16
Jurnal Geoaplika (2006) Volume 1, Nomor 1, hal. 031 – 045 K. N. Tabri. Studi Fasies Batugamping dan Pola Kekar dalam Peningkatan Efisiensi Produksi Tambang Batu Ornamen/Marmer Komersial di Daerah Gunung Guha, Desa Cihea Kec. Bojongpicung, Kab. Cianjur Diterima : 14 Februari 2006 Disetujui : 20 Maret 2006 Dipresentasikan : 13 April 2006 © Geoaplika 2006 K. N. Tabri.* KK Geologi Terapan FIKTM – ITB Jl. Ganesha 10 Bandung 40132, E-mail : [email protected] * Alamat korespondensi Sari – Batugamping di daerah penelitian terdiri dari 2 (dua) fasies yaitu fasies framestone- bindstone dan rudstone. Kedua fasies tersebut merupakan bagian dari inti terumbu (reef- crest atau reef-front) dari sistem pengendapan karbonat. Pembentukannya dikontrol oleh kenaikan muka air laut (sea level rise) dan penurunan cekungan, serta telah mengalami proses diagenesa pada lingkungan deep burial tahap lanjut (late diagenesis) pada Kala Oligosen Tengah. Pola kekar gerus (shear joint) menyebabkan sifat fisik batuan menjadi rendah dan mempengaruhi dalam penambangan dan pembuatan tiles, sedangkan pola kekar tarik (tension joint) dan stylolite tidak berpengaruh. Studi fasies batugamping dan pola kekar memberikan kontribusi yang besar dalam peningkatan efisiensi produksi tambang bahan baku marmer komersial. Hasil analisis slab, petrografi, kimia, fisik, dan analisis SEM menunjukkan bahwa jenis fasies batugamping tersebut telah memenuhi persyaratan mutu/kualitas sebagai bahan baku marmer komersial sesuai Standarisasi Nasional Indonesia (SNI) dalam penggunaan sebagai penutup lantai dan dinding bangunan. Kata kunci: fasies batugamping, pola kekar, efisiensi produksi tambang, marmer komersial. Abstract – Limestone at the study area consists of two facies i.e. framestone-bindstone facies and rudstone facies. Both are part of the reef crest or reef- front in the carbonate environtmental system which controlled by sea level rise and basin subsidence. The rocks are affected by deep burial or late diagenesis during the Middle Oligocene Epoch. Shear joint pattern caused low quality rock and influenced of mining system as well as tiles producing. However, tension joints and stylolites are not influenced much. The study of limestone facies and joint pattern gives good contribution for mining production efficiency in order to produce commercial marbles. Slab, petrographic, chemical and SEM analysis show good qualification for wall tiles or floor tiles of building materials under Indonesian National Standarization Key words: limestone facies, joints pattern, mining production efficency, commercial marble

Studi Fasies Batugamping Dan Pola Kekar

Embed Size (px)

DESCRIPTION

geologi

Citation preview

Page 1: Studi Fasies Batugamping Dan Pola Kekar

Jurnal Geoaplika (2006) Volume 1, Nomor 1, hal. 031 – 045

K. N. Tabri.

Studi Fasies Batugamping dan Pola Kekar dalam Peningkatan Efisiensi Produksi Tambang Batu Ornamen/Marmer Komersial di Daerah Gunung Guha, Desa Cihea Kec. Bojongpicung, Kab. Cianjur

Diterima : 14 Februari 2006 Disetujui : 20 Maret 2006 Dipresentasikan : 13 April 2006 © Geoaplika 2006 K. N. Tabri.* KK Geologi Terapan FIKTM – ITB Jl. Ganesha 10 Bandung 40132, E-mail : [email protected] * Alamat korespondensi

Sari – Batugamping di daerah penelitian terdiri dari 2 (dua) fasies yaitu fasies framestone-bindstone dan rudstone. Kedua fasies tersebut merupakan bagian dari inti terumbu (reef-crest atau reef-front) dari sistem pengendapan karbonat. Pembentukannya dikontrol oleh kenaikan muka air laut (sea level rise) dan penurunan cekungan, serta telah mengalami proses diagenesa pada lingkungan deep burial tahap lanjut (late diagenesis) pada Kala Oligosen Tengah. Pola kekar gerus (shear joint) menyebabkan sifat fisik batuan menjadi rendah dan mempengaruhi dalam penambangan dan pembuatan tiles, sedangkan pola kekar tarik (tension joint) dan stylolite tidak berpengaruh. Studi fasies batugamping dan pola kekar memberikan kontribusi yang besar dalam peningkatan efisiensi produksi tambang bahan baku marmer komersial. Hasil analisis slab, petrografi, kimia, fisik, dan analisis SEM menunjukkan bahwa jenis fasies batugamping tersebut telah memenuhi persyaratan mutu/kualitas sebagai bahan baku marmer komersial sesuai Standarisasi Nasional Indonesia (SNI) dalam penggunaan sebagai penutup lantai dan dinding bangunan. Kata kunci: fasies batugamping, pola kekar, efisiensi produksi tambang, marmer komersial.

