Upload
sholihah-lituhayu
View
406
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA
LAPORAN KASUS
STUDI EPIDEMIOLOGI PENYAKIT KUSTA DI WILAYAH KERJA
PUSKESMAS TANGGUL
Oleh:
dr. Ali Sibra Mulluzi
Pendamping:
dr. Diyan Pusposari
PUSKESMAS TANGGUL
DINAS KESEHATAN KABUPATEN JEMBER
2013
KATA PENGANTAR
Puji Syukur ke hadirat ALLAH SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan penelitian yang berjudul Studi
Epidemiologi Penyakit Kusta Di Wilayah Kerja Puskesmas Tanggul.
Penyusunan laporan ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, oleh
karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. dr. Bambang Witarno selaku kepala Puskesmas Tanggul.
2. dr. Diyan Pusposari yang telah memberikan tugas, petunjuk, kepada kami
sehingga kami termotivasi dan menyelesaikan tugas ini.
3. Mas Heri selaku pemegang program kusta di Puskesmas Tanggul.
4. Semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan dalam
penyusunan laporan ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.
Penulis berupaya menyusun laporan ini dengan sebaik-baiknya. Semoga
laporan ini bermanfaat bagi pembaca.
Jember, September 2013
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL......................................................................................... i
KATA PENGANTAR....................................................................................... ii
DAFTAR ISI...................................................................................................... iii
BAB 1. PENDAHULUAN............................................................................... 1
1.1 Latar Belakang............................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................... 2
1.3 Tujuan Penelitian........................................................................... 2
1.4 Manfaat Penelitian......................................................................... 2
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA...................................................................... 3
2.1 Konsep Dasar Penyakit Kusta .................................................... 3
2.1.1 Definisi Penyakit Kusta..................................................... 3
2.1.2 Etiologi............................................................................... 3
2.1.3 Sumber Penularan.............................................................. 4
2.1.4 Cara Penularan................................................................... 4
2.1.5 Patogenesis......................................................................... 4
2.1.6 Manifestasi Klinis.............................................................. 5
2.1.7 Klasifikasi Penyakit........................................................... 5
2.1.8 Pemeriksaan Klinis............................................................ 6
2.1.9 Penatalaksanaan................................................................. 7
2.1.10 Komplikasi......................................................................... 10
2.2 Upaya Pencegahan Penyakit Kusta.............................................. 10
2.3 Penanggulangan Penyakit Kusta.................................................. 11
2.4 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Penyakit Kusta 11
BAB 3. HASIL DAN PEMBAHASAN........................................................... 15
3.1 Prevalensi Terjadinya Kasus Kusta ........................................... 15
3.2 Distribusi Pasien Kusta dari Wilayah Tanggul dan Luar.......... 16
3.3 Gambaran Karakteristik Pasien Kusta....................................... 17
3.3.1 Umur Responden................................................................ 17
iii
3.3.2 Jenis Kelamin Responden.................................................. 18
3.3.3 Tipe Kusta.......................................................................... 18
3.4 Pemeriksaan Kontak Penderita Kusta......................................... 19
BAB 4. KESIMPULAN DAN SARAN........................................................... 20
4.1 Kesimpulan..................................................................................... 20
4.2 Saran................................................................................................ 20
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 21
iv
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit kusta merupakan salah satu jenis penyakit menular yang sifatnya
kronis dapat menimbulkan berbagai masalah yang kompleks. Penderita kusta
bukan menderita karena penyakitnya saja, tetapi juga karena dikucilkan
masyarakat sekitarnya. Hal ini akibat kerusakan saraf tepi yang ireversibel
diwajah dan anggota gerak, motorik dan sensorik, serta dengan adanya kerusakan
yang berulang-ulang pada daerah mati rasa disertai kelumpuhan dan mengecilnya
otot (Djuanda, 2008).
Berdasarkan data WHO pada akhir tahun 2007 jumlah penderita kusta
berjumlah 224.717 kasus, sementara pada tahun 2006 berjumlah 259.017 kasus di
dunia. Selama kurang dari lima tahun terakhir, jumlah kasus yang terdeteksi
diseluruh dunia terus mengalami penurunan tapi tidak untuk Indonesia. Pada
tahun 2009 Indonesia menempati peringkat ketiga penyumbang penderita kusta di
dunia dengan jumlah 17.723 orang, sementara peringkat satu yakni India
sebanyak 137.685 orang dan diikuti Brazil sebagai peringkat kedua dengan
jumlah 39.125 orang (Anonim, 2009).
Secara nasional, Indonesia telah mencapai angka eliminasi kusta pada
tahun 2000 yang lalu, namun masih ada 12 provinsi yang memiliki angka
morbiditasnya diatas 1 per 10.000 penduduk. Dari 12 provinsi tersebut terdapat
beberapa daerah yang memiliki angka prevalensi yang cukup tinggi yaitu
Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Maluku, Maluku Utara, Papua, Jawa Timur,
Jawa Barat, Jawa Tengah, NAD, Jakarta, Nusa Tenggara Timur dan Riau (Depkes
RI, 2005).
