitas instrumen menunjukan sejauh mana data yang
terkumpul tidak menyimpang dari gambaran variabel yang dimaksud.
Suatu instrumen dikatakan valid jika instrumen yang digunakan
dapat mengukur apa yang hendak diukur. Pengujian validitas instrumen ini
menggunakan rumus korelasi Product Moment yaitu:
2222 - . - .
- .
yyNxxN
yxxyNrxy
Keterangan:
rxy = Koefisien korelasi antara variabel X dan variabel Y
N = Jumlah responden
∑X = Jumlah skor butir soal
∑Y = Jumlah skor total
∑XY = Jumlah perkalian skor butir soal
∑X2
= Jumlah kuadrat skor butir soal
∑Y2
= Jumlah kuadrat skor total
Hasil rxy hit dikonsultasikan dengan r tabel dengan taraf signifikansi
5%. Jika didapatkan harga rxy hit> r tabel, maka butir instrument dikatakan
valid, akan tetapi sebaliknya jika harga rxy hit< r tabel, maka dikatakan
bahwa butir instrumen tersebut tidak valid.
58
Setelah dilakukan uji validitas, selanjutnya uji reliabilitas instrumen.
Reliabilitas menunjukan sejauh mana suatu instrumen dapat dipercaya
untuk digunakan sebagai alat pengumpul data. Reliabilitas menunjukan
bahwa tingkat keterandalan suatu butir instrumen. Instrumen yang sudah
dapat dipercaya (reliable) akan menghasilkan data yang dapat dipercaya
juga dapat diandalkan.
Pengujian reliabilitas instrumen ini digunakan dengan menggunakan
rumus Cranbach’s Alpha yaitu:
[
][ ∑
]
Keterangan:
r11 = Reliabilitas Instrumen
k = Banyaknya butir soal
Σα12 = Jumlah varian butir
σ12 = Varian total
Selanjutnya hasil uji reliabilitas angket penelitian dikonsultasikan
dengan harga r product moment pada taraf signifikansi 5%. Jika harga r11> r
tabel, maka instrumen dikatakan reliabel, dan sebaliknya jika harga r11< r tabel
maka dikatakan instrumen tersebut tidak reliabel.
F. Metode Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang diperlukan, penulis menggunakan teknik
sebagai berikut:
1. Teknik Kuesioner
Kuesioner yaitu teknik pengumpulan data melalui angket berupa
daftar pertanyaan yang ditujukan langsung kepada sejumlah responden
untuk dijawab dengan pilihan jawaban menggunakan skala likert .
2. Observasi
Dengan teknik ini penulis bertujuan untuk mengadakan pengamatan dan
pencatatan secara sistematis terhadap gejala atau fenomena yang diselidiki.
Menurut Arikunto (2012:139) teknik pengumpulan data dengan obsevasi
digunakan bila penelitian berkenaan dengan perilaku manusia, proses kerja
dan bila responden tidak terlalu besar. Teknik pelaksanaannya, peneliti
langsung ke lokasi dengan menggunakan alat berupa daftar permasalahan
yang akan diteliti, yang berisi item-item tentang kejadian atau tingkah laku
yang mungkin timbul atau digambarkan akan terjadi.
59
G. Teknik Analisis Data
1. Analisis Statistik Deskriptif
Data deskriptif adalah menampilkan gambaran umum mengenai
jawaban responden atas pertanyaan atau pernyataan yang terdapat dalam
kuesioner (tertutup). Berdasarkan hasil tanggapan dari responden tentang
variabel-variabel penelitian peneliti akan menguraikan secara rinci
jawaban responden yang dikelompokkan dalam deskriptif statistik yang
ditunjukkan dengan nilai maksimum, minimum, rata-rata dan standar
deviasi. Melalui angka rata-rata tersebut akan diketahui sejauh mana
derajat persepsi responden atas variabel-variabel yang menjadi indikator
dalam penelitian.
2. Uji Asumsi Klasik
a. Uji Normalitas.
Uji normalitas data dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui
apakah sampel yang diambil telah memenuhi kriteria sebaran atau
distribusi normal (Ghozali; 2010). Pengujian normalitas data dilakukan
dengan menggunakan uji One-Sample Kolmogorov-Smirnov. Sebuah
variabel dikatakan terdistribusi dengan normal apabila hasil pengujian
menunjukan nilai signifikansi diatas 5%. Apabila data tidak
terdistribusi dengan normal, maka data dapat dinormalkan dengan cara
melakukan transformasi data.
b. Uji Linieritas
Uji linieritas bertujuan untuk mengetahui apakah dua variabel
mempunyai hubungan yang linier atau tidak secara signifikan. Uji ini
biasanya digunakan sebagai prasyarat dalam analisis korelasi atau
regresi linier. Pengujian pada SPSS dengan menggunakan Test for
Linearity dengan taraf signifikansi 0,05. Dua variabel dikatakan
mempunyai hubungan yang linier bila signifikansi (linieritas) kurang
dari 0,05
c. Uji Multikolinearitas
Multikolinearitas adalah situasi adanya korelasi antara variabel
independen yang satu dengan variabel indepeden yang lainnya. Dalam
pengujian ini peneliti menguji apakah pada model regresi ditemukan
adanya korelasi antara variabel independen dalam matrik interkorelasi
dengan koefisien determinan dan regresi antara semua variabel
60
independent dengan variabel dependen. Model regresi yang baik adalah
apabila model tersebut tidak terjadi korelasi antar variabel
independennya.
Dalam menganalisa ada tidaknya problem multikolinearitas
digunakan Variance Inflation Factor (VIF), toleran dan besaran
korelasi antara variabel independen. Pedoman suatu model regresi yang
bebas multikolinearitas adalah nilai toleran 0,10 atau sama dengan nilai
VIF yang tinggi (karena VIF:1 atau toleran) dan menunjukkan adanya
kolonieritas yang tinggi. Menurut Susanti (2010), apabila terjadi gejala
multikolinearitas pada model regresi, ada beberapa cara yang dapat
dilakukan untuk menghilangkan gejala tersebut dengan cara sebagai
berikut ini.
1) Transformasi variabel, yaitu salah satu cara mengurangi hubungan
linear diantara variabel bebas, dapat dilakukan dalam bentuk
logaritma natural dan bentuk first difference atau delta.
2) Dengan mengeluarkan satu atau lebih variabel independen yang
mempunyai korelasi yang tinggi dari model regresi dan identifikasi
variabel independen lainnya untuk membantu prediksi.
3) Gunakan model dengan variabel bebas yang mempunyai korelasi
tinggi hanya semata-mata untuk memprediksi.
4) Gunakan korelasi sederhana antara setiap variabel bebas dan
variabel terikatnya untuk memahami hubungan variabel bebas dan
variabel terikat.
3. Analisis Regresi Linear Berganda
Setelah data di uji validitas, reliabilitas dan normalitas datanya,
langkah selanjutnya adalah analisis data menggunakan regresi linier
berganda. Analisis ini digunakan untuk mengetahui seberapa besar
pengaruh variabel bebas yaitu: kharismatik Abah Uci (X1), minat
mengikuti pengajian mingguan (X2), terhadap variabel terikatnya yaitu
Internalisasi Nilai Religiusitas jamaah (Y). Persamaan regresi linier
berganda adalah sebagai berikut:
Y = a + b1X1 + b2X2 + e
Dimana:
Y = Variabel dependen (Internalisasi Nilai Religiusitas jamaah)
a = Konstanta
b1, b2, = Koefisien garis regresi
61
X1, X2, =Variabel independen (kharismatik Abah Uci, minat
mengikuti pengajian mingguan)
e = error / variabel pengganggu
H. Pengujian Hipotesis
1. Uji Secara Bersama (Uji F)
Uji F menunjukan apakah semua variabel bebas yaitu kharismatik
Abah Uci (X1) dan minat mengikuti pengajian mingguan (X2), mempunyai
pengaruh secara bersama-sama terhadap variabel tidak bebas yaitu hasil
mengikuti majlis ta’lim jamaah (Y). Uji F disimpulkan dengan:
H0 : b1 ,b2 = 0; apabila tidak terdapat pengaruh secara bersama-sama antara
variabel Bebas terhadap variabel terikat
H0 ditolak jika nilai F hitung ≥ F tabel
H0 diterima jika nilai F hitung < F tabel
Ha : b1 b2, ≠ 0; apabila terdapat pengaruh secara bersama-sama antara variabel
bebas terhadap variabel terikat.
Ha diterima jika nilai F hitung ≥ F tabel
Ha ditolak jika F hitung < F table
2. Uji Secara Parsial (Uji t)
Digunakan untuk mengukur tingkat pengaruh antara satu variabel bebas
terhadap variabel tidak bebas. Uji-t pada penelitian ini untuk mengetahui
pengaruh kharismatik Abah Uci terhadap Internalisasi Nilai Religiusitas
jamaah, dan pengaruh iklim mengikuti majlis ta’lim terhadap Internalisasi
Nilai Religiusitas jamaah secara sendiri-sendiri (terpisah). Rumusan hipotesis
dengan uji t adalah sebagai berikut:
a. Pengaruh X1 terhadap Y
H0 : b1 (kharismatik Abah Uci) = 0;
Tidak terdapat pengaruh antara kharismatik Abah Uci terhadap
Internalisasi Nilai Religiusitas jamaah
H0 ditolak jika nilai t hitung ≥ t tabel
H0 diterima jika nilai t hitung < t tabel
Ha : b1 (kharismatik Abah Uci) ≠ 0;
Terdapat pengaruh antara kharismatik Abah Uci terhadap
Internalisasi Nilai Religiusitas jamaah
Ha diterima jika nilai t hitung ≥ t tabel
Ha ditolak jika nilai t hitung < t table
62
b. Pengaruh X2 terhadap Y
H0 : b2 (Minat mengikuti pengajian mingguan) = 0;
Tidak terdapat pengaruh Minat mengikuti pengajian mingguan
terhadap variabel terikat Internalisasi Nilai Religiusitas jamaah.
H0 ditolak jika nilai t hitung ≥ t tabel
H0 diterima jika nilai t hitung < t tabel
Ha : b2 (kreativitas kyai) ≠ 0;
Terdapat pengaruh Minat mengikuti pengajian mingguan terhadap
variabel terikat Internalisasi Nilai Religiusitas jamaah.
Ha diterima jika nilai t hitung ≥ t tabel
Ha ditolak jika nilai t hitung < t tabel
Untuk mempermudah dalam perhitungan pengujian hipotesis
digunakan alat bantu program komputer untuk statistik yaitu SPSS
(Statistical Product and Service Solution) versi 21. for windows.
3. Analisis Koefisien Determinasi (R²)
Koefisien determinasi (R²) pada intinya mengukur seberapa jauh
kemampuan variable bebas dalam menerangkan variasi atau memberikan
pengaruh terhadap variabel terikat. Nilai Koefisien determinasi adalah
antara nol dan satu. Nilai R² yang kecil berarti kemampuan variabel-variabel
bebas dalam menjelaskan variasi variabel terikat amat terbatas. Begitu pula
sebaliknya, nilai yang mendekati satu berarti variabel-variabel bebas
memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi
variasi variabel terikat.
I. Hipotesis Statistik
1) Hipotesis pertama :
H0 : yx1 = 0
H1 : yx1 ≠ 0
2) Hipotesis kedua :
H0 : yx2 = 0
H1 : yx2 ≠ 0
3) Hipotesis ketiga :
H0 : yx1x2 = 0
H1 : yx1x2 ≠ 0
63
Keterangan:
H0 = Hipotesis Nol
H1 = Hipotesis Alternatif
yx1 = Koefesien pengaruh kharismatik Abah Uci terhadap Internalisasi
Nilai Religiusitas jamaah
yx2 = Koefesien pengaruh minat mengikuti pengajian mingguan
terhadap Internalisasi Nilai Religiusitas jamaah
yx1x2 = Koefesien pengaruh kharismatik Abah Uci dan minat mengikuti
pengajian mingguan terhadap Internalisasi Nilai Religiusitas
jamaah
64
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Deskripsi Lokasi Penelitian
a. Sejarah Pondok Pesantren Al-Istiqlaliyah
Pondok Pesantren Al-Istiqlaliyyah merupakan salah satu pesantren
salaf yang berada di Kampung Cilongok, Desa Sukamantri, RT 02 RW 02
Kecamatan Pasar Kemis, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten.
Pesantren tersebut didirikan oleh KH. Dimiyati (alm) sekitar tahun 1957.
Beliau adalah putra dari KH. Romli, seorang tokoh agama yang berasal
dari Doyong kemudian menetap di Cilongok. KH. Dimiyati lahir pada
tahun 1930 di Cilongok, dan meninggal pada tahun 2001.
Semasa hidupnya, KH. Dimiyati senang menghabiskan waktunya
untuk mengaji dan belajar ilmu agama diberbagai tempat. Tempat pertama
beliau menimba ilmu ialah pada H. Mahali di Pasar Kemis. Kemudian
selanjutnya pada Abuya Rasam seorang ahli fiqih dari Caringin.
Dilanjutkan kepada ahli fiqih lainnya, seperti Abuya Dahlan di Tanjakan
daerah Rajeg, Abuya Parawira di Pandeglang, dan Abuya Muhidin di
Kosambi Sepatan. Selain belajar pada ahli fiqih, KH. Dimiyati juga belajar
tentang tarekat pada KH. Arsyad, KH. Ardani dan masih banyak yang
lainnya.
Ditengah kegiatan belajar di pesantren, KH. Dimiyati diminta
kembali ke kampung halamannya ke Cilongok oleh sang ayah karna pada
saat itu masyarakat Cilongok membutuhkan figur da‟i. Mulai saat itulah,
KH. Dimiyati mulai menjadi seorang da‟i yang kemudian mengikuti jejak
sang ayah untuk mendirikan pesantren.