Abstract – Limestone at the study area consists of two facies i.e. framestone-bindstone facies and rudstone facies. Both are part of the reef crest or reef-front in the carbonate environtmental system which controlled by sea level rise and basin subsidence. The rocks are affected by deep burial or late diagenesis during the Middle Oligocene Epoch. Shear joint pattern caused low quality rock and influenced of mining system as well as tiles producing. However, tension joints and stylolites are not influenced much. The study of limestone facies and joint pattern gives good contribution for mining production efficiency in order to produce commercial marbles. Slab, petrographic, chemical and SEM analysis show good qualification for wall tiles or floor tiles of building materials under Indonesian National Standarization Key words: limestone facies, joints pattern, mining production efficency, commercial marble

Page 2: Studi Fasies Batugamping Dan Pola Kekar

32

Pendahuluan Marmer dalam Geologi adalah batuan metamorfosa yang berasal dari batugamping yang terubah tekstur dan komposisi mineralnya akibat pengaruh temperatur dan tekanan. Marmer dalam pengertian umum (awam) adalah semua batuan alam yang tersusun oleh satu atau lebih mineral (kalsit atau dolomit) yang mempunyai kemampuan untuk dipoles hingga mengkilap. Dalam industri batu ornamen, batuan jenis ini mempunyai nilai ekonomis yang sangat baik dan dikenal sebagai marmer komersial. Marmer dalam pengertian awam dalam makalah ini selanjutnya diberi istilah tersebut (marmer komersial). Marmer komersial sangat tergantung dari kualitas batugamping, antara lain sifat fisik (kuat tekan, berat jenis, daya serap air, ketahanan aus dan kekekalan atau soundness), warna, corak, dan kilap. Tidak semua batugamping dapat dikatakan sebagai marmer komersial, karena sangat tergantung dari tekstur/corak, warna, dan sifat fisiknya. Pada tahun 1980 - 1987 kebutuhan marmer di Indonesia sebagian besar dipenuhi oleh marmer impor dari Italia dan sebagian kecil dari dalam negeri yang dihasilkan dari daerah Tulungagung, Citatah, Lampung, dan Payakumbuh, Sumatra Barat. Konsumen di Indonesia tidak mempersoalkan apakah batuan tersebut memang marmer dalam pengertian geologi atau apapun jenis batu bercorak yang dipoles, yang selanjutnya dikenal sebagai marmer komersial. Hal terpenting untuk marmer komersial adalah telah sesuai dengan persyaratan mutu/kualitas sebagai batu alam untuk bangunan. Produksi marmer komersial di Indonesia saat ini berasal dari Tulungagung, Citatah, Timor, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Selatan. Kelima daerah tersebut semuanya memproduksi marmer dari bahan baku batugamping. Pada tahun 1996, daerah Citatah di Kabupaten Bandung, merupakan penghasil terbesar di Indonesia. Di daerah ini, terdapat sepuluh perusahaan marmer komersial, dengan bahan baku yang dipergunakan adalah batugamping Formasi Rajamandala. Produksi barang jadi dari tiap perusahaan tersebut rata-rata sebesar 7.500 m2/bulan.

Walaupun daerah Citatah merupakan penghasil marmer komersial terbesar di Indonesia saat itu, tetapi perusahaan-perusahaan tersebut dalam melakukan kegiatan penambangannya diperkirakan kurang efisien karena ketidaktahuan mereka mengenai keadaan geologi bahan bakunya (geometri, penyebaran, pola kekar), sehingga sangat mempengaruhi efisiensi produksi bahan baku marmer komersial. Karena kekurangan bahan baku, akhirnya pada saat ini, hanya lima perusahaan yang masih beroperasi. Koesoemadinata dan Siregar (1984) telah melakukan penelitian untuk kepentingan keilmuan batugamping Formasi Rajamandala yang tersingkap di daerah Tagogapu- Rajamandala yang berumur Oligosen Bawah. Fasies-fasies batugamping yang dijumpai di daerah ini yaitu fasies Globigerina wackestone-packstone, fasies Lepidocyclina packstone, fasies Millioid packstone, fasies Coral debris rudstone dan fasies Coralline boundstone. Beberapa fasies batugamping tersebut mempunyai nilai ekonomis yang tinggi sebagai bahan baku ornamen dan dapat dikatakan sebagai marmer komersial serta mempunyai pasar yang sangat baik di dalam atau di luar negeri. Berbagai jenis fasies batugamping dari beberapa daerah di Indonesia dan Italia yang saat ini dipasarkan sebagai marmer komersial mempunyai nama dan nilai komersial berbeda-beda (lihat Tabel 1 dan 2). Dalam pemasaran marmer komersial di Indonesia penamaan produk tersebut sangat mempengaruhi minat konsumen. Penamaan belum ada peraturannya, ada yang berdasarkan dari warna, letak geografis dan nama gunung. Beberapa perusahaan dalam pemberian nama produknya sering menggunakan bahasa asing. Alasan penggunaan bahasa asing tersebut disebabkan konsumen di Indonesia pada umumnya belum mengetahui bahwa marmer komersial negara kita sudah mulai dikenal di pasaran dunia. Dari segi harga dan kualitas ternyata produk dalam negeri dapat bersaing dengan produk luar negeri, keunggulan marmer Indonesia di luar negeri yaitu dari segi corak dan presisi ukuran tiles. Corak batugamping kelihatannya sangat menarik konsumen karena tekstur yang terdiri dari cetakan fosil biota-biota laut seperti koral, ganggang, dan foraminifera terlihat jelas

Page 3: Studi Fasies Batugamping Dan Pola Kekar

33

dibandingkan dengan corak marmer dari batuan metamorfosa. Batugamping dapat digunakan sebagai bahan baku marmer komersial dengan beberapa persyaratan, di antaranya persyaratan fisik, warna, corak, kilap dan nilai estetika. Persyaratan fisik yang harus dipenuhi antara

lain: kuat tekan, daya serap air, keausan, kekekalan bentuk, warna, corak dan kilap. Pengujian kuat tekan, daya serap air, keausan dan kekekalan bentuk harus sesuai dengan standarisasi penggunaan batuan marmer dalam bangunan yang dikeluarkan oleh Dewan Standarisasi Nasional (DSN), SNI 13-0089-1987 (Tabel 3).