Berdasarkan data Dinkes Provinsi Jatim akhir desember 2012, 30%
penderita kusta di Indonesia berada di Jawa Timur dengan angka prevalensi 1,76
per 10000 penduduk dimana masih jauh dari target nasional yaitu <1 per 10000
penduduk. Proporsi anak 9% dan angka kecacatan tingkat 2 12%, masih terlalu
tinggi. Kabupaten Jember menempati urutan ke empat se Jawa Timur dari jumlah
kasus terbanyak, dimana peringkat pertama adalah kabupaten Sampang. Tetapi
1
dari angka prevalensi rate Jember menempati peringkat 9 dengan prevalensi 1,57
per 10000 penduduk. (Dinkes Jatim, 2013) Kecamatan Tanggul sendiri
merupakan penyumbang cukup tinggi di Jember yaitu dengan prevalensi 1,27 per
10000 penduduk pada tahun 2012. Dimana terjadi peningkatan sejak tahun 2010
yang awalnya 0,88 per 10000 penduduk. Pada tahun 2013 hingga Triwulan 2
tercatat 14 orang sedang pengobatan, dan 7 orang merupakan temuan kasus baru
(Data Puskesmas Tanggul, 2013)
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka disusun rumusan masalah
sebagai berikut: bagaimana gambaran karakteristik penderita kusta di wilayah
kerja puskesmas Tanggul dan faktor-faktor yang mempengaruhi adanya
peningkatan target pada tiap tahun kasus kusta di puskesmas Tanggul.
1.3 Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui gambaran karakteristik penderita kusta di wilayah
kerja puskesmas Tanggul dan faktor-faktor yang mempengaruhi adanya
peningkatan prevalensi pada tiap tahun kasus kusta di puskesmas Tanggul.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan informasi dan masukan yang dapat dipergunakan bagi
pihak Puskesmas Tanggul dalam menyusun perencanaan program
pemberantasan penyakit kusta selanjutnya dan meningkatkan kualitas
pelayanan kesehatan khususnya bagi pasien kusta.
2. Bagi dokter internship memperluas wawasan tentang penyakit kusta dan
mengetahui gambaran karakteristik penderita kusta di wilayah kerja
puskesmas Tanggul serta faktor yang mempengaruhi adanya peningkatan
prevalensi pada tiap tahun kasus kusta di Puskesmas Tanggul.
3. Bagi Masyarakat dapat memberikan informasi kepada masyarakat dan
keluarga pasien khususnya untuk meningkatkan pengawasan dan
pengobatan pada pasien kusta.
2
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Dasar Penyakit Kusta
2.1.1 Definisi Penyakit Kusta
Penyakit kusta adalah penyakit infeksi kronis yg disebabkan oleh
mycobacterium leprae, yang pertama kali menyerang saraf tepi, setelah itu
menyerang kulit dan organ-organ tubuh lain kecuali susunan saraf pusat (Sain,
2009)
Penyakit Kusta yang juga dikenal sebagai lepra atau Morbus Hansen
merupakan penyakit menular menahun dan disebabkan oleh kuman kusta
(Mycobacterium lepra) yang terutama menyerang saraf tepi dan organ tubuh
kecuali susunan saraf pusat (Soedarjatmi, 2008).
Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah
Mycobacterium Leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai
afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas,
kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat (Kosasih dkk, 2009).
2.1.2 Etiologi
Penyebab utama penyakit kusta yaitu kuman Mycobacterium leprae, yang
pertama kali ditemukan oleh G.A. Hansen pada tahun 1873. kuman ini
berbentuk batang dengan ukuran panjang 1 – 8 mic, lebar 0,2 – 0,5 mic, biasanya
berkelompok dan ada yang tersebar satu – satu, hidup dalam sel serta bersifat
tahan asam. Waktu pembelahan sangat lama yaitu 2 – 3 minggu. Di luar tubuh
manusia (dalam kondisi tropis) kuman kusta dapat bertahan sampai 9 hari
(Soedarjatmi, 2008)
M. leprae merupakan basil tahan asam (BTA), bersifat obligat intraselular,
menyerang saraf perifer, kulit, dan organ lain seperti mukosa saluran napas
bagian atas, hati, dan sumsum tulang kecuali susunan saraf pusat. Masa membelah
diri M. leprae 12-21 hari dan masa tunasnya antara 40 hari – 40 tahun (Sain,
2009).
3
2.1.3 Sumber Penularan
Sampai saat ini hanya manusia yang dianggap sebagai sumber penularan
walaupun kuman kusta dapat hidup pada Armandillo, Simpanse dan pada telapak
kaki tikus yang tidak mempunyai kelenjar Thymus. Kulit dan mukosa hidung
telah lama diketahui sebagai sumber dari kuman. Telah terbukti bahwa saluran
nafas bagian atas dari penderita lepramatous (tipe MB, yang jumlah bakterinya
banyak) merupakan sumber kuman yang terpenting di dalam lingkungan
(Soedarjatmi, 2008).