Pada awalnya, pesantren ini dikenal dengan nama Pesantren
Cilongok, merujuk pada lokasi pesantren. Kemudian pada tahun 1970
pesantren diberi nama Al-Istiqlaliyyah, yang berarti kemandirian. Maksud
dari nama tersebut adalah untuk mencerminkan kehidupan santri maupun
pesantren agar mandiri. Adapaun visi misi dari pesantren ini adalah
menjaga keutuhan ajaran yang dibawa Rasulullah, serta mendidik
masyarakat supaya memahami nilai- nilai agama. Setelah wafatnya KH.
Dimiyati, kepemimpinan pondok pesantren dilanjutkan oleh sang putra,
yakni KH. Uci Turtusi. KH. Uci Turtusi adalah putra ketiga dari KH.
65
Dimiyati. Semenjak kecil, KH. Uci dididik langsung oleh sang ayah,
kemudian pendidikan selanjutnya dilakukan diberbagai pesantren.
KH. Uci Turtusi merupakan gurunya para guru, ketawadhuan
dalam menerima hinaan orang & menutupi keturunan dari Abuya
Dimyathi Cilongok, beliau dikenal sangat haus akan ilmu. Karena itu, ia
belajar ilmu agama pada banyak pesantren kepada 32 orang guru selama
32 tahun, lama mondoknya beliau disuatu tempat berbeda-beda ada yg 3
tahun lebih bahkan ada yang hanya 1 hari, apabila sudah banyak orang yg
tahu bahwa beliau adalah anak Abuya Dimyathi al-Bantani maka Beliau
akan pindah bahkan apabila Sang guru mengetahui beliau anak seorang
Abuya maka Sang Kyai malah gak berani menerimanya sebagai murid.
Diantara tempat beliau belajar adalah di Banjar Patoman Jawa Barat
bersama Ajengan Imam, Pesantren Kewagean Kediri bersama Kyai
Hanan, dan yang terakhir di Abah Ucup Cisoka Caringin.
Pesantren Al-Istiqlaliyyah berdiri di tanah seluas ± 5 ha, terdiri dari
11 buah kobong (tempat tinggal untuk santri) yang terbagi dalam 17 Darul,
tiga buah masjid, satu dapur umum, kantin, toko kitab dan majlis
pengajian disetiap depan rumah keluarga pesantren. Pesantren Al-
Istiqlaliyyah ini memang dibangun disekitar lingkungan keluarga dari KH.
Romli. Jadi selain bangunan untuk menunjang kegiatan santri, ada pula
kediaman atau tempat tinggal dari keluarga pendiri pesantren. Sedangkan
untuk jumlah santri, saat ini ada sekitar 600 orang yang mondok
dipesantren tersebut.
Salah satu kegiatan pengajian yang banyak jamaahnya adalah
pengajian minggu pagi, dimana jamaah yang mengikuti tidak kurang dari
tiga ribu jamaah dari berbagai latar belakang dan dari wilayah Jabodetabek
dan Banten. Pengajian yang dimulai pukul 08.00 ini di awali dengan
pembacaan hadiah surat Al-Fatihah kemudian pembacaan sholawat
Ibrahimiyah dan dilanjutkan pengajian kita Minhajut Tholibin serta Tafsir
Jalalain sampai pukul 11.00 dan dilanjutkan kembali setelah sholat dzuhur.
Pengajian yang dipimpin oleh beliau langsung cukup menarik
jamaah yang ribuan di karenakan sosok kharismatik beliau dengan
keluasan wawasan ke ilmuan, tutur kata lemah lembut dan bahasa yang
mudah di pahami jamaah.
66
Jamaah meyakini beliau mempunyai keistimewaan atau karomah
hal ini banyak disaksikan dan dirasakan oleh jamaah serta santri,
diantaranya ketika ada yang silaturahmi ke beliau sebelum mengutarakan
maksudnya beliau sudah tahu dan ternyata dibenarkan oleh orang yang
bersilaturahim. Selain sosoknya yang kharismatik jamaah mengikuti
pengajian karena ingin belajar ilmu agama yang lebih dalam dari beliau
dan mencari perantara keberkahan melaui beliau.
Pesantren membuka pendaftaran untuk santri baru setiap satu tahun
sekali. Jadwal ini disesuaikan dengan jadwal penerimaan siswa di sekolah
umum. Saat pendaftaran, santri baru dikenakan biaya administrasi sebesar
Rp. 100.000,00.- (Seratus Ribu Rupiah), ini sudah termasuk dengan uang
listrik selama satu bulan. Sedangkan untuk biaya selanjutnya, santri hanya
dikenakan biaya listrik, yakni sebesar Rp. 15.000,00.- (Lima Belas Ribu
Rupiah) per bulannya.
b. Struktur Organisasi
Pesantren Al-Istiqlaliyyah ini memiliki pola organisasi yang
skupnya kecil. Dari awal berdirinya pesantren ini, segala kegiatan pesantren
berada di bawah naungan kyai yang menjadi pemimpin dipesantren,
kemudian dibantu oleh kyai-kyai atau ustadz-ustadz yang bertugas
mengajar atau memonitor santri. Karena jumlah santri yang sudah banyak,
kemudian untuk memudahkan tugas dari Kyai dan Ustadz, maka pesantren
memilih pemimpin tertinggi dari seorang santri yang disebut Lurah ‘Am.
Pemilihan berdasarkan pada penilaian kedewasaan, waktu lamanya
mondok, kemampuan dalam mengaji, dan tentu sikap serta perilaku yang
taat dan patuh pada Kyai.
Tugas dari Lurah ‘Am adalah menetapkan posisi santri ke
komplek, membimbing mengaji, menjaga kestabilan dan bertanggung
jawab penuh atas kebutuhan pesantren. Lurah ‘Am ini juga tugas-tugasnya
akan dibantu oleh Lurah Khos, dimana Lurah Khos ini ada di setiap kobong
dan Lurah Khos dipiling langsung oleh Lurah ‘Am.
Sedangkan untuk masa jabatan, baik Lurah ‘am maupun Lurah
Khos tidak ditentukan, sesuai dengan kesanggupan dari orang yang terpilih.
Namun secara maksimal biasanya Lurah ‘am menjabat selama empat tahun,
sedangkan Lurah Khos selama dua tahun. Berikut ini adalah susunan
kepengurusan Pondok Pesantren Al-Istiqlaliyyah :
67
Gambar 4.1
Struktur Organisasi Pondok Pesantren al-Istiqlaliyyah
Pimpinan Pesantren
KH. Uci Turtusi
KH. Thohawi KH. Rumdani H. Muhasimudin H. Sihabudin Ust. Endin H. Jalaludin
Lurah ‘Am
Ade Saputra
W. Lurah ‘Am
Ah. Humaidi
Sekretaris
Yumi Aliamani
Santri Pondok Pesantren Al-Istiqlaliyah
Bendahara
Romdani Al-Hadi
Sie. Keamanan
Fijar Mulki
Sie. Kebersihan
Dayat
Lurah Khos
68
c. Kegiatan Pondok Pesantren Al-Istiqlaliyyah
Dalam sistem pengajarannya, pesantren ini menggunakan metode
sorogan dan metode bandungan. Metode sorogan adalah suatu metode di
mana saat proses belajar mengajar berlangsung, sang murid/ santri yang
membaca dan guru yang mendengarkan. Jika ada kesalahan, sang guru
langsung menasehati. Sedangkan metode bandungan, guru yang
membacakan dan para murid/ santri yang mendengarkan dan menghayati
pelajaran yang diberikan. Karena pesantren ini merupakan pesantren salaf,
maka dalam pendidikannya menggunakan paham Ahlisunnah waljamaah.
Adapun mahzab yang diterapkan yakni Mahzab Imam Syafi‟i. Dalam
mendidik para santrinya, pihak pesantren juga memberikan paham
kesufian yang tentu saja mengacu pada sosok Tuan Syekh Abdul Qadir al-
Jailani
Kegiatan santri di Pondok Pesantren Al-Istiqlaliyyah sudah dimulai
dari sebelum subuh hingga menjelang tengah malam. Proses belajar-
mengajar dalam pesantren ini dilakukan dirumah guru masing-masing
yang memang berada disekitar pesantren. Di setiap rumah guru
dilingkungan pesantren ini memang memiliki majlis untuk mengaji.
Peantren ini hanya memfokuskan santrinya untuk belajar ilmu agama,
maka dari itu tidak ada kegiatan lain diluar dari belajar ilmu agama dan
mengaji. Dan berikut ini adalah jadwal kegiatan santri di Pesantren Al-
Istiqlaliyyah:
69
Tabel 4.1
Jadwal kegiatan santri di Pesantren al-Istiqlaliyyah
No. Jam Kegiatan
1. 03.30 – 04.00 Bangun pagi dan persiapan ke Masjid untuk shalat
subuh berjamaah
2. 04.00 – 05.00 Shalat subuh berjamaah di masjid
3. 05.30 – 06.15 Ngaji Kitab
4. 06.15 – 06.30 Istirahat
5. 06.30 – 07.00 Ngaji Kitab
6. 07.00 – 08.00 Istirahat
7. 08.00 – 10.30 Ngaji Kitab
8. 10.30 – 12.00 Istirahat dan persiapan shalat dzuhur
9. 12.00 – 13.00 Shalat dzuhur berjamaah dan makan siang
10. 13.00 – 14.00 Ngaji Kitab (Nahwu)
11. 14.00 – 15.30 Istirahat
12. 15.30 – 16.00 Shalat ashar berjamaah
13. 16.00 – 17.00 Ngaji Kitab
14. 17.00 – 18.00 Piket
15. 18.00 – 19.30 Shalat maghrib berjamaah dan ngaji
16. 19.30 – 20.00 Shalat isya berjamaah
17. 20.00 – 22.00 Ngaji Kitab
18. 22.00 – 03.30 Tidur
70
Secara keseluruhan, pengajar di Pesantren Al-Istiqlaliyyah berjumlah
tujuh (7) orang, yang semuanya masih memiliki hubungan kekerabatan dengan
kyai. Adapun kitab yang diajarkan di pesantren ini adalah kitab-kitab yang
membahasa masalah ilmu fiqih, ushul fiqih, nahwu, shorof, tafsir, hadits,
tasawuf, adab, aud (not lagu/ lagam), dan bayan/ ma’ani (pemahaman al-
Quran). Berikut ini adalah nama pengajar kitab yang diajarkan di Pondok
Pesantren Al-Istiqlaliyyah.
Tabel 4.2
Daftar nama pengajar dan kitab yang diajarkan di Pesantren al- Istiqlaliyyah
No.
Pengajar
Kitab yang diajarkan
Keterangan Kitab
1.
KH. Uci Turtusi
Irsyadul ibad
Kitab yang menjelaskan
tentang Ilmu Fiqih dan
Tasawuf
Alfiyah ibnu Malik
Kitab yang menjelaskan
tentang Ilmu Nahwu dan
Ilmu Shorof
Shohih Bukhori Kitab tentang hadits
Mau‟idotul Mu‟minin
Kitab yang menjelaskan
tentang Ilmu Fiqih dan
Tasawuf yang diringkas
dari
Kitab Ihliyaul Mudir
Shohih Muslim Kitab tentang hadits
Sulam Munawwarok
Kitab yang menjelaskan
tentang Ilmu Bilagah
(Ilmu
Logika)
Bughiyatul Musytarsyidin Kitab yang menjelaskan
tentang Ilmu Fiqih
Tafsir Nawawi Kitab yang menjelaskan
penerangan Ilmu Tafsir.
Risalatul Qusyairiyah Kitab yang menjelaskan
tentang Ilmu Tasawuf
Majalisutsaniyah
Kitab yang menjelaskan
tentang riwayat-riwayat
hadits Kitab
Arba’un Nawawi
71
No.
Pengajar
Kitab yang diajarkan
Keterangan Kitab
2.
H. Thohawi
Tafsir Jalalain
Kitab yang menjelaskan tentang
riwayat-riwayat
hadits dari Kitab Arba’un
Nawawi
Fathul Mu‟in Kitab yang menjelaskan
tentang Ilmu Fiqih
Muroqil Ubudiyah
Kitab yang menjelaskan tentang
Ilmu Fiqih
3.
H. Sofwan
Riyadul Badi‟ah Kitab yang menjelaskan
tentang Ilmu Fiqih
Safinah Kitab yang menjelaskan
tentang Ilmu Fiqih
Kifayatul Akhyar Kitab yang menjelaskan
tentang Ilmu Fiqih
Tasrifan Kitab yang menjelaskan
tentang Ilmu Shorof
Nashoihuddiniyah
Kitab yang menjelaskan tentang
Ilmu Tasawuf berikut hadits dan
riwayatnya
Tanbihul Mugtarin Kitab yang menjelaskan
tentang Ilmu Tasawuf
Fathul Qarib Kitab yang menjelaskan
tentang Ilmu Fiqih
Fathul Mu‟in Kitab yang menjelaskan
tentang Ilmu Fiqih
Pengajian al-Quran
-
4.
Ust. Solahudin
Mukhtashor Syafi
Kitab yang menjelaskan
tentang Ilmu Arad (Ilmu
Syair)
Fathul Qarib Kitab yang menjelaskan
tentang Ilmu Fiqih
Alfiyah Ibnu Malik
Kitab yang menjelaskan tentang
Ilmu Nahwu dan
Ilmu Shorof
Tafsir Jalalain
Kitab yang menjelaskan tentang
riwayat-riwayat hadits dari
Kitab Arba’un Nawawi
72
No.
Pengajar
Kitab yang diajarkan
Keterangan Kitab
5.
H. Muhasinudin
Kifayatul Azkiyah Kitab yang menjelaskan
tentang Tasawuf
Jouhar Maknun
Kitab yang menjelaskan
tentang Ilmu Bilagah
(Ilmu Logika)
Riyadusholihin
Kitab yang menjelaskan
tentang hadits yang
dikarang
oleh Imam Nawawi
Alfiyah Ibnu Malik
Kitab yang menjelaskan
tentang Ilmu Nahwu dan
Ilmu Shorof
Fathul Qarib Kitab yang menjelaskan
tentang Ilmu Fiqih
6.
H. Husni Makki
Jalalain
Kitab yang
menjelaskan tentang
riwayat-riwayat hadits
dari Kitab Arba’un
Nawawi
Jurumiyah Kitab yang menjelaskan
tentang Ilmu Nahwu
Awamil Kitab yang menjelaskan
tentang Ilmu Nahwu
(Amil)
7.