Tabel 1. Hubungan Fasies, Formasi, Sifat Fisik, Nama Dan Nilai Komersial

No Nama fasies

Formasi/ lokasi

Pengujian Warna Corak Kilap Nama Komersial Nilai Komersial (60 x 60 cm)

1 Foraminiferal Packstone-Grainstone

Rajamandala (Citatah)

baik krem terang

seragam sedang Gelatik rendah - sedang

2 Floatstone Rajamandala (Citatah)

buruk abu-abu tua

tidak seragam

buruk - rendah

3 Rudstone •Rajamandala (Gn. Guha)

•sda (Citatah) •Berai (Kalsel)

sangat baik •coklat ke abuan •pink

seragam sangat baik

•Carmen Red •Rosso •Borneo Pink

tinggi Rp.60.000 -

Rp.135.000/m2

4 Rudstone •Rajamandala (Gn. Guha)

•Italia

sangat baik coklat kemerahan

seragam sangat baik

•Mandala Red •Breccia Coral

sangat tinggi Rp.135.000 - Rp.225.00/m2

5 Framestone •Rajamandala (Gn.Guha)

•sda (Citatah)

sangat baik krem ditengah abu-abu /coklat

tidak seragam

sangat baik

•Cream Blue •Cream Tablo

sedang <Rp.60.000/m2

6 Framestone Rajamandala (Gn. Guha)

sangat baik abu-abu terang

seragam sangat baik

Atlantic Grey tinggi Rp.60.000 -

Rp.135.000/m2 7 Framestone

- bindstone

•Rajamandala (Gn. Guha)

•sda (Citatah) •Punung •Berai /Kalsel •Tonasa/Sulsel

sangat baik •krem, abu-abu muda

•krem kekuningan

•krem •putih dan

krem

seragam sangat baik

•Imperial & Royal Cream

•Cream tipe A , B , C , D , E

•Kawi / Bromo •Borneo White &

Cream •Clasico Cremo

tinggi Rp.60.00 0-

Rp.135.000/m2

Selain sifat fisik, warna batugamping sangat menentukan tinggi rendahnya nilai ekonomis batu ornamen. Pada dasarnya, semua jenis warna adalah baik, tetapi persyaratan yang utama diperlukan dalam pemakaian untuk penutup lantai atau penutup dinding adalah keseragaman warna. Warna yang seragam misalnya krem mempunyai nilai komersial tinggi karena mudah dalam pengaturan tata letak ruangan atau bangunan (interior dan exterior design), sedangkan warna yang tidak seragam, misalnya warna krem dengan variasi sekitarnya terdapat warna coklat, walaupun telah memenuhi persyaratan pengujian dalam pemakaian bangunan, akan turun nilai ekonomisnya, karena akan sulit dalam pengaturan tata letak ruangan. Demikian pula, warna seragam yang mencolok seperti coklat

kemerahan, hijau, atau hitam, mempunyai nilai ekonomis yang lebih tinggi dibanding dengan warna krem, abu-abu, atau putih karena dianggap sebagai warna eksklusif. Corak batugamping yang sebenarnya merupakan tekstur batuan, juga berperan besar dalam pemasaran sebagai marmer komersial. Tekstur yang umumnya dikatakan baik adalah batugamping dengan tekstur terdiri dari biota-biota koral, baik koral jenis masif (head corals), bercabang (branching corals), atau pipih (platy corals). Sedangkan tekstur yang terdiri dari biota foraminifera besar dalam pemasaran kurang begitu baik, karena akan menyerupai teraso apabila sudah menjadi tiles. Corak juga sangat berpengaruh dalam penentuan arah pemotongan balok dan slabs.

Page 4: Studi Fasies Batugamping Dan Pola Kekar

34

Tabel 2. Pemerian beberapa jenis fasies batugamping yang mempunyai nilai komersial tinggi dan laku di pasaran

No Nama Fasies Pemerian Corak Kilap Nama Komersial 1 Rudstone

(Gambar 2 dan 3)

Batugamping, coklat keabuan/ coklat kemerahan, sangat kasar, fragmen membundar-menyudut tanggung, dalam masa dasar wackestone-packstone. Fragmen terdiri dari fragmen framestone-bindstone dan wackestone packstone, batuan sangat keras.

Seragam diperlihatkan oleh fragmen-fragmen

penyusunnya

Sangat mengkilap Carmen Red, Mandala Red, Rosso, Breccia

Coral

2 Framestone (Gambar 5)

Batugamping, abu-abu terang, tersusun oleh kerangka koral, ganggang merah dan foram, saling berikatan, masif, kompak dan sangat keras.

Seragam diperlihatkan oleh

susunan koral masif

Sangat mengkilap Atlantic Grey

3 Framestone-bindstone (Gambar 7)

Batugamping, krem -putih, tersusun oleh kerangka koral, ganggang merah dan foram besar, saling berikatan, masif, kompak dan sangat keras.

Seragam diperlihatkan oleh

susunan koral masif/bercabang

Sangat mengkilap Imperial Cream, Royal Cream

4 Framestone -bindstone (Gambar 9)

Batugamping, krem kekuningan, tersusun oleh kerangka koral dan ganggang merah yang saling berikatan, masif, tampak adanya stylolite, batuannya sangat keras.

Seragam diperlihatkan oleh

susunan koral bercabang , ganggang

merah dan pola stylolite.

Sangat mengkilap Kawi atau Bromo

5 Framestone-bindstone (Gambar 10)

Batugamping, putih keabuan, tersusun oleh kerangka koral, ganggang merah dan foram, saling berikatan, masif, kompak dan sangat keras.

Seragam diperlihatkan oleh

susunan koral masif

Sangat mengkilap Borneo White

6 Framestone -bindstone (Gambar 11)

Batugamping, krem -putih, tersusun oleh kerangka koral, ganggang merah dan foram besar, saling berikatan, masif, kompak dan sangat keras.