2.1.4 Cara Penularan
Cara penularan yang pasti belum diketahui, tetapi menurut sebagian besar
ahli melalui saluran pernapasan (inhalasi) dan kulit (kontak langsung yang lama
dan erat). Kuman mencapai permukaan kulit melalui folikel rambut, kelenjar
keringat, dan diduga juga melalui air susu ibu. Tempat implantasi tidak selalu
menjadi tempat lesi pertama. Timbulnya penyakit kusta pada seseorang tidak
mudah sehingga tidak perlu ditakuti.
Kuman kusta utuh (solid) yang berasal dari pasien kusta tipe MB (Multi
Basiler) yang belum diobati atau tidak teratur berobat, akan mudah tertular. Bila
seseorang terinfeksi M. leprae, sebagian besar (95%) akan sembuh sendiri dan 5%
akan menjadi menjadi indeterminate. Dari 5% indeterminate, 30% bermanifestasi
klinis menjadi determinate dan 70% sembuh. Insidens tinggi pada daerah tropis
dan subtropis yang panas dan lembab. Kusta dapat menyerang semua umur, anak-
anak lebih rentan daripada orang dewasa. Frekuensi tertinggi pada kelompok
dewasa ialah umur 25-35 tahun, sedangkan pada kelompok anak umur 10-12
tahun.
2.1.5 Patogenesis
Setelah M leprae masuk ke dalam tubuh, perkembangan penyakit kusta
bergantung pada kerentanan seseorang. Respons tubuh setelah masa tunas
dilampaui tergantung pada derajat sistem imunitas selular (cellular mediated
immune) pasien. Kalau sistem imunitas selular tinggi, penyakit berkembang ke
4
arah tuberkuloid dan bila rendah, berkembang ke arah lepromatosa. M leprae
berpredileksi di daerah-daerah yang relatif lebih dingin, yaitu daerah akral dengan
vaskularisasi yang sedikit. Derajat penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat
infeksi karena respons imun pada tiap pasien berbeda. Gejala klinis lebih
sebanding dengan tingkatreaksi selular daripada intensitas infeksi. Oleh karena itu
penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik.
2.1.6 Manifestasi Klinik
Diagnosis didasarkan pada gambaran klinis, bakterioskopis, dan
histopatologis. Menurut WHO (1995). diagnosis kusta ditegakkan bila terdapat
satu dari tanda kardinal berikut:
a. Adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas.
Lesi kulit dapat tunggal atau multipel, biasanya hipopigmentasi
tetapi kadang-kadang lesi kemerahan atau berwarna tembaga. Lesi
dapat bervariasi tetapi umumnya berupa makula, papul, atau nodul.
Kehilangan sensibilitas pada lesi kulit merupakan gambaran khas.
Kerusakan saraf terutama saraf tepi,bermanifestasi sebagai kehilangan
sensibilitas kulit dan kelemahan otot. Penebalan saraf tepi saja tanpa
disertai kehilangan sensibilitas dan/atau kelemahan otot juga
merupakan tanda kusta.
b. BTA positif.
Pada beberapa kasus ditemukan basil tahan asam dari kerokan jaringan
kulit. Bila ragu-ragu maka dianggap sebagai kasus dicurigai dan
diperiksa ulang setiap 3 bulan sampai ditegakkan diagnosis kusta atau
penyakit lain.
2.1.7 Klasifikasi Penyakit
Klasifikasi penyakit kusta berdasarkan Ridley dan Jopling adalah :
a. Tipe TT (tuberkuloid)
b. BT (borderline tuberculoid)
c. BB (mid borderline)
5
d. BL (borderline lepromatous)
e. LL (lepromatosa)
Departemen Kesehatan Ditjen P2MPLP ( 1999) dan WHO ( 1995) membagi
penyakit kusta menjadi 2 tipe yaitu :
a. Tipe Pause Basiler (PB)
b. Multi Basiler (MB).
Tabel 1 Gambaran Klinis Menurut WHO
Gambaran Klinis Tipe PB Tipe MB
Lesi Kulit (macula datar,
Papul yang meninggi,
Nodul)
1-5 lesi, hipopigmentasi/
eritema, distribusi tidak
simetris, hilanya sensasi
yang jelas.
Lesi >5, distribusi lebih
simetris, hilanya sensasi.
Kerusakan cabang saraf
(menyebabkan saraf
kehilangan
sensasi/kelemahan otot
yang dipersarafi oleh
sraf yang terkena)
Hanya satu cabang saraf Banyak cabang saraf
(Sumber : WHO, 1995)
Untuk kepentingan program pengobatan pada tahun 1987 telah terjadi
perubahan. Yang dengan kusta PB adalah kusta dengan BTA negatif pada
pemeriksaan kerokan kulit, yaitu tipe-tipe I, TT dan BT menurut klasifikasi
Ridley & Jopling. Bila pada tipe-tipe tersebut disertai BTA positif, maka akan
dimasukkan ke dalam kusta MB. Sedangkan kusta MB adalah semua penderita
kusta tipe BB, BL dan LL atau apapun (Arif mansjoer, 2000).