H. Yasin
Pengajian al-Quran
(qira‟at)
-
73
2. Deskripsi Data Hasil Penelitian
Hasil analisis data penelitian ini diolah dengan menggunakan
statistika deskriptif dan inferensial. Analisis deskriptif digunakan untuk
mengetahui keadaan masing-masing variabel. Analisis yang dilakukan
meliputi: nilai rata-rata, median, modus, varian, simpangan baku, serta
visualisasi data berupa tabel dan grafik. Analisis regresi ganda digunakan
untuk mengetahui pengaruh Variabel X1, X2, terhadap Variabel Y.
a. Menentukan Kategori Deskripsi Variabel
Menurut Husaini (2006 : 54) kategori masing-masing variabel
dikelompokkan dalam empat kategori. Adapun langkah – langkah
pengelompokkan kategori persentasenya adalah:
1) Mencari persentase maksimal
2) Mencari persentase minimal
3) Menghitung rentang persentasi
Persentase maksimal – Persentase minimal
100% - 20% = 80%
4) Mencari panjang kelas
74
Berdasarkan hasil di atas kategori deskriptif persentase masing-
masing variabel dapat dilihat pada table di bawah ini:
Tabel 4.3
Kategori Deskriptif Persentase
Interval Kriteria
Kharismatik Minat Internalisasi
81% < % ≤ 100 % Sangat Berwibawa Sangat Tinggi Sangat Baik
61 % < % ≤ 80 % Berwibawa Tinggi Baik
41 % < % ≤ 60 % Cukup Berwibawa Cukup Tinggi Cukup Baik
20 % < % ≤ 40 % Tidak Berwibawa Rendah Kurang Baik
Setelah diketahui kategori deskriptif untuk masing-masing variabel,
langkah selanjutnya adalah mencari besarnya nilai persentase masing-
masing variabel dengan rumus sebagai berikut:
Keterangan:
NP = Nilai dalam persen (%)
R = Rata-Rata Skor
SM = Skor ideal.
b. Deskripsi Variabel Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah penelitian dimana penelitian ini
terdiri dari dua variabel bebas dan satu variabel terikat, yakni variabel
Kharismatik Abah Uci (X1), Minat mengikuti ta’lim mingguan (X2), dan
Internalisasi nilai-nilai religiusitas (Y). Sampel yang diambil data dalam
penelitian ini adalah 300 orang. Deskripsi dari masing-masing variabel
berdasarkan hasil penyebaran kuesioner kepada sampel tersebut hasilnya
dapat dijelaskan di bawah ini:
1) Variabel Kharismatik Abah Uci (X1)
Variabel Kharismatik Abah Uci, pengumpulan datanya
menggunakan kuesioner yang diisi langsung oleh responden, masing-
masing pernyataan mempunyai 5 pilihan jawaban dengan opsi penilaian
1 (satu) untuk nilai terendah kemudian berturut-turut 2,3,4, dan paling
tinggi bernilai 5.
75
Berdasarkan pengumpulan data lapangan dan analisis data pada
variabel Kharismatik Abah Uci diperoleh hasil nilai terendah, nilai
tertinggi, rata-rata, simpangan baku/standar deviasi, modus dan median
sebagai berikut:
Tabel 4.4
Deskripsi Data Variabel X1
N
Valid 300
Missing 0
Mean 77.9985
Median 79.3750
Mode 73.15a
Std. Deviation 11.60132
Range 77.56
Minimum 37.73
Maximum 115.29
Sum 23399.56
Berdasarkan tabel di atas mengenai penyebaran data Kharismatik
Abah Uci, diketahui jumlah responden 300 orang, perolehan skor yang
terendah 37 dan skor tertinggi 115, range 77 dengan skor total yaitu
233399, rata-rata (Mean) 77,99. Simpangan baku (Std. Deviation) 11,60,
modus (Mo) 73, dan median (Me) 79. Sebaran data variabel Kharismatik
Abah Uci (X1) tersebut dapat dikelompokan dalam tabel distribusi
frekuensi perkelas di bawah ini:
76
Tabel 4.5
Distribusi Frekuensi Variabel X1
NO NILAI Titik Tengah FREKUENSI
Absolut Relatif
1 37 - 45 41 3 1.0
2 46 - 53 49 2 0.7
3 54 - 61 57 15 5.0
4 62 - 69 65 41 13.7
5 70 - 77 73 66 22.0
6 78 - 85 81 104 34.7
7 86 - 93 89 38 12.7
8 94 - 101 97 24 8.0
9 102 - 109 105 3 1.0
10 110 - 117 113 4 1.3
JUMLAH 300 100
Gambaran umum data variabel Kharismatik Abah Uci dapat
dijelaskan dengan histogram sebagai berikut:
Gambar 4.2
Grafik Histogram Variabel X1
0
20
40
60
80
100
120
41 49 57 65 73 81 89 97 105 113
Freq
uen
cy
Titik Tengah
Kharismatik Abah Uci
77
Selanjutnya untuk mengetahui kategori variabel kharismatik
Abah Uci di mata jamaahnya, terlebih dahulu dihitung nilai deskriptif
persentase sebagai berikut:
Dari hasil perhitungan diperoleh, bahwa persentase kharismatik
Abah Uci sebesar 67,817%. Setelah dicocokkan dengan kategori
deskriptif persentase di atas, maka disimpulkan bahwa kharismatik
Abah Uci di mata jamaahnya tergolong dalam kategori berwibawa.
2) Variabel Minat mengikuti ta’lim mingguan (X2)
Variabel Minat mengikuti Ta’lim, pengumpulan datanya
menggunakan kuesioner yang diisi langsung oleh responden, masing-
masing pernyataan mempunyai 5 pilihan jawaban dengan opsi penilaian 1
(satu) untuk nilai terendah kemudian berturut-turut 2,3,4, dan paling tinggi
bernilai 5.
Berdasarkan pengumpulan data lapangan dan analisis data pada
variabel Minat mengikuti ta’lim mingguan diperoleh hasil nilai terendah,
nilai tertinggi, rata-rata, simpangan baku/standar deviasi, modus dan
median, sebagai berikut:
Tabel 4.6
Deskripsi Data Variabel X2
N
Valid 300
Missing 0
Mean 86.1887
Median 85.0400
Mode 103.17
Std. Deviation 10.96958
Range 61.49
Minimum 57.74
Maximum 119.23
Sum 25856.60
78
Berdasarkan tabel di atas mengenai penyebaran data Minat
mengikuti Ta’lim, jumlah responden 300 orang, perolehan skor yang
terendah 57 dan skor tertinggi 119, range 61 dengan skor total yaitu
25856, rata-rata (Mean) 86,18. Simpangan baku (Std. Deviation) 10,969,
modus (Mo) 103, dan median (Me) 85. Sebaran data variabel Minat
mengikuti ta’lim mingguan (X2) tersebut dapat dikelompokan dalam tabel
distribusi frekuensi perkelas di bawah ini:
Tabel 4.7
Distribusi Frekuensi Variabel X2
NO NILAI Titik Tengah FREKUENSI
Absolut Relatif
1 57 - 64 61 6 2.0
2 65 - 71 68 12 4.0
3 72 - 78 75 50 16.7
4 79 - 85 82 76 25.3
5 86 - 92 89 82 27.3
6 93 - 99 96 28 9.3
7 100 - 106 103 31 10.3
8 107 - 113 110 12 4.0
9 114 - 120 117 3 1.0
10 121 - 127 124 0 0.0
Gambaran umum data variabel Minat mengikuti ta’lim
mingguandapat dijelaskan dengan histogram sebagai berikut:
Gambar 4.3
Grafik Histogram Variabel X2
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
61 68 75 82 89 96 103 110 117 124
Freq
uen
cy
Titik Tengah
79
Selanjutnya untuk mengetahui kategori minat jamaah mengikuti
ta’lim mingguan, terlebih dahulu dihitung nilai deskriptif persentase
sebagai berikut:
%
Dari hasil perhitungan diperoleh, bahwa persentase minat
jamaah sebesar 68,94%. Setelah dicocokkan dengan kategori deskriptif
persentase di atas, maka disimpulkan bahwa variabel minat jamaah
mengikuti ta’lim mingguan tergolong dalam kategori tinggi.
3) Variabel Internalisasi nilai-nilai religiusitas (Y)
Variabel Internalisasi nilai-nilai religiusitas (Y), pengumpulan
datanya menggunakan kuesioner yang diisi langsung oleh responden,
masing-masing pernyataan mempunyai 5 pilihan jawaban dengan opsi
penilaian 1 (satu) untuk nilai terendah kemudian berturut-turut 2,3,4, dan
paling tinggi bernilai 5.
Berdasarkan pengumpulan data lapangan dan analisis data pada
variabel hasil belajar diperoleh hasil nilai terendah, nilai tertinggi, rata-
rata, simpangan baku/standar deviasi, modus dan median. Dari hasil
analisis tersebut dapat dirangkum pada tabel di bawah ini:
80
Tabel 4.8
Deskripsi Data Variabel Y
N Valid 300
Missing 0
Mean 75.4236
Median 75.3400
Mode 89.40
Std. Deviation 9.79922
Range 45.58
Minimum 53.93
Maximum 99.51
Sum 22627.09
Berdasarkan tabel di atas mengenai penyebaran data Internalisasi
nilai-nilai religiusitas (Y), jumlah responden 300 orang, perolehan skor
yang terendah 53 dan skor tertinggi 99, range 45 dengan skor total yaitu
22627, rata-rata (Mean) 75,42. Simpangan baku (Std. Deviation) 9,799,
modus (Mo) 89, dan median (Me) 75. Sebaran data variabel Internalisasi
nilai-nilai religiusitas (Y) tersebut dapat dikelompokan dalam tabel
distribusi frekuensi perkelas di bawah ini:
Tabel 4.9
Distribusi Frekuensi Variabel Y
NO NILAI Titik Tengah FREKUENSI
Absolut Relatif
1 53 - 58 56 12 4.0
2 59 - 63 61 17 5.7
3 64 - 68 66 34 11.3
4 69 - 73 71 60 20.0
5 74 - 78 76 64 21.3
6 79 - 83 81 49 16.3
7 84 - 88 86 21 7.0
8 89 - 93 91 30 10.0
9 94 - 98 96 12 4.0
10 99 - 103 101 1 0.3
JUMLAH 300 100
81
Gambaran umum data variabel Internalisasi nilai-nilai religiusitas
(Y) dapat dijelaskan dengan histogram sebagai berikut:
Gambar 4.4
Grafik Histogram Variabel Y
Selanjutnya untuk mengetahui kategori variabel internalisasi nilai-
nilai religiusitas, terlebih dahulu dihitung nilai deskriptif persentase
sebagai berikut:
%
Dari hasil perhitungan diperoleh, bahwa persentase variabel
internalisasi nilai-nilai religiusitas sebesar 71,82%. Setelah dicocokkan
dengan kategori deskriptif persentase di atas, maka disimpulkan bahwa
variabel internalisasi nilai-nilai religiusitas tergolong dalam kategori baik.
0
10
20
30
40
50
60
70
56 61 66 71 76 81 86 91 96 101
Freq
uen
cy
Titik Tengah
Internalisasi Nilai-Nilai Religiusitas
82
B. Uji Persyaratan Analisis
Untuk melakukan analisis regresi, korelasi maupun pengujian hipotesis
terlebih dulu dilakukan pengujian persyaratan analisis. Untuk uji hipotesis
yang membuktikan suatu hubungan antar variabel maka terdapat beberapa uji
prasyarat sebelum melakukan uji analisis. Persyaratan analisis yang dimaksud
adalah persyaratan yang harus dipenuhi agar analisis dapat dilakukan, baik
untuk keperluan memprediksi maupun untuk keperluan pengujian hipotesis.
1. Uji Normalitas
Uji normalitas digunakan untuk mengetahui penyebaran data, apakah
data tersebut berdistribusi normal atau tidak. Pengujian normalitas
dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui apakah populasi berdistribusi
normal atau tidak. Uji normalitas data pada penelitian ini menggunakan
metode Liliefors, dengan taraf signifikansi yang digunakan sebagai aturan
untuk menerima atau menolak pengujian normalitas atau tidaknya suatu
distribusi data adalah taraf signifikansi α= 0,05. Data berdistribusi normal
jika nilai signifikansinya lebih besar dari 0,05.
Hasil analisis uji normalitas untuk masing-masing variabel berdasarkan
output dari SPSS diperoleh sebagai berikut:
Tabel 4.10
Hasil Uji Normalitas
Variabel Penelitian Kolmogorov-Smirnov
a Nilai
α
Keterangan
Statistic df Sig.
Kharismatik Abah Uci
(X1) .068 300 .104
0,05
Normal
Minat mengikuti ta’lim
mingguan(X2) .065 300 .078
Normal
Internalisasi nilai-nilai
religiusitas (Y) .053 300 .173
Normal
Berdasarkan tabel 4.10 uji normalitas Kolmogorov-Smirnov variabel
Kharismatik Abah Uci (X1) di atas, diperoleh nilai signifikansi (Sig.) sebesar
0,104 hal ini menunjukkan bahwa nilai Sig. = 0,104 > α = 0,05, maka dapat
disimpulkan bahwa penyebaran data pada variabel Kharismatik Abah Uci
berdistribusi normal.
Untuk variabel Minat mengikuti ta’lim mingguan (X2) di atas,
diperoleh nilai signifikansi (Sig.) sebesar 0,078 hal ini menunjukkan bahwa
nilai Sig. = 0,078> α = 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa penyebaran data
83
pada variabel Minat mengikuti ta’lim mingguan(X2) berdistribusi normal.
Demikian juga dengan variabel Internalisasi nilai-nilai religiusitas (Y) di atas,
diperoleh nilai signifikansi (Sig.) sebesar 0, 173 hal ini menunjukkan bahwa
nilai Sig. = 0,173 > α = 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa penyebaran data
pada variabel Internalisasi nilai-nilai religiusitas (Y) berdistribusi normal.