Seragam diperlihatkan dari pola stylolite dan

koral platy

Sangat mengkilap Clasico Cremo

Tabel 3. Persyaratan fisik sesuai SNI 13-0089-1987

Marmer untuk lantai Marmer untuk batu tempel/hias

Jenis Pengujian Beban hidup > 250 kg/cm2

Beban hidup < 250 kg/cm2

Konstruksi luar

Konstruksi dalam

Penyerapan air maksimum %

0.75 0.75 0.75 1.00

Kuat tekan minimum kg/cm2

800 800 600 500

Ketahanan aus, maksimum mm/menit

0.130 0.160 - -

kekekalan bentuk tidak cacat tidak cacat tidak cacat retas kecil Kilap yang dimaksud disini adalah kilap yang muncul pada batugamping setelah dipoles. Kilap dikatakan baik apabila memperlihatkan pantulan atau seperti kaca hias, sedangkan persyaratan estetika menyangkut cita rasa pemakai serta tempat di mana marmer komersial tersebut akan dipasang. Batugamping mempunyai nilai estetika yang tinggi apabila mempunyai sifat yang artistik dan cocok apabila dipadukan dengan benda-benda lain

dalam pengaturan tata letak suatu ruangan atau bangunan (interior atau exterior design). Permasalahan Produksi bahan baku batugamping untuk industri marmer komersial dari perusahaan-perusahaan tambang saat ini di Indonesia banyak mendapatkan hambatan karena mengabaikan faktor geologi, yaitu

Page 5: Studi Fasies Batugamping Dan Pola Kekar

35

sedimentologi dan struktur geologi. Akibat adanya permasalahan dan kendala tersebut, maka terjadi penurunan produksi bahan baku dan kesulitan pemasaran bahan jadi (tiles). Penambangan kurang efisien karena tidak didukung dengan data-data geologi (fasies batugamping, tekstur, penyebaran, warna dan pola kekar). Balok batugamping hasil pemotongan dengan diamond wire saw tidak semuanya dapat diproses menjadi batu poles (tiles) sesuai ukuran yang diharapkan, padahal pemasaran marmer komersial dalam jumlah besar menuntut keseragaman dalam corak dan warna batuan. Selain itu, adanya batuan ornamen yang mempunyai warna dan corak tertentu mempunyai nilai ekonomis yang tinggi, tetapi adanya warna dan corak tertentu juga menjadi penyebab rendahnya mutu batu dan menjadi bahan pengganggu dalam produksi dan pemasaran. Kekurangan pengetahuan pihak penambang batu ornamen tentang bagaimana cara mendapatkan bahan baku yang mempunyai corak dan warna yang seragam, bentuk atau geometri dan penyebaran dari bahan baku yang bernilai ekonomis tinggi, serta bentuk atau geometri dan penyebaran bahan pengganggu, menjadi permasalahan dalam industri batu ornamen ini. Makalah ini akan mencoba menganalisis permasalahan tersebut dengan mengambil studi kasus di daerah penelitian. Daerah penelitian terletak 35 kilometer ke arah barat Kota Bandung, tepatnya pada posisi geografi 107° 18’25” - 107°21’15” Bujur Timur dan 6°51’25” - 6°52”45’ Lintang Selatan. Daerah ini dikenal sebagai Gunung Guha, Desa Cihea, Kecamatan Bojongpicung, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, dengan luas 150 Ha (Gambar 1). Hipotesa kerja yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah bahwa kualitas, bentuk atau geometri, dan penyebaran bahan baku batugamping dikontrol oleh proses geologi, yang terdiri dari proses sedimentasi karbonat (meliputi model pengendapan, bentuk atau geometri endapan, tekstur dan warna), proses tektonik yang mengakibatkan adanya beberapa pola kekar (kekar gerus/shear joint, kekar tarik/ tension joint, dan stylolite). Dengan mengetahui proses sedimentasi batuan karbonat dan pola tektonik yang terdapat di daerah penelitian,

akan memberikan gambaran yang jelas bahan baku batuan ornamen, meliputi bentuk atau geometri, pola penyebaran, pola kekar, tekstur dan warna.

Gambar 1. Lokasi Daerah Penelitian

Metode penelitian yang dipergunakan adalah metode penelitian lapangan dan penelitian laboratorium. Penelitian yang dilakukan meliputi pengukuran topografi skala 1 : 2.000, pengamatan singkapan-singkapan batugamping, pengukuran penampang stratigrafi terukur, dan pengamatan balok batugamping hasil pemotongan dengan diamond wire saw. Semua singkapan diukur koordinat dan ketinggiannya dengan menggunakan alat ukur T0. Pengamatan ini sangat menunjang dalam penentuan fasies-fasies batugamping yang terdapat di daerah penelitian. Contoh batuan yang diambil dari lapangan dipilih untuk di lakukan preparasi guna analisis petrografi, analisis kimia, Scanning Electronic Microscope (SEM), dan analisis fisik batuan. Analisis petrografi dilakukan untuk mengetahui tekstur batugamping, gejala rekristalisasi, porositas, dan jenis biota penyusun. Sedangkan, analisis kimia dikerjakan untuk mengetahui komposisi kimia dan mineral yang terdapat dalam batugamping dan kemungkinan penyebab adanya warna-warna tertentu, baik warna yang dapat meningkatkan ataupun menurunkan kualitas batugamping sebagai marmer komersial. Analisis SEM adalah untuk mengetahui jenis-jenis semen batugamping, kandungan mineral-mineral penyusun batugamping, dan gejala reksristalisasi. Analisis ini akan membantu dalam penafsiran proses diagenesa yang terjadi pada batugamping dan kondisi lingkungan diagenesa batugamping.