2.1.8 Pemeriksaan Klinis
a. Inspeksi
6
Pasien diminta memejamkan mata, menggerakkan mulut, bersiul, dan
tertawa untuk mengetahui fungsi saraf wajah. Semua kelainan kulit di
seluruh tubuh diperhatikan, seperti adanya makula, nodul, jaringan
parut, kulit yang keriput, penebalan kulit, dan kehilangan rambut tubuh
(alopesia dan madarosis).
b. Pemeriksaan sensibilitas pada lesi kulit dengan menggunakan
kapas(rasa raba), jarum pentul yang tajam dan tumpul (rasa nyeri), serta
air panas dan dingin dalam tabung reaksi (rasa suhu).
c. Pemeriksaan saraf tepi dan fungsinya dilakukan pada: n.
auricularis magnus, n. ulnaris, n. radialis, n. medianus, n. peroneus,
dan n.tibialis posterior. Hasil pemeriksaan yang perlu dicatat
adalah pembesaran, konsistensi, penebalan, dan adanya nyeri tekan.
Perhatikan raut muka pasien apakah ia kesakitan atau tidak saat
saraf diraba.
d. Pemeriksaan fungsi saraf otonom, yaitu memeriksa ada
tidaknya kekeringan pada lesi akibat tidak berfungsinya kelenjar
keringat dengan menggunakan pensil tinta (uji Gunawan).
2.1.9 Penatalaksanaan
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah menyembuhkan
pasien kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata
rantai penularan dari pasien kusta terutama tipe yang menular kepada
orang lain untuk menurunkan insidens penyakit.
a. MDT (Multi Drug Therapy )
Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin,
klofazimin, dan DDS dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan
untuk mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat,
mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat, dan
mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.
Rejimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi
WHO (1995) sebagai berikut:
7
1) Tipe PB
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa
a) Rifampisin 600 mg/bulan diminum di depan petugas.
b) DDS tablet 100 mg/hari di rumah
Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan. dan setelah
selesai minum 6 dosis dinyatakan RFT (Release From Treatment
= berhenti minum obat kusta) meskipun secara klinis lesinya
masih aktif. Menurut WHO (1995) tidak lagi dinyatakan RFT
tetapi menggunakan istilah Completion of Treatment Cure dan
pasien tidak lagi dalam pengawasan.
2) Tipe MB
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:
a) Rifampisin 600 mg/bulan diminum di depan petugas.
b) Klofazimin 300 mg/bulan diminum di depan petugas
dilanjutkan dengan klofazimin 50 mg/hari diminum di rumah.
c) DDS 100 mg/hari diminum dirumah
Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam waktu maksimal
36 bulan. Sesudah selesai minum 24 dosis dinyatakan RFT
meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan pemeriksaan
bakteri positif Menurut WHO ( 1998) pengobatan MB diberikan
untuk 12 dosis yang diselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien
langsung dinyatakan RFT.
Jenis obat dan Dosis untuk anak :
a) Klofazimin
Umur di bawah 10 tahun: bulanan 100 mg/bulan harian 50
mg/2 kali/minggu. Umur 11-14 tahun: bulanan 100
mg/bulan harian 50 mg/3 kali/minggu
b) DDS: 1-2 mg/kg berat badan
c) Rifampisin: 10-15 mg/kg berat badan
b. Pengobatan MDT terbaru
8
Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut WHO
( 1998), pasien kusta tipe PB dengan lesi hanya 1 (satu) cukup
diberikan dosis tunggal rifampisin 600 mg, olloksasin 400 mg, dan
minosiklin I 00 mg dan pasien langsung dinyatakan RFT, sedangkan
untuk tipe PB dengan 2-5 lesi diberikan 6 dosis dalam 6 bulan. Untuk
tipe MB diberikan sebagai obat alternatif dan dianjurkan digunakan
sebanyak 24 dosis dalam 24 bulan.
c. Putus Obat
Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4
dosis dari yang seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien
kusta tipe MB dinyatakan DO bila tidak minum obat 12 dosis dari
yang seharusnya.
d. Evaluasi Pengobatan
Depkes ( 1999) adalah sebagai berikut:
1) Pasien PB yang telah mendapat pengobatan MDT 6 dosis dalam
waktu 6-9 bulan dinyatakan RFT tanpa diharuskan menjalani
pemeriksaan laboratorium.
2) Pasien MB yang telah mendapat pengobatan MDT 24 dosis
dalam waktu 24-36 bulan dinyatakan RFT tanpa diharuskan
menjalani pemeriksaan laboratorium.
3) RFT dapat dilaksanakan setelah dosis dipenuhi tanpadiperlukan
pemeriksaan laboratorium. Dikeluarkan dari register pasien dan
dimasukkan dalam register pengamatan (surveillance) dan dapat
dilakukan oleh petugas kusta.
4) Masa Pengamatan.
Pengamatan setelah RFT dilakukan secara pasif:
a) Tipe PB selama 2 tahun.
b) Tipe MB selama 5 tahun tanpa diperlukan
pemeriksaan laboratorium.
5) Hilang/Out of Control (OOC).
9
Pasien PB maupun MB dinyatakan hilang bilamana dalam
1 tahun tidak mengambil obat dan dikeluarkan dari register pasien.
6) Relaps (kambuh)
Terjadi bila lesi aktif kembali setelah pernah dinyatakan sembuh
atau RFT.