2. Uji Linieritas
Uji linieritas digunakan untuk mengetahui apakah dua variabel secara
signifikan mempunyai hubungan yang linier atau tidak. Uji linieritas yang
digunakan dalam penelitian ini adalah dengan melihat nilai Linearity dan
Deviation from Linearity. Apabila nilai Linearity < 0,05 atau Deviation from
Linearity > 0.05, maka dapat dikatakan terdapat hubungan yang linier antara
kedua variabel, yaitu variabel bebas terhadap variabel terikat.
a. Uji Linieritas X1 dengan Y
Hasil uji linearitas dengan SPSS untuk variabel Kharismatik Abah
Uci (X1) dengan variabel Internalisasi nilai-nilai religiusitas (Y), diperoleh
hasil sebagai berikut:
Tabel 4.11
Uji Linieritas X1 dengan Y
df
Mean
Square F Sig.
Internalisasi
nilai-nilai
religiusitas*
Kharismatik
Abah Uci
Between
Groups
(Combined) 235 106.020 1.787 .003
Linearity 1
4367.88
2 73.630 .000
Deviation
from
Linearity
234 87.807 1.480 .032
Within Groups 64 59.322
Total 299 299
Berdasarkan tabel Anova di atas diketahui bahwa nilai signifikansi
pada Linearity sebesar 0,000. Karena nilai signifikansi Linearity kurang
dari 0,05 (0,000 < 0,05), maka dapat dinyatakan bahwa antara variabel
Internalisasi nilai-nilai religiusitas dan variabel Kharismatik Abah Uci
terdapat hubungan yang linier. Dengan ini maka asumsi linieritas antara
variabel X1 dengan variabel Y terpenuhi.
84
b. Uji Linieritas X2 dengan Y
Hasil uji linearitas dengan SPSS untuk variabel Internalisasi nilai-
nilai religiusitas (Y) dengan variabel Minat mengikuti ta’lim
mingguan(X2), diperoleh hasil sebagai berikut:
Tabel 4.12
Uji Linieritas X2 dengan Y
df
Mean
Square F Sig.
Internalisasi
nilai-nilai
religiusitas*
Minat
mengikuti
Ta’lim
Between
Groups
(Combined) 234 116.844 5.544 .000
Linearity 1 8402.326 398.664 .000
Deviation
from
Linearity
233 81.284 3.857 .000
Within Groups 255 21.076
Total 299 299
Berdasarkan tabel Anova di atas diketahui bahwa nilai signifikansi
pada Linearity sebesar 0,000. Karena nilai signifikansi Linearity kurang
dari 0,05 (0,000 < 0,05), maka dapat dinyatakankan bahwa antara variabel
Internalisasi nilai-nilai religiusitas (Y) dan variabel Minat mengikuti
ta’lim mingguan (X2) terdapat hubungan yang linier. Dengan ini maka
asumsi linieritas antara variabel X2 dengan variabel Y terpenuhi.
3. Uji Multikoliniaritas
Uji multikolinearitas digunakan untuk mengetahui apakah ada
hubungan yang sempurna antar variabel bebas. Model regresi yang baik
seharusnya tidak terjadi korelasi antar variabel bebas. Model regresi yang
bebas dari multikolinearitas dapat dilihat jika memiliki nilai Variance Inflation
Faktor (VIF) di bawah 10 dan nilai tolerance di atas 0,1.
85
Pengujian multikolinearitas dalam penelitian berdasarkan hasil output
dari program SPSS sebagai berikut:
Tabel 4.13
Uji Multikoliniaritas Data
Model t Sig. Collinearity Statistics
Tolerance VIF
1 (Constant) 5.929 .000
Kharismatik Abah Uci 4.606 .000 .882 1.134
Minat mengikuti ta’lim
mingguan 9.188 .000 .882 1.134
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui nilai Variance Inflation Faktor
(VIF) variabel Kharismatik Abah Uci (X1) = 1,134, variabel Minat mengikuti
ta’lim mingguan (X2) = 1,134 keduanya lebih kecil dari 10, begitu pula nilai
tolerance lebih besar dari 0,1 (0,882). Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa antar variabel bebas tidak terjadi pengaruh linier atau model regresi
tidak terjadi masalah multikolinearitas.
C. Pengujian Hipotesis
Setelah uji persyaratan analisis dilakukan, langkah selanjutnya adalah
melakukan pengujian hipotesis penelitian. Pengujian hipotesis dalam penelitian
bertujuan untuk menguji tiga hipotesis yang telah dirumuskan di bab
sebelumnya, yaitu: (1) Terdapat pengaruh Kharismatik Abah Uci terhadap
Internalisasi nilai-nilai religiusitas jamaah di Pondok Pesantren Al-Istiqlaliyah
Kecamatan Pasar Kemis Kabupaten Tangerang; (2) Terdapat pengaruh Minat
mengikuti ta’lim mingguan terhadap Internalisasi nilai-nilai religiusitas jamaah
di Pondok Pesantren Al-Istiqlaliyah Kecamatan Pasar Kemis Kabupaten
Tangerang; dan (3) Terdapat pengaruh Kharismatik Abah Uci dan Minat
mengikuti ta’lim mingguan secara bersama-sama terhadap Internalisasi nilai-
nilai religiusitas jamaah di Pondok Pesantren Al-Istiqlaliyah Kecamatan Pasar
Kemis Kabupaten Tangerang.
Teknik statistik yang digunakan untuk mengetahui pengaruh antara
variabel-variabel tersebut adalah teknik uji t untuk mengetahui pengaruh
secara parsial dan statistik uji F untuk mengetahui pengaruh secara simultan.
86
1. Pengujian Secara Parsial (Uji t)
Untuk mengetahui pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat
secara sendiri-sendiri (parsial) digunakan uji t. Pengujian dilakukan dengan
membandingkan antara nilai thitung dengan ttabel. Jika thitung> ttabel maka Ho
ditolak dan Ha diterima sehingga dapat disimpulkan terdapat pengaruh
antara variabel X terhadap variabel Y. Selain itu uji t juga dapat dilakukan
dengan melihat taraf signifikansi (p-value), dengan ketentuan hipotesis
yaitu, apabila probabilitas signifikansi > 0.05, maka Ho diterima dan Ha
ditolak. Dan apabila probabilitas signifikansi < 0.05, maka Ho ditolak dan
Ha diterima.
a. Pengaruh Kharismatik Abah Uci (X1) terhadap Internalisasi nilai-
nilai religiusitas (Y)
Hipotesis yang diuji adalah
Ho : ρX1Y = 0
Ha : ρX1Y ≠ 0
Artinya jika hasil perhitungan analisis didapatkan nilai pengaruh
X1 dengan Y sama dengan 0 (nol), maka disimpulkan tidak terdapat
pengaruh positif antara Kharismatik Abah Uci terhadap Internalisasi
nilai-nilai religiusitas. Jika Hipotesis pertama tidak dapat dibuktikan
maka menggunakan hipotesis alternatif yaitu adanya pengaruh positif
antara Kharismatik Abah Uci terhadap Internalisasi nilai-nilai
religiusitas.
Berdasarkan hasil analisis regresi dengan menggunakan SPSS
diperoleh informasi sebagai berikut:
Tabel 4.14
Coefficients Regresi Variabel X1 terhadap Y
Model Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients t Sig.
B Std. Error Beta
1 (Constant) 49.727 3.553 13.997 .000
Kharismatik
Abah Uci .329 .045 .390 7.312 .000
a. Dependent Variable: Internalisasi nilai-nilai religiusitas
87
Dari hasil tabel analisis di atas diperoleh informasi bahwa analisis uji t
pada tabel di atas, menunjukan nilai thitung sebesar 7,312. Nilai thitung ini
kemudian dibandingkan dengan nilai ttabel pada taraf signifikan 0,05 dengan
df (300-2) = 298 diperoleh nilai yaitu 1,968. setelah dibandingkan ternyata
nilai thitung lebih besar daripada ttabel (7,312 > 1,968). Demikian juga dengan
taraf signifikansi (p-value), pada tabel di atas diketahui bahwa nilai
probabilitas signifikansi (Sig.) = 0,000. Ini berarti nilai Sig < nilai α (0,000 <
0,05), maka dapat disimpulkan Ho ditolak dan Ha diterima. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa Kharismatik Abah Uci berpengaruh signifikan terhadap
Internalisasi nilai-nilai religiusitas.
b. Pengaruh Minat mengikuti ta’lim mingguan (X2) terhadap Internalisasi
nilai-nilai religiusitas (Y)
Hipotesis yang diuji adalah
H0 : ρX2 Y = 0
H1 : ρX2 Y ≠ 0
Artinya jika hasil perhitungan analisis didapatkan nilai pengaruh X2
dengan Y sama dengan 0 (nol), maka disimpulkan tidak terdapat pengaruh
positif antara Minat mengikuti ta’lim mingguan terhadap Internalisasi nilai-
nilai religiusitas. Jika Hipotesis pertama tidak dapat dibuktikan maka
menggunakan hipotesis alternatif yaitu adanya pengaruh positif antara Minat
mengikuti ta’lim mingguan terhadap Internalisasi nilai-nilai religiusitas.
Berdasarkan hasil analisis regresi dengan menggunakan SPSS
diperoleh informasi sebagai berikut:
Tabel 4.15
Coefficients Regresi Variabel X2 terhadap Y
Model Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients t Sig.
B Std. Error Beta
1 (Constant) 33.773 3.781 8.932 .000
Minat
mengikuti
ta’lim
.483 .044 .541 11.104 .000
a. Dependent Variable: Internalisasi nilai-nilai religiusitas
88
Dari hasil tabel analisis di atas diperoleh informasi bahwa analisis uji t
pada tabel di atas, menunjukan nilai thitung sebesar 11,104. Nilai t hitung ini
kemudian dibandingkan dengan nilai ttabel pada taraf signifikan 0,05 dengan
df 48 diperoleh nilai yaitu 1,968. setelah dibandingkan ternyata nilai thitung
lebih besar daripada ttabel (11,104 > 1,968). Demikian juga dengan taraf
signifikansi (p-value), pada tabel di atas diketahui bahwa nilai probabilitas
signifikansi (Sig.) = 0,000. Ini berarti nilai Sig < nilai α (0,00 < 0,05), maka
dapat disimpulkan Ho ditolak dan Ha diterima. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa Minat mengikuti ta’lim mingguan berpengaruh signifikan terhadap
Internalisasi nilai-nilai religiusitas.
2. Pengujian Secara Bersama-sama (Uji F)
Pengaruh Kharismatik Abah Uci (X1) dan Minat mengikuti ta’lim
mingguan (X2) Secara Bersama-Sama terhadap Internalisasi nilai-nilai
religiusitas (Y)
Untuk menguji pengaruh variabel bebas secara simultan (bersama-
sama) digunakan uji F. Hipotesis yang diuji adalah:
H0 : ρX12 Y = 0
H1 : ρX12 Y > 0
Artinya jika hasil perhitungan analisis didapatkan nilai pengaruh X1,
dan X2 terhadap Y sama dengan 0 (nol), maka disimpulkan tidak terdapat
pengaruh positif antara Kharismatik Abah Uci (X1) dan Minat mengikuti
ta’lim mingguan (X2) secara bersama-sama terhadap Internalisasi nilai-nilai
religiusitas (Y). Jika Hipotesis pertama tidak dapat dibuktikan maka
menggunakan hipotesis alternatif yaitu terdapat pengaruh positif antara
Kharismatik Abah Uci (X1) dan Minat mengikuti ta’lim mingguan (X2)
secara bersama-sama terhadap Internalisasi nilai-nilai religiusitas (Y).
89
Berdasarkan hasil analisis regresi berganda dengan menggunakan SPSS
diperoleh informasi sebagai berikut:
Tabel 4.16
Coefficients Regresi Variabel X1 dan X2 terhadap Y
Model Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients
t Sig.
B Std. Error Beta
1 (Constant) 24.663 4.160 5.929 .000
Kharismatik
Abah Uci .195 .042 .231 4.606 .000
Minat
mengikuti
ta’lim
.412 .045 .461 9.188 .000
a. Dependent Variable: Internalisasi nilai-nilai religiusitas
Dari hasil tabel di atas, diperoleh informasi bahwa nilai intercept garis
regresi (a) diperoleh 24,663 sedangkan nilai slope atau koefisien regresi b1
sebesar 0,195, dan b2 sebesar 0,412 sehingga menghasilkan persamaan garis
regresi berganda sebagai berikut:
Dari persamaan tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa:
a. Keseluruhan variabel bebas, Kharismatik Abah Uci (X1) dan Minat
mengikuti ta’lim mingguan (X2), memberikan pengaruh yang positif
terhadap variabel terikat Internalisasi nilai-nilai religiusitas (Y).
b. Nilai koefesien Kharismatik Abah Uci sebesar 0,195 yang berarti bahwa
jika Kharismatik Abah Uci semakin baik dengan asumsi variabel lain tetap
maka Internalisasi nilai-nilai religiusitas akan mengalami peningkatan
sebesar 0,195.
c. Nilai koefesien Minat mengikuti ta’lim mingguan sebesar 0,412 yang
berarti bahwa jika Minat mengikuti ta’lim mingguan semakin baik dengan
asumsi variabel lain tetap maka Internalisasi nilai-nilai religiusitas akan
mengalami peningkatan sebesar 0,412.
d. Variabel yang memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap
Internalisasi nilai-nilai religiusitas adalah variabel Minat mengikuti ta’lim
mingguan yakni sebesar 0,412, sedangkan variabel Kharismatik Abah Uci
memberikan pengaruh yang lebih kecil terhadap Internalisasi nilai-nilai
religiusitas yakni 0,195.
90
Selanjutnya untuk menguji pengaruh variabel Kharismatik Abah Uci
dan Minat mengikuti ta’lim mingguan secara bersama-sama terhadap
Internalisasi nilai-nilai religiusitas digunakan uji F sebagai berikut:
Tabel 4.17
Uji F (Anova)
Model Sum of
Squares
df Mean
Square
F Sig.