Page 6: Studi Fasies Batugamping Dan Pola Kekar

36

Terakhir, analisis fisik batuan dikerjakan untuk mengetahui sifat fisik batugamping sesuai dengan persyaratan Standarisasi Nasional Indonesia (SNI) no. 13-0089-1987 yang dikeluarkan oleh Dewan Standarisasi Nasional (DSN), tentang penggunaan batuan ornamen jenis marmer untuk penutup lantai atau penutup dinding pada bangunan. Sifat fisik yang diuji yaitu penyerapan air maksimum, kuat tekan minimum, dan ketahanan aus maksimum. Studi Kasus di Daerah Penelitian Fasies Batugamping Singkapan batugamping di daerah Gunung Guha sangat dominan. Batugamping ini berwarna krem, abu-abu, kecoklatan atau kemerahan, banyak dijumpai koral, ganggang merah, dan foraminifera besar. Di beberapa tempat terdapat kekar gerus (shear joint), kekar tarik (tension joint) dan stylolite. Batuan umumnya sangat keras. Penyebaran batugamping berarah timurlaut-baratdaya. Singkapan mudah diamati mulai dari patok VT-04 dan YT-02 di Pasir Cabe, sampai ke patok G-25 dan Sal-6 di sebelah timur Pasir Gelatik (Gambar 2 dan 3).

Gambar 2. Singkapan batugamping pada lokasi

G-25, tampak masif tekstur tidak terlihat Dalam sayatan batugamping, fosil foraminifera besar terlihat kurang baik karena telah mengalami rekristalisasi, sehingga penentuan umur formasi ini mengambil referensi dari peneliti terdahulu yaitu berumur N3 - N4 (Marbun, 1988; Siregar, 1983). Penentuan fasies batugamping di daerah penelitian dilakukan berdasarkan pengamatan tekstur, biota penyusun dan massa dasar pada singkapan-singkapan batuan, balok hasil pemotongan diamond wire saw dan batuan polished slab di pabrik pemotongan marmer

komersial. Berdasarkan pengamatan tersebut, di daerah penelitian terdapat 2 (dua) fasies batugamping, yaitu : fasies framestone-bindstone dan fasies rudstone.

Gambar 3. Singkapan batugamping di lokasi

Sal-6, Daerah Gunung Guha Fasies Framestone-bindstone Fasies ini dicirikan oleh biota penyusunnya yang terdiri dari hampir seluruhnya berupa kerangka organik seperti koral dari jenis koral masif (Meandrina) dan koral bercabang (Porites, Acropora, Rhadopyllia), ganggang merah dan foraminifera besar yang saling berikatan (Gambar 4 dan 5).

Gambar 4. Singkapan batugamping framestone-

bindstone di lokasi k-52, Ps. Gelatik 2 warna coklat, ditengah adalah koral masif

Gambar 5. Singkapan yang dipotong diamond wire saw di lokasi K-52 tampak jelas tekstur

pertumbuhan koral dan ganggang merah

Page 7: Studi Fasies Batugamping Dan Pola Kekar

37

Di beberapa tempat terdapat wackestone atau packstone sebagai massa dasar. Batuannya berwarna krem kekuningan, abu-abu terang, merah muda (pink). Penyebaran fasies framestone ini mudah diamati, karena tersingkap hampir di seluruh daerah Gunung Guha.

Dari lima lintasan pengukuran penampang stratigrafi di daerah penelitian, terlihat dominasi dari fasies tersebut. Korelasi penampang stratigrafi memperlihatkan penyebaran lateral dan vertikal fasies framestone-bindstone dengan ketebalan berkisar 242 m - 396 m (Gambar 6).

Gambar 6. Korelasi penampang stratigrafi yang meperlihatkan penyebaran lateral

dan vertikal dari fasies framestone-bindstone. Fasies Rudstone Fasies rudstone dicirikan oleh tekstur klastik sangat kasar, fragmen klastik menyudut, terdiri dari pecahan atau rombakan terumbu (reef) tertanam dalam massa dasar lumpur karbonat. Pemilahan sangat buruk, ukuran fragmen lebih dari 10 cm, batuan berwarna kecoklatan- kemerahan, coklat keabu-abuan/kehijauan, dan merah muda (pink) (Gambar 7). Penyebaran fasies rudstone dijumpai di beberapa tempat dan tidak menerus (kemungkinan berubah fasies), terutama yang terdapat di atas fasies framestone-bindstone. Fasies ini banyak tersingkap baik di Pasir Gelatik mulai dari lokasi Knt-3 kearah timur sampai lokasi BSM. Ketebalannya kurang lebih 50 meter.

Gambar 7. Singkapan batugamping rudstone

pada lokasi Knt-3A yang dipotong diamond wire saw

Model Pengendapan Berdasarkan pada pengamatan tekstur dan biota pada fasies framestone-bindstone, baik pada singkapan alami, pada singkapan yang

Page 8: Studi Fasies Batugamping Dan Pola Kekar

38

terpotong oleh diamond wire saw, ataupun pada pengamatan polished slabs, biota-biota tersebut berasal dari jenis koral masif (head corals), koral bercabang (branching corals) dan ganggang merah. Dari tekstur dan susunan biota yang demikian itu menunjukkan bahwa pertumbuhan batugamping tersebut tahan terhadap gelombang pada energi sedang sampai tinggi. Diperkirakan daerah pengendapan batugamping di daerah ini terletak di bagian inti terumbu (reef-crest atau reef front) pada suatu sistem pengendapan karbonat (Gambar 8).

Gambar 8. Model pengendapan karbonat dan

biota penyusun terumbu (reef) (Pomar et al., 1985)

Fasies rudstone yang fragmen-fragmennya terdiri dari rombakan terumbu (reef) dan tersingkap di atas fasies framestone-bindstone, diperkirakan terbentuk akibat adanya kenaikan muka laut dan penurunan cekungan sehingga terumbu (reef) lama mati dan terjadi

pembentukan terumbu (reef) baru. Kemudian akibat hantaman gelombang pada terumbu baru, terjadi rombakan dan hasil rombakannya diendapkan di atas terumbu (reef) lama. Diagenesa Batugamping Pembahasan diagenesa batugamping di daerah penelitian berdasarkan pengamatan stylolite, analisis petrografi, analisis kimia dan analsis Scanning Electronic Microscope. Pengamatan stylolite di lapangan dilakukan terutama pada singkapan batugamping yang telah dipotong oleh diamond wire saw (Gambar 9 dan 10). Stylolite dijumpai di lokasi BSM Pasir Gelatik-2. Hasil pengukuran jurus dan kemiringan sebanyak 25 buah memperlihatkan kemiringan ke arah selatan, atau searah bidang perlapisan. Hasil pengukuran kedudukan stylolite menunjukkan arah tegasan utama berarah vertikal (pembebanan).