2.1.10 Komplikasi
Cacat merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada pasien kusta baik
akibat kerusakan fungsi saraf tepi maupun karena neuritis sewaktu terjadi reaksi
kusta. Proses terjadinya cacat kusta dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
2.2 Upaya Pencegahan Penyakit Kusta
Hingga saat ini tidak ada vaksinasi untuk penyakit kusta. Dari hasil
penelitian dibuktikan bahwa kuman kusta yang masih utuh bentuknya, lebih besar
kemungkinan menimbulkan penularan dibandingkan dengan yang tidak utuh. Jadi
faktor pengobatan adalah amat penting dimana kusta dapat dihancurkan, sehingga
penularan dapat dicegah. Disini letak salah satu peranan penyuluhan kesehatan
kepada penderita untuk menganjurkan kepada penderita untuk berobat secara
teratur. Pengobatan kepada penderita kusta adalah merupakan salah satu cara
pemutusan mata rantai penularan. Kuman kusta diluar tubuh manusia dapat hidup
24-48 jam dan ada yang berpendapat sampai 7 hari, ini tergantung dari suhu dan
cuaca diluar tubuh manusia tersebut. Makin panas cuaca makin cepatlah kuman
kusta mati. Jadi dalam hal ini pentingnya sinar matahari masuk ke dalam rumah
dan hindarkan terjadinya tempat-tempat yang lembab.
Ada beberapa obat yang dapat menyembuhkan penyakit kusta. Tetapi kita
tidak dapat menyembuhkan kasus-kasus kusta kecuali masyarakat mengetahui ada
obat penyembuh kusta, dan mereka datang ke Puskesmas untuk diobati. Dengan
demikian penting sekali agar petugas kusta memberikan penyuluhan kusta kepada
setiap orang, materi penyuluhan kusta kepada setiap orang, materi penyuluhan
berisikan pengajaran bahwa :
a. Ada obat yang dapat menyembuhkan penyakit kusta
10
b. Sekurang-kurangnya 80 % dari semua orang tidak mungkin terkena
kusta
c. Enam dari tujuh kasus kusta tidaklah menular pada orang lain
d. Kasus-kasus menular tidak akan menular setelah diobati kira-kira 6
bulan secara teratur (Depkes RI, 2005).
2.3 Penanggulangan Penyakit Kusta
Penanggulangan penyakit kusta telah banyak didengar dimana-mana
dengan maksud mengembalikan penderita kusta menjadi manusia yang berguna,
mandiri, produktif dan percaya diri. Metode penanggulangan ini terdiri dari
metode rehabilitasi yang terdiri dari rehabilitasi medis, rehabilitasi sosial,
rehabilitasi karya dan metode pemasyarakatan yang merupakan tujuan akhir dari
rehabilitasi, dimana penderita dan masyarakat membaur sehingga tidak ada
kelompok tersendiri. Ketiga metode tersebut merupakan suatu sistem yang saling
berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Di Indonesia, tujuan program
pemberantasan penyakit kuista adalah menurunkan angka prevalensi penyakit
kusta menjadi 0,3 per 1000 penduduk pada tahun 2000. Upaya yang dilakukan
untuk pemberantasan penyakit kusta melalui :
a) Penemuan penderita secara dini.
b) Pengobatan penderita.
c) Penyuluhan kesehatan di bidang kusta.
d) Peningkatan ketrampilan petugas kesehatan di bidang kusta.
e) Rehabilitasi penderita kusta.
2.4 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Penyakit Kusta
Penyebaran penyakit menular bergantung pada keberhasilan interaksi
antara agent infeksius (perantara infeksi), host (tuan rumah) dan
environment(lingkungan). Ketidak seimbangan antara agent, host dan lingkungan
sering terjadi, yang kadang-kadang tidak disengaja dan dapat menimbulkan
gangguan. Faktor agents sangat berpengaruh dalam terjadinya serta berat
ringannya penyakit. Faktor host manusia atau hewan dapat dimasuki agent
11
infeksius. Faktor lingkungan berhubungan dengan keseluruhan eksternal host
manusia . Faktor lingkungan ini memudahkan keadaan transmisi agent infeksius
dari suatu host yang terinfeksi kepada host yang lain (Sumijatun, 2005).
Menurut Cocrane dalam Zulkifli (2003), terlalu sedikit orang yang tertular
penyakit kusta secara kontak kulit dengan kasus-kasus lepra terbuka. Menurut
Ress dalam Zulkifli (2003) dapat ditarik kesimpulan bahwa penularan dan
perkembangan panyakit kusta hanya tergantung dari dua hal yakni jumlah atau
keganasan Mycobacterium Leprae dan daya tahan tubuh penderita, disamping itu
faktor-faktor yang berperan dalam penularan ini yaitu:
1 Umur
Kebanyakan penelitian melaporkan distribusi penyakit kusta menurut
umur berdasarkan prevalensi, hanya sedikit yang berdasarkan insiden karena pada
saat timbulnya penyakit sangat sulit diketahui. Dengan kata lain kejadian penyakit
sering terkait pada umur pada saat diketemukan dari pada saat timbulnya
penyakit. Kusta diketahui terjadi pada semua umur berkisar antara bayi sampai
umur tua ( 3 minggu sampai lebih dari 70 tahun). Frekuensi tertinggi pada
kelompok dewasa ialah umur 25-35 tahun, sedangkan pada kelompok anak umur
10-12 tahun.