1 Regression 9756.217 2 4878.108 76.433 .000b
Residual 18955.153 297 63.822
Total 28711.370 299
a. Dependent Variable: Internalisasi nilai-nilai religiusitas
b. Predictors: (Constant), Minat mengikuti ta’lim mingguan, Kharismatik Abah Uci
Berdasarkan hasil uji F pada tabel Anova di atas, diketahui bahwa nilai
F hitung sebesar 76,433. Hasil F hitung tersebut kemudian dibandingkan
dengan F tabel pada taraf signifikansi 0,05 dengan df (297:2) diperoleh nilai
F tabel yaitu, 3,026. Setelah dibandingkan ternyata nilai F hitung lebih besar
daripada F tabel (76,433 > 3,026). Demikian juga Dengan melihat taraf
signifikansi (p-value), pada tabel di atas diketahui bahwa nilai probabilitas
signifikansi (Sig.) = 0,000. Ini berarti nilai Sig < nilai α ( 0,000 < 0,05), maka
dapat disimpulkan Ho ditolak dan Ha diterima. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa Kharismatik Abah Uci kerja (X1) dan Minat mengikuti ta’lim
mingguan (X2) secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap
Internalisasi nilai-nilai religiusitas (Y).
Selanjutnya setelah disimpulkan bahwa persamaan garis regresi
berganda berpengaruh signifikan, berikutnya perlu dicari seberapa kuat
pengaruh dari variabel Kharismatik Abah Uci dan Minat mengikuti ta’lim
mingguan secara bersama-sama terhadap Internalisasi nilai-nilai religiusitas.
Dari hasil analisis diperoleh fakta sebagai berikut:
Tabel 4.18
Coefficients Determinasi X1 dan X2 terhadap Y
Model R R Square Adjusted R
Square
Std. Error of the
Estimate
1 .583a .340 .335 7.98887
a. Predictors: (Constant), Minat mengikuti ta’lim mingguan , Kharismatik Abah Uci
91
Berdasarkan hasil analisis di atas terlihat bahwa pengaruh antara
Kharismatik Abah Uci (X1) dan Minat mengikuti ta’lim mingguan (X2)
terhadap Internalisasi nilai-nilai religiusitas (Y) diperoleh koefisien
determinasi (R Square) sebesar 0,340. Ini memberi arti bahwa sekitar 34%
variasi yang terjadi pada Internalisasi nilai-nilai religiusitas dapat dijelaskan
oleh Kharismatik Abah Uci dan Minat mengikuti ta’lim mingguan. Sisanya
66% Internalisasi nilai-nilai religiusitas di pengaruhi oleh faktor lain di luar
Kharismatik Abah Uci dan Minat mengikuti ta’lim mingguan yang tidak
diteliti dalam penelitian ini.
D. Pembahasan Hasil Penelitian
Berdasarkan analisis statistik yang telah diuraikan di atas dapat
diketahui bahwa nilai F hitung sebesar 76,433, dan dengan taraf signifikansi
(p-value), 0,000. Ini berarti nilai Sig < nilai α (0,000 < 0,05),maka dapat
disimpulkan bahwa Kharismatik Abah Uci (X1) dan Minat mengikuti ta’lim
mingguan (X2) secara bersama-sama berpengaruh sangat signifikan terhadap
Internalisasi nilai-nilai religiusitas (Y).
Hasil analisis Koefesien Determinasi diketahui bahwa pengaruh antara
Kharismatik Abah Uci (X1) dan Minat mengikuti ta’lim mingguan (X2)
terhadap Internalisasi nilai-nilai religiusitas (Y) diperoleh koefisien
determinasi sebesar 0,340. Ini memberi arti bahwa sekitar 34% variasi yang
terjadi pada Internalisasi nilai-nilai religiusitas jamaah di Pondok Pesantren
Al-Istiqlaliyah Kecamatan Pasar Kemis Kabupaten Tangerang dapat dijelaskan
oleh Kharismatik Abah Uci dan Minat mengikuti ta’lim mingguan. Sedangkan
66% dipengaruhi faktor-faktor lain seperti faktor sosial, faktor alami, faktor
konflik moral, faktor intelektual, faktor afektif dan lain-lain.
Berdasarkan teori karismatik Weber (Efley, 2015), konteks sosial dan
tawaran perilaku sebagai solusi merupakan sebagian dari penentu diterimanya
sosok pendakwah oleh masyarakat. Kerelaan diri berkorban untuk
memperhatikan nasib umat merupakan ciri altruistik, cermin kepekaan
terhadap situasi (Saidil Mustar, 2015).
Kemudian juga terdapat persamaan dengan penelitian sebelumnya yang
dilakukan oleh Al-Khanif (2011) dengan judul : “Menguji Kharisma Kyai
Dalam Kehidupan Masyarakat Madura Jember Jawa Timur” dan penelitian
yang dilakukan oleh Hajir Tajiri (2017) dengan judul : “Studi Faktor
Kharismatik Praktisi Dakwah di Kota Bandung”. Pada penelitian ini seorang
92
Kyai atau Praktisi Dakwah memiliki Kharismatik jika secara kualitas personal,
berintegritas kepribadian yang baik, teguh dalam memegang prinsip, istiqomah
dalam mengajar maupun berdakwah, dan mampu merespon berbagai
permasalahan sosial yang ada di masyarakat.
Persamaan lainnya juga terdapat pada peranan majelis taklim yang
terdapat pada penelitian Oyoh Bariah, Iwan Hermawan, H. Tajudin Nur (2011)
dengan judul : “Peran Majelis Taklim dalam Meningkatkan Ibadah Bagi
Masyarakat di Desa Teluk Jambe Karawang” dan penelitian yang dilakukan
oleh Firman Nugraha (2016) dengan judul : “Peran Majelis Taklim dalam
Dinamika Sosial Umat Islam”. Pada kedua penelitian ini bahwa majelis
mempunyai peran sebagai wadah untuk meningkatkan ilmu pengetahuan
agama sehingga dengan ilmu pengetahuan agama kualitas dan kuantitas dalam
menjalankan ibadah dan nilai-nilai sosial kemasyarakatan semakin baik.
Konteks sosial sosok Abah Uci dapat dijelaskan sebagai pemahaman
beliau sebagai pendakwah tentang gejala memudarnya pembinaan keagamaan
yang berdampak pada terkikisnya daya rekat agama dalam kehidupan. Salah
satu bentuk kegerahan beliau terhadap kondisi ini munculnya dorongan untuk
menghadirkan kembali ajaran Islam sebagaimana tercantum dalam al-Qur’an
dan al-Hadits dalam bentuk yang koheren dengan kebutuhan manusia di
sepanjang zaman. beliau punya prinsip yang kuat dalam pengamalan agama
misalnya tentang dzikir.
Retorika Abah Uci itu memang tidak meledak-meledak, tenang, datar.
Tingginya minat masyarakat terhadap gaya dakwah Abah Uci menjadi bukti
bahwa gaya khas model Abah Uci ini benar-benar disukai masyarakat. Pesan-
pesan yang keluar dari lisan dari Abah Uci seakan mengandung mukjizat atau
kehebatan, membuat telinga masyarakat selalu merindukannya. Dan efek
ketenangan, kenyamanan dan rasa betah ketika mereka berkumpul atau hadir
dalam majlis pengajian yang diselenggarakan oleh Abah Uci.
Berdasarkan observasi dan wawancara, ada beberapa alasan jamaah
mengikuti pengajian minggu pagi, yaitu:
1. Penghormatan kepada Kiyai merupakan wujud cinta kepada
Rosulullah
Sebutan Kiyai sangat populer di kalangan masyarakat
Indonesia. Kiyai merupakan sebutan atau gelar bagi mereka memiliki
keilmuan agama yang luas dan ulama merupakan pewaris rasulullah SAW.
93
Maka penghormatan kepada beliau merupakan bukti kecintaan
kepada Rosulullah. Golongan santri pada umumnya mengetahui akan hal
tersebut sehingga mereka begitu taat dan patuh kepada Kiyai. Hal ini
berbeda dengan jamaah yang masih awam, bagi mereka status tidak
menjadi ukuran. Mereka tidak mempersoalkan siapa yang mengajar, yang
jelas bahwa kedatangan mereka adalah untuk menimba ilmu. Berdasarkan
hal tersebut di atas terdapat perbedaan cara pandang dan keantusiasan
antara golongan santri dan awam di dalam menyikapi sosok Kiyai.
Golongan santri memandang sosok Kiyai bukan saja dari segi ilmu, tetapi
juga dari segi ke-Kiyai-annya atau segi keturunannya. Sedangkan bagi
golongan awam memandang sosok Kiyai bukan dari ke- Kiyai-annya,
namun dari segi kebutuhan mereka akan pengetahuan agama.
2. Penjelasan yang mendetail dan luas
Proses kegiatan pengajian yang berlangsung di majelis ta’lim Abah
Uci boleh jadi dapat dikatakan berbeda dengan proses pengajian di tempat
lain. Penjelasan yang disampaikan oleh Abah Uci begitu panjang lebar.
Secara sederhana dapat dipahami bahwa dari satu ayat atau satu hadits
diterangkan oleh beliau dengan cukup menyeluruh, mendetail dan luas
berdasarkan banyak materi/kitab dan tinjauan-tunjauan lain, seperti
menjangkau bidang Fiqih, akhlaq, dll. Abah Uci melakukan strategi
mengajar yang berebeda dari pesantren. Kesan yang umum di pesantren
adalah bahwa Kiyai menerangkan kitab secara umum dan
penjelasannya terbatas sekali pada penjelasan yang terdapat di dalam
kitab tersebut. Sedangkan penyajian di majelis ta’lim lebih mendalam,
mendetail dan luas.
Dari observasi tersebut di atas dan penjelasan jamaah
pengajian menunjukkan bahwa apa yang membuat mereka
berantusias mengikuti pengajian ini adalah penjelasan Abah Uci yang
luas dan mendetail. Abah Uci tidak akan melanjutkan satu topik ke topik
selanjutnya bila beliau rasa para jamaahnya belum begitu paham dengan
penjelasannya.
94
3. Terdapat kisah-kisah/hikayah salafi dalam setiap pengajian
Dalam setiap pengajian, Abah Uci selalu menyisipkan cerita-
cerita hikmah, cerita-cerita sufi. Menurut beliau sendiri ketika dilakukan
observasi mengatakan bahwa :
a. 1/3 isi Al-Qur’an adalah berisi tentang cerita-cerita, termasuk
cerita nabi dan para rasul.
b. cerita-cerita orang sufi misalnya: ulama’ besar seperti Imam
Al- Gozali, syeikh Abdul Qodir Jailani semua itu agar mengetahui
sejarah kehidupan dan amal perbuatannya
c. Cerita tentang para nabi, tabi’in dan orang-orang sholeh merupakan
tentara-tentara kebenaran. Dengan mendengarkan cerita tersebut orang
akan cenderung meneladani dan mengambil hikmah dari cerita
tersebut.
95
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat
disimpulkan beberapa hal penting sebagai berikut:
1. Kharismatik Abah Uci di mata jamaahnya tergolong dalam kategori
berwibawa, pesan-pesan yang keluar dari lisan Abah Uci seakan
mengandung mukjizat atau kehebatan, membuat telinga masyarakat selalu
merindukannya, dan efek ketenangan, kenyamanan dan rasa betah ketika
mereka berkumpul atau hadir dalam majlis pengajian yang
diselenggarakan oleh Abah Uci.
2. Terdapat pengaruh positif dan signifikan dari Kharismatik Abah Uci
terhadap Internalisasi nilai-nilai religiusitas jamaah di Pondok Pesantren
Al-Istiqlaliyah Kecamatan Pasar Kemis Kabupaten Tangerang. Ini artinya
makin berwibawa Kharismatik Abah Uci maka akan berdampak pada
baiknya Internalisasi nilai-nilai religiusitas, demikian juga sebaliknya
makin rendah Kharismatik Abah Uci maka akan berdampak pada
rendahnya Internalisasi nilai-nilai religiusitas.
3. Terdapat pengaruh positif dan signifikan antara Minat mengikuti ta’lim
mingguan terhadap Internalisasi nilai-nilai religiusitas di Jamaah di
Pondok Pesantren Al-Istiqlaliyah Kecamatan Pasar Kemis Kabupaten
Tangerang. Ini artinya makin tinggi minat mengikuti ta’lim mingguan
maka akan berdampak pada baiknya internalisasi nilai-nilai religiusitas,
demikian juga sebaliknya makin rendah minat mengikuti ta’lim mingguan
maka akan berdampak pada rendahnya Internalisasi nilai-nilai religiusitas.
4. Terdapat pengaruh Kharismatik Abah Uci dan Minat mengikuti ta’lim
mingguan secara bersama-sama terhadap Internalisasi nilai-nilai
religiusitas jamaah di Pondok Pesantren Al-Istiqlaliyah Kecamatan Pasar
Kemis Kabupaten Tangerang. Ini artinya makin berwibawa Kharismatik
Abah Uci dan tinginya minat mengikuti ta’lim mingguan maka akan
berdampak pada baiknya Internalisasi nilai-nilai religiusitas, demikian
96
juga sebaliknya kurang wibawanya kharismatik Abah Uci dan rendahnya
minat mengikuti ta’lim mingguan maka akan berdampak pada rendahnya
Internalisasi nilai-nilai religiusitas.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian, maka penulis memberikan beberapa saran
sebagai berikut:
1. Pendidik atau Praktisi Dakwah
a. Hendaknya dapat mengikuti metode atau strategi dakwah yang dilakukan
oleh Abah Uci. Sehingga dakwah atau ilmu yang di sampaikan bisa di
ikuti oleh jama’ah atau masyarakat.
b. Hendaknya berusaha meningkatkan kualitas keilmuan dengan
memperdalam kembali keilmuan yang dimiliki. Sehingga memiliki
wawasan keilmuan yang luas dan mendalam.
c. Hendaknya bagi para peneliti lain menggunakan faktor- faktor lain untuk
mengetahui sejauhmana tingkat religiusitas seseorang.