Gambar 9. Stylolite di lokasi BSM,

memperlihatkan stylolitebedded akibat pressure dissolution, difoto dari atas

Gambar 10. Stylolite di lokasi BSM

difoto dari samping

Analisis petrografi dilakukan pada 10 contoh. Seluruhnya memperlihatkan gejala rekristalisasi dari mikrit menjadi spar pada kerangka koral dan foram besar (Gambar 11,12, 13, dan 14).

Page 9: Studi Fasies Batugamping Dan Pola Kekar

39

Pada seluruh contoh tidak memperlihatkan adanya porositas. Hasil analisis kimia yang dilakukan pada 11 contoh batuan, umumnya memperlihatkan kandungan Mg dan Na rendah. Beberapa contoh yaitu K-52, BCCR dan Knt-2 mempunyai kandungan MgO cukup tinggi dibandingkan dengan yang lain, yaitu sebesar 1% - 3,59%, demikan juga adanya kandungan unsur Pb dan Zn cukup tinggi (Tabel 4). Selanjutnya, dari analisis Scanning Electronic Microscope (SEM) yang dilakukan pada 13 buah contoh, sebagian besar memperlihatkan kristal-kristal mikrit dan spar. Beberapa contoh menunjukkan rekristalisasi dari mikrit menjadi spar, dan juga terlihat adanya mineral dolomit. Pada stylolite terlihat adanya penyemenan atau pengisian yang hampir sempurna oleh mineral kalsit.

Gambar 11. Slab batugamping framestone

berwarna krem, tekstur terdiri dari koral dan ganggang merah yang saling berkaitan,

terlihat adanya stylolite dan kekar tension (Lokasi K-52)

Berdasarkan bebeberapa analisis laboratorium tersebut, ditafsirkan bahwa batugamping di daerah ini telah mengalami proses diagenesa pada lingkungan deep burial dengan tahap diagenesa lanjut (late diagenesis).

Gambar 12. Coralline boundstone, konstitusi

utama terdiri dari kerangka koral, tidak tampak porositas

Gambar 13. Kristal dolomit yang mengelilingi

kristal kalsit

Gambar 14. Oksida besi (iron oxide) pada

permukaan septa (DEF-678) contoh K-52 (SEM)

Hubungan Fasies, Diagenesa, dan Sifat Fisik Batugamping Fasies framestone-bindstone dan rudstone merupakan bagian inti terumbu (reef crest atau reef front) dengan biota penyusun berupa koral, ganggang merah, dan foraminifera besar yang saling berikatan menyebabkan batuannya sangat keras, mempunyai kuat tekan tinggi rata-rata >1.100 kg/cm2, keausan kecil dan tidak retak.

Page 10: Studi Fasies Batugamping Dan Pola Kekar

40

Hasil analisis petrografi dan SEM, memperlihatkan bahwa batugamping tersebut telah mengalami proses diagenesa deep burial yang ditandai dengan adanya rekristalisasi mikrit menjadi spar, penyemenan kembali rekahan stylolite serta tidak adanya porositas menyebabkan daya serap air sangat kecil (< 0,50 %) dan batuannya tidak mudah pecah. Analisis kimia memperlihatkan adanya kandungan unsur Pb dan Zn yang cukup tinggi, kemungkinan terjadi asosiasi unsur Pb dengan kalsit membentuk mineral Cerusite (PbCO3)

berwarna putih dan Zn menjadi Smithsonit (ZnCO3) berwarna kuning - coklat. Asosiasi mineral-mineral tersebut ditafsirkan sebagai penyebab warna coklat, abu-abu terang dan krem pada batugamping. Adanya bercak coklat (oksidasi) pada warna krem kemungkinan disebabkan oleh adanya Fe2O. Hasil pengujian fisik sebanyak 10 (sepuluh) contoh memperlihatkan batugamping tersebut telah memenuhi persyaratan mutu/kualitas sesuai standarisasi penggunaan sebagai penutup lantai atau dinding yang berlaku di Indonesia (Tabel 5).

Tabel 4. Hasil analisis kimia contoh batuan daerah penelitian

Tabel 5. Hasil analisis fisik contoh batuan di daerah penelitian.

Page 11: Studi Fasies Batugamping Dan Pola Kekar

41

Struktur Geologi Hasil rekonstruksi struktur memperlihatkan bahwa struktur utama di daerah penelitian adalah struktur antiklin yang berarah timurlaut-baratdaya (NE - SW) yang terpotong oleh sesar naik dan sesar mendatar. Struktur yang dapat diamati di daerah penelitian adalah sesar naik Gunung Guha, sesar naik Pr. Gelatik, dan sesar mendatar Cinongnang. Analisis struktur geologi dilakukan dengan melakukan analisis tegasan purba berdasarkan pada analisis cermin sesar, analisis kekar gerus (shear joint), kekar tarik (tension joint) dan stylolite. Analisis cermin sesar dilakukan dengan pengukuran kedudukan cermin sesar pada tiga lokasi yaitu : Knt-5 (25 buah), PP-21A (20 buah) dan PP-47 (13 buah). Hasil analisis tegasan purba dengan menggunakan program stress versi 2.2 dari Charlesworth et al. (1994) di ketiga lokasi tersebut dapat dilihat pada Tabel-6. Pengukuran kedudukan kekar gerus