2 Jenis kelamin
Kusta dapat mengenai laki-laki dan perempuan. Berdasarkan laporan,
sebagian besar Negara di dunia, kecuali di beberapa Negara di Afrika
menunjukkan bahwa laki-laki lebih banyak terserang dari pada perempuan.
Rendahnya kejadian kusta pada perempuan kemungkinan karena faktor
lingkungan atau faktor biologi. Seperti penyakit menular lainnya laki-laki lebih
banyak terpapar dengan faktor resiko sebagai akibat gaya hidupnya.
3 Sosial Ekonomi
Faktor sosial ekonomi berperan penting dalam kejadian kusta, penyakit
kusta banyak menyerang golongan masyarakat dengan sosial ekonomi rendah, hal
ini juga terbukti pada negara-negara di Eropa, seperti Negara Inggris, Jerman,
Italia, Perancis, Spanyol, Belanda, Norwegia dan Skotlandia, dengan adanya
peningkatan sosial ekonomi di Negara-negara tersebut, maka kejadian kusta
12
sangat cepat menurun bahkan hilang, penderita kusta impor pada Negara tersebut
ternyata tidak menularkan kepada orang yang sosial ekonominya tinggi.
4 Lingkungan
Kelompok yang berisiko tinggi terkena kusta adalah yang tinggal di
daerah endemik dengan kondisi yang buruk seperti tempat tidur yang tidak
memadai, air yang tidak bersih, asupan gizi yang buruk.
Daerah yang panas dengan kelembaban tinggi merupakan faktor
mempermudah penularan penyakit. Hal ini terbukti karena Mycobacterium Leprae
hidup optimal pada suhu 30-33 Celcius dan kelembaban tinggi. M.Leprae mampu
hidup beberapa minggu(2-4 minggu) di lingkungan khususnya pada keadaan
lembab. Penelitian di Norwegia juga membuktikan penurunan angka kejadian
kusta, seiring dengan perbaikan lingkungan hidup. Penelitian lain di Filipina
menunjukkan ada hubungan luas lantai perorang dengan prevalensi kusta, hal ini
menunjukkan banyaknya kusta pada daerah-daerah dengan perumahan yang
padat, hygiene dan sanitasi lingkungan yang kurang baik.
5 Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang
mengindera terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan dapat terjadi melalui
indera penglihatan, pendengaran, penciuman rasa dan raba. Sebagian besar
pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang terhadap obyek diperoleh melalui indra
penglihatan. Pengetahuan mempunyai enam tingkatan :
a) Tahu (know) diartikan sebagai mengingat sesuatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya.
b) Memahami (comprehension) diartikan sebagai suatu kemampuan untuk
menjelaskan secara benar tentang obyek yang diketahui, yang dapat
menginterpretasikan materi tersebut secara benar.
13
c) Aplikasi (aplication) diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi
yang telah dipelajari pada situasi real (sebenarnya).
d) Analisis (analysis) adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu
obyek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu struktur
organisasi tersebut atau masih ada kaitannya satu sama lain.
e) Sintesis (synthesis) menunjuk kepada sesuatu kemampuan untuk meletakan atau
menghubungkan bagian-bagian di dalam bentuk keseluruhan yang baru dari
formulasi-formulasi yang ada.
f) Evaluasi (evaluation), ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan
penilaian suatu materi atau obyek (Notoatmojo, 1989).
14
BAB 3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Prevalensi Terjadinya Kasus Kusta
Dari data yang ada, didapatkan hasil jumlah kasus kusta pada tahun 2013
hingga bulan Agustus tercatat terdapat 15 orang, akan tetapi 7 orang merupakan
pasien luar tanggul. Sehingga pasien wilayah tanggul sendiri berjumlah 8 orang
dimana prevalensi ratenya adalah 1,4 dari 10.000 penduduk terjadi peningkatan
dari tahun-tahun sebelumnya yang bias dilihat di grafik.
2009 2010 2011 2012 20130
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
1.8
targetprev
Grafik 1. Prevalensi Terjadinya Kasus Kusta di Wilayah Puskesmas Tanggul
Akan tetapi angka ini bisa saja terus bertambah, hal ini di karenakan
berdasarkan data yang ada menunjukkan semua penderita kusta di wilayah
Tanggul tahun 2013 merupakan penemuan secara pasif.