2. Masyarakat (Jamaah) Ta’lim Mingguan
a. Jamaah Pengajian Mingguan Pondok Pesantren Al-Istiqlaliyah Pasar
Kemis Tangerang hendaknya senantiasa semangat dan menunjukan
minat yang tinggi untuk belajar dan mengaji sehingga dapat
menginternalisasikan nilai religiusitas pada diri sendiri sehingga kualitas
dan kuantitas ibadah dan kehidupan sosial semakin meningkat terutama
dalam belajar menghargai perbedaan di tengah masyarakat. Dengan
sikap toleransi terhadap perbedaan ditengah masyarakat maka akan
menjadi modal baik dalam menciptakan ukhuwah islamiyah di antara
umat muslim di masyarakat.
3. Pengelola Pengajian Mingguan Pondok Pesantren Al-Istiqlaliyah
a. Sikap religiusitas pada masyarakat memiliki peran penting dalam
mewujudkan masyarakat yang memiliki kepribadian yang unggul, yang
dapat saling menghargai di dalam suatu perbedaan. Oleh karena itu,
Pengelola Pengajian Mingguan Pondok Pesantren Al-Istiqlaliyah Pasar
Kemis Tangerang hendaknya konsen menginternalisasikan nilai
religiusitas pada masyarakat untuk dapat menciptakan ukhuwah
islamiyah yang lebih kuat lagi di dalam lapisan masyarakat. Dan lebih
memfasilitasi lagi kegiatan majelis taklim karena itu sebagai wadah
dan alat yang dapat digunakan dalam menginternalisasikan nilai
religiusitas pada masyarakat.
97
DAFTAR PUSTAKA
A. Sumber Buku
Abror, Abd. Rachman. (2013). Psikologi Pendidikan, Yogyakarta: PT.
Tiara Wacana Yogya.
Adisusilo, Sutarjo, (2012). Mengikuti Majlis Ta’liman Nilai-Karakter.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Agustian, Ary Ginanjar, (2012), Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan
Emosi dan Spiritual ESQ (Emotional Spiritual Quotient): (the ESQ
way 165 1 Ihsa, 6 Rukun Imán dan 5 Rukun Islam), Jakarta: Arga.
Ahmad, Patoni dkk, (2012), Dinamika Pendidikan Anak. Jakarta: PT. Bina
Ilmu.
Alawiyah, Tuti. (2009), Strategi Dakwah di Lingkungan Majelis Ta.lim,
Bandung: Mizan, cet. Ke-1.
Ali, Moh. Aziz, (2012). Ilmu Dakwah. Jakarta: Kencana.
Al-Rasyid, Harun dkk, (2013), Pedoman Dakwah Bil-Hal. Jakarta: Depag
RI.
An Nahlawi, Abdurrahman (2012). Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah,
dan. Masyarakat. Jakarta: Gema Insani.
Ancok, Djamaludin & Suroso, Fuad Nashori, (2014). Psikologi Islami:
Solusi Islam Atas Problem-Problem Psikologi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Anwar, Sanusi. (2011). Metodologi Penelitian Bisnis. Jakarta: Salemba
Empat.
Arifin, Zainal. (2003). Runtuhnya Singgasana Kyai, Yogyakarta: Kutub.
Arikunto, Suharsimi. (2012). Prosedur Penelitian, Jakarta: Rineka Cipta.
Armstrong, Thomas, (2007). Kecerdasan Multipel di dalam Kelas. Jakarta:
Indeks.
Bakry, Oemar, (2013), Akhlaq Muslim, Bandung: Angkasa.
98
Depdiknas. (2012). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia
Pustaka.
Dhofier, Zamakhsyari, 2012. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan
Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES.
Dirdjosanjoto, Pradjarta (2009). Memelihara Umat (Kiai Pesantren-Kiai
Langgar di Jawa), LKIS, Yogyakarta.
Dister, N.S. 2009. Pengalaman Beragama dan Motivasi Beragama.
Yogyakarta: Kanisius.
Driyarkara, N. S.J 2008. Percikan Filsafat. Jakarta: PT. Pembangunan.
Eksan, Moh. (2000). Kyai Kelana. Yogyakarta: LKIS.
Ghazali, M. Bahri (2003) Pesantren Berwawasan Lingkungan. Jakarta. CV.
Prasasti.
Ghozali. Imam. 2010. Aplikasi Analisis Multivariat dengan Program SPSS.
Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Gunarsa, Singgih D. (2009). Psikologi Perawatan, Jakarta: BPK. Gunung
Mulia.
Harlin, (2008), Metode dan Pendekatan Dakwah Majelis Ta’lim Al-
Hidayah Pada Masyarakat Kalijaten. Surabaya: Perpustakaan IAIN
Sunan Ampeni.
Hasbullah. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: Raja grafindo.
Persada.
Horikoshi, Hiroko, (2012). Kyai dan Perubahan Sosial. Jakarta:
Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat.
Jaiz, Hartono Ahmad & Akaha, Zulfikar Abduh. (2005). Bila Kyai
DiperTuhankan, Membedah Sikap Agama NU. Pustaka Al
Kautsar: Jogjakarata.
Koentjaraningrat, (2009), Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka
Cipta.
Kotler, Philip. (2005). Prinsip-prinsip Pemasaran Jilid I. Jakarta: Erlangga.
99
Kuntowijoyo dkk (2005). Intelektualisme Muhammadiyah Menyongsong
Era Baru, Bandung: Mizan.
_________ (2012). Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang Budaya.
Kusumowati, Minanti. 2013. Pengaruh Intellectual Capital Terhadap
Kinerja Perusahaan. Universitas Diponegoro.
Ma’arif, A. Syafi’I, (2015), Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan
Fakta, Yogyakarta: PT. TiaraWacana.
Marzuki, Mukhamad Murdiono, dan Miftahudin. (2009). Laporan
Penelitian Strategis Nasional Tahun Anggran 2010. Yogyakarta,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi Universitas Negeri Jakarta.
Marzuqi, Ahmad Idris, (2015), Ngaji, Kediri: Santri Salaf Press.
Mas’ud, Abdurrahman (2004), Intelektual Pesantren,Yogyakarta: LKIS.
Moeliono, Anton M. dkk. (2009). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka.
Mubasyaroh, (2011). Dakwah Kolaboratif. Yogyakarta: STAIN Kudus dan
Idea Press.
Muhaimin, (2011), Paradigma Pendidikan Islam (Upaya
Mengefektifkan Pendidikan islam di Sekolah), (Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Muhni. A, Djuretna Imam, (2009), Moral dan Religi menurut Emile
Durkheim dan Henri Bergson, Yogyakarta: Kanisius.
Mulyana, Rohmat. 2011. Mengartikulasikan Pendidikan Nilai.
Bandung: Alfabeta.
Muthmainnah, (2013), Jembatan Suramadu Respon Ulama Terhadap
Industrialisasi, Yogyakarta: LKPSM.
Noor, H. Mahpuddin (2006). Potret dunia Pesantren. Bandung: Humaniora.
Nurwahid, Hidayat (2012). Pengantar Sejarah Dakwah, Jakarta: Kencana.
Raharjo, M. Dawam dkk (2008). Pesantren dan Pembaharuan. Jakarta:
LP3ES.
100
Rahman, Agus Abdul, (2013). Psikologi Sosial: Integrasi Pengetahuan
Wahyu dan Pengetahuan Empirik. Jakarta: Rajawali Pers.
Ramayulis dan Samsul Nizar. (2009). Filsafat Pendidikan Islam: Telaah
Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya. Jakarta: Kalam
Mulia.
Ritzer, George, (2012). Teori Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik Sampai
Perkembangan Terakhir Postmodern. Edisi ke VIII. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Roestiyah, NK., (2011), Strategi Belajar Mengajar, Jakarta: Rineka Cipta.
Sahlan, Asmaun. 2009. Mewujudkan Budaya Rekigius di Sekolah
(Upaya Mengembangkan PAI dari Teori ke Aksi). Malang: UIN
MALIKI PRESS.
Shaleh, Abdul Rahman dan Wahab, Muhib Abdul (2004). Psikologi Suatu
Pengantar (Dalam Perspektif Islam), Jakarta: Kencana.
Shalud, Syeikh Mahmud, (2015), Aqidah dan Syari’ah Islam, Jakarta: Bumi
Aksara.
Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi (2010). Metode Penelitian Survei,
Jakarta: LP3ES.
Singer, Kurt. (2017). Membina Hasrat Belajar di Sekolah, terjemah,
Bergman Sitorus, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Slameto. (2013). Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya,
Jakarta: Rineka Cipta.
Sobari, Moh. (2006). Kyai Nyentrik Merubah Pemerintah. Yogyakarta:
LKIS.
Soekarno, Soerjono (2009), Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Sugiyono, (2014). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D.
Bandung: Alfabeta.
Sukamto, (2009). Kepemimpinan Kyai dalam Pesantren. Jakarta: IKAPI.
101
Sukanto, M.M., (2005). Nafsiologi, Jakarta: Integritas Press.
Surya, Muhammad. (2010). Karakteristik Pelajar dalam Proses Mengikuti
Majlis Ta’lim, Bandung: MediaPembinaan.
Syah, Muhibbin. (2008). Psikologi Belajar. Jakarta: PT Raja Grafindo.
Tampubolon, D.P. (2013). Mengembangkan Minat Membaca Pada Anak,
Bandung: Angkasa.
Taneko, Soleman B, (2009), Konsepsi System Sosial dan System Sosial
Indonesia. Jakarta: Fajar Agung.
Turmudi, Endang. (2003). Perselingkuhan Kyai dan Kekuasaan,
Yogyakarta: PT LKIS Pelangi Aksara.
Wahid, Abdurrahman, (Ed.) Rahardjo,Dawam (2004). Pesantren dan
Pembaharuan. Jakarta: LP3ES.
Wahyu. 2010. Ilmu Sosial Dasar. Surabaya: Usaha Nasional.
Yuki, Gari A, (2008). Kepemimpinan dalam Organisasi, Jakarta:
Prenhalindo.
Ziemek, Manfred. (2006). Pesantren Islamische Building in Sozialen
Wandel, terjemahan. Butche B Soendjojo. Jakarta: P3M.
B. Jurnal:
Al Khanif. (2011). Menguji Kharisma Kyai dalam Kehidupan Masyarakat
Madura Jember Jawa Timur. INFERENSI, Jurnal Penelitian Sosial
Religiusitas. Vol. 5, No. 1, Juni 2011.
Ani Susilowati, (2012), Pengaruh Pengajian Rutin Majelis Ta’lim Al-
Mua’wwanah Terhadap Akhlak Ibu-Ibu RT Muslim Benowo
Surabaya, Surabaya: Perpus IAIN Sunan Ampel.
Badriah, Oyoh. Dkk. (2011). Peran Majelis Taklim dalam Meningkatkan
Ibadah Bagi Masyarakat di desa Telukjambe Karawang. Majalah
Ilmiah Solusi Unsika ISSN 1412-86676 Vol. 10 No. 21 Ed. Des
2011 - Feb 2012.
102
Darmawati, dkk. (2015): Hubungan Corporate Governance dan Kinerja
Perusahaan. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia. Vol. 8, No. 1; 65-81.
Efley, J. L., (2015). Weber’s Theory of Charismatic Leadreship: The Case
of Muslim Leaders in Contemporary Indonesians Politics.
International Journal of Humanities and Social Science. 5(7) July
2015.
Firman Nugraha, (2016), Peran Majlis Taklim dalam Dinamika Sosial
Umat Islam, Jurnal Bimas Islam Vol.9. No.III 2016.
Susanti, Rika. (2016). Analisis Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap
Nilai Perusahaan (Studi Kasus pada Perusahaan Go Public yang
Listed Tahun 2005-2008). Universitas Diponegoro: Semarang.
Tajiri, Hajir (2017). Rijal al-Da’wah: Studi Faktor Karismatik Praktisi
Dakwah di Kota Bandung. Academic Journal for Homiletic Studies
Volume 11 Nomor 2 (2017) 293-310.
C. Internet:
Thontowi, Ahmad. Hakekat Religiusitas. dalam
http://sumsel.kemenag.go.id. diakses tanggal 12 Juli 2019 pukul
14.00 WIB.
LAMPIRAN 1 KUESIONER/ANGKET
SEBELUM UJI INSTRUMEN
KUESIONER
STUDI FAKTOR KHARISMATIK ABAH UCI DAN MINAT MENGIKUTI
TA’LIM MINGGUAN TERHADAP INTERNALISASI NILAI RELIGIUSITAS
JAMAAH DI PONDOK PESANTREN AL-ISTIQLALIYAH KECAMATAN
PASAR KEMIS KABUPATEN TANGERANG
Pendahuluan:
Tujuan kajian ini adalah untuk meninjau pandangan Anda tentang Pengaruh
Kharismatik Abah Uci dan Minat Mengikuti Ta’lim Mingguan terhadap
Internalisasi Nilai Religiusitas Jamaah di Pondok Pesantren Al-Istiqlaliyah
Kecamatan Pasar Kemis Kabupaten Tangerang.
Kajian ini bukan bertujuan untuk ‘menguji’ atau ‘menilai’ Anda tentang yang
dikemukakan dalam kuesioner ini. Tidak ada jawaban ‘benar’ atau ‘salah’ bagi
setiap kenyataan yang diberikan. Identitas pribadi Anda akan dirahasiakan.
Kerjasama Anda amat diperlukan untuk menjawab soal penelitian dengan sebenar-
benarnya dan sejujur-jujurnya sesuai apa yang Anda ‘alami’ dan‘rasakan’ di
sekolah.
Kerjasama Anda amat dihargai dan diucapkan terima kasih.
Peneliti,
Sudarto
Kepada Yth:
Jamaah Ta’lim Mingguan Abah Uci
di-
Tempat
Dengan Hormat,
Bersama ini saya mohon dengan hormat kesediaan Anda untuk mengisi instrumen
penelitian ini, berkenaan dengan tesis saya yang berjudul “Studi Faktor
Kharismatik Abah Uci dan Minat Mengikuti Ta’lim Mingguan terhadap
Internalisasi Nilai Religiusitas Jamaah di Pondok Pesantren Al-Istiqlaliyah Kecamatan Pasar Kemis Kabupaten Tangerang.” Instrumen ini merupakan
sarana pengumpulan data untuk penyusunan Tesis Program Studi Pendidikan
Agama Islam, Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam pengisian instrumen ini, jawaban yang Anda berikan dijamin
kerahasiaannya karena informasi tersebut hanya untuk kepentingan ilmiah semata.