berpasangan dilakukan pada tiga lokasi yaitu K-52 (50 buah), BSM (50 buah), dan Knt-3 (40 buah). Hasil analisis tegasan purba menggunakan program Dips dari Diederichs dan Hoek (1986) di lokasi K-52 dan BSM menghasilkan σ1 vertikal, σ2 berarah N 65° W – N 80° E atau N 100° E – N 92° E dan σ3 berarah N 12° E – N 28° E atau S 12° W – S 28° W, sedangkan di lokasi Knt-3 menghasilkan σ1 vertikal, σ2 berarah N 11° W atau S 11° E (Gambar 15). Hasil pengukuran arah kekar tarik yang dilakukan di lokasi BSM sebanyak 25 buah yang dianalisis dengan menggunakan program Stress versi 1.6, dari Charlesworth et al. (1994), menghasilkan arah tegasan utama adalah vertikal (Gambar 16). Sedangkan, hasil pengukuran kedudukan stylolite yang dilakukan di lokasi BSM sebanyak 25 buah, dan dianalisis dengan menggunakan program Dips, menunjukkan pola umum kedudukan stylolite adalah hampir barat-timur dengan kemiringan ke arah selatan (Gambar 16).

Tabel 6. Hasil analisis tegasan purba

Tegasan Purba Lokasi Generasi 1 Generasi 2 Generasi 3 σ - 1 (N..0E) Plunge (..0) σ - 2 (N..0E) Plunge (..0) σ - 3 (N..0E) Plunge (..0)

1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 Knt-5 299 30 197 4 18 71 31 191 298 21 67 7 103 298 206 67 21 5

PP-21A 96 205 299 66 8 22 352 260 158 21 4 68

PP-47 119 210 310 14 2 75 235 134 30 40 13 46 127 280 12 71 16 7

Gambar 15. Hasil analisis kedudukan kekar gerus di lokasi Knt-3

yaitu N 342° E/45° dan N 172° E/44°

Page 12: Studi Fasies Batugamping Dan Pola Kekar

42

Gambar 16. Kedudukan stylolite dan bidang perlapisan batugamping di lokasi BSM

Di lapangan, hasil analisis tegasan purba diperlihatkan oleh gawir sesar naik Gunung Guha berarah barat-timur, gawir sesar naik Pr. Gelatik berarah timurlaut-baratdaya dan sesar mendatar Cinongnang berarah utara-selatan (Gambar 17).

Gambar 17. Gawir sesar di Gunung Guha, foto

diambil dari PP-33 Disamping itu, terbentuk pula suatu zona rekahan di lokasi K-52 - BSM dengan lebar 75 meter berarah baratlaut - tenggara (NW - SE), dan di lokasi Knt-3 dengan lebar 25 meter berarah utara-selatan. Batugamping di zona K-52 - BSM terlihat cukup parah mengalami penghancuran yang ditunjukkan dengan jumlah dan rapatnya spasi kekar gerus, sedangkan di

lokasi Knt-3 jumlah dan jarak spasi kekar gerus tidak seperti di lokasi K-52 dan BSM (Gambar 18 dan 19).

Gambar 18. Zona kekar gerus di pasir gelatik

sampai Bench 2 batuan pecah-pecah

Gambar 19. Zona kekar gerus di lokasi Knt-3

Page 13: Studi Fasies Batugamping Dan Pola Kekar

43

Hubungan Struktur Geologi Dengan Sifat Fisik Batugamping Batugamping yang terdapat pada zona kekar gerus mengalami penghancuran sehingga sifat fisik batuan menjadi rendah dan menjadi faktor penghambat dalam pembuatan balok batugamping atau pembuatan tiles. Jumlah dan jarak spasi antar kekar yang diukur per m2 sangat mempengaruhi dalam pembuatan balok batugamping dengan ukuran minimal yaitu 2 x 2 x 2 m. Hasil pengukuran jumlah dan jarak spasi kekar di lokasi K-52 sampai BSM memperlihatkan bahwa batugamping pada zona ini akan selalu pecah bila ditambang, sedangkan di lokasi Knt-3 masih dapat ditambang dengan ukuran minimal (Gambar 19). Namun demikian, pola kekar tarik dan stylolite ternyata tidak menurunkan kualitas sifat fisik batuan dan tidak mengganggu dalam pembuatan balok batugamping atau pembuatan tiles. Hubungan Fasies Batugamping dan Pola Kekar dengan Efisiensi Peningkatan Produksi Bahan Baku Dengan mengetahui keadaan parameter sedimentologi pengendapan batugamping dan tektonik yang terdapat di suatu daerah, ditunjang dengan mempelajari hubungan antara fasies batugamping, diagenesa dan sifat fisik, serta model pengendapan batugamping, maka akan lebih mudah memberikan penilaian apakah batugamping yang terdapat di suatu daerah memenuhi atau tidak persyaratan sebagai bahan baku marmer komersial . Fasies framestone-bindstone yang merupakan bagian inti terumbu (reef-crest atau reef -front) menjadi bahan baku yang terbaik, karena umumnya batuannya masif, mempunyai warna yang seragam, penyebarannya luas, dan jumlahnya cukup banyak. Untuk mendapatkan warna yang seragam, misalnya warna krem atau abu-abu terang, fasies ini dapat menjadi petunjuk (geological guide) dalam penentuan prioritas penambangan baru dan metode yang akan diterapkan guna meningkatkan kapasitas produksi bahan baku dalam skala lebih besar. Di daerah penelitian warna tersebut dijumpai di Ps. Gelatik-1 yaitu di bawah fasies rudstone, atau di Gunung Guha. Metode