Penemuan secara pasif adalah penemuan penderita yang dilakukan terhadap
orang yang belum pernah berobat kusta datang sendiri atau saran orang lain
ketempat pelayanan kesehatan terutama pada puskesmas maupun dokter praktek
umum dan sarana pengobatan lainnya. Kemungkinan terdapat pasien kusta lain
yang tidak memeriksakan diri dikarenakan beberapa factor: (Depkes, 2001)
15
a. Tidak mengerti tanda dini kusta.
b. Malu datang kePuskesmas.
c. Adanya Puskesmas yang belum siap
d. Tidak tahu bahwa ada obat tersedia Cuma-Cuma di Puskesmas.
e. Jarak penderita ke Puskesmas/sarana kesehatan lainnya terlalu jauh
Sehingga diperlukan kegiatan penemuan secara aktif untuk menjaring lebih
banyak pasien kusta sebagai upaya eliminasi pasien kusta yang dicanangkan oleh
pemerintah seperti: (Depkes, 2001)
1. Pemeriksaan kontak serumah
2. Pemeriksaan anak sekolah SD/Taman Kanak-kanak atau sederajat disebut
survei sekolah
3. “Chase Survey”
4. Survai Khusus
3.2 Distribusi Pasien Kusta dari Wilayah Tanggul dan Luar Tanggul
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Responden Menurut Wilayah Tanggul dan luar Tanggul
No. Wilayah Jumlah Persentase (%)
1 Tanggul 8 53,33
2 Luar Tanggul 7 46,67
Total 15 100
Berdasarkan tabel tersebut yang lebih banyak terdistribusi adalah
responden yang ada di wilayah Tanggul yaitu sebanyak 8 responden (53,33%),
sedangkan yang ada di luar wilayah Tanggul sebanyak 7 responden (46,67%).
Cukup banyaknya penderita dari luar wilayah tanggul perlu diwaspadai
karena tingkat mobilitas penduduk yang cukup tinggi baik yang menggunakan
kendaraan darat maupun kendaraan laut sangat mempengaruhi penyebaran
penyakit terutama penyakit yang berasal dari luar daerah. (Miswar, 2009)
16
3.3 Gambaran Karakteristik Pasien Kusta
3.3.1 Berdasarkan Umur
Tabel 3. Distribusi Frekuensi Responden Menurut Umur Di Wilayah Kerja Puskesmas Tanggul
No. Umur (tahun) Jumlah Persentase (%)
1 < 15 0 0
2 16-45 11 73,33
3 >45 4 26,67
Total 15 100
Berdasarkan tabel tersebut yang lebih banyak terdistribusi adalah
responden yang berusia 16-45 tahun sebanyak 11 responden (73,33%), lalu usia >
45 tahun sebanyak 4 orang (26,67%). Sedangkan pasien anak <15 tahun tidak ada.
Hiswani (2004) menyatakan bahwa usia merupakan variabel yang selalu
diperhatikan di dalam penelitian epidemiologi. Pola kesakitan atau kematian akan
lebih mudah membacanya bila dikelompokkan berdasarkan golongan usia.
Beberapa alasan yang dapat menerangkan hubungan suatu keadaan kesehatan
seseorang dengan usia antara lain : perkembangan fisiologis dan imunitas tubuh.
Notoatmodjo (2003) juga mengatakan bahwa usia memiliki hubungan dengan
tingkat keterpaparan, besarnya risiko serta sifat resistensi terhadap penyakit.
Persebaran usia responden di tempat penelitian menunjukkan bahwa
mayoritas penderita kusta adalah kelompok usia produktif. Hal ini ditunjukkan
dengan jumlah penderita kusta di usia 16-45 tahun adalah 73,33%. Hasil
penelitian ini juga diperkuat dengan pendapat Hiswani (2004) yang menyatakan
bahwa penyakit kusta umumnya terjadi pada kelompok usia produktif. Faktor
utama terjadinya penyakit ini adalah keberadaan kuman di dalam tubuh seseorang.
Seseorang yang terkena penyakit kusta ini biasanya sudah terinfeksi lama sebelum
ia merasakan keluhan bercak di kulit.
17
3.3.2 Berdasarkan Jenis Kelamin
Tabel 4. Distribusi Frekuensi Responden Menurut Jenis Kelamin Di Wilayah Kerja Puskesmas Tanggul
No. Jenis Kelamin Jumlah Persentase (%)
1 Laki-Laki 10 66,67
2 Perempuan 5 33,33
Total 15 100
Berdasarkan tabel tersebut menunjukan bahwa presentase penderita yang
banyak terdistribusi pada jenis kelamin laki–laki yaitu 10 responden (66,67%)
dan yang paling sedikit terdistribusi pada jenis kelamin perempuan yaitu 5
responden (33,33%).
Hasil penelitian Supriyatno (2002) menyatakan tidak ada perbedaan
tentang kejadian kusta berdasarkan jenis kelamin, dimana dibuktikan dengan hasil
biakan kuman Mycobacterium leprae positif yang sama pada laki-laki dan
perempuan sebesar 1:1. Kaum perempuan memiliki kesempatan yang sama
terinfeksi penyakit kusta.
3.3.3 Berdasarkan Tipe Kusta
Tabel 5. Distribusi Frekuensi Responden Menurut Tipe Kusta Di Wilayah Kerja Puskesmas Tanggul
No. Jenis Kelamin Jumlah Persentase (%)
1 PB 2 15,38
2 MB 13 84,62
Total 15 100
Berdasarkan tabel tersebut yang lebih banyak terdistribusi adalah
responden yang menderita kusta tipe MB yaitu sebanyak 13 responden (84,62%),
sedangkan yang tipe PB hanya sebanyak 2 responden (15,38%).