Untuk itu diharapkan kesediaan Anda memberikan jawaban yang benar sehingga
mencerminkan realita yang ada.
Atas perkenan dan kesediaan Anda saya haturkan banyak terima kasih.
Tangerang, Juli 2019
Hormat saya,
Sudarto
ANGKET KHARISMATIK KYAI (VARIABEL X1)
Petunjuk :
1. Bacalah setiap pernyataan dengan teliti jangan ada yang terlewati.
2. Berikut ini adalah suatu pernyataan dimana diminta untuk memberikan
jawaban yang paling sesuai dengan diri masing-masing dengan tanda contreng
(√) pada kolom yang tersedia
SL : Selalu (5) P : Pernah (2)
SR : Sering (4) TP : Tidak pernah (1)
KD : Kadang-Kadang (3)
3. Setiap jawaban adalah benar semua, oleh karena itu jangan terpengaruh dengan
jawaban teman.
NO PERNYATAAN JAWABAN
SL SR KD P TP
1 Abah Uci mendorong para jamaah untuk
berbuat kebaikan
2 Abah Uci banyak disukai oleh para
jamaahnya
3 Abah Uci memiliki kharismatik dalam
mengisi materi majlis ta’lim
4 Abah Uci memiliki pribadi yang rendah
hati dan murah senyum
5 Abah Uci meniru gaya orang lain dalam
mengisi materi majlis ta’lim
6 Abah Uci datang terlambat ketika akan
mengisi materi majlis ta’lim
7 Abah Uci mampu menarik perhatian para
jamaah dengan humor ditengah materi
8 Abah Uci membawakan materi ta’lim
dengan monoton
9 Abah Uci menginspirasi jamaah untuk
mengamalkan apa yang disampaikan
NO PERNYATAAN JAWABAN
SL SR KD P TP
10 Abah Uci membuat jamaah nyaman dalam
mengikuti pengajian
11 Abah Uci ditinggalkan jama’ah ketika
menyampaikan materi pengajian
12 Abah Uci memiliki suara yang lembut dan
menyejukkan
13 Abah Uci membawakan materi dengan
Bahasa yang mudah dipahami oleh para
jamaahnya
14
Abah Uci memiliki kepribadian yang teguh
sehingga tidak mudah dialihkan oleh
pendapat orang lain namun tetap
menghargai perbedaan
15 Abah Uci menyampaikan materi dengan jelas, lugas, dan elegan.
16 Abah Uci mudah dipengaruhi oleh tokoh
politik
17 Suara Abah Uci terlalu lembuat sehinga
tidak jelas
18 Abah Uci penuh keyakinan saat
membawakan materi di majlis ta’lim
19 Abah Uci mengajarkan materi majlis ta’lim kurang jelas
20 Abah Uci menjawab pertanyaan yang
diajukan jamaah dengan penuh keyakinan
21 Abah Uci bertanya kepada jama’ah
mengenai materi pengajian
22 Abah Uci menyampaikam materi pengajian
dengan suara lantang
23 Materi yang di sampaikan Abah Uci sesuai dengan budaya yang ada di masyarakat
NO PERNYATAAN JAWABAN
SL SR KD P TP
24 Abah Uci memiliki pemahaman keagamaan
dan pengalaman hidupan yang luas
25 Abah Uci menyampaikan materi hanya
berdasarkan kitab yang dipegangya saja
26 Abah Uci mempunyai banyak rujukan
dalam menyampaikan materi pengajian
27 Abah Uci sedikit perbendaharaan kata dalam menyampaikan materi pengajian
28 Abah Uci menguasai menyampaikan materi
ta;lim dengan baik
29 Abah Uci bersikap kurang fleksibel dalam
mengisi materi di majlis ta’lim
30 Abah Uci bijaksana dalam memberikan
solusi atas pertanyaan jamaah
ANGKET MINAT MASYARAKAT
(VARIABEL X2)
Petunjuk:
1. Berikut ini adalah suatu pernyataan dimana Anda diminta untuk memberikan
jawaban yang paling sesuai dengan diri masing-masing dengan tanda contreng
(√) pada kolom yang tersedia
SL : Selalu (5) P : Pernah (2)
SR : Sering (4) TP : Tidak pernah (1)
KD : Kadang-Kadang (3)
2. Setiap jawaban adalah benar semua, oleh karena itu jangan terpengaruh dengan
jawaban orang lain.
NO PERNYATAAN JAWABAN
SL SR KD P TP
1 Saya merasa senang mengikuti majlis
ta’lim yang di bimbing oleh Abah Uci
2 Saya tertarik dengan materi yang diberikan
oleh Abah Uci
3 Pengajian Abah Uci biasa-biasa saja seperti
pengajian pada umumnya
4 Saya tidak ingin melewati setiap kajian
yang diberikan oleh abah Uci
5 Saya merasa kecewa jika Abah Uci
berhalangan hadir
6 Saya duduk di depan mengikuti pengajian
Abah Uci
7 Saya tidur ketika mengikuti pengajian Abah
Uci
8 Saya mengikuti semua kegiatan yang
diadakan oleh majlis ta’lim Abah Uci
NO PERNYATAAN JAWABAN
SL SR KD P TP
9 Saya kurang tertarik degan materi ta’lim
yang disampaikan Abah Uci
10 Saya mencatat materi yang diberikan oleh
Abah uci
11 Saya duduk dengan tenang ketika
mendengarkan ceramah Abah Uci
12 Saya mengobrol ketika Abah Uci sedang
memberikan materi
13 Saya mencari tempat yang nyaman ketika
mengikuti pengajian Abah Uci
14 Saya main hp ketika Abah Uci sedang
menerangkan materi pengajian
15 Materi yang disampaikan Abah Uci
menambah wawasan saya tentang beragama
16 Materi yang disampaikan Abah Uci kurang
jelas sehingga sulit difahami
17 Dengan mengikuti majlis ta’lim Abah Uci,
pengetahuan tentang ibadah bertambah
18 Mengikuti majlis ta’lim Abah Uci membuat
saya lebih paham tentang ilmu agama
19 Saya malas mempelajari kembali materi
pengajian yang disampaikan Abah Uci
20 Saya membiarkan kitab-kitab materi
pengajian Abah Uci
21 Saya mengikuti ta’lim abah Uci karena di
ajak teman
22 Ada perasaan gembira ketika
mendengarkan materi yang disampaikan
Abah Uci
NO PERNYATAAN JAWABAN
SL SR KD P TP
23 Materi yang disampaikan Abah Uci kurang
menarik bagi saya
24 Saya tertarik sekali dengan materi-materi
yang disampaikan abah Uci
25 Pemahaman saya tentang kehidupan
bertambah dengan mengikti ta;lima bah Uci
26 Materi ta’lim abah Uci biasa saja, tidak
menambah pemahaman saya
27 Pemahaman abah Uci tentang tasauf
membuat saya tertarik dengan setiap kajian
dalam ta’linya
28 Setiap mengikti ta’lim abah Uci
pemahaman saya bertambah
29 Saya kurang begitu tertarik dengan kajian-
kajian ta’lim Abah Uci
30 Saya kurang memahami materi-materi yang
disampaikan abah Uci
ANGKET INTERNALISASI NILAI-NILAI
RELIGIUSITAS JAMAAH
(VARIABEL Y)
Petunjuk :
1. Bacalah setiap pernyataan dengan teliti jangan ada yang terlewati.
2. Berikut ini adalah suatu pernyataan dimana diminta untuk memberikan
jawaban yang paling sesuai dengan diri masing-masing dengan tanda contreng
(√) pada kolom yang tersedia
SL : Selalu (5) P : Pernah (2)
SR : Sering (4) TP : Tidak pernah (1)
KD : Kadang-Kadang (3)
3. Setiap jawaban adalah benar semua, oleh karena itu jangan terpengaruh dengan
jawaban teman.
NO PERNYATAAN JAWABAN
SL SR KD P TP
1 Saya ikhlas dalam menjalankan ibadah
kepada Allah SWT.
2 Saya melaksanakan sholat karena takut
berdosa.
3 Saya mempercayai rukun iman.
4 Saya meragukan Tuhan itu ada
5 Saya menggantungkan sesuatu kepada orang
lain
6 Saya percaya pada kekuatan suatu benda
7 Saya mengerjakan shalat lima waktu
8 Saya mengerjakan puasa Ramadhan.
9 Saya melalaikan sholat lima waktu.
10 Saya berdo’a ketika ingin memulai kegiatan
dan mengakhiri kegiatan.
NO PERNYATAAN JAWABAN
SL SR KD P TP
11 Saya beribadah karena berharap sesuatu
12 Saya khusyu dan tidak terburu-buru dalam
menjalankan sholat
13 Setiap mendengar adzan saya langsung
mengambil air wudlu untuk melaksanakan
sholat.
14 Saya membaca Al-Qur’an dengan tartil.
15 Saya melaksanakan sholat untuk
mengugurkan kewajiban saja.
16 Saya menunda-menunda sholat
17 Saya malas sholat berjama’ah
18 Saya bisa membedakan antara perilaku yang
terpuji dan perilaku yang tercela
19 Saya memahami tata cara beribadah dengan
baik
20 Saya melaksanakan ibadah bukan karena
pengetahuan, tetapi karena ikut-ikutan
21 Saya mendatangi majlis ta’lim untuk
mendapatkan pengetahuan agama dengan baik
22 Saya beribadah sesuka hati
23 Saya pura-pura menjadi ahli ibadah
24 Saya menjawab dengan jujur apabila
ditanyakan sesuatu oleh orang tua dan orang
lain
25 Saya mengamalkan apa yang diajarkan
dalam kegaiatan pengajian.
26 Saya melaksanakan sholat dan ibadah-
ibadah lainnya karena malu dengan orang
lain.
NO PERNYATAAN JAWABAN
SL SR KD P TP
27 Saya melaksanakan sholat degan tepat waktu
28 Saya mengabaikan perintah orang tua
29 Saya membiarkan sampah berserakan
30 Saya beribadah karena terpaksa
LAMPIRAN 2 INSTRUMEN/KUESIONER
HASIL UJI COBA
KUESIONER
STUDI FAKTOR KHARISMATIK ABAH UCI DAN MINAT MENGIKUTI
TA’LIM MINGGUAN TERHADAP INTERNALISASI NILAI RELIGIUSITAS
JAMAAH DI PONDOK PESANTREN AL-ISTIQLALIYAH KECAMATAN
PASAR KEMIS KABUPATEN TANGERANG
Pendahuluan:
Tujuan kajian ini adalah untuk meninjau pandangan Anda tentang Pengaruh
Kharismatik Abah Uci dan Minat Mengikuti Ta’lim Mingguan terhadap
Internalisasi Nilai Religiusitas Jamaah di Pondok Pesantren Al-Istiqlaliyah
Kecamatan Pasar Kemis Kabupaten Tangerang.
Kajian ini bukan bertujuan untuk ‘menguji’ atau ‘menilai’ Anda tentang yang
dikemukakan dalam kuesioner ini. Tidak ada jawaban ‘benar’ atau ‘salah’ bagi
setiap kenyataan yang diberikan. Identitas pribadi Anda akan dirahasiakan.
Kerjasama Anda amat diperlukan untuk menjawab soal penelitian dengan sebenar-
benarnya dan sejujur-jujurnya sesuai apa yang Anda ‘alami’ dan‘rasakan’ di
sekolah.
Kerjasama Anda amat dihargai dan diucapkan terima kasih.
Peneliti,
Sudarto
Kepada Yth:
Jamaah Ta’lim Mingguan Abah Uci
di-
Tempat
Dengan Hormat,
Bersama ini saya mohon dengan hormat kesediaan Anda untuk mengisi instrumen
penelitian ini, berkenaan dengan tesis saya yang berjudul “Studi Faktor
Kharismatik Abah Uci dan Minat Mengikuti Ta’lim Mingguan terhadap
Internalisasi Nilai Religiusitas Jamaah di Pondok Pesantren Al-Istiqlaliyah Kecamatan Pasar Kemis Kabupaten Tangerang.” Instrumen ini merupakan
sarana pengumpulan data untuk penyusunan Tesis Program Studi Pendidikan
Agama Islam, Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam pengisian instrumen ini, jawaban yang Anda berikan dijamin
kerahasiaannya karena informasi tersebut hanya untuk kepentingan ilmiah semata.
Untuk itu diharapkan kesediaan Anda memberikan jawaban yang benar sehingga
mencerminkan realita yang ada.
Atas perkenan dan kesediaan Anda saya haturkan banyak terima kasih.
Tangerang, Juli 2019
Hormat saya,
Sudarto
ANGKET KHARISMATIK KYAI (VARIABEL X1)
Petunjuk :
4. Bacalah setiap pernyataan dengan teliti jangan ada yang terlewati.
5. Berikut ini adalah suatu pernyataan dimana diminta untuk memberikan
jawaban yang paling sesuai dengan diri masing-masing dengan tanda contreng
(√) pada kolom yang tersedia
SL : Selalu (5) P : Pernah (2)
SR : Sering (4) TP : Tidak pernah (1)
KD : Kadang-Kadang (3)
6. Setiap jawaban adalah benar semua, oleh karena itu jangan terpengaruh dengan
jawaban teman.
NO PERNYATAAN JAWABAN
SL SR KD P TP
1 Abah Uci mendorong para jamaah untuk
berbuat kebaikan
2 Abah Uci banyak disukai oleh para
jamaahnya
3 Abah Uci memiliki kharismatik dalam
mengisi materi majlis ta’lim
4 Abah Uci memiliki pribadi yang rendah
hati dan murah senyum
5 Abah Uci meniru gaya orang lain dalam
mengisi materi majlis ta’lim
6 Abah Uci datang terlambat ketika akan
mengisi materi majlis ta’lim
7 Abah Uci membawakan materi ta’lim
dengan monoton
8 Abah Uci membuat jamaah nyaman dalam
mengikuti pengajian
NO PERNYATAAN JAWABAN
SL SR KD P TP
9 Abah Uci membawakan materi dengan
Bahasa yang mudah dipahami oleh para
jamaahnya
10 Abah Uci menyampaikan materi dengan
jelas, lugas, dan elegan.