penambangan dengan menggunakan diamond wire saw dan pemboran tangan sangat cocok diterapkan di daerah ini. Fasies rudstone penyebarannya terbatas, mempunyai warna coklat keabuan dan coklat kemerahan yang memberikan petunjuk bahwa jumlah bahan baku sedikit, sehingga penambangan tidak dapat dilakukan dengan skala besar. Pola kekar gerus (shear joint) sebagai penyebab terbentuknya suatu zona hancuran dan mengakibatkan sifat fisik batugamping di zona tersebut menjadi rendah serta batuannya mudah pecah. Zona rekahan di K - 52 dan BSM mempunyai lebar sekitar 50 - 75 meter memanjang ke arah baratlaut-tenggara (NW - SE). Data statistik pengukuran jumlah dan spasi kekar gerus memperlihatkan bahwa di daerah tersebut sulit untuk mendapatkan balok ukuran minimal, oleh karena itu daerah ini dapat dihindari untuk tidak dilakukan penambangan. Hal ini telah terbukti balok yang dihasilkan akan selalu pecah bila dipotong dengan diamond wire saw (Gambar 20).

Gambar 20. Balok hasil pemotongan diamond

wire saw di zona rekahan Data statistik pengukuran jarak dan spasi kekar gerus di lokasi Knt-3 memperlihatkan bahwa batugamping di lokasi tersebut masih dapat dilakukan penambangan dengan ukuran balok minimal (1,5 x 1,5 x 1,5 m). Pola kekar tarik (tension joint) dan stylolite bukan merupakan faktor penghambat/pengganggu dalam penambangan atau pembuatan tiles (Gambar 21 dan 22).

Page 14: Studi Fasies Batugamping Dan Pola Kekar

44

Gambar 21. Kekar tarik di lokasi BSM

Gambar 22. Kekar tarik pada batugamping

yang telah dipoles

Kesimpulan Fasies batugamping didaerah penelitian terdiri dari framestone-bindstone dan rudstone. Kedua fasies batugamping merupakan bagian dari inti terumbu (reef-crest atau reef-front) pada sistem pengendapan karbonat yang pembentukannya dikontrol oleh kenaikan muka laut (sea level rise) dan penurunan cekungan. Batugamping telah mengalami proses diagenesa pada lingkungan deep burial tahap lanjut (late diagenesis).

Jenis fasies dan proses diagenesa yang terjadi pada batugamping mempunyai hubungan yang erat dengan sifat fisik batuan. Fasies framestone-bindstone mempunyai keseragaman warna krem atau abu-abu terang, sedangkan fasies rudstone mempunyai warna yang mencolok yaitu coklat kemerahan/keabuan. Bagian reef-crest atau reef front merupakan bagian yang terbaik untuk bahan baku marmer komersial dibandingkan bagian lain dari sistem pengendapan karbonat. Maka, jenis fasies batugamping dapat digunakan sebagai petunjuk (geological guide) dalam penentuan arah penambangan dan metode penambangan. Pola kekar gerus (shear joint) sebagai penyebab adanya zona rekahan mengakibatkan batugamping pada zona ini mempunyai sifat fisik rendah dan mudah pecah. Jarak spasi rekahan sangat berpengaruh dalam pemotongan balok dengan ukuran minimal. Tetapi, pola kekar tarik (tension joint) dan stylolite tidak mempengaruhi dalam pembuatan balok ataupun pemrosesan menjadi tiles. Batugamping di daerah penelitian telah memenuhi persyaratan mutu/kualitas sebagai marmer komersial dan sesuai dengan Standarisasi Nasional Indonesia. Pemanfaatan batugamping sebagai bahan baku marmer komersial di Indonesia mempunyai prospek yang cerah dan dapat mendukung program pemerintah dalam kebijaksanaan peningkatan ekspor non-migas dan pendapatan asli daerah (PAD).

Daftar Pustaka C.H. Moore, 1989. Carbonate

Diagenesis and Porosity. Elsevier, 338 halaman.

Erik Flugel, 1982. Microfacies Analysis of Limestone : “ Stylolites”. Springer-Verlag, Berlin Heidelberg, New York, hal 1-95.

Henry Charlesworth, Thierry Villemin, Eric Erslev, dan Dardji Noeradi, 1994. Solving Structural

Geology Problems with the Aid of Micro-computers, Laboratorium Geokomputasi, Jurusan Teknik Geologi ITB.

Joann E.Welton, 1984. SEM Petrology Atlas. Chevron Oil Field Research Company, Method in Exploration Series, AAPG, Tulsa Oklahoma, USA, hal 1-225.

Koesomadinata, R.P, 1987. Reef Carbonate Exploration. Program IWPL-MIGAS, Jakarta.

Koesoemadinata, R.P, 1992. Carbonate Field Trip to Rajamandala-Tagogapu area. ITB, Bandung.

Lloyd C.Pray and Raymond C.Murray, 1965. Dolomitization And limestone Diagenesis. A Symposium, SEPM,

Page 15: Studi Fasies Batugamping Dan Pola Kekar

45

Special Publication No.13.

Maurice E.Tucker dan Paul Wright, 1992. Carbonate Sedimentology. Blackweel Scientific Publication, Oxford.

Nino Salvatori, 1977. Stone Working Techniques. Container 54037 Marina di Massa Italy.

Peter A, Scholle, 1978. Carbonate Rock

Constituents, Textures, Cement, and Porosities. AAPG Memoir; Tulsa, Oklahoma, USA.

Peter A Scholee, Noel P.James dan J.F.Read, 1989. Carbonate Sedimentology and Petrology. Short Course in Geology, vol.4, 28 International Geolical Congress Washington, D.C.

Peter A Scholle, Don G.Bebout, dan Clyde H Moore, 1983. Carbonate Depositional Environtment. AAPG Memoir 33, Tulsa, Oklahoma.

Robin G.C.Bathurst, 1975. Carbonate Sediments And Their Diagenesis. Second edition, Elsevier.

Page 16: Studi Fasies Batugamping Dan Pola Kekar

46