Tipe kusta dipengaruhi oleh variasi dalam kesempurnaan sistem respon
imun seluler. Pada kusta tipe PB dengan respon imun seluler cukup tinggi lebih
sering mendapat reaksi kusta tipe I yang kadang gambaran klinisnya lebih hebat.
18
Hal ini terjadi karena kuman yang mati akan dihabiskan sistem fagosit tubuh,
tetapi pada sebagian penderita akan terjadi reaksi imun sebagai bentuk perlawanan
(hipersensitivitas akut).Sedangkan pada tipe MB dengan respon imun rendah,
reaksi kusta ini tidak seberat pada tipe PB. Pagolori (2002), menyimpulkan kusta
tipe MB mempunyai resiko mengalami reaksi 2,45 kali lebih besar dibandingkan
tipe PB. (Prawoto, 2008)
Tipe MB juga lebih mudah menular dibandingkan tipe PB. Penyakit kusta
dapat ditularkan dari penderita kusta tipe Multi basiler (MB) kepada orang lain
dengan cara penularan langsung. Cara penularan yang pasti belum diketahui,
tetapi sebagian besar para ahli berpandapat bahwa penyakit kusta dapat ditularkan
melalui saluran pernafasan dan kulit. (Depkes, 2001)
3.4 Pemeriksaan Kontak Penderita Kusta
Tabel 6. Distribusi Frekuensi Responden Menurut Pemeriksaan Kontak Di Wilayah Kerja Puskesmas Tanggul
No. Pemeriksaan Kontak
Jumlah Persentase (%)
1 Sudah 1 6,67
2 Belum 14 93,33
Total 15 100
Berdasarkan tabel tersebut menunjukan bahwa presentase penderita yang
sudah dilakukan pemeriksaan kontak yaitu 1 responden (6,67%) dan yang belum
hampir seluruh responden yaitu 14 responden (93,33%). Pemeriksaan kontak
merupakan salah satu kegiatan dalam penemuan penderita secara aktif dengan
memeriksa semua anggota keluarga yang tinggal serumah. Pemeriksaan ini
bertujuan untuk: (Depkes, 2001)
1). Mencari penderita baru yang mungkin sudah lama ada dan belum berobat
(index case).
2). Mencari penderita baru yang mungkin ada.
19
BAB.4
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa:
a. Terjadi peningkatan prevalensi kasus kusta di wilayah Tanggul setiap
tahunnya sejak tahun 2010 hingga tahun 2013.
b. Distribusi kasus kusta terbanyak ada di wilayah Tanggul sendiri tetapi dari
wilayah luar tanggul juga cukup banyak menunjukkan mobilitas yang
tinggi di wilayah Tanggul.
c. Secara keseluruhan, pasien kusta di wilayah Tanggul merepukan
penemuan penderita secara pasif.
d. Kasus kusta terbanyak adalah responden yang berusia produktif 16-45
tahun sebanyak 11 orang (73,33%)
e. Presentase pasien kusta terbanyak pada jenis kelamin laki–laki yaitu 10
orang (66,67%).
f. Presentase pasien kusta terbanyak adalah tipe MB yaitu sebanyak 13
responden (84,62%),
4.2 Saran
Saran dari hasil penelitian ini adalah:
a. Perlu dilakukan penelitian lanjut mengenai faktor-faktor lain yang
mempengaruhi prevalensi kusta
b. Perlu dilakukan upaya tindak lanjut untuk menurunkan prevalensi kusta
c. Perlu ditingkatkan dalam hal kegiatan penemuan penderita secara aktif
sesuai dengan program pemerintah
20
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous (2004), http://www.dinkes-dki.go.id/penyakit.html, diakses Februari 2011
Dian dkk. 2011. Hubungan Tingkat Pengetahuan Masyarakat Tentang Penyakit Kusta Terhadap Tingginya Prevalensi Kusta Di Desa Mojomulyo Kecamatan Puger Jember. FK Unej: Jember
Dinkes Jatim. 2013. Daftar Isi Jatim Dalam Angka Terkini Tahun 2012 - 2013 Triwulan 1.
Dinkes Jatim. 2013. PPID_Dinkes_ProvJatim_Kusta
Djuanda Adhi (dkk) 2008. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: FKUI
Depkes RI. 2001. Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit Kusta. Jakarta: Direktur Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman
Hiswani. 2001. Kusta Salah Satu Penyakit Menular Yang Masih Dijumpai Di Indonesia. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Miswar, Muhammad. 2009. Skrining Dan Studi EpidemiologiPenyakit Kusta Di Puskesmas KulisusuKabupaten Buton Utara Sulawesi Tenggara. Universitas Haluoleo: Kendari
Notoadmodjo. 2003. Pengetahuan Manusia. Jakarta: Inter Aksara
Prawoto. 2008. Faktor - Faktor Risiko Yang Berpengaruh Terhadap Terjadinya Reaksi Kusta (Studi di wilayah kerja Puskesmas Kabupaten Brebes) Program Pascasarjana Universitas Diponegoro: Semarang
Puskesmas Tanggul. 2013. Profil Puskesmas Tanggul. Jember
Puskesmas Tanggul. 2013 Laporan Penyakit Kusta Puskesmas Tanggul. Jember
21