11 Abah Uci mudah dipengaruhi oleh tokoh
politik
12 Suara Abah Uci terlalu lembuat sehinga
tidak jelas
13 Abah Uci penuh keyakinan saat
membawakan materi di majlis ta’lim
14 Abah Uci mengajarkan materi majlis ta’lim
kurang jelas
15 Abah Uci menjawab pertanyaan yang
diajukan jamaah dengan penuh keyakinan
16 Abah Uci menyampaikam materi pengajian
dengan suara lantang
17 Materi yang di sampaikan Abah Uci sesuai
dengan budaya yang ada di masyarakat
18 Abah Uci menyampaikan materi hanya
berdasarkan kitab yang dipegangya saja
19 Abah Uci mempunyai banyak rujukan
dalam menyampaikan materi pengajian
20 Abah Uci sedikit perbendaharaan kata
dalam menyampaikan materi pengajian
21 Abah Uci menguasai menyampaikan materi
ta;lim dengan baik
22 Abah Uci bersikap kurang fleksibel dalam mengisi materi di majlis ta’lim
23 Abah Uci bijaksana dalam memberikan
solusi atas pertanyaan jamaah
ANGKET MINAT MASYARAKAT (Jama’ah)
(VARIABEL X2)
Petunjuk:
3. Berikut ini adalah suatu pernyataan dimana Anda diminta untuk memberikan
jawaban yang paling sesuai dengan diri masing-masing dengan tanda contreng
(√) pada kolom yang tersedia
SL : Selalu (5) P : Pernah (2)
SR : Sering (4) TP : Tidak pernah (1)
KD : Kadang-Kadang (3)
4. Setiap jawaban adalah benar semua, oleh karena itu jangan terpengaruh dengan
jawaban orang lain.
NO PERNYATAAN JAWABAN
SL SR KD P TP
1 Saya merasa senang mengikuti majlis
ta’lim yang di bimbing oleh Abah Uci
2 Saya tertarik dengan materi yang diberikan
oleh Abah Uci
3 Pengajian Abah Uci biasa-biasa saja seperti
pengajian pada umumnya
4 Saya tidak ingin melewati setiap kajian
yang diberikan oleh abah Uci
5 Saya merasa kecewa jika Abah Uci
berhalangan hadir
6 Saya duduk di depan mengikuti pengajian
Abah Uci
7 Saya tidur ketika mengikuti pengajian Abah
Uci
8 Saya mengikuti semua kegiatan yang
diadakan oleh majlis ta’lim Abah Uci
NO PERNYATAAN JAWABAN
SL SR KD P TP
9 Saya kurang tertarik degan materi ta’lim
yang disampaikan Abah Uci
10 Saya mencatat materi yang diberikan oleh
Abah uci
11 Saya duduk dengan tenang ketika
mendengarkan ceramah Abah Uci
12 Saya mengobrol ketika Abah Uci sedang
memberikan materi
13 Saya mencari tempat yang nyaman ketika
mengikuti pengajian Abah Uci
14 Saya main hp ketika Abah Uci sedang
menerangkan materi pengajian
15 Materi yang disampaikan Abah Uci
menambah wawasan saya tentang beragama
16 Materi yang disampaikan Abah Uci kurang
jelas sehingga sulit difahami
17 Dengan mengikuti majlis ta’lim Abah Uci,
pengetahuan tentang ibadah bertambah
18 Saya malas mempelajari kembali materi
pengajian yang disampaikan Abah Uci
19 Saya mengikuti ta’lim abah Uci karena di
ajak teman
20 Ada perasaan gembira ketika
mendengarkan materi yang disampaikan
Abah Uci
21 Materi yang disampaikan Abah Uci kurang
menarik bagi saya
22 Pemahaman saya tentang kehidupan
bertambah dengan mengikti ta;lima bah Uci
NO PERNYATAAN JAWABAN
SL SR KD P TP
23 Materi ta’lim abah Uci biasa saja, tidak
menambah pemahaman saya
24 Pemahaman abah Uci tentang tasauf
membuat saya tertarik dengan setiap kajian
dalam ta’linya
25 Saya kurang begitu tertarik dengan kajian-
kajian ta’lim Abah Uci
ANGKET INTERNALISASI NILAI-NILAI
RELIGIUSITAS JAMAAH
(VARIABEL Y)
Petunjuk :
4. Bacalah setiap pernyataan dengan teliti jangan ada yang terlewati.
5. Berikut ini adalah suatu pernyataan dimana diminta untuk memberikan
jawaban yang paling sesuai dengan diri masing-masing dengan tanda contreng
(√) pada kolom yang tersedia
SL : Selalu (5) P : Pernah (2)
SR : Sering (4) TP : Tidak pernah (1)
KD : Kadang-Kadang (3)
6. Setiap jawaban adalah benar semua, oleh karena itu jangan terpengaruh dengan
jawaban teman.
NO PERNYATAAN JAWABAN
SL SR KD P TP
1 Saya ikhlas dalam menjalankan ibadah
kepada Allah SWT.
2 Saya melaksanakan sholat karena takut
berdosa.
3 Saya mempercayai rukun iman.
4 Saya menggantungkan sesuatu kepada orang
lain
5 Saya percaya pada kekuatan suatu benda
6 Saya mengerjakan shalat lima waktu
7 Saya mengerjakan puasa Ramadhan.
8 Saya melalaikan sholat lima waktu.
9 Saya beribadah karena berharap sesuatu
10 Saya khusyu dan tidak terburu-buru dalam
menjalankan sholat
NO PERNYATAAN JAWABAN
SL SR KD P TP
11 Setiap mendengar adzan saya langsung
mengambil air wudlu untuk melaksanakan
sholat.
12 Saya membaca Al-Qur’an dengan tartil.
13 Saya melaksanakan sholat untuk
mengugurkan kewajiban saja.
14 Saya malas sholat berjama’ah
15 Saya memahami tata cara beribadah dengan
baik
16 Saya mendatangi majlis ta’lim untuk
mendapatkan pengetahuan agama dengan baik
17 Saya beribadah sesuka hati
18 Saya menjawab dengan jujur apabila
ditanyakan sesuatu oleh orang tua dan orang
lain
19 Saya melaksanakan sholat dan ibadah-
ibadah lainnya karena malu dengan orang
lain.
20 Saya melaksanakan sholat degan tepat waktu
21 Saya membiarkan sampah berserakan
Suasana Ta’lim Mingguan Abah Uci
Majelis Tempat Ta’lim Minggu
Jama’ah Yang Berada diluar Majlis
Asrama / Kobong Santri
Area Parkir Motor
Pengisian Angket/Kuisioner
Dokumentasi Wawancara
Hasil Wawancara
Narasumber : Ust. Bahrudin (Santri Senior)
Hari/Tanggal : Selasa, 20 Agustus 2019
1. Q : Kapan berdirinya Ponpes Al-Istiqlaliyah ?
A : Pondok Pesantren ini didirikan oleh Abuya Dimiyati ayah dari
Abah Uci sekitar tahun 1957, yang bermula dari sebuah mushola
yang digunakan untuk sholat dan mengaji pada saat itu.
2. Q : Berapa Luas Pesantren Ponpes Al-Istiqlaliyah ?
A : Pesantren ini berdiri di lahan ±1 hektar, yang di dalamnya terdapat
kobong-kobong, rumah keluarga Abah, dan memang berbaur dengan
rumah masyakat.
3. Q : Berapa banyak jumlah santri ?
A : Santri disini kisaran 600an yang mukim dari berbagai daerah
bahkan ada yang dari luar pulau jawa. Sedangkan santri yang tidak
mukim alias santri kalong itu banyak mereka hanya ikut pengajian
yang ada di pesantren tapi tidak tinggal di pesantren.
4. Q : Bagaiamana mengenai jenjang pendidikan santri ?
A : Di Pesantren ini tidak disediakan jenjang pendidikan formal seperti
SMP, SMA, melainkan murni pengajian kitab-kitab klasik yang di
ajarkan Abah langsung maupun oleh para Ustadz yang lain.
5. Q : Apa saja kegiatan santri sehari-hari ?
A : Ya, seperti biasa mulai dari subuh sholat berjamaah kemudian
setelah sholat subuh ada pengajian kitab, siang juga bada zuhur juga
ada pengajian, sampai malam lagi kegiatannya ngaji.
6. Q : Apa saja kitab yang di ajarkan disini ?
A : Macam-macam ada kitab fiqih, tauhid, ilmu alat, dan lain
sebagainya yang diajarkan mulai kitab dasar sampai tingkat
tertinggi.
7. Q : Abah Uci sebagai generasi kedua, bisa menjelaskan profil beliau ?
A : Abah lahir itu tahun 1964, berarti sekarang usia Abah 55 tahun dan
Abah mempunyai seorang istri serta 12 orang putra putri namun
yang hidup 10 orang. Abah dari kecil di didik langsung oleh Abuya
Dimyati.
8. Q : Selain di didik ilmu agama langsung oleh ayah beliau, dimana
Abah mondok dan siapa saja guru-gurunya ?
A : Abah mondok di banyak pesantren, yang saya ingat itu Abah
pernah cerita Abah mondok di daerah Banjar Patoman Jawa Barat
gurunya Ajengan Imam, pernah di Garut juga, di Kediri Pesantren
Kwagean Kyai Hanan dan yang terakhir di Abah Ucup Caringin
Cisoka baru dari situ beliau pulang dan meneruskan membantu
Abuya Dimyati di Al-Istiqlaliyah.
9. Q : Menurut banyak orang Abah mempunyai kelebihan selain dari segi
ilmu agama atau biasanya disebut karomah. Setau Ustadz apa saja
kelebihan atau karomah Abah ?
A : Memang banyak sekali kelebihan Abah selain ilmu agama, tapi
yang pernah saya rasakan sendiri adalah ketika saya pernah belajar
thoriqot ke Suralaya dan sepulang dari sana saya sowan ke Abah
sebelum saya sampaikan maksud saya Abah sudah bilang Din...ga
usah ikut thoriqot dulu ngaji aja dulu yang bener, padahal saya
belum ngomong apa-apa. Ada juga ketika saya dan santri ziarah ke
Cigundul Cianjur dimana daerah terjal dan berbukit, anehnya Abah
itu cepet sekali sudah sampai puncak bukit, barulah Abah cerita
kalau beliau tadi di jemput naik kuda, padahal kami yang ikut tidak
melihat kuda.
10. Q : Kegiatan atau pengajian apa yang langsung Abah pimpin ?
A : ada beberapa pengajian yang Abah langsung pimpin, diantaranya
pengajian malam selasa, malam jumat dan minggu pagi namun
pengajian minggu pagi yang jamaahnya paling banyak sekitar 3000
jamaah dari berbagai wilayah dan tidak hanya santri melainkan para
ustad, kyai pun ikut serta pengajian minggu pagi.
11. Q : Apakah di pengajian minggu pagi Abah langsung membuka
pengajian atau memang ada hal-hal lain yang dilakukan terlebih
dahulu ?
A : Iya Abah langsung memulai pengajian namun biasanya sebelum
pengajian di awali dengan kirim hadiah atau surat Al-Fatihah
kemudian di lanjutkan dengan sholawat Ibrahimiyah dan kemudian
Abah memulai pengajian.
12. Q : Jam berapa biasanya pengajian di mulai ?
A : Pengajian minggu pagi biasanya dimulai pukul 08.00-12.00
kemudian disambung lagi setelah sholat dzuhur sekitar pukul 13.00-
14.00
13. Q : Bagaiamana cara Abah menyampaikan pengajian ?
A : Biasanya Abah membaca beberapa baris dari kitab kemudian, di
terangkan kepada jamaah dengan keluasan ilmu beliau jamaah
terpukau dan takjub.
14. Q : Apakah jamaah diberikan kesempatan bertanya ?
A : Jamaah hanya mendengarkan, dan istilah disini nyoret kitab yang
dibaca oleh Abah.
15. Q : Dari sekian banyak jamaah yang ikut pengajian, apa yang
mendorong mereka ikut pengajian ?
A : Jamaah pengajian ikut pengajian tentunya untuk belajar atau
menuntut ilmu, setelah itu tabarukan atau mencari keberkahan dan
ridlo Abah, kalau ada yang belanja atau lain sebagainya itu hanya
bumbu-bumbu pelengkap pengajian dan alhamdulillah pengajian
membawa keberkahan untuk masyarakat dari segi ekonomi karena
setelah pengajian banyak jamaah yang belanja.
16. Q : Apa yang di lihat jamaah dari Abah Uci ?
A : Sosok beliau yang kharismatik, luasanya keilmuan, ketwadluan,
tutur kata yang santun enak dipandang, lemah lembut, dan
memberikan solusi permasalahan bagi umat atau jamaah.
SURAT KETERANGAN
Yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : Bahrudin
Jabatan : Santri Pondok Pesantren Al-Istiqlaliyah
Menerangkan bahwa :
Nama : Sudarto
Tempat, Tanggal Lahir : Cirebon, 14 Januari 1985
NIM : 21150110000006
Status : Mahasiswa Program Magister Pendidikan Agama
Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Adalah benar telah mengadakan wawancara penelitian pada hari selasa 20
Agustus 2019, untuk bahan penelitian tesis yang berjudul “Studi Faktor
Kharismatik Abah Uci dan Minat Mengikuti Ta’lim Mingguan Terhadap
Internalisasi Nilai Religiusitas Jamaah di Pondok Pesantren Al-Istiqlaliyah
Kecamatan Pasar Kemis Kabupaten Tangerang.”
Dengan tujuan melengkapi data yang berkaitan dengan judul tesis di atas.
Demikian surat keterangan ini di buat untuk digunakan sebagaimana mestinya.
Tangerang, 20 Agustus 2019
Bahrudin